Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER
PADA KONSEP TRIKON DAN RELEVANSINYA
TERHADAP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(Kajian Pemikiran Ki Hajar Dewantara)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh :
Nadhilla Cahyaning Putri Pembayun
NIM : 111-14-140
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH Dan ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2018
i
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO
“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”
(Ki Hajar Dewantara)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
1. Bapak dan ibuku tersayang, Winarno dan Siti Alfiah yang selalu membimbingku,
memberikan doa, nasihat, kasih sayang dan motivasi dalam kehidupanku.
2. Adikku, Raras Luthfi Hanif Ghania.
3. Sahabat dan teman dekatku yang selalu memberikan doa dan motivasi kepadaku
serta membantu menyelesaikan skripsi ini.
4. Sahabat-sahabat seperjuanganku angkatan 2014, khususnya jurusan PAI.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur alhamdulillahi robbil’alamin, penulis ucapkan kepada Allah swt
yang selalu memberikan nikmat, karunia, taufik, serta hidayah-Nya kepada penulis.
Sehingga, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Analisis Nilai-Nilai
Pendidikan Karakter Pada Konsep Trikon dan Relevansinya Terhadap
Pendidikan Agama Islam (Kajian Pemikiran Ki Hajar Dewantara) Tahun 2018.
Tidak lupa shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat, serta para pengikutnya yang selalu setia
dan menjadikannya suri tauladan. Penulisan skripsi ini, tidak akan terselesaikan tanpa
bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan membantu penulis menyelesaikan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Rektor IAIN Salatiga, Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.
2. Bapak Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Suwardi, M.Pd.
3. Ibu Ketua Jurusan PAI IAIN Salatiga, Siti Rukhayati, M.Ag.
4. Bapak Drs. Sumarno Widjadipa, M.Pd., selaku pembimbing akademik.
5. Bapak Jaka Siswanta, M.Pd., selaku pembimbing skripsi yang telah membimbing
dengan ikhlas, mengarahkan, dan meluangkan waktunya untuk penulis sehingga
skripsi ini terselesaikan.
6. Bapak dan Ibu dosen yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu
pengetahuan.
viii
7. Karyawan IAIN Salatiga yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Maka, kiritk dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga
hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada
umumnya. Amin.
Salatiga, 20 Maret 2018
Nadhilla Cahyaning Putri P.
NIM. 11114140
ix
ABSTRAK
Pembayun, Nadhilla Cahyaning Putri. 2018. 11114140. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Konsep Trikon dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Agama Islam (Kajian Pemikiran Ki Hajar Dewantara). Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Jaka Siswanta, M.Pd.
Kata kunci: Nilai-nilai, Pendidikan Karakter, Konsep Trikon, Pendidikan Agama Islam
Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon Ki Hajar Dewantara dan melihat relevansinya terhadap Pendidikan Agama Islam (PAI). Sehingga, harapannya mampu membentuk generasi penerus bangsa yang berjiwa Indonesia (nasionalis) dan berbudi pekerti luhur.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon (2) mengetahui relevansi antara konsep Trikon terhadap Pendidikan Agama Islam (PAI). Jenis penelitian ini adalah penelitian studi pustaka (library research) dengan menggali pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara melalui data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan membaca literatur-literatur yang memiliki informasi serta relevan dengan topik penelitian ini. Adapun literatur tersebut berupa jurnal, laporan hasil penelitian, surat kabar, buku dan sebagainya. Referensi tersebut kemudian diolah dengan metode Content Analysis (analisis isi) yang menekankan pada isi atau pesan yang dibangun secara objektif, sistematis dan generalisasi.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa: (1) terdapat 5 nilai pendidikan karakter dalam konsep Trikon yang ditemukan melalui hasil analisis, meliputi: kreatif, toleran, bersahabat/komunikatif, semangat kebangsaan dan cinta tanah air (2) Konsentrisitas, adanya kegiatan evaluasi dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) pada tiap tahap sebelum melanjutkan pada tahap berikutnya. Konvergensi, Jika manusia menginginkan sebuah kebudayaan bangsa menjadi maju dan berkembang, maka hal pokok yang harus dilakukan adalah dengan berbaur dengan kebudayaan dari bangsa lain. Jika dikaitkan dengan pendidikan, khususnya Pendidikan Agama Islam (PAI), pengembangan dalam hal Pendidikan Agama Islam dapat dilakukan dengan mengambil berbagai sumber praktik pendidikan dari bangsa lain. Konsentrisitas, Perpaduan antar budaya yang saling menjalin kontak secara masif, tidak lantas kemudian menghilangkan ciri kepribadian budaya asli bangsa tersebut. Dalam pergaulan dengan bangsa lain tentu banyak pengaruh positif dan negatifnya untuk bangsa sendiri. Posisi Islam sebagai suatu agama yang merupakan bagian dari budaya, secara fungsional bersifat elastis yaitu memperbaiki dan mengontrol budaya-budaya yang secara prinsipil melenceng dari nilai-nilai ke-Islam-an tanpa phobia atau takut terhadap budaya-budaya yang telah berkembang sebelumnya.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................ i
HALAMAN BERLOGO .................................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................................... iii
PENGESAHAN KELULUSAN ......................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .......................................................... v
MOTTO dan PERSEMBAHAN ........................................................................ vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
ABSTRAKSI ........................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................ x
HALAMAN DAFTAR LAMPIRAN ................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 9
C. Tujuan penelitian .................................................................................. 9
D. Manfaat Penelitian ................................................................................ 9
E. Penegasan Istilah .................................................................................. 10
F. Kajian Pustaka ...................................................................................... 13
G. Metodologi Penelitian........................................................................... 18
H. Sistematika Penulisan ........................................................................... 23
BAB II BIOGRAFI KI HAJAR DEWANTARA
A. Riwayat Hidup Ki Hajar Dewantara ..................................................... 25
1. Kelahiran Ki Hajar Dewantara ...................................................... 25
2. Masa Muda Ki Hajar Dewantara ................................................... 26
3. Masa Dewasa Ki Hajar Dewantara ................................................ 29
4. Pengalaman Organisasi Ki Hajar Dewantara ................................ 36
B. Peran Sosial Ki Hajar Dewantara ......................................................... 39
xi
1. Ki Hajar Dewantara Sebagai Pendidik .......................................... 39
2. Ki Hajar Dewantara Sebagai Budayawan ..................................... 40
3. Ki Hajar Dewantara Sebagai Pemimpin Rakyat ........................... 41
C. Karya-Karya Ki Hajar Dewantara ........................................................ 42
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA
A. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter pada Konsep Trikon ......................... 44
1. Pengertian Nilai ............................................................................... 44
2. Pendidikan Karakter ........................................................................ 45
a. Pengertian Pendidikan Karakter .................................................. 45
b. Tujuan Pendidikan Karakter ....................................................... 52
c. Dasar Pendidikan Karakter ......................................................... 60
d. Metode Pendidikan Karakter....................................................... 65
3. Konsep Trikon ................................................................................. 67
B. Pendidikan Agama Islam ...................................................................... 72
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam (PAI) ..................................... 72
2. Dasar Pendidikan Agama Islam (PAI) ............................................. 73
3. Fungsi Pendidikan Agama Islam (PAI) ........................................... 74
4. Tujuan Pendidikan Agama Islam (PAI) ........................................... 75
5. Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) .................................... 76
BAB IV PEMBAHASAN
A. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Karakter pada Konsep Trikon ........... 92
B. Relevansi Konsep Trikon Menurut Ki Hajar Dewantara Terhadap
Pendidikan Agama Islam (PAI) ............................................................ 99
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 106
B. Saran ............................................................................................. 109
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 111
LAMPIRAN .................................................................................................. 117
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Daftar Riwayat Hidup .................................................................... 117
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, persoalan pentingnya pendidikan karakter terdengar sudah
tidak asing lagi. Istilah “Pendidikan Karakter” muncul dan menjadi tema utama
dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2010: “Pendidikan Karakter
Untuk Membangun Peradaban Bangsa”. Kala itu, Muhammad Nuh (Menteri
Pendidikan Nasional) mengatakan bahwa pembangunan dan pendidikan karakter
menjadi keharusan karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik
cerdas, tetapi pendidikan juga untuk membangun budi pekerti dan sopan santun
dalam kehidupan (http://e-journal.upi.edu/
index.php/eduhumaniora/article/
view/2795/1824 diakses pada 28 November 2017 pukul 14:57 WIB).
Untuk merealisasikan wacana tersebut, pemerintah mengeluarkan
kebijakan melalui Kementerian Pendidikan Nasional untuk meluncurkan
program pendidikan karakter (http://edukasi.kompas.com/read/2011/04/
29/16413291/Hardiknas.dan.Gaung.Pendidikan.Karakter diakses pada 28
November 2017 pukul 14:23 WIB). Lebih lanjut menteri pendidikan nasional
mengemukakan bahwa pendidikan karakter akan diterapkan pada semua jenjang
pendidikan (mulai Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi). Menurut
Muhammad Nuh, pendidikan karakter bukan hanya penting tetapi mutlak
dilakukan oleh setiap bangsa jika ingin menjadi bangsa yang beradab.
1
Landasan pendidikan karakter sendiri termaktub dalam UU No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menyatakan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang
demokratis serta bertanggung jawab (Wiyani, 2013: 32).
Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian
Pendidikan Nasional dalam publikasinya berjudul Pedoman Pelaksanaan
Pendidikan Karakter (2011) menyatakan bahwa inti pendidikan karakter yaitu
bertujuan untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia,
bermoral, toleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis,
berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman
dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Namun, dalam
mewujudkan pendidikan karakter, Azra seperti yang dikutip Musclih (2015: 77)
menyampaikan bahwa hal itu tidak dapat dilakukan tanpa penanaman nilai-nilai.
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan karakter dan penting untuk
ditanamkan, antara lain religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta
tanah air,
menghargai prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai, gemar membaca,
2
peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab (Salahudin dan
Alkrienciehie, 2013: 54-55).
Oleh karena itu, Islam sangat memuji budi pekerti (karakter) yang baik,
sehingga menyerukan kaum muslimin untuk membina dan mengembangkannya
di hati dan jiwa mereka. Islam menegaskan bahwa bukti ke-Islam-an adalah
dengan adanya budi pekerti yang baik. Selain itu, puncak derajat kemanusiaan
seseorang dinilai dari kualitas budi pekertinya. Seluas apapun kadar keilmuan
seseorang tentang Islam, sehebat apapun dirinya ketika melakukan ibadah, semua
itu tidak bisa menjamin. Tetap saja, alat ukur yang paling akurat untuk menilai
kemuliaan seseorang adalah kualitas budi pekertinya. Sebagaimana firman Allah
swt:
Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Q.S. Al-Qalam, 68: 4)
Oleh karena itu pendidikan karakter perlu ditanamkan kepada anak
bahkan sejak anak masih usia dini, Allah swt juga telah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’du, 13: 11)
Dalam ayat tersebut, ada dua perubahan. Pertama, perubahan pada
individu. Kedua, perubahan pada kelompok. Hikmah Allah swt telah mengatakan
bahwa perubahan yang kedua tergantung pada masing-masing individu. Tetapi
3
keduanya saling berkaitan, perubahan pertama merupakan penyebab perubahan
kedua, sedangkan perubahan kedua merupakan hasil dari perubahan pertama.
Allah swt menghendaki agar perubahan yang pertama dilakukan oleh semua
manusia, sampai mereka benar-benar dapat mengadakan perubahan pada diri
sendiri.
Sebelumnya, wacana pendidikan karakter sudah pernah disampaikan oleh
Ki Hajar Dewantara. Ia menciptakan sistem pendidikan baru sebagai penolakan
terhadap sistem pendidikan kolonial yaitu dengan konsep kembali pada budaya
bangsa sendiri. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan proses
pembudayaan yaitu suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi
baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga
dengan maksud memajukan serta mengembangkan kebudayaan menuju ke arah
keluhuran budaya manusia (Nafisah, 2016: 453).
Dalam proses pendidikan, Ki Hajar Dewantara merumuskan sebuah
upaya yaitu melestarikan kebudayaan Indonesia secara terus menerus dan
berkesinambungan agar kebudayaan di Indonesia tidak hilang karena masuknya
kebudayaan barat yang dapat menggeser kebudayaan bangsa Indonesia atau yang
disebut dengan kontinuitas (http://wakhidah87.blogspot.co.id/2016/07/konsep-
Trikon-filsafat-pendidikan.html diakses pada 24 November 2017 pukul 11:01
WIB). Pendidikan di negeri ini juga tidak lepas dari faktor bawaan dan
lingkungan yang disebut dengan konvergensi. Kemudian dengan prinsip tiga N
(Nonton, Niteni, Nirokake) seperti yang dikutip oleh Suparlan (2015: 59), Ki
4
Hajar Dewantara mengembangkan konsep konvergensi dengan ciri ke-Indonesia-
annya. Konsep ini memberikan alternatif pandangan terkait polemik pendidikan
berupa nilai-nilai apa saja yang mampu diserap oleh unsur-unsur pendidikan.
Diantara nilai-nilai tersebut yaitu nilai pendidikan umum, agama dan kebudayaan
(Saputra, 2017: 3). Ki Hajar Dewantara juga mempraktekkan konsentrisitas
sebelum melansir konsep Trikon yaitu menyaring ilmu dari Barat dan melahirkan
konsep yang membumi. Meskipun Ki Hajar Dewantara dididik secara Barat
namun konsepnya tidak kebarat-baratan. Ajarannya disesuaikan dengan budaya
lokal misalnya sistem among, tut wuri handayani dan lainnya (http://pendidikan-
tepat-guna.blogspot.co.id/ 2013/11/tamansiswa_8187.html diakses pada 24
November 2017 pukul 11:01 WIB).
Dari sini dapat diketahui bahwa 18 nilai-nilai pendidikan karakter yang
dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) erat
kaitannya dengan konsep Trikon Ki Hajar Dewantara. Karena nilai-nilai tersebut
dibuat dengan tetap mempertahankan nilai-nilai budaya luhur bangsa Indonesia
melalui upaya pendidikan. Adapun sumber-sumber yang mendasari pembuatan
18 nilai pendidikan karakter adalah agama, Pancasila, budaya dan tujuan
pendidikan nasional (https://guruppkn. com/nilai-nilai-pendidikan-karakter
diakses pada 16 November 2017 pukul 11.29 WIB).
Konsep Trikon ini juga berimplikasi pada Pendidikan Agama Islam (PAI)
di lingkungan sekolah. Karena tujuan dari konsep Trikon dan PAI sama-sama
menuju terbentuknya keluhuran budi (akhlaqul karimah) dengan tetap berpijak
5
pada budaya bangsa (Muthoifin dan Jinan, 2015: 172-173). Konsep Trikon
merupakan filter (penyaring) terhadap datangnya budaya barat. Konsep ini
bersifat selektif dan preventif. Selektif dalam menyaring budaya barat yang akan
masuk dan preventif terhadap dampak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
budaya bangsa Indonesia (Supriyoko dalam Surat kabar harian “Kedaulatan
Rakyat edisi 1985” yang dimuat dalam web http: //journal.amikom.ac.id/
index.php/Koma/article/view/3842/pdf diakses pada tanggal 11 November 2017
pukul 13:58).
Dalam penelitian ini, maksud dari Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah
sebagai mata pelajaran yang proses pembelajarannya dilakukan di sekolah.
Dalam aplikasinya, pemanfaatan konsep Trikon dalam Pendidikan Agama Islam
(PAI) disebut muatan lokal dan dapat dilihat mulai dari desain pengembangan
kurikulum sampai implementasi dalam pembelajaran (http://aris140284.blogspot.
co.id/2009/12/konsep-pendidikan-indonesia-menurutki. html diakses pada 02
November 2017 pukul 12.53 WIB). Jika konsep Trikon dihubungkan dengan
Pendidikan Agama Islam, maka dapat disusun program pembelajaran dengan
menggunakan dua pendekatan, yaitu integrasi dan ekologis (Sudjana, 2005: 177-
178). Pendekatan integrasi yaitu pendekatan yang mengintegrasikan
pembelajaran muatan lokal dengan mata pelajaran lain. Sehingga, muatan lokal
menjadi suplemen dalam pelajaran tersebut. Sedangkan pendekatan ekologis
merupakan suatu upaya melaksanakan pembelajaran materi muatan lokal dengan
6
menggunakan lingkungan alam maupun sosial budaya setempat (Rofik, t.t.: 130-
131).
Dalam praktiknya, terdapat contoh pengintegrasian budaya lokal Sekaten
dalam mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Sekaten merupakan
budaya lokal yang diintegrasikan dalam materi kelahiran Nabi Muhammad
SAW. Karena budaya sekaten merupakan upaya Sultan Agung dalam
memeringati kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW (baca lebih lanjut dalam
jurnal penelitian Khuluq, 1998: 118-138).
Nilai-nilai pendidikan karakter sendiri sesungguhnya sudah
terinternalisasi dalam Pendidikan Agama Islam (PAI). Kedelapan belas nilai
sebagaimana kita ketahui sudah berkaitan dengan PAI. Namun, meskipun
pelajaran PAI menjadi roh dari pendidikan karakter, ia tidak dapat berdiri sendiri
untuk mengimplementasikan nilai-nilai yang ada. Pelajaran PAI harus
terintegrasi dengan pelajaran-pelajaran lainnya. Selain mata pelajaran Sejarah
Kebudayaan Islam (SKI), terdapat contoh mata pelajaran lain yang sesuai dengan
PAI yaitu pelajaran ke-Muhammadiyah-an dan ke-NU-an. Keduanya merupakan
muatan lokal yang merepresentasikan ajaran Muhammadiyah dan Nahdhatul
Ulama (NU).
Sejalan dengan tujuan pendidikan, pembentukan karakter juga harus
dijalankan oleh semua pihak yang bersangkutan dalam pembelajaran, khususnya
di lingkungan sekolah. Di lingkungan sekolah merupakan tugas guru atau
pendidik yang selalu harus siap untuk mencontohkan dan mengajarkan sikap-
7
sikap yang bisa menimbulkan karakter luhur di dalam diri peserta didik. Di
lingkungan keluarga, sepenuhnya merupakan tanggung jawab orang tua untuk
selalu membentuk kepribadian anak. Di lingkungan masyarakat, masyarakat
sendirilah yang harus memberikan contoh yang luhur terhadap anak-anak di
lingkungannya.
Melihat sasaran pendidikan karakter adalah kepada seluruh peserta didik,
peneliti pun tertarik untuk menganalisis nilai-nilai pendidikan karakter yang
terkandung dalam konsep Trikon. Konsep Trikon sendiri merupakan sebuah
konsep yang pernah disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan
dan kebudayaan (Trikon) dalam ruang lingkup pendidikan nasional. Dari hal itu
juga, penulis mencoba melihat relevansinya terhadap Pendidikan Agama Islam
(PAI).
Dengan melakukan analisis nilai-nilai pendidikan karakter yang
termaktub dalam konsep Trikon, diharapkan mampu memberi pemahaman
bahwa pada dasarnya nilai-nilai pendidikan karakter itu tidak lepas dari
kebudayaan bangsa Indonesia. Dalam hal ini juga berimplikasi pada
pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Ketiga varibel tersebut (nilai-nilai
pendidikan karakter, konsep Trikon dan Pendidikan Agama Islam) saling
berkaitan dan mendukung untuk menciptakan out put generasi yang berkualitas,
yaitu generasi yang berkarakter, berbudaya dan beriman.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti terdorong untuk melakukan penelitian
dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
8
Pada Konsep Trikon dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Agama Islam
(Kajian Pemikiran Ki Hajar Dewantara)”.
9
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, berikut rumusan masalah dalam
penelitian ini:
1. Apa sajakah nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon?
2. Bagaimana relevansi konsep Trikon menurut Ki Hajar Dewantara terhadap
Pendidikan Agama Islam (PAI)?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon
2. Untuk mengetahui relevansi antara konsep Trikon menurut Ki Hajar
Dewantara terhadap Pendidikan Agama Islam (PAI)
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Penelitian ini secara teoritis bermanfaat untuk memperkaya wacana
keilmuan khususnya kajian pendidikan karakter bagi perpustakaan IAIN
Salatiga, sehingga dapat digunakan sebagai bahan acuan di bidang penelitian
sejenis.
2. Praktik
a. Guru dan Orang Tua
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang
pendidikan yang syarat akan nilai-nilai pendidikan karakter.
b. Sekolah
10
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai wacana untuk lebih
meningkatkan pembinaan terhadap guru, kepala sekolah maupun pengawas
agar pendidikan karakter pada anak dapat terwujud sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional.
c. Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan
khazanah keilmuan dalam penelitian terkait pendidikan karakter.
E. Penegasan Istilah
Penegasan istilah dalam penelitian ini dirasa sangat perlu agar tidak
terjadi salah tafsir dengan maksud peneliti. Maka, peneliti akan menjelaskan
istilah-istilah yang ada dalam judul penelitian ini. Istilah yang perlu peneliti
jelaskan yaitu:
1. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Konsep Trikon
a. Nilai-nilai
Nilai adalah suatu prinsip sosial, tujuan atau standar yang dipakai
atau diterima oleh individu, masyarakat dan lain-lain. Nilai dapat
dirumuskan sebagai suatu penetapan atau suatu kualitas objek yang
menyangkut jenis apresiasi atau minat (Fitri, 2012: 87-88).
Nilai yang dimaksud oleh peneliti dalam penelitian ini mengacu
pada nilai-nilai pendidikan karakter yang berpedoman pada bukunya Zainal
Aqib (2012: 42) yang berjudul Pendidikan Karakter di Sekolah
Membangun Karakter dan Kepribadian Anak yaitu nilai-nilai karakter
11
yang dikembangkan oleh Kemendikbud, meliputi: religius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahhu,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat,
cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan
tanggung jawab.
b. Pendidikan Karakter
Menurut Megawangi (2004: 95) pendidikan karakter adalah sebuah
usaha untuk mendidik anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak
dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka
dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.
Sedangkan menurut Azzel (2011: 10) pendidikan karakter adalah
pendidikan yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan
(feeling) dan tindakan (action).
Artinya, pendidikan karakter adalah usaha yang bertujuan untuk
menciptakan generasi yang memiliki kepribadian unggul, baik dalam
pengetahuan, perasaan dan tindakan.
c. Konsep Trikon
Menurut Ki Hajar Dewantara upaya kebudayaan (pendidikan) dapat
ditempuh dengan sikap (laku) yang dikenal dengan teori Trikon, yaitu:
1) Kontinuitas: garis hidup kita di zaman sekarang harus merupakan
“lanjutan atau terusan” dari hidup kita di zaman lampau, jangan
ulangan atau tiruan hidup bangsa lain.
