Upload
others
View
12
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
LPPM - UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
158
ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL PENGEMBANGAN USAHA
PENGOLAHAN PATI SAGU SEMI MEKANIS
NATELDA R. TIMISELA
Fakultas Pertanian Universitas Pattimura
ESTER D. LEATEMIA
Fakultas Pertanian Universitas Pattimura
FEBBY J. POLNAYA
Fakultas Pertanian Universitas Pattimura
RACHEL BREEMER
Fakultas Pertanian Universitas Pattimura
Diterima 20 September 2018
Direvisi 25 Oktober 2018
Abstrak - Perkembangan usaha sagu sangat tergantung pada ketersediaan pati sagu basah. Oleh
sebab itu intesitas petani sebagai pengolah pati sagu basah sangat diperlukan untuk tetap menjaga
produksi untuk kebutuhan konsumsi langsung masyarakat maupun kebutuhan agroindustri rumah
tangga pangan sagu. Pati sagu basah dapat dijadikan sebagai pangan rumah tangga untuk
mengurangi ketergantung terhadap beras. Teknologi pengolahan pati sagu basah selama ini masih
sangat tradisional. Namun seiring berkembangnya waktu proses pengolahan pati sagu basah mulai
merambah ke semi mekanik. oleh karena itu proses pengolahan sagu semi mekanik membutuhkan
kajian finansial. Hasil perhitungan kriteria investasi menunjukkan bahwa NPV bernilai positif yaitu
sebesar Rp 31.360.969. Nilai NPV menunjukkan bahwa investasi sampai dua tahun kedepan akan
diperoleh manfaat bersih saat ini sebesar Rp 31.360.969. IRR sebesar 21,91% yang artinya usaha
pati sagu basah dapat mengembalikan modal hingga tingkat bunga pinjaman 21,91% per tahun. Net
B/C sebesar 1,18 merupakan perbandingan antara total nilai saat ini dari penerimaan yang bersifat
positif (net benefit positif) dengan total nilai saat ini dari penerimaan yang bersifat negatif (net
benefit negatif), berarti bahwa setiap pengeluaran Rp 1,00 akan mendapatkan benefit sebesar Rp
118. Periode pengembalian usaha produksi pati sagu basah lebih kecil dari umur proyek yaitu selama
16 bulan. Berdasarkan kriteria investasi yang dianalisis maka investasi usaha pati sagu basah semi
mekanik layak diusahakan.
Kata Kunci : Kelayakan, finansial, semi mekanik, pati sagu, kriteria investasi.
Analisis Kelayakan Finansial Pengembangan Usaha 159
Abstract - Sago industries heavily depend on the availability of fresh sago starch. Therefore,
farmers’ intensity as the actor of fresh sago starch industry is necessary in order to maintain the
production to fulfill either the needs of people’s direct consumption or the needs of sago home-
industry. Fresh sago starch can be consumed as a household main food to diminish the dependence
on rice. Sago starch has been processed traditionally for a period of time. However, the sago starch
industry has gradually penetrated semi-mechanical technology. Hence, the semi-mechanical sago
industries require a financial study. The calculation result of investation criteria shows that NPV is
positive, which is Rp 31.360.969,00. The NPV value indicates that the investation, until the next two
years, will get net benefit for Rp 31.360.969,00. IRR is 21,91% which means that the fresh sago
starch business is able to return the capital up to 21,91% of loan interest rate per year. Net B/C is
1,18, which is the ratio between the current total value from the positive net benefit and the current
total value from the negative net benefit. This means that every expense of Rp 1,00 will get benefit
of Rp 1,18. The payback period of a fresh sago starch industry is shorter than the project’s lifespan,
which is 16 months. Based on the analyzed investation criteria, the investation of semi-mechanical
fresh sago starch industry is worth to develop.
Key words: feasibility, Financial, semi-mechanical, sago starch, investation criteria.
1. Pendahuluan
Analisis kelayakan finansial sebuah usaha penting dilakukan untuk mengetahui layak
atau tidaknya usaha. Namun kebanyakan pengusaha kesulitan untuk menganalisis
usahanya karena keterbatasan waktu, tenaga, pikiran dan ilmu pengetahuan. Analisis
finansial meliputi beberapa variabel seperti analisis biaya produksi, analisis biaya
peralatan, analisis BEP atau keuntungan/kerugian, analisis penggunaan modal dan waktu
pengembalian modal.
Kajian tentang analisis kelayakan finansial banyak mendapatkan perhatian dari
para akademisi (Kusuma, 2010; National Association of Certified Valuation Analysts,
2005; Sutojo dkk., 2000) untuk analisis di berbagai bidang industri. Selain itu, analisis
kelayakan finansial juga dilakukan oleh para pelaku di bidang industri manufaktur
(Firmansyah, 2006; Wolf, 2005; Mc. Keough, 2005) dan termasuk juga pada industri
berbasis agro atau pertanian (Erlina, 2006; Rantala dkk., 2009) serta usaha produksi
komoditas lokal (Kusuma dan Mayasti, 2014).
Analisis kelayakan usaha meliputi beberapa aspek seperti aspek pasar, investasi
dikatakan layak jika permintaan konsumen meningkat setiap tahunnya. Pada aspek
teknis, investasi dapat dilakukan dengan memilih mesin yang sangat menguntungkan dan
jumlah mesin yang akan diinvestasikan. Pada aspek organisasi, investasi akan efektif
dengan menggunakan tenaga kerja yang paling efektif, sehingga biaya yang dikeluarkan
tidak percuma. Selain ketiga aspek tersebut, investasi tidak terlepas dari aspek keuangan.
Pada aspek keuangan, kelayakan pembangunan sebuah usaha dapat dilihat dari berbagai
evaluasi. Tujuan pengolahan data keuangan adalah untuk mengetahui keuntungan atau
benefit dan kelayakan yang didapat dari investasi mesin dan mengetahui sensitivitas
investasi terhadap pendapatan, bahan baku, dan tenaga kerja (Amelia , at al, 2012).
Salah satu jenis komuditi pangan yang dapat dikembangkan untuk orientasi
agribisnis adalah sagu. Pengembangan agribisnis di Indonesia pada saat ini sangatlah
potensial. Hal ini terlihat dalam program pembangunan agribisnis yang dijalankan
160 Natelda, Ester, Febby, Rachel
pemerintah dewasa ini merupakan pembangunan pertanian modern dalam arti petani
sebagai pelaku dalam mengelola usahataninya dituntut untuk lebih mengarah kepada
orientasi bisnis walaupun belum mencapai taraf optimal (Suartha, 2009).
