20
LI 1 Memahami dan Menjelaskan Autoimun LO 1.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi Autoimun LO 1.2 Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Autoimun LO 1.3 Memahami dan Menjelaskan Patofisologi Autoimun LI 2 Memahami dan Menjelaskan Sistemik Lupus Eritematisus LO 2.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi LO 2.2 Memahami dan Menjelaskan Etiologi LO 2.3 Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi LO 2.4 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis LO 2.5 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding LO 2.6 Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Lab LO 2.7 Memahami dan Menjelaskan Komplikasi LO 2.8 Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi LO 2.9 Memahami dan Menjelaskan Prognosis LI 3 Memahami dan Menjelaskan Sabar dan Ikhlas dalam Menghadapi Musibah dalam Sudut Pandang Islam

AIRIN SK3-1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

*

Citation preview

Page 1: AIRIN SK3-1

LI 1 Memahami dan Menjelaskan AutoimunLO 1.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi AutoimunLO 1.2 Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi AutoimunLO 1.3 Memahami dan Menjelaskan Patofisologi Autoimun

LI 2 Memahami dan Menjelaskan Sistemik Lupus EritematisusLO 2.1 Memahami dan Menjelaskan DefinisiLO 2.2 Memahami dan Menjelaskan EtiologiLO 2.3 Memahami dan Menjelaskan PatofisiologiLO 2.4 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi KlinisLO 2.5 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis BandingLO 2.6 Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan LabLO 2.7 Memahami dan Menjelaskan KomplikasiLO 2.8 Memahami dan Menjelaskan EpidemiologiLO 2.9 Memahami dan Menjelaskan Prognosis

LI 3 Memahami dan Menjelaskan Sabar dan Ikhlas dalam Menghadapi Musibah dalam Sudut Pandang Islam

Page 2: AIRIN SK3-1

LI 1 Memahami dan Menjelaskan AutoimunLO 1.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi Autoimun

Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh kegagalan mekanisme mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya.

LO 1.2 Memahami dan Menjelaskan Penyakit AutoimunSecara garis besar penyakit AI dapat dibagi dalam organ spesifik dan sistemik. Antigen sasaran penyakit AI sistemik tersebar luas dalam tubuh. Perbedaan dan kesamaan antara kedua golongan tersebut digambarkan pada tabel berikutOrgan spesifik(Tiroiditis, gastritis, adrenalitis)

Nonorgan spesifik – sistemik(LES, AR)

PERBEDAANAntibodi dan kerusakan bersifat organ spesifik

Antobodi dan kerusakan tidak organ spesifik

Ada tumpang tindih klinis dan serologis Penyakit jaringan ikat dalam keluargaInvasi limfoid, destruksi parenkim oleh hipersensitivitas selular dan atau antibodi

Kerusakan disebabkan endapan kompleks antigen-antibodi

Tujuan terapi mengontrol defisit metabolik atau menjadikan sel T toleran

Tujuan terapi mencegah inflamasi dan sintesis antibodi

Kecenderungan mengarah ke kanker organ Kecenderungan ke neoplasma limforetikularAntigen memicu antibodi organ spesifik pada hewan normal dengan ajuvan Freund lengkap

Tidak dibentuk antibodi pada hewan dengan rangsangan yang sama

Lesi yang sama ditimbulkan oleh antigen dalam ajuvan Freund

Penyakit dan autoantibodi timbul spontan pada hewan tertentu (Tikus NZB DNA Hibrida)

KESAMAANAutoantibodi dalam sirkulasi bereaksi dengan komponen tubuh normalPenderita sering menunjukkan peningkatan Ig dalam serumSetiap kelas antibodi dapat timbul terutama IgG dan biasanya dengan afinitas tinggi dan mutasiInsidens lebih tinggi pada wanitaProses penyakit tidak selalu progresif; eksaserbasi dan remisiBerhubungan dengan HLAPenyakit spontan pada hewan yang diprogram secara genetikTes antibodi memiliki nilai diagnostik

Page 3: AIRIN SK3-1

Sejumlah penyakit autoimun disertai dengan gejala reumatik, karenanya disebut reumatik autoimun.

