an Produk Unggulan Ubi Kayu

  • Upload
    eve-wil

  • View
    165

  • Download
    5

Embed Size (px)

Citation preview

PENGEMBANGAN KOMODITI UNGGULAN UBI KAYUPENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman ubi kayu (Manihot utilisima) memiliki berbagai varitas atau klonyang dapat langsung dikonsumsi sebagai makanan atau menjadi bahan baku bagi industri tapioka dan gaplek (manihok) ataupun tepung gaplek, yang selanjutnya dipergunakan untuk berbagai macam industri seperti makanan, makanan ternak, kertas, kayu lapis dan tainnya. Berdasarkan potensi fisik seperti kesesuaian lahan, iklim, sumberdaya manusia, dan tingkat adaptasi teknologi, tanaman ubi kayu banyak didapatkan dan bisa dibudidayakan di banyak tempat/lokasi di Indonesia sehingga memungkinkan untuk diusahakan oleh para petani secara luas. Hasil olahan ubi kayu berupa tapioka dan gaplek (manihok) dalam bentuk chips, pellet ataupun lainnya, telah lama menjadi komoditi ekspor yang sangat penting dalam menyumbang pendapatan devisa, karenanya merupakan aset yang sangat berharga dan perlu dijaga kelestariannya sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ekspor pada masa-masa selanjutnya. Pengalaman petani menunjukkan bahwa penanaman ubi kayu sering tidak membuahkan hasil yang cukup baik untuk keluarga, karena keadaan tata niaga kayu yang banyak dipengaruhi oleh fluktusi harga sehingga merugikan petani. Pada saat menjelang tanam, harga ubi kayu biasanya terlihat sangat menarik sehingga banyak petani berusaha menanamnya. Akan tetapi pada saat panen harga kayu kemudian jatuh sehingga banyak merugikan petani (berdasarkan data yang ada kapasitas pabrik dan potensi ekspor masih lebih besar dari jumlah produksi). Kondisi ini telah mendorong banyak petani untuk mengalihkan perhatian dan berusaha menanam komoditi seperti kelapa sawit. Di sisi lain, apabila hal ini terus dibiarkan, akan bisa berakibat turunnya produksi yang dapat menekan pasokan ubi kayu baik untuk keperluan ekspor ataupun konsumsi sawit dalam negeri. Lemahnya posisi petani ubi kayu dalam menghadapi pengaruh fluktuasi harga, terutama disebabkan karena ubi kayu memiliki daya simpan yang rendah,dan produktifitasnya juga rendah

akibat modal usaha yang sangat terbatas, disamping kebutuhan keluarga yang sudah sangat mendesak. Pendapatan petani ubi kayu akan makin rendah lag! karena pada saat dijual ke pabrik mendapatkan mutu ubi kayunya rendah dan rafaksi yang ditentukan secara sepihak oleh pabrik. Berdasarkan keadaan yang ada, maka salah satu alternatif untuk meng antisipasi masalah tersebut di atas, adalah dengan upaya mengadakan kerjasama antara para petani produsen ubi kayu di satu pihak dengan pengguna/pemakai ubi kayu (baik dengan kapasitas pabrik yang cukup besar, maupun dengan kapasitas pabrik yang sedang) di pihak lain, sehingga dapat diciptakan bentuk kerjasama kemitraan dengan tata niaga yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Untuk mendukung kelancaran kemitraan ini, para petani memerlukan dukungan permodalan untuk keperluan penanaman ubi kayu, di mana bank pelaksana dapat berperan dengan memberikan kredit dengan skim kredit yang sesuai. Secara teknis upaya mengembangkan budidaya ubi kayu harus diikuti dengan adanya upaya untuk mengubah/memperbaiki teknik budidaya yang selama ini masih konvensional menjadi teknik budidaya yang intensif. Hal ini dapat dicapai dengan lebih memantapkan penataan teknologi produksi mulai dari persiapan lahan, pengolahan lahan, penggunaan varietas unggul, pemeliharaan tanaman, Panen dan pasca panen serta distribusi pemasaran hasil. Para petani diharapkan dapat meningkatkan keterampilan teknis budidaya ini dengan adanya peran pembinaan yang diberikan oleh pihak mitra. Dalam uraian selanjutnya yang akan dibahas dalam Model Kelayakan Kemitraan Terpadu ini adalah pengembangan ubi kayu secara monokultur dan dilakukan secara intensif, dan produknya sebagai bahan baku untuk Perusahaan Tepung Tapioka ataupun Perusahaan eksportir gaplek/chips. Dengan budidaya ubi kayu secara monokultur ini, diharapkan petani akan betul-betui mengerjakan kebunnya dengan seintensif mungkin, karena hasil ubi kayu ini akan merupakan satu-satunya komoditas andalannya, walaupun sebenarnya pada saat vegetatif dapat dilakukan tumpang sari dengan komoditas lain seperti dengan jagung, kedele, kacang tanah dan tanaman palawija lainnya. Tujuan Tujuan pembuatan model kelayakan proyek kemitraan terpadu komoditas ubi kayu ini adalah untuk : (1). Memberikan

gambaran umum bagi perbankan yang berminat untuk membiayai usaha budidaya ubi kayu, dengan skim kredit yang sesuai dan cukup aman, karena pasar sudah terjamin, (2). Kredit yang disalurkan dapat mencapai sasaran, dan (3). Pengembalian kredit diharapkan akan lancar, karena adanya keterlibatan berbagai pihak terkait. Secara rinci tujuan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Menyediakan suatu referensi bagi perbankan tentang kelayakan budidaya tanaman ubi kayu yang ditinjau dari sisi prospek/kelayakan pasar, kelayakan teknis budidaya yang dilaksanakan dengan penerapan teknologi yang lebih maju, kelayakan dari sisi keuangan, terutama bilamana sebagian dari biaya produksi yang diperlukan akan dibiayai dengan kredit perbankan. Begitu juga pengorganisasian pelaksanaan proyeknya dapat menjamin kelancaran pelaksanaan dan menjamin keuntungan semua pihak; 2. Dengan demikian, tujuan dalam mengembangkan usaha kecil melalui peningkatan mutu budidaya tanaman ubi kayu tercapai sasarannya yang ditempuh melalui peningkatan realisasi kredit yang cocok untuk usaha kecil, meningkatkan keamanan pelaksanaan kreditnya, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani ubi kayu; 3. Mendorong perluasan budidaya ubi kayu serta meningkatkan produksi tepung tapioka dan gaplek/chips secara nasional untuk keperluan Dalam Negeri dan ekspor karena bahan baku ubi kayu dapat diusahakan cukup tersedia secara berkesinambungan. POLA KEMITRAAN TERPADU Oorganisasi Proyek Kemitraan Terpadu (PKT) adalah suatu program kemitraan terpadu yang melibatkan usaha besar (inti), usaha kecil (plasma) dengan melibatkan bank sebagai pemberi kredit dalam suatu ikatan kerja sama yang dituangkan dalam nota kesepakatan. Tujuan PKT antara lain adalah untuk meningkatkan kelayakan plasma, meningkatkan keterkaitan dan kerjasama yang saling menguntungkan antara inti dan plasma, serta membantu bank dalam meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih aman dan efisien. Dalam melakukan kemitraan hubunga kemitraan, perusahaan inti (Industri Pengolahan atau Eksportir) dan petani plasma/usaha

