Alam Sumatra

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Konservasi

Citation preview

  • 1

    LAP. UTAMA

    NO

    : 6

    / JA

    NU

    AR

    I 20

    04DI

    CETA

    K DI

    ATA

    S KE

    RTAS

    DAU

    R UL

    ANG

    INTRODUKSI

    KEBIJAKANKEBIJAKANKEBIJAKANKEBIJAKANKEBIJAKANPEMAN-PEMAN-PEMAN-PEMAN-PEMAN-FFFFFAAAAAAAAAATTTTTANANANANANRUANGRUANGRUANGRUANGRUANGdan SDAdan SDAdan SDAdan SDAdan SDAARTIARTIARTIARTIARTIKONSER-KONSER-KONSER-KONSER-KONSER-VVVVVASIASIASIASIASI BAGI BAGI BAGI BAGI BAGIJAMBIJAMBIJAMBIJAMBIJAMBI

    PEMBA-NGUNAN,RUANG,dan SDA

    AKTUAL

  • 2A L A M S U M A T E R A

    Dari Redaksi

    Alam Sumatera adalahbuletin intern yangdikelola oleh KomunitasKonservasi IndonesiaWARSIAlamat :Jl. Kapten M. Daud no. 48(Lorong Nangka Bhakti)RT 04 / RW 02,Kel. Payo LebarJambi 36135PO BOX 117 JbiTel/Fax : (0741) 61859E-mail : [email protected]:\\www.warsi.or.id

    desain dan cetak :Kejora, photo&graphics(021)8351313

    Foto Cover:Aulia Erlangga / KKIWARSI

    Susunan Redaksi

    Penanggung JawabRudi Syaf

    EditorRoidah

    PelaksanaTim KKI WARSI

    DistribusiAswandi

    Sidang pembaca,Alam Sumatera kali ini bisa dibilang lanjutan dari edisi sebelumnya. Karena edisi inimengupas hal yang pernah diangkat sedikit tentang kerja sama KKI Warsi denganLembaga Penelitian Universitas Jambi (LP-Unja) bertemakan Studi Pembangunandalam Pemanfaatan Ruang dan Sumber Daya Alam (SDA) di Kabupaten Batangharidalam edisi Oktober 2003.

    Edisi awal tahun ini lebih merinci hasil yang dicapai dari kerja sama tersebut. Dimana studi pembangunan intinya membahas tentang tata ruang yang sangatberpengaruh pada penyelamatan kawasan konservasi, khususnya Taman Nasional BukitDuabelas (TNBD) Jambi, yang masuk wilayah Kabupaten Batanghari. Karena luasanTNBD di sini memang lebih besar daripada kabupaten lainnya di Jambi, yaitu 40.000hektar dari total keseluruhan 60.500 hektar.

    Secara khusus tulisan yang mengupas pentingnya kebijakan yang bersandar padapenataan ruang yang tepat dan disesuaikan dengan potensi SDA yang dipunyai daerah,dipaparkan DR. Johannes, MSi dari LP Unja yang juga merupakan dosen FakultasEkonomi Unja, Robert A, Koordinator Program KKI Warsi, dan Budi Retno Minulya,Koordinator Unit Fasilitasi Desa KKI Warsi. Pembahasan mereka disandingkan denganpemanfaatan ruang versi Orang Rimba TNBD, disajikan Marahalim Siagian,Antropolog KKI Warsi.

    Sebagai pelengkap wacana ini yang juga berarti pelengkap sajian Alam Sumateraedisi awal tahun ini, diperoleh gambaran pemanfaatan ruang dan SDA di daerahlainnya di Sumatera, seperti Sumatera Barat. Tulisan tersebut diangkat Syafrizaldi,Koordinator Daerah Sumbar CBFM (Community Based Forest Management :pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat) yang berkegiatan di Jambi, Sumbar, danBengkulu. Tujuan dari kupasan tentang tata ruang dan pemanfaatan SDA ini tak lainagar ke depan pemerintah dalam menghasilkan kebijakan, selalu merujuk pada duapoin itu.

    Alam Sumatera juga mengangkat kisah tentang lingkar kekuasaan toke tehadapmasyarakat di beberapa desa di sekitar TNBD, dipaparkan Zainuddin dan Ade Candra,dua-duanya staf Unit Fasilitasi Desa KKI Warsi. Turut memboboti Alam Sumaterakali ini, tulisan tentang upaya masyarakat Desa Jernih mendapatkan hak pengelolaantanah ulayat mereka yang berakhir di penjara, hasil investigasi Erinaldi, staf UnitFasilitasi Desa KKI Warsi.

    Alam Sumatera juga diwarnai berita kerja sama dinas kesehatan kabupaten-kabupatendi Jambi dengan KKI Warsi, dituliskan Sutardi Diharjo, Fasilitator Kesehatan OrangRimba KKI Warsi. Tulisan yang tak kalah menariknya tentang pendidikan alternatifuntuk Orang Rimba yang disajikan oleh Aprista Wijaya, Fasilitator Pendidikan Or-ang Rimba KKI Warsi.

    Demikianlah gambaran isi Alam Sumatera edisi kali ini. Akhirnya redaksi serahkanke pembaca untuk menyelami langsung keseluruhan isinya. Redaksi mohon maafjika terbitan kali ini memiliki kekurangan.

    Salam Lestari

  • 3KONSEP

    Pembangunan,Ruang, dan SDA

    Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menegaskan kalaubumi, air, dan segala kekayaan yang terkandungdi dalamnya dikuasai negara serta dipergunakansebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, cenderungdalam pelaksanaannya keliru. Padahal hubungan antarapembangunan, ruang, dan sumber daya alam (SDA)bersifat sebab-akibat yang sangat kompleks danmengandung kerawanan. Alasan demi kemakmuranrakyat bisa mengakibatkan penggunaannya takterkontrol lalu yang terjadijustru sebaliknya. Untukitu perlu perencanaan yangsangat baik danbertanggung jawab untukketiga poin tersebut.

    Ruang merupakan wahanayang sangat kompleks. Didalamnya tersusun anekaragam kehidupan mahlukhidup dan benda matiyang saling berinteraksi.Tidak satu mahluk pundapat melepaskan diri dariruang sekaligusmelepaskan diri dari mahluk lainnya. Saling memakandan saling memanfaatkan merupakan hukum ekosistemdemi tercapainya keseimbangan dalam keseluruhanekosistem. Salah satu aspek penting dari keruanganadalah tempat bagi SDA. Dan salah satu SDA yangsangat penting untuk penopang ekosistem secara luasadalah hutan. Dari semua jenis ekosistem hutan, hutantropis dataran rendahlah yang merupakan ekosistemterkaya, bukan hanya kaya dari segi keragamankehidupan yang ada di dalamnya melainkan palingkaya fungsinya.

    Hutan berdampak global. Karena itu pemanfaatannyadalam pembangunan harus penuh kehati-hatiandengan didasarkan perspektif pembangunan jangkapanjang, melalui kekonsistenan tata ruang nasionaldalam membuat perimbangan antara ruang untukpengembangan ekonomi dengan ruang untuk fungsiekologis. Fungsi-fungsi keruangan yang bersifat ekologisdapat melampaui batas-batas keruangan kabupatenatau provinsi. Sehingga tata ruang nasional menjadi

    acuan bagi penyusunan rencana tata ruang di berbagaiprovinsi. Begitu juga dengan rencana tata ruangprovinsi akan menjadi acuan bagi tata ruang kabupaten-kabupaten.

    Dengan digulirkannya otonomi daerah dan lahirnyaUU Nomer. 22 tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah harusnya membantu daerah dalam mengaturkeruangan dan SDA-nya secara lebih baik. Undang-

    undang ini kianmembuka peluangkeotonomian bagidaerah, termasuk desadan kelompokmasyarakat lainnya.Untuk menindaklan-juti pembangunanyang berpedomankeruangan ini,kesamaan wilayahmenjadi prasyaratanutama yangmengharuskan adanyakejelasan batas wilayah,

    sehingga tidak terjadi pencaplokan suatu wilayah.Lewat kejelasan batas wilayah bisa diatur dan disepakatitata peruntukan wilayah guna membuat perencanaandasar (grand desain) otonomi komunitas.Konsekuensinya pemetaan ruang pun menjadi sebuahkebutuhan yang harus ditindaklanjuti ke depan.

    Melalui undang-undang itu juga misi otonomimemungkinkan provinsi, kabupaten, hingga desamengurus sendiri pemerintahannya, serta kepastianakan hak-hak terhadap SDA. Selanjutnya perludidorong pembangunan atas hukum lokal sepertiperaturan desa (Perdes), kesepakatan antar wilayahdesa, dan lainnya. Ini akan diusung untuk menjadisubstansi bagi perencanaan ruang yang lebih makro,baik untuk level kecamatan, kabupaten, provinsi,bahkan bisa didorong ke region pulau. Inisiasi ini bisamengakomodasi kepentingan masyarakat di level bawahyang selama ini terabaikan.(Robert A, KoordinatorProgram dan Antropolog/Edra Satmaidi, Legal OfficerProgram CBFM).

  • 4INTRODUKSI

    Peluang danTantangan dalamPemanfaatanRuang dan SDA

    AU

    LIA

    ER

    LAN

    GG

    A /

    DO

    K. K

    KI

    WA

    RSI

    Otonomi daerah yang diatur Undang-Undangnomor 22 Tahun 1999, memberikan harapanadanya percepatan kemajuan daerah, setelahlebih dari 30-an tahun terjadi sentralisasi prioritaspembangunan. Moment otonomi daerah inimerupakan peluang desentralisasi pengelolaanpembangunan termasuk Sumber Daya Alam (SDA)di daerah, hingga bisa berdampak pada peningkatantaraf hidup masyarakat. Namun kecenderungan yangmuncul justru hanya peningkatkan Pendapatan AsliDaerah (PAD) oleh masing-masing kabupaten/kotayang dijadikan variable penting dalam pelaksanaanotonomi daerah.

    Secara mendasar SDA memang menjadi komponenpenting sumber PAD. Mengingat itu, dikhawatirkanmuncul predikat daerah kaya dan daerah miskin yangberpotensi konflik baik horizontal (antar daerah)maupun vertikal (dengan pemerintah pusat).Disamping itu, daerah yang terpacu mengejar PAD,mengambil SDA berlebihan hingga aspek penataanruang dan pemanfaatan SDA berkelanjutan terabaikan.Timbul ketidakseimbangan ekosistem dan bencanaalam pun tak terelakan, seperti banjir, longsor, dansebagainya.

    Ingat, peristiwa banjir di kawasan wisata alam BukitLawang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, awalNovember 2003, telah menewaskan puluhan orang danmenimbulkan kerugian yang sangat besar. Meskipunpemerintah menyebut itu bencana alam murni, tapifaktor penyebabnya bisa dihubungkan dengankerusakan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)yang memprihatinkan dalam bentuk pengambilankayu secara illegal. Disamping itu, pembangunan jalanLadia Galaska sepanjang 450 kilometer yang membelahbukit tentu saja berkontribusi terhadap kerusakanlingkungan. Fenomena ini menggambarkan betapapenataan ruang dan pemanfaatan SDA yangmemperhatikan aspek ekologi menjadi pentingdiperhatikan.

  • 5A L A M S U M A T E R A

    Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi merupakan salah satu tamannasional dari empat yang ada di Jambi. Taman ini bermakna strategis yang tidakhanya menyangkut sosial ekonomi saja, melainkan juga fungsi ekologisnya. Karenasecara geografis, ada keterkaitan antara fungsi hidrologisnya dengan Daerah AliranSungai (DAS) Batanghari dan keterkaitan dengan kegiatan masyarakat di sekitarnya.Artinya kerusakan kualitas taman akan berdampak serius pada kehidupanmasyarakat desa di sekitarnya. Bahkan jika dikaitkan dengan salah satu kekhasanTNBD yang menurut SK Menhutbun nomor 258/Kpts-II/2000 berluas 60.500hektar, dihuni masyarakat asli (Orang Rimba), kerusakan taman berarti akanmengganggu habitat Orang Rimba juga.

    Kelestarian TNBD dihadapkan pada adanya beragam tantangan dan tekanan,baik dalam bentuk pembukaan ladang maupun pengambilan kayu secara illegaldalam taman. KKI Warsi yang bekerja sama dengan LP Unja, mengadakan studiterhadap permasalahan ini, tepatnya meneliti pemanfaatan ruang dan SDA diKabupaten Batanghari, dengan mengambil sampel empat desa di sekitar TNBD(Desa Hajran, Jelutih, Padangkelapo, dan Sungairuan) di kabupaten itu. Daristudi didapatkan kenyataan kalau masyarakat empat desa penyangga TNBDtersebut memiliki ketergantungan yang tinggi (45,69 persen) terhadap sumberdaya hutan. Begitu juga di wilayah desa lainnya sekitar TNBD.

