Upload
dede-fajar-irwanto
View
1.004
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Penggunaan energi listrik untuk keperluan industri maupun
masyarakat sehari-hari semakin meningkat. Selain itu, menipisnya cadangan
minyak bumi dan krisis bahan bakar minyak menyebabkan munculnya
beberapa penggunaan energi alternatif sebagai usaha untuk mengatasi
permasalahan ini. Salah satunya yaitu munculnya industri pembangkit listrik
tenaga uap (PLTU) yang menggunakan batubara sebagai bahan baku
pembakarannya. Penggunaan batubara sebagai sumber energi dari tahun ke
tahun semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan listrik
untuk keperluan industri maupun masyarakat sehari-hari. Konsumsi batubara
domestik tahun 2009 mencapai 54,5 juta ton dan rata-rata meningkat 9% per
tahun. Akan tetapi, alternatif pengganti minyak bumi dengan menggunakan
batubara juga memberikan dampak yang negatif bagi lingkungan sekitar.
Pembakaran batubara sebanyak itu akan menghasilkan emisi limbah
diantaranya yaitu limbah abu layang yang mencapai 7,87% dari batubara
yang digunakan (Herry P., 1993). Limbah abu layang yang akan terus
meningkat sejalan dengan laju konsumsi batubara dalam rangka
meningkatkan daya saing industri (Anonim, 2006).
Limbah abu layang terutama yang berasal dari pembakaran batubara
pada pembangkit tenaga listrik, merupakan masalah yang tidak asing lagi
2
dihadapi oleh banyak negara di dunia yang menggunakan batubara sebagai
sumber energi. Akumulasi limbah abu layang ini bila tidak dimanfaatkan
akan membutuhkan tempat yang cukup luas untuk menampungnya. PLTU
Tanjung Jati B Jepara misalnya, puluhan ribu ton abu layang ditumpuk dan
dipadatkan di lahan sekitar PLTU. Dapat dibayangkan beberapa puluh hektar
lahan yang diperlukan jika limbah tersebut dibiarkan saja dari tahun ke tahun
tanpa dimanfaatkan. Bila hal ini dibiarkan terus menerus, maka abu layang
tidak mempunyai nilai ekonomi dan justru akan menimbulkan masalah bagi
lingkungan sekitarnya. Sejak PLTU tersebut didirikan, 95% warga desa
Ngelo mengalami infeksi pernafasan, dan semua perkakas, jemuran pakaian
kotor terkena abu (Cahyono B., 2007).
Akan tetapi, selain terdapat dampak negatif yang ditimbulkan, abu
layang mempunyai komposisi kimia yang sebagian besar tersusun atas oksida
logam, terutama SiO2 dan Al2O3, yang mempunyai situs aktif sehingga
dimungkinkan dapat digunakan sebagai adsorben logam berat. SiO2 yang
merupakan oksida metaloid dengan komposisi terbesar dalam abu layang
sebenarnya mempunyai kemampuan adsorpsi paling tinggi pada keadaan
unburned carbon rendah (Herry P., 1993). Akan tetapi, pada beberapa PLTU
di Indonesia justru memiliki kandungan unburned carbon yang tinggi, seperti
pada PLTU Tanjung Jati B yang mempunyai kandungan unburned carbon
mencapai 24%. Sebenarnya unburned carbon memiliki potensi yang dapat
digunakan sebagai adsorben karena mempunyai luas permukaan spesifik
sebesar 25-38 m2/g, akan tetapi jika dibandingkan dengan karbon aktif yang
3
mempunyai luas permukaan spesifik sebesar 945 m2/g, masih perlu solusi
untuk mengolah dan memanfaatkan abu layang ini seefektif mungkin sebelum
digunakan sebagai adsorben, sehingga kandungan unburned carbon yang
terdapat pada abu layang dapat diminimalisir dan kemampuan adsorpsinya
dapat ditingkatkan.
Di sisi lain sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk,
kebutuhan air untuk berbagai keperluan semakin meningkat. Pemenuhan
kebutuhan air bersih saat ini sudah menjadi masalah yang cukup serius. Hal
ini diperburuk lagi dengan meningkatnya air oleh limbah industri, terutama
industri-industri yang banyak menggunakan logam berat yang seringkali tidak
memperhatikan kualitas limbah cair yang dibuang (Asti, 2004). Adanya
kontaminasi logam berat dalam limbah cair berdampak buruk bagi kesehatan
manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Keengganan industri,
terutama industri kecil dan menengah untuk mengolah limbah seringkali
disebabkan oleh mahalnya biaya instalasi dan pengoprasian air limbah
(IPAL), terutama pada pengolahan limbah cair yang mengandung logam
berat. Untuk itu perlu diupayakan penggunaan bahan alternatif yang
memungkinkan dapat menggantikan fungsi instalasi dan pengoprasian air
limbah (IPAL) tersebut, salah satunya yaitu menggunakan adsorben yang
berasal dari limbah pembakaran batubara seperti abu layang batubara.
Penggunaan abu layang sebagai adsorben logam berat diharapkan
selain dapat mengatasi masalah pencemaran lingkungan akibat penimbunan
4
limbah abu layang, juga dapat menangani masalah pencemaran akibat adanya
logam berat. (Woolard dkk, 2000)
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan
dioptimalkan pada aktivasi unburned carbon yang dilakukan secara fisika
dengan pemanasan dan secara kimia menggunakan asam sulfat. Kombinasi
keduanya diharapkan dapat meningkatkan efektivitas adsorpsi yang dititik
beratkan pada logam berat yaitu timbal dan seng, mengingat kedua logam
berat tersebut mempunyai sifat karsinogenik tinggi jika terakumulasi dalam
tubuh manusia. Dengan demikian, penelitian terbagi menjadi dua tahapan,
yaitu tahap aktivasi dan karakterisasi abu layang, serta tahap uji kemampuan
adsorpsi terhadap logam berat.
1.2 PERUMUSAN MASALAH
Permasalahan dalam penelitian ini yaitu :
1. Bagaimanakah pengaruh penggunaan H2SO4 terhadap luas permukaan
pada abu layang batubara?
2. Bagaimanakah pengaruh penggunaan H2SO4 terhadap rasio Si/Al pada abu
layang batubara?
3. Bagaimanakah pengaruh penggunaan H2SO4 terhadap kapasitas adsorpsi
ion logam Pb2+ dan Zn2+ pada abu layang batubara?
4. Berapakah energi adsorpsi dari abu layang yang teraktivasi menggunakan
H2SO4 terhadap ion logam Pb2+ dan Zn2+?
5
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh penggunaan H2SO4 terhadap luas permukaan pada
abu layang batubara.
2. Mengetahui pengaruh penggunaan H2SO4 terhadap rasio Si/Al pada abu
layang batubara.
3. Mengetahui pengaruh penggunaan H2SO4 terhadap kapasitas adsorpsi ion
logam Pb2+ dan Zn2+ pada abu layang batubara.
4. Mengetahui energi adsorpsi dari abu layang yang teraktivasi menggunakan
H2SO4 terhadap ion logam Pb2+ dan Zn2+.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan nilai ekonomi abu layang batubara dalam pemanfaatannya
sebagai adsorben limbah cair yang mengandung ion logam berat Pb2+ dan
Zn2+.
2. Memanfaatkan limbah abu layang batubara untuk mengadsorpsi limbah
cair yang mengandung ion logam berat Pb2+ dan Zn2+.
3. Ion logam Pb2+ dan Zn2+ dapat diadsorpsi menggunakan abu layang yang
telah diaktivasi menggunakan H2SO4.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Abu Layang Batubara
Pada pembakaran batubara dalam PLTU, terdapat limbah padat yaitu
abu layang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash). Partikel abu yang terbawa
gas buang disebut fly ash, sedangkan abu yang tertinggal dan dikeluarkan dari
bawah tungku disebut bottom ash. Di Indonesia, produksi limbah abu dasar
dan abu layang dari tahun ke tahun meningkat sebanding dengan konsumsi
penggunaan batubara sebagai bahan baku pada industri PLTU, seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 2.1. Pembakaran batubara menghasilkan emisi
limbah yang lebih banyak dibandingkan bahan bakar minyak dan gas. Selain
itu, pembakaran batubara juga menghasilkan abu, gas-gas oksida belerang
(SOx), oksida nitrogen (NOx), gas hidrokarbon, karbon monoksida (CO) dan
karbon dioksida (CO2) (Harijono. D, 2006).
Tabel 2.1. Jumlah dan perkiraan produksi abu dasar dan abu layang oleh PLTU di Indonesia (dalam juta ton)
Tahun Konsumsi batubara Abu dasar Abu Layang1996 7,3 0,04 0,252000 27,7 0,25 1,412006 33,3 0,30 1,702009 54,5 0,49 2,78
Sumber : Aziz, M dalam Jurnal Tekmira Nomor 36 (2006).
Komposisi antara fly ash dan bottom ash tergantung sistem
pembakarannya. Dalam tungku pulverized coal sistem basah antara 45-55 %,
dan tungku underfeed stoker 30-80 % dari total abu batubara, fly ash
7
ditangkap dengan Electrostatic Precipitator (ESP) sebelum dibuang ke udara
melalui cerobong (Firdaushanif, 2007).
Sesuai dengan konstituen batubara, abu layang tersusun terutama dari
senyawa silikat (SiO2) dan alumina (Al2O3). Sedangkan oksida besi, kalsium,
magnesium dalam jumlah yang lebih kecil. Sebagai ilustrasi, komposisi
beberapa oksida yang terdapat pada abu layang batubara dapat dilihat pada
Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Komposisi kimia abu layang batubara PLTU Tanjung Jati BUnsur Kandungan (% b/b)SiO2 54,59Al2O3 31,69CaO 4,27MgO 4,38Fe2O3 3,19
Sumber : Jumaeri, 1995.
Abu layang batubara terdiri dari butiran halus yang umumnya
berbentuk bola padat atau berongga. Kerapatan abu layang berkisar antara
2100 sampai 3000 kg/m3 dan luas area spesifiknya (diukur berdasarkan
metode permeabilitas udara Blaine) antara 170 sampai 1.000 m2/kg.
Gambar 1. Struktur Morfologi (SEM) abu layangSumber : (http://images.google.co.id).
8
Pada PLTU Tanjung Jati B yang merupakan pensuplai tenaga listrik
terbesar untuk wilayah Jawa, Madura, dan Bali, penanganan abu layang (fly
ash) yaitu dikirim menggunakan udara bertekanan ke silo abu layang yang
berada diluar ruangan yang hanya dibatasi oleh pagar yang menjulang tinggi
di setiap sisinya. Pada PLTU Tanjung Jati B, dapat memproduksi 33.000 ton
fly ash per bulan. Jumlah abu layang batubara tersebut demikian banyaknya
sehingga menjadi masalah dalam pembuangannya. Seiring dengan
bertambahnya jumlah abu layang batubara, maka harus ada usaha-usaha
memanfaatkan limbah padat tersebut. Hingga saat ini abu layang batubara
tersebut paling banyak dimanfaatkan untuk keperluan industri semen dan
beton.
Gambar 2. Limbah Abu LayangSumber : (http://images.google.co.id).
Selain itu, abu layang batubara yang dikonversi menjadi zeolit dan
adsorben merupakan contoh pemanfaatan efektif dari abu layang batubara.
