18
1 Makalah Akhir Mata Kuliah Hukum Internasional Analisa Kritis terhadap Protokol Kyoto : Tantangan dan Solusinya Disusun oleh : Dian Novikrisna (0706291224) Dyah Ayunico Ramadhani (0706291230) Erika (0706291243) Jurusan Ilmu Hubungan Internasional DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA 2008

Analisa Kritis Terhadap Protokol Kyoto, Tantangan Dan Solusinya

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Analisa Kritis Terhadap Protokol Kyoto, Tantangan Dan Solusinya

1

Makalah Akhir Mata Kuliah Hukum Internasional

Analisa Kritis terhadap Protokol Kyoto : Tantangan dan

Solusinya

Disusun oleh :

Dian Novikrisna (0706291224)

Dyah Ayunico Ramadhani (0706291230)

Erika (0706291243)

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

2008

Page 2: Analisa Kritis Terhadap Protokol Kyoto, Tantangan Dan Solusinya

2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam perkembangan masyarakat internasional dewasa ini yang telah menginjak

era globalisasi dimana segala sesuatunya akan memiliki dampak yang global, terdapat

berbagai isu-isu baru yang menjadi fokus dari dunia global. Setelah isu peperangan dan

kekerasan yang kini mulai surut, isu-isu baru tersebut tengah mengambil perhatian dunia.

Salah satu dari isu kontemporer dunia global adalah isu lingkungan. Saat ini isu lingkungan

tengah menjadi isu yang marak menjadi perhatian tidak hanya masyarakat internasional tapi

juga negara-negara di seluruh dunia. Berbagai upaya tingkat global pun dilakukan dalam

skema perlindungan dan pelestarian lingkungan. Upaya tersebut bervariasi dari mulai usaha

penanaman pohon yang lebih banyak, usaha daur ulang barang-barang yang sudah terpakai

hingga perjuangan-perjuangan NGO. Salah satu upaya nyata dunia internasional dalam

melestarikan lingkungan adalah melalui hukum lingkungan internasional.

Persoalan lingkungan hidup setelah perang dunia kedua semakin sering masuk

dalam perundingan diplomatik dan lama-kelamaan menjadi suatu bentuk yang lebih rigid

yaitu hukum lingkungan tersebut. Dampak-dampak kerusakan lingkungan hidup yang kini

semakin nyata bagi kehidupan manusia semakin menegaskan pentingnya pembuatan suatu

norma atau aturan yang mengatur perilaku masyarakat internasional terhadap lingkungan

sekitarnya. Oleh karena itu hukum lingkungan internasional kini tengah mengalami

perkembangan yang cukup berarti dalam proses pembuatan serta aplikasinya dalam sistem

internasional. Banyak aktor semakin dilibatkan dalam pembuatan hukum lingkungan

internasional seperti NGO dan masyarakat umum. Namun sayangnya, hukum lingkungan

internasional tidak serta-merta bebas dari segala tantangan dalam pelaksanaan tugasnya untuk

membuat kondisi lingkungan hidup global menjadi lebih baik. Itulah mengapa akhirnya

makalah ini mencoba untuk menganalisis lebih dalam mengenai tantangan yang dihadapi

oleh salah satu contoh hukum lingkungan internasional yaitu Protokol Kyoto dalam

pelaksanaannya.

1.2. Perumusan Masalah

Pembahasan dalam makalah ini akan menjawab pertanyaan sebagai berikut:

Page 3: Analisa Kritis Terhadap Protokol Kyoto, Tantangan Dan Solusinya

3

Tantangan yang dihadapi Protokol Kyoto sebagai hukum lingkungan

internasional?

Solusi yang memungkinkan hukum internasional khususnya Protokol Kyoto

untuk menghadapi tantangan tersebut?

1.3. Kerangka Konsep

1.3.1.Konsep Lingkungan Hidup

Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 menyatakan bahwa definisi lingkungan hidup

adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan dan makhluk hidup termasuk di

dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan

kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.1

Menurut Andreas Pramudianto,

lingkungan hidup memiliki definisi yang luas karena bahasan lingkungan hidup tidak hanya

dibatasi pada satwa atau tanaman saja akan tetapi juga segala sesuatu yang menyangkut

benda hidup (biotik) dan benda mati (abiotik). Sedangkan the Environment Protection Act di

tahun 1990 mendefinisikan lingkungan sebagai segala sesuatunya ataupun salah satu dari

media ada yaitu udara, air, dan tanah.2 Lingkungan hidup menjadi unsur yang penting dalam

kehidupan manusia karena dari sanalah manusia mampu mendapatkan sumber daya untuk

hidup dan bertahan.

1.3.2.Konsep Hukum Lingkungan Internasional

Tidaklah mudah untuk memberikan definisi yang pasti terhadap hukum lingkungan

internasional karena bersumber pada banyak hal yang sangat bervariasi. Bentuknya tidak

selalu seperti peraturan ataupun pasal melainkan dapat bersumber pula dari guideance notes,

dokumen kebijakan resmi, circulars, code of practices, bahkan pidato dari politisi.3 Hukum

internasional lingkungan dapat didefinisikan sekumpulan hukum yang terdiri dari pasal-pasal

yang kompleks dan saling mendukung, hukum kebiasaan, perjanjian, konvensi, peraturan,

dan kebijakan yang bertujuan untuk melindungi lingkungan hidup yang dapat dirusak dan

dipengaruhi oleh berbagai aktivitas manusia.4

Hukum lingkungan internasional dinilai

penting kehadirannya karena hukum ini merupakan jawaban bagi masyarakat internasional

1 Andreas Pramudianto,S.H.,M.Si, Diplomasi Lingkungan: Teori dan Fakta, (Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia, 2008), hal. 18. 2 Stuart Bell & Donald McGillivray, Environmental Law 5

th Edition, (London: Blackstone Press Limited, 2000),

hal.4. 3 Ibid, hal 5.

