Upload
lykien
View
218
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
246 Arief Suryantoro / Analisis Klimatologis Ekstremitas Hujan di Banyuwangi, Cilacap dan Ciamis
dalam Rentang Pengamatan Sentenial
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014
ISSN : 0853-0823
Analisis Klimatologis Ekstremitas Hujan di Banyuwangi, Cilacap dan
Ciamis dalam Rentang Pengamatan Sentenial
Arief Suryantoro Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN
Jalan Dr. Djundjunan No. 133 Bandung, 40173
Email: [email protected]; [email protected]
Abstrak – Pengamatan maupun analisis variasi spasial dan temporal ekstrem hujan yang terjadi di wilayah Benua
Maritim Indonesia (BMI), dari bagian daerah yang satu ke bagian daerah lainnya, dalam skala sentenial (lebih dari 100
tahun) merupakan hal yang penting dan tetap diperlukan untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan pada
umumnya, dan untuk ketahanan pangan pada khususnya. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
intensitas ekstrem hujan dan frekuensi kejadian ekstrem hujan yang terjadi di Cilacap merupakan keadaan tertinggi
(dengan nilai masing-masing 28468 mm/30 tahun yang terjadi pada perioda 1931-1960 dan 41 kejadian ekstrem hujan
dalam rentang yang sama) di bandingkan ke dua wilayah lainnya yang ditinjau dalam penelitian ini (Banyuwangi dan
Ciamis). Selain itu, secara umum diperoleh gambaran bahwa dalam skala klimatologis (30 tahun), intensitas ekstrem
hujan yang tinggi tidak berbanding lurus dengan frekuensi kejadian ekstrem hujan yang tinggi pula di dua daerah
penelitian ini (Cilacap dan Ciamis).
Kata kunci: analisis, klimatologis, ekstremitas, hujan, sentenial
Abstract – Observation and analysis of spatial and temporal variation of extreme rainfall that occurred in the
Indonesian Maritime Continent (IMC), of which one part of the country to the other areas in the sentential scale (over
100 years) is important and still needed to support sustainable development in general, and for food security in
particular. The results obtained show that the intensity and frequency of extreme rainfall events that occurred in Cilacap
region is the highest state (with a value of 28468 mm/30 year that occurred in the period 1931-1960 and 41 extreme
rainfall events in the range 1931 to 1960, respectively) in compare to the other two areas of interest in this study
(Banyuwangi and Ciamis). Moreover, in general indicated that the climatologically scale (30 years), high intensity
rainfall extremes are not directly proportional to the frequency of extreme rainfall events are also high in these two
research areas (Cilacap and Ciamis).
Key words: analysis, climatologically, extremity, rain, sentential
I. PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui, cuaca adalah keadaan fisis
atmosfer pada suatu tempat pada suatu saat. Keadaan
fisis atmosfer ini dinyatakan atau diungkapkan dengan
hasil pengukuran berbagai unsur cuaca misalnya, suhu,
tekanan udara, kelembapan, angin, curah hujan,
penyinaran matahari dan lainnya. Sedang iklim
menggambarkan cuaca khas suatu daerah. Lebih tepatnya
iklim adalah statistik deskripsi jangka panjang (misalnya
30 tahun) rata-rata, varians, dan ekstrem yang berasal dari
cuaca yang diamati. Perlu diperhatikan bahwa the United
Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC) mendefinisikan perubahan iklim sebagai
perubahan yang disebabkan secara langsung atau tidak
langsung dari kegiatan manusia yang mengubah
komposisi global atmosfer dan yang merupakan
tambahan terhadap variabilitas iklim alami yang diamati
dari waktu ke waktu dalam periode waktu yang lama.
Dalam konteks ini, UNFCCC dengan tegas membuat
perbedaan pengertian antara perubahan iklim disebabkan
oleh kegiatan manusia yang mengubah komposisi
atmosfer, dengan variabilitas iklim disebabkan oleh
penyebab alami.
