Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR DALAM PERSPEKTIF AL-
QUR’AN (STUDI KOMPARATIF DALAM PENAFSIRAN
SAYYID QUTHB DAN AL-SYA’RȂWȊ)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Aidah fathaturrohmah
NIM: 11140340000223
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H./2018 M.
i
ABSTRAK
Aidah Fathaturrohmah
Amar ma’ruf nahi mûnkar Dalam perspektif al-Qur’an (studi komparatif dalam penafsiran Sayyid Qutbh dan Al-Sya’rāwī), 2018
ulama sepakat bahwasannya hendaklah ada dalam kalangan jamaah
muslimin itu dari suatu golongan, dalam ayat ditegaskan suatu umat yang
menyediakan diri mengadakan ajakan atau seruan, tegasnya Da’wah. Yang selalu
mesti mengajak dan membawa manusia berbuat kebaikan, menyuruh berbuat
ma’ruf, yaitu yang patut, pantas dan sopan; dan mencegah, melarang perbuatan
mûnkar, yang dibenci; dan yang tidak diterima. Di kalangan masyarakat muslim,
term ini seringkali digunakan dalam jargon dakwah islam. Perbuatan yang ma’ruf
apabila dikerjakan, dapat diterima dan difahami oleh manusia yang berakal. Yang
mûnkar artinya ialah yang dibenci; yang tidak disenangi; yang ditolak oleh
masyarakat. Sebab itu maka ma’ruf dan mûnkar tidaklah terpisah dari pendapat
umum. Dari sini penulis ingin mengkaji tentang pandangan Sayyid Qutbh dan Al-Sya’rāwī tentang amar ma’ruf nahi mûnkar. Penulis merujuk kepada Sayyid Qutbh dan Al-Sya’rāwī karena keduanya merupakan mufasir terkenal di zaman
kontemporer, dan mudah dipahami dalam menjelaskan masalah agama. Selain itu
kedua mufasir ini lahir tahun yang berbeda.
Penelitian skripsi ini, secara keseluruhan penulis menggunakan metode
penelitian kualitatif. Dalam metode pengumpulan data, penulis menggunakan
metode kepustakaan (Library Research) yaitu tehnik pengumpulan data dengan
mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-
catatan, dan laporan-laporan yang ada sehingga diperoleh data-data yang
diperlukan yang berhubungan dengan masalah yang dipecahkan. Dalam metode
analisis data, penulis mengolah data tersebut dengan menggunakan metode
tematik dan muqaran (komparatif).
Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa Sayyid Qutbh dan al-
Sya’rāwī memiliki persamaan dan perbedaan dalam menafsirkan Amar ma’ruf
nahi mûnkar Di mana persamaan dari penafsiran keduanya tersebut terletak pada
QS. Āli ‘Imrān ayat 110 dan QS. Al-A’raf ayat 157, dalam QS. Āli ‘Imrān ayat
110 bahwa keduanya sama-sama menafsirkan Amar ma’ruf nahi munkar sebaik-
baiknya ummat adalah umat terbaik yang menyeru kebaikan dengan mencegah
kemûnkaran dan menjaga masyarakat dari unsur-unsur kerusakan. Kemudian
dalam QS. Al-A’raf ayat 157 bahwa keduanya sama-sama menafsirkan Amar
ma’ruf nahi mûnkar menghalalkan untuk mereka yang baik-baik dan
mengharamkan atas mereka segala yang buruk
Kata kunci: Amar ma’ruf nahi mûnkar, Sayyid Qutbh, Al-Sya’rāwī
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan Taufik, Hidayah, dan Inayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul :
“Amar ma’ruf nahi munkar dalam perspektif Al-Qur’an (studi komparatif
dalam penafsiran Sayyid Qutbh dan al-Sya’rāwī)”
Sholawat dan salam tak lupa pula kita haturkan kepada Baginda Nabi
Muhammad SAW. serta keluarga dan para sahabatnya, dan juga para pengikutnya.
Kemudian, penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa
adanya bantuan dan juga dukungan dari kedua orang tua, keluarga, dosen
pembimbing, dan teman-teman yang selalu mensupport atau mendukung penulis.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’ān dan
Tafsir dan Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu
alQur’ān dan Tafsir.
4. Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA. selaku Dosen Pembimbing Skripsi penulis
yang telah banyak membimbing, memberi masukan dan saran kepada penulis
dalam penyusunan skripsi ini. Semoga ibu dan keluarga sehat selalu, panjang
umur, dan dimudahkan segala urusannya.
5. Muslih M,Ag. Sekalu dosen pembimbing Akamedik penulis yang telah
banyak membimbing, memberi masukan dan saran kepada penulis dalam
penyusunan skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat selalu, panjang
umur, dan dimudahkan segala urusannya.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen jurusan Ilmu Al-
Qur’ān dan Tafsir. Yang telah sabar dalam mendidik dan telah banyak
iii
memberikan berbagai macam ilmu. Mudah-mudahan ilmu yang penulis
dapatkan bermanfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat.
7. Pimpinan dan staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Utama
(PU), Perpustakaan Iman Jama’, dan Pusat Studi Al-Qur’ān.
8. Untuk orang tuaku tercinta, Papah dan Mamah, Umi dan Abah yang
senantiasa selalu mendoakan, memberikan semangat, dan juga motivasi
kepada penulis. Tanpa do’a dan dukungan dari beliau maka penulis tidak akan
menyelesaikan skripsi ini. Semoga senantiasa Allah sehatkan badannya,
panjangkan umurnya, dimurahkan rezekinya dan selalu dalam lindungan
Allah SWT. Aamiin.
9. Untuk calon suamiku Achmad Tuki S,Ag yang selalu memberikan semangat,
motivasi, memberikan saran serta membimbing untuk menyelesaikan skripsi
ini dan dukungan moral untuk hidupku.
10. Untuk saudara-saudari dan keponakan-keponakan penulis yaitu Amalia
Fitriani Nurul Janah, Jamilatus Syarifah, muslim, Muhammad Rafa Azka
Putra dan Ananda Syafa Nur Fauziah, yang selalu memberikan semangat
disaat penulis mulai merasa jenuh. Semoga kelak menjadi anak-anak yang
sholeh dan sholehah.
11. Kepada teman-teman jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2014
khususnya kelas TH. F, dan KKN KOPI
12. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis yaitu Filzah Syazwana, Gina Agiana
Atma widara, Achmad Muzayyan, Munajat, Rifqi Fauzan, Tata, Elgi, teman-
teman bimbingan bersama ibu Faizah yaitu Sayyidah, Fayyadhah, Ulfah
Nurazizah, Alvi Lutfiah, Raja, dan Fawa Idul Makiyah, Mega Nur Fadilah,
Silma Latansa Haqqi. Terimakasih untuk waktu yang telah memberikan warna
dalam pertemanan ini. Semoga kita semua tetap dapat menjalin pertemanan
ini dengan baik setelah lulus kuliah.
13. Seluruh sahabat-sahabat pondok pesantrenku Wana Shinta Dewi, Eizh
Krimah, Umi Zakiyah, Hani Qisthina, Denafa dzahira. Yang sama-sama
iv
sedang berjuang untuk menyelesaikan perkuliahan ini dalam mendapatkan
gelar sarjana terimakasih telah menyemangati dan memberikan dukungan ini.
14. Untuk teman selama di Ciputat Nurul Hidayati, Siti Fatimah Azzahra, Sofa,
Nur Faizah, Riza Muhammad, desi fitria, terimaksih telah menyemangati, dan
mendangarkan keluh kesah selama mengerjakan skripsi ini.
15. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan, baik secara langsung
maupun tidak, tanpa mengurangi rasa hormat penulis mengucapkan terima
kasih yang sebanyak-banyaknya untuk membantu pengerjaan skripsi ini.
Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih
terdapat banyak kekurangan, bahkan kesalahan dan kekeliruan dalam
penelitian ini memungkinkan untuk terjadi. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya konstruktif, bukan dengan tujuan
destruktif atau menjatuhkan penulis agar penulisan karya ilmiah ke depannya
menjadi lebih baik. Harapan penulis semoga skripsi ini menjadi bermanfaat
bagi pembaca untuk menambah wawasan dan semoga Allah Swt. memberikan
riḍa-Nya dan balasan yang berlipat ganda atas kebaikan seluruh pihak-pihak
yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Āmīn yā Rabb al-‘Ālamīn.
Ciputat, April 2018
Aidah Fathaturrohmah
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Identifikasi masalah ..................................................................................... 8
C. Pembatasan dan perumusan masalah ........................................................... 8
D. Tujuan dan manfaat penelitian ..................................................................... 9
E. Kajian pustaka .............................................................................................. 9
F. Metode penelitian ....................................................................................... 10
G. Sistematika penulisan ................................................................................. 12
BAB II AMAR MA’RUF NAHI MȖNKAR DALAM KONSEP AL-QUR’AN
A. Definisi Amar ma’ruf nahi mûnkar menurut universal, bahasa, dan
istilah ........................................................................................................... 14
B. Amar ma’ruf nahi mûnkar dalam kehidupan manusia ............................... 17
C. Hukum dan syarat amar ma’ruf nahi mûnkar ............................................. 19
D. Urgensi amar ma’ruf nahi mûnkar ............................................................. 24
E. Dampak meninggalkan amar ma’ruf nahi mûnkar ..................................... 28
F. Ayat-ayat tentang amar ma’ruf nahi mûnkar ............................................. 37
BAB III BIOGRAFI SAYYID QUTBH DAN AL- SYA’RAWI DAN PROFIL
TAFSIR
A. Biografi Sayyid Qutbh dan profil tafsir ................................................. 38
1. Biografi Sayyid Qutbh ....................................................................... 38
a) Lahir, wafat, dan keluarga Sayyid Qutbh ....................................... 38
b) Pendidikan dan karir Sayyid Qutbh ............................................... 38
c) Karya-karya Sayyid Qutbh ............................................................. 40
2. Profil Tafsir ......................................................................................... 42
vi
a) Motivasi Sayyid Qutbh menulis tafsir ............................................ 42
b) Sumber tafsir Sayyid Qutbh ........................................................... 42
c) Metode dan corak penafsiran Sayyid Qutbh .................................. 43
B. Biografi Al-Sya’rawi dan profil tafsir .................................................... 45
1. Biografi Al-Sya’rawi .......................................................................... 45
a) Lahir, wafat, dan keluarga Al-Sya’rawi ......................................... 45
b) Pendidikan dan karir Al-Sya’rawi .................................................. 46
c) Karya-karya Al-Sya’rawi ............................................................... 48
2. Profil Tafsir ......................................................................................... 49
a) Motivasi Al-Sya’rawi menulis tafsir ............................................. 49
b) Sumber tafsir Al-Sya’rawi ............................................................. 49
c) Metode dan corak penafsiran Al-Sya’rawi ................................... 51
BAB IV OBJEK PERINTAH AMAR MA’RUF NAHI MȖNKAR DALAM
PENAFSIRAN SAYYID QUTBH DAN AL- SYA’RAWI
A. Ciri-ciri amar ma’ruf nahi mûnkar ....................................................... 53
1. Masyarakat ideal ............................................................................ 53
2. Hubungan iman dan amar ma’ruf nahi mûnkar ............................. 55
3. Amar ma’ruf nahi mûnkar sebagai tanggung jawab sosial ............ 58
4. Rosul sebagai panutan amar ma’ruf nahi mûnkar .......................... 61
5. Amar ma’ruf nahi mûnkar sebagai keputusan bersama .................. 63
6. Amar ma’ruf nahi munkar melalui tolong menolong ..................... 65
7. Menyuruh berbuat yang munkar dan mencegah yang ma’ruf
adalah ciri-ciri orang munafik ......................................................... 69
B. Analisa penulis ...................................................................................... 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................. 75
B. Kritik dan saran ........................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 77
vii
Pedoman Transliterasi
Dalam skripsi, tesis, dan disertasi bidang keagamaan (baca: Islam), alih
aksara atau transliterasi, adalah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk menjaga
konsistensi, aturan yang berkaitan dengan alih aksara ini penting diberikan.
Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan dipahami, tidak saja oleh
mahasiswa yang akan menulis tugas akhir, melainkan juga oleh dosen, khususnya
dosen pembimbing dan dosen penguji, agar terjadi saling kontrol dalam penerapan
dan konsistensinya. Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih
aksara, antara lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementian
Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi
Paramadina.Umumnya, kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara tersebut
meniscayakan digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font Transliterasi,
Times New Roman, atau Times New Arabic. Untuk memudahkan penerapan alih
aksara dalam penulisan tugas akhir, pedoman alih aksara ini disusun dengan tidak
mengikuti ketentuan salah satu versi di atas, melainkan dengan
mengkombinasikan dan memodifikasi beberapa ciri hurufnya. Kendati demikian,
alih aksara versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini disusun dengan logika yang
sama.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf
Arab
Huruf
Latin
Keterangan
Tidak di lambangkan ا
b Be ب
t Te ث
ts Te dan es ث
J Je ج
ẖ h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha ر
d De د
viii
dz de dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
ḏ de dengan garis di bawah ض
ṯ te dengan garis dibawah ط
ẕ zet dengan garis bawah ظ
ʿ koma terbalik di atas hadap kanan ع
gh ge dan ha غ
f Ef ف
q Ki ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
n En ى
w We و
h Ha ھـ
Apostrof ` ء
y Ye ي
2. Vocal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vocal Arab Tanda Vocal Latin Keterangan
A Fatẖah ـــ
ix
I Kasrah ـــ
U Ḏammah ـــ
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Vocal Arab Tanda Vocal Latin Keterangan
ai a dan i ــ ي
au a dan u ــ و
3. Vocal panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vocal Arab Tanda Vocal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ىا
î i dengan topi di atas ىي
û u dengan topi di atas ىو
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyah maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-
dîwân bukan ad-dîwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda (ـــ (dalam alih aksara ini
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang
diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang
menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh
huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-darûrah
melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbûtah
x
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat
pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku
jika tamarbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2).
Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Ṯarîqah طریقت 1
al-jâmî’ah al-islâmiyyah الجاهعت اإلسالهيت 2
waẖdat al-wujûd وددة الوجود 3
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,
dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan
mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI),
antara lain untuk menuliskan 35 permulaan kalimat, huruf awal nama
tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh
kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal
nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû
Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-
Kindi. Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat
diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak
miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu
ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya,
demikian seterusnya. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama
tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak
dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya
ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al- Samad al-Palimbânî;
Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf
(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara
xi
atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada
ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
dzahaba al-ustâdzu ذھة األستاذ
Tsabata al- ajru ثبج األجر
al- ẖarakah al-‘ asriyyah الذرمت العصریت
Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أشھد أى ال إلھ إال هللا
الخ Maulânâ Malik al- Sâlih هوالنا هلل الص
Yu’ atstsirukum Allâh یؤثرمن هللا
al- maẕâhir al-‘ aqliyyah الوظاھر العقليت
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri
mereka. Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak
perlu dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis
Majîd; Mohamad Roem, bukan Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan
Fadl al-Rahmân.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam telah menimbulkan persaudaraan, menjinakkan hati dan
menyebut umat manusia yang nyaris terbenam ke dalam neraka, maka
untuk memelihara kokohnya nikmat itu, hendaklah ada dalam kalangan
jamaah muslimin itu dari suatu golongan, dalam ayat ditegaskan suatu
umat yang menyediakan diri mengadakan ajakan atau seruan, tegasnya
Da‟wah. Yang selalu mesti mengajak dan membawa manusia berbuat
kebaikan, menyuruh berbuat ma‟ruf, yaitu yang patut, pantas dan sopan;
dan mencegah, melarang perbuatan mûnkar, yang dibenci; dan yang tidak
diterima.1
Sebagai sebuah teks agama yang juga merupakan doktrin
kebenaran mutlak, Al-Qur‟an menyatakan dirinya sebagai petunjuk
(hudan), pembeda (furqān), penjelas (bayan) sehingga dapat dijalani
kebenaran itu dengan menjadikannya tuntunan di dalam kehidupan.
Karena Al-Qur‟an berisi firman-firman Tuhan, dalil kebenaran dan
keyakinan, sanksi dan balasan, kisah-kisah dan permisalan, serta
permohonan. Karena itu, sebagai sebuah teks dan kebenaran doktrin
mutlak tersebut, ia memerlukan penafsiran.2
Salah satu term yang terdapat dalam Al-Qur‟an yaitu amar ma’ruf
nahi mûnkar. Di kalangan masyarakat muslim, term ini seringkali
digunakan dalam jargon dakwah Islam, yang mengambil bentuk doktrin
keagamaan, penyampaian kebenaran dan penentangan terhadap segala
bentuk doktrin keagamaan, penyampaian kebenaran dan penentangan
terhadap segala bentuk kezaliman dan ketidakadilan. Term ini juga sering
dijadikan justifikasi terhadap penolakan terhadap semua hal yang terkait
dengan perbuatan yang menyimpang dari norma agama, dan membenarkan
perbuatan yang dilakukan atas nama agama. Dalam sejarah politik
1 Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983) Juzu‟ 4, H.30
2 Kusnadi Zulhilmi Zulkarnain, Makna amar ma’ruf nahi mûnkar menurut Muhammad
Asad dalam kitab the message of the Qur’an vol.18, No.2 (Palembang,2017) H.96
2
keagamaan, istilah amar ma’ruf nahi mûnkar digunakan, baik dalam
bentuk mempertahankan keyakinan, atau bagian dari jihad fi sabīlillāh
maupun sebagai doktrin keagamaan yang mesti dipertahankan dan
diperjuangkan secara konsisten. Bagi kaum mu‟tazilah memperjuangkan
amar ma’ruf nahi mûnkar, yakni dengan cara mencegah perbuatan dosa,
mendorong orang yang berbuat dosa agar sadar dan memohon ampunan
kepada Allah Swt, serta dihukum jika ternyata bersalah melanggar hukum.
Pandangan golongan di atas berbeda dengan teologi Asya‟riyah yang lebih
moderat, bahwa perintah ma’ruf dan mencegah yang mûnkar tidak perlu
dengan kekerasan dan intimidasi. Akan tetapi dilakukan sikap lunak dan
bijak adalah lebih utama. Pemikiran ini juga didasari pada perintah untuk
memberikan peringatan kepada manusia dengan cara yang baik,
menyampaikan nasihat dengan bijak, dan dengan argumentasi yang
santun.3
Disini terdapat dua kata penting, yaitu menyuruh berbuat ma‟ruf,
mencegah perbuatan mûnkar. Berbuat ma‟ruf diambil dari kata uruf, yang
dikenal, atau yang dapat dimengerti dan dapat difahami serta diterima oleh
masyarakat. Perbuatan yang ma‟ruf apabila dikerjakan, dapat diterima dan
difahami oleh manusia yang berakal. Yang mûnkar artinya ialah yang
dibenci; yang tidak disenangi; yang ditolak oleh masyarakat, karena tidak
patut, tidak pantas. Tidak selayaknya yang demikian dikerjakan oleh
manusia berakal. Agama datang menuntun manusia dan memperkenalkan
mana yang ma‟ruf itu dan mana yang mûnkar. Sebab itu maka ma‟ruf dan
mûnkar tidaklah terpisah dari pendapat umum. Kalau ada yang berbuat
ma‟ruf, seluruh masyarakat, umumnya menyetujui, membenarkan, dan
memuji. Kalau ada perbuatan mûnkar, seluruh masyarakat menolak,
membenci, dan tidak menyukainya. Sebab itu bertambah tinggi kecerdasan
beragama, bertambah kenal orang akan yang ma‟ruf dan bertambah benci
orang kepada yang mûnkar. Lantaran itu wajiblah ada dalam jama‟ah
muslimin segolongan ummat yang bekerja keras menggerakkan orang
3 Kusnadi Zulhilmi Zulkarnain, Makna amar ma’ruf nahi mûnkar menurut Muhammad
Asad dalam kitab the message of the Qur’an, vol.18, No.2 (Palembang,2017) H.97
3
kepada yang ma‟ruf itu dan menjauhi yang mûnkar, supaya masyarakat itu
bertambah tinggi nilainya.4
Maka dari itu, konsekuensi wajib bagi setiap masyarakat,
khususnya yang sadar dan tahu terhadap kondisi yang ada, adalah
senantiasa untuk amar ma’ruf nahi mûnkar. Amar ma’ruf nahi mûnkar
merupakan salah satu pilar ajaran Islam yang sangat fundamental (dasar).
Amar ma’ruf nahi mûnkar itu Satu sama lain saling melengkapi, mengisi,
mengukuhkan dan menyempurnakan eksistensinya. Aktivitas Amar ma‟rûf
niscaya diikuti dengan nahi mûnkar, sedangkan aktivitas nahi mûnkar
niscaya ditindak lanjuti dengan amar ma‟rûf.5
Konsep amar ma’ruf nahi mûnkar didasari dalam Al-Qur‟an surat
Alu Imrân ayat 104:
ئ كر وأول هىى عي الو ت يدعىى إلى الخير ويأهروى ببلوعروف وي كن أه ك هن الوفلحىى ولتكي ه
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat
yang menyuruh kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang mûnkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
(Q.S Alu Imrân: 104)
Di dalam ayat tersebut di atas terkandung dua perintah, yakni
mengajak kebaikan dan memerintahkan yang ma‟ruf sekaligus melarang
yang mûnkar. Hal itu mengisyaratkan perlu adanya kelompok dalam
masyarakat Islam yang berbagi tugas. Kelompok pertama, mengajak
kepada kebaikan dan kelompok kedua, memerintahkan melakukan yang
ma‟ruf sekaligus melarang yang mûnkar. Amar ma‟ruf dan nahi mûnkar
adalah tugas pihak-pihak yang memiliki kekuatan dan kemampuan untuk
merealisasikan kebaikan di muka bumi.6
Istilah amar ma’rûf nahi mûnkar terdiri dari empat kosakata. Amar
ma‟rûf terdiri dari dua kosakata, yakni amar dan ma‟rûf. Amar berasal dari
kata amara-ya‟muru-amran, yang artinya menyuruh, memerintahkan,
4 Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustakaa Panjimas, 1983) Juz‟ 4, H.30
5 Kemenag RI, Amar Makruf Nahi Mûnkar (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur‟an, 2013), H.16 6 Kemenag RI, Amar Makruf Nahi Munkar (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur‟an, 2013), H.18
4
mengajak, membebani sesuatu untuk dilakukan; lawan kata nahā-yanhā-
nahyan. Ma‟ruf dari akar kata „arafa-ya‟rifu-ma‟rūfan, „alima-ya‟lamu-
„ilman, yang artinya diketahui, dikenal, yang terkenal, masyhur, kebajikan,
sesuatu yang diketahui kebaikaannya dengan akal maupun syarak; lawan
kata mûnkar. 7
Istilah nahi mûnkar juga terdiri dari dua kosakata, yakni nahi dan
mûnkar. Nahi dari akar kata nahā-yanhā-nahyan, yang artinya melarang,
mencegah, menghalangi, menghentikan; lawan kata amara-ya‟muru-
amran. Mûnkar dari akar kata nakara, Ankara-yunkiru-Inkaran-mûnkaran,
artinya yang tak dikenal, perkara yang keji, mûnkar tidak diterima, yang
ditolak, yang dihukumi buruk oleh akal; lawan kata ma‟ruf. Amar ma‟ruf
mengandung arti memerintahkan orang untuk beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya dan melaksanakan syariat-Nya. Nahi mûnkar mengandung arti
mencegah kemusyrikan, mendustakan Nabi sallallahu „alaihi wasallam dan
mencegah dari apa yang dilarang-Nya.8
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wata„ala berfirman,
كر وتؤهىى ببلل هىى عي الو ت أخرجت للبس تأهروى ببلوعروف وت تن خير أه ولى مهي أه ك
هن الوؤهىى وأكثرهن الفبسقىى الكتبة لكبى خيرا لهن ه
Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mûnkar,
dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S.Alu Imrân : 110)
Ma‟ruf diambil dari kata ma‟rifah yang menurut Bahasa arab
maknanya ialah: segala sesuatu yang diketahui oleh hati, dan jiwa tentram
kepadanya. Dan secara syar‟i maknanya adalah segala sesuatu yang
dicintai oleh Allah Swt. Seperti taat kepada-Nya dan berbuat baik kepada
hamba-hamba-Nya.9
7 Kemenag RI, Amar Makruf Nahi Munkar (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur‟an, 2013), H.16 8 Kemenag RI, Amar Makruf Nahi Munkar (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur‟an, 2013), H.17
9 Salman Al-Audah Dan Fadil Ilahi, “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” (Jakarta: PUSTAKA
AL-KAUTSAR, 1993), H.11
5
Sedangkan mûnkar menurut Bahasa maknanya adalah sesuatu yang
diingkari oleh jiwa, tidak disukai dan tidak dikenalnya. Mûnkar adalah
lawan dari ma‟ruf, dan secara syar‟i maknanya adalah segala sesuatu yang
dikenal keburukannya secara syar‟i dan akal, seperti maksiat kepada Allah
Swt, dan zalim terhadap hamba-hamba-Nya.10
Dalam ayat lain Allah Subhanahu Wata‟ala berfirman:
لك كر واصبر على هب أصببك إى ذ ه عي الو لة وأهر ببلوعروف وا هي عزم الهىر يب بي أقن الص
Artinya: Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah). (Q.S Luqman: 17)
Dari keterangan di atas tampaklah pentingnya amar ma’ruf nahi
mûnkar dan kedudukannya dalam agama dan syariat Allah Azza wa Jalla,
pengaruh-pengaruh yang dihasilkan dari penerapannya, serta hal-hal yang
ditimbulkan akibat meninggalkannnya dari sela-sela pengetahuan tentang
sisi-sisi tersebut dapat mengetahui keutamaan dan keagungan pahalanya.
