Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Al-Asfar, Volume 1 No. 1 Juni 2020
Masdani, Pemikiran Muhammad Arkoun...
51
Pemikiran Muhammad Arkoun Tentang Dinamika Sakral dan Profan
Masdani
Universitas Nahdlatul Wathan Mataram
Abstrak
Gerakan-gerakan kemerdekaan umat Islam pada abad ke 20 M, terutama di daerah
Afrika Utara dari kolonialisasi Eropa, mengambil spirit keagamaan untuk menggerakkan
gerakan politik mereka terutama terma jihad. Terma jihad akan membawa imajinasi umat Islam
melintasi sejarah yang panjang menuju peristiwa-peristiwa perseteruan politik Nabi Muhammad
beserta kaum muslimin dengan kaum Quraisy Makkah. Selanjutnya segera setelah itu umat
Islam akan mengasosiasikan posisi mereka dalam kelompok Nabi dan pihak lawan atau colonial
sebagai kelompok kaum Quraisy. Penggunaan kembali terma jihad dalam hal ini sesuai dengan
yang diistilahkan Bassam Tibbi, yakni repolitisasi Islam.
AlJazair mengalami penjajahan Prancis semenjak 1830 M hingga tahun 1962 M.
Kolonialisasi yang lama membuat rakyat Aljazair terbelah menjadi dua, kubu nasional dan kubu
integrasi. Kubu nasional dipimpin Abdul Hamid bin Badis sejak tahun 1931M. melalui gerakan
nasional inilah spirit Jihad memperoleh momentumnya yang mengantarkan kubu ini keluar
sebagai pemenang dalam revolusi tahun 1954-1962 M yang mengakhiri kolonialisasi Perancis.
Sementara itu kubu integrasi diwakili oleh Muhammad Arkoun yang kemudian memilih untuk
hijrah ke Perancis.
Di Prancis Muhammad Arkoun memperdalam intelektualitasnya sampai memperoleh
gelar akademik tertinggi yakni gelar guru besar dalam pemikiran Islam. Bangunan pemikiran
Arkoun lahir hasil dari proses sejarah panjang, dia mengalami masa kolinial prancis, masa
revolusi 1954-1962 dan masa penggalian ilmu pengetahuan selama di Prancis. Salah satu
pemikirannya yang mendasar adalah tentang sacral dan profane dalam pemikiran Islam.
Key words: sacral, profane, kubu nasionalis, kubu integrasi.
A. Latar Belakang
Dalam wacana keagamaan kontemporer mengungkapkan bahwa agama tidak hanya berisi
ajaran yang sakral, tetapi juga bermuatan ajaran yang profan berasal dari hasil persinggungannya
dengan persoalan-persoalan sosio-kultural yang melingkupi kehidupan manusia. Karena pada
level ini terdapat keterlibatan manusia secara aktif, baik ketika menjadi pelaksana ajaran agama,
juga sekaligus berperan dalam mengartikulasikan ajaran agama yang tadinya dianggap suci,
sebagai hasil dari tuntutan historisitasnya, sehingga akhirnya ajaran tersebut menjadi bersifat
duniawi, humanis dan hidup.1
Kontekstualisasi ajaran dalam bentuk yang terakhir membutuhkan daya pikir yang
mendalam, dikarenakan harus berproduksi terus menerus sesuai dengan semangat zamannya.2
1 Amin Abdullah,”Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman”, dalam Amin Abdullah, dkk,
Rekonstruksi Metodologi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius (Yogyakarta: Suka Press,
2003), hlm. 4-5. Baca juga Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk aksi, cet ke VIII (Bandung: MIZAN,
1998), hlm. 167-168. 2 Nurkholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, cet ke II (Jakarta: Paramadina, 1992), hlm. Liii.
Al-Asfar, Volume 1 No. 1 Juni 2020
Masdani, Pemikiran Muhammad Arkoun...
52
Khususnya dalam Islam, fleksibelitas ini hanya bisa dilakukan apabila ada keterbukaan terhadap
perubahan yang berasal dari internal umat muslim maupun perubahan dari hasil manifestasi
kultural dan peradaban dari luar.3 Dalam sejarah telah dibuktikan bahwa Nabi dengan hasil
interpretasinya terhadap al Qur‟an, dapat memberikan solusi atas persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh masyarakatnya. Hal ini dikarenakan Nabi terbuka dengan berbagai macam
“bacaan” sosio-kultural yang berkembang, termasuk budaya masyarakat pra Islam di Jazirah
Arab sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Qur‟an.4
Dinamisasi dalam pemikiran Islam dapat berlangsung karena kaum muslimin
memaksimalkan peran akal dalam menangkap tanda-tanda pengetahuan, sebagaimana dianjurkan
dalam banyak ayat al Qur‟an, bahkan nabi mengaitkan akal dengan tingkat keberagamaan
seseorang.5 Akan tetapi kebebasan berfikir dan kemajuan peradaban Islam mengalami
kemandegan setelah memasuki fase kedua pemerintahan Abbasiyiah. Hal ini disebabkan oleh
kuatnya semangat pembakuan visi teologis dan pemikiran di dunia Muslim.6 Kemudian
dipertahankan dalam jangka waktu yang lama melalui aktifitas sosial, kultural dan politis,
sehingga agama yang tadinya multi tafsir berubah menjadi doktrin yang dianggap sacral.7
Beban doktrinisasi ajaran agama yang membelenggu luar biasa membawa umat Muslim
mengalami kemandegan pemikiran yang sangat parah, bahkan mundur ke belakang di saat
masyarakat dunia sedang berpacu dan bersaing mengejar kemajuan.8 Kondisi yang demikian
diperparah lagi dengan merebaknya gerakan-gerakan Islam progresif yang ingin mengembalikan
situasi umat dengan merujuk pengalaman nabi dan sahabatnya sebagai jawaban dengan
argumentasi-argumentasi normative yang kaku.9 Namun sebaliknya hal itu membuat umat Islam
semakin teralienasi, yang sudah tentu sangat jauh berbeda dengan zamannya.
Salah satu pemikir Islam yang concern dalam persoalan ini adalah Muhammad Arkoun.
Menurutnya kelemahan dan kekuatan kaum muslimin bergantung pada sikap mereka terhadap
ajaran agama dan pemikirannya, dan bagaimana memposisikannya terhadap perubahan. Karena
dalam prakteknya, dua hal ini tumpang tindih, antara ajaran agama yang bersifat sakral-tetap,
bercampur dengan pemikiran manusia yang bersifat profan yang mesti dinamis.
3 Abdurrahman Wahid,”Pengantar”, dalam Nurcholis Madjid dkk, Islam Universal (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), hlm. 2. 4 Akh. Minhaji,”Hak-hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam: Ijtihad Baru tentang Posisi Minoritas Non-
Muslim”, dalam Amin Abdullah ed. Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi (Yogyakarta: Sunan Kalijaga
Press.2000), hlm. 339. 5 Akh Minhaji,” Hak-hak Asasi Manusia”, hlm. 346.
