15
BAB II ISI 2.1. Definisi Alopesia areata (AA) merupakan suatu kerontokan rambut tanpa jaringan parut yang dapat kambuh, tidak menular dan terjadi ditempat yang memiliki rambut. Predileksi utamanya biasanya pada scalp dan janggut.[1,2] 2.2. Etiologi Kausa pasti alopesia areata masih belum diketahui, kemungkinan abnormalitas sistem imun yang berujung pada penyakit autoimun dimana dengan alasan yang belum diketahui, imun sistem tubuh menyerang folikel rambut dan mengganggu pembentukan rambut normal.[1,2,4,5] Selain itu, alopesia areata terkadang berhubungan dengan kondisi autoimun lain seperti alergi, hipotiroid, vitiligo, lupus, rheumatoid arthritis dan ulcerative colitis.[1] Adanya riwayat keluarga, stress dan diet besi mungkin memilki korelasi pada alopesia areata. Mekanisme pasti mengenai stress pada alopesia areata masih belum pasti, namun sepertinya stress memicu kondisi yang sudah terdapat pada individu yang rentan, daripada sebagai kausa.[1] 2.3. Epidemiologi

Alopecia Areata BAB II

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Alopecia Areata BAB II

BAB II

ISI

2.1. Definisi

Alopesia areata (AA) merupakan suatu kerontokan rambut tanpa jaringan parut

yang dapat kambuh, tidak menular dan terjadi ditempat yang memiliki rambut.

Predileksi utamanya biasanya pada scalp dan janggut.[1,2]

2.2. Etiologi

Kausa pasti alopesia areata masih belum diketahui, kemungkinan abnormalitas

sistem imun yang berujung pada penyakit autoimun dimana dengan alasan yang

belum diketahui, imun sistem tubuh menyerang folikel rambut dan mengganggu

pembentukan rambut normal.[1,2,4,5] Selain itu, alopesia areata terkadang

berhubungan dengan kondisi autoimun lain seperti alergi, hipotiroid, vitiligo,

lupus, rheumatoid arthritis dan ulcerative colitis.[1]

Adanya riwayat keluarga, stress dan diet besi mungkin memilki korelasi pada

alopesia areata. Mekanisme pasti mengenai stress pada alopesia areata masih

belum pasti, namun sepertinya stress memicu kondisi yang sudah terdapat pada

individu yang rentan, daripada sebagai kausa.[1]

2.3. Epidemiologi

Risiko untuk terkena alopesia areata sekitar 1,7% dan merupakan 0,7-3% kasus di

dermotalogis. Kasus alopesia areata biasanya tidak berbahaya dan asimptomatis,

namun bisa menyebabkan stress emosional dan psikososial. Alopesia areata tidak

memiliki predileksi khusus pada ras tertentu dan jenis kelamin serta bisa

mengenai semua umur. Insiden puncak kasus ini biasanya pada umur 15-29 tahun.

Sekitar 44% kasus terjadi pada umur <20 tahun dan 30% pada >40 tahun. Insiden

cenderung bertambah dengan adanya penyakit autoimun lain.[1] Ada juga studi

yang menyebutkan majoritas pasien alopesia areata antara umur 30-59 tahun.[2,3]

Alopesia areata dapat mengenai bagian manapun pada tubuh yangberambut,

namun 90% kasus yang ditemukan pada klinik dermatologis lebih sering pada

Page 2: Alopecia Areata BAB II

scalp. Alopesia areata dapat menjadi kondisi yang lebih buruk (sekitar 5% kasus)

yaitu alopesia totalis, kehilangan semua rambut pada scalp dan alopesiia

universalis, kehilangan semua rambut pada seluruh tubuh.[4] Terkadang alopesia

areata dapat disertai dengan kelinan pada kuku seperti pitting dan longitudinal

ridging pada 17% pasien.[2,5]

2.4. Patogenesis

Terdapat 3 fase dalam siklus pertumbuhan rambut, yaitu: anagen (masa

pertumbuhan), katagen (regresi) dan telogen (istirahat). Pada alopesia areata

sering terjadi karena anagen belum diperbaharui atau ketika anagen mengalami

distropi dan ini memunculkakan kondisi kenogen dimana tidak terdapat fiber

rambut yang terlihat pada folikel rambut.[6] Patogenesis masih belum jelas.

