Airway Manajemen

Embed Size (px)

DESCRIPTION

mnjmn

Citation preview

Manajemen Jalan Nafas

KONSEP KUNCI

Kesalahan pada saat melakukan teknik sungkup muka dapat mengakibatkan penyusutan kantong sungkup ketika katup penyesuai tekanan ditutup, hal ini ditandai dengan adanya kebocoran gas disekitar sungkup. Sebaliknya, pemberian gas anestesi bertekanan melalui mesin sirkuit anestesi dengan atau tanpa kenaikan dinding dada dan suara nafas yang minimal menandakan adanya obstruksi jalan nafas.

LMA ( Laryngeal Mask Airway) atau sungkup laring melindungi laring dari sekresi faring (tetapi tidak dari cairan regurgitasi lambung), alat ini harus tetap berada pada tempatnya sampai semua refleks jalan nafas pasien kembali normal.

Setelah dilakukan pemasangan pipa endotrakhea (intubasi), cuff dikembangkan dengan sejumlah udara yang dapat menciptakan sebuah segel selama pemberian ventilasi tekanan positif dan untuk meminimalisasi tekanan yang diberikan cuff pada trakhea.

Deteksi CO2 oleh kapnograph dapat digunakan sebagai penanda intubasi trakhea, tetapi hal ini tidak dapat menyingkirkan terjadinya intubasi bronkhial. Manifestasi awal dari intubasi bronkhial adalah peningkatan tekanan inspirasi puncak.

Saat intubasi, cuff pada pipa endo tracheal (PET) tidak boleh berada diatas tulang krikoid, karena penempatan cuff intralaring yang berkepanjangan dapat mengakibatkan terjadinya suara serak pasca operasi dan meningkatkan resiko terjadinya ekstubasi spontan.

Pencegahan intubasi esophageal yang tidak disengaja dapat dilakukan dengan cara melihat visualisasi ujung PET saat melewati pita suara, auskultasi yang teliti untuk mendengar adanya suara nafas pada kedua paru dan tidak adanya suara udara pada gaster, analisa gas ekspirasi untuk mengetahui adanya kandungan CO2 (metode paling terpercaya), foto thorax dan penggunaan FOB (Fiber Optik Bronkhoskopi).

Petunjuk adanya intubasi bronkhial antara lain suara nafas pada satu sisi paru, adanya hipoksia yang terlihat pada pulse oksimetri (tidak dapat diandalkan pada pemberian oksigen inspirasi dengan konsentrasi tinggi), ketidakmampuan untuk meraba cuff PET pada lekukan tulang sternum, dan penurunan compliance kantong sungkup (tekanan inspirasi puncak yang tinggi).

Tekanan intrathorax negatif yang terjadi pada pasien yang mengalami laringospasme dapat mengakibatkan edema paru bahkan pada orang dewasa muda yang sehat.

Keahlian dalam penatalaksanaan jalan nafas merupakan hal yang sangat penting untuk seorang Ahli Anestesi. Bab ini mengulas mengenai anatomi saluran nafas bagian atas, menjelaskan fungsi alat-alat bantu nafas, menyajikan teknik pembebasan jalan nafas, dan mendiskusikan komplikasi dari laringoskopi, intubasi, dan ekstubasi. Keselamatan pasien tergantung pada pemahaman yang menyeluruh dari masing-masing topik ini.

ANATOMI Selain menghilangkan rasa nyeri pasien, tidak ada karakteristik lain yang dapat mendefenisikan seorang ahli anestesi, selain kemampuannya untuk mengelola sebuah jalan nafas dan pernafasan pasien. Keberhasilan intubasi, ventilasi, krikotirotomi, dan anestesi regional pada laring membutuhkan pengetahuan mendetail tentang anatomi saluran nafas. Terdapat dua pintu pada jalan nafas manusia; hidung, yang mengarah ke nasofaring (pars nasalis), dan mulut, yang mengarah ke orofaring (pars oralis). Pada bagian anterior, keduanya dipisahkan oleh palatum, tetapi pada bagian posterior keduanya bergabung di faring (Gambar 1). Faring merupakan suatu struktur fibromuskular berbentuk U yang memanjang dari dasar tengkorak ke tulang rawan krikoid pada pintu masuk esofagus. Struktur ini berhubungan dengan rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring pada daerah anterior. Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh sebuah garis imajiner yang memanjang ke posterior. Epiglotis memisahkan orofaring dan laringofaring (atau hipofaring) pada dasar lidah. Epiglotis mencegah aspirasi dengan menutup glotis (pintu laring) selama proses menelan. Laring merupakan struktur tulang rawan yang diikat oleh ligamen dan otot rangka. Laring terdiri dari sembilan tulang rawan (Gambar 2): tiroid, krikoid, epiglottic, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata, dan kuneiforme.

Gambar 1. Anatomi nafas.

Gambar 2. Struktur kartilago yang membentuk laring (Diubah dan direproduksi, dengan izin, dari Mayo Clinic and Foundation from O'Connell F: Management of the airway and endotracheal intubation. Dalam: Critical Care Medicine: Perioperative Management. Murray MJ, Coursin DB, Pearl RG, Prough DS [editor]. Lippincott-Raven Publishers, 1997.) Jalur saraf sensoris saluran nafas atas berasal dari saraf kranialis (Gambar 3). Selaput mukosa hidung bagian anterior diinervasi oleh cabang ophtalmikus (V1) dari saraf trigeminus (nervus ethmoidalis anterior) dan pada bagian posterior oleh cabang maxillaris (V2) (nervus sphenopalatina). Nervus palatina memberikan jaras sensoris dari nervus trigeminus pada permukaan superior and inferior palatum durum dan palatum molle. Nervus lingualis (cabang mandibularis (V3) nervus trigeminus) dan nervus glossofaring (saraf kranial kesembilan) menginervasi 2/3 anterior dan sepertiga posterior dari lidah. Cabang dari nervus facialis (VII) dan glossofaring memberikan sensasi rasa ke daerah lidah tersebut. Nervus glossofaring juga menginervasi atap faring, tonsil, dan permukaan bawah dari palatum molle. Nervus vagus (saraf kranial kesepuluh) menginervasi daerah jalan nafas di bawah epiglotis. Cabang nervus laringeus superior dari nervus vagus terbagi menjadi jaras eksternal (motorik) dan jaras internal (sensoris) yang memberikan saraf sensoris ke daerah laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang lain dari nervus vagus, nervus laringeus rekurent, menginervasi daerah laring di bawah pita suara dan trakhea.

Gambar 3. Jaras sensorik jalan nafas.

Otot-otot laring diinervasi oleh nervus rekurent laringeus kecuali otot krikotiroid, yang diinervasi nervus laringeus eksternal (motorik), cabang dari nervus laringeus superior. Otot krikoaritenoid posterior berfungsi sebagai abduktor pita suara, sedangkan krikoaritenoid sebagai adduktor. Fonasi merupakan suatu proses yang berlangsung simultan dan kompleks dari beberapa otot laring. Kerusakan pada saraf motorik yang menginervasi laring mengakibatkan berbagai jenis gangguan bicara (Tabel 1). Denervasi unilateral pada otot krikotiroid mengakibatkan gejala klinis yang susah ditemukan. Bilateral palsy pada nervus laringeus superior mengakibatkan suara serak dan pita suara yang mudah lelah. Tetapi hal ini tidak mengganggu kontrol jalan nafas.

Tabel 1. Efek dari cedera N. laringeus pada proses fonasi.

NervusEfek akibat trauma nervus

Nervus Laringeus Superior Unilateral BilateralEfek minimalSuara parau, suara mudah lelah

Nervus Laringeus Rekurent Unilateral Bilateral Akut KronisSuara parau

Stridor, distress nafasAfoni

Nervus vagus Unilateral BilateralSuara parauAfoni

Paralisis unilateral dari nervus laringeus rekurent mengakibatkan terjadinya paralisis pada daerah pita suara ipsilateral, yang ditandai dengan adanya penurunan dari kualitas suara. Dengan asumsi bahwa nervus laringeus superior berfungsi dengan baik, paralisis akut dari nervus laringeus rekurent bilateral mengakibatkan terjadinya stridor dan distress pernafasan, akibat dari menetapnya tekanan oleh otot krikotiroid. Masalah jalan nafas jarang terjadi pada kerusakan kronis dari nervus laringeus rekurent bilateral, karena adanya berbagai mekanisme kompensasi (misalnya, atrofi dari otot-otot laring)

Cedera nervus vagus bilateral mempengaruhi baik nervus laringeus superior dan nervus laringeus rekurent. Oleh karena itu, denervasi nervus vagus bilateral mengakibatkan flasiditas dan midposisi dari pita suara, hal yang sama terjadi pada pemberian suksinil kolin. Pada pasien ini, jarang terjadi masalah pada jalan nafas walaupun terjadi gangguan berat pada proses fonasi.

Suplai darah pada laring berasal dari cabang-cabang arteri tiroid. Arteri krikotiroid berasal dari arteri tiroid superior yang merupakan cabang pertama dari arteri karotis eksternal, arteri ini berjalan melintasi membran krikotiroid atas, yang memanjang dari kartilago krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroid superior berjalan sepanjang tepi lateral membran krikotiroid. Ketika akan melakukan krikotirotomi, anatomi arteri tiroid dan arteri krikotiroid harus diperhatikan dengan baik tetapi hal ini jarang mempengaruhi saat pelaksanaannya. Cara yang terbaik adalah tetap berada pada garis tengah, yaitu di antara kartilago tiroid dan kartilago krikoid.

