75
1 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JUMLAH UANG BEREDAR DI INDONESIA PERIODE 1985 - 2005 Skripsi Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Oleh : ISMAIL HASAN F 1105016 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI …/Analisis...per tahun sebagai akibat banyaknya perusahaan yang mengurangi aktivitas ... kenaikan M2 terjadi karena peningkatan uang kuasi

Embed Size (px)

Citation preview

1

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

JUMLAH UANG BEREDAR DI INDONESIA

PERIODE 1985 - 2005

Skripsi

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-syarat

untuk Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret

Oleh :

ISMAIL HASAN

F 1105016

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Krisis ekonomi di Indonesia tergolong paling parah jika

dibandingkan dengan krisis serupa yang pernah terjadi dibeberapa negara

selama ini. Pecahnya gelombang krisis pada tahun 1997 tidak saja

memporak-porandakan industri perbankan nasional tetapi juga menyeret

perekonomian ke dalam pertumbuhan ekonomi yang begitu lambat. Tidak

sedikit bank-bank yang sakit secara finansial tumbang dalam hempasan

badai krisis tersebut, krisis moneter setidaknya berdampak langsung

terhadap permintaan uang. Naik-turunnya suku bunga SBI yang diikuti oleh

naik turunnya suku bunga deposito dan kredit perbankan yang pada

gilirannya berdampak pada volume dana dan kredit yang diberikan.

Kebijakan suku bunga nampaknya menjadi pilihan penting bagi pemerintah

dalam upaya mengendalikan gejolak moneter.

Salah satu penyebab krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia adalah

proses integrasi perekonomian Indonesia kedalam perekonomian global

yang berlangsung cepat. Faktor lain yang juga berperan menciptakan krisis

tersebut adalah kelemahan fundamental mikro ekonomi yang tercermin dari

kerentanan (fragility) sektor keuangan nasional, khususnya perbankan. Salah

satu krisis keuangan tersebut adalah gejolak nilai tukar yang telah

menimbulkan berbagai kesulitan ekonomi yang sangat parah. Pada kuartal

pertama tahun 1998, kegiatan ekonomi mengalami kontraksi sebesar 12%

3

per tahun sebagai akibat banyaknya perusahaan yang mengurangi aktivitas

atau bahkan menghentikan produksinya. Laju inflasi juga melambung tinggi,

yakni 69,1% dalam periode Januari-Agustus 1998 lalu. Tingginya laju

inflasi menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat (Syahril, 2003 :

xvii).

Pada saat krisis terjadinya peningkatan jumlah uang yang cukup

pesat, peningkatan keinginan masyarakat untuk memegang uang tunai

disebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap system perbankan

yang ada dengan terjadinya rush (pengambilan uang besar-besaran secara

serentak oleh masyarakat) diberbagai bank diseluruh Indonesia, sedangkan

kenaikan M2 terjadi karena peningkatan uang kuasi yang terdiri dari

simpanan rupiah dan simpanan valuta asing (Darmansyah : 2005).

Seperti yang dikatakan oleh Keynes (Nopirin : 1992; 117) dimana

permintaan uang kas untuk tujuan transaksi ini tergantung dari pendapatan.

Makin tinggi pendapatan, makin besar keinginan akan uang kas untuk

transaksi. Seseorang atau masyarakat yang tingkat pendapatannya tinggi,

biasanya melakukan transaksi yang lebih banyak dibandingkan seseorang

atau masyarakat yang pendapatannya lebih rendah. Penduduk yang tinggal

di kota besar cenderung melakukan transaksi lebih besar dibanding

penduduk yang tinggal di kota kecil (atau pedesaan).

Dalam hal ini bank sentral mempunyai fungsi dan peranan yang

strategis pada umumnya dan pembangunan ekonomi pada khususnya. Yang

paling mendasar adalah peranannya dalam mencetak dan mengedarkan

uang. Bank sentral merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk

4

mengeluarkan dan mengedarkan mata uang sebagai sarana pembayaran yang

sah disuatu negara. Peran ini vital karena begitu penting dan luasnya fungsi

uang dalam perekonomian.

Seluruh kegiatan ekonomi dan keuangan dilakukan dengan uang.

Fungsi uang tidak lagi dipergunakan sebagai alat pembayaran, tetapi juga

sebagai media menyimpan kekayaan dan bahkan untuk berspekulasi bagi

sebagian masyarakat. Pengertian uang tidak lagi sebatas pada uang kartal,

yaitu uang kertas maupun logam, tetapi telah berkembang menjadi berbagai

bentuk dan variasinya, dari uang giral, simpanan di bank, kartu kredit dan

sebagainya, seiring dengan perkembangan pada sektor keuangan. Oleh

karena itu, perkembangan jumlah uang beredar akan berpengaruh langsung

terhadap berbagai kegiatan ekonomi dan keuangan dalam perekonomian,

apakah itu konsumsi, investasi, ekspor-impor, suku bunga, nilai tukar,

pertumbuhan ekonomi, dan juga inflasi.

Dengan peran seperti ini wajar apabila bank sentral mempunyai

tujuan dan diberi tanggung jawab untuk mencapai dan memelihara

kestabilan nilai dari mata uang yang diedarkan tersebut. Terlebih lagi pada

dunia modern sekarang ketika uang menjadi fiat money, dalam arti bahwa

Negara memberikan kewenangan kepada bank sentral untuk menerbitkan

dan mengedarkan uang tersebut atas dasar kepercayaan, tanpa adanya

kewajiban untuk menyediakan sejumlah emas atau cadangan lain sebagai

jaminan dari penerbitan uang tersebut seperti pernah dialami pada jaman

standar emas. Karena itu kestabilan rupiah dari mata uang merupakan

kewajiban mendasar bagi bank sentral agar kepercayaan Negara dan

5

masyarakat dapat tetap terjaga. Dalam prakteknya, kestabilan nilai dari mata

uang dimaksud mencakup kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan

jasa yang diukur dan tercermin pada perkembangan nilai tukar atau kurs

mata uang.

Kestabilan nilai mata uang, baik dalam artian inflasi maupun nilai

tukar, sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang

berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Nilai uang yang stabil

dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan dunia usaha dalam

melakukan kegiatan perekonomian, baik konsumsi maupun investasi

sehingga perekonomian nasional dapat bergairah. Lebih dari itu, inflasi yang

terkendali dan rendah dapat mendukung terpeliharanya daya beli

masyarakat, khususnya yang berpendapatan tetap seperti pegawai negeri dan

masyarakat kecil.

Bagi golongan masyarakat ini, yang umumnya mencakup sebagian

besar penduduk, harga-harga yang terus membumbung menyebabkan

kemampuan daya beli untuk memenuhi kebutuhan dasar akan semakin

rendah. Demikian pula inflasi dan nilai tukar yang tidak stabil akan

mempersulit dunia usaha dalam perencanaan kegiatan bisnis, baik dalam

kegiatan produksi dan investasi maupun dalam penentuan harga barang dan

jasa yang diproduksinya. Pengalaman Indonesia dengan terjadinya krisis

nilai tukar sejak tahun 1997 menunjukkan betapa penting mencapai dan

menjaga laju inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil tersebut.

Pengalaman menunjukkan bahwa jumlah uang beredar diluar kendali

dapat menimbulkan konsekuensi atau pengaruh yang buruk bagi

6

perekonomian secara keseluruhan. Konsekuensi atau pengaruh yang buruk

dari kurang terkendalinya jumlah uang beredar tersebut antara lain dapat

dilihat pada kurang terkendalinya perkembangan variable-variabel ekonomi

utama, yaitu tingkat produksi (output) dan harga. Peningkatan jumlah uang

beredar yang berlebihan dapat mendorong peningkatan harga melebihi

tingkat yang diharapkan sehingga dalam jangka panjang dapat mengganggu

pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, apabila peningkatan jumlah uang

beredar rendah maka kelesuan ekonomi akan terjadi.

Apabila hal ini berlangsung terus menerus, kemakmuran masyarakat

secara keseluruhan akan mengalami penurunan. Kondisi tersebut antara lain

melatar belakangi upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah atau

otoritas-otoritas moneter dalam mengendalikan jumlah uang beredar dalam

perekonomian. Kegiatan mengendalikan jumlah uang beredar tersebut

lazimnya disebut Kebijakan moneter, yang pada dasarnya merupakan salah

satu bagian integral dari Kebijakan ekonomi makro yang ditempuh oleh

otoritas moneter (Bank Indonesia, 2003 : 62).

Permintaan uang di Indonasia mengalami perkembangan sesuai

dengan berkembangnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang

memungkinkan berkembangnya jenis tabungan dan deposito berjangka.

Keinginan masyarakat untuk menabung dan mendepositokan uangnya

sangat dipengaruhi oleh kemudahan dalam memperolehnya dan berbagai

fasilitas yang ditawarkan perbankan. Hal ini memungkinkan jika pemerintah

juga turut campur tangan dalam berbagai kebijakan deregulasi maupun

regulasi bidang moneter dan ekonomi pada umumnya.

7

Perkembangan M1 dan M2 di Indonesia pada Pembangunan Jangka

Panjang Tahap Pertama (PJPI) mengalami perkembangan yang relatih besar.

Pertumbuhan uang dalam arti sempit setiap tahun rata-rata selama PJPI

sebesar 25.29% dan pertumbuhan uang dalam arti luas sebesar 30.75%,

sedangkan pertumbuhan Quasy Money (QM) sebesar 38.18% (data BI

beberapa terbitan, diolah). Pertumbuhan uang dalam arti luas ternyata lebih

cepat dibanding dengan uang dalam arti sempit, hal ini disebabkan karena

adanya kenaikan yang pesat dari deposito berjangka dan tabungan di bank-

bank di Indonesia dengan suku bunga yang relatif besar (Prawoto : 2000).

Dengan adanya permasalahan yang cukup rumit, maka dalam hal ini

bank indonesia harus bisa memutuskan kebijaksanaan moneter yang harus

diambil sehingga dapat memperbaiki stabilitas perekonomian di Indonesia,

atas dasar pemikiran tersebut maka penulis tertarik melakukan penelitian

untuk menyelesaikan permasalahan ini secara ilmiah, untuk mewujudkan hal

tersebut maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini menjadi

sebuah penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul :

“ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

JUMLAH UANG BEREDAR DI INDONESIA SEBELUM DAN

SETELAH KRISIS EKONOMI TAHUN 1998”

8

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka permasalahan yang akan

diangkat dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaruh Produk Domestik Bruto terhadap jumlah uang

beredar di Indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter?

2. Bagaimanan pengaruh kurs terhadap jumlah uang beredar di Indonesia

sebelum dan sesudah krisis moneter?

3. Bagaimana pengaruh suku bunga terhadap jumlah uang beredar di

Indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter?

4. Variabel apa yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap jumlah

uang beredar di indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh kurs terhadap jumlah uang beredar di

indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter.

2. Untuk mengetahui pengaruh suku bunga terhadap jumlah uang beredar

di indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter.

3. Untuk mengetahui produk domestik bruto terhadap jumlah uang beredar

di indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter.

4. Untuk mengetahui variabel yang mempunyai pengaruh paling besar

terhadap jumlah uang beredar di indonesia sebelum dan sesudah krisis

moneter.

9

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bahan referensi atau input bagi peneliti lain yang mempunyai kaitan

dengan masalah yang diangkat dalam skripsi ini.

2. Untuk para pembaca di harapkan bisa mengetahui dan mendapat

informasi tentang permintaan uang.

3. Sebagai bahan pertimbangan dan pengambilan keputusan terkait dengan

kebijakan moneter.

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Landasan Teori

1. Krisis Moneter

a. Konsep Krisis Moneter

Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997,

sementara ini telah berlangsung hampir dua tahun dan telah berubah

menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena

semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah

pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya

disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian

diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang secara bertubi-

tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan panen padi di

banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah selama

50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di

Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada

pertengahan Mei 1998 lalu dan kelanjutannya (Anwar, 1997)

Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi

Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung

oleh Bank Dunia (lihat World Bank: Bab 2 dan Hollinger). Yang

dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah

pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali,

tingkat pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara

11

keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca berjalan cenderung

membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masih

cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit

surplus (Indrawati, 1998)

b. Faktor-Faktor Penyebab Krisis Moneter

Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi

Indonesia yang selama ini lemah, hal ini dapat dilihat dari data-data

statistik, tetapi terutama karena utang swasta luar negeri yang telah

mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam

negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS

yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya.

Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar

rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan

secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya

utang swasta luar negeri dalam jumlah besar.

Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun

terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi

Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan lain perkataan,

walaupun distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi

bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan

terjadi juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk

menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi

dari berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling

12

bersusulan. Analisis dari faktor-faktor penyebab ini penting, karena

penyembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa.

Krisis pecah karena terdapat ketidak seimbangan antara

kebutuhan akan valas dalam jangka pendek dengan jumlah devisa yang

tersedia, yang menyebabkan nilai dollar AS melambung dan tidak

terbendung. Sebab itu tindakan yang harus segera didahulukan untuk

mengatasi krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta

luar negeri, membenahi kinerja perbankan nasional, mengembalikan

kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap kemampuan

ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang

nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan stabilitas sosial

dan politik.

c. Dampak dari Krisis Moneter

Dewasa ini semua permasalahan dalam krisis ekonomi

berputar-putar sekitar kurs nilai tukar valas, khususnya dollar AS, yang

melambung tinggi jika dihadapkan dengan pendapatan masyarakat

dalam rupiah yang tetap, bahkan dalam beberapa hal turun ditambah

PHK, padahal harga dari banyak barang naik cukup tinggi, kecuali

sebagian sektor pertanian dan ekspor.

Imbas dari kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam secara

umum sudah kita ketahui: kesulitan menutup APBN, harga telur ayam

naik, utang luar negeri dalam rupiah melonjak, harga BBM, tarif listrik

naik, tarif angkutan naik, perusahaan tutup atau mengurangi

produksinya karena tidak bisa menjual barangnya dan beban utang

13

yang tinggi, toko sepi, PHK di mana-mana, investasi menurun karena

impor barang modal menjadi mahal, biaya sekolah di luar negeri

melonjak.

Dampak lain adalah laju inflasi yang tinggi selama beberapa

bulan terakhir ini, yang bukan disebabkan karena imported inflation,

tetapi lebih tepat jika dikatakan foreign exchange induced inflation.

Masalah ini hanya bisa dipecahkan secara mendasar bila nilai tukar

valas bisa diturunkan hingga tingkat yang wajar atau nyata (riil).

Dengan demikian roda perekonomian bisa berputar kembali dan harga-

harga bisa turun dari tingkat yang tinggi dan terjangkau oleh

masyarakat, meskipun tidak kembali pada tingkat sebelum terjadinya

krisis moneter.

Pada sisi lain merosotnya nilai tukar rupiah secara tajam juga

membawa hikmah. Secara umum impor barang menurun tajam

termasuk impor buah, perjalanan ke luar negeri dan pengiriman anak

sekolah ke luar negeri, kebalikannya arus masuk turis asing akan lebih

besar, daya saing produk dalam negeri dengan tingkat kandungan

impor rendah meningkat sehingga bisa menahan impor dan

merangsang ekspor khususnya yang berbasis pertanian, proteksi

industri dalam negeri meningkat sejalan dengan merosotnya nilai tukar

rupiah, pengusaha domestik kapok meminjam dana dari luar negeri.

hasilnya adalah perbaikan dalam neraca berjalan.

14

Petani yang berbasis ekspor penghasilannya dalam rupiah

mendadak melonjak drastis, sementara bagi konsumen dalam negeri

harga beras, gula, kopi dan sebagainya ikut naik. Sayangnya ekspor

yang secara teoretis seharusnya naik, tidak terjadi, bahkan cenderung

sedikit menurun pada sektor barang hasil industri.

Meskipun penerimaan rupiah petani komoditi ekspor

meningkat tajam, tetapi penerimaan ekspor dalam valas umumnya

tidak berubah, karena pembeli di luar negeri juga menekan harganya

karena tahu petani dapat untung besar, dan negara-negara produsen

lain juga mengalami depresiasi dalam nilai tukar mata uangnya dan

bisa menurunkan harga jual dalam nominasi valas. Hal yang serupa

juga terjadi untuk ekspor barang manufaktur, hanya di sini ada

kesulitan lain untuk meningkatkan ekspor, karena ada masalah dengan

pembukaan L/C dan keadaan sosial-politik yang belum menentu

sehingga pembeli di luar negeri mengalihkan pesanan barangnya ke

negara lain.

Sebagai dampak dari krisis ekonomi yang berkepanjangan ini,

pada Oktober 1998 inijumlah keluarga miskin diperkirakan meningkat

menjadi 7,5 juta, sehingga perlu dilancarkan program-program untuk

menunjang mereka yang dikenal sebagai social safety net.

Meningkatnya jumlah penduduk miskin tidak terlepas dari jatuhnya

nilai tukar rupiah yang tajam, yang menyebabkan terjadinya

kesenjangan antara penghasilan yang berkurang karena PHK atau naik

sedikit dengan pengeluaran yang meningkat tajam karena tingkat

15

inflasi yang tinggi, sehingga bila nilai tukar rupiah bisa dikembalikan

ke nilai nyatanya maka biaya besar yang dibutuhkan untuk social

safety net ini bisa dikurangi secara drastis. Namun secara keseluruhan

dampak negatifnya dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih besar

dari dampak positifnya.

2. Uang

a. Pengertian Uang

Uang adalah sesuatu yang secara umum diterima di dalam

pembayaran untuk pembelian barang-utang. Dan juga sering

dipandang sebagai kekayaan yang dimilikinya yang dapat digunakan

untuk membayar sejumlah tertentu utang dengan kepastian dan tanpa

penundaan. Apa yang menjadikan sesuatu menjadi uang adalah

tergantung pada pemilihan masyarakat, hukum dan sejarahnya.

Meskipun pemilihan tentang apa yang bertindak sebagai uang adalah

tergantung kepada faktor-faktor tersebut, namun ada beberapa kriteria

yang digunakan sebagai pedoman (Iswardono, 1994 : 4).

b. Kriteria Uang

1) Acceptability dan Cognizability

Persyaratan utama dari suatu uang adalah diterima secara

umum dan diketahui secara umum. Diterima secara umum serta

penggunaannya sebagai alat tukar, penimbun kekayaan , standard

pencicilan utang tumbuh secara luas karena penggunaan (manfaat)

dari uang untuk ditukarkan nya dengan barang-barang dan jasa.

16

2) Stability of Value

Manfaat dari sesuatu yang menjadi uang memberikan

adanya nilai uang. Maka diperlukan menjaga kestabilan nilai uang.

Karena kalau tidak, uang tidak akan diterima secara umum, karena

masyarakat mencoba menyimpan kekayaannya dalam bentuk

barang-barang yang nilainya stabil. barang dan jasa-jasa serta

untuk pembayaran utang-

3) Elastisity of Supply

Jumlah uang beredar harus mencukupi kebutuhan dunia

usaha (perekonomian). Ketidakmampuan penyediaan uang untuk

mengimbangi kegiatan usaha akan mengakibatkan perdagangan

macet dan pertukaran dilakukan seperti pada perekonomian barter,

dimana barang ditukar dengan barang lain secara langsung. Oleh

karena itu Bank Sentral sebagai pencipta uang tunggal harus

mampu melihat perkembangan perekonomian yang selanjutnya

harus mampu menyediakan uang yang cukup bagi perkembangan

perekonomian tersebut. Dan sebaliknya Bank Sentral harus

bertindak cepat seandainya dirasa uang yang beredar terlalu banyak

dan dibandingkan kegiatan perekonomian, dalam hal ini Bank

Sentral harus mengurangi jumlah uang beredar.

4) Portability

Uang harus mudah dibawa untuk urusan seiap hari. Bahkan

transaksi dalam jumlah besar dapat dilakukan dengan uang dalam

jumlah (fisik) yang kecil jika nilai nominalnya besar.

17

5) Durability

Dalam pemindahan uang dari tangan yang satu ke tangan

yang lain mengharuskan uang tersebut dijaga nilai fisiknya. Kalau

tidak, rusak ataupun robek akan menyebabkan penurunan nilainya

dan merusakkan kegunaan moneter dari uang tersebut.

6) Divisibility

Uang digunakan untuk memantapkan transaksi dari

berbagai jumlah. Sehingga uang dari berbagai nominal

(satuan/unit) harus dicetak untuk mencukupi/melancarkan

transakasi jual-beli. Untuk menjamin dapat ditukarkannya uang

satu dengan yang lainnya, semua jenis uang harus dijaga agar tetap

nilainya.

c. Fungsi Uang

Dalam kepustakaan teori meneter uang dikenal mempunyai 4

fungsi, 2 diantaranya merupakan fungsi yang sangat mendasar

sedangkan 2 lainnya adalah fungsi tambahan. Dua fungsi dasar

tersebut adalah peranan uang sebagai :

1) Alat Tukar (Means Of Exchange)

Sebagai alat tukar, peranan uang sangat menentukan

kegiatan perekonomian. Peranan uang sebagai alat tukar

mensyaratkan bahwa uang tersebut harus diterima oleh masyarakat

sebagai alat pembayaran.

18

Artinya, si penjual barang mau menerima uang sebagai

pembayaran untuk barangnya karena ia percaya bahwa uang

tersebut juga diterima oleh orang lain(masyarakat umum) sebagai

alat pembayaran apabila ia nanti memerlukan untuk membeli suatu

barang. Unsur kepercayaan ini penting sekali dan melandasi

pemilihan “barang” apa yang bisa digunakan sebagai uang.

Sekarang kebanyakan Negara menggunakan uang kertas, karena

murah membuatnya dan mudah menyimpannya. Jadi kertas pun

bisa berperan sebagai uang apabila orang percaya bahwa secarik

kertas tersebut juga diterima oleh orang lain sebagai alat

pembayaran (Boediono, 2005 :10).

2) Alat Penyimpan Nilai/Daya Beli (Store Of Value)

Fungsi dasar yang kedua dari uang, yaitu sebagai alat

penyimpan daya beli (nilai), terkait dengan sifat manusia sebagai

pengumpul kekayaan.

Pemegangan uang merupakan salah satu cara untuk

menyimpan kekayaan. Tentu kekayaan bisa dipegang dalam

bentuk-bentuk lain, seperti tanah, kerbau, berlian, emas, saham,

mobil dan sebagainya. Tetapi uang memang salah satu pilihan

untuk menyimpan kekayaan. Syarat utama untuk ini adalah bahwa

uang harus bisa menyimpan daya beli atau “nilai”. Apabila tidak,

maka daya tarik uang sebagai penyimpan kekayaan juga berkurang.

Jadi, misalnya dalam keadaan inflasi yang parah, nilai uang (untuk

ditukar barang) merosot cepat, sehingga orang enggan memegang

19

uang dan lebih suka memegang barang. Uang kehilangan

fungsinya sebagai store of value. Sebaliknya dalam masa stabil

atau masa deflasi (harga-harga turun) uang sangat dicari orang

sebagai penyimpan kekayaan (Boediono, 2005 : 11).

Penyimpanan uang ini dimaksud untuk mempermudah

transaksi di saat ini ataupun di masa yang akan datang. Kenapa

uang yang disimpan?, karena uang dapat segera digunakan

langsung untuk membeli barang-barang dan jasa atau karena uang

mempunyai sifat yang liquid, mudah digunakan dalam transaksi

atau dalam pembayaran cicilan utang (Iswardono, 1994 : 9).

Dua fungsi lainnya adalah sebagai :

3) Satuan Hitung (Unit Of Account)

Salah satu fungsi uang secara umum adalah sebagai satuan

hitung “ unit of account”. Satuan hitung dalam hal ini dimaksud

sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan nilai dari barang-

barang dan jasa yang dijual (beli), besarnya kekayaan serta

menghitung besar-kecilnya kredit atau hutang atau dapat dikatakan

sebagai alat yang digunakan dalam menentukan harga barang dan

jasa. Seandainya tidak ada uang misalnya maka akan terjadi

ketidakseragaman di dalam satuan hitung (Iswardono, 1994 : 6).

Sebagai satuan hitung, uang juga mempermudah tukar-

menukar. Fungsi ini kurang fundamental dibanding dengan kedua

fungsi sebelumnya. Karena fungsi ini hampir otomatis mengikuti

fungsi uang sebagai alat tukar. Dankalaupun uang tidak dipakai

20

sebagai satuan hitung, sebenarnya pertukaran lewat uang masih

bisa terjadi.

