Upload
truongdan
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS ALUR, TOKOH DAN PENOKOHAN, DAN LATAR
DALAM NOVEL TIBA TIBA MALAM
KARYA PUTU WIJAYA
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Dominicus Ganang Aditya I.
NIM : 024114028
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
November 2010
i
ANALISIS ALUR, TOKOH DAN PENOKOHAN, DAN LATAR
DALAM NOVEL TIBA TIBA MALAM
KARYA PUTU WIJAYA
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Dominicus Ganang Aditya I.
NIM : 024114028
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
November 2010
ii
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan
daftar pustaka, sebagai layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 24 November 2010
Penulis
Dominicus Ganang Aditya I.
v
Pernyataan Persetujuan Pulikasi Karya Ilmiah
Untuk Kepentingan Akademis
Yang bertanda tangn di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Dominicus Ganang Aditya I.
Nim : 024114028
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul Analisis Alur, Tokoh dan
Penokohan, dan Latar Dalam Novel Tiba Tiba Malam Karya Putu Wijaya beserta
perangkat yang diperlukan (bila ada).
Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma
hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan
data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media
yang lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 24 November 2010
Yang menyatakan,
Dominicus Ganang Aditya I.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis (akhirnya) dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat akhir dalam
menempuh ujian sarjana pada Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yaitu:
1. S.E. Peni Adji, S.S., M. Hum sebagai dosen pembimbing I, terima kasih
telah meluangkan banyak waktu dan kesempatan untuk memberi masukan
dan membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Drs. B. Rahmanto, M. Hum, sebagai dosen pembimbing II, terima kasih
atas waktu dan pengertiannya.
3. Seluruh dosen jurusan Sastra Indonesia, yang telah dengan sabar
membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Sastra Indonesia.
4. Kedua orang tua saya yang telah memberi dukungan secara materiil dan
spirituil kepada penulis.
5. Kedua kakakku, Lia dan Kiky, yang selalu cerewet agar segera
menyelesaikan penelitian ini.
6. Teman-teman komunitas Bengkel Sastra USD, Bengkel Mime Theater,
Pondok Mapasadha yang sudi menjadi wadah keisenganku selama ini.
vii
7. Teman-teman seperjuangan Sastra Indonesia 2002, Ardi Tambal Ban,
Agus Bonhead, Mbokde Fani, Eli Tubruk, Simbah Padmadi, Anang
Electone, Yogi, Sigit Jarwo, Bayu Gembes, dan Martha Sriwul. Terima
kasih atas kebersamaannya selama di bangku perkuliahan.
8. Institusi Universitas Sanata Dharma, baik “atasan” maupun “bawahan”,
terima kasih atas pelayanan dan kerjasamanya selama ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah
banyak memberikan dukungan dan perhatian sampai selesainya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Untuk itu, segala
saran dan kritik dari berbagai pihak akan penulis terima dengan segala kerendahan hati
dan harapan dapat lebih menyempurnakan penelitian ini. Penulis juga berharap skripsi
ini bermanfaat bagi pembaca.
Yogyakarta, 24 November 2010
Penulis
viii
ABSTRAK
Idris, Dominicus Ganang Aditya. 2010. Analisis Alur, Tokoh dan Penokohan, dan Latar Dalam Novel Tiba Tiba Malam Karya Putu Wijaya. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji alur, tokoh dan penokohan, dan latar dalam novel Tiba-Tiba
Malam karya Putu Wijaya. Tujuan penelitian ini adalah menjabarkan unsur alur, tokoh dan penokohan, dan latar atau setting dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya.
Penelitian yang menggunakan metode deskriptif ini mengungkapkan penulisan
karya ini menggunakan alur progresif, lurus, atau maju, dikarenakan peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis. Peristiwa pertama mengakibatkan peristiwa selanjutnya. Alur dalam novel ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), dan tahap akhir (end).
Dalam novel ini diketahui juga bahwa Sunatha merupakan tokoh utama yang
utama, disusul dengan Sunithi, Utari, dan Ngurah sebagai tokoh utama tambahan, dan sebagai tokoh tambahan utama adalah Subali, David, Weda, serta Renti yang berfungsi mendukung keseluruhan cerita. Pemilihan Tokoh Sunatha sebagai tokoh utama yang utama dikarenakan Sunatha merupakan tokoh yang mempengaruhi jalan cerita dalam novel ini.
Latar cerita dalam novel ini meliputi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
Latar tempat didominasi oleh lokasi di pelabuhan, desa, dan Denpasar. Latar waktu dalam novel ini meliputi pagi, siang, dan malam. Peneliti juga menemukan penggunaan waktu tertentu, waktu lampau, dan waktu yang akan datang. Sedangkan untuk latar sosial dapat diketahui dari lingkungan masyarakat pedesaan, rasa kekeluargaan dan sifat gotong royong, penggunaan bahasa daerah atau dialek-dialek tertentu, dan penggunaan kultur budaya dan religi.
ix
ABSTRACT
Idris, Dominicus Ganang Aditya. 2010. The Analyzing of Plot, Character and
Characterization, and Setting in Tiba-Tiba Malam Novel by Putu Wijaya.
Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Sanata Dharma University.
This research analyzes the plot, character and characterization, and setting in Tiba-
Tiba Malam Novel by Putu Wijaya. This research aims to describe the elements of plot,
character and characterization, and setting in Tiba-Tiba Malam Novel by Putu Wijaya.
This research—which uses the descriptive method—shows that the plot of this
novel is progressive plot for the events are arranged in chronological way; an event
causes other events. The plot of the novel is divided into three main parts; the beginning,
the middle, and the end.
In this Novel, Sunatha is put as the main character over Sunithi, Utari, and Ngurah
who are the main additional characters. The other characters are Subali, David, Weda,
and Renti who are put as additional characters to construct the overall story. Sunatha is
put as the main characters for he influences the story most.
The setting of the story includes the place setting, time setting, and social setting.
The most dominant places in place setting are the harbor, the village, and Denpasar city.
The time setting includes the morning time, midday time, and night. The researcher also
fined the usage of certain time, past time, and future time. The social setting is showed by
the familiar atmosphere and community self-helped, the usage of local language and
certain dialects, and the culture and religion usage.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ……………………………….. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI…….................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................................... . iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ........................................................... v
KATA PENGANTAR ...........................………………………………….......... vi
ABSTRAK ..............................................................……………………………. viii
ABSTRACT ............................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN… .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………… 3
1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………………. 3
1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………………… 3
1.5 Tinjauan Pustaka …………………………………………………….. 4
1.6 Landasan Teori ………………………………………………………. 5
1.6.1 Struktural ………………………………………………. 5
1.6.2 Alur ……………………………………………………… 6
1.6.3 Tokoh dan Penokohan………………………...…………. 9
1.6.4 Latar atau setting ………………………….....………….. 11
1.7 Metodologi Penelitian .......................................................................... 13
xi
1.8 Sumber Data ......................................................................................... 13
1.9 Sistematika Penyajian ........................................................................... 13
BAB II ALUR CERITA ....................................................................................... 15
2.1 Tahap Awal .......................................................................................... 15
2.2 Tahap Tengah ....................................................................................... 19
2.3 Tahap Akhir ......................................................................................... 25
BAB III TOKOH dan PENOKOHAN ................................................................. 31
3.1 Sunatha ................................................................................................. 31
3.2 Sunithi ................................................................................................... 35
3.3 Utari ....................................................................................................... 37
3.4 Ngurah .................................................................................................... 39
3.5 Subali ..................................................................................................... 41
3.6 David ..................................................................................................... 43
3.7 Weda ...................................................................................................... 45
3.8 Renti ....................................................................................................... 47
BAB IV LATAR CERITA .................................................................................... 50
4.1 Latar Tempat .......................................................................................... 50
4.1.1 Pelabuhan ...................................................................................... 50
4.1.2 Desa ............................................................................................... 53
4.1.3 Denpasar ......................................................................................... 55
4.2 Latar Waktu ............................................................................................ 56
4.2.1 Pagi ................................................................................................ 56
4.2.2 Siang .............................................................................................. 57
xii
4.2.3 Malam ............................................................................................ 57
4.2.4 Waktu Tertentu .............................................................................. 57
4.2.5 Waktu Lampau ................................................................................ 58
4.2.6 Waktu Yang Akan Datang .............................................................. 58
4.3 Latar Sosial ............................................................................................... 58
4.3.1 Penyebutan Nama Tempat atau Nama Daerah ................................ 59
4.3.2 Lingkungan Masyarakat Pedesaan .................................................. 59
4.3.3 Rasa Kekeluargaan dan Sifat Gotong Royong ............................... 59
4.3.4 Penggunaan Bahasa Daerah atau Dialek-dialek Tertentu ............... 60
4.3.5 Penggunaan Kultur Budaya dan Religi ............................................ 60
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 62
5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 62
5.2 Saran ........................................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 66
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra yang kita baca dibangun oleh pengarangnya sebagai hasil
rekaman berdasarkan permenungan, penafsiran, dan penghayatan hidup terhadap
realitas sosial dan lingkungan kemasyarakatan tempat pengarang itu hidup dan
berkembang (Sumardjo 1984: 14).
Sastra yang merupakan permenungan pengarang terhadap permasalahan
kehidupan itu sarat akan nilai yang tercermin dari kultur sosialnya. Dengan kata
lain sastra sebagai bagian dari integral kebudayaan dianggap sebagai cara untuk
mengungkapkan kebudayaan tersebut (Ratna 2008: 11). Hal ini senada dengan
setting atau latar cerita novel Tiba-Tiba Malam (selanjutnya disingkat TTM) yang
bermula dari Tabanan, Bali yang juga merupakan tempat pengarang novel TTM,
Putu Wijaya (selanjutnya disingkat PW) berasal. Seorang sastrawan atau
pengarang merupakan anggota dari suatu kelompok masyarakat yang komunal
dan kompleks. Pengarang melihat gejala-gejala sosial yang terjadi di masyarakat
dan menuangkannya dalam bentuk karya sastra dan tentunya menurut versi
mereka (pengarang). Oleh karena itu karya sastra dapat dikatakan sebagai
cerminan kehidupan nyata, realitas sehari-hari (walaupun hanya meniru-mimesis).
Tetapi seniman tidak semata-mata meniru kenyataan melainkan mereka
menciptakan dunianya sendiri yang harus kita bedakan dari kenyataan dan ini
merupakan faktor kreasi dan imajinasi pengarang. Hal ini sejalan dengan pendapat
2
Nurgiyantoro yang mengatakan bahwa pengarang menghayati berbagai
permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian
diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai pandangannya. Pengarang
mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap
kehidupan. (Nurgiyantoro, 2010:2-3).
Berangkat dari hal itu, peneliti menyimpulkan bahwa novel merupakan
salah satu hasil seni yang diciptakan pengarang berdasarkan pengalaman yang
pernah dilihat atau (bahkan ) dialaminya. Persoalan atau permasalahan kehidupan
manusia yang disajikan serta disuguhkan dalam novel biasanya merupakan
cerminan atau tingkah laku yang terjadi di masyarakat sehari-hari (atau pada masa
itu).
Salah satu sastrawan yang berhasil menghadirkan kenyataan sosial dalam
sebuah karya adalah PW. Bangsawan Bali dan juga penerima SEA Write Award
(Bangkok, 1980) ini termasuk produktif. Seluruh genre sastra ia geluti, drama,
cerpen, novel, esai maupun skenario film dan sinetron.
Berbeda dengan karya-karyanya yang lain yang menggunakan konsep
teror mental, TTM dapat dikatakan sebagai novel ‘konvensional’-nya PW. Teror
mental sendiri merupakan gaya penulisan yang sering diusung PW. Baginya, teror
adalah pembelotan, pengkhianatan, kriminalitas, tindakan subversif terhadap
logika – tapi nyata. (2007, jurnalnet.com). Seperti yang ditulis dalam kata
pengantar novel TTM, novel ini kekuatannya justru pada penyajiannya lewat gaya
bertutur dan plot yang tergolong konvensional dan mengangkat tema seputar
masalah adat di Bali.
3
Peneliti sangat tertarik untuk meneliti novel TTM dikarenakan alur cerita
yang membuat penasaran bagaimana berakhirnya (penyelesaian) masalah,
Penokohan yang menarik, dan didukung penggambaran latar belakang Bali yang
kuat. Hal inilah yang menarik perhatian saya untuk meneliti lebih lanjut karya
TTM secara intrinsik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas masalah-masalah dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah unsur alur dalam novel TTM?
1.2.2 Bagaimana dan siapa saja tokoh dan penokohan yang terlibat
dalam novel TTM?
1.2.3 Bagaimanakah penggambaran latar cerita dalam novel TTM?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Mendeskripsikan unsur alur dalam novel TTM.
1.3.2 Mendeskripsikan tokoh dan penokohan dalam novel TTM.
1.3.3 Mendeskripsikan latar cerita dalam novel TTM.
1.4 Manfaat Penelitian
Berbagai penelitian, baik akademik maupun non akademik telah dilakukan
oleh orang yang menggemari ranah sastra. Sebesar atau sekecil apa pun hasil
penelitiannya, telah memberikan sumbangsih yang bermanfaat bagi peminat dan
pemerhati sastra. Demikian juga dengan penelitian ini diharapkan dapat
menyodorkan berbagai macam manfaat, antara lain:
4
1.4.1 Memperkaya khazanah pustaka dalam penelitian sastra, khususnya
mengenai alur, tokoh, dan latar .
1.4.2 Bermanfaat untuk meningkatkan apresiasi terhadap kesusastraan
khususnya novel TTM.
1.5 Tinjauan Pustaka
PW adalah salah seorang penulis Indonesia yang sangat produktif. Begitu
banyak karya sastra yang dihasilkan oleh PW, oleh karenanya tidak sedikit
tulisan-tulisan yang membahas karya PW, apalagi novel konvensionalnya, TTM.
Kii (2007) dalam skripsinya membedah TTM dari sudut pandang
pelanggaran adat istiadat di Bali. Dengan berlandaskan kajian sosiologi, ia
berkesimpulan bahwa tokoh Subali telah melanggar adat disebabkan beberapa hal
antara lain usaha dagangnya bangkrut, menjadi fitnahan orang serta mengalami
tekanan dari orang lain. Ia juga menambahkan bahwa tokoh Subali mengalami
perubahan pola pikir terhadap adat.
Sedikit berbeda dengan Kii, Sunarti (2008) menemukan nilai-nilai budaya
yang terkandung dalam novel TTM. Nilai-nilai budaya tersebut adalah nilai
budaya hubungan antara manusia dengan Tuhan, nilai budaya dalam hubungan
antara manusia dengan masyarakat, nilai budaya hubungan antar manusia dengan
alam, nilai budaya hubungan antara manusia dengan orang, nilai budaya
hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri. (2008, etd_eprints.ums.ac.id)
Masalah gender seputar pernikahan juga menghiasi novel TTM. Pendapat
ini dikemukakan Violine dalam blog Nyanyian Bahasa. Menurut dia, PW tidak
mengangkat ketidakadilan gender antara pria dan wanita tetapi ia justru
5
mengangkat perubahan konsep pada diri seorang perempuan Bali─seorang istri
Bali. Menurut ajaran agama Hindu, wanita tidak dianggap marginal oleh laki-laki
dan keluarga tetapi wanita sangat dimuliakan dan menjadi lambang Dewi
Saraswati. (2009, nyanyianbahasa_wordpress.com)
Violine juga mengatakan bahwa novel ini tidak hanya mengangkat
masalah adat di Bali, tetapi juga menyorot rekonstruksi seorang perempuan Bali.
