14
Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila LBH Semarang - AJI Semarang PBHI Jawa Tengah Jaker HAM LRC KJHAM KP2KKN eLsa Spartacus - Rumah Buku Simpul Semarang GMNI FISIP UNDIP - Satjipto Rahardjo Institute - Komunitas Payung BEM FIB UNDIP Gerakan Literasi Indonesia FNKSDA DEMA UIN Walisongo PMII Cabang Semarang - CCMNP. Kertas Kerja Menolak Teror Negara I. Pendahuluan Terutama sekali oleh karena di dalam Pancasila adalah unsur keadilan sosial. Pancasila adalah antikapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation del homme par lhomme. Pancasila adalah anti exploitation de nation per nation. Karena itulah Pancasila kiri. Soekarno, 6 November 1965. Belakangan ini, hantu-hantu fasisme ala Orde Baru, melalui campur tangan militer ke ranah sipil dan pembangkitan kembali fobia komunisme dalam berbagai bentuk sensor meramaikan beberapa media massa. Sebelumnya, pembubaran diskusi maupun acara-acara progresif telah sering sekali terjadi, pemutaran film Senyap dan Jagal di beberapa kota, pembubaran nonton bersama dan diskusi film Pulau Buru Tanah Air Beta, dan lain sebagainya. Baru-baru ini tindakan sensor tersebut disusul dengan penyitaan berbagai buku, baju, dan atribut lain yang yang secara sepihak dianggap sebagai berbau ke-kiri-kiri-an yang menjurus pada kriminalisasi. Hal ini bersifat kontradiktif dari hendak dimulainya proses rekonsiliasi nasional yang diinisiasi oleh Pemerintah dengan diselenggarakanya Simposium Tragedi 1965. Semenjak itu, tampak adanya berbagai upaya yang menghalangi proses pengungkapan kebenaran, yaitu upaya-upaya non-demokratis yang bertujuan membungkam dan menciptakan teror ditengah masyarakat. Teror tersebut, menurut Aliansi ini, adalah bentuk lain daripada kebangkitan hantu Fasisme Orde Baru. Kenapa Orde Baru harus kita tolak? Jawabanya sederhana saja, karena landasan berdirinya Orde Baru itu sendiri tidak lain dan tidak bukan merupakan pembantaian atas golongan kiri dan pendukung Presiden Soekarno. Semenjak itu, teror tidak dapat lagi dihentikan. Kekuasaan presidensial yang kuat ditambah dengan dwifungsi ABRI membuat posisi negara, dalam hal ini Soeharto beserta kroninya, menjadi sangat kuat. Hal ini terlihat dari pembenaran atas perbuatan yang jelas-jelas merenggut kemerdekaan orang banyak seperti pembunuhan dan pembuangan massal terhadap mereka yang dituduh Komunis maupun juga terhadap oposisi politik. Harus dicatat disini, bhwa yang disebut sebagai negara yang kuat bukanlah dalam arti bahwa negara tersebut melakukan tindakan melawan hukum, melainkan bahwa hukum itu sendiri dipergunakan untuk kepentingan si Negara untuk melegitimasi perbuatanya. Dengan kata lain, selain melakukan perbuatan yang menyalahi ketentuan hukum, fasisme teror negara juga melibatkan kekejaman yang dibenarkan oleh hukum. Dengan negara yang kuat, dengan tiadanya oposisi

Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila€¦ · Pancasila adalah antikapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation del homme par lhomme. Pancasila adalah anti exploitation

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila€¦ · Pancasila adalah antikapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation del homme par lhomme. Pancasila adalah anti exploitation

Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila

LBH Semarang - AJI Semarang – PBHI Jawa Tengah – Jaker HAM – LRC KJHAM – KP2KKN – eLsa

– Spartacus - Rumah Buku Simpul Semarang – GMNI FISIP UNDIP - Satjipto Rahardjo Institute -

Komunitas Payung – BEM FIB UNDIP – Gerakan Literasi Indonesia – FNKSDA – DEMA UIN

Walisongo – PMII Cabang Semarang - CCMNP.

Kertas Kerja Menolak Teror Negara

I. Pendahuluan

Terutama sekali oleh karena di dalam Pancasila adalah unsur keadilan sosial. Pancasila adalah

antikapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation del homme par lhomme. Pancasila adalah

anti exploitation de nation per nation. Karena itulah Pancasila kiri. – Soekarno, 6 November

1965.

Belakangan ini, hantu-hantu fasisme ala Orde Baru, melalui campur tangan militer ke ranah sipil

dan pembangkitan kembali fobia komunisme dalam berbagai bentuk sensor meramaikan

beberapa media massa. Sebelumnya, pembubaran diskusi maupun acara-acara progresif telah

sering sekali terjadi, pemutaran film Senyap dan Jagal di beberapa kota, pembubaran nonton

bersama dan diskusi film Pulau Buru Tanah Air Beta, dan lain sebagainya. Baru-baru ini

tindakan sensor tersebut disusul dengan penyitaan berbagai buku, baju, dan atribut lain yang

yang secara sepihak dianggap sebagai berbau ke-kiri-kiri-an yang menjurus pada kriminalisasi.

Hal ini bersifat kontradiktif dari hendak dimulainya proses rekonsiliasi nasional yang diinisiasi

oleh Pemerintah dengan diselenggarakanya Simposium Tragedi 1965. Semenjak itu, tampak

adanya berbagai upaya yang menghalangi proses pengungkapan kebenaran, yaitu upaya-upaya

non-demokratis yang bertujuan membungkam dan menciptakan teror ditengah masyarakat. Teror

tersebut, menurut Aliansi ini, adalah bentuk lain daripada kebangkitan hantu Fasisme Orde Baru.