12
2) Konvergensi: keharusan untuk menghindari hidup menyendiri (isolasi)
karena untuk menuju ke arah pertemuan hidup dengan bangsa-bangsa
lain.
3) Konsentrisitas: sesudah bersatu dengan bangsa-bangsa lain sedunia,
janganlah kita kehilangan kepribadian sendiri (Dewantara, t.t.: 228).
Dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep
Trikon adalah nilai-nilai karakter yang merupakan hasil dari analisis terhadap
konsep Trikon yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara. Nilai-nilai
tersebut meliputi religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahhu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,
menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli
lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab.
2. Pendidikan Agama Islam (PAI)
Sebelumnya, peneliti akan mulai menegaskan dari istilah pendidikan.
Pendidikan berasal dari bahasa Inggris yaitu Education. Dalam Oxford
Learner’s Pocket Dictionary (2011: 143) education artinya “process of
teaching, training and learning” (proses mengajar, melatih dan
pembelajaran). Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara (1994: 20)
pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak
agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Muchtar (2008: 14)
juga menambahkan bahwa pendidikan adalah segala usaha yang dilakukan
13
untuk mendidik manusia sehingga dapat tumbuh dan berkembang serta
memiliki potensi atau kemampuan sebagaimana mestinya.
Ahmad Marimba (1986: 19) mendefinisikan Pendidikan Agama Islam
(PAI) merupakan bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama. Sedangkan menurut Ramayulis (2005: 21)
pendidikan agama Islam adalah usaha sadar dan terencana dalam menyiapkan
peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertakwa,
berakhlak mulia, mengamalkan ajaran Islam dari sumber utamanya kitab suci
Al-Qur’an dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan serta
pengalaman.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama
Islam (PAI) adalah bimbingan secara sadar yang dilakukan oleh pendidik
untuk mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik lahir maupun batin
menuju pribadi yang utama (insan kamil) dengan mengacu pada pokok ajaran
Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
F. Kajian Pustaka
Setelah mengadakan kajian pustaka, peneliti menemukan ada beberapa
peneliti yang sebelumnya telah membahas tentang pendidikan karakter. Maka,
kajian ini dimaksudkan untuk melengkapi kajian-kajian yang telah dilakukan
oleh beberapa peneliti sebelumnya. Berikut akan dipaparkan beberapa penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya, antara lain:
14
1. Tesis Nursida A. Romeon, dengan judul “Relevansi Konsep Pendidikan Ki
Hajar Dewantara Dengan Konsep Pendidikan Islam (2011)” Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil penelitian ini
menujukkan bahwa konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara relevan dengan
konsep pendidikan Islam. Kedua konsep tersebut sama-sama memiliki dasar
kemanusiaan (fitrah), yang bermaksud melahirkan generasi yang merdeka
lahir dan batin.
2. Nur Anisah, dengan judul “Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Ki Hajar
Dewantara (2015)” Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, IAIN Salatiga.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter merupakan
proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia
seutuhnya yang berkarakter dalam hati, cipta, rasa dan karsa.
3. Riska Hidayati, dengan judul “Konsep Trikon Ki Hajar Dewantara Dalam
Perspektif Pendidikan Islam (2016)” Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
IAIN Surakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tujuan konsep
Trikon sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yaitu menciptakan warga
negara yang baik, berbudi luhur, dan berpegang teguh dengan ajaran agama
serta kebudayaan bangsa.
4. Khairil Anam, dengan judul“Analisis Konsep Trikon Ki Hajar Dewantara
Terhadap Budaya Penggunaan Teknologi Informasi (Studi Kasus Masyarakat
Panamping (Baduy Luar) Desa Kanekes, Kec. Leuwidamar, Kab. Lebak,
Provinsi Banten (2017)” Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif
15
Hidayatullah Jakarta. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa konsep Trikon
yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara sebagai strategi untuk meneguhkan
kebudayaan masih terlihat relevan untuk digunakan sebagai rujukan dalam
kajian ilmiah baik bersifat teoritis maupun praktis. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya bukti bahwa secara eksplisit apa yang terjadi di masyarakat Baduy luar
merupakan wujud dari upaya implementasi konsep Trikon.
Dalam tesisnya, Nursida A. Romeon mengatakan bahwa konsep
pendidikan Ki Hajar Dewantara relevan dengan konsep pendidikan Islam. Secara
prinsip, kedua konsep tersebut sama-sama memiliki dasar kemanusiaan yang
dalam dunia pendidikan Islam atau ajaran Islam disebut dengan fitrah. Kedua
konsep tersebut bermaksud melahirkan generasi yang merdeka lahir dan batin,
berwawasan, berakhlak dan bertakwa kepada penciptanya. Oleh karena itu, baik
tujuan dan metode pendidikannya pun juga memiliki kesamaan.
Hasil penelitian Nursida diperkuat oleh Nur Anisah yang menyatakan
bahwa dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara itu juga ada maksud
pendidikan karakter. Pendidikan karakter yang merupakan proses pemberian
tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang
berkarakter dalam hati, cipta, rasa dan karsa. Mengenai konsep pendidikan
karakter, Nur Anisah menjelaskan lebih rinci lagi bahwa dalam sistem
pendidikan yang diterapkan oleh Ki Hajar Dewantara itu ada beberapa poin
penting: Pertama, memiliki lima asas pokok yang disebut dengan “Pancadharma
Taman Siswa” yang meliputi, kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan,
16
kebangsaan dan kemanusiaan. Kedua, tujuan pendidikannya adalah mendidik
rakyat agar berjiwa kebangsaan dan berjiwa merdeka, serta menjadi kader-kader
yang sanggup dan mampu mengangkat derajat nusa dan bangsanya sejajar
dengan bangsa lain dan membantu memperluas jangkauan pendidikan dan
pengajaran. Ketiga, pendidikan karakter tidak hanya melibatkan aspek moral
knowing, tetapi juga moral feeling dan moral action. Ki Hajar Dewantara
menerjemahkan langkah tersebut dengan konsep cipta, rasa dan karsa. Keempat,
ada tiga pusat pendidikan (trisentra pendidikan) yang memiliki peranan besar,
yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Lain halnya dengan Riska Hidayati, dalam skripsinya ia lebih memilih
mengambil satu poin dalam beberapa konsep pendidikan yang digaungkan oleh
Ki Hajar Dewantara. Ia meneliti tentang konsep Trikon Ki Hajar Dewantara
dalam perspektif Islam. Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa konsep Trikon
sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam. Karena untuk mengamalkan
Trikon Ki Hajar Dewantara diperlukan pembelajaran melalui proses pendidikan
dengan cara pendidik menyajikan materi disertai metode pembelajaran yang
sesuai dengan tujuan materi yang diajarkan, agar peserta didik mudah menerima
dan memahami materi yang disampaikan oleh pendidik tersebut.
Khairil Anam nampaknya memilih jalur yang berbeda dari para peneliti
lainnya. Ia memilih menganalisis konsep Trikon Ki Hajar Dewantara terhadap
budaya penggunaan teknologi informasi. Dalam hasil penelitiannya ditemukan
bahwa secara eksplisit apa yang terjadi di masyarakat Baduy luar merupakan
17
wujud dari upaya implementasi konsep Trikon. Pertama, adanya unsur budaya
baru yang diterima oleh masyarakat Baduy luar dalam penggunaan teknologi
informasi modern dari yang sebelumnya masih menggunakan peralatan
tradisional (kontinuitas atau perkembangan ke arah lanjutan dari budaya lama ke
budaya baru). Kedua, proses konvergensi terjadi akibat faktor geografis yang
memungkinkan terjadinya interaksi secara intensif dengan masyarakat luar
Baduy sehingga memengaruhi kebutuhan pada peralatan teknologi informasi
modern sampai terjadinya akulturasi dan asimilasi budaya. Ketiga, konsentris
terjadi setelah terjadinya konvergensi budaya masyarakat Baduy luar dengan
masyarakat luar Baduy, namun tidak sekaligus memengaruhi hilangnya nilai-
nilai kepribadian mayarakat setempat karena lekatnya aturan pikukuh masyarakat
Baduy luar. Sehingga kehadiran peralatan teknologi informasi modern diawasi
tingkat penggunaannya sebatas pada media komunikasi dan informasi saja.
Secara umum, keempat literatur di atas memiliki kesamaan dengan topik
penelitian ini yaitu sama-sama membahas pemikiran Ki Hajar Dewantara, baik
dari segi pendidikan karakter dan konsep kebudayaan (Trikon). Namun, berbeda
dengan hasil penelitian dari Khairul Anam. Penelitiannya memang membahas
analisis konsep Trikon tetapi, lebih spesifik dalam ranah kebudayaan daerah
Baduy Luar.
Dari beberapa literatur tersebut belum ada yang membahas sepenuhnya
tentang nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon dan relevansinya
terhadap Pendidikan Agama Islam (PAI). Dengan begitu, jelas nampak
18
perbedaan antara literatur penelitian terdahulu dengan tema penelitian yang akan
dibahas ini. Karena masing-masing literatur memiliki perbedaan dalam
pembahasan, pendekatan dan cara pandang. Sehingga semua kajian pustaka di
atas dan penelitian yang disampaikan ini diharapkan dapat menambah khazanah
keilmuan bagi pendidikan di Indonesia.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kualitatif dengan
menggunakan pendekatan studi pustaka (library research). Menurut Moleong
(2009: 6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan sebagainya secara holistik
dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata.
Sedangkan penelitian dengan pendekatan studi pustaka adalah suatu
jenis karangan ilmiah yang mencakup berbagai macam pendapat atau
pandangan para pakar seputar masalah penelitian, penelaahan dan
perbandingan pendapat hingga penarikan kesimpulan dari berbagai literatur
(Haryanto, 2000: 78). Sumber lain mengatakan bahwa penelitian jenis studi
pustaka adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka, membaca, mencatat dan mengolah data penelitian
(Zed, 2008: 3). Jadi, penelitian ini difokuskan untuk mengkaji secara ilmiah
literatur-literatur yang relevan dengan tema penelitian tentang nilai-nilai
19
pendidikan karakter. Adapun literatur yang dijadikan sumber adalah buku-
buku yang relevan, jurnal, laporan hasil penelitian, artikel ilmiah dan
sebagainya terkait dengan topik penelitian ini.
Alasan dipilihnya jenis penelitian kepustakaan dengan pendekatan
kualitatif karena topik penelitian ini merupakan kajian pemikiran seorang
tokoh pendidikan yang telah banyak memberikan sumbangan gagasan-
gagasan monumental yang berkaitan dengan pendidikan nasional. Penelitian
ini akan membahas pemikiran seorang tokoh pendidikan tentang nilai-nilai
pendidikan karakter pada konsep Trikon dan relevansinya terhadap
Pendidikan Agama Islam (PAI).
2. Objek atau Sasaran yang Diteliti
Sesuai dengan pokok masalah yang akan dibahas, maka objek atau
sasaran yang akan diteliti adalah:
a. Nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon
b. Relevansi konsep Trikon menurut Ki Hajar Dewantara terhadap Pendidikan
Agama Islam (PAI)
3. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan jenis metode pengumpulan data berupa
dokumentasi, yaitu menghimpun literatur yang berkaitan dengan topik
penelitian ini. Menurut Arikunto (2010: 274) metode dokumentasi yaitu
menelusuri variabel-variabel yang terdapat dalam laporan hasil penelitian,
20
jurnal, majalah, hasil seminar, surat kabar, buku dan sebagainya. Adapun
sumber data yang digunakan meliputi:
a. Data Primer
Data primer adalah hasil-hasil penelitian atau hasil karya konseptis
yang orisinil (Hajar, 1996: 83). Dalam hal ini, buku karya Ki Hajar
Dewantara Bagian I Pendidikan dan Bagian II Kebudayaan, 1994,
Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber-sumber yang diambil dari sumber lain
yang tidak diperoleh dari sumber primer (Nasution, 2001: 143). Dengan
kata lain, data sekunder secara tidak langsung membahas konsep-konsep
utama dalam penelitian, hanya bersifat pelengkap. Adapun data sekunder
tersebut berupa buku-buku yang relevan, artikel ilmiah, jurnal, arsip dan
dokumen resmi lembaga yang terkait dengan penelitian ini. Dalam hal ini,
buku-buku yang relevan dengan permasalahan di atas, antara lain:
1) Dharma Kesuma dkk,. 2012. Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan
Praktik di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
2) H. A. R. Tilaar. 2000. Paradigma baru Pendidikan Nasional. Jakarta:
Rineka Cipta.
3) Ramayulis. 2005. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
Kalam Mulia.
21
4) Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam.
Bandung: PT. Al-Ma’arif.
5) Salahudin, Anas dan Irwanto Alkrienciehie. 2013. Pendidikan
Karakter (Pendidikan Berbasis Agama dan Budaya Bangsa).
Bandung: CV Pustaka Setia.
4. Metode Analisis Data
Setelah data-data terkumpul, tahap selanjutnya adalah menganalisis
data. Sugiyono (2008: 89) menyampaian bahwa analisis data adalah proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang telah diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,
melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan
yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang mudah dipahami diri
sendiri maupun orang lain. Selain itu, Flick dalam bukunya The SAGE
Handbook of Qualitative Data Analysis (2013: 5) menyampaikan bahwa
“Qualitative data analysis is the classification and interpretation of linguistic
(or visual) material to make statements about implicit and explicit dimensions
and structures of meaning-making in the material and what is represented in
it.” Analisis data kualitatif adalah klasifikasi dan interpretasi materi linguistik
(atau visual) untuk membuat pernyataan tentang dimensi dan struktur implisit
dan eksplisit dalam pembuatan makna dalam materi dan apa yang terwakili di
dalamnya.
22
Dalam tahap ini, peneliti menggunakan metode analisis isi (content
analysis). Denzin (2011: 785) dalam bukunya Handbook of Qualitative
Research menyebutnya dengan classical content analysis:
“Classical conten analysis comprises techniques for reducing texts to a unit-by-variable matrix and analyzing that matrix quantitatively to test hypotheses.” Analisis isi menggabungkan teknik untuk mengurangi tes ke matriks satuan per variabel dan menganalisis matriks tersebut secara kuantitatif untuk menguji hipotesis. Artinya, peneliti melakukan pengkodean terhadap paparan data hasil
temuan yang mengandung unsur nilai-nilai pendidikan karakter. Kemudian,
peneliti menganalisis dan setelah itu menarik kesimpulan dari data tersebut.
Namun dalam penelitian ini, peneliti cenderung menggunakan pendapat dari
Flick.
Berdasarkan definisi di atas, kegunaan analisis data adalah untuk
keperluan mendeskripsikan secara obyektif, kritis dan sistematis tentang
analisis nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon yang merupakan
manifestasi pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan karakter.
Dalam buku karyanya, Bagian I Pendidikan dan Bagian II Kebudayaan
mengungkapkan bahwa antara pendidikan dan kebudayaan adalah satu
kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, sedangkan dalam pendidikan Islam Ki
Hajar Dewantara memang tidak menyatakan secara eksplisit dalam karya-
karyanya. Tetapi secara implisit dalam bentuk indikasi-indikasi yang
diperoleh dari media massa, penelitian-penelitian atau internet. Sehingga
23
untuk dapat memahaminya, perlu dilakukan analisis isi atas pesan yang
terkandung dalam indikasi-indikasi tersebut.
5. Tahap-Tahap Analisis Data
Upaya untuk menelaah dan mengartikan ide atau gagasan mengenai
“Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Konsep Trikon” dari sosok Ki Hajar
Dewantara yaitu dengan melakukan analisis secara mendalam untuk
memperoleh hasil yang maksimal dan mencapai kriteria metode content
analysis. Maka, tahap-tahap analisis data akan dilakukan dengan tiga langkah,
yaitu:
a. Reduksi data (data reduction) meliputi proses pemilihan data, pemusatan
pada penyederhanaan data, abstraksi dan transformasi data. Maksudnya
adalah menelaah ide konsep Trikon dalam pendidikan menurut Ki Hajar
Dewantara. Selanjutnya, melakukan pemahaman secara mendalam apa saja
nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon dan bagaimana
relevansinya terhadap Pendidikan Agama Islam.
b. Penyajian data (data display) : deskripsi kumpulan informasi tersusun yang
memungkinkan untuk melakukan penarikan kesimpulan yang sesuai
dengan tujuan penelitian.
c. Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and verification)
: dari hasil pengumpulan data, peneliti mencari makna dari setiap data yang
diperoleh dari catatan dan melakukan verifikasi atas data tersebut (Salim,
2006: 22-23).
24
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dalam memahami isi dari penelitian
ini, maka disusunlah sistematika penulisan sebagai berikut:
1. Bagian Awal
Bagian awal meliputi: sampul, halaman judul, lembar berlogo,
pernyataan keaslian tulisan dan publikasi, nota pembimbing skripsi,
pengesahan kelulusan, motto, persembahan, kata pengantar, abstrak, dan
daftar isi.
2. Bagian Inti
BAB I: PENDAHULUAN, memuat latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, kajian
pustaka, penegasan istilah dan sistematika penulisan.
BAB II: BIOGRAFI, memuat riwayat hidup Ki Hajar Dewantara, peran
sosial Ki Hajar Dewantara, karya-karya Ki Hajar Dewantara.
BAB III: DESKRIPSI PEMIKIRAN, dalam bab ini akan membahas dua poin
penting untuk menjawab rumusan masalah, yaitu:
A. Nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon
B. Pendidikan Agama Islam (PAI)
BAB IV: PEMBAHASAN, memuat hasil analisis kritis terhadap dua poin
penting dalam tema penelitian ini, meliputi:
A. Analisis nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon
25
B. Relevansi konsep Trikon menurut Ki Hajar Dewantara terhadap
Pendidikan Agama Islam (PAI)
BAB V: PENUTUP, berisi kesimpulan dari pembahasan hasil penelitian dan
saran-saran dari penulis sebagai sumbangan pemikiran berdasarkan
konsep dan hasil penelitian yang telah diperoleh.
3. Bagian Akhir
Bagian akhir memuat: daftar pustaka, lampiran-lampiran dan daftar
riwayat hidup peneliti.
26
BAB II
BIOGRAFI KI HAJAR DEWANTARA
Sosok Ki Hajar Dewantara sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Ki
Hajar Dewantara adalah tokoh pejuang yang pantang menyerah, seorang pemimpin
yang memimpin anak buahnya, seorang yang peduli terhadap dunia pendidikan dan
telah menghasilkan berbagai gagasan yang meliputi masalah politik, sosial dan
budaya. Sehingga Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai seorang pejuang yang
tangguh, pendidik sejati sekaligus menjadi budayawan Indonesia.
Ki Hajar Dewantara juga sangat disegani oleh masyarakat luas karena
kesederhanaannya. Meski beliau adalah seorang keturunan berdarah biru, tetapi
beliau tidak segan bergaul dengan masyarakat awam di luar lingkungan tempat
tinggalnya termasuk dengan hamba sahayanya.
A. Riwayat Hidup Ki Hajar Dewantara
1. Kelahiran Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889
(Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 4, 1989: 330). Ki Hajar Dewantara
adalah putra ke-5 Pangeran Soeryaningrat putra dari Sri Paku Alam III. Pada
waktu dilahirkan ia diberi nama Soewardi Soeryaningrat, karena ia masih
keturunan bangsawan maka mendapat gelar Raden Mas (RM) kemudian nama
lengkapnya menjadi Raden Mas Soewardi Soeryaningrat (Soeratman, 1984: 8-
9). Menurut silsilah, Ki Hajar Dewantara masih memiliki garis keturunan
27
dengan Sunan Kalijaga. Maka, sebagai keturunan Keraton Yogyakarta
sekaligus ulama’, Ki Hajar Dewantara dibesarkan dan dididik dalam
lingkungan keluarga yang religius dan budaya Jawa yang kental (Desmon,
2007: 219).
2. Masa Muda Ki Hajar Dewantara
Masa muda Ki Hajar Dewantara diisi dengan kegiatan untuk
menambah pengetahuan dan wawasannya, karena ia termasuk anak yang sangat
haus akan pengetahuan. Pada tanggal 4 November 1907 dilangsungkan “Nikah
Gantung” antara R.M. Soewardi Soeryaningrat dengan R.A. Soetartinah.
Keduanya adalah cucu dari Sri Paku Alam III. Dengan demikian, Ki Hajar
Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara adalah saudara sepupu (Samho dan
Yasunari, 2010: 12). Pada akhir Agustus 1913 beberapa hari sebelum berangkat
ke tempat pengasingan di Belanda, pernikahannya diresmikan secara adat dan
sederhana di Puri Suryaningratan Yogyakarta (Harahap dan Sukowati, 1980:
12). Jadi, Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara sama-sama cucu dari
Paku Alam III atau satu garis keturunan.
Wawasan beliau sangat luas, kreatif, dinamis, jujur, sederhana,
konsisten, konsekuen dan berani. Tidak heran jika Ki Hajar Dewantara disegani
dan dihormati baik oleh kawan maupun lawan. Semua itu didapat Ki Hajar
Dewantara dari kerajinan menuntut ilmu di sekolah dan juga pengalaman yang
beraneka ragam dari lingkungan sekitar. Selain mendapat pendidikan formal di
28
lingkungan keraton, Ki Hajar Dewantara juga mendapat pendidikan formal,
antara lain:
a. ELS (Europeesche Legere School)
Sekolah dasar pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. ELS
menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dalam
pembelajaran. ELS merupakan Sekolah Rendah Eropa yang diperuntukkan
bagi keturunan Eropa, keturunan timur asing atau pribumi dari tokoh
terkemuka (Desmon, 2007: 211).
Tahun 1896, Suwardi masuk sekolah Belanda yaitu Europeesche
Legere School (ELS). Sekolah ini adalah sekolah dasar untuk anak-anak
keturunan Eropa, keturunan timur asing atau pribumi dari tokoh terkemuka
saja. Karena Suwardi adalah cucu Paku Alam III, maka beliau dapat masuk
di ELS (Sagimun, 1974: 7). Pada saat berada di kelas lima, ternyata Suwardi
sudah pandai mendeklamasikan syair-syair berbahasa Belanda. Gurunya
sangat memuji dan mengagumi kepandaian Suwardi. Meskipun demikian,
Suwardi tidak pernah lupa daratan dan menjadi “kebarat-baratan”. Di rumah,
Suwardi tetap ikut bermain bersama anak-anak kampung, ikut belajar menari
dan menabuh gamelan. Suwardi kecil juga sudah menampakkan watak
peduli sosial dengan gemar membagi kepandaiannya dengan teman-
temannya.
