Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS HISTOPATOLOGI HATI TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERIKAN OBAT
ANTITUBERKULOSIS FIXED DOSE COMBINATION SECARA SUBKRONIS
HISTOPATHOLOGY ANALYSIS OF RAT (Rattus norvegicus) LIVER WITH SUBCHRONIC
ADMINISTRATION OF ANTITUBERCULOSIS DRUG FIXED DOSE COMBINATION
IRENE SONYA RUPANG
N111 14 501
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2018
ii
ANALISIS HISTOPATOLOGI HATI TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERIKAN OBAT ANTITUBERKULOSIS FIXED DOSE
COMBINATION SECARA SUBKRONIS
HISTOPATHOLOGY ANALYSIS OF RAT (Rattus norvegicus) LIVER WITH SUBCHRONIC ADMINISTRATION OF ANTITUBERCULOSIS DRUG
FIXED DOSE COMBINATION
SKRIPSI
untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi
syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana
IRENE SONYA RUPANG
N111 14 501
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2018
iii
iv
v
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat, karunia serta bimbinganNya-lah
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai salah
satu syarat dalam memperoleh gelar kesarjanaan pada Program Studi
Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
Pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, terima
kasih kepada :
1. Kepada Bapak Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Hasanuddin.
2. Ibu Yulia Yusrini Djabir, MBM.Sc., M.Si., Ph.D., Apt. dan Ibu Prof. Dr. Elly
Wahyudin, DEA., Apt. selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkan
waktu, tenaga, dan ilmunya dalam memberikan pengarahan kepada
penulis mulai dari awal rencana penulisan skripsi sampai selesai.
3. Ibu Yulia Yusrini Djabir, MBM.Sc., M.Si., Ph.D., Apt. yang juga selaku
pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu, tenaga dan ilmunya
sejak penulis menjejakkan kaki di Fakultas Farmasi.
4. Bapak/ibu dosen Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin, terimakasih
atas ilmu, tenaga dan setiap nasehat serta pengalaman yang telah
diberikan selama penulis menjalani perkuliahan ini, serta seluruh staf
Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin yang telah membantu penulis.
vii
Demikian pula penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh
staf fakultas farmasi atas segala fasilitas yang diberikan selama penulis
menempuh studi hingga menyelesaikan penelitian ini.
Terkhusus lagi kepada teman-teman penulis kepada saudara(i)
penulis Angelina E.F Kounang, Michelle, Marzel Lebang, Heriyanti yang
telah memberikan semangat, dukungan, doa, moril, dan dorongan kepada
penulis dalam penyusunan skripsi, serta teruntuk kepada saudara Melis
Irianto Toyang yang juga selalu senantiasa memberikan doa, motivasi dan
dukungan dalam penyusunan skripsi, dan kepada teman-teman
Hios14min (Farmasi Unhas angkatan 2014) yang memberikan rasa
kebersamaan dan kekeluargaan dari awal perkuliahan hingga selesainya
skripsi ini.
Terima kasih yang terkhusus dan teristimewa kepada kedua orang tua
tercinta, Jantje Rupang dan Soro’ Bato’Sau’ serta adik terkasih Gilbert
Valentino Rupang yang selalu menjadi tempat sandaran, dan menjadi
motivator terbesar dalam hidup penulis. Kepada pihak yang tidak sempat
disebut namanya. Semoga Tuhan senantiasa memberikan Berkat-Nya
kepada kita. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan. Aamiin
Makassar, April 2018
Irene Sonya Rupang
viii
ABSTRAK
IRENE SONYA RUPANG. Analisis Histopatologi Hati Tikus Putih (Rattus norvegicus) Yang Diberikan Obat Antituberkulosis Fixed Dose Combination Secara Subkronis (dibimbing oleh Yulia Yusrini Djabir dan Elly Wahyudin).
Salah satu efek samping Obat Antituberkulosis (OAT) adalah hepatotoksisitas, efeknya akan lebih berbahaya jika menggunakan dosis dalam bentuk Fixed dose combination (OAT-FDC). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar prevalensi efek pemberian OAT-FDC dosis terapi secara subkronik (30 hari) terhadap perubahan histopatologi hati tikus putih. Sebanyak 15 ekor tikus dibagi menjadi 3 kelompok: kelompok I (n=3) sebagai kontrol sehat, kelompok II (n=6) diberi perlakuan suspensi Natrium CMC 1%, dan kelompok III (n=6) diberi perlakuan Suspensi OAT-FDC 8,9%, diberi perlakuan selama 30 hari. Pada hari ke-30 hati tikus diambil kemudian dibuat menjadi preparat histopatologi dan diamati di bawah mikroskop cahaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang signifikan (P= < 0,05) antara tikus kontrol sehat dengan tikus yang diberi NaCMC, begitu juga antara tikus kontrol sehat dengan tikus yang diberi OAT-FDC. Hal ini menunjukkan terjadi perubahan yang signifikan pada tikus yang diberi NaCMC maupun OAT-FDC dibandingkan kontrol sehat yang tidak diberi perlakuan apapun. Kelompok OAT-FDC mengalami perubahan histologi yang lebih besar daripada kelompok yang diberi NaCMC, terutama pada parameter degenerasi lemak dan kongesti (P<0,05).
Kata Kunci: Histopatologi Hati, Obat Antituberkulosis Fixed Dose Combination (OAT-FDC) , Tuberkulosis.
ix
ABSTRACT
IRENE SONYA RUPANG. Histopathology Analysis of Rat (Rattus norvegicus) Liver With Subchronic Administration of Antituberculosis Drug Fixed Dose Combination (supervised by Yulia Yusrini Djabir and Elly Wahyudin).
One of the side effects of Antituberculous drug (AT) is hepatotoxicity, the effect is more dangerous when using doses in the form of fixed dose combination (AT-FDC). The aim of this research is to know the prevalence of subchronic AT-FDC dose therapy (30 days) causing histopathological changes in rat liver. A total of 15 rats were divided into 3 groups: group I (n=3) as a healthy control, group II (n=6) were treated with a 1% sodium CMC suspension, and group III (n=6) were treated with AT-FDC 8,9% suspension for 30 days. On the 30th day, the livers of the rats were taken then made into a histopathological preparation and observed under a light microscope. The results showed that there was a significant difference (P= < 0,05)between healthy control and rats given NaCMC, as well as between healthy control and rats given AT-FDC. This suggests a significant change in rats given NaCMC or AT-FDC compared to healthy control that were not given any treatment. The AT-FDC group experienced greater histologic changes than the group given NaCMC, particulary in fat and degeneration and congestion parameter (P<0,05).
Keywords: Antituberculosis drug Fixed Dose Combination (AT-FDC), Histopathology of the Liver, Tuberculosis.