6 Muhammad Arkoun, Rethingking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, terj. Yudian W.
Asmin (Yogyakarta: LPMI dan pustaka Pelajar, 1996), hlm. 133-134. 7 Muhammad Arkoun, Rethinking Islam Today, terj. Ruslani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 15.
8 Lutfi Assyaukanie,”Islam dalam Konteks Pemikiran Pasca-Modernisme: Pendekatan Menuju Kritik Akal
Islam”, Jurnal Ulumul Qur’an, 5,1, 1994, hlm. 24. 9 Robert D. Lee, Overcoming Tradition and Modernity: the Search for Islamic Authenticity, terj. Ahmad
Baiquni (Bandung: MIZAN, 2000), hlm. 167-168. Baca juga Muhammed Abed Jabiri,”Reformasi Agama dan
Pembaharuan Pengetahuan,” dalam, Abdou Filali Anshary, Pembaruan Islam: dari Mana dan Hendak ke Mana?,
terj. Machasin (Bandung, MIZAN, 2009), hlm. 155-156.
Al-Asfar, Volume 1 No. 1 Juni 2020
Masdani, Pemikiran Muhammad Arkoun...
53
Menurut Arkoun, fenomena di atas muncul disebabkan oleh adanya keterputusan sejarah
dan mengabaikan perkembangan budaya luar.10
Untuk itu dia menawarkan program kerja
inteletual kepada umat Islam, bahwa dalam mempelajari teks-teks keagamaan harus
menggunakan pendekatan keilmuan Barat kontemporer yang terpilih, seperti semiotika,
linguistik, sosiologis, antropologis dan filsafat. Melalui penggunaan berbagai pendekatan
keilmuan tersebut, diharapkan dapat memperjelas mana ajaran yang darinya sebagai sakral dan
mana ajaran yang merupakan hasil pembacaan yang dipengaruhi mental-historis masanya.11
Dalam menempatkan metodologi kritik historisnya, Arkoun memakai konsep arkeologi
pengetahuan Michel Foucault. Foucault menjelaskan bahwa, pada tiap-tiap masa, manusia
memahami kenyataan dengan cara-cara tertentu disebut episteme, juga membicarakannya dengan
cara tertentu yang disebut wacana.12
Maka arkeologi pengetahuan, berupaya menemukan sistem
pemikiran dalam setiap periode atau zaman. Pada batas-batas tertentu, sedikit atau banyak
kepentingan politik, sosial, ekonomi, dan budaya, berada dibalik produk pemikiran Islam.
Apalagi secara historis episteme dan wacana diatur untuk melayani kepentingan-kepentingan
golongan tertentu dari berbagai generasi kultur sosial yang berbeda-beda.
B. Biografi Muhammad Arkoun
Di antara model pemikiran Islam Kontemporer yang mengemuka, model pemikiran
Muhammad Arkoun (selanjutnya ditulis Arkoun) menempati kekhasan tersendiri Kekhasan
pemikiran Arkoun, sesungguhnya dapat ditelusuri dari beberapa faktor, yaitu faktor geografis,
sosio-kultur, dan faktor akademik yang dimilikinya.13
Arkoun lahir pada tahun 1928 di Taourirt-
Mimoun di daerah Kabylia, suatu daerah pegunungan suku Berber di Sebelah Timur Aljir, al-
Jazair. Dia berasal dari keluarga sederhana berdagang rempah-rempah.14
Etnis Berber tersebar di
Afrika Utara (dari Libya hingga Samudra Atlantik). Meskipun berbicara dengan bahasa Arab
adalah suatu yang umum, tetapi mereka hingga kini masing menggunakan bahasa Berber. Mata
pencaharian penduduknya berasal dari pertanian, utamanya buah tīn dan zaitun, kemudian
menggembala ternak dan berdagang kerajinan tangan.15
Menurut catatan sejarah al-Jazair pernah dikuasai oleh bangsa Vandal dan Romawi.
Setelah itu al-Jazair ditaklukkan oleh bangsa Arab dibawah komando Uqbah bin Nafi pada masa
10
Muhammad Arkoun, Arab Thought, terj.Yudian Wahyudi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm 99-
104. 11
Muhammad Arkoun,”Rethinking Islam”,dalam Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran
Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 337-338. 12
Johan Hendrik. M, “Pengantar”, dalam Muhammad Arkon, Pour une critique de la raison islamique,
Terj. Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 21-22. Baca juga Hadi Susilo,”Tempat Manusia dalam
Arkeologi Pengetahuan Menurut Michel Foucault”, dalam Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu, Tim
Redaksi Majalah Drikarya (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 77-78. 13
Rebert D. Lee, Mencari Islam Autentik: dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, terj. Ahmad
Baiquni (Bandung: MIZAN, 2000), hlm. 169. 14
John Hendrik Meuleman,”Pengantar” dalam Muhammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern:
berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 1. 15
Suadi Putro, Muhammad Arkoun: Islam dan Tantangan Modernitas (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm.
11.
Al-Asfar, Volume 1 No. 1 Juni 2020
Masdani, Pemikiran Muhammad Arkoun...
54
khalifah Yazid bin Muawiyyah tahun 682 M. Uqbah mendirikan perkampungan Muslim di
Qairawan dekat Tunisia. Uqbah melakukan penaklukkan ke arah Barat sampai ke pantai
Samudra Atlantik, kemudian berhasil mengislamkan sejumlah besar kaum Berber. Suku Berber
yang masuk Islam mendapatkan status yang sama dengan orang Arab dan banyak di antara
mereka bergabung ke dalam pasukan Muslim. Dengan bantuan mereka, pasukan Bani Umayyah
dipimpin Tariq bin Ziyad dapat menaklukkan sepanyol. Namun sayangnya tahap ini, islamisasi
hanya terbatas pada kaum elit perkotaan16
Selanjutnya peran penyebaran Islam lebih banyak dilakukan oleh golongan
maraboutisme. Maraboutisme adalah pemujaan kepada orang yang disebut marabout, yang oleh
penduduk setempat dianggap memiliki kesucian, kebijaksanaan dan memiliki hubungan yang
istimewa dengan Allah SWT, serta memiliki kekuasaan untuk campur tangan secara positif
dalam situasi kecemasan dan ketegangan. Marabout terutama berasal dari kaum elit Andalusia
yang diusir dari semenanjung Iberia, lalu mengorganisasikan diri untuk mempersatukan
masyarakat Magribi, tidak saja dalam aktifitas spiritual melainkan juga secara umum. Di antara
maraboutisme dan sufisme terdapat ikatan yang kuat, sehingga mereka memiliki peranan yang
besar dalam mengembangkan masyarakat, seperti dalam hal penyebaran Islam dan penegakan
Islam, bidang pengembangan ilmu, bidang politik, dan dalam bidang ekonomi.17
Dalam bidang politik misalnya, golongan Marabout dan Sufisme berkuasa di al-Jazair
pada masa dinasti al-Murabitun (al-Moravid) pada abad ke 5H/11M, sampai dinasti al-
Muwahhidun (al-Mohad) abad ke 6H/12M. Sementara tokoh Sufi yang paling berpengaruh pada
masa itu adalah Abu Madyan (abad ke 6H/12M) dari Tlemcen, al-Jazair Barat. Dia mengajarkan
pemusatan mutlak kepada Tuhan dan tidak perlu memperhatikan masalah keduniaan. Kemudian
faham-faham Sufi diturunkan kepada tarekat-tarekat di al-Jazair. Di antara yang masyhur sampai
sekarang adalah Tarekat Syaziliyyah, tarekat Qadiriyyah dan „Isawiyyah. Selain itu berkembang
juga tarekat di Afrika Utara; tarekat Darqawiyyah di Maroko dan Tijaniyyah di Fez.18
Kemajuan yang lebih modern dicapai al-Jazair di bawah kolonialisasi Prancis sejak tahun
1830 M Prancis menggalakkan pembangunan di segala bidang, seperti pertanian, transportasi,
administrasi dan perdagangan modern. Dalam hal ini penduduk al-Jazair memang memperoleh
manfaat yang besar, bahkan memperoleh hak-hak yang sejajar dengan orang-orang prancis.
