4
246 Arief Suryantoro / Analisis Klimatologis Ekstremitas Hujan di Banyuwangi, Cilacap dan Ciamis dalam Rentang Pengamatan Sentenial Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014 ISSN : 0853-0823 Analisis Klimatologis Ekstremitas Hujan di Banyuwangi, Cilacap dan Ciamis dalam Rentang Pengamatan Sentenial Arief Suryantoro Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN Jalan Dr. Djundjunan No. 133 Bandung, 40173 Email: [email protected]; [email protected] Abstrak – Pengamatan maupun analisis variasi spasial dan temporal ekstrem hujan yang terjadi di wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI), dari bagian daerah yang satu ke bagian daerah lainnya, dalam skala sentenial (lebih dari 100 tahun) merupakan hal yang penting dan tetap diperlukan untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan pada umumnya, dan untuk ketahanan pangan pada khususnya. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa intensitas ekstrem hujan dan frekuensi kejadian ekstrem hujan yang terjadi di Cilacap merupakan keadaan tertinggi (dengan nilai masing-masing 28468 mm/30 tahun yang terjadi pada perioda 1931-1960 dan 41 kejadian ekstrem hujan dalam rentang yang sama) di bandingkan ke dua wilayah lainnya yang ditinjau dalam penelitian ini (Banyuwangi dan Ciamis). Selain itu, secara umum diperoleh gambaran bahwa dalam skala klimatologis (30 tahun), intensitas ekstrem hujan yang tinggi tidak berbanding lurus dengan frekuensi kejadian ekstrem hujan yang tinggi pula di dua daerah penelitian ini (Cilacap dan Ciamis). Kata kunci: analisis, klimatologis, ekstremitas, hujan, sentenial Abstract – Observation and analysis of spatial and temporal variation of extreme rainfall that occurred in the Indonesian Maritime Continent (IMC), of which one part of the country to the other areas in the sentential scale (over 100 years) is important and still needed to support sustainable development in general, and for food security in particular. The results obtained show that the intensity and frequency of extreme rainfall events that occurred in Cilacap region is the highest state (with a value of 28468 mm/30 year that occurred in the period 1931-1960 and 41 extreme rainfall events in the range 1931 to 1960, respectively) in compare to the other two areas of interest in this study (Banyuwangi and Ciamis). Moreover, in general indicated that the climatologically scale (30 years), high intensity rainfall extremes are not directly proportional to the frequency of extreme rainfall events are also high in these two research areas (Cilacap and Ciamis). Key words: analysis, climatologically, extremity, rain, sentential I. PENDAHULUAN Sebagaimana diketahui, cuaca adalah keadaan fisis atmosfer pada suatu tempat pada suatu saat. Keadaan fisis atmosfer ini dinyatakan atau diungkapkan dengan hasil pengukuran berbagai unsur cuaca misalnya, suhu, tekanan udara, kelembapan, angin, curah hujan, penyinaran matahari dan lainnya. Sedang iklim menggambarkan cuaca khas suatu daerah. Lebih tepatnya iklim adalah statistik deskripsi jangka panjang (misalnya 30 tahun) rata-rata, varians, dan ekstrem yang berasal dari cuaca yang diamati. Perlu diperhatikan bahwa the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan yang disebabkan secara langsung atau tidak langsung dari kegiatan manusia yang mengubah komposisi global atmosfer dan yang merupakan tambahan terhadap variabilitas iklim alami yang diamati dari waktu ke waktu dalam periode waktu yang lama. Dalam konteks ini, UNFCCC dengan tegas membuat perbedaan pengertian antara perubahan iklim disebabkan oleh kegiatan manusia yang mengubah komposisi atmosfer, dengan variabilitas iklim disebabkan oleh penyebab alami. Selanjutnya, the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Fourth Assessment Report, (2007) dan studi teknis lainnya dalam Alavian et al., (2009) menyimpulkan bahwa catatan pengamatan dan proyeksi iklim memberikan banyak bukti bahwa sumber daya air tawar rentan dan memiliki potensi yang akan sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim, yang pada gilirannya dapat mengancam kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat manusia maupun ekosistem. Masing-masing wilayah di seluruh dunia kemungkinan menghadapi serangkaian tantangan yang unik yang berhubungan dengan air dan perubahan iklim. Tantangan ini bisa berasal dari dampak seperti dipercepatnya gletser mencair, pola dan tingkat curah hujan maupun limpasan yang berubah, banjir dan kekeringan yang ekstrem, perubahan kualitas air, intrusi air asin pada akuifer pesisir, dan perubahan dalam penggunaan air. Dalam konteks ini, penekankan bahwa air akan harus digunakan lebih efisien, bahwa praktek-praktek cerdas iklim harus diadopsi dan bahwa negara-negara akan perlu bekerja sama untuk mengelola sumber daya air merupakan hal penting dan tidak boleh diabaikan. Untuk skala ruang yang lebih kecil, misalnya di wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI), pengamatan maupun analisis variasi spasial dan temporal ekstrem hujan yang terjadi dari bagian daerah yang satu ke bagian daerah lainnya (dalam tahap penelitian kali ini dipilih tiga

