agraria 2

Embed Size (px)

Citation preview

www.zeilla.wordpress.com LANDREFORM: SEJARAH DARI MASA KE MASA1 A. PENDAHULUAN Ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesiasebagaimana halnya ketimpangan ekonomi/tingkat pendapatan penduduknyaadalah sangat tajam dan ironis. Di satu sisi banyak orang kaya yang memiliki tanah secara absentee2 dan menjadikannya sebagai asset atau investasi, tetapi di sisi lain lebih banyak petani yang hanya mempunyai sebidang tanah yang tidak cukup untuk menghidupi keluarganya atau bahkan tidak mempunyai satu meter pun tanah untuk digarapnya. Dengan tujuan pemerataan dan untuk mencapai keadilan dalam perolehan dan pemanfaatan tanah maka program landreform yang telah lama dipeti-eskan (hanya menjadi program/kebijakan tehnis saja) haruslah digiatkan kembali. Guna mengetahui perkembangan dari landreform ini, penulisan ini akan membahas aspek historis yaitu pengaturan dan pelaksanaan landreform dari masing-masing Orde. B. LANDREFORM 1. Sejarah dan Arti Penting UUPA Salah satu hasil karya anak bangsa terbaik, paling monumental, sekaligus revolusioner, yakni UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan Undang-Undang 1 Disusun oleh Lilis Nur Faizah, sebagai tugas Mata Kuliah Vak Khusus Landreform, pada FH UGM, 2007, dengan judul yang sama, diajukan kepada Bapak Nurhasan Ismail. 2 Sejauh ini data tentang pemilikan tanah secara absentee sangatlah sulit didapatkan. Biasanya tanah absentee ini didapatkan dengan cara memberi kuasa penuh kepada orang lain. Dan ini termasuk penggelapan hukum. LILIS NUR FAIZAH www.zeilla.wordpress.com yang pertama kalinya memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara3. Perumusan pasal 33 dalam UUD 1945: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat4. Inilah dasar konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dua hal pokok dari pasal ini adalah sejak awal telah diterima bahwa Negara ikut campur untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi, dan pengaturan tersebut adalah dalam rangka untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penghubungan keduanya bersifat saling berkait sehingga penerapan yang satu tidak mengabaikan yang lain. Setelah proses pembahasan RUUPA yang berlangsung beberapa lama, Mr. Sadjarwo sebagai Menteri Agraria saat itu mengucapkan pidato pengantarnya. Dikatakan dengan jelas bahwa5:

...perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing.... Semangat untuk mengisi stelsel negara baru pasca kemerdekaan ini dipengaruhi oleh dinamika dari pelbagai ideologi dan kekuatan sosial-politik yang memberi sumbangan dalam pergerakan anti kolonialisme6. Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan7: 3 Sebenarnya pasal 33 UUD 1945 telah lebih dulu memperkenalkan dikuasai oleh Negara. Secara gramatikal, kata dikuasai termasuk kata kerja bentuk pasif. Berbeda dengan kata menguasai dalam HMN, yang merupakan kata kerja aktif. 4 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 33 ayat (3) naskah asli, dan tidak mengalami perubahan hingga Amandemen IV. 5 Pidato Pengantar Menteri Agraria dalam Sidang DPR-GR, 12 September 1960 oleh Mr. Sadjarwo. Dalam Risalah Pembentukan UUPA dan Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, edisi revisi, Djambatan, Jakarta, hal. 585. 6 Menurut Soetandyo Wignyosoebroto, keterbatasan kesadaran elite terdidik (sekolahan maupun otodidak) dan manajemen kekuasaan negara merupakan faktor terpenting dalam pasang-surut dari mobilisasi dan peran rakyat dalam perumusan kebijakan Negara baru tersebut. Ketiadaan ahli hukum dari luar Jawa-Sumatera (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, apalagi Irian dan sebagainya), membuat ide-ide yang tercetus oleh ahli-ahli hukum tersebut banyak dipengaruhi oleh gagasan Barat sebagaimana didapatkan di sekolah-sekolah, dan pengalaman Jawa-Sumatera. Lihat Soetandyo Wignyosoebroto, 1994, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosio-Politik Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, hal. 159. LILIS NUR FAIZAH www.zeilla.wordpress.com ...yang sangat dipentingkan pada saat itu memang bukan resultat-resultat hukum perundang-undangan yang dibuat. Dalam suasana Demokrasi Terpimpin yang hendak lebih ditegaskan dan diungkapkan pada waktu itu adalah kerevolusineran tekad untuk menolak pikiran-pikiran yang berasal dari negeri-negeri liberal kapitalis yang dituduh akan meracuni jiwa bangsa.... Semangat menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang telah menyebabkan terjadinya penghisapan manusia atas manusia (exploitation de lhomme par lhomme) di satu sisi; dan sekaligus menentang strategi sosialisme yang dianggap meniadakan hak-hak individual atas tanah di sisi lain menjadi landasan ideologis dan filosofis pembentukan UUPA. Dalam Penjelasan Umumnya, dinyatakan dengan jelas bahwa tujuan diberlakukannya UUPA adalah8:

a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur; b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Hal penting lainnya adalah bahwa UUPA sebenarnya tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok pembentukan struktur agraria saat itu. Paket peraturan perundang-undangan landreform ini telah dimulai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang dikeluarkan untuk mengawasi adat tentang praktek bagi hasil9. Ini 7 Ibid., hal. 213. 8 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Penjelasan Umum Angka I. 9 Praktek bagi hasil sudah lama dikenal di Jawa. Ini didukung oleh sifat melindungi secara komunal serta sifat menyerap tenaga kerja dari sistem sosio-ekonomi pedesaan. Tetapi dalam perkembangannya, semakin LILIS NUR FAIZAH www.zeilla.wordpress.com bertujuan menegakkan keadilan dalam hubungan pemilik tanah yang tidak dapat mengerjakan tanahnya sendiri, dengan penggarap. Perlindungan ini terutama ditujukan kepada penggarap yang umumnya secara ekonomis lebih lemah sekaligus memacunya untuk menambah produksi10. Demikian juga Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah pertanian. Salah satu konsepsi terpenting dalam UUPA yang kemudian mendasari berbagai peraturan lainnya adalah Hak Menguasai Negara dan fungsi sosial hak atas tanah. Berikut ini diuraikan secara umum tentang kedua asas terpenting ini. Hak Menguasai Negara Ini dirumuskan untuk pertama kalinya secara formal dalam UUPA 1960 dengan memberi wewenang kepada Negara untuk11: (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; (b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; banyaknya tuan tanah dan timpangnya penguasaan dan pemilikan atas tanah menimbulkan perbandingan bagi hasil yang mengkhawatirkan. Lihat, Justus M. van der Kroef, Penguasaan Tanah dan

