AGAMA ADAT SUKU MAPUR BANGKA: Studi tentang …digilib.uin-suka.ac.id/20907/1/07.3.639_bab_i_sampai_bab_vi_daftar... · H. Jenis Pantang Larang (Panteng Lareng) Orang Lom..... 148

Embed Size (px)

Citation preview

  • i

    AGAMA ADAT SUKU MAPUR BANGKA: Studi tentang Sistem Kepercayaan dan Budaya Orang Lom

    Oleh:

    DRS. H. JANAWI, M.Ag.

    NIM. 07.3.639

    DISERTASI

    Diajukan kepada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

    untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Doktor dalam

    Ilmu Agama Islam

    YOGYAKARTA

    2015

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

  • vi

    A

  • vii

  • viii

  • ix

  • x

  • xi

  • xii

    KATA PENGANTAR

    Dengan mengucapkan puji dan syukur ke hadhirat Allah SWT, yang telah

    menciptakan alam semesta beserta segala isinya dengan penuh keteraturan dan

    kesempurnaan serta dengan inayah dan hidayah-Nya, penulis akhirnya dapat

    menyelesaikan perbaikan disertasi ini. Salawat dan salam semoga senantiasa

    tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat dan para

    pengikut setianya hingga akhir zaman.

    Disertasi ini berjudul Agama Orang Lom Suku Mapur Bangka: Studi Sistem

    Kepercayaan dan Budaya Orang Lom, merupakan salah satu persyaratan dan tugas

    akhir penulis dalam menyelesaikan studi Program Doktor (S3) bidang Ilmu Agama Islam

    di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

    Selama menempuh proses penulisan dan perbaikan disertasi setelah menempuh Ujian

    Prapendahuluan dan Ujian Pendahuluan (Tertutup) di Universitas ini, penulis merasakan

    sebuah interaksi keilmuan yang sangat membanggakan, menyenangkan dan tak

    terlupakan.

    Penulis menyadari bahwa keberhasilan studi dan penulisan disertasi ini tidak

    lepas dari dukungan berbagai pihak baik secara moril, materil maupun pengayaan

    gagasan dalam rangka pengembangan khazanah keilmuan yang dapat dikonstruksi

    sebagai solusi alternatif problematika sosial budaya . Oleh karena itu, dalam kesempatan

    ini penulis menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang

    setinggi-tingginya kepada semua pihak, yang tidak mungkin dapat disebutkan satu

    persatu. Di antara nama-nama yang menurut penulis harus diukir dengan tinta emas,

    yaitu:

    Prof. Dr. H. Machasin selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan

    Kalijaga Yogyakarta, Bapak Prof. Noorhaidi, MA, M.Phil., Ph.D selaku Direktur Program

    Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan semua jajarannya dengan segala

    kebijakan mereka telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk merasakan

    pendidikan di sini dan telah memberikan suasana keakraban dan pelayanan terbaik

    dengan penuh keramahan kepada penulis.

    Prof. Dr. H. Machasin, MA dan Prof. Dr. H. Djoko Suryo, MA selaku promotor ,

    Prof. Dr. H. Djamaannuri, Dr. Mohammad Soehadha, S.Sos., M.Hum, dan Prof. Dr. H.

    Iskandar Zulkarnain selaku penguji pada Ujian Pendahuluan (Tertutup) yang di tengah-

    tengah kesibukan masing-masing masih dapat meluangkan waktunya memberikan kritik,

    saran dan motivasi serta memberikan bimbingan dan wawasan pengetahuan kepada

    penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.

    Dr. Zayadi, M.Ag selaku Ketua STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka

    Belitung dan jajarannya serta kawan-kawan dosen yang telah memberi dukungan, baik

    peminjaman literatur yang dimiliki maupun terlibat aktif dalam mendiskusikan

    penyelesaian studi penulis.

    Bupati Kabupaten Bangka, Ir. H. Tarmizi Saat, MM yang ikut memberi dukungan

    finansial untuk penelitian lapangan. Yang tak dapat dilupakan adalah Ketua Adat dan

  • xiii

    Kadus di Dusun Air Abik dan Pejem beserta semua masyarakat di kedua dusun tersebut,

    baik masih berstatus sebagai Orang Lom (Orang Adat) maupun masyarakat yang telah

    menganut agama resmi negara. Tentu, selama penulis melakukan penelitian, Ketua Adat

    dan informan kunci di dua dusun tersebut selalu diganggu dan diminta

    menceritakan pengetahuan yang mereka miliki.

    Kepada ayahanda H. Muhammad yang telah meninggalkan penulis untuk

    selama-lamanya dan ibunda tercinta Hj. Seni, serta adik-adik penulis yang nun jauh di

    kampung halaman, berawal dari jerih payah dan perjuangan merekalah penulis dapat

    mencapat tingkat pendidikan tertinggi ini. Buat istriku tercinta, Hj. Syarifah

    Halimatussakdiah, S.Ag, dan ketiga anak kami tersayang, Nurul Afifah Hijami,

    Muhammad Fikri Hijami, dan Nadhila Aqila Hijami. Disertasi ini adalah kado istimewa

    dan hadiah yang paling berharga buat kalian. Dari pengorbanan kalianlah saya belajar

    makna ketulusan, ketabahan, dan keikhlasan. Selama mengikuti semua proses studi ini,

    kalian tidak pernah mengeluh dan selalu dengan penuh ceria mendampingku. Kalianlah

    yang membuatku bertekad untuk dapat menyelesaikan studi ini. Kalian pula sumber

    motivasiku baik di saat suka maupun duka. Demikian pula rasa terima kasih, kepada

    teman-teman seperjuangan dan para sahabat yang tak dapat penulis sebutkan satu

    persatu.

    Akhirnya penulis menyadari bahwa karya ini masih memiliki banyak kekurangan.

    Penulis mengharapkan kritik konstruktif dari semua pembaca, supaya tulisan ini dapat

    menjadi sumber inspirasi bagi pengembangan khazanah keilmuan masa mendatang.

    Secara khusus penulis sampaikan kepada masyarakat yang masih bertahan sebagai

    Orang Adat, penelitian ini bukanlah untuk mendeskriditkan sistem dan struktur

    kepercayaan yang mereka miliki dan juga bukan untuk menggugat kepercayaan yang

    mereka anut, yang penulis konstruksi dengan judul Agama Orang Orang Lom Suku

    Mapur Bangka. Penelitian ini memiliki makna penting bagi semua pihak, baik komunitas

    Orang Lom maupun komunitas yang berpegang teguh pada salah satu agama, khususnya

    Islam sebagai penganut dominan. Di samping itu, penelitian ini akan memperkaya

    tulisan tentang sejaran Pulau Bangka dan Orang Bangka dalam lintas sejarah serta dapat

    menjadi sumber inspirasi penelitian-penelitian berikutnya. Semoga Allah SWT

    memberikan keberkahan bagi kita semua dan semoga disertasi ini bermanfaat bagi

    kalangan akademisi dan praktisi khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.

    Yogyakarta, Maret 2015

    Penulis

    Drs. H. Janawi, M.Ag

  • xiv

    ABSTRAK

    Disertasi ini mengkaji tentang Agama Orang Lom Suku Mapur Bangka: Studi Sistem kepercayaan dan Budaya Orang Lom. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab fokus masalah; [1] sistem dan struktur kepercayaan Orang Lom dan pengaruh persentuhan Islam dengan Orang Lom; [2] praktik dan ritual Orang Lom; [3] kemampuan bertahan Orang Lom dan strategi yang mereka gunakan untuk tetap survive serta relasi Orang Lom dengan masyarakat penganut agama resmi; [4] bagaimana eksistensi kepercayaan Orang Lom dalam struktur politik pemerintah bidang keagamaan dan mengapa mereka bersikap ambigu dalam mempertaruhkan kepercayaannya dengan agama resmi negara dalam identitas kewarganegaraan. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi dan menjelaskan sistem kepercayaan Orang Lom, aspek-aspek perubahan pada Orang Lom setelah bersentuhan dengan Islam, strategi mempertahankan keyakinan mereka, dan menjelaskan sikap ambigu Orang Lom dalam menentukan identitas identitas formal dalam ujud KTP maupun identitas formal keyakinannya. Kontribusi penelitian ini memperkaya khazanah keilmuan, juga membangun ruang dialog antar umat beragama, dan sekaligus mengembangkan formulasi dakwah dan pendidikan transformatif melalui pendekatan budaya.

    Penelitian ini dilakukan di Dusun Air Abik Desa Gunung Muda dan Dusun Pejem Desa Gunung Pelawan Kecamatan Belinyu Kabupaten Bangka. Penelitian ini termasuk penelitian etnografi dan bersumber pada data lapangan. Karena fokusnya pada kajian agama, maka penelitian ini termasuk kategori studistudi agama, yang sering dikenal dengan istilah kajian lintas agama dengan menggunakan pendekatan religius-antropologis dan sosio-historis.

    Hasil penelitian menunjukkan: [1] sistem dan struktur kepercayaan Orang Lom suku Mapur terikat dengan kepercayaan adat leluhur. Di satu sisi, Orang Lom terikat pada adat leluhur yang bercorak animisme bahkan cenderung paganisme. Di sisi lain, kepercayaan Orang Lom memiliki konsep Maha Kuasa (Allah Taala), malaikat dan nabi, pembalasan dan surga, dan ayat, Bubung Tujuh, Gunung Maras sebagai pusat spritual kosmik, dan benda-benda yang dianggap penting dalam kepercayaan mereka. Karakteristik tersebut dianggap sebagai hasil proses perubahan evolusi-struktural persentuhan Islam dengan Orang Lom. [2] praktik dan ritual Orang Lom mengalami perubahan setelah persentuhan mereka dengan Islam melalui proses pendidikan formal, informal, maupun nonformal pada masa anak-anak, selain pernikahan, dan media informasi. Konversi kepercayaan terjadi di kalangan Orang Lom. [3] Orang Lom Mapur masih tetap survive bersama di tengah-tengah penganut agama resmi. Sikap ambigu dalam menentukan identitas formal (identitas politik dan identitas keyakinan) merupakan strategi ampuh dalam mempertahankan kepercayaan adat dalam eskalasi politik pemerintah bidang keagamaan.

    Kata kunci: agama Orang Lom, sistem dan struktur kepercayaan.