Sektor pengolahan pangan yang kuat dan dinamis memainkan peran penting
dalam sektor ekonomi secara keseluruhan dari suatu negara. Sektor ini memberikan
hubungan penting dan sinergi antara industri dan pertanian dan telah diidentifikasi
sebagai sektor yang memiliki potensi langsung untuk pertumbuhan ekonomi. Pengolahan
juga membantu dalam menghasilkan lapangan kerja di pedesaan (Murthy dan Dasaraju,
2011; Singh, Tegegne dan Ekenem, 2012).
Pengembangan usaha pengolahan produksi pati sagu dilakukan oleh pengrajin
lokal namun mereka terbatas dalam menganalisis komponen-komponen kelayakan usaha.
Oleh sebab itu penting bagi suatu usaha pengolahan pati sagu yang berkelanjutan untuk
mengihitung kelayakan fianansial usahanya apakah usaha pengolahan pati sagu layak
atau tidak untuk dikembangkan. Apalagi sagu sebagai komoditi lokal daerah Maluku,
menjadi penting untuk mendukung ketahan pangan di daerah. Hal ini disebabkan
ketersediaan lahan sagu relatif luas yaitu 51.646 ha yang tersebar pada 11 kabupaten/kota
dengan potensi produksi sagu basah sebesar 888.027 ton. Perkembangan usaha sagu di
Maluku sangat tergantung pada ketersediaan pati sagu basah. Oleh sebab itu intesitas
petani sebagai pengolah pati sagu basah sangat diperlukan untuk tetap menjaga produksi
untuk kebutuhan konsumsi langsung masyarakat maupun kebutuhan agroindustri rumah
tangga pangan sagu. Pati sagu basah dapat dijadikan sebagai pangan rumah tangga untuk
mengurangi ketergantung terhadap beras.
Teknologi pengolahan pati sagu basah selama ini masih sangat tradisional.
Namun seiring berkembangnya waktu proses pengolahan pati sagu basah mulai
merambah ke semi mekanik. Teknologi pengolahan pati sagu basah dengan peralatan
semi mekanik sudah sampai ke seluruh kabupaten di Propinsi Maluku. Teknologi
pengolahan pati sagu basah dengan peralatan semi mekanis dengan tujuan untuk
meningkatkan produksi, mempercepat waktu produksi, meningkatkan daya tampung pati
sagu basah dalam jumlah besar, memperkecil kehilangan hasil dan mengurangi
kemalasan tenaga pengolah. Perlengkapan dan peralatan serta mesin yang digunakan
untuk pengolahan pati sagu meliputi bak penampungan pati sagu basah, mesin parut
sagu, mesin pompa air, mesin peras empelur sagu, pipa air, slank air, rumah produksi,
bak ayakan empelur sagu, kapak, dan lainnya. Teknologi pengolahan pati sagu semi
mekanik sangat berguna dan membantu kelancaran produksi. Hal ini berkaitan dengan
kontinutas ekspor pati sagu ke luar daerah. pengusaha pati sagu basah perlu
meningkatkan aktivitas pengolahan pati sagu sehingga tidak terputus rantai ekspor pati
sagu ke luar daerah. Hal inilah yang menjadikan analisis kelayakan finansial usaha
pengolahan pati sagu menjadi penting untuk dilakukan agar semua pelaku usaha dengan
mudah menghitung untung ruginya usaha dan layak atau tidaknya usaha yang dijalankan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kelayakan finansial pengembangan
usaha pengolahan pati sagu basah di Propinsi Maluku.
Analisis Kelayakan Finansial Pengembangan Usaha 161
2. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku berdasarkan
pertimbangan bahwa Kabupaten Maluku Tengah memiliki potensi pengembangan usaha
pengolahan pati sagu. Lokasi yang ditemukan sebagai sumber pengolahan pati sagu
basah semi modern yaitu Desa Waai. Pemilihan lokasi penelitian secara sengaja dengan
alasan bahwa terdapat sumber-sumber pengolahan pati sagu basah semi mekanis.
Penelitian berlangsung pada bulan April-September 2017. Fokus penelitian adalah
pengusaha pati sagu basah yang telah mengolah sagu berbasis semi mekanis.
3. Metode Analisis Data
Menurut Ibrahim (2009) aspek ekonomi dan keuangan yang dianalisis antara lain biaya
investasi, perkiraan biaya operasi, kebutuhan modal kerja, sumber pembiayaan, perkiraan
pendapatan dan perhitungan kriteria investasi. Dalam penelitian ini yang dianalisis antara
lain analisis biaya investasi, analisis biaya operasional produksi, analisis estimasi
penjualan, analisis estimasi biaya produksi, analisis kriteria investasi dan sensitivitas.
Perkiraan investasi meliputi jumlah dan jenis investasi yang diperlukan dalam
rencana kegiatan usaha. Harga masing-masing investasi harus jelas dan sesuai dengan
harga berlaku sehingga tidak terjadi penyimpangan dalam perhitungan. Biaya investasi
adalah sejumlah modal atau biaya yang digunakan untuk memulai usaha atau
mengembangkan usaha (Pujawan, 2004).