Dengan menganalisis karakter tokoh, ia menemukan perubahan pada tokoh-tokoh
dalam novel TTM. Tokoh wanitanya tidak hanya lebih dulu mencapai tahap
rekonstruksi, tetapi juga berhasil membuat tokoh-tokoh pria berubah demi
menyesuaikan diri dengannya. (2009, nyanyianbahasa_wordpress.com)
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Struktural
Secara etimologis, struktur berasal dari kata structura (Latin), yang berarti
bentuk, bangunan. Sedangkan secara definitif, strukturalisme berarti paham
mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme
antarhubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur
lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalitasnya
(Ratna, 2008: 91).
Analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan
keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersamaan menghasilkan
sebuah kemenyeluruhan. Memang, analisis struktural tak cukup dilakukan hanya
sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi. Namun, yang lebih penting
adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur itu dan sumbangan apa
6
yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai
(Nurgiyantoro, 2010: 37).
Unsur-unsur itu salah satunya adalah unsur instrinsik. Unsur intrinsik
adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Kepaduan
antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud, unsur-
unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel. Unsur-
unsur yang dimaksud, misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar,
sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa. (Nurgiyantoro, 2010: 23).
Dalam analisis unsur intrinsik, kepaduan antarunsur-unsur pembangun
sebuah novel biasanya dianalisis secara menyeluruh. Akan tetapi, dalam penelitian
ini, peneliti tidak menganalisis keterkaitan antarunsur-unsur tersebut. Peneliti
hanya fokus kepada deskripsi alur, tokoh dan penokohan, dan latar yang terdapat
dalam novel TTM. Hal ini dikarenakan ketiga unsur tersebutlah yang menarik
perhatian peneliti.
Alur konvensional menjadi hal yang unik dalam novel ini dikarenakan
biasanya PW menggunakan alur non-konvensional. Hal ini juga diikuti dengan
penokohan yang menarik serta deskripsi latar Bali yang begitu kuat. Jadi, peneliti
hanya memfokuskan penelitian pada deskripsi alur, tokoh dan penokohan, dan
latar dalam novel TTM.
1.6.2 Alur
Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa
sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu
7
cerita. Istilah alur dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita
(Aminuddin, 1991: 83).
Stanton via Nurgiyantoro (2010: 13) mengemukakan bahwa plot adalah
cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan
secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa
yang lain.
Aristoteles via Nurgiyantoro (2010: 142) membagi plot menjadi tiga
bagian, yaitu tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), dan tahap akhir
(end). Tahap awal disebut juga tahap perkenalan yang berfungsi memberikan
informasi dan penjelasan tentang latar, seperti nama-nama tempat, suasana alam
waktu kejadiannya, yang pada garis besarnya berupa deskripsi setting. Selain itu
tahap awal juga sering dipergunakan untuk pengenalan tokoh (-tokoh) cerita,
mungkin berwujud deskripsi fisik dan perwatakannya (Nurgiyantoro, 2010: 142-
145).
Tahap tengah atau disebut tahap pertikaian, menampilkan pertentangan
dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi
semakin meningkat. Konflik tersebut dapat berupa konflik internal yang terjadi
dalam diri seorang tokoh maupun konflik eksternal yang terjadi antartokoh cerita.
Dalam tahap ini klimaks ditampilkan ketika konflik (utama) telah mencapai
intensitas tertinggi (Nurgiyantoro 2010: 145).
Tahap akhir disebut sebagai tahap peleraian yang menampilkan adegan
tertentu sebagai klimaks. Jadi, bagian ini misalnya (antara lain) berisi bagaimana
8
kesudahan cerita atau akhir sebuah cerita, atau menyaran pada hal bagaimanakah
akhir sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2010: 146-147).
Plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis yang berbeda
berdasarkan sudut-sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula. Nurgiyantoro
(2010: 153) membagi pembedaan plot berdasarkan kriteria urutan waktu menjadi
tiga, yaitu plot lurus (progresif), plot sorot balik (flash-back), dan plot campuran.
Plot lurus, progresif bila peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat
kronologis, peristiwa(-peristiwa) yang pertama diikuti oleh (atau: menyebabkan
terjadinya) peristiwa-peristiwa yang kemudian (Nurgiyantoro, 2010: 154).
Plot sorot balik (flash-back) adalah cerita tidak dimulai dari tahap awal
(yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), melainkan mungkin dari
tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita
dikisahkan. Biasanya karya yang berplot jenis ini langsung menyuguhkan adegan-
adegan konflik, bahkan konflik yang telah meruncing. (Nurgiyantoro, 2010: 154).
Sedangkan plot campuran adalah gabungan antara plot progresif dan plot
flash back. Secara garis besar plot sebuah novel mungkin progresif, tetapi di
dalamnya, betapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot balik.
Sehingga pengakategorian plot cenderung progresif atau sorot balik lebih
didasarkan pada mana yang lebih menonjol, atau lebih bersifat gradasi.
(Nurgiyantoro, 2010: 155-156).
Pembedaan plot berdasarkan kriteria jumlah dibagi menjadi dua, yaitu plot
tunggal dan plot sub-subplot (ganda). Plot tunggal biasanya mengembangkan
sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis yang sebagai
9
hero. Sedangkan sub-subplot terjadi bilamana sebuah karya fiksi memiliki lebih
dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang
dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya.
(Nurgiyantoro, 2010: 157-158).
Untuk pembedaan plot berdasarkan kriteria, dipilah menjadi dua
bagian, yaitu plot padat dan plot longgar. Plot padat terjadi bilamana cerita
disajikan secara cepat, peristiwa-peristiwa fungsional terjadi secara susul-
menyusul dengan cepat, hubungan antarperistiwa juga terjalin secara erat, dan
pembaca seolah-olah selalu dipaksa untuk terus-menerus mengikutinya.
Sedangkan plot longgar terjadi bila pergantian antarperistiwa berlangsung lambat
dan hubungan antarperistiwa diselai dengan oleh berbagai peristiwa ’tambahan’,
atau berbagai pelukisan tertentu seperti penyituasian latar dan suasana.
(Nurgiyantoro, 2010: 159-160).
1.6.3 Tokoh dan Penokohan
Tokoh cerita (character), menurut Abrams, adalah orang(-orang) yang
ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan
dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro, 2010: 165).
Berdasarkan segi peranan atau tingkat pentingnya, tokoh dibagi menjadi
dua macam, yakni tokoh utama (central character, main character) dan tokoh
tambahan (peripheral character). (Nurgiyantoro, 2010: 176)
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel
yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik
10
sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (Nurgiyantoro, 2010:176-
177). Sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang tidak terlalu mendominasi
cerita.
Tokoh utama (biasanya) selalu hadir di setiap kejadian dan ia sangat
menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Tokoh utama dalam sebuah
novel, mungkin saja lebih dari seorang , walau kadar keutamaannya tak (selalu)
sama. Dengan demikian, pembedaan antara tokoh utama dan tambahan tak dapat
dilakukan secara eksak dan hanya dilihat dari intensitas kemunculan tokohnya
saja. Hal ini sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro (2010: 178) yang mengatakan
pembedaan itu bersifat gradasi, kadar keutamaan tokoh (-tokoh) itu bertingkat.
Tokoh utama (yang) utama, utama tambahan, tokoh tambahan utama, tambahan
(yang memang) tambahan.
”Istilah ’penokohan’ lebih luas pengertiannya daripada ’tokoh’ dan
’perwatakan’ sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana
perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita
sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.”
(Nurgiyantoro, 2010: 166).
Nurgiyantoro (2010: 194) juga menambahkan bahwa masalah penokohan
dalam sebuah karya tak semata-mata hanya berhubungan dengan masalah
pemilihan jenis dan perwatakan para tokoh cerita saja, melainkan juga bagaimana
melukiskan kehadiran dan penghadirannya secara tepat sehingga mampu
menciptakan dan mendukung tujuan artistik karya yang bersangkutan.
11
Menurut Altenbernd dan Lewis, secara garis besar ada dua teknik
pelukisan tokoh dalam suatu karya, yakni teknik ekspositori (expository) dan
teknik dramatik (dramatic). Teknik ekspositori adalah teknik pelukisan tokoh
cerita dengan cara memberikan deskripsi, uraian, dan penjelasan secara langsung,
sedangkan teknik dramatik merupakan teknik pelukisan tokoh yang dilakukan
secara tidak langsung, artinya pengarang tidak mendeskripsikan secara ekplisit
sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh, menyiasati para tokoh cerita untuk
menunjukkan kehadirannya sendiri melalui berbagai aktifitas yang dilakukan baik
secara verbal lewat kata maupun non verbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan
juga melalui peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro, 2010:194-198).
1.6.4 Latar atau Setting
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams via Nurgiyantoro, 2010: 216).
Unsur-unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu latar
tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Penggunaan latar tempat
dengan nama (–nama) tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak
bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan
karena masing-masing tempat tentu memiliki karakteristiknya sendiri yang
membedakannya dengan tempat-tempat yang lain. Pengangkatan suasana
kedaerahan, sesuatu yang mencerminkan unsur local colour, akan menyebabkan
latar tempat menjadi unsur yang dominan dalam karya yang bersangkutan.
12
Namun, perlu ditegaskan bahwa sifat ketipikalan daerah tak hanya ditentukan oleh
rincinya deskripsi lokasi, melainkan terlebih harus didukung oleh sifat kehidupan
sosial masyarakatnya (Nurgiyantoro, 2010: 227-228).
Latar waktu berhubungan dengan masalah ”kapan” terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah ”kapan” tersebut
biasanya dikaitkan dengan peritiwa sejarah. Dalam artian sesuatu yang diceritakan
harus sesuai dengan perkembangan sejarah. Namun, tidak menutup kemungkinan
latar waktu mungkin justru tampak samar tidak ditunjukkan secara jelas, mungkin
karena memang tidak penting untuk ditonjolkan dengan kaitan logika ceritanya.
Ketidakjelasan waktu sejarah dalam novel itu memang tidak diperlukan
(Nurgiyantoro, 2010: 230-232).
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup
yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,
keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap. Latar sosial juga
berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan. Selain itu, latar sosial
memang dapat secara meyakinkan menggambarkan suasana kedaerahan, local
colour, warna setempat derah tertentu melalui kehidupan sosial masyarakatnya.
Disamping itu dapat diperkuat dengan penggunaan bahasa daerah atau dialek-
dialek tertentu (Nurgiyantoro, 2010: 233-235)
13
1.7 Metodologi Penelitian
Metode merupakan cara dan prosedur yang akan ditempuh oleh peneliti dalam
rangka mencari pemecahan masalah (Santosa, 2004: 8). Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif analisis. Secara etimologis deskripsi dan analisis
berarti menguraikan, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga
memberikan penjelasan dan pemahaman secukupnya (Ratna, 2008: 53).
Adapun teknik yang penulis pakai adalah teknik catat dan simak. Penyimakan
terhdap isi dan novel tersebut kemudian dilanjutkan dengan teknik catat pada
kartu data. Teknik catat maksudnya pencatatan data yang digunakan dengan alat
tulis, sedangkan kartu data berupa kertas dengan ukuran dan kualitas apapun dapat
digunakan asal mampu memuat, memudahkan pembacaan dan menjamin data
(Sudaryanto, 1988: 58).
1.8 Buku Sumber Data
Judul : Tiba Tiba Malam
Pengarang : Putu Wijaya
Penerbit : Buku Kompas
Tahun terbit : 2005
Tebal : iv + 236 hlm
1.9 Sistematika Penyajian
Hasil penelitian ini akan disajikan dalam urutan bab per bab. Bab pertama
berisi pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan
pendekatan, serta sistematika penyajian. Bab kedua menjabarkan alur atau
14
plot. Bab ketiga berisi analisis tokoh dan penokohan. Bab keempat akan
mendeskripsikan latar atau setting cerita. Selanjutnya kesimpulan dan saran
disajikan pada bab kelima.
15
BAB II
ALUR CERITA
Pada bab berikut, akan dijabarkan struktur cerita novel TTM dari sudut
alur atau plot. Pembahasan mengenai alur dalam penelitian ini meliputi tahap awal
(beginning), tahap tengah (middle), dan tahap akhir (end).
2.1 Tahap Awal
Tahap awal dalam novel TTM karya PW merupakan tahap perkenalan
yang berfungsi memberikan penjelasan tentang dekripsi setting, dalam hal ini
meliputi nama-nama tempat, suasana alam, dan waktu kejadiannya.
Selain itu, pada tahap ini juga dipergunakan untuk memperkenalkan tokoh
(-tokoh) cerita, yang berwujud deskripsi fisik dan perwatakannya. Adapun pada
tahap ini masalah (-masalah) yang memunculkan terjadinya konflik sudah mulai
diperlihatkan.
Penceritaan diawali dengan upacara perkawinan Sunatha dan Utari yang
menjadi perhatian semua warga desa karena gadis cantik itu sudi menikah dengan
Sunatha yang hanya guru SMP. Hal ini dapat diketahui dalam kutipan berikut.
(1) Upacara perkawinan Sunatha dilangsungkan dengan sederhana dan mendadak. Banyak orang heran dan bertanya-tanya, mengapa hal tersebut terjadi… Di samping orang cemburu kenapa guru SMP yang gemar menyanyi lagu-lagu rakyat itu yang mampu merobohkan hati Utari… (hlm. 1)
Pernikahan itu membuat beberapa lelaki patah hati, salah satunya adalah
Ngurah, orang kaya di desa tersebut. Bahkan, ia sudah yakin serta mempersiapkan
16
segala sesuatunya untuk meminang Utari. Tapi kenyatan berbicara lain. Utari
lebih memilih Sunatha. Penggambaran situasi ini terdapat dalam kutipan berikut.
(2) Di sebuah rumah yang kaya di desa itu, seorang lelaki tercenung. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi hatinya hancur. Dia baru saja merencanakan untuk mempersiapkan lamaran. Ia hampir tak bisa menerima kenyataan itu, karena ia sebenarnya sudah begitu yakin. Baik tampang, keadaan sosial ekonomi, dan kedudukan semuanya menyokong rencananya. Ia tak pernah menduga bahwa antara Utari dan Sunatha sudah ada ikatan percintaan (hlm. 2).
Pernikahan itu menarik perhatian seorang pria asing (bule), David. Ia
mencatat dan mengabadikan apa saja yang dilihatnya ke dalam kamera, hal apa
pun yang belum pernah dia tahu dan kelihatan asing di matanya. Dia melakukan
segala cara untuk mendapatkan angle yang terbaik, bahkan ia menaiki sanggah,
tempat untuk sesajen. Kejadian itu digambarkan dalam kutipan (3).
(3) Tatkala upacara peresmian pernikahan dilangsungkan, orang asing itu berusaha memotret dari tempat yang agak tinggi. Tapi ia kurang memperhatikan sekitarnya, sehingga secara tak sengaja ia menaiki sebuah sanggah untuk sesajen di halaman (hlm. 7).
Karena perbuatannya, David pun ditegur oleh Renti dan dia meminta
maaf. Ia mendekati seorang lelaki tua yang tak lain adalah Subali, ayah Sunatha,
David meminta ijin kepada Subali untuk memotret. Dari sinilah awal perkenalan
mereka. Percakapan mereka dilukiskan dalam penggalan berikut.
(4) “Maaf, apa di sini dilarang bikin potret?” Orang tua itu menggeleng. “Tidak. Silakan. Ambil saja banyak-banyak.” Orang asing itu mengulurkan tangan. “Nama saya David. Ini upacara perkawinan, ya?” “Betul.” “Perkawinan siapa?” “Perkawinan anak saya. Itu yang lelaki namanya Sunatha, anak saya yang paling tua. Saya sendiri bernama Subali. (hlm. 8).
