Upload
andikapramukti
View
249
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Try
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan wilayah di berbagai Negara telah meperlihatkan kemajuan dan
perkembangan yang positif bagi masyarakat. Penyusunan rencana dan kebijaksanaan
pembangunan wilayah yang aplikatif harus senantiasa mempertimbangkan kemampuan dan
potensi masing-masing wilayah serta masalah-masalah mendesak yang dihadapi, sehingga
upaya-upaya pembangunan yang berlangsung dalam tiap-tiap wilayah benar-benar sesuai
dengan keadaan masing-masing wilayah. Hal ini berarti bahwa peningkatan pembangunan
sektoral yang akan tersebar di seluruh wilayah, sejauh mungkin akan dikaitkan dengan
pembangunan wilayah, baik untuk mengatasi permasalahan yang mendesak maupun untuk
mengembangkan sumber-sumber potensial yang terdapat dalam lingkungan masing-masing
wilayah.
Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
dan Undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pusat dan Daerah merupakan salah satu landasan yuridis bagi perkembangan otonomi
daerah di Indonesia. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa pengembangan otonomi
daerah kabupaten dan kota diselenggarakan dengan meperhatikan prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerintah dan keadilan, serta memperhatikan potensi
dan keanekaragaman daerah.
Otonomi daerah memberikan kebebasan dan peluang sekaligus tantangan bagi
pemerintah daerah dalam mengembangkan daerahnya masing-masing. Pemerintah Daerah
diberikan kesempatan yang sebesar-besarnya untuk menggali dan mengusahakan semua
potensi sector ekonomi yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan daerah dan
masyarakatnya.
Secara teoritis, hal di atas akan memudahkan pengendalian dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan kabupaten dan kota karena berbagai manfaat yang
dimilikinya: (1) menumbuhkembangkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang
demokratis, antara lain tampak pada partisipasi rakyat dalam mengambil keputusan dan
melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan dan pembangunan, (2) mendorong upaya
pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, serta memperkuat kedudukan dan
kemampuan pemerintah daerah, dan (3) meningkatkan pelayanan umum, sehingga
aparatur pemerintah daerah itu benar-benar mampu memberikan pelayanan prima kepada
masyarakat luas (Baiquni, 2005).
Hal ini, sejalan dengan yang dikemukakan oleh Syafrie (2008), bahwa implementasi
otonomi daerah di Indonesia dapat dilihat sebagai sebuah strategi yang memiliki tujuan
ganda. Pertama, diberlakukannya otonomi daerah merupakan strategi dalam merespon
tuntutan masyarakat di daerah terdapat tiga permasalahan utama, yaitu sharing of powers
distribution incomes, dan kemandirian sistem manajemen daerah. Kedua, otonomi daerah
dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat perekenomian daerah dalam
memperkokoh perekonomian nasional menuju kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan harapan otonomi daerah, maka suatu daerah kabupaten dan kota
memiliki kewenangan yang cukup luas untuk membuat perencanaan pembangunan di
wilayahnya masing-masing. Kewenangan ini mencakup perencanaan tata ruang wilayah,
akan tetapi pelimpahan wewenang ini berisikan tanggung jawab yang lebih besar, yaitu
daerah menjadi penanggung jawab utama dalam maju mundurnya suatu daerah. Hal ini
berarti daerah harus lebih mampu menetapkan skala prioritas yang tepat untuk
memanfaatkan potensi daerahnya masing-masing dengan tetap memperhatikan kelestarian
lingkungan hidup, agar pertumbuhan bias berkesinambungan, ini berarti pemerintah daerah
harus jeli dalam menetapkan visi misi, strategi, dan prioritas dalam perencanaan
pemabangunan wilayah maupun secara sektoral (Taringan, 2005).
Dalam rangka membangun daerah, pemerintah daerah perlu membuat prioritas
kebijakan. Pertemuan prioritas kebijkan diperlukan agar pembangunan daerah dapat lebih
terarah serta berjalan secara efektif dan efisien, di bawah kendala keterbatasan anggaran
dan sumber daya yang dapat digunakan. Untuk menentukan prioritas kebijakan ini,
khususnya kebijakan pembangunan ekonomi, diperlukan analisis ekonomi (struktur
ekonomi) daerah secara menyeluruh.
Dengan demikian, pembangunan daerah harus disesuaikan dengan prioritas dan
potensi masing-masing daerah. Selain itu, juga harus diperhatikan adanya keseimbangan
pembangunan antar daerah. Adanya kenyataan bahwa masing-masing daerah memiliki
potensi baik sumber daya alam, sumber daya manusia maupun kondisi geografis yang
berbeda-beda menyebabkan daerah memiliki potensi untuk berkembang. Adanya
perbedaan potensi daerah tersebut menyebabkan ada daerah berkembang secara
cepat,begitu pula sebaliknya ada daerah yang kurang dapat berkembang karena berbagai
keterbatasan yang dimilikinya. Adanya perbedaan potensi antar daerah ini menyebabkan
peran pemerintah pusat sebagai pengatur kebijaksanaan pembangunan nasional tetap
diperlukan agar timbul keselarasan, keseimbangan, dan keserasian perkembangan suatu
daerah, baik yang memiliki potensi yang berlebihan maupun yang kurang memiliki potensi
(Tjiptoherijanto, 1995).
Salah satu indicator keberhasilan pembangunan ekonomi di suatu daerah dapat
dilihat pada pertumbuhan ekonomi daerah dan semakin kecilnya ketimpangan distribusi
pendapatan masyarakat. Arsyad (1999), mendefinisikan bahwa pembangunan ekonomi
daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola
sumber daya-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara
pemerintah dan sector swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru yang akan
merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah
tersebut. Suatu perekonomian daerah dikatakan mengalami pertumbuhan atau
perkembangan apabila tingkat kegiatan ekonomi suatu masyarakat tersebut lebih tinggi dari
kegiatan ekonomi yang dicapainya pada masa sebelumnya.
Pertumbuhan ekonomi daerah pada dasarnya dipengaruhi oleh keunggulan
kompetitif suatu daerah, spesialisasi wilayah serta potensi ekonomi yang dimiliki daerah
tersebut. Potensi ekonomi di suatu daerah tidaklah berarti jika tidak ada upaya
memanfaatkan dan mengembangkan potensi ekonomi secara optimal. Oleh karena itu,
pengembangan seluruh potensi ekonomi yang potensial harus menjadi prioritas utama
untuk digali dan dikembangkan dalam rangka pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah
secara utuh.
Untuk mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam dan potensi yang dimiliki
tersebut, maka perhatian utama ditujukan untuk melihat komposisi ekonomi dengan
mengetahui sumbangan atau peranan masing-masing kegiatan ekonomi atau sector dalam
perekonomiannya. Di samping itu, proses perubahan komposisi ekonomi tersebut tidak
terpisahkan dengan pertumbuhan ekonomi yakni dengan penekanan pada output perkapita
dalam jangka panjang melalui peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang
terus berlangsung secara dinamis.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) memiliki peranan yang berarti dalam
mengukur tingkat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, struktur ekonomi, dan
berbagai indicator tingkat kemakmuran masyarakat pada suatu daerah. Besar kecilnya PDRB
sangat bergantung pada potensi sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya
bantuan, dan kelembagaan yang dimiliki oleh suatu daerah. Menyadari akan hal tersebut,
maka pemerintah daerah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan PDRB daerahnya,
termasuk di Kabupaten Luwu Banggai.
Secara topografi, wilayah kabupaten Luwu Banggai yang terdiri atas pegunungan,
daratan, dan perairan menjadikan wilayah ini memiliki potensi sumber daya alam yang
besar untuk dikelola dalam rangka pengembangan ekonomi (dalam hal ini diwakili dengan
angka PDRB) suatu daerah sangat tergantung pada potensi sumber-sumber ekonomi yang
dimiliki oleh wilayah tersebut. Sedangkan struktur ekonomi dan pertumbugan ekonomi
merupakan dua hal yang banyak dikaji jika ingin melihat perkembangan perekonomian di
suatu daerah atau wilayah.