Akan tetapi perlakuan yang demikian hanya diperoleh apabila menerima hukum keluarga Prancis
dan sebaliknya meninggalkan hukum keluarga menurut syarī‟at Islam. Meskipun kebanyakan
kaum muslimin yang terdidik di lembaga-lembaga pendidikan Prancis, namun jarang di antara
mereka yang memilih tawaran Prancis dan meninggalkan hukum kekeluargaan dalam syari‟at
Islam.19
Ketidakpuasan terhadap kolonoalisasi Prancis mendorong munculnya gerakan
nasionalisme di kalangan rakyat al-Jazair yang dipimpin oleh Amir Abdul Qadir dan didukung
16
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ikhtiar Baru van Hoeve, 2005), hlm.
157 17
Ibid.., hlm, 158. 18
Suadi Putro, Islam dan Tantangan, hlm. 13. 19
Ibid.., hlm. 13.
Al-Asfar, Volume 1 No. 1 Juni 2020
Masdani, Pemikiran Muhammad Arkoun...
55
oleh gerakan kaum „ulamā‟. Gerakan nasionalisme dilanjutkan oleh Abdul Hamid bin Badis
tahun 1931, dia mempunyai andil yang besar dalam mempertahankan penggunaan bahasa Arab
di al-Jazair dan berhasil mendirikan lebih dari 150 sekolah. Gerakan ini merupakan cermin dari
hasrat rakyat al-Jazair dalam mencari identitas nasional hingga revolusi 1954-1962 yang
melahirkan kemerdekaan al-Jazair dari Perancis.20
Karakter pemikiran Arkoun yang khas juga dipengaruhi oleh bahasa yang dimilikinya;
bahasa Kabilia, bahasa Arab dan bahasa Prancis.21
Sebagai pemikir yang terlahir di Kabilia, dia
sudah memakai bahasa Kabilia dalam pergaulannya yang berperan juga menjadi media untuk
menjaga tradisi dan nilai secara turun-temurun. Selain itu dia mengenal dengan baik bahasa Arab
dan Prancis; bahasa Arab merupakan alat penyampai bahasa agama, terutama yang tertulis;
bahasa Perancis adalah alat untuk mengenal nilai-nilai dan tradisi keilmuan Barat.22
Pergaulan Arkoun dengan ketiga bahasa tersebut menjadikannyanya sangat peka terhadap
keberadaaan bahasa itu sendiri. Pengalamannya sehari-hari menunjukkan hal demikian, ternyata
bahasa tidak hanya sekedar bersifat teknis yang bisa berganti-ganti sesuai tuntutan keadaan dan
tidak ada masalah. Melainkan setiap bahasa memiliki latarbelakang sejarah yang unik. Sebagai
gambaran, dalam pergaulan biasa dia menggunakan bahasa Kabila, tetapi harus menggunakan
bahasa Perancis pada waktu menempuh pendidikan dan administrasi di lembaga Perancis.
Kemudian perkenalannya dengan bahasa Arab sebagai bahasa agama, yang baru di dalaminya
semenjak sekolah menengah atas. Hasil perenungannya dia berkesimpulan bahwa masing-
masing bahasa memiliki relasi yang di dalamnya terdapat hubungan antara bahasa, sejarah dan
kekuasaan, terlebih lagi bahasa merepesentasikan cara berikir. Berangkat dari pemahaman
tersebut, Arkoun berkeinginan keras memadukan berbagai cara berfikir, terutama antara
semangat tradisi keagamaan mayoritas Muslim dan sikap rasional serta kritis yang berkembang
di dunia Barat.23
Usaha perpaduan dua unsur tersebut merupakan cita-cita yang melatarbelakangi
semua kegiatan dan karya-karyanya. Berdasarkan kondisi di atas, kiranya posisi pemikiran
Arkoun dapat ditempatkan secara proporsional dalam pemikiran Islam.
Arkoun menamatkan pendidikan dasarnya di Kabilia. Kemudian dia meneruskan sekolah
menengahnya di Oran, sebuah kota pelabuhan di al-Jazair Barat. Setelah tamat di sekolah
menengah dia masuk ke universitas al-Jir pada jurusan bahasa dan sastra Arab (1950-1954).
Semasa kuliah, dia mengajar bahasa Arab di sebuah sekolah menengah di al-Harrach yang
berlokasi di daerah pinggiran kota al-Jir.
Di tengah-tengah perang pembebasan al-Jazair dari pemerintah kolonial Prancis(1954-
1962), Arkoun melanjutkan studi ke Paris dan setelah itu memilih menetap di Prancis. Sejak itu
Arkoun menyerap berbagai perkembangan ilmu mutakhir dalam bidang islamologi, filsafat, ilmu
bahasa dan ilmu-ilmu sosial Barat, sangat jelas hal ini memberikan pengaruh yang besar dalam
pemikirannya. Ketika kuliah, minatnya terhadap bahasa dan sastra Arab semakin kuat yang
dibuktikan dengan perhatiannya yang difokuskan pada pemikiran Islam. Gelar Doktor diraih oleh
20
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, hlm. 157. 21
John Mouleman, “Pengantar”, hlm. 1.
23 Ibid..,
Al-Asfar, Volume 1 No. 1 Juni 2020
Masdani, Pemikiran Muhammad Arkoun...
56
Arkoun di Bidang sastra pada tahun 1969 dari universitas Sorbonne di Paris, tempat dia
mengajar. Disertasinya tentang “Humanisme dalam Pemikiran Etika Maskawaih”, seorang
pemikir Muslim dari Persia pada abad ke 11 M,24
kemudian diterbitkan dengan judul
Contribution à l’é tude de l’humanisme arabe au IVe/Xe siécle: Miskawayh philosophe et
historiaen.