Kenapa Orde Baru harus kita tolak? Jawabanya sederhana saja, karena landasan berdirinya Orde

Baru itu sendiri tidak lain dan tidak bukan merupakan pembantaian atas golongan kiri dan

pendukung Presiden Soekarno. Semenjak itu, teror tidak dapat lagi dihentikan. Kekuasaan

presidensial yang kuat ditambah dengan dwifungsi ABRI membuat posisi negara, dalam hal ini

Soeharto beserta kroninya, menjadi sangat kuat. Hal ini terlihat dari pembenaran atas perbuatan

yang jelas-jelas merenggut kemerdekaan orang banyak seperti pembunuhan dan pembuangan

massal terhadap mereka yang dituduh Komunis maupun juga terhadap oposisi politik. Harus

dicatat disini, bhwa yang disebut sebagai negara yang kuat bukanlah dalam arti bahwa negara

tersebut melakukan tindakan melawan hukum, melainkan bahwa hukum itu sendiri dipergunakan

untuk kepentingan si Negara untuk melegitimasi perbuatanya. Dengan kata lain, selain

melakukan perbuatan yang menyalahi ketentuan hukum, fasisme teror negara juga melibatkan

kekejaman yang dibenarkan oleh hukum. Dengan negara yang kuat, dengan tiadanya oposisi

Page 2: Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila€¦ · Pancasila adalah antikapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation del homme par lhomme. Pancasila adalah anti exploitation

politik, hegemoni dari seluruh lembaga negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif, maupun

masuknya militer dalam ranah kehidupan sipil, membuat Orde Baru tidak lebih dari sekedar

mesin perputaran modal besar semata dengan rakyat sebagai sekrup-sekrup mesin yang dapat

sewaktu-waktu dibuang atau diganti. Jargon rakyat, yang tadinya hidup dalam perdebatan-

perdebatan publik semasa Presiden Soekarno, berubah menjadi massa apolitis, persis karena

ancaman kekerasan bagi setiap suara yang menentang.1 Dengan demikian, demokrasi Pancasila

pada masa Orde Baru bukanlah Demokrasi dan juga bukan Pancasila.

Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila melihat setidaknya terdapat lima faktor penting

yang menentukan kemana arah Indonesia pasca-Soeharto akan melangkah. Kelima faktor ini

saling berkaitan antara satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan menjadi bagian per

bagian. Pertama, penghargaan atas kebebasan berserikat dan berkumpul, yang secara umum telah

terantum terutama dalam UUD 1945 Pasal 28E Ayat (3) dan Ayat (3), UU 39/1999 tentang

HAM dan UU 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Sipol. Pasal penjamin kebebasan tersebut

memiliki irisan dengan hak-hak yang lain sekaligus bersinggungan dengan ketentuan

pembatasnya. Masalahnya, manakah yang lebih kuat, irisan dari hak atau pembatasan atas hak?

Kedua, menyangkut permasalahan pertama, pembatas hak paling kuat yang menjadi akar dari

asal muasal masalah diskriminasi maupu pembenaran tindakan kekerasan terhadap golongan kiri

adalah melalui TAP XXV/MPRS/1966, dengan ketentuan pidana yang diatur dalam UU 27/1999

yang merupakan perluasan dari Pasal 107 KUHP. Penggunaan dasar hukum tersebut, meskipun

diatas kertas masih berlaku, namun jelas sudah tidak lagi kontekstual terutama bagi Indonesia

pasca-Soeharto yang mengalami keterlambatan masa keadilan transisional. Penggunaan hukum

yang demikian, adalah sebagaimana yang dilakukan Nazi, Fasisme dengan berkedok hukum.

Ketiga, mengenai masuknya militer dalam kembalinya militer kepada fungsi pertahanan negara.

Hal ini juga penting mengingat beberapa peristiwa belakangan yang menunjukkan militer mulai

melakukan intervensi dari kehdupan sipil. Apabila dibiarkan, masuknya militer ke ranah sipil

akan mengganggu jalanya demokrasi. Keempat, untuk mengatasi kebencian dan penderitaan,

diperlukan adanya pengungkapan kebenaran dan reparasi, yang menjadi satu bagian dari proses

rekonsiliasi. Tanpa adanya pengungkapan kebenaran dan reparasi para korban, maka kekejaman

sangat berpotensi untuk berulang. Terakhir adalah penghentian dari pelakuan stigma negatif

golongan kiri. Pemberian stigma ini dibagi dua, pertama adalah kepada korban 1965, dan yang

kedua diberikan secara luas kepada kelompok masyarakat tertentu yang tengah melakukan

advokasi/pendampingan/perjuangan kerakyatan dengan tujuan mencitrakan secara negatif atau

yang lebih buruk lagi, melakukan kriminalisasi. Kelima faktor diatas akan dibahas dibagian

bawah ini.

1 Komnas HAM setidaknya mencatat tujuh kekerasan Negara selama Orde Baru yang terindikasi merupakan Pelanggaran HAM Berat dimana peristiwa 1965 adalah yang paling luas dan besar.

Page 3: Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila€¦ · Pancasila adalah antikapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation del homme par lhomme. Pancasila adalah anti exploitation

II. Bagian per Bagian

Kembali mencuatnya isu mengenai komunisme belakangan ini kian mengancam kehidupan

demokrasi di Indonesia. Daulat rakyat yang telah mendapat jaminannya secara konstitusional

harus terkebiri oleh tindakan aparat TNI dan Polri yang bergerak bagai mesin-mesin penegak

hukum nir-toleransi. Khusus untuk TNI, tentu tak hanya itu. Ia telah bergerak melampaui

tugasnya, mencari panggung untuk tampil bak pahlawan.Tindakan seperti ini kembali

menggiring memori kolektif bangsa akan eksistensi orde Suharto, orde baru. Dan yang menjadi

catatan penting adalah, bahwa tindakan represif tersebut muncul setelah adanya usulan

pengungkapan kebenaran pasca Simposium 1965.

John Roosa, dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal : Gerakan 30 September dan Kudeta

Suharto menuliskan bahwa, “Rezim Suharto tidak dapat membiarkan komunisme mati, karena ia

menetapkan dirinya dalamhubungan dialektis dengan komunisme, atau lebih tepat, dengan

citrakhayali (simulacrum) ‘komunisme’”.Ternyata, keadaan yang demikian tak serta-merta

hilang mengiringi jatuhnya Suharto dari tampuk kekuasaan. Citra khayali adanya “bahaya laten

komunis” tetap dijaga, meski hampir genap 18 tahun pecah peristiwa reformasi. Aturan-aturan

hukum yang begitu diskriminatif dan mengangkangi kemanusian seperti Tap MPRS

XXV/MPRS/1966 tetap diakui sebagai “hukum besi”. Bahkan, di era awal reformasi diperkuat

lagi aturan hukum tersebut melalui Undang-Undang Nomor 27 tahun 1999 tentang Perubahan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan

Negara. Dengan demikian, sangat patut diduga bahwa apa yang terjadi sekarang telah disiapkan

secara sistematis untuk dilestarikan.

