ANALISIS PEMBAGIAN WARISAN

Embed Size (px)

DESCRIPTION

analisis pembagian warisan

Citation preview

Mimi menikah dengan Francois, warga negara Perancis di Indonesia. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai dua anak, Claudia (7 tahun) dan Pierre (3 tahun). Pada saat memutuskan untuk menikah Mimi sudah tahu resiko menikah dengan WNA. Namun setelah menikah selama 8 tahun, perkawinan mereka berdua mulai tidak harmonis. Mimi dan Francois sering berselisih paham dan banyak permasalahan mereka yang tidak terpecahkan. Makin lama Mimi merasakan Francois sudah berbeda dan mereka sudah tidak sejalan lagi. Karena Mimi merasa sudah tidak tahan dengan masalah rumahtangganya, akhirnya Mimi memilih jalan untuk bercerai. Mimi khawatir bila hak asuh kedua anaknya jatuh ke tangan Francois. Sebenarnya kasus Mimi hanyalah salah satu diantara banyak kasus perceraian pada perkawinan campuran. Memang, di masa globalisasi ini perkawinan campuran merupakan suatu hal yang sangat umum. Namun kehidupan perkawinan campuran tidak semuanya berakhir dengan kebahagiaan, ada kalanya perkawinan harus berakhir dengan perceraian. Perceraian pada pernikahan campuran membawa masalah yang berkepanjangan terutama sengketa hak asuh anak dan harta bersama.

Sebelum terbitnya UU No. 12 tahun 2006, perkawinan campuran di Indonesia berpedoman pada UU Kewarganegaraan No 62 tahun 1958. Undang-undang ini menggariskan bahwa Indonesia menganut asas ius sanguinis patriarkal. Artinya, anak yang lahir dari perkawinan ibu WNI dan ayah WNA otomatis mengikuti kewarganegaraan sang ayah. Sementara itu, pewarganegaraan anak WNA untuk menjadi WNI hanya bisa setelah si anak berusia 18 tahun. Setiap tahunnya bila keluarga perkawinan campuran itu tinggal di Indonesia, anak-anak yang dilahirkan harus terus-menerus berurusan dengan pihak imigrasi. Tiap tahunnya, mereka harus memperpanjang KITAS. Rumitnya masalah keimigrasian untuk anak yang lahir dari perkawinan campuran ini sama ruwetnya pada saat orang tua mereka harus mengurus perceraian. Penentuan hak asuh anak ada di pengadilan agama/ pengadilan negeri. Bila ibu memenangkan hak asuh, sang Ibu tak bisa langsung berlega hati. Masih ada upaya dari ayah WNA untuk naik banding kasasi ke tingkat pengadilan lebih tinggi. Sebab, secara finansial ayah WNA lebih mampu untuk menggunakan jasa pengacara, bahkan menculik sang anak. Menurut Ika Twigley, satu pendiri dan penggerak KPC Melati (Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu) di dalam artikel Republika.com, keberadaan anak cukup berarti bagi para pria WNA, karena bisa mendapatkan tax reduction (pengurangan pajak) dan social welfare (jaminan sosial). Begitu sang ayah pulang ke negerinya, maka anak pun harus ikut. Lalu, bila anak dalam asuhan ibu, dan ayah masih diwajibkan menanggung biayanya? Yang jelas, di Indonesia tidak ada lembaga penegak hukum yang bertujuan untuk mengawasi penentuan kewajiban ayah WNA di negerinya dalam memberikan biaya pemeliharaan bagi anak-anaknya yang tinggal di Indonesia.

Pada tahun 2006 lalu terbit UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia. Sesuai UU Kewarganegaraan 2006, anak-anak yang lahir setelah Agustus 2006, otomatis mendapatkan kewarganegaraan ganda. Setelah usia 18 dengan masa tenggang hingga tiga tahun, barulah si anak diharuskan memilh kewarganegaraan yang mana yang akan dipilihnya. Jika terjadi perceraian maka ibu dapat mengajukan permohonan kewarganegaraan anak dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal 29 ayat (3) UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bahwa negara Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia.Adapun kutipan Pasal 29 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai berikut:(1) Jika terjadi perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dan warga negara asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.(2) Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalama pengasuhan salah satu dari kedua orangtuanya.(3) Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat(2), sedangkan anak belum mampu menentukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak tersebut.