kecil mempunyai kedudukan hukum yang setara. Kemitraan dilaksanakan dengan disertai pembinaan oleh perusahaan inti, dimulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis dan pemasaran hasil produksi. Proyek Kemitraan Terpadu ini merupakan kerjasama kemitraan dalam bidang usaha melibatkan tiga unsur, yaitu (1) Petani/Kelompok Tani atau usaha kecil, (2) Pengusaha Besar atau eksportir, dan (3) Bank pemberi KKPA. Masing-masing pihak memiliki peranan di dalam PKT yang sesuai dengan bidang usahanya. Hubungan kerjasama antara kelompok petani/usaha kecil dengan Pengusaha Pengolahan atau eksportir dalam PKT, dibuat seperti halnya hubungan antara Plasma dengan Inti di dalam Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Petani/usaha kecil merupakan plasma dan Perusahaan Pengelolaan/Eksportir sebagai Inti. Kerjasama kemitraan ini kemudian menjadi terpadu dengan keikut sertaan pihak bank yang memberi bantuan pinjaman bagi pembiayaan usaha petani plasma. Proyek ini kemudian dikenal sebagai PKT yang disiapkan dengan mendasarkan pada adanya saling berkepentingan diantara semua pihak yang bermitra. 1. Petani Plasma Sesuai keperluan, petani yang dapat ikut dalam proyek ini bisa terdiri atas (a) Petani yang akan menggunakan lahan usaha pertaniannya untuk penanaman dan perkebunan atau usaha kecil lain, (b) Petani /usaha kecil yang telah memiliki usaha tetapi dalam keadaan yang perlu ditingkatkan dalam untuk itu memerlukan bantuan modal. Untuk kelompok (a), kegiatan proyek dimulai dari penyiapan lahan dan penanaman atau penyiapan usaha, sedangkan untuk kelompok (b), kegiatan dimulai dari telah adanya kebun atau usaha yang berjalan, dalam batas masih bisa ditingkatkan produktivitasnya dengan perbaikan pada aspek usaha. Luas lahan atau skala usaha bisa bervariasi sesuai luasan atau skala yang dimiliki oleh masing-masing petani/usaha kecil. Pada setiap kelompok tani/kelompok usaha, ditunjuk seorang Ketua dan Sekretaris merangkap Bendahara. Tugas Ketua dan Sekretaris Kelompok adalah mengadakan koordinasi untuk pelaksanaan kegiatan yang harus dilakukan oleh para petani anggotanya, didalam mengadakan hubungan dengan pihak Koperasi dan instansi lainnya yang perlu, sesuai hasil kesepakatan anggota. Ketua kelompok wajib

menyelenggarakan pertemuan kelompok secara rutin yang waktunya ditentukan berdasarkan kesepakatan kelompok. 2. Koperasi Para petani/usaha kecil plasma sebagai peserta suatu PKT, sebaiknya menjadi anggota suata koperasi primer di tempatnya. Koperasi bisa melakukan kegiatan-kegiatan untuk membantu plasma di dalam pembangunan kebun/usaha sesuai keperluannya. Fasilitas KKPA hanya bisa diperoleh melalui keanggotaan koperasi. Koperasi yang mengusahakan KKPA harus sudah berbadan hukum dan memiliki kemampuan serta fasilitas yang cukup baik untuk keperluan pengelolaan administrasi pinjaman KKPA para anggotanya. Jika menggunakan skim Kredit Usaha Kecil (KUK), kehadiran koperasi primer tidak merupakan keharusan 3. Perusahaan Besar dan Pengelola/Eksportir Suatu Perusahaan dan Pengelola/Eksportir yang bersedia menjalin kerjasama sebagai inti dalam Proyek Kemitraan terpadu ini, harus memiliki kemampuan dan fasilitas pengolahan untuk bisa menlakukan ekspor, serta bersedia membeli seluruh produksi dari plasma untuk selanjutnya diolah di pabrik dan atau diekspor. Disamping ini, perusahaan inti perlu memberikan bimbingan teknis usaha dan membantu dalam pengadaan sarana produksi untuk keperluan petani plasma/usaha kecil. Apabila Perusahaan Mitra tidak memiliki kemampuan cukup untuk mengadakan pembinaan teknis usaha, PKT tetap akan bisa dikembangkan dengan sekurang-kurangnya pihak Inti memiliki fasilitas pengolahan untuk diekspor, hal ini penting untuk memastikan adanya pemasaran bagi produksi petani atau plasma. Meskipun demikian petani plasma/usaha kecil dimungkinkan untuk mengolah hasil panennya, yang kemudian harus dijual kepada Perusahaan Inti. Dalam hal perusahaan inti tidak bisa melakukan pembinaan teknis, kegiatan pembibingan harus dapat diadakan oleh Koperasi dengan memanfaatkan bantuan tenaga pihak Dinas Perkebunan atau lainnya yang dikoordinasikan oleh Koperasi. Apabila koperasi menggunakan tenaga Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), perlu mendapatkan persetujuan Dinas Perkebunan setempat dan koperasi memberikan bantuan biaya yang diperlukan. Koperasi juga bisa memperkerjakan langsung tenaga-tenaga teknis yang memiliki keterampilan dibidang perkebunan/usaha untuk membimbing petani/usaha kecil dengan dibiayai sendiri oleh

Koperasi. Tenaga-tenaga ini bisa diberi honorarium oleh Koperasi yang bisa kemudian dibebankan kepada petani, dari hasil penjualan secara proposional menurut besarnya produksi. Sehingga makin tinggi produksi kebun petani/usaha kecil, akan semakin besar pula honor yang diterimanya. 4. Bank Bank berdasarkan adanya kelayakan usaha dalam kemitraan antara pihak Petani Plasma dengan Perusahaan Perkebunan dan Pengolahan/Eksportir sebagai inti, dapat kemudian melibatkan diri untuk biaya investasi dan modal kerja pembangunan atau perbaikan kebun. Disamping mengadakan pengamatan terhadap kelayakan aspek-aspek budidaya/produksi yang diperlukan, termasuk kelayakan keuangan. Pihak bank di dalam mengadakan evaluasi, juga harus memastikan bagaimana pengelolaan kredit dan persyaratan lainnya yang diperlukan sehingga dapat menunjang keberhasilan proyek. Skim kredit yang akan digunakan untuk pembiayaan ini, bisa dipilih berdasarkan besarnya tingkat bunga yang sesuai dengan bentuk usaha tani ini, sehingga mengarah pada perolehannya pendapatan bersih petani yang paling besar. Dalam pelaksanaanya, Bank harus dapat mengatur cara petani plasma akan mencairkan kredit dan mempergunakannya untuk keperluan operasional lapangan, dan bagaimana petani akan membayar angsuran pengembalian pokok pinjaman beserta bunganya. Untuk ini, bank agar membuat perjanjian kerjasama dengan pihak perusahaan inti, berdasarkan kesepakatan pihak petani/kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang hasil penjualan petani plasma/usaha kecil sejumlah yang disepakati bersama untuk dibayarkan langsung kepada bank. Besarnya potongan disesuaikan dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit dibuat oleh pihak petani/Kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang hasil penjualan petani plasma/usaha kecil sejumlah yang disepakati bersama untuk dibayarkan langsung kepada Bank. Besarnya potongan disesuaikan dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit dibuat oleh pihak petani plasma dengan bank. POLA KERJASAMA Kemitraan antara petani/kelompok tani/koperasi perusahaan mitra, dapat dibuat menurut dua pola yaitu :

dengan

a. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani mengadakan perjanjian kerjasama langsung kepada Perusahaan Perkebunan/Pengolahan Eksportir.

Dengan bentuk kerja sama seperti ini, pemberian kredit yang berupa KKPA kepada petani plasma dilakukan dengan kedudukan Koperasi sebagai Channeling Agent, dan pengelolaannya langsung ditangani oleh Kelompok tani. Sedangkan masalah pembinaan harus bisa diberikan oleh Perusahaan Mitra. b. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani, melalui koperasinya mengadakan perjanjian yang dibuat antara Koperasi (mewakili anggotanya) dengan perusahaan perkebunan/pengolahan/eksportir.