4 World Wide Legal Directories, Environmental Law, http://www.hg.org/environ.html diakses tanggal 17

Desember 2008 pukul 19.10 .

Page 4: Analisa Kritis Terhadap Protokol Kyoto, Tantangan Dan Solusinya

4

untuk mengatasi masalah lingkungan yang kian hari kian memburuk. Di situlah hukum

internasional hadir untuk memperbaiki berbagai pelanggaran yang merusak lingkungan.

Page 5: Analisa Kritis Terhadap Protokol Kyoto, Tantangan Dan Solusinya

5

BAB II

DESKRIPSI KASUS

2.1. Latar Belakang Protokol Kyoto

Pada bulan Juni 1992, sekitar 120 negara-negara di dunia berkumpul di Rio de

Janeiro, Brazil, untuk membicarakan masalah lingkungan global yang semakin parah karena

perkembangan industri yang semakin pesat, terutama di negara-negara maju. Pertemuan ini

dinamakan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau

yang lebih dikenal dengan nama Earth Summit. Namun, pada akhirnya perjanjian yang

disepakati dalam Earth Summit ini gagal dilaksanakan oleh beberapa negara yang

menandatanganinya.

Akhirnya, untuk membuat para pelanggar ini patuh pada perjanjian yang telah

disepakati, maka pada bulan Desember 1997, PBB kembali mengadakan suatu konferensi

yang dinamakan sebagai United Nations Framework Convention on Climate Change

(UNFCCC) di Kyoto, Jepang. Konferensi ini dihadiri oleh 150 perwakilan negara-negara di

dunia untuk menciptakan suatu ukuran kadar emisi minimum yang harus dimiliki, sehingga

negara-negara maju mau menurunkan kadar emisi gas karbonnya pada level yang telah

ditetapkan.5 Hasil dari konferensi inilah yang menghasilkan suatu perjanjian yang dinamakan

dengan Protokol Kyoto.

Protokol Kyoto secara khusus berusaha untuk mencapai ―stabilisasi dari

konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada level yang akan mencegah pengaruh

antropogenik berbahaya dalam sistem iklim.‖6 Protokol Kyoto membuat ikatan hukum yang

kuat terhadap komitmen yang telah disepakati oleh negara-negara yang menandatanganinya.

Protokol Kyoto pada dasarnya berkomitmen pada pengurangan sejumlah emisi gas-gas rumah

kaca seperti karbondioksida, metana, nitrooksida, dan sulfur heksafluorida, dan dua

kelompok gas lainnya, yaitu hidrofluorokarbon, dan perfluorokarbon yang dihasilkan oleh

negara-negara Annex I (negara-negara industri maju).

Dalam Protokol Kyoto disepakati bahwa negara-negara yang telah meratifikasi

perjanjian tersebut memiliki standar tertentu dalam hal jumlah emisi gas rumah kaca. Untuk

negara-negara Annex I, mereka harus mengurangi lebih banyak jumlah emisi daripada

5 Nancy K. Kubasek. Environmental Law, (New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2005), hal. 32.

6 ― ‖. The United Nations Framework Convention on Climate Change, Article 2, diakses dari

www.unfccc.com pada tanggal 17 Desember 2005 pukul 15.25 WIB

Page 6: Analisa Kritis Terhadap Protokol Kyoto, Tantangan Dan Solusinya

6

negara-negara Annex II atau Annex III. Target pengurangan emisi gas rumah kaca di seluruh

dunia ialah 5,2 persen disamakan dengan tahun 1990. batas reduksi masing-masing negara

berbeda-beda tergantung dari tingkat emisi yang mereka keluarkan. Misalnya Uni Eropa

harus mereduksi 8 persen dari total emisi yang dikeluarkannya, 7 persen untuk Amerika, serta

6 persen untuk Jepang.

Protokol Kyoto ditandatangani pada tanggal 11 Desember 1997 dan mulai

diterapkan pada tanggal 16 Februari 2005 . Sampai tahun 2008 ini, ada 183 negara yang telah

meratifikasi Protokol Kyoto. Ini bearti bahwa negara-negara yang telah meratifikasi Protokol

Kyoto tersebut harus mengikuti segala aturan yang tertulis dalam Protokol dan bersedia

menerima sanksi jika melanggar.

2.2. Mekanisme Protokol Kyoto

Protokol Kyoto memiliki beberapa yang dikenal sebagai ―mekanisme fleksibel‖

(flexible mechanisms). Adapun ketiga mekanisme tersebut antara lain:

Emissions Trading (Perdagangan Emisi)

Emissioins Trading, atau yang lebih dikenal dengan istilah Carbon Trading, merupakan

mekanisme yang disetujui oleh negara-negara Annex II dalam Protokol Kyoto yang

bertujuan untuk mengurangi emisi. Mekanisme ini terdapat dalam pasal 17 Protokol

Kyoto. Dalam Carbon Trading ini, negara-negara yang memiliki kelebihan kuota emisi,

dapat ―berbagi‖ dengan negara-negara maju yang telah kehabisan jatah emisi karbon.

Negara-negara maju dapat membeli emisi karbon yang tersisa dari negara-negara

berkembang sehingga mereka tetap dapat melanjutkan produksi tanpa terkena sanksi dari

Komite Kepatuhan Protokol Kyoto. Emissions Trading ini memang lebih dikenal sebagai

Carbon Trading karena karbon merupakan gas rumah kaca paling berbahaya dari gas-gas

lainnya dan paling banyak penyebarannya. Bahkan sampai ada yang dinamakan sebagai

―pasar karbon‖, dimana jumlah emisi gas dapat diperjualbelikan antar negara.

