27
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang sangat berjasa dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam, khususnya dari para filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ikhwan al-Shafa, dan lain sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu organisasi yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Sebagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan al-Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. 1 Hal ini berdasarkan sebuah hadis: ( ِ هِ سْ فَ نِ ل ُ ّ بِ حُ ي ا َ مِ ه ْ يِ خَ َ ّ بِ حُ ي ىَ تَ خْ مُ كُ د َ حَ ُ " نِ مْ ُ يَ لا). Identitas pemuka mereka tidak terang karena mereka bersama anggota mereka memang merahasiakan diri. 2 . Sebagai kelompok rahasia, Ikhwan al-Shafa dalam merekut anggota baru 1 Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Nurcholish Islam (Jakarta : Bulan Bintang,1984), hal. 30 2 C. A Qadir, Philosophy and Science in Islamic World, terj. Yayasan Obor Indonesia Filsafat dan Pengetahuan dalam Islam (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1991), hal. 84 1

alfarabi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pendidikan

Citation preview

Page 1: alfarabi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang

sangat berjasa dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam,

khususnya dari para filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun,

Ikhwan al-Shafa, dan lain sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu

organisasi yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para

filosof.

Sebagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan al-

Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi

ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh

persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman

seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti

mencintai dirinya sendiri.1 Hal ini berdasarkan sebuah hadis: ( حتى احدكم يؤمن ال

لنفسه يحب ما أخيه Identitas pemuka mereka tidak terang karena mereka .(يحب

bersama anggota mereka memang merahasiakan diri.2. Sebagai kelompok rahasia,

Ikhwan al-Shafa dalam merekut anggota baru dilakukan lewat hubungan

perorangan dan dilakukan oleh orang-orang yang terpercaya.3

1.2. Rumusan Masalah:

1.   Bagaimana sejarah tentang Al-Farabi?

2.   Apa pemikiran-pemikiran Al-Farabi?

3.   Apa analisa tentang Al-Farabi?

4.   Bagaimana sejarah tentang Ikhwanu Shafa?

5.   Apa pemikiran-pemikiran Ikhwanu Shafa?

6.   Apa analisa tentang Ikhwanu Shafa?

1 Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Nurcholish Islam (Jakarta : Bulan Bintang,1984), hal. 302 C. A Qadir, Philosophy and Science in Islamic World, terj. Yayasan Obor Indonesia Filsafat dan Pengetahuan dalam Islam (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1991), hal. 843 Mehdi Hairi Yazdi, ThePrinciples of Epistemology in Islamic Philosophy, Knowledge by Presence, terj. Ahsin Muhammad, Ilmu Hudhuri Prinsip-prinsip Epistemology dalam Filsafat Islam (Bandung : Mizan, 1994), hal. 29

1

Page 2: alfarabi

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Biografi Al-Farabi

Ia adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa di

Farab (Transoxania) pada tahun 870 M.6 Al-Farabi dalam sumber-sumber Islam

lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr.7 Ia berasal dari keturunan Persia. Ayahnya

Muhammad Auzlagh adalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudiaan

menetap di Damsyik dan  Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa

disebut orang Persia atau orang Turki.4

Sebagai pembangun sistem filsafat, ia telah membaktikan diri untuk

berkontemplasi, menjauhkan diri dari dunia politik walaupun menulis karya-karya

politik yang monumental. Ia meninggalkan risalah penting. Filsafatnya menjadi

acuan pemikiran ilmiah bagi dunia Barat dan Timur, lama sepeninggalnya Al-

Farabi hidup di tengah kegoncangan masyarakat dan politik Islam.5 Pemerintah

pusat Abbasiyah di Baghdad sedang berada di dalam kekacauan di bawah

pimpinan khalifah-khalifah Radli, Muttaqi, Mustakfi.

Saat itu bermunculan negara-negara di daerah yang mengambil alih

kekuasaan.6 Al-Farabi dengan cemas hati melihat perpecahan khalifah dan

kemunduran masyarakat Islam. Sebagaimana sudah disinggung di atas, ia tidak

aktif dalam bidang politik, tetapi memberikan kontribusi pemikiran dengan

menulis buku politik untuk memperbarui tatanegara. Pembaruan itu menurutnya

hanya dapat berhasil bila berakar kokoh dalam fondasi filsafat. Walaupun al-

Farabi merupakan ahli metafiska Islam yang pertama terkemuka namun ia lebih

terkenal di kalangan kaum Muslimin sebagai penulis karya-karya filsafat politik.