Dalam bentuk kerjasama seperti ini, pemberian KKPA kepada petani plasma dilakukan dengan kedudukan koperasi sebagai Executing Agent. Masalah pembinaan teknis budidaya tanaman/pengelolaan usaha, apabila tidak dapat dilaksanakan oleh pihak Perusahaan Mitra, akan menjadi tanggung jawab koperasi.

PENYIAPAN PROYEK KEMITRAAN TERPADU Untuk melihat bahwa PKT ini dikembangkan dengan sebaiknya dan dalam proses kegiatannya nanti memperoleh kelancaran dan keberhasilan, minimal dapat dilihat dari bagaimana PKT ini disiapkan. Kalau PKT ini akan mempergunakan KKPA untuk modal usaha plasma, perintisannya dimulai dari : a. Adanya petani/pengusaha kecil yang telah menjadi anggota koperasi dan lahan pemilikannya akan dijadikan kebun/tempat usaha atau lahan kebun/usahanya sudah ada tetapi akan ditingkatkan produktivitasnya. Petani/usaha kecil tersebut harus menghimpun diri dalam kelompok dengan anggota sekitar 25 petani/kelompok usaha. Berdasarkan persetujuan bersama, yang didapatkan melalui pertemuan anggota kelompok, mereka bersedia atau berkeinginan untuk bekerja sama dengan perusahaan perkebunan/pengolahan/eksportir dan bersedia mengajukan permohonan kredit (KKPA) untuk keperluan peningkatan usaha; b. Adanya perusahaan perkebunan/pengolahan dan eksportir, yang bersedia menjadi mitra petani/usaha kecil, dan dapat membantu memberikan pembinaan teknik budidaya/produksi serta proses pemasarannya; c. Dipertemukannya kelompok tani/usaha kecil dan pengusaha perkebunan/pengolahan dan eksportir tersebut, untuk memperoleh kesepakatan di antara keduanya untuk bermitra. Prakarsa bisa dimulai dari salah satu pihak untuk mengadakan pendekatan, atau ada pihak yang akan membantu sebagai mediator, peran konsultan bisa dimanfaatkan untuk mengadakan identifikasi dan menghubungkan pihak kelompok tani/usaha kecil yang potensial dengan perusahaan yang dipilih memiliki kemampuan tinggi memberikan fasilitas yang diperlukan oleh pihak petani/usaha kecil; d. Diperoleh dukungan untuk kemitraan yang melibatkan para anggotanya oleh pihak koperasi. Koperasi harus memiliki kemampuan di dalam mengorganisasikan dan mengelola administrasi yang berkaitan dengan PKT ini. Apabila keterampilan koperasi kurang, untuk peningkatannya dapat diharapkan nantinya mendapat pembinaan dari perusahaan mitra. Koperasi kemudian mengadakan langkah-langkah yang berkaitan dengan formalitas PKT

sesuai fungsinya. Dalam kaitannya dengan penggunaan KKPA, Koperasi harus mendapatkan persetujuan dari para anggotanya, apakah akan beritndak sebagai badan pelaksana (executing agent) atau badan penyalur (channeling agent); e. Diperolehnya rekomendasi tentang pengembangan PKT ini oleh pihak instansi pemerintah setempat yang berkaitan (Dinas Perkebunan, Dinas Koperasi, Kantor Badan Pertanahan, dan Pemda); f. Lahan yang akan digunakan untuk perkebunan/usaha dalam PKT ini, harus jelas statusnya kepemilikannya bahwa sudah/atau akan bisa diberikan sertifikat dan buka merupakan lahan yang masih belum jelas statusnya yang benar ditanami/tempat usaha. Untuk itu perlu adanya kejelasan dari pihak Kantor Badan Pertanahan dan pihak Departemen Kehutanan dan Perkebunan.

MEKANISME PROYEK KEMITRAAN TERPADU Mekanisme Proyek Kemitraan Terpadu dapat dilihat pada skema berikut ini :

Bank pelaksana akan menilai kelayakan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip bank teknis. Jika proyek layak untuk dikembangkan, perlu dibuat suatu nota kesepakatan (Memorandum of Understanding = MoU) yang mengikat hak dan kewajiban masingmasing pihak yang bermitra (inti, Plasma/Koperasi dan Bank). Sesuai dengan nota kesepakatan, atas kuasa koperasi atau plasma, kredit perbankan dapat dialihkan dari rekening koperasi/plasma ke rekening inti untuk selanjutnya disalurkan ke plasma dalam bentuk sarana produksi, dana pekerjaan fisik, dan lain-lain. Dengan demikian plasma tidak akan menerima uang tunai dari perbankan, tetapi yang diterima adalah sarana produksi pertanian yang penyalurannya dapat melalui inti atau koperasi. Petani plasma melaksanakan proses produksi. Hasil tanaman plasma dijual ke inti dengan harga yang telah disepakati dalam MoU. Perusahaan inti akan memotong sebagian hasil penjualan plasma untuk diserahkan

kepada bank sebagai angsuran pinjaman dan sisanya dikembalikan ke petani sebagai pendapatan bersih. PERJANJIAN KERJASAMA Untuk meresmikan kerja sama kemitraan ini, perlu dikukuhkan dalam suatu surat perjanjian kerjasama yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bekerjasama berdasarkan kesepakatan mereka. Dalam perjanjian kerjasama itu dicantumkan kesepakatan apa yang akan menjadi kewajiban dan hak dari masingmasing pihak yang menjalin kerja sama kemitraan itu. Perjanjian tersebut memuat ketentuan yang menyangkut kewajiban pihak Mitra Perusahaan (Inti) dan petani/usaha kecil (plasma) antara lain sebagai berikut : 1. Kewajiban Perusahaan Perkebunan/Pengolahan/ Eksportir sebagai mitra (inti) a. Memberikan bantuan pembinaan budidaya/produksi dan penaganan hasil; b. Membantu petani di dalam menyiapkan kebun, pengadaan sarana produksi (bibit, pupuk dan obatobatan), penanaman serta pemeliharaan kebun/usaha; c. Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pasca panen untuk mencapai mutu yang tinggi; d. Melakukan pembelian produksi petani plasma; dan e. Membantu petani plasma dan bank di dalam masalah pelunasan kredit bank (KKPA) dan bunganya, serta bertindak sebagai avalis dalam rangka pemberian kredit bank untuk petani plasma. 2. Kewajiban petani peserta sebagai plasma a. Menyediakan lahan pemilikannya untuk budidaya; b. Menghimpun diri secara berkelompok dengan petani tetangganya yang lahan usahanya berdekatan dan sama-sama ditanami; c. Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pasca-panen untuk mencapai mutu hasil yang diharapkan; d. Menggunakan sarana produksi dengan sepenuhnya seperti yang disediakan dalam rencana pada waktu mengajukan permintaan kredit;

e. Menyediakan sarana produksi lainnya, sesuai rekomendasi budidaya oleh pihak Dinas Perkebunan/instansi terkait setempat yang tidak termasuk di dalam rencana waktu mengajukan permintaan kredit; f. Melaksanakan pemungutan hasil (panen) dan mengadakan perawatan sesuai petunjuk Perusahaan Mitra untuk kemudian seluruh hasil panen dijual kepada Perusahaan Mitra ; dan g. Pada saat pernjualan hasil petani akan menerima pembayaran harga produk sesuai kesepakatan dalam perjanjian dengan terlebih dahulu dipotong sejumlah kewajiban petani melunasi angsuran kredit bank dan pembayaran bunganya. ASPEK PEMASARAN PERMINTAAN LUAR NEGERI Ubi kayu kering diperlukan untuk bahan pakan ternak dan banyak lainnya, yang jumlah kebutuhan selama ini makin meningkat sejalan dengan peningkatan populasi konsumen akhir dari ubi kayu tersebut. Untuk mempertahankan pasar luar negeri yang telah dikuasai Indonesia dengan jumlah yang semakin besar, maka kebutuhan terhadap ubi kayu untuk masa-masa mendatang diperkirakan masih akan terus meningkat. Perkembangan Ekspor Ekspor ubi kayu Indonesia dilakukan dalam bentuk ubi kayu kering (gaplek atau lainnya) dan tepung tapioka. Perkembangan ekspor ubi kayu dalam bentuk kering (gaplek, chips atau tepung) selama tahun 1990 sampai tahun 1998 terlihat pada Tabel 1. dan Tabel 2. Dalam periode tersebut ekspor terbesar terjadi pada Tahun 1993, selanjutnya perkembangan ekspor ubi kayu ada kecenderungan makin turun. Berbagai hal menyangkut masalah tata niaga yang berkaitan dengan peraturan ekspor (diterapkannya pembagian quota) dan pola penyerapan produksi ubi kayu petani, dirasakan telah mempengaruhi laju ekspor yang selanjutnya adalah juga produktivitas ubi kayu petani. Tabel 1. Ekspor Ubi Kayu Indonesia Tahun 1990-1998 Tahun >Total Ekspor (Kg)