Sejalan dengan itu, pembangunan ekonomi di Kabupaten Luwu Banggai yang dilihat
dari pertumbuhan PDRB beberapa tahun terakhir telah mengalami kemajuan yang berarti.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut:
Tabel 1.1 Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten
Luwu Banggai Tahun 2003-2007
TahunProduk Domestik Regional Bruto(Dalam Juta Rupiah
Pertumbuhan
(Persen)Harga Berlaku Harga Konstan
2003
2004
2005
2006
2007
1.041.321
1.167.923
1.382.612
1.731.322
2.146.810
884. 329
948.546
1.058.412
1.197.029
1.388.603
7,40
7,26
11,58
13,84
15,24
Sumber: BPS Kabupaten Luwu Banggai, 2010
Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa selama tahun 2005 sampai tahun 2007,
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Luwu Banggai memperlihatkan perkembangan yang
semakin membaik yaitu masing-masing sebesar 11,58, 13,84, 15,24 persen, kecuali pada
tahun 2003 sebesar 7,40, tidak mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2004 yaitu 7,26
persen.
Sedangkan struktur perekonomian memberikan gambaran masing-masing sector
dalam pembentukan total PDRB suatu daerah. Semakin besar persentase suatu daerah atau
disebut sebagai sector dominan (leading sector). Secara sektoral, posisi perkonomian
kabupatan Luwu Banggai pada tahun 2007 menempati urutan kelima dari dalam hal
kontribusi PRDB Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tengah.
Dilihat dari wilayah adnimistrasi yang lebih kecil, kontribusi sector pada tahun 2007,
sector pertanian merupakan sector yang memberikan kontribusi terbesar terhadap Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Luwu Banggai, disusul oleh sector
pertambangan dan perdagangan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram berikut:
Didalam agenda pembangunan daerah Kabupaten Luwu Banggai yang tertuang
dalam RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah), memuat rancangan kerangka ekonomi
daerah, kebijakan keuangan, prioritas pembangunan daerah, serta rencana kerja dan
pendanaan. Dimana salah satu prioritas, sasaran dan arah kebijakan ekonomi daerah tahun
2011 adalah program prioritas penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan Usaha
Mikro dan Koperasi. Dari sini dapat dilihat bahwa sector pertanian dan pertambangan,
perdagangan tetap menjadi perhatian pemerintah daerah. Data menunjukkan bahwa
adanya peningkatan jumlah Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM). Sementara, sector
lain belum menjadi prioritas dari pemerintah daerah yang dituangkan dalam rancangan
prioritas dan sasaran pembangunan daerah tahun 2011.
Berdasarkan data diatas, dapat diketahui bahwa Kabupaten Luwu Banggai masih
mengandalkan sector pertanian dan pertambangan sebagai sector dominan (leading sector)
dalam menopang perkembangan ekonominya. Oleh karena itu, dibutuhkan identifikasi
sector potensial lain yang diharapkan mampu menjadi sector unggulan untuk menunjang
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Luwu Banggai.
Selanjutnya, pembangunan ekonomi yang dilaksanakan diarahkan untuk
menciptakan perubahan komposisi ekonomi yang lebih komeratif dan bernilai tambah yang
tinggi serta cenderung dapat menyebabkan kesempatan kerja bagi masyarakat yang diikuti
meningkatnya pertumbuhan ekonomi, penciptaan pemerataan dan stabilitas serta
penciptaan kesempatan kerja sehingga mendorong peningkatan pendapatan bagi
masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan transformasi structural sebagai suatu rangkaian
perubahan yang saling terkait satu dengan yang lainnnya dalam komposisi penggunaan
factor-faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal yang diperlukan guna mendukung
proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable
development).
Kesempatan untuk mengembangkan sector-sektor ekonomi di daerah sangat
dipengaruhi oleh kondisi sumber daya alam, sumber daya manusia, serta factor-faktor
lainnya yang berpengaruh terhadap peningkatan ekonomi seperti sarana dan prasarana. Hal
tersebut sejalan dengan misi pemerintah Daerah Kabupaten Luwu Banggai, yang termuat
dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah)/Renstra SKPD 2011, yaitu,
(1) mengelola potensi sumber daya alam yang terdapat di darat dan di laut untuk
mewujudkan Luwu Banggai yang unggul, maju, dan (2) membangun struktur perekonomian
Luwu Banggai yang maju, mandiri, merata dan didukung oleh infrastruktur yang memadai.
Dalam pelaksanaannya tentunya diperlukan perencanaan yang matang yang didukung oleh
data-data statistic yang akurat,up to date, dan spesifik, sebagai ukuran dan landasan yang
tepat untuk mencapai sasaran.
Dengan demikian, dibutuhkan adanya kebijakan ekonomi kontemporer berfokus
pada pengembangan sector-sektor ekonomi unggulan dan sector-sektor ekonomi potensial.
Sektor-sektor demikian umumnya sarat dengan kepentingan masyrakat luas, terkait dengan
potensi masyarakat serta sekaligus sesuai dengan sumber daya eknomi local (Darmawansah,
2003).
Berkenaan dengan itu pemerintah Kabupaten Luwu Banggai dituntut untuk mampu
mengelola potensi sector ekonomi agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan
memacu pertumbuhan ekonomi daerah dalam skala pembangunan kabupaten maupun
propinsi. Dari sini akan dapat diketahui bagaimana potensi sector ekonomi dalam
menunjang pertumbuhan ekonomi daerah.
Fenomena yang telah diuraikan tersebut, menunjukkan bahwa penelitian tentang
analisis potensi ekonomi sektoral di Kabupaten Luwu Banggai menjadai sangat penting
untuk dilakukan dalam rangka perencanaan dan pengembangan ekonomi Kabupaten Luwu
Banggai pada masa yang akan datang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka permasalahan yang hendak
dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah klasifikasi pertumbuhan sector perekonomian wilayah Kabupaten
Luwu Banggai?
2. Bagaimana posisii daya saing sector eknonomi di Kabupaten Luwu Banggai?
3. Sektor-sektor apakah yang menjadi sector unggulan perekonomian wilayah ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini, maka tujuan
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui klasifikasi pertumbuhan sector perekonomian wilayah dengan
pendekatan Tipologi Klassen.
2. Mengetahui posisi daya saing sector ekonomi di Kabupaten Luwu Banggai.
3. Mengetahui sector-sektor ekonomi yang menjadi sector unggulan perekonomian
wilayah di Kabupaten Luwu Banggai.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara akademis dapat memberikan wawasan beripikir bagi penulis dan peminat
pada topic yang sama, menumbuhkembangkan kreativitas, serta menambah
pengalaman penulis dalam hal penelitian.
2. Menjadi acuan dan pembanding bagi penelitian berikutnya serta sebagai upaya
pendorong mahasiswa peka dan kritis terhadap permasalahan yang terjadi dan juga
menumbuhkan rasa peduli bagi masyarakat adanya masalah yang disampaikan dari
penelitian ini.
3. Dapat dijadikan sebagai masukan dan informasi bagi instansi terkait dalam
mengambil kebijakan yang tepat terutama menyangkut kebijakan pembangunan
daerah/sektoral.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembangunan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan unsure penting dalam proses pembangunan
wilayah yang masih merupakan target utama dalam rencana pembangunan disamping
pembangunan social. Pertumbuhan ekonomi adalah proses di mana terjasdi kenaikan
produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan
tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan output riil. Definisi pertumbuhan
ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan ouput
perkapita.Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup di ukur dengan
output riil per orang.
Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau perkembangan jika
tingkat kegiatan ekonominya meingkat atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Dengan kata lain, perkembangannya baru terjadi jika jumlah barang dan jasa
secara fisik yang dihasilkan perekonomian tersebut bertambah besar pada tahun-tahun
berikutnnya. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah dapat ditunjukkan
oleh pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan pendapatan
masyarakat secara keseluruhan sebagai cerminan kenaikan seluruh nilai tambah (value
added) yang tercipta di suatu wilayah.
Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan
sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan perkapita riil penduduk
suatu Negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan. Dari
definisi tersebut, pembangunan ekonomi memiliki beberapa komponen, yakni: a) suatu
proses berarti perubahan yang terjadi terus menerus, b) usaha untuk menaikkan
pendapatan perkapita, c) kenaikan pendapatan perkapita itu harus terus berlangsung
dalam jangka panjang; dan d) perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang, misalnya
ekonomi, politik, hokum, dan social. Kelembagaan ini biasa ditinjau dari aspek, yaitu aspek
perbaikan dibidang organisasi (institusi) dan bidang regulasi (baik formal maupun
nonformal).
Lebih lanjut, Arsyad (1999) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi adalah
suatu proses dimana pemerintah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya
yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah dengan sector swasta
untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan
ekonomi (pertumbuhan ekonomi). Sedangkan Jhingan (1999) menyatakan bahwa tujuan
pembangunan ekonomi adalah untuk membangun peralatan modal investasi dalam skala
yang cukup untuk meningkatkan produktivitas di bidang pertanian, pertambangan,
perkebunan, dan industry. Tetapi modal juga diperlukan untuk mendirikan sekolah, rumah
sakit, jalan raya dan sebagainya. Singkatnya hakekat pembangunan ekonomi adalah
penciptaan modal overhead social dan ekonomi.
Dalam konteks pembangunan daerah dalam sistem pemerintahan daerah di
Indonesia, telah muncul tuntutan terciptanya suatu masyarakat madani, terciptanya good
govermance serta pengembangan model pembangunan ekonomi yang berkeadilan. Untuk
memenuhi tuntutan era ini, dalam undang-undang Otonomi Daerah (Undang-undang No. 32
Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah) telah mengatur perubahan pengelolaan
keuangan pemerintah pusat dan daerah. Sebagai konsekuensi logis dan pemberlakuan
undang-undang otonomi daerah, tentunya daerah telah menerima perlimpahan wewenang
dan tanggung jawab dalam penggunaan dana, baik yang berasal dari pemerintah pusat
maupun dana yang berasal dari daerah itu sendiri.
B. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi digunakan untuk menggambarkan bahwa suatu
perekonomian telah mengalami perkembangan ekonomi dan mencapai taraf kemakmuran
yang lebih tinggi. Di lain sisi, istilah tersebut bertujuan untuk menggambarkan tentang
masalah ekonomi yang dihadapi dalam jangka panjang. Seperti diketahui ada empat factor
yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi akan menjadi lebih pesat melalui kebijakan-
kebijakan berikut: mengurangi kelajuan pertambahan penduduk, mengembangkan
teknologi, meningkatkan tabungan, dan meningkatkan efesiensi penanaman modal investasi
yang dijalankan (Sukirno, 2000), pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tujuan yang
harus dicapai dalam pelaksanaan kebijakan makro, dimana pertumbuhan ekonomi dapat
diartikan sebagai tingkat perkembangan suatu Negara, yang diukur melalui pertambahan
atau presentase pertambahan dari pendapatan nasional riil.
Sukirno (2000) lebih lanjut mengatakan bahwa perkembangan ekonomi baru dapat
tercipta apabila jumlah barang dan jasa yang dihasilkan dalam perekonomian tersebut
menjadi bertambah pada tahun berikutnya. Djojohadikusumo (1994) memberikan batasan
tentang pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan cirri pokok yaitu laju pertumbuhan
pendapatan perkapita dalam arti nyata (riil), persebaran (distribusi) angkatan kerja menurut
sector kegiatan yang menjadi sumber nafkahnya serta pola persebaran penduduk dalam
masyarakat.
Dalam setiap kebijakan ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi merupakan salah
satu tujuan penting yang harus dicapai dalam suatu perekonomian. Pertumbuhan suatu
perekonomian yang baik yaitu perekonomian yang mampu memberikan kesejahteraan bagi
seluruh penduduk di Negara atau di daerah yang bersangkutan. Todaro (1999) menyatakan
bahwa proses pertumbuhan ekonomi mempunyai kaitan erat dengan perubahan structural
yang tinggi. Berapa pun perubahan komponen utama structural ini mencakup pergeseran
secara perlahan-lahan aktivitas pertanian kearah sector non pertanian dan sector industry
ke sector jasa. Suatu wilayah yang sedang berkembang maka proses pertumbuhan ekonomi
akan tercermin dari pergeseran sector ekonomi tradisional yaitu sector pertanian akan
mengalami penurunan di satu sisi dan peningkatan peran sector non pertanian di sisi
lainnya. Konsep pertumbuhan yang dikemukakan oleh Widodo (1990) bahwa kajian tentang
laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu dapat dinikmati oleh masyarakat, jika
pertumbuhan penduduk jauh lebih tinggi.
Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan PDB/PNB tanpa memandang
apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau
apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Suatu perekonomian baru dapat
dinyatakan dalam keadaan berkembang jika pendapatan perkapita menunjukkan
kecenderungan jangka panjang yang meningkat (Arsyad, 1999).
Kuznets (dalam Jhingan, 1999) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai
“kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu Negara untuk menyediakan semakin
banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya; kemampuan ini tumbuh sesuai
dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang
diperlukannya. Definisi ini memiliki 3 (tiga) komponen, yaitu: (1) Pertumbuhan ekonomi
suatu bangsa terlihat dari meningkatnya secara terus menerus persediaan barang; (2)
Teknologi maju merupakan factor dalam penyediaan aneka macam barang kepada
penduduk; dan (3) penggunaan teknologi secara luas dan efisien yang memerlukan adanya
penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideology sehingga inovasi yang dihasilkan oleh ilmu
pengetahuan umat manusia dapat dimanfaatkan secara cepat.
C. Pendekatan Pembangunan
Pendekatan adalah suatu cara yang digunakan untuk melakukan analisis berbagai
kecenderungan dan karakteristik objek bahasan. Penggunaan pendekatan yang kurang
tepat, maka hasil analisisnya akan jauh dari tujuan. Penggunaan pendekatan dalam
pembangunan mengalami perkembangan mulai dari pendekatan sektoral, pendekatan
makro, pendekatan regional sampai kepada pendekatan tata ruang wilayah (special)
(Adisamita, 2007).
1. Pendekatan Sektoral
Pendekatan sektoral menganggap perlu untuk mendekati pembangunan nasional
melalui kegiatan usaha demi kegiatan usaha yang dikelompokkan menurut jenisnya ke
dalam sub-sub sector atau sector-sektor. Adapun besar berpijaknya “mekanisme
pengolahan” satuan maupun kelompok kegiatan usaha sehingga dapat membawa dampak
pengembangan yang langsung dirasakan oleh satuan-satuan kegiatan usaha. Tujuan
ataupun sasaran pembangunan yang hendak dicapai dan hasilnya juga terungkapkan secara
sektoral, yaitu baik yang menyangkut hasil produksi, pendapatan, lapangan kerja maupun
investasi dan kredit yang digunakan, kesemuanya diungkapkan menurut sector-sektor.
2. Pendekatan Makro
Pendekatan makro pada dasarnya memperhitungkan adanya tiga jenis kekuatan
yang bekerja dalam kehidupan manusia, yaitu: kekuatan ekonomi, kekuatan social, kekuatan
politik. Ketiga jenis kekuatan tersebut menampilkan kehidupan ekonomi, kehidupan social
dan kehidupan politik sebagai bagian-bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan
nasional. Pendekatan ini juga digunakan untuk merencanakan dan mengukur hasil
pembangunan nasional secara makro. Perkembangan kehidupan ekonomi diukur
diantaranya melalui tingkat pertumbuhan ekonomi, jumlah uang yang beredar, tingkat
inflasi, dan tingkat harga barang-barang. Perkembangan kehidupan social diukur misalnya
melalui tingkat pemerataan dalam penyediaan kesempatan kerja maupun dalam hal tingkat
kesejahteraan hidup dan perkembangan seni budaya pada umumnya. Dan kehidupan
politik diukur diantaranya dari pelaksanaan hidup berkonstitusi, eksistensi serta peranan
kekuatan social politik dan pelaksanaan kewajiban maupun hak warga negaranya pada
umumnya.