Para ahli sepakat memberikan pujian yang tinggi kepadanya, terutama

sebagai ahli logika yang masyhur dan juru bicara Plato dan Aristoteles pada

masanya. Ia belajar logika keadaan Yuhanna ibn Hailan di Baghdad. Ia

memperbaiki studi logika, meluaskan dan melengkapi aspek-aspek rumit yang

telah ditinggalkan al-Kindi. Kehidupan al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, yaitu 4 Nadim al-Jisr, Qissatul Iman alih bahasa A.Hanafi, Kisah Mantjari Tuhan (Jakarta : Bulan Bintang, 1966), Jilid I, hal. 565 Mulyadi Kartanegara,Mozaik Intelektual Islam Bunga Rampai dari Chicago (Jakarta : Paramadina, 2000), hal. 336 Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 32

2

Page 3: alfarabi

pertama bermula dari sejak lahir sampai usia lima tahun. Pendidikan dasarnya

ialah keagamaan dan bahasa; ia mempelajari fikh, hadis, dan tafsir al-Qur’an. Ia

juga mempalajari bahasa Arab, Turki dan Persia.

Periode kedua adalah periode usia tua dan kematangan intelektual.

Baghdad merupakan tempat belajar yang terkemuka pada abad ke-4/10.Di sana ia

bertemu dengan sarjana dari berbagai bidang, diantaranya para filosof dan

penerjemah. Ia tertarik untuk mempelajari logika, dan diantara ahli logika paling

terkemuka adalah Pemikiran Metafisika. Abu Bisyr Matta ibn Yunus. Untuk

beberapa lama ia belajar dengannya. Baghdad merupakan kota yang pertama kali

dikunjunginya.

Di sini ia berada selama dua puluh tahun, kemudian pindah ke Damaskus.

Di sini ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo, Saifuddaulah al-Hamdani.

Gubernur ini sangat terkesan dengan al-Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo

dan kemudian mengangkat al-Farabi sebagai ulama istana. Kota kesayangannya

adalah Damaskus. Ia menghabiskan umurnya bukan di tengah-tengah kota, akan

tetapi di sebuah kebun yang terletak di pinggir kota. Di tempat inilah ia

kebanyakan mendapat ilham menulis buku-buku filsafat.7

2.1. Pemikiran Tentang Metafisika

Metafisika, menurut al-Farabi dapat  dibagi menjadi tiga bagian utama :

1. Bagian yang berkenaan dengan eksistensi wujud-wujud, yaitu ontologi.

2. Bagian yang berkenaan dengan substansi-substansi material, sifat dan

bilangannya, serta derajat keunggulannya, yang pada akhirnya memuncak

dalam studi tentang “suatu wujud sempurna yang tidak lebih besar daripada

yang dapat dibayangkan”, yang merupakan prinsip terakhir dari segala

sesuatu yang lainnya mengambil sebagai sumber wujudnya, yaiu teologi.

3. Bagian yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demonstrasi yang

mendasari ilmu-ilmu khusus.

Ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika (al-ilm al-ilahi) karena materi

subyeknya berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi

dalam hierarki wujud. Dalam terminology religius, wujud non fisik mengacu

kepada Tuhan dan malaikat. Dalam terminology filosofis, wujud ini merujuk pada

7 Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, Cet. Ke-1, (Bandung: Rosdakarya, 1988), hlm.133

3

Page 4: alfarabi

Sebab Pertama, sebab kedua, dan intelek aktif.8 Dalam kajian metafisika salah

satu tujuannya adalah untuk menegakkan tauhid secara benar. Karena tauhid

merupakan dasar dari ajaran Islam. Segala yang ada selain Allah adalah makhluk,

diciptakan (hadis).

Tetapi bagaimana yang banyak keluar dari yang Ahad memunculkan

diskusi yang mendalam. Masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam tentu saja

menimbulkan berbagai persoalan, karena para apparatus ilmu/ulama merespons

dengan ilmu mereka masing-masing. Filsafat dan ilmu pengetahuan timbul

sebagai produk pemikiran manusia. Akal yang dianugerahakan Tuhan kepada

manusia itulah yang menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam

kebudayaan Yunani dan Persia akal mempunyai kedudukan penting. Sementara di

dalam Islam akal juga mempunyai kedudukan yang tinggi. Akal mempunyai

kedudukan yang tinggi di dalam al-Quran dan Hadis. Ayat yang pertama turun

memerintahkan umat untuk membaca yang berarti berpikir.

Para ulama Islam zaman klasik menyadari hal itu dan dengan demikian

menghargai akal yang kedudukannya tinggi itu. Mereka tidak segan-segan

mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani yang mereka

jumpai di daerah-daerah Bizantium dan Persia yang jatuh ke bawah kekuasaan

Islam.9 Seperti yang sudah disinggung di depan ini sejalan dengan kedudukan

tinggi dari akal yang terdapat dalam peradaban Yunani yang dibawa Alexander

Yang Agung ke Timur Tengah pada abad ke-IV SM. Karena itu ada mindset yang

sama.