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998

Gaplek Pelet Bentuk Lain 597.329.412 570.456.989 3.315.094 492.507.502 364.264.420 1.850.820 368.868.865 501.304.110 3.235.648 516.585.171 408.446.685 10.852.244 386.024.532 298.829.708 1.184.831 426.894.318 53.281.008 1.307.822 290.039.080 93.610.152 4.941.434 184.154.743 59.315.873 3.530.003 194.616.294 24.770.000 2.017.583 Sumber : Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Ekspor. BPS. Dikumpulkan dari Buku Tahun 1990 - 1998 Tabel 2. Nilai Ekspor Ubi Kayu Indonesia Tahun 1990-1998 Total Ekspor (Kg) Tepung Tapioka 70.050.724 50.476.797 67.027.162 42.625.199 28.838.302 6.123.001 10.743.422 5.564.969 1.718.000

Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998

Gaplek 70.725.233 53.728.693 40.625.621 47.906.448 33.228.911 59.763.831 35.766.853 16.172.507 18.262.201

Bentuk Lain 998.850 755.643 1.069.976 1.084.136 1.010.002 633.576 1.103.416 991.832 421.401

Berbeda dengan gaplek dan genusnya, total ekspor dalam bentuk tapioka terlihat pernah mencapai titik tertinggi sebesar 82.191 ton dengan nilai sebesar US 13,98 juta pada tahun 1993 (Tabel 3). Untuk tahun selanjutnya jumlah ekspor kembali tidak menentu. Penurunan total ekspor yang drastis pada tahun 1994 diimbangi dengan ekspor yang tinggi pada tahun 1995. Ini terjadi mungkin karena adanya pergeseran masa panen akibat pengaruh iklim dan adanya masalah penampungan ubi kayu petani dan pengolahannya yang dikaitkan dengan kebijakan niaga pihak Pengusaha.

Tabel 3. Ekspor Tapioka (Pati Ubi Kayu) Indonesia Tahun 1990-1997Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 Total Ekspor Gaplek 6.702.500 4.506.500 21.598.013 82.191.450 30.870.431 17.923.865 7.336.226 Pelet 1.426.072 1.320.175 5.217.332 13.982.712 10.548.950 5.575.430 2.668.590

Sumber : Statistik Perdagangan Luar Negari Indonesia. Ekspor. BPS. Dikumpulkan dari Buku Tahun 1990 - 1998

Jangkauan ekspor ubi kayu Indonesia telah mencapai berbagai Negara di Asia dan Eropa, dengan ekspor terbesar ke Korea dan China (Tabel 4). Luasnya negara tujuan ekspor di beberapa Negara Asia dan Eropa, menunjukkan bahwa ekspor komoditi ini sebenarnya cukup potensial dan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ekspor produksi ubi kayu pada masa yang akan datang. Tabel 4. Ekspor Tapioka (Pati Ubi Kayu) Indonesia Tahun 1997Negara Tujuan Korea China Philppine Malaysia Vietnam Netherlands Switzerlands Taiwan Germany Japan Total Ekspor (Dari Berbagai Bentuk) (kg) 120.797.083 67.502.292 558.000 2.342.962 697.920 20.400.000 3.000.000 570.000 4.500.000 762.000 Nilai Ekspor (FOB) (US$) 12.125.792 5.473.891 107.884 436.884 41.875 1.371.550 165.000 85.500 328.000 154.570

Singapore United Kingdom

247.000 26.600

53.106 57.399

Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Ekspor. BPS 1997 PERMINTAAN DALAM NEGERI Konsumsi Dalam Negeri ubi kayu dalam bentuk gaplek ataupun tapioka di Indonesia, terutama diperlukan untuk kebutuhan pakan ternak, tekstil, kerupuk dan berbagai bahan campuran bagi produk makanan lainnya yang dibuat dari tepung. Bisa dibayangkan bahwa kebutuhan tepung ubi kayu ataupun tapioka akan terus meningkat di Indonesia, sesuai dengan peningkatan populasi konsumen. Pemasaran Hasil Produksi Petani Banyak masalah yang selama ini sering dihadapi para petani ubi kayu dalam memasarkan produksinya, terutama sekali menyangkut harga, peran dan tingkah para pengumpul, dan kebijakan yang dilakukan sendiri oleh para Pengusaha Pabrik Pengolahan Ubi Kayu dan Eksportir. a. Harga Jual Ubi Kayu Harga jual ubi kayu ditingkat petani p@ Ubi Kayu/Eksportir yang mungkin juga dipengaruhi oleh adanya kebijakan Pemerintah tentang kuota ekspor, serta naik turunnya nilai dolar terhadap rupiah. Disamping itu bisa dipahami pula bahwa bagi daerah-daerah penghasil ubi kayu untuk industri, para petani di dalam mengadakan penanaman tidak mampu mengantisipasi daya serap pihak pabrik pengolahan. Melalui kemitraan antara Petani Ubi Kayu dengan Pengusaha Pabrik Pengolahan dan Eksportir, para Pengusaha akan bisa menentukan kepastian jumlah produksi yang mungkin ditampung dan luas tanam ubi kayu yang akan dilaksanakan bersama mitra petaninya. Keadaan ini akan dapat mencegah terjadinya produksi yang melimpah, dan apabila harga pasar yang terjadi lebih tinggi dari tingkat harga itu disepakati untuk penentuan harga dasar bisa dibuatkan kesepakatan yang tidak merugikan petani, dan apabila harga pasar lebih tinggi dari kesepakatan harga itu akan dipergunakan sama dengan harga pasar setempat.

b. Pedagang Pengumpul Perantara Karena lokasi lahan petani yang terpencar jauh dari Pabrik Pengolahan Ubi Kayu, maka banyak petani yang terpaksa menjual hasil panen ubi kayu kepada para Pengumpul atau para Perantara yang datang ke tempat itu. Para Pengumpul ini dengan kendaraan truk mengambil hasil panen petani untuk dibawa ke pabrik dan ditimbang untuk menentukan beratnya. Banyak masalah dalam penentuan berat timbangan ini, yang sering tidak memuaskan dan dapat merugikan petani. Sementara pihak Pengumpul atau Perantara itu sendiri sangat mengupayakan keuntungan dari peranannya itu. Kejadian yang sangat merugikan petani adalah kalau dalam kondisi yang serba tidak kecukupan, petani terpaksa memenuhi kebutuhannya dengan meminta uang terlebih dahulu sebelum panen dari para Pengumpul atau para Perantara ini. Dalam keadaan seperti ini, pada saat panen petani bisa jatuh berada pada posisi yang lemah dalam hal penentuan harga dan berat timbangan hasil panennya yang sering kali sangat merugikan petani ubi kayu, ditambah juga dengan penentuan rafraksinya yang tidak transparan. Untuk memastikan tingkat pendapatan petani ubi kayu dalam mempertimbangkan pemberian fasilitas kredit, jaminan mengenai kepastian harga dan tingkat produksi tanaman petani diharapkan akan dapat diperoleh melalui kemitraan yang didukung dengan perjanjian kerjasama dalam mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan produksi, penanganan hasil panen dan harga jual ubi kayu petani yang mantap. c. Kebijakan Pengusaha Pabrik Pengolahan Ubi Kayu Tentang Harga Beli UbiKayu Petani Sering kali dialami bahwa kebijakan harga beli ubi kayu pada saat panen raya sangat merugikan petani. Beberapa yang sering dikemukakan oleh pihak Pengusaha adalah terbatasnya daya tampung fasilitas pabrik, dan kuota ekspor yang diterapkan oleh Pemerintah. Untuk menjaga agar jangan sampai terjadi produksi yang melimpah, melalui kemitraan dalam rangka budidaya ubi kayu ini oleh Petani/Kelompok Tani/Koperasi/KUD diharapkan bisa dipertimbangkan besarnya luas cakupan kemitraan yang menyangkut luas tanam, jumlah petani peserta dan produktivitas lahan, sehingga masalah harga bisa dijaga dan ditentukan harga