17
Renti geram melihat pernikahan antara Utari dan Sunatha yang
menyebabkan majikannya, Ngurah, menderita berusaha mencari cara untuk
mendekati ibu dari Utari dan menyebarkan isu bahwa Utari kena guna-guna
supaya mau menikah dengan Sunatha. Berita itu didengar oleh ibu Utari dan
membuat ia cemas terhadap anak gadisnya yang baru menikah, ini terdapat dalam
kutipan berikut.
(5) Orang tua itu tiba-tiba sedih. Kini ia baru berpikir mungkin sekali Utari sudah kena guna-guna. Ia sudah beberapa kali menyarankan Utari untuk memperhatikan Ngurah. Ya, dia bukan tidak ingin punya menantu kaya. Tapi hati Utari rupanya sudah begitu terjerat Sunatha (hlm. 13).
Sunatha merasa tidak yakin keputusan Utari menikahi dirinya adalah
suatu keputusan yang tepat. Ia merasa rendah diri. Sunatha merasa tidak pantas
dibandingkan Ngurah yang kaya raya. Ia hanya seorang guru SMP yang besok
pagi akan berangkat ke Kupang untuk mengajar. Situasi tersebut digambarkan
dalam kutipan berikut.
(6) ”Kamu ingat waktu Ngurah datang tadi?” Utari mengangguk. ”Kamu benar-benar tidak menyesal memilih aku? Dia jauh lebih kaya. Dia sudah siap. Sedangkan aku tidak punya apa-apa. Lagipula besok sudah harus berangkat. Menyesal?” (hlm. 16).
Sunatha merasa was-was dengan buah pikiran David yang berbahaya maka
ketika di pelabuhan menjelang keberangkatannya ke Kupang, ia berpesan kepada
Weda, pacar Sunithi, untuk menjaga keluarganya, terutama Subali, ayahnya, dari
pengaruh David. Hal ini dikarenakan kondisi psikologis Subali yang masih stress
karena ia baru mengalami kebangkrutan. Hal ini dapat diketahui dalam kutipan
berikut.
18
(7) ”Buah pikirannya berbahaya. Saya tidak suka dia terlalu rapat dengan bapak. Kamu tahu sendiri, bapak sedang kecewa. Dia masih memikirkan usaha dagangnya yang bangkrut”. (hlm. 23).
Setelah kepergian Sunatha, dalam bis, Utari menyesali keputusannya
menikah dengan Sunatha. Untuk menutupi penyesalannya tersebut, ia mengatakan
kepada semua orang bahwa ia telah diguna-gunai. Pernyataan ini membuat
keluarga Sunatha merasa tersinggung. Utari meminta pulang ke rumah orang
tuanya tetapi Subali tidak setuju. Terjadi pertengkaran antara Subali dengan
keluarga Utari. Kejadian ini dilukiskan dalam kutipan berikut.
(8) ”Baik!” teriak Subali. ”Sejak dulu orang selalu menyebarkan fitnah atas keluargaku. Kamu mau kawin dengan Sunatha secara baik-baik, sekarang kamu tuduh anak saya menguna-guna kamu,... Sekarang pilih saja, kamu pulang atau tinggal di rumah suamimu. (hlm. 33).
Akhirnya Utari memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya. Subali
tak menyangka kejadiannya akan seperti ini. Utari semakin menjadi-jadi. Ia
menuduh Sunatha wangdu (impoten) dan ia tidak mau kembali ke rumah
mertuanya, bahkan ia berkasih-kasihan dengan Ngurah. Hubungan Ngurah dan
Utari direstui oleh kedua orang tua Utari padahal status Utari masih menjadi istri
sah Sunatha. Kejadian di atas dapat dilihat dalam kutipan berikut.
(9) Utari tiba-tiba membaringkan kepalanya di pangkuan Ngurah. Lelaki ini terkejut dan deg-degan. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Terutama karena orang tua Utari juga kelihatan biasa saja. Utari menangis terisak-isak. Tapi ia mulai bicara. ”Dia wangdu! Aku tidak mau lagi ke sana! Aku tidak mau!” (hlm. 39).
Perlakuan keluarga Utari tidak sampai di situ saja. Sunithi bahkan diusir
dari rumah keluarga Utari ketika Sunithi pergi ke sana dengan ditemani Weda
untuk menjenguk Utari yang sedang sakit. Bahkan bingkisan dari orang tua
19
Sunatha untuk Utari dibuang karena dianggap ada guna-gunanya. Perlakuan
mereka berbeda sekali ketika Ngurah datang ke rumah Utari dan menawarkan
membawa Utari ke kota untuk berobat. Kontradiksi ini digambarkan dalam dua
kutipan berikut.
(10) Tiba-tiba ibu Utari meraih bingkisan itu dan melemparkannya. ”Enyah-enyah! Jangan bawa guna-guna kemari!” Sunithi terkejut. Dia hendak membalas, tapi Weda cepat mencegahnya. (hlm. 46).
(11) ”Utari ada, Ibu?” ” Oh ada. Utariiii! Ini Ngurah. Semalam dia
menunggu. Katanya Ngurah bawa obat!” “Ini saya bawa,” sambil menunjukkan bungkusan. Kalau boleh nanti sore saya ajak Wayan ke kota untuk berobat, supaya cepat sembuh.” “Oh, silakan. Wayan cepat!” (hlm.47)
Subali mulai terhasut oleh David yang terlalu antipati terhadap budaya
ketimuran, ini dapat dilihat ketika ia mengiyakan ajakan David untuk pergi ke
Denpasar, sedangkan nanti malam ada rapat desa yang merencanakan untuk
memperbaiki pura desa menjelang perayaan odalan. Selain itu sudah beberapa
kali Subali tidak menghadiri rapat desa karena sering bepergian dengan David.
Percakapan mereka dapat dilihat dalam kutipan berikut.
(11) Ah, buat apa! Kan ada orang lain. Masa kalau satu tidak datang kerja itu tidak bisa diteruskan. Omong kosong. Apa artinya satu orang. Kasih saja uang untuk ganti kerugian. Pokoknya besok kita harus ada di Denpasar. Saya bawa mobil.” “Tapi sudah beberapa kali saya tidak muncul di desa gara-gara ikut David.” ....“Sudahlah. Jadilah orang yang praktis, jangan tenggelam dalam sistem yng sudah bobrok ini. (hlm. 52).
2.2 Tahap Tengah
Tahap tengah pada novel TTM karya PW merupakan tahap pertikaian yang
menampilkan konflik yang semakin meningkat ketika konflik tersebut merupakan
perkembangan masalah yang sudah dimunculkan pada tahap awal.
20
Konflik tersebut dapat berupa konflik internal yang terjadi dalam diri
seorang tokoh maupun konflik eksternal yang terjadi antartokoh cerita. Dalam
tahap ini klimaks ditampilkan ketika konflik utama telah mencapai intensitas
tertinggi.
Ketika keluarga Sunatha hendak makan malam terdengar bunyi
kentongan tanda untuk masyarakat desa segera berkumpul untuk rapat.
Mendengar bunyi kentongan tersebut, Subali acuh saja. Ia malah sibuk membaca
buku pemberian dari David. Melihat kelakuan suaminya ini, ibu Sunatha yang
sedang sakit merasa resah karena sudah beberapa kali Subali tidak hadir dalam
rapat desa, maka ia menyuruh Sunithi untuk mengingatkan bapaknya. Karena
kelakuannya ini, Subali menjadi perbincangan masyarakat desa. Pelukisan
kejadian itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
(12) ”Suruh bapakmu pergi, nanti orang kampung marah. Sudah beberapa kali ini dia tidak datang ke desa!” Sunithi mendekati bapaknya. “Meme bilang Bapak harus pergi ke desa, nanti kena marah.” Subali diam saja. Terus membaca. Sunithi menghidangkan makanan. (hlm.59).
Weda merupakan pacar Sunithi. Ia bertamu sekaligus mengajak Subali
untuk menghadiri rapat desa. Sunithi mencari alasan dengan mengatakan bahwa
bapaknya sakit. Weda tidak percaya begitu saja. Ia mengingatkan bahwa Subali
sudah sering tidak datang ke rapat desa dan bisa dikeluarkan dari krama desa. Hal
ini terdapat dalam penggalan berikut.
(13) “Kok, saban ada kerepotan desa, terus sakit. Nyoman, ini penting. Bapak harus datang. Nanti dia dikeluarkan dari krama-desa. (hlm.62)
21
Weda melihat ada sesuatu yang janggal semenjak David akrab dengan
keluarga Sunatha dan kedekatannya dengan Sunithi, pacarnya. Hal ini membuat
Weda cemburu dan jengkel ketika ia mendapati fakta bahwa Subali tidak sakit.
Weda merasa telah dibohongi, dan hal ini membuat ia marah. Kejadian itu
dilukiskan dalam kutipan berikut.
(14) Sunithi mengikuti. David memegang pundaknya dan membisikkan sesuatu sambil masuk. Weda melihat semuanya itu dengan cemburu sekali. Matanya melotot. Dia menunggu beberapa saat. Masih terdengar David berbisik-bisik dengan Sunithi. Weda mencoba mengintip. Tapi pikirannya sudah tak karuan. Ia hanya melihat bayangan Sunithi dan David berdekatan. Juga dilihatnya Subali tidak sakit. Dia mengepalkan tangannya. (hlm. 63-64).
Sementara itu di balai desa, rapat mulai berlangsung. Rapat itu membahas
tentang keadaan desa. Ngurah tampil memberikan gagasan-gagasannya dalam
mengembangkan desa. Ia juga membicarakan kehadiran David di desa itu yang
menurutnya bisa membawa dampak tidak baik. Warga desa diharapkan tidak
begitu saja mengikuti semua ideologi kebarat-baratan dengan menghadirkan
contoh Subali yang begitu dekat dengan David. Hal ini dapat disimak dalam
kutipan berikut.
(15) ”Tunggu! Saya tidak bermaksud menghasut Saudara untuk membenci orang asing. Banyak di antara mereka yang pintar dan bermaksud baik. Hanya kadangkala kita salah menerima ajaran-ajarannya itu. Jadi saya harapkan Saudara-saudara jangan begitu saja menerima pikiran-pikiran orang lain, tapi harus dicernakan. Sekarang saya dengar misalnya bapak Subali tidak pernah datang kalau ada kerepotan desa.” (hlm. 66).
Pidato Ngurah itu membuat beberapa warga desa berpikir dan mereka
teringat Subali yang tidak pernah datang ketika ada kerepotan desa. Warga desa
satu per satu menceritakan kekecewaannya terhadap Subali yang tidak datang atau
22
membantu ketika mereka tertimpa masalah. Warga desa semakin seru
memperbincangkan Subali dan mereka mengusulkan agar Subali dikeluarkan saja
dari krama-desa. Peristiwa itu digambarkan dalam kutipan berikut.
(16) ”Keluarkan saja dia dari krama-desa, Pak!” kata seseorang. Bagus Cupak berdiri lagi. ” Kalau dia tidak mau lagi ikut kerepotan desa, dia juga tidak boleh mempergunakan jalan desa, pancuran desa, pura desa, dan kuburan desa. (hlm.67)
Ketika membicarakan Subali, Weda ditanyai Ngurah karena ia dekat
dengan keluarga Subali. Karena merasa masih kesal dengan David, Weda
menceritakan semuanya. Ia bercerita bahwa Subali pura-pura sakit dan besok akan
pergi ke Denpasar dengan David. Karena kecemburuannya kepada David, ia
menambah-nambahi ceritanya. Warga desa menjadi ramai dan rapat menjadi
kacau. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.
(17) Weda bercerita panjang lebar. Kebenciannya pada David membuat ia sedikit menambah-nambah. Orang-orang jadi marah. Tapi mereka bukannya marah pada David, akan tetapi lebih berang pada Subali.
Besok paginya ketika warga desa bergotong royong memugar pura,
Subali malah nampak berkemas. Ia akan pergi ke Denpasar padahal istrinya baru
sakit dan desa sedang ada kerepotan. Ketika sampai di jalan besar, Subali
mengajak David untuk memutar jalan supaya tidak melewati pura. Sebenarnya
Subali merasa segan dan malu bertemu dengan warga desa karena tidak ikut
dalam kerepotan desa tetapi David tetap memaksanya untuk melewati pura. David
memberi uang kepada Subali guna diserahkan kepada kepala desa sebagai
pengganti ketidakhadirannya dalam gotong royong. Perbuatan Subali ini membuat
warga desa geram. Peristiwa itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
23
(18) “Maaf sekali ini saya tidak bisa ikut bekerja. Ada keperluan di Denpasar, saya sakit saya harus berobat ke sana. Ini saya membayar uang ganti diri saya bekerja.” Ia mengulurkan segenggam uang yang tadi disisipkan oleh David. (hlm.77)
Perbuatan Subali membuat kaget kepala desa dan warganya. Mereka tidak
menyangka Subali akan melakukan hal itu. Kepala desa merasa sangat
tersinggung sekali begitu pula para warganya dan mereka memutuskan
mengeluarkan Subali dari krama-desa.
(19) ”Begini, katakan kepada bapak kalau nanti pulang, sudahlah, ia tidak usah lagi ikut kerja di pura. Kalau memang selalu repot kami juga tidak memaksa. Tapi tentunya demikian juga sebaliknya nanti. Jelasnya, kami memutuskan untuk mengeluarkan bapak dari ikatan krama-desa. (hlm.85).
Karena nila setitik rusaklah susu sebelanga. Mungkin peribahasa ini cocok
untuk menggambarkan kehidupan keluarga Sunatha karena perbuatan bapaknya,
Subali. Keluarga ini mulai diteror oleh warga desa yang marah atas kelakuan
Subali tempo hari. Di kala malam hari mereka mulai melempari rumah keluarga
tersebut dengan batu. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut.
(20) Ibunya terjaga karena kegaduhan itu dengan gemetar. Sunithi cepat memeluknya. Lemparan batu itu semakin gencar. Terdengar suara memaki-maki dari luar. Ibunya menjerit-jerit. Sunithi cepat berusaha menenangkannya. Ia berlari dan mengunci semua pintu. Kemudian ia mengambil kapak yang kebetulan dijumpainya di bawah kolong, lalu bersiap-siap. (hlm 83).
Sementara itu hubungan antara Utari dengan Ngurah semakin mesra
saja. Sepertinya mereka saling jatuh cinta, tapi Ngurah masih bimbang karena
posisi Utari masih istri Sunatha. Ia tidak mau merebut Utari begitu saja dari
tangan Sunatha. Selain itu muncul pertanyaan dalam hati Ngurah, apakah Utari
24
benar-benar mencintainya atau hanya menginginkan hartanya. Kegelisahan
Ngurah digambarkan dalam kutipan berikut.
(21) Ini membuat Ngurah memeras kepalanya. Ia bukan orang yang curang. Artinya ia tetap menghargai Sunatha sebagai suami Utari. Tetapi apakah penghargaan semacam itu harus mengorbankan kesempatan yang tak akan pernah didapatnya. ...terutama yang dipikirkannya adalah adakah Utari benar-benar mencintainya. Atau hanya sekedar tertarik pada kekayaan. (hlm. 97-98)
Sunithi merasa tidak sanggup menghadapi sanksi sosial yang dialami
oleh keluarganya. Ia mengirim surat kepada Sunatha supaya segera pulang untuk
menyelesaikan keadaan ini. Selain itu, sakit ibu Sunatha semakin parah dan
bapaknya, Subali, sepulang dari Denpasar semakin menjadi aneh. Tidak ada lagi
orang yang menghiraukan keluarga mereka. Hal ini terdapat dalam kutipan
berikut.
