66
AGAMA DAN PENDIDIKAN NASIONAL Jamridafrizal,S.Ag.S.S.,M.Hum Setiap agama memposisikan dirinya sebagai sebuah tatanan nilai mulia yang menjiwai apapun yang terdapat di dunia ini.Termasuk di dalamnya pendidikan para penganut agama islam,Kristen dan Katolik misalnya,akhirnya memaksakan integrasi agama pendidikan hingga kepada simbol keagamaan lembaga-lambaga pendidikan yang mereka kelola.Awal sejarah pendidikan di negeri ini pun sebenarnya sudah di awali dengan fenomena itu.jauh sebelum Indonesia merdeka,mereka telah menyebarkan agama melalui penyelenggaraan pendidikan. Agama akhirnya diakomodasi oleh kontitusi Indonesia sebagai bagian tak terpiaskan dari sektor pendidikan.konsekuensinya,semua lembaga pendidikan,termasuk sekolah-sekolah yang di kelola oleh Negara pun yang sering kali lebih di tuntut untuk menjadi netral tidak bisa di lepaskan dari kelaziman ini. Tak haya itu pemenuhan kebutuhan dasar integrasi agama pendidikan ini akhirnya di sebut-sebut turut melatar belakangi kelahiran manajemen pendidikan Indonesia ke dalam dua pilar pelayanan peendidikan,yakni pelayanan yang di lakukan oleh departemen pendidikan nasional dan Departemen Agama.Meski manajemen pelayanan pendidikan ini secara umum menjadi tanggungjawab Mentri Pendidikan,sebagaimana di tuangkan dalam UU Sisdiknas,namun dualisme pelaksanaannya yang relatif terpisah sering menimbulkan persoalan. Sebenarnya,tidaklah berlebihan bagi Negara yang memiliki penduduk beragama memberikan perhatian kepada agama,sama pentingnya dengan perhatian yang di berikan untuk pendidikan.Di banyak Negara,tokoh agama sangat di pandang penting karena peran mereka yang sidnifikan dalam keikut sertaannya mempengaruhi arah dan kebijakan Negara.Ketokohan pemuka agama di Cina,misalnya,di sejajarkan dengan tokoh pendidikaan.Di negeri komunis itu gaji tertinggi di berikan kepada Biksu dan Guru,yakni setara dengan direktur kelas

Agama Dan Pendidikan Nasional

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Setiap agama memposisikan dirinya sebagai sebuah tatanan nilai mulia yang menjiwai apapun yang terdapat di dunia ini.Termasuk di dalamnya pendidikan para penganut agama islam,Kristen dan Katolik misalnya,akhirnya memaksakan integrasi agama pendidikan hingga kepada simbol keagamaan lembaga-lambaga pendidikan yang mereka kelola.Awal sejarah pendidikan di negeri ini pun sebenarnya sudah di awali dengan fenomena itu.jauh sebelum Indonesia merdeka,mereka telah menyebarkan agama melalui penyelenggaraan pendidikan. Agama akhirnya diakomodasi oleh kontitusi Indonesia sebagai bagian tak terpiaskan dari sektor pendidikan.konsekuensinya,semua lembaga pendidikan,termasuk sekolah-sekolah yang di kelola oleh Negara pun yang sering kali lebih di tuntut untuk menjadi netral tidak bisa di lepaskan dari kelaziman ini.

Citation preview

Page 1: Agama Dan Pendidikan Nasional

AGAMA DAN PENDIDIKAN NASIONAL

Jamridafrizal,S.Ag.S.S.,M.Hum

Setiap agama memposisikan dirinya sebagai sebuah tatanan nilai mulia yang menjiwai apapun yang terdapat di dunia ini.Termasuk di dalamnya pendidikan para penganut agama islam,Kristen dan Katolik misalnya,akhirnya memaksakan integrasi agama pendidikan hingga kepada simbol keagamaan lembaga-lambaga pendidikan yang mereka kelola.Awal sejarah pendidikan di negeri ini pun sebenarnya sudah di awali dengan fenomena itu.jauh sebelum Indonesia merdeka,mereka telah menyebarkan agama melalui penyelenggaraan pendidikan. Agama akhirnya diakomodasi oleh kontitusi Indonesia sebagai bagian tak terpiaskan dari sektor pendidikan.konsekuensinya,semua lembaga pendidikan,termasuk sekolah-sekolah yang di kelola oleh Negara pun yang sering kali lebih di tuntut untuk menjadi netral tidak bisa di lepaskan dari kelaziman ini.

Tak haya itu pemenuhan kebutuhan dasar integrasi agama pendidikan ini akhirnya di sebut-sebut turut melatar belakangi kelahiran manajemen pendidikan Indonesia ke dalam dua pilar pelayanan peendidikan,yakni pelayanan yang di lakukan oleh departemen pendidikan nasional dan Departemen Agama.Meski manajemen pelayanan pendidikan ini secara umum menjadi tanggungjawab Mentri Pendidikan,sebagaimana di tuangkan dalam UU Sisdiknas,namun dualisme pelaksanaannya yang relatif terpisah sering menimbulkan persoalan.

Sebenarnya,tidaklah berlebihan bagi Negara yang memiliki penduduk beragama memberikan perhatian kepada agama,sama pentingnya dengan perhatian yang di berikan untuk pendidikan.Di banyak Negara,tokoh agama sangat di pandang penting karena peran mereka yang sidnifikan dalam keikut sertaannya mempengaruhi arah dan kebijakan Negara.Ketokohan pemuka agama di Cina,misalnya,di sejajarkan dengan tokoh pendidikaan.Di negeri komunis itu gaji tertinggi di berikan kepada Biksu dan Guru,yakni setara dengan direktur kelas menengah di sana.Di Saudi Arabia dan Iran,perhatian kepada Mullah dan Ayatullah (ulama)bahkan melebihi perhatian Negara pada sektor apapun,demikian pula di mesir dan Turki,walau gaji imam dan khotib tidak besar,akan tetapi perhatian Negara kepada agama tampak hingga pada persoalan gaji-gaji para ulama.

Di Indonesia ini sebagai mana jamak di ketahui nasib pemuka agama mungkin memang tidak sama dengan kondisi di Negara-negara yang telah kita sebutkan.Hirarki penggajian Pendeta dan Pastur di atur sendiri oleh internal organisasi agama yang bersangkutan.Banyak para Kyai dan Ustad swasta (selain guru agama negeri).mengandalkan penerimaan infak dan balas budi masyarakat atas pengajaran agama yang di berikannya hampir secar murni.

Sistem Pendidikan Nasional Pengelolaan pendidikan yang baik sebenarnya adalah pendidkan yang dapat memanfaatkan potensi Budaya yabg tumbuh dan berkembang di Indonesia yang di huni

Page 2: Agama Dan Pendidikan Nasional

oleh bermacam suku,agama,dan adapt istiadat yang sangat berbeda satu sama lain,maka seberagam itu pula pola pendidikan yang mereka kembangkan.Atas dasar ini konstitusi UUD 1945 dan UU Sisdiknas mengemanatkan perlunya penyelenggaraan pendidikan dengan melestarikan keaneka ragaman penyelenggaraan pendidikan di masyarakat,akan tetapi berada dalam satu payung pengelolaan,bernama “Sistem pendidikan Nasional”.

Undang –undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 31 ayat (3)mengemanatkan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan Nasional yang meningkatkan ke imanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa yang diatur dengan undang-undang”.Tangungjawab pengelolaan satu sistem pendidikan ini menjadi tugas Mentri Pendidikan.

Di dalam ssatu sistem itu,di harapkan keragaman penyelenggaraan pendidikan bisa melahirkan ke kuatan pendidikan yang dahsyat.

Keragaman penyelenggaraan penndidikan di Indonesia dapat di telusuri dalam dua kategori:pertama,keragaman yang di lakukan oleh masyarakat dengan tingkat keratifitas yang rendah.Masyarakat semacam ini sebenarnya cenderung memilih keseragaman ena di anggap memudahkan.keseragaman tersebut antara lain dalam bentuk nomenklatur satuan pendidikan,seragam sekolah,hari masuk dan libur sekolah,sistem penilaian,dsb.Misalnya masalah masalah keseragaman kurikulum.walau UU sudah menyuruh agar masing-masing sekolah menyusun sendiri kurikulumnya,banyak para guru dan sekolah angkat tangan melakukannya.Mereka lebih suka menggunakan kurikulum yang di keluarkan oleh pemerintah.Bahkan pada tingkat silabuspun (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran),mereka lebih suka menggunakan paket yang sudah jadi pemerintah.

Kategori kedua terdapat pada masyarakat yang memiliki tingkat kreatif cukup tinggi (yang ini minoritas).Mereka cenderung menyebut pemerintah sampai saat ini terlalu banyak mengatur pendidikan hingga hal-hal yang tidak seharusnya diatur.Terutama sekolah-sekolah swasta,banyak sekali sekolah yang jika tingkat kemandiriannya sudah cukup tinggi,menginginkan pemerintah cukup mengukur hasil pendidikannya saja.Proses penyelenggaraan pendidikannya tidak usah diatur.Mau menggunakan kurikulum atau sistem penilaian apapun silahkan saja.Mau pakai nama SD,MI,Salafiah,Vidia laya,terserah saja.Apalagi hanya masalah lama waktu belajar,kalender pendidikan,janjang pendidikan,seragam,dan hal lain yang sebenarnya tidak perlu diatur.Yang terpenting adalah mutu keluaran setiap lembaga pendidikan bisa di pertanggungjawabkan,dalam arti kalau,dites memenuhi kompetensi sesuai jenjangnya.

Dalam menanggapi kecenderungan masyarakat yang sangat kreatif ini,pemerintah sering mengaku bersikap realistis.Pemerintah memandang mudarat pelepasan begitu saja proses pendidikan di masyarakat,dengan kondisi majemuk seperti sekarang,bisa justru bisa membahayakan hasil (out come)pendidikan itu sendiri.Dikontrol secara seragam saja kenyataannya hasil pendidikan kita jauh dari setandar,apatah lagi di lepaskan.Atas dasar ini maka penyeragaman,terutama pada hal-hal tertentu harus di jalankan.Dengan paradigma ini lalu pemerintah mengatur kerangka dasar kurikulum,melakukan ujian Nasional,menetapkan kalender,jam pembelajaran dll.

UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 mengistilahan penyeragaman terhadap hal tertentu tersebut sebagai setandarisasi Nasional pendidikan (SNP).Tujuannya untuk

Page 3: Agama Dan Pendidikan Nasional

menghasilkan pendidikan yang bermutu dan berdaya saing.SNP dapat di gunakan untuk mempertemukan tradisi pendidikan yang berkembang di masyarakat “secara liar”dengan kebijakan Negara melalui deal-deal yang bisa ddisepakati.SNP dengan demikian di perlukan agar Negara dapat melestarikan keragaman yang menjamin satu lembaga pendidikan dengan lainnya agar saling bersinergi dan saling melengkapi.

Pendidikan yang ideal seharusnya di bina hingga kualitasnya jauh melebihi standar minimal yang di tetapkan dalam SNP.karennya melalui SNP ini,Negara perlu memberi ruang bagi elastisitas pendidikan yang berkembang di masyarakat miaslnya melalui sebuah prinsip Multy entry dan multi exsit (terbuka dan multi makna).Prinsip ini memungkinkan lulusan seluruh pendidikan yang terstandar-dengan keragaman-akan memiliki akses yang sama bagi peserta didik untuk dapat pindah,melanjutkan,atau memasuki suatu istansi pekerjaan publik.

Pada jalur pendidikan formal standarisasi pendidikan di jalankan dengan 3 proses pengendalian dan peningkatan mutu pendidikan (a) evaluasi (b) akreditsi dan (c) sertifikasi.

Pada jalur pendidikan non formal dan in formal juga di lakukan standarisasi pendidikan dengan orientasi mutu yang menjamin pengukuran kompetensi masing –masing bidang dalam memenuhi kebutuhan.Di samping itu ,pendidikan jenis ini juga bisa di setarakan dengan kualitas pendidikan formal,jika di perlukan,setelah melalui uji kesetaaraan.

Standar nasional Pendidikan (SNP) yang di amanatkan UU Sisdiknas nomor 20/2003 bahkan akhirnya melahirkan sebuah badan baru yang relative independent bernama BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan).Aturan standarisasi pendidikan kemuddian di tuangkan secara lebih rinci dalam PP Nomor 19 Tahun 2004.Dengan aturan baru ini ,semua jenis pendidikan yang selama ini tidak di akui persamaannya dengan pendidikan umum formal,dapat diakui sepanjang persyaratan standar minimal dipenuhi.Satu persatu pendidikan tradisionalpun kini mulai gembira karena akan memiliki hak yang tidak jauh beda dari sekolah yang biasa dianakemaskan Negara.

Pengalaman pendidikan Islam berbasis masyarakat-menunjukan bahwa proses akulturasi budaya pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional ternyata tidak terjadi dalam satu tahap secara mudah.Akan tetapi berjalan secara bertahap dan sering kali tidak mudah.

Sejarah pendidikan Islam di Indonesia mula-mula hanyalah pendidikan keagamaan untuk penyebarann agama.Ketika zaman Penjajahan datang,terjadi politik pendidikan diskriminatif karena pemerintah penjajahan memandang rendah pendidikan pribumi.Konisi itu berubah setelah umat Islam mengembangkan sekolah umum.Termasuk ketika dalam tradisi pendidikan Islam tumbuh tradisi Madrasah yang akhirnya berubah menjadi sekolah umum berciri agamma islam.dari catatan proses akulturasi pendidikan Islam,dengan manajemen pendidikan nasional,terdapat beberapa catatan yang perlu digaris bawahi:

Bahwa dengan satu sistem pendidikan,sebenarnya isu dualisme “dua atap”pengelolaan pendidikan tidaklah ada,dan sebenarnya merupakan ungkapan yang tidak benar.Yang dimaksud denga dualisme pengelolaan pendidikan biasnya

Page 4: Agama Dan Pendidikan Nasional

adalah dualisme antara Departemen Pendidikan Nasional yang mengatur sekolah dan perguruan tinggi umum,dengan Departemen Agama yang mengelola madrasah dan pendidikan keagamaan.Ini tidak beenar karena masih banyak departemen lain selain departemen agama yang juga menyelenggarakan pendidikan,yaitu yang disebut dengan pendidikan kedinasan.Pendidikan kedinasan diselenggarakan oleh departemen (selain Departemen Pendidikan Nasional}atau Lembaga Pendidikan Non Departemen untuk mendidik pegawai atau calon pegawai sesuai kebutuhan penyelenggara pendidikan yang bersangkutan.Isu dualisme mencuat karena jumlah sekolah dan madrasah merupakan yang terbanyak di Indonesia.

Karena dalan satu sistem pendidikan,pemerintah,mempunyai daya untuk mengawasi dan membina pendidikan yang diselenggarakan oleh siapapun di negeri ini,maka pemerintah bertanggungjawab untuk membinanya agar sesuai tijuan pendidikan nasional.Dalam pengertian ini,sebenarnya semua hal yang dapat dikategorikan sebagai mengandung unsure pendidikan,maka Mendiknas mempunyai hak dan kewenaangan mengontrol,membina,mengawasi,dan menjatuhkan sanksi jika terbukti ada hal menyeleweng dari tujuan pendidikan nasional.Termasuk tayangan TV atau tabloid yang mengandung unsur pendidikan.Atas dasar ini maka UU Sisdiknas yang mengelurkan regulasi terhadap pendidikan keagamaan menemukan alasannya.

Organisasi Sosial Keagamaan dan Manajemen Pendidikan Nasional

Selama ini,setiap kali kursi Mentri pendidikan akan mengalami pergantian,beredarlah kasak-kusuk seperti ini:kursi Mentri pendidikan biasanya diproyeksikan untuk diisi,kalau tidak ada orang nasionalis,ya orang dari ormas Muhammadiyah.Apa makna di balik kasak-kusuk yang kita dengar ini?Mengapa bukan diperuntukan bagi orang NU yang mayoritas,atau orang Kristiani yang terkenal memiliki banyak lembaga pendidikan maju?

Semua kekuatan orpol maupun ormas di Indonesia wajar saja mengincar kursi nomor satu,dua,tiga di Depdiknas.Selain karena pendidikan punya nilai strategi luar biasa dalam menciptakan geneerasi bangsa,perebutan kursi di sana juga merupakan pembangunan imej bagi suatu perwakilan komunitas,serta konon kabarnya,bermanfaat juga bagi perkembangan internal lembaga pendidikan yang punya emosi kedekatan dengan kekuasaan.

Secara kebetulan kita bisa menyaksikan Mentri Pendidikan secara berturut-turut dijabat oleh orang-orang penting di pengurusan Muhamadiyah dan Partai Amanat Nasional(PAN).Mulai dari Yahya Muhaimin,Malik Fadjar,dan kini Bambang Sudibyo.Jika direnungkan,Muhammadiyah dekat dengan departemen pendidikan memang ada betulnya,atas alasan berikut ini (1)jabatan mentri pendisikan akan selalu diperebutkan oleh mayoritas orang muslim,mengingat urgensi jabatan ini selalu bersentuhan langsung dengan hajat rakyat banyak. (2) di upayakan harus dari kalangan Muhammadiyah,karena ormas islam paling menonjol bidang pendidikannya adalah Muhammadiyah .

