Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS FAKTOR RESIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN
GIZI KURANG PADA BALITA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS KUALA TADU KECAMATAN
TADU RAYA KABUPATEN
NAGAN RAYA
SKRIPSI
INTAN ZUHRA
NIM: 11C10104128
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TEUKU UMAR
MEULABOH
2016
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Upaya perbaikan gizi masyarakat bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi
perseorangan dan masyarakat, antara lain melalui perbaikan pola konsumsi
makanan, perbaikan perilaku sadar gizi, peningkatan akses dan mutu pelayanan
gizi serta kesehatan sesuai dengan ilmu dan teknologi. Gizi yang baik merupakan
landasan kesehatan, gizi mempengaruhi kekebalan tubuh, kerentanan terhadap
penyakit, serta pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental. Gizi yang baik
akan menurunkan kesakitan, kecacatan dan kematian sehingga meningkatkan
kualitas sumber daya manusia (Kemenkes RI, 2015)
Berdasarkan penilaian United Nations Development Programs (UNDP),
pemerintah Indonesia menyepakati deklarasi milenium yang dikenal dengan
Millenium Development Goals (MDGs) 2015, yang mana salah satu poin dari
tujuan pembangunan tersebut adalah mengurangai kematian pada anak. Hal ini
dikarenakan masih tingginya angka kematian balita, yakni 44 per seribu
kelahiran hidup (Kemenkes, 2013).
Menurut World Organization Health (WHO) dalam Azwar (2004), lebih
dari separuh kematian balita disebabkan buruknya status gizi. Hal ini menjadi
salah satu masalah utama kesehatan masyarakat yang dapat mengancam
kualitas sumber daya manusia di masa mendatang karena masa balita merupakan
landasan yang membentuk masa depan kesehatan, kebahagiaan, Indra Bakti
Prakoso pertumbuhan, perkembangan (Unicef dalam Kemenkes RI, 2012).
1
2
Masa balita juga biasa disebut masa emas (golden age period) dimana
sel-sel otak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.
Pertumbuhan otak hingga 90% terjadi pada masa ini. Kurang terpenuhinya gizi
pada anak dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan
baik fisik maupun psikomotor dan mental, serta dapat menyebabkan kekurangan
sel otak sebesar 15% hingga 20% (Widodo, 2008).
Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa emas
ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang sulit diperbaiki. Selain
itu, anak yang menderita kurang gizi memiliki rata-rata IQ 11 point lebih
rendah dibandingkan rata-rata anak-anak yang tidak kekurangan gizi
(UNICEF dalam Hadi, 2005).
Salah satu cara untuk mengukur kondisi gizi adalah dengan penilaian
status gizi. Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk
variabel tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu.
Status gizi ditentukan oleh beberapa faktor, menurut Unicef dalam Supariasa
(2002) status gizi kurang pada anak balita disebabkan oleh beberapa faktor
yang, yaitu salah satunya adalah asupan makanan sebagai penyebab langsung dan
keterampilan ibu tentang gizi pada balita sebagai pokok permasalahan. Asupan
atau konsumsi makanan dapat mempengaruhi langsung keadaan gizi atau status
gizi seseorang (Supariasa, dkk, 2012).
Energi merupakan zat yang sangat penting dalam mencegah terjadinya gizi
kurang. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Stunkard
et al, (2004) yang melakukan studi kohort pada bayi baru lahir, di peroleh hasil
bahwa dari 40 bayi yang dianggap beresiko tinggi untuk obesitas berdasarkan
3
BMI ibu sebelum hamil dan 38 bayi lainnya yang dianggap beresiko rendah.
Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa asupan energi total adalah
penentu dari berat badan pada bayi ini baik pada saat bayi menginjak usia satu
dan dua tahun. Kemudian untuk perilaku ibu berkaitan dengan pola asuh,
menurut Herman dalam Huriah, (2006), keadaan gizi juga balita dipengaruhi oleh
pola pengasuhan keluarga karena balita masih bergantung dalam mendapatkan
makanan. Studi menunjukkan bahwa orang tua yang memahami pentingnya gizi
dapat membantu anak balita memilih makanan sehat (Bomar, 2004).
Peran ibu sangatlah sentral dalam hal pengasuhan anak, karena secara
kultural di Indonesia ibu memegang peranan dalam mengatur tata laksana
rumah tangga sehari-hari termasuk hal pengaturan makanan keluarga. Selain
itu, ibu rumah tangga adalah penentu utama dalam pengembangan sumber daya
manusia dalam keluarga dan pengembangan diri anak sebelum memasuki usia
sekolah (Harsiki, 2002).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Birch dalam Metz, 2002),
dalam pengasuhan, perilaku ibu dalam pemberian nutrisi sangat berkaitan dengan
indeks masa tubuh atau status gizi dari anak. Orang tua dan lingkungan
keluarga memainkan peran penting dalam membentuk preferensi makanan
anak-anak, perilaku makan, dan asupan energi.
Tahun 2013 7,2% bayi di Indonesia masuk dalam gizi kurang. Status gizi
di Indonesia sebagian besar memang sudah baik, namun masih ada pula bayi yang
memiliki gangguan status gizi seperti gizi kurang. Tahun 2013 di Jawa terdapat
136 kecamatan rawan gizi atau 20,54% dari 662 kecamatan yang ada di Provinsi
Jawa. Jumlah bayi BGM di Jawa Timur tahun 2013 sebanyak 42.826 atau
4
2,07% dari seluruh bayi yang ditimbang. Cakupan status gizi di Jawa tahun
2013 adalah 12,3% termasuk dalam gizi kurang (Kemenkes RI, 2013).
Prevalensi gizi buruk yang lebih besar dari 2,5% terjadi di 15
Kabupaten atau Kota yang ada di Provinsi Aceh. Data Kementerian Kesehatan
menunjukkan 17,7 persen anak Aceh mengalami kurang gizi (Dinas Kesehatan
Provinsi Aceh, 2013). Sedangkan menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten
Nagan Raya menyebutkan jumlah cakupan gizi kurang sebanyak 38,3% dari total
bayi (Dinas Kesehatan Nagan Raya, 2014).
Berdasarkan data Puskesmas Kuala Tadu jumlah kasus gizi kurang pada
tahun 2014 adalah sebanyak 4 kasus, dan pada tahun 2015 terjadi sebanyak 7
kasus gizi kurang (Puskesmas Kuala Tadu, 2015).
Berdasarkan permasalahan diatas peneliti mengkaji secara ilmiah tentang
“Analisis Faktor Resiko yang Berhubugan dengan Gizi Kurang pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan
Raya “.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah “faktor Resiko apa saja yang Berhubugan dengan Gizi
Kurang pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu Kecamatan Tadu
Raya Kabupaten Nagan Raya”.
5
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk Menganalisis Faktor Resiko yang Berhubugan dengan Gizi Kurang
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya
Kabupaten Nagan Raya
1.3.2 . Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui apakah ada hubungan pengetahuan dengan resiko
gizi kurang Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu
Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya Tahun 2015
2. Untuk mengetahui apakah ada hubungan Sikap dengan resiko gizi
kurang Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu
Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya Tahun 2015
3. Untuk mengetahui apakah ada hubungan Pelayanan Kesehatan dengan
resiko gizi kurang Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala
Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya Tahun 2015
4. Untuk mengetahui apakah ada hubungan Sosial Budaya dengan resiko
gizi kurang Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu
Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya Tahun 2015
1.4 Hipotesis Penelitian
Ha : Ada hubungan faktor pengetahuan, sikap, pelayanan kesehatan dan
sosial budaya dengan Resiko Gizi Kurang Pada Balita Di Wilayah
Kerja Puskesmas Kula Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan
Raya Tahun 2015.
6
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
1. Dapat menambah ilmu pengetahuan bagi kita semua.
2. Melatih kemampuan penulis dalam meneliti masalah faktor resiko gizi
kurang pada balita.
3. Sebagai bahan pertimbangan bagi pembaca yang berminat dalam hal
penelitian masalah faktor resiko gizi kurang pada balita.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Memberikan informasi dan masukan bagi masyarakat terhadap faktor
resiko gizi kurang pada balita.
2. Untuk menambah referensi bagi mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat
Universitas Teuku Umar Meulaboh Aceh Barat Tahun 2015.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian gizi
Gizi (nutrient) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan
fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan serta
mengatur proses-proses kehidupan (Almatsier, 2005). Menurut Sediaoetama, 1997
(dalam Santoso, 2004), gizi atau makanan merupakan bahan dasar penyusunan
bahan makanan yang mempunyai fungsi sumber energi atau tenaga, menyokong
pertumbuhan badan, memelihara dan mengganti jaringan tubuh, mengatur
metabolisme dan berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh.
Secara umum zat gizi kita kenal ialah: karbohidrat atau hidrat arang,
protein, atau zat putih telur, lemak vitamin-vitaimin dan mineral. Ada kelompok
ahli yang menambahkan air oksigen dengan alasan ini belum diterima oleh semua
ahli (Sediaoetama, 2000).
Penjelasan singkat kelima zat gizi tersebut adalah:
1. Karbohidrat atau hidrat arang
2. Protein atau zat putih telur
3. Lemak
4. Vitamin
5. Mineral
Penggolongan bahan makanan berdasarkan fungsi dari zat gizinya menurut
Sediaoetama, (2000) adalah:
7
http://www.sarjanaku.com/2013/03/pengertian-gizi-dan-zat-gizi-definisi.htmlhttp://www.sarjanaku.com/2013/03/pengertian-gizi-dan-zat-gizi-definisi.html
8
1. Zat gizi penghasil energi, yaitu karbohidrat, lemak dan protein. Zat gizi ini
sebagian besar dihasilkan oleh bahan makanan pokok. Zat tenaga dari
makanan pokok digunakan untuk pertumbuhan dan untuk beraktivitas.
