151

Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

  • Upload
    vuhanh

  • View
    294

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial
Page 2: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Analisa

Analisa

Joko Tri Haryanto, M.S.I. (Kehidupan Keagamaan)

Page 3: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

i

Pengantar Redaksi/ Foreword

PENGANTAR REDAKSI

Reformasi 1998 membawa pengaruh besar dalam kehidupan sosial politik bangsa Indonesia. Terjadi perubahan wacana demokrasi, kebebasan politik, dan kebebasan beragama dari yang monolitik menjadi multiface. Pada bidang keberagamaan, demokratisasi dan wacana kebebasan beragama memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di masyarakat, termasuk pandangan terhadap peran sentral kiai sebagai elit sosial di masyarakat. Demikian pula, kebebasan beragama memunculkan berbagai faham keagamaan yang cenderung semakin eksklusif.

Tidak dipungkiri, di antara ekses negatif kebebasan dalam keberagamaan, yang diakibatkan oleh tafsir kebebasan beragama yang cenderung eksklusif adalah munculnya fanatisme kelompok keagamaan. Sikap ini kemudian memunculkan perilaku menyalahkan, menyesatkan, bahkan mengkafirkan kelompok lain. Hal inilah yang kemudian berkembang menjadi sikap radikalisme dalam beragama. Beberapa peristiwa kekerasan bernuansa keagamaan menandai adanya pemahaman eksklusifisme dan fanatisme sempit dari pengikut aliran atau fahan keagamaan.

Sikap eksklusfime dan radikalisme ini ditengarai juga muncul dari pemahaman keagamaan yang cenderung tekstualis dengan meminggirkan pemahaman terhadap konteks, baik konteks dari kitab suci maupun konteks dari fenomena sosial pelaku keagamaan. Kontrol negara dan lembaga-lembaga publik keagamaan nampak sangat lemah, sehingga wacana-wacana keagamaan eksklusif dan radikal cenderung mendominasi dibandingkan wacana keagamaan yang moderat, inklusif, dan harmoni.

Berangkat dari beberapa pengalaman tersebut, nampaknya artikel-artikel dalam Jurnal Analisa Balai Litbang Agama Semarang Volume 20, No. 2 Desember 2013 ini menjadi sangat relevan untuk dicermati. Pada edisi ini Jurnal Analisa menyajikan 10 artikel yang melingkupi bidang kehidupan keagamaan, bidang lekur dan khazanah keagamaan, dan bidang pendidikan agama dan keagamaan.

Tulisan Marmiati Mawardi tentang persepsi masyarakat terhadap peran kiai di Yogyakarta menunjukkan bahwa masyarakat masih memiliki kepercayaan dan harapan yang tinggi dan positif terhadap kiai dalam pembinaan keagamaan dan kerukunan beragama. Namun studi kasus yang dilakukan oleh Arnis Rachmadani terhadap kerusuhan Sampang II di Madura menunjukkan bahwa elit sosial keagamaan, seperti kiai juga memiliki andil besar dalam peristiwa kerusuhan benuansa keagamaan.

Pada basis massa atau umat beragama, tidak hanya masalah faham keagamaan yang berbeda saja yang dapat memicu konflik beragama, tetapi juga kesenjangan sosial ekonomi menjadi faktor penting pada munculnya konflik antarumat beragama. Hal ini diungkapkan dalam artikel Irwansyah yang menyoroti potensi konflik umat Islam dan umat Buddha Tanjungbalai Sumatera Utara.

Adapun dalam hal pemahaman atau faham keagamaan, pewacanaan keagamaan fundamentalisme melalui model pengajaran keagamaan ternyata tidak saja terjadi pada lingkungan masyarakat berpendidikan rendah. Flavius Floris Andries menemukan bahwa pada lingkungan mahasiswa pascasarjana Universitas Gajah Mada (UGM) proses internalisasi ajaran keagamaan menggunakan pendekatan indoktrinasi yang mengabaikan prinsip-prinsip hermeneutik dalam interpretasi Bible. Akibatnya hasil interpretasi bersifat literal dan fatal yang secara literal memengaruhi wacana dan diskursus pemahaman dan gerakan keagaman menjadi bersifat fundamental.

Masih kajian terhadap kelompok radikal keagamaan, Maghfur dan Siti Mumun Muniroh mengkaji keberagamaan istri tersangka teroris dan model hubungan suami-istri dalam keluarga tersangka teroris

Page 4: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

ii

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013

di Pekalongan. Maghfur dan Muniroh mengungkapkan bahwa model keberagamaan istri tersangka teroris cenderung eksklusif dibandingkan moderat atau inklusif. Demikian juga dalam pola relasi suami-istri, pada umumnya bersifat owner property dan head-complement, di mana istri diposisikan sebagai pelengkap suami atas segala aktivitas suami baik di bidang sosial, agama dan politik.

Kajian lain dalam jurnal edisi ini adalah persoalan budaya. Tulisan Zaenurrosyid mengungkapkan “pembangkangan” Mbah Maridjan sebagai abdi dalem terhadap perintah Sultan Hamengkubuwana X terkait peristiwa meletusnya gunung Merapi. Perseteruan ini akhirnya dimenangkan oleh Mbah Maridjan yang mendapatkan dukungan dari media massa. Adapun tulisan Novita Siswayanti mencoba mengungkapkan Tafsir Al-Huda, Tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa bersifat kultural kontekstual serta akomodatiif dan integratif interkonektif. Tafsir Al-Huda mengejawantahkan falsafah dan pandangan hidup Jawa dalam hidup bermasyarakat. Sedangkan kajian Bisri Ruchani terhadap naskah klasik Serat Purwocampur menunjukkan adanya Nilai kerukunan berupa akulturasi antara ajaran Hindu dan ajaran Islam (Jawanisasi Islam).

Sementara dalam bidang pendidikan agama dan keagamaan, tulisan Zaenal Arifin tentang strategi pengembangan sekolah Muhammadiyah di masyarakat NU konservatif sangat menarik. Pada awalnya fenomena ini menimbulkan konflik, tetapi akhirnya dapat mencapai formulasi solusi berupa pendekatan persuasif, nilai-nilai toleransi akomodasi budaya lokal, dan akomodasi terhadap perbedaan kultur siswa. Artikel yang dituliskan oleh A.M. Wibowo menyoroti kinerja guru Madrasah Aliyah pasca diklat fungsional di provinsi NTB. Wibowo menemukan bahwa secara kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional para guru tersebut termasuk kategori cukup, tetapi dalam hal prestasi guru agama Madrasah Aliyah kurang menonjol.

Redaksi Jurnal Analisa dalam kesempatan ini juga menyampaikan kabar gembira, bahwa Jurnal Analisa Balai Litbang Agama Semarang pada bulan Juni 2013 lalu telah mendapatkan akreditasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk tiga tahun ke depan. Prestasi ini tentu saja menuntut kinerja tim redaksi untuk semakin meningkat agar dapat mempertahankan akreditasi tersebut. Oleh karena itu, redaksi senantiasa terbuka terhadap kritik dan masukan bagi peningkatan kualitas Jurnal Analisa yang kita cintai.

Page 5: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

iii

Daftar Isi/ Contents

DAFTAR ISI

Volume 20 Nomor 02 Desember 2013Halaman 133-256

I S S N : 1 4 1 0 - 4 3 5 0

AnalisaJurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan

Terakreditasi LIPI Nomor: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013

Pengantar Redaksi :: i-iiDaftar Isi :: iii-ivLembar Abstrak :: v-x

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PERAN KIAI DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTAPublic Perception on the Role of Kiai in YogyakartaMarmiati Mawardi :: 133-143

THE STUDY OF THE SECOND CONFLICT IN SAMPANGAnalisis terhadap Konflik Sampang IIArnis Rachmadhani :: 145-153

POTENSI KERETAKAN HUBUNGAN SOSIAL MUSLIM-BUDDHIS (Kasus Konflik Patung Buddha di Kota Tanjungbalai Sumatera Utara)The Potential Clash of Social Relationship between Muslim and Buddhist (Case Study on the Conflict of Buddha Statue in Tanjungbalai City, North Sumatra)Irwansyah :: 155-168

GERAKAN FUNDAMENTALISME DALAM KONTEKS PLURALITAS KAMPUS(Studi Kasus Kelompok Mahasiswa Kristen Pascasarjana Universitas Gadjah Mada)Fundamentalism in Plural Campus (The Study of Christians Students in the Post Graduate Program Gadjah Mada University)Flavius Floris Andries :: 169-180

PEREMPUAN DI BALIK TERORIS (Religiusitas, Penyesuaian Diri dan Pola Relasi Suami Isteri Tersangka Teroris di Kota Pekalongan)Women Behind Terrorists (Religiousity, Self Adaptation and Husband-Wife Relationship within Suspected Terrorists Family in Pekalongan)Maghfur dan Siti Mumun Muniroh :: 181-195

Page 6: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

iv

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013

MARIDJAN WON THE BET(An Anthropological Analysis of Maridjan’s Religious-Cultural Fight in 2006)Maridjan Menang Taruhan (Analisis Antropologis terhadap Pertarungan Agama-Budaya Maridjan pada 2006)A. Zaenurrosyid :: 197-206

NILAI-NILAI ETIKA BUDAYA JAWA DALAM TAFSIR AL-HUDAJavanese Ethical Values in Tafsir Al-HudaNovita Siswayanti :: 207-220

KERUKUNAN BERAGAMA DALAM NASKAH KEAGAMAAN(Studi terhadap Serat Purwocampur)Religious Harmony Within Religious Manuscript (The Study of Serat Purwocampur)Bisri Ruchani :: 221-232

STRATEGI PENGEMBANGAN SEKOLAH MUHAMMADIYAH DI MASYARAKAT NU KONSERVATIFThe Development Strategy of Muhammadiyah School in Based Conservative-NU SocietyZainal Arifin :: 233-244

KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARATThe Religion Teachers Performance at Aliya Madrasa after their Completing Training Program in Province of West Nusa TenggaraA.M. Wibowo :: 245-256

Indeks :: 256-1 - 256-8Indeks Penulis :: 256-9 - 256-10Pedoman Penulisan Naskah :: 267-11 - 256-13

Page 7: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

v

Lembar Abstrak/ Abstract Sheet

LEMBAR ABSTRAK

ISSN : 1410 - 4350Terakreditasi LIPI Nomor: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013

Terbit: Desember 2013Date of Issue: 2013 December

Kata-kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.

The keywords included are free terms. This abstract sheet may be copied without permission and charge.

DDC 291.625 982Mawardi, Marmiati (Balai Litbang Agama Kementerian Agama RI, Semarang) Persepsi Masyarakat terhadap Peran Kiai di Daerah Istimewa YogyakartaJ. Analisa Desember 2013, Vol 20 No 02, hal. 133-143, 7 ill.

This paper is a summary of the research conducted in the province of Special Region of Yogyakarta, and put people in the Yogyakarta City, Sleman Regency and Kulonprogo Regency as sample. This research aimed to discribe people’s percep-tion of the of kiai (Islamic scholars) in the field of empowerment for improving the quality of religious life and increasing religious harmony in Special Region of Yogyakarta. The analysis results showed that the kiai has considerable role for improving the religious diversity among community and improve the quality of religious harmony. The public view on the dimension of beliefs, rituals and social very negative an relatively small. This reality showed that Yogyakarta people’s reli-gious knowledge was quite diverse, so there is a different perception. People’s perception of the role of kiai in improving the quality of religious life and religious harmony based on the social background of respondents of all categories, respondents said that kiai have positive role.

(Author)

Keywords: Community, Kiai, Religious Life, Harmony

Tulisan ini merupakan rangkuman hasil penelitian yang dilakukan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan sampel masyarakat di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulon Progo. Tujuan Penelitian untuk mendeskripsikan persepsi masyarakat terhadap peran kiai dalam pemberdayaan di bidang peningkatan kualitas kehidupan beragama dan peningkatan kerukunan umat beragama di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil analisis menunjukkan bahwa kiai cukup be-sar peranannya dalam meningkatkan kualitas keberagaamaan masyarakat dan meningkatkan kerukunan umat beragama. Pandangan masyarakat pada dimensi keyakinan, ritual dan sosial sangat negatif, relatif kecil. Realita ini menunjukkan bahwa di Daerah Istimewa Yogyakarta faham keagamaan masyarakat cukup beragam sehingga terdapat persepsi yang berbeda. Persepsi masyarakat terhadap peran kiai dalam meningkatkan kualitas kehidupan beragama dan kerukunan umat beragama berdasarkan latar belakang sosial responden dari semua kategori, responden menyatakan peran kiai positif.

(Penulis)

Kata kunci: Masyarakat, Kiai, Kehidupan Beragama, Kerukunan

DDC 303.659 8Rachmadani, Arnis (Balai Litbang Agama Kementerian Agama RI, Semarang)The Study of the Second Conflict in SampangJ. Analisa Desember 2013, Vol 20 No. hal. 145-153.

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Konflik Sampang II terjadi antara massa dengan pengikut Tajul Muluk yang ber-aliran Syi’ah di Sampang, Madura. Kerusuhan dipicu oleh penghadangan massa terhadap santri-santri Tajul Muluk agar tidak kembali ke Pondok Pesantren YAPPI di Bangil Pasuruan. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga jenis teknik pengumpulan data, yaitu wawancara (interview), telaah dokumen, dan pengamatan (observasi). Kajian terha-dap peristiwa ini dilakukan dengan pendekatan analisis konflik. Dari hasil analisis konflik, menunjukkan bahwa peristiwa yang terjadi di Sampang memiliki akar konflik yang laten. Peristiwa Konflik Sampang II merupakan manisfestasi dari

AnalisaJurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan

Page 8: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

vi

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013

akumulasi konflik laten yang terjadi akibat konflik pribadi yang dikemas dengan nuansa agama. Resolusi konflik dilakukan dengan pendekatan birokrasi dan pendekatan budaya.

(Penulis)

Kata kunci: Konflik Sampang, Analisis Konflik, Resolusi Konflik

This research was basically based on qualitative study. It was the second conflict in Sampang, the rampage which exploded between some people who trying to block the Tajul Muluk’s followers and preventing them from going back to the Pondok Pesantren (Islamic Boarding House) of YAPPI in Bangil, Pasuruan. The data in this study was collected using three sorts of data collection techniques: interview, document analysis, and observation. It was done by using the conflict analysis method, from which the writer found out that this second incident appeared in Sampang is manifestation of latent conflict accumulation which is actually personal conflict complicated by some religious issues. The conflict is to be resolved by using both bureaucracy and cultural approaches.

(Author)

Keywords: The Sampang Conflict, Conflict Analysis, Conflict Resolution

DDC 294.359 81Irwansyah (IAIN Sumatera Utara, Medan)Potensi Keretakan Hubungan Sosial Muslim-Budhis (Kasus Konflik Patung Buddha di Kota Tanjungbalai Sumatera Utara)J. Analisa Desember 2013, Vol 20 No. 02, hal. 155 - 168.

Socio-religious conflicts that occurred in Tanjungbalai City allegedly caused by the establishment of Buddha Statue. This research aims to reveal how relations between Muslim and Buddhist in Tanjungbalai. This study classified as qualitative research. Fact were obtained through observation, interviews, and document review. The results showed social conflict occurred after the establishment of Buddha Statue. Tanjungbalai as one of “China town”, to trigger the social jealousy. In addition to the economic factors are controlled by China, Tanjungbalai City the majority of Muslims, did not accept the establishment of 6 metre tall Buddha Statue that was on the fourth floor of the building Vihara Tri Ratna. Muslims aliancy movement asking for removal of the statue. Buddhists being defensive and worried that the Malays (Muslims) think that the Buddhist same with “the Chinese”.

(Author)

Keywords: Buddha Statue, Tanjungbalai, Muslim, Buddhist, China

Konflik sosial keagamaan yang terjadi di Kota Tanjungbalai ditengarai disebabkan oleh pendirian Patung Buddha. Peneli-tian ini bertujuan mengungkap bagaimana hubungan masyarakat muslim dan umat Buddha di Tanjungbalai. Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif. Data penelitian diperoleh melalui observasi, wawancara, dan telaah dokumen. Hasil pene-litian menunjukkan konflik sosial terjadi setelah adanya pendirian Patung Buddha. Tanjungbalai sebagai salah satu “kota Cina”, menjadi pemicu adanya kecemburuan sosial. Selain karena faktor ekonomi yang dikuasai Cina, kota Tanjungbalai yang mayoritas pemeluk agama Islam, tidak menerima adanya pendirian Patung Buddha setinggi 6 meter yang berada di atas gedung lantai empat Vihara Tri Ratna. Gerakan aliansi umat Islam menginginkan penurunan patung tersebut. Umat Buddha bersikap defensif serta khawatir kalau masyarakat Melayu (Muslim) memandang bahwa Buddhis sama dengan “orang Cina”.

(Penulis)

Kata kunci: Patung Buddha, Tanjungbalai, Muslim, Buddhis, Cina

DDC 297.645.984Andries, Flavius Floris (STAKPN, Ambon)Gerakan Fundamentalisme dalam Konteks Pluralitas Kampus (Studi Kasus Kelompok Mahasiswa Kristen Pascasarjana Universitas Gadjah Mada). J. Analisa Desember 2013, Vol 20 No 02, hal. 169-180.

The fundamentalism movement is getting increase and has considerable influence in the academic circumstance. This re-search aimed to understand how to reconstruct an ideas about religion and how its implementation in the religious move-ment on the campus. This qualitative research with in-depth interview techniques, and participant observation was found that the religious movements from KMK community of UGM Post Graduate has strong fundamentalism character and traits with following indicators: more oriented to the increase of exclusively religious spiritual values growth from the growth of academic intellectual values that able to compete in the mid of Science and Technology (IPTEK) development rate. The

Page 9: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

vii

Lembar Abstrak/ Abstract Sheet

other things found in this research were not sufficient discourse on the implementation of theological values in the com-munity. The religious teachings internalization process is using an indoctrination approach, so, the hermeneutic principles which the basis of the Bible interpretation process is ignored and finally the interpretation result were literal and fatal. On the other part there is PERKANTAS fundamentalism ideology influence that rooted in understanding the Bible literally affected the discourses in KMK community that eventually the religious understanding and movement has fundamental character.

(Author)

Keywords: Christian Post Gaduate Student Community, Religion, Hermeneutic, Fundamentalism

Gerakan fundamentalisme semakin berkembang dan memiliki pengaruh yang cukup besar di dunia kampus. Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana rekonstruksi ide tentang agama serta implementasinya dalam gerakan keagamaan di kampus. Penelitian kualitatif dengan teknik wawancara mendalam dan pengamatan terlibat ini menemukan bahwa ge-rakan keagamaan KMK Pascarjana UGM memiliki ciri dan karakter fundamentalisme yang kuat dengan indikator: lebih berorientasi pada peningkatan serta pertumbuhan nilai spiritual keagamaan yang eksklusif daripada pertumbuhan nilai-nilai intelektual akademik yang mampu berkompetisi di tengah lajunya perkembangan IPTEK. Temuan lain penelitian ini adalah tidak ada diskursus yang memadai dalam penerapan nilai-nilai teologi dalam komunitas tersebut. Proses internal-isasi ajaran keagamaan menggunakan pendekatan indoktrinasi, sehingga prinsip-prinsip hermeneutik yang menjadi dasar dari proses interpretasi bible diabaikan, akhirnya hasil interpretasi bersifat literal dan fatal. Pada bagian lain terdapat pengaruh ideologi fundamentalisme PERKANTAS yang bersumber pada pemahaman Alkitab secara literal mempengaruhi wacana dan diskursus dalam KMK yang akhirnya pemahaman dan gerakan keagaman bersifat fundamental.

(Penulis)

Kata kunci: KMK Pascasarjana UGM, Agama, Hermeneutika, Fundamentalisme

DDC 2 x 6.459 82Maghfur dan Muniroh, Siti Mumun (Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, STAIN Pekalongan).Perempuan di Balik Teroris (Religiusitas, Penyesuaian Diri dan Pola Relasi Suami Istri Tersangka Teroris di Kota Pekalongan).J. Analisa Desember 2013, vol 20 no 02, hal. 181-195.

Women and their religiosity are questioned along with the proliferation of conflict, violence, and religion-based riots which allegedly involving ‘husband’ suspected terrorists. This article discusses the religiosity of the wives, the adjustment of wives of suspected terrorists against psychological and social burden, and the patterns of marital relations of terrorist suspects in Pekalongan-Central Java. The result of this phenomenological study revealed that the religiosity of terrorist-suspects’ wives are more dominant is exclusive patterned- if it is compared to moderate or inclusive ones. In terms of adjustment, the wives are just accept the fate and tend to be indifferent to the activities of their husbands. The wives also nullifying the public’s negative perception and judgment, but some are closed to the social interaction. While the pattern of relationships that were frequently built tent to be more owner property and head-complement in characteristics. Wives are positioned as husband’s complement for all activities in the fields of social, religious and political.

(Author)

Keywords: Terrorism, Religious, Self Adaptation, Relationship Patterns, Exclusive

Perempuan dan religiusitasnya kembali dipertanyakan seiring dengan maraknya konflik, kekerasan, dan kerusuhan berba-sis agama yang diduga melibatkan para ‘suami’ tersangka teroris. Artikel ini mengkaji tentang religiusitas dan penyesuaian diri istri tersangka teroris terhadap beban psikologi dan sosial; serta pola relasi suami istri tersangka teroris di Pekalongan Jawa Tengah. Hasil kajian fenomenologi ini mengungkap bahwa keberagamaan istri tersangka teroris lebih dominan ber-corak eksklusif, dibanding yang bercorak moderat atau inklusif. Dalam hal penyesuaian diri, istri bersikap pasrah dan acuh terhadap aktivitas suami. Istri juga melakukan pembiaran atas anggapan dan penilaian negatif masyarakat, namun ada juga yang menutup diri dari pergaulan sosial. Sedangkan pola relasi yang dibangun lebih sering bersifat owner property dan head-complement. Istri diposisikan sebagai pelengkap suami atas segala aktivitas suami baik di bidang sosial, agama dan politik.

(Penulis)

Kata kunci: Terorisme, Religius, Penyesuaian Diri, Pola Relasi, Eksklusif

DDC 920Zaenurrosyid, Ahmad (STAI Matholiul Falah, Pati), Maridjan Won the Bet (An Anthropological Analysis of Maridjan’s Religious-Cultural Fight in 2006)J. Analisa Desember 2013, vol 20 no 02, hal. 197-206, 7 tab.

Page 10: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

viii

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013

Secara umum penelitian ini didasarkan pada fenomena menarik ketika Gunung Merapi meletus pada tahun 2006, yakni pemberontakan Maridjan sebagai abdi dalem untuk turun dari Merapi ketika Hamengkubuwono X sebagai raja memerin-tahkannya. Pertanyaan pokoknya adalah apa saja faktor-faktor perlawanan Maridjan?; dan apa yang Maridjan dapatkan dari taruhan itu sebagai pemenang? Pendekatan dalam penelitian ini adalah perspektif antropologis menggunakan penga-matan-terlibat dan dianalisis dengan metode kualitatif. Untuk mendapatkan data-data, peneliti tinggal di rumah Maridjan selama beberapa bulan di Merapi. Temuan penelitian ini adalah bahwa perlawanan Maridjan ditafsirkan sebagai pepe-rangan yang diciptakan oleh media. Kedua, perlawanan Maridjan didukung oleh dua modal kekuatan; kekuatan kultural sebagai juru kunci Merapi dan modal wacana yang didukung oleh media. Ketiga, Mardijan memenangkan taruhan dengan mendapatkan prestise dalam status sosial di samping popularitas dan kekayaan.

(Penulis)

Kata kunci: Abdi Dalem, Perlawanan, Raja, Media, Popularitas

This research was generally based on an interesting phenomenon in 2006, when Merapi erupted. There was Maridjan’s rebellion as a royal servant to climb down from Merapi when Hamengkubuwono X as the king commanded him. The main questions were what were the factors of Maridjan’s resistances?; what were the forms of Maridjan capitals in this fighting?; and what did Maridjan get from the bet as the winner? The approach of this research was anthropological perspective using participatory observation and analyzed by qualitative method. To get data, researcher lived in Maridjan’s house for several months in Merapi. The findings of the study were there was Maridjan’s resistance which was interpreted as a fighting cre-ated by media. The second was Maridjan’s resistance supported by two capital powers; the cultural power as the Merapi’s caretaker and the discourse capital supported by the media. The third was Maridjan won the bet by getting the prestige in his social status either popularities or wealth.

(Author)

Keywords: Royal Servant, Resistance, King, Media, Popularity

DDC 391.807Siswayanti, Novita (Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Jakarta).Nilai-nilai Etika Budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda.J. Analisa Desember 2013, Vol 20 No. 02, hal. 207-220.

Tafsir Al-Huda, interpreting Quran in Javanese language, is one of Indonesia interpretation in which the context project-ing the process of mingle between Quran and Javanese culture heritage owned by the author with social culture condition surrounded. Tafsir Al-Huda is a guidebook for experiencing sacred messages of Quran which is filled with moral values of Javanese culture. This research tried to study Javanese ethical values written in Tafsir Al-Huda. Content analysis method with hermeunetic approach is used in this study by interpreting symbols in form of text in order to find its meaning. This research conclude that Tafsir Al-Huda has Javanese cultural perspective, use cultural context, and has acomodating and integrating interconection. Tafsir Al-Huda embody the Javanese philosophy and view of life to make society remember the God and be aware to any behavior and saying (eling lan waspada), tolerate and respect others (tepa selira), and live in harmony with the concept that harmony can create unity, dispute can create separation (rukun agawe santosa lan crah agawe bubrah).

(Author)

Keywords: Quran, Tafsir Al-Huda, Javanese Ethical Values, Bakri Syahid

Tafsir Al-Huda, tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa, merupakan salah satu khazanah tafsir Indonesia yang dalam konteks-nya memproyeksikan proses pergumulan antara Al-Qur’an dengan warisan budaya Jawa yang dimiliki pengarang dengan kondisi sosial budaya Jawa yang melingkupinya. Tafsir Al-Huda semacam “guidebook” bagi pengamalan pesan-pesan suci Al-Qur’an yang sarat dengan nilai-nilai etika budaya Jawa. Penelitian ini berupaya mengkaji nilai-nilai etika Jawa yang terdapat pada Tafsir Al-Huda. Metode dalam penelitian ini adalah metode analisis isi (content analysis) dengan pendekat-an hermeunetika, yakni menafsirkan simbol berupa teks untuk dicari arti dan maknanya. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Tafsir Al-Huda berperspektif budaya Jawa yang bersifat kultural-kontekstual serta akomodatif dan integratif-interkonektif. Tafsir Al-Huda mengejawantahkan falsafah dan pandangan hidup Jawa dalam hidup bermasya-rakat agar eling lan waspada (ingat kepada Allah dan waspada terhadap setiap tingkah laku ucapan dan perbuatan) dan bersikap tepa selira (tenggang rasa, toleransi menghargai hak orang lain), dan rukun agawe santosa lan crah agawe bub-rah (kerukunan dapat menciptakan persatuan, perselisihan dapat menciptakan perpecahan).

(Penulis)

Kata kunci: Teks Al-Qur’an, Tafsir Al-Huda, Etika Jawa, Bakri Syahid

Page 11: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

ix

Lembar Abstrak/ Abstract Sheet

DDC 218.08Ruchani, Bisri (Balai Litbang Agama, Semarang ), Kerukunan Beragama dalam Naskah Keagamaan (Studi terhadap Serat Purwocampur).J. Analisa Desember 2013, Vol 20 No 02, hal. 221-232.

Javanese manuscript is a noble heritage that should be preserved. This study was conducted to determine the values of harmony contained in the Serat Purwocampur. The method used in this study on a content analysis and philology. Serat Purwocampur consists of four kinds of macapat song: Asmaradhana, Girisa, Pangkur, and Dhandhanggula. Briefly, this manuscript contains ancient stories and supernatural, such as gods associated with the prophets or otherwise. Value of har-mony contained in this manuscript is the acculturation between Hinduism and Islam (Islamic Javanization). Islam spread peacefully in Java, in additions Islam also taught its followers (the Javanese) to perform religion both syari’at and hakikat.

(Author)

Keywords: Fairy Tales, Acculturation, Serat Purwocampur, Harmony

Naskah Jawa merupakan warisan budaya adiluhung yang perlu dilestarikan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui nilai-nilai kerukunan yang terdapat dalam Serat Purwocampur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pen-dekatan filologi dan analisis isi. Serat Purwocampur berbentuk tembang macapat, yang terdiri atas 4 macam tembang, yakni Asmaradhana, Girisa, Pangkur, dan Dhandhanggula. Secara ringkas naskah ini berisi cerita kuno dan hal-hal gaib, seperti dewa-dewa dihubungkan dengan nabi-nabi atau sebaliknya. Nilai kerukunan yang terdapat dalam naskah ini adalah adanya akulturasi antara ajaran Hindu dan ajaran Islam (Jawanisasi Islam). Ajaran Islam masuk ke Jawa secara damai, selain itu ajaran Islam menghendaki umatnya (masyarakat Jawa) berislam secara syari’at dan hakikat.

(Penulis)

Kata kunci: Cerita Kuno, Akulturasi, Serat Purwocampur, Rukun

DDC 297.64Arifin, Zainal (UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta).Strategi Pengembangan Sekolah Muhammadiyah di Masyarakat NU Konservatif.J. Analisa Desember 2013, Vol 20 No. 02, hal. 233-244.

The existence of Aisyiyah Kindergarten (Aisyiyah Bustanul Athfal) and Muhammadiyah Elementary School at Mlangi Sle-man Yogyakarta, where the majority of the community are from Nahdlatul Ulama (NU), that cause some social conflicts. However, the Aisyiyah Kindergarten and Muhammadiyah Elementary School are still be the favorite school at Mlangi. In fact, there are 23 pesantren based on NU, Masyitoh Kindergarten, 2 islamic elementary school belong to an-Nasyat and al-Falahiyah and NU Elementary School. This research discussed on obstacles, conflict, format of solutions, and development strategy of Aisyiyah Kindergarten and Muhammadiyah Elementary School at Mlangi. This research is a qualitative study used in-depth interview, observation, and documentation. The results showed the barriers and conflicts experienced by Aisyiyah Kindergarten and Muhammadiyah Elementary School in Mlangi, they are: parents’ low attention on formal educa-tion, clash of school activities and pesantren activities, limited infrastructure, limited human resources, negative thinking of Mlangi community on Aisyiyah Kindergarten and Muhammadiyah Elementary School, the difference in religious teach-ing, and the new admission competition. Development strategy of Aisyiah Kindergarten and Muhammadiyah Elementary School in Mlangi include imaging, increasing extra curricular program, improving infrastructure facilities, accomodating local culture, and providing tolerance and accomodation for students with different culture.

(Author)

Keywords: Aisyiyah Kindergarten, Muhammadiyah Elementary School, Conflict, Development Strategy

Keberadaan TK Aisyiyah Bustanul Athfal (ABA) dan SD Muhammadiyah di Mlangi Sleman Yogyakarta di tengah mayoritas warga NU banyak menimbulkan konflik sosial. Akan tetapi TK ABA dan SD Muhammadiyah tetap menjadi favorit bagi war-ga Mlangi walaupun dusun Mlangi dikelilingi oleh 23 pesantren NU, TK Masyitoh, 2 Madrasah Ibtidaiyah milik Pesantren an-Nasyat dan al-Falahiyah serta SD NU. Penelitian ini membahas tentang hambatan, konflik, format solusi, dan strategi pengembangan TK ABA dan SD Muhammadiyah di Mlangi. Jenis penelitian ini adalah kualitatif yang menggunakan tek-nik pengumpulan data dengan wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hambatan dan konflik yang dialami TK ABA dan SD Muhammadiyah Mlangi: kepedulian orang tua masih rendah terhadap pendidikan formal, terbenturnya kegiatan sekolah dengan kegiatan pesantren, keterbatasan sarana prasarana, keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM), masih ada pandangan negatif masyarakat Mlangi terhadap TK ABA dan SD Muhammadiyah Mlangi, perbedaan dalam pengajaran agama, adanya persaingan dalam penerimaan siswa baru. Strategi pengembangan

Page 12: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

x

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013

TK ABA dan SD Muhammadiyah di Mlangi meliputi pencitraan, peningkatan program ekstrakurikuler, peningkatan sarana prasana, mengakomodasi budaya lokal, dan memberikan toleransi serta akomodasi perbedaan kultur siswa.

(Penulis)

Kata kunci: TK ABA, SD Muhammadiyah, Konflik, Strategi Pengembangan

DDC 297.645 985Wibowo, A.M. (Balai Litbang Agama Kementerian Agama RI, Semarang)Kinerja Guru Agama Madrasah Aliyah Pasca Diklat Fungsional di Propinsi Nusa Tenggara Barat.J. Analisa Desember 2013, Vol 20 No. 02, hal. 245-256, 2 ill, 6 tab.

This research aims to evaluated the religions teachers performance at Aliya Madrasa after attending training functional programs which managed by Balai Diklat Keagamaan on province of West Nusa Tenggara. This research important to do to seeing the change of religion teacher performance on Aliya Madrasa whether increase or decrease after attending train-ing functional program. By using analysis of context, input, process, product (CIPP) this study had 4 findings, there are: (1) In pedagogic competency, personality, social and professional, the performances of religion teachers in Aliya Madrasa after attending training functional programs were include into fairly category. However in competition achivement the religion teacher is under expectation. (2) Performance of the religion teacher in Aliya Madrasa after attending training functional programs give positive impact on students achievement. 3) The facilities of school like management, regulation and commitment of principal of Aliya Madrasa give positive impact to teacher performance, whereas support facilities in Aliya Madrasa is not support the increasing of religion teacher performance. (4) The Religion teachers performance after participated training functional programs gave positive impact to other teachers.

(Author)

Keywords: Performance, The Religion Teachers, Post Training

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja guru agama Madrasah Aliyah di Propinsi Nusa Tenggara Barat pasca mengikuti diklat fungsional yang pernah dilaksanakan oleh Balai Diklat Keagamaan Denpasar. Penelitian ini penting di-lakukan untuk melihat perubahan kinerja guru pendidikan agama Islam, baik peningkatan atau penurunan kinerja sete-lah mengikuti diklat. Dengan menggunakan analisis konteks, input, proses, produk (CIPP) penelitian ini menemukan 4 temuan, yaitu: (1) Kinerja guru agama Madrasah Aliyah pasca mengikuti diklat fungsional dilihat dari kompetensi peda-gogis, kepribadian, sosial, profesional termasuk dalam kategori cukup. Namun dalam hal prestasi, guru agama Madrasah Aliyah kurang memiliki prestasi yang menonjol. (2) Kinerja guru agama Madrasah Aliyah setelah mengikuti diklat fung-sional berdampak baik terhadap prestasi belajar siswa. (3) Iklim akademis sekolah berupa sarana pendukung, manajemen, program dan regulasi serta komitmen kepala madrasah berdampak baik pada kinerja guru agama pasca diklat sedangkan fasilitas yang tersedia di madarasah tidak ikut mendukung dalam peningkatan kinerja guru agama. (4) Kinerja guru agama setelah mengikuti diklat berdampak positif terhadap kinerja guru yang lain.

(Penulis)

Kata kunci: Kinerja, Guru Agama, Pasca Diklat

Page 13: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Persepsi Masyarakat terhadap Peran Kiai di Daerah Istimewa YogyakartaMarmiati Mawardi

133

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PERAN KIAI DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Public Perception on the Role of Kiai in Yogyakarta

MArMIATI MAwArdI Balai Penelitian dan Pengembangan

Agama SemarangJl. Untung Suropati Kav. 70,

Bambankerep, Ngaliyan, SemarangTelp. 024-7601327 Faks. 024-

7611386e-mail : [email protected]

Naskah diterima: 6 Februari 2013Naskah direvisi: 29 Juli-16 Agustus

2013Naskah disetujui: 20 September

2013

AbstrAct This paper is a summary of the research conducted in the province of Special Region of Yogyakarta, and put people in the Yogyakarta City, Sleman Regency and Kulonprogo Regency as sample. This research aimed to discribe people’s perception of the of kiai (Islamic scholars) in the field of empowerment for improving the quality of religious life and increasing religious harmony in Special Region of Yogyakarta. The analysis results showed that the kiai has considerable role for improving the religious diversity among community and improve the quality of religious harmony. The public view on the dimension of beliefs, rituals and social very negative an relatively small. This reality showed that Yogyakarta people’s religious knowledge was quite diverse, so there is a different perception. People’s perception of the role of kiai in improving the quality of religious life and religious harmony based on the social background of respondents of all categories, respondents said that kiai have positive role.

Keywords: Community, Kiai, Religious Life, Harmony

AbstrAk

Tulisan ini merupakan rangkuman hasil penelitian yang dilakukan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan sampel masyarakat di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulon Progo. Tujuan Penelitian untuk mendeskripsikan persepsi masyarakat terhadap peran kiai dalam pemberdayaan di bidang peningkatan kualitas kehidupan beragama dan peningkatan kerukunan umat beragama di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil analisis menunjukkan bahwa kiai cukup besar peranannya dalam meningkatkan kualitas keberagaamaan masyarakat dan meningkatkan kerukunan umat beragama. Pandangan masyarakat pada dimensi keyakinan, ritual dan sosial sangat negatif, relatif kecil. Realita ini menunjukkan bahwa di Daerah Istimewa Yogyakarta faham keagamaan masyarakat cukup beragam sehingga terdapat persepsi yang berbeda. Persepsi masyarakat terhadap peran kiai dalam meningkatkan kualitas kehidupan beragama dan kerukunan umat beragama berdasarkan latar belakang sosial responden dari semua kategori, responden menyatakan peran kiai positif.

Kata kunci: Masyarakat, Kiai, Kehidupan Beragama, Kerukunan

MArMIATI MAwArdI

Page 14: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 133-143

134

Pendahuluan

Persoalan kehidupan beragama dan kerukunan umat beragama tidak pernah berhenti, dan menimbulkan keresahan masyarakat, seperti munculnya aliran-aliran baru, terjadinya kerusuhan berupa perusakan tempat ibadah, peristiwa bom bunuh diri yang dilakukan di tempat ibadah dan persoalan pribadi yang berlanjut menjadi kerusuhan massal. Figur yang memiliki pengaruh cukup kuat dalam menggerakkan kehidupan beragama dan kerukunan umat beragama adalah kiai. Sebutan kiai dalam suatu komunitas mengacu pada konsep masyarakat bedasarkan kriteria yang masing-masing daerah berbeda.

Menurut Bisri (2008: 20-21) kiai adalah istilah budaya (bermula dari Jawa). Orang Jawa biasa menyebut kiai siapa atau apa saja yang mereka puja dan mereka hormati. Kiai Sabuk Inten, Kiai Nagasasra, Kiai Plered, misalnya, sebutan untuk senjata; Kiai Slamet sebutan untuk kerbau di Keraton Surakarta. Bagi orang Jawa orang yang disebut kiai semula adalah mereka yang dipuja dan dihormati masyarakat karena ilmunya, juga jasa dan rasa kasih sayang mereka kepada masyarakat. Dulu, kiai yang umumnya tinggal di desa—benar-benar kawan masyarakat—menjadi tumpuan, tempat bertanya dan meminta, juga pertolongan. Sebaliknya, kiai yang dipuja dan dihormati masyarakat itu memang mencintai masyarakat dan seperti mewakafkan dirinya untuk mereka. Kiai yang termasuk golongan mereka yang “yanzhuruuna ilal ummah bi’ainir rahmah”, melihat umat dengan mata kasih sayang, memberikan pelajaran kepada yang bodoh, membantu yang lemah, menghibur yang menderita dan seterusnya. Komplek pesantren yang umumnya 100 persen dibangun kiai adalah bukti perjuangan dan pengabdian kiai kepada masyarakat.

Lebih lanjut dikatakan dalam perkembangannya timbul pengertian kiai yang tidak hanya produk masyarakat, ada kiai produk pemerintah, produk pers dan sebagainya. Kini ada kiai yang spesialisasinya urusan ritual saja atau urusan sosial saja (Bisri, 2008: 20-21). Kiai yang dimaksud dalam penelitian ini bukan hanya

kiai yang berada di pesantren. Dalam realitas di masyarakat, istilah kiai lebih bersifat umum, yakni personal yang memiliki kedalaman ilmu agama Islam sekaligus kemampuan memimpin dalam pelaksanaan berbagai ritual agama Islam. Kiai yang dikategorikan dalam penelitian ini termasuk ustadz, mubaligh, dan khatib. Hasil penelitian Dirdjasanyata (1999) menyebutkan di masyarakat juga dikenal istilah kiai langgar, yakni tokoh masyarakat yang dipandang mumpuni dalam bidang pengetahuan dan pengamalan keagamaan yang umumnya menjadi imam di surau atau langgar, dan sekaligus mengajar mengaji pada masyarakat sekitarnya.

Kiai yang identik dengan para da’i dan mubaligh, aktif membina dalam masalah keagamaan maupun kemasyarakatan. Selain da’i dan mubalig di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga terdapat kiai pondok, karena di DIY terdapat pondok pesantren dengan corak yang berbeda (salaf, kholaf dan lainnya).

Di masyarakat, kiai menduduki peran top leader dengan memiliki wewenang yang besar dalam aspek kehidupan. Hal ini, karena secara tradisi masyarakat mengaitkan dirinya dengan etos spiritual atau mistik, di mana setiap aspek kehidupan orang Jawa senantiasa memiliki makna batin/rasa yang bersifat spiritual. Peran inilah yang membangun pola hubungan antara kiai dan masyarakat bersifat paternalistik. Kiai dipandang sebagai seorang yang memiliki daya “linuwih” terutama dalam persoalan agama atau spiritual. Pada umumnya mereka merupakan pembuat keputusan yang efektif dalam sistem kehidupan sosial orang Jawa, tidak hanya dalam kehidupan beragama tetapi dalam soal-soal politik (Dhofier, 1994: 56). Dengan demikian kedudukan kiai tidak hanya bersifat agama an sich melainkan juga memiliki peran menawarkan kepada masyarakat hal-hal yang berkaitan dengan agenda perubahan sosial keagamaan, baik menyangkut masalah interpertasi agama, cara hidup berdasarkan rujukan agama, memberi bukti kongkrit agenda perubahan sosial, melakukan pendampingan ekonomi, maupun menuntun perilaku keagamaan

Page 15: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Persepsi Masyarakat terhadap Peran Kiai di Daerah Istimewa YogyakartaMarmiati Mawardi

135

masyarakat (Patoni, 2007: 24). Peran-peran semacam inilah yang memiliki nilai signifikan dengan tujuan pembangunan masyarakat.

Fenomena tersebut mengindikasikan telah terjadi perubahan peran kiai dalam masyarakat. Kiai bukan hanya sekedar pengajar ngaji (mem-baca Al-Qur’an dan mengajarkan agama kepada para santri) tetapi peran kiai menjangkau ranah kehidupan dalam masyarakat dan berperan dalam meningkatkan pengetahuan keagamaan serta ikut serta mewujudkan ketentraman dalam hubungan sesama dan antarumat beragama, bahkan kiai dewasa ini ikut serta memberikan masukan dan kritik terhadap jalannya pemerintahan.

Peran kiai dalam penelitian ini adalah aktivitas kiai atau orang yang dipandang memiliki ilmu pengetahuan agama Islam dan mengajarkannya kepada orang lain, di mana aktivitas tersebut dipandang sebagai pemberdayaan masyarakat di lingkungan tertentu. Adapun yang dimaksud kiai dalam penelitian ini meliputi: kiai pesantren, kiai tarekat, kiai politik, kiai panggung, kiai tradisional, kiai modern, guru ngaji, dan khatib/ imam masjid.

Tulisan ini akan menguraikan dua persoalan, yaitu: 1) persepsi masyarakat terhadap peran kiai dalam pemberdayaan masyarakat di bidang peningkatan kualitas kehidupan beragama; dan 2) persepsi masyarakat terhadap peran kiai dalam pemberdayaan masyarakat di bidang peningkatan kerukunan umat beragama.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi masyarakat terhadap peran kiai dalam pemberdayaan di bidang peningkatan kualitas kehidupan beragama dan peningkatan kerukunan umat beragama di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan kajian peran kiai dalam pemberdayaan masyarakat dan memiliki nilai penting bagi pemerintah. Sedangkan secara praktis, menjadi acuan Kementerian Agama C.q. Direktorat Jenderal Bimas Islam untuk menjadi bahan penyusunan kebijakan terkait dengan

kiai sebagai key person atau elit sosial dalam pemberdayaan masyarakat di bidang peningkatan kualitas kehidupan beragama dan peningkatan kerukunan umat beragama, maupun Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dalam menyusun kebijakan bagi pembinaan kepesantrenan. Selain itu para kiai dan komunitas pesantren dapat mempergunakan hasil penelitian ini sebagai salah satu sumber informasi untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan dan kepengelolaan pesantren dalam pemberdayaan masyarakat, khususnya dalam bidang peningkatan kualitas kehidupan beragama dan kerukunan umat beragama di lingkungan masing-masing.

KerangKa Teori

Masyarakat merupakan kesatuan sosial manusia yang memiliki wilayah tertentu yang keteraturan dalam kehidupan sosial tersebut dimungkinkan telah adanya seperangkat pranata sosial yang menjadi tradisi dan kebudayaan yang mereka miliki (Suparlan, 1981-1982: 83).

Persepsi merupakan sesuatu yang aktif, karena menafsirkan dan memaknai pengalaman yang di dalamnya bukan hanya stimulus yang memegang peranan melainkan juga faktor individu sebagai orang yang mempersepsi (perseptor). Adanya perbedaan individual (individual differences) di dalam memandang realitas menyebabkan persepsi yang berbeda-beda pula pada masing-masing individu walaupun objek yang dipersepsi sama, sebab masing-masing individu akan mempersepsi situasi atau objek dengan caranya sendiri (Lugo dan Hershey, 1981). Lebih lanjut Lugo dan Hershey (1981) mengatakan bahwa persepsi seseorang dapat berubah karena tekanan sosial, adanya krisis kehidupan, terapi, persuasi, dan pendidikan. Baron dan Byrne juga Myers dan Gerungan (dalam Walgito, 1990: 127) menjelaskan bahwa persepsi akan menentukan sikap seseorang terhadap obyek yang dipersepsikannya.

Persepsi sosial dapat diartikan sebagai proses peralihan, penafsiran, pemilihan dan pengaturan informasi indrawi tentang orang lain. Apa yang diperoleh, ditafsirkan, dipilih dan diatur

Page 16: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 133-143

136

adalah informasi indrawi dari lingkungan sosial serta yang menjadi fokusnya adalah orang lain (Sarwono & Meinarno, 2009: 24). Baron & Byrne (2003: 38) mengemukakan bahwa persepsi sosial (social perception) adalah proses untuk mencoba mengetahui dan memahami orang lain. Menurut Teifort, sebagaimana dikutip oleh Sarwono & Meinarno (2009: 24), persepsi sosial adalah aktifitas mempersepsikan orang lain dan apa yang membuat mereka dikenali. Melalui persepsi sosial seseorang berusaha mencari tahu dan mengerti orang lain. Sebagai bidang kajian persepsi sosial adalah studi terhadap bagaimana orang membentuk kesan dan membuat kesimpulan tentang orang lain.

Persepsi masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kesan yang diungkapkan masyarakat setelah berinteraksi dengan obyek, yaitu pandangan terhadap peran kiai dalam pemberdayaan masyarakat di bidang peningkatan kualitas kehidupan beragama dan kerukunan umat beragama. Kesan tersebut bisa bersifat positif maupun negatif.

Aspek persepsi yaitu kognisi, afeksi dan konasi. Dalam penelitian ini untuk mengukur persepsi masyarakat terhadap peran kiai dalam meningkatkan kehidupan beragama dan kerukunan umat beragama berdasarkan dua aspek persepsi yaitu kognisi dan afeksi. Mar’at (1984: 22) mendefinisikan persepsi merupakan suatu proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi. Sarwono (1983: 52) berpendapat afeksi adalah pengembangan keterikatan emosional dengan orang lain. Kebutuhan dasarnya adalah hasrat untuk disukai dan dicintai. Ekspresi tingkah lakunya bisa positif (bervariasi dari terkesan sampai cinta) dan bisa juga negatif (bervariasi dari ketidaksenangan sampai benci).

Menurut Mar’at (1984: 22) aspek kognisi persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor: pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuan. Kalau dipilah lagi maka faktor-faktor tersebut bisa dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain

meliputi kebutuhan individu, jenis kelamin, usia, pendidikan, pengalaman, kepribadian; sedangkan faktor eksternal mencakup faktor lingkungan dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat.

Istilah kiai menurut Zamakhsyari Dhofier (1994: 55) adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat terhadap seseorang ahli agama Islam yang memiliki atau memimpin pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik pada para santrinya. Namun demikian, di masyarakat Jawa, istilah kiai memiliki beberapa arti. Dhofir kemudian memberikan tiga definisi kiai yang ada dalam khasanah budaya di Jawa. Pertama, kiai adalah suatu sebutan atau nama yang diberikan kepada suatu benda yang diyakini memiliki keajaiban tertentu. Misalnya: Kiai Pleret adalah sebutan sebuah tombak yang digunakan oleh raja di Jawa. Kedua, kiai adalah gelar kehormatan untuk para orang tua pada umumnya. Dan ketiga, kiai adalah sebutan untuk orang yang memiliki kedalaman ilmu agama Islam dan memiliki kharisma tertentu, terutama memimpin pondok pesantren dan mengajarkan kitab kuning.

Dalam konteks ini, kiai adalah dalam pengertian ketiga, yakni orang yang memiliki kedalaman ilmu agama Islam. Gelar tersebut dalam masyarakat menunjukkan penghormatan yang tinggi terhadap status sang tokoh. Adanya penghormatan ini memungkinkan kiai dapat diterima oleh masyarakat dalam melakukan pembaharuan dan dinamika di lingkungannya. Dalam realitas di masyarakat, istilah kiai lebih bersifat umum, yakni personal yang memiliki kedalaman ilmu agama Islam sekaligus kemampuan memimpin dalam pelaksanaan berbagai ritual agama Islam.

Clifford Geertz (dalam Zubaedi, 2007: 21) memaparkan kiai pesantren memiliki peran penting di masyarakat sebagai cultural broker, yang menjadi perantara bagi ide-ide pembaharuan kepada masyarakatnya. Kiai tidak hanya bersifat agama an sich melainkan juga memiliki peran menawarkan agenda perubahan sosial keagamaan kepada masyarakat, baik menyangkut masalah interpretasi agama, cara hidup berdasarkan

Page 17: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Persepsi Masyarakat terhadap Peran Kiai di Daerah Istimewa YogyakartaMarmiati Mawardi

137

rujukan agama, memberi bukti konkret agenda perubahan sosial, melakukan pendampingan ekonomi, maupun menuntun perilaku keagamaan masyarakat (Patoni, 2007: 24).

Menurut Endang Turmudi (dalam Sundari, 2005: 25) kiai dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu kiai pesantren, kiai tarekat, kiai politik, dan kiai panggung, sesuai dengan kegiatan-kegiatan khusus mereka dalam mengembangkan Islam. Pengertian peran kiai dalam penelitian ini adalah aktivitas kiai atau orang yang dipandang memiliki ilmu pengetahuan agama Islam dan mengajarkannya kepada orang lain, yang meliputi: kiai pesantren, kiai tarekat, kiai politik, kiai panggung, kiai tradisional, kiai modern, guru ngaji, dan khatib/ imam masjid, di mana aktivitas ini sebagai upaya pemberdayaan terhadap masyarakatnya di lingkungan tertentu.

Bryant & White (1987) menyatakan bahwa pemberdayaan adalah upaya menumbuhkan kekuasaan dan wewenang yang lebih besar kepada masyarakat miskin. Caranya dengan menciptakan mekanisme dari dalam (build-in) untuk meluruskan keputusan-keputusan alokasi yang adil, yakni dengan menjadikan rakyat mempunyai pengaruh.

Pearse dan Stiefel menyatakan bahwa pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yakni primer dan sekunder. Kecenderungan primer berarti proses pemberdayaan menekankan proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Sedangkan kecenderungan sekunder melihat pemberdayaan sebagai proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihannya.

Pemberdayaan masyarakat yang dimaksud-kan dalam penelitian ini adalah upaya yang dilakukan untuk mengembangkan kemampuan, perilaku, dan pengorganisasian masyarakat sehingga masyarakat mampu mengatasi persoalannya sendiri dalam meningkatkan kuali-tas kehidupan beragamanya, dan memelihara

kerukunan umat beragama di lingkungannya.

Sociology of Religion Joachim Wach menjelaskan bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan, mempunyai suatu sistem kaidah yang mengikat penganutnya atau peribadatan, dan mempunyai sistem perhubungan dan interaksi sosial atau kemasyarakatan. Dalam hal ini, agama bukan hanya dipandang sebagai seperangkat aturan mutlak yang datangnya dari Tuhan, akan tetapi dipandang sebagai perangkat aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat. (Wach, 1963: 17). Dari pendapat Joachim Wach tersebut dapat disimpulkan bahwa kehidupan beragama dikategori menjadi 3 dimensi, yaitu dimensi keyakinan atau kepercayaan, peribadatan atau ritual dan sosial atau kemasyarakatan.

Cavanagh (dalam Amaluddin dkk, 1985/1986: 4-5) membagi dimensi kepercayaan menjadi tiga kategori, yaitu: kepercayaan antropologi, kosmologis dan numinologis. Kepercayaan antropologi adalah kepercayaan tentang hakikat manusia, mencakup wujud manusia, asal muasal manusia, proses penciptaan manusia, masa hidup manusia dan rangkaian pengalaman hidup manusia. Kosmologis adalah kepercayaan tentang hakikat, tatanan, atau pola-pola penting yang menentukan kehidupan dunia yang mencakup penciptaan alam, nilai alam, masa keberadaan alam, dimensi alam dan penghargaan terhadap alam. Kepercayaan numinologis adalah kepercayaan tentang hakikat yang gaib, meliputi eksistensi, jumlah, hakikat kehidupan, sifat dalam menghadapi dunia dan hakikat yang gaib dalam hubungannya dengan alam dan isinya. Indikator dimensi keyakinan dalam penelitian ini yaitu hakikat manusia, penciptaan dan penghargaan terhadap alam dan hakikat yang gaib.

Dimensi peribadatan menurut Pilgrim (dalam Amaluddin dkk, 1985/1986: 5) dikategorikan menjadi empat, yaitu peribadatan terkait dengan siklus ekologi, siklus hari suci, siklus hidup dan krisis hidup manusia. Pelaksanaan peribadatan ini intensitasnya sesuai dengan siklus alami dan ada yang sifatnya berkala. Untuk kepentingan penelitian siklus ekologi tidak menjadi indikator

Page 18: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 133-143

138

dalam penelitian ini. Indikator dimensi peribadatan dalam penelitian ini adalah siklus hari suci, siklus hidup dan krisis hidup manusia.

Masyarakat memiliki bentuk-bentuk struktural. Menurut Soekanto (1990: 59-60) bentuk-bentuk tersebut berupa kelompok-kelompok sosial, lembaga-lembaga sosial, kebudayaan, stratifikasi dan kekuasaan, akan tetapi masing-masing mempunyai derajat dinamika tertentu yang menyababkan perbedaan pola-pola perilaku. Unsur-unsur sosial yang menjadi indikator dalam penelitian ini adalah kelompok-kelompok sosial dan lembaga-lembaga sosial keagamaan.

Pengertian kerukunan umat beragama adalah terciptanya suatu hubungan yang harmonis dan dinamis serta rukun dan damai di antara sesama umat beragama di Indonesia, yakni hubungan harmonis antarumat beragama, antara umat yang berlainan agama dan antara umat beragama dengan pemerintah dalam usaha memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta meningkatkan amal untuk bersama-sama membangun masyarakat sejahtera lahir dan batin (Depag RI, 1989: 90).

Perwujudan sikap toleransi dalam beragama dapat dicirikan dengan beberapa indikasi. Indikator-indikator sikap toleransi tersebut adalah adanya penerimaan terhadap kelompok lain untuk hidup bersama, terciptanya ruang dialog antarumat beragama, dan saling menghargai terhadap aktivitas keberagamaan pemeluk agama lain (Kartanegara, 2005: 207-210).

Kajian dalam penelitian ini dibatasi pada dimensi kerukunan intern dan antarumat beragama. Faktor-faktor yang mendukung kerukunan umat beragama adalah adanya kerjasama antar maupun intern umat beragama, saling tolong-menolong dan adanya toleransi antara kedua belah pihak.

MeTode PeneliTian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kuantitatif. Metode ini dipilih untuk

mendeskripsikan suatu situasi atau area populasi tertentu yang bersifat faktual secara sistematis dan akurat, dalam hal ini persepsi masyarakat terhadap peran kiai dalam pemberdayaan masyarakat pada lingkungannya. Populasi yang menjadi sasaran penelitian adalah masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Penentuan lokasi berdasarkan Direktori Pesantren dilihat dari kategori jumlah pesantren tergolong tinggi, sedang dan rendah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun untuk menentukan sampel penelitian ini dipergunakan teknik purposive sampling dengan mengambil tiga kecamatan di masing-masing wilayah Kota Yogyakarta, Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Sleman. Berdasarkan kategori di atas, masing-masing lokasi diambil 100 responden sebagai sampel. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menyebar kuesioner sebanyak 300 kepada masyarakat yang dipilih sebagai obyek penelitian berdasarkan kriteria yang telah ditentukan di tiga kota/kabupaten.

Masing-masing lokasi diteliti oleh seorang peneliti dari Balai Litbang Agama Semarang. Penelitian di Kota Yogyakarta dilakukan oleh Marmiati Mawardi, Kabupaten Sleman diteliti Joko Tri Haryanto dan Kabupaten Kulon Progo diteliti oleh Ahmad Sodli. Alasan pemilihan lokasi tersebut, berdasarkan kriteria jumlah kiai di ketiga lokasi tersebut yang diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah. Kota Yogyakarta termasuk kategori sedang, lokasi penelitian di Kecamatan Umbulharjo, Danurejan dan Pakualaman. Kabupaten Sleman kategori tinggi, wilayahnya meliputi kecamatan Gamping, Mlati dan Godean. Kabupaten Kulon Progo kategori rendah di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Sentolo, Wates dan Temon.

Untuk mengukur peran kiai, variabel penelitian ini terdiri dari dua variabel dependent, yaitu variabel persepsi masyarakat terhadap peran kiai dalam pemberdayaan di bidang kehidupan beragama dan variabel persepsi masyarakat terhadap kiai dalam pemberdayaan di bidang kerukunan umat beragama. Sedangkan analisis

Page 19: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Persepsi Masyarakat terhadap Peran Kiai di Daerah Istimewa YogyakartaMarmiati Mawardi

139

data dilakukan analisis deskriptif statistik dengan bantuan SPSS 13.0.

hasil dan PeMbahasan

Persepsi Masyarakat terhadap Peran Kiai dalam Bidang Kehidupan Beragama

Kehidupan beragama mencakup 3 dimensi yaitu dimensi keyakinan, dimensi ritual dan dimensi sosial. Persepsi masyarakat terhadap peran kiai dalam peningkatan kualitas beragama dapat dilihat pada Diagram 1.

Diagram 1 Kategori Persepsi Kehidupan Beragama

Diagram 1 menyajikan data dari 300 responden semua menyatakan bahwa kiai memiliki peran cukup besar dalam peningkatan kualitas kehidupan beragama. Distribusi jawaban responden 174 orang (58%) menyatakan kiai berperan positif dalam meningkatkan kualitas kehidupan beragama dan 126 orang (42%) menyatakan sangat positif. Kiai menanamkan keyakinan tentang kekuasaan Tuhan, mengajar-kan tentang proses penciptaan alam dan kewajib-an manusia untuk menjaganya, penciptaan manusia, dan kiai membimbing dalam peribadat-an, kiai menanamkan sikap tawakal ketika sedang menghadapi musibah dan menerima dengan sabar. Kiai mengajarkan tata cara beribadah, tata cara perkawinan, menjelaskan kepemimpinan dan aktif membina majelis taklim.

Persepsi Masyarakat terhadap Peran Kiai dalam Peningkatan Kerukunan Umat Beragama

Indikator kerukunan umat beragama yang menjadi fokus dalam penelitian ini meliputi dua dimensi yaitu dimensi kerukunan intern umat

beragama dan antarumat beragama. Pernyataan responden terkait dengan persepsi terhadap peran kiai dalam meningkatkan kerukunan dapat dilihat pada Diagram 2.

Diagram 2 Kategori Persepsi Kerukunan Beragama

Diagram 2 menunjukkan kategori persepsi kerukunan beragama. Dari 300 responden yang menyatakan bahwa peran kiai dalam meningkatkan kerukunan sangat negatif ada 2 orang (0,7%), tetapi yang menyatakan bahwa peran kiai positif 194 orang (64,7%) dan pernyataan peran kiai sangat positif 104 orang (34,7%); sehingga hampir 100% responden memberi nilai positif pada peran kiai dalam meningkatkan kerukunan umat beragama. Kiai mengajarkan untuk menghargai perbedaan pendapat dengan sesama umat Islam maupun perbedaan cara beribadah dan menjalin hubungan baik. Kiai menganjurkan untuk menghargai keyakinan agama lain, saling menjaga dalam pergaulan maupun dalam beribadah. Kiai memberikan contoh toleransi yang baik dan mendorong untuk melakukan kerja sama baik dengan sesama umat Islam maupun terhadap umat yang berbeda agama. Adanya perbedaan persepsi terhadap kiai yang disampaikan 2 orang di atas adalah wajar, mengingat warga masyarakat DIY sangat kompleks baik dari segi pendidikan, pekerjaan maupun paham keagamaannya. Di Daerah Istimewa Yogyakarta banyak pesantren dengan corak yang berbeda sehingga wajar jika terdapat perbedaan dalam memandang peran kiai.

Persepsi Masyarakat terhadap Peran Kiai Dilihat dari Dimensi Kehidupan Beragama

Kehidupan beragama mencakup 3 dimensi:

Page 20: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 133-143

140

keyakinan, ritual dan sosial. Persepsi masyarakat terhadap peran kiai berdasarkan dimensi kehidupan beragama tergambar dalam Diagram 3.

Diagram 3Persepsi Masyarakat terhadap

Peran Kiai Dilihat dari Dimensi Kehidupan Beragama; Keyakinan

Diagram 3 dengan jelas menjelaskan bahwa masyarakat memberi pernyataan yang semakin menguatkan pernyataan terhadap peran kiai dalam peningkatan kehidupan beragama. Diagram 3 juga menunjukkan prosentase per-nyataan masyarakat sangat negatif dan negatif relatif kecil. Masyarakat cenderung menilai positif dan sangat positif terhadap kiai berkaitan dengan peningkatan pengetahuan masyarakat pada 3 dimensi kehidupan beragama. Dilihat dari dimensi keyakinan nampak jelas peran kiai cukup besar dalam meningkatkan kualitas kehidupan beragama. Hal ini diakui oleh 126 orang (42%) yang menyatakan positif dan 170 orang (56,7%) yang merespon sangat positif.

Diagram 4: Persepsi Masyarakat terhadap Peran Kiai Dilihat dari Dimensi Kehidupan

Beragama; Ritual

Berdasarkan dimensi ritual 235 orang menyatakan positif dan 60 orang berpendapat sangat positif. Pada dimensi sosial 187 orang (62,3%) juga menyatakan positif, 111 orang (37%) menyatakan peran kiai sangat positif. Masyarakat yang menyatakan peran kiai sangat negatif 1 dan menyatakan negatif 3 orang dalam dimensi keyakinan, bisa terjadi karena kurang memahami penjelasan kiai, karena masalah keyakinan menyangkut hal-hal yang abstrak. Pernyataan negatif 5 orang pada dimensi ritual terkait dengan paham keagamaan responden.

Diagram 5Persepsi Masyarakat terhadap

Peran Kiai Dilihat dari Dimensi Kehidupan Beragama; Dimensi Sosial

Demikinan pula pada dimensi sosial. Pernyataan peran kiai negatif disampaikan 2 orang. Pernyataan ini merupakan sebuah realitas karena dewasa ini frekuensi aktifitas sebagian kiai dalam organisasi sosial keagamaan berkurang, mereka cenderung sibuk mengurusi partai politik.

Persepsi Masyarakat terhadap Peran Kiai Dilihat dari Dimensi Kerukunan Umat Beragama dan Antarumat Beragama

Kerukunan intern umat beragama adalah kerukunan antara sesama umat beragama yang memiliki perbedaan paham, perbedaan pendapat, perbedaan tata-cara beribadah. Kerukunan antarumat beragama adalah hubungan yang harmonis antarumat beragama. Kerukunan antarumat beragama ditandai adanya kerjasama antarumat beragama, adanya toleransi, saling menghargai perbedaan dalam beragama.

Page 21: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Persepsi Masyarakat terhadap Peran Kiai di Daerah Istimewa YogyakartaMarmiati Mawardi

141

Persepsi masyarakat terhadap peran kiai dalam mengintegrasikan umat Islam yang berbeda paham dan meningkatkan kerukunan dapat dilihat dalam Diagram 6.

Diagram 6Persepsi Masyarakat terhadap Peran Kiai Dilihat dari

Aspek Kerukunan Umat Beragama

Diagram 6, Persepsi Masyarakat terhadap Peran Kiai Dilihat dari Aspek Kerukunan Umat Beragama, menjelaskan bahwa kiai berperan positif dalam membangun kerukunan intern umat beragama. Hal ini dapat dilihat dari prosentase penilaian positif kepada kiai. Dari 300 reponden 66,7% menyatakan peran kiai positif dan 31,7% memberi pernyataan sangat positif, hanya 1,7% yang menilai peran kiai dalam meningkatkan kerukunan intern umat beragama negatif. Pandangan ini bisa saja dikaitkan dengan kondisi kekinian dengan munculnya berbagai peristiwa kerusuhan intern umat Islam yang berbeda paham dan munculnya berbagai paham keagamaan yang menyimpang.

Diagram 7Persepsi Masyarakat terhadap Peran Kiai

Dilihat dari Aspek Kerukunan Umat Beragama

Dalam Diagram 7 disajikan Persepsi masyarakat terhadap peran kiai dilihat dari aspek kerukunan antarumat beragama. Dari 300 responden, 2 orang menyatakan sangat negatif terhadap peran kiai dalam peningkatan kerukunan antarumat beragama, 2 orang menyatakan negatif, 201 orang (67%) menyatakan positif dan 95 orang (31,7%) menyatakan sangat positif. Artinya sebagian besar masyarakat memberikan nilai positif terhadap peran kiai dalam meningkatkan kerukunan antarumat beragama. Jawaban tersebut pada kenyataannya didasari bahwa kiai mengajarkan untuk menghargai keyakinan agama lain, kiai juga mengajarkan untuk menjaga ketenangan ibadah agama lain. Kiai tidak melarang untuk melakukan kerjabakti dan kerjasama dalam jual beli dengan umat lain. Perbedaan persepsi masyarakat terhadap peran kiai dan pandangan negatif terhadap peran kiai dalam meningkatkan kerukunan antarumat beragama merupakan ekspresi keagamaan seseorang.

Penilaian negatif terhadap kiai bisa terjadi karena ada sebagian masyarakat yang berpandangan bahwa kiai belum sepenuhnya berperan dalam meningkatkan kerukunan umat beragama, karena tidak sedikit kiai yang berorientasi kepada partai politik. Oleh karena itu wajar jika ada yang berpandangan negatif terhadap peran kiai dalam meningkatkan kerukunan. Namun penilaian negatif terhadap kiai prosentasenya relatif kecil sehingga dapat dikatakan pengaruh kiai cukup besar dalam meningkatkan kerukunan antarumat beragama di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Persepsi Masyarakat terhadap Peran Kiai di Bidang Kehidupan Beragama dan Kerukunan Umat Beragama Dilihat dari Profil Responden

Persepsi masyarakat terhadap peran kiai dalam meningkatkan kualitas kehidupan beragama berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, keikutsertaan dalam organisasi keagamaan, keaktifan dalam majelis taklim dan pengalaman menjadi santri. Data menunjukkan pandangan responden

Page 22: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 133-143

142

berdasarkan dari semua kategori seragam menyatakan peran kiai positif dan sangat positif dalam meningkatkan kehidupan beragama, dari jawaban responden peran positif kiai lebih dominan. Artinya kiai cukup besar peranannya dalam meningkatkan kualitas keberagaamaan masyarakat. Dengan kata lain kiai memiliki kekuatan untuk mempengaruhi masyarakat dari semua lapisan dan keaktifan mereka dalam majelis taklim maupun organisasi.

Persepsi masyarakat terhadap peran kiai dalam meningkatkan kerukunan dilihat dari profil responden menyajikan data pandangan masyarakat terhadap peran kiai dalam meningkatkan kerukunan berdasarkan profil responden. Pandangan masyarakat bervariasai, terdapat penilaian sangat negatif baik dilihat jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, keikutsertaan dalam organisasi dan keikutsertaan dalam majelis taklim. Menurut jenis kelamin 2 orang laki-laki, dengan kategori usia 30-44 tahun 1 orang dan usia 56-70 tahun 1 orang. Berdasarkan pendidikan, 2 orang berpendidikan menengah. Berdasarkan pekerjaan, wiraswasta 2 orang, keikutserataan dalam organisasi 2 orang dari organisasi Muhammadiyah, 2 orang yang aktif dalam majelis taklim dan 2 orang yang belum pernah menjadi santri. Pandangan sangat negatif dari masing-masing kategori tersebut relatif kecil, pandangan positif dan sangat positif terhadap kiai tetap dominan. Artinya fakta ini membuktikan bahwa kiai berperan cukup besar dalam meningkatkan kerukunan.