Page 5: Agama Dan Pendidikan Nasional

Jika perebutan kursi Departemen pendidikan di proyeksikan untukkelompok masyarakat yang terlatih mengelola pendidikan dengan baik,maka Muhammadiyah agaknya pantas berada ddi peringkat teeratas,kelompok berikutna mungkin Katolik/Kristen,mungkin NU.

Fenomena yang sama juga melanda Departemen lain,misalnya Departemen Agama yang dekat dengan kegiatan keagamaan maka auranya pun di tangkap masyarakat lebih dekat ke NU.Mentri agama pertama adalah K.H.Wahid Hasyim.Belakangan ini kita melihat warga NU berturut-turut menjadi Mentri Agama.yaitu Talhah Hasan,Sayyid Agil Al Munawwar,dan kemudian Maftuh Basyuni.

Meski setiap kali menjelang penyusunan cabinet,NU terdengar mengincar jabatan Mentri Pendidikan,tetapi kenyatannya harapan harapan itu belum terkabul.jika kita bisa melongokke dalam lagi,bahkan pejabat setingkat di bawah menteri atau ke bawahnya lagi,juga banyak di borong oleh orang-orang yang “sebendera”dengan sang Mentri.Kalaulah tidak sebendera,maka miimal orang naionalis akan menempati berikutnya.Nasionalis disini bisa bermakna orang netral,yakni orang nasionalis beneran (bukan dari ormas agama)atau orang yang tidak punya ikatan kuat dengan salah satu ormas islam,atau ada orang NU yang karena Mentrinya seorang Muhammadiyah maka dengan serta merta ia seperti menjadi Muhammadiyah.

Fenomena kultural yang melatar belakangi warna dua Departemen tersebut di atas hampir merupakan hukum tak tertulis yang mudah saja berubah sewaktu-waktu.dari fenomena tadi yang terpenting untuk diambil hikmah adalah bahwa siapapun yang ingin merebut kekuasaan pendidian,citra manajemen pendidikannya perlu bagus terlebih dahulu.misalnya jika NU ingin di percaya menjadi “pengatur Pendidikan”mak kemampuannya mengelola pendidikan harus di buktikan terlebih dahulu di lapangan di Maarif-maarifnya.ternyata masyarakat Indonesia memang mendasarkan dukungan itu melalui keyakinan bahwa sebuah wakil masyarakat bisa di percaya karena memang popular ahli mengelola di bidang itu.

Sebenarnya cirri pendidikan apa yang selama ini identik pada Muhammadiyah mengelola berbagai pendidikan umum (utamanya sekolah).sementara NU mengelola pesantren-pesantren.kendati pada akhirnya kedua ormas tersebut terkadang sama-sama mengelola pendidikan yang sama,mislnya Muhammadiyah juga kini turut serta mengelola pesantren,dan NU melalui maarif dan inddividu-individunya mengelola pendiddikan umum,namun Muhammadiyah masih tetap bisa diidentikan deengan sekolah umum,sedangkan NU tetap bisa di identikkan dengan pesantren.

Secara kebetulan,pendidikan umum di negeri ini leading dalam berbagai forum pendidikan di banding pesantren.bahkan pesantren sering di lansir sebagai kelompok termarginalkan.maka sampailah kita kepada kenyataan bahwa komunitas pesantren yang secara nyata menyelnggarakan berbagai pendidikan keagamaan tradisional,dengan jumlah santri dann lembaga yang demikian banyak,memang belum masa dan tempatnya untuk mewakili bentuk popular pendidikan nasional.

Peran Departemen Agama Kalau mencermati dua Undang –Undang terkait dengan pendidikan yang baru terbit saat ini,yakni UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 dan UU no.14 tahun 2005tentang guru

Page 6: Agama Dan Pendidikan Nasional

dan dosen, ungkapan “departemen Agama”tidaklah kita temukan seca ra eksplisit di dalamnya,khususnya berkaitan dengan manajemen pengelolaan pendidikan.kita segera bisa menarik kesimpulan dari sana,bahwa pendidikan kita sesungguhnya memang hanya “satu atap”di bawah Mentri Pendidikan.penddidikan secaa umum merupakan wilayah secara umum merupakan wilayah kewenangan Depdiknas.adapun jika kemudian Departemen agama ikut serta mengella secara aktif,terutama atas penyelanggaraan madrasah,maka makna peranan Departemen Agama tersebut bisa bersifat pembantu,sebagai pelaksana tanggung jawab,atau sebagai Departemen yang mendapat pelimpahan kewenangan mengelola pendidikan tertentu.

Kendati kemudian,akhi r-akhir ini kita pernah menyaksikan timbulnya isu manajemenpendidikan ‘satu Atap”.Maksudnya ,semua kewenangan pengelolaan pendidikan secara proporsional akan di lakukan oleh Depdiknas.Ditingkat Undang-undang,semua itu sangat memungkinkan.apalagi UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 kini meembatasi pendidikan kedinasan (yang di kelola olehDeepartemen selain Depdiknas atau Lembaga pendidikan non Departemen )hanya untuk pendidikan profesi setelah jenjang sarjana,serta khusus untuk alon pegawai (pre service training) atau untuk peningkatan kualitas pegawai (in-service Training).sebelumnya,pendidikan kedinasan sangat ramai dengan Mahasiswa yang umum sifatnya ,tetapi karena satu sistem pendidikan memandang ini tidak proporsional maka semua pengelolaan pendidikan kini terpusat kembali dalam pengelolaan Depdiknas.

Pertanyaannya,kenapa madrasah tidak di kelola juga oleh Depdiknas,sehingga Depag akan lebih berkonsentrasi kepada soal agama?bangsa Indonesia bahkan sejak beberapa waktu telah melakukan berbagai kkalkulasi,mana yang lebih efektif antara sistem pendidikan dua atap ,ataukah satu atap.

Di tingkat Grass Root kecenderungan pendidikan satu atap tampaknya menguat..Hal itu di picu oleh persoalan internal madrasah yang relatif mengalami berbagai kelemahan teknis pengelolaan dibanding sekolah.Departemen Agama dalam berbagai diskusi mengaku tidak keberatan kalau madrasah dikelola Departemen Agama,sesuai UU.Namun dengan harapan yang sangat besar agar identitas keislaman yang selama ini dikelolanya bisa dijaga.

Harapan yang dikemukakkan Depag ini seolah suatu jawaban tak langsung tentang tidak perlunya pendidikan harus dikelola satu atap.Tambahan lagi,pengelolaan pendidikan satu atap memunculkan kekhawatiran madrasah akan disamakan atau dilebur dengan sekolah,sehingga sejarah madrasah tamat,akan terjadi.

Seperti jelas dalam berbbagai argumentasi yang mengemuka,persoalan satu atau duaa atap menejemen pendidikan nasional bukanlah agenda konstitusional,akan tetapi hanya problem kondisional belaka.Lebih tepatnya tergantung pada kemauan politik (political will) pemerintah.para biroktrat di lingkungan Depdiknas mengaku tahu betul persoalan ini tetapi mereka tidak tahu siapa yang bisa memulai perubahan yang lebih baik dari kondisi yang ada.Demikian pula komentar birokrat Depag tentang hal ini.Orang-orang di lingkungan DPR RI lebih sering menilai ini semua hanya persoalan “ego”sektoral di lingkungan Depdiknas dan Depag.Sehingga ada fenomena ewuh -pikewuh membicarakannya secara vulgar.

Page 7: Agama Dan Pendidikan Nasional

Keadaan ini tentu anomaly dalam dunia pendidikan nasional.Jangan-jangan carut marut manajemen pendidikan ini benar berpengaruh besar dari inefisiensi manajemen pendidikan nasional.Jika memang ternyata dualisme pengelolaan pendidikan ini dirasa tidak efektif,misalnya tumbuhnya berbagai perlakuan diskriminatif,atau semakin panjangnya birokrasi pendidikan,atau seperti kekacauan muktahir tentang sentralisasi sektor agama dan desentralisasi sektor pendidikan,mengapa kerumitan manajemen satu-dua atap manajemen pendidikan ini dibiarkan berlarut hingga harus mengorbankan nasib murid madrasah yang jumlahnya mencapai 15% sekolah formal?

Solusi pemerintah saat ini biasanya adalah peningkatan kualitas masing-masing sektor terhadap pendidikan yang dibinanya.Dan ini terasa tak terlalu bersentuhan denganisu satu-dua atap tadi,sebenarnya.Dengan kata lain,isu itupun dibiarkan mati dengan sendirinya.

Oleh karena alasan menghindari timbulnya ketidak adilan dan ketidak cocokan bidang penanganan,Depag sering juga “membuat sendiri”lembaga-lembaga yang sudah dibuat sebelumnya oleh Depdiknas.Misalnya komite sekolah yang digalakkan pembentukannya oleh Depdiknas.Departemen Agama membuat sendiri Majlis Madrasah.Kelak pada masalah BAN(Badan Akreditasi Nasional)kemungkinan besar akan mengalami hal sama.Dan masih banyak lagi kemiripan-kemiripan masalah lainnya dengan kejadian-kejadian ini.Misalnya apakah BSNP akan merekrut “orang”Depag,ataukah melimpahkan wewenang kepada Depag,atatu cukup berkonsultasi saja?

Sesungguhnya,ini semua bisa dinilai betapa kurang efektifnya manajemen pendidikan nasional di negeri kita.Kekurang efektifan itu antara lain karena seringkali lembaga bentukan Depdiknas juga diminta atau mempunyai tugas dan wewenang yang merambah wilayah pendidikan binaan Depag.Terjadilah di sana berbagai kemungkinan:misalnya overlapping kewenangan.Keterlambatan penerapan kebijakan,terutama yang sering dirasakan oleh madrasah di bawah binaan Depag.

Seharusnya semua ini tidak boleh terjadi karena dampaknya langsung menyentuh nasib generasi bangsa Indonesia.Alangkah buruknya kalau hari depan generasi bangsa yang cemerlang hanya dikorbankan untuk kepentingan tetek bengek birokrasi.Dan ini bisa ditempuh melalui satu atau beberapa alternatif berikut ini:

1.Di tingkat UU,kewenangan antara Depdiknas dan Depag seharusnya sudah diatur secara jelas,sehingga tidak ada keterlambatan yang dampak langsuung pada kerugian waktu yang ditanggung oleh peserta didik.

2.Pendidikan keagamaan diwujudkan dalam direktorat tersendiri di lingkungan Depdiknas sehingga optimalisasi pelayanan yang menyangkut pendidikan keagamaan kelak benar-benar berasal dari satu atap.

3.Kondisi seperti sekarang ini,di mana kewenangan Depag menunggu apapun tentang kebijakan Depdiknas,kemudian Depag menyesuaikannya di lingkungannya berdasarkan pelimpahan wewenang yang diberikan oleh Depdiknas.Dengan kondisi ini memang madrasah dan pendidikan keagamaan akan banyak dirugikan akan tetapi

Page 8: Agama Dan Pendidikan Nasional

kalau kewenangan Depag diperkuat dan dipercepat dengan koordinasi yang baik,maka kerugian yang ada mungkin bisa sangat diminimalisir.

Agama dalam Peraturan PerundanganDi tengah miliu timbul tenggelamnya isu satu-dua atap tadi,orang pperlu mengenali tingkat validitas pengelolaan agama melalui dektor pendidikan di Indonesia.

Konstitusi Indonesia memandang bahwa agama merupakan elemen penting dalam pendidikan.Komitmen ini diwakili oleh berbagai kata kunci dalam berbagai peraturan perundang-undangan,misalnya kata:ketuhanan,keimanan,ketakwaan,dan akhlak mulia.

Kata ketuhanan dalam sila pertama pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa pada mulanya menjadi falsafah bangsa.Ini diartikan bahwa bangsa Indonesia mewajibkan bangsanya harus beragama.Stetmen ini juga pernah di artikan bahwa keberadaan orang Athaise di larang hidup di Negara Indinesia.Dalam ketetapan MPR No.11/ MPR/1978 tentang P4(ekaprasetya panca karya) disebutkan bahwa dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa,bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaann masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

UUD 1945 meletakan landasan komitmen keberagamaan bangsa Indonesia ini dalam bab X1pasal 29 ayat (1):Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa,dan ayat (2) yakni bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu

Selanjutnya Tap MPR No.1V / MPR / 1973 yang kemudian dikokohkan kembali pada Tap MPR No.1V / MPR /1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara ( GBHN),semakin memperkuat komitmen keragamaan bangsa ini dengan kewajiban pembelajaran pendidikan agama.Inti TAP MPR tersebut menandaskan bahwa pelaksanaan pendidikan agama perlu secara langsung dimasukan kedalam kurikulum di sekolah-sekolah,mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas negeri.

Kelahiran UU Sisdiknas No 20/2003 kembali mengukuhkannya.pasal 3 UU Sisdiknas No.20/ 2003 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional berbunyi:”pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berakhlak mulia, sehat,berilmu,cakap,kreatif,mandiri,dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.selanjutnya,dalam penjelasan umum UU Sisdiknaas di tegaskan bahwa sertategi pertama dalam melaksanakan pembaharuan sistem pendidikan nasional adalah “pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia”

Kedudukan –kedudukan agama dalam UU Sisdiknas sekarang ini bahkan memperoleh tempat cukup istimewa karena merupakan satu-satunya bahan ajar yang wajib di pelajarkan secara kumularif diseluruh jalur jenjang,dan jenis pendidikan

Page 9: Agama Dan Pendidikan Nasional

(pasal 37 dan 38).Yakni mulai dari PAUD(pendidikan anak usia dini)hingga perguruan tinggi.Urutan berikutnya yang memperoleh kedudukan istimewa barulah dengan bahan ajar kewarganegaraan dan bahasa apapun.

Komitmen keberagamaan yang demikian besar ini juga telah mendorong dibentuknya kementrian agama yang resmi berdiri pada 3 januari 1946.Ini sekaligus mencirikan Indonesia dari Negara lain.Di Timur Tengah pada umumnya,tidak kita dapati departemen dengan nama ini.Ada yang mirip misalnya wirazatulAuqof ( kementrian wakaf )tetapi kewenangannya tidak sama dengan Departemen Agama di sini.Wizaratul Auqof adalah kementrian di Negara-negara islam di Timur Tengah yang kewenangannya mirip dengan Departemen Agama di Indonesia dengan mengecualikan masalah pendidikan.

Sebagaimana jamak diketahui,kewenangan Departemen Agama di Indonesia kini memang tidak saja hanya asysyuun addiniyah (masalah-masalah agama ),tetapi juga mengurusi (sebagian)masalah pendidikan.Banyak juga orang bertanya,mengapa Departemen Agama kini berkewenangan dan bahkan lebih sibuk dalam urusan pendidikan?

Barangkali,yang mula-mula tepat untuk diurusi oleh Departemen Agama berkenaan dengan masalah pendidikan hanyalah “pendidikan Agama”Tap.MPR No.1V / MPR /1973 yang kemudian dikokohkan kembali pada Tap MPR No.1V / MPR /1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara(GBHN),yang secara langsung mengatur pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia tidaklah mendelegasikan kewenanganpengelolaannya kepada Departemen Agama.Tetapi andaikata kemudian diurus oleh Departemen Agama,maka maknanyapun karena Departemen Agama mengurusi substansi agamanya,bukan pendidikannya.Atau manajemen pendidikannya.

Tetapi kewenangan Departemen Agama itu ternyata,tidak saja substansi pendidikan agama,akan tetapi juga meluas pada manajemen pengelolaannya..Bahkan tidak hanya itu,sekolah umum yang bernama madrasah juga kini berada di bawah binaan Departemen Agama.

Sejarah madrasah,yang semula merupakan fenomena pendidikan keagamaan (Madrasah diniyah ataupun majlis taklim)memang berangkat dari ranah pendidikan.Aspek histories inilah barangkali alasan paling kuat mengapa kemudian madrasah,walau sudah dikategorikan menjadi sekolah umum,tetap berada di bawah pengelolaan Departemen Agama,hingga saat ini.

Lingkup kewenangan Departemen Agama yang luas ini kalau mau dibandingkann dengan Negara Islam Timur Tengah maka kurang lebih sepadan dengan Wizaratul Auqof plus wizaratul ta‘lim di sana. Penyebutan kementrian agama sendiri (wizaratuddiniyah)sebenarnya bahkan tidak ditemukan di sana.

Kesimpulan bahwa jarang sekali di dunia yang memiliki kementrian agama semacam ini seringkali melahirkan tanda Tanya.Misalnya,apakah kewenangannya tidak sebatas mengatur kehidupan keberagamaan,ataukah juga melayani kebutuhan orang beragama,termasuk umpamanya kebutuhan sekte-sekte dan aliran yang biasanya lahir dari setiap agama?

Page 10: Agama Dan Pendidikan Nasional

Aturan umum di Negara sekuler biasanya hanya berisi pengaturan sebatas iklim keberagamaannya saja.Misalnya kebebasan keberagamaannya,atau masalah toleransi antar umat beragama.Bahkan masalah moral bangsa pun tidak perlu menjadi persoalan agama.Ini karena agama sudah dianggap sebagai persoalan pribadi masing-masing orang dan masyarakat.

Mungkin karena Indonesia bukanlah Negara sekuler maka yang diurus oleh Departemen Agama tidak sekedar persoalan moralitas beragama layaknya di Negara sekuler,tetapi juga termasuk substansinya,misalnya persoalan zakat,wakaf,pernikahan,haji,dll.Bahkan oleh karena kemajuan Departemen Agama juga,hal lain yang berbau agama,sungguhpun sebenarnya sudah merupakan agenda persoalan di departemen lain,Departemen agama mempunyai keperdulian dan kewenangan untuk ikut serta mengurusnya.Contohnya,masalah pendidikan madrasah itu.