Biaya operasional terdiri dari biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel
merupakan biaya yang rutin dikeluarkan setiap dilakukan usaha produksi dimana
besarnya tergantung pada jumlah produk yang ingin diproduksi (Ardana, 2008) meliputi
biaya bahan baku, biaya upah tenaga kerja langsung, pengangkutan, sewa gedung dan
lainnya. Biaya tetap adalah jenis biaya yang lain yang rutin dikeluarkan oleh perusahaan
selama perusahaan melakukan kegiatan produksi, akan tetapi besarnya biaya tetap tidak
tergantung pada kapasitas produksi meliputi gaji karyawan tetap, bunga bank,
pengambilan pokok pinjaman, penyusutan, dan asuransi. Biaya variabel dan biaya tetap
dirumuskan sebagai berikut : TC = TFC + TVC. TC = Total Cost, TFC = Total Fixed
Cost, TVC = Total variabel Cost
Perkiraan pendapatan atau benefit dalam bentuk finansial direncanakan dengan
rencana produksi dan rencana penjualan. Bentuk penerimaan yang dilakukan yaitu
penerimaan dari hasil penjualan barang-barang yang diproses. Penerimaan dirumuskan
sebagai berikut : Revenue (penerimaan) = Harga Jual Total produksi. Suatu ukuran
menyeluruh tentang layak tidaknya sebuah usaha telah dikembangkan menggunakan
berbagai macam indeks. Indeks-indeks tersebut adalah Investment Criteria. Setiap indeks
itu menggunakan Present Value yang telah di-discount dari arus-arus benefit dan biaya
selama umur suatu usaha. Berikut ditampilkan beberapa kriteria investasi yang dijadikan
dasar untuk menghitung kriteria usaha:
162 Natelda, Ester, Febby, Rachel
a. Net Present Value (NPV)
Net Present Value merupakan selisih antara “Present Value Benefit” dan
“Present Value Cost”. Rumusnya sebagai berikut:
n
it
i
CBNPV
1 1 (3.1)
Keterangan :
NPV : Net Present Value (nilai netto sekarang)
B : Benefit (penerimaan) suatu proyek usaha pada tahun ke-t
C : Cost (biaya) suatu proyek usaha pada tahun ke-t
N : Umur ekonomis proyek
t : Tahun ke-t
i : Tingkat bunga yang berkala (social discount rate)
Keterangan : NPV > 0 = Layak
NPV < 0 = Tidak Layak
b. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
Net B/C adalah menghitung perbandingan nilai selisih biaya manfaat yang
positif dan negatif. Rumus yang digunakan adalah:
0
0
1/
1
CtBt
CtBt
i
CtBtCNetB
n
it
(3.2)
Keterangan :
Bt : Benefit kotor suatu proyek usaha pada tahun ke-t
Ct : Biaya kotor sehubungan dengan suatu proyek usaha pada tahun ke-t
n : Umur Ekonomis
i : “Social Discount Rate”
t : Tahun ke-t
Keterangan : Net B/C > 1 = Layak
Net B/C < 1 = Tidak Layak
c. Internal Rate of Return (IRR)
IRR dipakai untuk melihat apakah suatu proyek mempunyai kelayakan usaha atau tidak
berdasarkan tingkat suku bunga pinjaman. IRR dirumuskan dengan:
IRR = 21
21
11 ii
NPVNPV
NPVi
(3.3)
Keterangan :
IRR : Internal Rate of Return (Tingkat Pengembalian Internal)
Analisis Kelayakan Finansial Pengembangan Usaha 163
NPV1 : NPV yang bernilai positif
NPV2 : NPV yang bernilai negatif
i1 : Tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV bernilai positif mendekati
nol.
i2 : Tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV bernilai negatif mendekati nol.
d. Payback Period (PBP)
Payback periode adalah waktu minimum untuk mengembalikan investasi awal dalam
bentuk aliran kas yang didasarkan atas total penerimaan dikurangi semua biaya (Erlina,
2006; Kusuma dan Mayasti, 2014). Payback Period adalah jangka waktu yang
diperlukan untuk membayar kembali semua biaya-biaya yang dikeluarkan dalam
investasi suatu proyek. Rumusnya adalah sebagai berikut:
Suatu usaha dikatakan layak jika nilai payback period lebih kecil atau sama dibandingkan
umur investasi usaha.
e. Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas merupakan suatu analisis untuk melihat pengaruh yang akan terjadi
akibat keadaan yang berubah-ubah. Tujuan analisis sesitivitas antara lain : 1) menilai apa
yang akan terjadi dengan analisis kelayakan suatu kegiatan investasi atau bisnis apabila
terjadi perubahan di dalam perhitungan biaya atau manfaat; 2) analisis kelayakan suatu
usaha ataupun bisnis perhitungan umumnya didasarkan pada proyeksi-proyeksi yang
mengandung ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi di waktu yang akan datang; 3)
analisis pasca kriteria investasi yang digunakan untuk melihat apa yang akan terjadi
dengan kondisi ekonomi dan hasil analisis bisnis jika terjadi perubahan atau
ketidakpastian dalam perhitungan biaya atau manfaat.
4. Hasil dan Pembahasan
a. Karakteristik Usaha Pengolahan Produksi Pati Sagu Basah
1) Karakteristik Bahan Baku
Jenis-jenis sagu yang terdapat di daerah Maluku ada lima jenis yakni: Sagu Tuni
(Metroxylon rumphii, Mart), Sagu Ihur (Metroxylon sylvestris, Mart), Sagu Makanaru
(Metroxylon longispinum, Mart), Sagu Duri Rotan (Metroxylon micracanthum, Mart),
dan Sagu Molat (Metroxylon sagus, Rottb). Hasil olahan tepung sagu bervariasi menurut
jenis sagu yang diolah dan cara pengolahannya. Potensi produksi tepung sagu basah
bervariasi antara 100-500 kg/pohon tergantung jenisnya. Jenis sagu Tuni (Metroxylon
rumphii Mart.) memiliki potensi produksi tepung basa yang tertinggi yakni 500
kg/pohon, kemudian jenis sagu Molat (Metroxylon sagus Rottb.) 400 kg/pohon, Sagu
164 Natelda, Ester, Febby, Rachel
Ihur (300 kg/pohon), Sagu Makanaru (250 kg/pohon). Sagu Duri Rotan dan jenis Molat
yang berduri memiliki potensi produksi 100 kg/pohon dan 200 kg/pohon. Umumnya
produksi tepung sagu basah bervariasi antara 100-500 kg per pohon, dan potensi panen
rata-rata 102 pohon/ha; sehingga total produktivitas tepung sagu basah 30 ton/ha.
Menurut Alfons dan Bustaman (2005), jumlah pohon sagu siap panen adalah 82
pohon/hektar/tahun dengan produksi tepung basah 292 kg/pohon. Kepadatan rumpun
atau tegakan sagu per satuan luas sangat mempengaruhi produktifitas tepung sagu.
Pengolahan sagu diawali dengan panen yaitu pemotongan atau penebangan
pohon sagu. Umumnya sagu siap dipanen pada saat menjelang pembentukan primordia
atau munculnya kuncup bunga. kandungan tepung atau pati didalam batang sagu
tergantung dari tingkat kematangan pohon sagu. Masyarakat Maluku mengenal tingkat
kematangan pohon sagu yaitu ”maputi masa” adalah tingkat kematangan sagu dimana
pelepah daun telah menguning dan kuncup bunga telah mulai muncul. Kandungan pati
telah memadati semua bagian empulur didalam batang sagu.
Pengolahan sagu yang dilakukan secara moderen, semua tahapan operasionalnya
sudah menggunakan mesin. Pengolahan sagu dengan cara ini lebih efisien dalam
penggunaan tenaga dan waktu. Tenaga kerja empat orang sudah dapat melakukan
pekerjaan pengolahan mulai dari penabangan, penghancuran empulur, pengangkutan
empulur ke tempat ekstraksi, dan proses ekstraksi atau pemisahan/penyaringan pati sagu.
