Upload
vutu
View
229
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
1
ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG
HAKAM TIDAK MEMILIKI KEWENANGAN DALAM
MENCERAIKAN SUAMI ISTRI YANG SEDANG BERSELISIH
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh:
ANIK MUKHIFAH
NIM: 2103072
JURUSAN AHWAL SYAHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2010
2
3
4
M O T T O
������� ��� �������� ������ ��� ������ ����������� ����������� ����� �!"#�$�% �&�'��))�*�+� :-.(
Artinya: "Dan jika kamu mengkhawatirkan terjadinya persengketaan antara
keduanya (suami istri), maka kirimkanlah seorang juru damai dari
keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.
(QS. An-Nisa': 35)".∗
∗∗∗∗Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Surabaya: Depag RI, 1986, hlm. 123.
5
Buat sendiri
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini untuk:
o Orang tuaku tercinta dan Mertuaku tercinta yang selalu memberi semangat,
membimbing dan mengarahkan hidupku, yang memberi tahu arti hidup ini.
o Suamiku terkasih (Rochmad Rully Rudini), yang selalu tak henti-hentinya
memberi semangat dan motivasi dalam hidup ini terutama dalam
menyelesaikan studi dan khususnya skripsi ini serta mendampingiku dalam
suka dan duka.
o Kakak dan adikku (Mbak Isih Siti Fatimah S.Pdi, Mas adib Ghozali SHi, Adik
Rosita Noor Farida Amd., Dik H. Fachrul Arif, Dik Muh Ulin Nuha, dan
Keponakanku Ziyada Mauhiba, Faras Naura Khasanah). Semoga selalu dalam
lindungan Allah SWT. Amin.
o Teman-Temanku yang tak dapat kusebutkan satu persatu yang selalu bersama-
sama dalam meraih cita-cita
Penulis
6
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang telah pernah ditulis oleh
orang lain atau diterbitkan. Demikian juga
skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-
pemikiran orang lain, kecuali informasi yang
terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan
rujukan.
Semarang, 01 Juni 2010
ANIK MUKHIFAH
NIM: 2103072
A.
7
ABSTRAK
Islam mengajarkan jika terjadi perpecahan antara suami-istri sehingga
timbul permusuhan yang dikhawatirkan mengakibatkan pisah dan hancurnya
rumah tangga, maka hendaknya diadakan hakam (wasit) untuk memeriksa
perkaranya dan hendaklah hakam ini berusaha mengadakan perdamaian guna
kelanggengan kehidupan rumah tangga dan hilangnya perselisihan. Pernyataan
Imam al-Syafi'i ini mengisyaratkan bahwa hakam tidak memiliki kewenangan
untuk menceraikan suami istri yang sedang berselisih. Sebagai perumusan
masalah yaitu apa pendapat Imam al-Syafi'i tentang hakam? Bagaimana
metode istinbat hukum Imam al-Syafi'i tentang hakam yang tidak memiliki
kewenangan dalam menceraikan suami istri yang sedang berselisih?
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Sumber data
primernya yaitu karya-karya Imam Al-Syafi'i yaitu Al-Umm dan (2) Kitab al-
Risalah sedangkan sumber data sekundernya yaitu literatur lainnya yang
relevan dengan judul di atas. Dalam pengumpulan data ini penulis
menggunakan teknik library research (penelitian kepustakaan). Pemilihan
kepustakaan diseleksi sedemikian rupa dengan mempertimbangkan aspek
mutu atau kualitas dari kemampuan pengarangnya. dan dianalisis dengan
deskriptif analitis.
Hasil penulisan menunjukkan bahwa menurut Imam al-Syafi'i, apabila
suami istri bersengketa, sementara suami atau istri itu tidak ada yang mau
mengalah, sehingga jika situasi perselisihan dibiarkan berkepanjangan maka
tidak menutup kemungkinan terjadinya perceraian bahkan permusuhan yang
menimbulkan saling benci dan dendam, maka hendaknya ada seorang hakam
sebagai juru wasit yang mendamaikan kedua belah pihak. Kedua hakam ini
tentunya hakam dari keluarga suami dan hakam dari keluarga istri. Hakam
tersebut hanya boleh mendamaikan dan mencari solusi yang dapat
menghentikan perselisihan. Kedua hakam tidak boleh menyuruh suami istri itu
untuk bercerai. Dengan kata lain kedua hakam tidak mempunyai kewenangan
untuk memisahkan suami istri itu jika tidak diminta suami yang berselisih itu.
Dalam hubungannya dengan metode istinbath hukum Imam al-Syafi'i tentang
hakam tidak memiliki kewenangan dalam menceraikan suami istri yang
sedang berselisih, maka Imam al-Syafi'i menggunakan istinbat hukum yaitu
al-Qur'an surat An-Nisa (4) ayat 35, juz 5. Dalam penafsiran Imam al-Syafi'i
bahwa ayat ini mengisyaratkan dibolehkannya hakam mendamaikan kedua
belah pihak, namun hakam tidak memiliki kewenangan menyuruh mereka
suami istri untuk bercerai.
8
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas
taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
ini. Skripsi yang berjudul: “ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I
TENTANG HAKAM TIDAK MEMILIKI KEWENANGAN DALAM
MENCERAIKAN SUAMI ISTRI YANG SEDANG BERSELISIH” ini disusun
untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu
(S.1) Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang.
2. Prof Dr. H. Muslich Shabir, MA selaku Dosen Pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan
bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan
layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo,
beserta staf yang telah membekali berbagai pengetahuan
5. Orang tuaku yang senantiasa berdoa serta memberikan restunya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang
tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para
pembaca pada umumnya. Amin.
Penulis
9
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v
HALAMAN DEKLARASI........................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Perumusan Masalah .................................................... 5
C. Tujuan Penelitian .................................................... 5
D. Telaah Pustaka .................................................... 6
E. Metode Penelitian .................................................... 9
F. Sistematika Penulisan .................................................... 11
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DAN HAKAM
A. Pengertian dan Macam-Macam Perceraian............................ 13
1. Pengertian Perceraian .................................................... 13
2. Dasar-Dasar Perceraian .................................................... 18
3. Macam-Macam Perceraian.................................................. 21
B. Hakam .................................................... 37
1. Pengertian Hakam .................................................... 37
2. Fungsi atau Tugas Hakam.................................................. 38
3. Orang yang Berhak Jadi Hakam ........................................ 40
BAB III : PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG HAKAM TIDAK
MEMILIKI WEWENANG DALAM MENCERAIKAN SUAMI
ISTRI YANG SEDANG BERSELISIH
A. Biografi Imam Syafi'i, Pendidikan dan Karya-Karyanya...... 43
10
1. Latar Belakang Kehidupan ..................................... 43
2. Pendidikan dan Karya-Karyanya ..................................... 47
3. Situasi Sosio-Politik yang Mengitarinya............................ 50
B. Pendapat Imam Syafi'i tentang Hakam Tidak
Memiliki Kewenangan dalam Menceraikan Suami Isteri
yang Sedang Berselisih ..................................... 52
C. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi'i tentang Hakam
Tidak memiliki Kewenangan dalam Menceraikan Suami
Isteri yang Sedang Berselisih ..................................... 54
BAB IV : ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG
HAKAM TIDAK MEMILIKI WEWENANG DALAM
MENCERAIKAN SUAMI ISTRI YANG SEDANG BERSELISIH
A. Analisis Pendapat Imam al-Syafi'i tentang Hakam Tidak
Memiliki Wewenang dalam Menceraikan Suami Istri yang
Sedang Berselisih ..................................... 63
1. Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam .......... 63
2. Pendapat Imam al-Syafi'i tentang Hakam Tidak
Memiliki Wewenang dalam Menceraikan Suami Istri
Yang Sedang Berselisih ..................................... 66
3. Analisis Penulis ..................................... 69
B. Analisis Metode Istinbath Hukum Imam Syafi'i tentang
Hakam Tidak Memiliki Kewenangan dalam Menceraikan
Suami Isteri yang Sedang Berselisih ..................................... 72
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................... 81
B. Saran-saran .................................................... 82
C. Penutup .................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
B. Latar Belakang Masalah
Dasar sebuah keluarga dalam Islam adalah ikatan darah dan
perkawinan.1 Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang
memberikan banyak hasil yang penting di antaranya untuk membentuk sebuah
keluarga.2 Perkawinan ditujukan untuk selama hidup dan kebahagiaan bagi
pasangan suami istri yang bersangkutan.3 Dalam kenyataannya terkadang
perkawinan tidak mampu dipertahankan dan berakhir dengan perceraian
dalam hal ini suami menjatuhkan talak. Kata talak merupakan isim masdar
dari kata tallaqa-yutalliqu-tatliiqan,4 jadi kata ini semakna dengan kata tahliq
yang bermakna "irsal" dan "tarku" yaitu melepaskan dan meninggalkan.
Abul A'la Maududi mengatakan, salah satu prinsip hukum perkawinan
Islam adalah bahwa ikatan perkawinan itu harus diperkuat sedapat mungkin.
Oleh karena itu, segala usaha harus dilakukan agar persekutuan tersebut dapat
terus berlangsung. Namun, apabila semua harapan dan kasih sayang telah
musnah dan perkawinan menjadi sesuatu yang membahayakan untuk
kepentingan mereka dan kepentingan masyarakat, maka perpisahan di antara
mereka boleh dilakukan. Islam memang berusaha untuk menguatkan ikatan
1Hammudah Abd. Al'ati, The Family Structure In Islam, Terj. Anshari Thayib, " Keluarga
Muslim", Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984, hlm. 69 2Ibrahim Amini, Principles of Marriage Family Ethics, Terj. Alwiyah Abdurrahman,
"Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Istri", Bandung: al-Bayan, 1999, hlm. 17. 3Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 99. 4Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 32.