PenuTuP

Simpulan Masyarakat memandang kiai memiliki peran

cukup besar dalam peningkatan kualitas kehidupan beragama dan kerukunan umat beragama. Ada 2 responden (0,7%), yang memandang peran kiai dalam meningkatkan kerukunan sangat negatif. Pandangan negatif terhadap kiai menunjukkan kiai masih perlu meningkatkan peransertanya dalam membina umat. Pandangan negatif ini juga disebabkan kalangan masyarakat usia produktif

(30-44 tahun) yang karena kesibukannya kurang aktif dalam mengikuti kegiatan keagamaan dan kurang perhatian terhadap aktifitas kiai. Pada dimensi kehidupan beragama pandangan masyarakat pada dimensi keyakinan, ritual dan sosial sangat negatif dan negatif relatif kecil, masyarakat cenderung menilai positif dan sangat positif terhadap kiai berkaitan dengan peningkatan pengetahuan masyarakat pada 3 dimensi kehidupan beragama. Realitas ini menunjukkan bahwa di Daerah Istimewa Yogyakarta paham keagamaan masyarakatnya beragam, sehingga terdapat persepsi yang berbeda dalam masyarakat, di samping itu dewasa ini ada kiai yang tidak lagi berkecimpung dalam organisasi sosial tetapi cenderung mengurusi partai politik.

Persepsi masyarakat terhadap peran kiai dalam meningkatkan kualitas kehidupan beragama berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, keikutsertaan dalam ormas, dalam majelis taklim dan pengalaman responden menjadi santri, data menunjukkan pandangan responden berdasarkan dari semua kategori seragam menyatakan peran kiai positif dan sangat posotif, hanya saja peran positif lebih dominan. Artinya kiai cukup besar peranannya dalam meningkatkan kualitas keberagaamaan masyarakat. Data ini memperkuat fakta bahwa masyarakat memandang peran kiai cukup besar dalam peningkatan kualitas kehidupan beragama dan kerukunan umat beragama. Oleh karena itu pemerintah perlu mendukung kiprah kiai untuk mewujudkan tujuan pembangunan di bidang keagamaan.

Saran Berdasarkan hasil penelitian, ternyata peran kiai

dalam meningkatkan kualitas kehidupan beragama dan kerukunan umat beragama berdasarkan persepsi masyarakat cukup besar, oleh karena itu kondisi ini perlu mendapatkan perhatian dari pihak pemerintah. Pemerintah perlu menggalang kerjasama dengan para kiai dan memfasilitasi aktifitas kiai dalam meningkatkan kehidupan beragama dan kerukunan umat beragama.

Page 23: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Persepsi Masyarakat terhadap Peran Kiai di Daerah Istimewa YogyakartaMarmiati Mawardi

143

dafTar PusTaKa

Ali, Mursyid (ed.). 2009. Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beagama di Berbagai Daerah di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama.

Amaluddin , Moh, dkk. 1985/1986. Perkembangan Kehidupan Beragama Studi Kasus di Beberapa Daerah Perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Penelitian Keagamaan Departemen Agama.

Bisri, Mustofa, K.H.A. 2008. Membuka Pintu Langit, cet, Ketiga. Jakarta: Kompas.

Baron A. R dan Byrne, D. 2004. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.

Departemen Agama RI. 1989. Pedoman Dasar Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Sekretariat Jenderal Departemen Agama Republik Indonesia.

Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES.

Dirdjasanyata, Pradjarta. 1999. Memelihara Umat, Kiai Pesantren, Kiai Langgar di Jawa. Yogyakarta: LKiS.

Horikoshi, Hiroko. 1987. Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M.

Haryanto, Joko Tri. 2011. Persepsi Masyarakat terhadap Peran Kiai dalam Pemberdayaan di Bidang Kehidupan Beragama dan Kerukunan Umat Beragama di Kabupaten Sleman, Provinsi D.I.Y. Semarang: Balai Litbang Agama Semarang.

Kartanegara, Mulyadhi. 2005. “Islam dan Multikulturalisme: Sebuah Cermin Sejarah”. Dalam Reinvensi Islam Multikultural. Zakiyuddin Baidhawy (ed.). Surakarta: PSB UMS.

Lugo, J. O, & Hershey, G. L. 1981. Living Psychology, 3rd ed. New York: The Macmillan Co.

Mar’at. 1984. Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukurannya. Jakarta: Galia Indonesia.

Patoni, Achmad. 2007. Peran Kiai Pesantren dalam Partai Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

PMA tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Agama [Renstra] Tahun 2010-2014.

Sarwono, Sarlito Wirawan. 1983. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sarwono, Sarlito Wirawan dan Meinarno, Eko A. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Suparlan, Parsudi. 1981-1982. “Kebudayaan Masyarakat dan Agama”. Dalam Pengkajian Masalah-masalah Agama. Parsudi (Peny). Jakarta: Puslektur Balitbang Agama.

Sodli, Ahmad. 2011. Persepsi Masyarakat terhadap Peran Kiai dalam Pemberdayaan di Bidang Kehidupan Beragama dan Kerukunan Umat Beragama di Kabupaten Kulon Progo, Provinsi D.I.Y. Semarang: Balai Litbang Agama Semarang

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: P.T.Raja Grafindo Persada.

Sundari, Tri. 2005. “Peran Politik Kyai di Pedesaan (Studi Kasus di Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas)”. Skripsi Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

Zubaedi. 2007. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren, Kontribusi Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh dalam Perubahan Nilai-nilai Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wach, Joachem. 1963. Sosiology of Religion. The University of Chicago Press

Walgito, Bimo, 1990, ed. Revisi, Psikologi Sosial Suatu Pengantar, Yogyakarta, Andi Offset.

Page 24: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 133-143

144

Page 25: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

The Study of the Second Conflict in SampangArnis Rachmadhani

145

THE STUDY OF THE SECOND CONFLICT IN SAMPANG

Analisis terhadap Konflik Sampang II

ArNIs rAchMAdhANI

AbstrAkPenelitian ini adalah penelitian kualitatif. Konflik Sampang II terjadi antara massa dengan pengikut Tajul Muluk yang beraliran Syi’ah di Sampang, Madura. Kerusuhan dipicu oleh penghadangan massa terhadap santri-santri Tajul Muluk agar tidak kembali ke Pondok Pesantren YAPPI di Bangil Pasuruan. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga jenis teknik pengumpulan data, yaitu wawancara (interview), telaah dokumen, dan pengamatan (observasi). Kajian terhadap peristiwa ini dilakukan dengan pendekatan analisis konflik. Dari hasil analisis konflik, menunjukkan bahwa peristiwa yang terjadi di Sampang memiliki akar konflik yang laten. Peristiwa Konflik Sampang II merupakan manisfestasi dari akumulasi konflik laten yang terjadi akibat konflik pribadi yang dikemas dengan nuansa agama. Resolusi konflik dilakukan dengan pendekatan birokrasi dan pendekatan budaya.

Kata kunci: Konflik Sampang, Analisis Konflik, Resolusi Konflik

AbstrActThis research was basically based on qualitative study. It was the second conflict in Sampang, the rampage which exploded between some people who trying to block the Tajul Muluk’s followers and preventing them from going back to the Pondok Pesantren (Islamic Boarding House) of YAPPI in Bangil, Pasuruan. The data in this study was collected using three sorts of data collection techniques: interview, document analysis, and observation. It was done by using the conflict analysis method, from which the writer found out that this second incident appeared in Sampang is manifestation of latent conflict accumulation which is actually personal conflict complicated by some religious issues. The conflict is to be resolved by using both bureaucracy and cultural approaches.

Keywords: The Sampang Conflict, Conflict Analysis, Conflict Resolution

ArNIs rAchMAdhANI Balai Penelitian dan Pengembangan

Agama SemarangJl. Untung Suropati Kav. 69-70,

Bambankerep, Ngaliyan, SemarangTelp. 024-7601327 Faks. 024-

7611386e-mail: [email protected] diterima: 16 Mei 2013

Naskah direvisi: 29 Juli -17 Agustus 2013

Naskah disetujui:17 September 2013

Page 26: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 145-153

146

inTroducTion Being observed from historical point of view,

the entrance and spreading of Syiah in Indonesia is still becoming controversial until nowadays (Shahir, in Suara Merdeka, September 3, 2012: 6). Although it is not a new sect (mazhab) in Indonesia, only a few people know about Syiah since it is not well-known as the other sunni mazhabs (Fadil, 2010). Internally, they come to Indonesia as Syafi’ite, but externally, they are actually Syi’ah. The first Muslim conveyors came from Hadramaut, and the most popular of them was the ‘Alawiyyin, a group of people from the Sayyid’s descendant (Rahmat, in the Ulumul Qur’an’s Journal, No. 4, Vol. VI, 1995). The followings are several theories related to the widespread of Syi’ah in Indonesia.

The first one referred back to the time when Islam firstly entered Indonesia. Other evidences may support this opinion is the statement coming from the former Indonesian 4th president, KH. Abdurrachman Wahid (Gus Dur) as cited by Editor magazine No. 2/THN.II/February 15, 1996. He said that the NU (Nahdlatul Islam) is culturally Syi’ah itself. It was because the tradition of Syafi’i in Indonesia is different from that of outside Indonesia, which is strongly influenced by the Syi’ah’s traditions, for example, there are some Syi’ah specific shalawats that are still being practiced in some Indonesian Islamic boarding schools. There are also several certain wirids which clearly mention the five descendants of ahl al-bait, cemetery visit (pilgrimage) and cemetery dome-making traditions. All of them are Syi’ah traditions, though they were born in the form of Syafi’ite in Indonesia. Thus, the outside form is Syafi’i, while the inside is Syi’ah. In addition, Gus Dur divided Syi’ah into two types: the tsaqafiyah (cultural) and the ‘aqidiyah (political) (TIRAS Magazine, No. 3/THN.II/ February 15, 1996: 22).

The Syi’ah specific rituals—not Syafi’i’s—are tahlilan and haul. Those are Syi’ah rituals which are not familiar in other Syafi’i mazhabs. Among NU members, they usually read the shalawat diba’ in every Thursday night, which mention all twelve Syi’ah leaders (Djajadiningrat, 1961: 123-

124). As Agus Sunyoto’s investigation against the Javanese graves in East Java, most of them are Syi’ah. He believes that the first Islam entered Indonesia was the Syi’ah Islam (Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. VI, 1995). Then, there is also a theory from Ali Hasymi who believes that the first Islam came to Indonesia was the Syi’ah Islam (Hasymi, 1983: 45-46). According to Hamzah Alwi al-Habsyi, Syi’ah entered Indonesia at the same time with Islam, as proven by the history of Syi’ah city in Indonesia, called Syiah Kuala, in Sumatra. Another evidence came from the tomb stone of Maulana Malik Ibrahim’s grave in Gresik, East Java, having Syi’ah sign: the ayat al-kursy with the Prophet’s and his best friend Ali’s name. It is not like other Wali’s graves which usually have the four Prophet’s best friends’ names (TIRAS, No. 3,/THN.II/February, 15, 1996: 22). The second theory, Islam came to Indonesia is the Islam Sunni (Djajadiningrat, 1961: 123-124). The third theory, Syi’ah had just came to Indonesia after the Iran Islamic Revolution (IIR), started with Ali Syari’ati’s, Murtadha Muthahari’s, Thabathaba’i’s, and Baqir Sadr’s writings, followed by other Iranian Islamic writings afterward (Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. VI, 1995).

Concerning on this reality, it is undoubtedly that the Syi’ah influences had been widely spread all over Indonesia since a long time ago. However, the Syi’ah followers are only minority in Indonesia, as well as those in Sampang Regency. Despite its minority, in fact, the religious issues-based conflict and violence have occurred there. After the first Sampang conflict in December 29, 2011, started with the burning of the Tajul Muluk followers’ houses and worship’s places, the second one re-occurred on Sunday, August 26, 2012.

This paper is formally based on the research done at Sampang Regency, and hoped that it will be such a good input to the principal board of the Ministry of Religious Affairs to decide the right plans and policies in solving the case. Therefore, the main issue of this writing is “to decide the pivotal factors or the root causes of the problem, the influential factors, and the effects of Sampang conflicts”.

Page 27: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

The Study of the Second Conflict in SampangArnis Rachmadhani

147

concePTual fraMeworK This study used several concepts to analyze

the Sampang conflicts. Conflict is a social process in which people, either individuals or groups try to fulfill their aims by opposing other groups of people with threats and/or violence. (Soekanto, 1987:99). Other words for conflict are argument, disagreement, contradiction (Depdiknas, 2002: 587). According to Paul, Lawrence and Jay, and Lorsh, conflict is not something that has to be avoided and it is impossible to be swapped away, since conflict itself is a part of life, whereas Daihani (2001: 7) said that conflict is an incompatibility of various kinds of conditions. The basic causes of conflict are the differences of ethnic and culture, the discordance of people’s requirements, and the social changes (Soekanto, 1987: 99).

Taufik Abdullah once stated that the main source of conflict in Indonesia is the diversity in racial, ethnic, culture, religious life, and the economic gap (Pantji, 2001: 26). Conflict does not always end negatively, because basically the result of interactions happened between different groups will be very much depend on the ability to manage (the management ability) conflict by the members of the conflict itself (Daihani, 2001: 8). The positive conflicts are those involving the goals, values, and/or requirements that are not contradictory with social relationship patterns of certain social structures (Soekanto, 1987: 99). Based on the types, conflicts can be differed into latent conflict; open conflict, and surface conflict. Whereas, the factors of conflicts are Triggers, Pivotal factors or root causes, Mobilizing factors, and Aggravating factors. Conflict analysis is a practical process to test and to understand the conflict realization from various perspectives to create fundamental steps in developing strategies and action plans.

The conflict happened between Syi’ah and Sunni, in fact, has ended in such an uncomfortable atmosphere and social disharmony among Sampang Regency’s people. According to the government terminology, the harmony concept of religious life involves three kinds of harmony: internal religious harmony (the inner harmony

relationship inside a group of religious people), external religious harmony (the harmony relationship between groups of religious people), and the harmony relationship of each religious leader with the government (Sudjangi, et al., 2003: 6). It is also written in the Rules of Minister of Religious Affairs and Minister of Internal Affairs No. 9 and 8, 2006, that the definition of “The harmony life between religious people is a condition when a group of religious people interacts with other group of religious people based on tolerance, understanding, appreciating, and respecting the similarities in practicing each of their religious views and opinions, while correlating in social and nation life within one country of Republic Indonesia based upon Pancasila and The 1945’s Constitution of Republic Indonesia” (Ali, 2009: iii).

MeThod of research

This study focused on the Sampang conflicts started at Wednesday, August 29, 2012 and finished at Tuesday, September 4, 2012. As mentioned before, it used a qualitative method, in which the outcome was uttered words, both written and spoken, from the observed people (Moleong, 2000: 4). Whereas the type of study is a case study, a study in which the observer tries to study intensively about certain social units involving individuals, groups of people, or institutions (Zuriah, 2006:48). The data in this study was collected using three sorts of data collecting techniques: interview, document, and observation. It is therefore, the data based on an interview with Sjuaib, the secretary of Council of Indonesian Ulema (MUI)-Sampang Regency, on Friday, August 31, 2012 at 3.00 – 7.30 p.m.; with the Council of Indonesian Ulama (MUI) in East Java; with Mrs. Hani at the conflict scene. To get data completely, we also hunted the information from the National and Political Unity Board (Bakesbangpol) Sampang and observation at the village of Nang Kernang and Karang Gayam, Omben Sub-District, Sampang Regency and at Sampang Sport Stadium. Finally, this research is analyzed by using conflict analysis.

Page 28: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 145-153

148

finding and discussion

History of Syi’ah Belief in Sampang Regency

In the beginning, the Syi’ah belief was spread in Sampang Regency by two brothers, namely Tajul Muluk and Roisul Hukama. Both are sons of the late KH. Makmum, a famous Islamic leader in Omben Sub-District. As sons of Islamic scholar (ulama) in Omben Sub-District, when they were young, they both studied at the YAPPI Islamic’s Boarding School in Bangil Sub-District, Pasuruan Regency, from 1987 until 1993. After they graduated from that school in 1993, Tajul Muluk continued his study in Sayyid Muhammad Al Maliki’s Islamic Boarding School in Makkah, Saudi Arabia. After finishing his study in Saudi Arabia, he came back to his hometown and became an Islamic teacher. Tajul Muluk was gradually not only the Islamic teacher, but also became Islamic leader like his father. He brought a new view of religion and soon had about 558 people as followers, consisted of 136 families and 159 disciples, until nowadays.

During this time, Roisul Hukama, who used to learn and to act together with his brother, Tajul Muluk, started to feel different from his brother’s point of view and had different principles in the belief. The conflict reached its peak when in December 15, 2009, Roisul Hukama stated literally to split out from his brother’s lead without specific reasons.

After Roisul Hukama left, Tajul Muluk himself still continued to teach until recently. Moreover, he is also the leader of the Organization of Indonesian Ahlul Bait’s Followers Association (IJABI) in Sampang Regency. However, based on the data and the information gained from the Sampang Regional Office National and Political Unity Board (Bakesbangpol), the organization led by Tajul Muluk has not been legally registered since it does not have a letter of registration (SKT) from it. Although, nationally, the IJABI organization established in Jakarta, in July 1, 2000, had been legally registered at the Directorate General of Political and National Unity of the Ministry of Internal Affairs, No. 21/D.III.2/2007, in March 21, 2007.

Based on an interview between the writer and Sjuaib, the secretary of Council of Indonesian Ulama (MUI), Sampang on Friday, August 31, 2012 at 3.00-7.30 p.m., the MUI of East Java had regarded the belief taught by Tajul Muluk as Syi’ah. Sjuaib also clarified that Tajul Muluk’s belief could be classified as Syi’ah Itsna ‘Asyariah as mentioned in the Council of Indonesian Ulama (MUI)-Sampang, No. 037/MUI.Spg/I/2012, dated January 1, 2012, about the Islamiyah Syi’ah’s belief.

Chronological Order of the 2nd Sampang Conflict (Timeline Analysis)Pre-Conflict Period

As time passed, these two brothers (Tajul and Rois) have been quarreling and disagreeing in practicing their religious belief. Another reason that some people there might also guess the cause of conflict was competition on a woman. It then made him separated from his brother’s group and provoked the society around by spreading the news that Tajul Muluk’s teaching is truly Syi’ah. This made the people who do not follow his belief feel irritated and started to contradict Tajul Muluk and his followers.

When this issue had become more aggravated, the community of the Karang Gayam Village whom mostly are the Ahlus Sunnah Wal Jama’ah’s followers, became angry and in December 29, 2011, at about 9.15 p.m. the conflict became rampaged riot and violence could not be avoided. They burned and did vandalism against Tajul Muluk’s house, kitchen, mosque and Madrasah Diniyah (at least 4 buildings had been destroyed and burned). It was then followed by the evacuation of 253 Tajul Muluk’s followers. These were performed by a group of people declared themselves as Sunni, although it is still being further investigated by the police who interviewing some witnesses to make sure whether they are really Sunni or not. From the incident, the Sampang Local Police Officers had interrogated 15 people as witnesses, and arrested one person, Masrikhan as convict.

The Syi’ah followers (253 people) whom previously evacuated and secured at the Omben

Page 29: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

The Study of the Second Conflict in SampangArnis Rachmadhani

149

Sub-District’s Office to avoid further conflict with Ahli Sunnah Wal Jama’ah followers, had been relocated at the Sampang Sport Stadium, while Tajul Muluk decided to leave the village and stay in Malang since August 2011. It is in accordance with his statement quoted in July 29, 2011, to leave Sampang for the maslahat of his followers.

However, after Tajul Muluk was successfully removed to Malang, he was then found guilty in the first Sampang conflict. During the trial, the Local Prosecutor blamed him for committing a crime which could be considered as ruining the Islam religion, under three points of charge: religion abuse, hostility and harm against Islam religion, as stated in the KUHP (Book of the Criminal Justice Act) section no. 156 a, and the one that was used by the Local Prosecutor is section no. 335 verse 1 from the KUHP (in the section of Unpleasant Actions). Based on this verse, Tajul Muluk was sentenced by the Local Prosecutor with four years imprisonment. By considering section no. 156 a from the KUHP about The Rules of Criminal Procedures and Other Laws regarding this case, the Head of the Judges’ Panel , Mister Purnomo Andi Cahyo, SH., MH., decided that Tajul Muluk was officially proved to be guilty in committing crime against Islam religion, and punished him two years in prison.

After Tajul Muluk was sentenced and started to undergo his life in prison for two years, peace had been back to Sampang community and the situation was getting better in every single form of life. Unfortunately, it was not going for long, Tajul Muluk’s sister, Umi Hani, revealed to still continue his teaching upon Nang kernang children, by sending them to the Islamic Boarding School in Bangil-Pasuruan, Pekalongan and Jepara - Central Java, so that they can carry on with the Tajul Muluk’s belief.

D-Day of Conflict (August 26, 2012)On Sunday, August 26, 2012 (Islamic date:

Syawal 8, 1433 H), Hani intended to take the children from Nang Kernang Village back to their Boarding School in Bangil, Pasuruan by renting two cars, a mini bus and a station wagon. The two vehicles arrived at about 08.00 a.m. at the Karang

Gayam main road. But, when people found out that there were two cars ready to bring their children to the Islamic Boarding School in Bangil, they would not let them go because they worried their children would have grown to be like Tajul Muluk there. Then, they asked the drivers not to go there with their children, but Hani insisted that made the people angry and started to throw stones at the vehicles. Being frightened by the people’s fury, the two vehicles left the village empty loaded, without their passengers.

On the other hand, Hani did not fear at all by the incident, and still tried to find other van at the main street that made the society getting more fuming and triggered the upcoming conflict and violence. Being chased by a group of enraged people riding about 30 motorcycles, Hani and the van driver ran to the south (the capital city of Sampang Regency), but they both finally stopped and Hani had a strong quarrel with the people who chased her.

Next, at about 11.30 a.m., a group of people who belongs to the Sunni ran amok and attacked the Tajul Muluk’s followers, resulted both in chaos and material-loss. This August 26, 2012’s incident happened in Sampang had not only material-loss but also human victims. One man died at the conflict scene, namely Mr.Hamamah, and the other one, Mr.Thohir, was directly rushed to the Sampang public hospital and was in a critical condition. Besides, there were also sixteen other persons got injured, eleven of them were from the Tajul’s group, and the rest five persons were common natives. Triggered by the incident, the rest of the Sampang community burned down 43 houses of Tajul Muluk’s followers (based on an interview with Mrs.Hani at the conflict scene). The local police officers had interrogated seven witnesses and arrested one suspect regarding the case of 2nd Sampang conflict.

Post-Conflict Period The Tajul’s followers and the bodies of

Mr.Hamamah and Mr.Thohir (alive but in a critical condition), were evacuated outside the conflict scene by 6 p.m. One dead victim and several

Page 30: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 145-153

150

wounded others were brought to Sampang public hospital, while the rests were strictly secured and monitored under surveillance and control of the security guard officers, and were transferred to Sampang Sport Stadium, which until Monday, August 27, 2012 at 11 a.m. their numbers are not less than 204 refugees.

By Friday, September 2, 2012 at 8 a.m., their total numbers increased to be 282 refugees, consisted of 75 men, 71 women, 99 children (53 boys and 46 girls), 18 male infants and 19 female infants. These refugees got maximum facilities of service, such as health examination, foods, clothes and other daily needs.

On Tuesday, August 28, 2012, located in the Pringgitan Room of the Sampang Regent’s home office, a meeting between the Sampang Regent and some Islamic religious leaders was held. The participants in the meeting are The Head of Sampang Regional Office of Social, Man Power and Transmigration, The Head of Sampang Regional Office of Integrity Nation and Politics, The Head of Omben Sub-District, The Head of Karang Penang’s Sub-District, KH. Ahsan Jamal (a member of Sampang Regional Parliaments), KH. Buchori Mah’sun, KH. Ludfilah, KH. Subaidi, with several other Omben and Karang Penang’s Islamic leaders. The conclusion of the meeting was to continue and to support the law enforcement in Sampang completely and do the best to bring back the Tajul Muluk’s refugees to Sampang with opinions and supports from both Islamic and public leaders of Omben and Karang Penang implied in the action. However, if the scenario failed, then plan B was to be carried out, which is to remove the Tajul Muluk’s followers out of Karang Gayam Village, Omben Sub-District, and also from Blu’uran Village, Karang Penang Sub-District. For children who had been sent out of the regency to study, the Government of Sampang Regency would try to bring them back to Sampang and ready to facilitate and replace all charges incurred during their time of study.

On Friday, August 31, 2012, another meeting had also been organized at the Pringgitan Room of

the Sampang Regent’s home office. It was between the Sampang Regent and the Basra’s leaders. The other participants in the meeting were the Head of Sampang Regional Office of Social, Man Power and Transmigration, The Head of Sampang Regional Office of Integrity Nation and Politics, The Head of Omben Sub-District, The Head of Karang Penang’s Sub-District, KH. Ali Karrar Shinhaji, KH. Nailirrahman, and the Basra’s leaders. The conclusion of the meeting was to continue the returning attempt of the Tajul Muluk’s followers back to Karang Gayam Village, Omben Sub-District, and to Blu’uran Village, Karang Penang’s Sub-District, under condition that they all had to promise to fully give up and surrender; and also made such an effort to take the Tajul Muluk’s followers to get a better and safe place.

Conflict Factor Analysis against the 2nd Sampang Conflict

TriggerThe 2nd Sampang conflict happened at the

Nang Kernang’s Sub-Village, Karang Gayam Village, Omben;s Sub-District, Sampang Regency on Sunday, August 26, 2012, was in time with the Telasan Topak’s tradition, that is a Madura’s tradition of cooking kupat at the 8th day of Syawal month. According to KH. Sjuaib (a secretary of Sampang Regency’s Council of Indonesian Ulama (MUI)), this incident had a link to the first conflict happened a year before, even the root of the trouble was when Tajul Muluk came back from Saudi Arabia to Nang Kernang’s Sub-Village bringing along his Syi’ah’s belief and started to teach it to the neighborhood. This type of religious teaching caused such an unpleasant situation to the community whom majority of them are Ahlul Sunnah Wal Jama’ah’s followers. They began to feel anxious (derived from an interview with Sjuaib, a secretary of MUI, Sampang, on Friday, August 31, 2012, at 3.00 – 7.30 p.m.).

Furthermore, the writer received information from the Sampang Regional Office of National and Political Unity Board (Bakesbangpol), that on Monday, September 3, 2012, the 2nd Sampang conflict was truly triggered by several causes.

Page 31: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

The Study of the Second Conflict in SampangArnis Rachmadhani

151

There are two versions: first, it is believed that the conflict began when the Muslim students and their families planned to visit Tajul Muluk at the Local Penitentiary. Second version was the blockage attempt from a group of people to some Muslim students who wanted to go back to their Syi’ah Boarding School in Bangil, Pasuruan. Those students along with Umi Hani, Tajul Muluk’s sister, were being stopped and threatened by a group of people, because they did not want any more Syi’ah’s apprentices who can be a potential harm to their old, valuable culture and tradition which they had been practicing since a long time ago. This action was a kind of expression to protect their tribal tradition against bad foreign influences in the form of religious views. They were afraid if they let their children go to study the Syi’ah belief in Bangil, Pasuruan, those would bring back the Syi’ah teachings to Omben Sub-District, which they believed to be a bad misguided belief. The teaching and educating of Syi’ah belief to them was the main reason of the conflict between Tajul Muluk’s followers and Roisul Hukama’s followers.

Root of Problem (Pivotal Factors)The second conflict happened in Sampang is

an accumulation of many problems as a result of the first previous conflict. The writer assumed that the main root of these conflicts is a competition between two Islamic leaders in which both are brothers, complicated with different understanding on religious belief, racial and tribal issues (SARA: ethnic, religion, racial) that provoked anarchism and violent behavior to the surroundings.

Furthermore, the writer thought that the source of Sampang conflict could be based upon several things. First was private (personal) matter between Tajul Muluk and his brother, Rois Hukama that had happened since 2004 and still going on until now. From the villagers’ story, the writer found out that these brothers were quarrelling about woman. Tajul Muluk, as an elder brother, gave advice to his younger brother, Rois Hukama, not to make fun of women. Second was the competition of the two brothers to win more influence towards followers. Then, third was the different way in understanding

religion, Tajul Muluk’s and Ahli Sunnah Wal Jamaah’s (Aswaja/Sunni) belief. Finally, fourth was the spreading of Tajul Muluk’s belief around Sampang Regency.

Mobilizing FactorsThe conflicts happened in Sampang were very

much influenced by several mobilizing factors, rousing the rampage and aggression. Those are: first, the provocation committed by the Syiah’s followers to the Sampang origins in the form of body language threats, like aiming a ‘clurit’ (a long-bended knife) towards the people, while shouting such dirty words and curses (derived from an interview with Sjuaib, a secretary of Council of Indonesian Ulama (MUI)-Sampang, on Friday, August 31, 2012). Second was the existence of provocateurs. The third is the emerging of groups of people who initiated the anarchism. Finally, the fourth was the use of dynamites within the conflict by the Tajul Muluk’s.

Aggravating FactorsThe first Sampang conflict ended by finding

Tajul Muluk as the guilty one and the judges sent him two years in prison. The writer predicts that the aggravating factors to Sampang conflict are, first, the judge’s punishment to Tajul Muluk (two years imprisonment minus temporary time served) was considered too easy and unfair for such a religion defamation that made the Omben Sub-District people unsatisfied. The second was a statement released by Council of Indonesian Ulama (MUI)-Sampang, No.A-035/MUI/Spq/I/2012, dated January 1, 2012, about the Syi’ah belief. According to MUI, the teaching brought by Tajul Muluk to Karang Gayam Village, Omben Sub-District, was a misguided faith, and defamation to Islam. Besides, BAPOR PAKEM, Sampang Regency also reported that ether Tajul Muluk’s or Ali Murtadlo’s ideas were misled.

The declaration from the MUI, Sampang, made the residents confirmed not to accept the Syi’ah followers back to Nang Kernang Sub-Village. Third was the publishing of Governor Regulation (Pergub) No. 55, in 2012, explaining

Page 32: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 145-153

152

about the Development of All Religious Movement and Supervision toward Misguided Faiths in East Java. The establishment of these regulation, even though not literally mentioned about the Syi’ah, but what happened in Sampang had been one of the social reasons why these rules were composed. Fourth was the army presence in dealing with the irritated crowd. As the writer’s observed, there were only about 30 officers from the local police station, whom belong to Omben and Karang Penang District Police. While the bigger rider squads with about 300 members of Pamekasan Mobile Brigade had just arrived at 1 p.m. by the time there had been burning, destructing, Committing anarchism, vandalism, and killing around the village. The mass could have just been brought under control by Maghrib time (around 6 p.m.). It gave impression that the police and the army seemed to let the conflict happen and the security acts were not in maximum scale, even looked neglect. After the second Sampang conflict occurred, according to the data acquired from Sampang Regional Office of National and Political Unity Board (Bakesbangpol), the number of security guards instructed to recover the conflict were about 1.100 men, with details 350 persons were army soldiers and 750 persons were police officers. Thus, there was never such an unleash act from the military services. Finally, the fifth was an additional crowded came from out of the village, whom among of them were groups of people from Pamekasan, who worsen the situation because of their combining anarchy acts.

closing

Conclusion The main reason of what had happened in

Karang Gayam Village, Omben Sub-District and Blu’uran Village, Karang Penang Sub-Ditrict, was undeniably the community’s desire to keep their environment peaceful by not letting any other apprentices in any misled belief who had the potential to ruin the existing traditions and cultural values there. The society who disagreed with the Tajul Muluk’s beliefs created such an inner latent conflict between the Syi’ah belief and

Ahli Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja/Sunni). The private conflict between Tajul Muluk and Roisul Hukama because of woman since 2004, and the leadership competition between the two came in additional causes to the crisis. The existence of Tajul Muluk’s cult could be such an annoyance to the local resident, and that is why the Council of Indonesian Ulama (MUI)-Sampang, released a statement No.A-035/MUI/Spg/I/2012, dated January 1, 2012, claimed that the Syi’ah belief as was brought by Tajul Muluk was a misguided belief while degrading and desecrating Islam religion. Besides, there was also a report from Sampang Regency’s BAPOR PAKEM concluded that Tajul Muluk’s or Ali Murtadlo’s teaching was wrong. The impact of Sampang conflict in August 26, 2012, was 1 man died, 1 man in a critical condition and 16 others were injured. Another effect was 43 burning buildings and 282 refugees from the Syi’ah followers who evacuated to and had to stay in the local Sport Stadium. The local police officers had also checked on several witnesses and identified 1 offender in this case.

RecommendationAt least, there are some methods that can be

used to solve this problem. The first is through the bureaucratic (political policy) approach. It is to solve the case by using the government policy. In this case, the government must enforce and run the law as fair as possible (short term effort), while in long term effort, the government has to settle the Syi’ah refugees immediately, whom until now are still scattered at the Sampang Sport Stadium. The Karang Gayam Village’s refusal toward the Syi’ah followers should be brought into consideration by the government to figure out another safe place for them to live. If the option of returning the Syi’ah followers back to their village is considered to be a better step then it should be done as soon as possible by enforcing all involving government ranges to organize such a peace-making and a peace-building schedule then implementing it, especially within areas with high risk of latent religious conflict. Whereas, the Ministry of Religion Affairs through Local Office of

Page 33: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

The Study of the Second Conflict in SampangArnis Rachmadhani

153

Religion Affairs should also participate along with the Religion Affairs instructors in building unity values of the community. The second method is through cultural approach, trying to implement local wisdom to solve the conflict. This plan could be done by establishing peaceful apprentices and training them peace-making acts. Hopefully, this effort may have a good output, producing some tolerable apprentices who have a high regard and respect to other religion and its believers, so that the people in Karang Penang and Omben will be able to build such an open dialogue and have a good manner in dealing with other religious devotees.

references

A. Hasymi. 1983. Syiah dan Ahlussunnah Saling Rebut Pengaruh Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara. Surabaya: Bina Ilmu.

Ali, Mursyid. (Ed.). 2009. Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama di Berbagai Daerah di Indonesia. Jakarta: The Ministry of Religious Affairs-The Institut of Religious Research, Development, and Training Center of Religious Life.

Daihani, Dadan Umar. 2001. Lansekap dan Potensi Konflik Indonesia. In Indonesian Society’s Journal, Edition XXVII, No. 1.

Depdiknas, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Djajadiningrat, P.A. Husein. 1961. Islam di Indonesia. in Kenneth W. Morgan (Ed.). Islam The Straight Path. (Translated). Jakarta: PT. Pembangunan.

J. Moleong, Lexy. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya.

Ma’luf, Lois. tt. al-Munjid fi al-Lughah wa al-

‘Alam. Beirut: Dar al-Masyriq.

Pantji, Abdul Rachman. 2001. Primordialisme, Konflik Sosial, dan Globalisasi. In The Indonesian Society’s Journal Edition XXVII No.1.

Shabir, Muslich. Penangangan Tuntas Konflik Sampang Suara Merdeka, September 3, 2012.

Sj. Fadil. 2010. Corak Pemikiran Kalam Syi’ah Dalam Kitab “Sunnah Syi’ah Dalam Ukhuwah Islamiyah” Karya Habib Husein Al-Habsyi (1921-1994). Semarang: The Office of Religious Research and Development in Semarang.

Soekanto, Soerjono. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali.

Sudjangi (et.al.). 2003. Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama, Edisi Ketujuh. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Jakarta: The Indonesian Republic’s Ministry of Religious Affairs, The Institute of Religious Research, Development, and Training Center of Religious Life. The Improvement Attempt in Studying the Religious Life’s Fellowship’s Department.

The EDITOR Magazine No.2/THN.II/February 15, 1996.

The TIRAS Magazine No.3/THN.II/February 15, 1996.

The Ulumul Qur’an Journal, No.4, Vol. VI, 1995.

Zuriah, Nurul. 2006. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori-Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Page 34: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 145-153

154

Page 35: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Potensi Keretakan Hubungan Sosial Muslim-Buddhis Irwansyah

155

POTENSI KERETAKAN HUBUNGAN SOSIAL MUSLIM-BUDDHIS

(Kasus Konflik Patung Buddha di Kota Tanjungbalai Sumatera Utara)

The Potential Clash of Social Relationship between Muslim and Buddhist(Case Study on the Conflict of Buddha Statue in Tanjungbalai City, North Sumatra)

IrwANsyAh

IrwANsyAhIAIN Sumatera Utara

Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate

Telp. Telp./Fax. 061-66115683e-mail: [email protected] diterima: 12 Mei 2013

Naskah direvisi : 29 Juli-19 Agustus 2013

Naskah disetujui: 17 September 2013

AbstrAct

Socio-religious conflicts that occurred in Tanjungbalai City allegedly caused by the establishment of Buddha Statue. This research aims to reveal how relations between Muslim and Buddhist in Tanjungbalai. This study classified as qualitative research. Fact were obtained through observation, interviews, and document review. The results showed social conflict occurred after the establishment of Buddha Statue. Tanjungbalai as one of “China town”, to trigger the social jealousy. In addition to the economic factors are controlled by China, Tanjungbalai City the majority of Muslims, did not accept the establishment of 6 metre tall Buddha Statue that was on the fourth floor of the building Vihara Tri Ratna. Muslims aliancy movement asking for removal of the statue. Buddhists being defensive and worried that the Malays (Muslims) think that the Buddhist same with “the Chinese”.

Keywords: Buddha Statue, Tanjungbalai, Muslim, Buddhist, Cina

AbstrAk

Konflik sosial keagamaan yang terjadi di Kota Tanjungbalai ditengarai disebabkan oleh pendirian Patung Buddha. Penelitian ini bertujuan mengungkap bagaimana hubungan masyarakat muslim dan umat Buddha di Tanjungbalai. Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif. Data penelitian diperoleh melalui observasi, wawancara, dan telaah dokumen. Hasil penelitian menunjukkan konflik sosial terjadi setelah adanya pendirian Patung Buddha. Tanjungbalai sebagai salah satu “kota Cina”, menjadi pemicu adanya kecemburuan sosial. Selain karena faktor ekonomi yang dikuasai Cina, kota Tanjungbalai yang mayoritas pemeluk agama Islam, tidak menerima adanya pendirian Patung Buddha setinggi 6 meter yang berada di atas gedung lantai empat Vihara Tri Ratna. Gerakan aliansi umat Islam menginginkan penurunan patung tersebut. Umat Buddha bersikap defensif serta khawatir kalau masyarakat Melayu (Muslim) memandang bahwa Buddhis sama dengan “orang Cina”.

Kata kunci: Patung Buddha, Tanjungbalai, Muslim, Buddhis, Cina

Page 36: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 155-168

156

Pendahuluan

Menurut Hans Kung (1991), dalam sebuah penegasannya yang cukup masyhur mengungkapkan “tidak mungkin ada kedamaian di dunia tanpa kedamaian agama-agama”. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa agama menjadi faktor yang paling dominan mengakibatkan ketidakrukunan. Terlepas apakah asumsi ini dapat dibenarkan karena dalam kenyataannya banyak pendapat lain menyebutkan bahwa agama hanyalah salah satu icon untuk melegitimasi konflik, tidak sedikit teori-teori sosiologi agama yang membenarkan anggapan bahwa agama menjadi salah satu penyebab konflik (ketidakrukunan). Afif Muhammad (1997: 1) misalnya, menyebutkan dua pendekatan terhadap pemahaman tentang agama yang kemudian dapat menjadi berbagai macam benturan yang berpotensi konflik, yaitu: pertama, agama sebagai doktrin dan ajaran; dan kedua, aktualisasi doktrin tersebut yang dapat ditemukan dalam sejarah. Kedua hal itu disebut Afif Muhammad sebagai “wajah ganda” dari “agama”. Setelah membandingkan istilah “wajah ganda”-nya Afif dengan “doktrin dan peradaban” Nurcholish Madjid; “Islam ideal dan Islam realitas”-nya Nasr, juga kasus Perang Salib antara Islam dan Kristen, Dadang Kahmad (2006: 150) menambahkan bahwa agama di satu sisi dapat dilihat sebagai faktor pemersatu (integrative factor), namun di sisi lain juga merupakan faktor disintegratif (disintegrative factor). Faktor yang terakhir muncul karena agama itu sendiri dapat dipahami memiliki potensi yang melahirkan intoleransi (konflik), baik karena faktor internal ajaran agama maupun karena faktor eksternal.

Sungguhpun Pancasila merupakan ideologi dasar yang dianggap menjadi jalan tengah bagi penyelesaian konflik sosial bernuansa agama, bukan berarti riak-riak konflik tersebut tidak terjadi di Indonesia. Bahkan lebih tajam dari itu, konflik tersebut telah menjadi catatan sejarah kelam bagi Indonesia yang melibatkan masyarakat akar rumput (grass root) hingga memakan waktu yang cukup panjang. Tomagola (2003)

menyebutkan konflik yang terjadi di Maluku, Poso, dan Kalimantan Selatan, patut dicatat sebagai konflik sosial bernuansa agama yang cukup besar sepanjang sejarah bangsa Indonesia.

Namun demikian, dalam kasus ketidak-rukunan yang dikaitkan dengan Muslim, kasus ketidakrukunan sering melibatkan pemeluk Muslim dan Kristen dibanding agama lainnya, seperti Muslim dengan Hindu, Muslim dengan Buddha, atau Muslim dengan Khonghucu (Irwansyah: 2004). Pada penelitian ini, kasus yang berpotensi melahirkan ketidakrukunan justru melibatkan umat Islam dan Buddha di Kota Madya Tanjungbalai. Kasus tersebut kemudian dikenal dengan kasus Patung Buddha Tanjungbalai.

Memang, sejauh ini Sumatera Utara dianggap sebagai daerah yang cukup kondusif dalam hal kerukunan umat beragama. Namun demikian, tetap saja potensi konflik banyak ditemukan di dalamnya. Berdasarkan hasil dialog pengembangan wawasan multikultural antara pemuka agama, beberapa potensi konflik yang ditemukan di Sumatera Utara, adalah: (1) kesenjangan kesejahteraan sosial penduduk; (2) adakalanya terjadi intervensi terhadap tradisi dan keyakinan keagamaan yang bisa menimbulkan gesekan-gesekan sekalipun belum sempat berkembang; (3) kekerasan sosial akibat dari kesenjangan sosial maupun sikap budaya; (4) penggunaan idiom atau simbol-simbol secara tidak tepat yang telah menjadi identitas kelompok agama tertentu. Sementara itu, potensi kerukunan yang ditemukan di Sumatera Utara, adalah: (1) terbentuknya forum bersama antarumat beragama yang cukup efektif; (2) berfungsinya medium adat dan marga sebagai wadah yang berfungsi mengefektifkan komunikasi dan mempererat hubungan emosional serta tradisi antarumat berbeda agama; (3) keterlibatan pemuda dan tokoh agama dalam kamtibmas; (4) pencerahan pemahaman masyarakat melalui penerbitan bernuansa akademik; (5) tingkat rata-rata pendidikan penduduk yang relatif tinggi turut mempengaruhi kedewasaan berpikir masyarakat; (6) mudahnya komunikasi

dan hubungan akrab antarpemuka agama; (7) koordinasi yang baik antaraparat dan pemuka agama; (8) kepekaan yang positif dari pemuka agama untuk mengantisipasi secara dini kemungkinan munculnya gangguan kerukunan umat beragama (Lubis, 2005: 249-250).

Melihat situasi latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan hubungan Muslim-Buddhis dalam situasi konflik di Kota Tanjungbalai perlu untuk dikaji secara lebih dalam melalui penelitian dengan fokus permasalahan yaitu: 1) Faktor-faktor apa saja yang mendorong kelahiran konflik Patung Buddha di Kota Tanjungbalai? 2) Siapa saja yang terlibat dalam konflik tersebut? 3) Resolusi apa yang telah dilakukan dalam mengatasi konflik?

Sebagaimana rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sosial antara Muslim-Buddhis dalam situasi konflik di Kota Tanjungbalai. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1) untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong terjadinya konflik Patung Buddha di Kota Tanjungbalai; 2) untuk mengetahui siapa yang terlibat dalam konflik tersebut; dan 3) mengetahui resolusi apa yang dilakukan untuk mengatasi konflik tersebut.

Jika dilacak dalam literatur sejarah, cukup banyak karya dan studi ilmiah yang mengindikasikan ketidakharmonisan hubungan antarumat beragama yang melibatkan umat Islam, namun hubungan tersebut cenderung berbenturan dengan Kristen. Sejarah kelam hubungan kedua agama ini disinyalir mulai mengalami titik klimaks dalam peristiwa Perang Salib yang terjadi beberapa tahap untuk waktu yang cukup lama (Goddard, 2003: 165-180).

Beberapa karya yang menampilkan “disharmonisasi” hubungan Muslim-Kristen bahkan mengindikasikan agama sebagai pemicu konflik. Karya-karya dimaksud, dapat disebutkan, antara lain: Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World (Amstrong, 2001), dan The Batle fo God (Amstrong, 2000), keduanya merupakan karya Karen Amrmstrong, serta The Holy War Idea in Western and Islamic Tradition,

karya James Turner Jhonson.

Literatur lain pada tingkat dunia yang mengindikasikan sejarah hubungan Muslim-Kristen yang diwarnai konflik adalah tulisan Mortimer (1991: 7-13) yang berjudul Cristianity and Islam. Dalam tulisan yang juga mengangkat Perang Salib sebagai indikator primer, Islam dikonsepsikan sebagai lawan dari agama dan kebudayaan Barat yang diasosiasikan dengan Kristen. Teori Mortimer ini didukung pula oleh Paul Rae dengan penjelasan yang lebih dalam. Menurut pandangannya, banyak umat Islam yang membenci blok Barat karena Negara Barat semakin kaya dan maju, pada saat yang sama Negara Islam semakin miskin oleh karena dieksploitasi oleh Negara Barat.

Sementara itu, untuk literatur tingkat nasional, kebanyakan literatur tentang hubungan Muslim-Kristen mengangkat kasus-kasus konflik, seperti Ambon dan Poso. Meski objek yang disoroti berkaitan dengan konflik antaragama, para pakar dan pemangku kepentingan di Indonesia terlihat cenderung menekankan faktor lain yang menjadi penyebab konflik. Arifin A. Segaf (2005), misalnya, memandang konflik Ambon dan Maluku sebagai bukan konflik agama, demikian halnya dengan Magnis Suseno (2005), yang memandang konflik-konflik tersebut sebagai bagian dari pengaruh sejarah, ekonomi, politik, dan kebijakan Orde Baru.

Berbagai literatur yang dikemukakan di atas dapat dikatakan sebagai literatur tentang hubungan Muslim-Kristen dalam teori sejarah. Selain dimensi sejarah ini, Hugh Goddard (2005) Guru Besar Universitas Licester Inggris, menambahkan lima dimensi yang lain untuk memahami interaksi Muslim-Kristen, yaitu: (1) dimensi teologis; (2) dimensi filosofis; (3) dimensi sosial; (4) dimensi politik; dan (5) dimensi ekonomi.

Sementara itu, belum ada karya yang bisa dirujuk terkait disharmonisasi hubungan sosial Muslim-Buddhis di Indonesia umumnya, dan Sumatera Utara khususnya.

Page 37: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Potensi Keretakan Hubungan Sosial Muslim-Buddhis Irwansyah

157

Pendahuluan

Menurut Hans Kung (1991), dalam sebuah penegasannya yang cukup masyhur mengungkapkan “tidak mungkin ada kedamaian di dunia tanpa kedamaian agama-agama”. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa agama menjadi faktor yang paling dominan mengakibatkan ketidakrukunan. Terlepas apakah asumsi ini dapat dibenarkan karena dalam kenyataannya banyak pendapat lain menyebutkan bahwa agama hanyalah salah satu icon untuk melegitimasi konflik, tidak sedikit teori-teori sosiologi agama yang membenarkan anggapan bahwa agama menjadi salah satu penyebab konflik (ketidakrukunan). Afif Muhammad (1997: 1) misalnya, menyebutkan dua pendekatan terhadap pemahaman tentang agama yang kemudian dapat menjadi berbagai macam benturan yang berpotensi konflik, yaitu: pertama, agama sebagai doktrin dan ajaran; dan kedua, aktualisasi doktrin tersebut yang dapat ditemukan dalam sejarah. Kedua hal itu disebut Afif Muhammad sebagai “wajah ganda” dari “agama”. Setelah membandingkan istilah “wajah ganda”-nya Afif dengan “doktrin dan peradaban” Nurcholish Madjid; “Islam ideal dan Islam realitas”-nya Nasr, juga kasus Perang Salib antara Islam dan Kristen, Dadang Kahmad (2006: 150) menambahkan bahwa agama di satu sisi dapat dilihat sebagai faktor pemersatu (integrative factor), namun di sisi lain juga merupakan faktor disintegratif (disintegrative factor). Faktor yang terakhir muncul karena agama itu sendiri dapat dipahami memiliki potensi yang melahirkan intoleransi (konflik), baik karena faktor internal ajaran agama maupun karena faktor eksternal.

Sungguhpun Pancasila merupakan ideologi dasar yang dianggap menjadi jalan tengah bagi penyelesaian konflik sosial bernuansa agama, bukan berarti riak-riak konflik tersebut tidak terjadi di Indonesia. Bahkan lebih tajam dari itu, konflik tersebut telah menjadi catatan sejarah kelam bagi Indonesia yang melibatkan masyarakat akar rumput (grass root) hingga memakan waktu yang cukup panjang. Tomagola (2003)

menyebutkan konflik yang terjadi di Maluku, Poso, dan Kalimantan Selatan, patut dicatat sebagai konflik sosial bernuansa agama yang cukup besar sepanjang sejarah bangsa Indonesia.

Namun demikian, dalam kasus ketidak-rukunan yang dikaitkan dengan Muslim, kasus ketidakrukunan sering melibatkan pemeluk Muslim dan Kristen dibanding agama lainnya, seperti Muslim dengan Hindu, Muslim dengan Buddha, atau Muslim dengan Khonghucu (Irwansyah: 2004). Pada penelitian ini, kasus yang berpotensi melahirkan ketidakrukunan justru melibatkan umat Islam dan Buddha di Kota Madya Tanjungbalai. Kasus tersebut kemudian dikenal dengan kasus Patung Buddha Tanjungbalai.

Memang, sejauh ini Sumatera Utara dianggap sebagai daerah yang cukup kondusif dalam hal kerukunan umat beragama. Namun demikian, tetap saja potensi konflik banyak ditemukan di dalamnya. Berdasarkan hasil dialog pengembangan wawasan multikultural antara pemuka agama, beberapa potensi konflik yang ditemukan di Sumatera Utara, adalah: (1) kesenjangan kesejahteraan sosial penduduk; (2) adakalanya terjadi intervensi terhadap tradisi dan keyakinan keagamaan yang bisa menimbulkan gesekan-gesekan sekalipun belum sempat berkembang; (3) kekerasan sosial akibat dari kesenjangan sosial maupun sikap budaya; (4) penggunaan idiom atau simbol-simbol secara tidak tepat yang telah menjadi identitas kelompok agama tertentu. Sementara itu, potensi kerukunan yang ditemukan di Sumatera Utara, adalah: (1) terbentuknya forum bersama antarumat beragama yang cukup efektif; (2) berfungsinya medium adat dan marga sebagai wadah yang berfungsi mengefektifkan komunikasi dan mempererat hubungan emosional serta tradisi antarumat berbeda agama; (3) keterlibatan pemuda dan tokoh agama dalam kamtibmas; (4) pencerahan pemahaman masyarakat melalui penerbitan bernuansa akademik; (5) tingkat rata-rata pendidikan penduduk yang relatif tinggi turut mempengaruhi kedewasaan berpikir masyarakat; (6) mudahnya komunikasi

dan hubungan akrab antarpemuka agama; (7) koordinasi yang baik antaraparat dan pemuka agama; (8) kepekaan yang positif dari pemuka agama untuk mengantisipasi secara dini kemungkinan munculnya gangguan kerukunan umat beragama (Lubis, 2005: 249-250).

Melihat situasi latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan hubungan Muslim-Buddhis dalam situasi konflik di Kota Tanjungbalai perlu untuk dikaji secara lebih dalam melalui penelitian dengan fokus permasalahan yaitu: 1) Faktor-faktor apa saja yang mendorong kelahiran konflik Patung Buddha di Kota Tanjungbalai? 2) Siapa saja yang terlibat dalam konflik tersebut? 3) Resolusi apa yang telah dilakukan dalam mengatasi konflik?

Sebagaimana rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sosial antara Muslim-Buddhis dalam situasi konflik di Kota Tanjungbalai. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1) untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong terjadinya konflik Patung Buddha di Kota Tanjungbalai; 2) untuk mengetahui siapa yang terlibat dalam konflik tersebut; dan 3) mengetahui resolusi apa yang dilakukan untuk mengatasi konflik tersebut.

Jika dilacak dalam literatur sejarah, cukup banyak karya dan studi ilmiah yang mengindikasikan ketidakharmonisan hubungan antarumat beragama yang melibatkan umat Islam, namun hubungan tersebut cenderung berbenturan dengan Kristen. Sejarah kelam hubungan kedua agama ini disinyalir mulai mengalami titik klimaks dalam peristiwa Perang Salib yang terjadi beberapa tahap untuk waktu yang cukup lama (Goddard, 2003: 165-180).

Beberapa karya yang menampilkan “disharmonisasi” hubungan Muslim-Kristen bahkan mengindikasikan agama sebagai pemicu konflik. Karya-karya dimaksud, dapat disebutkan, antara lain: Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World (Amstrong, 2001), dan The Batle fo God (Amstrong, 2000), keduanya merupakan karya Karen Amrmstrong, serta The Holy War Idea in Western and Islamic Tradition,

karya James Turner Jhonson.

Literatur lain pada tingkat dunia yang mengindikasikan sejarah hubungan Muslim-Kristen yang diwarnai konflik adalah tulisan Mortimer (1991: 7-13) yang berjudul Cristianity and Islam. Dalam tulisan yang juga mengangkat Perang Salib sebagai indikator primer, Islam dikonsepsikan sebagai lawan dari agama dan kebudayaan Barat yang diasosiasikan dengan Kristen. Teori Mortimer ini didukung pula oleh Paul Rae dengan penjelasan yang lebih dalam. Menurut pandangannya, banyak umat Islam yang membenci blok Barat karena Negara Barat semakin kaya dan maju, pada saat yang sama Negara Islam semakin miskin oleh karena dieksploitasi oleh Negara Barat.

Sementara itu, untuk literatur tingkat nasional, kebanyakan literatur tentang hubungan Muslim-Kristen mengangkat kasus-kasus konflik, seperti Ambon dan Poso. Meski objek yang disoroti berkaitan dengan konflik antaragama, para pakar dan pemangku kepentingan di Indonesia terlihat cenderung menekankan faktor lain yang menjadi penyebab konflik. Arifin A. Segaf (2005), misalnya, memandang konflik Ambon dan Maluku sebagai bukan konflik agama, demikian halnya dengan Magnis Suseno (2005), yang memandang konflik-konflik tersebut sebagai bagian dari pengaruh sejarah, ekonomi, politik, dan kebijakan Orde Baru.

Berbagai literatur yang dikemukakan di atas dapat dikatakan sebagai literatur tentang hubungan Muslim-Kristen dalam teori sejarah. Selain dimensi sejarah ini, Hugh Goddard (2005) Guru Besar Universitas Licester Inggris, menambahkan lima dimensi yang lain untuk memahami interaksi Muslim-Kristen, yaitu: (1) dimensi teologis; (2) dimensi filosofis; (3) dimensi sosial; (4) dimensi politik; dan (5) dimensi ekonomi.

Sementara itu, belum ada karya yang bisa dirujuk terkait disharmonisasi hubungan sosial Muslim-Buddhis di Indonesia umumnya, dan Sumatera Utara khususnya.

Page 38: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 155-168

158

KerangKa Teori

Penelitian ini menggunakan teori konflik dengan beberapa asumsi dasar. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, di mana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Teori konflik juga melihat adanya dominasi, korelasi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus. Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf (Ritzer dan Goodman, 2007: 153-159).

MeTode PeneliTian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan model studi kasus dalam pengertian yang sangat sederhana (Mudzakir, 2002: 54). Penelitian ini mengambil paradigma kualitatif yang menekankan fungsi teori sebagai alat untuk mempertajam kepekaan peneliti dalam melihat data dan merumuskan teori atas dasar

data yang diperoleh. Oleh karenanya, penelitian kualitatif tidak bersifat menguji teori, akan tetapi teori selalu dibangun pada akhir penelitian. Berkaitan dengan paradigma ini, Muhadjir (1989: 77) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif harus menyajikan generalisasi dan temuannya harus mempunyai sumbangan teoretik.

Mencermati paradigma kualitatif sebagaimana disebutkan di atas, maka teori pada penelitian ini dapat pula berfungsi sebagai pendekatan keilmuan yang dijadikan sebagai “pisau analisis” dalam menyajikan data. Oleh karenanya, pendekatan yang tepat dan selanjutnya akan digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan sosiologi agama.

Penggalian data pada penelitian ini dilakukan melalui tiga cara, yaitu:

Observasi. Observasi pada penelitian ini 1. dilakukan dengan tujuan menemukan fakta kasus melalui pengamatan langsung atas situasi yang terjadi di lapangan terkait konflik yang terjadi.

Wawancara mendalam (2. in depth interview). Wawancara mendalam merupakan cara penggalian data yang terkait dengan faktor penyebab terjadinya konflik, siapa yang terlibat dan solusi yang telah dilakukan.

Studi literatur/dokumentasi. Studi literatur/3. dokumentasi dilakukan untuk mendapatkan data-data skunder melalui penelusuran literatur, dan dokumen-dokumen terkait.

Proses analisis terhadap data-data yang terkumpul dilakukan dengan prosedur kualitatif sebagaimana ditekankan Moleong, dimulai dengan terlebih dahulu menelaah data-data yang dikumpulkan, melakukan reduksi data melalui pembuatan abstraksi, kemudian mengkategorikan data (Moleong, 2006: 247). Mengacu pada prosedur tersebut, maka proses analisis data pada penelitian ini ditempuh melalui lima tahap, yaitu: (1) penelaahan data; (2) klasifikasi data sesuai dengan masalah yang dirumuskan; (3) perbandingan data; (4) deskripsi data; dan (5) penarikan kesimpulan.

Page 39: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Potensi Keretakan Hubungan Sosial Muslim-Buddhis Irwansyah

159

hasil dan PeMbahasan Kota Tanjungbalai termasuk salah satu kota

tertua di Sumatera Utara, yaitu sudah berumur sekitar 392 tahun, bila hari jadinya dinisbahkan kepada Kerajaan Asahan dimulai dengan penobatan raja pertama kerajaan tersebut yang berlangsung meriah di sekitar kampung Tanjung.1 Nama kota “Tanjungbalai” bermula dari sebuah kampung yang ada di sekitar Ujung Tanjung di muara Sungai Silau dan aliran Sungai Asahan. Di tempat itu dibangunlah sebuah “Balai” (bangunan rumah tanpa dinding, semacam rumah singgah), lama kelamaan balai yang dibangun semakin ramai disinggahi karena tempatnya yang strategis sebagai bandar kecil tempat melintas ataupun orang-orang yang ingin bepergian ke hulu Sungai Silau. Tempat itu kemudian dinamai “Kampung Tanjung” dan orang lazim menyebutnya Balai di “Tanjung”.2

Sejak dibukanya perkebunan-perkebunan di daerah Sumatera Timur termasuk daerah Asahan, maka Kota Tanjungbalai sebagai kota pelabuhan dan pintu masuk ke daerah Asahan menjadi penting artinya bagi perkembangan perekonomian Belanda. Dengan telah berfungsinya jembatan Kisaran dan dibangunnya jalan kereta api Medan-Tanjungbalai, maka hasil-hasil perkebunan dapat lebih lancar disalurkan atau diekspor melalui kota pelabuhan Tanjungbalai.

Untuk memperlancar kegiatan perkebunan, maskapai Belanda membuka kantor dagangnya di kota Tanjungbalai antara, maka pada abad 20 mulailah penduduk bangsa Eropa tinggal

menetap di Kota Tanjungbalai. Asisten Resident van Asahan berkedudukan di Tanjungbalai dan karena jabatannya bertindak sebagai Walikota dan Ketua Dewan (Voorzitter van den Gemeen-teraad). Sebagai kota pelabuhan dan tempat kedudukan Assisten Resident, Tanjungbalai juga merupakan tempat kedudukan Sultan Kerajaan Asahan.

Perkembangan Kota Tanjungbalai dari tahun ke tahun semakin berkembang, para pendatang dari berbagai tempat dengan tujuan untuk berdagang,3 kemudian menetap di Tanjungbalai, sehingga kota ini telah menjadi kota yang berpenduduk padat.

Penduduk di Kota Tanjungbalai memiliki beberapa etnis yaitu: Batak (42%), Jawa (17,06%), Melayu (15,41 %), Minang (3,58%), Aceh (1,11%), dan lain-lain (20,28%); dengan agama yang dianut adalah Islam (83,30%), Kristen (8,44%), Katolik (0,76%), Hindu (0,04%), Buddha (7,44%), dan Khonghucu (0%).4

Sebelum berdirinya Patung Buddha di Vihara Tri Ratna, interaksi sosial Muslim-Buddhis di Kota Tanjungbalai cukup baik. Hal yang dapat membuat pemeluk Muslim dengan pemeluk Buddha kompak ialah adanya hubungan yang akrab di antara mereka. Beberapa orang Buddha ada yang mengangkat orang Melayu muslim sebagai anaknya, menyekolahkannya di sekolah kelautan serta mempekerjakannya sebagai nakhoda kapal. Interaksi Muslim-Buddhis dapat juga dilihat dari sektor perekonomian, pemeluk agama Buddha yang menguasai perekonomian di

1 Peristiwa penabalan raja pertama Kerajaan Asahan tersebut terjadi tepatnya pada tanggal 27 Desember 1620, dan tang-gal 27 Desember kemudian ditetapkan sebagai “Hari Jadi Kota Tanjungbalai” dengan surat keputusan DPRD Kota Tanjung-balai Nomor: 4/DPRD/TB/1986 Tanggal 25 November 1986.

2 Sekarang ini telah dibangun sebuah gedung duplikat dari “Balai” yang berada di Ujung Tanjung, tak jauh dari posisi Vihara Tri Ratna. Maksud dibangunnya duplikat “Balai” tersebut adalah sebagai simbol bahwa tempat itulah yang dinamakan “Tanjungbalai”. Bangunan “Balai” yang bernuansa budaya Melayu itu sekaligus sebagai simbol bahwa Kota Tanjungbalai adalah kota orang Melayu.

3 Sekitar tahun 1860 komunitas pedagang Cina telah menjalin hubungan dengan Kerajaan Melayu di Pantai Timur ter-masuk di Kota Tanjungbalai (Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia [Jakarta: Pustaka Obor, 2011], h. 194).

4 Diolah (dipersentasekan) berdasarkan data penduduk setiap kecamatan dan BPS Kota Tanjungbalai tahun 2010.

Page 40: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 155-168

160

Tanjungbalai mampu menjalin hubungan yang baik dengan pemeluk Muslim yang menjalin kerja sama dengannya. Hal ini dapat dilihat dari kepemilikan kapal di Tanjungbalai, dari sekian banyak kapal yang ada di Tanjungbalai, hanya 1 (satu) kapal yang dimiliki oleh orang pribumi.5

Seiring berjalannya waktu, keharmonisan antara Muslim-Buddhis menjadi berkurang. Adanya salah paham karena kurangnya pengetahuan orang Muslim yang menyebabkan munculnya iri hati serta kecemburuan sosial kepada orang Buddhis di Tanjungbalai, yakni ketidakpahaman orang Muslim membedakan mana orang Cina yang beragama Khonghucu dan mana orang Cina yang beragama Buddha, sehingga kelenteng yang menjadi rumah ibadah orang Khonghucu dianggap mereka rumah ibadah orang Buddha.6 Mereka tidak paham bahwa agama Buddha memiliki beberapa aliran yang berbeda, berbeda aliran berbeda pula rumah ibadahnya. Banyak sekali rumah ibadah orang Buddha di Tanjungbalai, sehingga berdirinya beberapa Vihara dianggap berlebihan bagi sebahagian masyarakat muslim, sehingga muncullah perasaan bahwa Tanjungbalai telah dikuasai oleh orang Cina (Buddha).

Jauh sebelum ada persoalan “Patung Buddha” interaksi muslim dengan Buddhis terjadi secara alamiah sebagaimana telah disinggung di atas, dan kalau dapat disimpulkan bahwa interaksi Muslim-Buddhis terjadi dalam bentuk hubungan antara etnis Cina dengan etnis Melayu pada umumnya; akan tetapi Melayu yang ada di Tanjungbalai termasuk dalam kategori “muslim” bukan semata-mata “etnis”. Karena orang Batak yang menganut agama Islam di daerah ini disebut masuk “Melayu”. Sebelum tahun 1980-an pada umumnya orang Batak yang muslim di Tanjungbalai, tidak mau menyebut diri mereka sebagai orang Batak, dengan memakaikan “marga” di belakang nama mereka.

Interaksi Muslim dengan Buddhis, walaupun yang muslim adalah suku Melayu (etnis Melayu), suku Batak, Jawa (yang berada di kampung Jawi-Jawi), Aceh dan lain sebagainya; pada umumnya bentuk interaksinya adalah “ketergantungan” terutama dalam bidang ekonomi dan mata pencaharian sebagai buruh nelayan.

Masyarakat Cina yang dipahami sebagai masyarakat penganut agama Buddha adalah menguasai bisnis dengan bertempat tinggal di pusat kota. Rumah Toko (Ruko) yang terdapat di jalan Masjid, Jl. Gereja, Jl. Sudirman, Jl. Veteran dan Jl. Asahan (tempat Vihara Tri Ratna berada) hampir semuanya milik masyarakat Cina.

Masyarakat Cina yang berada di pusat Kota Tanjungbalai menguasai bisnis dan perekonomian. Masyarakat “pribumi” Batak yang telah menjadi Melayu ataupun orang Batak yang beragama Kristen, sebagaimana yang mengelompok tinggal di daerah tertentu, telah bekerja kepada orang Cina sebagai buruh atau “anak kapal”. Akan tetapi belakangan ini “toke-toke” Cina yang mempunyai kapal-kapal besar, mencari pekerjanya dari daerah luar Kota Tanjungbalai, karena orang Melayu yang kini bertempat tinggal di pinggiran Sungai Silau ataupun di pinggiran Sungai Asahan telah mempunyai sampan sendiri. Sementara itu hanya sedikit orang Kristen yang diambil oleh orang Cina sebagai pekerjanya.

Kedekatan masyarakat Buddhis (Cina) dengan masyarakat Muslim, digambarkan oleh Mailin, salah seorang dosen Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara, yang ayahnya (Pak Yahya) adalah seorang Nakhoda Kapal sekaligus adalah anak angkat dari seorang “toke” (pemilik kapal) etnis Cina yang beragama Buddha, bernama Tonghi (Ketua Yayasan Kemalangan Sosial): bahwa ketika pernah terjadi “kerusuhan” etnis, antara orang Cina (Buddha) dengan orang Batak (Kristen), di Tanjungbalai beberapa tahun yang lalu. Justru keluarga Mailin yang muslim menjadi

tempat berlindung keluarga Cina yang Buddhis.7

Terkait dengan masyarakat Buddhis dan Vihara Tri Ratna, bahwa paling kurang sekali setiap tahun, Vihara Tri Ratna melakukan upacara “peringatan hari jadi” Vihara, dengan cara membagi-bagikan beras dan minyak goreng kepada masyarakat muslim yang berada di sekitar Vihara atau yang datang beramai-ramai di halaman Vihara.

Halaman Vihara Tri Ratna yang luas terdapat lapangan bola voli yang selama ini digunakan anak muda atau remaja muslim untuk bermain bergabung dengan pemuda dan remaja Buddhis. Hal ini dikarenakan bahwa posisi Vihara Tri Ratna tepat menghadap Sungai Asahan. Pantai “Amor” tempat berkumpulnya para remaja terutama pada hari Minggu.

Interaksi antara pemuda dan pemudi Buddhis dengan pemuda dan pemudi Muslim terjadi di Pantai Amor tepat di depan Vihara Tri Ratna. Beberapa penjual makanan dan minuman yang berada di Pantai Amor dikunjungi oleh sebagian masyarakat Buddhis yang datang berkunjung ke Vihara pada hari Minggu atau hari besar lainnya.

Abang becak yang menunggu dan mengantar sewa yang datang dan dari Vihara Tri Ratna, tentu adalah orang Muslim yang juga mendapat rezeki dari adanya pengunjung Vihara pada hari-hari tertentu. Kunjungan ke Vihara Tri Ratna ada yang dengan maksud melakukan ibadah dan persembahan, tetapi ada juga yang berkunjung biasa, rekreasi; karena Vihara Tri Ratna terbuka

untuk umum sebagai tempat yang dikunjungi oleh wisatawan lokal, dan regional. Bahkan pada tanggal 8 Nopember 2011, Vihara Tri Ratna menerima kunjungan mahasiswa IAIN Sumatera Utara Medan, tepatnya mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah, semester V dengan mata kuliah Ilmu Perbandingan Agama. Mahasiswa diberi kuliah umum tentang Agama Buddha dan sejarah Vihara Tri Ratna. Mahasiswa dan mahasiswi yang memakai jilbab diberi kebebasan untuk berfoto di berbagai tempat bahkan di tempat yang dipandang suci sekalipun.