PERALATAN

Jalan nafas oral & nasal Kehilangan tonus otot saluran nafas bagian atas (misalnya, kelemahan otot genioglossus) pada pasien yang teranestesi mengakibatkan lidah dan epiglotis jatuh menutupi dinding posterior faring. Reposisi kepala atau rahang bawah merupakan teknik yang dipilih untuk membuka jalan nafas. Untuk mempertahankan pembukaan jalan nafas, dilakukan intubasi melalui mulut atau hidung, yang dapat menciptakan sebuah lorong udara antara lidah dan dinding posterior faring (Gambar 4). Pada pasien yang sadar atau teranestesi ringan, dimana refleks laring masih utuh, dapat timbul batuk atau laringospasme pada saat insersi alat bantu nafas. Penempatan alat bantu nafas oral / OPA (Oro Pharngeal Airway), terkadang dapat dilakukan dengan menekan timbulnya refleks jalan nafas atau menekan lidah dengan spatel lidah. OPA untuk dewasa memiliki beberapa ukuran antara lain ukuran kecil (80 mm [Guedel No 3]), sedang (90 mm [Guedel No 4]), dan besar (100 mm [Guedel No 5]).

Gambar 4.A: OPA di mulut. Bentuknya mengikuti kelengkungan lidah, menarik lidah dan epiglotis menjauhi dinding posterior faring, membentuk saluran untuk lewatnya udara nafas. B: NPA (Naso Pharyngeal Airway) di hidung. Alat ini masuk melalui hidung dan memanjang sampai tepat di atas epiglotis. (Diubah dan direproduksi, dengan izin, dari Face Mask and Airways. Dalam: Understanding Anesthesia Equipment, 4th ed. Dorsch JA, Dorsch SE (editor). Williams & Wilkins, 1999.)

Panjang NPA dapat diperkirakan dengan mengukur jarak dari hidung ke meatus acusticus externus, dengan ukuran kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari OPA. Karena adanya resiko terjadinya epistaxis, NPA tidak boleh digunakan pada pasien dengan terapi antikoagulan atau pada anak-anak dengan hipertrofi adenoid. Selain itu, alat ini tidak boleh digunakan pada pasien dengan kecurigaan adanya Fraktur Basis Cranii. Alat apapun yang dimasukkan melalui hidung (NPA, NGT, NTT) harus dilubrikasi dan dimasukkan menyusuri dasar rongga hidung, tidak dengan gerakan yang cepat, menuju puncak rongga hidung untuk menghindari trauma pada conchae atau atap hidung. NPA lebih dipilih untuk dipasang pada pasien yang teranestesi ringan.

Teknik dan desain sungkup mukaPenggunaan sungkup muka dapat memfasilitasi pemberian oksigen atau gas anestesi dari sirkuit pernafasan ke pasien dengan menciptakan suatu segel kedap udara dengan wajah pasien (Gambar 5). Pinggiran sungkup muka dibentuk sesuai dengan kontur wajah. Sungkup muka dengan lubang berukuran 22 mm terhubung dengan sirkuit mesin anestesi melalui sebuah konektor yang bersudut siku-siku. Sungkup muka tersedia dalam beberapa desain. Sungkup muka yang transparan memungkinkan untuk dilakukannya pengamatan terhadap uap gas ekspirasi dan muntahan pasien yang terjadi tiba-tiba. Sungkup muka plastik berwarna hitam cukup lentur untuk disesuaikan dengan struktur wajah yang berbeda-beda. Kait yang ada pada sekeliling lubang sungkup dapat dihubungkan dengan sebuah tali yang dapat diikatkan ke kepala, sehingga sungkup tersebut tidak perlu dipegang oleh ahli anestesi terus-menerus. Beberapa sungkup muka pediatrik didesain untuk meminimalisasi adanya ruang rugi.

Gambar 5. Sungkup muka dewasa.

Gambar 6. Sungkup muka pediatrik Rendell-Baker-Soucek memiliki ukuran yang kecil dan ruang rugi minimal.

Ventilasi efektif membutuhkan sungkup muka yang sesuai dan jalan nafas yang paten. Teknik sungkup muka yang salah dapat mengakibatkan penyusutan kantong sungkup ketika katup penyesuai tekanan ditutup, hal ini ditandai dengan adanya kebocoran gas disekitar sungkup. Sebaliknya, pemberian gas anestesi bertekanan melalui mesin sirkuit anestesi dengan atau tanpa kenaikan dinding dada dan suara nafas yang minimal menandakan adanya obstruksi jalan nafas. Kedua masalah ini dapat teratasi dengan penggunaan teknik yang benar. Jika sungkup muka dipegang menggunakan tangan kiri, maka tangan kanan dapat digunakan untuk menghasilkan ventilasi tekanan positif dengan memompa kantong sungkup. Sungkup ditempelkan pada wajah dan diberikan sedikit tekanan ke arah wajah menggunakan ibu jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis memegang mandibula untuk menghasilkan ekstensi sendi atlantooccipital. Tekanan jari ditempatkan pada tulang mandibula, bukan pada jaringan lunak yang ada pada dasar lidah, yang dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas. Jari kelingking ditempatkan dibawah sudut rahang bawah dan digunakan untuk mendorong mandibula ke anterior, suatu maneuver yang penting dilakukan untuk memberikan ventilasi kepada pasien.

Gambar 7. Teknik sungkup muka dengan satu tangan

Pada situasi sulit, penggunaan dua tangan diperlukan untuk melakukan maneuver jaw thrust dan memberikan sungkup muka yang adekuat. Oleh karena itu, diperlukan seorang asisten untuk memompa kantung sungkup. Dalam kasus tersebut, kedua ibu jari menekan sungkup ke muka dan jari yang lain menarik rahang bawah kearah anterior (Gambar 8). Obstruksi selama ekspirasi dapat terjadi akibat tekanan sungkup ke wajah yang terlalu besar atau akibat efek ball-valve yang terjadi pada saat dilakukan maneuver jaw thrust. Penyebab pertama dapat dihilangkan dengan menurunkan tekanan pada sungkup, sedangkan yang kedua dapat dilakukan dengan melepaskan rahang bawah selama fase ekspirasi dari siklus pernafasan.Terkadang sulit untuk memberikan sungkup muka yang adekuat pada pasien dengan gigi ompong. Mempertahankan gigi palsu pada tempatnya (tidak direkomendasikan) atau memberikan kassa di sekeliling mulut dapat membantu. Pemberian tekanan ventilasi positif dibatasi hingga 20 cm H2O untuk menghindari pengembangan gaster.

Gambar 8. Kesulitan jalan nafas terkadang dapat diatasi dengan teknik dua tangan. Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan menggunakan sungkup muka, OPA atau NPA. Ventilasi sungkup muka yang berkepanjangan dapat mengakibatkan trauma tekanan pada cabang nervus trigeminus atau nervus facialis. Karena tidak adanya tekanan positif pada jalan nafas selama nafas spontan, hanya diperlukan tekanan yang ringan untuk menciptakan segel yang adekuat. Jika sungkup dan tali sungkup digunakan untuk jangka waktu yang lama maka posisinya harus secara teratur diubah untuk mencegah cedera. Lakukan perawatan untuk menghindari tekanan pada mata, dan mata harus diberi penutup untuk meminimalisasi resiko terjadinya abrasi kornea. Desain dan teknik pemasangan LMA (Laryngeal Mask Airway)LMA semakin sering digunakan sebagai pengganti sungkup muka atau PET selama pelaksanaan anestesi, selain itu untuk membantu ventilasi dan pemasangan PET pada pasien dengan kesulitan jalan nafas, dan untuk membantu ventilasi selama penggunaan FOB ataupun saat pemasangan FOB. LMA telah menyaingi Combitube sebagai perangkat pilihan untuk pengelolaan kesulitan jalan nafas. Terdapat empat jenis LMA yang sering digunakan yaitu LMA reusable, LMA disposable, LMA ProSeal yang memiliki lubang tempat memasukkan NGT dan memberikan tekanan ventilasi positif, dan LMA Fastrach yang dapat digunakan untuk memfasilitasi pasien dengan kesulitan jalan nafas.

LMA merupakan suatu alat berbentuk tabung dengan lubang berkaliber besar yang ujung proksimalnya dapat dihubungkan dengan sirkuit pernafasan melalui suatu konektor standar berdiameter 15 mm, dan ujung distalnya terhubung dengan cuff berbentuk ellips yang dapat dikembangkan melalui sebuah pilot tube. Cuff yang kempes diberi pelumas dan dimasukkan ke dalam hypofaring, lalu dikembangkan. Cuff akan membentuk suatu segel bertekanan rendah disekitar pintu masuk laring. Pemasangan LMA membutuhkan kedalaman anestesi yang lebih besar dibandingkan pada pemasangan PET. Walaupun pemasangannya terkesan sederhana (Gambar 9), akan tetapi atensi pada detail yang tepat akan meningkatkan angka keberhasilan (Tabel 2). Idealnya, LMA berbatasan dengan dasar lidah di daerah superior, sinus pyriform di daerah lateral, dan bagian atas sphinter esophagus di daerah inferior. Regurgitasi dan distensi gaster dapat terjadi jika esophagus terletak pada tepi cuff. Variasi anatomi pada beberapa pasien mengakibatkan fungsi dari LMA menjadi tidak adekuat. Namun, jika usaha untuk memasang LMA yang sesuai gagal, maka sebagian besar para ahli akan menggunakan LMA dengan satu ukuran lebih kecil atau lebih besar. Kegagalan pemasangan banyak terjadi akibat terlipatnya epiglotis atau cuff bagian distal, oleh karena itu, insersi LMA dengan visualisasi langsung menggunakan bantuan laringoskop atau FOB memiliki keuntungan lebih besar terutama pada kasus kesulitan jalan nafas. Selain itu, pengembangan sebagian besar cuff juga dapat membantu. Sebagai pengamannya dapat digunakan perekat seperti pada PET. LMA ( Laryngeal Mask Airway) atau sungkup laring melindungi laring dari sekresi faring (tetapi tidak dari cairan regurgitasi lambung), alat ini harus tetap berada pada tempatnya sampai semua reflek jalan nafas pasien kembali normal. Hal ini biasanya ditandai dengan adanya batuk dan mulut terbuka dengan perintah. LMA reusable, yang mana dapat disterilisasi dengan autoklaf, terbuat dari karet silikon (bebas latex) dan tersedia dalam berbagai ukuran. (Tabel 3).