2
perkawinan, namun berbeda dengan ajaran agama lain, Islam tidak
mengajarkan bahwa pasangan perkawinan itu tidak dapat dipisahkan lagi. Bila
pasangan tersebut telah benar-benar rusak dan bila mempertahankannya malah
akan menimbulkan penderitaan berkepanjangan bagi kedua belah pihak dan
akan melampaui ketentuan-ketentuan Allah, ikatan itu harus dikorbankan. Itu
berarti pintu perceraian harus dibuka, walaupun tidak selebar yang dilakukan
negara Rusia, Amerika, dan sebagian negara Barat.5
Meskipun tidak ada ayat al-Qur’an yang menyuruh atau melarang
melakukan talak yang mengandung arti hukumnya mubah, namun talak itu
termasuk perbuatan yang tidak disenangi oleh Allah SWT. Hal itu
mengandung arti perceraian itu hukumnya mubah. Adapun ketidaksenangan
Allah SWT kepada perceraian itu terlihat dalam hadis dari Ibnu Umar menurut
riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan disahkan oleh Al-Hakim, sabda Nabi:
0�1 ����2 3� 456 7�2 ��� �2 : !8�9� ���2 3� 4�: 3� 0�96 0�1���";<�0=>� "�=8?+� 3� @' ) A� ���� B��B ��� C��6 �DED:� �
!F�>�(6
Artinya: "Ibnu Umar ra., mengatakan: Rasulullah Saw., bersabda: "Perbuatan
halal yang sangat dibenci oleh Allah ialah talak" (HR. Abu Daud
dan Ibnu Majah dan disahkan oleh al-Hakim).
Fuad Said mengemukakan bahwa perceraian dapat terjadi dengan cara:
talak, khulu', fasakh, li'an dan ila' .7 Oleh sebab itu menurut Mahmud Yunus
5Abul A'la Maududi, The Laws of Marriage and Divorce in Islam, Terj. Achmad Rais,
"Kawin dan Cerai Menurut Islam", Jakarta: anggota IKAPI, 1991, hlm. 41. 6Al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani, Bulug al-Marram, Terj. Salim Bahreisy dan Abdullah
Bahreisy, Surabaya: Balai Buku, hlm. 539.
3
Islam memberikan hak talak kepada suami untuk menceraikan istrinya dan
hak khulu' kepada istri untuk menceraikan suaminya dan hak fasakh untuk
kedua belah pihak. Dengan demikian maka yang memutuskan perkawinan dan
menyebabkan perceraian antara kedua suami istri, ialah talak, khulu', fasakh.8
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perceraian berarti perpisahan
atau perpecahan.9 Islam melarang perceraian yang bisa merobohkan sendi-
sendi keluarga dan menyebarkan aib-aibnya, melemahkan kesatuan umat dan
membuat perasaan mendendam serta mengkoyak-koyak tabir kehormatan.10
Islam mengajarkan jika terjadi perpecahan antara suami-istri sehingga
timbul permusuhan yang dikhawatirkan mengakibatkan pisah dan hancurnya
rumah tangga, maka hendaknya diadakan hakam (wasit) untuk memeriksa
perkaranya dan hendaklah hakam ini berusaha mengadakan perdamaian guna
kelanggengan kehidupan rumah tangga dan hilangnya perselisihan.11
Allah
berfirman:
�&�'�� ������� ��� �������� ������ ��� ������ ����������� ����������� ����� �!"#�$�% ))�*�+� :-.(
Artinya: "Dan jika kamu mengkhawatirkan terjadinya persengketaan antara
keduanya (suami istri), maka kirimkanlah seorang juru damai dari
keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.
(QS. An-Nisa': 35)".12
7Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, hlm. 2. 8Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidayakarya Agung,
1990, hlm. 110. 9Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 209. 10Syekh Muhammad Alwi al-Maliki, Adab al-Islam fi Nidham al-Usrah, "Sendi-Sendi
Kehidupan Keluarga Bimbingan Bagi Calon Pengantin", Terj. Ms. Udin dan Izzah Sf, Yogyakarta:
Agung Lestari, 1993, hlm. 87. 11Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 329. 12Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Departemen Agama 1986, hlm. 123.
4
Masalahnya, apakah hakam ini memiliki kewenangan atau dibolehkan
menceraikan suami istri yang sedang berselisih. Imam Malik dan para
pengikutnya berpendapat bahwa pendapat dua hakam itu untuk mengadakan
pemisahan atau pengumpulan dibolehkan tanpa memerlukan pemberian kuasa
ataupun persetujuan dari suami istri yang diwakili. Adapun Imam al-Syafi'i
beserta para pengikutnya berpendapat bahwa kedua hakam itu tidak boleh
mengadakan pemisahan, kecuali jika suami menyerahkan pemisahan tersebut
kepada kedua juru damai.13
Pernyataan Imam al-Syafi'i di atas dapat dilihat dalam kitabnya al-
Umm:
)G���H+� 0�1( I$J6� �K�� &�A�L+� MD� !F�>� @' ���1�� N�OP� � ���� Q�RS & ���2 T��+�� U2���+� T� � ���� � ����� ���
�6V1 &' ������ �D�WS� �X7 �$H��+)0�1( &�17$S �X7 YS & �+ Z�+� 6 &'�[K\� ]' ^7P� 0� � ��?�S ]� _�L+� 7 Y� ]' �S14
Artinya: Imam al-Syafi'i berkata : "Apabila dua orang suami istri yang
khawatir terjadi persengketaan di antara keduanya mengadu kepada
hakim, maka kewajiban hakim mengutus seorang hakam dari
keluarga si perempuan dan seorang hakam dari keluarga laki-laki,
yang termasuk orang yang saleh dan berakal/berfikir supaya
keduanya mengungkap urusan dua orang suami istri itu, dan
keduanya mendamaikan antara dua suami istri jika keduanya
mampu. Imam al-Syafi'i, berkata: Hakim tidak berhak
memerintahkan dua orang hakam untuk menceraikan dua orang
13Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dâr Al-Jiil,
1409 H/1989, hlm. 74. 14Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz V, Beirut: Dâr al-
Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 208
5
suami istri meskipun keduanya berpendapat demikian kecuali
dengan perintah suami".
Pernyataan Imam al-Syafi'i ini mengisyaratkan bahwa hakam tidak
memiliki kewenangan untuk menceraikan suami istri yang sedang berselisih.
Atas dasar inilah peneliti memilih tema ini dengan judul: Analisis Pendapat
Imam al-Syafi'i tentang Hakam tidak Memiliki Kewenangan dalam
Menceraikan Suami Istri yang Sedang Berselisih
C. Perumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah, maka yang menjadi
perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pendapat Imam al-Syafi'i tentang hakam?
2. Bagaimana metode istinbat hukum Imam al-Syafi'i tentang hakam yang
tidak memiliki kewenangan dalam menceraikan suami istri yang sedang
berselisih dan apa yang menjadi alasannya?
D. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pendapat Imam al-Syafi'i tentang hakam yang tidak
memiliki kewenangan dalam menceraikan suami istri yang sedang
berselisih
2. Untuk mengetahui metode istinbat hukum Imam al-Syafi'i tentang hakam
yang tidak memiliki kewenangan dalam menceraikan suami istri yang
sedang berselisih
6
E. Telaah Pustaka
Sampai dengan disusunnya proposal ini, penulis belum menemukan
penelitian yang membahas tentang kewenangan hakam dalam menceraikan
suami istri yang sedang berselisih. Penelitian yang banyak ditemukan adalah
yang membahas perihal talak atau perceraian secara umum. Beberapa
penelitian tersebut di antaranya:
1. Skripsi yang disusun oleh Siti Nur Khasanah (Fakultas Syariah, Tahun
2008) dengan judul: Studi Komperatif terhadap Pendapat Imam Syafi'i
dan Ibnu Hazm tentang Taklik Talak Kaitannya dengan Waktu Tertentu
(Waktu Yang Akan Datang). Menurut penyusun skripsi ini bahwa ucapan
ta'lik talak yang dikaitkan pada waktu akan datang maksudnya ialah: talak
yang diucapkan dikaitkan dengan waktu tertentu sebagai syarat
dijatuhkannya talak, dimana talak itu jatuh jika waktu yang dimaksud
telah datang. Contohnya: seorang suami berkata kepada isterinya: Engkau
besok tertalak atau engkau tertalak pada akhir tahun; dalam hal ini
talaknya akan berlaku besok pagi atau pada akhir tahun, selagi
perempuannya masih dalam kekuasaannya ketika waktu yang telah tiba
yang menjadi syarat bergantungnya talak. Apabila seorang suami berkata
kepada isterinya: Engkau tertalak setahun lagi, maka menurut pendapat
Abu Hanifah dan Malik berarti perempuannya tertalak seketika itu juga.
Tetapi Syafi'i dan Ahmad berpendapat belum berlaku sebelum waktu
setahun itu berlalu. Ibnu Hazm berkata: Barang siapa berkata: Apabila
akhir bulan datang maka engkau tertalak atau ia menyebutkan waktu
7
tertentu maka dengan ucapan seperti ini tidak berarti jatuh talak baik
sekarang ini maupun nanti ketika akhir bulan tiba. Alasannya ialah karena
di dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi tidak ada keterangan tentang
jatuhnya talak seperti itu atau karena Allah telah mengajarkan kepada kita
tentang mentalak isteri yang sudah dikumpuli atau yang belum dikumpuli.
2. Skripsi yang disusun oleh Nur Kheli (Fakultas Syariah, Tahun 2007)
dengan judul: Analisis Pendapat Imam Syafi'i tentang Talak Tiga yang
Dijatuhkan Sekaligus sebagai Talak Sunni. Penyusun skripsi ini
menjelaskan bahwa talak tiga yang dijatuhkan sekaligus menurut Imam
Malik adalah bukan talak sunni, sedangkan Imam Syafi'i dan juga menurut
Daud al-Zhahiriy memandang yang demikian adalah talak sunni.