Keuntungan adsorben berbahan baku abu layang batubara adalah biayanya
yang murah. Selain itu, adsorben ini dapat digunakan baik untuk pengolahan
limbah gas maupun limbah cair. Adsorben ini dapat digunakan dalam
penyisihan logam berat, limbah zat warna yang berbahaya, dan senyawa
organik pada pengolahan limbah. Abu layang batubara dapat dipakai secara
9
langsung sebagai adsorben atau dapat juga melalui perlakuan kimia dan fisik
tertentu sebelum menjadi adsorben. Proses penghilangan logam berat dari
limbah cair melibatkan dua proses, yaitu presipitasi menggunakan bahan
kimia dan adsorpsi. Adsorpsi merupakan proses yang sederhana tetapi efektif
dalam penghilangan ion-ion dari limbah-limbah yang berbahaya bagi
lingkungan (Sunardi, 2006).
2.2 Aktivasi dengan Asam Sulfat
Asam sulfat merupakan salah satu senyawa yang sangat korosif dan
berbentuk cairan kental, yang banyak digunakan dalam industri. Asam sulfat
murni yang tidak diencerkan, tidak dapat ditemukan secara alami karena
sifatnya yang higroskopis. Asam sulfat terbentuk secara alami melalui
oksidasi mineral sulfida. Uap asam sulfat sangat iritatif terhadap saluran
pernapasan. Asam sulfat seperti halnya asam nitrat merupakan oksidator kuat.
Asam kuat ini sering dipakai jika akan menganalisis mineral dari bahan
organik. Bahan organik (kulit termasuk di dalamnya) akan terurai menjadi
penyusunnya seperti C, H, O, N, P, dan mineral lain (Anonim, 2004).
Asam sulfat dapat larut dengan air dengan segala perbandingan, serta
mempunyai titik lebur 10,310C dan titik didih pada 336,850C. Untuk lebih
jelasnya, sifat fisika asam sulfat dapat dilihat pada Tabel 2.3.
10
Tabel 2.3. Sifat Fisika Asam SulfatBentuk CairanWarna tak berwarnaBau tidak berbauNilai pH pada 49 g/l H2O (25˚C) 0,3Kekentalan dinamik (20˚C) 26,9 mPa*sTitik lebur ~ -15 ˚CTitik didihSuhu penyalaanTitik nyalaBatas ledakan lebih rendah lebih tinggiTekanan uap (20˚C)Densitas uap relatifDensitas (20˚C)Kelarutan dalam air (20˚C)Penguraian termal
~ 310 ˚Ctidak dapat diaplikasikantidak dapat diaplikasikantidak dapat diaplikasikantidak dapat diaplikasikan
~ 0.0001 hPa~ 3,4
1,84 g/cm3
dapat larut~ 338 ˚C
Sumber : (Merck, 2004).
Sebelum abu layang batubara digunakan dalam proses adsorpsi, abu
layang batubara terlebih dahulu diaktivasi menggunakan asam sulfat. Dalam
penelitian ini digunakan asam sulfat sebagai aktivator karena mempunyai
jumlah ion H+ yang lebih banyak daripada asam-asam yang lain, serta
mempunyai sifat higroskopis yang dapat menyerap kandungan air yang
terdapat pada abu layang. Selain itu, tujuan aktivasi kontak asam adalah
menukar kation yang ada di dalam abu layang batubara menjadi ion H+ dan
melepaskan ion Al, Fe, Mg, dan pengotor-pengotor lainnya (mengandung
unsur alkali/alkali tanah) dari kisi-kisi struktur, sehingga secara fisik abu
layang batubara menjadi lebih luas permukaan spesifik porinya dan situs
aktifnya juga meningkat.
Selama proses aktivasi, pengotor yang terdapat pada permukaan
adsorben dan menutupi situs aktif dari adsorben, dapat dihilangkan dengan
cara dilarutkan dengan asam sulfat sehingga rangkaian struktur (framework)
11
adsorben mempunyai area yang lebih luas, serta situs aktifnya juga
mengalami peningkatan karena situs yang tersembunyi menjadi terbuka dan
kemungkinan juga akan memunculkan situs aktif baru akibat reaksi pelarutan.
Peningkatan luas permukaan spesifik pori dan situs aktifnya akan dapat
meningkatkan kemampuan adsorpsinya (Widihati, 2008). Selain itu juga
terjadi proses dealuminasi yaitu proses pelepasan Al dari abu layang batubara,
yang disajikan dalam persamaan berikut :
(Al4)(Si8)O20(OH)4 + 3H+ (Al3)(Si8)O20(OH)2 + Al3+ + 2H2O
(Al4)(Si8)O20(OH)4 + 6H+ (Al2)(Si8)O20(OH)2 + 2Al3+ + 4H2O
Pada kondisi di atas separuh dari Al berpindah dari struktur, bersama-
sama dengan gugus hidroksida. Atom-atom Al yang tersisa masih
terkoordinasi dalam rangkaian tetrahedral dengan empat atom oksigen tersisa.
Perubahan dari gugus oktahedral menjadi tetrahedral membuat kisi kristal
bermuatan negatif pada permukaan kristal, sehingga dapat dinetralisir oleh
ion hidrogen. Pada proses aktivasi selanjutnya terjadi proses pelepasan yang
lebih banyak lagi. Persamaan reaksinya dapat dituliskan sebagai berikut :
(Al4)(Si8)O20(OH)4 + 3H+ Al3+ + (Al)(Si8H4)O20
(Al4)(Si8)O20(OH)4 + 6H+ 2Al3+ + (Si8H8)O20 (Supeno, 2007)
2.3 Adsorpsi
Adsorpsi merupakan peristiwa kesetimbangan kimia. Oleh karena itu,
berkurangnya kadar zat yang teradsorpsi (adsorbat) oleh material
pengadsorpsi (adsorben) terjadi secara kesetimbangan, sehingga secara
12
teoritis tidak dapat terjadi penyerapan sempurna adsorbat oleh adsorben.
Bahan yang diserap disebut adsorbat atau solut, sedangkan bahan
penyerapnya disebut adsorben. Material-material yang dapat digunakan
sebagai adsorben diantaranya adalah asam humat, tanah diatomae, bentonit,
biomassa mikroorganisme air serta adsorben-adsorben yang umum dipakai
seperti karbon aktif, alumina, silika gel dan zeolit.
Adsorpsi yang terjadi pada permukaan zat padat disebabkan oleh
adanya gaya tarik atom atau molekul pada permukaan zat padat. Energi
potensial permukaan dari molekul turun dengan mendekatnya molekul ke
permukaan. Molekul teradsorpsi dapat dianggap membentuk fasa dua dimensi
dan biasanya terkonsentrasi pada permukaan atau antar muka (Alberty dan
Daniels, 1983:230-234).
Menurut Atkins (1997) adsorpsi dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Adsorpsi Fisika
Adsorpsi fisik terjadi karena adanya antaraksi Van der Waals antara
adsorbat dan substrat dengan jarak jauh, lemah, dan energi yang dilepaskan
jika partikel teradsorpsi secara fisik mempunyai orde besaran yang sama
dengan entalpi kondensasi. Entalpi yang kecil ini tidak cukup untuk
menghasilkan pemutusan ikatan, sehingga molekul yang terfisisorpsi tetap
mempertahankan identitasnya, walaupun molekul itu dapat terdistorsi dengan
adanya permukaan. Adsorpsi fisika bersifat reversible, umumnya terjadi pada
temperatur rendah dan dengan bertambahnya temperatur jumlah adsorpsi
berkurang dengan mencolok. Penerapannya antara lain pada penentuan luas
13
permukaan, analisis kromatografi, pemurnian gas dan pertukaran ion. Panas
adsorpsi yang menyertai adsorpsi fisika yaitu kurang dari 20,92 kJ/mol
(Adamson, 1990:693).
2. Adsorpsi Kimia
Dalam adsorpsi kimia, proses adsorpsi terjadi dengan adanya
pembentukan ikatan kimia (kovalen) dengan sifat yang spesifik karena
tergantung pada jenis adsorben dan adsorbatnya. Adsorpsi kimia bersifat
ireversibel, berlangsung pada temperatur tinggi, dan tergantung pada energi
aktivasi. Karena terjadi pemutusan ikatan, maka panas adsorpsinya
mempunyai kisaran yang sama seperti reaksi kimia, yaitu di atas 20,92 kJ/mol
(Adamson, 1990:693). Penerapannya antara lain pada proses korosi dan
katalisis heterogen (Alberty dan Daniels, 1983).
Kecepatan adsorpsi menurut Bernasconi (1995:34-56) sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
a. Konsentrasi
Proses adsorpsi sangat sesuai untuk memisahkan bahan dengan
konsentrasi yang rendah dari campuran yang mengandung bahan lain dengan
konsentrasi tinggi.
b. Luas Permukaan
Proses adsorpsi tergantung pada banyaknya tumbukan yang terjadi
antara partikel-partikel adsorbat dan adsorben. Tumbukan efektif antara
partikel itu akan meningkat dengan meningkatnya luas permukaan.
c. Suhu
14
Adsorpsi akan lebih cepat berlangsung pada suhu tinggi. Namun
demikian pengaruh suhu adsorpsi zat cair tidak sebesar pada adsorpsi gas.
d. Ukuran partikel
Semakin kecil ukuran partikel yang diadsorpsi maka proses
adsorpsinya akan berlangsung lebih cepat.
e. pH
pH mempunyai pengaruh dalam proses adsorpsi. pH optimum dari
suatu proses adsorpsi ditetapkan melalui uji laboratorium.
f. Waktu kontak
Waktu untuk mencapai keadaan setimbang pada proses serapan ion
logam oleh adsorben berkisar antara beberapa menit hingga beberapa jam.
Penyerapan zat dari larutan, mirip dengan penyerapan gas oleh zat
padat. Penyerapan bersifat selektif, yang diserap hanya zat terlarut atau
pelarut. Bila dalam larutan ada dua zat atau lebih, zat yang satu akan diserap
lebih kuat dari yang lain. Zat-zat yang dapat menurunkan tegangan muka
antara, lebih kuat diserap. Makin kompleks zat yang terlarut, makin kuat
diserap oleh adsorben ( Sukardjo, 1997).
2.4 Isoterm Adsorpsi Langmuir
Isoterm Langmuir dalam penelitian ini digunakan untuk menentukan
besarnya kapasitas adsorpsi serta energi adsorpsi terhadap ion logam Pb2+ dan
Zn2+. Langmuir menggambarkan bahwa pada permukaan adsorben terdapat
sejumlah tertentu situs aktif yang sebanding dengan luas permukaan. Pada
15
setiap situs aktif hanya ada satu molekul yang dapat diadsorpsi. Adsorpsi
Langmuir didasarkan pada asumsi bahwa: (1) pada permukaan adsorben
terdapat situf aktif yang proposional dengan luas permukaan dimana masing-
masing situs aktif hanya dapat mengadsorpsi satu molekul saja, dengan
demikian adsorpsi terbatas pada pembentukan lapisan tunggal (monolayer),
(2) pengikatan adsorbat pada permukaan adsorben dapat berlangsung secara
fisika atau kimia tetapi harus cukup untuk mencegah perpindahan molekul
teradsorpsi pada permukaan. Adsorpsi isoterm Langmuir dapat dinyatakan
dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
.....................................................(1)
Persamaan adsorpsi isoterm Langmuir di atas dapat ditulis dalam
bentuk persamaaan linier yaitu:
.....................................................(2)
Keterangan:
C = Konsentrasi ion logam dalam larutan (mg/L)
m = Jumlah logam yang teradsorpsi per gram adsorben pada konsentrasi C
b = Kapasitas adsorpsi maksimum (mg mol logam terserap pada keadaan jenuh.
K = Konstanta kesetimbangan.