2. Zat gizi pembangun sel, terutama diduduki oleh protein sehingga bahan
pangan lauk-pauk tergolong dalam bahan makanan sumber zat pembangun
berguna untuk perkembangan.
3. Zat gizi pengatur, ke dalam kelompok ini termasuk vitamin dan mineral. Zat
pengatur diperlukan anak agar organ tubuh anak berfungsi dengan baik.
2.1.1. Sumber-sumber zat gizi
1. Bahan makanan sumber karbohidrat : beras, jagung, kentang, singkong,ubi,
tepung terigu, mie, talas.
2. Bahan makanan sumber protein nabati : tempe, tahu, kacang ijo, kacang
kedelai, kacang merah, kacang tanah. Bahan makanan sumber protein
hewani : telur, ikan, ayam, daging, hati, udang, lele, teri, susu.
3. Bahan makanan sumber vitamin dan mineral : sayur dan buah
a. Buahan termasuk golongan bahan makanan sumber zat pengatur, sumber
zat pengatur terutama sayuran berwarna hijau tua seperti daun singkong,
daun kacang panjang, daun melinjo, daun pepaya, kangkung, bayam,
sawi hijau serta sayuran yang berwarna kuning, jingga seperti wortel,
tomat, labu kuning. Demikian pula sayuran golongan kacang - kacangan
seperti kacang panjang, buncis, kecipir. Buah-buahan seperti: pepaya,
nanas, jambu air, mangga, nangka masak, pisang, jeruk, jambu biji,
rambutan, apel (Santoso, 2004).
9
b. Bahan makanan sumber lemak : minyak tumbuh - tumbuhan (minyak
kelapa, kelapa sawit, kacang tanah, kacang kedelai, jagung, dan
sebagainya), mentega, margarin, dan lemak hewan (lemak daging dan
ayam). Sumber lemak lain adalah kacang - kacangan, biji - bijian, daging
dan ayam gemuk, krim, susu, keju, kuning telur, serta makanan yang
dimasak dengan lemak atau minyak. Buah yang mengandung banyak lemak
adalah apokat (Almatsier, 2003).
2.2.Macam-macam gizi
Dalam kehidupan manusia sehari-hari, orang tidak terlepas dari makanan,
karena makanan adalah salah satu persyaratan pokok untuk manusia, disamping
udara (oksigen). Empat fungsi pokok makanan bagi kehidupan manusia adalah
untuk:
a. Memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan/perkembangan serta
mengganti jaringan tubuh yang rusak.
b. Memperoleh energi guna melakukan kegiatan sehari-hari.
c. Mengatur metabolisme dan mengatur berbagai keseimbangan air, mineral
dan cairan tubuh yang lain.
d. Berperan didalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit.
Agar makanan dapat berfungsi seperti itu maka makanan yang kita makan
sehari-hari tidak hanya sekedar makanan. Makanan harus mengandung zat-zat
tertentu sehingga memenuhi fungsi tersebut, dan zat-zat gizi ini disebut gizi.
Dengan perkataan lain makanan yang kita makan sehari-hari harus dapat
memelihara dan meningkatkan kesehatan.
10
Ilmu yang mempelajari atau mengkaji masalah makanan yang dikaitkan
dengan kesehatan ini disebut ilmu gizi. Batasan klasik mengatakan bahwa ilmu
gizi ialah ilmu yang mempelajari nasib makanan sejak ditelah sampai diubah
menjadi bagian tubuh dan energi serta diekskresikan sebagai sisa. (Achmad
Djaeni, 2009).
Dalam perkembangan selanjutnya ilmu gizi mulai dari pengadaan,
pemilihan, pengolahan sampai dengan penyajian makanan tersebut. Dari batasan
tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu gizi itu mencakup 2 komponen
penting yaitu makanan dan kesehatan.
Untuk mencapai kesehatan yang optimal diperlukan makanan bukan sekedar
makanan tetapi makanan yang mengandung gizi atau zat-zat gizi. Zat-zat makanan
yang diperlukan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan ini dikelompokkan
menjadi 5 macam, yakni protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral.
Fungsi-fungsi zat makanan itu antara lain sebagai berikut (Almatseir, 2009):
a. Protein
Protein diperoleh dari makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan
(protein nabati) dan makanan dari hewan (protein hewani). Fungsi protein
bagi tubuh antara lain:
membangun sel-sel yang rusak.
membentuk zat-zat pengatur seperti enziim dan hormon.
membentuk zat inti energi (1 gram proteein kira-kira menghasilkan 4,1
kalori).
11
b. Lemak
Lemak berasal dari minyak goreng, daging, margarin, dan sebagainya.
Fungsi pokok lemak bagi tubuh ialah :
menghasilkan kalori terbesar dalam tubuuh manusia (1 gram lemak
menghasilkan 9,3 kalori).
sebagai pelarut vitamin A,D,E,K.
sebagai pelindung terhadap bagian-bagiaan tubuh tertentu dan pelindung
bagian tubuh pada temperatur rendah.
c. Karbohidrat
Karbohidrat berdasarkan gugus penyusun gulanya dapat dibedakan menjadi
monosakarida, disakarida, dan polisakarida. Fungsi karbohidrat adalah juga salah
satu pembentuk energi yang paling murah, karena pada umumnya sumber
karbohidrat ini berasal dari tumbuh-tumbuhan (beras, jagung, singkong, dan
sebagainya) yang merupakan makanan pokok.
d. Vitamin-vitamin
Vitamin dibedakan menjadi 2, yakni vitamin yang larut dalam air (vitamin
A dan B) dan vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A,D,E,K).
Fungsi masing-masing vitamin ini antara lain:
1) Vitamin A berfungsi bagi pertumbuhan sel-sel epitel dan sebagai
pengatur kepekaan rangsang sinar pada saraf dan mata.
2) Vitamin B1 berfungsi untuk metabolisme karbohidrat, keseimbangan
air dalam tubuh dan membantu penyerapan zat lemak oleh usus.
3) Vitamin B2 berfungsi dalam pemindahan rangsang sinar ke saraf mata
dan enzim dan berfungsi dalam proses oksidasi dalam sel-sel.
12
4) Vitamin B6 berfungsi dalam pembuatan sel-sel darah dan dalam proses
pertumbuhan dan dalam proses pertumbuhan serta pekerjaan urat saraf.
5) Vitamin C berfungsi sebagai aktivator macam-macam fermen
perombak protein dan lemak, dalam oksidasi dan dehidrasi dalam sel,
penting dalam pembentukan trombosit.
6) Vitamin D berfungsi mengatur kadar kapur dan fosfor dalam bersama-
sama kelenjar anak gondok, memperbesar penyerapan kapur dan fosfor
dari usus, dan mempengaruhi kerja kelenjar endokrin.
7) Vitamin E berfungsi mencegah perdarahan bagi wanita hamil serta
mencegah keguguran dan diperlukan pada saat sel sedang membelah.
8) Vitamin K berfungsi dalam pembentukan protrombin, yang berarti
penting dalam proses pembekuan darah.
e. Mineral
Mineral terdiri dari zat kapur (Ca), zat besi (Fe), zat fluor (F), natrium (Na)
dan chlor (Cl), kalium (K) dan iodium (I). Secara umum fungsi mineral adalah
sebagai bagian dari zat yang aktif dalam metabolisme atau sebagai bagian penting
dari struktur sel dan jaringan.
2.3. Gizi Kurang
Di Indonesia kelompok anak balita menunjukkan prevalensi paling tinggi
untuk menderita KKP (Kekurangan Kalori Protein) dan defisiensi vitamin Aserta
anemia defisiensi gizi fe. Kelompok umur ini sulit dijangkau oleh berbagai upaya
kegiatan perbaikan gizi dan kesehatan lainnya, karena tidak dapat datang sendiri
ke tempat pelayanan kesehatan gizi dan kesehatan (Agus Krisno, 2009).
Secara umum status gizi dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
13
a. Kecukupan Gizi (Gizi Seimbang)
Dalam hal ini asupan gizi, seimbang dengan kebutuhan gizi seseorang
yang bersangkutan.
b. Gizi Kurang
Gizi kurang merupakan keadaan tidak sehat yang timbul karena tidak cukup
makan, dengan demikian konsumsi energi dan protein kurang selama jangka
waktu tertentu.
c. Gizi Lebih Keadaan patologis (tidak sehat) yang disebabkan kebanyakan
makan (Agus Krisno, 2009).
Penyakit gangguan gizi banyak ditemui pada masyarakat golongan rentan,
yaitu golongan yang mudah sekali menderita akibat kekurangan gizi dan juga
kekurangan makanan (dificiency) misalnya kwashiorkor, busung lapar, marasmus,
beri-beri dan lain-lain. Kegemukan (obesity), kelebihan berat badan (over weight)
merupakan tanda gizi salah yang berdasarkan kelebihan dalam makanan (Agus
Krisno, 2009)
Keadaan penyakit kekurangan gizi terbagi menjadi dua kelas, yaitu kelas
pertama, penyakit kurang gizi primer, contohnya pada kekurangan zat gizi
esensial spesifik, seperti kekurangan vitamin C maka penderita mengalami gejala
scurvy, kelas yang kedua yaitu penyakit kurang gizi sekunder, contohnya penyakit
yang disebabkan oleh adanya gangguan absorpsi zat gizi atau gangguan
metabolisme zat gizi (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2007).
Penyakit-penyakit atau gangguan kesehatan akibat kekurangan atau
kelebihan gizi dan merupakan masalah kesehatan masyarakat antara lain adalah
(Suparisa, 2012):
14
1. Penyakit KKP (Kurang Kalori / KEP) Kurang kalori protein adalah keadaan
kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein
dalam makanan sehari-hari sehingga tidak mencukupi angka kecukupan gizi.
Pada pemerikasaan klinis, penderita KKP akan memperlihatkan tanda-tanda
sebagai berikut:
a. Marasmus
1) Anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit.
2) Wajah seperti orang tua.
3) Cengeng, rewel.
4) Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit, bahkan sampai
tidak ada.
5) Sering disertai diare kronik atau konstipasi/ susah buang air besar, serta
penyakit kronik.
6) Tekanan darah, detak jantung, dan pernafasan berkurang
b. Kwashiorkor
1). Oedema umumnya diseluruh tubuh dan terutama pada kaki (dorsum
pedis).
2). Wajahnya membulat dan sembab
3). Otot-otot mengecil, lebih nyata apabila diperiksa pada posisi berdiri dan
duduk, anak-anak berbaring terus-menerus.
4). Perubahan status mental: cengeng, rewel, kadang apatis.
5). Anak sering menolak segala jenis makanan (anoreksia).
6). Pembesaran hati.
7). Sering disertai infeksi, anemia, dan diare/mencret.
15
8). Rambut berwarna kusam dan mudah dicabut.
9). Gangguan kulit berupa bercak merah yang meluas dan berubah menjadi
hitam terkelupas (crazy pavement dermatosis)
10). Pandangan mata anak tampak sayu.
c. Marasmus-kwashiorkor
Tanda-tanda marasmus-kwashiorkor adalah gangguan dari tandatanda
yang ada pada marasmus dan kwashiorkor.
2. Penyakit kegemukan (obesitas) Obesitas adalah kelebihan berat badan
sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Seseorang
yang memiliki berat badan 20% lebih tinggi dari nilai tengah kisaran berat
badannya yang normal dianggap mengalami obesitas.
2.3.1. Penilaian Status Gizi.
Untuk mengetahui status gizi, yaitu ada tidaknya malnutrisi pada individu
atau masyarakat diperlukan Penilaian Status Gizi (PSG). Definisi dari PSG adalah
interpretasi dari data yang didapatkan dengan menggunakan berbagai metode
untuk mengidentifikasi populasi atas individu yang berisiko atau dengan status
gizi buruk. Metode dalam PSG dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama,
metode secara langsung yang terdiri dari penilaian dengan melihat tanda klinis, tes
laboratorium, metode biofisik, dan pengukuran antropometri. Kelompok kedua,
penilaian dengan melihat statistik kesehatan yang biasa disebut PSG tidak
langsung karena tidak menilai individu secara langsung. Kelompok ketiga,
penilaian dengan melihat variabel ekologi (Departemen Gizi dan Kesehatan
Masyarakat UI, 2010).
16
Secara tidak langsung status gizi masyarakat dapat diketahui berdasarkan
penilaian terhadap data kuantitatif maupun kualitatif konsumsi pangan. Informasi
tentang konsumsi pangan dapat diperoleh melalui survei yang akan menghasilkan
data kuantitatif (jumlah dan jenis pangan) dan kualitatif (frekuensi makan dan cara
mengolah makanan). Penentuan status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara
yaitu secara biokimia, dietetika, klinik, dan antropometri (cara yang paling umum
dan mudah digunakan untuk mengukur status gizi di lapangan). Indeks
antropometri yang dapat digunakan adalah berat badan per umur (BB/U), Tinggi
Badan per Umur (TB/U), Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB), (Depkes RI,
2005).
Waterlow membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan kronis.
Indikator yang digunakan meliputi BB/TB untuk mencerminkan gangguan gizi
yang akut dan menyebabkan wasting (kurus-kering), TB/U merupakan akibat
kekurangan gizi yang berlangsung sangat lama. Akibat anak menjadi pendek
untuk umurnya.
Klasifikasi menurut Waterlow digambarkan dalam tabel berikut.
Tabel 2.1 Klasifikasi Status Gizi Menurut Waterlow
Kategori TB/U U BB/TB
Gizi lebih >95 % >90 %
Gizi baik 90-95% 80-90%
Gizi kurang 85-90% 70-80%
Gizi buruk
17
Statistic, USA). Klasifikasi status gizi menurut WHO digambarkan dalam tabel
berikut:
Tabel 2.2 Klasifikasi Status Gizi Menurut WHO
BB/TB BB/U TB/U Status Gizi
Normal Rendah Rendah Baik, pernah
kurang
Normal Normal Normal Baik
Normal Tinggi Tinggi Jangkung, masih
baik
Rendah Rendah Tinggi Kurang
Rendah Rendah Normal Buruk, kurang
Rendah Normal Tinggi Kurang
Tinggi Tinggi Rendah Lebih, obesitas
Tinggi Tinggi Normal Lebih, tidak
obesitas
Tinggi Rendah Rendah Lebih, pernah
kurang
Menurut Etika Proverawati dan Erna Kusuma Wati (2010), penilaian status
gizi dibagi menjadi dua yaitu penilaian status gizi secara langsung dan tidak
langsung. Penilaian status gizi secara langsung terdiri dari:
1. Antropometri
Ditinjau dari sudut pandang gizi, antropometri gizi berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk
melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi, yang terlihat pada
pola pertumbuhan fisik, proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan
jumlah air dalam tubuh.
2. Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode untuk melihat status gizi masyarakat
berdasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi dibandingkan
ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti
18
kulit, mata, rambut, dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat
dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan metode ini
umumnya untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical survey), dimana
semua dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum
dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan
untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan
pemeriksaan fisik, yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat
penyakit
3. Biokimia Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan
spesimen yang diuji secara laboratories yang dilakukan pada berbagai
macam jaringan tubuh, seperti darah, urin, tinja, dan beberapa jaringan
tubuh seperti otot dan hati. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka
penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan
kekurangan gizi yang spesifik
4. Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi
dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat
perubahan struktur dari jaringan. Umumnya dapat digunakan dalam situasi
tertentu seperti kejadian buta senja epidemik. Cara yang digunakan adalah
tes adaptasi gelap.
Untuk penilaian gizi secara tidak langsung terdiri dari:
1. Survei konsumsi makanan Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan
status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang
19
dikonsumsi. Data yang dikumpulkan dapat memberikan gambaran tentang
konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga, dan individu.
2. Statistika Vital Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan
menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian
berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian, serta data-data lainnya yang
berhubungan dengan gizi.
3. Faktor Ekologi Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah
ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis, dan lingkungan
budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi,
seperti iklim, tanah, irigasi, dan lain-lain. Pengukuran ekologi dipandang
sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutirsi di suatu masyarakat
sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi. Sedangkan parameter
yang cocok digunakan untuk balita adalah berat badan per umur (BB/U), tinggi
badan per umur (TB/U), berat badan per tinggi badan (BB/TB), dan lingkar
kepala serta survei konsumsi makanan dengan menggunakan food recall 24
jam yang diberikan pada yang mengasuh balita. Lingkar kepala digunakan
untuk memberikan gambaran tentang perkembangan otak. Kurang gizi ini akan
berpengaruh pada perkembangan fisik dan mental anak (Etika Proverawati dan
Erna Kusuma Wati, 2010).
2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Menurut Soekirman (2000), faktor penyebab kurang gizi atau yang
mempengaruhi status gizi seseorang adalah :
1. Penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin
diderita anak. Timbulnya gizi kurang tidak hanya karena makanan yang
20
kurang, tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapatkan makanan cukup
baik, tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita kurang
gizi. Demikian juga pada anak yang makan tidak cukup baik, maka daya tahan
tubuhnya akan melemah. Dalam keadaan demikian mudah diserang infeksi
yang dapat 19 mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat menderita kurang
gizi. Pada kenyataannya keduanya baik makanan dan penyakit infeksi secara
bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi.
2. Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan
anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan (Hariza Adnina,
2011).
Secara medik, indikator yang dapat digunakan untuk menyatakan masalah
gizi adalah indikator antropometri (ukurannya adalah berat dan tinggi badan yang
dibandingkan dengan standar), indikator hematologi (ukurannya adalah kadar
hemoglobin dalam darah), dan sebagainya. Di luar aspek medik, masalah gizi
dapat diakibatkan oleh kemiskinan, sosial budaya, kurangnya pengetahuan dan
pengertian, pengadaan dan distribusi pangan, dan bencana alam (Khumaidi,
2004).
1. Masalah gizi karena kemiskinan indikatornya taraf ekonomi keluarga dan
ukuran yang dipakai adalah garis kemiskinan.
2. Masalah gizi karena sosial budaya indikatornya adalah stabilitas keluarga
dengan ukuran frekuensi nikah-cerai-rujuk, anak-anak yang dilahirkan di
lingkungan keluarga yang tidak stabil akan sangat rentan terhadap penyakit
gizi-kurang. Juga indikator demografi yang meliputi susunan dan pola
kegiatan penduduk
21
3. Masalah gizi karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan di bidang
memasak, konsumsi anak, keragaman bahan, dan keragaman jenis masakan
yang mempengaruhi kejiwaan, misalnya kebosanan.
4. Masalah gizi karena pengadaan dan distribusi pangan, indikator pengadaan
pangan (food supply) yang biasanya diperhitungkan dalam bentuk neraca
bahan pangan, diterjemahkan ke dalam nilai gizi dan dibandingkan dengan
nilai rata-rata kecukupan penduduk.
Gizi merupakan salah satu kehidupan manusia yang erat kaitannya dengan
kualitas fisik maupun mental manusia. Keadaan gizi meliputi proses penyediaan
dan penggunaan gizi untuk pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan serta
aktivitas. Keadaan kurang gizi dapat terjadi akibat ketidakseimbangan asupan zat-
zat gizi, faktor penyakit pencernaan, absorbsi, dan penyakit infeksi
Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa masalah gizi di Indonesia
masih didominasi oleh kekurangan zat gizi yang disebabkan oleh banyak faktor,
diantaranya adalah tingkat sosial ekonomi keluarga (Depkes, 2002).