(22) Selain tetangga-tetangga dan saudara-saudara yang masih dekat, tak ada lagi yang mau berhubungan dengan kami. Saya selalu disindir-sindir sehingga saya tidak kuat kalau keluar rumah. Saya hanya keluar rumah kalau hendak mandi, itu pun malam hari. ...Semua orang tidak ada yang ngomong dengan saya, bahkan saya tidak dihiraukan. Mereka menyindir-nyindir saya. Saya tidak kuat, saya harap beli cepat-cepat pulang untuk menyelesaikan keadaan ini. (hlm.130).
Sunatha semakin cemas ketika menerima surat-surat dari Sunithi yang
semakin lama semakin mengerikan. Ia was-was dengan keadaan Sunithi karena isi
suratnya kadangkala ngawur, kosong, dan kadang meluap-luap. Melihat keadaan
ini, akhirnya Sunatha memutuskan untuk kembali ke Bali. Sosoknya sangat
dibutuhkan dalam keluarganya untuk mengatasi masalah yang terjadi. Peristiwa
itu terdapat dalam penggalan berikut.
25
(23) Sunatha hanya berusaha mengumpulkan uang lebih banyak. Walaupun ia sangat sulit. Ia sadar bagaimanapun, nanti ia akan memerlukan uang. Apalagi ia telah diharapkan begitu lama sebagai juru selamat. (hlm.149)
2.3 Tahap Akhir
Tahap akhir dalam novel TTM karya PW merupakan tahap peleraian yang
berisi akhir sebuah cerita atau akibat dari klimaks.
Karena tidak mampu menahan derita lebih lanjut, akhirnya ibu Sunithi
menghembuskan nafasnya. Sementara itu Sunatha masih dalam perjalanan pulang.
Ketika ibunya meninggal, tidak ada satu pun anggota banjar yang datang
membantu, bahkan bunyi kentongan pun tak terdengar. Sunithi merasa putus asa.
Sedangkan Subali hanya terbengong saja mendapati istrinya meninggal. Ia tidak
melakukan apa pun. Sunithi menjatuhkan semua kesalahan kepada Subali, karena
ia tidak ada satu pun warga yang menolong penguburan ibunya. Ia memaksa
Subali untuk meminta maaf kepada banjar.
(24) “Terlalu! Masak mereka tidak melihat saya? Masak mereka tidak melihat beli Sunatha. Saya tidak pernah salah apa-apa. Ini kan hanya bapak. Kenapa kami mesti diperlakukan begini?” (hlm.197).
(25) ”Lihat! Lihat perbuatan Bapak sekarang! Lihat! Kita semua harus
menanggung ! Lihat! ...Minta maaf kepada banjar! Lihat meme sudah mati! Siapa yang disuruh ngubur? Lihat! (hlm. 198-199).
Berita kematian itu sebetulnya diketahui oleh warga, tapi mereka tidak
berniat membantu karena Subali terkena krama-desa. Begitu pula di rumah Utari.
Bahkan mereka was-was seandainya Sunatha pulang dan mengetahui hubungan
antara Utari dengan Ngurah. Ngurah mendengar berita kematian itu dan jika
Sunatha pulang nanti ia akan bertanggung jawab dan menjelaskan hubungannya
dengan Utari kepada Sunatha. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
26
(26) ”Tadinya saya bermaksud membawa Wayan pulang, tapi setelah ada berita itu, saya tunda dulu. Sekarang kalau dia datang kemari, ibu dan bapak jangan meladeni. Suruh saja dia menghubungi saya. Saya yang akan menyelesaikannya!’
Orang tua itu nampak cemas. ”Jangan sampai ada perkelahian!” Ngurah tersenyum. ”Saya kenal Sunatha. Dia orang yang baik.
Saya akan berterus terang kepadanya. Ia berpendidikan. Apalagi guru. Dia akan bisa mengerti. Saya akan menghadapinya dengan baik-baik. Asal bapak dan ibu memberikan keterangan yang baik.” (hlm.205).
Sunatha merasa gembira bisa pulang kembali ke desanya setelah hampir
setahun ia pergi. Ia menyempatkan membeli oleh-oleh buat keluarganya bahkan
Utari dibelikannya radio kecil. Di dalam bis, ia bertemu dengan kenalannya dan
diperingatkan supaya berhati-hati. Ia menjadi resah akan hal-hal yang tak
disangka-sangkanya nanti. Kegelisahannya dilukiskan dalam kutipan berikut.
(27) Hati Sunatha jadi tidak enak. Ia mulai khawatir kalau sampai terjadi hal-hal yang di luar jangkauannya. Ia mulai menanyakan kepada dirinya sendiri, apa yang mungkin terjadi. Utari kawin dengan Ngurah barangkali. Atau, Sunithi lari meninggalkan rumah. Subali sakit. Gila. Atau dipukuli orang. Ibunya meninggal. Ibunya bertambah parah. Atau desa mengusir. Subak tidak memberikan air. Desa membatasi sarana-sarana desa seperti pancuran, jalan, pura, sehingga ia dianggap tidak berhak untuk memanfaatkannya. (hlm.211)
Sesampainya di desa, Sunatha merasa asing. Tidak ada orang yang
menyapanya dan menghiraukan kedatangannya. Ketika menyusuri jalan pulang
menuju rumahnya ia melihat sejumlah kecil orang sedang menggiring mayat ke
kuburan. Rombongan itu begitu sederhana sekali. Tidak ada bunyi angklung atau
orang yang mengiringi. Dalam rombongan itu didapatinya Sunithi, Weda, dan
bapaknya. Sunatha langsung terhenyak.
27
Setelah penguburan memenya selesai, ia bertanya kepada Weda tentang
Utari, istrinya, mengapa tidak hadir dalam penguburan tersebut. Akhirnya Weda
menjelaskan semuanya. Sunatha marah dan langsung menuju ke rumah orang tua
Utari untuk menanyakan keberadaan istrinya. Situasi ini terdapat dalam kutipan
berikut.
(28) Sunatha langsung saja menggebrak kedua orang tua itu. ”Mana istriku! Mana!” Mertuanya itu ketakutan. Mereka tidak bisa menjawab. ”Mana?” orang tua itu bermaksud menjawab. Tapi suaranya tidak keluar. Sunatha makin jengkel. Ia masuk ke dalam rumah. Memeriksa. (hlm.215).
Pada waktu itu Ngurah datang untuk mendamaikan. Tapi Sunatha kalap. Ia
malah menganggap Ngurah menantangnya. Perkelahian pun tak dapat
dihindarkan. Akhirnya perkelahian hebat itu dapat diselesaikan dengan campur
tangan kepala desa. Kemarahan warga desa semakin menjadi-jadi. Mayat ibu
Sunatha yang dikuburkan kemarin, pagi-pagi sekali sudah berada di depan pintu
rumah. Melihat hal ini Sunatha marah dan menuduh Ngurah sebagai pelakunya
karena perkelahian kemarin. Ia mengambil kapak dan hendak melabrak Ngurah,
tapi dapat dicegah oleh Subali. Sementara itu, warga desa sudah bersiap
membawa senjata tajam dan mengepung rumah Sunatha. Akhirnya Sunatha
mengalah dan menemui kerumunan warga desa itu. Ia meminta maaf atas semua
kesalahan yang telah diperbuat oleh keluarga maupun bapaknya. Kejadian ini
digambarkan dalam kutipan berikut.
(29) ”Saudara-saudara, kawan-kawan semua, para sesepuh desa, saya dan bapak saya sekeluarga, menyerahkan diri saya untuk diadili oleh desa. Keluarga saya, bapak saya, telah melakukan kesalahan besar terhadap adat, sekarang Hyang Widdhi Wasa sudah menjatuhkan hukumannya. Saya terima semua ini dengan penuh
28
pengertian. Seandainya pun ini belum cukup, izinkanlah saya meminta maaf , atas kekeliruan bapak saya. Juga kesalahan-kesalahan saya sendiri. (hlm. 225)
Akhirnya dengan dibantu Ngurah dan kepala desa, permohonan maaf
Sunatha sekeluarga diterima. Mereka diterima kembali menjadi warga desa.
Kemudian mayat ibu Sunatha dikuburkan kembali dengan layak dan sepatutnya.
Tapi permasalahan Sunatha tidak selesai begitu saja. Permasalahannya
dengan Ngurah menyangkut Utari belum terselesaikan. Sunatha meminta Ngurah
untuk mempertemukan dirinya dengan Utari. Setidaknya ia akan meminta Utari
untuk memilih diantara mereka berdua. Kenyataan berbicara lain. Utari telah
hamil dengan mengandung anak Ngurah. Kejadian itu digambarkan dalam kutipan
berikut ini.
(30) Hanya berdua dalam ruangan. Ia diam saja Utari juga diam. Mereka tidak saling berkata kira-kira sampai satu jam. Akhirnya Sunatha berdiri. Ia memandang lagi perut itu. Lalu bertanya. ”Sudah berapa bulan?” (hlm.229).
Akhirnya Sunatha memutuskan untuk merelakan Utari jatuh ke dalam
pelukan Ngurah dengan syarat Utari harus dinikahi Ngurah secara resmi.
Pernikahan Ngurah dengan Utari dilaksanakan secara meriah. Kehidupan keluarga
Sunatha kembali seperti sediakala. Subali mulai mengayunkan kembali
cangkulnya di sawah.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa alur dalam novel
TTM karya PW termasuk alur progresif, lurus atau maju. Karena peristiwa yang
dikisahkan bersifat kronologis. Peristiwa yang pertama mengakibatkan atau
menyebabkan terjadinya peristiwa berikutnya. Hal ini dapat diketahui dari
peristiwa pernikahan Utari-Sunatha sampai dengan perkenalan antara David
29
dengan Subali (dalam tahap awal) menyebabkan munculnya gesekan-gesekan
konflik yang menimbulkan peristiwa berikutnya yang dirangkum lebih lanjut
dalam tahap tengah kemudian diselesaikannya atau dimunculkannya solusi semua
permasalahan yang dijabarkan dalam tahap selanjutnya, yaitu tahap akhir.
Selain itu, plot novel ini bila ditinjau dari segi plot berdasarkan kriteria jumlah
termasuk dalam golongan plot-subplot karena lebih dari seorang tokoh yang
diceritakan perjalanan hidupnya, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa bab yang ceritanya tidak hanya terpusat pada
satu tokoh saja. Diceritakannya tokoh Sunatha dengan segala permasalahannya
ketika ditinggal selingkuh oleh Utari. Tokoh Ngurah yang melarikan Utari (yang
statusnya pada waktu itu masih istri sah Sunatha), dan takut jika
perselingkuhannya diketahui oleh warga desa. Tokoh Sunithi yang hidupnya
menderita karena mendapat sanksi sosial dari warga desa karena perbuatan
bapaknya, Subali.
Sedangkan jika dilirik dari pembedaan plot berdasarkan kriteria kepadatan,
alur cerita dalam novel TTM ini termasuk longgar, karena perpindahan peristiwa
penting satu menuju ke peristiwa penting yang lain diselai oleh peristiwa
tambahan, serta pelukisan latar dan suasana yang detail sehingga pembuat
pembaca seolah-olah hadir atau mengalami sendiri peristiwa yang dikisahkan,
contohnya dalam kutipan berikut.
(31) Matahari pagi, mencat langit dengan warna merah yang lembut. Beberapa ekor burung tampak melesat dan memuntahkan suara yang segar. Udara gunung yang sejuk masih mengendap rendah di jalan-jalan desa. Juga masih ada kabut tipis yang membuat pemandangan agak buram. Akan tetapi pada saat itu justru pura yang terletak di tempat yang ketinggian dengan berlatar Gunung
30
Batukau itu jadi kelihatan penuh wibawa, anggun, dan melindungi. (hlm.71).
Pencairan suasana juga terjadi ketika David belajar membajak sawah dan
terjatuh. Pelukisan peristiwa ini terdapat dalam kutipan berikut
(32) Tiba-tiba ia tertawa cekakan karena di kejauhan tampak David berusaha membajak sawah dengan sapi itu. Kelihatan sangat kaku. Apalagi ia tiba-tiba terpeleset dan jatuh ke lumpur. Sunithi tertawa terpingkal-pingkal, lalu mendekat. Sedangkan David berlumuran lumpur mengangkat tangannya dengan gembira. (hlm. 53)
31
BAB III
TOKOH DAN PENOKOHAN
Pembahasan mengenai tokoh dan penokohan dalam penelitian ini meliputi
tokoh utama dan tokoh tambahan. Merunut pada Nurgiyantoro (2010: 178) yang
mengatakan pembedaan itu bersifat gradasi, kadar keutamaan tokoh (-tokoh) itu
bertingkat. Tokoh utama (yang) utama, utama tambahan, tokoh tambahan utama,
tambahan (yang memang) tambahan. Dalam penelitian ini peneliti membagi unsur
tokoh menjadi tiga bagian, yaitu tokoh utama yang utama, utama tambahan, dan
tokoh tambahan utama dikarenakan ketiga bagian ini mempengaruhi jalannya
cerita.
Tokoh utama yang utama adalah Sunatha. Pilihan ini berdasarkan pada
frekuesi kemunculan dan intensitas tokoh dalam mempengaruhi jalan cerita.
Adapun tokoh yang tergolong dalam tokoh utama tambahan adalah Sunithi,
Ngurah, dan Utari. Sedangkan tokoh yang tergolong dalam tokoh tambahan
utama, yaitu Subali, David, Weda, serta Renti karena keempat tokoh ini walaupun
hanya tokoh tambahan tapi berpern dalam menentukan jalannya cerita.
3.1 Sunatha
Sunatha merupakan seorang guru SMP yang suka sekali menyanyi lagu-
lagu daerah. Ia berhasil mempersunting Utari, sang bunga desa. Banyak orang
yang cemburu kepadanya dan menganggap profesinya sebagai guru tidak pantas
untuk menikahi Utari. Ini dapat disimak dalam kutipan berikut.
32
(33) Disamping orang cemburu kenapa guru SMP yang gemar menyanyi lagu-lagu rakyat itu yang mampu merobohkan hati Utari (hlm. 1)
(34) “Nah lihat sekarang, dari dulu sudah meme nasihati, cepat-cepat,
sekarang keduluan dengan guru SMP itu. Padahal, coba kalau kamu langsung lamar saja, masak dia tidak mau. Guru itu apa sih kelebihannya. (hlm. 2)
Dalam memperebutkan hati Utari, Sunatha bersaing dengan Ngurah. Ia
terkesan dengan sikap sportivitas Ngurah, walau kalah dalam persaingan Ngurah
tetap mau datang ke pernikahannya.
(35) … karena melihat Ngurah dan kawan-kawannya menggabungkan diri dengan barisan. Walaupun terlambat rupa-rupanya juragan yang kaya itu suka juga datang. Sunatha jadi menaruh hormat pada sportivitasnya. (hlm. 6)
Sehari setelah pernikahannya, Sunatha akan pergi ke Kupang untuk
mengajar. Ia rela tidak menikmati masa bulan madunya dan memilih bekerja. Ia
melakukan semua itu agar dapat meraih masa depan yang lebih baik. Ia meminta
pengertian Utari tentang profesinya sebagai guru. Hal ini terdapat dalam kutipan
berikut.
(36) ”Tanggung jawab itu membuat saya berusaha untuk menjaga keadaanmu seperti saya nanti. Karena itu walaupun berat, tetapi terpaksa akan saya laksanakan. Saya harap kamu bisa mengerti semua ini. Seperti biasanya kamu selalu mengerti juga bahwa saya orang miskin.” (hlm. 18)
Sunatha adalah seorang pemeluk agama yang taat. Di perantauan, ia
merindukan kampung halamannya serta suasana saat di beribadah di pura.