Seiring waktu berjalan, minat Suwardi terhadap pendidikan semakin
mendalam. Akhirnya, pada tahun 1904, Ki Hajar Dewantara berhasil
29
menamatkan pendidikannya di ELS. Ia pun melanjutkan pendidikan di
Kweek School (Sekolah Guru) di Yogyakarta.
b. Kweek School (Sekolah Guru) di Yogyakarta
Kweek School merupakan salah satu jenjang pendidikan resmi untuk
guru pada zaman kolonial belanda dengan pengantar Bahasa Belanda
(Desmon, 2007: 211).
Setelah menamatkan pendidikan di ELS, Ki Hajar Dewantara
melanjutkan pendidikan di Kweek School (Sekolah Guru) di Yogyakarta.
Namun, Ki Hajar Dewantara hanya sempat belajar selama satu tahun. Sebab,
pada tahun 1905, Ki Hajar Dewantara menerima beasiswa dari pemerintah
Belanda untuk belajar di Sekolah Dokter (STOVIA) di Batavia (Jakarta)
(Bambang, 1981: 24).
c. STOVIA (School Tot Opvoeding Van Indische Artsen)
STOVIA adalah sekolah kedokteran yang berada di Jakarta. Selama
masa pendidikan di STOVIA, Ki Hajar Dewantara sangat tekun belajar.
Pergaulannya di STOVIA dengan pelajar-pelajar dari berbagai daerah yang
berbeda bahasa, membuat rasa kebangsaannya semakin dalam dan semangat
perjuangan untuk memperbaiki nasib bangsanya juga semakin meningkat. Di
Jakartalah, Ki Hajar Dewantara mulai merasakan suasana Bhineka Tunggal
Ika (Sagimun, 1974: 7).
30
Selama tahun 1905-1909, Ki Hajar Dewantara menjadi murid
STOVIA. Beasiswanya kemudian dicabut karena ia tidak naik kelas karena
sakit sakit selama empat bulan (Gunawan, 1992: 302-303). Terpaksa Ki
Hajar Dewantara harus meninggalkan sekolah karena tidak dapat
membiayainya. Namun, direktur STOVIA memberikan surat keterangan
istimewa kepadanya atas kepandaiannya berbahasa Belanda. Walaupun Ki
Hajar Dewantara tidak dapat menyelesaikan pendidikannya di STOVIA, Ki
Hajar Dewantara memperoleh banyak pengalaman baru. Sebagai pelajar di
STOVIA, Ki Hajar Dewantara harus masuk asrama yang telah disediakan.
Di asrama pelajar STOVIA juga berlaku peraturan-peraturan yang harus
ditaati oleh penghuninya (Sagimun, 1974: 8).
Ki Hajar Dewantara meninggalkan STOVIA pada tahun 1909, karena
biaya untuk meneruskan pendidikan tidak mencukupi, Ki Hajar Dewantara
lalu bekerja di pabrik gula di Banyumas. Kemudian, pada tahun 1919 Ki
Hajar Dewantara kembali ke Yogyakarta dan bekerja sebagai asisten
apoteker di apotik Rathkap. Pekerjaan rutin rupanya tidak cocok baginya
(Harahap dan Dewantara, 1980: 6). Kemudian, ia bekerja sebagai wartawan
di beberapa surat kabar, antara lain De Express milik Douwes Dekker
(1913), Utusan Hindia dan Kaum Muda (Sukowati, 1981: 48). Sebagai
penulis yang handal, tulisannya mampu membangkitkan semangat
antikolonialisme pada rakyat Indonesia. Semangat juangnya dalam sosial
31
dan politik mulai berkobar-kobar dan bakat jurnalistiknya berkembang
dengan pesat (Harahap dan Dewantara, 1980: 6).
3. Masa Dewasa Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara sering bergaul dengan masyarakat dari kalangan
menengah ke bawah, sehingga pada usia 40 tahun ia mengubah nama dari
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat menjadi Ki Hajar Dewantara. Dengan
demikian, Ki Hajar Dewantara dapat leluasa bergaul dengan rakyat dan lebih
dekat dengan lingkungannya yang mayoritas adalah orang biasa (baca:
menengah ke bawah).
Maksud Ki Hajar Dewantara mengubah namanya itu karena ingin
menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari
satria pinandita ke pinandita satria yang berarti dari pahlawan yang berwatak
guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri
dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara (Djumhur, 1974: 169).
Wawasan beliau sangat luas dan tidak berhenti berjuang untuk bangsanya
hingga akhir hayat. Perjuangan beliau dilandasi dengan rasa ikhlas yang
mendalam, disertai rasa pengabdian dan pengorbanan yang tinggi dalam
mengantar bangsanya ke alam merdeka (Hariyadi, 1989: 39).
Di usia dewasa, kesadaran politik Ki Hajar Dewantara semakin
matang. Pada masa itu, tanah air Indonesia sedang dilanda suasana kebangkitan
nasional. Gagasan dan pikiran Dr. Wahidin Sudiro Husodo untuk memajukan
dan meningkatkan derajat bangsa Indonesia diterima dengan baik dikalangan
32
kaum muda. Kemudian, pada tanggal 20 Mei 1908 atas usaha-usaha pelajar
STOVIA yang dipelopori oleh R. Sutomo dan Gunawan Mangunkusumo maka
berdirilah Budi Utomo. Dengan berdirinya Budi Utomo, maka mulai timbul
pergerakan nasional di tanah air Indonesia. Budi Utomo merupakan organisasi
pergerakan rakyat pertama yang mempunyai pengurus dan anggota yang tetap
serta mempunyai tujuan dan rencana keerja yang disusun dengan baik dan rapi
(Sagimun, 1974: 8).
Pada tanggal 05 Oktober 1908, Budi Utomo mengadakan kongres yang
pertama di Yogyakarta. Ki Hajar Dewantara ikut serta dalam persiapan kongres
tersebut. Dalam kongres tersebut, kaum muda dan kaum tua berunding untuk
membentuk kepengurusan. Akhirnya, terbentuklah pengurus besar Budi Utomo
dengan Bupati Tirtokusumo sebagai ketuanya. Namun, dalam kongres tersebut
terjadi pertentangan paham antara golongan “Revolusioner Nasionalis” dengan
golongan “konservatif”. Tahun itu juga, Ki Hajar Dewantara meninggalkan
Budi Utomo. Ki Hajar Dewantara pindah ke Syarekat Islam. Awalnya Ki Hajar
Dewantara hanya sebagai anggota kemudian menjadi pimpinan cabang
Syarekat Islam cabang Bandung bersama Abdul Muis dan St. Muhammad Zain.
Tahun 1912, akhirnya Ki Hajar Dewantara menggabungkan diri pada Dokter
Douwes Dekker dan Dokter Cipto Mangunkusumo yang bergerak dalam
Indische Partij (Soeratman, 1982: 35).
Kalau Budi Utomo dan Sarikat Islam membatasi keanggotaannya pada
pribumi Indonesia saja, Indische Partij meluaskan keanggotaannya tidak hanya
33
pribumi Indonesia saja tetapi menerima siapa saja yang lahir di Indonesia dan
mencintai Indonesia sebagai tanah airnya. Indische Partij sendiri berdiri pada
06 September 1912 dengan Douwes Dekker sebagai ketua, dr. Cipto
Mangunkusumo sebagai wakil ketua dan Ki Hajar Dewantara sebagai sekretaris
(tiga serangkat) (Soeratman, 1982: 36). Indische Partij menjadi partai politik
yang pertama kali dikenal oleh orang Hindia Belanda.
Tujuan dari Indische Partij adalah:
a. Mempersatukan bangsa Hindia Belanda dalam satu kesatuan
kebangsaan Hindia (Indonesia)
b. Memperjuangkan kemerdekaan Hindia (Indonesia) yang bebas dari
penjajahan Belanda (Bambang, 1989: 58)
Tujuan yang diperjuangkan oleh Indische Partij jelas sangat berbahaya
dan merupakan ancaman yang besar bagi Kolonial Belanda. Karena, tujuan
yang hendak diwujudkan Indische Partij bertentangan dengan tujuan Kolonial
Belanda. Itulah sebabnya pemerintah Hindia Belanda tidak mau mengakui
Indische Partij sebagai badan hukum. Jadi, sebagai partai, Indische Partij tidak
dilarang akan tetapi permohonan untuk diakui sebagai badan hukum ditolak
oleh pemerintah Hindia Belanda (Sagimun, 1974: 10).
Tiga serangkai itu menjelajahi Pulau Jawa untuk mengenalkan
Indische Partij. Penjelajahan itu mencapai sukses besar karena banyak pribumi
dan non pribumi (Cina, Arab dan Belanda) yang ikut bergabung menjadi
anggota Indische Partij. Melalui surat kabar De Expres dan penyebaran buletin,
34
gerakan nasional Indische Partij ternyata menggemparkan masyarakat dan
menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan Kolonial Belanda (Harahap dan
Dewantara, 1980: 4).
Di Bandung pada bulan Juli 1913, dr. Cipto Mangunkusumo sebagai
ketua dan Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryoningrat) sebagai sekretaris
mendirikan sebuah komite Bumi Putra. Tujuan pendirian komite ini adalah
untuk menampung isi hati rakyat yang memprotes pengadaan perayaan
memperingati kemerdekaan Kerajaan Belanda (Soeratman, 1982: 40). Komite
Bumi Putra melalui Ki Hajar Dewantara meluncurkan serangan yang pedas
dengan menulis sebuah artikel yang berjudul “Als ik eens een Nederlander was”
(jikalau seandainya saya seorang Belanda). Artikel itu berisi kecaman terhadap
orang-orang Belanda yang hendak merayakan kemerdekaan Kerajaan Belanda
di tengah bangsa Indonesia yang terjajah. Pemerintah Hindia Belanda sangat
gelisah dan tersindir dengan tulisan Ki Hajar Dewantara (Soeratman, 1982: 41).
Dr. Cipto Mangunkusumo juga menulis dalam surat kabar “De
Expresi” dengan judul tulisan “Kekuatan atau Ketakutan?”. Tulisan tersebut
menerangkan bahwa tindakan pemerintah Hindia Belanda itu lebih
menunjukkan adanya ketakutan. Kemudian, Ki Hajar Dewantara kembali
menulis artikel dengan judul “Satu untuk semua tapi juga semua untuk satu”
dalam surat kabar yang sama. Dr. Douwes Dekker juga mengikuti sepak terjang
kedua kawannya dengan menulis artikel dengan judul “Pahlawan kita Cipto
Mangunkusumo dan R.M. Suwardi Suryaningrat” (Soeratman, 1982: 40).
35
Akibat dari tulisan-tulisan itu, ketiga pemimpin Indische Partij itu
akhirnya ditangkap dan ditahan. Pada tanggal 18 Agustus 1913, keluarlah surat
keputusan dari wali negara untuk tiga orang pemimpin tersebut. Ketiganya
dikenakan hukuman pembuangan, yaitu:
a. R.M. Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewanntara) dibuang ke Pulau
Bangka
b. Dr. Cipto Mangunkusumo dibuang ke Banda Neira
c. Dr. E.F.E. Douwes Dekker dibuang ke Kupang
Setelah putusan pemerintah dijatuhkan, ketiga pemimpin tersebut
diberikan kesempatan untuk mengganti hukuman dengan memilih daerah
pengasingan sesuai kehendak mereka sendiri. Ketiga pemimpin tersebut
memilih Negara Belanda sebagai pengganti tempat pengasingan. Pada 06
September 1913, tepat hari ulang tahun pertama Indische Partij, ketiga
pemimpinnya pergi meninggalkan tanah air menuju tempat pengasingan
(Soeratman, 1982: 45-46).
Kegiatan politik Ki Hajar Dewantara tetap diteruskan di Negeri
Belanda. Ki Hajar Dewantara tetap berjuang untuk menjadi kemerdekaan
Indonesia. Ki Hajar Dewantara kemudian aktif dalam Indiche Vereniging
sebuah organisasi pelajar Indonesia di Negeri Belanda. Kemudian berubah
nama menjadi Perhimpunan Indonesia (P.I.). Indiche Vereniging atau
Perhimpunan Indonesia ini menerbitkan sebuah majalah yang bernama “Hindia
Putra”. Ki Hajar Dewantara banyak menulis di majalah tersebut. Meski
36
diasingkan, Ki Hajar Dewantara terus bergerak memperjuangkan cita-cita
bangsanya untuk menjadi Indonesia yang merdeka. Bahkan selama di Negeri
Belanda, Ki Hajar Dewantara berhasil memperoleh akte guru Eropa
(Europeesche akte). Di tempat pembuangan, Ki Hajar Dewantara mengenal
pula aliran-aliran pendidikan yang terkenal, antara lain: Jan Lighthart, Maria
Montessori, Rudolf Rabbinranath Tagore (Sagimun, 1974: 18-19).
Kemudian, setelah selesai masa hukuman, pada tahun 1919 tiga
serangkai tesebut kembali ke tanah air. Begitu sampai di tanah air, Ki Hajar
Dewantara kembali memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Berkali-kali Ki
Hajar Dewantara harus berhadapan dengan polisi Kolonial Belanda. Pidato-
pidato dan tulisannya dianggap berbahaya oleh pemerintah Belanda. Akhirnya,
Ki Hajar Dewantara dimasukkan ke dalam penjara (Sagimun, 1974: 20).
Setelah keluar dari penjara, Ki Hajar Dewantara tinggal di Yogyakarta.
Pemerintah Belanda menjadi semakin keras terhadap pergerakan rakyat
Indonesia, maka Ki Hajar Dewantara meninggalkan dunia politk dan memasuki
dunia pendidikan yaitu sekolah “Adidarma” milik kakaknya R.M.
Suryopranoto. Setelah mempunyai pengalaman mengajar selama satu tahun dan
sudah mengenal perihal pendidikan dan pengajaran. Muncul sebuah gagasan
baru. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa mewujudkan kemerdekaan nusa
dan bangsa tidak hanya dicapai melalui jalan politik tetapi juga bisa melalui
pendidikan. Oleh sebab itu, Ki Hajar Dewantara berpikir untuk
37
menyelenggarakan sekolah sendiri yang akan dibina sesuai dengan cita-citanya
(Soeratman, 1982: 56).
Pada tahun 1921, Ki Hajar Dewantara terjun ke dunia pendidikan
nasional. Ki Hajar Dewantara berusaha mencapai kemerdekaan Indonesia
melalui pendidikan nasional. Ternyata, Ki Hajar Dewantara lebih berbakat dan
berhail dibidang pendidikan
Karena pengabdiannya terhadap bangsa dan negara, pada tanggal 28
November 1959, Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai “Pahlawan Nasional’.
Kemudian, pada tanggal 16 Desember 1959 pemerintah menetapkan tanggal
lahir Ki Hajar yaitu 2 Mei sebagai “Hari Pendidikan Nasional” berdasarkan
keputusan Presiden RI Nomor 316 Tahun 1959 (Dewantara, 1962: 13).
Ki Hajar Dewantara mangkat pada tanggal 26 April 1959 di rumahnya
Mujamuju Yogyakarta (Dewantara, 1962: 137). Jenazah Ki Hajar Dewantara
dipindahkan ke pendopo Taman Siswa. Dari pendopo Taman Siswa, diserahkan
kepada Majlis Luhur Taman Siswa. Jenazahnya kemudian dimakamkan di
Wijaya Brata, Yogyakarta (Desmon, 2007: 219).
4. Pengalaman Organisasi Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara memiliki riwayat organsisasi sebagai berikut:
a. Budi Utomo 1908 (Soeratman, 1982: 35)
Pada tanggal 05 Oktober 1908, Budi Utomo mengadakan kongres yang
pertama di Yogyakarta. Ki Hajar Dewantara ikut serta dalam persiapan
kongres tersebut. Dalam kongres tersebut, kaum muda dan kaum tua
38
berunding untuk membentuk kepengurusan. Akhirnya, terbentuklah
pengurus besar Budi Utomo dengan Bupati Tirtokusumo sebagai ketuanya.
b. Syarekat Islam cabang Bandung 1912 (Soeratman, 1982: 35)
Ki Hajar Dewantara pindah dari Budi Utomo ke Syarekat Islam karena
dalam kongres yang diselenggarakan oleh Budi Utamo terjadi pertentangan
antara dua golonga, revolusioner nasionalis dan konservatif. Awalnya Ki
Hajar Dewantara hanya sebagai anggota kemudian menjadi pimpinan cabang
Syarekat Islam cabang Bandung bersama Abdul Muis dan St. Muhammad
Zain.
c. Pendiri Indische Partij, 06 September 1912 bersama Douwes Dekker dan
Cipto Mangunkusumo (Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 4, 1989: 330)
Indische Partij adalah partai politik pertama yang beraliran
nasionalisme Indonesia. Indische Partij didirikan oleh Douwes Dekker
sebagai ketua, dr. Cipto Mangunkusumo sebagai wakil ketua dan Ki Hajar
Dewantara sebagai sekretaris (tiga serangkat) (Soeratman, 1982: 36).
d. Pendiri Komite Bumi Putra
Di Bandung pada bulan Juli 1913, dr. Cipto Mangunkusumo sebagai
ketua dan Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryoningrat) sebagai sekretaris
mendirikan sebuah komite Bumi Putra. Tujuan pendirian komite ini adalah
untuk menampung isi hati rakyat yang memprotes pengadaan perayaan
memperingati kemerdekaan Kerajaan Belanda (Soeratman, 1982: 40).
39
e. Pendiri National Onderwijis Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasional
Taman Siswa) pada 3 Juli 1922 (Kumalasari, 2000: 49)
Setelah mengalami hukuman berulang kali, Ki Hajar Dewantara
meninggalkan dunia politik dan berkhidmat pada dunia pendidikan. Ki Hajar
Dewantara mendirikan perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Perguruan
Taman Siswa menekankan rasa kebangsaan atau cinta tanah air pada setiap
peserta didiknya (Musyafa, 2015: 266).
Penghargaan-penghargaan yang pernah diraih oleh Ki Hajar
Dewantara, antara lain:
a. Bapak Pendidikan Nasional, hari kelahirannya yaitu 2 Mei dijadikan sebagai
hari Pendidikan Nasional
b. Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama
c. Pahlawan pergerakan Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI
No. 316 Tahun 1959 tanggal 28 November 1959)
d. 19 Desember 1956 mendapat gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu
kebudayaan dari Universitas Gajah Mada
e. 20 Mei 1961 menerima tanda kehormatan Satya Lantjana Kemerdekaan
(Irna dan Soewito, 1985: 132)
f. Tanggal 8 Mei 1959, Ki Hajar ditetapkan pemerintah sebagai perintis
Kemerdekaan Nasional Indonesia
g. Tahun 1944 diangkat menjadi anggota Naimo Bun Kyiok Yoku Sanyo
(Kantor Urusan Pengajaran dan Pendidikan) (Sukowati, 1989: 76)
40
B. Peran Sosial Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara adalah pelopor pendidikan bagi kaum pribumi
Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Ki Hajar Dewantara mendirikan
perguruan Taman Siswa yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk
bisa memperoleh pendidikan seperti para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Pada tanggal 28 November 1959, Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai
“Pahlawan Nasional” karena pengabdian dan perjuangannya bagi bangsa dan
negara Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Kemudian, pada tanggal 16
Desember 1959, pemerintah menetapkan tanggal lahir Ki Hajar Dewantara yaitu
tanggal 02 Mei sebagai “Hari Pendidikan Nasional” berdasarkan keputusan
Presiden RI No. 316 tahun 1959 (Taman Siswa, 1977: 13).
1. Ki Hajar Dewantara Sebagai Pendidik
Sebagai tokoh pendidikan, Ki Hajar Dewantara berpandangan bahwa
melalui pendidikan akan terbentuk kader yang berpikir, berperasaan dan
berjiwa merdeka serta percaya akan kemampuan sendiri. Pergerakan Ki Hajar
Dewantara ini dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang tetap berpijak pada
budaya bangsa sendiri diakui oleh bangsa Indonesia. Perannya untuk
mendobrak tatanan pendidikan kolonial untuk diganti dengan sistem pendidikan
nasional, dari yang semula menggunakan paksaan dan ancaman diganti dengan
jalan kemerdekaan yang seluas-luasnya kepada anak didik dengan tetap
41
memperhatikan tertib damainya hidup bersama (Hariyadi, 1989: 42). Untuk
merealisasikan gagasannya, Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah sendiri
yang diberi nama “Perguruan Taman Siswa”. Atas perjuangannya ini akhirnya
menempatkan Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional.
2. Ki Hajar Dewantara Sebagai Budayawan
Teori pendidikan di Taman Siswa yang dikembangkan oleh Ki Hajar
Dewantara sangat memperhatikan dimensi-dimensi kebudayaan serta nilai-nilai
yang terkandung dan digali dari masyarakat di lingkungannya. Dalam dimensi
kebudayaan ini, Ki Hajar menerapkah konsep “Trikon”, yaitu:
“Bahwa dalam mengembangkan dan membina kebudayaan nasional, harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri (kontinuitas) menuju ke arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi) dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian dalam lingkungan kemanusiaan sedunia (konsentrisitas). Dengan demikian, jelas bagi kita bahwa terhadap pengaruh budaya asing, kita harus terbuka, disertai sikap selektif-adaptif dengan Pancasila sebagai tolak ukurnya.” (Djumhur dan Suparta, 1976: 174) Sikap selektif-adaptif berarti dalam mengambil nilai-nilai tersebut
harus memilih yang baik dalam rangka upaya memperkaya kebudayaan sendiri,
kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi bangsa dengan menggunakan
Pancasila sebaga tolak ukurnya. Sebab, semua nilai budaya asing perlu diamati
secara selektif. Semisal ada unsur kebudayaan asing yang bisa memperindah,
memperhalus dan meningkatkan kualitas kehidupan hendaknya diambil, tetapi
jika unsur budaya asing tersebut berpengaruh sebaliknya, sebaiknya ditolak.
Hal ini bermaksud agar masuknya unsur kebudayaan asing dapat menjadi
penyambung kebudayaan nasional.