LO 1.3 Memahami dan Menjelaskan Patofisologi AutoimunA. Humoral

Penyakit AI dapat ditimbulkan oleh Ab terhadap sel tertentu atau oleh kompleks antigen-antibodi yang terbentuk dalam sirkulasi dan diendapkan di dinding pembuluh darah.

1. Efek humoral melalui antibodi patogenik2. Efek humoral melalui reseptor3. Efek humoral melalui transfer plasenta

Page 4: AIRIN SK3-1

Transfer IgG melalui plasenta yang dapat menimbulkan penyakit AI sementara pada janin dan neonatus. Contohnya adanya antibodi anti-Ro, anti-La atau kedua-duanya pada kehamilan memberikan risiko terkena blok jantung fetus sebesar 1-2%. Antigen Ro terpapar pada permukaan otot jantung fetus tetapi tidak pada ibu sehingga jantung mengalami remodelling melalui apoptosis, dan antibodi anti-Ro dari ibu melewati plasenta kemudian berinteraksi dengan antigen Ro. Autoantibodi dari ibu akan merusak jaringan konduksi jantung fetus.

Sedangkan mekanisme efektor yang terjadi pada ketiganya dapat terjadi dengan cara berbeda yaitu

1. Opsonisasi dan fagositosis, yaitu antibodi ataupun Komplemen akan mengikat sel sehat yang diduga antigen. Keadaan ini akan merangsang terjadinya fagositosis

2. Inflamasi terjadi melalui perantara komplemen dan Fcr, FcR pada neutrofil dapat mengikat langsung antibodi yang sudah berikatan dengan autoantigen atau bisa juga terjadi aktivasi komplemen akibat dugaan ikatan Ag-Ab adalah suatu kompleks sehingga terproduksi C5a, C3a yang menyebabkan inflamasi dan cedera jaringan(jalur klasik)

3. Respon fisiologis abnormal tanpa kerusakan sel/jaringan, ada dua contoh yaituAntibodi akan mengikat reseptor Tiroid Stimulating Hormone pada sel epitel tiroid, ikatan ini akan merangsang reseptor tanpa ligan yang disebabkan oleh antibodi itu sendiri. Penyakit ini disebut penyakit Graves. Pada kasus Miastenia gravis misalnya, antibodi akan menghambat reseptor Asetilkolin pada otot sehingga Asetilkolin tidak bisa berikatan dengan reseptor dan membuat otot tidak bisa berkontraksi.

B. Kompleks imun, aktivasi dan komplemen Kompleks imun dalam sirkulasi dapat menimbulkan penyakit autoimun sistemik, misalnya LES dan AR.

C. Defisiensi komplemenDefisiensi komplemen dapat menimbulkan penyakit AI seperti LES. Diduga bahwa kompleks imun yang terbentuk dalam tubuh tidak dapat disingkirkan oleh sistem imun yang komplemen dependen.

D. Mekanisme SelulerKerusakan jaringan yang ditimbulkan sel T, dapat terjadi melalui reaksi Hipersensitivitas IV atas bantuan sel T, CD4+ atau subset Th1 dan CD8+ atau melalui pembunuhan sel sasaran langsung. Banyak penyakit autoimun organ spesifik yang diinduksi oleh sel T autoreaktif. Pada diabetes melitus insulin dependen, infiltrasi limfosit dan makrofag ditemukan sekitar pulau Langerhans pankreas. Sel-sel tersebut merusak sel B yang memproduksi insulin dan menimbulkan defisiensi produksi insulin.

Beberapa virus merusak sel terinfeksi (sitopatik), sedang lainnya tidak. Oleh karena sel T sitotoksik tidak dapat membedakan antara virus yang sitopatik dan yang tidak, sel T sitotoksik akan membunuh sel dengan tanpa membedakan jenis virus.

E. Penyakit autoimun multipel adalah keadaan bila sedikitnya ditemukan 3 jenis penyakit autoimun 3 jenis penyakit autoimun pada satu penderita.

Page 5: AIRIN SK3-1

LI 2 Memahami dan Menjelaskan Sistemik Lupus EritematisusLO 2.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi

Sistemik lupus eritematisus adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh.penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.

