110
ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup) Oleh: MERIKA SONDANG SINAGA A14304029 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK

KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE

DI KABUPATEN BOGOR

(Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup)

Oleh:

MERIKA SONDANG SINAGA

A14304029

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

Page 2: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

RINGKASAN

MERIKA SONDANG SINAGA . Analisis Nilai Tambah dan Daya Saing serta

Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Indusri Tempe di Kabupaten Bogor

(Kasus: Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup). Dibimbing oleh YAYAH K.

WAGIONO

Indonesia merupakan negara sedang berkembang dengan karakteristik laju

pertumbuhan penduduk yang pesat. Pertambahan jumlah penduduk ini tentu

diiringi pula dengan pertambahan kebutuhan akan pangan. Di samping itu terjadi

perubahan pola pangan, dari tinggi karbohidrat dan rendah protein menjadi

cenderung rendah karbohidrat dan tinggi protein. Fenomena tersebut

mengakibatkan permintaan terhadap sumber protein menjadi semakin meningkat.

Berdasarkan data dari BPS, diketahui bahwa konsumsi protein penduduk

Indonesia per kapita pada tahun 1999, 2002, 2005, dan 2007 secara berturut-turut

adalah 50.21 gram, 56.31 gram, 58.63 gram, dan 59.38 gram.

Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang tinggi tingkat

permintaannya. Permintaan kedelai sangat tinggi sedangkan produksi kedelai

dalam negeri belum mampu mencukupi permintaan terhadap komoditi tersebut.

Adanya kesenjangan antara jumlah konsumsi dengan jumlah produksi

mengakibatkan Indonesia melakukan impor kedelai. Pemenuhan kebutuhan

kedelai Indonesia dilakukan secara impor sekitar 60-65 persen dari total

kebutuhan yang ada, sedangkan sisanya sekitar 35-40 persen melalui produksi

dalam negeri.

Komoditi kedelai yang pemenuhan kebutuhannya didominasi impor

seharusnya digunakan bagi kegiatan yang mampu memberikan nilai tambah yang

tinggi. Kedelai tidak hanya digunakan bagi kegiatan konsumsi secara langsung

akan tetapi lebih mengarah pada aktifitas yang dapat meningkatkan nilai tambah

bagi komoditi tersebut. Pengolahan kedelai pada industri tempe merupakan

bentuk alternatif usaha dalam rangka meningkatkan nilai tambah komoditi

tersebut.

Industri tempe merupakan industri yang terkait langsung dengan komoditi

kedelai. Selain memiliki prospek pasar yang cukup baik akibat tingginya tingkat

Page 3: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

permintaan, keberadaan industri tempe juga memiliki pengaruh yang cukup besar

terhadap penyerapan tenaga kerja. Keunggulan aktifitas pengolahan kedelai ini

penting untuk diperhatikan terkait dengan kondisi bahan baku yang didominasi

impor.

Demikian halnya dengan Kabupaten Bogor, menurut Dinas Perindustrian

Kabupaten Bogor, kebutuhan kedelai untuk industri olahan di wilayah tersebut

tergolong tinggi yaitu 33.960 kg tiap harinya. Sampai dengan Januari 2008

terdapat sekitar 202 pengrajin tempe di kabupaten ini. Dihadapkan pada fenomena

tingginya tingkat konsumsi kedelai impor pada industri olahan berbahan baku

kedelai, maka tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu menganalisis nilai tambah

yang mampu dihasilkan industri tempe; menganalisis keunggulan komparatif dan

kompetitif industri tempe; serta menganalisis dampak kebijakan pemerintah pada

industri tempe di Kabupaten Bogor. Desa Citeureup dipilih untuk mewakili

industri tempe Kabupaten Bogor karena daerah tersebut merupakan sentra

produksi tempe terbesar di Kabupaten Bogor dengan jumlah 100 unit usaha

tempe.

Tujuan penelitian pertama dijawab dengan menggunakan analisis nilai

tambah Meode Hayami. Perhitungan nilai tambah ini didasarkan pada satu satuan

bahan baku utama yaitu satu kilogram kedelai. Selain itu, digunakan pula alat

analisis Policy Analysis Matrix dan analisis sensitivitas. Melalui pendekatan ini

akan dilihat bagaimana keunggulan kompetitif dan komparatif yang dimiliki

industri tempe di Kabupaten Bogor sekaligus dampak kebijakan yang diterapkan

pemerintah terkait dengan kegiatan produksi pada industri tersebut. PAM bersifat

statis sehingga untuk melihat seberapa besar pengaruh dan tingkat kepekaan

apabila terjadi perubahan-perubahan baik pada input yang digunakan maupun

pada ouput yang dihasilkan akibat perubahan yang terjadi, maka dilakukan

analisis sensitivitas sebagai langkah lanjutan.

Perhitungan nilai tambah pada industri tempe di desa Citeureup dilakukan

pada periode produksi Maret 2008. Pada dasarnya, pengrajin tempe di daerah

penelitian melakukan kegiatan produksinya setiap hari sehingga strukur biaya

yang digunakan merupakan struktur biaya produksi rata-rata setiap hari dikali tiga

puluh. Struktur biaya produksi pada industri tempe terdiri atas biaya pengadaan

Page 4: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

bahan baku kedelai (78,44 persen), bahan baku lainnya (5,67 persen), tenaga kerja

(8,30 persen), penyusutan peralatan (6,06 persen), pajak (0,78 persen), dan sewa

tempat (0,75 persen).

Hasil perhitungan analisis nilai tambah menunjukkan bahwa nilai faktor

konversi pada industri tempe sebesar 1,6. Nilai ini menunjukkan bahwa setiap

satu kilogram kedelai yang diolah akan menghasilkan 1,6 kilogram tempe.

Industri pengolahan kedelai menjadi tempe di Desa Citeureup menunjukkan

bahwa industri tersebut mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 2.198,91

per kilogram input kedelai. Rasio nilai tambah yang dimiliki yaitu 21,14 persen.

Nilai koefisien tenaga kerja yang diperoleh yaitu 0,02. Nilai ini dapat

diinterpretasikan sebagai jumlah Hari Orang Kerja yang diperlukan untuk

memproduksi satu kilogram kedelai hingga menjadi tempe adalah 0,02 HOK

(1HOK = 7 jam kerja). Apabila nilai koefisien tenaga kerja tersebut dikali dengan

banyaknya unit usaha tempe di Indonesia maka dapat dilihat banyaknya jumlah

tenaga kerja yang dapat terserap oleh industri tempe.

Industri tempe di desa Citeureup layak untuk dijalankan baik berdasarkan

perhitungan pada analisis finansial maupun analisis ekonomi. Di samping itu,

industri tersebut dapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan

kompratif. Hal ini terlihat dari nilai PCR dan DRC nya yang lebih kecil dari satu.

Berdasarkan analisis kebijakan pemerintah pada sisi output, industri tempe di

daerah penelitian memiliki TO dan NPCO masing-masing senilai Rp -1.555,14

dan 0,8699 (NPCO < 1). Pada analisis kebijakan pemerintah pada sisi input

diketahui TI senilai Rp 180,25, NPCI sebesar 1,0765, dan transfer faktor senilai

Rp 261,91. Analisis kebijakan input-output dapat didekati dengan menggunakan

indikator EPC, TB, PC, dan SRP. Nilai keempat indikator tersebut masing-masing

secara berurutan adalah 0,8192; Rp –1.997,30; 0,5274; dan -0,2540.

Apabila terjadi kenaikan harga kedelai sebesar 60 persen dengan asumsi

faktor lain dianggap tidak berubah, maka industri tempe di daerah penelitian tidak

lagi memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini terlihat dari keuntungan privat yang

bernilai negatif dan nilai PCR yang lebih besar dari satu. Sebaliknya,berdasarkan

analisis ekonomi, meskipun terjadi perubahan harga kedelai industri tempe di

Page 5: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

daerah penelitian masih tetap memiliki keunggulan komparatif. Hal ini terlihat

dari keuntungan sosial senilai Rp 263,69 dengan nilai DRC 0,9680 (DRC < 1).

Jika kenaikan harga input kedelai sebesar 60 persen diimbangi pula dengan

kenaikan harga output sebesar 46 persen, industri tempe di Desa Citeureup

ternyata layak untuk diteruskan baik secara finansial maupun ekonomi. Di

samping itu, industri tempe juga efisien secara finansial maupun ekonomi. Hal ini

dapat dilihat dari nilai PCR dan DRC yang dihasilkan lebih kecil dari satu, dengan

kata lain indusri tersebut masih memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.

Page 6: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK

KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE

DI KABUPATEN BOGOR

(Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup)

MERIKA SONDANG SINAGA

A14304029

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

Page 7: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Judul : Analisis Nilai Tambah dan Dayasaing serta Dampak

Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Tempe di

Kabupaten Bogor (Kasus: Desa Citeureup, Kecamatan

Citeureup)

Nama : Merika Sondang Sinaga

Nomor Registrasi Pokok : A14304029

Menyetujui,

Dosen Pembimbing,

Ir. Yayah K. Wagiono, MEc

NIP. 130 350 044

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian, IPB

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr

NIP. 131 124 019

Tanggal kelulusan :

Page 8: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH

DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA

PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Mei 2008

Merika Sondang Sinaga

A14304029

Page 9: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Merika Sondang Sinaga, lahir pada tanggal 25 April 1986 di

Desa Poncowarno, Kecamatan Kalirejo, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung.

Penulis merupakan anak ketiga dari enam bersaudara, dari pasangan Elyas Sinaga

dan Maria Turnip.

Riwayat pendidikan penulis dimulai dari menamatkan sekolah di TK

Xaverius Kalirejo. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di Sekolah Dasar

(SD) Fransiskus Kalirejo yang diselesaikan pada tahun 1998. Penulis kemudian

melanjutkan sekolah ke SLTP Xaverius Kalirejo, lulus pada tahun 2001. Setelah

itu penulis kembali melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Kalirejo, Lampung

Tengah dan lulus pada tahun 2004.

Pada tahun 2004 penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih

tinggi. Penulis diterima di Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya,

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi

Masuk (USMI) IPB. Selama pendidikan, penulis aktif di beberapa kegiatan

kampus. Penulis juga aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Persekutuan

Mahasiswa Kristen (PMK) IPB pada Komisi Pelayanan Khusus sebagai Kepala

Bidang Pelayanan Responsi tahun 2006-2007. Pada tahun ajaran 2007-2008

penulis menjadi asisten Mata Kuliah Agama Kristen Protestan bagi mahasiswa

Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB.

Page 10: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”

Analisis Nilai Tambah dan Daya Saing serta Dampak Kebijakan Pemerintah

terhadap Industri Tempe di Kabupaten Bogor (Kasus: Desa Citeurep, Kecamatan

Citeureup). Topik ini menarik untuk dianalisis dengan latar belakang bahwa

tingkat ketergantungan Indonesia terhadap kedelai sebagai bahan baku utama

industri tempe sangatlah tinggi.

Berdasarkan fenomena tingginya tingkat ketergantungan industri tempe

terhadap bahan baku impor, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

menghitung besaran nilai tambah yang mampu diciptakan industri tempe. Di

samping itu, dilakukan pula analisis terhadap daya saing serta dampak kebijakan

pemerintah terhadap industri tersebut.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Yayah. K. Wagiono, M.Ec atas

materi dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan

skripsi. Akhir kata, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari

pembaca mengenai tulisan ini agar dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Mei 2008

Merika Sondang Sinaga

A14304029

Page 11: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-singginya, penulis

sampaikan kepada:

1. Bapa, Putra, dan Roh Kudus untuk penyertaan dan kasih karunia yang

penulis boleh rasakan sepanjang hidup. Penulis percaya bahwa tidak ada

yang mustahil bagi-Mu Bapa.

2. Ayahanda Elyas Sinaga dan Ibunda Maria Turnip atas segala kasih sayang,

dukungan, doa, motivasi, serta bimbingan sehingga penulis bisa menjadi

seperti sekarang.

3. Ir. Yayah K Wagiono, M.Ec yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan

pikiran untuk membimbing penulis selama penyusunan skripsi. Dr. Ir. Ahyar

Ismail, M.Agr selaku dosen penguji utama dan Etriya, SP, MM selaku dosen

penguji wakil departemen atas saran dan kritik dalam rangka penyempurnaan

tugas akhir penulis. Dr. Ir. M. Parulian. Hutagaol selaku dosen pembimbing

akademik atas masukan selama penulis menempuh pendidikan di IPB.

4. Saudara-saudara penulis yang terkasih: Yohannes Sinaga beserta keluarga,

Jonser Sinaga, Ferdinan Sinaga, Fernando Sinaga, Mawar Sari Sinaga.

Terimakasih atas dukungan dan kasih sayang yang diberikan. Semoga

masing-masing kita menjadi manusia yang berguna dan bisa menjadi saluran

berkat bagi lingkungan sekitar.

5. Rolas TE. Silalahi, Martyanti RB. Sianturi, Lenny J. Sinaga, Marlina TJ.

Siahaan, Rocky DF. Silalahi, Jimmy A. Siahaan, dan Natalia atas

kebersamaan, sukacita dan persahabatan yang ditawarkan kepada penulis

selama pendidikan. Selamat berjuang di dunia yang baru!

6. Agus Frans Manalu atas dukungan, motivasi, persahabatan dan kasih sayang

yang telah diberikan sejak tingkat satu hingga kini. Terimakasih untuk setiap

proses yang boleh kita lewati bersama. Semoga apa yang kita jalani bisa

menjadikan kita saling membangun, saling mendukung, saling melengkapi

dan saling mendewasakan.

7. Keluarga Atalia: Joel, Sriyo, Waldemar, Lisbhet, Bambang, Natalina, Tio

Panta, Bertha, Rhoma, Nonly.

Page 12: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

8. Lestari Girsang, Enie Sidabutar, Mega Indah, Fransius Silitonga atas

kebersamaan, keceriaan, dan persahabatannya selama ini. Sukses buat kita

semua.

9. Gadis-gadis cantik di Malibu: Margareth, Grace, Febri, Risma, Yuli, Anggie.

10. Rekan-rekan seperjuangan di EPS angkatan 41 yang tidak dapat disebutkan

satu per satu. Sampai bertemu lagi pada 4 Januari 2014!

11. Teman-teman sepelayanan di Kopelkhu yang berperan besar dalam

pembentukan karakter penulis.

12. Wanatirta’s crew: Riyanti, Bagus, Arman, Dian Sastrow, Tri Utami.

13. Para pengrajin tempe di Desa Citeurep yang telah bersedia menjadi

responden dalam penelitian dan seluruh pihak yang telah berpartisipasi dalam

penyusunan skripsi penulis.

Page 13: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................................... i

DAFTAR TABEL ............................................................................................. iii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... v

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vi

I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang ............................................................................................. 1

1.2 Perumusan masalah ..................................................................................... 4

1.3 Tujuan penelitian ........................................................................................ 8

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi industri dan agroindusri .............................................................. 10

2.2 Produksi tempe......................................................................................... 11

2.3 Studi terdahulu ......................................................................................... 12

2.3.1 Studi mengenai industri tempe ......................................................... 12

2.3.2 Studi mengenai analisis nilai tambah ............................................... 13

2.3.3 Studi menganai analisis keunggulan kompetitif dan komparatif ....... 14

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka teoritis ..................................................................................... 16

3.1.1 Definisi daya saing ......................................................................... 16

3.1.2 Keunggulan komparatif .................................................................. 16

3.1.3 Keunggulan kompetitif ................................................................... 18

3.1.4 Kebijakan pemerintah ..................................................................... 19

3.1.4.1 Kebijakan output ................................................................. 22

3.1.4.2 Kebijakan input ................................................................... 26

3.1.5 Policy Analysis Matix ..................................................................... 28

3.1.6 Harga bayangan .............................................................................. 33

3.1.7 Sensitivitas ..................................................................................... 34

3.1.8 Konsep nilai tambah ....................................................................... 34

3.2 Kerangka Operasional ............................................................................ 35

Page 14: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

IV METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan waktu penelitian ................................................................... 39

4.2 Jenis dan sumber data ............................................................................. 39

4.3 Metode pengumpulan data ...................................................................... 39

4.4 Metode analisis data ............................................................................... 40

4.4.1 Analisis nilai tambah ...................................................................... 40

4.4.2 Policy Analysis Matrix ................................................................... 41

4.4.3 Analisis sensitivitas ........................................................................ 47

V GAMBARAN UMUM

5.1 Kondisi umum Kabupaten Bogor ............................................................ 48

5.2 Kondisi umum Desa Citeureup ................................................................ 49

5.3 Kondisi umum industri tempe di Desa Citeureup ..................................... 50

5.3.1 Karakteristik responden ................................................................... 50

5.3.2 Keragaan bahan baku ....................................................................... 53

5.3.3 Gambaran kegiatan produksi ........................................................... 56

5.3.4 Pemasaran ....................................................................................... 60

VI PEMBAHASAN

6.1 Analisis nilai tambah pada indusatri tempe di Desa Citeureup. .................. 62

6.2 Analisis daya saing indusatri tempe di Desa Citeureup .............................. 66

6.2.1 Analisis keunggulan kompetitif ........................................................ 68

6.2.2 Analisis keunggulan komparatif........................................................ 69

6.2.3 Analisis kebijakan pemerintah .......................................................... 70

6.3 Analisis sensitivitas pada indusatri tempe di Desa Citeureup .................... 74

VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan ............................................................................................... 78

7.2 Saran ......................................................................................................... 79

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 80

Page 15: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

DAFTAR TABEL

No. Hal 1. Rata-rata Konsumsi Protein Per Kapita Sehari (dalam gram) 1

2. Data Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Indonesia

Tahun 1997-2006 2

3. Data Perkembangan Kebutuhan, Produksi dan Impor Kedelai Indonesia

Tahun 2003-2006 3

4. Jumlah Kebutuhan Kedelai Harian untuk Industri Olahan Kabupaten

Bogor Januari 2008 7

5. Jumlah Industri Tempe di Kabupaten Bogor Januari 2008 7

6. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditi 20

7. Matriks Analisis Kebijakan (PAM) 29

8. Kerangka Analisis Nilai Tambah 41

9. Kontribusi Kelompok Sektor dalam Perekonomian Kabupaten Bogor

tahun 2003-2006 49

10. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur 50

11. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan 51

12. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Usaha 51

13. Distribusi Responden Berdasarkan Skala Usaha 52

14. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga 52

15. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja 53

16. Biaya Produksi pada Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus

Kilogram Kedelai Per Hari 56

17. Harga Tempe Menurut Ukuran pada Harga Pasar 61

18. Hasil Analisis Nilai Tambah pada Industri Tempe di Desa Citeureup

Maret 2008 64

19. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup,

Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus

Kilogram per hari (Rp/kg) 67

20. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe

di Desa Citeureup 67

Page 16: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

21. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe

di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala

Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai

naik 60 Persen. 76

22. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe

di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala

Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai

Naik 60 Persen diimbangi Harga Output Naik 46 Persen. 77

Page 17: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang impor

(S+PI) dan (S+CI). 24

2. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang ekspor

(S+PE) dan (S+CE). 25

3. Dampak hambatan perdagangan pada komoditi impor 26

4. Pajak dan subsidi pada input tradable. 27

5. Pajak dan subsidi pada input non tradable. 28

6. Bagan kerangka pemikiran operasional 38

7. Proses perebusan kedelai 56

8. Kedelai dicuci dan diberi ragi 57

9. Kedelai dibungkus dengan daun dan plastik 58

10. Tempe diperam dan siap dipasarkan 58

11. Persentase empat komponen biaya penting dalam industri tempe 63

Page 18: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal

1. Alokasi Biaya Input dan Output dalam Komponen Domestik Asing 82

2. Perhitungan Standar Convertion Factor dan Shadow Exchange Rate

(SER) tahun 2001-2007 (Milyar Rupiah) 83

3. Biaya Produksi Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus Kilogram

Kedelai Per Hari 84

4. Biaya Produksi Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus Kilogram

Kedelai Per Hari 85

5. Perhitungan Biaya Penyusutan Peralatan 86

6. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik

dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kg Per Hari

Maret 2008 (Rp/kg) 87

7. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik

dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari

Maret 2008 (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai Naik 60 Persen 88

8. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik

dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari

pada Maret 2008 (Rp/kg) apabila Harga Output Naik 46 Persen 89

9. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik

dan Asing Industri Tempe Skala Usaha 100 kilogram Per Hari

pada Maret 2008 (Rp/kg) jika Harga Input Kedelai Naik 60 persen

dan Harga Output Naik 46 Persen 90

10. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup,

Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha

Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai

Naik 60 Persen 91

11. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup,

Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha

Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai

Naik 60 Persen diimbangi dengan Kenaikan Harga Output 46 Persen 91

Page 19: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara sedang berkembang yang memiliki karakteristik

laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Peningkatan jumlah penduduk ini

berpengaruh pada peningkatan permintaan atau kebutuhan akan pangan. Di

samping itu terjadi pula peningkatan pendapatan masyarakat yang berdampak

pada perubahan pola pangan, dari tinggi karbohidrat dan rendah protein menjadi

cenderung rendah karbohidrat dan tinggi protein. Fenomena perubahan pola

pangan tersebut mengakibatkan permintaan terhadap sumber protein menjadi

semakin meningkat. Hal ini tercermin pada tabel berikut.