Hubungan pemerintah yang notabene adalah muslim dengan masyarakat Buddhis terjalin sangat baik, bahkan menurut pengakuan salah seorang guru agama Buddha yang kini mengabdi di Vihara Tri Ratna, Walikota terpilih Drs. H.M. Thamrin Munthe, M.Hum. didukung oleh masyarakat Buddhis, padahal dia adalah alumnus dari IAIN Sumatera Utara dan seorang ulama muslim.8

Menurut pengakuan salah seorang aktivis Buddhis yang sempat diwawancarai terkait dengan hubungan sosial Muslim-Buddhis, bahwa semasih menjadi Wakil Walikota, ustaz Thamrin Munthe sangat dekat dengan masyarakat Buddhis, bahkan dialah yang melakukan pengguntingan pita tanda diresmikannya penggunaan Vihara Tri Ratna yang telah selesai dibangun kembali.9

Dalam proses pembangunan kembali Vihara Tri Ratna banyak pihak yang terlibat, terutama dalam hal pembiayaan. Sebagian orang Cina yang beragama Khonghucu juga turut berpartisipasi,

5 Wawancara dengan salah seorang nelayan di kampung Pangkal Tembok, tanggal 7 Agustus 2011.6 Secara kebetulan bahwa Vihara Tri Ratna berada tepat di sebelah Klenteng Dwi Samudra, sama-sama menghadap ke

arah timur, ke Sungai Silau yang besar dan tempat rekreasi yang bernama “Pantai Amor”.

7 Wawancara dengan Mailin, tanggal 28 September 2011 di Medan.8 Wawancara dengan Rudi, S.T., salah seorang aktivis Buddhis Kota Tanjungbalai, pada tanggal 8 Oktober 2011.9 Dokumen, Peresmian Penggunaan Vihara Tri Ratna yang telah Selesai Dibangun Kembali. Sekitar tahun 1974 agama Bud-

dha mulai dikembangkan di kota Tanjungbalai oleh Y.A Bhikku Jinadhammo Maha Thera dengan didampingi Upasakha Khantineri dan Upasakha Nora beserta Ibu Susianny Intan yang mana pada saat itu beliau adalah guru bidang studi IPS dan terakhir beralih menjadi salah seorang guru agama Buddha yang cukup disegani. Pada Tahun 1984 Ibu Susianny Intan beserta rombongan umat Buddha mengikuti Sarasehan Buddhis di Pacet Cipanas. Sewaktu Sarasehan para Sangha Agung Indonesia dan para panditta dari Majelis Buddhayana Indonesia begitu antusias memberikan dorongan semangat kepada Ibu Susianny Intan agar dapat menghimpun para tokoh-tokoh masyarakat di kota Tanjungbalai Asahan untuk bersama-sama membangun sebuah Vihara sendiri agar para umat Buddha di Kota Tanjungbalai Asahan dapat melaksanakan ibadahnya sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Akhirnya pembangunan Vihara pun selesai pada tanggal 3 November 1984 pukul 02.00 WIB, kemudian diadakanlah upacara ritual yang dipimpin oleh Maha Nayaka Sangha Agung Indonesia Y.A Maha Stavira Ashin Jinarakhita (alm). Peresemian pengguanaan Vihara Tri Ratna dilaksanakan pada pagi hari tanggal 3 November 1984 yang diresmikan oleh Walikota Tanjungbalai Asahan Bapak H. Ibrahim Gani (alm).

Page 41: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Potensi Keretakan Hubungan Sosial Muslim-Buddhis Irwansyah

161

Tanjungbalai mampu menjalin hubungan yang baik dengan pemeluk Muslim yang menjalin kerja sama dengannya. Hal ini dapat dilihat dari kepemilikan kapal di Tanjungbalai, dari sekian banyak kapal yang ada di Tanjungbalai, hanya 1 (satu) kapal yang dimiliki oleh orang pribumi.5

Seiring berjalannya waktu, keharmonisan antara Muslim-Buddhis menjadi berkurang. Adanya salah paham karena kurangnya pengetahuan orang Muslim yang menyebabkan munculnya iri hati serta kecemburuan sosial kepada orang Buddhis di Tanjungbalai, yakni ketidakpahaman orang Muslim membedakan mana orang Cina yang beragama Khonghucu dan mana orang Cina yang beragama Buddha, sehingga kelenteng yang menjadi rumah ibadah orang Khonghucu dianggap mereka rumah ibadah orang Buddha.6 Mereka tidak paham bahwa agama Buddha memiliki beberapa aliran yang berbeda, berbeda aliran berbeda pula rumah ibadahnya. Banyak sekali rumah ibadah orang Buddha di Tanjungbalai, sehingga berdirinya beberapa Vihara dianggap berlebihan bagi sebahagian masyarakat muslim, sehingga muncullah perasaan bahwa Tanjungbalai telah dikuasai oleh orang Cina (Buddha).

Jauh sebelum ada persoalan “Patung Buddha” interaksi muslim dengan Buddhis terjadi secara alamiah sebagaimana telah disinggung di atas, dan kalau dapat disimpulkan bahwa interaksi Muslim-Buddhis terjadi dalam bentuk hubungan antara etnis Cina dengan etnis Melayu pada umumnya; akan tetapi Melayu yang ada di Tanjungbalai termasuk dalam kategori “muslim” bukan semata-mata “etnis”. Karena orang Batak yang menganut agama Islam di daerah ini disebut masuk “Melayu”. Sebelum tahun 1980-an pada umumnya orang Batak yang muslim di Tanjungbalai, tidak mau menyebut diri mereka sebagai orang Batak, dengan memakaikan “marga” di belakang nama mereka.

Interaksi Muslim dengan Buddhis, walaupun yang muslim adalah suku Melayu (etnis Melayu), suku Batak, Jawa (yang berada di kampung Jawi-Jawi), Aceh dan lain sebagainya; pada umumnya bentuk interaksinya adalah “ketergantungan” terutama dalam bidang ekonomi dan mata pencaharian sebagai buruh nelayan.

Masyarakat Cina yang dipahami sebagai masyarakat penganut agama Buddha adalah menguasai bisnis dengan bertempat tinggal di pusat kota. Rumah Toko (Ruko) yang terdapat di jalan Masjid, Jl. Gereja, Jl. Sudirman, Jl. Veteran dan Jl. Asahan (tempat Vihara Tri Ratna berada) hampir semuanya milik masyarakat Cina.

Masyarakat Cina yang berada di pusat Kota Tanjungbalai menguasai bisnis dan perekonomian. Masyarakat “pribumi” Batak yang telah menjadi Melayu ataupun orang Batak yang beragama Kristen, sebagaimana yang mengelompok tinggal di daerah tertentu, telah bekerja kepada orang Cina sebagai buruh atau “anak kapal”. Akan tetapi belakangan ini “toke-toke” Cina yang mempunyai kapal-kapal besar, mencari pekerjanya dari daerah luar Kota Tanjungbalai, karena orang Melayu yang kini bertempat tinggal di pinggiran Sungai Silau ataupun di pinggiran Sungai Asahan telah mempunyai sampan sendiri. Sementara itu hanya sedikit orang Kristen yang diambil oleh orang Cina sebagai pekerjanya.

Kedekatan masyarakat Buddhis (Cina) dengan masyarakat Muslim, digambarkan oleh Mailin, salah seorang dosen Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara, yang ayahnya (Pak Yahya) adalah seorang Nakhoda Kapal sekaligus adalah anak angkat dari seorang “toke” (pemilik kapal) etnis Cina yang beragama Buddha, bernama Tonghi (Ketua Yayasan Kemalangan Sosial): bahwa ketika pernah terjadi “kerusuhan” etnis, antara orang Cina (Buddha) dengan orang Batak (Kristen), di Tanjungbalai beberapa tahun yang lalu. Justru keluarga Mailin yang muslim menjadi

tempat berlindung keluarga Cina yang Buddhis.7

Terkait dengan masyarakat Buddhis dan Vihara Tri Ratna, bahwa paling kurang sekali setiap tahun, Vihara Tri Ratna melakukan upacara “peringatan hari jadi” Vihara, dengan cara membagi-bagikan beras dan minyak goreng kepada masyarakat muslim yang berada di sekitar Vihara atau yang datang beramai-ramai di halaman Vihara.

Halaman Vihara Tri Ratna yang luas terdapat lapangan bola voli yang selama ini digunakan anak muda atau remaja muslim untuk bermain bergabung dengan pemuda dan remaja Buddhis. Hal ini dikarenakan bahwa posisi Vihara Tri Ratna tepat menghadap Sungai Asahan. Pantai “Amor” tempat berkumpulnya para remaja terutama pada hari Minggu.

Interaksi antara pemuda dan pemudi Buddhis dengan pemuda dan pemudi Muslim terjadi di Pantai Amor tepat di depan Vihara Tri Ratna. Beberapa penjual makanan dan minuman yang berada di Pantai Amor dikunjungi oleh sebagian masyarakat Buddhis yang datang berkunjung ke Vihara pada hari Minggu atau hari besar lainnya.

Abang becak yang menunggu dan mengantar sewa yang datang dan dari Vihara Tri Ratna, tentu adalah orang Muslim yang juga mendapat rezeki dari adanya pengunjung Vihara pada hari-hari tertentu. Kunjungan ke Vihara Tri Ratna ada yang dengan maksud melakukan ibadah dan persembahan, tetapi ada juga yang berkunjung biasa, rekreasi; karena Vihara Tri Ratna terbuka

untuk umum sebagai tempat yang dikunjungi oleh wisatawan lokal, dan regional. Bahkan pada tanggal 8 Nopember 2011, Vihara Tri Ratna menerima kunjungan mahasiswa IAIN Sumatera Utara Medan, tepatnya mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah, semester V dengan mata kuliah Ilmu Perbandingan Agama. Mahasiswa diberi kuliah umum tentang Agama Buddha dan sejarah Vihara Tri Ratna. Mahasiswa dan mahasiswi yang memakai jilbab diberi kebebasan untuk berfoto di berbagai tempat bahkan di tempat yang dipandang suci sekalipun.

Hubungan pemerintah yang notabene adalah muslim dengan masyarakat Buddhis terjalin sangat baik, bahkan menurut pengakuan salah seorang guru agama Buddha yang kini mengabdi di Vihara Tri Ratna, Walikota terpilih Drs. H.M. Thamrin Munthe, M.Hum. didukung oleh masyarakat Buddhis, padahal dia adalah alumnus dari IAIN Sumatera Utara dan seorang ulama muslim.8

Menurut pengakuan salah seorang aktivis Buddhis yang sempat diwawancarai terkait dengan hubungan sosial Muslim-Buddhis, bahwa semasih menjadi Wakil Walikota, ustaz Thamrin Munthe sangat dekat dengan masyarakat Buddhis, bahkan dialah yang melakukan pengguntingan pita tanda diresmikannya penggunaan Vihara Tri Ratna yang telah selesai dibangun kembali.9

Dalam proses pembangunan kembali Vihara Tri Ratna banyak pihak yang terlibat, terutama dalam hal pembiayaan. Sebagian orang Cina yang beragama Khonghucu juga turut berpartisipasi,

5 Wawancara dengan salah seorang nelayan di kampung Pangkal Tembok, tanggal 7 Agustus 2011.6 Secara kebetulan bahwa Vihara Tri Ratna berada tepat di sebelah Klenteng Dwi Samudra, sama-sama menghadap ke

arah timur, ke Sungai Silau yang besar dan tempat rekreasi yang bernama “Pantai Amor”.

7 Wawancara dengan Mailin, tanggal 28 September 2011 di Medan.8 Wawancara dengan Rudi, S.T., salah seorang aktivis Buddhis Kota Tanjungbalai, pada tanggal 8 Oktober 2011.9 Dokumen, Peresmian Penggunaan Vihara Tri Ratna yang telah Selesai Dibangun Kembali. Sekitar tahun 1974 agama Bud-

dha mulai dikembangkan di kota Tanjungbalai oleh Y.A Bhikku Jinadhammo Maha Thera dengan didampingi Upasakha Khantineri dan Upasakha Nora beserta Ibu Susianny Intan yang mana pada saat itu beliau adalah guru bidang studi IPS dan terakhir beralih menjadi salah seorang guru agama Buddha yang cukup disegani. Pada Tahun 1984 Ibu Susianny Intan beserta rombongan umat Buddha mengikuti Sarasehan Buddhis di Pacet Cipanas. Sewaktu Sarasehan para Sangha Agung Indonesia dan para panditta dari Majelis Buddhayana Indonesia begitu antusias memberikan dorongan semangat kepada Ibu Susianny Intan agar dapat menghimpun para tokoh-tokoh masyarakat di kota Tanjungbalai Asahan untuk bersama-sama membangun sebuah Vihara sendiri agar para umat Buddha di Kota Tanjungbalai Asahan dapat melaksanakan ibadahnya sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Akhirnya pembangunan Vihara pun selesai pada tanggal 3 November 1984 pukul 02.00 WIB, kemudian diadakanlah upacara ritual yang dipimpin oleh Maha Nayaka Sangha Agung Indonesia Y.A Maha Stavira Ashin Jinarakhita (alm). Peresemian pengguanaan Vihara Tri Ratna dilaksanakan pada pagi hari tanggal 3 November 1984 yang diresmikan oleh Walikota Tanjungbalai Asahan Bapak H. Ibrahim Gani (alm).

Page 42: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 155-168

162

karena didasari kepercayaan bahwa memberikan uang atau harta untuk kepentingan rumah ibadah, akan mendapat balasan berupa rezeki yang melimpah ruah. Oleh sebab itu bagi etnis Cina baik beragama Buddha ataupun Khonghucu terutama bagi mereka yang datang dari daerah Bagan Siapiapi, Tanjungbalai Karimun merupakan tempat mengembangkan bisnis di Kota Tanjungbalai Asahan, dan solidaritas antarsesama keturunan Cina sangat kuat.

Vihara Tri Ratna terletak di tengah kota Tanjungbalai persisnya di Jalan Asahan Tanjungbalai, Sumatera Utara. Didirikan sejak tahun 2006 dengan luas bangunan 1.432 meter persegi yang terdiri dari empat lantai. Vihara tersebut dibangun dengan IMB yang dikeluarkan oleh Walikota dengan No. 648/237/K/2006. Di atas lantai 4 Vihara tersebut didirikan Patung Buddha Amitabha dengan tinggi 6 meter yang diresmikan sejak tanggal 8 November 2009. Patung Buddha tersebut merupakan satu kesatuan dengan Vihara Tri Ratna.

Saat ini Vihara Tri Ratna merupakan salah satu Vihara di Kota Tanjungbalai yang melayani sekitar 2.000 orang umat Buddha. Selain Vihara, di Kota Tanjungbalai juga terdapat 3 Klenteng sebagai tempat sembahyang umat Buddha. Sejak diresmikan, Vihara tersebut digunakan sebagai tempat ibadah umat Buddha dengan nyaman.

Namun, kenyamanan umat Buddha itu mulai terusik pada tanggal 30 Mei 2010 dan 29 Juni 2010, beberapa ormas yang mengatasnamakan “Gerakan Islam Bersatu” melakukan demonstrasi ke kantor DPRD dan Walikota Tanjungbalai. Mereka mendesak pemerintah menurunkan Patung Buddha dengan alasan bahwa keberadaan patung tersebut tidak mencerminkan kesan islami di Kota Tanjungbalai dan dapat mengganggu keharmonisan di tengah-tengah masyarakat.

Hal yang menjadi penyebab konflik Patung Buddha di Vihara Tri Ratna adalah:

a) Politik. Ketika itu Walikota Sutrisno sudah hampir berakhir untuk dua kali Pemilukada, dan dia tidak bisa lagi ikut berkompetisi, tetapi

anaknya tampil sebagai calon. Sementara itu ada seorang anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Tanjungbalai berkeinginan juga untuk tampil sebagai kandidat, akan tetapi tidak begitu dikenal masyarakat, walaupun cucu salah seorang ulama (alm) “besar” di Kabupaten Asahan asal Tanjungbalai; diduga dialah yang mengembangkan isu Patung Buddha. Isu tersebut berkembang, bahwa keberadaan Patung Buddha yang cukup tinggi di atas Vihara Tri Ratna membuat warga kampung Jawi-Jawi dan kampung Sei Nangka Kecamatan Sei Kepayang Barat yang mayoritas muslim dan beretnis Jawa merasa terganggu. Kebetulan kedua kampung tersebut berada di sebelah timur Vihara Tri Ratna (Posisi Patung Buddha menghadap ke Sungai Silau yang besar dan cukup lebar untuk menjadi tempat berlabuh kapal “Tongkang”, dan di seberang sungai tersebut adalah kampung Jawi-Jawi dan kampung Sei Nangka). Ketika masyarakat muslim di kedua kampung itu melaksanakan shalat, maka mereka seolah menghadap Patung Buddha yang kelihatan berdiri kokoh dengan posisi menghadap masyarakat muslim yang berada di seberang sungai Silau tadi. Isu teologis inilah yang dijadikan alat pemicu hadir dan turunnya sekelompok orang mengenakan jubah putih dan sorban yang mengatasnamakan umat Islam Tanjungbalai, menuntut ke gedung DPR agar pemerintah menyarankan supaya patung itu diturunkan dan diletakkan di tempat lain di Vihara Tri Ratna.

b) Kecemburuan Sosial. Sekelompok orang mengatasnamakan Gerakan Islam Bersatu menuntut agar pemerintah menurunkan Patung Buddha Amitabha atau Buddha Rupang yang berada di atas bangunan Vihara Tri Ratna. Gerakan ini tidak dipahami sebagai gerakan masyarakat Muslim secara umum, baik dari segi orang-orang yang ikut demonstrasi, motif, isu yang dikembangkan, dan siapa di balik gerakan itu. Namun suatu kenyataan yang seolah mewakili perasaan masyarakat muslim, baik etnis Melayu, Jawa, Batak dan yang lainnya adalah khawatir bila identitas Tanjungbalai sebagai “Kota Kerang” tergantikan sebagai “Kota Cina” mengingat

Page 43: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Potensi Keretakan Hubungan Sosial Muslim-Buddhis Irwansyah

163

mayoritas penduduk kota adalah orang Cina. Kesuksesan etnis Cina dalam berbisnis dan menguasai perekonomian terasa tak mungkin lagi diimbangi oleh penduduk asli yang beragama Islam. Pemilik kapal “Tongkang” hampir semuanya adalah orang Cina, hanya satu orang “Melayu” yang mempunyai kapal “Tongkang”, itupun saat ini hanya tinggal satu buah saja.10

Masyarakat muslim Tanjungbalai kebanyakan adalah orang bermarga, kakek-nenek mereka adalah orang Batak yang masuk Islam, sebutlah Irwansyah Sianipar pengusaha muda yang tinggal di Jl. Veteran, tidak berapa jauh dari Jl. Asahan Gg. Vihara, di mana Vihara Tri Ratna berada, ia mengatakan: dibanding terhadap agama Kristen bahwa kecemburuan terhadap agama Buddha lebih kuat akibat penguasaan orang Cina terhadap perekonomian hampir di segala bidang. Meskipun baru kali ini muncul persoalan—konflik Patung Buddha—antara umat Islam dengan penganut agama Buddha, tetapi sebenarnya “perasaan tidak senang dengan orang Cina” sudah terpendam sejak lama. Sementara itu penganut agama Kristen yang notabene orang Batak hubungan mereka dekat dengan masyarakat muslim di Tanjungbalai.11

Isu teologis yang dikembangkan bahwa sebagian masyarakat Desa Sei Nangka dan masyarakat Desa Jawi-Jawi yang berada di seberang Sungai Asahan yang apabila shalat menghadap Vihara Tri Ratna dan Patung Buddha, adalah benar-benar menjadi “isu”. Karena sepanjang penelitian ini dilakukan, masyarakat Pangkal Tembok dan Desa Jawi-Jawi sama sekali tidak begitu peduli dengan keberadaan Patung Buddha, apalagi dihubungkan dengan arah kiblat mereka. Karena posisi Vihara Tri Ratna tidak tepat di arah kiblat mereka. Di Desa Sei

Nangka ada sebuah masjid yang posisinya bila ditarik garis lurus dari Barat ke Timur hampir tepat di depan Vihara, akan tetapi kiblat masjid bila di tarik garis lurusnya menghadap muara Sungai Silau tempat di mana pembangunan “masjid terapung” direncanakan. Demikian juga isu bahwa masyarakat Desa Sei Nangka yang turun berdemonstrasi adalah juga tidak benar. Walhasil kelompok Gerakan Islam Bersatu (GIB) sepertinya “tanpa wujud” dalam masyarakat.12 Para demonstran bukan penduduk Sei Nangka sebagaimana diberitakan—mereka memang merencanakan tetapi tidak pernah terjadi. Sekarang pun tidak lagi menjadi masalah mengenai “shalat menghadap arah Patung”, karena kiblat sudah bergeser agak lebih miring ke arah barat laut, bukan ke barat. Posisi Patung tepat di arah barat bagi penduduk kampung Sei Nangka, akan tetapi bagi penduduk kampung Jawi-Jawi memang ketika shalat tepat menghadap posisi di mana Patung Buddha berdiri tegak dan tinggi terlihat dari seberang sungai yang dihadapi oleh Patung Buddha itu.13

c) Fanatisme dan Simbolisme. Semangat keislaman terkait doktrin bahwa Islam merupakan agama terbaik, dan Kota Tanjungbalai bukan kota Buddha tetapi kota umat Islam. Sementara itu tidak jauh dari Vihara Tri Ratna sudah dibangun sebuah gedung “Balai” sebagai simbol kota Tanjungbalai, tetapi kemegahan bangunan balai itu menjadi hilang dengan adanya Vihara Tri Ratna, apalagi dengan patung besar dan tinggi yang berada di atasnya. Namun yang dituntut oleh masyarakat Islam bukanlah pemilik Vihara yang kebetulan sudah meninggal karena kecelakaan, melainkan pemerintah: mengapa mengizinkan hal itu. Setelah shalat Jumat di Masjid Raya umat Islam mendatangi kantor DPR agar memberikan

10 Wawancara dengan Pak Adi, penduduk Desa Pangkal Tembok, tanggal 1 Oktober 2011.11 Wawancara dengan Irwansyah Sianipar, tanggal 1 Oktober 2011.12 Wawancara dengan salah seorang pengurus masjid di Desa Sei. Nangka, tangggal 1 Oktober 2011.13 Wawancara dengan Fitriyani, Bendahara DPRD Tanjungbalai, tanggal 7 Agustus 2011.

Page 44: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 155-168

164

tekanan kepada pemerintah untuk dapat menghimbau supaya patung itu diturunkan.14

Keberadaan Patung Buddha di atas Vihara Tri Ratna membuat Vihara terlihat lebih menonjol dibandingkan Balai yang merupakan monumen Tanjungbalai yang letaknya di timur laut berhadapan dengan Vihara Tri Ratna. Sehingga kapal-kapal yang masuk ke Tanjungbalai terlebih dahulu melihat Vihara Tri Ratna dibandingkan Balai yang merupakan simbol dari Kota Tanjungbalai, hal tersebut membuat masyarakat kesal karena seolah-olah Vihara Tri Ratna telah menjadi simbol Kota Tanjungbalai yaitu sebagai “Kota Cina”.

Peristiwa demonstrasi yang meminta agar “Buddha Rupang” (Patung Buddha Amitabha) yang berada di atas gedung Vihara Tri Ratna, diturunkan, membuat umat Buddha Kota Tanjungbalai merasa tidak nyaman untuk melaksanakan ibadahnya, bahkan merasa terintimidasi. Lebih jauh berkembanglah isu bahwa jika umat Buddha tidak menurunkan Patung Buddha tersebut maka kemungkinan Peristiwa 1998 (penjarahan dan tindakan pelanggaran HAM lainnya yang menimpa Komunitas Cina) akan terulang kembali.

Masyarakat etnis Cina di Kota Tanjungbalai memprotes rencana Pemkot Tanjungbalai untuk menurunkan Patung Buddha dari atas Vihara Tri Ratna. Walikota Tanjungbalai, Sutrisno Hadi mengaku mendapat tekanan dari masyarakat setempat untuk menurunkan Patung Buddha tersebut. Namun, banyak pihak yang mencurigai kebijakan tersebut dilatarbelakangi motif politik.

Bagi penganut agama Buddha, pendirian Walikota Sutrisno menunjukkan gelagat yang mengabaikan agama dan mengancam prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Salah seorang etnis Cina, W. Lie, mengaku kaget mengetahui keputusan tersebut diambil berdasarkan persetujuan ber-sama antara pemerintah dan pemuka agama,

bahkan termasuk kalangan penganut agama Buddha. Lie mengatakan bahwa mengenal perwakilan agama Buddha yang turut dalam kesepakatan bersama tersebut. Dia menilai keterlibatan orang-orang tersebut sama sekali tidak berlandaskan keinginan sendiri. Lie berkata bahwa penatua Vihara Tri Ratna, Suwanto Siama, dikabarkan telah didesak untuk menandatangani kesepakatan menurunkan Patung Buddha karena di bawah tekanan. “Sayangnya, kami tidak berkesempatan untuk menanyakan siapa yang telah mengintimidasi Suwanto, karena sebelumnya dia mendapat kecelakaan karena ditabrak becak dari belakang dan meninggal seminggu kemudian,” ujar Lie. Lie menambahkan bahwa masyarakat Cina sama sekali tidak menyetujui keputusan tersebut, meskipun surat kesepakatan bersama tersebut telah ditandatangani semua pihak, termasuk dari kaumnya. Dikatakannya, upaya menurunkan patung tersebut melukai perasaan para pemeluk agama Buddha. “Kami tidak akan menurunkan patung tersebut. Kami tidak berani, karena ini menyangkut kepercayaan kami. Bila pihak pemko ingin menurunkannya, mereka bisa saja melakukannya, karena kami tidak berdaya menghadapi pemerintah karena masyarakat Cina yang merupakan penganut agama Buddha di Tanjungbalai khawatir menimbulkan provokasi karena menentang keputusan tersebut,” kata Lie.

Koordinator Aliansi Sumut Bersatu, Veryanto Sitohang menyatakan:

Kejadian ini menunjukkan bahwa negara dalam hal ini Pemerintah Kota Tanjungbalai telah kalah terhadap tekanan dari sekelompok kecil masyarakat yang ingin memaksakan kehendaknya dan tidak menghormati keberagaman yang ada di Indonesia, khususnya di Tanjungbalai. Pada akhirnya ini akan mencoreng wajah Kota Tanjungbalai, bahkan Indonesia di mata internasional yang selama ini mengakui keberagaman suku, agama, budaya, dan adat-istiadat sebagai modal dasar yang menyatukan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Aksi-aksi protes yang dilakukan oleh masyarakat Muslim tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai pihak sehingga mendorong pemerintah dan organisasi keagamaan melakukan berbagai langkah yang ditandai dengan berbagai surat untuk menyikapi persoalan tersebut.

Beberapa surat yang berhasil didokumentasikan ialah:

Tanggal 3 Juni 2010, surat dari FKUB (Forum 1. Kerukunan Umat Beragama) Sumut No. 60. 0-1/FKUB-I/VI/2010 perihal himbauan kepada FKUB Tanjungbalai dan masyarakat agar proaktif menangani kasus penurunan Patung Buddha Amitabha dan mengajak masyarakat menjaga situasi tetap kondusif, tidak melakukan tindakan anarkis dan menjaga perdamaian.

Tanggal 8 Juni 2010, surat dari Kementerian 2. Agama Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Agama Buddha dengan No. DJ. VI/3/BA.02/604/2010 yang ditujukan kepada Ketua Vihara Tri Ratna Kota Tanjungbalai. Inti dari surat tersebut adalah meminta supaya Patung Buddha Amitabha dipindahkan ke pelataran atau tempat lain yang terhormat.

Tanggal 12 Juni 2010, surat dari Yayasan Vihara 3. Tri Ratna Tanjungbalai dengan No. 05/YVTR-VI/2010 yang ditujukan kepada Menteri Agama Dirjen Bimas Agama Buddha. Surat tersebut menanggapi surat Menteri Agama dimana Yayasan Vihara Tri Ratna menyasalkan surat Menteri Agama yang meminta mereka untuk menurunkan Patung Buddha. Sehubungan dengan hal tersebut, Yayasan Vihara Tri Ratna meminta Menteri Agama meninjau ulang surat tersebut karena Patung Buddha merupakan satu kesatuan dengan Vihara dan selama ini tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.

Tanggal 16 Juni 2010, surat dari Pengurus 4. Daerah Majelis Buddhayana Indonesia dengan No. 085/MDI-Sumut/VI/2010 yang ditujukan kepada Dirjen BIMAS Umat Buddha Kementerian Agama. Surat tersebut

sangat menyayangkan surat Dirjen Bimas Kementerian Agama yang tidak mendengar pendapat berbagai pihak khususnya umat Buddha di Kota Tanjungbalai.

Tanggal 18 Juni 2010, surat dari Walikota 5. Tanjungbalai yang ditujukan kepada Pengurus Vihara Tri Ratna Kota Tanjungbalai. Surat tersebut menindaklanjuti surat Kementerian Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Nomor: DJ. VI/3/BA.02/604/2010 tanggal 8 Juni 2010 perihal pemberitahuan agar dapat memindahkan posisi Patung Buddha Amitabha ke pelataran Vihara Tri Ratna atau ke tempat lain yang terhormat yang ditujukan kepada Pengurus Vihara Tri Ratna untuk dapat merespons isi surat secara bijaksana demi kepentingan kerukunan umat beragama di Kota Tanjungbalai.

Tanggal 23 Juni 2010 surat dari Kementerian 6. Agama RI Dirjen Bimas Agama Buddha yang ditujukan kepada ketua Vihara Tri Ratna dan yang ditujukan kepada Kakanwil Kementerian Agama Provinsi Sumut perihal mohon bantuan penyelesaian masalah Patung Buddha Vihara Tri Ratna agar dilakukan secara kekeluargaan.

Tanggal 28 Juni 2010, surat dari Gerakan 7. Islam Bersatu (GIB) yang ditujukan kepada Ketua DPRD Tanjungbalai dengan No. 014/GIB-TB/VI/2010, perihal membahas sejauh mana perkembangan mengenai tindak lanjut permasalahan Patung Buddha yang mana telah diketahui adanya surat yang telah dikeluarkan oleh Dirjen Bimas Buddha.

Tanggal 15 Juli 2010, surat dari MUI Kota 8. Tanjungbalai, ditujukan kepada Walikota Tanjungbalai dengan No. 010/DP.11/S/VII/2010 perihal saran dan himbauan sehubungan dengan adanya keresahan masyarakat Tanjungbalai yang ditandai dengan adanya unjuk rasa elemen-elemen masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Islam Bersatu ke kantor DPRD Tanjungbalai 14 Wawancara dengan salah seorang Cina Muslim yang bekerja di sebuah toko Cina Budhis di Jl. Gereja kota Tanjung-

balai, tanggal 7 Agustus 2011.

Page 45: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Potensi Keretakan Hubungan Sosial Muslim-Buddhis Irwansyah

165

tekanan kepada pemerintah untuk dapat menghimbau supaya patung itu diturunkan.14

Keberadaan Patung Buddha di atas Vihara Tri Ratna membuat Vihara terlihat lebih menonjol dibandingkan Balai yang merupakan monumen Tanjungbalai yang letaknya di timur laut berhadapan dengan Vihara Tri Ratna. Sehingga kapal-kapal yang masuk ke Tanjungbalai terlebih dahulu melihat Vihara Tri Ratna dibandingkan Balai yang merupakan simbol dari Kota Tanjungbalai, hal tersebut membuat masyarakat kesal karena seolah-olah Vihara Tri Ratna telah menjadi simbol Kota Tanjungbalai yaitu sebagai “Kota Cina”.

Peristiwa demonstrasi yang meminta agar “Buddha Rupang” (Patung Buddha Amitabha) yang berada di atas gedung Vihara Tri Ratna, diturunkan, membuat umat Buddha Kota Tanjungbalai merasa tidak nyaman untuk melaksanakan ibadahnya, bahkan merasa terintimidasi. Lebih jauh berkembanglah isu bahwa jika umat Buddha tidak menurunkan Patung Buddha tersebut maka kemungkinan Peristiwa 1998 (penjarahan dan tindakan pelanggaran HAM lainnya yang menimpa Komunitas Cina) akan terulang kembali.

Masyarakat etnis Cina di Kota Tanjungbalai memprotes rencana Pemkot Tanjungbalai untuk menurunkan Patung Buddha dari atas Vihara Tri Ratna. Walikota Tanjungbalai, Sutrisno Hadi mengaku mendapat tekanan dari masyarakat setempat untuk menurunkan Patung Buddha tersebut. Namun, banyak pihak yang mencurigai kebijakan tersebut dilatarbelakangi motif politik.

Bagi penganut agama Buddha, pendirian Walikota Sutrisno menunjukkan gelagat yang mengabaikan agama dan mengancam prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Salah seorang etnis Cina, W. Lie, mengaku kaget mengetahui keputusan tersebut diambil berdasarkan persetujuan ber-sama antara pemerintah dan pemuka agama,

bahkan termasuk kalangan penganut agama Buddha. Lie mengatakan bahwa mengenal perwakilan agama Buddha yang turut dalam kesepakatan bersama tersebut. Dia menilai keterlibatan orang-orang tersebut sama sekali tidak berlandaskan keinginan sendiri. Lie berkata bahwa penatua Vihara Tri Ratna, Suwanto Siama, dikabarkan telah didesak untuk menandatangani kesepakatan menurunkan Patung Buddha karena di bawah tekanan. “Sayangnya, kami tidak berkesempatan untuk menanyakan siapa yang telah mengintimidasi Suwanto, karena sebelumnya dia mendapat kecelakaan karena ditabrak becak dari belakang dan meninggal seminggu kemudian,” ujar Lie. Lie menambahkan bahwa masyarakat Cina sama sekali tidak menyetujui keputusan tersebut, meskipun surat kesepakatan bersama tersebut telah ditandatangani semua pihak, termasuk dari kaumnya. Dikatakannya, upaya menurunkan patung tersebut melukai perasaan para pemeluk agama Buddha. “Kami tidak akan menurunkan patung tersebut. Kami tidak berani, karena ini menyangkut kepercayaan kami. Bila pihak pemko ingin menurunkannya, mereka bisa saja melakukannya, karena kami tidak berdaya menghadapi pemerintah karena masyarakat Cina yang merupakan penganut agama Buddha di Tanjungbalai khawatir menimbulkan provokasi karena menentang keputusan tersebut,” kata Lie.

Koordinator Aliansi Sumut Bersatu, Veryanto Sitohang menyatakan:

Kejadian ini menunjukkan bahwa negara dalam hal ini Pemerintah Kota Tanjungbalai telah kalah terhadap tekanan dari sekelompok kecil masyarakat yang ingin memaksakan kehendaknya dan tidak menghormati keberagaman yang ada di Indonesia, khususnya di Tanjungbalai. Pada akhirnya ini akan mencoreng wajah Kota Tanjungbalai, bahkan Indonesia di mata internasional yang selama ini mengakui keberagaman suku, agama, budaya, dan adat-istiadat sebagai modal dasar yang menyatukan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Aksi-aksi protes yang dilakukan oleh masyarakat Muslim tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai pihak sehingga mendorong pemerintah dan organisasi keagamaan melakukan berbagai langkah yang ditandai dengan berbagai surat untuk menyikapi persoalan tersebut.

Beberapa surat yang berhasil didokumentasikan ialah:

Tanggal 3 Juni 2010, surat dari FKUB (Forum 1. Kerukunan Umat Beragama) Sumut No. 60. 0-1/FKUB-I/VI/2010 perihal himbauan kepada FKUB Tanjungbalai dan masyarakat agar proaktif menangani kasus penurunan Patung Buddha Amitabha dan mengajak masyarakat menjaga situasi tetap kondusif, tidak melakukan tindakan anarkis dan menjaga perdamaian.

Tanggal 8 Juni 2010, surat dari Kementerian 2. Agama Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Agama Buddha dengan No. DJ. VI/3/BA.02/604/2010 yang ditujukan kepada Ketua Vihara Tri Ratna Kota Tanjungbalai. Inti dari surat tersebut adalah meminta supaya Patung Buddha Amitabha dipindahkan ke pelataran atau tempat lain yang terhormat.

Tanggal 12 Juni 2010, surat dari Yayasan Vihara 3. Tri Ratna Tanjungbalai dengan No. 05/YVTR-VI/2010 yang ditujukan kepada Menteri Agama Dirjen Bimas Agama Buddha. Surat tersebut menanggapi surat Menteri Agama dimana Yayasan Vihara Tri Ratna menyasalkan surat Menteri Agama yang meminta mereka untuk menurunkan Patung Buddha. Sehubungan dengan hal tersebut, Yayasan Vihara Tri Ratna meminta Menteri Agama meninjau ulang surat tersebut karena Patung Buddha merupakan satu kesatuan dengan Vihara dan selama ini tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.

Tanggal 16 Juni 2010, surat dari Pengurus 4. Daerah Majelis Buddhayana Indonesia dengan No. 085/MDI-Sumut/VI/2010 yang ditujukan kepada Dirjen BIMAS Umat Buddha Kementerian Agama. Surat tersebut

sangat menyayangkan surat Dirjen Bimas Kementerian Agama yang tidak mendengar pendapat berbagai pihak khususnya umat Buddha di Kota Tanjungbalai.

Tanggal 18 Juni 2010, surat dari Walikota 5. Tanjungbalai yang ditujukan kepada Pengurus Vihara Tri Ratna Kota Tanjungbalai. Surat tersebut menindaklanjuti surat Kementerian Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Nomor: DJ. VI/3/BA.02/604/2010 tanggal 8 Juni 2010 perihal pemberitahuan agar dapat memindahkan posisi Patung Buddha Amitabha ke pelataran Vihara Tri Ratna atau ke tempat lain yang terhormat yang ditujukan kepada Pengurus Vihara Tri Ratna untuk dapat merespons isi surat secara bijaksana demi kepentingan kerukunan umat beragama di Kota Tanjungbalai.

Tanggal 23 Juni 2010 surat dari Kementerian 6. Agama RI Dirjen Bimas Agama Buddha yang ditujukan kepada ketua Vihara Tri Ratna dan yang ditujukan kepada Kakanwil Kementerian Agama Provinsi Sumut perihal mohon bantuan penyelesaian masalah Patung Buddha Vihara Tri Ratna agar dilakukan secara kekeluargaan.

Tanggal 28 Juni 2010, surat dari Gerakan 7. Islam Bersatu (GIB) yang ditujukan kepada Ketua DPRD Tanjungbalai dengan No. 014/GIB-TB/VI/2010, perihal membahas sejauh mana perkembangan mengenai tindak lanjut permasalahan Patung Buddha yang mana telah diketahui adanya surat yang telah dikeluarkan oleh Dirjen Bimas Buddha.

Tanggal 15 Juli 2010, surat dari MUI Kota 8. Tanjungbalai, ditujukan kepada Walikota Tanjungbalai dengan No. 010/DP.11/S/VII/2010 perihal saran dan himbauan sehubungan dengan adanya keresahan masyarakat Tanjungbalai yang ditandai dengan adanya unjuk rasa elemen-elemen masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Islam Bersatu ke kantor DPRD Tanjungbalai 14 Wawancara dengan salah seorang Cina Muslim yang bekerja di sebuah toko Cina Budhis di Jl. Gereja kota Tanjung-

balai, tanggal 7 Agustus 2011.

Page 46: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 155-168

166

pada tanggal 30 Mei 2010 dan 29 Juni 2010 yang keberatan terhadap letak Patung Buddha Amitabha yang berada di atas lantai 4 Vihara Tri Ratna di Jl. Asahan Kota Tanjungbalai. MUI juga menyesalkan surat Dirjen Bimas Agama Buddha Kementerian Agama yang meminta mencabut surat sebelumnya karena menggangu keharmonisan masyarakat.

Tanggal 30 September 2010, surat Walikota 9. Tanjungbalai yang ditujukan kepada Wakil Ketua DPRD, Kepala Kejaksaan, Kapolres, Dandim 0208 Asahan, Kakan Kementerian Agama Tanjungbalai, Ketua FKUB Kota Tanjungbalai, Ketua MUI dan Ketua Yayasan Vihara Tri Ratna No. 100/18348/T-an/2010 perihal penyampaian kesepakatan bersama penyelesaian permasalahan Patung Buddha Amitabha.

Sehubungan dengan hal tersebut Walikota 10. telah memprakarsai penandatanganan kesepakatan bersama pada tanggal 3 Agustus 2010 sebagai bagian dari tindak lanjut rapat koordinasi antara unsur Muspida Plus Walikota Tanjungbalai dengan Komisi A DPRD Kota Tanjungbalai dan Gerakan Islam Bersatu pada hari Rabu 28 Juli 2010, Rapat Walikota dengan Pengurus Yayasan Vihara Tri Ratna Senin, 2 Agustus 2010 yang menyatakan memindahkan posisi Patung Buddha ke tempat lain yang terhormat tanpa mengurangi kehormatan yang dilakukan oleh Pengurus Vihara. Kesepakatan ini dibuat tanggal 3 Agustus 2010.

Tanggal 30 September 2010 surat dari 11. Walikota Tanjungbalai yang ditujukan kepada Ketua Yayasan Vihara Tri Ratna dengan No. 100/18349/T-an/2010 perihal tindak lanjut kesepakatan bersama dan mempertanyakan mengapa pihak Yayasan Vihara Tri Ratna belum menurunkan Patung Buddha. Walikota juga mengingatkan agar

Pengurus Yayasan Vihara Tri Ratna sesegera mungkin menurunkan Patung Buddha Amitabha sebagaimana disepakati dalam surat kesepakatan bersama.

Tanggal 23 Februari 2011, surat dari Walikota 12. Tanjungbalai yang ditujukan kepada Ketua Yayasan Vihara Tri Ratna Kota Tanjungbalai, menindaklanjuti surat Walikota Tanjungbalai No 100/18349/Pem-an/2010 tanggal 30 September 2010 perihal Tindak Lanjut Kesepakatan Bersama Penyelesaian Permasalahan Patung Buddha Amitabha yang pada intinya agar pihak yayasan Vihara Tri Ratna Kota Tanjungbalai melakukan pemindahan posisi Patung Buddha Amitabha yang terletak di atas Vihara Tri Ratna Kota Tanjungbalai ke tempat yang terhormat. Berdasarkan pengamatan di lapangan hingga saat ini pihak Yayasan Vihara Tri Ratna belum melaksanakan isi Kesepakatan Bersama tersebut.

Selain surat-surat tersebut, untuk meredam konflik yang terjadi dikarenakan berdirinya Patung Buddha di atas Vihara Tri Ratna beredarlah isu bahwa akan didirikan sebuah masjid terapung di muara Sungai Silau yang bertemu dengan Sungai Asahan. Posisi masjid terapung akan berada di antara Gereja yang terletak di S. Dengki dan Vihara Tri Ratna. Rencananya masjid terapung dibangun sangat megah untuk menghibur hati umat Islam agar tidak keberatan terhadap Patung Buddha di Vihara Tri Ratna dan Kota Tanjungbalai akan dibuat menjadi Kota Wisata Religius, yaitu kota wisata dengan tempat-tempat ibadah yang megah dari berbagai agama di Indonesia.

Sampai saat ini belum bisa dipastikan tentang kebenaran isu ini, akan tetapi isu ini diharapkan mampu meredam konflik antarumat beragama sehingga dapat menciptakan keharmonisan serta kerukunan antarumat beragama di Kota Tanjungbalai.15

15 Menurut salah seorang informan yang bekerja di Kantor DPRD, yang tidak mau disebut namanya, bahwa anggaran un-tuk membangun masjid terapung di muara sungai Silau, sudah masuk ke DPRD Tanjungbalai dan direncanakan untuk tahun anggaran 2012; wawancara tanggal 13 Nopember 2011.

Page 47: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Potensi Keretakan Hubungan Sosial Muslim-Buddhis Irwansyah

167

Akan tetapi sebagian masyarakat Melayu muslim yang berada di sekitar Vihara Tri Ratna, berkomentar bahwa pembangunan masjid “terapung” dengan kapasitas 10.000 jama’ah bukanlah solusi, apalagi kalau biaya pembangunannya berasal dari pemerintah; karena hal itu dianggap pemborosan, dan sebagai umat Islam mereka tidaklah nyaman ada masjid besar, tapi tidak efisiensi dalam hal fungsinya.16

PenuTuP

Persepsi bahwa Buddhis sama dengan Cina ini justru dapat dijadikan sesuatu yang dapat disebut sebagai “potensi” keretakan hubungan sosial Muslim-Buddhis di Tanjungbalai. Ketidakpahaman masyarakat muslim memisahkan etnisitas dengan religiositas adalah satu masalah, di samping justru pemanfaatan ketidakpahaman masyarakat oleh kelompok tertentu demi kepentingan politik tetapi isu teologis yang dikedepankan, atau pola keberagamaan yang fanatik dan simbolik, adalah puncak masalah yang dapat menjadikan hubungan sosial Muslim-Buddhis bukan hanya “retak” tetapi mungkin “pecah”.

Stereotip mempersamakan Cina dengan Buddhis dalam masyarakat “Melayu” seperti “gayung bersambut” dengan perasaan masyarakat Cina yang juga merasa “tersinggung” terhadap sikap kaum muslim yang ingin menurunkan Patung Buddha Amitabha yang berada di puncak gedung Vihara Tri Ratna, walaupun “mereka” tidak pernah beribadah di Vihara tetapi di Kelenteng Dwi Samudra (Khonghucu).

Kearifan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga kerukunan, kelompok masyarakat dan bahkan masyarakat Tanjungbalai pada umumnya, telah berhasil meredam konflik “Patung Buddha” dengan berbagai proses yang telah ditempuh, intinya sampai saat ini “Buddha Rupang” yang berdiri megah di atas Vihara Tri Ratna, menghadap Sungai Asahan dan beberapa

perkampungan muslim yang berada di seberang sungai belum diturunkan sebagaimana harapan sekelompok muslim yang mengatasnamakan “Gerakan Islam Bersatu” (GIB). Salah satu “obat penenang” yang diberikan adalah “harapan” akan dibangunnya sebuah masjid berkapasitas 10.000 jama’ah di Muara Sungai Silau yang disebut sebagai “Masjid Terapung”, sebagai ganti simbol kemegahan pengganti “Balai” yang kini “terkalahkan” dengan kemegahan Vihara Tri Ratna dengan “Buddha Rupang” di atasnya. Intinya adalah “kecemburuan” dan “keberhalaan”, keduanya adalah penyebab keretakan, mungkin secara teoritis, bukan hanya antara Muslim dan Buddhis, dan menjadi penyebab rusaknya hubungan antarumat beragama, tetapi runtuhnya persaudaraan dan kemanusiaan.

dafTar PusTaKa

Armstrong, Karen. 2000. The Battle for God. New York: Alfred A. Knopf.

Armstrong, Karen. 2001. Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World. New York: Anchor Books.

Assegaf, Arifin. 2005. “Memahami Sumber Konflik Antar Iman”. Dalam Pluralisme Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Th. Sumartana (ed). Yogyakarta: Institute DIAN.

Dokumen, Peresmian Penggunaan Vihara Tri Ratna yang Telah Selesai Dibangun Kembali.

Dokumentasi, Surat-Surat yang Masuk ke DPRD Kota Madya Tanjungbalai, tentang Patung Buddha di Vihara Tri Ratna.

Goddard, Hugh. 2005. “Enam Dimensi Hubungan Kristen-Islam”. Dalam Harmoni Kehidupan Beragama: Problem, Praktik, dan Pendidikan. Alif Theria Wasim, dkk (ed). Yogyakarta: Oasis Publisher.

16 Wawancara dengan Irwansyah, seorang pengusaha muda yang tinggal di sekitar Vihara Tri Ratna, tanggal 16 Oktober 2011.

Page 48: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 155-168

168

___. 2013. Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen: Titik Temu dan Titik Seteru Dua Komunitas Agama Terbesar di Dunia. Terjemahan: Zaimuddin dan Zaimul Am. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.

Irwansyah. 2004. “Perkembangan Pemikiran Tentang Konsep Kerukunan Hidup Umat Beragama: Suatu Analisis”. Dalam Konsep Kerukunan Hidup Umat Beragama: Kumpulan Karya dalam Konteks Pluralitas Agama dan Budaya. H. M. Ridwan Lubis, dkk (ed). Jakarta: Citapustaka Media.

Kahmad, Dadang. 2006. Sosiologi Agama, cet IV. Bandung: Remadja Rosdakarya.

Kung, Hans. 1991. Global Responsibility In Search of a New World Ethic. New York: Crossroad Publishing Company.

Lubis, M. Ridwan (ed). 2005. Menelusuri Kearifan Lokal di Bumi Nusantara (Catatan Perjalanan dan Hasil Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural Antrara Pemuka Agama Pusat dan Daerah Tahun 2005). Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Beragama, Depag. RI.

Magnis-Suseno, Franz SJ. 2005. “Kerukunan Beragama dalam Keragaman Agama”. Dalam Harmoni Kehidupan Beragama: Problem, Praktik, dan Pendidikan. Alif Theria Wasim, dkk (ed). Yogyakarta: Oasis Publisher.

Moleong, J. Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Rosdakarya.

Mortimer, Edward. 1991. Christianity and Islam dalam International Affairs (Royal Institute of International Affairs-1994), Vol. 67, No. 1 January.

Muhadjir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gramedia.

Muhammad, Afif. 1997. “Kerukunan Beragama pada Era Globalisasi”. Tulisan pada Diesnatalis IAIN Sunan Gunung Djati Bandung ke-29, tanggal 9 April. Bandung: t.p.

Rae, Paul. T.t. “Cristian-Muslim Relation”. Dalam Compass: A Rivew of Topical Theolgy, Vol. 36 No. 1.

Reslawati, Minoritas di Tengah Mayoritas: Interaksi Sosial Katolik dan Islam di Kota Palembang. http://www.lipipress.com/komunika-majalah-ilmiah-populer-komunikasi-dalam-pembangunan

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2007. Teori Sosiologi Modern. Alih bahasa oleh Alimandan. Jakarta: Kencana.

Robert K. 2002. Yin, Studi Kasus: Desain dan Metode, terj. M. Djauzi Mudzakir Jakarta: Rajawali Pers.

Tomagola, Tamrin Amal. 2003. Anatomi Konflik Komunal di Indonesia: Kasus Maluku, Poso, dan Kalimantan (1998-2002)”, dalam Moh. Soleh Isre, Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Kehidupan Kehidupan Beragama, Depag RI.

Page 49: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Gerakan Fundamentalisme dalam Konteks Pluralitas KampusFlavius Floris Andries

169

GERAKAN FUNDAMENTALISME DALAM KONTEKS PLURALITAS KAMPUS

(Studi Kasus Kelompok Mahasiswa Kristen Pascasarjana Universitas Gadjah Mada)

Fundamentalism in Plural Campus (The Study of Christians Students in the Post Graduate Program Gadjah Mada University)

AbstrAct The fundamentalism movement is getting increase and has considerable influence in the academic circumstance. This research aimed to understand how to reconstruct an ideas about religion and how its implementation in the religious movement on the campus. This qualitative research with in-depth interview techniques, and participant observation was found that the religious movements from KMK community of UGM Post Graduate has strong fundamentalism character and traits with following indicators: more oriented to the increase of exclusively religious spiritual values growth from the growth of academic intellectual values that able to compete in the mid of Science and Technology (IPTEK) development rate. The other things found in this research were not sufficient discourse on the implementation of theological values in the community. The religious teachings internalization process is using an indoctrination approach, so, the hermeneutic principles which the basis of the Bible interpretation process is ignored and finally the interpretation result were literal and fatal. On the other part there is PERKANTAS fundamentalism ideology influence that rooted in understanding the Bible literally affected the discourses in KMK community that eventually the religious understanding and movement has fundamental character.

Keywords: Christian Post Gaduate Student Community, Religion, Hermeneutic, Fundamentalism

AbstrAk

Gerakan fundamentalisme semakin berkembang dan memiliki pengaruh yang cukup besar di dunia kampus. Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana rekonstruksi ide tentang agama serta implementasinya dalam gerakan keagamaan di kampus. Penelitian kualitatif dengan teknik wawancara mendalam dan pengamatan terlibat ini menemukan bahwa gerakan keagamaan KMK Pascarjana UGM memiliki ciri dan karakter fundamentalisme yang kuat dengan indikator: lebih berorientasi pada peningkatan serta pertumbuhan nilai spiritual keagamaan yang eksklusif daripada pertumbuhan nilai-nilai intelektual akademik yang mampu berkompetisi di tengah lajunya perkembangan IPTEK. Temuan lain penelitian ini adalah tidak ada diskursus yang memadai dalam penerapan nilai-nilai teologi dalam komunitas tersebut. Proses internalisasi ajaran keagamaan menggunakan pendekatan indoktrinasi, sehingga prinsip-prinsip hermeneutik yang menjadi dasar dari proses interpretasi bible diabaikan, akhirnya hasil interpretasi bersifat literal dan fatal. Pada bagian lain terdapat pengaruh ideologi fundamentalisme PERKANTAS yang bersumber pada pemahaman Alkitab secara literal mempengaruhi wacana dan diskursus dalam KMK yang akhirnya pemahaman dan gerakan keagaman bersifat fundamental.

Kata kunci: KMK Pascasarjana UGM, Agama, Hermeneutika, Fundamentalisme

FLAVIUs FLOrIs ANdrIEs

FLAVIUs FLOrIs ANdrIEs STAKPN Ambon

Jl. Dolog, Halong Atas, Kota Ambon Telp. 0911-330553 Fax. 0911-

330553 e-mail: [email protected]

Naskah diterima: 31 Mei 2013Naskah direvisi: 29 Juli-14 Agustus

2013Naskah disetujui: 19 September

2013

Page 50: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 169-180

170

Pendahuluan Gerakan fundamentalisme agama adalah

fenomena gerakan sosial kegamaan yang mengalami revivalisme pada era pasca Reformasi. Gerakan ini hampir ada di semua agama-agama, serta kelompok masyarakat termasuk dunia kampus. Universitas Gadjah Mada sebagai kampus sekuler, nasionalis, ternyata di dalamnya terdapat organisasi-organisasi yang substansi gerakannya lebih mengarah pada pertumbuhan spiritual (fundamentalis) daripada pertumbuhan intelektual akademik mahasiswa yang berkompetisi secara sehat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekonologi. Fenomena ini memperkuat gagasan Karl Marx mengenai agama sebagai opium (candu) masyarakat. Betapa kuatnya candu pengaruh agama melalui gerakan fundamentalisme agama sehingga mahasiswa lupa akan eksistensi kehadirannya di kampus yang diperhadapkan dengan wacana akademik, seakan-akan mereka lupa sehingga wacana keagamaan yang mengarah pada penguatan doktrin teologis yang eksklusif menjadi hal substansi dari kehadiran mereka dalam bentuk organisasi.

Fenomena kebangkitan gerakan fundamen-talisme agama di dunia kampus tidak saja pada kelompok-kelompok Islam yang menggunakan simbol-simbol keagamaan seperti jilbab bagi wanita, dan pria yang menggunakan baju koko (Flavius, 2012b: 138.) Namun gerakan fundamentalisme keagamaan juga menjadi trend bagi mahasiswa Kristen Pascasarjana UGM yang bargabung dalam organisasi Kelompok Maha-siswa Kristen (KMK) Pascasarjana UGM. Mereka adalah kumpulan mahasiswa pascasarjana yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia (Ambon, Kupang, Kalteng, Papua, Batak Menado dan lain-lain). Mahasiswa-mahasiswa ini berasal dari berbagai disiplin ilmu, oleh sebab itu jika

mereka serius untuk membicarakan berbagai fenomena sosial yang melanda bangsa dengan menggunakan perspektif keilmuan masing-masing, maka sebenarnya komunitas ini sangat kaya dalam khazanah intelektual.

Jika dilihat ke belakang sejak tahun 2007 hingga 2009 komunitas ini sangat aktif dalam diskusi-diskusi yang tidak saja fokus pada persoalan teologi. Walaupun banyak dari mereka yang juga memiliki latar belakang pendidikan teologi, tetapi kecenderungan mahasiswa pascasarjana pada saat itu lebih terfokus untuk mendiskusikan persoalan sosial kemasyarakatan lintas disiplin ilmu. Wacana-wacana sosial kemasyarakatan selalu menjadi topik diskusi secara internal organisasi serta terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial-budaya secara eksternal.1 Fenomena ini berubah sejak akhir tahun 2009 ketika aktifitas ritual KMK melibatkan orang-orang yang berasal dari Persekutuan Kristen Antar Universitas (PERKANTAS) dan kelompok fundamentalisme lainnya serta posisi-posisi struktural organisasi ditempati mereka.

Komunitas KMK Pascasarjana UGM lebih termotivasi pada aspek ritual formal keagamaan dengan pendekatan teologi fundamentalis, sehingga mahasiwa terkesan terhipnotis pada suasana ritualistik dan lupa pada realitas kemahasiswaan yang setiap hari berjumpa dengan beban kuliah, persoalan administrasi kampus seperti Academic English Proficiency Test (AcEPT) dan Tes Potensi Akademik (TPA) yang merupakan momok menakutkan bagi mahasiswa. Mahasiswa yang tergabung di KMK walaupun berhadapan dengan perkuliahan yang berat, nilai yang tidak memuaskan hasil AcEPT dan TPA yang belum mencapai target, walaupun mungkin ada rasa kecewa namun hal itu bisa ditutupi dengan atmosfir KMK yang hiruk-

1 KMK Pascasarjana UGM pernah terlibat dalam acara diskusi dan pagelaran budaya yang diadakan oleh Pusat Studi Asia Pasifik, demikian juga berkontribusi melalui paduan suaranya KMK Pascasarjana pada malam pagelaran seni dan budaya yang diadakan atas kerjasama Sekolah Pascasarjana dengan Kementerian Infokom, tahun 2009. Di sini menunjukkan bahwa KMK Pascasarjana UGM pada saat itu tidak hanya berorientasi pada spirit teologis-dogmatis, tetapi pengembangan teologi yang berwawasan IPTEK sesuai dengan konteks dan realitasnya.

Page 51: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Gerakan Fundamentalisme dalam Konteks Pluralitas KampusFlavius Floris Andries

171

pikuk dengan lagu-lagu rohani yang bergema menghipnotis mahasiswa sehingga lupa pada persoalan tersebut.

Fenomena ini mengingatkan pada pendapat Karl Marx yang mengatakan agama sebagai opium. Agama adalah racun yang mampu membunuh rasa putus asa, kecewa para pengikutnya diganti suasana fantasi (Marx, 1996: 14). Keterlibatan peneliti bersama dengan komunitas tersebut pasca tahun 2009, menunjukkan tidak ada diskusi yang terkait dengan isu sosial kemasyarakatan baik lingkungan internal KMK, Kampus UGM, maupun masyarakat, apalagi pada persoalan-persoalan politik yang melanda bangsa ini. Hal ini berbeda dengan gerakan mahasiswa di Kampus UIN Sunan Kalijaga (Flavius, 2012b). Mahasiswa UIN Kalijaga sangat peka dan tanggap pada situasi nasional bangsa sehingga momen-momen ritual keagamaan seperti dalam khotbah Jumat selalu dikaitkan dengan persoalan politik, tetapi memberikan pencerahan kepada umat tentang fenomena sosial politik kemasyarakatan yang terjadi saat ini. Padahal komunitas KMK Pascasarjana UGM yang terdiri dari mahasiswa level magister dan doktor, mereka cenderung membahas persoalan teologis-dogmatis yang normatif-relijius daripada membahas isu sosial-politik kemasyarakatan, ataupun TPA dan AcEPT sebagai penyakit mahasiswa, sehingga komunitas KMK seakan lupa pada habitus di mana dia berada.

Fenomena eksklusifisme di kalangan mahasiswa pascasarjana UGM yang tergabung dalam komunitas KMK Pascasarjana adalah hal yang memprihatinkan sebagai masyarakat intelektual yang memiliki daya kritis, inovasi dan kreatif dan kaya dengan gagasan-gagasan keilmuan dari berbagai disiplin ilmu yang da-pat digunakan dalam pengembangan diskursus akademik. Hal itu tenggelam dalam atmosfir fundamentalisme keagamaan yang cenderung ak-tif dengan aktifitas ritual daripada pengembangan khazanah intelektual di kalangan mahasiswa pascasarjana. Kampus sebagai aset bangsa dan predikat mahasiswa sebagai kaum intelektual

dengan tingkat kecerdasan yang tinggi, haruslah memiliki watak toleran, terbuka dalam melihat berbagai fenomena sosial kemasyarakatan secara internal maupun eksternal, tetapi KMK Pascasarjana UGM justru terkesan eksklusif dan tidak pluralis dalam memproduksi ide dan gagasan-gagasan konstruktif yang mengarah pada pembangunan masyarakat yang berkarak-ter multikultur. Hal ini menjadi persoalan bagi peneliti dalam mengkaji fenomena gerakan fundamentalisme agama dengan studi kasus gerakan keagamaan KMK Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Dari permasalahan tersebut ada beberapa pertanyaan penelitian, antara lain:

Bagaimana bentuk konsep pemahaman 1. keagamaan dan wacana keagamaan yang dibangun dalam komunitas KMK Pascasarjana UGM?

Bagaimana relevansi konsep keagamaan 2. dalam ritual dan diskursus wacana keagamaan dalam komunitas KMK?

KerangKa Teori

Whitehead berpendapat bahwa sebagaimana segala sesuatu yang lain, agama pun adalah etnisitas yang selalu dalam proses, maka agama dan segala ajarannya tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang mapan tanpa kemungkinan berubah sama sekali. Whitehead (2009: 32-33) sebagai tokoh filsafat proses berpendapat bahwa agama selalu dalam proses menjadi, dan proses menjadi tidak akan pernah selesai. Pemahaman inilah yang membuat Whitehead tidak mendefinisikan agama dalam konteks das sein (religion as it is), melainkan lebih pada agama sebagai das sollen (religion as it should be). Maksud dari pendapat Whitehead tentang agama bukan sebatas agama pada tataran definisi atau konseptual, tetapi agama itu terkait dengan fungsi dan aksi.

John Hick (2006: 57) menyatakan bahwa agama yang benar akan membawa para penganutnya kepada kedewasaan beragama.

Page 52: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 169-180

172

Orang yang dewasa dalam beragama, secara otomatis mencintai kedamaian, solider terhadap orang lain dan anti intoleran. Hick (2007: 610) mengatakan bahwa agama adalah respons manusia terhadap Tuhan maka Hick menunjukkan frase-frase kunci untuk memahami agama secara benar mencakup respons manusia dan Tuhan.

Dalam pandangan Hick tentang agama, ia melihat fenomena pluralitas agama tidak menjadi sebuah persoalan. Pluralitas agama merupakan hal yang wajar dengan mempertimbangkan bahwa manusia memang plural. Konsekuensinya, setiap orang yang merespons pluralitas agama akan terperangkap dalam subjektifitas kebenaran tentang Tuhan yang sangat terkait dengan pengalaman, pengetahuan, dan keterbatasan sang subjek yang merespons (Hick, 2006: 611). Dalam bahasa Hick manusia tidak akan bisa sempurna memahami dan mengenal Tuhan. Bagi Hick realitas Tuhan adalah realitas yang tidak terbatas sehingga manusia terus berupaya untuk mencari realitas ini dalam sejarah kehidupannya. Di sini Hick mengatakan bahwa manusia tidak akan bisa sempurna mengenal Tuhan karena karakter Tuhan yang berbeda dari manusia. Konsekuensinya adalah manusia tidak mampu memahami realitas Tuhan, walaupun dengan menggunakan segala pengetahuan yang bersumber pada pengalaman budaya, sejarah, dan lain-lain. Ini berarti bahwa pengetahuan tentang realitas Tuhan dan klaim kebenaran agama dengan sendirinya tidak bersifat mutlak (absolute). Hal itu hanya bisa dikatakan sah apabila dihubungkan dengan agama yang bersangkutan dan di luar agama itu masih ada klaim kebenaran dengan versi agama lain yang patut dihormati dan diberi tempat yang memadai (Hick, 2007: 615).

Russell (1975) berpendapat bahwa agama sejatinya adalah instrumen bagi manusia untuk mencapai hidup yang tak terbatas. Oleh sebab itu bagi Russell, dogma hanyalah pintu masuk bagi agama-agama untuk memahami hakikat Tuhan. Namun sayangnya dogma seringkali menjerumuskan pemeluk agama-agama dalam kedangkalan hidup di dunia yang terbatas.

Kedangkalan hidup orang beragama dalam dunia yang terbatas dapat dijumpai melalui pemahaman eksklusif, tertutup dan menutup diri dari perjumpaan dengan realitas di luar keberagamaan, dan mengklaim kebenaran secara sepihak, sehingga yang lain dianggap salah.

Pikiran-pikiran yang disampaikan oleh para ahli baik Hick, Whitehead maupun Russell mengandung makna bahwa agama dan orang yang beragama selalu berada dalam posisi yang rentan, tanpa pengaman dan jaminan yang diharapkan datang dari bukti-bukti rasional. Beriman bukanlah pengakuan terhadap kebenaran ajaran-ajaran tertentu, tetapi beriman atau beragama pada hakikatnya adalah berusaha mengalami perjumpaan dengan Tuhan melalui realitas sosial yang ada di sekitarnya. Beragama yang sejati tidak berarti menghayati hakikat beragama hanya dalam batasan kelompok orang dalam satu keyakinan saja, tetapi harus melampaui batas-batas dogmatis dan subjektifitas kebenaran sepihak sehingga menghargai kebenaran lain yang ada di luar kebenaran subjektif itu sendiri.

MeTode PeneliTian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan interpretatif terhadap fenomena gerakan fundamentalisme agama di kalangan KMK Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Data diperoleh melalui wawancara. Observasi dilakukan untuk mengetahui bagaimana praktik keagamaan lewat ritual. Indeepth interview dilakukan untuk mengetahui dan menemukan pemahaman keagamaan dan interpretasi ajaran agama serta implementasi dalam realitas kehidupan sosial di tengah komunitas kampus. Data tersebut kemudian diinterpretasi dan dilakukan analisis kritis.

hasil dan PeMbahasan

Agama dalam Pandangan Komunitas KMK Agama adalah media perjumpaan manusia

dengan Tuhan Sang Pencipta, yang dampaknya dapat dilihat pada relasi manusia dengan sesama. KMK adalah media perjumpaan antara manusia

Page 53: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Gerakan Fundamentalisme dalam Konteks Pluralitas KampusFlavius Floris Andries

173

dan Tuhan.2 Hal ini berarti bahwa perjumpaan manusia dengan Tuhan itu terwujud melalui perjumpaan dengan sesama. Bertolak dari konsep keagamaan yang dijelaskan maka setiap hari Jumat komunitas ini berkumpul dan melakukan aktifitas ritual melalui puji-pujian, berdoa, serta membaca Firman dan mendiskusikannya. Hal ini menjadi suatu hal yang bersifat rutinitas dilakukan setiap minggu, sebagai upaya memahami realitas Tuhan walaupun dalam bahasa Whitehead proses itu tidak pernah final karena selalu dalam proses menjadi dan tidak akan selesai (Whitehead, 2009: 32-33).

Bertolak dari pendapat yang disampaikan oleh salah satu pengurus KMK di atas menujukan bahwa hakikat beragama itu teraktualisasi melalui ritual secara kontinyu yang secara implisit menegaskan bahwa hanya dengan ritual sajalah manusia dapat mengalami perjumpaaan dengan Tuhan. Di sini tergambar bahwa pemahaman tentang agama hanya dititikberatkan atau inti beragama ada pada aspek das sein, sebaliknya aspek das sollen dilihat sebagai implikasi dari hakikat beragama. Oleh sebab itu rutinitas kegamaan dalam bentuk ritual setiap Jumat itu menjadi hal yang fundamental bagi komunitas KMK, daripada fungsi sosial dari agama yang dalam bahasa Whitehead disebut das sollen. Gagasan das sollen dalam konteks KMK dapat diterjemahkan melalui sharing pengetahuan, diskusi ilmiah di kalangan KMK sebagai respons terhadap fenomena sosial kemasyarakatan yang melanda bangsa dan bagaimana kontribusi ilmu pengetahuan dalam menyikapi persoalan tersebut. Menerjemahkan aspek das sollen dalam KMK melalui cara berpikir

kritis, inovatif dan kreatif bukan sebagai upaya mencari solusi tetapi memberikan kesadaran kepada komunitas KMK secara internal maupun eksternal melalui pemetaan masalah dan bagaimana cara dan daya kritis menyikapi hal tersebut. Hal ini yang tidak dijumpai di KMK Pascasarjana UGM, mereka kelihatan kaku dan pasif ketika diajak untuk berpikir kritis terhadap realitas sosial masyarakat.3

Persoalan bagi komunitas beragama tidak sebatas pada seberapa besar efektifitas dan kontinuitas aktifitas ritual, tetapi selebihnya apa yang dapat dilakukan sebagai orang beragama secara praksis melalui tindakan nyata. Dengan meminjam gagasan Whitehead tentang aspek das sollen komunitas KMK Pascasarjana UGM ketika menerjemahkan konsep beragama mereka seharusnya mempertimbangkan identitas mereka yang tidak saja sebagai orang beragama (Kristen), tetapi juga mempertimbangkan identitas mereka sebagai kaum intelektual. Oleh sebab itu ketika berbicara agama dan implikasinya dalam konteks KMK maka atmosfir akademik menjadi bahan pertimbangan bagi mereka untuk melakukan interpretasi terhadap teks keagamaan sekaligus sebagai teks sosial secara komprehensif sesuai disiplin ilmu masing-masing, bukan sebaliknya terjebak dalam paradigma berteologi fundamentalis yang bernuansa karismatik, sehingga melihat agama hanya dalam batasan das sein.

