Upload
adi-dika
View
214
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
ISI
2.1. Definisi
Alopesia areata (AA) merupakan suatu kerontokan rambut tanpa jaringan parut
yang dapat kambuh, tidak menular dan terjadi ditempat yang memiliki rambut.
Predileksi utamanya biasanya pada scalp dan janggut.[1,2]
2.2. Etiologi
Kausa pasti alopesia areata masih belum diketahui, kemungkinan abnormalitas
sistem imun yang berujung pada penyakit autoimun dimana dengan alasan yang
belum diketahui, imun sistem tubuh menyerang folikel rambut dan mengganggu
pembentukan rambut normal.[1,2,4,5] Selain itu, alopesia areata terkadang
berhubungan dengan kondisi autoimun lain seperti alergi, hipotiroid, vitiligo,
lupus, rheumatoid arthritis dan ulcerative colitis.[1]
Adanya riwayat keluarga, stress dan diet besi mungkin memilki korelasi pada
alopesia areata. Mekanisme pasti mengenai stress pada alopesia areata masih
belum pasti, namun sepertinya stress memicu kondisi yang sudah terdapat pada
individu yang rentan, daripada sebagai kausa.[1]
2.3. Epidemiologi
Risiko untuk terkena alopesia areata sekitar 1,7% dan merupakan 0,7-3% kasus di
dermotalogis. Kasus alopesia areata biasanya tidak berbahaya dan asimptomatis,
namun bisa menyebabkan stress emosional dan psikososial. Alopesia areata tidak
memiliki predileksi khusus pada ras tertentu dan jenis kelamin serta bisa
mengenai semua umur. Insiden puncak kasus ini biasanya pada umur 15-29 tahun.
Sekitar 44% kasus terjadi pada umur <20 tahun dan 30% pada >40 tahun. Insiden
cenderung bertambah dengan adanya penyakit autoimun lain.[1] Ada juga studi
yang menyebutkan majoritas pasien alopesia areata antara umur 30-59 tahun.[2,3]
Alopesia areata dapat mengenai bagian manapun pada tubuh yangberambut,
namun 90% kasus yang ditemukan pada klinik dermatologis lebih sering pada
scalp. Alopesia areata dapat menjadi kondisi yang lebih buruk (sekitar 5% kasus)
yaitu alopesia totalis, kehilangan semua rambut pada scalp dan alopesiia
universalis, kehilangan semua rambut pada seluruh tubuh.[4] Terkadang alopesia
areata dapat disertai dengan kelinan pada kuku seperti pitting dan longitudinal
ridging pada 17% pasien.[2,5]
2.4. Patogenesis
Terdapat 3 fase dalam siklus pertumbuhan rambut, yaitu: anagen (masa
pertumbuhan), katagen (regresi) dan telogen (istirahat). Pada alopesia areata
sering terjadi karena anagen belum diperbaharui atau ketika anagen mengalami
distropi dan ini memunculkakan kondisi kenogen dimana tidak terdapat fiber
rambut yang terlihat pada folikel rambut.[6] Patogenesis masih belum jelas.
Namun terdapat berbagai hipotesis mengenai patogenesis penyakit ini. Hipotesis
yang paling banyak diterima adalah alopesia areata merupakan kondisi T-cell
mediated autoimmune yang sering terjadi dengan predisposisi genetik.[1]
A. Autoimun
Banyak bukti yang mendukung hipotesis bahwa alopesia areata mereupakan
kondisi autoimun. Prosesnya dimediasi oleh sel T, tapi antibodi yang langsung
ke struktur folikel rambut juga ditemukan dengan peningatan frekuensinya
pada pasien alopesia areata dibandingkan kontrol. Dengan menggunakan
imonofluorescence, ditemukan antibodi terhadap fase anagen folikel rambut
sebanyak 90% dari pasien alopesia areata dibandingkan <37% pada kontrol.
Respon autoantibodi tersebut heterogen dan menyerang berbagai struktur fase
anagen folikel rambut. Outer root sheath merupakan struktur yang paling
sering diserang, diikuti internal root sheath, matrix dan batang rambut.