Selanjutnya, the Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) Fourth Assessment Report, (2007) dan
studi teknis lainnya dalam Alavian et al., (2009)
menyimpulkan bahwa catatan pengamatan dan proyeksi
iklim memberikan banyak bukti bahwa sumber daya air
tawar rentan dan memiliki potensi yang akan sangat
dipengaruhi oleh perubahan iklim, yang pada gilirannya
dapat mengancam kelangsungan hidup dan kehidupan
masyarakat manusia maupun ekosistem. Masing-masing
wilayah di seluruh dunia kemungkinan menghadapi
serangkaian tantangan yang unik yang berhubungan
dengan air dan perubahan iklim. Tantangan ini bisa
berasal dari dampak seperti dipercepatnya gletser
mencair, pola dan tingkat curah hujan maupun limpasan
yang berubah, banjir dan kekeringan yang ekstrem,
perubahan kualitas air, intrusi air asin pada akuifer
pesisir, dan perubahan dalam penggunaan air. Dalam
konteks ini, penekankan bahwa air akan harus digunakan
lebih efisien, bahwa praktek-praktek cerdas iklim harus
diadopsi dan bahwa negara-negara akan perlu bekerja
sama untuk mengelola sumber daya air merupakan hal
penting dan tidak boleh diabaikan.
Untuk skala ruang yang lebih kecil, misalnya di
wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI), pengamatan
maupun analisis variasi spasial dan temporal ekstrem
hujan yang terjadi dari bagian daerah yang satu ke bagian
daerah lainnya (dalam tahap penelitian kali ini dipilih tiga
Arief Suryantoro / Analisis Klimatologis Ekstremitas Hujan di Banyuwangi, Cilacap dan Ciamis
dalam Rentang Pengamatan Sentenial
247
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014
ISSN : 0853-0823
kota besar di Jawa yaitu Banyuwangi, Cilacap dan
Ciamis), dalam skala sentenial (lebih dari 100 tahun)
merupakan hal yang penting dan tetap diperlukan untuk
menunjang pembangunan yang berkelanjutan pada
umumnya, dan untuk ketahanan pangan pada khususnya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
memahami karakteristik curah hujan di Jawa pada
umumnya, dan wilayah / kota besar Banyuwangi, Cilacap
dan Ciamis pada khususnya (terutama bentuk/pola
bulanan dan kondisi ekstremnya) dalam rentang
pengamatan sentenial (ratusan tahun) dari Januari 1901 –
Desember 2012 sehingga dapat lebih dikenali dan
diantisipasi dampak kerugiannya jika di suatu saat ke
depan kondisi ekstrem hujan tersebut memang benar
terjadi.
II. METODE PENELITIAN Data utama yang digunakan adalah data curah hujan
bulanan wilayah/kota besar Banyuwangi (8,22 °LS;
114,37 °BT), Cilacap (7,73 °LS; 109,00 °BT) dan Ciamis
(7,33 °LS; 108,35 °BT). Perioda data untuk masing-
masing daerah adalah Januari 1901 – Desember 2003
(Banyuwangi), Januari 1901 – Desember 2002 (Ciamis)
dan Januari 1901 – Desember 2012 (Cilacap). Sumber
data adalah Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika (BMKG) Jakarta. data curah hujan bulanan
pada perioda Januari 1971 – Desember 2000 digunakan
sebagai acuan rata-rata klimatologis untuk daerah
Banyuwangi dan Ciamis; sedang untuk daerah Cilacap
digunakan data pada perioda Januari 1981 – Desember
2010. Ketidaksamaan perioda data untuk daerah
Banyuwangi dan Ciamis ini disebabkan oleh belum
terkumpulnya secara keseluruhan sampai 31 Januari 2014
(saat terakhir data ini akan diolah). Namun demikian, satu
hal yang sama diperoleh adalah adanya distribusi
frekuensi dari parameter iklim (hujan) yang diamati
selama periode waktu dan untuk suatu titik atau area
tertentu ternyata bervariasi sekitar nilai rata-rata.
Peristiwa ekstrem akan ditentukan oleh penyimpangan
dari nilai rata-rata dengan frekuensi kejadiannya rendah.