Perjalanan karir Arkoun dimulai pada tahun 1961, dia diangkat menjadi dosen di
Universitas Sorbonne hingga tahun 1969. Setelah itu, dia mengajar di universitas Lyon selama
tiga tahun (1970-1972). Kemudian dia diangkat menjadi guru besar dalam sejarah pemikiran
Islam di Paris. Sejalan dengan posisi yang diraihnya, Arkoun sering diminta memberikan
ceramah dan menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di luar Prancis., seperti University of
California di Los Angeles, Princeton University, Temple University di Philadelphia, Lembaga
Kepausan untuk studi Arab dan Islam di Roma, dan Universitas Katolik Louvain-la-Neuve di
Belgia. Selain itu, dia juga memberikan kuliah di Rabat, Fez, al-Jir, Tunis, Damaskus, Beirut,
Teheran, Berlin, Kolumbia dan Denver. Tahun 1993, dia diangkat menjadi guru besar tamu di
Universitas (kotapraja) Amsterdam. Sejak al-Jazair membuka politik dengan Prancis pada akhir
tahun 1988, Arkoun sering diundang berceramah oleh berbagai partai politik di al-Jazair,
meskipun tidak ikut ikut partai politik tertentu, atau menerima wawancara dari media cetak dan
televisi di sana25
Dalam mengajar Arkoun memiliki gaya yang khas dan selalu memberikan kepuasan bagi
pendenganrnya, karena setiap analisisnya terhadap pemikiran Islam selalu disertai dengan
pembuktian logis dan interaksi filsafati-religius. Hal ini sangat mendorong bagi terciptanya
suasana kebebasan berbicara dan berekspresi, yang tidak kalah penting adalah memberikan ruang
bagi munculnya kritik dari kalangan mahasiswanya. Menurut Luc Barbulesco dan Philippe
Cardinal, sebagaimana dikutip oleh Suadi Putro, mengatakan Arkoun lebih merupakan seorang
ustadz daripada semata-mata sebagai dosen.26
Selain mengajar Arkoun terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah dan sekaligus dipercaya
menduduki sejumlah jabatan penting. Dia diangkat menjadi direktur ilmiah dari majalah studi
Islam terkenal di Prancis, Arabica, dia juga pernah diangkat menjadi legium Kehormatan
Perancis (chevalier de la Legion d‟honneur) dan memangku sejumlah jabatan resmi sebagai
anggota Panitia Nasional (Prancis) untuk Etika dan dalam Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan
Kedokteran dan anggota majelis Nasional untuk AIDS.27
Dia juga pernah mendapat kehormatan
besar diangkat sebagai officier des Palmes academiques, sebuah gelar kehormatan Prancis
diberika kepada tokoh terkemuka di dunia universitas. Kemudian dia pernah menjabat direktur di
Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Nouvelle (Paris III).28
Arkoun dikenal sebagai pemikir Islam yang produktif, karya-karyanya dalam bentuk buku dan
artikel sudah banyak diterbitkan. Buku-bukunya yang monumental antara lain; Traité d’éthique
24
Ibid.., hlm. 2. 25
Ibid.., hlm. 2. 26
Suadi Putro, Islam dan Tantangan, hlm. 12. 27
John Hendrik Mouleman, “Pengantar”, hlm. 2. 28
Suadi Putro, Islam dan Tantangan, hlm. 18.
Al-Asfar, Volume 1 No. 1 Juni 2020
Masdani, Pemikiran Muhammad Arkoun...
57
(traduction francaise avec introduction et notes du Tahdhīb al-Akhlāq), merupakan tulisan
tentang etika berupa terjemahan Prancis dengan pengantar dan catatan-catatan dari Tahdhīb al-
Akhlāq karya Miskawaih, Damaskus, 1969; Contribution â l’étude de l’humanisme arabe au
IV/Xe siècle: Miskawayh philosophe et historien (sumbangan terhadap pembahasan humanism
Arab pada Abad IV/X: Miskawayh sebagai Filsuf dan Sejarawan), Paris: Vrin, 1970; La pensée
arabe (Pemikiran Arab), Paris:P.U.F, 1975; Ouvertures sur l’Islam (catatan-catatan Pengantar
untuk Memahami Islam),Paris:Grancher, 1989.
Karya Arkoun dalam bentuk kumpulan artikel yang telah dipublikasikan, yakni: Essais
sur la pensée islamique (Esei-esei tentang pemikiran Islam), Paris, Maisonneuve et Larose,
1973; Lectures du Coran (Pembacaan-pembacaan Qur‟an), Paris, Maisonneuve et Larose, 1982;
Pour une critique de la raison islamique (Demi Kritik nalar Islami), Paris, Maisonneuve et
Larose, 1984.
Buku-buku yang lain adalah Aspect de la pensée musulmane classique (Aspek-aspek
Pemikiran Islam Klasik), Paris: IPN, 1963; Deux Epitres de Miskawayh (Dua Surat Miskawaih),
edisi kritis, Damaskus, 1961; Discours coranique et pensée scientifique (Wacana al-Qur‟an dan
Pemikiran Ilmiah), Paris: Sindbad, L’Islam, hier, demain (Islam, Kemaren dan Esok), karya
bersama Arkoun, Louis Gardet, Buchet-Chastel, Paris, cet. II, 1982, dan L’Islam, Religion et
societe (Islam, Agama dan Masyarakat), karya bersama Arkoun, M. Arosio dan M. Borrmans,
ed. Cerf, Paris, 1982). 29
Kebanyakan karya Arkoun sesungguhnya ditulis dalam bahasa Perancis, tapi terdapat
satu buku yang merupakan bahan ceramahnya di Center for Contemporary Arab Studies,
Universitas George Town, Amerika Serikat berjudul Rethinking Islam Today, 1987. Buku-buku
Arkoun yang beredar versi bahasa Arab, semuanya adalah terjemahan dari bahasa Perancis.30
Hal
ini tentu tidak memuaskan dan sering menimbulkan banyak salah paham yang implikasinya
memojokkan Arkoun pada posisi yang kontroversial.31
Selanjutnya Arkoun juga ikut
menyumbangkan tulisan dalam Encyclopedia Universalis, Paris: Ensiklopedia Universalis
France S.A, 1992, dalam entri” Islam, les expressions de l‟Islam‟ dalam sub A’la connaissance
de l’Islam: problems epistemologiques” (h. 676-680).32
29
Ibid.., hlm. 5. 30
Buku-buku Arkoun yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab adalah: al-Fikr al Islāmī, Qira’ah
‘ilmiyyah (Pemikiran Islam, Bacaan Ilmiah), terjemahan Hasyim Salih, Beirut: Markaz al-Inma‟ al-Qaumi, 1987.