Memahami agama baik dalam konteks das sain maupun das sollen sangat terkait erat dengan pengetahuan seseorang, maupun kelompok

2 Hasil interview dengan pengurus dan mantan pengurus KMK pascasarjana berinisial M dan N, Mei, 2013.3 Hasil interview dengan salah satu mahasiswa program doktoral yang juga berstatus pendeta (Juni, 2003). Ia menyam-

paikan pengalaman saat diundang sebagai pembicara dalam acara ritual KMK, dan diajak diksusi dan berpikir kritis namun tidak mendapat respons yang sesuai dengan idenya sehingga ia mengatakan bahwa KMK terkesan kritis hanya pada ruang kelas dan disiplin ilmu masing-masing, tetapi tidak berani untuk menerjemahkan ilmu dan kekrtisannya di luar tembok ruan-gan kuliah. Hal ini juga pernah disampaikan oleh mantan pengurus KMK berinisial M, bahwa sebenarnya ia juga tidak setuju dengan cara-cara yang berlaku di KMK, namun karena ini terkait dengan keputusan suara mayoritas maka terpaksa harus dii-kuti saja. Hal ini terkait dengan aktivitas KMK yang leboh fokus pada aspek ritual sehingga eksistensi KMK sebagai mahasiswa pascasarjana UGM yang harusnya bisa berkontribusi bagi pengembangan intelektual mashasiswa dan masyarakat namun hal itu tidak terpikirkan dan dilaksanakan.

Page 54: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 169-180

174

masyarakat gereja tentang apa itu agama. Aspek pengetahuan, atau pendidikan merupakan suatu jembatan menghubungkan manusia untuk menyelami, memahami dan melakukan esensi agama melalui aksi. Pengetahuan atau pendidikan adalah suatu proses menjadi pada setiap manusia dan itu sangat tergantung oleh media dalam hal ini bentuk pengajaran terhadap agama melalui penafsiran terhadap teks kitab suci. Penafsiran terhadap kitab suci (Bible) sangat berpengaruh pada pembentukan konginitif seseorang yang terimplementasi melalui afeksi dan psikomotorik seseorang.

Berdasarkan pengalaman keterlibatan penulis dengan organisasi ini sejak tahun 2007 hingga saat ini, maka ada terjadi pergeseran pemikiran bahkan orientasi dari keberadaan organisasi KMK. Pada tahun 2007 hingga 2009 proses pemaknaan paham keagamaan selalu tidak saja berorientasi teologis dogmatis yang bersifat fundamentalis, tetapi pemaknaan paham keagamaan selalu memberi penekanan pada aspek sosial lainnya seperti diskusi dan penulisan dan penerbitan buku walaupun untuk kalangan sendiri. Tetapi ada semacam upaya pembelajaran kepada komunitas KMK untuk menghargai potensi akal sebagai anugerah Tuhan melalui karya akademik. Hal ini sangat berbeda dengan konteks KMK pasca 2009, di mana walaupun ada diskusi dalam komunitas KMK tetapi semua bersifat alkitabiah, dan jika ada bangunan diskusi dengan tema-tema sekuler seperti membahas tentang persoalan identitas, politik, budaya itu dianggap bukan termasuk dalam perspektif alkitabiah maka hal tersebut tidak mendapat respons positif.

Terkait dengan fenomena di atas menurut salah satu informan yang diwawancarai lepas setelah diskusi dalam kegiatan rutin KMK di hari Jumat dengan tema mengenai identitas kristiani di tengah konteks multikultural, penulis mempertanyakan tentang substansi diskusi tersebut dan repson salah satu pengurus adalah:

Secara ilmu itu baik tetapi sebagai orang beragama kita membutuhkan filter.4 Terkait dengan tema diskusi tersebut yang memahami identitas yang tidak saja dibatasi pada dimensi alkitabiah tetapi pemahaman identitas juga dilihat dari aspek teori sosial, dan secara tidak langsung bagi mereka ada semacam kehati-hatian dalam memahami identitas dari sudut pandang ilmu sosial. Walaupun saat itu diskusi mengenai identitas kristiani dengan menggunakan perspektif ilmu sosial bertujuan untuk merasionalisasi pikiran komunitas KMK, serta cara pandang mereka dalam memahami konsep identitas diri (self dan other) serta dengan cara pandang tersebut bagaimana mereka memahami fenomena sosial (identitas) yang memang merupakan persoalan sosial, namun hal itu tidak mendapat respons melalui dialog komunikatif bahkan dianggap membingungkan.

Alkitab pada prinsipnya adalah sesuatu yang ditulis melalui pengalaman perjumpaan manusia dengan Tuhan dan sesama di tengah realitas sosial. Persoalan identitas, politik, budaya adalah hal-hal yang muncul dalam teks Alkitab. Walapun memang ada bagian-bagian tertentu dalam teks yang membicarakan eksklusifisme identitas Yahudi (Purifikasi) namun pada bagian lain dalam teks Alkitab juga menunjukan pemahaman Israel (Yahudi) mengenai identitas semakin terbuka. Mereka membuka diri bahkan bergaul dengan komunitas lain dan menikah dengan mereka. Ini merupakan proses menjadi yang tidak pernah selesai (Bandingkan, Whitehead, 2009).

Jika Israel yang eksklusif seperti dikisahkan dalam cerita Alkitab bisa membuka diri bagi komunitas lain identitas lain (cerita Rut), bagaimana dengan Indonesia yang konteks realnya terdiri dari beragam etnis, suku, agama (multikultur)? Menjadi Kristen otomatis berarti tidak harus memisahkan diri dari realitas lainnya, atau menolak identitas lainnya, bahkan menganggap identitas yang paling baik dan benar. Hal ini yang menjadi pendasaran dalam diskusi

4 Interview lepas dengan salah satu pengurus KMK berinisial Y tahun 2011.

Page 55: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Gerakan Fundamentalisme dalam Konteks Pluralitas KampusFlavius Floris Andries

175

dalam komunitas KMK walaupun tidak mendapat respons positif melalui dialog komunikatif dengan komunitas KMK. KMK masih terperangkap dalam konsep teologi yang bias ekslusif dan statis.

Penguatan teologi eksklusif semakin kuat melalui cara membaca Alkitab yang bagi saya aneh. Keanehan itu disebabkan oleh ada upaya membaca Alkitab dengan menggantikan kata Israel dalam teks (Bible) dengan kata Indonesia. Hal ini merupakan suatu keanehan bagi saya yang selama 4 tahun belajar teologi, karena berdasarkan disiplin ilmu teologi saya tidak menghendaki adanya cara seperti itu. Teks tetap teks dan harus dibaca apa adanya. Sehingga bagi saya ini adalah suatu bentuk dari ciri fundamentalisme agama yang telah menembusi arena KMK. Ciri dan paham fundamentalisme semakin kuat ketika setelah membaca teks Alkitab dalam khotbah, pengkhotbah mengatakan bahwa “Tuhan punya rencana mengkristenkan Yogyakarta”. Ini fakta yang menunjukan bahwa KMK Pascasarjana UGM yang merupakan media berkumpulnya masyarakat inntelektual ternyata memiliki pemahaman beragama eksklusif.

Salah satu aspek penting dalam hal beragama adalah aspek kedewasaan beragama, maksud dari pendapat Hick adalah agama yang benar akan membawa para penganutnya pada kedewasaan beragama John Hick (2006: 57). Kedewasaan dalam beragama menurut Hick dapat dijumpai melalui mencintai kedamaian, solider terhadap orang lain dan anti intoleran, sebagai respons manusia terhadap Tuhan (Hick, 2007: 610). Dengan menggunakan pendapat Hick maka pemahaman keagamaan KMK Pascasarjana UGM melalui diskusi, cara pembacaan teks-teks kitab suci juga mengandung unsur eksklusif yang mengarah pada sikap fundamentalisme agama yang mengabaikan aspek pluralitas.

Secara konseptual aspek pluralitas keagama-an adalah sesuatu yang terabaikan dalam KMK, dan akhirnya terperangkap dalam subjektifitas kebenaran tentang Tuhan yang hanya terkait dengan pengalaman, pengetahuan dan keter-batasan subjek (Banding Hick, 2006: 611). Di

sinilah letak keterbatasan dan ketidaksempurna-an manusia dalam mengenal karakter Tuhan, sehingga konsekuensinya manusia tidak mampu memahami realitas Tuhan, walaupun berusaha menggunakan seluruh pengetahuan yang bersumber pada pengalaman dan sejarah dan lain-lain. Dengan melihat pada pendapat Hick maka realitas tentang Tuhan dengan klaim kebenaran agama akhirnya tidak bersifat absolut, kebenaran tidak terbatas pada agama tertentu, karena masih ada kebenaran-kebenaran lain diari versi agama yang berbeda yang patut dihormati dan diberi tempat yang memadai (Hick, 2007: 615).

Dengan menggunakan pendapat Hick maka kebenaran sejatinya bersifat universal, dia tidak partikularis milik agama tertentu yang bersumber pada ajaran teologi dogmatis yang akhirnya menjerat orang beragama pada keterbatasan pemaknaan terhadap hakikat beragama. Dogma hanyalah pintu masuk agama-agama untuk memahami hakikat Tuhan sehingga tidak harus memahami dogma secara statis sehingga pada akhirnya menjebak orang yang beragama pada kedangkalan hidup (Rusell, 1975). Hal ini yang tidak dipahami oleh KMK Pascasarjana UGM yang memahami dogma sebagai filter dalam memahami realitas Tuhan serta media menemukan hakikat Tuhan, sehingga konsekuensinya Tuhan dipahami secara partikularis dalam kekristenan.

Relevansi Pemahaman Keagamaan dalam Gerakan Keagamaan Komunitas KMK

Pemaknaan tentang paham keagamaan baik secara individu maupun kolektivitas dalam setiap gerakan sosial keagamaan baik yang bersifat liberal, maupun fundamentalis, berkaitan erat dengan tingkat pengetahuan, pengalaman dan lingkungan sosiologis di mana seseorang itu bertumbuh (Flavius, 2012a: 143). Berbagai aspek yang disebutkan menjadi alasan munculnya perbedaan interpretasi paham keagamaan yang bersumber pada teks (Bible). Secara sosiologis berdasarkan temuan penelitian, pemaknaan paham keagamaan komunitas KMK Pascasarjana UGM teraktualisasi dalam ibadah sosial, melalui Natal bersama dengan anak yatim piatu, tahun

Page 56: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 169-180

176

2010, dengan orang lanjut usia di Panti Wreda GKJ Sawokembar, bantuan sosial alat kesehatan bagi masyarakat di Kupang NTT. Serta bantuan sosial lainnya yang tidak saja bagi kalangan Kristen tetapi juga Islam. Demikian juga ibadah dalam bentuk ritual selain dilakukan tiap Jumat sore, setiap Sabtu pagi juga diadakan doa pagi di kalangan pengurus serta aktif dalam mengisi puji-pujian di berbagai gereja di Yogyakarta serta menjadi kantoria (kelompok pengiring ibadah jemaat) di GKI Gejayan dalam ibadah minggu.5

Aktualisasi pemahaman keagamaan di kalangan komunitas KMK Pascasarjana UGM juga terlihat melalui diskusi-diskusi internal dengan tema-tema yang ditetapkan oleh pengurus, seperti kesehatan, budaya dan lain-lain. Namun tema-tema diskusi mengenai identitas lain (agama lain) terkait dengan pluralisme, multikulturalisme, politik bahkan persoalan studi seperti AcEPT dan PAPs yang merupakan momok bagi mahasiswa Pascasarjana UGM tidak pernah sekalipun menjadi topik diskusi bagi komunitas KMK.

Walaupun dalam praktik keagamaan tidak menutup kemungkinan komunitas KMK melakukan ibadah sosial dalam bentuk pelayanan karikatif kepada komunitas yang beragama lain, namun tidak mengakui eksistensi mereka sebagai komunitas lain di luar kekristenan yang juga memiliki kebenaran menurut versi mereka. Kebenaran yang dipahami hanya ada di dalam Kristus dan di luar Kristus tidak ada kebenaran. Demikian juga ketika berbicara mengenai keselamatan, maka hanya di dalam Kristus, dan kekristenan adalah satu-satunya jalan orang menuju keselamatan itu sesuai dengan kesaksian injil Yohanes.6 Bertolak dari pandangan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ciri kekristenan yang muncul melalui pemahaman keagaman yang dianut oleh komunitas KMK adalah Kristosentris atau berpusat kepada Kristosentris.

Corak keberagamaan yang berpusat pada Kristosentris, akhirnya memahamai kebenaran atau klaim kebenaran (truth claim) sebagai suatu kebenaran sosiologis, berubah menjadi simbol agama yang dipahami secara subjektif dan personal oleh komunitas KMK Pascasarjana UGM. Armahedi Mazhar mengatakan bahwa eksklusifisme, absolutisme, fanatisme, ekstremisme dan agresivisme adalah “penyakit“ yang biasanya menghinggapi aktivis gerakan keagamaan (R. Garaudi, 1993: ix). Oleh sebab itu tidak mengherankan bahwa eksklusifisme, absolutisme memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam membentuk religiusitas mahasiswa KMK Pascasarjana UGM, ketika berbicara mengenai konsep kebenaran.

Frithjof Schoun memberikan penilaian bahwa agama pada prinsipnya lebih menekankan pada iman (faith), kebajikan dan pengalaman daripada akal atau rasio (Schoun, 1993: 78). Harus disadari bahwa sangat sulit melepaskan frame subjektifitas ketika terjadi dialetika antara iman yang berbeda, proses pembenaran iman kita lebih dominan dan menganggap iman orang lain itu sesuatu yang salah. Apa yang terjadi di KMK adalah corak keberagamaan yang sebenarnya berusaha untuk lebih inklusif terbuka kepada orang lain dalam bentuk pelayanan sosial, tetapi sebenarnya rasionalitas mereka masih tetap terperangkap dalam frame eksklusifisme.

Salah satu implikasi dari konsep teologi yang eksklusif nampak dalam bentuk gerakan evangelisasi kepada komunitas lain di luar kekristenan. Hal ini menjadi spirit dari komunitas KMK Pascasarjana UGM. Berpedoman pada Matius 28:19 yang berbunyi “pergilah jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama Bapa Putra dan Roh Kudus” KMK Pascasarjana UGM juga memiliki tanggung jawab untuk melakukan tugas itu dalam bentuk

5 Hasil interview dengan pengurus mantan Pengurus KMK berinisial M, Mei 2013.6 Hasil interview dengan pengurus KMK berinisial N, Mei 2013.7 Hasil interview dengan pengurus KMK Pascasarjana UGM berisinisal S, Mei, 2013.

Page 57: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Gerakan Fundamentalisme dalam Konteks Pluralitas KampusFlavius Floris Andries

177

kesaksian. Komunitas lain di luar Kristus punya kesempatan untuk mengenal Kristus dan percaya kepada Kristus.7

Bertolak dari pemahaman di atas maka komunitas KMK Pascasarjana UGM memahami hakikat kebenaran dan keselamatan secara absolut hanya berada di dalam kristus berdasarkan kesaksian Alkitab. Sehingga hal itu menjadi tugas semua orang Kristen termasuk KMK untuk melakukannya walaupun berhadapan dengan kebenaran-kebenaran lain yang ada pada komunitas lain. Di sini pemahaman terhadap Allah sebagai “beyond” tidak kelihatan, sebaliknya posisi Yesus itulah yang menjadi sentral. Hal itu baik dan sah jika kekristenan termasuk KMK memiliki konsep pemahaman sekaligus menjadi iman mereka, namun tidak berarti bahwa dengan iman dan keyakinan yang telah menjadi ideologi, menjadikan komunitas lain sebagai objek dari proses evangelisasi.

Ini adalah cara komunitas KMK Pascasarjana UGM memahami realitas dan hakikat Allah dalam batasan-batasan yang bersifat partikularis yang sangat bertolak belakang dengan hakikat Allah sebagai “beyond”. Hick mengatakan bahwa realitas Allah itu tidak terbatas dan manusia tidak sempurna dalam memahami realitas Tuhan, namun upaya untuk memahami realitas tersebut hanya dapat dijumpai melalui penghormatan terhadap kebenaran versi agama lain (Hick, 2007: 615).

Orientasi KMK Pascasarjana UGM yang cenderung lebih berfokus pada persoalan ideologi kebenaran dan keselamatan yang berciri Kristosentris, sehingga fokus pada persoalan evangelisasi, membuat KMK tidak begitu tertarik untuk mendiskusikan persoalan eknomi, politik yang melanda bangsa. Kalaupun ada diskusi-diskusi mengenai persoalan politik, maka hal itu hanya dihubungkan dengan bagaimana membahas persoalan integritas pemimpin negara yang bersumber pada Alkitab. Menjadi pemimpin

yang berintegritas yaitu seorang Kristen menjadi garam dan terang (Matius 5: 13-14). Dengan kata lain pemimpin yang berintegritas adalah memimpin yang mampu menunjukkan visi dan komitmen serta cita-cita Illahi (1 Kor 12: 14). Namun yang terjadi pemimpin negara saat ini adalah penyembah berhala atau okultisme, tidak menunjukan kasih dalam pelayanan 8

Pernyataan di atas memberikan gambaran mengenai tradisi fundamentalisme agama yang berusaha melihat dan memahami persoalan politik dari perspektif dogmatis yang bersumber pada Alkitab. Russell (1975) berpendapat agama yang sejati adalah instrumen bagi manusia untuk mencapai hidup yang tak terbatas, sehingga agama dogma menurutnya hanyalah pintu masuk agama-agama untuk memahami hakikat Tuhan, bukan sebaliknya dogma menjerumuskan orang dalam kedangkalan hidup di dunia yang terbatas.

Menggunakan dogma (Alkitab) dalam memahami persoalan politik mengakibatkan komunitas KMK melihat persoalan tersebut hanya sebatas aspek normatif yakni benar dan salah, tanpa melakukan analisis komprehensif. Mereka hanya terfokus pada sosok pemimpin atau aktor sebagai pelaku politik tanpa melihat pada sistem secara keseluruhan yang menyebabkan seseorang itu berada pada pengambilan keputusan A atau B. Di sini terlihat bahwa “proses” tidak menjadi perhatian atau titik sentral bagi komunitas KMK dalam berdiskusi mengenai persoalan politik yang mungkin saja itu juga dipakai untuk melihat persoalan lainnya. Sebaliknya hasil akhir yang terkait dengan etika benar salah.

Gerakan Fundamentalisme Agamadalam Konteks Multikulturalisme: Suatu Analisis Kritis

Dalam pandangan ilmuwan sekuler, kompleksitas antarumat beragama dengan berbagai paradigma eksklusif, dengan truth claim yang absolut menjadi ciri dalam penilaian

8 Hasil interview dengan pengurus KMK Pascasarjana UGM Berinisial S , Mei, 2013.

Page 58: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 169-180

178

terhadap agama lain, bukan merupakan suatu implikasi kemampuan kritis dalam hal beragama, melainkan merupakan akar konflik antarumat beragama yang sudah berlangsung sejak masa lalu. Dalam menyikapi realitas ini Knitter berusaha mengembangkan “a Correlational and Global Responsible Model for Dialogue” (Knitter, 1995: 23) untuk menghindari klaim absolutisme dan superioritas agama tertentu atas agama lain. Paling tidak hal ini menjadi pijakan bagi semua agama dalam pergerakan keagaman untuk memahami kondisi sosiologis dunia dengan kemajemukan agama sebagai fakta sosial yang tidak bisa dielakkan.

Gerakan keagamaan yang nampak dalam komunitas KMK Pascasarjana UGM bisa menggunakan pendekatan yang ditawarkan Knitter sebagai dasar pijakan dalam pergerakan mereka sebagai tanggung jawab iman mereka sebagai orang beragama yang mampu memadukan nilai rasa dan rasio mereka dalam membangun iman mereka secara holistik. Beriman secara rasa dan rasio menjadi hal penting untuk membangun kesadaran manusia beragama dalam memberikan mengakui dan menghargai agama lain yang sama status dan derajatnya dengan kita di muka bumi. Dialetika antara rasa dan rasio dapat mengantarkan setiap orang untuk memahami arti penting agama dan gerakan keagamaan di tengah oikos yang multikultur sifatnya.

Agama dan gerakan keagamaan adalah dua hal yang korelasinya sangat kuat, karena agama adalah sesuatu yang kaku dan tidak bermakna jika tidak diaktualkan dalam bentuk-bentuk praksis oleh penganut-penganut agama secara individu maupun kolektif. Gerakan keagamaan adalah salah satu wujud implementasi agama dalam realitas kehidupan nyata. KMK Pascasarjana UGM adalah wadah bagi komunitas mahasiswa Kristiani untuk mengaktualkan cara beragama dalam konteks riil. Dari hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa gerakan keagamaan KMK Pascasarjana UGM termasuk dalam gerakan fundamentalis agama walaupun tidak secara agresif seperti gerakan fundamentalisme Kristen

lainnya seperti KKR di tempat-tempat umum. Namun gerakan fundamentalisme dalam komunitas KMK lebih soft dalam pengertian bahwa fundamentalisme agama yang berkembang di kalangan komunitas KMK Pascasarjana UGM lebih bersifat ideologisasi, melalui wacana, diskusi dan lain-lain.

Ideologi fundamentalisme agama yang ditanamkan di KMK Pascasarjana UGM adalah sesuatu yang berkembang belakangan sekitar akhir tahun 2009 yang dipengaruhi oleh kelompok fundmantalisme agama Kristen di dunia kampus seperti Perkantas. Hal ini sangat memprihatinkan karena kampus sebagai arena akademik sebagai tempat pertarungan mengasah kemampuan intelektual mahasiswa akhirnya dijadikan sebagai arena pertunjukan gerakan fundamentalisme agama yang bersifat fanatik dan eksklusif.

Sikap fanatik dan eksklusifisme dihadapkan dengan realitas dunia paling tidak pada konteks UGM secara internal yang multikultur membuat komunitas ini menjadi terisolir dari perkembangan wacana maupun praksis keagamaan. Tidak pernah ada proses dialektika dengan komunitas lain yang berbeda agama di lingkungan UGM dalam bentuk dialog untuk melihat keberadaan kampus maupun dalam mendiskusikan wacana yang berkembang secara nasional maupun global. Dengan cara ini komunitas KMK Pascasarjana UGM telah kesatuan (the unity) yang dalam bahasa Schuon “the heart of Religions” atau jantung dari agama-agama (Schuon, 1975).

Oleh sebab itu komunitas KMK dalam gerakan keagamaan yang dikembangkan dapat membuka diri untuk berinteraksi dengan kelompok atau organisasi kemahasiswaan dari agama lain di lingkungan UGM untuk melihat realitas kehidupan berkampus sebagai persoalan bersama, bahkan bisa membuka jaringan lebih luas dalam mewacanakan realitas sosiologis dunia saat ini sebagai bentuk permasalahan bersama dan perjuangan bersama. Pada tataran ini maka KMK Pascasarjana UGM akan mengalami suatu transformasi knowledge dari corak fanatisme,

Page 59: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Gerakan Fundamentalisme dalam Konteks Pluralitas KampusFlavius Floris Andries

179

eksklusif menuju paradigma baru rasionalis dalam hal beragama di mana titik start dari gerakan kegamaan yang dikembangkan tidak lagi bertumpu pada persoalan dogmatis teologis tetapi pada realitas KMK dan UGM secara internal dengan persoalan seputar akademik bahkan dunia dengan permasalahan yang kompleks.

Di sini KMK dapat menunjukkan bobotnya kampus dan komunitas KMK sendiri sebagai arena pertarungan dan kompetisi mahasiswa secara akademik yang dapat melahirkan ide dan gagasan yang bersifat inovatif, bagi kepentingan kampus dan masyarakat umum. KMK Pascasarjana UGM sebagai bagian dari masyarakat kampus setidaknya harus memperhatikan hal ini sehingga warna KMK benar terlihat sebagai komunitas akademik yang kaya dalam wacana dan memiliki argumen-argumen yang inovatif dan kreatif berdasarkan ilmu pengetahuan sebagai karya akademik. Dengan kata lain jika komunitas KMK Pascasarjana UGM ingin berteologi dalam melihat realitas persoalan masyarakat dan bangsa, maka mereka dapat membangun teologi dari konteks akademik mereka secara mikro dan konteks Indonesia secara makro.

Bertolak dari pertimbangan tersebut maka komunitas KMK pascasarjana UGM dengan gerakannya akan semakin kritis dalam menyikapi persoalan kemahasiswaan secara internal bermamfaat untuk mengurangi tingkat penipuan dan pelanggaran intelektual (plagiat). Selain itu membantu mahasiswa dalam memecahkan persoalan akademik mereka yang lain, toefl, TPA, tesis dan disertasi. Dalam konteks makro komunitas KMK semakin kritis dalam menyikapi dan memberikan pemetaan terhadap persoalan ekonomi, sosial, politik budaya bangsa yang mengalami krisis dan degradasi, dengan pendekatan-pendekatan akademik secara komprehensif.

PenuTuP

Gerakan fundamentalisme agama di kalangan mahasiswa adalah suatu fenomena yang mengalami perkembangan semakin pesat. Universitas Gadjah Mada sebagai kampus

sekuler dan nasionalis juga tidak luput dari pengaruh gerakan tersebut. Warna dari gerakan fundamentalisme agama di kalangan mahasiswa Pascasarjana UGM dapat dijumpai melalui aktivitas KMK Pascasarjana UGM baik dalam bentuk ritual maupun pemahaman kegagamaan yang dibentuk. Gerakan keagamaan yang berciri fundamental adalah dampak dari pemahaman tentang kitab suci yang bersifat literal. Proses interpretasi kitab suci tidak berdasar pada prinsip-prinsip hermeneutik yang dapat membantu mahasiswa memahami nilai-nilai teologis dalam setiap teks Alkitab secara metodologis. Keterbatasan sumberdaya di bidang teologi yang dimiliki komunitas KMK Pascasarjana UGM, menjadi salah satu penyebab proses penafsiran teks kitab suci secara literal yang akhirnya mengarah pada pembentukan opini dan wacana intelektual dan sebagainya bersifat fundamental.

dafTar PusTaKa

Andries, Flavius Floris. 2012a. “Kisah Ibrahim Dalam Tradisi Islam: Suatu Kajian Eksegetik Terhadap Surat Ali Imran 64-69 dan Relevansinya bagi Pluralisme Agama”. Jurnal Al-qur’an dan Hadits. Vol. 13, No. 1, Januari, 2012.

___. 2012b. “Gerakan Masjid Kampus UGM dan UIN Sunan Kalijaga dalam Memahami Politik Nasional”. Jurnal Analisa: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan. Vol. 19, No. 02, Juli-Desember, 2012.

Hick, John. 1982. God Has Many Name.Westminster: John Knox Press.

___. 2007. Religious Pluralism. Dalam Peterson, Michael; Bruce Reichenbac; William.

Garaudi, R. 1993. Islam Fundamentalisme dan Fundamentalisme Lainnya. Bandung: Pustaka Pelajar.

Knitter, Paul. 1995. One Earth Many Religion: Multifaith Dialogue and Global Responsibility. Maryknoll, New York: Orbis Books.

Page 60: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 169-180

180

Schoun, Frithjof. 1993. Islam dan Filsafat Perenial. Bandung: Mizan.

___. 1975. The Trancsendental Unity of Religion. London: Torchbooks Harper and Row Publisher.

Russell, Betrand. 1975. Religion and Sains. New York: Oxford University Press.

Whitehead, Alfred North. 2003. Religion in the Making. New York: Fordham University.

Page 61: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Perempuan di Balik Teroris Maghfur & Siti Mumun Muniroh

181

PEREMPUAN DI BALIK TERORIS(Religiusitas, Penyesuaian Diri dan Pola Relasi Suami Istri

Tersangka Teroris di Kota Pekalongan)

Women Behind Terrorists (Religiousity, Self Adaptation and Husband-Wife Relationship within Suspected Terrorists Family

in Pekalongan)

MAghFUr & sITI MUMUN MUNIrOh

Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat

Jl. Kusuma Bangsa No.9 Pekalongan

Telp. 0285-412575e-mail: [email protected]

[email protected] diterima: 8 April 2013

Naskah direvisi: 29 Juli-19 Agustus 2013

Naskah disetujui: 20 September 2013

AbstrAct Women and their religiosity are questioned along with the proliferation of conflict, violence, and religion-based riots which allegedly involving ‘husband’ suspected terrorists. This article discusses the religiosity of the wives, the adjustment of wives of suspected terrorists against psychological and social burden, and the patterns of marital relations of terrorist suspects in Pekalongan-Central Java. The result of this phenomenological study revealed that the religiosity of terrorist-suspects’ wives are more dominant is exclusive patterned- if it is compared to moderate or inclusive ones. In terms of adjustment, the wives are just accept the fate and tend to be indifferent to the activities of their husbands. The wives also nullifying the public’s negative perception and judgment, but some are closed to the social interaction. While the pattern of relationships that were frequently built tent to be more owner property and head-complement in characteristics. Wives are positioned as husband’s complement for all activities in the fields of social, religious and political.

Keywords: Terrorism, Religious, Self Adaptation, Relationship Patterns, Exclusive

AbstrAk

Perempuan dan religiusitasnya kembali dipertanyakan seiring dengan maraknya konflik, kekerasan, dan kerusuhan berbasis agama yang diduga melibatkan para ‘suami’ tersangka teroris. Artikel ini mengkaji tentang religiusitas dan penyesuaian diri istri tersangka teroris terhadap beban psikologi dan sosial; serta pola relasi suami istri tersangka teroris di Pekalongan Jawa Tengah. Hasil kajian fenomenologi ini mengungkap bahwa keberagamaan istri tersangka teroris lebih dominan bercorak eksklusif, dibanding yang bercorak moderat atau inklusif. Dalam hal penyesuaian diri, istri bersikap pasrah dan acuh terhadap aktivitas suami. Istri juga melakukan pembiaran atas anggapan dan penilaian negatif masyarakat, namun ada juga yang menutup diri dari pergaulan sosial. Sedangkan pola relasi yang dibangun lebih sering bersifat owner property dan head-complement. Istri diposisikan sebagai pelengkap suami atas segala aktivitas suami baik di bidang sosial, agama dan politik.

Kata kunci: Terorisme, Religius, Penyesuaian Diri, Pola Relasi, Eksklusif

MAghFUr & sITI MUMUN MUNIrOh

Page 62: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 181-195

182

Pendahuluan

Agama dan religiusitas umat sering dinilai sebagai faktor signifikan bagi lahirnya konflik dan teror sosial, dibanding dengan faktor lain seperti bahasa, etnis, maupun geografis (Kakar, 1996: 192). Konflik sosial yang disebabkan radikalisme dan militansi beragama kembali mengusik kehidupan berbangsa. Baru-baru ini, kerusuhan tetap berlanjut, mulai di Tasikmalaya, Banten, Temanggung dan yang terkini terjadi di Sampang Madura (2011).

Jejak konflik sosial berdalih agama sejatinya telah muncul sejak lama, seperti kasus kerusuhan di Situbondo (1996), Ketapang (1998), Ambon (1999), Timor Timur (2000), kasus bom Legian Bali (2002) dan J.W Marriot Jakarta (2003). Kerusuhan ini berdampak bukan hanya bagi ribuan nyawa terampas, hak hidup dan ratusan tempat ibadah hancur, melainkan juga fundamen kebhinekaan kehidupan berbangsa menjadi goyah. Kerusuhan demi kerusuhan ini selalu dikaitkan dengan terorisme.

Terorisme merupakan istilah yang terbuka untuk ditafsirkan sesuai kepentingan berbagai pihak. Teror, menurut Baudrillard (1993) seperti dinukil Piliang (2011: 103) terbuka bagi penafsiran konspiratif. Tindakan ini dinilai sebagai terorisme, namun oleh lain pihak dianggap sebagai tindakan mempertahankan diri, memperjuangkan hak, melawan ketidakadilan global, perlakuan dehumanisasi global negara-negara besar dan kuat kepada negara lemah, atau bahkan yang sangat popular sebagai sebuah misi suci.

Terorisme dalam konteks kajian ini dimaknai sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang atau kelompok untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap masyarakat luas atau menimbulkan korban yang bersifat masal dengan cara merampas kemerdekaan, nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan dan fasilitas publik.

Korban tindakan teroris tidak hanya dialami pihak-pihak yang secara langsung menjadi korban, akan tetapi juga oleh pihak lain, seperti istri atau pasangan hidup serta anggota keluarga tersangka pelaku teror. Mereka sebenarnya telah menjadi korban secara tidak langsung. Banyak istri yang menjadi janda secara mendadak karena kematian suaminya, banyak anak menjadi yatim piatu, dan orang tua terpaksa kehilangan anak yang telah diasuhnya sejak bayi.

Selain itu, masih banyak beban lainnya yang harus ditanggung keluarga terutama istri dari tersangka pelaku teroris di antaranya harus menanggung biaya hidup dirinya dan anak-anaknya dengan bekerja yang semula ditanggung oleh suami sebagai kepala keluarga. Misalnya, yang dialami oleh istri dari almarhum Umar al-Faruq dan istri almarhum Imam Mukhlas. Setelah ditinggal oleh suaminya, sang istri harus banting tulang membiayai kehidupan dirinya dan beberapa anaknya dengan berjualan aneka makanan kecil dan mengajar di taman kanak-kanak. Penelitian yang dilakukan Puspitasari (2008) menunjukkan bahwa anak-anak para wanita yang bekerja biasanya cenderung mengalami penyimpangan sosial, akibat dari jarangnya komunikasi dengan ibunya.

Beratnya beban fisik, psikologis, sosial bahkan spiritual mendorong peneliti untuk mencoba mendalami kondisi psikologis istri terdakwa teroris di Pekalongan Jawa Tengah, terutama bagaimana religiusitas para istri tersangka teroris, bagaimana proses adaptasi yang dilakukan terkait dengan berbagai beban yang ditanggungnya, serta bagaimana pola relasi antara suami-istri tersangka teroris. Informasi mengenai kondisi psikologis istri tersangka teroris dan pola relasi antara suami-istri tersangka teroris ini penting untuk diketahui oleh masyarakat supaya bisa bersikap dan berperilaku proporsional terhadap istri dan keluarga tersangka teroris. Selain itu masyarakat juga bisa bersikap lebih hati-hati terkait adanya faktor penipuan identitas yang selama ini sering dilakukan oleh tersangka teroris.

Page 63: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Perempuan di Balik Teroris Maghfur & Siti Mumun Muniroh

183

KerangKa Teori

Kajian ini berusaha mengungkapkan realitas aspek keberagamaan, penyesuaian diri dan pola relasi suami-istri yang dilakukan oleh para istri tersangka teroris. Salah satu elemen yang selalu dikaitkan dengan persoalan terorisme adalah agama dan keberagamaan. Secara bahasa, terror berarti rasa takut, kengerian atau gentar. Teror mengandung arti penggunaan kekerasan, untuk menciptakan atau mengkondisikan sebuah iklim ketakutan di dalam kelompok yang lebih luas. Terorisme adalah cara atau teknik intimidasi dengan sasaran sistematik, demi suatu kepentingan tertentu. Jenkins (1980: 2-3) mendefinisikan terorisme sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan kelompok terorganisir dengan sasaran masyarakat sipil, bermotif politik, menciptakan efek publikasi maksimal, serta memiliki tujuan ‘mulia’. Tujuan mulia menurut standar teroris. Atas dasar itu, dapat dimaklumi jika Hendropriyono (2009: 38) menilai terorisme sebagai tindak kejahatan yang dilakukan oleh pihak yang nilai kebenarannya terletak di dalam dirinya sendiri. Tujuan kaum teroris sangat beragam, yaitu demi keuntungan ekonomi (gold), memperoleh gengsi sosial (glory), memaksakan ideologi, penafsiran keyakinan atau eksploitasi agama, kebudayaan, hegemoni, kekuasaan, dominasi kultural, ataupun pemaksaan konsep filosofis. Pada faktanya, penafsiran dan ideologi agama merupakan bagian penting dari perilaku kaum teroris.

Agama merupakan seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan yang ghaib, khususnya dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia lainnya, hubungan manusia dengan lainnya. Muhammad Iqbal (1934: 2) mendefinisikan religion is an expression of the whole man, yaitu agama merupakan ekspresi manusia. Dalam perspektif psikologis, beragama adalah respon atas ketidakmampuan seseorang dalam menghadapi kebutuhan, kebuntuan dan tantangan secara mandiri. Mengkaji terorisme dalam bingkai psikologi tidak lepas dari tema motivasi, bukan motivasi individu, tetapi kelompok, organisasi dan sosial (Crenshaw,

2003: 3-26). Teori frustasi-agresi dan stimulus-respon dapat mengungkap perilaku terorisme (Milla, 2010: 6). Pada titik respon atas segala problem yang dihadapi seseorang inilah perilaku teror dan religiusitas dapat dipertemukan.

Nico Syukur Dister (1988: 74-122) mengungkap empat motivasi yang mendorong orang berperilaku religius, yaitu: Pertama, agama dapat digunakan untuk mengatasi frustasi karena alam, sosial, moral dan kematian. Kedua, agama dapat digunakan untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat. Ketiga, agama dapat digunakan untuk memuaskan intelek karena dorongan keingintahuan manusia. Keempat, agama dapat digunakan untuk mengatasi rasa takut.

Robert W (1994) menjelaskan adanya bukti bahwa manusia dalam memeluk agama disebabkan beberapa faktor, yaitu pemikiran, emosi religius, afektif religius kehendak, dan pengambilan keputusan moral. Sementara itu Fowler (dalam Cremers, 1995: 46-47) berpendapat beragama merupakan gejala universal yang dialami oleh setiap manusia yang hidup di dunia. Sedangkan Kakar (1996: 192) mengemukakan bahwa agama membawa konflik antara kelompok intensitas emosi yang lebih besar dan motivasi pemaksaan yang lebih mendalam dibandingkan bahasa, daerah atau olokan terhadap identitas etnis lainnya. Agama dalam Konteks keindonesiaan, menurut (Andito et.al, 1998: 119-120) tipologi keberagamaan dapat dibagi menjadi lima kelompok. yaitu eksklusif, inklusif, eklektivisme, pluralis, dan universalis. Kelima tipologi ini akan dijadikan sebagai pijakan dalam menganalisa keberagamaan istri tersangka teroris.

Menurut teori penyesuaian diri Schneider (1964) terdapat beberapa aspek dalam diri individu yang mampu menyesuaikan diri yaitu adanya kontrol terhadap emosi, mekanisme pertahanan diri yang minimal, frustasi personal yang minimal, pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri, kemampuan untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman masa lalu, dan memiliki sikap realistik dan objektif. Selain itu, terdapat beberapa faktor

Page 64: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 181-195

184

yang dapat mempengaruhi proses penyesuaian diri menurut teorinya Schneider yaitu keadaan fisik, perkembangan dan kematangan, keadaan psikologis, keadaan lingkungan, serta tingkat religiusitas dan kebudayaan.

Teori lainnya yang digunakan untuk menganalisa proses penyesuaian diri adalah teori yang diungkapkan oleh Kossem (dalam Sobur, 2009: 532-536) mengenai reaksi-reaksi penyesuaian yang biasanya dimunculkan ketika seseorang menghadapi masalah diantaranya rasionalisasi, kompensasi, negativisme, kepasrahan, pelarian, represi, kebodohan semu, pemikiran obsesif, pengalihan, dan perubahan.

Sementara realitas pola hubungan suami-istri tersangka teroris dilihat dari perspektif Scanzoni dan Scanzoni (1981). Melalui teori Scanzoni, diharapkan dapat membantu menganalisa pola relasi suami-istri tersangka teroris dalam konteks keluarga. Teori ini membedakan pola relasi suami-istri dari pola perkawinan yang ada. Terdapat empat jenis pola perkawinan menurut teori ini yaitu owner property, head complement, senior junior partner, dan equal partner. Melalui bantuan teori-teori tersebut, kajian ini dilakukan secara mendalam dengan perangkat dan prosedur tradisi riset fenomenologis.

MeTode PeneliTian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Menurut Bogdan dan Biklen (1992: 2-3) penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang diteliti. Adapun pendekatan fenomenologi digunakan untuk memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang biasa dalam situasi tertentu (Moleong, 2005: 17). Hal ini dilakukan untuk mengetahui keadaan keberagamaan religiusitas para istri tersangka teroris di Kota Pekalongan.

Data dikumpulkan dengan teknik wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis dan interpretasi data menggunakan prosedur

penelitian yang dikonsepkan oleh Moustakas (1994: 120). Prosedur yang dimaksud adalah mendeskripsikan secara penuh (full description) fenomena. Kemudian membaca, memahami, dan memberi catatan. Mendiskripsikan, menemukan dan mendaftar makna pernyataan-pernyataan individu sesuai dengan pengalamannya dan selanjutnya membuat cluster of meaning di mana pernyataan dikelompokkan dalam unit-unit makna (meaning units). Selanjutnya mengembangkan diskripsi tekstual ’apa yang terjadi’ serta menyajikan secara naratif pemahaman makna tersebut.

hasil dan PeMbahasan Religiusitas Istri dan Kontestasi Tafsir ‘Teroris’

Istri, sebagai bagian dari keluarga, tentu memiliki kepentingan ketika suaminya ditangkap, dituduh dan disangka sebagai teroris. Mengkaitkan keberagamaan istri dengan religiusitas para suaminya yang menjadi tersangka teroris sungguh menarik. Keberagamaan istri tersangka teroris, SU, dapat dimasukkan dalam gerbong eksklusif. Sebagai kepala rumah tangga, suami memiliki tanggung jawab untuk mengatur agar kehidupan keluarganya menjadi sejahtera, baik dari aspek material maupun spiritual. Begitu juga apa yang dialami keluarga SU. Dari aspek spritual, SU, salah seorang istri yang suaminya FR, disangka terlibat dalam menyembunyikan gembong teroris, NT, merasa sudah cukup. Bagi SU, merasa cukup merupakan sikap menerima dan mensyukuri rezeki yang diberikan oleh Allah dengan usaha yang halal. Dengan cara seperti itu SU merasa tidak kekurangan apa pun. Sebab baginya, persoalan harta dan hal-hal duniawi tidak akan pernah ada habis-habisnya.

Adapun persoalan spiritual, SU merasa suaminya sebagai imam, terutama dalam melaksanan dakwah dan ibadah. Baginya hidup adalah ibadah, dan setiap orang wajib berdakwah, yaitu melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Untuk melaksanakan dakwah dengan baik, seseorang harus meyakini agamanya sebagai ajaran yang paling benar. Tanpa syarat ini, maka

Page 65: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Perempuan di Balik Teroris Maghfur & Siti Mumun Muniroh

185

keimanan, dakwah dan seruan yang dilakukan menjadi kurang bermakna1. Makna beragama yang demikian menunjukkan bahwa SU memiliki pemahaman tekstual dan mengganggap penafsirannya yang paling benar.

Selain itu, ada keberagamaan model lain yang ditunjukkan oleh IN, istri AA, tersangka teroris yang lain. Dari aspek keberagamaan, IN merasa bahwa suaminya tidak memaksakan faham dan ideologi yang diikuti oleh suaminya. Bahkan keluarga besar AA menyarankan agar AA tidak ikut gerakan yang dinilai aparat pemerintah sebagai kelompok teroris. Dalam kondisi yang demikian, IN sebagai istri merasa bebas untuk berekspresi yang berbeda dengan suaminya. Karena itu, IN lebih mengembangkan faham keagamaan yang lebih toleran, inklusif dan memahami perbedaan faham keagamaan sebagai bagian dari sunatullah. Dengan pemahaman yang demikian, ketika secara tiba-tiba suaminya ditangkap densus, IN meresa sangat terpukul.

Penafsiran tentang ‘siapa yang disebut teroris’ hasil penelitian menunjukkan bahwa, menurut SU, teroris yang sungguhnya adalah mereka yang selama ini menuduh orang lain sebagai teroris. Pihak yang paling getol berteriak tentang bahaya teroris, berantas dan basmi para teroris adalah Amerika dan antek-anteknya, termasuk para pejabat pemerintahan. SU mengatakan “… teroris yang sebenarnya, ya teroris (yang) teriak teroris”. SU mengibaratkan “kaya maling teriak maling…” Dengan demikian, yang layak disebut teroris menurut istri mantan tersangka teroris adalah mereka yang selama ini menuduh teroris.

Menurut studi psikologi seperti diuraikan Calvin S dan Lindzey, (1993: 69) ungkapan SU bahwa ‘(Amerika sebagai) teroris teriak teroris (kepada umat Islam)’ dapat dikategorikan sebagai proyeksi diri. Amerika menuduh umat Islam sebagai sarang teroris karena Islam dianggap

sebagai saingan yang dapat menghalangi hasrat-hasrat Amerika. SU menuturkan lebih lanjut, “…sebetulnya mereka yang teriak teroris itu ingin menghancurkan Islam..., jadi ya Islam selalu dikait-kaitkan dengan teroris”. Pandangan SU ini persis temuan para ahli konspirasi, bahwa institusi-institusi besar dan hegemonik seperti AS sering mencitrakan kelompok lain sebagai teroris, demi keuntungan AS (Baudrillard, 1993).

Pandangan SU tentang teoris ternyata ada korelasinya dengan materi pengajian yang selama ini ia tekuni. Dalam salah satu pengajian rutin yang diadakan kelompok ini, SS selaku pembicara mengatakan bahwa ciri-ciri orang mukmin di antaranya adalah saling melindungi dan saling menyayangi. Namun kenyataannya, realitas berbicara lain. Menjadi orang mukmin yang ideal itu seperti digambarkan oleh SS berikut:

“… akan merasa sakit jika saudaranya mukmin yang lain sakit. Kita melihat sekarang umat Islam di dunia khususnya di Palestina, di Afganistan, Ambon dan tempat-tempat lainnya sekarang menderita bahkan dibunuh dan dirampas hak-haknya, oleh siapa? Oleh kafir Yahudi yang disokong oleh Amerika sebagai biang teroris.”2

Pengajian-pengajian yang dilakukan oleh istri teroris secara umum sama. Kelompok ini selalu menentang pemerintahan yang tidak berdasarkan Islam, menentang dominasi Amerika, melawan kapitalisme, dan perintah amar ma’ruf nahi munkar. Materi pengajian di atas secara nyata menyebut bahwa Amerika-Yahudi sebagai biang teroris. Biang artinya akar atau penyebab utama. ‘Amerika sebagai biang teroris’ berarti Amerika sebagai penyebab utama, ‘mbah’-nya teroris, atau teroris yang sesungguhnya. Sebab itu, sebagai istri mantan tersangka teroris, doktrin-doktrin tersebut mempengaruhi cara pandangan SU dalam memahami persoalan teroris.

Stigma yang dilancarkan Amerika kepada orang Islam sebagai teroris, menurut SS tidak

1 Wawancara dilakukan kepada SU, 3 Oktober 2011.2 Wawancara dengan SS, 4 Oktober 2011.

Page 66: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 181-195

186

mendasar dan jauh dari rasa keadilan. Setiap kerusuhan, kekerasan, bom dan pembunuhan selalu dikaitkan dengan umat Islam. Padahal faktanya tidak selalu demikian, dalam pernyataan retorisnya, SS mengatakan, “Amerika menyerang Irak tanpa ada alasan yang jelas, ribuan orang yang mati. Apakah Amerika disebut teroris? Tidak kan!”

Ada ketidakadilan dalam pelabelan teroris. Hal itu, juga disampaikan mantan narapidana teroris. Menurut AA, ada konspirasi, ada konstruksi yang tidak adil yang diberikan oleh kelompok dominan yang sedang berkuasa. Pihak yang menguasi informasi dan media, dialah yang menentukan benar dan salah. Kelompok dominan di sini adalah Amerika, dan sayangnya pemerintah Indonesia juga penakut. Pemimpin Indonesia juga disetir dan mengikuti agenda kafir Amerika. Menurut SU—sebagai istri tersangka teroris—bahwa cap tentang teroris selama ini hanya disematkan bagi orang-orang yang sesungguhnya sedang berjuang menegakkan hukum Allah, berjuang memperoleh hak serta orang-orang yang berani melawan ‘ketidakadilan’. Tuduhan teroris sering hanya disematkan kepada umat Islam dan orang yang lemah.

Kekecewaan terhadap pemberian label itu, diungkap oleh SU:

“Sebetulnya kalau negeri ini diperintah dengan adil, para pemerintahnya tidak semena-mena ya mungkin nggak akan muncul tindakan-tindakan anarkis semacam itu (teroris). Kadang mereka maunya sendiri, kalau kita orang kecil yang melakukan kesalahan betul-betul dicari dan dihukum, tapi kalau mereka (bertindak anarkis) sendiri yang nglakuin mereka tidak diapa-apain, itu yang bikin jengkel”3.

Pendapat SU di atas dapat dipahami, bahwa orang yang berkuasa selalu bersikap sewenang-wenang. Amerika dan antek-anteknya serta pemerintah adalah pihak yang berkuasa. Mereka inilah yang seenak sendiri menuduh orang sebagai teroris. Menurut SU, Amerika dan pemerintah

sama saja. “Mereka maunya (menang) sendiri, kalau kita orang kecil yang melakukan kesalahan betul-betul dicari dan dihukum, tapi kalau mereka (pejabat) sendiri yang melakukan, mereka tidak diapa-apain.”

Menurut pandangan SU, umat Islam di Indonesia, sengaja dibuat tidak berdaya. Umat Islam dan orang-orang lemah sering dijadikan sebagai obyek, termasuk streotip teroris. Siapa yang disebut sebagai teroris ternyata akan selalu menyisakan perdebatan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mubaraq (2011: 174-176) disimpulkan bahwa definisi teroris sangat terkait dengan konsep terorisme. Definisi terorisme juga tergantung pada siapa yang membuat formulasi. Menurutnya, ada empat pihak yang berkepentingan dalam pendefinisian terorisme. Mereka adalah kelompok intelektual atau akademisi, kelompok penguasa atau pemerintah, masyarakat umum dan para teroris atau simpatisannya.

Konsepsi SU sebagai istri mantan terdakwa teroris tidak lepas dari salah satu empat kelompok ini. Kelompok akademisi mendefinisikan bahwa terorisme adalah metode yang disemangati oleh keinginan melakukan aksi kekerasan secara berulang yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau penguasa bawah tanah, dengan tujuan idiosinkratis, kriminal dan politik. Penguasa mengartikan, terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk tujuan politik dan termasuk penggunaan kekerasan untuk menjadikan masyarakat dalam ketakutan. Sedangkan kalangan ‘teroris’ mendefinisikan terorisme sebagai perlawanan yang logis dan adil terhadap terorisme pemerintah, kapitalisme, rasisme, dan imperalisme.

Bagi mantan istri-istri tersangka teroris, Amerika dan sekutunya, termasuk pemerintah dengan segenap misi kapitalisme, imperalisme serta agenda penguasaan terhadap dunia adalah pihak yang layak disebut teroris, bukan rakyat,

3 Wawancara dengan SU, 4 Oktober 2011.

Page 67: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Perempuan di Balik Teroris Maghfur & Siti Mumun Muniroh

187

umat Islam, dan kaum yang sedang dianiaya. Dengan kata lain, menurut istri tersangka teroris, bahwa mereka yang selama ini dituduh, disangka dan divonis sebagai teroris bukan teroris yang semestinya, justru pihak yang menuduh itulah yang sesungguhnya teroris.

Berkaitan dengan makna perilaku teroris. Hasil di lapangan menunjukan beberapa temuan. Temuan tersebut adalah bahwa ‘teroris’ adalah orang yang sedang berjihad. Menurut AA, tujuan aktivitas perjuangan yang selama ini dilakukan dan kemudian dituduh sebagai teroris adalah semata-mata agar ajaran dan aturan dalam Al-Qur’an dapat dijalankan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perilaku ‘teroris’ yang dilakukan selama ini memiliki makna juang, bukan saja bagian dari ekspresi keimanan seseorang, melainkan juga untuk kejayaan Islam. AS dalam pengajiannya selalu mengingatkan agar umat Islam untuk meningkatkan keimanan. Iman yang sesungguhnya, iman yang sebenarnya. Di penghujung pengajian, SS berkata:

“Karena itu wahai ikhwan semuanya, mari kita perkokoh iman kita, bersihkan akidah kita dari segala yang tidak sesuai dengan syariat Islam sehingga kita bisa membawa pada izzul Islam wal muslimin”4

‘Bersihkan akidah dari segala yang tidak sesuai syari’at Islam’, menunjukkan bahwa aktivitas mereka juga bagian dari pemurnian ajaran agama. Makna lainnya dari statemen tersebut adalah ada akidah-akidah yang sedang diyakini dan dijalankan umat Islam tidak sesuai dengan syari’ah yang otentik. Makna berikutnya, kelompok ‘teroris’ menyampaikan pesan bahwa ada yang salah dengan cara beragama umat Islam di Indonesia, sehingga Islam tidak pernah mencapai kejayaan yang sejati.

Untuk membangun argumentasinya, SS mengilustrasikan: “Coba lihat apa yang menjadi

sumber hukum di Indonesia, Pancasila kan? Bahkan Pancasila dikatakannya sebagai sumber dari segala sumber hukum, apa ini tidak melebihi Al-Qur’an”. Bagi AS, sebenarnya keinginannya tidak berlebihan. Menurutnya:

“Kami ini kan mayoritas, jadi wajar dong jika kami ingin hukum yang sesuai dengan kami. Ketika saya di Bali, ada orang Bali yang tanya pada saya, kenapa sih kalian menginginkan hukum Islam diterapkan? Saya jawab, loh kami kan mayoritas, wajar lah. Dia kemudian berkata: tapi kan kamu hidup di negara yang beragam agama? Saya katakan pada dia, di Bali ini, meski Hindu mayoritas, tapi kan ada juga agama lain. Tetapi apa yang dilakukan orang Hindu di sini, pada saat Nyepi, semua kegiatan tidak boleh ada, bahkan bandara tidak boleh beroperasi, coba bayangkan kerugian yang dialami milyaran meski sehari, padahal kamu tahu tidak semua orang Hindu itu taat pada ajarannya, banyak juga yang sembunyi-sembunyi tetap beraktivitas. Seandainya orang Hindu itu mayoritas di Indonesia, coba bayangkan apa yang akan terjadi?5

Materi pengajian yang bernuansa doktrin ini ternyata membawa dampak signifikan bagi ‘transformasi keyakinan, pemahaman dan pengetahuan’ keluarga tersangka teroris dalam mengkonstruksi pemahaman keagamaan. Doktrin ini merasuk pada kehidupan SU melalui bimbingan suaminya, AF. Perlu diketahui AF adalah kelompok elit dalam pengajian dan gerakan keagamaan radikal di Pekalongan. AF pernah ditangkap dan ditahan Densus 88 dalam kasus Bom Bali, dengan tuduhan menyembunyaikan teroris. Melalui suaminya, SU memahami bahwa sebagai muslim sejati harus dapat menjalankan ajaran agama dan amar ma’ruf nahi munkar. “…Nah dari pengajian-pengajian yang pak FR ikuti itulah terus akhirnya saya dibina, saya juga jadi belajar dan banyak membaca,” kata SU.

Mengenai hal ini, apa yang dipahami oleh SU tentang aktivitas suami dan jaringannya adalah bagian dari pencarian makna keberagamaan yang sejati. Aktivitas para teroris, menurut Dean

4 Wawancara dengan SS, 4 Oktober 2011.5 Wawancara dengan AS, 4 Oktober 2011.

Page 68: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 181-195

188

(2006) dimotivasi oleh iman, pencarian makna dan tujuan kehidupan. Dengan kata lain, perilaku ‘teroris’ adalah bagian dari jihad menegakkan ajaran agama.

Bagi kelompok Islam fundamentalis, modernisasi dan nilai-nilai sekuler mengancam tata kehidupan yang mereka anut. Budaya materialistik Barat merupakan ancaman terhadap nilai-nilai spiritual dan praktik agama Islam, karena ada kesulitan mensintesiskan dunia sekuler dan agama (T. Pyszcynski, et. al., 2003).

Penyesuaian Diri Istri Tersangka TerorisTerkait dengan konteks penyesuaian diri

yang dialami oleh istri tersangka teroris paling tidak dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, penyesuaian diri dalam hal kondisi psikologis; Kedua, penyesuaian diri dengan masyarakat sekitar.

Kondisi psikologis istri tersangka teroris terkait dengan persoalan aktivitas suaminya secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, mengalami kegoncangan jiwa atau shok. HM misalnya, ia merasa tak percaya kalau suaminya, AA, harus berurusan dengan Densus 88. Tragisnya, AA ditangkap densus pada saat menghadiri resepsi saudara yang sedang menikah.

Proses penangkapan yang bergitu mendadak membuat keluarga kaget, apalagi AA tidak menunjukkan perilaku yang aneh di mata keluarga. HM sebagai istri tentu sangat terpukul dengan kejadian tersebut. Hingga saat itu, kondisi psikologisnya belum pulih betul. Ketika peneliti mau melakukan wawancara, HM tidak berkenan, ia masih trauma dengan segala hal yang berkaitan dengan ‘terorisme.’ Rasa cemas dan khawatir yang dialami oleh HM datang secara tiba-tiba. Kondisi psikologis tersebut diilustrasikan secara baik oleh IN, sebagai berikut:

“… istrinya (HM) juga kaget banget, mungkin

selama ini juga nggak pernah tahu kalau ustadz AA ikut kelompok gituan, yang namanya kaya gitu kan urusan pribadi masing-masing ya, sama istrinya saja kan nggak boleh cerita.”6

‘Kaget’ yang dialami oleh HM menunjukkan bahwa ia tidak siap menghadapi kenyataan kalau suaminya harus ditangkap Densus 88 terkait dengan aktivitas suaminya. Perasaan HM di atas dapat dimaklumi mengingat selama ini, HM tidak tahu secara detail kegiatan suaminya, apalagi berkaitan dengan Islam radikalis. Keluarga besar AA (orang tua dan saudara) juga tidak mengetahui kegiatan AA yang terkait dengan isu terorisme dan Islam radikal. Memang, orang tua AA sempat melihat gelagat yang tidak ‘normal’ AA ketika, AA masih kuliah di Malang. Lalu orang tua AA mengambil langkah cepat dengan menarik AA dari Malang dan dipindah ke STIMIK Kota Pekalongan. Perpindahan kuliah AA dari Malang ke Pekalongan dianggap telah memutus ‘pergaulan’ sehingga keluarga besar sangat kaget ketika tiba-tiba AA ditangkap oleh Densus 88. Situasi inilah yang menjadi penyebab mengapa HM merasa kaget, cemas dan khawatir jika harus berurusan dengan persoalan ‘terorisme.’

Bahkan, pada masa awal penangkapan, HM menangis dan sedih sekalipun masa penangkapan AA sudah berlangsung mingguan.

“… seminggu setelah ustadz AA ditangkap, ya istrinya masih nangis terus ketika saya ke sana mungkin juga sedih banget ya, dan sepertinya kak HM nggak mau sembarangan nerima tamu, ya orang-orang tertentu saja.7”

Seiring dengan perjalanan waktu, secara psikologis HM dapat menyesuaikan diri dengan keadaan. Dari sisi kejiwaan, HM memang masih trauma namun secara perlahan ia dapat mengatasi perasaannya. Kondisi ini dapat dipahami dari ungkapan IN berikut:

“… ya lama-lama mungkin dia juga harus mulai mengurus rumah tangganya sendiri, saya lihat sudah sejak FR anaknya masuk TK ya HM

6 Wawancara dengan IN, 11 Oktober 2011.7 Wawancara dengan IN, 13 Oktober 2011.

Page 69: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Perempuan di Balik Teroris Maghfur & Siti Mumun Muniroh

189

mengantar sendiri ke sekolah. Sepertinya semuanya sudah baik, dia juga sudah nggak kelihatan sedih dan anaknya juga di sekolah main seperti biasa kaya anak-anak yang lain lah, kayaknya dah nggak ada masalah. Menurut saya kak HM itu termasuk orang yang sangat tegar.Dia tabah banget saya lihat, wong saya yang cuma temennya ustadz AA saja sampe nangis terus berhari-hari, saya mikir kok bisa sih orang sebaik itu ditangkep polisi, bagi saya dia tuh pahlawan, Mbak”.8

Secara sosial, meskipun HM termasuk individu yang terbuka, namun ketika berurusan dengan persoalan keagamaan ia memiliki orientasi intrinsik. Keberagamaan instrinsik digambarkan oleh Earnshaw (2000) sebagai “individu yang menghidupi iman demi iman. Agama merupakan tujuan dalam dirinya agama; individu berpendirian kuat, dan aspek sosial tidak begitu penting; komitmen religiusnya diwujudkan dengan pengorbanan diri (self-sacrificing); motivasinya terletak pada inti (core, “master motive”) kehidupan.” Sikap HM yang menutup diri dari panggung kehidupan sosial ketika dihubungkan dengan persoalan ekspresi keberagamaan suami yang ‘teroris’.

Menurut IN, secara sosial HM memiliki sifat terbuka. IN mengilustrasikan: ”oh kalau dia orangnya baik mbak, terbuka dan santai sama saya, ya beberapa kali sih diajak main ke rumah saya kadang makan bareng di rumah, tapi memang dia tuh jarang diajak main ke mana-mana sama ustadz AA, soalnya ustadz pernah bilang ke saya, ki tak jak nang omahmu ki gen kenal, ke rumah orang lain padahal jarang banget lho ustadz itu bawa istrinya.” Tetapi HM sangat sensitif ketika diajak berbicara tentang aktifitas suaminya yang terkait terorisme.

Kondisi psikologis yang sama juga dialami oleh SU. Ketika tiba-tiba ada beberapa anggota polisi berseragam lengkap datang ke rumahnya dia sangat kaget. Anggota kepolisian ini mencari

suaminya dan tanpa basa-basi langsung menangkap suaminya. SU menceritakan kalau perasaannya saat itu sangat khawatir ya manusiawi ya mbak, saya juga khawatir kadang ya cemas, bagaimana tidak sejak dia memutuskan untuk memakai cadar dan suaminya ikut kelompok pengajian, keluarganya sering dijadikan target polisi. SU menuturkan pengalamannya yang juga pernah menjadi target petugas:

“... dulu pernah ada polisi yang nanya-nanya nyari orang yang pake cadar, kebetulan saya lagi di luar rumah saya pas dari arah berlawanan terus di berhentiin tetangga, masuk sini dulu aja ada polisi yang lagi nyari orang bercadar.”9

Perasaan khawatir dan cemas ini sering muncul pada diri SU, meskipun dia merasa tidak mengetahui dengan jelas motif para petugas kepolisian sering mencari-cari suaminya. Ketika ditanya soal alasan apa yang membuat mereka jadi target polisi, SU menjawab, “Ya saya sendiri nggak tau, wong bapak juga nggak melakukan apa-apa.

Perasaan khawatir dan cemas juga dialami SU setiap kali suaminya pergi ke luar kota entah urusan kerjaan atau lainnya. kekhawatiran ini terkait apakah soal kondisi kendaraan yang kurang fit ataupun khawatir jika ada petugas kepolisian yang tiba-tiba menangkap suaminya. SU menuturkan:

“... Ya pernah juga, Mbak, tapi saya pikir wong suami saya tidak melakukan apa-apa kok ngapain harus takut, ya saya pasrahkan saja sama Allah, wong di rumah saja kalau Allah mau memberi ujian juga bisa saja...”10

Reaksi SU menghadapi segala kekhawatiran dan kecemasannya ditunjukkan dengan kepasrahan. SU cenderung tidak mau terlibat secara mendalam dan menyerahkan sepenuhnya pada Yang Maha Kuasa, seperti yang pernah dituturkan oleh SU sebagai berikut:

8 Wawancara dengan IN, 11 Oktober 2011.9 Wawancara dengan SU, 4 Oktober 2011.10 Wawancara dengan SU, 5 Oktober 2011.

Page 70: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 181-195

190

“... Tapi apapun yang terjadi kan sudah ada yang mengatur. Suami saya selalu ngasih omongan ketika dia keluar satu jengkal saja dari pintu rumah tidak perlu dikhawatirkan karena dia selalu bilang kalau dia bersama Allah, ya di rumah saja bukan milik saya juga kalau Allah berkehendak terjadi sesuatu ya pasti terjadi kan mbak. Ya saya hanya pasrah sama Allah, kalau semuanya serba dipikir bisa nggak kuat mbak”.11

Melalui kepasrahan inilah SU, merasa lebih nyaman dalam menjalani semua cobaan hidup bahkan yang paling berat sekalipun, ketika suaminya tidak dapat mendampingi hidupnya selama beberapa bulan karena harus berada di sel tahanan.

Kondisi ini menunjukkan tingkat religiusitas SU yang cukup tinggi, di mana SU sangat percaya akan segala ketentuan Sang Khaliq dan menyerahkan sepenuhnya atas apa yang akan terjadi pada suaminya. Tingkat religiusitas menurut Schneider (1981) sangat mempengaruhi proses penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu. Religiusitas merupakan faktor yang memberikan suasana psikologis yang dapat digunakan untuk mengurangi konflik, frustasi dan ketegangan psikis yang lain. Religiusitas memberi nilai dan keyakinan sehingga individu memiliki arti, tujuan, dan stabilitas hidup yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam hidup.

Tingkat religiusitas SU saat ini bukan diperoleh secara serta merta akan tetapi merupakan hasil dari proses yang panjang. Berawal dari sang suami yang mengikuti pengajian pada kelompok Ashabul Kahfi, SU mulai sering mendapatkan pencerahan dari suaminya. Sejak saat itu SU mulai berusaha menggunakan jilbab secara sempurna (bercadar) dan mengikuti pengajian-pengajian agama yang diadakan oleh ibu-ibu yang suaminya mengikuti pengajian di Ashabul Kahfi. Berdasarkan penuturan SU, “materi-materi yang dibahas ketika pengajian ya ada tentang akidah, akhlak tentang manajemen hati ya seputar itu lah mbak”. Pengajian ini diikuti

SU dua kali setiap minggunya dan dari pengajian inilah SU mulai memahami konsep-konsep agama serta aplikasinya terutama terkait dengan kewajibannya sebagai seorang perempuan, istri dan ibu.

Faktor lain yang juga memberikan kontribusi terhadap proses penyesuaian diri SU adalah masyarakat yang ada di sekitar. Menurut penuturan FR (suami SU) ketika dirinya masih dalam masa tahanan Densus 88, tetangga yang ada di sekitar rumahnya memberikan dukungan dan perhatian yang besar terhadap dirinya dan keluarganya: “... justru banyak masyarakat yang simpati pada saya dan keluarga dengan dibuktikan banyaknya kiriman bahan makanan yang dikirim ke rumah pada saat saya dalam masa tahanan, baik dari masyarakat sekitar atau bahkan ada yang dari luar kota”. Dengan adanya dukungan dari masyarakat inilah yang membuat SU lebih tegar dalam menjalani ujian.

Simpati dan dukungan yang diperoleh SU dan keluarganya ini diperoleh karena memang selama ini mereka berinteraksi secara baik dengan masyarakat. Bahkan FR pernah menuturkan selama ini dia dipercaya menjadi ketua RT di desanya: “saya lama jadi Ketua RT. Bahkan sampai saat ini, meski sudah tidak jadi Ketua RT, masyarakat tetap memanggil saya Pak RT, meskipun saya menolak dipanggil seperti itu”. SU juga selama ini aktif di kegiatan posyandu yang diselenggarakan oleh ibu-ibu di desanya. SU menuturkan, “saya jadi pengurus Posyandu di RT sini dan sering ikut acara-acara kegiatan RT”.

Meskipun secara mayoritas masyarakat sekitar memberikan dukungan moral kepada SU dan keluarga, tetapi ada saja orang-orang yang merasa tidak simpati dan bahkan cenderung berprasangka terhadap dirinya dan keluarganya. Pada awal proses SU mengubah penampilan misalnya ada tetangga yang memberi komentar “... ya mereka bilang aneh, masak awalnya nggak kerudungan sekarang brukut, kadang saya dibilang ‘mriang

11 Wawancara dengan SU, 4 Oktober 2011.

Page 71: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Perempuan di Balik Teroris Maghfur & Siti Mumun Muniroh

191

po kok kaos kakinan terus? Kalau dulu sih barangkali mereka hanya menganggap saya aneh saja kok pakai brukut-brukut nggak seperti sekarang orang menganggap kalo yang cadaran ini identik dengan teroris.”

Kemudian ketika dimulainya pengajian ibu-ibu yang diadakan di rumahnya, tak jarang SU menerima komentar yang tidak menyenangkan seperti penuturannya:

“... Ya kadang ada saja orang yang komentar nggak enak. Dulu pernah ada yang komentar ibu-ibu ko ngajinya tentang bom, tapi saya biarin saja wong dia juga ga tahu, pernah suatu kali saya kasih salon di luar biar kedengeran materi pengajiannya, eh tetep saja komentarnya nggak enak “yo iyo nak sing apik-apik di tok ke” namanya orang sudah ga suka duluan ya komentarnya ga bakal bagus...”12

Selain itu, berdasarkan cerita yang dikemukakan oleh FR ada sebagian orang yang malah “mensyukuri” ketika dirinya ditangkap pihak berwenang, mereka mengatakan ‘akhire yo kecekel juga’. Tetapi menurut FR mereka yang merasa senang dengan penangkapan dirinya adalah orang-orang yang sering membuat onar di masyarakat seperti suka mabuk-mabukan, main judi togel dan lain-lain. FR dan SU justru merasa bersyukur yang membenci mereka adalah orang-orang semacam itu yang memang selama ini meresahkan masyarakat yang lainnya.