Bahwasannya Allah Subhanahu Wa Ta‟ala telah mengikatnya dengan
iman dan menyertakan keduanya dalam beberapa hal. Disamping itu, dia
juga mengkaitkan keuntungan dengan penegakkan amar ma’ruf nahi
mûnkar, oleh karena itu orang yang beruntung, maka dia benar-benar telah
mendapatkan kemenangan yang besar11
Mengenai amar ma’ruf nahi mûnkar di dalam masyarakat ada tiga
keadaan, pertama, mereka memerintahkan yang ma‟ruf dan melarang yang
mûnkar. Kedua, mereka saling menyuruh yang mûnkar dan saling
mencegah yang ma‟ruf, keadaan ini adalah keadaan orang-orang munafik.
Ketiga, mereka menyuruh sebagian yang ma‟ruf dan sebagaian yang
mûnkar. Mereka mencampuradukkan antara yang hak dan yang bathil.12
10
Salman Al-Audah Dan Fadil Ilahi, “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” (Jakarta: PUSTAKA
AL-KAUTSAR, 1993), H.11 11
Saleh Bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar Dan Relasi Dunia
Modern (Jakarta:Pedoman Ilmu Jaya, 1996) H.74 12
Salman Al-Audah Dan Fadil Ilahi, “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” (Jakarta: Pustaka al-
kautsar, 1993), H.19
6
Rasulullah saw adalah suri teladan. Oleh karena itu, beliaulah
referensi yang mesti ditukil dalam mengaplikasikan amar ma’ruf nahi
mûnkar. Cara atau model yang dilakukannya sangat bervariatif, tergantung
pada kondisi dan situasi.
Akan tetapi, akhir-akhir ini di masyarakat terdapat sekelompok
orang yang penegak amar ma’ruf nahi mûnkar melakukan perusakan
terhadap tempat-tempat hiburan malam, mengusir orang-orang yang ada di
dalamnya. Pemerintah, dalam hal ini kepolisian, terkesan membiarkan. Hal
ini menyebabkan makna amar ma’ruf nahi mûnkar mengandung konotasi
“berjuang dan menentang”, membasmi dan memberantas”. Konotasinya
adalah bentuk negatif dari suatu pejuangan. Ini berarti, tekanan makna
penyebutan istilah tersebut lebih berat aspek nahi mûnkar -nya. 13
Oleh karena itu, jika ada yang memaknai amar ma’ruf nahi mûnkar
hanya dengan melakukan pengajian atau merusak tempat-tempat
kemaksiatan, hal ini belum cukup, dan hanya mereduksi makna amar
ma’ruf nahi mûnkar.
Dengan pernyataan latar belakang di atas, mendorong penulis
untuk mengungkap permasalahan menafsirkan ayat-ayat amar ma’ruf nahi
mûnkar dalam pandangan Sayyid Quṭhb dan al-Sya‟rāwī . Dengan sebab
keduanya memiliki latar belakang situasi dan kondisi yang berbeda
sehingga akan berpengaruh kepada corak penafsirannya. Karena setiap
mufassir selalu memiliki pra-pemahaman dan subjektifitas tersendiri
sehingga berpengaruh kepada objek yang di interpretasi.
Di beberapa literature kitab tafsir klasik, modern, dan kontemporer,
penafsiran ayat yang terkait dengan istilah amar ma’ruf nahi mûnkar telah
dijelaskan dalam beberapa bagian dari kitab tafsir sehingga menambah
khazanah perkembangan keilmuan dalam Islam. Misalnya, Ibnu Katsir
menjelaskan term al-ma’ruf dengan kebaikan dan al-mûnkar dengan
keburukan. Demikian pula Musthafa al-Maraghi yang menafsikan kata al-
ma’ruf dengan semua hal yang baik sedangkan al-mûnkar dimaknai
13
Nisfu Rinaldi, Penafsiran Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Dalam Perspektif Tafsir Al-
Azhar Dan Al-Misbah, Ciputat: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta,2010, H. 4
7
dengan semua hal yang buruk. Berbeda dengan mufasir kontemporer, M.
Quraish Shihab, menurut kata ma’ruf ditafsirkan dengan sesuatu yang baik
menurut pandangan umum satu masyarakat, sedangkan kata mûnkar
ditafsirkan dengan sesuatu yang dinilai buruk oleh suatu masyarakat serta
bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi.14
Menurut Sayyid Quṭbh amar ma‟ruf nahi mûnkar adalah harus ada
jama‟ah yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan yang ma‟ruf dan
mencegah kemunkaran. Harus ada kekuasaan di muka bumi yang
mengajak kepada yang ma‟ruf dan mencegah kemunkaran. Hal yang
menegaskan keharusan adanya kekuasaan adalah makna yang terkandung
di dalam nash Al-Qur‟an itu sendiri. Di sana ada “seruan” kepada
kebaikan. Tetapi disana juga ada “memerintahkan” yang ma‟ruf, dan
“melarang” kemunkaran. Jika seruan bisa dilakukan oleh orang yang tidak
memiliki kekuasaan, tetapi “memerintahkan dan melarang” tidak mungkin
bisa dilakukan kecuali oleh orang yang memiliki kekuasaan. Itulah
konsepsi Islam tentang masalah ini. Sesungguhnya diperlukan adanya
kekuasaan yang memerintah dan melarang. Kekuasaan yang tegak atas
dasar da‟wah kepada kebaikan dan melarang kejahatan.15
Sedangkan menurut al-Sya‟rāwī amar ma’ruf nahi mûnkar adalah
perintah menjadi umat terbaik dengan cara mempersiapkan diri dan
berlatih agar terbiasa. Perintah bersiap diri dapat dipahami dalam dua
pendapat. Pendapat pertama, orang-orang yang menyeru kebaikan. Kedua,
menjadi umat yang menyeru kebaikan, dan untuk kemunkaran ada dua
cara juga. Yang pertama, agar dia tidak berbuat kemunkaran. Yang kedua
dia mengajak mencegah kemunkaran.16
Terjadi perbedaan pada penafsiran Sayyid Quṭhb dan al-Sya‟rāwī,
dalam membicarakan amar ma‟ruf nahi mungkar. Untuk mengekplorasi
lebih dalam penulis akan membandingkan serta menganalisa dalam
14
Kusnadi Zulhilmi Zulkarnain, Makna amar ma’ruf nahi mûnkar menurut Muhammad Asad dalam kitab the message of the Qur’an (Palembang,2017) H.98
15 Sayyid Quṯhb, Tafsir Fî Ẕilâl Al-Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an, Penerjemah:
As‟ad Yasin Dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), Jil II, H.348
16
Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rāwī, Tafsir Sya’rāwī,; Renungan Seputar Kitab Suci al-Qur’ān,jilid. 2, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 492.
8
menafsirkan ayat-ayat yang berbicara tentang amar ma’ruf nahi mûnkar,
tulisan ini berjudul, “Penafsiran Amar Ma’ruf Nahi Mûnkar Perspektif
Sayyid Quṭhb dan al-Sya’rāwī”
B. Identifikasi Masalah
1. Apa arti amar ma‟ruf nahi munkar?
2. Bagaimana terjadinya amar ma‟ruf nahi munkar ?
3. Apa penyebab terjadinya amar ma‟ruf nahi munkar?
4. Bagaimanakah pandangan Ulama tentang amar ma‟ruf nahi munkar?
5. Bagaimana penafsiran Sayyid Quṭhb dan al-Sya‟rāwī tentang amar ma‟ruf
nahi munkar?
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Di dalam Al-Qur‟an terdapat banyak ayat yang membahas masalah
amar ma‟ruf nahi mûnkar, yaitu sebanyak Sembilan kali di dalam lima
surah yang berbeda yaitu di dalam surah Alu Imrān pada ayat
104,110,114, surah Al-A’rāf pada ayat 157, surah At-Taubah pada ayat
67,71, dan 112, surah Al-Hajj pada ayat 41, surah Luqman pada ayat 17.
Ayat-ayat ini telah ditafsirkan oleh banyak mufasir. Tentu saja terdapat
perbedaan diantara mereka. Supaya fokus studi ini bisa terjaga, penulis
membatasi kajian pada ayat-ayat: Alu Imrān ayat 104, 110, 114, Luqman
ayat 17, Al-A‟rāf 157, at-Taubah 71,67.
Alasan penulis membatasi pada ayat-ayat tersebut adalah agar
pembahasan tentang amar ma‟ruf nahi munkar lebih fokus dan tidak keluar
dari tema yang dibahas. Selain itu, kajian penulis hanya membatasi pada
dua mufasir yaitu Sayyid Quṭb da al-Sya‟rāwī. Alasan penulis memilih
kedua tokoh tersebut karena keduanya merupakan mufasir terkenal di
zaman kontemporer, dan mudah dipahami dalam menjelaskan masalah
agama.
Rumusan permasalahan pokok yang akan dijawab dalam skripsi ini
sebagai berikut:
“Bagaimana amar ma‟ruf nahi munkar menurut Sayyid Quṭb dan al-
Sya‟rāwī?”
9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai
melalui penelitian ini, ialah:
1. Untuk mengetahui penafsiran Sayyid Quṭb dan al-Sya‟rāwī dalam
menafsirkan ayat-ayat amar ma‟ruf nahi munkar.
2. Untuk mengetahui cara mengaplikasikan amar ma‟ruf nahi munkar.
3. Untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar
sarjana Strata 1 (S1) dalam Fakultas Ushuluddin Program Studi Ilmu Al-
Qur‟ān dan Tafsir.
Adapun manfaat dari penelitian tentang konsep amar ma‟ruf nahi
munkar diharapkan bisa memberikan kontribusi bagi masyarakat, dan bisa
memberikan pemahaman baru yang akan merevisi cara pandang kita
terhadap masalah sehari-hari, sekaligus bisa menjadi sumbangan
sederhana dalam pengembangan studi Ilmu Al-Qur‟ān dan Tafsir.
E. Kajian pustaka
Hasil dari pada tinjauan dan penelitian, penulis mendapati ada
beberapa skripsi yang telah dibahas berkaitan dengan konsep amar ma‟ruf
nahi mungkar yang dihasilkan oleh mahasiswa dan mahasiswi di
Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN) sebelum ini. Akan tetapi, penulis
mendapati hasil skripsi yang telah dihasilkan sebelum ini mempunyai
tinjauan dan perspektif yang berbeda-beda. Berikut akan diterangkan:
1. Konsep amar ma’ruf nahi munkar dalam Al-Qur’an: (studi kompratif
antara Tafsir al-Azhar dan al-Misbah). Karya Nisfu Rinaldi (nim
104034001217). Ditulis pada tahun 2004. Hasil daripada pembaca dan
penelitian, penulis mendapati rumusan masalah dalam kajian tersebut
adalah membandingkan dan menafsirkan ayat-ayat antara Tafsir al-Azhar
dan al-Misbah terhadap penafsiran tentang konsep amar ma’ruf nahi
munkar.17
2. Deskripsi amar ma’ruf nahi munkar menurut Al-Qur’an: (Kajian terhadap
tafsir Fî Ẕilâl Al-Qur‟an karya Sayyid Quṭb). karya Abdul Hadi Bin Mohi
17
Skripsi Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar Dalam Al-Qur‟an; (Studi Kompratif Antara
Tafsir Al-Azhar Dan Al-Misbah), H.6
10
(nim: 109034000106). Ditulis pada tahun 2004. Hasil daripada pembaca
dan penelitian, penulis mendapati rumusan masalah dalam kajian tersebut
adalah penulis serta penafsiran Sayyid Quṯb terhadap dakwah amar ma’ruf
nahi munkar dan pemikiran beliau di dalam mengaplikasikan serta
merencanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar ke atas individual,
masyarakat, kelompok, maupun jamaah.18
Dengan demikian, setelah penulis meneliti karya-karya di atas,
penulis berpendapat bahwa tema yang di angkat dalam skripsi ini berbeda
dengan yang lain. Adapun yang membedakan skripsi ini dengan skripsi
yang lain yaitu bahwa skripsi ini akan mengkaji tentang menafsirkan ayat-
ayat amar ma‟ruf nahi munkar menurut pandangan Sayyid Quṭb dan al-
Sya‟rāwī.
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan sebuah karya ilmiah harus menggunakan
metodologi penelitian. Metode adalah cara yang digunakan untuk
mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata
agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal. Adapun metode
yang digunakan dalam penelitian skripsi ini bersifat deskriptif analisis
(descriptive analysis) adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode
penelitian kualitatif. Dalam metode pengumpulan data, penulis
menggunakan metode kepustakaan (Library Research) yaitu tehnik
pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-
buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada
sehingga diperoleh data-data yang diperlukan yang berhubungan dengan
masalah yang dipecahkan. Adapun tehnik penulisan skripsi ini merujuk
kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang
diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber Data
18
Skripsi Deskripsi Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Menurut Al-Qur‟an (Kajian Terhadap
Tafsir Fi Ẕilâl Al-Quran Karya Sayyid Quṯb), H.10
11
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua sumber data yaitu
sumber data primer dan sumber data sekunder.
A. Sumber data primer dalam penulisan skripsi ini merujuk pada kitab
suci Al-Qur‟ān yang berkaitan dengan ayat-ayat amar ma‟ruf nahi
munkar. Adapun literatur pokok yang menjadi acuan dalam
penelitian ini merujuk pada kitab tafsir Tafsir Fî Ẕilâl Al-Qur’an
karya Sayyid Quṯhb dan tafsir al-Sya‟rāwī karya Muhammad
Mutawalli al-Sya‟rāwī
B. Sumber data sekunder dalam penelitian ini penulis merujuk pada
buku-buku, jurnal, tesis, disertasi, artikel, makalah yang berkaitan
dengan permasalahan yang penulis bahas.
3. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini, setelah mengumpulkan data-data dari sumber
primer dan sekunder, penulis ingin mencoba mengolah data tersebut
dengan menggunakan metode tematik dan muqaran (komparatif). Metode
tematik yaitu dengan mengambil dan menghimpun ayatayat yang
berbicara tentang topik pembahasan. Semuanya diletakkan di bawah satu
judul lalu ditafsirkan dengan metode tematik, sebagaimana yang
digariskan oleh „Abdul Ḥayy al-Farmawī. Format dan prosedur Tafsir
tematik meliputi langkah-langkah:
a. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
c. Menyusun runtunan ayat-ayat yang berkaitan dengan masa turunnya
disertai pengetahuan tentang asbāb al-nuzūl.
d. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-
masing.
e. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline).
f. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan
pokok pembahasan.
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan
menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama, atau
mengkompromikan antara yang „ām (umum) dan yang khās
12
(khusus), muṭlaq dan muqayyad atau yang pada lahirnya
bertentangan sehingga semuanya bertemu dalam satu muara, tanpa
perbedaan atau pemakasaan.19
Sedangkan muqqaran (komparatif) adalah Tafsir yang dilakukan
dengan cara membanding-bandingkan ayat-ayat al-Qur‟ān yang memiliki
redaksi berbeda padahal isi kandungannya sama, atau antara ayat-ayat
yang memiliki redaksi yang mirip padahal kandungannya berlainan. Juga
termasuk ke dalam metode komparatif , ialah menafsirkan ayat-ayat al-
Qur‟ān yang selintas tinjau tampak berlawanan dengan al-hadits, padahal
dalam hakikatnya sama sekali tidak bertentangan.20
Penulis menggunakan metode tematik karena penulis
mengumpulkan ayat-ayat terlebih dahulu, kemudian penulis
membandingkannya melalui metode muqqaran. penulis ingin mencoba
memaparkan bagaimana amar ma‟ruf nahi munkar menurut penafsiran
Sayyid Quṯhb yang kemudian dikomparasikan dengan penafsiran al-
Sya‟rāwī .
G. Sistematika Penulisan
skripsi ini terdiri dari lima bab, setiap bab masing-masing
memiliki sub bab dan disusun dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I dimulai dengan pendahuluan, dalam bab ini tujuannya untuk
menggambarkan secara umum atau sebagai landasan dari skripsi ini,
adapun sub dari bab ini adalah membahas mengenai latar belakang
masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah yang
dimaksud untuk mempertegas masalah yang akan diteliti agar lebih
terfokus, tujuan dan manfaat penelitian untuk menjelaskan pentingnya
19 ‘Abdu al-Ḥayy al-Farmawī, Metode Tafsir Mauḍū’ī, terj. Rohison Anwar
(Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 51-52.
20 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, Cet. 2 (Jakarta: Rajawali Pers, 2014),
h. 383.
13
penelitian ini, kajian pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika
penelitian.
BAB II membahas tentang amar ma‟ruf nahi munkar, yang meliputi
pengertian menurut bahasa dan istilah, hukum dan syarat amar ma‟ruf nahi
munkar, urgensi amar ma‟ruf nahi munkar, dan dampak meninggalkan
amar ma‟ruf nahi munkar.
BAB III Kemudian membahas tentang Sayyid Qutbh dan al-Sya‟rāwī dan
tafsirnya. Yang meliputi riwayat hidup, karir, karya-karya, motivasi,
sumber tafsir, metode penafsiran dan corak penafsirannya
BAB IV membahas tentang objek perintah amar ma‟ruf nahi munkar
dalam penafsiran Sayyid Qutbh dan al-Sya‟rāwī yakni, menjadi umat
terbaik yang melakukan amar ma‟ruf nahi munkar, amar ma‟ruf nahi
munkar setelah sholat ditunaikan, umat islam adalah umat terbaik jika
selalu melakukan amar ma‟ruf nahi munkar, amar ma‟ruf nahi munkar
menjadi ciri-ciri orang yang bertaqwa, amar ma‟ruf nahi munkar pada
kelompok Ahlu al-Kitab, amar ma‟ruf nahi munkar melalui tolong
menolong, dan menyuruh berbuat yang munkar dan mencegah yang
ma‟ruf ciri-ciri orang munafik. Di tambah dengan analisa penulis tentang
amar ma‟ruf nahi munkar terhadap penafsiran Sayyid Qutbh dan al-
Sya‟rāwī.
BAB V merupakan bab terakhir atau penutup dari penelitian skripsi ini,
yang berisi kesimpulan dengan tujuan untuk memberikan jawaban dari
hasil penelitian. Kemudian saran-saran dari peneliti untuk para peneliti
selanjutnya.
14
BAB II
AMAR MA’RUF NAHI MȖNKAR DALAM KONSEP AL-QUR’AN
A. Definisi amar ma‟ruf nahi mûnkar menurut universal, bahasa dan istilah
Di dalam Al-Qur‟an, istilah amar ma‟ruf nahi munkar secara utuh
artinya tidak dipisahkan antara amar ma‟ruf nahi mûnkar berulang
sebanyak Sembilan kali di dalam lima surah yang berbeda yaitu di dalam
surah Alu Imrān pada ayat 104,110,114, surah Al-A‟rāf pada ayat 157,
surah At-Taubah pada ayat 67,71, dan 112, surah Al-Hajj pada ayat 41,
surah Luqman pada ayat 17.
Pada hakikatnya amar ma‟ruf nahi munkar merupakan bagian dari
upaya menegakkan agama dan kemaslahatan di tengah-tengah umat.
Secara spesifik amar ma‟ruf nahi mûnkar lebih dititiktekankan dalam
mengatipasi maupun menghilangkan kemunkaran, dengan tujuan
utamanya menjauhkan setiap hal negative di tengah masyaraakaat tanpa
menimbulkan dampak negative yang lebih besar.
Menerapkan amar ma‟ruf nahi mûnkar mudah dalam batas tertentu
tetapi akan sangat sulit apabila sudah terkait dengan konteks
bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu orang yang melakukan amar
ma‟ruf nahi mûnkar harus mengerti betul terhadap perkara yang akan ia
tindak, agar tidak salah dan keliru dalam bertindak. Terlebih dalam
persoalan yang berpotensi menimbulkan problematika social keamanan
yang lebih besar.1
Menurut bahasa amar ma‟ruf adalah “amar” berarti suruh, perintah
sedangkan “ma‟ruf” adalah kebaikan.2 Berkisar pada segala hal yang
dianggap baik oleh manusia dan mereka mengamalkan serta tidak
mengingkarinya. Disebutkan dalam al-Mu‟jamul Wasītb bahwa al-„urfu
pengertiannya sama dengaan al-ma‟ruf yaitu lawan dari al- mûnkar, serta
1 Saleh Bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi mûnkar Dan Relasi Dunia
Modern (Jakarta:Pedoman Ilmu Jaya, 1996) H.90
2 Abdul Hadi Bin Mohd, DeskripsiAmar ma‟ruf nahi mûnkar menurut Al-Qur‟an(kajian
terhadap tafsir Fi Ẕilâl Al-Quran karya Sayyid Qutbh), Ciputat: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2010, H. 27
15
segala hal yang dikenal (dianggap baik) oleh manusia dalam adat dan
muamalah mereka.
Ibnul Atsir mengatakan, “al-ma‟ruf” adalah satu nama yang
mencakup segala apa yang dikenal berupa ketaatan kepada Allah,
pendekatan diri kepada-Nya, berbuat baik kepada manusia, dan
(melaksanakan) segala apa yang disunnahkan oleh syari‟at berupa
berbagai kebaikan dan (meninggalkaan) apa yang dilaraang olehnya
berupa segala macam kejelekan
Ibnu Jauzi mengatakan, “al-ma‟ruf” adalah apa yang dikenal
kebenarannya oleh setiap orang yang berakal, dan lawannya adalah
kemunkaraan. Ada yang mengatakan bahwa al-ma‟ruf adalah ketaatan
kepada Allah dan kemunkaran adalah berbuat maksiat kepada-Nya.3
Ar-Raghib al-Ashfahani mengatakan, “al-ma‟ruf” adalah satu
nama bagi setiap perbuatan yang diketahui kebaikannya oleh akal atau
syari‟at, sedangkan al- mûnkar adalah apa yang diingkari oleh keduanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “al-ma‟ruf” adalah
satu nama yang mencakup bagi segala apa yang dicintai oleh Allah, berupa
iman dan amal shalih.4
Menurut istilah, pengertian al-ma‟ruf adalah segala perbuatan
manusia yang dapat mendekatkan dirinya kepada tuhan.5Segala hal yang
dianggap baik oleh syari‟at, diperintahkan untuk melakukannya, syari‟at
memujinya serta memuji orang yang melakukannya. Segala bentuk
ketaatan kepada Allah masuk dalam pengertian ini, dan yang paling utama
adalah mentauhidkan Allah dan beriman kepada-Nya.6
Jadi kesimpulan penulis tentang amar ma‟ruf adalah perintah
melakukan kebaikan dengan mengikuti segala yang diperintahkan Allah
dengan mengikuti syariat islam.