  • xv

  • xvi

  • xvii

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL..................................................................................... i

    PERNYATAAN KEASLIAN....................................................................... ii

    PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI.......................................................... iii

    HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iv

    YUDISIUM .................................................................................................... v

    DEWAN PENGUJI .................................................................................... vi

    NOTA DINAS................................................................................................ vii

    KATA PENGANTAR................................................................................... xii

    ABSTRAK...................................................................................................... xvi

    DAFTAR ISI.................................................................................................. xv

    DAFTAR GAMBAR..................................................................................... xviii

    DAFTAR TABEL......................................................................................... xix

    BAB I : PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1

    B. Batasan dan Rumusan masalah .................................................. 12

    C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................ 14

    D. Kajian Pustaka ............................................................................ 19

    E. Kerangka Teori ........................................................................... 23

    F. Metode Penelitian........................................................................ 54

    G. Sistematika Pembahasan ........................................................... 66

    BAB II: DESKRIPSI UMUM WILAYAH PENELITIAN

    A. Wilayah Administratif dan Geografis.......................................... 69

    B. Demografi dan Ekonomi.............................................................. 75

    C. Orang Lom Suku Mapur dalam lintasan Sejarah......................... 79

    D. Orang Lom dan Kekuasaan Etnik................................................ 89

    E. Kekerabatan dan Adat................................................................. 92

    BAB III: SISTEM KEPERCAYAAN DAN KOSMOLOGI ORANG LOM

    A. Konsep Maha Kuase (Maha Kuasa: Alah Taala)........................ 98

    B. Konsep Malaikat, Nabi dan Orang Kuase.................................. 104

    C. Konsep Ayat................................................................................ 116

    D. Konsep Pembalasan dan Surga ................................................... 119

    1. Deurake dunie........................................................................ 119

    2. Duse dunie.............................................................................. 120

    3. Timbangan.............................................................................. 122

    4. Perjalanan ke Surge (Surga)................................................... 123

    5. Surge...................................................................................... 124

  • xviii

    E. Bubung Tujuh.............................................................................. 127

    1. Bubung Tujuh sebagai kampung misteri................................ 127

    2. Bubung Tujuh tempat nyilem................................................. 127

    3. Bubung Tujuh nyata sebagai mitos ....................................... 128

    4. Bubung Tujuh dan pertimbangan waktu ............................... 129

    F. Gunung Maras: Pusat Kosmologi dan Spritual Orang Lom...... 134

    1. Makna bukit dan gunung: cerita, legenda, dan mitos............ 134

    2. Gunung Maras dan kosmologi............................................... 138

    G. Buluh Perindu di Bukit Tambun Tulang: antara Legenda

    dan Fakta.................................................................................... 142

    H. Jenis Pantang Larang (Panteng Lareng) Orang Lom................. 148

    1. Pantang larang yang terikat pada adat sakral......................... 148

    2. Pantang Larang yang bersifat non sakral............................... 155

    I. Persentuhan Agama Islam dengan Sistem Kepercayaan Orang Lom.................................................................................. 157

    1. Struktur dasar persentuhan.................................................... 158 2. Dampak persentuhan............................................................. 165

    J. Transformasi Agama Islam Melalui Proses Pendidikan............ 176

    BAB IV: PRAKTIK DAN RITUAL DALAM KEHIDUPAN

    ORANG LOM

    A. Ritual Melahirkan....................................................................... 190

    B. Ritual Perkawinan...................................................................... 191

    1. Proses meminang adat........................................................... 191

    2. Proses akad nikah.................................................................. 193

    3. Acara resepsi......................................................................... 197

    4. Hukan mandong.................................................................... 197

    5. Perkawinan campuran............................................................. 198

    C. Ritual Kematian.......................................................................... 203

    1. Mayat disemayam di rumah................................................... 204

    2. Proses pemandian dan pengafanan......................................... 205

    3. Membawa mayat menuju kuburan.......................................... 207

    4. Penguburan.............................................................................. 208

    5. Proses ritual nambek kubur dan petunjok jalen....................... 215

    a. Nambek kubur................................................................... 215

    b. Ritual niduk ben................................................................ 215

    c. Ritual petunjok jalen......................................................... 216

    d. Berlari, melempar dan bersorak........................................ 220

    6. Teks petunjok jalen................................................................. 221

    7. Ritual penguburan anak.......................................................... 225

    D. Ritual Nujuh Jerami..................................................................... 226

  • xix

    BAB V: KEMAMPUAN BERTAHAN DAN PENGAKUAN

    IDENTITAS ORANG LOM

    A. Penyebaran dan Keaslian Orang Lom......................................... 231 B. Identitas dan Kebudayaan Ras .................................................... 240

    1. Identitas Orang Lom ............................................................ 242 2. Konsep kebudayaan Orang Lom ........................................... 250

    C. Kemampuan Survive Orang Lom.............................................. 254 D. Strategi Bertahan Orang Lom..................................................... 256

    1. Islam sebagai identitas formal kewarganegaraan................... 258 2. Islam sebagai identitas keyakinan........................................... 265

    E. Relasi Orang Lom dengan masyarakat penganut agama resmi..... 270 F. Konsep Pelembagaan Agama dan Ritual...................................... 273 G. Faktor Penyebab Konversi Kepercayaan...................................... 281

    1. Faktor perkawinan.................................................................... 281

    2. Faktor pendidikan..................................................................... 282

    3. Faktor keluarga dan lingkungan............................................... 284

    4. Faktor media informasi............................................................. 286

    H. Agama, Adat Istiadat, Norma, dan Hukum................................... 288

    1. Agama sebagai identitas kepercayaan...................................... 289

    2. Adat istiadat sebagai perekat kehidupan................................... 291

    I. Tanah dan Penguasaannya............................................................. 303

    BAB VI: PENUTUP

    A. Kesimpulan.................................................................................... 309

    B. Saran.............................................................................................. 318

    DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 320

    LAMPIRAN

    Lampiran 1 Glosarium

    Lampiran 2 Gambar

    Riwayat Hidup Penulis

  • xx

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1 Sketsa Wilayah Penelitian ....................................................... 69

    Gambar 2 Sketsa Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ............ 72

  • xxi

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1: Populasi Penduduk Dusun Air Abir dan Pejem ........................ 76

    Tabel 2: Komposisi Etnik di Dusun Air Abik dan Pejem ........................ 76

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Agama pada dasarnya merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang memiliki

    kekuatan gaib dan supranatural. Agama dianggap berpengaruh pada kehidupan

    individu dan masyarakat, termasuk dalam memaknai alam dan fenomenanya.

    Agama direfleksikan dalam sistem simbol, ritual, perilaku, budaya, dan

    komunikasi terhadap diri sendiri, orang lain, dan alam atau sesuatu yang dianggap

    supranatural. Keyakinaan dalam agama tersebutdalam perjalanan sejarah

    manusia mulai dari masyarakat primitif sampai masyarakat modernmemiliki

    perbedaan apa yang diyakini sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan gaib seperti

    Tuhan, dewa, dan roh. Wujud kepercayaan dan tata cara pelaksanaan ritual pun

    mengalami perbedaan yang mencolok. Pada perkembangannya, struktur

    kepercayaan, unsur magis dan mitos menjadi inherent dalam kehidupan

    masyarakat, khususnya masyarakat primitif, masyarakat yang masih memegang

    teguh prinsip-prinsip tradisional dan adat.

    Keyakinan beragama menimbulkan praktik tertentu, seperti pemanjatan

    mantera-mantera, berdoa, memuja, dan menimbulkan sikap mental tertentu,

    misalnya rasa takut, rasa optimis, dan pasrah. Kepercayaan yang berlandaskan

    pada kekuatan gaib ini, tampak aneh, tidak alamiah dan tidak rasional dalam

    pandangan individu modern. Karena pandangan orang modern lebih dipengaruhi

    oleh sesuatu yang konkret, rasional, alamiah, ilmiah dan empirik. Perdebatan

  • 2

    tersebut tidak terkecuali terjadi pada apa yang disebut agama dan penganut agama

    atau penganut kepercayaan.

    Perbincangan tentang agama telah banyak dilakukan, baik yang berkaitan

    dengan kajian sosiologis, teologis, antropologis, historis, dan empiris. Kajian tidak

    hanya pada sejarah agama-agama besar dunia, seperti: Islam, Yahudi, Kristen,

    Hindu, Buddha, dan Khonghucu, tetapi banyak menjelaskan tentang agama lokal

    (kepercayaan lokal) masyarakat primitif di berbagai wilayah, termasuk di

    Indonesia. Kajian-kajian tersebut umumnya menggunakan pendekatan sosiologis

    dan antropologis. Deskripsi agama secara mendalam dan sistematis diyakini oleh

    suatu masyarakat dapat menjelaskan kepercayaan asli mereka. Kepercayaan

    tersebut membentuk sistem sosial dan sistem budaya masyarakat yang

    digambarkan dalam ide-ide, adat istiadat, simbol, perilaku, dan institusi, bahkan

    terungkap dalam foklore, legenda, mitos, dan magis.

    Agama sebagai suatu kepercayaan terhadap sesuatu yang memiliki

    kekuatan supranatural selalu menarik untuk dikaji. Para teolog, misalnya, tidak

    mau mengakui agama sebagai kebudayaan. Agama diturunkan Tuhan kepada

    umat manusia untuk petunjuk bagi mereka dalam menjalani hidup dan kehidupan.

    Menurut teolog, ajaran Tuhan bukanlah kebudayaan.1 Ajaran Tuhan berbeda

    dengan kebudayaan. Dengan demikian, agama bukan kebudayaan, tetapi agama

    adalah ciptaan dan ajaran Tuhan yang Maha Gaib dan Maha Berkuasa. Di sisi

    lain, agama merupakan bagian dari kebudayaan. Anggapan tersebut didasarkan

    pada pendapat bahwa agama adalah human made. Pandangan ini menolak yang

    1Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

    2006), hlm. 37.

  • 3

    gaib. Tuhan dan wahyu dalam agamascientist percaya metode ilmiah yang

    rasional dan empiriksebagai tolok ukur untuk menentukan ada atau tidaknya

    sesuatu.

    Harsojo mengungkapkan bahwa sistem kepercayaan (religi) sebagai salah

    satu aspek kebudayaan, di samping teknologi dan kebudayaan materiil, sistem

    ekonomi dan mata pencaharian, organisasi sosial, sistem kepercayaan, dan

    kesenian.2 Koentjaraningrat juga menempatkan agama sebagai cultural universals

    keenam dari unsur kebudayaan yang dikemukakannya, yaitu bahasa, sistem

    pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata

    pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian.3 Agama menjadi cultural

    universals, di mana dan kapan pun karena agama merupakan norma dan prinsip-

    prinsip yang ada dalam keyakinan, pemahaman, dan rasa masyarakat yang

    bersangkutan dalam berhubungan dengan sesuatu yang dianggap gaib atau

    supranatural.

    Kedua pandangan di atas, pandangan teolog dan pandangan antropolog

    atau ahli kebudayaan, memiliki perbedaan mendasar. Keduanya berbeda dalam

    mengkaji titik pangkal sebuah agama. Teolog tertumpu pada kehadiran agama

    sebagai ajaran Tuhan (agama wahyu) yang diperuntukkan bagi umat manusia.,

    sedangkan antropolog dan ahli kebudayaan lebih mengkaji pada struktur implikasi

    dari sebuah ajaran agama. Di samping itu, agama dipandang sebagai sebuah

    keyakinan pada sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan gaib dan supranatural.

    Kehadirannya pun tidak selalu berasal dari Tuhan sebagaimana pendapat teolog.

    2Harsojo, Pengantar Antropologi (Jakarta: Bina Cipta, 1982), hlm. 223-247.

    3Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Bina Cipta, 2000), hlm. 203.

  • 4

    Pemahaman terhadap sesuatu yang memiliki kekuatan supranatural juga berbeda.

    Dengan kata lain, konsep Tuhan, bagi teolog, berbeda dengan kelompok lainnya.

    Kedua pandangan tersebut memiliki sudut pandang masing-masing dan melihat

    permasalahan secara sepihak.

    Arnold Toynbee dalam Huston Smith menyebutkan bahwa dewasa ini

    tidak seorang pun mempunyai pengetahuan yang cukup luas untuk mengatakan

    dengan yakin bahwa suatu agama lebih agung dibandingkan dengan semua agama

    yang lain.4 Bagi para penganut agama, menurut Roland Roberston, agama berisi

    ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia

    dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat (setelah mati).

    Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem

    nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi

    pendorong serta pengontrol bagi tindakan masyarakat sesuai dengan kebudayaan

    dan ajaran-ajaran agamanya.5

    Untuk itu, kajian terhadap agama tidak pernah berhenti dan selalu menarik

    untuk dikaji. Untuk mengkaji agama dan studi komparatif agama, Joachim Wach,

    misalnya, menggunakan research frame, yaitu:[1] kajian teoritik tentang teori

    agama; [2] praktik agama tentang religious manifestations; dan [3] ekspresi

    sosiologis pengalaman beragama (sociological expression of religious

    experience).6 Lebih Lanjut, Roland Roberston mengungkapkan bahwa dalam

    struktur keyakinan, agama berbeda dari sistem-sistem keyakinan atau isme-isme

    4Huston Smith, Agama-Agama Manusia,cet. ke-8, terj. Saafroedin Bahar (Jakarta: Yayasan

    Obor Indonesia, 2008), hlm. 7. 5Roland Roberston (ed.), Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, terj. Saifuddin

    dan Ahmad Fedyani (Jakarta: Rajawali Pers, 1988), hlm. vi. 6Joachim Wach, The Comparative Study of Religion (New York: Columbia University Press,

    1958), hlm. ix-x.

  • 5

    lainnya karena keyakinan keagamaan adalah konsep suci (sacred) yang dibedakan

    dari yang duniawi (profane), dan pada yang gaib atau supranatural (supernatural)

    yang menjadi lawan dari hukum-hukum alamiah (natural).7 Agama tetap penting

    menjadi bahan kajian dari berbagai perspektif. Itulah sebabnya, menurut Peter

    Connolly, studi-studi agama akan bertambah menarik, bila dilakukan melalui

    beberapa pendekatan, seperti: pendekatan antropologis, feminis, fenomenologis,

    filosofis, psikologis, sosiologis, dan teologis. Masing-masing pendekatan

    menggunakan berbagai perspektif.

    Semua pendekatan, kecuali pendekatan teologis, merupakan outsider

    approachers.8 Pendekatan sosiologis, misalnya, mengkaji agama lebih difokuskan

    pada struktur sosial dari masyarakat beragama. Antropologi lebih menitikberatkan

    pada budaya, agama sebagai fenomena budaya, bukan ajaran agama yang datang

    dari Tuhan. Antropologi tidak membahas salah atau benarnya suatu agama dan

    segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual, dan kepercayaan yang sakral.9

    Kedua pendekatan tersebut, selain pendekatan sejarah, pendekatan antropologi

    termasuk antropologi agama yang umumnya banyak dipakai untuk menelusuri

    tentang agama masyarakat suku pedalaman atau agama primitif. Pendekatan

    antropologi juga dapat dijadikan sebagai pendekatan untuk mengkaji tentang

    kepercayaan salah satu suku bangsa di Indonesia, termasuk agama lokal Orang

    Lom Suku Mapur yang berada di wilayah Pulau Bangka.

    7Ibid., hlm. vii.

    8Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LKiS,

    2011), hlm. 3-4. 9Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan ..., hlm. 17-18.

  • 6

    Orang Lom10

    disebut juga Orang Mapur 11

    merupakan bagian dari orang

    Bangka,12

    atau berada dalam wilayah Melayu Bangka. Orang Lom Suku Mapur

    merupakan salah satu suku atau klan, selain Melayu dan Cina yang menetap di

    Pulau Bangka.13

    Menurut Koentjaraningrat, Orang Lom, selain Orang Darat--

    Orang Belitong di Pulau Belitungmerupakan salah satu suku bangsa yang

    berada dalam Lingkungan Hukum Adat Melayu Bangka Belitung.14

    Soerjono

    Soekanto juga menjelaskan bahwa suku bangsa Lom (Orang Lom) merupakan

    golongan Melayu-Bangka.15

    Soekanto merujuk pada Daftar Sementara Suku

    Bangsa Suku Bangsa di Indonesia berdasarkan klasifikasi letak pulau atau

    kepulauan yang diterbitkan dalam majalah Sosiografi Indonesia, No. 1 tahun

    10

    Orang Lom merupakan salah satu sukuselain Sekak, Orang Darat, Bugis, Jawa, Batak,

    Minang, dan Chinayang mendeskripsikan diri sebagai suku tertua yang mendiami pulau

    Bangka. Deskripsi tentang Orang Lom telah muncul sejak awal abad ke-19 atau pada masa

    pemerintahan Kolonial Belanda. Lihat Olaf H. Smedal, Order and Difference: An Ethnographic

    Study of Orang Lom of Bangka, West Bangka (Norway: Department of Social Anthropology,

    1989), hlm. 3. Deskripsi tentang Orang Lom dimulai dengan laporan Heidhues (1848), tulisan H.

    M. Lange Het Eiland Banka en Zijne Aangelegenheden (1850), dalam Crawfords Great

    Dictionary (1873), tulisan tangan De Cleceq tentang Manuscrip Melayu (1895). Orang Lom

    menetap di perbukitan yang dalam bahasa antropologi disebut sebagai the state of savages. Lihat

    Olaf H. Smadal, Order and Defference ..., hlm. 3. 11

    Menurut Sutedjo Sujitno, Suku Mapur di Bangka dipercaya sebagai ras pertama yang

    menempati Pulau Bangka. Jika pernyataan ini benar, mereka datang ke Indonesia (Nusantara)

    sekitar 40.000 tahun yang lalu. Maka, waktu itu, daratan Indonesia Barat masih menyatu dengan

    benua Asia dan paparan Sunda masih berwujud daratan. Nenek moyang Suku Mapur Bangka

    melakukan perjalanan darat yang panjang setelah menyeberang laut dari Sri Langka. Menurut

    Sarasin dkk., populasi asli Nusantara adalah ras berkulit gelap dan bertubuh kecil. Pada awalnya,

    ras ini mendiami seluruh kawasan Asia Tenggara. Sementara itu, Vedoid adalah ras Negroid, dan

    pendatang pertama yang memasuki pulau-pulau. Mereka bermigrasi dari Formosa menuju Filipina,

    Sulawesi, Sumatera, Jawa, Kalimantan. Lihat Sutedjo Sujitno, Legenda dalam Sejarah Bangka

    (Jakarta: Cempaka Publishing, 2011), hlm. 24. 12

    Dalam tulisannya, Heidhues tidak menyebut istilah orang Lom. Orang Bangka terdiri dari

    beberapa suku, antara lain, yaitu: etnik China, Melayu, Orang Gunung, Orang Darat, dan Orang

    Laut. Heidhues, Bangka Tin and Mentok Pepper: Chines Settlement on an Indonesia Island

    (Singapore: ISEAS, 1992), hlm. 87. 13

    Secara geografis, saat ini Orang Lom adalah Suku Mapur yang menetap di Dusun Air Abik

    Desa Gunung Muda Kecamatan Riau Silip, Pejem Kecamatan Belinyu, dan tersebar di beberapa

    dusun di wilayah Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Fokus kajian pada

    penelitian ini adalah dusun Air Abik (sebagai dusun peyangga Adat Mapur) dan Pejem sebagai

    dusun yang terbuka dengan pendatang termasuk yang berasal dari luar pulau Bangka. 14

    Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, edisi revisi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009),

    hlm. 315. 15

    Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 22.

  • 7

    1959. Di samping itu, Jaspan dalam Soekanto mengumpulkan data tentang suku

    bangsa di Indonesia dengan mengambil patokan bahasa, daerah kebudayaan, dan

    susunan masyarakat.16

    KeduanyaJaspan dan Seorjono Soekantomerujuk pada klasifikasi C.

    van Vollenhoven dalam bukunya yang berjudul Lingkungan Hukum Adat di

    Indonesia, yang diterbitkan pada tahun 1925. Ciri utama sistem hukum di

    Indonesia masa kolonial adalah karakter dualistiknya, yaitu di satu sisi tunduk

    pada hukum adat dan sisi lain mencoba mengadopsi hukum Barat.17

    Vollenhoven

    menggunakan kriteria tersebut bersumber pada klasifikasi bahasa-bahasa

    Austronesia, bahasa-bahasa Indonesia, bahkan bahasa-bahasa di Madagaskar

    sampai Lautan Teduh.18

    Berdasarkan klasifikasi van Vollenhoven, Lom diidentifikasi sebagai suku

    bangsa yang sudah berevolusi. Di sisi lain, Orang Lomdisebut juga Urang

    Lumadalah etnik lokal.19

    Lom atau Lum dalam bahasa daerah Bangka

    berarti belum. Jadi, Orang Lom adalah orang yang dideskripsikan sebagai

    komunitas yang belum memeluk agama atau belum punya agama (those who have

    not yet embraced religion or unaffiliated to religion).20

    Di sisi yang lain, makna

    Orang Lom sering juga dipahami orang yang belum memeluk agama Islam.21

    16

    Ibid., hlm. 21. 17

    C. Fasseur, Adat dan Politik Indonesia (Jakarta: YOI kerjasama dengan KITLV, 2010),

    hlm. 57. 18

    Ibid., hlm. 18. 19

    Etnik lokal dimaksudkan sebagai penamaan identitas etnik di Pulau Bangka. 20

    Olaf H. Smedal, Order and Difference ..., hlm. 2. 21

    Bila pengertian kedua yang diterima, implikasinya akan berdampak lebih luas. Orang yang

    belum memeluk ajaran Islam di pulau Bangka diidentifikasi sebagai orang Lom. Artinya, semua

    orang yang menetap di Bangka dan belum beragama Islam dapat disebut sebagai orang Lom.

    Pengertian ini tentu memberi kerancuan dalam memahami konsep orang Lom dalam makna yang

    sesungguhnya. Dengan demikian pengertian yang disampaikan Smedal mungkin lebih memadai

    dan sesuai dengan konsep yang sebenarnya. Karena Lom sesungguhnya menunjukkan komunitas

  • 8

    Istilah belum beragama atau belum memeluk agama Islam menunjukkan identitas

    agama formal masyarakat.

    Terlepas dari perbedaan pemahaman kedua istilah tersebut, muncul

    pertanyaan yang mendasar sebagai berikut. Apakah Orang Lom belum beragama

    atau belum memeluk agama? Apakah yang disebut agama adalah agama yang

    hanyaa diakui secara resmi oleh pemerintah? Ataukah agama suatu masyarakat

    tidak hanya dalam formulasi agama resmi yang diakui pemerintah, tetapi agama

    juga dapat berupa kepercayaan-kepercayaan masyarakat terhadap sesuatu yang

    gaib dan memiliki kekuatan supranatural? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu perlu

    dipahami secara mendalam. Agama tidak hanya dilihat dalam perspektif teologis.

    Agama juga dapat dikaji melalui perspektif kepercayaan suatu masyarakat atau

    yang sering disebut dengan agama lokal, seperti keterikatan Orang Lom pada adat

    leluhur yang menjadi kerangka dasar kepercayaan Orang Lom Suku Mapur.