    Dampak degradasi taman nasional telah terasa oleh masyarakat baik langsungmaupun tidak. Misalnya di desa penyangga bagian selatan TNBD, DesaLubukjering, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, selama tiga bulan (mulaidari awal tahun 2002) telah mengalami 10 kali banjir merendam pemukimanpenduduk. Sedang di akhir tahun 2003, di desa sebelahnya (Desa Semurung)juga dilanda banjir, menenggelamkan 28.000 batang cabe siap panen. Sementaradi Desa Jernih juga bagian selatan TNBD, di beberapa lokasi perladanganmasyarakatnya terjadi longsor.

    Akibatnya, kerugian baik materil maupun immateril dirasakan masyarakat,termasuk terhambatnya kegiatan perekonomian. Dampak yang hampir sama pundialami desa-desa penyangga yang lain. Curah hujan tidak terlalu tinggi akanberdampak besar. Demikian juga sebaliknya, kemarau sedikit saja langsungmenyebabkan krisis air di desa, tidak hanya untuk minum tapi juga untukpersawahan hingga beberapa luasan sawah mengalami puso (gagal panen). Sepertiyang pernah terjadi di sebagian sawah di Desa Seilingkar dan Padangkelapo,Kecamatan Maroseboulu, Kabupaten Batanghari. Belum lagi dampaknya padakelancaran transportasi, di mana selama ini sebagian penduduknya menggunakansungai untuk akses mereka keluar-masuk desa, termasuk untuk menjual hasilpertanian (getah).

    Pada sisi yang lain ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan tidakmudah untuk dihentikan. Hal ini terkait dengan banyaknya faktor yangmelatarbelakanginya, baik faktor politik, sosial maupun ekonomi masyarakat desa.Mengenai faktor politik berkenaan dengan konflik-konflik yang sifatnya internal(antar individu dan kelembagaan) serta eksternal (antar desa) yang biasanya dipicupersoalan batas desa dan berbagai klaim hak ulayatnya. Konflik eksternal jugaterkait pada persinggungan antara masyarakat dengan perusahaan di sekitar desa.Terutama perusahaan yang dianggap menelantarkan lahannya, juga menyangkutbatas maupun kompensasi yang bisa didapatkan masyarakat dari perusahaan.Sehingga potensial pemicu konflik pun berskala lebih luas yaitu pemerintah daerah

  • INTRODUKSI

    dengan kebijakannya cenderung dianggap memihakke swasta (perusahaan).

    Kemudian berkenaan dengan faktor sosial, akanmenyangkut belum tertatanya pranata sosial terkaitlingkungan yang ada di sekitarnya, bisa dalam bentukaturan atau yang lain. Disamping itu, jika dilihatsecara umum di desa penyangga ada kecenderunganpenguasaan modal oleh segelintir orang yang disebuttoke. Toke juga penguasa lahan di desa. Kondisi iniberakibat pada adanya pola hubungan mayoritasmasyarakat yang terikat dengan toke, termasuk urusanpenentuan harga getah (hasil karet, barang-barangkebutuhan pokok, atau yang lainnya). Tingginyapengaruh toke pun berdampak pada kebijakan di desayang cenderung dikuasai toke, sehingga menghambatupaya pembangunan mengentaskan kemiskinan danketergantungan ekonomi masyarakat. Selain itu, faktorsosial juga terkait pada adanya tradisi bertalang(berladang) sebagian masyarakat desa penyanggaTNBD. Tradisi ini secara langsung maupun tidak telahberpengaruh pada pemanfaatan secara berlebihan SDA(berupa lahan).

    Sementara mengenai faktor ekonomi, masyarakat masihsangat tergantung pada hutan, karena potensi ekonomialternatif belum dikembangkan dan dimanfaatkansecara optimal. Misalnya masih banyak luasan lahanterlantar, pengelolaan kebun karet yang belum intensif,serta lahan persawahan dan potensinya yang belumtergarap serius yang diharapkan tidak hanya bersifatsubsisten, tapi juga berkontribusi terhadap pendapatanrumah tangga.

    Faktor lain yang tidak kalah penting dan berpengaruhterhadap terjaminnya kelestarian sumber daya tamannasional yaitu kebijakan pemerintah daerah. Berbagaikebijakan selayaknya menghitung ketersediaan lahandan dampaknya bagi masyarakat sebagai sasarankebijakan. Ketersediaan data, informasi, sertapengetahuan tentang potensi desa dan kondisimasyarakat, menjadi landasan dalam memformulasikankebijakan.

    Berangkat dari berbagai hambatan dan tantangan diatas, keberadaan ruang dengan SDA-nya sah jikadimaknai secara ekonomi dalam artian bahan baku yangdapat dijadikan barang dan jasa untuk memenuhikebutuhan pemerintah daerah dan pribadi(masyarakat). Namun itu harus diimbangi denganpemaknaan secara ekologi yaitu SDA merupakankomponen ekosistem yang keseimbangannya harus

    selalu dinamis. Agar tidak terjadi perubahan drastisatau ketidakseimbangan yang berdampak padakehidupan manusia, maka pemanfaatannya harusterukur dan terkelola baik.

    Ada beberapa hal yang bisa dijadikan agenda ke depan(untuk menjawab tantangan pemanfaatan ruang danSDA yang berimbang), yaitu adanya penelitian dankajian tentang ruang dan SDA dikaitkan dengan tingkateksploitasi dan ekspektasi keberadaannya dalam jangkapanjang. Pemetaan sumber daya dapat menjadi salahsatu metodologi dalam hal ini. Selanjutnya perlupengiventarisasian data dan informasi mengenaiketersediaan ruang dan SDA serta data kondisi sosialekonomi masyarakat. Hal ini bertujuan untukmeminimalisasi kebijakan yang cenderung kurangberbasis data yang dalam kurun waktu tertentu bisamenjadi pemicu konflik di masyarakat.

    Selanjutnya memperjelas hak kepemilikan sumberdaya. Termasuk kejelasan kewenangan daerah dan pusatserta ketegasan kepemilikan lahan perusahaan (batasyang jelas) dan kompensasinya untuk masyarakat.Kemudian merencanakan program yang terpadudengan melibatkan pihak-pihak yang terkait, sehinggaperencanaan egosektoral dan kurang efektif dapatdiminimalisasi. Perlu juga adanya perencanaan danketerpaduan program yang sifatnya lintas regionalkarena sifat SDA yang saling bertautan. Selain itu,agenda ke depan juga harus mementingkan keterlibatanmasyarakat dan lembaga-lembaga lokal dalam upayapengelolaan SDA, salah satunya dengan melakukanberbagai pelatihan atau metode lain yang bertujuanuntuk meningkatkan kapasitas masyarakat.

    Melalui tahapan agenda tersebut, diharapkan ruangdan SDA akan dapat memberikan manfaat (utilitas)bagi kemajuan daerah demi kesejahteraan masyarakat.Untuk itulah upaya memaksimalkan nilai guna SDAini tidak harus mengorbankan aspek keseimbangansecara ekologi. Pembangunan yang berkelanjutan harusmemasukkan nilai konservasi dalam kontekspemanfaatannya. Tantangan pengelolaan menyangkutruang dan SDA ini memungkinkan untuk dijawab jikaada niat dan upaya dari berbagai pihak terlibat bersama-sama mengatasinya. Sehingga ketakutan akanterjadinya krisis sumber daya pun tidak terwujud.Akankah?(Budi Retno Minulya, Koordinator UnitFasilitasi Desa)

  • A L A M S U M A T E R A

    Sumber Daya Alam (SDA) baik yang hayatimaupun non hayati merupakan modal pentingmendukung kegiatan ekonomi, sosial, maupunpembangunan. Untuk itulah pemanfaatan secaraterencana sangat diperlukan agar SDA lebih optimalutilitasnya (nilai guna). Jika dikaitkan dengan kontekspelaksanaan otonomi daerah, hal tersebut urgentdiperhatikan terutama oleh pemerintah daerah.Adanya pelimpahan kewenangan ke pemerintah daerahmelahirkan kekhawatiran pelaksanaan otonomi daerahakan menguras SDA daerah demi peningkatanPendapatan Asli Daerah (PAD).

    Tindakan tersebut tidak hanya berdampak padaketidakseimbangan ekosistem tapi juga krisis sumberdaya untuk jangka panjang, disebabkan aspekkelestarian dan keberlanjutannya terabaikan. Meskipunbegitu, otonomi daerah juga memberikan harapan akanrentang kebijakan dengan permasalahan riil semakindekat. Harapan itu bisa tercapai jika kebijakan

    Kebijakan Pemanfaatan Ruangdan SDA Sudahkah Tepat?

    pembangunan dan pengelolaan SDA memperhatikanprinsip kesinambungan dan keberlanjutannya. Namunsudahkah kebijakan pemanfaatan SDA dan ruang untukpembangunan memperhatikan prinsip keberlanjutanini?

    Ada empat poin yang harus diperhatikan demipembangunan berkelanjutan dalam pemanfaatan ruangdan SDA. Pertama, konsep pembangunanberkelanjutan harus menekankan pada pentingnyaintegrasi antara pembangunan dan lingkungan yangsering dipisahkan secara dikotomis. Kedua,pembangunan jangan hanya diartikan pertumbuhanekonomi semata, tapi terkait pada aspek yang lebihluas, misalnya menyangkut kualitas kehidupanmasyarakat secara menyeluruh. Ketiga, dalampembangunan berkelanjutan terdapat batas-bataspemanfaatan teknologi, pemanfaatan ruang, dan SDAdemi lebih terencana dan terkontrolnya prosespembangunan. Keempat, pembangunan berkelanjutan

    LAPORAN UTAMA

    AL

    AIN

    CO

    MPO

    ST /

    DO

    K. K

    KI W

    AR

    SI

  • 8LAPORAN UTAMA

    juga memperhatikan aspek sosial, budaya, dan politikdi masyarakat sebagai bagian tak terpisahkan daripersoalan-persoalan lingkungan.

    Tak jarang tuntutan terhadap lahan-lahan perusahaanyang mempunyai Hak Guna Usaha (HGU) dilakukanmasyarakat karena dianggap tidak berkontribusi untukkesejahteraan masyarakat sekitar, disampingketersediaan lahan semakin sempit dan kondisiperekonomian masyarakat yang juga kian sulit.Tuntutan masyarakat yang memicu konflik lahan inibelum didapatkan formulasi untuk mengatasinya. Tohkalau selesai, sifatnya pun hanya sementara dan akanmenjadi bom waktu suatu hari nanti. Kemudianpemerintah daerahlah yang dituntut menjadi media-tor tanpa berpihak pada kepentingan swasta(perusahaan).

    Berdasarkan kondisi di atas, sangat dibutuhkan segerakajian terhadap pemanfaatan ruang dan SDA. Hal inijuga yang kemudian menjadi tema penelitian yangdilakukan oleh Lembaga Penelitian Universitas Jambi(LP-Unja) bekerja sama dengan Komunitas KonservasiIndonesia (KKI) Warsi dan Badan PerencanaanPembangunan Daerah (Bappeda) KabupatenBatanghari. Penelitian ini merupakan studi kasus diKabupaten Batanghari, mencakup tingkat makro (sisikebijakan) dan mikro. Ada empat desa penyanggaTaman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi diKabupaten Batanghari yang dijadikan wilayahpenelitian.

    Permasalahan Umum

    Kabupaten Batanghari berpenduduk (berdasarkan hasilP4B) tahun 2003 sebanyak 205.621 jiwa dengan46.103 rumah tangga. Luas wilayah kabupaten ini5.180,35 km2, sedangkan secara administrasi jumlahdesa (dalam tahun 2001) 107 desa.

    Topografi Kabupaten Batanghari ditandai dengankeberadaan Sungai Batanghari yang membagi wilayahkabupaten menjadi dua bagian. Perilaku musimberpengaruh pada kehidupan masyarakat desa disepanjang sungai ini. Musim hujan permukaan airsungai naik, berpengaruh pada jadual tanam padisebagian masyarakat. Sistem drainase sawah terganggu,umumnya sawah-sawah di Kabupaten Batangharimasih mengadalkan hujan. Namun pada musim hujanini jalur transportasi melalui Sungai Batanghari dananak sungainya relatif lancar, baik untuk keperluanmengeluarkan getah karet, belanja, hingga

    mengeluarkan balok dari hutan.

    Sebaliknya musim kemarau sungai kering, kegiatanekonomi terhambat, masyarakat tidak bisamengeluarkan getah ataupun kayu lewat sungai. Jalurtransportasi dialihkan ke darat yang jaraknya kian jauhdari lokasi yang dituju, biaya yang dikeluarkan punbertambah. Begitu juga kegiatan persawahan ikutterhenti, dalam satu tahun rata-rata masyarakat hanyapanen satu kali. Belum lagi, debit air yang turun danmembawa polusi dari hulu berdampak pada kualitaskesehatan masyarakat. Sementara sebagian besarmasyarakat masih sangat mengandalkan air sungai iniuntuk kebutuhan sehari-hari.

    Sehingga kebijakan pemanfaatan ruang dan SDA jugaharus mengkaji vitalnya keberadaan Sungai Batanghariini, yang berarti juga mengkaji keberadaan hutan disekitarnya sebagai pengatur tata air, agar keseimbanganekosistem semakin terjamin. Kondisi hulu DASBatanghari sebagai wilayah resapan air pada saat initidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Itu jugayang menyebabkan banjir rutin melanda Jambi.