3 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, amar ma‟ruf nahi mûnkar menurut Ahlus Sunnah wal
Jamaah (Depok: pustaka Khazanah Fawā‟id, 2017), H. 17
4 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, amar ma‟ruf nahi mûnkar menurut Ahlus Sunnah wal
Jamaah (Depok: pustaka Khazanah Fawā‟id, 2017), H. 18
5 Abdul Hadi Bin Mohd, DeskripsiAmar ma‟ruf nahi mûnkar menurut Al-Qur‟an(kajian
terhadap tafsir Fi Ẕilâl Al-Quran karya Sayyid Qutbh), Ciputat: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2010, H. 26
6 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, amar ma‟ruf nahi mûnkar menurut Ahlus Sunnah wal
Jamaah (Depok: pustaka Khazanah Fawā‟id, 2017), H. 18
16
Mûnkar lawan dari ma‟ruf, menurut bahasa nahi mûnkar adalah
“nahi” berarti larangan, pantang sedangkan “mûnkar” adalah perbuatann
durhaka, melanggar peraturan.7 Atau segala hal yang dianggap jelek oleh
manusia, mereka mengingkari serta menolaknya.8 Dengan kata lain
“mûnkar” adalah segala apa yang dilarang oleh syari‟at berupa hal-hal
yang merusak dunia akhirat, akal, dan fitrah yang selamat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “al- mûnkar” adalah
satu nama yang mencakup segala apa yang Allah larang.
Sedangkan menurut istilah atau syari‟at, al- mûnkar adalah segala
hal yang diingkari, dilarang, dan dicela oleh syari‟at serta dicela pula
orang yang melakukannya. Masuk juga kedalaam definisi munkar yaitu
segala bentuk kemaksiatan dan bid‟ah, dan yang pertamaa masuk daalam
pengertian ini adalah syirik (menyekutukan Allah serta mengingkari
keesaan rububiyah, nama-nama, dan sifat-sifat Allah).9
Jadi kesimpulan penulis tentang nahi mûnkar adalah larangan
melakukan kemunkaran yang dilarang oleh Allah dan syari‟at islam yang
dapat merusak dunia dan akhirat.
Ukuran menentukan sesuatu itu sebagai al-ma‟ruf atau al- mûnkar
adalah sebagaimana dijelaskan oleh imam Asy-Syaukani, beliau berkata,
“Dalil yang menunjukan bahwa sesuatu itu dikatakan ma‟ruf atau mûnkar
adalah Al-Qur‟an dan as-Sunnah.10
Bila penyebutan al-amru bil ma‟ruf dimutlakkan tanpa disertai
penyebutan an-nahyu „anil mûnkar, maka an-nahyu „anil mûnkar masuk
di dalamnya. Karena, meninggalkan berbagai larangan termasuk perbuatan
baik, dan melakukan kebaikan tidak akan sempurna, kecuali dengan
meninggalkan kejelekan.
7 Abdul Hadi Bin Mohd, DeskripsiAmar ma‟ruf nahi mûnkar menurut Al-Qur‟an(kajian
terhadap tafsir Fi Ẕilâl Al-Quran karya Sayyid Qutbh), Ciputat: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2010, H. 28
8 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, amar ma‟ruf nahi mûnkar menurut Ahlus Sunnah wal
Jamaah (Depok: pustaka Khazanah Fawā‟id, 2017), H. 19
9 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, amar ma‟ruf nahi mûnkar menurut Ahlus Sunnah wal
Jamaah (Depok: pustaka Khazanah Fawā‟id, 2017), H. 18
10 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, amar ma‟ruf nahi mûnkar menurut Ahlus Sunnah wal
Jamaah (Depok: pustaka Khazanah Fawā‟id, 2017), H. 19
17
Contoh dalam hal ini adalah firman Allah
Artinya : “tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia
mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang)
bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian
dianatara manusia. Barang siapa berbuat demikian karena mencari
keridhaan Allah, maka kelak kami akan memberikannya pahala yang
besar.” (QS. An-Nisā [4]: 114)
Maka, menyuruh kepada kebaikan mengandung larangan terhadap
kemungkaran. Demikian pula halnya, bila an-nahyu anil mûnkar
dimutlakkan tanpa disertai penyebutan al-amru bil ma‟ruf, maka al-amru
bil ma‟ruf termasuk didalam-Nya.
Maka larangan mereka terhadap kejahatan mengandung perintah
mereka kepada kebaikan. Adapun pada saat penyebutan yang satu disertai
dengan yang lainnya maka al-amru bil ma‟ruf ditafsirkan dengan
melakukan berbagai perintah dan an-nahyu „anil mûnkar ditafsirkan
dengan meninggalkan berbagai larangan.11
B. Amar ma‟ruf nahi mûnkar dalam kehidupan manusia
Al-Qur‟an adalah kitab Tuhan yang universal, berlaku kapan saja,
dimana saja, dan untuk siapa saja. Dalam kehidupan kita sehari-hari,
banyak kita temui orang-orang yang selalumenyerukan kebaikan dan
melarang berbuat kemungkaran, bahkan diri kita sendiri pun disadari atau
tidak selalu menyerukan kebaikan dan melarang melakukan kejahatan,
baik melalui tulisan maupun melalui sumbang saran terhadap sesuatu.
Amar ma‟ruf nahi mûnkar tidak hanya menyangkut hal-hal yang berkaitan
dengan pokok-pokok agama saja atau ideologi semata. Amar ma‟ruf nahi
mûnkar juga bisa saja berkaitan dengan kehidupan sosial, politik, budaya
maupun hukum. Mengajak kepada kebaikan itu baik, melarang
11 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, amar ma‟ruf nahi munkar menurut Ahlus Sunnah wal
Jamaah (Depok: pustaka Khazanah Fawā‟id, 2017), H. 20
18
kemungkaran juga baik. Apabila kebaikan selalu diserukan, tetapi masih
ada saja yang melakukan kemunkaran, maka kemungkaran tersebut harus
dirubah atau di perbaiki.12
1. Aspek Sosial
Mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran
merupakan ciri utama masyarakat orang-orang yang beriman, setiap kali
al-Qur'an memaparkan ayat yang berisi sifat-sifat orang-orang beriman
yang benar, dan menjelaskan risalahnya dalam kehidupan ini, kecuali ada
perintah yang jelas, atau anjuran dan dorongan bagi orang-orang beriman
untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, maka tidak
heran jika masyarakat muslim menjadi masyarakat yang mengajak kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran, karena kebaikan negara dan rakyat
tidak sempurna. Amar ma'ruf nahi mûnkar termasuk kewajiban terpenting
dalam masyarakat muslim, selain shalat dan zakat, terutama di waktu umat
Islam berkuasa di muka bumi, dan menang atas musuh, bahkan
kemenangan tidak datang dari Allah, kecuali bagi orang-orang yang tahu
bahwa mereka termasuk orang-orang yang melakukannya. Amar ma‟ruf
merupakan tawaran konsep dan tatanan sosial yang baik (terkonsepkan
secara kongkrit), sebagai solusi yang baik berupa contoh yang sudah ada
maupun berupa usulan ketika kita mengadakan Nahi mûnkar yang
merupakan tindakan pencegahan atau penghapusan akan halal yang
jelek/salah. Sudah pasti untuk hal-hal tertentu dalam menjalankan Nahi
Munkar (atau bukan juga Amar ma‟ruf) diperlukan kemauan politik
setidaknya dorongan politik, mereka yang mempunyai otoritas. Hal ini
ibarat kepastian hukum (new enforcement) terhadap para pelaku kriminal,
lebih-lebih kriminal dalam hal social.13
2. Aspek Politik
Sudah dijelaskan dalam surat Ali Imran ayat 104, menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
12 Nurcholis Madjid, Masyarakat Religious, (Jakarta: Paramadina, 2000),h. 91-93
13 Takdir Ali Mukti, Membangun Moralitas Bangsa,(Yogyakarta:LPPI Ummy,1998),h.63
19
mûnkar, maka perlu kita pahami bersama, bahwa ajaran Amar ma‟ruf nahi
mûnkar tersebut bukan tanpa metode, dan mekanisme yang sesuai dengan
tatanan kehidupan masyarakat. Allah SWT pun telah mengajarkan
bagaimana kita seharusnya melakukan Amar Ma‟ruf Nahi mûnkar Maka,
dalam hal ini, tidak ada kebebasan bagi sembarang orang atau kelompok
untuk secara langsung melakukan tindakan kekerasan atas dasar Amar
ma‟ruf nahi mûnkar, kecuali atas dasar otoritas yang diberikan oleh
negara. Otoritas inilah yang dalam konteks kehidupan berbangsa dan
bernegara saat ini dapat dipahami sebagai makna dari “biyadihi"/dengan
tangan” dalam hadis yang dikutip sebelumnya, tentang anjuran merubah
kemungkaran.14
C. Hukum dan syarat amar ma‟ruf nahi mûnkar
Amar ma‟ruf nahi mûnkar merupakan suatu hal yang wajib
sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur‟an, hadits dan ijma‟ ulama.15
Ahlul-ilmi bersepakat tentang wajibnya amar ma‟ruf nahi mûnkar baik
farḏu ain maupun kifayah.16
Kebanyak ulama berpendapat bahwa amar
ma‟ruf nahi mûnkar hukumnya farḏu kifayah17
dan sebagian lainnya
berpendapat hukumnya farḏu „ain18
. Perbedaan ini berawal dari penafsiran
para ulama terhadap QS Āli „Imrān : 104. Berikut akan dijelaskan.
14 Takdir Ali Mukti, Membangun Moralitas Bangsa,(Yogyakarta:LPPI Ummy,1998),h.64
15 Saleh Bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar Dan Relasi Dunia
Modern (Jakarta:Pedoman Ilmu Jaya, 1996) H.81
16
Saleh Bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar Dan Relasi Dunia
Modern (Jakarta:Pedoman Ilmu Jaya, 1996) H.88
17 farḏu kifayah adalah status hukum dari sebuah aktivitas dalam Islam yang wajib
dilakukan, namun bila sudah dilakukan oleh muslim yang lain maka kewajiban untuk yang lainnya gugur dalam arti orang yang tidak melaksanakan kewajiban itu tidak berdosa cuman tidak mendapatkan pahala
18 farḏu ‘ain adalah (kewajiban perorangan) artinya kewajiban yang harus dilakukan oleh
setiap individu muslim yang telah memenuhi sarat seperti balig, berakal sehat sempurna, dapat melihat dan mendengar dalam arti tidak buta dan tuli juga terjangkau dakwah islamiyah, dan tidak bisa diwakilkan dengan orang lain.
20
19 20
21
Artinya: dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS.Ālu
„Imrān[3]:104)
Mereka yang mengatakan bahwa hal tersebut adalah farḏu kifayah
berdalil dengan lafazh “minkum” yang terdapat pada ayat di atas yang
artinya “sebagian”.
Sedangkan yang berpendapat farḏu „ain mengartikan lafazh “minkum”
sebagai bayan atau untuk menjelaskan.22
Apabila umat yang disebutkan dalam ayat tersebut, yaitu
segolongan melaksanakan tugasnya maka gugurlah yang lain. Akan tetapi
dengan syarat golongan tersebut termasuk orang-orang yang mampu
melaksanakan fardlu kifayah dalam syi‟ar ini. Akan tetapi dalam beberapa
keadaan, amar ma‟ruf nahi mûnkar menjadi fardlu„ain dan disamping itu
naahi munkar dengan hati dan benci terhadap kemunkaran dan pelakunya,
hukumnya fardlu„ain terhadap semuanya berdasarkan kesepakakatan
ulama daan tidak ada seorangpun yang dikecualikan, karena hal tersebut
memungkinkan bagi setiap orang.23
19 Al-Khair adalah kebaikan yang tidak bisa semua orang mengetahuinya bahkan
menyetujuinya. Kebaikan ini tertumpu pada penjelasan dalil. Islam adalah al-khair, karena tidak
semua manusia setuju dan mengerti tentang kebaikan Islam. Dan kebaikan Islam perlu penjelasan
dan ilmu.
20 Al-Ma‟ruf adalah jenis kebaikan yang tanpa dalil-pun orang sudah tau bahwa itu suatu
kebaikan. Bahkan semua orang menyetujuinya seperti berbuat baik kepada orang tua, atau
memberi makan kepada yang kelaparan.
21
Sayyid Quṯhb, Tafsir Fî Ẕilâl Al-Qur‟an Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, Penerjemah:
As‟ad Yasin Dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet ke 6 Jil 3, H.183
22 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, amar ma‟ruf nahi munkar menurut Ahlus Sunnah wal
Jamaah (Depok: pustaka Khazanah Fawā‟id, 2017), H. 53 23
Salman Al-Audah Dan Fadil Ilahi, “Amar Ma‟ruf Nahi Munkar” (Jakarta: PUSTAKA
AL-KAUTSAR,1993), H.50
21
Ibnu Hazm Rahimahullah, berpendapaat bahwa amar ma‟ruf nahi
mûnkar hukumnya fardlu „ain berdasarkan hadits Abu said al-Khudri
yang marfu‟ :
عت رسول الل صلى الل عليو وسلم ي قول : -عن أب سعيد اخلدري رضي الل عنو قال : س
ه بيده, فإن ل يستطع فبلسانو, فإن ل يستطع فبقل ك بو, وذل من رأى منكم منكرا ف لي غي
أضعف اإليان.
Dari Abu Sa‟id Al Khudry -radhiyallahu „anhu- berkata, saya
mendengar Rasulullah shallallahu „alahi wa sallam bersabda, “Barang
siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia
merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia
merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia
merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR.
Muslim no. 49)
Mereka yang mengatakan bahwa hal tersebut adalah farḏu kifayah
berdalil dengan lafazh “minkum” yang terdapat pada hadist di atas yang
artinya “sebagian”.
Sedangkan yang berpendapat farḏu „ain mengartikan lafazh “minkum”
sebagai bayan atau untuk menjelaskan.24
Apabila umat yang disebutkan dalam hadits tersebut, yaitu
segolongan melaksanakan tugasnya maka gugurlah yang lain. Akan tetapi
dengan syarat golongan tersebut termasuk orang-orang yang mampu
melaksanakan fardlu kifayah dalam syi‟ar ini. Akan tetapi dalam beberapa
keadaan, amar ma‟ruf nahi mûnkar menjadi fardlu „ain dan disamping itu
naahi munkar dengan hati dan benci terhadap kemunkaran dan pelakunya,
hukumnya fardlu „ain terhadap semuanya berdasarkan kesepakakatan
ulama daan tidak ada seorangpun yang dikecualikan, karena hal tersebut
memungkinkan bagi setiap orang.25
Sedangkan menurut Ijma‟ Ulama dijelaskan sebagai berikut
24 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, amar ma‟ruf nahi munkar menurut Ahlus Sunnah wal
Jamaah (Depok: pustaka Khazanah Fawā‟id, 2017), H. 53 25
Salman Al-Audah Dan Fadil Ilahi, “Amar Ma‟ruf Nahi Munkar” (Jakarta: PUSTAKA
AL-KAUTSAR,1993), H.50
22
Berkata Ibnu Hazm azh-Zhahiri, “ seluruh umat islam telah
bersepakat mengenai kewajiban Amar Ma‟ruf Nahi mûnkar, tidak
ada perselisihaan diantaraa mereka sedikitpun.
Berkata Abu Bakar al-Jashshah, “ Allah telah menegaskan
kewajiban amar ma‟ruf nahi mûnkar melalui beberapa ayat dalam
Al-Qur‟an lalu dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadits yang
mutawatir. Dan para ulaamaa terdahulu sepakat atas wajibnya.
Berkata An-Nawawi, “ telah banyak dalil-dalil Al-Qur‟an dan
Sunnah serta Ijma‟ yang menunjukan bahwa wajibnya amar ma‟ruf
nahi mûnkar.
Berkata Asy-Syaukani “amar ma‟ruf nahi mûnkar termasuk
kewajiban pokok serta rukun terbesar dalam syari‟at Islam, yang
dengannya sempurna aturan Islam dan tegaknya kejayaaannya.26
Tentang wajibnya amar ma‟ruf nahi mûnkar, terdapat perbedaan
pendapat diantara ulama. Sebagian dari mereka mengatakan wajib „ain dan
sebagian yang lainnya mengatakan wajib kifayah.
Penyebab perbedaan pendapat ini berasal dari pemahaman terdapat
nash-nash syar‟I yang terdapat dalaam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya
mengenai amar ma‟ruf nahi mûnkar.27
Ada beberapa keadaan dimana melakukan amar ma‟ruf nahi
mûnkar yang hukum asalnya fardlu kifayah menjadi fardlu „ain bagi setiap
muslim. Diantara keadaan tersebut ialah :
Pertama: adanya perintah dan ketentuan dari penguasa.
Amar ma‟ruf nahi mûnkar menjadi fardlu „ain atas orang yang
ditunjuk dan ditentukan oleh penguasa atau wakilnya untuk melakukan
tugasnya tersebut.28
Kedua: hanya beberapa orang saja yang mengetahui tentang hal itu
yang mengharuskan dilakukannya amar ma‟ruf nahi mûnkar.
26 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, amar ma‟ruf nahi munkar menurut Ahlus Sunnah wal
Jamaah (Depok: pustaka Khazanah Fawā‟id, 2017), H. 51
27
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, amar ma‟ruf nahi munkar menurut Ahlus Sunnah wal
Jamaah (Depok: pustaka Khazanah Fawā‟id, 2017), H. 52
28
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, amar ma‟ruf nahi munkar menurut Ahlus Sunnah wal
Jamaah (Depok: pustaka Khazanah Fawā‟id, 2017), H. 55
23
Amar ma‟ruf nahi mûnkar menjadi fardlu „ain atas seseorang yang
memiliki pengetahuan bahwa perbuatan ma‟ruf telah ditinggalkan dan
perbuatan munkar telah dilakukan.29
Ketiga: terbatasnya kemampuan pada orang-orang tertentu saja.
Jika kemampuan untuk melakukan amar ma‟ruf nahi mûnkar
terbatas pada orang-orang tertentu saja dan orang selain mereka tidak
mampu melakukannya, maka amar ma‟ruf nahi mûnkar tersebut menjadi
fardlu „ain atas mereka.30
Keempat: berubahnya situasi dan kondisi.
Syaikh „Abdul‟Aziz bin Abdullah bin Baaz berpendapaat bahwa
amar ma‟ruf nahi mûnkar menjadi fardlu „ain ketika terjadi perubahan
keadaan, dimana beliau berkata, “ maka ketika sedikitnya para da‟i, ketika
banyaknya kemunkaran, dan ketika kebodohan telah berkuasa seperti
keadaan kita sekarang ini, maka dakwah menjadi fardlu „ain atas setiaap
orang sesuai dengan kemampuannya.31
Syarat-syarat beramar ma‟ruf nahi munkar adalah:
1. Islam
Para fuqaha telah menjadikan Islam sebagai syarat, karena
pencegahan terhadap kemunkaran merupakan tugas yang disya‟riatkan.
Oleh karena itu, orang kafir tidak dituntut dan diwajibkan amar ma‟ruf
nahi munkar sebelum dia benar-benar berpegang teguh pada Islam. Orang
kafir diperbolehkan mencegah kemunkaran tanpa harus menyuruh
perbuatan yang ma‟ruf.32
2. Taklif (baligh dan berakal)
Taklif merupakan syarat bagi seluruh ibadah kecuali zakat,
sebagaimana hal itu telah menjadi pendapat jumhur ulama. Dan maksud
dari taklif tersebut adalah baligh (cukup umur) dan „akil (berakal). Oleh
29 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, amar ma‟ruf nahi munkar menurut Ahlus Sunnah wal
Jamaah (Depok: pustaka Khazanah Fawā‟id, 2017), H. 55
30 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, amar ma‟ruf nahi munkar menurut Ahlus Sunnah wal
Jamaah (Depok: pustaka Khazanah Fawā‟id, 2017), H. 55
31 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, amar ma‟ruf nahi munkar menurut Ahlus Sunnah wal
Jamaah (Depok: pustaka Khazanah Fawā‟id, 2017), H. 56
32
Saleh Bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar Dan Relasi Dunia
Modern, penerjemah M Abdul Ghafar (Jakarta:Pedoman Ilmu Jaya, 1996) H.106
24
karena itu amar ma‟ruf nahi munkar tidak diwajibkan bagi anak kecil dan
orang yaang tidak waras pikirannya, karena telah diberikan maaf bagi
mereka.33
3. Memiliki ilmu
Di antara syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang melakukan
amar ma‟ruf nahi munkar adalah; adanya pengetahuan tentang hukum apa
yang diperintah atau dilarangnya, ini disepakati oleh para ulama. Karena
sesungguhnya kebaikan itu adalah segala hal yang dianggap baik oleh
sya‟riat, dan keburukan adalah sesuatu yang dianggap buruk oleh sya‟riat34
4. Kasih sayang
Pelaku amar ma‟ruf nahi munkar harus menghiasi dirinya dengan
sifat kasih sayang dan sabar, Karena sifat emosional terkadang bisa
mengakibatkan kegagalan dalam nahi munkar.35
5. Sabar
Sesungguhnya orang yang melakukan amar ma‟ruf nahi munkar
akan menemui bebagai dugaan, maka tidak perlu gentar, cemas, dan putus
asa. Yang demikian itu karena jalan amar ma‟ruf nahi munkar itu tidak
ditaburi oleh bunga-bunga, namun penuh dengan onak dan duri. Maka
barang siapa tidak menghiasi dirinya dengan sifat sabar, pantas bila dia
menganggap perjalanan terlampau jauh dan melelahkan.36
D. Urgensi amar ma‟ruf nahi mûnkar
Sebuah masyarakat, masyarakat manapun itu, terbentuk dari
manusia, pemikiran, perasaan, dan aturan (sistem). Jika pemikiran dan
perasaan yang mengarahkan dan mengatur prilaku manusianya bersifat
islami, dan aturan (sistem) yang diterapkan pada mereka adalah aturan
(sistem) islam, maka masyarakat tersebut bukan masyarakat islam.
Sebaliknya, walaupun seluruh warga masyarakatnya muslim, tetapi
33 Saleh Bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar Dan Relasi Dunia
Modern, penerjemah M Abdul Ghafar (Jakarta:Pedoman Ilmu Jaya, 1996) H.107
34 Saleh Bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar Dan Relasi Dunia
Modern, penerjemah M Abdul Ghafar (Jakarta:Pedoman Ilmu Jaya, 1996) H.109 35
Salman Al-Audah Dan Fadil Ilahi, “Amar Ma‟ruf Nahi Munkar” (Jakarta: PUSTAKA
AL-KAUTSAR,1993), H.74 36
Salman Al-Audah Dan Fadil Ilahi, “Amar Ma‟ruf Nahi Munkar” (Jakarta: PUSTAKA
AL-KAUTSAR,1993), H.78
25
pemikiran, perasaan, dan aturan(sistem) yang diterapkan itubukan islam,
maka masyarakat tersebut bukan masyarakat islam, walaupun keseluruhan
atau mayoritas pendududknya adalah muslim. Maka islam telah
mensyariatkan Amar ma‟ruf nahi munkar. Hal ini karena kewajiban Amar
ma‟ruf mengandung arti kewajiban memelihara atau menjaga eksistensi
konsep dan standar asasi yang menjadi landasan tegaknya masyarakat,
yang dipahami benar oleh masyarakat sebagai konvensi masyarakat
(mitsaq), serta kokoh dan mapan sebagai konsep dan prinsip yang
mengatur dan mengarahkan perbuatan yang tidak boleh dilanggar.