3. Pendekatan Pembangunan Regional (Wilayah) dan Spesial (Tata Ruang)
Sekarang ini pengertian pendekatan regional masih belum menyatu. Tidak jarang
pula pembangunan nasional yang diuraikan ke dalam pembangunan daerah-daerah,
meskipun hanya menampilkan program sektoral yang diklasifikasikan keadaan pendekatan
regional, yang ditekankan dalam hal ini perencanaan dengan sebanyak mungkin partisipasi
dari bawah (daerah). Selangkah lebih maju dari pengerian tersebut adalah pemberian
eksistensi keterpaduan antar sector. Langkah sedemikian itu lazimnya dilakukan pada
wilayah dengan luas tertentu yang memungkinkan dilaksanakannya pengelolaan
keterpaduan, baik pada tahap perencanaan maupun pelaksanaan dengan efektif yang
dikenal dengan sebutan pengembangan kawasan.
Lebih lanjut Adisasmita (2007) pendekatan dari skop (lingkup) besar mengarah
kepada pendekatan pembangunan yang mempunyai skop yang lebih kecil, ternyata masih
menginginkan penyempurnaan, yang menganalisis kegiatan pembangunan pada ruang yang
merupakan kesatuan geografis yang mempunyai fungsi tertentu. Kesatuan geografis yang
mempunyai fungsi tertentu tersebut adalah “kawasan”. Fungsi mencakup pengembangan
industry (kawasan industry), pengembangan pariwisata (kawasan pariwisata), pengembagan
pemukiman (kawasan pemukiman), pengembangan pedesaan (kawasan pedesaan), dan
sebagainya.
Dalam hal ini, pembangunan regional/daerah dapat melalui enam tahapan,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Hoover dan Fisher (Hill, dalam Prayitno 1996) sebagai
berikut:
Pertama, subtitusi ekonomi. Dalam tahap ini masyarakat hanya dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri pada tingkat cukup untuk hidup sehari-hari. Kehidupan penduduk
sebagian besar tergantung dari sector pertanian dan pengumpulan hasil-hasil alam lainnya.
Kedua, pengembangan tranportasi dan spesialisasi local, pada tahap ini telah
terdapat peningkatan baik dalam sarana maupun prasarana transportasi yang menyebabkan
terjadinya beberapa spesialisasi baru diluar pertanian dimana hasil produksi, bahan baku,
dan pemasarannya masih terbatas dan tergantung pada daerah pertaniann yang
bersangkutan.
Ketiga, perdagangan antar daerah. Pada tahap ketiga ini telah terjadi
perkembangan perdagangan antar daerah. Hal ini mungkin saja terjadi karena telah
terdapat perbaikan di bidang transportasi, dan telah terjadi perubahan-perubahan di sector
kegiatan dari arah peningkatan produksi jenis ekstensifikasi menjadi pertanian yang lebih
dititiberatkan ke intensifikasi. Hasil sampingannya jug adapt dipakai sebagai bahan
mentah/baku untuk kegiatan industry pedesaan.
Keempat, industrialisasi. Dengan makin bertambahnya penduduk dan menurunnya
potensi peningkatan dari produksi pertanian dan kegiatan ekstraktif lainnya daerah dipaksa
untuk mengembangkan sumber pendapatan dan lapangan kerja, yaitu melalui industrialisasi
dengan menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan yang menyangkut industry manufaktur dan
serta pertambangan dan penggalian.
Kelima, spesialiasasi daerah. Dalam tahap ini telah sampai pada tingkat spesialisasi
kegiatan. Baik barang maupun jasa untuk keperluan penjualan ke daerah lain termasuk
tenaga ahli dan jasa-jasa khusus lainnya.
Keenam, aliran factor produksi antardaerah , peningkatan infrastruktur dan arus
informasi pada akhirnya menaikkan tingkat mobilisasi faktro produksi antardaerah.
D. Teori Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Ada beberapa factor pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah yang akan
disajikan, khusunya teori-teori yang sangat terkait dengan penelitian ini, diantaranya: (1)
Teori Pertumbuhan Jalur Cepat; (2) Teori Basis Ekspor; (3) Model Interegional; dan (4) Teori
Pusat Pertumbuhan.
1. Teori Pertumbuhan Jalur Cepat
Teori pertumbuhan jalur cepat (turnpike) diperkenalkan oleh Samuelson pada tahun
1955. Pada intinya, teori ini menekankan bahwa setiap daerah perlu mengetahui sector
ataupun komoditi apa yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat,
baik karena potensi alam maupun karena sector itu memiliki competitive advantage untuk
dikembangkan. Aritnya, dengan kebutuhan modal yang sama sector tersebut dapat
memberikan nilai tambah yang lebih besar, dapat berproduksi dalam waktu relative singkat
dan sumbangan untuk perekonomian juga cukup besar. Agar pasarnya terjamin, produk
tersebut harus bias diekspor (keluar daerah atau keluar negeri). Perkembangan sector akan
mendorong sector lain turut berkembang sehingga perekonomian secara keseluruhan akan
tumbuh. Mensinergikan sector-sektor adalah membuat sector-sektor saling terkait dan
saling mendukung. Menggabungkan kebijakan jalur cepat dan mensinergikannya dengan
sector lain yang terkait akan mampu membuat perekonomian tumbuh cepat.
2. Teori Basis Eksport Richardson
Teori ini membagi sector produksi atau jenis pekerjaan yang terdapat di dalam
suatu wilayah atas pekerjaan basis (dasar) dan pekerjaan service (pelayanan) atau lebih
sering disebut sector nonbasis. Pada intinya, kegiatan yang hasilnya dijual ke luar daerah
(atau mendatangkan dari luar daerah) disebut kegiatan basis. Sedangkan kegiatan non basis
adalah kegiatan yang melayani kebutuhan masyarakat di daerah itu sendiri, baik pembeli
maupun asal uangnya dari daerah itu sendiri. Teori basis ekspor menggunakan dua sumsi,
yaitu: (1) asumsi pokok atau yang utama bahwa ekspor adalah salah satunya unsure oksigen
(independen) dalam pengeluaran. Artinya semua unsur pengeluaran terikat (dependen)
terhadap pendapatan. Secara tidak langsung hal ini berarti di luar pertambahan alamiah,
hanya peningkatan ekspor saja yang dapat mendorong peningkatan pendapatan daerah
karena sector-sektor lain terikat peningkatannya oleh peningkatan pendapatan daerah.
Sektor lain hanya meningkat apabila pendapatan daerah secara keseluruhan meningkat. Jadi
satu-satunya yang bisa meningkat secara bebas adalah ekspor, (2) asumsi kedua adalah
fungsi pengeluaran dan fungsi impor bertolak dari titik nol sehingga tidak akan berpotongan.
Model teori basis ini adalah sederhana, sehingga memiliki kelemahan-kelamahan
antara lain sebagai berikut:
a. Menurut Richardson besarnya basis ekspor adalah fungsi terbaik dari besarnya
suatu daerah. Artinya, makin besar suatu daerah maka ekspornya akan semakin
kecil apabila dibandingkan dengan total pendapatan.
b. Ekspor jelas bukan satu-satunya factor yang bisa meningkatkan pendapatan daerah.