Tabel 1. Rata-rata Konsumsi Protein Per Kapita Sehari

Uraian Konsumsi (gram)

1999 2002 2005 2007 Perkotaan (rural) 48,61 56,55 59,33 59,69

Perdesaan (urban) 51,68 56,05 57,84 58,95

Rural + Urban 50,21 56,31 58,63 59,38

Sumber: BPS, 2007

Kedelai tergolong ke dalam kategori “secondary crop” atau sebagai tanaman

pangan kedua setelah padi. Komoditi ini merupakan salah satu sumber protein

nabati yang tinggi tingkat permintaannya. Permintaan kedelai akan terus

meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, pendapatan, serta pengetahuan

kesehatan masyarakat (Amang, 1996). Jumlah permintaan terhadap kedelai

meningkat baik untuk pemenuhan kebutuhan protein nabati bagi konsumsi pangan

masyarakat, bagi kebutuhan bahan baku industri olahan maupun bagi bahan pakan

ternak.

Pertumbuhan permintaan kedelai sangat tinggi sedangkan di sisi lain produksi

kedelai dalam negeri belum mampu mencukupi permintaan terhadap komoditi

Page 20: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

tersebut. Sejak tahun 2000-2006, produksi kedelai domestik terus menerus

mengalami penurunan. Hal ini disebabkan berkurangnya luasan panen. Luasan

panen yang berkurang didukung pula oleh faktor iklim Indonesia yang kurang

mendukung bagi pertumbuhan tanaman kedelai. Pada dasarnya, kedelai

merupakan tanaman subtropis yang membutuhkan lama penyinaran yang panjang.

Hal ini tidak ditemui di wilayah Indonesia yang beriklim tropis. Kemampuan

Indonesia dalam hal penyediaan kebutuhan kedelai dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel 2. Data Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Indonesia

Tahun 1997-2006

Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (ton) Produktivitas (kw/ha)

1997 1.119.079 1.356.891 12,13

1998 1.095.071 1.305.640 11,92

1999 1.151.079 1.382.848 12,01

2000 824484 1.017.634 12,34

2001 678.848 826.932 12,18

2002 544.522 673.056 12,36

2003 526.796 671.600 12,75

2004 565.155 723.483 12,80

2005 621.541 808.353 13,01

2006 580.534 747.611 12,88

Sumber: BPS, 2007 Kondisi yang terjadi di Indonesia yaitu produksi kedelai dalam negeri belum

mampu memenuhi total kebutuhan masyarakat. Adanya kesenjangan antara

jumlah konsumsi dengan jumlah produksi mengakibatkan Indonesia melakukan

impor kedelai. Pemenuhan kebutuhan kedelai Indonesia dilakukan secara impor

sekitar 60-65 persen dari total kebutuhan yang ada, sedangkan sisanya sekitar 35-

40 persen melalui produksi dalam negeri. Rata-rata impor kedelai selama tahun

2000-2005 mencapai 1,218 juta ton atau senilai US $358,366 juta. Nilai impor

kedelai yang cukup tinggi mengakibatkan Indonesia berpotensi kehilangan devisa

Page 21: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

sebesar Rp 3 triliun1. Data perkembangan impor kedelai Indonesia dapat dilihat

pada tabel berikut.

Tabel 3. Data Perkembangan Kebutuhan, Produksi dan Impor Kedelai di

Indonesia Tahun 2003-2006

Kedelai (ribu ton) Tahun 2003 2004 2005 2006

Kebutuhan 1.863 1.838 2.184 2.023

Produksi 671 723 808 747

Impor 1.192 1.115 1.376 1.276

Sumber: BPS, 2007

Kebutuhan akan kedelai meningkat setiap tahunnya sejalan dengan

meningkatnya pertumbuhan penduduk dan perkembangan pabrik pakan ternak.

Konsumsi kedelai per kapita saat ini berkisar 8 kg/kapita/tahun. Melihat

kandungan gizi yang dimiliki, kedelai memiliki potensi yang amat besar sebagai

sumber utama protein nabati bagi masyarakat Indonesia. Sebagai sumber protein

yang tidak mahal, kedelai telah lama dikenal dan digunakan dalam beragam

produk makanan. Pada dasarnya penggunaan kedelai untuk pangan dapat

dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu : (i) pangan yang diolah melalui proses

fermentasi seperti tempe, oncom, tauco, dan kecap; (ii) pangan yang diolah tanpa

melalui proses fermentasi, seperti tahu, tauge, dan kedelai rebus (Amang, 1996).

Kedelai yang didatangkan secara impor banyak digunakan sebagai bahan

baku utama pada industri olahan, salah satunya tempe. Industri tempe merupakan

industri yang terkait langsung dengan komoditi kedelai. Tempe telah dikonsumsi

oleh masyarakat Indonesia sejak lama. Selain memiliki prospek yang cukup baik

akibat selalu adanya permintaan dari pasaran, keberadaan industri tempe juga

memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Industri

1 Farid Akwan. 2007. Kedelai Impor Meningkat. http://www.klipingekonomi.com. Diakses tanggal 9 Desember 2007.

Page 22: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

tempe mampu menyerap sejumlah tenaga kerja baik yang terkait secara langsung

dalam proses produksi maupun yang terkait dengan perdagangan masukan dan

keluaran industri pengolahan tersebut (Amang, 1996).

Pada umumnya industri pengolahan kedelai tersebut menggunakan kedelai

impor dan kedelai lokal dengan komposisi 65-35 persen2. Kondisi ini tentu terkait

erat dengan kebijakan mengenai impor kedelai yang ditetapkan pemerintah.

Ketika pemerintah menetapkan kebijakan bea masuk terhadap impor kedelai,

kelompok industri yang bahan bakunya didominasi impor ini mengalami

guncangan sehingga sangat berpengaruh terhadap kelangsungan produksi mereka.

Besarnya impor kedelai yang terjadi di Indonesia pada akhirnya berpengaruh pada

besarnya devisa yang dihabiskan. Oleh karena itu, studi mengenai keunggulan

kompetitif dan komparatif pada industri berbahan baku kedelai seperti industri

tempe perlu dilakukan. Perlu diketahui pula seberapa besar nilai tambah yang

dapat diciptakan dari aktifitas produksi serta bagaimana dampak perubahan

kebijakan pemerintah terhadap industri tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan data dari Badan Pusat Satistik (BPS), produksi kedelai dalam

negeri hanya mampu mencapai 671 ribu ton kedelai pada tahun 2003. Sedangkan

pada tahun yang sama, kebutuhan kedelai jauh lebih besar dari nilai tersebut yaitu

1.863 ribu ton. Perbedaan antara jumlah permintaan dengan penawaran kedelai

dalam negeri mengkibatkan impor kedelai sebesar 1.192 ribu ton kedelai. Begitu

pula dengan tahun 2004, produksi kedelai domestik yaitu 723 ribu ton sedangkan

total kebutuhan kedelai sekitar 1.838 ribu ton dan impor kedelai 1.115 ribu ton

2 Anonim. 2007. Rencana Pengenaan Tarif BM Kedelai dapat Membebani Pengusaha Tempe. http://www.kompas.com. Diakses tanggal 9 Desember 2007.

Page 23: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

kedelai. Tidak berbeda jauh dengan kondisi pada tahun 2005, produksi kedelai

dalam negeri hanya mampu mencapai 808 ribu ton dari total kebutuhan kedelai

sebanyak 2.184 ribu ton sehingga total impor 1.376 ribu ton kedelai. Tahun 2006

nilai kebutuhan, produksi dalam negeri dan impor kedelai secara berturut-turut

adalah 2.023 ribu ton, 747 ribu ton dan 1.276 ribu ton kedelai

Fenomena seperti di atas menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan

Indonesia terhadap kedelai impor sangat tinggi. Kebutuhan kedelai yang mampu

dipenuhi melalui produksi dalam negeri hanya sekitar 35-40 persen sedangkan

sisanya yaitu sebanyak 60-65 persen dari total kebutuhan masyarakat dipenuhi

melalui impor. Padahal permintaan terhadap komoditi tersebut terus meningkat

seiring dengan pertumbuhan penduduk, pendapatan serta pengetahuan masyarakat

akan kesehatan.

Kedelai baik lokal maupun impor digunakan untuk beberapa kepentingan

diantaranya konsumsi pangan rumah tangga, sebagai bahan baku industri olahan,

serta sebagai pakan ternak. Kebutuhan kedelai sebagai bahan baku industri olahan

merupakan yang paling tinggi, kemudian pakan ternak dan yang terakhir

konsumsi rumah tangga. Tingginya tingkat konsumsi kedelai dalam industri

olahan seharusnya diimbangi dengan kegiatan yang mampu menghasilkan nilai

tambah yang sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. Penelitian ini akan

membahas mengenai daya saing industri yang berbahan baku kedelai, dalam hal

ini industri tempe. Perlu dianalisis keunggulan komparatif dan kompatitif industri

tempe terkait biaya yang harus dikeluarkan bagi pengadaan bahan baku industri

tersebut.

Page 24: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Kedelai yang pemenuhan kebutuhannya didominasi impor seharusnya

digunakan bagi kegiatan yang mampu memberikan nilai tambah yang tinggi.

Kedelai tidak hanya digunakan bagi kegiatan konsumsi secara langsung akan

tetapi lebih mengarah pada aktifitas yang dapat meningkatkan nilai tambah bagi

komoditi tersebut. Pengolahan kedelai pada industri tempe merupakan bentuk

alternatif usaha dalam rangka meningkatkan nilai tambah komoditi tersebut.

Keunggulan aktifitas pengolahan kedelai ini penting untuk diperhatikan terkait

dengan kondisi bahan baku yang didominasi impor.

Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi

pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50 persen dari konsumsi kedelai

Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe, 40 persen tahu, dan 10 persen dalam

bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain). Konsumsi tempe rata-rata

per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 kg3. Konsumsi ini

setara dengan 4,76 kg kedelai. Di samping itu, permintaan terhadap tempe

cenderung akan tetap ada karena komoditi ini memang telah dikonsumsi

masyarakat Indonesia sebagai sumber protein nabati sejak lama.

Industri tempe pada umumnya padat karya dan merupakan industri rumah

tangga. Jumlah pengusaha tempe yang telah berproduksi selama ini berpengaruh

pula pada banyaknya tenaga kerja berpenghasilan rendah yang dapat ditampung

oleh industri ini.

Di Kabupaten Bogor terdapat beberapa indusri pengolahan kedelai, termasuk

industri tempe. Hal ini tentu berpengaruh pula pada tingginya tingkat kebutuhan

3 Made Astawan. 2007. Tempe Sumber Antioksidan dan Antibiotika. http://www.gizi.net. Diakses tanggal 18 Desember 2007

Page 25: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

kedelai di daerah tersebut. Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa kebutuhan kedelai

untuk industri olahan di Kabupaten Bogor sebanyak 33.960 kg tiap harinya.

Tabel 4. Jumlah Kebutuhan Kedelai Harian untuk Indusri Olahan di

Kabupaten Bogor

No Kecamatan Kebutuhan kedelai (kg/hari) 1 Dramaga 710

2 Cibungbulang 4.985

3 Cisarua 685

4 Citeureup 11.750

5 Leuwiliyang 1.830

6 Ciampea 955 7 Tajurhalang 4.000

8 Ciomas 100

9 Megamendung 480

10 Ciseeng 800

11 Cibinong 1.795

12 Cileungsi 2.760

13 Tamansari 160 14 Parung 2.960

JUMLAH 33.960

Sumber: Disperindag Kabupaten Bogor, 2008.

Menurut Dinas Perindustrian Kabupaten Bogor, sampai dengan Januari 2008

terdapat sekitar 202 pengrajin tempe di kabupaten ini. Jumlah ini merupakan

jumlah pengrajin yang masih dapat bertahan dengan kondisi naiknya harga bahan

baku kedelai akibat penerapan bea masuk impor kedelai pada akhir tahun 2007.

Kecamatan Citeureup, khususnya Desa Citeureup merupakan sentra produksi

tempe terbesar di Kabupaten Bogor dengan jumlah 100 unit usaha tempe. Berikut

disajikan data industri tempe yang terdapat di wilayah Kabupaten Bogor.

Page 26: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Tabel 5. Jumlah Industri Tempe di Kabupaten Bogor Januari 2008

No Kecamatan Jumlah industri

1 Cibungbulang 21

2 Cisarua 6

3 Citeureup 100

4 Leuwiliyang 16

5 Ciampea 7

6 Ciseeng 8

7 Cibinong 4

8 Cileungsi 16

9 Parung 8

JUMLAH 202

Sumber: Disperindag Kabupaten Bogor, 2008

Dihadapkan pada fenomena tingginya tingkat konsumsi kedelai impor pada

industri olahan berbahan baku kedelai, maka permasalahan yang akan dibahas

dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana nilai tambah yang mampu dihasilkan industri tempe di

Kabupaten Bogor?

2. Bagaimana keunggulan komparatif dan kompetitif industri tempe di

Kabupaten Bogor?

3. Bagaimana dampak kebijkan pemerintah terhadap industri tempe di

Kabupaten Bogor?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dijelaskan,

maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:

1. menghitung besaran nilai tambah yang dihasilkan industri tempe di

Kabupaten Bogor;

2. menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif industri tempe di

Kabupaten Bogor;

Page 27: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

3. menganalisis dampak kebijakan pemerintah pada industri tempe di

Kabupaten Bogor.

Adapun kegunaan dari penelitian ini diantaranya sebagai referensi bagi kalangan

akademisi untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan industri

berbahan baku utama kedelai dan bahan pertimbangan serta sumber informasi

bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan

industri tersebut.

Page 28: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Industri dan Agroindustri

Menurut Badan Pusat Statistik (2007), industri pengolahan merupakan suatu

kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah barang dasar menjadi

barang jadi atau setengah jadi dan atau barang yang kurang nilainya menjadi

barang yang lebih tinggi nilainya. Penggolongan industri oleh BPS menurut

banyaknya tenaga kerja adalah sebagai berikut:

1. industri besar, dengan jumlah tenaga kerja 100 orang atau lebih;

2. industri sedang, dengan jumlah tenaga kerja antara 20 sampai 99 orang;

3. industri kecil, dengan jumlah tenaga kerja antara 5 sampai 19 orang;

4. industri rumah tangga, dengan jumlah tenaga kerja 1 sampai 4 orang.

Agroindustri merupakan suatu bentuk kegiatan atau aktifitas yang mengolah

bahan baku yang berasal dari tanaman maupun hewan. Soekartawi (2000)

mendefinisikan agroindustri dalam dua hal, yaitu pertama agroindustri sebagai

industri yang berbahan baku utama dari produk pertanian dan kedua agroindustri

sebagai suatu tahapan pembangunan sebagai kelanjutan dari pembangunan

pertanian tetapi sebelum tahapan pembangunan tersebut mencapai tahapan

pembangunan industri.

Soekartawi (2000) juga menyebutkan bahwa agroindustri memiliki peranan

yang sangat penting dalam pembangunan pertanian. Hal ini dapat dilihat dari

kontribusinya dalam hal meningkatkan pendapatan pelaku agribisnis, menyerap

tenaga kerja, meningkatkan perolehan devisa, dan mendorong tumbuhnya industri

lain.

Page 29: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Meskipun peranan agroindustri sangat penting, pembangunan agroindustri

masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Terdapat beberapa permasalahan yang

dihadapi agroindustri dalam negeri, antara lain: 1) kurang tersedianya bahan baku

yang cukup dan kontinu; 2) kurang nyatanya peran agroindustri di perdesaan

karena masih berkonsentrasinya agroindustri di perkotaan; 3) kurang konsistennya

kebijakan pemerintah terhadap agroindustri; 4) kurangnya fasilitas permodalan

(perkreditan) dan kalaupun ada prosedurnya amat ketat; 5) keterbatasan pasar; 6)

lemahnya infrastruktur; 7) kurangnya perhatian terhadap penelitian dan

pengembangan; 8) lemahnya keterkaitan industri hulu dan hilir; 9) kualitas

produksi dan prosesing yang belum mampu bersaing; 10) lemahnya

entrepreneurship (Soekartawi, 2000).

2.2 Produksi Tempe

Tempe merupakan makanan tradisional yang telah dikenal masyarakat

Indonesia sejak dulu terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa,

khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Produk ini berbahan baku utama kedelai

dan merupakan hasil dari proses fermentasi. Terdapat tiga faktor pendukung

dalam proses pembuatan tempe yaitu bahan baku yang diurai, mikroorganisme,

dan keadaan lingkungan tumbuh. Bahan baku yang dimaksud yaitu keping-keping

biji kedelai yang telah direbus, mikroorganisme berupa kapang tempe Rhizopus

oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, dan yang terakhir yaitu

keadaan lingkungan tumbuh seperti suhu 30° C, pH awal 6,8 serta kelembapan

nisbi 70-80 % (Sarwono, 1994).

Terdapat dua kelompok vitamin pada tempe, yaitu larut air (Vitamin B kompleks)

dan larut lemak (vitamin A, D, E, dan K). Selain itu, keistimewaan lain yang

Page 30: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

dimiliki tempe adalah mengandung viamin B12 yang umumnya terdapat pada

produk-produk hewani, tetapi tidak dijumpai pada makanan nabati (sayuran, buah,

dan biji-bijian)4. Dibandingkan dengan kedelai mentah, nilai gizi tempe lebih baik

karena pada kedelai mentah terdapat zat-zat antinutrisi seperti antitripsin dan

oligosakarida penyebab flatulensi. Proses fermentasi yang dilakukan dapat

menghilangkan kedua senyawa tersebut sehingga meningkatkan daya cerna

kedelai (Cahyadi, 2007).

2.3 Studi Terdahulu

2.3.1 Studi Mengenai Indusri Tempe

Studi yang bertujuan untuk menganalisis pendapatan serta nilai tambah yang

diciptakan industri tahu dan tempe di Kota Bogor serta kebijakan yang

berpengaruh terhadapnya dilakukan oleh Dermawan (1999). Berdasarkan studi

tersebut, nilai tambah industri tahu sebesar Rp 2.445,10 per kg kedelai sedangkan

nilai tambah industri tempe sebesar Rp 1.741,07 per kg kedelai. Kebijakan

pemerintah yang diterapkan selama ini secara konseptual cukup baik namun

mengalami kendala dalam pelaksanaannya.

Apretty (2000) melakukan studi mengenai analisis dampak krisis ekonomi

pada industri tempe skala kecil di Desa Citeureup, Kabupaten Bogor. Berdasarkan

penelitian Apretty, dampak krisis ekonomi bagi industri tempe di daerah

penelitian yaitu penurunan produksi. Nilai tambah yang diciptakan pada saat krisis

ekonomi meningkat namun tidak diikuti dengan keuntungan bagi pengusaha

tempe. Strategi yang dilakukan untuk menghadapi krisis ekonomi yaitu melalui

diversifikasi produk dan diversifikasi pasar.

4 Anonim. 2007. Khasiat dan Kandungan Gizi Tempe. http://id.wikipedia.org/wiki/Tempe. Diakses tanggal 18 Desember 2007.

Page 31: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Berdasarkan penelitian mereka, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

industri tempe secara umum adalah kedelai sebagai bahan baku utama, ragi, bahan

pengemas, bahan bakar, air, listrik, peralatan, dan tenaga kerja. Skala produksi

industri tempe pada umumnya tergantung pada ketersediaan bahan baku,

permintaan pasar, serta ketersediaan modal.

2.3.2 Studi Mengenai Analisis Nilai Tambah

Berbagai studi mengenai analisis nilai tambah telah dilakukan oleh beberapa

akademisi. Studi mengenai analisis usaha dan nilai tambah pengolahan ikan pada

industri kerupuk ikan/udang di Indramayu dilakukan oleh Apriyadi (2003).

Menurut Apriyadi, usaha ini layak untuk dikembangkan dengan nilai R/C atas

biaya tunai maupun biaya total yang lebih besar dari satu. Berdasarkan analisis

nilai tambah dapat disimpulkan bahwa semakin besar output yang diproduksi

maka semakin besar nilai tambah yang diperoleh, semakin efisien produsen dalam

berusaha, serta semakin besar pula dayasaing tenaga kerja.

Analisis nilai tambah pada pengolahan kain tenun sutera alam di Kabupaten

Garut dilakukan oleh Muflikh (2003). Untuk menghitung besarnya nilai tambah

yang dihasilkan perusahaan, digunakan analisis nilai tambah Metode Hayami.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai tambah yang dihasilkan perusahaan

adalah 60 persen dari nilai output. Penggunaan benang sutera alam dalam negeri

memberikan nilai tambah dan tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan

penggunaan benang sutera impor. Nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan

kain tenun ikat paling tinggi karena harga jualnya paling mahal.

Jati (2005) melakukan studi mengenai analisis pendapatan dan nilai tambah

industri kecil keripik dan sale hasil produk olahan pisang di Banten. Analisis yang

Page 32: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

digunakan yaitu analisis pendapatan dan analisis nilai tambah. Nilai R/C atas

biaya tunai dan biaya total usaha tersebut lebih besar dari satu, yang berarti kedua

kegiatan pengolahan sudah efisien, menguntungkan, dan layak untuk

dilaksanakan. Kegiatan pengolahan pisang menjadi keripik memberikan nilai

tambah yang lebih besar dibandingkan sale.

2.3.3 Studi Mengenai Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Penelitian yang menggunakan analisis keunggulan komparatif dan kompetitif

telah banyak dilakukan. Dewi (2004) menggunakan Policy Analysis Matrix dan

analisis sensitivitas untuk mengetahui keunggulan komparatif dan kompetitif serta

dampak kebijakan pemerintah pada pengusahaan kedelai di Kabupaten Boyolali,

Jawa Tengah. Berdasarkan studi Dewi, diperoleh kesimpulan bahwa pengusahaan

kedelai di daerah penelitian memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif

dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu. Melemahnya nilai tukar rupiah

sebesar empat persen tidak begitu berpengaruh terhadap keunggulan komparatif

dan kompetitif pengusahaan kedelai sedangkan kebijakan subsidi mendorong

produsen untuk meningkatkan produksinya.