    Dalam bulan Desember 2003 di Kabupaten Batangharisebagaimana juga diberitakan media lokal, seperti JambiIndependent (12/2003), telah merendam 6.068rumah penduduk di 71 desa yang dihuni 15.125 KKatau 38.822 jiwa, sedangkan lahan pertanianmasyarakat yang terendam 532 hektar padi sawah, 83hektar padi gogo, 242 hektar palawija, 108 hektarsayuran, 40 hektar tanaman pisang, serta 51 hektartanaman jeruk. Sementara perkebunan yang rusakseluas 1.794 hektar jenis karet dan 1.200 hektar sawit.Ternak pun banyak yang mati. Demikian juga fasilitasumum seperti terendamnya 45 gedung SD/Madrasahdan dua puskesmas, hingga kegiatan rutin di fasilitasumum ini ada yang terhenti total. Kerugian sulitdihitung.

    Kebijakan Penataan Ruang dan SDA

    Penataan ruang Kabupaten Batanghari bertujuan untukmewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dankeseimbangan perkembangan antar wilayah. Selain itujuga untuk mewujudkan keserasian antar sektor danpengarahan lokasi investasi pembangunan dengantetap menjaga keseimbangan dan kelestarianpemanfaatan lingkungan hidup. Untuk itu rencanapemanfaatan ruang juga berpedoman padapertumbuhan pembangunan berkelanjutan,(bersambung ke hal 11)

  • 9

    K otomalintang sebuah perkampungan yang terletak pinggirDanau Maninjau, di Kecamatan Tanjungraya, KabupatenAgam, Sumatera Barat. Daerah ini memiliki tiga jorongatau dusun, (Jorong Rambai Ambacang, Pauh Taruko, dan AlaiMuko-muko) yang topografinya berbukit-bukit. Penataan ruangwilayah ini terbagi atas wilayah lindung (daerah hulu), di bawahwilayah lindung terdapat kawasan agroforest yang dikelolamasyarakatnya (dikenal dengan sebutan parak). Perumahan dansawah berada di bawah kawasan parak dan di bagian paling hilirterletak Danau Maninjau.

    Pola keruangan Kotomalintang mengedepankankaidah konservasi di mana bagian hulu dibiarkanmenjadi hutan alam yang disangga oleh paraksementara areal budidaya dan pemukiman beradadi bawahnya. Masyarakat sangat berkepentingandengan pola ini, sebab jika ini tidak dipertahankanmaka akan menimbulkan akibat-akibat sepertitanah longsor, serangan binatang buas dan hama,pencucian hara, dan berkurangnya sumber air.Lebih jauh kerugian yang akan timbul dengan tidakterpeliharanya pola keruangan seperti ini adalahhilangnya sumber-sumber ekonomi masyarakatyang bermuara pada kehancuran sistem sosial

    Pengelolaan parak di Kotomalintang bahkanhampir di seluruh daerah di Sumatera Barat,sudah mengakar bertahun-tahun. Jenis tumbuhanyang ditanam beragam, baik tanaman komersilmaupun tumbuhan hutan, demi meminimalisirkerugian jika salah satu komoditi mengalami gagalpanen. Pola bertani seperti ini mengkombinasikantanaman muda dengan tanaman tahunan dantanaman tua. Parak Kotomalintang ini punyatutupan kanopi yang lebat dan lebih mirip hutan.

    Peraturan adat dalam pengelolaan dan penguasaan sumber dayaalam (SDA) diatur secara tidak ter tulis, biasanya aturan inidisyairkan dalam pantun-pantun ataupun nyanyian. Batas-bataswilayah, baik nagari, parak, sawah, maupun sumber agraria lainnyaditentukan lewat musyawarah terutama dengan ninik mamak(kerabat). Batas wilayahnya ditandai oleh tumbuhan pudiang(pinang kecil) dengan alasan warnanya mencolok, gampangdikenali serta mudah tumbuh.

    Selain itu batas parak dapat ditandai juga dengan parik (gundukanbatu yang disusun secara memanjang di sepanjang batas wilayah),biasanya dipilih batu-batu yang berukuran besar hingga tidakmudah dipindahkan. Disamping itu, tanda-tanda alam seperti

    banda (selokan) juga kerap dijadikan sebagai pembatas.

    Kepemilikan parak menerapkan sistem komunal suku dan tidakdapat diperjualbelikan karena merupakan pusaka (warisanbernilai) tinggi. Kalaupun ada yang melakukan koro-koro(melanggar dengan memper jualbelikan lahan tanpasepengetahuan anggota suku), maka diselesaikan secarakekeluargaan dalam internal suku. Apabila persoalan tersebuttidak dapat diselesaikan maka akan dilakukan rapek suku nanampek (rapat suku yang empat) yang dihadiri oleh para kepalasuku nan ampek (suku yang dominan bermukim di Kotomalintang,yaitu Tanjung, Koto, Piliang, dan Sikumbang). Jika persoalantersebut belum juga dapat diselesaikan maka akan dilakukansidang suku nan ampek dengan mengikutkan pamuncak adat.

    Sistem ini diper tahankan selama bertahun-tahun dan mampumembawa perubahan di bidang ekonomi, ekologi, dan sosialbudaya.Selanjutnya, terdapat juga lima aset (sumber daya) nagari(desa) lainnya

    Aset ini dimanfaatkan untuk kepentingan nagari. Pertama, tanahbanio seluas 200 hektar ditanami kulit manis dan kopi. Awaldekade 90-an lokasi ini pernah dijadikan areal budidaya tembakau,namun karena kesesuaian lahan yang tidak memungkinkan sertapengetahuan yang minim, akhirnya budaya ini dihentikan. Tanahbanio dikelola Yayasan Kampuang Sikumbang, didasari penyerahanoleh suku nan ampek. Namun dalam perkembangannya,pengelolaan tanah banio mengalami kesimpangsiuran. Banyakpersoalan yang terjadi dalam pengelolaannya, di antaranya tatabatas yang kabur.

    Pemetaan Par tisipatif SelamatkanAset Kotomalintang

    A L A M S U M A T E R AA

    ULIA

    ER

    LAN

    GG

    A / D

    OK

    . KK

    I WA

    RSI

    Pohon Pinang sebagai batas wilayah di Kotomalintang:Batas wilayahnya ditandai oleh tumbuhan pudiang (pinang kecil) denganalasan warnanya mencolok, gampang dikenali serta mudah tumbuh.

  • 10A L A M S U M A T E R A

    Kedua, karambia kongsi yaitu tanah seluas dua hektar di pinggiranSungai Batang Antokan (satu-satunya sungai yang airnya berasaldari Danau Maninjau) di Dusun Muko-muko. Tanah ini digunakanuntuk tempat pengembangan usaha kolam ikan air deras (karamba)masyarakat. Masyarakat yang memanfaatkannya harus membayaruang kontrakan dan diserahkan ke nagari.

    Ketiga, gunuang belek adalah areal cadangan yang masih hutanalam. Mekanisme pengelolaannya belum ada. Sebagianmasyarakat pernah bertani di sini, namun belakangan ditinggalkankarena letaknya yang jauh dari pemukiman. Keempat, tanah datajuga areal pencadangan tapi luasnya 100 hektar. Kelima, pulauberada di dekat bangunan in take PLTA Maninjau. Sampai saat inimasih ada ketidakjelasan kepemilikannya. Dulu ada masyarakatmengusahakan budidaya pertanian namun akhirnya ditinggalkan.Sekarang pulau hanya dijadikan tempat rekreasi karena letaknyayang strategis dan mudah diakses.

    Pengelolaan aset nagari membutuhkan biaya, tenaga dan pikiran.Untuk itu telah dibentuk Badan Pengelola Aset Nagari (BPAN)Kotomalintang Agustus 2001. Tugasnya sebagai ad hoc atasmekanisme dan protokol pengelolaan aset nagari Kotomalintang.Badan ini bersifat permanen dan otonom. Secara struktural BPANberada di bawah pamuncak (pemuncak) adat dan bertanggungjawab pada pamuncak, baik dari pelaksaan program maupunpertanggung jawaban terhadap keuangan. Keanggotaan BPANdipilih dari perwakilan masyarakat yang terdiri dari wakil suku-suku dan berbagai elemen kemasyarakatan yang ada diKotomalintang.

    Jalan Panjang Pemetaan Par tisipatif

    Konsep (masyarakat yang memiliki aset nagari dan parak)selayaknya memperoleh pengakuan dari pemerintah karenaterbukti mampu menyangga kehidupan ekonomi mereka danmenyelamatkan kekayaan genetik, serta berdampak baik bagilingkungan.

    Untuk mewujudkan pengakuan tersebut diperlukan langkah-langkah konkrit yang dapat dibuktikan secara ilmiah diser taiargumentasi akademis yang menunjang. Salah satu upaya yangditempuh adalah dengan melakukan pemetaan par tisipatifkeruangan Kotomalintang dengan melibatkan masyarakatnya. KKIWarsi yang sejak 2000 berkegiatan di desa ini mengajakmasyarakat melakukan pemetaan batas-batas wilayah kelola parakdan aset nagari, ser ta pemetaan nagari secara keseluruhan.Melalui peta yang dihasilkan, masyarakat bisamemperggunakannya sebagai alat negosiasi ke pihak-pihak terkait,agar menghormati wilayah yang dikelola masyarakat berdasarkankearifan dan teknologi lokalnya.

    Peta juga bisa digunakan untuk alat mempercepat proses resolusiaset nagari. Dengan adanya peta tentunya akan lebih mudahmelakukan diskusi, penilaian kritis, serta pembuatan mekanismepengelolaan di tingkat masyarakat. Secara lebih luas peta alatuntuk membuat management plan pemerintah bersamamasyarakat. Usulan pemetaan par tisipatif telah disampaikan2001, namun sempat ditanggapi dingin oleh masyarakatKotomalintang. Masyarakat beranggapan pemetaan hanyamembuka peluang pemerintah untuk merebut kawasan merekakelola.

    Pendekatan pun diarahkan ke sorotan batas yang tumpang-tindihantara kawasan lindung dengan kawasan parak. Tak sia-sia,pendekatan ini berdampak baik hingga perlahan kesadaranmasyarakat mulai muncul tumbuh.

    Hingga pemetaan partisipatif pun terlaksana 2002 dengan diawalikonsultasi bersama wali jorong, pamuncak adat, BPAN, niniakmamak, cadiak pandai (cerdik pandai), pemuda, dan kaum ibu.Metode pemetaan yang dipakai yaitu lewat studi pustaka denganmencari peta umum (topografi) yang diterbitkan oleh Dirjen DittopTNI-AD atau Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional,peta tematik seper ti penggunaan lahan kondisi terakhir yangditerbitkan oleh Badan Per tanahan Nasional, dan peta batasdefinitif taman nasional yang dibuat oleh Badan InventarisasiTataguna Hutan Provinsi (Sumatera Barat). Sebagian besar petatersebut didapatkan walaupun bukan dalam bentuk aslinya.

    Kedua, metode pemetaan yang dipakai adalah rapid rural ap-praisal (pemahaman desa secara cepat) dan participatory rapidappraisal (pemahaman desa par tisipatif) untuk memudahkanproses selanjutnya. Ketiga, metode pengembagan. Metode inikelanjutan dari metode sebelumnya, di mana metode inimenekankan pada hal-hal yang bersifat teknis seperti penggunaanbeberapa alat bantu untuk pemetaan ruang. Lewat metode inidiharapkan menghasilkan gambaran situasi dan kondisi keruanganterakhir dengan diperkaya informasinya melalui peta referensidan peta sketsa yang tersedia. Hingga tersedialah peta yangmemiliki perbandingan yang sebenarnya di lapangan dengan yangdi kertas.

    Masyarakat yang diberi pemahaman tentang kebutuhan petasebagai alat negosiasi, juga diberi penjelasan tentang teori-teoripenggunaan kompas dan global positioning system (GPS).Pemetaan ini masih dilanjutkan dalam 2003. Walaupun masihbanyak kekurangan dalam peta yang dihasilkan, namun palingtidak masyarakat mendapatkan gambaran pola keruangan diwilayahnya. Draft peta itu pun telah digunakan sebagai salah satureferensi yang cukup meyakinkan dalam proses pemekarannagari .(Syafrizaldi, Koordinator Daerah SumbarProgram CBFM)

  • 11pemerataan pemanfaatan sumber daya secara optimal(dengan menghindari konflik pemanfaatan sekecilmungkin, serta menjaga terjaminnya stabilitaskeseimbangan lingkungan hidup.

    Dalam melaksanakan konsep tersebut dibutuhkanstrategi penataan ruang dengan melakukan pemantapankawasan lindung dan pengembangan kawasanbudidaya (baik pertanian maupun non pertanian).Untuk kawasan budidaya non pertanian yangdikembangkan yaitu kawasan pemukiman didasarkanpada kriteria tertentu, misal kesesuaian lahan,ketersediaan air, tingkat kerawanan bencana, dansebagainya. Kawasan lain non pertanian yaitu kawasanperdagangan /jasa di mana skala pelayanan regionaldialokasikan ke pusat-pusat pertumbuhan, sedangkanskala sub regional ke sub pusat pertumbuhan, dan skalalokal ke pusat kecamatan.