Menurut Alfons dan Bustaman (2005), dalam satu hari kerja dapat diolah 3-4 pohon sagu
dengan cara moderen. Sementara pengolahan sagu dengan cara tradisional dengan
tenaga empat orang hanya dapat mengolah satu pohon sagu selama enam hari kerja.
Menurut mereka, pengolahan pati sagu secara moderen hanya membutuhkan waktu 8
jam/3-4 pohon, dibandingkan dengan cara tradisional yang membutuhkan waktu 48
jam/pohon. Proses ekstraksi sagu secara mekanik ditampilkan pada Gambar 1.
Jumlah kebutuhan pohon sagu yang diolah secara semi mekanik untuk
menghasilkan pati sagu basah dalam sehari rata-rata 15 pohon. Satu pohon sagu
menghasilkan 400 kg pati sagu basah. Sehingga dalam satu hari kebutuhan pohon sagu
untuk menghasilkan pati sagu basah sebesar 6000 kg/hari. Pati sagu basah yang
dihasilkan ditampung dalam wadah atau bak penampungan pati sagu berukuran 15 4 m
dengan kedalaman bak penampung 0,5 meter. Waktu panen pati sagu basah dilakukan
pengusaha seminggu sekali dengan jumlah hari kerja lima hari. Satu hari kerja biasanya
delapan jam kerja. Jumlah panen pati sagu basah dalam seminggu mencapai 28 ton. Hasil
panen sesuai kebutuhan untuk diekspor ke Surabaya berdasarkan permintaan pabrik
sohun dan bihun.
Analisis Kelayakan Finansial Pengembangan Usaha 165
Gambar 1. Proses Ekstraksi Pati Sagu Basah Semi Mekanis
166 Natelda, Ester, Febby, Rachel
2) Karakteristik Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan faktor penting untuk sebuah usaha yang harus diperhitungkan
dalam proses produksi. Menurut UU No. 13 tahun 2003, tenaga kerja adalah setiap orang
yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Karakteristik tenaga kerja ditentukan oleh umur,
jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pengalaman berusaha. Pengusaha pati sagu basah
menggunakan tenaga kerja upahan berjumlah 22 orang. Satu orang sebagai mandor, satu
orang sebagai pemilik dan 20 orang sebagai tenaga kerja lapangan. Tenaga kerja
lapangan melakukan pekerjaan mulai dari pemotongan pohon sagu, pemarutan, ekstraksi
sampai dengan panen pati sagu basah.
Pendudukan yang tergolong tenaga kerja adalah penduduk yang memasuki usia
kerja. Batas usia kerja yang berlaku di Indonesia berumur 15-64 tahun. Keseluruhan
tenaga kerja yang tersedia termasuk dalam usia kerja yaitu 20-45 tahun dan tergolong
usia produktif sehingga mereka sangat aktif bekerja untuk memenuhi target pengiriman
hasil ke luar daerah. Tingkat pendidikan mempengaruhi hasil kerja seseorang.
Pendidikan formal merupakan media pengembangan pengetahuan pekerja. Sebagian
besar pekerja menempuh pendidikan formal sampai tingkat SMP. Tingkat pendidikan
tidak menjadi masalah untuk seseorang melakukan aktifitas pekerjaannya. Masing-
masing pekerja melakukan aktifitas sesuai dengan jenis pekerjaannya yaitu bagian
pemotongan pohon sagu, pemarutan, ekstraksi sampai dengan panen. Pengalaman
berusaha menjadi penting bagi pekerja karena biasanya pengolahan pati sagu basah
secara tradisional telah dilakukan sebelumnya. Rata-rata pengalaman berusaha mencapai
5-8 tahun. Pekerja lebih cekatan untuk mengolah pati sagu basah secara tradisional
sehingga ketika diperhadapkan dengan cara pengolahan modern pekerja tidak ragu dan
bingung untuk bekerja. Mereka selalu melakukan pekerjaan dengan target untuk
memenuhi kebutuhan penjualan dalam daerah dan luar daerah.
3) Karakteristik Pemasaran
Pemasaran merupakan tindakan-tindakan yang menyebabkan berpindahnya hak milik
atau benda-benda dan jasa yang menumbuhkan distribusi phisik (Winardi, 1991).
Menurut Sudiyono (2002), pemasaran pertanian termasuk komoditas pangan olahan
adalah proses aliran komoditi yang disertai perpindahan hak milik dan penciptaan guna,
waktu, tempat dan bentuk yang dilakukan oleh lembaga pemasaran dengan melaksanakan
satu atau lebih fungsi pemasaran.
Pengusaha pati sagu basah di Desa Waai termasuk dalam jenis usaha skala
mikro. Menurut UU RI No. 20 tahun 2008 tentang UMKM, Usaha Mikro adalah usaha
produktif milik perorangan dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria
Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam UU tersebut. Kriteria usaha mikro adalah
memiliki kekayaan bersih Rp. 50.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 200.000.000.
Analisis Kelayakan Finansial Pengembangan Usaha 167
Target pasar pengusaha pati sagu basah di Desa Waai yaitu pasar global
sehingga dapat menunjukkan bahwa pati sagu dapat berdaya saing dengan bahan pati
lainnya. Saat ini pengusaha pati sagu basah Desa Waai memasarkan produknya ke
Surabaya untuk pabrik sohun. Penjualan ke Surabaya menggunakan alat transportasi
berupa kapal laut. Saluran pemasaran relatif pendek yaitu dari pengusaha sebagai
produsen penghasil pati sagu basah ke pedagang besar di Cirebon, Klaten dan Jember
kemudian ke pabrik pengolahan produk. Saluran pemasaran pati sagu basah ditampilkan
pada Gambar 2.
Volume penjualan pati sagu basah 32 ton untuk tahun 2008 sampai tahun 2015
mencapai 624 ton. Tahun awal, usaha mulai dilakukan biasanya pengusaha tidak egois
untuk memproduksi dalam jumlah besar karena masih melihat peluang pasar untuk
keberlanjutan usaha. Tahun 2009-2015 terjadi peningkatan kapasitas produksi yang
relatif tinggi dan peluang pasar cukup menjanjikan sehingga pengusaha lebih aktif untuk
menjalankan aktifitas produksinya.
Gambar 2. Saluran Pemasaran Pati Sagu Basah.
Penetapan harga jual dilakukan oleh pembeli, dengan harga jual Rp. 2.600/kg.