dasarnya sesuai kemampuan daya tampung produksi dan fasilitas ekspor yang ada secara lokal dan nasional. d. Pemasaran Ubi Kayu Petani Dalam Rangka Kemitraan Dengan kemitraan terpadu antara para Petani dengan Pengusaha Pengolahan/Ekspotir Ubi Kayu, para Petani menggunakan modal untuk bercocok tanam ubi kayu dari fasilitas kredit. Kredit ini diberikan oleh Badan pemberi kredit atas adanya peran serta pihak mitra Pengusaha yang ikut menjamin keberhasilan usaha dan pelunasan kredit. Untuk memastikan arus pelunasan kredit dan pembayaran bunganya, para petani diharuskan melalui kesepakatan bersama menjual produksi ubi kayunya kepada Pabrik Pengolahan milik mitra dengan harga yang ditetapkan dengan mempertimbangkan terciptanya keuntungan bagi kedua belah pihak secara wajar. Dari penjualan ini, Petani melalui Pengusaha mitra menyisihkan sejumlah hasil penjualan ubi kayu yang harus dipergunakan untuk melunasi kredit dan bunganya. Mekanisme ini diatur dalam Perjanjian Kerjasama seperti contoh tertampir. ASPEK PRODUKSI Walaupun dalam budidaya tanaman ubi kayu ini pada umumnya dapat dilakukan dengan menggunakan pola tumpang sari, dimana jagung, kacang kedelai ataukacang-kacangan lainnya dmal. Ubi kayu merupakan tanaman yang relatif lebih mudah ditanam dan tahan kekeringan dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya, sehingga apabila tujuannya untuk memaksimalkan produksi ubi kayu, kesulitan mendapatkan waktu tanam yang cocok untuk semua komoditi dalam pola tumpang sari dapat dihindarkan. KESESUAIAN LAHAN Ubi kayu merupakan tanaman yang mudah ditanam, dapat tumbuh di berbagai lingkungan agroklimat tropis, walaupun tentunya tingkat produksinya akan bervariasi menurut tingkat kesuburan dan ketersediaan air tanah. Ubi kayu merupakan tanaman yang tahan di lahan kering, sedangkan pada lahan-lahan dengan tingkat kesuburan tinggi, akan menyerap unsur hara yang banyak. Produksi yang optimal akan dapat dicapai apabila tanaman mendapat sinar matahari yang cukup, berada pada ketinggian sampai dengan 800 m dpi, tanah gembur, dan curah hujan di antara 750 - 2.500 mm/tahun dengan bulan kering sekitar 6 bulan. Mengierupa umbi, maka hampir tidak ada kontribusinya terhadap struktur dan kandungan unsur hara tanah, karena

akar/umbi tanaman dicabut. Dengan demikian kelestarian perkebunan ubi kayu memerlukan upaya khusus untuk menjaga kelestarian lahan dengan memberikan kembali unsur hara tanah berupa pupuk organik di samping pupuk buatan. Sisa tanaman sebaiknya dicacah untuk dimasukkan kembali ke dalam tanah. Mengingat nilai produksl dan kemudahan di dalam budidayanya, pola usaha ubi kayu sering tidak menghasilkan pendapatan yang berarti bagi petani, apalagi jika ditan bukan merupakan usaha pokok. Bagi petani yang tidak memiliki modal usaha yang cukup, dengan hanya bermodalkan tenaga untuk mengolah tanah, petani sudah dapat menanam ubi kayu karena bibitnya mudah didapat dan murah. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tanaman ubi kayu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, tidak memerlukan persyaratan tanah tertentu. PENGOLAHAN TANAH Dalam pengolahan tanah diusahakan agar tanah tersebut menjadi cukup gembur, karena pada tanah yang gembur, perakaran/umbi akan tumbuh dengan optimal, akar akan mudah menembus tanah. Secara garis besar persiapan lahan untuk tanaman ubi kayu dilakukan sebagai berikut: Pembabatan tanaman perdu dan semak-semak serta rumput-rumputan/alangalang dan gulma lainnya. Hal ini dikerjakan terutama pada lahan yang baru dibuka, sedangkan pada lahan yang sudah biasa ditanami dengan palawija, tanah dapat langsung dicangkul/dibajak. Pengumpulan dan penyisihan batang tebangan, sedangkan bekas rerumputan dicacah dan dimasukkan kedalam tanah. Pembajakan/pencangkulan atau pentraktoran pertama Pembajakan/pencangkulan atau pentraktoran kedua dan penggemburan Pembuatan saluran pemasukan dan saluran pembuangan Pembuatan guludan BIBIT DAN PENANAMAN Bibit dan Kegiatan produksi ubi kayu hendaknya tidak terlepas dari Panca Usaha Pertanian, yaitu berupa penggunaan varitas unggul, bercocok tanam yang baik, pemakaian pupuk, pemeliharaan

tanaman, pengendaliahama dan penyakit, serta penanganan panen dan pasca panen yang tepat. Varitas unggul untuk produksi ubi kayu sebagai bahan industri tapioka dan pellet/gaplek pada umumnya memiliki ciri produktivitas tinggi, rasa umbi pahit dan kandungan patinya tinggi. Beberapa varitas ini yang sudah banyak dikembangkan adalah varitas nasional Aldira II, Aldira IV dan varitas dari Thailand Kasetsart 50. Sifat beberapa varitas ubi kayu Indonesia seperti pada Tabel5. Kasetsart 50 pada uji coba di Umas Jaya, Lampung, mampu memberikan hasil sampai 38,9 ton/ha. Sedangkan Malang-1 dan Ardira-4 pada pengujian yang sama menghasilkan berturut-turut 41,7 ton/ha dan 36,9 ton/ha. Varitas-varitas unggul lainnya dapat dipilih dari varitasvaritas yang telah dilepas oleh pihak Departemen Pertanian/Ditjen Tanaman Pangan, sesuai anjuran Dinas Pertanian Tanaman Pangan setempat. Setelah lahan diolah dengan sempurna, bibit berupa stek batang dengan panjang kurang lebih 30 cm, ditanam dengan jarak tanam sekitar 100 x 80 cm, sehingga populasi tanaman untuk luasan 1 Ha mencapai sekitar 12.500 tanaman. Waktu penanaman dilakukan pada saat kelembaban tanah dalam keadaan mencapai kapasitas lapang, yaitu biasanya pada saat musim hujan, karena selama masa fase pertumbuhan tersebut ubi kayu memerlukan air yang cukup. Tabel 5. Sifat Beberapa Varitas Ubi Kayu.Rata-rata Hasil Tinggi Batang Kadar Warna Daging Rasa (Ton/ha) (m) Tepung (%) Umbi Basah 22 1-2 45 Kuning Enak 22 2-3 41 Putih Agak Pahit 35 1.5 - 2.0 20 Putih Agak Pahit 36.5 1.5 - 3.0 34 Putih Kekuningan Enak 31.5 1. 5 - 3.0 34 Kuning Muda Enak 102 3.65 28 Putih Kenyal spt ketan