Dari kurva linier hubungan antara C/m dengan C dapat diperoleh
konstanta kesetimbangan (K) dari intersep=1/bK dan kapasitas adsorpsi
maksimum (b) diperoleh dari slope=1/b (Castelan,1983:436).
Berdasarkan harga K, maka energi adsorpsi dapat dihitung
menggunakan persamaan berikut:
16
Energi adsorpsi = R T lnK
dalam hal ini R adalah tetapan gas ideal (8,314 J/Kmol), dan T adalah
temperatur (dalam Kelvin) dan K adalah konstanta keseimbangan adsorpsi.
2.5 Isoterm Adsorpsi BET
Metode BET pertama kali ditemukan oleh Brunaur, Emmett dan
Teller pada tahun 1938. Metode ini digunakan untuk permukaan yang datar
(tidak ada lekukan) dan tidak ada batas dalam setiap layer yang dapat
digunakan dalam menjelaskan luas permukaan. Teori BET dikembangkan
berdasarkan adsorpsi multilayer. Metode ini digunakan berdasarkan asumsi
bahwa pada setiap permukaan mempunyai tingkat energi yang homogen
(energi adsorpsi tidak mengalami perubahan dengan adanya adsorpsi di layer
yang sama) dan tidak ada interaksi selama molekul teradsorpsi (Duong,
1998).
Metode Brunaur, Emmett dan Teller (BET) merupakan prosedur yang
paling banyak dipakai untuk menentukan surface area dan volume pori
material padat. Dalam penelitian ini, metode BET digunakan untuk
menentukan luas permukaan spesifik adsorben, dengan menggunakan NOVA
(NO Void Analysis) - Quantachrome instrument. Dengan menggunakan alat
tersebut, terdapat dua tahapan yang harus dilalui oleh sampel, yaitu tahap
preparasi dan tahap analisis. Sebelum dilakukan pengujian, sampel perlu
dipreparasi terlebih dahulu. Mula-mula sampel dioven pada suhu 150oC
selama 5 jam agar kandungan uap air dan gas-gas pengotor yang tidak
17
diinginkan dapat berkurang. Selanjutnya sampel dikeringkan dan dimasukan
ke dalam sampel cell, lalu ditimbang. Setelah itu dilakukan proses vacumm
degassing terhadap sampel dengan tujuan untuk menghilangkan secara lebih
seksama uap air dan gas-gas pengotor yang ada pada permukaan sampel.
Degassing terhadap bentonit dilakukan pada suhu 150oC minimal selama 6
jam, kemudian sampel didinginkan dan ditimbang kembali untuk
mendapatkan hasil keringnya.
Tahap berikutnya adalah analisis terhadap sampel, untuk mengetahui
luas permukaan dan volume porinya. Sebelum analisis dijalankan, dipilih tipe
dan kondisi analisis serta parameter reduksi data yang diinginkan. Pengujian
sampel dilakukan dengan cara adsorbsi N2 pada suhu 77 K, yang merupakan
titik didih nitrogen cair pada kondisi standar. Luas permukaan padatan dan
volume pori diperkirakan dengan isotherm BET. Isotherm adsorpsi yang
dibatasi pada kisaran 35,005,0 Po
P. Perhitungan dilakukan dengan
software NOVAWIN, yang dirangkai terpadu dengan NOVA-Quantachrome
instrument.
Dalam analisis luas permukaan digunakan persamaan kesetimbangan
adsorpsi BET, yaitu :
00
11
1
1
P
P
WmC
C
WmC
P
PW
Dimana, W = berat gas yang teradsorpsi pada tekanan relatif P/P0
Wm = berat gas yang teradsorpsi pada lapis tunggal
C = konstanta BET
18
P0 = tekanan uap jenuh adsorpsi
P = tekanan gas
Selanjunya harga Wm dan C dapat dihitung dari harga slope dan intersep,
dimana :
Nilai slope
WmC
C 1dan intersep
WmC
1dihitung dengan least square,
Sehingga luas permukaan padatan dihitung dengan rumus :
2
..
N
pavi BM
ANWmS (Lowel, 1984)
Dimana, Si = luas permukaan spesifik
N = bilangan avogadro (6,022 x 1023 molekul/mol)
σ = luas penampang lintang adsorbat
BM = berat molekul adsorbat
Dalam aplikasinya menggunakan N2 (sebagai adsorbat) dengan densitas fasa
cair pada tekanan 1 atm dan temperatur 77oK dan harga σ = 16,2 Ǻ2/molekul.
2.6 Spektrofotometer inframerah transformasi forurier (FTIR)
Atom-atom dalam suatu molekul tidaklah diam, melainkan bervibrasi
atau bergetar. Hal ini disebabkan karena ikatan kimia yang menghubungkan
dua atom dapat dimisalkan sebagai dua bola yang dihubungkan oleh pegas
(Hendayana, 1994). Bila radiasi inframerah dilewatkan melalui suatu cuplikan
(dapat berupa padatan/cairan murninya), maka molekul-molekul dapat
menyerap energi radiasi, sehingga terjadi perubahan tingkat vibrasi, yakni dari
19
tingkat dasar atau ground state ke tingkat vibrasi tereksitasi atau exited state
(Khopkar, 1984).
Spektrofotometer inframerah transformasi forurier (FTIR) merupakan
teknik analisis kimia yang metodenya berdasarkan pada penyerapan sinar infra
merah oleh molekul senyawa. Panjang gelombang IR tergolong pendek, yakni
0,78 – 1000 μm, sehingga tidak mampu mentransisikan elektron, melainkan
hanya menyebabkan molekul bergetar atau bervibrasi (Khopkar, 1984). Ketika
sinar infra merah berinteraksi dengan sampel, ikatan kimia akan mengalami
stretching (symmetric dan asymmetric), ataupun bending (scissor dan
rocking). Akibatnya, gugus fungsi cenderung menyerap radiasi infra merah
dalam rentang waktu tertentu terlepas dari struktur molekul sisa (Chen, 2009).
Dalam penelitian ini, Spektroskopi FTIR digunakan untuk
menentukan gugus fungsional suatu molekul. Teknik pengerjaan sampel
dengan metode pelet KBr. Penentuan struktur ini dilakukan dengan melihat
plot spektrum IR yang terdeteksi oleh alat spektrofotometer FTIR. Spektrum
ini menyatakan jumlah radiasi IR yang diteruskan melalui cuplikan sebagai
fungsi frekuensi atau bilangan gelombang. Semakin rumit struktur suatu
molekul, semakin banyak bentuk-bentuk vibrasi yang meungkin terjadi.
(Hendayana, 1984).
Dalam spektrofotometer, mula-mula sinar infra merah dilewatkan
melalui sampel dan larutan, kemudian dilewatkan pada monokromator untuk
menghilangkan sinar yang tidak diinginkan (stray radiation). Berkas sinar ini
kemudian didispersikan melalui prisma atau grating. Dengan melewatkannya
20
melalui slit, sinar tersebut dapat difokuskan pada detektor yang akan
mengubah berkas sinar menjadi sinyal listrik yang selanjutnya direkam oleh
rekorder (Tarigan, 1986).
2.7 Ion Logam Timbal
Timbal (Logam Pb) merupakan logam yang berwarna abu-abu
kebiruan, dengan rapatan tinggi (11,48 g/ml pada suhu kamar). Timbal mudah
melarut dalam asam nitrat pekat, dan terbentuk nitrogen oksida :
3Pb(s) + 8HNO3(aq) 3Pb2+(aq) + 6NO3-(aq) + 2NO(g) + 4H2O(l)
Gas nitrogen (II) oksida yang tak berwarna itu, bila tercampur dengan udara,
akan teroksidasi menjadi nitrogen dioksida yang merah :
2 NO(g) (tak berwarna) + O2(g) 2 NO2(g) (merah)
Dengan asam nitrat pekat, terbentuk lapisan pelindung berupa timbal nitrat
pada permukaan logam, yang mencegah pelarutan lebih lanjut (Vogel, 1990).
Timbal merupakan logam berat yang terdapat secara alami di dalam
kerak bumi dan tersebar di alam dalam jumlah kecil melalui proses alami.
Lambangnya diambil dari bahasa Latin Plumbum. Logam ini termasuk dalam
kelompok logam-logam golongan IVA, mempunyai nomor atom (NA) 82
dengan bobot (BA) 207,2. Logam timbal merupakan logam yang tahan
korosi, mempunyai titik lebur rendah sekitar 327,5°C, dan sebagai penghantar
listrik yang baik. Apabila timbal terhirup atau tertelan oleh manusia ke dalam
tubuh, ia akan beredar mengikuti aliran darah, diserap kembali di dalam ginjal
dan otak, dan disimpan di dalam tulang dan gigi.
21
Pada penelitian mengenai keracunan timbal, menunjukkan bahwa
timbal yang terserap oleh anak, walaupun dalam jumlah kecil, dapat
menyebabkan gangguan pada fase awal pertumbuhan fisik dan mental yang
kemudian berakibat pada fungsi kecerdasan dan kemampuan akademik. Anak
perkotaan di negara berkembang memiliki risiko yang tinggi dalam keracunan
timbal. Menurut US centre for disease control and prevention, diperkirakan
pada 1994, sebanyak 100% darah dari anak berumur di bawah dua tahun
mengandung timbal yang melampaui ambang batas 10 mg/dl. Sedangkan
80% darah pada anak yang berusia 3-5 tahun juga melebihi ambang batas
tersebut. Anak yang tinggal atau bermain di jalan raya sering menghirup
timbal dari asap kendaraan yang menggunakan bahan bakar bertimbal
(Anonim).
2.8 Ion Logam Seng
Logam Zn merupakan logam berat yang termasuk logam golongan II
B, memiliki nomor atom 30, Ar = 65,38. Logam Zn adalah logam yang
berwarna putih kebiru-biruan, memiliki sifat mudah ditempa dan liat pada
110-1500C. Logam Zn melebur pada 4100C dan mendidih pada 9060C, dapat
bereaksi dengan asam encer menghasilkan ion positif (Oxroby, 2001).
Seng mudah larut dalam asam klorida encer dan asam sulfat encer
dengan mengeluarkan gas hidrogen :
Zn(s) + 2H+(aq) Zn2+(aq) + H2(g)
22
Pelarutan akan terjadi dalam asam nitrat yeng encer sekali, yang mana
tak ada gas yang dilepaskan :
4 Zn(s) + 10H+(aq) + NO3-(aq) 4 Zn2+(aq) + NH4
+(aq) +H2O(l)
Seng hanya membentuk satu seri garam, garam-garam ini mengandung kation
zink (II) yang diturunkan dari zink oksida, ZnO (Vogel, 1990).
Seng biasanya digunakan untuk pelapis besi untuk mencegah
terjadinya korosi. Pelapisan demikian ini dikenal sebagai proses galvanisasi
yang berdasarkan pada sifat elektrokimia proses yang bersangkutan. Seng
tidak begitu reaktif, hal ini sebagai akibat pembentukan lapisan pelindung
yang pada awalnya sebagai oksidanya, tetapi kemudian bereaksi lebih lanjut
dengan uap air dan gas karbondioksida membentuk karbonat basa,
Zn2(OH)2CO2. Keuntungan pelapisan ini yaitu logam seng akan teroksidasi
lebih dahulu bahkan sekalipun lapisan seng ini terkoyak, sehingga besinya
nampak keluar. Hal ini sebagai konsekuensi nilai potensial reduksi yang lebih
negatif daripada besi, sehingga seng bertindak sebagai anode yang
terkorbankan menurut persamaan reaksi :
Anode : Zn (s) Zn2+ (aq) + 2 e-
Katode : Fe2+ (aq) + 2e- Fe (s) (Sugiyarto, 2003).