Tabel 2. Kesuksesan Insersi LMA bergantung pada atensi pada beberapa detail.

1. Pilih LMA dengan ukuran yang sesuai (Tabel 3) dan periksa adanya kebocoran sebelum insersi2. Ujung dari cuff tidak boleh terlipat dan arahnya menjauhi apertura (Gambar 9A)3. Beri pelumas hanya pada bagian belakang cuff4. Pastikan pasien mendapatkan anestesi yang cukup (anestesi umum atau blok nervus regional) sebelum dilakukan insersi. Propofol dan opioid dapat memberikan kedalaman yang cukup dibanding tiopental.5. Tempatkan kepala pasien pada posisi sniffing (Gambar 9B dan Gambar 16)6. Gunakan telunjuk untuk mengarahkan cuff menyusuri palatum durum dan bergerak ke bawah menuju hipofaring sampai dirasakan adanya tahanan (Gambar 9C). Garis hitam longitudinal harus selalu ditujukan secara langsung ke arah kepala (cth, menghadap bibir atas pasien)7. Kembangkan cuff dengan sejumlah udara yang cukup (Tabel 3)8. Pastikan kedalaman anestesi selama memposisikan pasien9. Obstruksi setelah insersi biasanya diakibatkan terlipanya epiglotis ke bawah atau terjadinya laringospasme transien10. Hindari penghisapan faring, deflasi cuff, atau pelepasan LMA sampai pasien bangun (cth, membuka mulut dengan perintah)

Tabel 3. Beberapa variasi LMA dengan berbagai ukuran cuff yang berbeda tersedia untuk bermacam-macam pasien.

Ukuran LMAUkuran PasienBerat (kg)Volume cuff (mL)

122 345InfantAnak-anakAnak-anakDewasa kecilDewasa normalDewasa besar< 6,56,5 2020 30> 30< 70> 702 4 Sampai dengan 10Sampai dengan 15Sampai dengan 20Sampai dengan 30Sampai dengan 30

Gambar 9. A: LMA siap untuk diinsersikan. Cuff harus dikempeskan dengan bagian tepi menghadap ke arah yang menjauhi apertura LMA. Tidak boleh ada lipatan di dekat ujung cuff LMA. B: Insersi awal dari LMA. Dengan melihat langsung, ujung LMA ditekan menyusuri palatum durum. Jari tengah dapat digunakan untuk mendorong mandibula ke bawah. LMA ditekan ke arah depan menuju faring untuk mempertahankan ujung LMA tetap datar dan menghindari lidah. Segera setelah LMA berada pada posisinya, mandibula dipertahankan. Tangan kiri yang bebas dapat digunakan untuk menstabilkan posisi occiput. C: Dengan menarik jari lain dan melakukan sedikit pronasi pada lengan bawah, biasanya LMA akan terdorong sepenuhnya dengan sekali tekanan. Perhatikan bahwa kepala dijaga pada posisi ekstensi dan leher pada posisi flexi. D: LMA dipegang menggunakan tangan lain dan jari telunjuk yang sebelumnya ditarik. Tangan yang memegang LMA, memasukkan LMA dengan lembut sampai ditemukan tahanan. (Direproduksi, dengan izin, dari LMA North America.)

LMA memberikan alternatif pemberian ventilasi selain melalui sungkup muka atau PET (Tabel 4). Kontraindikasi penggunaan LMA meliputi kelainan faring (misalnya abses), obstruksi faring, perut yang penuh (misalnya pada kehamilan, hernia hiatal), atau compliance paru yang berkurang (misalnya penyakit paru restriktif) yang membutuhkan tekanan inspirasi puncak lebih dari 30 cm H2O. Penggunaan LMA dihindari pada pasien dengan bronkhospasme atau resistensi jalan nafas yang tinggi, namun bukti baru menunjukkan bahwa karena LMA tidak ditempatkan di trakhea, maka penggunaannya kurang dikaitkan dengan insiden terjadinya bronkhospasme dibanding pada penggunaan PET. Meskipun jelas jika penggunaan LMA bukan sebagai pengganti intubasi trakhea, tetapi LMA telah terbukti bermanfaat sebagai alat ventilasi sementara pada pasien dengan kesulitan jalan nafas (pada pasien yang tidak bisa diventilasi atau diintubasi) karena kemudahan insersi dan angka keberhasilannya yang cukup tinggi (95-99%). LMA telah digunakan sebagai saluran pembantu untuk pemasangan stylet intubasi (misal gum elastic bougie), stylet jet ventilasi, FOB flexible, atau PET dengan diameter yang kecil (6,0 mm). Beberapa LMA yang tersedia telah dimodifikasi untuk memfasilitasi pemasangan PET yang memiliki diameter lebih besar, dengan atau tanpa menggunakan bantuan FOB. Pemasangan dapat dilakukan dengan bantuan anestesi topikal dan blok nervus laringeus superior bilateral jika jalan nafas harus diamankan sementara pasien harus tetap sadar. Tabel 4. Kelebihan dan Kekurangan penggunaan LMA dibandingkan sungkup muka atau intubasi trakhea

KeuntunganKerugian

Perbandingan dengan sungkup mukaTeknik hands-freeSegel yang lebih baik pada pasien berjambangLebih mudah untuk operasi ENTLebih mudah untuk mempertahankan jalan nafasMelindungi dari sekresi jalan nafasTrauma mata dan nervus facialis lebih sedikitLebih invasifLebih beresiko terhadap trauma jalan nafasMembutuhkan keterampilanMembutuhkan anestesi yang lebih dalamMembutuhkan mobilitas TMJDifusi N2O ke dalam cuff

Perbandingan dengan intubasi trakheaPolusi ruang operasi lebih sedikitKurang invasifSangat berguna pada kesulitan intubasiSedikit trauma laring dan gigiJarang terjadi laringospasme dan bronkospasmeTidak leher membutuhkan mobilitasTidak ada resiko intubasi esofagus atau endobronkhialBerbagai kontraindikasiMeningkatnya resiko aspirasi GILebih aman pada posisi supinasi atau jack knifeAdanya pembatasan PPV maksimalKurang melindungi jalan nafasResiko tinggi kebocoran dan polusiDapat mengakibatkan distensi gaster

ENT : Ear, Nose, Throat; TMJ : Temporo Mandibular Joint; PPV : Positive Pressure Ventilation

Desain dan teknik pemasangan Combitube Esofagus TrakheaCombitube esofagus-trakhea terdiri dari dua tabung yang menyatu, dimana terdapat konektor berukuran 15 mm pada ujung proksimal masing-masing tube. Tabung yang lebih panjang, berwarna biru, memiliki ujung distal yang tertutup, sehingga jika diberi aliran gas maka gas akan keluar melalui lubang lain yang terdapat pada sisi samping tabung. Tabung yang lebih pendek, berwarna bening, memiliki ujung distal yang terbuka dan tidak memiliki lubang pada sisi sampingnya. Alat ini biasanya dimasukkan secara blind melalui mulut sampai dua cincin hitam yang terletak pada poros Combitube berada diantara gigi atas dan gigi bawah. Combitube memiliki 2 cuff yang dapat dikembangkan, dengan volume 100 mL pada cuff bagian proksimal dan 15 mL pada cuff bagian distal, dimana keduanya harus dikembangkan segera setelah insersi. Lumen bagian distal dari Combitube biasanya akan masuk ke esofagus, terjadi pada kira-kira 95% pemasangan, sehingga ventilasi melalui tabung biru akan mengakibatkan gas keluar melalui lubang samping tabung dan masuk ke laring. Tabung yang lebih pendek dapat digunakan sebagai dekompresi lambung. Atau jika Combitube memasuki trakhea, ventilasi pada tabung yang lebih pendek akan mengarahkan gas langsung ke dalam trakhea. Walaupun Combitube masih terdaftar sebagai salah satu pilihan untuk penatalaksanaan kesulitan jalan nafas pada Algoritma ACLS (Advanced Cardiac Life Support), ahli anestesi lebih memilih penggunaan LMA atau perangkat lain pada kasus kesulitan jalan nafas.

Pipa Endo Trakhea (PET)PET dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi langsung ke dalam trakhea dan memungkinkan dilakukannya kontrol terhadap ventilasi dan oksigenasi. Terdapat standar manufakturisasi pada pembuatan PET (American National Standard For Anesthetic Equipment; ANSI Z-79). PET umumnya terbuat dari polivinil klorida. Di masa lalu, PET diberi tanda "I.T." atau "Z-79" untuk mengindikasikan bahwa alat tersebut telah diuji kadar nontoksisitasnya. Bentuk dan kekakuan dari PET dapat diubah dengan menyisipkan stylet. Ujung PET yang mengarah ke pasien dibuat miring untuk membantu visualisasi dan pemasangan saat melalui pita suara. Pipa trakhea murphy memiliki lubang (Mata Murphy) untuk mengurangi risiko oklusi, dan letak pipa bagian distal harus berbatasan dengan carina atau trakhea (Gambar 10)

Gambar 10. Pipa trakhea Murphy.

