Upload
bimo-wicaksono
View
18
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tentang agraria
Citation preview
67. Peraturan Pelaksanaan Tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan-peraturan pelaksanaan PP No. 10 Tahun 1961 yang penting antara lain :
a. Peraturan Menteri Agraria No. 10 Tahun 1961 tentang “Penunjukan Pejabat yang
dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah serta Hak dan Kewajibannya” (TLN No. 2344);
b. Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK 19/DDA/1971 tanggal 3 April 1971
tentang “Pembentukan Panitia Ujian PPAT”.
c. Peraturan Menteri Agraria No. 11 Tahun 1961 tentang “Bentuk Akta” (TN No. 2384).
d. Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun 1961 tentang “Permintaan dan Pemberian Izin
Pemindahan Hak atas Tanah” (TLN No. 2346).
e. Peraturan Direktur Jenderal Agraria N. 4 Thun 1968 tentang “Penyelenggaraan dan
Pendaftaran Hipotik Izin Pemindahan Hak atas Tanah”.
f. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. SK 59/DDA/1970 tentang “Penyederhanaan
Peraturan Perizinan Pemindahan Hak atas tanah”.
g. Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961 tentang “Pembebanan dan Pendaftaran
Hipotik serta Credietverband”. (TLN No. 2347).
h. Surat Keputusan Direktur Jenderal Agraria No. SK 67/DDA/68 (tanggal 12 Juni 1968),
tentang “Bentuk Buku Tanah an Sertifikat Hipotik dan Credietverband”.
i. Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1966 tentang “Pendaftaran Hak Pakai dan Hak
Pengelolaan”.
j. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 Tahun 1962 tentang “Penegasan Konversi
dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia atas Tanah”. (TLN No. 2508).
k. Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK 26/DDA/1970 tentang Penegasan
Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia atas Tanah.
l. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 6 Tahun 1964 tentang “Pendaftaran hak-hak
di daerah-daerah di mana pendaftaran tanah belum diselenggarakan menurut Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1961”.
m. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1975 tentang ”Pendaftaran hak atas tanah
kepunyaan bersam dan pemilikan bagian-bagian bangunan yang ada diatasnya serta
penerbitan sertifikatnya”.
n. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16 Tahun 1975 tentang penggantian pendaftaran
tanah dan pemberian sertifikat dalam rangka pengukuran desa demi desa menuju desa
lengkap sesuai dengn Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961.
o. Keputusan Memteri Dalam Negeri No. SK. 107/DJA/1975 tentang Pembentukan Seksi
Pendaftaran Tanah pada Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten dan Kotamadya yang
belum ada Seksi Pendaftaran Tanahnya.
p. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1977 (tanggal 29 Oktober 1977) tentang
“Penyelenggaraan Tata Usaha Pendaftaran Tanah Mengenai hak atas Tanah yang
dipunyai bersama dan pemilikan bagian-bagian bangunan yang ada di atasnya.
q. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tanggal 26 November 1977 tentang
“Tata Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik”.
r. Bab III Tata cara mewakafkan dan Pendaftaran dari PP No. 28 Tahun 1977, LN 1977 No.
38, tentang “Perwakafan Tanah Milik”.
s. Biaya Pendaftaran tanah, Peraturan Menteri dalam Negeri No. 2 Tahun 1978, Peraturan
Mendagri No. 12 Tahun 1978.
t. Keppres No. 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertahanan Nasional/BPN yang
menggantikan peranan Menteri Dalam Negeri dan Dirjen Agraria dalam hal-hal
berkenaan dengan tanah.
68. Pendaftaran sebagai bukti Hak yang Kuat
Tentang ini diberitahukan dalam Memori Penjelasan, bahwa pendaftaran yang diadakan
ini akan bersifat “rechtskadaster”, yakni dalam arti suatu pendaftaran yang bertujuan menjamin
kepastan hukum.
69. Pelaksanaan Pendaftaran Diatur secara Berangsur-angsur
Pemerintah cukup realistis untuk meyakinkan bahwa tentunya pendaftaran ini tidak dapat
diadakan sekaligus dengan serentak di seluruh wilayah Republik Indonesia. Keberatan-keberatan
praktis yang tidak memungkinkan pelaksanaannya dalam jangka waktu telah menghalang-
halangi untuk melaksanakan sesuatu ini untuk tanah-tanah adat. Karena itu tidaklah dapat
terwujud cita-cita tentang kepastian hukum dengan mengadakan wajib pendaftaran untuk tanah-
tanah adat yang meliputi areal yang sangat luas ini. Jika dibandingkan kuantitas tanah-tanah di
bawah hukum Barat (tanah yang terdaftar) dan tanah-tanah di bawah hukum adat (tanah-tanah
yang tidak terdaftar), maka pernah diibaratkan tanah-tanah Barat ini sebagai “pulau-pulau di
tengah-tengah lautan tanah-tanah dengan hak-hak adat”.