Menanggapi berbagai macam komentar dari masyarakat yang kurang mengenakkan, SU hanya menanggapi dengan enteng, “Ya saya sih nggak begitu nganggep, Mbak, saya anggap saja mereka belum tahu”. Dengan begitu SU tidak disibukkan dengan komentar orang yang tidak menyukai cara beragama dirinya dan keluarganya. Menurutnya hal ini hanya akan menghabiskan energi saja. Dia lebih memilih untuk fokus pada pembenahan dirinya, menata hatinya dan mengurus keluarganya dalam koridor pemahaman agama yang diyakininya. Ini adalah suatu mekanisme penyesuaian diri yang dilakukan SU terhadap konflik-konflik yang

terjadi dengan masyarakat sekitarnya. Proses pengabaian dianggap SU sebagai cara terbaik menghadapi berbagai komentar-komentar yang kurang menyenangkan. Dari sini dapat dilihat bahwa SU menunjukkan kemampuan berfikir dan melakukan pertimbangan terhadap masalah atau konflik serta kemampuan mengorganisir pikiran, tingkah laku dan perasaan untuk memecahkan masalah, dalam kondisi sulit sekalipun. Menurut Schneider (1981) individu yang memiliki pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri termasuk orang yang mampu menyesuaikan diri secara normal.

Sampai saat ini SU merasa hubungannya dengan masyarakat sekitar baik-baik saja. Kalaupun sekarang sudah tidak aktif di kepengurusan posyandu bukan berarti SU dan keluarganya mengalami konflik dengan masyarakat akan tetapi lebih pada kesibukannya mengasuh anak kedelapannya yang didiagnosa terkena gangguan autisme.

Pola Relasi Suami-Istri Tersangka TerorisDalam sebuah rumah tangga, menurut

Scanzoni (1981) relasi suami-istri dapat dipetakan menjadi empat pola. yaitu owner property; head complement; senior-junior partner dan equal partner. Pola owner property, istri adalah milik suami sama seperti uang dan barang berharga lainnya. Tugas suami adalah mencari nafkah dan tugas istri adalah menyediakan makanan untuk suami, anak-anak dan menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga yang lain karena suami telah bekerja untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya.

Pola head-complement, istri dilihat sebagai pelengkap suami. Suami diharapkan untuk memenuhi kebutuhan istri; cinta, kasih sayang, kepuasan seksual, dukungan emosi, teman, pengertian dan komunikasi yang terbuka. Suami dan istri memutuskan untuk mengatur kehidupan bersamanya secara bersama-sama. Tugas suami masih tetap mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, dan tugas istri masih tetap mengatur

12 Wawancara dengan SU, 4 Oktober 2011

Page 72: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 181-195

192

rumah tangga dan mendidik anak-anak. Namun dalam pola ini suami dan istri kini bisa merencanakan kegiatan bersama, dengan tetap putusan akhir berada dalam otoritas suami.

Pada pola senior-junior partner, posisi istri tidak lebih sebagai pelengkap suami, tetapi sudah menjadi teman. Perubahan ini terjadi karena istri juga memberikan sumbangan secara ekonomis meskipun pencari nafkah utama tetap suami. Dengan penghasilan yang didapat, istri tidak lagi sepenuhnya tergantung pada suami untuk hidup. Kini istri memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Menurut teori pertukaran, istri mendapatkan kekuasaan dan suami kehilangan kekuasaan. Tetapi suami masih memiliki kekuasaan yang lebih besar dari istri karena posisinya sebagai pencari nafkah utama.

Sedangkan pola equal partner, tidak ada posisi yang lebih tinggi atau rendah di antara suami-istri. Istri mendapat hak dan kewajibannya yang sama untuk mengembangkan diri sepenuhnya dan melakukan tugas-tugas rumah tangga. Pekerjaan suami sama pentingnya dengan pekerjaan istri.

Mengacu pada kerangka teori ini hasil riset tentang pola relasi suami-istri tersangka teroris dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Pertama, pola owner property. Relasi seperti ini dialami oleh AA dan HM. AA sebagai suami menganggap istrinya layaknya ‘barang’ yang tidak perlu tahu aktivitas suaminya. Kenyataan ini dapat dipahami dari peristiwa penangkapan suaminya, AA oleh polisi. Berikut ilustrasi dramatik proses penangkapan, sebagaimana dituturkan IN, sahabat dekat AA dan juga istrinya HM.

“Ketika terjadi penggerebekan terhadap AA, sedang ada acara resepesi dalam rangka walimahan keluarganya kak HM, istri ustadz AA. Layaknya acara walimahan tradisi orang Arab yang lain, suasana meriah, ramai dan penuh suka cita. Suasana seperti itu merupakan hal biasa dalam tradisi walimahan orang Arab. Namun di luar dugaan para tamu undangan pada saat itu, tiba-tiba ada polisi datang menangkap ustadz AA.”

Keluarga dan istrinya histeris. Mereka tidak menyangka kalau AA terlibat dalam aktivitas ‘terlarang’. HM sebagai istri merasa tertipu dan dibohongi oleh suaminya, AA. Suami AA selama ini tidak pernah terbuka tentang aktivitasnya.

“Ya istrinya, kak HM juga kaget banget, mungkin selama ini juga tidak pernah menyangka kalau ustadz AA ternyata ikut kelompok gituan (teroris). Bagi IN, yang namanya kaya gitu (terorisme) kan urusan pribadi masing-masing, termasuk dengan istrinya saja tidak boleh bercerita.”13

Apa yang dialami oleh AA memiliki makna bahwa dalam relasi suami-istri dalam keluarga tersangka teroris ini menunjukkan beberapa hal. Pertama, suami memegang otoritas tunggal dan tertinggi dalam sebuah keluarga; Kedua, sebagai konsekuensi atas otoritas tersebut, suami dapat menentukan dan melakukan aktivitas tanpa sepengetahuan dan persetujuan istri; Ketiga, aktivitas atau pilihan apa pun yang dilakukan suami harus dianggap benar oleh istri; dan Keempat istri tidak boleh membantah atas segala perintah suami.

Begitu juga yang dialami oleh Mira, istri tersangka teroris FQ yang ditangkap di Bogor. Selama ini, ia mengganggap suami sebagai pedagang pakaian. Layaknya seorang pedagang, FQ harus pergi ke berbagai tempat di luar daerah yang rimbanya tidak diketahui pasti oleh sang istri, Mira. Bagi orang seperti FQ, istrinya tak perlu tahu aktivitas, tujuan, di mana dan dengan siapa ia bergaul. Dalam konteks ini, pola relasi yang dibangun oleh keluarga teroris ini adalah pola owner property. Bagi FQ, istri adalah milik suami sama halnya barang properti yang lain. FQ, sebagai pemimpin rumah tangga bertugas mencari nafkah tanpa harus izin dan persetujuan istri. Sedangkan tugas istri adalah melayani; makan, seksual, melahirkan, menjaga anak dan merawat rumah suami. Dalam relasi yang demikian, suami tersangka teroris menganggap istrinya hanya ‘boneka’ yang tidak memiliki otoritas terhadap dirinya sendiri.

13 Wawancara dengan IN, 11 Oktober 2011.

Page 73: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Perempuan di Balik Teroris Maghfur & Siti Mumun Muniroh

193

Agak berbeda dengan apa yang dialami HM, dalam pola relasi suami-istri, SU lebih memiliki posisi yang agak lebih baik. Sekalipun ia di’madu,’ dalam banyak hal suaminya FR selalu mengajak berbicara tentang aktivitas, terutama dalam hal dakwah.

Awal kehidupan rumah tangga mereka dilalui layak rumah tangga baru yang lainnya. Ada penjajakan, penyesuaian, dan saling mengenal terlebih dahulu. Tutur SU, “awal berumah tangga biasalah kita masih beradaptasi berusaha saling mengenal satu sama lain, ya cekcok-cekcok dikit wajarlah”. Situasi demikian sangat wajar mengingat keduanya memutuskan menikah tanpa didahului pengenalan terlebih dahulu, layaknya anak-anak ‘gaul’ sekarang. SU hanya kenal dan berteman dengan kakak-kakak serta keluarganya, tetapi secara detail belum tahu tentang pribadi FR sebagai calon suaminya. Sebelum menikah SU hanya mengetahui kegiatan FR, namun tidak kenal secara pribadi. Hal ini diceritakan SU sebagai berikut:

“Dulu saya tuh temenan dengan kakak-kakaknya pak FR. Malah sudah dekat kenal semua keluarganya. Sama pak FR malah belum kenal, tapi sejak remajanya saya sering lihat pak FR itu orangnya rajin, setiap habis shalat maghrib tadarus al-Quran, shalatnya juga nggak pernah ketinggalan, padahal waktu itukan namanya anak muda shalat lima waktu itu ya masih bolong-bolong, itu yang bikin saya tertarik”.

Setelah menjadi pasangan suami-istri, SU merasa diajak komunikasi dalam setiap mengambil keputusan, termasuk ketika suaminya FR memutuskan menikah lagi. Dalam kegiatan apa pun, baik tentang keagamaan, perekonomian maupun politik, FR selalu berbicara dengan SU. Dari persoalan ekonomi misalnya, SU menurutkan:

“Dulu pak FR itu bikin usaha jamur merang sama saudaranya, tetapi gagal karena mungkin panasnya kurang dan waktu itu malah musim hujan. Pernah juga setelah itu bikin jamur tiram

ya sama gagal juga entah kurang apa waktu itu yang jelas gagal. Terus akhirnya sekarang pak FR usaha sablon.”14

Begitu juga dalam aktivitas sosial keagamaan, SU dianggap menjadi pendukung dalam dakwah sang suami. SU juga sering mengadakan pengajian di rumahnya yang memiliki orientasi keagamaan yang sama dengan suami, FR. Suatu saat suaminya FR dicari-cari polisi terkait dengan aktivitasnya, masalah terorisme, SU menjelaskan:

“Ya saya sendiri nggak tahu, wong bapak juga tidak melakukan apa-apa. Tapi dulu pernah, bapak itu kan sekretaris FPI, dulu pernah memberantas miras di sini, ya kalo FPI itu kan caranya barangkali memang begitu ya mbak, terus bapak dicari polisi, biasalah mbak yang dicarikan mesti pimpinannya”15.

Ungkapan SU tersebut menunjukkan bahwa sebagai istri ia, di satu sisi selalu mendukung aktivitas suami, di sisi yang lain suami juga mengajak bicara, terbuka dan membutuhkan dukungan istrinya. Pola relasi seperti ini mencerminkan pola head-complement. SU sebagai istri diposisikan sebagai pelengkap suami. Di sisi yang lain FR juga memenuhi kebutuhan istri; cinta, kasih sayang, kepuasan seksual, dukungan emosi, teman, pengertian dan komunikasi yang terbuka. Kedua-duanya sebagai suami dan istri memutuskan untuk mengatur kehidupan bersamanya secara bersama-sama. Tugas suami masih tetap mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, dan tugas istri masih tetap mengatur rumah tangga dan mendidik anak-anak. Aktivitas SU dan FR, baik dalam aspek keagamaan, politik dan juga sosial ekonomi dikomunikasikan secara transparan, walaupun dari sisi status otoritas suami tetap berada di atas.

Pola relasi suami-istri di kalangan tersangka teoris menunjukkan bahwa mereka lebih menempatkan suami sebagai pemimpin dan bahkan dalam tahap-tahap tertentu memiliki otoritas penuh atas istrinya. Pola seperti ini dapat dimaklumi karena ideologi, keyakinan

14 Wawancara dengan SU, 28 September 2011.15 Wawancara dengan SU, 4 Oktober 2011.

Page 74: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 181-195

194

dan penafsiran terhadap agama yang mereka pilih. Pola relasi yang jamak terjadi di keluarga tersangka teroris lebih banyak masuk dalam kategori relasi owner property dan head-complement. Jarang terjadi pola relasi hubungan yang lebih equal, setara dan adil antar suami-istri, yang mengedepankan prinsip-prinsip equal partner.

PenuTuP

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, religiusitas yang dikembangkan istri tersangka teroris lebih bersifat eksklusif, sekalipun juga ada yang mendekati toleran dan inklusif dalam beragama. Sedangkan teroris menurut istri tersangka teroris, adalah Amerika dan sekutunya, termasuk pemerintah dengan segenap misi kapitalisme, imperalisme serta agenda penguasaan terhadap dunia adalah pihak yang layak disebut teroris, bukan rakyat, umat Islam, dan kaum yang sedang dianiaya. Dengan kata lain, menurut istri tersangka teroris, bahwa mereka yang selama ini dituduh, disangka dan divonis sebagai teroris bukan teroris yang semestinya, justru pihak yang menuduh itulah yang sesungguhnya teroris.

Kedua, dalam konteks penyesuaian diri yang dialami oleh istri tersangka teroris paling tidak dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: (1) penyesuaian diri dalam hal kondisi psikologi; para istri tersangka teroris lebih banyak bersikap pasrah dan tidak mau terlibat secara mendalam terhadap aktivitas suami; (2) penyesuaian diri dengan masyarakat sekitar; membiarkan penilaian negatif sebagaian masyarakat dan menutup diri dengan pergaulan sosial

Ketiga, dalam pola relasi suami-istri, keluarga tersangka teroris lebih sering membangun pola relasi yang lebih bersifat owner property. Suami menganggap istri adalah milik suami sama halnya barang properti yang lain. Namun ada juga yang menganggap sebagai pendukung perjuangan dan aktivitas suami. Pola relasi yang dibangun lebih mencerminkan pola head-complement. Istri diposisikan sebagai pelengkap suami atas segala

aktivitas suami baik di bidang sosial, agama dan politik. Dari hasil penelusuran di lapangan, peneliti tidak menemukan pola hubungan yang equal partner, di mana suami-istri setara dalam berbagai aspek kehidupan.

dafTar PusTaKa

Adam L. Silverman. 2006. ”Perang, Jihad, Terorisme (Perbandingan Nilai Barat-Islam dalam Penggunaan Kekerasan)”. Dalam Agama dan Terorisme. Ahmad Norma Permata (ed). Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Al-Khattar, A.M. 2003. Religion and Terrorism: an Interfaith Perspective. New York: Praeget Publisher.

Andito (ed.). 1998. Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog ‘Bebas’ Konflik. Bandung: Pustaka Hidayah.

Baudrillard, Jean. 1993. The transparency of evil, Verso.

Beck, A.T. 2002. “Prisoners of Hate”. Behavior Research and Therapy.

Bogdan, Robert C., dan Biklen, Sari Knopp. 1992. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston, London: Allyn and Bacon.

Borum, R. 2003. Understanding the Terrorisme mind-set. FBI Law Enforcement Bulletin, 72 (7).

Calhoun, J. F. & Acocella, J. R. 1990. Psychology of Adjustment and Human Relationship. 3rd ed. New York: McGrawHill Publisher Company.

Crapps, Robert W. 1994. Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan. Yogyakarta: Kanisius.

Cremers, Agus. 1995. Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler. Yogyakarta: Kanisius.

Crenshaw, M. 2003. “Logika Terorisme: Perilaku Terorisme sebagai Hasil Pilihan Strategis”.

Page 75: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Perempuan di Balik Teroris Maghfur & Siti Mumun Muniroh

195

Dalam Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi dan Sikap Mental. Walter Reich (ed). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Damami, Muhammad. 2002. Makna Agama dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: LESFT.

Dister, Nico Syukur O.F.M. 1988. Pengalaman dan Motivasi Beragama. Yogyakarta: Kanisius.

Djelantik, Sukawarsini. 2010. Terorisme. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner. 1993. Theories of Personality. Terj. Yustinus. Yogyakarta: Kanisius.

Iqbal, Muhammad. 1934. The Recontruction of Religious Thougth in Islam. London: Oxford University-Humprey Milford.

Kakar, Sudhir. 1996. The Colors of Violence, Cultural Indentities, Religion and Conflict. Chicago & London: The University of Chicago Press.

Milla, Mirra Noor. 2010. Mengapa Memilih Jalan Teror: Analisis Psikologis Pelaku Teror. Yogyakarta: Gadjah Mada University.

Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Moustakas, C. 1994. Phenomenological Research Methods. London: SAGE Publication.

Mubaraq, Zulfi. 2011. Tafsir Jihad: Menyingkap Tabir Fenomena Terorisme Global. Malang: UIN-Maliki Press.

Piliang, Yasraf Amir. 2011. Bayang-bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi. Bandung: Mizan Publika.

Puspitasari. 2008. “Pengaruh komunikasi keluarga, Lingkungan teman dan Sekolah

terhadap Kenakalan Pelajar dan Nilai Pelajaran pada Sekolah Menengah di kota Bogor”. Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial. Vol. 7 No. 02 November, 2008.

Pyszcynski, T. et. al. 2003. in The Wake of 9/11: The Psychology of Terror. Washington DC: American Psychological Assosiation.

Scanzoni, Letha Dowson & John. Scanzoni. 1981. Men, Women, and Change: A Sociology of Marriage and Family. New York: McGraw-Hill Book Company.

Schneiders, A. A. 1964. Personal adjustment and mental helth. New York: Holt Renehart and Winston, Inc.

Shobur , Alex. 2009. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.

UU No. 15 Tahun 2003 pasal 6.

Wawancara dengan AA di Pekalongan, 6 Oktober 2011.

Wawancara dengan AS di Pekalongan, 4 Oktober 2011.

Wawancara dengan IN di Pekalongan, 11 Oktober 2011

Wawancara dengan IN di Pekalongan, 13 Oktober 2011.

Wawancara dengan SS di Pekalongan, 4 Oktober 2011.

Wawancara dengan SU di Pekalongan, 28 September 2011.

Wawancara dengan SU di Pekalongan, 4 Oktober 2011.

Wawancara dengan SU di Pekalongan, 5 Oktober 2011.

Wawancara dengan SU di Pekalongan, 3 Oktober 2011.

Page 76: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 181-195

196

Page 77: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Maridjan Won the BetA. Zaenurrosyid

197

MARIDJAN WON THE BET(An Anthropological Analysis of Maridjan’s Religious-Cultural Fight in 2006)

Maridjan Menang Taruhan (Analisis Antropologis terhadap Pertarungan Agama-Budaya Maridjan pada 2006)

A. zAENUrrOsyId

A. zAENUrrOsyIdSTAI Matholiul Falah

Jl. Raya Pati-Tayu Km. 20, Purworejo, Margoyoso, Pati, Central

Java, Phone: (0295) 5501999e-mail: [email protected]/

[email protected] diterima: 31 Mei 2013

Naskah direvisi: 29 Juli-15 Agustus 2013

Naskah disetujui: 20 September 2013

AbstrAk

Secara umum penelitian ini didasarkan pada fenomena menarik ketika Gunung Merapi meletus pada tahun 2006, yakni pemberontakan Maridjan sebagai abdi dalem untuk turun dari Merapi ketika Hamengkubuwono X sebagai raja memerintahkannya. Pertanyaan pokoknya adalah apa saja faktor-faktor perlawanan Maridjan?; dan apa yang Maridjan dapatkan dari taruhan itu sebagai pemenang? Pendekatan dalam penelitian ini adalah perspektif antropologis menggunakan pengamatan-terlibat dan dianalisis dengan metode kualitatif. Untuk mendapatkan data-data, peneliti tinggal di rumah Maridjan selama beberapa bulan di Merapi. Temuan penelitian ini adalah bahwa perlawanan Maridjan ditafsirkan sebagai peperangan yang diciptakan oleh media. Kedua, perlawanan Maridjan didukung oleh dua modal kekuatan; kekuatan kultural sebagai juru kunci Merapi dan modal wacana yang didukung oleh media. Ketiga, Mardijan memenangkan taruhan dengan mendapatkan prestise dalam status sosial di samping popularitas dan kekayaan.

Kata kunci: Abdi Dalem, Perlawanan, Raja, Media, Popularitas

AbstrAct

This research was generally based on an interesting phenomenon in 2006, when Merapi erupted. There was Maridjan’s rebellion as a royal servant to climb down from Merapi when Hamengkubuwono X as the king commanded him. The main questions were what were the factors of Maridjan’s resistances?; what were the forms of Maridjan capitals in this fighting?; and what did Maridjan get from the bet as the winner? The approach of this research was anthropological perspective using participatory observation and analyzed by qualitative method. To get data, researcher lived in Maridjan’s house for several months in Merapi. The findings of the study were there was Maridjan’s resistance which was interpreted as a fighting created by media. The second was Maridjan’s resistance supported by two capital powers; the cultural power as the Merapi’s caretaker and the discourse capital supported by the media. The third was Maridjan won the bet by getting the prestige in his social status either popularities or wealth.

Keywords: Royal Servant, Resistance, King, Media, Popularity

Page 78: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 197-206

198

inTroducTion A study of Maridjan’s resistance began

when the writer read an article about Maridjan, a Merapi caretaker, in a newspaper dated April, 19th 2007. The article described how the people lived around Merapi couldn’t do their daily activities. They had to go together to the refugee camp with the car supplied by the Yogyakarta provincial government to avoid Merapi eruption. The writer read in this article that Maridjan was an interesting figure because “he stood his ground that the Merapi would not erupt” while the Yogyakarta provincial government strictly ordered the people around Merapi to leave their place and move to the refugee camp. The 80 year old man became a controversial figure related to this Merapi phenomenon, because he stood his ground not to live his place in Kinahrejo although its position was very close to Merapi.

The writer started to read some literatures about the relation between Javanese kingdom figures with their royal servants with the background the writer mentioned above. The writer tried to understand the relation between these two. Most of these literatures didn’t explain the social change of a royal servant to higher level in short level with the help from the capital cultural and media back up. This thesis would focus on the life of a royal servant as a common person who resisted his king order, and how this resistance brought him a status change. The writer chose to use the concept offered by Ben Anderson that the Javanese has been in the form of concentric circle. In this concept, the king’s position is in the centre of the circle with an authority over his people’s life. The Javanese authority concept is absolute and according to Michel Foucault where there is an authority, there is a resistance, and this explained how the single authority of Yogyakarta is fragile to a resistance act.

There are relations of power without resistance, the latter are all the more real and effective because they are formed right at the point where relations of power are exercised; resistance to power does not have to come from elsewhere to be real nor is it power. It exists all the more by being in the same place as power; hence like power resistance is multiple and can be integrated in global strategies (Michel Foucault, 1980: 142).

To shed some light over Maridjan’s life as a royal servant means to study an area at the far north of Yogyakarta. This position had an important meaning in the concentric circle concept as said by Foucault. This condition would of course strengthen the resistance against the authority that centralized in Keraton Yogyakarta. The conclusion was that Maridjan’s resistance against Hamengkubuwono X as the Yogyakarta authority’s figure was a kind of resistance.

Weber and Schrieke1 have also described that the fight between central and regional area would add the king’s power if he was able to conquer other kingdom’s and made the king as one of his head of governor, but he would lose the power if the head governor freed him and his area from the king’s authority and gained their own power. The history of Javanese authority especially Yogyakarta has shown that resistance has shown some resistances and rebellions needed to be noted such as the rebellion of Mangir Boyo, Abdi Pragolo, Aryo Pekik and Trunojoyo. Yogyakarta separated from Surakarta Kingdom after the Gianti agreement in 1775 was also a result of a rebellion held by Mangkubumi on May 19th 1746 (Ricklefs, 1974: 63).

Maridjan’s position as a common person to create a resistance could be found in his resistance. I found two capital powers that support his’. First was the cultural power namely Maridjan’s legitimacy as the Merapi’s caretaker, and second was a discourse capital created by the media.

1 Stated by Schrieke, It was same with what Weber has described about a model of patrimonial state which is structured by Javanese administrative before colonial fight between centre and regional. B. Schrieke, Indonesia Sociological Studies I, (the huge and Bandung, van Hoeve, 1955), p 169-221. Compare with Th. Pigoued, Java in the Fourteenth Century, 4 (The Huge , Nijhoff, 1962), p. 521-536

Page 79: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Maridjan Won the BetA. Zaenurrosyid

199

MeThod of research Maridjan’s resistance was actually a bet using

the cultural capital and media discourse. So, the writer used the participatory observation (Denzin & Lincoln, 1997:496, Babbie, 1998: 282) to gain data, and also from field interview and articles from the newspapers and other media. The writer lived in Kinahrejo, Pelemsari, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman Yogyakarta to collect data as primary sources and read some written data as secondary sources (Bernard, 1994: 136). The place, the writer lived, was a house where Maridjan was born and grew up and also spent most of his life. The writer lived in gamelan (Javanese music instrument) room in the main auditorium inside the house. The writer stayed there since the end of March until the beginning of May 2007. The writer mixed with the life of Maridjan and the people in his neighborhood. The writer analyzed the data that he has gotten with data reduction process then, in displaying data form and the data presented in writing form. The writer’s last step to make a conclusion was conclusion drawing and verifying data. The writer used contrast comparison, contextualization and theorization. The last step in the writer analyzes was data contextualization with literatures, and found the right theory for the whole contexts.

finding and discussion There were some theories used to explain

the king and his authority, one was mentioned by Michel Foucault about the relation between authority and knowledge and also one was from Ben Anderson about the Javanese authority. These theories would analyze the relation between central and regional area, in this case means the relation between Sultan as the king and Maridjan as the royal servant of Yogyakarta Hadiningrat kingdom. Here is the concept of Mandala Yogyakarta.

Keraton1. (palace) that is responsible for the inside government area (Parentah Jero), and also as a mediation between the Sultan and the outside governance.

2. Nagara (capital), the position of the outside government area (Parentah Jaba) where the

princes, chief minister and high government officials live.

3. Nagaragung or Nagara Agung (Big Capital) where most of this area is an occupation area for the princes and other high level officials.

4. Mancanagara (foreign country), area under the authority of Regional Government Official appointed by the Sultan. These officials responsible to the chief minister (Soemardjan: 1981).

Structural level below the Sultan is the king’s descent. It’s a group of royal with high rank official, called sentono dalem. Below this level is priyayi (aristocrat) or abdi dalem (royal servant) which consist of common people appointed to lower level government official. Other Yogyakarta people who are excluded from these groups are called kawula dalem or kawula nagara (common people) which consist of peasant, merchant, and staff of private and trade companies.

This description clearly explained the Javanese concept claiming that the Sultan as a figure who is by the kingdom, political, military and religious authority, has the power over the whole area in his authority. Sultan also gets supernatural guidance and support from various magical and palace heirloom’s power. This great position is a result of the structure of Yogyakarta society and it strategically place at the centre of the concentric circle of the kingdom.

The position of Maridjan as a caretaker is a formal position of a royal servant in Yogyakarta Hadiningrat palace, and it had salary paid every month. The main duties of Merapi caretaker are first, to clean the way for the Labuhan ceremony, which held anually with the caretaker as the leader and the way cleaner. The second is to guide every person who wants to climb up the Merapi. These duties are effectively done by the caretaker before the occasion in June 2007.

The place where Maridjan lives was a support for his duties because it’s positioned at furthest north of Yogyakarta area, it means at most outskirt of the concentric circle of Yogyakarta kingdom’s

Page 80: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 197-206

200

authority and strengthened his position to resist culturally against the Yogyakarta’s absolute power.

Ben Anderson has clearly stated that every authority will create a resistance (Anderson: 80). Furthermore, if the authority is absolute and positioned in the centre of the kingdom’s concentric circle (Mandala as the circle of influence and ambition). This circle has a complex geopolitical relations, because the longer the distance place the less the influence it’s got from the authority. History proved that Yogyakarta, as a result of Mataram’s long journey, has faced various kinds of resistances and rebellions. There are some great rebellions that should be noted when the power from Mataram’s authority moved to Kartosuro (1680), namely Surapati rebellion (1686-1703), First Javanese Succession War (1703-1708), Second Javanese Succession War (1718-1723), Chinese War (1740-1745)2.

The palace is a place where the king lives, and it has a spiritual meaning. It’s surrounded by further circle where the furthermost circle is the place where the common people lives. Palace as the center of the concentric circle automatically has become the whole rule’s (parentah jero) source for other circles. The outside rule (parentah jaba) is led by the chief minister who has an authority over nagara, nagara agung, and mancanagara.

The long distance (geographically) between Kinahrejo and the Keraton made this area seldom get attention from the government, and this add the power of resistance for Maridjan (Laksono, 1990: 62). It’s because Kinahrejo was a small village surrounding Merapi where was only proven by the minimum facility and coordinative of this place under Yogyakarta Provincial Government or Yogyakarta Kingdom. The result was the stronger position of the informal leaders of the local level at

the Merapi’s slope, and Maridjan as the main figure and his “people” might say no longer respect to the Sultan and the kingdom’s authority. Maridjan’s local authority was supported by the legitimacy of knowledge as the Merapi’s caretaker. This condition made him a “new king” with “orders” about any conditions of the Merapi which will be definitely obeyed by his people.

Maridjan as a central object in this research is a unique and controversial figure. This controversy is not something taken for granted in Maridjan’s life at Kinahrejo. The image of Maridjan’s is controversial to unfold the reality by his words and attitudes along the Merapi’s fluctuation in 2006.

It’s difficult to start analyzing Maridjan, how he got his popularity in a short time, an invulnerable and loyal caretaker of Merapi who dared to resist his king’s order became a celebrity sought by curious people and the media. In months, almost all of the media involved in raising his popularity. Merapi as the most active volcano in Indonesia even in the world made Maridjan the most wanted figure. At the beginning of March 2006 when Merapi in normal condition, not even one media whether it’s local or international mentioned Maridjan’s name. Now, Maridjan is a very well-known figure with various images, invulnerable person, paranormal and celebrity and also an advertising star. At the end of March 2006, Kompas as one of the national newspaper published a news about Maridjan, because the change of Merapi status from normal to first degree cautions (Kompas, March 25, 2006).

In the middle of panic Merapi observer when they found out the increasing of Merapi activities, Maridjan at his house on April 18th with an unwind attitude didn’t make even one statement Merapi and the Sultan. He just said over and over again that there wasn’t one single clue that Merapi would

2 A war has happened during Kertasura period, and it has related to the same indication that internal conflict has born in kingdom area, and then gave an effect of anarchy. And It has also growth opositional power externally, either in East Java or in Central Java. M.C. Rickles, Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792 A History of the Division of Java, Oxford University Press, Ely House, London, 1974).

Page 81: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Maridjan Won the BetA. Zaenurrosyid

201

erupt. At early stage of this condition Maridjan hasn’t shown his stubborn attitude toward the “order” from the government to move to the refugee camp. When the Sultan himself ordered the people living closest to the Merapi to move, Maridjan stated that he wouldn’t resist. Even though on Wednesday, April 19th 2007 he still stayed at his place in Kinahrejo, the closest village to Merapi. He refused to be said resist his king order he considered himself to be lazy, and that the king himself asked the people to climb down so the people will obey immediately. Indosiar, one of the national television on one of its program, Fokus, predicted that the Merapi would erupt on Friday, April 28th 2006. Maridjan refused to move to the refugee camp. He was sure that Merapi won’t endanger him. This royal servant of Yogyakarta kingdom chose to pray so if the Merapi erupted the lava wouldn’t go through Kinahrejo, the village where he lived. His attitude was followed by about 200 people of his village.

The people who lived in Merapi slope were getting more panic due the raising activities of this volcano. It excluded lava and hot cloud on May 13th 2006. Antara reporter reported that Maridjan hasn’t yet moved to the refugee camp, even the Merapi status was increasing from first level cautious to the highest level cautious. He still stayed in his house although it’s only 3 kilometers away from Merapi. He said that he only undertook his job as ordered by Sultan Hamengkubuwono IX, whether the figure who asked him to move was not his king but his government. Because he was appointed by the palace not by the government, he wouldn’t obey the government order. He also said that he never asked any person to follow his attitude; he chose to stay at his place and pray (TEMPO, May 13 2006).

The media then exposed the Sultan quotes as answers to Maridjan’s statement. He said that the government was the highest institution. And the palace shouldn’t give the order because it’s part of the government. He only hoped that his orders would be obeyed. If some people had a thought he told them to go ahead. The government only tried to make the best effort for his people, and he

wouldn’t force any people to follow his orders.

The strong statements of the Sultan in facing “the stubbornness attitude” of one of his royal servant became an interesting phenomenon for the media to expose. This exposing news on the media created a public opinion that Maridjan, the royal servant of Yogyakarta palace, dared to resist his king. And this created a great image. This spectacular news was followed thoroughly by the people. The media was getting interesting as the rising of the Merapi’s activities, because it meant the rising of the fight between the king and his royal servant. Yusuf Kalla as the vice president asked the people around Merapi to move as soon as possible to the refugee camp. The Merapi status increased into the highest level in May 14th 2006 (Antara Yogyakarta, May 15 2006).

The sultan’s opinion over Maridjan’s attitude blamed him because as the Merapi caretaker who obeys the palace he should follow the government as well because it is part of the government. Yogyakarta as a province should follow the order of the central government and so should Maridjan (TEMPO, May 15 2006). The Sultan said that Maridjan’s reason for refusing to move to the refugee camp because he followed the order of Sultan Hamengkubuwono IX is irrational. When Detik.com visited Maridjan on May 15th 2006 he said that he refused to move to the refugee camp because his area followed the palace’s rules.

On May 27th 2006, a big earthquake shocked Bantul region (a region at the south of Yogyakarta). All of the media surrounded the Merapi moved their attention to the south, to the earthquake area (Detik.com, May 31 2006). On June 14th 2006, a small explosion happened in Kalibebeng and its status rose again to the highest level cautious. Once more, Merapi excluded hot lava to its 7 kilometers slope. The explosion destroyed Kalibebeng but it was not as big as predicted by the volcanologists.

Maridjan “stubbornness” was a symbol to his resistance supported by the cultural power of his position as the Merapi caretaker. This legitimacy was strongly planted in Maridjan’s life as his claim on Merapi. Once, he mentioned

Page 82: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 197-206

202

that a horse shepherd knew more than the owner (in this case it means the Sultan). Maridjan’s attitude to stand his ground became an interesting phenomenon for the media to be exposed largely. They made controversial news which was actual and marketable. It is easily used by the media to increase the fight between the king and his royal servant. Maridjan as royal servant and the Merapi caretaker “refused” to move to the refugee camp while the Sultan “ordered” him to do it. His refusal was full of uniqueness constructed by the media and put it as a hot news for the readers.

According to Masduki, media intended to create a cultural conflict nuance in every natural disaster exposure, whether it’s between the government and the people or between charismatic figures at local level. Media consciously and unconsciously popularized every person ready to make a controversial attitude3.

It should be noted here that Maridjan’s main duty as the Merapi’s caretaker was to take care of Merapi. Maridjan’s capital added with the discourse that he had the biggest authority on everything about Merapi. Maridjan has changed from a simple and an honest figure into “suddenly” celebrity accelerated by various media in this country. Merapi’s eruption in June 2006 was routine one, but it was used for his cultural resistance with the full support from the media, and also the discourse that has been created by the media itself. In fact, the public never saw or read the enmity directly; they only got it from the media. This condition could be categorized as the media’s success for creating a cultural resistance nuance for Maridjan, the Merapi’s caretaker. This figure was actually a mere an honest and a simple royal servant who in a short time turned into a celebrity because he dared to resist his king’s order, Sultan Hamengkubuwono X, the ruler of Yogyakarta.

The writer would also analyze Maridjan’s “bet”. His resistance shown through his attitude to stand his ground by staying in Kinahrejo, became the seed of his indirect “resistance” to the king, Sultan Hamengkubuwono X. As a loyal royal servant he should obey every his king’s order, but when he refused it, we could say he has resisted his order. The question was why did Maridjan dare to resist his king’s order?

The writer has mentioned before that the media, whether it’s visual or non visual, has significantly played and manipulated this enmity between the royal servant and his king. The media created a discourse that Maridjan as a royal servant dared to resist the “order” of his king, the Sultan.

Media facilitated his resistance to his king with a kind of bet. The bet was Merapi, and the players were Maridjan, the royal servant and Sultan Hamengkubuwono X, the king. In anthropological concept, this bet is called as “deep play”. The rule of this play is that whoever the winner is he will get the prestige and the looser will have to pay his lost. Geertz said as adopted from Benthem’s concept in theory of legislation:

“Almost all matches are sociologically relevant, that it is pit two different social groups against each other through their respective cocks. Thus conflict of social groups can occur at any level of group inclusiveness, from an institutional hostility relationship between two individuals to an opposition of two villages; fighting cocks. Almost every Balinese I have discussed is like playing with fire not getting burned. Active village and kin group, rivalries and hostilities, but in play form, coming dangerously and entrancingly close to the expression of open and direct interpersonal because after all it is “only a cockfight” (Geertz, 1980: 137).

The writer’s concept about his bet was on a comparative perspective on how Maridjan’s life has changed drastically. Maridjan was used to be an honest, a simple and sincere figure. This

3 This explanation can be reached at http://www.mediacenter-ajiyogya.com Media Center Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta by Mambo Generated: May 24, 2007.

Page 83: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Maridjan Won the BetA. Zaenurrosyid

203

impression was given by the chief of the village the first day I arrived in Kinahrejo. Mugiarto, Maridjan’s childhood friend, said that Maridjan was a mere farmer’s child who loved to find grass for his cattle and to work on his field. Wigyo, his elder brother, has the same opinion with Mugiarto that Maridjan was an astonishing figure. As a close friend who has spent his whole life with him, he has never seen even once, Maridjan’s anger. The impressive things about Maridjan were his honesty and simplicity. Since his early years, he was well-known for his diligence. He often does fasting especially Javanese, sometimes even for 40 days until he got married.

The information about Maridjan and his family’s life was mostly the same that they haven’t changed much. He hasn’t got much money, and he hasn’t been wealth. The money he got from the advertising he did with Chris John, the national boxer, he gave it to his neighbors, all about 360 families. Inside his simple attitude, his simple and humorious face, sometimes I found a stubborn figure that would stand his ground whatever happened. Many time guests went home disappointedly because of his refusal.

Maridjan has won the bet; the first proof was his changing status enlivened by the various media. The advertisement of Sido Muncul and Kuku Bima has launched his face nationally through the media, has created this image. His close relation to high level celebrities such as Oneng, Doni Kesuma and Chris John has made him a new celebrity.

The second was an invitation to watch the opening ceremony of the World Cup final in German. Munich’s major himself invited Maridjan to German. This invitation was brought by a Germany reporter coming to his house. This was a proof that he was not only a well-known figure in this country but also in the world.

The third was the invitation from the Vice President and the Minister of Environment on the Celebration of World Environment Day in 2006 at the Malam Adipura. Maridjan cancelled his journey to Jakarta and sent a letter. In his letter, he apologized that he couldn’t come to

Jakarta because he had a bigger responsibility, namely Merapi which at that time was in a critical condition. This letter was read by Roni Waluya the master of ceremony on that occasion (Antara news, Jakarta, June 12 2006). Maridjan stayed at his place and did his job although this assessment was not easily got but he preferred to do his job (Serasi Magazine, June edition, 2006).

The fourth was when Megawati, the former president, herself came to his house and gave him an insurance on his name on Tuesday, May 30th 2006.

The fifth was the visit of the PBNU chairman, Hasyim Muzadi, to the refugee camp and his house. He appointed Maridjan as the NU board in his area, and this was easily given. This condition gave him more religious legitimacy, although he hasn’t done his religious attitude, such as praying five times a day, for a long time (NU Online, June 2006).

The sixth was an assessment The Person of the Year 2007. It was given because Maridjan was considered as a loyal figure and has successfully done his responsibility to his environment. This social prestige assessment was given together with the former Central Java Governor and former Chief of Central Java Police, which showed that he was no longer a common person.

The seventh was the assessment he got from his own resistance to his king. At the beginning of the Merapi’s status fluctuation, the Sultan ordered him to move to the refugee camp, but he refused it. But after Maridjan “won the bet”, the Sultan himself gave him a different perspective. He was considered as a person who strongly hold his given instruction and did his duty as the Merapi’s caretaker. This was said by the Sultan Hamengkubuwono X at the dialogue in Pagelaran, Yogyakarta palace in front of ten thousands of Yogyakarta people. The Sultan said that Maridjan was a good example although he was only a common person who lived a simple life and sincere, but he knew how to fulfill his responsibility and the instruction given to him, and also his obligation. At that occasion, Sultan was accompanied by his wife Gusti Kanjeng Ratu

Page 84: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 197-206

204

Hemas, his children and his children in law. There were also the Vice Governor of Yogyakarta Pakualam IX and four regents of the Yogyakarta province, also the Yogyakarta major. Sultan also said that it was impossible for him to leave his place and move to the refugee camp even if the Merapi erupts. If he leaved his place, it looked like a soldier who did a desertion. Maridjan wouldn’t do that he preferred to die than to leave his responsibility. This attitude was good example (Kompas, April 18 2007).

Yusuf Kalla, the Vice President, said that he invited Maridjan so he could give a good example of his leadership. According to him, Maridjan was able to fulfill his responsibility to take care the palace’s instruction to take care of Merapi whatever the risk, and of course, this needed a strong discipline (Kompas, April 16 2007).

What the Sultan said about Maridjan above could be considered as play to lower his own position as a king to beg for name and popularity. Maridjan’s response to these praises was that they only gave him more responsibilities, and that’s only a wordy praise. It was actually his biggest respect for the former Sultan Hamengkubuwono IX. He said that the former Sultan had great invulnerabilities (Gatra, No. 32, Juni 22 2006).

The social condition of Yogyakarta and Maridjan’s resistance attitude against his king “order” could be clearly seen on the Yogyakarta people’s restless because of development of modernity. This development has changed Yogyakarta tradition and reduced the spiritual nuance of the palace with all its values.

According to Ben Anderson’s analysis, the phenomenon of mountain eruption, big flood, earth quake and other natural disaster in Javanese socio-cultural terminology was considered as the decreasing image of an authority. Because an ideal

authority supposes to have to control, take care and act about his surroundings. Maridjan’s movement was a cultural movement of uneducated royal servant created by the help of media.

In short, I think the Yogyakarta people’s restlessness has answered with the winning of this cultural resistance. Maridjan, the royal servant, has become a new king guards the Yogyakarta culture and lived at the most outskirt of Yogyakarta kingdom. This was popularized by his king, Sultan Hamengkubuwono X. The winning symbol of this cultural bet has beaten the king’s authority structure. His popularity has been earned by the help of media, in fact, has successfully played. The ending of this bet was the winning of the royal servant figure who became a new king and the changing status in a short time. This could be seen from the Sultan attitude who became Maridjan’s translator at the closing ceremony of National Coordinating Meeting of Golkar at Hyatt Hotel Yogyakarta on April 16th 2007, and it was a proof that the Sultan has admitted Maridjan’s victory4.

closing

Generally, I found three main clues from this research analysis as an answer. The first was the essence of Maridjan’s social status change from an honest and a simple man into a popular celebrity. Maridjan’s changing social status was in fact the resistance of a royal servant to his king’s order. In history of Yogyakarta as the descent of a big kingdom in Java, Mataram, the absolute authority of Mandala Yogyakarta concept always creates a resistance in the rebellion form. Maridjan has certainly done this resistance that has been played beautifully by the media. The second was the capital of Maridjan’s resistance. I found two main things used by Maridjan for his resistance namely his cultural legitimacy as Merapi’s caretaker and the discourse has been created by the media.

4 This meaning was concluded from the simbolic actions between Sultan and Maridjan expossed at Kompas, in title “Maridjan tutup Rapat Golkar”. This news gave a description that ”Sultan Hamengkubuwono X menjadi penterjemah abdi dalemnya Maridjan”. Kompas, April 16 2007.

Page 85: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Maridjan Won the BetA. Zaenurrosyid

205

Media has constructed a discourse that Maridjan as the Merapi’s caretaker was a great figure who dared to resist his king’s order. Maridjan’s image was the main icon with the knowledge of Merapi’s framework, an invulnerable figure who able to communicate with “Eyang Merapi”, the ruler of Merapi. The third was Maridjan’s changing status. Maridjan’s resistance with staying at his place was another form of a bet. The bet was Merapi and the players were Maridjan as the royal servant and Sultan Hamengkubuwono X as the king. The “bet” was over and Maridjan won it, he got the prestige as his social status was changed. This winning was not only the winning of Maridjan as a figure in this political dramatization, but more this winning was a symbol of a cultural movement against the king absolute authority which was fading in the uproar of modernity’s development.

references

Anderson, Benedict R.OG. 1984. “Gagasan Tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa”. Dalam Aneka pemikiran tentang Kekuasaan dan Wibawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Babbie, Earl. 1998. The Practice of Social Research. Westford: Wadsworth Publishing Company.

Bernard, H. Russel. 1994. Research Methods in Antropology: Qualitative and Quantitative Approches. London: Sage Publication.

Buku Kenang-Kenangan Peringatan 200 Tahun Kota Yogyakarta 1756-1956.

Denzin C., Norman & Wanna S, Lincoln. 1997. Handbook Qualitative Research, (terj.) USA: Sage Publication.

Foucault, Michael. 1980. Power Knowledge; Selected Interview and Other Writing. Editor Colin Gordon. New York: Pathean Books.

Fuller, LL.. 1964. The Morality of Law. New Haven: Yale University Press.

Geertz, Clifford. 1980. Negara, The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Princeton: Princeton University Press.

___. 1980. “Deep Play: Notes on Balinese Cockfight”. In Kenneth A. Rice, 1980, Greertz and Culture. Michigan: University of Michigan and Ann Arbor.

___. 1983. Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa (translation). Jakarta: Pustaka Jaya.

Geldern, R. Heiner. 1942. “The Far Eastern Quarterly”, Conception of state and Kingship in Southeast Asia.

Goenawan, Riyadi dan Harnoko, Darto. 1993. Sejarah Sosial Daerah-daerah Istimewa Yogyakarta; Mobilitas Sosial di DIY Periode Abad Duapuluhan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Sejarah dan Nilai Tradisional.

Gunawan, Rudy. 2006. Maridjan, Man behind Gunung Merapi. Jakarta: Grasindo.

Gibb, HR. & Harold. 1950. Islamic Society dan the West. London and New York: Oxford University Press.

Ham, Ong Hok. 2005. Dari soal Priyayi Sampai Nyi Blorong, Refleksi History Nusantara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Houben, Vincent J.H. 2002. Keraton dan Kompeni, Surakarta dan Yogyakarta. 1830-1870. Yogyakarta: Bentang.

Kroeber, A.L. 1948. Anthropology. New York: Harcourt Brace and Company.

Kutoyo, Sutrisno, dkk. (Peny.). 1997. Sejarah Daerah-daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.

Laksono, P.M.. 1990. Tradition Java in Javanese Social Structure Kingdom and Countryside, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Minsarwati, Wisnu. 2003. Mitos Merapi dan Kearifan Ekologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Page 86: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 197-206

206

Niels, Mulder. 1999. Agama, Hidup Sehari-hari, dan Perubahan Budaya: Jawa, Muangthai, dan Filipina. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

___. 1992. Individual and Society in Java. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Triyogo, Lucas Sasangko. 1991. Manusia Jawa dan Gunung Merapi. Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Ricklefs, M.C.. 1974. Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792 A History of the Division of Java. London: Oxford University Press, Ely House.

Schrieke. 1955. Indonesia Sociological Studies I. The huge and Bandung, van Hoeve.

Scott, James C. 1985. Weapons of the Weak Everyday Forms of Peasant Resistance London: Yale University Press.

Soemardjan, Selo. 1981. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Palupi, Sri. 2006. ”Warisan Pemikiran Clifford Greertz”. Artikel dalam seminar Kompas, Bentara Budaya Jakarta, dan Lingkar Muda Indonesia pada 30 November 2006.

Pigoued, Th.. 1962. Java in the Fourteenth Century, 4. The Hague, Nijhoff.

Poerwokoesoemo, Soedarisman. 1984. Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

___. Tri Panca Karsa Kotapradja Yogyakarta, 7 Juni 1947- 7 Juni 1962.

Newspaper, Magazine and Internet

Antara Yogyakarta, May 15 2006.

Antara News, Jakarta, June 12 2006.

“Bertahan di Gunung Merapi, Mbah Maridjan Rasakan Getaran Gempa Lemah”. Detik.com, Mei 31 2006, 10:53 WIB.

Gatra Magazine, Nomor 32, Lensa, Kamis June 22 2006.

http://www.mediacenter-aj iyogya.com Media Center Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta by Mambo Generated: May 24 2007

Magazine of 26 Serasi – June 2006 Edition.

“Maridjan ‘Beragama’ NU”. NU Online, June 01 2006.

”Maridjan Menolak Mengungsi”. Tempo Interaktif, Sabtu, May 13 2006.

“Maridjan tutup Rapat Golkar”. Kompas, April 16 2007.

”Sultan Kembali Perintahkan Maridjan Mengungsi”. Tempo Interaktif, May 15 2006.

”Waspada Gunung Merapi”. Kompas, March 25 2006.

Page 87: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Nilai-nilai Etika Budaya Jawa dalam Tafsir Al-HudaNovita Siswayanti

207

NILAI-NILAI ETIKA BUDAYA JAWA DALAM TAFSIR AL-HUDA

Javanese Ethical Values in Tafsir Al-Huda

NOVITA sIswAyANTI

NOVITA sIswAyANTIPuslitbang Lektur dan Khazanah

KeagamaanBadan Litbang dan Diklat

Kementerian AgamaJl. M.H. Thamrin No. 6 Jakarta, Telp./

Fax. 021-3920713e-mail: [email protected]

Naskah diterima: 1 Mei 2013Naskah direvisi: 29 Juli-12 Agustus

2013Naskah disetujui: 19 September

2013

AbstrAct

Tafsir Al-Huda, interpreting Quran in Javanese language, is one of Indonesia interpretation in which the context projecting the process of mingle between Quran and Javanese culture heritage owned by the author with social culture condition surrounded. Tafsir Al-Huda is a guidebook for experiencing sacred messages of Quran which is filled with moral values of Javanese culture. This research tried to study Javanese ethical values written in Tafsir Al-Huda. Content analysis method with hermeunetic approach is used in this study by interpreting symbols in form of text in order to find its meaning. This research conclude that Tafsir Al-Huda has Javanese cultural perspective, use cultural context, and has acomodating and integrating interconection. Tafsir Al-Huda embody the Javanese philosophy and view of life to make society remember the God and be aware to any behavior and saying (eling lan waspada), tolerate and respect others (tepa selira), and live in harmony with the concept that harmony can create unity, dispute can create separation (rukun agawe santosa lan crah agawe bubrah).

Keywords: Quran, Tafsir Al-Huda, Javanese Ethical Values, Bakri Syahid

AbstrAk

Tafsir Al-Huda, tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa, merupakan salah satu khazanah tafsir Indonesia yang dalam konteksnya memproyeksikan proses pergumulan antara Al-Qur’an dengan warisan budaya Jawa yang dimiliki pengarang dengan kondisi sosial budaya Jawa yang melingkupinya. Tafsir Al-Huda semacam “guidebook” bagi pengamalan pesan-pesan suci Al-Qur’an yang sarat dengan nilai-nilai etika budaya Jawa. Penelitian ini berupaya mengkaji nilai-nilai etika Jawa yang terdapat pada Tafsir Al-Huda. Metode dalam penelitian ini adalah metode analisis isi (content analysis) dengan pendekatan hermeunetika, yakni menafsirkan simbol berupa teks untuk dicari arti dan maknanya. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Tafsir Al-Huda berperspektif budaya Jawa yang bersifat kultural-kontekstual serta akomodatif dan integratif-interkonektif. Tafsir Al-Huda mengejawantahkan falsafah dan pandangan hidup Jawa dalam hidup bermasyarakat agar eling lan waspada (ingat kepada Allah dan waspada terhadap setiap tingkah laku ucapan dan perbuatan) dan bersikap tepa selira (tenggang rasa, toleransi menghargai hak orang lain), dan rukun agawe santosa lan crah agawe bubrah (kerukunan dapat menciptakan persatuan, perselisihan dapat menciptakan perpecahan).

Kata kunci: Teks Al-Qur’an, Tafsir Al-Huda, Etika Jawa, Bakri Syahid

Page 88: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 207-220

208

Pendahuluan

Al-Qur’an adalah kalam Allah yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. yang bersifat universal, abadi, adil, sesuai dengan fitrah manusia, yang kaya akan kisah-kisah penuh hikmah dan pelajaran, dan juga mengandung hukum secara umum yang menuntun dan memberi petunjuk kepada tiap-tiap individu untuk membangun ketakwaan kepada Allah dan menyempurnakan budi pekerti luhur serta budidaya manusia (Syahid, 1979: 7). Al-Qur’an di mana pun dan kapan pun akan selalu berinteraksi dengan nilai-nilai kebudayaan manusia dalam konteks sosial dan budaya yang berbeda-beda dan terus berubah. Al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan juga berfungsi merespon setiap stimulus dari lingkungan sosial dan budaya melalui simbol-simbol bahasa (Rodhi, 2000: 188-189).

Interaksi nilai-nilai Al-Qur’an yang bersifat global-normatif dengan nilai-nilai etika Jawa yang bersifat lokal-historis direpresentasikan dan ditranskripsikan ke Bahasa Jawa secara literer dan historis oleh Bakri Syahid menjadi sebuah tafsir yang bernama Tafsir Al-Huda. Tafsir Al-Huda dikarang dan ditulis oleh Bakri Syahid, seorang ksatria kharismatik, purnawirawan militer dan juga Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1972-1976) asal Yogyakarta. Tafsir Al-Huda termasuk salah satu khazanah kajian tafsir Al-Qur’an Indonesia di antara karya-karya terbaik kiai-kiai kharismatik Indonesia, yaitu Kiai Muhammad Saleh Darat dari Semarang dengan karyanya Tafsir Basa Jawi dalam Bahasa Jawa dalam huruf Arab (1892 M), Tafsir al-Ibriz li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-’Aziz Tafsir Berbahasa Jawa Karya KH Bisri Musthofa, dan Tafsir Al-Iklil Tafsir Berbahasa Jawa karya KH. Misbah Mustafa (Muhsin, 2012: 52).

Tafsir Al-Huda merupakan tafsir ayat-ayat Al-Qur’an 30 juz berbahasa Jawa, memiliki keunikan dan keistimewaan dalam metode penulisan dan penyalinan ayat-ayat Al-Qur’an, dan di lengkapi dengan transliterasi teks Al-Qur’an dalam Bahasa Latin, sehingga mudah dipahami oleh pembaca

yang belum lancar membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu Tafsir Al-Huda juga memiliki daya tarik tersendiri pada penjabaran dan penjelasan ayat perayat yang bernuansa nilai-nilai etika dan moral budaya Jawa yang dapat membangun karakter dan perilaku bangsa. Tafsir Al-Huda juga sarat dengan intisari nilai-nilai spiritual dan budi pekerti Jawa yang terdapat pada Serat Wedhatama dan Serat Wulang Reh. Serat yang berisi ajaran luhur untuk membangun budi pekerti dan olah spiritual bagi kalangan raja-raja Mataram yang digubah dalam bentuk tembang agar mudah diingat dan lebih “membumi”. Serat Wulang Reh, berisi pendidikan yang menekankan pada pengembangan hati, rasa, emosionalitas, atau bahkan spiritualitas (Syahid, 1979: 9).

Tafsir Al-Huda berbahasa Jawa ini berusaha memahami Al-Qur’an dalam konteksnya sebelum kemudian memproyeksikannya ke dalam situasi dan kondisi masyarakat Jawa. Tafsir ini sebagai semacam “guidebook” bagi pengamalan pesan-pesan suci Al-Qur’an yang sarat dengan nilai-nilai etika dan norma-norma budaya Jawa. Tafsir Al-Huda mengejawantahkan falsafah dan pandangan hidup Jawa dalam hidup bermasyarakat agar eling lan waspada (ingat kepada Allah dan waspada terhadap setiap tingkah laku ucapan dan perbuatan), aja dumeh (jangan mentang-mentang) dan menjauhi sifat adigang, adigung, dan adiguna (sombong), ber sikap tepa selira (tenggang rasa, toleransi menghargai hak orang lain), dan rukun agawe santosa lan crah agawe bubrah (kerukunan dapat menciptakan persatuan, perselisihan dapat menciptakan perpecahan).

Dalam purwaka-nya, Bakri Syahid menuliskan bahwa jika sikap-sikap tersebut di atas direpresentasikan dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka antarindividu akan hidup tentram, bahagia, sejahtera, dan dinamis. Kasih sayang dan tolong-menolong akan membangun dan menciptakan masyarakat yang lebih baik, lebih adil, dan lebih makmur. Terutama sekali dalam menghadapi ‘hegemoni budaya’ yang ditayangkan lewat media cetak dan elektronik diperlukan kondisi budaya yang kokoh

Page 89: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Nilai-nilai Etika Budaya Jawa dalam Tafsir Al-HudaNovita Siswayanti

209

dan tangguh menghadapi tantangan globalisasi atau arus budaya Barat yang dapat memudarkan nilai-nilai etika Jawa dan bahkan mengubah sikap dan pola masyarakat terhadap budaya Jawa (Syahid, 1979: 7).

Arus globalisasi yang melaju seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak disertai dengan hal yang sama dalam bidang kehidupan moral, etika dan spiritualitas, telah mengubah wajah dunia hari ini. Bukan hanya jarak yang terasa dekat, tapi sekat-sekat antarkebudayaan dan peradaban semakin tipis dan semakin rapuh dibawa arus materialisme, hedonisme, pragmatisme peradaban modern. Dari perkembangan tersebut, interaksi antar-kebudayaan semakin intensif, sehingga secara tidak langsung telah terjadi pengikisan terhadap budaya tradisional (folk culture) dan juga semakin renggangnya rasa kebersamaan, keakraban, nasionalisme, upaya-upaya memajukan kepen-tingan dan ketertiban umum, pelanggaran nilai-nilai sosial, etika, dan agama terjadi hampir di semua belahan dunia.

Jika tidak ingin karakter bangsa dan kebu-dayaan Jawa tergeser oleh perubahan-perubahan yang tidak sesuai dengan budaya Timur, kita haruslah tetap bertahan pada nilai-nilai luhur yang dikandungnya sembari mengadaptasi budaya-budaya yang ada di sekitarnya, baik dalam ranah konsep maupun perilaku sehari-hari. Selain itu diperlukan pendayagunaan seluruh ‘potensi budaya’ yang ada. ‘Bahasa Jawa, Budaya Jawa, Jagad Jawa’ memiliki potensi yang dapat diberdayakan. Terhadap nilai-nilai yang ada di dalamnya perlu dilakukan reinterpretasi, readaptasi, dan rekontekstualisasi untuk disumbangkan dalam rangka menyemai karakter bangsa. Nilai-nilai yang akan diinternalisasikan perlu dikomunikasikan dengan meng gunakan bahasa yang tepat (Saliman, 2011: 5).

Sehubungan dengan itu, pada tataran praktis, Tafsir Al-Huda merupakan salah satu wujud kebudayaan Islam Jawa yang dapat diposisikan sebagai ‘model dari realitas’ sekaligus ‘model untuk realitas’. Dialektika Al-Qur’an dan nilai

nilai etika budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda merupakan proses pergumulan antara Al-Qur’an warisan budaya Jawa yang dimiliki pengarang dan kondisi sosial budaya Jawa yang melingkupinya. Tafsir Al-Huda mentransformasikan masyarakat Jawa menuju tatanan kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Al-Qur’an tanpa harus meninggalkan warisan adiluhung dalam budaya Jawa, juga mentrasformasikan model budaya Jawa yang di dalamnya memuat berbagai macam nilai etika menuju budaya Jawa yang muatan nilai-nilainya disinari oleh nilai-nilai universal dapat dibaca (Muhsin, 2012: x).

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penelitian ini mengkaji dan menelaah nilai-nilai etika budaya Jawa yang terdapat pada Tafsir Al-Huda untuk menyemai kembali karakter bangsa yang hampir tergeser dan punah.

Adapun permasalahan pada penelitian ini adalah: siapa pengarang Tafsir Al-Huda, bagaimana karakteristik Tafsir Al-Huda; apa saja nilai-nilai budaya Jawa; dan apa saja nilai-nilai budaya Jawa pada Tafsir Al-Huda?

KerangKa Teori

Kerangka teori yang menjadi landasan teori pada penelitian ini adalah:

Nilai-nilai Etika Budaya Jawa Etika dalam pandangan Jawa berarti

kesusilaan. Dalam etika Jawa dipermasalahkan adanya baik dan buruk (good-evil) yang mempengaruhi perilaku manusia kepada Tuhannya, sesama manusia, dan lingkungannya. Nilai-nilai etika budaya Jawa adalah nilai-nilai luhur yang baik dan berharga yang seyogyanya dijadikan pedoman dan dianggap penting oleh masyarakat. Nilai etika yang terkandung dalam bahasa dan sastra Jawa berwujud tata nilai kehidupan Jawa, seperti norma, keyakinan, kebiasaan, konsepsi, dan simbol-simbol yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa.

Hildred Geertz dalam Magnis Suseno, berpendapat bahwa dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat

Page 90: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 207-220

210

Jawa yaitu “prinsip kerukunan” dan “prinsip hormat” (Suseno, 1996: 45-50). Rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram tanpa perselisihan dan pertentangan. Prinsip kerukunan ini terutama bersifat negatif: prinsip itu menuntut untuk mencegah segala cara yang bisa menganggu keselarasan dan ketenangan dalam masyarakat. Prinsip hormat pada dasarnya bahwa setiap orang dalam berbicara, membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukan sosialnya.

Koordinat normatif yang menentukan ke-hidupan praktis Jawa meliputi: sikap batin dan tindakan yang tepat dalam dunia dan tempat yang tepat. Sikap batin menurut etika Jawa meliputi beberapa sikap (pokok) di dalamnya yaitu: hawa nafsu, egoisme (pamrih), nrima, ikhlas, jujur (temen), bersahaja (prasaja) dan tenggang rasa (tepa selira). Oleh karena itu, idealnya seseorang dikatakan memiliki sikap batin yang tepat jika dia dapat mengendalikan hawa nafsu, tidak egoisme (tanpa pamrih) serta dapat bersikap nrima, ikhlas dan berlaku jujur, bersahaja dan memiliki tenggang rasa (Endraswara, 2003: 35-42).

Tafsir Al-HudaTafsir Al-Huda salah satu khazanah tafsir

Indonesia yang berbahasa Jawa karya Bakri Syahid Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta periode 1972-1976. Bakri Syahid lahir dan dibesarkan dalam interaksi budaya Jawa. Tafsir Al-Huda merupakan proses pergumulan antara Al-Qur’an, wawasan budaya Jawa yang dimiliki pengarang, dan kondisi sosial budaya Jawa yang melingkupinya. Tafsir Al-Huda memiliki keistimewaan metode penulisan dan penjelasannya, yaitu; didalam Tafsir Al-Huda dituliskan transliterasi cara membaca Al-Qur’an dengan bahasa Jawa, kemudian diterjemahkan dan diberikan penjelasan (foot note) dalam Bahasa Jawa. Tafsir Al-Huda ini merupakan tafsir kontemporer berperspektif budaya Jawa yang bersifat kultural-kontekstual serta akomodatif dan integratif-interkonektif.

MeTode PeneliTian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi (content analysis) de-ngan pendekatan hermeneutika, yakni menafsir-kan simbol berupa teks untuk dicari arti dan maknanya. Menurut Carl Braathen, hermeneutika adalah ilmu yang merefleksikan bagaimana satu kata atau satu peristiwa pada masa dan kondisi yang lalu bisa dipahami dan menjadi bermakna pada masa sekarang sekaligus mengandung aturan-aturan metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran dan asumsi-asumsi metodologis dari aktivitas pemahaman (Raharjo, 2012: 30). Selan-jutnya penelitian ini berupaya mengungkapkan makna-makna simbolik nilai-nilai etika Jawa yang terdapat pada Tafsir Al-Huda dalam penyemaian karakter bangsa.

Langkah-langkah penelitian analisis isi yang dilakukan menurut rancangan Krippendorff, meliputi: (1) Pengadaan data; data-data terkait dengan nilai-nilai etika Jawa dikumpulkan melalui data primer yaitu Tafsir Al-Huda dan data skunder buku-buku filsafat dan budaya Jawa; (2) Validasi, untuk mengetahui ketepatan dalam mengartikan setiap kata dalam Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia dan ketepatan dalam memaknai korelasi nilai-nilai etika budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda; dan (3) Analisis terhadap isi dan pemaknaan kata-kata yang berkorelasi dengan nilai-nilai etika budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda (Krippendorff, 1980: 61).

hasil dan PeMbahasan

Tafsir Al-Huda dan PengarangnyaTafsir Al-Huda dikarang dan ditulis oleh

seorang purnawirawan militer dan juga Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1972-1976) yang bernama Kolonel (Purn.) Drs. H. Bakri Syahid. Bakri dilahirkan pada Hari Senin Wage tanggal 16 Desember 1918 M di Kampung Suronatan, Kecamatan Ngampilan Kotamadya Yogyakarta. Ayahnya bernama Muhammad Syahid dan ibunya bernama Dzakirah. Bakri dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga Jawa yang agamis, dan sangat menjunjung tinggi nilai-

Page 91: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Nilai-nilai Etika Budaya Jawa dalam Tafsir Al-HudaNovita Siswayanti

211

nilai budi pekerti budaya Jawa dalam kehidupan sehari-hari.

Bakri Syahid mulai menimba ilmu di Kweekschool Islam Muhammadiyah (sekarang Madrasah Muallimin) dan lulus pada tahun 1935. Setelah menyelesaikan sekolah di Madrasah Muallimin hingga tahun 1942, Bakri menjadi Pengajar HIS Muhammadiyah sepanjang Surabaya dan Sekayu Palembang sampai tahun 1942. Pada tahun 1957, Bakri Syahid melanjutkan pendidikan di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kemudian tahun 1964, Bakri melanjutkan pendidikan militer di Fort Hamilton, New York Amerika Serikat. Bakri Syahid memulai karirnya di militer dan diangkat menjadi Kepala Pusroh TNI AD di Jakarta hingga ia menjabat sebagai Wakil Kepala Pusroh Islam Angkatan Darat dan Asisten Sekretaris Republik Indonesia. Bakri juga menjabat sebagai Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1972-1976) dan anggota MPR RI dari fraksi ABRI tahun 1977 (Syahid, 1979: 9).

Bakri Syahid memiliki perhatian besar terhadap dunia akademik dan intelektual. Di sela-sela kesibukannya, Bakri gemar menulis dan berprofesi sebagai wartawan. Adapun karya-karya Bakri Syahid adalah Tata Negara RI, Ilmu Jiwa Sosial, Kitab Fikih, Kitab ‘Aqaid, Pertahanan Keamanan Nasional, Ilmu Kewiraan, dan Ideologi Negara Pancasila. Bakri Syahid dikenal sebagai seorang pemimpin yang memiliki sifat ksatria adiluhung Jawa, berbudi pekerti luhur, penyabar, lembah manah, jauh dari sikap adigang adigung adiguna, welas asih dan memiliki solidaritas yang tinggi kepada sesama.

Karakteristik Tafsir Al-HudaTafsir Al-Huda ditulis oleh Bakri Syahid sejak

pertama kali sebagai karyawan ABRI di Sekretaris Negara pada tahun 1970 sampai menjadi Rektor IAIN Sunan Kalijaga. Tafsir ini diselesaikan pada tahun 1977 (masa Orde Baru), dan baru diterbitkan pada tahun 1979 oleh percetakan offset “Persatuan” Yogyakarta.

Ada tiga alasan atau penyebab yang

melatarbelakangi Bakri Syahid menulis Tafsir Al-Huda, yaitu: Pertama, pembentukan moral bangsa yang sesuai Al-Qur’an. Menurutnya, adalah tugas mulia, membangun bangsa dan prilaku bangsa dengan tetap berpegang pada kepribadian nasional. Kedua, tafsir ini sebagai bentuk silaturahmi Bakri kepada sahabat-sahabat seperjuangan baik di transmigrasi, kenalan lama teman-teman jama’ah haji di Suriname, Malaysia, Singapura, dan Filipina (1955 dan 1971), saudara-saudara di Mekah dan Madinah asal Jawa yang membutuhkan tafsir yang ditransliterasikan ke aksara Latin dan diterjemahkan ke Bahasa Jawa. Ketiga, minimnya tafsir berbahasa daerah, seperti yang diungkapkan Majelis Ulama Daerah Yogyakarta, bahwa masih sangat sedikit tafsir Al-Qur’an yang menggunakan bahasa daerah, khususnya Jawa. Penduduknya masih kurang bisa memahami Bahasa Indonesia dan lebih memilih bahasa daerah dibanding Bahasa Indonesia. Oleh karena itu, dengan adanya tafsir ini diharapkan menambah khazanah tafsir di Indonesia, sekaligus menjadi sarana membangun moral dan budi pekerti bangsa.

Secara fisik Tafsir Al-Huda berbentuk buku yang dicetak satu jilid di atas kertas buram dengan cover bewarna hijau. Tafsir Al-Huda memiliki ukuran panjang 24 cm, lebar 15,5 cm, ketebalan 5,5 cm, dengan jumlah halaman seluruhnya sebanyak 1376 halaman. Pada sampul depan bagian atas terdapat tulisan “Al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi” dalam huruf Latin, di bagian tengah terdapat tulisan “Al-Huda” dalam huruf Arab berbentuk lingkaran, dan di bawahnya berturut-turut terdapat nama pengarang dan nama penerbit buku. Tafsir Al-Huda diterbitkan pada tahun 1983, sebelumnya sudah melalui proses tahqiq oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, dan isi terjemahannya merujuk kepada kitab Al-Qur’an dan Terjemahnya yang dikeluarkan oleh Departemen Agama. Pada Tafsir Al-Huda tertulis transliterasi bacaan Al-Qur’an ke tulisan aksara Latin bahasa Jawa. Pada bagian-bagian tertentu terdapat penjelasan penerjemahan Tafsir Al-Huda yang dipengaruhi oleh latar historis dan budaya sang penulis.