x
DAFTAR ISI
Halaman
UCAPAN TERIMA KASIH vi
ABSTRAK viii
ABSTRACT ix
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xv
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN xvi
BAB I PENDAHULUAN 1
I.1 Latar Belakang 1
I.2 Rumusan Masalah 3
I.3 Tujuan Penelitian 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
II.1 Tuberkulosis 4
II.1.1 Pengertian 4
II.1.2 Regimen PengobatanTuberkulosis 4
II.1.2.1 Isoniazid 5
II.1.2.2 Rifampisin 6
II.1.2.3 Pirazinamid 8
II.1.2.4 Etambutol 9
II.2 Hati 10
II.2.1 Anatomi Hati 10
II.2.2 Fungsi Hati 11
II.2.2.1 Detoksifikasi 11
xi
II.2.2.2 Metabolisme 11
II.2.2.3 Penyimpanan 12
II.2.2.4 Produksi Panas 12
II.2.2.5 Penyimpanan Darah 12
II.2.2.6 Fungsi Glikogenik 12
II.2.2.7 Sekresi Empedu 13
II.2.2.8 Pembentukkan Ureum 13
II.2.2.9 Kerja atas lemak 13
II.2.3 Hepatotoksisitas Hati 14
II.3 Histopatologi Hati 14
BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN 18
III.1 Penyiapan Alat dan Bahan 18
III.2 Tempat Penelitian 18
III.3 Metode Kerja 19
III.3.1 Penyiapan Hewan Coba 19
III.3.2 Penyiapan Sediaan Uji dan Dosis Pemerian 19
III.3.2.1 Pembuatan Suspensi Natrium CMC 1% 19
III.3.2.2 Perhitungan Dosis OAT-FDC 19
III.3.2.3 Perhitungan Pemberian OAT Pada Tikus 20
III.3.2.4 Pembuatan Suspensi OAT-FDC 8,9% 21
III.4 Prosedur Percobaan 21
III.4.1 Penanganan Spesimen 21
III.4.2 Pembuatan Preparat Histopatologi Hati Tikus 22
III.4.2.1 Fiksasi 22
III.4.2.2 Pemotongan Spesimen 22
III.4.2.3 Prossesing dan Embedding 22
III.4.2.4 Pemotongan Blok 23
xii
III.4.2.5 Pewarnaan 24
III.4.3 Pengamatan Preparat Histopatologi Hati Tikus 24
III.4.4 Analisis Statistik 25
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 26
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 35
V.1 Kesimpulan 35
V.2. Saran 35
DAFTAR PUSTAKA 36
LAMPIRAN 39
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Perhitungan pemberian OAT pada tikus 20
2. Pengaturan waktu pada tahap Prossesing dan Embedding 23
3. Tahap pewarnaan Mayer’s Hematoksilin-eosin 24
4. Perolehan skor pada masing-masing tingkat kerusakan parameter 32
5. Hasil uji Kruskal-Wallis Test (Kelompok I,II&III) 41
6. Hasil uji Mann-Whitney Test (Kelompok I&II) 42
7. Hasil uji Mann-WhitneyTest (Kelompok I&III) 43
8. Hasil uji Mann-Whitney pada (Kelompok II&III) 44
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Struktur isoniazid 5
2. Struktur Rifampisin 7
3. Struktur Pirazinamid 8
4. Struktur Etambutol 9
5. Anatomi hati 10
6. Lobulus hati 16
7. Hasil histopatologi hati tikus kontrol sehat 28
8. Hasil histopatologi hati tikus diberi NaCMC 1% 29
9. Hasil histopatologi hati tikus diberi OAT-FDC 8,9% 31
10. Kondisi tikus di dalam kandang 45
11. Penimbangan Tikus 45
12. Proses pemberian Tikus 45
13. Tissue processor 46
14. Floating bath 46
15. Mikrotom 47
16. Preparat histopatologi 47
17. Proses pewarnaan 47
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Skema kerja Umum 39
2. Skema kerja Pembuatan Histopatologi 40
3. Data statistik 41
4. Dokumentasi Penelitian 45
5. Surat Rekomendasi Persetujuan Etik 48
xvi
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
ADTH = Antituberculosis drug-induced hepatotoxicity
FDC = Fixed Dose Combination
HE = Hematoksilin eosin
INH = Isoniazid
OAT = Obat Antituberkuloisis
PAS = Para Amino Acid
TB = Tuberkulosis
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) adalah salah satu penyakit infeksi yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis dan juga merupakan penyakit yang menjadi
salah satu masalah kesehatan terbesar di dunia (Bayupurnama, 2006;
Kementerian Kesehatan RI, 2005). Berdasarkan laporan World Health
Organization (WHO), pada tahun 2014, TB membunuh 1,5 juta orang (1,1
juta orang HIV-negatif dan 0,4 juta HIV-positif) dan Indonesia berada pada
peringkat 5 dunia penderita TB terbanyak setelah India, Cina, Afrika Selatan
dan Nigeria (Kemenkes RI, 2011; World Health Organization, 2015).
Regimen pengobatan TB menggunakan obat Anti TB yang didasarkan
atas tiga mekanisme, yaitu membunuh bakteri, sterilisasi, dan mencegah
resistensi. Obat standar yang direkomendasikan WHO adalah Isoniazid,
Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid yang direkomendasikan untuk digunakan
dalam bentuk obat antituberkulosis fixed dose combination (OAT-FDC)
(Kemenkes RI, 2011). Penggunaan kombinasi isoniazid, rifampisin,
pirazinamid dan etambutol untuk TB dianggap aman pada tahun 1950-an,
tetapi pada awal 1970-an sudah mulai terdapat beberapa penelitian yang
menyatakan bahwa Isoniazid mampu menginduksi terjadinya
hepatotoksisitas (Wahyudi dan Soedarsono, 2015).
2
Penelitian klinik menunjukkan bahwa penggunaan OAT pada pasien
TB berpotensi mengakibatkan drug induced liver injury dengan istilah
Antituberculosis drug-induced hepatotoxicity (ADTH) yang ditandai dengan
peningkatan SGOT dan SGPT pasien (Agustin dkk, 2013). Diantara obat
utama OAT rifampisin dianggap memiliki efek hepatotoksik yang paling
rendah bila dibandingkan dengan isoniazid dan pirazinamid (Prihatni dkk,
2005). Kerusakan sel hati bervariasi dari yang ringan asimptomatik sampai
menimbulkan gejala serius akibat nekrosis sel hati (Kemenkes RI, 2008).
Namun resiko hepatotoksisitas semakin besar jika isoniazid dikombinasi
dengan rifampisin dibandingkan dengan penggunaan isoniazid saja. Hal ini
disebabkan karena rifampisin mempunyai efek menginduksi enzim sitokrom
P-450, sehingga bila dikombinasi dengan isoniazid, maka pembentukkan
metabolit reaktif isoniazid akan bertambah sehingga menyebabkan sifat
hepatotoksik isoniazid bertambah berat (Sunarni dkk, 2013).
Oleh karena itu, permasalahan yang timbul adalah apakah
penggunaan OAT-FDC dosis terapi dalam jangka yang cukup lama dapat
menimbulkan perubahan histopatologi pada struktur jaringan hati. Tidak
seperti peningkatan SGOT dan SGPT yang bersifat akut, perubahan histologi
pada hati biasanya terjadi apabila tubuh/organ sudah cukup lama mengalami
disfungsi, sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terdeteksi.
3
I.2 Rumusan Masalah
Apakah pemberian OAT-FDC dosis terapi secara subkronik (30 hari)
dapat memberikan efek terhadap perubahan histopatologi hati tikus (Rattus
novergicus) ?
I.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian OAT-FDC
dosis terapi secara subkronik (30 hari) terhadap perubahan histopatologi hati
tikus. Penelitian ini dapat bermanfaat untuk memberikan informasi resiko dari
efek samping penggunaan OAT-FDC dosis terapi dalam jangka waktu yang
lama pada sel hati tikus yang mungkin memiliki kemiripan dengan
penggunaan OAT-FDC secara klinik.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tuberkulosis
II.1.1 Pengertian
Tuberkulosis merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberkulosis, yang sebagian besar (80%) menyerang
paru-paru dan sebagian kecil organ tubuh lain. Mycobacterium tuberkulosis
juga termasuk basil gram positif, berbentuk batang, dinding selnya
mengandung komplek lipida-glikolipida serta lilin(wax) yang sulit ditembus
zat kimia. Dalam jaringan tubuh, bakteri dapat dormant (tertidur sampai
beberapa tahun). TB timbul berdasarkan kemampuannya untuk
memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit (Kemenkes RI, 2006).
Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui
Puskesmas. Obat antituberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan
standar INH, PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Para
Amino Acid (PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai
digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin dan
Etambutol selama 6 bulan (Kemenkes RI, 2006).
II.1.2 Regimen PengobatanTuberkulosis
Penggunaan Obat Antituberkulosis yang dipakai dalam pengobatan
TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri
5
aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai
adalah Isoniazid(H), Etambutol(E), Rifampisin(R), Pirazinamid(Z). Tahap
intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian
diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali
dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini diberikan untuk: ¾ penderita baru
TB Paru BTA Positif. ¾ Penderita baru TB Paru BTA negatif röntgen positif
yang “sakit berat” ¾ Penderita TB Ekstra Paru berat (Kemenkes RI, 2005;
Sweetman, 2009).
II.1.2.1 Isoniazida
Obat ini diindikasikan untuk terapi semua bentuk tuberkulosis aktif,
disebabkan bakteri yang peka dan untuk profilaksis orang berisiko tinggi
mendapatkan infeksi.
Gambar 1. Struktur isoniazid (Sweetman, 2009)
Untuk pencegahan, dosis obat yang dikonsumsi dewasa 300 mg 1 kali
sehari, anak anak 10 mg/BB sampai 300 mg1 kali sehari, berbeda dengan
kombinasi biasa dipakai 300 mg 1 kali sehari, atau 15 mg/kgBB sampai
dengan 900 mg, kadang-kadang 2 kali atau 3 kali seminggu. Untuk anak
dengan dosis 10 – 20 mg/kgBB atau 20 – 40 mg/kgBB sampai 900 mg, 2
6
atau 3 kali seminggu. Dapat digunakan tunggal atau bersama-sama dengan
antituberkulosis lain. Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi
bakteri dalam beberapa hari pertama pengobatan. Efektif terhadap bakteri
dalam keadaan metabolik aktif, yaitu bakteri yang sedang berkembang.
Mekanisme kerja berdasarkan terganggunya sintesa mycolic acid, yang
diperlukan untuk membangun dinding bakteri. Bioavailabilitas obat ini, tingkat
penyerapan isoniazid dikurangi dengan makanan. Isoniazid tidak dianggap
terikat secara pasti pada protein plasma dan didistribusikan ke semua
jaringan tubuh dan cairan. Efek samping pada hati, kelainan transien pada
fungsi hati sering terjadi pada tahap awal terapi antituberkulosis dengan
isoniazid dan obat antituberkulosis lini pertama lainnya, isoniazid dan
pirazinamid diperkirakan memiliki potensi yang lebih besar untuk toksisitas
hepatotoksisitas dibandingkan rifampisin (Kemenkes RI, 2005; Sweetman,
2009).