    Ada beberapa permasalahan kebijakan yang terkaitdengan penataan ruang dan SDA ini, antara lainpembiayaan daerah yang berhubungan denganpencapaian target PAD. Kontribusi sektor kehutanandalam pencapaian PAD di Kabupaten Batanghari dalamtiga tahun terakhir ini besar. Ketergantungan PAD padasektor inilah yang akhirnya mendorong meningkatnyaeksploitasi hutan dan kurang terperhatikannya aspekekologis. Permasalahan berikutnya secara legal(berdasarkan SK Menhutbun No. 258/KPTS/2000)kawasan hutan Serengam hulu, Hutan ProduksiTerbatas, dan sebagian Hutan Produksi, dinyatakansebagai areal TNBD dengan luasan 60.500 hektar.Sementara itu kenyataan di lapangan, wilayah ini telahdijadikan tempat pengambilan kayu dan membukakebun karet oleh masyarakat.

    Permasalahan lainnya yaitu kebijakan pemberian hakpengelolaan ke pengusaha besar (swasta) baik berupaHTI maupun HGU kenyataannya tidak diimbangi olehkebijakan monitoring dan mengevaluasikeberadaannya. Begitu juga permasalahan secarasektoral, kontribusi sektor pertanian masihmendominasi perekonomian Kabupaten Batanghariyaitu mencapai 28 persen setiap tahunnya terhadapPDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Ditingkatmikro yaitu kondisi riil di lapangan (desa lokasipenelitian) yang mata pencaharian utamamasyarakatnya adalah bertani (berkebun karet) dalammencapai hasil yang optimal bagi ekonomi rumahtangga, terkendala sarana, prasarana, sistem tata niaga,dan sebagainya.

    Sementara itu ditingkatkan mikro adaketidakoptimalan pemanfaatan ruang khususnya yangdiberikan ke perusahaan. Terdapat dua perusahaanbesar di sekitar desa penelitian yaitu PT Sawit DesaMakmur (PT SDM) dan HTI PT Wana Perintis. Padakenyataannya setelah dilakukan landclearing dibiarkanmenjadi hutan, belukar, dan lahan terbuka. Misalnyahasil pemetaan menunjukkan 72 persen (9.421 hektar)luas lahan yang tak terkelola oleh PT SDM, sedangkanPT Wana Perintis mencapai 54 persen (3.163 hektar).Inilah yang kemudian memperuncing konfik denganmasyarakat desa sekitar areal perusahaan, hinggamasyarakat sendiri kemudian ikut mengokupasisebagian lahan tersebut. Konflik ini juga akan terkaitpada pemerintah yang telah mengeluarkan ijin keperusahaan.

    Dari penelitian juga diketahui kalau pembukaan hutan(deforestasi) yang dilakukan masyarakat di sebelah timurTNBD 1997-2002 mencapai 4.700 hektar. Sedangkanperambahan sisa hutan di sekitar desa interaksi TNBDlainnya mencapai 10.400 hektar. Selanjutnya, ditingkat keruangan desa terdapat pula kerawanankonflik berbagai kepentingan, antara lain menyangkutbatas antar desa yang belum jelas sehinggamengakibatkan konflik pengambilan sumber dayahutan (kayu) dan pembukaan ladang. Sering terjadiklaim wilayah desa yang umumnya didasarkan padatambo-tambo (tanda-tanda) alam seperti keberadaansungai. Konflik lainnya batas yang ada di lapangan tidakselalu sesuai dengan batas administrasi pemerintahsebagaimana yang dipakai BPN (Badan PertanahanNasional). Kebijakan pemanfaatan ruang dan SDAtidak bisa disandarkan pada pendekatan yang sifatnya

    LAPORAN UTAMA

    AL

    AIN

    CO

    MPO

    ST /

    DO

    K. K

    KI W

    AR

    SI

  • 12LAPORAN UTAMA

    teknis an sich, tapi lebih jauhdari itu diperlukan kemampuanuntuk merancang kebijakan yanglebih terpadu (berbagai sektor),interdisiplin, serta berdasarkankondisi dan kemampuan sumberdaya lokal dengan melibatkanberbagai stakeholders.

    Secara teoritis, ada beberapa haluntuk mengukur keefektifansebuah kebijakan dalampemanfaatan ruang dan SDA,yaitu efisiensi, artinya kebijakanpengelolaan ruang dan SDAharus mampu meningkatkankeefiensienan penggunaan SDAsecara optimal, di manaketidakefiensienannya akan menyebabkan degradasikualitas lingkungan. Kemudian keefektifan itu jugaditentukan oleh fair (adil), yaitu kebijakan yang adatidak mengabaikan kepentingan publik. Bercermindari pengalaman, berbagai kebijakan pemberian HGUke swasta dalam prakteknya telah memperkayapengusaha dan memarginalkan masyarakat lokal.

    Selanjutnya kebijakan pemanfaatan ruang dan SDAefektif tidaknya juga bisa diukur dari mengarah-tidaknya kebijakan itu pada insentif. Kebijakanpengelolaan SDA layaknya harus mengarah ke insentifuntuk merangsang adanya perbaikan kualitaslingkungan. Disamping kebijakan itu efektif jikadidukung oleh penegakkan hukum, diterima publik,dan mementingkan aspek moral sebagai landasankebijakan pengelolaan SDA.

    Hingga akhirnya dari studi yang dilakukan LP-Unjadan KKI Warsi direkomendasikan perlunya penataanulang pemanfaatan ruang secara berimbang antarafungsi ekonomi dengan fungsi ekologis/konservasi.Contohnya, kawasan hulu sungai hendaknyadipertahankan sebagai kawasan konservasi untukmenjaga keseimbangan ekologi demi pembangunan itusendiri. Dikarenakan potensi ekonomi terbesarmasyarakat adalah pertanian dan perkebunan, makakebijakan makro daerah sebaiknya diarahkan ke sektorini. Misalnya dengan menyediakan sarana dan prasaranaserta meningkatkan kapasitas untuk mendukung duakegiatan masyarakat tersebut.

    Selanjutnya direkomendasikan agar lahan-lahan yang

    statusnya dimiliki perusahaan yang tidak terkelolaoptimal dievaluasi oleh pemerintah. Kemitraan antarapemerintah, masyarakat, dan investor yang mampumenjadi alternatif solusi permasalahan ini. Terkaitkondisi di tingkat mikro, kalau penguasaan lahandidominasi toke di desa, maka kebijakan programpembangunan harus memperhatikan kondisi ini danlebih berpihak ke kelompok yang termarginalkan.

    Selain itu juga direkomendasikan agar masyarakatdiingatkan kalau pengambilan kayu (yang menjadimata pencaharian utama mereka di desa-desa yangditeliti) tidak menjamin perekonomian dalam jangkawaktu lama, karena luasannya terbatas. Dampak yangditimbulkannya tidak sebanding dengan manfaat yangdidapat. Untuk itu juga, perlu kemauan politik (po-litical will) dari pemerintah dan unsur terkait untukmenghentikan kegiatan perbalokan ini. Alternatif yanglebih menjaminkan ekonomi masyarakat dalam jangkapanjang haruslah kembali pada sektor pertanian danperkebunan, disesuaikan dengan potensi,permasalahan, dan kebutuhan masing-masing desa.Seterusnya perencanaan dan implementasi programpembangunan ke desa-desa harus melibatkan peranmasyarakat dengan memperhatikan upaya peningkatankapasitas dan penguatan lembaga sebagai dasar lebihterjaminnya keberhasilan dan kesinambungan program.Masyarakat haruslah diberikan ruang untuk terlibatdan berkontribusi dalam kegiatan pembangunan,termasuk dalam pembuatan kebijakan, sehingga civilsociety yang diharapkan bisa cepat terwujud.(BudiRetno Minulya, Koordinator Unit Fasilitasi Desa/ DR.Johannes, MSi, Dosen Fakultas Ekonomi Unja)

    RO

    BE

    T /

    DO

    K. K

    KI

    WA

    RSI

    Banjir besar di Jambi : Kondisi hulu DAS Batanghari sebagai wilayah resapan airpada saat ini tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.

  • 13A L A M S U M A T E R A

    K embalikan hak ulayat kami ! demikian penggalanteriakan masyarakat Desa Jernih, KecamatanPauh, Kabupaten Sarolangun, yang ditujukan keperusahaan perkebunan sawit, PT Jambi Argo Wiyana (PTJAW) dalam 2001 hingga akhir 2003. Sudah berkali-kalimasyarakat Jernih berdemonstrasi ke perusahaan tersebut.Namun tanggapan yang didapat hanyalah kesediaanperusahaan berunding lalu melahirkan perjanjian-perjanjianyang dirasakan masyarakat hasilnya tidaklah menguntungkanmereka.

    Sebenarnya sejak 2001 itu tidak hanya warga Desa Jernihyang berdemonstrasi menuntut hak adat mereka, namun semuadesa eks Marga Air Hitam sekitar PT JAW. Selain mendatangiperusahaan langsung, mereka juga berjubel di kantor bupatidan DPRD Sarolangun agar tanah ulayat Marga Air Hitamyang dimanfaatkan PT JAW diserahkan ke mereka. Masyarakateks Marga Air Hitam merasa tidak pernah memberikan haknyaitu ke PT JAW, tapi pemerintahan Orde Barulah yangmemberikan izin pemanfaatannya tanpa berdiskusi denganmasyarakat. Karena lahan yang dituntut telah ditanami sawitseluas 6.000 hektar, masyarakat pun hanya menuntut sebagianlahan dijadikan kebun plasma atau memakai pola bagi hasil.

    Namun tuntutan itu tak pernah dipenuhi hingga Juni 2003masyarakat desa eks Marga Air Hitam pun, terutamamasyarakat Desa Jernih mulai bosan dan puncaknya merekamenduduki lahan sawit PT JAW dari kawasan desa merekaselama dua minggu.

    Selama itu pula, masyarakat menahan letih badan, sementarabekal pangan pun tak cukup untuk bertahan lebih lama lagi,maka emosi masyarakat pun mudah tersulut. Apalagi ketikaasisten lapangan PT JAW meminta demontrasi diakhiri, emosimasyarakat tak terbendung. Timbullah keributan dan sangasisten lapangan dipukuli dengan tangan kosong oleh beberapamasyarakat. Dia sempat menyelamatkan diri dengan lari kekantor devisi perkebunan. Tindakan masyarakat itu barumendapat perhatian satuan kepolisian resor t Sarolangunbeberapa hari kemudian dan masyarakat yang diperkirakanmelakukan pemukulan (ada 24 orang), ditangkap. Merekamendapat perlakukan yang kasar dari aparat, ditendang dengansepatu lars.

    Mereka dituntut atas pasal penganiayaan yang mengancamkeselamatan orang lain. Namun tuntutan penganiayaan itu

    disebut sebagai tindakan yang dilakukan dengan senjata tajam.Meskipun memang masyarakat yang berdemo membawasenjata tajam berupa parang, namun senjata itu digunakanuntuk mendirikan pondok dan mengambil kayu bakar selamamereka menduduki lahan PT JAW. Dan senjata-senjata tajamitu juga memang biasa dibawa masyarakat (petani) ke kebun,ke sungai saat menangkap ikan, atau ke hutan untuk berburu.Selain tuntutan di atas, masyarakat juga dituntut karenamengeluarkan pendapat dimuka umum tanpa minta izin (keaparat hukum).

    Masyarakat yang ditetapkan sebagai terdakwa (dari 24 orangmenjadi sembilan orang) akhirnya hanya pasrah mengikutiproses peradilan, sedangkan keluarga mereka dengan penuhharap dan tidak henti berupaya agar keluarganya dibebaskan.Mereka bahkan menjual har ta-bendanya untuk menebuskeluarganya yang ditahan di kantor polisi Sarolangun. Adayang menjual kebun karet, sawah, dan ternak. Hasil dari upayaitu hanyalah keringanan bisa menikmati udara luar selamadua minggu alias penahanannya ditangguhkan selama 14 hari,kemudian ditahan kembali oleh kejaksaan setempat denganalasan BAP-nya sudah selesai, telah diserahkan kepolisianSarolangun dan harus diproses.

    Anggota keluarga mereka kembali dirisaukan adakah dewapenolong muncul menyelamatkan sanak-saudaranya itu darihukuman penjara. Pihak-pihak yang bermaksud curang,melihat kesempatan itu tak melewatkannya begitu saja. Merekamenambah kerisauan keluarga pendemo dengan menakut-nakuti kalau kasus tersebut termasuk berat dan dapat dikenaihukuman empat tahun penjara.

    Supaya kegundahan masyarakat yang anggota keluarganyaditahan polisi tak berlanjut dan mereka tidak terjerumusmenjual harta benda mereka yang tersisa, KKI Warsi (yangselama ini berkegiatan di desa-desa penyangga TNBD,termasuk Desa Jernih) berinisiatif menjalin kerja sama denganLembaga Bantuan Hukum (LBH) asal Padang (SumateraBarat) untuk mendampingi masyarakat yang berada di desamaupun sembilan orang masyarakat Jernih yang mengikutiproses hukum di Pengadilan Negeri Bangko.