2.2. Filsafat ke-Nabian

Filsafat ke-Nabian dalam pemikiran al-Farabi erat hubungannya pada

agama. Agama yang dimaksud adalah agama Samawi (langit). Dalam agama

Islam Nabi adalah manusia seperti manusia lainnya. Akan tetapi Nabi diberi

kelebihan oleh Allah akan kemuliaan berupa mukjizat yang tidak dimiliki oleh

manusia lainnya. Maka dalam agama Islam, seorang Nabi adalah utusan Allah

yang mengemban tugas keagamaan. Nabi adalah utusan Allah yang diberikan Al-

Kitab yang dipandang sebagai Wahyu Ilahi. Oleh sebab itu, apa yang diucapkan

8 A. Mustofa., Filsafat Islam … , hlm.1609 Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam Cet. Ke IX, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 27-28

4

Page 5: alfarabi

oleh Nabi yang berasal dari Allah adalah wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar

dari nafsunya sendiri.  Allah berfirman pada Surat an-An-Najm ayat 3-5 :

القوى * * شديد مه عل يوحى وحي إال هو إن الهوى عن ينطق وما”Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa

nafsunya.  Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan

(kepadanya).   Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.”

Salah satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan eksistensi para Nabi yang

mempunyai jiwa besar, dan membawa pencerahan-pencerahan serta mempunyai

kesanggupan untuk berkomunikasi dengan akal fa’al. Sebab lahirnya filsafat ke-

Nabian ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi ke-Nabian secara

filosofis oleh Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi. Ia adalah seorang tokoh yahudi

yang membuat karya-karya tentang keingkaran kepada Nabi, dan umumnya pada

nabi Muhammad SAW. Di antara kritikan yang di gambarkan olehnya adalah:

pertama, Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah

mengaruniakan manusia akal tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui

Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan dapat pula mengetahui perbuatan baik dan

buruk, menerima suruhan dan larangan-Nya. Kedua, ajaran agama meracuni

prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya Thawaf di Ka’bah, dan sa’i di bukit

Safa dan Marwa dengan tempat-tempat lainnya. Ketiga, mukjizat hanya semacam

cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia. Siapa yang dapat

menerima batu bisa bertasbih dan srigala bisa berbicara. Kalau sekiranya Allah

membantu umat Islam dalam perang Badar dan mengapa dalam perang Uhud

tidak. Keempat, al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang luar

biasa. Orang yang non-Arab jelas saja heran dengan balaghah al-Qur’an, karena

mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah Khalifah

yang paling Fasahah dikalangan orang Arab. Selanjutnya pendapat Ahmad Ibnu

Ishaq Al-Ruwandi, daripada membaca kitab suci, lebih berguna membaca buku

filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku Astronomi, logika dan obat-obatan

menurutnya.

Pendapat yang telah diungkapkannya adalah pendapat yang sangat

bertentangan dengan al-Qur’an Surat An-Najm ayat 3-5 tersebut. Dalam ajaran

Islam, al-Qur’an adalah Wahyu Ilahi yang merupakan sumber inspirasi yang

5

Page 6: alfarabi

benar, dapat diterima akal, dipercaya melalui keyakinan, dan sumber pedoman

hidup manusia. Siapa yang mengingkari Wahyu berarti ia telah menolak Islam

secara keseluruhannya. Bahkan perbuatan ini dipandang sebuah pelanggaran

dalam kehidupan. Dalam al-Qur’an ada dijelaskan:

ومما * الصالة ويقيمون بالغيب يؤمنون ذين ال قين للمت هدى فيه ريب ال الكتاب ذلك

ينفقون رزقناهم”Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka

yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan

shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada

mereka.” (Q.S. al-Baqarah: 2-3)

Nabi adalah utusan Allah yang diberikan mukjizat berupa Wahyu Ilahi,

maka dari itu ”ciri khas seorang Nabi menurut al-Farabi ialah mempunyai daya

imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan Akal Fa’al dapat menerima

visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk Wahyu. Wahyu tidak lain adalah

limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (akal kesepuluh) yang dalam penjelasan

al-farabi adalah Jibril. Sementara itu, filosof dapat berkomunikasi dengan Allah

melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga

sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari Akal kesepuluh.”10

Pendapat al-Farabi di atas menunjukkan bahwa antara filosof dan Nabi ada

kesamaan. Oleh karenanya, kebenaran Wahyu tidak bertentangan dengan

pengetahuan filsafat, akan tetapi jika hanya mempelajari filsafat semata tanpa

mempelajari Wahyu (al-Qur’an) ia akan tersesat, karena antara keduanya sama-

sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril). Begitu pula

mengenai mukjizat yang menjadi bukti ke-Nabian, pendapat al-Farabi, mukjizat

merupakan sebuah kebenaran dari hukum alam karena sumber hukum alam dan

mukjizat sama-sama berasal dari akal Mustafad.