Dhuhana (2004) melakukan penelitian untuk melihat keunggulan komparatif

dan kompetitif usaha emping melinjo di Kabupaten Serang. Kesimpulan studi

Dhuhana yaitu keuntungan usaha emping melinjo baik dengan intervensi maupun

tanpa intervensi berada di atas normal dengan nilai DRC dan PCR lebih kecil dari

satu. Selain itu, diketahui pula bahwa melemahnya nilai tukar rupiah terhadap

dolar Amerika berdampak pada peningkatan keunggulan komparatif dan

kompetitif. Meningkatnya suku bunga dan upah tenaga kerja berdampak pada

Page 33: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

penurunan keuntungan sosial dan privat serta peningkatan sumberdaya domestik

dan rasio biaya privat pada usaha emping melinjo.

Studi mengenai analisis dayasaing dan dampak perubahan kebijakan

pemerintah terhadap komoditi susu sapi di Desa Tajurhalang, Kabupaten Bogor

dilakukan oleh Kuraisin (2006). Analisis yang digunakan pada penelitian ini

adalah PAM dan analisis sensitivitas. Berdasarkan penelitian Kuraisin

disimpulkan bahwa pengusahaan susu sapi menguntungkan dan efisien secara

finansial dan ekonomi dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu. Perubahan

kebijakan pemerintah seperti peningkatan harga pakan sebesar 30 persen, harga

susu sapi sebesar 5 persen serta gabungan keduanya tidak mempengaruhi

keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas susu sapi di daerah penelitian.

Studi terdahulu yang telah dilakukan pada industri tempe di beberapa daerah

pada umumnya terkait dengan perkembangan industri, permintaan dan penawaran,

pola konsumsi, serta analisis usaha pada industri tersebut. Penelitian mengenai

dayasaing industri tempe di Kabupaten Bogor dengan menggunakan Policy

Analysis Matrix (PAM) belum dilakukan. Mengingat tingginya ketergantungan

Indonesia terhadap kedelai impor dalam hal pemenuhan bahan baku industri

olahan, maka diperlukan penelitian untuk menganalisis keunggulan kompetitif dan

komparatif pada industri tersebut. Selain itu perlu dihitung besaran nilai tambah

yang dapat ditimbulkan akibat kegiatan pengolahan kedelai menjadi tempe.

Kedelai yang didatangkan secara impor sebaiknya digunakan pada kegiatan yang

dapat memberikan nilai tambah yang lebih tinggi agar sebanding dengan biaya

yang telah dikeluarkan bagi pengadaan bahan bakunya.

Page 34: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Teoritis

3.1.1 Definisi Dayasaing

Suatu negara dikatakan memiliki dayasaing pada komoditi tertentu apabila

negara tersebut mampu memproduksi suatu komoditi dengan lebih efisien

dibanding negara lain pada komoditi yang sejenis. Pendekatan yang sering

digunakan untuk mengukur dayasaing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan

serta efisiensi dalam pengelolaan komoditi tersebut. Tingkat keuntungan dapat

dilihat dari dua sisi, yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sedangkan

efisiensi meliputi keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif.

3.1.2 Keunggulan Komparatif

Perbedaan ketersediaan faktor sumberdaya alam dan sumberdaya manusia

pada setiap negara mengakibatkan masing-masing negara memiliki kemampuan

yang berbeda dalam memproduksi suatu komoditi. Kondisi ini akan mendorong

terjadinya pemenuhan kebutuhan melalui perdagangan dengan negara lain. Adam

Smith mendasarkan teori perdagangan internasional pada keunggulan absolut

(absolute advantage). Jika sebuah negara lebih efisien daripada (atau memiliki

keunggulan absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi,

namun kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara

lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat

memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi

dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan

menukarkannya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut (Salvatore,

1997).

Page 35: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Pada tahun 1817, David Ricardo menerbitkan buku yang berjudul Principles

of Political Economy and Taxation yang memberikan penjelasan mengenai teori

perdagangan internasional berdasarkan hukum keunggulan komparatif. Menurut

hukum ini, meskipun suatu negara memiliki kerugian absolut terhadap negara lain

dalam memproduksi kedua komoditi, akan tetapi masih terdapat kemungkinan

bagi kedua negara untuk melakukan perdagangan internasional yang saling

menguntungkan (Salvatore, 1997). Suatu negara akan melakukan spesialisasi

dengan memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut

yang lebih kecil (komoditi dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor

komoditi yang memiliki kerugian absolut yang lebih besar (komoditi dengan

kerugian komparatif).

Asumsi yang digunakan dalam teori perdagangan internasional berdasarkan

hukum keunggulan komparatif yaitu : 1. hanya terdapat dua negara dan dua

komoditi; 2. perdagangan bersifat bebas; 3. terdapat mobilitas tenaga kerja yang

sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antar keduanya; 4. biaya

produksi konstan; 5. tidak terdapat biaya transportasi; 6. tidak ada perubahan

teknologi; 7. menggunakan teori nilai tenaga kerja. Asumsi satu sampai enam

dapat diterima dengan mudah, asumsi tujuh (teori nilai tenaga kerja) tidaklah

berlaku dan seharusnya tidak digunakan untuk menjelaskan keunggulan

komparatif (Salvatore, 1997).

Ricardo menjelaskan bahwa keunggulan komparatif muncul dari perbedaan

dalam produktivitas tenaga kerja, tetapi tidak menjelaskan secara memuaskan

mengapa produktivitas tenaga kerja berbeda-beda antar negara (Cho and Moon,

2003). Kemudian pada tahun 1933 Heckscher-Ohlin melakukan pengembangan

Page 36: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

terhadap teori perdagangan internasional berdasarkan keunggulan komparatif

yang dicetuskan oleh David Ricardo. Heckscher-Ohlin dalam teoremanya

menyebutkan bahwa suatu negara akan mengekspor komoditi yang produksinya

lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di

negara tersebut dan dalam waktu yang bersamaan akan mengimpor komoditi yang

produksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara

tersebut.

Keunggulan komparatif merupakan salah satu ukuran dayasaing suatu negara

dalam memproduksi komoditi tertentu berdasarkan analisis ekonomi. Dalam

perhitungannya, konsep ini menggunakan harga sosial atau harga bayangan yang

merupakan harga yang terjadi pada kondisi pasar persaingan sempurna atau

dengan kata lain apabila perekonomian tidak terdistorsi sama sekali. Akan tetapi

pada kenyataanya, kondisi tanpa distorsi tentu tidak akan ditemui dalam dunia

nyata. Oleh karena itu diperlukan juga ukuran dayasaing suatu aktifitas produksi

pada kondisi perekonomian yang aktual.

3.1.3 Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif merupakan ukuran dayasaing pada kondisi

perekonomian aktual. Konsep ini pada mulanya dikembangkan oleh Porter. Porter

menyebutkan bahwa faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional

dipengaruhi oleh kondisi fakor; kondisi permintaan, industri pendukung dan

terkait; persaingan, struktur dan strategi perusahaan. Keempat faktor ini didukung

oleh faktor lainnya yaitu peluang dan peran pemerintah. Konsep keunggulan

kompetitif digunakan untuk mengetahui kelayakan suatu aktifitas serta

Page 37: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

keuntungan privat yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha berdasarkan harga

pasar.

Konsep keunggulan kompetitif bukanlah suatu konsep yang sifatnya saling

menggantikan dengan dengan konsep keunggulan komparatif, akan tetapi suatu

konsep yang sifatnya saling melengkapi. Konsep keunggulan komparatif

menggambarkan kelayakan suatu kegiatan usaha secara ekonomi dan

perhitungannya didasarkan pada harga sosial, sedangkan konsep keunggulan

kompetitif menggambarkan kelayakan suatu kegiatan usaha secara finansial dan

didasarkan pada harga pasar. Suatu komoditi dapat memiliki keunggulan

kompetitif sekaligus keunggulan komparatif, yang mengindikasikan bahwa

komoditi tersebut layak untuk diproduksi dan dapat bersaing di pasar

internasional.

3.1.4 Kebijakan Pemerintah

Sering kali mekanisme pasar tidak dapat berfungsi secara efisien karena

adanya kegagalan pasar sehingga memerlukan suatu bentuk campur tangan dari

pemerintah. Kebijakan pemerintah ditujukan untuk peningkatan ekspor ataupun

sebagai usaha perlindungan terhadap produk dalam negeri. Intervensi pemerintah

ini dapat diterapkan baik pada output maupun input yang pada akhirnya akan

menimbulkan perbedaan harga output dan input secara finansial dan secara

ekonomi.

Klasifikasi kebijakan harga komoditi dapat dilihat pada Tabel 5 yang dapat

membantu untuk menjelaskan dampak perubahan kebijakan. Tabel tersebut

membedakan tipe kebijakan berdasarkan tiga kriteria yaitu tipe instrumen,

Page 38: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

kelompok penerimaan dan tipe komoditi (Monke and Pearson, 1989). Berikut

disajikan tabel klasifikasi kebijakan harga komoditi.

Tabel 6. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditi

Instrumen Dampak pada Produsen Dampak pada Konsumen

Kebijakan subsidi a. tidak merubah harga

pasar dalam nageri b. merubah harga pasar

dalam negeri

Subsidi kepada produsen b. pada barang impor (S + PI ; S – PI) b. pada barang ekspor (S + PE ; S – PE)

Subsidi kepada konsumen c. pada barang impor (S + CI ; S – CI) b. pada barang ekspor (S + CE ; S – CE)

Kebijakan perdagangan (merubah harga pasar dalam negeri)

Hambatan pada barang-barang impor (TPI)

Hambatan pada barang-barang ekspor (TCE)

Sumber: Monke and Pearson, 1989.

Keterangan :

S + = Subsidi

S - = Pajak

PE = Produsen barang orientasi ekspor

PI = Produsen barang substitusi impor

CE = Konsumen barang orientasi ekspor

CI = Konsumen barang substitusi impor

TPI = Hambatan barang impor

TCE = Hambatan barang ekspor

Tipe Instrumen

Dalam tipe instrumen, subsidi dan kebijakan perdagangan merupakan dua hal

yang dibedakan. Apabila dibayarkan dari pemerintah maka disebut subsidi.

Tujuan dan dampak subsidi yaitu menciptakan harga domestik berbeda dengan

harga dunia. Sedangkan kebijakan perdagangan merupakan pembatasan atau

hambatan yang diberlakukan baik pada komoditi impor maupun ekspor.

Hambatan perdagangan ini dapat diterapkan pada harga komoditi (dalam bentuk

Page 39: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

tarif) maupun pada jumlah yang diperdagangkan (dalam bentuk kuota). Kebijakan

perdagangan dan subsidi dapat berbeda dalam tiga hal yaitu:

a. implikasinya pada anggaran pemerintah.

Kebijakan perdagangan tidak berpengaruh pada anggaran pemerintah

sedangkan subsidi akan mengurangi anggaran pemerintah apabila berupa

subsidi positif dan menambah anggaran pemerintah apabila berupa subsidi

negatif.

b. tipe alternatif kebijakan.

Intervensi pemerintah dapat dibedakan menjadi delapan tipe subsidi dan dua

hambatan perdagangan (Monke and Pearson, 1989). Delapan tipe subsidi

untuk produsen dan konsumen pada barang ekspor maupun impor yaitu:

1. subsidi positif pada produsen barang impor (S+PI)

2. subsidi negatif pada produsen barang impor (S-PI)

3. subsidi positif pada produsen barang ekspor (S+PE)

4. subsidi negatif pada produsen barang ekspor (S-PE)

5. subsidi positif pada konsumen barang impor (S+CI)

6. subsidi negatif pada konsumen barang impor (S-CI)

7. subsidi positif pada konsumen barang ekspor (S+CE)

8. subsidi negatif pada konsumen barang ekspor (S-CE)

Pada hambataan perdagangan hanya terdapat dua tipe yaitu hambatan

perdagangan pada barang ekspor dan hambatan perdagangan barang impor.

Page 40: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

c. tingkat kemampuan penerapan.

Kebijakan subsidi dapat diterapkan pada setiap komoditi baik komoditi

tradable maupun non tradable sedangkan hambatan perdagangan hanya

dapat diterapkan pada komoditi tradable.

Kelompok Penerimaan

Klasifikasi kelompok penerimaan pada kebijakan pemerintah dibedakan

menjadi dua bagian yaitu bagi produsen dan bagi konsumen. Adanya subsidi

maupun kebijakan perdagangan mengakibatkan terjadinya transfer diantara

produsen, konsumen, dan pemerintah. Anggaran pemerintah yang tidak

dibayarkan seluruhnya mengakibatkan produsen diuntungkan dan konsumen

dirugikan, demikian pula sebaliknya. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa

keuntungan yang diterima oleh satu pihak merupakan transfer dari kerugian yang

diderita oleh pihak lain. Akan tetapi transfer ini disertai pula dengan efisiensi

ekonomi yang hilang sehingga keuntungan yang diterima lebih kecil daripada

kerugian yang diderita.

Tipe Komoditi

Tipe komoditi dibedakan menjadi komoditi ekspor dan komoditi impor.

Apabila tidak ada kebijakan harga, maka harga domestik akan sama dengan harga

dunia. Pada kondisi ini, harga yang digunakan untuk barang ekspor adalah harga

fob (free on board) sedangkan untuk barang impor digunakan harga cif (cost

insurance freight).

3.1.4.1 Kebijakan Output

Kebijakan harga terhadap output dapat berupa subsidi (subsidi positif dan

subsidi negatif) maupun hambatan perdagangan (tarif dan kuota). Perubahan yang

Page 41: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

terjadi akibat adanya intervensi pemerintah baik berupa subsidi maupun hambatan

perdagangan yaitu perubahan pada harga barang, jumlah barang, surplus produsen

serta surplus konsumen (Monke and Pearson, 1989). Ilustrasi penerapan subsidi

baik pada barang impor maupun ekspor dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.

Gambar 1(a) menunjukkan subsidi positif untuk produsen barang impor.

Harga yang diterima produsen lebih tinggi dibandingkan harga dunia. Subsidi

positif sebesar Pd-Pw mengakibatkan output yang diproduksi dalam negeri

meningkat dari Q1 ke Q2 dengan tingkat konsumsi tetap pada Q3. Subsidi ini

menyebabkan impor turun dari Q3 - Q1 menjadi Q3 – Q2. Transfer total dari

pemerintah ke produsen yaitu sebesar Q2 x (Pd-Pw) atau PdABPw. Subsidi

menyebabkan barang yang seharusnya diimpor menjadi diproduksi sendiri dengan

biaya korbanan sebesar Q1Q2AC sedangkan jika barang tersebut diimpor biaya

korbanan yang seharusnya yaitu Q1Q2BC sehingga efisiensi ekonomi yang hilang

sebesar CAB.

Gambar 1(b) memperlihatkan subsidi positif untuk konsumen barang impor.

Adanya subsidi yang diberikan pemerintah mengakibatkan harga di pasar

internasional lebih tinggi dibandingkan harga domestik. Subsidi positif sebesar

Pw-Pd mengakibatkan peningkatan konsumsi dari Q3 ke Q4 sedangkan output

produksi dalam negeri menurun dari Q2 ke Q1 sehingga impor mengalami

peningkatan dari Q3-Q2 menjadi Q4-Q1. Transfer yang terjadi sebesar PwGHPd

terdiri dari dua bagian yaitu transfer dari pemerintah pada konsumen sebesar

AGHB dan transfer dari produsen pada konsumen sebesar PwABPd. Hal ini

menunjukkan bahwa terjadi kehilangan efisiensi ekonomi pada sisi produksi dan

konsumsi. Pada sisi produksi, penurunan output dari Q2 ke Q1 mengakibatkan

Page 42: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

B

A

C

Q1 Q2 Q3 Q4 Q3 Q2 Q1

A F E G Pw

Pd

Pd

Pw

kehilangan pendapatan sebesar Pw x (Q1-Q2) atau Q1AFQ2 sedangkan input yang

dihemat sebesar Q2Q1BF sehingga terdapat efisiensi ekonomi yang hilang sebesar

FAB. Pada sisi konsumsi, opportunity cost akibat peningkatan konsumsi dari Q3

ke Q4 yaitu Pw x (Q4-Q3) atau sebesar Q3EGQ4 sedangkan kempuan konsumen

untuk membayar sebesar Q3EHQ4 sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar

EGH.

P S P S

D B H D

Q Q

(a) S + PI (b) S + CI

Gambar 1. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang impor (S+PI) dan (S+CI)

Sumber: Monke and Pearson, 1989

Gambar 2(a) menerangkan subsidi bagi produsen barang ekspor. Sama

dengan subsidi pada produsen barang impor, harga domestik lebih tinggi daripada

harga dunia. Hal ini berdampak pada peningkatan jumlah output yang diproduksi

dari dari Q3 ke Q4 dan penurunan konsumsi dari Q2 ke Q1 sehingga jumlah ekspor

pun berubah dari Q3-Q2 menjadi Q4-Q1. Subsidi yang diberikan pemerintah yaitu

sebesar GBAH. Gambar 2(b) merupakan ilustrasi pemberian subsidi bagi

konsumen barang ekspor. Gambar tersebut menunjukkan bahwa harga di pasar

internasional lebih tinggi dibanding harga domestik sehingga konsumsi barang

ekspor meningkat dari Q1 ke Q2. Biaya korbanan dari peningkatan konsumsi yaitu

Page 43: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

B H

Q1 Q2 Q3 Q2 Q1

C B

Pw

Pd Pw

Pd

Q4

sebesar Pw x (Q2-Q1) atau sebesar Q1CBQ2 sedangkan kemampuan membayar

konsumen sebesar Q1CAQ2 sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar CAB.

P S P

G E F A A

D

Q Q

(a) S + PE (b) S + CE

Gambar 2. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang ekspor (S+PE) dan (S+CE)

Sumber: Monke and Pearson, 1989

Ilustrasi penerapan hambatan perdagangan dengan mengambil contoh pada

komoditi impor dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 memperlihatkan bahwa

hambatan perdagangan pada barang impor mengakibatkan peningkatan harga baik

bagi produsen maupun konsumen. Kondisi harga yang tinggi ini menyebabkan

output domestik meningkat dari Q1 ke Q2 dan konsumsi turun dari Q3 ke Q4

sehingga impor berkurang dari Q3-Q1 menjadi Q4-Q2. Terjadi transfer pendapatan

dari konsumen sebesar (Pd-Pw) x Q4 atau PdABPw. Transfer ini terdiri atas transfer

yang diterima produsen sebesar PdEFPw dan yang diterima pemerintah sebesar

FEAB. Efisiensi ekonomi yang hilang dari sisi konsumen yang merupakan

perbedaan antara opportunity cost dari perubahan konsumsi Q4BCQ3 dengan

kesediaan membayar Q4ACQ3 adalah sebesar daerah ABC, sedangkan efisiensi

ekonomi yang hilang pada sisi produksi yaitu sebesar EFG.

Page 44: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Gambar 3. Dampak hambatan perdagangan pada komoditi impor Sumber: Monke and Pearson, 1989

3.1.4.2 Kebijakan Input

Input merupakan fakor yang berperan penting dalam aktifitas produksi. Input

dapat digolongkan menjadi input tradable dan input non tradable. Kebijakan yang

berlaku bagi input tradable dapat berupa kebijakan subsidi baik itu positif

maupun negatif dan hambatan perdagangan, sedangkan bagi input non tradable

hanya berlaku kebijakan subsidi baik itu positif maupun negatif. Kebijakan

hambatan perdagangan tidak berlaku pada input non tradable karena input

tersebut diproduksi dan digunakan dalam domestik.

1. Kebijakan input tradable.

Gambar 4 di bawah ini memperlihatkan dampak kebijakan subsidi negatif

(pajak) dan subsidi positif pada input tradable. Pada Gambar 4(a), pajak yang

dikenakan pemerintah bagi input tradable mengakibatkan peningkatan biaya

produksi pada tingkat ouput yang sama sehingga terjadi penurunan produksi

output domestik dari Q1 ke Q2 atau kurva supply bergeser ke kiri atas. Efisiensi

ekonomi yang hilang yaitu seluas daerah segitiga ABC; daerah ini merupakan

S

D

Q Q3 Q4 Q2 Q1

A E

G F B

C

P

Page 45: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

perbedaan antara nilai output yang hilang atau Q2CAQ1 dengan biaya untuk

memproduksi output tersebut atau Q2BAQ1.

Dampak penerapan subsidi positif bagi input tradable dapat dilihat pada

Gambar 4(b). Pada gambar ini, terlihat bahwa kebijakan tersebut menyebabkan

peningkatan penggunaan input dari Q1 ke Q2 atau kurva supply bergeser ke kanan

bawah. Efisiensi ekonomi yang hilang yaitu sebesar ABC yang merupakan

perbedaan biaya produksi yang semakin bertambah atau Q1ACQ2 dengan

kenaikan nilai output atau Q1ABQ2.

(a) (b)

Gambar 4. Pajak dan subsidi pada input tradable Sumber: Monke and Pearson, 1989

2. Kebijakan input non tradable.

Efek pengenaan subsidi positif dan negatif pada input non tradable dapat

dilihat pada Gambar 5. Pada Gambar 5(a) terlihat bahwa pengenaan pajak (subsidi

negatif) sebesar Pc-Pp mengakibatkan produksi turun dari Q1 ke Q2. Harga di

tingkat produsen turun menjadi Pp sedangkan harga di tingkat konsumen naik

menjadi Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang dari sisi produsen yaitu sebesar DBA

dan dari sisi konsumen sebesar BCA.