Page 92: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 207-220

212

Secara substansi Tafsir Al-Huda memuat seluruh ayat-ayat Al-Qur’an terdiri dari 114 surah dalam 30 juz. Penyajiannya dilakukan secara urut sesuai sistematika penulisan Al-Qur’an dalam Mushaf Utsmani yaitu dimulai dari Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah An-Nas. Pembahasan setiap surah dalam Al-Qur’an selalu mengemukakan ciri-ciri khusus surah tersebut. Hal-hal yang disebutkan berkaitan dengan ciri-ciri surah meliputi nama surah, nomor urut surah, jumlah ayat, kelompok turunnya surah (Makkiyah/ Madaniyah) dan urut-urutan surah dalam proses turunnya. Penulisan tafsir ini ditulis secara sistematis, meliputi: Pertama, teks ayat-ayat Al-Qur’an dalam bahasa aslinya (Arab) yang ditulis di sisi kanan. Kedua, transliterasi bacaan Al-Qur’an dalam huruf Latin yang ditulis di bawah teks asli. Ketiga, terjemah ayat-ayat Al-Qur’an dalam Bahasa Jawa yang ditulis di sisi kiri. Keempat, keterangan atau penjelasan makna ayat Al-Qur’an dalam Bahasa Jawa yang ditulis di bagian bawah dalam bentuk catatan kaki. Kelima, pointers penting berkaitan dengan topik-topik ibadah yang diberi judul “Katarangan Sawatis Ingkang Wigatos Murakabi”. Keenam, daftar pustaka.

Di akhir pembahasan masing-masing surah dikemukakan pokok-pokok pembahasan tentang hubungan antara kandungan surah yang baru dibahas dengan kandungan surah berikutnya yang akan dibahas. Secara umum, penjelasan dalam bentuk catatan kaki tersebut berisi keterangan mengenai makna ayat-ayat Al-Qur’an serta hikmah yang terkandung di dalamnya. Adakalanya penjelasan ini diberikan secara ringkas, namun tidak jarang pula diberikan dengan panjang lebar. Tidak setiap ayat Al-Qur’an diberi penjelasan. Namun sebaliknya penjelasan diberikan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang dipandang membutuhkan keterangan lebih lanjut. Tentang ayat Al-Qur’an mana yang perlu diberi penjelasan dan mana yang tidak, pertimbangan sepenuhnya ada di tangan pengarang. Makna dan hikmah kandungan Al-Qur’an itu dikemukakan dengan bahasa yang sederhana dan lugas sehingga mudah dicerna dan dipahami oleh para pembaca,

khususnya mereka yang memiliki latar belakang budaya Jawa.

Metodologi Tafsir Al-HudaDalam isi ringkas Tafsir Al-Huda tentang

pengertian Al-Qur’an yang diuraikan oleh Bakri Syahid berisi bahwa: “Al-Qur’an kaya akan kisah-kisah penuh hikmah dan pelajaran, dan juga mengandung hukum secara umum yang menuntun dan memberi petunjuk kepada tiap-tiap individu untuk membangun ketakwaan kepada Allah dan menyempurnakan budi pekerti luhur serta budidaya manusia” (Syahid, 1979: 7). Uraian tersebut mengisyaratkan bahwa terjemahan maupun penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an pada dasarnya merupakan salah satu bentuk upaya Bakri Syahid dalam memahami Al-Qur’an agar dapat menjadi sarana bagi terwujudnya fungsi Al-Qur’an untuk mem bangun ketakwaan kepada Allah dan menyempurnakan budi pekerti luhur serta budidaya manusia.

Tafsir Al-Huda merupakan tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa yang berkaitan erat dengan hubungan dialektis antara nilai-nilai ajaran Al-Qur’an yang bersifat global normatif dengan nilai-nilai budaya Jawa yang bersifat lokal historis. Sehingga dengan adanya proses dialektis eksistensi Al-Qur’an sebagai kalam Allah dapat membumi dan menjelma ke dalam bentuk teks yang dapat dipahami maksud pesan-pesan sucinya (Komaruddin, 1996: 137). Tafsir Al-Huda berperspektif budaya Jawa yang bersifat kultural-kontekstual serta akomodatif dan integratif-interkonektif. Adapun metode dan corak penafsiran Tafsir Al-Huda adalah sebagai berikut:

a. Tafsir Al-Huda melakukan terjemahan bebas secara tafsiriyyah dalam menjelaskan dan menyingkapkan makna ayat-ayat Al-Qur’an disesuaikan dengan pemahaman dan penalaran akal pengarangnya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang diterjemahkan. Menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas dan sederhana, sehingga mudah dicerna dan dipahami oleh pembaca (Al-Zarqani, t.th: 111).

Page 93: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Nilai-nilai Etika Budaya Jawa dalam Tafsir Al-HudaNovita Siswayanti

213

b. Dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an, Tafsir Al-Huda bercorak tafsir bir-ra’yi, cenderung bersifat rasional, dan menggunakan penalaran akal. Dalam penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, kadang-kadang Tafsir Al-Huda didukung dengan riwayat yang berkaitan dengan kandungan ayat atau surah yang sedang dijelaskan, termasuk riwayat yang berhubung-an dengan sebab turunnya (asbabun nuzul), tetapi tidak jarang penjelasan itu dilakukan dengan menggunakan penalaran akal semata-mata tanpa mengemukakan riwayat yang relevan. Fungsi riwayat hanya sebagai legitimasi bagi suatu penafsiran bukan sebagai titik tolak atau subjek (Al-‘Aridl, 1994: 48-49).

c. Secara metodologis langkah-langkah penaf-siran Al-Quran dalam Tafsir Al-Huda me-rupakan sebuah pendekatan yang dapat disebut pendekatan tsaqafi-ijtima’i sosial budaya. Dengan pendekatan ini ayat-ayat Al-Qur’an dipahami berdasarkan konteks literer dan historisnya kemudian diproyeksikan dalam situasi dan kondisi masyarakat Jawa yang melingkupi lahirnya Tafsir Al-Huda berdasarkan sudut pandang budaya Jawa. Dialektika Al-Qur’an dan nilai-nilai budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda merupakan proses pergumulan antara Al-Qur’an warisan budaya Jawa yang dimiliki pengarang dan kondisi sosial budaya Jawa yang melingkupinya. Tafsir Al-Huda berperspektif budaya Jawa yang bersifat cultural kontekstual serta akomodatif dan integrative interkonektif (Saifullah, 2012: 36).

Nilai-nilai Etika Budaya JawaBudaya Jawa merupakan keseluruhan ide,

gagasan, pemikiran, sikap, perilaku, dan hasil karya masyarakat yang tumbuh dan berkembang membentuk kebudayaan yang berorientasi pada perwujudan kualitas dan identitas karakteristik Jawa yang telah ada sejak zaman prasejarah. Dengan datangnya agama Hindu dan Islam, kebudayaan Jawa kemudian menyerap unsur budaya-budaya tersebut sehingga menyatulah unsur pra-Hindu, Hindu-Jawa, dan Islam dalam budaya Jawa tersebut (Kamajaya, 1995: 166).

Menurut Frans Magnis Suseno (1993: 1), budaya Jawa memiliki ciri khas yang lentur dan terbuka. Walaupun suatu saat terpengaruh unsur budaya lain, tetapi kebudayaan Jawa masih dapat mempertahankan keasliannya.

Keunggulan budaya Jawa terletak pada keseimbangan berolah rasa, olah jiwa dan olah pikir. Tripartite perpaduan olah rasa-jiwa-pikir itu menjiwai seluruh rangkaian lelaku bagi wong Jawa tulen. Impact langsungnya, kearifan jiwa dan kerendahan hati seorang Jawa terselubung dalam segala keputusan intelektualnya. Semua aturan main yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa mengandung norma dan etika. Nilai dan etika Jawa sebagai bagian dari kebudayaan Jawa merupakan sebuah tuntunan bagi setiap individu dalam masyarakat Jawa tentang bagaimana seharusnya menjalankan kehidupannya. Etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok (Salam, 1997: 2).

Bagi masyarakat Jawa etika kerap disebut dengan istilah pepali, unggah-ungguh, suba sita, tata krama, tata susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk, pranatan, pituduh, pitutur, wejangan, wulangan, wursita, wewarah, wedharan, duga prayoga, wewaler, dan pitungkas. Orang Jawa akan berhasil hidupnya dalam bermasyarakat kalau dapat empan papan, kalau dapat menempatkan diri dalam hal unggahungguhing basa, kasar alusing rasa, dan juga genturing tapa (Saliman, 2011: 5).

Etika Jawa pada intinya didasarkan pada pantas dan tidak pantas. Ada dua kaidah dasar dalam etika Jawa yaitu prinsip rukun dan prinsip hormat. Rukun bertujuan untuk mem-pertahankan keadaan harmonis. Rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram tanpa perselisihan dan pertentangan. Kaidah hormat menyatakan agar manusia dalam berbicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya (Suseno, 2001: 39). Sistem

Page 94: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 207-220

214

etis yang berprinsip pada rukun dan hormat akan menghasilkan keselarasan hidup. Sistem etis bertujuan mengarahkan manusia pada keadaan psikologis berupa rasa ketenangan batin, kebebasan dari ketegangan emosional. Sistem ini dikenal dengan istilah harmoni maupun selaras (Franz Magnis Suseno, 1986).

Etika Jawa secara garis besar disampaikan melalui dua cara. Pertama, melalui pituduh (wejangan, anjuran) yang isinya memberikan nasihat berupa anjuran. Kedua, melalui pepali (wewaler) artinya larangan agar orang Jawa menjauhi perbuatan yang tidak baik. Nasihat dan larangan merupakan inti budi pekerti atau etika. Tujuan pemberian nasihat dan larangan adalah keadaan selamat atau slamet. Budi pekerti atau etika bagi masyarakat Jawa merupakan suatu keharusan. Budi pekerti atau etika Jawa disampaikan dari pihak tertentu kepada pihak lain yang memiliki posisi tidak sama (bertingkat) (Endraswara, 2003: 37).

Etika Jawa dijalankan sebagai usaha untuk menjaga keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Semua unsur kehidupan harus harmonis, saling berdampingan, intinya semua harus sesuai. Segala sesuatu yang menimbulkan ketidakcocokan harus dihindari, kalau ada hal yang dapat mengganggu keharmonisan harus cepat dibicarakan untuk dibetulkan agar dapat kembali harmonis dan cocok lagi. Etika Jawa berpegang teguh pada filsafat budaya damai rukun agawe santosa (kerukunan akan menyebabkan seseorang kuat dan sentosa). Kerukunan hidup terjadi karena masing-masing saling menghormati, saling mengasihi, sopan santun, dan saling menghargai satu sama lain. Hubungan antarsesama seluruh ingin menjaga ketentraman, kesejahteraan, dan keseimbangan dunia (memayu hayuning bawana) (Endraswara, 2010: 38-39).

Etika dalam masyarakat Jawa memiliki dimensi yang sangat luas, yaitu mencakup etika kepada Sang Maha Pencipta, etika kepada sesama manusia, dan etika kepada alam semesta. Manusia dikatakan menjadi manusia yang

sebenarnya apabila ia menjadi manusia yang beretika yakni manusia yang secara utuh mampu memenuhi hajat hidup dalam rangka mengasah keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial, antara rohani dan jasmani, antara manusia sebagai makhluk dengan Penciptanya (Endraswara, 2001: 3).

Dalam kehidupan religiusnya manusia Jawa berkeyakinan bahwa urip ana sing nguripake (hidup ada yang menghidupkan) dan suatu saat akan kembali kepada yang menghidupkan, yaitu Tuhan. Oleh karena manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan, maka manusia harus bersiap untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya selama hidup. Rela jika kehilangan sesuatu (lila lamun kelangan nora gegetun), menerima dengan sabar jika mendapat per lakuan yang menyakitkan hati (trima lamun ketaman saserik sameng dumadi), ikhlas menyerahkan diri pada Tuhan (legawa nalangsa srah ing bathara). Nasihat eling sangkan paraning dumadi menjadi pengingat agar manusia selalu menjaga sikap dan perbuatan di dunia karena kelak akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan. Sehingga dalam menjalani hidup manusia Jawa akan senantiasa golek dalan padhang, berbuat lurus, tidak melakukan hal-hal yang dilarang Tuhan (Herusatoto, 2000: 78).

Dalam setiap gerak, langkah, ucapan, tindakan, dan perbuatannya, orang Jawa didasarkan pada prinsip Eling Lan Waspodo maksudnya ingat dalam kesadaran dan waspada dalam setiap langkah. Manusia menyadari keadaannya dan selalu dalam kesadaran untuk pasrah sumeleh mengembalikan semua kepada Allah dan yakin serta berpegang teguh kepada Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Rereh, sabar dan bisa mengekang diri. Ririh, tidak tergesa-gesa dalam bertindak, mempunyai pertimbangan matang untuk sebuah tindakan dan keputusan. Ngati-ati, berhati-hati dalam bertindak, berhati-hati dalam semua sikap dan tingkah laku, mana yang merupakan perintah dan mana yang merupakan larangan. Penuh pertimbangan dan teliti dalam mengambil keputusan,

Page 95: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Nilai-nilai Etika Budaya Jawa dalam Tafsir Al-HudaNovita Siswayanti

215

sebelum melangkah selalu berfikir ulang, tidak grasak grusuk terburu nafsu. Sehingga pada kondisi maupun situasi apa pun manusia akan selamat “Rahayu”, tidak mudah panik dalam setiap pemecahan masalah yang dihadapinya (Herusatoto, 2000: 83).

Dalam menjalani hidup, orang Jawa memegang prinsip urip samadya. Dengan sikap samadya manusia akan dapat mengukur kemampuannya, tidak memaksakan kehendak untuk meraih sesuatu yang tidak mungkin diraihnya. Manusia Jawa harus senantiasa bekerja keras sehingga mampu hidup mandiri dan layak tanpa bergantung pada belas kasihan orang lain, (sapa ubet, ngliwet) yaitu siapa yang kreatif dalam berusaha mencari rezeki, maka pasti akan mendapatkan hasilnya. Bekerja tidak melihat pada besar-kecilnya hasil yang harus diperoleh, tetapi lebih mementingkan apa yang harus dikerjakan (sepi ing pamrih, rame ing gawe), dan selalu bersikap menerima apapun yang telah diberikan Tuhan (nrima ing pandum). Sebuah keyakinan bahwa segala yang ada dalam kehidupan ini telah digariskan oleh Tuhan, manusia hanya bisa menerima dan terus berusaha dan berdoa (Herusatoto, 2000: 72).

Dalam pergaulan antarsesama manusia Jawa menjauhi dan meninggalkan watak adigang, adigung, adiguna, bersikap sombong seakan-akan dirinya “paling”. Adigang, sombong karena mengandalkan kekayaan dan pangkat; adigung sombong karena mengandalkan kepandaian dan kepintaran lantas meremehkan orang lain, dan adiguna sombong karena mengandalkan keberanian dan kepintaran berdebat (Herusatoto, 2000: 83). Selain itu dalam berinteraksi antarsesama, wong Jawa hendaknya mampu mengontrol diri sendiri, tepa slira tenggang rasa, tolerasi, menghargai orang lain, nepakke awake dhewe menjaga hubungan baik antarsesama, menghargai dan meng hormati orang lain. Apabila kita merasa senang dan bahagia jika orang lain berperilaku baik kepada kita, maka hendaknya kita juga berusaha bersikap baik terhadap orang lain (Herusatoto, 2000: 94).

Nilai-nilai Etika Budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda

Dialektika Al-Qur’an dan nilai-nilai etika budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda merupakan proses pergumulan antara Al-Qur’an warisan budaya Jawa yang dimiliki pengarang dan kondisi sosial budaya Jawa yang melingkupinya. Penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an pada Tafsir Al-Huda terinspirasi dan terkait dengan beragam fenomena permasalahan dan kontekstual kehidupan masyarakat Jawa. Tafsir Al-Huda berperspektif budaya Jawa yang bersifat kultural kontekstual serta akomodatiif dan integratif interkonektif. Tafsir Al-Huda mentransformasikan model budaya Jawa yang di dalamnya memuat nilai-nilai etika budaya Jawa yang meliputi dua unsur, yaitu: pertama, ketauhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa) dan kedua, kebajikan (upaya memberi petunjuk/nasehat kepada siapapun yang berisi anjuran maupun larangan) (Jamil dkk, 2002: 147).

Nilai-nilai Ketauhidan Etika Budaya Jawa Pada Tafsir Al-Huda

Tauhid itu artinya yakin bahwa Allah hanya satu, tidak dua, tiga, atau banyak. Allah menyediakan segala kebutuhan, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak bapak dan tidak anak, tidak ada yang menyamainya atau yang menandinginya, dan tidak ada penguasa Raja kecuali Dia Yang Maha Tinggi (Syahid, 1979: 303). Nilai-nilai ketauhidan dijelaskan oleh Al-Qur’an dalam Surah Al-Ikhlas/111: 1-3

Muhammad, siro dhawuh: “Allah iku asipat Esa.” (sawiji). Allah itu kang sinedya, kang dibutuhake dening sakabehing titah. PanjenengaNe Allah iku ora peputra, lan ora diputrakake. Lan ora sawiji-wiji kang madhani ing PanjenengaNe Allah.

Muhammad, engkau suruhlah, bahwa Allah itu bersifat Esa (tunggal). Allah itu berkehendak, yang dibutuhkan oleh seluruh alam. Dia Allah itu tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dia tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya.

Menurut falsafah Jawa, Tuhan sebagai Realitas Yang Tertinggi, sumber dari segala realitas. Tuhan adalah Causa Prima, yakni:

Page 96: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 207-220

216

Tuhan itu tidak berubah, tidak terbatas, adanya adalah mutlak dan sebagai pengatur dari semua gerak yang ada di dunia ini. Dalam ilmu sangkan paraning dumadi menunjukkan asal-usul kehidupan dan tujuannya. Dunia pasti ada awalnya dan ada akhirnya. Namun Sang Pencipta tanpa awal-akhir, karena awal-akhir hanya menguasai makhluk. Ingkang Murbeng Gesang adalah yang menguasai kehidupan. Duka nestapa selalu dipahami sebagai ganjaran dari Ingkang Murbeng Gesang. Hyang Suksma Adiluwih artinya adalah Tuhan Yang Maha Lebih. Segala yang ada di dunia ini selalu di bawah keberadaan Tuhan (Purwadi, 2012: 11-15).

Menurut Bakri, tauhid itu dibagi dua, yaitu: pertama, Tauhid Uluhiyyah, mengesakan zat yang disembah yaitu meyakini tidak ada sesembahan kecuali Allah, sujud dan memuji hanya kepada Allah, beribadah, berdoa, berzikir, puasa, haji ikhlas kepada Allah, ibadah sosial kemasyarakatan ikhlas kepada Allah. Kedua, Tauhid Rububiyyah, mengesakan dalam ketuhanan yaitu meyakini tidak ada yang dapat menentukan segala perkara atau urusan dan membuat untung/rugi, atau menang/kalah, kecuali hanya Allah, pasrah hanya memeluk agamanya dan mentaati segala perintah-Nya (Tafsir Al-Huda, 1979: 233).

Manifestasi dari menyembah atau pengabdian manusia terhadap Allah adalah sebagai berikut:

Bertakwa kepada Allah,a. takut kepada Allah berdasarkan kesadaran, mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan takut terjerumus ke dalam perbuatan dosa.

Bersyukurb. /berterima kasih atas nikmat dan karunia yang telah Allah berikan dan memanfaatkan nikmat yang telah diterimanya untuk kebajikan dan kemaslahatan umat.

Bertakawal,c. mencurahkan segala persoalan pribadi hanya kepada Allah dengan keyakinan atas kekuasaan-Nya dapat memenuhi juga dengan menampakkan sebab-sebab untuk men dapatkan sesuatu yang dimaksud (ikhtiar) serta melepaskan diri dari bergantung dengan sebab-sebab itu, dan bergantung pada yang

menjadikan sebab-sebab itu, Dialah Allah.

Ikhlas,d. beribadah hanya kepada Allah yang disertai dengan rasa ikhlas dan pasrah hanya kepada Allah dan tidak boleh beribadah kepada apa dan siapapun selain Allah.

Nilai-nilai Kebajikan Etika Budaya Jawa pada Tafsir Al-Huda

Kebajikan dalam pandangan Jawa berarti kesusilaan berbudi pekerti luhur dan mulia yang merupakan pondasi dan dasar takwa kepada Allah atas kesadaran akan dan dengan melaksanakan nilai-nilai hidup kemanusiaan serta nilai-nilai hidup religius yang sewajarnya dan juga kebijaksanaan hidup, yaitu antara lain dengan melakukan tepa sarira secara negatif dan secara positif; secara negatif ialah tidak berfikir, berasa, berkehendak, bersikap, berbuat terhadap orang lain, yang tidak dikehendaki orang lain berfikir, berasa, berkehendak, bersikap berbuat terhadap orang lain, yang dikehendaki orang lain berfikir, berasa, berkehendak, bersikap, berbuat terhadap diri sendiri (Notonagara, 1971: 4).

Menurut Bakri, akhlakul karimah ada empat bagian, yaitu:

Hikmah,a. artinya semua perkara yang dicapai dengan akal dapat tercapai dengan secara kebetulan. Dari budi pekerti, hikmah itu lalu tumbuh budi bersih, tajam ingatan, cerdas, dan senang berpikir.

Iffah,b. artinya perbuatan atau perilaku terhadap nafsu atau syahwat sudah teratur, terkontrol, tunduk kepada akal mengikuti aturan agama, dari iffah lalu tumbuh sifat satria (luhur), pemalu, jujur, tenang, halus, rajin, teratur, bahagia, teliti dan tidak boros.

Syaja’ah,c. artinya sifat nafsu sudah hilang tumpul pada akal menurut pada ketentuan agama. Dari budi pekerti syaja’ah atau keberanian itu lalu tumbuh keluhuran tinggi budi pekerti kuat lagi teguh kemauannya, teguh dan tenang pemikirannya, tangguh menghadapi kesulitan sabar dan teliti, bijaksana dan arif serta berbudi wibawa, dan

Page 97: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Nilai-nilai Etika Budaya Jawa dalam Tafsir Al-HudaNovita Siswayanti

217

senang membantu kepada sesama. Senang membantu orang lain.

‘Adalah,d. artinya nafsu sudah lurus, seimbang tidak berat sebelah, tidak melanggar aturan agama, dari budi pekerti adil tumbuh sikap senang tenggang rasa, senang membalas kebajikan, saling kasih sayang sejati, senang ibadah kepada Allah, pikirannya tertancap selalu ingat kepada masjid, senang menghargai sesama, senang kepada kegiatan sosial dan persaudaraan serta menjalin persaudaraan dan silaturahmi dalam bentuk pertemuan, pertemanan atau perkumpulan (Syahid, 1979: 303).

Menurut Falsafah Jawa, seseorang yang jiwanya bersih, suci, dan terkendali dari hawa nafsu dan sifat-sifat tercela, maka jiwa dan hidupnya akan anteng, meneng, jatmika, sembada, dan wiratama. Anteng bermakna tenang, halus, indah tapi berbobot. Sikap anteng akan menimbulkan kewibawaan dan mendatangkan rasa hormat dari pihak lain. Meneng artinya diam. Namun diam di sini bukan dalam arti tanpa sikap dan tidak tahu persoalan. Diam dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya yang seharusnya diam untuk menjernihkan suasana atau menghindari konflik. Jatmika adalah segala tindak-tanduk yang berdasarkan kaidah kesusilaan, sehingga siapa saja yang menyaksikan akan berkenan dalam hati. Dalam posisi apa pun, sikap jatmika senantiasa membawa rasa wibawa, segan dan hormat, dan akan menimbulkan simpatik. Sembada berarti berperbuatan yang sesuai dengan kemampuan, perkataan, serba cukup, cocok dengan kenyataan dan selalu mengambil keputusan tanpa merepotkan orang lain. Orang yang sembada berarti segalanya sudah ditakar, diukur dan dikira-kira. Wiratama berarti gagah berani melakukan kebajikan, atau satria agung yang gagah berani membela kebenaran dan keadilan. Orang yang berjiwa wiratama berarti mementingkan kepentingan orang banyak. Dirinya merasa bermakna hidupnya apabila bermanfaat bagi masyarakat umum (Purwadi, 2012: 78-81).

Seorang yang berbudi pekerti luhur akan dapat bersikap dan berperilaku sesuai dengan tempatnya. Bersikap santun dan lemah lembut dalam setiap ucapan, perilaku dan tingkah lakunya mencerminkan kesederhanaan, menghargai dan menghormati orang lain, jauh dari sifat adigang-adigung, dan adiguna. Ayat-ayat Al-Qur’an pada Tafsir Al-Huda terkait budi pekerti mulia yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai etika budaya Jawa adalah:

Santun dalam bertutur, terdapat pada Surah a. Furqan/25: 63:

Mungguh kang diarani para kawulane Allah Gusti Kang Mahamurah. Iku wong kang mlaku ana ing bumi padha prasaja! Lan manawa disaruwe karo wong jahil, bodho-bodho padha mangsuli salam! Rahayu!

Adapun yang dinamai para hamba Allah yang Mahakasih itu adalah orang yang berjalan di bumi dengan bersahaja. Dan kalau ditegur oleh orang-oranmg bodoh, maka menjawab salam, sejahtera! (Surah Furqan/25: 63).

Menjaga tutur kata yang santun, sopan, dan lemah lembut dalam berkomunikasi dengan orang lain dapat dilakukan dengan jalan: (1) Menghindari ucapan takabur, sombong dan congkak; (2) Tidak berbicara bengis pada orang lain; (3) Jangan membicarakan kejelekan orang lain; (4) Jangan berkata bohong; dan (5) Tidak mencela oang lain. Apabila hal ini dilanggar maka keselarasan hidup yang diinginkan tidak akan tercapai.

Kualitas diri seseorang tercermin dari tutur kata dan bahasa yang diucapkan (ajining diri dumunung aneng lathi). Tata basa/ berkata-kata/berbahasa/ berkomunikasi merupakan petunjuk atau indikator bagi diri sendiri apakah kita sudah cukup baik kualitas kita atau hanya anggapan-anggapan sendiri. Kata-kata yang mencerminkan diri adalah kata-kata yang mengandung motif, kata-kata yang isinya “berkemauan” atau “karsa”. Kata-kata bisa menumbuhkan simpati dan cinta kasih seseorang, bisa memberikan kenyamanan dan ketenangan jiwa seseorang, dan kata-kata juga bisa menjadi racun dan membunuh orang lain. Oleh karena itu, berbicaralah yang baik, mudah dimengerti orang lain, santun dan lemah lembut

Page 98: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 207-220

218

sehingga tutur kata yang baik dapat menciptakan kedamaian dan kerukunan antarsesama.

Menjauhi sikap b. adigang, adigung, dan adi-guna terdapat pada Surah Luqman/31:18-19:

Lan poma sira aja malengo saka pipinira saka manungsa, kaya kalakuane wong gumedhe, lan sira aja lumaku ana ing bumi kalawan umuk (semangkean). Satemene Allah iku ora remen marang kabeh wong kang umuk tur kumalungkung. Lan sira padha diprasaja ana ing lumaku lan sapolahbawanira, lang nglirihna suwaranira, satemine ala alaning suwara iku suwaraning kuldi.

Dan janganlah kamu memalingkan wajah kepada manusia seperti jalannya orang pembesar dan kalian jangan berjalan di muka bumi sambil menyombongkan diri. Sungguh, Allah tidak senang terhadap orang yang angkuh lagi sombong. Dan hendaklah berlaku sopan dalam segala tindakan, dan rendahkanlah suaramu dalam pembicaraan. Sebenarnya sejelek-jelek suara adalah suara keledai (Luqman/31: 18-19).

Berjalan di muka bumi ini hendaknya penuh dengan kerendahan hati, tidak menyombongkan diri, tidak angkuh atau menganggap dirinya “paling” dan “lebih” dari orang lain. Sederhana dan tidak berlebih-lebihan dalam berpenampilan, lemah lembut dalam bertutur kata, ramah dalam berkomunikasi, santun dalam berperilaku, meng-hargai pendapat orang lain ataupun menghormati sikap atau keputusan orang lain, tidak menghina, meremehkan, dan memandangnya dengan mata kekecilan, atau ia menolak perkara yang haqq, padahal ia mengetahuinya.

Barang siapa yang melihat bahwa dirinya itu lebih baik dari saudaranya, maka sesungguhnya ia telah menyombongkan diri, dan Allah tidak menyukai orang-orang yang berjalan di muka bumi ini dengan penuh keangkuhan. Kesombongan akan merusak jiwa, menetap pada hati, menguasai perasaan dan pikiran, adalah penyakit hati paling buruk yang ada dalam diri manusia dan mendorong timbulnya amalan-amalan tercela yang merupakan pangkal dari segala kemaksiatan. Maka bersikaplah tawadhu, rendah hati dengan tidak menyombongkan diri atau membanggakan dirinya lebih atau paling baik dari orang baik

itu dari segi kekayaan, kedudukan, kepandaian, kecerdasan, kecantikan, ataupun ketampanan.

Hidup rukun dan tolong-menolong c. antarsesama.

Pusat dari etika Jawa adalah usaha untuk memelihara kerukunan, keselarasan dalam bermasyarakat, menjaga ketentraman dan ketenangan tanpa perselisihan dan pertentangan. Sikap kerukunan sosial kemasyarakatan orang Jawa tercermin pada gotong-royong, tepa selira, dan rembug (bermusyawarah untuk mufakat). Hal ini diungkapkan oleh Bakri dalam Firman Allah Surah Ali Imran/2:

Ananging sira becik padha tulung tinulung ana ing tindak kabecikan. Sarta takwa ing Allah lan sira aja padha tulung tinulung ing babagan laku dosa lan mamungsukan.

Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah sangat berat siksanya. (Surah Ali Imran/2)

Tolong-menolong dalam kebajikan pada masyarakat Jawa terlihat pada sikap gotong-royong, saling bahu-membahu, saling bantu-membantu menuntut agar individu bersedia menomorduakan kepentingan pribadi, melakukan pekerjaan bersama untuk kepentingan bersama. atau jika perlu, individu harus melepaskan kepentingannya demi kesepakatan bersama. Tepa selira, mengontrol pribadinya berdasarkan kesadaran diri. Tepa selira membuat masyarakat meletakkan dirinya dalam tata pergaulan sosial berdasarkan keputusan diri dan kesukarelaan hati musyawarah atau rembug, yaitu proses pengambilan keputusan dengan saling berkonsultasi (Suseno, 2001: 57-61). Saling tolong-menolong menciptakan suasana rukun, tenang dan tentram. Menghindari dan menjauhi sikap saling bertengkar atau atau saling berselisih antarsesama. Karenanya menurut falsafat orang Jawa bagi mereka yang berselisih, maka anugerah rejeki akan semakin jauh (cecengilan iku ngedohake rejeki) (Endraswara, 2003: 85).

Page 99: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Nilai-nilai Etika Budaya Jawa dalam Tafsir Al-HudaNovita Siswayanti

219

PenuTuP

Tafsir Al-Huda Qur’an Basa Jawi karya Bakri Syahid, Rektor IAIN Yogyakarta (1972-1977) merupakan tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa yang penerjemahannya bersifat tafsiriyyah dan bercorak tafsir bir-ra’yi, cenderung bersifat rasional menggunakan penalaran akal. Secara metodologis, Tafsir Al-Huda menggunakan pendekatan tsaqafi-ijtimai (sosial budaya), memiliki corak sosial budaya yang sangat kental. Tafsir Al-Huda berperspektif budaya Jawa yang bersifat kultural-kontekstual serta akomodatif dan integratif-interkonektif.

Nilai-nilai etika budaya Jawa bersifat terbuka dan lentur, mudah menerima nilai-nilai budaya lain dengan tetap memelihara keotentikan nilai-nilai budaya Jawa. Nilai-nilai etika budaya Jawa sarat dan kaya akan nilai-nilai ketinggian budi pekerti dan akhlak mulia yang mencakup tata kehidupan hubungan manusia dengan Sang Pencipta, interaksi antarsesama manusia, mencintai lingkungan alam semesta.

Tafsir Al-Huda mentransformasikan model budaya Jawa yang di dalamnya memuat nilai-nilai etika budaya Jawa yang meliputi dua unsur, yaitu: pertama, ketauhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa) dan kedua, kebajikan (upaya memberi petunjuk/nasehat kepada siapapun yang berisi anjuran maupun larangan). Tafsir Al-Huda mengejawantahkan falsafah dan pandangan hidup Jawa dalam hidup bermasyarakat agar eling lan waspada (ingat kepada Allah dan waspada terhadap setiap tingkah laku ucapan dan perbuatan), aja dumeh (jangan mentang-mentang) dan menjauhi sifat adigang, adigung, dan adiguna (sombong), ber sikap tepa selira (tenggang rasa, toleransi menghargai hak orang lain), dan rukun agawe santosa lan crah agawe bubrah (kerukunan dapat menciptakan persatuan, perselisihan dapat menciptakan perpecahan).

dafTar PusTaKa

Al-‘Aridl, Ali Hasan. 1994. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Al-Zarqani,M.Abdul Azhim. t.t. Manahilul Irfan fi Ulumil-Qur’an, Juz II. Beirut: Darul Fikri.

Baidhawy, Zakiyuddin. 2003. Inspirasi dan Apresiasi Islam dalam Budaya dan Seni, dan Mutohharun Jinan Agama dan Pluralitas Budaya Lokal. Surakarta: PSB-PS UMS.

Burhanudin, Salam. 1997. Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Herusatoto. Budiono. 2003. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.

Hidayat, Komaruddin. 1996. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina.

Jamil, Abdul. dkk. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media.

Kamajaya, Karkono. 1995. Kebudayaan Jawa: Perpaduannya dengan Islam. Yogyakarta: IKAPI.

Muhsin, Imam. 2012. Tafsir Al-Qur’an dan Budaya Lokal. Jakarta: Kementerian Agama, Balitbang Diklat, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan.

Purwadi. 2012. Pemikiran Religius Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Rodhi, Al-Hafid. 2002. Inspirasi dan Apresiasi Islam dalam Budaya dan Seni: Agama dan Pluralitas Budaya Lokal. Ed. Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan. Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Page 100: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 207-220

220

Saifullah. 2012. Nuansa Inklusif dalam Tafsir Al-Manar. Jakarta: Kementerian Agama, Balitbang Diklat, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan.

Salam, Burhanuddin. 1997. Etika Sosial (Asas Moral dalam Kehidupan Manusia). Jakarta: Rineka Cipta.

Saliman. 2011. Membangun Karakter Bangsa Melalui Bahasa Simbolik Jawa, artikel.

Suseno, Frans Magnis. 1996. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

___. 1986. Perspektif Etis Pembangunan. Jakarta: artikel.

Endraswara, Suwardi. 2010. Falsafah hidup Jawa Menggali Mutiara Kebijakan dari Intisari Filsafat Kejawen. Yogyakarta: Cakrawala.

___. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.

Syahid, Bakri. 1979. Tafsir Al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi. Yogyakarta: Persatuan Press.

Page 101: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Kerukunan Beragama dalam Naskah KeagamaanBisri Ruchani

221

KERUKUNAN BERAGAMA DALAM NASKAH KEAGAMAAN(Studi terhadap Serat Purwocampur)

Religious Harmony Within Religious Manuscript (The Study of Serat Purwocampur)

bIsrI rUchANI

bIsrI rUchANIBalai Penelitian dan Pengembangan

Agama SemarangJl. Untung Suropati Kav. 70

Bambankerep Ngaliyan SemarangTelp. 024-7601327 Faks. 024-

7611386e-mail: [email protected]

Naskah diterima:10 April 2013Naskah direvisi: 29 Juli-13 Agustus

2013Naskah disetujui: 18 September

2013

AbstrAct

Javanese manuscript is a noble heritage that should be preserved. This study was conducted to determine the values of harmony contained in the Serat Purwocampur. The method used in this study on a content analysis and philology. Serat Purwocampur consists of four kinds of macapat song: Asmaradhana, Girisa, Pangkur, and Dhandhanggula. Briefly, this manuscript contains ancient stories and supernatural, such as gods associated with the prophets or otherwise. Value of harmony contained in this manuscript is the acculturation between Hinduism and Islam (Islamic Javanization). Islam spread peacefully in Java, in additions Islam also taught its followers (the Javanese) to perform religion both syari’at and hakikat.

Keywords: Fairy Tales, Acculturation, Serat Purwocampur, Harmony

AbstrAk

Naskah Jawa merupakan warisan budaya adiluhung yang perlu dilestarikan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui nilai-nilai kerukunan yang terdapat dalam Serat Purwocampur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan filologi dan analisis isi. Serat Purwocampur berbentuk tembang macapat, yang terdiri atas 4 macam tembang, yakni Asmaradhana, Girisa, Pangkur, dan Dhandhanggula. Secara ringkas naskah ini berisi cerita kuno dan hal-hal gaib, seperti dewa-dewa dihubungkan dengan nabi-nabi atau sebaliknya. Nilai kerukunan yang terdapat dalam naskah ini adalah adanya akulturasi antara ajaran Hindu dan ajaran Islam (Jawanisasi Islam). Ajaran Islam masuk ke Jawa secara damai, selain itu ajaran Islam menghendaki umatnya (masyarakat Jawa) berislam secara syari’at dan hakikat.

Kata kunci: Cerita Kuno, Akulturasi, Serat Purwocampur, Rukun

Page 102: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 221-232

222

Pendahuluan

Agama Islam masuk ke Jawa pada abad XV, dengan ajaran dan budayanya yang banyak berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Jawa. Pengaruh ajaran dan budaya Islam yang berkembang di lingkungan istana atau keraton banyak melahirkan karya sastra dari para pujangga pada saat itu. Karya sastra dari para pujangga tersebut antara lain berbentuk suluk, serat, wirid, dan primbon.

Pada masa awalnya karya tulis dibuat sebagai bahan untuk disampaikan kepada masyarakat baik di lingkungan istana atau keraton dan masyarakat pada umumnya. Kemudian pada perkembangannya karya sastra tersebut merupakan bagian yang penting untuk dikaji, mulai dari pembacaan, pembahasan dan penyalinan teks-teks dari naskah masih berkembang. Karya sastra akan lebih baik apabila bukan hanya dibaca dan disalin tetapi juga perlu dikaji kembali agar dapat bermanfaat bagi bangsa dan negara. Pengkajian sebuah karya sastra dalam arti isi teks yang berupa pemikiran yang disampaikan oleh seseorang merupakan suatu sumbangan pemikiran kepada bangsa dan negara. Pemikiran para pujangga yang ada dalam teks merupakan hasil pemikiran di masa lalu yang tidak kalah pentingnya pemikiran yang disampaikan oleh para cendekiawan masa kini.

Karya sastra merupakan suatu warisan budaya yang sangat penting bagi suatu bangsa. Karya sastra tersebut banyak tersimpan di museum, keraton, perpustakaan maupun di masyarakat. Keraton Yogyakarta menyimpan banyak karya sastra yang dihasilkan oleh para pujangga Jawa, di Perpustakaan Widya Budaya. Karya tersebut berupa babad, serat, suluk, primbon, parwa, dan sebagainya. Salah satu karya yang disimpan di perpustakaan tersebut adalah Serat Purwocampur. Dilihat dari namanya, Serat Purwocampur berisikan tentang ajaran bermacam-macam yang belum tertulis secara sistematis sebagaimana serat-serat yang lain. Serat ini tidak diketahui siapa nama penyusunnya, dan hanya diketahui waktu penyusunan yang ditandai

dengan sengkalan sarira winayane tunggal sawiji, atau disusun pada tahun 1168 Hijriyah atau 1754 M. Pada perkembangannya serat ini disalin kembali pada masa Sultan Hamengku Buwana V naik tahta. Serat Purwocampur berisikan antara lain dewa-dewa yang dihubungkan dengan para nabi, raja-raja di Jawa dihubungkan dengan Bhatara Wisnu, Brahma, dan para nabi. Dengan cerita semacam ini rupanya penulis serat ingin menunjukkan bahwa raja-raja di Jawa (dari sisi kiri) merupakan keturunan para dewa dan (dari sisi kanan) merupakan keturunan para nabi. Dalam serat ini banyak ditemui simbol-simbol atau lambang-ambang yang sulit untuk dipahami. Serat Purwocampur pernah dikaji oleh Haryana Harjawiyana, seorang peneliti dari UIN Yogyakarta. Ia mengkaji serat ini dari sisi aspek teologi yang terkandung di dalamnya. Fokus penelitian ini adalah ingin memahami Serat Purwocampur dari sisi kehidupan keagamaan. Kerukunan beragama yang dimaksudkan di sini adalah kerukunan hidup intern umat Islam.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka permasalahan dalam tulisan ini adalah: Bagaimana deskripsi teks naskah Serat Purwocampur; dan nilai-nilai kerukunan beragama apa yang terdapat dalam Serat Purwocampur.

KerangKa Teori

Pada hakikatnya naskah yang biasa disebut dengan manuskrip atau handscraft adalah semua tulisan tangan yang berisikan mengenai ungkapan pemikiran dan perasaan penulis sebagai hasil budaya masa lampau. Naskah merupakan salah satu benda yang mempunyai wujud konkret yang dapat dilihat atau dipegang. Dalam teks naskah tersebut tersimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan seseorang sebagai hasil budi dan daya. Untuk keperluan pengungkapan naskah diperlukan ilmu bantu yang disebut dengan filologi. Dengan ilmu filologi, naskah dapat diidentifikasi, direkonstruksi, ditransliterasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa lain.

Naskah merupakan bentuk fisik, sedang isi

Page 103: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Kerukunan Beragama dalam Naskah KeagamaanBisri Ruchani

223

yang berada di dalam naskah disebut dengan teks. Teks mempunyai kandungan atau isi yang abstrak, tidak jelas, dan hanya dapat dibayangkan saja. Teks sendiri terdiri atas dua macam, yaitu isi dan bentuk. Isi teks merupakan sekumpulan ide-ide, pesan, amanat yang hendak disampaikan oleh pengarang. Sedangkan bentuk merupakan suatu paparan atau cerita yang dapat dibaca dan dipelajari dengan melalui berbagai pendekatan alur cerita, perwatakan, gaya bahasa, dan sebagainya.

Naskah hanya dapat dikaji melalui ciri-ciri yang menempel dalam naskah itu sendiri. Menurut Siti Baroroh Baried (1985), untuk mengkaji suatu naskah dapat dilakukan dengan melihat ciri-cirinya, yaitu media tulisan (bahan dan alat tulisan), bentuk tulisan, keterangan penulis, tahun penulisan, jumlah naskah asli dan turunannya, dan berapa usia naskah.

Media tulis naskah di Indonesia biasanya berupa papan, lontar, dluwang, dan kertas. Bentuk tulisan naskah di Indonesia cukup beragam yaitu tergantung bentuk tulisan di daerah masing-masing. Di Indonesia terdapat banyak bentuk dan jenis tulisan yang digunakan setiap suku. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Robson (1994: 2-3) bahwa sumber naskah kesusasteraan di Indonesia ditulis dalam berbagai bahasa, yang direkam dalam bentuk tulisan asli (bukan huruf Latin). Bahasa yang digunakan oleh suku bangsa di Indonesia antara lain adalah bahasa Aceh, Minangkabau, Melayu, Lampung, Sunda, Jawa, Madura, Bali, Makassar, Bugis, Wajo.

Nama atau identitas penulis naskah ada yang dicantumkan dengan jelas, namun juga ada yang tidak dicantumkan atau disembunyikan dengan kode-kode tertentu, dan bahkan tidak disebutkan sama sekali (anonim). Tahun penulisan biasa disampaikan waktu memulai menulis dan waktu mengakhiri penulisan; ada yang disebutkan dengan jelas, namun ada juga yang tidak disebutkan tahun penulisan atau penyalinannya. Dalam naskah Jawa, untuk menyebutkan tahun penulisan agak berbeda dengan naskah selain Jawa. Perbedaan tersebut

terdapat pada penggunaan simbol-simbol dalam menyebutkan tahun penulisan. Simbol tahun penulisan biasanya disampaikan dalam bentuk candrasengkala, yaitu penunjukan tahun de-ngan lambang-lambang tertentu yang berupa kata (sengkalan lambang), benda, karya seni rupa, dan bangunan (sengkalan memet) yang ekuivalen dengan angka-angka tertentu. Dalam membaca sengkalan tersebut dibalik, dari angka paling belakang atau dari kanan ke kiri.

Mengenai usia naskah, menurut Karsono H Saputra (2008: 33-39) dapat dilihat dari identifikasi alat tulis yang digunakan atau dipakai, dari kolofonnya atau catatan tambahan di bagian belakang, gaya bahasanya, dan ejaan yang digunakan. Sedangkan usia teks dapat dilacak melalui manggala, yang biasanya memberikan informasi tentang penulisan teks, menafsirkan nama atau peristiwa sejarah yang terkandung dalam teks, membandingkan kebahasaan teks dengan teks lain yang sudah diketahui dengan pasti tanggal penciptaannya.

Dalam agama terdapat dua hal yang menyatu dan saling bersinggungan, yang tidak dapat dipisahkan. Kedua hal tersebut adalah realitas yang bercorak teologis dan realitas yang bercorak historis-sosiologis. Dalam hal ini Jalaluddin Rahmat menyebutnya dengan ajaran dan keber-agamaan. Ajaran adalah sebuah teks, lisan atau tulisan yang sakral dan menjadi sumber rujukan bagi pemeluk agamanya, sedangkan keber-agamaan merupakan perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada nash. Realitas ajaran tersebut akan menimbulkan klaim ‘ajaran agama sayalah yang paling benar’ yang akan mengarah kepada eksklusifitas agama sendiri. Sifat eksklusifitas ini mereka yakini mendapat justifikasi agamanya masing-masing. Dengan adanya justifikasi masing-masing agama dapat dibenarkan, padahal setiap agama mempunyai misi suci mengajak semua manusia mencapai realitas tertinggi melalui kesadaran transendental yang dimilikinya.

Kerukunan atau rukun merupakan suatu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur yang

Page 104: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 221-232

224

berlainan, dan saling menguatkan antara unsur satu dengan unsur lainnya. Apabila suatu ajaran agama yang dilakukan oleh penganutnya dapat dilakukan sedemikian rupa maka akan terjadi kerukunan, damai, dan perdamaian. Jika dalam suatu agama antara ajaran beribadah yang bersifat syari’at dengan yang bersifat hakikat dapat bersatu, maka terjadilah kerukunan ajaran agama. Tetapi sebaliknya, apabila ajaran tersebut hanya dilakukan satu aspek saja maka akan terjadi ketidakrukunan atau disharmoni dalam agama.

Agama bukanlah ajaran yang homogen syari’at saja melainkan dapat dikatakan hete-rogen, yaitu ada juga hakikat dari agama. Apa-bila ajaran agama dipahami dan diajarkan keduanya secara bersama-sama maka tidak akan terjadi disharmonisasi dalam mengajarkan dan melaksanakan ajaran agama. Namun akan terjadi benturan yang menjadikan disharmoni apabila ajaran agama hanya disampaikan dan dilakukan hanya satu sisi, yakni syari’at saja atau hakikat saja. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Frederik Barth, apabila suatu masyarakat yang anggotanya heterogen tidak mengibarkan benderanya sendiri-sendiri maka hubungan antaranggota masyarakat tersebut menjadi harmonis. Namun apabila masyarakat yang warganya heterogen dan salah satu anggota masyarakatnya mengibarkan benderanya (kepentingan, ideologi) maka tidak terjadi harmonisasi (Barth, 1988: 12-33).

MeTode PeneliTian

Penelitian ini merupakan studi kepustakaan (library research), yakni penelitian yang difokuskan pada naskah Serat Purwocampur. Oleh karena itu kegiatan penelitian ini dipusatkan pada kajian buku-buku yang memiliki keterkaitan dengan topik dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif.

Naskah ini terdapat di Perpustakaan Widya Budaya Keraton Yogyakarta. Dipilihnya lokasi penelitian tersebut dengan pertimbangan antara lain: di Perpustakaan Widya Budaya Keraton Yogyakarta banyak disimpan naskah klasik baik naskah keagamaan maupun naskah lainnya. Di perpustakaan tersebut masih banyak naskah

yang belum dikaji.

Data yang akan dihimpun dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer mencakup isi atau informasi yang terkandung dalam naskah Serat Purwocampur sedang data sekunder adalah data pedukung yang berkaitan erat dengan data primer seperti informasi dari informan, buku, dokumen, internet dan sebagainya.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan filologi. Sedangkan analisis data yang digunakan adalah metode analisis isi. Secara harfiyah kata filologi berasal dari kata Yunani philos yang berarti cinta dan logos berati kata: cinta kata atau senang bertutur, kemudian berkembang menjadi senang belajar, senang kebudayaan (Lubis, 2008: 3-4). Tujuan utama yang akan dicapai dari filologi adalah melakukan penyuntingan dan terjemahan. Upaya melakukan penyuntingan teks pada dasarnya bertujuan agar teks tersebut dapat dibaca oleh orang yang tidak atau kurang mampu membaca tulisan pada teks naskah aslinya. Hasil penyuntingan atau transliterasi sebuah naskah ini penting untuk kajian selanjutnya. Oleh karena itu pengalihaksaraan harus menjaga “keaslian” bahasa sebuah naskah.

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode contents analysis atau analisis isi dilakukan setelah data terkumpul. Content analysis atau analisis isi yaitu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable) dan sahih data dengan memerhatikan konteksnya (Bungin, 2008: 155).

Analisis terhadap Serat Purwocampur dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Melakukan pembacaan naskah secara berulang-ulang dan cermat dengan demikian peneliti akan terbantu dalam perolehan data. Semua bacaan kemudian dipilah-pilah dalam unit kecil, yaitu dengan membaca Serat Purwocampur menjadi empat unit mengacu pada empat tembang yang disampaikan oleh Serat Purwocampur. Keempat tembang tersebut

Page 105: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Kerukunan Beragama dalam Naskah KeagamaanBisri Ruchani

225

adalah tembang Asmaradhana, Girisa, Pangkur, dan Dandhanggula. Dari tembang-tembang tersebut kemudian dijadikan pijakan untuk menganalisisnya. 2) Pada masing-masing unit peneliti memberi definisi dari istilah-istilah pokok kemudian memberikan penjelasan dan inferensi dengan mencermati terhadap data-data yang ada. Pemberian definisi, penjelasan dan penarikan simpulan dilakukan dengan menggunakan buku-buku referensi yang sesuai dengan topik. 3)Apabila di dalam Serat Purwocampur terdapat penjelasan yang perlu dikritisi maka peneliti memberikan kritik seperlunya.

hasil dan PeMbahasan

Gambaran Serat PurwocampurPenelusuran naskah atau pencarian

naskah dilakukan dengan dua cara. Kedua cara tersebut adalah melalui studi dokumentasi dan wawancara. Dalam studi dokumentasi peneliti mengadakan penelusuran di perpustakaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Naskah yang disimpan di perpustakaan milik Keraton Yogyakarta ini belum dikatalogisasi, jadi dalam mencari naskah yang dibutuhkan peneliti langsung melihat naskah-naskah yang ada. Karena belum dikatalogisasi maka dibutuhkan waktu lama untuk memilih naskah yang dibutuhkan.

Penelusuran naskah yang kedua dilakukan dengan informan yang dipandang mengetahui tentang naskah yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta. Dari kedua teknik penelusuran tersebut ditemukan naskah Serat Purwocampur. Naskah Serat Purwocampur merupakan naskah koleksi Perpustakaan Widya Budaya Keraton Yogyakarta. Perpustakaan ini terletak masih dalam lingkungan keraton.

Naskah Serat Purwocampur ditulis dengan menggunakan alas berupa kertas dluwang. Teks naskah ini ditulis dengan menggunakan aksara atau huruf Jawa (dikenal dengan huruf ho, no, co, ro, ko) sedang bahasa yang digunakan untuk menulis adalah bahasa Jawa. Di perpustakaan ini naskah diberi kode dengan C. 56. Tulisan naskah Serat Purwocampur berbentuk tembang

macapat. Jumlah halaman naskah ini sebanyak 64 buah halaman, dan setiap halaman terdiri atas 13 baris.

Bentuk tembang macapat untuk penulisan naskah tersebut terdiri atas 4 macam. Keempat macam tembang tersebut adalah sebagai berikut: 1) Pupuh Asmaradhana, pupuh ini terdiri atas 75 bait. 2) Pupuh Girisa, pupuh ini terdiri atas 28 bait. 3) Pupuh Pangkur, pupuh ini terdiri atas 60 bait. 4) Pupuh Dhandhanggula, pupuh ini terdiri atas 75 bait.

Naskah Serat Purwocampur ditulis pertama kali pada tahun 1168 Hijriyah atau 1754 Masehi dengan sengkalan sarira winayang tunggal sawiji. Sedang penulis naskah ini tidak diketahui. Naskah yang ditemukan di perpustakaan keraton ini bukan naskah yang asli namun sudah berupa salinan demikian pula dengan identitas penyalin juga tidak ditemukan dalam naskah ini. Naskah ini disalin kembali pada waktu Sultan Hamengku Buwana V bertahta, yaitu tahun 1823-1855. Penulisan kembali dengan sengkalan catur sêbdo wikuningrat, yaitu 1774 Saka atau 1846 Masehi, atau 10 Agustus 1846 Masehi; sedangkan penulisan berakhir diberi sengkalan suci harga sabda nêrpati, berarti 19 September 1846 Masehi. Dilihat dari namanya naskah tersebut merupakan campuran cerita kuno, yang kadang-kadang sulit untuk dipahami hubungannya, terutama dalam menembus ruang dan waktu yang seolah-olah serba gaib. Cerita tersebut memuat babad, cerita kuno, legenda, pewayangan, ada dewa-dewa yang dihubungkan dengan para nabi, dan cerita serat menak dengan tokoh tertentu. Raja-raja dihubungkan dengan Bhatara Wisnu, Brahma, para nabi, mulai Nabi Adam, Sis, Nuh, Hud, Ibrahim, Sulaiman, Yusuf dan lainnya. Penulis serat ini menceritakan bahwa raja-raja di Jawa merupakan keturunan dewa dilihat dari kiri, dan keturunan para nabi dilihat dari kanan.

Nabi Musa dan Nabi KhidlirTeks yang terkandung dalam naskah ini

menerangkan disusun pada waktu Sultan Hamengkubuwono ke V. Gelar tersebut

Page 106: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 221-232

226

menunjukkan bahwa Sultan sebagai raja di Mataram sudah memeluk agama Islam. Sebelum Islam dipeluk oleh masyarakat, orang Jawa sudah beragama Hindu. Sebagaimana dinyatakan bahwa orang Jawa menyembah Wisnu, dan Wisnu merajai bintang, bulan, matahari, angkasa, awan yang menghiasi raja dewa, bahkan Wisnu merupakan patokan atau tonggaknya orang Jawa. Sebagaimana dijelaskan dalam bait 6 dan 7 dalam tembang asmaradhana sebagai berikut:

“Beliau pribadi luhur menandakan terjadi nasehat orang tua-tua bagi akhir jaman sejak dahulu memerintah, tiada lain yang dipuja hanya Dewa Wisnu. Meskipun goa lereng gunung sungai hutan seisinya. Meskipun semua isi samudra menyembah Hyang Wisnu yang merajai bintang bulan matahari bumiangkasa angin awan semuanya yang menghias pada raja dewa, tiada lain Dewa Wisnu sebagai patokan tanah Jawa”.

Kutipan tersebut memberikan gambaran bahwa Wisnu bukan saja sebagai patokan tanah Jawa tetapi juga sebagai rajanya para dewa yang dipercayai masyarakat Jawa pada waktu itu. Dewa Wisnu merupakan salah satu dewa yang dipercayai oleh masyarakat Jawa yang masih beragama Hindu. Dalam agama Hindu ada tiga dewa yang dipercayainya, yaitu Dewa Bhrahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Syiwa. Ketiga dewa tersebut mempunyai tugas sendiri-sendiri, seperti Dewa Bhrahma bertugas mencipta, Dewa Wisnu bertugas memelihara, dan Dewa Syiwa bertugas untuk merusak. Dewa Wisnu diyakini sebagai raja para dewa oleh masyarakat Jawa waktu itu karena Wisnu bertugas untuk memelihara manusia dan alam seisinya, sehingga mereka sangat memuliakan Wisnu daripada dewa yang lain. Oleh karena itu Wisnu dipandang sebagai patokan tanah Jawa.

Dalam ajaran agama Islam disebutkan bahwa ada sesuatu yang wajib diimani atau dipercayai yang disebut dengan rukun iman. Rukun iman berjumlah 6 macam, yaitu iman kepada Allah, iman kepada malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul, takdir, dan hari akhir (kiamat). Salah satu rasul yang wajib diimani sebagaimana yang disampaikan dalam serat ini adalah Nabi Musa

as. Kepercayaan ini wajib diyakini dengan benar dan tidak boleh diperselisihkan bahkan dicampur dengan kepercayaan lain seperti makhluk halus atau lainnya. Demikian pula keyakinan atau keimanan tidak boleh memasukkan kepercayaan yang sudah dianut oleh masyarakat yang dipandang bertentangan dengan kepercayaan Islam. Seseorang yang sudah menjadi muslim tetapi masih percaya dengan kepercayaan lain dipandang sebagai orang kafir. Demikian pula dengan penjelasan dalam kitab ini bahwa dalam kitab tafsir orang Jawa apabila mengikuti agama Wisnu mereka akan menjadi orang kafir. Orang Jawa dengan datangnya agama Islam yang harus diikuti di lain pihak masih mengikuti kepercayaan agama yang masih dipercayai, maka penulis Serat Purwocampur menganjurkan kalau ingin berlebih artinya bukan Islam yang datang dari tanah Arab atau agama yang telah ada di Jawa, tetapi ambil yang ada kecocokannya dan semua bisa dipakai. Dari pernyataan tersebut dapat diambil pelajaran bahwa Islam yang datang dari Arab dan agama yang telah ada di Jawa apabila ada kecocokannya maka dapat dikerjakan bersama-sama.

Dijelaskan dalam teks ini bahwa pertama kali kerajaan Islam lahir adalah Kerajaan Demak yang menjadi pusat penyebaran agama Islam. Sebelum Demak lahir, didahului dengan para wali yang mengajarkan agama Islam. Di Kerajaan Demak inilah Islam disiarkan oleh para wali dengan berbagai cara yang digunakan. Misalnya, Sunan Kalijaga menyebarkan ajaran Islam dengan menggunakan tata cara yang tidak merusak tatanan kesenian yang sudah ada seperti gamelan, upacara slametan kematian dan sebagainya.

Setelah Kesultanan Demak, penyiaran agama Islam dilanjutkan oleh kerajaan-kerajaan Islam selanjutnya, yakni Kerajaan Pajang, Kerajaan Mataram. Di sini Kesultanan Demak merupakan cikal bakal perkembangan Islam di Jawa. Dalam serat ini diibaratkan, Kesultanan Demak sebagai cikal bakal berdiri dan penyiaran agama Islam umpama tebu atau tanaman yang mempunyai rasa manis dan belum bisa dirasakan seperti gula, sedang Mataram merupakan kelanjutan

Page 107: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Kerukunan Beragama dalam Naskah KeagamaanBisri Ruchani

227

dari Kesultanan Demak dalam menanam tebu dan sudah mulai diproses menjadi gula sehingga dapat dirasakan secara langsung bukan dirasakan dari batang tebu tersebut. Artinya, Islam di Kesultanan Mataram sudah dianut oleh masyarakat luas sebagai agama rakyat bukan lagi sebagai agama kerajaan.

Penjelasan semacam ini dapat dilihat dari tembang asmaradhana bait ke 51 dalam terjemahan disebutkan:

“Adanya Qur’an (di) keraton Jawa berada di Demak, bagaikan tebu dan Mataram gula batu “gumpalan inti gula pasir”. Di Mataram bertingkat-tingkat, tebunya (di) Kota besar, di Karta gula batu (bila) diselaraskan sang Sindhula”.

Dalam bait tersebut dijelaskan bahwa adanya kitab Al-Qur’an di keraton Jawa di Demak artinya bahwa Islam dan syari’atnya sudah dianut oleh masyarakat dan kesultanan Demak. Setelah runtuhnya Kesultanan Demak, kerajaan pindah beberapa kali dan terakhir di Kesultanan Mataram, tetapi situasi dan kondisi sudah berubah tidak lagi seperti sewaktu Islam dianut oleh masyarakat dan kesultanan di Demak. Di Kesultanan Mataram Islam sudah dianut oleh masyarakat bukan hanya di Jawa bagian utara melainkan juga sudah dianut oleh masyarakat Jawa bagian selatan baik di kota atau di pedesaan.

Selanjutnya mengenai bertemunya Nabi Musa dan Nabi Khidlir (Orang Salih) merupakan aspek kerukunan ajaran Islam. Dalam aspek tersebut Nabi Musa sebagai pembawa syari’at Allah banyak menggunakan dan berargumentasi melalui akal pikirannya sehingga sesuatu yang tidak dapat ia terima maka akan ditolak. Sedangkan Nabi Khidlir (orang salih) segala sesuatu dilakukan berdasarkan hakikat yang diberikan oleh Allah Swt. sehingga tidak dapat dipahami oleh akal pikiran orang biasa, Nabi Musa pun merasakan hal yang demikian.

Kisah pertemuan antara Musa dan Khidlir tidak menyebutkan bagaimana awal mulanya. Namun demikian Nabi Muhammad Saw. menjelaskan bahwa suatu ketika Nabi Musa berkhutbah di depan Bani Israel, ia bertanya

siapakah orang yang paling dalam ilmunya? Jawab Musa “Saya”, lalu Allah murka karena Nabi Musa tidak mengembalikan hal tersebut kepada-Nya. Lalu Allah mewahyukan kepadanya, bahwa “Aku mempunyai seorang hamba yang berada di pertemuan dua lautan. Dia lebih mengetahui dari pada engkau”. Nabi Musa bertanya, “Tuhan, bagaimana aku dapat bertemu dengannya?” Tuhan bersabda, “Ambillah seekor ikan, tempatkanlah ia di wadah yang terbuat dari daun kurma lalu di tempat mana kamu kehilangan ikan tersebut maka di sanalah dia” (HR. Bukhari).

Setelah mendapat wahyu tersebut kemudian Nabi Musa berangkat dengan pengikutnya dengan membawa seekor ikan. Dalam perjalanan yang cukup jauh dan cukup lelah Nabi Musa istirahat, setelah dirasa cukup ia berangkat lagi. Karena perjalanan cukup banyak menguras tenaga ia istirahat lagi untuk sekedar makan. Setelah makan Nabi Musa bertanya kepada pengikutnya masihkah ikan yang engkau bawa, kemudian pengikutnya melihat dan mengamati dengan sungguh-sungguh, ternyata ikan tersebut sudah tidak ada atau hilang. Sewaktu istirahat Nabi Musa lupa mengingatkan kepada pengikutnya, dan pengikutnya lupa membawanya sewaktu istirahat di suatu tempat tadi.

Kemudian Nabi Musa dan pengikutnya menelusuri kembali bekas perjalanannya, ketika sampai di tempat tadi ikan tersebut telah mencebur ke laut. Di tempat inilah Nabi Musa bertemu dengan seorang yang salih bernama Nabi Khidlir (Bahreisyi, 1993: 295-395). Pertemuan kedua makhluk Allah ini akhirnya berdialog sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Kahfi sebagai berikut:

“Musa berkata kepada Khidhir: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’” (Q.S: Al Kahfi ayat 66-68).

Di sini Musa bertanya kepada Khidir, “bolehkah

Page 108: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 221-232

228

aku mengikutimu agar engkau mengajarkan sebagian dari apa yang telah diajarkan oleh Allah kepadamu sebagai petunjuk?” Dan Orang Salih menjawab, “sekali-kali engkau tidak akan sanggup sabar atas sesuatu yang engkau belum jangkau secara menyeluruh hakikat beritanya.” Orang Salih menjawab demikian karena Nabi Musa belum mempunyai pengetahuan batiniyah yang cukup tentang sesuatu yang akan ia lihat dan alami sewaktu dengan orang salih tersebut.

Nabi Musa memiliki ilmu lahiriah dan menilai sesuatu berdasarkan hal-hal yang bersifat lahiriyah. Setiap sisi lahir pasti terdapat sisi batin yang mempunyai peranan yang tidak kecil bagi lahirnya hal-hal yang bersifat lahiriyah, sisi batin inilah yang belum dipunyai oleh Nabi Musa. Dari sini, apa yang disampaikan oleh Orang Salih tersebut sepenuhnya bertentangan dengan hukum-hukum syari’at yang bersifat lahiriyah yang dipegang teguh oleh Nabi Musa As. Dialog antara keduanya disampaikan dengan menggunakan kalimat yang santun tanpa menyinggung perasaan keduanya. Ucapan Orang Salih memberikan isyarat kepada kita kalau mendidik seseorang hendaknya menuntun anak didiknya dan memberi tahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu, bahkan mengarahkan kepada anak didiknya untuk tidak mempelajari sesuatu yang tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajarinya.

Pelajaran yang disampaikan kepada Nabi Musa As antara lain adalah ketika Orang Salih naik perahu bersamanya, hamba yang salih tersebut melubangi perahu tersebut. Nabi Musa tidak sabar ketika perahu dilubangi karena hal tersebut bertentangan dengan syari’at. Di sini Nabi Musa diingatkan agar akan syarat yang disepakati bersama. Nabi Musa sadar dan meminta maaf. Selanjutnya setelah mendarat, Orang Salih membunuh seorang anak yang tidak berdosa. Di sini Nabi Musa agaknya lupa akan persyaratan yang telah disepakati dan ditegur lagi oleh hamba yang salih tersebut.

Sampai di sini antara Nabi Musa dan Orang Salih berkebalikan dalam memahami masalah.

Nabi Musa memahami masalah dengan syari’at atau akal pikiran sedangkan Orang Salih dengan ilmu hakikat. Dalam Serat Purwocampur juga dijelaskan hal dimaksud:

“Sang Musa bertemu dengan Hyang Kilir (Khidlir), bertemu di jagad walikan ‘dunia akhir’ di situ tidak ada kesukaran/halangan, Hyang Kilir (Khidlir) apa yang dituju jagad dunianya bagai surga, perahu anak pagar batu, dicipta lahirlah seketika. Persediaan pasanggiri sayembara, yang dilewati oleh sang Musa, akan menjadi pemejangannya, sebentar masih berbeda, sang Musa belum mengerti menjadi jelas setelah terlewatkan, (ternyata) di sana sini sama saja”.

Dalam serat ini antara Nabi Musa dan Nabi Khidlir (Kilir) atau hamba Allah yang salih dalam memahami sesuatu berbeda. Perbedaan tersebut karena berbeda tolok ukur yang dipakai, Nabi Musa menggunakan tolok ukur syari’at sedang Nabi Khidlir menggunakan tolok ukur hakikat. Penulis Serat Purwocampur memberikan tawar-an bahwa antara Nabi Musa dan Nabi Khidlir kelihatannya tidak dapat disatukan karena Nabi Musa belum mengetahui ilmu hakikat. Suatu saat manusia kalau mau mengerti tentang ilmu hakikat maka ia tidak akan lagi menanyakan seperti apa yang ditanyakan oleh Nabi Musa As. Jadi antara syari’at dan hakikat pada hakikatnya sama. Antara syari’at dan hakikat berbeda karena seseorang dalam memahami sesuatu sudah terlebih dahulu mendahulukan ideologinya daripada menjaga netralitas keilmuan.

Agama di samping terdapat syari’at yang mengatur tata cara beribadah juga terdapat hakikat yang menjelaskan tentang segala sesuatu yang ada di balik sesuatu yang lahir. Dari sisi ajaran, agama bukanlah ajaran yang homogin syari’at saja melainkan dapat dikatakan heterogen yaitu ada juga hakikat dari agama. Apabila ajaran agama dipahami dan diajarkan keduanya secara bersama-sama maka tidak akan terjadi disharmoniasi dalam mengajarkan dan melaksanakan ajaran agama. Namun akan terjadi benturan yang menjadikan disharmoni apabila ajaran agama hanya disampaikan dan dilakukan hanya satu sisi, yakni syari’at atau hakikat saja. Hal ini sebagaimana disampaikan

Page 109: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Kerukunan Beragama dalam Naskah KeagamaanBisri Ruchani

229

oleh Frederik Barth apabila suatu masyarakat yang heterogen anggota masyarakatnya tidak mengibarkan benderanya sendiri-sendiri maka hubungan antara anggota masyarakat tersebut menjadi masyarakat yang harmonis. Namun apabila masyarakat yang warganya heterogen dan salah satu anggota masyarakatnya mengibarkan benderanya (kepentingan, ideologi) maka tidak terjadi harmonisasi (Barth, 1988: 12-33).

Penulis memberikan contoh kerukunan ajaran antara syari’at dan hakikat ini juga dalam menceriterakan tentang harmoninya yang dilakukan oleh Wrekudoro karena ketaatannya kepada guru meskipun apa yang disampaikan guru menurut syari’at belum tentu baik. Wrekudoro merupakan cerita wayang yang dengan ilmu syari’atnya ia menjadi salah satu tokoh yang kuat secara lahiriah. Namun dengan kekuatan lahiriah ia merasa masih terombang-ambing tidak menentu. Kemudian ia meminta petunjuk kepada gurunya, Pandita Durna, bagaimana ia bisa menentukan mana yang baik, agar tidak lagi seperti air yang berada di atas daun talas. Wrekudoro kemudian diminta bertemu dengan Dewaruci. Untuk bisa bertemu dengan Dewaruci, Wrekudoro harus berendam di laut (kungkum), suatu saat nanti akan bertemu dengan Dewaruci. Dalam berendam di laut tersebut ia mendapatkan banyak godaan, namun ia dapat menaklukkan godaan tersebut dan akhirnya bertemu dengan Dewaruci.

