Upload
aditya-safarudin
View
8
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
KATA PENGANTAR Dengan segala kerendahan hati penulis panjatkan atas syukur kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat nya yang di limpahkan kepada penulis sehinga penulis dapat menyelesaikan makalah yang ber judul “HUKUM LINGKUNGAN” berbagai usaha untuk menyajikan makalah ini dengan baik dan sempurnah telah penulis lakukan, namun sebagai manusia biasa penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, untuk itu segaah KRITIKAN DAN SARAN yang bersifat untuk menyempurnakan makalah ini, penulis terima dengan lapang dada. Ahir kata penulis mohon maaf yang tak terhinga atas segala kekurangan dan kesalahan dalam makala ini serta berharap walaupun jauh dari kesempurnaan makalah ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum selanjutnya...
DAFTAR ISI
1. LEMBARAN JUDUL .......................................................................2. KATA PENGANTAR .......................................................................3. DAFTAR ISI ...................................................................................4. BABl.PENDAHULUAN....................................................................A. Latar belakang ........................................................................B. Identifikasi masalah ...............................................................5. BAB ll. PEMBAHASAN ..................................................................A. Pengertian H lingkungan .........................................................B. Pelaksanaan prinsip tanggungjawab mutlak
strict leabiliti ..........................................................................C. Uu no 23 thn 1997 ................................................,..................6. BAB lll. PENUTUP ........................................................................A. Kesimpulan .............................................................................B. Saran ......................................................................................7. DAFTAR KEPUSTAKAAN................................................................
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lingkungan Hidup di Indonesia menyangkut tanah, air, dan udara dalam wilayah
negara Republik Indonesia. Semua media lingkungan hidup tersebut merupakan wadah
tempat kita tinggal, hidup serta bernafas. Media lingkungan hidup yang sehat, akan
melahirkan generasi manusia Indonesia saat ini serta generasi akan datang yang sehat dan
dinamis.
Pembangunan industri, eksploitasi hutan serta sibuk dan padatnya arus lalu lintas
akibat pembangunan yang terus berkembang, memberikan dampak samping. Dampak
samping tersebut berakibat pada tanah yang kita tinggali, air yang kita gunakan untuk
kebutuhan hidup maupun udara yang kita hirup. Apabila tanah, air dan udara tersebut pada
akhirnya tidak dapat lagi menyediakan suatu iklim atau keadaan yang layak untuk kita
gunakan, maka pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup telah terjadi.
Pencemaran lingkungan hidup, bukan hanya akan berdampak buruk bagi kehidupan
masyarakat yang ada sekarang namun juga akan mengancam kelangsungan hidup anak cucu
kita kelak. Oleh karena itu baik masyarakat, maupun pemerintah berhak dan wajib untuk
melindungi lingkungan hidup. Masyarakat diharapkan secara aktif dapat berperan serta aktif
dalam pelestrian lingkungan sedangkan pemerintah berupaya dengan memberikan
perlindungan bagi lingkungan hidup negaranya dan masyarakat yang tinggal dalam
lingkungan hidup negaranya melalui berbagai peraturan perundang-undangan.
UU Lingkungan Hidup No. 32 tahun 2009 adalah suatu produk pemerintah untuk
menjaga kelestarian lingkungan hidup sekaligus memberi perlindungan hukum bagi
masyarakat agar selalu dapat terus hidup dalam lingkungan hidup yang sehat.
Upaya pemulihan lingkungan hidup dapat dipenuhi dalam kerangka penanganan
sengketa lingkungan melalui penegakkan hukum lingkungan, dan dalm penegakan hokum
lingkungan ada istilah tanggung jawab mutlak atau strict liability bagi pelaku pencemaran
lingkungan dengan ketentuan tertentu.
1.2 Perumusan Masalah
Melalui pembahasan singkat di Bab Pendahuluan mengenai permasalahan Lingkungan Hidup
maka penulis mencoba mengambil dua hal yang sekira nya menjadi permasalahan dan
memerlukan pembahasan dalam makalah kali ini,yaitu :
1. Apa hubungan hokum lingkungan terhadap amdal?
2. Bagaimana penerapan UU No 32 Tahun 2009 terkait dengan penyelesaian sengketa
hukum?
1.3 Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang hukum
Lingkungan , perbedaan antara UU No 23 Tahun 1997 dengan UU No 32 tahun 2009 dan
penerapan UU No 32 Tahun 2009 terkait dengan penyelesaian sengketa hukum.
BAB IIPEMBAHASAN
Pengertian AMDAL
AMDAL yaitu singkatan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan disebutkan bahwa AMDAL merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. AMDAL sendiri merupakan suatu kajian mengenai dampak positif dan negatif dari suatu rencana kegiatan/proyek, yang dipakai pemerintah dalam memutuskan apakah suatu kegiatan/proyek layak atau tidak layak lingkungan. Kajian dampak positif dan negatif tersebut biasanya disusun dengan mempertimbangkan aspek fisik, kimia, biologi, sosial-ekonomi, sosial budaya dan kesehatan masyarakat.Adapun berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan disebutkan bahwa AMDAL atau Analisis Mengenai Lingkungan Hidup adalah kajian mengenai dampak penting suatu Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan Usaha dan/atau Kegiatan.