Analisis Klimatologis Ekstremitas Hujan di Banyuwangi ...hfi-diyjateng.or.id/sites/default/files/1/FULL-Analisis... · intensitas curah hujan bulanan minimum di kedua daerah yang

  • Upload
    lykien

  • View
    218

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

246 Arief Suryantoro / Analisis Klimatologis Ekstremitas Hujan di Banyuwangi, Cilacap dan Ciamis

dalam Rentang Pengamatan Sentenial

Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014

ISSN : 0853-0823

Analisis Klimatologis Ekstremitas Hujan di Banyuwangi, Cilacap dan

Ciamis dalam Rentang Pengamatan Sentenial

Arief Suryantoro Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN

Jalan Dr. Djundjunan No. 133 Bandung, 40173

Email: [email protected]; [email protected]

Abstrak – Pengamatan maupun analisis variasi spasial dan temporal ekstrem hujan yang terjadi di wilayah Benua

Maritim Indonesia (BMI), dari bagian daerah yang satu ke bagian daerah lainnya, dalam skala sentenial (lebih dari 100

tahun) merupakan hal yang penting dan tetap diperlukan untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan pada

umumnya, dan untuk ketahanan pangan pada khususnya. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa

intensitas ekstrem hujan dan frekuensi kejadian ekstrem hujan yang terjadi di Cilacap merupakan keadaan tertinggi

(dengan nilai masing-masing 28468 mm/30 tahun yang terjadi pada perioda 1931-1960 dan 41 kejadian ekstrem hujan

dalam rentang yang sama) di bandingkan ke dua wilayah lainnya yang ditinjau dalam penelitian ini (Banyuwangi dan

Ciamis). Selain itu, secara umum diperoleh gambaran bahwa dalam skala klimatologis (30 tahun), intensitas ekstrem

hujan yang tinggi tidak berbanding lurus dengan frekuensi kejadian ekstrem hujan yang tinggi pula di dua daerah

penelitian ini (Cilacap dan Ciamis).

Kata kunci: analisis, klimatologis, ekstremitas, hujan, sentenial

Abstract – Observation and analysis of spatial and temporal variation of extreme rainfall that occurred in the

Indonesian Maritime Continent (IMC), of which one part of the country to the other areas in the sentential scale (over

100 years) is important and still needed to support sustainable development in general, and for food security in

particular. The results obtained show that the intensity and frequency of extreme rainfall events that occurred in Cilacap

region is the highest state (with a value of 28468 mm/30 year that occurred in the period 1931-1960 and 41 extreme

rainfall events in the range 1931 to 1960, respectively) in compare to the other two areas of interest in this study

(Banyuwangi and Ciamis). Moreover, in general indicated that the climatologically scale (30 years), high intensity

rainfall extremes are not directly proportional to the frequency of extreme rainfall events are also high in these two

research areas (Cilacap and Ciamis).

