Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL (MUDHARABAH) ANTARA DEBITUR
DAN BANK DENGAN SISTEM SYARI’AH (Penelitian Di Bank BNI Syari’ah Medan)
TESIS
Oleh :
PANATARAN SIMANJUNTAK HK/057005018
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2008
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
ANALISIS PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL (MUDHARABAH) ANTARA DEBITUR
DAN BANK DENGAN SISTEM SYARI’AH (Penelitian Di Bank BNI Syari’ah Medan)
TESIS
Untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
PANATARAN SIMANJUNTAK
HK/057005018
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2008
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
NASKAH PUBLIKASI
ANALISIS PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL (MUDHARABAH) ANTARA DEBITUR
DAN BANK DENGAN SISTEM SYARI’AH (Penelitian Di Bank BNI Syari’ah Medan)
TESIS
Oleh :
PANATARAN SIMANJUNTAK HK/057005018
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2008
NASKAH PUBLIKASI
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
JUDUL TESIS : ANALISIS PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI
HASIL (MUDHARABAH) ANTARA DEBITUR
DAN BANK DENGAN SISTEM SYARI’AH
(Penelitian Di Bank BNI Syari’ah Medan)
NAMA : PANATARAN SIMANJUNTAK
NIM : 057005018
PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Prof.Dr.H.Bismar Nasution,SH.MH Ketua
Prof.Dr.H.Hasballah Thaib,MA Dr.Sunarmi,SH.M.Hum Anggota Anggota
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
PENGESAHAN TESIS
NAMA : PANATARAN SIMANJUNTAK
NIM : 057005018
PROGRAM STUDI : MAGISTER ILMU HUKUM
JUDUL TESIS : ANALISIS PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL (MUDHARABAH) ANTARA DEBITUR
DAN BANK DENGAN SISTEM SYARI’AH (Penelitian Di Bank BNI Syari’ah Medan)
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Prof.Dr.H.Bismar Nasution,SH.MH Ketua
Prof.Dr.H.Hasballah Thaib,MA Dr.Sunarmi,SH.M.Hum Anggota Anggota
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Direktur Prof.Dr.H.Bismar Nasution,SH.MH Prof.Dr.Ir.Hj.T.Chairun Nisa,B.,MSc Nip. 131 570 455 Nip. 130 535 852
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
ABSTRAK
Perjanjian pembiayaan mudharabah merupakan akad/perjanjian kerjasama antara bank syari’ah dengan debitur yang mana di dalam akad tersebut dinyatakan akan membagi keuntungan di antara mereka. Pada dasarnya perjanjian pembiayaan mudharabah ini di dasari kepada kepercayaan, namun bukan berarti dalam pelaksanaan perjanjian ini pihak debitur di lepaskan dari sistem jaminan atau ada pihak ketiga yang menjaminnya.
Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan tentang perjanjian mudharabah dalam Islam, bagaimana dan kepada siapa bank syari’ah menyalurkan perjanjian mudharabah serta bagaimana mekanisme bagi hasil mudharabah dalam bank BNI Syari’ah Medan.
Untuk menjawab permasalahan di atas penelitian menggunakan metode yuridis normatif yang bersifat kualitatif dengan cara menganalisis data primer dan sekunder dan tersier serta bahan wawancara sehingga menghasilkan jawaban dari setiap permaslaahan yang di kemukakan.
Berdasarkan penelitian dapat di simpulkan antara lain pengaturan perjanjian pembiayaan mudharabah berdasarkan kitab suci Al-Qur’an, Al-Hadist, Dewan Fatwa Syari’ah Nasional MUI, UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah dan UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Pembiayaan mudharabah yang dilaksanakan di bank BNI Syari’ah Medan adalah pembiayaan mudharabah Mutlaqah di tujukan kepada perorangan atau badan usaha yang tujuan usahanya adalah untuk Konstruksi/proyek, produksi dengan bagi hasil 60 % bagi debitur 40 % kepada bank, usaha Perumahan/Real estate dengan bagi hasil 90 % bagi Debitur dan 10 % untuk bank, Usaha Distributor barang/jasa dengan bagi hasil 80 %bagi debitur dan 20 % untuk bank. Kemudian mekanisme pembiayaan mudharabah di bank BNI Syari’ah Medan pada umunya hampir sama dengan bank syari’ah lainnya.
Dari hasil penelitian ini penulis menyarankan kiranya bank BNI syari’ah Medan tidak memberikan pembiayaan terhadap usaha yang bertentangan dengan ajaran syari’ah, dan tidak hanya menfokuskan diri kepada pembiayaan proyek tingkat lokal semata, tetapi usaha-usaha yang produktif yang berkelas nasional dan internasional serta punya peluang keuntungan yang lebih besar, serta penyelesaikan sengketa hendaknya tidak lagi ke Peradilan Negeri /Peradilan Niaga tetapi sudah ke Pengadilan Agama. Kata kunci : Perjanjian Pembiayaan, Bagi Hasil, Debitur
ii
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
ABSTRACT
The agreement of mudhrabah financing is an agreement of corrperation between bank syari’ah and the debtor and in the agreement it is stated that both parties will share the profit gained between them. Principally, this mudharabah agreement is based on trust, but it does not mean that in the implementation of this agreement the debtor is set free from this guarantee system or is guaranteed by the third party. This qualitative study with normative juridical method is to examine how the mudharabah agreement is regulated in the perspective of Islam, how and whom bank syari’ah applies or distributes this mudharabah agreement to, and what mudharabah profit sharing mechanism is applied by Bank BNI Syari’ah Medan. The data for this study were collected through interviews and library research. The primary, secondary and tertiary data obltained were qualitatively analized. The result of this study shows that, among other thing, the regulation of themudharabah financing agreement is based on Al-Qur’an, Al-Hadist, National syari’ah Advisory Council of Indonesian Moslem Scholar Council, and Law No.21/2008 on Syari’ah Banking and Law No.10/1998 on Banking. Mudharabah financing implemented in Bank BNI Syari’ah Medan is a Mutlaqah Mudharabah financing intended to individuals or businesses run the project of contruction, production with profit sharing of 60 % for the debtor and 40 % for the bank, housing/real estate company with profit sharing of 90 % for the debtor and 10 % for the bank, goods/service distributor with profit sharing of 80 % for the debtor and 20% for the bank. The mechanism of mudharabah financing applied by Bank BNI Syari’ah Medan is generally almost the same as that applied by the other bank syari’ah.
It si suggested that Bank BNI Syari’ah Medan to do finance the busisesses breaking the Islamic law and do not focus on financing the project at local level only but also the productive busisesses at national and international level which have the oppourtunity to gain much more profit on the dispute solution is not carried out in the court of fisrt instance/court of commerce but in the religious (Islamic) court. Key words: Financing Agreement, Profit Sharing, Debtor.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan dan rahmat
serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
“ANALISIS PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL (MUDHARABAH)
ANTARA DEBITUR DAN BANK DENGAN SISTEM SYARI’AH (Penelitian Di
Bank BNI Syari’ah Medan).
Shalawat bertangkaikan salam penulis panjatkan keharibaan Nabi Muhammad
S.A.W. yang telah membawa ummat dari alam kejahiliyaan sampai kealam yang penuh
dengan hazanah keilmuan saat sekarang ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini bisa terselesaikan berkat dukungan dan bantuan
dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mnegucapkan
terimakasih yang tulus kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Chairuddin. P. Lubis, DTM&H,
Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister.
2. Direktur Sekolah Pascassarjana Universitas Sumatera Utara,
Prof.Dr.Ir.Hj.T.Chairun Nisa,B.,MSc, atas kesempatan yang diberikan kepada
penulis menjadi mahasiswa program magister ilmu hukum pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sunatera
Utara, Prof.Dr.H.Bismar Nst, SH.MH, atas segala pengarahan dan bimbingan
serta dukungan yang diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu pengetahuan iii
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
di program studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
4. Penghargaan yang setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada
Prof.Dr.H.Hasballah Thaib, MA dan Dr.Sunarmi, SH.M.Hum sebagai anggota
komisi pembimbing dengan penuh perhatian telah memberikan arahan dan ilmu
pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan sebaik-
baiknya.
5. Terima Kasih kepada Bapak Prof.Dr.Suhaidi, SH.MH dan Bapak Dr. Mahmul
Siregar,SH.MH, selaku Penguji yang telah memberikan masukan dan pemikiran
yang berarti demi kebaikan penulisan tesis ini.
6. Terima Kasih juga penulis ucapkan kepada Direktur serta staf jajaran di PT. Bank
BNI Syari’ah Medan, atas bantuan dan kebijaksanaannya yang memberikan izin
meneliti dan data dalam mendukung penelitian tesis ini.
7. Terima kasih yang tiada terhingga kepada kedua orang tua penulis yang telah
memberikan dukungan moril yang tulus, dan senantiasa berdoa kepada Allah,
Semoga Anaknya berguna bagi Agama, Nusa dan Bangsa.
Medan, Agustus 2008. Penulis,
Panataran Simanjuntak NPM. 057005018
iv
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP
Nama : Panataran Simanjuntak Tempat Tanggal Lahir : P.Lancat, 16 Agustus 1980 Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Alamat : Jl. Lubuk Raya Psr III No.102/122 C
Medan Perjuangan
PENDIDIKAN: 1. SD : Di Desa Padang Lancat, kec.Batang Toru (1986-1992) 2. Tsanawiyah : Di Pesantren Musthafawiyah Purba-Baru (1993-1996) 3. Aliyah : Di Pesantren Musthafawiyah Purba-Baru (1996-1999) 4. Starata Satu (S1) : Di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Medan
(1999-2004) 5. Starata Dua (S2) : Di Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Univesitas
Sumatera Utara (2005-2008). v
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ABSTRACT ................................................................................................... i ABSTRAK ...................................................................................................... ii KATA PENGANTAR.................................................................................... iii RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... v DAFTAR ISI................................................................................................... vi DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii DAFTAR ISTILAH ...................................................................................... ix
BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................ 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 7
E. Keaslian penelitian............................................................................... 8
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ............................................................. 9
G. Metode Penelitian ................................................................................ 15
1. Jenis Penelitian .................................................................... 15
2. Teknik Pengumpulan Data....................................................... 15
3. Alat Pengumpulan Data ........................................................... 16
4. Analisis Data .................................................................... 17
BAB II : PENGATURAN PERJANJIAN MUDHARABAH DALAM HUKUM
ISLAM ............................................................................................. 19
A. Pengaturan Perjanjian Menurut Hukum Islam .................................... 19
B. Unsur-Unsur Perjanjian Dalam Hukum Islam..................................... 23
C. Jenis-Jenis Perjanjian Dalam Hukum Islam ........................................ 28
vi
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
D. Pengaturan Perjanjian Mudharabah Dalam Hukum Islam................... 33
BAB III : PEMBIAYAAN BAGI HASIL (MUDHARABAH) DALAM BANK SYARI’AH ....................................................... 38
A. Pengertian Mudharabah ....................................................................... 38
B. Jenis-jenis Pembiayaan (Mudharabah) dalam Bank Syari’ah ............. 45
C. Kriteria Penerima Pembiayaan Mudharabah Pada Bank Syari’ah ..... 46
D. Jaminan dalam Pembiayaan Mudharabah ........................................... 59
BAB IV : MEKANISME PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL
(MUDHARABAH) ANTARA DEBITUR DAN BANK BNI SYARI’AH MEDAN.................................................................... 64
A. Perjanjian Mudharabah Pada Bank BNI Syari’ah Medan ................... 64
B. Penerapan Bagi Hasil (Mudharabah) antara Debitur dan Bank BNI
Syari’ah Medan.................................................................................... 86
C. Hambatan Pelaksanaan Bagi Hasil (Mudharabah) di Bank BNI
Syari’ah Medan.................................................................................... 91
D. Penyelesaian Sengketa di Bank BNI Syari’ah Medan......................... 93
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN..................................................... 106
A. Kesimpulan .......................................................................................... 106
B. Saran .................................................................................................... 108
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 109
vii
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman 1. Peningkatan Pembiayaan Mudharabah di Bank BNI Syari’ah 67 Medan. 2. Persentase Nisbah Bagi Hasil Pembiayaan Mudharabah 88
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISTILAH
Al Mudharabah : Akad pembiayaan dengan sistem bagi hasil Al Murabah : Akad jual beli dimana bank membeli barang yang diperlukan oleh nasabah. Mudharabah Al Mutlaqah : Pembiayaan tanpa membatasi mudharib Mudharabah Al Muqayyadah : Pembiayaan dengan batasan-batasan kepada mudharib Al Musyarakah : Kerjasama usaha patungan Al aqdu : Akad/janji Al ahdu : Janji/masa Al rahn : Akad penyerahan barang gadai/jaminan Al kafalah : Penjamin dari yang di biayai Amanah : kepercayaan Al-qadha : Menetapkan hukum syara’ pada suatu sengketa Akhwal as syakhsiyah : Perkara Perdata Al hisbah : Lembaga resmi yang berwenang menyelesaikan perkara pelanggaran ringan Al mudzalim : Badan peradilan yang di bentuk untuk membela orang yang teraniaya Basyarnas : Badan Arbitrase Syari’ah Nasional Constraint : Analisis terhadap keterbatasan yang tidak mungkin untuk membuka usaha Degree risk : Tingkat risiko terhadap waktu pembiayaan De jure : Berdasarkan hukum De facto : Menurut kenyataan Entrepereniur : pelaku usaha Fasid : rusak/batal General Invesment : Pembiayaan mudharabah mutlaqah Ibra’ : Membebaskan debitur dari hutang Ijab : Lafadz untuk memberi Intermediary : Tempat perantara antara pemilik dana dengan yang membutuhkan pembiayaan Istisna : Akad jual beli barang dengan sistem pesanan Intrest making : Pengambilan keuntungan Jinayah : Perkara Pidana Khiyar : Memilih Lack of funds : Pelaku usaha yang memerlukan dana Mudharib : Pelaku usaha Mukallaf : Orang yang sudah dewasa Mauquf : Akad yang dilakukan oleh yang cukup hukum tapi tak memiliki kekuasaan untuk melakukannya Nafiz : Perbuatan yang di bolehkan dilakukan seseorang
ix
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
On the spot : Peninjauan kelapangan Offering of letter : Tawaran Overeekomst : Usaha untuk mengambil keuntungan Profit sharing : Pembiayaan bagi hasil mudharabah Partnership : Mitra usaha Projected cas flow : Proyeksi arus kas Profibility : Unsur keuntungan dari pembiayaan Qabul : Lafadz untuk menerima Qiradh : Istilah lain dari pembiayaan mudharabah Surplus of funds : Orang yang punya kelebihan dana Shahibul mall : Pemilik modal Sighat : Lafadz akad Syarat ifadah : Menyandarkan akad pada masa yang akan datang Safety : keamanan pembiayaan Salafussaleh : Ulama Terdahulu Sulhu : Menyelesaikan sengketa dengan jalan musyawarah Tahkim : Penyelesaian sengketa dengan menunjuk wasit Trust investmen : Berdasarkan kepercayaan Ta’liq syarat : Mengkaitkan hasil sesuatu urusan dengan urusan lain Taqyid syarat : Syarat akad berakibat hukum hanya berupa ucapan Trust financing : Pembiayaan bagi hasil mudharabah Wansperestasi : Inkar janji Yamin : Sumpah dalam Islam
x
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehadiran perbankan syari’ah setelah terjadinya krisis yang melanda
Indonesia pada pertengahan tahun 1997 menjadi suatu sarana yang sangat strategis
dan menggembirakan bagi para entrepereniur terutama pengusaha muslim dalam
meneruskan produksi usahanya. Hal ini disebabkan kemampuan dari lembaga
perbankan syari’ah yang beroriantasi kepada sistem bagi hasil dapat memberikan
keuntungan ke setiap pengelola uang, tidak hanya kepada bank sebagai kreditor yang
telah memberikan pinjaman tetapi juga kepada debitur sebagai peminjam modal
dalam mengembangkan usaha mereka.
Secara de jure dan de facto, lembaga perbankan merupakan intermediary
pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) dengan para pihak yang
memerlukan dana (lack of funds), melayani kebutuhan pembiayaan serta
melaksanakan mekanisme sistem pembayaran bagi semua struktur perekonomian
masyarakat. Demikian juga dengan bank BNI Syari’ah Medan yang menerapkan
sistem bagi hasil kepada seluruh nasabah penabung dan nasabah debiturnya.
Ditinjau dari sudut kepentingan ekonomi perbankan syari’ah yang memakai
sistem bagi hasil dengan pembiayaan mudharabah (profit sharing) dalam
memperlancar roda perekonomian ummat dianggap mampu menekan terjadinya
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
inflasi karena tidak adanya ketetapan bunga yang harus dibayarkan ke bank,1 juga
dapat merubah haluan kaum muslimin dalam setiap transaksi perdagangan dan
keuangan yang sejalan dengan ajaran Islam.
Melihat kenyataan ini pelaksanaan sistem ekonomi Islam dan praktek
perbankan non bunga menjadi alternatif yang baik, di samping merupakan suatu
keharusan dan kewajiban dalam menjalankan anjuran agama, apalagi dengan di
keluarkannya Undang-undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah dan
Undang-Undang No.10 Tahun 1998 sebagai perubahan atas Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 tentang perbankan. Undang-undang tersebut telah mengatur semua
kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syari’ah.
Prinsip syari’ah adalah Prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syari’ah.2
Sedangkan Pembiayaan merupakan penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bintamlik, transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istsna’, transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qardh dan transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syari’ah dan /atau unit usaha syari’ah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan /atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.3
1 Agustianto, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam,(Bandung: Cipta Pustaka Media, 2002), hal
123. 2 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 Pasal 1 Angka 12 3 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 Pasal 1 Angka 25
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Pembiayaan mudharabah secara tidak langsung adalah bentuk penolakan
terhadap sistem bunga yang diterapkan oleh bank konvensional dalam mencari
keuntungan. Karena itu pelarangan bunga ditinjau dari ajaran Islam merupakan
perbuatan riba yang diharamkan dalam Al-Qur’an, sebab larangan riba tersebut
bukanlah meringankan beban orang yang dibantu dalam hal ini debitur tetapi
merupakan tindakan yang memperalat dan memakan harta orang lain tanpa melalui
jerih payah dan berisiko serta kemudahan yang diperolah orang kaya di atas
kesedihan orang miskin.4
Dengan demikian perbankan syari’ah yang memberikan pembiayaan
mudharabah terhadap debitur dengan sendirinya akan menjadikan hubungan di antara
kedua belah pihak bagaikan mitra dalam meraih keuntungan riil pada pengelolaan
kegiatan usaha mereka.
Pada konsep pembiayaan bagi hasil mudharabah dalam perbankan syari’ah
dikenal dengan istilah Qiradh adalah akad kerja sama antara dua pihak dimana
pemilik dana (shahibul mall) menyediakan seluruh modal sedangkan pihak kedua
(mudharib) bertindak selaku pengelola dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka
sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.5
Hubungan keterikatan antara dua pihak tersebut akan melahirkan konsekuensi
yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak yaitu seluruh kewajiban yang harus
4 Yusuf Qordhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani Perss, 1997),
hal.184. 5 Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Mudharabah (Qiradh), hal.40.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
ditunaikan dan apa-apa yang menjadi hak masing-masing yang akan diterima. Dalam
hal ini Al-Qur’an sebagai pedoman dari ajaran Islam yang ditafsirkan dengan realisasi
muamalah fiqh menerangkan perjanjian merupakan pernyataan dari seseorang untuk
mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan orang lain.6
Dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 282 yang artinya sebagai
berikut:
Hai orang-orang yang beriman, apabila bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar, dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkannya maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang–orang laki-laki (di antaramu). Juga tak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu pembayarannya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan (tulislah muamalah itu) kecuali mumalahmu itu perdagangan tunia yang kamu jalankan diantara kamu maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan persaksikanlah jika kamu berjual beli dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan, jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu, dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarimu dan Allah Mengetahui segala sesuatu.7
6 Gemala Dewi,dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2006), hal.45. 7 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnnya,(Semarang: Kumudasmoro Grafindo,
1994), hal 64.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa perjanjian pembiayaan
mudharabah merupakan perjanjian kerjasama antara pemilik modal dengan pengelola
usaha tanpa memakai agunan, yang mana di dalam akad tersebut dinyatakan akan
membagi keuntungan di antara mereka. Maka dapat dipahami bahwa perjanjian
mudharabah ini didasari kepada kepercayaan (trust investmen) dalam arti lain bahwa
pemodal akan menyerahkan dananya kepada pihak pengelola setelah ia yakin
peminjam modal tersebut baik secara skill maupun moral dapat dipercaya untuk
mengelola modal yang diberikan dengan keahliannya dan tidak akan memanipulasi
modal tersebut. Namun bukan berarti dalam pelaksanaan perjanjian mudharabah
tersebut pihak pengelola dilepaskan dari sistem jaminan atau ada pihak yang ketiga
yang menjamin, hal ini dilakukan supaya terciptanya keadilan di antara debitur dan
pihak bank sehingga dapat melindungi diri dari kerugian (the end of justice is to
secure from injury).8
Pembiayaan mudharabah di Bank BNI Syari’ah Medan tidak terlepas dari
mekanisme pelaksanaan perjanjian yang telah ditetapkan berdasarkan syarat dan
rukun dalam akad, sesuai dengan yang dimafhumkan ulama fiqhiyah dan juga Dewan
Syari’ah Nasional MUI tentang mudharabah (qiradh). Untuk itu pentingnya sah
sebuah perjanjian pembiayaan mudharabah tidak terlepas dari pada pemenuhan syarat
dan rukun mudharabah itu sendiri.
Adapun rukun dan syarat pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut:
8 Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Sebagai landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada
Pengukuhan Guru Besar,USU- Medan 17 April 2004, hal.5.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
1. Ada penyedia dana (shahibul mall) dan pengelola (mudharib) yang cakap
hukum.
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka pada waktu menandatangani akad (kontrak).
3. Modal, yaitu sejumlah uang dan/ atau asset yang diberikan oleh penyedia modal
kepada mudharib.
4. Keuntungan, artinya sejumlah kelebihan yang dapat sebagai kelebihan dari
modal.
5. Kegiatan usaha oleh pengelola (Mudharib) sebagai perimbangan modal yang
disediakan oleh penyedia dana.9
Adanya klausula yang menentukan sahnya suatu perjanjian di dalam
Keputusan Dewan Syariah yang berlandasakan hukum Islam dan telah dipakai bank
syari’ah sebagai rujukan dalam pembiayaan mudharabah merupakan sebuah
gambaran bahwa di dalam perbankan syariah seorang debitur harus memenuhi segala
yang tertuang dalam isi kontrak suatu perjanjian berupa kewajiban yang harus
ditunaikan setelah pengelolaan usaha. Dengan demikian pelaksanaan suatu perjanjian
bagi hasil dengan pembiayaan mudharabah antara debitur dan bank tersebut
seyogianya memberikan gambaran keuntungan kepada kedua belah pihak.