Pengertian Penegakan Hukum.Penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris law enforcement. Istilah
penegakan hukum dalam Bahasa Indonesia membawa kita kepada pemikiran bahwa penegakan hukum selalu dengan paksaan (force) sehingga ada yang berpendapat bahwa penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja.1 Penegakan hukum memiliki arti yang sangat luas meliputi segi preventif dan represif, cocok dengan kondisi Indonesia yang unsur pemerintahnya turut aktif dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku. Pengertian penegakan hukum lingkungan dikemukakan oleh Biezeveld sebagai berikut:
Environmental law enforcement can be defined as the application of legal govermental powers to ensure compliance with environmental regulations by means of:
a. Administrative supervision of the compliance with environmental regulationsb. Administrative measures or sanctions in case of non compliance c. Criminal investigation in case of presumed offencesd. Criminal measures or sanctions in case of offencese. Civil action (law suit) in case of (threatening) non compliance
Penegakan hukum lingkungan merupakan penegakan hukum yang cukup rumit karena hukum lingkungan menempati titik silang antara antara pelbagai bidang hukum
1
klasik. Penegakan hukum lingkungan merupakan mata rantai terakhir dalam siklus pengaturan perencanaan kebijakan tentang lingkungan yang urutannya sebagai berikut:2
1. Perundang-undangan
2. Penentuan standar
3. Pemberian izin
4. Penerapan
5. Penegakan hukum
Menurut Mertokusumo, kalau dalam penegakan hukum, yang diperhatikan hanya kepastian hukum, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan. Oleh karena itu dalam penegakan hukum lingkungan ketiga unsur tersebut yaitu kepastian, kemanfaatan, dan keadilan harus dikompromikan. Artinya ketiganya harus mendapat perhatian secara proposional seimbang dalam penanganannya, meskipun di dalam praktek tidak selalu mudah melakukannya.3
Berbeda halnya dengan M. Daud Silalahi yang menyebutkan bahwa penegakan hukum lingkungan mencakup penaatan dan penindakan (compliance and enforcement) yang meliputi hukum administrasi negara, bidang hukum perdata dan bidang hukum pidana.
. ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN (AMDAL) DALAM PERANGKAT UNDANG-UNDANG YANG
BARU
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 kewajiban AMDAL diatur dalam Pasal 22 :
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal.
(2) Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria:
a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. luas wilayah penyebaran dampak;
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
e. sifat kumulatif dampak;
f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
2 Ibid, hal 52.3 R.M Gatot Soemartono, op.cit, hal 66
g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkn kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan amdal terdiri
atas: (Pasal 23)
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan;
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta
lingkungan sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam
dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;
h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau
i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
Dalam UU ini dokumen amdal merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Selain itu
Dokumen amdal memuat:
a. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan;
c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan;
d. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau
kegiatan tersebut dilaksanakan;
e. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan
lingkungan hidup; dan
f. rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
Sedangkan keterlibatan dan peran serta masyarakat dalam UU ini diatur dalam Pasal 26 yang menyatakan :
(1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan
masyarakat.
(2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap
serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. yang terkena dampak;
b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau
c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam prosesamdal.
Selain itu masyarakat dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal.
Mengenai kompetensi penyusun AMDAL diatur dalam Pasal 28 yang menyatakan :
(1) Penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 27 wajib memiliki sertifikat
kompetensi penyusun amdal.
(2) Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimasud pada ayat (1)
meliputi:
a. penguasaan metodologi penyusunan amdal;
b. kemampuan melakukan pelingkupan, prakiraan, dan evaluasi dampak serta pengambilan keputusan; dan
c. kemampuan menyusun rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
(3) Sertifikat kompetensi penyusun amdal iterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi penyusun amdal yang
ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penilaian dokumen Amdal diatur dalam Pasal 29 yang menyatakan :
(1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensi dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(3) Persyaratan dan tatacara lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Keanggotaan komisi Amdal diatur dalam Pasal 30 yang menyatakan :
(1) Keanggotaan Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 terdiri atas wakil dari unsur:
a. instansi lingkungan hidup;
b. instansi teknis terkait;
c. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji;
d. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan
yang sedang dikaji;
e. wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak; dan
f. organisasi lingkungan hidup.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Penilai Amdal dibantu oleh tim teknis yang terdiri atas pakar
independen yang melakukan kajian teknis dan sekretariat yang dibentuk untuk itu.
(3) Pakar independen dan sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Beberapa ketentuan lain diatur dalam beberapa pasal diantaranya :
Pasal 31
Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai Amdal, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan
keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 32
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah membantu penyusunan amdal bagi usaha dan/atau kegiatan golongan
ekonomi lemah yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup.
(2) Bantuan penyusunan amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi, biaya, dan/atau
penyusunan amdal.
(3) Kriteria mengenai usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah diatur dengan peraturan perundang-
undangan.