Resistensi terhadap aliran gas utamanya bergantung pada diameter pipa, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang pipa dan kelengkungannya. Ukuran PET biasanya dinyatakan dalam mm dari diameter pipa bagian dalam, atau yang sangat jarang, menggunakan skala French (diameter pipa bagian eksternal dalam mm dikali 3). Diameter pipa dipilih dengan pertimbangan antara memaksimalkan aliran dengan penggunaan PET berukuran besar dan meminimalisasi trauma jalan nafas dengan penggunaan PET berukuran kecil (Tabel 5).

Tabel 5. Pedoman ukuran PET.

UmurDiameter dalam (mm)Panjang (cm)

Infant Full Term

Anak-anak

Dewasa Perempuan Laki-laki3.5 4 + Umur 4

7.0 7.5 7.5 9.012

14 + Umur 2

2424

Kebanyakan PET yang digunakan untuk orang dewasa memiliki cuff pengembang, dan terdiri dari katup, pilot balon, pipa pengembang, dan cuff (Gambar 10). Katup berfungsi untuk mencegah bocornya udara setelah cuff dikembangkan. Pilot balon merupakan tempat untuk mengisi udara untuk mengembangkan cuff. Pipa pengembang menghubungkan katup dengan cuff dan terletak pada dinding PET. Dengan menciptakan sebuah segel trakhea, PET mampu digunakan untuk memberikan ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi. PET tanpa cuff biasanya digunakan pada anak-anak untuk meminimalisasi resiko cedera dan batuk pasca intubasi.

Terdapat dua jenis cuff yang utama : bertekanan tinggi (volume rendah) dan bertekanan rendah (volume tinggi). Cuff bertekanan tinggi sering dihubungkan dengan terjadinya iskemik pada mukosa trakhea dan kurang cocok untuk intubasi jangka panjang. Cuff bertekanan rendah meningkatkan kemungkinan terjadinya sakit tenggorokan (area kontak mukosa yang lebih besar), aspirasi, ekstubasi spontan, dan kesulitan insersi (karena bentuk cuff yang lebar). Walaupun demikian, karena insiden kerusakan mukosa yang lebih sedikit, cuff bertekanan rendah lebih banyak direkomendasikan.

Tekanan cuff bergantung pada beberapa faktor : volume udara pengembang, diameter cuff dalam hubungannya dengan trakhea, compliance cuff dan trakhea, tekanan intrathorax (tekanan cuff meningkat saat batuk). Tekanan cuff dapat meningkat pada saat pemberian anestesi umum sebagai hasil dari difusi N2O (Nitrous Oksida) dari trakhea ke dalam cuff PET.

PET telah dimodifikasi untuk berbagai aplikasi khusus. Fleksibel, spiral-wound, PET yang diperkuat dengan kawat (PET lapis baja) sehingga tidak mudah untuk ditekuk, dan dapat dipergunakan pada prosedur pembedahan di daerah kepala dan leher atau pada pasien dengan posisi pronasi pada saat pembedahan. Bila PET lapis baja tersebut tertekuk akibat tekanan yang tinggi (misalnya tergigit pasien), maka lumen PET cenderung untuk tetap teroklusi, sehingga PET harus diganti. PET khusus lain seperti PET microlaringeal (lihat Bab 39), PET RAE (Gambar 39-1 dan 39-3), dan PET Double Lumen (Gambar 24-8). Saat ini terdapat PET Parker FlexTip yang memiliki ujung distal yang lebih elastis. Semua PET memiliki garis yang akan tampak seperti bayangan opaque pada foto radiologi yang memungkinkan visualisasi in situ

Laringoskop rigidLaringoskop merupakan sebuah alat yang digunakan untuk memeriksa laring dan untuk memfasilitasi pelaksanaan intubasi trakhea. Gagangnya berisi baterai untuk menyalakan lampu yang terdapat pada ujung blade (Gambar 11), atau sebagai alternatif untuk menyalakan lampu fiberoptik yang terdapat pada ujung blade. Cahaya dari FOB cenderung lebih terfokus dan kurang tersebar. Juga, laringoskop dengan FOB pada ujung bladenya dapat digunakan bersamaan dengan MRI (Magnetic Resonance Imaging). Merek Macintosh dan Miller merupakan jenis blade lengkung dan lurus yang paling sering digunakan, terutama di Amerika Serikat. Pemilihan jenis blade bergantung pada pilihan masing-masing dokter dan anatomi pasien. Karena tidak ada blade yang sempurna untuk berbagai situasi, seorang ahli anestesi harus mahir dan terbiasa menggunakan berbagai jenis blade (Gambar 12)

Gambar 11.Laringoskop kaku.

Gambar 12. Berbagai jenis blade laringoskop.

Laringoskop khususDalam 15 tahun terakhir, dua laringoskop baru telah dikembangkan untuk membantu dokter anestesi mengamankan jalan nafas pada kasus kesulitan jalan nafas Laringoskop Bullard dan Wu (Gambar 13). Keduanya memiliki sumber cahaya fiberoptik dan bilah lengkung dengan ujung yang panjang dan didesain untuk membantu dokter melihat pembukaan glotis pada pasien dengan lidah berukuran besar atau pada pasien dengan pembukaan glotis di daerah anterior. Banyak ahli anestesi percaya jika alat ini lebih disukai untuk pengelolaan kasus kesulitan jalan nafas yang terprediksi. Bagaimanapun juga, seperti halnya perangkat lain yang digunakan untuk mengelola jalan nafas, keahlian dalam penggunaannya harus diperoleh melalui pasien normal sebelum digunakan pada pasien gawat darurat yang mengalami kesulitan jalan nafas.

Gambar 13. Bilah laringoskop khusus untuk pengelolaan jalan nafas sulit. A: Laringoskop Wu, dengan PET pada jalur pipa, kateter suction pada lumen PET, dan pipa oksigen yang terhubung dengan sumber oksigen. B: Versi terbaru (Elite) dari Bullard Laringoskop. Pegangannya telah dibentuk kembali. Terdapat pengatur fokus built-in pada lensa matanya. Terdapat lengan pada gagang yang memiliki mekanisme pegas untuk memegang stylet multifungsi (Milik dari Circon ACMI, sebuah divisi dari Circon Corp)

Fiberoptik Bronkhoskopi Fleksibel Dalam beberapa situasi - misalnya, pasien dengan tulang servikal yang tidak stabil atau dengan rentang gerakan sendi temporomandibular yang sempit atau pasien dengan anomali jalan nafas kongenital dan didapat pelaksanaan laringoskop direk menggunakan laringoskop kaku mungkin mengalami kesulitan. Sebuah FOB Fleksibel memungkinkan visualisasi tidak langsung dari laring pada beberapa kasus atau pada kasus kesulitan intubasi yang diprediksi (Gambar 14). Bronkoskop terdiri atas serat fiber glass yang menghantarkan sinar dan gambar melalui pantulan internal misalnya jika sebuah sinar terjebak pada serat tersebut, maka sinar akan keluar pada ujung serat tanpa perubahan. FOB meliputi 2 bundel serat. Yang masing-masing terdiri atas 10.000-15.000 serat. Satu bundel serat mentransmisi cahaya dari sebuah sumber sinar (bundel sumber sinar), yang terdapat baik di luar alat atau berada pada gagangnya (Gambar 14B), sementara yang lain memberikan gambar dengan resolusi tinggi (bundel gambar). Manipulasi langsung pada pemasangan FOB dicapai dengan melakukan penekukan kawat FOB. Saluran aspirasi memungkinkan untuk dilakukannya penghisapan terhadap lendir, memberi tambahan oksigen, atau memberi obat anestesi lokal. Saluran aspirasi ini dapat dengan mudah dibersihkan, walaupun begitu, alat ini dapat menjadi sumber bakteri, yang oleh karena itu, membutuhkan pembersihan dan sterilisasi berkala setelah digunakan.

Gambar 14. A: Potongan melintang dari sebuah FOB. B: Fleksibel FOB dengan sumber cahaya yang tetap.

TEKNIK PELAKSANAAN LARINGOSKOP DIREK DAN INTUBASI

Indikasi Intubasi Insersi PET ke dalam trakhea menjadi bagian yang rutin dalam pelaksanaan anestesi umum. Intubasi bukan merupakan prosedur yang tanpa komplikasi, bagaimanapun juga, tidak semua pasien yang mendapatkan anestesi umum membutuhkan intubasi trakhea, tetapi PET pada umumnya digunakan untuk memproteksi jalan nafas atau untuk akses jalan nafas. Pada umumnya, intubasi diindikasikan untuk pasien yang memiliki resiko terjadinya aspirasi dan untuk mereka yang menjalani prosedur pembedahan melibatkan rongga badan, kepala dan leher. Ventilasi menggunakan sungkup atau LMA memberikan kepuasan pada prosedur pembedahan minor seperi sistoskopi, pemeriksaan di bawah pengaruh anestesi, operasi hernia inguinalis, dll.