Buku ini terdiri dari delapan makalah Arkoun yang pengantarnya dari penerjemah; al-Fikr al-‘Islāmī, Naqd wa
Ijtihād (Pemikiran Islami, Kritik dan Ijtihad), terjemahan Hasyim Shalih, Beirut: Dar as-Saqi, cet. II, 1992. Buku ini
berisi Tanya jawab dengan Arkoun dan pengantar buku ini adalah dari makalah Arkoun yang berjudul, Min Faisal
at-Tafriqah ilā Fasl al Maqāl, Aina Huwa al Fikr al-Islāmī al-Mu’āsir? (Dimanakah Pemikiran Islam
Kontemporer?) 31
Salah satu pemicunya adalah pada anggitan mitos yang diterjemahkan dalam bahasa Arab menjadi
ustūrah, yang pada umumnya dimengerti sebagai dongeng. Padahal maksud Arkoun, sesungguhnya wacana al
Qur‟an memiliki susunan atau tingkatan mitis”. Kesalahan pahaman ini membuat Arkoun diposisikan sependapat
dengan para penentang Nabi Muhammad yang menganggap al Qur‟an “asātīr al awwalīn (dongeng-dongeng orang
terdahulu kala). Lihat Meuleman”Pengantar”, hlm. 20. 32
Suadi Putro, Islam dan Tantangan, hlm. 20.
Al-Asfar, Volume 1 No. 1 Juni 2020
Masdani, Pemikiran Muhammad Arkoun...
58
C. Historisitas Pemikiran Muhammad Arkoun Tentang Sacral dan Profane
Persoalan sakral dan profan bagi Arkoun menjadi penting karena memiliki keterkaitan
dengan persoalan dinamika pemikiran Islam dari semenjak klasik hingga kontemporer. Para
pemikir Islam kontemporer menyepakati bahwa, Islam memiliki dua dimensi yakni Islam
sebagai agama dan tradisi pemikiran. Yang pertama dipandang sebagai suatu yang bersifat
sakral, maka ia selalu tetap atau mapan dan, yang kedua dipandang sebagai suatu yang bersifat
profan, maka ia selalu berubah mengikuti alur pemikiran dalam dinamika historisitas manusia.
Dalam konteks sakral dan profan, Ali Ahmad Said, seorang budayawan Arab
kontemporer atau lebih popular di panggil Adonis dalam Disertasinya yang berjudul ats-Tsābit
wa al-Mutaẖawwil: Bahts fi al-Ibdā wa al—Itbā ‘Inda al-Arāb, berupaya mendudukkan
persoalan ini pada cara pandang dan kecenderungan manusia Arab-Islam dalam melihat dua hal,
yaitu masa lalu dan masa kini, keyakinan dan relaitas, wahyu dan akal, warisan dan sesuatu yang
datang dari luar. Hal ini tercermin dalam saluran-saluran budaya dan peradaban mereka yang
dimanifestasikan dalam bidang politik, fiqh, kalam, tasawuf dan ilmu kebahasaan dan
kesasteraan.33
Menurutnya, sakral dan profan atau “yang mapan” dan “ yang berubah” tidak
terletak pada ajaran (agama Islam), melainkan dalam ruang lingkup kebudayaan Arab. Yang
mapan (ats-tsābit) dia definisakan sebagai pemikiran yang bertumpu pada teks, dan yang
menjadikan sifat kemapanannya (tsābat) sebagai dasar bagi otoritas, baik dalam memahami
maupun mengevaluasi. Selain itu, yang mapan menegaskan dirinya sebagai makna satu-satunya
yang benar bagi teks, dan berdasarkan hal tersebut, ia menjadi otoritas epistemologis. Sementara
“yang berubah” (al-mutaẖawwil), Adonis membaginya dalam dua pengertian: pertama, sebagai
pemikiran yang berdasarkan pada teks, namun melalui interpretasi yang membuat teks dapat
beradaptasi dengan realitas dan perubahan. Kedua, sebagai pemikiran yang memandang teks
tidak mengandung otoritas sama sekali, dan pada dasarnya pemikiran tersebut didasarkan pada
akal, bukan naql (tradisi/wahyu).
Adonis menjelaskan bahwa akar persoalannya terletak pada epistemologis Arab yang
mengangkat kemapanan teks pada dataran keagamaan. Kecenderungan ini mengemuka
dikarenakan sastra, puisi dan pemikiran secara umum disejajarkan dengan agama. Berdasarkan
pengalaman sejarah menunjukkan kebudayaan Arab merupakan representasi dari kebudayaan
kekuasaan. Oleh karena itu, dalam kaca mata Adonis, “yang mapan” dan “yang berubah” dilihat
sebagai suatu pertarungan antara kecenderungan terhadap kemapanan dan kecenderungan
terhadap perubahan. Lebih lanjut dia menerangkan bahwa yang paling mencolok dalam
pertarungan tersebut adalah dukungan teologis dan politik yang berujung pada kemapanan dan
segala manifestasinya. Menurut Adonis, besarnya dominasi ini menghasilkan sikap kepuasan
terhadap masa lalu yang dianggap sudah sempurna dan tidak perlu ditambah. Sebaliknya bagi
kecenderungan yang kedua, masa lalu belum selesai, sehingga mesti diperjuangkan sampai
mendekati kesempurnaan. Namun, sangat disayangkan perubahan-perubahan bagi
33
Khairon abu Asdavi , “Pengantar”, dalam Adonis, ats-Tsābit wa al-Mutaẖawwil: Bahts fi al-Ibdā wa al—
Itbā ‘Inda al-Arāb, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LKIS, 2007), hlm. xx.
Al-Asfar, Volume 1 No. 1 Juni 2020
Masdani, Pemikiran Muhammad Arkoun...
59
kecenderungan dominasi hanya dianggap sebagai riak-riak kecil yang sewaktu-waktu dapat di
musnahkan, ditekan, dan bahkan ditiadakan.34
Berbeda dengan Adonis, Abdul Karim Soroush dalam bukunya yang berjudul Reason,
Freedom, and Democrasy in Islam: Essential Writings of Abdolkarim Soroush, melihat “yang
tetap” dan “yang berubah” terjadi pada wilayah agama, tetapi yang menjadi menarik adalah dua
hal di atas tidak diposisikan dalam wilayah yang bertentangan sebagaimana Adonis, melainkan
dua hal tersebut di sandingkan. Wilayah agama menurut Soroush dikatagorikan kedalam dua
bentuk yakni agama dan ilmu agama. Ilmu agama lahir dari pemahaman terhadap agama,
sedangkan agama merupakan sumbernya yang bersifat tetap.35
Ilmu agama, seperti juga ilmu-ilmu yang lain mengalami evolusi secara terus menerus
yang selalu membutuhkan perbaikan dan penyempurnaan. Ilmu agama lanjut Soroush, berkaitan
dengan kultur dan pemikiran manusia yang bersifat dinamis dan memiliki identitas kolektif,
karena ia lahir dari hasil kerjasama dan kompetensi sesama pemikir. Apabila pada titik ini, orang
tidak bisa membedakan dua hal ini, maka orang akan sulit keluar dari penjara pemikiran yang
jumud dan kaku.