Sedangkan kewajiban nahi munkar mengandung arti kewajiban melawan
setiap perbuatan yang salah, yakni perbuatan yang diharamkan dan
menyalahi islam, perbuatan yang bertentangan dengan keyakinan positif
yang umum dan domina ditengah-tengah masyarakat.37
amar ma‟ruf nahi mûnkar dirasa sangaat penting bagi umat
muhammad karena berbagai sebab dan factor, diantaranya yang terpenting
adalah :
1. amar ma‟ruf nahi mûnkar merupakan penyebab kebaikan umat ini dan
termasuk karakteristiknya yang Allah karuniakan kepada kita diantara
seluruh umat. Allah azza wa jalla berfirman:
Artinya: kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar,
dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan
37 Yasin bin Ali, hukum-hukum Amar ma‟ruf nahi munkar penerjemah, Uwais al-Qarni;
penyunting A.Saifullah (bogor: pustaka Thariqul Izzah, 2012), H. 90
26
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ālu
„Imrān[3]:110)
Menurut Sayyid Qutbh dalam tafsirnya dalam himpunan ayat ini
meletakkan kewajiban yang berat di atas pundak kaum muslimin di muka
bumi, sesuai dengan kemuliaan dan ketinggian kedudukan jamaah ini, dan
sesuai dengan posisi keistimewaan yang tidak dicapai kelompok manusia
lain.
“kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyurug kepada yang ma‟ruf, mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah.” Pengungkapkan kalimat dengan menggunakan
kata “ukhrijat” dikeluarkan, dilahirkan, diorbitkan‟ dalam bentuk mabni
ligharil-fail(mabni lil-majhul) perlu mendapatkan perhatian. Perkataan ini
mengesankan adanya tangan pengatur yang halus, yang mengeluarkan
umat ini, dan mendorongnya untuk tampil dari kegelapan kegaiban dan
dari balik bentangan tirai yang tidak ada yang mengetahui apa yang ada
dibaliknya itu kecuali Allah.
“kamu adalah umat terbaik yang dilahirkaan untuk manusia”
Inilah persoalan yang harus dimengerti oleh umat islam agar
mereka mengetahui hakikat diri dan nilainya, dan mengerti bahwa mereka
itu dilahirkan untuk maju ke garis depan dan memegang kendali
kepemimpinan karena mereka adalah umat terbaik. Allah menghendaki
supaya kepemimpinan dimuka bumi ini untuk kebaikan, bukan untuk
keburukan dan kejahatan. 38
“menyuruh kepada yang ma‟ruf, mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah.”
Menjalankan tugas-tugas umat terbaik, dengan segala beban yang
ada di baliknya, dan dengan menempuh jalannya yang penuh onak dan
duri. Tugasnya adalah menghadapi kejahatan, menganjurkan kepada
kebaikan, dan menjaga masyarakat dari unsur-unsur kerusakan. Semua itu
harus disertai dengan iman kepada Allah, untuk menjadi timbangan yang
38 Sayyid Qutbh , Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an Penerj As’ad Yasin,
Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Jilid 3, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) H. 190
27
benar terhadap tata nilai, dan untuk mengetahui dengan benar mengenai
amar ma‟ruf nahi munkar. Untuk itu, diperlukan pula patokan yang baku
mengenai kebaikan dan keburukan, keutamaan dan kehinaan, yang ma‟ruf
dan yang munkar, dengan berpijak pada kaidah lain bukan istilah buatan
manusia pada suatu generasi.39
Demikianlah sifat dan karakteristik masyarakat muslim yang
seharusnya bisa menjadikannya unggul sepanjang sejarah. Adapun
masyarakat jahiliyah yang kafir, bibit penyakitnya adalah amar ma‟ruf
nahi mûnkar (menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran)
sepanjang sejarah manusia yang panjang dan bukti paling jelas atas hal ini
adalah : masyarakat sekarang yang rela dengan dengan kekafiran dan
kesesatan, sebab masyarakat sekarang ini kebanyakan memerangi
kebaikan dan mendukung perbuatan yang hina dengan kedok kebebasan
pribadi. 40
2. amar ma‟ruf nahi mûnkar merupakan bagian dari masa solidaritas yang
Allah tegakkan diantara orang-orang mukmin, dimana orang-orang
mukmin itu saling menjamin dan saling melengkapi diantara sesama
mereka. Sebagai contoh adalah tidak boleh ada seorang muslim yang
kelaparan sementara orang-orang muslim yang ada disekitarnya
kekenyangan, seandainya terjadi hal demikian maka orang muslim tersebut
diperkenankan meminta kebutuhannya kepada orang-orang muslim yang
ada disekitarnya dengan kekerasan dan orang-orang muslim berdosa
Karena lalai dan tidak membantunya.41
3. amar ma‟ruf nahi mûnkar merupakan jaminan bagi suatu lingkungan dari
bahaya polusi pemikiran dan akhlak.42
39 Sayyid Qutbh , Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an Penerj As’ad Yasin,
Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Jilid 3, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) H. 191
40 Salman Al-Audah Dan Fadil Ilahi, “Amar Ma‟ruf Nahi Munkar” (Jakarta: PUSTAKA
AL-KAUTSAR, 1993), H. 23
41
Salman Al-Audah Dan Fadil Ilahi, “Amar Ma‟ruf Nahi Munkar” (Jakarta: PUSTAKA
AL-KAUTSAR, 1993), H. 25
42 Salman Al-Audah Dan Fadil Ilahi, “Amar Ma‟ruf Nahi Munkar” (Jakarta: PUSTAKA
AL-KAUTSAR, 1993), H. 26
28
4. Melakukan amar ma‟ruf nahi mûnkar merupakan jaminan terhindarnya
dari adzab illahi yang menimpa masyarakat yang didalamnya kerusakan
merajalela. Mengenai pembahasan secara rinci tentang azab-azab tersebut
akan kami bahas pada bagian berikut ini.43
E. Dampak meninggalkan amar ma‟ruf nahi mûnkar
Sunnatullah terhadap makhluknya tetap tidak berubah, tidak pilih
kasih, dan tidak akan terlewat bila faktor-faktor penyebabnya udah ada.
Diantara sunnatullah yang telah terjadi adalah menimpakan azab kepada
masyarakat-masyarakat yang mengabaikan syair amar ma‟ruf nahi mûnkar
Artinya: “telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan
lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka
durhaka dan selalu melampaui batas. mereka satu sama lain selalu tidak
melarang tindakan Munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya Amat
buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS.Al-Māidah [5]: 78-79)
Menurut al-Sya‟rāwī dalam tafsirannya Allah membeberkan suatu
realitas yang mendorong rasul untuk bersabar terhadap segala sikap
permusuhan dari Ahli Kitab. Permusuhan tersebut bukanlah hal yang baru
yang mengherankan sejarah panjang Ahli Kitab telah membuktikan sikap
permusuhan mereka terhadap Nabi Daud dan Nabi Isa. Itu artinya bukan
hanya Muhammad Rasul yang menghadapi hal tersebut. Karena, sikap
permusuhan telah menjadi wataak Ahli kitab. Ahli Kitab menentang
ajaran yang dibawa oleh Nabi Daud. Mereka melanggar aturan pada hari
sabtu, sehingga mereka dikutuk menjadi kera. Mereka dilaknat dalam
Zabur, karena telah menebarkan fitnah bohong terhadap Maryam. Hal ini
juga membuat mereka dilaknat dalam Kitab Injil. Untuk itulah,
43 Salman Al-Audah Dan Fadil Ilahi, “Amar Ma‟ruf Nahi Munkar” (Jakarta: PUSTAKA
AL-KAUTSAR, 1993), H. 28
29
penghunjung ayat berbunyi ذلك بمب عصوا وكبوو يعتدون yang demikian itu,
disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas (QS al-
Mâidah[5]:78) kata عصوا atau melakukan maksiat adalah pembangkangan
manusia yang berkaitan dengan dirinya sendiri, tanpa berimbas pada yang
lain, layaknya seorang pendengki. Sedangkan يعتدون melampaui batas
adalah pembangkangan yang berimbas pada yang lain seperti seorang
pencuri dan penyogok.44
Di dalam jiwa manusia, Allah telah meletakkan suatu kekuatan
pencegah, yang sifatnya esensial dalam dirinya. Ketika timbul hasrat
manusia terhadap seks, harta, dan kemegahan, dia akan berusaha
meraihnya dengan segala cara. Tidak ada yang menghalanginya kecuali
dhamir/hati nurani yang menuntunnya untuk berjalan pada alur yang
benar. Dhamir tersebut adalah nilai keimanan. Iman inilah yang
mengecamnya jika dia berbuat maksiat. بووا ال يتىبهون عه مىكر ك mereka satu
sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat.
Sekilas ayat ini menunjukkan bahwa kemunkaran telah diperbuat. Jika
begitu, bagaimana cara menegurnya? Dari redaksi ayat diatas bisa
dipahami bahwa mereka sudah tidak saling melarang suatu kemunkaran
yang akan dikerjakan. Kita harus memiliki kewaspadaan dan kesadaran
iman. Setiap orang harus melakukan intropeksi sehingga dia tidak terbawa
pada perbuatan yang menyimpang. Dia juga harus peduli pada saudaranya,
agar terjadi nasihat-menasihati dan saling menegur hingga tidak terjatuh
pada kemunkaran. Kita harus mengatakan: “tidak” pada setiap ajakan
kemunkaran. لبئس مبكبوو يفعلون sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu
mereka perbuat itu. Lam yang terletak di awal berfungsi untuk
menyatakan sumpah. Sumpah yang dinyatakan oleh Allah adalah
penegasan atas suatu perkara.
Tidak menegur perbuatan munkar merupakan bentuk perbuatan
dan perkataan sekaligus. Allah tidak menyatakan يقولون مبكبووئس لب
sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka katakan, alasannya,
44 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rāwī, Tafsir Sya‟rāwī; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān,jilid. 3, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 821.
30
perkataan dan perbuatan adalah suatu pekerjaan. Bila perkataan
merupakan pekerjaan lisan, maka perbuatan adalah pekerjaan anggota
tubuh lainnya. Masing-masing, perkataan dan perbuatan memiliki karakter
pekerjaan.
Sebuah hadits mengatakan: barangsiapa melihat kemunkaran,
hendaklah merubahnya dengan tangan, bila tidak mampu, maka dengan
lisan. Bila tidak bisa, maka dengan hati. Yang terakhir ini adalah iman
yang paling lemah.” (HR Ahmad, Muslim, Abu Daud, Nasai)45
Kejahilan dan sedikitnya pemahaman terhadap agama sungguh
telah menutupi hati sebagian orang-orang yang ilmunya dangkal. Mereka
terpedaya oleh pengabaian Allah Azza Wa Jalla, dan mereka mengira
bahwa peringatan tentang akibat apabila bergelimang dengan
kemungkaran dan diam terhadap sesuatu kemungkaran, merupakan salah
satu bentuk terror pemikiran, bukan sesuatu yang sebenarnya.
Akan tetapi orang-orang yang mengambil cahaya wahyu dan
memperhatikan nash-nash Al-Qur‟an dan As-Sunnah betul-betul
mengetahui akibat besar yang Allah berlakukan terhadap setiap ummat
yang mengabaikan amar ma‟ruf nahi mûnkar, baik nash-nash tersebut
berupa kisah-kisah tentang binasanya ummat-ummat yang mengabaikan
syiar tersebut, atau ancaman bagi orang yang mengikuti jalan mereka.
Tidak perlu azab-azab tersebut diberi batasan bahwa akan muncul pada
hari anu atau malam anu, sebab yang menentukan waktu dan tempatnya
serta sifat-sifatnya hanyalah Allah bukan manusia.46
Akibat dan pengaruh meninggalkan amar ma‟ruf nahi mûnkar:
1. Mendapat laknat Allah Subhanahu Wataa’la
Sebagaiman firman Allah
45 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rāwī, Tafsir Sya‟rāwī; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān,jilid. 3, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 823. 46
Salman Al-Audah Dan Fadil Ilahi, “Amar Ma‟ruf Nahi Munkar” (Jakarta: PUSTAKA
AL-KAUTSAR, 1993), H. 29
31
Artinya: “telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan
lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka
durhaka dan selalu melampaui batas. mereka satu sama lain selalu tidak
melarang tindakan Munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya Amat
buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS.Al-Māidah [5]: 78-79)
Menurut al-Sya‟rāwī dalam tafsirannya Allah membeberkan suatu
realitas yang mendorong rasul untuk bersabar terhadap segala sikap
permusuhan dari Ahli Kitab. Permusuhan tersebut bukanlah hal yang baru
yang mengherankan sejarah panjang Ahli Kitab telah membuktikan sikap
permusuhan mereka terhadap Nabi Daud dan Nabi Isa. Itu artinya bukan
hanya Muhammad Rasul yang menghadapi hal tersebut. Karena, sikap
permusuhan telah menjadi watak Ahli kitab. Ahli Kitab menentang ajaran
yang dibawa oleh Nabi Daud. Mereka melanggar aturan pada hari sabtu,
sehingga mereka dikutuk menjadi kera. Mereka dilaknat dalam Zabur,
karena telah menebarkan fitnah bohong terhadap Maryam. Hal ini juga
membuat mereka dilaknat dalam Kitab Injil. Untuk itulah, penghunjung
ayat berbunyi ذلك بمب عصوا وكبوو يعتدون yang demikian itu, disebabkan
mereka durhaka dan selalu melampaui batas (QS al-Mâidah[5]:78) kata
atau melakukan maksiat adalah pembangkangan manusia yang عصوا
berkaitan dengan dirinya sendiri, tanpa berimbas pada yang lain, layaknya
seorang pendengki. Sedangkan يعتدون melampaui batas adalah
pembangkangan yang berimbas pada yang lain seperti seorang pencuri dan
penyogok.47
Di dalam jiwa manusia, Allah telah meletakkan suatu kekuatan
pencegah, yang sifatnya esensial dalam dirinya. Ketika timbul hasrat
47 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rāwī, Tafsir Sya‟rāwī; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān,jilid. 3, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 821.
32
manusia terhadap seks, harta, dan kemegahan, dia akan berusaha
meraihnya dengan segala cara. Tidak ada yang menghalanginya kecuali
dhamir/hati nurani yang menuntunnya untuk berjalan pada alur yang
benar. Dhamir tersebut adalah nilai keimanan. Iman inilah yang
mengecamnya jika dia berbuat maksiat.
mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan كبووا ال يتىبهون عه مىكر
munkar yang mereka perbuat. Sekilas ayat ini menunjukkan bahwa
kemunkaran telah diperbuat. Jika begitu, bagaimana cara menegurnya?
Dari redaksi ayat diatas bisa dipahami bahwa mereka sudah tidak saling
melarang suatu kemunkaran yang akan dikerjakan. Kita harus memiliki
kewaspadaan dan kesadaran iman. Setiap orang harus melakukan
intropeksi sehingga dia tidak terbawa pada perbuatan yang menyimpang.
Dia juga harus peduli pada saudaranya, agar terjadi nasihat-menasihati dan
saling menegur hingga tidak terjatuh pada kemunkaran. Kita harus
mengatakan: “tidak” pada setiap ajakan kemunkaran.
sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka لبئس مبكبوو يفعلون
perbuat itu. Lam yang terletak di awal berfungsi untuk menyatakan
sumpah. Sumpah yang dinyatakan oleh Allah adalah penegasan atas suatu
perkara.
Tidak menegur perbuatan munkar merupakan bentuk perbuatan
dan perkataan sekaligus. Allah tidak menyatakan بئس مبكىوا يقولون ل
sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka katakan, alasannya,
perkataan dan perbuatan adalah suatu pekerjaan. Bila perkataan
merupakan pekerjaan lisan, maka perbuatan adalah pekerjaan anggota
tubuh lainnya. Masing-masing, perkataan dan perbuatan memiliki karakter
pekerjaan.
Sebuah hadits mengatakan: barangsiapa melihat kemunkaran,
hendaklah merubahnya dengan tangan, bila tidak mampu, maka dengan
lisan. Bila tidak bisa, maka dengan hati. Yang terakhir ini adalah iman
yang paling lemah.” (HR Ahmad, Muslim, Abu Daud, Nasai)48
48 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rāwī, Tafsir Sya‟rāwī; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān,jilid. 3, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 823.
33
Maksud “dilaknat” pada ayat ini adalah dijauhkan dari rahmat Allah.
2. Orang yang meninggalkan amar ma’ruf nahi mûnkar mendapat
celaan dan kehinaan
Allah berfirman
Artinya : “mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta
mereka tidak melarang mereka mengucapkan Perkataan bohong dan
memakan yang haram? Sesungguhnya Amat buruk apa yang telah mereka
kerjakan itu” (QS.Al-Māidah [5]: 63)
Menurut al-Sya‟rāwī dalam tafsirannya kata ب بويون الر orang-orang
alim/ rabi berarti mereka yang berprilaku dengan akhlak dan ajaran
Rab/Tuhan dan األحببر pendeta berarti orang yang mendalami agama. Dua
kelompok ini tidak berusaha mencegah kemunkaran yang terjadi. Maka
bagaimana mungkin mereka dapat dijadikan simbol bagi spirit religius
masyarakat, padahal mereka tidak melaksanakan kewajiaban mereka
sebagai pemberi nasihat? Ini adalah bukti bahwa mereka hanya mencari
wibawa dan kekuasaan. Rabbanyûn/rabi adalah pemuka agama Nasrani,
dan Ahbâr/pendeta adalah pemuka agama Yahudi. Kata لوال kaulah tidak
pada awal ayat bermaksud untuk mendorong kepada sesuatu perbuatan
dosa yang seharusnya dilarang oleh para Ahbâr dan Rabbany.
Penghujung ayat memberikan suatu gambaran tentang kecermatan
tuturan Al-Qur‟an saat menyatakan: لبئس مب كبوو يصىعون sesungguhnya amat
buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. Sedangkan ayat sebelumnya
memiliki penghujung yang berbunyi يعملون مب كبوو لبئس sesungguhnya amat
buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.
Dalam dua ayat ini, ada perbedaan antara keburukan „amal dan
keburukan shina‟ah. Kelakuan para rabbi dan pendeta tergolong kategori
keburukan shina‟ah. Sebagaimana tiap anggota tubuh memiliki fungsi
amal masing-masing; mata untuk melihat, telinga untuk mendengar,
34
tangan untuk meraba dan mengambil sesuatu, kaki berjalan, lidah
berbicara.
Karenanya perkataan dan pekerjaan Ahli Kitab disifati dengan,
sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah amal/kerjaan itu.
Berbeda dengan Rabbani dan ahbar, mereka sifati dengan لبئس مب كبوو
sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. Ini يصىعون
penting sebagai pembeda antara „amal dan shina‟ah.
Hal ini mendorong masyarakat meletakkan dan menggagas hukum
sendiri. Kesimpulan akhir menyatakan bahwa kelahiran hukum
konvensional adalah karena prilaku pendeta yang menyimpang dari
keadilan, dan sifat mereka yang memihak terhadap orang yang berani
membayar mahal, ataupun kepada para pembesar.49
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “para ulama berkata, tidak ada ayat
dalam Al-Qur‟an yang lebih keras teguran dan celaannya terhadap para
ulama melainkan ayat ini yang paling ditakuti oleh mereka.”50
3. Mendapat hukuman dari Allah
Nikmat yang telah Allah berikan kepada kita sangat banyak.
Diantaranya adalah nikmat kesehatan, rasa aman, rizki, dan lain-lain.
Namun semua itu akan berubah apabila kita tidak menegakkan amar
ma‟ruf nahi mûnkar. Rasa aman menjadi ketakutan dan dikuranginya
keberkahan rizki.
Diantara bentuk hukuman yang lain adalah al-khasf, yaitu
ditenggelamkannya manusia ke dalam bumi dengan sebab banyaknya
perbuatan maksiat dan melewati batas. Khasf ini bisa berupa gempa,
banjir, wabah penyakit, ataupun bencana-bencana alam lainnya.51
4. Berkuasanya musuh
Allah Azza wa jalla terkadang menguji masyarakat yang
mengabaikan kebaikan amar ma‟ruf nahi mûnkar dengan menguasakan
49 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rāwī, Tafsir Sya‟rāwī; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān,jilid. 3, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 771.
50 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, amar ma‟ruf nahi mûnkar menurut Ahlus Sunnah wal
Jamaah (Depok: pustaka Khazanah Fawā‟id, 2017), H. 58
51 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, amar ma‟ruf nahi mûnkar menurut Ahlus Sunnah wal
Jamaah (Depok: pustaka Khazanah Fawā‟id, 2017), H. 60
35
musuh ekstern kepada mereka, mereka disakiti dan gadis-gadisnya
diperkosa, dan terkadang dirampas apa yang mereka miliki, dan hartanya
diperlakukan semaunya oleh musuh tersebut.
Kaum muslimin dalam sejarahnya telah diberi contoh tentang hal
tersebut, barang kali diantaranya adalah yang telah terjadi terhadap kaum
muslimin di andalus (spanyol), dimana keperkasaan dan kekuatannya telah
berubah disaat kemungkaran merajalela ditengah-tengah mereka dan tidak
ada yang mencegahnya akhirnya menjadi kehinaan. 52
5. Tidak dikabulkan do’a kita
ini adalah perkara yang mengerikan karena seseorang
hamba sangat fakir kepada Allah, maka apabila dia berdo‟a kemudian
tidak dikabulkan oleh Allah, maka dia termasuk orang yang celaka. Tidak
terkabulnya do‟a karena ditinggalkannya amar ma‟ruf. Hal ini ditunjukkan
oleh sabda Nabi,
ن عن حذي فة بن اليمان عن النب صلى اللهم عليو وسلم قال والذي ن فسي بيده لتأمر
هون عن المنكر أو عث عليكم عقاب منو ث تدعونو فل بلمعروف ولت ن أن ي ب ليوشكن الل
يستجاب لكم
Artinya: Dari Huzhaifah bin Al-Yaman dari Nabi SAW bersabda:”
Demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya hendaknya engkau melakukan amar
ma‟ruf dan nahi mûnkar, atau jika tidak Allah hampir mengirim azabnya,
kemudian engkau berdo‟a tetapi tidak dikabulkan”(HR At-Tirmidzi dan
Ahmad).53
6. Punahnya hukum dan syiar Islam.
Ini adalah bahaya yang paling besar dari sekian bahaya
ditinggalkannya amar ma‟ruf nahi mûnkar. Karena tidaklah hukum-hukum
Islam dan syiar-syiarnya menjadi asing melainkan karena mereka tidak
52
Salman Al-Audah Dan Fadil Ilahi, “Amar Ma‟ruf Nahi mûnkar” (Jakarta: PUSTAKA
AL-KAUTSAR, 1993), H. 40
53
http://alfaqihkhutbah.blogspot.com/2011/11/pentingnya-amar-maruf-nahi-munkar.html
36
mengenal Islam. Hal itu disebabkan karena tidak adanya para penyeru
kepada yang ma‟ruf dan penentang kemungkaran. Maka kita dapati saat ini
orang-orang Islam yang justru mempermainkan dan memperolok-olok
hukum dan syiar Islam. Padahal memperolok-olok dan mempermainkan
syariat Islam adalah salah satu perbuatan yang bisa mengeluarkan
seseorang dari Islam, maka hendaklah kita berhati-hati dari hal yang
demikian.54
7. Orang yang tidak mencegah kemungkaran akan disiksa oleh Allah
Allah berfirman,
Artinya : “Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu
orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada
(mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di
antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan
orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah
yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.
Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara
zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS.