Dalam UU ini diatur juga mengenai UKL dan UPL. Ketentuan mengenai UKL dan UPL dan SPPL diatur dalam
Pasal 34-35 yang menyatakan :
Pasal 34
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKL-UPL.
(2) Gubernur atau bupati/walikota menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan
UKL-UPL.
Pasal 35
(1) Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(2) wajib membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
(2) Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
kriteria:
a. tidak termasuk dalam ketegori berdampak penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1); dan
b. kegiatan usaha mikro dan kecil.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL dan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup diatur dengan peraturan Menteri.
Berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2009 khususnya Pasal 33 menyatakan :
Ketentuan lebih lanjut mengenai amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 32 diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Dengan berlakunya Undang-undang nomor 32 Tahun 2009, hingga saat ini belum terbit peraturan yang lebih
operasional yaitu Peraturan Pemerintah. Namun dengan kondisi tersebut maka Peraturan Pemerintah yang
berlaku saat ini dan diakui keberadaannya adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999.
Undang-Undang Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan AMDAL
Aturan Hukum Mengenai AMDAL Pelaksanaan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) tentunya berpedoman pada aturan hukum yang berlaku. Aturan hukum yang melandasi pelaksanaan AMDAL tentunya dari tingkat paling atas hingga rendah. Berikut ini merupakan aturan-aturan hukum mengenai pelaksanaan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).1. Undang-Undang a. Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok -pokok Agraria. b. Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem (Lembaran Negara RI Tahun 1990 No. 49 Tahun 1990 Tambahan Lembaran Negara No 3419). c. Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman d. Undang-Undang RI No. 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. e. Undang-Undang RI No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 No. 115, Tambahan Lembaran Negara No 3501). f. Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations Conventation On Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati g. Undang-Undang RI No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Republik Indonesia Tahun 1997 No. 68 Tambahan Lembaran Negara No. 3699). h. Undang-Undang RI No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah i. Undang-Undang RI No. 41 Tahun 1999 Tentang KehutananSumber: http://bapedalda.acehprov.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=52:dasar-hukum-amdal&catid=39:produk-hukum&Itemid=27
Di bawah ini merupakan UU 32 Tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dimana paragraf 5 merupakan penjelasan mengenai AMDAL.
Download : http://www.komisiinformasi.go.id/assets/data/arsip/UU_32_Tahun_2009.pdf
2. Peraturan Pemerintah Daerah atau Peraturan Gubernura. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Dan Penaatan Hukum Lingkungan.b. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.c. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 Jawa Barat Nomor 6 Tahun 1999 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri di Jawa Barat.
Penegakan hukumUndang-Undang No.23 Tahun 1997 menyediakan tiga macam penegakan hukum lingkungan yaitu penegakan hukum administrasi, perdata dan pidana. Diantara ke tiga bentuk penegakan hukum yang tersedia, penegakan hukum administrasi dianggap sebagai upaya penegakan hukum terpenting. Hal ini karena penegakan hukum administrasi lebih ditujukan kepada upaya mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan. Di samping itu, penegakan hukum administrasi juga bertujuan untuk menghukum pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan
Penegakan Hukum Administrasi
Penegakan hukum lingkungan administrasi pada dasarnya berkaitan dengan pengertian dari penegakan hukum lingkungan itu sendiri serta hukum administrasi karena penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi tiga bidang hukum yaitu administrasi, perdata dan pidana. Dengan demikian penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai ketaatan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang
berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan (atur dan awasi) atau control and common sarana administratif, keperdataan dan kepidanaan.4
Penggunaan hukum administrasi dalam penegakan hukum lingkungan mempunyai dua fungsi yaitu bersifat preventif dan represif. Bersifat preventif yaitu berkaitan dengan izin yang diberikan oleh pejabat yang berwenang terhadap pelaku kegiatan, dan dapat juga berupa pemberian penerangan dan nasihat. Sedangkan sifat represif berupa sanksi yang diberikan oleh pejabat yang berwenang terhadap pelaku atau penanggung jawab kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran.5
Penegakan hukum administrasi memberikan sarana bagi warganegara untuk menyalurkan haknya dalam mengajukan gugatan terhadap badan pemerintahan. Gugatan hukum administrasi dapat terjadi karena kesalahan atau kekeliruan dalam proses penerbitan sebuah Keputusan Tata Usaha Negara yang berdampak penting terhadap lingkungan.6
Penegakan hukum administrasi yang bersifat preventif berawal dari proses pemberian izin terhadap pelaku kegiatan sampai kewenangan dalam melakukan pengawasan yang diatur dalam Pasal 18, 22, 23, dan 24 UUPLH. Sedangkan yang bersifat represif berhubungan dengan sanksi administrasi yang harus diberikan terhadap pencemar yang diatur dalam Pasal 25 sampai Pasal 27 UUPLH.