    Secara administratif, Orang Lom masih eksis di dua dusun, yaitu Air Abik

    Desa Gunung Muda dan Dusun Pejem Desa Gunung Pelawan. Keduanya berada

    dalam wilayah Kecamatan Belinyu Kabupaten Bangka.22

    Sebagai suatu

    komunitas, mereka memiliki keunikan, bila dihubungkan dengan masyarakat

    Bangka umumnya. Mereka memiliki dialek bahasa tersendiri. Lebih dari 90

    persen kosa kata Suku Mapur berbeda dengan orang Bangka pada umumnya.23

    Mereka juga memiliki adat, budaya, sistem sosial, dan sistem budaya sendiri.

    dari suku/suku bangsa yang ada di Pulau Bangka dan dianggap oleh masyarakat yang menganut

    agamayang resmi menurut pemerintah Republik Indonesiabelum beragama. 22

    Dalam perspektif sejarah penduduk Pulau Bangka, pada awalnya Orang Lom tersebar

    hampir di seluruh Pulau Bangka. Namun, sejarah juga membuktikan bahwa telah terjadi perubahan

    identitas formal penganut agama. Perubahan tersebut tidak terlepas dari proses Islamisasi di Pulau

    Bangka dan dampak dari interaksi sosial seperti perkawinan dan pendidikan. 23

    Olaf H. S medal, Order and Difference..., hlm. 6.

  • 9

    Bahkan, mereka mempunyai pandangan tentang kosmologi dan sejarah mitologi

    sendiri (cosmology and mythical history), seperti penciptaan kosmik, anak-anak

    Gajah Mada, etnik dan kosmologi, kekuatan supranatural (pedare, iblis, dan

    hantu).24

    Pandangan tentang kosmologi, mitos dan kepercayaan Orang Lom

    menjadi adat yang mengikat dan tidak boleh dilanggar, termasuk pada adat yang

    dianggap taboo.25

    Mereka menganggap adat lebih kuat dari agama. Pernyataan

    tersebut dapat diperhatikan ketika mereka membedakan keyakinannya dengan

    keyakinan orang Islam, misalnya orang Islam atau selam cuma igamanya; adat

    lebih kuat.26

    Bila dilanggar mereka akan mendapat balasan, dan hukumannya

    sesuai dengan perbuatannya. Kepercayaan seperti ini menjadi pengikat Orang

    Lom dalam praktik kehidupan.

    Masyarakat luar (outsider) umumnya memberikan kesan bahwa Orang

    Lom masih kental dengan unsur-unsur magis, animis, dan sikap cenderung

    tertutup. Secara ekonomis, mereka hampir tidak berbeda dengan masyarakat lain.

    Selain bertani, sebagian dari mereka beraktivitas pada tambang timah secara

    konvensional, karena potensi alam wilayah ini memiliki timah,27

    sebagaimana

    umumnya wilayah Bangka. Bahkan, wilayah ini meskipun sampai sekarang

    masih sengketatelah menjadi lahan perkebunan perusahaan swasta. Ini

    menunjukkan bahwa integrasi, asimilasi, akulturasi Orang Lom terjadi dengan

    24

    Ibid., hlm. 36 47. 25

    Taboo dalam bahasa Bangka sering disebut tabu, artinya melakukan sesuatu yang dianggap

    bertentangan dengan adat setempat. 26

    Olaf H. Smedal, Order and Defference..., hlm. 27. 27

    Timah merupakan kekayaan alam Pulau Bangka dan Belitung. Dalam catatan resmi, tahun

    1710 merupakan tahun penemuan timah di Bangka. Heidhues, Bangka Tin ..., hlm. 1. Sejak itu

    timah mulai dieksplorasi sampai sekarang. Oleh karena itu, ketika berbicara tentang Bangka

    seolah-olah berbicara tentang timah.

  • 10

    budaya luar. Namun, Orang Lom masih tetap memegang teguh prinsip-prinsip

    adat dan kepercayaan kepada hal-hal yang mistik, magis, gaib, dan adat yang telah

    turun temurun diterima dan dipraktikkan dari generasi sebelumnya.

    Berdasarkan dari uraian-uraian di atas, alasan akademis perlunya

    penelitian ini dilakukan dapat dijelaskan sebagai berikut. Orang Lom memiliki

    keunikan. Orang Lom masih sangat terikat dengan unsur mistik, magis, dan

    kepercayaan kepada sesuatu yang dianggap gaib. Karakteristik ini menjadi ciri

    khas dari masyarakat primitif, termasuk Orang Lom, walaupun secara geografis

    masyarakat ini menetap berdampingan dengan masyarakat lain yang menganut

    agama Islam, Kristen, dan Khonghucu. Bahkan, di wilayah fokus penelitian pun

    Orang Lom Mapur yang tersebar di Dusun Mapur, Air Abik dan Pejam, identitas

    keagamaannya bervariasi. Selain beberapa penganut agama resmi yang diakui

    pemerintah, sebagaimana yang termaktub dalam UU No. 1/1965 tentang

    Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama28

    , sebagian besar masyarakat Lom

    adalah penganut adat leluhur. Mereka ini sering dalam posisi dilematis ketika

    berhadapan dengan urusan-urusan yang bersifat birokratis pemerintahan. Sikap

    ambigu dalam menentukan identitas agama, tidak terlepas dari tuntutan

    penunjukan identitas politik yang diwujudkan dalam Kartu Tanda Penduduk

    (KTP) sebagaimana dalam UU No. 24/2013 tentang Administrasi

    Kependudukan.29

    Sementara itu, dalam kehidupan sehari-hari mereka bukanlah

    penganut agama-agama resmi yang ditetapkan oleh pemerintah. Karena itu,

    28

    UU RI Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan

    Agama. 29

    UU RI Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

    2006 tentang Administrasi Kependudukan.

  • 11

    komunitas Orang Lom sering menjadi pribadi-pribadi yang ambivalen (double

    identity) dalam mempertahankan kepercayaannya.

    Alasan lainnya adalah bahwa Orang Lom dapat hidup berdampingan dan

    berkomunikasi dengan penganut agama lain, seperti Islam, Kristen, dan

    Khonghucu. Mereka memiliki pemahaman yang berbeda terhadap eksistensi

    rumah ibadah penganut agama, misalnya mereka memahami bahwa agama seperti

    Islam dan Kristen adalah suci. Karena Islam dan Kristen itu suci, maka tempat

    ibadah kedua agama itu pun suci, sehingga tempat ibadah tersebut tidak boleh

    berada di lingkungan yang tidak suci (kotor). Air Abik, menurut mereka, tidak

    suci, karena 50 persen masyarakat mereka masih mengkonsumsi daging babi.

    Dampak dari pemahaman ini, mushalla yang telah dibangun sejak tahun 1990-an

    tidak boleh digunakan sebagai tempat ibadah penganut Islam.30

    Berbeda halnya

    dengan tempat ibadah umat Kristen, gereja dapat dipakai sebagai tempat ibadah

    karena pemeluk agamanya juga tidak dilarang makan babi; serta letak bangunan

    gereja itu yang berada di wilayah perbatasan Dusun Air Abik dengan dusun

    lainnya.

    Meskipun demikian, mereka tidak menyatakan memeluk agama Islam dan

    melarang beberapa tradisi umat Islam. Bahkan, ternyata, mereka melakukan

    beberapa tradisi yang dilakukan oleh umat Islam lokal. Hal ini dapat dilihat dari

    ritual yang mereka gunakan dalam proses pemakaman dan perkawinan. Sementara

    30

    Mushalla dibangun pada masa pemerintahan Suharto yakni pada tahun 1974. Proyek ini

    dikenal dengan proyek pemerintah untuk suku terasing. Sampai saat ini bangunan mushalla masih

    berdiri dan dapat disaksikan. Mushalla terlihat kotor, karena tidak pernah dibuka, tidak pernah

    dibersihkan, dan tidak pernah dipakai. Mushalla berubah fungsi sebagai tempat penyimpanan

    barang penduduk yang berada di samping bangunan mushalla dan tempat binatang berteduh.

    Posisi bangunan mushalla berada di tengah-tengah dusun, tiga bangunan dari rumah Kepala Dusun

    Air Abik, Taghtui.

  • 12

    itu, beberapa tradisi Kristen ditolak oleh Orang Lom. Mereka juga mengizinkan

    orang-orang Lom yang sudah menyatakan Islam dan masih tinggal dalam

    komunitas itu untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan, meskipun ada

    larangan-larangan yang harus dipatuhi. Tentu saja, masalah ini perlu dikaji lebih

    lanjut untuk mengetahui alasan-alasan Orang Lom mengadopsi tradisi umat Islam.

    Selain dua alasan di atas, Orang Lom memahami bahwa mereka berasal

    dari ras yang berbeda dengan orang Melayu Bangka umumnya. Mereka secara

    tegas mengidentifikasi sebagai penduduk tertua Pulau Bangka, di samping berasal

    dari keturunan Jawa, Gajah Mada. Mereka memiliki dialek tersendiri dan

    cenderung introvert dalam menerima transformasi nilai-nilai agama resmi.

    Mereka masih terikat dengan adat dan agama lokal sebagaimana gambaran

    masyarakat prehistory. Namun, dilihat secara sosial ekonomi dan posisi wilayah

    administratif, mereka mengalami perubahan besar untuk di beberapa tempat, tapi

    relatif masih eksis di beberapa tempat yang lainnya. Kondisi inilah yang

    menyebabkan bahwa masyarakat Bangka umumnya, mengidentifikasi mereka

    dengan sebutan Orang Lom. Bagi mereka yang telah melepaskan kepercayaan

    adat leluhur sebagai prinsip hidup, cenderung memilih keluar dari daerah tersebut.

    B. Rumusan Masalah

    Studi ini difokuskan pada kajian agama lokal Orang Lom Suku Mapur yang

    berada dalam wilayah Pulau Bangka (Bangka Bagian Utara). Dalam pemahaman

    Orang Lom, daerah ini dikenal dengan zona sakral yang disebut Karel Lintang

    (wilayah proteksi adat leluhur). Agama Orang Lom dilihat dari pengertian agama

    sebagaimana yang diungkapkan dalam teori Clifford Geertz dalam The Religion

  • 13

    of Java bahwa memahami agama lebih menekankan pada sistem simbol. Agama

    dipahami melalui tingkah laku, rentetan tingkah laku atau melalui interaksi

    tindakan sosial.31

    Teori Geertz menjadi teori dominan dalam penelitian ini yang

    dikemas Daniel L. Pals dengan istilah Seven Theories of Religion. Teori lain

    yang dijadikan sebagai sumber analisis dan penjelasan mengenai agama dan

    evolusi agama Orang Lom, totem, sakral dan profan, ambivalensi identitas antara

    identitas politik kewarganegaraan dan identitas keyakinan adalah teori agama E.B.

    Tylor dan Frazer, Emile Durkheim, Mircea Eliade, Pritchard, dan Sigmund Freud.

    Teori Talcott Parsons secara khusus digunakan untuk menjelaskan tentang

    persentuhan Islam dengan agama Orang Lom.

    Dengan demikian, konsep agama dalam penelitian ini difokuskan pada

    agama lokal sebagaimana agama prehistory, yakni kepercayaan dan keterikatan

    Orang Lom pada adat leluhur. Penekanan kepercayaan Orang Lom, sebagai

    agama lokal dapat diidentifikasi pada kepercayaan mereka terhadap sesuatu yang

    memiliki kekuatan supranatural, animisme, adat, magis, mitos, dan totem.