Tujuan penetapan harga jual yaitu untuk memperoleh keuntungan. Sistem pembayaran
menggunakan dua sistem yaitu sistem tunai dan kredit. Sistem tunai dilakukan jika
produk tiba langsung dibayar tanpa adanya proses komplein dari pembeli berkaitan
dengan kualitas pati sagu. Sedangkan sistem kredit dilakukan jika terjadi komplein dari
pembeli, yaitu apabila kualitas pati sagu tidak sesuai dengan permintaan pabrik.
Pengusaha Pati
Sagu Basah
Pedagang
Besar
Konsumen
Akhir
Pabrik
Pengolahan
Pedagang
Kecil
Pengrajin
Agroindust
ri
Konsumen
Akhir
Pedagang
Produk
Olahan
Konsumen
Akhir
168 Natelda, Ester, Febby, Rachel
b. Analisis Aspek Finansial Pengolahan Pati Sagu Basah Semi Mekanik
Pengembangan industri berbasis pertanian akan merangsang perkembangan industri dan
membantu promosi bisnis. Pengembangan industri berbasis pertanian pada gilirannya
akan menurunkan korupsi, kemiskinan, inflasi, pengangguran, dan perdagangan defisit
negara. Selain itu akan membantu pengembangan usaha kecil, menengah, dan industri
skala besar; membawa perbaikan sosial ekonomi bagi penduduk di suatu wilayah;
mengubah struktur dan membawa kemakmuran di daerah pedesaan (Khan, 2004). Oleh
sebab itu industri berbasis pertanian perlu dianalisis kelayakan usaha antara lain analisis
biaya investasi, analisis biaya operasional produksi, analisis estimasi penjualan, analisis
estimasi biaya produksi, analisis kriteria investasi dan analisis sensitivitas.
1) Biaya Investasi
Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan dalam pembangunan proyek atau
usaha terdiri dari pengadaan tanah, gedung, mesin dan peralatan, biaya lainnya yang
berhubungan dengan pendirian usaha. Biaya investasi termasuk biaya tetap yang harus
dikeluarkan dari tahun awal sebagai tahun sebelum kegiatan usaha. Biaya investasi yang
dikeluarkan tahun 2008 sebagai tahun awal memulai usaha dan tahun 2009 mulai
kegiatan operasional pengolahan pati sagu basah. Perhitungan biaya penyusutan mesin
dan peralatan ditampilkan pada Tabel 1.
Jenis-jenis investasi yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
keseluruhan investasi tersebut digunakan sebelum memulai usaha pengolahan pati sagu
basah. Pengusaha berupaya untuk mengadakan barang-barang sebagai kebutuhan untuk
melakukan aktifitas usahanya. Barang-barang tersebut penting karena usaha pengolahan
pati sagu basah termasuk usaha modern dengan menggunakan peralatan semi mekanis.
Untuk meningkatkan efektifitas penggunaan mesin dan peralatan usaha maka perlu
dihitung biaya penyusutan untuk mesin dan peralatan.
Tabel 1. Kebutuhan Biaya Investasi dan Penyusutan
No. Jenis Investasi Jumlah
(unit)
Jumlah Biaya
(Rp.)
Umur
Ekonomis (bulan)
Penyusutan
(bulan)
1 Mesin Parut Sagu 3 5.000.000 60 75.000
2 Mesin Chain Saw 2 2.500.000 60 50.000
3 Peralatan pemerasan empelur sagu 1 2.000.000 60 25.000 4 Mesin Pompa Air (Sanyo) 2 6.500.000 60 237.000
5 Bak Penampung Pati Sagu 2 15.000.000 60 167.000
6 Bak Ayakan empelur sagu 5 7.500.000 24 83.000 7 Pipa saluran air 10 8.500.000 36 138.000
8 Rumah Produksi 1 35.000.000 120 375.000
9 Kapak Pembelah batang sagu 5 1.500.000 36 29.000
Total 83.500.000 1.179.000
Sumber : Pengolahan Data Primer, 2015.
Analisis Kelayakan Finansial Pengembangan Usaha 169
2) Biaya Operasional
Biaya operasional merupakan biaya yang besarnya ditentukan oleh jumlah produk yang
diproduksi. Biaya operasional dikategorikan sebagai modal kerja yang dikeluarkan
pengusaha untuk membiayai usaha pengolahan pati sagu basah. Modal kerja untuk
memulai suatu usaha penting karena modal kerja sebagai biaya yang dikeluarkan
pengusaha untuk membiayai kegiatan operasional usaha setelah usaha siap untuk
dilaksanakan. Modal kerja terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap meliputi
biaya gaji tenaga kerja tetap, biaya bunga bank dan pokok pinjaman, biaya penyusutan,
biaya listrik dan biaya perizinan usaha. Biaya variabel terdiri dari biaya tenaga kerja tidak
tetap, biaya bahan baku, biaya kemasan, biaya transportasi dan biaya konsumsi. Biaya
operasional usaha pengolahan pati sagu basah ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan bahwa biaya gaji tenaga kerja tetap dibayarkan setiap
bulan untuk satu orang karyawan tetap yaitu sebagai pimpinan sekaligus mandor. Waktu
efektif untuk bekerja selama delapan bulan diperuntukkan bagi operasionalisasi
pengolahan pati sagu basah. Delapan bulan kerja relatif baik karena empat bulan lainnya
diperuntukkan bagi pekerja tetap dan pekerja lepas untuk libur lebaran, libur natal, libur
puasa dan lainnya. Pengusaha melakukan peminjaman di bank untuk pengadaan mesin
dan peralatan dengan jumlah pinjaman sebesar Rp. 15.000.000. Pinjaman relatif kecil
karena pengusaha memiliki modal usaha yang cukup besar untuk keberlangsungan
usahanya. Dia berpikir bahwa jika pinjaman besar maka jangka waktu pengembalian
akan lebih lama sehingga jumlah pinjaman diperkecil dan waktu pengembalian hanya dua
tahun. Bunga pinjaman sebesar 14 persen sesuai dengan suku bunga pinjaman untuk
usaha mikro.
Tabel 2. Biaya Operasional Usaha Pengolahan Pati Sagu Basah
No. Jenis Biaya Nilai (Rp)
Biaya Tetap 20.697.500
1 Biaya Gaji 13.500.000
2 Biaya Bunga dan Pokok Pinjaman 1.275.000
3 Biaya Kebersihan dan Keamanan 806.000
4 Penyusutan 1.179.000
5 Biaya Listrik 3.125.000
6. Biaya Perizinan usaha 812.500
Biaya Variabel 30.350.000
1 Upah Tenaga Kerja 12.150.000
2 Bahan Baku 6.250.000
3 Biaya Kemasan 1.562.500
4 Biaya Transportasi
(1) Pengangkutan pohon sagu ke lokasi pabrik 1.343.750
170 Natelda, Ester, Febby, Rachel
(2) Pengangkutan ke Pelabuhan Ambon 1.343.750
5 Biaya konsumsi 7.700.000
Total Biaya Operasional 51.047.500
Sumber : Pengolahan Data Primer, 2015.
