Author
others
View
12
Download
3
Embed Size (px)
AKIBAT HUKUM KEPAILITAN PT UNITED COAL INDONESIA
TERHADAP KARYAWAN
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit.2015 juncto
Nomor 557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
TITIA ULVA SAPITRI
NIM : 11150480000066
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H / 2019 M
v
ABSTRAK
Titia Ulva Sapitri, NIM 11150480000066, “AKIBAT HUKUM KEPAILITAN
PT UNITED COAL INDONESIA TERHADAP KARYAWAN (Analisis
Putusan Mahkamah Agung Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit.2015 juncto Nomor
557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018)”. Peminatan Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitor tidak mampu untuk
melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.
Keadaan tidak mampu membayar disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan
(Financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Tidak
sedikit ketika suatu perusahaan yang dinyatakan pailit berdampak besar pada
kerugian yang dialami oleh para kreditor- kreditornya, terutama pada karyawan
terhadap perusahaan yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui pertimbangan hukum Pengadilan Niaga terhadap
Karyawan dan implikasi putusan kasasi Mahkamah Agung terhadap karyawan
ketika perusahaan dinyatakan pailit.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library
research (studi kepustakaan) dalam arti mengkaji kasus yang terjadi dengan suatu
penelitian. Metode analisis yang digunakan adalah yuridis normatif dengan
menggunakan bahan hukum primer yang terdiri dari Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
serta mengkaji Putusan Mahkamah Agung Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit.2015 juncto
Nomor 557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018 dilengkapi dengan bahan hukum sekunder yang
terdiri buku-buku, kamus hukum, jurnal hukum dan hasil penelitian lainnya yang
berkaitan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat kepailitan terhadap karyawan
dapat mengakibatkan pemutusan hubungan kerja sehingga kehilangan status
sebagai pekerja. Posisi kedudukan karyawan pada perusahaan pailit, karyawan
diberikan hak istimewa sebagai kreditor preferen yang mana pemenuhan haknya
merupakan prioritas pertama, sehingga perusahaan harus membayar tagihan gaji
karyawan, sesuai dengan hukum kepailitan di Indonesia Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Kata Kunci : Kepailitan, Karyawan, Kurator, Debitor, Kreditor, Preferen,
Konkuren, Separatis, Pengadilan Niaga, Mahkamah Agung.
Pembimbing Skripsi : Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : 1986 s.d. 2019
vi
KATA PENGANTAR
ْيمِ ب ِ ح ِالرَّ ْحَمن الرَّ ِهللاِ ْســــــــــــــــــم
Assalamuallaikum, Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia
yang tidak terhingga. Solawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
Baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya
yang serta hingga akhir zaman. Dengan mengucapkan Alhamdulillahi Robbil
‘alamin peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Akibat Hukum
Kepailitan PT United Coal Indonesia Terhadap Karyawan (Analisis Putusan
Mahkamah Agung Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit.2015 juncto Nomor 557
K/Pdt.Sus-Pailit/2018)” tepat pada waktunya.
Dalam penyelesaian Skripsi ini, tidak terlepas dari pengetahuan keilmuan
yang peneliti dapatkan dari beberapa sumber, selain itu tidak lupa pula terima kasih
atas bimbingan, bantuan, nasehat, dan dukungannnya, yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabie Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Pembimbing Skripsi yang
telah bersedia memberikan arahan, bimbingan, kritik, saran dan kesabaran
dalam membimbing peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Direktori Putusan Pengadilan Niaga dan
Mahkamah Agung yang memuat koleksi salinan putusan.
6. Pimpinan Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Pimpinan Pusat Perpustakaan Universitas Indonesia yang telah
menyediakan bahan-bahan pustaka untuk kelancaran penulisan skripsi.
7. Pihak-pihak lainnya yang telah memberikan kontribusi terutama kedua orang
tua peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
vii
Demikian ucapan terimakasih ini, peneliti menyadari bahwa skripsi ini
masih jauh dari kata sempurna namun semoga Allah memberikan balasan yang
setara kepada para pihak yang telah berbaik hati terlibat dalam penyusunan skripsi
ini dan skripsi ini memberikan manfaat bagi kalangan akademis, masyarakat, dan
pembaca kalangan umumnya. Aamiin
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Jakarta, September 2019
Peneliti,
Titia Ulva Sapitri
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ........................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 5
D. Metode Penelitian .............................................................................. 6
E. Sistematika Penulisan ...................................................................... 10
BAB II TINJAUAN UMUM KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS
A. Kerangka Konseptual ...................................................................... 13
B. Sejarah Singkat Hukum Kepailitan di Indonesia ............................. 18
C. Asas-Asas Hukum Kepailitan di Indonesia ..................................... 21
D. Pihak-Pihak yang dapat mengajukan Permohonan Kepailitan ........ 24
E. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai Pemohon Pailit .................. 25
F. Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris atas terjadinya pailit
Perseroan Terbatas ........................................................................... 27
G. Pengenalan PT United Coal Indonesia ............................................ 29
H. Kerangka Teori ................................................................................ 30
I. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................... 33
ix
BAB III DAMPAK PUTUSAN PAILIT TERHADAP PERSEROAN
TERBATAS
A. Kronologis Singkat Perkara Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 juncto
Nomor 557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018 ...................................................... 36
B. Pertimbangan Hakim atas Putusan Pengadilan Niaga dan
Pertimbangan Mahkamah Agung ....................................................... 38
C. Putusan Pengadilan Niaga dan Putusan Mahkamah Agung ............. 49
D. Analisa Putusan Pailit Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 juncto
Nomor 557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018 ..................................................... 52
E. Implikasi Putusan Pailit Terhadap Karyawan .................................... 57
BAB IV KEWAJIBAN HUKUM PT UNITED COAL INDONESIA
BERDASARKAN PUTUSAN PAILIT
A. Pemenuhan Hak Karyawan PT United Coal Indonesia Akibat
Putusan Pailit ............................................................................... 63
B. Tinjauan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 37 Tahun 2004
Tentang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
terhadap PT United Coal Indonesia Nomor 186 K/Pdt.Sus-
Pailit/2015 juncto Nomor 557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018 ................. 71
C. Pertimbangan hukum Pengadilan Niaga terhadap karyawan PT
United Coal Indonesia akibat putusan pailit, berdasarkan hukum
kepailitan di Indonesia .................................................................. 75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 83
B. Rekomendasi ................................................................................ 84
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 86
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada saat ini hampir tidak ada negara yang tidak mengenal hukum
kepailitan dalam hukumnya. Keadaan pailit atau bangkrut merupakan
peristiwa yang dapat terjadi pada siapa saja, baik itu dari orang perorangan
maupun badan hukum (legal entity). Kepailitan tidak mengenal siapapun
pihaknya, dalam kehidupan yang sesungguhnya kita dapati bahwa seorang
milioner maupun perusahaan multinasional juga dapat mengalami
kepailitan.
Di Indonesia, secara formal, hukum kepailitan sudah ada sejak tahun
1905 dengan diberlakuannya Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad
1906 Nomor 348. Staatsblad 1905 Nomor 217 dan Staatsblad 1906 Nomor
348 kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1998, yang kemudian diterima oleh Dewan
Perwakilan Rakyat sehingga menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1998. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1998 tersebut adalah tentang Perubahan atas Undang-Undang (peraturan)
tentang kepailitan, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004.1 Undang- undang Kepailitan, juga dimaksudkan
untuk mewujudkan keadilan dan pembagian menurut tagihan masing-
masing diantara para kreditor. Di dalam hukum, setidaknya terdapat dua
pihak yang terikat oleh hubungan hukum itu, yaitu Kreditor (creditor) dan
debitor (debitor). 2
Menurut hukum kepailitan yang berlaku di negara Indonesia,
kepailitan mengakibatkan Debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala
1 Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori & Praktek, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,
2017), h. 3
2 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di
Indonesia, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013), h. 20
2
hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah
dimasukkan ke dalam harta pailit. “Pembekuan” hak Perdata ini
diberlakukan oleh Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhitung sejak saat keputusan
pernyataan pailit diucapkan. Mengenai pihak yang mengajukan
permohonan PKPU diatur dalam Pasal 222 sampai pasal 294 Undang-
Undang Kepailitan, antara lain Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dapat diajukan oleh debitor maupun oleh kreditor.3 Selain pihak-pihak
tersebut, kekhususan pada beberapa macam badan usaha tersebut menjadi
ambigu ketika disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa Keuangan, sesuai dengan tujuan berdirinya, yaitu
untuk mengatur, mengawasi dan melindungi seluruh lembaga keuangan di
Indonesia. Dengan disahkannya Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan
ini secara langsung memberikan otoritas kepada Otoritas Jasa Keuangan
untuk mengawasi seluruh lembaga keuangan di Indonesia baik itu
diperbankan, asuransi, maupun perusahaan efek. Dengan diamanahkannya
pengawasan lembaga keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan maka sudah
selayaknya dalam pengajuan permohonan pailit pada lembaga keuangan
hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Namun pada
kenyataannya Otoritas Jasa Keuangan hanya berwenang mengajukan
permohonan pailit kepada perusahaan efek, lembaga kliring dan lembaga
penjamin yang dapat diajukan permohonan pailit, untuk lembaga perbankan
dan asuransi tetap pada Bank Indonesia dan Menteri Keuangan.4
Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitor tidak mampu untuk
melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para
kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena
kesulitan kondisi keuangan (Financial distress) dari usaha debitor yang
telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan
3 Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 169
4 Susanti Adi Nugroho, Hukum Kepailitan di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta
Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), h.194-195
3
pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor
pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari.
Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk
mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri,
maupun atas permintaan pihak ketiga (di luar Debitor), suatu permohonan
pernyataan ke Pengadilan.5
Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial
untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor,
dimana debitor utang piutang yang menghimpit seorang debitor, dimana
debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar
utang- utangnya tersebut kepada para kreditornya.6 Permohonan pernyataan
pailit dapat dikabulkan jika persyaratan kepailitan telah terpenuhi: 1.
debitor tersebut mempunyai dua atau lebih kreditor; dan 2. debitor
tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat di tagih.7
Di Indonesia ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur mengenai akibat
kepailitan terhadap perjanjian kerja. Dari ketentuan tersebut diketahui
bahwa pekerja yang bekerja pada Debitor dapat memutuskan hubungan
kerja. Namun di pihak lain, Kurator dapat memberhentikannya dengan
mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau menurut ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.8 Dalam hal ini buruh atau karyawan
ingin sekali memperjuangkan haknya atas upah dan pesangon yang sering
kali sulit untuk didapat karena keberadaan kreditor separatis (kreditor yang
memiliki hak jaminan hutang kebendaan), sebagai pihak yang menjadi
5 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada,2002), h. 11
6 Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 2
7 Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: PT
RajaGrafindo persada, 2004), h. 85
8 Man S.Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, (Bandung: P.T. Alumni, 2010), h. 118
4
prioritas dalam pembagian harta ketika terjadi pailit. Dan tidak sedikit
ketika suatu perusahaan yang dinyatakan pailit berdampak besar pada
kerugian yang dialami oleh karyawan terhadap perusahaan yang dinyatakan
pailit oleh Pengadilan. Maka dari itu sangat diperlukannya perlindungan
hukum terhadap pekerja atau karyawan pada kasus kepailitan tersebut,
untuk memperluas dan meningkatkan kualitas hukum di Indonesia.
Berdasarkan latar belakang di atas ada persoalan yang menarik,
karena terdapat beberapa pusaran masalah, sehingga penulis tertarik untuk
melakukan penelitian hukum dengan judul: “AKIBAT HUKUM
KEPAILITAN PT UNITED COAL INDONESIA TERHADAP
KARYAWAN (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 186
K/Pdt.Sus-Pailit/2015 juncto Nomor 557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018).”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah disampaikan diatas, maka
dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang berkaitan dengan
Perlindungan hukum terhadap karyawan Perseroan Terbatas akibat
putusan pailit Pengadilan Niaga, yaitu sebagai berikut:
a. Pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit.
b. Pertimbangan Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung terhadap
putusan kepailitan PT United Coal Indonesia.
c. Akibat dari putusan kepailitan terhadap debitor, dan kreditor yang
bersangkutan.
d. Tanggung jawab pribadi Direksi dan komisaris atas terjadinya pailit
Perseroan Terbatas.
e. Pemenuhan hak karyawan PT United Coal Indonesia akibat putusan
pailit, berdasarkan hukum kepailitan di Indonesia.
2. Pembatasan Masalah
Untuk lebih memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian ini,
maka perlu adanya pembatasan masalah agar dalam praktek penelitian
5
dan penyusunan secara ilmiah dapat dipahami dengan mudah. Oleh
karena itu, peneliti membatasi permasalahan yang akan diteliti secara
khusus membahas tentang akibat hukum kepailitan di Indonesia
terhadap karyawan yang dalam hal ini badan usaha tersebut berbentuk
Perseroan Terbatas, dan dibatasi hanya pada PT United Coal Indonesia.
3. Perumusan Masalah
Masalah utama yang jadi fokus pembahasan dalam penelitian ini
yaitu terkait dengan akibat kepailitan Perseroan Terbatas terhadap
karyawan, dan tidak sedikit ketika suatu perusahaan yang dinyatakan
pailit berdampak besar pada kerugian yang dialami oleh karyawan
terhadap perusahaan yang dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga.
Untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama yang telah
diuraikan diatas, maka dibuat rincian masalah utama dalam bentuk
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana pertimbangan hukum Pengadilan Niaga terhadap
karyawan PT United Coal Indonesia akibat putusan pailit,
berdasarkan hukum kepailitan di Indonesia?
b. Bagaimana implikasi putusan kasasi Mahkamah Agung terhadap
Karyawan ketika perusahaan dinyatakan pailit?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penulisan berdasarkan permasalahan-
permasalahan sudah ditulis pada rumusan masalah diatas. Sedangkan
secara khusus tujuan penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Pengadilan Niaga
terhadap karyawan PT United Coal Indonesia akibat putusan pailit,
berdasarkan hukum kepailitan di Indonesia.
b. Untuk mengetahui implikasi putusan kasasi Mahkamah Agung
terhadap Karyawan ketika perusahaan dinyatakan pailit.
6
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat
berupa kontribusi yang bersifat teoritis maupun yang bersifat praktis,
yaitu sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penulisan ini adalah sebagai bahan kajian dan
acuan bagi pengembangan wawasan ilmu hukum pada hukum bisnis
khususnya hukum kepailitan. Dengan dilakukan penelitian ini
diharapkan dapat memberikan pemikiran-pemikiran baru bagi
kalangan akademis dalam mengembangkan bidang ilmu hukum,
khususnya pada hukum kepailitan.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
kalangan praktisi baik para pelaku ekonomi maupun para pembuat
Undang-undang (law maker). Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan bagi para pembuat kebijakan dan Undang-
undang dalam menyusun suatu pedoman atau ketentuan yang
memberikan kepastian dan dasar untuk bertindak bagi para pelaku
ekonomi (pengusaha). Penelitian ini juga diharapkan menjadi
masukan bagi para praktisi dan penegak hukum khususnya dalam
bidang kepailitan, selain itu juga dapat memperkaya model-model
penyelesaian kasus kepailitan di Indonesia.
D. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini dibutuhkan data yang akurat, yang berasal
dari studi dokumentasi untuk meyelesaikan persoalan-persoalan yang ada
pada skripsi ini. Oleh karena itu metode penelitian yang digunakan penulis
dalam penelitian ini adalah:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini yaitu penelitian kualitatif yang merupakan
7
penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung
menggunakan analisis.9 Menggunakan bahan hukum sebagai rujukan.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian
yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara
menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang
menyangkut asas, konsepsi, doktrin, dan norma hukum yang berkaitan
dengan akibat dari kepailitan Perseroan Terbatas terhadap karyawan
yang bekerja di perusahaan tersebut.
Pendekatan yuridis disini menekankan dari segi perundang-
undangan dan peraturan-peraturan serta norma-norma hukum yang
relevan dengan permasalahan ini, yang bersumber pada yang
dilakukan dengan melihat kenyataan yang ada dalam praktek yang
menyangkut prosedur dalam pelaksana pailit atas Badan Usaha Milik
Swasta yaitu berbentuk Perseroan Terbatas.
Pendekatan yuridis normatif mengacu pada peraturan perundang-
undangan dan keputusan pengadilan,10 penelitian hukum normatif
mencakup asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum
dan sinkronisasi hukum serta penelitian terhadap sejarah dan
perbandingan hukum,11 yang mengatur tentang akibat kepailitan atas
badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas terhadap karyawan yang
bekerja di Perusahaan tersebut.
2. Spesifikasi Masalah
Spesifikasi yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
deskripstif analisis, yaitu menggambarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang dikaitkan dengan teori-teori hukum dan
9 https://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian_kualitatif, Diakses pada 14 Oktober 2018.
10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011, cet.Ke-3), h. 142
11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-
Press), 2014), h. 51
https://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian_kualitatif
8
praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan di
atas.
Data yang diperoleh dari penelitian, diusahakan memberikan
gambaran atau mengungkapkan berbagai faktor yang dipandang erat
hubungannya dengan gejala-gejala yang diteliti, kemudian akan
dianalisa mengenai penerapan atau pelaksanaan peraturan perundang-
undangan serta ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kepailitan
terhadap PT United Coal Indonesia yang berdampak kepada hak-hak
karyawan.
3. Sumber Data dan Bahan Hukum
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Data sekunder dalam penelitian hukum merupakan data yang diperoleh
dari hasil penelaahan pustaka atau bahan pustaka yang berkaitan
dengan permasalahan atau materi penelitian yang disebut dengan
bahan hukum.12
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif yang artinya memiliki otoritas. Bahan-bahan hukum primer
meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan atau putusan-putusan
hukum.13 Bahan hukum primer merupakan bahan hukum utama.