(37) ”Setahun di sini memang bikin rindu. Aku sudah lama tidak sembahyang di pura.” (hlm. 124)
33
Sunatha bijaksana dalam menghadapi kritikan sahabatnya. Ketika
diberitahu oleh salah seorang sahabatnya bahwa ia seorang pengecut, ia tidak
marah,bahkan ia mempunyai pendapat yang berbeda tentang persahabatan.
(38) ”Tidak. Kamu sahabat saya. Hanya sahabat yang baik berani mengatakan keburukan-keburukan kawannya dengan jujur, meskipun saya sendiri juga takut mengakui saya pengecut.” (hlm.126)
Membaca surat dari Sunithi, Sunatha merasa khawatir dengan keadaan
keluarganya. Ia memutuskan untuk pulang ke Bali dan terpaksa berbohong kepada
atasannya dengan alasan ibunya telah mati. Ia mengerti benar perbuatannya itu
salah sebagai seorang pendidik. Hal ini menunjukkan dedikasinya sebagai seorang
pengajar sangat ia junjung tinggi.
(39) ”tugas beli tidak mengizinkan saya untuk pulang sebelum liburan kenaikan kelas. ...untuk itu saya terpaksa berbohong, sebagai seorang guru, ini perbuatan yang tercela, akan tetapi kelak saya akan mengakui segalanya ini kalau semua telah selesai. Jadi, maafkanlah, kalau saya katakan kepada kepala sekolah, bahwa meme telah meninggal. (hlm. 131)
Sunatha marah menghadapi keadaan yang menimpa dirinya dan
keluarganya.. Ia merasa heran dan bertanya-tanya mengapa dirinya selalu
mengalami cobaan-cobaan. Sunatha juga ingin merasakan kebahagiaan.
Ketidakpuasan Sunatha dapat dilihat dalam kutipan berikut.
(40) ”Saya ingin sekali berbahagia. Tetapi kalau mau berterus terang, saya selalu heran, kenapa saya yang dipilih untuk mengalami semua ini? Saya bukan orang kuat!” (hlm.133)
Karena beban yang menghimpitnya, Sunatha berani menceritakan
masalahnya kepada Sunari, anak dari pemilik kafetaria di pelabuhan. Padahal ia
34
bisanya tidak suka menceritakan masalah pribadinya kepada orang lain apalagi
orang yang baru dikenalnya.
(41) Sunatha tidak berusaha berbohong lagi. Ia menceritakan semuanya. Entah kenapa ia tiba-tiba berani mengutarakan semuanya pada seorang yang baru saja dikenal. Ia sama sekali tidak malu lagi. Aneh. (hlm. 193)
Sesampainya di kampung halaman, ia mendapati ibunya telah meninggal.
Setelah penguburan memenya, ia heran mengapa Utari dan mertuanya tidak
melayat. Weda menceritakan peristiwa yang terjadi setelah kepergiannya ke
Kupang, Sunatha marah mendengar kabar Utari pergi dengan Ngurah ke kota
maka ia memutuskan pergi ke rumah keluarga Utari untuk melabrak dan
membuktikan kebenaran berita tersebut.
(42) Sunatha langsung saja menggebrak kedua orang tua itu. ”Mana istriku! Mana!” Mertuanya itu ketakutan. Mereka tidak bisa menjawab. ”Mana?” Orang tua itu bermaksud untuk menjawab. Tapi suaranya tidak keluar. Sunatha makin jengkel. Ia masuk ke dalam rumah. Memeriksa. (hlm. 215)
Sunatha akhirnya membesarkan jiwanya, ia mewakili keluarganya
meminta maaf kepada warga desa karena kesalahan yang telah diperbuat oleh
keluarganya. Ia meminta kepada para warga untuk sudi menerima kembali
keluarganya menjadi bagian dari banjar. Permintaan maaf Sunatha dipaparkan
dalam kutipan berikut.
(43) Izinkanlah saya meminta maaf, atas kekeliruan bapak saya. Juga kesalahan-kesalahan saya sendiri. Hukumlah kami sesuai dengan kesalahan-kesalahan kami, akan tetapi satu permintaan saya, jangan buang kami dari pergaulan desa, berikan kami kesempatan sekali lagi. (hlm. 225)
35
3.2 Sunithi
Untuk menjaga perasaan orang lain, Sunithi sering melakukan
kebohongan-kebohongan kecil dengan tujuan baik. Ia melakukannya dengan rasa
terpaksa. Ini dilakukannya ketika ia ditanya perihal Utari oleh ibunya yang sedang
sakit. Ia berbohong supaya ibunya tidak cemas dan terlalu khawatir. Seperti dalam
kutipan berikut.
(44) ”Nyoman, bagaimana Wayan?” Sunithi terpaksa berbohong. ”Sudah baikan, Me. Nanti kalau sudah sembuh benar dia akan kemari.” (hlm. 60).
Begitu pula saat ia beralasan kepada Weda bahwa bapaknya sakit ketika
bapaknya enggan menghadiri rapat desa. Bahkan ketika didesak Weda ia tetap
bersikeras tidak mau mengaku.
(45) ”Tapi Bapak sakit.” Weda tercengang. ”Sakit?” Tadi siang, kan kerja di sawah?” ”Ya, tapi sekarang dia sakit.” ”Sakit apa?” ”Pokoknya sakit.” (hlm. 62).
Karena dituduh Weda selingkuh dengan David, Sunithi marah. Ia
membantah tuduhan Weda itu keliru. Ia tidak mau mengakui kesalahan yang tidak
diperbuatnya, maka ia berkelahi dengan Weda karena ia merasa benar. Hal ini
digambarkan dalam kutipan berikut.
(46) Mereka bertengkar. Akhirnya mereka berkelahi. Sunithi melawan karena merasa benar. Weda memukul Sunithi. Sunithi membalas. (hlm. 74)
Sunithi adalah seorang pemberani. Hal ini dapat dilihat ketika ia
melindungi ibunya sewaktu warga desa datang meneror rumahnya dengan cara
membuat kegaduhan serta melempari rumah itu.
36
(47) Ibunya terjaga karena kegaduhan itu dengan gemetar. Sunithi cepat memeluknya. Lemparan batu itu semakin gencar. Terdengar suara memaki-maki dari luar. Ibunya menjerit-jerit. Sunithi cepat berusaha menenangkannya. Ia berlari dan mengunci semua pintu. Kemudian ia mengambil kapak yang kebetulan dijumpainya di bawah kolong, lalu bersiap-siap. (hlm. 83)
Sakit ibu Sunithi semakin parah maka ia berinisiatif membawa ibunya ke
dokter. Setelah berobat, ternyata ongkos dokter dan resep obat sangat mahal.
Karena rasa sayang kepada ibunya yang sakit, Sunithi merelakan tabungannya
yang akan digunakan untuk menikah kelak guna menebus ongkos dokter dan
resep obat tersebut.
(48) Sunithi mulai membuka simpanannya. Ia menjual diam-diam barang-barang emas yang dulu pernah disimpan untuk menyambut hari perkawinannya. Tapi barang-barang itu rupanya hanya berharga di desa. Di tukang emas, setelah ditukar nilainya tak berharga. Apalagi kalau dihubungkan dengan ongkos sekali pengobatan dokter berikut dengan obatnya. (hlm. 143-144)
Sunithi merasa tidak kuat menghadapi sanksi sosial yang diberikan desa.
Ia bagaikan orang asing di kampung sendiri. Perlakuan warga desa kepadanya
membuat ia resah dan gundah gulana. Karena terlalu resahnya, ia sampai-sampai
mandi pada malam hari untuk menghindari bertemu warga desa. Perlakuan dan
kegelisahan Sunithi dilukiskan dalam kutipan berikut.
(49) Kami tidak lagi diakui sebagai penduduk desa. Selain tetangga-tetangga dan saudara-saudara yang masih dekat, tak ada lagi yang mau berhubungan dengan kami. Saya selalu disindir-sindir sehingga saya tidak kuat kalau keluar rumah. Saya hanya keluar rumah kalau hendak mandi, itu pun malam hari. Waktu ada odalan di pura saya memberanikan diri pergi ke sana. Semua orang tidak ada yang ngomong dengan saya, bahkan saya tidak dihiraukan. (hlm. 130)
37
Seiring berjalannya waktu, Sunithi semakin tabah menghadapi perlakuan
warga desa kepadanya. Tidak ada lagi Sunithi yang manis, ia berubah menjadi
gadis yang mandiri. ia mulai mengayunkan cangkul tuk memenuhi kebutuhan
hidup keluarganya.
(50) Ia bertambah lama, bertambah tabah. Jelasnya, tambah keras. Dengan berani, semua dihadapinya. Kini ia bukan anak manis... Ia mampu berdiri sendiri. Hidup satu hari penuh, sendirian. Banting tulang di sawah sendirian. Menerima segala perlakuan desa sendirian. (hlm. 147)
Ketabahan Sunithi tidak sampai di situ saja. Ia bahkan menggantikan peran
Subali dalam mencari nafkah. Bercucuran keringat, hitam terbakar matahari, dan
berubah menjadi kuat dan sehat sosoknya sekarang.
(51) Matahari membakar punggungnya. Kini jelas betapa gadis itu berubah. Ia menjadi seorang wanita yang sehat, kukuh. Tidak cantik, akan tetapi ada sesuatu yang menarik dalam dirinya. Ia telah menggantikan Subali, menggarap semuanya dengan susah payah, akan tetapi berhasil. (hlm. 178)
3.3 Utari
Utari adalah seorang kembang desa yang berhasil dinikahi oleh Sunatha. Ia
digambarkan sebagai seorang gadis yang baik secara fisik maupun sikap atau
perilakunya. Hal ini dilihat dalam kutipan berikut.
(52) Mempelai wanita adalah bunga dalam desa, dipujikan kecantikan maupun kelakuannya. (hlm. 1)
Sehari setelah menikah, Utari ditinggal Sunatha ke Kupang guna
melaksanakan kewajibannya sebagai guru. Rupanya Utari menyesali
keputusannya menikahi Sunatha. Nasi telah menjadi bubur. Walaupun ia masih
38
perawan, toh orang-orang telah menganggapnya sebagai istri Sunatha. Ia mencari
cara untuk menutupi kesalahannya itu dengan mengatakan bahwa ia sudah
diguna-guna. Utari berkelakuan seperti orang kesurupan. Ia berteriak-teriak dan
membuat semua orang panik. Peristiwa ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
(53) Dia terus berteriak-teriak. Orang tuanya jadi kelabakan. Mula-mula mereka tenang-tenang saja. Tetapi, kemudian ibunya mulai tak kuat melihat keadaan anaknya itu. “Kenapa anak saya, kenapa!” teriaknya ikut-ikutan. Keadan makin kacau. “Jangan-jangan dia betul diguna-guna!” Utari berteriak dan menerjang-nerjang. (hlm. 28)
Utari menurut Sunatha adalah istri yang setia dan dapat dipercaya. Dia
tidak mau merusak kesan itu karena rasa curiga bahwa Utari tidak betah hidup
sendiri. Harapan berbeda dengan kenyataan. Setelah ditinggal Sunatha merantau,
dalam hitungan hari Utari telah berkasih-kasihan dengan Ngurah. Ia seolah-olah
memberi ruang di hatinya kepada Ngurah. Kontradiksi ini digambarkan dalam dua
kutipan berikut.
(54) ”Utari bukan orang sembarangan. Dia tidak mudah terpengaruh. Wataknya keras dan dia bisa menghargai kepercayaan, kenapa saya mesti merusakkan gambaran istri saya karena rasa kangen ini. (hlm. 35)
(55) Ngurah membantu Utari duduk di balai-balai. Anehnya, gadis
itu bisa lebih tenang. Tak sengaja ia justru memegang tangan Ngurah. ...Utari tiba-tiba membaringkn kepalanya di pangkuan Ngurah. Lelaki ini terkejut dan deg-degan. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. (hlm.37-39)
Dengan alasan berobat, Utari mau saja ketika ia diajak ke kota oleh
Ngurah. Ia bersembunyi di dalam mobil Ngurah karena takut ketahuan oleh warga
desa karena statusnya masih sebagai istri Sunatha. Selain itu ia takut citranya akan
39
menjadi jelek di mata masyarakat supaya tidak disebut sebagai wanita
gampangan.
(56) Sementara mobil membelah jalan desa. Utari menyembunyikan dirinya. Ngurah menjalankan mobilnya dengan pelan-pelan, kemudian dia melesat setelah sampai di perbatasan desa. (hlm. 55)
Utari bukanlah tipe wanita pemalu dan canggung. Ketika diajak ke kota
oleh Ngurah, ia dititipkan di rumah saudara Ngurah. Di sana ia dapat melepas
beban yang selama ini menghimpitnya. Tidak ada yang dirisaukan dan
membebani pikirannya.
(57) Ia tidak kikuk tinggal di rumah orang yang terbilang keluarga Ngurah─karena semuanya baik. Ia tidak diperlakukan sebagai tamu.. Rupa-rupnya Ngurah sudah berpesan kepada semua orang supaya tenang-tenang saja. Ini membuat Utari merasa segar. (hlm.90)
3.4 Ngurah
Ngurah adalah orang kaya di desa tersebut. Dia sudah mempersiapkan
segalanya untuk meminang Utari. Ia yakin lamarannya akan diterima oleh
keluarga Utari, tapi kenyataan berbicara lain. Utari telah dinikahi oleh Sunatha.
Bahkan, ia tidak menyangka bahwa diantara Utari dan Sunatha sudah menjalin
hubungan kasih. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.
(58) Di sebuah rumah yang kaya di desa itu, seorang lelaki tercenung. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi hatinya hancur. Dia baru saja merencanakan untuk mempersiapkan. Ia hampir tidak bisa menerima kenyataan itu, karena ia sebenarnya sudah begitu yakin. Baik tampang, keadaan sosial ekonomi, dan kedudukan semuanya menyokong rencananya. Ia tak pernah menduga bahwa antara Utari dan Sunatha sudah ada ikatan percintaan. (hlm. 2)
40
Walau kalah bersaing dengan Sunatha dalam memperebutkan hati Utari,
Ngurah tetap berjiwa besar menerima keputusan itu. Hal ini ditunjukkan dengan
tetap mendatangi pernikahan Utari-Sunatha dan mengucapkan selamat kepada
kedua mempelai. Hal ini digambarkan dalam percakapan antara Ngurah dengan
Renti sebagai berikut.
(59) ”Kita harus jujur. Kekalahan meskipun hanya karena keterlambatan tetap juga kekalahan. Kamu tak usah mencak-mencak begitu. Kita ke sana beri selamat, nanti kita jadi bahan omongan.” (hlm. 3)
Ngurah mempunyi wibawa yang besar dan warga desa segan kepadanya.
Ia selalu berusaha memecahkan permasalahan yang terjadi di lingkungan
sekitarnya. Seperti halnya ketika Subali beradu mulut dengan orang tua Utari
perihal Utari yang meminta tinggal di rumah orang tuanya.
(60) Waktu itulah Ngurah dan pengawalnya datang. Ia langsung mengusut. ”Ada apa ini?” David segera bertindak untuk menjelaskan. Tapi Ngurah memandanginya dengan curiga dan marah. “Saudara siapa? Jangan ikut campur urusan desa kami!” David masih mencoba menerangkan. “Terima kasih. Kami lebih mengerti tentang soal-soal di sini daripada Saudara. Lebih baik Saudara cepat-cepat saja pergi!” (hlm. 34)
Tidak sampai di situ saja peran serta Ngurah. Ia bahkan menenangkan
warga desa yang marah ketika Subali tidak datang (lagi) menghadiri rapat desa.