Pelanggaran tertentu terhadap lingkungan hidup dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin usaha dan atau kegiatan. Bobot pelanggaran peraturan lingkungan hidup bisa berbeda-beda, mulai dari pelanggaran syarat administratif sampai dengan pelanggaran yang menimbulkan korban. Pelanggaran tertentu merupakan pelanggaran oleh usaha dan atau kegiatan yang dianggap berbobot untuk dihentikan kegiatan usahanya, misalnya telah ada warga masyarakat yang terganggu kesehatannya akibat pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. Penjatuhan sanksi bertujuan untuk kepentingan efektifitas hukum lingkungan itu agar dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat. Sanksi itu pula sebagai sarana atau instrumen untuk melakukan penegakan hukum agar tujuan hukum itu sesuai dengan kenyataan.7
Siti Sundari Rangkuti menyebutkan bahwa penegakan hukum secara preventif berarti pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan, kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut peristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar. Instrumen penting dalam penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang bersifat pengawasan (pengambilan sampel, penghentian mesin dan sebagainya). Dengan demikian izin penegak hukum yang utama di sini adalah pejabat atau aparat pemerintah yang berwenang memberi izin dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Penegakan hukum represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan.8
Dalam rangka efektifitas tugas negara, Pasal 25 UUPLH memungkinkan Gubernur untuk mengeluarkan paksaan pemerintah untuk mencegah dan mengakhiri pelanggaran, untuk menanggulangi akibat dan untuk melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan dan pemulihan. Disamping paksaan pemerintah, upaya lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah melalui audit lingkungan. Audit lingkungan merupakan suatu instrumen penting bagi penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk meningkatkan efisiensi kegiatan dan kinerjanya dalam menaati persyaratan lingkungan hidup yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Audit lingkungan hidup dibuat secara sukarela untuk memverifikasi ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang berlaku, serta dengan kebijaksanaan dan standar yang diterapkan secara internal oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan yang bersangkutan.
Penegakan hukum administrasi yang bersifat represif merupakan tindakan pemerintah dalam pemberian sanksi administrasi terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup. Sanksi administrasi berupa:9
(1) pemberian teguran keras
(2) pembayaran uang paksaan
(3) penangguhan berlakunya izin.
(4) pencabutan izin
Mas Achmad Santosa menyebutkan bahwa penegakan hukum lingkungan di bidang administrasi memiliki beberapa manfaat strategis dibandingkan dengan peranngkat penegakan hukum lainnya oleh karena:
- Penegakan hukum lingkungan dapat dioptimal sebagai perangkat pencegahan.
- Penegakan hukum lingkungan administrasi lebih efisien dari sudut pembiayaan bila dibandingkan dengan penegakan
hukum perdata dan pidana. Pembiayaan untuk penegakan hukum administrasi hanya meliputi pembiayaan pengawasan
lapangan dan pengujian laboratorium.
- Penegakan hukum lingkungan administrasi lebih memiliki kemampuan mengundang partisipasi masyarakat dimulai dari
proses perizinan, pemantauan, penaatan/ pengawasan dan partisipasi masyarakat dal;am mengajukan keberatan untuk
meminta pejabat tata usaha negara dalam memberlakukan sangsi administrasi.
4 Ninik Suparni, Pelestarian, Pengelolaan Dan Peneghakan Hukum Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal.161
5 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 486 Takdir Rahmadi, Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun, Airlangga University Press,
Surabaya, 2003, hal 25.7 Siswanto Sunarso, Hukum Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Rineka Cipta,
Jakarta, 2005, Hal. 96.8 Siti Sundari Rangkuti, op.cit, hal 209 9 R.M Gatot P. Soemartono, op.cit, hal 68.
Perangkat penegakan hukum administrasi sebagai sebuah sistem hukum dan pemerintahan paling tidak harus meliputi, yang merupakan prasyarat awal dari efektifitas penegakan hukum lingkungan administrasi yaitu :
1. Izin, yang didayagunakan sebagai perangkat pengawasan dan pengendalian.
2. Persyaratan dalam izin dengan merujuk pada AMDAL, standar baku mutu lingkungan, peraturan perundang undangan.
3. Mekanisme pengawasan penaatan.
4. Keberadaan pejabat pengawas yang memadai secara kualitas dan kuantitas
5. Sanksi administrasi.
Selanjutnya Mas Achmad Santosa mengemukakan sepuluh mekanisme penegakan hukum lingkungan administrasi yaitu:
1. Permohonan izin harus disertai informasi lingkungan sebagai alat pengambilan keputusan-studi AMDAL: RKL, dan RPL,
atau UKL dan UPL dan informasi-informasi lingkungan lainnya.
2. Konsultasi publik dalam rangka mengundang berbagai masukan dari masyarakat sebelum izin diterbitkan.
3. Keberadaan mekanisme pengolahan masukan publik untuk mencegah konsultasi publik yang bersifat basa basi.
4. Atas dasar informasi-informasi yang disampaikan dan masukan publik, pengambilan keputusan berdasarkan kelayakan
lingkungan di samping kelayakan dari sudut teknis dan ekonomis dilakukan.