Bahan hukum primer yang digunakan dalam tulisan ini antara lain
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Putusan-Putusan
12 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 156
13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, … h. 141
9
Kepailitan dari Pengadilan Niaga, Mahkamah Agung pada tingkat
Kasasi, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang dapat
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang berupa
rancangan peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, buku,
buku teks, jurnal, media cetak, dan media elektronik.14
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier berupa kamus baik kamus bahasa maupun
kamus hukum, dan ilmu hukum yang terkait.15
d. Bahan Non Hukum
Bahan Non Hukum yaitu berupa literatur yang berasal dari non
hukum yang pempunyai relevansi dengan topik penelitian berupa
kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, majalah, koran, internet,
dan lainnya.16
4. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data
Pengumpulan data dalam penulisan penelitian hukum normatif
dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum maupun
non hukum yang berkaitan dengan topik penelitian. Dilakukan dengan
membaca, melihat, mendengarkan maupun penelusuran lebih lanjut
sehingga mampu memberikan penjelasan terhadap masalah yang
terdapat dalam penelitian ini yang nantinya dapat menyimpulkan
uraian dari bahan-bahan hukum tersebut.17
14 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris, h. 157-158
15 Hartini Rahayu, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia Dualisme Kewenangan
Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase, (Jakarta: Kencana, 2009), h.,27
16 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,… h. 143
17 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris, h. 160
10
5. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data
Teknik pengolahan data yang digunakan penulis adalah dengan
mengelola data sedemikian rupa sehingga data dan bahan hukum
tersebut tersusun secara runtut, sistematis sehingga akan memudahkan
penulis dalam melakukan analisis.
Pertama, data tersebut diklasifikasikan sesuai pembahasan yang
menjadi fokus penelitian. Kedua, diuraikan dan dijelaskan fokus
penelitian tersebut berdasarkan teori-teori yang sesuai dengan fokus
penelitian. Ketiga, penjelasan tersebut dievaluasi atau dinilai
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan penulis dalam
skripsi ini berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang
terdapat dalam “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2017”.
E. Sistematika Penelitian
Untuk menjelaskan isi skripsi secara menyeluruh ke dalam
penulisan yang sistematis dan terstruktur maka pada skripsi ini penulis
susun dengan sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab yaitu sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini dijelaskan latar belakang masalah,
Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
11
BAB II TINJAUAN UMUM KEPAILITAN PERSEROAN
TERBATAS
Dalam bab ini akan membahas kajian pustaka yang berisi
teori-teori yang digunakan untuk menganalisis dan
menginterprestasikan data penelitian. Kajian Pustaka ini
diawali dengan pemaparan kerangka konsep yang kemudian
diikuti dengan pemaparan dari kerangka teori. Kajian
Pustaka yang baik akan membantu peneliti dalam
merumuskan hipotesis dari penelitian tersebut. Selain itu,
juga terdapat review (tinjauan ulang) hasil studi terdahulu
pada sub bab kedua dari Bab II, di mana peneliti menelusuri
dan mendeskripsikan hasil penelusurannya terhadap
penelitian terdahulu yang serumpun. Dalam bab II ini juga
di uraikan mengenai asas-asas hukum kepailitan di Indonesia
terhadap Perseroan Terbatas.
BAB III DAMPAK PUTUSAN PAILIT TERHADAP
PERSEROAN TERBATAS
Dalam bab ini akan menguraikan bagaimana penelitian
dilakukan, yang mengemukakan tentang metode
pendekatan, teknik pengumpulan data, pengambilan sampel,
dan analisis data. Mengenai kronologis singkat perkara PT
United Coal Indonesia akibat putusan pailit, berdasarkan
hukum kepailitan di Indonesia. Dan juga mengenai
Pertimbangan Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung,
Putusan Hakim atas Putusan Pengadilan Niaga dan
Mahkamah Agung, hingga implikasi putusan pailit terhadap
karyawan.
BAB IV KEWAJIBAN HUKUM PT UNITED COAL INDONESIA
Dalam bab ini akan dijelaskan apa yang menjadi pokok dari
semua bab sesuai dengan judul skripsi ini antara lain
mengenai posisi kasus, mengenai pemenuhan hak karyawan
12
PT United Coal Indonesia, berdasarkan hukum kepailitan di
Indonesia. Lalu mengenai tinjauan peraturan perundang-
undangan Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap PT
United Coal Indonesia. Dan selanjutnya pertimbangan
hukum Pengadilan Niaga terhadap karyawan PT United Coal
Indonesia akibat putusan pailit.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dan rekomendasi atas temuan
yang diperoleh peneliti dari permasalahan yang diangkat
pada penelitian ini.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS
Untuk dapat memahami sekelumit permasalahan yang dihadirkan oleh
peneliti pada bab lanjutan skripsi ini, maka landasan awal berupa pemahaman
teoritik akan sangat dibutuhkan oleh pembaca. Pada Bab 2 (dua) ini, peneliti akan
memaparkan beberapa point penting terkait dengan pemahaman dasar mengenai
Perseroan Terbatas dan hukum kepailitan yang terbagi menjadi dua jenis kajian
pustaka, yaitu kajian teoretis dan review (tinjauan ulang) hasil studi terdahulu.
Pada subbab pertama memaparkan mengenai kerangka konseptual, Sejarah
singkat dan asas-asas mengenai hukum kepailitan di Indonesia. Kemudian pada
bagian selanjutnya menjelaskan mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan
Permohonan Kepailitan. Pada bagian selanjutnya membahas mengenai tanggung
jawab pribadi direksi dan komisaris atas terjadinya pailit perseroan Terbatas, dan
juga disinggung mengenai pengenalan PT United Coal Indonesia yang akan
dibahas oleh peneliti pada skripsi ini. Dan selanjutnya dibahas mengenai kerangka
teori yang berkaitan dengan penulisan. Selanjutnya pada subbab terakhir, peneliti
mencoba menghadirkan beberapa review (tinjauan ulang) studi terdahulu agar
penulis lebih fokus pada deskripsi persamaan dan perbedaan studi-studi tersebut
dengan studi yang penulis lakukan, guna menyajikan dan mengkritisi hasil studi
tersebut untuk dijadikan dasar pembenaran teoretis bagi penulis guna
merumuskan hipotesis.
A. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual akan menjelaskan beberapa konsep terkait istilah-
istilah yang sering digunakan di dalam penelitian ini. Agar tidak terjadi kekaburan
dan kerancuan dalam memahami terhadap istilah-istilah kunci penulisan skripsi
ini yaitu sebagai berikut:
1. Perseroan Terbatas
Menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut
Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
14
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Perseroan Terbatas merupakan suatu badan hukum (berbeda dengan
persekutuan perdata, pesekutuan firma, dan persekutuan komanditer) Status
Persekutuan Terbatas sebagai badan hukum dinyatakan secara tegas dalam
pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Oleh karena itu,
Perseroan Terbatas diakui sebagai subjek hukum (rechtpersoon) seperti
halnya manusia (Person).1 Pengertian dari Badan hukum adalah suatu badan
yang ada karena hukum dan memang diperlukan keberadaannya sehingga
disebut legal entity. Maka, Perseroan Terbatas disebut juga artificial person
atau manusia buatan, atau Person in law atau legal person/rechtpersoon.
Pengertian badan hukum menurut Chaidir Ali (1999:19) adalah:
“Badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang
dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia,
serta memiliki kekayaan sendiri, dapat menggugat atau digugat di depan
hakim.”
2. Ketenagakerjaan
Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah segala hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah
masa kerja. Definisi Ketenagakerjaan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
3. Tenaga kerja
Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah setiap orang
yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa
baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Definisi
Tenaga kerja tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
1 Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan &Kepailitan, (Jakarta: Erlangga,
2012), h.70
15
Dalam buku karya Sendjun H. Manulang, dalam bukunya menyebutkan
bahwa, menurut Dr. Payaman Simanjuntak dalam bukunya “Pengantar
Ekonomi Sumber Daya Manusia”, Tenaga Kerja (manpower) adalah
penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan,
dan yang melaksanakan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah
tangga.2
4. Pekerja/buruh
Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang
bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Definisi
Pekerja atau buruh tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Buruh adalah
barang siapa bekerja pada majikan dengan menerima upah.3
5. Kepailitan
Menurut Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan
Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Definisi
kepailitan sebagai suatu sita umum dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
Di dalam buku hukum kepailitan milik Hadi Shubhan menyebutkan secara
tegas dan membedakan pengertian dari istilah pailit dan kepailitan. Pailit
adalah suatu keadaan di mana debitor tidak mampu untuk melakukan
pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari kreditornya. Sedangkan
pengertian kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan
2 Sendjun H. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1995), h.3
3 Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004), h. 41
16
sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang ada maupun yang
akan ada di kemudian hari.4
6. Kreditor
Menurut Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena
perjanjian atau Undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.