9 Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, hal.48.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Maka berdasarkan dari latar belakang di atas, penulis termotivasi untuk
meneliti tentang “ANALISIS PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL
(MUDHARABAH) ANTARA DEBITUR DAN BANK DENGAN SISTEM
SYARI’AH (Penelitian Di Bank BNI Syari’ah Medan).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat di rumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan tentang perjanjian Mudharabah dalam hukum
Islam?
2. Bagaimana dan kepada siapa bank syari’ah menyalurkan perjanjian
mudharabah?
3. Bagimanakah mekanisme bagi hasil (mudharabah) dalam Bank BNI
Syari’ah Medan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang di rumuskan diatas, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan perjanjian mudharabah dalam hukum Islam.
2. Untuk mengetahui adanya dan kepada siapa disalurkan pembiayaan
mudharabah.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
3. Untuk mengetahui mekanisme bagi hasil (mudharabah) di Bank BNI
Syari’ah Medan.
D. Manfaat Penelitian
Dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi
manfaat sebagai berikut :
1. Sumbangan teroitis bagi pengembangan ilmu hukum umunya dan
khususnya hukum perbankan, terutama yang berkaitan dengan perbankan
syari’ah
2. Sebagai sumbangan pemikiran bagi dunia perbankan dan masyarakat pada
umumnya serta bahan informasi dan referensi untuk memperkokoh
landasan bagi penelitian perbankan syari’ah atau masyarakat yang ingin
membahas dan meneliti terhadap kajian yang sama.
E. Keaslian Penelitian
Sepanjang yang dapat diketahui, berdasarkan penelusuran atas hasil-hasil
penelitian yang sudah ada maka penelitian mengenai analisi pelaksanaan perjanjian
bagi hasil (Mudharabah) antara debitur dan Bank dengan sistem syari’ah (Penelitian
di Bank BNI Syari’ah Medan) dengan topik dan permasalahan yang sama belum
pernah dilakukan, namun yang menyangkut tentang bagi hasil, seperti yang dilakukan
oleh : Mulhadi dengan judul tesis; Asas Perlindungan Nasabah Debitur Berdasarkan
Sistem Bank Syari’ah, Ikrom Bin Abdul Rahman dengan judul tesis; Asas-Asas
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Perlindungan Nasabah Tertanggung Menurut Sistem Asuransi Takaful Syari’ah Dan
Pelaksanaannya, Siti Habsyah dengan judul tesis; Prinsip Mudharabah Terhadap
Obligasi Dalam Pasar Modal Syari’ah, Fahruddin dengan judul tesis: Analisa Yuridis
Tentang Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Dengan Prinsip Bagi Hasil Mudharabah
Pada PT.Bank Syari’ah Mandiri Cabang Medan, Dian Mandayani A. Nst dengan
judul tesis; Analisa Hukum Letter Of Credit (L/C) Berbasis Syari’ah Di Bank
Syari’ah Mandiri, Latifah Hanim, dengan judul tesis; Penyelesaian Pembiayaan
Mudharabah Yang Macet Di PBRS Al-Wasliyah Medan. Berdasarkan argumentasi
demikian, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini asli dan keasliannya dapat di
pertanggungjawabkan.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
Keberadaan perbankan Islam di tanah air telah mendapat pijakan yang kokoh
setelah adanya paket deregulasi yaitu, berkaitan dengan berlakunya undang-udang
No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah, Undang Undang No.7 Tahun 1992
yang direvisi melalui Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan yang
dengan tegas mengakui keberadaaan dan berfungsinya sistem bagi hasil dalam bank
syari’ah. Dengan demikian prinsip bagi hasil dengan pembiayaan mudharabah yang
diterapkan dalam perbankan Islam merupakan cerminan dari kegiatan muamalah
yang berlandaskan syari’ah Islam ketika melakukan kegiatan usaha.
Perbankan Islam dalam menerapkan prinsip bagi hasil dapat dilakukan dengan
beberapa akad, yaitu akad pembiayaan al-musyarakah, al-murabahah dan al-
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
mudharabah untuk kegiatan pembiayaan modal usaha, ataupun penyaluran biaya
kepada mereka yang kekurangan dana tetapi memiliki keterampilan untuk
menjalankan bisnis dengan suatu keuntungan tidak pasti yang mungkin dapat atau
juga mungkin tidak dapat diwujudkan.10
Pertama, Al-Musyarakah atau dalam kalimat lain dikenal dengan syirkah
merupakan sebuah transaksi antara dua orang atau lebih yang dua-duanya sepakat
untuk melakukan kerjasama yang bersifat finansial dengan tujuan mencari
keuntungan.11 Namun dalam penelitian ini penulis tidak akan membahas tentang
pembiyaan musyarakah secara mendalam, sebab pembiayaan yang berhubungan
dengan seorang debitur hanya dalam pembiyaan mudharabah saja.
Kedua, Al-Murabahah yaitu akad jual beli barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.12
Dengan demikian bentuk pembiayaan dalam bank syari’ah dengan prinsip
bagi hasil yang ketiga yaitu Al-mudharabah adalah sistem pendanaan operasional
realitas bisnis, 13dimana baik sebagai pemilik modal biasanya disebut shahibul mall
dengan menyediakan modal 100 % kepada pengusaha sebagai pengelola disebut
sebagai mudharib untuk melakukan aktivitas produktif dengan syarat bahwa
keuntungan yang dihasilkan akan dibagi di antara mereka sesuai dengan kesepakatan
10 Abdullah Saed, Menyoal Bank Syari’ah, Keritikan atas Interpretasi Bunga Bank Neo-
Revivaless,(Jakarta: Paramadina,2004), hal.110. 11 Hasballah Thaib, Hukum Akad (kontrak)Dalam Fiqh Islam dan Praktek Di Bank Sistem
Syari’ah, (Medan: tp.,2005), hal.98. 12 Adiwarman A.Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan,(Jakarta:Raja Grafindo
Persada,2004), hal.113. 13 Ibid, hal.114.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
yang disebutkan dalam akad mereka.14 dan jika ada mengalami kerugian setelah
adanya pengelolaan usaha oleh mudharib bukan karena kelalaian yang disengaja
maka akan ditanggung oleh si investor atau shahibul mall.15
Mudharabah berasal dari kata dharb, yang artinya memukul atau berjalan,
pengertian memukul atau berjalan lebih tepatnya adalah proses seseorang
memukulkan kakinya dalam menjalankan usahanya.16
Di dalam Al-Qur’an memang tidak disebutkan secara khusus mengenai
mudharabah, namun secara umum landasan syari’ah yang mencerminkan anjuran
untuk berusaha dinyatakan dalam surah Al-Muzammil ayat 20, yang artinya sebagai
berikut:
Dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebahagian
karunia Allah.17
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Al-Thabrani yang artinya sebagai
berikut:
Bahwa Sayyidina Abbas Ibn Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra
usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi
lautan, menuruni lembah yang berbahaya atau membeli ternak, jika menyalahi
peraturan tersebut yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut,
14 Ascaya Diana Yunita, Bank Syari’ah: Gambaran Umum (Jakarta: PPSK BI, 2005), hal.21. 15 Abdullah Saed, Op Cit.,hal. 77 16 Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), hal 95. 17 Departemen Agama, Op Cit, hal.1295
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah S.A.W dan Rasulullah pun
membolehkannya.18
Secara umum mudharabah dibagi kepada dua jenis, yaitu;
1. Mudharabah Muthlaqah, yaitu suatu bentuk kerjasama antara shahibul mall
dengan mudharib tanpa membatasi spesifikasi jenis usahanya, sepanjang
usaha tersebut dianggap baik dan bisa memberi keuntungan.
2. Mudahrabah Muqayyadah,yaitu shahibul mall menentukan syarat atau
pembatasan kepada pengelola dana dalam menjalankan usaha.
Maka inti mekanisme dari pada mudharabah itu sendiri pada dasarnya terletak
pada kerjasama yang baik antara pemberi dana dan pengelola dana dengan dasar
kepercayaan, kerjasama inilah yang merupakan karakter utama dalam pelaksanaan
perjanjian mudharabah di perbankan syari’ah.
Dari hal tersebut secara legalitas di dalam perbankan syari’ah, akad yang
dilakukan oleh debitur dan pihak bank tidak hanya memiliki dimensi dari duniawi
semata tetapi juga mencerminkan ukhrawi disebabkan akad tersebut berlandaskan
hukum Islam, dengan demikian di setiap akad dalam perbankan syari’ah harus
memenuhi ketentuan-ketuntuan akad seperti dalam memenuhi rukun dan syarat dalam
akad tersebut.
Penyaluran dana terhadap seorang debitur atau peminjam modal baik ia dalam
bentuk pembiayaan mudharabah tidak terlepas dari sah atau tidaknya suatu akad
(kontrak) yang di sepakati oleh kedua belah pihak, dengan kata lain bahwa akad
18 Antonio, Muhammad Syafi’I, Op Cit, hal.96
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
antara bank dan debitur tersebut selalu perpedoman kepada ketentuan yang telah
berlaku dalam pembiayaan bagi hasil dalam bank syariah
Secara bahasa perjanjian menurut jumhur ulama dikatakan dengan Akad, dan
secara terminologi akad didefinisikan dengan Pertalian ijab (peryataan melakukan
ikatan) dan qabul (peryataan penerima) sesuai dengan kehendak syari’at yang
mempengaruhi pada objek perikatan.19
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa dalam menentukan sah atau
tidaknya suatu perjanjian dapat dilihat dari pernyataan perjanjian tersebut memakai
ijab dan qabul, dan harus ada pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian, di samping
bahwa objek yang ada dalam perjanjian tersebut harus dibenarkan oleh syari’ah.
Sementara itu Ulama fiqh juga telah menetapkan syarat akad sebagai berikut :
a.. Mukallaf, artinya pihak yang melakukan akad tersebut telah cakap bertindak
secara hukum.
b. Objek akad tersebut diakaui oleh syara’.
c. Akad itu tidak dilarang oleh nash.
d. Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait dengan
yang diakadkan.
e. Akad tersebut bermanfaat.20
Kemudian rukun akad harus meliputi beberapa unsur yaitu :
1). Pernyataan untuk mengikatkan diri.
19 Hasballah Thaib, Op Cit, hal.1. 20 Ibid., hal. 8-10.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
2). Pihak yang ber akad.
3). Objek akad.
Di dalam al-Qur’an disebutkan yang artinya :
Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad tersebut.21
Maka dalam mewujudkan suatu kesepakatan dalam sebuah kontrak dalam
setiap perjanjian sebagimana dalam rukun akad, mesti ada kehendak dari pada pihak
yang ingin mengikatkan diri, artinya kebebasan untuk mengikatkan diri tersebut
menjadi sebuah syarat yang membuat suatu perjanjian menjadi sah atau tidak,
kemudian karena pada prinsifnya perjanjian pembiayaan mudharabh ini tidak ada
jaminan artinya bahwa perjanjian ini hanya didasari kepada kepercayaan bank
terhadap debitur, maka dengan sendirinya seorang debitur akan melaksanakan
kewajibannya sebagaimana halnya dengan kreditur juga harus memperhatikan
kepentingan dari debitur dalam situasi tertentu.22
Konsepsi
Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap istilah-istilah yang digunakan
dalam tesis ini, maka perlu dicantumkan definisi-definisi tersebut:
Perbankan syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank
syari’ah dan unit usaha syari’ah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara
21 Departemen Agama,Op Cit, hal.825. 22 Suharnoko, Perjanjian Teori dan Analisa Kasus (Jakarta: Kencana,2004), hal.4.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya 23
Mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama
pemberi modal sedangkan pihak kedua memanfaatkan untuk tujuan-tujuan usaha dan
keuntungan dari usaha tersebut akan dibagikan diantara mereka berdasarkan
kesepakatan yang dituangkan dalam akad (kontrak).24
Pembiayaan mudaharabah adalah pembiayaan yang disalurkan lembaga
keuangan syari’ah kepada pihak lain untuk usaha yang produktif.25
Perjanjian pembiayaan adalah perjanjian berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai
untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan atau bagi hasil.26
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Untuk menunjang diperolehnya data yang faktual dan akurat, penelitian yang
dilakukan bersifat deskriptif analisis, yaitu hanya menggambarkan secara sistematis
fakta-fakta terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan tujuan membatasi
23 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 Pasal 1 Angka 1 24 Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, Op Cit, hal. 40 25 Ibid, hal.44. 26 Pasal 1 ayat 12 Undan-Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
kerangka studi kepada analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan
untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.27
2. Teknik Pengumpulan Data
Sebagai sebuah penelitian hukum normatif, maka penelitian ini ditujukan
untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian bagi hasil (Mudharabah) antara debitur dan
Bank dengan sistem syari’ah (Penelitian di bank BNI Syari’ah Medan), dengan
demikian penelitian ini menempatkan kaidah-kaidah hukum terkait dengan bagi hasil
(Mudharabah) di bank syari’ah, dalam arti sejauh mana hukum dalam mengatur
tentang bagi hasil, mekansime dan pelaksanaan perjanjiannya. Maka dari hal tersebut
penelitian ini menganalisis law as it written in book, maupun law it is decided by the
jugle trough judical process,28 sehingga penelitian ini juga disebut dengan istilah
penelitian doktrinal.
Digunakannya metode yuridis normatif yang bersifat kualitatif didasarkan
kepada berbagai pertimbangan, yaitu:
1. Analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan yang dinamis
antara teori, konsep dan data yang merupakan umpan balik atau
modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data
yang dikumpulkan.
27 Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan
Pemukiman Berkelanjutan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal.17. 28 Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, makalah
disampaikan pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum Dan Hasil Penelitian Hukum Pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Pebruari 2003, hal.1
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
2. Data yang akan dianalisis beraneka ragam serta memiliki sifat dasar yang
berbeda antara yang satu dengan yang lain.
3. Sifat dasar data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah bersifat
menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral, dan dengan sifat
yang integral ini menuntut tersedianya informasi yang mendalam.
3. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi dokumen yang
bersumber dari bahan hukum primer, yakni bahan-bahan hukum yang mengikat,
seperti Undang-undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah , Undang-
Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Undang-Undang Bank Indonesia
No. 2 Tahun 2004, Himpunan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiyaan Mudharabah, Fiqh Islam, Kitab
undang-Undang Hukum Perdata serta peraturan-peraturan lain yang relevan dan
wawancara dengan fihak Bank BNI Syariah Medan.
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa hasil-hasil seminar atau
penemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pandangan kalangan pakar
hukum sepanjang hal itu berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini.29
Bahan hukum tertier dalam penelitian ini dipergunakan untuk memberikan
penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus umum, kamus
29 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Gahlia Indonesia,1982),
hal.24.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
hukum, kamus hukum ekonomi, majalah dan jurnal ilmiah. Pengumpulan data
dimulai dengan melakukan identifikasi seluruh data yag relevan dengan permasalahan
penelitian, setelah data teridentifikasi baru dilakukan inventarisasi data-data,
kemudian data yang terkumpul akan dikelompokkan atau dipilah-pilah untuk
digunakan proses analisis data.
4. Analisa Data
Selanjutnya data yang dianalisis secara kualitatif, dengan kata lain bahwa
analisis data lebih mengutamakan aspek menyeluruh dan mendalaminya dengan data
yang bersangkutan, dari data yang sudah dikumpulkan akan dipilah-pilah untuk
memperoleh pasal-pasal yang berisikan kaidai-kaidah hukum yang mengatur masalah
pelaksanaan perjanjian bagi hasil antara debitur dengan bank syariah.
Sesuai dengan karakter dari penelitian kualitatif maka alur pikir dalam analisis
data pada penelitian ini adalah berpola induktif, yaitu analisis berawal dari hal yang
berkarakter khusus, melalui kaidah-kaidah hukum dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait langsung atau berhubungan dengan masalah
pelaksanaan perjanjian mudharabah antara debitur dan Bank dengan sistem syari’ah
(Penelitian di Bank BNI Syari’ah Medan). Melalui pemahaman dan mempelajari serta
menganalisa kaidah-kadiah hukum yang bersifat khusus tersebut akan dicoba untuk
membuat suatu kesimpulan yang bersifat umum mengenai pelaksanaan perjanjian
bagi hasil (mudharabah) antara debitur dan bank dengan sistem syari’ah, dalam arti
bahwa secara khusus yang bisa menjawab permasalahan penelitian.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB II PENGATURAN PERJANJIAN MUDHARABAH
DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengaturan Perjanjian Dalam Hukum Islam
Ajaran Islam tidak hanya diturunkan demi kebahagian dan kebaikan bagi kaum
muslimin semata, tetapi Islam merupakan agama yang bersifat rahmatan lil alamin
artinya agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Beranjak dari kehidupan
manusia agama Islam telah membuat pengaturan yang komperehensif dan universal
sehingga kehidupan manusia senantiasa saling menjaga hubungan baik antara satu
individu dengan individu lainnya dan juga menjaga hubungan yang bersifat spiritual
dengan Sang Khaliq yakni Allah SWT.
Hubungan vertikal kepada Allah SWT bisa terwujud dengan melaksanakan
suruhan atau perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya, di sisi lain
manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lainnya dalam bentuk muamalah
baik di bidang harta kekayaan maupun hubungan kekeluargaan, hubungan sesama
manusia khsususnya di bidang harta kekayaan biasanya dapat diwujudkan dalam
bentuk perjanjian atau akad.30
Dalam Al-Qur’an ada terdapat 2 (dua) istilah yang menyangkut dengan
perjanjian, yaitu kalimat al-aqdu (akad) dan al-‘akhdu (janji). Al-Qur’an mamakai
30 Abdul Ghofur Ansory, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia (Yogyakarta:
Citra Media, 2006). Hal.1
19
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
kalimat pertama dalam arti perikatan atau perjanjian, sedangkan kalimat yang kedua
dalam Al-Qur’an berarti masa, pesan, penyempurnaan dan janji atau perjanjian.31
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai perjanjian dan perikatan dalam hukum
Islam berikut dikemukakan beberapa pendapat kalangan ulama fiqhiyah, antara lain
yaitu;
Pertama, menurut Wahbah Alzuhaily Secara etimologi akad adalah ikatan
antara dua perkara baik ikatan secara nyata maupun secara maknawi dari satu segi
maupun dari dua segi, 32 kemudian pengertian secara termenologi fiqh akad
didefenisikan dengan pertalian ijab (peryataan melakukan ikatan) dan qabul
(pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syari’ah yang berpengaruh
pada obyek perikatan.33 Sedangkan kalimat al-‘akhdu dapat disamakan dengan istilah
perjanjian atau overeekomst, yaitu suatu peryataan dari seseorang untuk mengerjakan
atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain.34
Kedua, dalam pandangan ulama syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanabilah, akad
merupakan segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya
sendiri, seperti wakaf, pembebasan, Atau sesuatu yang yang pembentukannya
membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli dan gadai.35
Ketiga, menurut Abdor Roof mengatakan bahwa pada dasarnya ada tiga tahap
yang meenimbulkan perikatan (akad) yaitu sebagai berikut :
31 Ibid, hal. 19. 32 Wahbah Al-Juhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Damsyik: dar alFikr, 1989). hal.80. 33 Hasballah Thaib, Op Cit, hal.1. 34 Gemala dewi, dkk, Op Cit, hal. 45. 35 Rachmat Syafi’I, fiqh Muamalah, (Bandung : Pustaka setia, 2004) hal. 44.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
a. Al’akhdu (perjanjian), yaitu ada pernyataan dari seseorang untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan
kemauan orang lain, dalam hal ini janji tersebut mengikat orang yang
mengatakannya supaya terlaksananya perjanjian yang telah dibuat tersebut.
b. Persetujuan yaitu pernyataan dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh
pihak pertama kemudian janji tersebut harus sesuai dengan janji pada pihak
pertama.
c. Apabila ada dua buah janji yang dilaksanakan oleh para pihak maka terjadilah apa
yang dinamakan “al-aqdu” yang mengikat masing-masing pihak sesudah
pelaksanaan perjanjian dengan kata lain hal tersebut bukan lagi al‘akhdu tetapi
sudah Al-aqdu.36
Dari tiga point di atas dapat dimisalkan ketika si A menyatakan janji untuk
menjual sebuah mobil kemudian si B menyatakan janji untuk membeli mobil
tersebut, maka dalam tahap ini si A dan si B sudah masuk ke tahap al’akhdu, apabila
merek mobil, harga mobil disepakati oelh kedua belah pihak maka terjadilah
persetujuan, kemudian dari kedua janji tersebut dilaksanakan maka terjadilah
perikatan atau al-aqdu.
Menurut Musthafa Ahmad Az-zar’i salah satu pakar fiqh di Jordania asal Syiri’a
mengatakan bahwasanya tindakan seseorang tersebut dibagi kepada dua bentuk yaitu
tindakan berupa perkataan yang meliputi yang bersifat akad dan non akad, tindakan
36 Gemala Dewi, Op Cit,. hal. 46.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
yang berupa perkataan yang bersifat akad terdiri atas dua atau beberapa pihak yang
meningkatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian, sedangkan perkataan yang
bersifat non akad yaitu apa-apa yang mengandung kehendak pemilik untuk
menetapkan atau melimpahkan hak membatalkan atau mengugurkan apa-apa yang
tidak mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau mengugurkan suatu pihak
tetapi perkataannya itu memunculkan suatu tindakan hukum.37
Ke empat, di dalam peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang
akad perhimpunan atau penyaluran dan bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsif syari’ah, yaitu dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) dikemukakan
bahwa akad adalah perjanjian yang tertulis yang memuat ijab (penawaran) dan qabul
(penerimaan) antara bank dengan pihak lain yang berisi hak dan kewajiban masig-
masing pihak sesuai dengan prinsip syari’ah.38
Maka dari defenisi yang tercantum di atas, penulis dapat membuat kesimpulan
bahwa perjanjian atau akad adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak yang
bertujuan untuk saling mengikatkan diri yang diwujudkan dalam ijab dan qabul yang
objeknya sesuai dengan syari’ah, dengan pengertian lain bahwa perjanjian tersebut
berlandaskan keridhoan atau kerelaan secara timbal balik dari kedua belah pihak
terhadap objek yang sesuai dengan prinsip syari’ah. Dengan demikian akad atau
perjanjian akan menimbulkan kewajiban prestasi pada satu pihak dan hak bagi pihak
lain atas prestasi tersebut.
37 Hasballah thaib, Op Cit,.hal .2. 38 Abdul Ghofur Ansory, Op Cit,. hal. 21.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
B. Unsur-Unsur Perjanjian (Akad) Dalam Hukum Islam
Merujuk kepada defenisi perjanjian atau akad di atas, dapat diketahui bahwa
untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi rukun dan syarat dari suatu perjanjian
atau akad tersebut. Dalam pandangan ulama fiqhiyah rukun adalah unsur yang mutlak
harus dipenuhi dalam sesuatu hal, peristiwa dan tindakan, sedangkan syarat adalah
unsur yang harus ada untuk semua hal, peristiwa dan tindakan yang dimaksud. Maka
rukun dalam perjanjian atau akad adalah ijab dan qabul sedangkan syarat yang harus
ada dalam rukun bisa menyangkut subjek atau objek dari suatu perjanjian dimaksud
39 dalam hal ini harus sesuai dengan syari’ah.
Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam perjanjian atau akad adalah
sebagai berikut :
1. Pernyataan Untuk Mengikatkan Diri.
Ijab adalah suatu pernyataan kehendak oleh satu pihak (mujib) untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Qabul adalah pernyataan menerima atau
menyetujui kehendak mujib tersebut oleh pihak lainnya (qabil). Dengan demikian
ijab dan qabul harus ada dalam melaksanakan suatu perjanjian atau akad yaitu berupa
pernyataan dari pihak-pihak untuk mengikatkan diri terhadap perjanjian yang dibuat
tersebut.
Pernyataan untuk mengikatkan diri (sighot al-aqdu) menjadi sesuatu yang urgen
dalam rukun akad. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui tujuan, jenis akad dan
sasaran yang dikehendaki oleh para pihak. Bagi ulama Hanafiyah rukun akad
39 Ibid,. hal. 22.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
sebenarnya hanya satu yaitu sighot al-aqdu (ijab dan qabul) sedangkan pihak-pihak
yang berakad dan objek akad dimasukkan kepada syarat-syarat akad, karena dalam
pandangan ulama Hanafiyah yang dikatakan rukun adalah sesuatu esensi yang berada
dalam akad itu sendiri sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek akad berada di
luar esensi akad.40
Pernyataan ijab dan qabul bisa berbentuk perkataan, tulisan, perbuatan dan
isyarat, maka akad dalam bentuk perkataan adalah berupa shigat atau ucapan. Hal ini
yang paling banyak digunakan sebab paling mudah digunakan dan cepat dipahami.
Tentu saja kedua belah pihak harus mengerti ucapan masing-masing serta
menunjukkan keridhaannya.41
Akad melalui tulisan dibolehkan baik bagi orang yang mampu berbicara atau
tidak dengan syarat tulisan tersebut harus jelas, tampak dan dapat dipahami oleh
kedua belah pihak, hal ini sesuai dengan kaedah yang dibuat oleh ulama yang
menyatakan sebagai berikut :
Tulisan itu sama dengan lisan.42
Persyaratan akad melalui perbuatan bisa dilakukan asal perbuatan tersebut
menunjukkan saling meridhoi. Dalam hal ini ulama Hanafiyah dan Hanabilah
menambahkan bolehnya perbuatan menjadi ijab dan qabul tersebut kepada perbuatan
terhadap barang-barang yang sudah diketahui secara umum oleh manusia.43
40 Hasballah Thaib, Op Cit,. hal. 4. 41 Rahmat Syafi’i, Op Cit,. hal.46. 42 Hasballah Thaib, Op Cit,. hal. 5. 43 Rahmat Syafi’i, Op Cit,. hal.49.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Kemudian akad bisa dilakukan melalui isyarat yang menunjukkan secara jelas
kehendak para pihak-pihak yang maksudkan oleh akad, misalnya isyarat yang
ditujukan oleh orang yang bisu yang tidak bisa tulis dan baca. Untuk hal ini ulama
fiqh membuat suatu kaedah sebagai berikut:
Isyarat yang jelas dari orang yang bisu sama dengan penjelasan dengan lisan.44
Maka dalam hal ini bila mana isyarat tersebut dikemukakan oleh orang yang
sudah jelas menjadi kebiasaan baginya dan isyarat itu menunjukkan apa yang
dikehendakinya untuk melakukan sesuatu akad maka posisi isyarat dalam disini sama
artinya dengan penjesan melalui lisan orang yang pandai untuk berbicara secara
langsung.45
Mengenai syarat-syarat ijab dan qabul para ulama fiqh menetapkan sebagai
berikut:
a. Ijab dan qabul harus jelas maksudnya sehingga dapat dipahami oleh pihak
yang melangsungkan akad atau perjanjian.
b. Antara ijab dab qabul harus sesuai.
c. Antara ijab dan qabul harus bersambung, berada di tempat yang sama, jika
kedua belah pihak hadir atau berada di tempat atau berada ditempat yang
sudah diketahui oleh keduanya.46
2. Pihak-Pihak Yang Berjanji (Berakad)
44 Hasballah Thaib, Op Cit,. hal. 7. 45 Ibid,.hal.7 46 Rahmat Syafi’i,. Op Cit,. hal 51.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Pihak yang berjanji atau berakad diharuskan sama-sama mempunyai kecakapan
hukum dalam tindakan hukum. Dalam istilah fiqhnya harus Mukallaf dengan arti lain
orang yang hendak melakukan perjanjian tersebut sudah dewasa menurut ketentuan
hukum yang berlaku. Kemudian diharuskan juga yang berakad itu sehat akalnya
artinya tidak sedang mengalami gangguan jiwa atau gila, maka pada tahap ini
kapasitas seseorang telah sempurna, sebab telah mampu untuk bersikap dan bertindak
demi keamanan dalam mengelola dan mnegontrol usaha bisnisnya dengan
bijaksana.47
Berhubungan dengan tindakan atau berbuat kebijakan manusia pada dasarnya
dibagi kepada tiga bentuk untuk berbuat kecapakapan atau melakukan perjanjian,
yaitu :
a. Manusia yang tidak bisa atau tidak dapat melakukan perjanjian atau akad apapun,
seperti orang yang cacat mental/jiwa, anak kecil yang belum mumaiz.
b. Manusia yang dapat melakukan akad tertentu, misalnya anak yang sudah muamaiz
tetapi belum baligh atau dewasa.
c. Manusia yang dapat melakukan seluruh perjanjian atau akad yaitu orang yang telah
memenuhi syarat menjadi mukallaf.48
Maka akad atau perjanjian yang dilaksanakan oleh orang gila dan anak kecil
yang belum mumaiz secara langsung hukumnya tidak sah, tetapi jika dilakukan oleh
orang tua mereka dari sifat akad yang bisa dilakukan oleh wali mereka yang
47 Gemala Dewi, dkk, Op Cit,. hal. 53 48 Ibid, hal 54
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
kemudian memberi manfaat bagi orang-orang yang diampunya dalam hal ini akad
tersebut hukumnya sah.49
3. Objek Perjanjian (Akad).
Objek akad atau perjanjian adalah sesuatu atau benda-benda yang dijadikan
akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang di timbulkan. Bentuk objek akad
tersebut dapat berupa benda berwujud maupun benda tidak berwujud seumpama
manfaatnya.50
Untuk Objek akad harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Objek akad tersebut harus diakui oleh syara’, dengan ketentuan bahwa objeknya
harus :
1). Berbentuk harta
2). Dimiliki oleh seseorang
3). Bernilai harta menurut harta dalam Islam.51
b. Objek akad tersebut harus ada dan bisa diserahkan ketika berlangsungnya akad.52
Berdasarkan syarat yang dikemukakan di atas barang yang tidak ada ketika akad
berlangsung tidak sah dijadikan objek akad, kecuali menurut ulama Syafi’iyah dan
Hanafiyah dalam beberapa hal seperti upah-mengupah, menggarap tanah. Kemudian
terdapat juga pengecualian terhadap perjanjian atau akad–akad tertentu seperti akad
salam dan istisna. Maksud salam adalah pembelian barang yang diserahkan
49 Hasballah Thaib, Op C it,.hal.8. 50 Gemala Dewi , dkk, Op Cit,.hal. 60. 51 Hasballah Thaib, Op Cit,.hal.8 52 Ibid,.hal.9.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
dikemudian hari sementara pembayarannya dilakukan dimuka dengan kata lain jual
beli utang dari pihak penjual dan kontan dari pihak pembeli karena uangnya telah
dibayarkan ketika akad berlangsung.53
Istisna adalah kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam
kontrak ini pembuat barang menerima pesanan dari pembeli untuk membuat
dilakukan di muka melalui cicilan atau ditangguhkan sampai waktu yang akan
datang.54
c. Objek akad diketahui oleh kedua belah pihak
Sesuatu benda yang dijadikan objek oleh kedua belah pihak harus memiliki
kejelasan dan diketahui oleh keduanya. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan
kesalah pahaman di antara para pihak sehingga melahirkan perselisihan. Jika objek
dalam perjanjian tersebut berupa benda maka bentuk, fungsi, dan keadaan, faedahnya
ada cacat pada benda objek akad dimaksud. Maka perjanjian tersebut harus
dibatalkan, sebab perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak senantiasa memiliki
tujuan yang jelas dan gamblang tanpa dirasuki oleh tipu daya dan kecurangan.
C. Jenis- Jenis Perjanjian Dalam Hukum Islam
Perjanjian atau akad dalam hukum Islam dibagi beberapa macam, yang setiap
macamnya tergantung dari sudut pandang mana ia dilihat, apabila dilihat dari segi
keabsahannya menurut syara’ akad atau perjanjian dibagi kepada dua macam yaitu:
53 Rahmat Syafi’i,. Op Cit,. hal 59. 54 Gemala Dewi, dkk.hal.112.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
1. Perjanjian atau akad yang sahih.
Perjanjian yang sahih adalah perjanjian yang telah memenuhi rukun dan syarat
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syara’. oleh karena itu konsekuwensi yang
ditimbulkan akan mengikat para pihak yang berjanji atau yang berakad.55
Menurut ulama Hanafiyah akad atau perjanjian yang sahih dibagi kepada dua
macam, yakni sebagi berikut:
Pertama, akad yang nafiz, yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi
rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya atau dengan
kata lain akan yang sempurna untuk dilaksanakan.56
Kedua, akad yang muaquf, yaitu akad dilakukan oleh seseorang yang cakap
bertindak secara hukum tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan
dan melaksanakan perjanjian/akad tersebut,57 hal ini dapat dicontohkan ketika si A
memberikan uang kepada si B sejumlah Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah) untuk
membeli seekor kelinci, dan ternyata setelah di kebun penjual kelinci, uang yang 2
juta tadi dapat membeli 4 ekor kelinci sehingga si B membeli 4 ekor dengan uang
tersebut. Keabsahan dari akad jual beli dengan 4 ekor kelinci ini sangat tergantung
kepada persetujuan si A. Sebab yang disuruh pertama kali si B hanya untuk membeli
1 ekor kelinci. Dari permasalahan jual beli ini dapat dianalisa, jika si A menyetujui
akad yang dilakukan oleh si B maka jual beli itu sah, tetapi jika tidak maka jual beli
tersebut menjadi batal.
55 Rahmat Syafi’i,. Op Cit,. hal 66 56 Hasballah Thaib, Op cit, hal 16 57 Ibid, hal 17
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
2. Akad yang tidak sahih
Akad yang tidak sahih atau tidak sah adalah akad/ perjanjian yang tidak
memenuhi unsur rukun dan unsur syarat, artinya akad ini tidak mempunyai dampak
hukum atau tidak sah. Menurut ulama Hanafiyah akad yang seperti ini tergolong
kepada akad yang batal dan fasid. Menurut beliau akad yang batal dan fasid bisa
dibedakan, yaitu kalau akad yang batal berarti akad ini tidak memenuhi rukun akad,
atau tidak ada barang yang diakadkan seumpama akad yang dilakukan oleh seorang
yang bukan ahli akad contoh akad orang yang gila, sedangkan akad yang fasid adalah
akad yang memenuhi persyaratan dan rukunya tetapi dilarang oleh syara’ seperti
halnya menjual barang yang tidak diketahui sehingga dapat menimbulkan persoalan
dibelakang hari.58
Selanjutnya akad atau perjanjian dilihat dari sisi mengikat atau tidak mengikat.
Yakni jika akad itu dilihat dari segi mengikat maka sudah mempunyai konsekuwensi
tidak boleh membatalkan akad hanya satu pihak, atau tanpa seizin pihak lain di dalam
melangsungkan akad ini. Ulama Fiqh membaginya kepada tiga macam, yaitu :
a. Akad yang mengikat dan tidak bisa dibatalkan sama sekali, seperti akad
perkawinan, dalam hal ini akad yang tidak boleh dibatalkan kecauali dengan
cara-cara yang telah ditentukan oleh syara’ untuk membatalkannnya,
seumpama melalui thalak dan khulu’.
58 Rahmat Syafi’i, Op Cit,. hal 67.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
b. Akad yang mengikat tetapi bisa dibatalkan atas kehendak kedua belah pihak,
seperti akad jual beli, sewa mnyewa atau al-muzara’ah (kerjasama dalam
bidang pertanian), maka dalam hal ini para pihak dibenarkan untuk melakukan
khiyar artinya ada hak para pihak untuk memilih apakah meneruskan akad
yang telah memenuhi rukun tersebut atau membatalkannya.
c. Akad yang hanya mengikat salah satu pihak seperti al rahn dan al kafalah.59
Apabila akad atau perjanjian tersebut dilihat dari segi bentuk tasharuf atau
aktivitas hukum, maka ia memilki dua keadaan umum yaitu:
1). Akad tanpa syarat yakni suatu akad yang diucapkan oleh seseorang tanpa memberi
batasan dengan suatu benda atau tanpa menetapkan suatu syarat akad, yang
seperti ini dihargai oleh syara’ sehingga menimbulkan dampak hukum. Contoh
ketika seseorang berkata “saya membeli rumahmu” lalu dikabulkan oleh yang
seorang lagi, maka dalam bentuk ini terwujudlah akad dan akibat hukumnya
adalah pembeli memiliki rumah dan penjual memiliki uang.
2). Akad bersyarat yaitu akad yang diucapkan oleh seseorang dan dikaitkan dengan
sesuatu, dengan kata lain apabila syarat atau yang dikaitkan itu tidak ada maka
akadnya pun tidak jadi, baik dikaitkan dengan wujud sesuatu tersebut atau
ditangguhkan pelaksanaannya. Contoh “saya jual mobil ini dengan harga Rp.
40.000.000,- jika disetujui oleh atasan saya”. Maka ketika atasannya telah setuju
dalam hal ini akad tersebut dianggap sah.
59 Hasaballah Thaib, Op Cit,.hal.17-18
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Untuk persoalan akad bersyarat ini ulama fiqhiyah membaginya lagi kepada tiga
macam, yaitu :
Pertama, Ta’liq syarat yaitu menautkan atau mengkaitkan hasil sesuatu urusan
dengan urusan yang lain60, artinya terjadinya akad tersebut tergantung kepada urusan
lain, maka jika urusan yang dikaitkan pertama tidak jadi maka akadpun tidak ada,
contoh; jika orang yang berutang kepadamu pergi jauh, saya menjamin utangnya.
Kedua, Taqyid syarat,yaitu syarat pada suatu akad atau aktifitas berakibat
hukum yang hanya berupa ucapan saja, sebab pada hakekatnya tidak ada atau tidak
mesti dilakukan, 61 seperti orang yang menjual lemari dengan syarat ongkos
pengangkutannya ditanggung oleh yang punya toko.
Ketiga, Syarat Ifadah, yaitu menyandarkan akad tersebut kepada sesuatu masa
yang akan datang,62 dapat dicontohkan perkataan seorang atasan “gaji mereka akan
ditambahkan pada awal tahun depan”.
Pada konsep hukum Islam suatu perjanjian atau akad akan dinilai berakhir
ketika perjanjian yang dibuat oleh para pihak telah berakhir, dalam hal ini ulama
fiqhiyah memandang bahwa perjanjian atau akad akan berakhir ketika, sebagai
berikut;
a) Telah berakhirnya masa akad, jika dalam perjanjian/akad tersebut memiliki
tenggang waktu.63
60 Rahmat Syafi’i, Op Cit,. hal 68 61 Ibid, hal.69. 62 Ibid, hal.70 63 Hasballah Thaib, Op Cit,. hal. 19.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Menurut kebiasaannya dalam sautu perjanjian telah disebutkan atau ditentukan
saat, kapan suatu perjanjian akan berakhir, sehingga dengan berjalannya waktu yang
dilalui maka secara otomatis pula perjanjian atau akad yang dilakukan tersebut
berakhir, kecuali dikemudian hari telah ditentukan oleh para pihak untuk
melanjutkannya kembali.
b). Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad tersebut tidak mengikat.
c). Dalam akad yang bersifat mengikat, yaitu suatu akad bisa dianggap berakhir jika:
(1). Akad Jual beli itu fasid, hal ini bisa disebabkan ada unsur kecurangan atau
salah satu rukun dan syaratnya tidak terpenuhi.
(2). Berlakunya syarat khiyar aib, yaitu adanya hak untuk membatalkan perjanjian
karena sesudah perjanjian tersebut terdapat pada objek akad seuatu yang
cacat, atau khiyar rukyah, yaitu adanya hak untuk memilih bagi pembeli untuk
berlangsunganya atau membatalkannya jual beli terhadap objek yang belum ia
lihat ketika akad berlangsung.64
(3). Akad tersebut tidak dilaksanakan oleh satu satu pihak
(4). Telah tercapainya tujuan akad tersebut secara sempurna.
d). Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.
D. Pengaturan Perjanjian Mudharabah Dalam Hukum Islam
Al-Qur’an dan Al-Hadist merupakan dasar hukum dari setiap perbuatan
manusia dimuka bumi ini, termasuk di dalamnya mengatur tentang kegiatan
64 Ibid,.hal. 34 .
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
muamalah dan perjanjian mudharabah atau bagi hasil mudharabah dalam istilah lain
dengan akad trust financing, trust investment.
Untuk perjanjian bagi hasil mudharabah telah dikenal oleh ummat Islam sejak
jaman Nabi Muhammad S.A.W. sewaktu beliau berperofesi sebagai pedagang, beliau
telah telah melakukan perjanjian atau akad mudharabah dengan Siti Khadijah yang
kemudian hari menjadi istri beliau yang pertama.
Dalam perakteknya perjanjian mudharabah antara khadijah dengan Nabi
Muhammad S.A.W. saat itu khadijah telah mempercayakan barang dagangannya
untuk dijual oleh Nabi keluar negeri,65 dari sejarah tersebut dapat dipahami bahwa
khadijah adalah pemilik modal 100 % dan Nabi berperan sebagai pelaksana usaha
(mudharib) yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, maka bisa disimpulkan
bahwa perjanjian atau akad mudharabah merupakan persetujuan perkongsian antara
harta dari salah satu pihak dengan kerja atau pengelola usaha dari pihak lain.
Melalui kitab suci Al-Qur’an ummat Islam dianjurkan untuk mencari harta di
seluruh penjuru bumi dengan cara yang benar dan halal, sebagaimana dinyatakan
dalam surah Al-muzammil ayat 20 yang artinya sebagai berikut:
Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebahagian karunia Allah
SWT.66
Pada surah Jum’ah ayat 10 juga dinyatakan sebagai berikut :
65 Adiwarman,A.Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta:Raja Grafindo
Persada, 2004), hal.123. 66 Departeman Agama, Op Cit,hal.1295.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu dimuka bumi ini dan
carilah karunia Allah SWT.67
Serta dalam surah Al-Baqarah ayat 198 disebutkan:
Tidak ada dosa bagi kamu untuk mencari (rezeki hasil perniagaan) Tuhanmu.68
Di antara sunnah Nabi yang berkaitan dengan perjanjian mudharabah adalah
hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Majah bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda :
Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual beli yang ditangguhkan,
melakukan muqharadah (nama lain dari Mudharabah), mencampurkan gandum
dengan tepung untuk keperluan keluarga atau rumah tangga bukan untuk dijual.69
Dalam hadist lain yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, sebagai berikut :
Bahwasanya Sayyidina Abbas jikalau memberikan dana kemitra usahanya
secara mudharabah, ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi
lautan, menuruni lembah yang berbahaya atau membeli ternak yang berparu-
paru basah, jika menyalahi peraturan tersebut yang bersangkutan bertanggung
jawab atas dana tersebut, disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada
Rasulullah S.A.W dan Rasulullah pun membolehkannya.70
Kemudian perjanjian pembiayaan mudharabah juga di dasari dari keputusan
MUI melalui Fatwa Dewan Syari’ah No.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan
mudharabah. Di jadikan fatwa MUI ini sebagai satu satu landasan dalam pembiayaan
67 Ibid,.hal 1283. 68 Ibid,.hal 42. 69 Antonio, Muhammad Syafi’I, Op Cit, hal 75 70 Ibid,.hal 74.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
mudharabah adalah di sebabkan sebuah hadist Nabi Muhammad S.AW yang artinya
sebagai berikut :
Ulama itu adalah pewaris para nabi-nabi.71
Maka untuk lebih memperjelas alas pijak tentang pembiayaan mudharabah di
perbankan syari’ah sebagai tuntutan dari para pihak debitur yang menginginkan dana
tanpa bunga, di sahkanlah Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan
yang di dalamnya menjelaskan tentang pembiayaan mudharabah.72
Dalam konsep perjanjian mudharabah dalam fiqh muamalah, ulama berbeda
pendapat tentang rukun dari mudharabah tersebut, pada pandangan ulama Hanafiyah
bahwa rukun perjanjian mudharabah tersebut hanya ijab dan qabul saja, sedangkan
menurut Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah itu adalah sebagai
berikut:
1.Orang yang berjanji (berakad), yaitu shahibul mall (pemilik modal) dan Mudharib
(pengelola usaha).
2. Modal (mall).
3. Shighat.73
Bagi ulama Syafi’iyah selain tiga hal yang diatas, menambah rukun
mudharabah tersebut jadi lima hal yaitu:
a. Orang yang berjanji (berakad), yaitu shahibul mall (pemilik modal) dan
Mudharib (pengelola usaha).
71 Ibid., hal.3. 72 Lihat Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Pasal 1 angka 13. 73 Rahmat Syafi’i,. Op Cit,. hal 226
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
b. Modal (mall)
c. Shighat.
d. kerja atau usaha
e. keuntungan atau laba.74
Menurut Hasballah Thaib, selain rukun juga harus memenuhi syarat dalam
suatu perjanjian mudharabah yaitu:
1). Bahwa orang yang terkait dalam akad adalah telah cakap bertindak hukum.
2). Syarat modal yang digunakan harus :
a). Berbentuk uang (bentuk Barang).
b). Jelas Jumlahnya.
c). Tunai (bukan berbentuk utang).
d). Langsung diserahkan kepada mudharib.
