Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
AKSI SOSIAL GERAKAN UNTUK KESEJAHTERAAN TUNARUNGU
INDONESIA JAKARTA (GERKATIN JAKARTA) TERHADAP
PENYANDANG DISABILITAS RUNGU
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk memenuhi
persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
SITI SARAH AGUSTI
NIM. 11140541000042
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1440H / 2019M
i
ABSTRAK
Siti Sarah Agusti, NIM: 11140541000042, Aksi Sosial Gerakan untuk
Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia Jakarta (GERKATIN Jakarta)
Terhadap Penyandang Disabilitas Rungu, di bawah bimbingan
Muhtadi, M.Si.
Penyandang disabilitas sering kali dipandang sebelah mata karena
memiliki kekurangan baik fisik maupun mental. Kekurangan tersebut
sering kali penyandang disabilitas mendapat tindak diskriminasi. Mereka
juga menghadapi kendala dalam mengakses fasilitas publik khususnya
aksesibilitas dan bahasa isyarat indonesia (BISINDO) untuk menunjang
aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Aksesibilitas merupakan bagian
dari kehidupan manusia dalam kehidupannya, sehingga aksesibilitas
sangat penting karena untuk memadai aktivitas manusia begitupula
aksesibilitas sangat penting untuk penyandang disabilitas rungu.
Sedangkan BISINDO sangat penting bagi disabilitas rungu untuk
memberikan akses informasi dan komunikasi kepada masyarakat dengar.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
studi kasus (case study). Teknik pengumpulan data menggunakan
wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Subjek dan objek dalam
penelitian ini adalah terfokus pada pengurus Gerakan untuk Kesejahteraan
Tuna Rungu Indonesia Jakarta (GERKATIN Jakarta) yang melakukan aksi
sosial mengenai aksesibilitas dan BISINDO untuk mendapatkan hak yang
setara. Validitas data yang digunakan adalah triangulasi sumber.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aksi sosial Gerkatin dapat
membantu disabilitas rungu untuk mencapai kesetaraan. Gerkatin
membantu disabilitas rungu agar mereka bisa mengembangkan bakat, hak
yang sama dan dapat bersosialisasi dengan masyarakat dengar. Dengan
melakukan aksi sosial yang dilakukan Gerkatin untuk mencapai kesetaraan
hak disabilitas rungu, Gerkatin ingin memberikan informasi dan edukasi
masyarakat tentang disabilitas Tuli. Selain itu, pemerintah dapat
memahami kebutuhan disabilitas rungu di bidang informasi dan
pendidikan, sehingga tidak ada lagi diskriminasi tentang bahasa isyarat
Indonesia (BISINDO). Bahasa ini harus berkembang seperti bahasa
Indonesia. Sama halnya, dengan BISINDO, Gerkatin juga melakukan aksi
sosial terkait aksesibilitas yang masih belum terpenuhi seperti belum
tersedia akses visual di rumah sakit, bank, dan sekolah.
Kata kunci: Aksi sosial, Kesetaraan Hak Disabilitas Rungu,
Disabilitas rungu.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan nikmat serta hidayah-Nya dan shalawat serta salam tak lupa
peneliti panjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Peneliti
bersyukur atas terselesaikannya skripsi ini setelah peneliti mengenyam
pendidikan selama lima tahun di Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penulisan skripsi ini peneliti mengalami berbagai kendala dan
kejenuhan. Tidak lupa peneliti menyampaikan ungkapan terima kasih
kepada pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan, motivasi, dan
arahan-arahan kepada peneliti untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.
Dengan segala kerendahan hati peneliti menyampaikan ucapan terima
kasih kepada:
1. Suparto, M.Ed., Ph.D sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dr. Siti Napsiyah MSW
sebagai Wakil Dekan Bidang Akademik. Dr. Sihabudin Noor, MA
sebagai Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum. Drs. Cecep
Castrawijaya, MA sebagai Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan
Kerjasama.
2. Ahmad Zaky, M.Si., sebagai Kepala Program Studi Kesejahteraan
Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Hj. Nunung Khoiriyah,
MA., sebagai Sekretaris Program Studi Kesejahteraan Sosial UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Muhtadi, M.Si., sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, dukungan, dan
motivasi kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Para Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial yang telah
memberikan wawasan dan keillmuan serta membimbing peneliti dalam
mengikuti perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
iii
5. Para Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan seluruh
Civitas Akademika yang telah memberikan peneliti wawasan dan keilmuan,
serta membimbing peneliti selama mengikuti perkuliahan di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
6. Kepada Ketua Umum GERKATIN, Pak Bambang Prasetyo yang tela
mengizinkan peneliti melakukan penelitian di GERKATIN Jakarta.
7. Kepada seluruh informan yang tergabung dalam GERKATIN Jakarta yang
telah bersedia untuk memberikan peneliti data dan informasi sehingga
peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini.
8. Kepada kedua orang tua peneliti tersayang dan tercinta, yang selalu menebut
nama peneliti dalam setiap doa mereka. Peneliti mohon maaf apabila terlalu
lama dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tetapi peneliti yakin
skripsi ini selesai di waktu yang tepat dan atas Ridho Allah SWT.
9. Kepada teman dekat peneliti semasa MTsN 3 Jakarta hingga saat ini, Fitri
Nuraini, Rafidha Rahma, Devani Ameliza, Tasya Monica, dan Vrilisya
Widya Sarah, yang telah memberikan peneliti dukungan dan motivasi, serta
telah bersedia senantiasa mendengarkan curahan hati peneliti.
10. Kepada teman dekat peneliti semasa MAN 13 Jakarta hingga saat ini, Rizkia
Afidah, Salsabil Sausan dan Desi Khairani yang telah memotivasi peneliti
untuk segera menyelesaikan skripsi, serta senantiasa menjawab pertanyaan-
pertanyaan penelitia mengenai penulisan skripsi.
11. Kepada teman dekat peneliti semasa perkuliahan hingga saat ini, Sinta
Saraswati, terima kasih telah memberikan peneliti motivasi sehingga
peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini, serta selalu mendengarkan curahan
hati peneliti.
12. Kepada Rayi Fahmi, terima kasih telah memberikan dukungan, motivasi,
dan mendampingi peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
13. Kepada teman-teman seperjuangan Kesejahteraan Sosial 2014 yang selalu
menemani dan memberikan dukungan kepada peneliti selama masa
perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
14. Semua pihak yang tela memberikan dukungan motivasi, bantuan baik moril
maupun materil sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
iv
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, baik
dari segi isi maupun teknik penulisan, sekalipun peneliti tela berusaha
melakukan yang terbaik. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang bertujuan
untuk membangun dari berbagai pihak akan peneliti terima dengan tangan
terbuka serta sangat diharapkan.
Demikianlah skripsi ini peneliti persembahkan, peneliti berharap
skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan semua pembaca
pada umumnya.
Jakarta, November 2019
Siti Sarah Agusti
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................................................ v
DAFTAR TABEL ..................................................................................................................... vii
DAFTAR BAGAN .................................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.......................................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................................... 6
D. Tinjauan Kajian Terdahulu ......................................................................................... 7
E. Metode Penelitian ....................................................................................................... 9
F. Keabsahan Data ........................................................................................................ 15
G. Landasan Teori .......................................................................................................... 17
H. Sistematika Penulisan ............................................................................................... 17
BAB II LANDASAN TEORI
A. Aksi Sosial ................................................................................................................ 19
1. Pengertian Aksi Sosial ........................................................................................ 19
2. Tujuan dan Sasaran Aksi Sosial .......................................................................... 21
3. Proses Aksi Sosial ............................................................................................... 21
4. Model Aksi Sosial ............................................................................................... 22
5. Aksi Sosial : Sebuah Metode Kerja Sosial .......................................................... 23
B. Disabilitas ................................................................................................................. 26
1. Pengertian Disabilitas ......................................................................................... 26
2. Pengertian Tunarungu ......................................................................................... 27
C. Kesetaraan ................................................................................................................. 29
vi
1. Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas ....................................................... 29
D. Kerangka Berpikir ..................................................................................................... 42
BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA .......................................................................... 45
A. Profil Umum GERKATIN .......................................................................................... 45
B. Sejarah berdirinya GERKATIN .................................................................................. 46
C. Struktur Organisasi GERKATIN .............................................................................. 48
D. Visi dan Misi GERKATIN ........................................................................................ 49
E. Kegiatan dan Program Kerja GERKATIN ................................................................ 50
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Aksesibilitas .............................................................................................................. 54
1. Fasilitas Publik Ramah Disabilitas ........................................................................ 54
2. RPP Penyandang Disabilitas ................................................................................. 60
B. BISINDO .................................................................................................................... 63
1. Juru Bahasa Isyarat................................................................................................ 69
2. BISINDO menjadi kurikulum di Universitas Indonesia ....................................... 73
BAB V PEMBAHASAN
A. Aksesibilitas .............................................................................................................. 78
1. Fasilitas Publik Ramah Disabilitas ........................................................................ 78
2. RPP Penyandang Disabilitas ............................................................................... 81
B. BISINDO ................................................................................................................... 83
1. Juru Bahasa Isyarat .............................................................................................. 86
2. BISINDO menjadi kurikulum di Universitas Indonesia ..................................... 89
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................................... 91
B. Saran .......................................................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 0.1 Theoritical Sampling
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Logo GERKATIN
Gambar 3.2 Denah Lokasi GERKATIN
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian
Lampiran 2 Surat Bimbingan skripsi
Lampiran 3 Tabel Hasil Dokumentasi
Lampiran 4 Tabel Hasil Observasi
Lampiran 5 Pedoman Wawancara
Lampiran 6 Biodata Narasumber
Lampiran 7 Dokumentasi Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyandang disabilitas meliputi setiap orang yang memiliki
perbedaan kemampuan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik yang
mengalami berbagai hambatan untuk berpartisipasi secara penuh dan
efektif dalam berinteraksi di lingkungan sosialnya berdasarkan kesetaraan
dengan yang lainnya (Bahrul Fuad 2015,11). Ketidaksempurnaan mereka
bukan berarti mereka tidak mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Mereka berhak atas perlindungan, kesejahteraan, kenyamanan serta
keadilan. Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas CRPD
(Convention on the Rights of Person with Disabilities) sebagaimana telah
diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang nomor 19
Tahun 2011 pada Pasal 5 menerangkan bahwa negara menjamin
kesetaraan perlindungan hukum bagi setiap orang dan melarang segala
bentuk diskriminasi atas dasar disabilitas (Purwanta 2012,284).
Kelompok minoritas dimanapun berada sangat dekat dengan
perlakuan diskriminatif. Tindakan diskrimintif berupa perkataan maupun
perbuatan. Salah satu bagian dari kelompok minoritas yang ada adalah
kelompok penyandang disabilitas. Penggunaan kata “disabilitas”
sebelumnya lebih kita kenal dengan penyandang “cacat”. Penyandang
disabilitas memiliki hak yang sama. Hak meliputi hak hidup, hak atas
pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hak berumah tangga, hak politik, serta
hak pembangunan (Pawestri, Jurnal Era Hukum, 2, Juni 2017:164).
Dalam Undang-Undang No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas Pasal 1 menyebutkan bahwa Penyandang Disabilitas adalah
setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental,
dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi
dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk
2
berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya
berdasarkan kesamaan hak.
Berkaitan dengan disabilitas, Allah SWT juga menyebutnya dalam
salah satu ayat Al-Qur‟an yakni pada surat al-Fath ayat 17 yang berbunyi:
يس لى ل ى ع م ع ج ال ز ل ح لى و ج ع ز ع ج ال ز ل ح لى و يض ع ز مل ا
ج ز ح ن م ع و ط ي للا ه ىل س ر و ه ل خ د ات ي ن ي ج ز ج ن ت ا م ه ت ح ار ت ه ن ال ن م و
ل ى ت ي ه ب ذ ع ا ي اب ذ ا ع يم ل أ
“Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang
pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). dan
Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan
memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-
sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan
azab yang pedih”. (Q.S Al-Fath:17)
Dalam penelitian berjudul Disabilitas dalam Al-Qur‟an yang
diteliti oleh (Rofi‟atul Khoiriyah 2015,6) menjelaskan asbabun nuzul ayat
ini adalah adanya keresahan orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik,
baik karena cacat fisik ataupn karena sakit, akan perintah berjihad yang
sesungguhnya diarahkan kepada kelompok munafik yang enggan berjuang
meskipun kondisi fisik mereka sangat memungkinkan. Karena adanya
ancaman al-Qur‟an terhadap sekelompok orang yang secara fisik memiliki
keterbatasan resah dan mengadu kepada Rasulullah, langkah terbaik apa
yang semestinya mereka ambil.
Data menunjukan bahwa jumlah disabilitas di Indonesia saat ini
mencapai angka 12 persen sebagaimana survey yang dilakukan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS). Sampai dengan tahun 2016, jumlah
penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 12,7 persen dimana yang
termasuk di dalam kategori sedang sebanyak 10,29 persen dan kategori
berat sebanyak 1,87 persen. Sementara untuk prevalensi disabilitas
provinsi di Indonesia antara 6,41 persen sampai 18,75 persen. Tiga
provinsi dengan tingkat prevalensi tertinggi adalah Sumatra Barat, Nusa
Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan. Dari angka 12,15 persen
penyandang disabilitas 45,74 persen tingkat pendidikan penyandang
3
disabilitas tidak pernah atau tidak lulus SD, jauh dibandingkan non-
penyandang disabilitas yang sebanyak 87,31 persen berpendidikan SD
keatas. Dengan jumlah penyandang disabilitas perempuan yaitu 53,37
persen. Sedangkan sisanya 46,63 persen adalah laki-laki.
Mengutip dalam laman internet dari Diamma.com
(http://diamma.com/2018/04/09/surya-sahetapy-kami-memilih-disebut-
tuli/) diakses pada 10 April 2018 pukul 22.00 WIB Penggunaan kata
tunarungu dan Tuli untuk penderita keterbatasan pendengaran masih
menjadi polemik dikalangan banyak pihak. Pasalnya kebanyakan orang
lebih memilih menggunakan kata tunarungu dibandingkan Tuli, karena
menganggap tuna rungu lebih sopan dibandingkan dengan Tuli. Namun,
aktivis Tuli dan teman-teman Tuli lebih senang dengan penggunaan kata
Tuli dibandingkan tunarungu. Tuli adalah kelompok bahasa isyarat yang
memiliki identitas, budaya, dan komunitas tuli. Dalam masyarakat ternyata
istilah inklusi belum dapat dikatakan familiar. Inklusi sendiri memiliki arti
pendekatan dan melibatkan semua orang dengan berbagai latar belakang
yang berbeda, juga karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik,
budaya dan lainnya.
Berbagai upaya perlu dilakukan untuk menyetarakan penyandang
disabilitas sehingga mereka mendapatkan hak-hak yang seharusnya
mereka dapatkan. Kendala serta halangan terhadap penyandang disabilitas
rungu meliputi banyak hal diantaranya: Identitas tuli, hak sejak lahir,
partisipasi setara, bahasa yang setara, kesetaraan kesempatan kerja,
aksesibilitas. Hal ini mengakibatkan Tuli mengalami hambatan
komunikasi, ketinggalan informasi dan keterbelakangan sosial. Belum lagi
stigma atau pandangan negatif masyarakat yang sebagian mengganggap
Tuli adalah aib, mereka malu dan mengisolasi anggota keluarganya yang
mengalami Tuli dari pergaulan sosial. Beberapa kendala serta halangan
terhadap penyandang disabilitas rungu di atas, peneliti akan membahas
lebih dalam tentang aksesibilitas dan bahasa yang setara. Convention on
the Right of Person with Disabilities (CRPD) Pasal 9 menjelaskan bahwa
pemerintah menjamin langkah yang tepat untuk menjamin akses bagi
4
penyandang disabilitas, atas dasar kesamaan dengan warga lainnya,
terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi, dan komunikasi,
termasuk sistem serta teknologi dan komuikasi, serta akses terhadap
fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka atau tersedia untuk publik.
Sedangkan bahasa yang setara dalam Convention on the Right of Person
with Disabilities (CRPD) Pasal 2 menjelaskan bahasa mencakup bahasa
lisan dan bahasa isyarat serta bentuk-bentuk bahasa non-lisan yang lain
dan komunikasi mencakup bahasa, tayangan teks, Braille, komunikasi
tanda timbul, cetak besar, multimedia yang dapat diakses seperti juga
maupun bentuk-bentuk tertulis, audio, plain-language, pembaca-manusia
dan bentuk-bentuk, sarana dan format komunikasi tambahan maupun
alternatif lainnya, sarana, termasuk informasi dan teknologi komunikasi
yang dapat diakses. Permasalahan yang paling endasar dihadapi kaum Tuli
adalah penggunaan bahasa isyarat yang belum menjadi bahasa ibu untuk
mereka. Akseibilitas komuntas Tuli terhadap fasilitas publik masih jauh
dari harapan. Tidak adanya running text di layanan publik‚ pegawai
penyedia layanan publik kurang sensitif membuat Tuli kesulitan dala
mengakes fasilitas‚ mereka juga mempunyai peluang yang kecil untuk bisa
mengakses pekerjaan.
Sebelum adanya ratifikasi atas CRPD banyak instrument-
instrument berkaitan dengan penyandang disabilitas. Dari Undang-
Undang, Peraturan Menteri terkait hingga Peraturan Daerah. Undang-
Undang yang didalamnya juga menyinggung tentang penyandang
disabilitas antara lain ketenagakerjaan, pendidikan nasional, kesehatan,
kesejahteraan sosial, lalu lintas dan angkutan jalan, perkeretaapian,
pelayaran, penerbangan, dan kepabeanan. Kondisi ini membuktikan bahwa
sesungguhnya Indonesia memiliki cukup instrument perlindungan dan
pemenuhan hak penyandang disabilitas namun terhambat pada taraf
implementasinya. Indonesia juga memiliki organisasi penyandang
disabilitas salah satunya adalah Persatuan Penyandang Disabilitas
Indonesia, yang memiliki kantor perwakilan di berbagai daerah, salah satu
yang dilakukannya adalah advokasi terhadap penyandang disabilitas agar
5
hak-haknya dapat dipenuhi oleh pemerintah, serta melakukan
penggalangan dana serta kegiatan-kegiatan yang melibatkan penyandang
disabilitas (Pawestri, Jurnal Era Hukum, 2, Juni 2017: 164).
Dalam hal ini peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk
menyuarakan hak-hak disabilitas agar tidak ada lagi diskriminasi terhadap
penyandang disabilitas. Selain itu, masyarakat juga harus ikut serta dalam
menyuarakan hak-hak disabilitas. Di Jakarta terdapat sebuah organisasi
yang bernama Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia
(GERKATIN). GERKATIN memiliki fungsi untuk mengayomi dan
melindungi hak-hak seluruh disabilitas rungu di Indonesia. GERKATIN
memiliki 29 Dewan Pengurus Daerah tingkat Provinsi dan 66 Dewan
Pengurus Cabang tingkat Kota atau Kabupaten. Seluruh dewan pengurus
GERKATIN memiliki tujuan yang sama yaitu untuk memperjuangkan
kesamaan kesempatan penyandang disabilitas rungu dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan dan mengupayakan pemenuhan hak
penyandang disabilitas rungu (Bapak Bambang Prasetyo, 2017).
Mengutip laman internet dari Kementrian Sosial
(https://www.kemsos.go.id/content/aksi-sosial) diakses pada 15 April 2018
pukul 23.10 WIB Aksi sosial merupakan usaha-usaha untuk mengadakan
perubahan atau pencegahan terhadap praktek dalam situasi sosial yang
telah ada didalam masyarakat melalui pendidikan, persuasi atau pertukaran
melalui tujuan yang dianggap baik oleh perencana aksi sosial. Aksi sosial
merupakan suatu gerakan atau tindakan terorganisasi yang dilakukan
sekelompok orang untuk melakukan perubahan sosial.
Dari uraian di atas sangat jelas bahwa aksi sosial dilakukan untuk
menyampaikan aspirasi tentang hak-hak Tuli yang sudah dijelaskan dalam
UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Gerakan untuk
Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia Jakarta (GERKATIN Jakarta)
melakukan aksi sosial agar teman-teman Tuli mendapatkan hak yang
setara sebagai manusia Bahwa orang Tuli memiliki kesempatan partisipasi
yang setara, orang Tuli harus memiliki akses yang setara untuk
berpartisipasi dalam hubungan antar individu, umum, dan bidang politik
6
seperti orang lain. Yang lebih penting, perlu untuk dipastikan bahwa orang
Tuli memiliki kesempatan untuk berperan sebagai pemimpin, sehingga
mereka sendiri dapat melakukan aksi sosial dan menyampaikan suara atas
hak-hak mereka secara tepat dan terlibat dalam semua proses pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan kehidupan mereka. Pengakuan atas
bahasa isyarat juga sebagai sarana komunikasi yang valid untuk
menyampaikan pemikiran, gagasan, dan emosi sangat diperlukan.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian secara mendalam
mengenai “Aksi Sosial Gerakan Untuk Kesejahteraan Tunarungu
Indonesia Jakarta (GERKATIN Jakarta) Terhadap Penyandang
Disabilitas Rungu”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Oleh karena keterbatasan penulis baik dalam segi waktu, biaya,
dan tenaga penulis. Penulis batasi pada hal Aksi Sosial Gerakan Untuk
Kesejahteraan Tunarungu Indonesia Jakarta (GERKATIN Jakarta)
Terhadap Penyandang Disabilitas Rungu mengenai aksesibilitas dan
bahasa yang setara (BISINDO).
2. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah Aksi Sosial Gerakan Untuk Kesejahteraan
Tunarungu Indonesia Jakarta (GERKATIN Jakarta) Terhadap
Penyandang Disabilitas Rungu mengenai aksesibilitas dan
bahasa yang setara (BISINDO) ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui Aksi Sosial Gerakan Untuk Kesejahteraan
Tunarungu Indonesia Jakarta (GERKATIN Jakarta) Terhadap
Penyandang Disabilitas Rungu mengenai aksesibilitas dan bahasa
yang setara (BISINDO).
7
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan
kontribusi pemikiran dalam rangka kajian akademis penyandang
disabilitas rungu khususnya di bidang Kesejahteraan Sosial.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi
bahan masukan bagi masyarakat secara umum dan tentunya dapat
menambah wawasan bagi penulis.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu
Setelah penulis melakukan tinjauan kajian terdahulu, penulis
mendapatkan beberapa buku, jurnal, dan artikel dari internet yang
berhubungan dengan penyandang disabilitas rungu, melalui pendekatan
komprehensif.
Penulis juga melakukan tinajaun kajian terdahulu dari beberapa
skripsi terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan yang telah
diuraikan pada latar belakang masalah, khususnya mengenai pemenuhan
hak-hak penyandang disabilitas.
1. Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Bidang
Ketenagakerjaan Di Kota Semarang (Implementasi Perda Jawa
Tengah No. 11 Tahun 2014 Tentang Pemenuhan Hak
Penyandang Disabilitas). Oleh Dessy Grestika Ratna. Jurusan
Departemen Administrasi Publik. Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Diponegoro. Lulusan 2018. Skripsi ini
berlatar belakang mengenai implementasi pemenuhan hak
penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan di Kota
Semarang. Dimana kesempatan kerja bagi penyandang
disabilitas di Kota Semarang masih minim. Penyandang
disabilitas di Kota Semarang masih merasa „dianaktirikan‟ dan
8
belum bisa menikmati hak-hak sebagaimana mestinya. Mereka
menganggap masih ada diskriminasi, khususnya saat harus
bersaing untuk memperoleh pekerjaan. Dalam skripsi ini,
peneliti lebih fokus kepada implementasi kebijakan pemenuhan
hak penyandang disabilitas pada bidang ketenagakerjaan.
Berbeda dengan penelitian yang akan diteliti oleh penulis,
penulis akan meneliti tentang Aksi Sosial Gerkatin untuk
Kesetaraan Hak Penyandang Disabilitas Rungu.
2. Kinerja Pekerja Sosial Dalam Advokasi Anak Yang
Berhadapan Dengan Hukum di Yayasan Lembaga
Perlindungan Anak (YLPA) Daerah Istimewa Yogyakarta.
Oleh Muhammad Iqbal Hendrawan. Jurusan Ilmu
Kesejahteraan Sosial. Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lulusan 2014. Skripsi ini
berlatar belakang seorang anak memerlukan pembinaan dan
perlindungan yang khusus dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara
seimbang. Anak berhak mendapatkan pemenuhan haknya,
tanpa terkecuali anak yang sedang berhadapan dengan hukum
yang juga harus mendapatkan haknya sebagai anak. Disamping
itu peran lembaga sosial dan pekerja sosial merupakan ujung
tombak dalam pelaksanaan pelayanan kesejahteraan sosial.
Dalam skripsi ini peneliti lebih fokus kepada kinerja pekerja
sosial dalam advokasi anak, berbeda dengan penelitian yang
akan diteliti oleh penulis, penulis akan meneliti tentang Aksi
Sosial Gerkatin untuk kesetaraan hak disabilitas rungu.
3. Akses Infromasi Perempuan Penyandang Disabilitas Rungu
Mengenai Kesehatan Reproduksi (Studi Deskriptif pada
anggota Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia
GERKATIN). Oleh Desrellita Amantha Putri. Jurusan
Kesejahteraan Sosial. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Indonesia. Lulusan 2014. Skripsi ini membahas
9
akses infromasi perempuan penyandang disabilitas rungu
mengenai kesehatan reproduksi yang dilakukan oleh
GERKATIN. Akses informasi yang dibahas dalam penelitian
ini mengenai komponen akases informasi dan faktor-faktor
pendukung dan penghambat penyampaian informasi. Dalam
penelitian ini penulis lebih fokus kepada akses informasi
kesehatan reproduksi untuk perempuan penyandang disabilitas
rungu. Berbeda dengan penulis, penulis akan meneliti tentang
Aksi Sosial untuk kesetaraan hak penyandang disabilitas rungu.