Definisi Kreditor sebagai orang yang mempunyai piutang ini dapat ditemukan
dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
7. Debitor
Menurut Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena
perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya di tagih di muka
pengadilan. Definisi Debitor sebagai orang yang mempunyai utang dapat
ditemukan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
8. Debitor Pailit
Menurut Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit
dengan putusan Pengadilan. Definisi Debitor Pailit sebagai debitor yang sudah
dinyatakan pailit tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
9. Kurator
Menurut Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Kurator adalah Balai harta peninggalan atau orang
perorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan
harta Debitor Pailit dibawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan
Undang-undang ini. Definisi Kurator sebagai balai harta peninggalan ini dapat
4 Elysa Ras Ginting, Hukum Kepailitan Teori Kepailitan, … h.106
17
ditemukan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
10. Utang
Menurut Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan
dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing,
baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau
kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan yang wajib
dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor
untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor. Definisi utang
sebagai mana seperti hal tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
11. Pengadilan
Menurut Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan
peradilan umum. Definisi pengadilan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 1
angka 7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
12. Hakim Pengawas
Menurut Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh
Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban
pembayaran utang. Definisi hakim pengawas sebagai hakim yang ditunjuk
oleh pengadilan sebagaimana seperti hal diatas dapat ditemukan dalam Pasal
1 angka 8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
13. Mahkamah Agung
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Agung adalah menjaga
agar kekuasaan kehakiman tetap mandiri (an independent judiciary).
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
18
peraturan perundang-undangan dibawah Undang-undang terhadap Undang-
undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-
undang. Ketentuan mengenai Mahkamah Agung diatur dalam Bab IX
Undang-Undang Dasar 1945 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan
tersebut diatur dalam Pasal 24 A yang terdiri atas 5 (lima) ayat. Mahkamah
Agung adalah puncak dari kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan
umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer.5
Keberadaan Mahkamah Agung bukan lagi satu-satunya penyelenggaraan
Kekuasaan Kehakiman, pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985,
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 (Undang-
Undang Mahkamah Agung), yang berbunyi:6
“Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan Kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”
B. Sejarah Singkat Hukum Kepailitan di Indonesia
Sejarah berlakunya hukum kepailitan Belanda di Hindia Belanda atau
Indonesia adalah tidak terlepas dari peristiwa kepailitan yang menimpa
perusahaan monopoli dagang terbesar di Belanda bernama Vereenigde
Oosindische Compagnie atau VOC pada tahun 1800. VOV berkuasa penuh di
Hindia Belanda sejak tahun 1798, dan selama periode kekuasaannya tersebut,
VOC telah menjadikan Indonesia sebagai daerah sumber pendapatan utama VOC
selama lebih 2 (dua) abad.7
Lalu ketika VOC dinyatakan bangkrut, wilayah Hindia Belanda atau
Indonesia dijadikan sebagai kompensasi pembayaran utang VOC kepada kerajaan
5 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h.159
6 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.14
7 Elyta Ras Ginting, Hukum Kepailitan Teori Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018),
h.29-38
19
Belanda dengan nilai sebesar 140 miliar gulden. Utang tersebut tidak dapat lagi
dibayar oleh VOC, karena ternyata VOC memang telah bangkrut secara de facto.
Namun VOC menyembunyikan keadaan bangkrut tersebut dan tetap melaporkan
perolehan laba yang tinggi ke Kekerajaan Belanda. Hingga pada tahun 1780,
ketika Inggris menyerang dan memblokade masuknya kapal-kapal VOC yang
membawa hasil rempah-rempah dari Hindia Belanda ke Belanda, VOC tidak lagi
menutupi status kebangkrutannya. Akhirnya pada tahun 1798 VOC yang telah
bangkrut secara de facto menyerahkan Hindia Belanda kepada Kerajaan Belanda
sebagai kompensasi pembayaran utangnya. Penyerahan itu menjadi awal mula
Indonesia menjadi salah satu koloni Kerajaan Belanda. Sejarah tata hukum
Indonesia berada di bawah jajahan Kerajaan Belanda, karena meskipun VOC
berkuasa di Indonesia selama kurang lebih 2 (dua) abad lamanya, namun VOC
tidak membentuk tata hukum yang berlaku diseluruh wilayah di negara Indonesia.
Perkembangan sejarah hukum kepailitan di Indonesia cukup panjang, yang
terbagi menjadi 4 (empat) fase sebagai berikut:
a. Zaman Pendudukan Belanda
b. Zaman Pendudukan Jepang
c. Zaman Republik Indonesia
d. Zaman Krisis Moneter
Peraturan kepailitan di Indonesia mengalami perkembangan dari mulai ketika
Pemerintahan Penjajahan Belanda sampai dengan Pemerintahan Republik
Indonesia. Pada Tahun 1838 pembuat Undang-undang di Negeri Belanda
menyusun Wetboek van Koophandel (WvK) yang terdiri dari 3 buku yaitu:
a. Buku I Tentang Van Den Koophandel in Het Algemeen yang terdiri dari bab
10 bab.
b. Buku II Tentang Van Den Regten En Verpligtingen uit Scheepvaart
Voortsruitende yang terdiri dari 13 bab, yang kemudian bab ke-7
dihapuskan.
c. Buku III yang berjudul Van de Voorzieningen in geval van onvermogen van
Kooplieden, den, yang diatur dari Pasal 749 sampai dengan Pasal 910
(WvK).
20
Peraturan Kepailitan dalam Buku III WvK tersebut hanya berlaku untuk para
pedagang. Di samping itu, terdapat pula buku III Titel 8 Wetboek Van
Burgerlijke Rechttsvordering (BRV) yang mengatur kepailitan bukan
pedagang.8
Dewasa ini hampir tidak ada negara yang tidak mengenal kepailitan dalam
hukumnya. Di Indonesia, secara formal, hukum kepailitan sudah ada, bahkan
sudah ada Undang-Undang khusus sejak tahun 1905 dengan diberlakukannya
S.1905-217 juncto S.1906-348. Malahan, dalam pergaulan sehari-hari, kata-kata
“bangkrut” sudah lama dikenal.9
S.1905-217 dan S.1906-348 tersebut kemudian diubah dengan Perpu Nomor
1 Tahun 1998, yang kemudian diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat sehingga
menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Perpu Nomor 1 Tahun 1998
tersebut adalah tentang Perubahan atas Undang-Undang (Peraturan) tentang
Kepailitan, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004.
Jika kita menelusuri sejarah hukum tentang pailit ini, hukum tentang
kepailitan itu sendiri sudah ada sejak zaman Romawi. Jika kita menelusuri lebih
lanjut, sebenarnya kata bangkrut, dalam bahasa Inggris disebut dengan bankrupt
berasal dari Undang-undang di Itali yang disebut dengan banca rupta.
Sementara itu, pada Abad pertengahan di Eropa ada Praktek kebangkrutan
dengan melakukan penghancuran di Eropa ada praktek kebangkrutan dengan
melakukan penghancuran bangku-bangku dari para bankir atau pedagang yang
melarikan diri sediam-diam dengan membawa harta para kreditor. Atau seperti
keadaan di Venesia (Italia) waktu itu, di mana para pembeli pinjaman (bankir)
saat itu yang banco (bangku) mereka yang tidak mempu lagi membayar utang
atau gagal dalam usahanya, bangku tersebut benar-benar telah patah atau hancur.
8 Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pebayaran Utang,
… h.5
9 Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori & Praktek, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti),
h.3
21
Dari masa ke masa sebagai bagian dari sejarah kepailitan di Indonesia, maka
Undang-Undang Kepailitan Indonesia mengalami perubahan dan penggantian.
Perubahan dan penggantian tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan
kebutuhan yang timbul selama ruas waktu tertentu demi tercapainya tujuan
dibuatnya Undang-undang tersebut. Perubahannya antara lain yaitu menyangkut
kepentingan dari pihak-pihak yang diatur dan pihak-pihak yang terlibat dalam
operasionalisasi Undang-undang itu, terjaminnya kepastian, keadilan, dan
ketertiban. Dengan mengetahui dan mempelajari sejarah perkembangan
Undang-undang kepailitan yang telah ada hingga sekarang, maka apabila kita
membuat perubahan atau membuat Undang-Undang kepailitan yang baru, kita
dapat lebih menempatkannya sebagai perangkat hukum yang dapat memenuhi
kebutuhan pembangunan yang berakar daripada nilai-nilai yang dijunjung dalam
pandangan hidup kita sebagai bangsa Indonesia yang baik. Dengan demikian,
Undang-Undang Kepailitan tersebut nantinya akan benar-benar memiliki
kepribadian Indonesia yang mampu memenuhi kebutuhan bangsa, sesuai dengan
yang dibutuhkan oleh Negara Republik Indonesia.10
C. Asas-Asas Hukum Kepailitan di Indonesia
Asas hukum kepailitan di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari asas-asas Hukum Perdata, karena hukum kepailitan sebagai
subsistem dari hukum perdata nasional merupakan bagian yang utuh dari
hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. Asas hukum kepailitan yang
diatur dalam hukum perdata merupakan asas umum hukum kepailitan
Indonesia, sedangkan asas khususnya adalah sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.11
1. Asas Umum
Asas umum hukum kepailitan di Indonesia, semula diatur dalam Pasal
10 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), h.17-18
11 Susanti Adi Nugroho, Hukum Kepailitan di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta
Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2018), h.37
22
1131 KUH Perdata yang disebut dengan prinsip kesamaan kedudukan
kreditor (Paritas Creditorium) dan Pasal 1132 KUH Perdata yang disebut
dengan prinsip pari passu proparate perte, yaitu semua kreditor mempunyai
hak yang sama atas harta debitor, kecuali ada alasan-alasan yang sah untuk
didahulukan. Prinsip paritas creditorium diatur dalam Pasal 1131 KUH
Perdata karena memberikan jaminan, disebut “jaminan umum”. Adapun
yang diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata adalah bahwa semua kreditor,
mempunyai hak yang sama atas aset debitor, kecuali ada alasan- alasan yang
sah untuk lebih diutamakan atau didahulukan.12
2. Asas Khusus
Selain asas umum, Indonesia juga mempunyai asas khusus,
sebagaimana diuraikan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004. Asas-asas tersebut, antara lain yaitu:13
a. Asas Keseimbangan
Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan
perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu satu pihak, terdapat
ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan
lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat
ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan
lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.