LO 2.2 Memahami dan Menjelaskan EtiologiEtiologi dari SLE belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga berperan penting dalam predisposisi penyakit ini. Pada kasus SLE yang terjadi secara spontanik tanpa identifikasi faktor genetik, berbagai faktor lingkungan diduga terlibat atau belum diketahui faktor yang bertanggung jawabInteraksi antara sex, status hormonal dan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun merupakan konstributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, meningkatnya beban antigenik, bantuan sel T yang berlebih, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari T helper 1 (Th1) ke Th2 menyebabkan hiperaktivasi sel B dan memproduksi autoantibodi patogenik. Respon imun yang terpapar faktor eksternal/lingkungan seperti radiasi ultraviolet (UV) atau infeksi virus dalam periode yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem imun.Berikut ini adalah beberapa faktor yang berperan dalam timbulnya SLE

- Stimulasi sel B poliklonal, berhubungan dengan apoptosis detektif- Defisiensi komplemen, kongenital atau didapat- Hormon, rasio wanit:pria adalah 9:1 dosis estrogen tinggi memperberat penyakit- Produksi autoantibodi spesifik, berhubungan dengan apoptosis detektif, diinduksi

infeksi- Obat/toksin, mengubah struktur dalam self-antigen pada subyek yang memiliki

predisposisi genetik- Sinar UV, mengubah self-antigen, ekspresi autoantigen lupus pada sel yang rusak

LO 2.3 Memahami dan Menjelaskan PatofisiologiKarena etiologi dari SLE belum diketahui secara pasti maka, patofisiologi dapat dibedakan menurut faktor penyebabnya

1. Faktor genetikAda empat susceptibility genes yang terlibat dalam perkembangan penyakit. Elemen genetik yang paling banyak diteliti kontribusinya terhadap SLE adalah gen dari MHC. Penelitian populasi menunjukkan bahwa kepekaan terhadap SLE melibatkan polimorfisme dari gen MHC kelas II. Hubungan MHC DR2 dan DR3 dengan SLE pada umumnya ditemukan pada etnik yang berbeda. Gen MHC kelas II juga berhubungan dengan adanya antibodi tertentu seperti anti-Sm (small nuclear ribonuclearmprotein), anti-Ro, anti-La, anti-nNRP (nuclear ribonuclear protein) dan anti-DNA. Gen MHC kelas III, khususnya yang mengkode komponen komplemen C2 dan C4, memberikan risiko SLE pada etnik tertentu. Penderita dengan homozygous C4A null alleles, memiliki risiko tinggi berkembang menjadi SLE. Selain itu SLE berhubungan dengan pewarisan defisiensi C1q, C1r/s dan C2. Penurunan aktivitas komplemen meningkatkan kepekaan terhadap penyakit oleh karena berkurangnya kemampuan netralisasi dan pembersihan, baik terhadap antigen diri sendiri (self antigen) maupun antigen asing. Jika beban antigen melebihi kapasitas pembersihan dari sistem imun, maka autoimunitas mungkin terjadi.

Page 6: AIRIN SK3-1

2. Faktor hormonalSLE lebih banyak menyerang wanita. Serangan pertama kali jarang terjadi pada usia pubertas dan setelah menopause. Metabolisme estrogen yang abnormal telah ditunjukkan pada kedua jenis kelamin. Perempuan dengan SLE juga mempunyai konsentrasi androgen plasma yang rendah. Abnormalitas ini mungkin disebabkan oleh meningkatnya oksidasi testosteron pada C-17 atau meningkatnya aktivitas aromatase jaringan. Konsentrasi testosteron berkolerasi negatif dengan aktivitas penyakit, konsentrasi testosteron plasma yang rendah dan meningkatnya LH ditemukan pada penderita laki-laki. Jadi estrogen yang berlebihan dengan aktivitas hormon androgen yang tidak adekuat pada laki-laki maupun wanita, mungkin bertanggung jawab terhadap perubahan respon imun. Konsentrasi progesteron dinyatakan lebih rendah pada penderita SLE perempuan dibandingkan dengan kontrol sehat.Prolaktin adalah hormon yang terutama dari kelenjar hipofisis anterir, diketahui menstimulasi respon imun humoral dan selular, yang diduga berperan dalam patogenesis SLE. Selain kelenjar hipofisis, sel sistem imun juga mampu mensintesis PRl. Fungsi prolaktin menyerupai sitokin.