    Terlebih-lebih lagi, mereka menganggap adat lebih kuat dari agama. Kehadiran

    adat juga lebih awal dibandingkan dengan kehadiran agama. Oleh karena itu,

    ketika disebut istilah Orang Lom (khususnya orang Air Abik, Pejem, dan Mapur),

    masyarakat Bangka pada umumnya memahami dengan pemahaman yang negatif,

    agak menakutkan dan lainnya.

    Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka pada tataran praktis,

    kajian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.

    31

    Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, terj. Fransisco Budi Hardiman (Yogyakarta: Kanisius,

    1992), hlm. 21.

  • 14

    1. Bagaimana sistem dan struktur kepercayaan Orang Lom Bangka dan

    bagaimana pula pengaruh persentuhan Islam terhadap mereka serta aspek-

    aspek apa saja mempengaruhi perubahan sisterm kepercayaan Orang Lom

    tersebut?

    2. Bagaimana praktik dan ritual Orang Lom dan apa pengaruh Islam terhadap

    praktik dan ritual mereka?

    3. Mengapa mereka masih dapat bertahan dengan keyakinannya dan apa strategi

    yang mereka gunakan untuk tetap survive serta bagaimana pula relasi Orang

    Lom dengan masyarakat penganut agama resmi yang diakui pemerintah?

    4. Bagaimana eksistensi kepercayaan Orang Lom dalam struktur politik

    pemerintah bidang keagamaan?

    C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    Berpijak pada rumusan-rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai empat

    tujuan.

    1. Untuk menjelaskan sistem dan struktur kepercayaan Orang Lom Mapur serta

    mengeksplorasi pengaruh persentuhan Islam terhadap sistem keyakinan

    mereka. Kepercayaan Orang Lom Mapur menjadi prinsip hidup yang

    tergambar dalam adat, magis, mitos, anima, dan totem, yang diformulasi dalam

    ritual kepercayaan dan upacara-upacara ritual. Sistem kepercayaan Orang Lom

    mengalami dinamika setelah bersentuhan dengan Islam, baik melalui proses

    adaptasi, integrasi, dan akulturasi ajaran agama maupun melalui transformasi

    pendidikan Islam.

  • 15

    2. Untuk menganalisis praktik dan ritual dalam kehidupan Orang Lom baik

    sebelum maupun sesudah bersentuhan dengan Islam.

    3. Untuk menganalisis kemampuan bertahan dan strategi yang digunakan dalam

    mempertahankan kepercayaan mereka di tengah-tengah pengaruh serta relasi

    mereka dengan komunitas penganut agama resmi negara.

    4. Mendeskripsikan eksistensi kepercayaan Orang Lom Mapur dalam struktur

    politik pemerintah dalam bidang keagamaan dan menjelaskan sikap ambigu

    atau ambivalensi Orang Lom dalam menentukan identitas kewarganegaraan

    dengan wujud KTP.

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memahami secara mendalam tentang

    agama Orang Lom Mapur. Pemahaman tersebut menjadi penting karena Orang

    Lom Mapur memiliki identitas sendiri yang hidup berdampingan dengan

    masyarakat Melayu Bangka umumnya, termasuk etnis Cina dan etnis lainnya.

    Pemahaman tentang Orang Lom Mapur tidak untuk mendeskreditkan sebagai

    masyarakat yang perlu dipinggirkan, tetapi pembangunan masyarakat dapat

    bertitik tolak pada agama dan budaya yang dianut oleh suatu masyarakat.

    Penelitian ini mempunyai dua manfaat, yaitu teoritis dan praktis. Manfaat

    teoritis penelitian ini adalah:

    1. Kepercayaan, mitos, anima, totem, dan sebagainya tidak hanya hidup dan

    dipraktikkan dalam kalangan masyarakat terasing (primitif) sebagaimana

    diungkapkan dalam beberapa teori tentang agama. Mereka juga dapat hidup

    dalam lingkungan yang modern, sedangkan agama yang dianggap mitos itu

    tetap dipertahankan. Selain itu, agama juga bukan sebagai tempat pelarian dari

    kondisi kesulitan ekonomi yang dialami oleh seseorang sebagaimana yang

  • 16

    dinyatakan oleh Karl Marx. Namun, sebagaimana yang diungkapkan Parsons

    bahwa kepercayaan Orang Lom juga secara evolutif-struktural mengalami

    perubahan melalui proses adaptasi, integrasi, dan akulturasi.

    2. Sebagai kelompok masyarakat, penganut agama lokal seperti kepercayaan

    Orang Lom pada adat leluhur yang berada di pinggiran (periphery), secara

    formal mereka harus dan terpaksa mengikuti aturan baku yang berlaku pada

    kelompok-kelompok agama mainstream. Semua ini terpaksa dilakukan sebagai

    sebuah strategi untuk mempertahankan eksistensi mereka. Kontestasi dalam

    diri mereka terjadi, tetapi mereka bersikap akomodatif, tidak menunjukkan

    penentangan terhadap politik pemerintah bidang keagamaan. Dampaknya, para

    penganut kepercayaan pada adat leluhur mempunyai dua wajah yang berbeda

    (ambivalen). Ketika berhadapan dengan aturan formal-birokratis pemerintah,

    mereka melakukan penyesuaian identitas. Namun, dalam pengamalan ritual

    keagamaan, mereka tetap bertahan dengan keyakinan/kepercayaan leluhurnya,

    yang disebut dengan Agama Orang Lom Mapur.

    3. Perubahan pada sistem dan struktur kepercayaan Orang Lom terjadi karena

    adanya persentuhan Islam dengan Orang Lom. Perubahan terjadi melalui

    proses adaptasi, integrasi, dan akulturasi budaya besar (tradisi besar: baca

    Islam) dengan budaya lokal. Perubahan terjadi bersifat evolutif-struktural pada

    redefinisi sistem dan struktur kepercayaan. Menelusuri perubahan persentuhan

    Islam pada Orang Lom terjadi melalui teori AGIL, sebagaimana yang

    diungkapkan Parson, yaitu: proses adaptasi (Adaptation [A]), pencapaian

    tujuan (Goal [G]), integrasi (Integration [I]), dan latensi (Latency [L]). Di

    samping itu, perubahan tidak terelakkan sebagai sebuah proses cultural

  • 17

    imperialism melalui proses interaksionisme struktural, baik melalui proses

    pendidikan (penyampaian materi Pendidikan Agama Islam di sekolah, di

    rumah, pengajian, dan lembaga TPA/TPQ), proses perkawinan, akses

    informasi, dan dakwah.

    Manfaat praktis dari penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

    1. Bahwa memahami kebudayaan lokal merupakan sesuatu yang penting dalam

    menentukan strategi integrasi, adaptasi, akulturasi serta transformasi

    perubahan sosial budaya melalui proses pendidikan (baca: proses pendidikan

    Islam) dan dakwah. Anak-anak orang Lom telah bersentuhan dengan nilai-nilai

    ajaran agama Islam sejak mengikuti Taman Pendidikan al-Quran (TPA), di

    Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Para orang tua

    mereka tidak keberatan dengan proses pendidikan Islam yang diterima dan

    bahkan para orang tua menganggap kegiatan tersebut memberi manfaat bagi

    kehidupan anak-anaknya. Pendidikan agama Islam di sekolah dan di luar

    sekolah mempunyai peran yang besar dalam transmisi keilmuan dan budaya

    Islam bagi Orang Lom. Karena itu, mereka banyak yang paham dengan dasar-

    dasar agama Islam dan, bahkan, dapat membaca al-Quran. Transformasi

    ajaran Islam di sekolah dan di luar sekolah menjadi salah satu faktor konversi

    kepercayaan menjadi penganut Islam pada masa remaja. Meskipun demikian,

    mereka akan cenderung tetap bertahan dalam keyakinannya ketika berada di

    dalam komunitasnya.

    2. Memahami kebudayaan kelompok lain juga berarti membangun ruang dialog

    antar keyakinan yang dapat meningkatkan sikap toleransi dalam masyarakat

    majemuk seperti Indonesia ini. Tentu saja, ini bermanfaat bagi umat Islam

  • 18

    sebagai pemeluk agama mayoritas di Indonesia. Oleh karena itu, kajian ini

    begitu urgen untuk dilakukan, tidak hanya untuk memahami sistem dan

    struktur kepercayaan Orang Lom Mapur, tetapi untuk mengkaji penetrasi

    persentuhan Islam melalui integrasi, adaptasi, dan akulturasi pada bidang sosial

    budaya dan pendidikan Orang Lom Mapur.

    Di dalam kaitannya dengan bidang kajian agama, manfaat penelitian ini

    dapat dijelaskan sebagai berikut. Memahami keyakinan atau agama kelompok lain

    harus dilakukan dengan banyak pendekatan, khususnya ilmu-ilmu sosial budaya.

    Kepercayaan atau fenomena agama kelompok lain tidak boleh semata-mata

    dikonstruksi melalui perspektif akidah (doktrinal), tetapi juga akhlak (perilaku,

    historis). Masalah doktrinal adalah urusan dia dengan apa yang diyakini; dan ini

    adalah ranah atau wilayah Tuhan tentang baik atau buruknya. Manusia tidak

    mempunyai hak apa pun akan wilayah ini. Bila manusia sudah intervensi ke ranah

    ini (otoritas Tuhan), maka yang terjadi adalah ketidakharmonisan hubungan antar

    pemeluk agama yang berbeda. Dengan demikian, pendekatan yang semata-mata

    teologisyang sering banyak dilakukan orangakan memunculkan sikap

    superioritas yang cenderung represif terhadap pemeluk agama yang dipandang

    inferior. Jika hal ini yang terjadi, maka tujuan beragama yang sejatinya untuk

    membangun peradaban di muka bumi akan berubah menjadi lahan permusuhan

    dan pemusnahan kelompok lain.

    Di samping itu, pengakuan pemerintah terhadap agama yang secara resmi

    di bawah naungan Kementerian Agama RI memberikan dampak besar, sehingga

    masyarakat ambigu untuk menentukan jati diri dalam wujud KTP, sebagai

    identitas kewarganegaraan. Pemerintah tidak mengakui agama lokal sebagaimana

  • 19

    agama resmi. Agama lokal diakui sebagai aliran kepercayaan. Tentu saja kasus

    Orang Lom seperti dalam kajian ini, kebijakan pemerintah cenderung

    mendiskreditkan kelompok kepercayaan (agama lokal). Kebijakan tersebut dapat

    ditinjau kembali karena tidak menjamin kebebasan berkeyakinan sebagaimana

    yang dituntut dalam undang-undang.

    D. Kajian Pustaka

    Meskipun kajian yang berhubungan dengan Orang Lom ini masih dianggap

    langka, tetapi penelitian ini bukanlah yang pertama kali dilakukan. Sebelumnya

    sudah ada beberapa deskripsi sosiologis tentang Orang Lom dan ada satu kajian

    antropologis yang telah dilakukan pada tahun 1980-an. Bahkan, menurut

    klasifikasi Raymond Kennedy, kajian antropologi awal tentang Orang Lom sudah

    dilakukan awal pertengahan abad ke-19.