Varietas Adira 1 Adira 2 Adira 4 Malang 1 Malang 2 Darul Hidayah

Umur (Bulan) 7 - 10 8 - 12 10,5 - 11,5 9 - 10 8 - 10 8 - 12

Sumber : J. Wargiono. Ahli Peneliti Utama pada Puslitbang Tanaman Pangan

PEMELIHARAAN TANAMAN Kegiatan dalam pemeliharaan tanaman adatah menyulam, menyiang, memupuk, membumbun, mengairi dan mengendalikan hama serta penyakit. Secara rinci kegiatan pemeliharaan adalah sebagai berikut :

Penyulaman segera dilakukan pada umur 2 minggu setelah tanam. Apabila bibit yang digunakan cukup baik, tanaman yang perlu disulam relatif sedikit, kurang dari 5%. Adanya penyulaman yang tepat, akan memberikan pertumbuhan tanaman yang lebih serempak/seragam. Penyiangan paling banyak dilakukan cukup 2 kali, terutama pada saat tajuk dari tanaman belum saling menutup. Penyiangan pertama dilakukan pada umur kurang lebih sebulan setelah tanam, dan penyiangan kedua dilakukan dua bulan kemudian. Kegiatan lainnya yang cukup penting adalah pemupukan yang diberikan setelah tanam. Pemupukan pertama dilakukan setelah penyiangan pertama bersama dengan mengadakan pembumbunan. Pemupukan kedua dilakukan pada waktu setelah penyiangan kedua, yang juga terus diikuti dengan pembumbunan. Dosis pemupukan adalah sebagai berikut : TSP/SP 36 : 100 kg KCl : 50 kg Urea : 200 kg Pengairan, mengingat ubi kayu ditanam di lahan kering, pada umumnya pengairan hanya mengandalkan dari curah hujan, hanya kadang-kadang apabila setelah terjadi hujan yang cukup deras, perlu memperhatikan drainasinya. Kegiatan pemeliharaan yang lain yaitu pengendalian hama dan penyakit, namun sampai dengan saat ini khusus pada tanaman ubi kayu belum terjadi adanya serangan hama dan penyakit yang serius, sehingga dapat dikatakan tidak diperlukan pemberantasan hama dan penyakit. PANEN DAN PASCA PANEN Jika dalam mencabut tersebut dirasakan susah, maka sebelumnya tanah disekitar batang ubi kayu sebagian terlebih dahulu digali dengan cangkul, baru setelah itu batang dicabut sampai umbinya terangkat semuanya. Kalau masiada umbi yang tertinggal, karena patah/putus pada waktu pencabutan, maka sisa umbi tadi diambil dengan digali dengan cangkul. Cara lain yaitu dengan menggunakan tali/tambang yang dililitkan pada batang, lalu diungkit. Umbi yang telah dicabut, lalu dipotong dari batangnya dengan parang/golok, serta bagian tanah yang menempel dibuang akhirnya umbi tersebut ditumpuk disatukan dengan umbi lainnya, dan siap diangkut ke tempat penyimpanan atau langsung dipasarkan. Umur ubi kayu yang cocok dipanen berkisar antara 10 - 14 bulan setelah tanam. Kurang dari 10 bulan rendemen kadar patinya rendah, begitu

juga bila lebih dari 14 bulan akan mengayu dan juga kadar patinya menurun pula. Hasil rata-rata per ha, dengan asumsi tiap batang menghasilkan antara 2,5 - 4,0 kg, maka akan diperoleh hasil bersih antara 30 ton - 40 ton per ha umbi basah. Batang umbi kayu setelah panen sebagian disiapkan sebagai bibit untuk penanaman selanjutnya, sedangkan batang ubi kayu yang tidak dijadikan bibit, hendaknya dipotong-potong/dicincang untuk dikembalikan lagi ke dalam tanah/ dibenam agar lapuk dan terurai menjadi hara tanah dan memperbaiki struktur tanah, sehingga kesuburan tanah relatif dapat dipertahankan. Karena ubi kayu diambil hasilnya yang berupa umbi, maka praktis dengan dicabutnya umbi tidak ada bagian tanaman yang berupa bahan organik tertinggal di dalam tanah. Keadaan ini ditambah dengan sifat ubi kayu yang banyak menyerap hara, maka apabila tidak ada upaya untuk mengembalikan sisa-sisa tanaman ke dalam tanah, maka pengurasan hara tanah akan berjalan terus menerus dan bisa mengakibatkan pengurusan tanah. Oleh karena itu sangat dianjurkan diadakannya upaya mengembalikan sisa-sisa tanaman yang ada ke dalam tanah dengan terlebih dahulu dicacah. Upaya lain dengan menghentikan kegiatan tanam setelah lahan dipergunakan untuk tanaman ubi kayu lebih dari 2 kali, lahan bisa ditanami dengan tanaman kacang-kacangan atau diberakan untuk memulihkan kesuburannya. KEBUTUHAN MODAL USAHA Aspek keuangan untuk budidaya ubi kayu dihitung dengan asumsi : Setiap pengusaha kecil memiliki dua hektar lahan yang siap dibudidayakan dan bukan lahan hutan, sehingga tidak memerlukan biaya untuk land clearing. Skim kredit yang digunakan dalam analisis ini didasarkan pada skim Kredit Usaha Tani (KUT) dengan tingkat suku bunga 10,5% per tahun, KKPA dengan tingkat suku bunga 16% per tahun, dan kredit umum yang dalam hal ini dihitung menggunakan suku bunga 28% per tahun. Khusus untuk skim kredit KKPA dan kredit komersil diberikan grace period selama satu tahun atau tiga bulan, sebagai masa konstruksi. Varietas ubi kayu yang digunakan adalah varietas unggul dengan produksi rata-rata per hektar per tahun sekitar 35 ton. Dalam analisis ini dibedakan atas biaya investasi untuk kegiatan pra-operasi untuk keperluan sertifikasi lahan (yang mungkin

masih diperlukan) yang biasanya diminta oleh pihak Bank sebagai jaminan pinjaman, dan modal kerja untuk kegiatan penanaman ubi kayu (persiapan lahan, pengadaan sarana produksi, tanam dan pemeliharaan tanaman). Oleh karena proyek yang akan dikembangkan ini akan memanfaatkan pendekatan Proyek Kemitraan Terpadu (PKT), maka dalam perhitungan biaya dimasukkan management fee sebesar 3,5% untuk skim KUT dan 5% untuk skim kredit tainnya. Rincian kebutuhan pembiayaan menjadi sebagai berikut : a. Biaya Pra-operasi : - Sertifikasi Tanah Rp 300.000,00 ditambah management fee b. Modal Kerja Untuk Pembiayaan Pertamanan : - Persiapan Lahan Rp 468.000,00 - Penanaman Rp 245.000,00 - Pemeliharaan Tanaman Rp 2.124.000,00 -------------------- + Jumlah Modal Kerja (Per Tahun) Rp 2.837.000,00 Ditambah dengan management fee SUMBER DANA Sumber dana untuk membiayai proyek ini diperhitungkan dari kredit perbankan. Petani pengusaha kecil dipandang hanya memiliki tanah yang dalam proyek ini tidak diperhitungkan sebagai salah satu komponen modal dalam analisis finansial. Kredit Bank yang dipergunakan dianalisa berdasarkan 3 alternatif, masing-masing menggunakan skim KUT dengan tingkat suku bunga 10,5% pertahun, skim KKPA dengan tingkat suku bunga 16% per tahun dan skim kredit umum yang dalam analisis ini dipergunakan suku bunga 28% per tahun. Untuk penggunaan KUT, keperluan mendapatkan kredit tidak disertai biaya pra-operasi untuk pembuatan sertifikat tanah, dan analisis finansial hanya akan mengikutsertakan KUT sebagai kredit modal kerja. Sedangkan untuk skim KKPA dan Kredit Umum, diperhitungkan biaya pembuatan sertifikat tanah untuk keperluan penyediaan jaminan bagi Bank. Pembebanan biaya sertifikasi tanah sebesar Rp. 300.000,- ditambah keperluan manajemen sebesar 5% akan dipandang sebagai pengeluaran investasi yang pelunasannya akan diangsur mulai panen tahun ke-1 (grace period 1 tahun). Untuk ini kredit perlu ditambah dengan IDC (bunga dalam masa pembangunan). Bunga selama masa tenggang (IDC)