II.1.2.2 Rifampisin
Diindikasikan untuk obat antituberkulosis yang dikombinasikan
dengan antituberkulosis lain untuk terapi awal maupun ulang. Untuk dewasa
dan anak yang beranjak dewasa 600 mg 1 kali sehari, atau 600 mg 2 – 3 kali
seminggu, biasanya diberikan 7,5 – 15 mg/kg BB.
7
Gambar 2. Struktur Rifampisin(Sweetman, 2009)
Anjuran ikatan dokter anak indonesia adalah 75 mg untuk anak < 10 kg, 150
mg untuk 10 – 20 kg, dan 300 mg untuk 20 – 33 kg. Rifampisin bersifat
bakterisid, dapat membunuh bakteri semi-dormant yang tidak dapat dibunuh
oleh isoniazid. Mekanisme kerja, berdasarkan perintangan spesifik dari suatu
enzim bakteri ribose nukleotida acid (RNA)-polimerase sehingga sintesis
RNA terganggu. Bioavailabilitas obat ini, sekitar 80% terikat pada protein
plasma dan makanan bisa mengurangi dan menunda penyerapan, cepat
dimetabolisme di hati terutama dan diekskresikan di empedu. Rifampisin
telah dilaporkan berkisar mulai dari 2 sampai 5 jam, waktu eliminasi
terpanjang terjadi setelah dosis terbesar, dimana Waktu paruh
berkepanjangan pada pasien dengan gangguan hati parah. Efek samping
pada hati yaitu kelainan transien pada fungsi hati umum terjadi pada tahap
awal terapi antituberkulosis (obat lainnya) dengan rifampisin, rifampisin
diperkirakan memiliki potensi hepatotoksisitas lebih rendah daripada
isoniazid atau pirazinamid (Kemenkes RI, 2005; Sweetman, 2009).
8
II.1.2.3 Pirazinamid
Digunakan untuk terapi tuberkulosis dalam kombinasi dengan
antituberkulosis lain. Bersifat bakterisid, dapat membunuh bakteri yang
berada dalam sel dengan suasana asam.
Gambar 3. Struktur Pirazinamid (Sweetman, 2009)
Mekanisme kerja, berdasarkan pengubahannya menjadi asam
pyrazinamidase yang berasal dari basil tuberkulosa. Dewasa dan anak
sebanyak 15 – 30 mg/kgBB, 1 kali sehari. Atau 50 – 70 mg/kgBB 2 – 3 kali
seminggu. Obat ini dipakai bersamaan dengan obat antituberkulosis lainnya.
Bioavailabilitas obat ini, mudah diserap dari saluran cerna, juga
dimetabolisme terutama di hati dengan cara hidrolisis menjadi asam
pirazinoat aktif utama dan diekskresikan melalui ginjal terutama dengan
filtrasi glomerulus. Efek samping yaitu hepatotoksisitas merupakan efek
buruk yang paling serius dari terapi pirazinamid. Namun, dalam dosis yang
dianjurkan saat ini, bila diberikan dengan isoniazid dan rifampisin, kejadian
hepatitis telah dilaporkan kurang dari 3% (Kemenkes RI, 2005; Sweetman,
2009).
9
II.1.2.4 Etambutol
Etambutol digunakan sebagai terapi kombinasi tuberkulosis dengan
obat lain, sesuai regimen pengobatan jika diduga ada resistensi. Jika risiko
resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan.
Gambar 4. Struktur Etambutol(Sweetman, 2009)
Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak usia kurang 6 tahun, neuritis optik,
gangguan visual. Bersifat bakteriostatik, dengan menekan pertumbuhan
bakteri TB yang telah resisten terhadap Isoniazid dan streptomisin.
Mekanisme kerja, berdasarkan penghambatan sintesa RNA pada bakteri
yang sedang membelah, juga menghindarkan terbentuknya mycolic acid
pada dinding sel. Dosis Untuk dewasa dan anak berumur di atas 13 tahun,
15 – 25 mg/kgBB, satu kali sehari. Untuk pengobatan awal diberikan 15
mg/kgBB, dan pengobatan lanjutan 25 mg/kgBB. Bioavailabiltas obat ini,
sekitar 80% dosis etambutol oral diserap dari saluran cerna, penyerapan
tidak terganggu secara signifikan oleh makanan. Etambutol sebagian
dimetabolisme di hati. Efek samping pada hati,yaitu kelainan transien pada
fungsi hati biasanya terjadi pada tahap awal pengobatan antituberkulosis,
10
etambutol telah menghasilkan lebih sedikit laporan hepatotoksisitas
(Kemenkes RI, 2005; Sweetman, 2009).
II.2 Hati
II.2.1 Anatomi Hati
Hati adalah kelenjar terbesar di dalam tubuh dan juga merupakan organ
viseral terbesar dan terletak pada bagian teratas dalam rongga abdomen di
sebalah kanan di bawah diafragma dan dilindungi oleh kerangka iga.
Beratnya 1.500 g (3 lbs), dimana pada kondisi hidup hati berwarna merah tua
karena kaya akan persediaan darah. Hati menerima darah teroksigenasi dari
arteri hepatika (memiliki kejenuhan 95-100% oksigen) dan darah yang tidak
teroksigenasi tetapi kaya akan nutrient dari vena porta hepatika (memiliki
kejenuhan 70% oksigen) (Sloane, 2004; Pearce, 2010).
Gambar 5. Anatomi Hati (Paulsen and Waschke, 2011)
11
Hati terbagi atas dua belahan utama, yaitu kanan dan kiri. Lobus
kanan hati lebih besar dari lobus kirinya. Permukaan atas berbentuk
cembung dan terletak di bawah diafragma, kemudian permukaan bawah
tidak rata danada lekukan, fisura transversus. Dimana permukaan dilintasi
berbagai pembuluh darah yang keluar-masuk hati. Fisura longitudinal
memisahkan belahan kanan dan kiri di permukaan bawah. Selanjutnya, hati
dibagi menjadi empat belahan (kanan, kiri, kaudata, dan kuadrata) dan setiap
lobus terdiri atas lobulus berbentuk polyhedral (segi banyak) (Pearce, 2010).
II.2.2 Fungsi Hati
Hati merupakan organ metabolisme terbesar dan terpenting di tubuh
manusia (Pearce, 2010). Hati juga merupakan pabrik kimia dalam hal
“perantara metabolisme” artinya hati mengubah zat makanan yang
diabsorpsi dari usus dan yang disimpan disuatu tempat di dalam jaringan.
Berikut fungsi utama hati, antara lain (Sloane, 2004; Pearce, 2010) :
II.2.2.1 Detoksifikasi
Hati melakukan inaktivasi hormon dan detoksifikasi toksin juga obat.
Hati juga memfagosit eritrosit dan zat aktif yang terdistintegrasi dalam darah.
II.2.2.2 Metabolisme
Hati memetabolisme protein, lemak, dan karbohidrat tercerna.
12
II.2.2.3 Penyimpanan
Hati menyimpan mineral, seperti zat besi, dan tembaga, serta vitamin
larut lemak (A,D,E dan K), hati juga menyimpan toksin tertentu (pestisida)
serta obat yang tidak dapat diuraikan dan diekskresikan.
II.2.2.4 Produksi panas
Berbagai aktivitas kimia dalam hati menjadikan hati sebagai sumber
utama panas tubuh, terutama saat tidur.
II.2.2.5 Penyimpanan darah
Hati merupakan reservoir untuk sekitar 30% curah jantung dan
bersama dengan limpa, mengatur volume dara yang diperlukan tubuh.
II.2.2.6 Fungsi glikogenik
Sel hati dirangsang kerja suatu enzim, maka sel hati menghasilkan
glikogen (yaitu zat tepung hewani) dari konsentrasi glukosa yang diambil dari
makanan hidrat karbon. Zat ini disimpan sementara oleh sel hati dan diubah
kembali menjadi glukosa oleh kerja enzim bila diperlukan jaringan tubuh.
Karena fungsi ini, hati membantu supaya kadar gula yang normal dalam
darah, yaitu 80 – 100mg glukosa setiap 100 mL darah dapat dipertahankan.
Akan tetapi, fungsi ini dikendalikan sekresi dari pankreas, yaitu insulin. Hati
juga dapat mengubah asam amino menjadi glukosa.
13
II.2.2.7 Sekresi Empedu
Hati memproduksi empedu yang berperan dalam emulsifikasi dan
absorpsi lemak juga mengubah zat buangan dan bahan racun agar mudah
untuk ekskresi ke dalam empedu dan urin. Beberapa unsur susunan
empedu, misalnya garam empedu, dibuat dalam hati: unsur lain misalnya
pigmen empedu, dibentuk di dalam sistem retikulo-endotelium dan dialirkan
ke dalam empedu oleh hati.