b. Asas Kelangsungan Usaha
Dalam Undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan
perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. Oleh karena itu
permohonan pernyataan pailit seharusnya hanya dapat diajukan
terhadap debitor yang insolven, yaitu yang tidak membayar utang-
utangnya kepada kreditor mayoritas.
c. Asas Keadilan
12 Susanti Adi Nugroho, Hukum Kepailitan di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta
Penerapan Hukumnya, … h.38
13 Susanti Adi Nugroho, Hukum Kepailitan di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta
Penerapan Hukumnya, … h.40-41
23
Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa
ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para
pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan
pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitor, dengan tidak
memedulikan kreditor lainnya.
d. Asas Intergrasi dalam Undang-undang
Asas Integrasi dalam Undang-undang ini mengandung pengertian
bahwa sistem hukum formil dan hukum materielnya merupakan satu
kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata
nasional.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, suatu Undang-Undang kepailitan memuat
asas-asas sebagai berikut:14
1) Asas Undang-Undang Kepailitan pada umumnya
Undang-Undang Kepailitan yang berlaku di Indonesia memuat asas-
asas baik dinyatakan secara tegas maupun secara tersirat, antara lain sebagai
berikut:
a) Asas mendorong Investasi dan Bisnis
b) Asas memberikan manfaat dan perlindungan yang seimbang bagi
kreditor dan debitor
c) Asas putusan pernyataan pailit tidak dapat dijatuhkan terhadap debitor
yang masih solven
d) Asas persetujuan putusan pailit harus disetujui oleh para kreditor
mayoritas
e) Asas keadaan diam (Standstill atau Stay) yang berlaku secara otomatis
yaitu yang berlaku demi hukum
f) Asas mengakui hak separatis kreditor pemegang hak jaminan
g) Asas proses putusan pernyataan pailit tidak berkepanjangan
14 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), h.32-51
24
h) Asas proses putusan pernyataan pailit terbuka untuk umum
i) Asas pengurus perusahaan debitor yang mengakibatkan perusahaan
pailit harus bertanggung jawab pribadi
j) Asas memberikan kesempatan restrukturisasi utang sebelum diambil
putusan pernyataan pailit kepada debitor yang masih memiliki usaha
yang prospektif
k) Asas perbuatan-perbuatan yang merugikan harta pailit adalah tindak
pidana
2) Asas- asas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
Undang- Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang dalam penjelasan umumnya mengemukakan bahwa Undang-
undang tersebut didasarkan pada beberapa asas, asas-asas tersebut antara
lain yaitu Asas Keseimbangan, Asas Kelangsungan Usaha, Asas Keadilan
dan Asas Integrasi.
D. Pihak-Pihak yang dapat mengajukan Permohonan Kepailitan
Pihak yang dapat dinyatakan terlibat dalam pailit salah satunya adalah
pemohon pailit, yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan
pemohonan pailit ke Pengadilan, yang dalam perkara disebut dengan pihak
penggugat.15
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pihak yang dapat
menjadi pemohon dalam suatu perkara pailit adalah sebagai berikut:
1. Pihak debitor itu sendiri.
2. Salah satu atau lebih dari pihak kreditor.
3. Pihak kejaksaan jika menyangkut dengan kepentingan umum.
Maksud dari kepentingan umum disini adalah kepentingan bangsa, dan
negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya:16
15 Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Prektek, ... h.35
16 Man S Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, ... h.92
25
a. Debitor melarikan diri
b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan
c. Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau
badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat.
d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpun dana dari
masyarakat luas;
e. Debitor tidak beritikad baik, atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan
masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau
f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
4. Pihak Badan Pengawas Pasar Modal jika debitornya adalah suatu
perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring, dan penjaminan, serta
lembaga penyimpanan dan penyelesaian.
5. Menteri Keuangan jika debitor perusahaan asuransi, reasuransi, dana
pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.
6. Likuidator perusahaan terbatas dalam hal likuidator tersebut
memperkirakan bahwa utang perseroan lebih besar dari kekayaan
perseroan, yang dalam hal ini kepailitan wajib diajukan oleh likuidator
tersebut, kecuali jika perundang-undangan menentukan lain atau semua
kreditor menyetujui penyelesaian di luar kepailitan.
E. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sebagai Pemohon Pailit
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga negara yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi untuk
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi
terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. 17
Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur
bahwa dalam proses permohonan pernyataan pailit dapat dilakukan dengan
syarat utama debitor memiliki dua atau lebih kreditor dan tidak membayar
17 Susanti Adi Nugroho, Hukum Kepailitan di Indoensia Dalam Teori dan Praktik Serta
Penerapan Hukumnya, ... h.194
26
sedikitnys satu utang yang telah jatuh tempo, persyaratan tersebut dapat
dilakukan untuk memohon pernyataan pailit. Namun khusus untuk perbankan,
perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, perusahaan efek, dan
BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik permohonan penyataan
pailitnya harus diajukan oleh institusi-institusi terkait. Untuk bank dapat
diajukan pailit oleh Bank Indonesia, Untuk perusahaan asuransi, dana pensiun
dapat diajukan oleh Kementerian Keuangan, dan Untuk perusahaan efek, bursa
efek dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.
Tujuan dari berdirinya Otoritas Jasa Keuangan adalah untuk mengatur,
mengawasi, dan melindungi seluruh lembaga keuangan di Indonesia, baik itu
perbankan, asuransi, maupun perusahaan efek. Dengan diamanatkannya
pengawasan lembaga keuangan kepasa Otoritas Jasa Keuangan maka sudah
selayaknya dalam pengajuan permohonan pailit pada lembaga keuangan yang
telah disebutkan sebelumnya hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan. Namun berbeda dengan kenyataannya, yang mana Otoritas Jasa
Keuangan hanya berwenang mengajukan permohonan pailit kepada perusahaan
efek, lembaga kliring dan lembaga penjamin yang dapat diajukan permohonan
pailit, untuk lembaga perbankan dan asuransi tetap pada Bank Indonesia dan
Menteri Keuangan.
Beda halnya meskipun Pasal 2 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 menyebutkan bahwa kewenangan untuk mengajukan permohonan
pernyataan pailit bagi perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi
sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan, tetapi ketentuan tersebut kontradiksi
dengan Pasal 50 Ayat (1) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang
Perasuransian yang menyatakan bahwa permohonan penyataan pailit terhadap
perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi
syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah berdasarkan
Undang-undang ini hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).18
18 Susanti Adi Nugroho, Hukum Kepailitan di Indoensia Dalam Teori dan Praktik Serta
Penerapan Hukumnya, ... h.195
27
F. Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris atas terjadinya pailit
Perseroan Terbatas
Tidak semua usaha yang dijalankan oleh setiap perusahaan (Perseroan
Terbatas) berjalan sesuai dengan target yang diinginkan, adakalanya usaha yang
sudah dirilis sejak lama mengalami kendala dalam pengoperasiannya dan tidak
sedikit juga yang mengalami kebangkrutan karena tidak bisa membiayai
operasional perusahaannya sehingga tidak sedikit perusahaanya dinyatakan
pailit oleh Pengadilan Niaga. Dalam hal perusahaan pailit, tentu ada tanggung
jawab yang dipikul oleh pelaku usaha seperti direksi yang diberikan
kepercayaan oleh seluruh pemegang saham melakui mekanisme Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) untuk menjadi organ perseroan yang akan bekerja
untuk kepentingan perseroan, serta kepentingan seluruh pemegang saham yang
mengangkat dan mempercayakan sebagai satu-satunya organ yang mengurus
dan mengelola perseroan.19
Jika terjadi kepailitan dalam perseroan, akan membawa akibat bahwa
direksi tidak berhak dan berwenang lagi untuk mengurus harta kekayaan
perseroan tersebut.