Apabila ternyata terjadi perceraian dalam perkawinan campur yang berbeda kewarganegaraan, maka anak memiliki hak untuk memilih pengasuhan orangtua. Demi hukumnya maka anak yang masih di bawah umur otomatis akan mengikuti ibu dan mendapat kewarganegaraan Indonesia. Namun jika anak lahir sebelum terbitnya UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, maka anak tersebut harus dilaporkan terlebih dahulu ke pihak yang berwenang agar bisa mendapat kewarganegaraan Indonesia. Ada baiknya pada saat mengambil keputusan bercerai, pasangan yang akan bercerai membuat kesepakatan baik mengenai harta bersama setelah perkawinan dan hak perwalian anak maupun status kewarganegaraan anak dan masing-masing pihak. Sehingga ke depannya tidak menimbulkan masalah pada akibat hukum yang ditimbulkannya.Referensi:STATUS HUKUM ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURANBERDASARKAN HUKUM INDONESIA[1]I. PENDAHULUANPerkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia.[2] Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain.[3] Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di indonesia.Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 :Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran, berikut komparasinya terhadap UU Kewarganegaraan yang lama. Secara garis besar perumusan masalah adalah sebagai berikut :1. Bagaimana pengaturan status hukum anak yang lahir dari perkawinan campuran sebelum dan sesudah lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru?2. Apakah kewarganegaraan ganda ini akan menimbulkan masalah bagi anak?II. ANAK SEBAGAI SUBJEK HUKUM

Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah :Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup. Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain. Berdasarkan pasal 1330 KUHP, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan. Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum.

III. PENGATURAN MENGENAI ANAK DALAM PERKAWINAN CAMPURAN

A. Menurut Teori Hukum Perdata Internasional

Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status persona. Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis) Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anakanak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62 tahun 1958.Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.B. Menurut UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958

1. Permasalahan dalam perkawinan campuran

Ada dua bentuk perkawinan campuran dan permasalahannya:a. Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan Wanita Warga NegaraIndonesia (WNI)Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa. Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena satu dan lain hal( faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan,dll) maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam keterpisahan.b. Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah dengan Pria Warga Negara Indonesia (WNI)Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan pasal 7 UU No.62 Tahun 1958 apabila seorang perempuan WNA menikah dengan pria WNI, ia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia tapi pada saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan asalnya. Permohonan untuk menjadi WNI pun harus dilakukan maksimal dalam waktu satu tahun setelah pernikahan, bila masa itu terlewati , maka pemohonan untuk menjadi WNI harus mengikuti persyaratan yang berlaku bagi WNA biasa Untuk dapat tinggal di Indonesia perempuan WNA ini mendapat sponsor suami dan dapat memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan memerlukan biaya serta waktu untuk pengurusannya. Bila suami meninggal maka ia akan kehilangan sponsor dan otomatis keberadaannya di Indonesia menjadi tidak jelas Setiap kali melakukan perjalanan keluar negri memerlukan reentry permit yang permohonannya harus disetujui suami sebagai sponsoBila suami meninggal tanah hak milik yang diwariskan suami harus segera dialihkan dalam waktu satu tahun Seorang wanita WNA tidak dapat bekerja kecuali dengan sponsor perusahaan. Bila dengan sponsor suami hanya dapat bekerja sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai istri/ibu dari WNI, perempuan ini kehilangan hak berkontribusi pada pendapatan rumah tangga.2. Anak hasil perkawinan campuran

Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing :1. Menjadi warganegara IndonesiaApabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga negara asing dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya Bila suami meninggal dunia dan anak anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun suami.2. Menjadi warganegara asingApabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan warganegara asing. Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya)C. Menurut UU Kewarganegaraan Baru

1. Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan CampuranUndang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:

1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualianMengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.2. Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan CampuranBerdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat mater harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis berpendapat karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru maka potensi masalah yang bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi kajian para ahli hukum perdata internasional.3. Kritisi terhadap UU Kewarganegaraan yang baruWalaupun banyak menuai pujian, lahirnya UU baru ini juga masih menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satu pujian sekaligus kritik yang terkait dengan status kewarganegaraan anak perkawinan campuran datang dari KPC Melati (organisasi para istri warga negara asing).Ketua KPC Melati Enggi Holt mengatakan, Undang-Undang Kewarganegaraan menjamin kewarganegaraan anak hasil perkawinan antar bangsa. Enggi memuji kerja DPR yang mengakomodasi prinsip dwi kewarganegaraan, seperti mereka usulkan, dan menilai masuknya prinsip ini ke UU yang baru merupakan langkah maju. Sebab selama ini, anak hasil perkawinan campur selalu mengikuti kewarganegaraan bapak mereka. Hanya saja KPC Melati menyayangkan aturan warga negara ganda bagi anak hasil perkawinan campur hanya terbatas hingga si anak berusia 18 tahun. Padahal KPC Melati berharap aturan tersebut bisa berlaku sepanjang hayat si anak.[32]Penulis kurang setuju dengan kritik yang disampaikan oleh KPC Melati tersebut. Menurut hemat penulis, kewarganegaraan ganda sepanjang hayat akan menimbulkan kerancuan dalam menentukan hukum yang mengatur status personal seseorang. Karena begitu seseorang mencapat taraf dewasa, ia akan banyak melakukan perbuatan hukum, dimana dalam setiap perbuatan hukum tersebut, untuk hal-hal yang terkait dengan status personalnya akan diatur dengan hukum nasionalnya, maka akan membingungkan bila hukum nasional nya ada dua, apalagi bila hukum yang satu bertentangan dengan hukum yang lain. Sebagai contoh dapat dianalogikan sebagai berikut :Joko, pemegang kewarganegaraan ganda, Indonesia dan Belanda, ia hendak melakukan pernikahan sesama jenis. Menurut hukum Indonesia hal tersebut dilarang dan melanggar ketertiban hukum, sedangkan menurut hukum Belanda hal tersebut diperbolehkan. Maka akan timbul kerancuan hukum mana yang harus diikutinya dalam hal pemenuhan syarat materiil perkawinan khususnya.Terkait dengan persoalan status anak, penulis cenderung mengkritisi pasal 6 UU Kewarganegaraan yang baru, dimana anak diizinkan memilih kewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah. Bagaimana bila anak tersebut perlu sekali melakukan pemilihan kewarganegaraan sebelum menikah, karena sangat terkait dengan penentuan hukum untuk status personalnya, karena pengaturan perkawinan menurut ketentuan negara yang satu ternyata bertentangan dengan ketentuan negara yang lain. Seharusnya bila memang pernikahan itu membutuhkan suatu penentuan status personal yang jelas, maka anak diperbolehkan untuk memilih kewarganegaraannya sebelum pernikahan itu dilangsungkan. Hal ini penting untuk mengindari penyelundupan hukum, dan menghindari terjadinya pelanggaran ketertiban umum yang berlaku di suatu negara.IV.KESIMPULAN

Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.UU Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik, termasuk terkait dengan status anak. Penulis juga menganalogikan sejumlah potensi masalah yang bisa timbul dari kewarganegaraan ganda pada anak. Seiring berkembangnya zaman dan sistem hukum, UU Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya semoga dapat terus dikritisi oleh para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk mengantisipasi potensi masalah.