    Waktu yang terhabiskan untuk proses hukum tersebut mencapaiempat bulan (Juni-Oktober 2003). Dan per juanganmasyarakat Desa Jernih pun untuk merebutkan tanah adatmereka dari PT JAW harus berakhir dengan jatuhnya vonishakim Pengadilan Negeri lima bulan penjara untuk masing-masing dari sembilan tersangka warga Jernih tersebut dipenghujung Oktober 2003.(Erinaldi, staf fasilitasidesa)

    Per juangan terhadap Tanah AdatBerbuntut Vonis Penjara

  • 14LAPORAN UTAMA

    Menelusuri KemiskinanPetani Ladang

    Asumsi kehadiran taman nasional sebagai penyebabmasyarakat yang mayoritas petani ladang yang sudahmiskin, akan semakin miskin, ternyata tidak hanya adadi kepala petani ladang tapi juga di pemikiran lapisan pembuatkebijakan. Sehingga sangat penting untuk melihatpermasalahan kemiskinan ini secara lebih ril, sekaligusmenemukan solusi yang relevan.

    Permasalahan masyarakat peladang di sekitar taman nasionalterletak pada sistem per tanian itu sendiri. Misalnya daripenelitian KKI Warsi dan Unja bertemakan Studi Pembangunandalam Pemanfaatan Ruang dan SDA, 600 batang rata-ratapenanaman karet perhektar di empat desa (Desa Hajran,Jelutih, Padangkelapo, dan Sungairuan) di KabupatenBatanghari, hanya 40 persen perhektar rata-rata yang tumbuhhingga bisa disadap.

    Ketidakefisienan sistem pertanian ladang, juga terlihat dari segiproduktifitas yang sangat rendah perhektar lahan. Rendahnyaproduktifitas ini sudah dapat dilihat dari awal sistem perladanganberjalan, seperti yang terlihat pada grafik di bawah :

    Dengan produktifitas karet antara 3-4 ton per tahun (bila dihubungkandengan harga) rata-rata karet dalamsetahun Rp 2.000 perkilogram, makapenghasilan petani (setiap rumahtangga) hanya Rp 6-8 juta pertahunatau Rp 500-650 ribu perbulan.Dengan penghasilan yang demikian,wajar para petani karet tidak mampumelepaskan diri dari kemiskinan,bahkan mereka tak ubahnya sepertihamba sahaya bagi pemilik modal/toke.

    Imbas keberikutnya daripermasalahan penghasilan tersebut,otomatis petani pun miskin akan lahanmilik sendiri. Di Desa Sungairuan danHajran mayoritas penduduk hanya memiliki lahan karet kurang dari dua hektarsetiap rumah tangga. Sedangkan Desa Jelutih dan Padangkelapo mayoritasrumah tangga punya 2-5 hektar lahan karet. Artinya kebanyakan rumahtangga peladang hanya memiliki 0-5 hektar lahan. Jika kita lihat lagi padajumlah pembukaan peladang selama 10 tahun terakhir ini, kebanyakan rumahtangga peladang membuka 2-3 hektar untuk sekali bukaan. Ini menunjukkan

    Melirik Dinamika Pertanian Ladangdi Kawasan Penyangga TNBD

    Salah satu permasalahan terpelik dalam perspektifpembangunan konservasi di Indonesia yaitumenempatkan ekonomi sistem pertanian ladangberdampingan dengan kawasan konservasi, khususnyakawasan taman nasional. Di mana di satu sisi kawasankonservasi dipandang mengancam keleluasaan ekonomirumah tangga para petani ladang, terutama dalamekspansi lahan (karena sistem perladangan inimembutuhkan lahan-lahan baru), yang pada gilirannyamemarginalkan masyarakat sekitar kawasan konservasi.Dengan demikian lahir asumsi konservasi akan amanjika ekonomi masyarakat sekitar kawasan konservasidapat di tingkatkan. Asumsi ini telah melahirkan suatumodel pengelolaan yang memadukan konservasidengan pembangunan masyarakat.

    Ternyata dalam prakteknya asumsi ini tidak selalutepat, bahkan untuk kasus di Indonesia resiko kegagalanjauh lebih besar daripada keberhasilan. Anggapanbahwa dengan jaminan ekonomi masyarakat peladang

    sekitar hutan tidak akan merusak hutan, tidaklah benar.Hasil penelitian yang dilakukan di kawasan konservasimenunjukkan tidak adanya korelasi antarapembangunan (peningkatan ekonomi) dengankeamanan hutan.

    Di sisi lain masyarakat di sekitar kawasan konservasimemiliki dinamika tersendiri. Para petani ladang initidak bisa lagi dipandang sebagai petani lokaltradisional yang memiliki keterbatasan akses, modal,teknologi, dan organisasi. Ciri-ciri budaya lokal lewatpertanian ladang (yang merupakan konsekuensiadaptasi terhadap hutan tropis) seakan-akanmengidentikan para petani ini hidup hormonis denganalamnya.

    Sehingga sangat mendesak untuk didiskusikanbagaimana mengakomodasi dinamika sistem pertanianladang desa-desa yang berinteraksi dengan kawasankonservasi. Tepatnya bagaimana membagi kebutuhan

    AU

    LIA E

    RL

    AN

    GG

    A / D

    OK

    . KK

    I WA

    RSI

  • 15A L A M S U M A T E R A

    kalau telah terjadi penjualan lahan karet dari petani ladang ke pemilik modalterutama ke para toke desa, yang pada gilirannya akan menyebabkanketimpangan kepemilikan lahan karet.

    Sistem penjualan karet ini, terutama di desa-desa yang jauh dari jangkauan,sarat dengan sistem monopoli atau oligopoly, hingga memarginalkan petaniladang dari segi harga dan kepemilikan lahan. Sebesar 60-70 persen rumahtangga petani karet (yang terisolir) terikat dengan toke dalam hal penjualankaretnya. Dengan keterikatan ini petani karet menjadi tidak berdaya. Tokemerupakan sosok yang memang sangat dibutuhkan karena kemurahannyamemberikan kredit dan berbagai kebutuhan hidup petani. Tetapi bukan tanpajaminan, karena saat hutang sudah besar dan petani tidak mampu membayar,maka kebun karet menjadi taruhan. Petani ladang tidak memiliki kekuatanuntuk mempertahankan kebun karetnya karena memang sudah lemah darisemua aspek. Peladang lebih tertarik membuka lahan-lahan baru bila tanahtersedia sambil melepas kebun lama.

    Kebijakan Pembangunan tidak Berpihak

    Apa yang kemudian paling penting untuk disampaikan? Yaitu kebijakanpembangunan yang belum pernah berpihak ke petani ladang. Ironis, ketikasumber daya hutan dan ruang lahan yang sangat berlimpah dikuras pemerintah,masyarakat sekitar hutan tetap miskin. Ironisnya lagi dibuat programtransmigrasi massal yang berlokasi berdampingan dengan masyarakat sekitar

    hutan, di mana dalam jangka waktu 20 tahun para pendatangitu kemudian lebih sejahtera. Kenyataan ini merupakankegagalan terbesar dari pembangunan dalammensejahterakan masyarakat sekitar hutan.

    Kepemilikan rumah juga bisa menjadi gambaran akankemiskinan masyarakat empat desa di pinggiran TNBDtersebut. Desa yang warganya paling banyak tidak punya rumahalias menumpang yaitu Desa Sungairuan, tepatnya sebanyak50 persen. Berikutnya di Padangkelapo hanya 75 persen wargayang punya rumah, Jelutih 27 persen warganya menumpang,dan Hajran 5 persen warganya menumpang.

    Intinya dari seminar itu adalah selama ini kebijakanpembangunan tidak dapat melepaskan para petani ladang darikemiskinan. Tanpa dukungan langsung pada sistem pertanianladang, para petani tidak mungkin dapat bangkit darikemiskinannya. Bukan sebaliknya, kehadiran taman nasionalyang telah menyebabkan masyarakat tidak sejahtera. Penataanruang sekitar taman, efisensi pemanfaatan ruang, danintensifikasi petani ladang, menjadi sebuah keharusan untukdiperhatikan. Hutan taman nasional harus dilihat sebagaisuatu paket pembangunan bersama masyarakat petani danmasyarakat luas umumnya.(Robert A)

    ruang untuk konservasi dengan kebutuhan ruang bagipertanian ladang.

    Perspektif Tradisional Pertanian Ladang

    Pulau Sumatera bagian timur merupakan landscape dataranrendah yang maha luas. Awalnya hampir semua kawasanini tertutup hutan, sering disebut hutan tropis dataranrendah yang memiliki ekosistem terkaya di muka bumi.Manusia sebagai bagian dari ekosistem dataran rendah inisejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu telahmengembangkan cara hidup di dalam hutan tropis melaluipraktek pengumpulan hasil hutan, berburu, dan berladang.Praktek dan cara-cara hidup paling tradisional ini masih ditemukan hingga sekarang, seperti kelompok Orang Rimbadi Jambi, Orang Batin di Sumatra Selatan, Orang TalangMamak di perbatasan Jambi-Riau, serta Orang Sakai diperbatasan Riau-Sumatra Utara.

    Masyarakat sekitar hutan secara tradisional lebihmemberikan apresiasi terhadap kawasan hutan sebagai ruangsumber daya daripada sebidang tanah. Hal ini tercermindari pengorganisasian sosial atau korporasi tradisionalmasyarakat di masa lalu dalam mengelola sumber daya.Misalnya apa yang disebut tanah marga di Jambi,menunjukkan suatu pengorganisasian korporasi marga

    AU

    LIA E

    RL

    AN

    GG

    A / D

    OK

    . KK

    I WA

    RSI

  • 16LAPORAN UTAMA

    tertentu dalam mengelola kawasan hutan serta hak-hak atas sumber daya di dalamnya. Setiap anggotamemiliki hak yang sama dalam melakukan subsistensidalam kawasan marganya seperti berburu, memunguthasil-hasil hutan, dan berladang. Seseorang tidak berhakmemiliki tanah secara individual.

    Hingga menurut kondisi ini manusia dengan alammemang terlihat menjadi bagian dari ekosistem yangharmonis. Walaupun manusia melakukan tindakanseperti penebangan dan pembakaran untukperladangan, tapi hampir tidak mengakibatkankerusakan hutan. Hutan bisa segera pulih melaluiregenerasi alami sebagaimana daur perladangan itusendiri. Sebenarnya apa yang disebut-sebut kearifanlokal atau etika konservasi petani ladang yang tidakmerusak hutan dikarenakan tidak adanya akses, tekananpopulasi, dukungan teknologi, atau meningkatnyakebutuhan dari luar.

    Namun itu adanya di masa lalu, masyarakat sekitarhutan belum terbuka aksesnya ke dunia luar. Hutanbelum dieksploitasi oleh HPH. Perkebunan skala besardan transmigrasi belum masuk menguasai lahan atauruang di sekitar masyarakat peladang. Dari survei KKIWarsi bekerja sama dengan LP-Unja (Oktober 2003)terhadap dinamika ekonomi rumah tangga para petaniladang yang dilakukan di Desa Padangkelapo,Sungairuan, Jelutih, dan Hajran di KabupatenBatanghari, interaksinya paling tinggi terhadapkawasan konservasi, Taman Nasional Bukit Duableas(TNBD) Jambi. Informasi dikumpulkan denganmenetapkan sampel 10 persen dari rumah tangga diempat desa tersebut secara acak. Adapun jumlah rumahtangga di Desa Padangkelapo 280 KK, Sungairuan440 KK, Jelutih 610 KK, dan Hajran 170 KK.

    Dinamika Pertanian Ladang

    Semua jenis tanaman yang dibudidayakan para petaniladang merupakan tanaman pilihan dari tanaman liaryang awalnya tumbuh alami di hutan tropis. Dariberbagai jenis tanaman yang dibudidayakan ini,barangkali tidak ada yang lebih ajaib dari karet (haveabraziliensis). Walaupun tanaman ini mulanyaditemukan di hutan tropis Brazil, tetapi dengan sangatcepat menyebar ke para petani ladang hingga kepeladang di hutan tropis Sumatra. Di Provinsi Jambikomoditas ini telah bertahan hampir satu abad danhingga kini masih mendominasi pertanian masyarakatlokal, ini dikarenakan keunggulan ekologis tanamanini yang tidak membebani sistem pertanian ladang.(bersambung ke hal.18)

    Budaya Talang Gerogoti TNBD

    Ndak kemano Bu, Pak (hendak kemana Bu,Pak)?Ndak ke talang Nak (hendak ke ladang).Ngapo ke talang (mengapa ke ladang)?Biaso, motong para(biasa, memotong karet).Bilo balik (kapan pulang)?Sebulan lagi (sebulan lagi).

    Percakapan ini sering terdengar di antara warga desa, terutamapetani karet di Desa Jelutih, di selatan Taman Nasional BukitDuabelas (TNBD) Jambi. Bahkan kalau ada salah seorang wargaditanya di mana kerabatnya dan dia tidak tahu, jawaban terakhirnya pastilahpergi ke talang.