Kalau dilihat dari segi kejiwaan atau imajinasi, Nabi mempunyai potensi

untuk berhubungan dengan Akal Fa’al, baik kondisinya dalam keadaan terjaga

maupun tertidur. Mukjizat itu tetap diterimanya karena pada hakikatnya Wahyu

bukanlah sebuah argumen dari Nabi ataupun karangan sebuah cerita dan

kebohongan yang di buat oleh Nabi. Wahyu berisikan firman-firman Allah,

10 Harun Nasution, Akal dan Wahyu  dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesi, 1983), hlm.17

6

Page 7: alfarabi

datangnya langsung dari Allah, melalui perantara Jibril, dan melalui tabir mimpi.

Inilah sebuah potensi para Nabi yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Ada

sebagian manusia yang mempunyai imajinasi kuat, tetapi bukan para Nabi, maka

mereka tidak bisa berhubungan dengan Akal Fa’al, tetapi terkadang mereka

mengalaminya ketika tidur, mereka ini di sebut para Auliya. Ada lagi lebih ke

bawah yakni, manusia yang awam, maka imajinasinya sangat lemah sekali

sehingga tidak bisa berhubungan dengan Akal Fa’al, baik waktu tidur ataupun

terbangun.

Penjelasan di atas adalah sebagian dari teori ke-Nabian al-Farabi yang

telah ia capai dari hasil realitas serta dihubungkan dengan keadaan sosial dan

kejiwaan. Menurutnya, Nabi dan filosof adalah dua sosok pribadi shaleh yang

akan memimpin sebuah kehidupan masyarakat di sebuah Negeri, karena keduanya

dapat berhubungan dengan Akal Fa’al yang menjadi sumber syari’at dan aturan

yang diperlukan bagi kehidupan Negeri. Perbedaan antara Nabi dengan filosof

adalah, jikalau Nabi meraih hubungan dengan Akal Fa’al melalui imajinasinya,

sedangkan filosof melalui jalur studi dan analisa kejiwaan.11

Dalam sebuah analisa al-Farabi, ada sebuah kritik yang dikemukakan A.

Hanafi, yang termuat dalam buku Filsafat Islam, yakni: pertama, teori al-Farabi

telah menempatkan Nabi di bawah filosof karena pengetahuan yang diperoleh

melalui pikiran lebih tinggi dari pada yang diperoleh melalui imajinasinya. Akan

tetapi nampaknya al-Farabi tidak menganggap penting terhadap perbedaan

tersebut, sebab selama sumbernya sama, yaitu Akal Fa’al, dan nilai keluarnya juga

sama, maka tentang cara memperolehnya tidak menjadi sebuah persoalan. Dengan

perkataan lain,  nilai suatu kebenaran tidak bergantung pada cara memperolehnya,

melainkan keppada sumbernya. Selain itu dalam bukunya tersebut ia mengatakan;

seorang Nabi dapat naik ke alam atas melalui pikiran, karena ada pikiran ada

kekuatan suci yang memungkinkannya naik ke alam cahaya, tempat menerima

perintah-perintah Tuhan. Jadi, Nabi memperoleh Wahyu bukan hanya melalui

imajinasinya saja, tetapi melalui kekuatan pikirannya yang besar.

Kedua, apabila seoarang Nabi dapat berhubungan dengan Akal Fa’al

melalui pemikiran dan renungan, maka artinya ke-Nabian menjadi semacam ilmu

11 A. Mustofa., Filsafat Islam … , hlm.143

7

Page 8: alfarabi

pengetahuan yang bisa dicapai oleh setiap orang, atau menjadi perkara yang bisa

dicari (muktasab), sedangkan menurut Ahlusunnah, ke-Nabian bukanlah sifat-sifat

(keadaan) yang berasal dari diri Nabi, bukan pula tingkatan yang bis a dicapai

seseorang melalui ilmu dan usahanya, juga bukanlah kesediaan psikologis yang

memungkinkan dapat berhubungan dengan alam rohani, melainkan suatu kasih

sayang yang diberikan oleh Tuhan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Akan

tetapi sekiranya perlu dicatat bahwa al-Farabi berkata; filsafat itu tidak mudah

diperoleh, sebab setiap orang bi sa berfilsafat, akan tetapi yang bisa mencapai

filsafat yang sebenarnya hanyalah sedikit saja. Al-Farabi juga menetapkan bahwa

seorang Nabi mempunyai imajinasi yang luar biasa atau kekuatan rahasia tertentu.

Boleh jadi menurut pendapatnya, imajinasi dan kekuatan tersebut bersifat Fitrah

(mempunyai potensi dari sejak lahir), bukan yang bisa dicari, meskipun ia tidak

jelas-jelas mengatakan demikian.

Ketiga, kalau sekiranya al-Farabi dapat terlepas dari kedua kritik tersebut

di atas, maka sukarlah ia terlepas dari kritik ketiga, yaitu bahwa tafsiran

psikologis terhadap Wahyu banyak berlawanan dengan nas-nas agama, di mana

Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk manusia biasa

kadang terdengar oleh Nabi seperti bunyi lonceng.