5. Apabila izin telah dikeluarkan, maka izin tersebut harus diumumkan dan bersifat terbuka untuk umum.
6. Laporan penaatan yang dibuat secara berkala oleh pemegang izin dan disampaikan kepada regulator.
7. Inspeksi lapangan dibuat secara berkala dan impromtu sesuai dengan kebutuhan.
8. Tersedianya hak dan kewajiban pengawas dan hak serta kewajiban objek yang diawasi yang dijamin oleh undang-undang.
9. Pemberlakuan sanksi administrasi yang diberlakukan secara sistematis dan bertahap.
10. Mekanisme koordinasi antara pejabat yang bertanggung jawab di bidang penegakan hukum administrasi dengan penyidik
pidana apabila pelanggaran telah memenuhi unsur-unsur pidana.
b. Penegakan Hukum Perdata
Penggunaan hukum perdata dalam penegakan hukum lingkungan hidup berkaitan dengan penyelesaian lingkungan hidup akibat dari adanya perusakan lingkungan oleh pelaku usaha atau kegiatan. Di sini penegakan hukum perdata berperan dalam bentuk permintaan ganti rugi oleh korban pencemaran dan perusakan lingkungan hidup kepada pihak pencemar yang dianggap telah menimbulkan dampak pencemaran terhadap lingkungan.
Penggunanaan instrumen hukum perdata dalam penyelesaian sengketa-sengketa yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup pada hakekatnya memperluas upaya penegakan hukum dari berbagai peraturan perundang-undangan.10 Ada dua macam cara yang dapat ditempuh untuk meyelesaikan sengketa lingkungan hidup:
1. Penyelesaian melalui mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
2. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
Tujuan penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah untuk mencari kesepakatan tentang bentuk dan besarnya ganti rugi atau menentukan tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pencemar untuk menjamin bahwa perbuatan itu tidak terjadi lagi dimasa yang akan datang (pasal 31 UUPLH). Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini dapat dilakukan dengan menggunakan jasa pihak ketiga baik yang memiliki ataupun yang tidak memiliki kewenangan untuk membuat keputusan, serta membolehkan masyarakat atau pemerintah membuat lembaga penyedia jasa lingkungan untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan.
Diketahui bahwa dalam kasus pencemaran lingkungan, korban pada umumnya awam soal hukum dan seringkali berada pada posisi ekonomi lemah bahkan sudah berada dalam keadaan sekarat. Sungguh berat dan terasa tidak adil mewajibkan penderita yang memerlukan ganti kerugian justru dibebani membuktikan kebenaran gugatannya. Menyadari kesulitan itu maka tersedia alternatif konseptual dalam hukum lingkungan keperdataan yang merupakan asas tanggung jawab mutlak. Pasal 35 UU No. 23 Tahun 1997 mengandung sistem “Liability without fault” atau “strict liability”.
Batasan dari sistem ini adalah kalau pencemaran atau perusakan lingkungan tersebut menimbulkan dampak yang besar dan penting, misalnya akibat dari pencemaran tersebut menimbulkan korban yang banyak dan kematian, sehingga korban tidak perlu lagi membuktikan kesalahan dari pelaku.
Strict liability meringankan beban pembuktian. Kegiatan-kegiatan yang dapat diterapkan prinsip strict liability diatur dalam Pasal 35 UUPLH sebagai berikut: usaha dan kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, serta kegiatan yang mengahsilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.
10 Niniek Suparni, Op. Cit, hal 160
c. Penegakan Hukum Pidana
Instrumen pidana ini sangat penting dalam penegakan hukum lingkungan untuk mengantisipasi perusakan dan pencemaran lingkungan. Dalam UU No. 23 Tahun 1997 dikenal dua macam tindak pidana yaitu:11
1. Delik materi (generic crimes)
Merupakan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan. Perbuatan ,elwan hukum seperti itu tidak harus dihubungkan dengan pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi sehingga delik materil ini disebut juga sebagai Administrative Independent Crimes.
2. Delik formil (spesific crimes)
Delik ini diartikan sebagai perbuatan yang melanggar aturan-aturan hukum administrasi. Oleh karena itu delik formil dikenal juga sebagai Administrative Dependent Crimes.
Dalam UUPLH dirumuskan beberapa perbuatan yang diklasifikasikan sebagai kejahatan:
a. kesengajaan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup.
b. Kesengajaan melakukan perbuatan yang mengakibatkan perusakan terhadap lingkungan hidup
c. Kealpaan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup
d. Kealpaan melakukan perbuatan yang mengakibatkan perusakan lingkungan hidup
e. Kesengajaan melepas atau membuang zat, energi dan atau komponen lain yang berbahaya
f. Kesengajaan memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang
diperlukan dalam kaitannya dengan butir (e)
g. Kealpaan melakukan perbuatan sebagaimana disebutkan dalam butir (e) dan (f) diatas.
Sanksi pidana dalam perlindungan lingkungan hidup dipergunakan sebagai ultimum remedium, dimana tuntutan pidana merupakan akhir mata rantai yang panjang. Bertujuan untuk menghapus atau mengurangi akibat-akibat yang merugikan terhadap lingkungan hidup. Mata rantai tersebut yaitu:12
1. penentuan kebijaksanaan, desain, dan perencanaan, pernyataan dampak lingkungan;
2. peraturan tentang standar atau pedoman minimum prosedur perizinan;
3. keputusan administratif terhadap pelanggaran, penentuan tenggang waktu dan hari terakhir agar peraturan ditaati;
4. gugatan perdata untuk mencegah atau menghambat pelanggaran, penelitian denda atau ganti rugi;
5. gugatan masyarakat untuk memaksa atau mendesak pemerintah mengambil tindakan, gugatan ganti rugi;
6. tuntutan pidana.
Fungsionalisasi hukum pidana untuk mengatasi masalah pencemaran lingkungan diwujudkan melalui perumusan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setidaknya ada dua alasan tentang mengapa sanksi pidana diperlukan. Pertama, sanksi pidana selain dimaksudkan untuk melindungi kepentingan manusia seperti harta benda dan kesehatan, juga untuk melindungi kepentingan lingkungan seperti harta benda dan kesehatan, juga untuk melindungi kepentingan lingkungan karena manusia tidak dapat menikmati harta benda dan kesehatannya dengan baik apabila persyaratan dasar tentang kualitas lingkungan yang baik tidak dipenuhi. Kedua, pendayagunaan sanksi pidana juga dimaksudkan untuk memberikan rasa takut kepada pencemar potensial. Sanksi pidana dapat berupa pidana penjara, denda, perintah memulihkan lingkungan yang tercemar, penutupan tempat usaha dan pengumuman melalui media massa yang dapat menurunkan nama baik pencemar yang bersangkutan.13
Apabila perbuatan pencemaran lingkungan hidup ini dikaitkan dengan peranan atau fungsi dari hukum pidana tadi maka peranan atau fungsi dari UULH adalah adalah sebagai social control, yaitu memaksa warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku, dalam hal ini adalah kaidah-kaidah yang berkenaan dengan lingkungan hidup. Kemudian apabila dihubungkan dengan masyarakat yang sedang membangun, maka dapat dikatakan bahwa peranan atau fungsi hukum pidana adalah sebagai sarana penunjang bagi pembangunan berkelanjutan.14
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Lingkungan
Dalam penegakan hukum lingkungan menurut Benjamin van Rooij, ada 6 faktor penting yang menentukan proses penegakan hukum yakni:15
11 Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan, hal. 13.12 Harun M. Husein, Lingkungan Hidup Masalah, Pemelolaan Dan Penegakan Hukumnya, Bumi
Aksara, Jakarta, 1995, hal 171.13 Takdir Rahmadi, op.Cit, hal 26.14 Niniek Suparni, op. Cit, hal 191.15 Soeryono Soekanto, op. cit, hal 3
1. Faktor-faktor sosial, ekonomi, politik tingkat makro.
2. Faktor-faktor undang-undang yang berlaku
3. Faktor-faktor antar kelembagaan
4. Faktor-faktor internal kelembagaan
5. Faktor-faktor kasus terkait
6. Faktor terkait dengan lembaga individual
Selain faktor-faktor diatas, faktor lain yang sangat penting dalam penegakan hukum lingkungan adalah masalah pembuktian.16 Dalam penegakan hukum lingkungan faktor-faktor tersebut saling terkait dan tidak bisa berdiri sendiri. Keterkaitan tersebut tampak sebagai berikut:
1. Faktor-faktor Sosial, Ekonomi, Politik pada Tingkat Makro.
Ada lima faktor pada tingkat makro yang mempunyai pengaruh utama terhadap keputusan penegakan hukum, yaitu:
a. kebijakan umum, melihat kepada otoritas dan prioritas penegakan hukum lingkungan dalam rangka
perlindungan terhadap lingkungan hidup.
b. Kinerja ekonomi negara akan mempengaruhi penegakan hukum lingkungan.
c. Ketidakstabilan sosial dan kondisi keamanan dalam negara akan mempengaruhi penegakan hukum lingkungan.
d. Birokrasi, struktur birokrasi baik yang bersifat sentralisasi, desentralisasi maupun dekosentrasi akan
mempengaruhi efektifitas, efisiensi penegakan hukum lingkungan hidup dan kontrol terhadap administrasi baik
pusat maupun daerah.
e. Kesadaran lingkungan pada level negara lebih tinggi di negara maju dibandingkan di negara berkembang. Hal
ini dipengaruhi oleh para pembuat keputusan yang tidak memihak pada perlindungan lingkungan hidup.
2. Faktor Undang-undang.
Merupakan kerangka normatif sebagai basis penegak hukum dalam membuat keputusan dan juga merupakan aturan substantif untuk menentukan apakah sudah terjadi pelanggaran dan aturan prosedural untuk sanksi sebagai reaksi dari pelanggaran.