Struktur Sosial di Pedesaan Jawa, diterjemahkan dari Land Tenure and Social Structure in Rural Java, Approaches to Community Development, volume 25, Bab IX, 1960, dalam Sediono MP Tjondronegoro&Gunawan Wiradi, Op. Cit., hal. 156-157. Terdapat juga pendapat yang mengatakan bahwa sistem bagi hasil ini merupakan praktek adat yang dipengaruhi oleh feodalisme dan karenanya termasuk hukum adat yang disaneer. Inilah satu alasan yang menyebabkan UU Bagi Hasil kemudian tidak diterapkan pada masa Orde Baru. Padahal menurut penelitian yang dilakukan oleh Bernard L. Tanya, terdapat juga praktek bagi hasil dalam masyarakat hukum adat di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur dimana besaran bagi hasil justru ditentukan oleh penggarap dengan alasan telah mengeluarkan tenaga dan biaya untuk benih, sehingga pemilik disini hanya mendapat 10% dari hasil panen. Ini dipengaruhi juga oleh nilai adat saling memangku adat, bahwa hubungan bapak (pemilik) dan anak (penggarap) ladang dan sawah tadah hujan tidak boleh saling merugikan. Rikardo Simarmata, 2006, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP Regional Centre in Bangkok, hal. 62 (footnote). 10 Sediono MP Tjondronegoro&Gunawan Wiradi, Loc. Cit. 11 Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 2 UUPA. Menurut beberapa tokoh, paham ini dipengaruhi paham Negara integralistik yang berkembang saat itu dan didukung terutama oleh Soekarno dan Supomo. Kesatuan antara masyarakat dan Negara dimana kepentingan individu dan kelompok larut dalam kepentingan Negara (mirip dengan konsep Rousseau tentang masyarakat organis) sehingga tidak terjadi pertentangan hak dan kepentingan warga masyarakat dan Negara. Individu ditempatkan di bawah nilai masyarakat sebagai keseluruhan. Lihat Frans Magnis Suseno, 1993, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta, hal. 94-96. LILIS NUR FAIZAH www.zeilla.wordpress.com (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Kewenangan HMN tersebut dipahami dalam kerangka hubungan antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya sebagai hubungan penguasaan, bukan hubungan pemilikan seperti di negara Barat maupun di negara negara komunis. Negara dalam hal ini sebagai Badan Penguasa yang pada tingkatan tertinggi berwenang mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan dengan tanah. Sebagai penerima kuasa, maka negara harus mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat sebagai pemberi kuasa12. Dengan ini AP. Parlindungan menyebutnya sebagai hak rakyat pada tingkat Negara13. Prof. Maria SW Sumardjono mengatakan bahwa kewenangan negara ini harus dibatasi dua hal: pertama, oleh UUD 1945. Bahwa hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Peraturan yang bias terhadap suatu kepentingan dan menimbulkan kerugian di pihak lain adalah salah satu bentuk pelanggaran tersebut. Seseorang yang

melepas haknya harus mendapat perlindungan hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanan tersebut. Kedua, pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan kewenangan ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak swasta karena menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan. Pendelegasian kepada swasta yang merupakan bagian dari masyarakat akan menimbulkan konflik kepentingan, dan karenanya tidak dimungkinkan14. 12 Maria SW Sumardjono, 1998, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep Penguasaan Tanah oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, tanggal 14 Februari 1998 di Yogyakarta. 13 AP. Parlindungan, 1991, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, hal. 40. 14 Ibid. Dua pembatasan tersebut menjadi penting mengingat HMN merupakan suatu konsepsi pokok dalam UUPA yang kemudian dijadikan sumber dari Undang-Undang atau pun regulasi lainnya yang dirumuskan LILIS NUR FAIZAH www.zeilla.wordpress.com Fungsi Sosial Hak atas Tanah Dianutnya prinsip fungsi sosial dalam UUPA tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok saat itu. Agar tidak terjadi akumulasi dan monopoli tanah oleh segelintir orang, dimasukkan unsur masyarakat atau kebersamaan dalam penggunaannya. Sehingga dalam hak individu ada hak kebersamaan. Negara berwenang membatasi individu maupun badan hukum dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar, karena itu lahirlah peraturan landreform. Pengaturan batas pemilikan atas tanah oleh perseorangan dilakukan sehingga pemilikan itu hanya dihubungkan dengan usaha mencari nafkah dan penghidupan yang layak, atau hanya digunakan untuk pemukiman, pertanian dan perindustrian rumah. 2. Tinjauan Historis Landreform a. ORDE LAMA Sebagaimana disebut sebelumnya, peraturan mengenai redistribusi tanah telah diawali dengan UndangUndang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah pertanian. Secara historis, Orde Lama telah menempatkan landreform sebagai kebijakan revolusioner dalam pembangunan semestanya. Bahwa syarat pokok untuk pembangunan tata perekonomian adalah antara lain pembebasan berjutajuta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan melaksanakan landreform menurut ketentuan hukum nasional Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara. TAP MPRS RI Nomor II/MPRS/1960 dan Manifesto Politik menyebut tiga landasan filosofis pembangunan pada masa ini yaitu: anti penghisapan atas manusia oleh manusia (I

kemudian berdasar perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh, pembatasan Konstitusi. Dengan semakin kuatnya pengakuan Konstitusi pasca Amandemen terhadap hak asasi manusia, maka pengaturan tentang pengambilalihan hak milik atas tanah harus benar-benar memperhatikan asas ini. LILIS NUR FAIZAH www.zeilla.wordpress.com exploitation de I homme per I homme); kemandirian ekonomi; dan anti kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan landreform sebagai agenda pokoknya. Demikian juga dari jumlah Peraturan Perundang-Undangan bidang Hukum Pertanahan Periode 19601966, sebagian besar dari keseluruhan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pada masa ini adalah tentang landreform dan pengurusan hak atas tanah15. Tampak jelas bahwa era pemerintahan ini meletakkan isu agraria sebagai pokok bidang yang harus segera diprioritaskan. Landreform sebagai bagian mutlak daripada revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan sebagai alat penghisapan. Menurut Utrecht, landreform merupakan strategi politik agraria yang dilatarbelakangi oleh perseteruan beberapa kepentingan, terutama kepentingan para petani tak bertanah melawan kepentingan para tuan tanah16. Kepentingan dari dua golongan ini muncul pula di tingkat elite kenegaraan, dimana terbentuk tiga golongan yaitu golongan radikal yang mengusulkan pembagian tanah berdasar prinsip tanah bagi mereka yang benar-benar menggarapnya. Sedangkan mereka yang memiliki tanah luas adalah telah melakukan penghisapan terhadap manusia lainnya. Golongan ini terdiri dari PKI, PNI dan Partai Murba. Golongan kedua adalah golongan konservatif yang terdiri dari Partai-partai Islam dan sebagian PNI. Inti dari pendapat golongan ini adalah penolakan dilakukannya pembatasan atas luas pemilikan tanah dan tuduhan pemilikan tanah luas sebagai penghisapan. Sedangkan golongan ketiga adalah golongan yang kompromis terhadap kedua golongan lainnya. Mereka menerima pendapat golongan radikal 15 Perinciannya adalah sebagai berikut: Land Reform terdiri dari 4 Undang-Undang, 2 Peraturan Pemerintah, 3 Keputusan Presiden, 10 Peraturan Menteri, 12 Keputusan Menteri, 9 Surat Edaran Menteri (40 peraturan); dan tentang Pengurusan Hak Tanah terdiri dari 1 Undang-Undang, 3 Peraturan Pemerintah, 2 Keputusan Presiden, 1 Instruksi Presiden, 4 Peraturan Menteri, 10 Keputusan Menteri, 7 Surat Edaran Menteri (28 peraturan), dari keseluruhan yang berjumlah 92 peraturan. Lihat dalam Nurhasan Ismail, 2006, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan EkonomiPolitik, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hal. 185. 16 Noer Fauzi, 1999, Petani&Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia, kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 141. LILIS NUR FAIZAH www.zeilla.wordpress.com