Biaya kebersihan dan keamanan mutlak diperlukan untuk menjamin bersihnya
lingkungan dan amannya mesin dan peralatan usaha. Hal ini penting karena lokasi
produksi pati sagu basah jauh dari pemukiman warga. Lingkungan harus tetap terjaga dan
bersih karena limbah produksi pati sagu basah berupa ela sagu dan potongan-potongan
pelepah sagu apabila dibiarkan dalam waktu lama maka akan menimbulkan bau tidak
sedap dan sangat tajam. Jumlah dana yang diperuntukkan bagi kondisi kebersihan dan
keamana lingkungan Rp. 806.000/bulan. Biaya ini dibayar kepada orang sekitar yang
bertugas untuk menjaga keamanan dan selalu memperhatikan kebersihan lingkungan.
Biaya penyusutan dilakukan terhadap mesin dan peralatan usaha. Perhitungan biaya
penyusutan menggunakan metode garis lurus. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa
biaya penyusutan berbeda-beda berdasarkan harga beli awal dan harga beli sekarang serta
umur ekonomisnya (Tabel 2).
Biaya listrik dihitung sebagai biaya rutin yang dikeluarkan setiap bulan dan
nilainya harus tunai tanpa tunggakan. Besarnya biaya listrik sebesar Rp. 3.125.000/bulan.
Biaya listrik ini diperuntukkan untuk mesin pompa air, mesin parut sagu, dan rumah
produksi. Rumah produksi membutuhkan lampu sebagai penerangan supaya proses
pengeringan pati sagu dalam kemasan karung plastik yang dipakai untuk mengisi pati
sagu basah akan berlangsung lebih cepat. Biaya perizinan usaha merupakan biaya yang
harus dibayar untuk memperpanjang izin usaha. Biaya perizinan setiap tahun sebesar Rp.
812.500/bulan. Iuaran yang dibayarkan untuk perpanjangan izin berupa iuran SITU (surat
ijin tempat usaha) dan SIUP (surat ijin usaha perdagangan) setiap tahun dari awal tahun
produksi. Selain itu terdapat iuran TDI (tanda daftar industri). Hal ini penting agar
pengusaha lebih lihai dan tekun untuk selalu mengurus perizinan usaha supaya usaha
tetap diperpanjang masa kerjanya.
Biaya upah tenaga kerja langsung berasal dari masyarakat sekitar lokasi pabrik.
Pabrik sagu semi mekanis sangat membantu masyarakat sekitar untuk bekerja. Mereka
dibayar Rp. 25.000/hari. Kegiatan yang dilakukan antara lain menebang pohon sagu,
mengangkut ke lokasi pabrik, membelah batang sagu, dan memanen pati sagu basah.
Upah diterima pekerja langsung merupakan upah bersih. Pekerja langsung diberikan
makan sehari tiga kali dan diberikan rokok. Hal ini menjadi tanggung jawab pengusaha
agar proses pengolahan berjalan lancar. Biaya bahan baku yang dikeluarkan pengusaha
untuk menghasilkan pati sagu basah sebesar Rp. 6.250.000/bulan. Pembelian bahan baku
dilakukan pada desa sekitar pabrik yaitu desa Waai, Desa Tulehu, Desa Liang, Desa Suli
dan Desa Tenga-Tenga dengan harga beli Rp. 60.000/pohon. Dalam sebulan biasanya
pengusaha membeli 105 pohon untuk ditebang dan diolah menjadi pati sagu basah. Biaya
kemasan pati sagu basah berupa karung plastik dibeli langsung dari Surabaya dengan
jumlah biaya sebesar Rp. 1.562.500/bulan. Biaya transportasi antara lain biaya
pengangkutan pohon sagu ke lokasi pabrik dan pengangkutan pati sagu basah ke
Analisis Kelayakan Finansial Pengembangan Usaha 171
pelabuhan Ambon. Biaya trasportasi untuk pengangkutan pohon sagu ke lokasi pabrik
sebesar Rp. 1.343.750/bulan, sedangkan biaya transportasi untuk pengangkutan pati sagu
basah ke pelabuhan Ambon sebesar Rp. 1.343.750/bulan. Biaya pengiriman ke Surabaya
menjadi tanggung jawab pedagang besar. Biaya konsumsi merupakan biaya yang
dikeluarkan untuk konsumsi pekerja selama proses produksi dengan rata-rata biaya
sebesar Rp. 7.700.000/bulan.
c. Produksi dan Penjualan
Kapasitas produksi pati sagu basah dalam sebulan sebesar 26.000 kg dengan harga jual
Rp. 2.600/kg. Penetapan harga jual berdasarkan penentuan harga pokok produksi sebesar
Rp 1.820 ditambah dengan keuntungan sebesar 30 persen dari harga pokok produksi.
Margin atau keuntungan 30 persen sebesar Rp. 780. Hasil perhitungan penjualan pati sagu basah dalam sebulan sebesar Rp. 67.600.000. Produksi pati sagu basah dari tahun 2012-2015 mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan kontinutas produksi sangat baik. Aktivitas pengolahan pati sagu basah berlangsung setiap karena pohon sagu tersedia dalam jumlah yang dibutuhkan. Pati sagu basah selain sebagai bahan pangan penduduk, dapat juga dimanfaatkan sebagai bahan perekat, alkohol, makanan ternak, bahan pengisi industri plastik, protein sel tunggal, dekstrin, dan siklodekstrin untuk industri pangan, kosmetik, farmasi maupun pestisida. Manfaat lain dari sagu adalah limbahnya dapat diolah menjadi briket dan ampasnya dijadikan sebagai hard board, bahan bakar, dan medium jamur. Penjualan pati sagu basah mengalami peningkatan setiap tahun karena pengiriman pati sagu basah ke luar Propinsi Maluku terjadi secara terus menerus. Pengiriman pati sagu basah ke tiga daerah yaitu Cirebon, Klaten dan Jember. Ketiga daerah ini memiliki pabrik sohun dan bihun sehingga kontinutas pengiriman selalu lancar. Biasanya dihubungi langsung oleh pabrik untuk pengiriman pati sagu basah, sehingga pengusaha pati sagu basah selalu siap siaga manakala terjadi pesanan besar untuk ketiga daerah tersebut maka stok selalu tersedia untuk dikirim. Pengiriman melalui pelabuhan Perak Surabaya menggunakan kontener yang ditanggung oleh pemilik usaha pati sagu basah. Dalam sebulan terjadi dua kali pengiriman dengan jumlah kiriman sebesar 750 karung berukuran 40 kg/karung.
