12
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Erupsi Obat Alergi 2.1.1. Definisi Erupsi Obat Alergi Reaksi silang obat adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang diakibatkan dari penggunaan produk pengobatan dan dari reaksi tersebut dapat diprediksikan bahaya penggunaan produk itu di masa yang akan datang sehingga dilakukan tindakan penggantian maupun penarikan produk (Edward & Aronson 2000). Menurut American Society of Health-System Pharmacists (ASHP) pada tahun 1995, reaksi silang obat adalah respon obat yang tidak diinginkan sehingga memerlukan penghentian obat, penggantian obat, perawatan rumah sakit, pengobatan tambahan, dan menyebabkan prognosis negatif seperti cacat permanen sampai kematian. Salah satu bentuk reaksi silang obat pada kulit adalah erupsi obat alergi. Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan (Hamzah, 2007). 2.1.2. Epidemiologi Erupsi Obat Alergi Menurut hasil penelitian Chatterjee et al. (2006), insidens erupsi obat alergi mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun. Erupsi obat alergi terjadi pada 2-3% pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi hanya 2% yang berakibat fatal. Insidens erupsi obat alergi pada negara berkembang berkisar antara 1% – 3%. Di India, kasus erupsi obat alergi mencapai 2-5%. Erupsi obat alergi terjadi 2-3% dari seluruh reaksi silang obat. Hampir 45% dari seluruh pasien dengan erupsi di kulit merupakan kasus erupsi obat alergi. Insidens erupsi obat alergi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria (Nayak & Acharjya, 2008). Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons dan hampir Universitas Sumatera Utara

alergi obat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

drug eruption

Citation preview

  • BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Erupsi Obat Alergi

    2.1.1. Definisi Erupsi Obat Alergi

    Reaksi silang obat adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang

    diakibatkan dari penggunaan produk pengobatan dan dari reaksi tersebut dapat

    diprediksikan bahaya penggunaan produk itu di masa yang akan datang sehingga

    dilakukan tindakan penggantian maupun penarikan produk (Edward & Aronson

    2000).

    Menurut American Society of Health-System Pharmacists (ASHP) pada

    tahun 1995, reaksi silang obat adalah respon obat yang tidak diinginkan sehingga

    memerlukan penghentian obat, penggantian obat, perawatan rumah sakit,

    pengobatan tambahan, dan menyebabkan prognosis negatif seperti cacat permanen

    sampai kematian.

    Salah satu bentuk reaksi silang obat pada kulit adalah erupsi obat alergi.

    Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri adalah reaksi alergi pada

    kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan

    cara sistemik. Obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis,

    profilaksis, dan pengobatan (Hamzah, 2007).

    2.1.2. Epidemiologi Erupsi Obat Alergi

    Menurut hasil penelitian Chatterjee et al. (2006), insidens erupsi obat

    alergi mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun.

    Erupsi obat alergi terjadi pada 2-3% pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi

    hanya 2% yang berakibat fatal. Insidens erupsi obat alergi pada negara

    berkembang berkisar antara 1% 3%. Di India, kasus erupsi obat alergi mencapai

    2-5%. Erupsi obat alergi terjadi 2-3% dari seluruh reaksi silang obat. Hampir 45%

    dari seluruh pasien dengan erupsi di kulit merupakan kasus erupsi obat alergi.

    Insidens erupsi obat alergi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria (Nayak &

    Acharjya, 2008). Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons dan hampir

    Universitas Sumatera Utara

  • 90% penderita toxic epidermal necrolysis terkait dengan penggunaan obat

    (Adithan, 2006).

    2.1.3. Faktor Risiko Timbulnya Erupsi Obat Alergi

    Faktor-faktor risiko yang menimbulkan erupsi obat adalah (Patterson,

    2009):

    1. Jenis kelamin dan usia

    Banyak orang menyatakan bahwa anak-anak lebih jarang

    tersensitisasi akibat obat jika dibandingkan dengan orang dewasa.