Ketidaksiapan aparat TNI maupun Polri untuk berdemokrasi memiliki konsekuensi

terkesampingkannya hak asasi. Sekitar 10 hari belakangan, begitu banyak represi-represi yang

begitu agresif dilakukan oleh aparat. Mulai dari penyitaan buku-buku yang ada akaitannya

dengan G30S ataupun komunisme, penyitaan kaos atau atribut bermotif palu arit, bahkan

penangkapan pengguna kaos bermotif palu arit. Untuk penyitaan buku yang dilakukan, tampak

ketidakpahaman aparat terhadap hukum. Padahal, pengamanan barang-barang cetakan secara

ekstra judisial sebagaiamana yang termaktub dalam UU No 4/PNPS/1963 telah dinyatakan

bertentangan dengan UUD NRI 1945 oleh MK pada 2010 lalu. Pasca putusan ini, penyitaan buku

harus melalui putusan pengadilan. Sementara, untuk penangkapan pengguna kaos bermotif palu

arit telah ada yang ditetapkan sebagai tersangka. Dengan kata lain, telah adanya tindakan

pengekangan kebebasan berekspresi. Jelas, bahwa Tap MPRS XXV/MPRS/1966 jo. Pasal 107a,

Pasal 107b, Pasal 107c, Pasal 107d, dan Pasal 107e UU Nomor 27 tahun 1999 dapat dijadikan

landasan oleh aparat untuk membernarkan tindakannya. Apalagi ketentuan dalam UU Nomor 27

tahun 1999 tersebut dapat dimaknai dengan sangat luas dalam penerapannya. Namun,

memandang hukum dengan kacamata kuda seperti itu sama saja dengan mementahkan reformasi.

Terlebih dengan menguatnya tuntutan akan pemenuhan serta perlindungan HAM.

Dimasukkannya rumusan yang lebih komprehensif ke dalam UUD NRI 1945 pada amandemen

kedua, disahkannya Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, serta diratifikasinya

Page 4: Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila€¦ · Pancasila adalah antikapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation del homme par lhomme. Pancasila adalah anti exploitation

Konvenan Hak Sipil dan Politik (disamping Konvenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya)

hendaknya dapat menjadi guideline aparat dalam bertindak. Hal yang demikian perlu agar

hukum benar-benar diciptakan untuk manusia, bukan manusia yang menjadi hamba hukum.

1. Ancaman terhadap kebebasan berpendapat

UUD NRI 1945 merupakan the supreme law of the land dalam konteks ke-Indonesiaan. Salah

satu jaminan yang diberikan oleh UUD NRI 1945 adalah kebebasan berekpresi yang merupakan

bagian dari kebebasan berpendapat yang tertera dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD NRI 1945.

Dengan prediketnya sebagai hukum tertinggi, maka idealnya, UUD NRI 1945 dapat menganulir

aturan-aturan yang bertentangan dengannya. Selain itu, dalam Pasal 19 Konvenan Hak Sipil dan

Politik yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 juga telah dijamin

tentang kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Memang hak ini tidak tergolong kepada non-derogable rights. Namun, yang harus diingat adalah

bahwa dalam pengklasifikasian HAM, hak atas kebebasan berekspresi serta berpendapat

diklasifikasikan sebagai hak sipil dan politik. Karakteristik dari hak jenis ini adalah semakin

sedikit peran negara, maka akan semakin terjamin pemenuhan hak tersebut (negative rights). Hal

inilah kemudian yang harus menjadi pemahaman aparat dalam bertindak. Bukan semata

melaksanakan undang-undang yang berlaku hanya karena ia diberlakukan sebagai hukum positif.

Untuk melihat ketentuan pembatasan terhadap hak berekspresi dan berpendapat secara lebih

jelas, selain dapat dilihat dalam Pasal 28J UUD NRI 1945 dan Pasal 19 Ayat (3) Konvenan Hak

Sipil dan Politik, dapat dilihat dalam Prinsip Johannesburg (pengakuan penerapan jangka

panjang Prinsip-prinsip Siracusa). Keberlakuan asas erga omnes dalam ketentuan-ketentuan

mengenai HAM kiranya dapat menjadikan dasar penerapan prinsip ini untuk pembatasan.

Prinsip 1.1 huruf a Prinsip Johannesburg menyatakan:

Pembatasan apa pun terhadap ekspresi dan informasi harus ditentukan oleh hukum.

Hukum tersebut harus dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati

dan teliti, yang memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan

bertentangan dengan hukum atau tidak.

Dalam prinsip diatas, dinyatakan bahwa pembatasan dapat dilakukan dengan adanya ketentuan

hukum. Namun yang menjadi catatan adalah, adanya frasa “tidak bersifat ambigu” dalam

ketentuan prinsip tersebut. Ambigu menurut KBBI diartikan sebagai “bermakna lebih dari satu

atau bermakna ganda”. Artinya, dasar hukum yang digunakan untuk pembatasan tidak boleh

bermakna terlalu luas. Sementara, UU Nomor 27 tahun 1999 yang digunakan sebagai dasar

pembatasan dalam ketentuan pasalnya, mengandung rumusan yang begitu luas. Hal ini dapat

dilihat misalnya dari ketentuan Pasal 107a:

Page 5: Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila€¦ · Pancasila adalah antikapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation del homme par lhomme. Pancasila adalah anti exploitation

Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau

melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/

Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

Dalam rumusan pasal diatas dapat dilihat bahwa dengan adanya frasa “melalui media apapun”

dan frasa “dalam segala bentuk dan perwujudan” telah membuka peluang kesewenang-wenangan

aparat dalam pembatasan berekspresi dan berpendapat. Selain itu, dalam Prinsip 2 huruf b juga

disebutkan:

Khususnya, pembatasan yang dijustifikasi dengan alasan keamanan nasional tidak sah

jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkannya adalah untuk

melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak berhubungan dengan keamanan

nasional, termasuk misalnya untuk melindungi suatu pemerintahan dari rasa malu

akibat kesalahan yang dilakukan atau pengungkapan kesalahan yang dilakukan, atau

untuk menutup-nutupi informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya,

atau untuk menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan kerusuhan

industrial.

Frasa “melindungi suatu pemerintahan dari rasa malu akibat kesalahan yang dilakukan atau

pengungkapan kesalahan yang dilakukan” kiranya berkaitan dengan Simposium 65 yang baru

saja diadakan. Penindakan yang dilakukan oleh kepolisian terkesan mengabaikan keimpulan

Simposium bahwa ada keterlibatan negara dalam kasus 1965. Sementara penggunaan logo palu

arit yang dianggap aparat sebagai ekspresi kriminal erat kaitannya dengan kasus 1965. Dengan

demikian, karena pada saat ini sedang dilakukan pengungkapan kebenaran (kesalahannegara),

maka semakin kuat keharusan bagi aparat untuk tidak membatasi hak untuk berekspresi.