2.9 Metode Difraksi Sinar-X (X-Ray Difraction)
Metode Difraksi Sinar-X biasa digunakan untuk menetukan struktur
kristal tunggal berdasarkan pada pola difraksi dari interaksi antara analit
dengan radiasi elektromagnetik sinar X pada panjang gelombang 0,5-2,5
23
Angstrom dan energi ±107 eV. Dasar metode ini adalah adanya kekhasan
jarak antar bidang kristal (d) pada setiap kristal yang berbeda. Metode
Difraksi Sinar-X diaplikasikan dalam penentuan bentuk geometri dan ukuran
kristal tunggal, penentuan kemurnian hasil sintetis, identifikasi kristal,
pengindeksan bidang kristal, penentuan jumlah atom per sel satuan, deteksi
senyawa baru, dan sebagainya (Wahyuni, Endang Tri, 2003).
2.10 Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)
Spektrofotometri serapan atom adalah suatu metode analisis yang
didasarkan pada pengukuran intensitas cahaya yang diserap oleh atom-atom
bebas. Pada umumnya analisis AAS digunakan untuk menetapkan unsur-
unsur logam dalam batu-batuan, tanah, tanaman, makanan, minuman,
termasuk daging serta bahan-bahan lainnya.
Atom-atom yang menyerap energi radiasi pada AAS adalah atom-
atom yang berada pada tingkat tenaga dasar (ground state). Berkurangnya
intensitas radiasi sebanding dengan jumlah populasi atom pada tingkat tenaga
dasar yang menyerap energi radiasi tersebut. Jumlah intensitas radiasi yang
terserap ditunjukan oleh nilai absorbansi yang terbaca pada instrumen.
Dalam AAS, atom bebas berinteraksi dengan berbagai bentuk energi,
mulai dari energi termis atau panas, energi elektromagnetik, energi kimia, dan
energi listrik. Interaksi ini menimbulkan proses-proses dalam atom bebas
tersebut, yang hasilnya berupa emisi atau pancaran radiasi, panas dan
sebagainya. Radiasi yang ditimbulkan dari interaksi ini adalah khas, karena
24
mempunyai panjang gelombang yang benar-benar karakteristik untuk atom
bebas yang bersangkutan. Adanya adsorbsi atau emisi radiasi disebabkan
karena adanya transisi elektronik, yaitu perpindahan elektron dalam atom
tersebut, dari tingkat energi yang satu ke tingkat energi yang lain (Sumardi,
2001).
25
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah abu layang batubara yang diambil
dari PLTU Tanjung Jati B, Kecamatan Kembang, Jepara.
Sampel dalam penelitian ini adalah abu layang batubara yang diambil
dari salah satu bagian pada penampungan abu layang di PLTU Tanjung Jati
B, yang sudah tersedia di Laboratorium Kimia Anorganik FMIPA UNNES.
3.2 Variabel Penelitian
Ion Logam Berat (Pb2+ dan Zn2+)
1. Variabel bebas dalam penelitian ini terbagi menjadi dua tahapan.
a. Proses aktivasi
Menggunakan berbagai konsentrasi H2SO4 yaitu 3,75 M; 5,632 M; dan
7,51 M, serta waktu aktivasi yaitu 60 menit dan 120 menit.
b. Proses adsorpsi
Menggunakan berbagai konsentrasi Pb2+ dan Zn2+ yaitu 10 ppm; 20
ppm; 40 ppm; 50 ppm; 100 ppm; dan 120 ppm.
2. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kadar unburned carbon, rasio
Si/Al, luas permukaan, gugus fungsi, struktur kristal, kapasitas adsorpsi
logam dan energi adsorpsi.
3. Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah suhu aktivasi yaitu 600C,
pH larutan (pH 4 untuk masing-masing larutan ion logam berat), kecepatan
26
goyangan yaitu 20 rpm, waktu adsorpsi yaitu 60 menit.
3.3 Alat dan Bahan
3.3.1. Alat yang digunakan
Alat yang digunakan adalah seperangkat alat Refluks, AAS Perkin
Elmer A Analis 100, Nova 1200-e Quantachrome Instrument, FTIR-8400,
XRD Philips, shaker mekanik, oven pemanas, furnace tube, pemanas,
indicator universal, termometer, ayakan 100 mesh, kertas saring Whatman
no.41, lumpang dan alu, gelas kimia, pipet volume, labu erlemenyer, neraca
analitik, alat sentrifugasi, dan magnetic stirrer.
3.3.2. Bahan yang digunakan
Bahan yang digunakan adalah abu layang batubara yang diambil dari
PLTU Tanjung Jati B sebagai material utama, larutan H2SO4 pekat E-Merck,
larutan Pb(NO3)2 E-Merck (sebagai sumber ion logam Pb), ZnCl2 E-Merck
(sebagai sumber ion logam Zn), aquademin serta aquades.
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1. Preparasi
3.4.1.1. Pencucian Abu Layang Batubara
Abu layang batubara yang diambil dari PLTU Tanjung Jati, dicuci
dengan aquades untuk menghilangkan kotoran-kotorannya kemudian
dikeringkan menggunakan sinar matahari. Padatan yang dihasilkan
27
dihaluskan menggunakan lumpang dan alu, selanjutnya diayak dengan ayakan
100 mesh.
3.4.1.2. Pembuatan Larutan H2SO4
Larutan H2SO4 pekat diambil menggunakan pipet volume sesuai
dengan konsentrasi yang divariasikan (3,75 M; 5,632 M; dan 7,51 M),
kemudian diencerkan dalam labu takar 500 mL dengan aquades sampai tanda
batas.
3.4.2. Aktivasi dengan penambahan H2SO4
Sebanyak 300 mL larutan H2SO4 dengan konsentrasi 3,75 M; 5,632
M; dan 7,51 M, ditambahkan ke dalam 100 g abu layang dalam gelas kimia.
Setelah itu direfluks pada suhu 600C dengan variasi waktu 60 menit dan 120
menit dengan bantuan magnetic stirrer. Kemudian, abu layang disaring
menggunakan kertas saring no.41 dan dicuci dengan aquades sampai
beberapa kali untuk menurunkan keasamaannya (sampai netral). Abu layang
dikeringkan menggunakan oven pada suhu 1100C selama 1 jam.
3.4.3. Karakterisasi
3.4.3.1. Uji Unburned Carbon
Sampel abu layang yang telah diaktivasi menggunakan H2SO4 dengan
variasi konsentrasi dan waktu aktivasi, dimasukkan dalam krus dan ditimbang
sebanyak 1 g menggunakan neraca analitik. Selanjutnya difurnace pada suhu
6000C selama 1 jam. Kemudian ditimbang lagi menggunakan neraca analitik
untuk mengetahui unburned carbon yang tertinggal.
28
3.4.3.2. Uji Rasio Si/Al
Penentuan rasio Si/Al menggunakan AAS. Pengujian dilakukan di
Lab. Kimia FMIPA UGM.
3.4.3.3. Gugus Fungsi
Gugus fungsi ditentukan menggunakan Fourier Transform Infra Red
(FTIR) yang dilakukan di Laboratorium Kimia FMIPA UGM Yogyakarta.
Sampel yang dikarakterisasi hanya sampel tanpa aktivasi dan sampel
teraktivasi yang menunjukkan hasil optimum pada pengukuran unburned
carbon, rasio Si/Al.
3.4.3.4. Struktur Kristal
Struktur kristal ditentukan menggunakan X-ray diffraction (XRD)
yang dilakukan di Laboratorium Kimia FMIPA UGM Yogyakarta.
3.4.3.5. Uji Luas Permukaan menggunakan BET
Analisis sampel dengan metode ini dilakukan dengan menggunakan
NOVA (NO Valid Analysis) – Quantachrome instrument. Dengan
menggunakan alat tersebut, terdapat dua tahapan yang harus dilalui sampel,
yaitu tahap preparasi dan tahap analisis. Sebelum dilakukan pengujian,
sampel perlu dipreparasi terlebih dahulu. Mula-mula sampel di oven pada
suhu 1500C selama 5 jam agar kandungan uap air dan gas-gas pengotor yang
tidak diinginkan dapat berkurang. Selanjutnya sampel dikeringkan dan
dimasukkan dalam sampel cell, lalu ditimbang. Setelah itu dilakukan proses
vacumm degassing terhadap sampel dengan tujuan untuk menghilangkan
secara lebih seksama uap air dan gas-gas yang ada pada permukaan sampel.
29
Tahap berikutnya adalah analisis terhadap sampel, untuk mengetahui
luas permukaan dan volume porinya. Sebelum analisis dijalankan, dipilih tipe
dan kondisi analisis serta parameter reduksi data yang diinginkan. Pengujian
sampel dilakukan dengan cara adsorpsi N2 pada suhu 77 K, yang merupakan
titik didih nitrogen cair pada kondisi standar. Luas permukaan padatan dan
volume pori diperkirakan dengan isoterm BET. Perhitungan dilakukan
dengan menggunakan software NOVAWIN, yang dirangkai terpadu dengan
NOVA Quantachrome instrument (Duong, 1998).
3.4.1. Uji Kapasitas Adsorpsi
3.4.1.1. Pembuatan Kurva Kalibrasi
Ion Logam Pb2+
Larutan standar Pb2+ dibuat bervariasi dengan konsentrasi 1,0ppm;
5,0ppm; 10,0ppm; 15,0ppm; 20,0ppm. Kemudian dianalisis menggunakan
AAS dengan panjang gelombang 283,3 nm.
Ion Logam Zn2+
Larutan standar Zn2+ dibuat bervariasi dengan konsentrasi 1,0ppm;
2,0ppm; 5,0ppm; 10,0ppm; 20,0ppm. Kemudian dianalisis menggunakan
AAS dengan panjang gelombang 213,9 nm.
3.4.1.2. Adsorpsi Ion Logam Berat
Pada proses ini adsorben dan adsorbat dikontakkan langsung dalam
suatu batch adsorpsi. Sebanyak 1 g abu layang aktivasi yang telah dioptimasi
(unburned carbon, uji rasio Si/Al, luas permukaan), dan tanpa aktivasi, dijaga
30
pada pH 4, selanjutnya dicampur dengan 100 mL pada masing-masing larutan
ion logam berat, dengan berbagai konsentrasi yaitu 10ppm; 20ppm; 40ppm;
dan 50ppm; 100ppm; 120 ppm. Kemudian dimasukkan dalam alat shaker
thermostat dengan kecepatan konstan 20 rpm selama 60 menit. Adsorben dan
adsorbat dipisahkan dengan cara sentrifugasi. Sampel dianalisis
menggunakan AAS. Selanjutnya dihitung energi adsorpsi terhadap ion logam
Pb2+ dan Zn2+.
31
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini disajikan hasil penelitian dan pembahasan tentang aktivasi
menggunakan asam sulfat, karakterisasinya yang meliputi kadar unburned carbon,
rasio Si/Al, gugus fungsi, menggunakan spektroskopi FTIR, struktur kristal
menggunakan XRD, luas permukaan menggunakan BET, kemudian dilanjutkan
dengan mengkaji pengaruh konsentrasi ion logam terhadap adsorpsi ion logam
Pb(II) dan Zn (II) oleh adsorben.
4.1. Aktivasi Menggunakan Asam Sulfat
Komposisi kimia abu layang Tanjung Jati B tersusun terutama dari
senyawa silikat (SiO2) sebesar 54,59% dan alumina (Al2O3) sebesar 31,69%.
Selain itu terdapat kandungan Fe2O3 sebesar 3,19% (Tabel 4.1). Sedangkan oksida
besi, kalsium, serta senyawa Mg, Na, Ti, K dalam jumlah yang lebih kecil.