Ada banyak unsure lain yang dapat meningkatkan pendapatan daerah seperti:
pengeluaran atau bantuan pemerintah pusat, investasi, dan peningkatan
produktifitas tenaga kerja.
c. Dalam melakukan studi atas satu wilayah, multiplier basis yang diperoleh adalah
rata-ratanya dan bukan pebuhannya. Menggunakan multiplier basis rata-rata dan
buka perubahannya. Menggunakan multiplier basis untuk rata-rata proyeksi
seringkali memberikan hasil yang keliru apalagi ada tendensi perubahan nilai
multiplier dari tahun ke tahun.
d. Beberapa pakar berpendapat bahwa apabila pengganda basis digunakan sebagai
alat proyeksi maka masalah time log (masa tenggang) harus diperhatikan.
e. Ada kasus dimana suatu daerah yang tetap berkembang pesat meski ekspornya
relative kecil. Pada umumnya hal ini dapat terjadi pada daerah yang terdapat
banyak ragam kegiatan dan suatu kegiatan saling membutuhkan dari produk
kegiatan lainnya. Pada daerah ini tetap tercipta dasar yang tertutup tetapi dinamis
dan ini bisa terjadi apabila syarat-syarat keseimbangan yang dituntut dalam teori
harrod-domar dapat dipenuhi.
3. Model Pertumbuhan Interregional
Model ini adalah perluasan dari basis teori basis ekspor, yaitu dengan menambah
factor-faktor yang bersifat eksogen. Berbeda dengan model basis ekspor yang hanya
membahas pertumbuhan daerahnya sendiri tanpa melihat dampaknya pada daerah yang
ada disekitarnya. Model pertumbuhan interregional ini memasukkan dampak dari daerah
tetangga, itulah sebabnya model ini dinamakan model interregional.
Dalam model pertumbuhan interregional ini, sumber-sumber perubahan
pendapatan regional dapat berasal dari: (1) Perubahan pengeluaran otonomi regional,
seperti: investasi dan pengeluaran pemerintah, (2) perubahan pendapatan suatu daerah
atau beberapa daerah lain yang berada dalam suatu sistem yang akan terlihat dari
perubahan ekspor, dan (3) perubahan salah satu di antara parameter-parameter model
(hasrat konsumsi marginal, koefisien perdagangan interregional, atau tingkat pajak
marginal).
4. Teori Pusat Pertumbuhan
Dalam suatu wilayah, ada penduduk atau kegiatan yang terkonsentrasi pada suatu
tempat, yang disebut dengan berbagai istilah seperti: kota, pusat perdagangan, pusat
industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat pemukiman, atau daerah modal.
Sebaliknya daerah di luar pusat konsentrasi dinamakan: daerah pedalaman, wilayah
terbelakang (hinterland), daerah pertanian, atau daerah pedesaan (Tarigan, 2005).
Keuntungan bertempat di daerah terkonsentrasi adalah terciptanya skala ekonomis
(economics of scale) dan economics of agglomeration (economics of localization). Dikatakan
economics of scale, karena dalam berproduksi sudah berdasarkan spesialisasi, sehingga
produksi menjadi lebih besar dan biaya per unitnya menjadi lebih efisien. Economics of
agglomeration adalah keuntungan karena di tempat tersebut terdapat berbagai keperluan
dan fasilitas yang dapat digunakann untuk memperlancar kegiatan perusahaan, seperti: jasa
perbankan, asuransi, perbengkelan, perusahaan listrik, perusahaan air bersih, tempat-
tempat pelatihan keterampilan, media untuk mengiklankan produk, dan lain sebagainya.
Tarigan, 2004, menjelaskan pula hubungan yang terjadi antara daerah yang lebih
maju (sebut saja dengan istilah kota) dengan daerah lain yang lebih terbelakang, sebagai
berikut: (1) Generatif: yaitu hubungan yang saling menguntungkan atau saling
mengembangkan antara daerah yang lebih maju dengan daerah yang ada dibelakangnya, (2)
Parasitif: yaitu hubungan yang terjadi dimana daerah kota (daerah yang lebih maju) tidak
banyak membantu atau menolong daerah belakangnya, dan bahkan bisa mematikan
berbagai usaha yang mulai tumbuh di daerah belakangnya, (3) Enclave (tertutup): dimana
daerah kota (daerah yang lebih maju) seakan-akan terpisah sama sekali dengan daerah
sekitarnya yang lebih terbelakang.
Selanjutnya, suatu daerah dikatakan sebagai pusat pertumbuhan harus memilii
empat ciri (Tarigan, 2005), yaitu: (1) adanya hubungan internal dari berbagai macam
kegiatan yang memiliki nilai ekonomi; (2) ada efek pengganda (multiplier effect); (3) adanya
konsentrasi geografis; dan (4) bersifat mendorong pertumbuhan daerah di belakangnya.
E. Sektor-sektor Ekonomi
Badan pusat statistic, mengemukakan bahwa untuk kepentingan perhitungan
pendapatan nasional maupun regional, perekonomian Indonesia dibagi ke dalam Sembilan
sector menurut lapangan usaha, yaitu:
1. Sektor pertanian, yang meliputi semua kegiatan perusahaan dan pemanfaatan benda-
benda biologis (benda hidup) yang diperoleh dari alat dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup atau usaha lainnya.
Kegiatan ini meliputi:
a. Tanaman Bahan Makanan, subsector tanaman pangan sering juga disebut subsector
pertanian rakyat. Disebut demikian karena tanaman pangan biasanya diusahakan oleh
rakyat dan bukan oleh perusahaan atau pemerintah. Subsektor ini mencakup
komoditas-komoditas bahan makanan seperti padi, jagung, ketela pohon, ketela
rambat, kacang tanah, kedelai, sayur-sayuran, dan buah-buahan.
b. Perkebunan, dibedakan atas perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Perkebunan
rakyat adalah perkebunan yang diusahakan sendiri oleh rakyat atau masyarakat,
biasanya dalam skala kecil dan dengan teknologi budidaya yang sederhana. Hasil-hasil
tanaman perkebunan rakyat terdiri antara lain atas karet, kopra, teh, kopi, tembakau,
cengkeh, kapuk, kapas, coklat, dan berbagai rempah-rempah. Adapun yang dimaksud
dengan perkebunan besar adalah semua kegiatan perkebunan yang dijalankan oleh
perusahaan-perusahaan perkebunan berbadan hukum. Tanaman perkebunan besar
meliputi karet, teh, kopi, kelapa sawit, coklat, kina, tebu, dan beberapa lagi yang
lainnya.
c. Peternakan dan hasil-hasilnya, adalah kegiatan/lapangan usaha pemeliharaan hewan
ternak besar, ternak kecil, unggas, lebih, ulat sutra, termasuk juga usaha pemibibitan.
d. Kehutanan, terdiri atas tiga macam kegiatan, yaitu penebangan kayu, pengambil hasil
hutan lainnya, dan perburuan. Kegiatan penebangan kayu menghasilkan kayu-kayu
gelondongan, kayu bakar, arang, dan bambu. Hasil hutan lain seperti dammar, rotan,
getah kayu, kulit kayu serta berbagai macam akar-akaran dan umbi kayu. Sedangkan
kegiatan perburuan menghasilkan binatang-binatang liar seperti rusa, penyu, ular,
buaya dan termasuk juga madu.
e. Perikanan, meliputi semua hasil kegiatan perikanan laut, perairan umum, kolam,
tambak, sawah, dan keramba serta pengolahan sederhana atas produk-produk
perikanan (pengeringan dan pengasingan). Dari segi teknis kegiatannya, subsector ini
dibedakan atas tiga macam sector, yaitu perikanan laut, perikanan darat, dan
penggaraman. Komoditas yang tergolong subsector ini tidak terbatas hanya pada
ikan, tetapi juga udang, kepiting, ubur-ubur, dan semacamnya.
f. Jasa Pertanian, adalah kegiatan/lapangan usaha yang meliputi pengolahan tanah,
pemupukan, penyebaran bibit atau benih, persemaian tanaman dan pembasmian
hama, pemanenan/pemetikan, penyemprotan, pemangkasan, sortasi, dan grotasi dari
hasil pertanian, pengipasan, penumpukan, penyelenggaraan irigasi, penyewaan alat,
dan pelayanan terhadap kesehatan ternak.