3. Faktor eksternal kelembagaan (Antar Lembaga)
a. Institusi Kepemimpinan, wibawa seorang penegak hukum memberi pengaruh terhadap tegaknya hukum.
b. Lembaga Pelengkap
Dalam penegakan hukum dan penerapan sanksi diperlukan kerjasama dengan badan dan organisasi lain.
c. Si pengadu atau korban
Dalam hal ini pengadu adalah korban dari pencemaran atau perusakan lingkungan. Pengadu bervariasi, muali dari masyarakat sampai LSM atau organisasi pemerintahan. Tingkat keberhasilan pengaduan ditentukan oleh pengalaman pengadu. Semakin parah tingkat kerusakan yang diajukan pengadu semakin tertarik pula lembaga penegak hukum untuk mengambil tindakan secara serius.
d. Pelanggar
Status pelanggar mempengaruhi penegakan hukum lingkungan. Semakin tinggi status pelanggar semakin besar tekanan pada lembaga untuk tidak melakukan penegakan hukum. Besar kesalahan yang diadukan oleh pengadu bisa dipengaruhi oleh pelanggar karena ada interaksi antara pelanggar dengan penegak hukum.
e. Lembaga Kembaran
Mempengaruhi penegakan hukum karena adanya interaksi dengan lembaga lain yang berfungsi sebagai lembaga penegak hukum di daerah lain.
f. Publik Umum Lokal
Apabila pengaduan sudah menarik perhatian publik lokal dan bisa membuat tindakan yang berbeda dengan lembaga penegak hukum, maka keterlibatan publik lokal mungkin akan mempolitisir pengaduan.
16 R.M Gatot Soemartono, op. cit, hal 71
4. Faktor Interen Kelembagaan
Faktor interen kelembagaan dipengaruhi oleh:
a. sumber-sumber, suatu lembaga memerlukan sumber-sumber untuk mencapai tujuannya. Sumber tersebut
sangat dipengaruhi oleh bagaimana tujuan tersebut ditranslasikan dalam tugas. Sumber yang dimaksud tidak
hanya dari segi finansial tetapi juga sumber daya manusia.
b. Stuktur internal, menetapkan siapa yang akan melakukan atau yang mempunyai otoritas terhadap apa yang
akan dilakukan dan siapa yang mempunyai otoritas untuk membuat keputusan atas pengaduan. Dalam struktur
internal juga digariskan hubungan pembuat keputusan hubungan tersebut dikontrol melalui manajemen
internal.
c. Kepemimpinan
Dalam lembaga publik terdapat dua kepemimpinan yaitu manajer eksekutif dan manajer personalia. Masing-masing memiliki tugas dan otoritas yang berbeda.
d. Budaya organisasi, merupakan cara yang terpola yang tepat dari pertimbangan tentang tugas inti dan hubungan
manusia dengan organisasi. Budaya organisasi dapat membangkitkan semangat kerja dari aparat tanpa perlu
dipaksa oleh pimpinan.
5. Faktor Kasus Terkait
Ada dua faktor yang mempengaruhi proses pembuatan keputusan. Pertama, tingkat keparahan atau kerusakan yang dihasilkan dari suatu pelanggaran pada resiko tertinggi dan kerusakan aktual. Di sini aparat cendrung menggunakan sanksi penegakan hukum tertinggi pula. Faktor kedua adalah bukti-bukti yang dapat dikumpulkan terhadap suatu pelanggaran. Jika bukti lemah maka penegakan hukum kurang bisa dilakukan.
6. Faktor Aparat Individual
Aparat harus membuat keputusan berdasarkan sistem hukum yang berlaku sehingga diharapkan dapat membatu tegaknya hukum lingkungan.
3. Kendala Dalam Penegakan Hukum Lingkungan
Andi Hamzah menyebutkan adanya hambatan atau kendala terhadap penegakan hukum lingkungan di Indonesia:17
1. Hambatan yang bersifat alamiah
jumlah penduduk Indonesia yang besar dan tersebar di beberapa pulau serta beragam suku dan budaya memperlihakan persepsi hukum yang berbeda, terutama mengenai lingkungannya.
2. Kesadaran hukum masyarakat masih rendah
kendala ini sangat terasa dalam penegakan hukum lingkungan Indonesia. Untuk itu sangat diperlukan pemberian penerangan dan penyuluhan hukum secara luas.
3. Peraturan hukum menyangkut penanggulangan masalah lingkungan belum lengkap, khususnya masalah pencemaran,
pengurasan, dan perusakan lingkungan.
Undang-undang tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup belum dilengkapi seluruhnya dengan peraturan pelaksanaannya sehingga sebagai kaderwet belum dapat difungsikan secar maksimal. Misalnya tentang penentuan pelanggaran yang mana dapat diterapkan sebagai pertanggung jawaban mutlak (strict liability) secara perdata. Sudah ada ketentuan mengenai AMDAL, baku mutu, tetapi belum ada ketentuan tentang arti apa yang dimaksud dengan merusak atau rusak lingkungan di dalam ketentuan pidana. Begitu pula halnya dengan pengertian korporasi, korporasi dapat dipertanggungjawabkan pidana.