1. Tanggung Jawab Direksi sebagai Organ Perseroan
Tugas pokok direksi adalah untuk mengurus dan mewakili perseroan
dalam melakukan kegiatannya dan memiliki tanggung jawab internal dan
eksternal. Keterkaitan antara perseroan dengan direksi dilandasi pada
prinsip fiduciary duty dan to exercise care and deligence, yaitu direksi
wajib melakukan pengurusan dengan itikad baik dan penuh dengan
tanggung jawab.20
Dalam menjalankan tugasnya mengurus perseroan, direksi tidak boleh
menerima manfaat terhadap dirinya sendiri, berarti kepentingan terhadap
19 Susanti Adi Nugroho, Hukum Kepailitan di Indoensia Dalam Teori dan Praktik Serta
Penerapan Hukumnya, ... h.359
20 Elyta Ras Ginting, Hukum Kepailitan Teori Kepailitan, ... h.240
28
perseroan harus didahulukan. Dengan adanya perusahaan yang di pailitkan,
maka tentu ada akibat hukum dan tanggung jawab dari para pemegang
saham maupun direksi dalam terjadinya pailit tersebut. Perbuatan hukum
direksi yang merupakan tindakan ultra vires adalah tanggung jawab pribadi
dari direksi perseroan tersebut. Namun tindakan ultra vires ini harus
dibedakan dalam dua kategori, yaitu:
a) Tindakan yang dilakukan di luar kewenangan direksi untuk melakukan,
tapi masih dalam cakupan maksud dan tujuan perseroan, serta
b) Tindakan yang dilakukan di luar kewenangan direksi untuk
melakukannya yang berada di luar maksud dan tujuan perseroan.
Pada Pasal 104 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas, dapat diketahui bahwa Undang-Undang
Perseroan Terbatas membuat beberapa pengecualian terhadap tanggung
jawab anggota Direksi dalam hal perseroan dinyatakan Pailit, yaitu sebagai
berikut:21
a) Anggota Direksi hanya akan bertanggung jawab secara pribadi jika
perseroan dinyatakan pailit sesuai dengan prosedur yang berlaku.
b) Terbukti ada unsur kesalahan atau kelalaian yang telah dilakukan
direksi dalam mengurus dan mewakili perseroan.
c) Tanggung jawab anggota direksi bersifat residual yang artinya hanya
akan bertanggung jawab bila kekayaan perseroan tidak cukup untuk
menutupi kerugian akibat kepailitan tersebut;
d) Tanggung jawab direksi tersebut juga bersifat tanggung jawab renteng,
yang artinya walaupun kesalahan atau kelalaian itu dilakukan seorang
anggota direksi, tetapi yang lain juga dipresumsi untuk ikut
bertanggung jawab dalam hal tersebut.
Namun berdasarkan pada Pasal 104 Ayat (4) Undang-Undang
Perseroan Terbatas menyatakan bahwa anggota direksi yang dapat
21 Susanti Adi Nugroho, Hukum Kepailitan di Indoensia Dalam Teori dan Praktik Serta
Penerapan Hukumnya, ... h. 362
29
membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya
tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugiannya
tersebut.
2. Tanggung Jawab Komisaris dalam Kepailitan Perseroan
Selain Direksi dalam Perseroan juga terdapat Komisaris, yang juga
tidak bisa dimintai pertanggung jawaban pribadi dalam hal perseroan yang
tidak mampu membayar kewajiban utangnya dikarenakan kinerja
keuangan perseroan yang buruk sebagai akibat dari lingkungan bisnis yang
ada. Menurut Pasal 114 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa dewan komisaris wajib
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk
kepentingan dan usaha perseroan, secara normatif yang mana disini sangat
bertitik tolak dengan ketentuan tersebut.
Fungsi utama komisaris adalah melakukan pengawasan. Yang mana
maksud dari melakukan pengawasan disini adalah suatu tindakan
mengusahakan agar suatu kegiatan dilaksanakan sesuai dengan yang telah
digariskan atau menilai apakah yang telah dilaksanakan sesuai dengan yang
direncanakan. Dengan cara melakukan pemantauan tepat waktu yang dapat
mengetahui penyimpangan sehingga kerugian dapat dicegah atau
setidaknya dapat diminimalisir.22
Didalam Undang-Undang Perseroan Terbatas mengenai komisaris
tidak disebutkan secara spesifik tanggung jawabnya jika terjadi kepailitan
dalam perusahaan.
G. Pengenalan PT United Coal Indonesia
PT United Coal Indonesia yang beralamat di Sudirman Plaza Marein 11 th
Floor, Jalan Jenderal Sudirman Kav.76-78. Jakarta. PT United Coal Indonesia
ini bergerak sebagai perusahaan pertambangan batu bara di Samarinda. Bahwa
22 Susanti Adi Nugroho, Hukum Kepailitan di Indoensia Dalam Teori dan Praktik Serta
Penerapan Hukumnya, ... h.364
30
termohon telah dinyatakan berstatus dalam PKPU sementara selama 45 (empat
puluh lima) hari berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat No. 55/Pdt.Sus-PKPU/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst.Jo.Nomor: 32/
Pdt.Sus.Pailit/2014/PN. Niaga.Jkt.Pst, tanggal 15 Oktober 2014. Dan pada
tanggal 14 Januari 2015 dinyatakan Batal Putusan Perdamaian (Homologasi)
dikarenakan PT United Coal Indonesia telah lalai dan melanggar Perjanjian
Perdamaian pada tanggal 8 Januari 2015.
Permohonan kepailitan tersebut diajukan karena adanya hak-hak kreditor
lain yang diajukan, yaitu untuk membantu karyawan PT United Coal Indonesia
cabang site Palaran yang upahnya tidak dibayar selama 3 bulan berturut-turut
sejak bulan Juni, Juli, dan Agustus oleh PT United Coal Indonesia dan utang
tersebut sudah jatuh tempo. Dalam kepailitan, PT United Coal Indonesia
mempunyai tagihan kepada 89 kreditor. Tagihan tersebut terdiri dari kreditor
preferen (prioritas), kreditor separatis, dan kreditor konkuren.
Dengan nomer perkara di Pengadilan Niaga yaitu
55/Pdt.Sus.PKPU/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst.Jo.32/Pdt.Sus.Pailit/2014/PN.Niaga.Jkt
.Pst., dengan nomer pembatalan perdamaian 11/Pdt.Sus/Pembatalan
Perdamaian/2015/PN/Niaga/Jkt/Pst, dan pada tingkat kasasi, dengan Nomor
Perkara yaitu 186 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 dan 557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018.
H. Kerangka Teori
Pada penulisan dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori Keadilan.
Yang mana pengertian keadilan berasal dari kata adil, yang menurut Kamus
Bahasa Indonesia adil adalah tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat
sebelah. Adil mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan
atas norma-norma yang objektif, jadi tidak hanya subjektif apalagi sewenang-
wenang terhadap golongan orang tertentu. Di Negara Republik Indonesia keadilan
digambarkan dalam Pancasila sebagai dasar negara, yaitu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.23
23 Muhamad Sadi, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2015), h.196-197
31
Dari semua hal tersebut, sebenarnya sejarah juga sudah mencatat bahwa
banyak filosof Yunani klasik lainnya di masa dulu yang telah mencoba untuk
memberikan arti terhadap teori keadilan sendiri, antara lain sebagai berikut.
1. Parmenides dari Elea (sekitar 475 sebelum Masehi).
2. Damon dari Athena (sekitar 460 sebelum Masehi).
3. Democritus dari Abdera (sekitar 420 sebelum Masehi).24
Dari beberapa filosof diatas, kemudian datang filosof Plato (427-347
sebelum Masehi), yang mengaitkan keadilan dengan prinsip-prinsip etika dari
sikap tindak manusia. Menurut Plato, keadilan merupakan nilai kebajikan untuk
semua yang diukur dari apa yang seharusnya dilakukan secara moral, bukan hanya
diukur dari tindakan dan motif manusia saja. Lalu apa itu arti dari keadilan bagi
Plato, Plato mengusahakan sebuah konsep mengagumkan mengenai tentang
Keadilan, yang hingga kini masih sangat mempengaruhi tokoh-tokoh besar
hukum di dunia dalam mengartikan makna dari Keadilan itu sendiri antara lain
adalah Profesor Scholten dari Belanda. Dan Plato juga mengkualifikasikan
keadilan dalam 3 (tiga) hal yaitu:25
1. Suatu karakteristik atau “sifat” yang terberi secara alami dalam diri tiap
individu manusia;
2. Dalam keadaan ini, keadilan memungkinkan orang mengerjakan
pengkoordinasian (menata) serta memberi batasan (mengendalikan) pada
tingkat “emosi” mereka dalam usaha menyesuaikan diri dengan lingkungan
tempat ia bergaul; dengan demikian,
3. Keadilan merupakan hal yang memungkinkan masyarakat manusia
menjalankan kodrat kemanusiaannya dalam cara-cara yang utuh dan
semestinya.