Persamaannya terletak pada tempat penelitian.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang dipakai pada penelitian ini yaitu studi
kasus. Menurut Taylor dalam (Moleong 2005,4) penelitian kualitatif
adalah sebagai prosedur sebuah penelitian yang menghasilkan data
deskriptif, berupa kata tertulis atau lisan dari orang atau perilaku yang
diamati. Menurut Kirk dan Miller penelitian kualitatif adalah
kebiasaan tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara
fundamental bergantung pada pengamatan manusia serta berhubungan
dengan orang-orang tersebut dalam bahasannya dan dalam
peristilahannya.
Pendekatan penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk
membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-
fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu. Pendekatan ini juga
bertujuan untuk mendapatkan pemahaman bersifat umum yang
diperoleh setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang
menjadi fokus penelitian, kemudian ditarik kesimpulan berupa
pemahaman umum tentang kenyataan-kenyataan tersebut (Moleong
2002,157).
10
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian studi kasus. Studi kasus adalah
salah satu metode penelitian ilmu-ilmu sosial. Studi kasus sebagai
salah satu jenis pendekatan deskriptif adalah penelitian yang dilakukan
secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu individu atau
suatu lembaga tertentu. Secara umum, studi kasus merupakan strategi
yang lebih cocok bila pokok pertanyaan berkenaan dengan bagaimana
dan mengapa, metode penelitian studi kasus secara khusus menyelidik
fenomena kontemporer (sedang berlangsung atau telah berlangsung)
yang terdapat dalam konteks kehidupan nyata (Robert K Yin 2004,1)
Kasus sebagai objek penelitian studi kasus digunakan untuk
memberikan contoh pelajaran dari adanya sutau perlakuan dalam
konteks tertentu. Kasus yang dipilih dalam penelitian studi kasus harus
dapat menunjukkan terjadinya perubahan atau perbedaan yang
diakibatkan oleh adanya perilaku terhadap konteks yang diteliti. Dalam
penelitian studi kasus sumber data yang lengkap menjadi hal penting
untuk mengungkapkan fakta dibalik kasus yang diteliti. Sehingga
dalam pelaksanaan penelitian, peneliti tidak hanya menggunakan
sumber data dari subjek penelitian saja tetapi juga menggali data dari
sumber-sumber yang mengetahui permasalahan kasus (Imam Gunawan
2013,116). Penelitian kualitatif tidak dibatasi pada kategori-kategori
tertentu, sehingga memungkinkan peneliti untuk mempelajari dan
menemukan isu-isu tertentu secara mendalam terkait dengan masalah
yang diteliti. Penelitian ini tidak berusaha untuk memanipulasi setting
penelitian. Data dikumpulkan dari latar yang alami (natural setting)
sebagai sumber data langsung. Selain itu, permasalahan yang akan
dibahas tidak berkenaan dengan angka-angka seperti pada penelitian
eksperimen maupun kuantitatif, melainkan study secara mendalam
terhadap suatu fenomena dengan mendeskripsikan masalah secara
terperinci dan jelas berdasarkan data yang diperoleh sesuai dengan
fokus penelitian. Adapun masalah yang diambil dalam penelitian ini
adalah bagaimana aksi sosial yang dilakukan GERKATIN Jakarta
11
untuk kesetaraan hak penyandang disabilitas rungu dan tantangan
GERKATIN Jakarta dalam menjalankan aksi sosial untuk kesetaraan
hak penyandang disabilitas rungu.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling
strategis dalam penelitian, karena tinjauan utama dari penelitian adalah
mendapatkan data (Sugiyono 2009,62). Berhubungan dengan
penelitian studi kasus yang dipakai peneliti, maka peneliti
menggunakan empat sumber bukti yang dapat dijadikan fokus
penelitian yaitu wawancara mendalam, observasi langsung,
dokumentasi dan rekaman arsip (Robert K Yin 2004, 103-118) :
a. Wawancara mendalam atau wawancara intensif kebanyakan
tidak terstruktur. Dengan tujuan untuk mendapatkan data yang
mendalam. Wawancara merupakan salah satu sumber informasi
terpenting dalam studi kasus. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan wawancara studi kasus bertipe open-ended yang
berarti peneliti dapat bertanya kunci fakta-fakta atau peristiwa
disamping opini mereka mengenai peristiwa yang ada. Peneliti
akan mewawancarai lima narasumber yang berhubungan
dengan penelitian, diantaranya sumber utama adalah Bapak
Bambang Prasetyo Ketua Umum GERKATIN Jakarta, Ibu
Juniati Effendi Wakil Ketua Umum GERKATIN Jakarta,
Wilma Redjeki Wakil Sekretaris Umum GERKATIN Jakarta,
Siti Rodiah Wakil GERKATIN Kepemudaan, Laura Lesmana
Ketua PUSBISINDO. Pada tahapan ini dalam menghimpun
data ialah melakukan wawancara mengenai aksi sosial
GERKATIN Jakarta untuk kesetaraan hak penyandang
disabilitas rungu. Peneliti melakukan wawancara terkait aksi
sosial GERKATIN mengenai aksesibilitas dan BISINDO.
Tabel.01 Theoritical Sampling
No Informan Jenis Data Jumlah Metode
1 Bambang Profil
12
Prasetyo GERKATIN,
Sejarah
GERKATIN,
Visi Misi
GERKATIN,
Aksi sosial
GERKATIN
tentang RPP
Disabilitas,
Aksesibilitas,
dan BISINDO.
1
Wawancara,
Studi
Dokumentasi
No Informan Jenis Data Jumlah Metode
2 Juniati
Effendi
Aksi sosial
GERATIN
mengenai
perekrutan Juru
Bahasa Isyarat.
1
Wawancara,
Studi
Dokumentasi
3 Wilma
Redjeki
Struktur
organisasi
GERKATIN
Jakarta.
Penjelasan
tentang
BISINDO.
1
Wawancara,
Studi
Dokumentasi
4 Siti Rodiah Aksi sosial
GERKATIN
terkait
aksesibilitas
(fasilitas
publik), dan
BISINDO.
1
Wawancara,
Studi
Dokumentasi,
Rekaman
13
Tentang RPP
Disabilitas dan
Faktor
penghambat dan
pendukung aksi
sosial
GERKATIN
untuk
kesetaraan hak
disabilitas
rungu.
arsip
5 Laura
Lesmana
Aksi sosial
GERKATIN
tentang
BISINDO,
BISINDO
sebagai mata
kuliah
Universitas
Indonesia.
1
Wawancara,
Studi
Dokumentasi
b. Observasi Langsung yaitu melakukan pengamatan langsung
untuk memperoleh data yang diperlukan. Data yang diperlukan
tersebut terkait dengan persoalan yang diangkat oleh peneliti.
Observasi juga merupakan teknik pengumpulan data yang
sering digunakan untuk jenis penelitian kualitatif. Bukti
observasi seringkali bermanfaat untuk memberikan informasi
tambahan tentang topik yang akan diteliti. Melalui metode ini
peneliti mengamati langung, merekam hasil wawancara,
berfoto dengan narasumber yaitu Bambang Prasetyo Ketua
Umum GERKATIN, Ibu Juniati Effendi Wakil Ketua Umum
GERKATIN Jakarta, Ibu Wilma Redjeki Wakil Sekretaris
14
GERKATIN Jakarta, Siti Rodiah Wakil GERKATIN
Kepemudaan, Laura Lesmana Ketua PUSBISINDO mencatat
hal-hal yang berkaitan dengan aksi sosial GERKATIN untuk
kesetaraan hak penyandang disabilitas rungu. Dengan adanya
observasi membuat peneliti lebih mengetahui objek, kondisi
dan bagaimana terjadinya aksi sosial GERKATIN untuk
kesetaraan hak disabilitas rungu. Sesuai observasi yang
dilakukan peneliti mengenai GERKATIN, semua pengurus
GERKATIN adalah Tuli. Selain itu, untuk aksesibilitas bagi
orang Tuli juga belum sepenuhnya terpenuhi terutama dalam
fasilitas umum. Dalam observasi yang peneliti lakukan untuk
mewujudkan BISINDO sebagai bahasa yang setara,
GERKATIN membuka kelas isyarat di beberapa tempat antara
lain: Balai kota Jakarta, ACE PPKM, Kopi Tuli, dan
Universitas Indonesia.
c. Dokumentasi yaitu pengambilan data yang diperoleh melalui
foto bersama informan. Dokumentasi sendiri berperan sebagai
penguat informasi dari hasil wawancara ataupun dari observasi
yang dilakukan oleh peneliti selama penelitian berlangsung dari
awal hingga akhir penelitian. Informasi yang peneliti peroleh
dari dokumentasi merupakan penggambaran dari apa yang
peneliti amati, telusuri, dan didapatkan secara sengaja guna
mendokumentasikan perjalanan seperti foto lokasi penelitian,
foto bersama informan, foto kegiatan-kegiatan aksi sosial
GERKATIN tentang aksesibilitas dan BISINDO. Dalam studi
kasus, penggunaan dokumen penting untuk mendukung dan
menambah bukti dari sumber-sumber lain.
d. Rekaman arsip yaitu peneliti merekam aspek-aspek yang
berkenaan dengan penelitian seperti gambar-gambar yang dapat
dijadikan informasi atau data, merekam setting fisik atau
tempat, peristiwa khusus dan kegiatan-kegiatan terkait dengan
penelitian ini.
15
4. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di Kantor Sekretariat GERKATIN
Jakarta yang beralamatkan di Jl. Ranco Indah Dalam No. BC Tanjung
Barat – Jakarta Selatan. Waktu pelaksanaan penelitian ini dimulai dari
Maret 2108 sampai November 2019.
5. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah Gerakan untuk Kesejahteraan
Tuna Rungu (GERKATIN) Jakarta. Sedangkan objek penelitiannya
terfokus kepada pengurus Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu
(GERKATIN) Jakarta.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, dan dokumentasi,
dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan
kedalam unit-unit, menyusun kedalam pola, memilih mana yang lebih
penting dan yang akan di pelajari, dan membuat kesimpulan sehingga
dapat dengan mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain
(Sugiyono 2010,244).
Setelah data yang diperlukan terkumpul, tahapan selanjutnya
adalah menyusun data secara sistematis sesuai dengan rumusan
masalah dan tujuan masalah. Analisa yang dilakukan dalam penelitian
ini adalah analisis deskriptif dimana peneliti lebih dahulu memaparkan
semua data yang diperoleh dari berbagai sumber data yang peneliti
dapat. Sesuai dengan metodologi studi kasus yang dipakai peneliti,
dalam menganalisis data studi kasus peneliti juga memaparkan hasil
data yang didapat sesuai dengan empati point yaitu wawancara
mendalam, observasi, dokumentasi, dan rekaman arsip.
F. Keabsahan Data
Pemeriksaan terhadap keabsahan data pada dasarnya selain
digunakan untuk menanggah balik yang dituduhkan kepada penelitian
16
kualitatif yang mengatakan tidak ilmiah, juga merupakan sebagai unsur
yang tidak terpisahkan dari tubuh pengetahuan penelitian kualitatif
(Moleong 2007,320) .
Keabsahan data dilakukan untuk membuktikan apakah penelitian
yang dilakukan benar-benar merupakan penelitian ilmiah sekaligus untuk
menguji data yang diperoleh. Uji keabsahan data dalam penelitian
kualitatif meliputi uji, credibility, transferability, dependability, dan
confirmability (Sugiyono 2010,270).
Teknik triangulasi yang digunakan dalam pengambilan data dengan
wawancara menggunakan triangulasi teknik dan triangulasi sumber. Proses
ini dilakukan guna menghasilkan informasi yang memiliki tingkat
kredibilitas yang tinggi dan dapat menggambarkan informasi yang
sesungguhnya terjadi di dalam ruang interaksi.
1. Triangulasi sumber dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai
pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan
berbagai waktu. Triangulasi sumber, yaitu untuk menguji data yang
ada. Maka dilakukan pada Ketua Umum GERKATIN, Wakil Umum
GERKATIN, Sekretaris GERKATIN, dan dua orang pengurus
GERKATIN. Dari lima sumber data tersebut kemudian dideskripsikan,
dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, yang berbeda, dan yang
spesifik. Data yang telah dianalisis oleh peneliti sehingga menghasilkan
kesimpulan kemudian diminta kesepakatan (member check) dengan
kelima sumber data tersebut.
2. Triangulasi teknik dalam pengujian kredibilitas data dilakukan dengan
cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang
berbeda. Misalnya, data diperoleh dengan wawancara akan dicek
dengan teknik observasi, dan dokumentasi. Bila dengan berbagai
pengujian kredibilitas data tersebut menghasilkan data yang berbeda-
beda, maka peneliti melakukan diskusi lebih lanjut keada sumber data
yang bersangkutan atau yang lain, untuk memastikan yang dianggap
benar.
17
G. Landasan Teori
Aksi sosial merupakan upaya untuk menggerakan warga masyarakat
untuk mendapatkan atau penciptakan sumber-sumber dalam memenuhi
kebutuhan. Menurut (Abu Ahmad 1990,256) dalam kamus sosiologi
menjelaskan bahwa aksi sosial (social action) adalah aksi yang dilakukan
oleh pribadi dalam situasi sosial dan tertuju pada suatu kelompok sebagai
tindakan yang terorganisasi dengan tujuan untuk mengadakan reformasi
dengan aspek perilaku manusia yang dapat diperhitungkan dari sudut
kebudayaan.
Wickendon, E (1956) menjelaskan aski sosial dibidang pekerjaan
sosial adalah proses usaha individu, kelompok, ataau antar kelompok,
dalam konteks filosofi, pengetahuan, dan keterampilan pekerjaan sosial.
Pendekatan aksi sosial didasari suatu pandangan bahwa masyarakat adalah
sistem klien yang sering kali menjadi “korban” ketidakadilan struktur.
Aksi sosial berorientasi pada tujuan proses dan tujuan hasil. Masyarakat
diorganisir melalui penyadaran, pemberdyaan dan tindakan aktual untuk
mengubah struktur kekuasaan agar lebih memunuhi prinsip demokrasi,
kemerataan dan keadilan.
H. Sistematika Penulisan
BAB I : Dalam bab ini terdapat latar belakang masalah,
pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian, sistematika penulisan.
BAB II : Dalam bab ini terdapat landasan teori mengenai pokok
pembahasan meliputi definisi aksi sosial, tujuan dan sarana
aksi sosial, jenis-jenis aksi sosial, teknik penerapan aksi
sosial, pengaruh aksi sosial terhadap masyarakat,
pengertian disabilitas, jenis-jenis disabilitas, hak-hak
disabilitas.
18
BAB III : Gambaran Umum Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna
Rungu Indonesia GERKATIN Jakarta, Sejarah Singkat,
Visi, Misi, Fungsi, Kegiatan, dan Struktur Organisasi.
BAB IV : Menjelaskan data dan temuan penelitian bagaiamana Aksi
Sosial Gerkatin untuk Kesetaraan Hak Penyandang
Disabilitas Rungu dan hambatan-hambatan Aksi Sosial
GERKATIN untuk kesetaraan hak disabilitas rungu
(pemaparan hasil pengamatan dan wawancara dengan
sumber primer pendukung, gambaran aksi sosial yang
dilakukan GERKATIN).
BAB V : Dalam bab ini terdapat uraian mengenai latar belakang
masalah penelitian, teori, dan rumusan teori baru dari
penelitian.
BAB VI : Penutup.
Kesimpulan, Implikasi dan Saran.
19
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Aksi Sosial
1. Pengertian Aksi Sosial
Aksi Sosial merupakan upaya untuk menggerakkan warga
masyarakat untuk mendapatkan atau menciptakan sumber-sumber
dalam memenuhi kebutuhan. Pekerja sosial berupaya membimbing
agar warga masyarakat menyadari akan kekurangan, memahami
potensi-potensi atau sumber-sumber yang dimilikinya dan berupaya
mengatasi masalah secara bersama.
Aksi sosial adalah suatu kegiatan yang terkoordinasikan untuk
mencapai tujuan perubahan kelembagaan dalam rangka memenuhi
kebutuhan, memecahkan masalah, mengoreksi ketidakadilan atau
meningkatkan kualitas hidup manusia. Terjadi atas inisiatif dari tenaga
profesional di bidang kesejahteraan sosial, ekonomi, politik, agama,
militer, orang-orang yang secara langsung terkena masalah. Aksi sosial
adalah usaha-usaha untuk mengadakan perubahan atau pencegahan
terhadap praktek dalam situasi sosial yang telah ada didalam
masyarakat melalui pendidikan, propaganda, persuasi atau pertukaran
melalui tujuan yang dianggap baik oleh perencana aksi sosial. Tujuan
dan sasaran aksi sosial adalah perubahan fundamental kelembagaan
dan struktur masyarakat melalui proses pendistribusian kekuasaan,
sumber dan pengambilan keputusan. (Drs. Hudri : Ensiklopedia Mini
Pekerjaan Sosial).
Menurut pandangan para ahli, Aksi Sosial juga dapat didefinisikan
melalui dua cara antara lain:
a. Aksi sosial secara etimologi
Aksi adalah kegiatan, tindakan, perilaku, perbuatan yang
mempunyai tujuan atau maksud tertentu. Sedangkan sosial adalah
segala sesuatu mengenai masyarakat yang peduli terhadap kepentingan
20
umum berkenaan dengan perilau interpersonal atau yang berkaitan
dengan proses sosial (J.P. Chaplin 1981,112).
b. Aksi sosial secara terminologi
Aksi sosial adalah usaha untuk mengadakan perubahan atau
mencegah terjadinyna perubahan “terhadap praktek” atau situasi sosial
yang telah ada dalam masyarakat melalui pendidikan, propaganda,
persuasi atau tekanan untuk mencapai tujuan yang dianggap baik oleh
perencanaan sosial. Menurut Abu Ahmad (1990) dalam kamus
sosiologi menjelaskan bahwa aksi sosial (social action) adalah aksi
yang dilakukan oleh pribadi dalam situasi sosial dan tertuju pada suatu
kelompok sebagai tindakan yang terorganisasi dengan tujuan untuk
mengadakan reformasi dengan aspek perilaku manusia yang dapat
diperhitungkan dari sudut kebudayaan.
Pendekatan aksi sosial didasari suatu pandangan bahwa masyarakat
adalah sistem klien yang sering kali menjadi “korban” ketidakadilan
struktur. Aksi sosial berorientasi pada tujuan proses dan tujuan hasil.
Masyarakat diorganisir melalui penyadaran, pemberdayaan dan
tindakan aktual untuk mengubah struktur kekuasaan agar lebih
memunuhi prinsi demokrasi, kemerataan dan keadilan. Sedangkan aksi
sosial menurut Lee, Porter (1937,118) dalam Paper Social Work
Methods By Renuka Kumar adalah menyarankan upaya yang diarahkan
pada perubahan hukum atau struktur aksi sosial atau ke arah inisiasi
gerakan baru untuk modifiasi praktik sosial saat ini.
Wickendon, E (1956,119) dalam Paper Social Work Methods By
Renuka Kumar menjelaskan aksi sosial di bidang pekerjaan sosial
adalah proses usaha individu, kelompok, atau antar kelompok, dalam
konteks filosofi, pengetahuan, dan keterampilan pekerjaan sosial.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui modifikasi kebijakan sosial dan berfungsinya struktur sosial
yang berfungsi untuk memperoleh kemajuan dan layanan baru.
21
2. Tujuan dan Sasaran Aksi Sosial
Tujuan dan sasaran aksi sosial adalah perubahan fundamental
dalam kelembagaan dan struktur masyarakat melalui proses
pendistribusian kekuasaan, sumber dan pengambilan keputusan.
Pendekatan aksi sosial didasari suatu pandangan bahwa masyarakat
adalah sistem klien yang sering kali menjadi “korban” ketidakadilan
struktur. Aksi sosial berorientasi pada proses dan tujuan hasil.
Masyarakat diorgasnisir melalui penyadaran, pemberdayaan dan
tindakan aktual untuk mengubah strukutr kekuasaan agar lebih
memenuhi prinsip demokrasi, kemerataan dan keadilan.
3. Proses Aksi Sosial
Lees mengatakan langkah pertama dalam proses aksi sosial adalah
membuat orang sadar tentang masalah sosial dan situasi-situasi yang
bertanggung jawab atas masalah ini. Langkah selanjutnya adalah
mengembangkan agen yang akan menangani situasi. Ini akan
mempersiapkan strategi untuk menyelesaikan masalah dan kemudian
mengusahakan partisipasi orang untuk mencapai tujuan.
Lees telah mengkategorikan tiga jenis strategi untuk aksi sosial:
a. Kolaborasi pekerja sosial atau pekerja agen bekerja sama dengan
para pemimpin lokal untuk fokus pada kebijakan sosial yang ada
dan mencari cara untuk memperbaikinya. Asumsi dasar dari
pendekatan ini adalah homogenitas nilai dan kepentingan, dimana
persetujuan substantif terhadap proposal dapat diperoleh.
b. Persaingan dalam strategi ini pihak yang bertikai menggunakan
taktik kampanye yang diterima secara umum untuk membujuk,
untuk bernegosiasi dan untuk tawar menawar, dengan keinginan
untuk mencapai kesepakatan kerja.
c. Gangguan strategi ini menandakan pendekatan yang lebih militan
dan mungkin termasuk pemogokan, boikot, puasa, penolakan
pajak, aksi damai dll. Richard Brynt dalam Lees mengatakan dua
strategi tawar menawar dan konfrontasi. Tawar menawar berarti
22
melobi, mengajukan petisi, kampanye informasi dan publisitas, dll.
Sedangkan konfrontasi mencakup pemogokan, demonstrasi, dan
aksi damai.
4. Model Aksi Sosial
Britto telah mengidentifikasi dua jenis aksi sosial:
1. Tindakan diprakarsai dan dilakukan oleh klien untuk kepentingan
massa.
2. Aksi Sosial populer. Britto mengidentifikasi tiga sub-model dari
setiap jenis aksi sosial. Dalam model pertama ia menyebutkan
jenis-jenis berikut:
a. Model tindakan legislatif: dalam model ini klien mencoba
memodifikasi kebijakan sosial yang membuat publik menentang
masalah.
b. Model sanksi: klien dengan mendapatkan kontrol atas beberapa
senjata ekonomi, sosial, politik, atau agama mencoba untuk
mendapatkan manfaat bagi masyarakat.
c. Model fisik langsung: mengambil tindakan dan menghukum
mereka yang bertanggung jawab atas penyebab ketidakadilan.
Tipe sosial kedua memiliki tiga sub-model berikut:
b. Model penyadaran berdasarkan konsep Paulo Friere tentang
menciptakan kesadaran di antara massa melalui pendidikan.
c. Model dialektika mempromosikan konflik untuk
mengeksploitasi kontradiksi dalam suatu sistem dengan
keyakinan bahwa sistem yang lebih baik akan muncul sebagai
hasilnya.
d. Mobilisasi langsung dimana isu-isu spesifik diambil oleh para
aktivis dan massa dimobilisasi untuk menggunakan protes dan
pemogokan unntuk mencapai tujuan.
23
5. Aksi Sosial : Sebuah Metode Kerja Sosial
Setiap profesi memiliki pengetahuan yang teruji, yang meliputi
prinsip, teknik, metode, prosedur, alat, dan terminologi sendiri. Hal
yang sama berlaku dengan pekerjaan sosial profesional. Pekerjaan
sosial memiliki enam metode bekerja dengan orang-orang (kerja kasus,
kerja kelompok, organisasi komunitas, aksi sosial, administrasi
kesejahteraan sosial dan penelitian pekerjaan sosial). Metode-metode
ini adalah teknik yang memungkinkan orang-orang untuk berfungsi
sosial yang lebih baik. Tindakan sosial, sebagai metode praktik kerja
sosial profesional, adalah upaya terorganisir untuk mengubah atau
meningkatkan institusi sosial dan ekonomi melalui organisasi dan
mobilisasi masyarakat. Tidak seperti metode kerja sosial lainnya, aksi
sosial menekankan pada perubaan penting jangka panjang dalam
institusi sosial yang mapan. Aksi sosial mencakup gerakan reformasi
sosial, agama, dan politik, legislasi sosial, keadilan sosial dan rasial,
hak asasi manusia, kebebasan dan kebebasan sipil. Sebelumnya,
tindakan sosial dianggap sebagai alat dalam bidang organisasi
masyarakat, tetapi sekarang ini telah dianggap sebagai teknik kerja
sosial yang terpisah dan sebagai proses keempat (Siddiqui 1984,58).
Metode kerja sosial profesional adalah teknik atau pendekatan
yang memiliki karakteristik seperti: proses yang mapan dengan
tahapan yang mudah dikenali, berdasarkan pada filsafat kerja sosial,
memiliki prinsip atau pedoman atau teori, keterampilan bekerja dengan
orang yang dipelajri dan disempurnakan melalui profesional
bimbingan. Proses tindakan sosial, melewati tahap-tahap yang dapat
dikenali dan sistemasi. Pertama-tama, analisis ilmiah atau penelitian
tentang masalah sosial yang mempengaruhi masyarakat. Kemudian,
kesadaran dihasilkan mengenai berbagai aspek masalah dan orang-
orang didorong untuk megambil tindakan kolektif dan kolaboratif
untuk memecahkan masalah. Tahap ketiga berpusat pada
pengorganisasian orang-orang untuk intervensi terkoordinasi dan
terarah di tahap selanjutnya strategi yang cocok dikembangkan untuk
24
mencapai tujuan dan tindakan terakhir yang diambil. Setiap proses aksi
sosial melewati tahap-tahap ini dan pekerja sosial atau aktivis
profesional dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan dalam berbagai tahap.