tetapi dengan penerapan yang bertahap. Dalam golongan inilah Soekarno dan Sadjarwo (Menteri Agraria) sebagai dua tokoh penting dalam perumusan UUPA menjadi anggotanya17. Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah. Kemudian penentuan tanah-tanah berlebih (melebihi batas maksimum pemilikan) yang selanjutnya dibagi-bagikan kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah. Termasuk juga pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Tetapi ketiga program tersebut mengalami hambatan sebagaimana dikatakan oleh Sadjarwo bahwa kelemahan administrasi yang tidak sempurna yang menyulitkan redistribusi tanah; dan kurangnya dukungan baik itu dari rakyat, organisasi petani, organisasi politik, tokoh-tokoh dan panitia landreform sendiri. Hal ini kemudian menyebabknan terjadinya aksi sepihak, baik itu oleh petani yang lapar tanah maupun tuan tanah18. Akibat banyaknya aksi sepihak ini, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform. Sehingga dapat dikatakan bahwa program landreform sebagai awalan pelaksanaan tujuan tersebut, pada penerapannya mengalami kegagalan19. Hal itu karena20: 1. Kelambanan praktek-praktek pemerintah dalam pelaksanaan Hak Menguasai Negara; 2. Tuntutan organisasi dan massa petani yang ingin meredistribusikan tanah secara segera sehingga kemudian timbul aksi sepihak; 3. Unsur-unsur anti landreform yang melakukan berbagai mobilisasi kekuatan tanding dan siasat mengelak dari dan untuk menggagalkan landreform; 17 Ibid. 18 Noer Fauzi, Op. Cit., hal. 143-144. 19 Terjadinya aksi sepihak, baik itu dalam arti aksi sepihak yang dilakukan oleh petani (di bawah naungan BTI) maupun oleh tuan tanah karena keduanya sama-sama tidak memperhatikan prosedur normal landreform. 20 Noer Fauzi, Op. Cit., hal. 124. LILIS NUR FAIZAH www.zeilla.wordpress.com 4. Terlibatnya unsur kekerasan antara kedua pihak yaitu yang pro dan kontra landreform. Konflik ini bahkan memuncak dan menimbulkan konflik yang lebih besar di dalam konflik elite politik yang berujung pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan jatuhnya rezim Orde Lama. Akan halnya hasil dari program landreform masa inimenurut Utrechtadalah diredistribusikannya sekitar 450.000 hektar21, yaitu sejak program ini dicanangkan pertama kalinya hingga akhir tahun 1964.

Perinciannya adalah tahap I sejumlah 296.566 hektar dan tahap II sejumlah 152.502 hektar karena tahap II ini belum selesai. Pembagian ini terutama baru dilaksanakan di Pulau Jawa, Madura, Bali dan Nusa Tenggara. Sedangkan tanah kelebihan yang telah ditentukan adalah 337.445 hektar. b. ORDE BARU Berbeda dengan Orde Lama, pemerintahan Soeharto ini memfokuskan pembangunan pada pertumbuhan ekonomi, dan memulai kebijakan pembangunan ekonominya dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing untuk menarik investasi asing dalam pengelolaan sumber daya alam. Terjadi denasionalisasi (privatisasi) perusahaan asing pada tahun 1967 yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh pemerintahan Soekarno pada tahun 1958. Hal ini dengan alasan kondisi perekonomian yang kritis dan defisit sebagai peninggalan Orde Lama. Bahkan sebelumnya dilakukan negosiasi penjadwalan ulang atas utang-utang luar negeri sekaligus mengajukan pinjaman-pinjaman baru22. Stigma PKI atau subversif sering dicapkan kepada orang-orang atau organisasi-organisasi yang tidak se-ide dengan rezim ini sehingga terjadi pembekuan gerakan-gerakan 21 Ibid., hal. 147. 22 Rikardo Simarmata, Op. Cit., hal. 64-65. LILIS NUR FAIZAH www.zeilla.wordpress.com revolusioner. Sebagaimana landreform yang merupakan salah satu kebijakan Orde Lama yang populis, dianggap sebagai produk PKI sehingga dihentikan secara total. Bahkan perebutan kembali tanah-tanah yang semula dientukan sebagai tanah kelebihandan karenanya menjadi objek redistribusi tanah dilakukan oleh sejumlah tuan tanah. Kebijakan landreform pada masa ini hanya sebagai masalah tehnis, atau sebagai program rutin birokrasi pembangunan. Rezim ini menghapus peraturan perundang-undangan yang menjadi pokok landreform, terutama dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 yang menghapus Undang-Undang tentang Pengadilan Landreform dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil yang secara sosiologis tidak diberlakukan pada era ini. Konsepsi hukum agraria Orde Lama yang cenderung populis sebagaimana dalam UUPA, diganti dengan konsepsi yang berorientasi pada pembangunan ekonomi. Landreform yang menjadi program pokok Orde Lama dalam pemerataan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi terabaikan. Kebijakan pertanahan Orde Baru lebih ditujukan pada pemusatan penguasaan atas tanah dan pembangunan ekonomi yaitu dengan peningkatan produksi pertanian sehingga tercapai swasembada pangan (melalui Revolusi Hijau) dan bahkan ekspor hasil pertanian ke sejumlah negara lain.