Terakhir, ketentuan Prinsip 4 bahwa:

Diskriminasi yang berdasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,

pendapat politik atau lainnya, asal usul bangsa atau sosial, kebangsaan, kepemilikan,

status kelahiran atau lainnya tidak boleh menjadi dasar pembatasan terhadap kebebasan

berekspresi atau informasi, termasuk dengan alasan keamanan nasional.

Frasa “pendapat politik” sebagai salah satu alasan tidak bolehnya dilakukan pembatasan

berekspresi juga merupakan ketentuan yang juga harus menjadi perhatian dalam pembatasan

berekspresi. Jika simbol palu arit ditafsir oleh aparat sebagai simbol komunisme yang merupakan

suatu ideologi atau pendapat politik, maka berdasarkan prinsip Johannesburg dan demi

kemanusiaan, aparat harus berhenti melakukan pembatasan.

2. Batalkan atau Tidurkan Peraturan Delik Politik yang Diskriminatif

Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 bersumber dari kebijakan pertama Suharto pasca

ditandatanginya Supersemar oleh Sukarno. Ketetapan ini berisi ketentuan yang membatasi

Page 6: Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila€¦ · Pancasila adalah antikapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation del homme par lhomme. Pancasila adalah anti exploitation

ideologi komunisme/marxisme-leninisme untuk disebarkan dan dikembangkan dalam segala

bentuk manifestasinya. Komunisme/marxisme-leninisme, menurut ketetapan ini, hanya boleh

didiskusikan untuk kepentingan ilmiah.

Masih berbekal Supersemar, formasi kelembagaan MPRS pada saat pembentukan Ketetapan ini

juga telah “dibersihkan” oleh Suharto dari unsur-unsur pendukung komunis. Semua anggota

MPRS (dan juga pejabat negara lainnya) dipecat dari pemerintahan dan banyak yang

dipenjarakan karena dituduh terlibat peristiwa G30S.

Sementara, berdasarkan Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966, hierarki peraturan perundang-

undangan adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945;

2. Ketetapan MPR;

3. Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Keputusan Presiden; dan

6. Peraturan Pelaksana yang terdiri dari : Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.

Merujuk pada ketentuan Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 diatas, merupakan suatu keharusan

bagi peraturan perundang-undangan untuk memperhatikan apa yang telah digariskan oleh UUD

1945 sebagai hukum tertinggi negara. Tak terkecuali Ketetapan MPRS. Secara formil, Ketetapan

MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 inkonstitusional karena bertentangan dengan penjelasan

Penjelasan Pasal 3 serta Pasal 2 ayat (2) UUD NRI 1945 sebelum perubahan. Ketetapan MPRS a

quo berdasarkan Penjelasan Pasal 3 serta Pasal 2 ayat (2) UUD NRI 1945 harusnya dibentuk

dalam suatu Sidang Istimewa MPRS dengan menjelaskan kondisi kenegaraan yang mendorong

diadakannya sidang istimewa tersebut. Sementara dalam tataran praktik, Ketetapan MPRS a quo

ditetapkan dalam sebuah sidang umum (Sidang Umum IV MPRS 1966).

Sementara itu secara materil, pembentukan Tap MPRS/XXV/1966 tidak memperhatikan adanya

jaminan untuk mengekspresikan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD 1945

(sebelum perubahan) tidak menjadi perhatian bagi MPRS pada saat pembentukan Tap MPRS

XXV/MPRS/1966. Padahal semangat yang terkandung didalam Pasal 28 UUD 1945 adalah

semangat demokratisasi. Pasal 28 UUD 1945 pada proses pengesahannya telah melalui

perdebatan panjangan antara Hatta dan Yamin yang mengehendaki adanya jaminan HAM dan

demokrasi, serta di sisi seberang, Soepomo dan Soekarno yang menginginkan negara bercorak

integralistik. Perdebatan ini akhirnya berujung pada penerimaan Soepomo dan juga Soekarno

terhadap disertakannya jaminan HAM dalam konstitusi. Namun, semangat demokratisasi yang

ada dalam Pasal ini tidak serta merta dihayati oleh para pembentuk Tap MPRS

XXV/MPRS/1966. Yang demikian, menurut Adnan Buyung Nasution adalah “dampak politik

dari pemaknaan Pasal 28 UUD 1945 berdasarkan staatside integralistik totaliter di bawah

pemerintahan Suharto”.

Page 7: Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila€¦ · Pancasila adalah antikapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation del homme par lhomme. Pancasila adalah anti exploitation

Pasca reformasi dan Amandemen UUD NRI 1945, keberadaan Tap MPRS Nomor

XXV/MPRS/1966 tetap dipertahankan.Status hukum Tap MPR/MPRS dalam hierarki peraturan

perundang-undangan menempati posisi dibawah UUD NRI 1945 dan diatas undang-undang /

Perpu (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011) setelah sebelumnya sempat

dihilangkan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004. Sementara itu, pemberlakuan Tap

MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 melalui ketentuan Pasal 2 angka 1 Tap MPR Nomor

I/MPR/2003 harus diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum,prinsip demokrasi

dan hak asasi manusia. Meskipun terlihat paradoks, karena ketentuan yang tidak menghormati

prinsip HAM ini harus diberlakukan dengan menghormati HAM, namun hal ini harus menjadi

perhatian aparat dalam menindak tindakan yang berhubungan dengan komunisme. Hal ini

diperkuat adanya jaminan HAM yang lebih komprehensif pasca amandemen kedua UUD NRI

1945. Selain Pasal 28, ada juga ketentuan Pasal 28E Ayat (2), Setiap orang berhak atas

kebebasanmeyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai denganhati

nuraninya,Pasal 28E ayat (3), Setiap orang berhak atas kebebasanberserikat, berkumpul, dan

mengeluarkan pendapat,danterutama Pasal 28I ayat (1), Hak untuk hidup, hak untuk

tidakdisiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hakuntuk tidak

diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapanhukum dan hak untuk tidak dituntut

atas dasar hukum yang berlakusurut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi

dalamkeadaaan apapun.

Dengan diakomodirnya ketentuan-ketentuan yang secara komprehensif menjamin HAM dalam

UUD NRI 1945, semakin tampak pertentangan antara Tap MPRS XXV/MPRS/1966 dengan

UUD NRI 1945 sebagai hukum tertinggi. Terlebih lagi, dalam Pasal 28I ayat (2) telah dinyatakan

bahwa hak atas kemerdekaan pikiran tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-

derogable rights). Namun demikian, Tap MPRS ini hingga sekarang masih diakui diakui sebagai

peraturan perundang-undangan sehingga dapat menjadi sumber hukum materiil bagi aturan-

aturan hukum lain yang bersifat diskriminatif terhadap kebebasan berekpresi, menyampaikan

pendapat dan kemerdekaan fikiran. Untuk itu merupakan keharusan bagi negara untuk mencabut

pemberlakuan Tap MPRS/XXV/1966 demi terjaminnya perlindungan HAM di Indonesia.