A

C

B

Q1 Q2

S

Q

B

A

Q1 Q2

S

C

Pw

P S’

Pw

P

Q

S’

Page 46: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Gambar 5(b) menerangkan dampak subsidi positif pada input non tradable.

Kebijakan tersebut berdampak pada peningkatan produksi dari Q1 ke Q2. Harga

yang diterima produsen meningkat dari Pd menjadi Pp sedangkan harga yang

diterima konsumen menurun dari Pd menjadi Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang

diukur dari perbedaan biaya produksi akibat meningkatnya output yang dihasilkan

atau Q1ABQ2 dengan kesediaan membayar konsumen. Total efisiensi yang hilang

yaitu seluas daerah ACD yang terdiri dari inefisiensi ekonomi dari sisi produsen

(ACB) dan dari sisi konsumen (ABD).

(a) (b)

Gambar 5. Pajak dan subsidi pada input non tradable Sumber: Monke and Pearson, 1989

3.1.5 Policy Analysis Matrix

Policy Analysis Matrix (PAM) pertama kali diperkenalkan oleh Eric. A.

Monke dan Scott Pearson pada tahun 1989. Hasil analisis PAM ini dapat

digunakan untuk melihat dampak kebijakan pemerintah pada suatu sistem

komoditi. Menurut Pearson and Gotsch (2004), tiga tujuan utama dari metode

PAM pada hakekatnya ialah memberikan informasi dan analisis untuk membantu

pengambil kebijakan pertanian terkait dengan isu-isu penting bidang pertanian,

menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani, serta menghitung

S

A

D

Q

P

C

B

D

Q2 Q1 Q3

Pd

Pp

Pc

Pp’

P S

D

D

B

C A

Q1 Q2

Pd

Pp

Pc

Q

Page 47: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

transfer effects. Matriks PAM terdiri dari dua identitas yaitu identitas tingkat

keuntungan atau profitability identity dan identitas penyimpangan atau

divergences identity (Pearson and Gotsch, 2004).

Asumsi dasar yang digunakan dalam analisis PAM yaitu:

1.pada analisis finansial, perhitungan didasarkan pada harga pasar yang

merupakan harga yang benar-benar terjadi dan diterima oleh produsen dan

konsumen setelah adanya kebijakan;

2.pada analisis ekonomi, perhitungan didasarkan pada harga sosial yang

merupakan harga bayangan atau harga pada kondisi PPS (apabila tidak

terdapat distorsi sama sekali);

3.ouput bersifat tradable dan input dapat dipisahkan dalam komponen asing

dan domestik;

4. eksternalitas positif dan negatif saling meniadakan.

PAM merupakan suatu analisis yang dapat mengidentifikasi tiga analisis

yaitu analisis keuntungan (privat dan sosial); analisis dayasaing (keunggulan

kompetitif dan komparatif); analisis dampak kebijakan. Berkut disajikan matriks

analisis PAM.

Tabel 7. Matriks Analisis Kebijakan (PAM)

Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan

Input

tradable Input

nontradable

Harga Privat A B C D

Harga Sosial E F G H

Dampak kebijakan I J K L

Sumber: Pearson and Gotsch, 2004

Page 48: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

A. Analisis keuntungan

1. Keuntungan Privat (D) = A – B – C

Keuntungan privat menunjukkan selisih antara penerimaan dengan seluruh

biaya yang dikeluarkan yang dihitung dengan menggunakan harga pasar. Nilai

keuntungan privat yang lebih besar dari nol berarti secara finansial komoditi

tersebut layak untuk diusahakan. Demikian sebaliknya, jika nilai keuntungan

privat kurang dari nol maka kegiatan usaha tersebut tidak menguntungkan pada

kondisi adanya intervensi pemerintah.

2. Keuntungan sosial (H) = E – F – G

Keuntungan sosial merupakan selisih antara penerimaan dengan seluruh

biaya yang dikeluarkan yang dihitung dengan menggunakan harga bayangan.

Apabila nilai keuntungan sosial lebih besar dari nol berarti pada kondisi pasar

persaingan sempurna, aktifitas pengusahaan komoditi tersebut menguntungkan

secara ekonomi.

B. Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif

1. Rasio Biaya Privat (PCR) = BA

C

Rasio biaya privat merupakan rasio antara biaya input domestik privat

dengan selisih antara penerimaan privat dengan biaya input tradable privat. Jika

nilai PCR lebih kecil dari satu berarti aktifitas pengusahaan komoditi tersebut

efisien secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif pada kondisi terdapat

intervensi pemerintah. Berlaku sebaliknya jika nilai PCR lebih besar dari satu.

2. Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) = FE

G

Page 49: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Apabila nilai Domestic Resousce Cost lebih kecil dari satu, maka kegiatan

pengusahaan suatu komoditi dikatakan efisien pada kondisi tanpa ada kebijakan

pemerintah atau memiliki keunggulan komparatif. Demikian sebaliknya apabila

hasil perhitungan DRC lebih besar dari satu.

C. Analisis dampak kebijakan

1. Kebijakan output

~ Transfer output (I) = A – E

Transfer output merupakan selisih antara nilai penerimaan berdasarkan harga

finansial dan penerimaan berdasarkan harga sosial. Nilai transfer output positif

mencerminkan besarnya transfer dari masyarakat ke produsen karena masyarakat

membeli output dengan harga di atas harga yang seharusnya. Sedangkan nilai

transfer output negatif menunjukkan bahwa kebijakan yang berlaku

mengakibatkan harga output yang diterima produsen lebih rendah dari harga

seharusnya.

~ Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = E

A

Koefisien proteksi output nominal merupakan rasio antara penerimaan

berdasarkan harga finansial dan penerimaan berdasarkan harga sosial. Apabila

nilai NPCO lebih besar dari satu berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan

harga output di pasar lokal lebih tinggi dibandingkan harga di pasar dunia.

2. Kebijakan input

~ Transfer input (J) = B – F

Transfer input merupakan selisih antara biaya berdasarkan harga finansial

dan biaya berdasarkan harga sosial. Nilai transfer input menunjukkan adanya

kebijakan pemerintah pada input tradable. Nilai transfer input positif

Page 50: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

mencerminkan bahwa produsen harus membayar inputnya lebih mahal. Apabila

nilai transfer input negatif berarti bahwa produsen tidak perlu membayar secara

penuh korbanan sosial yang seharusnya dibayarkan.

~ Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) = F

B

Koefisien proteksi input nominal merupakan rasio antara biaya input tradable

berdasarkan harga finansial dan biaya input tradable berdasarkan harga sosial.

Nilai NPCI yang lebih besar dari satu menunjukkan adanya proteksi dari

pemerintah terhadap produsen input sehingga sektor yang menggunakan input

tersebut terpaksa dirugikan dengan tingginya biaya produksi.

~ Transfer fakor (K) = C – G

Transfer fakor merupakan indikator yang digunakan untuk menganalisis

dampak kebijakan pemerintah terhadap input non tradable. Apabila transfer fakor

bernilai positif berarti terdapat kebijakan pemerintah yang sifatnya melindungi

produsen input domestik. Nilai transfer faktor diperoleh dari selisih antara biaya

input non tradable privat dengan biaya input non tradable sosial.

3. Kebijakan Input-Output

~ Transfer bersih = D – H

Transfer bersih merupakan selisish antara keuntungan bersih yang benar-

benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya.

~ Koefisien Proteksi Efektif (EPC) = FE

BA

Nilai EPC menggambarkan arah kebijakan pemerintah apakah bersifat

melindungi atau justru menghambat kegiatan pengusahaan suatu komoditi.

Page 51: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

~ Koefisien keuntungan = H

D

Apabila nilai koefisien keuntungan lebih besar dari satu, maka berarti secara

keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen.

Sebaliknya apabila nilai koefisien keuntungan lebih kecil dari satu, berarti

kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen lebih

kecil dibandingkan tidak ada intervensi pemerintah.

~ Rasio Subsidi bagi Podusen (SRP) = BA

L

Nilai SRP yang lebih kecil dari satu menunjukkan bahwa kebijakan

pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya

di atas biaya sosial yang seharusnya dikeluarkan.

3.1.6 Harga Bayangan

Menurut Gittinger (1986), harga bayangan atau shadow prices adalah harga

yang terjadi dalam suatu perekonomian bila pasar berada pada keadaan persaingan

sempurna dan kondisi keseimbangan. Gray (1993) menyebutkan bahwa shadow

prices dari suatu produk atau faktor produksi merupakan social opportunity cost,

yaitu nilai tertinggi suatu produk atau faktor produksi dalam penggunaan alternatif

terbaik.

Pada kenyataanya kondisi biaya imbangan sama dengan harga pasar sulit

ditemukan. Oleh karena itu, untuk memperoleh nilai yang mendekati harga sosial

diperlukan penyesuaian terhadap harga yang berlaku. Alasan digunakan harga

bayangan dalam Dewi (2004) yaitu:

Page 52: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

1. harga pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan seandainya

sejumlah sumberdaya yang dipilih dipakai dalam aktifitas tertentu, tetapi tidak

digunakan dalam aktifitas lain yang masih memungkinkan bagi masyarakat;

2. harga yang berlaku di pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya

diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan dari aktifitas tersebut.

3.1.7 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas merupakan suatu analisis yang dapat membantu untuk

mengetahui tingkat kepekaan suatu aktifitas produksi apabila terjadi perubahan-

perubahan dalam perhitungan biaya maupun manfaat. Kadariah (2001)

menyebutkan bahwa analisis sensitivitas dapat membantu menemukan variabel-

variabel penting dalam suatu proyek yang harus diperhatikan untuk memperbaiki

perkiraan-perkiraan dan memperkecil bidang ketidakpastian.

Menurut Kadariah (2001), cara melakukan analisis sensitivitas yaitu:

1. mengubah besarnya variabel-variabel penting, masing-masing terpisah, atau

beberapa dalam kombinasi, dengan suatu persentase, dan menentukan berapa

pekanya hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut;

2. menentukan dengan berapa sesuatu variabel harus berubah untuk sampai ke

hasil perhitungan yang membuat proyek tidak dapat diterima.

3.1.8 Konsep Nilai Tambah

Menurut Hayami dalam Ibnu (2001), definisi nilai tambah adalah

pertambahan nilai suatu komoditi karena adanya input fungsional yang

diberlakukan pada komoditi yang bersangkutan. Input fungsional tersebut berupa

proses mengubah bentuk (form utility), memindahkan tempat (place utility),

maupun menyimpan (time utility).

Page 53: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Terdapat beberapa variabel penting yang terkait dengan analisis nilai tambah

yaitu faktor konversi yang menunjuk pada banyaknya output yang dihasilkan dari

satu satuan input; faktor koefisien tenaga kerja yang menunjuk pada banyaknya

tenaga kerja langsung yang diperlukan untuk mengolah satu satuan input; dan

nilai produk yang menunjuk pada nilai output yang dihasilkan dari satu satuan

input (Hayami dalam Jati 2005).

3.2 Kerangka Operasional

Kedelai merupakan komoditi yang strategis dilihat dari peranannya dalam

perekonomian nasional. Sebagai salah satu sumber protein nabati yang banyak

diminati, komoditi ini memiliki tingkat permintaan yang tinggi baik untuk

konsumsi masyarakat, kebutuhan bahan baku industri makanan olahan, serta

pakan ternak. Permintaan kedelai akan terus meningkat seiring dengan

pertumbuhan penduduk, pendapatan, serta pengetahuan kesehatan masyarakat

(Amang, 1996).

Dari sisi penawaran, tingkat produksi kedelai dalam negeri belum mampu

mengimbangi tingginya tingkat permintaan. Terdapat kesenjangan antara jumlah

yang diproduksi dengan jumlah kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu, dalam

pemenuhan kebutuhan kedelai pemerintah melakukan impor dari luar negeri.

Total impor kedelai di Indonesia yaitu sebesar 60-65 persen dari keseluruhan

kebutuhan dalam negeri, sisanya yaitu hanya 35-40 persen yang dapat dipenuhi

melalui produksi domestik.

Permintaan kedelai paling tinggi yaitu bagi pemenuhan kebutuhan bahan

baku industri makanan olahan seperti tempe, kecap, tahu, tauco dan sebagainya.

Menurut data Depperin, jumlah industri kecil dan menengah (IKM) pengolah

Page 54: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

kedelai di dalam negeri tercatat 92.400 yang terbagi menjadi 56.760 unit usaha

tempe, 28.600 unit usaha tahu, 1.500 unit usaha kecap, 2.100 unit usaha tauco,

dan 3.430 unit usaha aneka olahan. Industri-indusri tersebut pada umumnya

menggunakan kedelai impor sebagai bahan baku sehingga perkembangannya

berdampak pada volume impor kedelai yang semakin meningkat.

Dihadapkan pada kondisi bahan baku yang didominasi barang impor,

aktifitas industri berbahan baku kedelai seharusnya diarahkan pada kegiatan yang

mampu menciptakan nilai tambah yang tinggi sehingga dapat sebanding dengan

biaya yang telah dikeluarkan untuk mengimpor komoditi tersebut. Akan lebih

baik apabila kedelai yang didatangkan secara impor digunakan pada aktifitas

ekonomi yang dapat berkontribusi pada perekonomian, misalnya dalam hal

penciptaan lapangan pekerjaan maupun dalam hal peningkatan harga jual dan nilai

tambah dari komoditi itu sendiri.

Aktifitas pengolahan kedelai menjadi tempe merupakan salah satu usaha

dalam rangka peningkatan nilai tambah bagi komoditi kedelai. Permintaan

terhadap tempe selalu ada mengingat kandungan gizi yang terkandung di

dalamnya (sumber protein nabati) dan harga yang relatif terjangkau. Industri

tempe yang pada umumnya berupa usaha skala kecil (home insustry) mampu

menciptakan lapangan pekerjaan karena industri ini merupakan industri yang

padat karya. Hal ini merupakan salah satu bentuk kontribusi industri tempe bagi

perekonomian. Oleh karena itu perlu diketahui seberapa besar nilai tambah yang

mampu dihasilkan akibat aktifitas pengolahan kedelai pada industri tempe terkait

dengan biaya yang telah dikeluarkan bagi pengadaan bahan baku industri tersebut.

Page 55: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Pada umumnya industri tempe menggunakan kedelai impor dengan

komposisi 65-35 persen. Hal ini tentu berpengaruh pada besarnya biaya yang

harus dikeluarkan untuk melakukan impor kedelai. Oleh karena itu perlu dianalisis

keunggulan kompetitif dan komparatif dari industri makan olahan berbahan baku

kedelai, dalam hal ini industri industri tempe.

Ketersediaan dan harga bahan baku kedelai yang didatangkan secara impor,

sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang diterapkan pemerintah. Ketika pemerintah

memberlakukan kebijakan pada komoditi kedelai, maka akan sangat

mempengaruhi kegiatan produksi industri industri tempe. Oleh karena itu perlu

dianalisis dampak kebijakan pemerintah pada industri tempe.

Alat analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian pertama

adalah analisis nilai tambah. Analisis ini diperlukan untuk mengetahui nilai

tambah yang mampu diciptakan indutri tempe. Sedangkan untuk menjawab tujuan

penelitian yang kedua digunakan Policy Analysis Matrix (PAM). Alat analisis ini

dipilih karena melalui analisis ini dapat diketahui keunggulan kompetitif dan

komparatif serta dampak kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan industri

tersebut. PAM bersifat statis dan tidak memungkinkan untuk melihat pengaruh

perubahan yang terjadi pada fakor-faktor yang penting dalam industri. Oleh

karena itu, sebagai langkah lanjutan diperlukan analisis sensitivitas untuk

mengetahui tingkat kepekaan industri terkait dengan perubahan-perubahan yang

terjadi baik pada input maupun output.

Page 56: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Keterangan : : di luar batasan penelitian

Gambar 6. Bagan kerangka pemikiran operasional

35-40 persen domestik 60-65 persen impor

Industri Makanan Olahan berbahan baku kedelai

Kebutuhan Kedelai Indonesia

Industri Tempe

Analisis finansial dan ekonomi

Keunggulan Kompetitif ~ Keuntungan Privat ~ PCR

Analisis Nilai Tambah dengan Metode Hayami

Dampak kebijakan pemerintah: 1. Kebijakan Input : IT, NPCI, dan TF. 2. Kebijakan Output : OT dan NPCO. 3. Kebijakan Input-output : NT, EPC, PC, SRP

Analisis nilai tambah yang mampu diciptakan

PAM

Keunggulan Komparatif ~ Keuntungan Sosial ~ DRC

Analisis Sensitivitas : Kenaikan harga kedelai 60 persen Kenaikan harga output 46 persen Sensitivitas gabungan

Industri Pakan Ternak Konsumsi RT

Page 57: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

IV METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di daerah industri tempe di Kabupaten Bogor.

Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret sampai April 2008. Kecamatan

Citeureup, khususnya Desa Citeureup dipilih untuk mewakili industri tempe

Kabupaten Bogor karena daerah tersebut merupakan sentra produksi tempe

terbesar di Kabupaten Bogor.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan pengisian kuisioner oleh

pengrajin tempe yang berada di daerah penelitian. Data sekunder yang digunakan

berupa literatur yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Dinas Perindustrian,

Perpustakaan LSI, Perpustakaan Fakultas Pertanian, serta website dan situs

terkait. Data yang diperlukan diantaranya data jumlah industri, kapasitas produksi,

struktur biaya produksi dan pendapatan pada industri tempe, serta data penting

lainnya.

4.3 Metode Pengumpulan Data

Sampel yang dipilih untuk menganalisis indusri tempe dalam penelitian ini

yaitu para pengrajin tempe yang berproduksi di daerah penelitian. Desa Citeureup

dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan desa tersebut merupakan

sentra pengrajin tempe di Kabupaten Bogor. Pengambilan sampel dilakukan

dengan menggunakan metode purposive yaitu metode pengambilan sampel secara

sengaja dengan jumlah responden sebanyak 20 pengrajin tempe. Jumlah tersebut

dipilih dengan pertimbangan bahwa data yang diperlukan lebih mengarah pada

Page 58: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

struktur biaya produksi pada industri tempe yang umumnya relatif sama

(homogen) antar pengrajin sehingga banyaknya responden tidak begitu

berpengaruh terhadap analisis data.

4.4 Metode Analisis Data

Tujuan penelitian menghitung besaran nilai tambah yang mampu diciptakan

industi tempe di Kabupaten Bogor dijawab dengan menggunakan analisis nilai

tambah Meode Hayami. Pengukuran nilai tambah ini bertujuan untuk mengetahui

besaran nilai tambah yang mampu diciptakan sebagai akibat proses pengolahan

kedelai menjadi tempe. Perhitungan nilai tambah ini didasarkan pada satu satuan

bahan baku utama yaitu satu kilogram kedelai.

Penelitian ini menggunakan alat analisis Policy Analysis Matrix dan analisis

sensitivitas untuk menjawab tujuan penelitian kedua dan ketiga. Melalui

pendekatan ini akan dilihat bagaimana keunggulan kompetitif dan komparatif

yang dimiliki industri tempe di Kabupaten Bogor sekaligus dampak kebijakan

yang diterapkan pemerintah terkait dengan kegiatan produksi pada industri

tersebut. PAM bersifat statis sehingga untuk melihat seberapa besar pengaruh dan

tingkat kepekaan masing-masing industri diperlukan analisis sensitivitas sebagai

langkah lanjutan.

4.4.1 Analisis Nilai Tambah

Seperti telah disebutkan di atas, definisi nilai tambah adalah pertambahan

nilai suatu komoditi karena adanya input fungsional yang berupa form utility,

place utility, time utility. Telah disebutkan pula bahwa variabel yang terkait dalam

analisis nilai tambah yaitu faktor konversi, koefisien tenaga kerja, nilai produk,

dan nilai input lain. Pada penelitian ini, faktor konversi menunjuk pada banyaknya

Page 59: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

tempe yang dapat dihasilkan dari satu kilogram kedelai. Koefisien tenaga kerja

sebagai ukuran jam kerja yang diperlukan untuk mengolah satu kilogram kedelai.

Nilai produk dan nilai input lain diinterpretasikan secara berurutan sebagai nilai

tempe per kilogram kedelai yang digunakan dan nilai input lain selain kedelai dan

tenaga kerja yang langsung digunakan bagi kegiatan produksi. Berikut disajikan

tabel kerangka analisis nilai tambah.

Tabel 8. Kerangka Analisis Nilai Tambah

No Variabel Nilai

Output, Input dan Harga

1 Output (kg/tahun) a

2 Bahan baku (kg/tahun) b

3 Tenaga kerja (HOK/tahun) c

4 Faktor konversi (1/2) d = a/b

5 Koefisien tenaga kerja (3/2) e = c/b

6 Harga output (Rp/kg) f

7 Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/HOK) g

Pendapatan dan keuntungan (Rp/kg bahan baku)

8 Harga bahan baku h

9 Sumbangan input lain i 10 Nilai output (4 x 6) j = d x f

11a Nilai tambah (10 – 9 – 8) k = j – h – i

b Rasio nilai tambah ((11a/10) x 100%) l % = (k/j) x 100%

12a Imbalan tenaga kerja (5 x 7) m = e x g

b Bagian tenaga kerja ((12a/11a) x 100%) n % = (m/k) x 100%

13a Keuntungan (11a – 12a) o = k – m

b Tingkat Keuntungan ((13a/11a) x 100%) p % = (o/k) x 100% Balas Jasa Faktor Produksi

14 Marjin (10 – 8) q = j - h

a Pendapatan tenaga kerja r % = (m/q) x 100%

b Sumbangan input lain s % = (i/q) x 100%

c Keuntungan perusahaan t % = (o/q) x 100%

Sumber : Hayami, et.al., dalam Dermawan, 1999

4.4.2 Policy Analysis Matrix

Policy Analysis Matrix merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk

melihat keunggulan kompetitif dan komparatif serta pengaruh intervensi

pemerintah pada suatu komoditas. Kelebihan dari analisis ini yaitu perhitungan

Page 60: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

dapat dilakukan secara keseluruhan, sistematis, output beragam serta dapat

digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai daerah, tipe dan teknologi

yang digunakan. Kelemahan dari analisis ini yaitu kurang membahas masing-

masing analisis secara mendalam serta tidak memungkinkan untuk melihat

pengaruh perubahan yang terjadi pada fakor-faktor yang penting dalam aktifitas

produksi.