Penulis serat ini mengibaratkan antara syari’at dan hakikat tersebut seperti tebu dengan gula kristal. Syari’at adalah tebu dan hakikat adalah gula kristal, keduanya tidak akan terpisah dan akan menjadi satu. Rasa tebu yang manis tidak akan terpisahkan dengan pohon tebu, demikian sebaliknya tebu tidak akan meninggalkan rasa manis di batangnya. Jadi tebu dan rasa manis atau gula kristal itu menjadi satu, saling terkait satu dengan yang lain, dan tidak berpisah antara tebu dan rasa manis. Sebagaimana dijelaskan dalam bait ke 73 dan 74 sebagai berikut:

“Ada hakikatnya pertengkaran dengan syari’at berbeda, bagaimana menengahinya, bagai hakikat tebu seumpama, syari’at itu gula kristal, rasa tebu dan gula kristal tambah makin cocok.

Berbeda buruk dengan baik, bagai minyak dengan air, minyak awalnya air, tidak seberapa terkena minyak, bukan rasa air, bukan rasa air, dari kelapa rasa gurihnya, perselisihannya pantas juga”.

Dari sini penulis serat ini mempunyai pemikir-an bahwa pada hakikatnya antara syari’at dan hakikat tidak dapat dipisahkan. Menurut penulis Serat Purwocampur, hubungan antara syari’at dan hakikat merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri. Artinya seseorang dalam beragama tidak hanya melaksanakan syari’atnya saja tanpa melaksanakan hakikat, demikian sebaliknya tidak hanya melaksanakan hakikat saja tanpa melakukan syari’at.

Seseorang yang menjalankan hakikat tidak diperbolehkan meninggalkan syari’at telah banyak disampaikan oleh para ulama. Imam Al-Ghazali pernah berkata bahwa seseorang yang melakukan tasawuf harus menjalankan syari’at, dan tasawuf tanpa syari’at tidak sah. Penulis serat ini juga mengingatkan bahwa dalam beribadah masyarakat Jawa masih senang kepada aspek hakikat daripada melakukan syari’at lebih dahulu. Hal ini disebabkan sebelum Islam datang orang Jawa percaya tentang mistik yang disampaikan ajaran agama sebelumnya. Mereka percaya seseorang beribadah paling tidak mempunyai efek kepada perilaku yang santun dan baik. Menurut penulis serat, seseorang dapat menjadi salih seharusnya melakukan syari’at dan hakikat. Kesalihan syari’at dapat disebut juga dengan “kesalihan normatif”, yaitu seperangkat tingkah laku yang telah digambarkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad Saw bagi umat Islam. Kesalihan normatif ini merupakan bentuk tingkah laku agama di mana ketaatan dan ketundukan merupakan hal yang sangat penting. Sedangkan hakikat lebih mengatur bentuk-bentuk mental daripada tingkah laku, dengan tujuan untuk membebaskan keinginan dan nafsu duniawi yang menghalangi manusia dari perwujudan dan sebagai citra (Woodward, 1999: 5-9).

Hubungan antara syari’at dan hakikat merupakan tema-tema yang penting dalam teks-teks keagamaan yang menjadi dasar agama keraton. Namun hal semacam ini dilakukan

Page 110: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 221-232

230

menurut kemantapan masing-masing, bagi penganut Islam normatif mereka harus men-jalankan ibadahnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari’at, sedang bagi penganut Islam hakikat (mistikus) peribadatan yang digariskan syari’at bisa dikesampingkan. Pembedaan yang sangat umum dalam tradisi Islam ini digunakan sebagai basis teokrasi sufi (mistikus).

Jawa dan ArabPenulis Serat Purwocampur berusaha

menjawakan istilah dan ajaran Islam ke dalam masyarakat Jawa dengan menggunakan istilah dan Bahasa Jawa yang berlaku pada masyarakat waktu itu. Di samping berusaha menjawakan dan membumikan istilah dalam ajaran Islam kedalam masyarakat dan bahasa Jawa juga berusaha menyamakan Jawa dengan masyarakat. Dalam Serat Purwocampur dijelaskan bahwa di Jawa Wisnu sebagai patokan atau pusat di tanah Jawa. Disebutkan bahwa raja Sindula merupakan keturunan Yapis. Yapis adalah keturunan dari Nabi Nuh As. Yapis keturunan Nuh tersebut yang ke Jawa untuk menyebarkan agama di Jawa. Sebagaimana disebutkan bahwa:

“Benih raja Adam Sani, keturunan Yapis yang menuju ke Jawa sebangsa Jabur pusaka agamanya. Di Jawa saling mengambil keturunannya para jin dengan manusia. Keturunannya lalu berkembang melahirkan sang raja Sindula.Pakukuhan kedua bergelar menguasai Sindula, dan Manikmaya kecocokan empat dikatakan dua, dua dwi tunggal, sepi Manikmaya nung, Manikmaya telah menjelma menjadi Ajisaka. Sepintas kerajaan Jawa itu keturunan Yapis bertemu Harjuna kemudian bantunya Sri Jayabaya penjelmaan Wisnu terakhir, bertemu dengan Brahma sampai Ngayogyakarta (Kerajaan Yogyakarta) sejak silsilah saat itu”.

Kutipan di atas memberikan gambaran adanya keterkaitan yang tidak terpisahkan antara orang Arab dan Jawa, terutama raja-raja di Jawa adalah masih keturunan Yapis atau keturunan Arab. Meskipun merasa masih keturunan Arab namun istilah-istilah Jawa melekat pada masyarakat Jawa waktu itu, sehingga kesultanan di Jawa merupakan perpaduan atau akulturasi Jawa dan Arab. Akulturasi merupakan proses

sosial yang timbul apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 1985: 247-248).

Akulturasi Jawa dengan Arab terjadi karena adanya migrasi orang Arab ke Jawa. Migrasi merupakan kodrat manusia untuk mencari sesuatu yang lebih baik dari suatu penghasilan di daerahnya. Migrasi ini dapat dilakukan dalam rangka usaha perdagangan dan penyebaran agama yang dilakukan oleh orang Arab.

Gerak migrasi sudah dilaksanakan sepanjang sejarah manusia. Migrasi menyebabkan terjadinya pertemuan antara kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Pertemuan antara kelompok manusia dan kebudayaan mengakibatkan adanya individu-individu dengan kelompok tersebut dengan kebudayaan yang dipandang asing.

Antara tanah Arab dengan negara Indonesia, terutama di Jawa, juga terdapat akulturasi dalam keturunan. Orang Jawa, menurut Serat Purwocampur, merupakan keturunan Yapis yang menikah dengan orang Jawa sehingga orang Jawa adalah merupakan keturunan Yapis. Sedangkan Yapis merupakan keturunan Adam Sani, dan tidaklah berlebihan bila dikatakan dalam serat tersebut bahwa raja-raja di Jawa merupakan keturunan Arab.

Serat ini bukan hanya mengakulturasikan orang Jawa dengan orang Arab, tetapi sebagai pelanjut ajaran para nabi sebagaimana dijelaskan dalam tembang Girisa bait ke-29 bahwa Sang Dawud menempel keadaannya laku bertapa Salya jadilah Senapati. Hyang Jaka Sri Abimanyu sang Yahya Gatutkaca, Prabu Kresna yang melanjutkan Nabi Yunus, Adapun Prabu Yudistira melanjutkan Nabi Ismail. Bait ini menunjukkan bahwa Kresna yang kita jumpai sebagai satu tokoh dalam dunia pewayangan dihubungkan dengan Nabi Yunus, demikian pula dengan Yudistira dihubungkan

Page 111: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Kerukunan Beragama dalam Naskah KeagamaanBisri Ruchani

231

dengan Nabi Ismail. Hubungan tokoh wayang Kresna dengan Nabi Yunus dan hubungan tokoh wayang Yudistira dengan Nabi Ismail diduga berhubungan dengan keturunan atau sebagai penerus ajaran.

Dalam serat tersebut juga disebutkan bahwa Yapis datang ke tanah Jawa dengan membawa Jabur (Zabur). Jabur adalah merupakan salah satu kitab yang diturunkan kepada Nabi Dawud As. Dengan datangnya Yapis ke tanah Jawa membawa kitab Jabur, artinya Yapis juga mengembangkan ajaran yang terdapat dalam Kitab Jabur, dan orang Jawa sudah menganut ajaran dari Kitab Jabur. Akulturasi telah berjalan namun identitas diri sebagai orang Jawa dan kepercayaannya masih juga dipakai. Identitas diri sebagai orang Jawa dan kepercayaannya tersebut masih terlihat dari istilah menitis atau jelmaan. Seperti dikatakan dalam kutipan di atas adalah Sri Jayabaya merupakan jelmaan dari Wisnu yang terakhir yang bertemu dengan Brahma sampai pada silsilah terakhir di Yogyakarta. Satu sisi serat tersebut mengaku bahwa orang Jawa masih keturunan Yapis dari Arab namun di sisi lain mengatakan bahwa silsilah yang sampai di Yogyakarta dari Sri Jayabaya, di mana Sri Jayabaya merupakan jelmaan atau titisan Wisnu yang terakhir. Istilah-istilah jelmaan ini dapat ditemukan di bait-bait yang lain.

Banyak cara yang disampaikan dalam membumikan ajaran agama di suatu daerah. Salah satunya dengan memayu hayuning bawana, yaitu membuat dunia menjadi harmoni, sejahtera, dan damai, dengan membumikan Al-Quran, yaitu rahmatan lil ‘alamin. Di Jawa, paling tidak terdapat dua cara pendekatan agar nilai-nilai ajaran agama Islam dapat diserap dan menjadi bagian dari budaya Jawa. Pendekatan pertama disebut “Islamisasi kultur Jawa”. Pendekatan ini mengupayakan agar budaya Jawa tampak bercorak Islam baik formal maupun substansial, upaya semacam ini dapat dilihat dari penggunaan istilah, nama-nama Islam dan lainnya dari berbagai aspek kehidupan manusia. Pendekatan kedua disebut dengan “Jawanisasi Islam”, yaitu

salah satu upaya mengintegrasikan nilai-nilai Islam melalui penyusupan ke dalam budaya Jawa. Kedua cara tersebut telah digunakan oleh para wali dan raja, penulis kerajaan dalam rangka menyebarkan ajaran agama Islam di Jawa. Melalui cara pertama Islamisasi dimulai dari aspek formal sehingga simbol-simbol keislaman nampak secara nyata dalam budaya Jawa. Cara kedua, dengan menggunakan istilah-istilah dan nama-nama Jawa namun nilai-nilai yang dikandungnya adalah nilai-nilai Islam yang telah dimasukkannya sehingga ajaran agama Islam men-Jawa (Sofwan, 2000: 119-137). Berbagai kenyataan dapat dilihat bahwa produk budaya orang Jawa yang beragama Islam cenderung mengarah kepada polarisasi Islam ke-Jawa-an atau Jawa yang ke-Islam-an sehingga timbul istilah Islam Jawa atau Islam Kejawen.

PenuTuP

Naskah Serat Purwocampur ditemukan di Perpustakaan Widya Budaya Keraton Yogyakarta dengan kode C 56. Naskah tersebut disusun pada masa Kesultanan Yogyakarta sewaktu dipegang oleh Sultan Hamengkubuwana V. Naskah Serat Purwocampur merupakan naskah tunggal dan tidak ditemukan nama pengarangnya. Naskah yang ditemukan tersebut bukan naskah asli namun sudah salinan, dan nama penyalinnya juga tidak ditemukan dalam kolofon. Naskah disusun pertama kali hari Senin Kliwon siang jam 15.00 tahun 1846 M. Naskah yang diteliti berbentuk tembang macapat. Tembang tersebut terdiri atas 4 macam, yakni tembang asmaradhana, tembang girisa, tembang pangkur, dan tembang dhandhanggula. Isi atau kandungan dari naskah ini berupa cerita kuno yang kadang-kadang sulit untuk dipahami hubungannya, terutama menembus ruang dan waktu yang seolah-olah serba gaib. Cerita kuno tersebut antara lain legenda, pewayangan, dewa-dewa dihubungkan dengan para nabi. Raja-raja Jawa dihubungkan dengan Bhatara Brahma, Wisnu, Nabi Adam, Sis, Nuh, Hud, Ibrahim, Sulaiman, artinya raja-raja Jawa merupakan keturunan dewa dilihat dari sisi kiri, dan keturunan para nabi dari sisi kanan.

Page 112: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 221-232

232

Dalam naskah tersebut terdapat nilai-nilai kerukunan beragama yang berbasis teks, antara lain penulis naskah tersebut menjelaskan ajaran agama yang berupa syari’at dan hakikat hendaknya dilakukan secara bersama-sama, jangan hanya salah satunya saja. Ajaran syari’at dan hakikat seperti tebu dengan gula yang menyatu, tidak dapat dipisahkan antara keduanya. Nilai kerukunan yang lain disampaikan bahwa antara Arab dan Jawa adalah sama, tidak ada perbedaan, karena masyarakat dan raja Jawa merupakan keturunan dari Arab dari arah kanan sedang dari arah kiri masyarakat dan raja Jawa merupakan keturunan Wisnu. Akulturasi budaya bukan hanya pada keturunan, namun juga menjawakan istilah keislaman ke dalam bahasa Jawa sehingga secara tidak sengaja mereka telah melaksanakan ajaran agama Islam. Akulturasi tersebut dilakukan dengan mengislamkan kultur Jawa baik formal maupun substansial, dan Jawanisasi Islam dengan mengintegrasikan nilai-nilai Islam.

dafTar PusTaKa

Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Media Group.

Baried, Siti Baroroh. 1985. Pengantar Teori Filologi,. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Barth, Fredrik. 1988: Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: UI Press.

Djamaris, Edward. 2002. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Manasco.

Lubis, Nabilah. 2008. Naskah Teks dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia.

Robson, SO. 1994. Prinsip-Prinsip Filologi Idonesia. Jakarta: RUL.

Saputra, H. Karsana. 2008. Pengantar Filologi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Page 113: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Strategi Pengembangan Sekolah Muhammadiyah di Masyarakat NU KonservatifZainal Arifin

233

STRATEGI PENGEMBANGAN SEKOLAH MUHAMMADIYAH DI MASYARAKAT NU KONSERVATIF

The Development Strategy of Muhammadiyah School in Based Conservative-NU Society

zAINAL ArIFIN

zAINAL ArIFINFakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta Telp./Faks. (0274)558256

e-mail: [email protected] diterima: 14 Maret 2013

Naskah direvisi: 29 Juli-19 Agustus 2013

Naskah disetujui:19 September 2013

AbstrActThe existence of Aisyiyah Kindergarten (Aisyiyah Bustanul Athfal) and Muhammadiyah Elementary School at Mlangi Sleman Yogyakarta, where the majority of the community are from Nahdlatul Ulama (NU), that cause some social conflicts. However, the Aisyiyah Kindergarten and Muhammadiyah Elementary School are still be the favorite school at Mlangi. In fact, there are 23 pesantren based on NU, Masyitoh Kindergarten, 2 islamic elementary school belong to an-Nasyat and al-Falahiyah and NU Elementary School. This research discussed on obstacles, conflict, format of solutions, and development strategy of Aisyiyah Kindergarten and Muhammadiyah Elementary School at Mlangi. This research is a qualitative study used in-depth interview, observation, and documentation. The results showed the barriers and conflicts experienced by Aisyiyah Kindergarten and Muhammadiyah Elementary School in Mlangi, they are: parents’ low attention on formal education, clash of school activities and pesantren activities, limited infrastructure, limited human resources, negative thinking of Mlangi community on Aisyiyah Kindergarten and Muhammadiyah Elementary School, the difference in religious teaching, and the new admission competition. Development strategy of Aisyiah Kindergarten and Muhammadiyah Elementary School in Mlangi include imaging, increasing extra curricular program, improving infrastructure facilities, accomodating local culture, and providing tolerance and accomodation for students with different culture.

Keywords: Aisyiyah Kindergarten, Muhammadiyah Elementary School, Conflict, Development Strategy

AbstrAkKeberadaan TK Aisyiyah Bustanul Athfal (ABA) dan SD Muhammadiyah di Mlangi Sleman Yogyakarta di tengah mayoritas warga NU banyak menimbulkan konflik sosial. Akan tetapi TK ABA dan SD Muhammadiyah tetap menjadi favorit bagi warga Mlangi walaupun dusun Mlangi dikelilingi oleh 23 pesantren NU, TK Masyitoh, 2 Madrasah Ibtidaiyah milik Pesantren an-Nasyat dan al-Falahiyah serta SD NU. Penelitian ini membahas tentang hambatan, konflik, format solusi, dan strategi pengembangan TK ABA dan SD Muhammadiyah di Mlangi. Jenis penelitian ini adalah kualitatif yang menggunakan teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hambatan dan konflik yang dialami TK ABA dan SD Muhammadiyah Mlangi: kepedulian orang tua masih rendah terhadap pendidikan formal, terbenturnya kegiatan sekolah dengan kegiatan pesantren, keterbatasan sarana prasarana, keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM), masih ada pandangan negatif masyarakat Mlangi terhadap TK ABA dan SD Muhammadiyah Mlangi, perbedaan dalam pengajaran agama, adanya persaingan dalam penerimaan siswa baru. Strategi pengembangan TK ABA dan SD Muhammadiyah di Mlangi meliputi pencitraan, peningkatan program ekstrakurikuler, peningkatan sarana prasana, mengakomodasi budaya lokal, dan memberikan toleransi serta akomodasi perbedaan kultur siswa.

Kata kunci: TK ABA, SD Muhammadiyah, Konflik, Strategi Pengembangan

Page 114: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 233-244

234

Pendahuluan

Islam di Indonesia tidak dapat terlepas dari Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama). Kedua ormas ini turut mewarnai sejarah Indonesia terutama pada masa pra-kemerdekaan. Sepanjang perjalanan sejarah, kedua organisasi Islam terbesar ini, senantiasa diwarnai korporasi, kompetisi, sekaligus konfrontasi. Kajian Muhammadiyah dan NU di Indonesia selalu melibatkan harapan dan kekhawatiran lama yang mencekam, karena wilayah pembahasan ini penuh romantisme masa lalu yang sarat emosi dan sentimen historis yang amat sensitif. Sekadar contoh, sering dinyatakan, kelahiran NU tahun 1926 merupakan reaksi defensif atas berbagai aktivitas kelompok reformis, Muhammadiyah (dan Serekat Islam), meski bukan satu-satunya alasan (Qodir, Kompas, 2001).

Pandangan masyarakat pada umumnya terhadap warga Muhammadiyah dan NU di desa adalah terjadi polarisasi dan bahkan konflik di antara keduanya. Salah satu faktor terjadinya konflik semacam ini adalah terjadinya pemahaman yang berbeda dan interpretasi yang beraneka ragam terhadap sumber-sumber ajaran agama/teks suci, terutama sumber ajaran Islam, yang pada gilirannya, ritualitas religi mereka pun berbeda-beda pula. Sikap fanatik baik dari orang-orang NU maupun dari orang-orang Muhammadiyah sendiri, hingga terkadang tampak sebagai pertentangan dan perpecahan, bukannya sebagai perbedaan.

Perbedaan yang sering menjadi sumber konflik di tingkat bawah adalah persoalan pemahaman dan ritualitas agama. Perbedaan tersebut seringkali menjadi pemicu konflik sosial dan sentimen keagamaan di antara keduanya. Muhammadiyah yang sejak kelahirannya dikenal sebagai gerakan pembaharu Islam dengan jargon-jargon ijtihad dan tajdid-nya direalisasikan dalam bidang-bidang sosiokultural dengan amal usaha di bidang pendidikan. Sehingga, kurikulum dan materi keagamaan dalam pendidikan Muhammadiyah jelas berbeda dengan NU yang diajarkan di pondok pesantren.

Lembaga pendidikan Muhammadiyah yang merata menjangkau hampir seluruh wilayah negeri ini, keadaannya bervariasi dan sangat beragam. Lembaga pendidikan Muhammadiyah yang berada di perkotaan atau di basis masyarakat Muhammadiyah memiliki tantangan dan hambatan yang tidak serumit dengan lembaga pendidikan yang berada di basis masyarakat NU yang terkenal sangat tradisional dan konservatif, sebagaimana yang ada di Dusun Mlangi Nogotirto. Predikat yang melekat pada masyarakat Mlangi adalah masyarakat santri. Masyarakat santri yang ada di dusun tersebut tidak hanya sebatas komunitas muslim yang taat dalam menjalankan perintah agama. Akan tetapi, sistem sosial dan tradisi yang dimiliki adalah tradisi pesantren salaf yang kental dengan keilmuan kitab fikih (kitab kuning). Oleh karena itu, pemerintah Kabupaten Sleman dan Provinsi D.I. Yogyakarta menjadikan dusun sebagai Desa Wisata Religius Islami.

TK ABA dan SD Muhammadiyah Mlangi berada di pedesaan yang hampir mayoritas penduduknya warga NU. Sekolah tersebut dikelilingi oleh 23 pondok pesantren salaf model NU, 1 TK Masyitoh, 2 Madrasah Ibtidaiyah (MI) milik Pondok Pesantren an-Nasyat dan al-Falahiyah serta 1 SD NU yang lokasinya berdekatan. Akan tetapi, sekolah Muhammadiyah tersebut menjadi favorit bagi warga Mlangi dalam menyekolahkan putra-putrinya. Hal ini terlihat dari data bahwa di TK ABA ada sekitar 99 siswa dan SD Muhammadiyah dengan jumlah siswa sekitar 344 murid. Gedung tempat belajar juga lumayan maju dan megah di banding pendidikan yang berafiliasi ke NU.

Hal tersebut yang membuat banyak orang di luar Mlangi, para wisatawan religi, dan para wali santri menjadi keheranan. Apalagi TK ABA yang berdempetan dengan Pondok Pesantren As-Salafiyah dan SD Muhammadiyah yang berhadapan dengan Pondok Pesantren Al-Mahbubiyah. Hal ini tentunya menjadi fenomena menarik, di mana sekolah Muhammadiyah berdampingan dan di kelilingi pondok pesantren salaf model NU, yang secara prinsip amaliah ibadahnya memiliki beberapa perbedaan. Akan

Page 115: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Strategi Pengembangan Sekolah Muhammadiyah di Masyarakat NU KonservatifZainal Arifin

235

tetapi, sekolah Muhammadiyah menjadi pilihan warga Mlangi dan secara fisik maupun prestasi pun maju, dibanding dengan sekolah NU, padahal dusun Mlangi merupakan basis NU.

Tentunya, kemajuan lembaga pendidikan Muhammadiyah, yakni TK ABA dan SD Muhammadiyah Mlangi itu pun tak terlepas dari hambatan-hambatan sosiologis dan ideologis keagamaan masyarakat di sekitarnya. Bukan hanya hambatan biasa, bahkan konflik pun menyertai perjalanan lembaga tersebut. Misalnya, ada reaksi wali murid ketika bacaan iftitah shalat yang diajarkan di sekolah berbeda dengan yang diajarkan di rumah, reaksi beberapa kiai ketika SD Muhammadiyah Mlangi akan memberlakukan full day school, dan persoalan lainnya. Anehnya, walaupun masyarakat Mlangi sudah mengetahui bahwa sekolah tersebut secara ideologis keagamaan berbeda, tetapi mereka tetap bangga menyekolahkan putra putrinya di sekolah tersebut.

Rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini: (1) Hambatan dan konflik apa sajakah yang timbul dalam pengembangan pendidikan TK ABA dan SD Muhammadiyah di Mlangi?; (2) Bagaimanakah formula solusi yang diambil oleh TK ABA dan SD Muhammadiyah?; (3) Bagaimanakah strategi pengembangan TK ABA dan SD Muhammadiyah di Mlangi sehingga tetap menarik dan favorit bagi masyarakat sekitar yang berfaham NU?

Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui hambatan dan konflik dalam pengembangan TK ABA dan SD Muhammadiyah di dusun Mlangi; (2) Untuk mengetahui format solusi atau jalan keluar yang diambil TK ABA dan SD Muhammadiyah di dusun Mlangi sehingga berguna untuk referensi bagi lembaga pendidikan Muhammadiyah yang berada di basis NU di lokasi lain; (3) Untuk mengetahui strategi pengembangan TK ABA dan SD Muhammadiyah di dusun Mlangi yang di tengah masyarakat Pesantren dan lembaga pendidikan formal NU.

Tinjauan pustaka dalam penelitian ini terkait erat dengan hasil penelitian-penelitian

sebelumnya yang mempunyai relevansi dengan tema penelitian ini. Tema yang diangkat masalah integrasi warga Muhammadiyah dengan NU di Mlangi, yaitu penelitian Ilzamul Wafik (2011) dalam rangka skripsi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang berjudul: “Interaksi Sosial Antar Kelompok Islam (Studi kasus NU dan Muhammadiyah di Desa Wisata Mlangi)”. Hasil penelitian menemukan data bahwa konflik yang dapat terjadi antara warga Muhammadiyah dengan NU di Mlangi adalah berkaitan dengan kepentingan, seperti ketakmiran masjid, urusan partai, pendirian kantor Muhammadiyah, menggugat/ mencampuri amaliah bacaan dalam shalat. Namun, relasi NU dan Muhammadiyah pada tahun 2010 cenderung baik karena antara keduanya saling membutuhkan terutama dalam bidang ekonomi, pendidikan dan sosial. Dalam bidang ekonomi, terjadi interaksi bisnis antara warga NU dan Muhammadiyah sehingga kemungkinan konflik antara keduanya kecil dan hal ini memperkuat integrasi sosial masyarakat. Dalam hal pendidikan, warga NU banyak menyekolahkan anaknya di sekolah Muhammadiyah. Dalam bidang sosial, terjadi interaksi sosial kemasyarakatan (RT/RW), urusan kematian, pernikahan dan kekerabatan. Selain itu, status minoritas warga Muhammadiyah di Mlangi menyebabkan mereka mengakulturasikan diri dalam tradisi keagamaan NU.

KerangKa Teori

Landasan teori penelitian ini adalah menggunakan teori manajemen organisasi, khususnya teori Total Quality Management (TQM) dan teori konflik. Teori TQM digunakan untuk membedah implementasi manajemen di TK ABA dan SD Muhammadiyah Mlangi dalam strategi pengembangan pendidikan sehingga tetap menarik dan menjadi favorit bagi masyarakat NU di Mlangi. Sedangkan teori konflik digunakan untuk menguraikan terjadinya konflik horizontal terhadap pengembangan lembaga pendidikan Muhammadiyah TK ABA dan SD Muhammadiyah di Mlangi, sedangkan teori integrasi sosial digunakan untuk menganalisis

Page 116: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 233-244

236

proses toleransi dan akomodasi TK ABA dan SD Muhammadiyah Mlangi dalam menghadapi perbedaan amaliah siswa.

MeTode PeneliTian

Penelitian ini termasuk penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan kualitatif. Fokus penelitian ini adalah mengungkap hambatan dan konflik serta strategi pengembangan TK ABA dan SD Muhammadiyah Mlangi sehingga tetap menarik dan favorit bagi masyarakat Mlangi. Teknik pengumpulan data menggunakan dokumentasi, observasi, dan wawancara men-dalam. Observasi dilakukan dengan melihat proses pembelajaran di kelas dan pengamatan lembaga-lembaga pendidikan sekitar TK ABA dan SD Muhammadiyah Mlangi. Wawancara mendalam dilakukan di kelas maupun di rumah seorang guru senior yang kebetulan rumahnya dekat dengan SD Muhammadiyah Mlangi (Ibu Dewi Susiloningsih) yang lebih mengetahui secara mendalam tentang sejarah SD Muhammadiyah Mlangi. Informan kunci yang lain adalah kepala TK ABA (Ibu Sri Rusjiyanti), Kepala SD Muhammadiyah Mlangi (Bapak Tri Sumardani), guru PAI (Ibu Musrifah) dan guru kelas (Bapak Somulyo, Ibu Dina Islamiyah, dan Ibu Mulyanti).

Dalam pengumpulan data di lapangan, peneliti dibantu dua orang, yaitu Ahmad Baihaqy dan Alfian Eko Rochmawan. Teknik penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu orang-orang yang bersangkutan dan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang obyek penelitian ini. Analisis data menggunakan teori Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan/ verifikasi (conclusion drawing/verification) (Miles and Huberman, 1984: 21-23).

hasil dan PeMbahasan

Pengembangan TK ABA MlangiHambatan dan Konflik

Dalam pengembangan TK ABA di Mlangi, banyak hambatan yang dihadapinya. Pertama,

keterbatasan sarana dan prasarana. Menurut Sri Rusjiyanti, “hambatan yang dialami TK ABA Mlangi adalah lahan atau gedung sekolah yang masih sangat terbatas sehingga perlu ada penambahan agar bisa menampung semua murid” (Sri Rusjiyanti, Kepala TK ABA: 2012). Dari hasil observasi, kondisi gedung TK ABA sangat terbatas dengan jumlah siswa sekitar 99 anak. Sehingga, pengelola TK ABA dapat bekerjasama dengan Muhammadiyah untuk mengembangkan lahan untuk mengatasi keterbatasan sarana prasarana. Kedua, kesadaran wali murid untuk mendukung pendidikan formal masih rendah. Ini terlihat dari sering menunda pembayaran SPP. Ini berimplikasi pada pengembangan TK baik untuk kesejahteraan guru maupun memenuhi kebutuhan sarana prasarana (Sri Rusjiyanti, Kepala TK ABA: 2012).

Selain hambatan, dalam pengembangan TK ABA juga mengalami konflik horizontal. Pertama, masih adanya pandangan negatif terhadap TK ABA. Menurut Kepala TK ABA Sri Rusjiyanti:

“Di masyarakat Mlangi masih ada pandangan negatif atau mungkin sedikit sentimen terhadap keberadaan TK ABA Mlangi. Hal itu didasari bahwa mayoritas warga Mlangi adalah masyarakat NU yang akrab dengan pendidikan pesantren. Nah, di Mlangi ini banyak terdapat pendidikan non formal, lebih 15 pondok pesantren. Untuk konflik sebenarnya tidak ada, hanya mungkin “sentimen.” Akan tetapi, hal itu terjembatani oleh posisi TK ABA Mlangi ini yang berdampingan dengan Pesantren As-Salafiyah. Hubungan pesantren dengan TK ABA juga terjaga secara hormonis karena pengasuh pondok pesantren as-Salafiyah cukup moderat” (Sri Rusjiyanti, Kepala TK ABA: 2012).

Kedua, perbedaan dalam pengajaran agama. Misalnya perbedaan dalam bacaan iftitah shalat, rukuk, sujud, dan lainnya. Perbedaan ini telah memperkuat sentimen warga Mlangi terhadap TK ABA. Bagi masyarakat yang ke-NU-annya kuat maka mereka akan menyekolahkan di TK Masyitoh. Tapi, setelah lulus dari TK Masyitoh kemudian melanjutkan di SD Muhammadiyah Mlangi. Hal ini kadang terasa aneh (Sri Rusjiyanti, Kepala TK ABA: 2012).

Page 117: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Strategi Pengembangan Sekolah Muhammadiyah di Masyarakat NU KonservatifZainal Arifin

237

Formula SolusiFormat solusi yang diambil TK ABA Mlangi

untuk mengatasi hambatan dan konflik di atas sebagai berikut. Pertama, solusi hambatan. (1) Hambatan keterbatasan sarana prasarana dapat dikomunikasikan solusinya antara TK ABA dengan Majlis Dikdasmen Muhammadiyah serta wali murid. (2) Hambatan tentang rendahnya kesadaran masyarakat Mlangi untuk mendukung pendidikan formal bagi anaknya dapat dilakukan pendekatan persuasif serta kekeluargaan kepada wali murid.

Kedua, solusi konflik. (1) konflik karena adanya pandangan negatif masyarakat Mlangi terhadap TK ABA dan perbedaan dalam pengajaran agama, maka pihak sekolah dapat bersikap toleran terhadap perbedaan, misalnya bacaan shalat. Dalam dataran teoretis, pihak sekolah konsisten terhadap garis organisasi Aisyiyah (Muhammadiyah) tetapi dalam dataran praktis pihak sekolah memberikan kelongggaran pada siswa untuk memilih bacaan yang diajarkan di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) Pondok Pesantren atau yang diajarkan di sekolah. Sebab, banyak siswa-siswi yang sekolah di TK ABA tetapi juga mengaji di berbagai TPA atau Ngaji Sore di pesantren (Sri Rusjiyanti, Kepala TK ABA: 2012).

Dalam meningkatkan daya tarik masyarakat Mlangi, TK ABA membuat program terobosan kegiatan ekstrakurikuler seperti seni lukis dan drum band. Drum band menjadi daya tarik masyarakat Mlangi, karena dianggap menjadi semacam identitas modern bagi masyarakat karena di Mlangi baru ada sebatas seni hadrah dengan media musik terbangan. Selain itu, untuk menciptakan citra positif dan daya tarik masyarakat Mlangi, TK ABA mengkreasi warna gedung yang kelihatan mewah, menjaga kebersihan, dan menjadikan lingkungan sekolah yang asri (Sri Rusjiyanti, Kepala TK ABA, 2012).

Kebijakan Strategis Pengembangan TK ABA MlangiPerubahan paradigma penyelenggaraan

pendidikan dari sentralisasi ke desentralisasi mendorong terjadinya perubahan dan pembaruan pada beberapa aspek pendidikan, termasuk

kurikulum. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36 Ayat (2) ditegaskan bahwa kurikulum di semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, murid. Atas dasar pemikiran tersebut maka perlu dikembangkan Kurikulum TK.

Kebijakan strategis dalam pengembangan TK ABA Mlangi yang pertama adalah aspek kuriku-lum. Kurikulum TK ABA Mlangi dikembangkan sebagai perwujudan dari kurikulum prasekolah. Kurikulum ini disusun oleh satu tim penyusun yang terdiri atas unsur sekolah dan Yayasan TK ABA Mlangi di bawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman.

Para guru TK ABA Mlangi mampu men-ciptakan pembelajaran yang menyenangkan bagi anak, sehingga anak betah di sekolah. Atas dasar kenyataan tersebut, maka pembelajaran di TK bersifat mendidik, mencerdaskan, mem-bangkitkan aktivitas dan kreatifitas anak, efektif, demokratis, menantang, menyenangkan dan mengasyikkan. Dengan spirit seperti inilah TK ABA Mlangi berjalan secara dinamis. Jika dilihat dari perspektif teori Total Quality Management (TQM) maka TK ABA Mlangi telah melakukan manajemen mutu terpadu dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimalkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa, tenaga kerja, proses dan lingkungan (Nasution, 2001: 24-28)

TQM juga dapat diartikan sebagai perpaduan semua fungsi dari lembaga ke dalam falsafah holistik yang dibangun berdasarkan konsep kualitas, team work, produktivitas, dan pengertian serta kepuasan pengguna jasa/pelanggan (Pawitra, 1993: 135). Khususnya Pelanggan pendidikan yang terdiri dari pelanggan internal dan eksternal. Pelanggan internal adalah guru dan staf sedangkan pelanggan eksternal adalah murid, masyarakat, dan dunia kerja.

Sentimen negatif terhadap keberadaan TK ABA Mlangi menurut teori konflik Lewis A. Coser dapat menjadi sumbangan yang secara

Page 118: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 233-244

238

potensial positif karena dapat membentuk serta mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu. Konflik secara sosiologis bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bentuk atau konsep-konsep sosiologi di mana isi dunia empiris dapat ditempatkan (Coser, 1956: 151-210). Sebab, sebuah perselisihan atau pertikaian adalah gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Oleh karena itu, konflik selalu tunduk pada perubahan. Faktanya, masyarakat yang semula sentimen atau bahkan menolak keberadaan TK ABA Mlangi lebih tertarik untuk menyekolahkan anaknya di sekolah ini, padahal di Mlangi ada RA Masyitoh, lembaga pendidikan tingkat TK milik NU (Sri Rusjiyanti, Kepala TK ABA, 2012).

Ditinjau dari teori konflik maka konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemelihara-an struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain.

Sebagaimana pendapat Bernard Raho, “teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan konpromi-konpromi yang berbeda dengan kondisi semula” (Raho, 2007: 54). Menurut Veeger, sebagaimana dikutip Binti Maunah, “konflik juga dapat berperan sebagai pemicu proses menuju terciptanya suatu keseimbangan sosial. Melalui proses tawar menawar, konflik dapat membantu terciptanya tatanan baru dalam interaksi sosial sesuai dengan kesepakatan bersama” (Maunah, 2009: 69).

Eksistensi ini tidak terlepas dari kebijakan sekolah yang memberi toleransi kepada pilihan siswa yang terkait dengan pilihan-pilihan

keyakinan bacaan yang diyakini benar (Sri Rusjiyanti, Kepala TK ABA, 2012). Jika ditinjau dari perspektif teori integrasi sosial maka TK ABA Mlangi melakukan akomodasi terhadap perbedaan. Akomodasi adalah suatu proses di mana orang-orang atau kelompok yang saling bertentangan, berusaha mengadakan penyesuaian diri untuk meredakan atau mengatasi ketegangan (baca Ibrahim, 2002). Bentuk akomodasi berupa toleransi. Di mana antara kedua belah pihak menerima perbedaan tanpa mempermasalahkan perbedaan yang dialami. Sekolah dan masyarakat juga melakukan kompromi, yaitu bentuk ako-modasi untuk saling mengurangi tuntutan sehingga tidak menimbulkan perselisihan.

Pengembangan SD Muhammadiyah Mlangi

Dalam pengembangan SD Muhammadiyah Mlangi juga ada beberapa hambatan dan konflik sosial sebagaimana di TK ABA. Hambatan dan Konflik sosial tersebut sebagai berikut:

Hambatan dan Konflik

Hambatan yang dihadapi SD Muhammadiyah, yaitu: Pertama, keterbatasan fasilitas sarana prasarana proses pembelajaran. Misalnya, jumlah komputer hanya ada delapan unit. Satu unit untuk administrasi sekolah dan tujuh unit untuk pembelajaran, sedangkan jumlah setiap rombongan belajar ada 30 siswa. Sekolah belum memiliki ruang laboratorium TIK, jaringan internet belum optimal, beberapa komputer rusak. Sekolah kurang guru dan belum memiliki ruang pembelajaran audio visual, buku referensi dan buku paket kurang lengkap, dan tidak ada komputer untuk pendataan buku (Dokumen SD Muhammadiyah Mlangi, diambil 18 September 2013).

Kedua, masih ada pandangan negatif masyarakat terhadap keberadaan SD Muham-madiyah Mlangi. Menurut Kepala Sekolah Tri Sumardani bahwa di masyarakat Mlangi masih ada pandangan negatif atau mungkin sedikit sentimen terhadap keberadaan SD Muhammadiyah Mlangi. Hal itu didasari bahwa mayoritas warga Mlangi adalah masyarakat NU

Page 119: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Strategi Pengembangan Sekolah Muhammadiyah di Masyarakat NU KonservatifZainal Arifin

239

yang akrab dengan pendidikan pesantren. Akan tetapi, hal itu terjembatani oleh banyaknya putra putri kiai yang sekolah di SD Muhammadiyah Mlangi. Bahkan, ada putri kiai yang memiliki nilai tertinggi se-Kabupaten Sleman dalam materi kemuhammadiyahan (Tri Sumardani, Kepala SD Muhammadiyah Mlangi, 2012).

Ketiga, kesadaran wali murid tentang pendidikan formal di Mlangi ini dikatakan masih rendah. Ini terlihat dari indikasi wali murid yang sering menunda pembayaran iuran SPP. Hal ini berimplikasi pada pengembangan SD Muhammadiyah Mlangi baik untuk kese-jahteraan guru maupun memenuhi kebutuhan sarana prasarana (Tri Sumardani, Kepala SD Muhammadiyah Mlangi, 2012). Namun, dalam 7 (tujuh) tahun terakhir ini, ada dana pendukung dari pemerintah berupa BOS (Bantuan Operasional Sekolah) /BOSDA (Bantuan Operasional Sekolah Daerah) dan BOP (Bantuan Operasional Pendidikan). Oleh karena itu, SD Muhammadiyah Mlangi dapat menggratiskan biaya pendidikan (Tri Sumardani, Kepala SD Muhammadiyah Mlangi, 2012).

Keempat, kegiatan lembaga pendidikan nonformal yang sering berbenturan dangan kegiatan sekolah. Untuk meningkatkan prestasi belajar siswa, maka dibutuhkan pembelajaran yang intensif. Sehingga, pihak sekolah menambah les. Akan tetapi, hal itu kurang maksimal karena sering berbenturan dengan kegiatan pondok pesantren, misalnya kegiatan ngaji di pesantren. Oleh karena itu, les dilakukan langsung setelah kegiatan belajar mengajar regular selesai.

Selain hambatan di atas, dalam pengembang-an SD Muhammadiyah Mlangi juga mengalami konflik yang hampir sama di TK ABA. Pertama, konflik karena perbedaan pandangan dalam bacaan ibadah. Misalnya perbedaan bacaan iftitah shalat, rukuk, sujud, dan lainnya. Bahkan pada tahun 1990-an ada semacam protes dari wali murid ketika SD Muhammadiyah menerapkan pelajaran agama sesuai garis organisasi Muhammadiyah. Hal ini wajar, karena sejak pendirian SD Muhammadiyah Mlangi, pelajaran

agama mengikuti pondok pesantren. Akan tetapi, semakin lama wali murid menerima itu karena pihak sekolah memberi kebebasan pada anak didiknya untuk memilih amaliah sesuai dengan keyakinannya (Musrifah, Guru PAI, 2012).

Kedua, konflik karena persaingan antarlembaga pendidikan untuk mendapatkan siswa. Di Mlangi ada 2 MI dan 1 SD NU telah terjadi persaingan dalam merebut hati masyarakat dalam menyekolahkan anaknya. Dalam masyarakat sering terjadi penanaman sentimen, bahwa masyarakat NU seharusnya sekolah di sekolah NU. Tapi, hal itu kadang tidak berimbas secara signifikan terhadap daya tarik masyarakat terhadap SD Muhammadiyah Mlangi. Hal tersebut dipengaruhi oleh konflik internal di kalangan elit NU/tokoh masyarakat Mlangi, seperti rebutan pengaruh antarkiai satu dengan lainnya. Sekolah formal tingkat dasar milik pesantren banyak dihuni oleh masyarakat luar yang sambil nyantri. Masyarakat Mlangi sendiri menyekolahkan anaknya di SD Muhammadiyah Mlangi.

Formula Solusi Format solusi yang diambil SD Muham-

madiyah Mlangi untuk mengatasi hambatan dan konflik di atas sebagai berikut. Pertama, solusi hambatan. (1) Hambatan keterbatasan sarana-prasarana. Solusi yang direncanakan adalah sebagai berikut: Sekolah dengan bantuan komite akan mengusahakan menambah kom-puter sesuai dengan jumlah rombongan belajar, sekolah akan mengusahakan ruang khusus laboratorium, mengoptimalkan jaringan inter-net, perbaikan beberapa unit komputer yang mengalami kerusakan, pelatihan terhadap guru tentang pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, mengusahakan audio-visual, dan sekolah mengadakan buku-buku paket serta buku-buku referensi.

(2) Hambatan kurangnya kesadaran orangtua dalam memajukan pendidikan anak. Pihak SD Muhammadiyah dapat melakukan pendekatan secara persuasif serta kekeluargaan kepada orangtua/wali murid. (3) Hambatan tidak ada dukungan riil dari mayoritas masyarakat dan

Page 120: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 233-244

240

wali murid. Pihak SD Muhammadiyah dapat melakukan pendekatan secara persuasif serta kekeluargaan kepada orang tua/wali murid yang kurang mendukung pendidikan bagi anaknya (4) Hambatan karena benturan antara kegiatan sekolah dengan pesantren. Pihak SD Muhammadiyah memberikan toleransi bagi siswa yang kebetulan ada kegiatan di pesantren. Biasanya, benturan ini terjadi ketika sekolah menyelenggarakan les sore, sehingga sebagian siswa SD Muhammadiyah dan sekaligus santri salah satu pesantren Mlangi tidak dapat mengikuti les karena benturan dengan jadwal ngaji sore.

Kedua, solusi konflik. (1) Konflik perbedaan amaliah dalam beribadah, misalnya perbedaan bacaan shalat, perbedaan tarawih pada bulan Ramadhan, dan lain-lain. SD Muhammadiyah memberikan toleransi perbedaan tersebut dengan memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih bacaan yang sudah diyakini/diajarkan di pesantren. Pelajaran agama diberikan tergantung siswa mau memilih yang mana. (2) Konflik persaingan untuk mendapatkan siswa antara SD Muhammadiyah Mlangi dengan MI dan SD afiliasi NU. Pihak SD Muhammadiyah tidak memaksa mencari siswa secara sepihak agar masyarakat yang memilih. SD Muhammadiyah melakukan marketing pendidikan melalui usaha akomodasi kreatifitas siswa yang kadang tidak sesuai dengan misi sekolah seperti mengajar-kan shalawatan, burdah, dan terbangan. Seni shalawatan, burdah, dan terbangan adalah tradisi pesantren. Sebab, mayoritas siswa besar dalam lingkungan masyarakat santri. Karena kegiatan ini, SD Muhammadiyah Mlangi diterima oleh masyarakat. Bahkan, menurut Ibu Dewi, ketika ada hajatan Muhammadiyah, siswa SD Muhammadiyah menampilkan terbangan yang masih dianggap asing oleh warga Muhammadiyah (Dewi Susilaningsih, guru SD Muhammadiyah Mlangi, 2012).

Kebijakan Strategis Pengembangan SD Mu-hammadiyah Mlangi

SD Muhammadiyah Mlangi melakukan suatu kebijakan tujuan umum, pendek, dan

panjang dalam pengembangan sekolah. Semua kebijakan yang terorientasi pada tujuan itu semua bersifat konkret, sehingga pihak sekolah dapat mengevalusai secara mudah. Jadi yang diadakan adalah evaluasi yang bersifat kuantitatif bukan kualitatif. Kuantitatif ini lebih bisa untuk mengukur tingkat kemajuan yang dicapai sekolah (Tri Sumardani, Kepala SD Muhammadiyah Mlangi, 2012). Menurut teori manajemen organisasi kunci kesuksesan suatu lembaga pendidikan dalam jangka panjang. Secara teknis memakai kerangka manajemen strategis yang merupakan kunci gabungan antara rencana strategis (strategic planning) dan manajemen strategis (strategic management).

Manajemen strategis (strategic management) adalah sejumlah keputusan dan tindakan yang mengarah pada penyusunan suatu strategi atau sejumlah strategi yang efektif untuk membantu pencapaian sasaran. Proses manajemen strategis ialah cara dengan jalan di mana para perencana strategi menentukan sasaran dan mengambil keputusan. Keputusan strategis (strategic deci-sion) merupakan sarana untuk mencapai tujuan akhir. Keputusan ini mencakup ruang lingkup pendidikan, pencitraan, dan semua unsur yang terkait dalam lembaga pendidikan dalam rangka pelaksanaan pencapaian sasaran.

Kepala sekolah memainkan peran yang me-nentukan dalam usaha sekolahnya untuk mencapai hasil strategis yang diinginkan. Kegagalan lem-baga pendidikan seringkali disebabkan oleh mere-ka yang bertanggung jawab atas kualitas dan efektivitas keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan lembaga sekolahnya atau organisasinya. Kualitas dan efektivitas keputusan dan tindakan itu harus berdasar pertimbangan-pertimbangan riil hambatan dan konflik tidak berulang.

SD Muhammadiyah Mlangi menganggap bahwa hambatan-hambatan yang ada bukan suatu hal negatif, tetapi merupakan suatu yang positif. Karena dengan adanya hambatan tersebut maka SD Muhammadiyah Mlangi bisa dinamis (Tri Sumardani, Kepala SD Muhammadiyah Mlangi, 2012). Menurut teori Total Quality Management

Page 121: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Strategi Pengembangan Sekolah Muhammadiyah di Masyarakat NU KonservatifZainal Arifin

241

(TQM) setiap keputusan selalu didasarkan pada fakta hambatan riil, bukan berdasar dugaan, perasaan atau ingatan semata. Dalam mengatasi hambatan ini SD Muhammadiyah Mlangi menggunakan dua konsep: (1) prioritatisasi, yakni suatu konsep bahwa perbaikan tidak dapat dilakukan pada semua aspek pada saat yang bersamaan, mengingat keterbatasan sumber daya yang ada. Dengan menggunakan data, manajemen dan tim dalam organisasi dapat memfokuskan usahanya pada situasi tertentu; (2) variasi atau variabilitas kinerja. Data statistik dapat memberikan gambaran mengenai variabilitas yang merupakan bagian yang wajar dari setiap sistem organisasi.

Berdasar atas konsep tersebut SD Muhammadiyah Mlangi secara organisasi kelembagaan melakukan proses sistematis dalam melaksanakan perbaikan berkesinambungan. Pimpinan memberikan kepercayaan kepada staf yang dipimpinnya, sehingga dengan kepercayaan yang telah diberikan kepada staf, maka staf akan memiliki tanggungjawab untuk menciptakan kualitas terbaik sesuai dengan komitmen yang telah disepakati. Konsep yang berlaku adalah siklus PDCA (Plan, Do, Check, Act), yang terdiri dari langkah perencanaan, melaksanakan rencana, memeriksa hasil pelaksanaan rencana dan melakukan tindakan korektif terhadap hasil yang diperoleh (Usman, 2006: 463). Setiap staf melaksakan tanggung jawabnya dengan manajemen kontrol yang terukur dan konkret oleh lembaga dengan Managemen Berbasis Sekolah (MBS) (Tri Sumardani, Kepala SD Muhammadiyah Mlangi, 2012). MBS dalam teori TQM memerlukan alat dan teknik untuk kepentingan peningkatan kualitas lembaga pendidikan. Alat dan teknik tersebut adalah: brainstorming (curah pendapat), affinity networks (jaringan kerja saling terkait), fishbone or Ishikawa diagrams (diagram sebab akibat atau Ishikawa, force-field analysis/alat dan teknik yang digunakan untuk mempelajari suatu situasi yang memerlukan perubahan), process charting (untuk memberi keyakinan bahwa institusi memahami secara tepat siapa sebenarnya pengguna jasa/ konsumennya seka-

ligus mengidentifikasi sumber-sumber yang diperlukan untuk melayani dan memuaskan mereka), career-path mapping (penggambaran jalan karir untuk mengidentifikasi kejadian penting/hambatan potensial yang ada) (Usman, 2006: 463).

SD Muhammadiyah Mlangi menjadikan hambatan-hambatan yang ada sebagai pijakan lembaga lebih maju. Biasanya hambatan itu bersifat klasik, yaitu berkaitan dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan formal masih rendah. Jika ditinjau dari teori di atas maka hal ini merupakan hambatan dari eksternal, maka dibutuhkan suatu kerja sama dengan tokoh-tokoh lokal. Kerja sama dengan tokoh lokal sudah lama dibangun serta kerja sama dengan para alumni. Ini yang membuat eksistensi SD Muhammadiyah Mlangi tetap kuat di masyarakat (Tri Sumardani, Kepala SD Muhammadiyah Mlangi, 2012).

Menurut teori integrasi sosial, kerja sama tidak pernah ditemui betul-betul kerja sama yang menghilangkan kepentingan masing-masing, tersirat ataupun tersurat. Artinya, dalam situasi kerja sama pun antar pihak akan ada upaya untuk lebih mempengaruhi pihak lain yang menjadi mitra kerja samanya. Jadi dalam situasi kerja sama itupun ada ruang persaingan juga, ini dapat dinamakan dengan persaingan dalam kerja sama (Baca Ismail, 2009).

Situasi konflik ataupun kooperatif akan akan memunculkan persaingan dan tindakan untuk mendominasi, dan karenanya ada ketidaksetaraan dalam relasi kuasa. Konflik dan kooperatif sangat tipis batasannya, dan keduanya tidak bersifat statis karena kepentingan manusia juga tidak statis. Faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya integrasi adalah karena adanya unsur saling membutuhkan. Unsur saling membutuhkan inilah yang paling signifikan atas keberadaan SD Muhammadiyah Mlangi yang tetap menjadi favorit masyarakat di sekitarnya. Sikap pragmatis masyarakat untuk tetap memilih sekolah SD Muhammadiyah karena beberapa faktor: (1) Masyarakat tetap ingin netral terhadap konflik para tokoh masyarakat, sehingga tidak memilih

Page 122: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 233-244

242

lembaga pendidikan formal milik salah satu tokoh/ kiai; (2) Sekolah SD Muhammadiyah lebih dekat karena berada di tengah-tengah masyarakat; (3) Fasilitas sarana-prasarana sekolah lebih memadai dan representatif daripada sekolah lainnya; (4) Bangunan fisik yang megah dan bersih membuat citra SD Muhammadiyah Mlangi dianggap paling maju di antara lembaga pendidikan lainnya di kampung Mlangi.

Sebenarnya konflik yang ada masuk konflik nonrealistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Dalam konflik ini tanpa sikap permusuhan atau agresi terhadap satu terhadap lainnya. Perbedaan yang seolah konflik itu merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial.

Agar perbedaan itu menjadi kekuatan struktur sosial itu semakin kuat maka SD Muhammadiyah Mlangi membuat kebijakan toleransi penuh atas perbedaan bacaan dalam peribadahan yang dipraktikkan para murid. Bahwa adanya bacaan-bacaan amaliah dalam beribadah ada beberapa perbedaan maka pihak sekolah tidak bisa memaksa karena bacaan itu karena hal itu menjadi hak siswa. Adapun pelajaran agama tetap diberikan tergantung siswa mau pilih yang mana dipersilakan. Sejak tahun 2000-an perbedaan dalam hal bacaan ini sudah tidak menjadi persoalan (Musrifah, guru PAI SD Muhammadiyah Mlangi, 2012).

SD Muhammadiyah Mlangi juga meng-akomodir terhadap kreativitas siswa yang kadang tidak sesuai dengan misi SD Muhammadiyah Mlangi seperti shalawatan, burdah, dan terbangan. Tradisi seni seperti salawatan, burdah, dan terbangan adalah tradisi pesantren, dan hal ini diakomodasi oleh SD Muhammadiyah Mlangi. Sebab, mayoritas siswa-siswi besar dalam lingkungan masyarakat santri. Kegiatan yang tumbuh dari siswa ini sangat menguntungkan sekolah karena sekolah SD Muhammadiyah Mlangi menjadi sangat diterima oleh masyarakat setempat (Dewi Susilaningsih, guru SD Muham-

madiyah Mlangi: 2012).

Dalam teori integrasi sosial maka penyatuan antar satuan atau kelompok yang tadinya terpisah satu sama lain dengan mengesampingkan perbedaan sosial dan kebudayaan yang ada. Integrasi dalam bentuk akomodasi dapat dilihat sebagai suatu keadaan dan proses. Sebagai suatu keadaan artinya, kenyataan adanya keseimbangan dalam interaksi antar aktor/kelompok. Sedang-kan sebagai suatu proses artinya, tindakan penyesuaian dengan saling memberikan imbalan tertentu antar aktor dari kelompok yang berbeda, baik berupa materi maupun sosial. Akomodasi adalah suatu proses dimana orang-orang atau kelompok yang saling bertentangan, berusaha mengadakan penyesuaian diri untuk meredakan atau mengatasi ketegangan (Ibrahim, 2002).

Bentuk akomodasi tersebut adalah toleransi, yaitu masing-masing pihak yang berlawanan menerima perbedaan tanpa mempermasalahkan perbedaan yang dialami. Pihak sekolah tetap menerima para siswa tanpa mempermasalahkan amaliah keagamaannya. Dan para siswa pun juga merasa nyaman untuk belajar di SD Muhammadiyah Mlangi.

PenuTuP

Berdasar hasil penelusuran, penggalian, pengumpulan, pembahasan dan analisis data-data penelitian maka sesuai pokok masalah dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Hambatan dan konflik yang timbul dalam pengembangan pendidikan TK ABA dan SD Muhammadiyah di Mlangi hampir sama karena keberadaan lembaga tersebut pada wilayah yang sama. (1) Hambatannya adalah: kepedulian orang tua masih rendah terhadap pendidikan formal, terbenturnya kegiatan sekolah dengan kegiatan pondok pesantren, keterbatasan sarana prasarana, keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM). (2) Konfliknya adalah: masih ada pandangan negatif terhadap TK ABA dan SD Muhammadiyah Mlangi, perbedaan dalam pengajaran agama, khususnya bacaan amaliah dalam beribadah, misalnya: doa iftitah, qunut, dan lain sebagainya,

Page 123: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Strategi Pengembangan Sekolah Muhammadiyah di Masyarakat NU KonservatifZainal Arifin

243

adanya persaingan dalam penerimaan siswa baru, khususnya bagi SD Muhammadiyah Mlangi yang bersaing dengan MI dan SD milik yayasan Nahdlatul Ulama (NU).

Formula solusi yang diambil oleh lembaga pendidikan TK ABA dan SD Muhammadiyah sebagai berikut. (1) Solusi hambatan. Hambatan karena rendahnya kesadaran orang tua/wali siswa untuk mendukung pendidikan formal, pihak TK ABA/SD Muhammadiyah dapat melakukan pendekatan secara persuasif serta kekeluargaan kepada orang tua/wali murid yang kurang mendukung pendidikan bagi anaknya. Hambatan karena terbenturnya kegiatan sekolah dengan kegiatan pesantren, pihak TK ABA/SD Muhammadiyah memberikan toleransi dan kelonggaran bagi siswa yang kebetulan ada kegiatan di pesantren. Hambatan karena keterbatasan sarana prasarana, pihak TK ABA dan SD Muhammadiyah Mlangi dapat melakukan komunikasi dengan Majlis Dikdasmen Muhammadiyah, komite, serta orangtua/wali siswa maupun masyarakat Mlangi untuk memberikan solusi bersama, dan hambatan karena keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM), pihak TK ABA dan SD Muhammadiyah dapat berkomunikasi dengan Muhammadiyah dan pemerintah.

(2) Solusi konflik. Konflik karena pandangan negatif terhadap TK ABA dan SD Muhammadiyah Mlangi dan perbedaan dalam pengajaran agama, khususnya bacaan amaliah dalam beribadah, maka pihak TK ABA dan SD Muhammadiyah melakukan formula teori integrasi sosial dengan unsur toleransi dan akomodasi. Artinya, dalam dataran teoretis, pihak sekolah konsisten terhadap garis organisasi Aisyiah dan Muhammadiyah tetapi dalam dataran praktis maka pihak sekolah melakukan kelongggaran sebagai bentuk toleransi terhadap perbedaan. Konflik karena persaingan dalam penerimaan siswa baru, khususnya bagi SD Muhammadiyah Mlangi yang bersaing dengan MI dan SD milik yayasan Nahdlatul Ulama (NU). Pihak TK ABA dan SD Muhammadiyah tidak memaksakan diri untuk mencari siswa

secara sepihak. Artinya, biarkan masyarakat umum yang memilih secara leluasa. Akan tetapi, SD Muhammadiyah melakukan marketing pendidikan melalui usaha akomodasi terhadap kreatifitas siswa yang kadang tidak sesuai dengan misi SD Muhammadiyah Mlangi seperti shalawatan, burdah, dan terbangan.

Strategi pengembangan TK ABA dan SD Muhammadiyah di Mlangi sehingga tetap menarik dan favorit bagi masyarakat NU adalah: peningkatan citra sebagai lembaga pendidikan yang maju, progresif, dan berprestasi, peningkatan program ekstrakurikuler, misalnya: drum band, menari, melukis, dan lain sebagainya, peningkatan sarana prasana pendidikan serta program pendidikan yang mengakomodasi minat dan bakat siswa, akomodasi budaya lokal, misalnya tradisi seni salawatan, burdah, dan terbangan adalah tradisi pesantren, serta toleransi serta akomodasi perbedaan kultur siswa, misalnya perbedaan dalam hal bacaan amaliyah, maupun perbedaan kultur siswa yang sebagian juga menjadi santri di salah satu pesantren Mlangi.

dafTar PusTaKa

Coser, Lewis. 1956. The Function of Social Conflict. New York: Free Press.

Ismail, Nawari. “Interaksi Sosial.” Bahan Ajar Mata Kuliah Filsafat Dakwah. UMY, Semester Genap 2009/2010.

Miles, Matthew B., & Huberman, A. Michael. 1984. Qualitative Data Analysis. London New Delhi: Sage Publications.

Maunah, Binti. Tradisi Intelektual Santri. Yogyakarta: Teras, 2009.

N. Nasution, M. 2001. Manajemen Mutu Terpadu. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Pawitra, T. 1993. “Kepuasan Pelanggan sebagai Keunggulan Daya Saing”. Journal of Marketing. Volume I, No. 1. Tahun 1993.

Qodir, Zuly. 2001. “Mempersempit Jarak Muhammdiyah dan NU”. Kompas, 6 Juli 2001.

Page 124: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 233-244

244

Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Tarik Ibrahim, Jabal. 2002. Sosiologi Pedesaan, Malang: UMM Press.

Usman, Husaini. 2006. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Wafik, Ilzamul. 2011. “Interaksi Sosial Antar Kelompok Islam (Studi kasus NU dan Muhammadiyah di Desa Wisata Mlangi)”, pada UMY.

Wawancara dengan Bapak Somulyo, guru SD MUH Mlangi pada tanggal 18 september 2012 di SD Muhammadiyah Mlangi.

Wawancara dengan Ibu Dina Islamiyah, guru SD MUH Mlangi pada tanggal 18 september 2012 di SD Muhammadiyah Mlangi.

Wawancara dengan Bapak Mulyanti, guru SD MUH Mlangi pada tanggal 18 september 2012 di SD Muhammadiyah Mlangi.

Wawancara dengan Bapak Tri Sumardani, Kepala SD MUH Mlangi pada tanggal 15, 18 Oktober 2012 di SD Muhammadiyah Mlangi.

Wawancara dengan Ibu Musrifah, guru PAI SD MUH Mlangi pada tanggal 15 Oktober 2012 di SD Muhammadiyah Mlangi.

Wawancara dengan Ibu Sari Rusjiyanti, Kepala TK ABA Mlangi pada tanggal 15 Oktober 2012 di SD Muhammadiyah Mlangi.

Wawancara dengan Ibu Dewi Susilaningsih, guru SD MUH Mlangi pada tanggal 20 Oktober 2012 di rumahnya dekat SD Muhammadiyah Mlangi.

Page 125: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Kinerja Guru Agama Madrasah Aliyah Pasca Diklat Fungsional di Propinsi Nusa Tenggara BaratA.M. Wibowo

245

KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL

DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT

The Religion Teachers Performance at Aliya Madrasa after their Completing Training Program in Province of West Nusa Tenggara

A.M. wIbOwO

A.M. wIbOwOBalai Penelitian dan Pengembangan

Agama SemarangJl. Untung Suropati Kav. 69-70,

Bambankerep, Ngaliyan, SemarangTelp. 024-7601327 Faks. 024-

7611386e-mail: [email protected] diterima: 4 Februari 2013Naskah direvisi: 30 Juli-2 Agustus

2013Naskah disetujui: 19 September

2013

AbstrAct

This research aims to evaluated the religions teachers performance at Aliya Madrasa after attending training functional programs which managed by Balai Diklat Keagamaan on province of West Nusa Tenggara. This research important to do to seeing the change of religion teacher performance on Aliya Madrasa whether increase or decrease after attending training functional program. By using analysis of context, input, process, product (CIPP) this study had 4 findings, there are: (1) In pedagogic competency, personality, social and professional, the performances of religion teachers in Aliya Madrasa after attending training functional programs were include into fairly category. However in competition achivement the religion teacher is under expectation. (2) Performance of the religion teacher in Aliya Madrasa after attending training functional programs give positive impact on students achievement. 3) The facilities of school like management, regulation and commitment of principal of Aliya Madrasa give positive impact to teacher performance, whereas support facilities in Aliya Madrasa is not support the increasing of religion teacher performance. (4) The Religion teachers performance after participated training functional programs gave positive impact to other teachers.

Keywords: Performance, The Religion Teachers, Post Training

AbstrAk

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja guru agama Madrasah Aliyah di Propinsi Nusa Tenggara Barat pasca mengikuti diklat fungsional yang pernah dilaksanakan oleh Balai Diklat Keagamaan Denpasar. Penelitian ini penting dilakukan untuk melihat perubahan kinerja guru pendidikan agama Islam, baik peningkatan atau penurunan kinerja setelah mengikuti diklat. Dengan menggunakan analisis konteks, input, proses, produk (CIPP) penelitian ini menemukan 4 temuan, yaitu: (1) Kinerja guru agama Madrasah Aliyah pasca mengikuti diklat fungsional dilihat dari kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, profesional termasuk dalam kategori cukup. Namun dalam hal prestasi, guru agama Madrasah Aliyah kurang memiliki prestasi yang menonjol. (2) Kinerja guru agama Madrasah Aliyah setelah mengikuti diklat fungsional berdampak baik terhadap prestasi belajar siswa. (3) Iklim akademis sekolah berupa sarana pendukung, manajemen, program dan regulasi serta komitmen kepala madrasah berdampak baik pada kinerja guru agama pasca diklat sedangkan fasilitas yang tersedia di madarasah tidak ikut mendukung dalam peningkatan kinerja guru agama. (4) Kinerja guru agama setelah mengikuti diklat berdampak positif terhadap kinerja guru yang lain.

Kata kunci: Kinerja, Guru Agama, Pasca Diklat

Page 126: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 245-256

246

Pendahuluan Saat ini menjadi profesional dan berkinerja

baik menjadi tuntutan semua guru termasuk di dalamnya adalah guru yang berada di bawah naungan Kementerian Agama. Hal ini sejalan dengan tingkat kesejahteraan guru yang semakin baik, yaitu tunjangan sertifikasi yang besar.

Untuk itu, dalam meningkatkan kinerja guru-guru di bawah naungan Kementerian Agama Republik Indonesia telah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan kompetensi guru-guru madrasah. Upaya tersebut dilakukan oleh Kementerian Agama mengingat kinerja guru madrasah yang dinilai masih jauh dari ideal. Hal tersebut diper-kuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Balai Litbang Agama Semarang yang menyebutkan pemberian tunjangan sertifikasi guru ternyata masih belum mampu meningkatkan kinerja guru (Wibowo, 2011).

Salah satu upaya Kementerian Agama dalam meningkatkan sumberdaya manusia, kinerja dan profesionalitas guru madrasah adalah dengan mengirimkan guru-guru pada diklat-diklat fungsional yang dilakukan baik di Balai Diklat Keagamaan maupun Pusdiklat Teknis Keagamaan. Kebutuhan pendidikan dan pelatihan yang berkualitas secara ideal memerlukan suatu sistem yang dinamis. Sistem diklat yang dinamis senantiasa membutuhkan data dan informasi akurat yang menggambarkan secara nyata dan objektif untuk dijadikan acuan dalam peningkatan mutu lulusan diklat, yaitu guru yang memiliki kompetensi dalam pengelolaan pembelajaran, pengembangan potensi, dan penguasaan akademik.

Suatu sistem jaminan dan pengendalian mutu penyelenggaraan diklat diperoleh dalam rangka mewujudkan pembelajaran yang berdampak positif bagi peningkatan kompetensi guru. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan pemantauan dan evaluasi dampak hasil diklat tersebut. Evaluasi terhadap guru tersebut diukur melalui guru sejawat, siswa, kepala madrasah,

maupun masyarakat secara sistematis dan berkesinambungan.

Pemberian diklat fungsional kepada guru- guru Madrasah Aliyah diharapkan mampu memberikan perubahan kinerja guru menjadi lebih baik. Oleh karena itu dalam penelitian ini dimunculkan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang terkait dengan kinerja guru pasca diklat. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, meliputi: bagaimanakah kinerja guru agama MA pasca mengikuti diklat fungsional di Balai Diklat; bagaimanakah dampak positif kinerja guru agama MA setelah mengikuti diklat fungsional terhadap prestasi belajar siswa; bagaimanakah iklim akademis sekolah yang mempengaruhi peningkatan kinerja guru agama MA setelah mengikuti diklat fungsional; serta bagaimanakah dampak positif kinerja guru agama MA setelah mengikuti diklat fungsional terhadap kinerja guru yang lain?

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kinerja guru agama MA pasca mengikuti diklat fungisonal di balai diklat keagamaan, mendeskripsikan iklim akademis sekolah yang mempengaruhi kinerja guru agama MA setelah mengikuti diklat fungsional, mendeskripsikan dampak positif kinerja guru agama MA setelah mengikuti diklat fungsional terhadap prestasi belajar siswa, dan mendeskripsikan dampak positif kinerja guru agama MA setelah mengikuti diklat fungsional terhadap kinerja guru yang lain.

Manfaat dari penelitian ini secara teoretis dapat memberikan sumbangan pengetahuan tentang kondisi implementasi hasil kediklatan guru dan pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa di madrasah. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran bagi lembaga maupun penyelenggaraan kedik-latan untuk menentukan kebijakan yang jelas agar tepat dalam memilih, mengembangkan, dan membina guru agar berkualitas unggul dan berprestasi tinggi.

Page 127: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Kinerja Guru Agama Madrasah Aliyah Pasca Diklat Fungsional di Propinsi Nusa Tenggara BaratA.M. Wibowo

247

KerangKa Teori

Terkait dengan kinerja, beberapa literatur membahas bahwa pengertian kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan, program, kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan perencanaan strategis (Rasul, dkk., 2000). Fatah (1996: 13) mengartikan kinerja sebagai ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap dan keterampilan, serta motivasi dalam menghasilkan sesuatu. Sedangkan Zamroni (2003) menambahkan bahwa kinerja berkaitan dengan peningkatan kualitas kerja yang menyentuh tiga aspek, yaitu; kemampuan, semangat, dan dedikasi.

Beberapa referensi yang lain menambahkan pengertian tentang kinerja secara berbeda, seperti kinerja merupakan tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu (Simanjuntak, 2005: 1). Menurut Stoner (1996), kinerja adalah prestasi yang dapat ditunjukkan oleh pegawai. Ia merupakan hasil yang dapat dicapai dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya berdasarkan kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan serta waktu yang tersedia.