42
Betapa gigihnya Ki Hajar Dewantara dalam memperjuangkan dan
mengembangkan kebudayaan bangsanya, sehingga karena jasanya itulah Rektor
Universitas Gajah Mada, Sarjito, menganugerahkan gelar kehormatan Doctor
Honoris Causa (DR-HC) dalam ilmu kebudayaan kepada Ki Hajar Dewantara
pada saat Dies Natalis yang ke-VII tanggal 19 Desember 1956. (Sukowati,
1989: 76).
3. Ki Hajar Dewantara Sebagai Pemimpin Rakyat
Dalam memimpin rakyat, Ki Hajar Dewantara menggunakan teori
kepemimpinan yang dikenal dengan “Trilogi Kepemimpinan” yang
berkembang di masyarakat. Trilogi kepemimpinan tersebut adalah “Ing Ngarsa
Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”, artinya
didepan seorang pemimpin harus dapat menjadi teladan dan contoh bagi anak
buahnya, ditengah (dalam masyarakat) seorang pemimpin harus mampu
membangkitkan semangat dan tekat anak buah dan dibelakang harus mampu
memberikan dorongan dan semangat anak buah (Taman Siswa, 1992: 19-20).
Ki Hajar Dewantara adalah sosok yang demokratis dan mampu
memanusiakan manusia. Ia tidak senang terhadap kesewenang-wenangan dari
seorang pemimpin. Ia selalu bersikap menghargai dan menghormati orang lain
sesuai dengan harkat martabatnya. Ia juga mengajarkan agar menerima segala
kekurangan dan kelebihan orang lain dengan cara saling mengisi, memberi dan
menerima demi sebuah keharmonisan lembaga yang dipimpinnya.
C. Karya-karya Ki Hajar Dewantara
43
Karya-karya Ki Hajar Dewantara telah memberikan sumbangsih
terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia, diantaranya:
1. Buku bagian I tentang pendidikan
Buku ini membicarakan gagasan-gagasan Ki Hajar Dewantara dalam
bidang pendidikan, antara lain: Pendidikan Nasional yang menurut paham
Taman Siswa adalah pendidikan yang berlandaskan garis hidup bangsa
Indonesia (cultureel-nationaal) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan
yang dapat mengangkat derajat rakyat dan negaranya,agar dapat bekerja sama
dengan bangsa lain untuk kemuliaan segenap manusia. tri pusat pendidikan
yang meliputi lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, pendidikan kanak-
kanak, pendidikan sistem pondok, adab dan etika serta pendidikan dan
kesusilaan.
Kemudian, gagasan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan
dikelompokkan menjadi tujuh bab yaitu bab tentang pendidikan nasional,
politik pendidikan, pendidikan kanak-kanak, pendidikan kesenian, pendidikan
keluarga, ilmu Jawa, ilmu adab dan bahasa. Tiap bab berisi antara 8 sampai 39
judul artikel. Jumlah artikel terbanyak terdapat pada bab politik pendidikan
(Harahap dan Dewantara, 1980: 5).
Pada buku bagian pertama ini dapat diketahui betapa luasnya
penguasaaan Ki Hajar Dewantara terhadap praksis pendidikan. Mulai dari
pembahasan filosofi pendidikan, politik pendidikan, teknis pendidikan anak-
44
anak di keluarga, pendidikan kesenian, ilmu adab (budi pekerti) dan pendidikan
bahasa.
2. Buku bagian II tentang kebudayaan
Buku ini memuat tulisan-tulisan mengenai kebudayaan dan kesenian,
antara lain: Asosiasi Antara Barat dan Timur, Pembangunan Kebudayaan
Nasional, Perkembangan Kebudayaan di Zaman Merdeka, Kebudayaan
Nasional, Kebudayaan Sifat Pribadi Bangsa, Kesenian Daerah dalam Persatuan
Indonesia, Islam dan Kebudayaan, Ajaran Pancasila dan sebagainya.
Pada buku bagian kedua ini dapat diketahui luasnya minat Ki Hajar
Dewantara terhadap tema-tema budaya. Berdasarkan pada sikap nasionalisme,
beliau berupaya untuk menggagas konsep kesatuan kebudayaan, ungkapnya,
“Untuk menghindari reaksi yang dapat menyukarkan pemulihan kesatuan
kebudayaan, hendaknya janganlah kita menyatukan apa yang tidak mungkin
dan tidak perlu dipersatukan, cukuplah hanya menyatukan pokok-pokoknya
saja (http://pedagogikritis.wordpress.com/2011/12/14/ki-hadjar-dewantara-
peletak-dasar-pendidikan-indonesia diakses pada tanggal 15 Maret 2018 pukul
10.01 WIB).”
45
BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA
Sebelum isu pendidikan karakter menjadi tema utama yang dibahas oleh
Kementerian Pendidikan dan Budaya dalam rangka memperingati Hari Pendidikan
Nasional tahun 2010, Ki Hajar Dewantara telah lebih dulu berpikir dalam masalah
pendidikan karakter. Pemikiran tersebut muncul sebagai wujud ketidaksepakatan
terhadap sistem pendidikan yang diwariskan oleh Kolonial Belanda.
Ketidaksepakatan itu muncul karena orientasi sistem pendidikan Kolonial Belanda
hanya menonjol pada segi intelektual tanpa melihat dari segi lainnya, misal dari segi
pendidikan karakter (budi pekerti). Sehingga, generasi yang dihasilkan dari sistem
tersebut dikhawatirkan hanya akan melahirkan manusia yang jumawa dan durjana.
Dengan demikian, pendidikan karakter diharapkan mampu menghasilkan
manusia yang berbudi luhur dan berguna bagi masyarakat. Sebab, kecerdasan
intelektual bukan hal yang utama dalam pendidikan. Akan tetapi, bagaimana
menghasilkan peserta didik yang memiliki karakter mulia. Inilah tujuan utama dari
pendidikan. Oleh karena itu, untuk menumbuh-kembangkan kehalusan karakter (budi
pekerti) Ki Hajar Dewantara mempunyai konsep tentang pendidikan karakter yang
dikembangkan dalam Perguruan Taman Siswa. Konsep tersebut adalah sebagai
berikut:
A. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Konsep Trikon
1. Pengertian Nilai
46
Segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak lepas dari nilai yang
terkandung di dalamnya. Menurut Poerwadarminta (1999: 677) nilai artinya
sifat atau hal yang penting dan berguna bagi manusia. Sedangkan menurut Toha
(1996: 61) nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem
kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti
(manusia yang meyakini). Fitri (2012: 87-88) turut memperkuat pernyataan dari
dua ahli sebelumnya dengan menyampaikan bahwa nilai adalah suatu prinsip
sosial, tujuan atau standar yang dipakai atau diterima oleh individu, masyarakat
dan lain-lain. Jadi, dapat diketahui bahwa nilai adalah sesuatu yang bermanfaat
dan berguna bagi manusia sebagai acuan tingkah laku.
2. Pendidikan Karakter
a. Pengertian Pendidikan Karakter
Sebelum membahas definisi pendidikan karakter menurut Ki Hajar
Dewantara, peneliti akan membahas definisi pendidikan secara umum
menurut Ki Hajar Dewantara dan beberapa ahli lainnya. Menurut Ki Hajar
Dewantara (1997: 14-15), pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan
tubuh peserta didik (jasmani). Artinya, pendidikan itu membentuk manusia
yang berbudi pekerti, cerdas dan sehat. Pengertian tersebut dapat dijabarkan
sebagaimana yang dijelaskan oleh Samho dan Yasunari (2010: 28-29):
Pertama, manusia yang berbudi pekerti adalah yang mempunyai
kekuatan batin dan karakter. Artinya, pendidikan diarahkan untuk
47
meningkatkan citra manusia yang berpendirian teguh pada nilai-nilai
kebenaran.
Kedua, manusia yang berpikiran maju adalah yang cerdas
kognitifnya dan kecerdasan itu membebaskan dirinya dari kebodohan dan
pembodohan dalam segala bentuk. Manusia yang maju pikirannya adalah
manusia yang berani berpikir tentang realitas yang membelenggu
kebebasannya dan berani beroposisi dengan segala bentuk pembodohan.
Ketiga, manusia yang sehat adalah tidak semata secara jasmani
tetapi lebih pada pengetahuan tentang fungsi-fungsi tubuhnya dan
memahami fungsi-fungsi itu untuk memerdekakan dirinya dari segala
dorongan untuk berbuat kejahatan. Dengan dan melalui tubuh yang sehat,
pikiran dan budi pekerti yang maju memperoleh dukungan untuk
mendeklarasikan kemerdekaan diri dari segala bentuk penindasan ego diri
yang pongah dan serakah serta membantu untuk menegaskan eksistensi diri
sebagai manusia yang merdeka.
Definisi yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa pendidikan merupakan usaha secara sadar dalam rangka
menumbuh-kembangkan segala potensi yang terdapat pada peserta didik.
Lebih tegasnya, pendidikan tidak hanya sekedar alih ilmu pengetahuan saja
(transfer of knowledge) tetapi sekaligus proses transformasi nilai
(transformation of value).
48
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Muchtar (2008: 14), pendidikan
adalah segala usaha yang dilakukan untuk mendidik manusia sehingga dapat
tumbuh dan berkembang serta memiliki potensi atau kemampuan
sebagaimana mestinya. Hal ini senada dengan pernyataan dari Marimba
(1989: 19) bahwa pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama.
Selanjutnya, Ki Hajar Dewantara menyampaikan, budi pekerti atau
watak atau dalam istilah populernya disebut karakter; budi berarti pikiran,
perasaan dan kemauan. Sedangkan pekerti artinya tenaga. Jadi, budi pekerti
yaitu bersatunya gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan yang
akhirnya menimbulkan tenaga (Dewantara, 1977: 25).
Dari definisi di atas, terdapat dua kata kunci yaitu “pendidikan” dan
“budi pekerti atau karakter”. Ki Hajar Dewantara menyampaikan bahwa
pendidikan karakter adalah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi
bimbingan dalam tumbuh-kembang jiwa raga peserta didik, agar dalam
kodrat pribadinya dan pengaruh lingkungannya, mereka memperoleh
kemajuan lahir batin menuju manusia yang beradab (Suratman, 1987: 12).
Adapun pengertian jiwa dalam budaya bangsa yaitu “Tringa” yang terdiri
dari ngerti (mengetahui), ngrasa (memahami) dan nglakoni (melakukan).
Maksudnya adalah pendidikan pada dasarnya meningkatkan pengetahuan
peserta didik tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk
49
meningkatkan pemahaman tentang apa yang diketahuinya, serta
meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan apa yang dipelajarinya.
Menurut Suharjana seperti yang dikutip oleh Zuchdi (2011: 29) juga
menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus,
yaitu melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling) dan
tindakan (action). Diperkuat lagi oleh Thomas Lickona, pengarang
Educating of Character, yang dikutip oleh Wahab (2011: 69):
Character education as a program that strives to ecompass the following; the cognitive, affectivw and behavioral aspects of morality. Good character consists of knowing the good, desiring the good and doing the good. School must help children to understand the core value, adapt or commit to them and then act upon them in their own live.
Dapat disimpulkan, pendidikan karakter merupakan proses
pemberian bimbingan dan tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi
manusia seutuhnya (insan kamil) yang mampu menginternalisasikan nilai-
nilai karakter dalam dimensi hati, cipta, rasa dan karsa. Sebagaimana firman
Allah swt dalam Q.S. Adz-Dzāriyāt, 51: 56,
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, 2005: 523)
Ini menandakan bahwa konsep pendidikan karakter yang
disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara memanglah selaras dengan firman
Allah swt, baik pemikiran (aqli) maupun firman (naqli). Pendidikan karakter
50
dan firman Allah tersebut memiliki kesamaan tujuan, yaitu menjadikan
manusia yang berakhlak mulia dan beriman secara utuh.
Sebagai manifestasi konsep pendidikan karakter, Ki Hajar
Dewantara menggunakan “Sistem Among” yaitu setiap guru (pamong)
menjadi pemimpin dalam proses pendidikan dan menempatkan peserta didik
sebagai sentral proses pendidikan. Dalam sistem tersebut, setiap guru
(pamong) diwajibkan memiliki sikap: Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya
Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Tiga semboyan ini merupakan konsep
dasar pendidikan karakter, maksudnya yaitu:
1) Ing Ngarsa Sung Tuladha
Menurut Reksodiharjo (1989: 47) ing ngarsa artinya di depan.
Sung berasal dari kata asung artinya menjadi. Tuladha artinya teladan.
Jadi, ing ngarsa sung tuladha maknanya adalah jika pendidik berada di
depan, harus menjadi contoh atau teladan yang baik bagi peserta
didiknya.
Berarti guru haurs bisa menjaga tingkah lakunya, baik di dalam
maupun di luar lingkungan sekolah, supaya bisa menjadi teladan. Dalam
pembelajaran, apabila guru mengajar menggunakan metode ceramah,
guru harus benar-benar siap dan tahu bahwa yang diajarkannya itu baik
dan benar. Guru dapat mengambil hikmah keteladanan dari Nabi
Muhammad SAW. Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. Al-Ahzab,
33: 21
51
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad
SAW merupakan suri teladan bagi seluruh umat manusia, baik sebagai
pemimpin keluarga, pemimpin umat maupun pendidik.
2) Ing Madya Mangun Karsa
Ing madya artinya di tengah-tengah, mangun atau mbangun
artinya membangkitkan. Sedangkan karsa diartikan sebagai kemauan atau
niat (http://silabus.org/ki-hajar-dewantara/amp/ diakses pada tanggal 16
Maret 2018 pukul 05.00 WIB). Jadi, ing madya mangun karsa maknanya
adalah seorang pemimpin di tengah kesibukkannya harus mampu
membangkitkan semangat peserta didik dan menumbuh-kembangkan
minat dan kemauan peserta didik untuk berkreasi.
Berarti guru sebagai pendidik ketika berada di tengah harus
mampu membangkitkan semangat, memberi motivasi, menumbuhkan
daya kreativitas peserta didik dan mampu memberi inovasi baru dalam
52
pembelajaran. Hal ini dapat diterapkan bila guru menggunakan metode
diskusi. Dalam metode diskusi, guru menjadi nara sumber dan pengarah.
Sehingga, guru dapat memberikan masukan-masukan dan arahan kepada
peserta didik.
3) Tut Wuri Handayani
Tut wuri artinya mengikuti dari belakang. Sedangkan handayani
artinya memberikan dorongan moral atau semangat (http://silabus.org/ki-
hajar-dewantara/amp/ diakses pada tanggal 16 Maret 2018 pukul 05.00
WIB). Menurut Ki Hajar Dewantara, semboyan tersebut maksudnya
adalah jangan menarik-narik dari depan, biarkan mereka mencari jalan
sendiri, kalau peserta didik salah jalan barulah si pamong (guru)
membrikan arahan. Jadi, tut wuri handayani bermakna seorang pendidik
adalah pemimpin yang harus memberikan dorongan moral dan semangat
kepada peserta didiknya dari belakang , tetapi tidak melepaskan peserta
didik dari pengawasan.
Memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mencari jalan
sendiri merupakan ekspresi demokrasi. Pamong (guru) memiliki
kewajiban mengawasi peserta didik.
Jadi, ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani jika diterjemahkan secara bebas adalah di depan memberi contoh
nyata, di tengah membangun motivasi dan semangat serta di belakang
mendukung agar tercapai cita-cita yang diinginkan.
53
Tiga semboyan di atas menjadi penopang kesuksesan seorang guru
dalam menuntaskan pendidikan karakter di Indonesia. Pendidik diharapkan
menjadi sosok yang mampu mengubah karakter peserta didiknya dari
beringas dan nakal menjadi lemah lembut dan penuh kesantunan (Yamin,
2009: 195).
Konsep dasar pendidikan karakter yang disampaikan oleh Ki Hajar
Dewantara di atas merupakan warisan luhur bangsa yang patut
diimplementasikan dalam perwujudan masyarakat yang berkarakter. Jika
para pendidik sadar bahwa keteladanan adalah upaya nyata dalam
membentuk karakter peserta didik, tentu para pendidik akan terus
mengedepankan keteladanan dalam segala perkataan dan perbuatannya.
Begitu pula jika sadar bahwa berkembangnya karakter peserta didik
memerlukan dorongan dan arahan dari pendidik, sebagai pendidik tentu akan
terus berupaya menjadi motivator dan fasilitator yang baik. Maka nilai-nilai
pendidikan karakter seperti, religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras,
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta
tanah, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli
sosial dan lingkungan serta bertanggung jawab akan berkembang dengan
baik.
b. Tujuan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara
bertujuan untuk menyokong perkembangan hidup peserta didik-peserta didik
54
secara lahir dan batin dari sifat kodrati menuju ke peradaban yang sifatnya
lebih umum (Dewantara, 1977: 485). Meskipun dengan susunan kalimat
yang berbeda, namun tujuan pendidikan karakter yang disampaikan oleh Ki
Hajar Dewantara sejalan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional bahwa tujuan pendidikan nasional antara
lain mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan,
kepribadian dan akhlak mulia (Suharjana, 2011: 29).
Dapat dipahami, tujuan pendidikan karakter menurut Ki Hajar
Dewantara adalah memberikan bimbingan bagi peserta didik ke perubahan
yang lebih baik melalui pembentukan karakter secara utuh, dinamis dan
berkesinambungan yang berlandaskan pada jiwa keagamaan agar peserta
didik memiliki budi pekerti yang luhur (akhlaqul karimah) baik berinteraksi
dengan Allah swt, di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Sehingga menjadi manusia yang utuh (insan kamil) yang tidak
terkontaminasi oleh budaya-budaya bangsa lain.
Ki Hajar Dewantara mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan
proses pembudayaan yaitu suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada
generasi baru dalam masyarakat dengan maksud memajukan serta
mengembangkan kebudayaan bangsa. Proses pembudayaan tersebut dapat
ditempuh dengan sikap yang dikenal dengan konsep Trikon (Taman Siswa,
1977: 206), yaitu:
55
1) Kontinuitas: garis hidup kita sekarang harus merupakan lanjutan dari
kehidupan kita pada zaman lampau berikut penguasaan unsur tiruan dari
kehidupan dan kebudayaan bangsa lain.
2) Konvergensi: kita harus menghindari hidup menyendiri, terisolasi dan
mampu menuju ke arah pertemuan antar bangsa dan komunikasi negara
menuju kemakmuran bersama atas dasar saling menghormati, persamaan
hak dan kemerdekaan masing-masing.
3) Konsentrisitas: setelah kita bersatu dan berkomunikasi dengan bangsa-
bangsa lain di dunia, kita jangan kehilangan kepribadian sendiri. Bangsa
Indonesia adalah masyarakat merdeka yang memiliki adat-istiadat dan
kepribadian sendiri. Meskipun bertitik pusat satu, namun dalam lingkaran
yang konsentris masih tetap memiliki lingkaran sendiri yang khas yang
membedakan negara Indonesia dengan negara lainnya.
Adapun nilai-nilai pendidikan karakter sendiri dapat diidentifikasi
dari berbagai sumber, salah satunya yaitu (Hasan, 2010: 8-9):
1) Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena
itu, kehidupan individu, masyarakat dan bangsa selalu didasari pada
ajaran agama dan kepercayaannya. Atas dasar pertimbangan itu, maka
nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada
nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
2) Pancasila: Negara Kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-
prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila.
56
Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan dalam
pasal-pasal yang terapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan
politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan pendidikan.
3) Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup
bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui
masyarakat. Nilai-nilai itu menjadi dasar dalam pemberian makna
terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota
masyarakat. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan
masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam
pendidikan budaya dan karakter bangsa.
4) Tujuan Pendidikan Nasional: tujuan pendidikan nasional menjadi sumber
yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan
karakter bangsa.
Dari sumber-sumber di atas, nilai-nilai pendidikan karakter juga
bersumber dari budaya. Sebagaimana halnya konsep Trikon yang berasal
dari kebudayaan, Zamroni (201: 168-170) bahwa nilai-nilai pendidikan
karakter yang terkandung di dalamnya meliputi:
1) Religius
Religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleransi terhadap
57
pelaksanaan ibadah agama lain dan hidup rukun dengan pemeluk
agama lain.
Berdasarkan papran biografi Ki Hajar Dewantara pada bab dua,
ditemukan pernyataan bahwa meskipun ia dididik di dalam lingkungan
keraton tetapi ia juga mendapat didikan agama. Hal inilah yang turut
mendasai pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara yang juga menjadi
tujuan pemikirannya yaitu menjadikan kehidupan masyarakat yang
damai, tentram, bahagia dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2) Jujur
Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan
dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan,
tindakan dan perbuatan.
3) Toleransi
Toleransi adalalah sikap dan tindakan yang menghargai
perbedaan agama, suku, etnik, pendakat, sikap dan tindakan orang lain
yang berbeda dengan dirinya.
Nilai pendidikan karakter ini disampaikan oleh Ki Hajar
Dewantara dalam rumusan konsep Trikon. Sebagaimana dalam isinya
yang menyuruh masyarakat untuk mengembangkang kebudayaan
(kontinuitas), bergaul dengan bangsa lain (konvergensi) serta
mengambil kebaikan-kebaikan yang ada dan dipadukan dengan
58
kepribadian bangsa, sehingga masyarakat tidak kehilangan kepribadian
bangsanya sendiri (konsentrisitas).
4) Disiplin
Disiplin adalah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan
patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5) Kerja keras
Kerja keras adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-
sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6) Kreatif
Kreatif adalah berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari apa yang telah dimiliki.
7) Mandiri
Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah
bergantung dengan orang lain dalam menyelesaikan tugas-yugas yang
diberikan kepadanya.
8) Demokratis
Demokratis adalah cara berpikir, bersikap dan bertindak yang
menilai sama hak dan kewajiban dirinya dengan orang lain.
9) Rasa ingin tahu
59
Rasa ingin tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya
untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang telah
dipelajari, dilihat dan didengar.
Setelah menempuh pendidikan di ELS, Ki Hajar Dewantara
semakin tertarik mendalami dunia pendidikan. Hingga akhirnya ia
melanjutkan pendidikan ke sekolah guru (Kweek School) di
Yogyakarta.
10) Semangat kebangsaan
Semangat kebangsaan adalah cara berpikir, bertindak dan
wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan diri sendiri dan kelompok.
Ki Hajar Dewantara telah mempraktekkan nilai pendidikan
karakter ini. Nampak dari rasa kebangsaannya yang semakin
meningkat dan matang saat sudah memperoleh banyak pengalaman
dan wawasan selama dibangku sekolah. Ki Hajar Dewantara semakin
semangat untuk dapat memperbaiki nasib bangsanya.