Apakah antibodi ini memiliki peran langsung pada patogenesis atau apakah
mereka merupakan epiphenomenon masih belum diketahui.
Secara histologis, biopsi lesi alopesia areata menunjukkan infiltrat limfosit
perifollicular disekitar fase anagen folikel rambut. Baik pada model binatang
maupun manusia, inflamasi folikel terutama terdiri dari sel T CD4+ dan
CD8+. Dari analisis imunohistologi, sel T CD8+ dapat ditemukan pada
infiltrat pada folikel rambut, sedangkan sel T CD4+ terdapat pada area
perifollicular. Karena sifat sitotoksik sel T CD8+, kemunculnya pada folikel
rambut dapat mengganggu pertumbuhan rambut. Terdapat beberapa molekul
yang diproduksi dari aktivasi sel T sitotoksik, diantaranya tumor necrosis
factor, granzyme dan Fas ligand yang mana molekul ini mungkin memicu
apoptosis pada folikel rambut yang terkena alopesia areata dan mengganggu
fungsi normal. Pada model tikus, deplesi sel T CD8+ bisa mengurangi
kejadian alopesia areata, bahkan deplesi sel ini memiliki respon pertumbuhan
rambut yang lebih bagus dibandingkan deplesi sel T CD4+. Injeksi sel T
CD8+ yang telah diaktivasi akan secara cepat memicu kehilangan rambut
secara lokal pada tempat injeksi sedangkan injeksi sel T CD4+ tidak memicu
kehilangan secara lokal tapi memicu kehilangan rambut secara sistemik (patch
alopesia multipel) diluar tempat injeksi. Hal ini menunjukkan bahwa sel CD8+
merupakan pencetus awal disrupsi folikel rambut dan alopesia, sedangkan sel
CD4+ sepertinya memicu alopesia areata melalui peran ”helper”. Namun
pasien biasanya akan kembali mengalami kehilangan rambut ketika populasi
sel T kembali tumbuh. Fakta bahwa tidak semua binatang mengalami
complete regrowth menandakan terdapat mekanisme lain yang terlibat.
Penelitian juga memperlihatkan bahwa alopesia areata bisa dicetuskan dengan
mentransfer graft dari tikus yang terkena alopesia areata kepada tikus normal.
Transfer graft dari tikus yang normal ke tikus yang terkena alopesia areata
juga sama memperlihatkan kerontokan rambut pada graft. Bukti klinis
autoimun memberikan kesan bahwa alopesia areata memiliki hubungan
dengan kondisi autoimun, yang paling signifikan adalah penyakit tiroid dan
vitiligo.
Pada fase akut, ketika infiltrat limfosit T CD8+ dan CD4+ masuk kedalam
peribulbar, ketebalan sel merupakan indikasi dari progresivitas penyakit.
Inflamasi awal dengan infiltrat sel tersebut mungkin tidak mengubah siklus
rambut, namun itu lebih mempengaruhi aktivitas folikel rambut dan
menghasilkan keadaan “distropi anagen”. Walau anagen tetap dipertahankan,
infiltrasi sel inflamasi sepertinya mengganggu kemampuan folikel rambut
untuk memproduksi fiber rambut dengan besar dan integritas yang sesuai.
Kejadian pelepasan mungkin berjalan secara normal sebagai bagian siklus
rambut, tapi karena distropi anagen, fiber rambut yang terlepas tidak
digantikan oleh fiber yang equivalen.[2]
Sejalan dengan peningkatan sel inflamasi didalam dan sekitar folikel rambut,
terjadi pengecilan folikel rambut dan siklus rambut dapat terpotong dengan
cepatnya siklus fase anagen dan telogen (dikenal sebagai folikel rambut
“nanogen”). Dengan proses yang terus berlanjut, secara progresif lebih dari
50% folikel rambut bisa diobservasi dalam keadaan nanogen pada biopsi.