Metode dari pekerjaan sosial, tindakan sosial memang memiliki
prinsip-prinsip tertentu. Pertama, masyarakat harus memiliki
keyakinan dan keyakinan pada pekerja sosial (prinsip membangun
kredibilitas). Aksi sosial atau pekerja sosial harus membuat orang
percaya bahwa tindakan mereka untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan adalah sah. Strategi tertentu yang diadopsi sepeerti slogan,
pidato-pidato emosional yang kuat, akasi unjuk rasa menciptakan efek
dramatis dalam aksi sosial. Tindakan sosial tidak bergantun pada
strategi tunggal, melainkan mengadopsi berbagai cara dan saran untuk
mencapai tujuan. Tindakan sosial tidak terbatas pada satu aspek dari
masalah sosial. Sebaliknya, menekankan pada program yang memiliki
aspek multi-cabang seperti sosial, ekonomi, budaya, dll. Pekerja sosial
atau aktivis, selama aksi sosial memanfaatkan prinsip-prinsip ini untuk
mencapai tujuan keseluruhan keadilan sosial. Tindakan sosial memiliki
serangkaian tujuan dan sasaran yang pasti. Tujuan tindakan sosial
adalah redistribusi berkaitan dengan sumber daya dan kekuasaan untuk
memberikan keadilan sosial bagi semua. Tujuannya adalah
pembentukan dan pengembangan lingkungan sosial budaya yang tepat
dimana kehidupan yang lebih kaya dan lebih penuh dimungkinkan
bagi semua warga negara. Tindakan sosial bertujuan untuk mencegah
kebutuhan, solusi masalah massa, perbaikan dalam kondisi massa,
mempengaruhi intitusi, kebijakan dan praktik pengenalan mekanisme
atau program baru, redistribusi kekuasaan, sumber daya (manusia,
material dan moral) dan peningkatan kesehatan, pendidikan dan
kesejahteraan. Tindakan sosial menggunakan strategi dan taktik
tertentu sebagai alat untuk mencapai tujuannya yang membuat berbeda
dari metode kerja sosial lainnya. Mereka adalah negosiasi, persuasi,
kompetisi, gangguan, kolaborasi, tawa-menawar, penolakan pajak,
25
tindak pencegahan, pawai, dll. Dapat ditekankan lagi bahwa kekerasan
dan penumpahan darah sama sekali tidak termasuk dalam strategi yang
digunakan untuk menghadapi pihak berwenang.
Pekerja sosial yang mempraktikkan aksi sosial sangat memahami
keterampilan tertentu yang dikembangkan melalui pengajaran dan
pelatihan. Mereka memiliki keterampilan membangun hubungan,
analisis objektif dari situasi sosial dan masalah, pengetahuan dan
kemampuan untuk menggunakan metode lain dari pekerjaan sosial
seperti kerja kasus, kerja kelompok, administrasi kesejahteraan sosial
secara memadai dan tepat. Para pekerja sosial memang memiliki
kemampuan untuk menggunakan hubungannya dengan klien dan
masyarakat secara konstruktif. Hubungan ini dicirikan oleh
objektivitas dan kerahasiaan di satu sisi dan kepekaan dan kehangatan
di sisi lain. Para pekerja sosial telah menguasai teknik perencanaan
program, organisasi, koordinasi dan keterampilan administratif dan
manajerial. Tindakan sosial adalah metode kerja sosial yang digunakan
untuk setiap unit masyarakat yang lebih besar dari komunitas yang
didefinisikan secara sosiologis, ini adalah upaya terorganisir untuk
mengubah atau meningkatkan institusi sosial dan ekonomi,
sebagaimana dibedakan dari metode-metode kerja sosial lainnya, yang
tidak secara khusus mencakup perubahan-perubahan penting dalam
lembaga-lembaga yang didirikan melalui konfrontasi dengan pihak
berwenang. Dapat digambarkan sebagai upaya kelompok yang
terorganisir untuk memecahkan masalah massa atau untuk tujuan yang
lebih diinginkan secara sosial dengan mencoba mempengaruhi atau
mengubah kondisi dan praktik sosial dan ekonomi dasar, selalu
melibatkan tekanan publik dalam satu bentuk atau yang lain. Namun,
itu tidak menyetujui pemaksaan fisik atau kekerasan fisik. Tujuan lai
dari aksi sosial adalah perumusan atau perubahan dalam undang-
undang sosial yang ada. Begitu undang-undang mulai berlaku
implementasinya ditingkat bawah adalah tugas penting dari para
aktivis sosial atau pekerja sosial. Dengan demikian kita melihat bahwa
26
tindakan sosial, sebagai metode profesi pekerjaan sosial adalah alat
yang kuat untuk membawa perubahan positif dalam sistem sosial
untuk perbaikan massa (Siddiqui 1984,59).
B. Disabilitas
1. Pengertian Disabilitas
Menurut David Pfeiffer dalam Jurnal Difabel yang ditulis oleh
(Ro‟fah 2015,148) disabilitas sebagai bagian wajar dari kehidupan
manusia, bukan merupakan deviant atau penyimpangan, dan setap individu
mempunyai kesempatan yang sama untuk mengalami disabilitas baik
secara temporer ataupun permanen.
Sedangkan menurut Coleridge, Peter melalui World Health Organization
(WHO) mengemukakan definis difabel yang berbasis pada model sosial
seperti berikut:
a. Impairment (kerusakan/kelemahan) yaitu ketidaklengkapan atau
ketidaknormalan yang disertai akibatnya terhadap fungsi tertentu.
Misalnya, tidak lengkapnya salah satu bagian tubuh seperti kaki akibat
kecelakaan mengakibatkan ketidakmampuan berjalan secara normal.
b. Disability/handicap atau cacat/ketidakmampuan adalah kerugian atau
keterbatasan dalam aktivias tertentu sebagai akibat faktor-faktor sosial
yang hanya sedikit atau sama sekali tidak memperhitungkan orang-
orang yang menyandang “kerusakan/kelemahan” tertentu dan
karenanya mengeluarkan prang-orang itu dari arus aktivitas sosial.
Istilah Difabel merupakan kepanjangan dari ”differently abled”
(perbedaan kemampuan). Difabel ini merupakan tema bar yang
digagas untuk menggantikan istilah “penyandang cacat” (Coleridge,
Peter 1997,132).
Definisi disabilitas menurut UU RI Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas menjelaskan bahwa penyandang disabilitas
adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual,
mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam
27
berinteraksi dengan lingkungan dan mengalami hambatan dan
kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga
negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Adapun pengertian disabilitas yang dikemukakan oleh Disabled
People’s International (DPI) dalam Jurnal Disabilitas Sebuah
Pengantar ditulis oleh (Kusuma 2007,105) yaitu hilangnya atau
terbatasnya kesempatan untuk mengambil bagian dalam kehidupan
normal di dalam masyarakat dan tingkat yang sama dengan yang lain
dikarenakan halangan fisik dan sosial.
2. Pengertian Tunarungu
Dijelaskan dalam Panduan pelaksanaan komunikasi total bagi
orang dengan kecacatan rungu wicara (Kementrian Sosial 2010,6)
bahwa orang dengan kecacatan rungu wicara adalah seseorang yang
menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai ganguan pada fungsi
pendengaan dan bicara, sehingga tidak dapat melakukan komunikasi
secara normal.
Tunarungu diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan
pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap
berbagai rangsangan, terutama mealui indera pendengarannya (T.
Sutjihati 2006,93).
1. Klasifikasi Tuna Rungu
Ada beberapa jenis gangguan pendengaran, tergantung dari suatu
pendengaran yang dijelaskan oleh (I Ketut Suaja 2003, 16-18) :
2) Berdasarkan bagian alat pendengaran yang mengalami
kerusakan, jenis gangguan pendengaran dapat dibagi
menjadi:
a) Tuna Rungu Konduksi (conduction deafness)
Telinga bagian luar dan tengah mengalami kerusakan.
Getaran-getaran udara tidak ditangkap oleh membrane
tympani dan getaran suara tidak dapat mencapai syaraf
pendengaran.
28
b) Tuna Rungu Perceptif (perceptife-lose-deafness)
Yang mengalami kerusakan ialah telinga bagian dalam,
sehingga serabut-serabut tidak dapat berfungsi. Akibatnya,
getaran-getaran suara tidak dapat diteruskan atau
disampaikan ke pusat syaraf pendengaran di otak. Mungkin
organ pendengaran bagian luar dan tengah normal tetapi
rangsangan suara (impulse) yang ditangkapnya tidak dapat
diteruskan ke otak.
c) Gejala Tuli Campuran (mixed-deafness)
Seluruh organ luar rusak, baik bagian luar, tengah maupun
dalam.
3) Berdasarkan tingkat gangguan yang dialami tuna rungu
dapat dibagi atas:
a. Tuna Rungu ringan (0-25 dB)
Penderita kelihatan normal pendengarannya, dapat
mengikuti sekolah seperti biasa, dapat mengobrol,
intensi, rytme, tekanan, kecepatan suara dengan baik
dan mimik normal.
b. Tuna Rungu ringan (30-40 dB)
Lip reading dan speech reading dikerjakan dengan baik
oleh si penderita, namun ia sedikit mengalami
kesukaran dalam menangkap pembicaraan tanpa
melihat pembicara dan daya pemahaman biasa dapat
diperbaiki dengan memakai alat bantu dengan-hearing-
aid.
c. Tuna Rungu sedang (40-60 dB)
Si penderita hanya dapat menangkap pembicaraan
melalui pendengarannya, kalau suara diperkeras. Daya
tanggap dan daya perhatian terhadap bahasa akan lebih
baik lagi bila dibantu oleh penglihatan dan peranan
hearing-aid dalam lip reading dan speech reading amat
penting.
29
d. Tuna Rungu berat (60-70 dB)
Kualitas suara masih dapat diperbaiki dengan latihan-
latihan dan memakai hearing-aid. Sebelum mendapat
pendidikan khusus, si penderita mengalami kesukaran
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
e. Tuli dan Tuli berat (70 dB dan lebih parah)
Si penderita tidak dapat menangkap bahasa lisan
maupun memakau hearing-aid. Pemakaian hearing-aid
tetap berguna dalam kaitan dengan efek psikologis dan
untuk pengembangan dirinya.
C. Kesetaraan
Kesetaraan berasal dari kata setara yang memiliki arti „sejajar‟,
„sederajat‟, „sama tingginya‟, „sama tingkatnya‟, „sepadan‟, atau
„seimbang‟ (Sugono et al., 2008, 1451). Kesetaraan, dengan demikian
berarti kesejajaran, kesederajatan, atau kesamaan. Kata kesetaraan secara
umum digunakan untuk menunjukkan keadaan yang sama, sejajar, atau
sebanding. Dalam kehidupan sosial yang dijelaskan oleh (Dadang
Supardan 2008,25) kesetaraan lazim digunakan untuk menggambarkan
keberadaan individu atau kelompok individu yang masing-masing
memiliki kedudukan serta hak dan kewajiban yang sama. Kehidupan sosial
yang setara adalah kehidupan yang individu dan kelompok individu di
dalamnya memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
Kesetaraan sosial adalah tata politik sosial dimana semua orang yang
berada dalam suatu masyarakat atau kelompok tertentu memiliki status
yang sama. Setidaknya, kesetaraan sosial mencakup hak yang sama di
bawah hukum, merasakan keamanan, memperoleh hak suara, mempunyai
kebebasan untuk erbicara dan berkumpul, dan sejauh mana hak tersebut
tidak merupakan hak-hak yang bersifat atau bersangkutan secara personal.
1. Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas
Dalam konvensi hak-hak penyandang disabilitas (Convention On The
Right Of Persons With Disabilites) terdapat penjelasan mengenai hak-hak
penyandang disabilitas. Dijelaskan dalam Pasal 1 Conventon On The
30
Rights Of Persons With Disabilites (CRPD), bahwa tujuan konvensi ini
adalah untuk memajukan, melindungi, dan menjamin penikmatan secara
penuh dan setara semua hak-hak manusia dan kebebasan fundamental oleh
semua penyandang disabilitas, dan untuk meningkatkan penghormatan
atas martabat yang melekat pada mereka. Penyandang disabilitas
mencakupi mereka yang memiliki penderitaan fisik, mental, intelektual,
atau sensorik dalam jangka waktu lama dimana interaksi dengan berbagai
hambatan dapat menyulitkan partisipasi penuh dan efektif dalam
masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.
a. Pasal 2
Definisi dalam tujuan konvensi ini adalah:
“Komunikasi” mencakupi bahasa, tayangan teks, Braille, komunikasi
tanda timbul, cetak besar, multimedia yang dapat diakses seperti juga
maupun bentuk-bentuk tertulis, audio, plain-language, pembaca-manusia
dan bentuk-bentuk, sarana dan format komunikasi tambahan maupun
alternatif lainnya, sarana termasuk informasi dan teknologi komunikasi
yang dapat diakses;
“Bahasa” mencakup bahasa lisan dan bahaasa isyarat serta bentuk-bentuk
bahasa non-lisan yang lain;
“Diskriminasi berdasarkan disabilitas” berarti setiap pembedaan
pengecualian, atau pembatasan atas dasar disabilitas yang bermaksud atau
berdampak pengurangan atau peniadaan pengakuan, penikmatan dan
pelaksanaan, atas dasar kesetaraan dengan manusia lainnya terhadap
semua hak-hak manusia dan kebebasan fundamental dalam bidang politik,
ekonomi, sosial, kebudayaan sipil, atau lainnya. Hal ini mencakupi semua
bentuk diskriminasi, termasuk penolakan atas pemberian akomodasi yang
patut;
“Akomodasi yang patut” berarti modifikasi dan penyesuaian yang harus
dan sesuai, dengan tidak memberikan beban tambahan yang tidak
proporsional atau tidak perlu dalam menghadapi kasus khusus, guna
menjamin penikmatan dan pelaksanaan semua hak-hak asasi manusia dan
kebebasan fundamental berdasarkan kesetaraan penyandang disabilitas.
31
“Desain universal” berarti desain produk, lingkungan, program-dan
pelayanan yang dapat digunakan oleh semua orang, semaksimal mungkin,
tanpa memerlukan suatu adaptasi atau rancangan khusus. “Desain
universal” tidak dapat mengesampingkan alat bantu bagi kelompok khusus
penyandang disabilitas pada saat diperlukan.
b. Pasal 3
Prinsip Umum dalam Convention On The Right Of Persons With
Disabilities (CRPD), Prinsip-prinsip Konvensi adalah sebagai berikut:
a. Penghormatan pada martabat yang melekat, otonomi individual,
termasuk kebebasan untuk menentuan pilihan, dan kemerdekaan
perseorangan;
b. Non-diskriminasi;
c. Partisipasi penuh dan efektif dan keikutsertaan dalam
masyarakat;
d. Penghormatan atas perbedaan dan penerimaan penyandang
disabilitas sebagai bagian dari keragaman manusia dan
kemanusiaan;
e. Kesetaraan kesempatan;
f. Aksesisbilitas;
g. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan;
h. Penghormatan atas kapasitas yang terus tumbuh dari
penyandang disabilitas anak dan penghormatan hak
penyandang disabilitas anak guna mempertahankan identitas
mereka.
c. Pasal 5
Persamaan dan Non-diskriminasi
1. Negara-Negara Pihak mengakui bahwa semua manusia adalah
sama di hadapan dan di bawah hukum dan berhak, tanpa
diskriminasi, untuk mendaatkan perlindungan dan manfaat
hukum yang sama.
2. Negara-Negara Pihak wajib mencegah semua diskriminasi
yang difundamentalkan disabilitas serta menjamin
32
perlindungan hukum yang sama dan efektif bagi penyandang
disabilitas terhadap diskriminasi dengan fundamental alasan
apa pun.
3. Dalam rangka memajukan persamaan dan menghapuskan
diskriminasi, Negara-Negara Pihak wajib mengambil langkah-
langkah yang layak untuk menjamin bahwa penyesuaian-
penyesuaian yang beralasan diberikan.
4. Langkah-langkah khusus yang diperlukan untuk mempercepat
atau mencapai persamaan bag penyandang disabilitas secara de
facto tidak boleh dianggap sebagai diskriminasi di bawah
Konvensi ini.
d. Pasal 9
Aksesibilitas
1. Agar penyandang disabilitas mampu hidup secara mandiri dan
berpartisipasi secara penuh dalam semua aspek kehidupan,
Negara-Negara Pihak wajib mengambil langkah yang tepat
untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas, atas dasar
kesamaan dengan warga lainnya, terhadap lingkungan fisik,
transportasi, informasi, dan komunikasi, termasuk sistem serta
teknologi informasi dan komunikasi, serta akses terhadap
fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka atau tersedia untuk
publik, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Langkah-
langkah wajib meliputi identifikasi dan penghapusan kendala
serta halangan terhadap aksesibilitas, wajib berlaku, inter alia :
a. Gedung-gedung, jalan-jalan, sarana transportasi, clan
fasilitas dalam dan luar ruang lainnya, termasuk
sekolah, perumahan, fasilitas medis, dan tempat kerja;
b. Informasi, komunikasi, dan layanan lainnya, termasuk
layanan elektronik dan layanan gawat darurat.
2. Negara-Negara Pihak wajib juga mengambil langkah-langkah
yang tepat untuk:
33
a. Mengembangkan, menyebarluaskan, dan memantau
pelaksanaan standar minimum dan panduan untuk
aksesibilitas terhadap fasilitas dan layanan yang terbuka
atau tersedia untuk publik;
b. Menjamin bahwa sektor swasta yang menawarkan
fasilitas dan layanan yang terbuka atau tersedia untuk
publik mempertimbangkan seluruh aspek aksesibilitas
bagi penyandang disabilitas;
c. Menyelenggarakan pelatihan bagi pemangku
kepentingan mengenai maslaah aksesibilitas yang
dihadapkan kepada penyandang disabilitas;
d. Menyediakan di dalam bangunan dan fasilitas lain yang
terbuka untuk publik, tanda-tanda dalam huruf Braille
dalam bentuk yang mudah dibawa dan dipahami;
e. Menyediakan bentuk-bentuk bantuan dan perantara
langsung, termasuk pemandu, pembaca, dan
penterjemah bahasa isyarat profesional untuk
memfasilitasi terhadap bangunan dan fasilitas lain yang
terbuka untuk publik;
f. Meningkatkan bentuk bantuan dan dukungan lain yang
tepat bagi penyandang disabilitas untuk mejamin akses
mereka terhadap informasi;
g. Memajukan akses bagi penyandang disabilitas terhadap
sistem serta teknologi informasi dan komunikasi yang
baru, termasuk internet;
h. Memajukan desain, pengembangan, produksi, dan
distribusi sistem serta teknologi informasi dan
komunikasi yang dapat terakses sejak tahap awal,
sehingga sistem serta teknologi ini dapat terakses
dengan biaya yang minimum.
34
d. Pasal 12
Pengakuan atas Persamaan di Muka Hukum
1. Negara-Negara Pihak menegaskan kembali bahwa
penyandang disabilitas memiliki hak untuk diakui
dimana pun berada sebagai seorang manusia di muka
hukum.
2. Negara-Negara Pihak wajib mengakui bahwa
penyandang disabilitas memiliki kapasitas hukum atas
dasar kesamaan dengan orang lain dalam semua aspek
kehidupan.
3. Negara-Negara Pihak wajib mengambil langkah yang
tepat untuk menyediakan akses bagi penyandang
disabilitas terhadap bantuan yangm ungkin mereka
perlukan dalam melaksanakan kapasitas hukum mereka.
4. Negara-Negara Pihak wajib menjamin bahwa seluru
langkah yang terkait dengan pelaksanaan kapasitas
hukum menyediakan pengamanan yang tepat dan
efektif untuk mencegah penyalahgunaan, selaras dengan
hukum hak asasi manusia international. Pengamanan
tersebut wajib menjamin bahwa langkah yang terkait
dengan pelaksanaan kapasitas hukum menghormati
hak-hak, kehendak dan pilihan penyandang disabilitas
bersangkutan, bebas dari konflik kepentingan dan
pengaruh yang tidak semestinya, proporsional dan
disesuaikan dengan keadaan penyandang disabilitas
bersangkutan, diterapkan dalam waktu sesingkat
mungkin dan dikaji secara teratur oleh otoritas atau
badan yudisial yang kompeten, mandiri dan tidak
memihak. Pengamanan wajib bersifat proporsional
hingga pada tingkat dimana ketentuan semacam ini
memberikan dampak terhadap hak dan kepentingan
penyandang disabilitas bersangkutan.
35
5. Merujuk dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal ini,
Negara-Negara Pihak wajib mengambil langkah yang
tepat dan efektif untuk menjamin hak yang sama bagi
penyandang disabilitas dalam memiliki: atau mewarisi
properti, dalam mengendalikan masalah keuangan
mereka dan dalam memiliki persamaan akses terhadap
pinjaman bank, kredit perumahan, dan bentuk-bentuk
lain kredit keuangan, dan Negara-Negara Pihak wajib
menjamin bahwa penyandang disabilitas tidak
dikurangi kepemilikannya secara sewenang-wenang.
e. Pasal 24
Pendidikan
a) Negara-Negara Pihak mengakui hak penyandang
disabilitas atas pendidikan.
Dalam rangka memenuhi hak ini tanpa diskriminasi
dan berdasarkan kesempatan yang sama, Negara-
Negara Pihak wajib menjamin sistem pendidikan
yang bersifat inklusif pada setiap tingkatan dan
pembelajaran seumur hidup yang terarah kepada:
a. Pengembangan seutuhnya potensi diri dan
rasa martabat dan harga diri, serta penguatan
penghormatan atas hak asasi manusia,
kebebasan fundamental dan
keanekaragaman manusia;
b. Pengembangan atas kepribadian, bakat dan
kreatifitas, serta kemampuan mental dan
fisik dari penyandang disabilitas hingga
mencapai potensi sepenuhnya;
c. Memungkinkan penyandang disabilitas
untuk beradaptasi secara efektif di dalam
masyarakat umum.