3). Pembagian keuntungan harus jelas dan besarnya sesuai dengn nisbah yang telah
disepakati.75
74 Ibid,.hal 227. 75 Hasballah Thaib,.Op Cit, hal. 116.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB III PEMBIAYAAN BAGI HASIL MUDHARABAH
DALAM BANK SYARI’AH
A. Pengertian Pembiayaan Mudharabah
Pembiayaan dalam Islam bukan merupakan penemuan dari gerakan politik para
ekstrimis Islam abad ini, tetapi merupakan gerakan dari perintah dalam Al-Qur’an
dan ucapan dari Nabi Muhammad S.A.W, jadi hukum Islam berasal dari teks yang
terungkap dari sebuah norma yang saling berhubungan yang melarang kegiatan
pengambilan keuntungan (intrest making) dan kegiatan spekulatif yang tidak
pantas.76
Mudharabah berasal dari kata dharb, yang artinya memukul atau berjalan,
pengertian memukul atau berjalan lebih tepatnya adalah proses seseorang
memukulkan kakinya dalam menjalankan usahanya. 77
Sedangkan mudharabah secara umum yang terdapat dalam kitab fiqhiyah dan
perbankan syariah yaitu sistem pendanaan operasional realitas bisnis, 78dimana baik
sebagai pemilik modal biasanya disebut shahibul mall dengan menyediakan modal
100 % kepada pengusaha sebagai pengelola disebut sebagai mudharib untuk
melakukan aktivitas produktif dengan syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan
dibagi di antara mereka sesuai dengan kesepakatan yang disebutkan dalam akad
76 Bismar Nasution, Hukum dan Ekonom, makalah disampaikan pada Seminar Nasional
dengan tema ‘Signifikansi Hukum Islam Dalam Merespon Issu-issu Global”, di Pascasarjana IAIN SU Medan, tanggal 19 juni 2004. hal 11.
77 Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktek,Op Cit,.hal 65 78 Ibid, hal.114.
38 Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
mereka.79 dan jika ada mengalami kerugian setelah adanya pengelolaan usaha oleh
mudharib bukan karena kelalaian yang disengaja atau terjadi kerugian di luar kontrol
enterpreneur maka investor akan menanggung seluruh kerugian tersebut, karena
kegiatan investasi ini lazim di lakukan oleh investment banking bukan kegiatan yang
dilakukan commercial banking.80
Dengan demikian pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan
lembaga keuangan syari’ah kepada pihak lain untuk usaha yang produktif.81 Dalam
kegiatan penyaluran dana oleh bank syari’ah melakukan investasi dan pembiayaan,
disebut investasi karena prinsip yang digunakan adalah prinsip penanaman dana atau
penyertaan dan keuntungan yang diperoleh bergantung kinerja enterpreuner dan
usaha yang menjadi objek penyertaan tersebut sesuai dengan nisbah bagi hasil yang
telah disepakati sebelumnya. Selanjutnya disebut pembiayaan karena bank syari’ah
menyediakan dana guna membiayai kebutuhan debitur atau mudharib yang
membutuhkan dan layak untuk memperoleh pembiayaan tersebut. Maka mekanisme
daripada pembiayaan mudharabah pada dasarnya terletak pada kerja sama yang baik
antara bank syari’ah dan mudharib.
Dengan demikian pembiayaan mudharabah yang disalurkan oleh bank syari’ah
kepada debitur, terutama pengusaha kecil diharapkan akan mampu meningkatkan dan
membesarkan usaha mereka sehingga manfaat yang diperoleh dari pembiayaan
79 Ascaya Diana Yunita, Bank Syari’ah: Gambaran Umum (Jakarta: PPSK BI,2005), hal.21. 80 Zulkarnain Sitompul, Kemungkinan penerapan Universal Banking Syari’ah Di Indonesia,
Kajian Dari perspektip Bank Syari’ah, Jurnal Hukum Bisnis. Vol.20, Agustus-September 2002. hal.4 81 Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, Op Cit, hal. 40.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
mudharabah dapat dirasakan oleh kedua belah pihak,baik pihak bank syari’ah
maupun para pengusaha tersebut.
Tugas pokok bank syari’ah sebagaiman pada umumnya memberikan fasilitas
atau intermediary dengan menumpulkan dana dari uang masyarakat dan memberikan
pembiayaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang memerlukan, maka
sistem pembiayaan pada bank syari’ah merupakan suatu kerangka dari prosedur-
prosedur yang berhubungan dengan proses penyediaan uang berdasarkan kesapakatan
atau persetetujuan dari kedua belah pihak.
Pada bank BNI Syari’ah Medan menerapkan system pembiayaan mudharabah
terhadap usaha-usaha yang dianggap akan memberikan keuntungan, baik terhadap
bank maupun kepada pengusahanya. Untuk itu bank BNI Syari’ah Medan lebih
cenderung memberikan pembiayaan mudharabah yang tujuan usahanya sebagai
berikut :
1. Usaha konstruksi atau Proyek
2. Usaha Produksi
3. Usaha Perumahan (real estate)
4. Usaha Distributor barang/jasa
Tetapi secara umum pembiayaan dalam bank syari’ah menurut sifat
pengguanaannya dibagi kepada dua bagian sebagai berikut :
a. Pembiayaan Produktif
Pembiayaan produktif merupakan pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan produksi dalam arti luas yaitu, untuk peningkatan usaha, baik usaha
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
produksi, perdagangan maupun investasi.82 Dan menurut keperluannya pembiayaan
produktif ini dibagai menjadi dua hal yaitu :
1). Pembiyaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan sebagai
berikut :
a). Peningkatan produksi baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
b). Untuk keperluan perdagangan atau peningkatan Utility of place dari suatu
barang.
Pembiayaan modal kerja yang dilaksanakan oleh bank syari’ah dalam rangka
memenuhi kebutuhan modal kerja nasabah bukan dengan meminjamkan uang tunai,
tetapi dengan menjamin hubungan partnership dengan nasabah.83 Bank bertindak
sebagai penyandang dana sedangkan pengusaha sebagai pengelola. Hal ini dapat
disebut dengan sistem pembiayaan mudharabah atau dalam istilahnya trust financing.
Fasilitas ini dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasilnya
secara periodik dengan nisbah wajar yang disepakati dalam akad. Setelah jatuh tempo
nasabah debitur mengembalikan sejumlah dana tersebut beserta porsi bagi hasil yang
belum dibagikan.
2). Pembiayaan investasi, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan barang-
barang modal serta fasilitas-fasilitas yang berkaitan dengan hal tersebut.
Pembiayaan investasi diberikan kepada nasabah debitur untuk keperluan
investasi, yaitu keperluan penambahan modal guna mengadakan rehabilitasi
82 Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktek,Op Cit,.hal 160. 83 Ibid,. hal 162.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
perluasan usaha, yang pada umumnya pembiayaan ini diberikan dalam jumlah besar
dan pengendapan dana ini agak cukup lama. Dengan demikian perlu disusun proyeksi
arus kas (projectedcas flow) yang mencakup semua komponen biaya dan pendapatan
sehingga akan dapat diketahui berapa dana yang tersedia setelah semua kewajiban
terpenuhi. Setelah itu baru disusun jadwal amortisasi yang merupakan angsuran
pembiayaan.
b Pembiayaan komsumtif.
Pembiayaan komsumtif diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi
kebutuhan komsumsi dan akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut,
bank syari’ah dapat menyediakan pembiayaan komersil untuk memenuhi kebutuhan
barang-barang komsumsi dengan cara sebagi berikut :
1). Al bai’ bitsaman ajil (salah satu bentuk murabahah) yaitu suatu perjanjian
pembiayaan yang disepakati antara bank dengan nasabah, dimana bank
menyediakan dananya untuk pembelian barang modal dan usaha anggotanya
yang kemudian proses pembayarannya dilakukan secara mencicil atau angsuran.
2). Al ijarah al munthia bit tamlik (sewa beli).
3). Al musyarakah mutanaqishah (decreasing participation), yaitu dimana dalam hal
pembiayaan ini bank secara bertahap menurunkan jumlah partisipasinya.
4). Ar rahn, yaitu pihak bank menahan salah satu harta milik si mudharib sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya.84
84 Ibid,.hal 168.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Kegiatan pembiayaan mudharabah yang dilaksanakan oleh bank syari’ah pada
subtansinya dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan dengan cara yang Islami.
Dalam proses pembiayaan yang dimohonkan oleh debitur akan diteruskan pihak
bank. Jika bank syari’ah tersebut sudah merasa yakin bahwa debitur yang akan
menerima pembiayaan ini akan mampu dan mau mengembalikan dana yang telah
diterimanya. Hal tersebut dapat dilihat dari faktor kemampuan dan kemauan dari
debitur. Dari kemampuan dan kemauan tersebut akan tersimpul unsur keamanan
(safety) dan sekaligus unsur keuntungan (profitability) dari suatu pembiayaan, dan
kedua unsur ini saling terkait satu sama lain.
Keamanan atau safety mencerminkan bahwa prestasi yang diberikan dalam
bentuk uang , barang akan terjamin dalam pengembaliannya, sehingga keuntungan
atau profilability akan menjadi kenyataan seperti yang diharapakn karena pada
dasarnya profitability merupakan tujuan dari pembiayaan tersebut.
Berdasarkan dari kepentingan dan tujuan pembiayaan pihak bank syari’ah harus
memperhatikan unsur-unsur yang meliputi, sebagai berikut :
a). Kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak bank syari’ah bahwa prestasi
yang akan diberikan oleh debitur, baik dalam bentuk uang atau barang akan
benar-benar diterimanya kembali dalam waktu yang telah ditentukan oleh kedua
pihak yang terkait.
Tuntutan untuk saling percaya dalam pembiayaan mudharabah begitu urgen dan
penting, sebab dalam pembiayaan ini pihak bank mempunyai resiko yang sangat
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
tinggi dan juga berpotensi dalam menghadapi permasalahan assymmetric information
atau dalam istilah lain moral hazard.
Dengan demikian pihak bank syari’ah tidak dapat begitu saja menyalurkan dana
kepada mudharib, tanpa terlebih dahulu menyakini mudharib tersebut amanah dan
mampu untuk mengembalikan dana yang dipinjam dan memenuhi makna
keuntungan.85 Hal ini dilakukan untuk melindungi diri bank syari’ah dari kerugian
karena dana yang disalurkan oleh pihak bank tersebut juga amanah dari uang
masyarakat yang terhimpun di dalam bank itu sendiri.
b). Waktu, yaitu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra
prestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang, dalam hal waktu ini
terkandung pengertian bahwa nilai agio dari uang pada saat sekarang akan lebih
tinggi nilainya dari pada uang yang diterimanya pada masa yang akan datang.
c). Degree risk, yaitu suatu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari
adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan
kontraprestasi yang akan diterimanya di kemudian hari, semakin lama
pembiayaan yang diberikan akan semakin tinggi pula tuntutan resiko yang akan
muncul, maka masih selalu unsur ketidak tentuan yang tidak dapat
diperhitungkan, inilah yang menyebabkan timbulnya unsur resiko, dengan unsur
ini jugalah yang menimbulkan adanya jaminan dalam pembiayaan
mudharabah.86
85 Adiwarman,A.Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan,Op Cit,.hal 214. 86 Ibid, hal 210
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
B. Jenis-Jenis Pembiayaan Mudharabah Pada Bank Syariah
Secara umum pembiyaan mudharabah dibagi kepada dua jenis, yaitu :
1. Pembiayaan mudharabah mutlhaqah (General investment)
Pembiayaan secara mudharabah muthlaqah adalah suatu pembiayaan dalam
bentuk kerja sama antara shahibul mall dalam hal ini bank sayri’ah dengan mudharib
atau debitur yang cakupannya amat luas dan tidak dibatasi oleh spesikasi jenis usaha,
waktu dan daerah bisnis, kalau dalam pemabahasan ulama fiqh salafussaleh
seringkali menyebutnya dengan contoh “if al ma syi’ta” artinya lakukan sesukamu.87
Pada pembiayaan mudharabah mutlaqah ini pihak bank syari’ah tidak
menentukan bentuk usaha, waktu dan daerah bisnis mudhribnya. Hal ini diserahkan
sepenuhya kepada pelaku usaha untuk menjalankan bisnisnya sehingga boleh
dikatakan dana yang diberikan oleh bank syari’ah tersebut dapat dikelola oleh si
mudharib tanpa campur tangan pihak bank. Maka jenis usaha yang akan dijalankan
secara mutlak diputuskan oleh mudharib yang dianggap sesuai, sehingga tidak terikat
dan terbatas, tetapi ada satu hal yang tidak boleh dilakukan mudharib tanpa seijin
bank syari’ah debitur atau mudharib tidak boleh meminjamkan modalnya atan
memudharabahkannya lagi kepada pihak lain.88
2. Pembiayaan mudharabah muqayyadah
Pembiayaan mudharbah muqayyadah disebut juga dengan istilah retrected
mudharabah/specifed mudharbah, yaitu kebalikan dari pembiayaan mudharabah
87 Antonio, Muhammad Syafi’I,Bank Syari’ah Wacana Ulama Dan Cendekiawan, (Jakarta:
Tazkia Islami dan BI,1999), hal.173. 88 Ascary, Akad dan Produk Bank Syari’ah, (Jakarta: PT.Raja Grafindo,2007), hal.65.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
mutlaqah, dalam pembiayaan ini si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha,
waktu, tempat usaha. 89Adanya pembatasan ini sering kali mencerminkan
kecenderungan shahibul mall dalam memasuki dunia usaha mudharib.
Untuk jenis pembiayaan mudharabah muqayyadah ini pihak bank syari’ah dapat
memberikan batasan-batasan yang sudah baku kepada debitur, namun di dalam bank
BNI Syari’ah Medan, pembiayaan Mudharabah muqayyadah ini tidak ada
dilaksanakan. Sesuai dengan wawancara dengan bapak Ahadduddin bagian
Pemasaran di Bank BNI Syari’ah Medan pembiayaan yang jenis kedua ini tidak ada
di sebabkan rata-rata yang mengajukan pembiayaan mudharabah adalah usaha untuk
proyek dan kontruksi dan berada di luar kota Medan.
C. Kriteria Penerima Pembiayaan Mudharabah Pada Bank Syari’ah
Berdasarkan prinsip mudharabah bank syari’ah harus melakukan pengawasan
yang ketat terhadap penggunaan dana tersebut, sehingga langkah-langkah dalam
proses penyaluran pembiayaan mudharabah ini sesuai dengan karakter dan standart
dalam penyaluran dana.
Sebelum memberikan pembiayaan pihak bank syari’ah melakukan penilaian
terlebih dahulu terhadap calon mudharib atau debitur yang mengajukan permohonan
pembiayaan. Hal ini dilakukan agar pembiayaan yang diberikan selalu memperhaikan
dan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
89 Antonio, Muhammad Syafi’I,Bank Syari’ah Wacana Ulama Dan Cendekiawan,.hal 173.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
1. Keamanan pembiayaan (safety) yaitu harus benar diyakini bahwa pembiayaan
tersebut dapat dilunasi kembali.
2. Terarahnya tujuan pembiayaan, yaitu bahwa pembiayaan akan digunakan untuk
tujuan yang sejalan dengan kepentingan masyarakat atau sekurang-kurangnya
tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
3. Menguntungkan, baik untuk bank sendiri maupun kepada mudahrib atau debitur
dengan semakin berkembangnya usaha merek.90
Awal dari proses pemberian pembiayaan pada bank adalah ketika para calon
debitur telah mengajukan terlebih dahulu permohonan pembiayaan kepada bank
syari’ah tersebut. Pada priinsipnya permohonan pembiayaan ini berfungsi sebagai
bukti adanya permohonan dari peorangan atau badan usaha kepada bank dengan
catatan bahwa permohonan tersebut menyertakan lampiran-lampiran sebagi informasi
dalam evaluasi dari pemberian pembiayaan.
Langkah-langkah yang diambil oleh bank syari’ah dalam pembiayaan pada saat
calon debitur menyampaikan atau mengajukan usul permohonan pinjamannya, adalah
sebagai berikut:
a. Tahap Permohonan Pembiayaan
Seperti pada kebiasaannya setiap orang atau badan usaha yang memerlukan
pinjaman atau pembiayaan dari bank syari’ah harus mengajukan suatu permohonan
pembiayaan kepada bank, pengajuan permohonan ini dapat ditempuh dengan
berbagai cara, yaitu :
90 Ascary, Akad dan Produk Bank Syari’ah,Op Cit, hal 69
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
1). Menulis surat permohonan
2). Mengisi daftar isian pertanyaan yang disediakan oleh pihak bank syari’ah.
3). Menulis surat terlebih dahulu, lalu disusul dengan mengisi pernyataan.91
Pada surat permohonan pembiayaan tersebut harus mencantumkan alasan
mengajukan permohonan pembiayaan, jumlah dana yang diperlukan, kesanggupan
untuk membayar kembali pinjamannya sesuai dengan rencana yang ditetapkan,
jaminan yang disediakan dan keterangan-keterangan lain yang dianggap perlu.
Surat permohonan tersebut akan dicatat dalam buku register permohonan
pembiayaan di bagian sekretariat kemudian diteruskan kepada direksi bank syari’ah
yang selanjutnya diperoses oleh para analisis.
Pada tahap ini bank syari’ah akan memeriksa kelengkapan berkas permohonan
pembiayaan yang diajukan oleh debitur sesuai dengan kebutuhan analisis yang
diperlukan. Yang tidak kalah pentingya adalah meneliti keabsahan surat permohonan
pembiayaan, apakah telah ditanda tangani oleh pengurus atau yang berwenang sesuai
dengan akte pendirian perusahaan. 92
b. Tahap Penelitian Berkas Investigasi Pembiayaan.
Selain melakukan penelitian terhadap kelengkapan berkas permohonan
pembiayaan yang diajukan akan dilakukan juga peninjauan ke lapangan (on the spot)
untuk memeriksa kebenaranya seperti lokasi kantor, lokasi usaha akan diperiksa
91 Rahmat Syafi’i,. Op Cit,. hal 68 92 Sunarto Zulkifli, Panduan Transaksi Perbankan Syari’ah,(Jakarta:Zikrul hakim, 2003) hal.
144
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
kebenarannya yang meliputi posisi lokasi apakah di tempat yang strategis,
berorientasi konsumen atau berorientasi bahan baku.93
Juga pada waktu melaksanakan peninjauan lapangan, dilakukan pengecekan
kebenaran atas data-data laporan yang telah disampaikan baik data-data non
keuangan seperti data lokasi bangunan. Data jumlah pegawai dan fasilitas-fasilitas
lainnya serta data keuangan yang meliputi rincian dari komponen-komponen aktiva
lancar, aktiva tetap dan sebagainya.
c. Analisis Pembiayaan
Sesuai dengan wawancara yang diperoleh dari bank BNI Syari’ah Medan. Pihak
bank BNI Syari’ah Medan dalam menetapkan kriteria pertama yang harus dipenuhi
oleh penerima pembiayaan mudharabah adalah
1). Orang atau badan usaha harus Amanah
Maksud amanah disini yaitu, bahwa orang atau badan usaha calon debitur
tersebut dapat dipercaya atau diyakini mampu dalam mengelola dana yang di berikan
dengan benar dan diharapkan akan memberikan keuntungan.94
Dalam ajaran Islam amanah merupakan cerminan kepribadian seorang muslim
sejati, baik ketika berusaha maupun dalam janji yang telah dibuat. Dengan adanya
sifat amanah dalam diri debitur akan membuat investor yaitu bank BNI Syari’ah
Medan merasa aman dan tidak khawatir ketika memberikan pembiayaan mudharabah.
Dalam ilmu Psikologi di kenal teori bahwa manusia beraksi terhadap apa yang
93 Ibid, hal 143 94 Wawancara dengan Kabid.Pemasaran Bank BNI Syari’ah (Bapak Ahaddudin) Medan, pada
hari senin tanggal 16 juni 2008
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
dipercayainya sebagai suatu kenyataan dan terhadap kenyataan itu sendiri.95 Dengan
pengertian lain amanah atau kepercayaan yang di jaga debitur dengan baik akan
memberikan keuntungan dan melahirkan peluang usaha yang lebih besar lagi.
Namun pada satu sisi sangat sulit untuk menentukan amanah atau tidaknya
calon debitur tersebut sebagaimana yang dikriteriakan bank BNI syari’ah Medan
sebab amanah itu tidak bisa diukur dengan bagus dan aktifnya pelaporan yang
diberikan debitur.96
2). Telah menjadi nasabah di bank BNI Syari’ah Medan minimal satu (1) tahun.
Dalam hal ini pihak bank BNI Syari’ah Medan menganalisa calon debitur
melalui perputaran nilai keuangannya selama satu tahun tersebut, apakah calon
debitur tadi layak atau tidak menerima pembaiayaan mudharabah. Maka dengan
syarat kedua ini pula pihak bank BNI Syari’ah Medan bisa menyakini calon debitur
mampu atau tidaknya dalam mengelola dana yang akan diberikan.97
Namun dalam melaksanakan analisis terhadap permohonan pembiayaan yang
diajukan kepadanya, bank syari’ah setidaknya harus memuat analisis 5 C yang
merupakan standarisasi meninimal yang lazim dipergunakan di kalangan perbankan,
cakupan analisis 5 C tersebut adalah :
95 Bismar Nasution, Pengembangan Ekonom Islam Dan Kualitas Hukum Konvensional,
makalah disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema ‘Signifikansi Hukum Islam Dalam Merespon Issu-issu Global”, di Pascasarjana IAIN SU Medan, tanggal 19 juni 2004. hal 2.
96 Wawancara dengan Kabid.Pemasaran Bank BNI Syari’ah (Bapak Ahaddudin) Medan, pada hari senin tanggal 16 juni 2008
97 Ibid, wawancara di bank BNI pada tanggal 16 juni 2008
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
a). Character
Pada tahap ini dilakukan untuk menilai moral, waktu atau sifat-sifat yang
positif, kooperatif, kejujuran dan rasa tanggungjawab dalam kehidupan pribadi
sebagai anggota masyarakat dan dalam melaksanakan kegiatan usahanya.98
Penilaian ini dilakukan dengan cara meneliti daftar riwayat hidup, reputasi di
lingkungan usaha, informasi antar bank, informasi pada asosiasi usaha yang
bersangkutan dalam masyarakt baik yang sifatnya positif maupun negatif.
b). Capacity
Suatu penilian yang sifatnya subjektif tentang kemampuan usaha perorangan
atau badan usaha untuk melunasi hutang dan kewajiban lainnya tepat pada
waktunya, sesuai dengan perjanjian dan hasil usaha yang diperoleh.99 Dalam
penilaian ini didasarkan atas kemampuan debitur pada masa sebelumnya,
kemampuan berproduksi, keuangan dan manajemen termasuk juga penilaian
kemampuan riil debitur di lapangan, pabrik, toko dan lain-lainnya.
c). Capital
Penilaian atas kemampuan keuangan debitur, jumlah dan atau modal yang
dimiliki oleh calon debitur dalam artian kemampuan untuk menyertakan dana
sendiri atau modal sendiri.100 Hal tersebut dapat dilakukan dengan menganalisis
laporan keuangan, akta pendirian dan akta perubahan, sedangkan untuk usaha
98 Sunarto Zulkifli,Op Cit, hal 145. 99 Ibid, hal. 146. 100 Ibid, hal 146.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
perorangan dapat diketahui dengan jalan mengurangi total harta dengan total
hutangnya kepada pihak ketiga.
d). Collateral
Collateral adalah jaminan atau kemampuan debitur untuk menyerahkan barang
jaminan sehubungan dengan fasilitas pembiayaan yang akan diberikan.101 Di
dalam Keputusan Dewan Syari’ah Nasional No.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Mudharabah memang tidak dinyatakan shahibul mall dalam hal ini
bank syari’ah untuk meminta jaminan kepada pihak debitur, akan tetapi
biasanya bank syari’ah akan meminta jaminan demi keamanan dalam
pembiayaan yang diberikan dengan prinsif kehatian-hatian
Kemudian di dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syari’ah Pasal 1 angka 26 menyebutkan bahwa agunan adalah janiman
tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang
diserahkan oleh pemilik agunan kepada bank syari’ah dan atau unit usaha
syari’ah guna menjamin pelunasan kewajiban nasabah yang difasilitasi.102
e). Condition of Economi
Pada tahap ini bank dapat menganalisis kondisi ekonomi makro yang meliputi
kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain pada suatu saat tertentu
atau periode tertentu termasuk peraturan pemerintah setempat.103
101 Ibid, hal. 147 102 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah 103 Sunarto Zulkifli,Op Cit, hal 146
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Dalam perkembangannya para analisis juga menambahkan unsur-unsur yang
keenam yaitu “Constraint” yaitu analisis terhadap keterbatasan atau hambatan yang
tidak memungkinkan seseorang melakukan usaha di satu tempat.