Jumlah fase katagen/telogen folikel rambut meningkat seiring waktu namun
jumlah inflamasi pada kulit semakin berkurang seiring semakin banyaknya
folikel rambut memasuki fase telogen.[2,y]
Pada fase kronik alopesia areata, folikel rambut yang terkena didorong untuk
memasuki fase telogen dan tidak terdapat perkembangan ke fase anagen saat
observasi. Jumlah folikel rambut terminal akan berkurang menjadi sejumlah
folikel rambut vellus. Pada saat ini, inflamasi yang terjadi hanya akan
terlokalisir pada papilary dermis dekat folikel rambut.[2]
Adanya autoantibodi spesifik folikel rambut pada pasien alopesia areata
mengindikasikan bahwa alopesia areata merupakan penyakit autoimun.
Konsentrasi antibodi IgG spesifik pada folikel rambut meningkat pada
peredaran darah perifer pasien alopesia areata dan dapat ditemukan secara
lokal pada bagian perifer folikel rambut, terutama didekat batas pada lesi yang
aktif.[z] Pada studi terbaru, telah ditemukan antigen yang berikatan pada
serum antibodi ini adalah keratin 16 dan hair follicle specific trichohyalin.
Walaupun demikian, spesifisitas folikel rambut target dari autoantibodi
berbeda-beda pada setiap individu. Namun, studi yang lebih baru
menunjukkan injeksi autoantibodi pada model yang berbeda tidak
menunjukkan efek patogenik yang signifikan. Hal ini menunjukkan
mekanisme penyakit alopesia areata lebih cenderung dimediasi oleh sel
daripada antibodi.[2] Selain itu, adanya autoantibodi spesifik pada folikel
rambut memperlihatkan adanya mekanisme autoimun dan autoantibodi
tersebut dapat memberikan petunjuk pada antigen target sel T.
Folikel rambut memiliki hal istimewa terhadap sistem imun dimana tidak
memilki sel imun. Pada folikel rambut yang normal, epitel tidak
mengekspresikan molekul major hitocompatibility complex (MHC) I dan II.
Bahkan disini banyak mengekspresikan berbagai molekul imunosupressive
seperti TGF-β, IGF-1 dan a-MSH. Pada epitel folikel rambut pasien dengan
alopesia areata memperlihatkan peningkatan ekspresi MHC-I dan II dan
penurunan molekul imunosuppressive. Selain itu juga terjadi ekspresi molekul
adhesi (ICAM-2 dan ELAM-1) pada perivaskular dan peribulbar pada pasien
alopesia areata di stadium progresif. Molekul adhesi berikatan pada leukosit
pada sel endotel dan memediasi perjalanan leukosit kedalam dermis. Hal ini
menuntun kepada hipotesis hilangnya keistimewaan folikel rambut yang
mengakibatkan folikel rambut menjadi target sel radang dan memulai alopesia
areata. Namun keadaan defisiensi keistimewaan imun ini juga dapat
ditemukan pada keadaan tanpa inflamasi, sehingga defisiensi ini tidak cukup
sebagai pencetus alopesia areata.
B. Genetik
Banyak faktor menyokong predisposisi genetik pada alopesia areata.
Frekuensi dari riwayat keluarga yang positif untuk alopesia areata pada pasien
yang terkena sekitar 10-20% dibandingkan dengan 1,7% pada kontrol.
Insidennya lebih tinggi pada pasien dengan penyakit yang lebih berat (16-
18%) dibandingkan dengan pasien dengan alopesia areata local (7-13%).
Beberapa gen telah dipelajari dan penelitian telah difokuskan pada human
leukosit antigen (HLA). Dua studi memperlihatkan HLA DQ3 (DQB1*03)
telah ditemukan pada lebih dari 80% pasien dengan alopesia areata, sehingga
terdapat kemungkinan digunakan sebagai marker untuk kerentanan alopesia
areata. Studi juga menemukan bahwa HLA DQ7 (DQB1*0301) dan HLA
DR4 (DRB1*0401) secara lebih signifikan pada pasien dengan alopesia totalis
dan alopesia universalis. Gen lain yang menarik adalah interleukin 1 receptor
antagonis gene, yang mana mungkin berkorelasi dengan keparahan penyakit.
Pada akhirnya, faktor genetik memainkan peran penting dalam menentukan
kerentanan dan keparahan penyakit. Alopesia areata lebih mungkin akibat
defek poligenik daripada defek gen tunggal.