4. Para penegak hukum belum mantap khususnya untuk penegakan hukum lingkungan
Para penegak hukum belum menguasai seluk beluk hukum lingkungan. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan pendidikan dan pelatihan. Disamping itu juga belum adanya spesialisasi penegak hukum di bidang lingkungan.
5. Masalah pembiayaan
17 Andi Hamzah,, op.Cit, hal. 53-55.
penanggulangan masalah lingkungan memerlukan biaya yang besar disamping penguasaan teknologi dan manajemen. Perlu diketahui bahwa peraturan tantang lingkungan mempunyai dua sisi. Sisi yang pertama adalah kaidah atau norma, sedangkan sisi yang lain adalah instrumen yang merupakan alat untuk mempertahankan, mengendalikan, dan menegakkan kaidah atau norma itu
BAB IIIPENUTUP
Kesimpulan
Prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict Liability) merupakan prinsip pertanggung jawaban hukum (liability) yang telah berkembang sejak lama yang berawal dari sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam kasus ini Pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang menentukan, bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability jika penggunaan tersebut bersifat non natural atau di luar kelaziman, atau tidak seperti biasanya.
Pertanggung jawaban hukum konvensional selama ini menganut asas pertanggung jawaban erdasarkan kesalahan (liability based on fault), artinya bahwa tidak seorangpun dapat dikenai tanggung jawab jika pada dirinya tidak terdapat unsur-unsur kesalahan. Dalam kasus lingkungan dokrin tersebut akan melahirkan kendala bagi hukum dipengadilan karena dokrin ini tidak mampu mengantisipasi secara efektif dampak dari kegiatan industri modern yang mengandung resiko-resiko potensial.
Pertanggung jawaban mutlak pada awalnya berkembang dinegara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon atau common law, walaupun kemudian mengalami perubahan perkembangan dibeberapa negara untuk mengadopsinya.
Beberapa negara yang menganut asas ini antara lain Inggris, Amerika, Belanda, Thailand. Di Indonesia asas ini dimuat dalam Pasal 35 UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal ini pengertian tanggungjawab mutlak/strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Dimana besarnya ganti kerugian yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
SaranPada dasarnya kehidupan ini selaras seimbang antara segala sesuatu yang ada
didalamnya, yaitu makhluk hidup ada manusia, hewan dan tumbuhan, dan semua benda mati yang dapat dimanfaatkan dan mempunyai peran dalam kehidupan ini. Yang membuat lingkungan rusak dan tidak tertata lagi selain sang pencipta adalah masalah siapa yang menduduki dan menjadi pemimpin di atasn kehidupan lingkungan ini tiada lain yakni manusia. Kalau lingkungan mau stabil berarti manusia harus bisa menata kembali tatanannya dengan cara mendidik individu-individu manusianya agar dapat mengelola lingkungannya. Lingkungan dan Kependudukan bisa selaras apabila satu sama lain bisa seimbang.
Lingkungan akan menjadi bumerang bila, kita tidak bisa mengelolanya dengan baik. Apalagi kalau sudah terjadi bencana alam maka lingkungan akan mengancam keselamatan kita. Melestarikan lingkungan merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi dan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemimpin negara saja, melainkan tanggung jawab setiap insan di bumi, dari balita sampai manula. Setiap orang harus melakukan usaha untuk menyelamatkan lingkungan hidup di sekitar kita sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
Sekecil apa pun usaha yang kita lakukan sangat besar manfaatnya bagi terwujudnya bumi yang layak huni bagi generasi anak cucu kita kelak.
Upaya pemerintah untuk mewujudkan kehidupan adil dan makmur bagi rakyatnya tanpa harus menimbulkan kerusakan lingkungan ditindaklanjuti dengan menyusun program pembangunan berkelanjutan yang sering disebut sebagai pembangunan berwawasanlingkungan
Dalam kesempatan kali ini penyusun berharap dan memberikan saran agar kita selaku makhluk yang mendiami lingkungan harus bisa menjaga keseimbangan dan keselarasan lingkungan sendiri tidak perlu disuruh dan diperintah. Mulailah dari sekarang, dari hal yang terkecil, mulai dari diri kita masing-masing.
Dan tuntutlah ilmu juga pendidikan lebih luas dan bijaksana agar tatanan kehidupan selaras seimbang antara satu hal dengan hal lain yang ada didalamnya, dengan begitu maka akan tercipta kehidupan yang aman, nyaman dan tentram terkendali.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang
1. Indonesia. Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No23 Tahun 1997.
Buku 1. Sunarso, Siswanto, 2005. Hukum Pidana lingkungan Hidup Dan Strategi Penyelesaian Sengketa. Rineka Cipta. Jakarta
Website
1.http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/07/27/penegakkan-hukum-lingkungan-dan-pembangunan-berkelanjutan/
2. http://profsuhaidi.web.id/content/view/6/11/
3. http://riana.tblog.com/archive/2009/08/
4. http://srwahyuni.blogspot.com/2008/10/selamatkan-lingkungan.html
5. http://www.kejaksaan.go.id/uplimg/LINGKUNGAN%20HIDUP%20V.ppt