Selain unsur di atas dalam pemberian pembiayaan ini memerlukan analisis
risiko pembiyaan mudharabah yang terdiri dari:
(1). Risiko Pembiayaan
Risiko pembiayaan adalah risiko yang di sebabkan oleh adanya kegagalan
counterparty dalam memenuhi kewajibannya. Pada umunya resiko pembiayaan ini
mencakup kepada risiko produk.
Untuk penilian risiko pembiayaan ini mencakup tentang risiko binsis yang
dibiayai yakni risiko yang terjadi pada karakteristik masing-masing jenis usaha
debitur dan kinerja keuangan jenis usaha debitur, risiko berkurangnya nilai
pembiayaan yaitu risiko yang dipengaruhi oleh penurunan yang drastis dari tingkat
penjualan, harga jual barang/jasa dari bisnis debitur dan risiko karakter buruk
mudharib yaitu risiko pembiayaan yang dipengaruhi oleh kelalaian, pelanggaran
debitur dalam menjalankan bisnis yang dibiayai serta pengelolaan perusahaan yang
tidak professional sesuai standart pengelolaan yang di sepakati antara bank dan
debitur.104
104 Adiwarman,A.Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan,Op Cit,.hal 266.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
(2). Risiko Pasar
Risiko pasar adalah risiko kerugian yang terjadi pada portfolio yang dimiliki
oleh bank akibat adanya pergerakan variable pasar berupa suku bungan dan nilai
tukar.105
Untuk risiko pasar ini mencakup kepada tiga hal yaitu:
Pertama, risiko tingkat suku bunga merupakan risiko yang timbul sebagai akibat
dari fkluaktasi tingkat bunga. Meskipun pada bank syari’ah tidak mengenal bunga
untuk pembiayaan tetapi bank syari’ah tidak akan dapat terlepas dari risiko ini sebab
pasar yang dijangkau oleh bank syari’ah tidak hanya nasabah-nasabah yang loyal
sepenuhnya terhadap syari’ah.
Kedua, risiko pertukaran mata uang adalah suatu konsekuensi sehubungan
dengan pergerakan atau fluktuasi nilai tukar terhadap rugi laba bank. Walaupun pada
aktivitas syari’ah tidak terpengaruh oleh kurs secara langsung karean ada syarata
tidak boleh melakukan transaksi yang bersifat spekulasi tetapi bank syari’ah tidak
dapat terlepas dari adanya posisi dalam valuta asing.
Ketiga risiko harga yaitu kemungkinan kerugian akibat perubahan harga
instrumen keuangan, resiko ini terjadi terkait risiko harga barang yang naik turun
akibat dari minat nasabah debitur dalam menjalankan bisnis.
(3). Risiko Likuiditas
Risiko likuiditas adalah risiko yang disebabkan antara lain oleh ketidak
mampuan bank untuk memenuhi kewajibannya saat jatuh tempo.106 Sebagaimana
105 Ibid. hal. 272
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
pada bank-bank umum lainnya bank syari’ah juga menghadapi risiko likuiditas
seperti turunya kepercayaan nasabah terhadap sistem dan pada bank syari’ah itu
sendiri., ketergantungan kepada kelompok deposan, mismatching antara dana jangka
pendek dan dan jangka panjang, bagi hasil antar bank kurang menarik.
(4). Risiko Operasional
Resioko operasional adalah risiko yang disebabkan antara lain karean ketidak
cukupan atau ketidak berfungsinya proses internal, kegagalan sistem atau adanya
problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank.107
(5). Risiko Reputasi
Reisiko reputasi ini terjadi antara lain akibat dari adanya publikasi negatif yang
terkait dengan kegiatan bank atau adanya persepsi negatif yang terkait dengan
kegiatan calon debitur.108
Hal-hal yang mempengaruhi terhadap reputasi tersebut antara lain masalah
manajmen debitur, pemegang sahamnya, pelayanan, penerapan prinsip syari’ah dan
publikasi. Sedangkan alasan turunya reputasi debitur tersebut bisa terjadi karena
kesalahan manjemen, melanggar peraturan, melanggar fatwa DSN, pernah terlibat
skandal keuangan, integritas yang diragukan dan performance keuangan yang kurang
baik.
106 Ibid. hal. 274 107 Ibid. hal. 275 108 Ibid. hal. 275
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
(6). Risiko Kepatuhan
Resiko kepatuhan merupakan resiko yang disebabkan oleh ketidak patuhannya
terhadap ketentuan-ketantuan yang ada, seperti ketentuan batas maksimum
pembiayaan, ketentuan dalam pemberian pembiayaan, ketentuan perpajakan,
ketentuan dalam akad dan ketentuan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional.109
(7). Risiko Startegik
Risiko strategik adalah risiko yang disebabkan antara lain karena adanya
penetapan dan pelaksanaan strategi yang tidak baik dan tidak tepat, pengambilan
keputusan bisnis yang tidak tepat atau tidak mematuhi/melaksanakan perubahan
perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Maka indikasi dalam risiko ini
dapat dilihat dari kegagalan dalam mencapai target bisnis yang telah ditetapkan baik
target keuangan maupun non keuangan.
(8). Risiko Hukum
Risiko hukum merupakan risiko yang disebabkan karena adanya kelemahan
aspek yuridis, seperti adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-
undangan yang mendukung atau lemahnya perjanjian dengan tidak terpenuhinya
syarat keabsahan suatu akad atau pengikatan agunan yang tidak sempurna.110
Setelah melewati semua tahap analisis tersebut maka pihak bank dapat
mengambil keputusan apakah permohonan calon debitur tadi dapat diterima atau
ditolak. Pada kebiasaanya bila bank telah memperoleh keyakinan atas diri calon
109 Ibid. hal. 276 110 Ibid. hal. 277
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
debitur maka pihak bank akan mengirimkan surat kepada debitur yang disebut
offering letter yang memuat ketentuan-ketantuan dari bank mengenai permohonan
pembiayaan yang diajukan oleh calon debitur yang dapat diterima oleh bank yang
isinya antara lain, jumlah pembiayaan yang dapat diberikan oleh bank, jangka waktu
pembayaran, jumlah angsuran dan ketentuan lainnya
Terhadap offering letter yang diberikan oleh bank kepadanya, calon debitur
diberi kesempatan untuk mempelajari syarat-syarat yang diajukan oleh bank. Namun
pada kondisi ini calon debitur tetap masih dapat merundingkan hal-hal yang belum
sesuai menurutnya dengan pihak bank agar diantara kedua belah pihak tercapai kata
sepakat.
Apabila terjadi penolakan dari pihak bank terhadap permohonan pembiayaan
yang diajukan oleh calon debitur maka akan berlaku beberapa hal sebagai berikut:
(a). Penolakan tersebut harus disampaikan secara tertulis kepada calon debitur beserta
dengan alasan-alasannya.
(b). Pengembalian semua berkas permohonan, kecuali surat permohonan pembiayaan.
(c). Bila yang ditolak oleh bank adalah permohonan perpanjangan pembiayaan maka
hal itu berarti jangka waktu dari pembiayaan tersebut tidak bisa diperpanjang
lagi, dengan demikian nasabah debitur diberitahukan agar segera menyelesaikan
semua kewajibannya.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
(d). Bila permohonan tambahan fasilitas pembiayaan ditolak, nasabah tetap dapat
menikmati limit dari fasilitas pembiayaan yang telah disetujui semula.111
Setelah pihak bank dan debitur telah menemui kata sepakat dalam hal
pemberian pembiayaan oleh bank kepada debitur maka kesepakatan yang terjadi pada
para pihak tersebut akan dituangkan dalam suatu perjanjian pembiayaan. Dalam arti
perjanjian pembiayaan tersebut adalah suatu perbuatan hukum antara pihak bank
disatu pihak dengan debitur di pihak lain, yang mana isi perjanjian tersebut
dituangkan dalam bentuk tertulis agar memudahkan pembuktian bila terjadi
wanprestasi dikemudian hari.
Berdasarkan ketentuan pada Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No.10 Tahun
1998, perjanjian pembiayaan atau persetujuan akad pembiayaan dibuat secara
kontraktual berdasarkan pinjam-meminjam yang diatur dalam buku III bab 13 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Oleh karena itu ketentuan mengenai berakhirnya
perikatan, dalam hal ini Pasal 1381 KUH Perdata berlaku juga dalam Perjanjian
pembiayaan ini.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa pembiayaan mudharabah ini
sangat rentan dan berpotensi terhadap Moral Hazard dari pelaku usaha atau
mudharib, untuk itu pihak bank syari’ah perlu mengadakan pengawasan yang
meliputi sebagi berikut:
Pertama, Bank mengevaluasi permohonan mudharabah dari calon nasabah
debitur melalui kelayakan dan survey lokasi.
111 Sunarto Zulkifli,Op Cit, hal 150
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Kedua, Bank membuat perjanjian tentang proyeksi pengembalian berikut bagi
hasil yang akan diterima bank dan nasabah debitur.
Ketiga, Nasabah menjalankan usahanya dan selanjutnya melakukan pembayaran
bagi hasil secara periodik sesuai dengan besarnya keuntungan dan nisbah yang
disepakati.
Keempat, Nasabah dapat melakukan cicilan atau pembayaran sekaligus
terhadap jumlah pembayaran dana pinjaman.112
Setiap bank syari’ah tentu menginginkan keuntungan yang tinggi, karena
beroperasi dan berhasilnya suatu bank dapat dilihat melalui keuntungan yang
diperoleh. Akan tetapi tingkat keuntungan bersih yang dihasilkan tidak terlepas dari
pengaruh dan faktor-faktor yang dapat dikendalikan dan faktor-kaktor yang tidak
dapat dikendalikan oleh pihak bank syari’ah itu sendiri.
D. Jaminan Dalam Pembiayaan Mudharabah
Jaminan pembiayaan mudharabah merupakan tuntutan kepada mudharib untuk
mengembalikan modal shahibul mall dalam keadaan semula baik untung maupun
rugi.113
Pihak bank syari’ah mengambil banyak langkah atau cara untuk memastikan
bahwa modal yang disalurkan dan keuntungan yang diharapkan dari modal tersebut
dapat diperoleh sebagaimana yang telah tercantum dalam kontrak.
112 Adiwarman,A.Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan,Op Cit,.hal 216 113 Ibid,.hal 177.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Keadaan ini biasanya diwujudkan melalui jaminan baik dari mudharib sendiri
maupun ada dari pihak ketiga yang menjaminkannya, walaupun sebenarnya dalam
fiqh Islam tidak dituntut untuk meminta jaminan kepada debitur, akan tetapi bank-
bank syari’ah pada umumnya meminta berupa bentuk jaminan, hal ini dilakukan
pihak bank syari’ah untuk menegaskan jaminan tersebut ada hanya untuk memastikan
kembalinya modal, sebab dana yang diberikan kepada debitur itu adalah pada
umumnya dana yang dihimpun dari masyarakat luas.
Sebagaimana di sebutkan dalam Keputusan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional
No.07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah dinyatakan bahwa pada
prinsipnya dalam pembiayaan Mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib
tidak melakukan penyimpangan, Lembaga Keuangan Syari’ah dapat meminta
Jaminan dari Mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila
mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati
bersama dalam akad.114
Maka untuk memastikan kinerja debitur sesuai dengan syarat-syarat yang
terdapat dalam kontrak, biasanya pihak bank mempersyaratkan bagi pemohon
pembiayaan mudharabah untuk menyatakan jenis jaminan yang dapat mereka berikan
kepada bank syari’ah.115
Adanya jaminan atau penjamin dari debitur kepada pihak bank syari’ah
bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko-risiko seperti debitur
114 Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, Op Cit, hal. 45 115 Abdullah Saed, Menyoal Bank Syari’ah, Keritikan atas Interpretasi Bunga Bank Neo-
Revivaless, Op Cit,.hal.86.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
tidak mempergunakan dana yang diberikan sebagimana mestinya atau hanya
memberikan keuntungan pembiayaan tersebut kepada dirinya pribadi saja atau yang
dikenal dengan Moral Hazard.
Maka bank syari’ah dapat menerapkan sejumlah batasan-batasan tertentu ketika
menyalurkan pembiayaan kepada debitur antara lain:
1.Menetapkan syarat agar jumlah atau nilai jaminannya lebih besar dari modal yang
dipinjam oleh debitur.
2. Menetapkan syarat agar debitur melakukan bisnis yang resikonya lebih rendah.
3. Menetapkan syarat agar debitur melakukan bisnis dengan arus kas yang transparan.
4. Menetapkan syarat agar debitur melakukan bisnis yang biaya tidak terkontrolnya
rendah.116
Penyerahan jaminan untuk pembiayaan mudharabah ini harus dipenuhi oleh
debitur kepada bank syari’ah dalam rangka mengamankan dana masyarakat dan
kepercayaan yang diberikan terhadap bank syari’ah sebagai pengelola uang yang
terhimpun tadi. Dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 283 menyebutkan yang
artinya sebagai berikut:
Jika kamu dalam perjalanan (bermuamalah) tidak secara tunai sedang kamu
memperoleh seorang penulis hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.117
Adapun jenis jaminan tambahan tersebut dapat berupa :
a. Barang bergerak berwujud, meliputi :
116 Adiwarman,A.Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan,Op Cit,.hal 214 117 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnnya,Op Cit,. hal.65.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
1). Barang dagangan.
2). Inventaris Perusahaan
3). Kenderaan bermotor.
4). Perhiasan seperti emas dan sebagainya.118
b. Barang tidak bergerak
1). Tanah
2). Bangunan
c. Barang bergerak tidak berwujud, berupa Deposito
d. Borgtoch/Penjamin (penggaransi)
1). Jaminan perorangan (Personal Guarantee).
2). Jaminan dari sebuah Perusahaan (Coorporata guarantee)
3). Jaminan dari Pemerintah119
Pihak bank biasanya akan lebih mudah untuk memberikan pembiayaan kepada
pihak debitur bila pihak bank sudah mengenal debitur terlebih dahulu seperti bila
debitur adalah merupakan nasabah penabung di bank bersangkutan, pada simpanan
deposito debitur bisa dijadikan sebagai jaminan kepada pihak bank.
Dalam hal ini debitur akan mendapatkan minimal dua keuntungan pertama
dalam hal depositonya, ia akan mendapatkan bagi hasil dari bank atas keuntungan
yang di dapat oleh bank, dan yang kedua debitur akan memperoleh tambahan modal
dari pembiayaan yang diberikan oleh bank untuk usahanya. Keuntungan atau
118 Abdul Ghofur Ansory, Op Cit, hal 148 119 Ibid, hal 149.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
kemudahan yang di dapat oleh pihak bank bahwa jaminan tambahan berupa deposito
debitur berada pada bank yang bersangkutan sehingga bank lebih mendapat kepastian
bagi pelunasan hutang debitur dikemudian hari sesuai dengan akad pembiayaan.
Dengan keuntungan yang didapat oleh bank merupakan keuntungan juga pihak
nasabah dan berpengaruh kepada besarnya nilai bagi hasil yang diterima oleh kedua
belah pihak sehingga akan menarik minat masyarakat lainnya untuk menyimpan atau
menginvestasikan uangnya pada bank syari’ah tersebut karena otomatis dana yang
disalurkan oleh bank kepada masyarakat juga lebis besar.120
Terhadap keadaan debitur tertentu dan pihak bank telah memiliki keyakinan
yang cukup terhadap kemampuannya maka bank dapat menerima jaminan tambahan
yang diberikan oleh debitur berupa proyek yang dibiayai dari pembiayaan yang
diberikan bank tersebut, juga dengan hak tagih dari debitur yang timbul dalam
usahanya tersebut.
Untuk lebih menjamin pengembalian dana yang diberikan pihak bank kepada
debitur, pihak bank dapat menyarankan kepada debitur supaya untuk memasukkan
proyek pembiyaan atau usaha yang dikelola debitur tersebut ke asuransi seperti
syari’ah Takaful, hal ini berguna untuk menjamin ketika sewaktu-waktu debitur
mengalami musibah maka fihak asuransi akan melunasi hutangnya, dengan kata lain
tagihan hutang dari debitur tersebut akan beralih kepada pihak asuransi.
120 Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia, (Jakarata: Kencana, 2005), hal 261
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB IV
MEKANISME PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL (MUDHARABAH) ANTARA DEBITUR
DENGAN BANK BNI SYARI’AH MEDAN.
A. Perjanjian Mudharabah Pada Bank BNI Syari’ah Medan
Perjanjian mudharabah merupakan salah satu produk bagi hasil yang
dilaksanakan oleh bank BNI syari’ah Medan. Berdasarkan prinsip syari’ah pada
umumnya bank BNI syari’ah Medan lebih menekankan kepada pembiayaan
mudharabah terhadap konstruksi atau proyek, produksi, perumahan (real estate) dan
distributor barang atau jasa, namun tetap tidak mengesampingkan pembiayaan
terhadap usaha-usaha yang lain sepanjang tidak bertentangan dengan syari’at
Islam.121
Secara umum perjanjian pembiayaan mudharabah di bank syari’ah terdiri dari
beberapa unsur yaitu :
1. Bank syari’ah bertindak sebagai shahibul mall secara penuh dan debitur atau
mudharib sebagai pengelola kegiatan dalam usaha.
2. Jangka waktu pembiayaan, yaitu masa pengembalian dana dan pembagian
keuntungan berdasrkan yang disepakati dalam akad/kontrak.
3. Bank syari’ah tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha debitur atau mudharib.
4. Pembiayaan yang diberikan dalam bentuk uang dan dinyatakan jumlahnya.
121 Wawancara dengan Kabid.Pemasaran Bank BNI Syari’ah (Bapak Ahaddudin) Medan,
pada hari senin tanggal 16 juni 2008.
64
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
5. Pembagian keuntungan dari pengeloaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah
yang disepakti bersama.
6. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang waktu investasi,
kecuali atas dasar kesepakatan kedua belah pihak dan tidak berlaku surut.
7. Bank syari’ah meminta jaminan atau ada orang yang menjaminkan untuk
mengatasi resiko apabila nasabah debitur atau mudharib tidak memenuhi
kewajiban dengan niat curang atau lalai.122
Sesuai dengan jenis-jenis pembiayaan mudharabah yang terdapat dalam fiqh
Islam, bank BNI syari’ah Medan juga menerapkan prinsip pembiayaan mudharabah
kepada dua jenis, yaitu pembiayaan mudharabah muthlaqah dan pembiayaan
mudharabah muqayyadah.
a. Pembiayaan Mudharabah Muthlaqah.
Pada jenis pembiayaan mudharabah muthlaqah bank BNI syari’ah Medan
memberikan fasilitas dan otoritas serta hak sepenuhnya kepada mudharib atau debitur
untuk melakukan usaha dan mengelola dana yang diperoleh dari pembiayaan
mudharabah ini sesuai dengan yang dinginkannya dan hal tersebut akan disebutkan
dalam perjanjian atau akad/kontrak yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Untuk pembiayaan mudharabah muthlaqah ini pihak bank BNI syari’ah Medan
membaginya kepada dua kelompok mudharib, yaitu Mudharib perorangan dan
Mudharib badan usaha
122 Abdul Ghofur Ansory, Op Cit,. hal.66.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Pada perjanjian atau akad pembiayaan mudharabah muthlaqah pada umunya
memuat tentang hal-hal sebagai berikut :
1). Menerangkan pihak-pihak yang hendak berakad/berkontrak.123
Pada tahap ini akan diterangakan dengan jelas pihak-pihak yang akan berakad
yaitu bank BNI syari’ah Medan yang akan diwakili oleh pimpinan atau perwakilan
dari direksi bank, dan debitur sebagai orang atau badan usaha yang disebut sebagai
penerima pembiayaan.
Penjelasan tentang pihak-pihak yang berkontrak dalam akad merupakan salah
satu unsur pokok dalam sebuah perjanjian pembiayaan mudharabah yang mempunyai
hubungan kepada klausula akad sesudahnya.124 Artinya melalui penyebutan siapa-
siapa yang akan menikatkan diri dalam kontrak akan memberikan gambaran terhadap
tujuan dari pada pembiayaan mudharabah yang di berikan.
Peristiwa tentang mengikatkan diri oleh pihak-pihak yang ingin berakad
menimbulkan konsekuwensi hukum yang hampir senada dengan hukum positif, yaitu
adanya kebebasan para pihak untuk membuat satu jenis akad dan mengakhirinya.
Secara umum kebebasan berkontrak mengandung lima (5) makna, sebagai
berikut :
a). Kebebasan bagi para pihak untuk mengawali dan mengakhiri kontrak
b). Kebebasan untuk menentukan dengan siapa para pihak akan membuat kontrak.
c). Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan bentuk kontrak
123 Draf/Konsep Akad Pembiayaan Mudharabah di Bank BNI Syari’ah Medan, hal 1. 124 Lihat Unsur-Unsur Perjanjian Dalam Hukum Islam di Bab III.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
d). Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan isi kontrak
e). Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan cara pembuatan kontrak125
2). Menerangkan tentang maksimum dari pembiayaan.126
Pada tahap ini akan dijelaskan bank BNI Syari’ah Medan akan menyediakan
dana pembiayaan dalam bentuk uang kepada debitur dengan jumlah yang telah
disepakati kedua belah pihak, biasanya bank BNI syari’ah Medan tidak memberikan
batasan jumlah pembiyaaan, namun untuk nilai minimal dalam pembiayaan
mudharabah ini adalah Rp. 50.000.000 ,- (lima puluh juta rupiah).
Sedangkan untuk jumlah maksimumnya bank BNI syari’ah Medan tidak
membatasinya, tetapi disesuaikan dengan nilai jaminan yang diberikan oleh debitur.
Seperti jaminannya adalah sertifikat tanah, jika nilai harga dari tanah tersebut adalah
50.000.000,- maka batas maksimal dana yang akan diperoleh debitur adalah nilai
harga tanah dikali 75 %, maka dari hasil tersebut menjadi batas maksimal bagi
pembiayaan mudharabah ini.