Dari data yang diperoleh pada Sensus Pertanian yang dilakukan tahun 1993, didapatkan data penguasaan tanah pertanian sebagai berikut: (1) 22, 41% dari 19.713.806 rumah tangga tani hanya menguasai tanah seluas 0,25 sampai 0,49 hektar lahan pertanian; (2) 48,61% memguasai lahan lebih dari 0,5 hektar. Tetapi terdapat perincian yang menunjukkan ketimpangan yang tajam dalam penguasaan dan pemilikan tanah pertanian tersebut, yaitu: (1) 8.726.343 atau 48,54% dari keseluruhan rumah tangga tani hanya menguasai 13,6% dari keseluruhan lahan pertanian; (2) 217.720 atau 1,21% dari keseluruhan rumah tangga tani menguasai 1.457.477,46 hektar atau 9,44% dari keseluruhan lahan pertanian yang ada. Dari data tersebut, berarti kelompok pertama hanya menguasai lahan pertanian rata-rata seluas 0,24 hektar, sedangkan LILIS NUR FAIZAH www.zeilla.wordpress.com kelompok kedua rata-rata penguasaannya adalah sekitar 22,174 hektar23. Data tersebut menunjukkan ketimpangan penguasaan tanah pada rezim ini yang didominasi oleh para pemilik modal. Demikian juga dalam hal penguasaan akan hutan dan sumber daya agraria lainnya. Selain itu, dalam hal pendaftaran tanah, rezim ini juga kemudian mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang dinilai banyak pihak merupakan agenda Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional lainnya di Indonesia. Berbeda dengan produk Orde Lama yang bertujuan untuk kepentingan penataan penguasaan tanah melalui landreform, produk hukum Orde Baru tentang pendaftaran tanah ini adalah demi yang disebut kepastian hukum dari pemilikan hak atas tanah melalui sertifikat. Perbedaan lainnya adalah jika UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 lebih mendasarkan pada pendaftaran tanah dengan stelsel negatif. Bahwa apa-apa yang terdaftar tidak secara otomatis dan mutlak menjamin kebenaran akan pemilikan tanah. Sebaliknya dalam stelsel positif, apaapa yang terdaftar merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Dalam stelsel negatif, orang yang sebenarnya berhak atas tanah dapat mengajukan gugatan pada pengadilan atas tanah miliknya meskipun tanah tersebut telah didaftarkan sebagai hak orang lain. Dalam peraturan yang baru disebutkan bahwa masih digunakan stelsel negatif sesuai dengan UUPA. Tapi diakomodir juga stelsel positif, yang diimbangi dengan upaya untuk meningkatkan kebenaran dari data yang terdaftar itu. Ketika ini dikaitkan dengan LAP (Proyek Administrasi Pertanahan) yang mengatakan: ...permasalahan tanah selama ini terletak pada sistem administrasi yang pluralistik yang dimiliki masyarakat adat... terlihat bahwa peraturan ini bertujuan untuk menciptakan homogenitas administrasi pertanahan akan memudahkan kepentingan bisnis untuk memperoleh 23 Biro Pusat Statistik 1993. LILIS NUR FAIZAH www.zeilla.wordpress.com

tanah yang selama ini dimiliki masyarakat adat secara komunal. Dan inilah yang kemudian dinilai banyak pihak semakin mengeliminir keberadaan tanah ulayat. Hasil redistribusi tanah yang didapat pada Juni 1998 adalah dari 1.397.167 hektar yang menjadi objek landreform, baru diredistribusikan sejumlah 787.931 hektar (56,4%) yang diterima oleh sejumlah 1.267.961 rumah tangga tani24. c. ORDE REFORMASI Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang semakin menguat, dan dilaksanakannya sistem desentralisasi, maka semangat pembaruan agraria juga menggema dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang merekomendasikan dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap UUPA. Beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam (agraria) dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi pemerintahan di tahun 1998. Baik itu yang kemudian dinilai merupakan langkah maju maupun yang justru dinilai mundur dari substansi peraturan-peraturan sebelumnya. Landreform kembali masuk dalam program penting pembaruan agraria, yaitu disebutkan dalam pasal 5 TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 bahwa salah satu arah kebijakan pembaruan agraria adalah: - melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah oleh rakyat; - menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sisematis dalam rangka pelaksanaan landreform. 24 Maria SW Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, edisi revisi, Kompas, Jakarta, hal. 51. LILIS NUR FAIZAH www.zeilla.wordpress.com Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, redistribusi tanah pun kembali diagendakan. Berdasarkan catatan Kompas, pembagian 8,15 juta hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada masyarakat miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan. Tanah yang di bagian ini tersebar di Indonesia, dengan prioritas di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah itu berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis, maupun tanah bekas swapraja25. C. KESIMPULAN Dari uraian aspek historis dari landreform di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan dan pelaksanaan landreform dipengaruhi oleh politik hukum agraria pada masing-masing rezim. Tetapi satu hal penting

yang harus diperhatikan adalah bahwa seharusnya landreform bertujuan untuk merombak penguasaan dan pemilikan tanah sehingga berpihak pada petani terutama petani kecil. Bukan suatu program yang digunakan suatu rezim untuk kepentingan politis semata, atau kepentingan ekonomis semata. *** 25 Pembagian Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan, Kompas 30 Januari 2007. LILIS NUR FAIZAH www.zeilla.wordpress.com DAFTAR PUSTAKA Fauzi, Noer, 1999, Petani&Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia, kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Harsono, Boedi, 1999, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, edisi revisi, Djambatan, Jakarta; Ismail, Nurhasan, 2006, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan EkonomiPolitik, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Parlindungan, AP., 1991, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung; Pembagian Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan, Kompas 30 Januari 2007. Simarmata, Ricardo, 2006, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP Regional Centre in Bangkok; Sumardjono, Maria SW, 1998, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep Penguasaan Tanah oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, tanggal 14 Februari 1998 di Yogyakarta; -------, 2001, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, edisi revisi, Kompas, Jakarta; Suseno, Frans Magnis, 1993, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta; Tjondronegoro, Sediono MP. &Gunawan Wiradi, 1984, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta; Wignjosoebroto, Soetandyo, 1994, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosio-Politik Perkembangan Hukum di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta; LILIS NUR FAIZAHhttp://zeilla.files.wordpress.com/2008/05/landreform_historis1.pdf

[ Essays Index ]

[ Profile ]

[ Contact ]

Hukum Agraria Indonesia(Indonesian Land Law) Gary Robert Dean (Universitas Gadjah Mada NIM 96/111909/EK/13500), 17 Januari 1997 Reference: http://okusi.net/garydean/works/hukumagraria.html Dalam pembahasan tentang sejarah Hukum Agraria Indonesia ada dua fase penting yang harus dipertimbangkan, yaitu fase sebelum September 1960, dan fase sesudah tanggal itu. Dalam fase sebelum September 1960 Hukum Agraria Indonesia terdiri atas bagian-bagian dari Hukum Perdata Barat, Hukum Adat orang Indonesia asli, Hukum Antar Golongan dan hukum sesudah proklamasi merupakan pengaruh dari Hukum Tata Negara. Dari semua hal di atas yang paling penting dijadikan landasan Hukum Agraria Indonesia pada zaman penjajahan Belanda adalah Pasal 51 I.S. tahun 1870, juga dikenal dengan nama bahasa Belanda Agrarische Wet. Sebagai pelaksanaan daripada Agrarische Wet adalah Penyataan Domein (Domein Verklaring) yang berbunyi bahwa: "Semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan, bahwa itu eigendomnya adalah tanah domein atau milik Negara." Jadi, Pernyataan Domein ini mempunyai fungsi sangat penting sebagai:

suatu landasan untuk pemerintah supaya dapat memberikan tanah dengan hak-hak Barat, seperti hak eigendom, hak erfpacht, hak opstal dan lain sebagainya. pembuktian pemilikan tanah. Kalau ada seseorang yang mengakui bahwa sebidang tanah adalah hak eigendom-nya, orang itu diwajibkan untuk membuktikan hak ini.