II.2.2.8 Pembentukan ureum
Hati menerima asam amino yang diabsorpsi oleh darah. Di dalam
hati terjadi deaminasi oleh sel yang berarti bahwa nitrogen dipisahkan dari
bagian asam amino dan ammonia diubah menjadi ureum. Ureum dapat
dikeluarkan dari darah oleh ginjal dan diekskresikan ke dalam urin.
II.2.2.9 Kerja atas lemak
Hati menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir menjadi hasil
akhir asam karbonat dan air. Garam empedu yang dihasilkan hati adalah
penting untuk pencernaan dan absorpsi lemak. Kekurangan garam empedu
mengurangi absorpsi lemak dan karena itu dapat berjalan tanpa perubahan
masuk feses seperti yang terjadi pada beberapa gangguan pencernaan pada
anak-anak kecil, pada penyakit seliak, sariawan tropik, dan gangguan
tertentu pada pankreas.
14
II.2.3 Hepatotoksisitas Hati
Hepatotoksisitas merupakan istilah yang biasa digunakan untuk
menggambarkan kerusakan hati imbas dari penggunaan antituberkulosis
(OAT). Seacra umum telah diketahui banyak faktor yang dapat
mempengaruhi terjadi hepatotoksisitas imbas dari obat, antara lain: usia,
jenis kelamin, genetik, alkoholisme, infeksi hepatitis B maupun C, infeksi HIV,
nilai SGPT dan bilirubin tidak normal, status gizi, serta pemakaian beberapa
obat hepatotoksisitas secara bersamaan (Luthariana dkk, 2017).
Saat ini, paduan OAT yang dianjurkan (International Union Againts
Tuberculosis) yang sering digunakan mengandung isoniazid, rifampisin, dan
pirazinamid, yang dimana ketiga obat ini memiliki sifat hepaotoksisitas
(Pawlowski dkk, 2012). Gangguan fungsi hati yang disebabkan izoniasid
sebesar 0,2 – 5% berupa hepatitis, hal ini dapat meningkat jika izoniasid
dikombinasi dan dikonsumsi secara bersamaan dengan rifampisin (Nolan
dkk, 1999). Sementara itu, Pirazinamid memiliki efek toksik pada hati terjadi
sebanyak 15%, apabila dosis yang diberikan 40 – 50 mg/kgBB/hari (Burman
dan Reves, 2001).
II.3 Histopatologi Hati
Histopatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang histologi dan
hubungannya dengan penyakit, yang dimana istilah histologi berasal dari
bahasa yunani “histos” artiya jaringan dan “logos” artinya ilmu. Histologi
adalah studi tentang jaringan tubuh dan bagaimana jaringan ini diatur untuk
membentuk organ tubuh dengan melibatkan semua aspek biologi jaringan,
15
dengan mempelajari jaringan penyusun tubuh, kimia jaringan dan sel
dipelajari dengan metode analitik mikroskopik dan kimia. Zat-zat kimia di
dalam jaringan dan sel dapat dikenali dengan reaksi kimia yang
menghasilkan senyawa berwarna tak dapat larut, diamati dengan mikroskop
cahaya atau penghamburan elektron oleh presipitat yang dapat diamati
menggunakan mikroskop elektron (Harjana, 2011; Mescher, 2016).
Jaringan adalah kumpulan dari sel-sel sejenis atau berlainan jenis
termasuk matrik antar selnya yang mendukung fungsi organ atau sistem
tertentu. Meskipun sangat komplek tubuh mamalia hanya tersusun oleh 4
jenis jaringan yaitu jaringan: epitel, penyambung/pengikat, otot dan saraf
(Harjana, 2011).
Umumnya jaringan tak berwarna sehingga sulit untuk memeriksa
jaringan yang tidak diwarnai di bawah mikroskop. Oleh karena itu telah
dilakukan metode-metode pewarnaan jaringan yangmemungkinkan dapat
diidentifikasi komponen-komponennya. Pewamaan hematoksilin dan eosin
atau biasa disebut H&E adalah jenis pewarnaan rutin yang paling umum
dipakai dalam proses pembuatan preparat histopatologi (Munthia, 2001).
Hati merupakan organ besar di kuadran kanan atas perut, tepat di bawah
diafragma, tersusun dari ribuan struktur poligonal yang disebut lobulus hati,
yaitu unit fungsional dasar organ. Berikut gambar secara mikroskop lobulus
hati.
16
Gambar 6. Lobulus hati (Mescher, 2016) Mikrograf lobulus menunjukkan vena sentral (C), pelat hepatosit (H), dan di daerah
portal yang berdekatan limfatik kecil (L) dan komponen dari portal triad: venule portal (PV), hepar hepatik (HA), dan duktus empedu (B). (X220; H&E)
Prosedur yang paling umum digunakan dalam penelitian histologis
adalah penyiapan irisan jaringan atau "bagian" yang bisa diperiksa secara
visual dengan cahaya yang ditransmisikan. Kebanyakan jaringan dan organ
terlalu tebal untuk dilewati cahaya, tembus pandang tipis, maka bagian
dipotong dan ditempatkan pada slide kaca untuk pemeriksaan mikroskopis
struktur internal. Persiapan mikroskopis yang ideal diawetkan sehingga
jaringan pada slide memiliki fitur struktural yang sama dengan yang dimilik
itubuh. Namun, ini sering tidak layak karena persiapan prosesnya bisa
menghilangkan lipid seluler, dengan sedikit distorsi dari struktur sel
(Mescher, 2016).
Secara umum dari sebagian besar jaringan secara histologis
dipersiapkan dengan urutan langkah yaitu, potongan kecil jaringan
ditempatkan dalam larutan bahan kimia yang bekerja dengan
menghubungkan protein dan menonaktifkan degradatif enzim, yang menjaga
17
struktur sel dan jaringan (fiksasi), lalu larutan alkohol, dalam konsentrasi
100% yang menghilangkan semua air (dehidrasi), selanjutnya alkohol
dikeluarkan dalam pelarut organik yang dimana baik alkohol maupun parafin
tercampur (clearing), kemudian jaringan kemudian ditempatkan pada parafin
meleleh sampai menjadi benar-benar menyatu dengan zat ini (infiltrasi), dan
setelah itu jaringan parafin yang sudah menyatu ditempatkan dalam ukuran
kecil, cetakan dengan parafin meleleh dan dibiarkan mengeras (embedding),
serta tahapan yang terakhir yaitu, blok parafin yang dihasilkan
dipangkas/potong pada mikrotom (trimming) (Mescher, 2001).
Pengamatan menggunakan mikroskop cahaya, didasarkan pada
sistem optik yang memiliki tiga set lensa antara lain, Kondensor berfungsi
mengumpulkan dan memfokuskan kerucut cahaya yang menyala di atas
jaringan, lensa obyektif berfungsi memperbesar dan memproyeksikan
gambar objek yang diterangi ke arah lensa mata. Biasa digunakan
perbesaran yang berbeda secara rutin dalam histologi meliputi 4X untuk
mengamati area yang luas (lapang pandang), pada perbesaran rendah10X
untuk mengamati bidang yang lebih kecil, dan 40X untuk mengamati bidang
daerah yang rinci dan oculars yang berfungsi memperbesar gambar yang
lain10X dan memproyeksikannya ke hasil, dengan pembesaran totaldari
40X, 100X atau 400X (Mescher, 2001).
18
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1 Penyiapan Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, embedding cassete,
embedding center (Sakura®), floating bath (Barnstead®), gelas beaker
(Pyrex®), gelas ukur (Pyrex®), gunting, homogenizer (WireStir®), jarum
pentul, kamera (Nikon®), kanula, spoit, tissue processor (Thermo Scientific®),
mikroskop cahaya (Olympus®), mikrotom (Sakura®), papan bedah, object
glass dan timbangan digital (Ohauss®).
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, aquadest,
OAT (Rifastar® FDC4), Buffer Neutral Formaline (BNF) 10%, eter, Natrium
Carboxymethyle Celullose (Natrium CMC), paraffin, hematoxylin eosin (HE),
serbuk gelatin, toluen, xylol, etanol 70% dan reagensia alkohol 100% v/v
(campuran etanol absolut 95% v/v, metanol 5% v/v dan isopropanol 5% v/v).
III.2 Tempat Penelitian
Pemeliharaan tikus putih jantan (Rattus norvegicus) dilakukan di
Laboratorium Biofarmasi Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Pembuatan
preparat histopatologi dilakukan di Balai Besar Veteriner Maros, dan
pembacaan histopatologi dilakukan di Klinik Hewan Pendidikan Universitas
Hasanuddin.
19
III.3 Metode Kerja
III.3.1 Penyiapan Hewan Coba
Hewan coba yang digunakan yaitu tikus putih (Rattus norvegicus).