Warga desa sepakat tuk mengeluarkan Subali dari krama-desa.
(61) Rapat itu kacau. Ngurah cepat bertindak menenangkan mereka. “Stop-stop! Tenang-tenang! Jangan mudah terpengaruh!” dia berusaha menenangkan mereka. “Subali tidak salah. Orang asing itu tidak salah. Kita terlalu bodoh. Kitalah yang salah.” (hlm. 69)
41
Ngurah sangat pemalu dalam mengutarakan hatinya. Ia selalu memendam
perasaan kepada Utari, bahkan ketika ia kangen dengan Utari, ia mencoba
bersikap biasa saja.
(62) Wanita itu memandangi Ngurah dengan kangen. Lelaki itu juga tampaknya rindu, tapi sebagaimana biasanya ia selalu mencoba menutupi perasaan. (hlm. 91)
3.5 Subali
Subali merupakan bapak dari Sunatha. Ia seorang kepala keluarga yang
mempunyai sifat keras. Hal ini diketahui ketika Utari memaksa meminta pulang
ke rumah orang tuanya dan ia tidak mau tinggal di rumah Sunatha. Subali enggan
menuruti kemauan anak mantunya itu, karena setelah menikah dengan Sunatha,
praktis Utari menjadi bagian dari keluarga Subali. Akhirnya, terjadi perang mulut
antara Subali dengan orang tua Utari.
(63) ”Ini menantu saya, saya bertanggung jawab. Buruk atau baik, sayalah yang harus memeliharanya selama Sunatha tidak ada.” ”Tapi dia ingin pulang.” Rumahnya sekarang di sini. Makan atau tidak makan dia harus di sini.” (hlm. 31)
Ketika diajak David pergi ke Denpasar, Subali merasa bimbang dan segan
kepada warga desa lainnya karena ia sudah sering menghindar dari kerepotan
desa. Setelah mendengar penjelasan dari David ia memutuskan setuju untuk pergi
menemani David ke Denpasar. Terlihat jelas bahwa Subali sangat mudah
dipengaruhi pendiriannya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
(64) ”Tapi sudah beberapa kali saya tidak muncul di desa gara-gara ikut David.” ”Normal, kan. Bapak tidak salah. Kalau Bapak tidak bisa datang masak harus datang, itu omong kosong.” ” Tapi bagaimana kata orang nanti?” (hlm.52)
42
Kedekatan antara Subali dengan David semakin erat. David mencoba
menjadikan Subali sebagai seorang pahlawan pembaruan di desanya. Desa yang
dianggap David sebagai desa yang ketinggalan zaman karena masih memegang
teguh tradisi.
(65) Bapak harus bikin pembaruan di desa ini. Kalau tidak siapa lagi? Di sini harus ada rumah-rumah sekolah, harus ada listrik, dan harus hidup praktis. (hlm. 51)
(66) ”Untuk jadi pahlawan diperlukan keberanian. Kita sudah mulai
sekarang. Jangan mundur. Hari depan desa ini di tangan Bapak.” (hlm. 70)
Semenjak kenal dengan David, perangai Subali berubah. Ia menjadi
seseorang yang mudah marah. Hal ini dapat dilihat ketika Sunithi mencegah
Subali untuk pergi ke Denpasar karena ibunya sedang sakit dan para warga desa
sedang bekerja bakti memugar pura. Sunithi mengharapkan Subali untuk datang
membantu warga desa.
(67) “Tapi meme sakit. Bapak tidak boleh pergi. Bapak tidak ikut kerja ke pura sekarang?” ...Tapi kemudian Subali marah. ”Bapak sekarang tidak peduli sama meme lagi!” ”Diam! Anak kurang ajar. Berani-berani kamu sekarang!” Sunithi ketakutan. Dia belum pernah melihat perangai bapanya seperti itu. (hlm.72)
Tidak hanya itu, sepulang dari Denpasar, Subali mulai mempunyai pola
pemikiran yang lain. Ia mengalami kebimbangan dalam hidupnya. Ia mulai sangsi
dengan pola hidupnya yang dulu di desa.
(68) Subali kini melihat apa yang terjadi di desanya dengan cara lain. Ia mulai sangsi, apakah ia akan bisa meneruskan hidup dengan cara-cara yang lama. Tetapi ia juga sangsi apakah ia sanggup untuk bertentangan dengan orang banyak. (hlm. 99)
43
(69) Dekat penambangan itu ada losmen yang menampung beberapa pelacur asal Banyuwangi. Subali hanya senyum-senyum saja. Dahulu ia bisa naik pitam kalau ditawari macam itu. (hlm. 100)
3.6 David
David adalah seorang pria bule yang mempunyai hobi memotret dan
mencatat segala sesuatu yang ditemuinya. Ia mempunyai paradigma yang jelek
tentang adat ketimuran dan pola pikirnya cenderung mengkritik. Hal ini
dilukiskan dalam kutipan berikut.
(70) Seorang bangsa asing turun dari bis di stanplat. Ia membawa alat-alat untuk memotret. Ia memandangi keadaan sekitarnya dengan muka yang keruh. Lalu mencatat di notesnya segala kebobrokan yang dilihatnya. ”Banyak anjing berkeliaran, banyak babi berkeliaran. Penduduk terlalu banyak. Banyak orang sakit. Anak-anak banyak yang tidak sekolah. Perumahan banyak yang tidak sehat. Banyak orang bermalas-malasan dan menyia-nyiakan waktu. Tragis.” (hlm. 4).
Kritikannya kepada keadaan di sekitarnya yang ia rasa tidak pas tidak
sampai di situ saja. Ia bahkan menasehati seorang kernet bis. Hal ini dapat dilihat
dalam kutipan berikut.
(71) ”Dalam tempo sepuluh tahun, kalau Saudara-saudara tetap malas seperti sekarang, Saudara akan hancur. Anak-anak ini harus sekolah. Semua orang harus bekerja, melakukan hal-hal yang praktis dan membuang semua yang tidak perlu.” (hlm. 5)
Menjelang keberangkatan Sunatha ke Kupang, sewaktu berada di
pelabuhan, David berbincang dengan Sunatha. Ia menganggap pernikahan
Sunatha hanya menghambur-hamburkan uang saja ketika kehidupan masyarakat
desanya masih banyak yang kekurangan dan menderita. Kritikan David ini
terdapat dalam kutipan berikut.
44
(72) Perkawinan Saudara saja, maaf, sebetulnya hanya menghambur-hamburkn uang. Padahal, di desa sudah terlalu banyak penduduk, penghasilan tidak ada, dan usaha-usaha lain tidak ada.” (hlm. 22)
Ia menularkan ide gagasannya itu ke Subali. Ia memandang bahwa tradisi
gotong royong itu tidak perlu, merugikan beberapa pihak karena merasa terbebani.
Pola pemikiran barat yang cenderung individualis, egoisme, dan praktis coba ia
terapkan kepada warga desa lewat media perantara Subali. Pola pikir David itu
dilukiskan dalam kutipan berikut.
(73) ”Lihat,” kata orang asing itu, sambil menunjukkan tanah-tanah yang gundul sepanjang jalan. ”Bapak bisa lihat sendiri, bahwa negeri ini sebetulnya kaya raya, tetapi disia-siakan karena tidak ada sistem kerja yang praktis. Gotong royong memang baik, tapi harus diberikan arti lain sekarang. Bahwa dengan bergotong royong kita berarti memikul bersama beban besar dalam negeri ini. Artinya kalau seorang kerja sawah, yang lain tak usah ikut, tapi mengerjakan pekerjaan lainnya. Artinya juga, kalau salah satu orang mati, yang lain jangan ikut mati, tapi tetap terus hidup melanjutkan usaha-usaha yang lain.” (hlm.27)
(74) Ia memberikan bukti-bukti bahwa semua orang harus mulai
menjauhi hidup berkelompok yang saling gerogot-mengerogoti. Ia berikan bukti-buktinya segala ketidakpraktisan di kampung yang hanya menjadikan gotong royong itu sebagai pangkal kemiskinan. (hlm. 52)
Ketika di Denpasar, David mengajak Subali berkeliling sambil
menjelaskan pemikirannya. Ia memberikan kemewahan kepada Subali yang tak ia
dapatkan di desa. David menganggap desa mengekang kebebasan pribadi
seseorang. Dan ia menjelaskan bahwa orang asing seperti dirinya adalah pahlawan
karena tidak mau terikat suatu sistem tradisi
(75) Apakah dengan semua itu Anda tetap berbahagia dengan segala kemacetan Anda di desa. Di desa yang sudah begitu kuasa merebut jiwa dan kesempatan-kesempatan Anda sebagai manusia pribadi?” ...”Mereka semua adalah pahlawan-pahlawan seperti
45
apa yang sewajarnya mereka perbuat. Mereka menolak suatu tata cara kuno yang telah lama terbukti tidak benar. (hlm. 81-82)
3.7 Weda
Weda adalah tetangga sekaligus teman bermain Sunithi. Ia dan Sunithi
menjalin suatu hubungan percintaan. Ia dekat dengan keluarga Sunatha. Bahkan
menjelang kepergian Sunatha ke Kupang, ia menitipkan keluarganya kepada
Weda. Adegan ini digambarkan dalam kutipan berikut.
(76) Sunatha memberi isyarat kepada Weda, pacar Sunithi mendekat. ”Tolong jaga baik-baik Sunithi dan Utari.” ”O ya, tentu.” (hlm. 23)
Weda berkerja sebagai petani penggarap di salah satu sawah milik
Ngurah. Ini diketahui ketika Weda diancam oleh Ibu Utari ketika ia mencoba
melerai perdebatan antara Sunithi dengan ibu Utari yang menuduh Sunatha telah
mengguna-gunai anaknya.
(77) ”Kamu juga ikut-ikuan dia! Kalau Ngurah tahu kamu sekongkol dengan tukang guna-guna itu, sawah kamu pasti dicabut. (hlm. 47)
Melihat kedekatan Ngurah dengan Utari, Weda menarik kesimpulan
bahwa Ngurahlah dalang di balik semua kekacauan yang terjadi di keluarga
Sunatha. Ia berpikir Ngurah mencoba mencari kesempatan dalam kekacauan
tersebut.
(78) ”Aku makin curiga, sekarang semuanya ini diatur oleh Ngurah. Bangsat itu mentang-mentang kaya, maunya memerintah semua orang. Dikiranya semuanya bisa dibeli.” (hlm. 49)
46
Weda sangat perhatian dengan keluarga Sunatha. Ketika Subali sudah
tidak sering menghadiri rapat maupun membantu dalam kerepotan desa, Ia rela
menghampiri Subali dan menjemputnya agar sudi datang ke rapat desa
bersamanya. Ia khawatir karena Subali sudah menjadi bahan perbincangan warga
desa dan akibat lebih jauhnya Subali bisa dikelurkan dari krama-desa.
(79) ”Kok, saban ada kerepotan desa, terus sakit. Nyoman, ini penting. Bapak harus datang. Nanti dia dikeluarkan dari krama-desa. (hlm. 62)
Weda cemburu melihat kedekatan Sunithi dengan David. Merasa diberi
tanggung jawab oleh Sunatha untuk menjaga keluarganya, maka Weda melarang
Sunithi berhubungan dengan David. Ia menganggap David adalah orang yang
berbahaya dan harus dijauhi. Kecemburuan Weda semakin memuncak tákkala
melihat David mengobrol dengan Sunithi. Ini dapat disimak dalam kutipan
berikut.
(80) David memegang pundaknya dan membisikkan sesuatu sambil masuk. Weda melihat semuanya itu dengan cemburu sekali. Matanya melotot. Dia menunggu beberapa saat. Masih terdengar David berbisik-bisik pada Sunithi. Weda mencoba mengintip. Tapi pikirannya sudah tak karuan. Ia hanya melihat bayangan Sunithi dan David berdekatan. (hlm 63)
(81) Rumah Subali masih terang. Weda mencoba mengintip. Didengarnya suara-suara David dan Sunithi. Geramnya bertambah. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Tetapi kemudian ketika ia mendengar suara ketawa David, ia tidak dapat menahan dirinya mengambil batu.Begitu saja dilemparkannya ke atas rumah Subali bertubi-tubi. (hlm. 70)
Karena kecemburuannya yang membabi buta itu, pada rapat desa ia
menjelek-jelekkan David. Warga desa gempar dan rapat pun menjadi panas.
47
Mereka tidak menyalahkan David tetapi malah menyalahkan Subali, yang
merupakan ayah Sunithi. Weda tidak menduga permasalahannya akan menjadi
begini. Ia merasa menyesal telah mengadukan David yang berujung pengucilan
keluarga Subali.
(82) Pada saat itu Weda baru mulai mengerti apa yang dengan tak sadar dilakukannya. Ia terkejut, lalu mundur perlan-lahan. Ia menyesal sekali. Rapat itu menjadi panas. (hlm.69)
Weda merasa Sunithi telah mengkhianati cintanya. Ia meminta penjelasan
dari Sunithi. Bukannya mendapat jawaban, ia malah beradu mulut dan bertengkar.
Karena emosi, Weda memutuskan untuk mengakhiri kisah percintaan mereka. Hal
ini terdapat dalam kutipan berikut.
(83) “Kalau begitu kita putus! Teriak Weda. “Ayo putus kalau mau putus. Biar!” “Biar kamu ditipu orang asing itu. Biar bapakmu dikeluarkan dari krama desa. Putus!” “Biar! Biar! Aku tidak peduli!” “Awas!” Weda lari. “Kamu juga awas!” (hlm. 74)
3.8 Renti
Renti adalah pengawal pribadi Ngurah. Ia seorang jagoan desa dan
mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap majikannya. Hal ini dapat diketahui
ketika Ngurah sedih mengetahui pernikahan antara Sunatha dan Utari. Bahkan, ia
mengusulkan kepada Ngurah untuk membawa lari Utari. Hal ini ditegaskan dalam
kutipan berikut.
(84) Pengawalnya, seorang yang dianggap jagoan dalam desa, datang menunjukkan rasa berang. Dia siap untuk melakukan segala sesuatu kalau memang diperlukan. ”Kita rebut saja sekarang, larikan ke Jawa. Saya yang menanggung resikonya,” usulnya (hlm. 2-3)
48
Karena geram melihat pernikahan Utari-Sunatha menyebabkan
majikannya menderita maka Renti mendekati ibu Utari. Ia menyogok ibu Utari
dengan sebuah hadiah. Ia menjelek-jelekkan Sunatha dan menyebarkan isu bahwa
Utari kena guna-guna. Peristiwa itu digambarkan dalam kutipan berikut.
(85) Perempuan itu mengacungkan bungkusan yang baru saja diterimanya. ”Simpan saja. Nanti kalau sudah sampai di rumah dibuka.” perempuan itu jadi bimbang. ”Ini betul?” Renti jadi penasaran. ”Makanya lihat-lihat dulu. Masak Sunatha yang dikasih. Apa coba kelebihan guru itu. Mau berangkat ke Kupang lagi besok pagi. Ini apa tidak kelewatan? Kena guna-guna barangkali ya!” (hlm. 12)
Renti sebetulnya menaruh hati kepada Sunithi. Walau seorang jagoan
berkelahi, dalam soal percintaan ia bukan ahlinya. Kadang ia menutupi rasa
sukanya dengan bersikap kasar terhadap Sunithi. Hal ini dapat dilihat ketika ia
mencoba mengajak Sunithi untuk menonton drama gong bersamanya.