Bagi Soroush, para kaum revivalis atau pembaharu adalah penafsir agama (syārih), bukan
pembuat agama (syarī’). Mereka adalah para penyusun ilmu agama yang tidak sempurna, dan
posisi mereka berjuang untuk memahanmi al-Qur‟an dan Sunnah yang hasilnya menawarkan
pemahaman agama yang selalu segar dan berikhtiar untuk memperbaharui pengetahuan kita
tentang keduanya. Tetapi bukan menghasilkan pengetahuan yang suci. Nabi Muhammad adalah
Nabi terakhir, dan agama yang dibawanya adalah agama terakhir. namun tidak ada pakar hukum
(faqih) atau pakar tafsir (mufassir) yang menjadi pakar hukum atau mufassir terakhir. Dalam arti
kata yang lain, agama terakhir sudah datang, tetapi pemahaman agama belum berakhir. Bagian
yang sakral adalah agama dan yang profan adalah pemahaman agama atau tradisi agama. Dengan
cara berfikir demikian “yang tetap” dan “yang berubah” bisa disandingkan.36
Sementara itu, Arkoun berbeda pandangan dengan Adonis dan Soroush, dia justru
melakukan pemilahan terhadap yang sakral dan profan. Hal ini dilakukan agar jelas mana yang
sakral dan profan dari pemikiran islam yang selama ini dicampur adukkan oleh kaum muslimin,
sehingga seolah-olah sama-sama sakral. Kecenderungan ini banyak ditemukan dalam kehidupan
masyarakat Muslim secara luas sampai sekarang. Terlebih lagi jika sikap demikian dilandasi oleh
tendensi ortodoksi dan kepentingan golongan tertentu.37
Kondisi di atas kemudian berubah menjadi tradisi yang dipelihara dan diwariskan dari
generasi ke generasi sepanjang sejarah kaum Muslimin, melalui mekanisme sakralisasi teks, baik
yang primer maupun yang sekunder, bahkan turunan-turunannya pun ikut disakralkan. Pada
34
Adonis, ats-Tsābit wa al-Mutaẖawwil: Bahts fi al-Ibdā wa al—Itbā ‘Inda al-Arāb, terj. Khoiron Nahdiyyin
(Yogyakarta: LKIS, 2007), hlm, xxi-xxxviii. 35
Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas, hlm. 42. 36
Ibid.., hlm. 41-52 37
Amin Abdullah,”Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan
Multirelijius”, dalam Amin Abddullah, dkk, (ed), Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi (Yogyakarta: Sunan
Kalijaga Press, 2000), hlm. 4-7.
Al-Asfar, Volume 1 No. 1 Juni 2020
Masdani, Pemikiran Muhammad Arkoun...
60
gilirannya tradisi yang seharusnya bisa menyesuaikan dengan kondisi faktual, sekarang menjadi
aturan yang sakral dan harus dipedomani dalam kehidupan sehari-hari.38
Untuk lebih memahami pemisahan yang dimaksud Arkoun antara yang sakral dan profan
di atas, dia membagi tradisi (turās) dalam dua bentuk. Pertama “tradisi ideal”. Tradisi bentuk ini
sebagai perwujudan dari perjuangan misi Qur‟an selama 20 tahun di Makkah dan Madinah yang
tidak bisa dirubah dengan usaha manusia dan bersifat transenden atau dengan kata lain tradisi
yang terbimbing wahyu. Kedua, tradisi-tradisi yang muncul setelahnya sebagai hasil dari
pembacaan terhadapnya, peniruan atau pengulangan dari tradisi ideal tersebut yang
diartikulasikan oleh manusia dalam ungkapan-ungkapan teks.39
Pada wilayah tradisi bentuk yang kedua inilah proses taqdīs al-afkār al-Dīniyya atau
sakralisasi dan ideologisasi pemikiran Islam terjadi. Kemudian diikuti dengan manzur al Taqlīdī
dan manzur Iqtisām al-Tā’ifi yang melahirkan ortodoksi, setelah sebelumnya mengalami dua
titik beku dalam sejarah Islam. Dua titik beku yang dimaksud adalah keruntuhan Bagdad oleh
serangan bangsa Tartar di bawah komando Hulagu Khan (1258 M) dan runtuhnya kerajaan Islam
di Spanyol yang disusul dengan gerakan reconquista terhadap umat Muslim yang tinggal di sana
(1492 M). Pada titik ini umat Muslim mengalami kemunduran dalam bidang sosial-politik yang
sangat hebat, sehingga membutuhkan Islam ortodoks, dogmatik, rigid, tetapi efektif secara
ideologis sebagai unsur pemersatu.40
Selanjutnya turās dalam artian tradisi yang berproses secara historis ini mengalami
pergeseran menjadi mitos yang menjelaskan, menunjukkan, mendirikan kesadaran kolektif, dan
pada saat yang sama menjadi pelestari, penghasil kembali, pembaku dan bahkan pemistik. Hal
ini terjadi manakala mitos digunakan oleh suatu kelompok mayoritas di dalam persaingan
wacana kekuasaan yang bertujuan memberikan pembenaran dan mempertahankan suatu hierarki
sosial yang telah dilembagakan. pada kondisi ini mitos tidak lagi merupakan ciptaan kolektif
yang identitasnya diisi oleh seluruh kelompok, tetapi mitos yang berisi berbagai gambaran dan
nilai berupa simbol-simbol, dikelola, diatur, ditentukan dan diwariskan oleh pemegang wacana
yang dominan. 41
Demikianlah apa yang dilakukan pada masa dinasti Umayyah dan Abbassiyyah mengenai
wacana Qur‟an yang diubah menjadi sebuah teks yang dibekukan di dalam sebuah korpus
tertutup dan sejak saat itu dimanfaatkan sebagai himpunan pendapat atau ujaran normative baik
untuk mengatur hal-hal yang terpikirkan maupun untuk mengokohkan lembaga-lembaga dan
hukum (dari segi politis dan yuridis). Begitu juga para pemimpin masyarakat Muslim dewasa ini
38
Ahmad Ali Riyadi, Dekonstruksi Tradisi: Kaum Muda Nu merobek Tradisi (Yogyakarta: Ar-Ruzz,
2007), hlm. 187. 39
Muhammad Arkoun, Tārīkhiyyat al Fikr al-‘Arabi al-Islāmī (Beirut: Markaz al-Inma‟ al-Qaumi, 1986),
hlm. 17. Tulisan Arkoun di Artikel yang lain berjudul, “ Demi Islamologi Terapan”, dalam Muhammad Arkoun,
Nalar Islami dan Nalar Modern, terj. Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 122. Dia menggunakan istilah
Turās kesejarahan dan Turās mitologis. 40
Muhammad Arkoun dan Louis Gardet, Islam, Kemarin dan Hari Esok, terj. Ahsin Muhammad
(Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 91. Baca juga Muhammad Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions,
Uncommon Answers, terj. Yudian W. Asmin, dkk (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 134 41
Muhammad Arkoun, Pour une critique de la raison islamique, terj. Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS,
1994), hlm. 251
Al-Asfar, Volume 1 No. 1 Juni 2020
Masdani, Pemikiran Muhammad Arkoun...