Pasal-pasal agama dalam peraturan perundangan yang melegitimasi kewenangan pemerintah dalam mengurusi agama sekaligus membantah sementara kalangan yang beranggapan bahwa Negara tidak ada hak mengatur agama.Inilah di Indonesia yang tidak meletakan masalah agama hanya terbatas pada persoalan individu,akan tetapi memiliki segi-segi public di mana pemerintah bila perlu malah dituntut mengaturnya.

Sampai di sini,batasan wilayah kewenangan pengurusan agama ini sebenarnya masih bisa dikatakan kurang jelas.Ini dapat dilihat misalnya dari beberapa polemic yang pada intinya bermuara pada batas wewenang Departemen Agams.Misalnya,Departemen Agama digugat kewenangannya dalam menentukan suatu aliran agama sesat atau tidak.Tren kehidupan beragama di Indonesia sekarang ini sedang gencar melakukan kampanye sulit dan ganjil dan mustahilnya penjatuhan vonis sesat yang dilakukan oleh Negara atas sebuah keyakinan yang diyakini dan dianut oleh individu bangsa.

Pada isi penddidikan yang di kelola Departemen agama juga tidak luput dari masalah,selain masalah klasik,mengapa pendidikan yang sudah memiliki Mentri tersendiri ,ikut di tangani Departemen Agama adalah masalah perubahan manajemen penddidikan dari Desentralistrik.Timbulnya masalah manajemen pendidikan ini di pengaruhi utamanya oleh implikasi yang di timbulknnya.misalnya nasib Madrassah yang menjadi aneh di tengah kawan-kawannya yang sudah desentralistrik.lalu adanya kebijakan pengelolaan atas Madrasah yang sering kali tertinggal dan selalu di pihak yang kurang beruntung di banding nasib sekolah,oleh karena anggaran dan kebijakan selalu lahir di lingkungan sekolah terlebih dahulu,baru kemudian merambah madrasah.itupun besarannya selalu lebih menguntungkan sekolah.

Perlu di mengerti juga,sebenarnya tidak semua agama di Indonesia merasa happydi atur oleh Negara .Umat Muslim sendiri tidak berarti tidak ada rasa khawatir terhadap kewenangan pemerintah mengatur masalah-masalah keagamaan.Misalnya pesantren,diam-diam mereka menyimpan tingkat kekhawatiran paling tinggi selepas UU Sisdiknas diundangkan.Alasannyaa karena (1)khawatir identiasnya akan memudar oleh campur tangan Negara dan (2) kultur pesantren yang umumnya berupa ‘kerajaan –kerajaan kecil”di mana para kiyai dan keluarganya sangat berkuasa mungkin akan terganggu.

Page 11: Agama Dan Pendidikan Nasional

Lebih-lebih Agama katolik.rasa khawatir sangat tampak dari protes-protes mereka menjelang pengundangan UU Sisdiknas.Umat Kristiani bisa di bilang lebih tertutup.Kenapa?karena kewenangan peraturan pendidikan dan agama,pada agama katolik di serahkan kepada kekuasaan gereja.Mengapa umat kristiani tampak paling menolak UU Sisdiknas telah memasuki wilayah agama,yang dalam tradisi Kristiani menjadi wilayah gereja.

Tradisi umat kristiani ini sangat berbeda dari islam yang sifat kedekatannya dengan Negara relative lebih terbuka.urusan pendidikan maupun agama juga tidak terstruktur hirarkis di tangan masjid atau kiyai sebagaimana dalam agama kristiani.karena tambah lagi ,hirarki kepengurusan agama katolik terstruktur hingga vatikan,edangkan islam dimana pun tidaak memiliki hirarki semacam itu.

Itulah rahasianya,mengapa kemudian umat islam berdiri membela UU Sisdiknas ,vis a vis umat kristiani.karena keterbukaan atau bahkan ketergaantungan umat islam pada Negara memang lebih merupakan alasan situasional disbanding kaum nasrni.

Pendidika agama dan Keagamaan Dalam peraturan perundaang-undangan RI yang lama seperti pada UU RI No.2 tahun 1956,agama-agama tertentu memaang pernah di sebut secara ksplisit,yakni agama islam,Kristen,katolik,hindu,dan budha.penyebutaan kelima agama ini sering menimbulkan penafsiran begini:”agama resmi yang di akui Negara”terebut sesungguhnya tidak pernah ada.dan maknanyapun tidak benar demikian.

Penafsiran yang benar adalah kenyataan dewasa ini,terutama di departemen agama yang hanyaa memiliki lima Direktorat yang menangani urusan agama,bahwa seolah-olah yang mendapatkan pelayanan agama hanyalah ke lima agama itu,benar adanya.sedang yang lainnya”tidak mendapatkan pelayanan”dari Negara mereka yang tidak menikmati fasilitas pelayanan ini ,memaknai sikap Negara seolah-olah “tidak mengakui”legalitas keberadaan mereka.

Yang di makssud pelayanan agama misalnya adanya subsidi Negara yang di alamatkan secara rutin kepada 5 Agama pernikahan secara agama hanya di layani jika para mempelai adalah penganut salah satu 5 Agama.pelayanan agama ini tidak termasuk pelayanan hak-hak sipil oleh Negara.misalny pemberian jaminan keamanan,memperolehan hak-hak seperti biasa yang bisa di nikmati oleh waarga Negara lainnya.kalaau pelayanan yang terakhir ini mereka memperolehnya.

Jikalau kalimat”agama resmiyang diakui Negara “tidak pernah ada dan tidak pernah benar,semestinya semua pemeluk agama berhak atas perlakuan yang sama.Jika pelayanan ini diberikan untuk semua agama,yang diakui atau tidak diakui,yang legal atau tidak legal (karena tidak ada kategori semacam ini),maka kekhawatiran atas Departemen Agama dipastikan akan semakin menggelembung.Misalnya semua agama yang hidup di Indonesia akan meminta pelayanan agama dengan ukuran pembukaan direktorat urusan tiap-tiap agama.Tetapi itulah konsekuensinya.

Penggelembungan masalah tadi belum termasuk kelompok-kelompok sempalan agama,atau yang menyatakan dirinya murni agama baru,yang keduanya akhirnya mengaku sebagai agama tersendiri dan berhak memperoleh pelayanan serupa.

Page 12: Agama Dan Pendidikan Nasional

Kasus pro- kontra pasal-pasal agama dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003bisa diambil sebagai contoh.UU tersebut menyebut”pendidikan Agama dan pendidikan keagamaan”sebagai model baru bentuk pelayanan Negara dalam memenuhi kebutuhan umat beragama di Indonesia.Pendidikan agama adalah persoalan salah satu mata pelajaran di sekolah / madrasah umum,atau mata kuliah di perguruan tinggi.Sedangkan pendidikan keagamaan adalah lembaga-lembaga keagamaan yang selama ini berkembang di masyarakat seperti pesantren,diniyah,sekolah minggi Buddhis,Pabbajja samanera,dll.

Pertanyaannya,agama apakah yang dimaksud sesungguhnya oleh UU Sisdiknas tersebut?5 negara tertentu,taukah semua agama?Bagaimana pula dengan aliran atau sekte di setiap agama,apakah akaan memperoleh hak pengajaran agama sehingga benar-benar sesuai dengan keyakinan yang dipeluk?

Dalam hal ini agama Konghucu berulangkali datang mempersoalkan masalah tersebut.Pasalnya,penganut Konghucu seharusnya juga memperoleh layanan pendidikan agama seperti yang tertera dalam UU.Agama Konghucu jelas menolak kalau pelajaran agama yang digunakan untuk mengajari putra-putri mereka bukanlah agama Konghucu seperti yang mereka anut.

Kasus yang sama juga terjadi pada sekte Yehowah dalam agama Kristen ,mereka pernah mempersoalkan hal ini dan menuntut agar dalam UU ada jaminan murid bersekte Yehuweh akan di beri kepercayaanYehuweh.Meski Yehuwa adalah sekte Kristen akan tetapi mereka tidak mau di ajari oleh orang Kristen oleh karena perbedaan –perbedaan keyakinan yang sangat prinsipil.

Jika pelayana terbatas pada agama tertentu dan menafikan pelayanan kepada agama lainnya tanpa alasan yang jelas,maka maknanya Negara sesungguhnya telah melakukan tindakan diskriminatif atas para pemeluk agama.tetapi misalnya apakah agama seperti Konghucu dan Sekte yohewah tadi masuk dalam kategori agama.

Ini juga akan berbuntut lagi,jika ukuran agama adalah keyakinan maka kelak orang muhammadiyah juga tidak Mustahil menuntut guru dari Muhammadiyah juga,sebab banyak orang MUhammadiyah tidak mau di ajar islam dengan caara NU dan vice versa .seperti orang syiah juga tidak akan mau di ajar oleh orang sunni.

Sesungguhnya pasal 12 ayat (2)a UU Sisdiknas tentang hak peserta didik memperoleh agama yang sesuai dengan peserta didik dan diajarkan oleh pendidik yang seagama,sudah secara otomatis menjamin hak semua agama,termasuk Konghucu atau sekte-sekte dalam agama.Namun ternyata dengan ini saja banyak agama (atau yang belum resmi disebut agama)tidak merasa puas dengan kesimpulan inplisit pasal 12.Ketidak puasan seperti ini bagi pemerintah memang cukup rumit juga,karena di khawatirkan akan semakin melebar.Misalnya kelak akan datang lagi agama-agama yang baru dan menuntut hak serupa.

Sebabnya,selain meminta jaminandari pasal 12 tentang pendidikan agama,Konghucu juga sah-sah saja menuntut agar pelayanan terhadap pendidikan keagamaan yang berkembang dalam agama Konghucu juga mendapatkan pelayanan yang sama.

Page 13: Agama Dan Pendidikan Nasional

Antara Desentralisasi dan SentralisasiIsu demokratisasi yang paling mengemuka dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 dapat ditelusuri melalui dua hal yang akan berjalan secara simultan,yaitu pemerdayaan masyarakat dan pemerdayaan pemerintah daerah (otonomi daerah).Proses demokratisasi pendidikan ini mempunyai arti peranan pemerintah yang selama ini amat besar akan dikurangi,sementara partisipasi masyarakat dan diperbesar.peranan pemerintah pusat yang bersifat sentralistik yang berlangsung selama 50 tahun lebih akan diperkecil dengan memberikan perannan yang lebih besar kepada pemerintah daerah.

UU Sisdiknas membagi kewenangan pemerintah pusat kini terbatas pada penentuan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan saja untuk menjamin mutu pendidikan nasional (pasal 50 ayat 2).pemerintah propinsi diberi kewenangan melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan,pengembangan tenaga pendidikan,dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabuten / kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah,sementara pemerintah kabupaten / kota diberikan tugas mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah,serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan local.Selain itu,pemeerintah pusat atau pemerintah daerah memiliki kewenangan mengeluarkan izindan mencabut izin bagi semua satuan pendidikan formal maupun pendidikan non formal (pasal 62 ayat 1),sesuai dengan tugas kewenangan masing-masing.

Jika kewenangan Departemen Agama dalam pengelolaan pendidikan tidak pernah di sebut –sebut ekplisit,lalu bagaimana memahami kedudukan penddidikan di bawah binaan Departemen Agama dewasa ini? Menurut UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang perimbangan ke uangan antara pemerintah pusat dan daerah,urusan departemen agama adalah sentralistik.

Pasal 7 ayat (1) dalam UU No.22 tersebut menyatakan bahwa kewenangan daerah mencaakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan,kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,pertahanan keamanan ,peradilan,dan fiscal,agama seta kewenangan bidang lain.

Pertanyaan lain yang sering mengemuka:apakah Madrasah dan pendidikan keagamaan termassuk dalam bidang pendidikan ataukah bidang Agama?

Secara dangkal kita dapat memahami baahwa Departemen Agama dalam menangani Agama tentu secara sentralistik sedangkan perannya dalam pengelolaan masalah pndidikan,seharisnya tetap mengikuti peraturan ekonomi di bidang pendidikan,sesuai asas lex spesialis dalam aturan perundang-undangan.

Husni Rahim (2005),dalam makalahnya tentang kedudukan Madrasah di era otonomi mengutip dua pendapat yang pernah muncul :

Pertama: yang mengaatakan bahwa pendidikan agama dan penddidikan lain yang di asuh Depatemen agama tidak di otonomikan sebagaimana maaksud asl 7 ayat satu dari Unang-undang No.22 tahun 1999.Ini berarti pendidikan di Departemen Agama di kategorikan sebagai bagian dari siistem Agama,bukan bagian dari sistem pendidikan nasional.

Page 14: Agama Dan Pendidikan Nasional

Kedua: yang mengatakan bahwa pendidikan Agama dan pendidikan yang di kelola Departemen Agama adalah bagian dari sistem pendidikan nasional. Karena pendidikan di otonomikan,maka pendidikan di lingkungan Departemen Agama juga harus di otonomikan.

Letak kesulitan penerapan pendidikan di bawah binaan Departemen Agama yang akan di Desentralisasikan,akan berbenturan dengan UU No.25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah,di mana focus pelaksanaan ekonomi daerah adalah di Daerah Kabupaten Kota.Untuk itu,sebagian besar sumber pembiayaan nasional akan dilimpahkan oleh banyak ke daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan perekonomian daerah yang berbeda beda.Sementara masalah pembiayaan di lingkungan departemen agama tetap menganut manajemen sentralistik.

Sampai saat ini,Departemen agama masih secara langsung menyelenggarakan pembinaan dan pengendalian madrasah di seluruh Tanah Air.Pilihan ini mengandung makna bahwa Departemen Agama memandang madrasah berada dalam kategori sektor agama sebagaimana telah disinggung di atas sumber dana yang diberikan untuk melakukan pembinaan dapat secara langsung dikelola oleh Departemen Agama.Sementara daerah menjadi pelaksana dari kebijakan pusat seperti selama ini berjalan.Bahkan pemerintah pusat dalam hal ini Depertemen Agama berhak menentukan jenis-jenis program dan target yang semestinya di capai oleh masing-masing madrasah di berbagai tingkatannya.Sekilas,kelihatannya pilihan ini sangat menguntungkan.Namun bila di kaji lebih jauh,ternyata,menurut Husni Rahim(2004)pilihan ini bisa menimbulkan empat kerugian yang mungkin timbul.

Pertama,sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang memberikan sentralisasi pada lima,bidang di atas,maka dapat di pastikan bahwa sumber dana pembinaan madrasah hanya berasal dari sektor agama dan boleh jadi di tambah dari sektor pendidikan yang porsinya sudah banyak di daerahkan.

Kedua boleh jadi madrasah tidak menjadi bagian dari sistem pendidikan,tetapi manjadi bagian dari sisstem agama sedangkan undang-undang di atas jusru menyerahkan pengelolaan pendidikan,sepenuhnya kepada pemerintah daerah tingkat 11.Konsekuensinya,madrasah tidak akan pernah mendapatkan perhatian dan perlakuan yang sama dari pemerintah daerah di mana madrasah itu berada.

Ketiga,boleh jadi budaya otonomi pendidikan kepada madrasah akan terganggu oleh keputusan politik dari pisat,sehingga para guru dan kepala madrasah tidak menjadi kreatif dalam pengelolaan madrasah karena segala program dan kebijakan madrasah diputuskan dan didisrtibusikan dari pusat.

Keempat,birokrasi tetap tidak efisien,berbelit-belit sehingga ada persolan dari bawah tidak segera teratasi

Jika alternatif kedua menjadi pilihan,maka Departemen Agama menyerahkan pengelolaan madrasah dan sejenisnya ke tangan pemerintah daerah tingkat 11.Itu berarti Departemen Agama (pusat)akan “kehilangan" sasaran pengelolaan madrasah.