    Beberapa deskripsi awal tentang Orang Lom telah ditulis oleh orang

    Belanda di masa kolonial. Penamaan Lom sebagai salah satu komunitas suku

    Mapur di Pulau Bangka telah mulai disebutkan dalam laporan kolonial. Laporan

    Heidhues tahun 1848, laporan Thomas Horsfield dalam The Journal of The Indian

    Archipelago (1848), Langas on Bangka (1850), Crawfords Great Dictionary

    (1856), de Clercqs Handwritten Malay Manuscript (1895), Teysmanns Diaries

    (1873), telah menyebutkan istilah Lom, van Der Chijs (1862) dalam Indische Taal

    -Land -en Volkenkunde. Zelle (1891), dan Hagens Translation of a Dutch

    Manuscript (1908) berjumlah 17,5 halaman yang berisi tentang informasi Lom.

    Kemudian, Zondervan (1894) menyebutkan tentang Lom sebanyak dua kali.

    Dalam Tjarita Bangka yang ditulis oleh Haji Idris (1878) dan Riwajat Poelau

  • 20

    Bangka Berhoeboeng dengan Palembang yang ditulis Raden Achmad (1936)

    menyebut kemungkinan munculnya Orang Mapur. Helbig (1940) menyatakan

    bahwa penelitian tentang Orang Lom sangat dibutuhkan. Sebab, menurut Le Bar

    (1972), dalam the chief modern reference work on ethnic groups of Southeast

    Asia, Lom is unregistered.32

    Koentjaraningrat menjelaskan bahwa Orang Lom, selain Orang Darat

    Orang Belitong di Pulau Belitungmerupakan salah satu suku bangsa yang

    berada dalam Lingkungan Hukum Adat Melayu Bangka Belitung.33

    Sebagaimana

    Koentjaraningrat, Soerjono Soekanto dalam bukunya Hukum Adat Indonesia,

    menjelaskan bahwa suku bangsa Lom (Orang Lom) merupakan golongan Melayu-

    Bangka.34

    Soerjono Soekanto merujuk pada Daftar Sementara Suku Bangsa Suku

    Bangsa di Indonesia berdasarkan klasifikasi letak pulau atau kepulauan yang

    diterbitkan dalam majalah Sosiografi Indonesia Nomor 1 tahun 1959. Di samping

    itu, Jaspan pun mengumpulkan data tentang suku bangsa di Indonesia dengan

    mengambil patokan bahasa, daerah kebudayaan, dan susunan masyarakat.35

    Dalam tulisan lain, seperti Sutedjo Sujitno menyebutkan Orang Lom Suku

    Mapur di Bangka dipercaya sebagai ras pertama yang menempati pulau Bangka.

    Pendapat ini didasarkan mitos dan legenda asal-usul dan penduduk pertama yang

    mendiami Pulau Bangka.36

    Walaupun demikian, mitos dan legenda penduduk

    pertama tersebut masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.

    32

    Olaf H. Smedal, Order and Diffrence ..., hlm. 3. 33

    Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu ..., hlm. 315. 34

    Soerjono Soekanto, Hukum Adat ..., hlm. 22. 35

    Ibid., hlm. 21. 36

    Sutedjo Sujitno, Legenda ..., hlm. 24.

  • 21

    Sebelum penelitian yang dilakukan Olaf H. Smedal, berdasarkan

    klasifikasi Bibliography of Indonesian Peoples and Cultures oleh Raymod

    Kennedy, ada beberapa kajian antropologi tentang Orang Lom Mapur Pulau

    Bangka, seperti: De Orang Lom of Belom op Het Eiland Banka (1962), Hagen

    (1908) dalam Beitrag zur Kenntnis der Orang Sekka (Sakai) Oder Orang Laut,

    Sowie der Orang Lom oder Mapur, L.J. Zelle (1891) dalam Les Maporais,

    Adatrecht: Banka (1939). Penelitian yang dianggap komprehensif adalah

    penelitian antroplogis yang dilakukan oleh Olaf H. Smedal37

    dengan judul Order

    and Difference: An Ethnographic Study of Orang Lom of Bangka, West Indonesia.

    Penelitian tersebut dilakukan sejak Juli 1983 sampai Desember 1984. Smedal

    menggambarkan bahwa Orang Lom memiliki karakteristik yang berbeda dengan

    masyarakat Melayu dan etnik Cina Bangka. Orang Lom terikat dengan adat yang

    disebut Adat Mapur dan kepercayaan terhadap mitos, magis, dewa, anima, dan

    identik dengan totem. Kepercayaan tersebut identik dengan kepercayaan

    masyarakat primitif yang tersebar di Nusantara. Mereka dilarang (pantangan)

    memakan jenis-jenis binatang tertentu,38

    tetapi praktiknya, mereka berburu

    binatang-binatang tersebut untuk dijual. Dengan demikian, aturan yang berlaku di

    kalangan Orang Lom adalah adat dan penyimpangan yang dilakukan diselesaikan

    dengan hukum adat, karena adat memiliki posisi yang tinggi dan mengikat

    kehidupan masyarakat.

    37

    Olaf H. Smedal berkebangsaan Norwegia. Penelitian tersebut dilakukan atas saran Dr.

    Oyvind Sandbukt pada tahun 1982. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu 1983-1984 dan

    1988-1989, yang disponsori oleh Norwegian Council for Science and the Humanities (NAVF) dan

    Scandinavian Institute of Asian Studies (SIAS) bekerjasama dengan LIPI dan Universitas

    Sriwijaya Palembang. 38

    Binatang-binatang tersebut seperti kancil, kijang, rusa, trenggiling, musang, monyet, tupai,

    penyu, dan kalong.

  • 22

    Di tengah-tengah penelitian ini dilakukan, terbit penelitian Teungku

    Sayyid Deqy dengan judul Korpus Mapur Dalam Islamisasi Bangka.39

    Penelitian

    ini lebih kental dengan pendekatan sejarah. Kelebihan penelitian ini lebih bersifat

    informatif dan general, tetapi analisisnya tidak mendalam, karena tidak fokus pada

    salah satu aspek kajian. Di samping itu, perlu dikaji kembali terkait dengan

    kesimpulan bahwa wilayah pertama Islamisasi di Bangka adalah Mapur atau

    sering disebut dengan Karal Lintang. Teori-teori Islamisasi masih penting diuji

    dan dikembangkan kembali. Walaupun demikian, terkait dengan Mapur sebagai

    sebuah representasi kepercayaan adat Orang Lom, penelitian tersebut patut

    diapresiasi sebagai informasi penelitian-penelitian selanjutnya.

    Penelitian ini memiliki perbedaan dengan kajian-kajian dan tulisan-tulisan

    sebelumnya. Deskripsi bersifat sosiologis dan antropologis mulai muncul pada

    pertengahan abad ke-19, yang umumnya ditulis oleh orang Belanda, termasuk

    orang Perancis, Jerman, dan Inggris. Kajian etnografi-antropologis (antropologi

    sosial) terakhir ditulis oleh Smedal. Penelitian ini memfokuskan pada aspek

    agama lokal, yakni agama Orang Lom atau kepercayaan pada adat leluhur.

    Kerangka kajian mengikutimeskipun tidak sepenuhnyapola yang ditawarkan

    Joachim Wach yang memfokuskan pada unsur teoretis, praktik, dan sosiologis. Di

    satu sisi, penelitian ini masuk dalam kajian studi agama dan sosiologi agama,

    bahkan tidak dapat melepaskan unsur sejarah agama-agama lokal. Di sisi lain,

    penelitian ini termasuk ranah antropologi agama, karena menggabungkan studi

    agama dan antropologi serta etnografi sebagai pendekatan pelaporan yang

    39

    Teungku Sayyid Deqy, Korpus Mapur dalam Islamisasi Bangka (Yogyakarta: Ombak,

    2014).

  • 23

    bersumber dari data lapangan. Karena itu, penelitian ini tidak tertumpu pada satu

    teori (teori agama Clifford Geertz). Selain Geertz, teori pada penelitian ini juga

    menggunakan beberapa teori dalam Seven Theories of Religion, meskipun tidak

    semua teori tersebut digunakan. Penggunaan teori-teori tersebut didasarkan pada

    fokus permasalahan, sehingga sebuah bidang keilmuan, penelitian ini dapat

    menghasilkan kajian yang komprehensif.

    E. Kerangka Teori

    Penelitian ini mempelajari agama atau kepercayaan Orang Lom (disebut agama

    Orang Lom) Suku Mapur, salah satu suku (masyarakat) di Pulau Bangka. Orang

    Lom masih terikat dengan unsur-unsur adat leluhur, mitos, magis, dewa-dewa,

    identik dengan totem, dan anima. Agama Orang Lom memiliki karakteristik unik

    yang berbeda dengan dengan penganut agama yang diakui negara. Dengan

    keunikan itu, penganut agama menyebutnya sebagai Orang Lom. Label ini secara

    substansial ditolak Orang Lom. Sebagai anti-tesis label, mereka menyebut

    komunitasnya sebagai orang adat, orang yang mengikuti adat leluhur.

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama (kata benda) diartikan

    sebagai ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan

    peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tata kaidah yang berhubungan

    dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungan, misalnya: --Islam; --

    Buddha. Agama samawi, agama yang bersumberkan wahyu Tuhan, seperti agama

    Islam dan Kristen. Sementara itu, beragama (kata kerja) berarti: [1] menganut

  • 24

    (memeluk) agama; [2] beribadat; taat kepada agama; baik hidupnya (menurut

    agama); [3] sangat memuja-muja; gemar sekali pada; mementingkan.40

    Dalam Kamus Sosiologi, religion dan religious (religi dan agama), secara

    konsepsi dua istilah ini berguna untuk membedakan antara religi, yang

    merupakan fenomena umum yang berhubungan dengan sakral (sacred), dan

    agama, yang merupakan institusi-institusi berbeda-beda dan khusus yang

    berhubungan dengan Yang Maha Suci.41

    Untuk itu, menurut Edi Sedyawati,

    agama dan kepercayaan adalah suatu sistem yang berintikan pada kepercayaan

    akan kebenaran-kebenaran yang mutlak, disertai segala perangkat yang

    terintegrasi di dalamnya, meliputi tata peribadatan, tata peran para pelaku, dan tata

    benda yang diperlukan untuk mewujudkan agama bersangkutan.42

    Pengertian ini

    lebih difokuskan kepada agama samawi, seperti Islam dan Kristen.

    Menurut Hadikusuma (1983) dan Sturtley dalam Soehada (2014), kata

    agama mengadopsi bahasa sanskrit, namun keduanya memberikan definisi yang

    berbeda. Hadikusuma mengartikan agama jalan abadi dari kehidupan, juga

    dapat berarti pengajaran tentang cara-cara misterius, sebab Tuhan adalah

    misterius, atau juga dapat berarti pengajaran tentang kebathilan. Sturtley

    mendefinisikan agama sebagai sesuatu yang turun ke bawah.43

    Bustanuddin Agus menyatakan bahwa secara sederhana dalam pandangan

    umum, beragama adalah kepercayaan dan perbuatan yang berkaitan dengan

    40

    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, cet.

    ke-3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 12. 41

    Nicholas Abercrombie, dkk., Kamus Sosiologi, terj. Desi Noviyani & Eka Adinugraha

    (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 470. 42

    Edi Sedyawati, Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah (Jakarta: Raja

    Grafindo Persada, 2007), hlm. 66. 43

    Moh. Soehadha, Fakta dan Tanda dalam Agama (Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia,

    2014), hlm. 4.

  • 25

    hubungan manusia dengan kekuatan atau wujud gaib (relationship between

    humans and supranatural forces or beings). Artinya, beragama berkenaan dengan

    hal-hal yang alamiah atau natural dan ada pula yang supernatural. Yang natural,

    alamiah atau biasa tidak dikenal orang sebagai bagian dari kehidupan beragama.