Persiapan untuk Laringoskop RigidPersiapan untuk intubasi meliputi pemeriksaan peralatan dan penempatan posisi pasien dengan benar. PET harus diperiksa. Fungsi sistem pipa pengembang dapat diuji dengan cara mengembangkan cuff menggunakan spuit 10 cc. Pemeriksaan tekanan cuff setelah spuit dilepas dari pipa pengembang dapat digunakan untuk memastikan berfungsinya katup dan cuff pada PET. Beberapa ahli anestesi memotong PET untuk mengurangi panjangnya sehingga resiko intubasi bronkhial atau oklusi akibat tertekuknya PET berkurang (Tabel 5). Konektor harus disambungkan ke PET sedalam mungkin untuk menghindari lepasnya konektor dari PET. Jika menggunakan penuntun, maka alat tersebut dimasukkan ke dalam PET, yang kemudian dibentuk menyerupai tongkat hoki. Bentuk ini memfasilitasi intubasi pada posisi laring di anterior. Ukuran blade yang akan digunakan, disambungkan dengan gagangnya dan fungsi lampu diperiksa. Intensitas cahaya harus tetap konstan walaupun lampu tergoyang. Sinar yang hilang timbul memandakan kontak elektrik yang kurang, dimana sinar yang meredup menandakan energi baterai yang berkurang. Gagang ekstra, bilah ekstra dan PET dengan satu ukuran lebih kecil dan penuntun harus tersedia. Suction yang menyala diperlukan untuk membersihkan jalan nafas pada sekresi yang berlebihan, adanya darah dan muntahan.

Gambar 15. Sebuah PET dengan stylet di dalamnya ditekuk menyerupai tongkat hoki

Intubasi sukses sering bergantung pada ketepatan posisi pasien. Kepala pasien harus sejajar dengan pinggang ahli anestesi atau lebih tinggi untuk mencegah strain pada punggung selama pelaksanaan laringoskopi. Laringoskop kaku menyisihkan jaringan lunak di faring untuk menciptakan garis pandang yang lapang dari mulut ke glotis. Elevasi kepala ringan (5-10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi pada sendi atlantooccipital menempatkan pasien pada posisi sniffing yang diinginkan (Gambar 16). Bagian bawah servikal diflexikan dengan menempatkan kepala di atas bantal.

Gambar 16. Posisi sniffing dan intubasi menggunakan bilah Macintosh (Diubah dan direproduksi, dengan izin, dari Dorsch JA, SE Dorsch : Understanding Anesthesia Equipment: Construction, Care, and Complications. Williams & Wilkins, 1991.)

Persiapan untuk induksi dan intubasi melibatkan preoksigenasi rutin. Preoksigenasi dengan beberapa (empat pada kapasitas paru total) tarikan nafas dalam menggunakan oksigen 100 % memberikan margin keamanan tambahan jika pasien tidak mudah diventilasi setelah dilakukan induksi. Preoksigenasi dapat diabaikan pada pasien yang menolak diberikan sungkup muka, tidak ada riwayat penyakit paru, dan yang bukan termasuk kasus kesulitan jalan nafas. Setelah melakukan induksi, seorang ahli anestesi menjadi penjaga dari pasien tersebut. Karena anestesi umum menghilangkan refleks perlindungan kornea, maka selama periode anestesi tersebut perlu dilakukan perawatan dengan cara tidak memberikan trauma pada mata pasien secara sengaja. Jadi, secara rutin mata ditutup, setelah sebelumnya diberkan salep mata berbasis minyak.

Intubasi orotrakheal Laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Dengan mulut pasien yang terbuka lebar, bilah dimasukkan ke sisi kanan orofaring dengan hati-hati menghindari gigi. Lidah disapu ke kiri dan menaiki lantai faring oleh bilah laringoskop. Ujung dari bilah lengkung biasanya dimasukkan ke dalam valecula, sedangkan pada blade lurus, ujungnya menutupi epiglotis. gagang dinaikkan dan digerakkan ke arah lateral secara tegak lurus ke arah mandibula untuk memperlihatkan pita suara (Gambar 17). Hindari menjepit bibir diantara gigi dan bilah. PET dipegang menggunakan tangan kanan, dan ujungnya dimasukkan melewati pita suara yang terabduksi. Cuff PET harus berada ditrakhea bagian proximal, tetapi tetap berada di bawah laring. Laringoskop ditarik, dengan hati-hati untuk menghindari kerusakan gigi. Cuff dikembangkan dengan sejumlah kecil udara yang dapat menciptakan segel selama pemberian ventilasi tekanan positif untuk meminimalisasi tekanan yang diberikan ke mukosa trakhea. Merasakan tekanan pada pilot baloon bukan metode yang dapat tepat untuk mengetahui keadekuatan tekanan pada cuff PET.

Gambar 17Visualisasi dari glotis selama laringoskop menggunakan bilah lengkung.(Diubah dan direproduksi, dengan izin, dari Barash PG: Clinical Anesthesia, 4th ed. Lippincott, 2001.)

Segera setelah intubasi, dilakukan auskultasi di daerah dada dan epigastrium dan penggunaan capnografi dilakukan untuk memastikan apakah PET terletak dalam trakhea (Gambar 18). Apabila terdapat keraguan apakah PET berada dalam esofagus atau trakhea, segera tarik kembali PET dan lakukan ventilasi menggunakan sungkup muka. Jika tidak, tabung diikat menggunakan perekat untuk mengamankan posisinya. Walaupun deteksi CO2 terus-menerus oleh kapnograph merupakan konfirmasi yang terbaik untuk mengetahui letak PET, tetapi tidak dapat mengeksklusikan adanya intubasi bronkhial. Manifestasi awal dari intubasi bronkhial adalah peningkatan tekanan inspirasi puncak. Ketepatan letak PET dapat dikonfirmasi dengan meraba cuff pada lekukan tulang sternum sedangkan tangan yang lain menekan pilot baloon. Saat intubasi, cuff pada pipa endotrakheal tidak boleh berada diatas tulang krikoid, karena penempatan cuff intralaring yang berkepanjangan dapat mengakibatkan terjadinya suara serak pasca operasi dan meningkatkanresiko terjadinya ekstubasi spontan. Posisi PET dapat didokumentasikan dengan menggunakan rontgen dada, kecuali dalam unit perawatan intensif.

Gambar 18. Daerah auskultasi berada di daerah apex paru dan epigastrium.

Deskripsi yang disajikan di sini jika pasien tidak sadar. Intubasi oral biasanya kurang ditoleransi oleh pasien dalam keadaan sadar. Jika perlu, pada keadaan sadar, dapat diberikan, sedasi intravena, aplikasi spray analgetik lokal di orofaring, blok saraf regional, dan KIE yang baik akan meningkatkan penerimaan pasien.

Kegagalan intubasi tidak boleh diikuti oleh usaha intubasi berulang karena hasilnya kurang lebih sama. Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan, seperti reposisi pasien, mengganti ukuran PET, menggunakan bantuan stylet, memilih ukuran bilah yang berbeda, mencoba rute nasal, atau meminta bantuan dokter anestesi lain. Jika ventilasi menggunakan sungkup muka sulit dilakukan, terdapat bentuk-bentuk alternatif pengelolaan jalan nafas lain yang dapat dilakukan (misalnya, LMA, Combitube, krikotirotomi dengan jet ventilasi, trakheostomi). Pedoman ini dikembangkan oleh American Society of Anesthesiologist untuk pengelolaan kesulitan jalan nafas termasuk algoritma rencana terapi (Gambar 19)

Gambar 19. Algoritma kesulitan jalan nafas dikembangkan oleh American Society of Anesthesiology. * Konfirmasi intubasi trakhea atau LMA dengan hembusan CO2 saat ekspirasi. (Direproduksi, dengan izin, dari American Society of Anesthesiologists Task Force on Management of The Difficult Airway. Pedoman praktis pengelolaan kesulitan jalan nafas : sebuah laporan terkini oleh American Society of Anesthesiologists Task Force on Management of The Difficult Airway. Anesthesiology 2003 ; 98:1269.)

Intubasi nasotrakhea Intubasi nasal mirip dengan intubasi trakhea kecuali bahwa pada intubasi nasal, PET dimasukkan melalui hidung ke nasofaring lalu orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Bagian hidung yang dipilih dan dipersiapkan adalah yang paling mudah digunakan untuk bernafas. Tetes hidung phenylephrine (0,5% atau 0,25%) digunakan sebagai vasokonstriktor pembuluh darah dan penyusutan mukosa. Namun, pemberian yang berlebihan dapat mengakibatkan hipertensi, takikardia, dll. Jika pasien sadar, penggunaan tetes hidung anestesi lokal, dan blok anestesi lokal dapat dimanfaatkan (lihat Diskusi Kasus dalam bab ini).

PET yang telah diolesi dengan jelly yang larut air dimasukkan melalui hidung berjalan sepanjang lantai rongga hidung, di bawah konka inferior, dengan sudut yang tegak lurus dengan wajah. Bevel PET diarahkan ke lateral menjauhi konka. Untuk memastikan bahwa PET melewati dasar rongga hidung, maka ujung proksimal PET harus ditarik ke arah cephalad. PET dimasukkan bertahap sampai ujungnya terlihat di orofaring. Laringoskop, seperti yang telah dibahas, digunakan untuk melihat pita suara yang terabduksi. Seringkali, bagian distal dari PET dapat dimasukkan ke trakhea tanpa ada kesulitan. Jika terjadi kesulitan, penempatan ujung PET pada pita suara dapat difasilitasi menggunakan forceps magill, dengan hati-hati agar tidak merusak cuff. Penempatan pipa apapun melalui hidung baik PET, NPA, NGT berbahaya pada trauma parah tulang tengkorak karena adanya resiko penempatan ke intrakranial (Gambar 20).