3. AutoantibodiMerupakan gangguan imunologis utama pada SLE. Antibodi ini ditujukan pada self molecules yang terdapat pada nukleus, sitoplasma, permukaan sel, dan juga terhadap molekul terlarut seperti IgG dan faktor koagulasi. Antibodi antinuklear adalah antibodi yang paling banyak ditemukan pada penderita SLE, sedangkan Anti-double strended DNA (anti ds-DNA) dan anti-Sm antibodi merupakan antibodi yang spesifik untuk SLE, sehingga dimasukkan dalam kriteria klasifikasi dari SLE. Antibodi anti-DNA pada umumnya berhubungan dengan adanya glomerulonefritis, walaupun korelasi antara antibodi anti-DNA dengan nefritis lupus tidaklah sempurna karena beberapa penderita dengan nefritis lupus yang aktif tidak ditemukan antibodi anti-DNA. Antibodi anti-DNA lebih suka mengendap di ginjal, sehingga diduga komplikasi imun DNA-antibodi anti-DNA merupakan mediator inflamasi utama. Mungkin akibat terbentuknya kompleks imun yang mengandung antibodi anti-DNA, tetapi keberadaan kompleks imun sirkulasi sulit dideteksi oleh karena dlaam serum konsentrasinya rendah.

Patogenesis dari manifestasi sleain glomerulonefritis belum diketahui secara baik, meskipun kemungkinan mekanisme yang mendasari adalah deposisi kompleks imun dengan aktivasi komplemen pada tempat-tempat tertentu. Hal ini ditunjukkan dengan seringnya didapat hubungan antara hipokomplemenemia dengan tanda-tanda vaskulitis pada SLE aktif.

Autoantibodi anti-Sm dan anti-nuklear ribonukleoprotein muncul hanya dalam beberapa bulan sebelum diagnosis SLE. Sedangkan autoantibodi anti-dsDNA berada dipertengahan antara kedua kelompok autoantibodi tersebut.

4. Faktor lingkungan dan gaya hidupFaktor ini diduga terlibat namun belum diketahui faktor yang bertanggung jawab. Faktor eksogen yang mungkin adalah infeksi virus Epstein-Barr (EBV) mungkin menginduksi respon spesifik melalui mimikri molekular dan gangguan terhadap regulasi imun.

Radiasi UV bisa mencetuskan dan mengeksaserbasi ruam fotosensitivitas pada SLE, juga ditemukan bukti bahwa sinar UV dapat merubah struktur DNA yang menyebabkan terbentuknya autoantibodi. Sinar UV juga menginduksi apoptosis keratinosit manusia yang menghasilkan blebs nuklear dan autoantigen sitoplasmik pada permukaan sel.

Page 7: AIRIN SK3-1

LO2.4,2.7 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinik dan Komplikasi

Manifestasi klinik penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai penyakit LSE. Seseorang dapat saja selama beberapa lama mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi lainnya seperti fotosensitifitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi criteria penyakit LSE.

Gejala konstitusional

Kelelahan

Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada LSE. Kelelahan ini dapat diukur menggunakan Profile of Mood States (POMS) dan tes toleransi latihan. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LSE ini maka diperlukan pemeriksaan penunjang lain yakni kadar C3 serum yang rendah.

Penurunan berat badan

Keluhan ini ditemukan pada sebagian penderita LSE dan terjadi beberapa bulan sebelum diagnosis ada. Menurunnya berat badan dapat ditimbulkan karena kurangnya nafsu makan dan gejala gastrointestinal.

Demam

Demam sebagai salah satu gejala yang sulit dibedakan dari sebab lain, karena suhu tubuh dapat mencapai lebih dari 40oC tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam karena LSE biasanya tidak disertai dengan menggigil.

Gejala-gejala lain yang sering dijumpai pada penderita LSE yakni rambut rontok, hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah.