70. Pendaftaran di Kota-ota Didahulukan
Dalam UUPA penguasa telah memberikan suatu “way out” dari kesulitan ini. Pendaftaran
ini tidak akan dilakukan serentak untuk seluruh wilayah Indonesia. Hal ini adalah praktis tidak
mungkin.
Oleh karena itu pemerintah mengemukakan bahwa pendaftaran tanah-tanah ini akan
dilakukan secara berangsur-angsur. Secara tegas dinyatakan daam Memori Penjelasan bahwa
yang akan didahulukan ialah pendaftaran di kota-kota. Baru kemudian secara lambat laun akan
meningkat pendaftaran pada suatu sitem kadaster yang meliputi seluruh wilayah negara.
Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat,
keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut
pertimbangan Menteri Agraria (Pasal 19 ayat 3 UUPA).
71. Pendaftaran Tanah Membawa Kepastian Hukum dan Kepastian Hak atas Tanah
Pemerintah telah mengkedepankan bahwa hukum agraria yang baru ini akan disesuaikan
dengan prinsipi-prinsip yang dikenal dalam stelsel-stelsel hukum agraria di negara-negara
modern. Dengan adanya pendaftaran tanah ini barulah dapat dijamin tentang hak-hak seseorang
di atas tanah. Pihak ketiga pun secara mudah dapat melihat hak-hak apa atau beban apa yang
terletak di atas sbidan tanah. Dengan demikian terpenuhi syarat tentang pengumuman
(“openbaarheid”), yang merupakan salah satu syarat yang melekat kepada hak-hak yang bersifat
kebendaan.
72. Contoh Kesulitan-kesulitan dalam Praktek: Lembaga “Erfpacht” yang
“eeuwigdurend”
Bahwa pendaftaran tanah ini akan mengalami bebagai kesulitan dalam pelaksanaannya,
dapat kita bayangkan bilamana kita mengingat kepada praktek yang sudah-sudah. Oleh
pemerintah india Belanda sebelum perang pernah diadakan juga peraturan khusus yang
mengharuskan diadakannya pendaftaran hak-hak tanah yang berada di dalam suasana hukum
adat. Yang kita maksudkannialah pengalaman berkenaan dengan usaha pembukuan
“eeuwigdurend erfpacht”.
78. Dasar-dasar Hukum Agraria Nasional lainnya
Setelah dikemukakan dasar kesatuan hukum dan kepastian hukum, maka di bawah ini akan
dilanjutkan tinjauan kita tentang dasar-dasar hukum agraria.
79. Dasar Kenasionalan
Dalam hubungan ini perlu kita pertama-tama meminta perhatian untuk dasar
Kenasionalan. Dari berbagai bagian tampak dengan jelas sifat nasional dan UUPA.
Disinggung bahwa hukum agraria yang lama tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi
dan pemerintahan jajahan. Oleh karena it sistem hukum agraria yang diwarisi adalah
bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara yang kini berada dalam proses pelaksanaan
pembangunan nasional. Oleh karen hukum agraria ini tidak sesuai lagi dengan kepentingan
nasional maka perlu diadakan suatu hukum agraria nasional.
80. Hukum Agraria yang Memenuhi kebutuhan Hukum Negara Modern
Hukum Agraria nasional ini harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia dan
memenuhi juga keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria. Jadi hukum
agraria ini harus disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan negara Indonesia sebagai suatu
negara modern dalam hubungan lalu lintas internasional dengan negara-negara lain.
81. Pancasila harus Diwujudkan
Didasarkan perlu pula untuk mengkedepankan bahwa hukum agraria nasional itu harus
mewujudkan sendi filsafat negara Pancasila. Hukum agraria nasional ini haru mewujudkan
penjelmaan sila-sila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan
Keadilan Sosial.
82. Asas Ketuhanan
Asas Ketuhanan dapat terbayang dari berbagai bagian. Selain daripada dalam konsiderans
kita saksikan diberikan tempat pula, misalnya dalam pasal 1 ayat 2. Dalam Pasal 5 UUPA, kita
saksikan adanya ketentuan bahwa hukum adat yang dinyatakan berlaku untuk hukum agraria
nasional yang baru ini, harus “mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
83. Kesatuan Tanah Air
Dalam kenasionalan UUPA dapat kita saksikan dari berbagai bagian tertentu. Dalam
pasal 1 ini dinyatakan bahwa “seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh
rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia” (ayat 1).