Menurut Achmad Djaeni (2009), penyebab langsung dari gizi kurang
adalah konsumsi kalori dan protein yang kurang. Sebab tidak langsung ada
beberapa yang dominan, yaitu ekonomi negara yang kurang, pendidikan umum
dan pendidikan gizi yang rendah, produksi pangan yang tidak mencukupi, kondisi
hygiene yang kurang baik, dan jumlah anak yang terlalu banyak. Sebab antara
adalah pekerjaan yang rendah, penghasilan yang kurang, paska panen, sistem
perdagangan, dan distribusi yang tidak lancar dan tidak merata.
Menurut Soegeng santoso dan Anne (2009), masalah gizi yang terjadi pada
anak bisa dikaitkan dengan masalah makan anak. Ada beberapa pendapat
22
mengenai penyebab kesulitan mana anak, menurut Palmer dan Horn antara lain
adalah kelainan neuro-motorik, kelainan kongenital, kelainan gigi-geligi, penyakit
infeksi menahun, defisiensi nutrien, dan psikologik. Untuk faktor kelainan
psikologik disebabkan oleh kekeliruan orang tua dalam hal mengatur makan
anaknya. Ada orang tua yang bersikap terlalu melindungi dan ada orang tua yang
terlalu memaksakan anaknya makan terlalu banyak melebihi keperluan anaknya.
Juga apabila anak jauh dari ibunya, dapat terjadi tidak ada nafsu makan. Perasaan
takut berlebih pada makanan juga dapat mengakibatkan anak tidak mau makan.
apabila anak jauh dari ibunya, dapat terjadi tidak ada nafsu makan. Perasaan takut
berlebih pada makanan juga dapat mengakibatkan anak tidak mau makan.
2.3.4. Masalah Gizi Masalah gizi terbagi menjadi masalah gizi makro dan mikro.
Masalah gizi makro adalah masalah yang terutama disebabkan oleh
kekurangan atau ketidakseimbangan asupan energi dan protein (KEP). Bila terjadi
pada anak balita akan mengakibatkan marasmus, kwashiorkor, atau marasmik-
kwashiorkor, dan selanjutnya akan menyebabkan gangguan pertumbuhan pada
anak usia sekolah. Gejala klinis kwashiorkor melipui odema menyeluruh,
terutama pada punggung kaki (dorsum pedis), wajah membulat dan sembab,
pandangan mata sayu, rambut tipis kemerahan seperti rambut jagung dan mudah
dicabut tanpa rasa sakit serta rontok, perubahan status mental, apatis dan rewel,
perubahan hati, otot mengecil, kelainan kulit berupa bercak merah muda yang
meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas, sering
disertai penyakit akut, anemia dan diare.
Gejala klinis marasmus antara lain tubuh tampak sangat kurus, wajah
seperti orang tua, cengeng, rewel, kulit keriput, jaringan subkutis sangat sedikit,
23
perut cekung, sering disertai penyakit infeksi kronis dan diare atau susah buang
air.
Gejala klinis marasmik-kwashiorkor meliputi gabungan gejala klinis
antara kwashiorkor dengan marasmus, dengan BB/U. Faktor resiko gizi kurang
adalah:
1. Lingkungan Bagi manusia.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitarnya, baik berupa
benda hidup, benda mati, benda nyata ataupun benda abstrak, termasuk manusia
lainnya, serta suasana yang terbentuk karena terjadinya interaksi diantara elemen-
elemen di alam tersebut (Juli Soemirat, 2002). Sekarang telah diketahui bahwa
gejala klinis gizi kurang adalah akibat ketidakseimbangan yang lama antara
manusia dan lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup ini mencakup lingkungan
alam, biologis, sosial budaya, maupun ekonomi. Masing-masing faktor tersebut
mempunyai peran yang kompleks dan berperan penting dalam etiologi penyakit
gizi kurang (Soegeng dan Anne, 2009).
2. Lingkungan Tahan Pangan dan Gizi.
Derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu faktor
lingkungan, faktor perilaku masyarakat, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor
keturunan. Faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang paling dominan
terhadap tingkat kesehatan masyarakat. Ini telah dibuktikan oleh beberapa hasil
penelitian dan pengamatan. Faktor lingkungan (fisik, biologis, dan sosial)
mempunyai kaitan erat dalam faktor perilaku. Lingkungan yang sehat atau
kesehatan lingkungan adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang
optimum, sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan
24
yang optimum pula (
Adnani, 2011).
Pengertian kesehatan lingkungan menurut WHO adalah ilmu dan
keterampilan yang memusatkan perhatiannya pada usahan pengendalian semua
faktor yang ada pada lingkungan fisik manusia yang diperkirakan menimbulkan
atau akan menimbulkan hal-hal yang merugikan perkembangan fisiknya,
kesehatan, maupun kelangsungan hidupnya. Lingkungan tahan pangan dan gizi
adalah kondisi dinamis dimana diperlukan pemantauan terhadap indikator kritis
terhadap sumber daya, ketersediaan dan akses terhadap pangan dan gizi di seluruh
lapisan masyarakat. Ketahanan pangan dan gizi global, nasional, regional, lokal
rumah tangga, dan individual merupakan rangkaian sistem hierarki, ketersediaan
pada tingkat lebih tinggi merupakan syarat keharusan bagi ketersidaan di tingkat
yang lebih rendah. Prinsip atau kaidah yang berlaku secara universal adalah
bahwa mencegah terjadinya kerawanan pangan dan gizi adalah lebih utama dan
lebih baik daripada menganggulangi setelah terjadi kondisi kerawanan pangan dan
gizi. Indikator yang telah digunakan dalam menentukan kerawanan pangan dan
gizi adalah indeks ketersediaan pangan, indeks infrastruktur, indeks gabungan
akses pangan dan pendapatan, indeks penyerapan pangan, indeks gabungan
kerentanan pangan, dan indeks gabungan kerawanan pangan dan gizi, serta
indikator lain yang digunakan dalan sistem kewaspadaan pangan dan gizi
(Laporan akhir Badan Bimbingan Massal Ketahanan Pangan Prov Jateng dan
LPPM-IPB, 2005).
25
3. Faktor-faktor lingkungan tahan pangan dan gizi.
Badan Bimas Ketahanan Pangan (BBKP) pusat bekerjasama dengan
World Food program mengembangan Food Insecurity atlas (Peta Kerawanan
Pangan). Peta ini dibuat untuk mengkategorikan wilayah menurut tingkat
kerawanan ketahanan pangan dan gizinya. Empat aspek pemetaan dalam konsep
ini, yaitu ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pendapatan,
pemanfaatan (penyerapan) pangan, dan kerentanan pangan (Laporan akhir Badan
Bimbingan Massal Ketahanan Pangan Prov Jateng dan LPPM-IPB, 2005).
Dalam sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) terdapat 3 indikator
pengamatan, yaitu luas kerusakan lahan (sawah), tingkat kemiskinan dan
prevalensi status gizi kurang, akan tetapi dalam pembuatan peta kerawanan
pangan dan gizi, SKPG membutuhkan 17 indikator, yaitu :
a. Ketersediaan, mencakup:
1) Produksi netto padi
2) Produksi netto jagung
3) Ketersediaan untuk konsumsi normatif
b. Akses terhadap pangan
1) Presentase penduduk miskin
2) Presentase kepala rumah tangga bekerja kurang dari 15 jam/minggu
3) Presentase kepala rumah tangga tidak tamat pendidikan dasar
4) Presentase rumah tangga yang tidak memiliki akses listrik
5) Panjang jalan
c. Pemanfaatan/penyerapan pangan
1) Presentase rumah tangga yang tinggak >5 km dari fasilitas kesehatan
26
2) Populasi per Dokter
3) Presentase anak yang tidak diimunisasi
4) Presentase rumah tangga yang tidak memiliki akses air bersih
5) Angka harapan hidup waktu lahir
6) Perempuan buta huruf
d. Kerentanan pangan
1) Fluktuasi curah hujan
2) Daerah berhutan
3) Daerah yang rusak
(Laporan akhir Badan Bimbingan Massal Ketahanan Pangan Prov Jateng dan
LPPM-IPB, 2005)
Perilaku seseorang mempengaruhi segala sesuatu apa yang akan
dilakukan dan tidak dilakukannya. Dalam hal ini adalah kejadian gii kurang pada
balita. Menurut Bloom (1974) yang dipetik dari Notoadmodjo (2007), faktor
lingkungan merupakan faktor utama yang mempengaruhi kesehatan individu,
kelompok, atau masyarakat manakala faktor perilaku pula merupakan faktor yang
kedua terbesar. Disebabkan oleh teori ini, maka kebanyakan intervensi yang
dilakukan untuk membina dan meningkatkan lagi kesehatan masyarakat
melibatkan kedua faktor ini.
Menurut Notoadmodjo (2007) juga mengatakan mengikut teori Green
(1980), perilaku ini dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu:
27
a. Faktor penguat (Predisposising) yang mencakup:
1. Pengetahuan
Secara garis besar menurut (Notoatmodjo, 2005) domain tingkat
pengetahuan (kognitif) mempunyai enam tingkatan, meliputi: mengetahui,
memahami, menggunakan, menguraikan, menyimpulkan dan
mengevaluasi. Ciri pokok dalam taraf pengetahuan adalah ingatan tentang
sesuatu yang diketahuinya baik melalui pengalaman, belajar, ataupun
informasi yang diterima dari orang lain. Pengetahuan merupakan hasil dan
ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu.
2. Sikap
Menurut Santrock dalam Azwar (2007) mengemukakan bahwa sikap
merupakan kepercayaan atau opini terhadap orang-orang, obyek atau suatu
ide. Setiap orang memiliki opini atau kepercayaan yang berbeda terhadap
suatu obyek atau ide. Sikap adalah reaksi atas penilaian suka atau tidak
suka terhadap sesuatu atau seseorang yang ditunjukkan melalui
kepercayaan, perasaan atau kecenderungan bertingkah laku.
3. Tindakan
Menurut Notoatmodjo (2012) Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam
suatu tindakan (over behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu
perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang
memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Disamping faktor fasilitas,
juga diperlukaan faktor dukungan (support) dari pihak lain.