Setelah itu, datang filosof Aristoteles (384-322 sebelum Masehi), Teori
mengenai keadilan menurut Aristoteles adalah perlakuan yang sama bagi mereka
24 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h.83
25 Herman Bakir, Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur Kesejateraan, (Bandung: PT
Refika Aditama, 2007), h.177
32
yang sederajat di depan hukum, tetap menjadi urusan tatanan politik untuk
menentukan siapa yang harus diperlakukan sama atau sebaliknya.26
Dari teori keadilan melahirkan teori kemanfaatan, Teori hukum tentang
kemanfaatan yang berasal dari Jeremy Bentham yang menerapkan salah satu
prinsip dari aliran utilitarianisme ke dalam lingkungan hukum, yaitu: manusia
akan bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan
mengurangi penderitaan. Bentham selanjutnya berpendapat bahwa pembentuk
Undang-undang hendaknya dapat melahirkan Undang-undang yang dapat
mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan berpegang pada prinsip
tersebut di atas, perundangan itu hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang
terbesar bagi sebagian besar masyarakat (the greates happiness for the greatest
number).27 Jadi yang diutamakan dalam teori Jeremy Bentham adalah
mewujudkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya.
Menurut Thomas H. Jackson dan Robert E. Scott dalam teori
“creditor’s”bargain yang menyatakan bahwa tujuan utama dari kepailitan untuk
memaksimalkan kesejahteraan kelompok secara bersama-sama. Dimana teori ini
kemudian dikenal dengan teori creditor wealth maximization yang merupakan
teori yang paling menonjol dan paling banyak di anut dalam hukum kepailitan,
sehingga teori yang dikemukakan oleh Thomas H. Jackson dan Robert E. Scott
mengenai teori “creditor’bargain” sangat berkenaan dengan penulisan skripsi ini.
Jackson merumuskan hukum kepailitan dari perspektif ekonomi sebagai “An
Acillary, Pararel System Of Debt – Collection Law”, sedangkan keadaan pailit
adalah suatu cara melaksanakan suatu putusan tentang apa yang akan dilakukan
terhadap harta debitor.28
26 Lawrence. M. Friedman, American Law an Introduction, Terjemahan Wisma Bhakti,
(Jakarta: PT. Tata Nusa, 2001), h. 4
27 Lili Rasjidi, Ira Tania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung: Mandar Maju,
2010), h. 61
28 Thomas H. Jackson, The Logic And Limits Of Bankruptcy Law, (United States: Harvard
University, 1986). h. 3-4
33
Arti sebuah keadilan dalam hukum formal dan hukum materiil merupakan
suatu keadaan keseimbangan dan keselarasan yang membawa ketentraman
didalam hati orang yang apabila diganggu akan mengakibatkan kegoncangan.
Orang-orang tidak akan bertahan lama menghadapi sebuah tatanan yang mereka
rasa sama sekali tidak sesuai dan tidak masuk akal. Pemerintah yang
mempertahankan aturan semacam itu akan terjerat dalam kesulitan-kesulitan
serius dalam pelaksanaanya. Yang artinya, sebuah tatanan yang tidak berakar pada
keadilan sama artinya dengan bersandar pada landasan yang tidak aman dan
berbahaya.29
Dari semua definisi-definisi diatas memiliki keberagaman pemahaman
mengenai makna dari keadilan yang sesungguhnya, ada yang memandang
keadilan dari segi politik, ada yang memandang keadilan dari segi hak-hak para
pihak yang menegakkan keadilan dari setiap orang, ada yang memandang makna
keadilan dari sifat-sifatnya, dan ada pula yang memandang keadilan dari perilaku
kesewenang-wenangannya. Karena sesungguhnya makna keadilan yang
sempurna itu tidaklah ada, yang ada hanyalah mendekati dari makna tersebut,
hanya sekadar pencapaian keadilan menurut kadar tertentu saja.
Hal-hal yang telah diuraikan di atas maka dapat menjawab permasalahan
yang diajukan penulis untuk dipergunakan sebagai pendekatan dengan kerangka
teori. Kerangka berfikir menjadi konsep keadilan dan perlindungan yang
seimbang terhadap kepentingan karyawan perusahaan (Perseroan Terbatas),
kreditor dan debitor dalam hukum kepailitan yang terdapat di Indonesia.
I. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam menjaga keaslian judul peneliti ajukan dalam proposal skripsi ini
perlu kiranya penulis lampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi bahan
pertimbangan. Antara lain:
1. Skripsi yang berjudul: “Hak Pekerja Pada Perusahaan Yang Pailit”. Karya
Ulva Febriana Rivai ( B 111 07 321 ), Fakultas Hukum Universitas
29 Muhamad Erwin, Filsafat Hukum Refleksi Kritis terhadap Hukum, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada,2012), h.238
34
Hasanuddin Makassar, 2014. Skripsi ini membahas tentang hak–hak pekerja
pada perusahaan pailit berdasarkan perundang–undangan yang berlaku di
Indonesia dan upaya hukum yang mengatur para pekerja pada perusahaan
yang terkena pailit jika harta pailit tidak mencukupi. Persamaannya yaitu
sama-sama membahas tentang kepailitan di Indonesia dan membahas
mengenai pemenuhan hak-hak karyawan jika perusahaan dinyatakan pailit,
sedangkan perbedaannya yaitu pada skripsi ini membahas tentang upaya
hukum yang mengatur para pekerja pada perusahaan yang terkena pailit jika
harta pailit tidak mencukupi. Sedangkan pada penulisan ini membahas
mengenai pertimbangan hukum Pengadilan Niaga terhadap karyawan PT
United Coal Indonesia akibat putusan pailit (Nomor 11/Pdt.Sus/Pembatalan
Perdamaian/2015/PN.Niaga.JKT.PST. Juncto Nomor 55/Pdt.Sus/PKPU/2014
/PN.Niaga.JKT.PST. Juncto Nomor 32/Pdt.Sus.Pailit/2014/PN.Niaga.JKT.
PST ), berdasarkan hukum kepailitan di Indonesia dan implikasi putusan
kasasi Mahkamah Agung terhadap Karyawan ketika perusahaan dinyatakan
pailit (Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 Juncto 557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018).
2. Jurnal yang berjudul: “Problematika Posisi Buruh Pada Perusahaan Pailit”.
Karya Tri Budiyono, Salatiga, Fakultas, Hukum Universitas Kristen Satya
Wacana, Nomor 3, Juli 2013. Jurnal ini membahas mengenai posisi buruh
pada perusahaan yang dinyatakan pailit. Persamaannya yaitu sama-sama
membahas mengenai ketenagakerjaan pada Perseroan Terbatas terhadap
perusahaan pailit. Perbedaannya yaitu pada jurnal ini dibahas mengenai
perlindungan hukum atas pembayaran hak-haknya ditengah tarik-menarik
kepentingan para kreditor, khususnya pada kreditor separatis. Sedangkan pada
penulisan ini membahas mengenai pertimbangan hukum Pengadilan Niaga
terhadap karyawan PT United Coal Indonesia akibat putusan pailit,
berdasarkan hukum kepailitan di Indonesia dan implikasi putusan kasasi
Mahkamah Agung terhadap Karyawan ketika perusahaan dinyatakan pailit.
3. Jurnal yang berjudul: “Tanggung Jawab Kurator dalam Penjualan Harta Pailit
di Bawah Harga Pasar”. Karya Moch Zulkarnain Al Mufti, Yogyakarta,
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
35
Volume 1, Nomor 1, Januari 2016. Jurnal ini membahas tentang Tanggung
Jawab Kurator dalam Penjualan Harta Pailit di Bawah Harga Pasar.
Persamaannya adalah sama-sama membahas tentang harta debitor pailit,
sedangkan perbedaannya yaitu pada jurnal ini membahas tentang tanggung
jawab kurator dalam penjualan harta pailit di bawah harga pasar, yang mana
pada jurnal ini lebih membahas kepada kurator dalam menjalankan tugasnya,
sedangkan pada penulisan ini penulis membahas mengenai pertimbangan
hukum Pengadilan Niaga terhadap karyawan PT United Coal Indonesia akibat
putusan pailit, berdasarkan hukum kepailitan di Indonesia dan implikasi
putusan kasasi Mahkamah Agung terhadap Karyawan ketika perusahaan
dinyatakan pailit.
36
BAB III
DAMPAK PUTUSAN PAILIT TERHADAP PERSEROAN TERBATAS
Pembahasan pada bab ini berfokus pada dampak putusan pailit terhadap
Perseroan Terbatas di Indonesia oleh Pengadilan Niaga. Karena sering kali
permasalahan muncul jika terjadi kepailitan pada perusahaan di mana karyawan
bekerja, dan sering kali pekerja / buruh kesulitan mengakses informasi dan hak-
hak mereka. Pada bab ini dibagi ke dalam beberapa subbab pembahasan.
Pembahasan pada subbab pertama dibuka dengan kronologis singkat mengenai
kepailitan PT United Coal Indonesia. Subbab kedua membahas terkait dengan
Pertimbangan hakim atas putusan Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung.