Clean Development Mechanism (CDM)

CDM dapat ditemukan dalam pasal 12 dari Protokol Kyoto. CDM mengizinkan negara-

negara yang sudah mencapai ambang batas jumlah emisi (negara-negara Annex II) untuk

membantu negara-negara berkembang dalam proyek pengurangan emisi mereka. Proyek

tersebut dapat menghasilkan angka Certified Emission Reduction (CER), dimana

kesetaraannya sama dengan satu ton CO2 yang dapat diukur dalam pertemuan-pertemuan

selanjutnya.

Page 7: Analisa Kritis Terhadap Protokol Kyoto, Tantangan Dan Solusinya

7

Mekanisme ini dilihat sebagai terobosan baru dalam investasi lingkungan global dan

angka kredit dapat dinilai sebagai alat ganti rugi. Aktivitas-aktivitas dari CDM meliputi,

misalnya, penggunaan energi surya sebagai bahan bakar atau instalasi listrik yang lebih

efisien. Mekanisme ini dimulai pada tahun 2006 dengan lebih dari 1000 proyek yang

telah didaftarkan dan dapat menghasilkan CER sebanyak lebih dari 2,7 milyar ton (setara

dengan CO2) yang didedikasikan pada periode awal Protokol Kyoto 2008 – 2012.

Joint Implementation

Mekanisme ini dapat ditemukan dalam Artikel 6 Protokol Kyoto. Dalam mekanisme ini,

Protokol mengizinkan negara-negara dengan reduksi emisi atau komitmen pembatasan di

bawah Protokol Kyoto (negara-negara Annex II) untuk menghasilkan unit reduksi emisi

(Emission Reduction Units = ERUs) dari sebuah proyek reduksi emisi dari negara-negara

Annex II, setiap ERU setara dengan satu ton CO2, yang diukur dalam pertemuan-

pertemuan selanjutnya. Joint implementation menawarkan kepada negara-negara sebuah

cara yang fleksibel dan lebih efisien dalam memenuhi semua target dalam Protokol

Kyoto. Mekanisme ini dimulai sejak tahun 2000 namun ERU hanya baru dapat

dikeluarkan setelah awal 2008.

Ketiga mekanisme di atas dimaksudkan untuk memudahkan negara-negara dalam

mematuhi pasal-pasal perjanjian Protokol Kyoto. Dengan demikian, emisi gas rumah kaca

dapat dikurangi sehingga lingkungan dapat diselamatkan dengan segera. Memang, ketiga

mekanisme di atas akan sangat banyak menguntugkan negara-negara maju. Namun, dengan

adanya mekanisme tersebutlah maka negara-negara maju tidak akan merasa terlalu dirugikan.

Sampai saat ini, Amerika Serikat, penyumbang terbesar untuk emisi gas rumah

kaca, belum mau meratifikasi Protokol Kyoto karena dianggap masih merugikan

perekonomian dan perindustrian Amerika Serikat. Oleh karena itu, pelaksanaan Protokol

Kyoto ini masih akan menghadapi tantangan yang berat karena negara paling besar dan

paling berpengaruh terhadap perusakan lingkungan belum mau berkomitmen terhadap

perjanjian tersebut.

Page 8: Analisa Kritis Terhadap Protokol Kyoto, Tantangan Dan Solusinya

8

BAB III

ANALISA KASUS

3.1. Tantangan Menyikapi Penolakan Amerika Serikat dan Negara Maju Lain dalam

Ratifikasi Kyoto Protocol

3.1.1. Penolakan Amerika Serikat untuk Meratifikasi Protokol Kyoto

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Protokol Kyoto sebagai hukum

lingkungan internasional adalah menyikapi ketidakbersediaan berbagai negara besar untuk

bergabung dan meratifikasi Protokol Kyoto. Hingga kini, Salah satu negara besar yang paling

signifikan pengaruhnya untuk mewujudkan misi Protokol Kyoto dengan mengurangi emisi

dunia adalah Amerika Serikat. Amerika Serikat, selaku penyumbang emisi terbesar dunia7,

hingga kini belum meratifikasi Protokol Kyoto. Inilah yang merupakan tantangan terbesar

dari Protokol Kyoto, membuat negara penyumbang emisi terbesar dunia seperti Amerika

Serikat bersedia meratifikasi Protokol Kyoto dan dengan itu mengurangi tingkat polusinya.

Sebenarnya, apa alasan Amerika Serikat hingga kini belum meratifikasi Protokol Kyoto

tersebut? Salah satu alasan utamanya adalah alasan ekonomi. Bush mengatakan, Kyoto

Protokol hanya akan membahayakan kondisi perekonomian dan kondisi perburuhan mereka8.

Pemaksaan pengurangan emisi akan menyebabkan produktivitas industri Amerika Serikat

menurun, karena emisi merupakan produk sampingan dari hasil produksi industri-industri.

Dan pengurangan emisi berarti sama dengan mengurangi kegiatan produksi itu sendiri.

Pengurangan kegiatan produksi tentu akan berdampak buruk pada perekonomian mereka,

apalagi Protokol Kyoto mewajibkan Amerika Serikat mengurangi sampai 30%-an dari

emisinya, jumlah yang sangat besar yang tentu akan mempengaruhi perekonomian Amerika

Serikat. Menurunnya kegiatan perekonomian pada akhirnya akan berdampak pada penurunan

kehidupan buruh, yang upahnya berasal dari persentase hasil produksi suatu pabrik.

Penurunan hasil produksi yang diakibatkan penurunan emisi pabrik kemudian akan

berdampak pada penurunan upah buruh, yang lantas berdampak pada buruknya standar

kehidupan rakyat Amerika secara keseluruhan. Sehingga dapat disimpulkan alasan pertama

Amerika Serikat tidak mau meratifikasi Protokol Kyoto adalah karena Protokol Kyoto dinilai

akan menghancurkan kehidupan ekonomi dan kehidupan sosial rakyat Amerika Serikat.