3). Tujuan dari pembiayaan.127
Dalam hal ini akan dijelaskan tentang tujuan dari pembiayaan yang diberikan
apakah untuk proyek atau dagang atau untuk usaha yang lainnya, tetapi pada bank
BNI syari’ah Medan lebih cenderung atau lebih banyak memberikan pembiayaan
mudharabah kepada tujuan proyek seperti konstruksi bangunan dan jalan, industri dan
lain-lain.
125 Abdul Ghofur Ansory, Op Cit,. hal.3 126 Draf/Konsep Akad Pembiayaan Mudharabah di Bank BNI Syari’ah Medan, hal 2. 127 Ibid, hal.2.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel .1 Peningkatan Pembiayaan Mudharabah Bank BNI Syari’ah Medan
No. Tahun Pembiayaan Jumlah Debitur 1. 2. 3. 4. 5. 6.
2003 2004 2005 2006 2007 2008
1 2 5 10 15 15
Sumber data : Hasil wawancara dengan Ahadduddin bagian Pemasaran di Bank BNI Syariah Medan
4). Jangka waktu pembiayaan 128
Pada klausula akad pembiayaan mudharabah tentang jangka waktu sebenarnya
diserahkan kepada pihak debitur, artinya tergantung kemauan dan kemampuan
debitur dalam mengemban amanah modal yang diberikan kapan debitur tersebut
sanggup menyelesaikan kewajibannya.
Pihak debitur bebas menentukan batas waktu pengembalian pembiayaan ini,
tetapi biasanya jangka waktu ini dapat dilihat dari sektor usaha yang dikelola debitur,
seperti pada proyek pembangunan perumahan atau real estate dalam pembiayaan ini
mempunyai jangka waktu yang cukup lama yaitu 5 (lima) tahun, sedangkan dalam
proyek pengadaan atau distribusi barang pupuk misalnya hanya membutukan jangka
waktu 2 (dua) bulan, jadi dalam jangka waktu ini melihat kepada tujuan pembiayaan
yang diberikan. Kemudian dalam klusula ini juga dijelaskan kapan berakhirnya
pembiayaan dan pengembalian modal yang diberikan bank BNI syari’ah Medan
kepada debitur.
128 Ibid, hal.3
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
5). Realisasi pembiayaan 129
Pada realisasi pembiayaan dapat dilakukan dengan cara sekaligus atau bisa juga
dengan bertahap, dengan catatan harus ada persetujuan sebelumnya dari pihak bank
dan debitur, jika dilihat dari tujuan pembiayaan di dalam bank BNI Syari’ah Medan
yang condong terhadap proyek lebih dominan realisasi dana pembiayaan tersebut
dengan sekaligus.
6). Menerangkan nisbah bagi Hasil
Pihak bank BNI syari’ah Medan dan pihak debitur harus menyepakati terlebih
dahulu tentang berlakunya nisbah bagi hasil atau pembagian keuntungan berdasarkan
dengan akad mudharabah di dalam perjanjian. Artinya dalam tahap ini dijelaskan
berapa persen bahagian yang akan diperoleh bank sebagai pemilik modal dan
seberapa pula bahagian debitur. Pada umumnya yang terjadi dalam pembagian
keuntungan dapat dilihat bahwa bahagian debitur selalu lebih banyak ketimbang dari
pihak bank BNI syari’ah Medan.
Pembagian keuntungan merupakan hal yang paling urgen dalam satu
pembiayaan selain dari pengembalian pokoknya, maka pembayaran nisbah
keuntungan dilakukan pada tiap-tiap bulan dengan menyebutkan tanggal pembayaran
dan cara pembayarannya, apakah dengan menyetor langsung ke bank atau melalui
transfer tergantung kesepekatan yang dibangun.
Satu hal yang terpenting dalam hal ini adalah bahwa nisbah bagi hasil ini dapat
berubah sewaktu-waktu artinya pada bulan pertama dengan bulan ketiga misalnya
129 Ibid, hal.3
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
bisa berbeda. Hal ini disebabkan keuntungan yang didapat debitur pada bulan ini
belum dapat dipastikan sama dengan bulan yang akan datang, sebagaimana dalam
akad atau kontrak pembiayaan mudharabah bank BNI syari’ah pada Pasal 7 poin 3
tentang Nisbah bagi hasil yang berbunyi :
Ketentuan Nisbah Bagi Hasil sebagaimana disebutkan dalam ayat 1 Pasal ini
adalah berdasarkan hasil usaha sesuai dengan laporan keuangan Penerima
Pembiayaan, dan perhitungan Nisbah bagi hasil ini dapat diubah sewaktu-
waktu sesuai dengan kesepakatan Para Pihak.130
Melihat tujuan pembiayaan mudharabah yang disalurkan bank BNI Syari’ah
Medan kepada usaha proyek atau konstruksi, usaha produksi porsi bagi hasil antara
bank BNI Syari’ah Medan dengan debitur adalah 60 % dari hasil keuntungan untuk
pihak pengusaha atau debitur dan 40 % bahagian bank. Dan untuk usaha perumahan
(real estate) porsi bagi hasil keuntungannya adalah 90 % untuk debitur 10 % untuk
bank, untuk usaha distributor barang/jasa nisbah bagi hasil diantara mereka adalah 80
% untuk debitur 20 % bagian bank BNI Syari’ah Medan.131 Dari praktek pembagian
keuntungan antara bank BNI syari’ah Medan pada hakekatnya lebih memberikan
keuntungan yang lebih banyak kepada pengusaha atau debitur.
Pemberian keuntungan yang lebih besar kepada pihak debitur merupakan
pengamalan dari prinsip syari’ah tentang keadilan dan asas tolong menolong dan
130 Draf/Konsep Akad Pembiayaan Mudharabah di Bank BNI Syari’ah Medan, hal 3. 131 Wawancara dengan bapak Ahadduddin di Bank BNI Syari’ah Medan tanggal 16 Juli 2008.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
memberikan kepentingan utama kepada nilai-nilai norma persaudaraan manusia dan
keadilan sosial ekonomi.132
7). Menerangkan tentang denda atau ganti rugi
Dalam hal denda dapat berlaku ketika debitur terlambat mengembalikan pokok
pembiayaan dengan denda 5 % pertahun dan hasil yang diperoleh dari denda ini akan
disalurkan untuk kegiatan sosial.hal ini bisa dipahami dari pasal 9 ayat 1 dan 2
tentang denda dang anti rugi yang menyebutkan:
Pada ayat (1) :
Apabila Penerima Pembiayaan tidak atau terlambat melakukan pengembalian
pokok pembiayaan dan bagi hasil sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 2
dan Pasal 8 ayat 1 Akad ini, maka Penerima Pembiayaan dikenakan denda
sebesar 5 % pertahun dan harus dibayar lunas oleh Penerima Pembiayaan
kepada Bank yang selanjutnya akan digunakan untuk kepentingan sosial.133
Pada ayat (2) :
Apabila Penerima Pembiayaan dengan sengaja atau karena kelalaian terlambat
atau tidak melakukan pembayaran nisbah bagi hasil yang merupakan bagian
keuntungan Bank maka Penerima Pembiayaan dikenakan ganti rugi sebesar
100 % (seratus persen) dari jumlah kerugian riil yang diderita Bank .
132 Bismar Nasution, Pengembangan Ekonom Islam Dan Kualitas Hukum Konvensional,
makalah disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema ‘Signifikansi Hukum Islam Dalam Merespon Issu-issu Global”, di Pascasarjana IAIN SU Medan, tanggal 19 juni 2004. hal 2.
133 Draf/Konsep Akad Pembiayaan Mudharabah di Bank BNI Syari’ah Medan, hal 4.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Jika denda yang dikenakan demi menjamin kemanan dan ketertiban
pembayaran atau pengembalian modal terhadap apa yang menjadi kewajiban debitur
dalam melaksanakan pembagian keuntungan atau nisbah bagi hasil adalah hal yang
lumrah, akan tetapi bila dilihat dari sisi lain ketika denda yang di kenakan kepada
debitur hanya akibat dari satu kali keterlambatan dalam pengembalian pokok dan
nisbah bagi hasil dan bukan karena kesengajaan yang dibuat-buat. Maka prinsip
syari’ah tentang tolong menolong dan keadilan dalam ajaran Islam yang di pakai
bank BNI syari’ah tidak terlaksana bahkan menurut penulis itu sama halnya dengan
sistem semi riba yang menyalahi aturan pembiayaan dalam Islam.
8). Agunan atau jaminan dalam pembiayaan 134
Agunan atau jaminan pada dasarnya tidak dibolehkan dalam pembiayaan
mudharabah, karena pada prinsipnya pembiayaan yang diberikan oleh pemilik modal
atau shahibul mall adalah untuk membantu sesama. Akan tetapi mengingat bahwa
dana yang akan diberikan oleh bank BNI syari’ah Medan kepada debitur tersebut
masih termasuk dari dana deposan yang menyimpan uangnya di bank tersebut.
Kemudian agunan atau jaminan ada agar debitur tidak melakukan
penyimpangan.135 Selanjutnya demi menjaga kepercayaan yang diberikan deposan
kepada bank BNI syari’ah maka bank BNI syari’ah Medan dibenarkan untuk
meminta jaminan dari pihak debitur, mengenai bentuk jaminan yang diberikan debitur
134 Ibid, hal.4
135 Himpunan Fatwa Dewan Syri’ah Nasional, Op Cit. hal 45.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
kepada bank bisa berupa sertifikat tanah, bangunan, kenderaan, mesin, satuan barang
dan lain-lain.
Hal ini dapat dilihat dalam akad pembiayaan mudharabah Pasal 10 ayat (1)
sebagai berikut :
Pada ayat (1) dijelaskan:
Guna lebih menjamin ketertiban pengembalian pembiayaan dan nisbah bagi
hasil dalam menjalankan amanah berdasarkan Akad Pembiayaan ini dan
untuk mengantisipasi risiko apabila Penerima Pembiayaan tidak dapat
memenuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam Akad Pembiyaan ini karena
kecurangan, lalai atau menyalahi Akad Pembiayaan ini sehingga mengakibatkan
kerugian usaha maka Penerima Pembiayaan memberikan Agunan.136
9). Asuransi barang yang diagunkan 137
Dalam klausula ini harus dijelaskan bahwa barang yang dijadikan agunan atau
jaminan tersebut harus diasuransikan oleh debitur dan menyebutkan pihak asuransi
yang berprinsip syari’ah.
10). Beban biaya sewaktu pembuatan kontrak138
Untuk memperoleh pembiayaan mudharabah di bank BNI syari’ah Medan tentu
tidak terlepas dari perbuatan yang berakibat hukum. Dengan kata lain dalam proses
pembuatan akad atau kontrak diperlukan bukti notaris dan saksi-saksi, maka beban
136 Draf/Konsep Akad Pembiayaan Mudharabah di Bank BNI Syari’ah Medan, hal 5. 137 Ibid, hal.5 138. Ibid, hal.6
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
biaya terhadap hal-hal tersebut akan dibebankan kepada pihak debitur, supaya
pembebanan biaya tersebut jelas dan tidak saling mengover tanggung jawab.
Beban biaya dalam pembuatan kontrak tidak seharusnya dibebankan kepada
pihak debitur semata tetapi juga kepada pihak bank BNI syari’ah Medan, sebab yang
akan mendapat pembagian keuntungan dalam pembiayaan mudharabah tidak hanya
untuk debitur saja tetapi juga pihak bank. Untuk itu beban biaya tersebut semestinya
dibagi sesuai dengan porsi keuntungan yang akan di sepakati dan yang akan dicapai
dalam akad pembiayaan mudharabah tersebut.
11).Hak dan kewajiban bank dan debitur 139
Adapun hak bank BNI Syari’ah Medan dalam pembiayaan mudharabah ini
adalah sebagai berikut :
a). Memperoleh kembali dana pembiayaan dan nisbah bagi hasil sesuai dengan
ketentuan dalam akad pembiayaan ini.
b). Mengawasi dan membina jalannya usaha Penerima Pembiayaan baik
langsung maupun melalui jasa Pihak Ketiga, dalam hal menggunakan jasa
Pihak Ketiga seluruh biaya yang timbul menjadi beban Penerima
Pembiayaan.
Pada klausula ini biaya jasa pihak ketiga yang di bebankan kepada debitur
mempunyai gambaran bahwa prinsip dasar tentang keadilan dalam pembiayaan ini
tidak terlaksana. Dan seharusnya beban jasa pihak ketiga tersebut di tangggung
139 Ibid, hal.7
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
bersama sesuai dengan porsi nisbah keuntungan yang di sepakati antara bank BNI
syari’ah Medan dengan debitur.
c). Menagih nisbah bagi hasil dan pengembalian dana pembiayaan
d). Melakukan penilaian/review terhadap Laporan Keuangan yang disampaikan
Penerima Pembiayaan, selambat-lambatnya pada hari ke 10 (kesepuluh)
sesudah Bank menerima Laporan Keuangan tersebut, disertai dengan data
dan bukti-bukti lengkap dari Penerima Pembiayaan
e). Menolak atau menyetujui hasil perhitungan usaha yang telah dilakukan
penilaian/Review oleh Bank kepada Penerima Pembiayaan selambat-
lambatnya pada hari ke 10 (sepuluh) setelah Bank menerima Laporan
Keuangan dari Penerima Pembiayaan .
f). Mengelola/mengambilalih jalannya usaha apabila Penerima Pembiayaan tidak
menjalankan usahanya sesuai dengan Akad Pembiayaan ini.
g). Mengakhiri Akad Pembiayaan ini secara sepihak apabila Penerima
Pembiayaan dalam menjalankan usahanya telah lalai, tidak jujur/ Curang,
wanprestasi dan atau melanggar ketentuan-ketentuan dalam Akad
Pembiayaan ini
g). Menerima pengembalian dana pembiayaan dan nisbah bagi hasil yang belum
dibayar Penerima Pembiyaan dari hasil penjualan/ eksekusi barang agunan
dalam hal Penerima Pembiayaan lalai, curang, dan atau wanprestasi.
h). Bank tidak bertanggungjawab terhadap akibat hukum dari hubungan bisnis
antara Penerima Pembiayaan dengan Pihak lainnya dalam bentuk apapun.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
i). Memeriksa pembukuan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu baik
secara langsung atau tidak langsung terhadap usaha yang dikelola
Penerima Pembiayaan .
j). Melakukan penyelesaian pembiayaan baik melalui eksekusi agunan maupun
upaya hukum lainnya .
k). Meneliti keabsahan dokumen dan surat-surat lainnya yang berkaitan dengan
Akad Pembiayaan ini.
Kemudian kewajiban bank adalah merealisasikan pembiayaan sesuai dengan
persyaratan yang telah disepakati. Dan menanggung kerugian usaha, kecuali apabila
kerugian tersebut terjadi karena Penerima Pembiayaan tidakjujur, lalai, curang,
wanprestasi dan atau karena tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan-
ketentuan dalam Akad Pembiayaan ini, maka seluruh kerugian menjadi beban
Penerima Pembiayaan.
Adapun hak debitur adalah dalam pembiayaan mudharabah ini adalah
Menerima pembiayaan sebagaimana yang telah disepakati dan Mendapatkan
Nisbah bagi hasil sesuai kesepakatan.
Sedangkan kewajiban debitur adalah:
(1). Melakukan kegiatan usaha sesuai dengan Akad Pembiayaan ini berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan cara se-efektif dan se-
efisien mungkin dan dengan praktek usaha yang etis dan benar.
(2). Menjaga eksistensi dan kelangsungan usahanya dan tidak akan melakukan
perubahan kepemilikan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Bank .
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
(3). Menanggung biaya operasional perusahaan
(4). Bertanggung jawab terhadap segala akibat hukum dari hubungan bisnis
dengan Pihak lainnya.
(5). Menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang sehat, jujur, hati-hati,
beriktikad baik, bertanggungjawab dan profesional untuk mencapai
keuntungan usaha yang maksimal.
(6). Membayar nisbah bagi hasil sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
(7). Mengembalikan seluruh jumlah dana pembiayaan kepada Bank , sesuai
dengan yang disyaratkan dalam Akad Pembiayaan ini.
(8). Menyerahkan Laporan Keuangan tiap-tiap bulan, atas usaha yang dibiayai
dengan akad pembiayaan ini selambat- lambatnya hari ke 10 (kesepuluh)
bulan berikutnya.
(9). Membayar denda apabila terlambat melakukan pembayaran kembali dana
pembiayaan dan Nisbah bagi hasil pada Bank .
(10). Menanggung seluruh kerugian yang timbul apabila melakukan kecurangan,
lala, tidak jujur dan atau wanprestasi dalam menjalankan usahanya
(11). Jika pada akhir jangka waktu akad pembiayaan ini, Penerima Pembiyaan
belum melunasi dana pembiayaan, Penerima Pembiayaan wajib tetap
membayar nisbah bagi hasil keuntungan sampai dengan dilunasinya dana
pembiayaan tersebut oleh Penerima Pembiayaan.
(12). Memenuhi permintaan Bank, apabila pada saat Akad Pembiayaan ini
berakhir, sedangkan sebagian dana pembiayaan masih dalam bentuk barang
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
dan/atau dalam bentuk hutang Pihak Ketiga, dan Bank meminta barang
tersebut dijual untuk melunasi dana pembiayaan yang telah diserahkannya
atau meminta pihak ketiga untuk segera melunasi hutangnya
(13). Mengelola dan menyelenggarakan administrasi pembukuan secara jujur dan
benar dengan iktikad baik dalam pembukuan tersendiri .
(14). Segera memberitahukan kepada Bank tentang :
(a). Adanya perkara yang terjadi antara Penerima Pembiayaan dengan pihak
lain.
(b). Adanya kerusakan, kerugian atau kemusnahan atas harta kekayaan
Penerima Pembiayaan serta barang agunan.
(15). Menyampaikan dalam bentuk dan dengan perincian yang dapat diterima oleh
Bank :
(a). Neraca dan Perhitungan Rugi Laba periodik berikut penjelasannya yang
telah disahkan oleh Direksi Perusahaan secepat mungkin tetapi tidak
lebih lambat dari 30 (tiga puluh) hari sejak akhir masanya.
(b). Neraca dan Perhitungan Rugi Laba dari Perusahaan Penerima
Pembiayaan secepat mungkin, akan tetapi tidak lebih lama dari 30 (tiga
puluh) hari sejak penutupan tahun buku.
(c). Laporan aktivitas usaha dalam bentuk Laporan Rugi-Laba bulanan guna
penentuan pembayaran nisbah bagi hasil sesuai Akad Pembiayaan ini.
(16). Memenuhi kewajiban membayar seluruh pajaknya.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
(17). Mengirimkan setiap keterangan atau dokumen-dokumen yang diminta oleh
Bank
(18). Mengijinkan Bank atau wakilnya pada setiap waktu apabila dianggap perlu
untuk memeriksa seluruh fasilitas-fasilitas, kegiatan-kegiatan, pembukuan dan
catatan-catatan Penerima Pembiayaan dan semua biaya yang timbul menjadi
beban Penerima Pembiayaan .
Salah satu unsur terpenting dalam akad pembiayaan mudharabah ini adalah
menjelaskan apa-apa yang menjadi kewajiban debitur terhadap bank dalam
pengembalian pokok pembiyaan dan hasil keuntungan usaha. Untuk itu keuntungan
yang akan diperoleh bank BNI Syari’ah Medan sangat berpengaruh kepada pelaporan
yang benar dan jujur dari pihak debitur. Kejujuran debitur dalam pembiayaan
mudharabah ini bisa di identikkan atau hampir sama dengan prinsip keterbukaan yang
dilakukan dalam pasar modal,140 dimana keterbukaan dari hasil keuntungan yang
diperoleh debitur harus dilaporkan sesuai dengan perjanjian yang telah di akadkan.
12). Pembatasan terhadap penerima pembiayaan
Pada klausula ini ada perbedaan antara pembiayaan mudharabah muthlaqah
perorangan dengan pembiayaan mudharabah badan usaha, yaitu untuk pembiayaan
mudharabah muthlaqah terhadap kelompok perorangan dan badan usaha pada
prinsipnya hampir sama, akan tetapi pada kedua akad ini mempunyai perbedaan pada
140 Bismar Nasution, Pelaksanaan Prinsip Keterbukaan di Pasar Modal, makalah yang disampaikan pada loka karya Pengelolaan Perusahaan (corporate governance), kerja sama program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of Soulth Carolina, di Jakarta tanggal 4 Mei tahun 2000. hal.3.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
beberapa poin sebagimana yang tertera dalam badan usaha pernyataan dan jaminan
penerima pembiayaan yang berbunyi sebagai berikut :
Pada Penerima Pembiayaan dengan ini menyatakan dan menjamin mengenai
kebenaran hal-hal sebagai berikut :
a). Semua dokumen, data dan keterangan yang telah diberikan oleh Penerima
pembiayaan adalah lengkap dan benar.
Untuk poin nomor satu sama terdapat kesamaan antara usaha perorangan dan
badan usaha, namun yang membedakannya adalah pada poin nomor (2),141 yaitu
sebagai berikut :
b). Perusahaan penerima pembiayaan adalah badan usaha yang didirikan dengan sah
menurut hukum Indonesia.
Sedangkan pada usaha perorangan adalah sebagai berikut :
Penerima Pembiayaan pada waktu ini tidak tersangkut dalam perkara dan
sengketa berupa apapun juga yang dapat mengancam harta kekayaan Penerima
Pembiayaan.142
c). Anggaran dasar perusahaan dan perubahan-perubahannya adalah sebagaimana
termaktub di dalam komparisi penerima pembiayaan sebagaimana disebutkan
pada awal Akad Pembiayaan ini yang fotocopynya telah disampaikan kepada
Bank.
141 Lihat Draf/Konsep Akad Pembiayaan Mudharabah di Bank BNI Syari’ah Medan 142 Ibid, hal 9.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
d). Penerima Pembiayaan pada waktu ini tidak tersangkut dalam perkara dan
sengketa berupa apapun juga yang dapat mengancam harta kekayaan Penerima
Pembiayaan
e). Penerima Pembiayaan pada saat membuat dan menandatangani Akad
Pembiayaan ini telah memenuhi syarat-syarat serta ketentuan yang ditetapkan
dalam anggaran dasar perusahaannya.
Pembatasan terhadap debitur dalam pembiayaan mudharabah mutlaqah pada
hakekatnya tidak diperkenankan, sebab dalam pembiayaan mudharabah muthlaqah ini
semua masalah pengelolaan dana tidak boleh dibatasi oleh pihak bank syari’ah.143
Jika pembatasan ini dilakukan oleh pihak bank BNI syari’ah Medan maka sama
artinya bank BNI Syari’ah Medan hanya memberikan pembiayaan mudharabah
muqayyadah yang memang telah ditentukan beberapa persyaratan sebelum diberikan
dana pembiayaan.144
Kemudian yang menjadi perbedaan selanjutnya antara perorangan dan badan
usaha dalam pembiayaan mudharabah adalah tentang peristiwa cidera janji
(wanprestasi) yang menyebutkan bahwa penerima pembiayaan dianggap telah cidera
janji (wanprestasi) jika melanggar dan atau menyimpangi salah satu peristiwa
berdasarkan Akad Pembiayaan ini jika:
143 Pada konsep fiqhiyah Pembiayaan mudharabah muthlaqah tidak dibenarkan shahibul mall
memberikan syarat-syarat tertentu terhadap debitur, pihak debitur bebas mengelola dana tersebut tanpa ada campur tangan dari pihak bank.
