Upload
trinhphuc
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Analisa Risiko Terhadap Pipa Gas Bawah Laut di Teluk Jakarta Akibat Soil Liquefaction
(Aminarti Rafika, Dr. Ir. Wahyudi, M. Sc., Prof. Dr. Ir. Ketut Buda Artana, M. Sc.,)
Jurusan Teknik Kelautan Fakultas Teknologi Kelautan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember E-mail: [email protected]
Abstrak
Tugas akhir ini membahas mengenai analisa risiko kegagalan sistem perpipaan milik PT. Perusahaan Gas Negara
(Persero) Tbk (PGN) akibat kemungkinan terjadinya soil liquefaction. Sistem perpipaan yang ditinjau ini merupakan
jalur
transportasi aliran gas pipa gas Labuhan Maringgai – Muara Bekasi. Soil liquefaction adalah proses terjadinya
perubahan pada tanah yang akan mengalami perubahan sifat dari sifat zat padat menuju sifat zat cair. Proses ini dapat
menyebabkan terjadinya penurunan tanah di area pipa yang terpasang, sehingga dikhawatirkan pipa yang terpasang
akan mengalami buckling akibat terjadinya bentangan bebas serta terjadinya perubahan longitudinal stress pada pipa
yang terkubur dalam tanah. Analisa risiko dilakukan dengan menggunakan metode Monte Carlo. Sementara
perhitungan konsekuensi didapatkan dari kalkulasi tegangan-tegangan yang bekerja pada sistem tersebut, antara lain:
hoop stress, axial stress, longitudinal stress dan combined stress, setelah itu didapatkan harga dari masing-masing
frekuensi kejadian dan konsekuensi kejadian, harga tersebut dapat dimasukkan ke dalam matriks risiko (sesuai DNV
RP F107) untuk menentukan tingkat bahaya yang terjadi.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jalur pipa gas Labuhan Maringgai – Muara Bekasi
adalah jalur pipa offshore yang dimiliki oleh PT.
Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN). Jalur pipa
ini merupakan bagian dari jalur pipa transmisi yang
mengalirkan gas dari Sumatra Selatan (sumber gas dari
Pertamina dan Conoco Philips) ke Jawa Barat dan
memiliki panjang ± 165 km dan mulai beroperasi pada
bulan Agustus 2007. Saat ini pipa tersebut mengalirkan
gas sejumlah ± 400 MMSCFD ( Million Metric Standard
Cubic Feet per Day ) dengan tekanan ± 800 psig untuk
kebutuhan pembangkit listrik dan industri di daerah Jawa
Barat.
Gambar 1.1 Jalur pipa gas transmisi SSWJ jalur Grissik-Pagardewa-Labuhan Maringgai-Muara Bekasi
2
.
Likuifaksi akan menyebabkan kerusakan pada struktur
tanah antara lain lateral spreading ataupun sand boiling
secara tiba – tiba saat terjadinya gempa, (Mabrur, 2009)
sehingga struktur di atas tanah tersebut umumnya tidak
dapat dipergunakan lagi. Selain itu likuifaksi dapat
menyebabkan bouyant rise of buried structures yang
menimbulkan ledakan pada pipa gas atau tanki bahan
kimia terpendam di dalam tanah, (Zhang dan Wang,
1992). Likuifaksi yang disertai dengan adanya settlement
(penurunan tanah) yang lebih lanjut dapat menjadi
penyebab terjadinya bentangan
bebas pada sekitar jalur pipa bawah laut dan
menyebabkan pipa didasar laut mengalami buckling
hingga terjadinya kepecahan pada pipa .
Likuifaksi merupakan fenomena hilangnya
kekuatan lapisan tanah akibat getaran. Getaran yang
dimaksud dapat berupa getaran yang berasal dari gempa
bumi maupun yang berasal dari pembebanan cepat
lainnya seperti beban gelombang. Likuifaksi biasanya
terjadi pada tanah yang tidak padat. Misalnya tanah yang
tersusun dari pasir dan endapan bekas delta sungai, (Chi
and Ou, 2003).
Oleh sebab itu penelitian tentang analisa risiko
akibat soil liquefaction terhadap pipa gas
transmisi SSWJ Jalur pipa gas Labuhan Maringgai –
Muara Bekasi sangat diperlukan. Penelitian ini
mencakup tentang sebuah analisa risiko berdasarkan
kemungkinan terjadinya soil liquefaction akibat beban
gempa bumi di area Jalur pipa gas Labuhan Maringgai –
Muara Bekasi .Data dari hasil potensi likuifaksi tanah di
olah berdasarkan titik tempat yang kemungkinan besar
mengalami soil liquefaction, dari data tersebut kemudian
ditentukan tingkat risikonya dan mitigasi risiko yang
tepat di berikan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan dalam penelitian Tugas Akhir ini adalah
sebagai berikut:
1. Dilokasi mana saja sepanjang rute pipa gas
diletakkan yang memungkinkan terjadinya soil
liquefaction?
2. Berapa tingkat penurunan tanah diakibatkan oleh
soil liquefaction yang dapat menyebabkan
kegagalan pada jaringan pipa gas?
3. Berapa tingkat risiko kegagalan yang akan terjadi
pada pipa gas akibat soil liquefaction?
4. Mitigasi risiko apa yang tepat digunakan untuk
mengurangi risiko kegagalan yang ada?
1.3 Tujuan
Tujuan penelitian dari Tugas Akhir ini adalah:
1. Menentukan rute pipa gas yang memungkinkan
terjadinya soil liquefaction
2. Menentukan tingkat penurunan tanah diakibatkan
oleh soil liquefaction yang dapat menyebabkan
kegagalan pada jaringan pipa gas
3. Menentukan tingkat risiko kegagalan yang akan
terjadi pada pipa gas akibat soil liquefaction
4. Menentukan mitigasi risiko yang tepat digunakan
untuk mengurangi risiko kegagalan yang ada
1.4 Manfaat
Manfaat diadakannya penelitian ini adalah
1. Dapat mengetahui tingkat risiko yang terjadi pada
pipa gas di Teluk Jakarta(Jalur pipa gas Labuhan
Maringgai – Muara Bekasi) sehingga dapat
diketahui pula mitigasi yang tepat untuk
mengurangi risiko tersebut dalam upaya
penanggulangannya.
2. Dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman
yang komprehensif terhadap upaya optimal dalam
analisa risiko yang terjadi pada pipa gas akibat soil
3
liquefaction untuk pihak-pihak yang terkait dalam
penanggulangannya maupun untuk masyarakat
pada umumnya.
3. Hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat
dijadikan sebagai rujukan oleh pihak terkait
ataupun sebagai acuan untuk penelitian yang lebih
lanjut dalam bidang yang sama.
DASAR TEORI
Tinjauan Pustaka
Studi mengenai peristiwa liquefaction ini secara
intensif baru ditekuni setelah peristiwa gempa yang
terjadi di Alaska (April, 1964) dan gempa yang terjadi di
Niigata, Jepang (Juni, 1964).Baker dan Faber (2008)
melakukan penilaian risiko soil liquefaction
menggunakan geostatistik untuk menghitung variabilitas
spasial tanah. Makalah ini mengusulkan sebuah metode
untuk mengukur sejauh mana potensi likuifaksi oleh
perhitungan untuk ketergantungan spasial sifat tanah dan
potensial getaran gempa.