Dalam penelitian ini kriteria penentuan nilai ambang
(threshold) kondisi ekstrem curah hujan bulanan
mengacu pada kriteria persentil, baik persentil ke 90
(P90), ke 95 (P95) maupun persentil ke 99 (P99);
sebagaimana dilakukan dalam Haylock and Nicholls
(2000) maupun Zhang et al., (2011). Analisis pola
(pattern analysis) diterapkan terhadap data yang
diperoleh tersebut sehingga dapat diperoleh gambaran
variasi temporal (dalam skala klimatologis 30 tahun)
ekstrem hujan daerah/kota Banyuwangi, Cilacap dan
Ciamis perioda pengamatan Januari 1901-Desember
2012.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola bulanan curah hujan rata-rata klimatologis 1971 –
2000 (Banyuwangi dan Ciamis) 1981 – 2010 (Cilacap)
dan rata-rata sentenial 1901 – 2003 (Banyuwangi), 1901
– 2002 (Ciamis) dan 1901 – 2012 (Cilacap), nilai outlier
dan ambang ekstrem kriteria Persentil (90, 95 dan 99)
serta intensitas ekstrem hujan dan frekuensi kejadiannya
untuk wilayah/kota besar Cilacap, Banyuwangi dan
Ciamis masing-masing disajikan dalam Gambar 1 sampai
Gambar 9.
Gambar 1. Pola bulanan curah hujan Cilacap (7,73 °LS;
109,00 °BT) rata-rata klimatologis 1981 –
2010 dan rata-rata sentential 1901 – 2012.
Gambar 2. Serupa Gambar 1, tetapi untuk daerah
Banyuwangi (8,22 °LS; 114,37 °BT).
Gambar 3. Serupa Gambar 1, tetapi untuk daerah Ciamis
(7,33 °LS; 108,35 °BT).
Gambar 4. Pola bulanan curah hujan Cilacap (7,73 °LS;
109,00 °BT) rata-rata klimatologis 1981 –
2010, rata-rata sentential 1901 – 2012 dan
nilai outlier serta ambang ekstrem kriteria
Persentil (90, 95 dan 99).
Gambar 5. Serupa Gambar 4, tetapi untuk daerah
Banyuwangi (8,22 °LS; 114,37 °BT).
Gambar 6. Serupa Gambar 4, tetapi untuk daerah Ciamis
(7,33 °LS; 108,35 °BT).
248 Arief Suryantoro / Analisis Klimatologis Ekstremitas Hujan di Banyuwangi, Cilacap dan Ciamis
dalam Rentang Pengamatan Sentenial
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014
ISSN : 0853-0823
Gambar 7. Intensitas ekstrem hujan daerah Banyuwangi
(8,22 °LS; 114,37 °BT) dan frekuensi
kejadiannya perioda 1901 – 2003.
Gambar 8. Serupa gambar 7, tetapi untuk daerah Ciamis
(7,33 °LS; 108,35 °BT) perioda 1901 – 2002.
Gambar 9. Serupa gambar 7, tetapi untuk daerah Cilacap
(7,73 °LS; 109,00 °BT) perioda 1901 – 2012.
Dalam Gambar 1, 2 dan 3 di atas terlihat bahwa pola
utama curah hujan bulanan untuk daerah Cilacap,
Banyuwangi dan Ciamis menunjukkan adanya pola curah
hujan equatorial (Cilacap) dan pola curah hujan monsunal
(Banyuwangi dan Ciamis). Hal ini sedikit berbeda dengan
kajian peneliti lain, misalnya Aldrian dan Susanto (2003)
maupun Tjasyono (2004). Secara umum (global) Aldrian
dan Susanto (2003) maupun Tjasyono (2004)
menunjukkan bahwa wilayah selatan dan tengah
Indonesia dari Sumatera bagian Selatan, seluruh Jawa
sampai ke Pulau Timor, bagian selatan dari Kalimantan,
bagian selatan dari Sulawesi, dan bagian selatan dari Irian
Jaya adalah daerah-daerah di Indonesia yang memiliki
pola utama curah hujan monsunal. Pola curah hujan
monsunal adalah salah satu pola curah hujan yang
terdapat di Indonesia yang memiliki puncak intensitas
curah hujan bulanan satu kali dalam satu tahun (uni
moda) yang terjadi pada bulan-bulan Desember, Januari
atau Februari. Pada pola monsunal ini intensitas curah
hujan bulanan minimum juga terjadi satu kali dalam satu
tahun yang terjadi pada bulan-bulan Juni, Juli atau
Agustus.