dikapitalisasikan sebagai pokok pinjaman dengan tingkat sub bunga yang sama dengan pokok pinjaman, kecuali skim KKPA yakni 16% per tahun. Rincian kebutuhan modal per hektar tanaman ubi kayu berdasarkan sumber dana menjadi sebagai berikut : a. Penggunaan KUT

Jumlah Biaya Efektif : - Modal Kerja Pertanaman - Management Fee (3,5%) Total Modal Kerja Sumber Dana - Modal Sendiri - Kredit Bank (KUT) 1.943.893 925,500 2.837.000 32,393 -------------- + 2.869.393

Jumlah kredit bank sebesar Rp 925.500 per hektar merupakan jumlah yang sementara ini ditapkan oleh Departemen Pertanian, Ditjen Tanaman Pangan c.q. Sekretariat Bimas, Badan Pengendali Bimas. Ini berarti bahwa apabila Petani menggunakan KUT, kekurangan biaya yang diperlukan untuk budidaya sebesar Rp. 1.943.893 harus bisa disediakan sendiri oleh Petani. Di antara kebutuhan biaya tersebut termasuk Rp. 1.554.000 untuk 259 HOK tenaga kerja, yang pada umumnya bisa dipenuhi sendiri oleh keluarga tani. KUT biasanya dipergunakan terutama untuk sarana produksi seperti pupuk, bibit, obat-obatan dan lainnya. Sedangkan kekurangannya yang berupa tenaga kerja, diusahakan untuk bisa dipenuhi sendiri oleh Petani terutama dalam kegiatan penyiapan lahan dan pemeliharaan tanaman.

b. Penggunaan Kredit Bank :Pra-operasi - Biaya Sertifikasi Tanah - Management Fee (5%) Total Investasi Rp 315.000 Modal Kerja Efektif - Persiapan Lahan - Management Fee (5%) Total Modal Kerja Efektif 300.000 15.000 ------------ + 315.000 2.837.000 141.850 ------------ + 2.978.850 ------------ + Jumlah kredit yang diperlukan Kredit Bank Menjadi : Apabila Menggunakan KKPA - Pokok Pinjaman - IDC Total Kredit (KKPA) Rp 3.599.987 Apabila menggunakan kredit lain dengan Perhitungan Tk. Bunga 28% - Pokok Pinjaman - IDC Total 3.293.850 637.282 ------------ + 3.931.132 3.293.850 306.137 ------------ + 3.599.987 3.293.850

IDC diperhitungkan berdasarkan tahapan penarikan pertriwulan, dengan tingkat Bunga 14% per tahun bagi KKPA. Uraian secara rinci kebutuhan modal per hektar tanaman ubi kayu berdasarkan sumber dana disajikan dalam tabel biaya budidaya. Sedangkan perincian kebutuhan tenaga dan sarana untuk masing-masing kegiatan dapat dilihat pada tabel biaya pemeliharaan. Management fee diperlukan untuk keperluan kegiatan pembinaan yang dilaksanakan oleh pihak Perusahaan Mitra. Sedangkan dengan penggunaan KUT, pembinaan dilaksanakan oleh pihak Bimas dan para PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan).

KELAYAKAN FINANSIAL Pendekatan yang umum digunakan untuk melihat kelayakan proyek dari segi finansial adalah dengan menggunakan kriteria investasi yang meliputi proyeksi arus kas, proyeksi rugi laba, Net Present Value (NPV), dan Benefit Cost Ratio (B/C). Nilai IRR tidak dihitung untuk usaha budidaya tanaman semusim yang hanya memerlukan modal kerja dan hasil panennya pada tahun itu langsung memberikan pendapatan pada tahun itu juga, kecuali apabila ada pengeluaran yang berupa investasi untuk dimulainya proyek itu. Kelayakan Finansial Apabila Menggunakan KUT Khusus untuk budidaya ubi kayu dengan menggunakan KUT sebagai modal kerja, perhitungan kelayakan finansial dibuat dengan sistem pengembalian kredit pada tahun yang sama, akhir masa turn over project (1 tahun). Untuk analisis kegiatan usaha selama 5 tahun menunjukkan dicapainya nilai NPV Rp. 3.583.022 (tingkat bunga 10,5%) dengan B/C = 2,25. Dari hasil panen, setelah dipergunakan untuk pelunasan pokok pinjaman, pembayaran bunga, dan pajak, petani pada akhir tahun diharapkan masih akan dapat menerima pendapatan bersih sebesar Rp. 1.699.200 per 1 ha lahan budidaya. a. Kelayakan Finansial Menggunakan KKPA Apabila menggunakan KKPA dengan pembiayaan sertifikasi lahan sebagai investasi, analisis usaha untuk waktu 5 tahun sebelum pembayaran pajak menghasilkan nilai NPV Rp. 4.119.850 / ha dengan B/C (gross) = 1,46. IRR dihitung dengan memandang investasi berupa pembiayaan Rp. 300.000/ha untuk pembuatan sertifikat tanah dalam rangka mendapatkan kredit Bank, menunjukkan nilai IRR 43,5% sampai akhir tahun ke-5. Kredit investasi dan modal kerja tahun pertama direncanakan agar dapat dilunasi pada akhir tahun ke-5. Pendapatan bersih petani (di luar upah kerja apabila pekerjaan lapangan dilakukan sendiri), akan berkisar Rp. 333.140/ha/th pada tahun pertama, yang akan naik pada tahun ke-2, ke-3, ke-4, sampai pada tahun ke-5 mencapai sekitar Rp. 747.858/ha/th. Pendapatan bersih ini setelah pembayaran pajak dan keperluan tanam berikutnya, akan menjadi lebih dari Rp. 1.571.535ha/th setelah kredit lunas pada akhir tahun ke-5.