7

Steve Corner. Scientists Condemn US as Emissions of Greenhouse Gases Hit Record Level.

http://www.independent.co.uk/news/science/scientists-condemn-us-as-emissions-of-greenhouse-gases-hit-

record-level-474742.html, diakses pada 17 Desember 2008, pukul 22.01. 8

Cabel News Network. Bush Firm Over Kyoto Stance. http://edition.cnn.com/2001/US/03/

29/schroeder.bush/index.html, diakses pada 17 Desember 2008, pukul 22.11.

Page 9: Analisa Kritis Terhadap Protokol Kyoto, Tantangan Dan Solusinya

9

Alasan kedua Amerika Serikat dan beberapa negara maju lain tidak mau

meratifikasi Protokol Kyoto adalah karena Protokol Kyoto tidak mewajibkan negara

berkembang untuk mengurangi emisi, seperti yang diwajibkan Protokol Kyoto pada negara

maju. Beberapa negara maju merasa hal itu tidak adil, karena menurut mereka negara

berkembang merupakan penyumbang emisi yang cukup besar di dunia. Protokol Kyoto

dinilai seakan menutup mata pada emisi dari negara berkembang—termasuk di dalamnya

Cina, Rusia, India, dan Brazil—dan cenderung menyalahkan negara maju atas semua kadar

emisi dunia. Penegasian terhadap emisi negara berkembang pada akhirnya akan membuat

usaha negara maju mengurangi emisi mereka pada akhirnya tidak berguna, karena

diperkirakan negara berkembang akan menghasilkan tingkat emisi lebih tinggi dibanding

negara-negara industri yang dikenai kewajiban mengurangi emisinya pada 20209. Selain itu,

jumlah penduduk yang besar dari negara berkembang juga seharusnya mampu mengurangi

emisi karbon dunia.

Protokol Kyoto juga, menurut Amerika Serikat, memiliki banyak kelemahan dari

segi struktur dan substansi. Salah satunya adalah Protokol Kyoto dinilai salah dalam

menentukan sasaran yang hanya berfokus pada pengurangan emisi CO2, padahal banyak gas

rumah kaca lain yang perlu mendapat perhatian; Protokol Kyoto dinilai cacat tujuan

(misobjective) dan Amerika Serikat menyebut Protokol Kyoto sebagai perjanjian yang cacat

(flawed agreement) dan karenanya menolak meratifikasinya. Amerika Serikat juga menegasi

fakta-fakta yang ditawarkan ilmuwan dan para pemerhati lingkungan bahwa pengurangan

emisi akan menyumbangkan usaha signifikan dalam mengatasi kerusakan lingkungan akibat

perubahan iklim. Menurut Amerika Serikat, usaha pengurangan emisi tidak akan memberikan

dampak signifikan pada kerusakan akibat perubahan iklim, malah upaya pengurangan emisi

ini akan mendatangkan akibat baru, misalnya akibat ekonomi dan sosial yang telah

disebutkan sebelumnya.

Alasan keempat Amerika Serikat tidak mau meratifikasi Protokol Kyoto adalah

karena Protokol Kyoto mempunyai unsur memaksa, Amerika Serikat dipaksa untuk

mengurangi kadar emisinya, padahal di satu sisi Amerika Serikat merasa tidak mendapat

insentif apa-apa yang dapat menariknya untuk ikut meratifikasi Protokol Kyoto. Unsur

pemaksaan di sini merupakan salah satu alasan utama, karena jika mau dibandingkan dengan

Protokol Montreal dan kerjasama AP6—dua perjanjian yang sudah diratifikasi Amerika

Serikat, padahal keduanya sama-sama bertujuan mengurangi tingkat emisi dunia seperti

9 Charlie E. Coon. Why Presiden Bush is Right to Abandon the Kyoto Protocol. http://www.heritage.org/

Research/EnergyandEnvironment/BG1437.cfm, diakses pada 17 Desember 2008, pukul 09.11

Page 10: Analisa Kritis Terhadap Protokol Kyoto, Tantangan Dan Solusinya

10

Protokol Kyoto—Protokol Kyoto memiliki unsur pemaksaan di dalamnya, dan ini yang tidak

disukai Amerika Serikat. Amerika Serikat ingin agar dirinya diberi kebebasan untuk

melakukan caranya sendiri dalam melindungi lingkungan hidup.

3.1.2. Analisa terhadap Penolakan AS dan Negara Maju dalam Ratifikasi Kyoto Protokol

Penulis menilai berbagai alasan yang membuat AS dan negara maju menolak

peratifikasian Protokol Kyoto tidak valid dan kurang kuat dalam menjelaskan

ketidakbersediaan mereka meratifikasi Protokol Kyoto, karena menurut penulis, semua alasan

yang dikemukakan di atas bukanlah alasan sebenarnya. Alasan pertama, saat AS mengatakan

peratifikasian Protokol Kyoto akan berdampak buruk pada kehidupan ekonomi dan sosial

rakyatnya, penulis menilai hal tersebut sebenarnya bisa diatasi dengan meningkatkan usaha-

usaha lain yang tidak menggunakan bahan bakar yang menghasilkan emisi. Amerika Serikat

bisa mengantisipasi akibat dari pengurangan emisi itu dengan dua cara. Cara pertama adalah,

melakukan berbagai riset teknologi yang memungkinkan industri-industri untuk

menggunakan berbagai bahan bakar yang memang tidak menghasilkan emisi sebanyak bahan

bakar yang kini biasa digunakan, misalnya dengan menggunakan bahan bakar biofuel yang

akan menghasilkan emisi CO2 yang lebih sedikit dibanding bahan bakar minyak. Cara kedua

adalah, AS dapat mengantisipasi pengurangan produktivitas yang lantas berdampak pada

menurunnya upah buruh dengan lebih mengembangkan industri kecil dan menengah yang

tidak menggunakan mesin-mesin pabrik dan lebih menggunakan keterampilan tangan,

sehingga tidak menghasilkan emisi yang berbahaya.