4) Ukuran Untuk Pembayaran Masa Depan

Sebagai ukuran pembayaran masa depan, uang terkait

dengan transaksi pinjam-meminjam atau transaksi kredit, artinya

barang sekarang dibayar nanti atau “uang sekarang” dibayar

dengan “uang nanti”. Dalam hubungan ini, uang merupakan salah

satu cara menghitung pembayaran masa depan tersebut (Boediono,

2005 : 13).

d. Motif Orang Memegang Uang

1) Motif Transaksi

Orang memegang uang guna memenuhi dan melancarkan

transaksinya, dan permintaan akan uang dari masyarakat untuk

tujuan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan nasional dan

tingkat bunga. Semakin tinggi tingkat pendapatan semakin besar

volume transaksi dan semakin besar pula kebutuhan uang untuk

tujuan transaksi. Permintaan uang untuk tujuan transaksi ini pun

tidak merupakan suatu proporsi yang selalu konstan, tetapi

dipengaruhi pula oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Hanya saja

faktor tingkat bunga untuk permintaan transaksi untuk uang ini

tidak ditekankan oleh Keynes, akan tetapi tingkat bunga ditekankan

pada permintaan uang untuk tujuan spekulasi.

21

2) Motif Berjaga-Jaga

Motif berjaga-jaga (precautionary motive), orang akan

mendapat manfaat dari memegang uang untuk menghadapi

keadaan-keadaan yang tidak terduga, karena sifat uang yang liquid,

yaitu mudah ditukarkan dengan barang-barang lain. Menurut

Keynes permintaan uang untuk tujuan berjaga-jaga ini dipengaruhi

oleh faktor-faktor yang sama dengan faktor yang mempengaruhi

permintaan uang untuk transaksi, yaitu terutama dipengaruhi pula

oleh tingkat penghasilan orang tersebut, dan mungkin dipengaruhi

pula oleh tingkat bunga (meskipun tidak kuat pengaruhnya).

3) Motif Spekulasi

Sesuai dengan namanya , motif dari memegang uang ini

adalah terutama untuk tujuan memperoleh keuntungan yang bisa

diperoleh dari seandainya si pemegang uang tersebut meramal apa

yang akan terjadi dengan benar.

Pada teori Cambridge faktor ketidaktentuan masa depan

(uncertainly) dan faktor harapan (expectations) dari pemilik

kekayaan bisa mempengaruhi permintaan akan uang dari pemilik

kekayaan tersebut. Namun sayangnya teori ini tidak pernah

membakukan faktor-faktor ini ke dalam perumusan teori moneter

mereka. (Kita lihat bahwa bentuk permintaan dari teori Cambridge

tidak berbeda dengan Fisher, dan faktor-faktor ini hanya masuk

analisa secarakualitatif). Perumusan permintaan uang untuk motif

22

spekulasi dari Keynes merupakan langkah “formalisasi” dari

faktor-faktor ini ke dalam teori moneter.

Keynes tidak membicarakan faktor “uncertainly” dan

“expectations” hanya secara umum, seperti teori Cambridge. Tetapi

ia membatasi “uncertainly” dan “expectations” mengenai satu

variable yaitu tingkat bunga. Pada garis besarnya teori Keynes

membatasi pada keadaan dimana pemilik kekayaan bisa memilih

memegang kekayaannya dalam bentuk uang tunai atau obligasi

(bond). Uang tunai dianggap tidak memberikan penghasilan

sedangkan obligasi dianggap memberikan berupa sejumlah uang

tertentu setiap periode. Dalam teori Keynes dibicarakan khusus

obligasi yang memberikan suatu penghasilan berupa sejumlah uang

tertentu setiap periode selama waktu yang tak terbatas (perpetuity).

Secara umum bisa ditulis dengan persamaan sebagai berikut :

Dimana K adalah hasil per tahun yang diterima, R adalah

tingkat bunga, dan P adalah harga pasar atau nilai sekarang dalam

obligasi “perpetuity” tersebut. Persamaan tersebut bisa juga ditulis

sebagai berikut :

Yang menunjukkan bahwa (karena K adalah konstan) harga

pasar obligasi (P) berbanding terbalik dengan tingkat bunga R bila

tingkat bunga turun, maka berarti harga pasar obligasi naik, dan

K = RP………………………………………(1)

P = K/R………………………………………..(2)

23

sebaliknya bila tingkat bunga naik maka harga pasar obligasi turun,

atau dengan kata lain semakin tinggi tingkat suku bunga semakin

rendah permintaan uang tunai oleh seseorang atau masyarakat.

Karena, semakin tinggi tingkat suku bunga, maka semakin

besar ongkos memegang uang tunai sehingga seseorang atau

masyarakat lebih baik membeli obligasi. Sebaliknya apabila tingkat

suku bunga semakin rendah maka semakin rendah pula ongkos

memegang uang tunai dan semakin besar seseorang atau

masyarakat untuk menyimpan uang tunai.

Permintaan total akan uang :

Bentuk yang sederhana dari fungsi permintaan (total) akan

uang dari teori Keynes adalah:

Md/P = [ k Y + Ø (R, W) ]…………………………….(1)

Md/P adalah permintaan uang total dalam arti riil, suku

pertama dalam kurung, yaitu k Y adalah permintaan uang untuk

transaksi dan berjaga-jaga, yang dinyatakan sebagai suatu proporsi

(k) dari pendapatan nasional riil. Ø (R, W) adalah permintaan akan

uang untuk motif spekulasi yang dinyatakan sebagai fungsi dari

tingkat bunga yang berlaku (R) dan nilai asset (kekayaan atau

wealth) yang ada di masyarakat (W). Variable W ini dimasukkan

karena permintaan uang untuk motif spekulasi dinyatakan sebagai

bagian dari W yang dipegang dalam bentuk uang tunai. Persamaan

(1) tersebut bisa pula dinyatakan dalam bentuk permintaan akan

uang dalam satuan moneter sebagai berikut :

24

Md = [ k Y + Ø (R, W) ] P…………………………..(2)

Dalam analisa jangka pendek W biasanya dianggap konstan

sehingga fungsi (2) menjadi :

Md = [ k Y + Ø (R) ] P………………………………(3)

dimana Ø (R) = Ø (R,W), dalam posisi equilibrium, supply uang

(Ms), yang dianggap juga oleh Keynes sebagai variable yang

ditentukan oleh pemerintah, sama dengan Md. Sehingga :

Ms = [ k Y + Ø (R) ] P………………………………(4)

Teori permintaan uang Keynes mempunyai implikasi

bahwa fungsi permintaan akan uang (Liquidity Preference) adalah

fungsi yang tidak stabil, dalam arti bahwa fungsi ini bisa bergeser

dari waktu ke waktu. Hal ini karena Keynes menekankan faktor

uncertainly dan expectation dalam menentukan posisi permintaan

uang untuk tujuan spekulasi (Boediono, 2005 : 27).

e. Teori-teori Permintaan Uang

1) Teori Klasik

Teori ini sebenarnya adalah teori mengenai permintaan dan

penawaran akan uang, beserta interaksi antara keduanya. Fokus

dari teori ini adalah pada hubungan antara penawaran uang atau

jumlah uang beredar dengan nilai uang atau tingkat harga.

Hubungan dua variable dijabarkan lewat konsepsi teori mereka

mengenai permintaan akan uang. Perubahan akan jumlah uang

beredar atau penawaran uang berinteraksi dengan permintaan akan

uang dan selanjutnya menentukan nilai uang.

25

a) Irving Fisher

MVt = PT…………………………………….(1)

Dalam setiap transaksi selalu ada pembeli dan penjual.

Jumlah uang yang dibayarkan oleh pembeli harus sama dengan

uang yang diterima oleh penjual. Hal ini berlaku juga untuk

seluruh perekonomian: didalam suatu periode tertentu nilai dari

barang-barang atau jasa-jasa yang dibeli harus sama dengan

nilai dari barang yang dijual. Nilai dari barang yang dijual sama

dengan volume transaksi (T) dikalikan harga rata-rata dari

barang tersebut (P). Dilain pihak nilai dari barang yang

ditransaksikan ini harus sama dengan volume uang yang ada

dimasyarakat (M) dikalikan berapa kali rata-rata uang bertukar

dari tangan satu ke tangan yang lain, atau rata “perputaran

uang”, dalam periode tersebut (Vt). MVt = PT adalah suatu

identitas, dan pada dirinnya bukan merupakan suatu teori

moneter. Identitas ini bisa dikembangkan, seperti oleh Fisher,

menjadi teori moneter sebagai berikut:

Vt, atau “transaction velocity of circulation” adalah

suatu variable yang ditentukan oleh faktor-faktor kelembagaan

yang ada didalam suatu masyarakat, dan dalam jangka pendek

bisa dianggap konstan. T, atau volume transaksi, dalam periode

tertentu ditentukan oleh tingkat output masyarakat (pendapatan

nasional). Identitas tersebut diberi “nyawa” dengan

mentransformasikannya dalam bentuk:

26

Md = 1/Vt PT…………………………………….(2)

Permintaan atau kebutuhan akan uang dari masyarakat

adalah suatu proporsi tertentu 1/Vt dari nilai transaksi (PT).

Persamaan 2, bersama dengan persamaan yang menunjukkan

posisi equilibrium di sektor moneter .

Md = Ms………………………………………….(3)

Dimana Ms = supply uang beredar (yang dianggap ditentukan

oleh pemerintah) menghasilkan

Ms = 1/Vt PT……………………………………..(4)

Persamaan (4) berbunyi: dalam jangka pendek tingkat

harga umum (P) berubah secara proporsional dengan perubahan

uang yang diedarkan oleh pemerintah. Dalam teori ini T

ditentukan oleh tingkat output equilibrium masyarakat, yang

untuk Fisher dan para ahli ekonomi Klasik, adalah selalu pada

posisi “full employment” (Hukum Say atau Say’s Law). Vt atau

transaction velocity of circulation, Fisher mengatakan bahwa

permintaan akan uang timbul dari penggunaan uang dalam

proses transaksi. Besar-kecilnya Vt ditentukan oleh sifat proses

transaksi yang berlaku di masyarakat dalam suatu periode

(Boediono,2005 : 18).

b) Teori Cambridge (Marshall-Pigou)

Teori ini seperti halnya teori Fisher dan teori-teori

klasik lainnya, berpangkal pokok pada fungsi uang sebagai alat

tukar umum (means ofexchange). Karena itu, teori-teori Klasik

27

melihat kebutuhan uang atau permintaan akan uang dari

masyarakat sebagai kebutuhan akan alat tukar yang likuid

untuk tujuan transaksi.

Perbedaan utama antara teori ini dengan Fisher, terletak

pada tekanan dalam teori permintaan uang Cambridge pada

perilaku individu dalam mengalokasikan kekayaannya antara

berbagai kemungkinan bentuk kekayaan, yang salah satunya

berbentuk uang. Perilaku ini dipengaruhi oleh pertimbangan

untung-rugi dari pemegang kekayaan dalam bentuk uang.

Teori Cambridge lebih menekankan faktor-faktor

perilaku (pertimbangan untung-rugi) yang menghubungkan

antara permintaan akan uang seseorang dengan volume

transaksi yang direncanakannya. Teoritisi Cambridge

mengatakan bahwa permintaan akan uang selain dipengaruhi

oleh volume transaksi dan faktor kelembagaan (Fisher), juga

dipengaruhi oleh tingkat bunga, besar kekayaan warga

masyarakat, dan ramalan/harapan dari masyarakat mengenai

masa mendatang.

Jadi dalam jangka pendek, teoritisi Cambridge

menganggap bahwa jumlah kekayaan, volume transaksi dan

pendapatan nasional mempunyai hubungan yang proporsional-

konstan satu sama lainnya. Teori Cambridge menganggap

bahwa, ceteris paribus permintaan akan uang adalah

proporsional dengan tingkat pendapatan nasional.

28

Md = k PY………………………………………(1)

dimana Y adalah pendapatan nasional riil.

Supply akan uang (Ms) dianggap ditentukan oleh

pemerintah. Dalam posisi keseimbangan maka :

Ms = Md………………………………………...(2)

sehingga :

Ms = k PY………………………………………(3)

atau :

P = 1/k Ms Y…………………………………....(4)

Jadi ceteris paribus tingkat harga umum (P) berubah

secara proporsional dengan perubahan volume uang yang

beredar. Tidak banyak berbeda dengan teori Fisher, kecuali

tambahan ceteris paribus (yang berarti tingkat harga,

pendapatan nasional riil, tingkat bunga dan harapan adalah

konstan). Perbedaan ini cukup penting, karena teori Cambridge

tidak menutup kemungkinan bahwa faktor-faktor seperti

tingkat bunga dan expectation berubah, walaupun dalam jangka

pendek. Dan kalau faktor-faktor berubah maka k juga berubah.

Teori Cambridge mengatakan kalau tingkat bunga naik, ada

kecenderungan masyarakat mengurangi uang yang ingin

mereka pegang, meskipun volume transaksi yang mereka

rencanakan tetap.