Tabel 4.1. Komposisi kimia abu layang batubara PLTU Tanjung Jati BUnsur Kandungan (% b/b)SiO2 54,59Al2O3 31,69CaO 4,27MgO 4,38Fe2O3 3,19
Sumber : Jumaeri, 1995.
Kondisi silika dan alumina dalam abu layang cukup besar yang
memungkinkan abu layang digunakan sebagai adsorben yang potensial. Besarnya
kadar kedua komponen tersebut dalam abu layang menandakan banyaknya pusat-
pusat aktif dari permukaan padatan yang dapat berinteraksi dengan adsorbat,
misalnya ion-ion logam (Jumaeri, 1995:11). Proses adsorpsi dapat berlangsung
32
secara efektif apabila ada kesesuaian sifat antara adsorben dengan adsorbat. Bila
sisi aktif bersifat asam atau berupa kation, maka adsorpsi maksimal terjadi pada
spesies adsorbat yang bersifat basa atau anion, demikian juga sebaliknya.
Dalam penelitian ini sebelum abu layang batubara digunakan dalam proses
adsorpsi, abu layang batubara diaktivasi terlebih dahulu menggunakan asam sulfat
dengan berbagai variasi konsentrasi yaitu 3,75 M; 5,632 M; dan 7,51 M (setara
dengan 20%; 30%; dan 40%) serta waktu aktivasi yaitu 60 menit dan 120 menit.
Variasi konsentrasi yang digunakan tidak begitu tinggi hal tersebut dikarenakan
penambahan asam pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan terjadi kerusakan
struktur yang akan diikuti oleh pemutusan gugus siloksan (Si-O-Si) menjadi
silanol (-Si-OH), yang merupakan gugus aktif untuk berinteraksi dengan ion
logam (Nuryono, dkk., 2002). Tujuan aktivasi kontak asam dalam penelitian ini
adalah menukar kation yang ada di dalam abu layang batubara menjadi ion H+ dan
melepaskan ion Al, Fe, Mg, dan pengotor-pengotor lainnya dari kisi-kisi struktur,
sehingga secara fisik abu layang batubara menjadi lebih luas permukaan spesifik
porinya dan situs aktifnya juga meningkat.
4.2. Karakterisasi Sampel
Sebelum abu layang digunakan sebagai adsorben logam berat (dalam
penelitian ini menggunakan logam Pb2+ dan Zn2+), abu layang yang telah
diaktivasi menggunakan asam sulfat dengan berbagai variasi konsentrasi dan
waktu aktivasi dikarakterisasi terlebih dahulu agar mendapatkan hasil yang
optimum ketika proses adsorpsi. Dalam penelitian ini menggunakan beberapa
karakterisasi diantaranya yaitu pengujian unburned carbon (menggunakan metode
33
gravimetri), pengujian rasio Si/Al (menggunakan metode Spektoskopi Serapan
Atom), pengujian gugus fungsional (menggunakan Fourier Transform Infra Red),
pengujian struktur kristal (menggunakan X-Ray Diffraction), serta pengujian luas
permukaan spesifik (menggunakan metode BET).
4.2.1. Uji Unburned Carbon
Pengujian Unburned Carbon menggunakan furnace suhu 6000C selama 1
jam. Hal ini bertujuan agar dapat memaksimalkan penghilangan gas-gas, maupun
pengotor yang terdapat pada sampel abu layang. Pengujian dilakukan dengan
menggunakan metode gravimetri yaitu menghitung selisih antara berat awal abu
layang sebelum difurnace dengan berat akhir setelah difurnace.
Kadar unburned carbon = W0 – Wt x 100%W0
Keterangan : W0 = berat awal (gram)
Wt = berat akhir (gram) (John, 2000)
Dengan adanya perlakuan aktivasi menggunakan H2SO4 ini terlihat adanya
penurunan karbon seperti yang terlihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Kadar Unburned Carbon sebelum dan sesudah aktivasi
Abu LayangBerat Awal
(gram)Berat Akhir
(gram)Kadar Unburned Carbon
(%)A0B0 1,0711 0,8092 24,451A1B1 1,0068 0,8256 17,997A1B2 1,0262 0,8386 18,291A2B1 1,0037 0,8630 14,081A2B2 1,0735 0,8681 19,113A3B1 1,0260 0,7220 29,629A3B2 1,0187 0,8894 11,524
Keterangan kode sampel :A0B0 : Abu Layang tanpa aktivasi A2B2 : 5,632 M ; 120 menit
34
A1B1 : 3,75 M ; 60 menit A3B1 : 7,51 M ; 60 menitA1B2 : 3,75 M ; 120 menit A3B2 : 7,51 M ; 120 menitA2B1 : 5,632 M ; 60 menit
Pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa sampel abu layang tanpa perlakuan
dengan kode A0B0 mengandung kadar unburned carbon yaitu 24,451%. Hal
tersebut menunjukkan bahwa masih banyak pengotor yang terdapat pada sampel
abu layang awal, yang dapat mengganggu situs aktif pada saat proses adsorpsi.
Pada sampel abu layang yang diaktivasi dengan H2SO4 dengan konsentrasi 7,51M
selama 120 menit dengan kode A3B2 mengandung kadar unburned carbon yang
kecil diantara sampel abu layang yang diaktivasi, yaitu 11,524%. Hal ini
menunjukkan bahwa pengotor yang terdapat pada sampel A3B2 sudah tergantikan
oleh H+ setelah perlakuan aktivasi. Semakin besar konsentrasi H2SO4 (pada
penelitian ini bertindak sebagai aktivator) dan semakin lama waktu yang
digunakan untuk mengaktivasi abu layang, maka semakin banyak pengotor-
pengotor yang ikut terlarut pada proses aktivasi.
4.2.2 Analisis Rasio Si/Al
Pada penelitian ini, pengujian Rasio Si/Al menggunakan Spektroskopi
Serapan Atom yang dilakukan di Laboratorium Kimia FMIPA UGM. Pengujian
ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan antara Si dan Al yang merupakan
situs aktif yang terdapat pada adsorben. Hasil analisis dapat dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3. Data Rasio Si/AlNo Kode Sampel Rasio Si/Al1 A0B0 2,54652 A1B1 5,96043 A1B2 5,33444 A2B1 5,5428
35
5 A2B2 3,62676 A3B1 3,33667 A3B2 6,0703
Dari tabel 4.3 dapat dilihat bahwa abu layang awal mempunyai rasio Si/Al
paling rendah yaitu 2,5465, dengan kadar silika 27,2642, dan kadar alumina
10,7064. Sedangkan untuk sampel yang diaktivasi menggunakan asam sulfat
dengan berbagai variasi waktu dan konsentrasi, yang mempunyai rasio Si/Al
paling tinggi yaitu sampel A3B2 yaitu sebesar 6,0703 dengan kadar silika 36,1948
dan kadar alumina 5,9626. (Perhitungan rasio Si/Al dapat dilihat pada lampiran 6)
Tujuan aktivasi kontak asam dalam penelitian ini adalah menukar kation
yang ada di dalam abu layang batubara menjadi ion H+ dan melepaskan ion Al,
Fe, Mg, dan pengotor-pengotor lainnya dari kisi-kisi struktur, sehingga secara
fisik abu layang batubara menjadi lebih luas permukaan spesifik porinya dan situs
aktifnya juga meningkat. Perlakukan aktivasi dengan menggunakan larutan asam
dapat melarutkan pengotor pada material tersebut sehingga mulut pori menjadi
lebih terbuka. Selain itu, situs aktifnya juga mengalami peningkatan karena situs
yang tersembunyi menjadi terbuka dan kemungkinan juga akan memunculkan
situs aktif baru akibat reaksi pelarutan. Peningkatan luas permukaan spesifik pori
dan situs aktifnya akan dapat meningkatkan kemampuan adsorpsinya (Widihati,
2008). Semakin besar konsentrasi asam sulfat dan waktu aktivasi menyebabkan
rasio Si/Al semakin besar, karena terjadinya proses dealuminasi.
Selama proses aktivasi terjadi penyerapan asam ke dalam struktur abu
layang batubara, sehingga rangkaian struktur (framework) mempunyai area yang
36
lebih luas. Proses pelepasan Al dari abu layang batubara disajikan dalam
persamaan berikut :
(Al4)(Si8)O20(OH)4 + 3H+ (Al3)(Si8)O20(OH)2 + Al3+ + 2H2O
(Al4)(Si8)O20(OH)4 + 6H+ (Al2)(Si8)O20(OH)2 + 2Al3+ + 4H2O
Pada kondisi di atas separuh dari atom Al berpindah dari struktur bersama
dengan gugus hidroksida. Pada proses aktivasi selanjutnya terjadi proses
pelepasan yang lebih banyak lagi. Persamaan reaksinya dapat dituliskan sebagai
berikut :
(Al4)(Si8)O20(OH)4 + 3H+ Al3+ + (Al)(Si8H4)O20
(Al4)(Si8)O20(OH)4 + 6H+ 2Al3+ + (Si8H8)O20 (Supeno, 2007)
Dari analisis unburned carbon dan rasio Si/Al menunjukkan bahwa
sampel A3B2 merupakan sampel yang optimum dibandingkan dengan variasi
waktu dan konsentrasi yang lain.
4.2.3 Analisis Spektroskopi Infra Merah
Identifikasi gugus fungsional terhadap abu layang batubara PLTU
Tanjungjati B, dilakukan dengan menggunakan spektrofotometri infra merah
(Gambar 4.1), pada bilangan gelombang 4000-5000 cm-1 menggunakan pelet KBr.
Sampel yang dianalisis yaitu sampel A0B0 tanpa perlakuan aktivasi (sebagai
variabel kontrol) serta sampel A3B2 (sebagai variasi optimum).
Spektra abu layang awal (A0B0) menunjukkan adanya serapan pada daerah
331,76 cm-1 ; 370,33 cm-1 yang menunjukkan pembukaan pori dan pada 462,92
cm-1 menunjukkan adanya serapan vibrasi tekuk ikatan Si-O dari lapisan silika ;
694 cm-1 menunjukkan vibrasi lentur Ar-H, C=C-H (luar bidang) ; 779,24 cm-1 ;
37
725,23 cm-1 menunjukkan gugus S-O, vibrasi S-O ; 1041,56 cm-1 menunjukkan
vibrasi rentang Si-O-Si ; 2121,7 cm-1 menunjukkan vibrasi rentang Si-O-Si ; 2276
cm-1 menunjukkan vibrasi ikatan – O Si-H ; 2368,59 cm-1 menunjukkan vibrasi
rentangan Si-H untuk substituen trihalida ; 2924,09 cm-1 menunjukkan serapan
vibrasi ulur simetri –CH-(-CH2-); 2862,36 cm-1 menunjukkan vibrasi rentangan
simetri –CH3; 3425,58 cm-1 menunjukkan vibrasi ikatan –H.