Parker ,et.al (2005) melakukan penelitian dengan
menghasilkan penelitian yaitu suatu kerangka
probabilistik untuk mengevaluasi probabilitas tahunan
soil liquefaction dengan metodologi gabungan penilaian
terhadap probabilistik bahaya gempa, analisis respon
tempat dan evaluasi geoteknik potensi likuifaksi. hasil
termasuk kurva CSR, probabilitas tahunan batas
pencairan dan keyakinan pada estimasi.
Wen, et.al (2010) mengusulkan sebuah metode
untuk untuk menilai gelombang dan potensi likuifaksi
akibat gempa untuk pipa gas bawah laut dengan
menggunakan parameter kekuatan dari triaksial siklik
test dan uji geser langsung di laboratorium.
Wang dan Zhang (1992) dalam makalahnya
disebutkan sebuah metode umum telah dikembangkan
untuk mempelajari respon dinamis dari sistem pipa
terkubur selama proses soil liquefaction.
Esford, et.al (2004) dalam penelitiannya telah
memberikan penilaian kulitatif untuk prosedur
perankingan tingkat risiko pada pipa beserta lokasi
terjadinya kerusakan pada pipa. Tujuannya adalah untuk
menerapkan cara sistematis memprioritaskan kegiatan
modal dan pemeliharaan berdasarkan prinsip manajemen
risiko.
Dasar Teori
2.1 Analisa Risiko
Pengambilan keputusan untuk toleransi risiko yang
ada disesuaikan dengan standar kode yang ada. DNV RP
F107 (2001) memberikan hubungan antara fekuensi
kejadian, risiko serta kerusakan atau konsekuensi dalam
sebuah persamaan sebagai berikut:
Risiko = Frekuensi x Konsekuensi (2.1)
Risk Assesment adalah metode yang sistimatis
untuk menentukan apakah suatu kegiatan memiliki risiko
yang dapat diterima atau tidak (Muhlbeuer, 2004).
Risiko adalah kombinasi dari consequence dan
probability.
Gambar 2.1. Matriks Risiko (DNV RP F107, 2001)
4
Pengertian daerah ALARP (As Low As
Reasonably Practicable) merupakan perbatasan antara
risiko itu dapat diterima atau tidak, Apabila perkiraan
risiko masih tidak dapat diterima, maka usaha untuk
mengurangi risiko dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu
diantaranya:
1. Mengurangi frekuensi.
2. Mengurangi konsekuensi, atau
3. Sebuah kombinasi dari keduanya.
Tabel 2.1 Kriteria Rangking Frekuensi (DNV RP F107,
2001)
Tabel 2.2 Kriteria Rangking Konsekuensi (DNV)
2.2 Soil liquefaction ( Likuifaksi Tanah )
Pada umumnya, likuifaksi merujuk pada
hilangnya kekuatan tanah pada keadaan jenuh air, atau
dengan kata lain, hilangnya sifat kohesi pada partikel
tanah yang diakibatkan oleh tekanan-tekanan air pada
pori-pori tanah selama terjadinya beban dinamik, seperti
halnya gelombang seismik atau gelombang gempa.
kekuatan mencapai MMI (Modified Mercally
Intensity) VI. MMI mengukur kekuatan gempa
berdasarkan dampaknya, dengan skala I hingga XII.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat
terjadinya likuifaksi pada suatu wilayah adalah :
a. Lapisan tanah berupa pasir atau lanau,
b. Lapisan tanah jenuh air,
c. Lapisan tanah bersifat lepas (tidak padat),
d. Terjadi gempa bermagnitudo di atas 5,0, dan
e. Berkecepatan gempa lebih dari 0.1 g.
Gambar 2.2 Kondisi partikel tanah saat mengalami
getaran. (saat terjadinya kenaikan tegangan air pori)
2.3 Metode Untuk Mengevaluasi Terjadinya Soil
liquefaction
Pada dasarnya analisis potensi soil liquefaction
adalah mencari dua parameter utama yaitu Cyclic Stress
Ratio (CSR) yang merupakan tegangan geser siklik yang
terjadi akibat gempa dibagi dengan tegangan efektif lain,
dan Cyclic Ressistance Ratio (CRR) yang merupakan
ketahanan tanah untuk menahan soil liquefaction. Jika
angka keamanan lebih kecil atau sama dengan satu (SF ≤
1) maka terjadi soil liquefaction dan jika lebih besar satu
(SF > 1) maka tidak terjadi soil liquefaction, (Jha dan
Suzuki , 2008). SF dapat dicari dengan membagi nilai
CRR terhadap CSR (SF = CRR/CSR)
Cyclic Stress Ratio (CSR)
Dengan menganggap nilai percepatan rata-rata
akibat gempa adalah 0,65 dari percepatan maksimum,
maka nilai tegangan geser rata-rata dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut: (Seed et al,1966)
cyc = 0.65 v (2.3)
Karena kolom tanah tidak berprilaku seperti
sebuah struktur yang kaku pada saat terjadi gempa (tanah
dapat mengalami deformasi), maka Seed dan Idriss
5
(1971) memasukkan sebuah faktor reduksi kedalaman
(rd) terhadap persamaan tersebut sehingga :
(2.4)
Untuk mendapatkan nilai CSR maka kedua sisi
dinormalisasi dengan tegangan vertikal efektif, sehingga
dapat dituliskan
(2.5)
Dengan :
adalah percepatan maksimum dipermukaan
tanah, (m/s2)
g adalah percepatan gravitasi bumi, (m/s2)
adalah tegangan vertikal total, (N/m²)
adalah tegangan vertikal efektif, (N/m²)
= tekanan air pori
H=kedalaman,
= massa jenis air laut
rd adalah faktor reduksi terhadap tegangan
Pada dasarnya rumus CSR tersebut berlaku
untuk gempa dengan magnitude 7.5. untuk gempa
dengna magnitude tidak sama dengan 7.5 maka Seed dan
Idriss (1982) memberikan faktor koreksi MSF
(Magnitude Scalling Factor) terhadap persamaan CSR
diatas, menjadi :
(2.6)
Besarnya MSF dapat dicari berdasarkan
persamaan dari Youd dan Noble (1997) :
(2.7)
Dengan Mw adalah magnitude gempa
Cyclic Resistant Ratio (CRR)
Nilai Cyclic Resistance Ratio (CRR)
merupakan nilai ketahanan suatu lapisan tanah terhadap
tegangan cyclic. Nilai CRR dapat diperoleh dengan
beberapa cara, diantaranya berdasarkan Methode Seed
(1971)
CRR = CN N (2.8)
dan
CN = (1-1.25 log ( σv'/11.1)) (2.9)
Dengan :
σv' = Tegangan vertical efektif, (N/m²)
N = Equivalent number of cycle versus magnitude
Tabel 2.4 Equivalent number of cycle versus magnitude
Mw N T(s) 6 6.5 7 7.5 8
0.5 0.8 1 2 3
0.8 1.4 2.0 4.0 6.0
Faktor Reduksi (rd)
Faktor reduksi merupakan nilai yang dapat
mengurangi tegangan di dalam tanah. Semakin jauh ke
dalam tanah maka faktor reduksi akan semakin kecil.