Tikus jantan putih sebanyak 15 ekor (bobot badan 100 – 200 g) ditempatkan
dalam kandang hewan dengan pemberian makanan dan air secukupnya.
Sebelum memulai percobaan, hewan dibiarkan menyesuaikan diri
(beradaptasi) di kandang hewan laboratorium biofarmasi selama ± 2 minggu.
III.3.2 Penyiapan Sediaan Uji dan Dosis Pemberian
III.3.2.1 Pembuatan Suspensi Natrium CMC 1%
Sebanyak 1 g Natrium CMC didispersikan dengan menambahkan
aquades yang telah dipanaskan pada suhu 70ºC hingga diperoleh volume
100 mL sambil diaduk dengan menggunakan homogenizer hingga terbentuk
mucilago.
III.3.2.2 Perhitungan Dosis OAT
OAT (Obat Anti Tuberkolosis) yang digunakan adalah sediaan
(Rifastar® 4FDC) tablet FDC dengan komposisi sebagai berikut:
Rifampisin 150 mg
Isoniazid 75 mg
Pirazinamid 400 mg
Etambutol 275 mg
Penggunaan OAT FDC pada manusia adalah 4 tablet/60 kg bobot
badan. Penentuan bobot rata-rata tablet yaitu :
20
Maka bobot tablet yang digunakan pada manusia adalah :
1.080 mg x 4 = 4.320 mg 4.320 mg/60 kg = 72 mg tablet/kgBB
III.3.2.3 Perhitungan Pemberian OAT Pada Tikus
Tabel 1. Konversi Ekuivalen Dosis Manusia ke Dosis Hewan Berdasarkan Luas Permukaan Tubuh
Spesies Bobot Badan
(kg)
Rentang Berat
Badan(kg)
Luas Permukaan Tubuh (m2)
Faktor Km
Faktor Konversi
Manusia Dewasa
60 – 1,6 37 1,00
Anak 20 – 0,8 25 1,48
Babon 12 7 – 13 0,6 20 1,85
Anjing 10 5 – 17 0,6 20 1,85
Monyet 3 1,4 – 4,9 0,24 12 3,08
Kelinci 1,8 0,9 – 3,0 0,15 12 3,08
Marmut 0,4 0,208 – 0,700 0,05 8 4,63
Tikus 0,15 0,080 – 0,270 0,025 6 6,17
Hamster 0,08 0,047 – 0,157 0,02 5 7,40
Mencit 0,02 0,011 – 0,034 0,007 3 12,33
Sumber : Shin JW, Seol IC, Son CG. 2010. Interpretation of Animal Dose and Human Equivalent Dose for Drug Development. The Journal of Korean Oriental Medicine. 31(3):1-7
Konversi dosis manusia ke tikus :
Dosis manusia (mg/kg) x Faktor konversi
Dimana, Km ratio dari manusia ke tikus adalah 6,17 (lihat tabel 1), sehingga
berdasarkan konversi dosisnya, bobot tablet yang ditimbang:
72 mg/kg x 6,17 = 444,24 mg/kg
Untuk tikus dengan bobot 200 g, maka bobot tablet yang diberikan adalah:
Bobot rata − rata =21600 mg
20
Bobot rata − rata =bobot 20 tablet
jumlah tablet
Bobot rata − rata = 1080 mg
444,24 mg/kg x 0,2 kg = 89 𝑚𝑔 𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡
21
III.3.2.4 Pembuatan Suspensi OAT (8,9 %)
Tablet dihaluskan dalam lumpang dan ditimbang sebanyak 8,9 g,
kemudian disuspensikan dengan Natrium CMC hingga 100 mL. Pemberian
suspensi OAT 1 mL/200 gBB per hari yang mengandung 89 mg OAT.
Volume suspensi pemberian, sebagai berikut :
III.4 Prosedur Percobaan
Sebanyak 15 tikus jantan dibagi menjadi 3 kelompok masing-masing
kelompok terdiri:
1) Kelompok 1 (n=3), sebagai kontrol sehat
2) Kelompok 2 (n=6), diberikan suspensi NaCMC 1%
3) Kelompok 3 (n=6), diberikan suspensi OAT FDC 8,9%
Pemberian perlakuan terhadap hewan coba dilakukan secara berturut-
turut selama 30 hari. Pada hari ke-30 dilakukan pengambilan organ hati
tikus.
III.4.1 Penanganan Spesimen
Spesimen untuk pemeriksaan histopatologi dimasukkan dalam pot
sampel yang berisi larutan BNF 10% dan disimpan terlebih dahulu minimal
48 jam sebelum dilakukan pemotongan untuk dilanjutkan ke pengujian
histopatologi (Wahyuni dkk, 2012).
𝑉 = x gBB
200 gBB 𝑋 1 𝑚𝐿
22
III.4.2 Pembuatan Preparat Histopatologi Hati Tikus (Wahyuni dkk, 2012)
III.4.2.1 Fiksasi
Sampel jaringan difiksasi dengan BNF, dengan volume minimal 10
kali volume jaringan. Waktu yang diperlukan untuk fiksasi sempurna adalah
48 jam.
III.4.2.2 Pemotongan Spesimen
Spesimen dipotong dengan ketebalan 0,5 – 1 cm. Sisa spesimen
disimpan dalam botol bertutup rapat yang berisi BNF.
III.4.2.3 Prossesing dan Embedding
Spesimen hasil pemotongan dimasukkan ke dalam embedding
cassete kemudian diproses pada tissue processor dengan pengaturan waktu
(lihat tabel 2). Pada tahap ini menggunakan pelarut alkohol 100% yang terdiri
dari beberapa campuran pelarut, yaitu : etanol absolut 90%, metanol 5%,
dan isopropanol 5 %.
Embedding cassette dikeluarkan dari tissue processor kemudian
dimasukkan ke dalam wadah yang telah tersedia pada alat embedding
center. Spesimen dikeluarkan dari keranjang kemudian diletakkan di atas
cetakkan lalu diisi dengan paraffin. Setelah paraffin mengeras,dipisahkan
blok dari cetakan dan siap untuk dilakukan pemotongan dengan
menggunakan pisau mikrotom.
23
Tabel 2. Pengaturan waktu pada tahap Prossesing dan Embedding
No Proses Reagensia Waktu (jam)
1 Fiksasi Buffer formalin 10% 2
2 Fiksasi Buffer formalin 10% 2
3 Dehidrasi Alkohol 70% 1
4 Dehidrasi Alkohol 90% 1
5 Dehidrasi Alkohol 100% 1
6 Dehidrasi Alkohol 100% 2
7 Dehidrasi Alkohol 100% 2
8 Clearing Toluen 1
9 Clearing Toluen 1,5
10 Clearing Toluen 1,5
11 Impregnasi Paraffin 2
12 Impregnasi Paraffin 3 Total waktu 20 jam
Sumber : Wahyuni, Enggar, Kumorowati, Pitriani, Suardi, Sukri, Yunus M. 2012. Buku Panduan Kerja Laboratorium Patologi. Balai Besar Veteriner Maros. Edisi 2. Hal 1-21.
III.4.2.4 Pemotongan Blok
Blok jaringan diletakkan pada mikrotom kemudian dipotong
menggunakan pisau mikrotom dengan ketebalan 4 – 5 µm. Hasil potongan
kemudian direntangkan pada floating out yang bersuhu sekitar 400C. Hasil
pemotongan diambil menggunakan object glass kemudian ditempatkan
diatas pelat pemanas minimal 2 jam.
24
III.4.2.5 Pewarnaan
Tahapan pewarnaan beserta lama pengerjaan, sebagai berikut :
Tabel 3. Tahap Pewarnaan Mayers Hematoxylin Eosin
Sumber : Wahyuni, Enggar, Kumorowati, Pitriani, Suardi, Sukri, Yunus M. 2012. Buku Panduan Kerja Laboratorium Patologi. Balai Besar Veteriner Maros. Edisi 2. Hal 1-21.
Setelan pewarnaan, dilakukan coverslipping. Diteteskan 1 – 2 tetes
“entellan” pada tiap coverslip, balik kemudian tutup pada slide preparat yang
telah terwarnai. Preparat yang telah tertutup didiamkan sampai mengering
sempurna.
III.4.3 Pengamatan Preparat Histopalogi Hati Tikus
Parameter kerusakan hati yang diamati meliputi : degenerasi sel yang
terdiri dari generasi hidropik, degenerasi lemak, nekrosis, dan kongesti akan
diberi skor 1 hingga 5 berdasarkan persentase kerusakannya.