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam analisis PAM yaitu:

1. Menentukan input dan output

Input merupakan faktor baik berupa barang ataupun jasa yang diperlukan

untuk memproduksi suatu komoditi sedangkan output dapat didefinisikan sebagai

barang dan jasa yang dihasilkan dari suatu aktifitas produksi. Input yang

digunakan dalam kegiatan produksi pada industri tempe yaitu kedelai sebagai

bahan baku utama, ragi, pewarna, bahan pengemas, peralatan, tenaga kerja, bahan

bakar. Output yang dihasilkan yaitu tempe.

2. Mengalokasikan komponen biaya domesik dan asing

Menurut Monke and Pearson (1989), terdapat dua pendekatan yang dapat

digunakan untuk mengalokasikan komponen biaya domesik dan asing yaitu

pendekatan langsung dan pendekatan total. Pendekaan langsung mengasumsikan

bahwa seluruh biaya input tradable, baik impor maupun domestik dinilai sebagai

komponen biaya asing. Pendekatan ini dapat digunakan jika tambahan permintaan

input tradable tersebut dapat dipenuhi melalui perdagangan internasional.

Di sisi lain, pendekatan total mengasumsikan bahwa setiap biaya input

tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing dan penambahan

input tradable dapat dipenuhi dari produksi domestik jika input tersebut memiliki

Page 61: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

kemungkinan untuk diproduksi di dalam negeri Monke and Pearson (1989).

Penelitian ini menggunakan pendekatan total dalam analisisnya.

3. Alokasi Biaya Tataniaga

Biaya tataniaga merupakan biaya yang diperlukan untuk menambah nilai

suatu barang yaitu kegunaan tempat, bentuk, waktu termasuk di dalamnya

penanganan dan pengangkutan. Dalam penelitian ini, biaya tataniaga ditentukan

dengan cara menghitung biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut output hasil

produksi dari produsen hingga ke konsumen. Biaya tataniaga dalam penelitian ini

yaitu sebesar Rp 150,00 per kilogram tempe.

4. Menentukan Harga Bayangan Input dan Output

Harga bayangan merupakan harga yang benar-benar terjadi pada kondisi

keseimbangan dalam kondisi pasar persaingan sempurna. Dalam penelitian ini

akan ditentukan harga bayangan baik pada ouput masing-masing industri serta

input penting yang terkait di dalamnya. Harga bayangan yang digunakan adalah

harga perbatasan (border prices) yaitu tingkat harga internasional yang berlaku di

perbatasan negara yang bersangkutan terhadap luar negeri (Kadariah, 2001).

Output yang diekspor atau memiliki potensi untuk diekspor menggunakan

harga fob (free on board) dalam perhitungan harga bayangannya sedangkan

output yang diimpor menggunakan harga cif (cost insurance freight). Input

dibedakan menjadi input tradable dan non tradable. Input tradable pun dinilai

berdasarkan border prices. Rumus perhitungan harga bayangan yang akan

digunakan sebagai berikut:

Harga bayangan komponen ekspor = ( fob x SER ) – biaya tataniaga

Harga bayangan komponen impor = (cif x SER ) + biaya tataniaga

Page 62: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

a. harga bayangan output

Ouput dalam penelitian ini yaitu tempe. Output tersebut termasuk ke dalam

komponen ekspor sehingga perhitungan harga bayangannya menggunakan harga

perbatasan fob yang dikonversikan dengan nilai tukar rupiah bayangan dikurangi

biaya tataniaga. Harga perbatasan fob pada penelitian ini yaitu US$ 1,489 per

kilogram tempe sehingga dengan perhitungan rumus diperoleh harga bayangan

tempe sebesar Rp 12.105,14 per kilogram tempe.

b. harga bayangan input kedelai

Sebagai bahan baku utama, kedelai merupakan komoditi yang dikategorikan

sebagai komponen impor. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan

pendekatan harga bayangan dengan harga perbatasan cif dikali nilai tukar rupiah

bayangan atau SER ditambah biaya tataniaga. Harga cif pada penelitian ini yaitu

US$ 0,515 per kilogram kedelai. Melalui hasil perhitungan diperoleh harga

bayangan untuk komoditi kedelai sebesar Rp 6.500,00 per kilogram kedelai.

c. harga bayangan input ragi

Ragi merupakan bahan baku lain yang juga berperan penting dalam kegiatan

produksi tempe. Ragi ini digolongkan sebagai input non tradable sehingga harga

bayangannya sama dengan harga aktual.

d. harga bayangan peralatan

Kegiatan produksi pada industri tempe tidak terlepas dari input peralatan.

Pemenuhan kebutuhan peralatan pada industri ini ditentukan oleh pasar domestik

dan termasuk kategori input non tradable sehingga harga bayangannya sama

dengan harga aktual.

Page 63: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

e. harga bayangan kemasan

Industri tempe menggunakan daun dan plastik sebagai kemasan produk.

Bahan kemasan ini termasuk input non tradable sehingga harga bayangannya

sama dengan harga aktual.

f. harga bayangan bahan bakar

Bahan bakar yang digunakan dalam industri tempe pada umumnya yaitu kayu

bakar dan serbuk kayu sisa furniture. Kedua bahan bakar yang digunakan

termasuk ke dalam komponen input non tradable sehingga harga bayangannya

sama dengan harga aktual.

g. harga bayangan tenaga kerja

Pada umumnya tenaga kerja yang digunakan dalam indusri tempe merupakan

tenaga kerja yang tidak terdidik. Berdasarkan hasil penelusuran studi-studi

terdahulu, rata-rata harga bayangan untuk tenaga kerja tidak terdidik yang

digunakan yaitu 70-80 persen dari tingkat upah yang berlaku di masing-masing

lokasi penelitian. Dalam penelitian ini diasumsikan harga bayangan tenaga kerja

yaitu sebesar 75.29 persen dari tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian.

h. harga bayangan tempat

Tempat merupakan salah satu faktor lain yang juga berperan penting dalam

aktifitas produksi pada industri tempe. Dalam penelitian ini, harga bayangan

tempat sama dengan harga aktual karena termasuk komponen non tradable.

i. harga bayangan nilai tukar

Penentuan harga bayangan nilai tukar didasarkan pada formula yang telah

dirumuskan Squire dan Van Der Tak dalam Gittinger (1986) sebagai berikut:

Page 64: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

SER = SCF

OER

dengan:

SER = Shadow Exchange Rate (nilai tukar bayangan)

OER = Official Exchange Rate (nilai tukar resmi)

SCF = Standar Exchange Rate (faktor konversi standar)

Nilai faktor konversi standar dapat ditentukan sebagai barikut:

SCF = )()( TXtXtTMtMt

XtMt

−++

+

dengan:

M = Nilai impor pada tahun t

X = Nilai ekspor pada tahun t

TMt = Pajak impor pada tahun t

TXt = Pajak ekspor pada tahun t

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia

pada tahun 2007 adalah Rp580.629,59 milyar sedangkan nilai impornya Rp

364.134,35 milyar. Pada tahun yang sama, penerimaan pemerintah dari pajak

ekspor dan impor secara berturut-turut adalah Rp 453 milyar dan Rp 14.417

milyar. Nilai tukar resmi pada bulan Juli 2007 yaitu Rp 9.141,00 per dolar.

Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai faktor konversi standar (SCF) yaitu

0,9845 dan nilai SER yaitu Rp 9.284,00.

5. Penyusunan Matriks PAM

Matriks PAM terdiri dari tiga baris. Baris pertama merupakan perhitungan

berdasarkan harga privat, baris kedua sebagai perhitungan berdasarkan harga

sosial, serta baris terakhir sebagai selisih antara nilai privat dengan nilai sosial. Di

Page 65: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

samping itu, matriks PAM juga terdiri atas empat kolom yaitu kolom pertama

sebagai kolom penerimaan, kolom kedua merupakan kolom biaya input tradable,

kolom ketiga merupakan kolom biaya input non tradable dan kolom terakhir

merupakan kolom keuntungan.

4.4.3 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas digunakan untuk melihat tingkat kepekaan suatu aktifitas

ekonomi apabila terjadi perubahan-perubahan baik pada input yang digunakan

maupun pada ouput yang dihasilkan serta melihat pula pengaruh yang ditimbulkan

sebagai akibat perubahan yang terjadi.

Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis sensitivitas sebagai berikut:

1. Bila terjadi kenaikan harga kedelai sebesar 60 persen. Hal ini didasarkan

pada pertimbangan di daerah penelitian pernah terjadi kenaikan harga kedelai

dari Rp 3.200 per kilogram menjadi Rp 8000 per kilogram pada Januari 2008.

2. Bila terjadi kenaikana harga input kedelai 60 persen diimbangi kenaikan

harga output 46 persen.

Page 66: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

V GAMBARAN UMUM

5.1 Kondisi Umum Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung

dengan Ibukota Republik Indonesia. Secara geografis, kabupaten ini terletak

antara 6,19°-6,47° Lintang Selatan dan 106°1’-107°103’ Bujur Timur dengan luas

wilayah sekitar 2.301,95 Km2. Batas wilayah Kabupaten Bogor sebagai berikut:

a. sebelah utara : Kota depok

b. sebelah barat : Kabupaten Lebak dan Kabupaten Tangerang

c. sebelah timur : Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Bekasi

d. sebelah selatan : Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur

Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2006 yaitu 4.215.436 jiwa.

Jumlah tersebut terdiri atas penduduk laki-laki sebanyak 2.163.853 jiwa dan

penduduk perempuan 2.051.583 jiwa dengan rasio jenis kelamin 1,05. Dari segi

struktur penduduk, Kabupaten Bogor memiliki struktur penduduk muda sehingga

akan mengakibatkan semakin besarnya jumlah angkatan kerja (Kabupaten Bogor

dalam Angka, 2007)

Struktur perekonomian Kabupaten Bogor pada tahun 2006 didominasi oleh

sektor industri pengolahan 64,30 persen kemudian perdagangan, hotel dan

restoran 15,48 persen, dan sektor pertanian 4,69 persen. Kelompok sektor yang

paling banyak berkontribusi terhadap perekonomian Kabupaten Bogor adalah

kelompok sektor sekunder yang terdiri atas sektor industri, listrik, gas, air, dan

sektor bangunan. Hal ini dapat dilihat pada tabel kontribusi kelompok sektor

dalam perekonomian Kabupaten Bogor di bawah ini.

Page 67: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Tabel 9. Kontribusi Kelompok Sektor dalam Perekonomian Kabupaten

Bogor tahun 2003-2006

Kode Lapangan usaha Tahun

Sektor 2003 2004 2005 2006

I PRIMER 7,51 7,01 6,13 5,83

1 Pertanian 5,98 5,65 5,03 4,69

2 Pertambangan 1,53 1,36 1,1 1,14

II SEKUNDER 70,03 70,5 70,56 70,79

3 Industri 63,35 63,73 64,13 64,30

4 Listrik, gas, dan air 3,58 3,63 3,28 3,27

5 Bangunan 3,1 3,14 3,15 3,23

III TERSIER 22,45 22,49 23,31 23,38

6 Perdagangan 14,15 14,21 15,2 15,48

7 Angkutan 2,56 2,58 2,85 2,9

8 Keuangan 1,65 1,64 1,59 1,48

9 Jasa 4,09 4,06 3,66 3,52

PDRB 100 100 100 100

Sumber: BPS Kabupaten Bogor, 2006

5.2 Kondisi Umum Desa Citeureup

Desa Citeureup terletak di wilayah Pembangunan Bogor Timur dan

merupakan salah satu desa di Kecamatan Citeureup. Luas wilayah desa ini sekitar

311 ha. Jarak desa dari ibukota Kecamatan Citeureup yaitu 0,5 km; jarak dari

ibukota Pemerintahan Kabupaten Bogor yaitu 11 km; jarak dari ibukota Provinsi

Jawa Barat yaitu 150 km; dan jarak dari ibukota Negara Republik Indonesia yaitu

50 km.

Bentuk wilayah Desa Citeureup berupa daratan rendah, berbukit, bergunung-

gunung dengan kemiringan 99,80-125°. Desa ini berada pada ketinggian 99,80-

125 di atas permukaan laut dengan curah hujan sekitar 3.000-3.500 mm/tahun.

Batas wilayah Desa Citeureup sebagai berikut:

a. sebelah utara : Desa Gunung Putri, Kecamatan Gunung Putri dan Desa

Bantar Jati, Kecamatan Klapanunggal;

b. sebelah selatan : Desa Karang Asem Timur dan Desa Tarikolot,

Kecamatan Citeureup;

Page 68: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

c. sebelah barat : Desa Kelurahan Kar-bar dan Puspanegara, Kecamatan

Citeureup;

d. sebelah timur : Desa Gunung Sari, Kecamatan Citeureup dan Desa

Lulut, Kecamatan Klapanunggal.

Jumlah penduduk Desa Citeureup pada tahun 2006 adalah 17.014 orang

dengan kepala keluarga sebanyak 4.351 orang. Penduduk desa ini terdiri dari

penduduk produktif 9.469 orang, penduduk bekerja 7.156 orang, dan

pengangguran 2.339 orang.

5.3 Kondisi Umum Industri Tempe di Desa Citeureup

5.3.1 Karakteristik Responden

Pengrajin tempe yang terdapat di Desa Citeureup merupakan pendatang dari

Jawa Tengah. Pengrajin yang diambil sebagai responden sebanyak 20 orang,

semuanya berjenis kelamin laki-laki. Responden terbanyak termasuk dalam

kelompok umur 30-39 tahun sebanyak 12 orang atau sekitar 60 persen. Sisanya

termasuk dalam kelompok umur 40-49 tahun sebanyak 6 orang atau 30 persen,

50-59 tahun dan ≥ 60 tahun masing-masing sebanyak 1 orang atau sekitar 5

persen. Berikut disajikan tabel distribusi responden berdasarkan kelompok umur.

Tabel 10. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur

Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

30-39 12 60

40-49 6 30

50-59 1 5

≥ 60 1 5

TOTAL 20 100

Kegiatan produksi tempe merupakan mata pencaharian utama bagi para

responden. Faktor utama yang mempengaruhi responden memilih bidang usaha

ini yaitu tidak tersedianya lapangan pekerjaan lain. Hal ini dipengaruhi pula oleh

Page 69: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

latar belakang pendidikan responden yang mayoritas hanya sampai di tingkat

Sekolah Dasar (SD) dan tingkat pendidikan tertinggi yaitu Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK). Responden yang mengenyam pendidikan sampai tingkat SD

sebanyak 12 orang, SLTP sebanyak 7 orang dan SMK hanya 1 orang. Berikut

disajikan tabel distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan.

Tabel 11. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)

SD 12 60

SLTP 7 35

SMK 1 5

TOTAL 20 100 Keterampilan dalam membuat tempe yang dimiliki pengrajin pada umumnya

merupakan warisan turun temurun. Pengalaman berusaha para responden yaitu

minimal 7 tahun dan maksimal 25 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa, responden

sangat berpengalaman di bidang usahanya. Berikut disajikan tabel distribusi

responden berdasarkan lamanya usaha.

Tabel 12. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Usaha Lama usaha (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

≤ 10 6 30

11-20 11 55

≥ 21 3 15

TOTAL 20 100

Skala usaha pada industri tempe di daerah penelitian bervariasi. Paling

sedikit jumlah kedelai yang diolah menjadi tempe oleh responden yaitu sebanyak

30 kilogram per hari sedangkan yang paling banyak yaitu 250 kilogram per hari.

Responden dengan skala usaha < 100 kilogram kedelai per hari yaitu sebanyak 11

orang (55 persen), skala usaha 100-199 kilogram kedelai per hari sebanyak 5

orang (25 persen), dan skala usaha ≥ 200 kilogram kedelai per hari sebanyak 4

orang (20 persen).

Page 70: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Tabel 13. Distribusi Responden Berdasarkan Skala Usaha

Skala usaha (kg kedelai per hari) Jumlah (orang) Persentase (%)

< 100 11 55

100-199 5 25

≥ 200 4 20

TOTAL 20 100

Semua pengrajin tempe yang diambil sebagai responden memiliki status

sudah menikah dengan jumlah tanggungan keluarga beragam. Responden yang

memiliki jumlah tanggungan keluarga 4-6 orang sebesar 70 persen. Sedangkan

sebesar 25 persen memiliki tanggungan keluarga < 3 orang dan sisanya sebesar 5

persen memiliki jumlah tanggungan keluarga ≥ 7 orang.

Tabel 14. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga Tanggungan keluarga Jumlah (orang) Persentase (%)

≤ 3 orang 5 25

4-6 orang 14 70

≥ 7 orang 1 5

TOTAL 20 100

Tenaga kerja yang digunakan dalam industri tempe di daerah penelitian

berasal dari dalam keluarga maupun luar keluarga. Responden dengan skala usaha

relatif kecil atau ≤ 100 kilogram kedelai per hari pada umumnya hanya

menggunakan tenaga kerja dalam keluarga yang terdiri atas tenaga suami dan istri.

Alasan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga yaitu untuk menekan biaya

produksi. Skala usaha yang relatif besar cenderung membutuhkan lebih banyak

tenaga kerja sehingga di samping tenaga kerja dalam keluarga digunakan pula

tenaga kerja dari luar keluarga. Rata-rata upah yang harus dibayarkan untuk satu

orang pekerja adalah Rp 35.000,00 – Rp 50.000,00 per hari.

Jumlah tenaga kerja yang digunakan beragam mulai dari satu orang hingga

empat orang pada tiap industri. Sebanyak 14 orang atau 70 persen dari total

responden menggunakan 2 orang tenaga kerja yang keduanya merupakan tenaga

Page 71: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

kerja dalam keluarga. Sebesar 10 persen responden hanya menggunakan satu

orang tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga dan 20 persen sisanya

menggunakan 4 orang tenaga kerja yang terdiri atas satu orang tenaga kerja dalam

keluarga dan tiga orang tenaga kerja luar keluarga. Berikut disajikan tabel

distribusi responden berdasarkan jumlah tenaga kerja.

Tabel 15. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja

Tenaga kerja Jumlah (orang) Persentase (%)

1 orang 2 10

2 orang 14 70

3 orang 0 0 4 orang 4 20

TOTAL 20 100

5.3.2 Keragaan Bahan Baku

Pengrajin tempe di daerah penelitian menggunakan kedelai impor sebagai

bahan baku utama. Seluruh responden tidak ada yang menggunakan kedelai lokal

dalam kegiatan produksi mereka. Terdapat beberapa alasan responden memilih

kedelai impor, diantaranya mutu kedelai tersebut lebih baik dan ukuran yang lebih

besar, harga kedelai impor lebih murah, serta kedelai impor memang lebih mudah

ditemui di pasaran dibandingkan kedelai lokal. Harga kedelai impor rata-rata yaitu

Rp 6.900,00 – Rp 7.200,00 per kilogram sedangkan kedelai lokal mencapai Rp

8.000,00 – Rp 9.000,00 per kilogram. Penggunaan kedelai impor sebagai bahan

baku tempe akan menghasilkan tempe dengan kualitas dan tekstur yang lebih

baik.

Kedelai impor yang digunakan para pengrajin tempe di daerah penelitian

pada umumnya merupakan kedelai dari Amerika Serikat, China, dan Argentina.

Pada awalnya pemenuhan kebutuhan kedelai tersebut merupakan tanggung jawab

KOPTI Kabupaten Bogor. Akan tetapi sejak tahun 2007, KOPTI tersebut sudah

Page 72: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

tidak aktif lagi sehingga peranan pemasok kedelai diambil alih oleh pedagang

besar di sekitar daerah penelitian. Pengrajin tempe dengan skala usaha di bawah

100 kilogram kedelai per hari pada umumnya membeli kedelai dari gudang atau

pedagang besar tersebut sedangkan pengrajin dengan skala usaha relatif besar

memilih untuk membeli langsung dari pedagang besar dari Jakarta.

Sebagian responden melakukan pembelian kedelai disesuaikan dengan

kapasitas produksi per hari. Namun terdapat juga responden yang membeli kedelai

selain untuk kebutuhan satu kali produksi tapi juga untuk persediaan produksi

selanjutnya. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan modal yang

dimiliki masing-masing responden.

Bahan baku lain yang juga penting dalam kegiatan produksi yaitu ragi. Ragi

ini dapat diperoleh dari pasar -pasar terdekat. Meskipun diperlukan dalam jumlah

yang tidak terlalu banyak, peragian merupakan tahap yang sangat penting dalam

pembuatan tempe. Banyaknya ragi yang digunakan sangat dipengaruhi oleh faktor

cuaca. Apabila hari panas maka ragi yang dipergunakan semakin sedikit

sedangkan apabila hari hujan berlaku sebaliknya. Rata-rata untuk 100 kilogram

kedelai hanya diperlukan ragi sebanyak 2-3 ons saja. Kisaran harga ragi yaitu Rp

15.000,00 per kilogram.