Manifestasi muskuloskeletal

Keluhan ini merupakan manifestasi klinik yang sering dijumpai pada penderita LSE. Lebih dari 90% keluhan ditimbulkan karena nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia)atau merupakan suatu arthritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi.

Manifestasi kulit

Ruam kulit merupakan manifestasi LSE pada kulit yang telah lama dikenal oleh para ahli.lesi muko-kutaneus yang tampak sebagai bagian LSE dapat berupa reaksi fotosensitifitas, discoid LE, subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), lupus profundus, alopecia, lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo reticularis, teleangiectasia, fenomena vaskulitis atau bercak yang menonjol berwarna putih perak.

Manifestasi paru

Berbagai manifestasi klinis pada paru dapat terjadi berupa radang interstitial parenkim paru, emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru. Pneumonia lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjut menjadi kronik. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering dan terdapat ronki di basal. Pneumotitis lupus ini memberikan respons yang baik dengan memberikan steroid. Hemoptisis merupakan keadaan yang serius apabila merupakan bagian

Page 8: AIRIN SK3-1

dari perdarahan paru akibat LSE ini dan memerlukan penanganan yang tepat seperti pemberian lasmaferesis atau sitostatika.

Manifestasi kardiologis

Yang paling banyak terkena pada penderita LSE yaitu pada bagian perikardium. Perikarditis hanya dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri susternal, friction rub, gambaran silhouette sign foto dada, ataupun melalui gambaran EKG, Echokardiografi. Penyakit jantung koroner dapat pula terjadi pada penderita LSE dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung kongesif. Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi merupakan komplikasi lain yang terdapat pada penderita LSE. Manifestasi yang sering dijumpai adalah bising jantung sistolik dan diastolik.

Manifestasi renal

Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi setelah 5 tahun menderita LSE. Gejala tau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadinya gagal ginjal atau sindrom nefrotik. Melalui biopsy ginjal akan diperoleh data yang lebih akurat untuk menilai keterlibatan ginjal ini.

Manifestasi Gastrointestinal

Manifestasi gastro tidak spesifik pada penderita LSE, karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit ini. Secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esophagus, mesentrik vasculitis, inflammatory bowel disease (IBS), pancreatitis dan penyakit hati. Keluhan dispesia yang dijumpai pada lebih kurang 50% penderita LSE, lebih banyak dijumppai pada mereka yang memakai glukokortikoid. Pancreatitis akut dijumpai pada sekitar 8% penderita LSE. Keluhan ditandai dengan adanya nyeri abdominal bagian atas disertai mual dan muntah serta peningkatan serum amylase. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LSE, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH. Kecurigaan terhadap LSE perlu diperkirakan apabila pada seorang wanita muda dengan poliartritis dan mendapatkan salisilat didapatkan peningkatan seum SGOT/SGPT.

Manifestasi neuropsikiatrik

Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LSE sulit ditegakan karena gambaran klinis yang begiti luas. Pembuktian adanya keterlibatan syaraf pusat tidak terlalu banyak membantu proses penegakan diagnosis ini.

Manifestasi Hemik-limfatik

Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering dijumpai pada penderita LSE. Kelenjar getah bening yang paling sering terkena dalah aksila dan survikal, dengan karakteristik tidak nyeri tekan, lunak, dan ukuran bervariasi sampai 3-4 cm. oragn limfoid lain yang sering dijumpai pula pada penderita LSE adalah splenomegali yang biasanya disertai oleh pembesaran hati. Anemia dapat dijumpai pada suuatu periode dalam perkembangan penyakit LSE. Untuk anemia yang diperantarai proses imun dapat bermanifestasikan sebagai pure red cell aplasia, anemia aplastik, anemia hemolitik otoimun dan beberapa kelainan lain yang dikaitkan dengan proses atoimun seperti anemia pernisiosa.

LO 2.5 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding

Page 9: AIRIN SK3-1

Kriteria SLE yang dianut adalah menurut American College of Rheumatology (ACR). Diagnosis LES Ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR tersebut

LO 2.6 Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan LabPemeriksaan lab meliputi indikator inflamasi, uji autoantibodi (khususnya ditujukan pada antigen nujlear), pemeriksaan untuk evaluasi keterlibatan organ dan pemeriksaan untuk memantau efek terapi, termasuk toksisitas obat.