Spektrum infra merah abu layang yang diaktivasi menggunakan H2SO4
dengan konsentrasi 7,51M selama 2 jam (A3B2) menunjukkan serapan pada
daerah 300,9 cm-1; 378,05 cm-1; 462,92 cm-1; 671,23 cm-1; 786,96 cm-1; 1087,85
cm-1; 1627,92 cm-1; 2113,98 cm-1; 2646,34 cm-1; 2684,91 cm-1; 2931,8 cm-1;
3410,15 cm-1; 3749,62 cm-1. Interpretasi spektrum infra merah dapat dilihat pada
Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Interpretasi Spektrum Infra Merah Abu Layang Tanpa Perlakuan dan Abu Layang yang Diaktivasi Menggunakan H2SO4 (optimum)
NoFrekuensi daerah serapan (cm-1)
Gugus Fungsional (tipe vibrasi)Hasil Analisis Interpretasi
1
3425,58 (A0B0)
3410,15 (A3B2)
3749,62 (A3B2)
3500-3200
3650-32003500-3200
3436,9
3448,53448,5
3440,8
Vibrasi ikatan –H (Sastrohamidjojo, 1992;16)Gugus –OH (Sastrohamidjojo, 1992;13)Vibrasi ikatan –H (Sastrohamidjojo, 1992;16)Vibrasi rentang dan tekuk dari molekul H2OPita renggangan –OH (Prowida, 2003)Serapan regangan asimetri –NH (Kurnia, 2006)Vibrasi renggang ikatan O-H (Wijaya, 2002)Regang O-H, dan N-H
38
2
2646,34 (A3B2)
2684,91 (A3B2)
2862,36 (A0B0)
2924,09 (A0B0)
2931,8 (A3B2)
2854,5
2923,9
Vibrasi rentangan simetri – CH3 (Kurnia, 2006)Vibrasi rentangan simetri – CH3 (Kurnia, 2006)Vibrasi rentangan simetri – CH3 (Kurnia, 2006)Serapan vibrasi ulur simetri – CH-(-CH2-)(Kurnia, 2006)Serapan vibrasi ulur simetri – CH-(-CH2-)(Kurnia, 2006)
3
2368,59 (A0B0)
2276 (A0B0)
2121,7 (A0B0)
2113,98 (A3B2)
2285-2235
2285-2235
2230-2120
Dekat 2200
2230-2120
Dekat 2200
Dekat 2200
Vibrasi rentangan Si-H untuk substituent trihalida (John. A. Dean, 1998 dalam Rahmi, 2006)Vibrasi rentangan Si-H untuk substituent trihalida (John. A. Dean, 1998 dalam Rahmi, 2006)Vibrasi ikatan –O Si-H (Helmut G, 2002 dalam Rahmi 2006)Vibrasi rentang Si-H (Sastrohamidjojo, 1992: 101)Vibrasi ikatan –O Si-H (Helmut G, 2002 dalam Rahmi 2006)Vibrasi rentang Si-H (Sastrohamidjojo, 1992: 101)Vibrasi rentang Si-H (Sastrohamidjojo, 1992: 101)
4
1627,92 (A3B2) 2550-1560
1639,4
Gugus aril-SH, vibrasi rentangan S-H (Sastrohamidjojo, 1992: 105)Serapan rentangan –NH (amina primer dan sekunder) (Kurnia, 2006)
5
1041,56 (A0B0)
1087,85 (A3B2)
1090-1030
1039,6
980-1100
1250-950
1400-800
1090-1030
1039,6
980-1100
Vibrasi rentang Si-O-Si (Helmut G, 2002 dalam Rahmi, 2006)Vibrasi regangan asimetris ikatan O-Si-O dalam TO4 (Wijaya,2002)Regangan asimetri Al dalam situs tetrahedral (Riberio,1984)Regangan asimetri tetrahedral luar (Riberio,1984)Daerah sidik jari gugus SiO dan AlOH (Wijaya, 2002)Vibrasi rentang Si-O-Si (Helmut G, 2002 dalam Rahmi, 2006)Vibrasi regangan asimetris ikatan O-Si-O dalam TO4 (Wijaya,2002)Regangan asimetri Al dalam situs
Lanjutan Tabel
39
1250-950
1400-800
tetrahedral (Riberio,1984)Regangan asimetri tetrahedral luar (Riberio,1984)Daerah sidik jari gugus SiO dan AlOH (Wijaya, 2002)
6
671,23 (A3B2)694,37 (A0B0)779,24 (A0B0)725,23 (A0B0)786,96 (A3B2)
900-700 Lentur Ar-H, C=C-H (luar bidang)Vibrasi lentur Ar-H, C=C-H (luar bidang)Gugus S-O, Vibrasi S-O (Sastrohamidjojo, 1992:105)Gugus S-O, Vibrasi S-O (Sastrohamidjojo, 1992:105)Gugus S-O, Vibrasi S-O (Sastrohamidjojo, 1992:105)
7
462,92 (A0B0) ; (A3B2)
331,76 (A0B0)370,33 (A0B0)378,05 (A3B2)300,9 (A3B2)
470,6
420-500
300-420
Serapan vibrasi tekuk ikatan Si-O dari lapisan silika (Wijaya, 2002)Ikatan T-O tetrahedral luar (Ribeiro, 1984)Pembukaan Pori (Ribeiro, 1984)Pembukaan Pori (Ribeiro, 1984)Pembukaan Pori (Ribeiro, 1984)Pembukaan Pori (Ribeiro, 1984)
Sampel A0B0
Sampel A3B2
Lanjutan Tabel
40
Gambar 4.1. Spektra Infra Merah Abu Layang Tanjung Jati B
4.2.4. Analisis Difraksi Sinar-X
41
Analisis Difraksi Sinar-X dilakukan menggunakan alat XRD merk
Shimadzu XD-160 dengan panjang gelombang 1,54060 Å menggunakan radiasi
dari tabung target Cu, tegangan 40,0 kV, arus 30,0 mA dan daerah pengamatan
antara 3,020-90,00 derajat (Gambar 4.2).
Identifikasi dilakukan dengan mencocokan pola difraksi sinar X dengan
difraksi menurut standar JCPDS ( Joint Commite of Powder Difraction Standar).
Pola difraksi sinar X abu layang batubara awal A0B0 menunjukkan adanya
puncak-puncak tajam pada 2θ : 26,76870 ; 2θ : 20,97870 ; 2θ : 35,8400 ; 2θ :
32,29500 ; 2θ : 36,4800 ; 2θ : 24,1300. Puncak tajam pada 2θ : 26,76870 ; 2θ :
20,97870; 2θ : 36,4800, menunjukkan adanya kuarsa, (JCPDS, kode: 82-0511),
(JCPDS, kode: 78-2315), (JCPDS kode : 83-0539), sedangkan pada puncak 2θ :
32,29500 menunjukan adanya mineral Lime, (JCPDS, kode: 43-1001), pada
puncak, 2θ : 35,8400 menunjukan adanya mineral magnetite (Fe3O4), (JCPDS,
kode: 11-0614), dan pada puncak, 2θ : 24,1300 menunjukan adanya mineral
hematite ( JCPDS, kode: 24-0072). Dari data tersebut maka dapat diketahui bahwa
SiO2 dan Fe2O3, Fe3O4, CaO, dalam abu berada pada fase kristal sedangkan Al2O3
berada dalam fase amorf.
42
Gambar 4.2 Difraktogram Abu Layang Tanjung Jati B
Sedangkan pada sampel A3B2 menunjukkan adanya puncak-puncak tajam
pada 2θ : 11,9945 ; 2θ : 23,7387 ; 2θ : 10,8629 ; 2θ : 21,4441 ; 2θ : 26,8994 ; 2θ :
29,4648 ; 2θ : 43,9239. Puncak tajam pada 2θ : 11,9945 ; 2θ : 23,7387 ; 2θ :
29,4648 menunjukkan fase kristal (SiO2) (JCPDS, kode 44-0696), (CaO2)
(JCPDS, kode 03-0865), (Si0,98O2) (JCPDS, kode 81-2467) pada puncak 2θ :
10,8629 menunjukkan adanya mineral dodecasil (SiO2) (JCPDS, kode 77-1414),
Sampel A0B0
Sampel A3B2
43
pada puncak 2θ : 21,4441 menunjukkan adanya mineral weustite (Fe0,87O)10
(JCPDS, kode 71-0161), pada puncak 2θ : 26,8994 menunjukkan adanya fase
amorf (D1,2Al11O17) (JCPDS, kode 78-1646), sedangkan pada puncak 2θ : 43,9239
menunjukkan adanya mineral ferrierite (SiO2) (JCPDS, kode 82-1396). Dari data
tersebut maka dapat diketahui bahwa SiO2, Si0,98O2, dan (Fe0,87O)10, CaO2, dalam
abu berada pada fase kristal sedangkan D1,2Al11O17 berada dalam fase amorf. Pada
sampel abu layang A3B2 struktur kristalnya semakin besar karena terjadinya
proses dealuminasi ketika proses aktivasi menggunakan asam sulfat.
4.2.5. BET
BET (Branaur, Emmett, and Teller) merupakan teknik adsorpsi gas yang
standar dipakai dalam menghitung luas permukaan dan pori padatan secara akurat.
Metode ini digunakan untuk permukaan yang datar (tidak ada lekukan) dan tidak
ada batas dalam setiap layer yang dapat digunakan untuk menjelaskan luas
permukaan. Metode ini digunakan berdasarkan asumsi bahwa pada setiap
permukaan mempunyai tingkat energi yang homogen (energi adsorpsi tidak
mengalami perubahan dengan adanya adsorpsi di layer yang sama) dan tidak ada
interaksi selama molekul teradsorpsi. Pada penelitian ini, sampel A0B0 dan A3B2
dianalisis menggunakan NOVA (NO Valid Analysis) – Quantachrome instrument.
Gas yang digunakan yaitu nitrogen yang merupakan gas inert, dan suhu diatur
serendah mungkin dan tetap konstan. Data pengujian menggunakan metode BET
dapat dilihat pada tabel 4.5.
44
Tabel 4.5. Hasil analisis menggunakan metode BET
Sampel Kode Label Parameter Hasil Uji Satuan Metode Uji
A0B0
089/P/KA/
10-A-
Luas muka
spesifik4,236461 m2/g BET
A3B2
108/P/KA/
10-A-
Luas muka
spesifik16,001306 m2/g BET
Keterangan : BET : Brunauer Emmett Teller
Dari tabel 4.5 dapat dilihat bahwa sampel abu layang yang diaktivasi
menggunakan asam sulfat konsentrasi 7,51M selama 2 jam (A3B2) mempunyai
luas permukaan spesifik lebih besar daripada abu layang tanpa perlakuan aktivasi
(A0B0) yaitu sebesar 16,001306 m2/g. Hal tersebut dikarenakan adanya
pembukaan pori pada adsorben yang awalnya tertutup oleh pengotor-pengotor
yang dapat mengganggu ketika proses adsorpsi (seperti yang ditunjukkan oleh
analisis FTIR). Selain itu terdapat pertukaran kation antara ion H+ dengan ion Al,
Fe, Mg, dan pengotor-pengotor lainnya dari kisi-kisi struktur, sehingga secara
fisik abu layang batubara menjadi lebih luas permukaan spesifik porinya.
4.3. Pengaruh Konsentrasi Ion Logam Terhadap Proses Adsorpsi
Adsorpsi dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya yaitu pengaruh
konsentrasi dari ion logam itu sendiri. Proses adsorpsi sangat sesuai untuk
memisahkan bahan dengan konsentrasi yang rendah dari campuran yang
mengandung bahan lain dengan konsentrasi tinggi. Pada penelitian ini, digunakan
dua jenis logam yaitu logam Pb2+ dan Zn2+ yang banyak terdapat pada proses
pembuangan limbah industri yang tentunya dalam konsentrasi tertentu akan
membahayakan makhluk hidup yang ada di sekitarnya. Limbah yang ada di
45
penelitian ini menggunakan limbah artifisial yang bertujuan agar lebih mudah
dalam proses analisisnya (faktor interferensi dapat diminimalisir).