Alasan kedua yang menyebabkan Amerika Serikat menolak peratifikasian Protokol

Kyoto adalah karena Protokol Kyoto tidak memberi kewajiban bagi negara berkembang

untuk mengurangi emisi. Penulis menilai, alasan ini tidak masuk akal karena memang negara

berkembang merupakan negara yang perekonomiannya tidak tergantung pada industri dan

karenanya negara berkembang memang tidak menghasilkan polutan sebanyak yang

dihasilkan negara maju, terutama Amerika Serikat yang kehidupan perekonomiannya

memang berfokus pada perindustrian. Sehingga penulis menilai, di sini memang negara

berkembang tidak mempunyai kewajiban untuk mengurangi emisi karena memang emisi

yang dihasilkan negara berkembang berjumlah sedikit—bahkan bila semua emisi negara

berkembang digabung.

Alasan ketiga yang penulis lihat paling tidak rasional adalah anggapan bahwa

Protokol Kyoto merupakan produk perjanjian yang cacat (flawed agreement) dan bahwa

Protokol Kyoto cacat secara tujuan (misobjective) karena dinilai hanya berkonsentrasi pada

Page 11: Analisa Kritis Terhadap Protokol Kyoto, Tantangan Dan Solusinya

11

pengurangan gas CO2 tanpa peduli pada gas rumah kaca lain. Berdasarkan data bahwa 60%

dari gas rumah kaca terdiri dari CO210

, dapat disimpulkan CO2 merupakan gas rumah kaca

utama yang turut menyumbang pada terjadinya pemanasan global, dan karena CO2 memang

merupakan gas utama terbanyak penyusun gas rumah kaca, tepatlah kiranya agar usaha

pengurangan emisi lebih diarahkan pada upaya pengurangan CO2. Dan lagi, penegasian

Amerika Serikat bahwa pengurangan emisi akan tidak memberikan dampak signifikan bagi

perbaikan lingkungan akibat perubahan iklim tidaklah benar karena berbagai ilmuwan sudah

membuktikan dengan berbagai riset bahwa emisi CO2 yang meningkat jelas memperparah

kondisi pemanasan global dunia.

Unsur pemaksaan yang disebutkan Amerika Serikat dalam alasan terakhir juga,

penulis rasa, hanya merupakan dalih semata karena terbukti, tanpa adanya pemaksaan,

Amerika Serikat terbukti tidak melakukan kewajibannya mengurangi tingkat emisi

(berdasarkan Protokol Montreal dan AP6 yang disetujuinya). Di sini penulis melihat unsur

pemaksaan dalam Protokol Kyoto memanglah unsur yang penting dan harus ada untuk

menjamin terlaksananya visi-misi Protokol Kyoto, untuk mengikat anggota yang

meratifikasinya.

3.1.3. Solusi terhadap Penolakan Amerika Serikat untuk Meratifikasi Protokol Kyoto

Dari semua alasan yang dikemukakan Amerika Serikat, penulis memandang semua

alasan tersebut sebenarnya hanya alasan yang dibuat-buat agar mendapat excuse untuk tidak

meratifikasi Protokol Kyoto, yang memang akan merugikan Amerika Serikat terutama dari

segi ekonomi. Padahal kerugian yang diterima Amerika Serikat dari segi ekonomi itu, penulis

rasa, memang kerugian yang menjadi tanggung jawab Amerika Serikat karena telah merusak

alam dengan emisi yang dihasilkan dari kegiatan industrinya. Alih-alih bertanggung jawab

atas kerusakan alam yang ditimbulkannya, Amerika Serikat malah sibuk membuat alasan-

alasan untuk membenarkan penolakannya pada Protokol Kyoto. Di sini penulis melihat,

Protokol Kyoto sebagai hukum lingkungan internasional dapat melakukan dua macam

tindakan untuk mengatasi penolakan Amerika Serikat untuk meratifikasi Protokol Kyoto

tersebut. Cara pertama dilakukan dengan memberikan tekanan pada Amerika Serikat dan

negara-negara yang belum meratifikasinya. Tekanan tersebut dilakukan dengan

memanfaatkan negara-negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto dan masyarakat

internasional untuk bersikap tidak simpatik dan cenderung menekan Amerika Serikat untuk

10

BBC Weather Centre. Climate Change—Carbon Dioxide. http://www.bbc.co.uk/climate/evidence/

carbon_dioxide.shtml, diakses pada 17 Desember 2008, pukul 19.42.

Page 12: Analisa Kritis Terhadap Protokol Kyoto, Tantangan Dan Solusinya

12

meratifikasi Protokol Kyoto. Namun harus diperhatikan tekanan tersebut dilakukan oleh

seluruh masyarakat internasional, bukan hanya oleh satu-dua negara, agar efeknya lebih

terasa bagi Amerika Serikat.

Solusi kedua yang dapat dilakukan Protokol Kyoto adalah berusaha melobi

Amerika Serikat dan menjelaskan kerugian dalam bentuk ekonomi dan sosial yang akan

diterima Amerika Serikat di masa mendatang akan jauh lebih besar dibanding kerugian

ekonomi yang diterima Amerika Serikat dari peratifikasian Protokol Kyoto sekarang. Usaha

melobi ini dilakukan juga dengan bantuan negara-negara yang telah meratifikasi Protokol

Kyoto. Dalam melobi, juga perlu ditunjukkan bukti-bukti nyata agar pemerintah Amerika

Serikat percaya dan yakin bahwa peratifikasian Protokol Kyoto adalah hal yang perlu

dilakukan demi kebaikan dunia internasional bersama.