Nilai rd adalah faktor nonlinier pengurangan beban yang
bervariasi terhadap kedalaman. Menurut Seed and Idris
(1971) besar dari nilai reduksi pada tanah berdasarkan
kedalamannya adalah seperti yang ada pada gambar 2.3.
Gambar 2.3. Grafik Faktor reduksi, rd (Seed and Idriss,
1971).
6
Secara perhitungan maka nilai rd dapat dicari
berdasarkan persamaan dari T. Blake ( personal
communication, 1996 ) :
(2.10)
2.3 Metode Untuk Mengevaluasi Terjadinya
Penurunan Tanah akibat Soil LIquefaction
Untuk para praktisi teknik, tugas terpenting
dalam melakukan analisa mengenai soil liquefaction ini
adalah memprediksi dimana fenomena tersebut akan
terjadi serta memperkirakan seberapa dalam penurunan
tanah yang akan ditimbulkannya. Jeng dan Seymour
(2007) memberikan persamaan mengenai hubungan
antara parameter B dengan kedalaman maksimum yang
terjadi akibat soil liquefaction, yakni:
(2.11)
Dengan :
(2.12)
(2.13)
(2.14)
(2.15)
serta
(2.16)
dan
(2.17)
Dengan:
K0 = koefisien tekanan lateral tanah
Φ = sudut geser tanah (°)
γ’ = berat volume tanah kering (N/m³)
γs = berat tanah (N/m³)
γw = berat volume air (N/m³)
Cν = koefisien konsolidasi (m²/s)
G = modulus geser (N/m²)
K = permeabilitas tanah (m/s)
T = periode gelombang (s)
ν = poisson’s ratio
k = angka gelombang
α dan β = konstanta empiris fungsi dari densitas
relative (Dr) (McDougal et al., 1989)
Pb = amplitudo tekanan gelombang dinamik
(m)
Kedalaman maksimum penurunan tanah akibat
soil liquefaction dapat dengan mudah diketahui melalui
grafik hubungan antara parameter B dengan kedalaman
maksimum penurunan tanah (zL) yang ditunjukkan oleh
Gambar 2.7.
2.4 Kegagalan Jaringan Pipa Akibat Soil
liquefaction
Untuk analisa keandalan akibat soil
liquefaction ini, Jha dan Suzuki (2008) memberikan
sebuah persamaan Peluang Kegagalan sebagai berikut:
Gambar 2.7. Grafik Distribusi Kedalaman Maksimum (zL) dengan Parameter B (Jeng dan Seymour, 2007).
7
(2.18)
Lebih lanjut, Jha dan Suzuki (2008) juga
memberikan persamaan Moda Kegagalan (MK) untuk
menghitung analisa keandalan dari sebuah sistem
perpipaan yang mengalami kegagalan akibat soil
liquefaction adalah sebagai berikut:
(2.19)
Dengan:
CRR = Cyclic Resistance Ratio
CSR = Cyclic Stress Ratio
Sistem dikatakan gagal jika g(X) < 0,
dinyatakan berhasil jika g(X) > 0, dan bila g(X) = 0
maka sistem dinyatakan failure surface (Rosyid, 2007).
Variabel acak dasar terdiri dari variabel fisik yang
menggambarkan ketidakpastian.
Persamaan untuk mengestimasi frekuensi
kejadiannya adalah sebagai berikut:
F = P Nk (2.20)
Namun karena perhitungan frekuensi yang
dilakukan untuk menyelesaikan tugas akhir
menggunakan metode Monte Carlo, maka persamaan
untuk mengestimasi frekuensi kejadiannya menjadi
(Rosyid, 2007):
(2.21)
Dengan:
Fk = frekuensi kejadian
P = peluang kegagalan dari sistem
Pg = peluang gagal dari seluruh kejadian
Nk = jumlah seluruh kejadian
n = jumlah kejadian gagal
Kriteria dari frekuensi dapat dilihat pada Tabel
2.1.
Konsekuensi Kejadian
Konsekuensi yang mungkin terjadi bila
penurunan tanah yang disebabkan oleh fenomena soil
liquefaction pada jalur perpipaan terjadi adalah
terjadinya perubahan tegangan pada sistem perpipaan
tersebut yang lebih lanjut dapat menyebabkan buckling
pada pipeline system tersebut. Persamaan-persamaan
yang dapat digunakan untuk mengestimasi hal tersebut
adalah (DNV OS F101, 2000):
Hoop stress : (2.22)
(2.23)
Longitudinal stress :
(2.24)
Axial stress : (2.25)
(2.26)
(2.27)
(2.28)
Combined stress :
(2.29)
Dengan:
σh = hoop stress (psi)
σL = longitudinal stress (psi)
σa = axial stress (psi)
σc = combined stress (psi)
Pi = net internal pressure (psi)
Pe = eksternal pressure (psi)
ρ = massa jenis air laut (kg/m³)
g = gaya gravitasi (m/s²)
d = kedalaman laut (m)
OD atau Do = outer diameter (inch)
t = wall thickness (inch)
8
Di = diameter dalam pipa (inch)
A = cross sectional area (inch²)
r = jari-jari (inch)
Kriteria dari konsekuensi dapat dilihat pada
Tabel 2.2.
ANALISA DATA dan PEMBAHASAN
3.1 Data Lingkungan dan Data Sistem
Perpipaan
Tabel 4.1 Data Segmentasi Kedalaman Pipa
Gas Bawah Laut PT. Perusahaan Gas Negara (Persero)
dan jenis tanah.
KP Jenis Tanah Kedalaman (m)
zone
139 Silty Sand 23.00 17 140 Silty Sand 22.00
141 Silty Sand 21.00
142 Silty Sand 20.00 143 Silty Sand 19.00 144 Silty Sand 19.00 145 Silty Sand 18.00 146 Silty Sand 18.00 147 Silty Sand 17.00 148 Silty Sand 16.00 149 Silty Sand 16.00 150 Silty Sand 15.00 151 Silty Sand 14.00 152 Silty Sand 14.00
18 153 Silty Sand 12.00 154 Silty Sand 10.00 155 Silty Sand 5.00
Data lingkungan yang dipakai adalah data Peak Ground Acceleration (α max) yang ada pada lokasi yang ditinjau. Data
berdasarkan pada peta yang ditunjukkan gambar 4.3
Gambar 4.3 Peak Ground Acceleration (α max).Sumber dari Kementerian Pekerjaan Umum
Selain data-data lingkungan, untuk menyelesaikan Tugas Akhir ini juga diperlukan data sistem perpipaan.
