3
Menghiasi Diri Dengan Akhlak Mulia Dalam realitas keseharian kita, kadangkala kita pernah menjumpai seorang Muslim yang mungkin dari sisi ritualitas ibadahnya bagus, namun hal demikian sering tidak tercermin dalam perilaku atau akhlaknya. Shalatnya rajin, tetapi sering tak peduli dengan tetangganya yang miskin. Shaum sunnahnya rajin, namun wajahnya jarang menampakkan sikap ramah kepada sesama. Zikirnya rajin, tetapi tak mau bergaul dengan masyarakat umum. Demikian seterusnya. Tentu saja, Muslim demikian bukanlah Muslim yang ideal. Muslim yang ideal tentu adalah Muslim yang memiliki hubungan yang baik secara vertikal kepada Allah SWT yang terwujud dalam akidah dan ibadahnya yang lurus dan baik, sekaligus juga memiliki hubungan yang baik secara horisontal dengan sesama manusia yang tercermin dalam akhlaknya yang mulia. Akhlak mulia (akhlaq al-karimah) adalah salah satu tanda kesempurnaan keimanan dan ketakwaan seorang Muslim. Karena itu, tentu tidak dikatakan sempurna keimanan dan ketakwaan seorang Muslim jika ia tidak memiliki akhlak mulia. Bahkan Baginda Rasulullah SAW menyebut keimanan yang paling sempurna dari seorang Muslim ditunjukkan oleh akhlaknya yang mulia, “Mukmin yang paling sempurna adalah yang paling baik akhlaknya,” demikian sabda beliau sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Karena itu, tidak aneh jika Baginda Rasulullah SAW pun menyebut Muslim yang berakhlak mulia sebagai manusia terbaik. Beliau bersabda, “Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR al- Bukhari dan Muslim). Dalam sejumlah hadits lainnya, Baginda Rasulullah SAW menyebut sejumlah keistimewaan akhlak mulia ini. Saat beliau ditanya tentang apa itu kebajikan (al-birr),

Akhlak Mulia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Beraklak mulia lah agar disenang orang

Citation preview

Page 1: Akhlak Mulia

Menghiasi Diri Dengan Akhlak Mulia

Dalam realitas keseharian kita, kadangkala

kita pernah menjumpai seorang Muslim

yang mungkin dari sisi ritualitas ibadahnya

bagus, namun hal demikian sering tidak

tercermin dalam perilaku atau akhlaknya.

Shalatnya rajin, tetapi sering tak peduli

dengan tetangganya yang miskin. Shaum

sunnahnya rajin, namun wajahnya jarang

menampakkan sikap ramah kepada sesama.

Zikirnya rajin, tetapi tak mau bergaul

dengan masyarakat umum. Demikian

seterusnya. Tentu saja, Muslim demikian

bukanlah Muslim yang ideal.

Muslim yang ideal tentu adalah Muslim yang

memiliki hubungan yang baik secara vertikal

kepada Allah SWT yang terwujud dalam

akidah dan ibadahnya yang lurus dan baik,

sekaligus juga memiliki hubungan yang baik

secara horisontal dengan sesama manusia

yang tercermin dalam akhlaknya yang mulia.

Akhlak mulia (akhlaq al-karimah) adalah

salah satu tanda kesempurnaan keimanan

dan ketakwaan seorang Muslim. Karena itu,

tentu tidak dikatakan sempurna keimanan

dan ketakwaan seorang Muslim jika ia tidak

memiliki akhlak mulia. Bahkan Baginda

Rasulullah SAW menyebut keimanan yang

paling sempurna dari seorang Muslim

ditunjukkan oleh akhlaknya yang mulia,

“Mukmin yang paling sempurna adalah yang

paling baik akhlaknya,” demikian sabda

beliau sebagaimana diriwayatkan oleh Imam

al-Bukhari dan Imam Muslim. Karena itu,

tidak aneh jika Baginda Rasulullah SAW pun

menyebut Muslim yang berakhlak mulia

sebagai manusia terbaik. Beliau bersabda,

“Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian

adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR al-

Bukhari dan Muslim).