    Akan tetapi beberapa jenis kasus erupsi obat alergi yang memiliki

    prognosis buruk lebih sering mengenai anak-anak. Pada anak

    anak, ruam merah yang timbul akibat virus sering mengaburkan

    gambaran klinis erupsi alergi obat akibat antimikroba yang

    diberikan. Wanita lebih sering menderita erupsi obat alergi

    dibandingkan pria.

    2. Faktor genetik

    Erupsi obat alergik berhubungan dengan faktor genetik dan

    lingkungan misalnya pada kasus nekrolisis epidermal toksik akibat

    sulfonamida. Hal ini berhubungan dengan gen human leukocyte

    antigen. Diantara para remaja yang memiliki orang tua dengan

    riwayat alergi antibiotika, 25,6% remaja tersebut juga memiliki

    alergi obat yang sama.

    3. Pajanan obat sebelumnya

    Hal yang terpenting dari erupsi alergi obat adalah pajanan obat

    yang sebelumnya menimbulkan alergi ataupun obat obatan lain

    yang memiliki struktur kimia yang sama.Akan tetapi, alergi obat

    tidak bersifat persisten. Setelah pajanan, imunnoglobulin e dapat

    bertahan dari 55 hongga 2000 hari.

    4. Riwayat penyakit yang dimiliki

    Pasien dengan riwayat penyakit asma cenderung mudah menderita

    dermatitis atopi.

    Universitas Sumatera Utara

  • 5. Bentuk obat

    Beberapa jenis obat seperti antibiotika beta laktam dan

    sulfonamida memiliki potensial untuk mensensitisasi tubuh.

    6. Cara masuk obat

    Obat yang diaplikasikan secara kutaneus cenderung lebih

    menyebabkan erupsi alergi obat. Antibiotika beta laktam dan

    sulfonamida jarang digunakan secara topikal karena alasan ini.

    Dosis dan durasi pemberian obat juga berperan dalam timbunya

    erupsi alergi obat.

    2.1.4. Patogenesis Erupsi Obat Alergi

    Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah

    mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya

    erupsi obat alergi timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme

    imunologis. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang

    disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan

    dalam metabolisme (Riedl & Casillas, 2003).

    Menurut Lee & Thomson (2006), terdapat empat mekanisme imunologis.

    Reaksi pertama yaitu reaksi tipe I (reaksi anafilaksis) merupakan mekanisme yang

    paling banyak ditemukan. Pada tipe ini, imunoglobulin yang berperan ialah

    imunoglobulin E yang mempunyai afinitas tinggi terhadap mastosit dan basofil.

    Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi, tetapi bila dilakukan

    pemberian kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai

    antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti

    histamin, serotonin, bradikinin, dan heparin. Mediator yang dilepaskan ini akan

    menimbulkan bermacam-macam efek misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang

    paling ditakutkan adalah timbulnya syok. Mekanisme kedua adalah reaksi tipe II

    (reaksi autotoksis) dimana terdapat ikatan antara imunoglobulin G dan

    imunoglobulin M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem

    komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.

    Universitas Sumatera Utara

  • Mekanisme ketiga adalah reaksi tipe III (reaksi kompleks imun) dimana

    antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen

    antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam

    jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen

    merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan

    terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme keempat adalah reaksi tipe IV (reaksi

    alergi seluler tipe lambat). Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang

    tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe

    lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen (Lee &

    Thomson, 2006).

    Universitas Sumatera Utara

  • Tabel 2.1. Reaksi Imunologis dan Non Imunologis Tipe Contoh Kasus

    Imunologis

    Reaksi Tipe 1 Anafilaksis antibioktik beta laktam

    Reaksi Tipe 2 Anemia hemolitik akibat penisillin

    Reaksi Tipe 3 Serum sickness akibat anti-thymocyte

    globulin

    Reaksi Tipe 4 Dermatitis kontak akibat antihistamin

    topikal

    Aktivasi sel T spesifik Morbilliform rash akibat sulfonamid

    Fas/Fas ligand-induced apoptosis Stevens-Johnson syndrome

    Toxic epidermal necrolysis

    Non imunologis

    Efek samping farmakologis Bibir kering akibat antihistamin

    Efek samping farmakologis sekunder Thrush akibat pemakaian antibiotik

    Toksisitas obat Hepatotoksisitas akibat methotrexate

    Overdosis obat Kejang akibat kelebihan pemakaian

    lidokain

    Intoleransi Tinitus akibat pemakaian aspirin

    Sumber: Riedl & Casillas (2003)