    Talang adalah kebun karet. Budaya ber talang (beraktifitas di talang)telah menjadi agenda turun-temurun warga Jelutih. Warga yang tidakmengenal/tidak bertalang dianggap bukan warga Jelutih atau bukanketurunan orang Jelutih. Talang dijadikan tempat bekerja sekaligus tempattinggal atau menginap dalam waktu tertentu. Selain mengelola karet,warga bertalang juga menanam padi, cabe, sayuran, palawija, bahkanbeternak ayam. Hasilnya selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-harijuga untuk dijual.

    Karena kegiatan warganya didominasi bertalang, maka tak heran di sianghari hampir tidak ditemukan warga Jelutih berada di desa kecuali anaksekolah, pegawai negeri, ibu-ibu yang mempunyai anak kecil, dan paraorang tua yang tidak mampu bekerja. Saat penulis melakukan survei didesa ini, diketahui umumnya mereka lebih senang menghabiskan waktu ditalang daripada tinggal di dusunnya. Tinggal di dusun mereka anggapsebagai pekerjaan yang sia-sia dan tidak bermanfaat karena menganggurdan tidak menghasilkan uang, hanya akan menguras isi tabungan.Bertalang memberikan ketenangan tersendiri bagi mereka, di manamotivasi kerja pun tinggi membayangkan uang yang akan mereka bawadari hasil bertalang.

    AL

    AIN

    CO

    MPO

    ST /

    DO

    K. K

    KI W

    AR

    SI

  • 17

    Penyadap karet ini selain tinggal di talang, juga ada yang tetap tinggal didusun. Pendapatan penyadap karet yang tingal di talang sangat berbeda denganpenyadap yang tinggal di dusun. Begitu juga dengan penghasilan dari tanamanyang lainnya. Penyadap yang tinggal di talang akan memperoleh pemasukanyang lebih bervariasi ketimbang penyadap yang tinggal di dusun yang otomatishanya menerima hasil dari karetnya saja.

    Hal yang menjadi pemicu hingga menarik warga untuk bertalang adalah peluangekstensifikasi pertanian atau kemungkinan perluasan kebun karet yang bisamereka lakukan sewaktu-waktu. Pembukaan lahan baru merupakan hal yangbiasa dan menjadi penting dalam aktivitas bertalang ini. Tak heran pulabertalang kemudian menjadi budaya warga Desa Jelutih yang menggerogotiTNBD Jambi.

    Pola bertalang ini intensif dijalani warga bila dia telah berumah tangga ataumenikah. Rasa tanggung jawab dan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupkeluarga merupakan alasan utamanya. Walaupun sebenarnya didikan bertalangsudah mereka terima sejak kecil dari orang tuanya.

    Bertalang umumnya memakan waktu 15 hari sampai satu bulan setelah usiaperkawinan. Keluarga baru akan menjadi buah bibir masyarakat jika lebih darisatu bulan masih menumpang di rumah orang tua/mertua mereka. Waktu 15hari digunakan mempersiapkan segala sesuatunya untuk bertalang. Mencarimajikan/toke untuk menggantungkan hidup adalah pekerjaan pertama yangdilakukan. Setelah induk semang didapat (berikut kebunnya untuk disadap),barulah bertalang dilakukan bersama istri. Bulan madu pun dianggap sangatindah dilalui di kebun karet dalam masa bertalang.

    Semua perbekalan dan modal awal bertalang ditanggung pemilik kebun (toke).Rumah yang didirikan di talang berbentuk panggung yang modalnya juga daritoke. Menyadap dilakukan dari pagi hingga sore. Selama penyadapan di kebun,pondok itu sepenuhnya milik penyadap yang suatu saat harus dikembalikanlagi pada si pemilik kebun. Kebun karet milik toke ini disadap dengan sistembagi hasil. Lahan yang dibuka dan dimanfaatkan untuk bertalang umumnyaareal hutan yang tentunya tidak berpemilik, berupa belukar, sesap milik orangtua, ataupun didapatkan dengan cara membeli.

    A L A M S U M A T E R A

    Hasil sadapan untuk tiga bulan pertama sepenuhnya menjadihak penyadap dan tidak dibagi ke pemilik kebun atau yanglebih dikenal dengan hasil pangkal. Setelah tiga bulan baruhasilnya dibagi sesuai aturan yang disepakati. Biasanyadibagi empat (tiga bagian untuk penyadap dan satu bagianuntuk pemilik). Tiga bulan per tama hasil karet sangatmengembirakan penyadap, bisa dibilang waktu tersebutmerupakan waktu untuk mengembalikan modal, sehinggakalau betul-betul penyadap bekerja dengan tekun dan rajinmaka hasilnya akan memuaskan serta dapat dipakai lagiuntuk modal membuka lahan baru.

    Pemikiran membuka lahan baru ini telah muncul dalam satutahun usia perkawinan warga yang bertalang dengan modalyang terkumpul dalam masa itu. Dari kalkulasi yang penulislakukan diketahui kalau kemampuan seseorang membukalahan baru selama satu tahun perkawinannya seluas 2,25hektar.

    Lamanya seseorang tinggal di talang 7-8 tahun, disesuaikandengan perkembangan jumlah anggota keluarga. Sehinggajika dikalikan dengan perluasan lahan selama satu tahun,maka total kebun yang mereka peroleh dalam tujuh tahunperkawinannya 15,75 hektar. Jumlah ini cukup menjaminekonomi warga ke depan bahkan selamanya dengan asumsilahan dan kebun karet yang dibuka tersebut tidak dijual untukkeperluan lain. Dalam usia perkawinan yang tujuh tahun itupula tentunya pasangan suami-istri telah dikaruniai 2-3 or-ang anak yang harus bersekolah. Sehingga mereka pun sudahberpikir untuk menetap di dusun. Otomatis pembukaan lahanbaru pun akan terhenti dengan sendirinya.

    Sekilas budaya bertalang memberikan dampak positif padaekonomi masyarakat, namun aktifitas itu berefek negatifterhadap hutan. Konversi lahan yang tidak terhindarkan telahmengakibatkan hutan beralih fungsi menjadi lahan pertanian.Dengan kata lain budaya bertalang merupakan ancaman bagikelestarian hutan. Apalagi dengan semakin terbatasnyaketersediaan lahan dan bertambahnya jumlah keluarga baru.Setiap tahun jumlah pasangan yang menikah di Desa Jelutihmencapai 20 pasangan. Diperkirakan pula terjadi perubahankawasan hutan menjadi lahan pertanian lebih dari 45 hektarsetiap tahunnya. Itu belum ditambah dengan jumlah yangmenikah tahun sebelum-sebelumnya yang masih terusmembuka lahan baru hingga 7-8 tahun ke depan.(AdeCandra, Staf Unit Fasilitasi Desa).

    AU

    LIA

    ER

    LAN

    GG

    A /

    DO

    K. K

    KI

    WA

    RSI

    Ladang Orang Rimba (foto kiri atas)dan ladang orang dusun (foto kanan bawah)

  • 18LAPORAN UTAMA

    Dari penelitian KKI Warsi dan LP-Unja di atasmenunjukkan hingga kini sumber penghasilan utamamasyarakat lokal masih didominasi karet. Sebanyak 75persen rumah tangga di tiap desa ini punya kebunkaret walaupun dengan variasi luasan yang berbeda-beda. Ini menunjukkan kalau hampir semua ruang dikeempat desa tersebut dipenuhi tanaman karet.

    Desa Jelutih dan Padangkelapo memberikan kontribusiekonomi karet yang lebih tinggi dalam rumah tanggapeladang, daripada peladang Desa Hajran danSungairuan, tepatnya kontribusi masing-masing 90persen dan 75 persen. Keadaan ini berkorelasi dengankecukupan lahan di desa yang bersangkutan. SementaraDesa Hajran dan Sungairuan karena marginal dalamkepemilikan lahan, maka keterlibatan masyarakatnyadalam perbalokan lebih tinggi. Kegiatan ini menjadiancaman yang sangat serius bagi konservasi di TNBD.

    Rata-rata umur karet yang tengah disadap di empatdesa itu mencapai 25 tahun. Walaupun produktifitaskaret tua cenderung menurun, tetapi masih bisamenghasilkan getah. Karena itu tetap dipertahankansebagai sumber penghasilan untuk kebutuhan mini-mum petani. Seperti di Desa Sungaruan,pengembangan karet muda sangat minim, luasan lahanlangka akibat pembukaan kebun sawit. Umumnyapembukaan lahan di desa ini kurang dari dua hektar,bahkan untuk dua tahun terakhir tidak ada lagipenduduk yang membuka lahan.

    Sedikit berbeda dengan Desa Jelutih danPadangkelapo, kebun karet diistirahatkan pada umur18 dan 21 tahun, karena adanya ketersediaan pilihankaret yang lebih produktif dengan usia yang lebihmuda. Sedangkan Hajran memiliki kebun karet yangmasih relatif muda dan dalam tahap usia produktif.

    Jika dilihat dalam rentang waktu yang lebih lama,ketiga desa (selain Hajran) rata-rata luas pembukaanlahan selama 10 tahun terakhir ini antara 2-3 hektarpersetiap pembukaan. Ini kian menguatkan kenyataankalau sistem pertanian ladang tradisional dengan tanamkaret memang sangat haus lahan. Tapi bila dilihat darisegi kesejahteraan para peladang, kebanyakan sangatmemprihatinkan. Hal ini terjadi, karena cara yangdigunakan petani ladang untuk mempertahankantingkat kestabilan ekonominya hanya dengan terusmembuka lahan-lahan baru, agar kombinasi kebutuhanjangka pendek dari tanaman muda dan jangka panjangseperti karet atau tanaman buah-buahan, dapatterpenuhi.

    Berbeda dengan Orang Rimba sebagai tetanggapeladang dalam hal luasan lahan (tapi tanpa tanamankaret) ini. Rata-rata luas lahan Orang Rimba kurangdari satu hektar setiap kali pembukaan lahan. Begitujuga rumah tangga transmigran (yang masih dalamkawasan TNBD), malah hanya memiliki lahan standartiga hektar. Dengan lahan seluas itu yang dijadikanperkebunan sawit, telah mampu memenuhi ekonomirumah tangga transmigran yang rata-rata memilikipenghasilan lebih tinggi dari peladang karet.

    Selain karet, perubahan penting yang sangatmerangsang dinamika para petani ladang yaitukehadiran jaringan jalan darat untuk menggantikanakses sungai. Kehadiran jalan ini sehubungan denganmasuknya HPH mengeksploitasi hutan hingga kepedalaman melintasi batas-batas tradisional penduduklokal.

    Jaringan jalan sangat berperan meningkatkan nilai karetdan ekspansi lahan pertanian. Mengingat jarak yangditempuh (agar karet sampai ke pasaran) bisa mencapai20 kilometer bahkan 40 kilometer dari desa. Itu punberkemungkinan hanya bisa ditempuh peladang yangmemiliki modal atau diberi modal. Sebagian bekas jalanlogging telah dikembangkan pemerintah menjadi jalanpermanen, sehingga kian memperlancar akses antar desadan kota-kota terdekat.

    Tapi keterbukaan akses ini menjadi awal dinamikauntuk menunjang perkembangan selanjutnya di semuaaspek kehidupan masyarakat desa, yang dimulai dariperubahan pola konsumsi. Di satu sisi, denganketerbukaan akses hampir semua komoditas lokalmenjadi terapresiasi. Sebaliknya standar nilai-nilai lokalperlahan-lahan memudar dan berubah menjadi standarglobal, terutama melalui alat penukaran uang. Satu-persatu produk subsistensi lokal yang tadinya untukkonsumsi sendiri, perlahan-lahan berubah menjadiberorientasi pasar. Misalnya surplus hasil kebun, hasilladang, atau buruan, tidak lagi didistribusikan ke sanakatau rumah tangga lain sebagai moral tradisionalpetani. Sebab pasar telah siap mengganti sistem itudan semua nilai komoditas petani ditentukan olehkekuatan pasar.(Robert A)

  • 19A L A M S U M A T E R A

    Toke sering sekali berimage negatif di masyarakat luas, namun tak menutup kemungkinan juga ada sebaliknya. Bagaimana dengan masyarakat Desa Padangkelapo, yang terletak diutara Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi? Adakahtoke sangat merugikan bagi mereka atau sebaliknya? Karena padakenyataannya masyarakat Padangkelapo sangat bergantung padaperan toke dan kadang sang toke juga melimpahkan banyakkebaikan pada mereka. Sehingga disegani bahkan dipandang dewapenolong oleh masyarakat desa yang berada pada posisi 12 kmdari Kecamatan Maroseboulu, 65 km ke pusat KabupatenBatanghari, dan 129 km ke Provinsi Jambi ini.

    Jumlah penduduk Padangkelapo dari data pemerintah tahun 2002,ada 365 KK. Sedangkan berdasarkan survei KKI Warsi hinggaApril 2003 terdata 286 KK dengan 1.407 jiwa. Hal ini disebabkantingkat migrasi masyarakat keluar desa sangat tinggi, tepatnya79 KK atau 21,6% sepanjang 2002-2003. Tingkat pendidikandan kesadaran akan bersekolah sangat rendah di DesaPadangkelapo, ini tampak dari jumlah penduduk tersebut hanyatiga orang yang tamat perguruan tinggi/akademi, 21 tamatanSMU, 166 lulus SD-SMP, dan sisanya 96 orang tidak tamat SDsama sekali. Para orang tua di desa ini cenderung memberikanpilihan pada anak-anak mereka, apakah ingin bersekolah atauikut mereka ke ladang. Seringnya pilihan utama adalah ikut keladang, membantu orang tua saja.