Data sistem perpipaan ditunjukkan secara lengkap pada Tabel 4.2. , Tabel 4.3 dan Tabel 4.4
9
3.2 Pengolahan Data
Perhitungan Cyclic Resistance Ratio (CRR)
Berdasarkan data kedalaman dan data pipa yang
dimiliki oleh PT. Perusahaan Gas Negara (Persero),
dapat diketahui harga dari CRR untuk masing-masing
KP dengan menggunakan Persamaan 2.8, seperti yang
ditunjukkan oleh Tabel 4.5 – Tabel 4.9, sebagai berikut:
Tabel 4.5. Hasil Perhitungan CRR untuk KP 139 – KP
155 dengan Mw = 6
KP CRR KP CRR KP CRR 139 0.2996 145 0.3573 151 0.4143 140 0.3102 146 0.3573 152 0.4143 141 0.3213 147 0.3705 153 0.4480 142 0.3327 148 0.3843 154 0.4865 143 0.3447 149 0.3843 155 0.6167 144 0.3447 150 0.3989
Tabel 4.6. Hasil Perhitungan CRR untuk KP 139– KP
155 dengan Mw=6.5
KP CRR KP CRR KP CRR 139 0.4794 145 0.5717 151 0.6628 140 0.4964 146 0.5717 152 0.6628 141 0.5140 147 0.5927 153 0.7168 142 0.5324 148 0.6149 154 0.7784 143 0.5516 149 0.6149 155 0.9867 144 0.5516 150 0.6382
Tabel 4.7. Hasil Perhitungan CRR untuk KP 139 – KP
155 dengan Mw = 7
KP CRR KP CRR KP CRR 139 0.5993 145 0.7146 151 0.8286 140 0.6205 146 0.7146 152 0.8286 141 0.6425 147 0.7409 153 0.8960 142 0.6655 148 0.7686 154 0.9730 143 0.6895 149 0.7686 155 1.233
144 0.6895 150 0.7977
Tabel 4.8. Hasil Perhitungan CRR untuk KP 139– KP
155 dengan Mw=7.5
KP CRR KP CRR KP CRR 139 1.1985 145 1.4292 151 1.6571 140 1.2409 146 1.4292 152 1.6571 141 1.2850 147 1.4818 153 1.7920 142 1.3310 148 1.5372 154 1.9459 143 1.3790 149 1.5372 155 2.4666 144 1.3790 150 1.5955
Tabel 4.9. Hasil Perhitungan CRR untuk KP 139 – KP
155 dengan Mw = 8
KP CRR KP CRR KP CRR 139 1.7978 145 2.1438 151 2.4857 140 1.8614 146 2.1438 152 2.4857 141 1.9275 147 2.2228 153 2.6879 142 1.9965 148 2.3058 154 2.9189 143 2.0685 149 2.3058 155 3.6999 144 2.0685 150 2.3932
Perhitungan Cyclic Stress Ratio (CSR)
Analisa berdasarkan nilai peak ground acceleration yang
minimum, rata-rata dan maximum.
Tabel 4.10 Hasil Perhitungan CSR untuk KP 139 – KP
155 dengan Mw = 6
KP CSR dengan
αmin =0.1202
g
CSR dengan αavg =
0.5538 g
CSR dengan αmax =
0.9983 g
139 0.0521 0.2400 0.4327 140 0.0535 0.2462 0.4438 141 0.0550 0.2534 0.4567
10
142 0.0568 0.2616 0.4716 143 0.0588 0.2711 0.4886 144 0.0588 0.2711 0.4886 145 0.0612 0.2818 0.5080 146 0.0612 0.2818 0.5080 147 0.0638 0.2937 0.5295 148 0.0666 0.3066 0.5528 149 0.0666 0.3066 0.5528 150 0.0695 0.3201 0.5771 151 0.0724 0.3337 0.6016 152 0.0724 0.3337 0.6016 153 0.0778 0.3585 0.6463 154 0.0818 0.3769 0.6794 155 0.0853 0.3928 0.7080
Tabel 4.11 Hasil Perhitungan CSR untuk KP 139– KP
155 dengan Mw=6.5
KP CSR dengan
αmin =0.1202 g
CSR dengan αavg =
0.5538 g
CSR dengan αmax =
0.9983 g 139 0.0640 0.2946 0.5311 140 0.0656 0.3022 0.5448 141 0.0675 0.3110 0.5606 142 0.0697 0.3211 0.5788 143 0.0722 0.3327 0.5998 144 0.0722 0.3327 0.5998 145 0.0751 0.3459 0.6235 146 0.0751 0.3459 0.6235 147 0.0783 0.3605 0.6499 148 0.0817 0.3764 0.6785 149 0.0817 0.3764 0.6785 150 0.0853 0.3930 0.7084 151 0.0889 0.4096 0.7384 152 0.0889 0.4096 0.7384 153 0.0955 0.4400 0.7932 154 0.1004 0.4626 0.8339 155 0.1047 0.4821 0.8690
Tabel 4.12 Hasil Perhitungan CSR untuk KP 139 – KP
155 dengan Mw = 7
KP CSR dengan
αmin =0.1202
g
CSR dengan αavg =
0.5538 g
CSR dengan αmax =
0.9983 g
139 0.0773 0.3562 0.6421 140 0.0793 0.3653 0.6586
141 0.0816 0.3759 0.6777 142 0.0843 0.3882 0.6997 143 0.0873 0.4022 0.7251 144 0.0873 0.4022 0.7251 145 0.0908 0.4181 0.7538 146 0.0908 0.4181 0.7538 147 0.0946 0.4358 0.7857 148 0.0988 0.4550 0.8202 149 0.0988 0.4550 0.8202 150 0.1031 0.4750 0.8563 151 0.1075 0.4952 0.8926 152 0.1075 0.4952 0.8926 153 0.1155 0.5320 0.9590 154 0.1214 0.5592 1.0081 155 0.1265 0.5828 1.0506
Tabel 4.13 Hasil Perhitungan CSR untuk KP 139– KP
155 dengan Mw=7.5
KP CSR dengan
αmin =0.1202
g
CSR dengan αavg =
0.5538 g
CSR dengan αmax =
0.9983 g
139 0.0923 0.4250 0.7661 140 0.0946 0.4359 0.7858 141 0.0974 0.4486 0.8086 142 0.1006 0.4632 0.8349 143 0.1042 0.4799 0.8651 144 0.1042 0.4799 0.8651 145 0.1083 0.4989 0.8994 146 0.1083 0.4989 0.8994 147 0.1129 0.5200 0.9374 148 0.1179 0.5429 0.9786 149 0.1179 0.5429 0.9786 150 0.1231 0.5668 1.0218 151 0.1283 0.5908 1.0651 152 0.1283 0.5908 1.0651 153 0.1378 0.6347 1.1442 154 0.1449 0.6673 1.2029 155 0.1510 0.6954 1.2535