Inilah teori ke-Nabian yang telah dicapainya, kemudian ia hubungkan

dengan persoalan-persoalan sosial dan kejiwaan. Akhirnya ia membuat sebuah

kesimpulan bahwa Nabi adalah seorang yang mempunyai pribadi shaleh dan

mempunyai jiwa untuk memimpin sebuah negeri.

2.4. Filsafat Politik

Al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim dan membuat karya-karya, ia

juga menyibukkan dirinya untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan

dengan kata lain ia ikut berkecimpung dalam dunia politik. Sama halnya dengan

para filosof muslim lainnya, untuk membentuk sebuah negara yang baik, maka

para filosof berusaha menuangkan pikirannya, dan terkadang pemikiran itu

disentuh dengan nilai-nilai politik semata.

Dalam persoalan filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih mengarah

kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi berpendapat

bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan

8

Page 9: alfarabi

alami untuk bermasyarakat. Hal ini dikarenakan manusia tidak mampu memenuhi

segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain.

Adapun tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk

memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan

hidup yang akan memberikan kepada manusia akan sebuah kebahagiaan, tidak

saja materil tetapi juga sprituil, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di

akhirat nanti.12 Pendapatnya ini menyangkut tujuan hidup beragama sebagai

seorang muslim di masyarakat.

Al-Farabi mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan

masyarakat, yakni:

i. Masyarakat Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah). Masyarakat sempurna

adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara unsur-

unsurnya. Perbedaan hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu mempunyai

kebebasan individual yang lebih besar, maka dalam diri manusia unsur-

unsurnya itu lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatanya.13 Selanjutnya,

masyarakat yang sempurna, diklasifikasikan menjadi tiga bahagian, pertama

masyarakat sempurna besar (gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk

bergabung dan saling membantu serta bekerjasama, biasa disebut perserikatan

bangsa-bangsa), kedua masyarakat sempurna sedang (masyarakat yang terdiri

atas suatu bangsa yang menghuni di satu wilayah dari bumi biasa disebut

negara nasional), ketiga masyarakat sempurna kecil (masyarakat yang terdiri

atas para penghuni satu kota (negara kota).14

ii. Masyarakat Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami’ laisa Kamilah).

Masyarakat yang tidak/belum sempurna adalah masyarakat yang

kehidupannya kecil seperti masyarakat yang penghidupan sosialnya di tingkat

desa, kampung, lorong/dusun, dan keluarga. Dalam hal ini, yang kehidupan

masyarakat masih jauh dari ketidak sempurnaan adalah keluarga.

Menurut al-Farabi, sebuah Negara yang utama adalah, kategori yang pertama,

yaitu masyarakat yang sempurna (al-Mujtami’ al-Hikmah), yang mana jumlah

keseluruhan bahagian-bahagiannya sudah lengkap, diibaratkan seperti satu

12 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, Cet. V, (Jakarta: UI Perss, 1993), hal. 5113 Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, (Bandung: Rosdakarya, 1988) , hal.13814 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran,... ,  hlm. 51-52

9

Page 10: alfarabi

anggota tubuh manusia yang lengkap. Jika salah satu organ tubuh sakit, maka

tubuh yang lain akan merasakannya. Demikian pula anggota masyarakat

Negara yang Utama, yang terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan

fungsinya, hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib dan

sepenanggungan. Masing-masing mereka harus diberikan pekerjaan yang

sesuai dengan kdan spesialisasi mereka. Fungsi utama dalam filsafat politik

atau pemerintahan al-Farabi ini adalah fungsi kepala Negara yang serupa

dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia. Kepala negara

dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah fungsi kepala

Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia.