Gambar 20. Rontgen kepala menunjukkan PET berukuran 7.0 mm masuk melalui cribiformis ke ruang intrakranial pada pasien dengan fraktur basis cranii.

Intubasi Nasal Fiberoptik Fleksibel Kedua lubang hidung dipersiapkan menggunakan tetes obat vasokonstriksi. Dilakukan persiapan pada lubang hidung yang mana pasien mudah untuk bernafas. Oksigen dapat diberikan melalui saluran penghisap dan aspirasi dari FOB untuk memperbaiki oksigenasi dan meniupkan cairan sekresi menjauhi ujung FOB. Alternatif lain, dapat diinsersikan NTT berukuran besar (misalnya, 36F) ke dalam lubang hidung kontralateral. Sirkuit nafas dapat dihubungkan secara langsung ke ujung distal pipa NTT untuk memberikan oksigen 100% selama laringoskopi. Jika pasien tidak sadar dan tidak bernafas spontan, mulut dapat ditutup dan ventilasi diberikan melalui NTT. Saat teknik ini digunakan, perlu dilakukan konfirmasi menggunakan kapnograph dan pulse oksimetri untuk mengetahui keadekuatan ventilasi dan oksigenasi. PET dilumasi dan dimasukkan ke dalam lubang hidung yang lain. Batang FOB yang dilumasi dimasukkan ke dalam lumen PET. Selama endoskopi, sangat penting untuk memajukan FOB ke dalam lumen, jangan memasukkan lebih jauh jika yang terlihat hanya dinding PET atau membran mukosa hidung. Sangat penting untuk mempertahankan batang FOB tetap lurus (Gambar 21) sehingga kepala FOB berotasi pada satu arah, dan ujung distal akan bergerak dengan sudut yang sama dan ke arah yang sama. Ketika ujung dari FOB telah melewati ujung distal dari PET, epiglotis atau glotis harus dapat dilihat. Ujung dari bronkoskop dimanipulasi seperlunya agar dapat melewati pita suara yang terabduksi.

Gambar 21. Teknik yang benar untuk memanipulasi sebuah FOB melalui tabung trakhea ditampilkan di panel atas; hal yang membuat manipulasi menjadi sulit jika kita menghindari lengkungan dari bronkoskop.

Tidak perlu terburu-buru karena pasien yang sadar dapat menjaga ventilasinya tetap adekuat dan pada pasien yang teranestesi, jika ventilasi atau oksigenasinya tidak adekuat, maka FOB dapat ditarik agar pasien dapat diventilasi menggunakan sungkup muka. Dengan asisten yang menarik mandibula ke depan atau melakukan tekanan pada tulang krikoid dapat memperbaiki visualisasi pada kasus-kasus sulit. Jika pasien bernafas spontan, menarik lidah ke depan dengan penjepit dapat memfasilitasi intubasi.

Setelah FOB berada di dalam trakhea, FOB dimasukkan hingga mencapai carina. Terlihatnya cincin trakhea dan carina merupakan petanda bahwa penempatan FOB sudah benar. PET didorong melewati FOB. Sudut tajam pada cartilago aritenoid dan epiglotis mungkin menjadi halangan saat pemasukan PET. Penggunaan PET yang berlapis baja dapat mengurangi resiko ini karena fleksibilitas lateralnya lebih besar dan ujung distalnya lebih menekuk. Penempatan PET yang sesuai dikonfirmasi dengan melihat ujung distal PET berada di atas carina sebelum FOB ditarik.

PROFIL PADA PRAKTEK ANESTESI PHILIP C. LARSON, JR, MD, CM

Penatalaksanaan jalan nafas

American Society of Anesthesologist (ASA) mengembangkan pedoman praktek dan sebuah algoritma untuk membantu ahli anestesiologi ketika berhadapan dengan pengelolaan kesulitan jalan nafas. Meskipun pada awalnya berguna, menurut saya algoritma tersebut tidak lagi menyediakan petunjuk yang efektif untuk menangani kesulitan jalan nafas dengan beberapa alasan. (1) Hal ini terlalu rumit untuk diingat ketika menghadapi intubasi sulit yang tidak terduga. (2) Tidak ada perbedaan penting antara kesulitan intubasi dan ventilasi (yang cukup berbeda). (3) Penjelasan yang kurang spesifik mengenai apa yang harus dilakukan selanjutnya. (4) Kurangnya pertimbangan waktu, dan waktu sangat penting ketika kita menghadapi keadaan darurat. (5) Yang terakhir dan yang paling penting, algoritma tidak dapat dipraktekkan dalam keseluruhannya secara teratur untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan dalam penerapannya. Sebagai alternatif lain dari algoritma ASA, saya telah mengembangkan teknik yang lebih aman, lebih efektif, dan lebih dapat diandalkan daripada algoritma tersebut. Metode ini meliputi penggunaan empat rencana: Rencana A, B, C, dan D yang digunakan secara berurutan.

Rencana A: Laringoskopi standar menggunakan bilah pilihan. Ahli anestesi harus mengetahui selama intubasi pertama dimana laringoskopi konvensional dan intubasi trakhea tidak mungkin dilakukan. Usaha kedua dengan menggunakan bilah yang lain adalah wajar, tetapi tidak lebih dari dua kali. Setiap kali usaha ulangan meningkatkan resiko untuk terjadinya perdarahan di mulut, sekresi yang berlebihan, ketidakadekuatan anestesi dan perubahan dari tidak dapat diventilasi dan diintubasi menjadi dapat diventilasi dan dapat diintubasi

Rencana B: Laringoskopi direk dan insersi sebuah kateter intubasi Cook (Frova) melalui pembukaan glotis. Kateter intubasi Cook memiliki panjang 70 cm; alat ini memiliki tanda ukuran eksternal setiap 5 cm dari ujung proximal sampai ujung distalnya sepanjang 40 cm, stylet yang dapat diambil untuk mempertahankan kelengkungan, pada bagian distal membulat dengan dua lubang, dan dua snap-on adaptor untuk menghubungkan dengan sirkuit anestesi, garis sampling gas, atau jarum suntik. Styletnya sepanjang 61 cm, dengan sisa 9 cm kateter fleksibel, yang membuatnya aman untuk dimasukkan secara blind tanpa khawatir akan terjadi perforasi jaringan. Kateter intubasi Cook lebih baik daripada Gum Elastic Boogie (yaitu, Eschmann) karena ukurannya yang lebih panjang, kemampuannya untuk mempertahankan kelengkungan, kemampuannya untuk menghantarkan oksigen, dan kemampuannya untuk beradaptasi ke monitor sampling gas.

Selama laringoskopi direk, sangat penting untuk melihat epiglotis tetapi tidak pembukaan glotis untuk memasukkan kateter Cook dengan aman. Kateter tersebut dimasukkan tepat dibawah epiglotis pada garis tengahnya, dan tangan dilemaskan sehingga kateter akan mengikuti kontur epiglotis ke arah pembukaan glotis. Karena ujung PET kecil (5 mm o.d), bundar, dan fleksibel, akan sangat sulit untuk melubangi jaringan lunak pada pemasangan blind. Setelah kateter dimasukkan, ada tiga cara untuk mengkonfirmasi letaknya di trakhea. Pertama, seorang asisten yang meletakkan tangannya di bagian anterior biasanya dapat merasakan kateter yang bergerak melalui pita suara dan masuk ke trakhea. Kedua, setelah kateter mencapai carina, yang biasanya sekitar 40 cm pada orang dewasa, tidak akan masuk lebih jauh; jika berada dalam kerongkongan, ia akan masuk dengan mudah sampai ujung proksimal kateter di mulut. Ketiga, dengan menghubungkan garis sampling monitoring gas ke konektor jarum menghasilkan kadar karbondioksida yang terukur saat dada bagian atas dikompresi dengan lembut. Setelah ditetapkan bahwa Kateter Cook terletak di laring, PET berukuran berkisar 5-8 mm dapat dimasukkan dengan penuntun kateter cook ke dalam laring. Cara terbaik adalah dengan memutar PET berlawanan dengan arah jarum jam; benjolan yang berbeda biasanya dapat dirasakan sebagai PET yang melewati pita suara. Kateter Cook dapat membantu pada kasus kesulitan intubasi, dan seharusnya menjadi peralatan yang selalu tersedia.

Rencana C: Insersi dari LMA dan pemasangan ke mesin anestesi. Ventilasi mekanik diberikan untuk mengoptimalisasi oksigenasi dan pengeluaran karbon dioksida. Ahli anestesi juga harus memanggil bantuan, yang menyediakan FOB, PET tanpa cuf dengan ukuran 5,5 atau 6,0 mm, kateter pertukaran udara ukuran medium (salah satu yang akan dapat membantu memasukkan PET berukuran 5,0-menjadi 8,0-mm). Ketika peralatan tiba, PET berukuran 5,5-atau 6.0-mm dimasukkan ke dalam FOB setelah memastikan bahwa konektor pada PET berfungsi. FOB dimasukkan ke dalam trakhea menggunakan LMA sebagai panduan. PET dilubrikasi dan dengan lembut dimasukkan sepanjang fiberoptik ke dalam trakhea. Mungkin diperlukan untuk memutar tabung > 90 untuk maju ke dalam trakhea. Scope pada FOB diambil kemudian PET dengan ukuran 5,5 atau 6,0 mm dihubungkan dengan mesin anestesi. Ventilasi sangat mudah, tetapi aliran gas tinggi harus digunakan untuk mengatasi kebocoran antara LMA dan tabung. Kebocoran ini dapat diminimalkan baik dengan menempatkan jari-jari tangan pada jaringan lunak antara mandibula dan tulang rawan tiroid dan menekannya dalam satu garis atau menutup hidung dan mulut dengan tangan yang lain.