    Sehingga tak terelakan interaksi warga Desa Padangkelapoterhadap TNBD pun tinggi. Umumnya mereka hidup dari memotongpara (karet) dan berbalok. Kesibukan pada dua pekerjaan tersebutmenjadi awal masyarakat Padangkelapo tidak mampu memenuhikebutuhan subsistensinya dari hasil pertanian.

    Jenis sawah yang dikelola masyarakat Padangkelapo adalah sawahtadah hujan dan sebagian kecil memiliki sawah lahan kering dilahan perkebunan. Areal persawahan tadah hujan 50 hektar.Namun karena kepemilikan lahan yang timpang menyebabkan adapenduduk yang hanya punya 0,5 hektar lahan sawah. Dalam cuacayang normal, setiap hektar menghasilkan gabah kering denganvarietas padi lokal 133,3 gantang. Hasil panen padi ini tidak dijualmelainkan disimpan untuk cadangan kebutuhan pangan. Mengingatmusim tanam hanya setahun sekali yaitu saat musim hujan tiba.

    Pergeseran iklim di Desa Padangkelapo yang kadang kemarau(Mei-Agustus) kadang hujan (awal September-April), menyulitkanmasyarakat memulai bersawah dengan sistem tadah hujan danmemulai penyadapan karet. Per tanian dianggap tidak menjaminperekonomian, sehingga pendapatan keluarga bergantung padapenjualan hasil karet yang mampu disadap setiap minggunya.

    Pemilik lahan karet ter luas tentulah toke, masyarakatPadangkelapo lebih banyak menjadi penyadap karet atau buruhpara toke.

    Para toke getah/karet di Padangkelapo sangat berperan bahkanberkuasa dalam sistem perekonomian desa. Bahkan toke getahyang memiliki modal (uang) besar juga merangkap jadi toke kayukarena yakin akan mendapat pemasukan lebih besar dari balok.Warung-warung yang ada di sana pun milik toke-toke Padangkelapo.Keberadaan mereka juga memberikan pinjaman ke masyarakatyang tidak mampu. Keseluruhan toke ini memiliki hubungankekeluargaan.

    Berbelanja ke warung bisa menjadi awal jerat utang yangberimplikasi seorang toke mulai menguasai masyarakat. Rutinitaspemenuhan kebutuhan belanja, tentunya tak bisa ditunda, danpenyedia kebutuhan hanyalah toke dan kerabat-kerabatnya.Seminggu sekali masyarakat berutang belanja dengan konsekuensi

    Toke, Dewa PenolongMasyarakat Padangkelapo

    AU

    LIA

    ER

    LAN

    GG

    A /

    DO

    K. K

    KI

    WA

    RSI

    Menghilirkan karet melalui sungai

  • 20A L A M S U M A T E R A

    harus menyetorkan getahnya ke toke. Ketidakseimbangan antarabelanja rutin yang menjadi utang masyarakat dengan setoran getahtiap minggu, menjadi alat bagi seorang toke untuk terus menekanharga dan menentukan sebebas-bebasnya kadar air getah karet.

    Getah karet ditentukan oleh cuaca, artinya dalam kondisi kemaraupanjanglah penduduk bisa dengan leluasa memotong karet setiapminggunya, dengan demikian belanja yang diambil tiap minggujuga bisa ditutupi sedikit. Tetapi jika hari hujan, pengeluaran tidakakan seimbang dengan setoran getah karet pada toke. Utangsemakin membesar.

    Ada seorang toke besar di Padangkelapo ini yang memulaiusahanya sejak tahun 1960 hingga sekarang. Berdasarkanketerangan yang berhasil penulis rangkum, sejak sang toke besarberkuasa, setiap rumah tangga memiliki utang antara Rp.2.000.000 sampai Rp. 5.000.000 padanya. Setelah dipotonghutang (dalam bentuk pengambilan belanja) di warung toke,masyarakat terutama penyadap akan kesulitan memenuhikebutuhan sehari-hari. Jalan yang ditempuh penyadap adalahdengan menjual sebagian hasil getah pada toke lain yang lebihkecil (diistilahkan masyarakat dengan anak ular). Menurut merekahanya dengan jalan seperti itu kebutuhan sehari-hari dapatdipenuhi.

    Dalam per-toke-an ini, anak ular atau toke kecil yang biasanyajuga merupakan anak buah atau perpanjangan tangan toke besar,menghalangi toke luar masuk Padangkepalo untuk membeli karetmasyarakat. Kalau pun bisa masuk, sang toke luar hanya bisamasuk sekali saja. Karena anak ular memiliki bermacam cara untukmengusir toke luar dari Padangkelapo. Setelah ada pengusirantoke luar, masyarakat Desa Padangkelapo ditarik untuk mulaimembuka lahan lebih banyak dengan dimodali, kemudian kebunyang sudah jadi akan dibagi dua dengan toke.

    Hanya sebagian kecil masyarakat yang benar-benar memiliki lahanpertanian dan perkebunan. Namun ada juga yang jika kesulitanuang, lahannya dijual ke toke. Seperti karet unggul yang padaawalnya seluas 60 hektar atas bantuan Dinas Pertanian dalamproyek TCSDP (Tre Crop Suitanable Development Project/ProyekPengembangan Tanaman Berkelanjutan) dimulai 1988, sekarangdikuasai toke desa karena masyarakat yang memilikinya tidakmampu membayar angsuran kredit.

    Sejak 1930 hingga 2003 ini luasan kebun satu toke saja telahmencapai 1.000 hektar alias bisa sampai di km 12 dari pusatdesa, baik lahan karet yang sudah bisa disadap maupun yang belum.Lahan sesap/belukar milik toke di desa ini juga sangat luas. Kerjasama toke dengan mereka memakai sistem bagi hasil,pembagiannya dibedakan antara jenis karet alam dengan karetunggul.

    Kalau karet alam pembagian hasil seperempat untuk penyadapsedangkan karet unggul pembagiannya setengah. Seorang toke didesa juga berfungsi sebagai penentu harga dengan mematok hargagetah karet unggul Rp. 1.800 per-kilogram. Sementara menurutpenyadap hasil produksi karet unggul juga tidak berbeda denganhasil karet alam yaitu 500 batang karet unggul menghasilkan 30kilogram perminggu.

    Setiap warga mampu menyadap 500-700 batang karet perhari(masyarakat mengistilahkannya dengan satu orang potong)dengan hasil rata-rata 10-15 kilogram perhari. Karet dijual padapedagang pengumpul di desa dengan harga Rp 1.500 sampai Rp1.700 perkilogram.

    Pengeluaran lain adalah biaya tarik getah dari ladang (talang) kedesa. Biasanya untuk menarik getah ke desa masyarakatmengupahkan ke buruh tarik dengan ketentuan harga berdasarkanjarak lokasi kebun karet ke desa. Harga upah tarik Rp. 5.000 per-kilometer. Bisa dibayangkan, apabila lokasi kebun karet masyarakatberada di km 12, maka upah tarik yang harus dikeluarkan Rp.60.000 per-pikul (1 pikul = 100kg.).

    Rata-rata pendapatan penduduk desa tertinggi yang diperolehpemilik karet dan menyadap sendiri karetnya adalah antara Rp120.000 sampai Rp 153.000 perminggu. Sementara bagipenyadap yang bekerja pada kebun karet orang lain mendapatpenghasilan antara Rp 82.000 sampai Rp 110.500 perminggu.Sementara berdasarkan hasil quisioner dari studi pembangunanKKI Warsi dengan Unja diketahui kalau rata-rata pengeluaran untukkebutuhan pangan penduduk Desa Padangkelapo Rp 133.250sampai Rp 200.000 perminggu.

    Melalui penguasaan lahan, modal, dan sumber-sumber produksilainnya ini, monopoli getah, hak menentukan harga getah, kadarair getah, serta penguasaan sarana transportasi angkutan getah,bisa berlangsung dan dipegang terus oleh toke besar. Tokekemudian menjadi sosok yang sangat dibutuhkan. Apalagi jikaada sikap dermawan toke ke masyarakat, misalnya ada seorangtoke yang mendirikan mesjid megah (untuk ukuran desa) diPadangkelapo hingga dia pun disegani. Di lembaga pemerintahandesa, seorang toke juga diangkat menjadi bendahara LembagaPemberdayaan Masyarakat (LPM) Padangkelapo. Kewenanganlembaga ini sangat mendominasii kelembagaan lainnya di desa,termasuk melebihi kewenangan kepala desa.

    Kehidupan pertokean di atas sebenarnya tidak hanya terjadi diDesa Padangkelapo saja, melainkan hampir di seluruh desa diJambi. Perlu dipikirkan jalan keluar memutuskan mata rantaipertokean. Sistem perekonomian yang didominasi oleh toke inisangat menghambat peningkatan ekonomi masyarakat desa secaramandiri.(Zainuddin, Staf Unit Fasilitasi Desa)

  • 21

    LAPORAN UTAMA

    Upaya penyelamatan Taman Nasional BukitDuabelas (TNBD) Jambi tidak bisadilepaskan dari perhatian akan bentuk-bentukprogram pembangunan untuk meningkatkan kondisisosial ekonomi masyarakat desa penyangga taman(berjumlah 25 desa terletak di Kabupaten Batanghari,Sarolangun, Tebo, dan Merangin). Kajian danidentifikasi potensi desa pun perlu dilakukan gunamengetahui peluang-peluang yang memungkinkanuntuk dikembangkan sehingga ketergantunganmasyarakat terhadap sumber daya hutan berkurang.Kajian tersebut terkait pada penilaian terhadap berbagaihal yang turut mempengaruhi efektifitas programpembangunan di desa, antara lain kelembagaan lokal/desa, analisa sosial politik desa yang meliputi berbagaipotensi konflik, struktur sosial ekonomi, dan lainnya.

    Salah satu kegiatan kajian di desa penyangga TNBDterkemas dalam penelitian bertema Studi KebijakanPemanfaatan Ruang dan Sumber Daya Alam (SDA),yang dilakukan Unja dan KKI Warsi. Empat desa yangditeliti (Desa Jelutih, Hajran, Padangkelapo, danSungairuan di Kabupaten Batanghari) bisa mewakilikondisi desa-desa penyangga lainnya.

    Desa-desa ini secara geografis berada di pinggir SungaiBatanghari dan Sungai Tembesi. Keberadaan sungai-sungai ini tidak saja digunakan untuk mandi, minum,mencuci, dan sebagainya. Tetapi juga untuk aksestransportasi, termasuk membantu mengeluarkan getahkaret dan kayu. Secara umum, mata pencarian utamamasyarakat memang mengandalkan karet dan kayu.Pencaharian lain masih bersifat perorangan, misalnyaberdagang, tukang ojek, dan mencari ikan.

    Potensi desa seperti sawah bahkan lahan terlantar diempat desa ini, cukup luas. Tapi belum termanfaatkansecara optimal, karena kurang modal, adanyakekhawatiran akan resiko banjir dan hama.Pemanfaatannnya bersifat individu, belum adanyaperhatian dari pihak swasta maupun pemerintah, sertafaktor-faktor lain.

    Masalah Pembangunan Desa

    Program pembangunan untuk desa-desa secarakuantitas banyak, namun apakah program ini bisameningkatkan ekonomi rumah tangga? Masih belumpasti jawabannya. Umumnya program pembangunan

    Kebijakan Pembangunan Desabelum Sentuh Persoalan Masyarakat

    AU

    LIA

    ER

    LAN

    GG

    A /

    DO

    K. K

    KI

    WA

    RSI

  • 22Trend Pemanfaatan Lahan Desa-desaSelatan TNBD Jambi

    B isa dipastikan kelapa sawit merupakan komoditasunggulan alias primadona di bidang perkebunan. Jenistanaman ini telah menghasilkan crude palm oil (CPO)sebagai bahan dasar minyak goreng dan bahan campuranbeberapa industri lainnya, seperti sabun mandi, mentega, danbahan cat. Keunggulan itu ditunjukan dengan meningkatnyapermintaan minyak goreng, hinggapemerintah Indonesia punmengeluarkan beberapakebijakan untuk mendorong usahakelapa sawit nasional, misalnyadengan menurunkan SK MenteriKehutanan dan Perkebunanbernomor 107/Kpts-II/1999 danperubahannya bernomor 645/Kpts-II/1999.

    Kebijakan ini mendorongekstensifikasi perkebunan kelapasawit yang dianggap lebih mudah dan murah daripadamelakukan intensifikasi. Selain itu pemerintah juga beralasankalau lahan Indonesia masih cukup luas untuk perkebunan.Sehingga pertambahan areal perkebunan kelapa sawit jugaterus meningkat setiap tahun.