Indikator InflamasiFASE akut akan menunjukkan peningkatan indikator inflamasi, seperti laju endap darah, hipergamaglobulinemia poliklonal dan alfa 2-globulin serum. Sedangkan C-reactive protein biasanya masih dalam batas normal, namun dapat meningkat bilas LES disertai dengan infeksi sistemik atau pada serositis dan artritis.

HematologiAnemia ringan sampai sedang terjadi pada sebagain besar anak dengan LES, dan biasnya sesuai dengan tipe penyakit kronik, disertai dengan penurunan serum besi dan kapasitas ikat besi. Pada pasien lain dapat ditemukan hemolisis autoimun yang disebabkan oleh ikatan antibodi IgG dan komplemen pada eritrosit, hal tersebut diperiksa melalui uji coombs. Anemia hemolitik jarang menjadi berat dan fatal. Apabila beratpun, penurunan kadar Hb biasanya tidak terlalu berat meskipun leukositosis dapat terjadi, namun limfositopenia(kurang

Page 10: AIRIN SK3-1

dari 1500 sel/mm3) dan neutropenia lebih sering ditemukan, dan berhubungan dengan trombositopenia. Beberapa anak menunjukkan adanya purpura, trombositopenia, biasanya berkaitan dengan splenomegali. Pemeriksaan sum-sum tulang menunjukkan peningkatan megakariosit. Pasien dengan purpura trombositopenia dan anemia hemolitik (sindrom evans) dapat berkembang menjadi SLE atau purpura trombositopenia trombositik. Antikoagulan lupus menunjukkan adanya pemanjangan waktu aPTT dan protrombin. Sebagian besar pasien dengan antikoagulan lupus juga mempunyai antibodi terhadap kardiolipin. Antibofi antifosfolipin ini tidak hanya terdapat pada SLE, namun juga pada neoplasma, infeksi, inflamasi, dan penyakit autoimun.

Antibodi antinuklearANA terdapat pada sebagian besar serum anak dengan SLE aktif. Namun, penentuan titer ANA sendiri tidak cukup mendiagnosis SLE atau memantau perkembangan penyakit. Antibodi nuklear diketahui dengan pemeriksaan imunofluoresensi indirek pada seluruh inti sel.

Antibodi terhadap dsDNA merupakan kriteria patogonomik pada SLE, terjadi pada hampir semua anak dengan SLE aktif, dan menunjukkan titer yang tinggi saat nefritis aktif. Mekanisme kerjas antibodi ini melalui pembentukan kompleks imun dengan komplemen dan mengendap di jaringan. Antibodi ini dapat diukut melalui radioimmunoassay yang menggunakan dsDNA yang diberi label radioaktif, mikroskop fluoresens yang menggunakan protozoa Crithidia luciliae, atau melalui ELISA. Untuk kepentingan diagnosis, pemeriksaan dengan menggunakan protozoa lebih dipilih, sedangkan untuk memantau kadar antibodi dsDNA selama masa terapi, lebih digunakan radioimmunoassay atau ELISA. Peningkatan kadar antibodi ini menunjukkan adanya perkembangan penyakit ginjal, terutama bila disertai dengan penurunan kadar komplemen.

Urinalisis dan Evaluasi Keterlibatan GinjalLupus nefritis aktif biasanya mempunyai abnormalitas dalam sedimen urin yang menandakan adanya keterlibatan ginjal. Proteinuria merupakan temuan abnormal yang paling sering, namun hematuria dan silinder sel darah merah merupakan temuan khas terhadap adanya glomerulitis aktif. Proteinuria masif dengan berat jenis 1010 menandakan lupus nefritis yang kronik. Adanya kadar anti dsDNA tinggi, kadar komplemen rendah, khususnya C4 dan abnormalitas urinalisis.