Secara lebih rinci, dari Gambar 2 dan 3 terlihat bahwa
puncak intensitas curah hujan bulanan terjadi pada bulan
Januari dengan nilai akumulasi curah hujan sebesar 221
mm (Banyuwangi) dan sebesar 408 mm (Ciamis), sedang
intensitas curah hujan bulanan minimum di kedua daerah
yang ditinjau ini masing-masing terjadi pada bulan
September dengan nilai akumulasi curah hujan sebesar 47
mm (Banyuwangi) dan Agustus sebesar 94 mm (Ciamis).
Dalam Gambar 2 dan 3 di atas juga dapat diindikasikan
bahwa pengaruh monsun Asia Timur dan Tenggara (yang
bersesuaian dengan perioda DJF : Desember, Januari,
Februari) dan pengaruh monsun Australia Utara (yang
bersesuaian dengan perioda JJA : Juni, Juli, Agustus)
lebih kuat terjadi di wilayah Ciamis dibandingkan
Banyuwangi. Hal ini ditunjukkan dalam nilai selisih
curah hujan perioda Januari dan Juli yang lebih besar di
wilayah Ciamis (314 mm) dibanding Banyuwangi (173
mm). Selanjutnya, dari Gambar 1 dapat kita peroleh
gambaran secara umum bahwa pola bulanan curah hujan
di wilayah Cilacap (7,73 °LS; 109,00 °BT) berbeda
dengan wilayah Banyuwangi (8,22 °LS; 114,37 °BT) dan
Ciamis (7,33 °LS; 108,35 °BT). Di daerah Cilacap ini
memiliki akumulasi puncak curah hujan dua kali dalam
satu tahun (Mei dan Nopember, masing-masing sebesar
289 mm dan 457 mm), dan memiliki akumulasi lembah
curah hujan satu kali dalam satu tahun (Agustus sebesar
153 mm). Pola seperti ini dikenal sebagai pola curah
hujan ekuatorial. Dari Gambar 1 ini dapat pula
diindikasikan bahwa pergerakan semu matahari
sepanjang tahunnya dari posisi Tropic of Cancer 23,5
°LU (22 Juni) ke Equator 0,0 °LU/°LS (23 September)
terus ke Tropic of Capricorn 23,5 °LS (22 Desember)
kemudian kembali ke Equator 0,0 °LU/°LS (21 Maret)
dan kembali lagi ke posisi Tropic of Cancer 23,5 °LU (22
Juni) sebagai faktor utama penyebab terjadinya pola
bulanan curah hujan equatorial di wilayah Cilacap ini.
Dari Gambar 4, 5 dan 6 terlihat bahwa secara umum
variasi temporal curah hujan (rata-rata klimatologis, rata-
rata sentenial dan nilai outlier serta ambang ekstrem
kriteria Persentil) di ketiga daerah yang ditinjau dalam
penelitian ini memiliki pola yang serupa / sebanding.
Dalam pengertian bahwa bulan Januari merupakan bulan
dengan nilai-nilai rata-rata klimatologis, rata-rata
sentenial dan nilai outlier serta ambang ekstrem kriteria
Persentil (90, 95 dan 99) curah hujan tertinggi untuk
wilayah Banyuwangi dan Ciamis dan bulan Agustus
merupakan bulan dengan nilai rata-rata klimatologis,
rata-rata sentenial dan nilai outlier serta ambang ekstrem
kriteria Persentil (90, 95 dan 99) curah hujan terendah di
wilayah Ciamis; sedang untuk wilayah Banyuwangi hal
yang sama ini (curah hujan terendah) terjadi pada bulan
September. Dan untuk wilayah Cilacap, nilai rata-rata
klimatologis, rata-rata sentenial dan nilai outlier serta
ambang ekstrem kriteria Persentil (90, 95 dan 99) curah
hujan tertinggi terjadi pada bulan Mei dan Nopember dan
terendahnya terjadi pada bulan Agustus.