3.2. Tantangan Dari Substansial Protokol Kyoto

3.2.1. Analisa Tantangan Substansial Protokol Kyoto

Dalam kerangka Protokol Kyoto terdapat tiga mekanisme inovatif yaitu joint

implementation, the clean development mechanism, dan emissions trading. Ketiga

mekanisme tersebut dibuat dengan tujuan membantu negara-negara yang termasuk dalam

Annex I untuk mengurangi biaya reduksi emisi sesuai target yang telah ditetapkan. Protokol

Kyoto secara umum merupakan sistem 'cap and trade' yang memberikan kuota emisi

nasional bagi negara-negara sesuai dengan kelompok tempat ia berada yaitu Annex I atau

Non-Annex I. Pada ketiga mekanisme di atas masing-masing negara dapat melakukan

perdagangan kuota emisi nasional yang ia jalankan melalui jalan alternatif yang disediakan,

sehingga logikanya hal tersebut tidak masalah selama tetap terjadi zero sum emission. Namun

sayangnya dalam ketiga mekanisme tersebut terdapat beberapa kelemahan yang perlu diatasi

agar mekanisme tersebut dapat mengatasi masalah lingkungan.

Kelemahan pertama dari segi substansial ketiga mekanisme tersebut secara implisit

memberikan justifikasi untuk dapat terus berpolusi asal mereka memiliki uang untuk

membayar kelebihan karbon mereka baik itu dengan membeli cap emisi dari negara Annex I

atau dengan memberikan biaya untuk program pemeliharaan lingkungan di negara lain. Inilah

suatu bentuk ide yang secara filosofis salah (you can pollute as long as you can pay) dan

dapat dimanfaatkan secara berlebihan oleh negara yang mengeluarkan polusi. Oleh karena itu

emissions trading sangatlah populer, khususnya diantara ekonom karena trading di sini

berarti negara manapun yang masih mempunyai sisa kuota emisinya dapat dapat memberikan

kuotanya yang tidak terpakai tersebut (batas emisi yang diperbolehkan dikurangi dengan

Page 13: Analisa Kritis Terhadap Protokol Kyoto, Tantangan Dan Solusinya

13

emisinya yang sebenarnya) kepada negara yang menawarkan kompensasi finansial.11

Negara

pembeli tersebut hal kemudian menggunakan kuotanya yang dibeli tersebut untuk

meningkatkan kuota emisinya sendirinya. Idenya adalah untuk memperbolehkan untuk

dikurangi dimanapun proses pengurangan tersebut paling ekonomis. Pada akhirnya hal ini

akan memberikan insentif yang salah kepada mereka yang berpolusi dalam usaha

perlindungan lingkungan dimana mereka tidak lagi merasa bahwa proses industrialisasi atau

ekspliotasi lingkungan perlu dikurangi demi menjadi eksistensi lingkungan hidup. Lebih

lanjut lagi mekanisme pasar seperti carbon trading dapat menjadi jalan bagi negara maju atau

industri yang secara histories bertanggung jawab atas terjadinya climate change untuk

menghindari tanggung jawab mereka. Dengan mengijinkan mereka dan bisnis mereka untuk

membeli kredit karbon di negara berkembang, mereka dapat secara efektif mengalihkan

kewajiban mereka untuk mengurangi emisi karbon. Dengan demikian mereka akan semakin

mengedepankan kepentingan ekonomi daripada kepentingan lingkungan dan hal ini perlu

dihindari karena sangat berbahaya.

Kelemahan kedua dari mekanisme ini adalah adalah terbukanya kesempatan bagi

negara-negara maju atau industri untuk mengeksploitasi negara-negara berkembang dan

kuota emisi mereka. Hal ini terjadi karena dengan adanya clean development mechanism

yang membiarkan negara-negara maju untuk mengalokasikan uang kompensasi emisi yang

berlebih untuk pembangunan suatu program ramah lingkungan atau uang segar untuk

pemerintah negara berkembang tersebut melestarikan lingkungannya sehingga tidak pada

akhirnya dapat mengurangi emisi karbon dari negara tersebut. Tujuan awal dari Clean

development mechanism adalah agar aktor yang tidak termasuk dalam Annex I dapat dibantu

untuk mencapai sebuah sustainable development dan dalam berkontribusi terhadap tujuan

utama dari konvensi, serta untuk membantu pihak yang termasuk dalam Annex I untuk

mencapai ketaatan pada batas emisi mereka yang telah terkuantifikasi dan komitmen reduksi

mereka.12

Namun pada kenyataannya negara maju terkadang mengeksploitasi berlebihan dari

hal ini dimana mereka akhirnya memberikan uang segar pada negara berkembang untuk

―menambal‖ kuota emisi karbon mereka yang berlebih. Pemberian uang segar terhadap

negara berkembang memiliki dampak nyata yang amat perlu diwaspadai. Dampak pertama

adalah kemungkinan terjadinya suatu bentuk dependensi dari negara berkembang terhadap

11

Thomas C. Schelling, What Makes Greenhouse Sense? Time to Rethink the Kyoto Protocol,

http://www.jstor.org/stable/20033158, diakses pada tanggal 17 Desember 2008 pukul 02.32. 12

Eric C. Bettelheim and Gilonne d'Origny, Carbon Sinks and Emissions Trading under the Kyoto Protocol: A

Legal Analysis, http://www.jstor.org/stable/3066594 diakses 17 Desember 2008 pukul 02.15.

Page 14: Analisa Kritis Terhadap Protokol Kyoto, Tantangan Dan Solusinya

14

aliran dana segar ataupun bantuan pelestarian lingkungan sehingga akan menghilangkan

insentif bagi negara berkembang untuk melakukan kebijakan yang membuat negaranya

menjadi lebih ramah lingkungan. Negara berkembang, karena pada awalnya saja emisi

karbonnya tidak melebihi kuota, kurang memiliki insentif untuk membuat produksi

barangnya dan kebijakannya menjadi ramah lingkungan. Dengan adanya bantuan yang

seperti ini, besar kemungkinannya negara berkembang menjadi lebih tergantung pada upaya

yang diberikan oleh negara maju terhadap teknologi yang ramah lingkungan ataupun upaya

lainnya. Di sisi lain terdapat pula dampak lain yaitu dengan mekanisme seperti ini yaitu

negara berkembang menjadi sulit untuk tumbuh dan menuju industrialisasi. Hal ini

diakibatkan jatah kuota emisi yang ia miliki malah dipergunakan oleh negara maju untuk

terus memproduksi barang sedangkan di saat negara berkembang sendiri ingin

mengembangkan industrinya yang secara jelas pasti menambah emisi karbonnya jatahnya

tersebut telah menipis atau bahkan habis termakan negara maju. Hal ini memberi kesempatan

bagi tertutupnya kesempatan bagi negara berkembang untuk menjadi maju dan menjadi lebih

senang langsung menerima bantuan dari negara berkembang saja. Dengan begitu

pertumbuhan dan perkembangan negara berkembang mungkin dapat terhalang dan gap atau

jurang pemisah antara negara maju dan berkembang dapat menjadi lebih besar.