Analisis Cairan InflamasiCairan sinovial pada SLE biasanya mengalami inflamasi dengan kadar sel darah putih yang rendah (kurang dari 2000 sel/mm3). Kandungan protein bervariasi antara transudatif sampai eksudatif. Kadar komplemen di carian sinovial juga rendah. Cairan pleura dapat mengandung protein yang meningkat (lebih dari 3g/dl), sel darah putih yang meningkat (2500-5000 sel/mm3) dengan dominasi sel mononuklear, dan penurunan kadar C3 dan C4.

ANJURAN PEMERIKSAAN LAB

Page 11: AIRIN SK3-1

LO 2.8 Memahami dan Menjelaskan epidemiologi

Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. SLE diberbagai Negara sangat bervariasi. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, cina dan mungkin juga Filipina. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini ditemukan di semua usia namun, paling banyak pada usia 15-40 tahun. Frekuensi pada wanita dibanding dengan wanita yakni 5,5-9:1. LSE yang disebabkan oleh obat rasionya lebih rendah yakni 3:2.

LO 2.9 Memahami dan Menjelaskan PrognosisAkhir-akhir ini prognosis berbagai bentuk penyakit lupus telah membaik dengan angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjalm hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Tetapi belakangan ini kematian tersebut semakin menurun karena perbaikan cara pengobatan, diagnosis lebih dini, dan kemungkinan pengobatan paliatif seperti hemodialisis lebih luas.

Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan, misalnya pada penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantung, aksiden vaskular serebral iskemik) akibat kortikoterapil atau neoplasma (kanker, hemopati) akibat pemakaian obat imunosupresan; atau oleh keadaan defisiensi imun akibat penyakit lupus. Frekuensi kejadian ini makin meningkat karena harapan hidup penderita lupus lebih panjang.

Infeksi dan sepsis merupakan penyebab kematian utama pada lupus, bukan hanya akibat kortikoterapi tetapi juga karena defisiensi imun akibat penyakit lupusnya sendiri. Pengurangan risiko infeksi hanya dapat dilakukan dengan pencegahan terhadap semua sumber infeksi serta deteksi dini terhadap infeksi.

Jadi secara skematis evolusi penyakit lupus memperlihatkan 2 puncah kejadian kematian, yaitu satu puncak prekoks akibat komplikasi viseral yang tidak terkontrol, dan satu puncak lain yang lebih jauh akibat komplikais kortikoterapi.

Pada fetus, kematian umumnya terjadi karena blok jantung kongenital komplit. Diperkirakan bahwa 1/3 dari bayi penderita blok jantung kongenital komplit dilahirkan dari ibu penderita penyakit jaringan ikat, biasanya LES. Angka kematian bayi dari ibu pendertia LES pada masa perinatal adalah 3,6% sedangkan pada masa neonatal adalah 1,2%. Beberapa penulis melaporkan tentang terjadinya LES pada ornag dewasa yang pernah menderita SLN.

Page 12: AIRIN SK3-1

LI 3. Memahami dan Menjelaskan Sabar dan Ikhlas dalam Menghadapi Musibah dalam Sudut Pandang Islam

Islam tidak membiarkan umatnya begitu saja ketika ditimpa musibah. Dalam Alquran, sudah diberikan tuntunan, bagaimana seharusnya seorang hamba ketika ia mendapat musibah baik dirinya maupun orang lain.

Jika musibah diberikan kepada dirinya sendiri, maka ia dianjurkan sebagai berikut:

1) Mengucapkan kalimat istirja’, yaitu kalimat inna lillahi wa inna ilaihi rajiun (sesungguhnya kami semua adalah milik Allah, dan kepada-Nya-lah kami akan kembali). Hal ini tercantum dalam Surat al-Baqarah, ”(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun." (QS al-Baqarah: 156).

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, Imam Ibnu Majah, Imam  Malik, dan Imam  Ahmad bin Hanbal Rasulullah bersabda, ”Jika kalian kena musibah, ucapkanlah inna lillahi wa inna ilaihi rajiun."