Penentuan konsentrasi maksimum dilakukan dengan memasukkan 1 gram
adsorben ke dalam limbah cair sebanyak 100 mL, dishaker mekanik selama 60
menit dengan kecepatan 20 rpm. Selanjutnya filtrat dan padatan dipisahkan
menggunakan centrifuge, kemudian dianalisis menggunakan Spektroskopi
Serapan Atom.
4.3.1 Aplikasi Adsorben untuk Adsorpsi Ion Logam Zn(II).
Langkah awal adalah membuat kurva kalibrasi larutan Zn(II). Kurva
kalibrasi digunakan untuk mencari persamaan garis lurus yang akan digunakan
untuk perhitungan kadar Zn(II). Cara membuat kurva kalibrasi adalah dengan
mencari absorbansi dari berbagai larutan dengan konsentrasi 1,0 ppm; 2,0 ppm;
5,0 ppm; 10,0 ppm; serta 20,0 ppm. Kurva kalibrasi dapat dilihat pada Gambar
4.3.
Gambar 4.3. Kurva Kalibrasi Zn2+
46
Penentuan Konsentrasi Optimum Zn(II) Teradsorpsi pada Sampel A0B0
Hasil pengukuran dengan SSA menunjukkan absorbansi optimum terjadi
pada konsentrasi 100 ppm dengan konsentrasi akhir Zn(II) yang teradsorpsi
sebesar 47,858 ppm. Berdasarkan pola grafik pada Gambar 4.4. dapat diamati
bahwa secara umum semakin besar konsentrasi awal larutan Zn(II) sebagai
adsorbat yang ditambahkan dalam larutan dengan massa abu layang yang tetap
akan meningkatkan daya serap abu layang terhadap ion logam Zn(II). Apabila
konsentrasi ion logam Zn(II) bertambah maka beban abu layang sebagai adsorben
untuk mengikat ion logam Zn(II) juga bertambah sehingga semakin banyak ion
logam Zn(II) yang terikat. Hal ini terjadi karena pada awal penyerapan,
permukaan abu layang masih belum terlalu banyak berikatan dengan ion logam
Zn(II) sehingga proses penyerapan dapat berlangsung efektif. Dari grafik didapat
setelah konsentrasi optimum 100 ppm penyerapan yang terjadi sedikit menurun
atau cenderung konstan, pada kondisi ini telah tercapai kesetimbangan antara
konsentrasi ion logam Zn(II) dalam abu layang dengan lingkungannya. Hal
tersebut kemungkinan terjadi karena adsorben telah berada dalam kondisi jenuh
sehingga tidak dapat lagi menyerap ion logam Zn(II), bahkan ada yang dilepaskan
kembali, selain itu juga dimungkinkan karena adanya fenomena fisisorpsi karena
ikatan yang tidak kuat.
47
Gambar 4.4. Hubungan Konsentrasi awal Zn(II) dengan Konsentrasi Zn(II) terserap pada abu layang (A0B0).
Penentuan Konsentrasi Optimum Zn(II) Teradsorpsi pada Sampel A3B2
Hasil pengukuran dengan SSA menunjukkan absorbansi optimum terjadi
pada konsentrasi 100 ppm dengan konsentrasi akhir Zn(II) yang teradsorpsi
sebesar 77,4285 ppm. Berdasarkan pola grafik pada Gambar 4.5. dapat diamati
bahwa secara umum semakin besar konsentrasi awal larutan Zn(II) sebagai
adsorbat yang ditambahkan dalam larutan dengan massa abu layang yang tetap
akan meningkatkan daya serap abu layang terhadap ion logam Zn(II). Apabila
konsentrasi ion logam Zn(II) bertambah maka beban abu layang sebagai adsorben
untuk mengikat ion logam Zn(II) juga bertambah sehingga semakin banyak ion
logam Zn(II) yang terikat. Hal ini terjadi karena pada awal penyerapan,
permukaan abu layang masih belum terlalu banyak berikatan dengan ion logam
Zn(II) sehingga proses penyerapan dapat berlangsung efektif. Dari grafik didapat
setelah konsentrasi optimum 100 ppm penyerapan yang terjadi sedikit menurun
atau cenderung konstan, pada kondisi ini telah tercapai kesetimbangan antara
konsentrasi ion logam Zn(II) dalam abu layang dengan lingkungannya. Hal
tersebut kemungkinan terjadi karena adsorben telah berada dalam kondisi jenuh
48
sehingga tidak dapat lagi menyerap ion logam Zn(II), bahkan ada yang dilepaskan
kembali, selain itu juga dimungkinkan karena adanya fenomena fisisorpsi karena
ikatan yang tidak kuat.
Gambar 4.5. Hubungan Konsentrasi awal Zn(II) dengan Konsentrasi Zn(II) terserap pada abu layang (A3B2).
Penentuan kapasitas adsorpsi dan energi adsorpsi
Penetapan persamaan isoterm Langmuir dapat digunakan untuk
mengetahui kapasitas adsorpsi dan energi adsorpsi Zn(II) pada adsorben (abu
layang batubara dengan kode sampel A0B0 dan A3B2).
Persamaan Langmuir: c/m = (1/bK) + (c/b)
Keterangan:
c = Konsentrasi ion logam dalam larutan (mg/L)
m = Jumlah logam yang teradsorpsi per gram adsorben pada konsentrasi c
b = Kapasitas adsorpsi maksimum (mg mol logam terserap pada keadaan
jenuh)
K = Konstanta kesetimbangan.
Dari kurva linier hubungan antara c/m dengan c, dapat diperoleh konstanta
kesetimbangan (K) dari intersep = (1/bK), dan kapasitas adsorpsi maksimum (b)
diperoleh dari slope = (1/b) (Castelan,1983:436). Sedangkan besarnya energi
49
adsorpsi ditentukan secara tidak langsung dengan menghitung harga K dari
intersep grafik. Selanjutnya harga energi adsorpsi dapat dihitung dari harga K
menurut persamaan:
Eads = RT ln K
Dengan R adalah tetapan gas ideal (8,314 J/Kmol), dan T adalah temperatur (K),
dan K adalah konstanta keseimbangan adsorpsi. Harga perhitungan kapasitas
adsorpsi (b), konstanta kesetimbangan (K) dan energi adsorpsi dengan
menggunakan persamaan isoterm Langmuir, ditunjukkan pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Data kapasitas adsorpsi (b), konstanta kesetimbangan (K) dan energi adsorpsi
Adsorben b (mg/g) K E (kJ/mol)A0B0 7,5653 17,97 7,205A3B2 9,2856 110,543 11,736
Berdasarkan hasil penelitian menggunakan limbah Zn2+, menunjukkan
bahwa adsorben abu layang batubara dengan kode sampel A0B0 dan A3B2
merupakan adsorpsi fisika (fisisorpsi) karena berinteraksi secara fisika (hanya
menempel pada permukaan pori adsorben saja) atau karena energi yang dihasilkan
lebih besar dari 20,92 kJ/mol. Selain itu, data adsorpsi Zn(II) menunjukkan bahwa
adsorben abu layang A3B2 mempunyai kapasitas adsorpsi, konstanta
kesetimbangan, serta energi yang lebih besar daripada abu layang A0B0.
4.3.2 Aplikasi Adsorben untuk Adsorpsi Ion Logam Pb(II).
Langkah awal adalah membuat kurva kalibrasi larutan Pb(II). Kurva
kalibrasi digunakan untuk mencari persamaan garis lurus yang akan digunakan
untuk perhitungan kadar Pb(II). Cara membuat kurva kalibrasi adalah dengan
mencari absorbansi dari berbagai larutan dengan konsentrasi 1,0 ppm; 5,0 ppm;
50
10,0 ppm; 15,0 ppm; serta 20,0 ppm. Kurva kalibrasi dapat dilihat pada Gambar
4.6.
Gambar 4.6. Kurva Kalibrasi Pb2+
Penentuan Konsentrasi Optimum Pb(II) Teradsorpsi pada Sampel A0B0
Hasil pengukuran dengan SSA menunjukkan absorbansi optimum terjadi
pada konsentrasi 50 ppm dengan konsentrasi akhir Pb(II) yang teradsorpsi sebesar
41 ppm. Berdasarkan pola grafik pada Gambar 4.7. dapat diamati bahwa secara
umum semakin besar konsentrasi awal larutan Pb(II) sebagai adsorbat yang
ditambahkan dalam larutan dengan massa abu layang yang tetap akan
meningkatkan daya serap abu layang terhadap ion logam Pb(II). Apabila
konsentrasi ion logam Pb(II) bertambah maka beban abu layang sebagai adsorben
untuk mengikat ion logam Pb(II) juga bertambah sehingga semakin banyak ion
logam Pb(II) yang terikat. Hal ini terjadi karena pada awal penyerapan,
permukaan abu layang masih belum terlalu banyak berikatan dengan ion logam
Pb(II) sehingga proses penyerapan dapat berlangsung efektif. Dari grafik didapat
setelah konsentrasi optimum 50 ppm penyerapan yang terjadi sedikit menurun
51
atau cenderung konstan, pada kondisi ini telah tercapai kesetimbangan antara
konsentrasi ion logam Pb(II) dalam abu layang dengan lingkungannya. Hal
tersebut kemungkinan terjadi karena adsorben telah berada dalam kondisi jenuh
sehingga tidak dapat lagi menyerap ion logam Pb(II), bahkan ada yang dilepaskan
kembali, selain itu juga dimungkinkan karena adanya fenomena fisisorpsi karena
ikatan yang tidak kuat.
Gambar 4.7. Hubungan Konsentrasi awal Pb(II) dengan Konsentrasi Pb(II) terserap pada abu layang (A0B0).
Penentuan Konsentrasi Optimum Pb(II) Teradsorpsi pada Sampel A3B2
Hasil pengukuran dengan SSA menunjukkan absorbansi optimum terjadi
pada konsentrasi 100 ppm dengan konsentrasi akhir Pb(II) yang teradsorpsi
sebesar 91 ppm. Berdasarkan pola grafik pada Gambar 4.8. dapat diamati bahwa
secara umum semakin besar konsentrasi awal larutan Pb(II) sebagai adsorbat yang
ditambahkan dalam larutan dengan massa abu layang yang tetap akan
meningkatkan daya serap abu layang terhadap ion logam Pb(II). Apabila
konsentrasi ion logam Pb(II) bertambah maka beban abu layang sebagai adsorben
untuk mengikat ion logam Pb(II) juga bertambah sehingga semakin banyak ion
52
logam Pb(II) yang terikat. Hal ini terjadi karena pada awal penyerapan,
permukaan abu layang masih belum terlalu banyak berikatan dengan ion logam
Pb(II) sehingga proses penyerapan dapat berlangsung efektif. Dari grafik didapat
setelah konsentrasi optimum 100 ppm penyerapan yang terjadi sedikit menurun
atau cenderung konstan, pada kondisi ini telah tercapai kesetimbangan antara
konsentrasi ion logam Pb(II) dalam abu layang dengan lingkungannya. Hal
tersebut kemungkinan terjadi karena adsorben telah berada dalam kondisi jenuh
sehingga tidak dapat lagi menyerap ion logam Pb(II), bahkan ada yang dilepaskan
kembali, selain itu juga dimungkinkan karena adanya fenomena fisisorpsi karena
ikatan yang tidak kuat
Gambar 4.8. Hubungan Konsentrasi awal Pb(II) denganKonsentrasi Pb(II) terserap pada abu layang (A3B2).
Penentuan kapasitas adsorpsi dan energi adsorpsi
Penetapan persamaan isoterm Langmuir dapat digunakan untuk
mengetahui kapasitas adsorpsi dan energi adsorpsi Pb(II) pada adsorben (abu
layang batubara dengan kode sampel A0B0 dan A3B2).