2. Sektor pertambangan dan penggalian, sector ini mencakup kegiatan penggalian,
pengeboran, penyaringan, pencucian, pemeliharaan, dan pengambilan/pemanfaatan
segala benda non biologis, seperti barang tambang, barang mineral, dan baran galian
yang tersedia di alam, baik yang berupa benda padat, benda cair maupun benda gas.
Produk yang dihasilkan kegiatan ini meliputi:
a. Pertambangan: batu bara, minyak bumi, gas bumi, biji logam, biji besi, timah, bauksit,
alumunium, tembaga, nikel, mangan, emas, perak, dan logam lain yang tidak
mengandung biji besi.
b. Penggalian: batu-batuan, tanah liat, keramik kaolin, pasir, kerikil, dan sebagainya.
c. Penambangan dan penggilingan garam (penggaraman).
3. Sektor industry pengolahan, mencakup kegiatan untuk merubah atau mengolah suatu
barang organic dan anorganik menjadi barang baru yang mempunyai nilai lebih tinggi,
dan pengolahannya dapat dilakukan dengan tangan ataupun dengan mesin.
Kegiatan industry ini beraneka ragam jenisnya bila dilihat dari produk yang
dihasilkan dan cara pengolahannya sehingga pengelompokan kegiatan industry antar
daerah tidak selalu sama, tergantung pada kebutuhan di masing-masing daerah.
Pengelompokan kegiatan industry yang telah dilakukan oleh BPS adalah membagi
kegiatan yang disesuaikan dengan proses pembuatan dan banyaknya tenaga kerja yang
terlibat di dalam proses tersebut. Pengelompokan meliputi industry besar, industry sedang,
industry kecil dan industry rumah tangga. Industri besar adalah perusahaan industry yang
menggunakan tenaga kera lebih atau sama dengan seratus orang, industry sedang
menggunakan tenaga kerja antara 20-99, industry kecil menggunakan tenanga kerja antara
5 sampai 19 orang dan industry rumah tangga menggunakan tenaga kerja dengan jumlah
lebih kecil atau sama dengan 4 orang.
Pengelompokan lain dari kegiatan industry tersebut dibuat berdasarkan jenis
komoditi utama yang dihasilkan oleh masing-masing perusahaan. Secara garis besar
kelompok industry tersebut dibedakan dari:
1. Industri makanan, minuman, dan tembakau.
2. Industri tekstil, pakaian jadi, dan kulit.
3. Industri kayu dan barang dari kayu termasuk alat-alat rumah tangga dari kayu
4. Industri kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan, dan penerbitan.
5. Industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia, minyak bumi, batu bara, karet,
dan plastic
6. Industri logam dasar.
7. Industri barang dari logam mesin dan peralatannya.
8. Industri pengolahan lainnya.
4. Sektor listrik, Gas, dan Air
a. Listrik, mencakup kegiatan pembangkitan dan penyaluran tenaga listrik dengan
menggunakan tenaga air, diesel, uap, dan gas, baik yang diselenggarakan oleh PLN
maupun pemerintah daerah, swasta dan koperasi (nonPLN).
b. Gas, mencakup kegiatan dan pendistribusian gas kota oleh perusahaan gas untuk di
jual kepada rumah tangga, industri, dan penggunaan komersial lainnya. Kegiatan ini
hanya terdapat di beberapa kota, seperti medan, bogor, bandung, cirebon, semarang,
surabaya, dan Makassar. Gas yang mencakup dalam hal ini adalah produk yang
dihasilkan dari proses pemabakaran batubara, gas minyak, dan crack, dan produknya
berupa gas batubara, gas minyak dan gas cracking; produk ikutan yang dihasilkan
adalah ter kasar, teer bersih, dan minyak teer.
c. Air, mencakup penampungan, penjernihan, dan pendistribusian air bersih kepada
rumah tangga, industri, rumah sakit, dan penggunaan komersial lainnya termasuk
juga disini adalah kegiatan penyediaan air bersih dengan menggunakan kincir air, atau
alat lainnya, baik yang diusahakan oleh PAM milik pemerintah daerah ataupun
swasta/peroranngan.
5. Sektor bangunan kontruksi, mencakup kegiatan pembuatan dan perbaikan bangunan
(kontruksi), baik yang dilakukan oleh kontraktor umum, yaitu unit usaha yang melakukan
pekerjaan kontruksi untuk pihak lain, maupun oleh kontraktor khusus, yaitu unit usaha
atau individu yang melakukan kegiatan kontruksi untuk dipakai sendiri.
Yang digolongkan sebagai kegiatan kontruksi disini adalah pembuatan,
pembangunan, pemasangan, dan perbaikan (berta maupun ringan) semua jenis kontruksi
seperti: bangunan tempat tinggal, bangunan bukan tempat tinggal, jalan, jembatan,
pelabuhan (laut, udara, sungai), terminal dan sebagainya.
6. Sektor perdagangan, Restoran, dan Hotel
Perdagangan mencakup pedagang dalam pengumpulan dan pendistribusian barang
maupun bekas afrikan, dari pihak produsen atau importer kepada konsumen tanpa
mengubah bentuk dan sifat dari barang-barang tersebut.
Kegiatan pendistribusian/penyaluran tersebut dapat dilakukan pedagang besar
maupun eceran. Pedagang besar adalah pedagang yang umumnya melayani pedagang
eceran dan konsumen selain rumah tangga. Sedangkan pedagang eceran adalah
pedagang yang umumnya melayani konsumen rumah tangga.
Barang yang diperdagangkan meliputi produksi sektor pertanian, pertambangan dan
penggalian, dan sektor industri, baik yang berasal dari produksi dalam daerah maupun
dari daerah lain dan luar negri (impor), yang disebut supply (penyediaan).
Rumah makan/Restoran mencakup kegiatan penyediaan makanan dan minuman
jadi yang langsung dikonsumsi/dihidangkan di tempat penjualan, baik di tempat
penjualan yang tetap maupun yang tidak tetap (berpindah-pindah) atau disajikan secara
berkeliling. Kegiatan tersebut antara lain meliputi usaha catering, warung, restoran,
kedai, kantin, bakso keliling dan sebagainya. Kegiatan yang sejenis yang dilakukan oleh
satuan usaha di sektor lain, karen data yang tersedia untuk dipisahkan, maka
digolongkan kedalam sektor yang mengusahakannya misalnya restoran sebagai kegiatan
untuk pelayanan tamu hotel, tetap digolongkan sebagai bagian dari usaha perhotelan.
Hotel dan penginapan mencakup kegiatan penyediaan akomodasi dengan
menggunakan sebagian atau seluruh bangunan sebagai tempat penginapan, beserta
fasilitas-fasilitas lainnya yang menunjang kegiatan tersebut, seperti binatu, restoran,
diskotik, tempat olahraga, penyewaan rumah, dan sebagainya, baik yang berbintang
maupun yang tidak berbintang.
7. Sektor angkutan dan komunikasi.
Pengangkutan meliputi kegiatan angkutan darat, laut, sungai, danau,
penyeberangan dan udara. Jasa penunjang mencakup kegiatan pemberian jasa maupun
penyediaan fasilitas yang sifatnya menunjang dan memperlancar kegiatan
pengangkutan, seperti parker, terminal/pelabuhan, bongkar muat, keagenan, ekspedisi,
angkutan, bandara, pergudangan dan jalan tol. Sedangkan kegiatan komunikasi
mencakup pos dan giro serta telekomunikasi.