Tabel 4.14 Hasil Perhitungan CSR untuk KP 139– KP
155 dengan Mw = 8
KP CSR dengan αmin =
0.1202 g
CSR dengan αavg =
0.5538 g
CSR dengan αmax =
0.9983 g 139 0.1088 0.5013 0.9037
11
140 0.1116 0.5142 0.9270 141 0.1149 0.5291 0.9538 142 0.1186 0.5464 0.9849 143 0.1229 0.5661 1.0205 144 0.1229 0.5661 1.0205 145 0.1278 0.5885 1.0609 146 0.1278 0.5885 1.0609 147 0.1332 0.6134 1.1058 148 0.1390 0.6404 1.1544 149 0.1390 0.6404 1.1544 150 0.1452 0.6686 1.2053 151 0.1513 0.6970 1.2564 152 0.1513 0.6970 1.2564 153 0.1626 0.7488 1.3498
154 0.1709 0.7872 1.4190 155 0.1781 0.8203 1.4787
Perhitungan Safety Factor (SF)
Setelah dari hasil perhitungan sebelumnya
didapatkan harga parameter-parameter CRR dan CSR,
berikutnya adalah mengestimasi SF. SF merupakan
parameter terpenting dan mutlak yang harus
diperhitungkan dalam proses identifikasi soil
liquefaction. Hasil perhitungan SF selengkapnya
ditunjukkan oleh Tabel 4.15 – Tabel4.19
Tabel 4.15 Hasil Perhitungan SF untuk KP 139 – KP 155 dengan Mw = 6
KP α min =0.1202 g α avg = 0.5538 g α max = 0.9983 g
SF KATEGORI SF KATEGORI SF KATEGORI 139 5.7499 Non Liquefaction 1.2483 Non Liquefaction 0.6925 Liquefaction 140 5.8040 Non Liquefaction 1.2600 Non Liquefaction 0.6990 Liquefaction 141 5.8408 Non Liquefaction 1.2680 Non Liquefaction 0.7034 Liquefaction 142 5.8589 Non Liquefaction 1.2720 Non Liquefaction 0.7056 Liquefaction 143 5.8582 Non Liquefaction 1.2718 Non Liquefaction 0.7055 Liquefaction 144 5.8582 Non Liquefaction 1.2718 Non Liquefaction 0.7055 Liquefaction 145 5.8404 Non Liquefaction 1.2679 Non Liquefaction 0.7034 Liquefaction 146 5.8404 Non Liquefaction 1.2679 Non Liquefaction 0.7034 Liquefaction 147 5.8097 Non Liquefaction 1.2613 Non Liquefaction 0.6997 Liquefaction 148 5.7728 Non Liquefaction 1.2533 Non Liquefaction 0.6952 Liquefaction 149 5.7728 Non Liquefaction 1.2533 Non Liquefaction 0.6952 Liquefaction 150 5.7389 Non Liquefaction 1.2459 Non Liquefaction 0.6912 Liquefaction 151 5.7182 Non Liquefaction 1.2414 Non Liquefaction 0.6887 Liquefaction 152 5.7182 Non Liquefaction 1.2414 Non Liquefaction 0.6887 Liquefaction 153 5.7558 Non Liquefaction 1.2496 Non Liquefaction 0.6932 Liquefaction 154 5.9456 Non Liquefaction 1.2908 Non Liquefaction 0.7160 Liquefaction 155 7.2321 Non Liquefaction 1.5701 Non Liquefaction 0.8710 Liquefaction
Tabel 4.16 Hasil Perhitungan SF untuk KP 139 – KP 155 dengan Mw=6.5
KP α min =0.1202 g α avg = 0.5538 g α max = 0.9983 g
SF KATEGORI SF KATEGORI SF KATEGORI 139 7.4953 Non Liquefaction 1.6272 Non Liquefaction 0.9027 Liquefaction 140 7.5658 Non Liquefaction 1.6425 Non Liquefaction 0.9112 Liquefaction 141 7.6137 Non Liquefaction 1.6529 Non Liquefaction 0.9169 Liquefaction 142 7.6374 Non Liquefaction 1.6581 Non Liquefaction 0.9198 Liquefaction 143 7.6365 Non Liquefaction 1.6579 Non Liquefaction 0.9197 Liquefaction 144 7.6365 Non Liquefaction 1.6579 Non Liquefaction 0.9197 Liquefaction 145 7.6133 Non Liquefaction 1.6528 Non Liquefaction 0.9169 Liquefaction 146 7.6133 Non Liquefaction 1.6528 Non Liquefaction 0.9169 Liquefaction
12
147 7.5732 Non Liquefaction 1.6441 Non Liquefaction 0.9121 Liquefaction 148 7.5252 Non Liquefaction 1.6337 Non Liquefaction 0.9063 Liquefaction 149 7.5252 Non Liquefaction 1.6337 Non Liquefaction 0.9063 Liquefaction 150 7.4810 Non Liquefaction 1.6241 Non Liquefaction 0.9010 Liquefaction 151 7.4540 Non Liquefaction 1.6182 Non Liquefaction 0.8977 Liquefaction 152 7.4540 Non Liquefaction 1.6182 Non Liquefaction 0.8977 Liquefaction 153 7.5030 Non Liquefaction 1.6289 Non Liquefaction 0.9036 Liquefaction 154 7.7504 Non Liquefaction 1.6826 Non Liquefaction 0.9334 Liquefaction 155 9.4274 Non Liquefaction 2.0467 Non Liquefaction 1.1354 Non
Liquefaction
Tabel 4.17 Hasil Perhitungan SF untuk KP 139 – KP 155 dengan Mw=7
KP α min =0.1202 g α avg = 0.5538 g α max = 0.9983 g