144 Lihat Pengertian Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah di bab III
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
(1). Penerima Pembiayaan menggunakan pembiayaan diluar tujuan
sebagaimana yang telah di akadkan dalam Pembiayaan ini.
(2). Penerima Pembiayaan tidak membayar jumlah kewajiban pembiayaan
sesuai dengan ketentuan dalam Akad Pembiayaan ini atau jumlah lain
yang harus dibayar berdasarkan Akad Pembiayaan ini dan atau dokumen
lainnya yang dibuat berdasarkan Akad Pembiayaan ini
(3). Laporan Keuangan yang disampaikan kepada Bank tidak benar.
(4). Penerima Pembiayaan lalai memenuhi atau tidak memenuhi syarat-syarat
dan ketentuan-ketentuan lain dalam akad pembiayaan ini (dan atau suatu
penambahan, perubahan, pembaharuan atau penggantinya) dan atau
terjadinya pelanggaran terhadap dan/atau kealpaan menurut syarat-syarat
yang tertera dalam perjanjian agunan yang dibuat berkenaan dengan Akad
Pembiayaan ini.
(5). Penerima Pembiayaan melakukan pengalihan usahanya dengan cara apapun
termasuk penggabungan, konsolidasi ataupun akuisisi dengan pihak lain.
(6). Seluruh kekayaan Penerima Pembiayaan disita oleh Pemerintah atau
Pengadilan .
(7). Ijin atau persetujuan yang diberikan atau dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang terhadap Penerima Pembiayaan dicabut atau dinyatakan tidak
berlaku, sehingga Penerima Pembiayaan tidak berhak untuk membangun
atau menyelesaikan pembangunan atau melaksanakan proyek..
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
(8). Terjadinya perubahan yang mendasar atas Usaha Penerima Pembiayaan
yang meliputi bidang usaha, perijinan dan susunan pemegang saham, yang
dapat mempengaruhi kemampuan Penerima Pembiayaan untuk memenuhi
kewajibannya berdasarkan Pembiayaan ini.
Dalam poin ke delapan di atas yang menjadi perbedaan antara pembiayaan
mudharabah bagi perorangan dan badan usaha, sedangkan dalam point dari pertama
dan selanjutnya adalah sama.
(9). Penerima Pembiayaan tidak mematuhi salah satu ketentuan dalam akad
pembiayaan ini atau Penerima Pembiayaan lalai melaksanakan atau
mematuhi syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban lain dalam Akad
Pembiayaan ini atau dokumen transaksi lainnya.
Apabila terjadi salah satu peristiwa Cidera Janji oleh Penerima Pembiayaan,
maka bank berhak untuk :
a. Menarik kembali dana pembiayaan dan semua jumlah uang yang harus dibayar
berdasarkan Akad Pembiayaan ini secara seketika dan sekaligus karena Akad
Pembiayaan ini menjadi jatuh tempo, tanpa pemberitahuan lebih lanjut dan tanpa
diperlukan adanya putusan dari Basyarnas atau pengadilan.
b. Melakukan upaya hukum untuk melaksanakan hak Bank dalam Akad Pembiayaan
ini, tidak terbatas pada mengambil pelunasan, melakukan eksekusi agunan serta
upaya-upaya hukum lainnya untuk kepentingan pelunasan pembiayaan.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
13). Menerangkan penyelesaian sengketa.
Ada tiga pilihan yang ditawarkan oleh bank BNI syari’h Medan dalam
menyelesaikan sengketa dengan debitur, yaitu :
a). Dengan jalan musyawarah atau mufakat.
b). Dengan jalan memperoleh keadilan melalu BASYARNAS
c). Dengan jalan Peradilan Negeri atau Peradilan Niaga.
Apabila tidak tercapainya kata mufakat melalui jalan musyawarah dan sesudah
menempuh jalan BASYARNAS pihak bank BNI Syari’ah Medan masih
mempergunakan Peradilan Umum/Peradilan Niaga sebagai jalan terakhir untuk
memutuskan sengketa syari’ah di antara mereka. Maka Setelah dikeluarkannya
Undang-Undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah dan Undang-
Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama seharusnya Pihak Bank BNI
Syari’ah Medan sudah menyerahkan perkara sengketa mereka ke Peradilan Agama
Medan. Untuk itu dalam klausula ini semestinya sudah diganti poin nomor (3)
tentang pilihan dalam menyelesaikan sengketa yang memuat peradilan Negeri atau
Peradilan Niaga menjadi Peradilan Agama.
Sesuai dengan pasal 49 poin (i) Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama yang menegaskan bahwa Peradilan Agama mempunyai wewenang
untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari’ah
yang termasuk di dalamnya bank syari’ah.
Jika wewenang untuk menangani perselisihan dan sengketa syari’ah di
selesaikan di Peradilan Negeri atau Peradilan Niaga yang nota bene belum bisa
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
dianggap sebagai hukum syari’ah, sebab Peradilan Negeri atau Peradilan Niaga biasa
di sebut sebagai peradilan konvensional, maka sangat aneh jika masalah sengeka
syari’ah di selesaikan secara konvensional bukan dengan syari’ah.145
2. Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah
Pembiayaan mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah retrected
mudharabah/specifed mudharbah, yaitu kebalikan dari pembiayaan mudharabah
mutlaqah, dalam pembiayaan ini si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha,
waktu, tempat usaha. 146
Jenis mudharabah ini pada akadnya dicantumkan persyaratan-persyaratan
tertentu misalnya hanya boleh digunakan untuk usaha tertentu, di kota tertentu, dan
dalam waktu tertentu. Ikatan-ikatan ini membuat akad mudharabah menjadi terikat
dan sempit sehingga disebut mudharabah muqayyadah (restricted mudharabah).
Pengertian jenis pembiayaan mudharabah kedua ini adalah bahwa ia selain
melakukan akad mudharabah dengan shaibul maal maka ketika ia membuat
perjanjian dengan pihak lain dimana kedudukan ia sebagai shahibul maal maka ia
dikatakan melaksanakan mudharabah kedua. Praktek seperti ini banyak dijumpai
dalam bisnis perbankan syariah dimana pihak bank (mudharib) dalam perniagaannya
melakukan akad mudharabah kembali kepada orang lain dengan modal yang ia telah
terima dari nasabah bank (shahibul maal).
145 http://agustianto.nirlah.com/2008/04/03 peradilan-agama-dan-sengketa-ekonomi-syariah,
di akses pada hari Rabu tanggal 9 bulan Juli 2008. 146 Antonio, Muhammad Syafi’I,Bank Syari’ah Wacana Ulama Dan Cendekiawan,.hal 173.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat tentang kebolehan mudharib
melakasanakan mudharabah kedua. Menurut madzhab Hanafi hal ini tidak
diperbolehkan kecuali jika modal itu diserahkan kepada pemilik modal. Golongan ini
berpendapat bahwa mudharib pertama tidak bertanggung jawab terhadap modal yang
diserahkannya kepada mudharib kedua kecuali jika yang terakhir ini telah benar-
benar melaksanakan perniagaan dan mendapatkan keuntungan atau kerugian.
Untuk pembiayaan mudharabah muqayyadah sesuai dengan wawancara dengan
bapak Ahadduddin, pihak bank BNI syari’ah Medan mulai dari tahun 2003 sampai
tahun 2008 belum pernah menyalurkan pembiayaan mudharabah muqayyadah. Hal
ini terjadi disebabkan permintaan dari pihak debitur yang datang kepada bank BNI
syari’ah Medan hanya menginginkan pembiayaan mudharabah muthlaqah saja.
Kemudian bisa di pahami juga dari permintaan tujuan pembiayaan sebahagian lokasi
proyek atau usaha debitur berada di luar kota Medan.
B. Penerapan Bagi Hasil (Mudharabah) antara Debitur dan Bank BNI Syari’ah Medan
Sistem bagi hasil Mudharabah yang dilaksanakan oleh Bank BNI Syari’ah
Medan merupakan sistem yang meliputi pembagian hasil usaha antara bank syari’ah
dengan debitur sebagai pengelola dana, pembagian hasil usaha ini dapat dilihat dari
dua faktor, yaitu faktor secara langsung dang faktor tidak langsung.
D iantara yang mempengaruhi faktor secara langsung adalah :
1. Investment rate, yaitu merupakan persentase aktual dana yang diinvestasikan dari
total dana pembiayaan.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
2. Jumlah dana pembiayaan yang tersedia, jumlah dana ini tersedia untuk
diinvestasikan meruapakan jumlah dana dari berbagai sumber dana yang tersedia
dan dana tersebut dapat dikalkulasikan dengan menggunakan salah satu metode
rata-rata saldo minimum bulanan atau rata-rata total saldo harian, maka
investment rate dikalikan dengan jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan
sehingga akan terlihat hasil dari jumlah dana aktual yang dipergunakan.
3. Salah satu ciri dari mudharabah ini adalah ditentukannya nisbah sebagaimana yang
telah disetujui dalam akad atau perjanjian.
4. Nisbah bagi hasil mudharabah dapat berbeda berbeda dari waktu ke waktu dalam
satu pembiayaan misalnya bagi hasil bulan pertama dan bulan ketiga berbeda.
5. Nisbah bagi hasil juga dapat berbeda antara satu accout dengan account lainnya
sesuai dengn besarnya dana dan jatuh temponya.
Sedangkan faktor tidak langsung terdiri dari :
a. Penentuan angka-angka pendapatan dan biaya pembiayaan mudharabah,
dimana bank syari’ah dan debitur melakukan share dalam pendapatan dan biaya
(profit sharing), pendapatan yang dibagai hasilkan merupakan pendapatan yang
diterima dan dikurangi dari biaya-biaya, dan jika semua biaya ditanggung oleh
bank syari’ah maka hal itu disebut dengan revenue sharing.
b. Kebijakan Akuntansi, dalam hal ini bagai hasil secara tidak langsung tidak
terlepas dari berjalannya aktivitas usaha yang dilaksanakan terutama dengan
pengajuan dari pendapatan dan biaya.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Pada umunya bank syari’ah melaksanbakan sistem bagi hasil dengan cara
membagi keuntungan dari hasil pendapatan dan hasil laba/keuntungan, tetapi sistem
bagi hasil yang dilaksanakan di bank BNI Syari’ah Medan ini adalah sistem bagi
hasil dari hasil keuntungan bukan pendapatan dari keseluruhan bisnis debitur setelah
itu baru dibagi sesuai porsi yang telah disepakati dalam akad kedua belah pihak.147
Penetapan nisbah bagi hasil keuntungan ditentukan berdasarkan pada perkiraan
keuntungan yang diperoleh debitur dibagi dengan referensi tingkat keuntungan yang
telah di tetapkan.148 Maka tingkat keuntungan bisnis/proyek yang dibiayai dihitung
dengan mempertimbankan sebagai berikut :
1). Perkiraan penjualan yang meliputi dari volume penjualan setiap transaksi setiap
bulan, flluktuasi hasil penjualan, rentang harga penjualan yang dapat
dinegoisasikan dan marjin keuntungan setiap transaksi.
2). Lama cash to cash cycle yang meliputi dari lama proses barang, lama persediaan
dan lamanya piutang.
3). Perkiraan biaya-biaya langsung yaitu biaya langsung yang berkaitan dengan
kegiatan penjualan seperti biaya pengangkutan, biaya pengemasan dan lain-lain.
4). Perkiraan biaya-biaya tidak langsung yaitu biaya yang tidak langsung berkaitan
dengan kegiatan penjualan, seperti biaya sewa kantor, gaji karyawan.
Sedangkan penentuan nisbah bagi hasil berdasarkan pendapatan di tentukan
dengan perkiraan pendapatan yang di peroleh nasabah di bagi dengan referensi
147 Wawancara dengan Bapak Ahadduddin bagaian pemasaran di Bank BNI Syari’ah Medan
Taggal 07 Agutustus 2008. 148 Adiwarman,A.Karim, Bank Islam Analsis Fiqh dan Keuangan,Op Cit,.hal 287
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
tingkat keuntungan yang telah ditetapkan. Perkiraan tingkat pendapatan bisnis yang
dibiayai dihitung dengan mempertimbangkan perkiraan penjualan, lama cash to cash
cycle dan perkiraan biaya-biaya langsung.149
Islam menganjurkan manusia untuk selalu berusaha agar ia dapat memenuhi
kebutuhan kehidupannya, untuk memulai usaha tersebut diperlukan modal atau dana
dalan menjalankan bisnis yang dimaksud, adakalanya orang mendapatkan modal dari
simpanannya atau bisa dari keluarganya dan adapula yang meminjam kepada rekan-
rekannya, maka jika dari semua hal tersebut tidak mampu menolong atau tersedia
modal, disinilah peran dari institusi lembaga keuangan syari’ah untuk membantu
mereka yang mau dalam berusaha, karena lembaga keuangan syari’ah yang nota
benenya bank syari’ah menyediakan modal bagi para debitur yang membutuhkan
dana tersebut.
Hubungan pinjam meminjam tidak dilarang dalam Islam bahkan dianjurkan
agar ending dari perbuatan peminjaman tersebut dapat memberi keuntungan kepada
kedua belah pihak. Dalam perbankan syari’ah sebenarnya penggunaan kata pinjam
meminjam kurang tepat digunakan, karena pinjaman merupakan akad sosial bukan
akad komersial artinya bila sesorang meminjam sesuatu ia tidak boleh disyaratkan
untuk memberikan sesuatu tambahan atas pokok pinjamannya sehingga yang
demikian tersebut tergolong kepada peebuatan riba, hal ini didasarkan kepada surah
Al-Bagarah ayat 275 yang berbunyi sebagai berikut :
149 Ibid, hal.288
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Orang-orang yang memakan atau mengambil riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran tekanan penyakit gila.150
Jika seseorang datang kepada bank syari’ah dan ingin memperoleh dana untuk
usahanya, maka bank syari’ah dan debitur tersebut dapat menyepakati kerja sama
yang saling menguntungkan, seumpama seorang pedagang yang memerlukan modal
untuk berbisnis, ia dapat mengajukan permohonan pembiayaan bagi hasil
mudharabah denmgan cara membuat pleaning bisnis seperti menghitung perkiraan
pendapatan yang akan diperoleh dari dagangan atau usahanya tersebut.
Bagi bank BNI Syari’ah Medan menerapkan konsep bagi hasil mudharabah,
dengan melihat kepada tujuan dari pembiayaan yang diminta oleh debitur mereka,
artinya penerapan bagi hasil atau keuntungan yang akan diperoleh sangat berpariasi
tergantung kepada kesepakatan antara debitur dengan bank BNI Syari’ah tersebut, hal
ini dapat dicontohkan dalam tabel sebagai berikut :
Tabel .2 Persentase Nisbah Bagi Hasil Pembiayaan Mudharabah
No. Tujuan Pembiayaan Mudharabah Nisbah Bagi Hasil 1. 2. 3.
Untuk Usaha Konstruksi, proyek dan produksi Untuk Usaha Perumahan (real estate) Untuk Usaha Distributor barang/jasa
60 % kepada Debitur dan 40 % bagi bank BNI. 90 % kepada debitur dan 10 % bagi bank BNI 80 % kepada debitur dan 20 % bagi bank BNI Syari’ah Medan
Sumber data : Hasil wawancara dengan Ahadduddin bagian Pemasaran di Bank BNI Syari’ah Medan
150 Departemen Agama,Op Cit, hal.69.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa bank BNI syari’ah Medan menerapkan
nisbah bagi hasil ketika dalam proses ada atau perjanjian pembiayaan mudharabah
tergantung kepada tujuan bisnis atau usaha yang akan dijalankan oleh debitur, tentu
saja dengan melihat angka atau persentase keuntungan dari prospek dari proyek
tersebut.
C. Hambatan pelaksanaan Bagi Hasil (Mudharabah) di Bank BNI Syari’ah Medan
Pada dasarnya pelaksanaan bagi hasil mudharabah antara debitur dengan bank
BNI syari’ah Medan berjalan sesuai dengan yang diakadkan oleh kedua belah pihak
sehingga penerapan bagi hasil atau nisbah keuntungan diantara keduanga tetap
terlaksana sebagaimana yang telah dimuat dalam perjanjian tersebut.
Ada satu alasan yang menyebabkan pelaksanaan bagi hasil atau nisbah
keuntungan pembiayaan mudharabah antara debitur dengan bank BNI syari’ah
Medan berjalan sesuai yang direncanakan atau yang diakadkan yaitu bahwa dalam
melihat dan menganalisa calon debitur, bank BNI syari’ah Medan menetapkan
kreteria pertama untuk mendapatkan pembiayaan mudharabah adalah harus
mempunyai sifat amanah, artinya calon debitur yang hendak memperoleh
pembiayaan di maksud harus dapat diyakini dan sanggup menjalankan atau
memutarkan dana tersebut hingga akhirnya dapat memberikan keuntungan kepada
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
debitur sendiri dan juga kepada pihak bank BNI syari’ah Medan dan nasabah deposan
mereka.
Sesuai dengan keterangan yang diperoleh dari bapak Ahadduddin, bagian
pemasaran di bank BNI syari’ah Medan, bahwa amanah dalam kriteria penerima
pembiayaan mudharabah ini salah satunya dapat dilihat dari syarat yang kedua yaitu
bahwa seorang debitur tersebut telah menabung (menjadi deposan) atau telah jadi
debitur sebelumnya dengan jangka minimal satu tahun, maka dari hal ini bank BNI
syari’ah Medan dapat melihat aktivitas seorang debitur dalam arti kegiatan
pemasukan dan penarikan uang, dari sini dapat menjadi salah satu tolak ukur bagi
bank BNI syari’ah Medan apakah seorang debitur tadi dapat diyakini dan mampu
dalam memegang amamah pembiayaan modal yang diberikan atau akan menyia-
yiakannya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa proses pembiayaan mudharabah
dan bagi hasil atau nisbah keuntungan antara debitur dan bank BNI syari’ah Medan
tidak ada hambatan serta berjalan sesuai dengan yang tertera dalam akad mereka.
Namun pada kebiasaannya Pembiayaan bagi hasil mudharabah dapat terhambat
dengan beberapa hal antara lain :
1. Menyangkut transparansi kegiatan usaha dan keuangan pihak yang dibiayai.
2. Hal lain yang juga menjadi hambatan adalah karena bagi hasil yang dibayarkankan
nasabah kepada bank syariah sangat tergantung dari keuntungan usaha, maka
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
ketika keuntungan usaha meningkat pesat, nasabah pun membayar lebih tinggi
secara nilai namun tetap secara nisbah.
3. Karena kondisi alam dan situasi ekonomi yang tidak stabil, sehingga modal
pembiayaan yang diperkiran semula dalam pleaning bisnis bisa lari dan jauh dari
pada apa yang direncanakan.
D. Penyelesaian Sengketa Di Bank BNI Syari’ah Medan
Dalam hukum perikatan Islam penyelesaian sengketa pada prinsipnya boleh
dilaksanakan dengan tiga jalan, yaitu:
1. Dengan jalan perdamaian (sulhu)
Dalam fiqh Islam pengertian penyelesaian sengketa dengan jalan perdamaian
sulhu adalah akad untuk menyelesaikan suatu masalah atau perselisihan sehingga
menjadi perdamaian,151 atau dengan pengertia lain suatu jenis akad itu mengakhiri
perlawanan antara dua orang yang saling berlawanan atau untuk mengakhiri
sengketa.152maka ketika debitur mengalami perselisihan dengan pihak bank syari’ah
maka pihak debitur dan bank dapat melakukan sulhu tanpa menyelesaikan masalah
melalui jalur hukum.
Ada beberapa cara yang ditawarkan fiqh Islam dalam penyelesaian secara
sulhu, yaitu :
151 Hasballah Thaib,Op Cit,.hal. 146. 152 Gemala Dewi,dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia ,Op Cit,.hal 80.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
a. Dengan Ibra’ yaitu dengan cara membebaskan atau melepaskan atau
menghilangkan utang seorang debitur oleh pihak bank syri’ah, menurut jumhur
ulama ibra’ diterima dalam keadaan sebagai berikut :
1). Apabila Ibra’ tersebut diberlakukan dalam masalah pengalihan hutang.
2). Apabila orang yang berutang meminta utangnya digugurkan, lalu diqabulkan
oleh pihak yang memberi utang.
3). Apabila sebelumnya orang yang berutang telah menerima pernyataan Ibra’ dan
pemberi utang.153
Pada hakekatnya penyelesaian sengketa dengan jalan perdamaian atau
musyawarah merupakan suatu penyelesaian yang sesuai dengan kultur kita sebagai
orang yang beradat dan orang timur, tetapi pada kenyataannya mungkin akan begitu
sulit untuk mewujudkannya, hal ini disebabkan pada umunya para pihak menganggap
remeh terhadap hal-hal yang kelihatannya sepele, tapi para pihak tidak menyadari hal
yang dianggap begitu sepele terkadang akan membawa perkara dibelakang hari.
2. Dengan Atbitrase (Tahkim)
Penyelesaian sengketa dengan jalan tahkim adalah suatu penyelesaian dengan
cara penunjukan seseorang atau lebih sebagai wasit atau juru damai oleh dua orang
atau lebih yang bersengketa gua menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan
secara damai.154 Pengertian tahkim disini boleh menunjuk dengan suka rela seseorang
153 Hasballah Thaib, Op Cit,.hal.147. 154 Gemala Dewi,dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia ,Op Cit,.hal 80.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
atau lembaga yang dianggap mampu adil dalam menyelesaikan perselisihan diantara
dua belah pihak yang bersengketa.
Dalam Al-Qur’an surah An Nisa ayat 35 menyatakan :
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan hakam dari keluarga perempuan, jika
kedua hakam itu bermaksud mengadakan pebaikan nicaya Allah memberi taufik
kepada suami istri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.155
Juga dalam surah Al-Hujarat ayat 9 disebutkan sebagai berikut:
Dan Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin yang berperang maka
damaikanlah antara keduanya, jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya
terhadap golongan golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat
aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu
telah kembali maka damaikanlah diantara kedaunya dengan adil dan berlaku adillah,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. 156
Maka ketika para pelaku ekonomi syari’ah dalam menjalankan kegiatannya
berdasarkan syari’ah dengan serta merta akan melangsungkan hubungan kemitraan
dengan sistem syari’ah pula, dan bila mana hubungan tersebut terjadi atau berakhir
dengan sebuah kecedaraan prilaku salah satu pihak dalam istilah lain perselisihan
maka kedua belah pihak bias memusyawarahkannya terlebih dahulu sebagaima yang
155 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op Cit,.hal 69. 156 Ibid,. hal 1972.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
disebutkan di atas, dan jika hal teersebut juga tidak tercapai kesepakatan maka kedua
belah pihak dapat menunjuk seseorang atan lembaga yang diyakini mampu untuk adil
dalam perkara mereka.