Setelah ventilasi, oksigenasi, dan kedalaman anestesinya cukup, maka kateter pertukaran udara berukuran medium dilumasi dan kateter dimasukkan melalui PET berukuran 5,5-sampai 6.0 mm ke dalam trakhea. Kateter ini biasanya menemui hambatan di ujung PET, biasanya pada tanda 30 cm pada kateter. Mungkin perlu untuk memutar PET > 90 sambil mendorong kateter maju sampai melebihi tanda 30 cm. Hal ini karena kateter berbatasan dengan dinding anterior trakhea, kecuali PET diputar untuk mengubah sudut penyisipan kateter. Setelah kateter berada pada posisinya, tabung dan LMA ditarik secara en blok, hanya menyisakan kateter dalam trakhea. PET ini kemudian dimasukkan melalui kateter dan maju dalam modus yang berlawanan ke dalam trakhea.

Rencana C tidak boleh digunakan hanya bila rencana B telah gagal, tetapi juga merupakan solusi yang cocok untuk melakukan intubasi trakhea ketika pelaksanaan intubasi fiberoptik pada pasien sadar tidak berhasil karena ketidakmampuan untuk mencapai anestesi topikal yang memadai. Apabila Rencana C gagal, dan itu tidak di banyak ratusan usaha, baik dalam keadaan darurat dan pilihan, lanjutkan ke Rencana D.

Rencana D: Rencana ini memiliki dua pilihan. Yang pertama adalah untuk membatalkan operasi, mengakhiri anestesi, dan membangunkan pasien. Operasi akan dijadwalkan untuk hari lain, dan dilakukan intubasi fiberoptik. Kedua dengan meminta ahli bedah melakukan intervensi surgikal (yaitu, trakheostomi). Saya tidak harus mengambil jalan ke rencana D karena kegagalan Rencana A-C, tapi itu adalah bijaksana untuk memiliki alternatif ini.

Keuntungan dari algoritma ini adalah bahwa ia menyediakan rencana dengan urutan yang jelas dan berurutan ketika menemui kasus kesulitan intubasi yang tak terduga pada pasien yang teranestesi. Rencana ini sangat sederhana untuk diingat, efektif dalam mencapai tujuan intubasi trakhea, dan aman karena tidak ada usaha yang dilakukan secara blind dan paru-paru pasien dapat diberi ventilasi dan oksigen pada dua interval ketika beralih ke rencana C. Akhirnya, dan yang paling penting , rencana A-C dapat dipraktekkan dalam pembiusan pasien pada kasus yang bukan kasus kesulitan jalan nafas, sehingga ketika ditemukan kesulitan jalan nafas dan intubasi yang sulit, ahli anestesi yang berpengalaman dan mampu melaksanakan tugas dengan cepat dan mudah.

1. Practice guidelines for management of the difficult airway : a report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult Airway.edoman praktek pengelolaan jalan nafas yang sulit: sebuah laporan oleh American Society of ahli anestesiologi Satuan Tugas Pengelolaan Sulit Airway. Anesthesiology 1993; 78:597. 2. Pedoman praktek pengelolaan jalan nafas yang sulit: sebuah laporan terbaru oleh American Society of ahli anestesiologi Satuan Tugas Pengelolaan Sulit Airway. Anesthesiology 2003; 98:1269.

Teknik Ekstubasi Keputusan untuk melepas PET adalah bagian dari seni dalam ilmu anestesiologi yang berkembang dengan pengalaman. Ini adalah bagian yang sangat penting dalam praktek sebagai mana banyak komplikasi muncul selama ekstubasi, dan segera setelah intubasi. Secara umum, ekstubasi sebaiknya dilakukan ketika pasien berada pada keadaan anestesi dalam atau sadar. Dalam kedua kasus, pemulihan dari obat pelumpuh otot harus ditetapkan sebelum dilakukan ekstubasi. Jika obat pelumpuh otot digunakan, pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik, maka harus dilakukan penyapihan dari ventilator sebelum dilakukan ekstubasi.

Ekstubasi selama anestesi ringan (yaitu, sebuah keadaan antara anestesi dalam dan sadar) dihindari karena meningkatkan resiko terjadinya laringospasme. Perbedaan antara anestesi dalam dan ringan biasanya terlihat selama pengisapan faring: reaksi apapun untuk pengisapan (misalnya, menahan nafas, batuk) menunjukkan pasien berada pada keadaan anestesi ringan, sedangkan tidak adanya reaksi menunjukan pasien berada dalam keadaan anestesi dalam. Demikian pula, membuka mata atau gerakan yang bertujuan menunjukkan bahwa pasien dalam keadaan sadar.

Ekstubasi pada pasien yang sadar biasanya berhubungan dengan batuk (bucking) pada PET. Reaksi ini akan meningkatkan denyut jantung, tekanan vena sentral, tekanan darah arteri, tekanan intrakranial, dan tekanan intraokular. Hal ini juga menyebabkan luka sukar menutup dan berdarah. Adanya PET pada pasien penderita asma yang sadar sering memicu bronkhospasme. Walaupun hal ini dapat dikurangi dengan pemberian 1,5 mg/kg lidokain intravena 1-2 menit sebelum pengisapan dan ekstubasi, ekstubasi dalam mungkin menjadi pilihan yang lebih tepat untuk pasien yang tidak dapat mentolerir efek ini. Di sisi lain, teknik ekstubasi seperti ini merupakan kontraindikasi pada pasien yang beresiko aspirasi atau adanya kesulitan dalam pembebasan jalan nafas setelah PET dilepas.

Terlepas dari apakah tabung akan dilepas pada saat pasien dalam anestesi dalam atau keadaan sadar, faring pasien harus benar-benar dihisap sebelum ekstubasi untuk mengurangi resiko aspirasi atau laringospasme. Selain itu, pasien harus diberi ventilasi dengan oksigen 100% terutama dalam kasus dimana terdapat kesulitan dalam mempertahankan jalan nafas setelah PET dilepas. Sesaat sebelum ekstubasi, perekat PET dilepas dan cuff PET dikempeskan. Memberikan sejumlah kecil udara bertekanan positif melalui kantong sungkup yang terhubung dengan PET dapat membantu menarik sekresi yang mengumpul di bagian atas cuff ke arah faring, untuk lebih mempermudah penghisapan. Apakah tabung akan dilepas ketika pasien berada pada akhir ekspirasi atau akhir inspirasi tidak terlalu penting. Tabung ditarik dalam satu gerakan halus, dan diberikan sungkup muka dengan oksigen 100% sampai pasien cukup stabil untuk ditransportasi ke ruang pemulihan. Pada beberapa institusi, pemberian oksigen melalui sungkup muka dipertahankan selama masa transportasi.

KOMPLIKASI LARINGOSKOPI & INTUBASI

Komplikasi dari laringoskopi dan intubasi meliputi hipoksia, hiperkarbia, trauma gigi dan jalan nafas, malposisi PET, dan respon fisiologis terhadap instrumentasi jalan nafas atau malfungsi PET. Komplikasi ini dapat terjadi selama laringoskopi dan intubasi, selama PET di dalam trakhea atau setelah ekstubasi (Tabel 6).

Trauma jalan nafas Instrumentasi dengan bilah laringoskop dari logam dan insersi PET yang kaku sering mengakibatkan trauma jalan nafas. Meskipun kerusakan gigi merupakan penyebab utama klaim malpraktek terhadap ahli anestesiologi, laringoskopi dan intubasi dapat menyebabkan berbagai komplikasi dari sakit tenggorokan hingga stenosis trakhea. Sebagian besar disebabkan oleh tekanan eksternal yang berkepanjangan pada struktur saluran nafas yang sensitif. Ketika tekanan ini melebihi tekanan kapiler arteriol (sekitar 30 mmHg), terjadi iskemia jaringan yang dapat menyebabkan rangkaian peradangan, ulserasi, granulasi, dan stenosis. Pengembangan dari cuff PET dengan tekanan minimum yang diperlukan untuk menciptakan segel selama pemberian ventilasi tekanan positif (biasanya sekurang-kurangnya 20 mmHg) mengurangi aliran darah di trakhea sebanyak 75% pada daerah cuff. Pengembangan cuff lebih lanjut dan terjadinya hipotensi dapat mengurangi aliran darah di mukosa. Batuk pasca intubasi disebabkan oleh edema pada daerah glotis, laring, atau trakhea terutama pada anak-anak. Kegunaan kortikosteroid (misalnya, deksametason 0,2 mg/kg, sampai maksimum 12 mg) dalam mencegah edema saluran nafas pasca ekstubasi masih kontroversial, namun obat ini telah menunjukkan kemanjuran pada anak-anak dengan batuk akibat penyebab lain. Kelumpuhan pita suara akibat tekanan cuff atau trauma pada nervus laringeus rekurent mengakibatkan suara serak dan meningkatkan resiko aspirasi. Beberapa komplikasi ini dapat dikurangi dengan menggunakan PET yang dapat dibentuk untuk menyesuaikan diri dengan anatomi jalan nafas (misalnya, Lindholm Anatomical Tracheal Tube). Insiden suara serak pasca operasi meningkat dengan kondisi pasien dengan obesitas, kesulitan intubasi, dan pelaksanaan anestesi yang berdurasi panjang. Pemberian pelumas larut air atau gel yang mengandung anestesi lokal ke ujung atau cuff PET tidak menurunkan insiden sakit tenggorokan atau suara serak pasca operasi. Penggunaan PET ukuran kecil (ukuran 6,5 pada wanita dan ukuran 7,0 pada laki-laki) menurunkan keluhan sakit tenggorokan pasca bedah yang lebih sedikit. Pengulangan laringoskopi selama terjadinya kesulitan intubasi dapat menimbulkan edema periglotis dan ketidakmampuan untuk memberikan ventilasi dengan sungkup muka, dengan demikian mengubah situasi yang buruk menjadi mengancam jiwa.