Jadi, jelas bahwa tujuan Agrarische Wet bertentangan dengan keadaan alam kemerdekaan sekarang ini, karena Agrarische Wet itu bertujuan untuk "memberi kemungkinan pada modal besar asing agar berkembang di Indonesia". Sekarang ini Indonesia dalam keadaan merdeka maka modal asing hanya merupakan upaya dan bukan merupakan tujuan. Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 dengan sangat jelas menolak dasar -dasar pikiran pemerintah Belanda yang lebih meberikan keuntungan bagi perusahaan asing di Indonesia daripada untuk orang Indonesia pada masa penjajahan itu: "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat." Jadi, tujuan dari UUD 1945 adalah bahwa sumber daya alam atau kekayaan alam Indonesia dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan hanya untuk memberikan keuntungan bagi pemilik modal asing saja seperti pada Agrarische Wet.

Hindia Belanda menjadi jajahan Belanda sejak tahun 1815 praktis kondisi hukum di Hindia Belanda khususnya hukum perdata bersifat dualistis, atau pluralistis. Di samping Hukum Adat yang merupakan Hukum Perdata untuk penduduk pribumi, penduduk Belanda (penjajah) menerapkan hukum perdata dari negara asalnya. Ketentuan Pasal 131 I.S. adalah ketentuan yang memperlakukan hukum perdata bagi golongangolongan penduduk, dan menerapkan hukum perdata yang berbeda untuk golongan-golongan penduduk tersebut, sehingga menjadikan adanya sistem hukum yang bersifat pluralistis di dalam lapangan hukum perdata. Penerapan hukum perdata ini setelah Indonesia merdeka tetap sama, dan menurut ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa: "Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini." Berdasarkan ketentuan Pasal II A.P. UUD 1945 itu jelas bahwa berlakunya Hukum Perdata Barat ke dalam tatanan hukum Indonesia hanya bersifat sementara sampai diganti dengan yang baru oleh bangsa Indonesia sendiri, jika dinilai Hukum Perdata Barat ini bertentangan atau tidak sesuai dengan jiwa UUD 1945 dan falsafah Pancasila.

Dasar-dasar Pembentukan UUPAHukum Agraria yang baru harus memberi kemungkinan tercapainya penggunaan yang bermanfaat dari bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bagi kepentingan rakyat dan negara. Hukum Agraria baru ini harus juga mewujudkan penjelmaan asas Kerohanian Negara dan citacita Bangsa seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, serta harus merupakan perwujudan ketentuan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. Sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 adalah UU No. 5/1960, yang dikenal dengan istilah Undang-Udang Pokok Agraria (UUPA). Penjelasan tentang sebagian Pasal-pasal dalam UUPA (UU No. 5/1960)

http://okusi.net/garydean/works/HukumAgraria.htm8hukum agraria SEJARAH HUKUM AGRARIA Dalam pembahasan tentang sejarah Hukum Agraria Indonesia ada dua fase penting yang harus dipertimbangkan, yaitu fase sebelum September 1960, dan fase sesudah tanggal itu. Dalam fase sebelum September 1960 Hukum Agraria Indonesia terdiri atas bagian-bagian dari Hukum Perdata

Barat, Hukum Adat orang Indonesia asli, Hukum Antar Golongan dan hukum sesudah proklamasi merupakan pengaruh dari Hukum Tata Negara. Dari semua hal di atas yang paling penting dijadikan landasan Hukum Agraria Indonesia pada zaman penjajahan Belanda adalah Pasal 51 I.S. tahun 1870, juga dikenal dengan nama bahasa Belanda Agrarische Wet. Sebagai pelaksanaan daripada Agrarische Wet adalah Penyataan Domein (Domein Verklaring) yang berbunyi bahwa: "Semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan, bahwa itu eigendomnya adalah tanah domein atau milik Negara." Jadi, Pernyataan Domein ini mempunyai fungsi sangat penting sebagai:

suatu landasan untuk pemerintah supaya dapat memberikan tanah dengan hak-hak Barat, seperti hak eigendom, hak erfpacht, hak opstal dan lain sebagainya. pembuktian pemilikan tanah. Kalau ada seseorang yang mengakui bahwa sebidang tanah adalah hak eigendom-nya, orang itu diwajibkan untuk membuktikan hak ini.

Jadi, jelas bahwa tujuan Agrarische Wet bertentangan dengan keadaan alam kemerdekaan sekarang ini, karena Agrarische Wet itu bertujuan untuk "memberi kemungkinan pada modal besar asing agar berkembang di Indonesia". Sekarang ini Indonesia dalam keadaan merdeka maka modal asing hanya merupakan upaya dan bukan merupakan tujuan. Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 dengan sangat jelas menolak dasar -dasar pikiran pemerintah Belanda yang lebih meberikan keuntungan bagi perusahaan asing di Indonesia daripada untuk orang Indonesia pada masa penjajahan itu: "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat." Jadi, tujuan dari UUD 1945 adalah bahwa sumber daya alam atau kekayaan alam Indonesia dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan hanya untuk memberikan keuntungan bagi pemilik modal asing saja seperti pada Agrarische Wet. Hindia Belanda menjadi jajahan Belanda sejak tahun 1815 praktis kondisi hukum di Hindia Belanda khususnya hukum perdata bersifat dualistis, atau pluralistis. Di samping Hukum Adat yang merupakan Hukum Perdata untuk penduduk pribumi, penduduk Belanda (penjajah) menerapkan hukum perdata dari negara asalnya. Ketentuan Pasal 131 I.S. adalah ketentuan yang memperlakukan hukum perdata bagi golongan-golongan penduduk, dan menerapkan hukum perdata yang berbeda untuk golongan-golongan penduduk tersebut, sehingga menjadikan adanya sistem hukum yang bersifat pluralistis di dalam lapangan hukum perdata. Penerapan hukum perdata ini setelah Indonesia merdeka tetap sama, dan menurut ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa: "Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini." Berdasarkan ketentuan Pasal II A.P. UUD 1945 itu jelas bahwa berlakunya Hukum Perdata Barat ke dalam tatanan hukum Indonesia hanya bersifat sementara sampai diganti dengan yang baru oleh bangsa Indonesia sendiri, jika dinilai Hukum Perdata Barat ini bertentangan atau tidak sesuai dengan jiwa UUD 1945 dan falsafah Pancasila.