Alasannya adalah bahwa selama talak yang diucapkan itu berada sewaktu
suci yang belum dicampuri adalah talak sunni. Menurut ulama Hanafiyah
talak tiga yang termasuk talak sunni itu adalah talak tiga yang setiap talak
dilakukan dalam masa suci, dalam arti talak tiga tidak dengan satu ucapan.
3. Skripsi yang disusun oleh Romdhon (Fakultas Syariah, Tahun 2009),
dengan judul: Analisis Pendapat Imam Syafi'i tentang Perceraian Akibat
Li'an. Pada intinya menurut Imam Syafi'i bahwa saat terjadinya perceraian
akibat li'an sebagai berikut: Menurut Imam Syafi'i, perkawinan
diputuskan terhitung semenjak selesainya suami mengucapkan li'an.
Alasannya ialah bahwa li'an itu adalah perceraian yang terjadi karena
ucapan, oleh karena itu terjadi dengan telah diucapkan oleh suami dan
tidak memerlukan ucapan yang lainnya. Penulis sependapat dengan alasan
8
Imam Syafi'i karena ucapan li'an dari suami saja sudah menunjukkan
bahwa suami tidak lagi menyukai istrinya dan telah merusak harga diri
atau kehormatan istri dimata publik. Jika ucapan suami tersebut belum
menjadi talak maka hal ini tidak akan mendatangkan kebaikan jika rumah
tangga diteruskan. Bagaimanapun suami yang menuduh istrinya telah
berzina atau suami yang tidak mengakui anak tersebut sebagai anaknya,
hal itu sudah menunjukkan bahwa suami tidak lagi ada keinginan untuk
meneruskan rumah tangga dengan istrinya tersebut. Jadi sejak kapan
putusnya perkawinan, maka tidak perlu menunggu ucapan istri juga tidak
perlu menunggu sampai pengadilan memutuskan. Karena itu pendapat
Imam Syafi'i logis dan rasional, dalam arti bisa dimengerti bahwa ucapan
li'an suami sudah sama dengan talak. Dalam hubungannya dengan saat
terjadinya perceraian akibat li'an, bahwa menurut Imam Syafi'i, jika suami
telah menyelesaikan li'an-nya, maka perpisahan pun telah terjadi.
Berdasarkan telaah pustaka yang telah disebutkan di atas, maka
penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaannya yaitu
penelitian yang telah dijelaskan tersebut belum mengetengahkan kewenangan
hakam, sedangkan penelitian yang penulis susun hendak mengungkapkan
pendapat Imam al-Syafi'i tentang hakam yang tidak memiliki kewenangan
dalam menceraikan suami istri yang sedang berselisih dan metode istinbat
hukum Imam al-Syafi'i tentang hakam yang tidak memiliki kewenangan
dalam menceraikan suami istri yang sedang berselisih.
9
F. Metode Penelitian
Metode penelitan bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-
langkah sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan dengan
masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya
dicarikan cara pemecahannya. Dalam versi lain dirumuskan, metode penelitian
adalah cara yang dipakai dalam mengumpulkan data, sedangkan instrumen
adalah alat bantu yang digunakan dalam mengumpulkan data itu,15
maka
metode penelitian skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:16
1. Jenis Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini menggunakan jenis penelitian
kualitatif. Jenis penelitian ini hanya berbentuk kata-kata, yang dalam hal
ini tidak menggunakan angka-angka secara langsung17
Dalam studi tokoh ini data dianalisis secara induktif berdasarkan
data langsung dari subyek penelitian. Oleh karena itu pengumpulan dan
analisis data dilakukan secara bersamaan, bukan terpisah sebagaimana
penelitian kuantitatif di mana data dikumpulkan terlebih dahulu, baru
kemudian dianalisis. Analisis data kualitatif dalam studi tokoh ini
dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: pertama, menemukan
pola atau tema tertentu. Artinya peneliti berusaha menangkap karakteristik
pemikiran Imam al-Syafi'i dengan cara menata dan melihatnya
berdasarkan dimensi suatu bidang keilmuan sehingga dapat ditemukan
15Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2002, hlm. 194. 16Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1991, hlm. 24. 17Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
2001, hlm. 2.
10
pola atau tema tertentu. Kedua, mencari hubungan logis antar pemikiran
Imam al-Syafi'i dalam berbagai bidang, sehingga dapat ditemukan alasan
mengenai pemikiran tersebut. Di samping itu, peneliti juga berupaya untuk
menentukan arti di balik pemikiran tersebut berdasarkan kondisi sosial,
ekonomi, dan politik yang mengitarinya. Ketiga, mengklasifikasikan
dalam arti membuat pengelompokan pemikiran Imam al-Syafi'i sehingga
dapat dikelompokkan ke dalam berbagai aspek.18
2. Sumber Data
a. Data Primer, yaitu karya-karya Imam Al-Syafi'i yang berhubungan
dengan judul di atas di antaranya: (1) Al-Umm. (2) Kitab al-Risalah.
Yang akhir ini merupakan kitab ushul fiqh yang pertama kali dikarang
dan karenanya Imam Syafi’i dikenal sebagai peletak ilmu ushul fiqh.
Di dalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran beliau dalam
menetapkan hukum.19
b. Data Sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul di
atas, di antaranya: Kitab Fiqh al-Sunnah; Bidayah al-Mujtahid wa
Nihayah al-Muqtasid; Kifayah al-Akhyar; Fathul Mu'in; Tafsir Ibnu
Katsir; al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah; I'anah at-Talibin; Subulus
Salam; Nail al-Autar.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menggunakan teknik library research
(penelitian kepustakaan). Pemilihan kepustakaan diseleksi sedemikian
18Arief Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 60. 19Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 131-132
11
rupa dengan mempertimbangkan aspek mutu atau kualitas dari
kemampuan pengarangnya.
4. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini data dianalisis secara deskriptif analitis
berdasarkan data langsung dari subyek penelitian. Oleh karena itu
pengumpulan dan analisis data dilakukan secara bersamaan, bukan
terpisah sebagaimana penelitian kuantitatif di mana data dikumpulkan
terlebih dahulu, baru kemudian dianalisis.
Dalam penelitian ini, digunakan metode analisis komparatif yaitu
dengan membandingkan pendapat Imam Syafi'i dengan pendapat Imam
Malik tentang hakam. Dari perbandingan ini hendak dicari persamaan,
perbedaan, kelebihan dan kekurangan masing-masing pendapat.
Imam Malik dan para pengikutnya berpendapat bahwa pendapat
dua hakam itu untuk mengadakan pemisahan (perceraian) atau
pengumpulan dibolehkan tanpa memerlukan pemberian kuasa ataupun
persetujuan dari suami istri yang diwakili.20
Berbeda dengan Imam Syafi'i
yang berpendapat bahwa kedua hakam tidak mempunyai kewenangan
untuk memisahkan suami istri itu jika tidak diminta suami yang berselisih
itu.21
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-
masing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan
20Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dâr Al-Jiil,
1409 H/1989, hlm. 74. 21
Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz V, Beirut: Dâr
al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 208
12
yang saling mendukung dan melengkapi.
Bab pertama berisi pendahuluan, memuat latar belakang masalah,
permasalahan, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan
sistematika Penulisan.
Bab kedua berisi tinjauan umum tentang perceraian dan hakam yang
meliputi pengertian hakam, fungsi atau tugas, siapa yang berhak jadi hakam.
Perceraian meliputi: pengertian perceraian, dasar hukum perceraian, macam-
macam perceraian, sifat dan kedudukan hukum perceraian.
Bab ketiga berisi pendapat Imam al-Syafi'i tentang hakam tidak
memiliki wewenang dalam menceraikan suami istri yang sedang berselisih.
Bab ini meliputi biografi Imam Al-Syafi'i, pendidikan dan karya-karyanya,
situasi sosial politik yang mengitarinya, pendapat Imam Al-Syafi'i tentang
hakam tidak memiliki kewenangan dalam menceraikan suami isteri yang
sedang berselisih, metode istinbat hukum Imam al-Syafi'i tentang hakam
tidak memiliki kewenangan dalam menceraikan suami isteri yang sedang
berselisih.
Bab keempat berisi analisis pendapat Imam al-Syafi'i tentang hakam
tidak memiliki wewenang dalam menceraikan suami istri yang sedang
berselisih. Bab ini meliputi analisis pendapat Imam Al-Syafi'i tentang hakam
tidak memiliki kewenangan dalam menceraikan suami isteri yang sedang
berselisih, metode istinbat hukum Imam al-Syafi'i tentang hakam tidak
memiliki kewenangan dalam menceraikan suami isteri yang sedang berselisih.
Bab kelima berisi penutup yang berisi kesimpulan, saran dan penutup.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DAN HAKAM
A. Pengertian dan Macam-Macam Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Akad pernikahan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata
semata, melainkan juga ikatan suci (misaqan galiza) yang terkait dengan
keyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah
dalam sebuah pernikahan. Untuk itu pernikahan itu harus dipelihara dengan
baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan pernikahan dalam Islam
yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat
terwujud.22
Suatu pernikahan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan suami
istri yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang
sejahtera dan bahagia di sepanjang masa. Setiap pasangan suami istri selalu
mendambakan agar ikatan lahir batin yang dibuhul dengan akad pernikahan
itu semakin kokoh terpateri sepanjang hayat masih dikandung badan. Namun
demikian kenyataan hidup membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan
kesinambungan hidup bersama suami istri itu bukanlah perkara yang mudah
dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal kasih sayang dan kehidupan yang
harmonis antara suami istri itu tidak dapat diwujudkan. Faktor-faktor
22Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm. 206.
14
psikologis, biologis, ekonomis, perbedaan kecenderungan, pandangan hidup,
dan lain sebagainya sering muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan
dapat menimbulkan krisis rumah tangga serta mengancam sendi-sendinya.