28
4. Jenis kelamin
Jenis Kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi biologi laki-laki
dan perempuan yang menentukan perbedaan peran mereka dalam
menyelenggarakan upaya meneruskan garis keturunan (Notoatmodjo,
2012)
5. Pekerjaan
Pekerjaan yaitu sebuah aktifitas antar manusia untuk saling memenuhi
kebutuhan dengan tujuan tertentu, dalam hal ini pendapatan atau
penghasilan.
b. Faktor pendukung (Enabling) yang mencakup:
1. Tingkat Pendapatan
Tingkat sosial ekonomi yang rendah menyebabkan keterbatasan biaya
untuk menempuh pendidikan, sehingga pengetahuannya pun rendah
(Notoatmodjo, 2012).
2. Ketercapaian pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa
pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasaan rata-rata serta
penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi
(Notoatmodjo, 2012)
3. Ketersediaan sarana dan prasarana
Tersedianya semua fasilitas kesehatan yang dibutuhkan untuk melakukan
suatu pemeriksaan kesehatan bagi masyarakat (Notoatmodjo, 2012).
29
c. Faktor pendorong (Reinforncing) pula mencakup:
1. Keluarga
Keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup
bersama sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya
selalu ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal
bersama dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga
(Lestari, 2012).
2. Lingkungan
Sesuatu yang berada di luar atau disekitar makhluk hidup. Lingkungan
adalah suatu sistem yang kompleks dimana berbagai faktor berpengaruh
timbal balik satu sama lain dan dengan masyarakat (Notoadmodjo, 2003)
3. Sosial budaya
Segala sesuatu yag berkitan dengan tata nilai yang ada pada masyakat,
yang mana di dalamnya terdapat pernytaan mengenai poin intelektual dan
juga nilai artistik yang dapat di jadikan sebagai ciri khas yang ada pada
masyarakat itu sendiri (Notoadmodjo, 2003)
30
2.4 Kerangka Teoritis
Kerangka teori ini disimpulkan berdasarkan tinjauan kepustakaan diatas
yaitu menurut L. Green dalam Notoadmodjo (2007) sebagai berikut:
p
Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian
Sumber: L. Green dalam Notoadmodjo (2007)
Faktor Enabling
1. Tingkat Pendapatan
2. Ketercapaian Pelayanan Kesehatan
3. Ketersediaan Sarana Prasarana
Faktor Reinforncing
1. Dukungan Keluarga
2. Lingkungan
3. Sosial Budaya
Gizi Kurang
Faktor Predisposing
1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Tindakan
4. Jenis Kelamin
5. Pekerjaan
6. Persepsi
7. Umur
8. Sosial Ekonomi
9.
31
2.5 Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
1. Pengetahuan 2. Sikap 3. pelayanan Kesehatan 4. Sosial budaya
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Gizi Kurang
32
32
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian survei yang bersifat analitik dengan
pendekatan Cross Sectional, dimana variabel bebas dan terikat diteliti pada saat
yang bersamaan saat penelitian dilakukan (Notoatmodjo, 2012), yang bertujuan
untuk Faktor resiko yang Berhubugan dengan Gizi Kurang pada Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian
Tempat penelitian ini akan dilaksanakan di Wilayah kerja Puskesmas
Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini di telah di lakukan pada tanggal 19-30 Mei 2016.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2002). Populasi
dalam penelitian ini adalah Ibu yang mempunyai anak Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya Tahun
2015 sebanyak 256 orang.
33
3.3.2 Sampel
Penentuan teknik pengambilan sampel dengan menggunakan simple
random sampling dengan menggunakan rumus Slovin sebagai berikut:
N
n =
1 + N (d)2
Di mana:
n = Sampel
N = Populasi
d = Nilai presisi sebesar 0,1 (10%)
Dari rumus di atas, maka besarnya jumlah sampel (n) adalah sebagai berikut:
256
n =
1+256 (0,1)2
256
n =
1+256 (0,01)
256
n =
1+2,56
256
n =
3,56
n = 71,9 dibulatkan menjadi 72
Berdasarkan perhitungan di atas, maka sampel yang akan diambil adalah
sebanyak 72 orang.
34
Tabel 3.1 Distribusi Sampel
No Nama Desa Jumlah Ibu yang
Mempunyai
Balita
Rekapitulasi Perhitungan
sampel
Jumlah
Sampel
1 Alue Siron 23 23 / 256 x 72 = 6,4 6
2 Cot Mue 34 34 / 256 x 72 = 9,5 10
3 Alue Gajah 11 11 / 256 x 72 = 3,0 3
4 Alue Labu 15 15 / 256 x 72 = 4,2 4
5 Gapa Garu 18 18 / 256 x 72 = 5,0 5
6 Kuala Tadu 63 63 / 256 x 72 = 17,7 18
7 Cot Mee 92 92 / 256 x 72 = 25,8 26
T O T A L 256 72 72
3.4 Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data yang akan digunakan adalah :
1. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari hasil
wawancara dengan responden menggunakan kuesioner yang telah
disiapkan sebelum penelitian.
2. Data Sekunder
Data yang mendukung kelengkapan data primer yang dikumpulkan secara
tidak langsung dan sumber-sumber yang telah ada dari Puskesmas Kuala
Tadu.
35
3.5 Variabel dan Defenisi Operasional
Tabel 3.2 Definisi Operasional
Variabel Defenisi Operasional
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Variabel Independen
Pengetahuan Segala sesuatu yang diketahui ibu tentang gizi
kurang pada balita
Wawancara Kuesioner 1. Baik 2. Tidak Baik
Ordinal
Sikap Respon ibu
terhadap
kejadian gizi
kurang pada
balita
Wawancara
Kuesioner 1. Positif 2. Negatif
Ordinal
Pelayanan Kesehatan
Pelayanan
kesehatan atau
pemeriksaan
terhadap gizi
kurang pada
balita
Wawancara
Kuesioner 1. Ada 2. Tidak Ada
Ordinal
Sosial Budaya Keadaan
lingkungan
tempat tinggal
ibu terhadap
gizi kurang
pada balita
Wawancara
Kuesioner 1. Baik 2. Kurang Baik
Ordinal
Variabel Dependen
Status Gizi Keadaan gizi
Balita yang
diukur dengan
menggunakan
Indeks Berat
Badan menurut
tinggi badan
Wawancara dan Observasi
Buku KMS 1. Gizi Kurang 2. Gizi Baik
Ordinal
3.6 Aspek Pengukuran
Aspek pengukuran pada penelitian ini, yaitu menggunakan skala ordinal,
yaitu memliki tiga kategori pengukuran untuk kategori Baik 76-100%, cukup 56-
75% dan untuk kategori kurang
36
1. Faktor Pengetahuan
Baik: jika responden mendapat skor nilai > 3
Kurang Baik: jika responden mendapat skor nilai ≤ 3
2. Faktor Sikap
Positif: jika responden mendapat skor nilai > 3
Negatif: jika responden mendapat skor nilai ≤ 3
3. Faktor Pelayanan Keehatan
Ada: jika responden mendapat skor nilai > 2
Tidak Ada: jika responden mendapat skor nilai ≤ 2
4. Faktor Sosial Budaya
Baik: jika responden mendapat skor nilai > 2
Kurang Baik: jika responden mendapat skor nilai ≤ 2
3.7 Pengolahan Data
Menurut Notoatmodjo (2005) cara pengolahan data terdiri atas :
1. Editing
Dilakukan pengecekan kelengkapan data yang telah terkumpul bila
terdapat kesalahan atau kekurangan dalam pengumpulan data akan
diperbaiki dengan pemeriksaan dan pendataan ulang.
2. Coding
Data yang diperoleh diklasifikasikan kemudian diberi kode tertentu
untuk memudahkan pengolahan data.
3. Transfering
Data yang telah diberi kode disusun secara berurutan sesuai dengan
klasifikasi data.
37
4. Tabulating
Data yang telah dikumpulkan dimasukkan dalam tabel distribusi
frekuensi.
3.8 Metode Analisa Data
3.8.1 Univariat
Analisi univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristi setiap variabel peneltian. Bentuk analisa univariat tergantung dari
jenis datanya dan dilakukan untuk mengetahui disribusi frekuensi dari variabel
independen dan variabel dependen.
Univariat digunakan pada data-data yang mengaahsilkan distribusi frekuensi
umur dan pekerjaan responden yaitu menggunakan rumus berikut (Budiarto,
2002) :
P = n
f 1 x 100 %
Keterangan :
P = Persentase
f1 = Frekuensi
n = Jumlah responden
3.8.2 Bivariat
Dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan
variabel dependen menggunakan uji statistik Chi-Square (X2) melihat dari hasil
uji statistik ini akan dapat disimpulkan adanya hubungan dua variabel tersebut
bermakna atau tidak bermakna.
38
Bivariat analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkolerasi, untuk uji statistik data dengan skala ordinal dan
data ordinal menggunakan uji statistik Chi-Square karena data sesuai yang
digunakan. Taraf kepercayaannya 95% atau dengan alpa 5% (0,05), dikatakan
bermakna apabila p < 0,05 da p > 0,05 dikatakan tidak ada hubungan yang
bermakna, rumus statistik yang dipakai adalah (Sudjanna, 2005) :
X2 =∑ (O-E)2
E
E = Total Baris x Total Kolom
Grand Total
Dimana : X2 = Chi-Square O = Nilai Observasi (Nilai yang diamati)
E = Nilai Expected
Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat computer SPSS
untuk membuktikan yaitu dengan ketentuan p value < 0,05 (Ho ditolak) sehingga
disimpulkan ada hubungan yang bermakna.