Key words: analysis, climatologically, extremity, rain, sentential

I. PENDAHULUAN

Sebagaimana diketahui, cuaca adalah keadaan fisis

atmosfer pada suatu tempat pada suatu saat. Keadaan

fisis atmosfer ini dinyatakan atau diungkapkan dengan

hasil pengukuran berbagai unsur cuaca misalnya, suhu,

tekanan udara, kelembapan, angin, curah hujan,

penyinaran matahari dan lainnya. Sedang iklim

menggambarkan cuaca khas suatu daerah. Lebih tepatnya

iklim adalah statistik deskripsi jangka panjang (misalnya

30 tahun) rata-rata, varians, dan ekstrem yang berasal dari

cuaca yang diamati. Perlu diperhatikan bahwa the United

Nations Framework Convention on Climate Change

(UNFCCC) mendefinisikan perubahan iklim sebagai

perubahan yang disebabkan secara langsung atau tidak

langsung dari kegiatan manusia yang mengubah

komposisi global atmosfer dan yang merupakan

tambahan terhadap variabilitas iklim alami yang diamati

dari waktu ke waktu dalam periode waktu yang lama.

Dalam konteks ini, UNFCCC dengan tegas membuat

perbedaan pengertian antara perubahan iklim disebabkan

oleh kegiatan manusia yang mengubah komposisi

atmosfer, dengan variabilitas iklim disebabkan oleh

penyebab alami.

Selanjutnya, the Intergovernmental Panel on Climate

Change (IPCC) Fourth Assessment Report, (2007) dan

studi teknis lainnya dalam Alavian et al., (2009)

menyimpulkan bahwa catatan pengamatan dan proyeksi

iklim memberikan banyak bukti bahwa sumber daya air

tawar rentan dan memiliki potensi yang akan sangat

dipengaruhi oleh perubahan iklim, yang pada gilirannya

dapat mengancam kelangsungan hidup dan kehidupan

masyarakat manusia maupun ekosistem. Masing-masing

wilayah di seluruh dunia kemungkinan menghadapi

serangkaian tantangan yang unik yang berhubungan

dengan air dan perubahan iklim. Tantangan ini bisa

berasal dari dampak seperti dipercepatnya gletser

mencair, pola dan tingkat curah hujan maupun limpasan

yang berubah, banjir dan kekeringan yang ekstrem,

perubahan kualitas air, intrusi air asin pada akuifer

pesisir, dan perubahan dalam penggunaan air. Dalam

konteks ini, penekankan bahwa air akan harus digunakan

lebih efisien, bahwa praktek-praktek cerdas iklim harus

diadopsi dan bahwa negara-negara akan perlu bekerja

sama untuk mengelola sumber daya air merupakan hal

penting dan tidak boleh diabaikan.

Untuk skala ruang yang lebih kecil, misalnya di

wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI), pengamatan

maupun analisis variasi spasial dan temporal ekstrem

hujan yang terjadi dari bagian daerah yang satu ke bagian

daerah lainnya (dalam tahap penelitian kali ini dipilih tiga

Arief Suryantoro / Analisis Klimatologis Ekstremitas Hujan di Banyuwangi, Cilacap dan Ciamis

dalam Rentang Pengamatan Sentenial

247

Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014

ISSN : 0853-0823

kota besar di Jawa yaitu Banyuwangi, Cilacap dan

Ciamis), dalam skala sentenial (lebih dari 100 tahun)

merupakan hal yang penting dan tetap diperlukan untuk

menunjang pembangunan yang berkelanjutan pada

umumnya, dan untuk ketahanan pangan pada khususnya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan

memahami karakteristik curah hujan di Jawa pada

umumnya, dan wilayah / kota besar Banyuwangi, Cilacap

dan Ciamis pada khususnya (terutama bentuk/pola

bulanan dan kondisi ekstremnya) dalam rentang

pengamatan sentenial (ratusan tahun) dari Januari 1901 –

Desember 2012 sehingga dapat lebih dikenali dan

diantisipasi dampak kerugiannya jika di suatu saat ke

depan kondisi ekstrem hujan tersebut memang benar

terjadi.