Secara resmi dijelaskan bahwa apa yang ditentukan dalam ayat 1 dan 2 dari pasal pertama
ini mengemukakan, bahwa bumi, air dan ruang angkasa di wilayah Indonesia juga menjadi hak
bangsa Indonesia sebagai keseluruhannya. Oleh karena itu adalah selayaknya bahwa hak-hak di
atas bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alamnya adalah juga merupakan milik
bangsa Indonesia sebagai keseluruhan.
84. Semacam Hak Ulayat
Berhubung dengan itu dapatlah diartikan pula hubungan bangsa Indonesia dengan Bumi,
air dan ruang angkasa sebagai merupakan semacam hubungan hak ulayat (beschikkingsrecht)
yang diangkat kepada tingkatan paling atas yaitu pada tingkatan yang mngenai seluruh wilayah
negara.
85. Hubungan yang abadi
Dalam ayat 3 dari Pasal 1 ditegaskan lebih jauh bahwa hubungan antara bangsa Indonesia
dan bumi, air serta ruang angkasa yang termaksud tadi adalah Suatu hubungan yang abadi.
Hubungan yang abadi ini menunjukkan bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai
bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada
pula, maka hubungan ini tidak dapat diputuskan.
86. Apakah Masih Ada Tempat bagi Hak-hak Perseorangan
Hak milik perseorangan masih tetap diakui dalam UUPA. Tatkala Menteri Agraria Mr.
Sadjarwo memberi ceramah tentang Undang-undang Pokok agraria menjelaskan bahwa UUPA
masih diakui hak milik perseorangan. Maka tidaklah beralasan untuk mengemukakan bahwa
UUPA ini didasarkan sama sekali atas dasar-dasar komunistis.
87. Hak Ulayat Bukan Hak Milik
Hubungan hak ulayat yang dikenal dalam hukum adat ini tidaklah merupakan hubungan
hak milik. Menurut hukum adat ini dalam rangka hak ulayat dikenal adanya hak milik
perseorangan. Hanya hak milik ini seolah-olah “dikekang” oleh hak ulayat.
88. hak-hak perseorangan atas Tanah
Disamping hak milik, masih dapat dipunyai lain-lain hak yang tidak sekuat dan sepenuh
seperti hak mili. Hak-hak yang sifatnya kurang “penuh” ini adalah hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, hak sewa dan lain-lain hak yang mungkin diadakan dengan undang-undang
lain (pasal 4 jo. 16).
89. Hubungan antara Hak Negara dan Hak-hal Perseorangan
Sesuai dengan cara pembahasan dalam Memori Penjelasan. Bagaimanakah hubungan
antara hak bangsa (dan negara) dengan hak-hak perseorangan ini. Kita akan tinjau lebih lanjut
hubungan antara negara dan hak-hak di atas tanah.
90. Asas Domein Negara
Dalam sistem hukum agraria Hindia belanda “asas domein” (Domein beginsel,
domeinleer) dijadikan pegangan resmi oleh penguasa. Menurut “asas domein” ini, maka semua
tanah yang oleh pihak lain tidak dibuktikan hak eigendom adalah domein (milik) negara. Seperti
yang telah dikemukakan pada waktu dibicarakan tentang peraturan-peraturan lama yang
dihapuskan dengan berlakunya UUPA, maka tentang teori domein ini pendapat para sarjana
hukum di Indonesia tidak merupakan suatu kebulatan.
91. Teori Domein Dilepaskan dalam UUPA
Yang dimaksud dengan “asas domein” ini ialah semua tanah yang pihak lainnya tidak
dapat membuktikan, bahwa tanah itu tanah eigendom(nya) adalah domein negara. Sekarang asas
domein ini tidak dikenal lagi dalam UUPA.
Dikemukakan, bahwa asas domein ini adalah bertentangan dengan kesadaran hukum
rakyat Indonesia. Asas ini pun dipandang tidak sesuai dengan asas negara yang merdeka dan
modern.
92. Alasan-alasan Pencabutan Asas Ini
Domeinverklaring dicabut karena tidak sesuai dengan kesadaran hukum rakyat indonesia
dan asas dari negara yang merdeka dan modern. Asas domein ini juga tidak perlu dan tidak pada
tempatnya.