Dalam mengatur dan memelihara kehidupan bersama antara suami
istri, syariat Islam tidak terhenti pada membatasi hak dan kewajiban timbal
balik antara keduanya dan memaksakan keduanya hidup bersama terus
menerus tanpa mempedulikan kondisi-kondisi obyektif yang ada dan timbul
dalam kehidupan bersama, namun lebih dari itu syariat Islam mengakui
realitas kehidupan dan kondisi kejiwaan yang mungkin berubah dan silih
berganti. Munculnya perubahan pandangan hidup yang berbeda antara suami
dan istri, timbulnya perselisihan pendapat antara keduanya, berubahnya
kecenderungan hati pada masing-masing memungkinkan timbulnya krisis
rumah tangga yang merubah suasana harmonis menjadi percekcokan,
persesuaian menjadi pertikaian, kasih sayang menjadi kebencian, kesemuanya
merupakan hal -hal yang harus ditampung dan diselesaikan.23
Hikmah dari suatu pernikahan dalam Islam adalah mewujudkan suatu
keluarga harmonis dan berbahagia. Akan tetapi jika ada suatu hal yang dapat
mengancam kebahagiaan keluarga itu, maka harus ada upaya yang dapat
memisahkan keduanya. Tidak boleh bagi keduanya untuk tetap
mempertahankan tali ikatan pernikahannya itu dalam kondisi yang saling
membenci antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu Allah Subhanahu
wa Ta'ala telah membolehkan adanya perceraian pasangan suami-istri
23Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, jilid II, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Waqaf, 1995, hlm.
168.
15
meskipun hal tersebut adalah suatu perbuatan halal yang paling dibenci-Nya,
karena hal itu akan menyebabkan hancurnya mahligai rumah tangga yang
telah sekian lama dibina, terpisahnya antara anak dengan orang tuanya, dan
hati yang selalu dirundung kesedihan.24
Dalam Kamus Arab Indonesia, talak berasal dari ���– ��� –� ��
(bercerai).25
Demikian pula dalam Kamus Al-Munawwir, talak berarti
berpisah, bercerai (ا���أة ���� ).26
Kata talak merupakan isim masdar dari
kata tallaqa-yutalliqu-tatliiqan, jadi kata ini semakna dengan kata tahliq yang
bermakna "irsal" dan "tarku" yaitu melepaskan dan meninggalkan.27
Talak menurut istilah adalah:
�4��Y�� � =�?�: �]�� ab��"W�O� ac�$��� ��d���� �&��W��"e ��� � ��d��+� �U+��f�� "�ge28
Artinya: Talak itu ialah menghilangkan ikatan pernikahan atau
mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-
kata tertentu.
4����hT�� �i�7gH+��e���� �_��gL+� �U?����6 g��A��gL+� �U1=���+� j)����U 29
Artinya: Talak menurut syara' ialah melepaskan tali pernikahan dan
mengakhiri tali pernikahan suami istri.
24Ra'd Kamil Musthafa Al-Hiyali, Membina Rumah Tangga yang Harmonis, Terj. Imron
Rosadi, Jakarta: Pustaka Azam, 2001, hlm. 169. 25
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1973, hlm. 239. 26
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 861 27
Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 172. 28Abdurrrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz. IV, Beirut: Dar
al-Fikr, 1972, hlm. 216. 29Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tth, hlm. 278.
16
��"��� �B�6�� k4������A lc�$+ ��"��� � ��d��+� �V��1 d�T�D�+ m!�9�� �i�7gH+�n�� �7���#�� �i�7gH+� �T����+� �T��� "i����A���� �Ug�o*+��� �p��#���+� ������ �T�:qr���� �C�7�S
�Ug�o*+� �T��� �I� 30
Artinya; "Talak menurut syara' ialah nama untuk melepaskan tali
ikatan nikah dan talak itu adalah lafaz jahiliyah yang
setelah Islam datang menetapkan lafaz itu sebagai kata
melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang talak adalah
berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma' ahli agama
dan ahlus sunnah.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa talak
adalah memutuskan tali pernikahan yang sah, baik seketika atau di masa
mendatang oleh pihak suami dengan mengucapkan kata-kata tertentu atau
cara lain yang menggantikan kedudukan kata-kata itu.
Menurut Fuad Said, perceraian adalah putusnya hubungan pernikahan
antara suami istri.31
Menurut Zahry Hamid suatu pernikahan antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan dapat berakhir dalam keadaan suami istri
masih hidup dan dapat pula berakhir sebab meninggalnya suami atau istri.
Berakhirnya pernikahan dalam keadaan suami dan istri masih hidup dapat
terjadi atas kehendak suami, dapat terjadi atas kehendak istri dan terjadi di
luar kehendak suami istri. Menurut hukum Islam, berakhirnya pernikahan atas
inisiatif atau oleh sebab kehendak suami dapat terjadi melalui apa yang
disebut talak, dapat terjadi melalui apa yang disebut ila' dan dapat pula terjadi
30Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayah Al Akhyar, Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 84 31Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, hlm. 1.
17
melalui apa yang disebut li'an, serta dapat terjadi melalui apa yang disebut
zihar.32
Berakhirnya pernikahan atas inisiatif atau oleh sebab kehendak istri
dapat terjadi melalui apa yang disebut khiyar aib, dapat terjadi melalui apa
yang disebut khulu' dan dapat terjadi melalui apa yang disebut rafa'
(pengaduan). Berakhirnya pernikahan di luar kehendak suami dapat terjadi
atas inisiatif atau oleh sebab kehendak hakam, dapat terjadi oleh sebab
kehendak hukum dan dapat pula terjadi oleh sebab matinya suami atau istri.33
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa
perkawinan dapat putus karena: a. kematian, b. perceraian, dan c. atas
keputusan pengadilan. Undang-undang ini tidak memberi definisi tentang arti
perceraian. KHI juga tampaknya mengikuti alur yang digunakan oleh undang-
undang perkawinan, walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang
menunjukkan aturan-aturan yang lebih rinci. KHI memuat masalah putusnya
perkawinan pada Bab XVI. Pasal 113 KHI menyatakan: perkawinan dapat
putus karena: a. kematian; b. perceraian, dan; c. Atas putusan pengadilan.
Dalam Pasal 117 KHI ditegaskan bahwa talak adalah ikrar suami di hadapan
sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130 dan
131.
32Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Pernikahan Islam dan Undang-Undang Pernikahan
di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 73. 33
Ibid., hlm. 73.
18
2. Dasar-Dasar Perceraian
Sejalan dengan prinsip perkawinan dalam Islam yang antara lain
disebutkan bahwa perkawinan adalah untuk selamanya, tidak boleh dibatasi
dalam waktu tertentu, dalam masalah talak pun Islam memberikan pedoman
dasar sebagai berikut,
1. Pada dasarnya Islam mempersempit pintu perceraian. Dalam hubungan
ini hadis Nabi riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah mengajarkan, "Hal
yang halal, yang paling mudah mendatangkan murka Allah adalah
talak." Hadis Nabi riwayat Daruquthni mengajarkan, "Ciptaan Allah
yang paling mudah mendatangkan murka-Nya adalah talak." Al-
Qurthubi dalam kitab Tafsir Ayat-Ayat Hukum mengutip hadis Nabi
berasal dari Ali bin Abi Thalib yang mengajarkan, "Kawinlah kamu,
tetapi jangan suka talak sebab talak itu menggoncangkan arsy." Dari
banyak hadis Nabi mengenai talak itu, dapat kita peroleh ketentuan
bahwa aturan talak diadakan guna mengatasi hal-hal yang memang telah
amat mendesak dan terpaksa.
2. Apabila terjadi sikap membangkang/melalaikan kewajiban (nusyus) dari
salah satu suami atau istri, jangan segera melakukan pemutusan
perkawinan. Hendaklah diadakan penyelesaian yang sebaik-baiknya
antara suami dan istri sendiri. Apabila nusyus terjadi dari pihak istri,
suami supaya memberi nasihat dengan cara yang baik. Apabila nasihat
tidak membawakan perbaikan, hendaklah berpisah tidur dari istrinya.
19
Apabila berpisah tidur tidak juga membawa perbaikan, berilah pelajaran
dengan memukul, tetapi tidak boleh pada bagian muka, dan jangan
sampai mengakibatkan luka.
3. Apabila perselisihan suami istri telah sampai kepada tingkat syiqaq
(perselisihan yang mengkhawatirkan bercerai), hendaklah dicari
penyelesaian dengan jalan mengangkat hakam (wasit) dari keluarga
suami dan istri, yang akan mengusahakan dengan sekuat tenaga agar
kerukunan hidup suami istri dapat dipulihkan kembali.34
4. Apabila terpaksa perceraian tidak dapat dihindarkan dan talak benar-
benar terjadi, harus diadakan usaha agar mereka dapat rujuk kembali,
memulai hidup baru. Di sinilah letak pentingnya, mengapa Islam
mengatur bilangan talak sampai tiga kali.
5. Meskipun talak benar-benar terjadi, pemeliharaan hubungan dan sikap
baik antara bekas suami istri harus senantiasa dipupuk. Hal ini hanya
dapat tercapai, apabila talak terjadi bukan karena dorongan nafsu,
melainkan dengan pertimbangan untuk kebaikan hidup masing-
masing.35
Pasal 39 UU Perkawinan terdiri dari 3 ayat dengan rumusan:
(1). Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
34Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UUI Press, Yogyakarta, 1999, hlm.
71-72.
35Ibid., hlm. 72.
20
(2). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
(3). Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam
peraturan perundangan tersendiri.
Ayat (1) tersebut disebutkan pula dengan rumusan yang sama
dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam Pasal 65
dan begitu pula disebutkan dengan rumusan yang sama dalam KHI dalam
satu pasal tersendiri, yaitu Pasal 115.