Sebagaimana di ketahui bahwa pelaku bisnis juga manusia biasa yang tidak
terlepas dari apa yang di kenal dengan masalah, maka masalah yang bisa berawal dari
diri mereka sendiri atau bisa juga berawal dari pihak rekan atau mitra bisnis mereka,
untuk itu kedua belah pihak membutuhkan solusi agar ketenangan hidup yang
didambakan oleh setiap manusia dalam bermasyarkat dapat terwujud.157
Supaya masalah yang terjadi tidak di adili oleh pengadilan, para pihak yang
mempunyai perkara dalam keterikatan perjanjian bila mereka menginginkan dapat
diadili secara tahkim dalam istilah sekarang dengan jalan Arbitrase, dan hal ini bisa
dilakukan oleh para pihak dengan cara :
a. Membuat suatu perjanjian tersendiri yang khusus menyetakan keinginan para pihak
tersebut untuk menyerahkan masalahnya diadili secara arbitrase, perjanjian khusus
ini ada dibuat setelah perjanjian pokok disebut sebagai akta kom promis.
b. Mencantumkan dalam perjanjian pokoknya suatu bagaian atau kalusula yang berisi
tentang keinginan para pihak untuk menyerahkan masalah yang timbul dan
perjanjian tersebut diselesaikan secara arbitrase. 158
Di Indonesia memberikan peluang dan jalan terhadap penyelesaian sengketa
syari’ah selain di pengadilan yaitu di badan Arbitrase Syari’ah Nasional
157 Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, Op Cit,.hal
143. 158 Hasballah Thaib, Op cit, hal.148.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
(BASYARNAS), dengan syarat bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk
menyelesaikan masalah mereka di BASYARNAS tersebut, tapi jika salah satu tidak
setuju maka persolaan atau sengketa tersebut tidak bisa dengan jalan Arbitrse yang
dimaksud.
BASYARNAS adalah lembaga parmanen yang didirikan oleh MUI
Indonesia yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalah
yang timbul dalam perdagangan, industri, keuangan, untuk itu lemabaga ini harus
menampilkan kemampuan dalam menyelesaikan persengketaan secara baik dan
memuaskan.
Dalam PBI/7/46/2005 juga terkait dengan penyelesaian sengketa dalam
perbankan syari’ah, hal itu diatur dalam ketentuan Bab II Pasal 20 tentang
penyelesaian sengketa bank dengan nasabah, yaitu:
Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana
diperjanjikan dalam akad atau jika terjadi perselisihan di antara bank dan nasabah
maka penyelesaian dilakukan dengan musyawarah, dalam musyawarah dimaksud
tidak tercapai kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat dilakukan melalui
alternative penyelesaian sengketa atau badan arbitrase syari’ah.159
Dengan demikian penyelesaian sengketa denga jalan arbitrase boleh
dilakukan oleh para pihak yang berselisih, karena selain penyelesaiannya relative
159 . Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, Op Cit,.hal
153.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
cepat, kerahasian para pihak yang bersengketa tetap terjaga mengingat sidang
arbitrase adalah tertutup untuk umum.
Mengenai manfaat dalam penyelesaian sengketa melali arbitrase adalah
sebagi berikut :
1). Hakim (partikulir) adalah pilihan para pihak dan sudah merupakan orang yang ahli
dalam masalahnya.
2). Prosesnya cepat apabila dibandingkan dengan peradilan Negara, karena umumnya
merupakan keputusan yang sudah final dan mengikat dan menurut Pasal 620
reglement op de burgeijk rechts vorering (RV) paling lama 6 bulan harus sudah
diselesaikan.
3.) Putusan arbitrase ini dapat dilaksanakan (eksekusi) di luar negeri.160
Namun jika para pihak tidak menyebutkan di dalam perjanjian atau akad
mereka bahwa BASYARNAS adalah tempat penyelesaian sengketa bila terjadi, maka
secara singkat dapat dikatakan bahwa lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan
sengketa di bidang perekonomian syari’ah adalah Pengadilan Agama berdasarkan
keputusan No.3 tahun 2006 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1984 Tentang
Peradilan Agama.
Sesuai Undang-undang No.3 Tahun 2006 Pasal 49 poin (i) menyebutkan bahwa
Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
perkawinan, waris, wasiat, hibah, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah.
160 Hasballah Thaib, Op Cit,.hal.150.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Berdasarkan isi pasal tersebut di atas telah memasukkan perkara ekonomi
syari’ah menjadi wewenang Peradilan Agama untuk menyelesaikannya. Maksud
ekonomi syari’ah di sini adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksankan
menurut prinsip syari’ah yang meliputi dari bank syari’ah.161
Ekonomi syari’ah dapat dilihat dalam dua disiplin ilmu yaitu ilmu ekonomi
Islam dan ilmu hukum ekonomi Islam. Dengan demikian alasan disiplin ilmu ini
merupakan salah satu kenapa ekonomi syari’ah dalam pasal 49 poin (i) menjadi
wewenang lembaga Peradilan Agama. Kemudian karena berhubungan dengan ilmu
hukum ekonomi para hakim di lingkungan Peradilan Agama harus lebih
memperdalaminya lebih lanjut.162
Selain alasan ekonomi syari’ah di atas sebenarnya tidak sulit di pahami kenapa
Peradilan Agama yang berwenang menangani kasus sengketa di bank Syari’ah. Hal
ini dapat di analisa bahwa orang-orang yang berada di lingkungan Peradilan Umum
bukan ahlinya di bidang syari’ah. Kemudian para hakimnya pun tidak berlatar
belakang pendidikan syari’ah. Oleh sebab itu sudah tepat bila terjadi gugatan syari’ah
di serahkan ke Peradilan Agama yang pada umumnya para hakimnya mempunyai
latar belakang pendidikan syari’ah.163
161 http://pa-pangkalpinang.pta-tabel-net/images/stories/artikel/makalah%20abdul%20manan.
pdf.di akses pada hari rabu tanggal 9 Juli 2008. 162 http://pa-pangkalpinang.pta-tabel-net/images/stories/artikel/makalah%20abdul%20 manan.
pdf.di akses pada hari rabu tanggal 9 Juli 2008. 163 http://syari’ah-online.org/ruu/tanggapan-terhadap-usulan-pemerintah-naskah-ruu-perbankan
-syari%E2%80%90ah/default.asp.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Dengan terjadinya hal seperti ini tentu dengan sendirinya akan meresahkan
masyarakat terutama bagi dunia bisnis, sebab bagi pelaku bisnis penyelesaian yang
menimbulkan permusuhan akan dapat mengganggu kenerja pebisnis dalam
menggerakkan roda perekonomian mereka.164
Untuk itu diperlukan suatu institusi baru yang lebih efesien dan efektif dalam
menyelesaikan sengketa dan melahirkan kesepakatan yang bersifat win-win solution
menjaga kerahasain para pihak dan menyelesaikan masalah secara komperehensif di
dalam kebersamaan dengan tetap menjaga hubungan baik.165
3. Dengan Proses Peradilan (al-Qhada)
Ulama fiqhiyah mengartikan al-qhada dengan kalimat memutuskan atau
menetapkan, lebih lanjut disebutkan bahwa al-qhada adalah menetapkan hukum
syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikan secara adil dan
mengikat.166
Islam sebagai agama yang diturunkan melalui wahyu merupakan agama yang
komperehensif dan way of life bagi setiap diri muslim, yang tentu saja dalam ajaran
agama ini telah megatur bagaimana langkah-langkah yang seharusnya ditempuh oleh
setiap ummat Islam ketika menghadapi perselisihan atau sengketa dengan orang lain,
untuk itu Islam mengenalkan tiga model kekuasaan penegak hukum dalam
memutuskan perkara.
164 Wirdyaningsih, Op Cit, hal 274. 165 Ibid, hal 275. 166 Gemala Dewi,dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia ,Op Cit,.hal 89.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Pertama, Al-qadla yaitu kekuasaaan yang berwenang menyelesaikan masalah-
masalah al-ahwal asy-syakhsiyah (masalah keperdataan termasuk masalah keluarga),
masalah jinayat (pidana), dan tugas tambahan lainnya.
Kedua, Al-hisbah yaitu merupakan lembaga resmi negara yang berwenang
untuk menyelesaikan masalah-masalah berupa pelanggaran ringan yang menurut
sifatnya tidak memerlukan proses peradilan, seumpama sengketa pengurangan
timbangan yang terjadi dalam sengketa jual beli.
Ketiga, Al-mudzalim yaitu badan yang dibentuk oleh pemerintah khusus untuk
membela orang-orang yang teraniaya akibat sikap semena-mena penguasa negara,
juga masalah suap dan korupsi.167
Penyelesaian sengketa melalui peradilan berarti melewati beberapa proses, salah
satunya adalah proses yang dianggap penting yaitu proses pembuktian, dalam hal ini
alat bukti adalah:
1). Ikrar yaitu pengakuan tentang tindakan dari debitur
2). Shahadat (penyaksian)
c. Yamin (sumpah)
3). Diddah (murtad)
4). Muktabah yaitu bukti-bukti tertulis, seperti akte.
5).Tabayyun yaitu upaya perolehan kejelasan yang dilakukan oleh pemeriksaan
mejelis peradilan.168
167 Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, Op Cit,.hal
143.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Sedangkan alat bukti dalam Hukum Perdata, sesuai dengan pasal 164 HIR,
yaitu:
Alat bukti tertulis yaitu akta autentik dan akta bawah tangan.
a). Keterangan saksi
b). Pengakuan
c). Pengetahuan/persangkaan hakim.
Secara umum alat bukti dalam hukum Islam dan hukum perdata hampir sama,
cuma perbedaannya adalah terletak pada fungsi alat bukti yamin (sumpah), yang
berlafazkan seperti, Demi Allah kalimat awalnya, sedangkan pada hukum positif
adalah pengakuan saja.
Sebenarnya konflik akan terjadi bila dua pihak atau lebih dihadapkan pada
perbedaan kepentingan yang kemudian berkembang menjadi sebuah sengketa baik
pihak yang merasa dirugikan karena merasa tidak puas atas keprihatinannya baik
secara langsung terhadap pihak yang dianggap atau penyebab kerugianya tersebut.
Sepintas sebenarnya penyelesaian melalui peradilan masih dianggap sebahagian
orang dapat memberikan keputusan yang adil, namun bagi sebahagian lainnya
menganggap peradilan belum mampu merangkul kepentingan bersama, bahkan
cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaian, membutuhkan
biaya yang mahal, tidak responsif dan memumbuhkan kembangkan permusuhan
diantara para pihak yang bersengketa.
168 Gemala Dewi,dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia ,Op Cit,.hal 89.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Akan tetapi pada prinsipnya penegakan hukum hanya dapat dilakukan salah
satunya dengan kekuasaan kehakiman (judical power) yang dilembagakan secara
konstitusional yang lazim disebut dengan badan yudikatif, dengan demikian
wewenang memeriksa, mengadili sengketa hanya badan peradilan yang berwenang
sesuai dengan kekuasaan kehakiman yang juga merupakan derivate dari Mahkamah
Agung Republik Indonesia.169
Hal tersebut telah ditegaskan dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 2
tentang kekuasaan kehakiman yang menyebutkan bahwa yang berwenang dan
berfungsi melaksanakan peradilan hanya badan peradilan, baik di lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara
dan Peradilan Mahkamah Konstitusi. Maka diluar itu dianggap bertentangan dengan
under the outhority of law.
Dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak
disebutkan ke peradilan mana sengketa syari’ah tersebut ditugaskan. Bahkan Undang-
undang ini justru menjadi alas pijak lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama yang mengamanhkan supaya menangani persoalan ekonomi
syari’ah.
Walaupun demikian masih tetap terjadi tarik menarik wewenang terhadap
penyelesaian sengketa syari’ah ini, dengan bukti masih banyak bank syari’ah yang
belum mamakai jasa Peradilan Agama sebagai tempat penyelesaian sengketa mereka
yang seharusnya di tuangkan dalam akad atau kontrak pembiayaan di maksud.
169 Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia,Op Cit,.hal 208.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Untuk itu ada beberapa alas an yang menyebabkan Peradilan Umum masih
dianggap sebagai institusi penyelesaian sengketa syari’ah, yaitu sebagai berikut :
(1). Bahwa realisasi dari kontrak bisnis di lembaga keungan syari’ah sebahagiannya
masih mengaju kepada ketentuan Bab III KUH Perdata, yang merupakan
terjemahan dari burgelijk wetboek (BW) sehingga untuk memulai suatu
transaksi secara syari’ah tidak terlepas dai pada KUH Perdata yang ada.170
(2). Wewenang Pengadilan Umum juga menangani di bidang bisnis, maka pada
Pengadilan umum tersebut dapat disediakan kamar yang memeriksa kasus
bisnis syari’ah seperti Pengadilan Niaga yang berada di bawah pengadilan
Umum.
(3). Menghindari gesekan-gesekan politis yang masih a priori terhadap Islam
sehingga memperlambat lajunya pelaksanaan sistem ekonomi syari’ah.
Namun pada pengadilan Umum ini juga terdapat kelemahan, jika penyelesaian
sengketa syari’ah di berikan kepada badan ini, yaitu :
(a).Para aparatur hukum belum tentu mengusai permasalahan syari’ah
(b).Belum ada hukum materil yang khusus menyangkut bisnis syari’ah yang
bisa dijadikan patokan para hakim di Pengadilan Umum.
Dari hal tersebut di atas sebagai rujukan dalam penyelesaian sengketa yang
terjadi di dalam perbankan syari’ah, bagi bank BNI syari’ah Medan jika harus
mendapat persoalan atau sengketa antara debitur dengan mereka tentang hal yang
170 http://agustianto.nirlah.com/2008/04/03 peradilan-agama-dan-sengketa-ekonomi-syariah,
di akses pada hari Rabu tanggal 9 bulan Juli 2008.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
tercantum dalam akad mereka, pihak BNI syari’ah Medan lebih mengedapankan
penyelesaian secara musyawarah dan mufakat, karena dengan musyawarah lebih
mencerminkan keIslamian dan melahirkan hasil yang memuaskan bagi para pihak
yang bersengketa. Jika tida ada kata sepakat antara debitur dan bank BNI syari’ah
Medan, maka persoalan tentang yang disengketakan mereka dapat menghunjuk
Badan Arbitrase Syari’ah Nasional yang ada di daerah, dan jika juga tidak dapat
terselesaikan hal ini baru diselesaikan melalui Pengadilan Niaga yang berada di
bawah naungan pengadilan Negeri Medan.171
Dengan demikian penyelesaian sengketa di bank BNI syari’ah Medan masih
berpatokan kepada aturan yang lama bukan kepada Undang-undang No 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama yang sudah di beri wewenang untuk menyelesaikan perkara
ekonomi syari’ah yang termasuk kategori perkara di bank-bank syari’ah.
171 Hasil wawancara dengan bapak Ahadduddin di bank BNI Syari’ah Medan.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat menarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengaturan perjanjian pembiayaan mudharabah berlandaskan atau bersumber
dari kitab suci Al-Qur’an dan Al-Hadist, kemudian di ikuti dengan Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 07/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Pembiayaan Mudharabah dan Undang-undang No 10 Tahun 1998
sebagai perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan,
yang mada dalam undang-undang ini telah mengatur semua kegiatan perbankan
berdasarkan prinsip syari’ah, yaitu; aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara bank dengan pihak lain untuk menyuplai dana atau pembiayaan kegiatan
usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah antara lain
pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil mudharabah.
2. Bahwa pembiayaan mudharabah dapat dilakukan dalam dua bentuk yaitu
pembiayaan mudharabah muthlaqah dan pembiayaan mudharabah muqayyadah,
namun di bank BNI syari’ah Medan hanya melaksanakan pembiayaan
mudharabah muthlaqah, baik kepada badan usaha maupun perorangan. Dan
tujuan usaha dari debitur tersebut adalah untuk konstruksi atau proyek,
produksi, perumahan (real estate) dan usaha distributor barang/jasa, sebagai
106
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
contoh nisbah bagi hasil terhadap usaha proyek 60 % untuk debitur dan 40 %
kepada bank, untuk usaha perumahan adalah 90 % untuk debitur 10 % kepada
bank dengan jangka pinjaman yang cukup lama sampai mencapai 5 tahun,
sedangkan untuk usaha distributor barang/jasa adalah 80 % untuk denitur 20 %
kepada bank, yang mempunyai waktu yang relatif singkat yaitu bisa dalam 2
bulan.
3. Mekanisme pembiayaan Mudharabah di bank BNI Syari’ah Medan pada
hakekatnya hampir sama sebagaimana di bank syari’ah pada umumnya yaitu
mulai dari permohonan dari debitur untuk pembiayaan mudharabah muthalaqah
kepada bank BNI syari’ah Medan kemudian bank BNI menganalisa calon
debitur tersebut yang terakhir akan membuat kontrak/akad perjanjian yang akan
mengikat di antara keduanya secara hukum. Dalam akad kontrak tersebut akan
di jelaskan pihak-pihak yang berakad, tujuan pembiayaan, jumlah transaksi
pembiayaan, jangka waktu pengembalian, jaminan pembiayaan, menerangkan
hak dan kewajiban pihak yang berakad, wan prestasi dan untuk penyelesaian
sengketa pihak bank BNI syari’ah Medan adalah jalan musyawarah, arbitrase
melalui BASYARNAS dan pengadilan Umum/Niaga Medan.
B. Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka dapat dikemukakan beberapa saran
yang kiranya dapat bermanfaat bagi bank BNI syari’ah Medan, sebagai berikut :
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
1. Hendaknya bank BNI Syari’ah Medan memberikan ketegasan dalam objek usaha
yang akan di jalankan oleh debitur tersebut tidak bertentangan dengan ajaran
syari’ah dan tidak hanya memuat ketentuan objek usaha sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku, sifat ke etisan dan kepatutan semata. Sebab
terkadang walaupun sudah sesuai dengan perundang-undangan, sifat ke etisan dan
kepatutan belum tentu tidak bertentangan dengan ajaran syari’ah.
2. Hendaknya bank BNI syari’ah Medan tidak hanya menfokuskan diri kepada
pembiayaan proyek-proyek tingkat lokal semata, tetapi usaha-usaha yang
produktif yang berkelas nasional dan internasional serta punya peluang
keuntungan yang lebih besar.
3. Dalam menyelesaikan sengketa hendaknya pihak bank BNI syari’ah Medan tidak
lagi menyerahkan persoalan kepada pengadilan Negeri /Pengadilan Niaga tetapi
sudah ke Pengadilan Agama Berdasarkan Undang-Undang Perbankan Syari’ah
No.21 Tahun 2008 Pasal 55 dan Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama Pasal 49 yang telah menegaskan bahwa penyelesaian sengketa
perbankan syari’ah diselesaikan di dalam lingkungan peradilan Agama.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001. ----------------------------------, Bank Syari’ah Wacana Ulama dan Cendikiawan,
Jakarta: Tazkia Institute, 1999. Agustianto, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Bandung: Cipta Pustaka Media,
2002. Ascary, Akad dan Produk Bank Syari’ah, Jakarta: PT.Raja Grafindo, 2007. Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2001. Al-Jaziry, Abdurahman, Al-Fiqh Ala Madzahib Al-Arba’ah, , Beirut: Darul Qolam. Al-Zuhaily, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, Damaskus,: Darul Fikri, 1997. Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnnya, Semarang,: Kumudasmoro
Grafindo, 1994. Dewi, Gemala,dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2005. Edwin, Mustfika, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006. Ghofur Ansory, Abdul, Pokok-Pokok Hukum Peerjanjian Islam Di Indonesia,
Yogyakarta: Citra Media, 2006. Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000. Hanitijo Soemitro, Ronny, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Gahlia Indonesia,
1982. Karim, Adiwarman A, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004. Khallaf, Abdul, Wahab, Ilmu Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Perss, 1996.
109
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Mufti, Aries, Bunga Bank: Maslahat atau Muslihat, Jakarta: Pustaka Quantum, 2005. Lubis, Suhawardi, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2000. --------------------------,Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1994. Qordhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta :Gema Insani Perss,
1997. Prodjodikoro, R Wirjono, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju,
2000. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, Jakarta:
PT.Raja Grafindo, 2008. Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004. Syahrin, Alvi, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan
Pemukiman Berkelanjutan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003. Saeed, Abdullah, Bank Islam Dan Bunga, Suatu Kritis Larangan Riba Dan
Interpretasi Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. -------------------, Menyoal Bank Syari’ah, Kritik Atas Interpretasi Bunga Kuam Neo-
Revivalis, Jakarta: Paramadina, 2004. Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Kencana Pranada
Media Group, 2004. Sudarsono, Heri, Bank Dan Lembaga Keuangan syari’ah Diskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekonisia, 2003. Sumatiro, Warkun, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lemabaga Terkait
(BMUI & Takaful) Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Sitompul, Zulkarnain, Problematika Perbankan, Bandung: Books Terrace Oliblary,
2005. Thaib, Hasballah, Hukum Aqad (kontrak)Dalam Fiqh Islam dan Praktek Di Bank
Sistem Syari’ah, Medan: 2005. Yunita, Diana Ascarya, Bank Syari’ah: Gambaran Umum, Jakarta: Bank Indonesia,
2005.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008
Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia, Jakarata: Kencana, 2005. Zulkifli, Sunarto, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah, Jakarta: Zikrul
Hakim, 2003. Makalah Nasution, Bismar, Makalah Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan
Hukum, Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Pebruari 2003. ---------------------, Mengkaji Ulang Sebagai landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato
Pada Pengukuhan Guru Besar,USU- Medan 17 April 2004. ---------------------, Pelaksanaan Prinsip Keterbukaan di Pasar Modal, makalah yang
disampaikan pada loka karya Pengelolaan Perusahaan (corporate governance), kerja sama program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of Soulth Carolina, di Jakarta tanggal 4 Mei tahun 2000.
--------------------, Hukum dan Ekonom, makalah disampaikan pada Seminar Nasional
dengan tema ‘Signifikansi Hukum Islam Dalam Merespon Issu-issu Global”, di Pascasarjana IAIN SU Medan, tanggal 19 juni 2004.
Zulkarnain Sitompul, Kemungkinan penerapan Universal Banking Syari’ah Di Indonesia, Kajian Dari perspektip Bank Syari’ah, Jurnal Hukum Bisnis. Vol.20, Agustus-September 2002.
Internet
http://agustianto.nirlah.com/2008/04/03.peradilan-agama-dan-sengketa-ekonomi-syariah, di akses pada hari Rabu tanggal 9 bulan Juli 2008. http://pa-pangkalpinang.pta-tabel-net/images/stories/artikel/makalah%20abdul%20 manan. pdf.di akses pada hari rabu tanggal 9 Juli 2008. http://syari’ah-online.org/ruu/tanggapan-terhadap-usulan-pemerintah-naskah-ruu- perbankan - syari%E2%80%90ah/default.asp
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil (Mudharabah) Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah (Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan), 2008. USU e-Repository © 2008