Kepala negara merupakan sumber seluruh aktivitas, sumber peraturan, berani,

kuat, cerdas, pecinta pengetahuan serta keadilan, dan memiliki akal mustafad

yang dapat berkomunikasi dengan Akal kesepuluh, pengatur bumi, dan

penyampai Wahyu.15

Menurut al-Farabi, Negara mempunyai warga-warga dengan bakat dan

kemampuan yang tidak sama satu sama lain. Di antara mereka terdapat

seorang kepala dan sejumlah warga yang martabatnya mendekati martabat

kepala, dan masing-masing memiliki bakat dan keahlian untuk melaksanakan

tugas-tugas yang mendukung kebijakan Kepala Negara (sebagai sebuah

jabatan).  Kemudian dari Kepala Negara, membagi tugasnya kepada

sekelompok masyarakat di bawah peringkatnya, kemudian di bawah

peringkat tersebut, ada sekelompok orang lagi yang bertanggung jawab untuk

kesejahteraan Negara dan begitu seterusnya sampai golongan terendah.16

yang sakit karena kurangnya pertumbuhan dan perkembangan yang teratur di

Negara itu. Negara yang buruk tersebut banyak macamnya, misalnya Negera

yang fasik, Negara yang bodoh, atau Negara yang sesat. Dalam hal ini, al-

Farabi menunjukkan sebuah tamsilan Negara yang bodoh, ia membagi

menjadi lima macam: pertama, Negeri Darurat (daruriah), yaitu Negera yang

penduduknya memperoleh minuman dari kebutuhan hidup, makan, minum,

pakaian, dan tempat tinggal. Kedua, Negeri Kapitalis (baddalah), yaitu

15 Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, (Kairo: Maktabat Mathaba’at Muhammad Ali, t.t), hlm.16 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam … , hlm. 93

10

Page 11: alfarabi

Negara yang penduduknya mementingkan kekayaan harta dan benda. Ketiga,

Negeri Gila Hormat (kurama), yaitub Negara yang penduduknya

mementingkan kehormatan saja. Ketiga, Negeri Hawa Nafsu (khissah wa

Syahwah), yaitu Negara yang penduduknya mementingkan kekejian dan

berfoya-foya. Keempat, Negeri Anarkis (jami’iah), yaitu Negara yang setiap

penduduknya ingin merdeka melakukan keinginan masing-masing.[26]

2.5 Analisis Tentang Al-Farabi

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Farabi sebagai filosof

Islam yang pertama kali membawa wacana filsafat secara lebih mendalam. Ia

mendirikan tonggak-tonggak filsafat Islam yang kemudian banyak diikuti oleh

filosof Islam yang lain. Gelar Guru Kedua terhadap dirinya membuktikan

keseriusannya dalam membina filsafat Islam walaupun harus berjuang keras untuk

itu.

Walaupun pemikiran metafisikanya banyak dikritik oleh pemikir muslim

belakangan seperti al-Ghazali. terutama dalam metafisika emanasi, figur al-Farabi

masih menarik untuk didiskusikan. Sumbangannya dalam bidang fisika,

metafiska, ilmu politik, dan logika telah memberinya hak untuk menempati posisi

terkemuka yang tidak diragukan lagi diantara filosof-filosof Islam.

2.6. Latar Belakang Ikwanu Shafa

Ikhwan Al-Shafa adalah nama sekelompok pemikir islam yang bergerak

secara rahasia dari sekte syi’ah isma’iliyah yang lahir pada abad ke 4 H (10 m) di

basrah. Kerahasiaan kelompok ini yang juga menamakan dirinya khulan al-wafa’,

ahl al-adl, dan abna’ al-hamd boleh jadi karena tendensi politik, dan baru

terungkap setelah berkuasanya dinasti buaihi di bagdad pada tahun 983 m. Ada

kemungkinan kerahasiaan organisasi ini di pengaruhi oleh paham takiyah, karena

basis kegiatannya berada ditengah masyarakat mayoritas sunni. Boleh jadi juga

kerahasiaan ini karena mereka mendukung pemikiran mu’tazilah yang telah

dihapus oleh khalifah abbasiyah al-mutawakkil, sebagai mazhab negara.

Tujuan filsafat dalam pengajaran mereka adalah upaya menyerupai Tuhan

(at-tasyabuh billah) sejauh kemampuan manusia. Untuk mencapai tujuan itu,

manusia haruslah berijtihad (berupaya sunguh-sungguh) menjauhkan diri mereka:

11

Page 12: alfarabi

dari berkata bohong dan meyakini kaidah bathil, dari pengetahuan yang keliru dan

akhlak yang rendah, serta dari berbuat jahat dan melakukan pekerjaan secara tak

sempurna. Aktivitas filsafat dikatakan sebagai upaya menyerupai Tuhan karena

Tuhan tidaklah mengatakan kecuali yang benar dan tidak melakukan kecuali

kebaikan. Dalam penilaian mereka, syari’at (agama) telah dikotori oleh

kebodohan dan kesesatan manusia dalam memahaminya, dan menurut mereka

tidak ada jalan untuk membersihkannya kecuali dengan filsafat, karena filsafat

mengandung hikmat dan kemaslahatan; bila ditata, filsafat yunani dengan agama

islam niscaya dihasilkan kesempurnaan. Pusat organisasi juga menurunkan

instruksi agar anggota-anggota yang berada didaerah mengadakan pertemuan

berkala dalam jadwal tertentu guna mendiskusikan ilmu pengetahuan dan

kepentingan anggota. Di dalam risalah mereka juz ke IV halaman 105 tertulis,

sepantasnya bagi saudara-saudara kita, yang semoga mereka dikuatkan Allah

dimana saja mereka berada, agar mengadakan majelis khusus yang tidak boleh

dihadiri oleh selain anggota dalam waktu yang dijadwalkan untuk mendiskusikan

ilmu pengetahuan dan membicarakan rahasia-rahasia ikhwan.