II. METODE PENELITIAN Data utama yang digunakan adalah data curah hujan

bulanan wilayah/kota besar Banyuwangi (8,22 °LS;

114,37 °BT), Cilacap (7,73 °LS; 109,00 °BT) dan Ciamis

(7,33 °LS; 108,35 °BT). Perioda data untuk masing-

masing daerah adalah Januari 1901 – Desember 2003

(Banyuwangi), Januari 1901 – Desember 2002 (Ciamis)

dan Januari 1901 – Desember 2012 (Cilacap). Sumber

data adalah Badan Meteorologi Klimatologi dan

Geofisika (BMKG) Jakarta. data curah hujan bulanan

pada perioda Januari 1971 – Desember 2000 digunakan

sebagai acuan rata-rata klimatologis untuk daerah

Banyuwangi dan Ciamis; sedang untuk daerah Cilacap

digunakan data pada perioda Januari 1981 – Desember

2010. Ketidaksamaan perioda data untuk daerah

Banyuwangi dan Ciamis ini disebabkan oleh belum

terkumpulnya secara keseluruhan sampai 31 Januari 2014

(saat terakhir data ini akan diolah). Namun demikian, satu

hal yang sama diperoleh adalah adanya distribusi

frekuensi dari parameter iklim (hujan) yang diamati

selama periode waktu dan untuk suatu titik atau area

tertentu ternyata bervariasi sekitar nilai rata-rata.

Peristiwa ekstrem akan ditentukan oleh penyimpangan

dari nilai rata-rata dengan frekuensi kejadiannya rendah.

Dalam penelitian ini kriteria penentuan nilai ambang

(threshold) kondisi ekstrem curah hujan bulanan

mengacu pada kriteria persentil, baik persentil ke 90

(P90), ke 95 (P95) maupun persentil ke 99 (P99);

sebagaimana dilakukan dalam Haylock and Nicholls

(2000) maupun Zhang et al., (2011). Analisis pola

(pattern analysis) diterapkan terhadap data yang

diperoleh tersebut sehingga dapat diperoleh gambaran

variasi temporal (dalam skala klimatologis 30 tahun)

ekstrem hujan daerah/kota Banyuwangi, Cilacap dan

Ciamis perioda pengamatan Januari 1901-Desember

2012.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola bulanan curah hujan rata-rata klimatologis 1971 –

2000 (Banyuwangi dan Ciamis) 1981 – 2010 (Cilacap)

dan rata-rata sentenial 1901 – 2003 (Banyuwangi), 1901

– 2002 (Ciamis) dan 1901 – 2012 (Cilacap), nilai outlier

dan ambang ekstrem kriteria Persentil (90, 95 dan 99)

serta intensitas ekstrem hujan dan frekuensi kejadiannya

untuk wilayah/kota besar Cilacap, Banyuwangi dan

Ciamis masing-masing disajikan dalam Gambar 1 sampai

Gambar 9.

Gambar 1. Pola bulanan curah hujan Cilacap (7,73 °LS;

109,00 °BT) rata-rata klimatologis 1981 –

2010 dan rata-rata sentential 1901 – 2012.

Gambar 2. Serupa Gambar 1, tetapi untuk daerah

Banyuwangi (8,22 °LS; 114,37 °BT).

Gambar 3. Serupa Gambar 1, tetapi untuk daerah Ciamis

(7,33 °LS; 108,35 °BT).

Gambar 4. Pola bulanan curah hujan Cilacap (7,73 °LS;

109,00 °BT) rata-rata klimatologis 1981 –

2010, rata-rata sentential 1901 – 2012 dan

nilai outlier serta ambang ekstrem kriteria

Persentil (90, 95 dan 99).