    Contohnya terjadi di desa-desa selatan TNBD Jambi. Desa-desa ini umumnya berbatasan langsung dengan perkebunankelapa sawit. Perkebunan ini selain dikelola PT JAW yang masukwilayah Desa Lubukjering, Jernih, Semurung, dan Dusunbaru(Marga Air Hitam) juga dikelola secara PIR-BUN (Pola IntiRakyat Perkebunan) oleh PT Sari Aditya Loka (PT SAL) dengandesa transmigrasi seper ti Desa Bukitsuban danPematangkabau.

    Keberhasilan perusahaan perkebunan dan desa transmigrasimengelola tanaman sawitnya ter lihat dari tingkatperekonomian mereka yang semakin baik, ini membuatmasyarakat Melayu pun terobsesi untuk ikut berkebun sawit.Sehingga terjadi pula perubahan pola pemanfatan lahan yangdulunya berlomba-lomba menanami karet sekarang menanamisawit. Tidak sedikit lahan produktif ataupun karet tua merekatebangi. Padahal untuk pengelolaan kebun kelapa sawitmembutuhkan modal besar disamping pengetahuan danpengalaman yang memadai. Selain itu juga secara aksebilitasharus dekat dengan jalan guna memudahkan pengakutan hasilsawit ke pasaran, sementara lahan yang dekat dengan jalankadang sudah ada pemiliknya atau ditanamani karet.

    Bentuk areal perkebunan kelapa sawit adalah monokultur. Agardapat berproduksi dengan optimal, tanaman harus dipeliharasecara intensif. Pemupukan dan pengendalian gulma sertahama dan penyakit merupakan tindakan yang harus dilakukandalam upaya intensifikasi. Sehingga penggunaan bahan kimiaberupa pestisida, herbisida, dan insektisida tak terhindarkan.

    Ketidakseimbangan ekosistem punter jadi, seper ti hilangnyabeberapa spesies tumbuhan.

    Tahun-tahun sebelumnya trendpemanfaatan lahan masyarakatdesa Melayu adalah per tanianladang berpindah-pindah. Trend inisangat menggancam bagikeselamatan TNBD Jambi.Sebaliknya dengan trend yangsekarang menanami sawit telahmembantu penyelamatan TNBD.

    Karena dengan berlomba-lomba menanami sawit dan lahanyang dimanfaatkan harus yang mudah ditempuh, makalahannya akan berada di pinggir atau di sepanjang jalan rayayang berarti tidak di dalam hutan TNBD. Sawit menjadi solusipemberdayaan ekonomi alternatif masyarakat sekaligusmelindungi TNBD.

    Menariknya lagi, tanaman sawit telah lama dianggap tanamanyang mencemaskan bagi konservasi. Di mana tanaman sawitberakar serabut yang daya serap airnya rendah dibandingkantumbuhan berakar tunggang (pohon hutan), hingga sawit akanmenyebabkan hilangnya daerah yang bisa mencegah banjir.

    Peralihan pola pemanfaatan lahan oleh masyarakat di desa-desa selatan TNBD ini disebabkan faktor di atas, jugadikarenakan kesediaan KUD PT SAL menyalurkan kredit untukkebutuhan pupuk dan obat-obatan bagi penduduk. Termasukdipengaruhi diversifikasi usaha pertanian di mana tanamankaret umumnya sudah mereka miliki sedangkan sawit belum.

    Pada akhirnya perlu direnungkan apakah perlu selamanyatetap mempertahankan prinsip konservasi yang menentangtanaman sawit? Sedangkan bagi desa-desa di sekitar TNBDyang memilih tanaman sawit sebagai penopang jaminanekonomi, secara langsung telah menyelamatkan TNBD aliasmembantu konservasi? Namun poin terpenting adalahmenyesuaikan kebutuhan lingkungan denganmemper timbangkan selera masyarakat.(Ade Candra)

    IST

    IME

    WA

  • 23LAPORAN UTAMA A L A M S U M A T E R A

    yang dimaksud (khususnya di empat desa yangdisebutkan di atas), diberikan dalam bentuk bantuandana Inpres Desa Tertinggal (IDT), program pertaniandengan penanaman karet unggul, serta pembangunansarana jalan, puskesmas pembantu, dan lainnya.

    Setiap tahun juga ada anggaran rutin berjudul DanaPembangunan Desa/Kelurahan (DPD/K) sebesarRp10 juta yang pemanfaatannya berdasarkanMusyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes). Dantahun ini di sebagian kecamatan terdapat ProgramPengembangan Kecamatan (PPK), namun masihdalam tahap perencanaan kegiatan untuk masing-masing desa. Program-program itu belumlah bisamengimbangi berbagai kebutuhan masyarakat yangsifatnya dinamis. Terdapat beberapa faktor yangmempengaruhi, antara lain masih kentalnya suasanakonflik antar lembaga maupun elit desa, dominasikepentingan elit desa/kepala desa yang menyebabkanprogram yang dihasilkan masih mencerminkankepentingan kelompok/keluarga. Selain itukemampuan perangkat desa minim dalammerencanakan program, membaca permasalahan,mengetahui desa sampai pada penentuan skalaprioritas.

    Kondisi ini menyebabkan program yang dimunculkanpun lebih bersifat fisik belaka. Contohnya ada pro-gram beternak ayam dan keramba di salah satu desapenyangga TNBD yang kurang mengantisipasipencurian, pengetahuan masyarakat kurang tentang

    kegiatan tersebut, ditambah pula adanya resiko banjirdari Sungai Batanghari hingga program tersebut jadisia-sia.

    Selanjutnya faktor berikut yang menjadi kendalapelaksanaan program pembangunan desa yaitukeberadaan lembaga desa yang belum berdayamenjalankan tugas pokok dan fungsinya. Kemudianforum-forum perencanaan seperti Musbangdes jugamasih bersifat formalitas, karena baru terlaksana jikaadanya himbauan dari atasan (pemerintah) dan sifatnyamendadak ketika terdesak oleh jadual perencanaanpembangunan pemerintah yang berada lebih atas lagi(supra desa).

    Kelembagaan desa seperti Badan Perwakilan Desa(BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM),lembaga adat, karang taruna, kelompok pengajian,maupun kelompok-kelompok olah raga, umumnyakurang berfungsi. Ada beberapa faktor penyebabnyayaitu faktor kepemimpinan yang sering tidakterlegitimasi, baik oleh anggota lembaga maupunmasyarakat. Hal ini juga berkaitan dengan prosespemilihan yang rentan kecurangan dan kurangmelibatkan masyarakat desa. Kemudian juga karenafaktor diragukannya kualitas pendidikan anggotalembaga sehingga berpengaruh pada manajemenorganisasi. Pemahaman terhadap tugas pokok danfungsi mereka masih minim.

    DO

    K. K

    KI W

    AR

    SI

  • 24LAPORAN UTAMA

    Faktor lainnya, lebih terdominasinya kepentinganekonomi seseorang sehingga fungsi-fungsi sosial(perekat anggota) menjadi tereduksi. Peranan pemilikmodal (baca: toke) tinggi dalam menentukan hukum/denda adat dan berbagai peraturan lain. Seperti adakasus yang LPM sebagai lembaga perencana danpelaksana pembangunan di desa terjerat hutang kepadatoke, sehingga setiap kegiatannya diorientasikan untukmembayar hutang ke toke, kepentingan pembangunanmasyarakat terabaikan. Dominasi toke dalam kebijakanmenghasilkan program yang lebih mendukungkelancaran usahanya, contohnya usulan pembuatanjalan di suatu desa, hanya untuk memperlancar aksessang toke dalam mengeluarkan hasil pertanian (getah)dari ladangnya. Akibat lain dari keterikatan ini adalahpenetapan harga getah yang ditentukan oleh toke,sehingga tidak ada kesempatan memilih tokeberdasarkan harga yang bersaing. Ini juga yang menjadipenghambat sulitnya program pembangunan desakhususnya untuk peningkatan ekonomi rumah tangga.

    Dominasi juga terjadi dalam penguasaan lahan di desa.Jika tidak ada kajian mengenai kepemilikan ini,berbagai program terutama yang berkaitan denganpertanian, sekali lagi hanya akan menguntungkan tokesebagai pemilik tanah. Ketersediaan data mengenaikondisi sosial ekonomi rumah tangga menjadi sangatpenting untuk dijadikan acuan bagi perencana pro-gram, agar kegiatan pembangunan tepat sasaran.Demikian juga dalam ketersediaan data yangmenyangkut berbagai faktor pendukung dan dataresiko dari implementasi program.

    Berdasarkan kondisi tersebut, tentu sulitmengharapkan program yang tepat dan menghasilkan.Program yang perencanaannya kurang tepat, akanrentan penyimpangan dalam pelaksanaannya. Darisurvei penulis di lapangan, ada beberapa faktorpenyebab kegagalan pelaksanaan sebuah program,antara lain minimnya pelibatan unsur masyarakatdalam pelaksanaan dan pengawasan program, termasuktenaga kerjanya pun diambil dari luar desa.Keterlibatan yang minim, menyebabkan rasa memilikiterhadap program pun rendah, jaminan keamananmenjadi rendah pula.

    Adanya program yang masih dipersepsikan sebagaijasa dari pihak tertentu, belum dianggap sebagai hakyang layak diterima. Inilah yang menyebabkanmunculnya istilah bagi-bagi proyek. Faktor penyebabkegagalan program lainnya yaitu aspek pengetahuan(bersambung ke hal. 26)

    HGU Ter lantar Berikan ke Masyarakat

    Masyarakat Desa Hajran, di Kecamatan BatinXXIV, KabupatenBatanghari, tiada lelah menuntut HGU perkebunan PT Sawit DesaMakmur (PT SDM) yang berada dekat lokasi mereka diserahkanke masyarakat untuk dikelola. Karena lahan yang berluas total 14.228hektar (masuk wilayah Desa Pakuaji, Kecamatan Batin XXIV, ser ta DesaSungairuan dan Desa Sungailingkar di Kecamatan Maroseboulu) ituditerlantarkan alias tidak ditanami sebagaimana seharusnya begituperusahaan mendapatkan izin pemanfaatan lahan.

    Perkebunan kelapa sawit PT SDM (grup Asiatic) ini merupakan perusahaanswasta murni yang telah bermukim sejak tahun 1987 di Jambi. Selama itupula perusahaan juga tidak memberikan kontribusi pada desa-desa yangberada di sekitar usahanya. Berdasarkan hasil pantauan KKI Warsi dilapangan diketahui kalau sudah 16 tahun sejak dikeluarkannya izin prinsipuntuk PT SDM, lahan yang diberikan tidak terkelola sebagaimana mestinya.Pihak perusahaan terkesan tidak mampu mengelola.

    Kondisi perkebunan yang tampak di lapangan bisa diklasifikasikan ataslima kelompok. Klasifikasi yang pertama yaitu lahan hutan yang samasekali belum dilakukan landclearing dan jumlahnya sangatlah luas.Klasifikasi yang kedua, lahan belukar yang telah di-landclearing namuntidak ditanami. Ada dua jenis belukar yang ada, yaitu belukar muda berumurtiga sampai lima tahun, belukar tua berumur lima tahun ke atas. Keduajenis belukar ini berbatasan langsung dengan lahan masyarakat, hinggamengakibatkan tanaman masyarakat banyak yang mati atau berwarnakuning dan ditumbuhi semak/gulma.

    Kemudian klasifikasi ketiga adalah lahan yang terdiri dari tanaman yangtidak terawat, tepatnya lahan yang dibuka dan ditanami sawit tapi tak adausaha perawatan layaknya sebuah perkebunan. Sementara klasifikasi yangkeempat yaitu lahan tanaman yang terawat/produktif yang menunjukkanadanya usaha pemeliharaan, sehingga tanaman memberikan hasil sepertibuah. Mengenai jumlah luasa jenis lahan keempat ini berjumlah sebagiankecil dari total luasan HGU PT SDM, berada di sekitar dan di jalan utamamenuju perkantoran perusahaan. Tanaman yang telah berproduksitersebut pun juga tidak memberikan hasil yang bagus, karena dari jumlahbuah/tandan setiap batangnya tidak sesuai dengan target.

    Kemudian klasifikasi yang kelima, lahan HGU PT SDM yang telah diokupasijadi kebun karet oleh warga desa. Dari umur tanaman karet diketahuikalau kegiatan okupasi ini sudah berlangsung tiga tahun. Lahan yangdijadikan kebun karet pun terbagi dua, yaitu belukar dan hutan yang beradadi pinggir jalan utama.

    Dari observasi tim peta KKI Warsi memakai GPS yang diambil Oktober2003, diketahui kalau berdasarkan klasifikasi di atas, total luasan klasifikasilahan hutan hanya 5.741 hektar, belukar 802 hektar, kelapa sawit 2.543hektar, lahan terbuka 1.698 hektar, lahan karet produktif 117 hektar,karet muda 760 hektar, dan wilayah yang tertutup awan serta bayanganseluas 1.249 hektar.

  • 25A L A M S U M A T E R A

    Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk dan pasangan yangmenikah di Desa Hajran kebutuhan akan lahan pun meningkat. Apalagimasyarakat Hajran sangat mengandalkan pola pertanian-ladang berpindah.Lahan yang diinginkan, letaknya mudah dijangkau