Analisa kedua adalah, bahwa dalam konteks civil law, sejauh pengaturan tersebut tidak

dibatalkan, dicabut, atau daluwarsa, maka pengaturan tersebut masih tetap berlaku. Situasi kedua

inilah yang terjadi di Indonesia pada masa reformasi ini. Meski beberapa pengaturan dibawahnya

telah dibatalkan oleh yudisial,2 namun pada dasarnya pada tiap-tiap keputusan tersebut tidak ada

dalam bagian amar yang menyinggung soal relevansi dari TAP MPRS itu sendiri, walaupun

adapula yang menyinggung perihal penahanan dan perlakuan sewenang-wenang. Secara garis

besar, kemenangan dari perkara yang diajukan semata-mata karena berlawanan dengan belum 2 Judicial Review Pasal 60 g UU 12/2003 yang dibatalkan melalui putusan MK No 011-017/PUU-1/2003 yang menjadi putusan penting mengingat penggunaan instrument huum internasional (kovenan sipol yang waktu itu belum diratifikasi) dalam bagian pertimbanganya. Gugatan TUN Nona Nani soal KTP Seumur hidup yang kemudian menjadi Yurisprudensi PTUN Jakarta No. 60/G.TUN/2003/PTUN-JKT. Putusan MA 25 P/HUM/2007 yang membatalkan Keppres 28/1975 tentang perlakuan terhadap eks-tapol golongan C.

Page 8: Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila€¦ · Pancasila adalah antikapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation del homme par lhomme. Pancasila adalah anti exploitation

adanya keputusan hukum yang tetap atau praduga tidak bersalah. Hal ini barangkali disebabkan

juga karena posisi TAP yang berada tepat dibawah UUD.

Jadi dapat dikatakan bahwa TAP XXV/MPRS/1966 masih berlaku baik secara de facto dan de

jure. Sementara TAP mengatur perihal ketentuan yang bersifat umum, dan hanya bersifat

melarang, pengaturan dibawahnya yang menggunakan TAP tersebut sebagai gantungan validasi

formilnya, memiliki konsekuensi hukum yang berakibat pada sifat diskriminatif secara legal dan

pengaturan pidana. Untuk kepentingan tulisan ini akan dibahas satu saja contoh mengenai

ketentuan pemidanaan yang termuat dalam UU 27/1999. Pada intinya, ketentuan dalam UU a

quo tersebut mendefinisikan mengenai delik pidana politik, yaitu delik pidana yang mempunyai

muatan politik di dalamnya dan dalam konteks UU a quo, yang diatur secara spesifik adalah

ketentuan pidana dari penyebarluasan Komunisme/Marxisme/leninisme. Ketentuan delik dalam

UU a quo tersebut bersifat luas dan multitafsir. 3 Keduanya, baik TAP MPRS maupun UU

27/1999 merupakan satu paket kesatuan dari pengaturan yang bersifat sewenang-wenang. TAP

MPRS sendiri juga tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarahnya pada tahun 1966, sebagai

pengaturan yang dibuat secara sewenang-wenang dengan tujuan untuk membenarkan tindakan

kekerasan terhadap yang dituduhkan sebagai kiri atau komunis dalam berbagai kebijakan selama

orde baru, dan ketentuan UU 27/1999 adalah turunan dan ketentuan pidana yang lahir pada masa

menjelang reformasi.

Pertanyaanya, apakah suatu hukum yang menyalahi nilai kemanusiaan masih dapat dikatakan

sebagai hukum? Tentang hal ini, ada baiknya untuk menilik dari pengalaman Jerman pasca Nazi.

Sebagaimana telah diketahui, Nazi adalah partai yang secara sah memenangi pemilu, dan bahkan

kebijakan rasialnya juga dilakukan secara sah menurut hukum. Radbruch, sebagai jawaban dari

pertanyaan diatas menyatakan bahwa “positivism with its credo that ‘law is a law’ rendered the

German legal profession defenceless against laws of arbitrary and criminal content.”4 Lebih

jauh, Radbruch berpendapat bahwa hukum positif tidak dapat lagi dinyatakan berlaku apabila

mencapai pada titik dimana ketidakadilan sudah tidak dapat lagi ditoleransi, dan kedua, apabila

dalam pengundanganya memang bertujuan untuk mengingkari keadilan. Kedua hal tersebut

3 Terutama Pasal 107 a:

Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana dengan penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

Pasal 107 huruf e dengan ancaman maksimal 15 tahun: Barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam segala bentuk dan perwujudanya;

Ketentuan delik dalam dua pasal diatas bersifat sangat luas dengn semata-mata memberlakukan pidana pada penyebaran dalam bentuk apapun, juga bahwa ketentuan diketahu atau patut diduga, yang tentu bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah. 4 Frank Haldemann. Gustav Radbruch vs. Hans Kelsen: A Debate on Nazi Law. Ratio Juris Vol. 18 No. 2 June 2005. Hlm 165.

Page 9: Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila€¦ · Pancasila adalah antikapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation del homme par lhomme. Pancasila adalah anti exploitation

adalah standar minimum dari keadilan.5 Jadi, dihadapan ketidakadilan yang tidak terperikan,

suatu hukum sudah tidak berlaku sebagai hukum.

Tap MPRS dengan demikian harus diletakkan dalam konteksnya hari ini, bahwa secara positif

memang masih berlaku, namun pengaturan tersebut, apabila memang belum dapat dibatalkan,

dapat untuk dibuat tidak berlaku, atau menidurkan pengaturan tersebut. Akan tetapi, kenapa

pengaturan Tap beserta dibawahnya perlu untuk ditidurkan atau dibuat tidak berlaku?