Dalam melakukan uji Chi-Square ada syarat-syarat yang harus dipenuhi:
1. Bila 2 x 2 dijumpai nilai expected (harapan) kurang dari 5, maka yang
digunakan adalah fisher`s test,
2. Bila 2 x 2 dan nilai E > 5, maka uji yang dipakai sebaliknya Contiuty
Corection,
3. Bila table lebih dari 2 x 2 misalnya 2 x 3, 3 x 3 dan seterusnya, maka
digunakan uji pearson Chi-square.
4. Uji ‘’ likelihood Ratio’’, biasanya digunakan untuk keperluan lebih spesifik ,
misalnya analisis stratifikasi pada bidang epidemiologi dan juga untuk
39
mengetahui hubungan linier dua variabel katagorik ,sehingga kedua jenis ini
jarang digunakan.
40
31
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum
4.1.1 Geografi
UPTD Puskesmas Kuala Tadu merupakan Puskesmas Rawat Jalan yang
berada di Desa Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya
dengan Kode pos 23661. Transportasi antar wilayah dihubungkan dengan jalan
darat. Jalan utama Desa sebagian besar sudah beraspal dan mudah di jangkau
dengan sarana transportasi roda dua dan empat. Puskesmas Kuala Tadu
Kecamatan Tadu Raya di bangun dengan dana APBK (DAK + SHARING) tahun
2013 diatas tanah 80 x 180 meter persegi dengan luas bangunan 372 meter.
Batas wilayah kerja Puskesmas Kuala Tadu adalah:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Jaya
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Wilayah Kerja Puskesmas Lhueng Keubeu
Jagat
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Wilayah Kerja Puskesmas Padang
Panyang
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudra Hindia
4.1.2 Demografi
Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Kuala Tadu tahun 2015
sebanyak 2.663 jiwa, jumlah KK sebanyak 640 KK. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat berikut di bawah ini:
40
41
Tabel 4.1. Cakupan Wilayah Kerja dan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas
Kuala Tadu No Nama Desa Jumlah Penduduk
Laki-laki Perempuan Jumlah Penduduk
1 2
3 4 5 6 7
Kuala Tadu Cot Mee
Cot Mue Alue Siron Alue Labu Gapa Garu Lue Gajah
338 470
193 123 78 89 57
321 486
160 115 78 88 57
659 956
353 238 156 187 114
Jumlah 1.358 1.305 2.663
Sumber: Puskesmas Kuala Tadu, 2015
Tabel 4.2. Fasilitas Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu
No Nama Desa Jumlah
1 2 3 4 5
Puskesmas Pembantu Polindes Poskesdes Posyandu Ambulance
2 2 1 7 2
Sumber: Puskesmas Kuala Tadu, 2015
Tabel 4.3. Sumber Daya Manusia di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu
No Jenis Tenaga Jumlah Keterangan
1 2
3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17
18 19 20 21
Dokter Umum PNS Dokter Umumk PTT
Dokter Gigi Perawat PNS Perawat Kontrak Perawat Sukarela Bidan PNS Bidan PTT Bidan Kontrak Bidan Sukarela
Gizi Farmasi Laboratorium Kesling Penyuluh Kesmas Penyuluh Kesmas Sukarela Petugas Administrasi
Petugas Komputer Sopir Cleaning Service Petugas Keamanan
- 1 Orang
- 3 Orang 5 Orang 6 Orang 2 Orang 6 Orang 6 Orang 9 Orang
1 Orang - -
1 Orang 2 Orang 2 Orang 2 Orang
1 Orang 1 Orang 3 Orang 1 Orang
Tidak Ada Kontrak Daerah
Tidak Ada
Kontrak Terbatas
Kontrak Terbatas
Kontrak Terbatas Tidak Ada Tidak Ada
Kontrak Terbatas Kontrak Terbatas
Kontrak Terbatas
Kontrak Terbatas Kontrak Terbatas Kontrak Terbatas
Jumlah 51 Orang
Sumber: Puskesmas Kuala Tadu, 2015
42
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Analisis Univariat
Sebelum dilakukannya analisis bivariat untuk melihat hubungan antara
variabel maka terlebih dahulu dibuat analisis univariat dengan tabel distribusi.
1. Umur
Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel umur dapat dilihat
pada tabel 4.4 berikut dibawah ini:
Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Umur responden di
Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya
Kabupaten Nagan Raya
NO Umur Frekuensi % 1 20-30 Tahun 55 76,4 2 31-40 Tahun 17 23,6
Total 72 100 Sumber: data primer 2016
Dari tabel 4.4 dapat di ketahui bahwa responden yang berumur 20-30
tahun sebanyak 55 orang (76,4%), sedangkan responden yang berumur 31-40
tahun sebanyak 17 orang (23,6%).
2. Pendidikan
Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel pendidikan dapat
dilihat pada tabel 4.5 berikut dibawah ini:
Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pendidikan responden
di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya
Kabupaten Nagan Raya
NO Pendidikan Frekuensi %
1 SD/MIN 6 8,3 2 SMP/MTsN 19 26,4 1 SMA/MAN 31 43,1 2 Perguruan Tinggi 16 22,2 Total 72 100 Sumber: data primer 2016
Dari tabel 4.5 dapat di ketahui bahwa responden yang berpendidikan
tertinggi adalah responden berpendidikan terendah adalah SD/MIN sebanyak 6
43
orang (8,3%), selanjutnya responden berpendidikan terendah adalah SMP/MTsN
sebanyak 19 orang (26,4%), kemudian responden berpendidikan terendah adalah
SMA/MAN sebanyak 31 orang (43,1%), sedangkan responden berpendidikan
terendah adalah Perguruan Tinggi sebanyak 16 orang (22,2%).
3. Pendapatan
Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel pendapatan dapat
dilihat pada tabel 4.6 berikut dibawah ini:
Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pendapatan responden
di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya
Kabupaten Nagan Raya NO Pendapatan Frekuensi %
1 < UMP 50 69,4 2 > UMP 22 30,6 Total 72 100 Sumber: data primer 2016
Dari tabel 4.6 dapat di ketahui bahwa responden yang pendapatannya <
UMP sebanyak 50 orang (69,4%), sedangkan responden pendapatannya > UMP
sebanyak 22 orang (30,6%). Pasal 7 Pergub Aceh Nomor 60 Tahun 2015
disebutkan upah minimum sebesar Rp 2.118.500.
4. Umur Balita
Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel umur balita dapat
dilihat pada tabel 4.7 berikut dibawah ini:
Tabel 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Umur Balita
responden di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu Kecamatan
Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya NO Umur Balita Frekuensi %
1 12-24 bulan 8 11,1 2 25-36 bulan 22 30,6 1 37-40 bulan 31 43,1 2 47-60 bulan 11 15,3 Total 72 100 Sumber: data primer 2016
44
Dari tabel 4.7 dapat di ketahui bahwa responden yang tertinggi adalah
yang memiliki balita umur 12-24 bulan sebanyak 8 orang (11,1%), responden
yang memiliki balita umur 25-36 bulan sebanyak 22 orang (30,6%), responden
yang memiliki balita umur 37-40 bulan sebanyak 31 orang (43,1%), sedangkan
responden yang memiliki balita umur 47-60 bulan sebanyak 11 orang (15,3%),
5. Pengetahuan
Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel pengetahuan
dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut dibawah ini:
Tabel 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pengetahuan dengan
Gizi Kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu
Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya
NO Pengetahuan Frekuensi %
1 Baik 49 68,1 2 Kurang Baik 23 31,9 Total 72 100 Sumber: data primer 2016
Dari tabel 4.8 dapat di ketahui bahwa responden yang memiliki
pengetahuan baik sebanyak 49 orang (68,1%), sedangkan responden yang
memiliki pengetahuan kurang baik sebanyak 23 orang (31,9%).
6. Sikap
Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel sikap dapat dilihat
pada tabel 4.9 berikut dibawah ini:
Tabel 4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Sikap dengan Gizi
Kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu Kecamatan
Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya
NO Sikap Frekuensi %
1 Baik 43 59,7 2 Kurang Baik 29 40,3
Total 72 100 Sumber: data primer 2016
45
Dari tabel 4.9 dapat di ketahui bahwa responden yang memiliki sikap
baik sebanyak 43 orang (59,7%), sedangkan responden yang memiliki sikap
kurang baik sebanyak 29 orang (40,3%).
7. Pelayanan Kesehatan
Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel perlayanan
kesehatan dapat dilihat pada tabel 4.10 berikut dibawah ini:
Tabel 4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pelayanan Kesehatan
dengan Gizi Kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu
Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya
NO Pelayanan Kesehatan Frekuensi %
1 Ada 46 63,9 2 Tidak Ada 26 36,1 Total 72 100 Sumber: data primer 2016
Dari tabel 4.10 dapat di ketahui bahwa responden yang memiliki
pelayanan kesehatan ada sebanyak 46 orang (63,9%), sedangkan responden yang
memiliki pelayanan kesehatan tidak ada sebanyak 26 orang (36,1%).
8. Sosial Budaya
Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel sosial buaya dapat
dilihat pada tabel 4.11 berikut dibawah ini:
Tabel 4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Sosial Budaya dengan
Gizi Kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu
Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya
NO Sosial Budaya Frekuensi %
1 Baik 43 59,7 2 Kurang Baik 29 40,3
Total 72 100 Sumber: data primer 2016
Dari tabel 4.11 dapat di ketahui bahwa responden yang memiliki sosial
budaya baik sebanyak 43 orang (59,7%), sedangkan responden yang memiliki
sosial budaya kurang baik sebanyak 29 orang (40,3%).
46
9. Gizi Kurang
Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel gizi kurang dapat
dilihat pada tabel 4.12 berikut dibawah ini:
Tabel 4.12 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Gizi Kurang di
Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya
Kabupaten Nagan Raya
NO Gizi Kurang Frekuensi %
1 Gizi Kurang 9 12,5 2 Gizi Baik 63 87,5 Total 72 100 Sumber: data primer 2016
Dari tabel 4.12 dapat di ketahui bahwa responden yang memiliki
pengetahuan baik sebanyak 9 orang (12,5%), sedangkan responden yang
memiliki pengetahuan kurang baik sebanyak 63 orang (87,5%).
