39
Dra. Sri Endang Susetiawati 2010 Untuk : Lomba Karya Tulis TNI AL 2010 Memperingati Hari Dharma Samudera DISPENAL 08/12/2010 AKTUALISASI SEMANGAT PERTEMPURAN LAUT ARU DALAM MENEGAKKAN KEDAULATAN WILAYAH NKRI (PEMBERDAYAAN POTENSI PULAU-PULAU TERLUAR DAN WILAYAH PERBATASAN RI)

Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tulisan ini merupakan Juara 3 Lomba Karya Tulis Tingkat Nasional Kategori Umum yang diselenggarakan oleh DISPENAL TNI AL tahun 2011

Citation preview

Page 1: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

1

DDrraa.. SSrrii EEnnddaanngg SSuusseettiiaawwaattii

DDrraa.. SSrrii EEnnddaanngg SSuusseettiiaawwaattii 2010

UUnnttuukk ::

LLoommbbaa KKaarryyaa TTuulliiss TTNNII AALL 22001100

MMeemmppeerriinnggaattii

HHaarrii DDhhaarrmmaa SSaammuuddeerraa

DDIISSPPEENNAALL

0088//1122//22001100

AAKKTTUUAALLIISSAASSII SSEEMMAANNGGAATT PPEERRTTEEMMPPUURRAANN LLAAUUTT AARRUU

DDAALLAAMM MMEENNEEGGAAKKKKAANN KKEEDDAAUULLAATTAANN WWIILLAAYYAAHH NNKKRRII

((PPEEMMBBEERRDDAAYYAAAANN PPOOTTEENNSSII PPUULLAAUU--PPUULLAAUU TTEERRLLUUAARR DDAANN WWIILLAAYYAAHH PPEERRBBAATTAASSAANN RRII))

Page 2: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

2

KATA PENGANTAR

Assalamu „alaikum Wr. Wb.

Karya tulis yang berjudul “Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru Dalam

Menegakkan Kedaulatan Wilayah NKRI” ini dimaksudkan untuk ikut berpartisipasi

dalam Lomba Karya Tulis dalam rangka memperingati Hari Dharma Samudera

Tahun 2011 yang diselenggarakan oleh Dinas Penerangan Angkatan Laut, Mabes

TNI AL, Cilangkap, Jakarta Timur.

Untuk memahami semangat Pertempuran Laut Aru (PLA) secara tepat dan

benar, maka diperlukan pemahaman sejarah dalam konteks pembebasan Irian Jaya.

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimanakah aktuaisasi semangat PLA dalam

konteks kekinian ? Tulisan ini mencoba untuk menguraikan mengenai sejarah PLA

dalam konteks pembebasan Irian Jaya. Kemudian, diuraikan pula, bahwa aktualisasi

kekinian dari semangat PLA adalah pemberdayaan potensi pulau-pulau terluar dan

wilayah perbatasan RI. Keduanya memiliki semangat yang sama, yaitu

mempertahankan keutuhan wilayah dan menegakkan kedaulatan NKRI, sesuai

dengan amanat UUD 1945.

Demikian, karya tulis ini disusun, dengan harapan semoga keberadaannya dapat

bermanfaat bagi bangsa dan negara Indonesia. Akhirnya, saya ucapkan terima kasih

atas kesempatan yang saya dapatkan untuk ikut dalam Lomba ini, dan mohon maaf

atas segala kekurangan. Selamat Hari Dharma Samudera Tahun 2011, semoga jasa

dan semangat kepahlawanan Yos Soedarso dan prajurit TNI AL lainnya dapat selalu

dikenang dan diteladani oleh kita semua. Amiin.

Wassalam.

Kuningan, 08 Desember 2010

Dra. Sri Endang Susetiawati

Page 3: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

3

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHALUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Maksud dan Tujuan

BAB II. PERTEMPURAN LAUT ARU DALAM KONTEKS SEJARAH

PEMBEBASAN IRIAN JAYA 3

2.1. Belanda, Ternyata Ingkari KMB 5

2.2. Trikora : Jalan Diplomasi Buntu, Operasi Militer Ditempuh 10

2.3. Misi Infiltrasi Dimulai, Sang Pahlawan Gugur 13

2.4. Akhirnya, Belanda Menyerah Juga 18

2.5. Irian Jaya, Kembali ke NKRI 20

BAB III. PEMBERDAYAAN POTENSI PULAU-PULAU TERLUAR DAN

WILAYAH PERBATASAN RI 23

3.1. Perlu Perhatian Kusus dan Serius 24

3.2. Beragam Masalah Akibat Terabaikan 25

2.3. Kejahatan Tingkat Tinggi 26

2.4. Perpres No. 78/2005 27

2.5. Peran TNI 29

BAB IV. PENUTUP 32

4.1. Kesimpulan 32

4.2. Saran 34

Page 4: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

4

BAB I

PENDAHULUAN

1.2. Latar Belakang

Pertempuran Laut Aru (PLA), setiap tahun selalu diperingati sebagai hari Dharma

Samudera oleh keluarga besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL),

termasuk para veteran, purnawirawan dan warakawuri. Peristiwa pertempuran

antara tiga KRI jenis MTB dan tiga kapal perang jenis freegat, korvet dan destroyer

milik Belanda, yang terjadi pada tanggal 15 Januari 1962 itu dinilai memiliki makna

historis yang sangat penting bagi bangsa, khususnya bagi keluarga besar TNI AL.

Sehingga, peringatan Hari Dharma Samudera dianggap bukan sekedar kegiatan

yang bersifat rutinitas dan seremonial belaka, tapi ada makna sejarah dan semangat

juang yang dapat diambil bagi generasi berikutnya.

Untuk memahami makna sejarah atau suatu peristiwa di masa lampau, menurut

Hariyono (1995), kita tidak dapat keluar dari konteks sejarah yang mengiringi atau

melatarbelakanginya. Jika tidak demikian, maka akan terjadi anakronisme sejarah,

yakni meletakkan sejarah dan menilai suatu peristiwa, baik tokoh, rangkaian

peristiwa maupun latarnya secara kurang tepat, atau bahkan salah. Akibatnya, kita

akan kehilangan perspektif waktu, jiwa dan semangat jaman yang dipelajari dari

suatu peristiwa yang terjadi di masa lampau tersebut.1

Oleh karena itu, untuk memahami makna Pertempuran Laut Aru (PLA) secara

benar dan tepat, maka kita perlu memahami terlebih dahulu konteks sejarah atau

peristiwa masa lampau yang melatarbelakanginya. Makna dan semangat dari PLA

akan kita dapatkan secara benar dan tepat pula. Selanjutnya, agar kita tidak terjebak

pada nostalgia masa lalu semata atau terkungkung pada semangat kepahlawanan

yang beku dan statis, maka kita perlu memahami relevansinya atas kehidupan

bangsa dan negara dalam konteks kekinian. Kita perlu memahami, bagaimana

1 Hariyono, 1995, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, hal. 17.

Page 5: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

5

aktualisasi semangat PLA dalam konteks perkembangan bangsa dan negara saat

sekarang dan di masa depan.

Berdasarkan atas latar belakang pemikiran tersebut diatas, maka beberapa

pertanyaan yang layak diajukan, antara lain adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah sesungguhnya peristiwa PLA dalam konteks sejarah

pembebasan Irian Jaya ?

2. Apa makna dan semangat PLA yang dapat kita petik dan diteladani ?

3. Apa relevansi makna dan semangat PLA bagi bangsa Indonesia saat ini, dan

masa yang akan datang ?

4. Bagaimana aktualisasi semangat PLA dalam menegakkan kedaulatan wilayah

NKRI untuk saat ini dan di masa yang akan datang ?

Karya tulis ini berusaha untuk memberikan jawaban dan penjelasan atas

sejumlah pertanyaan di atas. Bab II menguraikan PLA dalam konteks sejarah

pembebasan Irian Jaya, beserta makna dan semangat yang dapat dipetik dan

diteladani. Sedangkan Bab III menguraikan tentang relevansi dan aktualisasi

semangat PLA dalam menegakkan kedaulatan wilayah NKRI dalam bentuk

pemberdayaan potensi pulau-pulau terluar dan wilayah perbatasan RI.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dari pembuatan karya tulis ini adalah ikut serta dalam Lomba Karya Tulis

yang dielenggarakan oleh Dispenal dalam rangka memperingati Hari Dharma

Samudera tahun 2011. Adapun tujuannya adalah ikut memberikan sumbangan

pemikiran, pendapat atau saran terkait memaknai peristiwa PLA, dan relevansinya

bagi kehidupan bangsa Indonesia saat ini dan di masa yang akan datang.

Page 6: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

6

BAB II

PERTEMPURAN LAUT ARU

DALAM KONTEKS SEJARAH PEMBEBASAN IRIAN JAYA

Pertempuran Laut Aru adalah peristiwa di masa lampau dalam konteks sejarah

pembebasan Irian Jaya2 dari kekuasaan Kerajaan Belanda. Pembebasan Irian Jaya

merupakan salah satu program pemerintahan Kabinet Kerja yang terbentuk setelah

Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Program ini mengacu pada dua hal penting,

yakni hasil persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) dan realisasinya yang tidak

sesuai dengan isi persetujuan, dimana Kerajaan Belanda secara nyata telah

mengingkarinya. Pembebasan Irian Jaya pada hakikatnya merupakan tuntutan

nasional secara mutlak, dimana seluruh komponen bangsa menyetujui dan

mendukungnya secara penuh.

KMB yang berlangsung di Denhaag pada tanggal 23 Agustus – 2 November

1949 berhasil mencapai persetujuan dari kedua belah pihak, yakni antara pihak

Indonesia dan pihak Belanda, mengenai “penyerahan kedaulatan3” atas Indonesia.

Pasal 1 Persetujuan KMB berbunyi “Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan

sepenuhnya atas Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan tidak

bersyarat dan tidak dapat dicabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia

Serikat (RIS) sebagai negara yang berdaulat”.4

Namun demikian, KMB tidak berhasil menyelesaikan salah satu masalah penting

yang masih diperdebatkan, yaitu penyerahan kekuasaan oleh Kerajaan Belanda

atas Irian Jaya kepada Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut dicapailah suatu

2 Irian Jaya, dahulu Irian Barat, kini Provinsi Papua dan Irian Jaya Barat.

3 Naskah resmi KMB menyebut istilah penyerahan kedaulatan. Namun, Indonesia memakai istilah

pengakuan kedaulatan, karena sejak tanggal 17 Agustus 1945, RI sebagai organisasi politik bangsa

Indonesia telah memiliki kedaulatan atas seluruh Indonesia. RIS adalah penerus dari RI sebagai

pemegang kedaulatan atas seluruh Indonesia. Karena itu, Belanda pada hakikatnya mengakui kedaulatan

yang sudah ada pada pihak Indonesia saat itu. Lihat Sejarah Nasional Indonesia (SNI) Jilid VI, 1984,

Jakarta : Balai Pustaka, hal. 171.