Sebagaimana telah diketahui, Indonesia pasca-fasisme Soeharto mengalami masa transisi yang

terlambat, kalau tidak mau dikatakan gagal. Keterlambatan itu nampak pada tidak dibereskanya

kejahatan masa lalu hingga lebih dari satu dekade masa reformasi. Untuk kasus 1965 dimana

langkah-langkah awal baru hendak ditempuh, maka pada saat inilah seharusnya masa transisi

baru akan dimulai. Keadilan transisional, dan dengan pengungkapan kebenaran di dalamnya

memiliki konsekuensi lain, yaitu bahwa pengungkapan dan keadilan itu akan mengubah tatanan

hidup pada umumnya, yang berarti memerlukan cara-cara berhukum yang luar biasa. Sejauh ini,

proses transisional di Indonesia berjalan secara kontradiktif, pada satu sisi negara rajin

mengundakan atau meratifikasi Hukum bermuatan HAM, namun pada saat yang bersamaan juga

tidak menyelesaikan kejahatan HAM masa lalu dan belakangan justru menciptakan teror berdalih

legalitas hukum. Klausula ketidakadilan yang tidak terperikan, dalam formulasi Radbruch, dalam

kasus 1965 dimana menelan korban –mengutip Sarwo Edhie- 3 juta orang dan pembuangan

terhadap 1 juta orang lainya, dalam 50 tahun pencarian keadilan, telah terpenuhi. Maka Tap

MPR adalah hukum yang tidak memiliki validitas hukum.

Kemudian apabila hukum tersebut bukan lagi hukum, apa yang dapat diperbuat? Dalam hal

tersebut dapat diterapkan kebijakan untuk tidak menerapkan hukum (non enforcement of law).6

Posisi strategis dari penerapan kebijakan ini ada pada pihak kepolisian, selaku garda depan dari

pelaksanaan kebijakan pidana. Maka, apabila Kepolisian dengan ini memang merupakan salah

satu bagian dari proses rekonsiliasi dan keadilan yang lebih besar bagi bangsa dan negara,

penggunaan TAP maupun UU 27/1999 sebagai dalih kriminalisasi hari-hari ini harus dipandang

sebagai hal yang tabu dan tidak manusiawi. Ketidakmanusawian berkedok peraturan hukum.

5 Ibid hlm 166 sebagaimana dikatakan Radbruch menurut Haldermann: Positive law loses its legal character or its legal validity if, and only if, it reaches a level of extreme injustice. 6 Menurut Suteki, kebijakan tidak menerapkan hukum dapat diterapkan dengan berdasar pada 4 alasan sebagai berikut: 1. apabila penerapan hukum tersebut bertentangan dengan prinsip demokrasi dan HAM. 2. Apabila hukum bersifat jauh dari realitas sosal dan tidak dekat dengan keadilan rakyat. 3. Bila memang tidak ada peraturan pelaksananya 4. Bilamana bangsa dan Negara menghendaki, yakni untuk kepentingan yang lebih besar dari pada penegakan hukum di bidang tertentu, non enforcement melalui system restitutif atau restorative. Disarikan dari Suteki. Kebijakan Tidak Menegakkan Hukum (Non Enforcement of Law) Demi Pemuliaan Keadilan Substantif. Pidato Pengukuhan Guru Besar Unversitas Diponegoro, Semarang 4 Agustus 2010. Suteki tidak menjelaskan konteks non-enforcement of law tersebut dalam konteks kejahatan Ham berat, namun beberapa poin darinya dapat dipergunakan untuk kepentingan tulisan ini terutama poin 1 dan sebagian dari poin 4. Aliansi berpendapat bahwa kebijakan restitutf/restorative tidak lantas menghilangkan kebijakan pidananya.

Page 10: Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila€¦ · Pancasila adalah antikapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation del homme par lhomme. Pancasila adalah anti exploitation

3.Tentara Kembali ke Barak

Penghapusan dwifungsi ABRI seharusnya membatasi peran TNI dalam mengintervensi setiap

kegiatan masyarakat dalam menyampaikan pendapat yang sudah dijamin oleh UUD 45. Namun

yang terjadi, dwifungsi ABRI masih terasa nyata di dalam masyarakat, kausalitas dari hal ini

menimbulkan gesekan-gesekan. Studi mengenai dwifungsi menghasilkan dua pemikirian dan

fokus. Dwifungsi ABRI merupakan ideologi. Dan kedua, dwifungsi ABRI merupakan sebuah

konstruksi sosial7. Sedangkan dwifungsi ABRI memiliki fungsi-fungsi yang dimiliki dan melekat

pada ABRI sebagai kekuatan Hankam dan Kekuatan Sosial dalam rangka Perjuangan Nasional

untuk mencapai Tujuan Nasional 8 . Dwifungsi ABRI memaksa masyarakat untuk bergerak

dibawah tekanan psikis dan ideologis, psikis artinya masyarakat wajib mematuhi dan mengikuti

segala aturan yang dijalankan oleh negara melalui ABRI sebagai simbol/ cara agar aturan itu

benar-benar dilakukan dan dijalankan. Sedangkan ideologis berarti ABRI memberikan sedikit

ruang untuk masyarakat terlibat dalam sosial dan politik. Dwifungsi ABRI secara konseptual

maupun secara praktis merupakan kontra posisi dan paham atau ideologi supremasi sipil. Paham

supremasi sipil memandang bahwa tentara hanyalah alat negara belaka yang didudukan dibawah

dan dikendalikan oleh pemerintah (sipil) yang berkuasa9. Dwifungsi ABRI sangat khas dengan

politik orde baru terutama dalam menjamin stabilitas keamanan negara. Dwifungsi ABRI yang

diketahui masyarakat diluar ABRI adalah suatu bentuk militerisme yang nyata yang ditunjukan

oleh negara dalam politik orde baru.

Konsep dwifungsi ABRI muncul pertama kali dalam bentuk konsep “Jalan Tengah” yang

diusulkan oleh Jenderal A.H. Nasution pimpinan TNI AD saat itu kepada Presiden Soekarno

dalam ulang tahun Akademi Militer Indonesia (AMI) di Magelang tahun 1958. Dwifungsi ABRI

menjawab kegelisahan dalam tubuh ABRI untuk menjawab tantangan Presiden mengenai ABRI

sebagai alat negara dalam menjalankan politiknya serta pelaku politik dalam keterpihakan negara

saat politik timur-barat. ABRI kemudian mengambil “jalan tengah” diantara kedua hal tersebut.

ABRI tidak melibatkan dirinya kedalam politik dengan kudeta, tetapi tidak pula menjadi

penonton dalam arena politik. Perwira ABRI harus diberi kesempatan melakukan partisipasinya

didalam pemerintahan atas dasar individu, artinya tidak ditentukan oleh institusi ABRI.