Sedang dari Gambar 7, 8 dan 9 secara umum dapat
diungkapkan bahwa pola utama hujan di Banyuwangi
(Gambar 7) adalah pola monsunal; akumulasi hujan
maksimum terjadi di bulan Janari (221 mm), dan
minimum terjadi di bulan September (47 mm). Ambang
ekstrem Persentil 90 (P90) memiliki nilai maksimum di
bulan Januari (366 mm), dan nilai P90 ini memiliki nilai
perbandingan sebesar 162,7% terhadap rata-rata
klimatologis 1971-2000. Disisi lain; P90 memiliki nilai
minimum di bulan Agustus sebesar 130 mm, dan nilai ini
sudah memiliki nilai perbandingan sebesar 270,8%
terhadap rata-rata klimatologis 1971-2000. Dalam skala
klimatologis (30 tahun), frekuensi kejadian ekstrem hujan
tertinggi terjadi pada perioda 1901-1930 sebanyak 44
kali; kemudian disusul pada perioda 1961-1990 dengan
Arief Suryantoro / Analisis Klimatologis Ekstremitas Hujan di Banyuwangi, Cilacap dan Ciamis
dalam Rentang Pengamatan Sentenial
249
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014
ISSN : 0853-0823
nilai 37 kali; kemudian disusul pada perioda 1931-1960
sebanyak 24 kali; dan yang terkecil terjadi pada perioda
1991-2002 sebesar 16 kali. Intensitas ekstrem hujan
tertinggi terjadi pada perioda 1901-1930 (12270 mm/30
tahun); disusul perioda 1961-1990 (8697 mm/30 tahun);
lalu perioda 1931-1960 (5601 mm/30 tahun); dan terkecil
terjadi pada perioda 1991-2003 (4743 mm/15 tahun).
Dengan demikian, secara ringkas dapat diungkapkan
bahwa untuk wilayah Banyuwangi, intensitas ekstrem
hujan dalam perioda 30 tahun berbanding lurus dengan
frekuensi kejadian ekstrem hujannya.
Untuk daerah Ciamis (Gambar 8.), pola utama hujan di
Ciamis adalah pola monsunal; akumulasi hujan
maksimum terjadi di bulan Januari (408 mm), dan
minimum terjadi di bulan Agustus (94 mm). Ambang
ekstrem Persentil 90 (P90) memiliki nilai maksimum di
bulan Januari (721mm), dan nilai P90 ini memiliki nilai
perbandingan sebesar 195,4% terhadap rata-rata
klimatologis 1971-2000. Disisi lain; P90 memiliki nilai
minimum di bulan Agustus sebesar 227 mm, dan nilai ini
sudah memiliki nilai perbandingan sebesar 273,5%
terhadap rata-rata klimatologis 1971-2000. Dalam skala
klimatologis (30 tahun), frekuensi kejadian ekstrem hujan
tertinggi terjadi pada perioda 1961-1990 sebanyak 28
kali; kemudian disusul pada perioda 1901-1930 yang
nilai frekuensinya sama dengan perioda 1931-1960
sebanyak 21 kali; dan yang terkecil terjadi pada perioda
1991-2002 sebesar 8 kali. Intensitas ekstrem hujan
tertinggi terjadi pada perioda 1961-1990 (14178 mm/30
tahun); disusul perioda 1901-1930 (13315 mm/30 tahun);
lalu perioda 1931-1960 (11322 mm/30 tahun). Dengan
demikian, secara ringkas dapat diungkapkan bahwa untuk
wilayah Ciamis, intensitas ekstrem hujan dalam perioda
30 tahun tidak berbanding lurus dengan frekuensi
kejadian ekstrem hujannya.
Sedang untuk wilayah Cilacap (Gambar 9.), pola
utama hujan di wilayah ini adalah pola equatorial;
akumulasi hujan maksimum terjadi di bulan Maret (289
mm) dan Nopember (444 mm), dan minimum terjadi di
bulan Agustus (83 mm). Ambang ekstrem Persentil 90
(P90) memiliki nilai maksimum di bulan Oktober (835
mm), dan nilai P90 ini memiliki nilai perbandingan
sebesar 307,0% terhadap rata-rata klimatologis 1981-
2010. Di sisi lain; P90 memiliki nilai minimum di bulan
Februari sebesar 384 mm, dan nilai ini sudah memiliki
nilai perbandingan sebesar 166,2% terhadap rata-rata
klimatologis 1981-2010. Dalam skala klimatologis (30
tahun), frekuensi kejadian ekstrem hujan tertinggi terjadi
pada perioda 1931-1960 sebanyak 41 kali; kemudian
disusul pada perioda 1901-1930 dengan nilai 38 kali;
kemudian disusul pada perioda 1961-1990 sebanyak 30
kali; dan yang terkecil terjadi pada perioda 1991-2012
sebesar 23 kali. Intensitas ekstrem hujan tertinggi terjadi
pada perioda 1931-1960 (28649 mm/30 tahun); disusul
perioda 1901-1930 (25534 mm/30 tahun); lalu perioda
1961-1990 (20765 mm/30 tahun); dan terkecil terjadi
pada perioda 1991-2012 (12395 mm/22 tahun). Dengan
demikian, secara ringkas dapat diungkapkan bahwa untuk
wilayah Cilacap, intensitas ekstrem hujan dalam perioda
30 tahun tidak berbanding lurus dengan frekuensi
kejadian ekstrem hujannya.