Hūd [11]: 116-117)
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Allah berfirman : Apakah tidak
ditemukan orang-orang baik dari sisa-sisa generasi terdahulu yang
melarang kejahatan, kemungkaran, dan kerusakan di muka bumi yang ada
diantara mereka? Dan Firman-Nya { } “kecuali sebagian kecil”,
maksudnya, telah ditemukan orang yang mempunyai sifat seperti ini,
54 Hisbah. 2013. Akibat Meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi mûnkar. (online) Diakses
pada tanggal 8 April 2014. www.hisbah.or.id/akibat-meninggalkan-amar-maruf-nahi-mungkar/
37
sedikit dan tidak banyak, mereka adalah orang-orang yang diselamatkan
Allah disaat datang kemarahan-Nya dan siksa-Nya maka dari itu Allah
menyuruh umat yang mulia ini supaya ada diantara mereka yang menyeru
kepada kebaikan dan melarang kemungkaran. Dan firman-Nya
{ } „dan orang-orang yang dzalim hanya
mementingkan kenikmatan dan kemewahan,‟ maksudnya mereka selalu
berada dalam kemaksiatan dan kemungkaran dan tidak menggubris orang
yang menegur perbuatan mûnkar mereka itu sampai adzab datang kepada
mereka dengan serentak.55
F. Ayat-ayat tentang amar ma‟ruf nahi mûnkar
Berikut ini persebaran ayat-ayat tentang amar ma‟ruf nahi mûnkar
yang terdapat dalam Al-Qur‟an.
Tabel 1.1
PERSEBARAN AYAT-AYAT TENTANG AMAR MA‟RUF NAHI
MUNKAR YANG TERDAPAT DALAM AL-QUR‟AN.
no Surat Ayat Status
1 Ālu Imrān (3) 104,110,114. Madaniyyah
2 Al-A‟rāf (7) 157 Makiyyah
3 At-Taubah (9) 67,71, dan 112 Madaniyyah
4 Al-Hajj (22) 41 Madaniyyah
5 Luqman (31) 17 Makiyyah
55 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, amar ma‟ruf nahi munkar menurut Ahlus Sunnah wal
Jamaah (Depok: pustaka Khazanah Fawā‟id, 2017), H. 64
38
BAB III
BIOGRAFI SAYYID QUTBH DAN AL-SYA’RȂWȊ DAN PROFIL TAFSIR
A. BIOGRAFI SAYYID QUTBH DAN PROFIL TAFSIR
1. `BIOGRAFI SAYYID QUTBH
a. Lahir, wafat dan keluarga Sayyid Qutbh
Nama lengkapnya adalah Sayyid Qutbh Ibrahim Husain Syadzili.
Lahir di Mausyah, salah satu wilayah Provinsi Asyuth, di dataran tinggi
Meir. Beliau lahir pada tanggal 9 Oktober 1906.1 Ia dibesarkan di dalam
sebuah keluarga yang harmonis, memiliki seorang ayah yang cinta ilmu
dan menitik beratkan pendidikan anak-anaknya pada ajaran islam dan
mencintai Al-Qur‟an. Hal ini mempengaruhi kehidupan Sayyid Qutbh dan
membentuknya menjadi orang yang terkenal baik dalam ilmu sosial,
politik, bahasa, maupun pendidikan. Sayyid Quthb bin Ibrahim, tokoh
Ikhwanul Muslimin, jurnalis, sastrawan, dan seorang syahid yang mati di
tiang gantungan, lahir di Musyah, Provinsi Asiyuth, pesisir Mesir, 9
Oktober 1906 M.2
Sebagaimana dikatakan oleh Shaleh Abdul Fatah bahwa kelebihan-
kelebihan yang ada pada ayahnya, itu sungguh sangat berpengaruh bagi
kepribadiannya. Sehingga terceminlah pada dirinya kepribadian ayahnya
yang pernah beliau terapkan dalam kehidupannya. Itulah yang
membuatnya menjadi orang yang berwibawa dan terhormat, konsisten
pada agamanya, teguh pendirian, komitmen dan dermaawan.3
b. Pendidikan dan karir Sayyid Qutbh
Sayyid Qutbh menempuh pendidikan dasarnya di desa. Di desanya
itu pula ia menamatkan hafalan Al-Qur‟annya dalam usia yang masih
1 Shalah Abdul Fatah al-Kalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Dilalil Qur‟an, terj
Salafuddin Abu Sayyid (Surakarta: Era Internasional, 2001), h. 23 2 Herry Muhammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta:Gema Insani,
2006), h.296. Lihat Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an, Di Bawah Naungan Al-Qur‟an (Al
Fatihah-Al-Baqarah), Jilid I, terj. As‟ad Yassin Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah,
(Jakarta: Gema Insani, 2000), h.406
3 Faizah Ali Syibromalisi, MA, Jauhar Azizy, MA, membahas kitab tafsir klasik-modern (
Ciputat : Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, oktober 2011 ) H.131
39
belia, karena bellum melampaui usia sebelas tahun. Al-Qur‟an (yang sudah
dihafalnya sejak kecil) mempunyai pengaruh yang besar dalam
mengembangkan kemampuan sastra dan seninya dalam usia yang masih
muda. Setelah terjadinya Revolusi Rakyat Mesir pada tahun 1919
melawan penduduk inggris, Sayyid Qutbh berangkat dari desanya menuju
Kairo untuk melanjutkan studinya kejenjang I‟dadiyah (SMP) dan
tsanawiyah (SMA) disana. Pada tahun 1930, Sayyid Qutbh masuk sebagai
mahasiwa di Institut Darul Ulum (Kuliyat Dar Al-Ulum), setelah
sebelumnya menyelesaikan tingkat tsanawiyah (tingkat menengah) dari
Tajhiziyah Darul Ulum, kemudian lulus dari perguruan tersebut pada
tahun 1933 dengan meraih gelar Lc dalam bidang sastra dan diploma
dalam bidang tarbiyah.4 Aktif dalam kegiatan akademik, ekstrakurikuler
dan keorganisasian. Tulisan-tulisannya banyak diterbitkan dalam korani
dan berbagai majalah. Ketika usianya mencapai empat puluh tahun Syyid
Qutbh dikenal sebagai kritikus sastra ternama, bukan hanya di Mesir
bahkan diseluruh Negara Arab.5 Setelah menjadi tenaga pengajar, Sayyid
Quthb kemudian berpindah kerja sebagai pegawai kantor Departemen
Pendidikan, sebagai penilik untuk beberapa waktu lamanya. Kemudian dia
pindah tugas lagi ke Lembaga Pengawasan Pendidikan Umum yang terus
berlangsung selama delapan tahun sampai akhirnya kementerian
mengirimnya ke Amerika. Tahun 1948, ia diutus Departemen Pendidikan
ke Amerika untuk mengkaji kurikulum dan sistem pendidikan Amerika. Di
Amerika selama dua tahun, lalu ia pulang ke Mesir tanggal 20 Agustus
1950 M. Setelah itu ia diangkat sebagai Asisten Pengawas Riset Kesenian
di kantor Mentri Pendidikan. Tanggal 18 Oktober 1952, ia mengajukan
permohonan pengunduran diri. Dalam masa tugasnya di Amerika, ia
membagi waktu studinya antara Wilson‟s Theacher‟s College di
Washington, Greeley College do Colorado, dan Stanford University di
California. Hasil studinya dan pengalamannya itu meluaskan
4 Shalah Abdul Fatah al-Kalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Dilalil Qur‟an, terj Salafuddin Abu
Sayyid(Surakarta: Era Internasional, 2001), h. 28
5 Faizah Ali Syibromalisi, MA, Jauhar Azizy, MA, membahas kitab tafsir klasik-modern (
Ciputat : Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, oktober 2011 ) H.132
40
pemikirannya mengenai problema-problema sosial kemasyarakatan yang
ditimbulkan oleh paham materialisme yang gersang akan pahan ketuhanan.
Ketika berada di Departemen pendidikan, Sayyid Quthb adalah seorang
pegawai yang tekun, pemikir yang berani, serta seorang yang mulia. Sifat-
sifat ini akhirnya banyak menyebabkan Sayyid Quthb mendapat berbagai
kesulitan dan sesudah itu akhirnya Sayyid Quthb pun melepaskan
pekerjaannya. Sayyid Quthb mengajukan surat pengunduran diri dari
pekerjaannya sekembalinya dari Amerika, karena pada tahap ini beliau
lebih memfokuskan pikiran beliau untuk dakwah dan pergerakan serta
untuk studi dan mengarang6
c. Karya-karya Sayyid Quthb
Dalam beberapa literatur biografi tokoh-tokoh Islam. Sayyid Qutb
adalah salah seorang yang aktif berjuang dengan tulisan. Karyakaryanya
selain beredar di negara-negara Islam, juga beredar di kawasan Eropa,
Afrika, Asia dan Amerika. Ia menulis lebih dari 20 buku
yangditerjemahkan dalam berbagai bahasa di dunia. Di antara bukunya
adalah:7
1. Al-Taswir Al-Fanny Fi Al-Qur‟an, Kairo, Dar Al-Maarif, 1945.
2. Thifl Min Al-Qaryah, Cairo: Lajnatu Al-Nashr Li Al-Jami‟iyyin,
1946.
3. Musyaahidat Al-Qiyamah Fi Al-Quran, Cairo: Dar Al-Maarif,
1947.
4. Fi Zhilali Al-Quran, Cairo: Dar Ihya Kutub Al-„Arabiyyah, 1986.
5. Al-Salam Al-Alamy Wa Al-Islam, Cairo: Dar Al-Kitab Al-Arabi,
1951.8
6. Al-Mustaqbal Li Hadza Al-Diin, Cairo: Maktabah Alwahbah, tt.
6 Adegabriel, Negara Tuhan (Yogyakarta: IRNIS, 2006), h. 257
7 Sri Aliyah Kaidah-kaidah Tafsir Fi ZhilaliI Al-Qur‟an JIA/Desember
2013/Th.XIV/Nomor 2/39-60
8 Sri Aliyah Kaidah-kaidah Tafsir Fi ZhilaliI Al-Qur‟an JIA/Desember
2013/Th.XIV/Nomor 2/39-60
41
7. Al-„Adalah Al-Ijtima‟iyyah Fi Al-Islam, Cairo: Dar Alkitab Al-
„Arabi, Dar Al-Maarif, 1948. buku pertama Sayyid Qutb dalam hal
pemikiran Islam.
8. Hadza Ad-Din (inilah agama), Kairo, Dar Al-Qalam, 1955.
kumpulan berbagai macam artikel yang dihimpun oleh Muhibbudin al-
khatib, terbit 1953. buku ini menjelaskan secara rinci hakikat agama Islam.
JIA/Desember 2013/Th.XIV/Nomor 2/39-60
9. Dirasah Al-Islamiyyah, Kairo: Maktabah Lajnah Syabab Al-
Muslim, 1953.9
10. Al-Islam Wa Muskilah Al-Hadharah, Dar Ihya Al-Kutub Al-
„Arabiyyah, 1960/1962.
11. Khasaisu Tashawuri Al-Islami Wa Muqawwamatuhu (ciri dan nilai
visi Islam), buku dia yang mendalam yang dikhususkan untuk
membicarakan karakteristik akidah dan unsur-unsur dasarnya. Dar Ihya
Al-Kutub Al-„Arabiyyah, 1960/1962.
12. An-Naqd Al-Adabii Usuuluhu Wa Maanaahijuhu (kritik sastra,
prinsip, dasar dan metode-metode).
13. As-Syathi‟ Al-Majhul, kumpulan sajak Qutb satu-satunya, terbit
februari 1935.
14. Nadq Kitab “Mustaqbal Ats-Tsaqafah Di Mishr” Li Ad-Duktur
Thaha Husain, terbit tahun 1939.
15. Al-Athyaf Al-Arba‟ah, ditulis bersama saudara-saudaranya:
Aminah, Hamidah, Muhammad. Terbit tahun 1945.10
Beberapa ulama lainnya yang memberikan penilaian terhadap tafsir
Fi Zhilaali Al-Quran adalah Mahdi Fadhullah yang menilai bahwa tafsir
Sayyid Qutb yang tiga puluh juz itu merupakan “terobosan penafsiran
yang sederhana dan jelas.” 11
9 Sri Aliyah Kaidah-kaidah Tafsir Fi ZhilaliI Al-Qur‟an JIA/Desember
2013/Th.XIV/Nomor 2/39-60
10Sri Aliyah, Kaidah-kaidah Tafsir Fi ZhilaliI Al-Qur‟an JIA/Desember
2013/Th.XIV/Nomor 2/39-60
11 Shalah Abdul Fattah al Khalidi, Tafsir Metodologi Pergerakan Di Bawah Naungan al
Quran, terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Yayasan Bunga Karang, Jakarta, h. 17-20.
42
2. PROFIL TAFSIR
a. Motivasi Sayyid Qutbh dalam menulis tafsir
Sayyid Qutbh terinspirasi untuk menulis buku tafsir seperti
makalah yang ditulisnya dimajalah. Ia berniat menulis tafsir al-Qur‟an
lengkap sebanyak tiga puluh juz, berdasarkan tertib susunan al-Qur‟an
dengan nama yang sama dan akan diterbitkan per juz setiap bulannya. Apa
yang diinginkan Sayyid Qutbh terlaksana sampai tahun 1954 dimana tafsir
Fi Dzilal al-Qur‟an terbit sebanyak enam belas juz yaitu sampai akhir
surah Thaha, sebelum Sayyid Qutbh dituduh makar dan di penjara.
Beruntung Sayyid Qutbh masih diizinkan menulis tafsirnya dipenjara
karena ia terikat kontrak dengan penerbit, kalau tidak maka pemerintah
harus memberikan ganti rugi kepada kepada penerbit. Tafsir Dzilal al-
Qur‟an berhasil diselesaikan penulisannya di akhir tahun lima puluhan.
Motivasi menanamkan tafsirnya dengan Dzilal al-Qur‟an, menurut Sayyid
Qutbh datang begitu saja tanpa dibuat-buat. Itulah kenyataan yang
dihayatinya dalam kehidupan (dibawah petunjuk al-Qur‟an). Dari masa
kemasa ia merasakan adanya keinginan yang tersimpan untuk hidup
dibawah naungan al-Qur‟an, dimana ia bisa mendapatkan ketenangan yang
tidak bisa ia dapatkan pada yang lainnya.12
b. Sumber Tafsir Sayyid Qutbh
Sayyid Qutbh sangat bersemangat untuk tidak keluar atau
menyimpang dari riwayat-riwayat yang shahih mengenai tafsir. Oleh
karena itu, beliau merujuk kepada kitab-kitab tafsir bil ma‟tsur. Beliaupun
menimbang antara berbagai riwayatyang ada serta menyatukannya,
menguatkan sebagiannya, serta mengemukakanlebih dari satu riwayat
dalam satu peristiwa.13
Contohnya : ketika menafsirkan surat An-Nisa‟ (4): 34.
Lihat Fadhullah, Mahdi, Ma‟a Sayyid Quthub Fi Fikrihi Al-Siyasah Wa Al-Din, Mua‟sasah Al-
Risalah, Beirut,1979.
12
Faizah Ali Syibromalisi, MA, Jauhar Azizy, MA, membahas kitab tafsir klasik-modern
( Ciputat : Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, oktober 2011 ) H.135
13
Faizah Ali Syibromalisi, MA, Jauhar Azizy, MA, membahas kitab tafsir klasik-modern
( Ciputat : Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, oktober 2011 ) H.137
43
Artinya: “wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha besar.”
Dari penjelasan diatas maka dapat dipahami bahwa Sayyid Qutbh
mengambil sumber tafsir bi al-ma‟tsur.Disamping sumber penafsiran bi al-
ma‟tsur, Sayyid Qutbh juga mengambil sumber tafsir bi al-ra‟yi/ dengan
logika, sebagaimana ia memberikan penafsiran tentang jihad, dalam QS
Al-Taubat ayat 44-45. Menurut Sayyid Qutbh orang-orang yang tidak mau
berperang itu sebenernya mampu melakukannya, peralatannya ada dan
persiapannya pun tersedia, “jika mereka mau berangkat, tentulah mereka
mau menyiapkan persiapan-persiapan itu untuk diberangkatkan.
Diantaranya mereka terdapat Abdullah bin Ubay bin Salul, ada al-Jadd bin
Qais, padahal mereka adalah orang-orang kaya dalam ayat ini Sayyid
Qutbh secara jelas menegaskan bahwa salah stu dari arti jihad adalah
dengan perang fisik.14
c. Metode dan corak penafsiran Sayyid Qutbh
Meskipun metode penulisan tafsir itu beragam, namun melihat
penulisan tafsir Fi Dzilal Al-Qur‟an yang mengikuti alur susunan surah
dan ayat yang termaktub dalam mushaf Al-Qur‟an, maka dari satu sisi
dikatakan bahwa Sayyid Qutbh telah menggunakan metode analisa
atau tahlili. Disisi laian sebagaimana disebutkan diatas, Sayyid Qutbh
juga tidak menggunakan metode tahlili secara mutlak, karena ia juga
menafsirkan ayat dengan ayat yang lain, baik sebagai penafsiran ayat
yang ditafsirkannya maupun sebagai penguat pendapatnya, padahal
14 Faizah Ali Syibromalisi, MA, Jauhar Azizy, MA, membahas kitab tafsir klasik-modern
( Ciputat : Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, oktober 2011 ) H.138
44
cara ini adalah menjadi ciri dari metode penulisan tematik. Namun kita
juga tidak dapat menyabutnya dengan metode semi tematik, karena
Sayyid Qutbh tidak memberi judul atau tema dari ayat-ayat yang
sedang ditafsirkan.15
Corak penafsiran Sayyid Qutbh setelah
mencermati perkembangan pemikiran Sayyid Qutbh sebelum dan
sesudah mengalami penangkapan oleh rezim pemerintah mesir,
mengharuskan kita juga melihat adanya perkembangan corak dalam
tafsirnya. Pada mulanya, sebelum penangkapan dirinya, Sayyid Qutbh
memiliki kecendrungan corak adabi ijtima‟i, yaitu corak yang
diperkenalkan oleh Muhammad Abduh, disamping ia juga telah
mengarang bukunya yang berjudul Al-Taswir Al-Fanny Fi Al-Qur‟an.
Corak inilah yang terlihat lebih menonjol dalam tafsirnya sebelum
diedit ulang. Setelah tafsir Al-Dzilal diedit ulang, dan setelah Sayyid
Qutbh mendekam lebih lama di penjara, penghayatannya terhadap Al-
Qur‟an, Islam, kehidupan dan perjuangannya berkembang. Hal ini
berimbas pada corak penafsirannya, tidak lagi hanya bernuansa adabi
ijtima‟I, tapi ia menambahkan corak lain terhadap tafsirnya yaitu corak
perjuangan (haraki) dan corak Tarbawi.
Motivasi Sayyid Qutbh memperkenalkan corak haraki dalam
tafsirnya didorong oleh obsesinya mengajak kaum muslimin untuk
betul-betul memahami Al-Qur‟an dan menghayatinya untuk kemudian
dijadikan sebagai inspiratory dalam menjalankan semua aktifitasnya di
alam nyata ini. Karena menurut Sayyid Qutbh Al-Qur‟an tidak cukup
hanya dipelajari atau ditafsirkan saja secara teori.
Sedangkan corak Tarbawinya dipicu oleh keinginan agar setiap
Muslim terdidik secara islami berdasarkan ajaran Al-Qur‟an, berakhlak
sesuai Al-Qur‟an, selalu komitmen dengan semua ajarannya. Dari
individu-individu yang dibentuk secara islami ini akan munculkan
masyarakat islami yang bercirikan sifat-sifat yang sama, sehingga
terbentuklah masyarakat yang islami berlandasan pada ajaran al-
Qur‟an keinginan Sayyid Qutbh ini bisa kita rasakan dalam tulisannya
15 Faizah Ali Syibromalisi, MA, Jauhar Azizy, MA, membahas kitab tafsir klasik-modern
( Ciputat : Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, oktober 2011 ) H.138
45
ketika ia mengatakan: “ sesungguhnya (pemahaman terhadap) ayat-
ayat al-Qur‟an tidak bisa dipahami hanya dengan berinter aksi dengan
petunjuk-petunjuk kebahasaannya saja, tetapi kita bisa memahaminya
jika kita menghidupkannya dan menghayatinya dalam ruang lingkup
sejarah pergerakannya, dalam ralitanya yang positif, dan dengan
interaksi kita (antara al-Qur‟an dengan alam nyata.16
B. BIOGRAFI AL-SYA’RȂWȊ DAN PROFIL TASIR
1. Biografi Al-Sya‟râwi
a. Lahir, wafat, dan keluarganya Al-Sya‟râwi
Nama lengkap al-Sya`râwî adalah Muhammad Mutawalli al-
Sya`râwî. Beliau adalah seorang tokoh kenamaan yang lahir di tanah
Mesir yang menjadi daerah tempat tinggalnya para ulama pembaharu
Islam (mujaddid) seperti al-Thanthawi, Jamâl al-Dîn al-Afghâni,
Muhammad `Abduh, Rasyîd Ridhâ dan lain-lain. Al-Sya`râwî yang
dikenal sebagai seorang pemikir yang populer saat itu juga termasuk
salah seorang ahli tafsir kontemporer yang telah melahirkan beberapa
karya tafsir.17
Al-Sya‟râwi lahir pada hari ahad, tanggal 17 Rabi‟ al-Tsani 1329
H bertepatan dengan 16 April 1911 M, di desa Daqadus, kecamatan
Midghamar, kabupaten Daqhaliyah, wafat pada tanggal 22 safar 1419
H bertepatan dengan tanggal 17 Juni 1998 M, dimakamkan di desa
Daqadus. Sejak kecil Al-Sya‟râwi sudah mendapat gelar dari ayahnya
sebagai al-Amin dan gelar ini dikenal dimasyarakat di daerahnya.
Beliau berasal dari keluarga yang sederhana memiliki keturunan yang
terhormat dan ayahnya adalah seorang pedagang yang sangat
mencintai ilmu pengetahuan.18
16 Faizah Ali Syibromalisi, MA, Jauhar Azizy, MA, membahas kitab tafsir klasik-modern
( Ciputat : Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, oktober 2011 ) H.139 17
Muhammad Yasin Jazar, Muhammad Mutawalli al-Sya`râwi; `Âlim `Ashruhu fî
`Uyûn `Ashrihi, (Kairo: Maktabah al-Turâts al-Islâmiy, 1409 H), h. 15
18
Faizah Ali Syibromalisi, MA, Jauhar Azizy, MA, membahas kitab tafsir klasik-modern
( Ciputat : Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, oktober 2011 ) H. 143
46
b. Pendidikan dan karir Al-Sya‟râwi
Sejak kecil Al-Sya‟râwi sudah gemar menuntut ilmu. Hal ini tidak
terlepas dari dorongan orang tuanya yang sangat mencintai ilmu.
Pendidikan al-Sya‟rawi dimulai dari menghafal Al-Qur‟an kepada
seorang Syekh di daerahmnya yaitu Syekh Abdul Majid Pasha. Ia
berhasil menghafal Al-Qur‟an pada usia 11 tahun. Adapun pendidikan
resminya diawali dengan menuntut ilmu di sekolah dasar di lembaga
pendidikan Al-Azhar yang berada di kota Zaqaziq. Begitu juga
pendidikan SMP-Nya dilanjutkan di lembaga pendidikan ini. Pada
tahun 1927 M Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟râwi memperoleh
ijazah SMP dari lembaga pendidikan Al-Azhar. Kemudian ia
melanjutkan ke jenjang sekolah menengah juga di Zaqaziq dan meraih
ijazah sekolah menengah dari lembaga Al-Azhar pada tahun 1931 M.
dari sini beliau melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar
jurusan Bahasa Arab tepatnya pada tahun 1937 M hingga tahun 1941
M dengan gelar Lc,. Sementara pada jenjang Doktoral berhasil
diselesaikan pada tahun 1943 M dan memperoleh gelar „Alamiyyat
(setara dengan MA) dalam bidang Bahasa dan Sastra Arab.19
Karir Al-Sya‟rawi semasa hidupnya memangku berbagai jabatan.