8. Sektor lembaga keungan, sewa rumah, dan jasa perusahaan.
Lembaga keuangan mencakup kegiatan pelayanan jasa bank, asuransi, dan jasa
keuangan lainnya. Jasa bank meliputi usaha jasa perbankan yang dilakukan oleh bank
sentral (Bank Indonesia), bank devisa, bank tabungan, dan bank pembangunan.
Usahanya meliputi simpan pinjam mengeluarkan kertas berharga, memberikan jaminan
bank, meneriam dan membayar rekening koran, pemindahan cadangan uang dan jasa-
jasa perbankan lainnya.
Kegiatan asuransi meliputi usaha segala jenis perasuransian, seperti: asuransi jiwa,
asuransi sosial, asuransi kecelakaan, jasa penanggung perasuransian (reasuransi),
konsultan/agen perasuransian dan dana pensiun.
Sedangkan kegiatan jasa keungan lainnya meliputii usaha bank pasar, bank desa,
lumbung desa, koperasi simpan pinjam, perdagangan valuta asing, pasar modal, bursa
valuta asing dan sebagainya
Sewa rumah mencakup kegiatan sewa menyewa rumah atas penggunaan sebagian
atau seluruh rumah atau bangunan tempat tinggal, tanpa memperhatikan status
kepemilikannya, artinya rumah yang ditempati itu dapat merupakan milik sendiri, milik
instansi pemerintah maupun milik swasta.
Dengan kata lain, bahwa disini dilakukan perkiraan output sewa rumah yang
ditempati oleh pemilik sendiri (tidak berdasarkan sewa dari pihak lain) dengan cara
imputasi, yaitu, memperkirakan output berdasarkan penggunaanya di kegiatan lain,
meskipun pada kenyataannya tidak selalu terjadi transaksi sewa menyewa, sehingga
output sewa rumah merupakan penjumlahan antara output dari usaha persewaan
bangunan tempat tinggal dan imputasi sewa rumah.
Jasa perusahaan mencakup kegiatan jasa yang umumnya lebih banyak melayani
kebutuhan perusahaan yang bersifat komersial. Jenis kegiatan ini yang tercakup di sini
adalah meliputi notaris, lembaga bantuan hukum, akuntansi dan pembukuan,
pengolahan, periklanan, konsultan teknik, penyewaan mesin dan peralatan penerjemah,
perancang dan sebagainya.
9. Jasa-jasa terdiri dari sektor pemerintahan dan pertanahan, jasa kemasyarakatan, sosial
dan perdagangan.
Sektor pemerintahan dan pertahanan mencakup kegiatan tentang penyelenggaraan
sistem adnimistrasi negara, berupa pelayanan umum kepada masyarakat dan
produksinya tidak dapat diukur secara kuantitatif dan tidak dapat dinilai secara ekonomi,
seperti pengaturan kebijaksanaan sosial, politik, dan ekonomi, peningkatan kecerdesan
dan kesehatan masyarakat. Kegiatan yang tercakup di dalamnya meliputi:
a. Pemerintah Pusat: Departemen, lembaga non departemen, lembaga tinggi negara
dan lembaga pemerintahan lainnya, baik yang berada di pusat maupun unit-unit
vertikalnya di daerah.
b. Pemerintah daerah: Pemerintah daerah provinsi, Pemerintah daerah kabupaten/kota,
pemerintah kecamatan serta pemerintah desa.
Tidak termasuk di sini unit-unit pemerintah yang berbentuk perusahaan (Badan
Usaha Milik Negara/BUMN), karena kegiatan tersebut sudah dicakup di dalam sektor-
sektor ekonomi yang sesusai dengan penggolongan kegiatannya.
Jasa sosial dan kemasyarakatan yang diusahakan oleh pihak swasta seperti jasa
pendidikan, lembaga kesejahteraan sosial, perhimpunan, dan organisasi usaha profesi
buruh, lembaga penelitian, dan sebagainya.
Kegiatan-kegiatan yang tercakup di dalamnya mencakup usaha:
a. Jasa pendidikan: penyelenggaraan pendidikan formal seperti taman kanak-kanak,
sekolah dasar, sekolah lanjutan pertama, sekolah lanjutan atas, dan perguruan tinggi.
Serta pendidikan non-formal seperti: penyelenggaraan kursus pengetikan, tata buku,
bahasa, pengemudi, dan sebagainya.
b. Jasa kesehatan: pelayanan kesehatan manusia, seperti rumah sakit, balai pengobatan
umum, klinik bersalin, praktek dokter, laboratorium,dan sebagainya.
c. Lembaga kesejahteraan sosial: palang merah, rumah yatim piatu/panti asuhan, rumah
jompo, penyantunan orang-orang cacat, dan sebagainya.
d. Perhimpunan dan organisasi usaha profesi dan buruh: Kamar dagang dan industri
(KADIN), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan sebagainya.
e. Lembaga penelitian: meliputi berbagai kegiatan lembaga swasta untuk mengadakan
penelitian guna meningkatkan ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan baru
dengan memperhatikan tujuan praktis.
f. Lainnya: organisasi keagamaan, jasa bantuan hukum dan peradilan,
kepanduan/pramuka, dan sebagainya.
Jasa hiburan dan kebudayaan mencakup kegiatan penyelenggaraan hiburan dan
rekreasi untuk masyarakat, baik secara langsung maupun media tertentu yang
diusahakan oleh pihak swasta, seperti: pembuatan film, pemancar radio, pergelaran seni,
juru kamera, seniman, penulis skenasrio, pengarang/pengubah lagu, perpustakaan, dan
tempat-tempat rekreasi.
Jasa perorangan dan rumah tangga , mencakup kegiatan jasa yang pada umumnya
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan perorangan, yang meliputi
reparasi/perbaikan segala macam alat-alat (termasuk kendaraan): jasa binatu dan
pencelupan, jasa rumah tangga seperti juru masak, tukang cuci, tukang kebun, pengurus
rumah tangga, pengasuh anak, dan sebagainya.
E. Tipologi Klassen
Analisis tipologi klassen awalnya diperkenalkan oleh Leo Klassen (1965) dari
Netherlands economic Institute. Klassen menganggap bahwa daerah (regions) sebagai
mikrokosmos yang diskrit (discrete microcosms), yang daerah ekonomi yang dapat dipahami
melalui besar-besaran ekonominya. Dengan menggunakan pendapatan, Klassen
mengajukan suatu teknik sederhana yaitu dengan membandingkan dengan tingkat dan
tingkat laju pertumbuhan pendapatan suatu daerah tertentu laju pertumbuhan pendapatan
nasional.
Dengan demikian, tipologi Klassen berkembang sebagai salah satu alat analisis
ekonomi regional, yaitu alat analisis yang digunakan untuk mengetahui gambaran tentang
pola dan struktur pertuumbuhan ekonomi daerah. Pada pengertian ini tipologi klassen
dilakukan dengan membandingkan pertumbuhan ekonomi daerah dengan pertumbuhan
ekonomi yang menjadi acuan atau nasional dan membandingkan pertumbuhan PDRB
perkapita daerah yang menjadi acuan atau PDB perkapita (secara nasional).
Analisis Tipologi Klassen dapat digunakan untuk tujuan sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi posisi perekonomian suatu daerah dengan memperhatikan
perekonomian daerah yang diacunya.
2. Mengidentifikasi sektor, subsektor, usaha atau komoditi unggulan suatu daerah.
Berdasarkan tujuan-tujuan tersebut, pengguna analisis Tipologi Klassen akan
mendapat manfaat sebagai berikut:
a. Dapat membuat prioritas kebijakan daerah berdasarkan keunggulan sektor,
subsektor usaha, atau komoditi daerah yang merupakan hasil analisis tipologi
Klassen;
b. Dapat menentukan prioritas kebijkan suatu daerah berdasarkan posisi
perekonomian yang dimiliki terhadap perekonomian nasional maupun daerah yang
diacunya;
c. Dapat menilai suatu daerah baik dari segi daerah maupun sektoral.