93. Negara sebagai Badan penguasa
Adalah lebih tepat jika negara ini kita pandang sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh
rakyat (bangsa). Berdasrkan kualitasnya itu. Negara bertindak selaku Badan Penguaa. Pikiran
yang serupa dapat kita saksikan dari susunan kata-kata dalam pasal 33 ayat 3 daripada UUD
tersebut.
94. Apa Artinya Istilah “Dikuasai”?
Istilah “dikuasai” dalam ayat ini bukan berarti “dimiliki. Istilah “dikuasai” ini berarti
bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan bangsa Indonesia, diberikan wewenang untuk
mengatur sesuatu yang berkenaan dengan tanah.
Apa yang termasuk dalam kekuasaan ini?
Dalam UUPA ditegaskan bahwa hak menguasai dari negara ini memberi wewenang untuk
melakukan berbagai persediaan berkenaan dengan tanah.
95. Hubungan antara Orang dan Tanah
Pemerintah dapat menetapkan hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh seseorang.
Dalam rangka ini pun harus kita lihat berbagai ketentuan tentang hak-hak perseorangan atas
tanah yang ditetapkan dalam UUPA. Misalnya Bab II dari UUPA yang mengatur “hak-hak atas
tanah, air, dan ruang angkasa serta pendaftaran” ini dapat diambil sebagai contoh dari apa yang
merupakan wewenang negara berdasarkan ayat 2 sub b dari Pasal 2 UUPA ini.
96. Perbuatan-perbuatan Huku mengenai Tanah
Penguasa juga diberi wewenang untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa
(Pasal 2 ayat 2 sub c).
97. Syarat-syarat untuk Dapat Mempunyai Hak-hak atas Tanah
Salah satu syaratnya adalah syarat kewargenagaraan RI yang tunggal (untuk hak mili
dalam Pasal 9, 21; hak guna usaha dalam Pasal 30; hak guna bangunan Pasal 36). Berkenaan
dengan pasal-pasal ini ditentukan bahwa hanya warga negara RI yang tunggal saja yang dapat
memperoleh hak-hak baru atas tanah ini dengan jalan peralihan hak karena jual beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat (Pasal 26 untuk hak milik). Juga ditentukan tentang apa
yang harus dilakukan oleh seorang pemegang hak guna usaha bilamana ia tidak memenuhi
syarat-syaratnya lagi (Pasal 30).
98. Hak-hak Tagungan atas Tanah
Dalam hubungan ini kita minta perhatia pula untuk ketentuan-ketentuan dalam UUPA
yang menunjuk kepada peraturan-peraturan yang akan diadakan berkenaan dengan hak-hak
tagungan atas tanah. Pasal 25 menentukan bahwa hak milik dapat dijadikan jaminan hutang
dengan dibebani hak tagungan. Dalam Pasal 51 ditentukan lebih jauh bahwa segala sesuatu ini
akan diatur tersendiri dengan undang-undang pelaksanaan.
99. Prinsip-prinsip Landreform
Juga dalam rangka hak penguasa untuk mengatur satu dan lain hal berhubung dengan tanah dapat
kita sebut ketentuan bahwa menurut UUPA si pemilik tanah untuk pertanian pada asasnya
diwajibkan untuk mengusahakannya sendiri secara aktif. Lebih jauh dapat disebut di sini adanya
ketentuan-ketentuan bahwan hubungan hukum antara orang dan tanah ini jangan sampai
merupakan penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yamg melampaui batas. Disini
juga dapat dimasukkan ktentuan tentang usaha bersama di bidang agrara yang harusya
didasarkan atas kepentingan bersama dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong royong
lainnya.
100. Untuk mencapai Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat
Wewenang yang diberikan kepada penguasa di bidang agraria ini harus dikerahkan
supaya tercapai satu tujuan, yakni untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam
rangka masyarakat yang adil dan makmur.
101. Segi-segi Idealistis Dalam UUPA
Satu dan lain sesuai dengan lain-lain bagian dari UUPA yang tidak mengabaikan segi-
segi idealistis ini (misalnya konsiderans dan Pasal 1 yang mengedepankan bahwa bumi, air dan
ruang angkasa Indonesia yang kaya raya itu adalah “sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa”,
dan sebagainya).
102. Negara RI, Negara hukum
Juga telah dikemukakan lagi dalam peraturan hukum positif bahwa Negara Republik
Indonesia merupakan suatu “Negara Hukum” (rectsstaat).