11) Cinta tanah air
Cinta tanah air adalah cara berpikir, bersikap dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi
terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik
bangsa.
12) Menghargai prestasi
60
Menghargai prestasi adalah sikap dan tindakan yang
mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
masyarakat, mengakui dan menghargai keberhasilan orang lain.
13) Bersahabat atau komunikatif
Bersahabat atau komunikatif adalah tindakan yang melibatkan
rasa senang berbicara, bergaul dan senang bekerja sama dengan orang
lain.
14) Cinta damai
Cinta damai adalah sikap, perkataan dan tindakan yang
menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadirannya.
15) Gemar membaca
Gemar membaca adalah kebiasaan menyediakan waktu untuk
membaca berbagai bacaan yang memberikan kebaikan untuk dirinya.
16) Peduli lingkungan
Peduli lingkungan adalah sikap dan tindakan yang selalu
berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam sekitarnya dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam
yang sudah terjadi.
17) Peduli sosial
61
Peduli sosial adalah sikap dan tindakan yang selalui ingin
memberi bantuan untuk orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan.
Nilai pendidikan karakter ini nampak pada diri Ki Hajar
Dewantara saat ia bersama Dr. Douwes Dekker dan Dr. Cipto
Mangunkusumo mendirikan Komite Bumi Putra di Bandung. Tujuan
pendirian komite tersebut adalah untuk menampung isi hati rakyat
yang memprotes pengadaan perayaan memperingati kemerdekaan
Kerajaan Belanda.
18) Bertanggung jawab
Bertanggung jawab adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin
memberi bantuan untuk orang lain dan masyarakat yang membutuhkan
c. Dasar Pendidikan Karakter
Filosofi pendidikan yang dijelaskan Ki Hajar Dewantara bukan
hanya sistem pendidikan, melainkan juga kebudayaan bangsa Indonesia.
Untuk itu, Ki Hajar Dewantara menerapkan sistem among yang berdasarkan
pada azas pendidikan yang dikenal dengan azas 1922, yaitu:
1) Hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri dengan mengingati
tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum. Tertib dan damai itulah
tujuan kita yang tertinggi. Tidak akan ada ketertiban jika tidak ada
kedamaian. Sebaliknya, tidak akan ada kedamaian selama orang
dirintangi dalam mengembangkan hidupnya yang wajar, mengutamakan
62
perkembangan diri menurut kodratnya. Oleh karenanya, Ki Hajar
Dewantara menolak paham pendidikan yang sengaja membentuk watak
peserta didik melalui paksaan dan hukuman.
2) Dalam sistem ini, pelajaran berarti mendidik peserta didik menjadi
manusia yang merdeka batinnya, pikirannya dan tenaganya. Dengan
demikian, seorang guru atau pamong tidak hanya memberi pengetahuan
yang perlu dan baik saja, tetapi juga harus mendidik siswa untuk mencari
sendiri pengetahuan itu dan memakainya untuk amal keperluan umum.
Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Ki Hajar Dewantara mengutamakan
kemandirian pada diri peserta didik yang dengannya peserta didik akan
memiliki karakter mandiri.
3) Tentang zaman yang akan datang, rakyat kita ada di dalam kebingungan.
Sering kita tertipu oleh keadaan yang kita pandang perlu dan selaras
untuk hidup kita. Padahal itu adalah keperluan bangsa asing yang sulit
didapat dengan alat penghidupan kita sendiri. Demikian seringkali kita
merusak sendiri kedamaian hidup kita. Lagi pula kita sering
mementingkan pengajaran menuju terlepasnya pikiran, padahal
pengajaran itu membawa kita kepada gelombang penghidupan yang tidak
merdeka dan memisahkan orang-orang yang terpelajar dengan rakyatnya.
Dalam zaman kebingungan ini, seharusnya kita pakai sebagai penunjuk
jalan untuk mencari penghidupan baru yang selaras dengan kodrat kita
dan akan memberi kedamaian dalam kehidupan kita. Hal ini merupakan
63
bagian penting dalam membangun karakter peserta didik bangsa menjadi
manusia yang tidak kehilangan jati diri sebagai bangsa yang beradab.
4) Pengajaran yang hanya terdapat pada sebagian kecil rakyat Indonesia
tidak berfaidah untuk bangsa. Maka, seharusnya golongan rakyat terbesar
mendapat pengajaran secukupnya. Hal ini mengandung pengertian bahwa
memajukan pengajaran untuk rakyat umum dan kuantitas pendidikan
lebih baik daripada meninggikan pengajaran (kualitas) jika dengan
meninggikan pengajaran malah dapat mengurangi tersebarnya pengajaran.
5) Untuk dapat berusaha menurut azas dengan bebas dan leluasa, maka kita
harus bekerja menurut kekuatan sendiri. Walaupun kita tidak menolak
bantuan dari orang lain, akan tetapi kalau bantuan itu akan mengurangi
kemerdekaan kita lahir atau batin haruslah ditolak. Ini adalah wujud nyata
karakter kemandirian.
6) Keharusan membelanjai diri sendiri segala usaha di Taman Siswa. Usaha
ini terkenal dengan “Zelbedruiping-systeem”. Hal semacam ini sangat
sukar, karena untuk dapat membelanjai diri sendiri tanpa menerima
bantuan orang lain diperlukan keharusan untuk hidup sederhana. Ajaran
ini merekomendasikan kepada kita untuk hidup sederhana atau dengan
kata lain, hidup sederhana sebagai bentuk karakter positif perlu terus
ditradisikan.
7) Dengan tidak terikat lahir atau batin serta kesucian hati, kita harus dekat
dengan peserta didik. Kita tidak meminta suatu hak, akan tetapi
64
menyerahkan diri untuk membimbing peserta didik. Dengan kata lain,
keikhlasan lahir dan batin untuk mengorbankan segala kepentingan kita
terhadap keselamatan dan kebahagiaan peserta didik.
Kemudian pada tahun 1947 diadakan perbaikan terhadap azas awal
menjadi lebih sederhana. Seperti yang disampaikan oleh Djumhur dan
Suparta, azas atau dasar tersebut meliputi:
1) Kodrat alam
Azas ini dimanfaatkan untuk dapat mengembangkan segenap
bakat, potensi dan kemungkinan yang terdapat dalam diri manusia secara
kodrati. Menurut azas kodrat alam, manusia itu terlahir sama dan
merdeka. Jadi, Ki Hajar Dewantara tidak setuju dan menentang adanya
sikap rasis dan feodalisme meskipun beliau adalah keturunan bangsawan.
Menurut Ki Hajar Dewantara, nilai seseorang bukan karena garis
keturunannya atau hartanya, tetapi ditentukan oleh sumbangsihnya
kepada masyarakat. Sebab, kemuliaan seseorang dapat dilihat dari
perbuatannya. Kodrat alam dalam Islam diartikan sebagai fitrah yang
artinya ciptaan. Sebagaimana firman Allah swt Dalam Q.S. Ar-Rum, 30:
30
Artinya:
65
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, 2005: 407)
Melalui azas kodrat alam, peneliti dapat memahami bahwa Ki
Hajar Dewantara juga mengakui adanya kekuasaan Allah swt Ki Hajar
Dewantara lebih suka mengemas pemikiran-pemikirannya dengan
bahasa-bahasa budaya, tetapi semua itu tidak bertentangan dengan ajaran
Islam.
2) Kemerdekaan
Kemerdekaan mengandung makna sebagai anugerah Allah swt
kepada semua manusia berupa hak untuk mengatur dirinya sendiri
(independensi individu maupun golongan). Tetapi selalu ingat dengan
syarat-syarat tertib damainya hidup bermasyarakat.
3) Kebudayaan
Azas kebudayaan merupakan landasan yang memiliki peran
penting dalam kemajuan pendidikan karakter. Azas ini digunkan untuk
membimbing peserta didik agar tetap menghargai serta mengembangkan
kebudayaan sendiri. Tujuannya agar dapat menjaga keaslian budaya lokal.
Menurut Ki Hajar Dewantara, kebudayaan lokal dapat
menyokong perkembangan pendidikan nasional. Namun, beliau selalu
bersikap terbuka dan tidak menolak unsur-unsur kebudayaan bangsa lain,
66
selama bernilai postif, misalnya untuk mengembangkan khazanah
kebudayaan Indonesia.
4) Kebangsaan
Azas kebangsaan seperti yang dicita-citakan oleh Ki Hajar
Dewantara adalah tidak boleh ada permusuhan antar bangsa yang harus
ada adalah rasa saling menghargai dan menghormati. Utamanya,
mengandung persatuan dengan bangsa sendiri demi kedamaian hidup
seluruh bangsa. Sebab, jika menginginkan bangsa Indonesia ini maju
maka, harus mampu bergaul dengan bangsa lain tanpa membenci bangsa
tersebut. Sehingga, apa yang dicita-citakan oleh Ki Hajar Dewantara
dapat tercapai, yaitu terciptanya masyarakat yang mempunyai jiwa
toleransi yang tinggi dan keagungan akhlak.
5) Kemanusiaan
Azas ini dapat dilihat dengan adanya rasa cinta dan kasih
terhadap sesama manusia dan makhluk Allah swt lainnya sebagai
manifestasi dari kemanusiaan.
d. Metode Pendidikan Karakter
Metode yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantoro dalam
mengajarkan pendidikan karakter ada tiga, yaitu ngerti, ngrasa, nglakoni.
Dari ketiga metode tersebut sebenarnya tidak ada yang terbaik atau paling
unggul. Karena masing-masing memiliki peran yang sama dalam mencapai
tujuan pendidikan.
67
Metode tersebut memberi pengertian bahwa pendidikan karakter itu
tidak hanya berupa teori-teori saja, tetapi yang lebih penting yaitu dapat
mempraktikkannya. Fakta turut membuktikkan bahwa metode yang
digunakan oleh Ki Hajar Dewantara tidak bertentangan dengan metode
pendidikan dalam Islam. Sebagaimana kita ketahui, metode pendidikan itu
ada banyak, tetapi dalam proses internalisasi pendidikan karakter ada
beberapa metode yang patut untuk diperhatikan, yaitu:
1) Memberi contoh atau keteladanan (voorbeeld)
Pemberian contoh atau keteladanan merupakan metode klasik
bagi keberhasilan tujuan pendidikan karakter. Pemberian contoh itu
dilakukan oleh guru terhadap muridnya (http://filsafatpendidikan2
ciwaru.blogspot.com/2016/12/materi-pokok-pendidikan-kolonial.html
diakses pada tanggal 16 Maret 2018 pukul 06.00 WIB). Sebab, guru atau
pamong dalam Bahasa Jawa memiliki arti digugu lan ditiru (dipercaya
dan dicontoh).
2) Pembiasaan (pakulinan, habit, gewoontevorming)
Metode pembiasaan ini penting untuk diterapkan, karena
pembentukan akhlak (karakter atau budi pekerti) dan rohani serta
pembinaan sosial seseorang tidak cukup hanya dengan teori-teori saja.
Untuk terbiasa hidup teratur, disiplin, gemar tolong-menolong sesama
manusia dalam kehidupan sosial memerlukan latihan yang kontinyu
setiap hari (Toha, 1999: 125). Pembiasaan hendaknya diserta dengan
68
usaha membangkitkan kesadaran dari tingkah laku yang dibiasakan.
Sebab, pembiasaan digunakan agar peserta didik dapat melakspeserta
didikan segala kebaikan dengan mudah tanpa merasa berat hati.
Pembiasaan secara kontinyu disertai penjelasan dan nasehat-nasehat,
lama-kelamaan akan menimbulkan kesadaran dari peserta didik.
3) Pengajaran (wulang-wuruk)
Sebelum peserta didik mempraktikkan tentang konsep nilai-nilai
tertentu, ada baiknya jika memberikan pemahaman tentang apa itu
kebaikan, keadilan, kemandirian dan sebagainya. Untuk itu, salah satu
unsur penting dalam pendidikan karakter adalah mengajarkan nilai-nilai
keluhuran secara teoritis dan memberikan contoh-contoh dalam
kehidupan nyata (Dewantara, 1977: 28).
4) Pengalaman lahir batin (ngerti, ngrasa, nglakoni)
Pendidikan pada dasarnya meningkatkan pengetahuan peserta
didik tentang apa yang dipelajarinya (ngerti), mengasah rasa untuk
meningkatkan pemahaman tentang apa yang diketahuinya (ngrasa), serta
meningkatkan kemampuan untuk melakspeserta didikan apa yang
dipelajarinya (nglakoni) (Dewantara, 1977: 28).
Metode pendidikan seperti yang disebutkan di atas sangat tepat
untuk membangun karakter peserta didik bangsa. Pemberian contoh yang
69
disertai pembiasaan sangat tepat untuk menanamkan karakter pada peserta
didik. Begitu juga pengajaran (wulang-wuruk) yang disertai contoh tindakan
akan mempermudah peserta didik dalam menginternalisasi nilai-nilai positif
sebagai bentuk manifestasi karakter. Terlebih, disempurnakan dengan
pengalaman lahir dan batin, maka menjadi sempurna karakter peserta didik.
3. Konsep Trikon
Ki Hajar Dewantara menjelaskan bahwa pada perkembangan budaya
yang sangat dinamis memerlukan hubungan dengan budaya-budaya lain dengan
mengambil segala bahan kebudayaan dari luar yang dapat mengembangkan dan
memperkaya budaya sendiri yang sudah ada. Meskipun demikian, ada beberapa
hal yang harus diperhatikan dalam memilih unsur-unsur budaya mana yang
perlu diambil, mana yang tidak perlu, mana yang baik dan mana yang buruk.
Kemudian, disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara ini diwujudkan dalam konsep
triloginya yang terkenal dengan nama “Trikon”. Konsep ini merupakan hasil
ramuan berdasarkan pengamatannya tentang budaya timur dan barat. Secara
definisi, Trikon dapat diartikan sebagai berikut, “Upaya manusia
menghubungkan budaya luhur bangsa Indonesia (kontinu) dan menyeleksi
datangnya budaya luar dengan memberikan kemungkinan berpadunya budaya
bangsa dengan budaya luar (konvergen) menuju terjadinya budaya baru yang
lebih baik (konsentris)” (Dewantara, 1962: 59).
70
Tidak banyak sumber-sumber yang didapatkan peneliti untuk
menjelaskan bagaimana arti secara spesifik mengenai konsep Trikon ini.
Peneliti berusaha untuk menggali informasi dari berbagai buku atau jurnal
ilmiah. Namun, tidak mudah bagi peneliti untuk mendapatkan informasi yang
berkenaan dengan konsep Trikon tersebut. Peneliti hanya mampu menggali
informasi dari buku-buku karya tulisannya.
Jika dilihat dengan seksama dalam memaknai konsep Trikon, Trikon
sendiri merupakan penggabungan dari dua kata yaitu, tri (tiga) dan kon
(singkatan dari kontinuitas, konvergensi dan konsentrisitas). Penjabaran ketiga
konsep tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kontinuitas
Ki Hajar Dewantara menjelaskan maksud dari konsep kontinuitas
adalah garis hidup kita di zaman sekarang harus merupakan lanjutan dari
hidup kita di zaman silam, jangan tiruan dari bangsa lain (Dewantara, 2011:
228). Dalam melestarikan kebudayaan asli Indonesia harus terus-menerus
dan berkesinambungan. Konsep kebudayaan itu dilaksanakan dengan
memasukkan mata pelajaran muatan lokal, melalukan upacara-upacara adat,
melaksanakan pentas kebudayaan rakyat dan lain lain.
Tilaar (2015: 49) mengemukakan bahwa dalam konsep kontinyu
tidak ada satupun kebudayaan yang statis atau tidak berkembang.
Kebudayaan yang tidak berkembang berarti pemilik kebudayaan itu telah
lelap. Setiap kebudayaan berkembang secara perlahan-lahan atau dengan
71
cepat. Sebagai pemiliki kebudayaan maka perkembangan seorang peserta
didik manusia dari kandungan sampai dewasa terikat dengan nilai-nilai yang
berlaku dalam kehidupan dimana keluarga itu berada.
Dari pengertian di atas dapt diketahui bahwa kebudayaan itu tidak
statis, tetapi dinamis, harus berkembang secara terus-menerus dan berusaha
maju sesuai garis hidup banga sendiri.
b. Konvergensi
Ki Hajar Dewantara menjelaskan maksud dari konsep konvergensi
adalah keharusan manusia untuk menghindari hidup menyendiri (isolasi)
dari manusia menuju ke arah pertemuan dengan kehidupan bangsa-bangsa
lain sedunia (Dewantara, 2011: 228).
Maksud dari pernyataan di atas adalah upaya menyatukan antara
dua hal yang berbeda dalam segi apapun, manusia tetap saling berhubungan
dan menjadi satu. Jika manusia menginginkan sebuah kebudayaan dapat
maju dan berkembang, maka hal pokok yang harus dilakukan adalah dengan
cara berbaur dengan kebudayaan bangsa lain. Tetapi dalam menyesuaikan
diri dengan kebudayaan lain, manusia harus teguh memegang prinsip agar
tidak terbawa arus kebudayaan lain. Sehingga, nilai-nilai yang dimiliki tetap
terimplementasi dalam setiap aturan kehidupan. Seperti yang dijelaskan
dalam friman Allah swt dalam Q.S. Al-Hujurat, 49: 13
72
Artinya : ìHai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Sesuai ayat di atas, manusia diciptakan menjadi berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku. Oleh sebab itu, hendaklah bangsa yang satu dengan
bangsa lainnya saling mengenal agar tercipta kehidupan yang rukun dan
saling menguntungkan.
Menurut Ki Sunarno, konvergensi merupakan upaya
mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia harus memadukan dengan
kebudayaan asing yang dipandang dapat memajukan bangsa Indonesia.
Dalam memadukan hal itu dilakukan dengan memilih dan memilah
kebudayaan yang sesuai dengan kepribadian Pancasila (selektif) dan
pemaduannya harus secara alami serta tidak dipaksakan (adaptif)
(http://tamansiswajkt.wordpress.com/2013/05/28/teori-Trikon/ diakses pada
tanggal 28 Januari 2018 pukul 10.53 WIB).
c. Konsentrisitas
73
Konsentrisitas yaitu sesudah kita bersatu dengan bangsa-bangsa lain
sedunia, janganlah kita kehilangan kepribadian kita sendiri. Sungguhpun kita
sudah bertitik pusat satu, namun di dalam lingkaran-lingkaran yang
konsentris itu, kita masih mempunyai sirkel sendiri (Dewantara, 2011: 228).
Maksud dari pernyataan di atas adalah setelah bersatu dan
berkomunikasi dengan bangsa lain, bangsa Indonesia jangan sampai
kehilangan kepribadian sendiri. Sebagaimana yang diketahui, bangsa
Indonesia mempunyai adat istiadat dan kepribadian sendiri. Meskipun
bertitik pusat satu, namun dalam lingkaran yang konsentris itu, bangsa
Indonesia masih tetap mempunyai lingkaran sendiri yang khas yang
membedakan dengan bangsa-bangsa lain.
Namun, dalam bergaul dengan bangsa lain tentu banyak pengaruh
positif dan negatif untuk bangsa Indonesia. Pengaruh positif yang
ditimbulkan seperti, kemajuan teknologi, pendidikan yang semakin maju dan
sebagainya. Sedangkan pengaruh negatif yang timbul antara lain, pergaulan
bebas, berpakain mini, minum-minuman keras dan sebagainya. Oleh karena
itu, konsep ketiga ini mempunyai tugas utama yaitu menjaga kepribadian
bangsa sendiri saat adanya kontak dengan kebudayaan bangsa lain.
Sehingga, nilai-nilai bangsa Indonesia akan terus berkembang tanpa
tercampuri nilai-nilai bangsa yang lain.
74
Penjelasan konsep Trikon di atas, setidaknya sedikit memberikan
gambaran tentang upaya yang harus dilakukan oleh manusia yang memiliki
budaya tertentu agar bersikap terbuka dengan kebudayaan lainnya.
B. Pendidikan Agama Islam (PAI)
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam (PAI)
Pendidikan dalam praktiknya dapat dipahami sebagai “proses belajar
mengajar”. Sedangkan agama Islam dipahami sebagai objek pembelajaran yang
kita kenal dengan sebutan ilmu. Dewey (t.t: 10) mengemukakan bahwa
Education is a fostering, a nurturing, a cultivating, prosess. All of these words
mean that it implies anttention to the of growth. Pendidikan adalah sebuah
proses perkembangan, pengasuhan dan penanaman. Dari istilah tersebut
menunjukkan bahwa pendidikan sesungguhnya menyangkut kognitf, afektif dan
psikomotorik seseorang. Pendidikan tidak hanya sebagi transfer ilmu
pengetahuan (kognitif), namun juga menyangkut pengasuhan dan penanaman
nilai-nilai baik bagi peserta didik (afektif). Kemudian, dilanjutkan dengan
pengawasan dari pengaplikasian nilai-nilai baik tersebut yang telah diajarkan
(psikomotorik).
Pendidikan merupakan usaha sadar dari orang dewasa terhadap
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik untuk meningkatkan dan
menuju kedewasaan. Menurut Isna (2001: 63) pendidikan agama Islam
merupakan usaha yang lebih khusus ditekankan untuk lebih mampu memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam. Sedangkan menurut
75
Ramayulis (2005: 21) pendidikan agama Islam adalah usaha sadar dan
terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami,
menghayatu, mengimani, bertakwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran
Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Qur’an dan Hadits, melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, latihan serta pengalaman. Daradjat (2004: 86) turut
menambahkan bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha berupa bimbingan
dan asuhan terhadap peserta didik agar kelak setelah selesai pendidikannya
dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta menjadikannya
sebagai pandangan hidup (way of life).
Dari penjelasan dia atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama
Islam (PAI) adalah usaha atau proses mengembangkan seluruh potensi baik
lahir maupun batin menuju pribadi yang utama (insan kamil) dengan mengacu
pada pokok ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Sehingga nanti peserta
didik bisa menjadi manusia yang bertanggung jawab kepada diri sendiri,
lingkungan (masyarakat) dan tanggung jawab kepada Allah swt.
2. Dasar Pendidikan Agama Islam (PAI)
Dasar pendidikan adalah suatu landasan yang dijadikan pegangan dalam
menyelenggarakan pendidikan (Zuhairini, 1993: 12). Dasar pendidikan Islam
sendiri sudah jelas yaitu firman Allah (Al-Qur’an) dan Hadits. Sebagai
pedoman, Al-Qur’an tidak ada keraguan di dalamnya, seperti firman Allah
dalam Q.S. Al-Baqarah, 1: 2, yaitu:
76
Artinya: “Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”
Ayat di atas menyampaikan bahwa Al-Qur’an adalah dasar dari segala
hal. Baik itu pendidikan, sosial maupun ekonomi. Al-Qu’ran merupakan
sebenar-benarnya firman Allah yang di dalamnya tidak ada keraguan, artinya
hukum atau ketentuan Allah di dalam Al-Qur’an itu adalah hal yang pasti.