Gambar 5. Serupa Gambar 4, tetapi untuk daerah

Banyuwangi (8,22 °LS; 114,37 °BT).

Gambar 6. Serupa Gambar 4, tetapi untuk daerah Ciamis

(7,33 °LS; 108,35 °BT).

248 Arief Suryantoro / Analisis Klimatologis Ekstremitas Hujan di Banyuwangi, Cilacap dan Ciamis

dalam Rentang Pengamatan Sentenial

Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014

ISSN : 0853-0823

Gambar 7. Intensitas ekstrem hujan daerah Banyuwangi

(8,22 °LS; 114,37 °BT) dan frekuensi

kejadiannya perioda 1901 – 2003.

Gambar 8. Serupa gambar 7, tetapi untuk daerah Ciamis

(7,33 °LS; 108,35 °BT) perioda 1901 – 2002.

Gambar 9. Serupa gambar 7, tetapi untuk daerah Cilacap

(7,73 °LS; 109,00 °BT) perioda 1901 – 2012.

Dalam Gambar 1, 2 dan 3 di atas terlihat bahwa pola

utama curah hujan bulanan untuk daerah Cilacap,

Banyuwangi dan Ciamis menunjukkan adanya pola curah

hujan equatorial (Cilacap) dan pola curah hujan monsunal

(Banyuwangi dan Ciamis). Hal ini sedikit berbeda dengan

kajian peneliti lain, misalnya Aldrian dan Susanto (2003)

maupun Tjasyono (2004). Secara umum (global) Aldrian

dan Susanto (2003) maupun Tjasyono (2004)

menunjukkan bahwa wilayah selatan dan tengah

Indonesia dari Sumatera bagian Selatan, seluruh Jawa

sampai ke Pulau Timor, bagian selatan dari Kalimantan,

bagian selatan dari Sulawesi, dan bagian selatan dari Irian

Jaya adalah daerah-daerah di Indonesia yang memiliki

pola utama curah hujan monsunal. Pola curah hujan

monsunal adalah salah satu pola curah hujan yang

terdapat di Indonesia yang memiliki puncak intensitas

curah hujan bulanan satu kali dalam satu tahun (uni

moda) yang terjadi pada bulan-bulan Desember, Januari

atau Februari. Pada pola monsunal ini intensitas curah

hujan bulanan minimum juga terjadi satu kali dalam satu

tahun yang terjadi pada bulan-bulan Juni, Juli atau

Agustus.

Secara lebih rinci, dari Gambar 2 dan 3 terlihat bahwa

puncak intensitas curah hujan bulanan terjadi pada bulan

Januari dengan nilai akumulasi curah hujan sebesar 221

mm (Banyuwangi) dan sebesar 408 mm (Ciamis), sedang

intensitas curah hujan bulanan minimum di kedua daerah

yang ditinjau ini masing-masing terjadi pada bulan

September dengan nilai akumulasi curah hujan sebesar 47

mm (Banyuwangi) dan Agustus sebesar 94 mm (Ciamis).

Dalam Gambar 2 dan 3 di atas juga dapat diindikasikan

bahwa pengaruh monsun Asia Timur dan Tenggara (yang

bersesuaian dengan perioda DJF : Desember, Januari,

Februari) dan pengaruh monsun Australia Utara (yang

bersesuaian dengan perioda JJA : Juni, Juli, Agustus)