Ketentuan tentang keharusan perceraian di pengadilan ini memang
tidak diatur dalam fiqh mazhab apa pun, termasuk Syi'ah Imamiyah,
dengan pertimbangan bahwa perceraian khususnya yang bernama talak
adalah hak mutlak seorang suami dan dia dapat menggunakannya di mana
saja dan kapan saja; dan untuk itu tidak perlu memberi tahu apalagi minta
izin kepada siapa saja. Dalam pandangan fiqh, perceraian itu sebagaimana
keadaannya perkawinan adalah urusan pribadi dan karenanya tidak perlu
diatur oleh ketentuan publik.36
Dalam penjelasan Pasal 39 Perkawinan No. 1 Tahun 1974
dijelaskan secara terinci bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar
untuk perceraian adalah :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman berat yang membahayakan pihak yang lain.
36
Karsayuda, Perkawinan Beda Agama: Menakar Nilai-Nilai Keadilan
Kompilasi Hukum Islam, Total Media, Yogyakarta, 2007, hlm. 227
21
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Pasal 19 PP ini diulangi dalam KHI pada Pasal 116 dengan
rumusan yang sama dengan menambahkan dua anak ayatnya, yaitu:
a suami melanggar taklik talak.
b peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Pasal 40 UU Perkawinan tentang cara melakukan perceraian
dirumuskan:
1. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
2. Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur
dalam peraturan perundangan tersendiri.
PP mengatur apa yang dikehendaki Pasal 40 tersebut di atas dalam
Pasal 20 sampai dengan Pasal 36. Selanjutnya UU Perkawinan mengatur
tata cara perceraian itu dalam Pasal-pasal 66; 67; 68; 69; 70; 71; 72; 73;
74; 75; 76; 77; 78; 79; 80; 81; 82; 83; 84; 85; 86; sedangkan KHI
mengatur lebih lengkap tentang tata cara perceraian itu pada Pasal-pasal:
131; 132; 133; 134; 135; 136:137; 138; 139; 140; 141; 142; 144; 145; 146;
dan 147.
3. Macam-Macam Perceraian
22
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, macam-macam
perceraian di antaranya bisa berbentuk talak, khulu, fasakh, li'an. Oleh sebab
itu ketiga bentuk perceraian ini akan diuraikan sebagai berikut:
a. Talak
Ditinjau dari keadaan istri, jenis talak terbagi dua
1). Talak sunni, yaitu talak yang sesuai dengan ketentuan agama, yaitu
seorang suami menalak istrinya yang pernah dicampuri dengan sekali
talak di masa bersih dan belum didukhul selama bersih tersebut.37
2). Talak bid'i, yaitu talak yang menyalahi ketentuan agama, misalnya talak
yang diucapkan dengan tiga kali talak pada yang bersamaan atau talak
dengan ucapan talak tiga, atau menalak istri dalam keadaan haid atau
menalak istri dalam keadaan suci, tetapi sebelumnya telah di-dukhul.38
Akan tetapi, sebagian ulama mengatakan talak seperti ini pun jatuhnya
sah juga, hanya saja talak jenis ini termasuk berdosa. Keabsahan talak
bid'i ini menurut mereka berdasarkan riwayat Ibnu Abbas bahwa Ibnu
Umar menceraikan istrinya yang sedang haid, Nabi Muhammad Saw
menyuruhnya kembali dengan ucapan beliau.
��V�R�2 ���2 aI����e ���2 ms�+�� G��tgV�� 0�1 ��u�+��V�R�2 "��� �T��2����9�' ���tgV�� ��u�+"����2 �u�+� G�5�6 �7��"2 ���� "��J�7� � �Mu�v "�ge �V���2 4��2 m;�w��� �G���� �0�"9�6
37Syekh Kamil Muhammad Uwaidah, al-Jami' fi Fiqh an-Nisa, Terj. M. Abdul Ghofar, "
Fiqih Wanita", Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998, hlm. 438. 38
Rahmat Hakim, Hukum Pernikahan Islam, Bandung: Pustaka Setia,
2000, hlm. 161
23
�u�+� 4u��: ��u�+��p�u?�O�+� "��� "7��"2 0Y�*� �!u��9�� ������2 4u��: ��u�+� 0�"9�6 �u�+� �!u��9�� ������2 !�u�+� 4u��: ��u�+� �0�"9�6 0��� �s�+K ���2 �!u��9�� ������2
g!�t ������A��7"���� "C�7" �&�' g!�t �7"��?�J g!�t �;��D�J g!�t �7"��?�J 4g#�� ������*��"��+ u+� � gV���+� �s���#� gZ���S �& T�R1 �Mu�v q)�� �&�'�� "V���� �s�*� q)�� j3� �7� G�#
j)��*��+� ���+ �Mu�?"J �&)x6�OR+� C��6 (39
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Ismail bin Abdullah
dari Malik dari Nafi' dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Ibnu
Umar r.a. mentalak istrinya sewaktu haid dalam masa
Rasulullah Saw, maka Umar (ayahnya) menanyakan kepada
Nabi Saw tentang hal itu. Nabi Saw. bersabda: "Suruh dia
(Ibnu Umar) kembali kepada istrinya, kemudian
menahannya sehingga istrinya itu suci kemudian haid dan
kemudian suci. Sesudah itu bila ia mau dia dapat
menahannya dan kalau dia mau dia boleh mentalak istrinya
itu sebelum digaulinya. Itulah masa 'iddah yang disuruh
Allah bila akan mentalak istrinya. (HR. al-Bukhary)
Perintah meruju', seperti dalam hadis di atas menandakan
sahnya (jadi/absah) talak bid'i. Kalau tidak sah, Nabi tidak akan
menyuruh ruju', sebab ruju' hanya ada setelah talak jatuh.
Ditinjau dari berat-ringannya akibat:
1). Talak raj'i, yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya yang
telah dikumpuli, bukan talak yang karena tebusan, bukan pula talak
yang ketiga kali.40
Pada talak jenis ini, si suami dapat kembali kepada
39
Imam Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz. III, Beirut: Dar al-Fikr, 1410
H/1990 M, hlm. 286 40
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Pernikahan Islam, Yogyakarta: UII Press,
2004, hlm. 80.
24
istrinya dalam masa ''iddah" tanpa melalui pernikahan baru, yaitu pada
talak pertama dan kedua, seperti difirmankan Allah Swt:
a&��*���\�� myS�7�*�J �� aN�"7������ mz��*� �\� �&��Jg7� "�=u?+�)^7�R+� :{{|(
Artinya: "Talak yang bisa diruju' itu dua kali, maka peganglah ia
dengan baik atau lepaskan dia dengan baik pula. (QS. Al-
Baqarah : 229).41
2). Talak Ba'in, yaitu jenis talak yang tidak dapat diruju' kembali karena
talak tiga, talak ini memutuskan ikatan pernikahan, kecuali dengan
pernikahan baru walaupun dalam masa ''iddah, seperti talak yang
belum dukhul (menikah tetapi belum disenggamai kemudian ditalak).
42
Talak ba'in terbagi dua:
a). Ba'in Shughra
Talak ini dapat memutuskan ikatan pernikahan, artinya
setelah terjadi talak, istri dianggap bebas menentukan pilihannya
setelah habis ''iddahnya. Adapun suami pertama bila masih
berkeinginan untuk kembali kepada istrinya harus melalui
pernikahan yang baru, baik selama 'iddah maupun setelah habis
'iddah. Itu pun kalau seandainya mantan istri mau menerimanya
kembali, seperti talak yang belum dikumpuli, talak karena tebusan
41
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara,
1993, hlm. 55. 42Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. Anshori Umar
Sitanggal, “Fiqih Wanita”, Semarang: CV Asy-Syifa, 1986, hlm. 411.
25
(khulu') atau talak satu atau dua kali, tetapi telah habis masa
tunggunya (habis 'iddah).43
b). Ba'in Kubra
Seperti halnya ba'in shughra, status pernikahan telah
terputus dan suami tidak dapat kembali kepada istrinya dalam masa
'iddah dengan ruju' atau menikah lagi. Namun, dalam hal ba'in
kubra ini ada persyaratan khusus, yaitu istri harus menikah dahulu
dengan laki-laki lain (diselangi orang lain) kemudian suami kedua
itu menceraikan istri dan setelah habis masa 'iddah barulah mantan
suami pertama boleh menikahi mantan istrinya. Sebagian ulama
berpendapat bahwa pernikahan istri dengan suami kedua tersebut
bukanlah suatu rekayasa licik, akal-akalan, seperti nikah muhallil
(sengaja diselang). Sebagian lainnya mengatakan bahwa hal itu
dapat saja terjadi dan halal bagi suami pertama.44
Ketentuan ini
berdasarkan firman Allah swt
=� ����u�v &�\�4g#�� "V���� �� "�+ hT�D�J &�\� "C�7��} ��A���f �y����J ����A��7�#�S & ���������2 � ���"A =� ����u�v ��8�+� �B�"V"� ������"S & �g�~ &�'
)^7�R+� :{-�( Artinya: Kemudian jika kamu menalaknya (setelah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak halal baginya hingga ia
kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang
lain itu menceraikannya kembali, maka tidak berdosa bagi
keduanya untuk kawin kembali, jika keduanya
43
Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 177. 44
Ahmad Azhar Basyir, op. cit, hlm. 81.
26
diperkirakan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
(QS. Al-Baqarah: 230).45
Di samping itu, pernikahan yang dilakukan dengan suami
yang kedua (yang menyelangi), harus merupakan suatu pernikahan
yang utuh, artinya melakukan akad nikah dan melakukan hubungan
seksual. Oleh karena itu, tidak menjadi halal bagi suami pertama
kalau pernikahan tersebut hanya sekadar akad atau tidak
melakukan akad, tetapi hanya melakukan hubungan seksual.
Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam memuat aturan-aturan
yang berkenaan dengan pembagian talak. KHI membagi talak
kepada talak raj'i, talak ba'in sughra dan bain kubra. Seperti yang
terdapat pada pasal 118 dan 119. Yang dimaksud dengan talak raj'i
adalah, talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama
dalam masa iddah (Pasal 118). Sedangkan talak bai'n shugra
adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh dengan akad nikah
baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah Pasal 119 ayat
1).