Tipologi Klassen dapat digunakan melalui pendekatan, yaitu sektoral maupun
daerah. Data yang biasa digunakan dalam analisis ini adalah data Pendapatan Domestik
Regional Bruto (PDRB).
Tipologi Klassen dengan pendekatan sektoral klasifikasi sektor dengan karakteristik
yang berbeda sebab menghasilkan empat sebagai berikut:
1. Sektor yang maju dan tumbuh dengan pesat (Kuadran I). Kuadran ini merupakan
sektor dengan laju pertumbuhan PDPvB (gi) yang lebih besar dibandingkan
pertumbuhan daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (g), dan memiliki
kontribusi terhadap PDRB (si) yang lebih besar dibandingkan kontribusi sektor
tersebut terhadap PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (s).
Klasifikasi ini biasa dilambangkan dengan. Sektor dalam kuadran I dapat pula
diartikan sebagai sektor yang potensial karena memiliki kinerja laju pertumbuhan
ekonomi dan pangsa yang lebih besar daripada daerah yang menjadi acuan atau
secara nasional.
2. Sektor maju tapi tertekan (Kuadran II). Sektor yang berada pada kuadran ini
memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan
PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (g), tetapi memiliki kontribusi
nilai sektor tersebut terhadap PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara
nasional (s). Klasifikasi ini biasa dilambangkan gi<g dan si>s. Sektor dalam kategori
ini juga dapat dikatakan sebagai sektor yang telah jenuh.
3. Sektor potensional atau masih dapat berkembang dengan pesat (Kuadran III).
Kuadran ini merupakan kuadran untuk sektor yang memiliki nilai pertumbuhan
PDRB (gi) yang lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB daerah yang menjadi acuan atau
secara nasional (g), tetapi kontribusi sektor tersebut terhadap PDRB (si) lebih kecil
dibandingkan nilai kontribusi sektor terhadap PDRB daerah yang menjadi acuan
atau secara nasional (s). Klasifikasi ini biasa dilambangkan dengan gi>g dan si<s.
Sektor dalam kuadrann III dapat diartikan sebagai sektor yang booming. Meskipun
pangsa pasar daerahnya relatif lebih kecil dibandingkan rata-rata nasional.
4. Sektor relatif tertinggal (Kuadran IV). Kuadran ini ditempati oleh sektor yang
memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan
PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (g) dan sekaligus memiliki
kontribusi tersebut terhadap PDRB (si) yang lebih kecil dibandingkan nilai kontribusi
sektor tersebut terhadap PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (s)
(Sjafrizal, 1997). Berdasarkan keempat klasifikasi tersebut di atas dapat membentuk
empat kuadran, sebagai berikut:
Kuadran I
Sektor maju dan tumbuh dengan pesat
Gi>g, si>s
Kuadran II
Sektor maju tapi tertekan
Gi<g, si<s
Kuadran III
Sektor potensial/masih dapat berkembang
Dengan pesat
Gi>g, si<s
Kuadran IV
Gi<g, si<s
Pendekatan kedua yang dilakukan dalam analisis tipologi Klassen adalah pendekatan
daerah seperti yang diutarakan oleh Sjafrizal (1997). Pendekatan ini mempunyai konsep
yang serupa dengan pendekatan sektoral dan data yang digunakan juga berupa data PDRB
dan pertumbuhan perkapita. Yang membedakan adalah empat daerah kuadran dibagi
menurut klasifikasi daerah sebagai berikut:
1. Daerah yang maju dan tumbuh dengan pesat (Kuadran I). Kuadran ini merupakan
kuadran daerah dengan laju pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih besar dibandingkan
pertumbuhan daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (g) dan memiliki
pertumbuhan PDRB perkapita daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (gk).
Klasifikasi ini biasa dilambangkan dengan gi>g dan gki>gk.
2. Daerah maju tapi tertekan (Kuadran II). Daerah yang berada pada kuadran ini
memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan
PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (g), tetapi memiliki
pertumbuhanPDRB perkapita (gki) yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan
PDRB perkapita daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (gk). Klasifikasi ini
biasa dilambangkan gi<g, gki>gk.
3. Daerah yang masih dapat berkembang dengan pesat (Kuadran III). Kuadran ini
merupakan kaudran untuk daerah yang memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) yang
lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara
nasional (g), tetapi pertumbuhan PDRB perkapita daerah tersebut (gki) lebih kecil
dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB perkapita daerah yang menjadi acuan
atau secara nasional (gk). Klasifikasi ini biasa dilambangka dengan gi>g dan gki<gk.
Daerah relatif tertinggal (Kuadran IV). Kuadran ini ditempati oleh daerah yang
memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan PDRB
daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (g) dan sekaligus pertumbuhan PDRB
perkapita (gki) yang relatif kecil dibandingkan pertumbuhan PDRB perkapita daerah yang
menjadi acuan atau secara nasional (gk). Berdasarkan keempat klasifikasi tersebut di atas
dapat membentuk empat kuadran, sebagai berikut:
Kuadran I
Daerah maju dan tumbuh dengan pesat
Gi>g, gki>gk
Kuadran II
Daerah maju tapi tertekan
Gi<g, gki>gk
Kuadran III
Daerah yang masih dapat berkembang
Kuadran IV
Sektor relatif tertinggal
dengan pesat
Gi>g, gki<gk Gi<g, gki<gk
G. Analisis Overlay
Teknik overlay merupakan pendekatan tata guna lahan (landscape). Analisis overlay
ini juga dimaksudkan untuk melihat deskripsi kegiatan ekonomi yang potensial berdasarkan
kriteria pertumbuhan dan kriteria kontribusi. Teknik overlay ini dibentuk melalui
penggunaan secara tumpang tindih (seri) suatu peta yang masing-masing mewakili faktor
penting lingkungan/lahan.
Overlay ini merupakan suatu sistem informasi dalam bentuk grafis yang dibentuk
dari penggabungan berbagai peta individu (memiliki informasi database yang spesifik).
Agregat dari kumpulan peta individu ini, atau yang biasa disebut peta komposisi, mampu
memberikan informasi yang lebih luas dan bervariasi. Masing-masing peta dan transparansi
memberikan informasi tentang komponen lingkungan dan sosial. Peta komposit yang
dibentuk akan memberikan gambaran tentang konflik antara proyek dan faktor lingkungan.
Metode ini tidak menjamin akan mengakomodir semua dampak potensial, tetapi dapat
memberikan dampak potensial pada spesial tertentu (Annisa, 2008).
Analisis overlay dimaksudkan untuk melihat deskripsi kegiatan ekonomi yang
potensial berdasarkan kriteria pertumbuhan (yang didapat dari perhitungan Model Rasio
Pertumbuhan), dan kriteria kontribusi (didapat dari Analisis Model Rasia
Pertumbuhan/MPR) dilakukan untuk melihat ekonomi suatu wilayah yang menekankan
pada kriteria secara eksternal (wilayah referensi) maupun internal (Location Quotient)
deskripsi struktur pertumbuhan baik (wilayah studi). Sedangkan LG digunakan untuk
menghitung perbandingan relatif sumbangan nilai (Kabupaten/Kota) tambah sebuah
sektor/subsektor di suatu daerah terhadap sumbangan nilai tambah sektor/subsektor yang
bersangkutan dalam skala Propinsi. Fungsi utama dari LQ adalah untuk mengukur kontribusi
suatu sektor/subsektor yang selanjutnya dapat dinyatakan sebagai tingkat keunggulan
relatif suatu sektor/subsektor di daerah terhadap sektor/subsektor yang sama di daerah lain
(Setyorini, 2005).
Proses analisis yang digunakan dalam analisa overlay ini dapat memperhitungkan
Rasio Pertumbuhan Studi (RPs) dan LQ yang merupakan variabel dalam menentukan analisis
overlay. Dilihat dari hasil perhitungan data dapat disimpulkan, terdapatnya data rasio pada
RPs dan LQ yang mempunyai nilai sama-sama lebih dari 1 (satu), maka