4 Notosutardjo, Dokumen Konferensi Meja Bundar, hal. 69.

Page 7: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

7

kompromi di antara kedua belah pihak, yang tercantum pada pasal 2 ayat f Piagam

Penyerahan Kedaulatan, yang berbunyi :

“Mengingat kebulatan hati pihak-pihak yang bersangkutan hendak

mempertahankan azas supaya semua perselisihan yang mungkin ternyata

kelak atau timbul, diselesaikan dengan jalan patut dan rukun, status-quo Irian

(Nieuw-Guinea) tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun

sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat,

masalah kedaulatan Irian akan diselesaikan dengan jalan-jalan perundingan

antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Nederland.”5

Pada tanggal 27 Desember 1949 diadakan upacara penandatanganan naskah

“penyerahan” kedaulatan di dua tempat. Di Amsterdam, Ratu Juliana, Perdana

Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. A.M.J.A. Sassen dan Ketua

Delegasi RIS Drs. Moh. Hatta, yang saat itu sebagai Perdana Menteri RIS,

bersama-sama membubuhkan tandatangan pada naskah “penyerahan” kedaulatan

kepada RIS. Sedangkan di Jakarta, dalam suatu upacara juga, Sri Sultan

Hamengkubuwono IX mewakili pemerintah RIS dan Wakil Tinggi Mahkota A.H.J.

Lovink mewakili pemerintah Kerajaan Belanda, membubuhkan tandatangan pada

naskah “penyerahan” kedaulatan yang sama. Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa secara formal sejak saat itu Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia

dan mengakui kedaulatan penuh suatu negara Indonesia di seluruh bekas wilayah

Hinda Belanda, kecuali Irian Jaya yang pembicaraannya akan dilakukan setahun

kemudian.

Pengertian “penyerahan” kedaulatan dari pihak Belanda kepada RIS, tidak

mengurangi anggapan bahwa Republik Indonesia sejak Proklamasi 17 Agustus

1945 sudah memiliki kedaulatan (de jure) terhadap seluruh bekas wilayah Hindia

Belanda. Dalam perjalanan berikutnya, kedaulatan itu diserahkan oleh RI kepada

RIS sesaat menjelang pelaksanaan KMB, yang kemudian kedaulatan itu

dikembalikan lagi kepada RI setelah pembubaran RIS secara resmi pada tanggal 17

Agustus 1950. Dengan demikian, pada hakikatnya apa yang dilakukan oleh pihak

5 Ibid

Page 8: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

8

Belanda adalah mengakui kedaulatan bangsa Indonesia atas wilayah nasionalnya

sendiri, yang dalam hal ini diwakili oleh RIS.6

2.1. Belanda, Ternyata Ingkari KMB

Setelah satu tahun lebih berlalu, sejak penandatanganan pengakuan kedaulatan

Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, faktanya Kerajaan Belanda telah

mengingkari isi persetujuan KMB yang menyangkut masalah Irian Jaya. Usaha-

usaha untuk mengadakan perundingan secara bilateral telah dilakukan oleh pihak

Indonesia agar Belanda mau membicarakan masalah “penyerahan” Irian Jaya

sesuai isi persetujuan KMB. Namun, semua usaha tersebut ternyata telah menemui

kegagalan karena pihak Belanda memang tidak bersedia untuk berunding dan

membahas masalah sengketa yang belum diselesaikan.

Maka, sejak tahun 1954, pada setiap tahun secara berturut-turut, Pemerintah

Indonesia membawa masalah Irian Jaya di dalam acara Sidang Majelis Umum

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Namun, upaya Indonesia inipun selalu

menemui kegagalan, karena tidak pernah memperoleh tanggapan yang positif dari

sebagian besar anggota PBB. Bahkan, pada tahun 1957, saat Menlu RI berpidato

dalam sidang Majelis Umum PBB yang menegaskan sikap Indonesia akan

menempuh “jalan lain” (short war) untuk menyelesaikan sengketa Irian Jaya dengan

Belanda, PBB pun tidak berhasil untuk menyetujui sebuah resolusi. Karena, usulan

resolusi yang disponsori oleh 21 negara, termasuk Indonesia, tidak dapat

memenangkan 2/3 jumlah suara yang dipersyaratkan.

Upaya diplomasi Indonesia di forum PBB, ternyata belum mampu mengubah

pendirian negara-negara pendukung Belanda. Justru, negara-negara Barat terkesan

makin teguh pendiriannya dalam mendukung sikap Belanda, seiring dengan adanya

Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Sehingga, secara langsung telah

membuat pihak Kerajaan Belanda makin tidak memiliki niat dan kesediaan untuk

6 Untuk memperoleh pemahaman lebih lanjut mengenai pengakuan kedaulatan atas suatu negara yang baru

berdiri, lihat S. Tasrif, S.H., 1990, Hukum Internasional tentang Pengakuan Kedaulatan dalam Teori dan

Praktek, Jakarta : Abardin.

Page 9: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

9

menyerahkan Irian Jaya kepada Indonesia, bahkan untuk sekedar

membicarakannya pun Belanda sudah tidak mau lagi.

Bagi Indonesia, pembebasan Irian Jaya merupakan suatu tuntutan nasional yang

bersifat mutlak dan didukung oleh semua partai politik dan semua golongan, tanpa

kecuali. Karena, hal ini didasarkan atas Pembukaan UUD 1945, yaitu “Untuk

membentuk suatu pemerintahan Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.

Sedangkan, Irian Jaya adalah bagian mutlak dari tumpah darah Indonesia. Itulah

sebabnya, meski pergantian Kabinet sering terjadi, namun tidak ada satu pun

Kabinet yang pernah beranjak dari tuntutan nasional tersebut.

Mengingat jalan damai atau pendekatan diplomasi yang ditempuh selama

delapan tahun tidak membawa hasil, maka sejak tahun 1957 Pemerintah Indonesia

benar-benar mulai menempuh “jalan lain”. Aksi-aksi untuk pembebasan Irian Jaya

dilancarkan di seluruh tanah air, antara lain dengan cara menggelar demonstrasi

besar-besaran oleh berbagai lapisan masyarakat, dan pengambil-alihan aset milik

perusahaan Belanda di Indonesia oleh kaum buruh dan karyawan. Untuk mencegah

terjadinya anarkisme dan memenuhi tuntutan aspirasi dari rakyat, maka pengambil-

alihan tersebut akhirnya dilakukan dan dibawah kendali oleh Kepala Staf Angkatan

Darat (KASAD) selaku Penguasa Perang Pusat, untuk kemudian diserahkan

langsung kepada pemerintah.7

Akibat dari aksi-aksi tersebut, berdampak pada hubungan antara Indonesia dan

Belanda yang menjadi kian tegang dan memburuk. Puncaknya adalah pada saat

pemerintah Indonesia memutuskan secara resmi hubungan diplomatik dengan

pemerintah Belanda pada tanggal 17 Agustus 1960. Indonesia menganggap

Belanda sudah tidak lagi memiliki itikad baik untuk mematuhi isi persetujuan KMB

yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Sepertinya, kesabaran Indonesia

melalui jalan diplomasi atau pendekatan yang baik-baik antar kedua bangsa dan

negara yang berdaulat dianggap sudah tidak lagi efektif.

7 Antara, 14 Desember 1957

Page 10: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

10

Batas kesabaran Indonesia tercermin pada saat bulan September 1960,

Presiden Soekarno berpidato di forum sidang Majelis Umum PBB. Dalam pidatonya

yang berjudul “Membangun Dunia Kembali”, Presiden Soekarno menyebut masalah

Irian Jaya dirangkaikan dengan masalah imperialisme dunia yang belum tuntas.

Selanjutnya, Bung Karno menyatakan kegeramannya :

“Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami telah

berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan

penuh toleransi dan penuh harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan

perundingan-perundingan bilateral ...... Harapan lenyap, kesabaran hilang,

bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan

Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap

kami.”8

Untuk mendukung sikap tersebut, Indonesia melakukan berbagai persiapan

dalam menambah kekuatan militernya guna merebut Irian Barat secara paksa dari

tangan Belanda. Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencari bantuan

peralatan senjata dari luar negeri. Pada awalnya, Indonesia berharap dapat membeli

senjata dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Namun, usaha ini tidak

berhasil, karena negara adidaya ini tidak mau menjual senjatanya untuk

kepentingan yang memerangi suatu negara yang dianggapnya sebagai salah satu

sekutunya saat itu, yaitu Belanda.

Rencana pembelian senjata kemudian dialihkan kepada negara-negara Blok

Komunis, terutama Uni Soviet. Pada bulan Desember 1960, sebuah misi pertama

dibawah pimpinan Menteri Keamanan Nasional/KASAD Jenderal A.H. Nasution

bertolak ke Moskow, dan ternyata berhasil mengadakan suatu perjanjian pembelian

senjata senilai US $ 2,5 milyar dengan persyaratan pembayaran jangka panjang.

Misi tersebut kemudian disusul dengan misi kedua dan ketiga pada tahun 1961,

sebagai bentuk penyempurnaan dan tambahan dari misi yang pertama.

8 Pidato Presiden Soekarno di PBB (1957), Membangun Dunia Kembali, Panitia Pembina Djiwa Revolusi,

Pantjawarsa Manipol, hal. 183-184. Dikutip dari SNI VI, hal. 333.

Page 11: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

11

Dari Uni Soviet, Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer, antara lain

41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30

pesawat jet MiG-15, 49 pesawat buru sergap MiG-17, 10 pesawat buru sergap MiG-

19 ,20 pesawat pemburu supersonik MiG-21, 12 Kapal selam kelas Whiskey,

puluhan korvet dan 1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang diberi nama

sesuai dengan wilayah target operasi, yaitu KRI Irian). Dari jenis pesawat

pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan Ilyushin Il-28, 14 pesawat

pembom jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi

dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1

Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan

jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B buatan Uni

Soviet dan 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules buatan Amerika Serikat.9

Selain dari Uni Soviet, Indonesia pun membeli sejumlah besar peralatan tempur

dari Jerman Barat, Italia dan Yugoslavia. Salah satu peralatan militer yang

didatangkan untuk memperkuat Jajaran Armada ALRI adalah kapal perang jenis

MTB (Motor Torpedo Boat) Klas Jaguar dari Jerman Barat. Kapal perang jenis ini

memiliki kemampuan untuk menembakkan torpedo anti kapal selam. Torpedo

merupakan senjata andalan pada kapal perang jenis MTB, yang merupakan bentuk

awal dari peluru kendali (Rudal), tapi belum menggunakan pengendali.10

Selanjutnya, masih pada tahun 1961 juga, Jenderal A.H. Nasution melakukan

sejumlah kunjungan ke sejumlah negara, antara lain India, Pakistan, Muangthai

(Thailand), Philipina, Australia, Selandia Baru, Jerman, Perancis dan Inggris.

Misinya adalah untuk menjajagi sikap dari negara-negara tersebut, seandainya

terjadi perang antara Indonesia dan Belanda. Kesimpulan dari misi ini adalah

negara-negara yang dikunjungi tidak ada yang terkait dengan Belanda untuk

bantuan bidang militer, meskipun mereka menekankan agar sebisa mungkin perang

dapat dihindari, dan bahkan ada negara yang mendukung posisi Belanda.

9 Lihat Wikipidia, Operasi Trikora, Bahasa Indonesia.

10 Adi Patrianto, 2007, Hari Dharma Samudera Perjuangan Menegakkan Kedaulatan Negara, Artikel

Digital, Cakrawala TNI AL

Page 12: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

12

Berbagai upaya dari pihak Indonesia seperti yang tersebut di atas, mulai

menyadarkan pihak Belanda bahwa jika masalah Irian Barat tidak diserahkan secara

damai kepada Indonesia, maka Indonesia akan berusaha untuk

memperjuangkannya dengan kekuatan militer. Artinya, Indonesia telah bertekad dan

bersiap penuh untuk melakukan perang terhadap Belanda untuk merebut wilayah

Irian Jaya. Sebagai reaksi awal, Belanda melakukan protes melalui PBB, dengan

menuduh Indonesia akan melakukan agresi militer. Selanjutnya, Belanda

memperkuat kedudukannya di Irian Barat dengan mendatangkan bantuan dan

mengirimkan sejumlah kapal perangnya ke perairan Irian, di antaranya adalah kapal

induk Karel Doorman.

Perkembangan terakhir atas sengketa Indonesia dan Belanda ini telah membuat

masalah Irian Barat akhirnya memperoleh perhatian lebih serius dalam sidang

Majelis Umum PBB tahun 1961. Atas insiatif Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, U

Thant, yang berasal dari Birma (kini Mayanmar), maka salah seorang diplomat

Amerika Serikat, bernama Ellsworth Bunker, mengajukan usul penyelesaian

masalah Irian Barat kepada kedua belah pihak yang bersengketa. Inti pokok dari

usul Bunker tersebut adalah “agar pihak Belanda menyerahkan kedaulatan Irian

Barat kepada Republik Indonesia, melalui PBB dalam waktu dua tahun”.11

Usulan Bunker ini ditanggapi secara berbeda oleh kedua belah pihak yang saling

bersengketa. Pihak Indonesia, pada prinsipnya menyetujui atas usulan tersebut

dengan catatan agar waktu penyerahan Irian Barat dapat diperpendek dari dua

tahun. Sementara itu, pihak Belanda bersikap sebaliknya, dengan menyatakan

bahwa Belanda hanya mau melepaskan Irian barat dengan terlebih dahulu

membentuk perwakilan di bawah PBB, untuk kemudian membentuk sebuah Negara

Papua di wilayah Irian Barat. Sikap keras kepala dari pihak Belanda inilah yang

kemudian disambut oleh pihak Indonesia dengan sikap dan kebulatan tekad untuk

mengadakan suatu “perjuangan bersahabat”. Suatu istilah perjuangan yang

11

Dua puluh lima tahun Dep. Luar Negeri RI, 1971, Djakarta, hal. 97. Dikutip dari SNI VI, hal. 333

Page 13: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

13

dirumuskan oleh Presiden Soekarno sebagai “Politik konfrontasi disertai dengan

uluran tangan. Palu godam disertai dengan ajakan bersahabat”.12

3.2. Trikora : Jalan Diplomasi Buntu, Operasi Militer Ditempuh

Untuk lebih meningkatkan perjuangan, maka pada tanggal 19 Desember 1961,

Presiden Soekarno mencanangkan gerakan pembebasan Irian Barat dengan

mengucapkan Tri Komando Rakyat (Trikora) di Yogyakarta. Isi Trikora yang

sebelumnya dirumuskan oleh Dewan Pertahanan Nasional itu adalah sebagai

berikut :

1. Gagalkan pembentukan “Negara Papua”, negara boneka bentukan kolonial

Belanda.

2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Jaya, tanah air Indonesia.

3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum dalam mempertahankan kemerdekaan

dan kesatuan tanah air dan bangsa Indonesia.13

Dengan telah diucapkannya Trikora oleh Presiden RI, maka hubungan

Indonesia – Belanda memasuki babak baru, yakni konfrontasi secara total. Hal

ini berarti Indonesia telah menyatakan kesiapannya untuk berkonfrontasi secara

militer berhadapan dengan kekuatan perang negara bekas penjajahnya. Sebuah

situasi yang kemudian menimbulkan kekhawatiran serius dari sejumlah negara

lain. Mereka menganggap situasi tersebut berpotensi akan memicu terjadinya

perang baru yang melibatkan dua blok negara besar, yaitu Blok Barat (dipelopori

oleh Amerika Serikat) dan Blok Timur (dipelopori oleh Uni Sovyet).

Selanjutnya, pada tanggal 2 Januari 1962, diadakan rapat Dewan

Pertahanan Nasional dan Gabungan Kepala Staf serta Komando Tertinggi

Pembebasan Irian Barat. Hasil dari rapat tersebut, Presiden RI/Pangti

ABRI/Panglima Besar Koti Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan

No. 1 tahun 1962, yang intinya adalah sebagai berikut :

12

Pidato Presiden Soekarno, tgl 17 Agustus 1962, Tahun Kemenangan, hal. 324. Ibid.

13 SNI VI, hal. 334.

Page 14: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

14

1. Membentuk Provinsi Irian Barat gaya baru, dengan putra Irian sebagai

Gubernurnya, dengan ibukota Kotabaru (kini bernama Jayapura, dulu pada

zaman Belanda bernama Hollandia).

2. Membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Jaya, yang langsung

memimpin kesatuan-kesatuan ABRI dalam tugas merebut Irian Jaya.14

Sesuai dengan Trikora, maka kesiapsiagaan di semua bidang terus diperkuat.

Antara lain, sistem gabungan Kepala Staf diubah dan pimpinan Angkatan

Bersenjata langsung dibawah Panglima Tertinggi. Angkatan Udara RI meresmikan

pembentukan Komando Regional Udara (Korud) I – IV.

Adapun susunan Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat adalah sebagai

berikut :

1. Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat :

Presiden/Panglima Tertinggi Soekarno.

2. Wakil Panglima Besar : Jenderal A.H. Nasution

3. Kepala Staf : Letnan Jenderal Achmad Yani.

Sedangkan susunan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat adalah sebagai

berikut :

1. Panglima Mandala : Mayor Jenderal Soeharto

2. Wakil Panglima I : Kolonel Laut Subono

3. Wakil Panglima II : Letkol Udara Leo Wattimena

4. Kepala Staf Umum : Kolonel Achmad Taher.

Panglima Komando Mandala dilantik pada tanggal 13 Januari 1962, dengan

menaikkan pangkat Brigjen Soeharto menjadi Mayjen, sekaligus merangkap sebagai

Deputy KASAD untuk wilayah Indonesia bagian timur. Komando Mandala

Pembebasan Irian Barat bermarkas di Makassar.

14

H.U. Merdeka, 3 Januari 1962

Page 15: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

15

Pada tahap perkembangan berikutnya, Trikora diperjelas lagi dengan Instruksi

Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat No. 1 kepada

Panglima Mandala, yang isinya adalah sebagai berikut :

1. Merencanakan, mempersiapkan dan menyelenggarakan operasi-operasi

militer, dengan tujuan untuk mengembalikan wilayah provinsi Irian Barat ke

dalam kekuasaan negara RI.

2. Mengembangkan situasi di wilayah Provinsi Irian Barat :

(a) sesuai dengan taraf-taraf perjuangan di bidang diplomasi;

(b) supaya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya Provinsi Irian Barat dapat

secara de facto diciptakan daerah-daerah bebas / atau didudukkan unsur

kekuasaan / pemerintahan daerah RI.

Sebagai tindak lanjut dari Instruksi di atas, maka Panglima Mandala menyusun

suatu strategi, yang disebut dengan strategi Panglima Mandala. Untuk mencapai

strategi tersebut, setelah memperhitungkan kemampuan Angkatan Bersenjata pada

umumnya, sesuai dengan kajian staf Gabungan Kepala Staf, maka pelaksanaan

penyelesaian tugas adalah sebagai berikut :

1. Fase Infiltrasi (Sampai akhir 1962)

Infiltrasi dilakukan dengan cara menyusupkan 10 kompi di sekitar sasaran-

sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas secara de facto, yang

cukup ulet sehingga tidak dapat dihancurkan secara bagian demi bagian oleh

kekuatan musuh. Justru, kesatuan-kesatuan infiltran (para penyusup) ini

harus dapat menundukkan dan mengembangkan penguasaan wilayah

dengan membawa serta rakyat Irian Jaya.

2. Fase Eksploitasi (Awal 1963)

Eksploitasi dilakukan dengan mengadakan serangan terbuka terhadap induk

militer lawan, dan menduduki semua pos-pos pertahanan musuh yang

penting.

Page 16: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

16

3. Fase Konsolidasi (Awal 1964)

Konsolidasi dilakukan dengan mendudukkan kekuasaan RI secara mutlak di

seluruh wilayah Irian Jaya.15

2.3. Misi Infiltrasi Dimulai, Sang Pahlawan Gugur

Pada tahap paling awal, misi infiltrasi dilakukan dengan menyusupkan pleton

tugas ke Irian Barat (Vlakte Hoek), yang personelnya kebanyakan berasal dari Irian

yang telah dilatih oleh ADRI. Sementara itu, ALRI juga mendapat tugas untuk

membawa pleton tugas ini, setelah sebelumnya AURI pun telah mengantar satgas

yang lain ke Letfuan. Saat awal infiltrasi ini, misi penyusupan lebih merupakan

sebuah task force, dan belum menjadi sebuah operasi gabungan. Karena, pada saat

itu koordinasi antar Angkatan dapat dikatakan masih kurang baik.16

Untuk melaksanakan operasi infiltrasi ini, Markas Besar Angkatan Laut (MBAL)

mengerahkan 4 (empat) kapal perang jenis MTB (Motor Torpedo Boat), yaitu KRI

Harimau, KRI Matjan Tutul, KRI Matjan Kumbang dan KRI Singa. Kolonel Laut

Soedomo, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Operasi MBAL ditunjuk sebagai

Komandan Eskader. Akan tetapi, pada saat pelaksanaan operasi, Komodor

Josaphat Soedarso, - atau Yos Soedarso, - saat itu menjabat sebagai Deputi I

Operasi KASAL ternyata juga ikut serta dalam operasi dengan menaiki KRI Matjan

Tutul.

Keikutsertaan Komodor Yos Sudarso secara langsung dalam operasi infiltrasi ini

sebenarnya merupakan suatu ketidaklaziman dalam suatu operasi militer.

Mengingat, dari segi kepangkatan Komodor Yos Soedarso memiliki pangkat

setingkat lebih tinggi di atas Kolonel Soedomo, yang menjadi Komandan Eskader

dalam operasi. Komodor adalah pangkat yang setingkat dengan Laksamana

Pertama, atau perwira tinggi AL bintang satu. Saat itu, Kolonel Soedomo

berpendapat bahwa keikutsertaan Komodor Yos Soedarso secara langsung dalam

15

Brigdjen Achmad Tahir, “Soal Mandala dan Irian Barat”, karja Wira Djati, No. 9/1963, hal. 360. Dikutip dari SNI VI, hal. 338.

16 Budhi Achmadi, 2008, Pertempuran Laut Aru, Artikel Digital. Pernah dimuat di Majalah Intisari, bulan Juli 2000, hasil wawancara dengan Marsekal (Purn) Saleh Basarah.

Page 17: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

17

operasi infiltrasi dapat mengacaukan chain of command (rantai komando) dalam

sebuah operasi militer.17

Namun, dikarenakan semangat bertempur yang sangat tinggi dimiliki oleh

Komodor Yos Soedarso, maka beliau tetap saja ikut serta secara langsung dalam

operasi infiltrasi. Saat itu, Komodor Yos Soedarso berkata kepada Kolonel

Soedomo, “Kalau kamu ikut, aku juga akan ikut”. Selanjutnya, Kolonel Soedomo

menjelaskan bahwa Komodor Yos Soedarso bertekad akan menancapkan bendera

merah putih secara langsung dengan tangannya sendiri di atas tanah Irian Jaya.

Komodor Yos Soedarso juga akan membawa segenggam tanah langsung dari

asalnya, Irian Jaya, untuk ditunjukkan kepada anggota Dewan.18

Persiapan keempat KRI untuk melaksanakan operasi segera dimulai di

Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Karena operasi ini dipersiapkan untuk

mengangkut pasukan, maka diputuskan bahwa persenjataan utama yang

merupakan andalan kapal perang jenis MTB ini, yaitu Torpedo 12 inchi, terpaksa

harus “dikorbankan” atau dipreteli terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar kapal

memiliki ruang yang lebih besar sehingga dapat mengangkut pasukan lebih banyak

dan sejumlah perahu karet untuk melakukan pendaratan. Sebuah keputusan yang

kemudian berakibat fatal saat mereka terpaksa harus berhadapan dengan kapal

perang milik musuh di tengah lautan.19

Misi operasi ini bersifat sangat rahasia agar tidak diketahui oleh pihak musuh,

dalam hal ini angkatan perang Kerajaan Belanda. Sehingga, untuk keperluan

pengisian bahan bakar dan tambahan logistik lainnya dalam perjalanan dari Tanjung

Priok ke Irian Jaya, keempat KRI harus melakukannya di saat tengah malam hari.

Mereka tidak diperkenankan untuk berlabuh di semua pelabuhan yang dilewati.

Bahkan, mereka pun dilarang menggunakan radio komunikasi untuk berkomunikasi

17

Wawancara Soedomo (kini Laksamana TNI AL Purn.) dengan MetroTV, Ibid.

18 Ibid

19 Loc.cit. Adi Patrianto.

Page 18: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

18

dengan pihak lain, kecuali dengan sesama KRI MTB peserta operasi (taktik radio

silent).20

Dari keempat KRI itu, ternyata KRI Singa tidak dapat melanjutkan perjalanan

sebelum mencapai perairan Irian Barat dikarenakan adanya kerusakan mesin.

Sementara itu, sekitar pukul 17.00 waktu setempat, ketiga KRI lainnya terus

melanjutkan perjalanan dengan formasi KRI Harimau berada di depan, kemudian

KRI Matjan Tutul di tengah dan KRI Matjan Kumbang di belakang. Kol. Soedomo

bersama Kol. Mursyid dan Kapten Tondomulyo sebagai kapten kapal berada di KRI

Harimau. Sedangkan Komodor Yos Soedarso bersama kapten kapal Wiratno

berada di KRI Matjan Tutul.

Hari Senin malam, menjelang pukul 21.00 waktu setempat, tanggal 15 Januari

1962 di perairan Laut Aru, Kol. Mursyid melihat radar blips pada lintasan depan

yang akan dilewati iringan ketiga kapal KRI. Tanda blips tidak bergerak, yang berarti

kapal-kapal perang Belanda itu dalam keadaan berhenti, siap menanti. Ketiga KRI

tetap saja melaju ke depan. Lalu, dua pesawat intai maritim AL Belanda jenis

Neptune dan Firefly melintas, sambil menjatuhkan flare (merah menyala terang)

yang tergantung pada parasut. Keadaan menjadi terang benderang dalam waktu

yang cukup lama.

Tepat pada posisi 4,49 derajat Lintang Selatan dan 135,2 derajat Bujur Timur,

ketiga KRI dihadang oleh tiga kapal perang AL Kerajaan Belanda. Dua kapal perang

jenis Fregat Hr.Ms. Eversten dan Korvet Hr.Ms. Kortenaer mencegat di sebelah

kanan KRI. Sementara satu kapal perang lagi, yakni jenis Destroyer Klas Province

Hr. Ms. Utrecht berada di sebalah kiri KRI.21

Tiba-tiba, kapal perang Belanda melepaskan tembakan peringatan yang jatuh di

samping KRI Harimau. Kol. Soedomo memerintahkan untuk memberi tembakan

balasan. KRI Matjan Tutul pun mengikuti untuk melakukan tembakan balasan,

namun tidak mengenai sasaran. Selanjutnya, kapal musuh berhasil menembakkan

tepat ke arah sasaran mengenai lambung kapal dan ruang kendali KRI Matjan Tutul.

20

Op.cit.

21 Op. Cit

Page 19: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

19

Akibatnya, beberapa anggota pasukan, termasuk kapten kapal Wiratno mengalami

luka cukup serius. Dalam keadaan darurat inilah, komando KRI Matjan Tutul

kemudian diambil alih langsung oleh Komodor Yos Soedarso.

Untuk beberapa saat lamanya, kontak senjata masih terus berlanjut, yang

memperlihatkan suatu pertempuran antara dua kekuatan AL yang tidak seimbang.

Ketiga KRI tidak membawa senjata andalannya, yakni Torpedo yang telah dilucuti

sebelum berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok. Senjata yang ada hanya berupa

senapan mesin anti pesawat terbang, dengan senjata ukuran 12,7 mm dan meriam

ukuran 40 mm. Senjata ini tidak akan dapat menjangkau target kapal-kapal perang

Belanda, yang dilengkapi dengan persenjataan yang jauh lebih kuat, dengan

meriam berukuran 4,7 inchi (12 cm).22

Kol. Soedomo menyadari keadaan yang semakin genting sebagai akibat dari

situasi pertempuran yang tidak seimbang. Menurutnya, bertahan dengan formasi

apapun dipastikan akan percuma dan ketiga KRI pasti akan mengalami kekalahan.

Oleh karena itu, selanjutnya ia memerintahkan ketiga KRI untuk berputar ke kanan

arah 239 derajat. Maksudnya adalah jelas untuk menghindar dari sasaran tembakan

kapal musuh yang jauh lebih kuat.

KRI Harimau dan KRI Matjan Kumbang berhasil berbalik arah, dan berusaha

segera menghindar. Namun, KRI Matjan Tutul justru melakukan manuver dengan

tetap bergerak lurus ke depan, agak sedikit ke kanan untuk berusaha mendekati

kapal Belanda Fregat HR. Ms. Eversten. Manuver ini dipandang sangat berbahaya

oleh kapal musuh, karena dianggap sebagai pertanda KRI Matjan Tutul akan

meluncurkan senjata andalannya, yakni Torpedo, yang sebenarnya sudah tidak ada

lagi. Maka, tak pelak lagi, untuk selanjutnya KRI yang kini dikomandoi oleh Komodor

Yos Soedarso itu langsung dihujani banyak tembakan oleh ketiga kapal perang

Belanda.

22

Loc. Cit

Page 20: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

20

Dalam kondisi yang sangat genting seperti itu, Komodor Yos Soedarso terus

memerintahkan anggotanya agar terus maju.23 Akibatnya, ketiga kapal perang

Belanda makin berkonsentrasi untuk terus menembaki KRI Matjan Tutul yang telah

banyak terkena tembakan, dengan kondisi ruang kendali yang sudah rusak. Namun

demikian, melalui radio, Komodor Yos Soedarso masih tetap memerintahkan

anggotanya untuk terus bertempur. Perintahnya yang lantang “kobarkan semangat

pertempuran” terus saja beliau teriakkan hingga KRI Matjan Tutul itu kemudian telah

benar-benar tenggelam sebagai akibat terkena banyak tembakan.

Dalam peristiwa tersebut, sebanyak 25 ABK KRI Matjan Tutul dan Komodor Yos

Soedarso sendiri dinyatakan telah gugur. Sedangkan sisa ABK yang selamat,

kemudian ditawan oleh tentara Belanda. KRI Matjan Tutul telah melakukan

manuver yang membahayakan bagi dirinya sendiri hingga tenggelam, namun telah

berhasil menyelamatkan kedua KRI yang lainnya. KRI Harimau dan KRI Matjan

Kumbang berhasil menghindar dan lolos dari sergapan musuh, kemudian dapat

kembali ke pangkalannya dengan selamat.

Tenggelamnya KRI Matjan Tutul sempat menimbulkan kontroversi, baik terkait

dengan “kenekadan” KRI ini untuk terus maju bertempur, maupun mengenai

koordinasi dan dukungan dari sesama Angkatan yang lainnya. Meski sempat terjadi

kesalahpahaman antar angkatan terkait peristiwa tersebut, khususnya antar ALRI

dan AURI, namun pada akhirnya Presiden Soekarno mampu meredamnya dan

justru berhasil mengubah keadaan. Peristiwa Pertempuran Laut Aru telah dijadikan

oleh Presiden Soekarno sebagai bagian dari perjuangan dengan semangat heroik,

kepahlawanan. Teriakan Komodor Yos Soedarso “kobarkan semangat pertempuran”

kemudian dimanfaatkan secara maksimal untuk memperoleh kemenangan secara

politis dan psikologis menuju kemenangan peperangan dalam merebut kembali

kedaulatan atas Irian Jaya.24

23

Ibid. Melalui sebuah wawancara, salah seorang kelasi bernama Soeharmadji masih sempat mendengar teriakan tersebut. .

24 Pada tanggal 20 Januari 1962, Presiden Soeakarno memimpin rapat di Istana Bogor untuk membahas peristiwa Pertempuran Laut Aru, yang melibatkan unsur-unsur dari ALRI dan AURI. Ibid.

Page 21: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

21

2.4. Akhirnya, Belanda Menyerah Juga

Pada mulanya, Belanda menganggap sepele dan bahkan terkesan

mencemoohkan atas segala usaha dan persiapan yang dilakukan oleh Komando

Mandala dalam merebut Irian Barat. Belanda beranggapan bahwa pasukan

Indonesia tidak akan mungkin dapat memasuki ke wilayah Irian. Suatu anggapan

yang jelas-jelas sangat meremehkan atas kemampuan dan kekuatan militer

Indonesia saat itu.

Namun, pada beberapa bulan kemudian fakta-fakta baru menunjukkan suatu

kenyataan yang sebaliknya. Infiltrasi makin diintensifkan, terutama melalui udara,

setelah melalui laut telah banyak diketahui oleh musuh dan terkendala oleh faktor

alam, antara lain oleh gelombang laut yang tinggi. Sementara itu, terkait dengan

perkembangan terakhir dari upaya diplomasi yang terjadi, maka jadwal penyelesaian

tugas operasi militer berdasarkan tahapannya yang telah ditetapkan, menjadi tidak

dapat diikuti lagi. Jadwal target operasi militer harus dipercepat hingga enam bulan,

yang membuat pelaksanaan operasi menjadi kian intensif lagi.

Pada tanggal 18 dan 20 Maret 1962 telah berhasil didaratkan 4 peleton

sukarelawan di pulau-pulau Gag, Waigeo dan Sansapor. Tanggal 23 Maret berhasil

mendaratkan para sukarelawan di Sungai Jera. Tanggal 24 April dilakukan Operasi

Banteng Ketaton dengan menerjunkan Tim Garuda Merah di sekitar Fak-fak dan

Garuda Putih di sekitar Kaimana. Selain itu, Operasi Serigala mendaratkan

pasukannya di sekitar Sorong dan di sekitar Teminabuan. Pada tanggal 15 Mei

Detasemen Pelopor Brimob Polisi didaratkan di Fak-fak. Operasi Naga ini

menerjunkan 214 orang.25

Selanjutnya, pada tanggal 1 Agustus 1962 dilancarkan Operasi Jatayu yang

bertugas menerjunkan pasukan-pasukan untuk memperkuat kesatuan yang lebih

dahulu didaratkan. Diantaranya adalah pasukan Elang di Sorong, pasukan Gagak di

sekitar Kaimana dan pasukan Alap-Alap di sekitar Merauke. Tanggal 7 Agustus

Detasemen Pelopor 1232 Brimob didaratkan melalui laut dengan sasaran Pulau

25

SNI VI, hal 339

Page 22: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

22

Misool. Dengan sasaran yang sama, kemudian disusul oleh Pasukan Raiders dari

Kodam XV pada tanggal 9 dan 12 Agustus 1962. Dengan demikian, hingga tanggal

15 Agustus 1962, Indonesia telah berhasil menyusupkan sekitar 10 kompi

pasukan.26

Sementara itu, operasi penentuan yang bernama Operasi Jaya Wijaya telah

dipersiapkan pula oleh pihak Indonesia. Operasi ini direncanakan untuk

melaksanakan serangan terbuka dalam merebut daerah Irian Jaya. Operasi Jaya

Wijaya dengan target date bulan Agustus tahun itu juga, direncanakan terbagi atas :

Operasi Jaya Wijaya I untuk merebut keunggulan di udara dan di laut. Operasi Jaya

Wijaya II untuk merebut Biak, Operasi Jaya Wijaya III untuk merebut Hollandia

(Jayapura) dari laut, Operasi Jaya Wijaya IV untuk merebut Hollandia dari udara.

Untuk melaksanakan operasi tersebut, Angkatan Laut Mandala dibawah Kol. Laut

Soedomo membentuk Angkatan Tugas Amfibi 17 yang terdiri atas tujuh gugus

tugas. Sedangkan Angkatan Udara membentuk enam kesatuan tempur baru.27

Adanya peristiwa pertempuran di Laut Aru, kemudian ditambah dengan

keberhasilan sejumlah misi infiltrasi yang telah mendaratkan banyak pasukan dan

sukrelawan di beberapa tempat di Irian Barat telah mengubah pandangan Belanda

terhadap kemampuan operasi militer Indonesia. Jatuhnya sejumlah daerah ke

tangan pasukan Indonesia, antara lain di Teminabuan, misalnya, telah berhasil

untuk memaksa Belanda agar bersedia duduk di meja perundingan guna

menyelesaikan sengketa Irian Barat. Hal ini dikarenakan oleh posisi Belanda yang

kian sulit, saat negara-negara lain yang sebelumnya selalu mendukungnya di forum

PBB, kini mulai semakin mengerti bahwa Indonesia tidak dalam posisi main-main

dalam masalah sengketa Irian Barat.

Ditambah lagi, ketika Amerika Serikat pun ternyata mulai melakukan tekanan

kepada Belanda untuk bersedia berunding dengan Indonesia. Hal ini dilakukan

untuk dapat mencegah agar Uni Soviet dan Amerika Serikat tidak terseret dalam

konfrontasi langsung di wilayah Pasifik barat daya, dengan memberikan bantuan

26

Ibid.

27 Ibid.

Page 23: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

23

bagi pihak-pihak yang bersengketa dalam soal Irian Barat. Maka, pada tanggal 15

Agustus 1962, suatu perjanjian antara pemerintah Indonesia dan pemerintah

Belanda berhasil ditandatangani di New York, yang kemudian dikenal dengan

Perjanjian New York. Perjanjian ini didasarkan atas prinsip-prinsip yang pernah

diusulkan oleh Ellsworth Bunker, yang setahun lalu sempat ditolak oleh pihak

Belanda.28

Hal terpenting dari Perjanjian New York adalah mengenai penyerahan

pemerintahan di Irian dari pihak Kerajaan Belanda kepada PBB. Untuk kepentingan

tersebut, PBB membentuk United Nations Temporary Excecutive Authority

(UNTEA), yang pada gilirannya nanti akan menyerahkan pemerintahan di Irian Barat

itu kepada pihak Republik Indonesia, sebelum tanggal 1 Mei 1963. Sedangkan di

pihak Indonesia diwajibkan untuk mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat

(Pepera) di Irian Barat sebelum akhir tahun 1969, dengan ketentuan bahwa kedua

belah pihak, yakni Indonesia dan Belanda, akan menerima apapun hasil dari Pepera

tersebut.

2.5. Irian Jaya, Kembali ke NKRI

Adanya Perjanjian New York telah berdampak pada rencana Operasi Jaya

Wijaya yang belum sempat terlaksana. Pada tanggal 18 Agustus 1962, pukul 09.31

waktu Irian Jaya, Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik

Indonesia/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Jaya

mengeluarkan perintah kepada Panglima Mandala untuk menghentikan tembak-

menembak di daerah pembebasan. Selanjutnya, oleh Panglima Mandala, perintah

itu diteruskan kepada seluruh pasukan yang berada di Irian Jaya agar mentaati

perintah penghentian tembak-menembak dan mengadakan kontak dengan perwira-

perwira peninjau PBB yang disertai oleh Achmad Wiranatakusumah, Kolonel Udara

I. Dewanto dan Letkol Laut Nizam Zachman.29

28

Ibid. hal 335.

29 Ibid. hal 336.

Page 24: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

24

Dengan ditandatanganinya Perjanjian New York berarti perjuangan Trikora

dianggap telah berhasil berkat kerja sama segenap komponen bangsa di bidang

diplomasi dan militer. Tanpa dukungan operasi militer, maka perjuangan diplomasi

akan mengalami kebuntuan seperti yang pernah dialami oleh Indonesia sebelum

perjuangan Trikora dilaksanakan. Bagian akhir dari perjuangan Trikora adalah

pelaksanaan Operasi Wisnu Murti, yakni operasi untuk menghadapi penyerahan

Irian Jaya dari PBB (UNTEA) kepada RI pada tanggal 1 Mei 1963. Pada tanggal

penyerahan tersebut, tugas Komando Mandala dianggap telah selesai dengan

sukses, dan pada hari itu juga, Komando Mandala secara resmi dinyatakan bubar

oleh pemerintah Indonesia.

Selanjutnya, dalam memenuhi kewajiban Indonesia sesuai dengan Perjanjian

New York, maka pada tahun 1969 diadakan Pepera di Irian Jaya yang

diselenggarakan melalui tiga tahap. Tahap pertama dimulai pada tanggal 24 Maret

1969 berupa konsultasi dengan Dewan-Dewan Kabupaten di Jayapura mengenai

tata cara penyelenggaraan Pepera. Setelah tata cara disetujui, maka

diselenggarakan tahap kedua, yaitu pemilihan anggota Dewan Musyawarah Pepera

yang berakhir pada bulan Juni 1969, dengan dipilihnya 1.026 anggota dari delapan

Kabupaten, yang terdiri dari 983 pria dan 43 wanita. Tahap ketiga adalah

pelaksanaan Pepera yang dilakukan di Kabupaten-Kabupaten, mulai tanggal 14 Juli

1969 di Merauke dan berakhir pada tanggal 4 Agustus 1969 di Jayapura. Hasil

akhirnya adalah Dewan Musyawarah Pepera memutuskan dengan suara bulat

bahwa Irian Barat merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia.30

Pelaksanaan Pepera dalam setiap tingkatannya disaksikan oleh utusan Sekjen

PBB, yakni Duta Besar Ortis Senz. Sedangkan sidang-sidang Dewan Musyawarah

Pepera dihadiri pula oleh beberapa Duta Besar asing di Jakarta, antara lain Duta

Besar Belanda dan Australia. Hasil-hasil Pepera ini, kemudian dibawa oleh Ortis

Senz ke New York untuk dilaporkan dalam Sidang Umum PBB ke-24. Tepat pada

tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB menyetujui resolusi Belanda,

Malaysia, Muangthai, Belgia, Luxemburg, serta Indonesia agar menerima hasil-hasil

30

Setneg RI, 1986, 30 Tahun Indonesia Merdeka, hal. 200

Page 25: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

25

Pepera yang telah dilaksanakan sesuai dengan jiwa dan isi Persetujuan New York.31

Dengan persetujuan dari Sidang Umum PBB ini, maka perjuangan RI untuk

memperoleh pengakuan kedaulatan atas Irian Jaya dianggap telah selesai dan

berhasil dengan tuntas, baik secara de facto maupun secara de jure.

31

Ibid.

Page 26: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

26

BAB III

PEMBERDAYAAN POTENSI PULAU-PULAU TERLUAR

DAN WILAYAH PERBATASAN RI

Negara Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang berwawasan

nusantara, sehingga batas wilayah di laut harus mengacu pada UNCLOS (United

Nations Convension on the Law of the Sea) 82/ HUKLA (Hukum laut) 82 yang

kemudian diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985. Indonesia memiliki sekitar

17.506 buah pulau dan dua pertiga wilayahnya berupa lautan. Dari 17.506 pulau

tersebut terdapat pulau-pulau terluar yang menjadi batas langsung Indonesia

dengan negara tetangga. Berdasarkan hasil survei Base Point atau Titik Dasar yang

telah dilakukan DISHIDROS TNI AL, untuk menetapkan batas wilayah dengan

negara tetangga, terdapat 183 titik dasar yang terletak di 92 pulau terluar, sisanya

ada di tanjung-tanjung terluar dan di wilayah pantai.

Wilayah daratan NKRI berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia,

Papua Nugini (PNG) dan Timor Leste. Kawasan perbatasan tersebut berada di

pulau Kalimantan, Irian dan Timor. Terdapat empat provinsi perbatasan dan 15

Kabupaten/Kota yang masing-masing wilayah memiliki karakteristik kawasan

perbatasan berbeda-beda. Demikian pula negara tetangga yang berbatasan memiliki

karakteristik yang berbeda dilihat dari segi kondisi geografis, demografis, sosial,

politik, ekonomi dan budaya.

Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India,

Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, PNG, Australia dan Timor

Leste. Kawasan–kawasan perbatasan laut pada umumnya ditandai berdasarkan

keberadaan pulau-pulau terluar, dimana Indonesia memiliki 92 pulau terluar yang

berbatasan langsung dengan negara-negara tersebut. Dari 92 pulau terluar yang

tersebar di 20 Provinsi dan 36 Kabupaten, ada 12 pulau di antaranya yang terdapat

di 7 Provinsi dan 9 Kabupaten yang perlu mendapat perhatian khusus karena

memiliki potensi rawan konflik di bidang geografis, ekonomi, dan keamanan . Ke-12

Page 27: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

27

pulau tersebut, antara lain Pulau Rondo yang berbatasan dengan Samudera Hindia,

Pulau Berhala yang berbatasan dengan Selat Malaka, dan Pulau Nipah yang

berbatasan dengan Singapura.

3.1. Perlu Perhatian Khusus dan Serius

Perlunya perhatian khusus atas masalah pulau-pulau terluar dan wilayah

perbatasan RI, terkait sekurangnya oleh tiga hal penting. Pertama, masalah tersebut

memiliki kaitan langsung dengan keutuhan wilayah NKRI. Kedua, masalah ini pun

merupakan amanat UUD 1945 dalam mempertahankan tiap jengkal tanah dan

tumpah darah Indonesia. Ketiga, masalah tersebut sangat berhubungan langsung

dengan upaya mempertahankan dan menegakkan kedaulatan atas seluruh wilayah

NKRI, sebagaimana yang tercermin pula dalam semangat Pertempuran Laut Aru.

Pengalaman selama ini menunjukkan beberapa fakta yang tak terbantahkan,

yang kian memperkuat akan perlunya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam

menangani masalah pulau terluar dan wilayah perbatasan. Lepasnya pulau Sipadan

dan pulau Ligitan ke tangan Malaysia pada tahun 2002, melalui keputusan

Mahkamah Internasional, menunjukkan bukti kuat bahwa Indonesia dianggap telah

mengabaikan atau bahkan menelantarkan kedua pulau yang sebelumnya diklaim

sebagai wilayah miliknya. Bergesernya sejumlah tapal batas di sepanjang Provinsi

Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur yang berbatasan dengan Negara Bagian

Sabah dan Serawak, Malaysia Timur, oleh sejumlah pengusaha perkebunan kelapa

sawit Malaysia yang “nakal” merupakan bukti lain mengenai ancaman serius atas

keutuhan wilayah NKRI.

Bahkan, meskipun antara pihak pemerintah Indonesia dan Malaysia telah

sepakat membentuk General Border Committee (GMB) yang sudah bekerja dengan

maksimal, namun tetap saja masih menyisakan sekurangnya sepuluh masalah

perbatasan yang berpotensi mengurangi keutuhan wilayah NKRI. Kesepuluh

masalah perbatasan tersebut adalah (1) Pulau Sebatik, masuk wilayah Kabupaten

Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur, dimana terjadi penyimpangan patok pilar

perbatasan yang berpotensi mengurangi wilayah Indonesia seluas 120 Ha; (2)

Sungai Simantipal (Nunukan, Kaltim), dimana Malaysia menuntut daerah aliran

Page 28: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

28

sungai (DAS) sekitar 6.000 Ha; (3) Sungai Sinapad, Kabupaten Nunukan Kaltim; (4)

Sungai Buan, berpotensi menyebabkan kehilangan wilayah daratan sekitar 1.500

Ha; (5) Gunung Jagoi Pokok Payung; (6) Gunung Raya; (7) Semitau, Kabupaten

Kapuas Hulu; (8) Batu Aum, Kabupaten Bengkayang; (9) Dangkalan Niger Gosong,

Propinsi Kalimantan Barat; (10) Kesepakatan batas laut.

3.2. Beragam Masalah Akibat Terabaikan

Masalah lain akibat terabaikannya pulau-pulau terluar dan wilayah perbatasan RI

adalah munculnya beragam persoalan yang terjadi di wilayah perbatasan, mulai dari

kemerosotan nilai budaya, lunturnya nasionalisme, kualitas sumberdaya manusia

(SDM) yang rendah, gangguan keamanan, teroris, infiltrasi dan tepat pelarian orang-

orang yang termasuk daftar pencarian orang (DPO), meningkatnya jumlah pelintas

batas tanpa izin, penyelundupan (tenaga kerja, hasil bumi, dan barang) yang makin

marak, perdagangan manusia (human trafficking), dan makin banyaknya lahan

konsensi yang terlantar.

Sebagai contoh, kepulauan terluar di Sulawesi Utara, yaitu Pulau Miangas, Pulau

Marore dan Pulau Marampit. Menurut Wakil Kepala Polda (Wakapolda) Sulawesi

Utara, Kombes John Kalangi (2006),32 saat itu sempat beredar peta pariwisata

Filipina yang memasukkan ketiga pulau tersebut sebagai wilayah negara Filipina.

Ketiga pulau tersebut sebenarnya terletak di Kabupaten Sangihe dan Talaud, namun

jaraknya ke ibu kota Kabupaten lebih jauh dibandingkan dengan ke kota di Filipina

Selatan. Dampaknya, secara sosial dan budaya, masyarakat setempat merasa lebih

memiliki kedekatan sosial dengan Filipina dibandingkan dengan Indonesia. Karena,

kebutuhan sehari-hari, sarana transportasi dan telekomunikasi dipenuhi dari negara

Filipina.

John Kalangi terus menjelaskan dengan mengatakan, “Dulu, penduduk di pulau-

pulau itu terpasang foto Presiden Marcos di rumahnya, dan tebiasa berbahasa

Tagalog. Pernah satu kali ada bentrokan antara aparat dan masyarakat yang tidak

terselesaikan, lalu mereka menaikkan bendera Filipina”. Sebuah penjelasan yang

32

http ://cetak.kompas.com, tanggal 02/12/2009

Page 29: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

29

mirip dengan kenyataan yang pernah ditampilkan oleh sebuah stasiun TV swasta

nasional33, dimana sekitar seratusan lebih penduduk di suatu dusun di Kalimantan

Timur yang perbatasan dengan Malaysia, lebih memilih berpindah kewarganegaraan

menjadi warga negara Malaysia. Alasannya, di daerah Malaysia, mereka

mendapatkan pekerjaan, atau pendidikan dan terpenuhi kebutuhan hidupnya secara

layak, jika dibandingkan dengan kampung asalnya di Indonesia.

3.3. Kejahatan Tingkat Tinggi

Akibat lain dari tidak terurusnya wilayah perbatasan adalah kawasan perbatasan

menjadi lintasan surga bagi sindikat kejahatan tingkat tinggi yang merugikan

Indonesia sendiri. Dalam Rapat Koordinasi Pengamanan Wilayah Perbatasan NKRI

yang digelar oleh National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia di Mabes Polri

(11/2/2009),34 terungkap sejumlah permasalahan di 14 Polda yang berbatasan

dengan negara lain. Berdasarkan data dari ke-14 Polda tersebut, terungkap bahwa

perkara kriminalitas lintas negara yang kerap ditemui di wilayah tersebut, senantiasa

bermuara pada minimnya pengamanan di kawasan perbatasan. Jenis kriminalitas

tersebut, antara lain adalah terorisme, perdagangan manusia, narkoba,

penyelundupan bahan bakar minyak, bahan pokok, senjata api, berbagai barang

konsumsi, hingga manusia. Ada juga kejahatan pembalakan liar, perambahan hasil

laut ilegal, penembangan ilegal, pengerukan pasir ilegal, hingga perompakan di

lautan.

Sekali lagi, ironisnya, justru semua bentuk kejahatan tersebut memiliki nilai

ekonomi tinggi, yang membawa dampak sosial secara signifikan dan menyebabkan

kerugian negara yang tidak sedikit. Kapolri, yang saat itu dijabat oleh Jenderal Pol.

Bambang Hendarso Danuri, melalui Irwasum Komjen Pol. Yusuf Manggabarani

menegaskan :

“Masih kurang efektifnya sistem pengamanan di wilayah perbatasan darat

dan perairan dapat menjadi peluang bagi pihak lain untuk mencari

keuntungan. .... Pelaku kejahatan lintas negara juga semakin memanfaatkan

33

Liputan khusus hari kemerdekaan RI ke-65, tanggal 17 Agustus 2010, Trans7.

34 Op.cit.

Page 30: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

30

iptek, khususnya transportasi dan telekomunikasi. Pengorganisasian semakin

rapi, sehingga makin sulit diidentifikasi”.35

Berkaitan dengan kurang optimalnya pemerintah dalam mengurus pulau-pulau

terluar dan wilayah perbatasan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang saat itu

masih dijabat oleh M. Ma‟ruf, mengatakan bahwa selama ini keberadaan pulau-

pulau terluar masih digarap secara sektoral dan belum menjadi prioritas bagi

pemerintah. Selain itu, infrastruktur pendukung dan anggaran untuk pengelolaannya

pun masih sangat minim. Pulau terluar juga tidak dibangun oleh pemerintah daerah

karena dianggap tidak memberikan sumbangan bagi pendapatan asli daerah (PAD)

secara langsung. “Kebijakan pembangunan masih cenderung inward looking,

sehingga pulau terluar hanya menjadi halaman belakang” ujar M. Ma‟ruf.36

3.4. Perpres No. 78/2005

Tampaknya, kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke tangan Malaysia

pada tahun 2002, telah membuat pemerintah Indonesia mulai lebih serius dalam

memperhatikan pulau-pulau terluar dan wilayah perbatasan RI. Terbitnya Peraturan

Presiden (Perpres) No. 78/2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar

pada tanggal 29 Desember 2005 setidaknya telah menunjukkan niat yang serius

dari pemerintah pusat dalam mengurus wilayahnya di perbatasan. Dengan adanya

Perpres ini, menurut Menkopolhukam saat itu, Widodo AS,37 maka pengelolaan

pulau-pulau terluar akan dilakukan lintas sektoral, lintas lembaga, antara lain Deplu,

DKP, Bakosurtanal, Badan Oceanografi TNI AL, BPN, Depdagri, TNI, Polri, serta

melibatkan koordinasi antara pusat dan daerah. Dengan begitu, keberadaan pulau-

pulau terluar diharapkan tidak akan lagi menjadi daerah perbatasan yang rawan

sengketa dengan negara lain.

Dalam pandangan Menkopolhukam, tujuan utama pengelolaan pulau-pulau

terluar adalah mengamankan keutuhan wilayah NKRI dan menyejahterakan

masyarakat. Sebuah tujuan pengelolaan yang tidak lagi selalu mengandalkan

35

Ibid

36 Berita Nasional, Pemerintah akan Urus 92 Pulau Terluar, 20 April 2006, Bakosurtanal.

37 Ibid

Page 31: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

31

pendekatan keamanan (security approach) dalam mengelola wilayah perbatasan

atau pulau-pulau terluar. Namun, juga menggunakan pendekatan kesejahteraan

(prosperity approach) dengan basis pendekatan lingkungan hidup (environment

approach) sebagai bagian dari upaya pemberdayaan potensi pulau-pulau terluar

dan wilayah perbatasan. Alasan Mahkamah Internasional yang memenangkan

Malaysia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dengan Indonesia,

didasarkan atas gabungan dari berbagai pendekatan tersebut. Yakni mengacu pada

pertimbangan “effectivitee”, bahwa pemerintah Inggris telah melakukan tindakan

administratif yang nyata sebagai wujud kedaulatannya, berupa penerbitan ordonansi

perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu

sejak tahun 1930-an, dan operasi mercusuar yang dilakukan sejak awal tahun 1960-

an (Wirayudha, 2002).38

Dalam kaitan ini, maka beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah

adalah melakukan pembinaan mengenai pengelolaan dan pelestarian sumber daya

alam (SDA), membangun infrastruktur dan sarana perhubungan, serta pembinaan

wilayah dan pertahanan. Khusus untuk pulau-pulau atau kawasan yang tidak dapat

dihuni, namun sangat rawan sengketa dengan negara tetangga, seperti di kawasan

Ambalat, yang diklaim juga oleh Malaysia, pemerintah pusat perlu menetapkannya

sebagai wilayah karantina, salah satunya dengan memasang mercusuar.

Selain itu, perlu pula dikembangkan kegiatan ekonomi di di kawasan pulau-pulau

terluar atau wilayah perbatasan, terutama kawasan yang memiliki kandungan

sumber daya alam tambang dan minyak. Indonesia harus mengerahkan dana dan

upaya secara terpadu untuk mengamankan wilayahnya sendiri, antara lain untuk

membangun pos-pos pengamatan dan pembangunan mercusuar, baik di darat

maupun di laut, terutama di wilayah yang memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi.

Kehadiran kegiatan ekonomi di wilayah tersebut, menurut Juwono Soedarsono

(Menhan saat itu), merupakan salah satu bentuk pertahanan yang efektif agar

negara lain tidak mudah mengklaim wilayah RI sebagai bagian dari wilayah mereka.

38

Lihat Atep Afia Hidayat, 2010, Urgensi Pembentukan Badan Otorita Perbatasan, Netsains.Com

Page 32: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

32

“Kehadiran kegiatan ekonomi” kata Juwono lagi “adalah bentuk pematokan

perbatasan yang paling bagus dan efektif”.39

Upaya lain dari pemerintah pusat dalam melindungi pulau-pulau terluar adalah

dengan cara melaporkan keberadaan sekitar 3.047 pulau terluar Indonesia kepada

UN Working Group of Expert on Geographical Names, sebuah badan khusus milik

PBB yang mencatat nama-nama pulau sebuah negara. Sepanjang tahun 2006 saja

pemerintah telah berhasil menamai sekurangnya 1.466 pulau kecil terluar di wilayah

RI di antara 8.168 pulau terluar yang belum bernama. Penamaan tersebut, tentu

saja berdasarkan atas Perpres No. 78 Tahun 2005. Sebuah langkah kecil, namun

memiliki makna yang sangat penting dan strategis dalam upaya mempertahankan

kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI.

3.5. Peran TNI

Dalam sebuah acara serah terima jabatan di Mabes TNI, Cilangkap, Panglima

TNI Laksamana TNI Agus Suhartono menegaskan bahwa TNI akan mengutamakan

peran pengawasan dan perlindungan di daerah-daerah perbatasan, dengan

penekanan perhatian pada pulau-pulau terluar. Daerah perbatasan dan pulau-pulau

terluar, kata Panglima TNI , menjadi prioritas dalam program pembangunan lima

tahun ke depan. Penjagaan dan perlindungan terhadap daerah perbatasan dan

pulau-pulau terluar dianggap sejalan dengan visi TNI dalam mempertahankan

kedaulatan negara. Untuk mendukung program tersebut, TNI akan menambah dan

memperkuat alat utama sistem persenjataan (alutsista) sebagai sarana

pengembangan kekuatan secara bertahap dan pasti.40

Secara khusus, TNI AL sebagai institusi militer, memilki keunikan tersendiri jika

dibandingkan dengan TNI AD dan TNI AU. Keunikan ini berlaku universal. Sesuai

teori Kent Both, selain peran militer, matra laut juga memiliki peran diplomasi dan

polisionil. Peran diplomasi dilaksanakan oleh TNI AL dengan dikirimnya KRI ke

negara lain untuk menjalin dan mempererat pesahabatan antarnegara. Hal ini

39

Op. Cit

40 TEMPO Interaktif, Panglima TNI Prioritaskan Lindungi Daerah Perbatasan, Sabtu, 2 Oktober

2010.

Page 33: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

33

seringkali disebut dengan istilah “Gun Boat Diplomacy”, atau diplomasi kapal

perang. Tampilan kapal perang suatu negara akan memunculkan citra yang bisa

memperkuat pelaksanaan diplomasi negara yang bersangkutan. Sedangkan untuk

peran polisionil, TNI AL berkewajiban melaksanakan fungsi keamanan sekaligus

melaksankan penindakan terhadap kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum.

Selain peran khusus melaksanakan diplomasi dan polisionil di lautan, TNI AL

memiliki tugas lain dalam kategori operasi militer, yaitu kegiatan Operasi Militer

Selain Perang (OMSP). Hal ini sesuai dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang

TNI Pasal 7 Ayat 2, yaitu antara lain membantu korban bencana alam, SAR (Search

and Rescue), dan bantuan kemanusiaan (humanitarian assistance).

Kondisi geografis wilayah Indonesia rentan terhadap bencana alam. Ini menuntut

kemampuan TNI AL untuk bisa melaksanakan OMSP tersebut sebab hingga kini

hanya sarana kapal milik TNI AL yang mampu menembus pulau-pulau terpencil

apabila terjadi bencana alam.

Pada sisi lain, mayoritas penduduk Indonesia tinggal di pesisir. Kondisi

kesejahteraan mereka tak jarang menjadi terancam ketika jalur distribusi barang dan

bahan pangan terputus akibat bencana atau ombak besar. Hanya TNI yang tetap

bisa mencapai mereka. Oleh sebab itu, tak salah jika dikatakan TNI AL dituntut bisa

membantu menyalurkan bahan pangan dan kebutuhan pokok lainnya. Inilah OMSP

lain yang sejatinya menjadi tugas TNI AL. KRI pun tidak hanya bisa membantu

menyalurkan kebutuhan yang diperlukan masyarakat di daerah kepulauan, tetapi

bisa juga membantu membawa hasil produksi penduduk untuk dipasarkan di pulau

lain atau menjadikan KRI sebagai “mobile market” bekerja sama dengan lembaga

lain demi kesejahteraan rakyat.