Talak ba'in shughra sebagaimana tersebut pada pasal 119
ayat (2) adalah talak yang terjadi qobla al dukhul; talak dengan
tebusan atau khulu'; dan talak yang dijatuhkan oleh pengadilan
Agama. Sedangkan talak ba'in kubra (Pasal 120) adalah talak yang
terjadi untuk yang ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat
dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila
45
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 55.
27
pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang
lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da al dukhul dan telah
melewati masa 'iddah.
Ditinjau dari ucapan suami, talak terbagi menjadi dua bagian;
1). Talak sharih, yaitu talak yang diucapkan dengan jelas, sehingga karena
jelasnya, ucapan tersebut tidak dapat diartikan lain, kecuali perpisahan
atau perceraian, seperti ucapan suami kepada istrinya, "Aku talak
engkau atau aku ceraikan engkau".46
Dalam hal ini, Imam Syafi'i dan sebagian fuqaha Zhahiri
berpendapat bahwa kata-kata tegas atau jelas tersebut ada tiga, yaitu
kata talak yang berarti cerai, kemudian kata firaq yang berarti pisah,
dan kata sarah yang berarti lepas. Di luar ketiga kata tersebut bukan
kata-kata yang jelas dalam kaitannya dengan talak. Para ulama
berselisih pendapat apakah harus diiringi niat atau tidak. Sebagian
tidak mensyaratkan niat bagi kata-kata yang telah jelas tadi, sebagian
lagi mengharuskan adanya niat atau keinginan yang bersangkutan.
Imam Syafi'i dan Imam Malik berpendapat bahwa
mengucapkan kata-kata saja tidak menjatuhkan talak bila yang
bersangkutan menginginkan talak dari kata-kata tersebut, kecuali
apabila saat dikeluarkan kata-kata tadi terdapat kondisi yang
mendukung ke arah perceraian. Seperti dikatakan ulama Maliki, ada
46
Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 178.
28
permintaan dari istri untuk dicerai, kemudian suami mengucapkan
kata-kata talak, firaq, atau sarah.47
2). Talak kinayah, yaitu ucapan talak yang diucapkan dengan kata-kata
yang tidak jelas atau melalui sindiran. Kata-kata tersebut dapat
diartikan lain, seperti ucapan suami." Pulanglah kamu" dan
sebagainya. Menurut Malik, kata-kata kinayah itu ada dua jenis,
pertama, kinayah zhahiriah, artinya kata-kata yang mengarah pada
maksud dan kedua, kinayah muhtamilah, artinya sindiran yang
mengandung kemungkinan. Kata-kata sindiran yang zhahir, misalnya
ucapan suami kepada istrinya, "Engkau tidak bersuami lagi atau ber-
'iddah kamu." Adapun kata-kata sindiran yang mengandung
kemungkinan, seperti kata-kata suami kepada istrinya, "Aku tak mau
melihatmu lagi." Batas antara sindiran yang zhahir dan sindiran yang
muhtamilah sangat tipis dan agak sulit dipisahkan.48
Baik kata-kata tegas maupun sindiran keabsahannya pada dasarnya
terpulang pada keinginan suami tadi, yang dikaitkan dengan kondisi dan
situasi ketika kata-kata itu diucapkan. Oleh karena itu, pengucapan kata-
kata, baik sharih apalagi kinayah yang tidak bersesuaian atau tidak
kondusif, tidak mempunyai kekuatan hukum. Sebaliknya, kata-kata
kinayah apalagi yang zhahir kalau dihubungkan dengan situasi yang
kondusif mempunyai kekuatan hukum. Umpamanya ucapan suami pada
47
Ahmad Azhar Basyir, op. cit, hlm. 82. 48
Ibrahim Muhammad al-Jamal, op.cit., hlm. 411.
29
saat terjadi perselisihan yang berkepanjangan atau karena permintaan istri,
kata-kata sindiran apalagi yang sharih akan mempunyai akibat hukum.
Ditinjau dari masa berlakunya, talak terdiri atas:
1). Talak yang berlaku seketika, yaitu ucapan suami kepada istrinya
dengan kata-kata talak yang tidak digantungkan pada waktu atau
keadaan tertentu. Maka ucapan tersebut berlaku seketika artinya
mempunyai kekuatan hukum setelah selesainya pengucapan kata-kata
tersebut. Seperti kata suami, "Engkau tertalak langsung," maka talak
berlaku ketika itu juga.
2). Talak yang berlaku untuk waktu tertentu, artinya ucapan talak tersebut
digantungkan kepada waktu tertentu atau pada suatu perbuatan istri
berlakunya talak tersebut sesuai dengan kata-kata yang diucapkan atau
perbuatan tersebut benar-benar terjadi. Seperti ucapan suami kepada
istrinya, engkau tertalak bila engkau pergi ke tempat seseorang.
b. Khulu'
Khulu' adalah mashdar dari khala'a seperti khata'a, artinya
menanggalkan;
�e�V� �2 �+�f ���% ���t TA7+� I�%��2 �2Le� 49
Artinya: Laki-laki menanggalkan pakaiannya, atau dia melepaskan
pakaiannya dari badannya.
I�%TA7+��� ��V#�� �K' U�+����A�f ^7P� ��+�%� �J7 � 50
Artinya: Seorang laki-laki meng-khulu' istrinya, berarti dia
menanggalkan istrinya itu sebagai pakaiannya apabila istri
membayar tebusan.
49
Abdurrrahmân al-Jazirî, op.cit., hlm. 299. 50
Ibid.,hlm. 299-230
30
Abdurrahman Al-Jaziri memberikan definisi Khulu' menurut
masing-masing madzhab:
1). Golongan Hanafi mengatakan :
��� �� I��� c$�� ^7P� 0�R1 4�2 U$81�#P� `��E�+� s� U+�f� I� ^��� � 51
Artinya: Khulu' ialah menanggalkan ikatan pernikahan yang
diterima oleh istri dengan lafaz khulu' atau yang
semakna dengan itu."
2). Golongan Malikiyah mengatakan:
���� �=?+��� �27 I��� 52
Artinya: Khulu' menurut syara' adalah talak dengan tebus.
3). Golongan Asy-Syafi'iyah mengatakan:
I��� ���27 +�8�c$ ����� �A�L�+� �� ��7$+� 4�2 0�EV+� �� ^78��# ��7EH+� � 53
Artinya: Khulu' menurut syara' adalah lafaz yang menunjukkan
perceraian antara suami istri dengan tebusan yang harus
memenuhi persyaratan tertentu.
4). Golongan Hanabilah mengatakan:
I��� �� ��7� EL+� C�%YS ���� �J7 � _�EL+� �� _� ��J7 � U:�W� ��$+Y����}��54
Artinya: Khulu adalah suami menceraikan istrinya dengan tebusan
yang diambil oleh suami dan istrinya atau dari lainnya
dengan lafaz tertentu.
51
Ibid.,hlm. 300 52
Ibid., hlm. 304. 53
Ibid., hlm. 304. 54
Ibid., hlm. 304.
31
Lafaz Khulu' itu terbagi dua, yaitu lafaz sharih dan lafaz
kinayah. Lafaz sharih misalnya; khala'tu, fasakhtu dan fadaitu.
Berdasarkan pengertian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
Khulu' adalah perceraian .yang terjadi atas permintaan istri dengan
memberikan tebusan atau 'iwadh kepada suami untuk dirinya dan
perceraian disetujui oleh suami.
c. Fasakh
Fasakh artinya putus atau batal. Yang dimaksud memfasakh
akad nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan
antara suami dan istri. Menurut Amir Syarifuddin, fasakh adalah
putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah
melihat adanya sesuatu pada suami dan atau pada istri yang menandakan
tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan.55
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat
ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang
kemudian dan membatalkan kelangsungannya pernikahan.
1). Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah
2). Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istri merupakan
saudara sepupu atau saudara sesusuan pihak suami.
3). Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain
ayah atau datuknya. Kemudian setelah dewasa ia berhak
meneruskan ikatan pernikahannya dahulu atau mengakhirinya.
55Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,
2006, hlm. 197.
32
Khiyar ini dinamakan khiyar balig. Jika yang dipilih mengakhiri
ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh balig.
4). Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad
a). Bila salah seorang dari suami istri murtad atau keluar dari Islam
dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh)
karena kemurtadan yang terjadi belakangan.
b). Jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih
tetap dalam kekafirannya itu tetap menjadi musyrik, maka
akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istri orang ahli kitab,
maka akadnya tetap sah seperti semula. Sebab pernikahannya
dengan ahli kitab dari semulanya dipandang sah.56
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan
bahwa perkawinan dapat putus: a. kematian, b. perceraian, dan c. atas
keputusan pengadilan. Menurut K. Wancik Saleh bahwa dari ketentuan-
ketentuan tentang perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan (pasal 39
sampai dengan pasal 41) dan tentang Tatacara Perceraian dalam Peraturan
Pelaksanaan (pasal 14 sampai dengan pasal 36) dapat ditarik kesimpulan
adanya dua macam perceraian yaitu 1. cerai talak; dan 2. cerai gugat.57
Dalam perkawinan dapat putus disebabkan perceraian dijelaskan
pada pasal 114 KHI yang membagi perceraian kepada dua bagian,
perceraian yang disebabkan karena talak dan perceraian yang disebabkan
56
Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 333. 57
K. Wancik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1982, hlm. 37.
33
oleh gugatan perceraian. Berbeda dengan UUP yang tidak mengenal istilah
talak, KHI menjelaskan yang dimaksud dengan talak adalah,
Ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah
satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud
dalam pasal 129, 130, dan 131.
KHI mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak) harus
disampaikan di hadapan sidang pengadilan agama. Tampaknya UU No.
7/1989 tentang Peradilan Agama juga menjelaskan hal yang sama seperti
yang terdapat pada Pasal 66 ayat (1) yang berbunyi,
"Seseorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan
istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk
mengadakan sidang guna penyaksian ikrar Talak."