Demikian juga faktor expectation mempengaruhi: bila

seandainya masa datang tingkat bungaakan naik (yang berarti

29

penurunan surat berharga atau obligasi) maka orang akan

cenderung untuk mengurangi jumlah surat berharga yang

dipegangnya dan menambah jumlah uang tunai yang mereka

pegang, dan ini pun bisa mempengaruhi “k” dalam jangka

pendek (Boediono, 2005: 23).

c) Teori Keynes

Meskipun bisa dikatakan bahwa teori uang Keynes

adalah teori yang bersumber dari teori Cambridge, tetapi

Keynes mengemukakan sesuatu yang berbeda dengan teori

moneter tradisi klasik. Pada hakekatnya perbedaan ini terletak

pada penekanan pada fungsi uang yang lain, yaitu sebagai store

of value dan bukan hanya sebagai means of exchange. Teori ini

kemudian dikenal dengan nama teori Liquidity Preference.

2) Teori Kuantitas Modern (Friedman)

Friedman tidak bertitik tolak dari pembahasan yang

mendalam mengenai motif-motif memegang uang. Secara umum

dianggap bahwa orang mau memegang uang karena uang adalah

salah satu bentuk aktiva (asset) yang memberikan manfaat karena

merupakan sumber daya beli yang liquid (readily available source

of purchasing power).

Teori permintaan uang Friedman menganggap bahwa

“pemilik kekayaan” memutuskan aktiva-aktiva apa (termasuk uang

tunai) dan berapa yang akan ia pegang atas dasar perbandingan

30

manfaat (penghasilan dalam bentuk uang ataupun dalam bentuk in

natura ataupun “utility”), selera dan jumlah kekayaannya.

Pengertian “kekayaan” dari Friedman mempunyai ciri khas,

yaitu bahwa yang dimasukkan dalam definisi “kekayaan” tidak

hanya aktiva-aktiva yang berbentuk uang atau bisa diubah (dijual)

menjadi uang, tetapi juga nilai (tepatnya,”nilai sekarang” atau

“present value”) dari aliran aliran penghasilan di tahun-tahun

mendatang dari tenega kerjanya. Friedman berpendapat bahwa

“kekayaan” tidak lain adalah nilai sekarang dari aliran-aliran

penghasilan yang diharapkan dari aktiva - aktiva yang dipegang.

Konsep “kekayaan” dari Friedman ini merupakan suatu inovasi

dalam teori ekonomi mengenai capital, dan sekaligus merupakan

jembatan antara teori permintaan biasa (untuk barang dan jasa)

dengan teori capital.

Pengertian yang kedua adalah konsep “manfaat”. Manfaat

dari setiap bentuk aktiva merupakan faktor pertimbangan dari

pemilik kekayaan untuk memutuskan berapa jumlah dari masing-

masing bentuk aktiva yang akan ia pegang. Disebut diatas bahwa

Marginal Rate of Substitution dari suatu aktiva terhadap aktiva-

aktiva lain menurun dengan makin besarnya jumlah aktiva tersebut

yang dipegang. Ini berarti bahwa bila seseorang memegang terlalu

banyak satu bentuk aktiva, misalnya uang maka manfaat marginal

dari uang akan menjadi lebih kecil dari pada marginal returns dari

aktiva-aktiva yang lain. Ini berarti bahwa ia bila ia mengurangi

31

jumlah uang yang ia pegang dan menggantinya dengan aktiva-

aktiva lain berupa obligasi, surat-surat berharga lainnya ataupun

aktiva fisik seperti mobil, rumah, mesin dan sebagainya, maka

orang tersebut akan memperoleh manfaat total yang lebih besar.

Jadi, menurut pandangan Friedman permintaan uang

ditentukan oleh faktor seperti berikut : tingkat harga, suku bunga

obligasi, suku bunga “equities”, modal fisik dan kekayaan

mengenai peranan harga dalam menentukan permintaan uang,

Friedman berpendapat dikarenakan memegang uang adalah salah

satu cara untuk menyimpan kekayaan. Cara-cara yang lain adalah

menyimpan uang dalam bentuk harta keuangan (financial asset)

seperti obligasi, deposito dan saham, menyimpan dalam bentuk

harta tetap (tanah dan rumah) dan kekayaan manusiawi (Boediono,

2005 : 63).

Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan

uang seperti diatas, teori permintaan yang didasarkan pada teori

kuantitas modern yang dikembangkan oleh Friedman dapat

dinyatakan dalam persamaan berikut :

Dimana Md adalah permintaan uang nominal, P adalah

tingkat harga, r adalah tingkat suku bunga, rFC adalah tingkat

pengembalian modal fisik dan Y adalah pendapatan dan kekayaan.

Md = f (P, r, rFC)

Md/P = f (ΔP, r, Y*)

32

Apabila dipertimbangkan pula pandangan Friedman

mengenai permintaan uang riil, maka persamaan permintaan uang

dinyatakan

Dimana Md/P adalah permintaan uang riil, ΔP adalah

tingkat kenaikan harga, r adalah tingkat bunga dan Y* adalah nilai

pendapatan dan kekayaan riil.

Model permintaan uang riil diatas masih dalam bentuk

umum, secara spesifik, bentuk fungsi diatas masih sangat

dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti perkembangan institusi

keuangan dan kelembagaan lainnya yang terkait didalam

perekonomian dan juga oleh kebijakan-kebijakan yang dilakukan

oleh pemerintah (Sidiq, 2005 : 33).

3. Produk Domestik Bruto (PDB)

a. Definisi Produk Domestik Bruto (PDB)

Pendapatan dalam penelitian ini di definisikan sebagai produk

domestik bruto (PDB). Di negara-negara berkembang, konsep produk

domestik bruto adalah konsep yang paling penting jika dibandingkan

dengan konsep pendapatan nasional lainya. Produk domestik bruto

adalah nilai barang-barang dan jasa-jasa di dalam suatu negara yang

diproduksikan oleh faktor-faktor produksi milik warga negara tersebut

dan warga negara asingdalam satu tahun tertentu (Sukirno, 1999: 33).

b. Konsep Produk Domestik Bruto (PDB)

Pertumbuhan suatu peekonomian diukur dari pertumbuhan

sebenarnya dalam barang dan jasa yang diproduksikan. Untuk dapat

33

dapat menghitung kenaikan tersebut daritahun ke tahun barang dan

jasa yang dihasilkan haruslah dihitung pada harga yang tetap, yaitu

harga barang dan jasa yang berlaku pada satu tahun tertentu yang

seterusnya digunakanuntuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan

pada tahun-tahun yang lain. Nilai yang didapat dari perhitungan

dengan cara ini disebut produk domestik bruto harga konstan. Produk

domestik bruto menurut harga konstan ini lebih mencerminkan

pertumbuhan uotput atau produksi yang sesungguhnya terjadi (Wijaya,

1990: 16).

Teori yang digunakan yang terkait dengan variabel produk

domestik bruto ini adalah teori ini kuatitas dari marshall yang

memperhatikan hubungan antara jumlah uang beredar dengan

pendapatan.

Rumus marshall adalah:

Ket:

M : Jumlah uang beredar

K : Koefisien yang mengukur keseimbangan antara kedua sisi

persamaa

Y : Pendapatan

Dalam perumusan marshall ini terlihat bahwa perubahan

jumlah uang beredar atau perubahan permintaan terhadap uang untuk

disimpan dalam bentuk liquiditas telah membawa pengaruh utama

yang terhadap pendapatan untuk kemudian terhadap warga.

M=kY.M

34

c. Pengaruh Produk Domestik Bruto Terhadap Jumlah Uang

Beredar

Produk Domestik Bruto merupakan ukuran tingkat kegiatan

ekonomi suatu negara, namun demikian Produk domestik bruto

bukanlah merupakan indeks atau pengukur kesejahteraan yang

memuaskan, meskipun demikian perlu memasukan variabel

pendapatan dalam analisis jumlah uang beredar, karena memiliki

prinsip dasar yang sama yaitu tindakan memilih dari individu sebagai

pemilik kekayaan. Masyarakat yang pendapatanya tinggi akan

mendorong bank-bank umum untuk meningkatkan pemberian jaminan

kredit pinjaman kepada masyarakat, sehingga jumlah uang beredar

meningkat.

Dalam jangka panjang Produk Domestik Bruto dapat

mempengaruhi jumlah uang beredar untuk dapat menghitung kenaikan

tersebut dari tahun ke tahun, barang dan jasa yang dihasilkan haruslah

dihitung pada harga yang tetap, yaitu harga barang barang yang

brelaku pada satu tahun tertentu yang seterusnya digunakan untuk

menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun ke tahun

berikutnya.

Pendapatan Nasional menggambarkan tingkat produksi negara

yang dicapai dalam satu tahun tertentu dan perubahannya dari tahun ke

tahun. Maka ia mempunyai peranan penting dalam menggambarkan (i)

tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai, dan (ii) perubahan

pertumbuhannya dari tahun ke tahun. Produk nasional atau pendapatan

35

nasional adalah istilah yang menerapkan tentang nilai barang-barang

dan jasa-jasa yang diproduksikan sesuatu negara dalam suatu tahun

tertentu (Sukirno, 2004 : 17)

Implikasi dari teori Fisher bahwa jumlah uang beredar didalam

masyarakat merupakan suatu proporsi tertentu dari volume transaksi,

dan volume transaksi merupakan suatu proporsi konstan pula dari

tingkat output masyarakat (pendapatan nasional). Jadi jumlah uang

pada analisa akhir ditentukan oleh tingkat pendapatan nasional saja

(Boediono, 2005 : 20).

4. Kurs

a. Definisi Kurs

Nilai tukar mata uang atau yang disebut kurs adalah harga satu

unit mata uang asing dalam bentuk mata uang domestik atau dapat

juga dikatakan harga mata uang domestik terhadap mata uang asing

(Simorangkir dan Suseno, 2004: 4),

Perdagangan antar negara di mana masing–masing negara

mempunyai alat tukarnya sendiri mengharuskan adanya angka

perbandingan nilai suatu mata uang dengan mata uang lainnya yang

kemudian disebut kurs (Boediono, 1993 : 43). Jadi kurs atau nilai tukar

valuta asing adalah perbandingan nilai atau harga mata uang uang

nasional tertentu denagn mata uang asing nasional lain (Salvatore,

1997).

36

b. Teori Kurs

1) Pendekatan Perdagangan atau Pendekatan Elastisitas Terhadap

Pembentukan kurs

Teori kurs ini merupakan teori kurs tradisional yang

berdasarkan pada kajian terhadap arus pertukaran barang dan jasa

antar negara. Teori ini melihat bahwa nilai tukar atau kurs antara

dua mata uang dari dua negara ditentukan oleh besar kecilnya

perdagangan barang dan jasa yang berlangsung di antara kedua

negara tersebut.

Menurut pendekatan moneter, kurs ekuilibrium adalah kurs

yang menyeimbangkan nilai impor dan nilai ekspor dari suatu

negara. Jika nilai impor negara tersebut lebih besar dibandingkan

dengan nilai ekspornya, maka kurs mata uangnya akan mengalami

peningkatan, dan hal ini akan berlangsung secara cepat dalam

system kurs mangambang yang berlaku. Peningkatan kurs tersebut

akan membuat harga dari berbagai komoditi ekspornya menjadi

lebih murah bagi para importir sedangkan berbagai produk barang

dan jasa impor menjadi lebih mahal bagi penduduk domestik.

Akibatnya, ekspor dari negara tersebut akan mengalami kenaikan

sedangkan impornya akan terus menurun sampai pada akhirnya

nilai perdagangan internasionalnya benar-benar seimbang

(Salvatore, 1997 : 42).

37

Karena kecepatan proses penyesuaian tersebut ditentukan

oleh seberapa responsive atau elastis impor dan ekspor terhadap

perubahan-perubahan harga, maka pendekatan ini disebut juga

pendekatan elastis. Pendekatan ini menekankan pentingnya peran

perdagangan atau arus pertukaran barang dan jasa dalam

pembentukan kurs.

2) Teori Persamaan Daya Beli terhadap Pembentukan Kurs

Teori persamaan daya beli atau The Theory of Purchasing

Power Parity pertama kali ditemukan oleh david Ricardo pada

tahun 1817 dan belakangan dikembangkan oleh Gustav Cassel

sekitar tahun 1916.