b. Kelayakan Finansial Menggunakan Kredit Umum (tingkat suku bunga 28%) Dengan menggunakan kredit umum, yang apabil tingkat suku bunga dipergunakan 28%, analisis usaha budidaya ubi kayu ini untuk waktu 10 tahun memberikan pendapatan (setelah pembayaran pajak) dengan nilai NPV = Rp. 1.434.259 dengan B/C (gross) 1,36. Nilai ini lebih kecil sedikit apabila menggunakan KKPA, akibat dipergunakannya kredit dengan tingkat bunga yang lebih tinggi. Nilai IRR = 40,5% (setelah diperhitungkan pajak) sampai akhir tahun ke-10. Tabel arus dana (cash flow) yang mempertimbangkan penggunaan dana pinjaman bank, apabila menggunakan tingkat bunga 28% akan dapat diperhitungkan lunas selama 7 tahun. Setelah angsuran pelunasan dan pembayaran pajak serta penyediaan modal kerja tahun berikutnya, petani dari setiap ha lahan usaha akan menerima pendapatan bersih rata-rata Rp. 302.341/th. Selama 5 tahun pertama, yang akan naik menjadi Rp. 726.903/th dan Rp. 868.424/th pada tahun ke-6 dan ke-7. Di samping pendapatan ini, petani masih akan menerima pendapatan upah kerja apabila melakukan sendiri pekerjaan lapangan. Setelah kredit lunas pada akhir tahun ke-7, pendapatan petani akan menjad lebih dari Rp. 1.571.535/ha/th. Penyediaan modal kerja untuk tahun berikutnya, diambil terlebih dahulu dari hasil setiap panen untuk memungkinkan kontinuitas kegiatan usaha. MANFAAT SOSIAL EKONOMI Proyek Kemitraan Terpadu budidaya ubi kayu ini akan membutuhkan tenaga kerja setidaknya 78 HOK untuk pekerjaan persiapan lahan, 20 HOK untuk pekerjaan penanaman, dan masingmasing 76 HOK untuk pekerjaan pemeliharaan tanaman serta 85 HOK pada waktu panen per hektar budidaya tanaman. Keberadaan Proyek Kemitraan Terpadu budidaya ubi kayu diharapkan akan merangsang masyarakat untuk penciptaan bidang usaha lainnya sebagai pengaruh ganda (multiplier effect). MANFAAT REGIONAL Dari sudut pengembangan wilayah, keberadaan proyek akan menjadi salah satu pusat kegiatan perekonomian subsektor tanaman pangan yang tentunya akan memberikan dampak positif bagi perkembangan kegiatan pembangunan wilayah.

Keberhasilan usaha budidaya ubi kayu akan meningkatkan pendapatan daerah. Pajak yang diperoleh dari hasil usaha setiap tahunnya merupakan kontribusi yang cukup besar bagi usaha menunjang pembangunan daerah pada umumnya. Ubi kayu merupakan bahan baku utama untuk industri tapioka dan manihok yang diandalkan sebagai komoditas ekspor, sehingga dengan demikian akan memberikan kontribusi bagi pendapatan devisa negara. Ubi kayu juga dapat merupakan bahan baku bagi home industri seperti industri kerupuk dan makanan lainnya. Karena ubi kayu relatif mudah dibudidayakan pada lahanlahan kering dan memiliki ketahanan yang baik terhadap kekeringan, maka usaha ini merupakan alternatif yang bisa ditempuh bagi para petani untuk meningkatkan pendapatannya di daerah yang tidak ada pengairan. ASPEK DAMPAK LINGKUNGAN Dampak Terhadap Lingkungan Fisik Dampak kegiatan budidaya ubi kayu terhadap lingkungan fisik disebabkan oleh kegiatan budidaya tanaman yang bersifat mono kultur. Dampak budidaya tanaman yang berskala besar terhadap lingkungan fisik diantaranya adalah meningkatnya laju erosi tanah (terutama pada tahap konstruksi/persiapan lahan) dan menurunnya tingkat kesuburan tanah pada tahap pasca konstruksi sebagai akibat dari pembudidayaan yang kurang intensif. Penurunan kesuburan tanah terutama disebabkan oleh rakusnya tanaman ini terhadap unsur hara tanah jika dibandingkan dengan tanaman lainnya. Besarnya dampak penurunan kesuburan tanah ini masih digolongkan tidak penting, karena skala usaha proyek ini hanya 25 ha untuk satu kelompok tani. Penggunaan pupuk organik dan setiap habis panen mengembalikan kembali cacahan sisa tanaman, merupakan upaya untuk mempertahankan struktur tanah yang baik, disamping pemberian pupuk buatan untuk menjaga kesuburan lahan. Kendati pun dampak kegiatan budidaya ini berdampak tidak penting terhadap komponen lingkungan fisik, namun untuk menghindari terjadi akumulasi dampak (bahkan jika dikembangkan dalam skala besar) perlu diupayakan pengelolaan lingkungannya seperti sistem persiapan lahan yang baik, pemupukan yang tepat, dan pengelolaan sistem tanam yang cenderung mono kultur sepanjang tahun, namun dilakukan secara tumpang gilir.

Diadakan rotasi tanaman, atau dipergunakannya pola tanam tumpang sari dengan tanaman kacang-kacangan sangat dianjurkan dalam upaya menjaga kesuburan lahan. DAMPAK TERHADAP KOMPONEN FLORA Dampak kegiatan budidaya terhadap komponen flora hanya terjadi sebagai akibat dari kegiatan persiapan lahan. Hilangnya ekosistem flora, terutama pada lahan hutan primer/sekunder bisa terjadi sebagai akibat pembukaan lahan berskala besar. Oleh karena proyek ini berskala kecil maka dampak terhadap komponen flora tergolong tidak penting.Berdasarkan skala usaha yang akan dikembangkan dan prakiraan dampak yang mungkin terjadi, sebagaimana diuraikan di atas, pengembangan budidaya ubi kayu pola PKT untuk usaha kecil dan menengah tidak perlu mempersyaratkan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Peluang pasar komoditas yang menggunakan ubi kayu sebagai bahan bakunya, seperti tepung tapioka dan gaplek, baik untuk ekspor ataupun untuk keperluan dalam negeri masih terus terbuka, sehingga secara tidak langsung memberikan peluang bagi diadakannya pengembangan dan peningkatan produksi ubi kayu pada umumnya di Indonesia. 2. Secara teknis, sumber daya lahan dan sumber daya manusia untuk pengembangan produksi ubi kayu di Indonesia masih banyak tersedia di berbagai wilayah, terutama di daerah-daerah lahan kering Luar Jawa. 3. Beberapa kendala yang dihadapi oleh para petani dalam pengembangan budidaya ubi kayu adalah masalah penyertaan modal, penyediaan saprodi, pemasaran hasil dan keadaan harga jual umbi pada waktu panen yang sering tidak menguntungkan petani. Hal ini menjadi perhatian dalam mempertimbangkan pengamanan pemberian kredit dari pihak Bank kepada petani, yang hasilnya dilaporkan dalam bentuk Model Kelayakan Proyek Kemitraan Terpadu (MK-PKT) Usaha Budidaya Ubi Kayu. 4. Berdasarkan analisis finansial, pemberian KUT, KKPA ataupun skim kredit lainnya (sampai dengan tingkat bunga 28%), terlihat masih memiliki landasan kelayakan finansial apabila

pelaksanaan usahanya menggunakan Pola Kemitraan Terpadu seperti dibahas dalam Model Kelayakan ini. SARAN 1. Untuk penggunaan Pola Kemitraan Terpadu ini, antara Petani Plasma dengan Mitra Usaha Besar sebagai Perusahaan Inti yang akan membeli hasil ubi kayu para Petani Plasma, hendaknya dibuat Nota Kesepakatan tertulis yang isinya mengatur kerjasama antara keduanya dengan berdasarkan kedudukan hukum dan kepentingan serta dapat memberikan saling keuntungan yang sama antara kedua belah pihak. 2. Untuk menjaga kelestarian lahan dan keberlanjutan usaha, aspek teknis budidaya ubi kayu ini agar mendapatkan perhatian dengan menyertakan pemberian pupuk organik di samping pupuk anorganik (seperti urea) dan mengembalikan sisa-sisa tanaman ke dalam tanah. Diadakannya tumpangsari dengan tanaman kacang-kacangan atau diadakannya rotasi bergilir dengan tanaman lain, akan dapat membantu mencegah terkurasnya unsur hara tanah. 3. Guna mencegah biaya angkut yang tinggi, proyek pengembangan budidaya ubi kayu sebaiknya dilaksanakan pada lokasi yang tidak jauh di sekitar Pabrik Pengolahan ubi kayu atau gudang pengumpulan gaplek milik mitra Pengusaha Besar yang bersangkutan. 4. Untuk mengantisipasi fluktuasi harga jual ubi kayu hasil panen petani, jadual dan luas tanam sebaiknya disesuaikan dengan permintaan dari Perusahaan mitra pengguna ubi kayu tersebut.