d. Proyeksi Rugi Laba Usaha Pengolahan Pati Sagu Basah
Proyeksi laba/rugi dilakukan untuk mengetahui tingkat profitabilitas dari rencana kegiatan investasi. Perhitungan laba/rugi didapat dari selisih penerimaan dan pengeluaran. Perhitungan laba/rugi rencana investasi usaha pati sagu basah menghasilkan laba bersih sebesar Rp 13.836.150/bulan. Proyeksi rugi laba usaha pengolahan pati sagu basah ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Proyeksi Rugi Laba dan Titik Impas Usaha Pengolahan Pati Sagu Basah
No. Uraian Jumlah (Rp)
1 Pendapatan 67.600.000
2 Biaya Operasional 51.047.500
3 Laba Kotor 16.552.500
4 Laba sebelum pajak 16.552.500
172 Natelda, Ester, Febby, Rachel
5 Penyusutan 1.179.000
6 Laba setelah pajak 15.373.500
7 Pajak 10% 1.537.350
8 Laba Bersih 13.836.150
9 Profit Margin 20,47
Tabel 3 menunjukkan bahwa pendapatan pengusaha pati sagu basah sebesar Rp.
67.600.000/bulan. Titik impas merupakan suatu titik produksi atau nilai penjualan yang
perlu dilakukan pengusaha supaya setiap biaya yang dikeluarkan dapat ditutupi. Atau
dengan kata lain titik impas merupakan suatu nilai yang menunjukkan keuntungan yang
diterima pengusaha adalah bernilai nol artinya pengusaha tidak mengalami kerugian atau
menerima keuntungan. Hasil perhitungan titik impas terhadap usaha pengolahan pati sagu
basah semi mekanik untuk jumlah produksi sebesar 14.447 kg atau senilai Rp.
37.561.100.
e. Kriteria Investasi
Aliran kas terdiri dari aliran kas masuk dan kas keluar. Komponen aliran kas masuk
terdiri dari pendapatan hasil penjualan produk, sedangkan kas keluar terdiri dari biaya
invetasi, biaya operasional, pembayaran angsuran pinjaman kredit bank, dan pajak
penghasilan. Untuk mengetahui kelayakan investasi dilakukan perhitungan NPV, IRR,
PBP dan Net B/C. Analisis NPV dilakukan untuk melihat bagaimana nilai investasi
dengan mempertimbangkan perubahan nilai mata uang. NPV merupakan perbedaan
antara nilai sekarang dari keuntungan dan biaya. IRR pada dasarnya merupakan metode
untuk menghitung tingkat bunga yang dapat menyamakan antara present value dari
semua aliran kas masuk dengan aliran kas keluar dari suatu investasi proyek. IRR
digunakan untuk menghitung besarnya rate of return yang sebenarnya (Kusuma, 2014).
Hasil perhitungan kriteria investasi antara lain : NPV bernilai positif > 0 yaitu
sebesar Rp 31.360.969. Nilai NPV menunjukkan bahwa investasi sampai dua tahun
kedepan akan diperoleh manfaat bersih saat ini sebesar Rp 31.360.969. IRR sebesar
21,91% yang artinya usaha pati sagu basah dapat mengembalikan modal hingga tingkat
bunga pinjaman 21,91% per tahun.
Tabel 4. Kriterian Investasi Usaha Pengolahan Pati Sagu Basah.
No. Uraian Nilai dan Kategori
1 NPV
31.360.969
2 IRR
21,91
3 Suku Bunga 14
4 Net B/C
1,18
5 PBP 16 Bulan
6 Keputusan Layak diusahakan
Analisis Kelayakan Finansial Pengembangan Usaha 173
Net B/C sebesar 1,18 merupakan perbandingan antara total nilai saat ini dari
penerimaan yang bersifat positif (net benefit positif) dengan total nilai saat ini dari
penerimaan yang bersifat negatif (net benefit negatif), berarti bahwa setiap pengeluaran
Rp 1,00 akan mendapatkan benefit sebesar Rp 118. Periode pengembalian usaha produksi
pati sagu basah lebih kecil dari umur proyek yaitu selama 16 bulan. Dari kriteria investasi
di atas maka rencana investasi usaha pati sagu basah layak diusahakan hal ini sejalan
dengan penelitian Sudarko dan Supriono, 2008 bahwa analisis finansial terhadap
agroindustri minyak wijen menguntungkan karena semua kriteria investasi yang
dianalisis memenuhi standar kelayakan sebuah usaha.
f. Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas merupakan analisis untuk melihat pengaruh yang akan terjadi akibat
keadaan yang berubah-ubah. Tujuan analisis sensitivitas adalah menilai apa yang akan
terjadi dengan hasil analisis kelayakan suatu kegiatan investasi atau bisnis apabila terjadi
perubahan di dalam perhitungan biaya atai manfaat; analisis kelayakan suatu usaha
ataupun bisnis perhitungan umumnya didasarkan pada proyeksi-proyeksi yang
mengandung ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi di waktu yang akan datang;
analisis pasca kriteria investasi yang digunakan untuk melihat apa yang akan terjadi
dengan konsisi ekonomi dan hasil analisis bisnis jika terjadi perubahan atau
ketidaktepatan dalam perhitungan biaya atau manfaat. Pada analisis produksi pati sagu
basah semi mekanis dilakukan perubahan pada variabel harga jual dan biaya operasional
produksi. Hasil analisis menunjukkan apabila terjadi penurunan harga jual sebesar lima
persen bersamaan dengan kenaikan biaya operasional produksi 10 persen maka nilai NPV
bernilai negatif atau kurang dari nol, nilai IRR lebih kecil sehingga tidak dapat
mengembalikan tingkat modal pinjman dan nilai Net B/C lebih kecil dari satu maka
usaha produksi pati sagu basah semi mekanis tidak layak dijalankan. Dengan demikian
terlihat bahwa usaha produksi pati sagu basah semi mekanis sangat sensitive terhadap
perubahan baik terhadap kenaikan biaya operasional produksi maupun penurun harga
penjualan.