ASAS DALAM AGRARIA

Pasal 1

(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. (2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. (3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. (4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. (5) Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia. (6) Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air tersebut ayat 4 dan 5 pasal ini. Pasal 2 (1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. (4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar

diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuanketentuan Peraturan Pemerintah. Pasal 3 Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Pasal 4 (1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersamasama dengan orang lain serta badan-badan hukum. (2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undangundang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Pasal 5 Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatau dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Pasal 6 Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Pasal 7 Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Pasal 8

Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa. Pasal 9 (1) Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2. (2) Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Pasal 10 (1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan megerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan. (2) Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat 1 ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan. (3) Pengecualian terhadap azas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam peraturan perundangan. Pasal 11 (1) Hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa serta wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur, agar tercapai tujuan yang disebut dalam pasal 2 ayat 3 dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas. (2) Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah. Pasal 12 (1) Segala usaha bersama dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentukbentuk gotong royong lainnya. (2) Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha-usaha dalam lapangan agraria. Pasal 13

(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 3 serta menjamin bagi setiap warganegara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. (2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta. (3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang. (4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha di lapangan agraria. Pasal 14 (1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat 2 dan 3, pasal 9 ayat 2 serta pasal 10 ayat 1 dan 2 Pemeritah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya : a. untuk keperluan Negara; b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan; d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan. (2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat 1 ini dan mengingat peraturanperaturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing. (3) Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan. Pasal 15

Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah

Ketentuan-ketentuan Umum Pasal 16 (1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 ialah : a. hak milik, b. hak guna usaha, c. hak guna bangunan, d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut hasil hutan, h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53. (2) Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 3 ialah : a. hak guna air, b. hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, c. hak guna ruang angkasa. Pasal 17 (1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 3 diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.

(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat. (3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat 2 pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah. (4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur. Pasal 18 Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang. Pendaftaran Tanah Pasal 19 (1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi : a. pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah; b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. (3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomis serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria. (4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

HAK ATAS TANAH BERSIFAT TETAP

Hak Milik Pasal 20 (1) Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6. (2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pasal 21 (1) Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik. (2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya. (3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. (4) Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 pasal ini. Pasal 22 (1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hak milik terjadi karena : a. penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; b. ketentuan undang-undang. Pasal 23 (1) Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.

(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut. Pasal 24 Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan perundangan. Pasal 25 Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Pasal 26 (1) Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatanperbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat 2, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa pihak-pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Pasal 27 Hak milik hapus bila : a. tanahnya jatuh kepada Negara : 1. karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18; 2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya; 3. karena ditelantarkan; 4. karena ketentuan pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2. b. tanahnya musnah. Bagian IV Hak guna usaha

Pasal 28 (1) Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. (2) Hak guna usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. (3) Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pasal 29 (1) Hak guna usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun. (2) Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna usaha untuk waktu paling lama 35 tahun. (3) Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini dapat di[erpanjang dengan waktu paling lama 25 tahun. Pasal 30 (1) Yang dapat mempunyai hak guna usaha ialah : a. warganegara Indonesia; b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. (2) Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika hak guna usaha yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 31 Hak guna usaha terjadi karena penetapan Pemerintah.

Pasal 32 (1) Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuanketentuan yang dimaksud dalam pasal 19. (2) Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir. Pasal 33 Hak guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Pasal 34 Hak guna usaha hapus karena : a. jangka waktunya berakhir; b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d. dicabut untuk kepentingan umum; e. ditelantarkan; f. tanahnya musnah; g. ketentuan dalam pasal 30 ayat 2. Hak guna bangunan Pasal 35 (1) Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. (2) Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat 1 dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. (3) Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Pasal 36 (1) Yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah : a. warganegara Indonesia; b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. (2) Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika hak guna bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 37 Hak guna bangunan terjadi : a. mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara : karena penetapan pemerintah; b. mengenai tanah milik : karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak guna bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut. Pasal 38 (1) Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19. (2) Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir. Pasal 39 Hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Pasal 40 Hak guna bangunan hapus karena :

a. jangka waktunya berakhir; b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d. dicabut untuk kepentingan umum; e. ditelantarkan; f. tanahnya musnah; g. ketentuan dalam pasal 36 ayat (2). Hak pakai Pasal 41 (1) Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undangundang ini. (2) Hak pakai dapat diberikan : a. selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu; b. dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. (3) Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsurunsur pemerasan. Pasal 42 Yang dapat mempunyai hak pakai ialah : a. warga negara Indonesia; b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;

d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Pasal 43 (1) Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang.(2) Hak pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.

Hak sewa untuk bangunan Pasal 44 (1) Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. (2) Pembayaran uang sewa dapat dilakukan : a. satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu; b. sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan. (3) Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai syaratsyarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan. Pasal 45 Yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah : a. warganegara Indonesia; b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; d. badan hukum asing yang mempunyai perwalikan di Indonesia. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan Pasal 46 (1) Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warganegara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu. Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan Pasal 47 (1) Hak guna air ialah hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu di atas tanah orang lain. (2) Hak guna air serta pemeliharaan dan penangkapan ikan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hak yang bersifat sementara diatur dalam pasal 53 UUPA Hak guna ruang angkasa Pasal 48 (1) Hak guna ruang angkasa memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu. (2) Hak guna ruang angkasa diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial Pasal 49 (1) Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. (2) Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai. (3) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.KONVERSI

Pasal 1

(1) Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21. (2) Hak eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing, yang dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman Kepala Perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat 1, yang akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut di atas. (3) Hak eigendom kepunyaan orang asing, seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan-badan hukum, yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai dimaksud dalam pasal 21 ayat 2 sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1 dengan jangka waktu 20 tahun. (4) Jika hak eigendom tersebut dalam ayat 1 pasal ini dibebani dengan hak erfpacht, maka hak opstal dan hak erfpacht itu sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1, yang membebani hak milik yang bersangkutan selama sisa waktu hak opstal atau hak erfpacht tersebut di atas, tetapi selama-lamanya 20 tahun. (5) Jika hak eigendom tersebut dalam ayat 3 pasal ini dibebani dengan hak opstal atau hak erfpacht, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut dan pemegang hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria. (6) Hak-hak hypotheek, servituut, vruchtgebruik dan hak-hak lain yang membebani hak eigendom tetap membebani hak milik dan hak guna bangunan tersebut dalam ayat 1 dan 3 pasal ini, sedang hak-hak tersebut menjadi suatu hak menurut Undang-undang ini. Pasal II (1) Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 20 ayat 1 seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, yaitu: hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant Sultan, landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat 1, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21. (2) Hak-hak tersebut dalam ayat 1 kepunyaan orang asing, warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai yang dimaksud dalam Pasal