SF KATEGORI SF KATEGORI SF KATEGORI 139 7.7501 Non Liquefaction 1.6825 Non Liquefaction 0.9334 Liquefaction 140 7.8229 Non Liquefaction 1.6984 Non Liquefaction 0.9421 Liquefaction 141 7.8725 Non Liquefaction 1.7091 Non Liquefaction 0.9481 Liquefaction 142 7.8970 Non Liquefaction 1.7144 Non Liquefaction 0.9511 Liquefaction 143 7.8960 Non Liquefaction 1.7142 Non Liquefaction 0.9509 Liquefaction 144 7.8960 Non Liquefaction 1.7142 Non Liquefaction 0.9509 Liquefaction 145 7.8720 Non Liquefaction 1.7090 Non Liquefaction 0.9481 Liquefaction 146 7.8720 Non Liquefaction 1.7090 Non Liquefaction 0.9481 Liquefaction 147 7.8307 Non Liquefaction 1.7000 Non Liquefaction 0.9431 Liquefaction 148 7.7810 Non Liquefaction 1.6892 Non Liquefaction 0.9371 Liquefaction 149 7.7810 Non Liquefaction 1.6892 Non Liquefaction 0.9371 Liquefaction 150 7.7353 Non Liquefaction 1.6793 Non Liquefaction 0.9316 Liquefaction 151 7.7073 Non Liquefaction 1.6733 Non Liquefaction 0.9282 Liquefaction 152 7.7073 Non Liquefaction 1.6733 Non Liquefaction 0.9282 Liquefaction 153 7.7580 Non Liquefaction 1.6843 Non Liquefaction 0.9343 Liquefaction 154 8.0138 Non Liquefaction 1.7398 Non Liquefaction 0.9651 Liquefaction 155 9.7478 Non Liquefaction 2.1162 Non Liquefaction 1.1740 Non
Liquefaction
Tabel 4.18 Hasil Perhitungan SF untuk KP 139 – KP 155 dengan Mw=7.5
KP α min =0.1202 g α avg = 0.5538 g α max = 0.9983 g
SF KATEGORI SF KATEGORI SF KATEGORI 139 12.9906 Non Liquefaction 2.8203 Non Liquefaction 1.5645 Non Liquefaction
140 13.1128 Non Liquefaction 2.8468 Non Liquefaction 1.5792 Non Liquefaction 141 13.1959 Non Liquefaction 2.8648 Non Liquefaction 1.5892 Non Liquefaction 142 13.2369 Non Liquefaction 2.8737 Non Liquefaction 1.5942 Non Liquefaction
143 13.2353 Non Liquefaction 2.8734 Non Liquefaction 1.5940 Non Liquefaction 144 13.2353 Non Liquefaction 2.8734 Non Liquefaction 1.5940 Non Liquefaction 145 13.1951 Non Liquefaction 2.8646 Non Liquefaction 1.5891 Non Liquefaction 146 13.1951 Non Liquefaction 2.8646 Non Liquefaction 1.5891 Non Liquefaction 147 13.1257 Non Liquefaction 2.8496 Non Liquefaction 1.5808 Non Liquefaction 148 13.0424 Non Liquefaction 2.8315 Non Liquefaction 1.5707 Non Liquefaction
13
149 13.0424 Non Liquefaction 2.8315 Non Liquefaction 1.5707 Non Liquefaction 150 12.9658 Non Liquefaction 2.8149 Non Liquefaction 1.5615 Non Liquefaction 151 12.9190 Non Liquefaction 2.8047 Non Liquefaction 1.5559 Non Liquefaction 152 12.9190 Non Liquefaction 2.8047 Non Liquefaction 1.5559 Non Liquefaction 153 13.0040 Non Liquefaction 2.8232 Non Liquefaction 1.5661 Non Liquefaction 154 13.4327 Non Liquefaction 2.9162 Non Liquefaction 1.6177 Non Liquefaction 155 16.3392 Non Liquefaction 3.5472 Non Liquefaction 1.9678 Non Liquefaction
Tabel 4.19 Hasil Perhitungan SF untuk KP 139 – KP 155 dengan Mw=8
KP α min =0.1202 g α avg = 0.5538 g α max = 0.9983 g
SF KATEGORI SF KATEGORI SF KATEGORI 139 16.5184 Non Liquefaction 3.5861 Non Liquefaction 1.9894 Non Liquefaction 140 16.6737 Non Liquefaction 3.6198 Non Liquefaction 2.0081 Non Liquefaction 141 16.7794 Non Liquefaction 3.6428 Non Liquefaction 2.0208 Non Liquefaction 142 16.8315 Non Liquefaction 3.6541 Non Liquefaction 2.0271 Non Liquefaction 143 16.8295 Non Liquefaction 3.6537 Non Liquefaction 2.0268 Non Liquefaction 144 16.8295 Non Liquefaction 3.6537 Non Liquefaction 2.0268 Non Liquefaction 145 16.7784 Non Liquefaction 3.6426 Non Liquefaction 2.0207 Non Liquefaction 146 16.7784 Non Liquefaction 3.6426 Non Liquefaction 2.0207 Non Liquefaction 147 16.6901 Non Liquefaction 3.6234 Non Liquefaction 2.0100 Non Liquefaction 148 16.5843 Non Liquefaction 3.6004 Non Liquefaction 1.9973 Non Liquefaction 149 16.5843 Non Liquefaction 3.6004 Non Liquefaction 1.9973 Non Liquefaction 150 16.4868 Non Liquefaction 3.5793 Non Liquefaction 1.9856 Non Liquefaction 151 16.4273 Non Liquefaction 3.5664 Non Liquefaction 1.9784 Non Liquefaction 152 16.4273 Non Liquefaction 3.5664 Non Liquefaction 1.9784 Non Liquefaction 153 16.5354 Non Liquefaction 3.5898 Non Liquefaction 1.9914 Non Liquefaction 154 17.0806 Non Liquefaction 3.7082 Non Liquefaction 2.0571 Non Liquefaction 155 20.7764 Non Liquefaction 4.5105 Non Liquefaction 2.5022 Non Liquefaction
Dari Tabel 4.15 – Tabel 4.17. dapat diketahui bahwa harga SF untuk masing-masing KP pada α min =0.1202 g dan α
avg = 0.5538 g adalah lebih besar dari 1 (SF>1) sehingga potensi soil liquefaction sangat kecil untuk terjadi. Tetapi
untuk α max = 0.9983 g nilainya adalah lebih kecil dari 1 (SF<1) sehingga besar kemungkinan terjadinya soil
liquefaction.