Dwifungsi ABRI bila dilihat dalam tataran konseptual terasa sangat tegas terutama dalam

membagi posisi ABRI di dalam negara. Namun, dalam prakteknya konsep ideologis yang

ditawarkan oleh Jenderal A. H. Nasution mendapatkan mispersepsi terutama di tubuh ABRI itu

sendiri. Prinsip penjaminan keamanan berubah menjadi konsep represi yang menghambat

perjuangan masyarakat masa itu untuk bahu membahu memajukan negara. Bahaya laten

dwifungsi ABRI juga ada di dalam politik orde baru yang masih sangat nyata kita rasakan hingga

saat ini. Selain melakukan represi fisik dan psikis, ABRI bisa bebas menyalurkan ide-ide

7 Azca, M. Najib. 1998. Hegemoni Tentara. Yogyakarta: LKiS. Hlm. 3 8 Ibid. Hlm 4 9 Ibid. Hlm 5

Page 11: Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila€¦ · Pancasila adalah antikapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation del homme par lhomme. Pancasila adalah anti exploitation

strategis kepada negara melalui faksi militer dalam pemerintahan, yang secara terang-terangan

ABRI masuk kedalam politik melalui keterlibatan dengan partai Golongan Karya.

Reformasi mungkin bisa menghapus dwifungsi ABRI secara legal melalui tuntutannya, namun

dwifungsi ABRI sudah terlanjur mengakar, sehingga adanya perubahan-perubahan ke arah

masyarakat sipil yang merdeka akan selalu mendapat tekanan apapun bentuknya. Sehingga

betapapun reformasi berusaha menghapus nilai-nilai yang terkandung melalui dwifungsi ABRI

selama masih ada praktik-praktik kemiliteran yang dilakukan penghapusan hanya sebuah

wacana. Kembalikan militer kepada tugasnya, kembalikan tentara pada baraknya.

4. Mendukung penuh jalanya proses Rekonsiliasi

Indonesia pasca Soeharto sesungguhnya memerlukan cara pandang baru yang bertolak dari

kekejaman masa lalu. Masalahnya, meskipun pasca reformasi banyak peraturan perundangan

yang bermunculan, baik melalui proses legislasi maupun ratifikasi konvensi internasional, pada

lain pihak keadilan transisional nyaris tidak berjalan. Sebagai akibatnya, tidak ada pembelajaran

dan pengungkapan kekejaman sehingga tidak ada refleksi atasnya. Dengan tidak adanya

pembelajaran, maka potensi berulangnya peristiwa sangat mungkin untuk terjadi, disamping

tidak adanya akses pengetahuan bagi generasi muda untuk mempelajarinya. Dari sini, proses

rekonsiliasi, meskipun sesungguhnya terlambat sekian lama, menemukan urgensinya. Setelah

sekian tahun mengalami kemandegan dari proses berskas Penyelidikan Komnas HAM menuju

Kejaksaan Agung, juga ditolaknya rekomendasi rehabilitasi yang merupakan hak prerogatif

Presiden setelah mendapatkan rekomendasi dari Mahkamah Agung pada masa Bagir Manan

ketika periode Megawati Soekarnoputri, 10 kemandegan dari penyelesaian peristiwa 1965 sebagai

dasar landasan berdirinya Orde Baru.

Pertanyaan paling mendasar dari proses rekonsiliasi untuk kasus 1965 ini adalah, rekonsiliasi

macam apa yang hendak ditempuh. Apakah kekejaman masa lalu itu hendak dibiarkan saja

berlalu? Atau apakah perlu untuk mengingatnya? Aliansi berpendapat bahwa melupakan adalah

salah satu langkah menuju pengulangan. Memutuskan untuk mengingat sekalipun, masih

memerlukan langkah lebih jauh lagi, yaitu mengenai bagaimana luka itu hendak dibuka, apakah

hendak dibarengi dengan penghukuman atau hanya sekedar mengingat saja. Dalam perspektif

ini, penghukuman kepada yang bersalah bukan hanya sekedar berarti merampas kemerdekaan

pada mereka yang bersalah, melainkan harus dipandang sebagai penebusan atas kesalahan yang

pernah dilalui. Hanya saja, ada satu lagi cara lain, bahwa penebusan kesalahan tersebut tidak

semata-mata dilalui melalui penghukuman, namun juga permaafan, dan inipun bukan sekedar

permaafan begitu saja, melainkan permaafan yang dibarengi dengan pengungkapan kebenaran

sebagai gantinya.

Melalui skema diatas, terdapat hal yang harus dicermati dari struktur hukum di Indonesia.

Bahwa betul, inisiasi Pemerintah untuk melakukan simposium 1965 adalah suatu kemajuan yang

10 Surat Rekomendasi KMA/403/2003

Page 12: Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila€¦ · Pancasila adalah antikapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation del homme par lhomme. Pancasila adalah anti exploitation

berarti apabila dibandingkan dengan periode pemerintahan sebelumnya, akan tetapi kemajuan

tersebut belum dibarengi dengan perubahan struktur hukum sehingga membuat alur rekonsiliasi

nampaknya masih jauh api dari panggang. Berdasarkan sistem hukum di Indonesia, hanya

terdapat dua mekanisme Pelanggaran HAM Berat: yaitu melalui Pengadilan HAM Ad Hoc dan

Rekonsiliasi. Sialnya, keduanya tidak bersifat saling melengkapi, melainkan bersifat substitusi.

Draft RUU KKR 2015 yang merupakan inisiasi dari Pemerintah semenjak dibatalkanya UU

27/2004 masih mencantumkan ketentuan pengampunan secara universal tanpa adanya timbal

balik berupa pengungkapan kebenaran. Sementara itu, tidak ada ketentuan apapun dalam RUU a

quo kecuali pemanggilan paksa yang dapat mewajibkan bagi pelaku untuk mengungkapkan

kebenaran. Pada lain pihak, apabila memilih penyelesaian melalui UU 26/2000, kelemahanya

terdapat pada lemahnya ketentuan mengenai reparasi korban. Hal ini karena UU 26/2000 sendiri

telah sedari awal keliru dipersepsi –sebagaimana namanya- sebagai Pengadilan HAM, padahal

UU a quo tersebut yang merupakan adopsi dari Statuta Roma merupakan pengadilan pidana.

Jadi, dalam perspetif UU a quo, suatu tindakan pelanggaran HAM Berat hanya terjadi apabila

ada pelaku, tanpa adanya pelaku, tidak ada korban. Bahkan apabila ada pelaku, hak korban

sebagaiman terdapat dalam Pasal 35 hanya dapat diberikan berupa pilihan opsional saja dan

bukan merupakan sesuatu yang bersifat wajib sebagaimana tercantum dalam kata dapat dalam

pasal 5 ayat (2).