21 ayat 2 menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria. Pasal III (1) Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna usaha tersebut dalam pasal 28 ayat 1 yang akan berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun. (2) Hak erfpacht untuk pertanian kecil yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut hapus dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuanketentuan yang diadakan oleh Menteri Agraria. Pasal IV (1) Pemegang concessie dan sewa untuk perusahaan kebun besar dalam jangka waktu satu tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini harus mengajukan permintaan kepada Menteri Agraria, agar haknya diubah menjadi hak guna usaha. (2) Jika sesudah jangka tersebut lampau permintaan itu tidak diajukan, maka concessie dan sewa yang bersangkutan berlangsung terus selama sisa waktunya, tetapi paling lama lima tahun dan sesudah itu berakhir dengan sendirinya. (3) Jika pemegang hak concessie atau sewa mengajukan permintaan termaksud dalam ayat 1 pasal ini tetapi tidak bersedia menerima syarat-syarat yang ditentukan oleh Menteri Agraria, ataupun permintaannya itu ditolak oleh Menteri Agraria, maka concessie atau sewa itu berlangsung terus selama sisa waktunya, tetapi paling lama lima tahun dan sesudah itu berakhir dengan sendirinya. Pasal V Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1 yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun. Pasal VI Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat 1 seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, yaitu : hak vruchtgerbruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat 1, yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana

yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. Pasal VII (1) Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut pada pasal 20 ayat 1. (2) Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai tersebut pada pasal 41 ayat 1, yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini. (3) Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak tetap, maka Menteri Agrarialah yang memutuskan. Pasal VIII (1) Terhadap hak guna bangunan tersebut pada pasal 1 ayat 3 dan 4, pasal II ayat 2 dan pasal V berlaku ketentuan dalam pasal 36 ayat 2. (2) Terhadap hak guna usaha tersebut pasal II ayat 2, pasal III ayat 1 dan 2 dan pasal IV ayat 1 berlaku ketentuan dalam pasal 30 ayat 2. Pasal IX Hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal di atas diatur lebih lanjut oleh Menteri Agraria.

LANDREFORM Pengertian Landreform dalam arti sempit mengandung arti serangkaian tindakan dalam rangka agrarian reform Indonesia. Sedang dalam arti luas mengandung arti perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengasaan tanah. Tujuan Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna merealisasi keadilan sosial. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan objek pemerasan. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan yang berfungsi sosial.

Untuk mengakhiri system tuan-tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk setiap keluarga. Mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil dibarengi dengan system perkreditan yang khusus ditujukan kepada golongan tani. Program Landreform meliputi : Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah. larangan pemilikan tanah secara absentee atau guntai. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah negara. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil. Dasar Hukum Dalam UUPA aturan tentang landreform ini dapat ditemukan dalam 3 pasal yaitu Pasal 7, 10 dan 17 UUPA. Pasal 7 menyebutkan : Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas, tidak diperkenankan. Pasal 10 (1) menyebutkan : (1). Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian, pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan. (2). Pelaksanaan dari pada ketentuan ayat (1) pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan. (3). Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat (1) pasal ini, diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 17 menyebutkan : (1). Dengan mengingkat ketentuan dalam pasal 7, maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan suatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh suatu keluarga atau badan hukum. (2). Penetapan batas maksimum termaktub dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundang-undangan di dalam waktu yang singkat. (3). Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaktub dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentruan dalam peraturan pemerintah. (4). Tercapainya batas minimum sebagaimana termaktub dalam ayat (1) pasal ini yang akan ditetapkan dengan peraturan perundang-undagan, dilaksanakan secara berangsur-angsur. Peraturan lebih lanjut Sebagai tindak lanjut dari ketentuan di atas, maka pemerintah menerbitkan UU No 56 Prp

Tahun 1960 Tentang penetapan luas tanah pertanian. Undang-undang ini mengatur tiga hal yaitu : 1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian. 2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil, serta, 3. Serta soal pengembalian dan menebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan. Luas Maksumum Tanah Pertanian Luas maksimum tanah pertanian ditetapkan berdasarkan kepadatan penduduk dan jenis tanah, dengan catatan harus memperhatikan keadaan sosial dan ekonomi daerah yang bersangkutan. Hal ini tegas disebutkan dalam Keputusan Menteri Agraria No. Sk/978/Ka/1960, tanggal 31 Desember 1960. Batas maksimal tanah pertanian yang dapat dimiliki tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini : Jumlah penduduk Tiap kilometer persegi Penggolongan daerah Jenis Tanah Sawah Tanah Kering > 50 Tidak Padat 15 20 51 - 250 Kurang Padat 10 12 251 400 Cukup Padat 7,5 9 < 401 Sangat Padat 5 6 Batas Minimal Tanah Pertanian. Menurut Pasal 8 UU No 56 Prp Tahun 1960, luas minimal tanah pertanian yang harus dimiliki oleh petani sekeluarga adalah 2 hektar, dan inilah tujuan yang secara berangsur-angsur harus diusahakan untuk dicapai. Peraturan pelaksana landreform lainnya : Peraturan pelaksana tentang landreform lainnya diatur dalam PP No 224 tahun 1961. Dalam peraturan ini ditetapkan ketentuan tentang pembagian tanah kelebihan dan pengecualian dari larangan absentee atau guntai. Pengecualian dari larangan absentee adalah pegawai negeri serta para anggota angkatan bersenjata Republik Indonesia. Sedang bagi pensiunan pegawai negeri dan janda pensiunan pegawai negeri selama tidak menikah lagi dengan seorang yang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri, dikecualikan dari larangan absentee sampai dengan 2/5 dari batas maksimum. Beberapa Ketentuan Dalam Pelaksanaan Landreform : 1. Absentee artinya larangan memiliki tanah pertanian diluar kecamatan dimana pemilik bertempat tinggal. 2. Latifundia, pemilikan tanah yang melampaui batas maksimal. 3. Minifundia, pemilikan tanah yang jauh melampaui batas minimal. 4. Fragmentasi, larangan memecah-mecah atau membagi-bagi tanah sehingga jumlahnya jauh dibawah batas minimal. Aturan Gadai Tanah Pertanian Dalam UU No 56 Prp Tahun 1960. Dalam hukum adat gadai berarti menyerahkan sebidang tanah kepada orang lain dengan

menerima sejumlah uang. Selama uang tebusan belum dibayar, maka selama itu pula tanah dikuasai oleh orang yang memberikan uang. Oleh karena itu dalam hukum adat, gadai tidak akan berakhir, selama belum ditebus. Oleh karena itu menurut Budiharsono, gadai menurut versi hukum adat mengandung unsure eksploitasi, karena hasil yang diterima pemegang gadai dari tanah yang bersangkutan, setiap tahunnya jauh lebih besar, jika dibandingkan dengan apa yang merupakan bunga yang layak dari uang gadai yang diterima pemilik tanah. Disamping itu pada umumnya kedudukan ekonomi pemegang gadai lebih kuat dibandingkan dengan pemilik tanah. Oleh karena pelaksanaan gadai versi hukum adat tidak sesuai dengan prinsip UUPA yaitu memberikan perlindungan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah, maka pemerintah mengatur pelaksanaan gadai tanah pertanian ini melalui Pasal 7 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960. Dalam Pasal 7 disebutkan bahwa gadai yang telah berlangsung selama 7 tahun, maka gadai dinyatakan berakhir dan tanah dikembalikan kembali kepala pemilik tanah tanpa tebusan. Ketentuan yang demikian ini menurut Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 6 Maret 1971 No 180/K/Sip.1970, bersifat memaksa dan tidak dapat dilunakkan karena telah diperjanjikan oleh kedua belah pihak, karena hal ini sangat bertentangan dengan prinsip lembaga gadai. Berkaitan dengan aturan penebusan benda gadai yang kurang dari 7 tahun, maka pemerintah memberikan jalan keluar dengan memberi rumus sebagai berikut : (7+1/2) Waktu berlangsungnya gadai x Jumlah uang gadai http://triwantoselalu.blogspot.com/2008/10/hukum-agraria.htm HUKUM AGRARIA