Namun terdapat berbagai hipotesis mengenai patogenesis penyakit ini. Hipotesis

yang paling banyak diterima adalah alopesia areata merupakan kondisi T-cell

mediated autoimmune yang sering terjadi dengan predisposisi genetik.[1]

A. Autoimun

Banyak bukti yang mendukung hipotesis bahwa alopesia areata mereupakan

kondisi autoimun. Prosesnya dimediasi oleh sel T, tapi antibodi yang langsung

ke struktur folikel rambut juga ditemukan dengan peningatan frekuensinya

pada pasien alopesia areata dibandingkan kontrol. Dengan menggunakan

imonofluorescence, ditemukan antibodi terhadap fase anagen folikel rambut

sebanyak 90% dari pasien alopesia areata dibandingkan <37% pada kontrol.

Respon autoantibodi tersebut heterogen dan menyerang berbagai struktur fase

anagen folikel rambut. Outer root sheath merupakan struktur yang paling

sering diserang, diikuti internal root sheath, matrix dan batang rambut.

Apakah antibodi ini memiliki peran langsung pada patogenesis atau apakah

mereka merupakan epiphenomenon masih belum diketahui.

Secara histologis, biopsi lesi alopesia areata menunjukkan infiltrat limfosit

perifollicular disekitar fase anagen folikel rambut. Baik pada model binatang

maupun manusia, inflamasi folikel terutama terdiri dari sel T CD4+ dan

CD8+. Dari analisis imunohistologi, sel T CD8+ dapat ditemukan pada

Page 3: Alopecia Areata BAB II

infiltrat pada folikel rambut, sedangkan sel T CD4+ terdapat pada area

perifollicular. Karena sifat sitotoksik sel T CD8+, kemunculnya pada folikel

rambut dapat mengganggu pertumbuhan rambut. Terdapat beberapa molekul

yang diproduksi dari aktivasi sel T sitotoksik, diantaranya tumor necrosis

factor, granzyme dan Fas ligand yang mana molekul ini mungkin memicu

apoptosis pada folikel rambut yang terkena alopesia areata dan mengganggu

fungsi normal. Pada model tikus, deplesi sel T CD8+ bisa mengurangi

kejadian alopesia areata, bahkan deplesi sel ini memiliki respon pertumbuhan

rambut yang lebih bagus dibandingkan deplesi sel T CD4+. Injeksi sel T

CD8+ yang telah diaktivasi akan secara cepat memicu kehilangan rambut

secara lokal pada tempat injeksi sedangkan injeksi sel T CD4+ tidak memicu

kehilangan secara lokal tapi memicu kehilangan rambut secara sistemik (patch

alopesia multipel) diluar tempat injeksi. Hal ini menunjukkan bahwa sel CD8+

merupakan pencetus awal disrupsi folikel rambut dan alopesia, sedangkan sel

CD4+ sepertinya memicu alopesia areata melalui peran ”helper”. Namun

pasien biasanya akan kembali mengalami kehilangan rambut ketika populasi

sel T kembali tumbuh. Fakta bahwa tidak semua binatang mengalami

complete regrowth menandakan terdapat mekanisme lain yang terlibat.

Penelitian juga memperlihatkan bahwa alopesia areata bisa dicetuskan dengan

mentransfer graft dari tikus yang terkena alopesia areata kepada tikus normal.

Transfer graft dari tikus yang normal ke tikus yang terkena alopesia areata

juga sama memperlihatkan kerontokan rambut pada graft. Bukti klinis

autoimun memberikan kesan bahwa alopesia areata memiliki hubungan

dengan kondisi autoimun, yang paling signifikan adalah penyakit tiroid dan

vitiligo.

Pada fase akut, ketika infiltrat limfosit T CD8+ dan CD4+ masuk kedalam

peribulbar, ketebalan sel merupakan indikasi dari progresivitas penyakit.

Inflamasi awal dengan infiltrat sel tersebut mungkin tidak mengubah siklus

rambut, namun itu lebih mempengaruhi aktivitas folikel rambut dan

menghasilkan keadaan “distropi anagen”. Walau anagen tetap dipertahankan,

infiltrasi sel inflamasi sepertinya mengganggu kemampuan folikel rambut

Page 4: Alopecia Areata BAB II

untuk memproduksi fiber rambut dengan besar dan integritas yang sesuai.