2.6. Pemikiran Ikwanu Shafa

1.      Talfiq

Ikhwan al-safa’ berusaha memadukan atau rekonsiliasi (talfiq) agama

dengan filsafat dan juga antara agama-agama yang ada. Usaha ini terlihat dari

ungkapan mereka bahwa syari’at telah dikotori bermacam-macam kejahilan dan

dilumuri berbagai kesesatan. Satu-satunya jalan membersihkannya adalah filsafat.

Kemudian mereka mengklaim bahwa apabila dipertemukan antara filsafat yunani

dan syari’at arab, maka akan menghasilkan kesempurnaan.

Tampaknya ikhwan as-safa’ menempatkan filsafat diatas agama. Mereka

mengharuskan filsafat menjadi landasan agama yang dipadukan dengan ilmu.

Kesimpulan ini didukung dengan pendapat mereka dalam bidang agama. Menurut

mereka ungkapan al-qu’ran yang berkonotasi inderawi dimaksudkan agar cocok

dengan tingkatan nalar orang arab badui yang berkebudayaan dan bersahaja.

Sedangkan yang memiliki pengetahuan yang lebih tinggi mereka haruskan

memakai ta’wil untuk melepaskan diri dari pengertian lafzi dan indrawi. Untuk

itulah ikhwan as-safa’ berusaha dengan gigih memadukan filsafat dengan agama

12

Page 13: alfarabi

dengan menurunkan metafisika dan ilmu pengetahuan dari puncak spekulatif

murni yang tidak dapat dijangkau secara aktif dan praktis.

Sebenarnya pendapat mereka untuk mempergunakan ta’wil dalam

memahami ayat-ayat mutasabihat merupakan pendapat yang sama dikalangan

para filusuf. Menurut filusuf, agama adalah tempat melambangkan secara

inderawi, agar mudah dipahami oleh kaum awam yang merupakan bagian terbesar

umat manusia. Jika tidak demikian, tentu banyak ajaran agama yang mereka tolak

karena mereka tidak memahami isinya.sebaliknya, kaum filusuf harus mengambil

makna metaforis terhadap teks al-qur’an yang bernada antromorfosisme. Jika

tidak, tentu banyak pula ajaran agama yang mereka tolak karena tidak masuk

akal. Dengan cara seperti ini para filsuf menempatkan nabi sebagai pendusta

untuk kepentingan manusia.

Disamping itu ikhwan as-safa’ juga memadukan antara agama-agama yang

berkembang pada waktu itu dengan berasaskan filsafat, seperti islam, keristen,

majusi,yahudi dan lain-lain. Menurut mereka tujuan agama adalah sama, yaitu

untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, sedangkan perbedaan-perbedaan

keagamaan bersumber dari faktor-faktor yang kebetulan, seperti ras, tempat

tinggal, atau keadaan zaman dan dalam beberapa kasus juga faktor temperamen

dan susunan personal.

2.7. Jiwa

Tentang jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam

perkembangan jiwa manusia banyak dipengaruhi oleh materi yang mengitarinya.

Agar potensi jiwa itu tidak kecewa dalam perkembangannya, maka jiwa dibantu

oleh akal. Jiwa anak-anak pada mulanya seperti kertas putih yang bersih dan

belum ada coretan. Lembaran putih tersebut akan tertulis dengan adanya

tanggapan imajinasi (al-quwwah al-mutakayyilah), dari sini meningkat kepada

daya berfikir (al-quwwah mutafakkirah) yang terdapat pada otak bagian tengah,

pada tingkat ini manusia mampu membedakan antara benar dan salah, antara baik

dan buruk.

Setelah itu disuruhlah ke daya ingat (al-quwwah al-hafizhah) yang

terdapat pada otak bagian belakang. Pada tingkat ini seseorang telah mampu

menyimpulkan hal-hal yang abstrak yang diterima oleh daya berfikir. Tingkatan

13

Page 14: alfarabi

terakhir adalah daya berbicara (al-quwwah al-nathiqah) yaitu kemampuan

pengungkapan pikiran dan ingatan itu melalui tutur kata yang bermakna kepada

pendengar atau menuangkan lewat bahasa tulisan kepada pembaca.

Manusia memiliki 5 kekuatan jiwa sebagaimana ia mempunyai 5 kekuatan

raga, yaitu:

a. Daya imajinasi (al quwwa al-mukhayyalat) letaknya dibagian muka.

b. Daya fikir, letaknya ditengah-tengah otak.

c. Daya simpan, letaknya dibagian belakang otak

d. Daya ingat,

e. Daya tutur

Kelima daya inilah yang melakukan aktivitasnya didalam raga manusia untuk

memenuhi kebutuhan hidup.