Selain kedua bahan baku di atas, responden juga menggunakan bahan

pewarna. Pewarna yang digunakan tidaklah terlalu banyak. Untuk 100 kilogram

kedelai hanya dibutuhkan sekitar 4-5 bungkus pewarna. Penggunaan bahan ini

dimaksudkan agar tempe yang dihasilkan berwarna kekuning-kuningan sehingga

terkesan lebih cerah dan menarik. Pewarna ini dapat diperoleh di pasar tedekat

dengan harga Rp 500,00 per bungkus.

Page 73: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Pada awalnya, para pengrajin tempe menggunakan minyak tanah sebagai

bahan bakar. Seiring dengan semakin meningkatnya harga minyak tanah,

pengrajin tempe beralih menggunakan kayu bakar. Akan tetapi sejak awal tahun

2008, kayu bakar semakin sulit ditemukan dan harganya pun meningkat. Dalam

rangka menekan biaya produksi, beberapa pengrajin mulai mengganti bahan

bakarnya menjadi serbuk kayu sisa furniture. Rata-rata kayu bakar yang

diperlukan untuk merebus 100 kilogram kedelai sebanyak satu karung dengan

harga Rp 7.000,00 per karung. Apabila menggunakan serbuk kayu sisa furniture

hanya dibutuhkan 0,75 karung dengan harga rata-rata Rp 5.000,00 per karung.

Responden yang menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya yaitu sebesar 80

persen sedangkan sisanya yaitu sebesar 20 persen menggunakan serbuk kayu sisa

furniture.

Sebagai bahan pengemas, responden menggunakan plasik dan daun.

Kemasan plastik lebih banyak digunakan dengan alasan harga plastik lebih murah

dibandingkan harga daun tanpa mempengaruhi kualitas tempe yang dihasilkan.

Harga daun yaitu Rp 2.000,00 - Rp 2.200,00 per ikat sedangkan harga plastik

yaitu Rp 20.000,00 per kilogram. Di samping faktor harga, masalah ketersediaan

daun yang terbatas juga mempengaruhi dominasi plastik sebagai kemasan. Berikut

disajikan tabel struktur biaya produksi pada industri tempe dengan skala usaha

100 kilogram per hari.

Page 74: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Tabel 16. Biaya Produksi pada Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus

Kilogram Kedelai Per Hari

No Uraian Nilai (Rp)

1 Kedelai 701.500,00

2 Ragi 3.909,70

3 Daun 16.681,37

4 Plastik 22.284,31 5 Bahan bakar 5.647,05

6 Pewarna 2.230,39

7 Tenaga kerja 74.250,00

8 Penyusutan alat 54.188,65

9 Pajak 5.066,67

10 Sewa Tempat 6.666,67

TOTAL 894.358,14

5.3.3 Gambaran Kegiatan Produksi

Kegiatan produksi tempe di daerah penelitian dilakukan setiap hari. Aktivitas

produksi tidak pernah berhenti agar selalu tersedia tempe untuk dijual setiap

harinya. Responden hanya berhenti berproduksi pada saat Hari Raya Idul Fitri

karena sebagian besar responden memilih untuk pulang ke daerah asalnya di Jawa

Tengah.

Proses pembuatan tempe di daerah penelitian terdiri atas beberapa tahapan.

Hal yang pertama kali dilakukan adalah proses perebusan kedelai selama kurang

lebih dua jam. Perebusan ini bertujuan untuk melunakkan kedelai sehingga

mempermudah dalam proses fermentasi. Selanjutnya kedelai rebus tersebut

direndam 12 jam, selama perendaman telah berlangsung pengasaman.

Gambar 7. Proses perebusan kedelai

Page 75: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Keesokan harinya kedelai dicuci dan dibilas kemudian digiling agar terpisah

biji dengan kulit. Kemudian kedelai tersebut disaring agar benar-benar bersih dari

kulitnya. Setelah bersih kedelai diberi ragi. Terdapat dua metode dalam peragian.

Cara yang pertama yaitu ragi diberikan pada kedelai sambil direndam dalam air.

Cara yang kedua, ragi diberikan pada kedelai yang sudah ditiriskan airnya terlebih

dahulu. Perbedaan kedua metode tersebut tidak begitu berpengaruh terhadap

kualitas tempe, masing-masing cara tergantung pada kebiasaan pengrajin. Namun

pada umumnya responden lebih banyak yang menggunakan cara peragian kedua.

Gambar 8. Kedelai dicuci dan diberi ragi

Selanjutnya kedelai dibungkus dan dibentuk kemudian diperam sampai

matang. Proses pemeraman ini biasanya memerlukan waktu kurang lebih 36 jam.

Apabila sudah matang, tempe sudah dapat dipasarkan ke konsumen. Pembuatan

tempe dari awal hingga dapat dipasarkan memerlukan waktu sekitar 3 hari.

Gambar 9. Kedelai dibungkus dengan daun dan plastik

Page 76: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Kedelai yang telah melalui serangkaian proses di atas mengalami

penambahan bobot. Rata-rata seratus kilogram kedelai dapat menghasilkan 160 -

200 kilogram tempe. Perbedaan hasil ini tergantung pada keterampilan yang

dimiliki masing-masing pengrajin selama proses pembuatan.

Gambar 10. Tempe diperam dan siap dipasarkan

Pembuatan tempe di daerah penelitian masih tergolong sederhana. Hal ini

dapat dilihat dari peralatan yang juga relatif sederhana. Peralatan yang digunakan

selama proses pembuatan tempe diantaranya drum, penggilingan, tungku,

saringan, rak (kerai) dari bambu untuk menyimpan tempe, ember, pisau.

Masing-masing responden memiliki minimal 3 buah drum yang digunakan

untuk mencuci, merebus dan merendam kedelai. Skala usaha yang relatif besar

tentu membutuhkan jumlah drum yang lebih banyak. Reponden yang terbesar

skala usahanya memiliki 11 buah drum dalam aktivitas produksinya. Harga satu

buah drum berkisar antara Rp 80.000,00 – Rp 100.000,00. Drum yang digunakan

untuk mencuci dan merendam kedelai relatif lebih tahan lama dibanding drum

yang digunakan untuk merebus. Drum cuci dan rendam dapat bertahan selama 5

tahun sedangkan daya tahan drum rebus hanya sekitar 1 tahun.

Penggilingan di sini berfungsi untuk memecah kedelai dan memisahkan biji

dari kulit. Setiap pengrajin memiliki paling tidak satu unit penggilingan. Terdapat

Page 77: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

dua jenis penggilingan yaitu penggilingan mesin dan penggilingan manual.

Penggilingan mesin dapat diperoleh dengan membeli seharga Rp 1.500.000,00 per

unit sedangkan penggilingan manual seharga Rp 400.000,00 per unit. Pada

umumnya pengrajin dengan skala usaha relatif besar menggunakan penggilingan

mesin dengan pertimbangan daya kerja lebih lebih cepat sehingga dapat

menghemat waktu dan tenaga kerja. Sedangkan pengrajin dengan skala usaha

relatif kecil memilih penggilingan manual dengan pertimbangan harga yang lebih

murah. Daya tahan penggilingan tersebut rata-rata mencapai 2-3 tahun.

Tungku merupakan alat yang digunakan untuk proses perebusan kedelai.

Pengrajin umumnya hanya memiliki satu unit tungku. Tungku tersebut merupakan

tungku semi permanen yang umur pakainya hanya mencapai satu tahun. Harga

satu unit tungku yaitu sekitar Rp 50.000,00-Rp 150.000,00.

Untuk memisahkan dan membersihkan kedelai dari biji sebelum peragian

dilakukan penyaringan terlebih dahulu. Saringan ini terbuat dari bambu dan sangat

mudah rusak karena penggunaannya yang selalu berada pada keadaan basah dan

lembab. Daya tahan saringan bambu tersebut maksimal dua minggu sehingga

pengrajin minimal mengganti saringan sebanyak dua kali sebulan. Harga saringan

bambu relatif murah yaitu Rp 5.000,00 per buah.

Alat yang digunakan untuk proses penyimpanan pada saat tempe diperam

yaitu rak (kerai). Alat ini terbuat dari anyaman bambu dan merupakan peralatan

yang memiliki daya tahan paling lama dibanding peralatan lainnya yaitu bisa

mencapai 8 tahun. Banyaknya rak (kerai) yang dimiliki tergantung besarnya skala

usaha masing-masing pengrajin. Kepemilikian rak (kerai) dalam satu industri

Page 78: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

rumah tangga paling sedikit yaitu 25 buah sedangkan yang paling banyak

mencapai 400 buah. Rata-rata harga rak (kerai) adalah Rp 20.000,00 per buah.

Peralatan lain yang juga diperlukan diantaranya ember dan pisau. Masing-

masing pengrajin umumnya minimal memiliki satu buah pisau dan dua buah

ember. Daya tahan kedua alat ini relatif lama yaitu bisa mencapai tiga tahun.

Harga ember rata-rata yaitu Rp 15.000,00 per buah sedangkan harga pisau sekitar

Rp 7.500,00 per buah.

5.3.4 Pemasaran

Beberapa cara pemasaran tempe di daerah penelitian yaitu dengan dijual

berkeliling ke desa sekitar dan dijual ke pasar-pasar terdekat. Responden yang

berjualan keliling umumnya sudah memiliki pelanggan tetap di desa tujuan.

Pelanggan mereka adalah warung kelontong dan pedagang sayur.

Cara pemasaran lainnya yaitu di pasar-pasar terdekat, seperti pasar Citeureup,

Cileungsi, Cibinong, Jonggol, dan Wanaherang. Pengrajin yang menjual

produknya ke pasar terdekat umumnya menghadapi pembeli yang terdiri atas

pedagang, rumah makan dan konsumen rumah tangga. Di samping itu, apabila ada

permintaan dari katering rumah tangga maka responden akan berproduksi

melebihi kapasitas biasa per hari untuk memenuhi permintaan tersebut.

Perbedaan harga antara produk yang dijual berkeliling dengan produk yang

dijual di pasar yaitu rata-rata Rp 300,00 – Rp 500,00 per bungkus. Tempe tersebut

dijual dalam berbagai ukuran diantaranya ukuran 12 x 25, ukuran 13 x 25, ukuran

14 x 25, ukuran 14 x 35, ukuran 15 x 30, ukuran 20 x 30 dan ukuran 25 x 35.

Berikut disajikan tabel harga tempe menurut ukuran dengan harga pasar.

Page 79: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Tabel 17. Harga Tempe Menurut Ukuran pada Harga Pasar

Ukuran tempe (cm) Harga per bungkus (Rp)

12 x 25 1.500,00

13 x 25 2.000,00

14 x 25 2.500,00

14 x 35 3.500,00

15 x 30 4.000,00

20 x 30 5.000,00

25 x 35 6.500,00

Page 80: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

VI PEMBAHASAN

6.1 Analisis Nilai Tambah pada Industri tempe di Desa Citeureup

Aktifitas pengolahan kedelai pada industri tempe merupakan salah satu

bentuk kegiatan yang mengakibatkan bertambahnya nilai komoditi kedelai.

Besaran nilai tambah tersebut dapat diketahui melalui analisis nilai tambah

Metode Hayami. Melalui analisis ini dapat diuraikan proses produksi tempe

menurut sumbangan masing-masing faktor produksi dan diketahui pula distribusi

nilai tambah terhadap tenaga kerja dan pengrajin.

Perhitungan analisis nilai tambah dilakukan pada periode produksi Maret

2008. Pada dasarnya, pengrajin tempe di daerah penelitian melakukan kegiatan

produksinya setiap hari sehingga strukur biaya yang digunakan merupakan

struktur biaya produksi rata-rata setiap hari dikali tiga puluh.

Struktur biaya produksi pada industri tempe terdiri atas biaya pengadaan

bahan baku utama, bahan baku lainnya, tenaga kerja, penyusutan peralatan, pajak,

dan sewa tempat. Bahan baku utama pada industri tempe yaitu kedelai sedangkan

bahan baku lain diantaranya ragi, daun, plastik, bahan bakar, dan pewarna.

Masing-masing komponen biaya memiliki persentase kontribusi terhadap total

biaya yang berbeda. Kedelai sebagai bahan baku utama memiliki persentase

kontribusi yang paling tinggi yaitu sebesar 78,44 persen. Selanjutnya pada urutan

kedua dengan kontribusi sebesar 8,30 persen ditempati oleh biaya tenaga kerja.

Biaya penyusutan alat dan bahan baku lainnya secara berurutan masing-masing

memberikan kontribusi sebesar 6,06 persen dan 5,67 persen. Selain keempat

komponen biaya di atas, terdapat dua komponen biaya lainnya yaitu pajak dan

Page 81: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

sewa tempat. Pajak memberikan kontribusi sebesar 0,78 persen sedangkan sewa

tempat sebesar 0,75 persen dari total biaya produksi.

Kedelai, 78.44%Bahan baku

lainnya, 5.67%

Tenaga kerja,

8.30%

Penyusutan alat,

6.06%

Kedelai

Bahan baku lainnya

Tenaga kerja

Penyusutan alat

Gambar 11. Persentase Empat Komponen biaya penting dalam industri tempe

Analisis nilai tambah yang dilakukan pada penelitian ini dimulai dari

pengadaan bahan baku kedelai sampai dengan produk tempe dapat dipasarkan.

Dasar perhitungan dalam analisis nilai tambah pada industri tempe menggunakan

per satuan kilogram kedelai sebagai bahan baku utama. Harga rata-rata bahan

baku kedelai di daerah penelitian yaitu Rp 7.015,00 per kilogram.

Tabel 19 memperlihatkan hasil perhitungan analisis nilai tambah pada

industri tempe di Desa Citeureup dengan menggunakan Metode Hayami. Rata-

rata setiap harinya pengrajin tempe di daerah tersebut memproduksi tempe

sebanyak 163,2 kilogram sehingga dalam satu bulan dapat dihasilkan tempe

sebanyak 4.896 kilogram. Output tersebut dipasarkan dengan harga rata-rata per

satuan Rp 6.500,00. Dari sisi bahan baku, jumlah kedelai yang digunakan yaitu

3.060 kilogram per bulan. Berdasarkan hasil pembagian besaran total output dan

input bahan baku utama didapatkan nilai faktor konversi sebesar 1,6. Nilai ini

menunjukkan bahwa setiap satu kilogram kedelai yang diolah akan menghasilkan

1,6 kilogram tempe.

Page 82: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Tabel 18. Hasil Analisis Nilai Tambah pada Industri Tempe di Desa

Citeureup Maret 2008

URAIAN NILAI

OUTPUT, INPUT, HARGA

1. Total output (kg/bulan) 4.896

2. Input bahan baku (kg/bulan) 3.060

3. Tenaga kerja (HOK/bulan) 61,71

4. Faktor konversi (1/2) 1,60

5. Koefisien tenaga kerja (3/2) 0,02

6. Harga output rata-rata (Rp/kg) 6.500

7. Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/HOK) 36.096,25

PENDAPATAN DAN KEUNTUNGAN

8. Harga bahan baku (Rp/kg) 7.015

9. Sumbangan input lain (Rp/kg kedelai) 1.186,08

10. Nilai output (4 x 6) 10.400

11. a. Nilai tambah (10 - 9 - 8) 2.198,91

b. Rasio nilai tambah (11a/10) x 100% 21,14

12. a. Pendapatan tenaga kerja (5 x 7) 727,94

b. Pangsa tenaga kerja (12a/11a) x 100% 33,10

13. a. Keuntungan (11a - 12a) 1.470,97 b. Tingkat keuntungan (13a/11a) x 100% 66,89

BALAS JASA FAKTOR PRODUKSI

14. Margin (10 - 8) 3.385

a. Pendapatan tenaga kerja (12a/14) x 100% 21,50

b. Sumbangan input lain (9/14) x 100% 35,03

c. Keuntungan (13a/14) x 100% 43,45

Proses produksi pada industri tempe tentu tidak terlepas dari komponen

tenaga kerja. Rata-rata industri tempe dengan skala usaha seratus kilogram kedelai

per hari menggunakan hanya dua orang tenaga kerja dimana keduanya berasal dari

dalam keluarga. Apabila digunakan tenaga kerja dari luar keluarga maka sistem

pengupahan yang berlaku adalah sistem harian sebesar Rp 41.250,00 per orang.

Tenaga kerja tersebut bekerja selama delapan jam per hari yang terdiri dari 1,143

HOK bagi tenaga kerja pria dan 0,914 HOK bagi tenaga kerja wanita dengan

asumsi 1HOK = 7 jam dan 1HOK pria = 0,8 HOK wanita. Atau dengan kata lain,

upah yang diterima pekerja adalah sebesar Rp 36.096,25 per HOK. Total

Page 83: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

pemakaian jasa tenaga kerja selama satu bulan periode produksi adalah 61,71

HOK.

Nilai koefisien tenaga kerja diperoleh dari hasil pembagian jumlah total Hari

Orang Kerja (HOK) selama satu bulan periode produksi dengan jumlah input

bahan baku yang diolah dalam satu bulan. Hasil perhitungan tersebut

menunjukkan nilai koefisien tenaga kerja pada industri tempe di daerah penelitian

adalah 0,02. Nilai ini dapat diinterpretasikan sebagai jumlah Hari Orang Kerja

(HOK) yang diperlukan untuk memproduksi satu kilogram kedelai hingga

menjadi tempe adalah 0,02 HOK (1HOK = 7 jam kerja).

Sumbangan input lain adalah biaya-biaya yang juga dikeluarkan industri

selain biaya bahan baku kedelai dan tenaga kerja. Sumbangan input lain pada

kegiatan pengolahan kedelai menjadi tempe terdiri dari biaya bahan baku lainnya

(ragi, daun, plastik, pewarna, dan bahan bakar), biaya penyusutan alat, pajak dan

sewa tempat. Nilai total sumbangan input lain pada industri tempe dengan skala

usaha seratus kilogram per hari yaitu Rp 118.608,10. Nilai tersebut kemudian

dibagi dengan jumlah input bahan baku utama yang digunakan sehingga diperoleh

sumbangan input lain per satuan kilogram kedelai sebesar Rp 1.186,08.

Nilai output diperoleh dari hasil perkalian rata-rata harga output per kilogram

dengan faktor konversi. Nilai output pada industri tempe disini yaitu sebesar Rp

10.400,00. Nilai output tersebut memberikan nilai tambah sebesar Rp 2.198,91

dengan rasio nilai tambah 21,14 persen. Nilai ini dapat diinterpretasikan bahwa

sebesar 21,14 persen merupakan nilai tambah dari pengolahan produk. Nilai

tambah disini merupakan nilai tambah kotor karena belum memperhitungkan

imbalan tenaga kerja.

Page 84: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Imbalan tenaga kerja yang merupakan perkalian dari koefisien tenaga kerja

dengan upah rata-rata tenaga kerja per HOK adalah sebesar Rp 727,94 dan pangsa

tenaga kerja sebesar 33,10 persen. Hal ini berarti 33,10 persen dari nilai tambah

merupakan imbalan yang diterima oleh tenaga kerja.

Industri tempe pada penelitian ini berhasil memperoleh keuntungan sebesar

Rp 1.470,97 per kilogram. Tingkat keuntungan yang dimiliki yaitu 66,89 persen

yang berarti bahwa 66,89 persen dari nilai tambah merupakan keuntungan

pengrajin/pengusaha. Keuntungan ini merupakan keuntungan bersih karena sudah

memperhitungkan imbalan tenaga kerja.

Berdasarkan tabel hasil analisis nilai tambah di atas dapat diketahui bahwa

margin dari pengolahan kedelai pada industri tempe adalah sebesar Rp 3.385,00.

Nilai ini diperoleh dari selisih harga atau nilai output dengan nilai input bahan

baku utama. Margin ini kemudian didistribusikan menjadi imbalan bagi tenaga

kerja, sumbangan input lain serta keuntungan pengusaha/pengrajin. Margin yang

didistribusikan sebagai imbalan bagi tenaga kerja sebesar 21,50 persen. Margin

bagi sumbangan input lain sebesar 35,03 persen dan margin bagi keuntungan

pengrajin sebesar 43,45 persen.

6.2 Analisis Daya Saing

Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan pendekatan yang digunakan untuk

menganalisis daya saing serta dampak kebijakan pemerintah pada industri tempe

di Desa Citeureup. Matriks tersebut disusun berdasarkan data penerimaan, biaya

produksi baik bersifat tradable maupun non tradable dengan menggunakan

perhitungan harga privat dan harga sosial. Berikut disajikan hasil perhitungan

matriks analisis kebijakan pada industri tempe di Desa Citeureup.

Page 85: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Tabel 19. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa

Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan

Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg)

Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan

Input tradable Input nontradable

Harga Privat 10.400,00 2.536,95 5.634,54 2.228,50

Harga Sosial 11.955,14 2.356,70 5.372,62 4.225,80

Dampak kebijakan -1.555,14 180,25 261,91 -1.997,30

Matriks PAM terdiri dari dua identitas yaitu identitas tingkat keuntungan atau

profitability identity dan identitas penyimpangan atau divergences identity.

Berdasarkan matriks di atas, selanjutnya dapat dilakukan perhitungan untuk

memperoleh sejumlah indikator penilaian tabel PAM. Indikator-indikator tersebut

terdiri atas keuntungan privat, keuntungan sosial, rasio biaya privat, biaya

sumberdaya domestik, transfer output, koefisien proteksi output nominal, transfer

input, koefisien proteksi input nominal, transfer faktor, koefisien proteksi efektif,

transfer bersih, koefisien keuntungan, dan rasio subsidi produsen.