Kemudian subbab ketiga membahas mengenai Putusan Pengadilan Niaga dan
Mahkamah Agung. Dilanjutkan dengan subbab keempat yang membahas
terkait dengan Analisa Putusan Pailit Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 juncto
Nomor 557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018. Dan kemudian pada subbab terakhir dibahas
mengenai Implikasi Putusan Pailit Terhadap Karyawan.
A. Kronologis Singkat Perkara Nomor 186 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 juncto Nomor
557 K/Pdt.Sus-Pailit/2018
Pada penelitian ini membahas mengenai kepailitan pada PT United Coal
Indonesia yang digugat dua perusahaan terkait utang. Sidang gugatan
permohonan kepailitan kepada termohon berlangsung di Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Gambir pada Senin, 13 Oktober 2014. Dalam
sidang perdana tersebut, PT GMT Indonesia dan PT Palaran Indah Lestari
mengajukan permohonan kepailitan kepada PT United Coal Indonesia yang
bergerak sebagai perusahaan pertambangan batubara di Samarinda. Sidang
dibuka Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang diketuai oleh Titik Tejaningsih.
Permohonan kepailitan yang diajukan kepada PT United Coal Indonesia
terregister dengan nomor perkara No. 32/Pdt. Sus/ Pailit/2014/PN. Niaga. Jkt.
merupakan sebuah bentuk upaya proses hukum akibat tidak dibayarnya utang
para kreditor PT United Coal Indonesia dan utang tersebut telah jatuh tempo
serta dapat ditagih. Permohonan kepailitan tersebut diajukan karena adanya
37
hak-hak kreditor lain yang diajukan, yaitu untuk membantu 5 karyawan PT
United Coal Indonesia cabang Site Palaran yang upahnya tidak dibayar selama
3 bulan berturut-turut sejak bulan Juni, Juli dan Agustus oleh PT United Coal
Indonesia dan utang tersebut sudah jatuh tempo.1
Dasar pengajuan permohonan perkara kepailitan karena PT United Coal
Indonesia mengalami kegagalan dalam melunasi pembayaran tagihan yang
timbul atas pembelian alat-alat kebutuhan operasional PT United Coal
Indonesia yang dilakukan berdasarkan pemesanan (Purchase Order) yang jatuh
tempo pembayaran dengan jumlah nilai total tagihan yang sampai saat ini
mencapai Rp 116.137.500 dan Rp 103.817.700. Jumlah total tagihan sebesar
Rp 219.955.200. Sedangkan utang kreditor yang lain yang diajukan, berasal dari
5 karyawan PT United Coal Indonesia yang upahnya tidak dibayar selama 3
bulan berturut-turut. Upah sudah jatuh tempo dengan total nilai sebesar Rp
103.728.000. Tak hanya itu, selain 5 karyawan PT United Coal Indonesia yang
upahnya belum dibayar oleh PT United Coal Indonesia, ternyata masih ada
sekitar 91 karyawan PT United Coal Indonesia cabang Site Palaran yang hak-
hak berupa tunggakan upah 3 bulan gaji tidak dibayar oleh PT United Coal
Indonesia dengan nilai total keseluruhan hampir mencapai Rp 1.000.000.000.
Namun dari hasil persidangan permohonan kepailitan yang diajukan tim kuasa
hukum PT GMT Indonesia dan PT Palaran Indah Lestari kepada Majelis
Hakim, ternyata ditangguhkan menjadi PKPU (penundaan kewajiban
pembayaran utang), dan kini PT United Coal Indonesia sudah resmi dinyatakan
pailit dengan pembatalan perdamaian oleh Pengadilan Niaga Jakarta pada
Tahun 2015, karena telah lalai dalam menjalankan perjanjian pembayaran
utang.
Setelah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, untuk selanjutnya
pengurusan dan pemberesan harta pailit debitor dilakukan oleh Kurator selaku
pihak yang ditunjuk oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta
1 Diakses pada 15 November 2018,
https://www.liputan6.com/bisnis/read/2118397/united-coal-indonesia-digugat-pailit.
https://www.liputan6.com/bisnis/read/2118397/united-coal-indonesia-digugat-pailit
38
debitor pailit. Dalam hal ini debitor mempunyai 1 kreditor separatis yaitu PT
Bank Mandiri, 2 kreditor preferen yaitu karyawan dan kantor pelayanan pajak,
dan terdapat 160 kreditor konkuren. Dalam pembagian utang harta debitor pailit
yang dilakukan oleh kurator CV Exiss Jaya dan CV Satria Dua Perdana selaku
kreditor konkuren merasa keberatan atas pembagian utang harta debitor. Tidak
hanya itu untuk selanjutnya Kementerian Keuangan Republik Indonesia,
Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar, Kantor
Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu juga merasa keberatan atas pembagian
utang yang dilakukan oleh kurator.
B. Pertimbangan Hakim atas Putusan Pengadilan Niaga dan Putusan
Mahkamah Agung
1. Pertimbangan Hakim atas Putusan Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga adalah (commercial court) adalah institusi pelaksana
Kekuasaan Kehakiman yang berada dibawah Mahkamah Agung.2 Dalam
rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya, pengadilan niaga yang
didirikan untuk menyelesaikan masalah utang piutang mempunyai asas khusus
yang berbeda dengan asas peradilan yang lain yaitu asas khusus pengadilan
niaga sebagaimana dimuat dalam konsideran huruf e dan huruf f Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1998 dan penjelasan umum alinea enam Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004, yakni asas “adil, cepat, terbuka dan efektif”.
Sedangkan Hakim Niaga adalah pejabat Kekuasaan Kehakiman yang ditunjuk
oleh ketua pengadilan niaga untuk memeriksa dan memutus perkara kepailitan
dan perkara PKPU serta perkara lain dibidang perniagaan.3 Pada kasus ini
Majelis Hakim Pengadilan Niaga telah menimbang bahwa maksud dan tujuan
dari permohonan pemohon adalah sebagaimana yang telah disebutkan di dalam
putusan Nomor 11/Pdt.Sus/Pembatalan Perdamaian/2015/PN.Niaga.JKT.PST.
Jo.Nomor:55/Pdt.Sus/PKPU/2014/PN.Niaga.JKT.PST.Jo.Nomor:32/Pdt.Sus.
Pailit/2014/PN.Niaga.JKT.PST.
2 Syamsudin M Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, (Jakarta: PT.Tatanusa, 2012), h.325
3 Syamsudin M Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, … h.336
39
Menyatakan bahwa walaupun kedua belah pihak masing-masing telah
mengajukan bukti surat namun demikian Majelis Hakim hanya akan
mempertimbangkan bukti surat yang dipandang ada relevansinya dengan
perkara ini.;
Bahwa Pemohon 1 ( PT GMT Indonesia ) berdasarkan bukti P-10.a, P-10.b,
P-11.a, berupa AKTA NOTARIS Nomor 26 Tanggal 10 Agustus 2001 AKTA
PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS PT GMT INDONESIA Pasal 11 jo
Akta Notaris Nomor 6 Tanggal 19 September 2013 Tentang BERITA ACARA
PT GMT INDONESIA Tanggal 19 September 2013 maka Permohon I berhak
untuk mewakili perseroan didalam maupun diluar Pengadilan;
Permohon II (PT PALARAN INDAH LESTARI) berdasarkan bukti P-
12.a, P-12.b, P-13.b, berupa AKTA PERSEROAN TERBATAS PALARAN
INDAH LESTARI Nomor 141 Tanggal 25 Maret 2008 Pasal 12 juncto Pasal
20 maka Pemohon II berhak untuk mewakili Perseroan didalam dan diluar
Pengadilan.;
TERMOHON PT UNITED COAL INDONESIA berdasarkan bukti
bertanda T-1. T-2, T-3, Akta Notaris PENDIRIAN PERSEROAN
TERBATAS PT UNITED COAL INDONESIA Nomor 44 Pasal 11 juncto
PERNYATAAN KEPUTUSAN PEMEGANG SAHAM Nomor 28 Tanggal
10 Desember 2013, maka Termohon berhak untuk mewakili perseroan didalam
dan diluar Pengadilan;
Bahwa yang menjadi dalil permohonan para Pemohon pada pokoknya
adalah mohon agar Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan batal Putusan
Perdamaian (Homologasi) Nomor 55/Pdt.Sus-PKPU/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst
Jo Nomor 32/Pdt.Sus.Pailit/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst Tanggal 14 Januari 2015
dikarenakan TERMOHON telah lalai dan melanggar Perjanjian Perdamaian
Tanggal 8 Januari 2015.;
Bahwa atas dalil para Pemohon tersebut Termohon menanggapi pada
pokoknya, yaitu :
a. Berdasarkan proposal perdamaian, Termohon telah melaksanakan isi
proposal kesepakatan Perdamaian kepada Para Pemohon dan Pemohon
40
lainnya, sesuai jadwal yang telah disepakati bersama sampai dengan bulan
Juli 2015, sebagaimana (Bukti T-5);
b. Bahwa karena kondisi Termohon yang kurang menguntungkan, karena
Termohon sudah tidak berproduksi lagi ditambah kondisi ekonomi global
yang kurang menguntungkan, maka Termohon yang pada awalnya
mengajuka