Agama dalam Undang-undang Guru dan Dosen

Page 15: Agama Dan Pendidikan Nasional

Dua tahun setelah pengesahan UU No.20 Tahun 2003,lahirlah UU No.14 tentang Gura dan Dosen.Pertanyaannya apakah dalam UU Sisdiknas tidak di atur pendidikan,dalam hal ini termasuk Guru dan Dosen? Jawabannya,pendidik termasuk di atur dalam Bab tersendiri.Tetapi desakan dari bawah mnyatakan bahwa UU Sisdiknas kuraang memadai dalam pengaturan pendidik,terutama pada sisi peningkatan mutu pendidik menjadi tenaga professional dan kesejahteraannya.UU Sisidiknas hanya mengatur hanya mengatur kualifikasi pendidik dan pembinaan kariernya yang kurang lebih ssama dengan UU sebelumnya sehingga di anggap tidak ada kemajuan apa-apa di dalamnya.Padahal pendidik lah pelaku Reformasi penndidikan yang sesungguhnya. UU guru dan Dosen sebenarnya dalah lanjutan proses Reformasi setelah UU Sisdiknas di tengah penerapan UU Sisdiknas,kondisi di lapangan menunjukan bahwa Indonesia sesungguhnya mengalami situasi Brain drain tenaga pendidik.orang-orang pandai banyak eksodus meniggalkan profesi pendidik untuk menari kehidupan dengan penghasilan yang lebih layak.jadilah tenaga pendidik di isi oleh orang-orang yang secara berkualifikasi akademik berada si lapis setelahnya (bukan The Best) ,keculi sebagian yang memilihnya dengan “panggilan nurani.untuk mendidik bangsa.mereka mengaku lalu berpenghasilan sedikit tetapi hati mereka puas dan merasa kayak arena bisa menunaikan tugas mulia,yakni mendidik angsa. Banyak survey membuktikan bangsa Indonesia ternyata emilih profesi guru sebagai pilihan buntut (akhir),misalnya ada yang menjatuhkan pilihannya menjadi guru rata –rata di urutan ke enam setelah pilihaan menjadi PNS.Merekaa realistis saja,bahwa tuas mulia sebagai pendidik tidak bisa berjalan baik dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan. Akhirnya banyak para peenggemar hati penidikan,terutama rganisasi-organisasi guru (PGRI,misalnya) menilaai bahwa UU Guru adalah hal yang sangat strategis sebaaik apapun sebuah Negara mampu mengeluarkan produk perturan perundang-undangan mengenai pendidikan,akan tetapi apabila tidak di sertai dengan perbaikan mutu dan kualittas ppendidik,ternyata ddi rasakan sangatlah kurang efektif untuk bisa segera menyelesaikan masalah-masalah fundmental. UU Guru dan Dosen kemudian menjadi Rformassi Indonesia di bidang penddidik.UU ini bertujuan untuk meningkatkan martabat penddidik dengan menjadikan mereka tenaga professional penghasilan mereka di jamin ddi atas kebutuhan hidup minimum meliputi gaji pokok tunjangan yang meleekat pada gaji,serta penghasilan lain berupa tunjangan lain,tunjangan fungsional,tunjangan khusus,dan maslahat tambahan yang terkait.penghasilan tersebut berlaku untuk peendidik di sekolah negeri maupun swasta.untuk menjadi pendidik pofesional,seorang pendidik di haruskan meemenuhi beberapa persyaratan,antara lain memenuhi kualifikasi akademik minmal,dan memperoleh “sertifikat Profesi) terlebih dahulu. UU baru ini kalau di kaitkan dengan nasib enddidikan islam,terutama yang berada,di bawah binaan Departemen Agama ukup bnyak menunjang pertanyaan.Misalnya siapa yang akan engelola sertifikasi profesi pendidik di lingkungan depag.apakah juga Depdiknas? Lagi-lagi persoalannya berporos ke masalah pendidikan Indonesia yang mengacu pada satu sistem dengan pimpinan Depdiknnas,sehingga Depag dalam hal itu akan menjadi makmum dengan sederet agenda ang selalu akan tertinggal.

Page 16: Agama Dan Pendidikan Nasional

Apa lagi kaalau ini kita analogikan ke UU Sisdiknas,ketentuan pendidikan ke agamaan adaanya sangat umum,sedikit,singkat,dan sesungguhnya kurang jelas itu akan di arahkan ke mana? Apakah UU sisdiknas dan UU Guu dan Dosen ini akan benar-benar ppunya pengaruh signifikan terhadap penddidikan keagamaan,misalnya?seharusnya ya.dalam UU Sisdiknas sudah di peroleh pengakuan penyederatannya dengan pendidikan formal lain melalui pemenuhan persyaratan yang di perlukan ini mempunyai makna guru dan Dosen di lingkungan pendidikan keagamaan juga harus memperoleh pelayanan yang sama. Siapakah pndidik di lingkungan pendidikan keaagaamaan? Mereka bukan hanya Guru dan dosen,akan tetaapi juga ustadz dan terkadang para kiyai.maka ada baiknya jika ke depan juga di pikirkan oleh bangsa ini apakah penghargaan kepada kaum agamawan aakan menjadi kebijakan baru masa depan? Sebagai mana yang terjadi di negaara lain,khotib dan imam di Masjid-Masjid mendapat gaji dan tunjangan dari pemerintah. Penggaajian atas khotib dan imam di Majid-Masjid tersebut,sedikitnya ada dua ke untungan akan di peroleh dari sana: Pertama :sistem penggajian imam dan khotib di Masjid –Masjid akan memberi ruangan lebih lebar bagi pendidikan keagamaan dan lulusannya,sselebar lapangan kerja yang selama ini emang menjadi lahan mereka; Kedua ;isstem penggajian imam dan khotib di Masjid –Masjid akan lambat laun menjadi trigger bagi peningkatkan stanndar kualitas imam/hoib secara umum,setelah selama ini ke mampuan mereka sangat bergam dan tidak ada standar yang di pakai. Di Turki,sistem khottib dan imam di persiapkan dalam bentuk sekolah tersendiri penggajian atas mereka di jaamin dalam UU.selain untuk menyediakan lapangan kerja dan peningkatan standar mutu khotib dan imam,kebijakan UU Turki ini juga ddi manfaatkan untuk meredam gejolak buruk yang sering kali timbul dari kalangan komunitas muslim garis keras. Beberapa kemungkinan dan harapan semacam ini jangan di biarkan tidak kelihatan,selain karena pendidikan keagamaan masih baru di akui UU,pengatuannya juga maih sangat umum.Detailnya belum ada contoh sebelumnya.

BAB 111PENDIDKKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLH

Kelahiran pendidikan agama yang sekarang ini kita kenal menjadi mata pelajaran /mata kuliah tersenddiri ataupun integralistrik berakar pada persoalan pendidikan sekuler minus agama yang di kembangkan pemerintah penjajahan.penddidikan yang demikian ini dulu di nilai massyarakat sebagai bentuk penyelanggaraan pendidikan yang tercerabut dari akar budaya bangsa.ibarat bangunan ,pendidikan telah di bangun di atas ruang hampa. Akhirnya Masyarakat Indonesia menuntut pembelajaran agama kembali di ajarkan.usaha menghidupkan kembali eksisitensi pembelajaran agama ini menemukan momentumnya setelah terbit UU No4 Tahun 1950 dan peraturan bersama Mentri Peendidikan dan Mentri Kebudayaan dengan Mentri agama tanggal 15 juli 1951 yang mnjamin adanya pendidikan agama di sekolah negeri.hingga kini ,model pembelajaran semacam ini terus bberlangsung di seluruh jenis pendidikan.kecuali di Madrasah yang muatannya di tambah dengan materi keagamaan khas Madrasah,dan kecuali penddidikan keagamaan karena

Page 17: Agama Dan Pendidikan Nasional

kandungan ilmu keagamaanya yang lebih luas telah menggantikan mata pelajaran pendidikan agama.

Sejarah Pendidikan Agama Sejarah muncul tenggelamnya pendidikan agama di sekolah-sekolah setiap binaan Belanda menurut catatan Zuherimi dkk,(1983) dapat di rinci dua fase:

1. periode sebelum Indonesia Merdeka 2. periode sesudah Indonesia Merdeka

Pada periode zaman penjajahan Belanda,di sekolah –sekolah umum secara resmi belum di berikan pendidiksn agama.hanya pada fakultas-fakultas Hukum telah ada Mata Kuliah Islamologi,yang di maksudkan agar Mahaiswa dapat mengetahui Hukum-hukum dalam islam dosen-dosen yang memberikn kuliah Islamologi tersebut pada umumnya bukan orang –orang Islam.buku –buku atau Literaturnya di karang sendiri oleeh para orientalis. Pada masa penjajahan Belanda itu sebenarnya sudah ada usaha-usaha dari para Muballigh baik secara perserangan ataupun tergabung dalam organisasi –organisasi islam,dengan cara bertabligh di muka para siswa dari sekolah –sekolah umum seperti,MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs,sekarang sama dengan SMP ),AMS (Algemene Midllebare School,sekarang sama dengan SMA) dan juga di Kweekshool (sama dengan sekolah guru).biasanya mereka memberi pendidikan agama tersebut pada hari minggu atau pada hari jum’at,setelah berakhirnya jam-jam pelajaran atau waktu-waktu sore.pendidikan Agama secara tidak resmi tersebut,kadang-kadang mendapatkan reaksi dari guru-guru yang tidak senang dengan Islam tetapi walaupun begitu dalam kenyataanya perhatian Murid-murid sangat besar karena mereka sangat membutuhkan santapan rohani. Pada periode berikutnya yakni pada zaman penjajahan Jepang keadaaan agak berbah,karena telah mulai ada kemajuan dalam pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum.hal ini di seebabkan karena mereka mengetahui bahwa sebagian besar bangsa inddonesia adalah memeluk Agama Islam,maka untuk menarik hati /simpati dari umat islam,penddidiakn Agama Islam mendapat perhatian . Di Sumatera,Organisasi-organisasi Islam mnggbungkan diri dalam Majelis Isslam tinggi .Kemudian Majelis tersebut mengajukan usul kepada pemerintah Jepang,agar supaya di sekolah-sekolah pemerintah di berikan pendidikan Agama,sejak sekolah rakyat 3 Tahun.dan ternyata usul ini di setujui tetapi dengan syarat tidak di sediakan anggaran biaya untuk guru-guru agama.milai saat itu secara resmi pendidikan agama boleh di berikan di sekolah-sekolah pemerintah, tetapi hal ini baru berlaku untuk sekolah-sekolah ddi Sumatera saja.Sedangkan di daerah-daerah lain masih belum ada pendidikan Agama disekolah-sekolah pemerintah ,yang ada hanyalah penddidikan budi pekerti. Masyarakat Indonesia sudah sejak dulu mempunyai ke inginan agar agama di belajarkan di sekolh-sekolah. Hal itu karena mereka khawatir Agama tidak sempat atau tidak mampu oleh karena satu atau beberapa sebab di bebankan pembelajarannya di pundak setiap keluarga.

Page 18: Agama Dan Pendidikan Nasional

Sebenarnya,pendidikan Agama sejak Indonesia merdeka Tahun 1945 telah mulai di berikan di sekolah-sekolah negeri.pada masa kabinet RI pertama,Tahun 1945 oleh Mentri P.P & K (Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan )yang pertama,yakni almarhum Ki Hajar Dewantara telah mengirim surat edaaran ke daerah-daerah yang isinya menyatakan,bahwa pelajaran budi ppekerti yang telah ada pada masa penjajahan Jepang,di perkenankan diganti dengan pelajaran agama.Tetapi berhubung surat edaran itu belum mempunyai dasar yang kuat,maka pelaksanaannya hanya bersifat suka rela saja.

Kemudian pada Tahun 1946 atas perjuangan umat islam yang duduk dalaam B.P.K.N.I.P(Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat).maka pendidikan agama dapat diberikan di sekolah-sekolah negeri dengan syarat,bila diminta oleh sekurang0kurangnya 10 orang murid.

Pelaksanaan pendidikan agama tersebut,diserahkan kepada Mentri agama dengan persetujuan Mentri P.P.& K untuk meralisir hal tersebut,di keluarakan penetapan bersama antara Mentri agama dengan Mentri PP&K No.12585/K.7 tanggal 12 desember 1946 ( agama) dan No.1142 /BHG.A tanggal 12 Desember 1946 ( PP &K ).karena isi penetapan –penetapan bersama ini masih banyak ke pincangan ya,maka di keluarkan peraturan bersama yang berupa tahun 1951 dengan No.176781 kab.tanggal 16 juli 1951 (PP & K ) dan No.K/1/9180 tanggal 16 juli 1951 (Agama ) yang memuat 10 pasal tentang pelaksanaan tentang pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri.

Dengan di keluarkannya peraturan bersama tersebut,secara resmi pendidikan agama telah di masukan di sekolah-sekolah Negeri maupun swasta mulai dari SR sampai SMA ddan juga sekolah-sekolah kejuruan.

Pada tahun 1960 pendidikan agama di sekolah –sekolah di Indonesia mulai mendapatkan status yang agak kuat,dalam ketetapan MPRS No.II /MPR/1960 bab II pasal 2 ayat (3) yang berbunyi:

“menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah rakyat sampai Universitas-Universitas Negeri,dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tiddak ikut serta,apabila murid /murid dewasa menyatakan keberatan”

adnya tambahan kalimat:murid berhak tidak ikut serta dan seterusnya,adalah hasil perjuangan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang pada saat itu mulai berkuasa di Indonesia sedangkan merekaadalah penganut paham athies,yang dengan sendirinya mereka enolak adanya pendidikan agama.

Dengan adanya tambahan kata-kata tersebut,maka status pendidikan agama di inddonesia masih bersifat fakultatif,yang berarti tidak mempeengaruhi kenaikaan kelas.

Penddidikan agama di perguruan Tinggi baru ddi mulai sejak tahun 1960 dengan adanya ketetapan MPRS no.II /MPRS/1960 yang berarti sebelum itu

Page 19: Agama Dan Pendidikan Nasional

secara formalnya pendidikan agam baru di berikan di sekolah rakyat sampai dengan sekolah lanjutan tingkat atas saja.

Adapun dasar operasionalnya,pelaksanaan pendidikan agama ,di perguruan Tinggi tersebut di tetapkan dalam UU No.22 tahun 1961 tentang perguruan tinggi dalam bab III pasal 9 ayat 2 sub B,terdapat ketentuan sebagai berikut:”pada perguruan Tinggi Negeri di berikan Pendidikan Agama sebagai mata pelajaran dengan pengertian,bahwa Mahasiswa berhak tidak ikut serta apabila menyatakan ke beratan.

Setelah meletusnya G 30 SPKI pada tahun s1965,kemudian di adakan siding umum MPRS pada tahun 1966, maka mulai saat itu status andidikan agama di sekolah-sekolah berunah dan bertambah kuat.Dengan adanya ketetapan MPRS No.XXVII /MPRS /1966 Bab 1 pasal 1 yang berbunyi:”menetapkan pendidikan agama mmenjadi mata pelajaran di sekolah –sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan Universitas-Universitas Negeri”

Dengan adanya ketetapan tersebut,maka berarti embel-embel /kata-kata tambahan yang merupakan hasil perjuangan PKI di hapuskan bersamaan dengan di larangannya partai komunis ddi Indonesia .

Sejak saat itu pendidikan agama merupakan mata pelajaran pokok di sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi,dengan pengertian bahwa mata pelajaran pendidkan agama ikut menentukan naik / tidaknya seorang murid.

Menurut Tap MPR No.!V /MPR /1973 jo.TAP.MPR No.1V/ MPR/ 1978,dan Tap MPR No.II /MPR/ 1983 tentang GBHN,pendidikan agama semakin dikokohkan kedudukannya dengan dimasukannya DalamGaris-garis Besar Haluan Negara sebagai berikut:”diuasahakan supaya terus bertambah sarana-sarana yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,termasuk pendidikan agama yang dimasukan kedalam kurikulum di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah DAsar sampai dengan Universitas-universitas Negeri”.

Pembelajaran agama di sekolah umum tersebut semakin kokoh oleh berbagai terbitan perundang-undangan hingga lahirnya UU Sisdiknas No.20/2003.

Permasalahan Pendidikan Agama

Pendidikan agama dimaksudkan untuk membangun aspek keimanan dan ketakwaan sebagai mana diamanatkan dalam undang-undang.Pendidikan agama ini didefisinikan menjadi usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar mereka hidup sesuai dengan ajaran islam.ini dibedakan dari ajaran agama yang dianggap hanya pemberian pengetahuan agama kepada anak,agar supaya mempunyai ilmu pengetahuan agama.

Page 20: Agama Dan Pendidikan Nasional

Sejak peraturan perundangan Indonesia mewajibkan materi “pendidikan Agama”dibelajarkan ,selama itu pula tidak diatur disana meengenai agama apa dan untuk siapa.Seringkali pendidikan agama tersebut diberikan secara mismatch (salah taruh).Misalnya siswa Katolik di sekolah negeri diberi pellajaran agama islam.Demikian pula siswa muslim di sekolah Kristen atau Hindu diberikan materi pembelajaran agama yang tidak sesuai dengan agama yang ddianutnya.Praktek pendidikan agama semacam ini belakangan ini dinilai tidak proposional,juga telah menimbulkan kekhawatiran menjadi ajang apostesi (bahasa islamnya pemurtadan siswa-siswa)

Selain itu,tujuan pendidikan agama juga dipertanyakan.Masyarakat mengharapkan agarpendidikan agama selain membelajarkan ibadah,juga diharapkan dapat membangun moral siswa.Belakangan ini banyak orang beranggapan bahwa agama telah diberikan secara salah arah:yakni lebih mementingkan daripada moral.Dengan melihat contoh pendidikan agama / moraldi negeri lain,justru pelajaran morallah yang jauh lebih pentung dan perlu ditekankan,karena tujuan keberagamaan itu memang adalah soal moralitas.Sampai-sampai banyak yang menyarankan agar pendidikan agama didekatkan pada masalah moralitan saja.Masalah ibadah,karena factor kemajemukan tadi,lebih baik diserahkan ke pada keluarga.Beberapa yang lain menganggap masalah moralitas ini bermuara pada masalah pendidikan agama yang tidak diberikan secara optimal,yang disebabkan oleh karena pendidikan agama tidak pernah diberikan secara serius melalui kecocokan antara agama guru dan siswa.Jika agama sudah diberikan secara proposional,artinya serius,kejadiannya mungkin akan berbeda.

Sebenarnya kalau dicermati lebih teliti,alibi kelemahan pendidikan agama yang gagal membangun nuansa ibadah (obedience) dan moralitas,yang disebabkan oleh karena agama diajarkan secara mismatch (tidak cocok antara agama guru dan siswa) habyalah salah satu sebab kelemahan pendidikan agama.Yang benar adalah,adanya factor-faktor lain yang turut serta menjadi penyebabnya.Di beberapa sekolah yang agama sudah diberikan secara cocok antara agama guru dan siswa,kelemahan-kelemahan pendidikan agama yang sama tetap sajaa menghantui.Faktor-faktor pelemah utama lainnya misalnya:soal keterbatasan waktu dan metode pembelajaran.