Apabila rekonsiliasi adalah penulisan ulang sejarah, maka siapakah kemudian yang

menuliskanya. Akankah kebenaran dalam perspektif korban tersebut kemudian menggantikan

keadilan secara cuma-cuma atas kekejaman yang dilakukan oleh pelaku? Sebagai pembanding,

kondisi politik Chile pasca diktator Agusto Pinochet ditempuh dengan kebijakan eksekutif yang

berani, menggunakan dekrit presiden dengan tambahan ketentuan bahwa setiap hasil temuan

komisi akan diserahkan pada kekuasaan yudisial, yang berarti tidak melanggengkan impunitas

bagi pelaku, selain dibarengi dengan proses reparasi bagi korban yang berjalan dengan kuat. Di

Afrika Selatan, Sub-komisi Amnesti menentukan apakah sebuah pengungkapan kebenaran itu

telah dilakukan dengan penuh, untuk kemudian menentukan kelayakan seseorang dalam

amnestinya. Dengan demikian, baik reparasi, penghentian impunitas, dan pengungkapan

kebenaran dari kedua pengalaman tersebut berjalan secara beriringan, tentu disamping perbedaan

konteks kekuatan politiknya.

Penulisan ulang sejarah berarti pula harus dibarengi dengan dihapusnya seluruh peraturan

diskriminatif, terlebih tindakan-tindakan kriminalisasi melalui penyematan stigma yang luas

maupun delik politik yang ambigu. Dan satu lagi, bahwa rekonsiliasi tidak dapat berjalan

bersamaan dengan teror Orba, karena persis dasar legitimasi Orde Baru itulah yang hendak

dilampaui.

5. Hapuskan Stigma Negatif PKI

Sudah sejak lama peristiwa 1965 terjadi. 50 tahun yang lalu ternyata belum cukup untuk

menghilangkan stigma PKI di Indonesia. Kebanyakan stigma yang muncul di masyarakat terkait

Page 13: Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila€¦ · Pancasila adalah antikapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation del homme par lhomme. Pancasila adalah anti exploitation

PKI adalah stigma buruk atau negatif. Hal itu merupakan hasil dari kampanye kebudayaan yang

diakukan oleh Orde Baru dengan beberapa produk kebudayaan seperti Film Pengkhianatan

G/30S/PKI ,novel Pengkhiatanan G/30S/PKI, buku karangan Nugroho Notosusanto, majalah

Horison, dll. Bagaimana produk kebudayaan tersebut sangat berperan aktif dalam memproduksi

kebencian terhadap PKI dan ideologi berbau kiri serta sejenisnya. Hal itu merupakan sebuah

keadaan yang mencerminkan ketidakdewasan dalam berbangsa dan negara.

Bukan hanya itu, peran institusi pendidikan dalam memproduksi kebencian terhadap PKI dan

ideologi kiri sangat masif dilakukan. Hal tersebut terjadi hampir di semua jenjang pendidikan

formal di Indonesia seperti SD, SMP, maupun SMA. Peran guru-guru sejarah sangat fital dalam

memproduksi kebencian dan stigma negatif tersebut. Ironisnya, meskipun era reformasi telah

menggema di republik ini hampir 20 tahun ditandai dengan terbitnya buku-buku yang

membantah produk kebudayaan Orde Baru seperti film dan buku, hal itu tidak memperlemah

kampanye kebencian terhadap PKI, komunisme, dan ideologi kiri.

Kemudian muncul juga organisasi islam fundamentalis yang termakan oleh stigma yang

dibangun Orde Baru bahwa komunis ataupun PKI itu anti terhadap tuhan (atheis). Organisasi-

organisasi ini dengan sangat brutal mengganggu proses rekonsiliasi akar rumput ataupun dari

negara, ketika mereka membubarkan diskusi-diskusi ataupun acara-acara yang mencoba mencari

sedikit kebenaran tentang peristiwa 1965, dll. Banyak kasus-kasus yang sudah terjadi di seluruh

Indonesia terkait pembubaran yang secara brutal dilakukan oleh organisasi-organisasi tersebut.

Padahal stigma yang dibentuk Orde Baru bahwa komunis itu atheis sangat salah besar. Banyak

tokoh-tokoh PKI ataupun komunisme yang sangat religius.

Bukan berarti kita membela dan ikut menjadi komunis, namun ini adalah sebuah upaya untuk

menciptakan keadilan di lapisan seluruh masyarakat Indonesia. Mereka yang selama ini distigma

sebagai komunis, PKI yang diidentikan dengan kekejaman, kesadisan yang tidak mengenal

Tuhan sangat tertekan, trauma yang sangat mempengaruhi kondisi psikologisnya. Mereka merasa

tidak bebas dengan kehidupan bermasyarakat, padahal UUD 1945 melindungi semuanya dan

tidak membeda-bedakan. Mari berjuang bersama menghilangkan stigma buruk PKI, komunisme,

ideologi kiri dll, mari berjuang bersama dengan Ideologi Pancasila yang melindungi semuanya.

Mengutip Voltaire, saya barangkali tak sependapat denganmu, tapi hakmu untuk

mengutarakanya, akan terus saya bela.

III. Rekomendasi

Berdasarkan pemaparan diatas, Aliansi mengajukan rekomendasi berupa:

1. Penjunjungan tinggi terhadap hak kebebasan berpendapat/berserikat

2. Menuntut untuk membatalkan TAP XXV/MPRS/1966 dan aturan hukum turunannya, atau

kepada aparat untuk melakukan diskresi dengan menidurkan beserta seluruh pengaturan

diskriminatif dibawahnya sebagai bagian dalam proses rekonsiliasi dan keadilan transisional.

Page 14: Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila€¦ · Pancasila adalah antikapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation del homme par lhomme. Pancasila adalah anti exploitation

3. Kepada militer untuk kembali ke barak dan tidak mencampuri kehidupan sipil.

4. Kepada pemerintah untuk mempercepat jalanya proses rekonsiliasi yang termuat di dalamnya

ketentuan mengenai pengungkapan kebenaran yang adil, mengakhiri impunitas, dan reparasi bagi

para korban.

5. Kepada seluruh masyarakat pada umumnya dan aparat pada khususnya untuk mengakhiri

penggunaan stigma negatif PKI yang biasa disematkan baik kepada korban, pendamping korban,

maupun pekerja sosial masyarakat yang bertujuan untuk menimbulkan teror atau ketakutan.

Semoga ketidakadilan ini dapat segera berakhir, dimana tidur nyenyak kita tidak lagi dihantui

oleh mimpi-mimpi buruk, para monster berseragam yang berlagak ala Orba. Merdeka!

***