3. Fungsi Pendidikan Agama Islam
Menurut Hasan Langgulung (1998: 305) fungsi pendidikan adalah
sebagai pengembangan potensi-potensi yang ada pada individu-individu,
supaya dapat dipergunakan oleh dirinya sendiri dan seterusnya oleh masyarakat
untuk menghadapi tantangan-tantangan yang selalu berubah. Pendidikan
Agama Islam (PAI) mempunyai fungsi yang berbeda dengan subjek pelajaran
yang lain. Karena, fungsi yang diemban tersebut akan menentukan berbagai
aspek pengajaran yang dipilih oleh pendidik agar tujuannya selesai.
Fungsi Pendidikan Agama Islam (PAI) menurut Ramayulis (2005: 21-
22), antara lain:
a. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik
kepada Allah swt. yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga.
Sekolah berfungsi untuk menumbuh-kembangkan lebih lanjut dalam diri
peserta didik melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan
77
dan ketakwaan tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan
tingkat perkembangannya.
b. Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan peserta didik yang memiliki bakat
khusus di bidang agama agar bakat tersebut dapat berkembang untuk
dirinya sendiri dan orang lain.
c. Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan peserta didi
dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalahn ajaran Islam untuk dirinya
sendiri dan orang lain.
d. Pencegahan, yaitu menangkal hal-hal yang negatif dari lingkungannya atau
dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat
perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya.
e. Penyesuaian, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik
lingkungan fisik maupun sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai
dengan ajaran Islam.
4. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Tujuan Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah untuk meningkatkan
keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman peserta didik tentang
agama Islam. Sehingga, menjadi Muslim yang beriman dan bertakwa kepada
Allah swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara (Ramayulis, 2005: 23). Maka, tujuan Pendidikan
Agama Islam (PAI) di sekolah maupun madrasah juga tidak jauh berbeda
dengan tujuan utama PAI.
78
5. Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Materi pelajaran berada dalam kurikulum. Kurikulum sendiri merupakan
suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai
seuatu tujuan pendidikan (Daradjat, 2004: 122). Kurikulum merupakan faktor
yang sangat penting dalam proses pendidikan. Segala hal yang harus diketahui
dan dihayati oleh peserta didik dan hal-hal apa saja yang harus diajarkan oleh
pendidik kepada peserta didik, harus ditetapkan di dalam kurikulum.
Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan serta cara pembelajaran
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar
untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam penelitian ini mengacu pada
kurikulum PAI 2013. Isi dari kurikulum PAI 2013 meliputi kerangka dasar
kurikulum, standar kurikulum, standar isi, stadar proses dan standar penilaian.
a. Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Madrasah
1) Kerangka Dasar Kurikulum Pendidikan Agama Islam
a) Landasan Filosofis
Sebagaimana dalam Permenag No. 912 tahun 2013 tentang
Kurikulum Madrasah 2013 Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam
(PAI) dan Bahasa Arab yang memuat filosofi kurikulum Pendidikan
Agama Islam, sebagai berikut:
(1) Pendidikan berakar pada budaya bangsa untuk membangun
kehidupan bagsa masa kini dan masa mendatang. Pandangan ini
79
dikembangkan berdasarkan budaya bangsa yang beragam. Untuk
mempersiapkan kehidupan masa kini dan masa depan peserta
didik, kurikulum 2013 mengembangkan pengalaman belajar
yang memberikan kesempatan luas bagi peserta didik untuk
menguasai kompetensi yang diperlukan bagi kehidupan di masa
kini dan masa depan. Serta, pada waktu bersamaan tetap
mengembangkan kemampuan mereka sebagai pewaris bduaya
bangsa dan orang yang peduli terhadap permasalahan masyarakat
dan bangsa lain.
(2) Peserta didik adalah pewaris budaya yang kreatif. Menurut
padangan filosofis ini, prestasi anak bangsa di berbagai bidang
kehidupan di masa lampau adalah sesuatu yang harus teruat
dalam isi kurikulum untuk dipelajari peserta didik. Selain
mengembangkan kemampuan berpikir secara rasional dan
cemerlang dalam akademik, kurikulum 2013 juga memposisikan
keunggulan budaya untuk dapat dipelajari oleh peserta didik.
Sehingga, akan timbul rasa bangga terhadap budaya bangsa
sendiri.
(3) Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan
intelektual dan kecemerlangan akademik melalui pendidikan
disiplin ilmu. Filosofi ini mewajibkan kurikulum untuk memiliki
nama mata pelajaran yang sama dengan nama disiplin ilmu dan
80
selalu bertujuan untuk mengembangkan kemampuan intelektual
dan kecemerlangan akademik.
(4) Kemampuan untuk membangun kehidupan masa kini dan masa
depan yang lebih baik dari masa lalu dengan berbagai
kemampuan intelektual, komunikasi, sikap sosial, kepedulian
dan berpartisipasi untuk mengembangkan kehidupan masyarakat
dab bangsa yang lebih baik.
Dengan filosofi ini, kurikulum 2013 bermaksud untuk
mengembangkan potensi peserta didik menjadi mampu berpikir
reflektif dalam menyelesaikan masalah sosial di masyarakat dan
untuk membangun kehidupan masyarakat demokratis yang lebih
baik.
b) Landasan Teoritis
Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori “pendidikan
berdasarkan standar” (standard-based education), dan teori
kurikulum berbasis kompetensi (competency-based curriculum).
Pendidikan berdasarkan standar menetapkan adanya standar nasional
sebagai kualitas minimal warga negara yang dirinci menjadi standar
isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan
tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
81
Kurikulum berbasis kompetensi dirancang untuk memberikan
pengalaman belajar seluasluasnya bagi peserta didik dalam
mengembangkan kemampuan untuk bersikap, berpengetahuan,
berketerampilan, dan bertindak. Kurikulum 2013 menganut: (1)
pembelajaan yang dilakukan guru (taught curriculum) dalam bentuk
proses yang dikembangkan berupa kegiatan pembelajaran di
madrasah, kelas, dan masyarakat; dan (2) pengalaman belajar
langsung peserta didik (learned-curriculum) sesuai dengan latar
belakang, karakteristik, dan kemampuan awal peserta didik.
Pengalaman belajar langsung individual peserta didik menjadi hasil
belajar bagi dirinya, sedangkan hasil belajar seluruh peserta didik
menjadi hasil kurikulum.
c) Landasan Yuridis
Landasan yuridis Kurikulum 2013 adalah:
(1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4301);
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4496) sebagaimana telah diubah dengan
82
Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2013 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5410);
(3) Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 141);
(4) Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,
Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan
Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara,
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 142);
(5) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84/P Tahun
2009 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden
Nomor 5/P Tahun 2013;
83
(6) Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2013 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kementerian
Agama;
(7) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 54
Tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan
Dasar dan Menengah;
(8) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 64
Tahun 2013 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan
Menengah;
(9) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 65
Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan
Menengah;
(10) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 66
Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan;
(11) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 67
Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
(12) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68
Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum
Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah;
84
(13) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 69
Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum
Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah.
(14) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81 A
Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum Sekolah
/Madrasah
2) Struktur Kurikulum
a) Kompetensi Inti
Kompetensi inti ibarat anak tangga yang harus ditapakai
peserta didik untuk sampai pada kompetensi lulusan jenjang
Madrasah Aliyah. Kompetensi Inti (KI) meningkat seiring dengan
meningkatnya usia peserta didik yang dinyatakan dengan
meningkatnya kelas. Melalui KI, integrasi vertikal berbagai
kompetensi dasar (KD) pada kelas yang berbeda dapat terjaga.
Rumusan kompetensi inti (KI) menggunakan notasi: 1) KI-1
untuk sikap spiritual, 2) KI-2 untuk sikap sosial, 3) KI-3 untuk
pengetahuan (pemahaman konsep), 4) KI-4 untuk ketrampilan.
Urutan tersebut mengacu pada urutan yang disebutkan dalam UU No.
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
85
Selanjutnya Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang telah
dirumuskan untuk jenjang satuan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah
(MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan MadrasahAliyah (MA)
dipergunakan untuk merumuskan kompetensi dasar (KD) yang
diperlukan untuk mencapainya. Mengingat standar kompetensi
lulusan harus dicapai pada akhirjenjang. Sebagai usaha untuk
memudahkan operasional perumusan kompetensi dasar, diperlukan
tujuan antara yang menyatakan capaian kompetensi pada tiap akhir
jenjang kelaspada setiap jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI),
Madrasah Tsanawiyah (MTs) maupunMadrasah Aliyah (MA).
Capaian kompetensi pada tiap akhir jenjang kelas dari Kelas Isampai
VI, Kelas VII sampai dengan IX, Kelas X sampai dengan Kelas XII
disebut dengan Kompetensi Inti.
Tabel 1 : Contoh Tabel Kompetensi Inti Madrasah Ibtidaiyah (MI)
Kelas I, II, III
Kompetensi Inti Kelas I Kompetensi Inti
Kelas II
Kompetensi Inti
Kelas III
1. Menerima dan
menjalankan ajaran
agama yang
dianutnya.
1. Menerima dan
menjalankan ajaran
agama yang dianutnya.
1. Menerima dan
menjalankan ajaran
agama yang
dianutnya.
2. Memiliki perilaku
jujur, disiplin,
2. Menunjukkan perilaku
jujur, disiplin,
2. Menunjukkan
perilaku jujur,
86
tanggung jawab,
santun, peduli, dan
percaya diri dalam
berinteraksi dengan
keluarga, teman, dan
guru.
tanggung jawab,
santun, peduli, dan
percaya diri dalam
berinteraksi dengan
keluarga, teman, dan
guru.
disiplin, tanggung
jawab, santun, peduli,
dan percaya diri
dalam berinteraksi
dengan keluarga,
teman, guru dan
tetangganya.
3. Memahami
pengetahuan faktual
dengan cara
mengamati
(mendengar, melihat,
membaca) dan
menanya berdasarkan
rasa ingin tahu tentang
dirinya, makhluk
3. Memahami
pengetahuan faktual
dengan cara
mengamati
(mendengar, melihat,
membaca) dan
menanya berdasarkan
rasa ingin tahu tentang
dirinya, makhluk
ciptaan Tuhan dan
benda-benda yang
dijumpainya di rumah
dan di sekolah
3. Memahami
pengetahuan faktual
dengan cara
mengamati
(mendengar, melihat,
membaca) dan
menanya berdasarkan
rasa ingin tahu
tentang dirinya,
makhluk ciptaan
Tuhan dan benda-
benda yang
dijumpainya di rumah
dan di sekolah
4. Mengolah, menalar,
dan menyaji dalam
ranah konkret dan
ranah abstrak terkait
dengan pengembangan
dari yang dipelajarinya
di sekolah secara
4. Mengolah, menalar,
dan menyaji dalam
ranah konkret dan
ranah abstrak terkait
dengan pengembangan
dari yang dipelajarinya
di sekolah secara
4. Mengolah, menalar,
dan menyaji dalam
ranah konkret dan
ranah abstrak terkait
dengan
pengembangan dari
yang dipelajarinya di
87
mandiri, dan mampu
menggunakan metoda
sesuai kaidah
keilmuan.
mandiri, bertindak
secara efektif dan
kreatif serta mampu
menggunakan metoda
sesuai kaidah
keilmuan.
sekolah secara
mandiri, bertindak
secara efektif dan
kreatif dan mampu
menggunakan metoda
sesuai kaidah
keilmuan.
b) Kompetensi Dasar
Sebagai rangkaian untuk mendukung Kompetensi Inti, capaian
pembelajaran mata pelajaran diuraikan menjadi kompetensi-
kompetensi dasar. Pencapaian Kompetensi Inti adalah melalui
pembelajaran kompetensi dasar yang disampaikan melalui mata
pelajaran. Rumusannya dikembangkan dengan memperhatikan
karakteristik peserta didik, kemampuan awal, serta ciri dari suatu
mata pelajaran sebagai pendukung pencapaian.
Kompetensi Inti, kompetensi dasar dikelompokkan menjadi
empat sesuai dengan rumusan Kompetensi Inti yang didukungnya,
yaitu: 1). Kelompok kompetensi dasar sikap spiritual (mendukung
KI-1) atau kelompok 1, 2). Kelompok kompetensi dasar sikap sosial
(mendukung KI-2) atau kelompok 2, 3). Kelompok kompetensi
dasar pengetahuan (mendukung KI-3) atau kelompok 3, dan 4).
Kelompok kompetensi dasar keterampilan (mendukung KI-4) atau
kelompok 4.
88
Uraian kompetensi dasar yang rinci ini adalah untuk
memastikan bahwa capaian pembelajaran tidak berhenti sampai
pengetahuan saja, melainkan harus berlanjut ke keterampilan, dan
bermuara pada sikap. Melalui kompetensi inti, tiap mata pelajaran
ditekankan bukan hanya memuat kandungan pengetahuan saja,
tetapi juga memuat kandungan proses yang berguna bagi
pembentukan keterampilannya. Selain itu juga memuat pesan
tentang pentingnya memahami mata pelajaran tersebut sebagai
bagian dari pembentukan sikap. Hal ini penting mengingat
kompetensi pengetahuan sifatnya dinamis karena pengetahuan masih
selalu berkembang.
Kemampuan keterampilan akan bertahan lebih lama dari
kompetensi pengetahuan, sedangkan yang akan terus melekat pada
dan akan dibutuhkan oleh peserta didik adalah sikap. Kompetensi
dasar dalam kelompok Kompetensi Inti sikap (KI-1 dan KI-2)
bukanlah untuk peserta didik karena kompetensi ini tidak diajarkan,
tidak dihafalkan, dan tidak diujikan, tetapi sebagai pegangan bagi
pendidik bahwa dalam mengajarkan mata pelajaran tersebut ada
pesan-pesan sosial dan spiritual sangat penting yang terkandung
dalam materinya.
Dengan kata lain, kompetensi dasar yang berkenaan dengan
sikap spiritual (mendukung KI-1) dan individual-sosial (mendukung
89
KI-2) dikembangkan secara tidak langsung (indirect teaching) yaitu
pada waktu peserta didik belajar tentang pengetahuan (mendukung
KI-3) dan keterampilan (mendukung KI-4).
Untuk memastikan keberlanjutan penguasaan kompetensi,
proses pembelajaran dimulai dari kompetensi pengetahuan,
kemudian dilanjutkan menjadi kompetensi keterampilan, dan
berakhir pada pembentukan sikap. Dengan demikian, proses
penyusunan maupun pemahamannya (dan bagaimana membacanya)
dimulai dari Kompetensi Dasar kelompok 3. Hasil rumusan
Kompetensi Dasar kelompok 3 dipergunakan untuk merumuskan
Kompetensi Dasar kelompok 4. Hasil rumusan Kompetensi Dasar
kelompok 3 dan 4 dipergunakan untuk merumuskan Kompetensi
Dasar kelompok 1 dan 2. Proses berkesinambungan ini untuk
memastikan bahwa pengetahuan berlanjut ke keterampilan dan
bermuara ke sikap sehingga ada keterkaitan erat yang mendekati
linier antara kompetensi dasar pengetahuan, keterampilan dan sikap.
c) Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam
Struktur kelompok mata pelajaran Pendidikan Agama Islam
dan Bahasa Arab dalam kurikulum Madrasah meliputi: 1) Al-Qur’an
Hadis, 2) Akidah Akhlak, 3) Fikih, 4) Sejarah Kebudayaan Islam
(SKI), dan 5) Bahasa Arab. Masing-masing mata pelajaran tersebut
pada dasarnya saling terkait dan melengkapi.
90
(1) Al-Qur'an-Hadis merupakan sumber utama ajaran Islam, dalam
arti keduanya merupakan sumber akidah-akhlak, syari’ah/fikih
(ibadah, muamalah), sehingga kajiannya berada di setiap unsur
tersebut.
(2) Akidah merupakan akar atau pokok agama. Syariah/fikih
(ibadah, muamalah) dan akhlakbertitik tolak dari akidah, yakni
sebagai manifestasi dan konsekuensi dari keimanan dan
keyakinan hidup. Akhlak merupakan aspek sikap hidup atau
kepribadian hidup manusia, yang mengatur hubungan manusia
dengan Allah SWT dan hubungan manusia dengan manusia
lainnya. Hal itu menjadi sikap hidup dan kepribadian hidup
manusia dalam menjalankan sistem kehidupannya (politik,
ekonomi, sosial, pendidikan, kekeluargaan, kebudayaan/seni,
ilmu pengetahuan dan teknologi olahraga/kesehatan, dan lain-
lain) yang dilandasi oleh akidah yang kokoh.
(3) Fikih (Syari’ah) merupakan sistem atau seperangkat aturan
yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT
(Hablum-Minallah), sesama manusia (Hablum-Minan-nas) dan
dengan makhluk lainnya (Hablum-Ma’al Ghairi).
(4) Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) merupakan catatan
perkembangan perjalanan hidup manusia muslim dari masa ke
masa dalam beribadah, bermuamalah dan berakhlak serta dalam
91
mengembangkan sistem kehidupan atau menyebarkan ajaran
Islam yang dilandasi oleh akidah.
(5) Bahasa Arab sebagai bahasa pengantar untuk memahami
ajaran Islam. Dengan Bahasa Arab ajaran Islam dapat dipahami
secara benar dan mendalam dari sumber utamanya, yaitu Al-
Qur’an dan Hadis serta literatur-literatur pendukungnya yang
berbahasa Arab seperti Kitab Tafsir dan Syarah Hadis.
Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Bahasa Arab di Madrasah
memiliki karakteristik sebagai berikut:
(1) Al-Qur'an Hadis, menekankan pada kemampuan baca tulis
yang baik dan benar, memahami makna secara tekstual dan
kontekstual, serta mengamalkan kandungannya dalam
kehidupan sehari-hari.
(2) Akidah Akhlak menekankan pada kemampuan memahami
keimanan dan keyakinan Islam sehingga memiliki keyakinan
yang kokoh dan mampu mempertahankan keyakinan atau
keimanannya serta menghayati dan mengamalkan nilai-nilai al-
asma’ al-husna. Akhlak menekankan pada pembiasaan untuk
menerapkan dan menghiasi diri akhlak terpuji (mahmudah)
dan menjauhi serta menghindari diri dari akhlak tercela
(madzmumah) dalam kehidupan sehari-hari.
92
(3) Fikih menekankan pada pemahaman yang benar mengenai
ketentuan hukum dalam Islam serta kemampuan cara
melaksanakan ibadah dan muamalah yang benar dan baik
dalam kehidupan sehari-hari.
(4) Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) menekankan pada
kemampuan mengambil ibrah/hikmah (pelajaran) dari sejarah
Islam, meneladani tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya
dengan fenomena sosial, budaya, politik, ekonomi, iptek dan
seni, dan lain-lain, untuk mengembangkan Kebudayaan dan
peradaban Islam pada masa kini dan masa yang akan datang.
(5) Bahasa Arab merupakan mata pelajaran bahasa yang diarahkan
untuk mendorong, membimbing, mengembangkan dan
membina kemampuan serta menumbuhkan sikap positif
terhasap Bahasa Arab, baik reseptif maupun produktif.
Kemampuan reseptif yaitu kemampuan untuk memahami
pembicaraan orang lain dan memahami bacaan. Kemampuan
produktif yaitu kemampuan menggunakan bahasa sebagai alat
komunikasi baik secara lisan maupun secara tertulis.
Kemampuan berbahasa Arab serta sikap positif terhadap bahasa
Arab tersebut sangat penting dalam membantu memahami
sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur'an dan al- Hadis, serta kitab-
kitab berbahasa Arab yang berkenaan dengan Islam bagi
93
peserta didik. Untuk itu, Bahasa Arab di Madrasah
dipersiapkan untuk pencapaian kompetensi dasar berbahasa,
yang mencakup empat keterampilan berbahasa yang diajarkan
secara integral, yaitu menyimak (mahaaratu al istimaa),
berbicara (mahaaratu al-kalaam), membaca (mahaaratul al
Qiraa’ah), dan menulis (mahaaratu al kitaabah).
b. Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah
Jika merujuk pada Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar
Isi dan No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan, maka
kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah dan madrasah tidak
ada perbedaan yang mencolok. Hanya saja, mata pelajaran PAI di madrasah
porsinya lebih banyak dan kurikulum PAI di madrasah harus memperhatikan
Surat Edaran Dirjen Pendidikan Islam No. DJ.II.1/PP.OO/ED/681/2006
tentang pelaksanaan Standar Isi.
Secara redaksional seperti yang disampaikan dalam kurikulum 2004,
tujuan Pendidikan Agama Islam (PAI) di jenjang SD, SMP dan SMA adalah
sama, yaitu untuk meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan berakhlak mulia
baik di dalam kehidupan pribadi, berbangsa maupun bernegara.
94
BAB IV
PEMBAHASAN
C. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Karakter pada Konsep Trikon
1. Paparan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Konsep Trikon Pada bab ini, peneliti akan memaparkan hasil analisis nilai-nilai
pendidikan karakter pada konsep Trikon. Sebelumnya, peneliti melakukan
analisis terhadap riwayat hidup Ki Hajar Dewantara. Hasil yang ditemukan
yaitu terbentuknya nilai-nilai pendidikan karakter tidak lepas dari kondisi
lingkungan yang dialami Ki Hajar Dewantara, diantaranya:
a. Kondisi sosial masyarakat
Meskipun Ki Hajar Dewantara hidup di lingkungan keraton, tetapi
ia menjalani kesehariannya dengan tetap bergaul bersama anak-anak di
kampungnya. Ki Hajar Dewantara juga ikut berlatih menari dan menabuh
gamelan. Hingga dewasa, meski Ki Hajar Dewantara bergaul dengan
teman-teman keturunan Cina, Arab, dan Belanda di bangku sekolah, Ki
Hajar Dewantara tidak lantas kebarat-baratan. Sebaliknya, kecintaannya
terhadap bangsa Indonesia semakin mendalam. Dan, semangat untuk
memperbaiki kehidupan bangsa semakin meningkat.
b. Kondisi budaya dan keagamaan
Menurut silsilah, Ki Hajar Dewantara masih memiliki garis
keturunan dengan Sunan Kalijaga. Maka, sebagai keturunan Keraton
95
Yogyakarta sekaligus ulama’, Ki Hajar Dewantara dibesarkan dan dididik
dalam lingkungan keluarga yang religius dan budaya Jawa yang kental
(Desmon, 2007: 219).
c. Kondisi pendidikan
Ki Hajar Dewantara lebih beruntung dibanding dengan teman-
temannya di kampung. Ki Hajar Dewantara bisa mengenyam pendidikan di
sekolah milik pemerintah Belanda. Peraturan yang ada yaitu yang berhak
mengikuti pendidikan di sekolah milik pemerintah Belanda hanya bagi
anak yang berasal dari keturunan terpandang saja. Karena Suwardi adalah
cucu Paku Alam III, maka beliau dapat masuk di ELS (Europeesche
Legere School) atau sekolah dasar.