Bagaimanakah membelajarkan agama dengan durasi waktu 2 jam perminggu,sementara lingkungan sekolah dan setelah pulang ke rumah / masyarakat,seorang siswa menghadapi suasana yang berbeda,bahkan cenderung berlawanan dengan nasehat-nasehat aagama yang diterimanya sewaktu berada di sekolahnya.Apalagi jika guru pendidikan agama tidak menjelaskan mengapa disparitas suasana dan ajaran demikian berbeda (dan kebanyakan guru agama memang tidak mampu menjelaskannya).

Dalam kondisi demikian,sikap yang akan diambil oleh siswa akan beraneka ragam misalnya:

Page 21: Agama Dan Pendidikan Nasional

(1)Siswa akan menjadi manusia agamis yang terkungkung karena seluruh ajaran agama berlawanan dengan lingkungannya:

(2)Siswa akan menjalankan ajaran agama tetapi sacara bercampur baur,ya beragama ya menjalankan corak kehidupan yang berlawanan dengannya.Misalnya ia melakukan shalat tetapi juga mau berzina dengan pacarnya.

(3)Siswa akann mengabaikan ajaran agama yang diterimanya sama sekali,karena ia kalah dengan lingkungannya.Yang terakhir ini mengikuti pembelajaran peendidikan agama hanya sekedar memenuhi kewajiban akademis belaka dan tidak untuk memperbaiki corak kehidupannya sama sekali.

Siswa yang memperoleh pendidikan agama hanya dari bangku sekolah,rawan terhadap tiga kemungkinan fenomena seperti telah dijelaskan di atas.Sampai di sini,nasehat agar keluarga harus mendukung,membantu dan melengkapi pendidikan agama yang diperoleh di sekolah,akan senantiasa tepat dan perlu diperhatikan.Apalagi jika pendidikan agama diberikan secara berbeda dari sisi keyakinan antara siswa dan guru.Bagi sekolah dengan identitas agama sekolah yang berbeda dengan agama yang dianut siswa,peranan pembelajaran agama oleh keluarga lebih dibutuhkan lagi.Apabila corak pendidikan agama diberikan secara pluralistic (misalnya pendekatan moralitas belaka minus ajaran teknis agama-agama),persoalan perbenturan keyakinan antara siswa dan guru mungkin tidak begitu mengkhawatirkan.Tetapi bagi guru yang membelajarkan agama lain kepada siswa yang tidak sesuai dengan akidahnya,problem benturan keyakinan bisa membahayakan siswa yang bersangkutan:tidak saja pada tataran akademis administratif,tetapi juga sampai pada masalah yang sifatnya psikologis dan social.Masalah akademis administratif berkaitan dengan nasib siswa dengan nilai ujian dan kesiswaannya di sekolah tersebut.Sedang masalah yang sifatnya psikolgis dan sosial karena dakwah agama di negeri ini dianggap keliru bila diajarkan kepada warga yang sudah memeluk agama lain.Kalaulah ketentuan ini banyak dilanggar oleh para pendakwah agama,tetapi caranya tidak boleh terjadi di sekolahan dimana posisi guru berkuasa,sedangkan siswa adalah pihak yang tidak berdaya dan mudah dikuasai.Artinya,penyebaran agama dengan mengatasnamakan pendidikan bisa dituduh pemaksaan terselubung atas siswa yang tidak berdaya untuk memeluk agama yang semula bukan menjadi keyakinannya.Dan pemicu munculnya ketentuan pasal pendidikan agama yang harus dibelajarkan oleh guru yang seagama antara lain adalah soal kekhawatiran masyarakat akan hal ini.

Lepas dari berbagai kelemahan pendidikan agama di sekolah umum,banyak penyelenggara sekolah umum akhirnya melekatkan suasana sekolah menjadi wahana terpadu pembelajaran agama.Kemunculan sistem “madrasah”,sekolah berlambang agama,misalnya SD Islam,SMP Nurul Hidayah,atau SMA Islam terpadu,beberapa lengkap dengan boarding school,pondok pesantren dan semacamnya,merupakan terapi pengembangan pendidikan agama agar kelemahan yang biasa terjadi bisa diatasi.Slogan yang dipampang beragam,ada yang 30%,agama 70%umum,atau sebaliknya,Ada yang masing-masing 50%atau

Page 22: Agama Dan Pendidikan Nasional

100%.Dengan kemunculan kecenderungan baru pendidikan islam semacam ini,masalah pendidikan agama di sekolah umum relatif sudah bisa diselesaikan sebagian.

Tetapi siapapun bisa menerka,dengan mengandalkan 2 jam pembelajaran,kiranya masalah pendidikan agama mungkin kondisinya tiddak akan jauh berbeda.Dari sini guru-guru agama harus mulai mencari terapi untuk prospek pendidikan agama di masa depan.Di antaranya dengan merangkul orang tua melakukan terapi penyempurnaan melalui(1) belajar lagi di rumah,baiik oleh orang tua atau memanggil guru ngaji;(2) sekolah madrasah diniyah sore;dan (3)sekolah negeri sambil menjaadi santri di pondok pesanttren.akan tetapi,terapi penyempurnaan ini bersifat bebas.Sehingga tidak semua orang tua menyadari kepentingan melakukannya.Banyak sekali yang tidak melakukannya,baik karena tidak menyadari,tidak peduli,ataupun karena tidak mampu dari segi financial.Persoalan yang hampir sama dihadapi oleh siswa di sekolah negeri adalah yang bersekolah di yayasan dengan lambing agama lain.Nasib mereka sedikit tertolong oleh pasal 12 ayat (1) huruf a UU Sisdiknas,dimana mereka akan mendapatkan pengajaran agama sesuai dengan agama yang diyakininya dan diajarkan oleh guru yang seagama.

Masalah Peserta Didik

Status pembelajaran agama tertentu kepada orang lain yang tidak memeluknya kini menurut UU Sisdiknas dianggap sebagai pelanggaran.Orang banyak kini menganggap hal ini bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan misi penyebaran agama secara terselubung karena dilakukan dengan tutup jubah bernama pendidikan.Selama ini,fasilitas yang diberikan oleh sekolah,selain mengajarkan pendidikan agama yang menjadi agama pilihan sekolah,adalah pemberian kesempatan kepada yang tidak memeluk agama tersebut keluar ruangan.Beberapa yang lain menyediakan surat kesepakatan bagi calon peserta didik-jauh sebelum kegiatan sekolah dimulai-untuk bersedia atau tidak bersedia mengikuti pelajaran agama yang menjadi cirri khas satuan pendidikan yang bersangkutan.Pratik-praktik ini dinilai belum menyelesaikan persoalan peendidikan agama yang sebenarnya.

UU Sisdiknas memberikan solusi tengah bagi peserta didik atau orang tua yang ingin bersekolah di satuan pendidikan yang menggunakan laambang agama bukan agama yang dianutnya,dengan keputusan yang ditetapkan oleh sekolah tersebut.Solusinya adalah pemenuhan hak peserta didik untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama(pasal 12 ayat (1)huruf a UU Sisdiknas).

Dengan ketentuan penjelasan atas pasal 12 tersebut mengharuskan setiap satuan pendidikan pada semua jallur,jenjang dan jenis pendidikan menyelenggarakan pendidikan agama,yang pendidiknya bisa disediakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan atau disediakan oleh pemerintah / pemerintah Daerah sesuai kebutuhan.Misalnya pemerintah menyediakan ruangan

Page 23: Agama Dan Pendidikan Nasional

besar yang dikhususkan bagi seluruh agama untuk menampung murid sekolah –sekolah yang tidak mampu menyelenggarakan pendidikan agama untuk masing-masing agama secara tersendiri.pada pendidikan formal dan program pendidikan kesetaraan,pendidikan agama sekurang-kurangnya diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah agama.Adapun di pendidikan non-formal,sekurang-kurangnya hanya berkewajiban memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk secara bebas menjalankan ibadahnya

Ketentuan pasal 12 juga mengharuskan setiap satuan pendidkan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama,serta tempat dan kesempatan yang bisa digunakan untuk beribadah,baik hanya berupa ruangan kosong ataupun rumah ibadah.Satuan pendidikan yang tidak dapat menyediakannya dapat bekerja sama dengan satuan pendidikan yang setingkat atau penyelenggara pendidikan agama di masyarakat.Ini tidak berarti,bahwa setiap satuan pendidikan wajib menyediakan rumah ibadah di lingkungannya.Apalagi kalau rumah ibadah tersebut tidak sesuai dengan cirri khas sekolah yang bersangkutan.Bagi satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan agama tidak sesuai dengan ketentuan tersebut,maka akan dikenakan sanksi administratif.

Harapan yang besar yang dialamatkan kepada model baru pendidikan agama ini merupakan kontruksi rancang bangun pendidikan agama yang mempunyai tiga tujuan,yaitu:

Tujuan pertama,untuk menjaga penyimpangan atau kesalahtafsiran norma agama yang bisa terjadi jika diajarkan oleh pendidik yang tidak seagama.

Tujuan kedua,dengan adanya guru agama yang seagama dan memenuhi syarat kelayakan mengajar,hal ini dapat menjaga keerukunan hidup beragama bagi peserta didik yang berbeda agama tapi belajar pada satuan pendidikan yang sama.

Tujuan ketiga,pendidikan agama yang diajarkan oleh pendidik yang seagama menunjukan profesionalitas dalam penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan agama.

Tujuan-tujuan ini diinginkan untuk menciptakan pendidikan agama yang seharusnya menumbuhkan sikap kritis,kreatif,inovatif,dinamis,menjadi pendorong peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan,teknologi,dan seni,dan bukan sebaliknya.Karakter pendidikan agama ini dipertegas kembali untuk rambu-rambu dan pemurniaan pendidikan agama itu sendiri,setelah agama tersebut menjadi pihak “tertuduh”memberikan motivasi sesempit ibadah,tidak mampu membangun moralitas bangsa,tidak anti kekerasan dan karakter lain yang justru tidak sejalan dengan ajaran asli agama serta tuntutan perubahan zaman.

Masalah Guru

Page 24: Agama Dan Pendidikan Nasional

Apakah guru yang seagama akan menjamin kepahaman peserta didik terhadap agamanya menjaadi lebih baik,sehingga sedemikian dituntut?jika saja pertanyaan ini diperuntukan bagi perguruan tinggi,jawabannya mungkin tidak menjamin.Tetapi apabila diterapkan di tingkat dasar dan menengah,maka kelompok muslim di polemic media memandangnya sebagai preseden yang buruk dan tidak menguntungkan.Mahmudin menulis di Republika:Mana mungkin hukum-hukum puasa Ramadan akan diajarkan oleh seorang Katolik?

Kenyataannya tidak semua sekolah berciri agama menggunakan pola pengajaran pendidikan agama secara universal,plural,dan tanpa membedakan agama peserta didik.Tetapi di situlah titik letup polemic dimulai.Dalam hal ini,umat nasrani bersikukuh menolak pasal agama karena fenomena ini.Siapa yang suruh masuk ke sekolah Katolik lalu minta mata pelajaran agama islam?ibarat masuk ke warung padang,kok minta gudeg,atau memakai logika pendeta BS.Mardiatmadja:Seseorang masuk toko buku sinar Cemerlang tapi meminta buku Granedia.Apakah sinar Cemerlang wajib menyediakan buku Gramedia?.Inilah makna penghormatan terhadap cirri dan kekhasan sekolah swasta yang telah diganggu undang-undang.Dan ini pula,makna hak asasi peserta didik yang telah menjatuhkan pilihannya masuk di sekolah non-muslim dan mengikuti apapun kurikulum yang ditetapkan oleeh sekolah itu,namun tidak dihargai oleh undang-undang.

Pasal 12 ayat(1)huruf a memang kebaanyakan diperjuangkan oleh umat islam,karena warga muslimlah yang banyak masuk ke sekolah nasrani.Orang islam tampa menyangsikan ketulusan penyetuju perjanjian di sekolah Kristiani dan pemilihan sekolah berikut persoalan pilihan agamanya.Dan lebih jauh,mereka telah curiga ada pembelajaran terselubung praktik-praktik agama Kristiani kepada murid tanpa membedakan agama apapun mereka karena posisi sekolah yang dominant dan murid berada dipihak yang lemah,maka fenomena pengajaran agama kepada bukan pemeluknya sewaktu-waktu dapat merupakan bentuk pemaksaan tidak kentara yang berarti pelanggaran HAM

Jadi,solusi yang ditawarkan undang-undang bisa diterjemahkan sebagai alternatif lain untuk menghindari siswa yang keluar meninggalkan ruangan tanpa fasilitas pendidikan agama,yang menandatangani perjanjian dengan terpaksa,ataupun yang mengikuti pelajaran agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya.Bahkan,undang-undang ini dapat dipahami sebagai tidak menghalangi siswa yang dengan sukarela memilih kurikulumpendidikan agama yang tidak dianutnya.Namun demikian,umat Katolik dan Kristen tetapmemandang pasal ini diskriminatif karena menghantam kekhasan sekolah-sekolah (swasta) yang selama ini kukuh dengan identitasnya.

Sebenarnya,pasal ini pernah ditentang oleh sebagian orang islam,persisnya beberapa utsan dari IAIN dann UIN.Mereka menilai pasal ini hanyalah kemunduran belaka dalam sejarah pendidikann agama di Indonesia.Mereka menyebutkan fakta bahwa hingga hari ini di banyak IAIN dan UINmasih terdapat materi islamologi,atau bahkan substansi ilmu islamm yang menghadirkan dosen

Page 25: Agama Dan Pendidikan Nasional

dari luar negeri yang non-muslim.Mereka juga menunjuk beberapa tokoh cendikiawan muslim seperti Nur Kholis Majid,Amin Rais,dll.yang sudah tidak diragukan lagi keislamannya itu ternyata adalah hasil didikan universitasdi barat yang dosen-dosennya banyak bukan muslim.

Tetapi,setelah melalui berbagai perdebatan panjang,dengan aspek-aspek keuntungan dan kerugiannya secara menyeluruh,akhirnya diperoleh kesimpulan,bahwa pendidikan lintas agama untuk kondisi Indonesia yang menbutuhkan pelajaran substansi agama,terutama di tingkat dasar dan menengah,ternyata memang memiliki bahaya yang lebih besar.kebutuhan akan pendidikan agama yang utamanya di butuhkan siswa pwndidikan dasar dan menengah tentang substansi agama dan pengamalannya,tidaklah bisa di penuhi oleh materi islamologi yang biasa di belajarkan di perguruan Tinggi.

Polemik Perumusan UU Ssisdiknas

Perbedaan paradigma piker antara yang pro dan kontra pasal 12 telah menguak polarisasi sudut pandang masing-masing yang selama ini mungkin banyak orang tidak mengetahui.di antarnya menyangkut jargon pendidikan.yang di pakai oleh Katolik dan Kristen adalah pendidikan yang”membebaskan dan memerdekakan manusia”(akan menjadi sebuah agama) termasuk di dalamnya memerdekakan peserta didik dalam memandang dan memilih keyakinan.sementara paradigma pikir umat islam adalah kategori siswa telah memeluk sebuah agama (sudah menjadi).Haknya ini harus di lindungi sesuai amanat UUD 1945.Karena itu ,memberinya pelajaran agama memang keinginan menyelamatkan misi agama atau mengamankan umat dari keresahan pindah agama.

Munkin karena kebanyakan sekolah katolik ataupun Kristen memiliki murid yang agamanya paling beragam,sehingga umat dari kedua agama inilah yang paling getol menolak ketentuan baru mengenai pendidikan agama.kelompok masyarakat (minoritas) ini menolak pasal ketentuan guru agama yang seagama dengan ragam alasan,antara lain (a) Undang-Undang Pendidikan tidak menghargai ke khasan sekolah swasta ;(b) negara telah jauh melakukan campur tangan atas persoalan teknis agama,dengan ddemikian kini merupakan pelanggaran terhadap nilai –nilai HAM ;dan (c) berlawanan dengan asas plurralisme karena telah mengkotak-kotak siswa berdasarkan agama.

Protes atas pasal ketentuan pendidikan agama ini di sampaikan melalui lobi,seminar,surat,media massa hingga demonstrasi.gagal dalam berbagai tahap usulan untuk menghapus pasal pendidikan agama,kecenderungan menolak kehadiran Undang –undang meletus di kantong-kantong umat kristiani seperti di nusa Tenggara timur dan Manado.kalau di cermati,protes atas pasal pendidikan agama terkesan berlebihan karena tidak saja murni di lingkup masalah pendidikan,namun bahkan cenderung berubah bentuk menjadi masalah politik.salah satu indikatornya adalah,alasan ancaman disintegrasi bangsa.Indikator lain adalah tuduhan politisasi UU Sisdiknas yang di lontarkan untuk memojokn kelompok tertentu karena telah di anggap meemasukan

Page 26: Agama Dan Pendidikan Nasional

kepentingan tertentu pula melalui pasal penddidikan agama.selain berlebihan,polemic ini juga menyertakan prasangka serta berbagai kecurigaan.Mialnya .Umat Muslim di tuduh menghidupkan kembali”Piagam Jakarta”,sedangkan umat kristiani di tuduh selama ini telah melakukan kegiatan kristeenisassi diam-diam melalui penidikan.jadilah polemic ini juga berbau sectarian,karena ujung-ujungnya umat islam menjadi pendukung Undang-undang di satu pihak,sedangkan umat kristiani menjadi penentangnya di pihak lain.