Tabel 6 Komplikasi intubasi. Selama Laringoskopi dan intubasi Malposisi Intubasi esofagus Intubasi bronkhial Posisi cuff pada laring Trauma jalan nafas Kerusakan gigi Laserasi mulut, lidah dan mukosa Sakit tenggorokan Dislokasi mandibula Diseksi retrofaring Refleks fisiologis Hipoksia, hiperkarbia Hipertensi, takikardi Hipertensi intrakranial Hipertensi intraokuler Laringospasme Malfungsi PET Perforasi cuff

Saat PET terpasang Malposisi Ekstubasi spontan Intubasi bronkhial Posisi cuff pada laring Trauma jalan nafas Ulserasi dan inflamasi mukosa Ekskoriasi hidung Malfungsi PET Obstruksi Cuff pecah

Setelah ekstubasi Trauma jalan nafas Edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trakhea) Suara parau (granuloma pita suara atau paralisis) Malfungsi laring dan aspirasi Laringospasme Edema paru tekanan negatif

Kesalahan penempatan PET Intubasi esofagus yang tidak disengaja dapat menghasilkan bencana. Pencegahan intubasi esophageal yang tidak disengaja dapat dilakukan dengan cara melihat visualisasi ujung PET saat melewati pita suara, auskultasi yang teliti untuk mendengar adanya suara nafas pada kedua paru dan tidak adanya suara udara pada gaster, analisa gas ekspirasi untuk mengetahui adanya kandungan CO2 (metode paling terpercaya), foto thorax dan penggunaan FOB (Fiber Optic Bronkhoscopy). Walaupun sudah bisa dikonfirmasi bahwa tabung berada dalam trakhea, kemungkinan malposisi dapat terjadi. Insersi yang terlalu dalam pada trakhea menghasilkan intubasi pada bronkhus sebelah kanan karena bronkhus ini memiliki sudut yang kurang tajam terhadap trakhea. Petunjuk adanya intubasi bronkhial antara lain suara nafas pada satu sisi paru, adanya hipoksia yang terlihat pada pulse oksimetri (tidak dapat diandalkan pada pemberian oksigen inspirasi dengan konsentrasi tinggi), ketidakmampuan untuk meraba cuff PET pada lekukan tulang sternum, dan penurunan compliance kantong sungkup (tekanan inspirasi puncak yang tinggi).

Sebaliknya, insersi yang kurang dalam mengakibatkan cuff PET berada pada laring, yang merupakan predisposisi untuk terjadinya trauma laring. Kedalaman yang tidak memadai dapat dideteksi dengan meraba cuff di atas tulang rawan tiroid.

Karena tidak ada satu teknik yang dapat melindungi terhadap semua kemungkinan terjadinya malposisi PET, maka pemeriksaan minimal harus mencakup auskultasi dinding dada, kapnografi rutin, dan palpasi cuff.

Jika pasien diubah posisinya, lokasi PET harus dikonfirmasi kembali. Ekstensi leher dan rotasi ke arah lateral dapat mengakibatkan PET bergerak menjauhi carina, sedangkan fleksi leher mengakibatkan PET bergerak menuju carina.

Respon fisiologis terhadap instrumentasi jalan nafas Laringoskopi dan intubasi trakhea meningkatkan refleks proteksi pasien yang mengakibatkan terjadinya hipertensi dan takikardia. Insersi LMA kurang dikaitkan dengan perubahan hemodinamik. Perubahan hemodinamik ini dapat dikurangi dengan pemberian infus obat; lidokain (1,5 mg /kg) 1-2 menit, remifentanil (1,0 g/kg) 1 menit, alfentanil (10-20 g/kg) 2-3 menit, atau fentanyl (0,5-1,0 g/kg) 4-5 menit sebelum laringoskopi. Obat agen hipotensif, termasuk natrium nitroprusside, nitrogliserin, hydralazine, beta blockers, dan calcium channel blocker, juga telah terbukti efektif menangani respon hipertensi yang terkait dengan laringoskopi dan intubasi. Disritmia jantung -terutama ventrikel bigemini- jarang terjadi selama intubasi dan biasanya menunjukkan keadaan anestesi ringan.

Laringospasme adalah kejang involunter yang kuat dari otot-otot laring disebabkan oleh rangsangan nervus laring superior. Stimulasi yang merangsang termasuk sekresi faring atau melepas PET melewati laring selama ekstubasi. Laringospasme biasanya dapat dicegah dengan melakukan ekstubasi saat pasien tertidur dalam atau sadar. Terapi untuk laringospasme mencakup pemberian ventilasi tekanan positif dengan kantong sungkup dan sungkup muka dengan menggunakan oksigen 100% atau pemberian lidokain intravena (1-1,5 mg/kg). Jika laringospasme berlanjut dan terjadi hipoksia, suksinilkolin (0,25-1 mg/kg [biasanya dengan dosis yang lebih rendah]) harus diberikan untuk melemaskan otot-otot laring dan memungkinkan dapat dilakukannya ventilasi terkendali. Tekanan intrathorax negatif yang terjadi pada pasien yang mengalami laringospasme dapat mengakibatkan edema paru bahkan pada orang dewasa muda yang sehat.

Sebagaimana laringospasme menandakan adanya refleks sensitif yang abnormal, aspirasi dapat disebabkan oleh depresi berkepanjangan dari refleks di daerah laring sebagai akibat intubasi dan anestesi umum yang berkepanjangan.

Bronkhospasme merupakan salah satu respon refleks yang paling sering terjadi pada pasien asma. Bronkhospasme kadang-kadang bisa menjadi petunjuk adanya intubasi bronkhial. Efek patofisiologi lain dari intubasi meliputi peningkatan tekanan intrakranial dan tekanan intraokuler.

Kerusakan PET PET tidak selalu berfungsi sebagaimana dimaksud. Risiko terjadinya kebakaran pada PET yang terbuat dari polivinil klorida dalam lingkungan yang kaya O2/N2O telah disebutkan dalam Bab 2. Kerusakan cuff atau katup jarang terjadi dan harus dieksklusikan sebelum insersi. Obstruksi PET akibat tertekuk, adanya aspirasi benda asing, atau akibat sekresi dalam lumen.

DISKUSI KASUS: EVALUASI & MANAJEMEN SEBUAH KESULITAN JALAN NAFAS

Seorang gadis 17 tahun mengalami drainage darurat dari abses submandibula. Apa yang menjadi pertimbangan anestesi yang penting selama evaluasi pre operatif pada pasien dengan jalan nafas yang abnormal?

Induksi pada anestesi umum diikuti oleh laringoskopi direk dan intubasi oral adalah tindakan yang berbahaya, kalau bukan mustahil, dalam beberapa situasi (Tabel 7). Untuk menentukan teknik intubasi yang optimal, ahli anestesi harus mencari riwayat jalan nafas dan melakukan pemeriksaan yang cermat terhadap kepala dan leher pasien. Catatan anestesia apapun yang tersedia sebelumnya harus ditinjau ulang untuk mengetahui masalah sebelumnya dalam pengelolaan jalan nafas. Jika terjadi cacat wajah yang cukup parah yang dapat menghalangi pemberian sungkup muka dengan baik, ventilasi tekanan positif mungkin mustahil. Selain itu, pasien dengan penyakit hipofaring lebih tergantung pada otot yang tidak lumpuh untuk menjaga patensi jalan nafas. Kedua kelompok pasien seharusnya tidak diperbolehkan untuk mengalami apneu dengan dengan alasan apapun -termasuk induksi anestesi, obat penenang, atau kelumpuhan otot- sampai saluran nafas mereka aman. Tabel 7. Kondisi yang berhubungan dengan kesulitan jalan nafas.

Tumor Higroma kistik Hemangioma Hematom1Infeksi Abses submandibula Abses peritonsil EpiglotitisAnomali kongenital Sindrom Pierre Robin Sindrom Treacher Collins Atresia laring Sindrom Goldenhar Disostosis kraniofacialBenda asingTrauma Fraktur laring Fraktur mandibula atau maxila Trauma inhalasi Kerusakan tulang servikalObesitasEkstensi leher tidak adekuat Rheumatoid arthritis2 Ankylosing spondilitis Halo tractionVariasi anatomi Mikrognathia Prognathism Lidah besar Arched palate Leher pendek Gigi incisivus atas yang menonjol

1 Dapat terjadi post operatif pada pasien yang pernah mengalami operasi leher2 Mempengaruhi aritenoid, menjadikannya tidak mobile

Jika ada pembatasan yang abnormal dari sendi temporomandibular yang mungkin tidak membaik dengan pelumpuh otot, pendekatan melalui hidung menggunakan FOB harus dipertimbangkan. Infeksi terbatas pada dasar mulut tidak menghalangi intubasi melalui hidung. Jika hipofaring sampai tulang hyoid terlibat maka setiap upaya pendekatan melalui translaringeal akan sulit. Petunjuk lain yang menunjukkan adanya potensi kesulitan laringoskopi apabila terdapat ekstensi leher terbatas (