103. Luasnya Kekuasaan Negara
Kekuasaan negara yang dimaksudkan dalam Pasal 2 ini mengenai semua bumi, air, dan
ruang angkasa. Jadi kekuasaan ini mengenai baik tanah-tanah yang sudah dihaki oleh seseorang
maupun yang tidak. Juga tanah-tanah yang sudah dipegang oleh orang-orang lain dengan suatu
hak tertentu termasuk dalam wewenang kekuasaan negara.
104. Tanah yang Sudah Dipunyai Orang
Akan tetapi berkenaan dengan kekuasaan negara atas tanah-tanah yang sudah dipunyai
oleh orang lain ini hubungannya adalah berlainan dengan tanah-tanah belukar. Kekuasaan negara
mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi hak itu.
Isi daripada hak-hak perseorangan di atas tanah ini seta pembatasan-pembatasannya dapat
diketemukan dalam pasal-pasal berikutnya serta pasal-pasal dalam Bab II UUPA.
105. Tanah yang Belum Dipunyai Seseorang
Atas tanah yang tidak dipunyai oleh seseorang kekuasaan negara adalah lebih luas dan
lebih penuh. Tanah-tanah ini dapat diberikan oleh negara kepada seseorang aatau badan hukum
dengan suatu hak tertentu. Hak-hak ini akan disesuaikan dengan peruntukan dan keperluannya.
106. Delegasi kekuasaan
Pemberian kepada Badan Penguasa ini ialah untuk dipergunakan bagi pelaksanaan
tugasnya masing-masing. Hal ini dinyatakan dalam ayat 4 dari Pasal 2 yang berbunyi :”Hak
menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah
Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional”. Peraturan Pemerintah akan memberikan ketentuan khusus
mengenai hal ini.
107. Pembatasan oleh Hak Ulayat
Dalam pada itu perlu kita perhatikan pula bahwa kekuasaan negara atas tanah-tanah
belukar yang belum dipunyai oleh seseorang ini sedikit banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Bilamana menurut kenyataan masih terdapat hak-hak
ulayat sedemikian ini, maka kekuasaan negara atas tanah-tanah tersebut tidak bebas seluruhnya
108. Kewarganegaraan dan hak-hak atas Tanah
Berkenaan dengan asas kenasionalan yang dijadikan dasar oleh UUPA ini perlu kita
tunjuk pula kepada ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat yang diperluakan untuk dapat
mempunyai hak-hak baru atas tanah yang bersifat kebendaan.
109. Hanya WNI Dapat mempunyai Hak-hak Kebendaan atas Tanah
Hanya warga negara Indonesia yang boleh mempunyai hak milik atas tanah (pasal 21
ayat 1 UUPA jo. Pasal 9). Oleh karena itu hak milik ini merupakan hak yang terpenuh dan
terkuat bagi warga negara saja. Oarang-oaramg asing tidak diperbolehkan untuk mmpunyai hak
milik ini.
110. Ketentuan ini Sesuai dengan Hukum Internasional
Ketentuana semacam ini juga dikenal dalam hukum pertanahan dari berbagai negara.
Dalam hal ini Indonesia tidak merupakan pengecualian. Hukum internasional yang berlau
sekarang ini tidak mengenal asa bahwa orang asing harus sewajarnya diperbolehkan untuk
memperoleh tanah (benda-benda tetap).
111. Larangan Pemindahan Hak kepada Orang Asing
Oleh karena orang asing tidak diperbolehkan untuk mempunyai hak milik atas tanah,
maka pemindahan hak milik jepada orang asing dilarang. Dalam pasal 26 ayat 2 ditentukan
bahwa tidaklah boleh dipindahkan hak milik kepada seorang asing dengan jalan jual beli.
112. Peraturan-peraturan Lama sebagai Contoh
Perumusan yang serupa ini pernah kita ketemukan pula dalam rangka perundang-
undangan agraria yang lama. Dalam Larangan Pengasingan Tanah S. 1875-179 telah dinyatakan
pula bahwaorang dari bukan golongan rakyat Inonesia tidak mungkin memperoleh tanah
Indonesia (tanah-tanah di bawah hukum adat) dengan jalan pengasingan.
113. Perumusan UUPA Lebih Jelas
Perumusan dari UUPA ini juga lebih terang dan lebih baik susunannya dari pada
perumusan yang digunakan dalam Larangan Pengasingan Tanah. Dalam UUPA ini diperinci
apakah yang diartikan denga peraturan-peraturan yang termasuk dalam pengrtian ini : Perbuatan
jual-beli, Penukaran, Penghibahan, Pemeberian dengan wasiat. Dengan maksud supaya dialihkan
hak milik kepada orang lain.