No Reagensia Waktu
1. Xylol I 2 menit
2. Xylol II 2 menit
3. Alkohol 100% I 1 menit
4. Alkohol 100% II 1 menit
5. Alkohol 95% I 1 menit
6. Alkohol 95% II 1 menit
7. Mayer’s Haematoxylin 15 menit
8. Rendam dalam Tap Water 20 menit
9. Masukkan dalam Eosin 15 detik-2 menit
10. Alkohol 95 % III 2 menit
11. Alkohol 95 % IV 2 menit
12. Alkohol 100% III 2 menit
13. Alkohol 100% IV 2 menit
14. Akohol 100%V 2 menit
15. Xylol III 2 menit
16. Xylol IV 2 menit
17. Xylol V 2 menit
25
1 = bila tidak terlihat kerusakan pada lapang pandang perbesaran 100X dan
400X
2 = bila persentase kerusakan terlihat pada <10% pada lapang pandang
perbesaran 100X dan 400X
3 = bila persentase kerusakan terlihat antara 10 – 30% pada lapang pandang
perbesaran 100X dan 400X
4 = bila persentase kerusakan terlihat antara 30 – 50% pada lapang pandang
perbesaran 100X dan 400X
5 = bila persentase kerusakan terlihat pada >50% pada lapang pandang
perbesaran 100X dan 400X.
III.4.4 Analisis Statistik
Analisis statistik menggunakan SPSS 20. Data yang digunakan bersifat
kategorial berdasarkan skor, sehingga uji statistik yang digunakan adalah uji
Kruskall-wallis yang dilanjutkan dengan uji Mann Whitney untuk menentukan
perbedaan signifikan. Hasil yang diperoleh dinyatakan signifikan apabila nilai
P<0,05.
26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tuberkulosis (TB) adalah salah satu penyakit infeksi yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis. Obat yang standar direkomendasikan oleh
WHO adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid dalam bentuk
obat antituberkulosis fixed dose combination (OAT-FDC).
Berdasarkan dari beberapa penelitian, salah satunya yang dilakukan,
mengenai efek samping dari OAT-FDC, yaitu efek resiko hepatotoksisitas
yang semakin besar jika isoniazid dikombinasi dengan rifampisin
dibandingkan dengan penggunaan isoniazid saja (Sunarni Tdkk, 2013). Hal
ini disebabkan karena rifampisin mempunyai efek menginduksi enzim-enzim
sitokrom P-450, sehingga bila dikombinasi dengan isoniazid, maka
pembentukkan metabolit reaktif isoniazid akan bertambah sehingga
menyebabkan sifat hepatotoksik isoniazid bertambah berat.
Analisis histopatologi bertujuan untuk melihat seberapa besar
prevalensi kerusakan hati yang terjadi akibat efek samping dari OAT-FDC.
Ada beberapa parameter kerusakan sel hati yang akan dinilai, antara lain :
degenerasi lemak, degenerasi hidrofis, nekrosis, dan kongesti. Degenerasi
lemak adalah keadaan perubahan perlemakan yang menggambarkan
adanya penimbunan secara abnormal trigliserid dalam sel parenkim.
Degenerasi hidrofis atau degenerasi vaskuolar adalah keadaan dimana
terjadi penimbunan cairan intraseluler atau dengan kata lain terjadinya
27
pembengkakan sel, terdapat vakuola-vakuola kecil sampai besar dalam
sitoplasma. Nekrosis merupakan kematian sel sebagai akibat dari adanya
kerusakan selakut atau trauma. Kematian sel tersebut terjadi secara tidak
terkontrol ditandai dengan pecahnya sel. Tahapan nekrosis meliputi:
piknosis, adalah proses kerusakan pada inti sel yang ditandai dengan
larutnya kromosom dan proses kondensasi pada inti sel. Jika inti sel telah
mengalami piknosis, maka inti sel akan menjadi padat atau kental dan
ukurannya mengalami penyusutan, selanjutnya Karioreksis adalah proses
kerusakan sel yang ditandai dengan pecahnya inti sel dan rusaknya
kromatin. Karioreksis terjadi karena adanya kerusakan sel secara alami atau
yang disebabkan oleh serangan bakteri, dan tahapan terakhir yaitu Kariolisis
adalah proses larutnya kromatin di dalam inti sel yang terjadi secara alami
atau dikarenakan adanya kerusakan pada jaringan tubuh. Ciri-ciri dari
terjadinya kariolisis adalah inti sel akan menjadi sangat pucat dan tidak
berbentuk. Kongesti (pembendungan darah) adalah keadaan akumulasi
abnormal atau berlebihan dari cairan tubuh atau berlimpahnya darah di
dalam pembuluh darah di regio tertentu. Jika dilihat secara mikroskopik
kapiler-kapiler dalam jaringan yang hiperemi terlihat melebar dan penuh
berisi darah.
Perhitungan dosis yang digunakan dalam penelitian ini, mengacu pada
Shin dkk (2010) dengan konversi dosis manusia ke hewan berdasarkan luas
permukaan tubuh yang telah banyak digunakan dalam berbagai jurnal
penelitian. Adapun untuk mendapatakan konversi dosis manusia ke hewan
28
dilakukan dengan cara mengalikan dosis manusia dan faktor konversi (hasil
bagi antara faktor km manusia dan faktor km hewan), juga banyak digunakan
dalam perkembangan efektifitas obat tradisional.
Telah dilakukan penelitian terhadap hewan coba tikus putih (Rattus
novergicus) yang dibagi ke dalam 3 kelompok percobaan, yaitu Kontrol sehat
(Kelompok 1), NaCMC 1% (Kelompok 2), OAT-FDC 8,9% (Kelompok 3),
kemudian diberi perlakuan selama 30 hari, lalu dilakukan pembedahan yang
selanjutnya akan dianalisis histopatologi hati tikus. Berikut gambar hasil
pengamatan histopatologi hati tikus.
Gambar 7. Gambaran histopatologi hati tikus kontrol sehat. Gambaran hati terlihat normal kecuali adanya kongesti (panah hijau) pada beberapa daerah hati. Pembesaran 100X. Pewarnaan HE.
Kelompok kontrol sehat merupakan hewan coba yang langsung diambil
organ hati tanpa diberikan perlakuan. Hasil di atas menunjukkan keadaan
hati tikus yang normal, kecuali adanya kongesti yang terlihat (panah hijau)
pada perbesaran 100X.
29
Gambar 8. Gambaran histopatologi Kelompok 2 yang diberikan NaCMC 1%. Terlihat adanya degenerasi lemak (panah hijau), degenerasi hidrofis (panah biru), sel-sel yang mengalami nekrosa (panah kuning), sel-sel yang mengalami apoptosis (panah putih), dan kongesti (panah hitam). Pembesaran: A,C:100X; B,D: 400X. Pewarnaan HE.
Kelompok yang diberi NaCMC terlihat adanya parameter kerusakan
hati. Pada gambar A dan C dengan perbesaran 100X, terlihat adanya
kongesti (panah hitam) pada beberapa daerah hati, kemudian pada gambar
B dan D dengan perbesaran 400X, terlihat adanya degenerasi lemak (panah
hijau), degenerasi hidrofis (panah biru), kongesti (panah hitam) dan nekrosis
(panah kuning). Alasan mengapa terjadi perubahan struktur hati pada tikus
yang hanya diberi NaCMC belum jelas, tetapi diperkirakan kerusakan hati
tersebut ditimbulkan oleh paparan anestesi yang berupa eter, yang dilakukan
30
setiap kali pengambilan darah. Kelompok kontrol sehat tidak mendapatkan
perlakuan tersebut.
Berdasarkan hasil pengukuran biomarker SGPT pada hari ke-0 hingga
hari ke-14 terjadi peningkatan kadar sebesar 50% pada kelompok 3 yang
diberikan OAT-FDC, namun pada hari ke-28 tidak terjadi peningkatan kadar
SGPT (data belum dipublikasikan).
31
Gambar 9. Gambaran histopatologi Kelompok 3 yang diberikan OAT-FDC 8,9%. Terlihat adanya degenerasi lemak (panah hijau), degenerasi hidrofis (panah biru), sel-sel yang mengalami nekrosis (panah kuning), sel-sel yang mengalami apoptosis (panah putih), dan kongesti (panah hitam). Pembesaran: A,C:100X; B,D:400X. Pewarnaan HE.
Kelompok yang diberi OAT-FDC terlihat adanya parameter kerusakan
hati. Pada gambar A dan C dengan perbesaran 100X, terlihat adanya
kongesti (panah hitam) pada beberapa daerah hati, kemudian pada gambar
B dan D dengan perbesaran 400X, terlihat adanya degenerasi lemak (panah
hijau), degenerasi hidrofis (panah biru), kongesti (panah hitam) dan nekrosis
(panah kuning).