Persamaan Langmuir: c/m = (1/bK) + (c/b)
53
Keterangan:
c = Konsentrasi ion logam dalam larutan (mg/L)
m = Jumlah logam yang teradsorpsi per gram adsorben pada konsentrasi c
b = Kapasitas adsorpsi maksimum (mg mol logam terserap pada keadaan
jenuh)
K = Konstanta kesetimbangan.
Dari kurva linier hubungan antara c/m dengan c, dapat diperoleh konstanta
kesetimbangan (K) dari intersep = (1/bK), dan kapasitas adsorpsi maksimum (b)
diperoleh dari slope = (1/b) (Castelan,1983:436). Sedangkan besarnya energi
adsorpsi ditentukan secara tidak langsung dengan menghitung harga K dari
intersep grafik. Selanjutnya harga energi adsorpsi dapat dihitung dari harga K
menurut persamaan:
Eads = RT ln K
Dengan R adalah tetapan gas ideal (8,314 J/Kmol), dan T adalah temperatur (K),
dan K adalah konstanta keseimbangan adsorpsi. Harga perhitungan kapasitas
adsorpsi (b), konstanta kesetimbangan (K) dan energi adsorpsi dengan
menggunakan persamaan isoterm Langmuir, ditunjukkan pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7. Data kapasitas adsorpsi (b), konstanta kesetimbangan (K) dan energi adsorpsi
Adsorben b (mg/g) K E (kJ/mol)A0B0 3,8787 227,05 13,521A3B2 7,497 214,2 13,386
Berdasarkan hasil penelitian menggunakan limbah Pb2+, menunjukkan
bahwa adsorben abu layang batubara dengan kode sampel A0B0 dan A3B2
merupakan adsorpsi fisika (fisisorpsi) karena berinteraksi secara fisika (hanya
menempel pada permukaan pori adsorben saja) atau karena energi yang dihasilkan
54
lebih besar dari 20,92 kJ/mol. Selain itu, data adsorpsi Pb(II) menunjukkan bahwa
adsorben abu layang A3B2 mempunyai kapasitas adsorpsi, konstanta
kesetimbangan, serta energi yang lebih besar daripada abu layang A0B0.
Berdasarkan hasil penelitian, mengenai aplikasi abu layang batubara
sebagai adsorben logam Pb(II) dan Zn(II), dapat dilihat bahwa kapasitas adsorpsi
yang lebih besar yaitu pada ion logam Zn(II). Sampel awal A0B0 ion logam Zn(II)
mempunyai kapasitas adsorpsi sebesar 7,5653 mg/g, sedangkan sampel A3B2 yang
merupakan sampel optimum hasil aktivasi menggunakan asam sulfat hanya
mempunyai kapasitas adsorpsi sebesar 7,497 mg/g. Hal tersebut dikarenakan ion
logam Zn(II) yang mempunyai jari-jari sebesar 88 pm yang lebih kecil
dibandingkan dengan ion logam Pb(II) yang mempunyai jari-jari sebesar 133 pm,
sehingga ion logam Zn(II) lebih banyak yang menempel pada permukaan
adsorben.
55
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh kesimpulan
sebagai berikut :
1. Luas permukaan spesifik pada sampel A0B0 sebesar 4,236461 m2/g.
Luas permukaan spesifik pada sampel A3B2 sebesar 16,001306 m2/g.
2. Rasio Si/Al pada sampel A0B0 2,5465, sedangkan pada sampel A3B2
mempunyai rasio Si/Al terbesar yaitu 6,0703. Kadar unburned carbon
paling kecil pada sampel A3B2 yaitu sebesar 11,524%.
3. Kapasitas dan energi adsorpsi pada logam Pb2+ masing-masing
adsorben adalah pada sampel A0B0 sebesar 3,8787 mg/g, 13,521
kJ/mol termasuk fisisorpsi, sedangkan pada sampel A3B2 sebesar
7,497 mg/g, 13,386 kJ/mol termasuk fisisorpsi.
4. Kapasitas dan energi adsorpsi pada logam Zn2+ masing-masing
adsorben adalah pada sampel A0B0 sebesar 7,5653 mg/g, 7,205 kJ/mol
termasuk fisisorpsi, sedangkan pada sampel A3B2 sebesar 9,2856
mg/g, 11,736 kJ/mol termasuk fisisorpsi.
56
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menambah variabel pada
saat aktivasi.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai variasi massa
adsorben, waktu, dan variasi pH larutan pada saat adsorpsi agar
diketahui kondisi optimum adsorpsi oleh abu layang batubara.
3. Perlu dilakukan karakteristik lebih lanjut mengenai hasil aktivasi.
57
DAFTAR PUSTAKA
Adamson, A.W.1990. Physical Chemistry of Surface, Canada : John Willey & Sons.pp.ssi.
Alberty , R. A and Daniels, F. 1983. Physical Chemsitry. New York : John Willey & Sons, hal 230 – 234.
Anonim.-. Pencemaran Timbal dalam Makanan. (http://www.smallcrab.com/ kesehatan/25healthy/575pencemaran-timbal-dalam-makanan) diunduh pada tanggal 13 Juli 2009.
Anonim.-. The Fly Ash Resource Center. (http://images.google.co.id/images? hl=id&safe=active&client=firefoxa&rls=org.mozilla:en-US:official&q= flyash&um=1&ie=UTF-8&sa=N&tab=wi) diunduh pada tanggal 14 Juli 2009.
Anonim. 2004. Lembar Data Keselamatan Bahan. (http://www.kimianet. lipi.go.id/database.cgi?bacadatabase&&&1&1098595676&1098638744)diunduh pada tanggal 11 Juli 2009.
Anonim, 2006. Sosialisasi Program Terpadu Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Batubara dalam rangka Meningkatkan Daya Saing Industri Tekstil. Siaran Pers. Departemen Perindustrian RI.
Anonim. 2007. Coleto Coal Combustion Products. (http://images.google.co. id/images?hl=id&safe=active&client=firefoxa&rls=org.mozilla%3AenUS%3Aofficial&um=1&sa=1&q=fly+ash+PLTU+tanjung+jati&btnG=Telusuri+gambar&aq=f&oq=) diunduh pada tanggal 14 Juli 2009.
Asti, R. 2004. Pencemaran Teluk Jakarta. Harian Republika. Selasa, 25 Mei 2004.
Atkins, P. W. 1997. Kimia Fisika (Alih bahasa: Dra. Irma I. K). Jakarta : Erlangga
Aziz, Muchtar, dkk. 2006. Karakterisasi Abu Terbang PLTU Suralaya dan Evaluasinya untuk Refraktori Cor. Bandung : Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 36, Tahun 14, Januari 2006.
Benarsconi, G, dkk. 1995. Teknologi Kimia. Jakarta : Pradnya Paramita, hal 34 – 56
Cahyono, B. 2007. Warga sekitar PLTU, 95% alami infeksi pernafasan. Harian Suara Merdeka. 4 Desember 2007.
58
Castelan, G.W. 1983. Physical Chemistry. London: Addison Wesley Publishing Company.
Chen, Xinqi. 2009. Keck Interdiciplinary Surface Scince Center. (http://www.nuance.northwestern.edu/KeckII/ftir1.asp). Diunduh pada tanggal 25 Maret 2010.
Duong D, Do. 1998. Adsorption Analysis : Equilibria and Kinetics. Australia:Imperial College Press.
Firdaushanif. 2007. Pembakaran Batubara. (http://firdaushanif.multiply.com /journal/item/2/Pembakaran_Batubara) diunduh pada tanggal 14 Juli 2009.
Harijono, D. 1993. Abu Terbang dan Pemanfaatannya. Makalah Seminar Nasional Batubara Indonesia.7-8 September 1993.UGM. Yogyakarta.
Hendayana, Sumar. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Jakarta : Erlangga, hal. 154 - 194
Herry, P. 1993. Abu Terbang dan Pemanfaatannya. Makalah Seminar Nasional Batubara Indonesia.7-8 September 1993.UGM. Yogyakarta.
John. 2000. Karakterisasi Zeolit Termodifikasi Asam. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Jumaeri. 1995. Studi tentang Pemanfaatan Abu Layang Sebagai Adsorben Zat Warna dalam Larutan Air. Tesis, Universitas Gajah Mada:Yogyakarta.
Khopkar, S. M. 1984. Konsep Dasar Kimia Analitik (terjemahan). Bombay : Analytical Laboratory Department of Chemistry Indian Institut of Technology Bombay, hal. 204 - 243
Kurnia, Tuti. 2006. Aktivasi Zeolit Alam dengan HCl untuk Adsorben Ion Logam Zn(II) dalam Limbah Cair Galvanis. Jurusan Kimia FMIPA UNNES.
Merck. 2004. Lembar Data Keselamatan. Germany : Merck KgaA.
Oxroby, Gilis Nachtrieb. 2001. Prinsip - Prinsip Kimia Modern. Edisi IV Jilid I. Jakarta : Erlangga.
Prowida, Pranoto dan Eddy Heraldy. 2003. Karakteristik dan Aktivasi Alofan dengan HCl sebagai Adsorben Limbah Ion Logam Berat Zn. Jurnal Kimia Lingkungan Vol.5. No.1. Surakarta : UNS
59
Rahmi, Lilis A. 2006. Pemanfaatan Abu Layang Batubara untuk Stabilisasi Logam Besi (Fe3+) den Seng (Zn2+) dalam Limbah Cair Buangan Industri. Skripsi. Semarang : UNNES.
Riberio F R, dkk. 1984. Zeolite : Science and Technology. Alcabideche : NATO ASI.
Sastrohamidjojo, H.1992. Spektroskopi Infra Merah. Yogyakarta : Liberty.
Sugiyarto, Kristian H. 2003. Common Textbook Kimia Anorganik II. Yogyakarta : Jurusan Kimia FMIPA UNY.
Sukardjo. 1997. Kimia Fisika. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Sumardi, 2001. Pelatihan Bidang Peningkatan Sumber Daya Manusia Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Semarang dalam Rangka Menghadapi Era Globalisasi (Teknik Analisis Instrumen AAS). Pusat Penelitian LIPI: Bandung.
Sunardi. 2006. Batubara dan Pemanfaatannya. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Supeno, 2007. Bentonit Alam Terpilar sebagai Material Katalis/Co-Katalis Pembuatan Gas Hidrogen dan Oksigen dari Air. Sumatera Utara : Jurusan Kimia Universitas Sumatera Utara.
Tarigan, Poris. 1986. Spektrometri Massa. Bandung : Alumni, hal. 51 - 54
Vogel, 1990. Analisis Anrganik Kualitatif Makkro dan Semimakro. Jakarta : PT. Kalman Media Pustaka.
Wahyuni, Endang Tri. 2003. Metode Difraksi Sinar-X. Hand-Out. Yogyakarta: Laboratorium Kimia Analitik Jurusan Kimia UGM.
Widihati, I.A.Gede. 2008. Adsorpsi Anion Cr(VI) oleh Batu Pasir Teraktivasi Asam dan Tersalut Fe2O3. Jurnal Kimia II. Bukit Jimbaran : Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana.
Wijaya, Karna, Iqmal Tahir, dan Ahmad Baikuni. 2002. Sintesis Lempeng Terpilar Cr2O3 dan Pemanfaatannya sebagai Inang Senyawa p-nitroanilin. Indonesian Journal Chemistry. Yogyakarta : Kimia FMIPA UGM.
Woolard, C.D., Petrus, K., Horst, M.V.D. 2000. The Use of a Modified Fly Ash as an Adsorbent for Lead. Water SA vol 26 No. 4.