    Agama adalah yang berhubungan dengan supernatural, yang luar biasa atau yang

    gaib, namun batas antara yang supranatural dengan yang tidak supranatural sangat

    kabur dan relatif.44

    Polarisasi antara yang natural dan supranatural, sekuler dan

    religius, sakral dan profan dalam kenyataannya tidaklah terpisah. Karena, tujuan

    utama agama merupakan untuk memahami kehidupan beragama.

    Agama menurut kaum teolog diturunkan Tuhan kepada umat manusia

    untuk petunjuk bagi mereka dalam menjalani hidup dan kehidupan. Ajaran Tuhan

    bukan kebudayaan.45

    Agama merupakan ciptaan dan ajaran Tuhan yang Maha

    Gaib dan Maha Berkuasa. Agama dalam pandangan antropolog, Edward Norbeck

    misalnya, mengungkapkan asumsi dasar dari bukunya Religion in Human Life

    bahwa agama adalah bagian dari kehidupan manusia yang dikategorikan sebagai

    supranaturalisme atau agama ... is man and everywhere much alike. As a

    creation of man, religion is an element of culture, a man-made part of the human

    universe....46

    Supranaturalisme atau agama adalah ciptaan manusia dan di mana-

    mana banyak kesamaannya. Sebagai kreasi manusia, maka agama dipandang

    sebagai bagian dari budaya, bagian ciptaan manusia secara universal.

    Kedua pandangan di atas, pandangan antropolog dan teolog, tampak

    kurang cermat dan melihat permasalahan secara sepihak. Agama wahyu sebagai

    44

    Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan ..., hlm. 45-46. 45

    Ibid., hlm. 37. 46

    Edward Norbeck, Religion in Human Life (New York: Holt Rinehart and Winston Inc,

    1974), hlm. 9-10.

  • 26

    ajaran dari Tuhan bukanlah kebudayaan karena bukan hasil cipta, rasa, dan karsa

    manusia. Akan tetapi, tidak semua ajaran agama merupakan wahyu Tuhan.

    Banyak pula agama yang merupakan interpretasi dan pendapat pemuka agama

    terhadap wahyu Tuhan itu, sehingga agama merupakan kebudayaan. Di samping

    itu, ada juga agama yang dijadikan sebagai kepercayaan masyarakat yang

    merupakan produk kebudayaan manusia, yaitu yang berasal dari tradisi yang

    turun-temurun dan tidak jelas siapa pembawanya, kapan, dan di mana turunnya.47

    Bertitik tolak dari gambaran di atas jelas bahwa agama berbeda, baik pada

    konstruksi penafsiran defenisi maupun pada penerapannya. Di satu sisi, agama

    adalah ajaran wahyu (samawi), di sisi lain, agama adalah kepercayaan alamiah

    dan natural, yakni kepercayaan yang turun-temurun dari nenek moyang (non

    samawi). Perdebatan muncul dalam memberikan interpretasi apakah agama

    sebagai wahyu yang berasal dari Tuhan atau agama sebagai produk manusia,

    kreasi, dan budaya manusia. Van Baal menjelaskan bahwa untuk memberikan

    pemahaman apa yang dimaksudkan dengan agama, maka pengertian agama perlu

    diberikan definisi terlebih dahulu, walaupun pemberian definisi tentang agama

    secara ilmiah merupakan persoalam yang rumit, bahkan sering mengalami

    kegagalan.48

    Ada tiga penyebab utama yang menyebabkan kegagalan tersebut.

    Pertama, orang mendefinisikan agama dipegaruhi oleh pandangan religiusitas dari

    kepercayaan seseorang. Kedua, pendefinisan agama dilakukan secara khas-ideal.

    Pengertian didasarkan pada pengertian religi ideal. Ketiga, pendefinisian agama

    47

    Ibid. 48

    Van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Jakarta: Gramedia, 1987),

    hlm. 31.

  • 27

    dihadapkan pada kepentingan politik negara.49

    Pendefinisian agama juga sering

    didasarkan pada perspektif bahasa dan keilmuan seseorang. Akibatnya,

    perdebatan dan problem tentang definisi agama selalu muncul. Perdebatan ini

    menjadi landasan dan sekaligus sebagai kerangka yang digunakan dalam

    penelitian ini.

    Tentang apakah sebagai produk wahyu atau produk budaya, agama

    menunjukkan sebagai sistem kepercayaan manusia terhadap sesuatu yang

    dianggap memiliki kekuatan gaib. Sistem kepercayaan tersebut dapat diamati pada

    wujud ritual, upacara, unsur-unsur yang dianggap sakral dan profan dalam realitas

    kehidupan masyarakat saling berbeda. Mengkaji agama masyarakat tertentu

    (agama lokal), agama tidak selalu dipahami sebagai ajaran wahyu (agama

    samawi), tetapi agama dipersepsikan sebagai kepercayaan alamiah suatu

    masyarakat, termasuk Orang Lom Mapur Bangka. Kerangka teori pada penelitian

    ini diformulasikan sebagai sumber interpretasi. Teori-teori yang digunakan

    bersumber pada teori-teori agama. Untuk itu, teori dasar mengkaji agama pada

    penelitian ini merujuk pada beberapa teori agama yang yang disebut Daniel L.

    Pals sebagai Seven Theories of Religion.50

    Tujuh teori agama tersebut dianggap sebagai teori-teori klasik (blue print),

    sekaligus representasi dari teori-teori agama yang berkembang dalam studi agama,

    sosiologi agama, dan bahkan dalam kajian antropologi agama. Teori-teori ini

    dianggap Daniel L. Pals paling asli dan orisinil, bukan teori yang sudah dalam

    49

    Moh. Soehadha, Fakta dan Tanda ..., hlm. 2. 50

    Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (New York: Oxford University Press, 1996).

    E.B. Tylor, E. Evan Pritchard, dan Cilfford Geertz merupakan tokoh sentral yang diangkat Daniel

    L. Pals untuk mengkaji tentang agama.

  • 28

    kemasan yang kompleks,51

    namun tidak semua teori tersebut digunakan pada

    penelitian ini. Teori Geertz tentang agama sebagai sistem kebudayaan menjadi

    teori dasar pada penelitian ini. Untuk memahami agama sebagai sistem

    kebudayaan dapat dipahami secara mendalam (thickdalam istilah Geertz)

    berdasarkan pada simbol dan kekuatan interpretasi terhadap simbol (sistem

    makna dan sistem nilai) dari kebudayaan tersebut.

    Selain Geertz, Tylor dan Frazer dengan teori animisme dan magis, Freud

    dengan teori agama dan kepribadian, Durkheim dengan teori kesakralan

    masyarakat, Mircea Eliade dengan teori hakikat dari yang sakral, Evan Pritchard

    dengan teori konstruksi hati masyarakat, dan Parsons tentang AGIL. Teori agama

    sebagai bentuk alienasi Karl Max tidak digunakan pada penelitian ini karena

    Orang Lom berpegang teguh pada sistem kepercayaan adat leluhur bukanlah

    disebabkan oleh unsur ekonomi atau alinasi. Teori-teori tersebut digunakan sesuai

    dengan masalah pada penelitian ini.

    Menurut Tylor (1832-1917),52

    sebagaimana yang disepakati oleh Frazer

    (1854-1922),53

    bahwa agama adalah kepercayaan terhadap kekuatan spiritual.

    51

    Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion ..., hlm. 13. 52

    Ia seorang pria otodidak Inggris, tidak pernah belajar di universitas. Kemampuannya

    didasarkan pada petualangan dan studi independennya sampai kepada teori animisme, sebuah teori

    kunci untuk memahami asal usul agama. Ia tidak tertarik pada masalah agama, tapi lebih tertarik

    pada masalah kebudaayaan manusia dan kelompok sosial. Ia dianggap tokoh pencetus antropologi

    sosial atau antropologi budaya sebagai sebuah sains yang banyak di Amerika dan Inggris saat ini.

    Ia dilahirkan pada tahun 1832 dari keluarga Quakers (kelompok Protestan yang ekstrim bahkan

    fanatik di Inggris) yang makmur, pemilik perusahaan kuningan di London. Keluarga Quakers

    hidup sederhana dan hidup dengan tuntunan nurani. Ia termasuk orang yang menentang semua

    bentuk kepercayaan dan praktik peribadatan Kristen tradisional, khususnya Katolik Roma. Sejak

    muda iakedua orang tuanya meninggalsudah menekuni bisnis keluarga. Ketika ia dinyatakan

    mengidap penyakit tuberklosa, ia disarankan menetap di daerah yang beriklim panas dan kemudian

    memilih menetap di Amerika Tengah. Karena petualangan itu, ia mulai tertarik dengan kajian

    kebudayaan-kebudayaan asing. Setiap kebudayaan dan kepercayaan yang ditemuinya, ia catat,

    yang kemudian dibukukan dengan judul Anahuac: Or Mexico and The Mexican Ancient and

    Modern (1861). Buku keduanya berjudul Researches into Early History of Mankind and The

    Development of Civilization (1865) tentang adat istiadat dan kepercayaan masyarakat yang hidup

  • 29

    Agama, secara umum, identik dengan magis. Keduanya sama-sama dibangun

    berdasarkan integrasi ide-ide yang tidak kritis dan irrasional.54

    Tindak-tanduk

    masyarakat, ide dan adat kebiasaan dapat dilukiskan dengan pendekatan analogi

    dibandingkan etimologi. Etnologi mengasumsikan bahwa bentuk masyarakat dan

    kebudayaan yang terorganisir dilihat sebagai satu keseluruhan. Etnologi

    merupakan suatu sistem kompleks yang membentuk pengetahuan dan

    kepercayaan, seni dan moral, perkakas dan teknologi, bahasa, hukum, adat

    istiadat, legenda, mitos, dan seluruh komponen yang membentuk satu kesatuan

    yang utuh. Untuk itu, periode peradaban manusia diamati secara seksama melalui

    dua prinsip besar tentang budaya, yaitu: [1] prinsip kesatuan atau keseragaman

    fisik seluruh ras manusia; [2] pola evolusi intelektual atau perkembangannya

    dalam jangka waktu tertentu.55

    Menurut Tylor, untuk memahami asal-usul agama, mitos dapat dijadikan

    sebagai rujukan awal. Agama merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang

    spiritual.56

    Definisi ini dapat diterima dan memiliki kelebihan tersendiri, karena

    sederhana, gamblang, dan memiliki cakupan luas. Walaupun ditemukan

    kemiripan-kemiripan lain dalam setiap agama, tetapi satu-satunya karakteristik

    yang dimiliki setiap agama, besar maupun kecil, agama purba atau modern, adalah

    di zaman primitif. 6 tahun kemudian ia mempublikasikan buku ketiga yang sangat penting dalam

    dua jilid besar dengan judul Primitive Culture (1871). Karya monumental ini menjadi buku

    penting bagi peneliti untuk mengkaji tentang peradaban manusia. 53

    Frazer berasal dari keluarga Quakers yang kaya dan liberal. Dibesarkan dalam keluarga

    Presbyterian Skotlandia yang taat dan keras. Ia menolak kebenaran Injil dan kebenaran teologi

    kaum Calvinis, bahkan ia memilih ateistikagnostik, baik dalam Kristen maupun keimanan dalam

    agama lainnya. Agama adalah sesuatu yang menarik tapi tidak untuk diyakini. Peradaban yang

    banyak digeluti pada tahap awal adalah Yunani dan Romawi Kuno. Dia antara karyanya yang

    terkenal The Religion of the Semites (1890) dan The Golden Bough. Daniel L. Pals, Seven Theories

    of Religion ..., hlm. 30-32. 54

    Ibid., hlm. 36. 55

    Ibid., hlm. 20. 56

    E.B. Tylor, Primitif Culture I ..., hlm. 424.