lebih kuat terjadi di wilayah Ciamis dibandingkan

Banyuwangi. Hal ini ditunjukkan dalam nilai selisih

curah hujan perioda Januari dan Juli yang lebih besar di

wilayah Ciamis (314 mm) dibanding Banyuwangi (173

mm). Selanjutnya, dari Gambar 1 dapat kita peroleh

gambaran secara umum bahwa pola bulanan curah hujan

di wilayah Cilacap (7,73 °LS; 109,00 °BT) berbeda

dengan wilayah Banyuwangi (8,22 °LS; 114,37 °BT) dan

Ciamis (7,33 °LS; 108,35 °BT). Di daerah Cilacap ini

memiliki akumulasi puncak curah hujan dua kali dalam

satu tahun (Mei dan Nopember, masing-masing sebesar

289 mm dan 457 mm), dan memiliki akumulasi lembah

curah hujan satu kali dalam satu tahun (Agustus sebesar

153 mm). Pola seperti ini dikenal sebagai pola curah

hujan ekuatorial. Dari Gambar 1 ini dapat pula

diindikasikan bahwa pergerakan semu matahari

sepanjang tahunnya dari posisi Tropic of Cancer 23,5

°LU (22 Juni) ke Equator 0,0 °LU/°LS (23 September)

terus ke Tropic of Capricorn 23,5 °LS (22 Desember)

kemudian kembali ke Equator 0,0 °LU/°LS (21 Maret)

dan kembali lagi ke posisi Tropic of Cancer 23,5 °LU (22

Juni) sebagai faktor utama penyebab terjadinya pola

bulanan curah hujan equatorial di wilayah Cilacap ini.

Dari Gambar 4, 5 dan 6 terlihat bahwa secara umum

variasi temporal curah hujan (rata-rata klimatologis, rata-

rata sentenial dan nilai outlier serta ambang ekstrem

kriteria Persentil) di ketiga daerah yang ditinjau dalam

penelitian ini memiliki pola yang serupa / sebanding.

Dalam pengertian bahwa bulan Januari merupakan bulan

dengan nilai-nilai rata-rata klimatologis, rata-rata

sentenial dan nilai outlier serta ambang ekstrem kriteria

Persentil (90, 95 dan 99) curah hujan tertinggi untuk

wilayah Banyuwangi dan Ciamis dan bulan Agustus

merupakan bulan dengan nilai rata-rata klimatologis,

rata-rata sentenial dan nilai outlier serta ambang ekstrem

kriteria Persentil (90, 95 dan 99) curah hujan terendah di

wilayah Ciamis; sedang untuk wilayah Banyuwangi hal

yang sama ini (curah hujan terendah) terjadi pada bulan

September. Dan untuk wilayah Cilacap, nilai rata-rata

klimatologis, rata-rata sentenial dan nilai outlier serta

ambang ekstrem kriteria Persentil (90, 95 dan 99) curah

hujan tertinggi terjadi pada bulan Mei dan Nopember dan

terendahnya terjadi pada bulan Agustus.

Sedang dari Gambar 7, 8 dan 9 secara umum dapat

diungkapkan bahwa pola utama hujan di Banyuwangi

(Gambar 7) adalah pola monsunal; akumulasi hujan

maksimum terjadi di bulan Janari (221 mm), dan

minimum terjadi di bulan September (47 mm). Ambang

ekstrem Persentil 90 (P90) memiliki nilai maksimum di

bulan Januari (366 mm), dan nilai P90 ini memiliki nilai

perbandingan sebesar 162,7% terhadap rata-rata

klimatologis 1971-2000. Disisi lain; P90 memiliki nilai

minimum di bulan Agustus sebesar 130 mm, dan nilai ini

sudah memiliki nilai perbandingan sebesar 270,8%

terhadap rata-rata klimatologis 1971-2000. Dalam skala

klimatologis (30 tahun), frekuensi kejadian ekstrem hujan

tertinggi terjadi pada perioda 1901-1930 sebanyak 44

kali; kemudian disusul pada perioda 1961-1990 dengan

Arief Suryantoro / Analisis Klimatologis Ekstremitas Hujan di Banyuwangi, Cilacap dan Ciamis

dalam Rentang Pengamatan Sentenial

249

Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014

ISSN : 0853-0823

nilai 37 kali; kemudian disusul pada perioda 1931-1960

sebanyak 24 kali; dan yang terkecil terjadi pada perioda

1991-2002 sebesar 16 kali. Intensitas ekstrem hujan

tertinggi terjadi pada perioda 1901-1930 (12270 mm/30

tahun); disusul perioda 1961-1990 (8697 mm/30 tahun);

lalu perioda 1931-1960 (5601 mm/30 tahun); dan terkecil

terjadi pada perioda 1991-2003 (4743 mm/15 tahun).