4.2.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan variabel independen
dengan dependen. Pengujian ini menggunakan uji chi-square. Dimana ada
hubungan yang bermakna secara statistik jika diperoleh nilai pvalue < 0,05.
a. Hubungan Faktor Pengetahuan dengan Gizi Kurang pada Balita
Tabel 4.13. Faktor Pengetahuan yang berhubungan dengan Gizi Kurang
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu Kecamatan
Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya Pengetahuan Gizi Kurang Total
Gizi Kurang Gizi Baik p
f % f % f % OR
Baik 2 4,1 47 95,9 49 100 0,004 10,2
Kurang Baik 7 30,7 16 69,6 23 100
Jumlah 9 12,5 63 87,5 72 100
Sumber : data primer 2016
Dari tabel 4.13 diketahui bahwa dari 49 responden yang memiliki
pengetahuan baik sebanyak 2 orang (4,1%) yang balitanya ada mengalami gizi
kurang dan sebanyak 47 orang (95,9%) yang balitanya mengalami gizi baik,
47
sedangkan dari 23 responden yang memiliki pengetahuan kurang baik sebanyak 7
orang (30,4%) yang balitanya ada mengalami gizi kurang dan sebanyak 16 orang
(69,6%) yang balitanya mengalami gizi baik.
Dari hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,004 dan ini lebih kecil
dari α = 0,05 (Pvalue = 0,004 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat hubungan
yang signifikan antara faktor pengetahuan dengan gizi kurang di wilayah kerja
Puskemas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya.
Dari hasil OR 10,2 dapat disimpulkan bahwa responden yang memiliki
pengetahuan baik berpeluang 10,2 kali untuk balitanya tidak mengalami gizi
kurang dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan kurang baik
di Puskemas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya.
b. Hubungan Faktor Sikap dengan Gizi Kurang pada Balita
Tabel 4.14. Faktor Sikap yang berhubungan dengan Gizi Kurang pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya
Kabupaten Nagan Raya Sikap Gizi Kurang Total
Gizi Kurang Gizi Baik p
f % f % f % OR
Baik 2 4,7 41 95,3 43 100 0,025 6,5
Kurang Baik 7 24,1 22 75,9 29 100
Jumlah 9 12,5 63 87,5 72 100
Sumber : data primer 2016
Dari tabel 4.14 diketahui bahwa dari 43 responden yang memiliki sikap
baik sebanyak 2 orang (4,7%) yang balitanya mengalami gizi kurang dan
sebanyak 41 orang (95,3%) yang balitanya mengalami gizi baik, sedangkan dari
29 responden yang memiliki sikap kurang baik sebanyak 7 orang (24,1%) yang
balitanya ada mengalami gizi kurang dan sebanyak 22 orang (75,9%) yang
balitanya mengalami gizi baik.
48
Dari hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,025 dan ini lebih kecil
dari α = 0,05 (Pvalue = 0,025 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat hubungan
yang signifikan antara faktor sikap dengan gizi kurang di wilayah kerja Puskemas
Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya.
Dari hasil OR 6,5 dapat disimpulkan bahwa responden yang memiliki
sikap baik berpeluang 6,5 kali untuk balitanya tidak mengalami gizi kurang
dibandingkan dengan responden yang memiliki sikap kurang baik di Puskemas
Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya.
c. Hubungan Faktor Pelayanan Kesehatan dengan Gizi Kurang pada Balita
Tabel 4.15. Faktor Pelayanan Kesehatan yang berhubungan dengan Gizi
Kurang pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu
Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya Pelayanan Gizi Kurang Total
Kesehatan Gizi Kurang Gizi Baik p
f % f % f % OR
Ada 2 4,3 44 95,7 46 100 0,009 8,1
Tiak Ada 7 26,9 19 73,1 26 100
Jumlah 9 12,5 63 87,5 72 100
Sumber : data primer 2016
Dari tabel 4.15 diketahui bahwa dari 46 responden yang memiliki
pelayanan kesehatan ada sebanyak 2 orang (4,3%) yang balitanya ada mengalami
gizi kurang dan sebanyak 44 orang (95,7%) yang balitanya mengalami gizi baik,
sedangkan dari 26 responden yang memiliki pengetahuan kurang baik sebanyak 7
orang (26,9%) yang balitanya ada mengalami gizi kurang dan sebanyak 19 orang
(73,1%) yang balitanya mengalami gizi baik.
Dari hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,009 dan ini lebih kecil
dari α = 0,05 (Pvalue = 0,009 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat hubungan
49
yang signifikan antara faktor pelayanan kesehatan dengan gizi kurang di wilayah
kerja Puskemas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya.
Dari hasil OR 8,1 dapat disimpulkan bahwa responden yang memiliki
pelaayanan kesehatan ada berpeluang 8,1 kali untuk balitanya tidak mengalami
gizi kurang dibandingkan dengan responden yang memiliki pelayanan keehatan
tidak ada di Puskemas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan
Raya.
d. Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan Gizi Kurang pada Balita
Tabel 4.16. Faktor Sosial Budaya yang berhubungan dengan Gizi Kurang
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Tadu Kecamatan
Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya Sosil Budaya Gizi Kurang Total
Gizi Kurang Gizi Baik p
f % f % f % OR
Baik 2 4,7 41 95,3 43 100 0,025 6,5
Kurang Baik 7 24,1 22 75,9 29 100
Jumlah 9 12,5 63 87,5 72 100
Sumber : data primer 2016
Dari tabel 4.16 diketahui bahwa dari 43 responden yang memiliki sosial
budaya baik sebanyak 2 orang (4,7%) yang balitanya ada mengalami gizi kurang
dan sebanyak 41 orang (95,3%) yang balitanya mengalami gizi baik, sedangkan
dari 29 responden yang memiliki sosial budaya kurang baik sebanyak 7 orang
(24,1%) yang balitanya ada mengalami gizi kurang dan sebanyak 22 orang
(75,9%) yang balitanya mengalami gizi baik.
Dari hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,025 dan ini lebih kecil
dari α = 0,05 (Pvalue = 0,025 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat hubungan
yang signifikan antara faktor sosial budaya dengan gizi kurang di wilayah kerja
Puskemas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya.
50
Dari hasil OR 6,5 dapat disimpulkan bahwa responden yang memiliki
sosial budaya baik berpeluang 6,5 kali untuk balitanya tidak mengalami gizi
kurang dibandingkan dengan responden yang memiliki sosial budaya kurang baik
di Puskemas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya.
4.3 Pembahasan
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui faktor Resiko yang
Berhubugan dengan Gizi Kurang pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala
Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya. Variabel yang diteliti dalam
penelitian ini adalah variabel independen yaitu variabel pengetahuan, sikap,
pelayanan kesehatan dan sosial budaya dengan variabel dependen yaitu gizi
kurang pada balita.
4.3.1 Hubungan Faktor Pengetahuan dengan Gizi Kurang pada Balita
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapatnya hubungan
yang signifikan antara faktor pengetahuan dengan gizi kurang di wilayah kerja
Puskemas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya. Dari hasil
uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,004 dan ini lebih kecil dari α = 0,05 (Pvalue =
0,004 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat hubungan yang signifikan antara
faktor pengetahuan dengan gizi kurang di wilayah kerja Puskemas Kuala Tadu
Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya.
Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan peneliti menemukan bahwa
responden yang memiliki pengetahuan baik lebih sedikit anaknya yang gizi
kurang karena mereka mengetahui tentang gizi kurang dan memberikan anak
mereka makanan bergizi dan sang anak pun mau memakannya.
51
Selanjutnya responden yang memiliki pengetahuan kurang baik lebih
banyak anaknya mengalami gizi kurang karena mereka tidak mengetahui
penyebab dari gizi kurang bagaimana cara mencegahnya selain itu anaknya lebih
suka makan makanan siap saji yang tidak bergizi.
Menurut Fitriani (2011) pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Pernginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh
melalui mata dan telinga.
Hasil penelitian di atas di dukung oleh hasil penelitian Lastanto (2014)
dimana didapat hasil uji Chi Square didapatkan p=0,021 sehingga disimpulkan
ada hubungan yang signifikan antara faktor pengetahuan dengan balita gizi kurang
di wilayah kerja Puskemas Cebongan.
4.3.2 Hubungan Faktor Sikap dengan Gizi Kurang pada Balita
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapatnya hubungan
yang signifikan antara faktor sikap dengan gizi kurang di wilayah kerja Puskemas
Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya. Dari hasil uji chi
square didapat nilai Pvalue = 0,025 dan ini lebih kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,025 <
α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat hubungan yang signifikan antara faktor
sikap dengan gizi kurang di wilayah kerja Puskemas Kuala Tadu Kecamatan Tadu
Raya Kabupaten Nagan Raya.
Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan peneliti menemukan bahwa
responden yang memiliki sikap baik lebih sedikit anaknya yang mengalami gizi
kurang karena mereka memberikan makanan bergizi dan anak mereka pun mau
52
memakannya. Selanjutnya responden yang memiliki sikap kurang baik lebih
banyak anaknya mengalami gizi kurang karena mereka membiarkan anak mereka
untuk makan makanan yang disukai anak mereka seperti makanan siap saji yang
tidak bergizi.
Menurut Fitriani (2011) Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum
merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi
tindakan suatu perilaku.
Hasil penelitian di atas di dukung oleh penelitian Yuni (2013) dimana
didapat hasil uji Chi Square didapatkan p=0,000 sehingga disimpulkan adanya
hubungan antara sikap orangtua dengan kejadian gizi kurang pada balita di Desa
Kabuna Kabupaten Belu Nusa Tengara Timur.