36
b) Dalam memenuhi hak tersebut, Negara-Negara
Pihak wajib menjamin:
a. Penyandang disabilitas tidak dikecualikan
dari sistem pendidikan umum berdasarkan
alasan disabilitas, dan bahwa penyandang
disabilitas anak tidak dikecualikan dari
pendidikan dasar wajib dan gratis atau dari
pendidikan lanjutan berdasarkan alasan
disabilitas;
b. Penyandang disabilitas dapat mengakses
pendidikan dasar dan lanjutan inklusif,
berkualitas dan gratis atas dasar kesamaan
denga orang lain di dalam masyarakat yang
mereka tinggali;
c. Penyediaan akomodasi yang beralasan bagi
kebutuhan individual tersebut;
d. Penyandang disabilitas menerima dukungan
yang dibutuhkan, di dalam sistem
pendidikan umum, guna memfasilitasi
pendidikan yang efektif;
e. Saran pendukung individu yang efektif
tersedia di lingkungan yang dapat
memaksimalkan pengembangan akademis
dan sosial, konsisten dengan tujuan untuk
penyertaan penuh.
c) Negara-Negara Pihak wajib memungkinkan
penyandang disabilitas untuk mempelajari
kehidupan dan keahlian pengembangan sosial
untuk memfasilitasi partisipasi penuh dan setara
dalam pendidikan dan sebagai anggota
masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini, Negara-
37
Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah
yang tepat, termasuk:
a. Memfasilitasi pelajaran Braille, tulisan
alternatif, bentuk, sarana, dan format
komunikasi yang bersifat augmentatif dan
alternatif serta orientasi dan keterampilan
mobilitas, serta memfasilitasi sistem
dukungan dan mentoring sesama
penyandang disabilitas;
b. Memfasilitasi pelajaran bahasa isyarat dan
pemajuan identitas linguistik dari komunitas
tunarungu;
c. Menjamin bahwa pendidikan orang-orang,
termasuk anak-anak, yang tuna netra, tuna
rungu atau tuna netra-rungu, disampaikan
dalam bahasa, bentuk dan saran komunikasi
yang paling cocok bagi individu dan di
dalam lingkungan yang memaksimalkan
pengembangan akademis dan sosial.
d. Dalam rangka menjamin pemenuhan hak
tersebut, Negara-Negara Pihak wajib
mengambil langah yang tepat untuk
memperkerjakan guru-guru, termasuk guru
dengan disabilitas, yang memiliki kualifikasi
dalam bahasa isyarat dan/atau Braille, dan
untuk melatih para profesional dan staf yang
bekerja dalam berbagai tingkatan
pendidikan. Pelatihan akan mengikut
sertakan kesadaran mengenai disabilitas dan
penggunaan bentuk sarana dan format
komunikasi serta teknik dan bahan
pendidikan yang bersifat augmentatif dan
38
alternatif gun mendukung penyandang
disabilitas.
d) Negara-Negara pihak wajib menjamin bahwa
penyandang disabilitas dapat mengakses
pendidikan umum menengah, pelatihan kejuruan,
pendidikan dewasa, dan pembelajaran seumur
hidup tanpa diskriminasi dan atas dasar kesamaan
dengan orang lain. Untuk mencapai tujuan ini,
negara-negara pihak wajib menjamin bahwa
akomodasi yang beralasan bagi penyandang
disabilitas.
f. Pasal 21.b
Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat, serta Akses Terhadap
Informasi.
b) Menerima dan memfasilitasi penggunaan bahasa isyarat, Braille,
komunikasi augmentatif dan alternatif, dan semua cara, bentuk dan
format komunikkasi lainnya yang dapat diakses sesuai dengan
pilihan penyandang disabilitas dalam interaksi resmi.
g. Pasal 27
Pekerjaan dan Lapangan Kerja
1. Negara-Negara Pihak mengakui hak penyandang disabilitas
untuk bekerja, atas dasar kesamaan dengan orang lain; ini
mencakup hak atas kesempatan untuk memnbiayai hidup
dengan pekerjaan yang dipilih atau diterima secara bebas di
bursa kerja dan lingkungan, kerja yang terbuka, inklusif dan
dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Negara-Negara Pihak
wajib melindungi dan memajukan pemenuhan hak untuk
bekerja, termasuk bagi mereka yang mendapatkan disabilitas
pada masa kerja, dengan mengambil langkah-langkah tertentu,
termasuk melalui legislasi, untuk, antara lain:
39
(a) Melarang diskriminasi atas dasar disabilitas terhadap segala
bentuk pekerjaan, mencakup kondisi perekrutan, penerimaan
dan pemberian kerja, perpanjangan masa kerja, pengembangan
karir dan kondisi kerja yang aman dan sehat;
(b) Melindungi hak-hak penyandang disabilitas, atas dasar
kesamaan dengan orang lain, untuk mendapatkan kondisi kerja
yang adil dan menguntungkan, termasuk kesempatan dan
remunerasi atas pekerjaan dengan nilai sama, kondisi kerja yang
sehat dan aman, termasuk perlindungan dari pelecahan dan
pengurangan kesedihan;
(c) Menjamin agar penyandang disabilitas dapat melaksanakan
hak berserikat mereka atas dasar kesamaan dengan orang lain;
(d) Mmemungkinkan penyandang disabilitas untuk mempunyai
akses efektif pada program panduan keahlian teknis umum dan
keterampilan, pelayanan penempatan dan ekahlian, serta
pelatihan keterampilan dan berkelanjutan;
(e) Memajukan kesempatan kerja dan pengembangan karier bagi
penyandang disabilitas di bursa kerja, demikian juga bantuan
dalam menemukan, mendapatkan mempertahankan, dan kembali
ke pekerjaan;
(f) Memajukan kesempatan untuk memiliki pekerjaan sendiri,
wiraswasta, pengembanan koperasi, dan memulai usaha sendiri;
(g) Mempekerjakan penyandang disabilitas di sektor
pemerintah;
(h) Mmemajukan pemberian kerja bagi penyandang disabilitas
di sektor swasta melalui kebijakan dan langkah yang tepat yang
dapat mencakup program tindakan nyata, intensif dan langkah-
langkah lainnya;
(i) Bahwa agar akomodasi yang berasalan tersedia di tempat
kerja bagi penyandang disabilitas;
(j) Memajukan peningkatan pengalaman kerja para penyandang
disabilitas di bursa kerja yang terbuka;
40
(k) Meningkatkan rehabilitasi keahllian dan profesional,
jaminan kerja dan program kembali kerja bagi penyandang
disabilitas.
2. Negara-Negara Pihak wajib menjamin bahwa penyandang
disabilitas tidak berada dalam kondisi perbudakan atau
pengadilan, dan dilindungi, atas dasar kesamaan dengan orang
lain, dari kerja paksa atau wajib.
h. Pasal 30
Partisipasi dalam Kebudayaan, Rekreasi, Hiburan, dan Olah
Raga
1. Negara- Negara Pihak mengakui hak-hak penyandang
disabilitas untuk berperan atas dasar kesamaan dengan orang
lain dalma kehidupan kebudayaan, dan akan mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan agar
penyandan disabilitas:
(a) Menikmati akses terhadap benda-benda kebudayaan
dalam bentuk yang mudah diakses;
(b) Menikmati akses terhadap program televisi, film, teater,
dan kegiatan kebudayaan lain dalam bentuk yang mudah
diakses.
(c) Menikmati akses ke tempat-tempat pertunjukan atau
pelayanan budaya, seperti teater, museum, bioskop,
perpustakaan, dan jasa pariwisata, dan sejauh
memungkinkan, menimati akses ke monumen dan
tempat yang memiliki nilai budaya penting;
2. Negara-Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah
yang tepat guna memungkinkan penyandang disabilitas untuk
memiliki kesempatan mengembangkan dan emnggunakan
potensi kreatif, artistik, dan intelektual, tidak hanya demi
41
berdasarkan kepentingan mereka sendiri tetapi juga untuk
pengayaan masyarakat.
3. Negara-Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah
yang diperlukan, berdasarkan hukum internasional, untuk
menjamin bahwa hukum yang berdasarkan hukum
internasional, unutk menjamin bahwa hukum yang
melindungi hak atas kekayaan intelektual tidak menjadi
halangan yang tidak berdasar atau diskriminatif terhadap
akses penyandang disabilitas untuk memperoleh benda-benda
kebudayaan.
4. Penyandang disabilitas memiliki hak, atas dasar kesamaan
dengan orang lain, untuk mendapatkan penakuan dan
dukungan terhadap identitas budaya dan linguistik mereka
yang khusus, termasuk bahasa isyarat dan budaya orang tuna
rungu.
5. Dalam rangka kemungkinan penyandang diabilitas untuk
berpartisipasi, atas dasar kesamaan dengan orang lain, dalam
kegiatan rekreasi, hiburan dan olah raga, Negara-Negara
Pihak wajib mengambil langkah-langkah yang tepat guna:
(a) Mendorong dan memajukan partisipasi, sejauh
memungkinkan, dari penyandang disabilitas di dalam
kegiatan olah raga arus utama pada semua tingkatan;
(b) Menjamin agar penyandang disabilitas memiliki
kesempatana untuk menyelenggarakan, mengembangkan,
dan berpartisipasi di dalam kegiatan-kegiatan ola raga
dan rekreasi khusus penyandang disabilitas dan untuk itu
memajukan tersedianya sumber daya bimbingan dan
pelatihan yang sesuai atas dasar kesamaan dengan orang
lain;
(c) Menjamin agar penyandang disabilitas memiliki akses
pada tempat-tempat olah raga, rekreasi, dan pariwisata;
42
(d) Menjamin agar anak-anak dengan disabilitas memiliki
akses yang sama dengan anak-anak lain untuk
berpartisipasi dalam bermain, rekreasi dan kegiatan-
kegiatan hiburan dan olah raga, termasuk kegiatan di
dalam sistem sekolah;
(e) Menjamin bahwa penyandang disabilitas memiliki akses
untuk memperoleh layanan dari pihak-pihak yang terlibat
di dalam penyelenggaraan kegiatan-kegiatan rekreasi,
turisme, hiburan, dan olah raga.
D. Kerangka Berpikir
Penyandang disabilitas adalah orang yang mengalami keterbatasan
fisik dan mental sehingga mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan
lingkungannya dan mengalami kesulitan untuk menerima pelayanan
publik yang tidak accessbile. Dari hal tersebut sudah seharusnya
penyandang disabilitas mendapat hak-haknya meliputi aksesibilitas fisik,
pendidikan, kesempatan kerja, peran serta dalam pembangunan sebagai
hak dasar kesetaraan. GERKATIN mewadahi teman-teman penyandang
disabilitas rungu agar mereka dapat mengembangkan bakat, mendapatkan
hak, dan mampu bersosialisasi dengan masyarakat lainnya. Melalui aksi
sosial, GERKATIN melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dapat
membantu kesetaraan penyandang disabilitas rungu.
Adapun aksi sosial yang dilakukan GERKATIN merupakan
program kerja GERKATIN yaitu tentang aksesibilitas dan BISINDO.
Aksesbilitas sangat penting untuk memadai aktivitas manusia begitupula
aksesibilitas sangat penting untuk penyandang disabilitas rungu. Tujuan
dari aksesibilitas adalah untuk memberikan kemudahan bagi penyandang
disabilitas dalam melakukan aktivitas sehari-hari serta memiliki
kesempatan dan peluang yang sama dalam memperoleh pelayanan publik
untuk aksesibilitas fisik maupun non fisik. Dalam Konvensi Hak-Hak
Penyandang Disabilitas pasal 9 mengatur tentang aksesibilitas agar
43
penyandang disabilitas mampu hidup secara mandiri dan berpartisipasi
secara penuh dalam semua aspek kehidupan.
Mengacu pada Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan UU
No. 8 Tahun 2016 tentang aksesbilitas. GERKATIN melakukan beberapa
aksi sosial agar bisa mendapatkan akses yang layak untuk teman-teman
disabilitas rungu salah satunya dengan ikut berperan aktif dalam
pembentukan dan sosialisasi RPP Penyandang Disabilitas. Namun untuk
implementasi tentang aksesibilitas yang ada di dalam RPP Penyandang
Disabilitas masih terhambat karena sampai saat ini belum ada RPP yang di
sahkan oleh Pemerintah. Sosialisasi RPP Penyandang Disabilitas
dilakukan dengan diskusi dalam Bahasa Isyarat.
GERKATIN juga melakukan aksi sosial agar Bahasa Isyarat
Indonesia (BISINDO) dapat diakui oleh Pemerintah dan masyarakat
sebagai akses komunikasi antara teman Tuli dan teman dengar. Dalam aksi
yang dilakukan, GERKATIN sudah mampu merekrut tenaga Juru Bahasa
Isyarat (JBI) yang bisa membantu komunikasi teman Tuli agar mereka
mendapatkan akses informasi berita, acara acara nasional, dll. Namun hal
tersebut, belum semuanya dapat di akses dengan mudah. Masih banyak
orang awam yang belum mengenal BISINDO dan tidak tahu bagaimana
berinteraksi dengan teman Tuli. GERKATIN masih tetap berupaya untuk
bisa memperjuangkan BISINDO sebagai bahasa alamiah yang harus
diakui oleh Pemerintah dan masyarakat. Aksi sosial GERKATIN dalam
memperjuangkan BISINDO sudah mendapatkan tempat di salah satu
perguruan tinggi negeri di Indonesia yaitu Universitas Indonesia, saat ini
BISINDO sudah menjadi kurikulum di Universitas Indonesia.
44
Bagan.2.1 Kerangka Berpikir Penelitian
Hasil
RPP Penyandang
Disabilitas :
-Belum ada RPP yang
disahkan Pemerintah.
Fasilitas Publik :
-Tersedia akses visual
dalam MRT dan Busway
-Belum tersedia teks untuk
film Indonesia di Bioskop
-Belum tersedia akses
visual di rumah sakit, bank,
dan sekolah
-Tersedia JBI di stasiun TV
untuk akses informasi berita
bagi Tuli
-Membuka kelas bahasa
isyarat diakhir pekan
Hasil
Sudah merekrut tenaga Juru
Bahasa Isyarat (JBI)
Mengajar kemahiran
BISINDO yang sudah
menjadi kurikulum di
Universitas Indonesia.
Aksesibilitas BISINDO
Kesetaraan Penyandang Disabilitas
Aksi Sosial
45
BAB III
GAMBARAN UMUM LEMBAGA
A. Profil Umum GERKATIN
Tunarungu atau Tuli adalah seseorang yang kehilangan daya
pendengaran kelahiran disebabkan oleh takdir dan faktor lainnya (sakit,
musibah kecelakaan, lanjut usia). Orang tunarungu/Tuli sudah jelas
banyak menerima ketertinggalan diberbagai informasi, komunikasi dari
mulut ke mulut juga terhalang, walau disisi yang sangat tidak
menguntungkan tetapi ada pepatah mengatakan “raga boleh cacat asal
jiwanya tidak cacat” inilah yang memberi kami bersemangat untuk
mengejar ketertinggalan dan kami sanggup menamai kesetaraan dengan
orang yang berpendengaran melalui pendidikan yang akses bervisualisasi
antara lain membaca bibir, menulis, membaca teks berjalan dan
berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.
Dampak ketunarunguan yang dialami oleh anak tunarungu secara umum
menurut (Sastrawinata 1977,16-17), yaitu pada segi:
a. Intelegensi
Pada dasarnya kemampuan intelektual anak tunarungu sama seperti
anak yang normal pendengarannya. Anak tunarungu ada yang
memiliki intelegensi tinggi, rata-rata dan rendah. Perkembangan
intelegensi anak tunarungu tidak sama cepatnya dengan mereka yang
mendengar. Pada umumnya anak tunarungu memiliki intelegensi yang
anormal atau rata-rata, tetapi karena perkembangan intelegensi sangat
dipengaruhi oleh perkembangan bahasa maka anak tuna rungu akan
menampakkan intelegensi yang rendak karena mengalami kesulitan
memahami bahasa.
b. Segi Bahasa dan Bicara
Kemampuan berbicara dan bahasa anak tunarungu berbeda dengan
anak yang mendengar, hal ini disebabkan perkembangan bahasa erat
kaitannya dengan kemampuan mendengar. Perkembangan bahasa dan
46
bicara pada anak tunarungu sampai masa meraban tidak mengalami
hambatan karena meraban merupakan kegiatan alami pernafasan dan
pita suara. Setelah masa meraban, perkembangan bahasa dan bicara
anak tunarungu terhenti. Pada masa meniru, anak tunarungu terbatas
hanya pada peniruan yang sifatnya visual yaitu gerak dan isyarat.
Perkembangan bicara selanjutnya pada anak tunarungu memerlukan
pembinaan secara khusus dan intensif, sesuai dengan taraf
ketunarunguan dan kemampuan-kemampuan yang lain. Anak
tunarungu tidak mampu mendengar bahasa, maka kemampuan
berbahasanya tidak akan berkembang bila ia tidak dididik atau doilatih
secara khusus. Akibat dari ketidakmampuannya dibandingkan dengan
anak yang mendengar pada usia yang sama, maka dalam
perkembangan bahasanya akan jauh tertinggal.
c. Segi Emosi dan Sosial
Ketunarunguan dapat mengakibatkan terasingnya individu
tunarungu dari pergaulan sehari-hari, yang berarti mereka terasing dari
pergaulan atau aturan sosial yang berlaku dalam masyarakat diman ia
hidup. Keadaan ini menghambat perkembangan kepribadian anak
kedewasaan.
B. Sejarah berdirinya GERKATIN
Gambar 3.1 Logo GERKATIN
Dikutip dari brosur GERKATIN Jakarta, GERKATIN singkatan dari
Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia. Sehubungan dengan
47
banyaknya komunitas kaum tunarungu yang bersifat kedaerahan, maka
beberapa pemimpin organisasi tunarungu berkesepakatan untuk
mengadakan Kongres Nasional I pada tanggal 23 Februari 1981 di Jakarta.
Pertemuan Kongres Nasional I itu menghasilkan keputusan yang salah
satunya adalah menyempurnakan nama organisasi menjadi satu, yaitu
Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) atau
dalam bahasa Inggrisnya menjadi Indonesia Association for the Welfare of
the Deaf (IAWD). Dalam perkembangan selanjutnya, GERKATIN/IAWD
telah terdaftar sebagai anggota World Federation of the Deaf (WFD) atau
Federasi Tunarungu se-Dunia sejak tahun 1983 yang bermarkas di
Helsinki (Finlandia). Struktur Organisasi:
1. Tingkat Nasional, terdiri dari Dewan Pembina Organisasi, Dewan
Pertimbangan Organisasi, dan Dewan Pengurus Pusat.
2. Tingkat Daerah / Provinsi, terdiri dari Dewan Pembina Daerah, Dewan
Pertimbangan Organisasi, dan Dewan Pengurus Daerah dengan jumlah
30 dari 34 provinsi.
3. Tingkat Cabang, terdiri dari Dewan Pembina Cabang, Dewan
Pertimbangan Organisasi Cabang, Organisasi Cabang dan Dewan
Pengurus Cabang dengan jumlah 69 dari 276 kota / kabupaten.
Saat ini lokasi GERKATIN berada di Jl. Ranco Indah Dalam No.47
BC RT 0005/006 Tanjung Barat, Jakarta Selatan. SMS: 081807900275,
08176733250.
Gambar 3.2 Denah Lokasi GERKATIN
48
C. Struktur Organisasi GERKATIN
Struktur Organisasi GERKATIN Tingkat Pusat Periode 2015 – 2020
Dewan Pembina Pusat : Direktur ODK Kemensos RI
: Ketua Umum DNKS
: Ketua Umum PPDI Pusat
Dewan Pertimbangan Organisasi Pusat
Ketua : Ir. H. Aprizat Zakaria
Sekretaris : Rama Syahti
Dewan Pengurus Pusat
Ketua Umum : Bambang Prasetyo
Wakil Ketua Umum : Dr. Juniati Effendi
Sekretaris Umum : Tori Hermawan, S. Komp
Wakil Sekretaris Umum : Wilma Redjeki
Bendahara Umum : Ditha Indriyanti
Wakil Bendahara Umum : Achmad Ridwan Rais
Koordinator Bidang-Bidang
1. Aksesibilitas : Irdanelly
2. Kesejahteraan
2.1 Tenaga Kerja dan Keterampilan : Puti Irra Puspasari
2.2 Kesenian dan Kebudayaan : Nasruddin
2.3 Kesehatan dan Pendidikan : Myrna Mustika Sari, S.
Komp
3. Kepemudaan : Phieter Angdika
4. Olahraga : Maringan Kumala
Kurniawan
5. Organisasi : Budi Heryawan
6. Humas dan Publikasi : Panji Surya Sahetapy – Non
Aktif
7. Advokasi dan HAM : Lidya Miranita
8. Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak : Revita Alvi
49
9. Hubungan Internasional : Iwan Satyawan
10. Teknologi Informatika : Fedayen Alqawai
11. Pendataan Anggota : Abdul Abbas
12. Penguatan Kapasitas : Muh. Insnaini
13. Ekonomi Kreatif dan Kewirausahaan : Wilma Rejeki
14. Peduli Lanjut Usia : Hendra Pangestu
15. Dokumentasi : Dimas Hendrayanto
Koordinator Penghubung Antar Wilayah
1. Wilayah Sumatera dan Kepulauan Riau : Ferinaldi
2. Wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat : Billy Permana
3. Wilayah Jawa Tengah, D.I Yogyakarta dan Jawa Timur
: Yuyun Maskurun
4. Wilayah Bali, NTB, dan NTT : Andri Donasi
5. Wilayah Kalimantan : Yusna
6. Wilayah Sulawesi : Yassin
7. Wilayah Papua : Ibo Hem
D. Visi dan Misi GERKATIN
a. Visi GERKATIN
1) Mencapai kesetaraan kesempatan dalam semua aspek kehidupan
dan penghidupan.
2) Menciptakan organisasi tunarungu yang madani.
3) Menjadi organisasi Nasional yang bermitra dengan Pemerintah dan
non pemerintah untuk mewujudkan tercapainya kesetaraan dalam
kesempatan, meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi
tunarungu dalam segala kehidupan dan penghidupan.
b. Misi GERKATIN
1) Memberdayakan tunarungu agar dapat turut berperan aktif selaku
insane pembangunan yang berintegrasi, mandiri dan produktif di
era globalisasi.
50
2) Meningkatkan kepedulian dan kesadran masyarakat umum melali
media sosial dan informasi tentang kemampuan tunarungu
menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi.
3) Meningkatkan peran tunarungu dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
4) Meningkatkan fungsi Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO)
sebagai bahasa utama diantara para tunarungu maupun diantara
tunarungu dengan non tunarnungu dalam berkomunikasi.
c. Tujuan dari Visi dan Misi GERKATIN
1) Menggali dan meningkatkan potensi Sumber Daya Manusia
(SDM) tunarungu Indonesia.
2) Berperan aktif membantu melaksanakan usaha-usaha Pemerintah
dalam program pembangunan kesejahteraan sosial bagi tunarungu
Indonesia.
3) Mengupayakan pemenuhan hak-hak tunarungu Indonesia.
4) Untuk mencapai tujuannya, GERKATIN membentuk lembaga atau
badan usaha demi menunjang kesejahteraan tunarungu Indonesia.
d. Landasan Hukum Visi dan Misi GERKATIN
1) Hasil Kongres Nasional I GERKATIN, tahun 1981;
2) Akta Notaris Anasrul Jambi Nomor 12 tertanggal 05 Maret 1985;
3) Pengesahan dari Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 192/D, III.2/VII/2009 tertanggal 30 Juli 2009;
4) Pengesahan dari Kementrian Hukum dan HAM RI Nomor Register
AHU-166.AH.01.06 Tahun tetanggal 20 Desember 2010; dan
5) Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Konvensi Hak
Disabilitas.
E. Kegiatan dan Program Kerja GERKATIN
a. Kegiatan yang telah dilaksanakan
1) Mengadakan PORTRIN (Pekan Olahraga Tunarungu Indonesia)
tiap tiga tahun sekali.
2) Menjadi tuan rumah pertemuan Delegasi Pengurus Tunarungu se-
Asia Pasifik ke-16 di Jakarta tahun 2004.
51
3) Menjadi tuan rumah Perkemahan Kepemudaan Tunarungu se-Asia
Pasifik ke-empat di Jakarta dan Sukabumi tahun 2008.
4) Menyelenggarakan RAKERNAS I GERKATIN tahun 2009 di
Jakarta dan RAKERNAS II GERKATIN tahun 2013 di Denpasar,
Bali.
5) Mengadakan Kongres Nasional GERKATIN I sampai IX setiap
empat tahun sekali.
6) Mengajar kemahiran Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) yang
telah menjadi kurikulum di Universitas Indonesia.
7) Menerbitkan pertama kali buku dengan judul “Berkenalan dengan
Bahasa Isyarata Indonesia (BISINDO)” dan buku kamus bahasa
isyarat Jakarta, Yogyakarta serta yang lain menyusul.
8) Memberikan bantuan beasiswa dari KEMENDIKNAS untuk anak
Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama yang memiliki
orangtua tunarungu pada tahun 2011 sebanyak 150 sebesar
750.000 ribu rupiah dan 1.000.000 juta rupiah untuk 250 anak dari
orangtua tunarungu tahun 2013.
9) Sosialisasi CRPD / UU No, 19 Tahun 2015.
10) Workshop Pekanbaru tahun 2015.
11) Pelatihan Guru Anak Tunarungu di Jakarta tahun 2016.
b. Program Kerja GERKATIN
1) Aksesibilitas
2) Kesejahteraan, kesehatan dan tenaga kerja
3) Kewanitaan
4) Seni budaya
5) Pendidikan
6) Advokasi
7) Hubungan masyarakat
8) Kepemudaan dan olahraga
9) Organisasi
10) Hubungan internasional
11) Ekonomi kreatif
52
12) Bahasa Isyarat Alamiah Indonesia (BISINDO)
53
BAB IV
DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Manusia disebut sebagai manusia normal apabila mempunyai
organ tubuh lengkap dan berfungsi dengan baik, mempunyai kepala,
kaki/tangan, dan organ layaknya seorang manusia. Sementara bagi pihak
yang tidak memenuhi ideologi kenormalan, mereka umumnya disebut
sebagai difabel atau penyandang disabilitas. Difabel atau penyandang
disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau
mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan aktivitas sehari-hari, yang terdiri dari:
penyandang disabilitas fisik; penyandang disabilitas mental; penyandang
disabilitas fisik dan mental. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk
menyetarakan penyandang disabilitas sehingga mereka mendapatkan hak-
hak yang seharusnya mereka dapatkan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, melalui
wawancara, observasi, dan studi dokumentasi yang peneliti dapatkan tidak
sedikit yayasan ataupun organisasi yang bergerak untuk kaum difabel,
salah satunya adalah GERKATIN. GERKATIN kepanjangan dari Gerakan
untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia. GERKATIN merupakan suatu
organisasi yang berazaskan Pancasila, berdasarkan UUD 1945, bersifat
kekeluargaan, serta tidak terikat organisasi politik apapun. GERKATIN
adalah penyandang disabilitas tunarungu satu-satunya di Indonesia yang
seluruhnya dikelola oleh penyandang disabilitas tunarungu. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Bapak Bambang sebagai Ketua Umum GERKATIN
mengenai awal terbentuk GERKATIN.
”Ada beberapa komunitas organisasi tunarungu Indonesia yang
sifatnya kedaerahan yang sudah terbentuk lebih awal. Hanya saja,
komunitas tersebut sifatnya kedaerahan, seperti yang terbentuk tahun 1960
yaitu, di Bandung ada Serikat Kaum Tuli Bisu Indonesia (SEKATUBI), di
Yogyakarta namanya Perhimpunan Tunarungu Indonesia (PERTRI), dan
54
di Surabaya namanya Perkumpulan Kaum Tuli Surabaya (PEKATUR).”
(Bambang Prasetyo, 2019).
Sehubungan dengan banyaknya komunitas kaum tunarungu yang
bersifat kedaerahan, maka beberapa pemimpin organisasi tunarungu
berkesepakatan untuk mengadakan Kongres Nasional I pada tanggal 23
Februari 1981 di Jakarta. Pertemuan Kongres Nasional I itu menghasilkan
keputusan yang salah satunya adalah menyempurnakan nama organisasi
menjadi satu, yaitu Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia
(GERKATIN) atau dalam bahasa Inggrisnya menjadi Indonesian
Association for the Welfare of the Deaf (IAWD). Dalam perkembangan
selanjutnya, GERKATIN/IAWD telah terdaftar sebagai anggota World
Federation of the Deaf (WFD) atau Federasi Tunarungu se-Dunia sejak
tahun 1983 yang bermarkas di Helsinki (Finlandia).