Teori ini berdasarkan logika bahwa mata uang dalam

standar kertas tidak mempunyai nilai intrinsic atau tidak didukung

dan dikaitkan nilianya dengan suatu komoditi tertentu yang

dijadikan standar sehingga nilai uang tersebut di dalam negeri

ditentukna oleh kemampuan daya belinya. Secara Internasional

kurs valuta mata uang antar negara ditentukan oleh perbandingan

tenaga belinya masing-masing atau oleh tenaga beli relatifnya.

Karena itu kurs valuta harus mencerminkan perbedaan tingkat

harga di masing-masing negara (Wijaya, 1990 : 41).

Apabila jumlah uang di negara mengalami perubahan naik

atau berkurang akan mempengaruhi pula terhadap perbandingna

harga uang dari dua jenis mata uang yang bersangkutan. Kurs

tersebut adalah stabil selama permintaan dan penawaran kedua

38

jenis uang tersebut tetap seimbang. Jika permintaan uang suatu

negara lebih kuat dari negara lain maka akan menguatkan nilai

uang negara tersebut dan nilai uang negara lain akan menjadi

lemah.

3) Pendekatan Moneter terhadap Pembentukan Kurs

Pendekatan ini menyatakan bahwa kurs tercipta dalam

proses penyamaan atau penyeimbangan stok atau total permintaan

dan penawaran mata uang nasional di masing-masing negara.

Penawaran uang di asumsikan dapat ditetapkan atau diciptakan

secara independen oleh otoritas moneter di negara yang

bersangkutan. Namun sebaliknya, permintaan uang sangat

ditentukan oleh tingkat pendapatan riiil oleh negara tersebut, atau

tingkat harga-harga umum yang berlaku serta suku bunga

(Salvatore, 1997 : 46).

Peningkatan penawaran uang yang kemudian

mengakibatkan penurunan suku bunga riil dapat mempengaruhi

situasi di pasar-pasar finansial dan besaran kurs secara seketika.

Bila tingkat penawaran naik, maka akan menyebabkan arus modal

keluar bertambah karena adanya selisih bunga di negara itu dan

negara lainnya. Dan pada akhirnya hal ini akan mengakibatkan

depresi mata uang negara tersebut.

4) Pendekatan Keseimbangan Portofolio terhadap Pembentukan Kurs

Pendekatan ini merupakan salah satu jenis pendekatan

moneter yang lebih realistis dan memuaskan. Hal ini dikarenakan

39

asumsinya yang menyatakan bahwa uang hanyalah salah satu dari

sekian banyak jenis aset finansial. Dalam pendekatan ini

ditekankan bahwa kurs sesungguhnya terbentuk dalam proses

penyamaan dan penyeimbangan stok atau total permintaan atau

penawaran aset-aset finansial.

Kemudian dirumuskan bahwa kenaikan penawaran uang di

negara tersebut akan mendorong terjadinya kemerosotan suku

bunga di negara tersebut, sehingga membuat investor menukarkan

obligasi domestiknya menjadi mata uang domestik dan obligasi

luar negeri. Pembelian besar-besaran atas obligasi luar negeri akan

menimbulkan depresiasi mata uang domestik. Depresiasi

selanjutnya akan daapt merangsang ekspor negara domestik dan

menurunkan impornya, sehingga akan membuat surplus

perdagangan bagi negara tersebut yang disusul dengan apresiasi

mata uangnya.

c. Pengaruh Kurs terhadap Jumlah Uang beredar

Dalam jangka panjang, kurs dapat mempengaruhi jumlah uang

beredar yang disebabkan oleh masuknya deposito dalam valuta asing

sebagai komponen uang kuasi, karena fluktuasi dari kurs akan

mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memegang uang kuasi. Hal

ini disebabkan karena adanya unsur spekulasi dan ketidakpastian di

masa mendatang yang menjadi salah satu pertimbangan bagi seseorang

untuk mengkonversikan kekayanya dalam aktiva-ktiva yang

menguntungkan.

40

Dengan demikian adalah nilai dollar AS terapresiasi berarti

kurs dollar AS terhadap rupiah meningkat, masyarakat cenderung akan

memilih memegang dollar AS dan menabung atau mendepositokan

uangnya dalam bentuk valuta asing, dimana rekening dan deposito

dalam valuta asing ini merupakan komponen uang kuasi, sehingga

uang kuasi akan meningkat, yang berarti jumlah uang beredar pun akan

meningkat.

5. Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia

a. Definisi Sertifikat Bank Indonesia

Surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh

BI sebagai pengakuan utang berjangka pendek dengan menggunakan

sistem diskonto (Sugiono, 2003 : 30). Penerbitan SBI oleh Bank

Indonesia mempunyai tujuan kontraksi yaitu apabila tingkat suku

bunga atas diskonto SBI dinaikkan dan kemudian diharapkan para

pemilik dana akan membeli SBI sehingga aliran dana mengalir ke

dalam negeri.

Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah salah satu instrumen

yang digunakan untuk kebijakan Operasi Pasar Terbuka dari Bank

Sentral (BI). Pembelian SBI ini dilakukan melalui mekanisme system

perbankan, yaitu penempatan atau pencairan kembali dana–dana

perbankan dan dana BUMN maupun perusahaan milik negara. Hasil

yang diterima dari penempatan dana dalam bentuk SBI dinyatakan

sebagai tingkat suku bunga SBI.

41

Operasi yang dilakukan oleh Bank Sentral ( Bank Indonesia )

adalah dengan menjual SBI sebagai sarana mengurangi jumlah uang

beredar lewat mekanisme sistem perbankan. Suku bunga SBI

mempunyai pengaruh yang negatif terhadap jumlah uang beredar.

Apabila suku bunga meningkat, maka junlah uang beredar akan

menurun, dan sebaliknya.

b. Mekanisme Penerbitan dan Penjualan SBI

SBI dilakukan oleh BI dapat melalui lelang maupun non lelang.

SBI dapat dimiliki oleh perbankan atau pihak lain yang ditetapkan oleh

BI melalui pembelian SBI pasar perdana. SBI langsung dapat

diperdagangkan di pasar sekunder dan digunakan sebagai agunan.

Sehingga pembelian SBI oleh perusahaan atau masyarakat tidak dapat

dilakukan secara langsung dengan BI, tetapi harus melalui Bank

Umum atau pialang pasar uang dan pialang pasar modal yang ditunjuk

oleh BI.

Gambar 2.1 Skema Mekanisme Pembelian SBI

Sumber: Bank Indonesia

Perusahaan / Masyarakat

Pialang Pasar Modal / Uang

BANK INDONESIA

BANK UMUM

42

Penerbitan SBI mempunyai dasar hukum dari surat keputusan

Direksi Bank Indonesia Nomor : 31/67/KEP/dir tanggal 23 Juli 1998

tentang Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia serta Intervensi Rupiah.

c. Prinsip Sertifikat Bank Indonesia (SBI)

1) SBI diterbitkan melalui mekanisme lelang dan non-lelang kepada

lembaga keuangan yang ditetapkan oleh BI.

2) SBI ditransaksikan dimana pihak penjual SBI berkewajiban untuk

membeli kembali SBI yang diperdagangkan sesuai dengan harga

dan jangka waktu yang ditetapkan oleh BI.

3) SBI dapat dibeli melalui pasar dana atau pada saat diterbitkan

hanya oleh bank umum dan lembaga non-bank yang ditetapkan

oleh BI.

4) SBI dapat diperdagangkan di pasar sekunder secara Repo atau

pembelian/penjualan lepas, yaitu tanpa kewajiban menjual

membeli kembali.

5) SBI dapat dijadikan sebagai jaminan.

43

Gambar 2.2 Mekanisme Operasi Pasar Terbuka dalam

Mengendalikan JUB

Sumber: Bank Indonesia.

Operasi pasar terbuka dilakukan Bank Indonesia dengan tiga cara

yaitu:

a) Melalui Lelang SBI

Besarnya lelang SBI (mingguan) dimaksudkan untuk

mencapai besarnya target uang inti yang ditetapkan. Untuk itu, tiap

minggu Bank Indonesia akan memperkirakan perkembangan uang

inti dan dengan membandingkan target uyang ditetapkan,

menentukan besarnya kelebihan likuiditas pasar uang yang harus

diserap.

Hal ini dilakukan untuk menghitung berapa SBI yang jatuh

tempo, berapa ekspansi/kontraksi dari sisi fiscal (rekening

Operasi pasar terbuka (OPT)

Pembelian Surat Berharga

Mengurangi JUB Mo =

Penjualan Surat Berharga

Menambah JUB Mo =

Suku Bunga Naik i =

JUB M1, M2 JUB M1, M2

Suku Bunga Turun i =

Harga Stabil

44

pemerintah di bank Indonesia), mutasi cadangan devisa, serta

bagaimana kondisi likuiditas di pasar uang.

b) Melalui Penggunaan FASBI di Pasar Uang Rupiah

Selain lelang SBI mingguan (yaitu tiap hari rabu), Bank

Indonesia juga melakukan kegiatan secara langsung di pasar uang

rupiah melalui Fasilitas Bank Indonesia (Fasbi). Hal ini dilakukan

secara harian, terutama apabila terjadi perkembangan di luar

perhitungan yang dapat menyebabkan tidak tercapainya target uang

inti melalui lelang SBI.

Caranya antara lain dapat dilakukan dengan secara

langsung menawarkan kepada bank-bank untuk menanamkan

kelebihan likuiditasnya di bank Indonesia (berjangka waktu

overnight hingga satu minggu) atau dengan cara membeli kembali

SBI secara repurchase agreement (repo) di pasar uang antar bank.

c) Melalui Sterilisasi/Intervensi Di Pasar Valuta Asing

Terutama dilakukan apabila Pemerintah akan membiayai

kegiatan suatu proyek membutuhkan rupiah dengan cara

menggunakan dana valuta asingnya yang disimpan sebagai

cadangan devisa Bank Indonesia.

Dengan cara ini, dapat dicapai dua tujuan sekaligus.

Pertama, penyerapan kelebihan likuiditas dipasar uang. Kedua,

bahwa langkah ini sekaligus dapat membantu upaya untuk

menstabilkan perkembangan nilai tukar rupiah di pasar.

45

Intervensi di pasar valuta asing dapat pula dilakukan Bank

Indonesia pada waktu sedang terjadi gejolak nilai tukar rupiah di

pasar valuta asing.

d. Pengaruh Tingkat Suku Bunga SBI Terhadap Jumlah Uang

Beredar

Sertifikat Bank Indonesia adalah salah satu instrumen yang

digunakan untuk kebijakan Operasi Pasar Terbuka dari Bank Sentral

(BI). Pembelian SBI ini dilakukan melalui mekanisme sistem

perbankan, yaitu penempatan atau pencairan kembali dana–dana

perbankan dan dana BUMN maupun perusahaan milik negara. Hasil

yang diterima dari penempatan dana dalam bentuk SBI dinyatakan

sebagai tingkat suku bunga SBI.

Operasi yang dilakukan oleh Bank Sentral (Bank Indonesia)

adalah dengan menjual SBI sebagai sarana mengurangi jumlah uang

beredar lewat mekanisme sistem perbankan. Suku bunga SBI

mempunyai pengaruh yang negatif terhadap jumlah uang beredar.

Apabila suku bunga meningkat, maka junlah uang beredar akan

menurun, dan sebaliknya. Proses ini bekerja dari pengertian tingkat

bunga dalam asumsi klasik, yang menganggap bahwa uang adalah

produktif dan bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan keuntungan yang

lebih tinggi.

Dengan demikian, ketika suku bunga tinggi, maka masyarakat

akan menyimpan dananya dalam bentuk tabungan sehingga jumlah

uang beredar akan turun, dan sebaliknya, ketika suku bunga rendah,

46

maka masyarakat tidak tertarik untuk menabung sehingga jumlah uang

yang beredar bertambah.

B. Penelitian Terdahulu

Ada beberapa penelitian tentang jumlah uang beredar di Indonesia:

Ahmad Daerobi (1989) menganalisis permintaan dan penawaran uang di

Indonesia untuk periode 1983-1997. Alat analisis yang digunakan adalah

Ordinary Least Square (OLS) atau metode kuadrat terkecil. Penelitian ini

menggunakan tingkat bunga, uang inti, dan jumlah pengeluaran riil

pemerintah sebagai variabel independen yang mempengaruhi penawaran uang

di Indonesia. Dari penelitian ini di peroleh kesimpulan bahwa penawaran uang

secara agregat dipengaruhi oleh tingkat tingkat bunga, uang inti dan

pengeluaran pemerintah. Namun secara indivudual, hanya variabel

pengeluaran pemerintah yang berpengaruh secara signifikan. Adapun

pengaruh variabel pengeluaran pemerintah sangat elastis. Sementara tingkat

bunga dan uang inti pengaruhnya relatif rendah. Hasil analisis, baik dengan

OLS maupun TSLS tidak jauh berbeda. Hal ini terjadi karena nilai estimasi

tingkat bunga hampir sama dengan nilai yang ditaksir. Meskipun demikian,

metode TSLS memberikan parameter-parameter yang lebuh baik daripada

metode OLS, baik di lihat dari uji F, uji t, elastisitas dan koefisien determinasi

(Daerobi,2000).