Dengan demikian, secara ringkas dapat diungkapkan

bahwa untuk wilayah Banyuwangi, intensitas ekstrem

hujan dalam perioda 30 tahun berbanding lurus dengan

frekuensi kejadian ekstrem hujannya.

Untuk daerah Ciamis (Gambar 8.), pola utama hujan di

Ciamis adalah pola monsunal; akumulasi hujan

maksimum terjadi di bulan Januari (408 mm), dan

minimum terjadi di bulan Agustus (94 mm). Ambang

ekstrem Persentil 90 (P90) memiliki nilai maksimum di

bulan Januari (721mm), dan nilai P90 ini memiliki nilai

perbandingan sebesar 195,4% terhadap rata-rata

klimatologis 1971-2000. Disisi lain; P90 memiliki nilai

minimum di bulan Agustus sebesar 227 mm, dan nilai ini

sudah memiliki nilai perbandingan sebesar 273,5%

terhadap rata-rata klimatologis 1971-2000. Dalam skala

klimatologis (30 tahun), frekuensi kejadian ekstrem hujan

tertinggi terjadi pada perioda 1961-1990 sebanyak 28

kali; kemudian disusul pada perioda 1901-1930 yang

nilai frekuensinya sama dengan perioda 1931-1960

sebanyak 21 kali; dan yang terkecil terjadi pada perioda

1991-2002 sebesar 8 kali. Intensitas ekstrem hujan

tertinggi terjadi pada perioda 1961-1990 (14178 mm/30

tahun); disusul perioda 1901-1930 (13315 mm/30 tahun);

lalu perioda 1931-1960 (11322 mm/30 tahun). Dengan

demikian, secara ringkas dapat diungkapkan bahwa untuk

wilayah Ciamis, intensitas ekstrem hujan dalam perioda

30 tahun tidak berbanding lurus dengan frekuensi

kejadian ekstrem hujannya.

Sedang untuk wilayah Cilacap (Gambar 9.), pola

utama hujan di wilayah ini adalah pola equatorial;

akumulasi hujan maksimum terjadi di bulan Maret (289

mm) dan Nopember (444 mm), dan minimum terjadi di

bulan Agustus (83 mm). Ambang ekstrem Persentil 90

(P90) memiliki nilai maksimum di bulan Oktober (835

mm), dan nilai P90 ini memiliki nilai perbandingan

sebesar 307,0% terhadap rata-rata klimatologis 1981-

2010. Di sisi lain; P90 memiliki nilai minimum di bulan

Februari sebesar 384 mm, dan nilai ini sudah memiliki

nilai perbandingan sebesar 166,2% terhadap rata-rata

klimatologis 1981-2010. Dalam skala klimatologis (30

tahun), frekuensi kejadian ekstrem hujan tertinggi terjadi

pada perioda 1931-1960 sebanyak 41 kali; kemudian

disusul pada perioda 1901-1930 dengan nilai 38 kali;

kemudian disusul pada perioda 1961-1990 sebanyak 30

kali; dan yang terkecil terjadi pada perioda 1991-2012

sebesar 23 kali. Intensitas ekstrem hujan tertinggi terjadi

pada perioda 1931-1960 (28649 mm/30 tahun); disusul

perioda 1901-1930 (25534 mm/30 tahun); lalu perioda

1961-1990 (20765 mm/30 tahun); dan terkecil terjadi

pada perioda 1991-2012 (12395 mm/22 tahun). Dengan

demikian, secara ringkas dapat diungkapkan bahwa untuk

wilayah Cilacap, intensitas ekstrem hujan dalam perioda

30 tahun tidak berbanding lurus dengan frekuensi

kejadian ekstrem hujannya.