Kewarganegaraan,Pemilikan Tanah & Warisan Pada Perkawinan CampuranNastiti WNI yang tinggal di Surabaya berencana menikah dengan William, WNA berkebangsaan Belanda. Selama ini Nastiti rajin sekali mencari informasi berkaitan dengan rencana pernikahannya dengan WNA. Terutama dia ingin mengetahui apakah setelah menikah dengan WNA, dia masih dapat menjadi WNI? Apakah Nastiti masih bisa tetap mendapatkan hak waris dari orangtuanya? Termasuk juga prosedur yang perlu dilakukan agar harta warisannya kelak tidak di jatuh ke tangan suaminya yang notabene adalah WNA? Karena sebagai seorang wanita karier yang independen, Nastiti sudah memiliki asset yang cukup besar; dan dia menyadari bahwa kehidupan pernikahan tidak selamanya mulus, sehingga dia merasa harus siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang timbul dikemudian hari.Melanjutkan ulasan saya tentang perkawinan campuran di artikel sebelumnya, memang banyak hal yang menarik diulas sehubungan dengan di tetapkannya UU No. 12 tahun 2006. Sejak mulai terbitnya UU ini cukup menuai pro dan kontra. Di satu sisi UU ini membawa angin segar bagi para pasangan perkawinan campuran dan anak-anaknya namun disisi lain terbitnya UU tersebut dinilai masih kurang, misalnya jika anak lahir sebelum terbitnya UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, maka anak tersebut harus dilaporkan terlebih dahulu ke pihak yang berwenang agar bisa mendapat kewarganegaraan Indonesia dalam jangka waktu 4 tahun setelah diundangkan, bila sudah lewat dari jangka waktu tersebut maka anak tersebut masih bisa mendapatkan kewarganegaraan namun melalui naturalisasi.Dengan adanya UU No. 12 tahun 2006, apakah wanita WNI yang menikah dengan pria WNA masih dapat menjadi WNI?Di dalam penggunaan sistem hukum dari tempat suami-isteri berkediaman tetap bersama setelah perkawinan (gamenschapelijke woonplaats/ joint residence) atau tempat suami-isteri berdomisili di Indonesia, Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan menjelaskan bahwa pria atau wanita Warga Negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan pria atau wanita Warga Negara Asing (WNA) akan kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suami atau isterinya, mengikuti kewarganegaraan suami atau isteri sebagai akibat perkawinan tersebut. Jika pria atau wanita yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) tersebut ingin tetap menjadi berkewarganegaraan Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan ke pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal pria atau wanita tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengabaikan kewarganegaraan ganda (Pasal 26 ayat (3)). Surat pernyataan tersebut dapat diajukan setelah tiga tahun sejak tanggal perkawinan campuran dilangsungkan (Pasal 26 ayat (4)).Bagaimana dengan hak waris WNI yang menikah dengan WNA?Seorang WNI yang menikah secara sah dengan WNA, dimana WNI tersebut memperoleh asset berupa tanah dengan status Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun di atas tanah HGB, baik karena pewarisan, peralihan hak melalui jual beli, hibah atau wasiat, maka dia wajib melepaskan hak-haknya dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak-hak tersebut (pasal 21 ayat (3)) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau UUPA). Pelepasan hak tersebut adalah dengan cara menjual atau menghibahkan hak-hak atas tanah tersebut.Jika jangka waktu tersebut lewat/dilepaskan, maka hak-hak tersebut hapus karena hukum dan tanah-tanah tersebut jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebani tetap berlangsung (pasal 21 ayat (3) UUPA). Ketentuan tersebut dapat dikecualikan dengan adanya perjanjian kawin pisah harta yang dibuat sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian kawin tersebut dibuat secara notariil yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, yaitu baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Kantor Catatan Sipil (pasal 29 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Apabila akta perjanjian kawin tersebut tidak disahkan pada pegawai pencatat perkawinan terkait, maka secara hukum, perkawinan yang