A. Aksesibilitas
1. Fasilitas Publik Ramah Disabilitas
Pemenuhan kesetaraan hak penyandang disabilitas khususnya
tunarungu tidak selalu menjadi tanggung jawab pemerintah namun
pemerintah wajib memberikan kemudahan bagi masyarakatnya untuk
mencapai hal tersebut. Peran pemerintah dalam membantu warga
khususnya penyandang disabilitas merupakan hal yang harus dilakukan
karena dalam hal ini tidak bisa sejalan apabila kedua belah pihak tidak
satu tujuan yang ingin dicapai. Dari hal tersebut maka sangat
dibutuhkan tersedianya fasilitas publik yang bersifat aksibel sehingga
penyandang disabilitas nantinya akan sangat mudah untuk
mengaksesnya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas menjelaskan bahwa aksesibilitas adalah
kemudahan yang disediakan untuk mewujudkan kesamaan kesempatan
dalam segala aspek kehidupan. Aksesibilitas merupakan bagian dari
kehidupan manusia dalam kehidupannya, sehingga aksesibilitas sangat
penting karena untuk memadai aktivitas manusia begitupula aksesbilitas
sangat penting untuk penyandang disabilitas. Kesamaan kesempatan
diartikan sebagai keadaan yang memberikan peluang atau menyediakan
55
akses kepada difabel untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek
penyelenggaraan negara dan masyarakat. Tujuan dari aksesibilitas
adalah untuk memberikan kemudahan bagi penyandang disabilitas
dalam melakukan aktivitas sehari-hari serta memiliki kesempatan dan
peluang yang sama dalam memperoleh pelayanan publik untuk
aksesibilitas fisik maupun non fisik.
Pemerintah Indonesia telah menandatangani Convention on the
Rights of Persons with Disabilities (CRPD) Konvensi tentang Hak-
Hak Penyandang Disabilitas pada tanggal 30 Maret 2007 di New York.
Indonesia mengirim delegasi untuk penandatanganan yang dipimpin
oleh departemen teknis yaitu Departemen Sosial Republik Indonesia.
Empat tahun kemudian Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut
melalui Undang-undang No 19 Tahun 2011 tentang pengesahan
Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas pada tanggal 18 Oktober
2011. Penandatanganan tersebut menunjukkan Negara Indonesia untuk
menghormati, melindungi, memenuhi dan memajukan hak-hak
penyandang disabilitas, yang pada akhirnya diharapkan dapat
memenuhi kesejahteraan penyandang disabilitas.
Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas pasal 9 mengatur
tentang aksesibilitas agar penyandang disabilitas mampu hidup secara
mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam semua aspek
kehidupan, Negara-Negara Pihak wajib mengambil langkah yang tepat
untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas, atas dasar
kesamaan dengan warga lainnya, terhadap lingkungan fisik,
transportasi, informasi, dan komunikasi, termasuk sistem serta
teknologi informasi dan komunikasi, serta akses terhadap fasilitas dan
jasa pelayanan lain yang terbuka atau tersedia untuk publik, baik
daerah perkotaan maupun pedesaan. Singkatnya, dalam UU No. 8
Tahun 2016 menyebutkan, aksesibilitas adalah kemudahan yang
disediakan untuk penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan
kesempatan. Adapun hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti
56
melalui wawancara, observasi, dan studi dokumentasi, mengenai aksi
sosial yang telah dilakukan GERKATIN tentang fasilitas publik ada
beberapa akses yang sudah tersedia untuk Tuli, dan ada juga yang
belum. Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Siti Rodiah selaku
wakil GERKATIN Kepemudaan dalam wawancara yang dilakukan
oleh peneliti.
“GERKATIN sudah melakukan advokasi contohnya di kereta
mengenai informasi visual yang tadinya belum ada, karena kan Tuli
banyak sekali naik kereta dan mereka merasa akses nya tidak ada.
Nah dari situ GERKATIN melakukan advokasi terkait untuk bisa
menambahkan akses secara visual seperti arah tujuan kereta kemana,
lalu untuk yang MRT. Jadi, sebelum MRT mulai beroperasi teman-
teman Tuli terlibat untuk mengadvokasikan kebutuhan teman-teman
Tuli untuk akses visual nya, sehingga sekarang sudah tersedia akses
visualnya. Lalu di pemerintah itu kita melakukan aksi sosial
bagaimana untuk bisa menyediakan juru bahasa isyarat. Karna kalau
di rapat-rapat dan pertemuan itu, masyarakat Tuli membutuhkan juru
bahasa isyarat (JBI) sebagai akses mereka untuk mengungkapkan apa
yang ingin mereka katakan. Lalu di TV juga mengenai berita teman-
teman Tuli ingin sekali untuk memahami mengenai berita. Mereka
memiliki keingintahuan tentang informasi yang sedang terjadi di
Indonesia. Dari situ kita mengadvokasi stasiun TV bagaimana di
berita itu ada aksesnya yaitu berupa juru bahasa isyarat (JBI).
Sehingga masyarakat Tuli yang ada di rumah bisa menikmati dan
mendapatkan informasi yang sama. Seperti itu, jadi banyak sekali
sebetulnya.” (Siti Rodiah, 2019).
Pada hasil temuan penelitian yang dilakukan peneliti, melalui
wawancara, observasi, dan studi dokumentasi yang peneliti dapatkan
bahwa GERKATIN salah satu organisasi difabel Tuli yang berdiri
sejak tahun 1982. Aksi sosial rutin yang dilakukan oleh GERKATIN
ialah membuka kursus bahasa isyarat setiap minggu pagi yang
bertempat di Car Free Day (CFD) Senayan, kegiatan ini terbuka
untuk umum. Masyarakat luas diperbolehkan belajar bahasa isyarat
dengan gratis. Hasil penelitian yang dilakukan peneliti melalui
wawancara oleh Siti Rodiah sebagai wakil GERKATIN Kepemudaan
mengatakan tujuan diadakan kegiatan rutin seperti ini untuk
membangun jaringan organisasi Tuli untuk membangun organisasi
57
yang tidak eksklusif dan terbuka untuk masyarakat, dan juga bisa
membuka kesempatan kerja sama dengan komunitas lain.
“Saat ini GERKATIN sudah melakukan kerjasama yang pertama
dengan PUSBISINDO (Pusat Bahasa Isyarat Indonesia), lalu kita ada
PLJ (Pusat Layanan Juru Bahasa isyarat), kita berkontribusi dengan
komunitas lain juga contoh seperti pamflet, indorelawan, terus sedap
film. Jadi banyak sekali sebenarnya kita sudah bekerja sama dengan
komunitas dengan tujuan bagaimana kita bisa menyebarluaskan ke
masyarakat untuk bisa bekerja sama dengan kita” (Siti Rodiah, 2019).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti
melalui wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Permasalahan
yang paling mendasar adalah penggunaan Bahasa isyarat yang sampai
saat ini belum menjadi Bahasa Ibu untuk teman-teman disabilitas
rungu/Tuli. Berbagai Sekolah Luar Biasa (SLB) pun hingga hari ini
masih memakai penggunaan bahasa oral untuk para disabilitas
rungu/Tuli. Selain itu, aksesibilitas komunitas Tuli terhadap fasilitas
publik masih jauh dari harapan. Belum tersedia running text di fasilitas
publik, serta pegawai penyedia layanan publik yang kurang sensitif
membuat Tuli kesulitan dalam mengakses fasilitas. Sebagaimana
dikatakan oleh Siti Rodiah dalam wawancara yang dilakukan oleh
peneliti.
“Dari masalah belum tersedianya akses dibeberapa fasilitas
publik dan Bahasa isyarat belum diakui penuh sebagai bahasa ibu.
GERKATIN bekerja sama dengan Pamflet dan Sedap Film,
menginisiasi sebuah program yaitu Ini Cerita Kita. Ada empat
aktivitas utama, pertama workshop vlog, kedua pembuatan film,
ketiga pembuatan situs web, dan terakhir roadshow film. Program ini
bertujuan memperkuat kapasitas anak muda Tuli untuk mengadvokasi
dan mengekspresikan diri sendiri, juga mengenalkan isu anak muda
Tuli ke publik. Paling penting yang ingin ditingkatkan adalah
perspektif yang kuat mengenai hak-hak penyandang disabilitas, cara
berkampanye, menghasilkan dan mendistribusikan informasi untuk
mendukung kampanye dan advokasi penyandang disabilitas, terutama
Tuli” (Siti Rodiah, 2019).
Hasil observasi menunjukkan seperti yang sudah diatur dalam
UU No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, namun fakta di
lapangan masih banyak yang belum dilaksanakan dengan baik. Sarana
dan fasilitas publik yang aksesibilitas dan inklusif akan menjadi
58
tempat yang menyenangkan bagi masyarakat. Inklusivitas tidak hanya
terkait dengan aksesibilitas tempat umum saja, tetapi berhubungan
dengan suasana yang kondusif, aman dan nyaman bagi siapapun
termasuk penyandang disabilitas. Hal tersebut juga diperkuat oleh
pernyataan yang dikatakan oleh Wakil GERKATIN Kepemudaan.
“akses untuk kesetaraan hak disabilitas Tuli belum semua
terpenuhi masih ada beberapa. Ada yang sudah terpenuhi, ada yang
belum terpenuhi. Banyak sekali masyarakat yang masih awam dengan
Tuli, contoh misalnya kita secara visual terlihat sama dengan orang
dengar tetapi disaat kita mendengar sesuatu kita tidak bisa. Sedangkan
kita Tuli mengandalkan secara visual kalau secara fisik dilihat orang
dengar dan orang Tuli itu sama. Walaupun semua fasilitas mulai dari
bank, gedung transportasi teman-teman selalu memberikan laporan
mengenai keluhan keluhan yang ada disitu. Seperti „oh ada gedung
yang kurang akses‟, Jadi GERKATIN mendapatkan laporan-laporan
dari teman-teman Tuli sehingga bisa ditindaklanjuti oleh teman-teman
yang tergabung di GERKATIN.” (Siti Rodiah, 2019).
Aksesibilitas yang ramah disabilitas sangat penting untuk
kehidupan dan kegiatan para penyandang disabilitas terutama bagi
Tuli. Jika dilihat orang dengar dan Tuli secara visual mereka terlihat
sama, yang membedakan adalah ketika Tuli berkomunikasi. Untuk
itu, sangat diperlukan akses visual pada fasilitas publik yang ada di
Jakarta karena Tuli juga memiliki hak untuk mendapatkan akses dan
menikmati fasilitas dengan nyaman dan mudah. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan peneliti melalui wawancara, observasi, dan
studi dokumentasi. Sebagaimana dikatakan oleh Siti Rodiah sebagai
wakil GERKATIN Kepemudaan mengenai fasilitas publik untuk
akses yang sudah ada bagi Tuli. Berikut penuturannya:
“akses setara yang sudah ada contohnya di stasiun kalau misalnya
di visualnya sudah ada, mungkin kalau untuk yang malam kereta
belum memenuhi. Lalu untuk MRT sudah sangat oke sekali
visualnya, untuk bis juga sudah oke mereka sudah mempunyai
informasi visual cuma disayangkan untuk di beberapa bank, rumah
sakit, sekolah itu masih kurang sekali untuk aksesibilitas nya. Untuk
mendapatkan akses biasanya dengan nomor antri, contohnya di rumah
sakit biasanya ada nomor antri itu akses visualnya masih belum ada
untuk nomor antri biasanya dipanggil melalui suara ya, disitu
bagaimana teman-teman Tuli masih belum ter akses karena belum
adanya informasi secara visual” (Siti Rodiah, 2019).
59
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti melalui
wawancara, observasi, dan studi dokumentasi mengenai aksesibilitas,
saat ini aksesibilitas yang belum terpenuhi bagi penyandang
disabilitas lainnya adalah di Bioskop. Penyandang disabilitas
rungu/Tuli juga berhak memperoleh hiburan, salah satunya bisa
memperoleh dengan menonton film di bioskop. Hambatan yang
sering dialami teman-teman Tuli adalah tidak tersedianya teks dalam
film tersebut, khususnya film Indonesia. Sebagaimana dikatakan oleh
Siti Rodiah dalam wawancara dengan peneliti terkait jejarin yang
dilakukan GERKATIN untuk Tuli agar bisa mendapatkan akses
tersedianya teks dalam film Indonesia di Bioskop.
“GERKATIN juga bekerjasama dengan komunitas lain seperti
Typist Bergerak, kegiatan yang dilakukan adalah menyampaikan
aspirasi teman-teman Tuli untuk diberikan teks pada film-film yang
sebentar lagi akan tayang di bioskop. Sejauh ini sudah ada tiga film
yang memberika teks, yaitu film “Sesuai Aplikasi”, kemudian film dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang berjudul “Bintang
Ketjil”. Terakhir film “Keluarga Cemara”. Ada juga KamiBijak,
KamiBijak kependekan dari Kami Berbahasa Isyarat Jakarta yang
memberi kemudahan akses informasi daring ramah disabilitas terutama
mereka untuk Tuli melalui media visual dalam bentuk video Bahasa
Isyarat dan Teks. Jejaring yang dilakukan GERKATIN dengan
komunitas lain hampir semua digerakan oleh teman-teman Tuli.” (Siti
Rodiah, 2019).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti melalui
wawancara, observasi, dan studi dokumentasi mengenai aksi sosial
GERKATIN untuk mendapatkan fasilitas publik yang ramah bagi
Tuli. Pada hasil penelitian melalui wawancara diatas, permasalahan
yang dihadapi oleh GERKATIN dan teman-teman Tuli diantaranya
akses penggunaan bahasa isyarat yang belum mendapat pengakuan
sebagai bahasa alamiah/bahasa Ibu untuk teman-teman Tuli,
kemudian akses belum tersedia teks dalam film Indonesia di bioskop,
belum tersedia akses visual di rumah sakit, bank, dan sekolah. Namun
dari permasalahan tersebut, sudah ada beberapa akses yang tersedia
seperti sudah tersedia JBI (Juru Bahasa Isyarat) dibeberapa stasiun
60
TV untuk akses informasi berita bagi Tuli. Berdasarkan hasil
wawancara peneliti, saat ini sudah tersedia akses visual dalam MRT
dan Busway. Mengenai akses untuk mendapatkan hiburan di bioskop,
GERKATIN melakukan jejaring dengan komunitas Tuli lain untuk
mendapatkan teks dalam film Indonesia. GERKATIN masih terus
melanjutkan perjuangannya untuk Tuli agar mendapatkan akses yang
setara dalam semua fasilitas publik yang ada di Jakarta.
2. RPP Penyandang Disabilitas
UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengamanatkan
pemerintah untuk menerbitkan peraturan teknis. Adanya peraturan teknis
itu terdiri dari 7 Peraturan Pemerintah (PP). Koalisi organisasi penyandang
disabilitas yang tergabung dalam Pokja Implementasi UU Penyandang
Disabilitas sudah memberikan draft alternatif untuk setiap RPP kepada
pemerintah. Pertama, rancangan PP (RPP) tentang Perencanaan,
Penyelenggaraan, dan Evaluasi Penghormatan, Perlindungan dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Kedua, RPP tentang Akomodasi
yang layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan. Ketiga,
RPP tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang
Disabilitas. Keempat, RPP tentang Kesejahteraan Sosial, Habilitasi dan
Rehabilitasi. Kelima, RPP tentang Pemenuhan Hak Atas Pemukiman,
Pelayanan Publik. Keenam, RPP tentang Unit Layanan Disabilitas
Ketenagakerjaan. Ketujuh, RPP tentang Konsesi dan Intensif Dalam
Penghomatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
Hasil temuan penelitian yang dilakukan oleh peneliti melalui
wawancara, observasi, dan studi dokumentasi yang peneliti dapatkan
bahwa salah satu program kerja GERKATIN (Gerakan untuk
Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia) tentang aksesibilitas dan Bahasa
Isyarat Indonesia (BISINDO). Untuk mencapai kesetaraan kesempatan
dalam semua aspek, GERKATIN ikut berperan aktif dalam membuat RPP
Penyandang Disabilitas dan juga meningkatkan fungsi BISINDO sebagai
bahasa utama dalam berkomunikasi. Sebagaimana yang dikatakan oleh
ketua umum GERKATIN mengenai RPP Penyandang Disabilitas.
61
“Program aksesibilitasi tentang 7 RPP itu seharusnya tahun 2018
seluruh RPP sudah disahkan hingga sekarang belum disahkan karena
adanya faktor silang pendapat dengan Kementerian Sosial (Kemensos)
mengenai RPP tentang Rehabilitasi dan Habilitasi. Seharusnya
Kemensos menerima draft tentang Rehabilitasi dan Habilitasi yang
dibuat oleh tim Pokja (Kelompok Kerja) dari ragam disabilitas, karena
ragam disabilitas lebih tahu merasakan bagaimana kenyamanan untuk
men-golkan RPP itu” (Bambang Prasetyo, 2019).
Hal lain juga dikatakan oleh Bapak Bambang sebagai ketua umum
GERKATIN tentang RPP Penyandang Disabilitas. Beliau ikut berperan
aktif merancang RPP Penyandang Disabilitas mewakili GERKATIN untuk
Tuli bersama dengan beberapa komunitas ragam disabilitas lainnya.
“Sampai saat ini baru ada 4 Kementerian yang sudah menindaklanjuti
tugasnya sebagai inisiator pembentukan PP sesuai dengan tugas dan
fungsinya, yaitu Bappenas, Kementerian Sosial, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Hukum dan HAM; 1
Kementerian baru menyatakan kesiapan sebagai inisiator pembentukan
PP yaitu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat;
sedangkan 2 Kementerian lain belum memberikan kepastian yaitu
Kementerian Keuangan dan Kementerian Ketenagakerjaan dan
Transmigrasi.”(Bambang Prasetyo, 2019).
Bapak Bambang sebagai ketua GERKATIN Pusat menambahkan
tentang progres RPP “Berdasarkan perkembangan tersebut, Pokja
menyesalkan Kementerian yang masih ragu untuk menindaklanjuti
perintah dari UU Penyandang Disabilitas, sehingga mencerminkan
komitmen yang lemah terhadap penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan hak penyandang disabilitas. Namun begitu, Pokja juga
mengapresiasi kepada kementerian yang sudah melakukan tindak lanjut
sebagai inisiator pembentukan PP, dan mendorong agar proses
pembahasan di internal Pemerintah dapat berjalan dengan segera, dan tetap
melibatkan masyarakat penyandang disabilitas”.
Hal yang sama dikatakan oleh wakil GERKATIN Kepemudaan
terkait RPP Penyandang Disabilitas. Pada hasil penelitian yang dilakukan
oleh peneliti melalui wawancara dengan Siti Rodiah sebagai wakil
GERKATIN Kepemudaan. Berikut penuturannya:
62
“GERKATIN Pusat, PUSBISINDO, dan teman-teman kelompok
Tuli lain nya semua terlibat untuk menyesuaikan apa saja kebutuhan-
kebutuhan Tuli. Lalu, bagaimana kita menyepakati kebutuhan kita.
Jadi nanti dari semua komunitas, dari komunitas daksa, netra,
semuanya beberapa mengirimkan orang sebagai wakil lalu akhirnya
berdiskusi dengan pemerintah saat itu barulah pemerintah bergerak
untuk membuatnya. Saat ini masih proses dan masih sangat lambat
jadi belum semua terselesaikan. Jadi prosesnya masih satu satu” (Siti
Rodiah, 2019).
Dapat dipahami 7 PP ini tidak bisa hanya dimaknai sekadar jumlah,
tetapi peluang besar mendorong pemenuhan hak penyandang disabilitas
dalam berbagai sektor. Dengan 7 PP berarti akan ada 7 Kementerian yang
menjadi inisiator pembentukan dan membahas isu disabilitas sesuai
dengan bidang kerja masing-masing secara intensif. Dalam kesempatan itu
pula dapat tercipta interaksi yang inklusif antara pembentuk kebijakan
dengan penyandang disabilitas. Keberadaan 7 PP ini juga menjadi
penegasan bahwa disabilitas terkait dengan isu seperti pendidikan,
ketenagakerjaan, infrastruktur, pelayanan publik, perencanaan
pembangunan, dan bahkan hukum dan keuangan, tidak hanya terkait
dengan bidang sosial.
Hasil penelitian yang dilakukan peneliti melalui wawancara,
menurut Siti Rodiah sebagai Wakil GERKATIN Kepemudaan hambatan
belum disahkannya RPP Penyandang Disabilitas adalah kurangnya
dukungan, kita membutuhkan masyarakat dengar terlibat membantu untuk
mensosialisasikan ke pemerintah. Kita harus mengikuti proses dan step
karena harus mulai informasikan dari bawah, tengah, lalu ke level atas
baru bisa tercapai. Sedangkan yang mendukung agar RPP segera di sahkan
adalah melalui komunitas lain yang ada di masyarakat, bidang hukum,
bidang advokasi semuanya harus bisa sama-sama bergerak dengan
komunitas disabilitas untuk mendukung terciptanya RPP tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti melalui
wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Menurut Bapak Bambang
Prasetyo sebagai ketua umum GERKATIN yang juga terlibat dalam
pembuatan RPP tersebut, bahwa saat ini sosialisasi yang dilakukan oleh
63
GERKATIN dan komunitas ragam disabilitas lain. Draft untuk RPP itu,
disampaikan dan diberikan kepada beberapa kementerian diantaranya
kementerian sosial, kemendikbud, bappenas, dan kementerian hukum dan
HAM. Sampai sekarang masih melakukan diskusi mengenai RPP tersebut,
karena masih ada silang pendapat antara komunitas ragam disabilitas
dengan kemensos mengenai rehabilitasi dan habilitasi. Perjalanan yang
masih panjang, teman-teman disabilitas lain masih terus berupaya sampai
RPP Penyandang Disabilitas di sahkan, kemudian diumumkan melalui
sosial media, TV, media cetak.
B. BISINDO
BISINDO adalah sistem komunikasi yang praktis dan efektif untuk
penyandang tunarungu Indonesia yang dikembangkan oleh tunarungu sendiri.
BISINDO digunakan untuk berkomunikasi antar sesama tunarungu atau kaum
tuli dengan masyarakat luas seperti halnya berkomunikasi dengan bahasa
sehari-hari. Menggunakan BISINDO penyandang tunarungu dapat
mengungkapkan pikiran dan perasaan secara leluasa dan mengekspresikan
dirinya sebagai insan manusia dan warga negara Indonesia yang bermatabat
sesuai dengan falsafah hidup dan HAM.
BISINDO berawal dari terbentuknya Sistem Bahasa Isyarat Indonesia
(SIBI) dikarenakan pada saat itu penyandang tunarungu belum berpikiran
luas dan belum mengenal apa itu bahasa isyarat. Maka munculah kamus SIBI
yang dibuat oleh non-tunarungu yang diantaranya adalah guru bahasa isyarat,
pemerhati (mencakup budaya dan bahasa) tunarungu. Kamus SIBI berhasil
dibuat pada tahun 1995 dan segera diresmikan serta disebarluaskan di seluruh
Sekolah Luar Biasa (SLB) tingkat nasional. Hasil dari penelitian yang
dilakukan peneliti melalui wawancara, observasi, dan studi dokumentasi,
sebagaimana dikatakan oleh Bapak Bambang sebagai ketua umum
GERKATIN. GERKATIN terus berupaya melakukan sosialisasi dan
mempromosikan BISINDO agar banyak masyarakat yang mau belajar dan
memahami BISINDO sebagai bahasa ibu teman Tuli. Sebagaimana dikatakan
oleh Bapak Bambang sebagai ketua umum BISINDO, yang menjelaskan
tentang BISINDO melalui wawancara dengan peneliti. Berikut penuturannya:
64
“ Pada umumnya Pemerintah Kementerian sudah mengenal 2
BISINDO dan SIBI. Cuma SIBI hanya khusus pembelajaran di sekolah-
sekolah luar biasa karena ada kata imbuhan agar anak itu bisa berbahasa
Indonesia dengan baik. Diluar sekolah, kebanyakan memakai BISINDO.
TVRI saja menerima Juru Bahasa Isyarat (JBI) dari BISINDO dan SIBI
serta Kemensos tapi Kemendikbud belum mengakui BISINDO walaupun
sudah tau masyarakat tuli di Indonesia banyak menggunakan
BISINDO.”(Bambang Prasetyo, 2019)
Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti melalui
wawancara, hal lain juga disampaikan oleh Bapak Bambang sebagai ketua
umum GERKATIN. GERKATIN bukan menolak isyarat SIBI (abjadnya),
abjadnya bisa diterima tapi komunikasi singkat international isyarat SIBI
berbeda karena tungarungu dibagi bahasa isyaratnya menjadi dua. Misal
„saya mau pergi ke pasar’ ada lima suku kata dan SIBI mempergakannya
sesuai dengan jumlah suku katanya, sedangkan BISINDO isyaratnya bisa
dipersingkat menjadi tiga suka kata „saya ke pasar’ yang penting inti dari
kalimat itu sama. BISINDO berontak dengan adanya sistem SBI tetapi
pemerintah keberatan dengan hal tersebut dan tidak bisa menghapus
kamus SIBI dari peredaran. Hal ini dikarenakan sudah adanya surat
keputusan dan terlanjut sudah dibuat menjadikan kamus SIBI harus tetap
dijalankan. Sampai sekarang para tunarungu yang berusaha untuk
memperjuangkan BISINDO belum mendapat pengakuan dari pemerinta
Indonesia. BISINDO muncul tahun 2002/2003 sedangkan SIBI sudah
lebih dulu muncul tahun 1995. BISINDO ini dikembangkan dan
disebarluaskan melalui wadah organisasi GERKATIN (Gerakan untuk
Kesejahteraan Tunarungu Indonesia). Pada saat ini pusat BISINDO sudah
mengeluarkan kamus BISINDO. Harapan kami kelak BISINDO dapat
dipelajari oleh masyarakat umum, diajarkan di sekolah umum, perguruan
tinggi, dan sebagai pengantar Sekolah Luar Biasa (SLB) (Bambang
Prasetyo, 2019).