32
Berdasarkan gambar hasil analisis histopatologi di atas, maka
diperoleh hasil tabel tingkat kerusakan pada masing-masing parameter
(degenerasi lemak, degenerasi hidrofis, nekrosis, dan kongesti) yang
ditandai dengan pemberian skor 1 hingga 5. Berikut hasil perolehan skor
terhadap tingkat kerusakan hati tikus putih :
Tabel 4. Perolehan skor pada masing-masing tingkat parameter kerusakan
No Perlakuan Degenerasi Lemak
Degenerasi hidrofis
Nekrosis Kongesti
1 Kelompok1 (KontrolSehat)
N 1 1 1 1 2
N 2 1 1 1 2
N3 1 1 1 2
2 Kelompok 2 (NaCMC 1%)
N 1 3 3 3 3
N 2 3 3 3 3
N 3 3 4 3 3
N 4 3 4 3 3
N 5 2 2 2 3
N 6 2 3 2 3
3 Kelompok 3 (OAT-FDC 8,9%)
N 1 4 4 3 4
N 2 4 4 3 4
N 3 4 4 3 4
N 4 4 4 3 4
N 5 4 3 2 3
N 6 3 5 3 3
Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan dengan
menggunakanuji Kruskall-wallis yang dilanjutkan dengan uji Mann Whitney.
Diperoleh perubahan struktur hati antara kelompok 1 (Kontrol sehat) dengan
kelompok 2 (NaCMC 1%) berbeda pada semua parameter kerusakan yang
di observasi dengan nilai P1 = 0,013, P2 =0,016 , P3 = 0,013, P4 = 0,005
33
(P1 = Degenerasi Lemak, P2 = Degenerasi Hidrofis, P3 = Nekrosis, P4 =
Kongesti). Begitu juga dengan kelompok 1 (Kontrol sehat) dengan kelompok
3 (OAT-FDC 8,9%) didapatkan perbedaan yang sangat signifikan pada
semua parameter kerusakan hati dengan nilai P1 = 0,009, P2 =0,013 , P3 =
0,009, P4 = 0,013. Hal ini menandakan bahwa antara kelompok sehat
dengan tikus yang diberi perlakuan baik NaCMC maupun OAT-FDC selama
30 hari menyebabkan gangguan struktur hati.
Antara kelompok 2 (NaCMC 1%) dengan kelompok 3 (OAT-FDC 8,9%)
juga didapatkan perbedaan yangsangat signifikan pada parameter
degenerasi lemak dan kongestidengan nilai P1 = 0,006 dan P4 =
0,019.Sementara didapatkan perubahan yang tidak signifikan pada
parameter degenerasi hidropik dan nekrosis dengan nilai P2 =0,067dan P3 =
0,523.
Hal ini menunjukkan penggunaan OAT-FDC selama 30 hari
menggunakan dosis terapi (dikonversi dari dosis manusia) menyebabkan
perubahan histopatologi pada hati, terutama parameter degenerasi lemak
dan nekrosa, dimana 5 dari 6 tikus mengalami degenerasi lemak dan
hidropis pada kategori 4 (kerusakan 30-50% lapang pandang). Dosis terapi
tersebut diaplikasikan ke tikus menggunakan dosis konversi ke hewan yang
dihitung berdasarkan ekuivalen dosis manusia ke hewan berbasis luas
permukaan tubuh. Perhitungan dosis konversi dibutuhkan karena
metabolisme hewan mamalia yang luas permukaan tubuhnya lebih kecil jauh
34
lebih cepat daripada hewan mamalia dengan luas permukaan yang lebih
besar termasuk manusia (Nair and Jacob,2016).
Kerusakan hati yang diperoleh pada tikus yang diberi OAT-FDC terkait
dengan mekanisme OAT itu sendiri. Isoniazid bersifat bakterisid, dapat
membunuh 90% populasi bakteri dalam beberapa hari pertama pengobatan,
efektif terhadap bakteri dalam keadaan metabolik aktif, yaitu bakteri yang
sedang berkembang dengan mekanisme kerja berdasarkan terganggunya
sintesa mycolic acid, yang diperlukan untuk membangun dinding bakteri.
Rifampisin bersifat bakterisid, dapat membunuh bakteri semi-dormant yang
tidak dapat dibunuh oleh isoniazid dengan mekanisme kerja berdasarkan
perintangan spesifik dari suatu enzim bakteri ribose nukleotida acid (RNA)-
polimerase sehingga sintesis RNA terganggu. Pirazinamid bersifat bakterisid,
dapat membunuh bakteri yang berada dalam sel dengan suasana asam
dengan mekanisme kerja berdasarkan pengubahannya menjadi asam
pyrazinamidase yang berasal dari basil tuberkulosa, serta etambutol bersifat
bakteriostatik, dengan menekan pertumbuhan bakteri TB yang telah resisten
terhadap Isoniazid dan streptomisin dengan mekanisme kerja, berdasarkan
penghambatan sintesa RNA pada bakteri yang sedang membelah, juga
menghindarkan terbentuknya mycolic acid pada dinding sel.
35
35
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian di atas, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Terdapat perubahan histopatologi yang berbeda signifikan pada semua
parameter antara tikus kelompok 1 (kontrol sehat) dengan kelompok 2
(NaCMC 1%), dan kelompok 3 (OAT-FDC 8,9%) selama 30 hari.
2. Perubahan histopatologi yang terjadi pada tikus kelompok 2 (NaCMC 1%)
dengan kelompok 3 (OAT-FDC 8,9%), yaitu pada parameter degenerasi
lemak dan kongesti yang berbeda nyata dengan kelompok 2 yang hanya
diberikan cairan pembawa, sedangkan untuk parameter degenerasi
hidrofis dan nekrosis didapatkan hasil yang tidak berbeda nyata.
V.2 Saran
Sebaiknya lebih lama waktu pemberian terhadap hewan coba untuk
mengetahui seberapa besar prevalensi kerusakan yang diakibatkan oleh
Obat Antituberkulosis (OAT).
36
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, T.Y., Kamso, S., Basri, C., dan Asik, S. 2007. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Cetakan pertama. Kemenkes RI. Available as PDF File E-Book.
Aditama, T.Y., Subuh, M., Mustikawati, D.E., Asik, S Basri, C., dan Kamso, S. 2007. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Cetakan pertama. Kemenkes RI. Available as PDF File E-Book.
Agustin, R.A., Ikawati, Z., dan Setyati, A. 2013. Efek Kurkuma Terhadap Kadar Alanine Aminotransferase Pada Pemakaian Obat Anti Tuberkulosa Di Poliklinik Anak Rsud Arifin Achmad Propinsi Riau. Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik.3:199-206.
Bayupurnama, P. 2006. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta.
Blomberg, B., Spinaci, S., Fourie, B., and Laing, R. 2001. The rationale forrecommending fixed-dose combination tablets for treatment of tuberculosis. Bull World Health Organ. 79(1):61-68.
Burman, WJ., Reves, RR. 2001. Hepatotoxicity From Rifampin PlusPyra- zinamide: Lesson For Policymakers And Message For Care Providers. Am J Respir Crit Care Med.164(7):1112-3.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkolosis. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta. Available as PDF File E-Book.
Harjana, T. 2011. Histologi. Jurusan Biologi Fakultas MIPA: Universitas Negeri Yogyakarta.
Kementerian kesehatan RepubIik Indonesia. 2011. TBC Masalah Kesehatan Dunia. (Online). (www.bpps-dmk.depkes.go.id, diakses pada 10 oktober 2017).
Luthariana, L.,Karjadi, T., Hasan, I., dan Rumende, C. 2017. Faktor Resiko Terjadinya Hepatotoksisistas Imbas Obat Antituberkulosis Pada Pasien HIV/AIDS. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. 4(1):23-28.
Mescher, A. 2016. Junquiera’s Basic Histology Text and Atlas. 4nd Edition. McGraw-Hill Education:New York. Available as PDF.
37
Munthia, M. 2001. Teknik Pembuatan Preparat Histopatologi Dari Jaringan Hewan Dengan Pewarnaan Hematoksilin Dan Eosin (H&E). Temu Teknis Fungsional Non Peneliti 1001.
Nair, A.B., Jacob, S. 2016. A Simple Practice Guide For Dose Conversion Between Animals and Human. The journal of J Basic Clim Pharm.7(2):27-31.
Nolan, CM., Goldberg, DV., and Buskin, SE. 1999. Hepatotoxicity Associated With Isoniazid Preventive Therapy. JAMA.281(11):1014-8.
Paulsen, F., Waschke, J. 2011. Sobotta Atlas of Human Anatomy. Vol. 2 Internal Organs. Vol.2-Urban & Fischer. Page 104. Available as PDF File E-Book.
Pawlowski, A., Jansson, M., Skold, M., Rottenberg, Me., and Kallenius, G. 2012. Tuberculosis and HIV Co-infection. Plos Pathong. 8(2):e1002464.
Pearce, E. 2010. Anatomi Dan Fisiologis Untuk Paramedis. 4nd Edition. Jakarta : Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Prihatni, D., Parwati, I., Sjahid, I., dan Rita, C. 2005. Efek Hepatotoksik AntiTuberkulosis Terhadap Kadar Aspartate Aminotransferase Dan Alanine Aminotransferase Serum Penderita Tuberkulosis Paru. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. 12(1):1-5.