Dari kondisi yang demikianlah yang akhirnya membentuk karakter Ki
Hajar Dewantara. Sehingga, karakter-karakter mulia tersebut yang mendorong
munculnya gagasan-gagasan cemerlang dan tentu karakter tersebut juga
termanifestasi di dalam gagasan-gagasan Ki hajar Dewantara. Adapun
gagasan Ki Hajar Dewantara yang menjadi bahan analisis peneliti adalah
konsep Trikon.
Analisis pada bab ini berpedoman pada 18 nilai karakter yang
dikembangkan oleh Diknas, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja
keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,
cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat.komunikatif, cinta damai,
96
gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab. Hasil
analisis disesuaikan dengan teks konsep Trikon.
97
Tabel 2 : Paparan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Konsep Trikon
No. Teks Konsep
Trikon Kata kunci
Nilai pendidikan
karakter
1. Garis hidup kita di
zaman sekarang
harus merupakan
“lanjutan atau
terusan” dari hidup
kita di zaman
lampau, jangan
ulangan atau tiruan
hidup bangsa lain
(kontinuitas)
Menyuruh untuk
mengembangkan
kehidupan dan
tidak
diperbolehkan
meniru dari
bangsa lain
Kreatif
2. Keharusan untuk
menghindari hidup
menyendiri (isolasi)
karena untuk menuju
ke arah pertemuan
hidup dengan
bangsa-bangsa lain
(konvergensi)
Menghindari
hidup menyendiri
1. Toleran
2. Bersahabat/komunikatif
3. Sesudah bersatu
dengan bangsa-
bangsa lain sedunia,
janganlah kita
kehilangan
kepribadian sendiri
(konsentrisitas)
Jangan
kehilangan
kepribadian
sendiri
1. Semangat kebangsaan
2. Cinta tanah air
98
Beberapa hasil analisis di atas, menunjukkan bahwa konsep Trikon
yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara menghendaki peserta didik untuk
memiliki nilai-nilai karakter seperti yang disebutkan di atas. Nilai-nilai
karakter tersebut akan sangat bermanfaat bagi peserta didik sebagai bekal
menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman
2. Pembahasan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Konsep Trikon
Berdasarkan hasil analisis terhadap konsep Trikon, maka diperoleh
nilai-nilai pendidikan karakter sebagai berikut:
a. Kreatif
Kreatif adalah berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan
cara atau hasil baru dari apa yang telah dimiliki. Menurut Khaliq (2015:
51) kreatif adalah suatu sikap yang mampu menyelesaikan masalah secara
inovatif, luwes, kritis, berani mengambil keputusan dengan cepat dan tepat,
menampilkan hal yang unik, memiliki ide baru, ingin terus berubah, dapat
membaca situasi dan memanfaatkan peluang. Artinya, setiap pribadi harus
memiliki daya kreatifitas supaya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara menjadi lebih baik dari sebelumnya. Jika diterapkan dalam dunia
pendidikan, baik pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik memang
harus memiliki daya kreatifitas. Karena, untuk mencapai tujuan pendidikan
semua komponen dalam pendidikan harus bergerak bersama membuat
inovasi agar pendidikan di negeri ini menjadi lebih baik dan berkembang.
99
Berdasarkan paparan data analisis sebelumnya, konsep kontinuitas
pada konsep Trikon terindikasi mengandung nilai pendidikan karakter
kreatif. Berikut penggalan teks dari konsep Trikon:
“Garis hidup kita di zaman sekarang harus merupakan “lanjutan atau terusan” dari hidup kita di zaman lampau, jangan ulangan atau tiruan hidup bangsa lain (kontinuitas)” Analisis teks : konsep kontinuitas menyimpan pesan bahwa dalam
menjalani kehidupan ini haruslah memiliki daya kreatifitas. Karena, dengan
memiliki karakter kreatif ini manusia dapat mengubah kehidupannya
terlebih kehidupan bangsa menjadi lebih baik. Sebagaimana firman Allah
swt dalam Q.S. Al-Anfal, 8: 53
Artinya: “Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Ayat di atas menegaskan bahwa Allah tidak akan mencabut nikmat
yang telah dilimpahkan-Nya kepada suatu kaum, selama kaum itu tetap taat
dan bersyukur kepada Allah. Nikmat itu bisa berupa kehidupan yang lebih
baik yang diubah oleh manusia itu sendiri.
b. Toleran
100
Toleransi adalalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan
agama, suku, etnik, pendakat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda
dengan dirinya. Berdasarkan paparan data analisis di atas, konsep
konvergensi pada konsep Trikon terindikasi mengandung nilai pendidikan
karakter toleransi. Berikut penggalan teks dari konsep Trikon:
“Keharusan untuk menghindari hidup menyendiri (isolasi) karena untuk menuju ke arah pertemuan hidup dengan bangsa-bangsa lain (konvergensi)” Analisis teks : melalui penggalan teks tersebut, konsep konvergensi
pada konsep Trikon ingin menyampaikan kepada pembaca tentang
pentingnya untuk memiliki sikap toleransi. Karakter toleransi ini menjadi
sangat penting karena dengan saling menghormati kebudayaan bangsa lain,
kehidupan bermasyarakat, bernegara maupun berbangsa akan menjadi
tentram, damai dan harmonis.
c. Bersahabat/komunikatif
Bersahabat atau komunikatif adalah tindakan yang melibatkan rasa
senang berbicara, bergaul dan senang bekerja sama dengan orang lain.
Berdasarkan paparan data analisis di atas, konsep konvergensi pada konsep
Trikon terindikasi mengandung nilai pendidikan karakter
bersahabat/komunikatif. Berikut penggalan teks dari konsep Trikon:
“Keharusan untuk menghindari hidup menyendiri (isolasi) karena untuk menuju ke arah pertemuan hidup dengan bangsa-bangsa lain (konvergensi)” Analisis teks : dalam konsep konvergensi dapat dipahami bahwa
sebagai makhluk sosial, tiap-tiap orang harus saling menjalin komunikasi
101
dan terbuka dengan kebudayaan dari bangsa lain. Ki Hajar Dewantara
dalah riwayat hidupnya sudah memberikan contoh, bahwa ia selain bergaul
dengan orang-orang pribumi juga bergaul dengan orang-orang dari bangsa
lain. Karena dengan banyak bergaul atau berkumpul dengan orang-orang,
pengalaman, teman dan wawasan juga akan bertambah.
d. Semangat kebangsaan
Semangat kebangsaan adalah cara berpikir, bertindak dan wawasan
yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri
sendiri dan kelompok. Berdasarkan paparan data analisis di atas, konsep
konsentrisitas pada konsep Trikon terindikasi mengandung nilai pendidikan
karakter semangat kebangsaan. Berikut penggalan teks dari konsep Trikon:
“Sesudah bersatu dengan bangsa-bangsa lain sedunia, janganlah kita kehilangan kepribadian sendiri (konsentrisitas)” Analisis teks : konsep konsentrisitas menyatakan bahwa dalam
menjalin hubungan dengan bangsa lain, bangsa Indonesia tidak boleh
sampai kehilangan kepribadian bangsa sendiri. Sebagaimana yang
diketahui, bangsa Indonesia mempunyai adat istiadat dan kepribadian
sendiri. Meskipun telah menyatu dengan bangsa lain, namun dalam
lingkaran yang konsentris itu, bangsa Indonesia masih tetap mempunyai
lingkaran sendiri yang khas yang membedakan dengan bangsa-bangsa lain.
e. Cinta tanah air
102
Cinta tanah air adalah cara berpikir, bersikap dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa.
Berdasarkan paparan data analisis di atas, konsep konsentrisitas pada
konsep Trikon terindikasi mengandung nilai pendidikan karakter cinta
tanah air. Berikut penggalan teks dari konsep Trikon:
“Sesudah bersatu dengan bangsa-bangsa lain sedunia, janganlah kita kehilangan kepribadian sendiri (konsentrisitas)” Analisis teks : konsep konsentrisitas memiliki makna bahwa ketika
sudah menjalin komunikasi dengan bangsa lain, selain tidak boleh
kehilangan kepribadian bangsa, seharusnya kecintaan terhadap tanah air
semakin meningkat. Karena bangsa Indonesia ini memiliki ciri khas
tersendiri yang membedakan dengan bansga lain.
D. Relevansi Konsep Trikon Menurut Ki Hajar Dewantara Terhadap
Pendidikan Agama Islam (PAI)
Sebagaimana diketahui, konsep Trikon ini telah dipraktikkan oleh Ki
Hajar Dewantara sejak menuntut ilmu di Belanda. Ilmu pendidikan barat
disaringnya dan yang bermanfaat dipakainya tetapi tetap berpijak pada akar
budaya tanah air. Sehingga, konsep tentang Pendidikan Nasional menurut Ki
Hajar Dewantara adalah pendidikan yang berakar pada budaya nusantara.
Konsep isi pendidikannya pun secara umum harus relevan dengan garis hidup
untuk mencerdaskan dan mengangkat martabat bangsa dalam rangka
103
membangun kerja sama saling menguntungkan dengan bangsa-bangsa lain di
dunia. Untuk memperkuat dinamika pendidikan sebagai penguatan kebangsaan,
maka konsep pengembangan pendidikan harus senafas dnegan nilai-nilai budaya
yang berkembang di masyarakat serta melibatkan unsur masyarakat dalam
pengelolaannya. Karena, out put yang dihasilkan harus menjadi pioner
kebudayaan dan peradaban bangsa yang lebih baik.
Adapun relevansi konsep Trikon terhadap Pendidikan Agama Islam (PAI)
adalah sebagai berikut:
1. Kontinuitas Pendidikan Agama Islam
Dalam sejarah hidup, manusia senantiasa menghadapi masalah-
masalah baru yang lebih rumit. Kerumitan ini yang kemudian menuntut
manusia untuk senantiasa berpikir agar dapat mencari ide yang solutif.
Begitu pula dalam dunia pendidikan, baik peserta didik, pendidik maupun
tenaga kependidikan. Misalnya, dalam desain pengembangan kurikulum
Pendidikan Agama Islam (PAI) harus dilakukan secara terus-menerus dan
dengan perencanaan yang baik. Dengan perencanaan tersebut, maka suatu
tahap yang akan dilanjutkan ke tahap berikutnya harus melalui evaluasi dan
perbaikan yang tepat. Dalam ilmu pendidikan Islam, kurikulum merupakan
komponen yang sangat penting karena memuat bahan-bahan ilmu
pengetahuan yang diproses dalam sistem pendidikan Islam. Di samping itu,
kurikulum dapat berfungsi sebagai alat pencapaian tujuan pendidikan
nasional (Arif, 2002: 79).
104
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan itu bersifat dinamis dan akan
terus berkembang baik secara evolutif maupun revolusioner. Sebagaimana
gagasan Ki Hajar Dewantara melalui konsep kontinuitasnya:
“Garis hidup kita di zaman sekarang harus merupakan “lanjutan atau terusan” dari hidup kita di zaman lampau, jangan ulangan atau tiruan hidup bangsa lain (kontinuitas)” Artinya, Ki Hajar Dewantara mengisyaratkan bahwa apa yang
dialami oleh manusia saat ini merupakan lanjutan dari suatu proses yang
tidak akan pernah mengalami keadaan statis. Dalam kenyataannya,
perubahan itu bersifat mutlak, terus berganti mengikuti perkembangan
zaman. Begitu pula dalam desain pengembangan kurikulum PAI. Tentu saja,
perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang membawa manfaat dan
kebaikan.
Islam juga memberikan semangat untuk melakukan pengembangan
dalam hal apapun di kehidupan, termasuk pendidikan demi mengangkat
martabat, kemajuan dan perkembangan hidup manusia di dunia.
Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. Al-Hasyr, 59: 18
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
105
Ayat di atas membahas tentang orang-orang yang dhalim yang
dinyatakan akan kekal di dalam neraka karena mereka tidak memperhatikan
apa yang telah diperbuatnya untuk hari akhir (akhirat). Padahal, setiap
makhluk senantiasa dianjurkan untuk mempersiapkan dan memperhatikan
perbuatannya untuk bekal di hari akhir agar selamat dari siksa api neraka.
Maka dalam surat Al-Hasyr ayat 18 membahas tentang apa yang harus
dipertimbangkan oleh umat Muslim untuk memperoleh manfaat di masa
yang akan datang. Pesan dalam surat Al Hasyr berkaitan dengan melakukan
suatu kegiatan seperti pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam
(PAI). Hendaknya setiap mengambil keputusan harus benar-benar
diperhitungkan. Karena semua yang hendak dilakukan tersebut akan
mendatangkan manfaat bagi diri sendiri khususnya dan utamanya bagi
bangsa di masa yang akan datang.
Sebagaimana penjelasan di atas, relevansi konsep kontinuitas
terhadap Pendidikan Agama Islam (PAI) terlihat pada desain pengembangan
kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI). Indikasinya adalah dengan
adanya proses evaluasi pada tiap tahap sebelum melanjutkan pada tahap
berikutnya. Ini berarti evaluasi tersebut menekankan adanya perbaikan atau
perubahan pada suatu kurikulum tetapi tidak serta merta mengubah
keseluruhan rancangan kurikulum.
2. Konvergensi Pendidikan Agama Islam
106
Era globalisasi telah menjadikan situasi dunia menjadi sangat
transparan. Globalisasi bagaikan “jendela” untuk melihat kejadian-kejadian
di seluruh penjuru dunia. Apa yang terjadi disalah satu sudut bumi dalam
waktu singkat dapat ditangkap dari berbagai belahan dunia. “Pintu gerbang”
antarnegara semakin terbuka, sekat-sekat budaya menjadi hilang, budaya
antarbangsa semakin membaur, melebur dan saling mempengaruhi. Ki
Hadjar mengemukakan proses peleburan yang terjadi akibat pengaruh dari
budaya lain adalah proses konvergensi sebagaimana tertuang dalam
gagasannya:
“Keharusan untuk menghindari hidup menyendiri (isolasi) karena untuk menuju ke arah pertemuan hidup dengan bangsa-bangsa lain (konvergensi)”
Artinya, Ki Hajar Dewantara mengisyaratkan adanya upaya
penyatuan antar budaya yang berbeda dalam hal apapun, termasuk
pendidikan. Jika manusia menginginkan sebuah kebudayaan bangsa menjadi
maju dan berkembang, maka hal pokok yang harus dilakukan adalah dengan
berbaur dengan kebudayaan dari bangsa lain. Tetapi, dengan tetap
menyesuaikan diri agar tidak terbawa arus kebudayaan lain tersebut.
Sehingga, nilai-nilai yang dimiliki oleh suatu bangsa akan tetap terpatri dan
terimplementasi dalam setiap aturan kehidupan. Sebagaimana firman Allah
swt dalam Q.S. Al-Hujurat,49: 13
107
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Kandungan surat Al-Hujurat ayat 13 di atas menyatakan bahwa
manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan dan dari dua jenis makhluk
tersebut menjadikan mereka berjumlah banyak. Kemudian, mereka hidup
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku dengan tujuan agar mereka saling
mengenal untuk saling membantu demi terciptanya kehidupan yang lebih
baik.
Jika dikaitkan dengan pendidikan, khususnya Pendidikan Agama
Islam (PAI), pengembangan dalam hal Pendidikan Agama Islam dapat
dilakukan dengan mengambil berbagai sumber praktik pendidikan dari
bangsa lain. Seperti yang dilakukan oleh Ki Hajar ketika mempelajari
praktik pendidikan dari Maria Montessori, Froebel dan Rabindranath
Tagore. Praktik-praktik pendidikan tersebut dapat dipelajari oleh pendidik
dan disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Saat ini, teknologi sudah
108
semakin canggih, sehingga guru atau kepala sekolah dapat mempelajari
berbagai kemajuan pendidikan dari mana saja dan kapan saja.
3. Konsentrisitas Pendidikan Agama Islam
Konsep yang terakhir ini memandang bahwa setelah bergaul dengan
bangsa lain dan menghasilkan perpaduan yang saling mengikat, bukan
berarti harus melebur dan melupakan kepribadian bangsa sendiri. Hendaknya
tetap menjadi bangsa yang memiliki kepribadian sendiri, adat istiadat dan
budaya yang khas yang berbeda dengan bangsa lain. Ada aturan yang
bersifat universal dalam ikatan bangsa-bangsa, namun di tengah bangsa ini
juga memiliki titik konsentris tersendiri yang menjadi penanda sebagai
bangsa yang merdeka.
“Sesudah bersatu dengan bangsa-bangsa lain sedunia, janganlah kita kehilangan kepribadian sendiri (konsentrisitas)” Menurut Ki Hajar Dewantara, perpaduan antar budaya yang saling
menjalin kontak secara masif, tidak lantas kemudian menghilangkan ciri
kepribadian budaya asli bangsa tersebut. Dalam pergaulan dengan bangsa
lain tentu banyak pengaruh positif dan negatifnya untuk bangsa sendiri.
Pengaruh positif yang ditimbulkan dari bangsa lain seperti kemajuan
teknologi, pendidikan yang semkain maju dan sebagainya. Sedangkan,
pengaruh negatif yang ditimbulkan seperti pergaulan bebas, judi, berpakaian
mini, tindakan anarkis dan lain-lain. Dengan adanya pengaruh-pengaruh
tersebut, maka sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai
109
kebudayaan bangsa Indonesia tentu akan selektif dalam menerima atau
menghindari pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan dari bangsa lain.
Perpaduan antar budaya tersebut menjadi kesempatan untuk mengambil
keuntungan untuk memajukan dan melestarikan kebudayaan bangsa
Indonesia tanpa membawa pengaruh buruk di dalamnya.
Posisi Islam sebagai suatu agama yang merupakan bagian dari
budaya, secara fungsional bersifat elastis yaitu memperbaiki dan mengontrol
budaya-budaya yang secara prinsipil melenceng dari nilai-nilai ke-Islam-an
tanpa phobia atau takut terhadap budaya-budaya yang telah berkembang
sebelumnya. Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. Al-Maidah, 5: 48
Artinya: “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
110
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,”
Ayat di atas menyatakan bahwa perbedaan syari’at seperti layaknya
perbedaan manusia dalam hal penciptaan yang menjadi lahan untuk ujian
Allah dan jalan untuk menumbuhkan kemampuan, bukan menjadi ajang
perdebatan. Semua orang memiliki kadar kemampuannya masing-masing.
Jadi, ia harus berlomba melaksanakan kebaikan. Bagi Allah, tidak ada suatu
perbuatan pun yang dapat tersembunyi dari penglihatan-Nya.
111
BAB V
PENUTUP
Bab ini membahas kesimpulan yang mengacu pada fokus masalah dan
tujuan pembahasan skripsi. Penenliti juga memberikan saran-saran yang dirasa
relevan dengan harapan dapat menjadi sebuah kontribusi bagi dunia pendidikan.
A. Kesimpulan
Dari apa yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, peneliti
menyimpulkan bahwa:
1. Nilai-nilai pendidikan karakter pada konsep Trikon meliputi:
a. Dalam konsep kontinuitas mengandung nilai pendidikan karakter
kreatif. Kreatif adalah suatu sikap yang mampu menyelesaikan masalah
secara inovatif, luwes, kritis, berani mengambil keputusan dengan cepat
dan tepat, menampilkan hal yang unik, memiliki ide baru, ingin terus
berubah, dapat membaca situasi dan memanfaatkan peluang. Artinya,
setiap pribadi harus memiliki daya kreatifitas supaya kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik dari
sebelumnya. Jika diterapkan dalam dunia pendidikan, baik pendidik,
tenaga kependidikan dan peserta didik memang harus memiliki daya
kreatifitas. Karena, untuk mencapai tujuan pendidikan semua komponen
dalam pendidikan harus bergerak bersama membuat inovasi agar
pendidikan di negeri ini menjadi lebih baik dan berkembang.
112
b. Dalam konsep konvergensi mengandung nilai pendidikan karakter
toleran dan bersahabat/komunikatif. Toleransi adalalah sikap dan
tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnik, pendakat,
sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dengan dirinya. Karakter
toleransi ini menjadi sangat penting karena dengan saling menghormati
kebudayaan bangsa lain, kehidupan bermasyarakat, bernegara maupun
berbangsa akan menjadi tentram, damai dan harmonis. Bersahabat atau
komunikatif adalah tindakan yang melibatkan rasa senang berbicara,
bergaul dan senang bekerja sama dengan orang lain. Dalam konsep
konvergensi dapat dipahami bahwa sebagai makhluk sosial, tiap-tiap
orang harus saling menjalin komunikasi dan terbuka dengan kebudayaan
dari bangsa lain. Karena dengan banyak bergaul atau berkumpul dengan
orang-orang, pengalaman, teman dan wawasan juga akan bertambah.
c. Dalam konsep konsentrisitas mengandung nilai pendidikan karakter
semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Semangat kebangsaan adalah
cara berpikir, bertindak dan wawasan yang menempatkan kepentingan
bangsa dan negara di atas kepentingan diri sendiri dan kelompok. Dalam
konsep konsentrisitas menyatakan bahwa dalam menjalin hubungan
dengan bangsa lain, bangsa Indonesia tidak boleh sampai kehilangan
kepribadian bangsa sendiri. Sebagaimana yang diketahui, bangsa
Indonesia mempunyai adat istiadat dan kepribadian sendiri. Meskipun
telah menyatu dengan bangsa lain, namun dalam lingkaran yang
113
konsentris itu, bangsa Indonesia masih tetap mempunyai lingkaran
sendiri yang khas yang membedakan dengan bangsa-bangsa lain. Cinta
tanah air adalah cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan
kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa. Dalam
konsep konsentrisitas memiliki makna bahwa ketika sudah menjalin
komunikasi dengan bangsa lain, selain tidak boleh kehilangan
kepribadian bangsa, seharusnya kecintaan terhadap tanah air semakin
meningkat. Karena bangsa Indonesia ini memiliki ciri khas tersendiri
yang membedakan dengan bansga lain.