Kejadian pelepasan mungkin berjalan secara normal sebagai bagian siklus

rambut, tapi karena distropi anagen, fiber rambut yang terlepas tidak

digantikan oleh fiber yang equivalen.[2]

Sejalan dengan peningkatan sel inflamasi didalam dan sekitar folikel rambut,

terjadi pengecilan folikel rambut dan siklus rambut dapat terpotong dengan

cepatnya siklus fase anagen dan telogen (dikenal sebagai folikel rambut

“nanogen”). Dengan proses yang terus berlanjut, secara progresif lebih dari

50% folikel rambut bisa diobservasi dalam keadaan nanogen pada biopsi.

Jumlah fase katagen/telogen folikel rambut meningkat seiring waktu namun

jumlah inflamasi pada kulit semakin berkurang seiring semakin banyaknya

folikel rambut memasuki fase telogen.[2,y]

Pada fase kronik alopesia areata, folikel rambut yang terkena didorong untuk

memasuki fase telogen dan tidak terdapat perkembangan ke fase anagen saat

observasi. Jumlah folikel rambut terminal akan berkurang menjadi sejumlah

folikel rambut vellus. Pada saat ini, inflamasi yang terjadi hanya akan

terlokalisir pada papilary dermis dekat folikel rambut.[2]

Adanya autoantibodi spesifik folikel rambut pada pasien alopesia areata

mengindikasikan bahwa alopesia areata merupakan penyakit autoimun.

Konsentrasi antibodi IgG spesifik pada folikel rambut meningkat pada

peredaran darah perifer pasien alopesia areata dan dapat ditemukan secara

lokal pada bagian perifer folikel rambut, terutama didekat batas pada lesi yang

aktif.[z] Pada studi terbaru, telah ditemukan antigen yang berikatan pada

serum antibodi ini adalah keratin 16 dan hair follicle specific trichohyalin.

Walaupun demikian, spesifisitas folikel rambut target dari autoantibodi

berbeda-beda pada setiap individu. Namun, studi yang lebih baru

menunjukkan injeksi autoantibodi pada model yang berbeda tidak

menunjukkan efek patogenik yang signifikan. Hal ini menunjukkan

mekanisme penyakit alopesia areata lebih cenderung dimediasi oleh sel

daripada antibodi.[2] Selain itu, adanya autoantibodi spesifik pada folikel

Page 5: Alopecia Areata BAB II

rambut memperlihatkan adanya mekanisme autoimun dan autoantibodi

tersebut dapat memberikan petunjuk pada antigen target sel T.

Folikel rambut memiliki hal istimewa terhadap sistem imun dimana tidak

memilki sel imun. Pada folikel rambut yang normal, epitel tidak

mengekspresikan molekul major hitocompatibility complex (MHC) I dan II.

Bahkan disini banyak mengekspresikan berbagai molekul imunosupressive

seperti TGF-β, IGF-1 dan a-MSH. Pada epitel folikel rambut pasien dengan

alopesia areata memperlihatkan peningkatan ekspresi MHC-I dan II dan

penurunan molekul imunosuppressive. Selain itu juga terjadi ekspresi molekul

adhesi (ICAM-2 dan ELAM-1) pada perivaskular dan peribulbar pada pasien

alopesia areata di stadium progresif. Molekul adhesi berikatan pada leukosit

pada sel endotel dan memediasi perjalanan leukosit kedalam dermis. Hal ini

menuntun kepada hipotesis hilangnya keistimewaan folikel rambut yang

mengakibatkan folikel rambut menjadi target sel radang dan memulai alopesia

areata. Namun keadaan defisiensi keistimewaan imun ini juga dapat

ditemukan pada keadaan tanpa inflamasi, sehingga defisiensi ini tidak cukup

sebagai pencetus alopesia areata.

B. Genetik

Banyak faktor menyokong predisposisi genetik pada alopesia areata.

Frekuensi dari riwayat keluarga yang positif untuk alopesia areata pada pasien

yang terkena sekitar 10-20% dibandingkan dengan 1,7% pada kontrol.

Insidennya lebih tinggi pada pasien dengan penyakit yang lebih berat (16-

18%) dibandingkan dengan pasien dengan alopesia areata local (7-13%).

Beberapa gen telah dipelajari dan penelitian telah difokuskan pada human

leukosit antigen (HLA). Dua studi memperlihatkan HLA DQ3 (DQB1*03)

telah ditemukan pada lebih dari 80% pasien dengan alopesia areata, sehingga

terdapat kemungkinan digunakan sebagai marker untuk kerentanan alopesia

areata. Studi juga menemukan bahwa HLA DQ7 (DQB1*0301) dan HLA

DR4 (DRB1*0401) secara lebih signifikan pada pasien dengan alopesia totalis

dan alopesia universalis. Gen lain yang menarik adalah interleukin 1 receptor

antagonis gene, yang mana mungkin berkorelasi dengan keparahan penyakit.