  • 30

    keyakinan terhadap roh-roh yang berpikir, berperilaku dan berperasaan seperti

    manusia. Esensi setiap agama seperti juga mitologi adalah animisme (berasal dari

    bahasa latin anima, yang berarti roh), yaitu kepercayaan terhadap sesuatu yang

    hidup dan mempunyai kekuatan yang ada di balik segala sesuatu. Animisme

    adalah bentuk pemikiran yang paling tua, yang dapat ditemukan dalam sejarah

    umat manusia.

    Menurut Tylor, untuk menjelaskan agama, pertanyaan pertama yang mesti

    dijawab adalah: bagaimana dan kenapa awal mulanya manusia mulai

    mempercayai keberadaan sesuatu sebagai roh? Manusia dalam kebudayaan

    tingkat rendah sekalipun telah memiliki daya berpikir yang cenderung

    dipengaruhi oleh dua persoalan biologis. Pertama, adalah apakah yang

    membedakan antara tubuh yang hidup, pingsan, sakit, dan mati. Kedua, wujud

    apakah yang muncul dalam mimpi dan khayalan-khayalan manusia? Untuk

    mencermati kedua persoalan ini, para filosofi liar (savage philosopher)

    masyarakat primitif, menjawabnya dengan dua tahap. Pertama, setiap manusia

    memiliki dua hal, yaitu: jiwa dan roh (phantom) sebagai bayang-banyang dan diri

    kedua bagi jiwa. Kedua, para filosuf liar mengkombinasikan jiwa dan roh.

    Kombinasi tersebut membentuk konsepsi tentang Jiwa Yang Memiliki Pribadi.57

    Pengalaman nyata seseorang dengan kematian dan mimpi menyebabkan

    masyarakat primitif mampu menalarkan tentang kehidupan. Pengalaman itu

    membentuk sebuah teori sederhana tentang kehidupan mereka bahwa setiap

    kehidupan disebabkan oleh sejenis roh atau prinsip spiritual. Mereka menganggap

    roh sebagai sesuatu yang sangat halus, bayangan tak bersubstansi dari manusia,

    57

    Ibid., hlm. 429.

  • 31

    dengan bentuk yang sangat halus, tipis dan berupa bayangan; dialah yang

    memberikan kehidupan bagi individu tempat dia berada.58

    Dari premis ini

    kemudian mereka melakukan penalaran dengan jalan analogi dan ekstensi.

    Menurut Tylor, penalaran masyarakat primitif setingkat dengan penalaran

    kekanak-kanakan. Penalaran ini kemudian menemukan bentuk kepercayaan

    religiusnya yang pertama, seperti mitos-mitos mereka, pengajaran agama muncul

    dari usaha rasional untuk menjelaskan cara kerja alam. Kostruksi penalaran

    kepercayaan religius mewujudkan konsep roh manusia, spirit, dan alam. Roh

    menggerakkan manusia, maka spirit pun telah menggerakkan alam semesta.

    Tylor berargumen bahwa teori animistik ini memiliki makna penting.

    This doctrine of Animism will be considered elsewhere as affecting philosophy

    and religion, but here we have only to do with its bearing on mythology.59

    Teori

    animisme dijadikan untuk menjelaskan varian-varian kepercayaan dan adat

    istiadat purbamasyarakat primitif. Doktrin tentang kehidupan akhirat adalah

    contoh yang paling tepat. Dalam kebudayaan Timur, terdapat begitu banyak

    keyakinan atas reinkarnasi, sedangkan dalam agama dari kebudayaan Barat,

    seperti Kristen dan Islam, terdapat tentang Hari Pembalasan dan Keabadian Jiwa.

    Dalam terminologi animistik, semua ajaran ini bisa dipahami sebagai

    proses keberlanjutan kehidupan jiwa sesudah kematian. Animisme juga dapat

    menjelaskan mengapa benda-benda dan pernik-pernik yang disakralkanbenda-

    benda yang dinamakan fetishes (jimat)sangat penting bagi masyarakat primitif.

    Masyarakat ini bukanlah penyembah berhala seperti yang digambarkan oleh

    58

    Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion ..., hlm. 29. 59

    E.B. Tylor, Primitif Culture I, hlm. 258.

  • 32

    misionaris Kristen yang picik. Mereka tidak menyembah tongkat atau bebatuan,

    tapi menyembah anima yang ada di dalamnya, roh yang memberikan kekuatan

    dan kehidupan kayu tongkat atau substansi bebatuan tersebut, yang memang sama

    sekali berbeda dengan Tuhan umat Kristen.60

    Dengan mendalami hakikat

    animisme, kita juga akan memahami proses pengobatan primitif. Ketika seseorang

    menggigil tanpa sadar karena demam, dia tahu bahwa bukan perbuatannya yang

    menyebabkan sakit, melainkan dirinya sedang dikuasai roh jahat yang masuk ke

    dalam tubuhnya. Untuk menyembuhkan penyakit ini, yang dibutuhkan bukanlah

    pengobatan, tetapi pengusiran terhadap roh jahat tersebut dari tubuhnya.61

    Penguburan benda beserta jenazah atau penguburan orang-orang yang kuat

    dan agung disertai pengorbanan manusia. Benda-benda yang dikuburkan tersebut

    akan memberikan kekuatan kepada jiwa si mati di alam baka. Pengorbanan

    manusia itu bertujuan untuk menyediakan ruh-ruh pelayan yang akan melayani

    sang raja atau bangsawan nanti di alam baka, seolah-oleh seperti masih hidup di

    dunia ini.62

    Agama telah mengalami perkembangan mulai dari keyakinan primitif

    (politeisme)63

    terhadap roh-roh yang ada di pepohonan atau bebatuan sampai pada

    tingkatan yang paling tinggi, yaitu monoteisme dan etika yang dikembangkan

    oleh Yahudi dan Kristen saat ini. Peradaban yang lebih tinggi dapat dikorelasikan

    dengan keagamaan yang lebih tinggi pula.64

    Kepercayaan terhadap kekuatan

    spiritual merupakan satu tahapan alami dalam evolusi pemikiran manusia, namun

    60

    E. B. Tylor, Primitive Culture I, hlm. 382-384. 61

    Daniel L. Pals, Theories ..., hlm. 25. 62

    E. B. Tylor, Primitif Culture I ..., hlm. 459-466. 63

    Politeisme (polytheistic systems) merupakan pengakuan lebih dari satu tuhan atau dewa,

    sebagai tipikal kepercayaan/keyakinan masa barbarian. 64

    James George Frazer, The Golden Bough: A Study of Magic and Religion (London: Temple

    The Floating Press, 1990), hlm. 36.

  • 33

    bukanlah tahapan-tahapan terakhir. Masih ada tahapan lain yang lebih rasional

    dalam merespons alam dengan metode ilmu-ilmu empiris, namun dalam

    perkembangannya, manusia masih belum mampu meninggalkan adat istiadat dan

    kebiasaan takhayul. Oleh karena itu, agama sampai saat ini masih tetap ada.

    Sebagaimana Tylor, definisi agama menurut Frazer adalah kepercayaan

    kepada kekuatan supranatural. Identik dengan Tylor, Frazer menyebut bahwa

    magis dan agama merupakan tema sentral dalam masyarakat primitif. Pemahaman

    tentang magis dan agama serta hubungan keduanya merupakan kunci penting

    untuk masuk ke dalam pemikiran dan kebudayaan masyarakat primitif. Magis

    atau yang disebutnya symphathetic magic menjadi jalan pertama untuk memahami

    alam dan upaya untuk mengubahnya.65

    Menurut masyarakat primitif, alam bekerja

    dengan rasa simpati atau akibat pengaruh-pengaruh dari luar. Prinsip-prinsip kerja

    alam selalu tetap, universal dan tidak bisa dilanggar.66

    Berbeda dengan Tylor,

    Frazer menemukan magis lebih sistematis dan lebih ilmiah (scientific). Hubungan

    utama yang dibuat tukang sihir (symphathetic magician) didasarkan pada dua tipe,

    yaitu imitatif dan penyebaran. Imitatif, yakni magis menghubungkan pada dua hal

    berdasarkan prinsip kesamaan dan hubungan yang sebanding, sedangkan dalam

    penyebaran, magis menghubungkan dua hal atas prinsip keterikatan.67

    Lebih lanjut, Frazer menjelaskan, bahwa agama dan magis berbeda. Magis

    dibangun atas asumsi bahwa ketika satu ritual atau perbuatan dilakukan secara

    tepat, maka dampak yang muncul seperti yang diharapkan. Keyakinan yang

    melandasi setiap ritual menjadi bukti bahwa masyarkat primitif telah memiliki

    65

    Ibid., hlm. 37. 66

    Ibid. 67

    Ibid., hlm. 38.

  • 34

    sejenis pengetahuan yang berlaku di kalangan mereka tentang cara kerja alam,

    termasuk mengontrolnya. Dalam masyarakat primitif, kepala kampung, seorang

    raja atau penguasa, karena dianggap paling tahu mengenai apa yang terbaik bagi

    sukunya atau mampu menaklukkan musuh-musuh sukunya.68

    Seorang dukun,

    tabib atau tukang sihir yang memiliki pengetahuan magis akan memiliki kekuatan

    sosial dan memiliki posisi sangat penting dan umumnya berkuasa di tengah-

    tengah masyarakat. Peran-peran mereka akan berubah menjadi status.

    Agama dan magis sering kali dicampuradukkan dalam berbagai

    kebudayaan di seluruh dunia. Posisi raja dan bangsawan juga memiliki pola yang

    sama. Ketika masyarakat primitif menganggap rajaalam bahasa agama

    sebagai dewa, maka mereka akan menganggap kekuasaan dan hubungan raja

    dengan rakyatnya sebagai hubungan magis. Sebagai dewa, raja dianggap sebagai

    pusat dunia, seluruh perkataannya menjadi hukum, pancaran pribadinya menyebar

    ke seluruh penjuru. Dengan demikian, seluruh tindakan dan perubahan-perubahan

    yang terjadi pada dirinya juga berakibat kepada seluruh proses alam dan

    kehidupan suku.

    Berbeda dengan Tylor dan Frazer, menurut Sigmund Freud (1856-1939),69

    agama akan menjadi penyakit saraf yang mengganggu manusia sedunia (the future

    of an illusion).70

    Teorinya tentang kepribadian manusia dianggap provokatif.

    Mimpi manusia selalu mengundang keingintahuan dan digambarkan dengan

    68

    Ibid., hlm. 145. 69

    Sigmund Freud (1856-1939) dilahirkan di Moravia tahun 1856, bagian Eropa Tengah yang

    berada di bawah kekuasaan Austro-Hongaria. Ia berasal dari keluarga penganut Yahudi. Ayahnya

    bekerja sebagai pedagang dan menikah untuk kedua kalinya di saat kedua puteranya sudah