Bagaimana dengan umat lain?menjelang pengesahan UU,Umat Budha,hindu,tidak mempermasalahkan pasal tentang pendidikan agama tersebut.bahkan penganut konghucu dan sebagian yang tak terdengar dari kaum Nasrani sesungguhnya meenjadi pendukung.kondisi ini secara mengejutkan menambah kecurigaan kaum muslim tentang alibi “udang di balik batu”kaum Nasrani,kalaulah ketentuan pasal agama dianggap menguntungkan kelompok tertentu,mengapa agama lain yang dirugikan tidak menolaknya?Dan apa sebenarnya kerugian mendidik agama siswa sesuai agamanya dengan guru yang seagama?

Praktik pengajaran agama oleh guru yang seagama sebenarnya bukan perkara yang sama sekali baru.Di beberapa sekolah-termasuk yang bercirikan Muhammadiyah ataupun Kristiani –sudah menciptakan suasana semacam itu sejak lama.Itu karena undang-undang No.2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan Nasionall sebenarnya sudah mengaturnya dalam penjelasan pasal 28 jika kelahiran undang-undang yang baru ini tiba-tiba memicu kontroversi besar,saya kira itu karena kini dieksplisitkan dalam butir pasal.Padahal,toh dilihat dari segi implementasinya sebenarnya pasal tersebut masih memiliki kelemahan.Misalnya ketentuan materi dan guru yang sesuai agama peserta didik bukan berupa kewajiban melainkan hak.Artinya,status hukumnya dapat dipersoalkan pelanggaran yang terjadi berupa proses delik aduan.

Mengikuti polemic yang berkembang mengenai pasal pendidikan Agama meluaskan wawasan kita tentang lorong-lorong kepentingan banyak kelompok pemerhati keberlangsungan pendidikan agama dalam sistem pendidikan Nasional.Mungkin inilah citra lain mengenaai Indonesia yang dikenal religius itu.Akan tetapi,kita benar-benar sejenak terlena mengenai untuk apa pendidikan agama itu harus ada?Kemana arahnya dan untuk apa tujuannya dalam keseluruhan tata pendidikan di negeri ini?kita lupa bahwa kita mempunyai agenda yang lebih mendesak untuk ditangani,yaitu memperbaiki moral dan mutu pendidikan.Ironisnya,polemic mengenai agama sampai nyaris menenggelamkan isu-isu penting lainnya dalam UU Sisdiknas.

Menyoal Tujuan Pendidikan Agama

Pendidikan agama di Indonesia ibarat “anak jadah”bagi pembangunan.Ayah-ibu yang berzina,tetapi rasa malu ditimpakan ke anaknya.Kita semua sependapat bahwa kegagalan pembangunan nasional-utamanya pembangunan moral-disebabkan oleh banyak factor,misalnya factor

Page 27: Agama Dan Pendidikan Nasional

ekonomi,hukum atau politik.Namun pendidikan agama sering dijadikan kembang hitam.Dituduh tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai ujung tombak pendidikann moral bangsa.Di artas kertas-kertas hukum yang mengikat Bangsa Indonesia dalam menjalankan sistem pendidikan Nasional,sebenarnya tidak ada persoalan dengan dilemma antara ilmu pengetahuan,teknologi dan moralitas/ akhlak mulia.Ketiganya selalu dicanangkan secara eksplisit ataupun implisit menjadi spirit kesatuan substansi pendidikan Nasional.Namun pemerintah dalam berbagai kebijakan pendidikan sering dinilai salah penekanan pendidikan hanya ppada ranah ipteknya saja,alias menelantarkan sisi akhlak dan budi pekerti bangsa.Kemanakah pendidikan nasional hendak dibawa?Dalam islam,tujuan thalabul ilmi adalah menuju terbentuknya akhlak individu yang karimah(mulia).Seorang penyandang ilmu yang banyak,namun tidak berbuah amal kebaikannya maka ilmu itu menjadi tidak ada artinya.

Mencermati fakta yang ada,wujud pendidikan agama di sekolah umum saat ini cenderung dipahami hanya sebagai “pengetahuan”layaknya mata pelajaran lain.Dan kritik atas pemahaman semacam ini sering kita dengar.Demikian pula dengan tujuan pendidikan agama yang di tingkat praktis cenderung menegakan ibadah ketimbang moralitas pendidikan agama,benar-benar menuai kritik tajam.Kita sering mendengarr gerutu mengenai banyak orang taat beragama tetapi moralitasnya amburadul.Sebaliknya,banyak orang bermoral meski keberagamaannya dangkal-dangkal saja.Seberapa perlu eksistensi pendidikan agama yang ada dipertahankan?Apakah pendidikan agama di situ bersifat religiusitas ataupun moralitas.Apa pula urgensinya sehingga guru agama harus seagama?

Realita kehidupan di Indonesia memang membutuhkan situasi religius sekaligis juga moralis.Sayangnya,fenomena religiusitas muncul lebih menonjol ketimbang moralitas.Inilah mengapa sebagian orang lalu berpandangan pendidikan moral lebih tepat untuk indanesia.Di tengah hiruk-pikuk perbincangan mengenai agama atau moral,pendidikan agama semakin memiliki kedudukan yang kuat.Utamanya karena UU Sisdiknas mengukuhkannya,bahkan diperlengkapi dengan persoalan guru agama yang seagama.Artinya,pendidikan moral hampir dipastikan surut untuk dipromosikan menggantikan pendidikan agama.Dan persoalannya bergeser kepada bagaimanakah memformulasikan pendidikan agama itu ke dalam pembangunan moral bangsa sebagaimana diharapkan.

Pendidikan Agama Versus Sekularisasi

Pendidikan agama mata pelajaran sering dinilai kontra produktif karena telah mencipta kondisi `sekularisasi`di otak dan pikiran peserta didik.Anak didik dengan pendidikan agama yang ada,cenderung mendefinisikan agama sebagai mata pelajaran agama dengan pengertian yang sempit.Bahkan moralitas dan perilaku sehari-hari,seperti tidak terkait langsung dengan apa yang seharusnya disadari sebagai agama.Itu semua,karena pendidikan agama kalaupun tidak berfungsi sebagai pengetahuan,umumnya telah direduksi menjadi ritus-ritus

Page 28: Agama Dan Pendidikan Nasional

formalistic(dan karenanya terpisah dari kehidupan nyata).Bagi yang tidak setuju terhadap adanya pendidikan agama dalam bentuk mata pelajaran tersendiri,mereka menghendaki dihapuskannya mata pelajaran agama karena sifatnya yang dilematis.

Sebagai solusi,agama selanjutnya dianjurkan bisa menjadi roh pada setiap kegiatan ajar –mengajar di sekolah.Artinya,pendidikan agama diajarkan terintegrasi ke dalam seluruh mata pelajaran lain.Ini sekaligus untuk menghindari pandangan sekularis.Sebut saja ini alternatif kedua bentuk pendidikan agama.Kondisi pendidikan agama dalam bentuk terintegrasi ini adalah kondisi dimana nama pendidikan agama “dihapus”,namun secara roh”tidak hilang”

Yang perlu diingat,mengajarkan pendidikan agama secara terintegrasi ternyata bukanlah perkara mudah.Bahkann mungkin ada yang memandangnya mustahil.Selain sumber daya guru maupun situasi di Indonesia masih memerlukan waktu dan upaya ekstra keras untuk menuju ke situ,penghapusan agama dengan dalih agama telah dibelajarkan secara terintegrasi justru bisa berakibat hilangnya pendidikan agama itu dalam makna yang sesungguhnya.Ini lebih mengkhawatirkan akan terjadi di sekolah-sekolah negeri ataupun swasta yang tidak berciri agama tertentu.

Jika menjadi mata pelajaran begitu dilematis,dan dalam bentuk terintegrasi jugademikian sulit,sebagian ahli menawarkan alternatif ke tiga yang ke dengaran betul-betul gila.Yakni menghapuskan sama sekali pendidikan agama.Alasannya,pendidikan agama seharusnya menjadi urusan pribadi atau diajarkan oleh keluarga,karena sifatnya yang privat,dan sebagai gantinya adalah “pendidikan moral”yang merupakan persoalan public.Pendidikan moral dengan pola ini banyak dipraktekkan di Negara-negara sekuler.Sebenarnya,untuk Negara semaca Indonesia,pola semacam ini sering hanya mengundang protes keras di masyarakat.Mereka khawatir akan nasib agama di kemudian hari.Negara-negara muslim di timur tengah pada umumnya memang tidak menghapuskan pendidikan agama.

Ada alternatif ke empat berikut ini yang mirip dengan alternatif ke tiga.kemiripannya terletak pada penitikberatan kepada norma-moral,termasuk moralitas beragama dan bukan ajaran agama itu sendiri.Namun masih bisa menggunakan istilah pendidikan agama.Para ahli sudah sering mengenukakan hal ini.Diantaranya seperti pernyataan tokoh NU,Masdar F Mas`udi:Tanggung jawab mengajjarkan agama ada pada umat masing-masing.Bukan pada Negara.Bila Negara mengatur pendidikan,yang dilakukan adalah mengatur moralitas,etika,bukan mengajarkan doktrin.Pendidikan agama memang harus diberi tempat,dan itu adalah tanggung jawab umat maasing-masing.Senada dengan ini,adalah pernyataan pendeta Winata Sairin bahwa pendidikan agama yang diatur oleh Negara adalah yang bersifat umum.Adapun yang bersifat teknis,Negara tidak bisa campur tangan terlalu jauh.

Page 29: Agama Dan Pendidikan Nasional

Akibat lain sistem pendidikan di Indonesia yang mewajibkan pendidikan agama adalah terjadunya fenomena keagamaan vis-a`-vis umum.sekolah vis-à-vis madrasah.Diperkuat pula dengan berdirinya departemen agama yang mengurusi segala persoalan agama.Tidak jarang tuntutan penghapusan pendidikan agama di sekolah juga dilanjutkann dengan pandangan pembubaran departeman agama dengan alasan menghindarkan Indonesia dari sekularisasi sebagaimana telah disinggung.Di tingkat wacana,pandangan pembubaran sering terlontar dan sah-sah belaka,namun di tingkat implementasi selalu menghadapi kesulitan kalau bukan mustahil.

Eksistensi pendidikan agama akhirnya lolos dari gempuran kelompok yang tidak menyetujui.Hal itu setidaknya dilatarbelakangi oleh tiga hal berikut(1)terpenuhinya kebutuhan pendidikan agama bagi masyarakat yang di keluarga masing-masing belum tentu memperolehnya;(2)identifikasi Indonesia sebagai bukan Negara seku;er;dan (3)untuk alasan pembangunan moral.

Mencermati tiga hal di atas,latar belakang pembangunan moral hanya merupakan salah satu alasan saja mengapa pendidikan agama dituntut ada.Karena agama bukan semata persoalan moral,namun juga ritual / ibadah,keyakinan,dan lain semacamnya.Maka agama sangat berbeda dengan moral,bahkan moral di anggap sebagai bagian dari agama.Inilah mengapapermintaan terhadap penghapusan pendidikan agama dan digantikan pendidikan moral mungkin tidak (akaan)pernah berhasil.Diajarkan keduanyapun masih dikhawatirkan akan terjadi dikotomi agama-moral,dan karenanya juga ditolak.Sebab lain misalnya karena dengan pendidikan moral sekalipun,belum tentu moralitas bangsa ini dijamin akan membaik.Terkecuali jikalau paradigma agama-moral terbalik.Yakni adanya kesepakatan bahwa moral menjadi permasalahan global,sedangkan agama menjadi hanya bagian dari padanya,atau bahkan menjadi persoalan pribadi serta bukan sejenis ilmu pengetahuan yang wajib diajarkan di bangku pendidikan.Praktik ini tidak selalu menjadi identitas Negara-negara sekuler,bahkan di Negara non-sekuler juga banyak ditemukan.Titik positif sistem semacam ini adalah terbinanya kehidupan keberagamaan yang lebih mengutamakan pluralitas,moral kemanusiaan,toleransi,bahkan perbandingan agama untuk mengikis ketidakmengertian kepada penganut agama lain.Namun negatifnya,pendalaman terhadap agamanya sendiri,termasuk ihwal pendidikan ritual(cara ibadah misalnya)menjadi dikesampingkan karena diserahkan kepada pribadi masing-masing.

Titik negatif inilah yang ditolak masyarakat Indonesia.Artinya,pendidikan agama dipandang lebih cocok untuk Indonesia karenaa mengajarkan keberagamaan secara lebih menyeluruh(mencakup ritual dan moral).Ini membberi pengertian bahwa pendidikan agama dianggap memiliki kekhasan yang tidak terdapat di pendidikan moral.Dan ini sekaligus sebagai identitas Indonesia yang merupakan Negara bukan sekuler.Perkara moralitas bangsa Indonesia kemudian merosot,muara persoalannya bukan kepada perlu tidaknya pendidikan agama,akan tetapi subtansi apa dan bagaimana cara pengajaran agama itu dilaksanakan.

Page 30: Agama Dan Pendidikan Nasional

UU Sisdiknas dan Model Pendidikan Agama

Mengapa perbincangan mengenai moral selalu membahana manakala seseorang berbicara tentang agama?padahal sejujurnya,membebankan masalah moral hanya kepada pendidikan agama merupakaan pandangan yang kurang adil.Sebut saja factor lain,misalnya masalah krisis ekonomi.Faktor ini juga sangat berpengaruh dalam merusak moral bangsa.Bukankah kemiskinan dan kelaparan telah begitu nyata membutakan hati dan nurani banyak orang untuk berbuat tidak jujur serta berperilaku jahat?karenanya,tidak bersangkut terlalu jauh sebenarnya mengenai pendidikan agama dengan masalah kerusakan moral ini.Kalaupun terkait,yang dapat dilakukan oleh pendidikan agama sebenarnya hanyalah”turut serta”dalam memoerbaiki moralitas bangsa melalui proses ajar-mengajar.Dan itu harus didukung oleh sarana ataupun elemen bangsa lain yang bahu-membahu memperbaiki moral.Kita semua merasakan betapa agenda pendidikan agama serta kaitannya dengan moral terpisah dan bertingkat.Tingkat pertama:perlukah pendidikan agama?Tingkat kedua:mengapa agama gagal membangun moral?Dan pada tingkat berikutnya:formula pendidikan agama macam apa yang cocok untuk kehidupan di Indonesia?Sesuatu yang baru dan mengundang polemic berskala luas berkenaan dengan “hak peserta didik untuk memperoleh pendidikan agama yang sesuai dengan agamanya dan diajarkan oleh guru yang seagama”.Pasal ini menggugah perasaan dan pikiran banyak pihak untuk meraba wujud baru pendidikan agama di masa datang.Poin terpenting dalam ketentuan pendidikan agama tersebut adalah:(1)agama diajarkan sesuai dengan keyakinan yang dianut peserta didik;dan (2)guru agama akan sama agamanya dengan peserta didik.

Kedua poin ini mengisyaratkan formula baru pendidikan agama yang sekurangnya memiliki dampak-dampak ini:pertama,pendidikan agama kelak bukan lagi sebagai pengetahuan kognitif,tetapi bernuansa moral yang bersifat hidup serta praktis.Selama ini pendidikan agama diajarkan seperti pengetahuan yang bersifat kognitif sehingga sulit mempengaruhi perilaku.Karena sebagai pengetahuan sehingga bisa diajarkan oleh siapa saja,dan tidak selalu harus sesuai dengan agama yang dianutnya.Di tingkat perguruan tinggi,praktek pendidikan agama semacam ini sudah lama berjalan dan tidak pernah dipersoalkan.Tetapi ketika hal ini dibahas untuk tingkat dasar dan menengah,lalu aturannya dituangkan di undang-undang,masyarakat ramai menjadikannya polemic pro dan kontra;kedua,pengajaran pendidikan agama oleh guru yang seagama akan lebih menjamin kebenaran ajaran agama,hal ini terutama untuk agama ranah ibadah dan akidah;dan ketiga,untuk mempersempit peluang pengajaran agama oleh guru yang tidak membidanginya,termasuk didalamnya guru agama yang tidak seagama yang akhirnya hanya menimbulkan kecurigaan dakwah terselubung dan mengganggu kerukunan umat beragama.

Merubah paradigma praktik pendidikan agama dari yang semula memiliki karateristik pengetahuan menjadi praktis,memang dituntut oleh banyak pihak.Dan selama ini,karena bersifat kognitif,pendidikann agama nenjadi terpuruk sedemikian rupa,tetapi meribahnya begitu saja menjadi pengetahuan yang diamalkan dan dibiasakan tentu bukan perkara mudah.Lebih lagi tidak semua

Page 31: Agama Dan Pendidikan Nasional

peserta didik diajarkan oleh guru yang sama agamanya,misalnya karena seorang peserta didik adalah muslim sedangkan ia bersekolah di sekolah bercirikan Katolik dan Kristen.