berlangsung tersebut dianggap sebagai perkawinan percampuran harta. Artikel pada hukum online juga menyebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan menggariskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Kecuali, kedua belah pihak membuat perjanjian perkawinan untuk menghindari percampuran harta secara hukum. mengacu pada peraturan sejak jaman belanda, penduduk di Indonesia ini pada dasarnya di golongkan dalam 3 golongan, yaitu:1. Golongan pribumi non muslim yang tunduk pada hukum adat dan jika dia beragama Islamjuga tunduk pada agama Islam2. Golongan penduduk Keturunan Chineese (istilahnya WNI Keturunan) yang tunduk padahukum perdata Barat dan3. Golongan penduduk WNI keturunan Timur Asing (Arab, India, Pakistan, dll)Untuk penduduk pribumi, tunduk yang pada hukum Adat dan UU Perkawinan No.1/1974, masih dapat dianggap bahwa tanpa adanya perjanjian kawin pun, harta bawaan mereka (dalam hal ini harta yang diperoleh sebelum perkawinan dan harta yang diperoleh dari warisan) tetap berada di bawah penguasaan masing-masing pihak. Sedangkan untuk WNI Keturunan Chineese dan Keturunan Timur Asing, tanpa adanya perjanjian kawin, maka yang akan berlaku adalah persatuan harta bulat baik yang diperoleh sebelum perkawinan berlangsung maupun setelah perkawinan berlangsung.Hal inilah yang sering membingungkan masyarakat dalam praktiknya. Namun demikian, pada waktu pelaksanaannya di lapangan, sering akhirnya perlakuannya harus mengacu pada ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, yaitu percampuran harta bulat jika tidak dibuat suatu perjanjian pra nikah. Jadi tidak ada pemisahan antara harta bawaan dan harta perolehan setelah perkawinan berlangsung.Bapak Winanto Wiryomartani Seorang pesiunan Notaris Senior dan Ketua Majelis Pengawas Pusat Notaris- dalam diskusi terbatas tentangPerkawinan Campuran dan Pemilikan Tanah oleh WNAdi Jakarta, Rabu (24/6) yang lalu dalam diskusi yang diselenggarakan Ikatan Advokat UniversitasIndonesia(IKA-Advokat UI) itu, menyampaikan bahwa kalangan notaris dan PPAT diingatkan untuk cermat dan berhati-hati dalam membuat akta-akta yang berkaitan dengan penguasaan aset oleh warga negara asing (WNA). Notaris jangan terlalu gampang membuat akta hanya dari pernyataan pihak yang mendatanginya. Sebaliknya, notaris/PPAT harus memastikan ada dokumen tertulis yang mendukung pernyataan tersebut.Bagaimana bagi WNI yang sudah terlanjur menikah tanpa perjanjian kawin?Menurut Winanto Wiryomartani di dalam artikel hukum online, pasangan suami isteri menikah tanpa perjanjian kawin, dan berlangsung sebelum jangka waktu satu tahun dicatatkan, hak atas tanah masih dimungkinkan dialihkan kepada pihak ketiga. Jika ternyata perkawinan sudah melewati masa satu tahun, berlakulah ketentuan hak milik dan Hak Guna Bangunan dalam UUPA. Artinya, tanah tersebut menjadi dikuasai negara. Bentuk pengalihan jual belinya bukan lagi dalam bentuk akta PPAT, melainkan dengan akta notaril dengan judul Jual Beli dengan Pelepasan Hak. Jadi, WNI yang sudah terlanjur menikah dengan WNA tanpa perjanjian kawin, sebaiknya tanah yang dimiliki di Indonesia segera dipindah-tangankan dengan cara dijual atau dihibahkan kepada orang tua, anak, saudara kandung atau kerabat sebelum diketahui oleh pemerintah yang dapat menyebabkan hak atas tanah tersebut hapus dan jatuh kepada Negara tanpa ganti rugi sesuai dengan peraturan Pasal 21 (ayat 3) UUPA.Dari sisi saya sebagai Notaris/PPAT pun jika menemukan kepemilikan tanah dari seorang WNI yang terikat perkawinan dengan WNA, harus cermat dan berhati-hati dalam membuat akta-akta yang berkaitan dengan penguasaan aset oleh warga negara asing (WNA). Notaris/PPAT harus memastikan ada dokumen tertulis yang mendukung pernyataan tersebut dengan memperhatikan status hukum perkawinan campuran: apakah perkawinan itu dilakukan dengan perjanjian kawin, atau apakah perkawinan tersebut sudah melebihi jangka waktu satu tahun.Nah pembaca, ada baiknya sebelum melangsungkan perkawinan campuran, WNI yang akan menikah dengan WNA membuat perjanjian kawin pisah harta secara notaril supaya mempermudah bila ada ada di masalah di kemudian hari.