C. Kelainan presentasi antigen
Infiltrasi sel imun pada alopesia areata mungkin akibat presentasi antigen
peptide yang tidak tepat pada folikel rambut. Regresi katagen folikel rambut
melibatkan apoptosis dan tissue remodeling pada saat sel imun menginfiltrasi
disekitar folikel rambut. Proses ini mengekspose imun sistem pada hair
follicel-derived antigen. Sel langerhan dan dendritik dapat mengekspresikan
cell apoptosis-derived antigen kepada limfosit dan telah memperlihatkan
memicu autoimunitas. Kelainan regresi katagen mungkin melibatkan
pengambilan antigen folikel rambut dan presentasinya ke limfosit, bersamaan
dengan ekspresi yang tidak sesuai faktor constimulatory memungkinkan
memicu alopesia areata. Studi pada tikus menunjukkan kejadian proinflamasi
terjadi pada draining lymph nodes beberapa minggu setelah onset alopesia
areata atau infiltrasi limfosit ke kulit. Sehingga kejadian alopesia areata lebih
mungkin muncul bukan pada kulit namun pada drainig lymph nodes.
D. Atopi dan penyakit autoimun lain
Alopesia areata ditemukan memiliki korelasi dengan peningkatan frekuensi,
kemungkinan peningkatan keparahan pada alergi (atopi) dibandingkan
populasi umum. Hay fever, asma dan/atau dermatitis atopik ditemukan pada
10-60% pasien alopesia areata. Alopesia areata juga memiliki hubungan
dengan penyakit autoimun, diantaranya gangguan tiroid (18%), anemia (0,9%)
dan psoriasis (0,4%). Hubungan antara alopesia areata dengan atopi dan
penyakit autoimun lainnya mungkin hasil dari peningkatan yang tidak spesifik
pada sensitivitas atau destabilisasi sistem imun dan predisposisi genetik.
Mekanisme pasti atopi dan penyakit autoimun pada alopesia areata masih
memerlukan penelitian lebih lanjut.
E. Faktor lingkungan
Onset dan progresivitas alopesia areata kemungkinan memerlukan masukan
darai banyak faktor, seperti genetic, stress, hormon, diet, infeksi, vaksinasi dan
beberapa faktor lain yang memungkinkan. Faktor-faktor ini mungkin
meningkatkan atau mmenurunkan kerentanan terhadap alopesia areata baik
pada onset, keparahan, durasi dan respon terhadap terapi dengan
mempengaruhi status fisik dan biokimia imun sistem dan/atau folikel rambut.
Faktor yang berbeda mungkin lebih berperan daripada yang lainnya pada
individu yang berbeda, dapat dikatakan suatu gen yang spesifik memainkan
peran penting dalam terjadinya alopesia areata.
F. Stress
Pada tikus, ditemukan bahwa alopesia areata berhubungan dengan gangguan
aktivitas hypothalamic-pituitary adrenal (HPA). Pada kulit tikus dan manusia
terjadi peningkatan ekspresi reseptor lokal HPA seperti corticotrophin-
releasing hormone receptor 2 (CRH-R2) pada jumlah mRNA dan protein.
CRH-R2 merupakan reseptor mayor pada kompartemen dermis dan perbedaan
jumlah ekspresi memberikan kontribusi pada HPA lokal dan respon terhadap
inflamasi. Ekspresi estrogen receptor 1 (esr1) juga meningkat pada folikel
rambut tikus yang terkena alopesia areata yang diketahui untuk mengatur
respon HPA terhadap stress. Bukti stress dapat memodulasi alopesia areata
masih kurang jelas. CRH dapat menginduksi diferensiasi sel mast dari
mesenkim folikel rambut dan hal diatas menunjukkan CRH/aktivitas reseptor
tinggi pada kulit alopesia areata. Perbedaan dalam ekspresi neuropeptide
substan P terjadi dengan perkembangan alopesia areata. Aplikasi substan P
pada kulit tikus yang terkena alopesia areata menginduksi degranulasi sel
mast, mempercepat regresi katagen dan meningkatkan jumlah sel T CD8+
dalam mengekspresikan gramzyme B. Berbagai studi melaporkan adanya
feedback loop; aktivitas inflamasi pada alopesia areata bisa mengubah axis
HPA dan respon stress, sebaliknya peningkatan aktivitas HPA dapat
meningkatkan aktivitas inflamasi. Apakah efek ini cukup untuk menginduksi
alopesia areata masih belum dapat dibuktikan.