Adapun awal karir yang ditekuni adalah sebagai guru disekolah Al-
Azhar yang berada dikota Thantha. Dari sini dia dimutasi ke sekolah
Al-Azhar yang berada di kota Iskandaria (Alexandria) lalu
dipindahkan kembali ke kota Zaqaziq, tempat beliau menimba ilmu
sebelumnya. Lambat laun karir Al-Sya‟rawi semakin menanjak, ia
kemudian diangkat menjadi dosen jurusan Tafsir Hadis di fakultas
Syariah Universitas ini ia mengajar selama Sembilan tahun. Pada tahun
1960 M, ia diangkat menjadi wakil kepala sekolah lembaga pendidikan
Al-Azhar di Thantha. Kemudian juga memangku jabatan sebagai
direktur dalam pengembangan Dakwah Islam pada departemen wakaf
pada tahun 1961 M. pada tahun 1962 M Muhammad Mutawalli
Sya‟rawi diangkat menjadi pengawas Departemen Bahasa Arab Al-
19 Faizah Ali Syibromalisi, MA, Jauhar Azizy, MA, membahas kitab tafsir klasik-modern
( Ciputat : Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, oktober 2011 ) H. 145
47
Azhar dan ditunjuk sebagai asisten pribadi Grand Syekh Al-Azhar
Hasan Ma‟mun pada tahun 1964 M. Pada tahun 1966 M ia mengikuti
ekspedisi Al-Azhar ke Aljazair pasca kemerdekaan negeri ini.
Pada tahun1967 M, ia kembali ke kairo dan bekerja sebagai
direktur kantor Grand Syekh Al-Azhar Hasan Ma‟mun. dan pada tahun
1970 M, ia menjadi tenaga pengajar tamu di Universitas King Abdul
Aziz di Mekah dan diangkat oleh Univesitas tersebut sebagai direktur
pada program pasca sarjana. Sekembalinya ke mesir beliau mulai
terkenal sebagai seorang da‟i. dan pada tahun 1973 M, ketika Al-
Sya‟rawi ditawari mengisi acara Nur Ala Nur di stasiun televisi Mesir,
mulailah namanya mencuat ditengah masyarakat Mesir sebagai
seorang da‟i yang kondang.
Diantaranya pada tahun 1976 M beliau dipilih oleh pimpinan
Mamduh Salim sebagai materi Wakaf. Dalam bidang penelitian Al-
Sya‟râwi ditunjuk sebagai anggota litbang (penelitian dan
pengembangan ) Bahasa Arab oleh lembaga Majamma‟ Al-Khalidin
yaitu perkumpulan yang menangani organisasi perkembangan Bahasa
Arab di Kairo pada tahun 1987 M. tahun 1988 M, beliau kembali
memperoleh wisam al-Jumhuriyah (mendali kenegaraan) dari presiden
Husni Mubarak pada peringatan hari da‟i dimana tahun ini juga ia
memperoleh penghargaan Negara atas segala jasa-jasanya.
Pada tahun 1990 M, Al-Sya‟râwi mendapat gelar guru besar dari
Universitas Al-Manshurah dalam bidang adab. Selanjutnya pada tahun
1419 H yang bertepatan dengan 1998 M ia memperoleh gelar
kehormatan sebagai Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah Al-Ula (profil
islami pertama di dunia islam) di Dubai, serta mendapat perhargaan
dalam bentuk uang dari putra mahkota Ali Nahyan namun ia
menyerahkan penghargaan ini kepada Universitas Al-Azhar dan
uangnya ia serahkan kepada para pelajar Al-Bu‟uts Al-Islamiyah
48
(pelajar-pelajar yang berasal dari Negara-negara islam) di seluruh
dunia.20
c. Karya-karya Al-Sya‟rawi
Sebelum membahas karya-karya syekh Muhammad Mutawalli al-
Sya‟rawi perlu dijelaskan bahwa banyak diantara karya tulisnya
bahkan hampir seluruhnya bukan ditulis oleh beliau sendiri tetapi
ditulis oleh para muridnya. Al-Sya‟rawi tidak menulis buku-bukunya
karena beliau berpendapat bahwa kalimat yang disampaikan secara
langsung dan dipendengarkan akan lebih mengena daripada kalimat
yang disebarluaskan dengan perantara tulisan, sebab semua manusia
akan mendengar dari narasumber yang asli. Hal ini sangat berbeda
dengan bahasa tulisan karena tidak semua orang mampu membacanya.
Namun kepedulian beliau tidak menafikan kebolehan untuk
mengalihbahasakan apa yang beliau sampaikan secara lisan menjadi
bahasa tulisan sehingga tertulis dalam sebuah buku karena tindakan ini
membantu program sosialisasi pemikirannya dan juga mencakup atas
manfaat yang lebih besar bagi manusia secara keseluruhan.21
Al-Sya‟râwi mempunyai sejumlah karya tulisan, beberapa orang
yang mencintainya mengumpulkan dan menyusunnya untuk
disebarluaskan, sedangkan hasil karya yang paling populer dan yang
paling fenomenal adalah Tafsir Al-Sya‟râwi. Selain itu karya-karya
beliau antara lain:
1. Al-Islam wa al-Mar‟ah: „Aqidah wa Manhaj (Islam dan Perempuan,
Akidah dan Metode).
2. Asy-Syura wa Arkan al-Islam (Musyawarah dan Pensyariatan dalam
Islam).
3. Al-Islam wa al-Fikr al-Mu‟ashir (Islam dan Pemikiran Modern).
4. Asrar Bismillāhirrahmānirrahīm (Rahasia dibalik kalimat
Bismillāhirrahmānirrahīm).
20 Faizah Ali Syibromalisi, MA, Jauhar Azizy, MA, membahas kitab tafsir klasik-modern
( Ciputat : Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, oktober 2011 ) H. 147
21
Ahmad al-Mursy Husein Jauhar, al-Syeh Muhammad Mutawally Sya‟rawy Imam al-
„Ashry, (kairo: Handasah Mishr,1990) H.124
49
5. Al-Qadha wa al-Qadar (Qadha dan Qadar)
6. Al-Isra‟ wa al-Mi‟raj (Peristiwa Isra‟ dan Mi‟raj).22
2. Profil Tafsir
a. Motivasi al-Sya‟rawi dalam menulis tafsir
Motivasi tafsirnya adalah menjelaskan isi Al-Qu‟an yang
dipahaminya kepada orang lain, oleh sebab itu ia mengatakan bahwa
penafsirannya ini muungkin benar dan mungkin salah. Selain itu juga
beliau ingin menanamkan keyakinan kepada umat islam akan
keagungan mukjizat Al-Qur‟an dari sisi bahasa kandungan, serta
rahasia-rahasia lain yang harus diungkap dari Al-Qur‟an. Dengan
tafsirnya Syekh Sya‟rawi ingin menjaga kelestarian kemukjizatan Al-
Qur‟an sebagai kalam Allah. Karena menurutnya, kalamullah sesuai
dengan nama-nama Al-Qur‟an dan Al-Kitab. Ketika menafsirkan Al-
Qur‟an Syekh Al-Sya‟rawi berpegang pada dua aspek, yaitu :
1. Komitmen kepada islam yang dianggapnya sebagai metode atau
landasan memperbaiki kerusakan yang diderita umat islam saat ini
terutama dalam bidang pemikiran dan keyakinan.
2. Modernisasi, dimana Syekh al-Sya‟rawi menganggap/ mengikuti
perkembangan saat ini, sehingga tafsirnya bisa dikatakan bercirikan
modern.23
b. Sumber tafsir al-Sya‟rawi
Dalam melakukan kegiatan penafsiran al-Sya‟rawi menggunakan
sumber penafsiran sebagai berikut:
a. Katagori Bil ma‟tsur
1. Penafsiran Al-Qu‟ran dengan Al-Qur‟an
Tafsir ini menggunakan kaidah bahasa bukan berarti tafsir ini
hanya mengandalkan gramatikal bahasa namun kaidah bahasa ini
hanya untuk mempermudah memahami penjelasan ayat Al-Qur‟an.24
22 Faizah Ali Syibromalisi, MA, Jauhar Azizy, MA, membahas kitab tafsir klasik-modern
( Ciputat : Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, oktober 2011 ) H. 150
23
Faizah Ali Syibromalisi, MA, Jauhar Azizy, MA, membahas kitab tafsir klasik-modern
( Ciputat : Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, oktober 2011 ) H.153
24
Al-Sya‟râwî, Tafsir al-Sya‟râwî, vol. IV, h. 2190
50
Namun, ketika penulis memahami penafsiran al-Qur‟an dengan al-
Qur‟an dengan istilah penafsiran âyat bi al-âyat, terdapat dua
kemungkinan pemahaman. Pertama, ayat al-Qur‟an ditafsirkan dengan
ayat al-Qur‟an yang lain. Pemahaman yang kedua, ayat al- Qur‟an
ditafsirkan dengan ayat Allah Swt. yang terdapat di alam semesta
dalam artian ayat di sini dipahami dengan tanda-tanda kekuasaan Allah
Swt.25
2. Penafsiran al-Qur‟an dengan Qaul al-Shahâbah
Penggunaan sumber qaul sahabat atau tabiin dalam menafsirkan
banyak digunakan al-Sya`râwi untuk menjelaskan pemahaman dan
term-term tertentu. Hal itu dilakukan untuk mencari pemahaman awal
dari mufasir sebelumnya tentang maksud suatu kata atau kalimat.26
3. Penafsiran al-Qur‟an dengan riwayat
Al-Sya‟râwi tidak menempatkan posisi hadis yang dijadikan
sumber hadis yang berisi informasi tentang tafsir suatu ayat melainkan
hadis dijadikan sumber untuk memberikan pemahaman akan maksud
ayat, dimana hadis itu tidak mesti berisi penjelasan ayat melainkan
cukup memilki kandungan isi yang sama dengan apa yang dimaksud
dalam ayat.27
b. Katagori bi al-ra‟yi
Penafsiran bi al-Ra‟yi ini mempunyai peranan penting bagi corak
tafsir `ilmî yang dilakukan al-Sya`râwi pada penafsiran ayat-ayat al-
Qur‟an. Penafsiran ilmiah yang dilakukan al-Sya`râwi banyak berasal
dari penalaran ilmiah al-Sya`râwi, yang pada awalnya menurut penulis,
adalah karena kecintaan al-Sya`râwi terhadap ilmu pengetahuan
termasuk ilmu-ilmu umum28
Berkaitan dengan sumber ilmiah penafsiran al-Sya`râwi, menurut
penulis pada awalnya berasal dari permintaannya kepada ayahnya,
untuk dibelikan buku-buku literatur termasuk buku-buku umum. Dari
25 Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya‟râwî, j. IV, h. 258
26
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya‟râwî, j. IV, h. 258
27
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya‟râwî, j. IV, h. 258
28
Al-Sya`râwî., j. IX, h.5201
51
buku-buku itulah al-Sya`rawi mulai mempelajari ilmu-ilmu umum dan
sains. Selain itu, pastinya wawasannya tentang ilmu-ilmu umum terus
bertambah karena kecintaannya kepada ilmu pengetahuan mulai
bertambah seiring perkembangan keilmuannya ketika menuntut ilmu
dan mengajar di Universitas al-Azhar. Namun, yang perlu
digarisbawahi, meskipun penafsiran al-Sya`râwi bisa dikatakan
penafsiran modern, tetapi tetap saja ukuran modernnya sampai terbatas
pada waktu ketika kitab tafsir ini disusun.29
c. Metode dan corak penafsiran Al-Sya‟rawi
Salah satu ciri dari ciri-ciri metode penulisan tahlili atau analisa
adalah penafsiran yang dimulai dari surah al-Ftihah dan diakhiri pada
surah an-Nas. Atau dengan kata lain tafsir dengan metode penulisan
tahlili adalah penulisan materi tafsir yang mengikuti susunan surah-
surah dan ayat-ayat sebagaimana yang termaksud dalam Mushhaf Al-
Qur‟an. Mengamati metode penulisan tafsir al-Sya‟rawi dari sisi
runtun penafsiran, yang dimulai dari surah al-Fatihah dan nerakhir
pada surah an-Nas, bisa kita katakan metode penulisannya adalah
tahlili.
Disisi lain juga kita melihat ia membahas dan menafsirkan ayat
demi ayat dan meningkatkannya dengan ayat lain yang memiliki
keterkaitan dengan tema, karena al-Sya‟rawi yakin ada kesatuan tema
dalam Al-Qur‟an. Sistematika penafsiran yang demikian ini disebut
dengan penafsiran Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an yang menjadi ciri dari
tafsir bi al-ma‟tsur, dan juga bisa dikatakan sebagai aplikasi dari tafsir
tematik.30
Dalam penafsirannya, corak yang menonjol adalah Adabi Ijtima‟i.
melalui penafsirannya ini Sya‟rawi mengemukakan pemikirannya
tentang pendidikan, perhatiannya terhadap problematika masyarakat
muslim juga problematika pemerintahan. Contohnya: upaya Syekh
Sya‟rawi menyelesaikan problem masyarakat muslim adalah
29 Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya‟râwî, j. IV, h. 258
30
Faizah Ali Syibromalisi, MA, Jauhar Azizy, MA, membahas kitab tafsir klasik-modern
( Ciputat : Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, oktober 2011 ) H.153
52
bagaimana ia menjelaskan kepala pemerintah untuk menjauhkan
paksaan dan intimidasi kepada rakyat ketika pemerintah berusaha
melanggengkan pemerintahannya. Sesudah menafsirkan ayat
Artinya: tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul
tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar
lagi Maha mengetahui.
Syekh Sya‟rawi menjelaskan bahwa Allah tidak menghendaki
paksaan, tak ada seorangpun yang keluar dari kodratnya. Tetapi ketika
kita melihat dan kita dapati beberapa Negara atau pemerintah yang
memaksakan ideologinya kepada rakyat dengan kekerasan dan
paksaan. Akibatnya akan timbul kekacauan dan pemberontakan.
Syekh Sya‟rawi dalam penafsirannya bisa dikatakan seorang
reformer dan pejuang, meskipun Ia tidak melalaikan pendapat ulama-
ulama tafsir sebelumnya. Dia juga berkomitmen menjelaskan akidah
dan akhlak, mengaitkan penafsiran dengan kehidupan masyarakat dan
aktifitasnya. Sehingga Tarbawi mengatakan bahwa corak tafsir
Sya‟rawi adalah Tarbawi dan Islahi.31
31http://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir-al-syarawi-khawatir-al-syarawi-haula-
al-quran-al-karim/
53
BAB IV
OBJEK PERINTAH AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR DALAM PENAFSIRAN
SAYYID QUTHB DAN AL- SYA’RAWI
A. Ciri-ciri amar ma’ruf nahi munkar
1. Masyarakat ideal
Sebagaimana dalam surah Ālu „Imrān ayat 104
Artinya: dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.(QS. Ālu
„Imrān[3]:104)
Asbabun Nuzul:
Pada zaman jahiliyah sebelum Islam ada dua suku yaitu; Suku Aus
dan Khazraj yang selalu bermusuhan turun-temurun selama 120 tahun,
permusuhan kedua suku tersebut berakhir setelah Nabi Muhammad SAW
mendakwahkan Islam kepada mereka, pada akhirnya Suku Aus; yakni
kaum Anshar dan Suku Khazraj hidup berdampingan, secara damai dan
penuh keakraban, suatu ketika Syas Ibn Qais seorang Yahudi melihat
Suku Aus dengan Suku Khazraj duduk bersama dengan santai dan penuh
keakraban, padahal sebelumnya mereka bermusuhan, Qais tidak suka
melihat keakraban dan kedamaian mereka, lalu dia menyuruh seorang
pemuda Yahudi duduk bersama Suku Aus dan Khazraj untuk
menyinggung perang “Bu‟ast” yang pernah terjadi antara Aus dengan
Khazraj lalu masing-masing suku terpancing dan mengagungkan sukunya
masing-masing, saling caci maki dan mengangkat senjata, dan untung
Rasulullah SAW yang mendengar perestiwa tersebut segera datang dan
menasehati mereka: Apakah kalian termakan fitnah jahiliyah itu,
bukankah Allah telah mengangkat derajat kamu semua dengan agama
Islam, dan menghilangkan dari kalian semua yang berkaitan dengan
54
jahiliyah?. Setelah mendengar nasehat Rasul, mereka sadar, menangis dan
saling berpalukan. Sungguh peristiwa itu adalah seburuk-buruk sekaligus
sebaik-baik peristiwa. Maka turunlah surat Ali Imran ayat 1041
Menurut Sayyid Quthb dalam tafsirannya haruslah ada segolongan
orang atau satu kekuasaan yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar. Ketetapan bahwa
harus ada suatu kekuasaan adalah madlul “kandungan petunjuk” nash Al-
Qur‟an ini sendiri. Disana ada “seruan” kepada kebajikan, tetapi ada juga
“perintah” kepada yang ma‟ruf dan “larangan” dari yang munkar.
Apabila dakwah (seruan) itu dapat dilakukan oleh orang yang tidak
memiliki kekuasaan, maka “perintah dan larangan” itu tidak dapat
dilakukan kecuali oleh orang yang
memiliki kekuasaan.2
Menurut al-Sya‟rāwī dalam tafsirannya kata ة dalam ayat ini أي
mengandung bebrapa arti: pertama, segolongan umat tertentu, seperti
umat Arab, umat Parsi dan Roma. Kedua, agama dan ketiga, periode,
seperti firman Allah Swt dalam: ب ه ة وقبل انزي جب ي وادكش بعذ أي dan
berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat
(kepada Yusuf) sesudah umat/ beberapa waktu lama (QS.Yusuf[12]:45)
orang yang diberi penafsiran mempi oleh Nabi Yusuf teringat Yusuf
setelah beberapa waktu lamanya dilupakannya. Keempat, umat artinya
yaitu manusia yang memiliki sifat-sifat yang baik seperti: ة أي إبشاهيى كب إ
sesungguhnya ibrahim adalah umat/seseorang iman yang قبحب هلل حيفب
dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. (QS.An-
Nahl[16]:120)
Kenapa demikian ? karena sifat-sifat baik itu biasanya tidak akan
mungkin seluruhnya bersatu pada satu orang. Karena itu, kita akan
1 Jalāluddīn al-Suyūṭī, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, terj. Abdul Hayyie (Depok: Gema
Insani, 2009), h. 100
2 Sayyid Quthb , Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an Penerj As’ad Yasin,
Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Jilid 3, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) H. 184
55
mendapati bahwa si fulan mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh
orang lain.
Kembali ke ayat utama. Kadang kala kita katakan kepada
seseorang “hendaklah kamu menjadi pemberani”. Maksudnya, dia harus
menumbuhkan rasa berani dalam dirinya dan membiasakan diri untuk jadi
pemberani dalam berbagai hal positif. Caranya, berlatih dan
membiasakan diri, sehingga akhirnya terbiasa. Begitulah kita memahami
إن انخيش ة يذعى كى أي ي dan hendaklah ada diantara kamu segolongan ونحك
umat yang menyeru kepada kebajikan, dengan cara mempersiapkan diri
dan berlatih agar terbiasa.
Perintah bersiap diri dapat dipahami dalam dua pendapat. Pertama,
hendaklah ada diantara kalian-wahai orang-orang yang mendapat seruan
ini- sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan. Kedua, hendaklah
kalian semua menjadi umat yang menyeru kebaikan. Namun, pendapat
kedua lebih kuat, karena, barang siapa yang mengetahui sesuatu
hendaklah dia mengajak dan menyampaikannya, ayat tersebut tidak
dikhususkan kepada orang tertentu tapi kepada seluruh umat islam.
Untuk kemunkaran, umat islam harus mengajaknya dengan dua
cara: pertama, agar dia tidak berbuat kemunkaran; kedua, dia mengajak
untuk mencegah kemunkaran.3
Para ulama telah sepakat bahwa ayat inilah yang mewajibkan amar
ma‟ruf nahi munkar kepada kaum muslim dengan wajib kifayah. Jelas
lafal minkum menunjukkan tab‟idh (sebagian) sebagaimana dikatakan
oleh Adh-dhahak dan Ath-Thabari, karena menyeru kepada kebaikan,
menyeru yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar itu tidak patut
dilakukan kecuali sama orang yang mengerti mana yang ma‟ruf dan mana
yang munkar juyga mengerti bagaimana cara melaksanakannya.4
2. Hubungan iman dan amar ma‟ruf nahi mûnkar
Sebagaimana dalam surah Luqman ayat 17
3 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rāwī, Tafsir Sya‟rāwī,; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān,jilid. 2, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 492.
4 Prof. DR. Ali Abdul Halim Mahmud, karakteristik umat terbaik telaah manhaj, akidah,
dan harakah, penyunting subhan cet, 1 (Jakarta, Gema Insani Press, 1996) h.245
56
Artinya: Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah). (QS. Luqman[31]:17).
Asbabun Nuzul:
Ketika ayat ke-82 dari surat Al-An‟am diturunkan,para sahabat
merasa keberatan. Maka mereka datang menghadap Rasulullah
SAW,seraya berkata “ Wahai Rasulullah, siapakah diantara kami yang
dapat membersihkan keimanannya dari perbuatan zalim ?”.Jawab beliau “
Bukan begitu,bukanlah kamu telah mendengarkan wasiat Lukman Hakim
kepada anaknya : Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman
yang besar.( HR.Bukhori dari Abdillah )
Surat Al Luqman adalah termasuk surat Makkiyah, terdiri dari 34
ayat, surat ini diturunkan setelah surat Ash – Shaffat.
Luqman adalah seorang yang Sholeh dan memiliki akhlaq yang
mulia, yaitu akhlaq yang berbasiskan kepada keimanan yang kokoh.
Namanya diabadikan oleh Allah dalam salah satu surat di dalam Al Qur
an, yakni surat ke 31. Sehingga di dalam surat ini Allah memberikan
pelajaran kepada kita akan kesholehan Luqman dalam memberikan
nasehat kepada anaknya, yakni nasehat yang mengandung unsur
“keilmuan” yang mendalam, “keihklasan” yang suci dan “kecintaan”yang
tinggi. Luqman adalah sosok ayah pilihan Allah. Nasehat yang
disampaikan pada anaknya diabadikan dalam Al Qur'an.5
5 Jalāluddīn al-Suyūṭī, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, terj. Abdul Hayyie (Depok: Gema
Insani, 2009), h. 170
57
Menurut Sayyid Quthb dalam tafsirannya inilah akidah yang telah
dirumuskan. Yaitu, mengesakan Allah, merasakan pengawasan-Nya,
mengharapkan apa yang ada di sisi-Nya, yakin kepada keadilan-Nya, dan
takut terhadap pembalasan dari-Nya. Kemudian ia beralih kepada dakwah
untuk menyeru manusia agar memperbaiki keadaan mereka, serta
meyuruh mereka kepada yang ma‟ruf dan mencegah mereka dari yang
munkar. Juga bersiap-siap sebelum itu untuk menghadapi peperangan
melawan kemungkaran, dengan bekal yang pokok dan utama yaitu bekal
ibadah dan menghadap kepada-Nya (dengan mendirikan sholat, serta
sabar atas segala yang menimpa dai di jalan Allah).
“Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah).”6
Menurut al-Sya‟rāwī dalam tafsirannya ada 4 taklif yang
disampaikan Luqman kepada anaknya. Dimulai dengan shalat. Shalat
adalah rukun pertama setelah syahadat. Kita ketahui bersama bahwa
shalat karena pentingnya, ia diwajibkan langsung oleh Allah. Karena
shalat begitu penting, maka ia tidak pernah gugur walau bagaaimanapun.
Sedangkan rukun yang lain dapat gugur karena sebab alasan tertentu.
Seperti puasa, zakat, dan haji. Bila rukun ini gugur yang tinggal hanyalah
syahadat dan shalat. Untuk itu shalat dijadikan tiang agama.7
Luqman memulai dengan الة بي أقى انص hai anakku, dirikanlah يب
sholat. Karena ia merupakan keabadian pernyataan patuh kepada Allah,
lima kali sehari semalam. Kita mungkin melaksanakan sholat dengan
keadaan lapang. Boleh dengan jamak taqdim atau jamak ta‟khir. Berapa
banyak waktu yang tersisa setelah itu, apalagi bila dzuhur dan ashar di
jamak taqdim, magrib dn isya di jamak ta‟khir. Atau dzuhur dan isya di
jamak ta‟khir dan kamu sholat di akhir waktu, lalu magrib dan isya di
jamak taqdim? Jadi, masih banyak waktu tersisa dan tidak ada alasan
6 Sayyid Quthb , Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an Penerj As’ad Yasin,
Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Jilid 9, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) H. 177
7Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rāwī, Tafsir Sya‟rāwī; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur‟ān, Cet. 10 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 667.