Kelemahan-kelemahan yang tertulis di atas merupakan tantangan sendiri yang

harus dihadapi oleh Protokol Kyoto. Diperlukan suatu dorongan yang kuat untuk kemudian

menutupi loopholes yang mampu disalahgunakan oleh aktor-aktor yang kurang bertanggung

jawab. Sebagai hukum lingkungan internasional, protokol kyoto memang membawa suatu

kemajuan tersendiri dengan memberikan target nyata berikut mekanisme yang dapat

membantu untuk mencapai target penurunan emisi tersebut tapi perlu juga dipikirkan lebih

lanjut cara untuk menghadapi tantangan ini agar upaya pelestarian lingkungan dapat berjalan

lebih efektif dan menyeluruh.

3.2.2. Solusi terhadap Tantangan Substansial Protokol Kyoto

Tantangan yang berasal dari isi substansial dari Protokol Kyoto menuntut adanya

suatu revisi dari cara kerja atau pelaksanaan yang lebih ketat dari sistem yang ada. Oleh

karena itu penulis mengajukan beberapa alternatif solusi dari tantangan yang ada. Pertama

dari tantangan di atas terlihat bahwa perlu diberikan suatu bentuk legal punishment yang

lebih terhadap mereka yang telah melewati batas emisi karbon mereka. Hal ini diperlukan

agar hukum lingkungan internasional dapat memiliki suatu kekuatan hukum yang lebih besar

dan menunjukan kekuatannya untuk secara legal mengikat para negara yang telah menyutujui

Page 15: Analisa Kritis Terhadap Protokol Kyoto, Tantangan Dan Solusinya

15

dan meratifikasinya. Hukum lingkungan internasional dalam bentuk kyoto protokol perlu

memberikan suatu penekanan yang lebih terhadap perlunya pelestarian dan perlindungan

lingkungan dan penekanan tersebut akan lebih terasa jika diberikan suatu disinsentif yang

lebih untuk berpolusi.

Kedua, berkaitan dengan pemberian penekanan yang lebih bagi pentingnya

pelestarian lingkungan, insentif yang lebih bagi negara-negara untuk menurunkan emisi

karbonnya dapat berhasil jika mekanisme ―cap and trade‖ diubah. Opsi perubahannya adalah

bahwa setiap negara diharuskan untuk membayarkan kompensasi sesuai dengan jumlah besar

emisinya. Jadi besar pajak atau kompensasi yang dibayarkan berbanding lurus dengan polusi

yang dikeluarkan oleh negara tersebut sehingga terdapat suatu standar jumlah emisi terhadap

sejumlah nilai uang. Dengan demikian terdapat suatu beban ekonomi yang jelas ukurannya

terhadap seluruh negara sehingga sistemnya akan menjadi lebih adil seperti halnya sistem

pajak progresif di dalam suatu negara. Negara-negara maju yang berpolusi besar akan

mempunyai beban ekonomi yang lebih besar sedangkan negara-negara kecil dan berkembang

seperti beberapa negara di Afrika juga mempunyai beban ekonomi yang lebih kecil dan

proporsional. Dengan begitu hukum lingkungan internasional dapat menjalankan salah satu

unsur hukum yaitu keadilan dalam proses dan mekanismenya.

Solusi ketiga adalah jika sistem cap and trade akan terus dilaksanakan maka perlu

diberikan suatu batasan perdagangan emisi. Hal ini bertujuan untuk dapat memastikan bahwa

setiap negara benar-benar melaksanakan pengurangan emisi di dalam negaranya sendiri. Di

sisi lain batasan ini juga dapat menjaga agar negara berkembang juga dapat memanfaatkan

jatah emisinya untuk berkembang menuju negara industri. Konsep zero sum yang menjadi

dasar pemikiran sebelumnya sebaiknya tidak perlu dipromosikan lebih lanjut karena mereka

mendorong ide bahwa industri tetap dapat memproduksi barang secara besar-besaran di saat

mereka ingin menjaga lingkungan. Padahal selama proses produksi mereka tidak ramah

lingkungan, proses industri pasti akan bertolakbelakang dengan proses pelestarian lingkungan.

Dengan adanya batasan ini target-target emisi karbon tersebut dapat lebih mudah tercapai

karena terdapat pembatasan pengeksploitasian jatah kuota emisi dari negara lain. Hukum

lingkungan internasional sebaiknya lebih fokus pada upaya untuk melindungi lingkungan

daripada memuaskan para pembisnis yang masih menginginkan adanya ruang gerak yang

luas bagi mereka untuk terus berpolusi. Satu-satunya cara bagi hal tersebut adalah

menegaskan lagi perannya dengan menegaskan pula nilai dan pelaksanaan dari hukum

lingkungan itu sendiri.