2) Memanjatkan doa kepada Allah SWT agar diberi pahala dari musibah yang dihadapinya. Hal ini sebagaimana diajarkan Rasulullah dalam sabdanya, "Apabila kamu diberi musibah oleh Allah, maka ucapkanlah doa "Allahumma ajirni fi mushibati wa akhlifha khairan minha (Ya Allah berilah aku pahala dalam musibah ini, dan gantikanlah bagiku dengan sesuatu yang lebih baik daripadanya).” (HR Muslim, Ibnu Majah, Malik, dan Ahmad bin Hanbal).

Selain memohon pahala dari musibah yang dihadapi, juga dianjurkan memohon agar musibah itu berakhir dari dirinya, sebagaimana permohonan Nabi Ayub AS ketika mengalami musibah penyakit yang berkepanjangan.

Kisah ini diabadikan Allah SWT dalam ayat, ”Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: '(YaTuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.’ Maka Kami pun memperkenankan semuanya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” (QS al-Anbiya: 83-84).

3) Bersikap sabar dan tidak berputus asa dalam menghadapi musibah, karena dengan kesabaran itulah seseorang mendapatkan pahala dari musibah yang menimpanya. Seperti diajarkan dalam ayat, ”... Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS az-Zumar: 10).

Pentingnya kesabaran dalam kesulitan juga dijelaskan dalam hadis, "Jika seorang mukmin memperoleh kebaikan lalu ia bersyukur, maka kebaikan itu menjadi pahala baginya, dan jika ia ditimpa kemudaratan (musibah) lalu bersabar, maka kemudaratan itu menjadi pahala

Page 13: AIRIN SK3-1

baginya.” (HR Muslim).

4) Menerima dengan ikhlas dan tidak menyesali atau membenci musibah yang diberikan Allah SWT kepadanya. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya, jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Siapa yang ridha atas ujian itu, maka Allah akan meridhainya. Dan siapa yang membencinya, maka Allah akan membencinya.” (HR Tirmizi).

Adapun tuntunan Islam mengenai sikap seorang mukmin terhadap mukmin lain yang terkena musibah yaitu:

1) Memberi nasihat kepada yang terkena musibah agar senantiasa dalam keimanan dan kesabaran.

Hal ini diperintahkan Allah SWT dalam Alquran, “Demi masa.Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang- orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS al-Asr: 1-3).

2) Menjenguknya jika musibah yang diterima dalam bentuk penyakit, seperti diajarkan Rasulullah SAW dalam sabdanya, "Kewajiban seorang muslim atas orang muslim lainnya ada lima, yaitu; menjawab salam, menjenguk orang yang sakit, mengantarkan jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin.” (HR Bukhari-Muslim).

Selain itu, sangat dianjurkan bertakziah jika musibah yang menimpa seseorang dalam bentuk kematian orang-orang yang dicintainya. Memperlihatkan bahwa ia ikut berduka cita dan memberi semangat agar dia tidak tenggelam dalam kesedihan.

3) Memberi bantuan materil kepada orang yang terkena musibah. Ini dimaksudkan untuk meringankan beban penderitaannya.

Seperti hadis Rasulullah SAW, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mengasih dan menyayangi bagaikan tubuh manusia yang satu. Bila salah satu diantaranya mengalami musibah, maka yang lain turut merasakan dan berusaha untuk menolongnya.” (HR Bukhari-Muslim)

NB: Obat anti-inflamasi termasukaspirin atau obat anti-inflamasi non-steroid lainnya

digunakan untuk mengobati demam dan artritis. Kortikosteroid sistemik digunakan untuk mengobati atau mencegah patologi ginjal dan

susunan saraf pusat. Obat anti-inflamasi, seperti metotreksat, dan obat sitotoksik (azatioprin) digunakan jika

steroid tidak efektif atau gejala berat. Obat antimalaria digunakan untuk mengobati ruam kulit, artritis, dan gejala lain.(Elizabeth, Corwin. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC)

Page 14: AIRIN SK3-1

DAFTAR PUSTAKA

Arwin AP, Zakiudin M, Nia K (2007). Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak Ed.2. Jakarta, Badan Penerbit IDAI

Elizabeth, Corwin (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta, EGC

Aru W, et al (2009). Ilmu Penyakit Dalam Ed.5 Jilid 3. Jakarta, Interna Publishing

Karnen G, Iris R (2014). Imunologi Dasar Ed.11. Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI