78
AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT TONTEMBOAN SUKU MINAHASA KECAMATAN LANGOWAN TIMUR SULAWESI UTARA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) OLEH: AL AHSAN SAKINO NIM: 1113044000012 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439H/2018M

AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN

ADAT TONTEMBOAN SUKU MINAHASA

KECAMATAN LANGOWAN TIMUR

SULAWESI UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

OLEH:

AL AHSAN SAKINO

NIM: 1113044000012

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439H/2018M

Page 2: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

1113044000012

Page 3: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim
Page 4: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim
Page 5: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

iv

ABSTRAK

Al Ahsan Sakino, NIM 1113044000012, AKULTURASI NILAI-NILAI

ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT TONTEMBOAN SUKU MINAHASA

KECAMATAN LANGOWAN TIMUR SULAWESI UTARA. Program Studi

Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayataullah Jakarta, 1439 H/2018 M.

Akulturasi (acculturation) dikenal dengan kontak kebudayaan yang

mempunyai berbagai arti dikalangan para antropolog. Akan tetapi mereka

sepaham bahwa akulturasi tersebut adalah “merupakan proses sosial yang muncul

manakala suatu kelompok manusia berikut kebudayaan yang dimilikinya

dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, dan lambat laun unsur-unsur

kebudayaan asing tersebut diterima oleh kelompok manusia itu dan diolah dalam

kebudayaanya, tanpa menghilangkan sifat khas kepribadian kebudayaan asal.

Akulturasi ini telah terjadi pada Adat Tontemboan dan ajaran Islam yang dibawa

dari suku luar (Gorontalo, Bugis, dan Jawa) sehingga menghasilkan suatu proses

pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim pada etnis

Tontemboan.

Alasan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui relevansi proses

pernikahan adat Tontemboan pasca terjadi akulturasi nilai Islam dengan hukum

Islam.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode kualitatif

dengan pendekatan analisis deskriptif, yaitu penulisan yang sumber data utamanya

diambil dari objek penelitian (masyarakat atau komunitas sosial) dengan melihat

secara langsung di daerah penelitian, yaitu daerah Adat Tontemboan Suku

Minahasa. Dan juga peneliti melakukan pencarian melalui dokumentasi berupa

data-data yang bersifat teoritis berupa buku-buku, data-data dari dokumen yang

berupa catatan formal, jurnal, internet dan sebagianya yang bersangkutan dengan

judul.

Hasil dari penelitian menggambarkan bagaiamana proses pernikahan Adat

Tontemboan, bagaimana Proses pernikahan adat Tontemboan Pasca terjadinya

Akultruasi nilai ke-Islaman dan dan relevansinya dengan hukum Islam.

Kata Kunci : Proses Pernikahan, Adat Tontemboan, Akulturasi, Suku Minahasa.

Pembimbing : Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.

Page 6: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

v

الرحيمبسم هللا الرحمن

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah menciptakan

manusia dengan kesempurnaan sehingga dengan izin dan berkah-Nya penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Allah

SWT dan seluruh umat manusia yang mencintai ilmu. Tak lupa shalawat serta

salam tercurahkan kepada bimbingan Nabi besar Nabi Muhammad SAW, yang

telah membawa kita dari zaman Jahiliyah ke zaman yang terang benderang saat

ini. Dan tak lupa juga kepada keluarga, para sahabat serta para pengikutnya yang

mengamalkan sunnahnya hingga akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis sangat menyadari akan pentingnya

keberadaan orang-orang disekitar penulis yang telah memberikan dukungan

berupa keilmuan, pemikiran dan dukungan secara moril maupun spiritual

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Dukungan

mereka sangatlah berarti, dengan itu segala macam halangan dan hambatan yang

menghambat penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Untuk itu penulis

menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta yang telah

member motivasi untuk penulis.

2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum

Keluarga dan Indra Rahmatullah, S.Hi, M.H, Selaku Sekertaris Prodi

yang telah membantu segala hal yang bekenaan dengan perkuliahan

hingga motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata I

dengan sebaik-baiknya.

3. Dr. Yayan Sopyan, MA, selaku penaasihat akademik, yang telah

memberikan arahan dalam proses pembuatan proposal skripsi ini

hingga skripsi ini dapat diseminarkan dengan baik.

Page 7: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

vi

4. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku dosen pembimbing skripsi yang

telah memberikan banyak bimbingan, petunjuk, arahan dan nasehat

yang berguna bagi penulis selama proses penulisan skripsi ini hingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah dengan Ikhlas

menyalurkan ilmu dan pengetahuannya secara ikhlas dalam kegiatan

belajar dan mengakar yang penulis jalani selama 4 tahun ini.

6. Kedua Orang tua penulis, Ibu Hasna Lamsu dan AyahMauludin Sakino

yang telah memberikan segalanya dalam hidup penulis dan tak lupa

yang selalu mendoakan penulis dalam dzikir dan tahajudnya sehingga

penulis dapat menyelesaikan studi Strata I ini dengan sebaik-baiknya.

Maafkan anakmu ini mah,pah karena sering mengecewakanmu. Tak

lupa juga untuk Kakakku, Adikku Al Ihsan Sakino yang selalu

memberikan kasih sayang yang hangat untuk penulis selama ini.

7. Keluarga Besar PMII KOMFAKSYAHUM, PMII Cab Ciputat, KBPA

(Keluarga Besar Peradilan Agama), yang telah memberikan semangat,

motivasi dan Pengalaman hebat untuk penulis selama ini.

8. Sahabat-Sahabatku, Nurul Rizkillah Pomalingo, Baso Agung Mangga

Berani, dan Al Ikhsan Saingyang selalu memberikan semangat dikala

penulis jenuh hingga skripsi ini selesai.

9. Sahabat Seperjuangan, Isma Nur Afiati, Arya Chairunnisa, Luthfan

Dimas Pratama, Fahmi Dzakky, Izzat Muttaqin, Adib Mubaroki,

Syamaska Zakirini, terimakasih untuk pengalaman hebat dari kalian.

Kalian adalah supertim yang selalu ada untuk penulis dalam semua

kondisi.

10. Dan untuk semua yang telah membantu penulis yang tidak bisa

disebutkan namanya satu persatu, terimakasih karena telah membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Page 8: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

vii

Tiada cita yang akan terwujud dengan sendirinya melainkan dengan

pertolongan Allah SWT. Sehingga penulis dapat memberikan kontribusinya

dalam ilmu pengetahuan. Seperti kata pepatah bahwa sebuah proses tidak akan

pernah menghianati hasil yang akan diperoleh kelak. Penulis berharap skripsi ini

bermanfaat untuk penulis khususnya dan juga untuk para pembaca pada umumnya

serta menjadi amal baik disisi Allah SWT. Dan terakhir semoga setiap bantuan,

doa, motivasi dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis menapatkan

balasan yang berlimpah dari Allah SWT. Amiin..

Jakarta, 12 April 2018 M

26 Rajab 1439 H

Penulis

Page 9: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

viii

DAFTAR ISI

PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................. i

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iii

ABSTRAK ..................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ................................................................................... v

DAFTAR ISI .............................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................. 4

C. Tujuan Penelitian ............................................................... 4

D. Manfaat Penelitian ............................................................. 4

E. Tujuan (Review) Kajian Terdahulu .................................... 4

F. Kerangka Teori dan Konseptual ........................................ 5

G. Metode Penelitian .............................................................. 9

H. Rancangan Sistematika Penelitian ..................................... 10

BAB II ADAT DAN HUKUM ISLAM

A. Adat atau Tradisi dalam Hukum Islam .............................. 12

1. Hukum Adat pada masa Nabi dan Sahabat .................. 13

2. Macam-macam Adat (‘Urf) dan Pandangan

Para Ahli Hukum Islam ................................................ 19

B. Hubungan Hukum Adatdengan Hukum Islam Di Indonesia

1. Reception in Complexu ................................................ 19

2. Receptie ........................................................................ 20

3. Receptio a Contrario .................................................... 26

Page 10: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

ix

BAB III PERNIKAHAN ADAT TONTEMBOAN SUKU MINAHASA

A. Potret Etnis Tontemboan di Kecamatan Langowan Timur 29

B. Sosial kemasyarakatan Etnis Tontemboan Suku Minahasa 31

C. Proses Pernikahan Adat Tontemboan ............................... 34

1. Persyaratan Calon Suami-Istri ..................................... 35

2. Pra Nikah ..................................................................... 37

3. Resepsi ......................................................................... 39

4. Pasca Nikah ................................................................. 40

BAB IV AKULTURASI NILAI-NILAI ISLAM KE DALAM ADAT

TONTEMBOAN

A. Bentuk Akulturasi Nilai Islam Ke Dalam Etnis Tontemboan 41

B. Relevansi Konsep Pernikahan Menurut Islam dan Proses

Pernikahan Adat Tontemboan Pasca Terakulturasi Nilai

Islam .................................................................................. 44

1. Pra Nikah ..................................................................... 47

2. Proses Akad Nikah ...................................................... 49

3. Resepsi ......................................................................... 51

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................... 53

B. Saran-saran ............................................................................ 54

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 56

LAMPIRAN ................................................................................................... 61

Page 11: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

1

BAB I

PENDAHALUAN

A. Latar Belakang

Akulturasi (acculturation) adalah culture contact yang diartikan oleh

para ahli antropolog, yang dimana akulturasi merupakan proses sosial yang

muncul manakala suatu kelompok manusia beserta kebudayaannya

dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, dan lambat laun unsur-

unsur kebudayaan asing tersebut diterima oleh para kelompok manusia itu

dan diolah dalam kebudayaannya, tanpa menghilangkan sifat asli atau khas

dari kebudayaan asalnya.1 Hal ini dapat dilihat dari beberapa adat atau tradisi

dari berbagai suku di Indonesia.

Indonesia merupukan Negara yang terkenal dengan keberagamannya,

disetiap daerah memiliki adat istiadat yang berbeda dan menarik baik dari

bentuknya maupun sisi filosofisnya, salah satu diantaranya etnis Tontemboan

suku Minahasa di wilayah Sulawesi Utara yang sampai pada saat ini masih

melestarikan adat yang diwarisi nenek moyang secara turun-temurun sebagai

suatu bentuk penghargaannya kepada warisan leluhur. Adat ini biasanya

meliputi kepercayaan dan kegiatan ritual yang berkembang dan mengakar

dimasyarakat hingga menjadi sebuah kebudayaan. Dalam Islam Adat

diartikan pula sebuah hukum-hukum yang ditetapkan untuk menyusun dan

mengatur hubungan perorangan dan hubungan masyarakat, atau mewujudkan

kemaslahatan dunia. Hukum-hukum yang lahir dari adat dapat dipahami

maknanya dan selalu diperhatikan ‘urf-‘urf dan kemaslahatan serta dapat

berubah menurut perubahan masa, tempat dan situasi. Maka dari itu hukum

yang mengenai adat (muamalah) ini, kebanyakan hukumnya bersifat

keseluruhan, berupa kaidah-kaidah yang umum yang disertai dengan illat-

illatnya.2

1 Keontjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,(Jakarta: Aksara Baru, 1986), h. 248.

2 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Semarang: PT. Pustaka

Rizki Putra, 1997), h. 20.

Page 12: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

2

Masuknya agama Islam di daerah Minahasa memberikan warna yang

baru pada pola kehidupan yang ada pada Suku Minahasa khususnya pada

etnis Tontemboan, karena agama pada dasarnya akan mempengaruhi

karkater, cara berpikir, bertingkah laku serta adat atau tradisi pada daerah dia

berada dengan pola akulturasi Islam memulai memasukkan nilai-nilai

keislaman dalam adat istiadat etnis tonembaon, Contohnya etnis Tontemboan

(muslim) dalam melaksanakan proses pernikahannya. Dengan adanya

Undang-Undang bahwa pernikahan yaitu ikatan pria dan wanita sebagai

suami-istri berdasarkan hukum yang terdapat di dalam Undang-Undang

(UU), hukum agama dan adat istiadat yang berlaku.3 Memberikan ruang

terjadinya akulturasi antara nilai-nilai keislaman dan adat istiadat

Tontemboan. Dalam akulturasi tersebut nilai-nilai keislaman lebih memegang

peranan dalam mempengaruhi bentuk pernikahan yang akan dijalankan.

Pokok perkawinan baik tradisional maupun modern merupakan suatu

kegiatan yang sakral sehingga hubungan vertikal antara manusia dan

Tuhannya sangat terasa kehadirannya dalam upacara pernikahan, sebagai

contohnya dalam etnis Tontemboan. Dalam tata upacara pernikahan adat

Tontemboan merupakan perpaduan dari unsur sifat, karakteristik,

kepercayaan, hukum, dan agama, yang kesemuanya saling menopang satu

sama lain, sehingga terciptalah “manusia yang berbudi luhur” dalam tatacara

pernikaha adat sunda, sebelum dilakukan pelakasanaan upacara perkawinan

adat, biasanya di dahului dengan beberapa tahapan upacara. Upacara tersebut

dilaksanakan sesuai dengan keadaan ekonomi dan situasi pada saat itu,

namun tidak boleh menyimpang dari tata cara pokok adat Tontemboan. 4

(empat) rangkaian dalam proeses pernikahan adat Tontemboan: Pertama,

persyaratan calon pasangan. Kedua, pra nikah. Ketiga, resepsi (walimah).

Dan keempat, pasca pernikahan.

Sebagaimana lazimnya suku bangsa yang sedang berkembang, sejak awal

pertumbuhannya, suku Minahasa mempunyai kebudayaan atau culture yang

3 Departemen Agama RI, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Urusan

Agama Islam, Korps Penasehat Perkawinan dan Keluarga Sakinah, (Jakarta: 2001), h. 59.

Page 13: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

3

terus mengalami perubahan dan perkembangan, sesuai factor-faktor yang

mempengaruhinya. Factor-faktor tersebut ada kalanya datang dari luar dan

ada kalanya muncul dari dalam, baik disebabkan dari bertambah atau

berkurangnya penduduk, dan adanya penemuan-penemuan baru, ataupun

karena terdapatnya ajaran agama atau kepercayaan tertentu, dan lain

sebagainya. Hal ini semua dapat dipahami, karena setiap manusia selalu

mengalami perubahan dan perkembangan selama hidupnya. Perubahan dan

perkembangan tersebut ada yang pengaruhnya sangat luas ada pula yang

terbatas. Wujud dari perubahan dan perkembangan tersebut biasanya dapat

diketahui oleh peneliti tentang susunan dan kehidupannya pada suatu waktu,

kemudian membandingkannya dengan yang terjadi pada masa lampau.4

Kebudayaan Minahasa (Adat Tontemboan) tersebut sebagaimana halnya

kebudayaan lainnya dan perlu dipelihara serta dikembangkan. Ini wajar,

sebab ia adalah bagian dari kebudayaan daerah propinsi Sulawesi Utara, dan

ia sekaligus merupakan bagian dari kebudayaan nasional. Hal ini sejalan

dengan penjelasan Undang-Undang dari padal 32 Undang-Undang Dasar

1945 yang menyatakan bahwa: “Kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang

timbul sebagai buah budi dari rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama

dan asli yang terdapat sebagai puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh

Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa.

Berangkat dari yang telah dikemukakan di atas, penulis berusaha meneliti

dan menulis skripsi dengan judul: “Akulturasi nilai islam dalam pernikahan

Adat tontemboan suku minahasa Kecamatan langowan timur Sulawesi utara,”

dengan fokus kajian tentang akulturasi nilai Islam ke dalam proses

pernikahan adat Tontemboan.

4 Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafinso Persada) cet.

XIX, h. 352.

Page 14: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

4

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari apa yang dikemukakan di atas, secara spesifik muncul

beberapa pertanyaan yang perlu dijawab dalam skripsi ini, sebagai berikut;

1. Bagaimana akulturasi nilai Islam dalam proses pernikahan adat

Tontemboan?

2. Apakah proses pernikahan adat Tontemboan pasca terakulturasi Sudah

sesuai dengan nilai-nilai Islam?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui proses pernikahan adat tontemboan pasca terjadi

akulturasi nilai Islam.

2. Untuk mengetahui sudah sesuai atau tidak dengan nilai-nilai Islam

bentuk proses pernikahan adat Tontemboan pasca terjadi akulturasi.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:

1. Agar etnis Tontemboan mengetahui adanya akulturasi nilai-nilai Islam

dalam proses pernikahan.

2. Agar menambah wawasan bagi para peneliti dan pemikir hukum keluarga

Islam dalam mengemas nilai-nilai ajaran Islam menjadi kajian yang

menarik. Selanjutnya dapat menjadi motivasi bagi para pelaksana peneliti

(terutama) jurusan Hukum Keluarga.

3. Bagi dunia pustaka, hasil ini dapat dijadikan sebagai tambahan koleksi

dalam ruang lingkup karya ilmiah khususnya di lingkungan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dari katalog yang penulis cari, karya mengenai Akultuasi nilai-nilai

Islam dalam Pernikahan Suku Minahasa adat Tontemboan belum dibahas

karena penulis belum menemukan judul seperti yang telah diangkat penulis,

dan penulis berasumsi bahwa judul yang diangkat adalah baru. Penulis

Page 15: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

5

meringkas skripsi atau karya ilmiah yang ada kaitannya dengan akulturasi

nilai-nilai Islam dalam suatu kebudayaan terkhususnya pada proses pernikah

suatu adat.

Ahmad Abd. Syakur (85050/ S-3). Islam dan Kebudayaan Sasak (Studi

tentang Akulturasi Nilai-nilai Islam ke Dalam Kebudayaan Sasak). Disertasi

yang ditulis tersebut membahas tentang proses Akulturasi Nilai-nilai Islam ke

dalam kebudayaan Sasak dalam segala aspek, serta membahas prospek

kebudayaan Sasak pasca terjadinya aluturasi nilai-nilai Islam.

Berbeda dengan yang dibahas penulis dalam skripsi ini, yaitu membahas

tentang bagaimana proses upacara pernikahan adat Tontemboan Suku

Minahasa sebelum dan sesudah ter-akulturasi nilai-nilai Islam ke dalam

budaya Minahasa tersebut.

Erni Isnaeni (231408055). Akultuasi Budaya Proses Perkawinan Adat

Jawa di Toili Barat. Skripsi ini membahas tentang bagaimana masyarakat toili

meng-akulturasikan budaya mereka kedalam proses perkawinan adat Jawa

yang diterapkan disana.

Berbeda dengan yang dibahas penulis dalam skripsi ini, yaitu membahas

tentang bagaimana proses upacara pernikahan adat Minahasa sebelum dan

sesudah ter-akulturasi nilai-nilai Islam ke dalam budaya Minahasa tersebut.

F. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Receptio in Complexu Mr L. W. C. van den Berg seorang sarjana hukum

yang pernah jabat berbagai jabatan penting seperti Penasehat bahasa-

bahasa Timur dan hukum Islam pada Pemerintahan Kolonial Belanda,

sebagai Guru Besar di Delfi, sebagai Penasihat Departemen Jajahan di

negeri Belanda, menegahkan suatu teori tentang hukum Adat yang

disebut “teori reception in complexu”.

Inti dari pada teori ini adalah sebagai berikut: “orang-orang Muslim

Indonesia menerima dan memberlakukan syariat Islam secara

Page 16: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

6

keseluruhan”.5 Tegasnya menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu

memeluk suatu agama tertentu, maka hukum adat masyarakat yang

bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu.

2. Teori “Resepsi” (Receptie Theory), adalah kebalikan dari teori “Receptio

in Complexu”. Secara bahasa berarti: “penerimaan, pertemuan”. Hukum

ada sebagai penerima, hukum Islam sebagai yang diterima. Jadi “hukum

Islam masuk/ diterima ke dalam hukum adat.” Hukum Islam baru bisa

berlaku jika telah diterima atau masuk ke dalam hukum adat, maka

secara lahirnya ia bukan hukum Islam, tetapi sudah menjadi bagian dari

hukum adat. Menurut teori ini, bagnsa Indonesia pada hakikatnya bukan

bangsa yang tidak punya tatanan hukum atau aturan, kendati baru dalam

bentuk yang sederhana. Tatanan hukum atau aturan itu sebenarnya telah

ada sejak lama, yang berasal dari tradisi yang telah mengakar di dalam

masyarakat. Tradisi tersebut disebut dengan adat kebiasaan, yang

kemudian menjadi “hukum adat”. Hukum asli bangsa Indoensia itu

bukanlah hukum yang berasal dari negara lain seperti hukum Islam,

sebagaimana pendatap van den Berg, Deaandels, Raffles, dan

sebagainya, tetapi yang hukum hidup dan yang praktikkan oleh

masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.6

3. Teori “Receptio a Contrario”. Secara bahasa teori Receptio a Contrario

berarti: “penerimaan yang tidak bertentangan”. Hukum yang berlaku bagi

umat Islam, hukum adat baru bisa berlaku kalau tidak bertentangan

dengan hukum Islam. Gagasan ini dikemukakan oleh Hazairin (1906-

1975) dan dilanjutkan oleh Sajuti Thalib (1929-1990), sebagai murid dan

5 Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2002), h.48.

6 Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, h.61-65.

Page 17: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

7

pengikut Hazairin. Mereka berdua juga merupakan bagian dari produk

sistem hukum Belanda.7

Pemikiran ini identik dengan pendapat van den Berg dan berbeda

dengan Snouck dan van Vallenhoven. Di Indonesia, demikian meurut

teori ini, memang ada hukum yang hidup yakni hukum adat, tetapi yang

dipedomani oleh masyarakat adalah hukum agamanya. Hukum adat baru

bisa berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum agama itu. Jadi

hukum Islam adalah hukum Islam dan hukum adat adalah hukum adat.8

4. Akulturasi, dalam ilmu Sejarah dan ilmu Antropolgi Budaya, adalah

proses pencampuran kedua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu

dan saling mempengaruhi. Berbeda dari itu, akulturasi dan psikiatri

berarti proses perubahan budaya, apabila individu dipindahkan dari suatu

lingkungan budaya etnis tertentu ke lingkungan budaya etnis lain. Wujud

proses akulturasi tersebut pada umumnya menyebabkan martabat kedua

kebudayaan tersebut meningkat pada taraf yang lebih tinggi.9

5. Akulturasi (acculturation) dikenal pula dengan kontak kebudayaan

mempunyai berbagai arti dikalangan para antropolog. Akan tetapi mereka

sepaham bahwa akulturasi tersebut adalah “merupakan proses sosial yang

muncul manakala suatu kelompok manusia berikut kebudayaan yang

dimilikinya dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, dan

lambat laun unsur-unsur kebudayaan asing tersebut diterima oleh

7 Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam

Masyarakat Minangkabau), (Padang: PT Rajagrafindo Persada, 2011), h. 83.

8 Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam

Masyarakat Minangkabau), h. 83.

9 A. G. Pringgodigdo, et al, Ensiklopedia Umum, (Yogyakarta: Penerbitan Yayasan

Kansius,1973), h. 30.

Page 18: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

8

kelompok manusia itu dan diolah dalam kebudayaanya, tanpa

menghilangkan sifat khas kepribadian kebudayaan asal.10

6. Sikap tolerasi terhadap kebudayaan asing tersebut banyak membantu

suksesnya proses akulturasi yang berjalan pada suatu masyarakat.

Sebaliknya proses akulturasi tersebut akan dapat terhalang karena adanya

faktor-faktor penghalang, seperti kurangnya pengetahuan mengenai

kebudayaan yang dihadapi; adanya sifat takut terhadap kekuatan dari

kebudayaan asing tersebut; adanya proses superioritas pada individu-

individu dari satu kebudayaan terhadap yang lain.11

7. Dalam usaha menerapkan kebudayaan asing ke dalam kebudayaan asal

yang dilakukan oleh para agents yang bersangkutan, terjadinya konflik

tak dapat dihindarkan. Bahkan meniadakan konflik itu sebenarnya

mustahil.12

Konflik itu biasanya terjadi disebabkan adanya dua kekuatan

atau keadaan yang bertentangan; ia bisa terjadi berupa sengketa antara

dua individu, seperti antara seorang kstaria dengan seorang bajingan atau

antara seorang dengan masyarakat lainnya.13

Sejalan dengan itu M. Atho

Mudzhar menyatakan bahwa konflik itu adalah “pertentangan antara dua

kelompok sosial atau lebih, atau potensialitas yang mendorong kearah

pertentangan. Dengan pengertian ini tercakup di dalamnya adalah kasus

konflik dan potensialitas konflik”.14

10

Keontjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,(Jakarta: Aksara Baru, 1986), h. 248.

11

Keontjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 256.

12

M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar: 1998), h. 138

13

A. G. Pringgodigdo, et al, Ensiklopedia Umum, h. 578.

14

M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, h. 129.

Page 19: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

9

G. Metode Penelitian

Dalam penulisan proposal ini, penulis menggunakan metode penelitian

sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

a. Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu penulisan yang sumber

data utamanya terutama diambil dari objek penelitian (masyarakat

atau komunitas sosial) dengan melihat secara langsung di daerah

penelitian, yaitu daerah suku adat Minahasa.

b. Studi Kasus, yaitu penelitian yang dituntut untuk melakukan

penelitian secara medalam, yakni mampu melacak dan menemukan

berbagai faktor yang terkait dengan kasus pernikahan tersebut.15

2. Sumber Data

a. Data Primer, Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari buku, artikel dan

karya ilmuah yang berkaitan dengan tema penelitian yang berasal

dari media cetak dan media elektronik.

3. Pengumpulan Data, yaitu dilakukan dengan melalui pengamatan secara

terlibat dilokasi penelitian dengan cara:

a. Observasi, yaitu kegiatan dalam penelitian yang memperhatikan

suatu keadaan secara jelas dan merumuskan nilai-nilai yang

dianggap berlaku dalam masyarakat tertentu agar hasil pengamatan

dengan cara mengikuti dan menyaksikan langsung prosesi

pernikahan menurut suku adat Minahasa.

b. Wawancara, yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang akan

dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan

pertanyaan dan yang diwawancarai memberi jawaban atas

pertanyaan itu. Dalam hal ini penulis mengadakan wawancara

dengan informan, yaitu para pelaku pernikahan, orang tua,

masyarakat setempat dan tokoh-tokoh adat suku Minahasa.

15

Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat: UIN Jakarta,2010), h.27.

Page 20: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

10

c. Studi Dokumentasi, yaitu meliputi studi bahan-bahan hukum yang

terdiri dari hukum primer dan sekunder, dan juga data-data yang

diperoleh dari literature dan referensi yang berkenaan dengan judul

skripsi.

4. Pengelolahan data, menjelaskan cara mengelolah data mentah hasil

penelitan agar dapat terbaca dengan baik. Pengelolahan data harus

didasarkan pada kebutuhan data yang akan disajikan dalam skripsi.

5. Analisa data, yaitu data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisa komparasi, yaitu dalam pendekatan teori ini, peneliti

mengkonsentrasi diri untuk melakukan penelitian secara mendalam

dengan pendekatan kepada tokoh adat, dan masyarakat suku Minahasa,

yang bertujuan untuk menemukan persamaan atau perbedaan tentang

objek peneliatan yang berkaitan dengan akulturasi nilai-nilai Islam dalam

pernikahan adat Minhasa.

Adapun teknis penulisan skirpsi ini berpedoman pada buku pedoman

penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017.

H. Rancangan Sistematika Penelitian

Agar penulisan skripsi ini terarah dan mudah dibahas, maka penulis

menesistematika pembahasan ksripsi ini ke dalam lima bab:

BAB I: Membahas pendahuluan yang meliputi: Latar belakang masalah,

pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitan, metode

penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II: Membahas Landasan Teori diantaranya: Adat dan Hukum Islam,

Hukum adat pada masa Nabi dan Sahabat, Adat dan Pandangan Para Ahli

Hukum Islam, Analisis Teori-teori Hubungan Hukum Adat dengan Hukum

Islam di Indonesia, teori receptie in Complexu, receptie, receptie a contrario.

BAB III: Memabahas potret etnis Tontemboan di Kec. Langowan Timur,

Sosial kemasyarakatan etnis Tontemboan suku Minahasa dan Proses

pernikahan adat Tontemboan.

Page 21: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

11

BAB IV: Membahas tentang bentuk akulturaasi nilai Islam ke dalam etnis

Tontemboan dan relevansi proses pernikahan adat Tontemboan suku

Minahasa paca terjadinya akulturasi nilai Islam dengan hukum Islam.

BAB V: Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.

Page 22: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

12

BAB II

ADAT DAN HUKUM ISLAM

A. Adat atau Tradisi dalam Hukum Islam

Adat (adah) telah menciptakan diskusi yang berkelanjutan sejak awal sejarah Islam

tentang apakah ia dapat dipertimbangkan menjadi salah satu sumber penetapan hukum

dalam Islam atau tidak?. Awalnya secara teoritis, adat tidak diakui seabagai salah satu

sumber dalam jurisprudensi Islam. Namun demikian, dalam prakteknya, adat

memainkan peranan yang sangat penting dalam proses pembentukan hukum Islam

dalam berbagai aspek hukum yang muncul di negara-negara Islam. Peran aktual adat

dalam penciptaan hukum senantiasa terbukti lebih penting daripada apa yang kita duga

sebelumnya. Demikian pula dalam banyak hal adat terbukti dipakai tidak hanya dalam

kasus-kasus yang tidak terdapat jawaban konkretnya dalam Quran maupun Hadis.

Lebih dari itu, fakta menunjukan bahwa sejak masa awal pembentukan hukum Islam

kriteria adat lokal justru cukup kuat untuk mengalahkan praktek hukum yang

dikabarkan berasal dari Nabi sendiri. Dengan kata lain, para ahli hukum Islam pada

akhirnya menerima berbagai macam bentuk adat tersebut dan oleh karenanya mereka

berusaha untuk memasukan serta menjadi hukum adat dalam bangunan sumber hukum

Islam dengan bentuk serta kriteria dari sebuah adat tersebut.1

Adat diartikan pula sebuah hukum-hukum yang ditetapkan untuk menyusun dan

mengatur hubungan perorangan dan hubungan masyarakat, atau mewujudkan

kemaslhatan dunia. Hukum-hukum yang lahir dari adat dapat dipahami maknanya dan

selalu diperhatikan uruf-uruf dan kemaslahatan serta dapat berubah menurut perubahan

masa, tempat dan situasi. Maka dari itu hukum yang mengenai adat (muamalah) ini,

kebanyakan hukumnya bersifat keseluruhan, berupa kaidah-kaidah yang umum yang

disertai dengan illat-illatnya.2

1 Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), h. 5-6.

2 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Semarang: PT. Pustaka Rizki

Putra, 1997), h. 20.

Page 23: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

13

1. Hukum Adat pada Masa Nabi dan Sahabat

Pada masa Nabi Muhammad, orang-orang di daratan Arab telah mengadopsi

berbagai macam adat. Praktek adat ini, dalam banyak hal, telah mempunyaki

kekuatan hukum dalam masyarakat. Walaupun hukum adat tidak dilengkapi oleh

sanksi maupun suatu otoritas, perannya yang penting di dalam masyarakat tidak

meragukan lagi.3 Dalam aturan perundang-undangannya di Arab sebelum

datangnya Islam telah berkmebang, khususnya di bagian Selatan (Yaman), yang

menjadi pusat peradaba/ kebudayaan yang telah memiliki bentuk pemerintahan

berasaskan kerajaan.4

Hadirnya Islam tidak dituntut untuk membawa kode hukum yang

keseluruhaannya bersifat baru dan unik, maka dapat dikatakan di sini bahwa Nabi

sendiri memang tidak mempunyai keinginan yang riel untuk secara komplit

menghapuskan sistem hukum adat pra-Islam.5 Mac donald mengemukakan bahwa

Muhammad “tidak menciptakan dua belas aturan atau sepuluh komendemen,

kode-kode atau konsideran lainnya”. Konsep tentang kode hukum yang komplit

dengan demikian masih asing bagi pemikiran beliau. Dalam pandangan Schachtl,

Nabi memang tidak mempunya alasan yang kuat untuk mengubah hukum adat

yang ada dalam masyarakat karena Ia sendiri bertujuan tudak unutk menciptakan

sistem hukum yang secara total baru akan tetapi lebih bertujuan “untuk

mengajarkan manusia bagaimana cara bertingkah laku, apa yang harus dilakukan

dan apa yang harus dihindari, dalam rangka menyelamatkan diri dari pengadilan

akhirat dan supaya masuk surga”. Dalam hubungannya dengan keberlangsungan

hukum adat, oleh karenya, Nabi Muhammad tidak melakukan tindakan-tindakan

perubahan terhadap hukum yang ada sepanjang hukum tersebut sesuai dengan

prinsip-prinsip ajarannya yang fundamental. Konsep sunnah Taqririyyah sendiri

sesungguhnya merupakan bukti yang kuat bahwa Nabi memang membiarkan

keberlakuan beberapa adat setempat yang dapat diterimanya.6

3 Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, h. 7.

4 Mahiduliah, Benarkah Hukum Romawi ada Pengaruhnya Terhadap Hukum Islam, (Banda Aceh:

Majelis Ulama Propinsi Istimewa Aceh, 1981), h. 5.

5 Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, h. 7.

6 Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, h. 7.

Page 24: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

14

Terlepas dari adanya beberapa inovasi yang cukup berani yang mempengaruhi

hubungan seksual dan posisi wanita, secara umum Nabi tidak banyak melakukan

intervensi terhadap beberapa peraturan dari lingkungan sosial yang ia temukan.

Contoh lain ialah di mana dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan

hadiah kepada wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.7

Walaupun Nabi mengajar masyarakat berdasarkan pada nilai-nilai yang

berasal dari wahyu, pada esensinya reformasi-reformasi yang Dia lakukan tetap

menjaga model kehidupan masyarakat kesukuan Arab. Dalam banyak kasus,

sistem yang sudah lama berjalan tidak secara radikal digantikan dengan sesuatu

bentuk yang baru; bahkan lebih dari itu, banyak bagian-bagian dari sistem lama

tersebut masih tetap hidup dan menjadi bagian dari sistem hukum Islam yang baru.

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa banyak cabang dari hukum Islam

dipenuhi oleh peraturan-peraturan yang keuputusan hukumnya ditetapkan oleh

Nabi berdasar pada adat kebiasaan yang berlaku.8

Contoh-contoh dari aturan-aturan tersebut dapat ditemukan hampir dari setiap

aspek hukum, diantaranya: dengan tetap menjalankan undang-undang keuangan

yang telah berkembang baik sejak ratusan tahun sebelmnya hingga saat itu, juga

hukuman kejahatan dan hukum-hukum yang bertalian dengan pembatalan (fasakh)

jual-beli hewan dan budak ketika tidak terdapat kesesuaian.9

Dalam hal pidana, misalnya, Nabi memulai dengan menanamkan sifat ke-

adilan dalam hukuman qishas yang sebelumnya telah ada, juga dalam hukum

keluarga Nabi mengubah corak hukum tersebut dengan menyesuaikan kehidupan

yang bermoral dan berakhlak, yang bermuara pada dilarangnya membunuh bayi

perempuan, pencegahan perceraian, poligami tanpa batas dan lain-lain.10

Namun,

Nabi tetap mempertahankan atau memodifikasi praktek-praktek hukum yang lain

7 KH. Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Pramuda Bookstore, 2008), h. 213.

8 Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, h. 8.

9 Mahiduliah, Benarkah Hukum Romawi ada Pengaruhnya Terhadap Hukum Islam, (Banda Aceh:

Majelis Ulama Propinsi Istimewa Aceh, 1981), h. 5.

10

Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, h. 8.

Page 25: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

15

seperti poligami, pembayaran mahar, atau pemberitahuan (iqrar) dan hal

perkawinan.11

Dari contoh-contoh hukum yang dikemukakan di atas, maka dapatlah

dibenarkan bahwa dalam mengurusi permaslahan masyarakat Muslim, Nabi tidak

mempunyai keinginan untuk menentang tradisi-tradisi masyarakat yang berjalan

dan bersesuaian dengan misi dakwah yang ia bawa. Sebagaimana yang telah

dikemukakan oleh Cendekiawan: “Hukum Islam tidak bermaksud untuk

menciptakan sistem yang baru dalam administrasi peradilan”. Alasan penerimaan

adat sesuai dengan persetujuan Nabi adalah bahwa hukum-hukum adat tersebut

mampu untuk memberikan pemecahan yang sesuai dengan keinginan masyarakat.

Seabgaimana yang dikemukakan oleh El-Awa, bahwa dalam hukum Islam, aturan-

aturan yang berasal dari adat harus diukur lewat kriteria keingin masyarakat:

“Ketika tujuannya sesuai dengan cita-cita masyarakat (pro bono publico), aturan

itu harus dipertahankan, namun ketika tujuannya tidak sesuai dengan keinginan

masyarakat, maka aturan tersebut harus dihapus”.12

Adat diartikan pula sebuah hukum-hukum yang ditetapkan untuk menyusun

dan mengatur hubungan perorangan dan hubungan masyarakat, atau mewujudkan

kemaslhatan dunia. Hukum-hukum yang lahir dari adat dapat dipahami maknanya

dan selalu diperhatikan uruf-uruf dan kemaslahatan serta dapat berubah menurut

perubahan masa, tempat dan situasi. Maka dari itu hukum yang mengenai adat

(muamalah) ini, kebanyakan hukumnya bersifat keseluruhan, berupa kaidah-

kaidah yang umum yang disertai dengan illat-illatnya.13

Dari contoh-contoh hukum di atas, maka benarlah sebagaimana yang telah

dikemukakan oleh Cendekiawan: “Hukum Islam tidak bermaksud untuk

menciptakan sistem yang baru dalam administrasi peradilan”. Alasan penerimaan

adat sesuai dengan persetujuan Nabi adalah bahwa hukum-hukum adat tersebut

mampu untuk memberikan pemecahan yang sesuai dengan keinginan masyarakat.

Seabgaimana yang dikemukakan oleh El-Awa, bahwa dalam hukum Islam, aturan-

11

Abdul Rahim, The Principles of Muhammadan Jurisprudence, (London: Luzac & Co., 1911), h. 7-12.

12

Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, h. 9

13

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Semarang: PT. Pustaka Rizki

Putra, 1997), h. 20.

Page 26: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

16

aturan yang berasal dari adat harus diukur lewat kriteria keingin masyarakat:

“Ketika tujuannya sesuai dengan cita-cita masyarakat (pro bono publico), aturan

itu harus dipertahankan, namun ketika tujuannya tidak sesuai dengan keinginan

masyarakat, maka aturan tersebut harus dihapus”.14

Tidak lama setelah Nabi Muhammad Saw wafat, dengan kekuatan yang

tangguh, bangsa Arab dengan mudah menyebar keberbagai penjuru dunia dengan

menundukkan kerajaan-kerjaan besar. Tak hanya menjatuhkan imperiur Rumawy

(Bizantium) dengan daerah-daerahnya yang besar di Asia dan Afrika, tetapi juga

dalam waktu yang sama menaklukkan Imperium lain, seperti Persi, Sasanit dan

meduduki seluruh daerahnya.15

Oleh karenanya, untuk menerpakan hukum Islam yang baru menurut

masyarakat yang ditundukan perlu banyak penyesuaian dan tak bisa dengan mudah

menghapuskan tradisi-tradisi yang telah berkembang di daerah tersebut. Hal itu

dilakukan oleh Khalifa ke dua yaitu, Umar Ibn Khattab dimana, Umar meneruskan

praktek para kaisar Bizantium dalam mempertahankan sistem diwan, atau

registrasi. Ia mendirikan lembaga-lembaga ini, termasuk satu di antaranya untuk

tentara (jund) dan yang lainnya untuk urusan finansial (kaharaj). Bahasa yang

berasal dari daerah taklukan tetap menjadi bahasa yang resmi digunakan pada

masing-masing lembaga diwan tersebut, dan para pegawai yang menanganinya

kebanyakan orang-orang Yunani dan Persia. Sebagaimana kenyatan bahwa tidak

ada lembaga kharaj dalam teori fiqh klasik tentang pajak pertanahan, pengenalan

lembaga ini dalam masyarakat Islam mengindikasikan bahwa para sahabat tidak

membatasi pengadopsian mereka terhadap hukum adat hanya kepada kebiasaan

yang terdapat dalam masyarakat mereka sendiri, melainkan juga menerima

praktek-praktek adat kebiasaan yang berasal dari tradisi non-Muslim. Terutama di

beberapa propinsi sebelah timur, institusi-institusi masyarakat Sassanid juga

dipertahankan, dan biro keungan Sassanid, yaitu diwan al-kharaj dan diwan an-

nafaqati, juga dipertahankan di Irak sesudah masuknya daerah ini menjadi wilayah

Islam.16

14

Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, h. 9.

15

Mahiduliah, Benarkah Hukum Romawi ada Pengaruhnya Terhadap Hukum Islam, h. 8.

16

Mahiduliah, Benarkah Hukum Romawi ada Pengaruhnya Terhadap Hukum Islam, h. 8

Page 27: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

17

Al-Mawardi (w. 450 H) menyebutkan bahwa Umar mendirikan sistem diwan

untuk menyesuaikan dengan tradisi persia. Dalam karyanya yang terkenal, Al-

Ahkam as-Sultaniyyah, ia memberitakan bahwa Umar menerima sedekah begitu

banyak dari Bahrain, ia berkonsultasi dengan para sahabat tentang manajemen dan

distribusi dari pemberian tersebut. Berdasarkan pada informasi tentang institusi

diwan dari Hurmuzan, orang Persia yang sangat familier dengan lembaga diwan

yang dipraktekkan di Negara asalanya, dan juga dari Khalid ibn al-Walid, yang

juga memberikan informasi kepada Umar tentang sistem diwan ini di Siria, Umar

kemudian menyetujui proposal pembangunan sistem diwan di Medinah.17

Contoh di atas mengilustrasikan bahwa para Sahabat tidkak menutup pintu

kegiatan adopsi terhadap hukum-hukum peraturan asing sepanjang tidak

bertentangan dengan aturan yang eksplisit dari Quran dan Sunah. Hal ini secara

jelas tergambarkan dalam fakta bahwa para Khulafa ar-Rasyidun, sebagai penerus

Nabi, secara bijaksana memperbolehkan masyarakat dari tanah taklukan untuk

mengatur kehidupan mereka sehari-hari menurut kepercayaan dan tradisi lokal

mereka sendiri. Dalam semangat mereka untuk mengikuti jejak yang telah

dibangun oleh Nabi, para Sahabat mempertahankan beberapa aturan adat yang

baik ketika Islam menyebar ke tempat-tempat yang baru. Mereka tidak hanya

menerima praktek-praktek masyarakat Arab saja, tetapi juga meresepsi hukum-

hukum adat dari daerah-daerah yang baru dibuka ke dalam sistem hukum Islam.

Ringkasnya, pada masa Nabi dan para Sahabat ini, ketika hukum Islam masih

dalam awal pembentukannya, proses penciptaan hukum bersifat terbuka terhadap

pengaopsian, baik itu institusi hukum Arab pra-Islam maupun institusi

administrasi dan hukum dari daerah-daerah yang baru. sebagaimana yang tampak

pada masa Nabi, aspek teknik hukum belumlah menjadi fokus perhatian dari umat

Islam. Oleh karenanya, sepanjang tidak ada penolakan moral maupun agama

terhadap transaksi atau kebiasaan tertentu, pengaruh adat yang ada tersebut

terhadap hukum Islam pada kenyataannya merupaka suatu yang bersifat positif

dan memperkaya.18

Sikap orang-orang Islam masa awal ini berpengaruh kepada

17

Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, h. 11.

18

Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), h. 15.

Page 28: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

18

kegiatan pengadopsian hukum-hukum asing yang semakin meluas sepanjang

sebagian besar abad pertama Hijriah, pada masa ketika hukum Islam, menurut

Schacht, “dalam artinya bersifat teknis belumlah muncul”.19

2. Macam-macam adat (‘Urf) dan Pandangan Para Ahli Hukum Islam

para ulama mengklasifikasi „Urf (adat) dengan bentuknya yaitu:

a. „Urf fasid (rusak/jelek) tidak bisa diterima, yaitu adat yang

bertentangan dengan nash qathi‟iy.

b. „Urf shahih (baik/benar) adalah adat yang bisa diterima dan

dipandang sebagai salah satu sumber pokok hukum Islam.

„Urf shahih terbagi menjadi dua macam:

1) „Urf Aam (umum) dan

2) „Urf Khas (khusus).20

„Urf Aam ialah adat yang telah disepakati masyarakat diseluruh negeri. Ulama

Madzhab Hanafy menetapkan adat seperti ini dapat mengalahkan qiyas, yang

kemudian dinamakan istishan „urf. Adat ini dapat men-takhsis nash yang “am

yang bersifat zhanny, bukan yang qath‟iy. Di antara contoh meninggalkan

keumuman dari nash zhanny karena adanya „urf larangan Nabi Saw mengenai jual

beli yang disertai dengan syarat. Dalam hal ini, Jumhur Ulama Madzhab Hanafy

dan Maliky menetapkan kebolehan diberlakukannya semua syarat, jika memang

berlakunya syarat-syarat tersebut dipandang telah menjadi sebuag adat atau tradisi.

Akan tetapi apakah sesungguhnya „Urf Aam yang dapat men-takhsis nash „am

yang zhanny dan dapat mengalahkan qiyas?. Dalam hubungan ini, kami temukan

alasan yang dikemukakan oleh fuqaha‟ tentang dibolehkannya meninggalkan qiyas

dalam aqad istihsna‟ sebagai berikut: “menurut qiyas, aqad istishna‟ tidak

diperbolehkan. Akan tetapi meninggalkan dalil qiyas lantaran akad tersebut telah

berjalan di tengah masyarakat tanpa ada seorang pun yang menolak, baik dari

kalah sahabat, tabi‟m, maupun ulama-ulama sesudahnya sepanjang masa. Ini

sebuah bentuk Hujjah yang kuat dan dapat dijadikan alasan untuk meninggalkan

dalil qiyas.” „Urf seperti itu dibenarkan berdasarkan ijma‟. Bahkan tergolong

19

Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia. H. 15.

20

Muhammad Abu Zahrah, Penerjemah Saefullah Ma‟shum dll, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus

2015), h. 442-443.

Page 29: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

19

macam ijma‟ yang paling kuat karena didukung berbagai kalangan, baik oleh

kalangan mujtahid maupun di luar ulama-ulama mujtahid: oleh golongan sahabat

maupun orang-orang yang datang setelahnya.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa „urf „am ialah adat yang berlaku di

seluruh negeri tanpa memandang kepada kenyataan pada abad-abad atau masa-

masa yang telah silam.

Sebagai bandingan urf „am yang shahih, ialah „urf khas, yaitu: adat yang

dikenal berlaku pada suatu negara, wilayah atau golongan masyarakat tertentu.

Adat dengan bentuk seperti ini tidak boleh berlawanan dengan nash. Hanya boleh

berlawanan dengan qiyas yang illatnya ditemukan tidak melalui jalan yang qath‟iy,

baik berupa nash maupun yang menyerupai nash dari segi jelas dan terangnya.21

B. Hukum Adat dengan Hukum Islam di Indonesia

1. Recepcio in Complexu

Mr L. W. C. van den Berg seorang sarjana hukum yang pernah jabat berbagai

jabatan penting seperti Penasehat bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam pada

Pemerintahan Kolonial Belanda, sebagai Guru Besar di Delfi, sebagai Penasihat

Departemen Jajahan di negeri Belanda, menegahkan suatu teori tentang hukum

Adat yang disebut “teori reception in complexu”.

Inti dari pada teori ini adalah sebagai berikut: “orang-orang Muslim Indonesia

menerima dan memberlakukan syariat Islam secara keseluruhan”.22

Tegasnya

menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka

hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya

itu.

Jika ada hal-hal yang menyimpang atau tidak sesuai dengan hukum agama

yang dianut, maka hal-hal ini dianggabnya sebagai “perkecualian/penyimpangan”

dari hukum agama yang telah “in complexu gerecipeerd” (= diterima dalam

keseluruhan) itu.23

21

Muhammad Abu Zahrah, Penerjemah Saefullah Ma‟shum dll Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus

2015), h. 444-445.

22

Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2002), h.48.

23

Soejono Wignjodipoero, “Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat”, h. 28-29.

Page 30: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

20

2. Receptie

Teori Resepsi (Recepcie Theory) adalah kebalikan dari teori “Receptio in

Complexu”. Secara bahasa berarti: “penerimaan, pertemuan”. Hukum ada sebagai

penerima, hukum Islam sebagai yang diterima. Jadi “hukum Islam masuk/ diterima

ke dalam hukum adat.” Hukum Islam baru bisa berlaku jika telah diterima atau

masuk ke dalam hukum adat, maka secara lahirnya ia bukan hukum Islam, tetapi

sudah menjadi bagian dari hukum adat. Menurut teori ini, bagnsa Indonesia pada

hakikatnya bukan bangsa yang tidak punya tatanan hukum atau aturan, kendati

baru dalam bentuk yang sederhana. Tatanan hukum atau aturan itu sebenarnya

telah ada sejak lama, yang berasal dari tradisi yang telah mengakar di dalam

masyarakat. Tradisi tersebut disebut dengan adat kebiasaan, yang kemudian

menjadi “hukum adat”. Hukum asli bangsa Indoensia itu bukanlah hukum yang

berasal dari negara lain seperti hukum Islam, sebagaimana pendatap van den Berg,

Deaandels, Raffles, dan sebagainya, tetapi yang hukum hidup dan yang praktikkan

oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.24

Teori ini dimunculkakn Christian Snouck Hurgronje (1857-1936), sebagai

penasihat pertama Pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal Islam dan anak

negeri (bumi putera). Selain mengenal hukum Islam sebagaimana yang terdapat

dalam literatur-literatur fikih, Snouck Hurgronje juga mengenal dengan baik

praktik ajaran Islam yang berkmebang di Indonesia.25

Tahun 1889 ia datang ke

Indonesia dan tahun 1891 diangkat sebagai penasihat orang Timur dan hukum

Islam (adviseur voor Oostersche talen an Mohammadenaansch recht). Pangkat ini

kemudia berubah menjadi adviseur voor Inlandsch (Penasihat Hindia Belanda).

Pada tahun 1899, disamping sebagai penasihat Hindia Belanda, juga penasehat

untuk orang Arab (adviseur voor Inlandsch en aranische zaken). Pada masa ini ia

melakukan perjalanan ke pulau Jawa guna mengumpulkan bahan-bahan tentang

Islam serta bahan-bahan yang berkaitan dengan adat istiadat Jawa. Di Aceh

Snouck hanya tinggal selama dua tahun (1891-1892) untuk melakukan penelitian,

24

Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, h.61-65.

25

Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam

Masyarakat Minangkabau), h. 73.

Page 31: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

21

hasil penemuannya diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul: “De Atjehers”,

dalam 2 jilid yang diterbutkan oleh E. J. Brill, Leiden tahun 1893. Penelitiannya

ini boleh dikatakan sangat mengagumkan, demikian kata Soekanto. Sebab dengan

hanya tinggal di Kutaraja dan sekitarnya serta disalah satu pelabuhan di Aceh

Utara dan Timur, ia berhasil mengungkapkan Aceh secara keseluruhan dan

menjadi rujukan bagi penelitian-penelitian berikut. Demikian juga bukunya

tentang Tanah Gayo (Het Gajoland) tahun 1903. Sementara bahan-bahan untuk

bukunya hanya dikumpulkan dari otang-orang Gayo yang datang ke pantai.26

Walaupun karangannya itu hanya bersumber dari sebagai daerah di Indonesia

saja tanpa membandingkan dengan daerah lain, tetapi kita (demikian Soekanto)

dapat mengatakan bahwa Snouck telah membedakan dengan tegas antara hukum

rakyat dengan hukum raja, hukum yang hidup dan hukum yang tertulis, hukum asli

dan hukum agama.27

Pemakaian istilah “adat” menjadi “Adatrecht” (hukum adat)

pertama kali dikedepankan oleh Snouck dengan pengertian bahwa adat-adat yang

berakibat hukum, berlainan dengan kebiasan-kebiasan atau pandangan-pandangan

yang tidak mempunyai arti hukum.28

Daniel S. Lev, ketika mengutip pendapat Snouck Hurgronje mengatakan,

bahwa dengan dibentuknya Pengadilan-pengadilan Agama oleh Pemerintah Hindia

Belanda beserta pengangkatan para hakimnya, memeberi isyarat awal ketidak

harmonisan hubungan antara pejabat agama dengan kaum priyayi golongan atas.

Serta memberi peluang terhadap keluasan pemakaian hukum Islam, tetapi

mendeskreditkan sifat khusus dari adat. Dalam hal ini Snouck berpendirian

sebaliknya, bahwa ia ingin agar semangat dan cita-cita Islam di Indonesia harus

disederhanakan dan disesuaikan dengan kebudayaan belanda. Teori Berg yang

semula diterima dan tidak dipersoalkan dalam masyarakat terutama oleh

Pemerintah Hindia Belanda, karena kritikan Snouck terhadap teori Berg, diubah

menjadi teori Resepsi. Kedudukan Snouck sebagai penasihat Pemerintah Hindia

26

Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam

Masyarakat Minangkabau), (Padang: PT Rajagrafindo Persada, 2011), h. 74.

27

Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat,

(Jakarta: Rajawali Press, 1981), h. 35-37.

28

Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam

Masyarakat Minangkabau), h. 75.

Page 32: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

22

Belanda sangat mendukung gagasan perubahan yang ia lakukan. Dalam perjalanan

politik hukum berikutnya, teori ini sangat populer di kalangan ahli hukum di

Indonesia, terutama para peminat dan ahli hukum adat. Soekanto sebagai ahli

hukum adat mengatakan menempatkan hukum Islam ke tempat yang kecil dan

sebaliknya bagi hukum adat, sangatlah tepat. Karena tulisan-tulisan sebelumnya,

demikian kata Soekanto, seperti tulisan C.W. Margadent selain van den Berg,

selalu tidak membedakan hukum agama dengan hukum adat.29

Snouck Hurgonje bersama van Vollenhoven (1874-1933) berupaya

mengembangkan teori ini lebih lanjut. Van Vollenhoven sebagai penentang

kodifikasi dan unifikasi hukum yang dicanangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda

berusaha mendiskreditkan hukum Islam dan menomorsatukan hukum adat dari

sistem hukum yang lain, termasuk hukum Barat. Ketika unifikasi hukum

dilancarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui kabinet Kuyper (1904) untuk

memberlakukan sistem hukum Barat, bukan mempertahankan hukum adat atau

mengodifikasikannya, bahkan menggantikannya dengan hukum Eropa, ditentang

oleh van Vollenhoven dan mengatakan bahwa mencampuri sistem hukum di

Indonesia pasti menemui kegagalan.30

Sikap van Vollenhoven bukan menantang kodifikasi hukum bagi semua

golongan penduduk Indonesia, tetapi ia melihat dari sudut perlunya jaminan

hukum. Sampai saat itu kodifikasi yang diinginkan oleh pemerintah Belanda tidak

bermaksud memberi jaminan hukum. Jika kodifikasi diperlukan juga, maka

menurut van Vollenhoven syarat mutlak yang diperlukan adalah membatasi diri

kepada suatu kebulatan yang lengkap, dipelajari dengan baik dan terang. Bangsa

Indonesia yang merupakan sebagian besar dari penduduk jajahan tidak bisa tunduk

kepada hukum yang sebagai besar disesuaikan dengan bangsa Eropa. Mereka tidak

bisa dimasukkan ke dalam golongan Eropa di lapangan hukum sipil. Seharusnyan

hal ini sudah diketahui oleh pembesar-pembesar kolonial dulu, bahwa generasi

Indonesia memerlukan hukumnya sendiri. Sedangkan bangsa Eropa, Tionghoa dan

29

Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat,

(Jakarta: Rajawali Press, 1981), h. 35.

30

Raden Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Cet ke XIII, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1954), h. 5,6.

Page 33: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

23

Arab tidak akan mempunyai hak istimewa. Seharusnya mereka tunduk kepad

ahukum yang di mana mereka berada.31

Van Vollenhoven membela diadakannya pencatatan-pencatatan yang

sistematis dari hukum yang sesungguhnya dari penduduk, daerah hukum demi

daerah hukum,32

melalui berbagai penyelidikan oleh para ahli untuk memajukan

ketentuan hukum dan membantu hakim yang harus mengadili menurut hukum

adat. Perjuangannya didukung oleh dua hlm. Pertama, oleh pengalaman pahit

bertahun-tahun lamanya, dengan memaksakan hukum Barat akan selalu

mengalami kegagalan. Kedua, pengertian hukum adat selalu berkembang dalam

masyarakat Indonesia. Akhirnya tahun 1927 konsep van Vollenhoven dapat

diterima oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan menerapkan dualisme hukum,

yakni hukum Eropa dan hukum adat. Hukum Islam karena telah diresepsi, tidak

dimunculkan lagi sebagai hukum, tetapi merupakan bagian dari hukum adat.

Karena itu konsep hukum adat menurut van Vollenhoven adalah: “Hukum Pribumi

(Inlandsrecht) yang terdiri dari hukum yang tidak tertulis (jus non-scriptum) yang

diambilkan dari hukum asli penduduk Indonesia dan hukum yang tertulis (jus

scriptum) yang diambil dari hukum agama.”

Hukum pribumi ini telah ada sebelum Belanda datang ke Indonesia, bahkan

kira-kira tahun 1000 M pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa bagian

Timur telah memberi perintah untuk membuat kitab Undang-Undang yang disebut:

“Civasasana”.33

Juga Gajah Mada, kerajaan Majapahit kurang lebih tahun 1331-

1364 dengan kita hukum yang bernama “Gajahmada”, serta Kanaka, Patih

Majapahit kurang lebih tahun 1413-1430 memberi perintah menyusun buku

hukum “Adigama”.34

Dengan demikian, terlihat bahwa jauh sebelum penjajahan,

bangsa Indonesia telah memiliki asas hukumnya yang khas.

Sampai apada awal abad kedua puluh, jumlah pendudukung teori Resepsi

bertambah dengan pesat. Berkat jasa van Vollenhoven melakukan pengamatan

yang cerman tentang adat dan Islam di Indonesia, akhirnya berkesimpulan bahwa

31

Raden Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Cet ke XIII, h. 8,9.

32

Prof. Dr. Yaswirman, “Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam

Masyarakat Minangkabau)”, h. 78.

33

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1980) h. 27.

34

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, h. 27.

Page 34: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

24

hukum adat bukan hukum agama dan bukan pula sebaliknya. Hukum agama

adalah sebagian kecil dari hukum adat. Tahun 1922 pengaruh teori menjadi sangat

kuat, apalagi ada instruksi pemerintah jajahan untuk membentuk komisi yang

mengawasi Dewan-Dewan Ulama.

Komisi itu diketuai oleh seorang ilmuan Islam Indonesia, yakni Husein

Djajadiningrat; alumnus Leiden dan pembantu Penasihat Urusan Dalam Negeri

pemerintah Hindia Belanda. Anggota komisi ini terdiri atas bangsa Indonesia dan

Belanda, yang paling terkenal adalah Ter Haar, ahli hukum Belanda pendukung

serta pengikut teori Resepsi. Ter Haar dan Kepala Pengadilan Negeri Purbalingga

dan Purwokerto, Penasihat pada Departemen Kehakiman dan mahaguru pada

Sekolah Tinggu Hukum di Jakarta. Komisi ini telah menerima baik gagasan-

gagasan Snouck dalam memajukan hukum adat, tetapi sebaliknya terhadap

Pengadilan Agama. Usul terpenting dari komisi ini adalah pengalihan wewenang

Pengadilan Agama mengenai perkara-perkara hak milik dan warisan kepada

Pengadilan Negeri, sehingga wewenang Penadilan Agama dibatasi bidang

perkawinan dan perceraian saja. Ter Haar malah memperkecil lagi ruang lingkup

hukum Islam, seperti kewarisan di Minangkabau, yang sama sekali bukan

berdasarkan atas hukum Islam, tetapi berdasarkan atas hukum adat Minangkabau.

Dan ini sangat sesuai dengan kondisi masyarakat dan alam Minangkabau itu

sendiri.35

Hooker, memberi komentar bahwa dalam beberapa hal hkum Islam sama

sekali ditolak oleh hukum adat, seperti di Minangkabau, Jawa, dan Madura.

Bermula dari sinilah mulai terjadi konflik secara nyata antara tiga sistem

hukum di Indonesia (hukum Barat, Hukum Islam, dan Hukum Adat). Konflik ini

bukan timbul secara wajar atau alamiah yang bisa diselesaikan dengan secara

wajar pula, tetapi konflik yang sengaja ditimbulkan sesuai dengan politik hukum

Kolonial. Konflik seperti ini menurut Busthanul Arifin sulit dihapuskan secara

memuaskan.36

Berdasarkan uraikan di atas dapat disimpulkan bahwa menurut teori Resepsi

yang berlaku bagi umat Islam bukan hukum Islam sebagaiman dikemukakan oleh

35

Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam

Masyarakat Minangkabau), h. 3.

36

Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prosesnya,

(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 34-36.

Page 35: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

25

van den Berg, melainkan hukum adat, yakni hukum yang mengakar dari kesadaran

masyarakat hidup tenteram dan damai. Hukum Islam baru bisa berlaku jika

diterima di dalam hukum adat.37

Menurut Prof. Dr. Yaswiran, “teori van den Berg yang dikemukakan

sebelumnya berdasarkan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat sebagai

mayoritas penduduk agama Islam. Van den Berg dalam mengemukakan teorinya

sama sekali terlpeas dari politik hukum Pemerintah Hindia Belanda. Sementara

teori Resepsi ini dimunculkan berkaitan dengan politik hukum tersebut”.38

Terbukti bahwa istilah “hukum adat” hanya ada di Indonesia, sementara di negara

lain, kendati sebagai bekas negara jajahan seperti Malaysia, Filipina, India, dan

sebagainya hanya ada adat istiadat yang tidak tersangkut dengan sistem hukum

yang berlaku,

Pada mulanya Pemerintah Hindia Belanda kurang tanggap terhadap pemikiran

van Vollenhoven karena merasa perlu ada unifikasi hukum di negeri jajahan.

Tetapi kemudian van Vollenhoven dapat meyakinkannya dengan mengatakan

bahwa kalau hukum Barat (Belanda) dipaksakan berlaku bagi pribumi Indonesia,

maka yang akan mengambil keuntungan adalah hukum Islam. Karena hukum sipil

Barat yang tumbuh dan berkembang dari asas moral dan etika Kristen itu tidak

disukai oleh kebanyakan masyarakat Indonesia yang bergama Islam.39

Jadi

pemberlakuan hukum adat bukan melihat kenyataan dalam masyarakat yang sudah

berjalan sejak masa sebelumnya atas dasar hukum agama, melaikan dimunculkan

untuk kepentingan kolonial dan membatasi kenyataan yang ada tersebut.40

Van den Berg dan Snouck bebrbeda presepsi tentan “penyimpangan-

penyimpangan” yang dimaksud oleh van dan Berg. Yang dimaksud oleh Berg

dengan penyimpangan-penyimpangan itu adalah hukum Islam yang telah

bercampur baur dengan tradisi lokal dan ia masukkan ke dalam bagian hukum

37

Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam

Masyarakat Minangkabau), h. 81.

38

Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam

Masyarakat Minangkabau), h. 82.

39

Busthanun Arifin, Eksistensi, Konsilidasi dan Aktualisasi Pengadilan Agama, h. 9.

40

Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam

Masyarakat Minangkabau), h. 82.

Page 36: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

26

Islam, tanpa memilah-milah tradisi yang sesuai atau tidak sesuai dengan hukum

Islam. Sedangkan Snocuk dan Vollenhoven meilhatnya dari sisi hukum adat dan

pemyimpangan yang maksud Berg bukan penyimpangan teapi merupakan hukum

yang hidup di masyatakat. Dan inilah yang menjadi tolak ukur pemikiran Snouck

dan van Vollenhoven mengatakan bahwa hukum Islam bagian dari hukum adat.

Sayangnya Snouck dan Vollenhoven terlalu luas menempatkan porsi hukum adat

sehingga memperkecil prosi hukum Islam.

3. Receptio a Contrario

Secara bahasa teori Receptio a Contrario berarti: “penerimaan yang tidak

bertentangan”. Hukum yang berlaku bagi umat Islam, hukum adat baru bisa

berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Gagasan ini dikemukakan

oleh Hazairin (1906-1975) dan dilanjutkan oleh Sajuti Thalib (1929-1990), sebagai

salah satu murid dan pengikut Hazairin. Mereka berdua juga merupakan bagian

dari produk sistem hukum Belanda.41

Pemikiran ini identik dengan pendapat van den Berg dan berbeda dengan

Snouck dan van Vallenhoven. Di Indonesia, demikian meurut teori ini, setelah

diberlakukannya teori Receptie menurut Hazairin telah terjadi pergeseran dalam

memposisikan hukum adat dan hukum Islam di Indonesia, karena tidak relevan

jika hukum Islam baru bisa berlaku jikalau sesuai dengan hukum adat. Menurut

Hazairin selaku orang yang bergelut dalam dunia per-adatan di Indonesia, banayak

menemuka penyelewangan bentuk-bentuk adat yang kiranya dapat merusak moral

rakyat Indonesia. Hazairin pun mengharuskan untuk mentiadakan teori (Receptie)

ini dari Indonesia.42

Kritikan Hazairin lebih tertuju kepada pendapat teori Resepsi Snouck. Bahkan

Hazairin mengatakan bahwa teoir Snouck menghambat kemajuan Islam di

Indonesia dan disebut sebagai teori “teori iblis” karena mengajak orang Islam

untuk tidak mematuhi dan melaksan perintah Allah Swt. Dan sunah Rasul-Nya.43

41

Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam

Masyarakat Minangkabau), (Padang: PT Rajagrafindo Persada, 2011), h. 83.

42

Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam

Masyarakat Minangkabau), h. 83-84.

43

Hazairin, Hukum Keluarga Nasional, (Jakarta: Tintamas, 1986), h. 8.

Page 37: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

27

Dalam satu kesempatan, Hazairin pernah mengatakan bahwa sekarang kita lihat

hukum agama itu sedang bersiap-siap hendak membongkar diri dari ikatan

(hukum) adat itu. Boleh dikatakan pada zaman sekarang jika dibandingkan dengan

keadaan pada waktu kolonial, penghidupan secara Islam lebih berkembang.44

Teori

Resepsi menurut penafsiran Hazairin bahwa adalah hukum Islam an-sich bukanlah

hukum. Hukum adatlah yang menentukan sebagai hukum atau tidak.

Alasan Hazairin menamakan teori Resepsi itu dengan “teori iblis” dapat

dilihat pada pernyataannya sebagau berikut:

“Hai orang-orang Islam, walaupun Qur‟an melarang perzinaan dengan

ancaman pidana, tapi jangan kamu takut melaksanakannya; selama dalam

masyarakat adatmu berzina itu merupakan acara bebas. Pun tak guna engkau takut

akan dihukum menurut peraturan Gubernemen, asal saja engkau jangan melanggar

syarat-syarat acara bebas yang dimaksud dalam peraturan Gubernemen itu,

misalnya jangan dengan bini orang, kecuali hukum adat mengizinkan seperti di

Minahasa; jangan dimuka umum, jangan dengan orang yang belum matang

badannya dan jangan dengan cara perkosaan. Tetapi untuk selebihnya kamu diberi

hak untuk bercara bebas. Kiranya cukup jelas mengapa teori Resepsi itu saya

namakan teori iblis. Tidak mengherankan bahwa jiwa immoral kolonial itu juga

untuk golongan yang tidak tunduk kepada hukum adat memberikan tempat yang

legal dengan nama pasaran „memelihara nyai‟”.45

Di Indonesia, hukum pidana merupakan produk asli bangsa Belanda yang

dikodifikasikan; sementara hukum perdata campur aduk antara hukum Barat,

hukum adat dan hukum Islam. Warga negara terbadi kepada tiga kelompok, yakni

bangsa Eropa sebagai pendatang dan mendapat perlakuan istimewa; bang Timur

Asing di samping sebagai pendatang juga menjadi mitra dang Eropa; pribumi

sebagai etnis yang dilematis terhadap tiga sistem hukum tersebut.46

44

Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam

Masyarakat Minangkabau), h. 85.

45

Hazairin, Hukum Keluarga Nasional, (Jakarta: Tintamas, 1986), h. 8.

46

Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam

Masyarakat Minangkabau), h. 96

Page 38: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

28

Kendati demikian, upaya para ahli hukum bersama umat Islam tetap berlanjut.

Sajuti Talib melihat beberapa daerah tetap menomorsatukan hukum Islam dari

hukum adat.47

Muhammad Daud Ali,48

memberi komentar tentang Snouck bahwa

Belanda selalu menggambarkan pertentangan kedua sistem ini, denga memakai

teori konflik untuk memecahbelah kekuasaan kolonial di tanah air. Diibarakn

seperti politik belah bambu; mengangkat belahan yang satu (hukum adat) dan

menginjak belahan yang lain (hukum Islam).49

Daniel S. Lev yang melakukan pengamatan kurang lebih tiga tahun di

Indonesia sebelum lahir Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tidak melihat teori

Resepsi ini di lapangan seperti konsep Snouck. Kendati kewenangan Pengadilan

Agama terutama setelah Indonesia merdeka telah berkembang dan meluaskan

perannya dengan baik. Hal ini dibenarkan oleh Soebekti, bahwa sepanjang abad

ke-20 ini kedudukan dan wewenang Pengadilan Agama berkembang dengna

pesat.50

47

Sajuti Thalib, Receptio a Contrario, (Jakarta, Academica, 1978), h. 47-50.

48

Muhammad Daud Ali, Asas- Asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), h. 202.

49

Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam

Masyarakat Minangkabau), h. 96.

50

R. Soebekti, “Peradilan Agama dalam Pembinaan Mahkamah Agung”, dalm Tim Penyusun, Kenang-

Kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia, (Direklrat Pembinaan Badan Peradilan Agama: Dirjen

Binbaga Islam Departeman Agama RI, 1985), h. 316.

Page 39: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

29

BAB III

BUDAYA ETNIS TONTEMBOAN di KECAMATAN

LANGOWAN TIMUR, SULAWESI UTARA

A. Potret Etnis Tontemboan di Kecamatan Langowa Timur

Etnis Tontemboan adalah salah satu dari Sub- etnis dalam suku Minahasa,

yang bertempat di daerah Langowan. Masyarakat dalam etnis Tontemboan

termasuk masyarakat yang ramah.1 Secara geografis pada hari ini daerah etnis

tontemboan menjapusat kota di Kec. Langowan timur, yang dimana menjadi

pusat perdagangan.

Karena termasuk daerah pusat perdangan dan peradaban banyak suku luar

contohnya Bugis, Gorontalo dan Jawa mendiami daerah tersebut dengan

memawa beragam adat dan tradisi dari sukunya, mereka harus menyesuaikan

tradisi atau kebiasaan yang mereka bawa dengan tradisi yang ada di etnis

Tontemboan agar tetap terjaga tradisi mereka tersebut. Salah satu diantranya

adalah dengan melangsugkan pernikahan dengan etnis Tontemboan dengan

menyelipkan beberapa kebiasaan yang bisa diterima oleh lingkungannya. Ketiga

suku tersebut rata-rata memeluk agama Islam yang dimana dalam tradisi dan

kebiasaannya mengandung unsur-unsur keislaman yang secara otomatis dalam

menajaga kebiasaan dan tradisinya mereka juga menyebarkan agama Islam.

Islam sudah masuk dan mulai menyebar setelah kedatangannya Kyai Mojo

bersama bala tentaranya pada tahun 1828 dan disusul oleh pangeran

Diponogoro pada tahun 1830. Ke- dua tokoh tersebut menyebarkan agama

1 Wawancara Pribadi dengan Fendy E. W. Parengkuan (Sejarawan/ Budayawan), Tondano, 22

Januari 2018).

Page 40: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

30

Islam salah satunya dengan menikahi rakyat Minahasa yang non-Muslim pada

saat itu.2

Kecamatan Langowan Timur adalah salah satu daerah otonom di

Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara dan juga menjadi salah satu

daerah yang didiami etnis Tontemboan, perlu diketahui menurut Laporan

Kinerja Instansi Pemerintah Kecamatan Langowan Timur Tahun 2017, bahwa

penduduk Kecamatan Langowan Timur sebanyak 14.282 jiwa yang terdiri dari

7.082 jiwa penduduk laki-laki dan 7.200 jiwa penduduk perempuan.3

Penduduk Kecamatan Langowan Timur didominasi oleh penduduk muda

dan usia produktif. Penduduk usia produktif memiliki jumlah terbesar yaitu

69.50 persen dari keseluruhan populasi dengan rasio ketergantungan sebesar

40,21 persen, artinya setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung

sebanyak 40 hingga 41 penduduk yang belum dan tidak produktif lagi.4

Golongan Agama Kecamatan Langowan Timur memiliki 47 tempat Ibadah

terdiri dari 44 tempat ibadah Bergama Kristen dengan jumlah jemaat 2.451 KK

(Kepala Keluarga) dan 3 tempat ibadah Bergama Islam dengan jumlah jemaat

661 Kepala Keluarga).5 Kecamatan Langowan Timur juga terdiri dari 8 desa

6

yang kemudian disetiap desanya dipimpin oleh 8 hukum tua (kepala desa).7

2 Wawancara Pribadi dengan Wahid Kosasi (Sejarawan/ Budayawan), Tondano, 22 Januari

2018). 3 Kecamatan Langowan Timur, Laporan Kinerja Instansi Pemerintah 2017, (Langowan Timur,

2017), h. 40.

4Kecamatan Langowan Timur, Laporan Kinerja Instansi Pemerintah 2017, (Langowan Timur,

2017), h. 40.

5 Kecamatan Langowan Timur, Laporan Kinerja Instansi Pemerintah 2017, (Langowan Timur,

2017), h. 49-51.

6 Kecamatan Langowan Timur, Laporan Kinerja Instansi Pemerintah 2017, (Langowan Timur,

2017), h. 41

7 Kecamatan Langowan Timur, Laporan Kinerja Instansi Pemerintah 2017, (Langowan Timur,

2017), h. 46.

Page 41: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

31

Dalam perkembangan selanjutnya, Langowan Timur kemudian

berkembang terus dan pada akhirnya menjadi suatu daerah yang cukup luas.

Kecamatan Langowan Timur memiliki potensi besar yang dapat dimanfaatkan

untuk pembangunan dalam memakmurkan rakyatnya. Potensi-potensi itu hadir

dalam berbagai bidang seperti bidang pertanian, perkebunan, pariwisata,

perdagangan dan potensi-potensi lainnya yang bisa timbul sewaktu-waktu

dengan perkembangan-perkembangan yang ada.

B. Sosial Kemasyarakatan Etnis Tontemboan Suku Minahasa

System kekerabatan pada etnis Tontemboan Suku Minahasa, nampaknya

masih memegang perenan penting dalam rangka membangun identitas dalam

dan kehidupan bersama sebagai suatu kelompok masyarakat.

Di Suku Minahasa sangat terkenal dengan istilah Mapalus (gotong

royong) hal yang ini yang menjadi dasar disetiap jiwa mereka dalam menjalani

kehidupannya. Mapalus merupakan metode hidup yang bertujuan untuk saling

membantu antara satu dengan yang lainnya baik dalam keadaan susah maupun

senang.8

J. Turang (Teori Dan Praktek Mapalus, 1989) mengemukakan: Pandangan

masyarakat Minahasa, bahwa hakikatnya manusia adalah “makhluk kerja

bersama berke-Tuhanan”. Manusia hidup untuk bekerja bersama berke-

Tuhanan, bukan bekerja sendiri-sendiri tapi bekerja sama, tapi bukan bekerja

bersama hanya untuk mencapai sebuah materi dan memuaskan nafsu akan tetapi

bekerja bersama karena sebuah amanat (amanat dari Tuhan). Oleh karenanya

dalam melaksanakan sebuah pekerjaan orang Minahasa selalui mendahului dan

mengkahiri dengan sebuah upacara sacral yang dipimpin oleh Walian

8 L. Adam, Adat Istiadat Suku Bangsa Minahasa, (Jakarta: Bhratara: 1976), h. 29.

Page 42: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

32

(pemimpin keagamaan yang dituakan).9 Orang Minahasa juga sangat

mensakralkan suara burung manguni (hantu) mereka meyakini bahwa suara

burung manguni mengandung pesan dari Tuhan, oleh karenya lambang dari

suku Minahasa terkenal dengan symbol burung Manguni.

Ada beberapa nilai dasar tradisional yang dijunjung tinggi sekaligus

menjadi kaeda-kaedah hidup manusia/ masyarakat Minahasa:10

- Nilai Reigius: kesucian, kesalehan, kejujuran, keadilan, kebenaran,.

Personifikasi nilai-nilai religious ditampilkan oleh Walian yang menjadi

penghubung Tuhan dengan manusia.

- Nilai Estetika (kehidupan): nilai keindahan ini ditampilkan dalam berbagai

bentuk dan karya seni, dalam setiap upacara sakral terdapat unsur-unsur seni di

dalamnya. Oleh karenanya seorang seniman sebagai personifikasi nilai-nilai

estetika, sengat dihormati dalam masyarakat tradisional Minahasa.

- Nilai kebenaran Hakiki (kebijaksanaan): diakui sebagai Nuwu Tu’ah (Amanat

Luhur). Personifikasi Nuwu Tu’ah adalah Tumutuzuk (guru) sebagai seorang

yang bijaksana. Symbol legendaris orang bijaksana antara lain yang bernamana

Karema, Lumimuut dan Toar.

- Nilai Etika: yang menjadi kaedah-kaedah moral nilai kehidupan bersama,

kehidupa bersama sekampung (kawanua), perkawinan suami-istri (monogami).

Personifikasi nilai etika ialah Kaawu (Suami-Istri). Oleh karenanya Orang tua,

si Ina (Ibu) wo si Amak (Ayah) sangat dihormati dalam kehidupan

keluarga/masyarakat.

- Nilai Kebenaran akali: diakui kebenaran berdasarkan pengalaman dari waktu

ke waktu yang menjadi petunjuk/ nasihat dalam kehidupan.

9 Reynaldo Joshua Salaki, Membangun Karakter Generasi Muda Melalui Budaya Mapalus Suku

Minahasa, “Jurnal Studi Nasional”, 6, 1, (Mei 2014). H. 50.

10

Reynaldo Joshua Salaki, Membangun Karakter Generasi Muda Melalui Budaya Mapalus

Suku Minahasa, “Jurnal Studi Nasional”, 6, 1, (Mei 2014). H. 50.

Page 43: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

33

- Nilai Demokratis: nilai demokratis ditampilkan oleh Tonaas dalam

kepemimpinan masyarakat yang berdasarkan menghargai suara atau aspirasi

rakyat, menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat adat.

- Nilai Kebersamaan: nilai kebersamaan ditampilkan “Hidup Bersama dan

Maju Bersama” (Gotong Royong Khas Minahasa), rasa persahabatan dan

keramah-tamahan yang tinggi, rasa sepenanggungan dalam suka maupun duka.

- Nilai Kekeluargaan: nilai kekeluargaan ditampilkan dalam rukun-rukun

keluarga, rukun sedaerah asal (Rukun Kawanua), Rukun Kampung dan

sebagainya. Oleh karenanya personifikasi masyarakat Minahasa ialah “sangat

menghormati orang tua serta orang yang dituakan”.

- Nilai Kerja Keras Bersama: nilai kerja keras bersama menjadi kewajiban

setiap warga masyarakat. Tempo dulu seorang anggota kerja mapalus yang

malas/ terlambat akan dikenai sanksi dipukul atau lainnya oleh pemimpin

kelompok.

Nilai-nilai dan kaidah-kaidah dasar kehidupan masyarakat Minahasa

dilestarikan melalui nasihat atau petuah dalam upacara-upacara yang oleh M. K.

M dikenal dengan “5 letek” (Lima Kesetiaan):11

1. Letek Wia Si Opo Empung (Setia kepada Tuhan Yang Maha

Esa).

2. Letak Wia Toktolan Um Banua (Setia Pada Sendi-sendi Dasar

Negeri antara lain Mapalus, dan dalam masyarakat Indoensia

yaitu setia pada Pancasial dan UUD 1945).

3. Letek Wia Se Ni Matu’a Wo Nuwu Tuah (Setia pada leluhur

dan pesan para leluhur).

4. Letek Wia Si Inak Wo Si Amak (Setia pada Ibu dan Ayah).

11

Reynaldo Joshua Salaki, Membangun Karakter Generasi Muda Melalui Budaya Mapalus

Suku Minahasa, “Jurnal Studi Nasional”, 6, 1, (Mei 2014), h. 51.

Page 44: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

34

5. Letek Wia Se Antang Um Banua, Wo Se Kupalus (Setia Kepada

pimpinan/ atasan dan juga terhadap teman kerja).

Adat kebiasaan yang telah melembaga, seperti sistem pertalian keluarga

yang dimana menganut sistem patrilineal, dimana mengikuti garis keturunan

Ayah. Terlihat dari penurunan dari marga Ayah ke anak-anaknya.

C. Proses Pernikahan Adat Tontemboan

Minahasa secara Historis diketahui termasuki rumpun bangsa Austronesia

yang berimigrasi dari daratan Asia Tenggara dan secara genealogis atau menurut

istilah keuturnan serta mitos yang ada, Nenenk Moyang Minhasa adalah dari

keturunan ke enam To’ar dan Luminu’ut. 12

Minahasa adalah salah satu suku

yang besar di Indonesia yang berada di Sulawesi Utara. Terdapat 9 sub-etnis di

Minahasa yang menjelaskan 9 bintang dalam Manguni. Yaitu; .13

1. Tonsea.

2. Tombulu.

3. Tontemboan.

4. Tondano.

5. Tonsawang.

6. Ratahan pasan (Bentenan) atau Tounpakewa.

7. Ponosokan.

12

Stainlaus Mangkey, dkk, :Kebudayaan Minahasa: Kajian Etnolinguistik tentang Konstruk

Nilai Budaya Lokal Menghadapi Persaingan Global”, Interlingua, Vol. 4, (April 2010), h. 63-64.

13

L. Adam, Adat Istiadat Suku Bangsa Minahasa, (Jakarta: Bhratara: 1976), h. 28-29.

Page 45: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

35

8. Bobontehu.

9. Bantik.

Adapun ke-9 sub-etnis tersebut memiliki adat yang berbeda-beda. Salah

satunya, dalam proses pernikahan. Pada kesempatan kali ini, penulis yang

beradabtasi di daerah Tontemboan akan menjelaskan proses pernikahan dalam

etnis tersebut.

Pada dasarnya, pernikahan adat Tontemboan diatur oleh kedua orangtua

dan tanpa memlalui proses pertunangan. Oleh karena itu, kedekatan kedua

orangtua sangat mempengaruhi mulusnya suatu proses pernikahan. Sehingga,

walaupun seseorang sudah memiliki pilihan, dapat terhambat bahkan

terbatalkan oleh orangtuanya.

Berdasarkan wawancana yang penulis lakukan dengan Pendeta (Em)

Serfiyus Lumingkewas, S.Th sebagai tokoh adat Tontemboan pada tanggal 24

Januri 2018, penulis menyimpulkan terdapat 4 hal yang akan penulis uraikan

tentang pernikahan adat Tontemboan. Pertama, persyaratan calon pasangan.

Kedua, pra nikah. Ketiga, resepsi (walimah). Dan keempat, pasca pernikahan.14

1. Persyaratan calon Sumai-Istri

Dalam adat Tontemboan, etika dan moral menjadi perhatian penting

dalam memilih calon pasangan untuk anaknya. Serta usia masing-masing

dari calon pasangan tersebut minimal 20 tahun yang menunjukkan sudah

dewasanya mereka, dan pada usia tersebut mereka meyakini rahim seorang

perempuan sudah matang, sehingga dapat mencegah kemungkinan terburuk

pada saat melahirkan baik untuk diri si perempuan maupun bayinya.

14

Wawancara pribadi dengan Pdt. (Em) Serfitus Lumingkewas (Tokoh Adat Tontemboan),

Winebetan, 24 Januari 2018).

Page 46: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

36

Ada beberapa syarat khusus bagi laki-laki dan perempuan dalam adat

Tontemboan.

a. Laki-laki

1) Sudah memiliki pekerjaan

Telah memiliki pekerjaan dapat melambangkan

kemandirian seorang laki-laki. Seorang laki-laki yang telah

bekerja pasti memiliki tabungan sendiri karena diarahkan

oleh orangtuanya untuk persiapan pernikahannya.

2) Bisa mengambil nira (saguer)

Air nira (saguer) dipercaya dapat melancarkan ASI.

Sehingga seorang laki-laki disyaratkan harus bisa untuk

mengambil air nira (sanguer) ini.

3) Harus bisa mengikat laki-laki (bentuk ikatan yang kuat)

Pasca pernikahan, laki-laki harus mendirikan sabuah

(pondok) di dekat kebunnya. Dan untuk menjaga keutuhan

sabuah, harus diikat dengan kuat.

4) Harus bisa mengelola sawah/ kebun

Pada saat itu, bertani merupakan mata pencarian mayoritas

Etnis Tontemboan.

b. Perempuan

1) Harus bisa memasak Tinutuan

Tinutuan merupakan makanan khas Etnis Tontemboan. dan

bisa memasak Tinutuan juga merupakan suatu bentuk

dirinya dapat menyiapkan makanan untuk suaminya nanti.

Page 47: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

37

2. Pra nikah

a. Maso minta (peminangan)

Pada saat maso minta, pihak laki-laki harus menunjuk tokoh

adat yang disegani dalam keluarganya sebagai juru bicaranya

untuk menyampaikan maksud kepada pihak perempuan, begitu

juga dari pihak perempuan harus menunjuk tokoh adat yang

disegani untuk menerima maksud dari pihak laki-laki. Maso

minta dilakukan di siang hari untuk memberitahukan kepada

warga sekitar bahwa telah terjadi pinangan dari pihak laki-laki

fulan kepada pihak perempuan fulanah.

Pihak perempuan sengaja mengunci pintu rumah seakan-akan

tidak mengetahui akan kedatangan pihak laki-laki yang

bermaksud meminang. Tak jarang sebelum dipersilahkan

masuk, diawali dengan pembacaan puisi dengan bahasa

Tontemboan. setelah itu pihak laki-laki memulai pembicaraan

dengan pembukaan yang khas yang berarti bahwa “kami pihak

laki-laki putra mahkota dari Raja tempat matahari terbenam

bermaksud melamar putri dari Raja tempat matahari terbit.”,

dan dibalas oleh pihak perempuan.

Maso minta tak jarang dilakukan lebih dari satu kali karena

belum menemukan sebuah kesepakatan dari kedua belah pihak.

Apabila terjadi peminangan dari pihak laki-laki yang memiliki

hubungan darah, maka harus diadakan pemutusan hubungan

darah dengan cara membawa kain putih berukuran lebih

kurang 1 meter dan disobek menjadi 2 bagian oleh kedua

perwakilan dan disaksikan oleh Tonaas atau Hukum Tua

Page 48: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

38

(kepala desa) sebagai bukti telah terputusnya hubungan darah

kedua calon tersebut.

Dalam maso minta kedua belah pihak akan membicarakan

harta belanja atau harta yang akan diberikan kepada pihak

perempuan. Dan yang menjadi ciri khas dari adat tontemboan

adalah pemberian tanah dengan kebebasan memilih dari pihak

perempuan, jika pihak laki-laki memiliki banyak lahan tanah.

Biasanya, pihak perempuan memilih dari dua sudut pandang,

yaitu kesuburan dan luas dari tanah yang ditawarkan. Setelah

memilih, pihak perempuan akan diantarkan ke tempat lahan

tanah yang dipilihnya. Pada saat di perjalanan, perwakilan dari

kedua belah pihak akan membicarakan tanggal pernikahan

yang selambat-lambatnya 3 bulan setelah peminangan. Dengan

maksud untuk menilai etika dan moral dari kedua calon

pasangan.

b. Pemagaran

Pemagaran dilakukan setelah peminangan diterima dengan

maksudkan membatasi aktivitas kedua belah pihak, khususnya

kepada lawan jenis yang memungkinkan merusak perasaan

kedua calon pasangan. Dalam proses ini, laki-laki sudah mulai

membantu pihak perempuan baik dalam rumah tangga maupun

dalam bertani dengan catatan dalam setiap kunjungannya,

harus berpakaian sopan serta wajib mengenakan celana

panjang.

Namun tidak serta-merta kapan saja si laki-laki bisa

mendatangi rumah calon Istrinya, saat kedatangannya untuk

apel Ibu si perempuan harus berada di dalam rumah, serta

Page 49: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

39

batas maksimal keberadaanya sampai jam 10 malam, apabila

lebih akan diusir ibu si perempuan diawali dengan teguran

batuk hingga membanting pintu, karena si ibu berfikir jika di

biarkan hingga lewat jam 10 akan mempengaruhi stamina si

laki-laki untuk bekerja besok.

Apabila pihak perempuan menerima pinangan dari laki-laki

lain, maka mereka harus mengembalikan harta yang telah

diterima dari pihak sebelumnya.

c. Kawin adat

Kawin adat dilaksanakan seminggu sebelum resepsi

dan dilaksanakan di rumah Hukum Tua dengan tujuan

menyelesaikan administrasi negara serta menunjukkan bukti

kepemilikan harta nikah, sebagai contoh akta tanah yang akan

diberikan.

d. Pingitan

Pingitan dilakukan setelah kawin adat, pada proses ini ke dua

calon pasangan dilarang untuk keluar rumah dengan tujuan

untuk menjaga perasaan atau bahaya yang akan menimpa ke

dua calon pasangan.

3. Resepsi (walimah)

Resepsi diadakan setelah nikah agama (akad nikah) yang

dilaksanakan di gereja. Resepsi pertama kali diadakan oleh pihak laki-laki

di kediaman perempuan dan sebaliknya dengan mengenakan pakaian adat

Tontemboan. Penambahan musik bambu dalam resepsi menandakan

bahwa pihak laki-laki memiliki ekonomi diatas rata-rata. Dalam adat

Page 50: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

40

Tontemboan tamu undangan membawa bibit berupa padi dan jagung

untuk nantinya akan mereka tanam.

Pada malam harinya setelah resepsi selesai, diadakan malam muda-

mudi yang berisi tentang pesan-pesan dari tokoh Agama, Adat maupun

Pemerintah dengan maksud menandakan si perempuan sudah menjadi

kaum ibu dan si laki-laki sudah menjadi kaum bapak.

4. Pasca Nikah

a. Malam pertama

Malam pertama dilakukan dalam rumah si perempuan dan ketika

sudah bangun tidak dibolehkan untuk mengatur tempat tidur, karena

nantinya orang tua si perempuan akan memeriksa keperawanan dari

anaknya diseprai yang mereka gunakan.

b. Kehidupan awal

Ke-esokan harinya setelah malam pertama suami-istri tersebut harus

langsung tinggal di sabuah dekat kebun yang akan mereka kelola. Di

setiap hari minggunya mereka harus kembali ke kampungnya untuk

mengikuti ibadah atau dilain hari apabila adanya acara sakral

lainnya, berupa orang meninggal, pernikahan atau lainya.

Di 3 (tiga) bulan pertama mereka sudah harus memiliki hasil dari

kebun (sawah) yang mereka kelola, sebagai bentuk pertanggung

jawaban dari pemberian bibit (Rukub) dari tamu undangan saat

mereka menikah.

Page 51: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

41

BAB IV

AKULTURASI NILAI ISLAM KE DALAM ADAT ETNIS TONTEMBOAN

A. Bentuk Akulturasi Nilai-nilai Islam dalam Adat Tontemboan

Nilai-nilai Islam dapat berakulturasi dengan adat. Sebagaimana yang telah

penulis jabarkan pada bab II di skripsi ini, menurut jumhur ulama adat telah

menjadi salahsatu istinbath hukum dalam hukum Islam.1Keduanya, secara

berkesinambungan masing-masing bersentuhan dengan siklus kehidupan

manusia. Keberadaan adat dan agama menjadi interaksi antar berbagai elemen

masyarakat. Di tiap-tiap daerah memiliki adatnya masing-masing yang

merupakan kreasi asli daerahnya. Sedangkan Islam merupakan tatanan kehidupan

yang sempurna karena di dalam Islam sendiri lengkap mengatur segala macam

bentuk aturan mulai dari hal yang terkecil hingga persoalan yang besar sekalipun.

Persentuhan antara budaya lokal dengan nilai Islam menghasilkan akulturasi

yang saling timbal balik atau saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya.

Sentuhan antara adat lokal dalam masyarakat dengan nilai-nilai dalam Islam

diyakini sebagai suatu bentuk kearifan yang tak jarang menghasilkan dinamika

budaya masyarakat setempat. Salah satu bentuknya dapat dilihat dalam etnis

Tontemboan khususnya dalam bentuk pernikahannya, dimana dalam beberapa

rangkainnya mengandung unsur-unsur keislaman.

Dalam penerapan hukum Islam, di Indonesia menganut paham reception a

contrario yang dikembangkan oleh Hazairin dan Sajuti Thalib yang dimana

hukum adat baru akan diterima apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam.2

Hal ini senada dengan yang dilakukan Nabi Muhammad Saw dalam merevormasi

1 Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, (Jakarta: INIS,

1998), h. 5-6.

2 Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat

dalam Masyarakat Minangkabau), (Padang: PT Rajagrafindo Persada, 2011), h. 83.

Page 52: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

42

hukum dimana nabi tetap mempertahankan nilai-nilai yang telah ada dalam

bangsa Arab.3

Dalam etnis Tontemboan sendiri, telah terjadi ialah suatu akulturasi di dalam

masyarakatnya. Secara spesifik, proses akulturasi nilai-nilai Islam terjadi dengan

datangnya suku-suku luar (Gorontalo, Bugis dan Jawa) yang adatnya telah

terlebih dahulu terakulturasi dengan nilai-nilai Islam. Perlu kita ketahui bahwa

ada banyak bentuk-bentuk dalam sebuah akulturasi, akan tetapi proses akulturasi

yang dilakukan suku luar ini condong senada dengan apa yang dikatakan

Kontjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi, yaitu: “akulturasi

merupakan proses sosial yang muncul manakala suatu kelompok manusia berikut

kebudayaan yang dimilikinya dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing,

dan lambat laun unsur-unsur kebudayaan asing tersebut diterima oleh kelompok

manusia itu dan diolah dalam kebudayaanya, tanpa menghilangkan sifat khas

kepribadian kebudayaan asal”.4

Maka dari itu penulis menyimpulkan ada 3 poin besar yang dapat

menggambarkan proses akulturasi di etnis Tontemboan, yaitu: Pertama,

masuknya suku mayoritas Islam dan mencoba beradaptasi dengan situasi dan

kondisi daerah tersebut. Usaha adaptasi menjadi pijakan awal sebagai usaha

menyesuaikan nilai-nilai yang tidak bertentangan dengan Islam. Kedua, yakni

proses penerimaan. Pada tahap ini, ditandai dengan masyarakat yang terbuka dan

mau menerima masuknya kebiasaan-kebiasaan baru. Sebagaimana yang telah

penulis jabarkan pada bab sebelumnya, dimana etnis Tontemboan di daerah kec.

Langowan Timur kurang ketat dalam menajaga adat-adatnya, oleh karenanya

mendorong etnis tersebut untuk terbuka serta menjadi lebih toleran terhadap

3 Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, h. 8.

4 Keontjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,(Jakarta: Aksara Baru, 1986), h. 248.

Page 53: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

43

suku-suku yang menakulturasikan adat-adatnya dengan adat mereka. Hal tersebut

mempermudah terjadinya sebuah akultuasi.5

Tahap ketiga, mulai muncul ketertarikan masyarakat akan nilai-nilai Islam.

Meskipun baru, Islam mampu menjadi magnet tersendiri dalam masyarakat.

Namun dalam tahap ini pula, selain penerimaan, seringkali juga muncul

penolakan dalam masyarakat. Penolakan tersebut berangkat dari kelompok-

kelompok lama yang sudah lebih dulu ada yang menganggap masuknya Islam

akan menghilangkan unsur lama yang dianut masyarakat. Eksistensi mereka akan

terganggu dengan masuknya Islam.

Bagi yang tertarik, akan memasuki fase berikutnya yakni proses penerapan.

Ditandai dengan masyarakat yang mulai memeluk Islam dan jumlahnya terus

berkembang hingga semakin besar. Dalam fase inilah terjadi legitimasi yang kuat

dari masyarakat terhadap Islam yang menjadikan nilai-nilai dalam Islam

diterapkan dalam setiap sendi kehidupan mereka (orang yang telah memeluk

agama Islam). Akhirnya, muncul pembaruan dalam ritual-ritual adat masyarakat

yang mulai digabungkan dengan unsur ke-Islaman. Dalam hal ini pembaruan

tersebut dapat diterima selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Pembaruan tersebut merupakan buah akulturasi nilai-nilai Islam dan adat di

dalam etnis Tontemboan.

Masuknya agama Islam dengan membawa ajaran baru bagi ke dalam suatu

kebudayaan akan mempengaruhi tradisi yang sudah ada. Walaupun berwujud

diferensiasi, tetapi adanya identitas kolektif yang bermakna kemudian digunakan

untuk memaknai tradisi masa lalu dengan kehadiran islam sebagai agama yang

baru diterima. Temuan irfan ahmad menunjukan adanya kritik yang tidak

menempatkan tradisi sebagai bagian Bergama. Padahal dalam pembentukan nilai

selalu saja sama lalu masih memiliki posisi yang has dalam setiap kebaruan yang

muncul. Secara fungsional, tradisi bisa saja menolak perubahan dan penggantian

5 Keontjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 256.

Page 54: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

44

dengan agama yang datang. Pada sisi lain, jsutru legitimasi untuk kemudian

mengikat budaya yang ada dengan legitimasi pandangan hidup, keyakinan,

pranata dan aturan dengan kerangka Islam terbentuk menjadi kesatuan yang

baru.6

Dari beberapa teori dan penjelasan di pola yang muncul dalam akulturasi

nilai-nilai Islam ke dalam etnis Tontemboan adalah pola dialogis dengan Islam

yang telah berdialektika dengan tradisi dan budaya etnis Tontemboan akhirnya

membentuk sebuah varian Islam yang baru yaitu Islam Etnis Tontemboan yang

khas dan unik. Varian Islam tersebut bukanlah Islam yang terlepas dari akar

kemurniannya tetapi Islam yang di dalamnya telah berakulturasi dan

terinternalisasi dengan budaya etnis Tontemboan dalam istilah lain telah terjadi

inkulturasi, yakni mengandaikan sebuah proses internalisasi sebuah ajaran baru

kedalam konteks kebudayaan lokal dalam bentuk akomodasi atau adaptasi.

Inkulturasi dilakukan dalam rangka mempertahankan identitas, Islam tetap tidak

terlepas akar idiologisnya, demikianpun dengan budaya lokal tidak lantas hilang

dengan budaya Islam masuk di dalamnya.7

B. Relevansi Konsep Pernikahan Menurut Islam dan Proses perkawinan

Etnis Totemboan Pasca Terakulturasi Nilai Islam

Nilai-nilai ke-Islaman dalam adat Tontemboan masuk dari suku-suku yang

datang, diantaranya yang sangat mempengaruhi: Gorontalo, Bugis, Jawa, ke 3

(tiga) suku tersebut memberikan corak-corak yang berbeda dalam pernikahan

umat Muslim di Langowan.

6 Ismail Suardi Wekke, “Islam dan Adat: Tinjauan Akulturasi Budaya dan Agama Dalam

Masyarakat Bugis”, Analisis, XIII, 1, (Juni 2013), h. 32-33.

7 J. Suyuthi Pulungan, “Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai keislaman dalam Tradisi dan

Budaya Masyarakat Indonesia”, Humanika, II, 1, (Januari-Juni 2017), h. 357.

Page 55: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

45

Pernikahan umat Muslim di Langowan sangat beragam yang menandakan

tidak adanya aturan khusus tentang proses pernikahan, hal ini terjadi karena tidak

kuatnya orang Langowan dalam menjaga adat Tontemboan. Bentuk pernikahan

Muslim antara ke 3 (tiga) suku tersebut berdasarkan hasil musyawarah dari ke

dua belah pihak, untuk membagi proses yang akan menggunakan adat dari

masing-masing suku. Hasil kesimpulan dari wawancara yang penulis lakukan

dengan ke 3 (tiga) toko suku tersebut, mereka mengatakan ada proses pernikahan

yang biasa dijadikan acuan dalam pernikahan umat Muslim di Langowan.

Sebelum penulis menjabarkan lebih jauh relevansi antara konsep perkawinan

Islam dan bentuk perkawinan etnis Tontemboan setelah terakulturasi nilai-nilai

Islam untuk memudahkan para pembaca dalam membandingkan kesusaian

proses perkawinan Etnis Tontemboan setelah terjadinya akulturasi nilai-nilai

Islam dengan hukum Islam.

Page 56: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

46

Resepsi meliputi:

a. Pesta pernikahan

b. Malam muda-

mudi

Khitbah

(peminangan) dan

Kafa’ah

Akad Nikah meliputi:

a. Adanya suka sama suka

dari kedua calon

mempelai.

b. Adanya Ijab Qabul.

c. Adanya Mahar.

d. Adanya Wali.

e. Adanya Saksi-saksi.

Walimatul Ursy

(Resepsi)

Proses Perkawinan Etnis Tontemboan Setelah

Terakulturasi Nilai-nilai Islam

Konsep Perkawinan dalam Islam

Pra Nikah meliputi:

a. Pembicaraan awal

b. Peminangan (maso

minta)

c. Pengantaran harta

(seserahan )

d. Pingitan

(pemagaran)

Akad Nikah meliputi:

a. Malam badaqa

b. Calon mempelai laki-laki

mendatangi kediaman

perempuan

c. Ijab Qabul serta

pelaksanaan aturan yang

telah ditetapkan hukum

Islam dan UU

d. Pembatala air Wudhu

Page 57: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

47

Hasil wawancara penulis dengan Ust. Mauludin Sakino selaku Ketua Majelis

Ta’lim pada tanggal 28 Januari 2018, beliau juga selalu menjadi rekomendasi

narasumber dari ke 3 tokoh adat di atas karena sangat seringnya menghadiri

setiap pernikahan sekaligus menjadi perwakilan keluarga orang yang akan

menikah. Ada 3. Pertama, Pra nikah. Kedua, Akad Nikah. Dan ke-tiga, resepsi

(walimah). Dari ke tiga point tersebut penulis akan menjabarkan serta

membandingkan dengan hukum Islam untuk melihat sudah relevan atau belum

proses-proses tersebut dengan hukum Islam.

1. Pra Nikah

a. Pembicaraan awal

Mulanya pembicaraan dari ke 2 (dua) calon pasangan tentang

hubungan yang mereka jalani ketika sudah bersepakat untuk serius,

setelah itu ke 2 (dua) belah pihak akan memberitahukan kepada

orangtuanya tentang hub mereka serta bermaksud untuk mencari

tahu keinginan dari pihak perempuan dan kemampuan dari pihak

laki-laki. Apabila telah mencapai kesepakatan, kedua belah pihak

akan bertemu untuk membahas tanggal peminangan.

Tidak hanya itu proses ini mengandung intervensi dari orang

tua dalam menilai calon menantunya, sebagian besar orang tua

melihat dari segi kesiapan, kemapaman dan yang lebih penting dari

itu yaitu beragama Islam, senada dengan hal itu hadits Nabi Saw

yang artinya:

Dari Abu Hurairah r.a, Nabi dari Muhammad Saw beliau

berkata: “seorang perempuan dinikahi karena empat perkara:

karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan

Page 58: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

48

karena agamanya. Pilihlah karena agamanya maka engkau akan

beruntung”.8

b. Peminangan (Maso Minta)

Dalam peminangan (maso minta), ada salah satu orang dari

keluarga yang ditunjuk untuk menjadi juru bicara dalam

musyawarah pembahasan mengenai mahar, harta belanja dan barang

belanja dalam istilah lain seserahan. Adapun ketika dari kedua belah

pihak memiliki perbedaan suku dan etnis, maka akan dalam

peminangan ini akan dibahas pula mengenai pembagian penggunaan

adat dalam proses pernikahan. Selain itu dalam peminangan ini juga

membahas mengenai tanggal pemberian harta belanja (seserahan).

Pemberian harta belanja ini diberikan maksimal sebulan setelah

pertemuan kedua belah pihak.

Proses ini selaras dengan yang dijelaskan Allah Swt dalam

surat Ali- Imaran ayat 159, yang artinya:

“… dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.

Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka

bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-

orang yang bertawakal kepadanya.”

c. Pengantaran harta (Seserahan)

dalam proses ini pihak keluarga laki-laki memberikan

Pengantaran harta belanja (Seserahan) kepada pihak perempuan.

Bukan itu saja yang dilakukan dalam tahap ini. Melainkan ada juga

pembahasan mengenai tanggal akad nikah & resepsi pernikahan.

8 Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, “Bulughul Maram min Adilati Al-Ahkam”, (Surabaya: Harisan, T.

Th), h. 201.

Page 59: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

49

Pengantaran harta atau pemberian hadiah kepada pihak perempuan

sebagai bentuk pengikat serta penghargaan kepada perempuan

tersebut. Hal itu selaras dengan yang telah dijelaskan dalam Al-

Qur’an Surah An-nisa: 4 yang artinya:

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu

nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika

mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu

dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu

(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

d. Pingitan

Pingitan adalah istilah untuk pemagaran atau penghalang bagi

ke dua bela pihak untuk bertemu dan juga menghalangi pihak laki-

laki lain untuk melamar (maso minta) terhadap pihak perempuan,

biasanya waktu pingitan 14-30 hari sebelum berlangsungnya akad

nikah. Tak hanya itu kedua bela pihak harus menjaga interaksi

mereka dengan orang yang bukan mahromnya untuk mencega hal-

hal yang dapat menyebabkan zinah.

Hal tersebut selain untuk menghormati calon pasangan juga

menjaga kemuliaan dirinya, saya kira hal ini sangat senada dengan

hukum Islam, walaupun terdapat jangkan waktu khusus, akan tetapi

secara garis besar penulis beranggapan hal ini sangat senada dengan

hukum Islam, apalagi tujuannya dari pingitan untuk mencegah

perbuatan zinah.

2. Proses Akad Nikah

Dimulai pada malam hari pada tanggal akad dilangsungkan, diadakan

malam badaqa yaitu malam dimana para tamu undangan melakukan

Page 60: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

50

khataman qur’an dirumah calon mempelai wanita, dan mempelai wanita itu

sendiri juga melakukan khataman pada malam tersebut. Sebagaimana yang

kita ketahui dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Baihaqi menjelaskan

bahwa “seutama-utama ibadah dari umatku adalah membaca Al- Qur’an”

(H.R Bihaqi).

Setelah badaqa itu selesai, calon mempelai laki-laki mendatangi tempat

akad nikah yang sudah disiapkan dikediaman calon mempelai wanita,

diiringi dengan lantunan hadroh. Senada akan hal itu didalam kitab hadits

At-Tirmdzi dan Sunan Ibnu Majah dari Aisyah, bahwa Nabi Muhammad

Saw bersabda:

“Siarkanlah pernikahan ini dan lakukanlah di masjid-masjid dan

mainkanlah dengan rebana/hadrah”.9

Setelah semua proses itu selesai, maka dimulailah akad nikah. Yakni

ijab kabul dan pemberian buku nikah dari catatan sipil. Ketika proses ijab

kabul itu hanya ada mempelai laki-laki yang ada ditempat, adapun mempelai

wanita masih menunggu didalam suatu kamar dirumah tersebut. Setelah

proses ijab kabul itu selesai barulah mempelai laki-laki menjemput

mempelai wanita ke ruangan tempat dimana mempelai wanita menunggu

selama proses ijab kabul.

Setelah proses ijab kabul, mempelai laki-laki melakukan pembatalan

wudhu sebagai bentuk sudah halalnya perbuatan tersebut, contohnya seperti

mencium kening mempelai wanita. Dan setelah itu mempelai laki-laki dan

wanita melakukan sungkem kepada kedua orang tua mereka untuk meminta

restu dan keridhaan orang tua demi kebahagiaan rumah tangga mereka kelak.

9 Hukum Memainkan Rebana/ Hadroh, Habib Ahamd, 09/07/2018/,

Pondokhabib.wordpress.com.

Page 61: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

51

3. Resepsi

Pelaksaaan acara resepsi itu dilangsung pada tanggal yang sudah

direncanakan oleh pertemuan kedua belah pihak sebelumnya. Dimana dalam

acara resepsi tersebut sesekali diiringi oleh lantunan musik bambu dan kedua

mempelai menggunakan pakaian adat minahasa atau biasa dikenal dengan

broid. Sebagaiaman yang kita ketahui bahwa jumhur ulama bersepakat

hukum walimatul ursy adalah sunnah muakad, sebagaimana Sabda Nabi

Muhammad Saw bahwa langsungkanlah walimah walau hanya memotong

seekor kambing, namun tidak semua resepsi yang diadakan calon

mempelainya menutup seluruh auratnya.

Setelah resepsi itu selesai. Dimalam hari pada hari yang sama

diadakan acara yang disebut dengan “malam muda mudi” . dalam acara

tersebut berisi tentang pesan dari masyarakat, tokoh agama, dan keluarga

besar meliputi haruslah menjadi keluarga yang sakinah mawadddah dan

warahman, serta mengingatkan bahwa mereka sudah menjadi calon ayah

dan ibu anak kelak dan sudah harus mengakhiri masa remaja mereka.

Selaras akan hal itu dalam QS. Al-Azhab: 36 yang artinya

“dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah

menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-

Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.”

Logika yang digunakan dalam menanggapi relevansi antara malam

muda-mudi dan hukum Islam dengan ayat ini adalah dalam akad

perkawinan telah diterangkan aturan-aturan serta hak dan kewajiban

dalam sebuah rumah tangga agar berjalan dengan benar serta baik, maka

dengan diketahui akan hal-hal itu para tokh-tokoh mengingatkan kembali

serta memberikan nasihat-nasihat sebagai seseorang yang telah memiliki

Page 62: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

52

pengalaman sehingga mereka dapat menjalankan sebuah rumah tangga

yang sakinah mawaddah dan rahmah.

Dari penjelasan penulis di atas secara keseluruhan proses pernikahan

adat Tontemboan Suku Minahasa setelah terjadinya akulturasi nilai-nilai

Islam sangat mengandung unsur-unsur keislaman dan relevan dengan hukum

Islam, walaupun dalam penggunaan busana masih ada beberapa pasangan

yang tidak menutup seluruh auratnya. Semoga dikemudian hari para umat

Muslim di etnis Tontemboan bisa lebih sadar akan pentingnya menutup aurat

sehingga dapat memenuhi sebuah seluruh hukum Islam khususnya dalam

sebuah proses pernikahan.

Page 63: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

53

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam bab terakhir ini setelah penulis membahas bab demi bab maka

penulis dapat menyimpulkan:

1. Disetiap sub-etnis dalam suku Minahasa memiliki adat yang berbeda

dalam proses pernikahan, terkhusus bagi etnis Tontemboan yang dimana

menjadi lokasi penelitian penulis dalam skripsi ini. Dalam Proses

pernikahan adat Tontemboan mencerminkan keharusan untuk menjaga

etika dan moral seamasa remaja dan menuntut seseorang harus mandiri

dulu sebelum menjalin sebuah ikatan pernikahan.

Meunurut kepercayaan rakyat Langowan, Menjaga keutuhan cinta

dengan tidak menodai dan ternodai akan melahirkan keberkatan khususnya

dalam mencari nafkah. Pernikahan adat Tontemboan sanagat dipengaruhi

oleh orang tua sehingga persetujuan dari orang tua merupakan langkah

awal untuk menciptakan hubungan kejenjang pernikahan.

Dalam prakteknya Rakyat Langowan kurang dalam menjaga adat

Tontemboan khususnya dalam Proses Pernikahan yang mengakibatkan

tidak ada bentuk legitimasi bagi Rakyat Langowan untuk melaksanakan

sebuah pernikahan mengikuti adat yang telah diatur dalam etnisnya. Oleh

karenya, hal tersebut mengakibatkan suku-suku pendatang dengan bebas

melaksanakan proses pernikahannya menggunakan adat dari sukunya

masing-masing, yang tidak mencerminkan adanya unsur adat Tontemboan.

2. Bentuk pernikahan di etnis Tontemboan yang sudah terakulturasi nilai-

nilai ke-Islaman hanya diperuntukan bagi umat Muslim, namun tidak

semua pernikahan umat Muslim menggunakan satu prosesi pernikahan

yang sama. Hal itu terjadi disebabkan latar belakang suku dari calon

pasangan.

Page 64: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

54

Apabila ke-dua calon pasangan berasal dari dua suku diluar

Minahasa, bentuk pernikahan akan menyesusaikan dari hasil musyawarah

ke-dua belah pihak dalam menentukan pembagian proses pernikahan yang

akan dilaksanakan.

3. Proses pernikahan adat Tontemboan setelah terakulturasi nilai Islam ada 3

tahap, yang pertama, pra nikah yang meliputi kegiatan: pembicaraan awal,

peminangan (maso minta), pengantaran harta (seserahan) dan pingitan

(pemagaran). Kedua, Akad nikah yang meliputi kegiatan: malam Badaqa,

calon mempelai laki-laki mendatangi kediaman perempuan, Ijab-Qabul

serta pelaksanaan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam hukum Islam

dan UU dan pembatalan air wudhu. Ketiga, Resepesi meliputi kegiatan:

pesta pernikahan dan malam muda mudi.

4. Penelitian menunjukan bahwa Proses pernikahan adat Tontemboan secara

garis besar telah relevan dengan hukum Islam, namun dalam beberapa

pelaksaannya masih ada beberapa pasangan yang tidak menutup aurat.

B. Saran-saran

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis maka untuk bahan

evaluasi dan perbaikan kedepan, penulis memaparkan beberapa saran yang

dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya bagi Rakyat Langowan,

diantranya yaitu:

1. Harus adanya forum khusus bagi para tokoh adat Tontemboan untuk

menentukan serta meligitimasi proses pernikahan adat Tontemboan,

karena dengan adanya hal tersebut adat Tontemboan khusus dalam proses

pernikahan dapat dijaga kelestariannya melalui praktek lapangan bagi

Rakyat Langowan.

2. Untuk Tokoh Agama khususnya Muslim diharapkan dapat menentukan

serta melegitimasi proses pernikahan bagi umat Muslim di Langowan

tanpa menghilangkan unsur-unsur adat Tontemboan.

3. Bagi daerah-daerah yang adatnya telah terakulturasi nilai-nilai Islam

hendaknya dipertahankan sebagai ciri khas daerah tersebut dan bagi

Page 65: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

55

daerah-daerah yang adatnya masih bertentangan dengan hukum Islam

alangkah baiknya untuk ditinggalka.

4. bagi para peneliti lain yang ingin meneliti suku Minahasa, penulis

menyarankan untuk meneliti secara lebih luas tentang kehamilan,

kelarihan dan pemberian nama dalam suku Minahasa, karena ada istilah

Minahasa yaitu Posan, yang sangat dipercayai orang Minahasa walaupun

itu hanya berdasarkan pada ketahyukan orang dulu.

Page 66: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

56

DAFTAR PUSTAKA

Adam, L. Adat Istiadat Suku Bangsa Minahasa. Jakarta: Bhratara. 1976.

Ahmadi. Pernikahan Kalangkah Dalam Adat Sunda Menurut Hukum Islam Di

Indonesia (Studi Kasus Desa Penyingkiran Majalengka Jawa Barat). Jakarta:

Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2015.

Al-„Asqolani. Ibnu Hajar Bulughul Maram min Adilati Al-Ahkam,. Surabaya:

Harisan, T. Th.

Ali, Muhammad Daud. Asas- Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press. 1990.

Amin, Ma‟ruf. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: Pramuda Bookstore.

2008.

Arifin, Busthanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan

dan Prosesnya. Jakarta: Gema Insani Press. 1996.

Baqry, Sidi Nazar. Kunci Keutuhan Rumah Tangg., Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.

1993.

Djalil, Basiq. Peradilan Agama Di Indonesia. Prenada Media Group. 2006.

Departemen Agama RI, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat

Urusan Agama Islam. Korps Penasehat Perkawinan dan Keluarga Sakinah.

Jakarta. 2001.

Page 67: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

57

Et al, A. G. Pringgodigdo. Ensiklopedia Umum. Yogyakarta: Penerbitan Yayasan

Kansius. 1973.

Halim, Abdul. Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia. PT. Raja

Grafindo Persada. 2002.

Hazairin. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Tintamas. 1986.

Keontjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. 1986.

Lukito, Ratno. Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia. Jakarta:

INIS. 1998.

Mahiduliah. Benarkah Hukum Romawi ada Pengaruhnya Terhadap Hukum Islam.

Banda Aceh: Majelis Ulama Propinsi Istimewa Aceh. 1981.

Mudzhar, M. Atho. Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. 1998.

Republik Indonesia. Undang-undang Pokok Perkawinan. Jakarta: Sinar Grafika.

2004.

Republik Indonesia. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Badan

Peradilan Agama. 2015.

Rahim, Abdul. The Principles of Muhammadan Jurisprudence, London: Luzac & Co.

1911.

Page 68: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

58

Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash. Pengantar Ilmu Fiqih. Semarang: PT.

Pustaka Rizki Putra. 1997.

Soepomo, Raden. Bab-Bab tentang Hukum Adat, Cet ke XIII. Jakarta: Pradnya

Paramita. 1954.

Soekanto, Soejono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada)

cet. XIX. 2001.

________________. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Press. 1980.

Soekanto. Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari

Hukum Adat, Jakarta: Rajawali Press. 1981.

Sopyan, Yayan. Pengantar Metode Penelitian. Ciputat: UIN Jakarta. 2010.

Thalib, Sajuti. Receptio a Contrario. Jakarta: Academica. 1978.

Wignjodipoero, Soejono. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat..

Yaswirman. Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat

dalam Masyarakat Minangkabau). Padang: PT Rajagrafindo Persada. 2011.

Zahrah, Muhammad Abu. Penerjemah Saefullah Ma‟shum dll Ushul Fiqih. Jakarta:

Pustaka Firdaus. 2015.

Page 69: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

59

Artikel dan Wawancara

Ahmad, Habib, “Hukum Memainkan Rebana/ Rebana, artikel diakses pada 09 Juli

2018 dari Pondokhabib.wordpress.com

Ahmadi. “Pernikahan Kalangkah Dalam Adat Sunda Menurut Hukum Islam Di

Indonesia (Studi Kasus Desa Penyingkiran Majalengka Jawa Barat)”. Skripsi S1

Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.

Mangkey Stainlaus, dkk. Kebudayaan Minahasa: Kajian Etnolinguistik tentang

Konstruk Nilai Budaya Lokal Menghadapi Persaingan Global”. Interlingua. Vol.

4, (April 2010).

Pulungan, J. Suyuthi. “Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai keislaman dalam

Tradisi dan Budaya Masyarakat Indonesia”, Humanika. Vol II. 1, (Januari-Juni

2017).

Salaki, Reynaldo Joshua. “Membangun Karakter Generasi Muda Melalui Budaya

Mapalus Suku Minahasa”, Jurnal Studi Nasional, Th. 6, 1, (Mei 2014).

Wekke, Ismail Suardi. “Islam dan Adat: Tinjauan Akulturasi Budaya dan Agama

Dalam Masyarakat Bugis”. Analisis. Vol XIII. 1, (Juni 2013).

Wawancara pribadi dengan Fendy E. W. Parengkuan (Tokoh Adat Minahasa)

Wawancara pribadi dengan Mauludin Sakino (Ketua majelis Ta‟lim)

Wawancara pribadi dengan Nixson Usman, S. Ag. (Tokoh Adat Gorontalo)

Page 70: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

60

Wawancara pribadi dengan Pdt. (Em) Serfitus Lumingkewas (Tokoh Adat

Tontemboan)

Wawancara pribadi dengan Sukino (Tokoh Adat Jawa)

Wawancara pribadi dengan Syafrudin Madepungeng S.E. (Tokoh Adat Bugis)

Wawancara pribadai dengan Wahid Kosasi (Tokoh Adat Jawa Tondano)

Page 71: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

61

TRANSKIP WAWANCARA

Nama : Wahid Kosasi

Alamat : Tondano, Kp. Jawa

Pekerjaan : Sejarawan/ Budayawan Minahasa

Peneliti : Kapan Islam masuk ke daerah Minahasa?

Narasumber : Berawal dari datang Kyai Modjo beserta bala tentaranya pada tahun

1828 dan disusul dengan Pangeran Diponogoro pada tahun 1830,

mereka menyebarkan Islam dengan menyesusakan tradisi dan hukum

yang berlaku di Minahasa. Salah satu hukum yang berlaku pada saat

itu di mana dibolehkannya meng-Islamkan wanita (istri) yang

dinikahinya.

Nama : Fendy E. W. Parengkuan

Alamat : Tondano

Pekerjaan : Sejarawan/ Budayawan Minahasa

Peneliti : Apa yang anda ketahui dengan Etnis Tontemboan?

Narasumber : Etnis Tontemboan adalah satu etnis dari 9 etnis yang ada di

Minahasa, dimana pada hari ini etnis Tontemboan bertempat di

Langowan, masyarakat Tontemboan termasuk masyarakat yang rumah

dan mudah diajak berkomunikasi di banding dengan etnis Tondano

Page 72: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

62

(nara dari etnis Tondano) mungkin yang mempengaruhi hal tersebut

adalah kondisi wilayah yang didiami, dimana wilayah Tontemboan

pada saat itu terbilang lebih dulu berkembang.

Nama : Pdt. (Em) Serfitus Lumingkewas

Usia : 75 Tahun

Alamat : Winebetan, Kec. Langowan

Pekerjaan : Tokoh Adat Tontemboan

Peneliti : Apa yang anda ketahui tentang proses pernikahan Adat Tontemboan?

Narasumber : Pada dasarnya pernikahan adat Tontemboan terbagi dalam 3

rangkaian inti, pertama: pra- nikah, kedua: resepsi, dan ke-tiga: pasca

nikah. Namun ada beberapa syarat bagi ke- dua calon untuk

melangsungkan sebuah pernikahan.

Peneliti : Bagaimana bentuk persyaratan dan pra-nikah dalam adat

Tontemboan?

Narasumber : Untuk persyaratan seorang laki, di mana laki-laki tersebut sudah

memiliki pekerjaan, bisa mengambil nira, harus bisa mengikat tali

dalam membangun sabuh dengan simbul laki-laki, dan harus bisa

mengelola sawah/ kebun. Persyaratan seorang perempuan, di mana

perempuan tersebut harus bisa memasak tinutuan (makanan khas

Minahasa dan Manado dikenal dengan bubur manado).

Page 73: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

63

Selanjutnya bentuk pra-nikah dalam proses pernikahan adat

Tontemboan yaitu terdiri dari 4 rangkaian di antaranya: 1). Maso minta

(peminangan), 2). Pemagaran, 3). Kawin secara adat dilakukan di

rumah walian atau pemimpin adat atau di tempat-tempat tertentu yang

telah disepakati ke dua tokoh adat dari ke dua mempelai, 4). Pingitan

pelarangan bagi ke dua calon untuk keluar dari rumah dan melaukan

aktifitas-aktifitas di luar rumah.

Peneliti : Bagaima bentuk resepsi?

Narasumber : Resepsi pertama kali diadakan oleh pihak laki-laki di kediaman

perempuan dan sebaliknya dengan mengenakan pakaian adat

Tontemboan. Penambahan musik bambu dalam resepsi menandakan

bahwa pihak laki-laki memiliki ekonomi diatas rata-rata. Dalam adat

Tontemboan tamu undangan membawa bibit berupa padi dan jagung

untuk nantinya akan mereka tanam.

Pada malam harinya setelah resepsi selesai, diadakan malam muda-

mudi yang berisi tentang pesan-pesan dari tokoh Agama, Adat maupun

Pemerintah dengan maksud menandakan si perempuan sudah menjadi

kaum ibu dan si laki-laki sudah menjadi kaum bapak.

Peneliti : Bagaimana Bentuk pasca nikahnya?

Page 74: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

64

Narasumber : Di Malam pertama dilakukan dalam rumah si perempuan dan ketika

sudah bangun tidak dibolehkan untuk mengatur tempat tidur, karena

nantinya orang tua si perempuan akan memeriksa keperawanan dari

anaknya diseprai atau alas yang mereka gunakan.

Selanjutnya dikehidupan awal, mereka harus tinggal di kebun atau

sawah yang nantinya akan mereka kelola lalu membangun sabuah

sebagai tempat tinggal mereka di daerah sawah tersebut, di 3 bulan

pertama mereka sudah harus menunjukan hasil panen dari bibit-bibit

yang di berikan para tamu undangan saat menghadiri resepsi.

Nama : Hj. Syafrudin Madepungeng S.E.

Alamat : Langowan, Waleure

Pekerjaan : Pedagang, Tokoh Adat Bugis

Peneliti : Bagaimana proses pernikahan jika calon mempelainnya dari suku

bugis dan suku Minahasa (ber-etnis Tontemboan)?

Narasumber : Tidak ada aturan yang baku perihal proses pernikahan jika ke dua

calon mempelai berasal dari dua suku yang berbeda, karena etnis

Tontemboan tidak mengatur secara tegas dan detail perihal proses

pernikahan adat Tontemboan di Langowan. Oleh karenanya proses

pernikahan yang terjadi mengikuti hasil musyawarah antara ke dua

belah pihak, yang dimaksud tentang bagian mana saja yang lebih

Page 75: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

65

menekankan pada adat bugis dan bagian mana saja yang menekankan

pada adat Tontemboan.

Biasanya yang terjadi yang pihak yang berlatar belakang etnis

Tontemboan menekankan pada pakaian pernikahan (broit) dan

beberapa pernikahan memasukan music bambu dalam rangkaian

pengantaran dan penjemputan calon mempelai.

Peneliti : Adakah unsur ke- Islaman dalam proses pernikahan tersebut?

Narasumber : berbicara secara objektif menurut saya cukup sulit, karena pernikahan

yang terjadi antar dua suku tersebut calon mempelainya beragama

muslim, jadi jika melihat pada prakteknya unsur ke-Islaman yang

paling terlihat adalah adanya proses akad nikah yang di mana tidak ada

pada proses pernikahan adat Tontemboan.

Nama : Hj. Sukino

Alamat : Langowan, Waleure

Pekerjaan : Pedagang, Tokoh Adat Jawa

Peneliti : Bagaimana proses pernikahan jika calon mempelainnya dari suku

Jawa dan suku Minahasa (ber-etnis Tontemboan)?

Narasumber : Tidak ada aturan yang baku perihal proses pernikahan jika ke dua

calon mempelai berasal dari dua suku yang berbeda, karena etnis

Tontemboan tidak mengatur secara tegas dan detail perihal proses

Page 76: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

66

pernikahan adat Tontemboan di Langowan. Oleh karenanya proses

pernikahan yang terjadi mengikuti hasil musyawarah antara ke dua

belah pihak, yang dimaksud tentang bagian mana saja yang lebih

menekankan pada adat Jawa dan bagian mana saja yang menekankan

pada adat Tontemboan.

Biasanya yang terjadi yang pihak yang berlatar belakang etnis

Tontemboan menekankan pada pakaian pernikahan (broit) dan

beberapa pernikahan memasukan musik bambu dalam rangkaian

pengantaran dan penjemputan calon mempelai.

Peneliti : Adakah unsur ke- Islaman dalam proses pernikahan tersebut?

Narasumber : berbicara secara objektif menurut saya cukup sulit, karena pernikahan

yang terjadi antar dua suku tersebut calon mempelainya beragama

muslim, jadi jika melihat pada prakteknya unsur ke-Islaman yang

paling terlihat adalah adanya proses akad nikah yang di mana tidak ada

pada proses pernikahan adat Tontemboan.

Nama : Nixson Usman, S. Ag.

Alamat : Langowan, Amongena II

Pekerjaan : Tokoh Adat Gorontalo dan Tokoh Agama Islam

Peneliti : Bagaimana proses pernikahan jika calon mempelainnya dari suku

Gorontalo dan suku Minahasa (ber-etnis Tontemboan)?

Page 77: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

67

Narasumber : Tidak ada aturan yang baku perihal proses pernikahan jika ke dua

calon mempelai berasal dari dua suku yang berbeda, karena etnis

Tontemboan tidak mengatur secara tegas dan detail perihal proses

pernikahan adat Tontemboan di Langowan. Oleh karenanya proses

pernikahan yang terjadi mengikuti hasil musyawarah antara ke dua

belah pihak, yang dimaksud tentang bagian mana saja yang lebih

menekankan pada adat Gorontalo dan bagian mana saja yang

menekankan pada adat Tontemboan.

Biasanya yang terjadi yang pihak yang berlatar belakang etnis

Tontemboan menekankan pada pakaian pernikahan (broit) dan

beberapa pernikahan memasukan music bambu dalam rangkaian

pengantaran dan penjemputan calon mempelai.

Peneliti : Adakah unsur ke- Islaman dalam proses pernikahan tersebut?

Narasumber : berbicara secara objektif menurut saya cukup sulit, karena pernikahan

yang terjadi antar dua suku tersebut calon mempelainya beragama

muslim, jadi jika melihat pada prakteknya unsur ke-Islaman yang

paling terlihat adalah adanya proses akad nikah yang di mana tidak ada

pada proses pernikahan adat Tontemboan.

Nama : Mauludin Sakino

Alamat : Langowan, Amongena I

Page 78: AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43265/1/AL AHSAN... · pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim

68

Pekerjaan : Pedagang, Tokoh Agama

Peneliti : Bagaimana proses pernikahan umat Muslim di Langowan?

Narasumber : Ada 3 rangkaian inti di dalam proses pernikahan umat Muslim di

Langowan, yaitu: 1). Pra-nikah, 2). Akad nikah dan 3). Respsi

(walimah).

Peneliti : Bagaimana bentuk Pra-nikah?

Narasumber : Awalnya adanya pembicaraan awal antara ke dua bela pihak baik

untuk memberitahukan akan melangsungkan hubungan mereka

kejenjang pernikahan, jika disetujui maka akan membahas berbagai

macam keperluan untuk pernikahan nanti terkhussnya dalam maso

minta (peminangan). Kemudian peminangan dan diikuti dengna

pengantaran harta dari mempelai laki-laki ke pihak perempuan dan

sejak saat ini ke dua mempelai sudah masuk dalam proses pingitan.

Selanjutnya adalah Akad nikah dan dikutin dengan resepsi.