61
melakukan hal yang sama saja, ketika mereka mengingatkan teks-teks Qur‟an untuk mendasari
praktik-praktik baru dalam bidang politik dan ekonomi. Sebagaimana yang diungkapkan
Arkoun:
“Qur‟an belum pernah sebelum masa ini begitu banyak dipakai oleh jutaan kaum mukminin
untuk mengabsahkan perilaku, mendukung peperangan, melandasi berbagai aspirasi, memelihara
berbagai harapan, melestarikan berbagai keyakinan, memperkokoh identitas kolektif dalam
menghadapi berbagai kekuatan penyeragaman dari peradaban industry. Kita tahu bagaimana
negeri-negeri Islam, dibawah dominasi colonial, dari Indonesia samapi ke Maroko, telah terpaksa
untuk mengembangkan suatu ideology peperangan untuk memerdekakan diri setelah Perang
Dunia II. Gejala ini tidak berakhir dengan direbutnya kembali kemerdekaan-kemerdekaan
politis; selain terjadinya lagi strategi-strategi dominasi politik dan ekonomi di dunia saat ini,
kesulitan-kesulitan pembangunan nasional dalam setiap negeri Islam telah mamaksakan
penggunaan agama yang semakin lama semakin menekan sebagai tuas ideologis bagi para
pemimpin, sangkar politik bagi pra oposan, pemgungsian moral bagi para pemimpin agama dan
alat untuk mempromosikan diri bagi kader-kader baru masyarakat”. 42
Aspek yang berpengaruh dalam sakralisasi turās adalah imaginaire kolektif dan individu.
Imaginaire terbentuk karena adanya istilah yang disebut Arkoun sebagai “utang makna”. “utang
makna” berasal dari sejarah perjuangan Nabi Muhammad dalam membentuk komunitas baru di
Makkah dan di Madinah dalam rentang waktu dua puluh tahun dan berbagai peristiwa-peristiwa
prinsipil dalam sebuah gaya naratif. Tanpa disadari perjuangan Nabi yang diwariskan dalam
bentuk narasi tersebut, menciptakan sebuah pengakuan akan “utang makna” yang muncul dalam
setiap kesadaran individu dan, akibatnya, sebuah ketaatan terhadap seluruh perintah sang
pemimpin.43
Demikian pula dengan figur-figur dan paradigma-paradigma simbolik makna dari
berbagai peristiwa dan tokoh-tokoh tertentu yang ditransformasikan sebagai simbol-simbol
representasi kolektif yang menstrukturkan imaginaire sosial masyarakat-masyarakat di mana
“Islam” digunakan sebagai referensi umum dan tak terkritik, memproduksi image-image yang
sama, preposisi-preposisi yang sama tentang “agama” dan kekuasaan (kekuatan yang
menghalangi, mengendalikan dan menghukum). Biografi sirāh mengenai Muhammad dan „Ali,
seperti telah ditetapkan dalam tradisi Sunni dan Syi‟ah, merupakan hasil tipikal dari imaginaire
sosial yang sama yang dipengaruhi oleh visi mitis yang dilaborasi dan disediakan oleh al
Qur‟an.44
Masalah imaginaire diakui oleh Arkoun sebagai bagian dari bidang kesejarahan yang
penting dan belum menjadi perhatian sejarawan Islam. Menurut Arkoun imaginaire merupakan
persoalan yang tidak terhindarkan ketika kita ingin menghubungkan peristiwa-peristiwa politik,
42
Muhammad Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, terj. Machasin (Jakarta: INIS, 1997) hlm. 9. 43
Muhammad Arkoun, Islam Kontemporer: Menuju Dialog Antar Agama, terj. Ruslani (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), hlm 52. 44
Muhammad Arkoun,”Kritik Konsep Reformasi Islam”, dalam Abdullah Ahmed an-Naim, Dekonstruksi
Syari’ah II: Kritik Konsep, Penjelajahan Lain, terj Farid Wajidi (Yogyakarta: LKIS, 1996), hlm. 15.
Al-Asfar, Volume 1 No. 1 Juni 2020
Masdani, Pemikiran Muhammad Arkoun...
62
sosial, dan kultural dengan asal-usul dan pengaruh-pengaruh psikologisnya. Mengapa demikian,
karena imaginaire dihubungkan dengan sejarah keselamatan yang banyak diajukan oleh Kitab-
kitab Suci, yang telah diterima, diintegrasikan, dan digunakan oleh imaginaire kolektif dan
individu. Hal ini bisa dipahami apabila memperhitungkan representasi-representasi Keselamatan
yang diabadikan dalam perilaku dan aktifitas berfikir semua orang beriman, sehingga semua
sejarah yang dihasilkan dalam masyarakat-masyarakat Kitab dilegitimasi dan diasimilasi oleh
imaginaire Keselamatan, bukan seperti klaim sejarah naratif yang bisa memahami seluruh
peristiwa menurut sistem pengetahuan “rasional”.Sistem teologis dan yuridis yang dielaborasi
oleh apa yang disebut “nalar”, juga dihubungkan pada imaginaire keselamatan.45
Dengan demikian menurut Arkoun, apabila menginginkan ke arah perbaikan dalam
konteks sekarang (rekonstruksi), maka harus diawali dengan pengkajian teks (dekonstruksi).
Dalam hal ini Arkoun sering menyinggung langkah ini sebagai analisis epistemologis yang dia
ungkap dalam beberapa karyanya di antaranya; Pour une Critique de la Raison Islamique,
Lecture du Coran dan Ouvertures sur l’islam.46
Lanjut Arkoun, Analisis epistemologis harus
diterapkan kepada teks, suci maupun profan, historis maupun filosofis, teologis atau yuridis,
sosiologis atau antropologis…, terlepas dari kedudukannya atau status kognitifnya dalam sebuah
tradisi keyakinan, pemikiran atau pemahaman. Islam adalah salah satu di antara banyak contoh
yang tidak berbeda dibandingkan dengan yang lain; atribut-atribut otentisitas, orisinalitas.
Kekhususan, ketakterhapusan, yang sakral, suci, transenden dan seterusnya… menjadi milik
pemikiran yang fundamentalistik, holistic, mitologis, yang bertujuan memberdayakan umat dan
bangsa, kelompok atau tradisi yang mendominasi, tetapi tidak bertujuan memperbaiki upaya-
upaya kognitif pikiran manusia dalam berbagai budaya.47
D. Penutup
Langkah pengadopsian pemikiran Barat ini, mengilhami gerakan-gerakan nahdah di
dunia Muslim. Menurut Arkoun para penggerak gerakan ini hanya melakukan peniruan terhadap
teori-teori pengetahuan Barat yang integrasikan dalam pemikiran Islam. Selanjutnya momentum
nahdah berbarengan dengan munculnya gologan nasionalis yang berupaya mendistorsi
pemikiran Barat yang dianggap penjajah dengan menghadirkan kembali gambaran kejayaan
masa lalu dan kehebatan agama yang sesungguhnya memunculkan kembali ajaran-ajaran
45
Muhammad Arkoun, Islam Kontemporer, hlm 54-55. Sistem teologis dan yuridis yang dielaborasi oleh
apa yang disebut “nalar”. Sebuah sistem pengetahuan yang selalu dikorelasikan dengan wahyu atau menemukan
dalilnya yang tepat dengan wahyu. 46
Pour une Critique de la Raison Islamique (Paris: Maisonneuve et Larose, 1984); Lecture du Coran
(Paris: Maisonneuve et Larose, 1982); Ouvertures sur l’islam (Paris: Maisonneuve et Larose, 1989). 47
Muhammad Arkoun,”Kritik Konsep Reformasi Islam”, hlm. 13.