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.1.5. Gambaran Klinis Erupsi Obat Alergi

    Erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan dengan

    gangguan kulit lain pada umumnya, yaitu (Hamzah, 2007):

    1. Erupsi makulapapular atau morbiliformis

    Erupsi makulapapular atau morbiliformis disebut juga erupsi

    eksantematosa dapat diinduksi oleh hampir semua obat. Seringkali

    terdapat erupsi generalisata dan simetris yang terdiri atas eritema

    dan selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada demam,

    malaise, dan nyeri sendi. Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu

    setelah dimulainya terapi. Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh

    ampisilin, obat anti inflamasi non steroid, sulfonamid, dan

    tetrasiklin.

    2. Urtikaria dan angioedema

    Urtikaria menunjukkan kelainan kulit berupa urtikaria, kadang-

    kadang disertai angioedema. Pada angioedema yang berbahaya

    ialah terjadinya asfiksia bila menyerang glotis. Keluhannya

    umumnya gatal dan panas pada tempat lesi. Biasanya timbul

    mendadak dan hilang perlahan-lahan dalam 24 jam. Urtikaria dapat

    disertai demam, dan gejala-gejala umum, misalnya malese, nyeri

    kepala dan vertigo. Angioedema biasanya terjadi di daerah bibir,

    kelopak mata, genitalia eksterna, tangan dan kaki. Kasus-kasus

    angioedema pada lidah dan laring harus mendapat pertolongan

    segera. Penyebab tersering ialah penisilin, asam asetilsalisilat, dan

    obat anti inflamasi non steroid.

    3. Fixed drug eruption

    Fixed drug eruption disebabkan khusus obat atau bahan kimia

    (Docrat,2005). Fixed drug eruption merupakan salah satu erupsi

    kulit yang sering dijumpai. Kelainan ini umumnya berupa eritema

    dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular.

    Kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama, baru

    Universitas Sumatera Utara

  • hilang, bahkan sering menetap. Dari namanya dapat diambil

    kesimpulan bahwa kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat

    yang sama. Tempat predileksinya di sekitar mulut, di daerah bibir

    dan daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit

    kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas

    disertai eritema dan rasa panas setempat. Obat penyebab yang

    sering ialah sulfonamid, barbiturat, trimetropin dan analgesik.

    4. Eritroderma (dermatitits eksfoliativa)

    Eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya

    disertai skuama. Eritroderma dapat disebabkan oleh bermacam-

    macam penyakit lain di samping alergi karena obat, misalnya

    psoriasis, penyakit sistemik temasuk keganasan pada sistem

    limforetikular (penyakit Hodgkin, leukemia). Pada eritroderma

    karena alergi obat terlihat eritema tanpa skuama; skuama baru

    timbul pada stadium penyembuhan. Obat-obat yang biasa

    menyebabkannya ialah sulfonamid, penisilin, dan fenilbutazon.

    5. Purpura

    Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan yang

    tidak hilang bila ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi sebagai

    ekspresi tunggal alergi obat. Biasanya simetris serta muncul di

    sekitar kaki, termasuk pergelangan kaki atau tungkai bawah. Erupsi

    berupa bercak sirkumskrip berwarna merah kecoklatan dan disertai

    rasa gatal.

    6. Vaskulitis

    Vaskulitis ialah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat

    berupa palpable purpura yang mengenai kapiler. Biasanya

    distribusinya simetris pada ekstremitas bawah dan daerah sakrum.