Menurut KHI, talak atau perceraian terhitung pada saat perceraian itu
dinyatakan di depan sidang pengadilan. Di samping mengatur tentang talak,
KHI juga memberi aturan yang berkenaan dengan khulu'58
dan li'an59
seperti
yang terdapat pada pasal 124,125,126,127 dan 128.
d. Li'an
Suatu perceraian bisa saja terjadi akibat adanya li'an. Li'an adalah
lafaz dalam bahasa Arab yang berasal dari akar kata laa-'a-na, yang secara
harfiah berarti "saling melaknat". Cara ini disebut dalam term li'an karena
dalam prosesinya tersebut kata "laknat" tersebut. Di antara definisi yang
58
Khulu' adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan. tebusan
('iwad) kepada dan atas persetujuan suaminya. Lihat Bab I KHI tentang ketentuan umum. 59
Li'an adalah seorang suami menuduh istri berbuat zina dan atau
mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya,
sedangkan istri menolak tuduhan atau pengingkaran tersebut. Lihat pasal 126
KHI.
34
representatif, yang mudah dipahami adalah: "Sumpah suami yang menuduh
istrinya berbuat zina, sedangkan dia tidak mampu mendatangkan empat orang
saksi".60
Dalam definisi yang sederhana tersebut terdapat beberapa kata kunci
yang akan menjelaskan hakikat dari perbuatan li'an itu, yaitu sebagai berikut:
Pertama: kata "sumpah". Kata ini menunjukkan bahwa li'an itu adalah
salah satu bentuk dari sumpah atau kesaksian kepada Allah yang jumlahnya
lima kali. Empat yang pertama kesaksian bahwa ia benar dengan ucapannya
dan kelima kesaksian bahwa laknat Allah atasnya bila dia berbohong.
Kedua: kata "suami" yang dihadapkan kepada "istri". Hal ini
mengandung arti bahwa li'an berlaku antara suami istri dan tidak berlaku di
luar lingkungan keduanya. Orang yang tidak terikat dalam tali pernikahan
saling melaknat tidak disebut dengan istilah li'an.
Ketiga: kata "menuduh berzina", yang mengandung arti bahwa sumpah
yang dilakukan oleh suami itu adalah bahwa istrinya berbuat zina, baik ia
sendiri mendapatkan istrinya berbuat zina atau meyakini bahwa bayi yang
dikandung istrinya bukanlah anaknya. Bila tuduhan yang dilakukan suami itu
tidak ada hubungannya dengan zina atau anak yang dikandung, tidak disebut
dengan li'an.
Keempat: kata "suami tidak mampu mendatangkan empat orang
saksi". Hal ini mengandung arti bahwa seandainya dengan tuduhannya itu
60Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006, hlm. 288
35
suarni mampu mendatangkan empat orang saksi sebagaimana dipersyaratkan
waktu menuduh zina, tidak dinamakan dengan li'an; tetapi melaporkan apa
yang terjadi untuk diselesaikan oleh hakim.61
Dengan demikian li'an merupakan perceraian yang terjadi karena
suami menuduh istrinya telah berzina dengan pria lain, atau suami tidak
mengakui anak yang ada dalam kandungan istrinya sebagai anaknya dengan
tuduhan bahwa hal itu hasil hubungan dengan pria lain. Dalam kondisi yang
demikian maka apabila seorang suami menuduh istrinya berbuat zina, atau
tidak mengakui anak yang lahir dari istrinya sebagai anak kandungnya,
sedangkan istrinya tersebut menolak tuduhannya itu; padahal si suami tidak
punya bukti bagi tuduhannya itu, maka dia boleh melakukan sumpah li'an
terhadap istrinya itu. Caranya adalah: suami bersumpah dengan saksi Allah
sebanyak empat kali bahwa dia adalah termasuk orang-orang yang berkata
benar tentang apa yang dituduhkan kepada istrinya itu. Kemudian pada
sumpahnya yang kelima dia hendaknya mengatakan bahwa, laknat Allah akan
menimpa dirinya manakala dirinya termasuk orang-orang yang berdusta.
Selanjutnya, istrinya bersumpah pula dengan saksi Allah sebanyak empat kali,
bahwa suaminya itu termasuk orang-orang yang berdusta. Lalu pada
sumpahnya yang kelima, hendaknya dia mengatakan bahwa, murka Allah
akan menimpanya manakala suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.62
61
Ibid., hlm. 288. 62
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah,
Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta:
Lentera, 2001, hlm. 333
36
Apabila si suami tidak bersedia melakukan mula'anah (saling
bersumpah li'an), maka dia harus dijatuhi had (hukuman). Sebaliknya, bila
sang suami melakukan li'an dan istrinya menolak, maka istrinya harus dijatuhi
had. Bila mula'anah telah dilaksanakan oleh kedua belah pihak, hukuman
tidak dijatuhkan kepada mereka berdua. Keduanya dipisahkan, dan si anak
tidak dinyatakan sebagai anak suaminya itu.63
Landasan untuk itu adalah firman Allah yang berbunyi:
�!���V�� � �B����H� �!"�"*�$e �u+�' )��V��" �!"�u+ ����S �!+�� �!"��A����f &�" �7�S ��S��u+��� ���1�B�gW+� ����+ "�ge�' ��u�+��� a���B���� "I���6}� {������+ u& �U�*� ��O�+��� ������2 ��u�+�
�����K���+� ��� &�F &�' ��6�V�S��}� { a���B���� �I���6 �V���H�J �& �p�����+� ������2 �����K���+� ����+ "�ge�' ��u�+���}� { ��� &�F &�' �������2 ��u�+� ����} u& U�*� ��O�+���
���1�B�gW+�)6��+� :��|(
Artinya: "Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka
tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka
persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah,
bahwasanya dia termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah)
yang kelima: bahwa laknat Allah atas dirinya, jika dia termasuk
orang-orang yang berdusta, Istrinya itu dihindarkan dari hukuman
oleh sumpah empat kali atas nama Allah, bahwasanya suaminya itu
termasuk orang-orang yang berdusta. Dan (sumpah) yang kelima:
bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang
yang benar" (QS. an-Nur: 6-9).64
Dengan demikian yang dimaksud li'an yaitu sumpah suami di muka
hakim yang menuduh istrinya berzina, sedangkan suami tersebut tidak
63
Ibid., hlm. 333. 64
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Surabaya: DEPAG RI, 1978, hlm. 544.
37
mempunyai empat orang saksi. Masalah yang muncul adalah sejak kapan saat
terjadinya perceraian akibat li'an tersebut. Dalam masalah ini terjadi
perbedaan pendapat:
1). Menurut Imam Malik, akibat li'an itu, maka perceraian terjadi apabila
keduanya (suami dan istri) telah selesai mengucapkan li'an. Hal ini
mengandung arti bahwa hakim hanya berada dipihak yang menyaksikan
terjadinya perceraian itu.
2). Menurut Abu Hanifah, akibat li'an itu, maka perceraian terjadi bukan
setelah selesainya suami dan istri mengucapkan li'an, melainkan
perceraian baru terjadi setelah adanya putusan hakim yang menceraikan
keduanya.
3). Menurut Imam Syafi'i, akibat li'an itu, maka perceraian terjadi apabila
suami telah selesai mengucapkan li'an. Jadi tidak perlu setelah selesai
keduanya mengucapkan li'an namun cukup setelah suami mengucapkan
li'an. Alasannya: li'an suami itu sudah menjadi talak, sedangkan li'an istri
adalah hanya sekedar untuk menghindari hukuman.65
B. Hakam
1. Pengertian Hakam
Islam melarang perceraian yang bisa merobohkan sendi-sendi keluarga
dan menyebarkan aib-aibnya, melemahkan kesatuan umat dan membuat
65
Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II,
Beirut: Dâr Al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 91.
38
perasaan mendendam serta mengkoyak-koyak tabir kehormatan.66
Itulah
sebabnya jika antara suami isteri terdapat pertentangan pendapat dan
pertengkaran yang memuncak sehingga kedua belah pihak tidak mungkin
dapat mengatasinya dan tidak mungkin pula mendamaikannya sendiri, maka
dapat diutus seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak
isteri. Kasus krisis rumah tangga yang memuncak ini dalam istilah fiqh
disebut syiqaq.67
Syiqaq mengandung arti pertengkaran, kata ini biasanya dihubungkan
kepada suami istri sehingga berarti pertengkaran yang terjadi antara suami
istri yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh keduanya. Syiqaq ini timbul
bila suami atau istri atau keduanya tidak melaksanakan kewajiban yang mesti
dipikulnya. Bila terjadi konflik keluarga seperti ini, Allah SWT., memberi
petunjuk untuk menyelesaikannya.68
Hal ini terdapat dalam firman-Nya pada
surat an-Nisa (4) ayat 35 yang bunyinya:
������� ��� �������� ������ ��� ������ ����������� ����������� ����� �!"#�$�% �&�'��
))�*�+� :-.(
Artinya: "Dan jika kamu mengkhawatirkan terjadinya persengketaan antara
keduanya (suami istri), maka kirimkanlah seorang juru damai dari
66Syekh Muhammad Alwi al-Maliki, Adab al-Islam fi Nidham al-Usrah, "Sendi-Sendi
Kehidupan Keluarga Bimbingan Bagi Calon Pengantin", Terj. Ms. Udin dan Izzah Sf, Yogyakarta:
Agung Lestari, 1993, hlm. 87. 67
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: CV Toha Putra, 1993 68
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta:
Prenada Media, 2006, hlm. 194.
39
keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.