Shin, JW., Seol, IC., and Son, CG. 2010. Interpretation of Animal Dose and Human Equivalent Dose for Drug Development. The Journal of Korean Oriental Medicine. 31(3):1-7.
Sloane, E. 2004. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Pemula. 1ndEdition. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran.
Sunarni, T., Prastiwi, R., Mardiyono, dan Rinanto, Y. 2013. Kombinasi Ekstrak Etanol Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) dan Daun Pepaya (Carica papaya L.) sebagai Hepatoprotektif selama Pengobatan Tuberkulosis. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 11(2):160-166.
Sweetman, S.C. 2009. Martindale. The Complete Drug Reference 36th Edition. The Pharmaceutical, Press, London. Available as PDF File E-Book.
38
Wahyudi, A.D., Soedarsono. 2015. Farmakogenomik Hepatotoksisitas Obat Antituberkulosis. Jurnal respirasi. 1(3):103-108.
Wahyuni, Enggar, Kumorowati, Pitriani, Suardi, Sukri, dan Yunus M. 2012. Buku Panduan Kerja Laboratorium Patologi. Balai Besar Veteriner Maros. Edisi 2. Hal 1-21.
World Health Organization. 2015. Global Tuberculosis Report. (Online). (http://apps- who.int/medicinedocs/en/d/Js22199en/, diakses pada 17 Oktober 2017).
39
LAMPIRAN I
SKEMA KERJA
1. Skema Kerja Umum
Perlakuan selama 30 hari
Tikus Jantan Putih (n=15)
Adaptasi hewan
(2 minggu)
Kelompok 1(n=3)
Kontrol Sehat
Kelompok 2(n=6)
NaCMC 1% (p.o)
Kelompok 3(n=6) Suspensi OAT-FDC
8,9% (p.o)
Pengambilan Organ Hati
Pembuatan Preparat Histopalogi
Pengamatan Preparat Histopalogi
Analisis statistik
Kesimpulan
40
2. Skema Kerja Pembuatan Preparat Histopatologi
Fiksasi Spesimen
Pemotongan Awal Spesimen
Processing dan Embedding
Pemotongan kedua Spesimen
Spesimen difiksasi dalam larutan BNF 10%(Volume minimal 10 kali volume sampel)
Spesimen dipotong dengan ketebalan 0,5-1 cm
Dimasukkan spesimen hasil pemotongan ke dalam embedding casette
Diproses selama 20 jam pada tissue processor Dipindahkan ke embedding center kemudian diblok
menggunakan paraffin
Blok dipotong menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4-5 µm
Direntangkan di permukaan larutan gelatin pada floating bath bersuhu 40ᴼC
Diambil hasil pemotongan menggunakan object glass dan ditempatkan di atas pelat pemanas
Proses Pewarnaan
Preparat Histopatologi
Pewarnaaan dilakukan menggunakan pewarna Mayer’s Haematoxylin
Diteteskan 1-2 tetes xylen, ditutup menggunakan deck
glass
41
LAMPIRAN II
DATA STATISTIKA
Tabel 5. Hasil uji Kruskal-Wallis Test (Kelompok 1, 2, & 3)
Ranks
PARAMETER KELOMPOK
PERLAKUAN
N Mean
Rank
DEGENERASI LEMAK
Kontrolsehat 3 2,00
Nacmc 1% 6 6,83
Oat-Fdc 8,9% 6 12,17
Total 15
DEGENERASI
HIDROFIS
Kontrolsehat 3 2,00
Nacmc 1% 6 7,75
Oat-Fdc 8,9% 6 11,25
Total 15
NEKROSIS
Kontrolsehat 3 2,00
Nacmc 1% 6 9,00
Oat-Fdc 8,9% 6 10,00
Total 15
KONGESTI
Kontrolsehat 3 2,00
Nacmc 1% 6 7,50
Oat-Fdc 8,9% 6 11,50
Total 15
Test Statisticsa,b
DEGENERASI LEMAK
DEGENERASI HIDROFIS
NEKROSIS KONGESTI
Chi-Square 11,979 9,411 8,944 11,091
Df 2 2 2 2
Asymp. Sig. ,003 ,009 ,011 ,004
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: KELOMPOK PERLAKUAN
42
Tabel 6. Hasil uji Mann-Whitney Test (Kelompok I & II)
Ranks
PARAMETER KELOMPOK
PERLAKUAN
N Mean Rank Sum of Ranks
DEGENERASI LEMAK
KONTROL SEHAT 3 2,00 6,00
NACMC 1% 6 6,50 39,00
Total 9
DEGENERASI HIDROFIS
KONTROL SEHAT 3 2,00 6,00
NACMC 1% 6 6,50 39,00
Total 9
NEKROSIS
KONTROL SEHAT 3 2,00 6,00
NACMC 1% 6 6,50 39,00
Total 9
KONGESTI
KONTROL SEHAT 3 2,00 6,00
NACMC 1% 6 6,50 39,00
Total 9
Test Statisticsa
DEGENERASI
LEMAK
DEGENERASI
HIDROFIS
NEKROSIS KONGESTI
Mann-Whitney U ,000 ,000 ,000 ,000
Wilcoxon W 6,000 6,000 6,000 6,000
Z -2,484 -2,416 -2,484 -2,828
Asymp. Sig. (2-tailed) ,013 ,016 ,013 ,005
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,024b ,024b ,024b ,024b
a. Grouping Variable: KELOMPOK PERLAKUAN
b. Not corrected for ties.
43
Tabel 7. Hasil uji Mann-Whitney Test (Kelompok I & III)
Ranks
KELOMPOK PERLAKUAN
N Mean Rank Sum of Ranks
DEGENERASI LEMAK
KONTROL SEHAT 3 2,00 6,00
OAT-FDC 8,9% 6 6,50 39,00
Total 9
DEGENERASI HIDROFIS
KONTROL SEHAT 3 2,00 6,00
OAT-FDC 8,9% 6 6,50 39,00
Total 9
NEKROSIS
KONTROL SEHAT 3 2,00 6,00
OAT-FDC 8,9% 6 6,50 39,00
Total 9
KONGESTI
KONTROLSEHAT 3 2,00 6,00
OAT-FDC 8,9% 6 6,50 39,00
Total 9
Test Statisticsa
DEGENERASI LEMAK
DEGENERASI HIDROFIS
NEKROSIS KONGESTI
Mann-Whitney U ,000 ,000 ,000 ,000
Wilcoxon W 6,000 6,000 6,000 6,000
Z -2,598 -2,472 -2,598 -2,484
Asymp. Sig. (2-tailed) ,009 ,013 ,009 ,013
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,024b ,024b ,024b ,024b
a. Grouping Variable: KELOMPOK PERLAKUAN
b. Not corrected for ties.
44
Tabel 8. Hasil uji Mann-Whitney Test (Kelompok II & III)
Ranks
PARAMETER KELOMPOKPERLAKUAN N Mean Rank Sum of Ranks
DEGENERASI LEMAK
NACMC 1% 6 3,83 23,00
OAT-FDC 8,9% 6 9,17 55,00
Total 12
DEGENERASI HIDROFIS
NACMC 1% 6 4,75 28,50
OAT-FDC 8,9% 6 8,25 49,50
Total 12
NEKROSIS
NACMC 1% 6 6,00 36,00
OAT-FDC 8,9% 6 7,00 42,00
Total 12
KONGESTI
NACMC 1% 6 4,50 27,00
OAT-FDC 8,9% 6 8,50 51,00
Total 12
Test Statisticsa
DEGENERASI LEMAK
DEGENERASI HIDROFIS
NEKROSIS KONGESTI
Mann-Whitney U 2,000 7,500 15,000 6,000
Wilcoxon W 23,000 28,500 36,000 27,000
Z -2,768 -1,832 -,638 -2,345
Asymp. Sig. (2-tailed) ,006 ,067 ,523 ,019
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,009b ,093b ,699b ,065b
a. Grouping Variable: KELOMPOK PERLAKUAN
b. Not corrected for ties.
45
LAMPIRAN III
DOKUMENTASI PENELITIAN
Gambar 10. Tikus dalam kandang
Gamba 11. Pengukuran BB tikus
Gambar 12.Pemerian terhadap tikus
Gambar 13. Pembiusan tikus
menggunakan eter
46
Gambar 14. Persiapan untuk pembuatan
preparat histopatologi
Gambar 15. Proses fiksasi sampel
selama 48 jam
Gambar 16. Prossesing dan embedding sampel selama 20 jam (tissue processor)
Gambar 17. Alat floating bath/pemanas
47
Gambar 18. Alat pemotongan blok
Gambar 19. Proses mencetak blok
Gambar 20. Proses pewarnaan preparat
Gambar 21. Hasil preparat histopatologi
48
Lampiran IV
REKOMENDASI PERSETUJUAN ETIK