    Vaskulitis biasanya disertai demam, mialgia, dan anoreksia. Obat

    penyebab ialah penisilin, sulfonamid, obat anti inflamasi non

    steroid, antidepresan dan antiaritmia. Jika vaskulitis terjadi pada

    pembuluh darah sedang berbentuk eritema nodosum. Kelainan

    Universitas Sumatera Utara

  • kulit berupa eritema dan nodus yang nyeri dengan eritema di

    atasnya disertai gejala umum berupa demam dan malese. Tempat

    predileksinya di daerah ekstensor tungkai bawah. Eritema nodosum

    dapat pula disebabkan oleh beberapa penyakit lain misalnya

    tuberkulosis, infeksi streptokokus dan lepra. Obat yang dianggap

    sering menyebabkan eritema nodosum ialah sulfonamid dan

    kontrasepsi oral.

    7. Reaksi fotoalergik

    Gambaran klinis reaksi fotoalergi sama dengan dermatitis kontak

    alergik, lokalisasinya pada tempat yang terpajan sinar matahari.

    Kemudian kelainan dapat meluas ke daerah tidak terpajan

    matahari. Obat yang dapat menyebabkan fotoalergi ialah

    fenotiazin, sulfonamida, obat anti inflamasi non steroid, dan

    griseofulvin.

    8. Pustulosis eksantematosa generalisata akut

    Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut jarang

    terdapat, diduga dapat disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut

    oleh enterovirus, hipersensitivitas terhadap merkuri dan dermatitis

    kontak. Kelainan kulitnya berupa pustul-pustul miliar nonfolikular

    yang timbul pada kulit yang eritematosa dapat disertai purpura dan

    lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul pada waktu

    demam tinggi, dan pustul pustul tersebut cepat menghilang

    sebelum 7 hari yang kemudian diikuti deskuamasi selama beberapa

    hari.

    9. Disamping kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi kelainan berupa

    eritema multiforme, sindrom Stevens-Johnson, dan nekrolisis

    epidermal toksik.

    Pada pemeriksaan histopatologik didapati pustul intraepidermal atau

    subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat

    polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil atau nekrosis fokal sel-sel

    Universitas Sumatera Utara

  • keratinosit. Terdapat 2 perbedaan utama antara Pustulosis eksantematosa

    generalisata akut dan psoriasis pustulosa, yaitu Pustulosis eksantematosa

    generalisata akut terjadinya akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada Pustulosis

    eksantematosa generalisata akut pustul-pustul pada kulit yang eritematosa dan

    demam lebih cepat menghilang, selain itu gambaran histopatologik juga berbeda.

    2.1.6. Pemeriksaan Penunjang Erupsi Obat Alergi

    Pemeriksaan diagnostik untuk kasus erupsi obat alergi adalah dengan

    mengkonfirmasi marker biokemikal atau marker imunologi yang menyatakan

    aktivasi jalur imunopatologi reaksi obat. Pemilihan pemeriksaan penunjang

    didasarkan atas mekanisme imunologis yang mendasari erupsi obat. Pemeriksaan

    penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat

    alergi adalah (Nayak & Acharjya, 2008):

    1. Biopsi kulit

    Pemeriksaan histopatologi dan imunofloresensi direk dapat

    membantu menegakkan diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat

    dilihat dari adanya eosinofil dan edema jaringan. Akan tetapi

    pemeriksaan ini tidak dapat menentukan obat penyebab erupsi.

    2. Pemeriksaan laboratorium

    Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan

    menegakkan diagnosis serta melihat kemungkinan etiologi

    penyebab erupsi. Pemeriksaan ini mencakup perhitungan darah

    lengkap (atypical lymphocytosis, neutrophilia, eosinophilia, dan

    lain-lain) serta fungsi kerja hati dan ginjal. Peningkatan jumlah

    eosinofil dapat menunjukkan erupsi obat alergi dimana bila

    perhitungan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm3 menunjukkan erupsi

    obat alergi yang serius. Level obat dapat terdeteksi apabila

    terdapat overdosis dari obat tersebut.

    3. Pemeriksaan uji tempel dan uji provokasi

    Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat

    dipercaya. Uji provokasi (exposure test) dengan melakukan

    Universitas Sumatera Utara

  • pemaparan kembali obat yang dicurigai adalah yang paling

    membantu untuk saat ini, tetapi risiko dari timbulnya reaksi yang

    lebih berat membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati

    dan harus sesuai dengan etika maupun alasan mediko legalnya.