4.3.3 Hubungan Faktor Pelayanan Kesehatan dengan Gizi Kurang pada
Balita
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapatnya hubungan
yang signifikan antara faktor pelayanan kesehatan dengan gizi kurang di wilayah
kerja Puskemas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya. Dari
hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,009 dan ini lebih kecil dari α = 0,05
(Pvalue = 0,009 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat hubungan yang signifikan
antara faktor pelayanan kesehatan dengan gizi kurang di wilayah kerja Puskemas
Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya.
Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan peneliti menemukan bahwa
responden yang memiliki pelayanan kesehatan ada lebih sedikit karena mereka
selalu membawa anak mereka ke posyandu secara rutin untu memeriksakan status
53
gizi anak mereka, sehingga anak mereka tidak mengalami gizi kurang.
Selanjutnya responden yang memiliki pelayanan kesehatan tidak ada lebih banyak
mengalami gizi buruk pada balitanya karena mereka jarang membawa anaknya ke
posyandu untuk memeriksakan kesehatan anak dan status gizi anak.
Pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa
pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasaan rata-rata serta
penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi (Notoatmodjo,
2012)
Hasil penelitian di atas di dukung oleh hasil penelitian Zulfita (2013)
dimana didapat hasil adanya hubungan pelayanan kesehatan yaitu ibu tidak aktif
menggunakan fasilitas posyandu dengan kejadian gizi kurang pada balita di
Wilayah kerja Puskesmas Air Dingin Kota PadangTahun 2013.
4.3.3 Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan Gizi Kurang pada Balita
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapatnya hubungan
yang signifikan antara faktor sosial budaya dengan gizi kurang di wilayah kerja
Puskemas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya. Dari hasil
uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,025 dan ini lebih kecil dari α = 0,05 (Pvalue =
0,025 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat hubungan yang signifikan antara
faktor sosial budaya dengan gizi kurang di wilayah kerja Puskemas Kuala Tadu
Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya.
Berdasarkan pengamatan peneliti dilapangan peneliti menemukan bahwa
responden yang status sosial baik lebih sedikit balitanya mengalami gizi kurang
karena responden tersebut menjalankan tradisi keluarga untuk selalu mengurus
bayinya sendiri, dengan memeberikan ASI secara langsung dan membuat sendiri
54
makanan yang akan dimakan oleh anaknya. Selanjutnya responden yang status
sosial budaya tidak baik lebih banyak balitanya mengalami gizi kurang karena
responden tersebut hanya memberikan bayi makanan yang siap saji.
Segala sesuatu yag berkaitan dengan tata nilai yang ada pada masyakat,
yang mana di dalamnya terdapat pernyataan mengenai poin intelektual dan juga
nilai artistik yang dapat di jadikan sebagai ciri khas yang ada pada masyarakat itu
sendiri (Notoadmodjo, 2003)
Hasil penelitian Yudi (2008) menemukan Adanya hubungan antara sosial
budaya dengan gizi kurang pada balita di Kecamatan Medan Area Kota Medan
Tahun 2007.
55
55
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Adanya hubungan yang signifikan antara faktor pengetahuan dengan gizi
kurang di wilayah kerja Puskemas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya
Kabupaten Nagan Raya (Pvalue = 0,004 < α = 0,05).
2. Adanya hubungan yang signifikan antara faktor sikap dengan gizi kurang
di wilayah kerja Puskemas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya Kabupaten
Nagan Raya (Pvalue = 0,025 < α = 0,05).
3. Adanya hubungan yang signifikan antara faktor pelayanan kesehatan
dengan gizi kurang di wilayah kerja Puskemas Kuala Tadu Kecamatan
Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya (Pvalue = 0,009 < α = 0,05).
4. Adanya hubungan yang signifikan antara faktor sosial budaya dengan gizi
kurang di wilayah kerja Puskemas Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya
Kabupaten Nagan Raya (Pvalue = 0,025 < α = 0,05).
5.2 Saran
1. Kepada pihak puskesmas agar dapat memberikan penyuluhan kepada
masyarakat khususnya ibu-ibu yang memiliki balita tentang penyebab
gizi kurang, dan bagaimana cara pencegahan kejadian gizi kurang. Serta
para kader untuk dapat ikut serta berpartisipasi dalam mengajak para ibu
yang memiliki balita untuk membawa anaknya ke posyandu.
56
2. Bagi pihak Dinas Kesehatan Nagan Raya agar dapat memberikan
penyuluhan dan informasi kepada masyarakat luas tentang gizi dan
bagaimana cara menjaga anak agar tidak terkena gizi kurang.
3. Kepada masyarakat agar lebih aktif untuk selalu datang ke puskesmas
atau posyandu untuk memeriksakan kesehatan anak mereka agar agar
dapat terhindar dari kejadian gizi kurang.
57
DAFTAR PUSTAKA
Agus Krisno,. 2009. Gizi Masyarakat. Jakarta, UI.
Almatsier 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC
Almatsier 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC
Almatsier 2009, ”Prinsip Dasar Ilmu Gizi”, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta
Azwar, S. 2007. Sikap Manusia. Teori dan pengukurannya. Edisi ke-2. Yogyakarta:
Bomar, P.J. (2004). Promoting Health in Families: Applying Family Research and
Theory to Nursing Practice. Philadelphia: W.B. Sounders Company.
Departemen kesehatan RI 2005, Penilaian Status Gizi, Jakarta: Departemen
Kesehatan RI
Dinkes Nagan Raya. 2014. Data Status Gizi di Kabupaten Naga Raya. Naga Raya
Fitriani, S., 2011. Promosi Kesehatan. Graha Ilmu : Jakarta.
Hadi. 2005. Beban Ganda Masalah Gizi Dan Implikasinya Terhadap Kebijakan
Pembangunan Kesehatan Nasional. Makalah Disajikan dalam Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada FK UGM. Yogyakarta.
Hariza Adnani 2011, Gizi dan Kesehatan, Edisi Revisi Jakarta: EGC
Harsiki. 2002. Hubungan Pola Asuh dan Faktor Lain dengan Keadaan Gizi Anak
Balita Keluarga Miski di Pedesaan dan Perkotaan Propinsi Sumatera
BaratTahun 2003. Tesis. Fakultas Kesehata Masyarakat. Universitas
Indonesia. Depok.
Huriah, T. 2006. Hubungan Perilaku Ibu dalam Memenuhi Kebutuhan Gizi dengan
Status Gizi Batita di Kecamatan Beji Kota Depok. Tesis Program Pasca
Sarjana Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.http://digilib.ui.ac.id/
Kemenkes RI. 2012. Profil Kesehata Indonesia Tahun 2011. Jakarta
Kemenkes RI. 2013. Profil Kesehata Indonesia Tahun 2012. Jakarta
Kemenkes RI. 2015. Profil Kesehata Indonesia Tahun 2014. Jakarta
Lastanto. 2014. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Kejadian. Balita Gizi Kurang
Di Wilayah di puskesmas cebongan. Stikes Kusuma Husada. Surakarta.
Lestari, Sri. 2012. Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik
dalam Keluarga. Jakarta: Prenada Media Group
58
Notoadmodjo, S. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Rineka. Cipta. Jakarta.
Notoadmodjo, S. 2005. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-prinsip Dasar. Rineka
Cipta. Jakarta.
Notoadmodjo, S., 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. 1st ed. Jakarta: Rineka
Cipta.
Notoatmodjo, S. 2012. Promosi kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka
cipta
Puskesmas Kuala Tadu. 2015. Data Kasus Gizi Kurang di Wilayah Kerja Puskesmas
Kuala Tadu. Kuala Tadu.
Santoso 2004, Sugeng dan Rianti, Kesehatan Dan Gizi, Jakarta: Rineka Cipta
Sediaoetama 2000. ”Ilmu Gizi”, Jakarta: Dian Rakyat
Soegeng dan Anne. 2009. Kesehatan dan Gizi. Jakarta : PT. Asdi.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta: Direktorat Jenderal.
Stundkard. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar. Swadaya
Sudjana.2005. Metode Statistika Edisi ke-6. Bandung : Tarsito.
Supariasa. 2012. Pendidikan Dan Konsultasi Gizi. Jakarta : EGC
Widodo. 2008. Wong . 2004 . Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik . EGC .
Jakarta .
Yuni. 2013. Faktor yang berhubungan dengan status gizi balita di Desa Pemenang
Timur, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara
Barat Yogyakarta. UGM. Skripsi
Yudi. 2008. Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24
Bulan Di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007. Universitas
Sumatera Utara. Medan.
Zulfita. 2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Gizi Kurang Pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Air Dingin Kota Padang Tahun 2013. STIKES
Marcubakti Jaya. Padang.
59
RIWAYAT HIDUP
A. Data Pribadi
Nama : INTAN ZUHRA
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : Kuala Tadu/ 17 Agustus 1993
Agama : Islam
Anak Ke : 1
Alamat Rumah : Gampong Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya
Kabupaten Nagan Raya
Orang, Tua/Wali
Ayah : Abdul Rani Hamid
Ibu : Khatijah (Almarhumah)
Pekerjaan Orang Tua
Ayah : Tani
Alamat : Gampong Kuala Tadu Kecamatan Tadu Raya
Kabupaten Nagan Raya
B. Pendidikan Formal
1999-2005 : SD Negeri Blang Muling
2005-2008 : SMP Negeri 5 Kuala
2008-2011 : SMA Negeri 4 Kuala
2011-2016 : Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Peminatan
Epidemiologi Universitas Teuku Umar Meulaboh
1-Unlicensed-BAB I gizi intan (Salinan berkonflik queen-PC 2016-08-03)-Unlicensed-BAB II gizi intan (Salinan berkonflik queen-PC 2016-08-03)BAB III3.1 Jenis Penelitian3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian3.3 Populasi dan Sampel3.3.1 Populasi3.3.2 Sampel3.4 Tehnik Pengumpulan Data3.7 Pengolahan Data3.8 Metode Analisa Data
BAB IIIBAB III-Unlicensed-DAFTAR PUSTAKA (Salinan berkonflik queen-PC 2016-08-03)