Dalam sejumlah hadits lainnya, Baginda

Rasulullah SAW menyebut sejumlah

keistimewaan akhlak mulia ini. Saat beliau

ditanya tentang apa itu kebajikan (al-birr),

Page 2: Akhlak Mulia

misalnya, beliau lansung menjawab, “Al-Birr

husn al-khulq (Kebajikan itu adalah akhlak

mulia.” (HR Muslim).

Beliau bahkan bersabda, “Tidak ada sesuatu

pun yang lebih berat dalam timbangan

seorang Mukmin pada Hari Kiamat nanti

selain akhlak mulia. Sesungguhnya Allah

membenci orang yang berbuat keji dan

berkata-keta keji.” (HR at-Tirmidzi).

Dalam kesempatan lain Baginda Rasulullah

SAW pernah ditanya tentang apa yang

paling banyak menyebabkan orang masuk

surga. Beliau menjawab, “Takwa kepada

Allah dan akhlak mulia.” (HR at-Tirmidzi).

Akhlak mulia tentu saja bagian dari

ketakwaan itu sendiri. Namun demikian,

akhlak mulia disebut secara khusus dalam

hadits di atas. Ini menunjukkan betapa

istimewanya akhlak mulia. Ibn al-Qayyim

berkata, “Penggabungan takwa dengan

akhlak mulia karena takwa menunjukkan

baiknya hubungan seseorang dengan

Tuhannya, sementara akhlak mulia

menunjukkan baiknya hubungan dirinya

dengan orang lain.” (Muhammad ‘Alan, Dalil

al-Falihin, III/68).

Sebaliknya, saat Baginda Rasulullah SAW

ditanya tentang apa yang paling banyak

menyebabkan orang masuk neraka. Beliau

menjawab, “Mulut dan kemaluan.” (HR at-

Tirmidzi).

Mengapa mulut? Sebab, dari mulut bisa

meluncur kata-kata kekufuran, ghibah

(membicarakan kejelekan orang lain),

namimah (mengadu-domba orang lain),

memfitnah orang lain, membatalkan yang

haq dan membenarkan yang batil, dll.

Keutamaan kedudukan orang yang

berakhlak mulia juga disejajarkan dengan

keutamaan kedudukan orang yang biasa

memperbanyak ibadah shaum dan sering

menunaikan shalat malam. Baginda

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya

seorang Mukmin-karena kebaikan

Page 3: Akhlak Mulia

akhlaknya-menyamai derajat orang yang

biasa melakukan shaum dan menunaikan

shalat malam.” (HR Abu Dawud).

Bahkan kedudukan orang yang berakhlak

mulia pada Hari Kiamat nanti dekat dengan

kedudukan Baginda Rasulullah saw.,

sebagaimana sabda beliau, “Sesungguhnya

orang yang paling aku cintai dan paling

dekat kedudukannya dengan majelisku pada

Hari Kiamat nanti adalah orang yang paling

baik akhlaknya. Sebaliknya, orang yang aku

benci dan paling jauh dari diriku adalah

orang yang terlalu banyak bicara (yang

tidak bermanfaat, pen.) dan sombong.” HR

at-Tirmidzi).

Lalu apa yang dimaksud dengan akhlak

mulia atau husn al-khulq? Di dalam

tafsirnya, Abdullah ibn al-Mubarak,

sebagaimana diriwayatkan oleh Imam at-

Tirmidzi, menyebut husn al-khulq sebagai:

selalu bermuka manis; biasa melakukan

kebajikan, di antaranya dengan biasa

memberikan nasihat kepada orang lain

dengan kata-kata yang baik, ringan tangan

(mudah membantu orang lain), dll; serta

sanggup menahan diri dari sikap menyakiti

orang lain baik lewat ucapan maupun

tindakan.

Husn al-hulq sesungguhnya juga merupakan

gabungan dari sikap suka memaafkan, biasa

memerintahkan kebajikan dan berpaling

dari orang-orang yang jahil/bodoh,

sebagaimana firman Allah SWT: Berilah

maaf, perintahkanlah kebaikan dan

berpalinglah dari orang-orang yang bodoh

(TQS al-A’raf [7]: 199). (Muhammad ‘Alan,

Dalil al-Falihin, III/72).

Wa ma tawfiqi illa bilLah! [] abi