Pada hasil penelitian yang dilakukan peneliti melalui wawancara
oleh Siti Rodiah sebagai wakil GERKATIN Kepemudaan, hal lain
dikatakan oleh Siti mengenai BISINDO. Berikut penuturannya:
65
“BISINDO itu bahasa isyarat untuk membantu menjembatani
komunikasi antara teman Tuli dan teman dengar, kalau tanpa
adanya BISINDO nanti teman Tuli akan merasa sulit untuk
mengekspresikan apa yang ingin mereka ekspresi kan”.(Siti
Rodiah, 2019).
Di Indonesia, Tuli berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat
yang mengacu pada dua sistem yaitu BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia)
dan SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia). BISINDO sendiri
dikembangkan oleh teman-teman Tuli melalui GERKATIN (Gerakan
Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia). SIBI dikembangkan oleh orang
dengar. SIBI sama dengan bahasa isyarat yang digunakan di Amerika
yaitu American Sign Language (ASL). BISINDO digunakan untuk
berkomunikasi antar individu sebagaimana dengan bahasa Indonesia pada
umumnya. Melalui BISINDO teman-teman Tuli dapat mengungkapkan
pikiran dan perasaan secara leluasa dan mengekspresikan dirinya sebagai
WNI (Warga Negara Indonesia) yang bermartabat sesuai dengan falsafah
hidup dan HAM (Hak Asasi Manusia). Saat ini BISINDO masih belum
diakui sebagai akses informasi publik dalam bahasa isyarat. Hal lain
dikatakan oleh Siti Rodiah sebagai wakil GERKATIN Kepemudaan
tentang BISINDO. Berikut penuturannya:
“kita masih dalam proses, teman-teman Tuli sedang
berjuang untuk mensosialisasikan ke masyarakat Indonesia. Karena
masih ada beberapa masyarakat yang belum mengetahui
bagaimana berkomunikasi dengan teman-teman Tuli. Contohnya
dengar mengajar dengar itu rentan adanya kesalahan konsep maka
dari itu harus terlibat Tuli dalam mensosialisasikan BISINDO itu
sendiri. Jadi Tuli dan dengar bisa saling membantu untuk
mensosialisasikan BISINDO untuk bisa berkomunikasi” (Siti
Rodiah, 2019).
Hasil penelitian yang dilakukan peneliti melalui wawancara
menurut bapak Bambang selaku ketua umum GERKATIN, ada banyak
kesulitan-kesulitan tunarungu dalam berkomunikasi dengan orang dengar
pada umumnya, terutama pada anak-anak dan tunarugu yang tidak
memiliki kesempatan untuk mengenyam bangku pendidikan. Sebagaimana
dikatakan oleh Bapak Bambang dalam wawancara yang dilakukan oleh
peneliti. Berikut penuturannya:
66
“Kalau anak-anak sudah biasa sejak lahir menggunakan
isyarat BISINDO, jadi mereka agak keteteran masuk ke sekolah
formal sebab berbeda sekali belajarnya. Tunarungu kurang dalam
hal pendengaran dan pencernaan pesan jadi kalau sudah ke rumah
lagi itu sudah gak dipakai soalnya sudah balik ke habitat aslinya.
Sedangkan kalau yang gak mengenyam pendidikan atau orang-
orang tua susah menerima dan mudah tersinggung. Mereka tahu itu
ya itu yg di pakai”.(Bambang Prasetyo, 2019).
Bagi Tuli, BISINDO yang terpenting adalah bahasa dapat
dipahami dan dimengerti dengan baik maknanya. Keterbelakangan dalam
perkembangan sistem teknologi dan informasi menghambat Tuli untuk
berkembang dan mendapatkan informasi serta perlakuan yang sebagai
bagian dari Negara serta kurangnya orang dengar memahami bahasa
Isyarat. Faktor krusial yang menyebabkan tunarungu dan orang dengar
sulit dalam berkomunikasi adalah masih kurang sosialisasi dari pihak
pemerintah tentang pembelajaran bahasa isyarat. Cara berkomunikasi
antara Tuli dengan Tuli dan Tuli dengan orang dengar berbeda.
Komunikasi dengan penyandang Tuli memerlukan teknik khusus yaitu
dengan menggunakan bahasa nonverbal khususnya bahasa isyarat. Pada
umumnya Tuli akan sulit untuk mencerna pesan yang disampaikan orang
lain karena minimnya bahasa yang dikuasai. Hal lain dikatakan oleh Ibu
Wilma Redjeki sebagai sekretaris GERKATIN dalam wawancara yang
dilakukan oleh peneliti. Berikut penuturannya:
“dilihat dari IQ, mereka sama dengan orang normal. Cuma
saja terbatas dalam berkomunikasi dengan orang lain karena
miskin bahasa. Maksud miskin bahasa kalau pesan yang
disampaikan kurang jelas atau pun kosakata terlalu rumit atau
terbolak balik mereka akan menjadi sulit untuk mencernanya.”
(Wilma Rejeki, 2019).
Hasil penelitian yang dilakukan peneliti melalui wawancara,
observasi, dan studi dokumentasi, menurut bapak Bambang sebagai ketua
umum GERATIN menjelaskan keberadaan SIBI dan BISINDO saling
berkesinambungan dan saling membutuhan serta saling melengkapi satu
sama lain. SIBI dengan konsep struktural dan BISINDO dengan konsep
kontekstualnya. SIBI penting untuk pelajaran akademis karena tata
bahasanya teratur. Sedangkan BISINDO tidak terdapat tata bahasa di
67
dalamnya karena menggunakan bahasa isyarat alamiah dan Tuli lebih
paham itu. Maka dari itu, terjadilah dualisme isyarat di Indonesia. Pada
saat ini pusat BISINDO sudah menerbitkan pertama kali buku dengan
judul “Berkenalan dengan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO)” dan buku
kamus bahasa isyarat Jakarta, Yogyakarta, yang lainnya menyusul.
Harapan kami kelak BISINDO dapat dielajari oleh masyarakat umum,
diajarkan di sekolah umum, perguruan tinggi, dan sebagai pengantar
Sekolah Luar Biasa.
Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan ketika Tuli
berinteraksi dengan orang dengar, orang dengar membutuhkan interpreter
untuk mengetahui maksud dari pesan yang disampaikan oleh Tuli. Selain
itu juga ketika Tuli sulit memahami pesan yang disampaikan orang dengar
maka orang yang memiliki panca indera sempurna seringkali
menggunakan alat tulis sebagai media komunikasi. Hal yang sering kali
terjadi ialah adanya diskriminasi oleh orang dengar terhadap Tuli. Tuli
cenderung memiliki sensitifitas atau perasaan mudah tersinggung
dibanding dengan orang dengar. Jadi, untuk terjalinnya komunikasi yang
lebih efektif maka harus ada sikap saling menghargai satu sama lain.
Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti melalui
wawancara oleh bapak Bambang sebagai ketua umum GERKATIN juga
mengatakan cara mempermudah antara Tuli dan orang dengar yaitu
dengan cara berkumpul dengan komunitas Tuli setiap hari Minggu di acara
Car Free Day, mengikuti kelas Bahasa Isyarat di PUSBISINDO, dan
acara-acara Tuli lainnya. Komunitas Tuli beserta kelompok orang-orang
yang peduli akan kesetaraan antara individu tunarungu dan individu yang
dengar mengajak orang-orang yang datang untuk bergabung dan belajar
secara gratis.
“pemasaran/pembelajaran BISINDO ada setiap hari
Minggu di CFD (Car Free Day) jam 06.00 – 07.00 WIB di depan
Hotel Mandarin. Tujuannya untuk merekrut orang-orang agar
tertarik belajar dan menjadi interpeter BISINDO secara alamiah”.
(Bambang Prasetyo, 2019).
68
Tujuan diadakannya setiap minggu tidak lain untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat bahwa tunarungu atau orang-orang berkebutuhan
khusus itu ada dan untuk tidak mengabaikan eksistensi tunarungug sebagai
bagian dari masyarakat Indonesia.
Hal lain dikatakan oleh bapak Bambang sebagai ketua umum
GERKATIN bahwa BISINDO saat ini sudah mulai di terapkan di
Universitas Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya dan dimasukkan ke dalam
kurikulum belajar mahasiswa sastra mata kuliah “Kemahiran Berbahasa
Isyarat”. BISINDO juga diajarkan di UIN Jakarta Fakultas Kedokteran
sebagai pengenalan dasar tentang isyarat-isyarat pada ilmu kedokteran
yang memungkinkannya dipakai ketika menangani pasien. Semua
mahasiswa yang mendapatkan mata kuliah bahasa isyarat BISINDO
berasal dari individu-individu dengar.
Kemampuan Bahasa Indonesia para Tuli masih di bawah rata-rata
dari masyarakat umum, dikarenakan oleh keterbatasan akses ke Bahasa
Isyarat Indonesia (BISINDO). Di Indonesia, Bahasa Isyarat pun belum
diakui sebagai Bahasa. GERKATIN terus memperjuangkan BISINDO
sebaga Bahasa untuk para Tuli di Indonesia bersama dengan Pusat Bahasa
Isyarat Indonesia (PUSBISINDO). PUSBISINDO ini bertujuan untuk
memperjuangkan literasi kaum Tuli dalam Bahasa Indonesia melalui
BISINDO. Sebagaimana dikatakan oleh Laura Lesmana sebagai ketua
PUSBISINDO. Berikut penuturannya:
“Sejak tahun 1960, kami mengalami kesulitan dalam menulis
Bahasa Indonesia dengan baik dan itu memimpin kami ke
kehidupan yang diskriminasi seperti tidak mendapatkan penddikan
yang setara pada umumnya, pekerjaan yang mapan, dan juga hak
lainnya yang setara. Yang jadi tantangan kami saat ini adalah
sistem pendidikan yang mayoritasnya mendukung sistem oral dan
Sistem Isyarat Bahasa Indonesia. Dengan masalah dan tantangan
tersebut kami masih memperjuangkan untuk menunjukkan bahwa
BISINDO adalah benar Bahasa dan bisa jadi panduan kaum Tuli
dalam berbagai ranah kehidupan.” (Laura Lesmana, 2019)
“definisi Tuli jika diartikan dalam bahasa Inggris berarti Deaf,
berdasarkan persepsi budaya, berarti bahwa kata berasal dari
komunitas Tuli dan tidak sakit. Biasanya berkomunikasi dengan
69
Bahasa Isyarat alamiah. Istilah tersebut juga berlaku di Indonesia
yang biasa kami sebutkan, Tuli bukan Tunarungu. Tunarungu tidak
mewakili identitas, budaya dan Bahasa Tuli tetapi berarti
pendengarannya rusak dan perlu diperbaiki secara medis. Sebagian
besar populasi Indonesia adalah masyarakat yang menggunakan
Bahasa Indonesia tentu menggunakan tunarungu bukan Tuli karena
belum adanya kesadaran dan informasi minim menganai identitas,
budaya, dan Bahasa Tuli.” (Laura Lesmana, 2019).
Dalam hasil observasi yang peneliti temukan Budaya Tuli pun
sangat berbeda karena perbedaan fungi pendengaran dan penggunaan
selama komunikasi. Tuli menggunakan mata atau visual untuk menerima
informasi sedangkan orang dengar menggunakan telinga atau audio. Untuk
mengekspresikan pikiran dan perasaan, Tuli menggunakan tangan dan
ekspresi melalui muka dan badan, sedangkan penutur Bahasa Indonesia
menggunakan artikulasi suara dan mulut. Dengan perbedaan cara tersebut
faktor tersebut yang menyebabkan perbedaan bahasa yaitu bahasa isyarat
dan bahasa verbal antara Tuli dan dengar. Di Indonesia pun memiliki
berbagai macam Bahasa isyarat yang lebih dari 2. Adapun lebih dari dua
Bahasa isyarat di Indonesia, yaitu Bahasa Isyarat Jakarta dan Yogyakarta.
Sebagaimana dikatakan oleh Laura Lesmana sebagai ketua PUSBISINDO.
Berikut penuturannya:
“Adanya PUSBISINDO dan GERKATIN kami ingin menunjukkan
pentingnya BISINDO di Indonesia diakui sehingga hak dan
martabat kaum Tuli disetarakan. Langkah awal menuju kesetaraan,
diperlukan penelitian Bahasa Isyarat Indonesia dimulailah pada
tahun 2007, GERKATIN bekerja sama dengan The Center for Sign
Linguistic and Deaf Studies di bawah The Chinese University of
Hong Kong. Sampai sekarang, usahak kami dapat menghasilkan
beberapa penelitian termasuk kamus dan buku peodman khusus
Jakarta dan Yogyakarta tingkat satu dan dua. Dengan adanya
kamus dan buku pedoman tersebut, situasi komunikasi Tuli di
Jakarta dan Yogyakarta sangat berkembang karena penelitian dan
pelatihan tersebut memberi kepercayaan diri dan sumber kekuatan
bagi komunitas Tuli sehingga dapat berdiri sendiri dan bangga
dengan bahasanya sendiri.” (Laura Lesmana, 2019).
1. Juru Bahasa Isyarat
Bahasa isyarat di Indonesia belum diakui atau didukung
sepenuhnya, padahal banyak komunitas Tuli menggunakan Bahasa Isyarat
70
alamiah atau BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia). BISINDO perlu diteliti
dengan linguistik dan sesuai budaya Tuli setempat. BISINDO seperti
Bahasa lisan yang berbeda beda sesuai budaya, Bahasa isyarat Indonesia
diteliti/ dikembangkan dibawah PUSBISINDO (Pusat Bahasa Isyarat
Indonesia). Kelambatan pengembangan maupun penelitian BISINDO juga
menghambat penyediaan fasilitas akses informasi, pendidikan, dan
pelayanan umum bagi disabilitas rungu/Tuli. Fasilitas untuk Tuli bisa
berupa tulisan, Bahasa Isyarat dan Juru Bahasa Isyarat / interpreter Bahasa
Isyarat. Pelebelan juru Bahasa Isyarat hanya bisa diberikan oleh PLJ
(Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat) dibawah organisasi Tuli bernama
GERKATIN (Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia).
Sejak munculnya Bahasa Isyarat sebagai Bahasa Ibu juga sebagai
Bahasa pengantar yang penting dalam komunikasi dan pendidikan anak
Tuli di dunia. Di Indonesia komunitas Tuli sudah lama memakai Bahasa
Isyarat alamiah, tetapi tidak sadar bahwa betapa pentingnya Bahasa Isyarat
sebagai media komunikasi dan informasi yang akses dan perlu
diinventariskan.
“Bahasa isyarat di beberapa daerah berbeda-beda, maka diusulkan
untuk distandarisasikan menjadi Bahasa Isyarat Nasional tetapi
keputusan berubah karena mau menghormati bahasa dan budaya
yang berbeda-beda berdasarkan penelitian linguistik, GERKATIN
bekerjasama dengan para linguistik dari Universitas Indonesia,
Chinese University of Hongkong dengan bimbingan dari Professor
Woody, membuat kamus Bahasa Isyarat Jakarta dan Yogyakarta.
Dan juga buku panduan belajar Bahasa isyarat” (Juniati Effendi
2019)
Hal lain juga dikatakan oleh ibu Juniati Effendi sebagai Wakil
GERKATIN Pusat dimana salah satu manfaat dari Bahasa isyarat adalah
penjurubahasaan. Di Indonesia sekitar tahun 2000 sudah ada
penjurubahasaan, mulai berkembang seiring dengan adanya Kesepakatan
Hak Hak Penyandang Disabilitas yang dituang dalam The Convention of
the Rights for Person with the Disabilities (CRPD), UU No. 19 tahun 2011
tentang ratifikasi CRPD, dan tahun 2016 sudah dibuat UU N0. 8 tahun
2016 dimana ditekankan tentang hak Disabilitas memakai Bahasa Isyarat,
penerjemah Bahasa isyarat sebagai fasilitas yang akses.
71
“Sebenarnya istilah penerjemah kurang tepat karena disamakan
dengan translator. Translator/penerjemah adalah penerjemahan
Bahasa A ke Bahasa B berubah tulisan/lisan waktu nya tidak
langsung, serentak/stimultan. Proses penerjemahan bisa memakan
waktu dan menunda waktu. Sedangkan kata Juru Bahasa itu sama
dengan Interpreter adalah orang yanglangsung/stimultan
menerjemahkan/menjurubahasakan Bahasa A ke Bahasa B dan
sebaliknya pada saat itu secara lisan.” (Juniati Effendi 2019).
Juru Bahasa isyarat adalah orang (baik orang Dengar maupun Tuli)
yang memiliki kemampuan menjurubahasakan Bahasa isyarat secara
langsung, tepat dan akurat, yang telah mengenyam pendidikan juru Bahasa
isyarat dari organisasi Tuli yang diakui oleh komunitas Tuli setempat.
Dalam hal ini dimaksud dengan organisasi Tuli setempat adalah
GERKATIN (Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia).
“GERKATIN membuka kelas Bahasa isyarat Indonesia dengan
nama PUSBISINDO (Pusat Bahasa Isyarat Indonesia) dengan
harapan agar dapat merekrut volunteer Bahasa isyarat yang dapat
membantu dalam pendidikan anak Tuli dan juru Bahasa isyarat,
juga untuk membantu segi linguistik Bahasa isyarat. Kelas Bahasa
isyarat ini baru sampai ke level 3, murid murid bisa dialokasikan
ke PLJ untuk magang atau relawan juru Bahasa isyarat dan juga
mendirikan Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat (PLJ) untuk
memberikan layanan juru Bahasa isyarat.” (Juniati Effendi 2019)
Kriteria menjadi juru Bahasa isyarat menurut PBB, sebagai
berikut:
a. Memenuhi standart kompetensi Bahasa isyarat
b. Menaati kode etik
c. Memiliki sikap yang baik
Kategori juru Bahasa isyarat:
a. Juru Bahasa lisan Bahasa Indonesia
Juru Bahasa lisan Bahasa Indonesia adalah seorang yang
memiliki kemampuan menjurubahasakan dengan metode orang
untuk Tuli yang memiliki kemampuan berbicara dan membaca
gerakan bibir (lip reading).
b. Juru Bahasa isyarat bersertifikat dan terspesialisasi.
Juru Bahasa isyarat bersertifikat dan terspesialisasi adalah juru
Bahasa isyarat yang memiliki keahlian khusus misalnya bekerja
di kepolisian dan pengadilan tinggi.
c. Juru Bahasa isyarat Tuli/Tunarungu
Juru Bahasa isyarat Tuli adalah seorang Tuli/Tunarungu yang
mampu menjadi juru Bahasa isyarat bagi Tuli yang lain.
d. Juru Bahasa isyarat umum.
72
Juru Bahasa isyarat umum adalah seorang yang memiliki
kemampuan dalam memahami dan bisa berkomunikasi dengan
Bahasa isyarat atau yang sedang menjalani pelatihan maupun
magang juru Bahasa isyarat dari organisasi Tuli/Tunarungu di
sekolah, rumah sakit, rapat umum dan aktivitas pelayanan publik
lainnya.
Sama halnya dengan bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa
Inggris, dan bahasa lain, bahasa isyarat juga merupakan bahasa ibu dengan
fungsi yang sama pentingnya yaitu sama-sama menjadi salah satu alat
mengakses informasi. Bahasa isyarat dipengaruhi oleh penglihatan, latar
belakang budaya dan kebiasaan dimana orang tersebut tinggal dan berasal.
Penyandang disabilitas rungu/Tuli di Indonesia masih sulit mendapat
informasi karena jumlah juru bahasa isyarat masih sedikit, kurang
dikembangkan dan juga tidak ada kelas atau fakultas juru bahasa isyarat.
“Di Indonesia sendiri memang belum memiliki standar juru bahasa
isyarat. Standar juru bahasa isyarat belum ada sertifikasinya.
Biasanya seorang juru bahasa isyarat adalah ketika mereka
dianggap bisa berbahasa isyarat dengan lancar dan dapat
berkomunikasi bersama Tuli dengan baik. Secara tidak langsung
juru bahasa isyarat ini masih ilegal atau bisa dikatakan belum resmi
sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Hal itu disebabkan
kurangnya perhatian dari masyarakat maupun lembaga pemerintah
dan non pemerintah untuk Tuli. Untuk sertifikasi juru bahasa
isyarat itu yang sampai saat ini belum terpenuhi, karena disini
masih didebat ole pemerintah. Bahwa urusan sertifikasi ditangani
oleh organisasi Tuli dan kementerian apa.” (Juniati Effendi, 2019)
Bahasa isyarat masuk ke dalam kelompok komunikasi non verbal
dan non vocal dimana penyampaian pesan atau informasi tidak
memberikan suara tetapi memberikan isyarat dengan tangan, gerakan
tubuh, penampilan serta ekspresi wajah, isyarat tangan kadang
menggantikan komunikasi verbal. Bahasa isyarat alamiah yang berbeda-
beda bisa dipelajari dengan cepat, baik di Indonesia maupun di Luar
Negeri oleh penyandang disabilitas rungu/Tuli dibandingkan bahasa lisan.
Bahasa lisan harus dipelajari per bulan-bulan bahkan per tahun.
Juru bahasa isyarat sering diperlukan di acara seminar, lokakarya,
pendidikan formal maupun informal, kesehatan peradilan, pelayanan
umum, kerohanian, dan tenaga kerja. Hambatan penjurubahasaan bahasa
73
isyarat adalah jumlah juru bahasa isyarat masih sedikit dibandingkan
dengan permintaan kebutuhan juru Bahasa isyarat. Jadi harus terus
direkrut. Bahasa isyarat Indonesia berbeda beda sesuai budaya dan
kebiasaan setempat, juru Bahasa isyarat harus menyesuaikan Bahasa
isyarat setempat. Bahasa isyarat di daerah Sulawesi berbeda sekali dengan
di Jawa, di Sulawesi kepala dan alis lebih banyak bergerak mirip/sealiran
dengan Budaya India, Srilanka. (Juniati Effendi, 2019)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penliti melalui
wawancara, oleh Bu Juniati mengatakan bahwa bahasa isyarat dipakai
untuk penjurubahasaan berita dalam acara TV setiap hari, hal ini
membantu Tuli yang tidak sempat mendapat pendidikan di sekolah,
kurang menguasai Bahasa Indonesia baik lisan maupun tertulis dan juga
bermanfaat untuk orang Dengar agar bisa belajar Bahasa Isyarat melalui
TV. Fasilitas komunikasi dan informasi untuk Tuli masih jauh
ketinggalan, juru Bahasa isyarat sedikit, juga subtitle, dan teks berjalan.
Bahasa isyarat Indonesia merupakan kebanggaan Orang Tuli Indonesia
karena rata-rata Bahasa isyarat di Asia memakai Bahasa isyarat Amerika
(ASL), antara lain: Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Di
Indonesia yang masih mempertahankan Bahasa isyarat Indonesia. (Juniati
Effendi, 2019).
Fasilitas komunikasi dan informasi untuk disabilitas rungu/Tuli
masih perlu dikembangkan dengan teks, tulisan berjalan, dan juru Bahasa
isyarat. Pemerintah wajib memberi akomodasi yang layak di berbagai
tempat dan pelayanan umum sesuai dengan aturan UU No. 8 Tahun 2016
dan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
2. BISINDO menjadi kurikulum di Universitas Indonesia
Universitas Indonesia adalah Universitas pertama yang membuka
kelas Bahasa Isyarat, sekaligus menjadi pusat penelitiannya. Tepat berada
di Gedung 8 Fakultas Ilmu Budaya UI. Pada awal tahun dibukanya kelas
Bahasa Isyarat tidak terlalu terdengar di dunia luar. Langkah membuka
kelas Bahasa isyarat kemudian mulai diikuti oleh Universitas lain, seperti
74
UIN Jogja, Universitas Brawijaya, UNM Makassar. Laboratorium Riset
Bahasa Isyarat (LBRI) merupakan laboratorium bahasa isyarat yang
pusatnya berada di Universitas Indonesia. Lembaga riset ini terbentuk atas
dasar kepedulian dan kesadaran para akademisi linguistik yang
mengganggap bahwa bahasa isyarat merupakan bagian dari bahasa yang
harus diakui dari komponen bahasa manusia.
“LBRI sendiri sudah berdiri sejak November 2013, tetapi peresmian
tempat dan sekretariat pada bulan Juni 2014. LBRI merupakan ide dari
GERKATIN dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang
langsung diapresiasi oleh Nippon Jepang sebagai donor dan Center of
Sign Language and Difabel Study (CSLCSD) Jepang. Dulu perwakilan
GERKATIN yang mendapatkan beasiswa ke Hongkong dan dua
mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya yang juga mendapat beasiswa sama
akhirnya pulang ke Indonesia dengan membawa misi membuat
Laboratorium bahasa isyarat. Kemudian diapresiasi oleh Nippon
Jepang sebaga funding. Akhirnya, LBRI lahir. Awalnya hanya ada di
UI tapi karena di Yogyakarta juga aktif dalam menyuarakan hak-hak
Tuli dan memiliki organisasi yang cukup kuat, di Yogyakarta juga
ada.” (Laura Lesmana, 2019)
”Ada empat inti kerja LRBI dalam mengembangkan bahasa isyarat.