Pada Tabel 4.18- 4.19 semua harga SF menunjukkan lebih besar dari 1
Perhitungan Penurunan Tanah
Tabel 4.20. Hasil Perhitungan Nilai B Untuk KP
139 – KP 155 dengan Mw= 6
KP M = 6 M = 6 M = 6 α min= 0.1202 g α avg= 0.5538 g α max = 0.9983 g
λZl
B ZL(m)
λZl
B ZL(m)
λZl B ZL(m)
139 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0.1 0.5 0.06
140 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 10.0 0.1 6.04 141 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 4.9 0.2 2.96 142 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 1.8 0.4 1.09 143 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 10.0 0.1 6.04 144 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 10.0 0.1 6.04 145 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 10.0 0.1 6.04 146 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 10.0 0.1 6.04 147 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 3.0 0.3 1.81 148 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0.1 0.5 0.06 149 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0.1 0.5 0.06
14
150 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 10.0 0.1 6.04 151 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 4.9 0.2 2.96 152 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 4.9 0.2 2.96 153 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 10.0 0.1 6.04 154 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 4.9 0.2 2.96 155 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 10.0 0.1 6.04
Tabel 4.21. Hasil Perhitungan Nilai B Untuk KP
139 – KP 155 dengan Mw= 6.5
KP M = 6.5 M = 6.5 M = 6.5
α min= 0.1202 g α avg= 0.5538 g α max = 0.9983 g
λZl B Zl (m) λZl B Zl (m)
λZl B Zl (m)
139 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 10.0 0.1 6.04
140 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 4.9 0.2 2.96
141 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 3.0 0.3 1.81
142 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 10.0 0.1 6.04
143 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 4.9 0.1 2.96
144 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 3.0 0.1 1.81
145 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 4.9 0.2 2.96
146 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 3.0 0.2 1.81
147 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 1.8 0.4 1.09
148 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 10.0 0.1 6.04
149 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 10.0 0.1 6.04
150 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 4.9 0.2 2.96
151 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 3.0 0.3 1.81
152 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 3.0 0.3 1.81
153 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 10.0 0.1 6.04
154 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 1.8 0.4 1.09
155 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.00
Tabel 4.22. Hasil Perhitungan Nilai B Untuk KP
139 – KP 155 dengan Mw= 7
KP M = 7 M = 7 M = 7 α min= 0.1202 g α avg= 0.5538 g α max = 0.9983 g λZl B Zl
(m) λZl B Zl
(m) λZl B Zl
(m) 139 0 0.0 0 0 0.0 0.0 10 0.1 6.04 140 0 0.0 0 0 0.0 0.0 4.9 0.2 2.96 141 0 0.0 0 0 0.0 0.0 0.1 0.5 0.06 142 0 0.0 0 0 0.0 0.0 10 0.1 6.04 143 0 0.0 0 0 0.0 0.0 4.9 0.2 2.96 144 0 0.0 0 0 0.0 0.0 4.9 0.2 2.96 145 0 0.0 0 0 0.0 0.0 3 0.3 1.81 146 0 0.0 0 0 0.0 0.0 3 0.3 1.81 147 0 0.0 0 0 0.0 0.0 10 0.1 6.04 148 0 0.0 0 0 0.0 0.0 10 0.1 6.04 149 0 0.0 0 0 0.0 0.0 10 0.1 6.04 150 0 0.0 0 0 0.0 0.0 4.9 0.2 2.96 151 0 0.0 0 0 0.0 0.0 1.8 0.4 1.09 152 0 0.0 0 0 0.0 0.0 1.8 0.4 1.09 153 0 0.0 0 0 0.0 0.0 4.9 0.2 2.96 154 0 0.0 0 0 0.0 0.0 10 0.1 6.04
155 0 0.0 0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.00
Tabel 4.23. Hasil Perhitungan Nilai B Untuk KP
139 – KP 155 dengan Mw= 7.5
KP M = 7.5 M = 7.5 M = 7.5
α min= 0.1202 g α avg= 0.5538 g α max = 0.9983 g
λ ZL
B ZL (m) λ ZL
B ZL (m)
λ ZL
B ZL (m)
139 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0
140 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0
141 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0
142 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0
143 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0
144 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0
145 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0
146 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0
147 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0
148 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0
149 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0
150 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0
151 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0
152 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0
153 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0
154 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0
155 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0
Tabel 4.24. Hasil Perhitungan Nilai B Untuk KP
139 – KP 155 dengan Mw= 8
KP M = 8 M = 8 M = 8
α min= 0.1202 g
α avg= 0.5538 g α max = 0.9983 g
λ ZL
B ZL (m)
λ ZL
B ZL (m)
λ ZL
B ZL (m)
139 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 140 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 141 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 142 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 143 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 144 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 145 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 146 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 147 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 148 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 149 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 150 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 151 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 152 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 153 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0
15
154 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 155 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0 0 0.0 0.0
Perkiraan Frekuensi
Untuk mengestimasi peluang kegagalan yang terjadi pada sistem perpipaan akibat adanya soil liquefaction,
digunakanlah metode Monte Carlo. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencari angka acak
yang di gunakan untuk menghitung peluang kegagalan dalam metode Monte carlo. Parameter yang diberi angka acak
dalam perhitungan ini adalah parameter ground acceleration (α) dengan memberikan data acak sebanyak 1000 data
dan nilai antara 0.1-1.
Kemudian angka acak tersebut dimasukkan ke FKP distribusi yang digunakan, yaitu distribusi uniform
dengan semua angka acak memiliki peluang yang sama dalam menentukan gagal atau suksesnya sistem. Kemudian
menentukan frekuensi kejadian dengan menggunakan mode kegagalan yang telah ditentukan sebelumnya
Tabel 4.25 Perkiraan Frekuensi Kegagalan Akibat Soil liquefaction
KP M = 6 M = 6.5 M = 7 M = 7.5 M = 8
FK K FK K FK K FK K FK K
139
140
141
142
143
144
145
146
147
148
149
150
151
152
153
154
155
0.338
0.331
0.328
0.326
0.327
0.327
0.328
0.328
0.331
0.336
0.336
0.339
0.340
0.340
0.337
0.307
0.138
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
0.104
0.095
0.086
0.082
0.083
0.083
0.086
0.086
0.094
0.101
0.101
0.104
0.105
0.105
0.103
0.064
0.000
5
4
4
4
4
4
4
4
4
5
5
5
5
5
5
4
1
0.064
0.060
0.052
0.049
0.050
0.050
0.052
0.052
0.056
0.062
0.062
0.066
0.072
0.072
0.063
0.034
0.000
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
1
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Dengan:
Fk = frekuensi kejadian
K = kriteria rangking frekuensi berdasarkan DNV RP F107, 2001
16
Perkiraan Konsekuensi
Table 4.27. Rangking Perhitungan Konsekuensi.
KP σ c (psi) SMYS (psi)
Batas minimum kriteria < 0.9 SMYS
(psi)
RANKING
139 24793.40 70325 63292.5 1 140 24825.69 70325 63292.5 1 141 24857.98 70325 63292.5 1 142 24890.28 70325 63292.5 1 143 24922.57 70325 63292.5 1
144 24922.57 70325 63292.5 1 145 24954.86 70325 63292.5 1 146 24954.86 70325 63292.5 1 147 24987.15 70325 63292.5 1 148 25019.44 70325 63292.5 1 149 25019.44 70325 63292.5 1 150 25051.74 70325 63292.5 1 151 25084.03 70325 63292.5 1 152 25084.03 70325 63292.5 1 153 25148.61 70325 63292.5 1 154 25213.20 70325 63292.5 1 155 25374.66 70325 63292.5 1
4.5 Matriks Risiko
Gambar 4.14. Matriks Risiko (DNV RP F107, 2001).
Tabel 4.28. Tabulasi Matriks Risiko.
KP M = 6 M = 6.5 M = 7 M = 7.5 M = 8
Fk Rk Fk Rk Fk Rk Fk Rk Fk Rk
139
140
141
142
143
144
145
146
147
148
149
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
5
4
4
4
4
4
4
4
4
5
5
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Daerah hasil perkalian
17
150
151
152
153
154
155
5
5
5
5
5
5
1
1
1
1
1
1
5
5
5
5
4
1
1
1
1
1
1
1
4
4
4
4
4
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Dengan:
Fk = rangking frekuensi kejadian
Rk = rangking konsekuensi kejadian
4.6 Mitigasi Risiko
a. Perlindungan tambahan pada pipa dengan
penumpukan gravel
Pada dasarnya adalah untuk mengurug pipa
didasar laut dengan batu-batuan yang ditempatkan di
sekeliling pipa atau di bawah pipa. Batu-batuan ini dapat
membantu mengurangi potensi terjadinya soil
liquefaction. Karena pada saat soil liquefaction terjadi
tanah tidak akan terlalu banyak kehilangan tegangan
geser karena memungkinkan masih adanya penopang
sehingga pipa yang terletak di atasnya tidak mengalami
free span yang tidak di ijinkan. Pengurukan ini
dilakukan dengan menggunakan kapal di permukaan laut
yang berjalan di sepanjang jalur pipa. Batu bias
dijatuhkan dari kapal dengan cara side dumping
(dijatuhkan dari sisi kapal) atau dengan fall pipe
(dijatuhkan melalui sebuah kapal). Atau juga dapat
dilakukan dengan bottom dropping (bukaan di dasar
kapal).
b. Perlindungan tambahan pada pipa dengan
karung pasir atau grout
Pada dasarnya adalah untuk melindungi pipa
dari free span (bentangan bebas) yang tidak diijinkan
yang dapat terjadi pada pipa pada saat soil liquefaction,
sehingga bisa menyebabkan pipa mengalami buckling.