IV. KESIMPULAN Pola utama curah hujan bulanan di daerah yang
ditinjau dalam penelitian ini menunjukkan adanya pola
curah hujan equatorial (Cilacap) dan pola curah hujan
monsunal (Banyuwangi dan Ciamis). Akumulasi puncak
curah hujan bulanan di daerah Banyuwangi dan Ciamis
terjadi pada bulan Januari dengan nilai akumulasi curah
hujan sebesar 221 mm (Banyuwangi) dan sebesar 408
mm (Ciamis), sedang akumulasi curah hujan bulanan
minimum di kedua daerah yang ditinjau ini masing-
masing terjadi pada bulan September dengan nilai
akumulasi curah hujan sebesar 47 mm (Banyuwangi) dan
Agustus sebesar 94 mm (Ciamis). Adapun akumulasi
puncak curah hujan di daerah Cilacap terjadi dua kali
dalam satu tahun (Mei dan Nopember, masing-masing
sebesar 289 mm dan 457 mm), dan memiliki akumulasi
lembah curah hujan satu kali dalam satu tahun (Agustus
sebesar 153 mm). Untuk wilayah Banyuwangi, intensitas
ekstrem hujan dalam skala waktu klimatologis 30 tahun
berbanding lurus dengan frekuensi kejadian ekstrem
hujannya; sedang untuk wilayah Ciamis dan Cilacap
intensitas ekstrem hujan dalam skala waktu klimatologis
30 tahun tidak berbanding lurus dengan frekuensi
kejadian ekstrem hujannya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr.
Eddy Hermawan; Dr. Didi Satiadi dan Drs. Afif
Budiyono, M.T., atas saran-saran dan diskusi yang
konstruktif sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan
dengan baik. Penelitian ini merupakan bagian dari
Penelitian dan Pengembangan Sains Atmosfer tahun
anggaran 2013 yang ada di Pusat Sains dan Teknologi
Atmosfer (PSTA), Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN).
PUSTAKA [1] Alavian, V., HM Qaddumi, E. Dickson, S.M. Diaz, A.V.
Danilenke, R.F. Hirji, G.Puz, C. Pizarro, M. Jacobson,
and B. Blankespoor, Water and Climate Change:
Understanding the Risks and Making Climate-Smart
Investment Decisions, Office of the Publisher, The World
Bank, 1818 H Street NW, Washington, DC 20433, USA,
2009, pp.1-140.
[2] E. Aldrian. and R.D. Susanto, Identification of Three
Dominant Rainfall Regions within Indonesia and Their
Relationship to Sea Surface Temperature, Int. Jour. of
Clim., vol. 23, 2003, pp.1435-1452.
[3] M . Haylock, and N. Nicholls, Trends in Extreme Rainfall
Indecs for an Updated High Quality Data Set for
Australia, 1910 – 1998, Int. Jour. of Clim., vol.20, 2000,
pp. 1533-1541.
[4] IPCC, Summary for policymakers. In Climate Change
2007: The Physical Science Basis. Contribution of
Working Group I to the Fourth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change, 2007.
[5] B.H.K. Tjasyono, Unsur-unsur cuaca dan iklim; Sirkulasi
umum atmosfer dan angin lokal. Dari : Klimatologi,
Penerbit ITB, Bandung, 2004, pp.11-38; 66-86.
[6] Q. Zhang, X. Chen, and B. Stefan, Spatio-Temporal
Variations of Precipitation Extremes in the Yangtze River
Basin (1960-2002), China, Atmospheric and Climate
Sciences, 2011, 1, pp.1-8.
(http://www.SciRP.org/journal/acs).