Page 6: Alopecia Areata BAB II

Pada akhirnya, faktor genetik memainkan peran penting dalam menentukan

kerentanan dan keparahan penyakit. Alopesia areata lebih mungkin akibat

defek poligenik daripada defek gen tunggal.

C. Kelainan presentasi antigen

Infiltrasi sel imun pada alopesia areata mungkin akibat presentasi antigen

peptide yang tidak tepat pada folikel rambut. Regresi katagen folikel rambut

melibatkan apoptosis dan tissue remodeling pada saat sel imun menginfiltrasi

disekitar folikel rambut. Proses ini mengekspose imun sistem pada hair

follicel-derived antigen. Sel langerhan dan dendritik dapat mengekspresikan

cell apoptosis-derived antigen kepada limfosit dan telah memperlihatkan

memicu autoimunitas. Kelainan regresi katagen mungkin melibatkan

pengambilan antigen folikel rambut dan presentasinya ke limfosit, bersamaan

dengan ekspresi yang tidak sesuai faktor constimulatory memungkinkan

memicu alopesia areata. Studi pada tikus menunjukkan kejadian proinflamasi

terjadi pada draining lymph nodes beberapa minggu setelah onset alopesia

areata atau infiltrasi limfosit ke kulit. Sehingga kejadian alopesia areata lebih

mungkin muncul bukan pada kulit namun pada drainig lymph nodes.

D. Atopi dan penyakit autoimun lain

Alopesia areata ditemukan memiliki korelasi dengan peningkatan frekuensi,

kemungkinan peningkatan keparahan pada alergi (atopi) dibandingkan

populasi umum. Hay fever, asma dan/atau dermatitis atopik ditemukan pada

10-60% pasien alopesia areata. Alopesia areata juga memiliki hubungan

dengan penyakit autoimun, diantaranya gangguan tiroid (18%), anemia (0,9%)

dan psoriasis (0,4%). Hubungan antara alopesia areata dengan atopi dan

penyakit autoimun lainnya mungkin hasil dari peningkatan yang tidak spesifik

pada sensitivitas atau destabilisasi sistem imun dan predisposisi genetik.

Mekanisme pasti atopi dan penyakit autoimun pada alopesia areata masih

memerlukan penelitian lebih lanjut.

Page 7: Alopecia Areata BAB II

E. Faktor lingkungan

Onset dan progresivitas alopesia areata kemungkinan memerlukan masukan

darai banyak faktor, seperti genetic, stress, hormon, diet, infeksi, vaksinasi dan

beberapa faktor lain yang memungkinkan. Faktor-faktor ini mungkin

meningkatkan atau mmenurunkan kerentanan terhadap alopesia areata baik

pada onset, keparahan, durasi dan respon terhadap terapi dengan

mempengaruhi status fisik dan biokimia imun sistem dan/atau folikel rambut.

Faktor yang berbeda mungkin lebih berperan daripada yang lainnya pada

individu yang berbeda, dapat dikatakan suatu gen yang spesifik memainkan

peran penting dalam terjadinya alopesia areata.

F. Stress

Pada tikus, ditemukan bahwa alopesia areata berhubungan dengan gangguan

aktivitas hypothalamic-pituitary adrenal (HPA). Pada kulit tikus dan manusia

terjadi peningkatan ekspresi reseptor lokal HPA seperti corticotrophin-

releasing hormone receptor 2 (CRH-R2) pada jumlah mRNA dan protein.

CRH-R2 merupakan reseptor mayor pada kompartemen dermis dan perbedaan

jumlah ekspresi memberikan kontribusi pada HPA lokal dan respon terhadap

inflamasi. Ekspresi estrogen receptor 1 (esr1) juga meningkat pada folikel

rambut tikus yang terkena alopesia areata yang diketahui untuk mengatur

respon HPA terhadap stress. Bukti stress dapat memodulasi alopesia areata

masih kurang jelas. CRH dapat menginduksi diferensiasi sel mast dari

mesenkim folikel rambut dan hal diatas menunjukkan CRH/aktivitas reseptor

tinggi pada kulit alopesia areata. Perbedaan dalam ekspresi neuropeptide

substan P terjadi dengan perkembangan alopesia areata. Aplikasi substan P

pada kulit tikus yang terkena alopesia areata menginduksi degranulasi sel

mast, mempercepat regresi katagen dan meningkatkan jumlah sel T CD8+

dalam mengekspresikan gramzyme B. Berbagai studi melaporkan adanya

feedback loop; aktivitas inflamasi pada alopesia areata bisa mengubah axis

HPA dan respon stress, sebaliknya peningkatan aktivitas HPA dapat

meningkatkan aktivitas inflamasi. Apakah efek ini cukup untuk menginduksi

alopesia areata masih belum dapat dibuktikan.