(86) ”Mau kemana Nyoman?” Sunithi pura-pura tidak mendengar. ”Hei, mau kemana?” ”Oh, Pak Wayan.” ”Pura-pura tidak dengar. Mau kemana?” ”Ndak. Ke situ.” ”Nanti malam nonton drama gong yuk.” Sunithi tersenyum. ”Dimana?” ” Desa sebelah. Mau? Boncengan sepeda ke sana.” (hlm. 43)
Perasaan Renti kepada Sunithi lebih ditegaskan oleh Ngurah lewat kutipan
berikut.
(87) ”Renti! Kamu pagi-pagi sudah bikin ribut. Kalau kamu kasari Weda malahan Nyoman makin jauh dari kamu.” (hlm. 48)
Berdasarkan keseluruhan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa
tokoh dan penokohan dalam novel TTM karya PW adalah Sunatha sebagai tokoh
utama yang utama sedangkan tokoh utama tambahan adalah Sunithi, Utari, dan
49
Ngurah.dan sebagai tokoh tambahan utama adalah Subali, David, Weda, serta
Renti yang berfungsi mendukung keseluruhan cerita.
Tokoh Sunatha dilukiskan mempunyai karakter yang bertanggung jawab,
perhatian terhadap keluarga, bijaksana, dan sportif. Sunithi digambarkan sebagai
gadis desa yang tegas, berani, mandiri, suka menjaga perasaan orang lain. Utari
digambarkan sebagai gadis cantik yang mempunyai watak supel dan gampang
cemas. Sedangkan Ngurah digambarkan seorang yang kaya, berwibawa, dan suka
memendam perasaan. Subali dilukiskan sebagai kepala keluarga yang bersifat
keras, pemarah, mudah berubah pikiran. David, orang asing yang mempunyi sifat
idealis, Weda, lelaki pencemburu dan perhatian, dan Renti, seorang jagoan desa
yang suka main tangan, pemarah, dan kasar.
50
BAB IV
LATAR CERITA
Pada bab ini akan menjelaskan latar atau setting cerita dalam novel TTM
karya PW. Secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian, yaitu latar tempat, latar
waktu, dan latar sosial.
4.1 Latar tempat
Latar tempat menyaran pada pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Dalam novel TTM ini, hampir keseluruhan
cerita bersetting di Bali. Adapun latar tempat yang akan dianalisis adalah
pelabuhan, desa, dan Denpasar.
4.1.1 Pelabuhan
Setting cerita di pelabuhan meliputi juga penceritaan sewaktu berada di
atas kapal. Peneliti mengaitkan hal ini karena masih ada korelasi antara kedua
tempat tersebut.
Ketika Sunatha akan berangkat ke Kupang untuk mengajar karena
tanggung jawabnya sebagai seorang guru, keluarga serta kerabat Sunatha ikut
mengantar ke pelabuhan. Utari merasa sedih melepas kepergian Sunatha. Ia
menangis sampai bengkak-bengkak matanya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan
berikut.
(88) Utari, istri Sunatha, tampak bengkak matanya. Mereka memasuki kedai dan bermaksud untuk makan siang, menunggu kapal berangkat. (hlm. 21).
51
Perpisahan Utari dengan Sunatha begitu mengharukan. Utari sepertinya
tidak rela melepas kepergian Sunatha. Dengan terpaksa Sunatha berpamitan. Hal
ini digambarkan dalam kutipan berikut.
(89) Kapalnya segera akan berangkat. Sunatha mengangkat kopornya. Ia memegang Utari, lalu berjabatan tangan dengan semua orang. Kemudian ia memegang pundak Utari dengan mesra. (hlm.22).
Sunatha tidak tega meninggalkan Utari. Ia tidak tahan dengan air mata
wanita seakan-akan ia pihak yang salah. Ia menetapkan hati untuk naik ke kapal.
(90) Sunatha berjalan ke atas kapal. Ia tidak berani menengok ke belakang. Ia hanya mendengar suara tangis itu seperti melemparinya dengan berbagai macam tuduhan, (hlm. 24)
Sunatha merasa ragu apakah kepergiannya ke Kupang ini merupakan suatu
keputusan yang tepat. Banyak orang menangisi kepergiannya, termasuk Sunithi,
adik semata wayangnya. Pelukisan peristiwa ini terdapat dalam kutipan berikut.
(91) Udara sangat cerah. Kemudian peluit kapal berbunyi untuk yang terakhir kalinya semua orang saling melambai. Sunatha akan sulit untuk menghargai kebijaksanaannya waktu melihat ke pantai. Di sana Sunithi menangis kelabakan. Wanita itu memang masih muda untuk menerima perpisahan semacam itu. Ia mulai ragu-ragu adakah semuanya akan bisa berlangsung sebagaimana yang dia rencanakan, (hlm. 24)
Utari shock akan kepergian Sunatha. Ia meronta-meronta dan tidak mau
beranjak dari bibir pantai. Karena kelakuannya itu, ia menjadi pusat perhatian
orang-orang di sekitar pelabuhan.
(92) Di sana Utari makin kelabakan. Ia meronta-ronta, seakan-akan baru sadar bahwa keadaan itu terlalu berat baginya. Ia tidak mau meninggalkan pantai, meskipun kapal sudah jauh benar. Tangannya dipegang. Orang-orang di pelabuhan mulai tertarik kepada kelompok yang tampaknya sangat desa itu. (hlm.26)
52
Sunatha sepertinya tidak biasa menaiki moda transportasi kapal. Ia
mengalami mabuk laut. Karena gangguan tersebut, ia ditolong oleh penumpang
lain, dan akhirnya mereka berkenalan dan akrab, serta menjadi teman
seperjalanan.
(93) Diatas kapal yang sedang berlayar, Sunatha mabok laut. Seorang penumpang lain menolongnya. Orang itu, ternyata seorang guru, yang juga sedang pindah tugas ke Kupang seperti Sunatha. Mereka cepat menjadi kawan baik. (hlm. 29)
Di atas kapal, Sunatha juga berkenalan dengan kapten kapal yang
menahkodai kapal yang ia tumpangi tersebut. Kapten kapal itu menceritakan
kisahnya yang sudah mengarungi banyak lautan kepada Sunatha.
(94) ”Lihat,” katanya menunjuk ke tengah laut, ”Kapal ini sudah berusia 15 tahun. Saya sudah 10 tahun di atasnya. Mengapa segalanya tidak ada yang berubah? Saya ingin ke darat dan berhenti jadi pengembara. (hlm.36)
Setelah merantau selama setahun, Sunatha pulang kembali ke desanya. Ia
khawatir dengan keadaan keluarganya setelah membaca surat yang dikirimkan
Sunithi sewaktu ia masih di Kupang. Setiba di pelabuhan, ia teringat peristiwa
setahun yang lalu dimana para sanak saudara serta kerabat melepas kepergiannya.
(95) Kapal itu mendarat di pelabuhan. Sunatha menatap ke darat dengan mata yang nanar. Hampir setahun yang lalu, di sana berdiri seluruh keluarganya. (hlm.183)
Karena tidak dapat bis menuju Tabanan, ia terpaksa menginap di kafetaria
pelabuhan. Untung pemilik kafe baik hati. Ia diperkenankan tidur di kafe jika
hanya semalam. Untuk menghilangkan beban pikirannya, ia jalan-jalan di pinggir
pantai.
53
(96) Sunatha berjalan-jalan di pantai. Ia meninggalkan kopornya di kafetaria. Tak mungkin lagi untuk pulang ke Tabanan hari itu. Ia harus menunggu sampai besok pagi. Ibu pemilik kafe menunjukkannya sebuah losmen, tapi ia juga diperkenankan tidur di atas meja dalam kafe, kalau hanya untuk semalam. (hlm. 188)
4.1.2 Desa
Pada umumnya desa di Bali, desa itu juga memiliki Balai Banjar sebagai
tempat berkumpul warga desa dan tempat untuk berlatih kesenian. Hal ini dapat
dilihat dari kutipan berikut.
(97) Pengawal Ngurah lari untuk mengatakan hal itu pada Ngurah yang sedang latihan menabuh gamelan di Balai Banjar. (hlm. 32).
Di Balai Banjar pula, Renti bertemu dengan Sunithi ketika Sunithi hendak
menjenguk Utari, kakak iparnya. Renti mengajak Sunithi untuk pergi nonton
drama gong bersamanya.
(98) Sunithi kelihatan keluar dari rumahnya membawa bungkusan. Ia menyusuri jalan desa menuju ke rumah Utari. Di Balai Banjar, Renti──pengawal Ngurah yang baru saja bagun tidur, cepat-cepat berdiri. Ia merapikan dirinya dan menyapa. (hlm 43)
Sawah juga digunakan oleh PW sebagai latar tempat untuk
menggambarkan kehidupan para tokoh yang merupakan anggota dari suatu desa
yang mayoritas penduduknya adalah bertani. Ini dapat dilihat dalam kutipan
berikut ketika Subali sedang bekerja membajak sawah garapannya.
(99) Di sawah kelihatan banyak orang sedang bekerja di tanah masing-masing. Subali juga sedang bergulat dengan lumpur dan sapinya. (hlm. 48)
54
Weda cemburu melihat kedekatan David dengan Sunithi. Ketika David
belajar membajak sawah dan ia terpeleset terjatuh, Sunithi malah tertawa geli
melihatnya. Weda geram menyaksikan keceriaan mereka berdua.
(100) Tiba-tiba ia tertawa cekakan karena di kejauhan tampak David berusaha membajak sawah dengan sapi itu. Kelihatan sangat kaku. Apalagi ia tiba-tiba terpeleset dan jatuh ke lumpur. Sunithi tertawa terpingkal-pingkal, lalu mendekat. Sedangkan David berlumuran lumpur mengangkat tangannya dengan gembira. Hanya Weda yang tidak senang. (hlm. 53)
Setelah dari Denpasar, Subali menjadi stress, Sunithi menggantikan
perannya sebagai kepala keluarga. Gadis manis itu terpaksa mengangkat cangkul
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
(101) Sunithi memeriksa padi-padi yang rebah. Kemudian ia menyabit rumput. Sapi yang ditinggalkannya di tegalan, membutuhkan sekeranjang rumput. (hlm. 178)
Kebanyakan rumah di desa ini mememiliki balai-balai. Biasanya balai-
balai digunakan sebagai tempat untuk beristirahat dan bercengkrama dengan
keluarga maupun kerabat. Hal ini dapat dilihat dari pemaparan berikut.
Sepulang dari pelabuhan, Utari menyesali keputusannya menikah dengan
Sunatha Ia mulai berpikir untuk mendekati Ngurah. Hal ini dijabarkan dalam
kutipan berikut.
(102) Ngurah membantu Utari duduk di balai-balai. Anehnya, gadis itu bisa lebih tenang. Tak sengaja ia justru memegang tangan Ngurah. (hlm.37)
55
Ketika kentongan sudah berbunyi memanggil warganya untuk segera
berkumpul, Subali justru bermalas-malasan. Ia berencana akan pergi ke Denpasar
dengan David. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
(103) Beberapa orang menarik tubuhnya dengan malas dari balai-balai. Istri-istri mengingatkan suaminya. Hanya Subali yang kelihatan malas. Ia malah duduk menunggu David dengan sebuah buntalan kecil di sampingnya. Di balai-balai kelihatan istrinya berbaring loyo. (hlm.58-59)
Balai desa merupakan sarana bagi warga desa berkumpul untuk
mengadakan rapat. Begitu pula ketika warga berkumpul untuk membahas
mengenai pemugaran pura dan memperbaiki jalan desa. Rapat itu juga membahas
tentang kelakuan Subali yang semakin sering tidak menghadiri rapat desa dan
tidak mau membantu bila ada kerepotan desa.
(104) Seorang tua berdiri. “Waktu istri saya mati dulu, dia tidak kelihatan, padahal dia ada di rumah. Mengakunya sakit.” “Ya.sudah sering dia tidak keluar, waktu ada kerja bakti di pura.’ (hlm.66)
Ketika hendak berangkat ke Denpasar dengan David, Subali enggan
melewati pura dan memaksa David untuk mencari jalan pintas lain. Ia segan
dengan warga desa yang sedang berkerja bakti memugar desa.
(105) Subali dan David sudah mencapai jalan besar. Mereka hendak ke Denpasar. Subali bermula hendak mencari jalan memintas supaya jangan melewati pura, tempat orang-orang bekerja, tapi David dengan tersenyum memaksanya lewat desa. (hlm. 75)
4.1.3 Denpasar
Di Denpasar, Subali diajak berkeliling oleh David. Ia diajak ke restoran,
pantai, dan bioskop untuk menikmati kemewahan yang tidak pernah ia dapatkan
56
di desa. Selama berkeliling, David banyak berbicara tentang pola pikirnya dalam
memandang adat ketimuran. Ia mencoba mempengaruhi pola pikir Subali yang
masih polos pedesaan.
(106) David kemudian membawa Subali ke hotel. Menikmati segala sesuatu yang belum pernah dikecap oleh Subali. Membuat orang tua itu nyap-nyap. “Lihat ini semuanya,” kata David dalam restoran, “Ini tempat Anda, ini bukan hanya untuk orang-orang lain. Anda juga berhak makan seperti ini memakai sendok, garpu, pisau, dan pelayan-pelayan. Ini hak semua orang, Anda harus bertanya, kenapa semua ini tidak pernah Anda dapatkan. Kenapa?” (hlm.80)
Subali bahkan diajak David ke tempat pelacuran. Di sana ia masih
mempengaruhi pikiran Subali. David mempunyai pandangan bahwa tidak ada
orang yang suci, sekalipun ia pahlawan.
(107) Seorang pahlawan kawanku, bukan orang yang suci, meskipun dia memang orang yang berjasa. Seorang pahlawan sekarang tidak bisa bersih, dia kotor karena mereguk semuanya. ...David memilih seorang wanita. “Dan nona, ini Pak Subali, pahlawan masa depan dari sebuah desa yang kecil. (hlm. 87)
4.2 Latar Waktu
Secara garis besar, latar waktu dalam novel ini tersamarkan. Hanya
disebutkan saat pagi, siang, sore atau malam serta keterangan yang menunjukkan
waktu tertentu, waktu lampau, dan waktu yang akan datang.