IV. KESIMPULAN Pola utama curah hujan bulanan di daerah yang

ditinjau dalam penelitian ini menunjukkan adanya pola

curah hujan equatorial (Cilacap) dan pola curah hujan

monsunal (Banyuwangi dan Ciamis). Akumulasi puncak

curah hujan bulanan di daerah Banyuwangi dan Ciamis

terjadi pada bulan Januari dengan nilai akumulasi curah

hujan sebesar 221 mm (Banyuwangi) dan sebesar 408

mm (Ciamis), sedang akumulasi curah hujan bulanan

minimum di kedua daerah yang ditinjau ini masing-

masing terjadi pada bulan September dengan nilai

akumulasi curah hujan sebesar 47 mm (Banyuwangi) dan

Agustus sebesar 94 mm (Ciamis). Adapun akumulasi

puncak curah hujan di daerah Cilacap terjadi dua kali

dalam satu tahun (Mei dan Nopember, masing-masing

sebesar 289 mm dan 457 mm), dan memiliki akumulasi

lembah curah hujan satu kali dalam satu tahun (Agustus

sebesar 153 mm). Untuk wilayah Banyuwangi, intensitas

ekstrem hujan dalam skala waktu klimatologis 30 tahun

berbanding lurus dengan frekuensi kejadian ekstrem

hujannya; sedang untuk wilayah Ciamis dan Cilacap

intensitas ekstrem hujan dalam skala waktu klimatologis

30 tahun tidak berbanding lurus dengan frekuensi

kejadian ekstrem hujannya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr.

Eddy Hermawan; Dr. Didi Satiadi dan Drs. Afif

Budiyono, M.T., atas saran-saran dan diskusi yang

konstruktif sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan

dengan baik. Penelitian ini merupakan bagian dari

Penelitian dan Pengembangan Sains Atmosfer tahun

anggaran 2013 yang ada di Pusat Sains dan Teknologi

Atmosfer (PSTA), Lembaga Penerbangan dan Antariksa

Nasional (LAPAN).

PUSTAKA [1] Alavian, V., HM Qaddumi, E. Dickson, S.M. Diaz, A.V.

Danilenke, R.F. Hirji, G.Puz, C. Pizarro, M. Jacobson,

and B. Blankespoor, Water and Climate Change:

Understanding the Risks and Making Climate-Smart

Investment Decisions, Office of the Publisher, The World

Bank, 1818 H Street NW, Washington, DC 20433, USA,

2009, pp.1-140.

[2] E. Aldrian. and R.D. Susanto, Identification of Three

Dominant Rainfall Regions within Indonesia and Their

Relationship to Sea Surface Temperature, Int. Jour. of

Clim., vol. 23, 2003, pp.1435-1452.

[3] M . Haylock, and N. Nicholls, Trends in Extreme Rainfall

Indecs for an Updated High Quality Data Set for

Australia, 1910 – 1998, Int. Jour. of Clim., vol.20, 2000,

pp. 1533-1541.

[4] IPCC, Summary for policymakers. In Climate Change

2007: The Physical Science Basis. Contribution of

Working Group I to the Fourth Assessment Report of the

Intergovernmental Panel on Climate Change, 2007.

[5] B.H.K. Tjasyono, Unsur-unsur cuaca dan iklim; Sirkulasi

umum atmosfer dan angin lokal. Dari : Klimatologi,

Penerbit ITB, Bandung, 2004, pp.11-38; 66-86.

[6] Q. Zhang, X. Chen, and B. Stefan, Spatio-Temporal

Variations of Precipitation Extremes in the Yangtze River

Basin (1960-2002), China, Atmospheric and Climate

Sciences, 2011, 1, pp.1-8.

(http://www.SciRP.org/journal/acs).