2. Relevansi konsep Trikon menurut Ki Hajar Dewantara terhadap Pendidikan
Agama Islam (PAI)
a. Kontinuitas
Adanya kegiatan evaluasi dalam pengembangan kurikulum Pendidikan
Agama Islam (PAI) pada tiap tahap sebelum melanjutkan pada tahap
berikutnya. Evaluasi tersebut menekankan adanya perbaikan atau
perubahan pada suatu kurikulum tetapi tidak serta merta mengubah
keseluruhan rancangan kurikulum.
b. Konvergensi
Jika manusia menginginkan sebuah kebudayaan bangsa menjadi maju
dan berkembang, maka hal pokok yang harus dilakukan adalah dengan
berbaur dengan kebudayaan dari bangsa lain. Tetapi, dengan tetap
114
menyesuaikan diri agar tidak terbawa arus kebudayaan lain tersebut. Jika
dikaitkan dengan pendidikan, khususnya Pendidikan Agama Islam (PAI),
pengembangan dalam hal Pendidikan Agama Islam dapat dilakukan
dengan mengambil berbagai sumber praktik pendidikan dari bangsa lain.
Seperti yang dilakukan oleh Ki Hajar ketika mempelajari praktik
pendidikan dari Maria Montessori, Froebel dan Rabindranath Tagore.
Praktik-praktik pendidikan tersebut dapat dipelajari oleh pendidik dan
disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Saat ini, teknologi sudah
semakin canggih, sehingga guru atau kepala sekolah dapat mempelajari
berbagai kemajuan pendidikan dari mana saja dan kapan saja.
c. Konsentrisistas
Perpaduan antar budaya yang saling menjalin kontak secara masif, tidak
lantas kemudian menghilangkan ciri kepribadian budaya asli bangsa
tersebut. Dalam pergaulan dengan bangsa lain tentu banyak pengaruh
positif dan negatifnya untuk bangsa sendiri. Posisi Islam sebagai suatu
agama yang merupakan bagian dari budaya, secara fungsional bersifat
elastis yaitu memperbaiki dan mengontrol budaya-budaya yang secara
prinsipil melenceng dari nilai-nilai ke-Islam-an tanpa phobia atau takut
terhadap budaya-budaya yang telah berkembang sebelumnya.
B. Saran
1. Bagi Pemerintah
115
Diharapkan pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan-
kebijakan yang mengarah pada pembentukan karakter anak didik dengan
mengacu pada nilai-nilai pendidikan karakter.
2. Bagi Guru
Seorang guru hendaknya dapat menjadi teladan yang baik bagi anak
didik, baik di dalam maupun luar lingkungan sekolah
3. Bagi Masyarakat
Masyarakat hendaknya juga mengetahui nilai-nilai pendidikan
karakter yang wajib ditanamkan pada diri anak didik. Sehingga dapat ikut
serta menghilangkan potensi negatif yang da pada anak didik.
116
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku: Arif, Armey. 2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta:
Ciputat Press. Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI. 2005. Bandung: CV J-Art. Aqib, Zainal. 2012. Pendidikan Karakter di Sekolah Membangun Karakter dan
Kepribadian Anak. Bandung: Yrama Widya. Azzel, Akhmad Muhaimin. 2011. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia
(Revitalisasi Pendidikan Karakter Terhadap Keberhasilan Belajar dan Kemajuan Bangsa). Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Daradjat, Zakiah. 2001. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi
Aksara. Daradjat, Zakiah. 2004. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Denzim, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln. 2011. Handbook of Qualitative
Research, 2nd Edition. London: Sage. Desmon, Achmad. 2007. Ensiklopedia Peradaban Dunia. Jakarta: Restu Agung. Dewantara, Bambang Sokawati. 1981. Mereka yang Selalu Hidup Ki Hajar
Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara. Jakarta: Roda Pengetahuan. Dewantara, Ki Hadjar. 1962. Karja Bagian I (Pendidikan) cet. II. Yogyakarta:
Majelis Luhur Taman Siswa. Dewantara, Ki Hajar. 1994. Bagian I Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman
Siswa. Dewantara, Ki Hajar. 1994. Bagian II Kebudayaan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Taman Siswa. Dewantara, Ki Hajar. t.t. Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutikapro. Dewantara, Ki Hajar. 2011. Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama:
Pendidikan, cet. IV. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.
117
Dewey, John. t.t. Democracy and Education. New York: Macmillan Originally Published.
Djumhur dan Dana Suparta. 1976. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV. Ilmu. Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 4. 1989. Jakarta: Cipta Adi Pustaka. Fitri, Agus Zaenul. 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Flick, Uwe. 2013. The SAGE Handbook of Qualitative Data Analysis. London: Sage. Gunawan, 1992. Berjuang Tanpa Henti dan Tak Kenal Lelah: dalam Buku
Peringatan 70 Tahun Taman Siswa. Yoyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa. Gunawan, Heri. 2012. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung:
Alfabeta. H.A.H. Harahap dan B.S. Dewantara. 1980. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Gunung
Agung. H.A.H. Harahap dan B.S. Dewantara. 1980. Ki Hajar Dewantara dan Kawan-kawan.
Ditangkap, Dipenjarakan dan Diasingkan. Jakarta: Gunung Agung. Hariyadi, Ki. 1989. Ki Hajar Dewantara Sebagai Pendidik, Budayawan, Pemimpin
Rakyat, dalam Buku Ki Hadjar Dewantara dalam Pandangan Para Cantrik dan Mentriknya. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.
Haryanto. t.t. Pendidikan Karakter Menurut Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: FIP
UNY. Hasan, Said Hamid dkk. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi
Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa; Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kepala Pusat Kurikulum.
Isna, Mansur. 2001. Diskursus Pendidikan Islam. Yogyakarta: Global Pustaka
Umum. Khaliq, Abdul. 2015. Sosiologi Pendidikan Agama Islam (Suatu Pendekatan Sosio
Religius). Yogyakarta: Awaja Pressindo.
118
Kemdiknas. 2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan.
Kesuma, Dharma dkk. 2012. Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktek di
Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Langgulung, Hasan. 1998. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Radar Jaya Offset. Majid, Abdul. 2005. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Marimba, D. Ahmad. 1986. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Al-
Ma’arif. Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT. Al-
Ma’arif. Muslich, Masnur. 2015. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional. Jakarta: PT Bumi Aksara. Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun
Bangsa. Bogor: Indonesia Heritage Foundation. Muchtar, Heri Jauhari. 2008. Fikih Pendidikan cet. 2. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya Offset. Mulkhan, Abdul Munir. 1994. Paradigma Intelektual Muslim (Pengantar Filsafat
Pendidikan Islam dan Dakwah). Yogyakarta: Sipress. Musyafa, Haidar. 2015. Sang Guru: Novel Biografi Ki Hajar Dewantara Kehidupan,
Pemikiran dan Perjuangan Pendirian Taman Siswa (1889-1959). Jakarta: Imania.
Permenag No. 912 tahun 2013 tentang Kurikulum Madrasah 2013 Mata Pelajaran
Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Bahasa Arab. Poerwadarminta, W.J.S. 1999. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. Ramayulis. 2005. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia. Sagimun, M.D. 1974. Mengenal Pahlawan-Pahlawan Nasional Kita; Ki Hajar
Dewantara. Jakarta: Bharata.
119
Sahlan, Asmaun dan Angga Teguh Prastyo. 2017. Desain Pembelajaran Berbasis
Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.s Salahudin, Anas dan Irwanto Alkrienciehie. 2013. Pendidikan Karakter (Pendidikan
Berbasis Agama dan Budaya Bangsa). Bandung: CV Pustaka Setia. Saleh, Abdurrahman. 1976. Didaktik Pendidikan Agama. Jakarta: Bulan Bintang. Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Jogjakarta: Tiara
Wacana. Samho, Bartolomeus dan Oscar Yasunari. 2010. Konsep Pendidikan Ki Hadjar
Dewantara dan Tantangan-Tantangan Implementasinya di Indonesia Dewasa Ini. Bandung: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan.
Saputra, Bagus Akbar. 2017. Skripsi: Konsep Konvergensi Menurut Ki Hajar
Dewantara dan Relevansinya TerhadapTujuan Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Fakultar Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga.
Soeratman, Darsiti. 1984. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Nasional. Suratman, Ki. 1987. Pokok-Pokok Ketamansiswaan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Taman Siswa. Suratman, Ki. 1992. Berjuang Tanpa Henti dan Tak Kenal Lelah: dalam Buku
Peringatan 70 Tahun Taman Siswa. Yoyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa. Taman Siswa. 1992. Peraturan Besar dan Piagam Persatuan Taman Siswa.
Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa. Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. Tilaar, H.A.R. 2015. Pedagogik Teoritis untuk Indonesia. Jakarta: Kompas. Tilman, Diane. 2004. Living Values Activities for Young Adults. Jakarta: Grasindo. Toha, Chabib dkk. 1999. Metodologi Pengajaran Agama. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
120
Wiyani, Novan Ardy. 2013. Membumikan Pendidikan Karakter di SD: Konsep, Praktik dan Strategi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Yamin, Moh. 2009. Menggugat Pendidikan Indonesia: Belajar dari Paulo Freire dan
Ki Hajar Dewantara. Yogyakarta: Ar Ruzz Media. Zuchdi, Darmiyati. 2011. Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Teori dan Praktik.
Yogyakarta: UNY Press. Zuriah, Nurul 2011. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif
Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara. Jurnal: Jinan, Mutohharun dan Muthoifin. 2015. Pendidikan Karakter Ki Hadjar Dewantara:
Studi Kritis Pemikiran Karakter dan Budi Pekerti Dalam Tinjauan Islam, dalam Jurnal Profetika: Studi Islam Vol. 16, No. 2. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Khuluq, Lathiful. 1998. Islamisasi Pada Masa Pemerintahan Sultan Agung (1613-
1646), dalam Jurnal Penelitian Agama Vol. VII, No. 20. Yogyakarta: Balai Penelitian P3M IAIN Sunan Kalijaga.
Kumalasari, Dyah. 2000. Konsep Pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam Pendidikan
Siswa, dalam Jurnal Istoria Vol VIII. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Nafisah, Durrotun. 2016. Peran Pendidikan Muatan LokalTerhadap Pembangunan
Karakter Bangsa, dalam Jurnal Citizenship: Pancasila dan Kewarganegaraan Vol. 4, No. 2. Jawa Timur: IKIP PGRI Madiun.
Rofik. t.t. Budaya Lokal Dalam Pendidikan Agama Islam Sebagai Kurikulum Muatan
Lokal. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. Sudjana, Nana. 2005. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah.
Bandung: Sinar Baru Algesindo. Suparlan, Henricus. 2015. Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan
Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia, dalam Jurnal Filsafat Vol. 25, No. 1. Yogyakarta: Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.
Zamroni. 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktek.
Yogyakarta: UNY Press.
121
Zularwan, dkk. 2017. Implementasi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter pada K13 dalam
PAI dan Budi Pekerti di SMP Islam Al Amjad Medan Sunggal, dalam Jurnal Edu Religia Vol. 1, No. 4. Sumatera Utara: UIN Sumatera Utara.
Web: http://wakhidah87.blogspot.co.id/2016/07/konsep-trikon-filsafat-pendidikan.html
http://pendidikan-tepat-guna.blogspot.co.id/2013/11/tamansiswa_8187.html
https://guruppkn.com/nilai-nilai-pendidikan-karakter
http://aris140284.blogspot.co.id/2009/12/konsep-pendidikan-indonesia-menurut-ki.html
http://edukasi.kompas.com/read/2011/04/29/16413291/Hardiknas.dan.Gaung.Pen-didikan.Karakter
http://e-journal.upi.edu/index.php/eduhumaniora/article/view/2795/1824
http://pendidikandankebudayaan.wordpress.com
http://journal. amikom.ac.id/index.php/Koma/article/view/3842/pdf
http://pedagogikritis.wordpress.com/2011/12/14/ki-hadjar-dewantara-peletakdasar -pendidikan-indonesia
http://filsafatpendidikan 2ciwaru.blogspot.com/2016/12/materi-pokok-pendidikan -kolonial. html?m=1
122
Lampiran
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. DATA DIRI
Nama Lengkap : Nadhilla Cahyaning Putri Pembayun
TTL : Boyolali, 14 Juli 1996
Agama : Islam
Alamat : Getas RT 23/RW 05 Sumber Agung, Klego, Boyolali
No. telp : 085879983879 (WA)
Email : [email protected]
Motto : Tak ada alasan untuk mundur dari mengejar cita-cita
II. RIWAYAT PENDIDIKAN
Formal
Sekolah Tahun Ajaran
SD Negeri 1 Sumber Agung, Klego, Boyolali 2002-2008
SMP BATIK Surakarta 2008-2011
BOARDING SCHOOL MAN 1 Surakarta 2011-2014
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga 2014-sekarang
Nonformal
English course at Genius English Course (GEC) Andong,
Boyolali 2003-2007
English course at Intensive English Course (IEC)
BOARDING SCHOOL MAN 1 Surakarta 2011-2014
Bimbingan Belajar PRIMAGAMA di BOARDING SCHOOL
MAN 1 Surakarta 2011-2014
123
Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam (PPTI) Al-Falah Salatiga 2014-2017
III. RIWAYAT ORGANISASI
Organisasi Tahun
Sie Kerohanian/Ketaqwaan OSIS SMP BATIK Surakarta 2008-2009
Anggota Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) SMP BATIK
Surakarta 2008-2009
Sie Keagamaan Karang Taruna Pemuda 23 Getas RT 23/RW
05 Sumber Agung, Klego, Boyolali 2012-2014
Departemen Kebersihan (Qism An-Nadhofah) Organisasi
Pelajar Boarding School (OPBS) Putri MAN 1 Surakarta 2012-2013
Anggota Forum Komunikasi Mahasiswa Boyolali (FKMB)
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga 2014-sekarang
Sie keagamaan Forum Komunikasi Mahasiswa Boyolali
(FKMB) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga 2015-2016
Sie Perlengkapan Perpustakaan PPTI AL-FALAH Salatiga 2015-2016
Ketua Perpustakaan PPTI AL-FALAH Salatiga 2016-2017
Sie Jarkominfo Jurnalistik Insantri PPTI AL-FALAH Salatiga 2016-2017
Freelance editor dan content web di web pptialfalahsalati.ga 2016-sekarang
Founder Kelompok Belajar “Baitul Ilmi” 2017-sekarang
Founder “Youth Discussion” 2018-sekarang
Volunteer “Sahabat Beasiswa Pusat” Divisi Konten 2018-sekarang
IV. PENGALAMAN Tahun
Musabaqoh Karya Ilmiah Al-Qur’an (MKQ) dalam acara
Gebyar Seni Qur’ani (GSQ) JQH Al-Furqon IAIN Salatiga 2015
Bahts Ilmil Qur’an (BIQ) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2015
Lomba Cipta Puisi Kategori Pelajar “Festival Sastra” 2016
124
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
Pemateri kajian ke-Islam-an putri di SMK Diponegoro Salatiga 2016-2017
Anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Solo 2016
Panitia malam keakraban (MAKRAB) FKMB IAIN Salatiga
(September) 2016
Panitia Haul ke-1 KH Zoemri RWS di PPTI Al-Falah Salatiga
(September) 2016
Volunteer tenaga pengajar pesantren kilat Ramadhan SMPN 3
Getasan 2016
Volunteer tenaga pengajar pesantren kilat Ramadhan SMPN 3
Getasan 2017
Kontributor antologi 100 puisi terbaik mahasiswa IAIN
Salatiga 2017
Volunteer tenaga pengajar TK Pertiwi 2 Sumber Agung, Klego,
Boyolali (September-November) 2017
Juara 2 Lomba Cipta Puisi dalam rangka Harlah KOPRI PC
PMII Komisariat Joko Tingkir IAIN Salatiga ke-50 (29
November 2017)
2017
Peserta Kongres Remaja “Indonesia Young Leader Summit”
UNS Surakarta (02 Desember 2017) 2017
Bimbingan Pertukaran Mahasiswa Luar dan Dalam Negeri “Go
Change” IAIN Salatiga; di bawah bimbingan Mr Miftachudin,
MA.
2017-sekarang
Tentor bimbingan belajar “Tazkia” Salatiga 2018-sekarang
125
DAFTAR NILAI SKK
NAMA : Nadhilla Cahyaning Putri Pembayun
NIM : 111-14-140
FAKULTAS : Tarbiyah dan Ilmi Keguruan
JURUSAN : Pendidikan Agama Islam
DOSEN PEMBIBING AKADEMIK : Drs. Sumarno Widjadipa, M.Pd.
NO NAMA KEGIATAN PELAKSANAAN KETERANGAN NILAI
1 OPAK STAIN SALATIGA
18-19 Agustus 2014
PESERTA 3
2 OPAK Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga
20-21 Agustus 2014
PESERTA 3
3 Orientasi Dasar Keislaman (ODK)
21 Agustus 2014 PESERTA 2
4 Achievement Motivation Training (AMT)
23 Agustus 2014 PESERTA 2
5
Library User Education (Pendidikan Pemustaka)
28 Agustus 2014 PESERTA 2
6
Talk Show “Ciptakan Karakter Mahasiswa Religius dan Berakhlaq Mulia” Al Khidmah Kampus Kota Salatiga
19 September 2014 PESERTA 2
7
Seminar Nasional “Peran Mahasiswa Dalam Mengawal Masa Depan Indonesia Pasca Pilpres 2014” STAIN Salatiga
25 September 2014 PESERTA 8
126
8
Bedah Buku “Membidik Bintang” LDK Fathir Ar-Rasyid STAIN Salatiga
01 Oktober 2014 PESERTA 2
9
“Training and TOEFL Test “ Himpunan Mahasiswa Program Studi Perbankan Syariah S1 STAIN Salatiga
30 November 2014 PESERTA 3
10
Seminar Sesorah Bahasa Jawa (SBJ) Milad-XIII LDK Fathir Ar-Rasyid IAIN Salatiga
07 Mei 2015 PESERTA 2
11 Bedah Buku “Muda 7 Warna” HMJ PAI IAIN Salatiga
23 September 2015 PESERTA 2
12
PAB (Penerimaan Anggota Baru) JQH Al-Furqon STAIN Salatiga “Menumbuhkan Karakter Islami dan Qur’ani”
13-14 Desember 2014
PESERTA 2
13
Training Makalah dan Motivasi LDK Fathir Ar-Rasyid IAIN Salatiga
12 September 2015 PESERTA 2
14
Seminar Nasional “Epistemologi Tafsir Kontemporer: Integrasi Hermeneutika Dalam Metode Penafsiran Al-Qur’an” HMJ IAT IAIN Salatiga
25 September 2015 PESERTA 8
15
Dialog Interaktif dan Edukatif “Diaspora Pendidikan Politik: Pancasila Sebagai Landasan Berpolitik,
02 November 2015 PESERTA 2
127
Berbangsa dan Bernegara” SEMA Institut IAIN Salatiga
16
Lomba “Musabaqoh Karya Ilmiah Qur’ani (MKIQ)” Gebyar Seni Qur’ani (GSQ) JQH Al-Furqon IAIN Salatiga ke-VII tingkat Jawa Tengah
6-8 November 2015
PESERTA 4
17
Seminar Nasional “Peran Media Massa Terhadap Kelestarian Lingkungan Hidup” HMJ KPI IAIN Salatiga
19 November 2015 PESERTA 8
18
“Safari Gerakan Nasional Gemar Membaca” Perpustakaan Nasional RI di Salatiga
28 Maret 2016 PESERTA 8
19
“Seminar dan Sarasehan: Satu Langkah Mengenal Boyolali” oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Boyolali (FKMB) IAIN Salatiga
02 April 2016 PESERTA 2
20
Diskusi Terbuka “Degradasi Nasionalisme Akibat Pengaruh Hedonisme” LPM Dinamika IAIN Salatiga
20 April 2016 PESERTA 2
21
Lomba Cipta Puisi Kategori Pelajar “Festival Sastra: Merakyat dengan Sastra dalam Warna-Warni Indonesia” UGM Yogyakarta
21 Mei 2016 PESERTA 2
128
22
Seminar Nasional “Pendidikan Agama Menjadi Pelopor Kebangkitan Nasional di Era Modern” HMJ PAI IAIN Salatiga
21 Mei 2016 PESERTA 8
23
Seminar Nasional “LGBT dalam Perspektif Psikologi dan Kesehatan” PIK SAHAJASA IAIN Salatiga
26 Mei 2016 PESERTA 8
24
Surat Keputusan Pengesahan Pengurus INSantri PPTI Al-Falah Salatiga
16 Juni 2016 PENGURUS 4
25
Surat Keputusan Pengesahan Pengurus Perpustakaan PPTI Al-Falah Salatiga
16 Juni 2016 PENGURUS 4
26
Dialog Nasional “Peningkatan Konsep Hablum Minannas Melalui Ramadhan” SEMA DEMA Institut IAIN Salatiga
19 Juni 2016 PESERTA 8
27
Dialog Interaktif “Pendidikan Karakter Indonesia” HMJ PAI IAIN Salatiga
15 Oktober 2016 PESERTA 2
28
Malam Kekraban (MAKRAB) Forum Komunikasi Mahasiswa Boyolali (FKMB) IAIN Salatiga
22-23 Oktober 2016
PANITIA 2
29
Public Hearing “Apa Kabar Dunia Pendidikan FTIK IAIN Salatiga?” SEMA FTIK IAIN Salatiga
22 November 2016 PESERTA 2
129
30 Kajian Islam di SMK Diponegoro
2016-2017 PEMATERI 3
31
“Seminar Festival Sastra” Fakultas Ilmu Budaya UNS Surakarta
08 April 2017 PESERTA 2
32
“Safari Gerakan Nasional Gemar Membaca” Perpustakaan Nasional RI di Salatiga
13 April 2017 PESERTA 8
33
“Antologi 100 Puisi Terbaik “ LPM Dinamika IAIN Salatiga
01 November 2017 KONTRIBUTOR 2
34
Seminar Nasional dan Kongres Remaja “Indonesia Young Leader summit 2017” UNS Surakarta
1-2 Desember 2017 PESERTA 8
Total 132
Salatiga, 20 Maret 2018
Mengetahui,
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama
Achmad Maimun, M.Ag.
NIP. 19700510 199803 1 003
130
131