G. Diet
Alopesia areata mungkin juga dapat dimodulasi melalui diet. Pada studi cross-
sectional, dilaporkan defisiensi besi berhubungan dengan berbagai bentuk
kerontokan rambut termasuk alopesia areata (24-71% wanita yang mengalami
alopesia areata menunjukkan defisiensi besi). Mekanisme defisiensi besi dapat
menyebabkan alopesia areata masih belum diketahui. Penjelasan yang
mungkin bahwa defisiensi besi menghalangi rate-limiting enzim untuk sintesis
DNA dan karena itu mengurangi kapasitas proliferasi matrix sel folikel
rambut. Sehingga terkadang defisiensi besi dapat membantu dalam penegakan
diagnosis dan suplemen besi terkadang digunakan sebagai terapi terutama
pada wanita dengan kerontokan rambut. Pada tikus, ditemukan bahwa minyak
kedelai meningkatkan resistensi terhadap alopesia areata. Peningkatan enzim
antioksidan dan reseptor pengikat estrogen dari derivat kedelai mungkin
memblok kejadian alopesia areata.
H. Viral dan faktor lain
Hipotesis lain telah dikemukakan untuk menjelaskan patofisiologi alopesia
areata tapi lebih banyak bukti yang diperlukan untuk mendukungnya. Alopesia
areata dulunya dipercaya mungkin berasal dari infeksi, tapi tidak terdapat agen
mikroba yang terisolasi secara konsisten pada pasien. Banyak usaha yang
dilakukan untuk mengisolasi cytomegalovirus (CMV), tapi kebanyakan studi
menghasilkan hasil yang negatif. Namun CMV memiliki kemungkinan
menyebabkan alopesia areata melalui aktivasi protein pengaktivasi sel NK.
[1,2] Bahkan terdapat peran hormon dalam terjadinya alopesia areata. Menurut
suatu studi, walaupun hormon tidak berasal dari lingkungan namun dapat
dimodifikasi oleh faktor lingkungan lainnya. Bahkan studi lain pada tikus
yang terkena alopesia areata, menemukan kemungkinan bahwa estrogen dapat
mempercepat progresi alopesia areata sedangkan testosteron mungkin
menurunkan kerentanan terhadap alopesia areata.[X]
Daftar pustaka
1 emed
2 jurnal Etiopathogenesis of alopecia areata:Why do our patients get it?
3 McMichael AJ, Pearce DJ, Wasserman D, et al. Alopecia in the United States:
outpatient utilization and common prescribing patterns. J Am Acad Dermatol
2007: 57: S49–S51.
4. Alkhalifah A, Alsantali A, Wang E, McElwee KJ, Shapiro J. Alopecia areata
update: part I. Clinical picture, histopathology, and pathogenesis. J Am Acad
Dermatol 2010: 62: 177–188. quiz 189–190.
5. Thomas EA, Kadyan RS. Alopecia areata and autoimmunity: a clinical study.
Indian J Dermatol 2008: 53: 70–74.
6. McElwee KJ, Sinclair R. Hair physiology and its disorders. Drug Discov Today
Dis Mech 2008: 5: e163–e171.
x. McElwee KJ, Silva K, BeamerWG, King LE Jr, Sundberg JP. Melanocyte and
gonad activity as potential severity modifying factors in C3H/HeJ mouse alopecia
areata. Exp Dermatol 2001: 10: 420–429
y. Whiting DA. Histopathologic features of alopecia areata: a new look. Arch
Dermatol 2003: 139: 1555–1559.
z. Lu W, Shapiro J, Yu M, et al. Alopecia areata: pathogenesis and potential for
therapy. Expert Rev Mol Med 2006: 8: 1–19