Tabel 20. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri

Tempe di Desa Citeureup dengan Skala Usaha Seratus Kilogram

Kedelai per Hari

No Indikator Penilaian Nilai

1 Keuntungan Privat 2.228,50

2 Keuntungan Sosial 4.225,80

3 Rasio Biaya Privat (PCR) 0,7166

4 Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) 0,5597

5 Transfer Output (TO) -1.555,14

6 Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) 0,8699

7 Transfer Input (TI) 180,25

8 Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 1,0765

9 Transfer Faktor (TF) 261,91

10 Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 0,8192

11 Transfer Bersih (TB) -1.997,30

12 Koefisien Keuntungan 0,5274

13 Rasio Subsidi Produsen (SRP) -0,2540

Page 86: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

6.2.1 Analisis Keunggulan Kompetitif

Analisis keunggulan kompetitif dapat dilihat dari analisis keuntungan privat

atau Private Profitability (PP) dan analisis rasio biaya privat atau Private Cost

Rasio (PCR). Keuntungan privat merupakan keuntungan yang dihitung

berdasarkan harga yang sesungguhnya diterima pengrajin, telah dipengaruhi oleh

kebijakan pemerintah. Nilai ini diperoleh dari penerimaan finansial dikurangi

biaya finansial baik yang bersifat tradable maupun non tradable. Berdasarkan

hasil perhitungan pada tabel PAM, terlihat bahwa aktifitas pengolahan kedelai

menjadi tempe memiliki keuntungan privat (private profitabiliy) senilai Rp

2.228,50 per kilogram. Jika nilai keuntungan privat lebih besar dari nol berarti

industri tempe di daerah penelitian layak secara finansial untuk diusahakan dalam

kondisi kebijakan dan kegagalan pasar yang ada.

Bagaimana alokasi sumberdaya diarahkan untuk mencapai efisiensi finansial

dapat diukur dengan menggunakan rasio biaya privat (PCR). PCR merupakan

rasio antara biaya input non tradable dengan selisih antara penerimaan dan input

tradable pada tingkat harga finansial (harga privat). Suatu aktifitas dikatakan

efisien secara finansial atau dapat dikatakan juga memiliki keunggulan kompetitif

apabila nilai PCR lebih kecil dari satu (PCR < 1). Semakin kecil nilai PCR maka

semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif suatu aktifitas usaha.

Analisis yang dilakukan pada industri tempe menghasilkan PCR dengan nilai

0,7166 (PCR < 1). Hal ini berarti bahwa industri tempe di Desa Citeureup efisien

secara finansial atau dengan kata lain memiliki keunggulan kompetitif. Nilai PCR

sebesar 0,7166 dapat diinterpretasikan bahwa untuk meningkatkan nilai tambah

Page 87: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

output sebesar satu satuan pada harga finansial maka dibutuhkan tambahan biaya

faktor domestik senilai 0,7166.

6.2.2 Analisis Keunggulan Komparatif

Analisis keunggulan komparatif diukur dengan pendekatan nilai keuntungan

sosial atau Social Profitability (SP) dan rasio biaya sumberdaya domestik atau

Domestic Resource Cost (DRC). Berbeda dengan analisis keunggulan kompetitif,

perhitungan pada analisis keunggulan komparatif didasarkan pada harga sosial

atau shadow prices. Keuntungan sosial merupakan selisih antara penerimaan

sosial dengan biaya-biaya sosial baik yang bersifat tradable maupun non tradable.

Rasio sumberdaya domestik diperoleh dari rasio antara biaya input non tradable

dengan selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga sosial

(analisis ekonomi).

Berdasarkan hasil analisis, industri tempe di daerah penelitian memiliki

keuntungan sosial sebesar Rp 4.225,80. Hal ini dapat diartikan bahwa pada

kondisi pasar yang tidak mengalami distorsi kebijakan pun, industri tempe tetap

menguntungkan secara ekonomi.

Selain itu, analisis yang dilakukan pada industri tempe di Desa Citeurep

menghasilkan nilai DRC sebesar 0,5597. Apabila nilai DRC suatu usaha lebih

kecil dari satu maka dapat dikatakan usaha tersebut efisien secara ekonomi atau

memiliki keunggulan komparatif. Demikian halnya dengan industri tempe yang

nilai DRC nya 0,5597 (DRC < 1). Semakin kecil nilai DRC maka usaha tersebut

semakin memiliki keunggulan komparatif dalam kondisi tanpa adanya intervensi

pemerintah atau kondisi pasar persaingan sempurna.

Page 88: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Keuntungan privat yang diterima oleh pengrajin tempe di daerah penelitian

lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan sosialnya (PP < SP). Kondisi

tersebut mengindikasikan bahwa adanya intervensi pemerintah yang berupa

distorsi pasar tidak memberikan insentif yang baik kepada para pengrajin tempe

sehingga keuntungan yang diterima pada kondisi tanpa adanya intervensi lebih

tinggi dibandingkan dengan adanya intervensi pemerintah.

Perbedaan yang terjadi antara analisis finansial dan analisis ekonomi

disebabkan oleh adanya perbedaan nilai penerimaan, biaya domestik dan biaya

input tradable akibat kebijakan pemerintah. Perbedaan penerimaan dikarenakan

pada analisis ekonomi menggunakan harga output berdasarkan harga perbatasan

fob yang nilainya lebih tinggi dibandingkan harga finansial (harga privat). Selain

itu, dari sisi komponen biaya domestik terdapat perbedaan nilai akibat dari

perbedaan upah tenaga kerja tidak terdidik yang digunakan pada industri tempe

dimana nilainya dipengaruhi oleh tingkat pengangguran di desa. Pada biaya input

tradable, kedelai sebagai bahan baku dihitung berdasarkan harga perbatasan cif

pada analisis ekonomi. Nilai cif kedelai tersebut lebih rendah dibandingkan harga

finansial sehingga biaya produksi pada analisis ekonomi pun menjadi lebih rendah

dibandingkan pada analisis finansial.

6.2.3 Analisis Kebijakan Pemerintah

Pada dasarnya suatu kebijakan bagi aktifitas ekonomi tertentu dapat

memberikan dampak positif maupun dampak negatif terhadap para pelaku

ekonomi. Melalui analisis matriks kebijakan dapat diketahui dampak kebijakan,

baik kebijakan input (transfer input, koefisien proteksi input nominal dan transfer

faktor), kebijakan output (transfer output dan koefisien proteksi output nominal),

Page 89: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

maupun kebijakan input-output (koefisien proteksi efektif, transfer bersih,

koefisien keuntungan, dan rasio subsidi produsen).

Kebijakan pemerintah pada sisi output dapat dilihat dari nilai transfer output,

dan koefisien proteksi output nominal. Nilai transfer output positif menunjukkan

besarnya insentif masyarakat terhadap produsen. Dengan kata lain masyarakat

(konsumen) membeli dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga yang

seharusnya mereka bayarkan. Demikian sebaliknya apabila transfer output bernilai

negatif.

Analisis pada indusri tempe di Desa Citeureup menghasilkan nilai transfer

output yang negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumen membayar dengan

harga yang lebih rendah dibandingkan harga yang seharusnya konsumen

bayarkan. Nilai transfer output sebesar Rp -1.555,14 memiliki pengertian bahwa

terdapat transfer dari produsen kepada konsumen sebesar nilai tersebut.

Koefisien proteksi output nominal merupakan hasil pembagian antara

penerimaan pada analisis finansial dengan penerimaan pada analisis ekonomi.

Apabila nilai NPCO lebih besar dari satu (NPCO > 1) berarti terdapat proteksi

harga oleh pemerintah sehingga harga output di pasar domestik yang diterima oleh

produsen lebih tinggi dibandingkan harga bayangan (harga dunia), demikian pula

sebaliknya. Berdasarkan analisis, diketahui bahwa nilai NPCO pada industri

tempe di daerah penelitian yaitu sebesar 0,8699 (NPCO < 1). Nilai tersebut

menunjukkan bahwa terdapat kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga

privat lebih rendah dibandingkan harga dunia. Kondisi ini juga dapat diartikan

bahwa produsen atau pengrajin tidak memperoleh insentif dari pemerintah untuk

peningkatan produksinya.

Page 90: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Transfer input merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk

menganalisis kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Nilai

transfer input diperoleh dari selisih antara biaya berdasarkan harga finansial dan

biaya berdasarkan harga sosial. Apabila nilai transfer input yang dihasilkan positif

berarti terdapat kebijakan subsidi negatif atau pemberlakuan pajak pada input

produksi. Demikian sebaliknya, nilai transfer input negatif memperlihatkan bahwa

terdapat kebijakan subsidi pada input produksi sehingga pengrajin atau produsen

membeli input pada harga finansial yang lebih rendah dibandingkan harga

ekonomi. Industri tempe di Desa Citeureup menunjukkan nilai transfer input yang

positif yaitu Rp 180,25. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan

pemerintah terhadap input tradable mengakibatkan pengrajin mengalami kerugian

senilai Rp 180,25 per kilogram tempe.

Koefisien proteksi input nominal (NPCI) menunjukkan tingkat distorsi yang

dibebankan pemerintah terhadap input tradable. Pada industri tempe di Desa

Citeureup, dihasilkan nilai NPCI 1,0765. Nilai NPCI yang lebih besar dari satu

menunjukkan bahwa terdapat kebijakan pemerintah yang memproteksi produsen

input sehingga harga input tradable di pasar domestik akan meningkat menjadi

lebih tinggi dibandingkan harga efisiennya. Sementara sektor usaha yang

menggunakan input tersebut akan mengalami kerugian karena harus membayar

input produksi dengan harga yang lebih tinggi.

Selain input produksi yang bersifat tradable terdapat pula input produksi

yang bersifat non tradable. Transfer faktor yang merupakan analisis bagi

kebijakan pemerintah pada input domestik diperoleh dari selisih antara biaya input

non tradable pada analisis finansial dengan biaya input non tradable pada analisis

Page 91: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

ekonomi. Hasil analisis menunjukkan transfer faktor pada industri tempe di Desa

Citeureup sebesar Rp 261,91. Nilai tersebut menunjukkan bahwa harga input non

tradable yang dikeluarkan pemerintah pada tingkat harga finansialnya lebih tinggi

dibandingkan harga input non tradable pada tingkat harga sosial. Hal ini juga

mengindikasikan terdapat kebijakan pemerintah yang bersifat melindungi input

domestik sehingga pengrajin atau produsen harus membayar input domestik

dengan harga yang lebih inggi dibandingkan harga sosialnya.

Koefisien proteksi efektif (EPC) merupakan indikator yang digunakan untuk

melihat sejauh mana kebijakan pemerintah dalam melindungi ataupun

menghambat produksi domestik. EPC ini diperoleh dari rasio antara selisih

penerimaan dan biaya input tradable pada analisis finansial dengan selisih

penerimaan dan biaya input tradable pada analisis ekonomi. Nilai EPC pada

industri tempe di desa Citeureup yaitu 0,8192 (EPC < 1). EPC sebesar 0,8192

dapat diinterpretasikan bahwa kebijakan yang ada mengakibatkan pengrajin tempe

tidak memperoleh tambahan keuntungan sebesar 81,92 persen dari harga

bayangannya. Atau dengan kata lain pengrajin tempe di daerah penelitian hanya

memperoleh sedikit manfaat subsidi sebagai akibat kebijakan pemerintah yang

kurang melindungi para pengrajin tempe.

Selisih antara keuntungan finansial dengan keuntungan sosial menghasilkan

nilai transfer bersih. Transfer bersih disini menyatakan adanya tambahan surplus

produsen atau sebaliknya berkurangnya surplus produsen sebagai akibat adanya

kebijakan pemerintah. Berdasarkan hasil analisis, transfer bersih di daerah

penelitian bernilai Rp –1.997,30. Tranfer bersih yang bernilai negatif

Page 92: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah mengakibatkan berkurangnya surplus

produsen sebesar Rp 1.997,30.

Dari tabel indikator penilaian matriks analisis kebijakan terlihat bahwa nilai

koefisien keuntungan pada industri tempe di Desa Citeureup yaitu sebesar 0,5274.

PC yang merupakan rasio antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan

bersih sosial menunjukkan pengaruh keseluruhan dari kebijakan yang

mengakibatkan keuntungan sosial berbeda dengan keuntungan finansial. PC

senilai 0,5274 memiliki arti bahwa kerugian ynag diterima pengrajin dengan

adanya kebijakan pemerintah adalah 52,74 persen lebih tinggi dibandingkan

kerugian yang diterima pada kondisi tanpa adanya kebijakan pemerintah.

Rasio subsidi produsen (SRP) merupakan rasio antara transfer bersih dengan

penerimaan berdasarkan analisis ekonomi. SRP lebih besar dari nol berarti bahwa

adanya kebijakan pemerintah mengakibatkan produsen mengeluarkan biaya

produksi yang lebih rendah dibandingkan biaya imbangan untuk berproduksi.

Sebaliknya, SRP lebih kecil dari nol menunjukkan adanya kebijakan pemeritah

berdampak pada lebih tingginya biaya produksi yang dikeluarkan produsen

dibandingkan opportunity costnya. SRP yang diterima pengrajin tempe di Desa

Citeureup adalah -0,2540. Nilai rasio subsidi produsen ini berarti bahwa kebijakan

yang berlaku selama ini mengakibatkan pengrajin tempe mengeluarkan biaya

produksi lebih tinggi 25,40 persen dibandingkan biaya opportunity cost untuk

berproduksi.

6.3 Analisis Sensitivitas pada Industri Tempe di Desa Citeureup

Analisis sensitivitas diperlukan untuk melihat sejauh mana pengaruh yang

akan ditimbulkan apabila terjadi goncangan atau perubahan-perubahan pada

Page 93: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

sejumlah variabel pada industri tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup,

Kabupaten Bogor. Perubahan yang terjadi tentu akan berpengaruh pula pada hasil

matriks analisis kebijakan atau dengan kata lain mempengaruhi daya saing yang

dimiliki industri tersebut. Analisis sensitivitas yang dilakukan yaitu dengan

menaikkan harga kedelai sebesar 60 persen, menaikkan harga input 60 persen

diimbangi kenaikan harga output sebesar 46 persen.

Kenaikan harga input kedelai sebanyak 60 persen tentu berdampak pada

besarnya biaya produksi pada industri tempe baik dalam analisis finansial maupun

analisis ekonomi. Peningkatan harga kedelai tersebut mengakibatkan keuntungan

privat yang dimiliki pengrajin di sentra industri tempe Desa Citeureup bernilai

negatif. Keuntungan privat senilai Rp -1.770,04 menunjukkan bahwa kenaikan

harga kedelai sebesar 60 persen mengakibatkan usaha pengolahan kedelai menjadi

tempe tidak layak secara finansial. Hal ini didukung pula oleh nilai PCR sebesar

1,277. Nilai PCR yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa aktifitas usaha

pada industri tempe tidaklah efisien secara finansial atau dengan kata lain tidak

memiliki keunggulan kompetitif.

Di lain pihak, meskipun terjadi kenaikan harga kedelai sebanyak 60 persen

industri tempe di Desa Citeureup masih tetap memiliki keuntungan sosial yang

bernilai positif. Keuntungan sosial yang bernilai Rp 263,69 dapat diartikan bahwa

pada kondisi pasar yang tidak mengalami distorsi kebijakan, industri tempe tetap

menguntungkan secara ekonomi.

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa pada kondisi kenaikan harga

kedelai sebanyak 60 persen, industri tempe di daerah penelitian memiliki nilai

DRC 0,968 (DRC < 1). Aktifitas usaha dengan nilai DRC yang lebih kecil dari

Page 94: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

satu menunjukkan bahwa aktifitas tersebut mempunyai keunggulan komparatif.

Semakin kecil nilai DRC maka usaha tersebut semakin memiliki keunggulan

komparatif dalam kondisi tanpa adanya intervensi pemerintah atau kondisi pasar

persaingan sempurna.

Tabel 21. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri

Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten

Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg)

apabila Harga Input Kedelai naik 60 Persen

No Indikator Penilaian Nilai

A Keunggulan Kompetitif

Keuntungan Privat -1.770,049

Rasio Biaya Privat (PCR) 1,277

B Keunggulan Komparatif

Keuntungan Sosial 263,695

Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) 0,968

Seperti telah disebutkan di atas bahwa kenaikan harga kedelai sebanyak 60

persen mengakibatkan usaha pengolahan kedelai menjadi tempe tidaklah layak

atau menguntungkan secara finansial. Oleh karena itu, strategi yang mungkin

dilakukan untuk menghadapi situasi tersebut yaitu dengan menaikkan harga

output. Kenaikan harga output sebanyak 46 persen didasarkan pada pertimbangan

bahwa di daerah penelitian pernah terjadi kenaikan harga output sekitar 46 persen.

Kenaikan harga input kedelai yang diimbangi juga dengan kenaikan harga

output memberikan hasil analisis bahwa industri tempe di Desa Citeureup layak

untuk dijalankan dengan nilai keuntungan privat sebesar Rp 3.013,951. Nilai PCR

yang dimiliki industri tempe pada kondisi seperti ini yaitu 0,730. Nilai tersebut

menunjukkan bahwa untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar satu satuan

pada harga finansial maka dibutuhkan tambahan biaya faktor domestik senilai

0,730. Nilai PCR yang lebih kecil dari satu juga menunjukkan bahwa industri

tempe kembali memiliki keunggulan kompetitif.

Page 95: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Analisis keunggulan komparatif pada industri tempe dapat dilihat dari nilai

keuntungan sosial maupun nilai biaya sumberdaya domestik. Pada kondisi seperti

di atas, industri tempe di daerah penelitian tetap memiliki keuntungan sosial yang

tinggi. Keuntungan sosial pada indusatri tempe dengan kondisi kenaikan harga

kedelai yang diimbangai kenaikan harga output adalah sebesar Rp 5.763,00.

Seperti terlihat pada tabel 22, rasio biaya sumberdaya domestik industri

tempe pada kondisi terjadi kenaikan harga kedelai yang diimbangi kenaikan harga

output adalah 0,580. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa industri tempe di

daerah penelitian tetap memiliki keunggulan komparatif meskipun terjadi

perubahan baik pada komponen biaya maupun penerimaan.

Tabel 22. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri

Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten

Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg)

apabila Harga Input Kedelai naik 60 Persen diimbangi harga

output naik 46 Persen

No Indikator Penilaian Nilai

A Keunggulan Kompetitif

Keuntungan Privat 3.013,951

Rasio Biaya Privat (PCR) 0,730

B Keunggulan Komparatif

Keuntungan Sosial 5763,001

Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) 0,580 Selain itu, kemungkinan terjadinya kesalahan dalam perhitungan dan

analisis data tidak akan mengubah kesimpulan yang diperoleh. Hal ini

berdasarkan pada pertimbangan bahwa pada struktur biaya baik pada analisis

finansial maupun analisis ekonomi industri tempe Desa Citeureup telah dilakukan

analisis sensitivitas. Komponen biaya bahan baku kedelai telah disensitivitas

dengan kenaikan sebesar 60 persen dan ternyata industri tempe masih memiliki

keunggulan komparatif. Sementara kemungkinan kesalahan yang dilakukan

peneliti tidaklah lebih tinggi dari sensitivitas yang dilakukan.

Page 96: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Analisis nilai tambah pada industri pengolahan kedelai menjadi tempe di

Desa Citeureup menunjukkan bahwa industri tersebut mampu menghasilkan nilai

tambah sebesar Rp 2.198,91 per kilogram input kedelai. Rasio nilai tambah yang

dimiliki yaitu 21,14 persen. Nilai koefisien tanaga kerja yang diperoleh sebesar

0,02. Apabila nilai koefisien tenaga kerja tersebut dikali dengan banyaknya unit

usaha tempe di Indonesia maka dapat dilihat banyaknya jumlah tenaga kerja yang

dapat terserap oleh industri tempe.

Industri tempe di desa Citeureup layak untuk dijalankan baik berdasarkan

perhitungan pada analisis finansial maupun analisis ekonomi. Di samping itu,

industri tersebut dapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan

kompratif. Hal ini terlihat dari nilai PCR dan DRC nya yang lebih kecil dari satu.

Berdasarkan analisis kebijakan pemerintah pada sisi output, industri tempe di

daerah penelitian memiliki TO dan NPCO masing-masing senilai Rp -1.555,14

dan 0,8699 (NPCO < 1). Pada analisis kebijakan pemerintah pada sisi input

diketahui TI senilai Rp 180,25, NPCI sebesar 1,0765, dan transfer faktor senilai

Rp 261,91. Analisis kebijakan input-output dapat didekati dengan menggunakan

indikator EPC, TB, PC, dan SRP. Nilai keempat indikator tersebut masing-masing

secara berurutan adalah 0,8192; Rp –1.997,30; 0,5274; dan -0,2540.

Apabila terjadi kenaikan harga kedelai sebesar 60 persen dengan asumsi

faktor lain dianggap tidak berubah, maka industri tempe di daerah penelitian tidak

lagi memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini terlihat dari keuntungan privat yang

bernilai negatif dan nilai PCR yang lebih besar dari satu. Sebaliknya,berdasarkan

Page 97: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

analisis ekonomi, meskipun terjadi perubahan harga kedelai industri tempe di

daerah penelitian masih tetap memiliki keunggulan komparatif. Hal ini terlihat

dari keuntungan sosial senilai Rp 263,69 dengan nilai DRC 0,9680 (DRC < 1).