Pertama mengadakan pelatihan kepada Tuli, juga para pihak yang
terkait sebagai salah satu jalan sosialisasi bahwa bahasa isyarat juga
memiliki strutur linguistik yang sama dengan bahasa pada umumnya.
Selain itu, LBRI melakukan riset bahasa, hasil dari riset tersebut dibuat
menjadi buku ajar bahasa isyarat, kamus bahasa isyarat. Tidak hanya
riset, kami juga memberikan pendidikan bagi Tuli dan orang yang mau
belajar bahasa isyarat.” (Laura Lesmana, 2019)
Laura Lesmana sebagai ketua PUSBISINDO menyampaikan
bahwa kerjasama antara GERKATIN dan LBRI UI sudah berlangsung
selama 5 tahun. Pada tahun 2014 program mulai berjalan. Meskipun
berlangsung selama 5 tahun, tetapi implementasi program akan bertahap.
Nantinya buku ajar, juga kamus bahasa isyarat akan dibagikan secara
gratis keseluruh instansi terkait, seperti sekolah, kantor pemerintah,
organisasi difabel, dan diberikan kepada para aktivis peduli Tuli.
“Kami berharap bahasa isyarat bisa diakui oleh semua pihak, selama
ini belum ada riset tentang bahasa isyarat, jadi bahasa isyarat masih
dianggap angin lalu. Melalui riset yang dilakukan LBRI ini
menunjukan secara akademis bahwa bahasa isyarat merupakan penting
dan berharga bagi Tuli. Kalau di UI saja bahasa isyarat sudah dijadikan
mata kuliah, harapannya pelan-pelan Indonesua juga bisa mengakui
75
sebagai bahasa yang setara dengan bahasa lainnya.” (Laura Lesman,
2019)
Laboratorium Riset Bahasa Isyarat (LRBI) Departemen Linguistik
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI)
sebagai sebuah unit penelitian dan pengembangan bahasa isyarat Indonesia
yang berdiri sejak 2014. Menyelenggarakan Festival Bahasa Isyarat 2018
sebagai bentuk disemnasi dan penguatan bahasa isyarat pada sivitas
akademik, pemangku kepentingan, dan masyarakat umum. Laura selaku
ketua PUSBISINDO menyampaikan Festival Bahasa Isyarat bertujuan
untuk mensosialisasikan dan mengapresiasi pegiat bahasa isyarat yang
memperjuangkan bahasa isyarat Indonesia dalam segala bidang, baik dari
segi akademis maupun praktik kebahasaan. Kegiatan ini juga berfungsi
sebagai diseminasi hasil kerja LRBI selama 5 tahun sejak didirikannya.
Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) merupakan alat komunikasi
sebagian besar warga Tuli Indonesia untuk memperoleh informasi yang
bermanfaat bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya.
BISINDO juga berperan untuk menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi, serta mengatasi keterbatasan dalam mempertahankan dan
memfasilitasi keberadaan hidup masyarakat Tuli Indonesia.
Pengembangan BISINDO sangat penting dan strategis dalam rangka
pencerdasan orang Tuli.
Meskipun mempunyai peran yang sangat penting untuk orang Tuli.
BISINDO masih sering disalahpahami oleh sebagian besar masyarakat.
Masih banyak orang yang berpandangan bahwa BISINDO bukan bahasa,
hanya merupakan isyarat, sehingga BISINDO tidak perlu dikembangkan
dan dikuasai oleh orang Tuli. Padahal, BISINDO merupakan bahasa yang
dapat digunakan untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran, serta
memiliki fungsi yang sama dengan bahasa lisan. Penyadaran akan peran
bahasa isyarat sebagai bahasa yang dapat menyetarakan masyarakat Tuli
perlu dibangun dan dibiasakan pada masyarakat umum. Dalam observasi
yang peneliti lakukan keberadaan dan peran penting bahasa isyarat perlu
76
diperjuangkan oleh berbagai pihak, termasuk pihak akademisi, yang
melalui penelitiannya dapat mendukung penyebaran bahasa isyarat.
77
BAB V
PEMBAHASAN
Pada bab ini menjelaskan hasil penelitian yang telah dilakukan dan
dikaitkan dengan kerangka berpikir dan teori-teori yang telah dijabarkan
pada bab sebelumnya. Dalam kerangka berpikir dijelaskan bahwa
penyandang disabilitas sudah seharusnya mendapatkan hak-hak yang
meliputi aksesibilitas fisik, pendidikan, kesempatan kerja, dan peran serta
dalam pembangunan sebagai hak dasar kesetaraan. Namun, hak yang
seharusnya didapatkan oleh penyandang disabilitas rungu belum terpenuhi
sepenuhnya. Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN)
mewadahi teman-teman penyandang disabilitas rungu agar mereka dapat
mengembangkan bakat, mendapatkan hak, dan mampu bersosialisasi
dengan masyarakat lainnya. GERKATIN sendiri adalah organisasi untuk
penyandang disabilitas rungu dimana seluruhnya dikelola oleh
penyandang disabilitas rungu.
GERKATIN mempunyai beberapa program yang masih terus
diperjuangkan agar mendapatkan hak yang setara dari pemerintah dan juga
masyarakat. Adapun program GERKATIN diantaranya adalah
aksesibilitas dan BISINDO. Melalui program tersebut, GERKATIN
melalukan aksi sosial untuk bisa mendapatkan hak yang setara dari segi
aksesibilitas dan juga BISINDO sebagai bahasa alamiah. Konvensi Hak-
Hak Penyandang Disabilitas pasal 9 yang mengatur tentang aksesibilitas
agar penyandang disabilitas mampu hidup secara mandiri dan
berpartisipasi secara penuh dalam semua aspek kehidupan. Dimana negara
wajib mengambil langkah yang tepat untuk menjamin akses bagi
penyandang disabilitas, atas dasar kesamaan dengan warga lainnya,
terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi, dan komunikasi,
termasuk sistem serta teknologi informasi dan komunikasi, serta akses
terhadap fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka atau tersedia untuk
publik, baik daerah perkotaan maupun pedesaan. Dilihat dari Konvensi
78
Hak-Hak penyandang disabilitas pasal 9, GERKATIN melakukan aksi
sosial terkait aksesibilitas dengan aktif ikut berperan dalam pembuatan
RPP Penyandang Disabilitas. Dimana saat ini implementasi konvensi hak-
hak disabilitas dan UU No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas
belum semua terpenuhi untuk teman-teman disabilitas termasuk teman
Tuli. Aksi sosial dibidang pekerjaan sosial menurut Wickendon, E (1956)
adalah proses usaha individu, kelompok, atau antar kelompok, dalam
konteks filosofi, pengetahuan, dan keterampilan pekerjaan sosial.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
modifikasi kebijakan sosial dan berfungsinya struktur sosial yang
berfungsi untuk memperoleh kemajuan dan layanan baru.
Dalam hal ini GERKATIN terus memperjuangkan hak penyandang
disabilitas rungu untuk mendapatkan kesetaraan. Usaha yang dilakukan
oleh GERKATIN dengan melakukan aksi sosial untuk aksesibilitas dan
BISINDO. Dimana aksesibilitas untuk penyandang disabilitas rungu
belum semua terpenuhi seperti yang sudah dijelaskan dalam bab 4. Begitu
juga dengan BISINDO (Bahasa Isyarat Indoensia) yang belum
mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai bahasa ibu untuk para
penyandang disabilitas rungu.
Aksi sosial GERKATIN adalah sebagai upaya dan perjuangan
untuk penyandang disabilitas rungu di Indonesia agar mendapatkan hak
yang setara, menjamin akses bagi penyandang disabilitas rungu terhadap
lingkungan fisik, transportasi, informasi, dan komunikasi, termasuk sistem
serta teknologi informasi dan komunikasi, serta akses terhadap fasilitas
jasa pelayanan lain yang terbuka dan tersedia untuk publik.
A. Aksesibilitas
1. Fasilitas Publik Ramah Disabilitas
Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan. Penyandang disabilitas merupakan warga
negara yang berkebutuhan khusus dimana dalam setiap pembangunan
fasilitas publik harus memenuhi hak aksesibilitas dari penyandang
79
disabilitas sehingga nantinya akan memudahkan penyandang disabilitas
untuk mengaksesnya.
Di Indonesia, terdapat Undang-Undang yang khusus mengatur para
penyandang disabilitas dalam UU No. 8 Tahun 2016 dan ada juga
konvensi tentang hak-hak penyandang disabilitas. Dalam UU dan
konvensi tersebut, tertulis juga bahwa penyandang disabilitas berhak
mendapatkan kesetaraan dan aksesibilitas dalam seluruh lingkup
kehidupan, termasuk komunikasi. Namun, UU dan konvensi yang
mengatur tentang hak penyandang disabilitas belum sepenuhnya
dilaksanakan oleh pemerintah.
Dalam hal ini, peneliti menggunakan tiga jenis strategi aksi sosial
menurut Lees dalam menganalisa hasil temuan. Ada tiga jenis strategi
untuk aksi sosial: pertama kolaborasi pekerja sosial atau pekerja agen
bekerja sama dengan para pemimpin lokal untuk fokus pada kebijakan
sosial yang ada dan mencari cara untuk memperbaikinya. Kedua
persaingan dalam strategi ini menggunakan taktik kampanye yang
diterima secara umum untuk membujuk, untuk bernegosiasi, dan untuk
tawar menawar, dengan keinginan untuk mencapai kesepakatan kerja.
Ketiga gangguan strategi menandakan pendekatan yang lebih militan
dan mungkin termasuk pemogokan, boikot, penolakan pajak, dan aksi
damai.
Dalam hasil temuan wawancara yang sudah dijabarkan pada bab 4.
GERKATIN sudah melakukan aksi sosial untuk transportasi publik
yaitu kereta mengenai informasi visual. GERKATIN melakukan aksi
sosial ke pemerintah terkait untuk bisa menambahkan akses secara
visual agar dapat mengetahui arah tujuan kereta. Kemudian untuk
akses yang ada di MRT, sebelum MRT mulai beroperasi teman-teman
Tuli terlibat untuk mengadvokasi kebutuhan teman-teman Tuli terkait
akses visual. Saat ini akses di MRT untuk teman-teman Tuli sudah
tersedia akses visual. Selain itu, aksi sosial juga dilakukan di TV untuk
akses informasi agar tersedianya Juru Bahasa Isyarat (JBI) dan di
80
beberapa bank, rumah sakit, sekolah untuk informasi visual masig
kurang sekali dalam aksesibilitasnya.
Apabila peneliti menganalisa tentang aksi sosial yang dilakukan
GERKATIN, adanya hasil yang diperoleh untuk memperjuangkan
akses setara bagi teman-teman Tuli. Ada beberapa fasilitas publik yang
belum terpenuhi dan belum aksibel untuk teman-teman Tuli. Untuk
terwujudnya akses yang setara sangat dibutuhkan upaya yang tidak
mudah dan tetap diperjuangkan oleh teman-teman Tuli untuk
mendapatkan hak yang setara. Tidak hanya teman-teman Tuli yang
berjuang untuk mendapatkan kesetaraan, tetapi pemerintah dan
masyarakat harus ikut berperan dalam membangun kesetaraan
penyandang disabilitas dengan memenuhi hak-hak mereka
sebagaimana yang sudah diatur dalam UU No. 8 tahun 2016 tentang
penyandang disabilitas dan konvensi hak-hak penyandang disabilitas.
Dapat dilihat dari tiga jenis strategi untuk aksi sosial menurut Lees,
dalam point ketiga adanya pendekatan yang lebih militan yaitu melalui
aksi damai. Hal ini, juga dilakukan oleh GERKATIN untuk bisa
mewujudkan kesetaraan hak penyandang disabilitas rungu. Sesuai
temuan wawancara yang sudah dijabarkan pada bab 4, GERKATIN
melakukan aksi rutin dengan membuka kursus Bahasa Isyarat
Indonesia (BISINDO). Masyarakat diperbolehkan belajar bahasa
isyarat dengan gratis. Aksi tersebut rutin dilakukan agar teman-teman
Tuli mempunyai kesempatan kerja sama dengan komunitas lain.
Apabila peneliti menganalisa berdasarkan hasil wawancara, sampai
saat ini penggunaan Bahasa Isyarat belum menjadi bahasa ibu untuk
teman-teman Tuli. Maka dari itu, GERKATIN terus melakukan aksi
sosial rutin guna memberikan informasi untuk masyarakat agar bisa
menerima dan memahami Bahasa Isyarat sebagai alat komunikasi
teman Tuli.
Menurut Lees dalam tiga jenis strategi aksi sosial yang kedua
adalah persaingan dalam strategi ini pihak yang bertikai menggunakan
81
taktik kampanye yang diterima secara umum untuk membujuk, untuk
bernegosiasi dan untuk tawar menawar, dengan keinginan untuk
mencapai kesepakatan kerja. Hal yang sama dijelaskan oleh Richard
Brynt dalam Lees mengatakan dua strategi tawar menawar dan
konfrontasi. Tawar menawar berarti melobi, mengajukan petisi,
kampanye informasi dan publisitas. Sedangkan konfrontasi mencakup
pemogokan, demonstrasi, dan aksi damai. Hasil temuan wawancara
peneliti yang sudah dijabarkan pada bab 4, GERKATIN melakukan
beberapa aksi agar mereka bisa berjejaring dengan komunitas lain
untuk mendapatkan kesamaan kesempatan yang setara. Untuk
mempunyai kesepakatan kerja dengan komunitas lain GERKATIN
juga memberikan informasi tentang pentingnya kesetaraan hak
disabilitas tentang akses informasi dan film di Bioskop agar tersedia
teks dalam film Indonesia. Apabila peneliti menganalisa hasil temuan
wawancara, untuk memperjuangkan kesetaraan hak disabilitas Tuli,
GERKATIN sudah melakukan strategi tersebut agar dapat berjejaring
dengan komunitas lain melalui kampanye informasi. Kampanye
informasi dilakukan oleh GERKATIN melalui kerjasama dengan
beberapa komunitas, seperti yang sudah dijabarkan pada bab 4.
Namun, hal tersebut masih belum sepenuhnya tersedia bagi
penyandang disabilitas Tuli. Aksesibilitas yang belum terpenuhi bagi
teman-teman Tuli adalah di Bioskop. Penyandang disabilitas Tuli juga
mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh
hiburan salah satunya bisa menonton film di Bioskop dengan
tersedianya teks dalam film tersebut, khususnya film Indonesia. Untuk
itu, GERKATIN tetap berjejaring dengan komunitas lain guna
menyampaikan aspirasi teman-teman Tuli agar memberikan teks pada
film-film yang ada di Bioskop.
2. RPP Penyandang Disabilitas
Mengacu pada UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas mengamanatkan pemerintah untuk menerbitkan sejumlah
peraturan teknis. Koalisi organisasi penyandang disabilitas yang
82
tergabung dalam Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas
sudah menyodorkan draft alternatif untuk setiap RPP kepada
pemerintah.
Adapun 7 RPP rancangan tersebut tentang RPP Perencanaan,
Penyelenggaraan, Evaluasi Penghormatan, Perlindungan, dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, RPP tentang akomodasi yang
layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan, RPP
tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang
Disabilitas, RPP tentang Kesejahteraan Sosial, Habilitasi dan
Rehabilitasi RPP tentang Pemenuhan Hak Atas Pemukiman, Pelayanan
Publik, RPP tentang Unit Layanan Dsabilitas Ketenagakerjaan, RPP
tentang Konsensi dan Intensif Dalam Penghormatan, Perlindungan dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
RPP tersebut akan menjadi acuan bagi kebijakan yang menyangkut
peran serta penyandang disabilitas di dalam masyarakat. Termasuk
bagaimana negara menjamin pemenuhan hak warga negara secara
inklusif. Dalam proses aksi sosial Lees mengkategorikan tiga jenis
strategi untuk aksi sosial. Hal tersebut sudah dijelaskan pada bab ini.
Point pertama dalam strategi aksi sosial menurut Lees adalah kolaborasi
pekerja sosial atau pekerja agen bekerja sama dengan para pemimpin
lokal untuk fokus pada kebijakan sosial yang ada dan mencari cara
untuk memperbaikinya. Pada hasil wawancara peneliti yang sudah
dijabarkan pada bab 4, untuk bisa mewujudkan kesetaraan hak
penyandang disabilitas khusunya disabilitas rungu. GERKATIN ikut
berperan aktif dalam membuat RPP Penyandang Disabilitas, 7 RPP
seharusnya sudah di sahkan pada tahun 2018. Namun sampai saat ini
belum disahkan RPP tersebut karena adanya faktor silang pendapat
dengan Kementrian Sosial (Kemensos). Sesuai hasil wawancara yang
dilakukan oleh peneliti, baru ada 4 Kementerian yang sudah
menindaklanjuti tugasnya sebagai inisiator Pembentukan PP sesuai
dengan tugas dan fungsinya. Hal yang sama juga disampaikan oleh
narasumber peneliti dalam hasil wawancara pada bab 4. Bahwa
83
GERKATIN dan teman-teman kelompok Tuli lain terlibat untuk
menyesuaikan apa saja kebutuan Tuli. Dari komunitas raga disabilitas
lain seperti komunitas daksa, netra, semuanya mengirimkan orang
sebagai wakil lalu berdiskusi dengan pemerintah. Sampai saat ini masih
pada tahap proses dan masih sangat lambat dalam implementasi RPP
tersebut.
Apabila peneliti menganalisa berdasarkan hasil wawancara,
GERKATIN terus melakukan diskusi terhadap pemerintah untuk
disahkannya RPP Penyandang Disabilitas. Perlu dipahami 7 RPP ini
akan menjadi peluang besar untuk mendorong pemenuhan hak
penyandang disabilitas dalam berbagai sektor. Dengan adanya 7 PP
berarti akan ada 7 Kementerian yang menjadi inisiator pembentukan
dan membahas isu disabilitas sesuai dengan bidang kerja masing-
masing secara intensif. Keberadaan 7 PP ini juga menjadi penegasan
bahwa disabilitas terkait dengan isu seperti pendidikan,
ketenagakerjaan, insfrastruktu, pelayanan publik, perencanaan
pembangunan, dan bahkan hukum dan keunagan, tidak hanya terkait
dengan bidang sosial. Namun, sampai saat ini belum ada RPP yang
disahkan oleh pemerintah. GERKATIN bersama komunitas ragam
disabilitas lain yang tergabung dalam Pokja Impementasi masih
melanjutkan diskusi dengan pemerintah agar RPP Penyandang
Disabilitas segara disahkan.
B. BISINDO
Bahasa isyarat merupakan jenis komunikasi non verbal karena
merupakan bahasa yang tidak menggunakan suara tetapi menggunakan
bentuk dan arah tangan, pergerakan tangan, bibir, badan serta ekspresi
wajah untuk menyampaikan maksud dan pikiran dari seorang penutur.
Belum ada bahasa isyarat internasional karena bahasa isyarat di tiap
negara belum tentu sama. Bahasa isyarat biasanya berkembang sesuai
dengan lingkungan dan budaya setempat. Dalam hasil wawancara peneliti
pada bab 4 dijelaskan bahwa di Indonesia terdapat dua sistem isyarat,
yakni Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) dan Sistem Isyarat Bahasa
84
Indonesia (SIBI). SIBI merupakan bahasa isyarat yang dibuat oleh non-
tunarungu diantaranya adalah guru bahasa isyarat, pemerhati (mencakup
budaya dan bahasa) tunarungu. SIBI telah memiliki kamus yang
diterbitkan oleh pemerintah pada tahun 2002 dan disebarluaskan melalui
sekolah-sekolah khususnya SLB/B. Berbeda dengan SIBI, BISINDO
dikembangkan dan disebarluaskan melalui GERKATIN. BISINDO
merupakan bahasa isyarat alamiah para disabilitas Tuli. Hingga saat ini,
GERKATIN terus aktif untuk mengangkat eksistensi BISINDO sebagai
bahasa isyarat alamiah/bahasa ibu yang seharusnya diakui oleh
pemerintah. BISINDO dianggap lebih mewakili Budaya Tuli Indonesia
karena mampu merepresentasikan Budaya Tuli Indonesia. Isyarat
BISINDO sendiri muncul secara alami dari interaksi Tuli dengan
lingkungannya. BISINDO juga memiliki keunikan seperti halnya bahasa
daerah. Sampai saat ini, GERKATIN terus aktif mengangkat eksistensi
BISINDO agar diakui sebagai bahasa isyarat alamiah. Memperjuangkan
eksistensi BISINDO sebagai bahasa isyarat alamiah perlu dilakukan oleh
komunitas Tuli untuk bisa menyadari keberadaan dan hak-haknya sebagai
Tuli. Semangat untuk menyuarakan hak-hak Tuli dan untuk mendapat
pengakuan dengan mengangkat BISINDO sebagai bahasa alamiah telah
menyatu dan melekat pada seluruh anggota GERKATIN.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang
Disabilitas, setelah konvensi tersebut disahkan maka memberikan
kewajiban-kewajiban negara untuk menjamin dan memajukan pemenuhan
hak penyandang disabilitas, khususnya disabilitas Tuli. Konvensi Hak-Hak
Penyandang Disabilitas (CRPD) pasal 2 menjelaskan tujuan Konvensi
tersebut:
”Komunikasi” mencakup bahasa, tayangan teks, Braille,
komunikasi tanda timbul, cetak cetak besar, multimedia yang dapat
diakses seperti juga maupun bentuk-bentuk tertulis, audio, plain-
language, pembaca-manusia dan bentuk-bentuk, sarana dan format
komunikasi tambahan maupun alternatif lainnya, sarana, termasuk
informasi dan teknologi komunikasi yang dapat diakses;
“Bahasa” mencakup bahasa lisan dan bahasa isyarat serta
bentuk-bentuk bahasa nonlisan yang lain.
85
Oleh karena itu, pemenuhan hak penyandang disabilitas bukan lagi
sekedar belas kasihan tetapi merupakan bentuk dari pemenuhan hak asasi
manusia. Tentunya hal ini dimanfaatkan baik oleh GERKATIN untuk
melakukan desakan dan memperjuangkan pelaksanaan implementasi dari
CRPD tersebut. Bukti dari aksi sosial GERKATIN dapat dilihat dari hasil
wawancara peneliti pada bab 4. Dimana GERKATIN mengadakan
kegiatan rutin sosialisasi BISINDO setiap akhir pekan di acara Car Free
Day, masyarakat bisa belajar secara gratis dan dapat berinteraksi langsung
dengan disabilitas Tuli. Tidak hanya itu, GERKATIN juga membuka kelas
bahasa isyarat di Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (PUSBISINDO).
Kegiatan ini salah satu aksi sosial GERKATIN yang bertujuan agar
masyarakat dapat menggunakan bahasa isyarat sebagai bahasa utama Tuli
untuk berkomunikasi. Minimnya pengetahuan masyarakat dan masyarakat
yang dapat menggunakan bahasa isyarat merupakan alasan pelatihan
BISINDO diadakan. Apabila peneliti menganalisa menggunakan CRPD
Pasal 2. Adanya CRPD tersebut, seharusnya akses penyandang disabilitas
Tuli terkait informasi dan komunikasi dapat teralisasikan dengan baik,
agar BISINDO bisa mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai
bahasa ibu komunitas Tuli di Indonesia yang berkembang secara alami di
kalangan Tuli Indonesia. Namun, keberadaan BISINDO secara resmi
belum mendapatkan pengakuan oleh pemerintah. Pemerintah seharusnya
mendukung dan mengembangkan BISINDO sebagai satu-satunya bahasa
yang dapat dipahami oleh kaum Tuli. Dengan begitu, akan semakin
banyak orang yang mempelajari BISINDO. Sehingga komunikasi antara
kaum Tuli dan orang dengar tidak lagi menjadi hambatan. Teman-teman
disabilitas Tuli juga bisa mendapatkan akses informasi dengan mudah
seperti adanya teks dalam film Indonesia, tersedianya juru bahasa isyarat
(JBI) di TV tidak hanya dalam berita namun, acara-acara TV lain untuk
hiburan kaum Tuli, JBI juga dibutuhkan untuk acara-acara seminar
nasional. Bagi Tuli BISINDO yang terpenting adalah suatu bahasa dapat
dicerna dan dimengerti dengan baik pemaknaannya. Tidak jarang
keterbelakangan dalam perkembangan sistem teknologi dan informasi
86
menghambat Tuli untuk berkembang dan mendapatkan informasi serta
perlakuan yang sebagai bagian dari Negara serta kurangnya orang dengar
memahami bahasa isyarat. Hal lain yang menyebabkan Tuli dan orang
dengar sulit dalam berkomunikasi adalah masih kurangnya sosialisasi dari
pihak pemerintah tentang pembelajaran bahasa isyarat.
Dari hasil wawancara peneliti pada bab 4. GERKATIN mendapatkan
dukungan dari Universitas Indonesia (UI). Saat ini BISINDO sudah mulai
dimasukkan ke dalam kurikulum belajar mahasiswa sastra mata kuliah
“Kemahiran Berbahasa Isyarat”. GERKATIN juga sudah diajarkan di
Fakultas Kedokteran UIN Jakarta sebagai pengenalan dasar tentang bahasa
isyarat pada ilmu kedokteran yang memungkinkan dipakai ketika
menangani pasien.
1. Juru Bahasa Isyarat
Disabilitas adalah orang yang mengalami hambatan karena
lingkungannya tidak mendukung atau tidak menyediakan akses/fasilitas.
Juru bahasa isyarat (JBI) merupakan suatu media fasilitas aksesibilitas
bagi warga Tuli/tunarungu untuk memenuhi haknya mendapatkan
informasi dan komunikasi yang setara.