Karakter pendidikan agama sebagaimana dalam ketentuan UU Sisdiknas diharapkan dapat menjadikan agama yang dipeluk peserta didik sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi,berkeluarga,bermasyarakat,berbangsa,dan bernegara.Dengan demikian maka secara makro,agama yang dipelajarinya dapat mewujudkan keharmonisan,kerukunan,dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama dan terhadap pemeluk agama lain

Idealnya,semua warga Negara Indonesia sejak usia dini dipersiapkan pembangunan karakter dasarnya dengan pendidikan agama semacam ini.Negara kemudian mewajibkan setiap satuan pendidikan pada semua jalur,jenjang,dan jenis pendidikan untukmenyelenggarakan pendidikan agama.Dalam hal ini,Negara perlu menentukan rambu-rambu baik berupa kerangka dasar dan struktur kurikulum yang bisa diacu oleh satuan pendidikan dalam pengembangan kurikulumnya,maupun berupa edaran terhadap pengakuan Negara atas kurikulum pendidikann yang digunakan secara mandiri oleh masyarakat.Hal ini penting untuk menghindari pengajaran agama yang cenderung “liar”

Pada mulanya,banyak orang terkaget-kaget dengan ketentuan baru UU Sisdiknas karena dianggap akan memberangus sekolah-sekolah berciri khas agama di negeri ini sudah tidak dihormati lagi oleh Negara,Mereka beranggapan bahwa setiap satuan pendidikan yang memiliki cirri khas agama apapun akan dipaksa membangun rumah ibadah(seperti masjid,gereja,vihara,dll)yang jelas-jelas tidak sesuai dilingkungan mereka.Bayangkan,kalau misalnya sekolah Katolik harus menyediakan masjid.Atau universitas islam harus menyediakan gereja.Ketersinggungan,kecurigaan,dan keternodaan beberapa sekolah umumberciri khas agama ini seperti ini barangkali yang sempat menyulut amarah menolak kehadiran UU Sisdiknas waktu itu pada awal mulanya.Persoalan lain yang muncul,karena kebutuhan agamasetiap peserta didik diharuskan dipenuhi,kategorisasi”agama”tidak mustahil juga akan muncul.Apakah kalau ada siswa Konghucu,atau orang beragama Tao menuntut hak yang sama,juga harus dikabulkan?

Secara logika,harusnya dikabulkan,karena pada dasarnya tak ada pihak yang bisa membatasi soal keyakinan,sebagaimana telah disinggung di depan.Jika pelayanan terbatas pada agama tertentu dan menafikan pelayanan kepada agama lainnya tanpa alasan yang jelas,maknanya Negara sesungguhnya telah melakukan tindakan diskrimintaif atas para pemeluk agama.

Sesungguhnya pasal 12 ayat(1)a tentang hak peserta didik memperoleh agama yang sesuai dengan peserta didik dan diajarkan oleh pendidik yang seagama,sudah secara otomatis menjamin hak semua agama.Namun kalau kita

Page 32: Agama Dan Pendidikan Nasional

angkat kasus umat Konghucu,kejadiannya menjadi sedikit berbeda.Duduk perkaranya adalah sebagai berikut:

a.Konghucu dikategorikan sebagai bukan agama.

b.Konsekwensinya,karena bukan dianggap sebagai agama,maka konghucu tidak akan mendapatkan pelayanan sebagaimana ketentuan pasal 12 ayat (1)a.Ini berarti lebih hidup di Indonesia tanpa pengakuan berakhir sudah.Melalui pembahasan yang a lot di Depag,konghucu akhirnya diakui sebagai agama

.Belajar dari kasus konghucu ini setidaknya hal-hal yang perlu dipikirkan oleh semua pihakL1)redefinisi agama dalam pasal 12 ayat(1))a;dan(2)perlunya antisipasi atas kasus konghucu barangkali merupakan awal gunung es yang akibatnya akan bermuara pada masalah yang lebih besar.Artinya begitu konghucu diberikan layanan yang memadai layaknya agama lain yang besar,maka kemungkinan agama-agama yang baru tidak mustahil akan menuntut hal serupa.Persoalan baru bahkan muncul,bila paham-paham yang kita sebut sebagai sekte atau aliran tidak menutup kemungkinan akan bisa mengaku sebagai agama (meskipun hanya karena tujuan memperoleh pelayanan dan bantuan dari pemerintah).

Sebenarnya,pemahaman atas pasal 12 UU Sisdiknas ayat(1)a memang tidak seharusnya dibatasi pada 5 agama.Bahkan bisa pula menyangkut tuntutan penganut mazhab,sekte,aliran atau apapun friksi yang ada dalam setiap agama,apabila mereka memintanya.Mengapa demikian?karena secara logika semua keyakinan (yang bisa saja orang mengklaim itu agama)harusnya mendapat perlakuan yang sama.Ini makna hak kebebasan tiap orang untuk memilih keyakinan.Di tingkat lapangan,kenyataan mengukuhkan fenomena ini:orang syiah tidak akan mau diajar oleh orang sunni jika guru syiah bersedia.

Kasus yang sama terjadi pada sekte Yehowah dalam agama Kristen,mereka umumnya menuntut guru bersekte yehowa karena tidak mau diajar oleh orang Kristen.Bahkan orang muhammadiyah juga tidak mustahil menuntut guru dari muhammadiyah juga,sebab banyak orang muhammadiyah tidak mau diajar islam dengan cara NU,dan vice versa

BAB 1V

MADRASAH DAN SEKOLAH ISLAM

Menurut catatan sejarah,kebijakan politik penjajahan yang sangat tidak menguntungkan umat islam dulu sempat memicu beberapa lembaga keagamaan islam mengisolir diri dari intervensi “dunia luar “dengan tetap mengajarkan hanya pelajaran agama. Namun sekelompok yang lain melihat banyak hal yang menarik dari sistem “sekolah belanda “ sehingga menimbulkan gagasan membuka sekolah

Page 33: Agama Dan Pendidikan Nasional

dengan mengadopsi sistem sekolah serta tambahan beberapa mata pelajaran umum.

Pada saat itu, perguruan keagamaan dalam bentuk persekolahan ada yang menggunakan nama madrasah di banyak daerah jawa dan luar jawa, maktab di Medan kuliah mualimin di Sumatera Barat,dll Beberapa perguruan keagamaan tersebut dimotori juga oleh kaum pesantren. Tidak seluruhnya berisi ilmu agama. Muhammadiyah misalnya, pola pendidikannya menggunakan 50 % agama 50% umum

Upaya – upaya inilah yang oleh banyak kalangan disebut sebagai upaya modernisasi pendidikan islam. Gagasan awalnya, menurut Husni Rahim ( 2005 )

Setidaknya ditandai oleh dua kecenderungan organisasi islam dalam mewujudkan yaitu :

Pertama, mengadopsi sistem dan lembaga pendidikan modern ( Belanda ) secara hampir menyeluruh. Usaha ini melahirkan sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan tambahan pengajaran islam.

Kedua, munculnya madrasah madrasah modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda, namun tetap menggunakan madrasah dan lembaga tradisional pendidikan islam sebagai basis utamanya.

Kedua bentuk usaha ini pada dasarnya terus berlanjut. Satu sisi terdapat sistem dan kelembagaan “Pendidikan Islam “ yang sebenarnya pendidikan umum dengan memasukkan pengajaran agama.

Kelompok ini biasanya menamakan sekolahnya dengan SDI, SMPI dan SMAI.Di sisi lain, ada sistem dan kelembagaan “ madrasah “ yang menitik beratkan pengajaran agama baru kemudian memasukkan pelajaran umum dengan corak dan orientasinya.

Kelahiran Madrasah dan Perhatian Negara

Bersamaan dengan perkembangan pendidkan agama di sekolah umum,perhatian terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya terjadi sejak Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat(BPKIP)di masa setelah kemerdekaan mengeluarkan maklumatnya tertanggal 22 Desember 1945.Isinya menganjurkan,bahwa dalam memajukan pendidikan dan pengajaran agar pengajaran di langgar,surau,masjid,dan madrasah berjalan terus dan ditingkatkan”.Madrasah dalam bentuknya yang kita kenal saat ini secara harfiyah berasal dari Bahasa Arab yang artinya sama atau setara dengan kata Indonesia “sekolah”(school).Madrasah di sini kemudian memiliki konotasi spesifik,di mana anak memperoleh pembelajaran agama.Madrasah inilah yang tadinya disebut pendidikan keagamaan dalam bentuk belajar mengaji Al-Qur`an,kemudian ditambah dengan pelajaran ibadah praktis,terus ke pengajaran

Page 34: Agama Dan Pendidikan Nasional

tauhid,hadis,tafsir,tarikh islam dan bahasa arab.kemudian masuk pula pelajaran umum dan keeterampilan.Dari segi jenjang pendidikan mulanya madrasah identik dengan belajar mengaji Quran,jenjang pengajian kitab tingkat dasar dan pengajian kitab tingkat lanjut,kemudian berubah ke jenjang madrasah ibtidaiyah,Madrasah Tsanawiyah,dan Madrasah Aliyah.

Perhatian pemerintah RIterhadap madrasah terbukti sejak Kementrian Agama dalam srtuktur organisasinya,memperuntukan Bagian C bagian pendidikan dengan tugas pokoknya mengurusi masalah-masalah pendidikan agama di sekolah umum dann pendidikan agama di sekolah agama (madrasah dan pesantren)

Namun perhatian pemerintah yang begitu besar di awal kemerdekaan yang ditandai dengan tugas Departemen agama dan beberapa keputusan BP KNIP ini tampaknya tidak berlanjut.Hal ini tampak ketika Undang-undang Pendidikan Nasional pertama(UU No.4 Tahun 1950 UU No.12 Tahun 1954)diundangkan,masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukan sama sekali,yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah (umum)dan pengakuan belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Mentri agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.Dampaknya,madrasah dan pesantren dianggap berada diluar sistem.Oleh karena itu mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap madrasah dan pesantren.Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional,tetapi merupakan lembaga pendidikan dibawah.Mentri agama.Reaksi terhadap sikap pemerintah yang diskriminatif ini menjadi lebih keras dengan keluarnya Keputusan Presiden No.34 tahun 1975,yang kemudian diperkuat dengan Intruksi Presiden No.15 tahun 1974.Kepres dan Inpres ini isinya dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikaan nasional.Bahkan sebagian umat islam memandang Kepres dan Impres itu sebagai manuver untuk mengabaiikan peran dan manfaat madrasah yang sejak zaman penjajahan telah diselenggarakan umat islam.

Munculnya reaksi keras umat islam ini disadari oleh pemerintah yang kemudian mengambil kebijakan untuk melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah.Dan untuk mengatasi kekhawatiran dan kecemasan umat islam akan dihaapuskannya sistem pendidikan madrasah sebagai kongkurensi kepres dan inpres di atas,maka pada tanggal 24 maret 1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama(SKB)tiga mentri(Mentri Agama,Mentri Pendidikan dan kebudayaan,dan Mentri Dalam Negeri.).SKB ini merupakan model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan eksistensi madrasah,dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistempendidikan nasional yang integratif.Dalam SKB tersebut diakui ada tiga tingkatan madrasah,yakni Ibtidaiyah,Tsanawiyah,dan Aliyah,yang ijazahnya diakui sama dan setingkat dengan SD,SMP,dan SMA.Kemudian lulusannya dapat melanjutkann ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi,serta siswanya dapat berpindah ke sekolah umum yang ssetingkat.

Page 35: Agama Dan Pendidikan Nasional

Makna SKB Tiga Mentri ini bagi umat islam adalah pertama,terjadinya mobilitas sosial dan vertikalsiswa-siswa madrasah yang selama ini terbatas di lembaga-lembaga pendidikan tradisional(madrasah dan pesantren),dan kedua,membuka peluang kemungkinan anak-anak santri memasukki wilayah pekerjaan pada sektor modern.Meski demikian,bukan berarti SKB tiga mentri ini tanpa masalah.Melalui SKB ini memang,status madrasah disamakan dengan sekolah berikut jenjangnya.Dengan SKB ini pada alumni MA dapat melanjutkan KE Universitas umum,dan vice versa,alumni SMA dapat melanjutkan studinya ke IAIN.Karena madrasah diakui sejajar dengan sekolah umum,dimana komposisi kurikulum madrasah 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama.Efek penyamaan kurikulum ini adalah bertambahnya beban yang harus dipikul oleh madrasah.Di satu pihak ia harus memperbaiki mutu pendidikan umumnya setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah.Di lain pihak,bagaimanapun juga madrasah sebagai lembaaga pendidikan islam harus menjaga agar mutu pendidikan agamanya tetap baik.

Namun,dengan penguasaan ilmu-ilmu agama hanya 30% termasuk Bahasa Arab,tidak cukup memadai bagi alumni MA untuk memasuki IAIN,apalagi untuk melanjutkan studi di Timur Tengah dan juga menjadi calon-calon ulama.Demikian juga masih sering lulusan madrasah mendapat perlakuan diskriminaatif karena dianggap kemampuan umumnya belum setara dengan sekolah umum.perlakuan diskriminatif tersebut sangat dirasakan ketika mereka akan masuk ke perguruan tingginataupun ke dunia kerja.

Perjuangan agar mendapat perlakuan yang sama(integrasi madrasah dalam sisdiknas secara penuh),baru dicapai dalan UUSPN No.2 tahun 1989,dimana madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas islam dan kurikulum madrasah sama persis dengan sekolah,plus pelajaran agama islam (7 mata pelajaran).kenyataannya beban kurikulum bagi madrasah yang menerapkan kurikulum sekolah 100% ditambah dengan kurikulum agama sebagai cirri khas telah berakibat beban belajar siswa madrasah menjadi lebih banyak disbanding dengan beban belajar anaksekolah.padahal kondisi fasilitas dan latar belakang anak cukup berbeda.Oleh karena itu wajar saja bila kualitas anak madrasah masih kalah dibandingkan dengan anak sekolah.Jadi yang membedakan madrasah dengan sekolah umum sekarang bukan lagi pada bobot pengetahuan umumnya tapi pada kualitas dan cirri khas madrasah itu sendiri

Sampai disini persoalan madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas islam sudah terselesaikan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang diakui sama dengan sekolah.Namun Madrasah sebagai sekolah agama yang memberikan pengetahuan umum sebagai cirri ke indonesiaan dan kemoderenan belum mendapat tempat dalam sistem pendidikan nasional versi UU No.2 tahun 1989.Hal ini masih meengundang perasaan yang “kurang puas”di kalangan umat,karena masih ada perasaan pemerintah masih memojjokan madrasah yang porsi pengajaran agama lebih besar di banding pelajaran umum.juga masih terdengar pendapat yang menyatakan bahwa masdrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas islam itu sebagai upaya”mendangkalkan agama”,tentu

Page 36: Agama Dan Pendidikan Nasional

prasangka ini tidak beralasan,karena memang peminat untuk memasukan anak ke madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas islam jauh lebih besar disbanding dengan yang ingin memasukan anaknya ke sekolah agama yang pengetahuan agamanya lebih besar dari pengetahuan umum,seperti ditujukan oleh data bahwa anak-anak yang memilih program pilihan aagama jauh lebih kecil (48%)dari yang memilih pilihan IPSatau matematika (52%).

Perjuangan untuk memasukan madrasah dengan focus utama pengajaran agama dalam sistem pendidikan nasional baru berhasil setelah diundangkannya UU Sisdiknas No.20 tahun 2003.Dalam undang-undang ini diakui kehadiran pendidikan keagamaan sebaagai salah satu jenis pendidikan disamping pendidikan umum,kejuruan,akademik,profesi,vokasi dan khusus (pasal 15).Dalam pendidikan keagamaan ini tidak termasuk lagi madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas islam.MI,MTS,MA dan MA kejuruan sudah dimasukan dalam jenis pendidikan umum dan pendidikan kejuruan.Pendidikan keagamaan ini diatur dalam bagian tersendiri (bagian kesembilan)pasal 30.

Problematika Sekolah Madrasah

Di tengah harapan masayarakat yang belum sepenuhnya terpenuhi tentang peran madrasah sebagai model pendidikan integralistik yang akan mendidik siswa seimbang sisi ukhrawi dan duniawinya itu;fenomena madrasah justru diganggu lagi secara menonjol oleh kesan ganjil yang tersebar di sebagian (agaknya sebagian besar)masyarakat bahwa komposisi agama-umum di madrasah menciptakan siswa tidak mendalami keduanya.Atau dengan kata lain mutu madrasah rendah disbanding sekolah umum oleh karena beban kurikulum yang sulit diseimbangkan.Sebenarnya,penilaian bahwa madrasah rendah mutunya,untuk zaman sekarang ini,khususnya menjelang dan sesudah UU Sisdiknas diundangkan,tidaklah sepenuhnya benar.Departemen Agama mungkin sudah mengantisipasi kritik tersebut sejak lama.Hasilnya,kenyataan hasil ujian madrasah paling mutakhir di lapangan tidaklah seburuk yang diduga,dibandingkan dengan sekolah.Walau secara rettorika,sebenarnya wajar kalau beban kurikulum madrasah melebihi kurikulum sekolah sehingga mengakibatkan kualitas madrasah berada di bawah sekolah,namun kenyataannya tidak demikian.

Depertemen Agama selalu punya argumentasi,bahwa komposisi kurikulum itu malah sebenarnya bisa menjadi model ideal pendidikan islam di Indonesia,karena bisa menghindari dikotomi ilmu umum dan agama ataupun sekularisasi sebagaimana terjadi di sekolah.Duduk perkaranya sebenarnya hanya terletak pada manajemen pengelolaannya saja.Maksudnya apabila pola madrasah itu dapat dikelola dengan baik,benar,dan optimal,maka hasilnya seharusnya akan bisa memaksakan sekolah agar meniru pola madrasah.Beberapa madrasah sudah membuktikan hal tersebut,karena dikelola dengan baik,benar,dan optimal,mutunyapun menjadi baik dan tidak kalah disbanding sekolah,baik segi umumnya,atau apalagi agamanya.Sebut saja misalnya Madrasah Insan Cendekia

Page 37: Agama Dan Pendidikan Nasional

di Serpong,Jakarta yang dirintis mantan Presiden BJ Habibie,kemudian MIN Malang (terbaik di Indonesia),dan masih bannyak lagi yang lain.