Jika kenaikan harga input kedelai sebesar 60 persen diimbangi pula dengan

kenaikan harga output sebesar 46 persen, industri tempe di Desa Citeureup

ternyata layak untuk diteruskan baik secara finansial maupun ekonomi. Di

samping itu, industri tempe juga efisien secara finansial maupun ekonomi. Hal ini

dapat dilihat dari nilai PCR dan DRC yang dihasilkan lebih kecil dari satu, dengan

kata lain indusri tersebut masih memiliki keunggulan komparatif dan kompetif.

7.2 Saran

Adapun saran yang dapat diberikan peneliti berdasarkan hasil analisis yaitu:

1. Perlu dilakukan upaya peningkatan ketersediaan bahan baku kedelai.

Pemenuhan bahan baku tersebut hendaknya berasal dari produksi domestik

sehingga dapat menghemat devisa yang dikeluarkan pemerintah bagi

pengadaan bahan baku industri pengolahan kedelai. Hal ini didasarkan

pertimbangan tingginya ketergantungan pengrajin tempe terhadap kedelai

impor serta kurang tersedianya bahan baku yang cukup dan kontinu.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak aktivitas usaha

industri tempe terhadap lingkungan. Apakah nilai tambah dan penyerapan

tenaga kerja yang dihasilkan aktivitas pengolahan kedelai menjadi tempe

tersebut sebanding dengan biaya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Page 98: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

DAFTAR PUSTAKA

Amang, Bedu. 1996. Ekonomi Kedelai. Institut Pertanian Bogor (IPB Press).

Bogor. Andriani. 1999. Analisis Keunggulan Komparatif, Kompetiif dan Dampak

Kebijakan Pemerintah pada Usaha Meubel Rotan (Kasus Sentra Industtri Rotan Tegalwangi dan CV Khalim Rattan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Apretty, Butet. J. Analisis Dampak Krisis Ekonomi Pada Industri Tempe Skala

Kecil (Studi Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Apriyadi, Andi. 2003. Analisis Usaha dan Nilai Tambah Pengolahan Ikan pada

Industri Kerupuk Udang/Ikan di Indramayu. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2006. Kabupaten Bogor dalam Angka. Bogor. _________________. 2002-2006. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia

Jilid I. Jakarta. _________________. 2007. Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia

Jilid I. Jakarta. _________________. 2007. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia

dan Provinsi. Jakarta. Cahyadi, Wisnu. 2007. Kedelai Khasiat dan Teknologi. Bumi Aksara. Jakarta. Cho and Moon. 2003. From Adam Smith to Michael Porter Evolusi Teori Daya

Saing. Penerbit Salemba Empat. Jakarta. Dermawan, Ahmad. 1999. Analisis Pendapatan Usahatani Kedelai serta Nilai

Tambah Industri Tahu dan Tempe (Kasus Desa Sindangratu dan Situgede di Kabupaten Garut serta Kotamadya Bogor. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Dewi, Retno. Puspo. 2004. Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif serta

Dampak Kebijakan Pemerintah pada Pengusahaan Kedelai di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Dhuhana. 2004. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usaha Emping

Melinjo di Kabupaten Serang (Studi Kasus di Desa Sukadalem, Kecamatan Waringin Kurung). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Page 99: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Gittinger, J.P. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Edisi Kedua. Terjemahan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Gray, Clive et. al. 1993. Pengantar Evaluasi Proyek. Penerbit Gramedia Pustaka

Uama. Jakarta. Handayani, Riyandini. Siswi. 2007. Analisis Keunggulan Komparatif dan

Kompetitif Usahatani Bawang Merah Konvensional dan Organik di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Jati, Elmi. Sipta. 2005. Analisis Pendapatan dan Nilai Tambah Industri Kecil

Keripik dan Sale Hasil Produk Olahan Pisang (Kasus Industri Kecil Keripik dan Sale Pisang di Desa Sawarna, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi. Edisi 2001. Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Kuraisin, Vivin. 2006. Analisis Dayasaing dan Dampak Perubahan Kebijakan

Pemerintah terhadap Komoditi Susu Sapi (Kasus di Desa Tajurhalang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Monke, E.A and Scott. Pearson. 1989. The Policy Analisys Matrix for

Agricultural Development. Cornell University Press. Itacha and London. Muflikh, Yanti. Nuraeni. 2003. Analisis Nilai Tambah Pengolahan dan

Optimalisasi Produksi Kain Tenun Sutera Alam (Studi Kasus: Pengrajin Sutera Alam “Aman Sahuri”, Kabupaten Garut). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Pearson, Scott and Carl Gotsch. Penterjemah Sjaiful Bahri. 2004. Aplikasi Policy

Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Sarwono, B. 1994. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya. Jakarta. Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Penebar Swadaya. Jakarta. Sefiyansyah. 2004. Analisis Preferensi dan Pola Konsumsi Kecap Rumah Tangga

(Studi Kasus di Kota Cirebon). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Soekartawi. 2000. Pengantar Agroindustri. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Page 100: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

LAMPIRAN

Page 101: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Lampiran 1. Alokasi Biaya Input dan Output dalam Komponen Domestik dan Asing

No Uraian Domestik Asing Pajak (%) (%) (%)

A Penerimaan

Tempe 100 0 0

B Biaya Produksi

1 Kedelai 60 35 5 2 Ragi 100 0 0

3 Bahan bakar

Kayu bakar 100 0 0

Serbuk kayu 100 0 0

4 Pewarna 100 0 0

5 Peralatan

Drum rendam/cuci/rebus 100 0 0 Mesin giling 100 0 0

Ember/pisau/saringan 100 0 0

6 Tenaga kerja 100 0 0

7 Bahan pengemas

Daun 100 0 0

Plastik 100 0 0

8 Biaya tataniaga 44,32 54,47 1,21 9 Sewa tempat 100 0 0

10 Pajak 100 0 0

Page 102: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Lampiran 2. Perhitungan Standar Convertion Factor dan Shadow Exchange Rate (SER) tahun 2001-2007 (Milyar Rupiah)

Tahun Xt Mt Txt Tmt OERt SCFt SERt

2001 585.737,40 322.005,80 397,00 9.975,00 10.400,00 0,989 10.515,67

2002 510.954,90 279.722,80 349,00 12.249,00 8.940,00 0,985 9.075,14

2003 516.857,60 275.541,70 438,00 11.960,00 8.465,00 0,986 8.585,19

2004 524.436,00 340.489,30 315,00 11.636,00 9.042,00 0,987 9.161,09

2005 785.501,00 529.117,10 317,90 14.927,10 9.170,00 0,989 9.271,86

2006 539.400,00 539.300,00 377,70 12.141,70 9.020,00 0,989 9.120,37

2007 580.629,59 364.134,35 453,00 14.417,00 9.141,00 0,984 9.284,87

Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2007)

SERt = SCFt

OERt

SCFt = )()( TXtXtTMtMt

XtMt

−++

+

Keterangan:

SERt = Shadow Exchange Rate (nilai tukar bayangan) pada tahun t

OERt = Official Exchange Rate (nilai tukar resmi) pada tahun t

SCF t = Standar Exchange Rate (faktor konversi standar) pada tahun t

Mt = Nilai impor pada tahun t

Xt = Nilai ekspor pada tahun t

TMt = Pemerimaan pemerintah dari pajak impor pada tahun t

TXt = Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor pada tahun t

Contoh perhitungan pada tahun 2007:

SCFt = )45359.580629()1441735.364134(

59.58062935.364134

+++

+

= 0.9845

SER = 984.0

9141

= 9284.874

Page 103: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Lampiran 3. Biaya Produksi Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus Kilogram Kedelai Per Hari

No Kedelai per hari Ragi per hari Kayu bakar/Serbuk kayu per hari Pewarna per hari

Pemakaian Harga Nilai Pemakaian Harga Nilai Pemakaian Harga Nilai Pemakaian Harga Nilai Total nilai Pemakaian Harga Nilai

(kg) (Rp/kg) (Rp) (kg) (Rp/kg) (Rp) kayu (krg)

(Rp/krg) (Rp) serbuk(krg) (Rp/krg) (Rp) pemakaian (bks) (Rp/bks) (Rp)

1 30 7.000 210.000 0,10 15.000 1.500 0,3 7.000 2.100 0 0 0 2.100 1,0 500 500

2 70 7.000 490.000 0,20 15.000 3.000 0,5 7.000 3.500 0 0 0 3.500 3,0 500 1.500

3 75 7.000 525.000 0,20 15.000 3.000 0,5 7.500 3.750 0 0 0 3.750 3,0 500 1.500

4 100 7.200 720.000 0,25 13.500 3.375 1,0 8.000 8.000 0 0 0 8.000 5,0 500 2.500

5 250 7.000 1.750.000 0,70 15.000 10.500 0 0 0 2.0 5.000 10.000 10.000 12 500 6.000

6 75 6.900 517.500 0,20 14.000 2.800 1,0 8.000 8.000 0 0 0 8.000 3,0 500 1.500

7 100 7.000 700.000 0,33 16.000 5.280 1,0 7.000 7.000 0 0 0 7000 4,0 500 2.000

8 230 7.000 1.610.000 0,50 15.000 7.500 0 0 0 2.0 5.000 10.000 10.000 10 500 5.000

9 250 6.700 1.675.000 0,50 13.000 6.500 0 0 0 2.0 6.000 12.000 12.000 15 500 7.500

10 40 7.500 300.000 0,10 15.000 1.500 0,3 7.000 2.100 0 0 0 2.100 1,0 500 500

11 35 7.000 245.000 0,10 15.000 1.500 0,3 7.500 2.250 0 0 0 2.250 1,0 500 500

12 100 7.000 700.000 0,30 16.000 4.800 1,0 8.000 8.000 0 0 0 8.000 5,0 500 2.500

13 200 7.200 1.440.000 0,50 13.500 6.750 0 0 0 1.5 6.000 9.000 9.000 10 500 5.000

14 40 7.000 280.000 0,10 15.000 1.500 0,3 8.000 2.400 0 0 0 2.400 2,0 500 1.000

15 100 7.000 700.000 0,30 15.000 4.500 1,0 7.000 7.000 0 0 0 7.000 5,0 500 2.500

16 50 6.900 345.000 0,15 16.000 2.400 0,4 7.000 2.800 0 0 0 2.800 1,0 500 500

17 70 7.000 490.000 0,20 15.000 3.000 0,5 7.000 3.500 0 0 0 3.500 2,0 500 1.000

18 50 7.000 350.000 0,15 14.500 2.175 0,4 7.000 2.800 0 0 0 2.800 1,0 500 500

19 100 6.900 690.000 0,30 15.000 4.500 1,0 7.500 7.500 0 0 0 7.500 5,0 500 2.500

20 75 7.000 525.000 0,20 15.000 3.000 0,5 7.000 3.500 0 0 0 3.500 2,0 500 1.000

Rata-

rata 102 7.015 715.530 0,269 148.250 3.987,93 10 7.5 5.760 4,55 500 2.275

Page 104: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Lampiran 4. Biaya Produksi Indusri Tempe dengan Skala Usaha Seratus Kilogram Kedelai per Hari

No Plastik/hari Daun/hari T.kerja/hari

Pemakaian Harga Nilai Pemakaian Harga Nilai Pemakaian Harga Nilai Penyusutan (kg) (Rp/kg) (Rp) (ikat) (Rp/ikat) (Rp) (org) (Rp/org) (Rp) (Rp)

1 0,30 20.000 6.000 0 2.200 0 1 40.000 40.000 39.885,42

2 0,60 20.000 12.000 3 2.200 6.600 2 40.000 80.000 41.263,89

3 1,00 18.000 18.000 4 2.000 8.000 2 40.000 80.000 37.541,67 4 1,00 20.000 20.000 5 2.000 10.000 2 40.000 80.000 77.402,78

5 2,00 20.000 40.000 25 2.000 50.000 4 40.000 160.000 143.965,28

6 1,00 20.000 20.000 1,5 2.200 3.300 2 40.000 80.000 46.513,89

7 1,25 20.000 25.000 5 2.000 10.000 2 40.000 80.000 59.869,20

8 2,00 20.000 40.000 10 2.000 20.000 4 35.000 140.000 112.555,56

9 3,00 20.000 60.000 15 1.800 27.000 4 50.000 200.000 95.138,89

10 0,25 22.000 5.500 0 2.000 0 2 40.000 80.000 36.111,11 11 0,50 20.000 10.000 1 2.500 2.500 2 50.000 100.000 46.944,44

12 2,00 20.000 40.000 2,5 2.000 5.000 2 40.000 80.000 60.771,83

13 2,50 20.000 50.000 70 2.000 140.000 4 50.000 200.000 79.972,22

14 0,75 20.000 15.000 2 2.000 4.000 1 40.000 40.000 38.208,33

15 1,28 20.000 25.600 5 2.000 10.000 2 40.000 80.000 47.638,89

16 0,50 20.000 10.000 2 2.200 4.400 2 40..000 80.000 40.027,78

17 0,60 20.000 12.000 3 2.200 6.600 2 40.000 80.000 41.902,78 18 0,50 20.000 10.000 2 2.000 4.000 2 40.000 80.000 37.347,22

19 1,00 20.000 20.000 5 2.000 10.000 2 40.000 80.000 44.930,56

20 0,70 20.000 14.000 3 2.200 6.600 2 40.000 80.000 42.388,89 Rata-rata 1,14 20.000 22.730 8,2 2.075 17.015 2 41.250 82.500 55272,43

Page 105: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Lampiran 5. Perhitungan Biaya Penyusutan Peralatan

No Peralatan Jumlah Harga Umur Nilai Penyusutan (buah) Beli (Rp) Pakai (bln) Sisa (Rp) per bulan (Rp)

1 Penggilingan 1 617.500 26 44.250 22.048,08

2 Drum cuci & rendam 3 66.750 60 7.500 2.962,50

3 Drum rebus 1 60.750 12 7.000 4.479,17

4 Tungku 1 64.750 13 5.000 4.596,15

5 Rak (kerai) dari bambu 87 14.950 96 3.000 10.829,69

6 Saringan 1 5.000 0,471 500 9.554,14

7 Ember 2 13.250 36 2.000 625,00

8 Pisau 1 8.075 37 1.500 177,70

Total biaya penyusutan peralatan 55.272,43

Penyusutan peralatan per bulan = harga beli - nilai sisa x jumlah pemakaian

umur pakai

Page 106: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Lampiran 6. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari pada Bulan Maret 2008 (Rp/kg)

No Uraian Aspek Finansial Aspek Sosial

Domestik Asing Pajak Total Domestik Asing Total

A Penerimaan - - - 10.400 - - 11.955,14

B Biaya Produksi

1 Kedelai 4.209 2455,25 350,75 7.015 4.225 2.275 6.500

2 Ragi 39,09 0 0 39,09 39,09 0 39,09

3 Bahan bakar 56,47 0 0 56,47 56,47 0 56,47

4 Pewarna 22,30 0 0 22,30 22,30 0 22,30

5 Peralatan

Drum rendam/cuci/rebus 1,21 0 0 1,21 1,21 0 1,21

Mesin giling 7,20 0 0 7,20 7,20 0 7,20

Tungku 1,50 0 0 1,50 1,50 0 1,50

Ember/pisau/saringan 1,12 0 0 1,12 1,12 0 1,12

Rak (kerai) bambu 3,53 0 0 3,53 3,53 0 3,53

6 Tenaga kerja 742,50 0 0 742,50 559,02 0 559,02

7 Bahan pengemas

Daun 166,81 0 0 166,81 166,81 0 166,81

Plastik 222,84 0 0 222,84 222,84 0 222,84

8 Biaya tataniaga 66,48 81,70 1,815 150 66,48 81,705 148,18

9 Sewa tempat 66,66 0 0 66,66 0 0 0

10 Pajak 27,78 0 0 27,78 0 0 0

TOTAL 5.634,54 2.536,95 352,56 8524,06 5372,62 2356.705 7729,33

Page 107: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Lampiran 7. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari pada Bulan Maret 2008 (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai Naik 60 Persen

No Uraian Aspek Finansial Aspek Sosial

Domestik Asing Pajak Total Domestik Asing Total

A Penerimaan - - - 10.400,00 - - 11.955,14

B Biaya Produksi

1 Kedelai 6734,40 3.928,4 561,2 11.224,00 6.760,00 3.640 10.400,00

2 Ragi 39,10 0 0 39,10 39,10 0 39,10

3 Bahan bakar 56,47 0 0 56,47 56,47 0 56,47

4 Pewarna 22,30 0 0 22,30 22,30 0 22,30

5 Peralatan

Drum rendam/cuci/rebus 1,22 0 0 1,22 1,22 0 1,22

Mesin giling 7,21 0 0 7,21 7,21 0 7,21

Tungku 1,50 0 0 1,50 1,50 0 1,50

Ember/pisau/saringan 1,13 0 0 1,13 1,13 0 1,13

Rak (kerai) bambu 3,54 0 0 3,54 3,54 0 3,54

6 Tenaga kerja 742,50 0 0 742,50 559,03 0 559,03

7 Bahan pengemas

Daun 166,81 0 0 166,81 166,81 0 166,81

Plastik 222,84 0 0 222,84 222,84 0 222,84

8 Biaya tataniaga 66,48 81,705 1,815 150,00 66,48 81,705 148,19

9 Sewa tempat 66,67 0 0 66,67 0 0 0

10 Pajak 27,78 0 0 27,78 0 0 0

TOTAL 8.159,94 4.010,10 563,01 12.733,06 7.907,63 3.721,705 11.629,33

Page 108: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Lampiran 8. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari pada Bulan Maret 2008 (Rp/kg) apabila Harga Output Naik 46 Persen

No Uraian Aspek Finansial Aspek Sosial

Domestik Asing Pajak Total Domestik Asing Total

A Penerimaan - - - 1.5184,00 - - 17.454,45

B Biaya Produksi

1 Kedelai 4.209,00 2.455,25 350,75 7.015,00 4.225,00 2.275 6.500,00

2 Ragi 39,10 0 0 39,10 39,10 0 39,10

3 Bahan bakar 56,47 0 0 56,47 56,47 0 56,47

4 Pewarna 22,30 0 0 22,30 22,30 0 22,30

5 Peralatan

Drum rendam/cuci/rebus 1,22 0 0 1,22 1,22 0 1,22

Mesin giling 7,21 0 0 7,21 7,21 0 7,21

Tungku 1,50 0 0 1,50 1,50 0 1,50

Ember/pisau/saringan 1,13 0 0 1,13 1,13 0 1,13

Rak (kerai) bambu 3,54 0 0 3,54 3,54 0 3,54

6 Tenaga kerja 825,00 0 0 825,00 621,14 0 621,14

7 Bahan pengemas

Daun 166,81 0 0 166,81 166,81 0 166,81

Plastik 222,84 0 0 222,84 222,84 0 222,84

8 Biaya tataniaga 66,48 81,70 1.81 150,00 66,48 81,70 148,19

9 Sewa tempat 66,67 0 0 66,67 0 0 0

10 Pajak 27,78 0 0 27,78 0 0 0

TOTAL 5.717,04 2536,95 352,56 8.606,56 5.434,74 2356,70 7.791,44

Page 109: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Lampiran 9. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha 100 kilogram Per Hari pada Bulan Maret 2008 (Rp/kg) jika Harga Input Kedelai Naik 60 persen dan Harga Output Naik 46 Persen

No Uraian Aspek Finansial Aspek Sosial

Domestik Asing Pajak Total Domestik Asing Total

A Penerimaan - - - 15.184,00 - - 17.454,45

B Biaya Produksi

1 Kedelai 6.734,40 3.928,40 561,20 11.224,00 6.760,00 3.640 10.400,00

2 Ragi 39,10 0 0 39,10 39,10 0 39,10

3 Bahan bakar 56,47 0 0 56,47 56,47 0 56,47

4 Pewarna 22,30 0 0 22,30 22,30 0 22,30

5 Peralatan

Drum rendam/cuci/rebus 1,22 0 0 1,22 1,22 0 1,22

Mesin giling 7,21 0 0 7,21 7,21 0 7,21

Tungku 1,50 0 0 1,50 1,50 0 1,50

Ember/pisau/saringan 1,13 0 0 1,13 1,13 0 1,13

Rak (kerai) bambu 3,54 0 0 3,54 3,54 0 3,54

6 Tenaga kerja 742,50 0 0 742,50 559,03 0 559,03

7 Bahan pengemas

Daun 166,81 0 0 166,81 166,81 0 166,81

Plastik 222,84 0 0 222,84 222,84 0 222,84

8 Biaya tataniaga 66,48 81,70 1,81 150,00 66,48 81,70 148,19

9 Sewa tempat 66,67 0 0 66,67 0 0 0

10 Pajak 27,78 0 0 27,78 0 0 0

TOTAL 8.159,94 4.010,11 563.01 12.733,06 7.907,63 3.721,70 11.629,33

Page 110: ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK ... · ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus :

Lampiran 10. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai naik 60 Persen

Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan

Input tradable Input nontradable

Harga Privat 10.400,00 4.010,11 8.159,94 -1.770,05

Harga Sosial 11.955,14 3.721,71 7.969,74 263,70

Dampak kebijakan -1.555,14 288,40 190,20 -2.033,74

Lampiran 11. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup,

Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai Naik 60 Persen diimbangi dengan Kenaikan Harga Output 46 Persen.

Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan

Input tradable Input nontradable

Harga Privat 15.184,00 4.010,11 8159,94 3.013,95

Harga Sosial 17.454,45 3.721,71 7969,74 5.763,00

Dampak kebijakan -2.270,45 288,40 190,20 -2.749,05