Dengan dasar konsep kinerja tersebut, dirumuskan konsep kinerja guru agama Madrasah Aliyah (MA) yaitu tingkat pencapaian hasil kerja guru agama Madrasah Aliyah dalam rangka mewujudkan tujuan madrasah. Dari beberapa rumusan yang telah disusun oleh para ahli, dapat dipahami bahwa kinerja merupakan prestasi atau pencapaian hasil kerja yang dicapai guru madrasah sebagai pegawai berdasarkan standard dan ukuran penilaian yang telah ditetapkan. Standard dan alat ukur tersebut merupakan indikator untuk menentukan apakah seorang memiliki kinerja tinggi atau rendah.

Cascio dalam buku Applied Management Personal (1992) menyebutkan seseorang yang tidak berkinerja baik disebabkan oleh hal-hal seperti tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melaksanakan tugasnya atau tidak memiliki pengetahuan mengenai bagaimana dan kapan

harus menunjukkan kinerja yang dipersyaratkan, tidak memiliki motivasi, terhambat oleh organisasi, pimpinan atau lingkungan (Cascio, 1992). Dharma (2005: 82) mengatakan kinerja akan dianggap memenuhi standard apabila permintaan akan informasi ditangani dengan segera dan sangat membantu dalam semangat “can do/will do’’ dan disampaikan dalam bentuk yang dikehendaki oleh pemakai informasi.

Kinerja individu guru adalah bagaimana seorang guru mampu melaksanakan pekerjaannya atau unjuk kerjanya (Sedarmayanti, 2000: 53-54). Dalam berkinerja, fungsi-fungsi interaksi antara kemampuan, motivasi, dan kesempatan saling berkaitan. Artinya, kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi, dan kesempatan (Robins, 1996). Interaksi antara kemampuan, motivasi dan kesempatan dapat dilihat pada Bagan 1 di bawah ini.

Bagan 1 Interaksi Antara Kemampuan, Motivasi dan Kesempatan Guru.

Sebagai indentifikasi awal, berbagai hal melingkupi pengimplementasian hasil kediklatan guru di antaranya adalah kualitas sumber daya manusia, kondisi sosial ekonomi, fasilitas, sosio-kultural, dan struktural. Sumber daya manusia yang dapat mengimplementasikan hasil diklat haruslah memiliki kualifikasi seperti motivasi tinggi, kompetensi dalam bidangnya, dan kreativitas yang tinggi. Fasilitas yang tersedia di madrasah memberikan peluang bagi guru untuk memilih secara tepat cara apa yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dapat berlangsung menyenangkan dan menarik.

Secara sosiokultural, pengimplementasian hasil diklat dapat menjadi penghambat kinerja guru Madrasah Aliyah. Ada sebagian guru yang

Page 128: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 245-256

248

menganggap meskipun kurikulum berganti, akan tetapi materi dan metode yang disampaikan kepada peserta didik masih sama saja. Akhirnya, guru semacam itu tidak mau menerima perubahan dan mempelajari perkembangan pembelajaran.

Secara struktural, hambatan yang sangat dirasakan oleh para guru adalah tidak adanya monitoring dan evaluasi terhadap penyiapan guru dalam melaksanakan hasil diklat tersebut. Dengan kata lain diklat yang diberikan belum bersifat operasional, tetapi masih pada tataran teoretis atau konsep.

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada pengimplementasian hasil diklat di Madrasah Aliyah yang meliputi kompetensi guru dalam menerapkan hasil diklat terhadap pembelajaran kepada peserta didik, hambatan yang ditemui guru, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan diklat, persepsi guru, kepala madrasah, dan siswa terhadap guru yang telah didiklat, serta peningkatan terhadap hasil belajar siswa di madrasah. Kajian tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan tingkat urgensi yang paling pokok dalam peningkatan kualitas guru madrasah.

Secara umum penelitian dampak diklat ini mencakupi empat komponen utama, yaitu konteks, input, proses, dan output (P3G Bahasa, 2003: 4). Empat komponen utama beserta indikatornya sebagai berikut.

Komponen konteks mencakup indikator jawaban atas pertanyaan apakah program diklat guru madrasah yang telah diikuti sesuai dengan landasan landasan hukum atau kebijakan, pendidikan yang berlaku, kebutuhan guru, madrasah, siswa, dan masyarakat serta tantangan masa depan bagi lulusan.

Komponen input mencakup indikator perangkat kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu, sumber daya manusia, sarana pendukung, fasilitas yang tersedia dan manajemen, program, dan regulasi madrasah.

Komponen proses mencakup indikator-indikator proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan,

kepemimpinan sekolah yang kuat, pemanfaatan hasil diklat dalam proses pembelajaran, kreativitas dan kemandirian guru, keterbukaan dan komunikasi, kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung dan motivasi dan penghargaan kepada siswa.

Komponen produk mencakup indikator tingkat kelulusan dan nilai rata-rata ujian nasional siswa, keterampilan yang dimiliki siswa, hasil belajar siswa berkaitan dengan ulangan harian atau hasil semester, dan prestasi non akademik siswa.

MeTode PeneliTian

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2011 merupakan penelitain evaluatif dengan lokus di Kota Mataram Propinsi Nusa Tenggara Barat. Variabel penelitian ini ada 3, yaitu: (1) Peningkatan kinerja guru agama MA pasca diklat fungsional. (2) Iklim pendukung guru pasca diklat fungsional. (3) Dampak positif peningkatan kinerja siswa yang diajar atau dibimbing guru Madrasah Aliyah pasca mengikuti diklat fungsional dan guru lain.

Populasi penelitian ini adalah guru yang pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan fungsional, kepala sekolah, dan siswa yang dibimbing guru pasca diklat oleh Balai Diklat Keagamaan yang berada di Kota Mataram Nusa Tenggara Barat. Penentuan sampel menggunakan purpossive sampling yaitu guru-guru madrasah aliyah yang telah mengikuti diklat dan sekurang-kurangnya telah mengimplementasikan hasil diklat selama satu tahun di madrasahnya.

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan model CIPP (Context, Input, Process, dan Product) (Stufflebeam dalam Madaus, 1983: 117). Analisis evaluasi ini dipergunakan untuk memeriksa persesuaian antara tujuan diklat yang diinginkan dan kinerja guru yang dicapai (Daryanto, 1999). Analisis konteks digunakan untuk mengetahui apakah program diklat guru madrasah yang telah diikuti sesuai dengan: (a) landasan hukum/kebijakan, pendidikan yang berlaku; (b) kebutuhan guru, madrasah, siswa, dan masyarakat; (c) tantangan

Page 129: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Kinerja Guru Agama Madrasah Aliyah Pasca Diklat Fungsional di Propinsi Nusa Tenggara BaratA.M. Wibowo

249

masa depan bagi lulusan.

Analisis input menekankan pada aspek guru yang ditingkatkan kinerjanya, meliputi pencapaian kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, profesional, sarana pendukung, fasilitas yang tersedia, manajemen, program, dan regulasi madrasah.

Analisis proses menekankan pengaplikasian hasil diklat fungsional yang meliputi; pengaplikasian kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional oleh guru pascadiklat fungsional, komitmen kepala madrasah untuk melaksanakan regulasi madrasah, aktivitas pembelajaran siswa baik intrakurikuler maupun ekstrakurikuler.

Adapun analisis output meliputi; kinerja guru MA pascadiklat fungsional, hasil belajar siswa, kemaslahatan bagi peningkatan kinerja guru yang lain. Visualisasi desain penelitian tersebut terurai sebagaimana pada Bagan 2 di bawah ini.

Bagan 2Visualisasi Desain Penelitian.

Sumber: Model CIPP diadopsi dari D.L. Stufflebeam (2003).

Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah menyusun instrumen-instrumen untuk mengukur yang akan dipergunakan untuk memperoleh data meliputi instrumen penilaian kinerja guru, instrumen kuesioner, instrumen observasi, instrumen panduan wawancara dan dokumentasi. Data-data dalam penelitian ini diperoleh dengan cara mengumpulkan langsung dari lapangan melalui angket, pengamatan lapangan, penilaian dokumen, dan wawancara.

Sebagai alat untuk mengukur kinerja guru pasca diklat maka dipergunakan skala penilaian pemaknaan dengan pengklasifikasi an data penilaian sebagaimana Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Konversi Skor ke Nilai Kompetensi

Interval skor Nilai Kompetensi0% < X ≤ 25% 1

25% < X ≤ 50% 251% < X ≤ 75% 3

76% < X ≤ 100% 4

Nilai kompetensi tersebut kemudian dikonversikan pada nilai kinerja guru yang dirumus kan sebagaimana dalam Permenegpan No 16 Tahun 2009 tentang jabatan fungisonal guru dan angka kreditnya seperti pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Permenegpan No 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya

hasil Penilaian Kinerja guru sebutan91 – 100 Amat Baik76 – 90 Baik61 – 75 Cukup51 – 60 Sedang

≤ 50 Kurang

Validitas data dalam penelitian ini dicapai dengan menggunakan strategi multi metode, sebagaimana disebutkan oleh Sukmadinata (2009) validitas dapat diperoleh antara lain dengan partisipan observasi, studi dokumenter, dan trianggulasi data. Reliabilitas data digali peneliti dari trianggulasi berupa wawancara mendalam kepada kepala sekolah, guru dan sumber-sumber lain, seperti internet dan lain sebagainya.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengikuti logika pendekatan kuantitatif deskriptif, yaitu melalui pengumpulan data yang berasal dari angket yang dibagikan kepada responden, reduksi data dan generalisasi.

hasil dan PeMbahasan

Hasil studi penjajakan menunjukan bahwa jumlah madrasah aliyah baik negeri maupun swasta di Kota Mataram Nusa Tenggara Barat seluruhnya berjumlah 10 buah. Dari 10 buah Madrasah Aliyah guru mapel agama yang pernah mengikuti diklat fungsional berjumlah 11 orang

Page 130: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 245-256

250

guru dari 4 madrasah.

Kinerja Guru Agama MA Pasca Diklat FungsionalKinerja guru agama MA pasca diklat

fungsional meliputi kinerja terkait kompe tensi pedagogik, kompe tensi kepribadian, kompe-tensi sosial, dan kompe tensi profesional sete -

lah mengikuti diklat fungsional. Hasilnya secara umum disajikan dalam Tabel 3 di bawah ini.

Dari hasil perhitungan seperti disajikan Tabel 3 kinerja guru diperoleh rerata 72,44 jika dikonversikan dengan penilaian menurut Permenegpan No 16 tahun 2010 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya masuk dalam kategori cukup (72, 44 terletak pada rentang nilai 61 < x< 75).

Berdasarkan penilaian di atas maka secara umum kompetensi guru agama madrasah aliyah pasca diklat fungsional belum ideal. Sebab dari 11 orang guru madrasah hanya 4 orang saja yang telah menunjukan peningkatan kinerjanya.

Prestasi Guru Peserta Diklat FungsionalPrestasi guru agama madrasah aliyah terkait

dengan aktivitas mengikuti kejuaraan, kegiatan akademis yang diikuti, membimbing siswa dalam berbagai lomba, dan pencapaian nilai belajar siswa diperoleh informasi sebagaima na pada

Tabel 4.

Dari data pada Tabel 4 terlihat prestasi guru agama MA pasca diklat fungsional dalam prestasi yang terkait dengan mengikuti perlombaan, kegiatan di luar jam sekolah yang terkait dengan pendidikan agama, serta membimbing peserta didik. Adapun prestasi yang dimiliki dalam bidang keagamaan baik

nasional, propinsi maupun tingkat kota atau kabupaten masih sangat kurang.

Sangat kurangnya prestasi guru agama madrasah aliyah dalam mengikuti perlombaan baik sebagai peserta maupun pembimbing sangat dimaklumi mengingat kegiatan perlombaan untuk guru agama baik pada tingkat kota maupun nasional sangat jarang. Dengan

Responden

Item pertanyaan Penilaian Kinerja guru (Kompetensi)

Skor Nilai Kriteria

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14Pedagogik kepribadian sosial Profesi

R.01 3 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 31 50 KurangR.02 3 3 3 2 2 2 3 3 2 3 2 2 2 2 34 52,7 SedangR.03 3 4 4 3 3 2 2 3 2 3 4 4 2 3 42 62,9 CukupR.04 3 3 4 3 4 2 3 4 3 3 2 3 2 3 42 68 CukupR.05 3 3 3 2 2 2 2 2 3 3 2 2 2 2 33 52,3 SedangR.06 3 2 3 3 3 4 3 4 3 2 4 2 2 1 39 58,8 SedangR.07 4 3 4 3 3 4 3 4 4 3 4 3 4 2 48 75,7 BaikR.08 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 56 98,3 Amat baik

R.09 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 56 96,3 Amat baikR.10 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 55 96,1 Amat baikR.11 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 56 99,3 Amat baik

Rerata 44,73 72,44 Cukup

Tabel 3 Kinerja Guru Pasca Diklat Dilihat dari 4 Kompetensi

Tabel 4 Prestasi Guru Peserta Diklat Fungsional

No responden skor Nilai Kriteria1. R.01 11 0,0611 Kurang2. R.02 25 0,2388 Kurang3. R.03 16 0,1777 Kurang4. R.04 23 0,1722 Kurang5. R.05 21 0,1722 Kurang6. R.06 2 0,0111 Kurang7. R.07 9 0,15 Kurang8. R.08 9 0,0833 Kurang9. R.09 14 0,1 Kurang10. R.10 20 0,1666 Kurang11. R.11 17 0,1166 Kurang

Rerata 15,18 0,1318 Kurang

Page 131: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Kinerja Guru Agama Madrasah Aliyah Pasca Diklat Fungsional di Propinsi Nusa Tenggara BaratA.M. Wibowo

251

demikian, memang diperlukan kegiatan-kegiatan perlombaan untuk mereka.

Iklim Akademis Madrasah yang Mempengaruhi Kinerja Guru

Iklim akademis sekolah yang mempengaruhi pening kat an kinerja guru agama MA setelah mengikuti diklat fungsional meliputi: (a) sarana pendukung; (b) fasilitas yang tersedia; (c) manajemen, program, dan regulasi madrasah; dan (d) komitmen kepala madrasah untuk melaksanakan regulasi madrasah.

Sarana PendukungInstrumen untuk mengukur presepsi guru

terkait dengan sarana pendukung meliputi ketersediaan perpustakaan sekolah untuk mendukung aktivitas pembelajaran, ketersediaan sarana ibadah untuk mendukung peribadatan dan laboratorium pendidikan agama, kelayakan ruang sekolah untuk proses pembelajaran, kelayakan lingkungan sekolah untuk mendukung implementasi nilai-nilai dari pembelajaran pendidikan agama. Berdasarkan hasil pengumpulan data diperoleh rerata persepsi guru pasca diklat fungsional terhadap iklim akademis sekolah aspek sarana pendukung sebesar 83,22. Nilai ini jika dikonversikan dengan Permenagpan No 16 tahun 2009 tentang kinerja guru maka termasuk dalam kategori baik (nilai 83,22 terletak pada rentang 75 < X < 90).

Fasilitas yang TersediaFasilitas yang tersedia yang dimaksud dalam

penelitian ini meliputi; ketersediaan buku ajar pendidikan agama pada setiap siswa, ketersediaan media pembelajaran yang difasilitasi sekolah, ketersediaan media pemebelajaran yang dikreasi oleh guru, ketersesuaian ICT untuk mendukung pembelajaran pendidikan agama. Berdasarkan hasil pengumpulan data terkait persepsi guru agama MA pascadiklat fungsional berkaitan dengan fasilitas yang tersedia di sekolah diperoleh nilai rerata 69,318. Nilai tersebut jika dikaitkan dengan Permenegpan No 16 Tahun 2009 masuk dalam kategori cukup (nilai 69,318 terletak pada rentang (61 < X <75).

Dengan demikian, sangat logis kiranya jika kinerja guru agama madrasah aliyah belum sesuai yang diharapkan. Hal tersebut dikarenakan fasilitas yang tersedia di sekolah yang menunjang kegiatan belajar agama siswa masih kurang.

Manajemen, Program dan Regulasi MadrasahManajemen, program, dan regulasi

madrasah yang diukur meliputi 8 hal yaitu (1) penempatan tugas mengajar guru yang sesuai dengan keahlian, (2) penataan jam mengajar sesuai dengan karakter mata pelajaran, (3) pemberian kesempatan guru untuk mengikuti pelatihan-pelatihan, (4) pemberian kesempatan guru untuk mengikuti berbagai lomba akademis, (5) penyelenggaraan rapat-rapat sekolah secara terprogram, (6) pemberian kesempatan aktivitas bagi MGMP sekolah untuk melaksanakan kajian akademis, (7) pemberian kesempatan kepada guru untuk mengusulkan program-program pengembangan profesi, (8) kondusivitas iklim akademis yang dibangun civitas akademika sekolah untuk mendukung tugas guru. Berdasarkan pengumpulan data diperoleh nilai rerata 71,875. Nilai tersebut jika dihubungkan dengan Permenagpan No 16 tahun 2009 masuk dalam kategori cukup.

Dengan demikian, diperoleh gambaran bahwa pada tingkat manajemen, program dan regulasi madrasah komitmen kepala madrasah perlu ditingkatkan. Komitmen kepala madrasah pada bidang manajemen, program dan regulasi madrasah akan turut meningkatkan kinerja guru agama pasca diklat.

Komitmen Kepala Madrasah untuk Melaksanakan Regulasi Madrasah

Berdasarkan hasil penelitian terhadap persepsi guru agama MA pascadiklat fungsional berkaitan dengan komitmen kepala madrasah untuk melaksanakan regulasi madrasah diperoleh data sebagaima na pada Tabel 5.

Berdasarkan data pada Tabel 5 guru agama Madrasah Aliyah mempersepsikan komitmen kepala madrasah dalam melaksanakan regulasi madrasah dengan nilai baik. Hal tersebut dapat

Page 132: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 245-256

252

dilihat dari perolehan nilai rerata sebesar 80,295. Nilai tersebut jika dikonversikan dengan Permenagpan No 16 tahun 2009 masuk dalam kategori baik.

Tabel 5 Persepsi Guru Pascadiklat atas Komitmen Kepala Madrasah untuk Melaksanakan Regulasi Madrasah

Dampak Kinerja Guru MA Pasca Diklat terhadap Prestasi Belajar Siswa

Penilaian dampak kinerja guru agama madrasah aliyah pasca diklat terhadap prestasi

No Aspek yang dinilai score

1 2 3 4

1. Komitmen Kepala Madrasah untuk menyediakan sarpras yang menunjang pembelajaran

0/0 0/0 3/9 8/32

2. Komitmen Kepala Madrasah untuk menyediakan fasilitas yang menunjang pembelajaran

0/0 0/0 3/9 8/32

3. Komitmen Kepala Madrasah penempatan tugas mengajar guru yang sesuai dengan keahlian

0/0 0/0 1/3 10/40

4. Komitmen Kepala Madrasah penataan jam mengajar sesuai dengan karakter matapelajaran

0/ 0/ 3/ 8/

0 0 9 32

5. Komitmen Kepala Madrasah pemberian kesempatan guru untuk mengikuti pelatihan-pelatihan

0/0 1/ 2 2/4 8/32

6. Komitmen Kepala madrasah pemberian kesempatan guru untuk mengikuti berbagai lomba akademis

0/0 1/ 2 2/4 8/32

7. Komitmen Kepala Madrasah penyelenggaraan rapat-rapat sekolah secara terprogram

0/0 0/0 4/12 7/28

8. Komitmen Kepala Madrasah pemberian kesempatan aktivitas bagi MGMP sekolah untuk melaksanakan kajian akdemis

1/1 1/ 2 1/3 8/32

9. Komitmen Kepala Madrasah pemberian kesempatan kepada guru untuk mengusulkan program-program pengembangan profesi

1/1 1/ 2 1/3 8/32

Total score 2+8+56+260= 326

Skor maksimum kompetensi = banyaknya indikator X skor tertinggi X

responden

9X4X11=406

Prosentase nilai skor total326406

X 100 = 80,295

belajar peserta didik meliputi 13 hal yaitu: (1) peningkatan atmosfir akademik di kalangan siswa; (2) peningkatan pemberian layanan akademis bagi siswa; (3) peningkatan ketuntasan belajar; (4) peningkatan ketuntasan belajar; (5) peningkatan hasil ujian akhir madrasah; (6) peningkatan pendampingan kegiatan ekstrakurikuler; (7) peningkatan layanan membimbing siswa yang mengikuti perlombaan; (8) peningkatan hasil lomba mapel pendidikan agama; (9) peningkatan kecerdasan emosi siswa; (10) peningkatan kecerdasan sosial siswa; (11) peningkatan kecerdasan spiritual siswa; (12) peningkatan akhlak mulia siswa; (13) peningkatan kegiatan dan kehidupan keagamaan di madrasah.

Berdasar hasil pengumpulan data terkait persepsi guru mitra terhadap dampak kinerja guru agama MA setelah mengikuti diklat fungsional terhadap prestasi belajar siswa diperoleh rerata 84,79. Nilai tersebut jika dihubungkan dengan Permenegpan No 16 tahun 2009 masuk dalam kategori baik.

Dampak Kinerja Guru Agama MA Pasca Diklat Fungsional terhadap Guru Lain

Berdasarkan hasil penelitian terhadap persepsi guru mitra dari guru agama MA berkaitan dengan dampak kinerja guru agama MA setelah mengikuti diklat fungsional terhadap kinerja guru yang lain diperoleh data sebagaimana pada Tabel 6.

Berdasarkan data pada Tabel 6 dampak kinerja guru agama MA setelah mengikuti diklat fungsional terhadap kinerja guru lain diperoleh nilai rerata 88,92. Nilai ini jika dihubungkan dengan permenegpan No 16 tahun 2009 masuk dalam kategori baik (88,92 terletak pada rentang 76 < X< 90). Jadi secara umum kinerja guru pendidikan agama pasca diklat fungional berdampak positif bagi kemaslahatan kinerja guru yang lain.

Kinerja Guru Agama Pasca Diklat Dilihat dari 4 Kompetensi dan Prestasinya

Dari penggalian data di atas terlihat kinerja guru agama madrasah aliyah pasca diklat

Page 133: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Kinerja Guru Agama Madrasah Aliyah Pasca Diklat Fungsional di Propinsi Nusa Tenggara BaratA.M. Wibowo

253

No Item soal score

1 2 3 4

1 Peningkatan atmosfir akademik di kalangan guru

0/0 1/ 2 12/369/36

2 Perbaikan pembelajaran pendidikan agama melalui pemilihan model, media, alat evaluasi yang inovatif

0/0 2/4 13/39

7/28

3 Peningkatan kualitas proses pembelajaran pendidikan agama

0/0 1/2 10/3011/44

4 Peningkatan komunikasi personal dengan sesama guru

0/0 1/2 6/1815/60

5 Peningkatan keterbukaan dalam berbagi informasi akademik

0/0 1/2 8/2413/52

6 Peningkatan penjalinan komunikasi kerja dengan sesama guru

0/0 1/2 7/2114/56

7 Peningkatan kualitas layanan pada guru

0/0 1/2 7/2114/56

8 Peningkatan kecintaan dan kebanggaan pada sekolah

0/0 0/0 8/2414/56

9 Peningkatan kegiatan dan kehidupan keagamaan di madrasah

0/0 1/2 5/1516/64

10 Peningkatan kedisiplinan penyelesaian tugas-tugas administrasi keakademisan

0/0 0/0 8/2414/56

11 Peningkatan kualitas administrasi keakademisan

0/0 0/0 8/2414/56

12 Peningkatan kepedulian pada saat diskusi sesama

0/0 1/2 8/2413/52

Total skor 939

skor maksimum Kompetensi 12X4X22 = 1056

Prosesntse nilai skor total 9391056

X 100 = 80,295

Tabel 6 Dampak Kinerja Guru Agama MA Pasca Diklat Fungsional terhadap Kinerja Guru yang Lain

fungsional secara umum jika dilihat dari 4 kompetensi yaitu pedagogis, kepribadian, sosial dan profesional masuk dalam kategori cukup dengan nilai 72, 44. Hasil angket, wawancara dan observasi terungkap bahwa guru agama di madrasah aliyah masih mengalami kesulitan dalam hal melakukan identifikasi dan penguasaan karakteritsik kepada peserta didik. Di samping itu, guru juga belum optimal dalam memberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi aktif

dalam kegiatan pembelajaran kepada peserta didiknya.

Terkait dengan kompetensi kepribadian Hasil penelitian menunjukan bahwa aspek bertindak sesuai dengan norma hukum memperoleh rerata 82,72. Aspek menunjukan pribadi yang dewasa dan tauladan memperoleh rerata 74, 54. Etos kerja dan tanggung jawab memperoleh rerata 65,90. Jika ketiganya di rerata maka kompetensi kepribadian ini memperoleh nilai 74, 386. Secara idealitas berdasarkan Permenengpan No 16 tahun 2009 nilai 74, 386 ini masih belum memenuhi kriteria standard Permenegpan mengenai standard kinerja guru yang menetapkan nilai 75.

Guru agama tampak belum melakukan kegiatan membagi pengalaman atau menularkan ilmu yang diperolehnya melalui diklat yang diikutnya kepada guru lain. Selama ini terkesan guru agama MA pasca diklat setelah mengikuti diklat tidak membuat laporan tertulis dan melakukan sosialisasi terhadap ilmu yang diperoleh ketika diklat fungsional. Idealnya sosialsiasi ilmu yang didapatnya dari hasil diklat secara tidak langsung guru agama akan menjadi contoh atau pribadi yang menjadi tauladan bagi guru yang lainnya.

Dalam hal pengelolaan pembelajaran terlihat bahwa Guru agama MA pasca diklat fungsional sebagian besar masih belum mampu menerapkan pengelolaan pembelajaran secara maksimal. Idealnya dengan pengelolaan pembelajaran yang baik dan maksimal guru agama dapat membuktikan dirinya sebagai guru yang dihormati oleh peserta didik sehingga semua peserta didik selalu memperhatikan guru dan berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.

Terkait dengan kompetensi sosial hasil penelitian menemukan bahwa secara kompetensi sosial kinerja guru agama MA pasca diklat fungsional secara keseluruhan memperoleh rerata 76,513. Nilai rerata secara total untuk kinerja guru dalam kompetensi sosial yang sebesar 76,513 tersebut jika dihubungkan dengan Permenegpan No 16 tahun 2009 tentang penilaian kinerja guru sudah termasuk dalam kategori standard minimal

Page 134: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 245-256

254

yang harus dikuasai guru.

Dari hasil pengolahan data baik secara kuantitatif maupun kualitatif nampak bahwa baik guru agama, teman sejawat, serta kepala sekolah belum memperhatikan pentingnya aspek komunikasi dengan sesama guru, tenaga kependidikan, peserta didik, orang tua serta masyarakat. Guru agama terlihat belum mampu mengimplementasikan hasil diklatnya terutama dalam hal penyampaian informasi tentang kemajuan, kesulitan, dan potensi peserta didik kepada orang tuanya, baik dalam pertemuan formal maupun tidak formal antara guru dan orang tua, teman sejawat. Meskipun sudah dilakukan oleh guru namun secara administrasi belum dilakukan sehingga guru pasca diklat belum mampu menunjukan buktinya.

Terkait kompetensi profesional hasil penelitian secara kumulatif rerata kinerja guru agama MA pasca diklat dalam bidang kompetensi profesional diperoleh nilai rerata sebesar 66,285 atau masuk dalam kategori cukup. Melihat kinerja guru MA berdasar pada kompetensi profesional sesungguhnya masih standard minimal Permenegpan No 16 tahun 2009 yang menganjurkan guru memiliki kompetensi bidang profesional dengan nilai minimal 75 atau kategori baik. Kelemahan-kelemahan yang menjadi kendala dan dihadapi guru MA pasca diklat dalam meningkatkan kompetensi profesionalitasnya disebabkan beberapa faktor. -faktor aspek penguasaan materi struktur konsep dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.

Dalam aspek ini tampak terlihat sebagian besar guru agama MA pasca diklat fungsional belum mampu untuk melakukan melakukan pemetaan terhadap standard kompetensi dan kompetensi dasar untuk mata pelajaran yang diampunya. Akibatnya guru agama tampak kesulitan untuk melakukan identifikasi tehadap materi pembelajaran yang dianggap sulit. Karena kurang maksimal dalam melakukan pemetaan dan identifikasi materi yang sulit itulah maka mengakibatkan guru agama gagal

dalam melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran dan memperkirakan alokasi waktu yang diperlukan. Kendala kedua adalah sebagian besar guru masih belum dapat menyertakan informasi yang tepat dan mutakhir di dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Akibatnya peserta didik belum secara maksimal terbantu untuk memahami konsep materi pembelajaran dikarenakan materi yang disusun dan direncanakan guru tidak maksimal.

Iklim Akademis Sekolah Mempengaruhi Pening katan Kinerja dan Prestasi Guru Agama MA

Berkaitan dengan iklim akademis pada lingkungan madrasah masing-masing penelitian ini menemukan empat hal. Empat hal tersebut adalah sarana pendukung, fasilitas yang tersedia, manajemen, program, dan regulasi madrasah, dan komitmen kepala madrasah untuk melaksanakan regulasi madrasah.

Guru agama MA pasca diklat fungsional melihat sarana pendukung yang ada pada madrasah masing-masing termasuk dalam kategori baik. Mulai dari ketersediaan buku di perpustakaan, sarana ibadah, kelayakan ruang pembelajaran, serta lingkungan yang mendukung.

Namun tampaknya sarana pendukung yang baik belum tentu mendukung kinerja guru agama. Hal tersebut tampak pada fasilitas pembelajaran yang tersedia. Fasilitas pemblajaran menurut temuan hasil penelitian masih belum maksimal dalam mendukung kinerja guru agama MA pasca diklat. fasilitas yang dimaksud diantaranya adalah ketersediaan buku ajar pendidikan agama pada setiap siswa, ketersediaan media pembelajaraan yang dikreasi oleh guru serta ketersesuaian antara teknologi komunikasi informasi (ICT) dalam mendukung kegiatan pembelajaran pendidikan agama.

Begitupula halnya dengan manajemen, program dan regulasi madrasah. Hasil penelitian ini menemukan untuk bidang ini ada beberapa hal yang belum dilakukan secara maksimal oleh

Page 135: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Kinerja Guru Agama Madrasah Aliyah Pasca Diklat Fungsional di Propinsi Nusa Tenggara BaratA.M. Wibowo

255

sebagian madrasah. Beberapa hal yang dilakukan oleh madrasah antara lain adalah pemberian kesempatan guru-guru untuk mengikuti pelatihan-pelatihan, pemberian kesempatan untuk mengikuti berbagai lomba akademis, serta kesempatan MGMP madrasah untuk aktif melakukan kajian akademis.

Penelitian ini juga menemukan bahwa prestasi guru dalam bidang kejuaraan dalam bidang agama masih sangat kurang. Hal tersebut sangat wajar ketika kesempatan untuk mengikuti kejuaraan dibidang akademis masih kurang. kondisi ini diperparah dengan lemahnya prestasi guru dalam bidang mengikuti lomba untuk guru, mengikuti kegiatan di luar jam belajar yang masih terkait dengan pendidikan agama, membimbing peserta didik sehingga memenangkan kejuaraan dalam bidang agama.

Guru masih terjebak pada rutinitas kegiatan belajar mengajar sehari-hari. Akibatnya guru tidak terlalu bersemangat untuk mengikuti kegiatan perlombaan akademis, membimbing peserta didik dalam kejuaraan mengingat regulasi madrasah membatasi guru untuk mengikuti hal-hal seperti tersebut di atas.

PenuTuP

Deskripsi temuan penelitian di atas setidaknya memberikan gambaran empat kenyataan jawaban permasalahan yang dibangaun pada rumusan masalah. Empat jawaban tersebut adalah pertama, kinerja guru agama MA pasca mengikuti diklat fungsional di Balai Diklat Keagamaan secara kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial dan profesional masuk termasuk dalam kategori cukup yang ditunjukan dengan angka rerata 72,44. Namun jika dilihat dari prestasi guru agama MA masih belum menonjol. Kedua, kinerja guru agama MA setelah mengikuti diklat fungsional berdampak baik terhadap prestasi belajar siswa. Ketiga, iklim akademis sekolah berupa sarana pendukung, fasilitas yang tersedia, manajemen, program dan regulasi serta komitmen kepala madrasah berdampak baik pada kinerja guru Agama MA pasca diklat, sedangkan fasilitas yang

tersedia di madrasah tidak ikut mendukung dalam kinerja guru agama MA. Keempat, kinerja guru agama MA setelah mengikuti diklat fungsional berdampak positif terhadap kinerja guru yang lain.

Sebagai saran, penelitian ini memberikan saran kepada Balai Diklat Keagamaan dan pusdiklat Teknis Keagamaan Republik Indonesia. Untuk Balai Diklat Keagamaan hendaknya widyaiswara melakukan evaluasi penguasaan, relevansi, dan kemutakhiran materi / substansi diklat fungsional dengan metode yang bersifat aplikatif dan problem solving. Penyelenggara diklat sebagai penyelenggaraan Diklat hendaknya Balai Diklat menyiapkan sistem penyelenggaraan yang menginspirasi peserta diklat untuk maju dan berkembang secara kreatif dan inovatif dan perlu adanya implementasi standard kelulusan peserta diklat yang dapat dipertanggungjawabkan serta meminta laporan kegiatan tindak lanjut kepada peserta diklat untuk bahan evaluasi.

Kepada Pusdiklat saran yang diberikan adalah perbaikan kurikulum dan silabus hendaknya perlu disesuaikan dengan kebutuhan lapangan. Oleh karena itu, sebaiknya melakukan analisis kebutuhan diklat yang dikaji secara akademis. Pusdiklat Teknis Keagamaan hendaknya juga perlu melakukan penataan ulang dalam mendesain diklat. Hal tersebut dilakukan agar dapat menjadi acuan penyelenggaraan diklat di balai-balai diklat yang dapat menginspirasi peserta diklat berkembang secara inovatif dan kreatif. Bahan atau materi diklat perlu disesuaikan dengan kebutuhan lapangan.

dafTar PusTaKa

Cascio, W.F. 1992. Applied Psychology in Personal Management. 4th edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Direktorat Tenaga Kependidikan. 2002. Program Peningkatan Kualitas Guru: Naskah Akademik. Jakarta: Bagian Proyek Pengembangan Profesi Tenaga Kependidikan.

Page 136: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013halaman 245-256

256

Dharma, S. (2005). Manajemen Kinerja: Falsafah teori dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fatah, N. 1996. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rusda Karya.

Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI. 1997. Sistem Administrasi Negara RI. Jilid 1 Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gunung Agung.

Madaus, F Scriven, dan Stufllebeam. 1983. Evaluation Models. Boston: Kluwe Nijhoof Publishing.

P3G Bahasa. 2003. Desain Program Pemantauan dan Evaluasi Dampak Diklat. Jakarta: Pusat Pengembangan Penataran Guru Bahasa Dirjen Dikdasmen.

Robbins, Stephen P. 1996. Organizational Behavior, Concept, Controversies, and Applications. Engglewood Cliff: Prentice Hall

Rasul, dkk. 2000. Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Sosialisasi dan Asistensi Implementasi AKIP). Jakarta: BPKP.

Simanjutak, J, Payaman. 2005. Manajemen

dan Evaluasi Kinerja. Jakarta: Universitas Indonesia.

Sedarmayanti. 2001. Sumberdaya manusa dan Produktivitas Kerja. Bandung: Mandar Maju.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Program Pascasarjana UP dan Remaja Rosdakarya.

Stoner, James AF Edward Freeman & Daniel R Gilbert Jr. 1996. Manajemen Jilid I, alih bahasa Alexander Sindoro. Jakarta: PT. Prehalindo.

Stufflebeam, D.L. 2003. “The CIPP Model for Evaluation”. Dalam T. Kellaghan & D.L. Stufflebeam (Ed.), The International Handbook of Educational Evaluation (chapter 2). Boston: Kluwer Academic University.

Wibowo, A.M. 2011. Kompetensi Guru PAI Di Kabupaten Kuburaya Propinsi Kalimantan Barat, Studi Perbedaan Antara Guru PAI Tersertifikasi Dan Guru Guru Belum Tersertifikasi. Balai Litbang Agama Semarang.

Zamroni. 2003. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Jakarta: Biografi Publising.

Page 137: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

256-1

Indeks/ Index

INDEKSI S S N : 1 4 1 0 - 4 3 5 0

AnalisaJurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan

Terakreditasi LIPI Nomor: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013

A‘Alawiyyin 146‘Aqidah al-Awwām 81‘aqidiyah 146abdi dalem 197, 199Abdul Baqir Zein 90Aceh 88, 89, 90, 94, 95, 96

Aceh Barat 91, 95Aceh Besar 94Aceh Selatan 88, 90, 91, 92, 93, 95, 96

Pemda Aceh Selatan 96Aceh Tengah 91Aceh Tenggara 91, 92Nangroe Aceh Darussalam 90

Achieved Status 21adaptif 31agama lokal 2, 3, 9

Alok Todolo 2Islam Aboge 1, 2, 3, 4, 6, 8, 9, 10, 11

Islam Nyandi 3, 5, 6, 11Islam Nyantri 3, 5, 6, 11

Kaharingan 2Merapu 2Parmalim 2Sunda Wiwitan 2Wetu Telu 2

ahl al-bait 146Ahmad al-Marzuqi al-Maliki 81akademik 117, 119, 121, 122akulturasi 13, 19, 20, 22, 87, 89, 94

akulturasi budaya 94akulturasi budaya Hindu-Buddha 96

nilai-nilai akulturasi 96akuntabel 103

al-Baiddāwi/ Abdullah bin ‘Umar al-Baidāwi 65, 66, 67, 68, 69Karya-karya al-Baidāwi 69

al-Bajuri/ al-Syeikh Ibrahim al-Baijuri 81, 84al-Fadlali/ al-Syeikh Muhammad al-Fadlali 81, 83, 84al-haqq 55Ali Syari’ati 146al-ja`ur 51, 60al-jahl 51, 60al-jubn 51, 60, 61al-jud 60, 61, 63, 51al-mahabbah, 61al-sukhf 61amalgamasi 20amaliah 234, 235, 236, 239, 240, 242, 243analisis isi 75analisis interteks 77Analisis Wacana Kritis 77aneuk jameue 92aqaid 83

Aqaid Empat Puluh Delapan/ Aqaid 48 80, 81Aqaid Lima Puluh/ Aqaid 50 75, 80, 81Aqaid lima puluh al-Fadlali 81Aqaid Sanusiah 75

artefak 87, 91artefak-artefak budaya 88

Ascribed Status 21assertif 20asy-syuh 51, 60at-tasdiq 66, 67, 73at-tasdiq billah 67, 68Azman Ismail 90Az-Zahabi 69

Page 138: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

256-2

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013

Bbabad 222, 225bahasa 92, 95, 96

Bahasa Aceh Selatan 92Bahasa Gayo Lues 92Hahasa Jawa 92Hahasa Karo 92Bahasa Kluet 92Bahasa Minang 92Bahasa Pakpak 92

Bakri Syahid 212, 219bandongan 78Baqir Sadr 146bargaining 13, 26bedogol 7, 8Belom Bahadat 19Belom Penyang 22budaya Jawa 207, 208, 209, 210, 212, 213, 215, 219budaya tradisional 209Buddha 156, 159, 160, 161, 162, 163burdah 242, 243

CCikakak 3, 4, 5, 9, 10Cina 89, 94, 96, 164, 167

kebudayaan Cina 87, 88orang Cina yang beragama Buddha 160orang Cina yang beragama Konghucu 160

CIPP (Context, Input, Process, dan Product) 248community development 25, 27community social work 27, content analysis 207, 210cultural boundaries 14cultural conflict nuance 202cultural power 197, 198, 201

DDaerah Istimewa Yogyakarta/ DIY 133, 134, 138, 139, 142das sein 171, 173das sollen 171, 173deontologis 52Desa Adat 11Dewaruci 229discourse capital 197, 198disharmonisasi 157, 224dokumen 3, 13, 16,

Eefikasi diri 99, 101, 103, 105, 106, 107, 108, 109,

110, 111eksklusif 31, 32, 46, 183, 184, 194eksklusifisme 176emosional 100Epicurus 59equilibrium 19etika 52, 53, 57, 58

Etika Jawa 213, 214, 218etika mencari ilmu 58nilai-nilai budi pekerti budaya Jawa 211nilai-nilai etika 208

nilai-nilai Etika Budaya Jawa 207, 209, 213, 215, 217, 219

nilai-nilai etika Jawa 208, 209, 210etnis 14, 16, 17, 19, 21, 22

etnis Banjar 20etnis Dayak iv, 16, 17, 19, 20,

marginalisasi Dayak 19etnis Jawa 20etnis Madura iv, 16, 18, 20, 21Melayu muslim 159, 166Suku Batak 95Suku Minang 92

euphoria 18, evaluasi 115, 117, 118

Evaluasi Diri Madrasah 103evaluasi hasil pelaksanaan program 119

Ffaktor disintegratif (disintegrative factor) 156faktor pemersatu (integrative factor) 156falsafah Jawa 216, 217FGD/ Focus Discussion Group 118 filologi 222, 224filsafat 70

filsafat etika 52, 58filsafat moral 53, 58

filsafat moral Ibn Hazm 53, 57first order 31, Frithjof Schoun 176full day school 235fundamentalisme agama 175, 177, 178

gerakan fundamentalisme agama 169, 170, 171, 172, 178

Page 139: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

256-3

Indeks/ Index

gerakan fundamentalisme agama di kalangan mahasiswa 179

Ideologi fundamentalisme agama 178Islam fundamentalis 188

fungsionalisme struktural 15, 16, 20teori struktural fungsional 158

fuqaha’ 55, 56

GGatutkaca 231gaya hypostyle 89gerakan keagamaan 171, 176, 178

gerakan keagamaan KMK Pascasarjana UGM 178Gerakan Keagamaan Komunitas KMK 175

Gereja Kristen Jawi Wetan 37, 38, 39, 41, 43GKJW Turen 47global normatif 212

Hhadis 52, 55, 56, 57, Hadramaut 146Hajar Aswad 95healing 28hedonistik 52Hindu-Buddha 87, 94, 96Hinje Simpai 22holistik 27, hubungan 14, 16, 20

dinamika hubungan 15hubungan antaretnis 22hubungan sosial 22, 23

hubungan sosial Muslim-Buddhis 157, 161, 167keharmonisan antara Muslim-Buddhis 160keretakan hubungan sosial Muslim-Buddhis 155, 167

interaksi Muslim dengan Buddhis 160interaksi Muslim-Buddhis 159interaksi sosial Muslim-Buddhis 159

hubungan antarumat Islam/ hubungan intern umat Islam 14, 15, 16, 17, 18, 23hubungan intern umat beragama 23hubungan Muslim-Buddhis 157hubungan Muslim-Kristen 157

sejarah hubungan Muslim-Kristen 157relasi sosial 15, 41, 48relasi sosio-kultural 31

Huma Betang 19, 22hypostyle hall 89

IIAIN Sunan Kalijaga 208, 210, 211Ibn Hazm al-Andalusy 51, 53, 54, 57Ibnu Batutah 88Ibrahim ibn Muhammad al-Bajuri 81identitas 15, 16, 17, 23,

identitas etnis 15, identitas sosial 15, 17,

ijtihad 234iklim akademis 245, 248, 251, 255

Iklim Akademis Madrasah yang Mempengaruhi Kinerja Guru 251

Iklim kerja 108, 109, 110, 111iklim positif 104, 109

Imam Nawawi al-Jawi 84iman 65, 66, 67, 68, 69, 70

batasan iman al-Asy’ari 67definisi iman 67konsep iman 67

konsep iman menurut Ahlusunah 67iman dalam konsep Maturidiyah Samarakand 67iman menurut al-Baidāwi 65, 66

Penafsiran al-Baidāwi tentang Iman 70metode penafsiran al-Baidāwi 69metode tahlili 69, 70

inisiatif lokal 28institusionalisasi 23institutionalized 31instrinsik budaya 20intelegensi 51, 60, 61, 62, 63intelektual 83, 100intersubjektif 31interteks 75, 77Iran Islamic Revolution 146istri tersangka teroris 183, 184, 186, 187, 188

kondisi psikologis istri tersangka teroris 182

JJ. E. Jasper 90Jabbar Sabil 90James Dickie 89jaringan sosial 37, 39, 40, 41, 42, 44, 47, 48,

Page 140: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

256-4

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013

Jenkins 183John Hick 171, 175juru kunci 4, 6, 8,9

KKalender Aboge/ Kalender Alif Rebo Wage 2, 4karakteristik 100, 116karakteristik potensi 116Karl Marx 170, 171kasepuhan 10kategori 118

kategori amat baik 123kategori baik 120, 121, 122, 123kategori kurang 115, 119

kawula dalem 199kawula nagara 199keadilan 51, 52, 53, 60, 62, 63kearifan lokal 7, 10keberanian 51, 60, 61, 63Keberhasilan Kediklatan 247kebhinekaan 14Kebijakan uniformitas 23kedamaian 156

kedamaian agama-agama 156kedermawanan 51, 60, 61, 63kehidupan beragama 134, 136, 137, 138, 139, 140,

141, 142kejawen 4, 5, 8, 9Kelompok Mahasiswa Kristen (KMK) Pascasarjana UGM 170kepengawasan 116, 117kerajaan Sambas 26keraton 222, 225, 227, 230

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat 225Keraton Yogyakarta 198, 222, 224, 225, 231

kerukunan 13, 14, 15, 19, 20, 21, 22, 23kerukunan antarumat 166

kerukunan antarumat beragama 140, 141, 166peningkatan kerukunan umat beragama 135 peningkatan kualitas kehidupan beragama 135, 142

kerukunan intern umat 140kerukunan intern umat beragama 141kerukunan intern umat Islam 15, 19

kerukunan umat beragama 1, 23, 43, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 141, 142

kiai 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142kiai langgar 134kiai panggung 135, 137

Kinahrejo 198, 199, 200, 201, 202, 203kinerja 100, 101, 103, 105, 108, 109

kinerja guru agama Madrasah Aliyah 245, 246, 248, 251Kinerja Guru Agama MA Pasca Diklat Fungsional 250

kinerja guru lain 252kinerja Kepala Madrasah 99, 100, 101, 105,

106, 107, 109, 110, 111, penilaian kinerja 102

penilaian kinerja kepala madrasah 102, 103king’s order 202, 204, 205kitab tauhid 76, 77, 78, 79, 82, 83, 84

Hasyiyah 76, 79, 83Hasiyah al-Dasuqi ’Ala Umm al-Barahin 78Hasyiyah al-Dasuqi 79, 83Hasyiyah al-Dasuqi al-Syafi`i 78

Kifayāh al-Awwām 81Kifayāh al-Awwām Fi Ma Yajib ’Alaihim Min ’Ilm al-Kalam 81Kitab Umm Barahin 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81,

82, 83, 84Nuruḍh al- Ḍhalām 84Syarah Kifayāh al-Awwām 84Syarah Umm Barahin 76, 79, 83Tahqīq al-Maqām 84Tahqīq al-Maqām ’Ala Kifayah al-Awam Fi Ma Yajib ’Alaihim Min Ilm al-Kalam 81Tahqīqul Maqam Syarh Kifayāh al-Awwām 81

KMK Pascasarjana UGM 171, 172, 175, 176, 177, 178, 179

koersif 21komersialisasi 18, kompetensi 100, 103, 104, 108

kompetensi kepala madrasah 100, 103komposisi penduduk 16, 17, komunitas 2, 5, 26, 27,

komunitas baru 27, 29, 30, 32komunitas etnis Tionghoa 26komunitas Islam Aboge 3, 4, 7, 8, 9, 11

komunitas Islam Kejawen Bonokeling 9kondusif 104, 108, 109, 115, 116konfigurasi 14

Page 141: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

256-5

Indeks/ Index

konflik 14, 15, 18conflict analysis 145, 147conflict factors 150

Aggravating factors 147, 151Mobilizing factors 147, 157Pivotal factors 147Trigger 147, 150

conflict resolution 145konflik agama 18konflik antaretnis 18

konflik Sambas 25, 27, 28, 29konflik Suku Dayak dengan Suku Madura 18

konflik kekerasan 28, 31konflik sosial bernuansa agama 156

Sampang conflict 145, 146, 147, 149, 150, 152Chronological Order of the 2nd Sampang 148

konflik sosial 16, 26, 27konflik sosial keagamaan 155pasca konflik 15, 19, 21, 25, 27, 29, 31resolusi konflik 15, 21, 30, 34, 35teori konflik 158

konselor 115, 116Kota Tanjungbalai 155, 157, 159, 160, 162, 163,

164, 165, 166“kota Cina” 155

KTSP 120kuesioner 118, 120kyia kunci 5, 8, 9

Llelaku 213local genius 94logika 56

alur logika 30lokal historis 212

MManagemen Berbasis Sekolah (MBS) 241Manajemen Berbasis Madrasah 100manajerial 117, 119, 120, 122Mancanagara 199manuskrip 88Marcopolo 88Maridjan 197, 198, 199, 200, 201, 203, 204, 205

Maridjan’s attitude 202

Maridjan’s rebellion 197Maridjan’s resistance 197, 198, 199, 204

Martin Frishman 89Masjid Kudus 89, 90Masjid Pulo Kameng 87, 88, 89, 91, 92, 93, 94, 95

Arsitektur Masjid Pulo Kameng 93, 96Sejarah Masjid Pulo Kameng 92

Maturidiyah 67Maturidiyah Bukhara 66, 67Maturidiyah Samarakand 67

mazhab 146Asy’ariyah 66, 67, 68, 73

tokoh Asy’ariyah 79pengikut Asy’ariyah 77

mazhab Maliky 56tokoh Malikiyyah 56

Mempawah 26Merapi 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204

Merapi’s caretaker 197, 198, 200, 202, 203, 204, 205

metode ekliktik 68metode historis 91

historis-arkeologis 87, 91metode interteks 83metodologi penelitian filsafat 69

historis faktual 65, 68, 69model historis faktual 69

migrasi 17, 18, modal sosial 28, moderasi 58moral 52, 58motivasi berprestasi 99, 101, 105, 106, 107, 108,

109, 110, 111motivator 115, 116Mu’tazilah 66, 67, 70, 71Muhammad bin al-Syafi`i al-Fadlali al-Syafi`i 81Muhammadiyah 233, 234, 235, 236, 239, 240, 243multikulturalisme 23, 28, 176, 178Murtadha Muthahari 146muslim 156, 160, 161, 162, 163, 165, 167

NNagara 199Nagara Agung/ Nagaragung 199, 200Nahdlatul Ulama/ NU 233, 234, 235, 236, 238,

239, 240, 243

Page 142: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

256-6

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013

NU Aboge 6NU Asapon 6

ngaji sore 237, 240Nusa Tenggara Barat 248, 249nyadran/ sadranan 5, 9observasi 3, 13, 16, 28, 29, 37, 41

observasi terlibat 16, 34, 41participatory observation 197, 199

optimal 100

PParentah Jaba 199, 200Parentah Jero 199, 200parwa 222Patung Buddha 156, 157, 159, 160, 163, 164, 165,

166, 167Buddha Rupang 164Patung Buddha Amitabha 162, 165, 166, 167

peace building 30peace studies 23pendekatan hermeneutika 210pendekatan kualitatif 3, 13, 16, 28, 41

deskriptif 28, 118deskriptif kualitatif 3, 16, 37

penyembuhan 28penyesuaian diri 181, 183, 184

Penyesuaian Diri Istri Tersangka Teroris 188pepali (wewaler) 213, 214peran kiai 133, 135, 136, 138, 139, 140, 141, 142

dimensi keyakinan 137, 139, 140, 142dimensi ritual 139, 140dimensi sosial 139, 140perubahan peran kiai dalam masyarakat 135

perdamaian 22, 25, 26, 27, 28, 30, 31perdamaian negatif 22, 23

performance 116, 117perkawinan lintas etnis 20persepsi 27, 101, 103, 115, 118

persepsi masyarakat 133, 136persepsi masyarakat terhadap peran kiai

135, 136, 138, 139, 140, 141, 142Pesantren Salaf 75

Pesantren Salafiyah Syafiiyyah 76, 77, 78, 83, 84pituduh 213, 214pluralisme 26, 28, 176pola relasi suami-istri 183, 184, 193, 194

pola relasi suami-istri tersangka teroris 181, 182, 184, 191, 192equal partner 184, 191, 192, 194head complement 184, 191owner property 184, 191, 192, 194senior-junior partner 184, 191, 192

pondok pesantren 1v, 37, 38, 39, 40, 41pondok pesantren Sirotul Fuqoha 41, 42

populasi 106potensi 75

potensi budaya 209potensi guru madrasah 117potensi madrasah 100potensi peserta didik 100

Prabu Kresna 231prestasi guru 254, 255

prestasi guru agama MA 250, 255Prestasi Guru Peserta Diklat Fungsional 250

primbon 222puasa sirrih 8

RRA Masyitoh 238radikalisme 182recovery 30rekonsiliasi 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, relokasi 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34Rencana Kegiatan dan Anggaran Madrasah 103Rencana Kepengawasan Akademik (RKA) 118Rencana Kepengawasan Manajerial (KKM) 118Rencana Kerja Madrasah Jangka Menengah 103Rencana Kerja Tahunan 103rencana pengawasan akademik 119rencana pengawasan manajerial 119rencana pengembangan madrasah 103respon intelektual 82, 84Roisul Hukama 148, 151, 152royal servant 197, 198, 199, 201, 202, 204, 205Russell 172, 177

Ssalat 77

salat berjamaah 77sam’iyyah 68Sampang/ Sampang Regency 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152

Page 143: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

256-7

Indeks/ Index

sampel 106santri 5, 38, 39, 41, 42, 45, 46, 47, 78, 79, 81, 82,

83, 84Scanzoni 184, 191Schneider 183, 184, 190, 191SD Muhammadiyah Mlangi 233, 234, 235, 236,

238, 239, 240, 241, 242, 243self developed 27self efficacy 103self-imposed 27self-sacrificing 189sentono dalem 199serat 222

Serat Purwocampur 221, 222, 224, 225, 226, 228, 229, 230, 231

Serat Wedhatama 208Serat Wulang Reh 208

sesepuh 10shalawatan 242, 243simbiosis mutualisme 14, 18Sistem Ketarekatan 9

baiat 9mlebon 9mursyid 9

sistematis 90, 103spiritualitas lokal 2sporadis 26Standar Nasional Pendidikan 102, 117, 120strategi adaptasi 1, 3, 8, 13, 14, 15, 16,

strategi adaptasi konservatif 1, 8strategi adaptasi resistensi 1, 10, 11

Strategi Adaptasi Membangun Harmoni 13, 22strategi kutlural 22strategi struktural

Sultan Agung Hanyakrakusuma 4Sultan Hamengkubuwono X 202, 203, 204, 205suluk 222Sunni 146

sunni mazhabs 146supervisor 115

supervisor pendidikan 115, 116survive 1, 20, 48Syi’ah 146, 148, 151, 152

History of Syi’ah Belief in Sampang Regency 148Syiraz 69

Ttafsir 65, 66, 68, 69, 72, 73

tafsir al-Baidāwi 69, 70Tafsir Al-Huda 207, 208, 209, 210, 211, 212,

213, 215, 216, 217, 219Tafsir Basa Jawi 208tafsir berbahasa daerah 211tafsir bir-ra’yi 213, 219

tajdid 234Tajul Muluk 146, 148, 149, 151tasdiq 67tembang 225

tembang macapat 225, 232asmaradhana 221, 225, 226, 227, 232dhandhanggula 225, 232girisa 221, 225, 231, 232pangkur 221, 225, 232

teologi 65, 69teologi Islam 66, 67

teologi Ahlusunah 66, 67teologi Asy’ariyah 66, 68

teori jaringan sosial 48terbangan 242, 243terorisme 181, 182, 183, 186, 188, 189, 192, 193Teuku Kejruen Amansyah 87, 93, 96Thabathaba’i 146Thard al-Hamm 58, 63, 51the heart of Religions 178tidak kondusif 108, 109TK ABA/ TK ABA Mlangi 234, 235, 236, 237, 238, 239, 242, 243TK Aisyah Bustanul Athfal (ABA) 233toleransi 96

nilai-nilai toleransi 95, 96toleransi beragama 89

Total Quality Management (TQM) 235, 237, 241transmigrasi, 17, 18, 26, 28, 29, trauma psikologis 31truth claim 176, 178tsaqafi-ijtimai 213, 219tsaqafiyah 146‘ujub 60utilitarian 52

Page 144: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

256-8

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013

Vvariabel eksogen 105variabel endogen 105Vice Governor of Yogyakarta Pakualam IX 204Vihara Tri Ratna 155, 159, 160, 161, 162, 163, 164,

165, 166, 167

Wwawancara 3, 16

wawancara mendalam 25, 37

wawancara terbatas 28wetonan 78Whitehead 171, 172, 173, 174work performance 100Wrekudoro 229

ZZamakhsyari Dhofier 136zaman prasejarah 93

Page 145: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

256-9

Indeks Penulis/ Author Index

INDEKS PENULISI S S N : 1 4 1 0 - 4 3 5 0

AnalisaJurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan

Terakreditasi LIPI Nomor: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013

A

Andries, Flavius Floris. “Gerakan Fundamentalisme dalam Konteks Pluralitas Kampus (Studi Kasus Kelompok Mahasiswa Kristen Pascasarjana Universitas Gadjah Mada)”. 20 (02): 169-180.

Arafat, Ahmad Tajuddin. “Filsafat Moral Ibn Hazm Dalam Kitab Al-Akhlaq Was-Siyar Fi Mudawati-n-Nufus”. 20 (01): 51-64.

Arifin, Zainal. “Strategi Pengembangan Sekolah Muhammadiyah di Masyarakat NU Konservatif”. 20 (02): 233-244.

H

Hanun, Farida. “Pengaruh Efikasi Diri, Iklim Kerja, dan Motivasi Berprestasi terhadap Kinerja Kepala Madrasah (Survey di Madrasah Ibtidaiyah Kota Bekasi). 20 (01): 99-114.

Haryanto, Joko Tri. “Dinamika Kerukunan Intern Umat Islam dalam Relasi Etnisitas dan Agama di Kalteng”. 20 (01): 13-24.

Huda, Nurul. “Konsepsi Iman Menurut Al-Baidāwi dalam Tafsir Anwār at-Tanzīl wa Asrār at-Ta’wīl”. 20 (01): 65-74.

I

Irwansyah. “Potensi Keretakan Hubungan Sosial Muslim-Buddhis (Kasus Konflik Patung Buddha di Kota Tanjungbalai Sumatera Utara)”. 20 (02): 155-168.

M

Maghfur dan Muniroh, Siti Mumun. “Perempuan di Balik Teroris (Religiusitas, Penyesuaian Diri dan Pola Relasi Suami Isteri Tersangka Teroris di Kota Pekalongan)”. 20 (02): 181-195.

Mawardi, Marmiati. “Persepsi Masyarakat terhadap Peran Kiai di Daerah Istimewa Yogyakarta”. 20 (02): 133-143.

Musyafiq, Ahmad. “Aqaid 50 Versus Aqaid 48 (Kajian Kitab Umm Barahin di Pesantren Salaf)”. 20 (01): 75-86.

P

Pinem, Masmedia. “Masjid Pulo Kameng: Akulturasi dan Toleransi Masyarakat Aceh”. 20 (01): 87-98.

Page 146: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

256-10

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013

R

Rachmadhani, Arnis. “The Study of the Second Conflict in Sampang”. 20 (02): 145-153.

Retnowati. Jaringan Sosial Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) dengan Pondok Pesantren di Malang Jawa Timur”. 20 (01): 37-50.

Ruchani, Bisri. “Kerukunan Beragama dalam Naskah Keagamaan (Studi terhadap Serat Purwocampur)”. 20 (02): 221-232.

S

Siswayanti, Novita. “Nilai-nilai Etika Budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda”. 20 (02): 207-220.

Sulaiman. “Islam Aboge: Pelestarian Nilai-nilai Lama di Tengah Perubahan Sosial”. 20 (01): 1-12.

U

Ulum, Ruadatul. “Prospek Pembangunan Masyarakat Pasca Konflik Sambas”. 20 (01): 25-36.

W

Wibowo, A.M. “Kinerja Guru Agama Madrasah Aliyah Pasca Diklat Fungsional di Propinsi Nusa Tenggara Barat”. 20 (02): 245-256.

Y

Yustiani. “Kinerja Pengawas Madrasah di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. 20 (01): 115-130.

Z

Zaenurrosyid, A. “Maridjan Won the Bet (An Anthropological Analysis of Maridjan’s Religious-Cultural Fight in 2006)”. 20 (02): 197-206.

Page 147: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

256-11

Pedoman Penulisan Naskah/ Writing Guide

PEDOMAN PENULISAN NASKAHI S S N : 1 4 1 0 - 4 3 5 0

AnalisaJurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan

Terakreditasi LIPI Nomor: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013

KeTenTuan uMuM

Redaksi Jurnal Analisa menerima naskah tulisan dari para ahli dan peminat di bidang keagamaan. Naskah belum pernah dipublikasikan pada media atau jurnal lain. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris sesuai kaidah bahasa masing-masing, dilengkapi abstrak dan kata kunci dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia (dwibahasa).

Redaksi berhak menyunting naskah tanpa mengurangi maksudnya. Isi naskah sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi tidak berkewajiban mengembalikan naskah yang ditolak.

Pengiriman naskah harus disertai dengan SURAT RESMI dari penulis, khususnya menyangkut pertanggungjawaban penulis atas legalitasi naskah, keotentikan naskah dan belum pernah dipublikasikan. Naskah dikirimkan ke:

Redaksi JURNAL ANALISABalai Penelitian dan Pengembangan

Agama SemarangJl. Untung Suropati Kav. 70

Bambankerep, Ngaliyan, SemarangTelp. (024) 7601327, Fax. (024) 7611386

Penulis mengirim satu eksemplar naskah asli beserta dokumennya (file) dalam compact disk (CD) atau soft copy via e-mail ke: [email protected].

Seluruh bagian dari naskah tulisan, mulai judul hingga sumber bacaan diketik satu setengah spasi, minimum 17 halaman dan maksimum 20 halaman kertas ukuran A4. Pengetikan dilakukan

dengan menggunakan font Times New Roman 12 pt dan margin 4-3 (kiri-kanan) dan 3-3 (atas-bawah).

Penulis harus menyertakan riwayat hidup, meliputi nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat lengkap tempat tinggal dan alamat lengkap tempat bertugas, disertai nomor telepon, fax, e-mail dan nomor rekening bank, untuk kepentingan korespondensi.

sTruKTur Karya Tulis ilMiah

Naskah karya tulis ilmiah (KTI) tersusun menurut urutan sebagai berikut:

Judul 1.

Nama, alamat penulis, dan email2.

Abstrak 3.

Kata kunci4.

Pendahuluan (berisi latar belakang, 5. permasalah penelitian, dan manfaat penelitian dalam bentuk paparan)

Kerangka Teori6.

Hipotesis (opsional)7.

Metode Penelitian (berisi waktu dan tempat, 8. bahan/cara pengumpulan data, metode analisis data)

Hasil dan Pembahasan 9.

Penutup (berisi kesimpulan, saran 10. [opsional])

Ucapan Terima Kasih (opsional)11.

Daftar Pustaka 12.

Lampiran (opsional)13.

Page 148: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

256-12

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013

KeTenTuan Penulisan

Judul1. Judul merupakan rumusan mengenai a. pokok isi bahasan yang singkat, padat dan jelas.

Dalam judul sudah tercantum variabel-b. variabel utama penelitian.

Judul diketik dengan huruf capital tebal c. (bold).

Apabila judul ditulis dalam Bahasa d. Indonesia, maka di bawahnya ditulis ulang dalam Bahasa Inggris; begitu juga sebaliknya.

Nama Penulis2. Nama Penulis diketik dibawah Judul, a. ditulis lengkap tanpa menyebutkan gelar .

Alamat Penulis (Nama dan Alamat Instansi a. tempat bekerja) ditulis lengkap dengan jarak satu spasi di bawah nama penulis .

Alamat e-mail ditulis di bawah alamat a. penulis.

Jika alamat lebih dari satu, maka harus a. diberi tanda asterisk* dan diikuti alamat sekarang.

Jika Penulis terdiri lebih dari satu orang, a. maka harus ditambahkan kata penghubung ‘dan’ (bukan lambang ‘&’).

Cara Penulisan Abstrak dan Kata Kunci3. Abstrak merupakan intisari pokok bahasan a. dari keseluruhan kerangka isi naskah.

Abstrak ditulis dalam satu paragraph b. dengan huruf cetak miring (italic) berjarak satu spasi dan ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris).

Abstrak dalam Bahasa Indonesia maksimal c. 200 kata, sedangkan abstract dalam Bahasa Inggris maksimal 150 kata.

Penempatan abstrak (abstract) disesuaikan d. dengan bahasa yang digunakan dalam KTI. Apabila KTI menggunakan bahasa Indonesia, maka abstrak (abstract) didahulukan dalam Bahasa Inggris dan sebaliknya .

Kata abstrak (abstract) ditulis dengan huruf e. capital tebal (bold) dan miring (italic).

Abstrak dalam Bahasa Indonesia diikuti f. kata kunci dalam Bahasa Indonesia, sedangkan abstrak dalam Bahasa Inggris diikuti keywords dalam Bahasa Inggris.

Kata kunci terdiri dari tiga sampai lima g. kata/frase, ditulis dengan huruf cetak miring (italic).

Cara Penyajian Tabel 4. Judul Tabel ditampilkan di bagian atas a. tabel, rata kiri (bukan center), ditulis menggunakan font Times New Roman ukuran 12.

Tulisan ‘Tabel’ dan ‘nomor’ ditulis tebal b. (bold), sedangkan judul tabel ditulis normal.

Gunakan angka Arab (1,2,3, dst) untuk c. penomoran judul tabel .

Tabel ditampilkan rata kiri halaman (bukan d. center).

Jenis dan ukuran font untuk isi tabel dapat e. menggunakan Times New Roman atau Arial Narrow ukuran 8-11 dengan jarak spasi 1,0.

Pencantuman sumber atau keterangan f. diletakkan di bawah tabel, rata kiri, menggunakan Font Times New Roman ukuran 10.

Bentuk tabel hanya ditunjukkan garis g. horisontalnya saja, adapun garis vertikal transparan.

Contoh: h.

Tabel 4 Jumlah Produksi Padi dan JagungHasil 2010 2011 2012 2013

Padi 1.500 Ton 1.800 Ton 1.950 Ton 2.100 TonJagung 950 Ton 1.100 Ton 1.250 Ton 1.750 Ton

Ubi 350 Ton 460 Ton 575 Ton 780 Ton

Sumber: Balai Pertanian Jateng, 2013.

Cara Penyajian Gambar, Grafik, Foto 5. atau Diagram

Gambar, grafik, foto, atau diagram a.

Page 149: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

256-13

Pedoman Penulisan Naskah/ Writing Guide

ditampilkan di tengah halaman (center).

Judul gambar, grafik, foto, atau diagram b. ditulis di atas ilustrasi, menggunakan Font Times New Roman ukuran 12, ditempatkan di tengah (center).

Tulisan “Gambar, Grafik, Foto, atau c. Diagram” dan “nomor” ditulis tebal (bold), sedangkan isi judul ditulis normal.

Gunakan angka arab (1,2,3, dst) untuk d. penomoran gambar, grafik, foto, atau diagram.

Pencantuman sumber atau keterangan e. gambar diletakkan di bawah ilustrasi, rata kiri, menggunakan Font Times New Roman ukuran 10.

Gambar, grafik, foto, atau diagram dalam f. format file .jpg warna hitam putih, kecuali jika warna menentukan arti.

Hasil dan Pembahasan6. Bagian ini merupakan inti dari hasil

penelitian, meliputi deskripsi data dan analisis hasil penelitian, serta interpretasi penulis terhadap bahasan hasil dan analisis penelitian. Pembahasan dilakukan secara mendalam dan fokus dengan menggunakan acuan teori. Penggunaan grafik dan tabel hendaknya dibatasi jika masih dapat disajikan dengan tulisan secara singkat.

Rujukan7. Adapun keterangan rujukan/referensi ditulis

dalam bentuk in note (catatan dalam) dengan format “(nama belakang penulis, angka tahun: nomor halaman)”, contoh (Shihab, 1997: 459).

Daftar Pustaka8.

Literatur yang dirujuk minimal 15 pustaka. Sedangkan penulisan daftar pustaka mengacu format sebagai berikut:

Bukua. Pengarang. Tahun. Judul Buku. Tempat terbit: Penerbit.

Bab dalam Bukub. Pengarang. Tahun. “Judul Artikel/Tulisan”. Dalam Judul Buku Utama. Editor. Tempat terbit: Penerbit.

Jurnalc. Pengarang. Tahun. “Judul Artikel/ Tulisan”. Nama Jurnal. Jilid/tahun (nomor).

Surat Kabard. Penulis. Tahun. “Judul Artikel”. Nama Surat Kabar, tanggal.

Internete. Pengarang. Tahun. “Judul Karangan”. NamaWebsite. Tanggal diakses.

Skripsi/ Tesis/ Disertasif. Pengarang. Tahun. “Judul. Skripis/Tesis/Disertasi” pada lembaga perguruan tinggi.

Makalah Seminarg. Pengarang. Tahun. “Judul Makalah”. Makalah disampaikan pada seminar. Penyelengara.Tempat, tanggal.

Transliterasi9.

Penulisan transliterasi mengikuti Pedoman Transliterasi Arab-Latin berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 158 Tahun 1987 dan 0543 b/u/1987.

Page 150: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial

256-14

Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 02 Desember 2013

Page 151: Analisa · memicu munculnya berbagai pemikiran keagamaan di ... KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCA DIKLAT FUNGSIONAL DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ... ritual dan sosial