Page 16: Analisa Kritis Terhadap Protokol Kyoto, Tantangan Dan Solusinya

16

BAB IV

KESIMPULAN

Sejak awal kehadirannya, Protokol Kyoto telah mengundang banyak kontroversi

dan perdebatan di kalangan dunia internasional. Ide awal dari Protokol Kyoto sebenarnya

sangat baik karena bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dunia, tujuan yang akhirnya

berbuntut pada usaha pemeliharaan lingkungan global sebagai respon pemanasan global dan

perubahan iklim yang terjadi dewasa ini. Protokol Kyoto pada masa kelahirannya seakan

memberi angin segar bagi perkembangan hukum lingkungan internasional. Tetapi selanjutnya,

Protokol Kyoto mendapat dua tantangan besar yang lantas mempertanyakan efektifitas dari

Protokol Kyoto itu sendiri. Tantangan pertama adalah ketidaksetujuan Amerika Serikat

sebagai negara polutan terbesar dunia untuk meratifikasi Protokol Kyoto, sedang tantangan

kedua berfokus pada substansi dari Protokol Kyoto tersebut yang disangsikan

efektifitasannya dalam mengurangi kadar emisi karbon dunia. Kedua tantangan tersebut,

penulis rasa, tidak patut dijadikan sebuah halangan yang membatasi kerja Protokol Kyoto

sebagai hukum lingkungan internasional melainkan selayaknya dijadikan bahan refleksi demi

perkembangan hukum lingkungan internasional ke arah yang lebih baik.

Kembali lagi penulis menekankan sisi dinamis dari sebuah hukum kembali

berperan. Begitu juga dengan hukum lingkungan internasional. Sejak awal kelahiran hingga

perkembangannya, hukum lingkungan internasional termasuk Protokol Kyoto bukanlah

sesuatu yang statis dan kaku, melainkan sesuatu yang dinamis, sanggup mengikuti

perkembangan jaman, sambil dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat

internasional. Masyarakat internasional juga diharapkan senantiasa bersikap kritis pada

hukum yang ada, karena perkembangan dari hukum itu sendiri membutuhkan aspirasi dan

keikutsertaan masyarakat karena hukum internasional, termasuk di dalamnya hukum

lingkungan internasional, dibentuk demi kelangsungan masyarakat internasional juga.

Berbagai solusi telah penulis tawarkan untuk menjawab kedua tantangan besar bagi

Protokol Kyoto tersebut. Solusi-solusi tersebut hendaknya ditindaklanjuti sebagai alternatif

jalan menuju terciptanya hukum lingkungan internasional yang semakin baik. Di sini penulis

menilai, Protokol Kyoto sebagai hukum lingkungan internasional sebenarnya sudah

menjalankan perannya dengan baik, untuk menggalang kerja sama dan perhatian dunia

internasional untuk lebih peduli pada masalah lingkungan internasional, dan lebih lanjut

untuk berusaha dan bertindak langsung dalam menyikapi masalah perubahan iklim dan

Page 17: Analisa Kritis Terhadap Protokol Kyoto, Tantangan Dan Solusinya

17

pemanasan global tersebut dengan mengurangi kadar emisi dunia. Penulis juga melihat,

adanya unsur legally binding dalam Protokol Kyoto membuat hukum lingkungan

internasional semakin bergerak ke arah yang lebih baik karena untuk memberikan

perlindungan lingkungan secara menyeluruh, memang diperlukan suatu enforcement—baik

secara halus maupun secara tegas—pada para anggotanya. Di sisi lain, di sini penulis kembali

menekankan bahwa sama seperti hukum internasional, agar Protokol Kyoto dapat terlaksana,

ia memerlukan itikad baik (good will) dari para anggotanya. Kesadaran akan pentingnya

lingkungan hidup di sini memainkan peran yang krusial sehingga harus dibangun sebaik

mungkin demi tercapainya sustainable environment, demi kebaikan kita bersama.

Page 18: Analisa Kritis Terhadap Protokol Kyoto, Tantangan Dan Solusinya

18

DAFTAR PUSTAKA

Referensi dari buku :

Bell, Stuart dan Donald McGillivray. 2000. Environmental Law 5th

Edition. London:

Blackstone Press Limited.

Kubasek, Nancy K. dan Gary S. Silverman. 2005. Environmental Law. New Jersey: Pearson

Prentice Hall.

Pramudianto, Andreas. 2008. Diplomasi Lingkungan: Teori dan Fakta. Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia.

Referensi dari jurnal online:

Bettelheim, Eric C. dan Gilonne d'Origny. Carbon Sinks and Emissions Trading under the

Kyoto Protocol: A Legal Analysis, http://www.jstor.org/stable/3066594 diakses pada 17

Desember 2008, pukul 02.15.

Schelling, Thomas C. What Makes Greenhouse Sense? Time to Rethink the Kyoto Protocol,

http://www.jstor.org/stable/20033158, diakses pada tanggal 17 Desember 2008, pukul

02.32.

Referensi dari internet :

BBC Weather Centre. Climate Change—Carbon Dioxide.

http://www.bbc.co.uk/climate/evidence/ carbon_dioxide.shtml, diakses pada 17 Desember

2008, pukul 19.42.

Cabel News Network. Bush Firm Over Kyoto Stance. http://edition.cnn.com/2001/US/03/

29/schroeder.bush/index.html, diakses pada 17 Desember 2008, pukul 22.11.

Coon, Charlie E. Why Presiden Bush is Right to Abandon the Kyoto Protocol.

http://www.heritage.org/ Research/EnergyandEnvironment/BG1437.cfm, diakses pada 17

Desember 2008, pukul 09.11

Corner, Steve. Scientists Condemn US as Emissions of Greenhouse Gases Hit Record Level.

http://www.independent.co.uk/news/science/scientists-condemn-us-as-emissions-of-

greenhouse-gases-hit-record-level-474742.html, diakses pada 17 Desember 2008, pukul

22.01.

World Wide Legal Directories, Environmental Law, http://www.hg.org/environ.html, diakses

pada tanggal 17 Desember 2008, pukul 19.10.

― ‖. The United Nations Framework Convention on Climate Change, Article 2,

www.unfccc.com, diakses pada tanggal 17 Desember 2005, pukul 15.25.