Page 8: Alopecia Areata BAB II

G. Diet

Alopesia areata mungkin juga dapat dimodulasi melalui diet. Pada studi cross-

sectional, dilaporkan defisiensi besi berhubungan dengan berbagai bentuk

kerontokan rambut termasuk alopesia areata (24-71% wanita yang mengalami

alopesia areata menunjukkan defisiensi besi). Mekanisme defisiensi besi dapat

menyebabkan alopesia areata masih belum diketahui. Penjelasan yang

mungkin bahwa defisiensi besi menghalangi rate-limiting enzim untuk sintesis

DNA dan karena itu mengurangi kapasitas proliferasi matrix sel folikel

rambut. Sehingga terkadang defisiensi besi dapat membantu dalam penegakan

diagnosis dan suplemen besi terkadang digunakan sebagai terapi terutama

pada wanita dengan kerontokan rambut. Pada tikus, ditemukan bahwa minyak

kedelai meningkatkan resistensi terhadap alopesia areata. Peningkatan enzim

antioksidan dan reseptor pengikat estrogen dari derivat kedelai mungkin

memblok kejadian alopesia areata.

H. Viral dan faktor lain

Hipotesis lain telah dikemukakan untuk menjelaskan patofisiologi alopesia

areata tapi lebih banyak bukti yang diperlukan untuk mendukungnya. Alopesia

areata dulunya dipercaya mungkin berasal dari infeksi, tapi tidak terdapat agen

mikroba yang terisolasi secara konsisten pada pasien. Banyak usaha yang

dilakukan untuk mengisolasi cytomegalovirus (CMV), tapi kebanyakan studi

menghasilkan hasil yang negatif. Namun CMV memiliki kemungkinan

menyebabkan alopesia areata melalui aktivasi protein pengaktivasi sel NK.

[1,2] Bahkan terdapat peran hormon dalam terjadinya alopesia areata. Menurut

suatu studi, walaupun hormon tidak berasal dari lingkungan namun dapat

dimodifikasi oleh faktor lingkungan lainnya. Bahkan studi lain pada tikus

yang terkena alopesia areata, menemukan kemungkinan bahwa estrogen dapat

mempercepat progresi alopesia areata sedangkan testosteron mungkin

menurunkan kerentanan terhadap alopesia areata.[X]

Daftar pustaka

1 emed

Page 9: Alopecia Areata BAB II

2 jurnal Etiopathogenesis of alopecia areata:Why do our patients get it?

3 McMichael AJ, Pearce DJ, Wasserman D, et al. Alopecia in the United States:

outpatient utilization and common prescribing patterns. J Am Acad Dermatol

2007: 57: S49–S51.

4. Alkhalifah A, Alsantali A, Wang E, McElwee KJ, Shapiro J. Alopecia areata

update: part I. Clinical picture, histopathology, and pathogenesis. J Am Acad

Dermatol 2010: 62: 177–188. quiz 189–190.

5. Thomas EA, Kadyan RS. Alopecia areata and autoimmunity: a clinical study.

Indian J Dermatol 2008: 53: 70–74.

6. McElwee KJ, Sinclair R. Hair physiology and its disorders. Drug Discov Today

Dis Mech 2008: 5: e163–e171.

x. McElwee KJ, Silva K, BeamerWG, King LE Jr, Sundberg JP. Melanocyte and

gonad activity as potential severity modifying factors in C3H/HeJ mouse alopecia

areata. Exp Dermatol 2001: 10: 420–429

y. Whiting DA. Histopathologic features of alopecia areata: a new look. Arch

Dermatol 2003: 139: 1555–1559.

z. Lu W, Shapiro J, Yu M, et al. Alopecia areata: pathogenesis and potential for

therapy. Expert Rev Mol Med 2006: 8: 1–19