Al-Asfar, Volume 1 No. 1 Juni 2020
Masdani, Pemikiran Muhammad Arkoun...
63
ortodoks. Hal ini dilakukan demi kepentingan politik untuk memobilisasi massa dalam rangka
merebut kemerdekaan, sambil menyuarakan pernyataan-pernyataan apologetis yang mengklaim
bahwa pemikiran-pemikiran sekuler tersebut sudah tertulis dalam wahyu.
Selanjutnya para pemikir nahdah yang telah lama menghadirkan gagasan-gagasan yang
menyegarkan rasionalitas di universitas-universitas Muslim, harus mengalami tekanan sosial-
budaya di negaranya, menyebabkan mereka pindah ke negara-negara Barat yang menjamin
kebebasan berfikir mereka. Tetapi hal ini menyebabkan kekosongan intelektual tercerahkan
dikampus-kampus yang bersangkutan, dengan begitu memberikan ruang kepada pengajar atau
pengambil keputusan yang kurang berkualitas, tapi kuat dalam ortodoksi untuk mengisi
kekosongan ruang tersebut.
Dengan demikian dinamika sakral dan profan dalam pemikiran Islam ditimbulkan oleh
pengalaman kemasyarakatan-kesejarahan suatu kelompok “penganut”, suatu model pemikiran
dan suatu cara pengungkapan. Arkoun menyimpulkan dalam proses itu adalah adanya
keterkaitan antara bahasa, sejarah dan pemikiran, dalam seluruh rentang sejarah pembentukan
pemikiran Islam dari klasik hingga kontemporer.
Daftar Pustaka
Abdurrahman Wahid. ”Pengantar”, dalam Nurcholis Madjid dkk, Islam Universal. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2007.
Abu Asdavi, Khairon, “Pengantar”, dalam Adonis, ats-Tsābit wa al-Mutaẖawwil: Bahts fi al-
Ibdā wa al—Itbā ‘Inda al-Arāb, terj. Khoiron Nahdiyyin. Yogyakarta: LKIS, 2007.
Adonis, ats-Tsābit wa al-Mutaẖawwil: Bahts fi al-Ibdā wa al—Itbā ‘Inda al-Arāb, terj. Khoiron
Nahdiyyin. Yogyakarta: LKIS, 2007.
Amin Abdullah. ”Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan
Multirelijius”, dalam Amin Abddullah, dkk, (ed), Antologi Studi Islam: Teori dan
Metodologi. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000.
………………. ”Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman”, dalam Amin Abdullah, dkk,
Rekonstruksi Metodologi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan
Multireligius. Yogyakarta: Suka Press. 2003.
Ahmad Ali Riyadi, Dekonstruksi Tradisi: Kaum Muda Nu merobek Tradisi. Yogyakarta: Ar-
Ruzz, 2007.
Akh. Minhaji. ”Hak-hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam: Ijtihad Baru tentang Posisi
Minoritas Non-Muslim”. dalam Amin Abdullah ed. Antologi Studi Islam: Teori
dan Metodologi. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press.2000.
Arkoun, Muhammad. Tārīkhiyyat al Fikr al-‘Arabi al-Islāmī. Beirut: Markaz al-Inma‟ al-
Qaumi, 1986.
…………………… “ Demi Islamologi Terapan”, dalam Muhammad Arkoun, Nalar Islami dan
Nalar Modern, terj. Rahayu S. Hidayat. Jakarta: INIS. 1994.
Al-Asfar, Volume 1 No. 1 Juni 2020
Masdani, Pemikiran Muhammad Arkoun...
64
……………………dan Louis Gardet, Islam, Kemarin dan Hari Esok, terj. Ahsin Muhammad.
Bandung: Pustaka, 1997.
…………………...Berbagai Pembacaan Qur’an, terj. Machasin (Jakarta: INIS, 1997) hlm. 9.
.Islam Kontemporer: Menuju Dialog Antar Agama, terj. Ruslani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001.
…………………..”Kritik Konsep Reformasi Islam”, dalam Abdullah Ahmed an-Naim,
Dekonstruksi Syari’ah II: Kritik Konsep, Penjelajahan Lain, terj Farid Wajidi.
Yogyakarta: LKIS, 1996.
……………………...Rethingking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, terj. Yudian
W. Asmin. Yogyakarta: LPMI dan pustaka Pelajar. 1996.
…………………….Rethinking Islam Today, terj. Ruslani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
…………………..Arab Thought, terj.Yudian Wahyudi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
…………………..”Rethinking Islam”,dalam Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal:
Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global. Jakarta: Paramadina. 2001.
D. Lee, Rebert, Mencari Islam Autentik: dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun,
terj. Ahmad Baiquni. Bandung: MIZAN, 2000.
Hadi Susilo,”Tempat Manusia dalam Arkeologi Pengetahuan Menurut Michel Foucault”, dalam
Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu, Tim Redaksi Majalah Drikarya.
Jakarta: Gramedia, 1993.
Jabiri, Abed. Muhammed,”Reformasi Agama dan Pembaharuan Pengetahuan,” dalam, Abdou
Filali Anshary, Pembaruan Islam: dari Mana dan Hendak ke Mana?, terj.
Machasin. Bandung, MIZAN, 2009.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk aksi, cet ke VIII. Bandung: MIZAN. 1998.
Lutfi Assyaukanie.”Islam dalam Konteks Pemikiran Pasca-Modernisme: Pendekatan Menuju
Kritik Akal Islam”, Jurnal Ulumul Qur’an, 5,1, 1994.
Meuleman, John Hendrik,”Pengantar” dalam Muhammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar
Modern: berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat. Jakarta:
INIS, 1994.
Nurkholis Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban, cet ke II. Jakarta: Paramadina, 1992.
Robert, D. Lee. Overcoming Tradition and Modernity: the Search for Islamic Authenticity, terj.
Ahmad Baiquni. Bandung: MIZAN, 2000.
Soroush, Abdul Karim, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terj. Abdullah Ali. Bandung:
MIZAN. 2002.
Suadi Putro. Muhammad Arkoun: Islam dan Tantangan Modernitas. Jakarta: Paramadina, 2000.
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ikhtiar Baru van Hoeve, 2005.