Sunu Kartiko Utomo (2002) menganalisis dampak Deregulasi

Perbankan terhadap jumlah uang beredar dan hubungan kausalitas antara

jumlah uang beredar dengan tingkat inflasi di Indonesia. Data yang diambil

adalah time series dalam kurun waktu tahun 1990-2004. Untuk mengetahui

47

ada tidaknya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen

digunakan model dinamis yaitu model penyesuaian parsial (Partial Adjusment

Methods), sedangkan untuk mengetahui hubungan kausalitas antara jumlah

uang beredar denagn inflasi digunakan uji kausalitas granger. Adapun yang

dijadikan variabel dependen adalah jumlah uang beredar dalam arti sempit

(M1). Variabel independen dalam penelitian ini adalah uang inti (RM), suku

bunga deposito berjangka (SBD), rasio cadangan wajib minimum (RR0,

Produk Domestik Bruto (PDB), dan Deregulasi Perbankan (DUMMY). Hasil

studi empiris menunjukkan bahwa uang iti mempunyai pengaruh positif

terhadap jumlah uang beredar, tingkat suku bunga mempunyai pengaruh

negatif terhadap jumlah uang beredar, cadangan wajib minimum mempunyai

pengaruh yang negatif terhadap jumlah uang beredar, PDB mempunyai

pengaruh positif terhadap jumlah uang beredar dan Deregulasi Perbankan

mempunyai pengaruh yang negatif terhadap jumlah uang beredar (Utomo,

2000).

48

C. Kerangka Pemikiran

Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran

Jumlah uang beredar tidak hanya dipengaruhi oleh pemerintah/bank

sentral saja, tetapi juga dipengaruhi oleh sektor swasta (lembaga perbankan

dan masyarakat). Bank Sentral mempengaruhi jumlah uang beredar pada

penempatan suku bunga SBI. dan Kurs sementara itu, masyarakat

mempengaruhi jumlah uang beredar melalui PDB. Hubungan dengan luar

negeri sebagai faktor eksternal akan menimbulkan adanya pertukaran mata

uang dengan patongan mata uang internasional yang kemudian menimbulkan

kurs atau perbandingan nilai mata uang.

Produk Domestik Bruto berpengaruh positif terhadap jumlah uang

beredar. Masyarakat yang kaya atau mempunyai pendapatan yang tinggi akan

cenderung untuk lebih banyak menggunakan jasa perbankan. Hal ini akan

mendorong bank–bank umum untuk meningkatkan pemberian jaminan kredit

pinjaman kepada masyarakat, sehingga jumlah uang beredar akan meningkat

Suku bunga SBI mempunyai pengaruh negatif terhadap jumlah uang

beredar. Apabila suku bunga naik, maka jumlah uang beredar akan menurun,

Sertifikat Bank

Indonesia

Kurs

Produk Domestik Bruto

JumlahUang Beredar

49

dan sebaliknya. Ketika suku bunga tinggi, maka masyarakat akan menyimpan

dananya dalam bentuk tabungan sehingga jumlah uang beredar akan turun,

dan sebaliknya, ketika suku bunga rendah, maka masyarakat tidak tertarik

untuk menabung sehingga jumlah uang yang beredar bertambah.

Kurs memiliki pengaruh yang positif terhadap jumlah uang beredar.

Dengan demikian apabila nilai dollar AS terspresiasi berarti kurs dollar AS

terhadap rupiah meningkat, masyarakat cenderung akan memilih memegang

dollar AS dan menabung atau mendepositokan uangnya dalam bentuk valuta

asing, dimana rekening dan deposito dalam valuta asing ini merupakan

komponen uang kuasi, sehingga uang kuasi akan meningkat, yang berarti

jumlah uang beredar pun meningkat.

D. Hipotesis

Hipotesis yang digunakan dalam melakukan penelitian ini antara lain :

1. Diduga PDB berpengaruh secara positif dan tidak signifikan terhadap

jumlah uang beredar di Indonesia sesudah dan sebelum krisis.

2. Diduga tingkat suku bunga akan berpengaruh secara negatif dan tidak

signifikan terhadap jumlah uang beredar di Indonesia sebelum dan sesudah

krisis.

3. Diduga kurs Dollar Amerika terhadap Rupiah berpengaruh secara positif

dan signifikan terhadap jumlah uang beredar di Indonesia sebelum dan

sesudah krisis.

50

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan obyek yang karakteristiknya

hendak diduga (Djarwanto, 1996). Populasi dalam penelitian ini adalah

Jumlah Uang Beredar, Produk Domestik Bruto (PDB), Suku Bunga Sertifikat

Bank Indonesia (SBI), Kurs (kurs Rupiah terhadap Dollar AS).

Sampel adalah bagian dari populasi yang karakteristiknya hendak

diselidiki (Djarwanto, 1996). Sampel diambil secara tahunan untuk periode

tahun 1985 sampai dengan Desember 2005, yaitu sebanyak 20 data tahunan

Pemilihan periode tersebut untuk mewakili kondisi terbaru, agar hasil

penelitian ini diharapkan akan tetap akurat.

B. Jenis Data dan Sumber Data

1. Jenis Data

Penelitian ini menggunakan data kuantitatif yaitu data time series

(runtut waktu) I tahun 1985 sampai dengan tahun 2005.

2. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder (data yang dperoleh dari

kepustakaan) yaitu mengenai Jumlah Uang Beredar, Produk Domestik

Bruto (PDB), Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia, dan Kurs (Rupiah

terhadap US$) diperoleh dari Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia yang

diterbitkan oleh Bank Indonesia dari tahun 1985 sampai dengan 2005.

51

C. Definisi Operasional Data

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Jumlah Uang Beredar (Y)

Jumlah uang beredar merupakan seluruh uang kartal, uang giral ditambah

dengan uang kuasi yang tersedia untuk digunakan oleh masyarakat. Jumlah

uang beredar dalam arti luas (M2) dinyatakan dalam satuan rupiah

2. Produk Domestik Bruto (X 1 )

Produk Domestik Bruto adalah nilai tambah barang dan jasa yang

dihasilkan oleh berbagai sektor produksi di suatu negara dalam jangka waktu

tertentu, dihitung dengan harga konstan atas dasar tahun 2000. PDB riil

dinyatakan dalam satuan rupiah.

3. Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (X 2 )

Surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank

Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka pendek dengan menggunakan

sistem diskonto yang dinyatakan dalam satuan persen, (Sugiono, 2003: 30).

4. Kurs (X 3 )

Kurs adalah harga per satu unit mata uang asing dalam bentuk mata uang

domestik atau dapat juga dikatakan harga mata uang domestik terhadap mata

uang asing yang dinyatakan dalam satuan rupiah, (Salvatore, 1997 : 11).

52

D. Teknik Analisis Data

1. Analisis Regresi Linier Berganda

Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis hubungan antar

variabel dalam penelitian ini berupa pendekatan teori ekonomi, teori

statistik dan teori ekonometrika dengan lebih menekankan pada

pendekatan model analisis time series (runtut waktu), variabel utama yang

akan digunakan dalam penelitian ini adalah Jumlah Uang Beredar sebagai

variadel dependen, sedangkan variabel independennya meliputi Produk

Domestik Bruto, Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia, dan Kurs.

Salah satu persyaratan penting untuk mengaplikasikan model

runtut waktu yaitu dipenuhinya asumsi data yang normal/stabil/stasioner.

Arti stasioner adalah apabila suatu data runtut waktu memiliki rata-rata

dan memiliki kecenderungan bergerak menuju rata-rata (Kennedy,

2000:274 dalam Mudrajad Kuncoro, 2004:170). Sebaliknya bagi data yang

tidak stasioner, varians menjadi besar bila jumlah data runtut waktu

diperluas, tidak sering melewati sumbu horizontal, dan autokorelasinya

cenderung tidak menurun. Dalam penelitian ini digunakan analisis regresi

untuk membangun persamaan atau hubungan antar variabel, dimana

hubungan tersebut dapat mempunyai hubungan yang pasti atau

determinasi dan hubungan yang tidak pasti atau stokastik.

Pendekatan analisis yang digunakan untuk menaksir dan

menganalisis hubungan antar variabel dalam penelitian ini berupa

pendekatan teori ekonometrika, teori statistik dan teori ekonomi.

53

Dengan menggunakan analisis regresi dapat diprediksi pengaruh

satu variabel lainnya, dimana sifat pengaruh antar variabel mempunyai

sifat hubungan sebab akibat (hubungan kausalitas) baik yang didasarkan

teori, hasil penelitian sebelumnya ataupun didasarkan pada penjelasan

logis tertentu. Penentuan persamaan linier dengan menggunakan metode

garis lurus akan menghasilkan persamaan yang baik, jika semua titik yang

mencerminkan pasangan data berada disekitar garis lurus tersebut, namun

apabila titik-titik pasangan data tersebar satu sama lain, maka persamaan

yang baik adalah persamaan linier yang kurvanya mempunyai kesalahan

yang minimum. Bentuk analisis regresi yang dapat mencerminkan

persamaan linier dengan kurva yang mempunyai kesalahan minimum

adalah dengan menggunakan OLS (Ordinary Least Square). Dalam

analisis ini, nilai-nilai variabel bebas ditentukan oleh variabrel penjelas

dengan sifat korelasi yang negatif atau positif.

2. Uji Statistik

a. Uji t (t - test)

Uji t adalah uji untuk mengetahui besarnya pengaruh dari

koefisien regresi (two tail) masing-masing variabel independen

terhadap variabel dependen. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut:

0:Ho 1

0:Ha 1

t hitung = i

Sei

54

Dimana:

i = koefisien regresi

iSe = standar error koefisien regresi

Kriteria pengujian:

1) Jika t > t(α/2;n-k) atau –t < -t(α/2;n-k), maka Ho ditolak dan Ha diterima.

Artinya variabel independen mempengaruhi variabel dependen

secara signifikan.

2) Jika -t(α/2;n-k) ≤ t ≤ t(α/2;n-k) , maka Ho diterima dan Ha ditolak.

Artinya variabel independen tidak mempengaruhi variabel

dependen secara signifikan.

Dimana:

= derajat signifikasi

n = jumlah sample (observasi)

k = banyaknya parameter

daerah tolak daerah terima daerah tolak

-t/2(n-k) t/2(n-k)

Gambar 3.1 Kurva distribusi t

Cara lain untuk menguji signifikan atau tidaknya koefisien

regresi adalah dengan melihat nilai probabiltasnya (nilai prob-nya)

Jika nilai prob-nya < 0,05 maka koefisien regresi itu signifikan

pada tingkat 5%

55

b. Uji F (uji secara bersama-sama)

Yaitu uji mengetahui besarnya pengaruh variabel-variabel

independen secara bersama-sama. Adapun rumusnya adalah sebagai

berikut:

1) 0:Ho 4321

0:Ha 4321

F hitung k-N/R-1

1-k/R2

2

Dimana:

R2 = koefisien determinan

N = jumlah observasi / sampel

k = jumlah variabel

F Tabel = F /2; n-k;k-1

Dimana:

n = jumlah observasi

k = banyaknya parameter

daerah tolak Ho daerah terima Ho

Gambar 3.2 Kurva distribusi F

Kriteria pengujian:

1) Jika nilai F hitung < F tabel, Ho diterima dan Ha ditolak.

Artinya variabel independen secara serentak tidak

mempengaruhi variabel dependen secara signifikan.

56

2) Jika nilai F hitung > F tabel, Ho ditolak dan Ha diterima.