58
untuk meninggalkan sholat. Adapun yang beralasan, Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
(QS.Al-Baqarah [2]: 286) dan saya tidak punya kelapangan waktu.” Kita
katakan: “jangan jadikan tidak lapang yang kamu miliki menjadi hukum.
Yang menjadi standar adalah bahwa taklif tuhan itu pasti dalam bingkai
kelapangan.” Selama tuhan telah mewajibkan, maka kamu pasti bisa dan
mampu melaksanakannya. Dengan bukti bila tidak mampu, kamu
mendapatkan keringanan.
الة dirikan sholat, karena shalat kesempurnaan pertama أقى انص
terhadap manhaj Allah, dengannya iman muslim sempurna. Telah kita
sebutkan, disana ada beda antara rukun islam dan rukun muslim
sempurna. Telah kita sebutkan, disana beda antara rukun islam dan rukun
muslim. Rukun islam ada lima, sedangkan rukun muslim tidak pernh
gugur hanya dua : syahadat dan sholat.
Kemudian Luqman berkata kepada anaknya : “bahwa iman tidak
hanya sholat, tapi iman yang sempurna ialah kita mencintai saudara kita
dengan apa-apa yang kita cintai terhadap diri sendiri.”
Dia berkata: كش ان ه ع عشوف وا dan suruhlah (manusia) وأيش ببن
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
munkar. Merupakan kesempurnaan setelah pelaksanaan sholat adalah
amar ma‟ruf nahi munkar guna meraih kesempurnaan sosial masyarakat.
Dengan sempurnanya ini, maka sempurnalah iman.
Jangan pernah menduga amar ma‟ruf nahi munkar itu hanya
membantu orang lain saja. Sebenarnya pekerjaan itu bermanfaat bagi diri
pelaku sendiri. Dengan amar ma‟ruf nahi munkar ini kita dapat
ketenangan jiwa. Karena kita telah melaksanakan taklif disaat orang lain
tidak mampu melaksanakannya. Tidak diragukan bahwa kepatuhan orang
lain terhadap manhaj Allah merupakan kedamaian bagi kita juga. Kalau
tidak niscaya seluruh masyarakat akan susah keluar dan terganggu akibat
sekelompok kecil yang keluar dari manhaj Allah ini.
Merupakan bukti nyata bahwa manusia tidak mendapatkan hasil
maksimal kecuali setelah dia beramar ma‟ruf kepada orang lain. Bila
59
disembunyikan amar ma‟ruf, maka oramg lain akan mendapatkan
manfaat dari kebaikan yang kamu lakukan, dan kamu mendapatkan
kesusahan dari kejahatan mereka.
Kata ىس عزو ان hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dapat juga ي
dilihat pada هللا عهفئرا عزيث فحى كم apabila kamu telah membulatkan tekad,
maka bertakwalah kepada Allah. (QS. Ali Imran [3]:159) Azam adalah
ambisi dan kemauan keras, yang tidak ada keraguan di dalamnya. Jadi,
„azam/ambisi adalah tenaga jiwa yang memotivasi kerja seseorang.8
Ada tiga induk ibadah yang diwasiatkan Luqman pada anaknya
yaitu : (1) shalat, Perintah shalat adalah ajakan yang mulia, Luqman
berwasiat pada anaknya untuk menunaikan shalat. Yang dimaksud adalah
menunaikan shalat dengan memperhatikan batasan, kewajiban, dan
waktunya. Wasiat Luqman ini menunjukkan bahwa ajakan shalat pada
anak adalah wasiat yang utama dan amat berharga. Rasul kita sallallahu
„alaihi wa sallam pun menasihatkan demikian. (2) amar ma‟ruf nahi
munkar, Luqmanpun berwasiat kepada anaknya untuk melakukan amar
ma‟ruf nahi munkar. Amar ma‟ruf nahi munkar adalah memerintahkan
kebaajikan sedangkan nahi munkar adalah melarang dari kemungkaran.
Ibnu taimiyah menasihati bagi yang ingin melakukan amar ma‟ruf nahi
mukar hendaklah memiliki tiga bekal: (1) berilmu sebelumnya, (2) lemah
lembut ketika bertindak, dan (3) sabar terhadap cobaan yang dihadapi
nantinya9 (3) bersabar.
10
3. Amar ma‟ruf nahi mûnkar sebagai tanggung jawab sosial
Sebagaimana dalam surah Ālu „Imrān ayat 110
8 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rāwī, Tafsir Sya‟rāwī; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur‟ān, Cet. 10 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 672.
9 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Mawqi’ Al Islam, Al Amru Bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil
Munkar, (Jakarta: Pustaka Pajimas 1988), h.18
10Muhammad Abduh Tuasikal,MSc, https://rumaysho.com
60
Artinya: kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman,
tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman,
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ālu
„Imrān[3]:110)
Menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya dalam himpunan ayat ini
meletakkan kewajiban yang berat di atas pundak kaum muslimin di muka
bumi, sesuai dengan kemuliaan dan ketinggian kedudukan jamaah ini,
dan sesuai dengan posisi keistimewaan yang tidak dicapai kelompok
manusia lain.
“kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyurug
kepada yang ma‟ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah.”
Pengungkapkan kalimat dengan menggunakan kata “ukhrijat”
dikeluarkan, dilahirkan, diorbitkan‟ dalam bentuk mabni ligharil-
fail(mabni lil-majhul) perlu mendapatkan perhatian. Perkataan ini
mengesankan adanya tangan pengatur yang halus, yang mengeluarkan
umat ini, dan mendorongnya untuk tampil dari kegelapan kegaiban dan
dari balik bentangan tirai yang tidak ada yang mengetahui apa yang ada
dibaliknya itu kecuali Allah.
“kamu adalah umat terbaik yang dilahirkaan untuk manusia”
Inilah persoalan yang harus dimengerti oleh umat islam agar
mereka mengetahui hakikat diri dan nilainya, dan mengerti bahwa mereka
itu dilahirkan untuk maju ke garis depan dan memegang kendali
kepemimpinan karena mereka adalah umat terbaik. Allah menghendaki
61
supaya kepemimpinan dimuka bumi ini untuk kebaikan, bukan untuk
keburukan dan kejahatan. 11
“menyuruh kepada yang ma‟ruf, mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah.”
Menjalankan tugas-tugas umat terbaik, dengan segala beban yang
ada di baliknya, dan dengan menempuh jalannya yang penuh onak dan
duri. Tugasnya adalah menghadapi kejahatan, menganjurkan kepada
kebaikan, dan menjaga masyarakat dari unsur-unsur kerusakan. Semua itu
harus disertai dengan iman kepada Allah, untuk menjadi timbangan yang
benar terhadap tata nilai, dan untuk mengetahui dengan benar mengenai
amar ma‟ruf nahi munkar. Untuk itu, diperlukan pula patokan yang baku
mengenai kebaikan dan keburukan, keutamaan dan kehinaan, yang
ma‟ruf dan yang munkar, dengan berpijak pada kaidah lain bukan istilah
buatan manusia pada suatu generasi.12
Menurut al-Sya‟rāwī dalam tafsirnya ayat ini bercerita tentang
sebaik-baik umat, dan itu tidak terlepas dari beberapa syarat dan unsur
berikut: pertama, meyeru kepada kebaikan; kedua, mencegah
kemunkaran, dan ketiga, beriman kepada Allah. Jika ketiga sifat ini tidak
dilaksanakan, maka label sebaik-baik umat lepas dari baju seorang
hamba.
Kata عشوف yang artinya kenal, maka عشف kebaikan berasal dari ان
عشوف yaitu orang yang dikenal. Manusia itu senang jika dirinya dikenal ان
orang lain. Sedang كش keburukan adalah sifat yang tidak disenangi, dan ان
dia malu untuk memperkenalkan. Jadi, kebaikam sesuatu yang disenangi
manusia dan keburukan sesuatu yang dibenci.
Tidak dipungkiri lagi bahwa kebaikan disenangi oleh siapa saja
bahkan penjahat sekalipun menyukainya. Pencuri ketika melihat dan
mengetahui orang lain mencuri dia tidak menyukai hal itu, walaupun
11 Sayyid Quthb , Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an Penerj As’ad Yasin,
Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Jilid 3, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) H. 190
12 Sayyid Quthb , Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an Penerj As’ad Yasin,
Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Jilid 3, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) H. 191
62
menurut kacamata seorang pencuri. Pada hakikatnya manusia msnspun
tidak menyukai kejahatan. Demikianlah kata kebaikan dan kemunkaran
merupakan fitrah bagi manusia. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Kapan
ada kebaikan disitu ada kemunkaran. Hati nurani manusia menyukai hal
yang baik dan membenci kemunkaran.
Tapi apakah semua ahli kitab tidak beriman? Tidak, ada diantara
mereka yang beriman. Untuk itulah disebutkan:
وأكثشهى انفبسقى ؤيى هى ان dari mereka ada yang beriman tapi kebanyakan ي
dari mereka yang fasik.
Kata fasik datang setelah kata iman. Padahal lawan kata iman
adalah kafir bukan fasik, tapi Allah memberikan padanan yang sesuai
dengan iman yaitu fasik. Dalam ayat ini Allah berkata-kata sedetail
mungkin. Karena terdapat perbedaan antara kekufuran tanpa ilmu
pengantar keimanan dengan kufur berdasarkan ilmu pengantar keimanan
dan bukti-buktinya.13
4. Rosul sebagai panutan dalam amar ma‟ruf nahi mûnkar
Sebagaimana dalam surah Al-A‟raf ayat 157 :
Artinya: (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang
Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil
yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang
13 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rāwī, Tafsir Sya‟rāwī; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān,jilid. 2, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 504.
63
ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang
beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti
cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka
Itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-„A‟rāf [7]:157)
Menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya sesungguhnya ini berita
yang besar yang memberikan kesaksian bahwa bani Israel telah diberi
informasi secara meyakinkan sejak waktu yang jauh akan datang seorang
Nabi yang ummi (buta huruf), sesudah nabi mereka Musa a.s. dan Isa a.s.
telah datang kepada mereka informasi yang meyakinkan tentang akan
diutusnya Nabi itu, sifat-sifatnya, manhaj risalahnya, dan keistimewaan-
keistimewaan agamanya.
Maka “Nabi yang ummi” itu akan menyuruh manusia berbuat yang
ma‟ruf dan melarang mereka dari mengerjakan perbuatan yang munkar.
Beliau menghalalkan untuk mereka yang baik-baik dan mengharamkan
atas mereka segala yang buruk. Beliau akan membuang dari orang-orang
bani Israel yang beriman kepadanya beban-beban berat dan belenggu-
belenggu yang Allah mengetahui bahwa beban-beban ini akan diwajibkan
atas mereka karena kemaksiatan mereka. Maka, Nabi yang ummi ini akan
membuang beban-beban itu dari mereka yang beriman kepada dirinya.14
Menurut al-Sya‟rāwī dalam tafsirnya dalam ayat ini terdapat 9 sifat
Nabi Muhammad, diantaranya: Allah mewahyukan kepadanya kitab suci
yang disebut Al-Qur‟an, pemilik mu‟jizat, penyampaian berita yang
paling sempurna berupa akidah, ibadah dan akhlak. Dialah seorang yang
ummi (buta huruf) yang belum belajar baca tulis dan belum pernah
berguru kepada seseorang. Dia tetep sebagaimana baru dilahirkan.
Allah telah menyebutkan nama, sifat, dan ciri-ciri kepada bangsa
Yahudi dan Nasrani di dalam Taurat dan Injil, namun kaum kafir telah
menyembunyikannya atau sengaja mentakwilkannya dengan salah.
Sebagaimana Allah telah mensifati dirinya dengan gemar mengajak
14 Sayyid Quthb , Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an Penerj As’ad Yasin,
Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Jilid 5, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2003) H. 34
64
kepada yang baik dan membebani para pengikutnya untuk menjadi da‟i
dan mubaligh. Karena dengan itulah mereka dapat sukses dunia dan
bahagia di akhirat. Dia juga melarang setiap kemungkaran dengan tegas
dan tekad bulat.
Disamping itu juga, ia menghalaalkan hal-hal yang baik yang
diharamkan sebelumnya akibat kezaliman dan kesesatan mereka. Dia juga
mengharamkan setiap yang berbahaya dan keji seperti: makan bangkai,
makan harta secara haram: riba, suap, dan curang/korupsi.15
Demikianlah Allah memberitakan kepada para rasul sebelumnya
untuk disampaikan kepada kaumnya akan kedatangan Muhammad yang
akan mengajak kaumnya untuk beriman16
dan bertaqwa kepada tuhannya
untuk mengeluarkan zakat harta mereka, dan beriman kepada ayat-ayat
Allah.17
Datang pula berita yang meyakinkan kepada mereka bahwa
orang-orang yang beriman kepada Nabi yang ummi ini, memuliuakan dan
menghormatinya, mendukung dan menolongnya, dan mengikuti cahaya
petunjuk yang dibawah, maka “mereka itulah orang-orang yang
beruntung”.18
5. Amar ma‟ruf nahi munkar sebagai keputusan bersama.
Sebagaimana dalam surah Āli „Imrān ayat 113-114
15 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rāwī, Tafsir Sya‟rāwī; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān,jilid. 5, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 117.
16 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rāwī, Tafsir Sya‟rāwī; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān,jilid. 5, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 117.
17 Sayyid Qutbh , Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an Penerj As’ad Yasin,
Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Jilid 5, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2003) H. 34
18 Sayyid Qutbh , Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an Penerj As’ad Yasin,
Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Jilid 5, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2003) H. 34
65
Artinya: mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada
golongan yang Berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada
beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud
(sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan,
mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang Munkar
dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu
Termasuk orang-orang yang saleh. (QS. Ālu „Imrān[3]:113-114).
Menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya “sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Diantara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalaah orang-orang yang fasik.”
Ini adalah dorongan kepada Ahli Kitab untuk beriman. Maka,
beriman itu adalah lebih baik bagi mereka di dunia ini karena dengan
iman mereka dapat menghindarkan diri dari perpecahan dan kehancuran
akidah yang mereka peluk selama ini dan menghalangi mereka untuk
bersatu.19
“diantara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik.”
Memang ada sejumlah Ahli Kitab yang beriman dan memeluk
agama Islam dengan baik, seperti Abdullah bin Salam, Asad bin Ubaid,
Tsa‟labah bin Syu‟bah, dan Ka‟ab bin Malik. Inilah lukisan yang terang
bagi orang-orang beriman dari kalangan Ahli kitab. Mereka telah beriman
dengan iman yang benar dan mendalam, sempurna dan menyeluruh,
bergabung kepada barisan muslim dan berusaha menjaga agama ini.
Mereka beriman kepada hari akhir. Mereka melaksanakan tugas-tugas
iman, dan mereka wujudkan identitas umat Islam yang mereka bergabung
kepadanya-sebagai khairu ummah- dengan melaksanakan amar ma‟ruf
nahi munkar. Jiwa mereka senang kepada kebaikan secara menyeluruh.
Maka mereka jadikanlah kebaikan ini sebagai sasaran perlombaan
mereka, sehingga mereka berlomba-lomba kepada kebajikan. Semua itu
19 Sayyid Qutbh , Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an Penerj As’ad Yasin,
Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Jilid 3, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) H. 194
66
merupakan kesaksian yang tinggi bagi mereka bahwa mereka termasuk
golongan orang-orang yang saleh.20
Menurut al-Sya‟rāwī dalam tafsirnya dalam ayat ini bener-bener
terjadi, tapi ayat Allah mana yang dibaca Ahli Kitab? Yang di baca
adalah ayat suci Al-Qur‟an.21
Ahli Kitab yang telah menyatakan Islam
adalah ummat yang beriman kepada allah, menyuruh kepada kebaikan
dan mencegah kemunkaran. Allah mensifati mereka dengan sebaik-baik
ummat yang di keluarkan untuk manusia, yaitu ummat Muhammad. Pada
ayat yang lalu telah di jelaskan bagai mana ahli kitab yang menyatakan
islam telah berusaha agar dapat masuk ke dalam derajat ikhsan, pada ayat
ini marekapun melaksanakan ajaran islam dengan baik, hingga tidak ada
beda mereka dengan ummat Muhammad lainnya. Allah menyempurnakan
sifat mereka dengan في انخيشات dan bersegera kepada ويسبسعى
(mengerjakan) berbagai kebajikan.22
6. Amar ma‟ruf nahi munkar melalui tolong menolong
Sebagaimana dalam surah at-Taubah ayat 71
Artinya: dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
20 Sayyid Qutbh , Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an Penerj As’ad Yasin,
Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Jilid 3, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) H. 197
21 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rāwī, Tafsir Sya‟rāwī; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān,jilid. 2, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 509.
22 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rāwī, Tafsir Sya‟rāwī; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān,jilid. 2, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 510.
67
lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang
munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada
Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.at-
Taubah[9]:71)
Menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya apabila watak dan tabiat
kaum munafik laki-laki dan wanita adalah sama, maka orang-orang
mukmin laki-laki dan wanita, sebagian mereka menjadi wali atau
penolong bagi sebagian yang lain. Orang-orang munafik laki-laki dan
wanita, meskipun karakter dan tabiat mereka sama, mereka tidak sampai
pada tingkat sebagai penolong bagi sebagian yang lain. Karena, kewalian
itu membutuhkan keberanian, bantuan, kerja sama, dan rasa saling
menanggung beban dan rasa senasib sepenanggungan. Sedangkan, tabiat
munafik tidak mau melakukan semua ini, walaupun terhadap sesama
kaum munafik itu sendiri. Orang-orang munafik itu sendiri-sendiri, hanya
mementingkan diri sendiri, lemah, dan tidak maju. Mereka bukan sebagai
kelompok yang solid, kompak, kuat, saling menjamin, sebagaimana
tampak dalam kesamaan tabiat, akhlak, dan prilaku diantara mereka.
Ungkapan Al-Qur‟an yang cermat tidak melupakan makna ini di dalam
mensifati kaum munafik dan kaum mukmin ini,
“orang-orang munafik laki-laki dan wanita , sebagian dengan sebagian
yang lain adalah sama….” (QS.At-Taubah: 67)23
“orang-orang yang beriman, laki-laki dan wanita, sebagain mereka
adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain…..”
Tabiat seorang mukmin adalah tabiat umat mukmin, yaitu tabiat
bersatu dan setia kawan, tabiat saling menjamin. Tetapi, saling menjamin
di dalam merealisasikan kebaikan dan menolak kejahatan.
“….Mereka menyuruh mengerjakan yang ma‟ruf dan mencegah yang
munkar….”
Untuk merealisasikan kebaikan dan menolak kemunkaran itu
memerlukan kesetiakawanan, saling menjamin, dan saling menolong.
23 Sayyid Quthb , Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an Penerj As’ad Yasin,
Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Jilid 5, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) H. 377
68
Karena itu, umat beriman harus berbaris dalam satu barisan, jangan
sampai dimasuki oleh unsur-unsur perpecahan. Kalau terjadi perpecahan
digolongan beriman, maka disana tentu ada unsur asing yang
menyimpang dari tabiatnya, menyimpang dari akidahnya, dan unsur
inilah yang membawa pecahan. Mungkin ada unsur kepentingan pribadi
atau penyakit hati yang menghalangi penerapan sifat utama kaum
mukmin dan menolaknya, sifat yang telah ditetapkan oleh Tuhan yang
maha mengetahui.
“sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain…”
Dengan mengarahkan kesetiakawanannya ini untuk melakukan
amar ma‟ruf nahi munkar, menjunjung tinggi kalimat Allah, dan untuk
merealisasikan pesan-pesan Allah untuk umat dimuka bumi ini.
“…..Dan mendirikan shalat…”
Sebagai tali penghubung yang menghubungkan mereka dengan
Allah.
“…..Dan menunaikan zakat….”
Sebagai kewajiban yang dapat menjalin hubungan hubungan antar
sesame anggota masyarakat muslim.
Empat sifat yang ada pada orang mukmin (amar bil ma‟ruf
“menyuruh mengerjakan kebaikan”, nahyu „anil-munkar‟ “mencegah dari
yang munkar, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat) ini merupakan
kebalikan dari sifat-sifat orang munafik. Yaitu, amar bil-munkar
„menyuruh mengerjakan yang munkar”, nahyu „anil-ma‟ruf “melarang
berbuat kebaikan”, melupakan Allah, dan menggenggam tangan (tidak
mau menunaikan zakat atau beri bantuan)…. Rahmat Allah bagi orang-
orang mukmin merupakan kebalikan laknat Allah bagi orang-orang
munafik dan orang-orang kafir.
Nah, orang-orang mukmin yang memiliki sifat-sifat seperti inilah
yang dijanjikan Allah untuk diberi pertolongan dan kekuasaandi muka
69
bumi ini, agar mereka dapat melaksanakan ajaran yang benar dan lurus
kepada manusia.24
Menurut al-Sya‟rāwī dalam tafsirnya ayat ini sejalan dengan ayat
ke 67 yang lalu. Ayat ini sekaligus merupakan lawan dari ayat
sebelumnya. Seperti perkataan penyair:
Wajahnya putih laksana pagi hari
Dan rambutnya hitam laksana kegelapan malam
Dua kenyataan berlawanan
Namun dia menimbulkan keindahan
Dengan demikian setiap masing-masing kelompok akan mengikuti
jejak pemimpinnya, meniru setiap langkah dan perbuatan diantara
mereka. Munafikin yang telah mendirikan akidah atas kesesatan maka
setiap orang yang mengikuti jejak mereka akan sesat. Sedangkan umat
Islam akidah mereka berdasarkan atas kesadaran dan kebaikan. Oleh
karena itu, setiap kali ada orang mukmin yang melakukan kesalahan,
maka yang lain berkewajiban untuk menegurnya agar kembali ke jalan
yang lurus . sebab, jika dibiarkan akan menyebar dan merebak serta
merusak yang lainnya.25
Demikian juga diantara sesamea mu‟min, mereka saling mengisi
dan saling melengkapi, sebagaimana yang ditegaskan Allah: “Demi masa,
sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keraguan, kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati
supaya menaati kebenaran dan nasihati menasihati supaya menetapi
kesabaran (QS.al-„Ashr[103]: 1-3)
Allah mensifati mu‟min dengan: كش ان ع هى عشوف وي ببن يأيىس
mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma‟ruf, mencegah dari yang
munkar. Jika seorang mu‟min melakukan suatu kesalahan, maka
datanglah saudaranya untuk mengingatkan dan mencegah perbuatannya
24 Sayyid Qutbh , Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an Penerj As’ad Yasin,
Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Jilid 5, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) H. 378
25 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rāwī, Tafsir Sya‟rāwī; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān,jilid. 5, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 696.
70
itu. Demikian juga saudaranya akan mengajak dia untuk berbuat baik.
Kalau begitu, setiap kita adalah orang yang mengajak kebaikan dan
mencegah kemunkaran. Sebab, kamu tidak mungkin melarang seseorang
dari kemunkaran sedangkan kamu melakukannya atau sebaliknya. Seperti
ketika di tangan kirinya terdapat segelas minuman keras, lalu dalam
waktu yang sama dia melarang orang lain untuk meminumnya. Demikian
juga seseorang yang mengajak kebaikan namun dia tidak memberikan
contoh bagi orang lain atas ajakannya itu. Oleh karena itu, Allah
menyatakan juga bahwa setiap mu‟min itu adalah orang yang berbuat
baik dan mengajak kepada kebaikan.
Lalu Allah menyebutkan sifat lain: كبة انز انصالة ويؤجى ى ويق
mendirikan shalat, menunaikan zakat. Menegakan shalat adalah bentuk
proklamasi atas keberpihakan kepada Allah. Seorang mu‟min adalah
pelindung bagi mu‟min yang lain, namun siapa pelindung mereka semua?