5. Kesimpulan
Hasil analisis NPV bernilai positif > 0 yaitu sebesar Rp 31.360.969. Nilai NPV
menunjukkan bahwa investasi sampai dua tahun kedepan akan diperoleh manfaat bersih
saat ini sebesar Rp 31.360.969. IRR sebesar 21,91% yang artinya usaha pengolahan pati
sagu basah semi mekanik dapat mengembalikan modal hingga tingkat bunga pinjaman
21,91% per tahun. Net B/C sebesar 1,18 merupakan perbandingan antara total nilai saat
ini dari penerimaan yang bersifat positif (net benefit positif) dengan total nilai saat ini
dari penerimaan yang bersifat negatif (net benefit negatif), berarti bahwa setiap
pengeluaran Rp 1,00 akan mendapatkan benefit sebesar Rp 1,18. Periode pengembalian
usaha pengolahan pati sagu basah semi mekanik lebih kecil dari umur proyek yaitu
selama 16 bulan. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terjadi
174 Natelda, Ester, Febby, Rachel
penurunan harga jual sebesar 5 persen bersamaan dengan kenaikan biaya operasional
produksi 10 persen sangat berpengaruh terhadap kelayakan usaha. Dengan demikian
dikatakan bahwa usaha produksi pati sagu basah semi mekanis sangat sensitive terhadap
perubahan baik terhadap kenaikan biaya operasional produksi maupun penurun harga
penjualan. Berdasarkan perhitungan kriteria investasi menunjukkan bahwa usaha
pengolahan pati sagu semi mekanik layak untuk dijalankan selama operasional kegiatan
pengolahan tetap berlangsung sesuai dengan berbagai variabel yang ditetapkan.
Daftar Pustaka
Alfons, J.B. dan S. Bustaman. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Sagu di Maluku. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon.
Amelia, G. P. S., Suryani., R. M., dan Sugiharto., S. 2012. Studi Kelayakan Investasi Mesin
Pengolahan Hasil Panen Tembakau di Bojonegoro. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Universitas Surabaya Vol.1 No.1. Hal. 1-9.
Ardana, K.B., Pramudya, M.H. dan Tambunan, A.H. (2008). Pengembangan tanaman jarak pagar
(Jatropha Curcas L) mendukung kawasan mandiri energi di Nusa Penida, Bali. Jurnal
Littri 14(4) : 155-161.
Erlina (2006). Analisis perancangan agroindustri berbasis karet. Jurnal Bisnis dan Manajemen
3(1):73-92.
Firmansyah, B.A., Veronika, A. dan Trigunarsyah, B. (2006). Risk Analysis in feasibility study of
building construction project: case study-PT. Perusahaan gas negara Indonesia. The
Tenth East Asia-Pacific Conference on Structural Engineering and Construction,
Bangkok, Thailand Tahun 2006. Bangkok 3-5 Agustus, Thailand.
Husnan, S. dan Suwarsono, M. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Edisi ke-4. Yogyakarta : Unit
Penerbit dan Percetakan
Ibrahim, Y. 2009. Studi Kelayakan Bisnis. Edisi ke-2. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kasmir, S.E., dan Jakfar, S.E. (2003). Studi kelayakan Bisnis 2. Jakarta.
Khan, A. R. 2004. Economic Feasibility of Investment in Agro-Based Industries-Using AIES. Int.
J. Agri. Biol., Vol. 6, No. 4. 676–682.
Kusuma, P.T.W.W., Arbita, K.D., Putri, S.A. dan Maryani, N.F. (2010). Financial analysis
pengembangan usaha kecil menengah (UKM) produsen flakes ubi jalar (emergency food)
(studi kasus UKM mandiri pangan mapan makmur, Gunung Kidul). Seminar on
Application and Research in Industrial Technology 2010 (SMART): C1-C6. Yogyakarta,
29 Juli 2010 : Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Kusuma dan Mayasti, 2014. Analisa Kelayakan Finansial Pengembangan Usaha Produksi
Komoditas Lokal: Mie Berbasis Jagung. AGRITECH, Vol. 34, No. 2.
McKeough, P., Solantausta, Y., Kyllˆnen, H., Faaij, A., Hamelinck, C., Wagener, M., Beckman, D.
dan Kjellstrom, B. (2005). Techno economic analysis of biotradechains. Upgraded
Biofuels from Russia and Canada to the Netherlands Espoo 2005. Research VTT
Tiedotteita. Research Notes 2312. pp. 25.
Murthy K.S. and D. Himachalam. May 2011. “Problems of Fruit Processing Industry in Andhra
Pradesh – A Case Study of Select Units in Chittoor District”. International Journal of
Research in Commerce & Management, Volume 2, Issue No. 5.
National Association of Certified Valuation Analysts (2005). Analysis of the Statement of Cash
Flow and Financial Ratio Analysis, Fundamentals, Techniques and Theory 1995-2005.
NACVA, Utah.
Pujawan, I.N.(2004). Ekonomi Teknik. Penerbit Guna Widya, Surabaya.
Analisis Kelayakan Finansial Pengembangan Usaha 175
Rantala, J., Harstela, V.M., Saarinen dan Tervo, L.(2009). A Techno-Economic Evaluation of
Bracke and M-Planter Tree Planting Devices. Research Article the Finnish Society of
Forest Science ISSN 0037-5330. The Finnish Forest Research Institute Silva Fennica: p
43(4).
Singh, S. P., Tegegne, F., and Ekenem, E. 2012. The Food Processing Industry in India: Challenges
and Opportunities. Journal of Food Distribution Research, Volume 43, Issue 1, 81-89.
Suartha, I. D. G, 2009. Studi Kelayakan Agribisnis Buah Naga (Suatu Kajian Kepustakaan) GaneÇ
Swara.Vol.3 No.2. Hal. 6-11.
Sudarko, dan Supriono, A. 2008. Tingkat Keuntungan Kompetitif Usaha Tani Wijen dan Analisis
Kelayakan Finansial Agroindustri Minyak Wijen di Situbondo. Jurnal Sosiohumaniora,
vol.1. No.1. Hal. 27-39.
Sudiyono, A. 2002. Pemasaran Pertanian. Universitas Muhammadiyah Malang. Press Malang.
Sutojo, S. (2000). Studi Kelayakan Proyek, Teori dan Praktek. Gramedia, Jakarta.
Winardi. 1991. Marketing dan Perilaku Konsumen, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
Wolf, O.M., Crank M., Patel M., Marscheider-Weidemann F., Schleich J., Husing B. dan Angerer
G. (2005). Techno-economic feasibility of large scale production of bio-based
polymersin Europe. Technical Report Series European Commission. Institute for
Prospective Technological studies, Joint research, ISBN 92-79-01230-4, Technical
Report EUR 22103 EN.