Artinya variabel independen secara serentak mempengaruhi

variabel dependen secara signifikan.

c. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Uji ini bertujuan mengetahui tingkat ketepatan yang paling

baik dalam analisis regresi, yang ditunjukkan oleh besarnya koefisien

determinasi (R2 adjusted) antara nol dan satu. Koefisien determinasi

nol berarti variabel independen sama sekali tidak berpengaruh

terhadap variabel dependen, bila mendekati satu variabel independen

semakin berpengaruh terhadap variabel dependen. Adapun rumus R2

adalah sebagai berikut:

1-k-N

k-N/R11R2

2

Notasi:

R2 = koefisien determinasi

N = jumlah observasi

k = jumlah variabel

3. Analisis Ekonometrika

a) Uji Multikoliniearitas

Multikoliniearitas adalah suatu keadaan dimana terdapat

hubungan yang liniear atau mendekati linier diantara variabel-variabel

1r 2xjxi, , adalah koefisien yang diestimasi tidak dapat ditentukan dan

standard error dari koefisien menjadi sangat besar. Untuk mendeteksi

adanya multikoliniearitas digunakan Uji Klien, yaitu membandingkan

57

nilai koefisien korelasi setiap variabel penjelas ( 2xjxi,r ), dengan nilai

koefisien determinasi xj...xnxi,2R . Apabila nilai xjxi,

2r lebih kecil

daripada nilai (R2y,xi,xj,…xn), maka tidak terdapat masalah

multikolinieritas di dalam model.

b) Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas terjadi karena varians yang ditimbulkan

oleh variabel penganggu tidak konstan untuk semua variabel penjelas.

Akibat dari adanya heteroskedastisitas ini antara lain uji signifikansi

(uji t dan uji F) menjadi tidak tepat dan koefisien regresi menjadi tidak

mempunyai varians yang minimum walaupun penaksir tersebut tidak

bias dan konsisten.

Salah satu cara untuk mengetahui adanya heteroskedastisitas

adalah dengan melakukan Uji gletser. Uji ini dilakukan melalui dua

tahap. Tahap pertama adalah dengan melakukan regresi sebagai

berikut:

i 1101 XY

Sehingga diperoleh residual ei sebagai estimasi ui. Tahap kedua

adalah meregresi nilai mutlak residual, yaitu ie terhadap masing-

masing variabel penjelas. Dalam bentuk fungsional sebagai berikut:

i110i vXe

dimana vi adalah unsur kesalahan

Koefisien 1 yang diperoleh diuji dengan uji t dimana hipotesis

pengujiannya adalah sebagai berikut:

58

Ho = Tidak terdapat heteroskedastisitas

Ha = Terdapat heteroskedastisitas

Bila nilai t hitung < t tabel pada taraf signifikansi tertentu dan

df=N-k, maka Ho diterima, yang berarti tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara residual dengan variabel penjelasnya, atau dengan

kata lain tidak terdapat masalah heteroskedastisitas di dalam model.

c) Uji Autokorelasi

Suatu model dikatakan terdapat autokorelasi apabila terjadi

korelasi serial diantara error term variabel penggangu serangkaian

observasi. Pengujian diperlukan untuk mengetahui apakah model

analisis mengandung autokorelasi atau tidak. Untuk pengujian ini

terlebih dahulu ditentukan nilai kritis dl (lower limit) dan du (upper

limit) berdasarkan jumlah observasi dan banyaknya variabel penjelas.

Untuk menguji adanya autokorelasi dari hasil estimasi,

mekanisme Durbin-watson adalah sebagai berikut (Gujarati,

1997:213).

Hipotesis Ho adalah bahwa tidak terdapat autokorelasi positif

maupun negatif, maka jika:

d < dI : menolak Ho

d < 4 – dI : menolak Ho

dU < d < dI : menerima Ho

59

0 dL dU 4 –dU 4 –dL 4 dL

Gambar 3.3 Durbin –Watson Test

Dari hasil estimasi diperoleh nilai d (DW) hitung. Kemudian

dengan besarnya d tabel dengan tingkat signifikansi 5% (N, k-1)

dimana N = jumlah observasi, dan k = jumlah variabel akan diperoleh

nilai dI dan dU. Apabila dU < d < 4 – dU, maka Ho diterima, yang

menunjukkan bahwa dalam model analisis tidak terdapat autokorelasi

baik positif maupun negatif.

Jika hasil uji autokorelasi dengan Durbin Watson tidak baik

maka dapat digunakan B-G Test, yakni berupa regresi atas semua

variabel bebas dalam persamaan regresi OLS tersebut dan variabel lag

t dari nilai residual regresi OLS

Dari model tersebut akan didapat nilai R2 , kemudian nilai ini

dimasukkan dalam rumus sebagai berikut : 2R1-n , dimana n adalah

jumlah observasi, kemudian dilakukan pengujian dengan hipotesa

sebagai berikut:

Autokorelasi Positif

Ragu-Ragu

Tidak ada autokorelasi

Ragu-Ragu Autokorelasi

Negatif

60

0:Ho berarti tidak ada masalah autokorelasi

0:Ho berarti ada masalah autokorelasi

Selanjutnya nilai 2R1-n diperbandingkan dengan 2X (0,05).

Dimana 2X (0,05) adalah nilai kritis Chi-Square yang ada dalam tabel

statistik Chi-Square. Jika 2R1-n lebih besar dari 2X , maka terdapat

masalah autokorelasi, dan jika sebaliknya maka tidak terjadi.

61

BAB IV

HASIL DAN ANALISIS

A. Deskripsi Data Penelitian

Semua data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data

runtut waktu (time series), dimana data yang dikumpulkan dalam kurun waktu

tertentu dari suatu sample. Dalam penelitiaan ini data yang digunakan adalah

data pada tahun 1985 – 2005.

B. Analisis Regresi Linier Berganda

Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis hubungan antar

variabel dalam penelitian ini berupa pendekatan teori ekonomi, teori statistik

dan teori ekonometrika dengan lebih menekankan pada pendekatan model

analisis time series (runtut waktu), variabel utama yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah Jumlah Uang Beredar sebagai variadel dependen,

sedangkan variabel independennya meliputi Produk Domestik Bruto, Suku

Bunga Sertifikat Bank Indonesia, dan Kurs.

Tabel 4.1 Hasil Analisis Regresi Berganda Dependent Variable: M2 Method: Least Squares Date: 08/07/09 Time: 00:09 Sample: 1985 2005 Included observations: 21

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -258307.7 199507.9 -1.294724 0.2127

PDB 0.168556 0.137448 1.226332 0.2368 BUNGA -9467.846 5133.357 -1.844377 0.0826 KURS 108.8398 7.196977 15.12298 0.0000

R-squared 0.936594 Mean dependent var 395991.6 Adjusted R-squared 0.925405 S.D. dependent var 404123.7 S.E. of regression 110374.6 Akaike info criterion 26.23079 Sum squared resid 2.07E+11 Schwarz criterion 26.42975 Log likelihood -271.4233 F-statistic 83.70484 Durbin-Watson stat 1.224131 Prob(F-statistic) 0.000000

62

Estimation Command: ===================== LS M2 C PDB BUNGA KURS Estimation Equation: ===================== M2 = C(1) + C(2)*PDB + C(3)*BUNGA + C(4)*KURS Substituted Coefficients: ===================== M2 = -258307.7161 + 0.1685564691*PDB - 9467.845658*BUNGA + 108.8397805*KURS

Jika X1 dan X2 sama dengan nol maka besarnya Y sama dengan

konstantanya yaitu sebesar -258307.7161. Jika X1 meningkat 1 satuan maka Y

juga akan meningkat 1 satuan dan jika X1 turun 1 satuan maka Y juga akan

menurun 1 satuan (hubungannya positif). Begitu juga dengan X2, jika X2

meningkat 1 satuan maka Y juga akan meningkat 2 satuan dan jika X2 turun

1 satuan maka Y juga akan turun 2 satuan.

C. Uji Statistik

1) Uji t

Yaitu pengujian yang dilakukan untuk mengetahui hubungan

antara pengaruh dari masing-nasing variabel bebas secara individu atau

secara terpisah terhadap variabel terkait dengan langkah-langkah sebagai

berikut;

a) : 0,05 / 2 : 025

b) Perhitungan uji t :

Nilai t tabel : 2t ; N – k

63

c) Daerah penguji

Ha Ha

diterima Ho diterima

ditolak

-2,110 2,110

Gambar 4.1 Daerah Terima Dan Tolak Uji t

Tabel 4.2 Hasil Uji t

Variabel t hitung t tabel prob keterangan

PDB

BUNGA

KURS

1.226

-1.844

15.122

2,110

2,110

2,110

0.2368

0.0826

0.0000

Tidak Signifikan

Tidak Signifikan

Signifikan

Sumber : data diolah

Berdasarkan tabel diatas, maka dapat diketahui bahwa :

a) Untuk PDB = 1.226 < 2,110, maka Ho diterima dan Ha ditolak.

Artinya variabel PDB tidak mempengaruhi variabel M2 secara

signifikan.

b) Untuk BUNGA = -1.844 < 2,110, maka Ho diterima dan Ha ditolak.

Artinya variabel BUNGA tidak mempengaruhi variabel M2 secara

signifikan

c) Untuk KURS = 15.122 > 2,110, maka Ho ditolak dan Ha diterima.

Artinya variabel KURS mempengaruhi variabel M2 secara signifikan.

2) Uji F

Uji F merupakan uji statistik untuk menguji pengaruh PDB,

BUNGA dan KURS terhadap jumlah uang beredar (M2). Adapun langkah-

langkah sebagai berikut :

64

a) : 0,05

df : 17

b) Perhitungan uji F

F tabel : 3,20

F hitung : 83.704

c) Daerah pengujian

Ha Ho diterima

ditolak

3,20 83.704

Gambar 4.2 Daerah Terima Dan Tolak (uji F)

Tabel 4.3 Hasil Uji F

Variabel F hitung F tabel Prob Keterangan

PDB,

BUNGA,

KURS

83,704 3,20 0.000000 Signifikan

Sumber : Data Diolah

Dari hasil pengolahan data diperoleh F hitung = 83,704, sedangkan

F tabel =pada taraf signifikan 5% adalah sebesar 3,20dikarenakan F hitung >

F tabel (83,704 > 3,20), maka Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya variabel

independen secara serentak mempengaruhi variabel dependen secara

signifikan. Jadi PDB, BUNGA dan KURS secara bersama-sama

berpengaruh terhadap jumlah uang beredar (M2).

65

3) Nilai R2

Nilai R2= 0.93 %, artinya 93 % variasi variabel M2 dapat

dijelaskan oleh variasi variabel PDB, BUNGA dan KURS. Sedangkan

sisanya 7 % dijelaskan oleh variabel lain diluar model.

D. Analisis Ekonomatrika

1) Uji Multikolineritas

Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya

hubungan yang signifikan diantara variabel bebas. Deteksi adanya

multikolinearitas dilakukan dengan menggunakan uji korelasi parsial antar

variabel independent. Pengujian yang dilakukan adalah menggunakan

metode Klein, yaitu dengan membandingkan nilai r 2 dengan nilai Adjuted

R 2 yang diperoleh darihasil pengujian korelasi.

Hasil dari uji Klein untuk mendeteksi masalah multikolineritas

adalah sebagai berikut.

Tabel 4.4 Hasil Uji Multikolineritas

Variabel r 2 R 2 Keterangan M2-PDB M2-BUNGA M2-KURS

0,059023 0,000421 0,923338

0,936594 0,936594 0,936594

Tidak Ada Multikolineritas Tidak Ada Multikolineritas Tidak Ada Multikolineritas

Sumber : Data Diolah

Dari tabel diatas dapat ditunjukan bahwa untuk semua korelasi

antar variabel independen memiliki r 2 yang lebih kecil dari pada R 2 . Hal

ini memberikan kesimpulan bahwa semua variabel independen

memberikan pengruh bebas dari masalah multikolineritas.

66

2) Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana faktor gangguan tidak

memiliki varian yang sama. Pengujian terhadap gejala heteroskedastisitas

dapat dilakukan dengan melakukan White Test, yaitu dengan cara

meregresi residual kuadrat ( Ui2

)dengan variabel bebas, variabel bebas

kuadrat dan perkalian variabel bebas. Dapatkan nilai R2

untuk menghitung

χ2, di mana χ2 = Obs*R square (Gujarati, 1995, hal.379). Untuk

mengetahui ada atau tidaknya heterokedasitisitas digunakan white

heterokedasiticity baik dengan menggunakan cross term maupun no cross

term yang hasilnya dapat dilihat pada tampilan di bawah ini.