Proses ini dibuat dengan menempatkan beberapa karung-
karung pasir atau grout di bawah pipeline yang tanahnya
mengalami penurunan akibat soil liquefaction. Atau bisa
juga dipasang kain fabric yang kosong dibawah pipeline
kemudian diisi dnegan grout. Cara ini dipandang lebih
andal dan merupakan penopang struktur yang lengkap.
Untuk penopang yang besar lebih cepat pemasangannya.
Juga dengan cara ini dapat dibentuk sesuai kontur pipa
dan diikat dengan pipeline untuk menjamin koneksi yang
permanen dengan pipeline.
KESIMPULAN dan SARAN
Kesimpulan
1. Di lokasi di sepanjang jalur pipa diletakkan tidak akan
terjadi soil liquefaction dengan Magnitude Gempa (Mw)
= 6, 6.5, 7, 7.5 dan 8 dengan ground acceleration (α)
yang diberikan adalah untuk harga αmin = 0.1202g dan
αavg = 0.5538g sedangkan dengan harga αmax = 0.9983g
akan terjadi soil liquefaction di daerah pipa yang
memiliki Magnitude Gempa (Mw) =6, 6.5 dan 7 untuk
Magnitude Gempa (Mw) = 7.5 dan 8 tidak akan terjadi
soil liquefaction karena membutuhkan nilai α > 1 (lebih
besar dari batasan nilai α yang diberikan dalam tugas
akhir ini)
2. Penurunan tanah terjadi pada lokasi-lokasi yang
mengalami soil liquefaction akibat gempa.
3.Tingkat risiko kegagalan yang terjadi untuk semua
variasi perhitungan terletak di zona hijau pada matrik
18
kegagalan. Ini berarti risiko yang ditimbulkan untuk
semua variasi perhitungan dapat diterima.
4.Mitigasi Risiko yang digunakan disini lebih banyak
mengarah untuk mengurangi frekuensi yang timbul
akibat soil liquefaction. Mitigasi risiko yang dapat
dilakukan adalah :
Perlindungan tambahan pada pipa dengan
penumpukan gravel
Perlindungan tambahan pada pipa dengan
karung pasir atau grout
Saran
Beberapa hal yang dapat disarankan pada akhir dari
tugas akhir ini adalah:
1. Untuk pipa yang mengalami kondisi terjadinya soil
liquefaction dapat dilakukan penelitian lanjut tentang
manajemen risiko beserta dampak bahaya yang
ditimbulkan terhadap aspek-aspek kehidupan yang
berada di sekeliling daerah pipa.
2. Dapat dilakukan analisa risiko kembali dengan nilai
variasi α (ground acceleration) untuk masing masing Mw
3. Metode analisa risiko yang digunakan dalam Tugas
Akhir ini dapat divariasikan dengan metode analisa
risiko yang lain.
4. Dapat dilakukan analisa mitigasi risiko yang lebih
kompleks dengan metode yang lebih tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Baker, Jack W.2008. “Liquefaction Risk Assessment
Using Geostatistics to account for Soil Spatial
Variability”. Journal Of Geotechnical And
Geoenvironmental Engineering, ASCE 1090-
0241(2008), 134:1(14)
Castro et al. 1988. “Liquefaction Evaluation Procedure:
Closure to Discussion”. Journal of Geotechnical
Engineering, 114, 2, 251–259.
Chang et al. 2004. “3-D Liquefaction Potential Analysis
of Seabed at Nearshore Area”. Journal of Marine
Science and Technology, 2004; 12(3): 141-51.
Chi, Y. Yao & Li Ting Ou. 2001. “A Study On
Probabilistic Evaluation of Soil liquefaction”. Special
Issue on Soil liquefaction”.
Das, B. M. 1985. Principles of Geotechnical
Engineering. PWS Publishers. New York.
Irawan, Bayu W.P. 2010. “Analisa Risiko Terhadap Pipa
Gas Bawah Laut Kodeco Akibat Soil liquefaction
Sedimen Dasar Laut”. Tugas Akhir. Jurusan Teknik
Kelautan. Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Surabaya
Jeng and Seymour. 2007. “Simplified Analytical
Approximation for Pore-Water Pressure Buildup in
Marine Sediments”. ASCE, 0733-950X(2007)
133:4(309).
Jha, S. K. and Kiichi Suzuki. 2008. “Reliability Analysis
of Soil liquefaction Based on Standard Penetration Test”.
Computers and Geotechnics, 36 (2009) 589-596.
Mabrur, Muhammad. 2009. “Analisa Potensi Likuifaksi
Pada Area Apron Bandar Udara Medan Baru”. Tugas
Akhir.Jurusan Teknik Sipil.Universitas Sumatera
Utara.Medan.
Recommended Practice Det Norske Veritas DNV OS
F101. Submarine Pipelines System.Norwegia.
Recommended Practice Det Norske Veritas DNV RP
F107. Risk Assesment of Pipeline Protection. Norwegia.
Rosyid, D. M. 2007. Pengantar Rekayasa Keandalan.
Airlangga University Press. Surabaya.
Seed, H. B., and Idriss, I. M. 1971. ‘‘Simplified
procedure for evaluating
soil liquefaction potential.’’ J. Geotech. Engrg. Div.,
ASCE, 97(9), 1249–1273.
Sladen et al. 1985. “Back Analysis of The Nerlerk Berm
Liquefaction Slides”. Canadian Geotechnical Journal,
22, 4, 579–588.
19
Tua, Pison Tulus. 2007. “Penilaian Risiko Terhadap Pipa
Bawah Laut dengan Sistem Skoring”. Tugas Akhir.
Program Studi Teknik Kelautan. Institut Teknologi
Bandung. Bandung
Wang, L.R.L. & H. Zhang. 1992. “Buried Pipeline
System in a Liquefaction Environment”. Tenth World
Conference
Youd, T. L., and Noble, S. K. 1997. ‘‘Magnitude scaling
factors.’’ Proc., NCEER Workshop on Evaluation of
Liquefaction Resistance of Soils, Nat. Ctr. for
Earthquake Engrg. Res., State Univ. of New York at
Buffalo, 149–165.
Yu et al. 2001. “Progressive Liquefaction Process of
Loosely Deposited Sand Bed Under Oscillating Water
Pressure on Its Surface”. J. Geotech. Eng., JSCE. No.
680/III-55, 1-14.