4.2.1 Pagi
(108) ”Renti! Kamu pagi-pagi sudah bikin ribut. Kalau kamu kasari Weda malahan Nyoman makin jauh dari kamu.” (hlm.48)
(109) Matahari pagi, mencat langit dengan warna merah yang lembut. (hlm 71)
(110) Matahari pagi muncul dari balik laut di pantai Sanur. (hlm. 86) (111) Pagi hari, ia mengajukan lagi pertanyaan pada Utari. (hlm. 97) (112) Pagi esoknya ia mencari kopi di penambangan suci. (hlm. 100)
57
(113) Esok harinya, Ngurah benar-benar yakin, Utari masih perawan. (hlm. 121)
(114) Pagi yang sudah mulai dimakan oleh panas itu, cerah. (hlm. 176) (115) Pagi-pagi buta, Sunatha naik bis menuju Tabanan. (hlm. 207) (116) Fajar telah membayang. Sunatha berjalan-jalan ke depan orang
banyak itu dengan tangan terbuka. (hlm. 224)
4.2.2 Siang
(117) Mereka memasuki kedai dan bermaksud untuk makan siang, menunggu kapal berangkat. (hlm.21)
(118) Mereka berpandang-pandangan. Upacara siang tadi cukup melelahkan. (hlm.15)
(119) Takkala hari mulai siang, keduanya melakukan perjalanan yang panjang. (hlm. 86)
(120) Matahari membakar punggungnya. (hlm. 178) (121) Tengah hari bisnya sampai di Tabanan.(hlm. 208)
4.2.3 Malam
(122) Malam hari dipertunjukkan Drama Gong. Subali tampak berbicara terus menerangkan sesuatu pada David. (hlm.10)
(123) Tengah malam ia terbangun. Suara Drama Gong belum putus. Sayup-sayup ia dengar suara istrinya mengisak di tempat tidur. (hlm.19)
(124) Mobil yang ditumpangi oleh mereka yang mengantar Sunatha, tiba kembali di desa setelah hari gelap. (hlm.30)
(125) Malam hari. Orang tua tukang pukul kentongan itu menaiki tangga di pohon beringin yang menuju ke tempat kentongan. (hlm.58)
(126) Malam itu Ngurah bicara panjang lebar dengan Utari. (hlm. 97) (127) Semalam suntuk ia tidak bisa memicingkan mata. (hlm. 97) (128) “Sudah malam. Ayo tidur!” (hlm. 121) (129) ..., ia masuk ke tengah malam membawa obor melihat air di
pematang. (hlm. 178)
4.2.4 Waktu Tertentu
(130) “Dalam tempo sepuluh tahun, kalau Saudara-saudara tetap malas seperti sekarang,.. (hlm.5)
(131) “Puluhan tahun Bapak memimpin kamu semunya. (hlm. 78) (132) ”Lihat. Kini Anda melihat semuanya. (hlm. 81) (133) Lain pada suatu hari, cerita itu sampai ke bis yang menuju ke
desa Sunithi. (hlm. 136)
58
(134) Hampir setahun yang lalu, di sana berdiri seluruh keluargnya. (hlm. 183)
4.2.5 Waktu lampau
(135) “Sejak dulu orang selalu menyebarkan fitnah atas keluargaku. (hlm. 32)
(136) Dulu siapa yang mengusulkan guru itu dijadikn menantu. (hlm. 38)
(137) “Jadi kamu tidak diapa-apakan kemarin?” (hlm. 39) (138) “Dulu waktu tamasya ke Tanah Lot dia membelikan aku es di
pinggir jalan. Sejak saat itu saya selalu ingat-ingat dengan dia.” (hlm.38)
(139) Dulu, meme waktu habis kawin juga makan itu, supaya nanti kandungannya bagus. (hlm.60)
(140) “Waktu istri saya mati dulu, dia tidak kelihatan, padahal dia ada di rumah. (hlm.66).
(141) “Semalam dia ada di sini. Mabok.” (hlm. 100)
(142) “Dulu, malam pertama dengan Sunatha, kamu benar-benar tidak diapa-apakan?” (hlm. 121)
4.2.6 Waktu yang akan datang
(143) “Besok pagi kita harus bangun pagi-pagi benar, sebab dari sini ke pelabuhan memakan waktu 6 jam. (hlm. 18)
(144) “Nanti malam nonton drama gong yuk.” (hlm. 43) (145) “Besok saya mau ke Banyuwangi. Ada urusan dagang. (hlm. 94)
4.3 Latar Sosial
Latar sosial mencakup penggambaran kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan cara bersikap yang
diceritakan tergambar dalam novel TTM karya PW.
Pembahasan mengenai latar sosial dalam penelitian ini dititikberatkan
pada latar sosial Bali.
59
4.3.1 Lingkungan Masyarakat Pedesaan
Latar sosial yang digambarkan dalam novel TTM karya PW adalah
lingkungan masyarakat pedesaan di Bali yang cenderung melihara anjing dan
babi. Sebagian besar warga desa hidup dari cara bercocok tanam dan bertani.
(146) “Banyak anjing berkeliaran, banyak babi berkeliaran. (hlm.4) (147) Hampir seluruhnya mengandalkan periuk nasi mereka pada kerja
tani. (hlm.41) (148) Padi sudah mulai menguning. Desa itu sedang memasuki musim
panen.(hlm.176) (149) Akan tetapi sawahnya termasuk bagian yang paling subur di
bilangan desa. Tanah itu selalu memberikan hasil yang membuat iri para warga desa yang lain. Panen yang dihasilkannya selalu melimpah. (hlm.177)
4.3.2 Rasa Kekeluargaan dan Sifat Gotong Royong
Para warga desa itu memiliki rasa kekeluargaan dan gotong royong yang
masih tinggi. Semua pekerjaan yang bersifat umum mereka kerjakan bersama-
sama. Mereka menggunakan kentongan sebagai alat komunikasi tuk memanggil
para warganya datang menghadiri rapat.
(150) Hidup kekelompokan mereka masih ketat. ..., akan tetapi usaha-usaha bersama─karena dilakukan secara beramai-ramai ─jadi begitu menonjol. (hlm. 41)
(151) ..., setiap warga desa bersiap-siap untuk melakukan kerja bersama. Baik perbaikan jalan, merapikan pura atau kerja bakti yang lain. Mereka berbondong-bondong datang dan melakukan semua kerja bersama itu dengan gembira, penuh seloroh dan bangga. (hlm.42)
(152) Di sana tampak orang-orang bekerja. Pura itu dipugar dalam suasana gotong royong yang tulus. Semua orang tampak gembira dan bekerja dengan giat. (hlm. 76)
(153) Dan di tengah desa ada sebuah pohon beringin dengan rumah-rumahan tempat kentongan desa tergantung (hlm.42)
(154) Kemudian dengan teratur ia memukul kentongannya. Seluruh desa, seakan-akan dijelajah oleh suara yang memukau itu. (hlm.58)
(155) Pukulan kentongan itu memanggil penduduk desa untuk rapat. (hlm 58)
60
(156) Ini sudah kentongan kedua. Bapak ada,kan?” (hlm.61)
4.3.3 Penggunaan Bahasa Daerah atau Dialek-dialek Tertentu.
(156) “Nah lihat sekarang, dari dulu sudah meme nasihati,... (hlm.2) (157) “Aku kira Sunatha tadinya wangdu (impoten) akhirnya dapat
Utari, hebat juga dia!” (hlm. 3) (158) “Kalian jangan begitu, beli Sunatha kan mau berangkat ke
Kupang besok pagi.” (hlm.4) (159) Maunya main-main saja. Kalau diajak nonton bioskop baru
bungah!” (hlm. 20) (160) ”Mbok, jangan begitu Mbok, sadar!” (hlm. 28) (161) ”Meme bawa aku pulang. Aku tidak mau di sini. Bawa aku
pulang!” (hlm. 32) (162) ”Dia wangdu! Aku tidak mau lagi ke sana! Aku tidak mau!”
(hlm. 39) (163) ”Ke sawah, beli?” (hlm.43)
4.3.4 Penggunaan Kultur Budaya dan Religi
(164) ..., sehingga secara tak sengaja ia menaiki sebuah sanggah untuk sesajen di halaman. (hlm.7)
(165) Suara drama gong santer masuk ke dalam kamar. (hlm. 19) (166) ”Kami merencanakan untuk memperbaiki pura kami menjelang
odalan besar-besaran yang akan datang.”(hlm.52) (167) ”Nanti Bapak dibuang oleh krama desa!” (hlm. 61) (168) Sudah sering Bapak tidak ke banjar. (hlm.61) (169) ”aku sudah lama tidak sembahyang di pura.” (hlm.124) (170) ...sekarang Hyang Widdhi Wasa sudah menjatuhkan
hukumannya. (hlm. 225)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar tempat dalam
novel TTM karya PW terjadi di pelabuhan, desa, dan Denpasar. Sedangkan latar
waktu dominan terjadi pada pagi, siang, dan malam. Ada beberapa penyebutan
waktu yang meliputi waktu tertentu, masa lampau dan masa yang akan datang.
Untuk latar sosial, dapat diketahui dari penggambaran kultur sosial masyarakat
desa, penggunaan bahasa daerah dan dialek-dialek tertentu, serta pelukisan kultur
budaya dan religi.
61
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis di atas maka peneliti menarik kesimpulan bahwa
analisis novel TTM karya PW ini dilakukan dengan meneliti unsur intrinsik yang
meliputi alur, tokoh dan penokohan, serta latar atau setting, dalam hal ini
mengunakan teori dari Burhan Nurgiyantoro (2010). Berdasarkan uraian di atas,
peneliti menyimpulkan bahwa alur dalam novel TTM karya PW termasuk alur
progresif, lurus atau maju. Karena peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis.
Peristiwa yang pertama mengakibatkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa
berikutnya. Hal ini dapat diketahui dari peristiwa pernikahan Utari-Sunatha
sampai dengan perkenalan antara David dengan Subali (dalam tahap awal)
menyebabkan munculnya gesekan-gesekan konflik yang menimbulkan peristiwa
berikutnya yang dirangkum lebih lanjut dalam tahap tengah. Kemudian
diselesaikannya atau dimunculkannya solusi semua permasalahan yang
dijabarkan dalam tahap selanjutnya, yaitu tahap akhir.
Selain itu, plot novel ini bila ditinjau dari segi plot berdasarkan kriteria jumlah
termasuk dalam golongan plot-subplot (alur ganda) karena lebih dari seorang
tokoh yang diceritakan perjalanan hidupnya, permasalahan, dan konflik yang
dihadapinya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa bab yang ceritanya tidak hanya
terpusat pada satu tokoh saja. Diceritakannya tokoh Sunatha dengan segala
permasalahannya ketika ditinggal selingkuh oleh Utari. Tokoh Ngurah yang
62
melarikan Utari (yang statusnya pada waktu itu masih istri sah Sunatha), dan takut
jika perselingkuhannya diketahui oleh warga desa. Tokoh Sunithi yang hidupnya
menderita karena mendapat sanksi sosial dari warga desa karena perbuatan
bapaknya, Subali.
Sedangkan jika dilirik dari pembedaan plot berdasarkan kriteria kepadatan,
alur cerita dalam novel TTM ini termasuk longgar, karena perpindahan peristiwa
penting satu menuju ke peristiwa penting yang lain diselai oleh peristiwa
tambahan, serta pelukisan latar dan suasana yang sangat kental sekali aroma
Balinya. Hal ini diketahui dari setiap bab yang selalu menggambarkan suasana
dan deskripsi setting yang detail sehingga pembuat pembaca seolah-olah hadir
atau mengalami sendiri peristiwa yang dikisahkan.
Dalam menganalisis alur, peneliti memaparkan jalan cerita secara
berurutan, sehingga mempermudah peneliti untuk menganalisis penokohan
Sunatha, Sunithi, Ngurah, Utari, Subali, Weda, David, dan Renti. Dari hasil
penelitian, dapat disimpulkan bahwa tokoh dan penokohan dalam novel TTM
karya PW adalah Sunatha sebagai tokoh utama yang utama sedangkan tokoh
utama tambahan adalah Sunithi, Utari, dan Ngurah.dan sebagai tokoh tambahan
utama adalah Subali, David, Weda, serta Renti yang berfungsi mendukung
keseluruhan cerita.
Tokoh Sunatha dilukiskan mempunyai karakter yang bertanggung jawab,
perhatian terhadap keluarga, bijaksana, dan sportif. Sunithi digambarkan sebagai
gadis desa tegas, berani, mandiri, suka menjaga perasaan orang lain. Utari
digambarkan sebagai kembang desa yang mempunyai watak supel dan gampang
63
cemas. Sedangkan Ngurah digambarkan seorang yang kaya, berwibawa, dan suka
memendam perasaan. Subali dilukiskan sebagai kepala keluarga yang
bertanggung jawab, pemarah, mudah berubah pikiran. David, orang asing yang
mempunyi sifat idealis, memandang rendah adat ketimuran. Weda, lelaki
pencemburu, dan Renti, seorang jagon desa yang suka main tangan, pemarah dan
kasar.
Selain itu dengan menganalisis alur, peneliti juga dipermudah untuk
menganalis latar cerita yang meliputi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
Pada unsur latar tempat peneliti menemukan adanya beberapa lokasi yang
mendukung jalannya cerita, meliputi pelabuhan, desa, dan Denpasar. Latar waktu
dalam novel ini meliputi pagi, siang, dan malam. Peneliti juga menemukan
penggunaan waktu tertentu, waktu lampau, dan waktu yang akan datang.
Sedangkan untuk latar sosial dapat diketahui dari lingkungan masyarakat
pedesaan, rasa kekeluargaan dan gotong royong, penggunaan bahasa daerah atau
dialek tertentu, pelukisan kultur budaya dan religi.
5.2 Saran
Novel TTM karya PW ini masih memiliki banyak permasalahan untuk
digunakan sebagai bahan penelitian. Novel ini dapat diteliti dengan menggunakan
pendekatan sosiologi sastra tentang sanksi sosial atau kontrol sosial yang dialami
oleh keluarga Sunatha akibat perbuatan bapaknya, Subali. Dimana keluarga
Sunatha dikeluarkan dari krama desa. Dikeluarkan dari krama desa berarti tidak
boleh mempergunakan fasilitas desa, seperti pura, jalan, kuburan, dll.. Jika tidak,
novel ini dapat ditinjau dari sisi psikologi sastra tentang pergeseran pola pikir dan
64
tingkah laku Sunithi yang tertekan karena terkena krama desa. Sunithi yang
awalnya gadis manis yang biasa-biasa saja berubah menjadi gadis yang keras,
mandiri, dan bertanggung jawab.
65
Daftar Pustaka Aminuddin.1991. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Jakarta: Gramedia. Kii, Stefanie Wini. 2007. “Sikap Tokoh Subali Terhadap Adat Istiadat di Bali
Dalam Novel Tiba Tiba Malam Karya Putu Wijaya Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra”. Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi (cet. kedelapan).
Yogyakarta: Gajah Mada University Press. “Putu Wijaya Sastrawan Serba Bisa,” 2007.URL:http://jurnalnet.com/konten.php
nama=popular&topik=6&id=66. Diunduh 12 Agustus 2010, 12.35. Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra Dari
Strukturalisme Hingga Post Strukturalisme (cet. IV). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santosa, F.X, dkk. 2004. Pedoman Penulisan Skripsi. Yogyakarta: Prodi Sastra
Indonesia Universitas Sanata Dharma. Sudaryanto. 1998. Metode Linguistik: Bagian Kedua Metode dan Aneka Teknik
Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Sumardjo, Yakob. 1984. Memahami Cerita rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Sunarti. 2008. Nilai-Nilai Budaya Dalam Novel Tiba- Tiba Malam Karya Putu
Wijaya: Tinjauan Semiotik. URL: http/etd.eprints.ums.ac.id/2357/. Diunduh 10 Agustus 2010, 09:15.
Violine, Melody. 2009. Rekonstruksi Perempuan Bali dalam Tiba Tiba Malam
http//nyanyianbahasa.wordpress.com/2009/09/01/rekonstruksi-perempuan-bali-dalam-tiba-tiba-malam/. Diunduh 10 Agustus 2010, 09:35.
Dominicus Ganang Aditya I. dilahirkan di Yogyakarta pada 1 April 1984. Lelaki yang besar dan bertumbuh_kembang di Madiun ini mengawali pendidikan sejak di bangku taman kanak-kanak di TK Dharma Wanita pada tahun 1989-1990. Dilanjutkan ke jenjang pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Manisrejo 2 Madiun pada tahun 1990-1996 dan dilanjutkan ke tingkat menengah pertama di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 4 Madiun pada tahun 1996-1999. Penulis melanjutkan pendidikan ke tingkat
atas di Sekolah Menengah Umum Negeri 3 Madiun pada tahun 1999-2002 dan kemudian melanjutkan kuliah di Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Lelaki penyuka komik dan anime ini mempunyai pendapat bahwa dunia ini luas dan belajar tidak harus di kelas.