Tabel 4.5 Hasil Uji Heteroskedastisitas ARCH Test: F-statistic 1.043996 Probability 0.320431 Obs*R-squared 1.096404 Probability 0.295057

Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 08/06/09 Time: 12:04 Sample(adjusted): 1986 2005 Included observations: 20 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 8.09E+09 3.15E+09 2.566044 0.0194

RESID^2(-1) 0.250362 0.245030 1.021761 0.3204 R-squared 0.054820 Mean dependent var 1.03E+10 Adjusted R-squared 0.002310 S.D. dependent var 1.01E+10 S.E. of regression 1.01E+10 Akaike info criterion 49.00643 Sum squared resid 1.84E+21 Schwarz criterion 49.10600 Log likelihood -488.0643 F-statistic 1.043996 Durbin-Watson stat 1.860767 Prob(F-statistic) 0.320431

`Sumber : Hasil pengolahan komputer, Eviews

Dari perhitungan diatas diperoleh χ2 (df = 1, = 5%) = 3,841

sedangkan Obs*R 2 sebesar 1.096 sehingga apabila dibandingkan maka

67

Obs*R 2 lebih kecil dari pada χ2 . Hal ini menunjukan bahwa pada model

ini tidak terdapat masalah heteroskedastisitas.

3) Uji Autokorelasi

Autokorelasi adalah adanya korelasi antara anggota observasi satu

dengan observasi lain yang berlainan waktu. Jika terjadi korelasi antara

satu residual dengan residual yang lain, maka model mengandung masalah

autokorelasi untuk menguji adanya pengaruh autokorelasi dalam penelitian

ini menggunakan metode Durbin-Watson.

Berdasarkan hasil regresi pada tabel diperoleh nilai Durbin-Watson

sebesar 1,22. Pada tabel statistik dengan menggunakan = 5 % dan N =

21 diperoleh nilai d l = 1,03, d u = 1,67, 4-d u = 2,33, 4- d l = 2,97

digambarkan sebai berikut :

1,03 1,67 2,33 2,97

Gambar 4.3 Statistik Durbin-Watson (autokorelasi)

Nilai Durbin Watson sebesar 1,22 terlatak pada sebelah kiri d u hal

ini berarti hasil pengujian meninjikan ragu-ragu.

Autokorelasi Positif

Ragu-Ragu

Tidak ada autokorelasi

Ragu-Ragu Autokorelasi

Negatif

68

Namun juga untuk mengetahui terdapat autokorelasi atau tidak,

dapat juga dihitung dengan B-G Test, yaitu jika nilai probabilitas variabel

independen lebih besar dari =5 % maka hipotesa yang menyatakan

pada model tidak terdapat autokorelasi tidak ditolak. Berarti model

empirik lolos dari masalah autokorelasi (Siti Aisyah Tri Rahayu, Modul

Lab Ekonomatrika, 2007: 103)

1. B-G Test

Tabel 4.6 Hasil (B-G Test) Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 2.350868 Probability 0.144747 Obs*R-squared 2.690240 Probability 0.100965

Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 08/06/09 Time: 12:03

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -11717.19 192176.3 -0.060971 0.9521

PDB -0.008307 0.132403 -0.062738 0.9508 BUNGA 1967.008 5104.642 0.385337 0.7051 KURS -0.073161 6.927182 -0.010561 0.9917

RESID(-1) 0.400580 0.261261 1.533254 0.1447 R-squared 0.128107 Mean dependent var 2.63E-11 Adjusted R-squared -0.089867 S.D. dependent var 101760.3 S.E. of regression 106234.4 Akaike info criterion 26.18894 Sum squared resid 1.81E+11 Schwarz criterion 26.43764 Log likelihood -269.9839 F-statistic 0.587717 Durbin-Watson stat 1.737890 Prob(F-statistic) 0.676239

Sumber : Hasil pengolahan komputer, Eviews

Dari regresi diatas dapat ditunjukan bahwa probabilitas untuk

semua variabel lebih besar dari : 5%, sehingga dapat dipastikan

bahwa pada model ini tidak terjadi autokorelasi.

69

E. Interpretasi Ekonomi

1) Pengaruh Produk Domestik Bruto Terhadap Jumlah Uang Beredar

Pada variabel pertama menjelaskan bahwa Produk Domestik Bruto

sebesar 0.168556. Hal ini berarti tanda parameter untuk Produk Domestik

Bruto adalah negatif serta tidak signifikan dan tidak berpengaruh terhadap

jumlah uang beredar M2. Produk Domestik Bruto yang signifikan dengan

probabilitas 0.236 dikarenakan pendapatan nasional mempengaruhi tingkat

transaksi di masyarakat. Permintaan uang di suatu masyarakat merupakan

proporsi tertentu dari volume transaksi dan volume transaksi merupakan

suatu proporsi konstan dari tingkat pendapatan nasional. Ini berarti jika

PDB naik 1 milyar rupiah maka jumlah uang beredar M2 akan naik

sebesar 0.168556 milyar rupiah.

Hasil dari Produk Domestik Bruto riil dalam penelitian ini sesuai

dengan teori yang dikemukakan oleh Keynes tentang motif memegang

uang yaitu pada motif transaksi dan berjaga-jaga yang ditentukan oleh

tingkat pendapatan, pada saat pendapatan tinggi lebih banyak uang yang

diminta untuk motif transaksi dan berjaga-jaga, maka pada saat

pendapatan naik akan menyebabkan permintaan uang mengalami

peningkatan.

2) Pengaruh Tingkat Suku Bunga Terhadap Jumlah Uang Beredar

Pada jumlah uang beredar M2, variabel kedua menjelaskan bahwa

Tingkat Bunga sebesar -9467.846. Hal ini berarti tanda parameter untuk

tingkat bunga adalah negatif serta tidak signifikan dengan, probabilitas

0.082 dan tidak berpengaruh terhadap jumlah uang beredar M2. Ini berarti

70

jika tingkat suku bunga naik 1% maka jumlah uang beredar M2 akan

mengalami penurunan sebesar -9467.846 milyar rupiah.

Dengan demikian tingkat bunga berpengaruh negatif terhadap

jumlah uang beredar M2, pengaruh ini sesuai dengan teori yang ada

dimana semakin tinggi tingkat bunga akan menurunkan tingkat permintaan

uang. Dengan demikian salah satu kunci sukses bank ke depan ialah

menjaga suku bunga untuk kredit tetap rendah supaya dapat mengguggah

pertumbuhan di sektor riil terutama kredit investasi dan modal kerja yang

dapat diartikan permintaan uang di masyarakat meningkat. Artinya, ketika

Bank Indonesia menaikkan BI rate, bank harus berupaya tidak menaikkan

suku bunga kreditnya. Akan lebih baik jika perbankan terus menurunkan

suku bunga kredit sehingga masyarakat bisa mempunyai uang lebih untuk

melakukan transaksi ataupun untuk berinvestasi.

3) Pengaruh Kurs Dollar Terhadap Jumlah Uang Beredar

Pada jumlah uang beredar M2 variabel keempat menjelaskan

bahwa Kurs sebesar 108.8398. Hal ini berarti tanda parameter untuk kurs

adalah positif serta signifikan dengan probabilitas 0.000 dan berpengaruh

terhadap jumlah uang beredar M2. Ini berarti jika kurs Dollar mengalami

apresiasi sebesar 1 rupiah, maka akan mengakibatkan naiknya volume

jumlah uang beredar M2 sebesar 108.8398 milyar rupiah.

Ini menandakan apabila Kurs Dollar meningkat maka akan

berpengaruh pada barang-barang impor dan dengan naiknya harga barang-

barang impor akan menyebabkan jumlah uang beredar akan meningkat

untuk melakukan transaksi impor tersebut. Nilai tukar suatu mata uang

71

didefinisikan sebagai harga relatif dari suatu mata uang terhadap mata

uang lainnya. Walaupun sasaran akhir kebijakan moneter lebih diarahkan

pada pengendalian laju inflasi, Bank Indonesia tidak akan membiarkan

perkembangan nilai tukar rupiah di pasar bergerak secara bergejolak. Bank

Indonesia menempuh langkah-langkah untuk menstabilkan nilai tukar

rupiah dengan dua pertimbangan utama, yaitu : (1) kestabilan nilai tukar

rupiah diperlukan untuk memberikan kepastian dalam perekonomian, dan

(2) nilai tukar rupiah yang bergejolak dan merosot drastis akan

menyulitkan Bank Indonesia dalam mencapai sasaran inflasi yang

ditetapkan.

72

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji pengaruh variabel Produk

Domestik Bruto riil yang mewakili pendapatan nasional, suku bunga, kurs

Dollar terhadap Rupiah terhadap Jumlah Uang Beredar M2 yang terjadi di

Indonesia pada kurun waktu tahun 1985 sampai 2005 dengan metode

Ordinary Least Squares (OLS), dari hasil analisis data yang telah dilakukan

dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Produk Domestik Bruto (PDB) mempunyai pengaruh yang positif dan

signifikan terhadap jumlah uang beredar di Indonesia nilai koefisien

sebesar 0.168556, yang berarti jika PDB naik 1 rupiah maka jumlah

uang beredar naik sebesar 0.168556 rupiah..

2. Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) mempunyai pengaruh yang

negatif dan signifikan terhadap jumlah uang beredar di Indonesia.

Koefisien elastisitas SBI sebesar -9467.846 menujukkan bahwa jika SBI

dinaikan 1%, maka jumlah uang beredar turun sebesar -9467.846 rupiah.

3. Kurs mempunyai pengaruih yang positif terhadap jumlah uang beredar di

Indonesia. Nilai koefisien elastisitas Kurs rupiah sebesar 108.8398 yang

berarti jika kurs rupiah naik maka akan berakibat naiknya jumlah beredar

sebesar 108.8398 rupiah.

73

B. Saran-saran

1. Melihat dari pengaruh suku bunga SBI terhadap jumlah uang beredar,

hendaknya Bank Indonesia menerapkan instrumen kebijakan lain yang

lebih relevan dan tepat. Menentukan target-target besaran moneternya

dengan lebih akurat dengan tidak memperhitungkan hanya aspek ekonomi

saja, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial politik dan keamanan.

Sehingga diharapkan dapat menekan laju inflasi dan meningkatkan

pertumbuhan output.

2. Produk Domestik Bruto mengukur pendapatan yang diterima oleh semua

orang dalam satu wilayah tertentu dalam jangka waktu tertentu. PDB yang

tinggi merupakan indikator membaiknya perekonomian Indonesia. Untuk

itu diharapkan upaya konkrit dari pemerintah untuk menjaga pertumbuhan

PDB agar tercipta kestabilan ekonomi.

3. Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter sangat penting untuk

membuat langkah-langkah selain menjaga kestabilan nilai kurs tetapi juga

bagaimana menciptakan kestabilan ekonomi, keuangan, dan politik

sehingga berdampak untuk meningkatkan kepercayaan para investor

terhadap kondisi ekonomi Indonesia.

74

DAFTAR PUSTAKA

Boediono. 2005. Ekonomi Moneter, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5.

Yogyakarta: BPFE.

Darmansyah, Dampak Krisis Terhadap Permintaan Uang di Indonesia periode

1994-2000, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol.6, No. 2, Desember

2005, 129-142.

Dornbusch, Rudiger, Makro Ekonomi, edisi 4, Jakarta : Erlangga.

Gujarati, Damodar, Ekonometrika Dasar, Alih Bahasa Sumarno Zain, Erlangga,

Jakarta, 1997.

Iswardono. 1994. Uang dan Bank Uang dan Bank, edisi 4. Yogyakarta: BPFE.

Nopirin. 2000. Ekonomi Moneter – buku II, Edisi 1. Yogyakarta: BPFE.

Prawoto, Nano, Permintaan Uang Di Indonesia Konsep Keynesian dengan

Pendekatan PAM, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 1, No.1, April

2000 Hal:1-13.

Sukirno, Sadono, 1985. Teori Mikro Ekonomi. Jakarta: FE UI.

Bank Indonesia. 2003. Bank Sentral Republik Indonesia Tinjauan Kelembagaan,

Kebijakan dan Organisasi. Pusat Pendidikan dan Studi

Kebanksentralan.

Anonim. Statistik Indonesia berbagai edisi. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Berbagai Edisi. Jakarta: Bank

Indonesia.

Bank Indonesia, website: http://www,BI.go.id, Jakarta, Berbagai Penerbitan

Daerobi achmad, 2000, Analisis Perminaatn dan Penawaran di Indonesia,

Penelitin Kelompok dalam Bidang Moneter, FE UNS, Surakarta.

75

Gujarati, Damodar, 1998, Ekonometrika Dasar, Erlangga, Jakarta. Indrawati, Sri

Mulyani, 1998, Teori Moneter, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi,

UI, Jakarta.

Salvatore, Dominick, 1997, Ekonomi Internasional, jilid 2, Erlangga, Jakarta.

Sukirno, Sadono, 1999, Pengantar Makro Ekonomi, PT Raja Grafinda Persada,

Jakarta.

Siti Aisyah Tri Rahayu, Modul Laboratorium Ekonomatrika, 2007, Fakultas

Ekonomi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.