Dengan melihat hasil ujian Nasional 2005 yang baru lalu,lukisan buruk tentang madrasah sebenarnya sudah tidak sepenuhnya terbukti.Para pengelola madrasah masih pantas optimistis bahkan berbangga hati.Perbedaan antara hasil ujian siswa madrasah dan sekolah ternyata tidak berbeda secara signifikan.Atau dengan kata lain,memang masih lebih rendah secara umum,tetapi angka perbedaan itu tipis belaka.Angka kelulusan misalnya,siswa SMP yang lulus 67.03 sedangkan siswa MTS yang lulus 82.21.Nilai rata-rata keduanya juga hampir berbanding,jika SMP 19,36,angka MTS adalah 19.14.Demikian pula di tingkat SMA/ MA,nilai rata-rata program studi IPA pada SMA tercatat 20.47,sedangkan pada MA tercatat 20.14.Pada program studi IPS,nilai rata-rata siswa SMA 18.44,sedang siswa MA 18.20.Rata-rata nilai program studi bahasa pada MA yang 19.96 bahkan lebih baik disbanding SMA yang hanya 19.73.

Peningkatan mutu madrasah memang tidak serentak,dan mungkin masih belum sebanyak sekolah.Kondisi ini mengakibatkan imej tentang mutu madrasah yang buruk tidak akan serta merta sirna oleh perkembangan terakhir.Selain itu,factor historis kelemahan juga harus dilihat secara proporsional,misalnya dilihat dari latar belaakang kultur madrasah juga yang banyak tumbuh dari unsur masyarakat pesantren dan muslim pedesaan yang memang dari segi ekonomi relatif lebih lemah.Sampai saat ini,rata-rata orang tua murid anak madrasah masih para petani pedesaan atau para pekerja kasar yang nota bene golongan ekonomi lemah.

Itu masih ditambah factor perbandingan Madrasah Negeri yang jauh lebih kecil jumlahnya dari sekolah.Populasi madrasah sampai saat ini didominasi oleh swasta hingga 90% di banding yang negeri.Ini amat kontras dengan kondisi sekolah yang kondisinya terbalik:sekolah kira-kira mencapai 90% dan sekolah swasta hanya 10% ini maknanya,madrasah memang lebih banyak dibiayai oleh masyarakat yang miskin itu di banding sekolah yang lebih banyak di Bantu Negara.

Madrasah Pasca UU Sisdiknas

Berbagai kritik mengenai kelemahan madrasah sekonyong-konyang mengundang kembali perenungan kontemporer akan posisi strategis,madrasah sebagaii pendidikan umum yang birciri agama islam.Apakah eksistensinya masih relevan untuk memenuhi kebutuhan umat dalam memajukan bangsa ini?

Renungan pertama,apa perbedaan substansial madrasah dengan sekolah islam sehingga keduanya harus ada,bersaing,dan diperbandingkan?Apakah keduanya sebetulnya sama?

Jika benar bahwa sekolah islam-karena total berstatus sekolaah umum-lebih baik mutunya dan lebih diminati,apakah hal ini karena pengaruh fleksibilitas ilmu

Page 38: Agama Dan Pendidikan Nasional

agama di dalamnya?Atau adakah factor (rumor)bahwa pengelolaan pendidikan di bawah Depdiknas lebih efektif di banding di bawah Depag?

Jika factor fleksibilitas beban ilmu agama dominan,mengapa madrasah tidak dirancang demikian?Namun jika factor pengelolaan di bawah Depag penyebab kurang efektif lebih dominant,maka kenapa sesama pendidikan umum penanganan madrasah tidak di samakan dengan sekolah,di bawah Depdiknas?

Kedua,apakah tepatt sesungguhnya madrasah digolongkan ke dalam kluster pendidikan umum,sehingga bebannya ganda,umum plus agama?Dengan kata lain apakah madrasah terlalu berat misinya?

Seandainya madrasah sesungguhnya tidak pas kalau digolongkan sebagai pendidikan umum,maka sejak itu madrasah tidak masalah kalah dibandingkan sekolah.Wajarlah karena grand designnya memang berbeda.Tujuannya berbeda.Misalnya madrasah dijadikan specis baru,yakni perpaduan pendidikan umum dan agama.Species yang terakhir ini sesungguhnya belum ada secara resmi.Yang ada baru pendidikan umum saja atau keagamaan saja.Dengan katagorisasi dan karakter tersendiri mungkin visi dan misi madrasah memang berbeda dari yang lain,sehingga hasilnya pun akan memiliki warna lain yang tidak perlu diperbandingkan,tetapi dilihat dari kemanfaatannya.Apalagi kini terdapat pendidikan diniyah(keagamaan)tersendiri yang sudah mendapat pengakuan Negara,sehingga ke depan,madrasah seyogyanya bisa lebih berkonsentrasi dalam keseimbangan ilmu umum dan agama.Ditambah lagi madrasah sudah tidak disebut secara eksplesit sebagai pendidikan umum lagi seperti dalam UUSPN No 2 / 1989.

Indonesia sesungguhnya selalu menghendaki keseimbangan ilmu dan iman,dunia dan akhirat,sehingga semestinya tidak perlu ada sekolah umum (SD,SMP,SMA dll)kalau kecenderungannya hanya mencipta manusia yang berwatak sekuler.Kata orang Depag,seharusnya sekolaahlah yang perlu melebur ke madrasah,bukan sebaluknya.Artinya jika sekolah sudah bisa mewujudkan pola madrasah ini menggantikan pola sekuler yang ada,maka madrasahh dihapuskan pun tidak ada masalah.Kalau sudah tidak ada perbedaan antara signifikan antara sekolah dan madrasah oleh karena factor-faktor tersebut di atas,maka sekolah islam juga sebenarnya tidak diperlukan,supaya tidak menambah kebingungan.Namun kita semua tahu bahwa mewujudkan pendidikan seideal itu bukanlah hal mudah.Dan selama itu tidak bisa diwujudkan maka posisi strategis sekolah,sekolah islam,maupun madrasah kiranya masih relevan untuk dipertahankan.Yang lebih penting dari itu barangkali adalah pembenahan manajemen madrasah.Toh praktik-praktik ideal yang banyak terdapat pada sekolah islam unggulan dewasa ini sudah dibuktikan baik oleh madrasah maupun sekolah.Jikalau ini dapat segera direalisasikan di madrasah-madrasah,maka wujud madrasah pun sebentar lagi tidak menjadi nama yang dipersoalkan.

Sekolah Islam dan Manajemen Pendidikan Satu Atap

Page 39: Agama Dan Pendidikan Nasional

Seperti sudah dipaparkan pada awal kelahiran madrasah,terdapat sekelompok masyarakat berlatar belakang agama yang mempunyai gagasan membuka sekolah dengan sistem “sekolah Belanda”,dengan tambahan pelajaran agama.Upaya ini oleh banyak kalangan disebut sebagai modernisasi pendidikan islam.Ini sedikit berbeda dari “madrasah”yang menitik-beratkan pengajaran agama baru kemudian memasukan pelajaran umum dengan keragaman corak dan orentasinya.Pemrakarsa pertama dalam modernisasi pendidikan islam adalah organisasi-organisasi “modernis”islam seperti Jami`at Khair,Al Irsyad,dan Muhammadiyah (muncul sejak 1912 di yogyakarta).Bersama Perguruan Taman Siswa tahun 1922 di yogyakarta,serta pendidikan Indonesische National School (INS)Kayutaman tahun 1926 di Sumatera Barat;mereka menitikberatkan pendidikan untuk kalangan rakyat jelata yang memiliki karakteristik buta aksara,awam terhadap pengetahuan agama,miskin,dan sangat terbelakang akibat politik penjajahan.

Dalam perkembangannya,pendirian perguruan islam ini menjadi inspirasi bagi hampir semua organisasi dan gerakan islam,seperti Nahdlatul Ulama dengan Pendidikan Maarif tahun 1926di Jawa Timur,Persatuan Islam,(Persis),Persatuan Umat Islam(PUI),AlWashliyah,Matlaul Anwar dan Persatuaan Tarbiyah Islamiyah(Perti)dengan corak dan cirri khas masing-masing.Perguruan islam yang berkembang menjadi sekolah umum dengan memasukan pengajaran agama ini biasanya menamakan sekolahnya dengan SD islam,SMP islam,atau SMA islam.Atau dengan menggunakan nama organisasi penyelenggara.Misalnya SD Muhammadiyah,SMP Maarif NU,SMA Al Irsyad.Atau dengan menggunakan perlambang berbahasa Arab,misalnya SD Al hidayah,SMP Futuhiyah,SMA Assalam.kecenderungan baru muncul nama SDIT,SMPIT,(IT adalah singkatan (Islam Terpadu),bahkan telah memiliki organisasi persatuan.

Perbedaan sekolah-sekolah ini dengan madrasah di masa kita sekarang semakin jelas dari beberapa ciri menonjol:

1. dilihat dari sejarahnya,perguruan islam yang pendidikan umum mengadopsi sistem dan lembaga pendidikan modern (Belanda)secara hampir menyeluruh.Model ini adalah sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan tambahan pengajaran islam.Sedangkan madrasah adalah model persekolahan yang mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda,namun tetap menggunakan lembaga tradisional pendidikan keagamaan sebagai basis utamanya.

2. perguruann islam yang pendidikan umum kini berada di bawah pengelolaan dan binaan Departemen pendidikan,sedangkan madrasah berada di bawah pengelolaan dan binaan Departemen Agama.Menurut UUSPN NO.2 Tahun 1989 madrasah dikategorikan menjadi sekolah umum berciri khas agama islam.

3. perguruan islam yang pendidikan umum mengikuti sepenuhnya kurikulum pendidikan umum dengan tambahan pendidikan agama yang sangat variatif

Page 40: Agama Dan Pendidikan Nasional

menurut kebutuhan masing-masing.Sedangkan madrasah mengikuti sepenuhnya kurikulum pendidikan umum dengan tambahan pendidikan agama yang sudah diseragamkan oleh Departemen Agama.

UU Sisdiknas 20/2003 mengakui legilitas pendidikan berlatar belakang agama ini pada pasal 55.Yang dimaksud tentu saja tidak terbatas pada sekolah islam,katolik atau sekolah yang di beri cirri agama lain pada umumnya,namun sekolah umum lebih banyak menggunakan nomenklatur ini disbanding madrasah.Nomenklatur yang biasa digunakan adalah sekolah berciri khas agama islam.Seperti umat lain mengkategorikan sekolah Tarakanita,SD Kanisius,SMP Pangudi Luhur,SMA Xaferius adalah pendidikan umum berciri khas agama tertentu,dengan perkataan lain,karena sekolah berciri agama mencakup madrasah dan sekolah berlambang agama,lalu UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 sudah mulai tidak mendefinisikan madrasah sebagai satu-satunya yang berciri khas agama islam.Madrasah dan sekolah islam (sebut saja demikian)kini sebenarnya berjalan bersama keunggulan dan kelebihan masing-masing.Namun akhir-akhir ada fenomena mutakhir yang menggambarkan kegairahan kelahiran sekolah islam dengan semangat baru karena dipicu oleh berbagai factor tanda Tanya atas madrasah.Misalnya alasan identitas madrasah yang dihantui oleh isu pendidikan satu atap,sehingga banyak sekolah baru(sebut:madrasah)memilih bernaung di bawah Depdiknas agar nasibnya lebih jelas.

Selain itu,di masyarakat juga beredar imej bahwa madrasah dikesankan rendah mutu dann dikelola secara kurang profesinal.Hal lain,komposisi ilmu agama dan umum di madrasah tidak mencapai tujuan yang dimaksud,bahkkan menciptakan siswa tidak mampu menguasai keduanya.Yang lebih seru lagi,masyarakat tahu bahwa anggaran pendidikan di Depag tidak sebesar di Depdiknas.Bahkan tergolong sangat kecil karena dialokasikan atas nama agama.Sebagian ada yang mengingginkan agar madrasah dikelola saja oleh Diknas,atau minimal dikelola menggunakan sistem satu atap Depag dan Diknas.Kecenderungan munculnya sekolah-sekolah islam sebenarnya juga perlu dipahami sebagai reaksi karena semangat melihat sukses yang sudah diraih oleh (utamanya)sekolah Katoloik,Kristen,dan Muhammadiyah.Namun sekolah-sekolah islam tidak hanya bermodalkan itu,sisi-sisi keunggulan pesantren,misalnya,terkadang mereka juga gali dan tetapkan secara integrated dan terpadu.Misalnya sekarang ini kita mengenal sekolah dengan sistem boarding school.Sekolah-sekolah Islam ini ditenggarai membidik pasar muslim yang umumnya kurang puas dengan model sekolah umum,tapi juga kurang puas dengan madasah maaupun pesantren.Kehadiran sekolah Islam umum di daerah perkotaan bahkan terbukti menjadi alternative yang menggiurkan,walau di jual dengan biaya pendidikan yang mahal.

Satuan Pendidikan dengan Kekhasan Agama

Sudah di singgung di muka,pada masa reformasi ini,UU Sisdiknas melekatkan fenomena pendidikan-agama-masyarakat dalam konteks penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat (Pasal 55).Masyarakat dipandang berhak

Page 41: Agama Dan Pendidikan Nasional

menyelenggarakan pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama,lingkungan sosial,dan budaya untuk kepentingan masyarakat(ayat 1).

Dalam hubungannya dengan agama,pendidikan di Indonesia dapat ditelusuri melalui pemetaan jenis,kategori,dan bentuknya di bawah ini (dengan mengecualikan pendidikan tinggi):

Jenis Pendidikan Kategori Bentuk Model Pembelajaran Agama

Departemen Pembina

Pendidikan Umum dll.(Selain Pendidikan Keagamaan)Friday, April 20, 2007

Umum/kejuruan Murni

SD,SMP,SMA,SMK Mata Pelajaran Pend.agama

Depdiknas

Umum/Kejuruan dengan ke Khasan Agama

Madrasah

Sekolah yang di selenggarakan oleh kelompok agama tertentu.Misalnya,Sekolah Islam,SMA Al-Falah dll.(Mirip Sekolah Katolik,Kristen,dll)

Plus Kegiatan Keagamaan

Mata Pelajaran Pendidikan Agama,Plus/minus Pendidikan Keagamaan

Depag

Depdiknas

Pendidikan Keagamaan

Pendidikan Keagamaan Plus Persyaratan Minimum materi Umum

Diniyah dan pesantren Fokus Pada Materi Ilmu Keagamaan dengan amal secara Integral

Depag

Dalam table diatas,pendidikan dengan kekhasan agama sebagian disebut dalam UU Sisdiknas mencakup madrasah dan sekolah yang diselenggarakan oleh kelompok agama tertentu misalnya Sekolah Islam,Sekolah Katolik,Sekolah Kristen,SMA Al falah dll.Sekolah dengan kekhasan atau dengan cirri khas agama tertentu tersebut sering digunakan untuk menyebutkan sekolah berlambang agama selain madrasah.Penggunaan tersebut dalam masa implementasi UU sisdiknas terbilang cukup sering karena secara kebetulan sekolah-sekolah Kristen,Katolik,atau yang menggunakan lambing agama mempersoalkan makna pasal 12 ayat(1)a tentang kewajiban membelajarkan agama sesuai agama peserta didik dan dididik oleh guru yang seagama.Menurut

Page 42: Agama Dan Pendidikan Nasional

salah satu penafsiran,sekolah dengan cirri khas agama tertentu semacam ini tidak masuk dalam kategori sekolah yang wajib membelajarkan agama sesuai ketentuan pasal 12 tersebut.Hal itu karena UU Sisdiknas sendiri mengakui keberadaannya.Dan secara logika untuk apa disebutkan tersendiri kalau bukan untuk tujuan tertentu itu.Maknanya sekolah dengan kekhasan agama tertentu tetap akan mengajarkan pendidikan agama yang sesuai dengan kekhasan agama sekolah yang bersangkutan,terlepas pendidikan agama itu cocok untuk murid yang ada atau tidak cocok.Apabila murid yang agamanya tidak cocok maka pilihannya adalah:

Kembali pada perjanjian semula,bahwa adalah pilihan dia untuk menerima pelajaran agama sesuai pendidikan agama yang ditentukan oleh sekolah.

Sekolah tidak menjamin pembelajaran agama sesuai agama yang dianut peserta didik.Ini kembali ke fenomena lama,di mana murid yang tidak cocok agamanya dengan agama cirri khas sekolah maka ia tidak mengikutinya,atau mencari guru lain.

Namun penafsiran demikian di anggap berlawanan dengan amanat pasal 12 ayat (1)a sehingga penafsiran menjadi dikalahkan oleh bunyi pasal 12 tersebut.Ditambah lagi keberatan sekolah berciri khas agama tertentu akan diselesaikan dengan adanya jaminan bantuan dari Negara dalam masalah pengadaan guru agama.

Selain permasalahan peendidikan agama pada sekolah berciri agama tertentu,pendidikan lainnya dengan kekhasan agama hampir tidak ada maasalah.Kecuali sekolah Islam yang sedang naik pamornya menyaingi pamor madrasah sebagaimana telah dijelaskan di muka

.