Tanpa juru bahasa isyarat, warga Tuli/tunarungu tidak akan dapat
mengakses informasi dengan maksimal, yang mengakibatkan kemunduran
warga Tuli/tunarungu di semua aspek kehidupannya. Di Indonesia belum
ada JBI yang memiliki sertifikat, baru ada sukarelawan atau magang JBI
yang dilatih oleh orang Tuli/tunarungu dalam pergaulan sehari-hari.
Sukarelawan JBI dilatih dan dinilai oleh komunitas Tuli. Juru
bahasa isyarat juga wajib mematuhi aturan dan kode etik demi
kenyamanan warga Tuli. Dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang
Disabilitas yang dituangkan dalam UU No. 19 Tahun 2011, banyak
penekanan tentang hak bagi warga Tuli/tunarungu yang menyangkut
bahasa isyarat dan linguistik.
Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas Pasal 9 tentang
aksesibilitas menjelaskan:
87
Agar penyandang disabilitas mampu hidup secara mandiri
dan berpartisipasi secara penuh dalam semua aspek kehidupan,
Negara-Negara pihak harus mengambil kebijakan yang sesuai
untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas berdasarkan
kesetaraan dengan yang lainnya, terhadap lingkungan fisik,
transportasi, informasi, dan komunikasi, termasuk teknologi dan
sistem informasi dan komunikasi, serta terhadap fasilitas dan
layanan lainnya yang terbuka atau tersedia untuk publik, baik di
daerah perkotaan maupun pedesaan, kebijakan-kebijakan terhadap
aksesbilitas harus diterapkan pada, antara lain:
1. Menyediakan bentuk-bentuk bantuan langsung dan perantara,
termasuk pemandu, pembaca dan penerjema bahasa isyarat
profesional, untuk memfasilitasi aksesbilitas terhadap gedung
dan fasilitas lain yang terbuka untuk publik.
2. Meningkatkan bentuk bantuan dan dukungan lain yang sesuai
bagi penyandang disabilitas untuk menjamin akses mereka
terhadap informasi.
Pasal 20:
Menyediakan bentuk-bentuk bantuan langsung dan perantara,
termasuk pemandu, pembaa dan penerjemah bahasa isyarat
profesional, untuk memfasilitas aksesibilitas terhadap gedung dan
fasilitas lain yang terbuka untuk publik.
Pasal 21:
Mengakui dan memajukan pemakaian bahasa isyarat.
Pasal 24:
3.B.memfasilitasi pelajaran bahasa isyarat dan pemajuan identitasi
linguistik dari komunitas tunarungu.
4.Untuk menjamin pemenuhan tersebut, Negara-Negara pihak
harus mengambil kebijakan-kebijakan yang sesuai untuk
mepekerjakan guru-guru, termasuk guru dengan disabilitas,
memiliki kualifikasi dalam bahasa isyarat dan/ata braille, dan
untuk melatih para profesional dan staf yang bekerja dalam
88
berbagai tingkatan pendidikan. Pelatihan akan mengikutsertakan
kesadaran mengenai disabilitas dan pengunaan bentuk saran dan
format komunikasi serta teknik dan bahan pendidikan yang bersifat
augmentatif dan alternatif guna untuk mendukung penyandang
disabilitas.
Pasal 30:
Menikmati akses terhadap program televisi, film teater dan
kebudayaan lain yang mudah diakses.
Pada hasil wawancara peneliti sudah dijabarkan dalam bab 4.
GERKATIN membuka kelas bahasa isyarat dengan nama Pusat Bahasa
Isyarat Indonesia (PUSBISINDO) agar dapat merekrut volunteer
BISINDO yang dapat membantu dalam pendidikan Tuli dan JBI, juga
membantu segi linguistik bahasa isyarat. Kelas bahasa isyarat sendiri baru
sampai pada level 3, setelah itu murid dialokasikan ke Pusat Layanan Juru
Bahasa Isyarat (PLJBI) untuk magang dan relawan JBI. Secara tidak
langsung JBI masih ilegal atau bisa dikatakan belum resmi sesuatu dengan
aturan-aturan yang berlaku. Apabila peneliti menganalisa menggunakan
CRPD Pasal 9, 20, 21, 24, dan 30. JBI belum mendapatkan sertifikasinya
disebabkan kurangnya perhatian dari masyarakat maupun lembaga
pemerintah dan non pemerintah untuk Tuli. Sampai saat ini sertifikasi
untuk JBI belum terpenuhi. Bahwa urusan sertifikasi ditangani oleh
organisasi Tuli dan kementerian apa yang bertanggung jawab. Hal ini
sangat disayangkan, jika melihat sudah adanya CRPD yang diratifikasi
oleh pemerintah mengenai aksesbilitas penyandang disabilitas. Namun
pada tahap implementasi masih belum sesuai dalam CRPD yang sudah
tertulis. Untuk itu GERKATIN bersama dengan PUSBISINDO dan PLJ
tetap melakukan aksi sosial dilakukan dengan mensosialisasikan kepada
komunitas lain dan acara-acara seminar untuk disediakannya JBI sebagai
akses informasi dan komunikasi bagi warga Tuli/tunarungu.
89
Untuk dapat mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi
disabilitas Tuli menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, serta tanpa
diskriminasi maka pemerintah perlu lebih memperhatikan akses yang
belum terpenuhi bagi Tuli. Saat ini GERKATIN masih terus
mengupayakan bersama PLJ dan PUSBISINDO agar tersedianya juru
bahasa isyarat yang sering diperlukan di acara seminar, lokakarya,
pendidikan formal maupun informal, kesehatan peradilan, pelayanan
umum, kerohanian, dan tenaga kerja. JBI merupakan media atau fasilitas
aksesibilitas bagi Tuli untuk menerima atau memberi informasi. JBI ibarat
telinga bagi Tuli yang menangkap informasi dan komunikasi dari orang
dengar yang berbicara menyampaikan informasi bagi orang dengar.
Artinya keberadaan JBI sangat dibutuhkan. Sampai saat ini yang
dilapangan fasilitas komunikasi dan informasi untuk disabilitas Tuli masih
perlu dikembangkan dengan tersedianya JBI, teks, tulisan berjalan.
Pemerintah wajib memberi akomodasi yang layak diberbagai tempat
pelayanan umum sesuai yang sudah dijelaskan dalam Konvensi Hak-Hak
Penyandang Disabilitas dimana konvensi tersebut sudah diratifikasi oleh
pemerintah.
2. BISINDO menjadi kurikulum di Universitas Indonesia
Saat ini GERKATIN mendapatkan tempat di Universitas
Indonesia. Upaya yang dilakukan GERKATIN mendapatkan hasil dalam
pendidikan terutama di jenjang perguruan tinggi. Dalam hasil wawancara
peneliti yang dijarbakan pada bab 4. Universitas Indonesia (UI) adalah
Universitas pertama yang membuka kelas bahasa isyarat, sekaligus
menjadi pusat penelitian. Laboratorium Riset Bahasa Isyarat (LBRI)
merupakan laboratorium bahasa isyarat yang pusatnya berada di
Universitas Indonesia. LBRI sendiri terbentuk atas dasar kepedulian dan
kesadaran para akademisi linguistik yang menganggap bahwa bahasa
isyarat merupakan magian dari bahasa yang harus diakui dari komponen
bahasa manusia.
LBRI merupakan ide dari GERKATIN dan Fakultas Ilmu Budaya
Indonesia yang diapresiasi oleh Nippon Jepang sebagai donor dan Center
90
of Sign Language and Difabel Study (CSLCSD). Kerjasama GERKATIN
dan LBRI UI sudah berlangsung selama 5 tahun. Hal ini dilihat bahwa
GERKATIN terus melakukan aksi dan sosialisasi bahasa isyarat agar
mendapatkan pengakuan oleh pemerintah dan seluruh masyarakat
pentingnya bahasa isyarat bagi Tuli merupakan sebuah akses yang harus
diakui. Selain itu melalui riset LBRI menunjukan secara akademis bahwa
bahasa isyarat berharga bagi Tuli.
91
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah peneliti
lakukan mengenai Aksi Sosial Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu
Indonesia Jakarta (GERKATIN Jakarta) Terhadap Penyandang Disabilitas
Rungu, melalui wawancara, observasi dan dokumentasi maka penulis
dapat menyimpulkan bahwa:
1. Aksi sosial yang dilakukan Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu
Indonesia Jakarta (GERKATIN Jakarta) untuk mendapatkan fasilitas
publik dalam aksesibilitas belum semua terpenuhi. Hal yang belum
terpenuhi sampai saat ini diantaranya akses penggunaan bahasa isyarat
yang belum dapat pengakuan sebagai bahasa Ibu/alamiah untuk Tuli.
Kemudian akses belum tersedia teks dalam film Indonesia di Bioskop,
belum terseda akses visual di rumah sakit, bank, dan sekolah. Dari hal
yang belum terpenuhi tersebut, sudah ada beberapa akses yang tersedia
seperti sudah tersedia JBI (Juru Bahasa Isyarat) dibeberapa stasiun TV
untuk akses informasi berita bagi Tuli. Untuk akses fasilitas
transportasi umum, sudah tersedia akses visual di dalam MRT dan
Busway. Dalam RPP Penyandang Disabilitas, Gerkatin melakukan
aksi sosial dengan ikut berperan aktif dalam pembuatan RPP
Penyandang Disabilitas yang tergabung dalam Pokja. Sampai saat ini,
belum ada RPP yang disahkan oleh pemerintah karena masih adanya
silang pendapat dari komunitas ragam disabilitas mengenai rehabilitas
dan habilitas. Namun, sosialisasi yang dilakukan oleh Gerkatin dan
komunitas ragam disabilitas lain. Saat ini menyampaikan dan
memberikan draft RPP tersebut kepada beberapa kementerian
diantaranya: Kementerian Sosial, Kemendikbud, Bappenas, dan
Kementerian Hukum dan HAM. Diskusi masih dilakukan mengenasi
RPP tersebut bersama komunitas ragam disabilitas lainnya dengan
Kementerian Sosial.
92
Penelitian jika dilakukan tanpa adanya manfaat untuk orang lain
tentu merupakan hal yang sia-sia. Dari penelitian ini peneliti berharap,
penelitian yang telah dilakukan dapat bermanfaat baik dari segi teoritis
maunpun praktis. Adapun implikasi dari penelitian ini yang dapat
bermanfaat untuk kedepannya adalah
1. Teoritis
Dari segi teoritis peneliti mengharapkan bahwa penelitian ini dapat
bermanfaat bagi para akademisi maupun penyandang disabilitas Tuli
yang membaca penelitian ini. Adapun implikasi dari segi teoritis
adalah
a. Berdasarkan definisi aksi sosial di bidang pekerjaan
sosial yang dikemukakan oleh Wickendon, E adalah
proses usaha individu, kelompok, atau antar kelompok,
dalma konteks filosofi, pengetahuan, dan keterampilan
pekerjaan sosial. Dengan tujuan meningkatkan
kesejateraan masyarakat melalui modifikasi kebijakan
sosial dan berfungsinya struktur sosial yang berfungsi
untuk memperoleh kemajuan dan layanan baru. Maka
aksi sosial Gerkatin dilakukan untuk mendapatkan
kesetaraan hak disabilitas dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan teman-teman Tuli.
b. Berdasarkan CRPD/ Konvensi Hak-Hak Penyandang
Disabilitas, maka aksesibilitas untuk kesetaraan
penyandang disabilitas dapat terlaksana dengan baik
apabila pemerintah juga mendorong tersedianya akses
fasilitas publik dan mengakui BISINDO sebagai Bahasa
Ibu/alamiah bagi Tuli.
2. Praktis
Dari segi praktis, peneliti mengharapkan bahwa penelitian ini dapat
bermanfaat bagi praktisi, aktivis Tuli, komunitas, dan lembaga yang
bergerak di bidang advokasi untuk disabilitas, khususnya disabilitas
Tuli. Adapun implikasi dari segi praktik adalah
93
a. GERKATIN terus mendorong aksi sosial yang
dilakukan terkait aksesibilitas dan BISINDO untuk
mendapatkan hak setara sesuai dengan UUD dan CRPD
yang menjelaskan secara rinci hak-hak disabilitas.
b. GERKATIN dapat mendorong teman-teman Tuli lain
di Indonesia untuk lebih aktif memperjuangkan
kesetaraan hak disabilitas Tuli, agar tersedianya akses
bagi Tuli di kota-kota lain.
c. Lebih banyak aktivis Tuli maupun dengar yang peduli
terhadap hak-hak penyandang disabilitas.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, untuk
lebih meningkatkan kesadaran masyarakat, lembaga dan juga instansi
terkait. Agar terciptanya ruang inklusif bagi disabilitas peneliti ingin
menyampaikan saran, yaitu:
1. Harus adanya penyebaran secara menyeluruh mengenai pelajaran
bahasa isyarat di semua universitas yang ada di Indonesia.
2. Harus diterapkan kesetaraan dalam mendapatkan pendidikan,
aksesbilitas, maupun pekerjaan yang layak antara individu Tuli dan
individu dengar.
3. Bukan hanya di dalam UU, usaha pemerintah untuk melalukan
penyetaraan serta menerapkan perlindungan untuk Tuli, melainkan
harus lebih banyak penyebaran informasi sehingga masyarakat dapat
lebih banyak tahu tentang budaya Tuli dan bisa menghargai Tuli serta
bahasa isyarat indonesia (BISINDO).
94
DAFTAR PUSTAKA
A. SumberBuku
Ahmad, Abu. 1990. Kamus Lengkap Sosiologi. Solo․ CV Aneka.
Britto, G.A.A․ 1984․ Social Action and Social Work Education in the
Eighties, in Social Work and Social Action (ed) H.Y. Siddiqui,
Hanam Publications.
Chaplin, J.P. 1993. Dictionary of Psychology. Dalam Kartono Kartini
(Penyunting) Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Coleridge, Peter․ 1997․ “Pembebasan dan Penyandang Cacat Di
Pembangunan, Perjuangan Negara Berkembang”. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Departemen Sosial Republik Indonesia․ 2009․ Pedoman Advokasi
Sosial Penyandang Cacat, Jakarta: Kementrian Sosial Republik
Indonesia.
Direktorat Jendral Rehabilitas Sosial Orang dengan Kecacatan․ 2010․
Panduan Pelaksanaan Komunikasi Total Bagi Orang Dengan
Kecacatan Tunarungu Wicara․ Jakarta: Kementrian Sosial
Republik Indonesia.
Friedlander, W.A․ 1964. Concepts and Methods of Social Work. Prentice
Half of India, New Delhi.
Gunawan, Imam. 2013․ Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik,
Jakarta: Bumi Aksara.
Irfan, Muhammad dan Abdul Wahid. 2001․ Perlindungan Terhadap
Korban Kekerasan Seksual: Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan․
Bandung: Refika Aditama․
Kusuma, dkk. 2007․ Disabilitas Sebuah Pengantar. Jakarta: PIC UIN
Jakarta․
Lees, R. 1972․ Politics and Social Work․ Routledge and Keegan Paul․
London.
Moleong, Lexy J. 2007․ Metodologi Penelitian Kualitatif․ Bandung:
Remaja Rosdakarya․
Purwanta, Satya Adi․ 2012․ Penyandang Disabilitas, Vulnarable Group:
Kajian Mekanisme Perlindungan, September.
Rakhmat, Jalaluddin. 2006․ Metode Penelitian Kualitatif, Bandung:
Remaja Rosdakarya․
95
Sastrawinata. 1977. Pendidikan Anak Tunarungu. Jakarta: Depdikbud.
Siddiqui, H.Y. 1984․ Social Work and Social Action (ed)․ Hanam
Publications.
Suaja, I Ketut․ 2013․ Memahami Kaum Tunarungu Wicara․ Denpasar:
Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Bali.
Sugiyono․ 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Supardan, Dadang․ 2008․ Pengantar Ilmu Sosial: Sebua Kajian
Pendekatan Struktural. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Yin, Robert K. 2004․ STUDI KASUS: Desain dan Metode, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada․
B. Sumber Jurnal
Ridlwan, Zulkarnain. 2013․ Perlindungn Hak-Hak Konstitusional
Penyandang Disabilitas (Rights Of Persons With Disabilites)․ Fiat
Justisia Jurnal Ilmu Hukum Universitas Lampung․ Volume 7‚ no.
2: 31-38.
Ro‟fah․ 2015․ Teori Disabilitas: Sebuah Review Literatur dalam Kamil
Alfi Arifin (ed.) Analekta Disabilitas: Sumbangsih untuk
Pengayaan Rancangan Undang-Undang Disabilitas․ Jurnal
DIFABEL․ Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB)․
Vol․ 2‚ no․ 2: 25-40․
Pawestri, Aprilina. 2017․ Hak Penyandang Disabilitas Dalam Perspektif
HAM Internasional dan HAM Nasional․ Era Hukum Universitas
Sebelas Maret․ Volume 2‚ no. 1: 4-10․
C. Sumber Website
GERKATIN Pusat․ 2016․ Hari Tuli Internasional 2016․ Di akses pada
tanggal 26 September 2017‚ dari https://kitabisa.com/harituli․
Rofiatul‚ Khoiriyah. 2015. Difabilitas dalam Al-Qur‟an․ Di akses pada
tanggal 3 Oktober 2017‚ dari
http://eprints.walisongo.ac.id/4521/1/104211073.pdf․
Desy‚ Susilawati․ 2016․ Indonesia miliki 12 persen penyandang
disabilitas․ Di akses pada tanggal 26 September 2017‚ dari
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/12/16/oi9ruf3
84-indonesia-miliki-12-persen-penyandang-disabilitas․
Kertaningtyas․ 2017․ Merdeka dan Setara dengan Bahasa Isyarat․ Di
akses pada tanggal 10 April 2018‚ dari
96
https://www.kompasiana.com/javanology/598ef8023d5ae512bc7b0
fe2/merdeka-dan-setara-dengan-bahasa-isyarat.
Putri‚ Nurmayani․ 2018․ Surya Sahetapy: Kami Memilih Disebut Tuli․
Di akses pada tanggal 10 April 2018‚ dari
http://diamma.com/2018/04/09/surya-sahetapy-kami-memilih-
disebut-tuli/.
HukumOnline․ com․ 2016․ UU Nomor 8 Tahun 2016․ Di akses pada
tanggal 26 September 2017‚ dari https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt573571e451dfb/nod
e/534/undang-undang-nomor-8-tahun-2016.
Infocarfreeday․ net․ 2016․ Yuk Pelajari Bahasa Isyarat di Car Free
Day․ Di akses pada tanggal 10 Aoril 2018‚ dari
https://www.infocarfreeday.net/2016/09/13/yuk-pelajari-bahasa-
isyarat-di-car-free-day/.
Lampiran-lampiran
TABEL. 02 Observasi Penelitian
No Observasi
1 Izin Penelitian
Keadaan Lingkungan :
1. Narasumber ramah, sopan dan santun.
2. Perizinan penelitian tidak dipersulit.
3. Komunikasi lisan dan tulisan karena narasumber
semuanya tunarungu.
2 Wawancara
Keadaan Lingkungan :
1. Narasumber ramah, sopan dan santun.
2. Narasumber sangat teliti dan sabar ketika menjelaskan
kepada peneliti karena pergantian komunikasi verbal
dan nonverbal.
3. Wawancara santai dan informatif
4. Komunikasi lisan dan tulisan karena narasumber
semuanya tunarungu.
TABEL. 03 Dokumentasi
No Data Isi
1 Wawancara Lisan
dan Tulisan
Wawancara tentang terbentuknya
GERKATIN, Aksi Sosial yang dilakukan
GERKATIN untuk kesetaraan hak
disabilitas rungu, dan faktor penghambat
dan pendukung aksi sosial GERKATIN
untuk kesetaraan hak disabilitas rungu.
2 Brosur Profil umum, Sejarah singkat, Visi dan Misi,
Susunan Organisasi serta kegiatan dan
program kerja GERKATIN.
Pedoman Wawancara BISINDO
Informan :
A. Tempat dan Waktu Wawancara
1. Tempat Wawancara :
2. Hari, Tanggal Wawancara :
3. Waktu Wawancara :
B. Identitas Informan
1. Nama :
2. Usia :
3. Jenjang Pendidikan :
C. Isi Wawancara
1. Apa itu BISINDO ?
2. Apa BISINDO sudah diakui sebagai akses terhadap infromasi publik dalam bahasa
isyarat ?
3. Apa saja bentuk aksi sosial GERKATIN untuk mengenalkan BISINDO ke dalam
masyarakat ?
4. Apa saja faktor penghambat GERKATIN dalam mengenalkan BISINDO sebagai
akses informasi publik ?
5. Apa saja faktor pendukung GERKATIN dalam mengenalkan BISINDO sebagai akses
informasi publik ?
6. Apa hasil yang GERKATIN dapatkan dalam mengenalkan dan mempromosikan
BISINDO ?
7. Dengan siapa saja GERKATIN melakukan jejaring untuk mengenalkan BISINDO ?
8. Dimana saja sarana dan prasarana yang sudah dilengkapi dengan BISINDO ?
9. Bagaimana sosialisasi yang dilakukan GERKATIN untuk mengenalkan BISINDO ?
10. Bagaimana proses BISINDO sebagai bahasa ibu ?
Pedoman Wawancara Aksesibilitas
Informan :
A. Tempat dan Waktu Wawancara
1. Tempat Wawancara :
2. Hari, Tanggal Wawancara :
3. Waktu Wawancara :
B. Identitas Informan
1. Nama :
2. Usia :
3. Jenjang Pendidikan :
C. Isi Wawancara
1. Bagaimana awal mula berdirinya GERKATIN ?
2. Berapa orang yang tergabung di dalam GERKATIN ?
3. Apa yang sudah dilakukan GERKATIN untuk mencapai kesetaraan hak penyandang
disabilitas tuna rungu ?
4. Bagaimana proses kegiatan itu berlangsung ?
5. Apa saja aksi sosial yang dilakukan GERKATIN untuk kesetaraan hak disabilitas tuna
rungu ?
6. Dengan siapa saja GERKATIN melakukan jejaring ?
7. Dimana saja GERKATIN melakukan aksi sosial ?
8. Apa aksesibilitas untuk kesetaraan hak disabilitas tuna rungu sudah terpenuhi ?
9. Apa saja bentuk akses yang setara yang sudah ada ?
10. Bagaimana dengan proses pembuatan RPP Penyandang Disabilitas ?
11. Berapa lama waktu yang digunakan dalam pembuatan RPP Penyandang Disabilitas ?
12. Siapa saja yang terlibat di GERKATIN dalam proses RPP Penyandang Disabilitas ?
13. Bagaimana sosialisasi yang dilakukan oleh GERKATIN untuk mengenalkan adanya
RPP Penyandang Disabilitas ?
14. Apa saja faktor yang menghambat belum disahkannya RPP Penyandang Disabilitas ?
15. Apa saja faktor yang mendukung agar disahkannya RPP Penyandang Disabilitas ?
16. Apa harapan GERKATIN dengan adanya RPP Penyandang Disabilitas ?
Biodata Narasumber
Nama : Bambang Prasetyo
Tanggal lahir : 16 Apil 1959
Alamat : Jalan Kelapa Tiga RT003/003 Jagakarsa Jakarta Selatan
Pendidikan : Strata 1
Agama : Islam
No. Telp : 0817-6733-250
Email : [email protected]
Jabatan di Gerkatin : Ketua Umum
Nama : Juniati Effendi
Tanggal lahir : 17 Januari 1960
Alamat : Taman Palem Lestari Blo B6 Nomor 17 RT005/013, Cengkareng
Pendidikan : Strata 1
Agama : Katolik
No. Telp : 0818-0790-0275
Email : [email protected]
Jabatan di Gerkatin : Wakil Ketua
Nama : Wilma Redjeki
Tanggal lahir : 01 April 1966
Alamat : Taman Minggu Indah Blok i 1 Nomor 1 RT003/003, Jurangmangu
Barat, Pondok Aren
Pendidikan : Sekolah Menengah Pertama Bhaktu Mulia Wonosobo
Agama : Katolik
No. Telp : 0856-8182-500
Email : [email protected]
Jabatan di Gerkatin : Wakil Sekretaris
Nama : Siti Rodiah
Tanggal lahir :
Alamat : -
Pendidikan :
Agama : Islam
No. Telp :
Email : -
Jabatan di Gerkatin : Wakil Gerkatin Kepemudaan
Nama : Laura Lesmana
Tanggal lahir : -
Alamat : -
Pendidikan : Strata 1
Agama : Katolik
No. Telp : -
Email : -
Jabatan di Gerkatin : Anggota Gerkatin, Ketua PUSBISINDO
Dokumentasi
Foto dengan Bapak Iwan Setyawan, anggota GERKATIN Foto dengan Andrew Sihombing, anggota Jakarta, di ACE PPKM Jakarta. GERKATIN Tangerang Selatan.
Foto bersama Bapak Bambang dan Ibu Wilma (Ketua dan Sekretaris Umum) dalam acara HUT Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) Bandung, Di Gedung Sate Bandung.
Foto bersama Siti Rodiah wakil GERKATIN Kepemudaan, di Sunyi Coffee Jakarta
Foto penyerahan penghargaan kepada Bapak Bambang sebagai Ketua Umum GERKATIN, dalam acara HUT GERKATIN JAWA BARAT 2019 di Gedung Sate, Bandung.
Foto dengan seluruh anggota GEKATIN Jakarta dan Jawa Barat dalam acara Halal Bi Halal di Aula Kementrian Pendidikan dan Budaya.