SEJARAH HUKUM AGRARIADalam membicarakan sejarah hukum agraria,kita perlu meninjau dahulu sejarah kehidupan manusia dan dalam lintasan sejarah inipulalah hukum agraria itu lahir dan berkembang. Sejarah kehidupan manusia pada dasarnya dapat dijabarkan melalui tahap-tahap berikut ini. Dalam tahap I, manusia dalam kehidupan yang dikatakan primitif,baru mengenal meramu sebagai sumber penghidupannya yang pertama kali dan satu-satunya pula.Pada tahap ini oarang tentu saja masih secara nomaden atau mengembara tanpa tempat tinggal yang tetap dari hutan yang satu ke hutan yang lain dan dari daerah satu ke daerah yang lain. Dalam tahap II, manusia telah menemukan mata pencaharian baru yakni berburu yang biasanya juga masih dilakukan oleh nomden yakni mengembara dari hutan ke hutan mengikuti hewan buruan yang ada. Dalam tahap III manusia menemukan mata pencaharian yang baru lagi, yakni berternak meskipun sistem pelaksanaannya pun masih primitif dan nomaden pula. Dalam tahap ini, mata pencaharian manusia masih tetap berternak namun pola hiup manusia kemudian berubah dari hidup mengembara menjadi pola hidup menetap. Tetapi dalam pola ternak yang menetap ini, manusia tidak mempersoalkan pengetahuannya dalam bidang pertanahan megingat sebagian besar pemikiran mereka masih berpusat

pada bidang peternakan. Dalam tahap IV yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari pola hidup menetap, barulah manusia mulai bercocok tanam sebagai mata penchariannya. Pada tahap inilah baru manusia memikirkan an mempersoalkan keadaan tanah mengingat kepentingannya sehubungan dengan mata pencahariannya yang baru itu. Tetapi pengetahuan tentang hal pertanahan manusia pada masa itu tentu saja masih sangat sederhana dan sepit, terbatas hanya pada hal-hal yang berkenaan dengan keperluan atau masalah yang tengah dihadapnya saja. Disamping itu kehidupan manusia dalam tahap ini pun masih bersifat sangat pasif terhadap alam, artinya manusia hanya bias menerima saja segala akibat yang ditimbulkan oleh alam tanpa sedikitpun bisa berusaha mencegahnya, misalnya dalam hal terjadi bencana alam seperti banjir dan sebagainya. Manusia pada masa itu paling-paling hanya dapat mengelakkannya saja dengan satu-satunya cara mengembara atauberpindah-pindah ke daerah yang lain dan memulaimata pencaharian mereka itu dari awal lagi. Jadi pada masa itu manusia memang telah mengenal hal-ihwal pertanahan, tetapi belum mampu mengubah alam yang tentunya disebabkan karena masih kurangnya atau sangat terbatasnya pengetahuan dan ketiadaan alat. Dalam tahap V, pola hidup berkelompok sudah semakin umum mewarnai kehidupan manusia. Dalam tahap ini manusia telah mengenal mata pencaharian berdagang barter tetapi tentu masih dalam taraf,pola dan system sederhana, yakni tukar-menukar barang. Dalam system atau pola perdagangan ini, uang sebagai alat tukar umum belum dikenal orang karena pembayaran atas pembelian suatu barang dilakukan melalui pertukarannya dengan barang lain yang harganya dianggap sebanding. Bersamaan dengan berkembangnya perdagangan ini, kian berkembang pula mata pencaharian bercocok tanam sehingga dengan demikian berarti bahwa perhatian dan pengetahuan orang pada bidang pertanahan kian berkembang pula. Dalam tahap inilah Hukum Agraria mulai lahir meskipun belum secara formal maupun material dapat dikatakan masih sangat primitive, masih sangat jauh dari memadahi. Hal ini tentu saja disebabkan karena dalam hukum agraria yang masih primitif itu pengaturan hak dan kewajiban timbal-balik antara penguasa dan warga masih belum serasi. Melalui perkembangan zaman, Hukum Agraria tersebut menjadi kian berkembang mengalami berbagai penempurnaan dan pembaharuan setahap demi setahap hingga sekarang ini. Jadi riwayat sejarah Hukum Agraria sebagamana juga bidang hukum lainnya mulai lahir dan berkembang melalui suatu evolusi yang lama dan panjang, sejak mulai adanya pengetahuan dan inisiatif manusia untuk menciptakan kehidupan serasi melalui hokum yang berkenaan dengan pertanahan, yang dalam hal ini dapat kita anggap sebagai embrio Hukum Agraria itu sendiri. Selanjutnya pada zaman Hindia Belanda, Hukum Agraria dibentuk berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan Belanda dahulu yang merupakan dasar politik Agraria Pemerntah Hindia Belanda dengan tujuan untuk mengembangkan penanaman modal asing lainnya diperkebunan-perkebunan .Utuk mencapai tujuan ini pemerintah Hindia Belanda telah menciptakan pasal 51 dari Indische Staatregeling dengan 8 ayat. Ke-8 ayat ini kemudian dituangkan ke dalam undang-undang dengan nama Agrariche Wet dan dimuat dalam Stb. 1870-55. Kemudian dikeluarkan keputusan Raja dengan nama Agrarisch Besluit yang dikeluarkan tahun 1870. Agrarisch Besluit ini dalam pasal 1 memuat suatu asas yang sangat penting yang merupakan asas dari semua peraturan Agraria Hindia Belanda. Asas ini disebut Domein Verklaring atau juga bisa disebut asas domein, yaitu asas bahwa semua tanah yang tidak bisa dibuktikan pemiliknya adalah domein

Negara yaitu tanah milik negera Setelah Proklamasi kemerdekaan Negara kita tahun 1945, undang-undang Agraria diatas dengan segala peraturan organiknya dan buku ke-2 KUHS tentang benda, kecuali peratuaran-peraturan mengenai hipotek, telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh undan-undang Pokok Agraria tahun 1960 yang mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960 hingga sekarang hanya berlaku satu undang-undang yang mengatur agraia, yaitu Undang-undang Pokok Agraria No.5/1960. Ini berarti bahwa dalam bidang hukum agraria telah tercapai keseragaman hukum, atau dengan istilah hukumnya telah terdapat unifikasi hukum agrarian yang berarti bahwa berlaku satu hukum agraria bagi semua warga Indonesia. Jadi dualisme dan pluralisme dalam bidang hukum agrarian telah dapat dihapuskan. http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/2010/04/hukum-agraria.html