    2.1.7. Diagnosis Erupsi Obat Alergi

    Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah anamnesis yang teliti mengenai

    obat-obatan yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga

    beberapa hari sesudah masuknya obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai

    demam yang biasanya subfebris. Selain itu dilihat juga kelainan kulit yang

    ditemukan baik distribusi yang menyeluruh dan simetris serta bentuk kelainan

    yang timbul (Hamzah, 2007).

    Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari

    jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya.

    Data mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data

    kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian

    obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya

    hal ini sulit untuk dievaluasi terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat

    yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi obat alergi yang

    bersifat persisten (Nayak & Acharjta, 2008).

    2.1.8. Penatalaksanaan Erupsi Obat Alergi

    Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan erupsi obat alergi

    adalah dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh.

    Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dihentikan secepat

    mungkin (Nayak & Acharjya, 2008).

    Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat

    kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria,

    eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, dan eksantema

    Universitas Sumatera Utara

  • fikstum dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg

    sehari (Hamzah, 2007).

    Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan jika terdapat rasa

    gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan

    kortikosteroid (Hamzah, 2007).

    Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering

    atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2%

    ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol -1% untuk mengurangi rasa

    gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam

    salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan

    pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat

    diberikan krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% sampai 2 %. Pada

    eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami

    skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian

    (Hamzah, 2007).

    2.1.9. Prognosis Erupsi Obat Alergi

    Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat

    penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa

    bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom

    Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang terkena.

    (Hamzah, 2007). Sindrom Steven Johnsons memiliki angka mortalitas dibawah 5

    % sedangkan toxic epidermal necrolysis mencapai 20-30% dan kebanyakan

    pasien meninggal akibat sepsis (Nayak & Acharjya 2008).

    2.2. Gambaran Jenis-Jenis Obat yang menyebabkan Erupsi Obat Alergi

    Menurut penelitian Saha et al (2012), jenis-jenis obat yang paling sering

    menyebakan erupsi obat alergi adalah sulfonamid yaitu sekitar 17%, lalu diikuti

    flurokuinolon sekitar 11,3%, analgesik sekitar 11,3%, anti epilepsi sekitar 11,3%,

    allopurinol sekitar 7,5%, dan azitromicin sekitar 5,70%.

    Universitas Sumatera Utara

  • Menurut penelitian Young, Jong & Joo (2011), jenis-jenis obat yang

    paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu

    sekitar 34,10%, lalu diikuti golongan anti konvulsan sekitar 32,88%, dan

    golongan anti inflamasi non steroid sekitar 21,51%.

    Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi (2011), jenis-jenis obat yang

    paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu

    sekitar 48,30%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar 21,90%.

    Menurut penelitian Shah, Desai & Dikshit (2011), jenis-jenis obat yang paling

    sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu

    kotrimoksazole sekitar 15% dan flurokuinolon sekitar 15%.

    Menurut penelitian Hotchandani, Bhatt & Shah (2010), jenis-jenis obat

    yang paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba

    yaitu sekitar 61,4%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar 22,9%,

    dan obat anti epilepsi sekitar 10%. Menurut penelitian Ghosh, Acharya & Rao

    (2006), jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah

    golongan antimikroba yaitu sekitar 30%, lalu diikuti golongan anti epilepsi sekitar

    25%, obat anti tuberkulosis sekitar 11%, dan obat anti piretik sekitar 9%.

    Menurut penelitian Pudukadan & Thappa (2004), jenis-jenis obat yang

    paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah kotrimoksazole yaitu sekitar

    22,2%, lalu diikuti dapson sekitar 17,7% dan menurut penelitian Sharma,

    Sethuraman & Kumar (2001), jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan

    erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu sekitar 42,6% lalu diikuti

    golongan anti inflamasi non steroid sekitar 18%.

    Universitas Sumatera Utara