Untuk itu TNI AL harus bisa menjadi motivator untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.41 TNI AL berkewajiban memberdayakan wilayah pesisir

untuk bisa menopang pertahanan nasional di lautan dan pulau-pulau terdepan.

Sehingga sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat harus secara rutin

41

Lihat Agus Susilo Kaeri, Menjadikan TNI AL Sebagai Simpul Pertahanan dan Kesejahteraan,

Artikel Digital

Page 34: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

34

dibangun di setiap pulau yang bernilai strategis, karena pada waktu krisis atau

perang sarana tersebut dapat dimanfaatkan untuk dukungan dalam peperangan

laut.

Untuk itu SBJ (Surya Baskara Jaya) yang merupakan program khusus TNI AL

dalam memberdayaan pulau-pulau terpencil dan membantu masyarakat dengan

membangun infrastruktur dan pelayanan kesehatan harus terus selalu ditingkatkan.

Sebab, program itu bermanfaat bagi masyarakat dalam meningkatkan

kesejahteraan dan juga bagi TNI AL apabila terjadi krisis atau perang.

Page 35: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

35

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan atas seluruh uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, antara

lain adalah sebagai berikut :

1. Pertempuran Laut Aru (PLA) adalah pertempuran yang terjadi di perairan Laut

Aru antara tiga KRI jenis MTB dengan kapal perang Belanda jenis fregat, korvet

dan destroyer. Pertempuran ini dianggap tidak seimbang, mengingat jenis KRI

yang kalah kuat, bahkan senjata andalannya Torpedo telah dilucuti terlebih

dahulu sebelum berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok. Pada perempuran ini,

KRI Matjan Tutul tenggelam, sejumlah pasukan gugur, terdiri atas 25 ABK ,

Kapten kapal Wiratno dan Komodor Yos Soedarso, serta sisanya ditawan oleh

pasukan Belanda.

2. PLA merupakan peristiwa pertempuran yang terjadi dalam kaitan misi ALRI untuk

melaksanakan tugas negara di bidang operasi militer, sebagai bagian dari misi

infiltrasi dalam Komando Mandala untuk pembebasan Irian Barat dari tangan

kekuasaan Belanda.

3. PLA merupakan sejarah perjuangan heroik dari para prajurit ALRI dalam

melaksanakan tugas negara untuk menegakkan kedaulatan, menjaga dan

mempertahankan keutuhan wilayah RI di Irian Barat. Mereka telah ikhlas

mengorbankan segenap jiwa dan raga demi kepentingan bangsa dan negara.

Secara simbolis, pada tahun 1973 pemerintah RI memberikan penghargaan atas

jasa-jasa mereka yang telah gugur dalam bentuk anugerah gelar Pahlawan bagi

Komodor Yos Soedarso sesuai dengan SK Presiden RI No. 088/TK/1973.

Page 36: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

36

4. Makna dan semangat PLA adalah perjuangan kepahlawanan yang siap

mengorbankan jiwa dan raga dalam menegakkan kedaulatan dan menjaga

keutuhan atas seluruh wilayah NKRI demi kepentingan bangsa dan negara.

5. Relevansi PLA adalah perjuangan menegakkan kedaulatan dan menjaga

keutuhan wilayah RI merupakan kewajiban bagi setiap komponen bangsa saat ini

dan yang akan datang.

6. Aktualisasi semangat PLA saat ini adalah menegakkan kedaulatan dan menjaga

keutuhan wilayah RI, melalui pemberdayaan potensi pulau-pulau terluar dan

wilayah perbatasan RI.

7. Pulau-Pulau Terluar (PPT) dan Wilayah Perbatasan (WP) perlu diberdayakan

dan dikelola dengan baik agar kedaulatan dan keutuhan wilayah tetap terjaga.

Jika tidak, maka kedaulatan dan keutuhan wilayah akan terancam, baik oleh

klaim dan ancaman dari negara lain, maupun oleh tindak kriminal tingkat tinggi.

8. Bentuk pemberdayaan dan pengelolan PPT dan WP adalah meningkatkan

kesejahteraan warga penghuninya, dengan cara membangun infrastruktur,

meningkatkan sarana dan prasarana masyarakat, menumbuhkan kegiatan

ekonomi masyarakat. Sedangkan untuk PPT dan WP tak berpenghuni perlu

penjagaan pasukan dan pegadaan kegiatan ekonomi efektif, seperti eksplorasi,

konservasi dan pembudidayaan.

9. Dibutuhkan perencanaan yang terkoordinasi, integrasi dan sinkronisasi, dengan

anggaran dana yang cukup memadai.

10. Diperlukan peningkatan kemampuan TNI dalam menjaga dan mengawasi PPT

dan WP melalui peningkatan kapasistas personel, alutsista, operasi militer selain

perang (OMPS) seperti program Surya Baskara Jaya (SBJ) TNI AL.

Page 37: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

37

4.2. Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan terkait dengan pemberdayaan potensi

pulau-pulau terluar dan wilayah perbatasan RI, antara lain adalah sebagai berikut :

1. Perlunya peningkatan kemampuan TNI, terutama dalam hal penyediaan alat

utama sistem senjata (alutsista) yang dikaitkan dengan beban dan luas

wilayah yang harus dijaga dan diawasi dalam menegakkan kedaulatan NKRI.

2. Perlunya koordinasi, integrasi dan sinkronisasi program pemberdayaan PPT

dan WP, antar lembaga vertikal maupun horisontal yang terkait, demi

pencapaian tujuan utama, yaitu menjaga keutuhan wilayah NKRI dan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat di sekitar

PPT dan WP.

Page 38: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

38

DAFTAR PUSTAKA

Adi Patrianto, 2007, Hari Dharma Samudera Perjuangan Menegakkan

Kedaulatan Negara, Artikel Digital, Cakrawala TNI AL.

Agus Susilo Kaeri, 2010, Menjadikan TNI AL Sebagai Simpul Pertahanan dan

Kesejahteraan, Opini Digital, Pelita, tanggal 28 September 2010.

Arya Ajisaka, 2008, Mengenal Pahlawan Indonesia, Cetakan ke-13, Jakarta :

Kawan Pustaka.

Atep Afia Hidayat, Urgensi Pembentukan Badan Otorita Perbatasan,

Netsains.Com.

Berita Nasional, 2006, Pemerintah Akan Urus 92 Pulau Terluar, Berita Digital,

tanggal 20 Aprl 2006

Budi Achmadi, 2008, Pertempuran Laut Aru, Artikel Digital, Hasil wawancara

dengan Marsekal (Purn) Saleh Basarah, pernah dimuat di Majalah Intisari, Juli 2000.

cetak.kompas.com, 2009, Perbatasan Tak Terurus, Berita Digital, tanggal 12

Februari 2009

Hariyono, 1995, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, Jakarta : Pustaka Jaya.

Juwono Soedarsono, 2008 Pertahanan dan Keamanan Negara, Makalah Digital,

tanggal 15 Juli 2008.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (Depdikbud), 1984,

Sejarah Nasional Indonesia (SNI) VI, Edisi ke-4, Jakarta : Balai Pustaka.

S. Tasrif, S.H., 1990, Hukum Internasional tentang Pengakuan Kedaulatan dalam

Teori dan Praktek, Jakarta : Abardin.

Setneg RI, 1986, 30 Tahun Indonesia Merdeka, Cetakan Ketujuh, Jakarta : Citra

Lamtoro Gung Persada.

TEMPO Interaktif, 2010, Panglima TNI Prioritaskan Lindungi Daerah Perbatasan,

tanggal 02 Oktober 2010, 11 : 25 WIB.

Wikipidia, Operasi Trikora, Bahasa Indonesia, Ensiklopedi Bebas

Wikipidia, Pertempuran Laut Aru, Bahasa Indonesia, Ensiklopedi Bebas

Page 39: Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru

39

BBBIIIOOODDDAAATTTAAA

SSSRRRIII EEENNNDDDAAANNNGGG SSSUUUSSSEEETTTIIIAAAWWWAAATTTIII

Sri Endang Susetiawati, Dra. adalah guru PNS di SMPN 1

Kalimanggis Kabupaten Kuningan Jawa Barat, sekaligus

merangkap sebagai Kepala Perpustakaan Sekolah di lembaga

yang sama. Ia adalah anak pertama dari enam bersaudara, yang

lahir di Cirebon 04 Mei 1969. Sejak kecil, ia sudah suka

membaca buku sejarah, buku cerita atau sajak yang terdapat di

sebuah koran atau majalah. Ia pun suka membaca buku novel,

terutama yang bertemakan cinta, misteri ataupun sejarah.

Pendidikan SD, SMP dan SMA ia tempuh di kota Kuningan. Kemudian, pada tahun 1988

ia melanjutkan kuliah di Jurusan Pendidikan Sejarah Strata 1 (S-1) IKIP Bandung. Saat

kuliah inilah, bakat menulisnya mulai terasah, hingga beberapa kali, tulisannya yang berupa

artikel sempat dimuat pada harian umum lokal di Bandung. Pernah menjadi Juara 1 lomba

penulisan karya ilmiah tentang lingkungan hidup yang diselenggarakan oleh Balai Sejarah

Provinsi Jawa Barat pada Tahun 1995 dan Pemenang 1 Sayembara Karya Tulis Kategori

Dosen dan Umum tentang “Menuju Perpustakaan Nasional Ideal” yang diselenggarakan oleh

Perpusnas RI tahun 2010. Tulisan lainnya, khususnya berupa Artikel dan Cerpen dikirim ke

sejumlah harian atau majalah, dan di Blog pribadi : Srie, URL : blogguru-srie.blogspot.com

Pernah mengajar di SMA Angkasa Lanud Husein Sastranegara Bandung (1992-1998) dan

SMA PGII 1 Bandung (1994-2002) sebagai Guru Tetap Yayasan (GTY). Kini tinggal di Desa

Kertayasa, Sindang Agung Kab. Kuningan, Jabar. E-mail :

[email protected].