Tentu Allah, oleh karena itu keberpihakan mereka haruslah kepada Allah
semata. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya:
“jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu”
(QS. Muhammad[47]:7)
Dalam Al-Qur‟an selalu ditemui perintah shalat beriringan dengan
dengan perintah zakat. Sebab, dengan shalat berarti kita setia kepada
Allah dan dalam zakat terhadap kehidupan bagi orang-orang yang
mengalami kesulitan sehingga dapat terasa setia kepada Allah bersama
denganmu.
Oleh karena itu, Allah menjelaskan dalam ayat ini هللا وسسىنه ويطيعى
dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Setelah penjelasan diatas
mengenai shalat dan zakat.
Allah menyatakan هى هللا mereka itu akan diberi rahmat أونئك سيشح
oleh Allah, maksudnya adalah mu‟min dan mu‟minat yang saling
melindungi sesama mereka, dan menegakkan shalat serta membayar
zakat. Mereka itulah orang-orang yang akan mendapat kasih sayang
Allah. Huruf “sin” pada ayat tersebut menunjukkan tingginya bahasa Al-
71
Qur‟an. Sebab, dengan demikian berarti umat Islam selalu dalam naungan
rahmat dari Allah.
Di tutup dengan هللا عزيز حكي ى إ sesungguhnya Allah mahaperkasa
lagi mahabijaksana. Kata عزيز mahaperkasa bahwa Allah mampu untuk
melakukan segala kehendak-Nya dan tidak ada yang mampu untuk
menghalangi-Nya. Namun, perlu diingat bahwa hal itu bukan berarti
Allah berbuat dzalim atas hamba-Nya. Sebab, Allah tidak pernah
mendzalimi makhluk-Nya, karena Dia mahaperkasa dengan hikmah,
maka keperkasaann-Nya tidak mengandung kedzaliman dan perbuatan
aniaya.26
7. Menyuruh berbuat yang munkar dan mencegah yang ma‟ruf adalah
ciri-ciri orang munafik
Sebagaimana dalam surah At-Taubah ayat 67
Artinya: orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian
dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat
yang Munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka
menggenggamkan tangannya. mereka telah lupa kepada Allah, Maka
Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah
orang-orang yang fasik. (QS.at-Taubah[9]:67)
Menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya kaum munafik baik laki-
laki maupun perempuan itu wataknya dan bawaannya sama, tabiatnya
sama. Orang-orang munafik itu pada semua masa dan semua lokasi,
selalu berbeda antara perkataan dan tindakannya. Akan tetapi, semuanya
kembali kepada karakter yang sama dan bersumber dari sebuah sumber.
26 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rāwī, Tafsir Sya‟rāwī; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān,jilid. 5, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 702.
72
Niatnya busuk, hatinya tercela. Suka memfitnah, suka menyembunyikan,
suka melakukan tipu muslihat, lemah kalau berhadapan, takut untuk
berterus terang, itulah sifat mereka.
Sedangkan, prilaku mereka ialah suka menyuruh berbuat munkar
dan mencegah dan menghalang-halangi perbuatan yang baik, bakhil
untuk menginfakkan harta kecuali dengan maksud riya(pamer) kepada
masyarakat. Ketika menyuruh berbuat ma‟ruf dan mencegah perbuatan
munkar mereka melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, tidak terang-
terangan. Mereka melakukannya dengan penuh tipu muslihat, dengan
memfitnah dan mencela. Karena mereka tidak berani melakukannya
secara terang-terangan kecuali kalau situasinya aman. Mereka melupakan
manusia untuk mengingat tuhannya manusai. Karena itu, mereka tidak
takut dicela orang lain dalam menyampaikan dan melakukan kebenaran.
Mereka selalu diingat oleh Allah, lalu diingat dan diperhitungkan oleh
manusia.
“….sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.”
Mereka keluar iman dan menyimpang dari jalan yang benar. Allah
mengancam mereka dengan tempat kembali sebagaimana yang
diancamkan kepada orang-orang kafir.27
Menurut al-Sya‟rāwī dalam tafsirnya Allah menjelaskan tentang
hukum taklif. Redaksi yang dipergunakan dalam ayat yang berkaitan
dengan taklif selalu menggunakan bentuk muzakkar/laki-laki kecuali
dibeberapa tempat, seperti firman-Nya dalam QSCal-Hujarat[49]: 11 dan
barang siapa yang mengerjakan amal soleh, baik laki-laki maupun
perempuan. (QS An-Nahl[16]: 97) setiap kali peryataan yang
menggunakan muzakkar/laki-laki, maka di dalamnya termasuk juga
perempuan
Dalam ayat ini disebutkan munafik laki-laki dan perempuan secara
terpisah disebabkan majlis tempat berkumpul mereka yang berbeda-beda.
Setiap mereka memiliki perbuatan yang berbeda dengan yang lain.
27 Sayyid Qutbh , Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an Penerj As’ad Yasin,
Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Jilid 5, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) H. 375
73
Firman Allah: بعض sebagian dengan sebagian yang lain بعضهى ي
adalah sama, menunjukan bahwa mereka tidak dapat dipisahkan dalam
kejelekan dan kebpbrokan nurani. Kemudian Allah menjelelaskan secara
detail karekteristik mereka: “mereka menyuruh membuat yang munkar
dan melarang yang ma‟ruf dan saling menggengam tangan.”
Mereka melarang dan menghalang-halangi setiap orang yang
hendak berbuat baik, dan sebaliknya mereka mendukung setiap
kemunkaran serta tidak mau berinfak di jalan Allah.
Selanjutnya Allah menjelaskan hukum lain: sesungguhnya orang-
orang yang munafik itulah orang-orang yang fasik. Pernyatan ini
merupakan penjelasan dan sekaligus penegasan.28
B. Analisa penulis
Menurut Sayyid Quthb, Amar ma‟ruf nahi munkar dalam QS. Āli
„Imrān ayat 104 yang mana disimpulkan haruslah ada segolongan orang
atau satu kekuasaan yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada
yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar. Disana ada “seruan” kepada
kebajikan, tetapi ada juga “perintah” kepada yang ma‟ruf dan “larangan”
dari yang munkar. Apabila dakwah (seruan) itu dapat dilakukan oleh orang
yang tidak memiliki kekuasaan, maka “perintah dan larangan” itu tidak
dapat dilakukan kecuali oleh orang yang memiliki kekuasaan. Dalam QS.
al-Luqman ayat 17 yang mana disimpulkan bahwa akidah yang telah
dirumuskan itu beralih kepada Dakwah dengan menyeru manusia berbuat
kebaikan sebelum menghadapi peperangan melawan kemunkaran. Dalam
QS. Āli „Imrān ayat 110 yang mana disimpulkan bahwa mereka itu
dilahirkan untuk maju ke garis depan dan memegang kendali
kepemimpinan karena mereka adalah umat terbaik, dengan menjalankan
tugas-tugas yang dilakukan dengan umat terbaik. Tugasnya adalah
menghadapi kejahatan, menganjurkan kepada kebaikan, dan menjaga
masyarakat dari unsur-unsur kerusakan. Dalam QS. Al-A‟raf ayat 157
yang mana disimpulkan bahwa memberikan kesaksian bahwa bani Israel
28 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rāwī, Tafsir Sya‟rāwī; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān,jilid. 5, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 684.
74
telah diberi informasi secara meyakinkan sejak waktu yang jauh akan
datang seorang Nabi yang ummi (buta huruf), Maka “Nabi yang ummi” itu
akan menyuruh manusia berbuat yang ma‟ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan perbuatan yang munkar. Beliau menghalalkan untuk mereka
yang baik-baik dan mengharamkan atas mereka segala yang buruk. Dalam
QS. Āli „Imrān ayat 113-114 yang mana disimpulkan bahwa ada sejumlah
Ahli kitab yang beriman kepada Allah dengan memeluk Agama Islam
dengan baik dan beriman kepada hari akhir seperti Abdullah bin Salam,
Asad bin Ubaid, Tsa‟labah bin Syu‟bah, dan Ka‟ab bin Malik. Mereka
telah beriman dengan iman yang benar dan mendalam, sempurna dan
menyeluruh, bergabung kepada barisan muslim dan berusaha menjaga
agama ini dengan melaksanakan Amar ma‟ruf nahi munkar. Dalam QS.
At-Taubah ayat 67 yang mana disimpulkan bahwa kaum munafik itu pada
tabiatnya sama. Niatnya busuk, hatinya tercela. Suka memfitnah, suka
menyembunyikan, suka melakukan tipu muslihat, takut untuk berterus
terang, itulah sifat mereka. Sedangkan, prilaku mereka ialah suka
menyuruh berbuat munkar dan mencegah dan menghalang-halangi
perbuatan yang baik, bakhil untuk menginfakkan harta kecuali dengan
maksud riya(pamer) kepada masyarakat. Ketika menyuruh berbuat ma‟ruf
dan mencegah perbuatan munkar mereka melakukannya dengan
sembunyi-sembunyi, tidak terang-terangan. Dalam QS. at-Taubah ayat 71
yang mana disimpulkan bahwa orang mukmin sebagian dari mereka
menjadi wali atau penolong bagi sebagian yang lain. Karena, kewaliannya
itu membutuhkan keberanian, bantuan, kerja sama. Untuk merealisasikan
kebaikan dan menolak kemunkaran itu memerlukan kesetiakawanan,
saling menjamin, dan saling menolong. Karena itu, umat beriman harus
berbaris dalam satu barisan, jangan sampai dimasuki oleh unsur-unsur
perpecahan.
Menurut penafsiran al-Sya‟rāwī, dalam QS. Āli „Imrān ayat 104
yang mana disimpulkan bahwa perintah menjadi umat terbaik dengan cara
mempersiapkan diri dan berlatih agar terbiasa. Perintah bersiap diri dapat
dipahami dalam dua pendapat. Pendapat pertama, orang-orang yang
75
menyeru kebaikan. Kedua, menjadi umat yang menyeru kebaikan. Dan
untuk kemunkaran ada dua cara juga. Yang pertama, agar dia tidak berbuat
kemunkaran. Yang kedua dia mengajak mencegah kemunkaran. Dalam
QS. Al-Luqman ayat 17 yang mana disimpulkan ada tiga induk yang
diwasiatkan Luqman pada anaknya. Yang pertama, shalat. Yang kedua,
melakukan amar ma‟ruf nahi munkar. Yang ketiga bersabar. Dalam QS.
Āli „Imrān ayat 110 yang mana disimpulkan bercerita tentang sebaik-baik
umat, dan itu tidak terlepas dari beberapa syarat dan unsur berikut:
pertama, meyeru kepada kebaikan; kedua, mencegah kemunkaran, dan
ketiga, beriman kepada Allah. Dalam QS. Al-A‟raf ayat 157 yang mana
disimpulkan Sebagaimana Allah telah mensifati dirinya dengan gemar
mengajak kepada yang baik dan membebani para pengikutnya untuk
menjadi da‟i dan mubaligh. Karena dengan itulah mereka dapat sukses
dunia dan bahagia di akhirat. Dia juga melarang setiap kemungkaran
dengan tegas dan tekad bulat. Disamping itu juga, ia menghalaalkan hal-
hal yang baik yang diharamkan sebelumnya akibat kezaliman dan
kesesatan mereka. Dalam QS. Āli „Imrān ayat 113-114 yang mana
disimpulkan Ahli Kitab yang telah menyatakan Islam adalah ummat yang
beriman kepada allah, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah
kemunkaran. Allah mensifati mereka dengan sebaik-baik ummat yang di
keluarkan untuk manusia, yaitu ummat Muhammad. Dalam QS. At-
Taubah ayat 67 yang mana disimpulkan munafik laki-laki dan perempuan
secara terpisah disebabkan majlis tempat berkumpul mereka yang berbeda-
beda. Setiap mereka memiliki perbuatan yang berbeda dengan yang lain.
Mereka melarang dan menghalang-halangi setiap orang yang hendak
berbuat baik, dan sebaliknya mereka mendukung setiap kemunkaran serta
tidak mau berinfak di jalan Allah. Dalam QS. at-Taubah ayat 71 yang
mana disimpulkan Jika seorang mu‟min melakukan suatu kesalahan, maka
datanglah saudaranya untuk mengingatkan dan mencegah perbuatannya
itu. Demikian juga saudaranya akan mengajak dia untuk berbuat baik.
Kalau begitu, setiap kita adalah orang yang mengajak kebaikan dan
mencegah kemunkaran.
76
Dengan demikian penulis menganalisa bahwa Sayyid Quthb dan
al-Sya‟rāwī memiliki persamaan dan perbedaan dalam menafsirkan Amar
ma‟ruf nahi munkar Di mana persamaan dari penafsiran keduanya tersebut
terletak pada QS. Āli „Imrān ayat 110 dan QS. Al-A‟raf ayat 157, dalam
QS. Āli „Imrān ayat 110 bahwa keduanya sama-sama menafsirkan Amar
ma‟ruf nahi munkar sebaik-baiknya ummat adalah umat terbaik yang
menyeru kebaikan dengan mencegah kemunkaran dan menjaga
masyarakat dari unsur-unsur kerusakan. Kemudian dalam QS. Al-A‟raf
ayat 157 bahwa keduanya sama-sama menafsirkan Amar ma‟ruf nahi
munkar menghalalkan untuk mereka yang baik-baik dan mengharamkan
atas mereka segala yang buruk. Sedangkan perbedaan penafsiran dari
keduanya bahwa Sayyid Quthb menafsirkan Amar ma‟ruf nahi munkar
dengan lebih detail dibandingkan dengan al-Sya‟rāwī.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsep Amar ma’ruf nahi munkar secara universal mufassir bersepakat
dimaknai dengan memerintahkan untuk melakukan perbuatan yang ma’ruf dan
mencegah berbuat yang munkar, sedangkan model aplikasinya bervariatif,
tergantung pada kondisi dan situasi.
Dalam konsep Sayyid Quthb, yang corak penafsirannya bersifat “hiraki”
(pergerakan) maka konsep tersebut diarahkan kepada aspek yang legal-formal.
Hal ini dapat dilihat dari aspek “psikologi” seorang mufasir karena ketika ia
menafsirkan akan bergumul dengan realitas dan kondisi keadaanya.
Maka, konsep Amar ma’ruf nahi munkar ia maknai secara prinsipil yakni
sebuah transformasi dari aspek yang menurutnya dikatakan sebagai “Aqidah” ke
arah jalan dakwah. Dengan arti menyeru manusia berbuat kebaikan sebelum
menghadapi peperangan melawan kemunkaran. Mereka dilahirkan untuk maju ke
depan, memegang kendali pemimpin karena mereka adalah umat terbaik.
Sedangkan menurut al Sya’rawi ia lebih dekat ke arah pendidikan
sekalipun ia dikenal juga seorang reformer/pejuang sehingga sikapnya dalam
menafsirkan agak sedikit lebih lentur daripada Sayyid Quthb, maka hasil
penafsirannya ada dalam konteks rekonsiliasi dan tarbawi. Hal ini terlihat dalam
penafsirannya dalam Q.S. Ali Imran: 104 bahwa untuk melakukan Amar ma’ruf
nahi munkar, masyarakat diperintahkan untuk melakukannya dengan “continue”
terus-menerus sehingga mereka terbiasa.
Berbeda dengan Sayyid Quthb yang mengartikan mesti ada satu golongan
atau kekuasaan yang menyereru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran.
Dalam ranah ini, kekuasaan menjadi sebab hilangnya kemunkaran, bukan dari
ranah “khuluqiyah” sebagaimana yang diterapkan al Sya’rawi.
76
Dengan demikian, dari segi bentuk universal kedua ulama ini memiliki
persamaan dalam kasus amar ma’ruf nahi munkar. Namun dari sisi bentuk
partikular dan substansi jelas berbeda, karena interpretasi Sayyid Quthb lebih
keras dan legal-formal sedangkan al Sya’rawi lembut dan ishlahi.
B. SARAN-SARAN
Kajian mengenai Amar ma’ruf nahi munkar sangatlah penting untuk
dikaji, sebab hampir manusia wajib melaksanakan Amar ma’ruf nahi munkar.
Karena mengajak kebaikan dengan mencegah kemunkaran itu adalah yang harus
dilaksanakan. Oleh karena itu, penelitian ini belum cukup sampai di sini, untuk itu
penulis berharap agar para pembaca yang membaca skripsi ini bersedia untuk
melajutkan penelitian ini dengan lebih meluas dan lebih baik lagi. Karena penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan ini meskipun skripsi
ini ditulis dengan semaksimal mungkin, akan tetapi penulis menyadari
kemampuan dan keterbatasan penulis.
Dengan adanya skripsi ini, penulis berharap agar kajian mengenai Amar
ma’ruf nahi munkar bisa memberikan pemahaman baru yang akan merevisi cara
pandang kita terhadap masalah-masalah yang kita hadapi sehari-hari. Āmīn.
77
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Fatah al-Kalidi Shalah, Pengantar Memahami Tafsir Fi Dilalil Qur’an, terj
Salafuddin Abu Sayyid (Surakarta: Era Internasional, 2001).
Abdul Fattah al Khalidi Shalah, Tafsir Metodologi Pergerakan Di Bawah
Naungan al Quran, terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit
Yayasan Bunga Karang, Jakarta, h. 17-20. Lihat Fadhullah, Mahdi,
Ma’a Sayyid Quthub Fi Fikrihi Al-Siyasah Wa Al-Din, Mua‟sasah Al-
Risalah, Beirut,1979.
Adegabriel, Negara Tuhan (Yogyakarta: IRNIS, 2006).
Ali bin Yasin, hukum-hukum Amar ma’ruf nahi munkar penerjemah, Uwais al-
Qarni; penyunting A.Saifullah (bogor: pustaka Thariqul Izzah, 2012).
Audah Salman Al Dan Fadil Ilahi, “Amar Ma’ruf Nahi Mûnkar,” (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 1993).
Darwis Saleh Bin Abdullah, Konsep Amar Ma’ruf Nahi Mûnkar Dan Relasi
Dunia Modern (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996).
-------, Saleh Bin Abdullah, Konsep Amar Ma’ruf Nahi Mûnkar Dan Relasi
Dunia Modern (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996).
Hamka. Dr, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Pajimas,1983).
Hasyimi Muhammad Ali, terjemahan Muzaffar Sahidu Amar Ma’ruf Nahi
Mûnkar dalam masyarakat muslim, jurnal Islam House, 2011-1432.
Iyâzi Alî Muhammad, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran:
Mu‟assasah al-Thabâ`ah wa al-Nasyr, 1372 H).
Jazar Yasin Muhammad, Muhammad Mutawalli al-Sya`râwi; `Âlim `Ashruhu fî
`Uyûn `Ashrihi, (Kairo: Maktabah al-Turâts al-Islâmiy, 1409 H).
Jawas Abdul Qadir bin Yazid , amar ma’ruf nahi munkar menurut Ahlus Sunnah
wal Jamaah (Depok: pustaka Khazanah Fawā‟id, 2017).
-------, Abdul Qadir bin Yazid , amar ma’ruf nahi munkar menurut Ahlus Sunnah
wal Jamaah (Depok: pustaka Khazanah Fawā‟id, 2017).
Jauhar Husein Mursy al-Ahmad, Sya‟rawy Mutawally Muhammad al-Syeh Imam
al-„Ashry, (kairo: Handasah Mishr,1990).
Mahmud Ali Abdul Halim prof. DR, karakteristik umat terbaik telaah manhaj,
akidah, dan harakah, penyunting subhan cet, 1 (Jakarta, Gema Insani
Press, 1996).
Madjid Nurcholis, Masyarakat Religious, (Jakarta: Paramadina, 2000)
Muhammad Herry, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20,
(Jakarta:Gema Insani, 2006), Lihat Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil
Qur’an, Di Bawah Naungan Al-Qur’an (Al Fatihah-Al-Baqarah), Jilid I,
78
terj. As‟ad Yassin Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob
Hamzah, (Jakarta: Gema Insani, 2000).
Muhibbin Zainul, Amar Ma’ruf Nahi Mûnkar Mu’tazilah dalam persfektif al-
Zamakhasharî, Jurnal tasawuf dan pemikiran Islam, 2012.
Mukti Ali, Membangun Moralitas Bangsa,(Yogyakarta:LPPI Ummy,1998)
Nazir Muhammad, Metode Penelitian (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003).
Quṭhb Sayyid, Tafsir Fî Ẕilâl Al-Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an,
Penerjemah: As‟ad Yasin Dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008).
-------, Sayyid, Tafsir Fî Ẕilâl Al-Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an,
Penerjemah: As‟ad Yasin Dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), Jil II.
-------, Sayyid , Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an Penerj
As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Jilid 3, Cet.
1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001).
-------, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an Penerj
As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Jilid 3,
Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001).
-------, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an Penerj
As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Jilid 9,
Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001).
-------, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an di bawah naungan Al-Qur‟an Penerj
As‟ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Jilid 3,
Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001).
-------, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an di bawah naungan Al-Qur‟an Penerj
As‟ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Jilid 5,
Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2003).
-------, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an di bawah naungan Al-Qur‟an Penerj
As‟ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Jilid 3,
Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001).
Qurthubi Al, Tafsir Jami’ Li Ahkamil Qur’an (Damaskus, Darul Fikr, 1993).
RI Kemenag, Amar Ma’ruf Nahi Mûnkar (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Qur‟an, 2013).
Syibromalisi Ali Faizah, MA, Azizy Jauhar, MA membahas kitab tafsir klasik-
modern ( Ciputat : Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
oktober 2011 ).
Sya‟râwî Al, Tafsir al-Sya‟râwî, vol. IV.
Sya‟râwî Al, Tafsir al-Sya‟râwî, j. IV.
79
Sya‟râwî Al, Tafsir al-Sya‟râwî, vol. IX.
Sya‟rāwī Mutawalli Muhammad Syekh, Tafsir Sya’rāwī,; Renungan Seputar
Kitab Suci al-Qur‟ān,jilid. 2, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007).
-------, Mutawalli Muhammad Syekh, Tafsir Sya’rāwī,; Renungan Seputar Kitab
Suci al- Qur‟ān,jilid. 2, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007).
-------, Mutawalli Muhammad Syekh,Tafsir Sya’rāwī; Renungan Seputar Kitab
Suci al-Qur’ān, Cet. 10 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007).
-------, Mutawalli Muhammad Syekh Tafsir Sya’rāwī; Renungan Seputar Kitab
Suci al-Qur‟ān,jilid. 5, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007).
Taimiyah Ibnu Islam Syaikhul, Mawqi‟ Al Islam, Al Amru Bil Ma’ruf wan Nahyu
‘anil Munkar, (Jakarta: Pustaka Pajimas 1988).
-------, Ibnu, terjemahan Akhmad Hasan, Amar Ma’ruf Nahi Mûnkar
(perintah kepada kebaikan larangan dari kemungkaran), Departemen
urusan keislaman kerajaan Arab Saudi.
-------, Ibnu, Menuju Umat Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Jakarta:Pustaka
Pajimas 1988).
Jurnal:
Abdullah Muhammad, terjemahan Muzaffar Sahidu Ajuran Menegakkan Amar
Ma’ruf Nahi Mûnkar, jurnal Islam House, 2011-1432.
-------, Bin Amin, terjemahan Muzaffar Sahidu Urgensi Amar Ma‟ruf Nahi
Mûnkar, jurnal Islam House, 2011-1432.
Aliyah Sri, Kaidah-kaidah Tafsir Fi ZhilaliI Al-Qur’an JIA/Desember
2013/Th.XIV/Nomor 2/39-60.
Artikel:
Zulkarnain Kusnadi Zulhilmi, Makna amar ma’ruf nahi mûnkar menurut
Muhammad Asad dalam kitab the message of the Qur’an, vol.18, No.2
(Palembang,2017)
Skripsi:
Mohi Bin Hadi Abdul Skripsi Deskripsi Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Menurut Al-
Qur‟an (Kajian Terhadap Tafsir Fi Ẕilâl Al-Quran Karya Sayyid Quṯhb).
Rinaldi Nisfu, Penafsiran Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Dalam Perspektif Tafsir
Al-Azhar Dan Al-Misbah, Ciputat: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2010.
Website :
Tuasikal Abduh Muhammad,MSc, https://rumaysho.com
80
http://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir-al-syarawi-khawatir-al-syarawi-
haula-al-quran-al-karim/