2.8. Moral

Adapun tentang moral, ikhwan al-safa’ bersifat rasionalistis. Untuk itu

suatu tindakan harus berlangsung bebas. Dalam mencapai moral dimaksud,

seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada materi. Harus

memupuki rasa cinta untuk bisa sampai kepada ekstase, Percaya tanpa usaha,

mengetahui tanpa berbuat atau sia-sia. Kesabaran dan ketabahan, kelembutan dan

kehalusan kasih sayang, keadilan, rasa syukur, mengutamakan kebijakan, gemar

berkorban untuk orang lain, kesemuanya harus menjadi karakteristik pribadi.

Sebaliknya, bahasa kasar, kemunafikan, penipuan, kezaliman, dan kepalsuan

harus dikritis habis sehingga timbul kesucian perasaan, kecintaan yang membara

sesama manusia, dan kemarahan terhadap alam, binatang liar sekalipun.

29. Analisis

Ikhwan al-Shafa merupakan organisasi Islam rahasia yang telah berhasil

menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail

Ikhwan al-Shafa. Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran

mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Ikhwan al-Shafa

telah menjadi bagian kajian filsafat pendidikan Islam, Filsafat Islam, bahkan

Tafsir Al-Qur’an Esotoris.

Dalam pendidikan, Ikhwan al-Shafa, memiliki konsep bahwa pendidikan

itu bukan sekedar upaya transfer suatu pengetahuan dari seseorang kepada orang

14

Page 15: alfarabi

lain tetapi lebih merupakan aktivitas moral yang dengannya seseorang

mendapatkan derajat kemanusiaan yang tertinggi, yang dalam istilah mereka

disebut “derajat malaikat al-muqarrabin.” Aktivitas pendidikan ini bukan hanya

berupa bimbingan dan pengajaran tetapi juga pengaruh, yang dapat terjadi sejak

seorang anak masih dalam kandungan (embrio). Sehingga sejak inilah aktivitas

pendidikan sudah dimulai.

Ikhwan al-Shafa mengatakan bahwa semua pengetahuan berpangkal pada

cerapan indrawiah (empirisme). Mereka memandang salah terhadap kelompok

yang mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara mengingat-ulang.

Argumentasi mereka, bahwa segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh indra,

tidak bisa diimajinasikan, dan segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, tidak

bisa dirasiokan. Pengetahuan juga dapat diperoleh dari 1).

a. kitab suci yang diturunkan, seperti Taurat, Injil, Zabur, dan al-Qur'an;

b. kitab-kitab yang disusun oleh para hukama’ dan para filosof, seperti

matematika, fisika-kealaman, sastra dan filsafat;

c.  alam;

d. perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya.

Tujuan pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa adalah untuk peningkatan harkat

manusia kepada tingkatan yang tertinggi (malaikat yang suci), agar dapat meraih

ridha Allah SWT.

BAB III

PENUTUP

15

Page 16: alfarabi

3.1. Kesimpulan

Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang sangat ulung di

dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia

mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik.

Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi,

pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang

sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Ia dapat

memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.

Ikhwan al-Shafa merupakan organisasi Islam rahasia yang telah berhasil

menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail

Ikhwan al-Shafa. Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran

mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Ikhwan al-Shafa

telah menjadi bagian kajian filsafat pendidikan Islam, Filsafat Islam, bahkan

Tafsir Al-Qur’an Esotoris.

DAFTAR PUSTAKA

16

Page 17: alfarabi

Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

Adenan, Filsafat Islam Klasik, Renaisance dan Modern, Medan: Duta Azhar, 2007.

Ahmad, Zainal Abidin, Negara Utama (Madinatul Fadilah) (Jakarta: PT.Kinta, 196

Asy-Syarafa, Ismail, ensklopedi filsafat, Jakarta: penerbit Khalifa, cet. ke-1, 2005.

Bagus, Lorens, Metafisika, Jakarta: Gramedia, 1991.

Bakker, JMW, Sejarah Filsafat dalam Islam, Yogyakarta: Kanisius, 1986.

Bakar, Osman, Tauhid and Science : Essasy on the History and Philosopy of Islamic Sciencealih bahasa Yuliani Liputo, Tauhid dan Sains-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, Jakarta: Pustaka Hidayat,1994.

Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Fakhry, Majid, A History of Islamic Philsopy alih bahasa, R. Mulyadi Kartanegara Sejarah Filsafat Islam, Jakarta : Pustaka Jaya, 1987.

Hasyim, Syah Nasution, filsafat islam, Jakarta: gaya media pertama, cet. ke-3, 2002.

H. A. Mustafa, Filsafat islam, Bandung: pustaka setia, cet. ke-1, 2004.Hoesin, Oemar Amin, Filsafat Islam Sejarah dan Perkembangannya

dalam Dunia Internasional, Jakarta: Bulan Bintang, 1964.

17