(QS. An-Nisa': 35)".69
Yang dimaksud dengan hakam dalam ayat tersebut adalah seorang
bijak yang dapat menjadi penengah dalam menghadapi konflik keluarga
tersebut.70
2. Fungsi atau Tugas Hakam
Makna syiqaq adalah retak. Jadi syiqaq cenderung sebagai predikat
bagi hubungan ikatan perkawinan yang sedang berlangsung. Hubungan itu
sudah tidak pada keadaan yang diharapkan dan dapat diberi poin negatif. Dari
predikat negatif ini sering mengarah kepada berakhirnya pada putusnya
hubungan ikatan perkawinan tersebut. Oleh karena itu, bila syiqaq dibahas
dalam bagian dari bab mengenai pemutusan ikatan perkawinan terasa masih
tepat. Walaupun sebenarnya dari sisi peristiwa hukum putusnya itu nanti bisa
saja dalam bentuk talaq, dalam bentuk khulu', dalam bentuk fasakh, dan
bahkan bisa jadi ikatan perkawinannya tidak jadi putus melainkan tetap
bcrlangsung. Kerclakan hubungan ini ada yang discbabkan oleh dua pihak,
yailu pihak suami dan pihak istri secara bcrsama-sama.
Gambarannya ialah apabila terdapat perbedaan watak yang amat sukar
dipertemukan, masing-masing bertahan dan tidak ada yang bersedia mengalah
sama sekali, titik temu benar-benar jarang diperoleh sehingga kehidupan
dalam rumah tangga ada saja gangguan ketenteramannya dan ketegangan
69Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Departemen Agama 1986, hlm. 123. 70Amir Syarifuddin, op.cit., hlm.195.
40
tidak kunjung reda. Ada pula yang disebabkan hanya satu pihak, pihak suami
misalnya seorang pria tidak bertanggung jawab sebagai pelindung, bertindak
semena-mena hanya mau menang sendiri yang melekat di dalam pikirannya
sehingga perlu dinasihati tetapi nasihat orang tidak didengar. Suasana rumah
tangga demikian tentu menekan istri, dan sampai batas tertentu beban tekanan
itu tidak kuat lagi ditanggung pihak istri. Atau sebaliknya, penyebab syiqaq
justru datang dari pihak istri yang nusyuz (durhaka) yang sekalipun
diupayakan perbaikannya melalui tahapan yang diajarkan al-Qur'an yaitu
diberi nasihat, tidak berhasil lalu dipisahkan tempat tidur, tidak berhasil lagi
dipukul sebagai pengajaran tidak berhasil juga.71
Firman Allah tentang syiqaq terdapat dalam ayat 35 surat an-Nisa'.
Dari ayat ini terdapat satu arahan islah (perdamaian) kepada pihak suami dan
istri melalui penetapan atau pengangkatan dua orang hakam. Memang satu
alternatif islah adakalanya harus cerai setelah dua orang hakam melakukan
penelitian dan pengkajian permasalahan dua pihak suami dan istri. Tetapi
alternatif lain bukan cerai mungkin sekali sebagai langkah islah yang dipilih
dari kesepakatan dua orang hakam.72
Fungsi atau tugas kedua hakam ini adalah menyelidiki dan mencari
hakikat permasalahan yang menimbulkan krisis itu, mencari sebab musabab
yang menimbulkan persengketaan, kemudian berusaha sedapat mungkin
mendamaikan kembali kedua suami isteri itu. Apabila masalah ini tidak
71
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 1995, hlm. 146. 72
Ibid., hlm. 147.
41
mungkin untuk didamaikan, maka kedua hakam berhak mengambil inisiatif
untuk menceraikannya. Atas prakarsa kedua hakam ini mereka mengajukan
permasalahannya kepada hakim dan hakim memutuskan dan menetapkan
perceraian tersebut. Perceraian dengan kasus syiqaq ini bersifat ba'in, artinya
suami istri tersebut hanya dapat kembali melalui akad nikah yang baru.73
3. Orang yang Berhak Jadi Hakam
Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami dan istri, yang
dalam al-Quran disebut syiqaq. Dalam hal ini, al-Quran memberi petunjuk:
�!"#�$�% �&�'�� ������� ��� �������� ������ ��� ������ ����������� ����������� �����
))�*�+� :-.(
Artinya: "Dan jika kamu mengkhawatirkan terjadinya persengketaan antara
keduanya (suami istri), maka kirimkanlah seorang juru damai dari
keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.
(QS. An-Nisa': 35)".74
Penunjukan hakam dari kedua belah pihak ini diharapkan dapat
mengadakan perdamaian dan perbaikan untuk menyelesaikan persengketaan
di antara dua belah pihak suami dan istri. Apabila karena sesuatu hal, hakam
yang ditunjuk tidak dapat melaksanakan tugasnya, dicoba lagi dengan
73
Djamaan Nur, op.cit., hlm. 168. 74Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Departemen Agama 1986, hlm. 123.
42
menunjuk hakam lainnya, Dalam hal ini, di Indonesia dikenal sebuah Badan
Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) yang tugas dan
fungsinya menjalankan tugas hakam (arbitrator) untuk mendamaikan suami-
istri yang bersengketa, atau dalam hal-hal tertentu memberi nasihat calon
suami istri yang merencanakan perkawinan.
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan kedudukan orang yang
diangkat menjadi hakam tersebut. Salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang
juga menjadi pegangan bagi 'Atha' dan salah satu pendapat dari Imam al-
Syafi'i, menurut satu hikayat dari al-Hasan dan Abu Hanifah, mengatakan
bahwa kedudukan dua orang hakam itu adalah sebagai wakil dari suami istri.
Dalam kedudukan ini dua orang hakam tersebut hanya berwenang untuk
mendamaikan kedua suami istri itu dan tidak berwenang untuk menceraikan
keduanya kecuali atas izin dan persetujuan dari kedua suami istri. Alasan yang
dikemukakan oleh golongan ini adalah bahwa kehormatan yang dimiliki istri
menjadi hak bagi suami, sedangkan harta yang dimiliki suami menjadi hak
bagi istri; keduanya telah dewasa dan cerdas; oleh karena itu pihak lain tidak
dapat berbuat sesuatu atas keduanya kecuali seizin keduanya.75
Golongan kedua terdiri dari Ali, Ibnu Abbas, al-Sya'bi, al-Nakha'iy,
Imam Malik, al-Awza'iy, Ishak, dan Ibnu Munzir. Menurut mereka bahwa dua
orang hakam itu berkedudukan sebagai hakim. Dalam kedudukan ini
keduanya dapat bertindak menurut apa yang dianggapnya baik tanpa
persetuJuan kedua suami istri, baik untuk mendamaikannya atau
75
Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 196.
43
menceraikannya dengan uang tebusan atau menceraikannya tanpa tebusan.
Alasan yang dikemukakan ulama ini adalah petunjuk ayat yang disebutkan di
atas.
Baik atas pendapat golongan yang mengatakan hakam berkedudukan
sebagai wakil atau sebagai hakim, keduanya harus memenuhi syarat yang
ditetapkan syara' yaitu keduanya telah dewasa, sehat akalnya, laki-laki dan
bersikap adil. Ini adalah syarat umum untuk yang bertindak bagi kepentingan
publik. Dalam ayat memang disebutkan dua orang hakam itu satu dari pihak
suami dan seorang lagi dari pihak istri. Namun apakah keduanya merupakan
keluarga dari pihak masing-masing, menjadi perbincangan di kalangan ulama.
Jumhur ulama mengatakan bahwa kedua orang hakam itu tidak dipersyaratkan
dari keluarga kedua belah pihak, namun sebaiknya bila keduanya dari pihak
keluarga, karena dianggap lebih sayang dan lebih mengetahui persoalan
dibandingkan dengan yang lainnya.76
76
Ibid., hlm. 196.
43
BAB III
PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG HAKAM TIDAK MEMILIKI
WEWENANG DALAM MENCERAIKAN SUAMI ISTRI YANG SEDANG
BERSELISIH
A. Biografi Imam Syafi'i, Pendidikan dan Karya-Karyanya
1. Latar Belakang Kehidupan
Nama lengkap Imam al-Syafi'i adalah Muhammad ibn Idris ibn al-
Abbas ibn Usman ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn
Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn Abd Manaf.77
Lahir di Ghaza (suatu
daerah dekat Palestina) pada tahun 150 H/767 M, kemudian dibawa oleh
ibunya ke Makkah. Ia lahir pada zaman Dinasti Bani Abbas, tepatnya pada
zaman kekuasaan Abu Ja’far al Manshur (137-159 H./754-774 M.), dan
meninggal di Mesir pada tahun 204 H/820 M.78
Imam al-Syafi'i berasal dari keturunan bangsawan yang paling
tinggi di masanya. Walaupun hidup dalam keadaan sangat sederhana,
namun kedudukannya sebagai putra bangsawan, menyebabkan ia
terpelihara dari perangai-perangai buruk, tidak mau merendahkan diri dan
berjiwa besar. Ia bergaul rapat dalam masyarakat dan merasakan
penderitaan-penderitaan mereka.
77
Syaikh Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan
Asmu'i Taman, "60 Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006,
hlm. 355. 78
Ibid, hlm. 356.
44
Imam al-Syafi'i dengan usaha ibunya telah dapat menghafal al-
Qur'an dalam umur yang masih sangat muda (9 tahun) dan umur sepuluh
tahun sudah hafal kitab al-Muwatta' karya Imam Malik.79
Kemudian ia
memusatkan perhatian menghafal hadis. Ia menerima hadis dengan jalan
membaca dari atas tembikar dan kadang-kadang di kulit-kulit binatang.
Seringkali pergi ke tempat buangan kertas untuk memilih mana-mana yang
masih dapat dipakai.80
Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri
dari pengaruh Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu.
Ia pergi ke Kabilah Huzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari
bahasa Arab yang fasih. Sepuluh tahun lamanya Imam al-Syafi'i tinggal di
Badiyah itu, mempelajari syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli dalam
bidang syair yang digubah golongan Huzail itu, amat indah susunan
bahasanya. Di sana pula ia belajar memanah dan mahir dalam bermain
panah. Dalam masa itu Imam al-Syafi'i menghafal al-Qur'an, menghafal
hadis, mempelajari sastera Arab dan memahirkan diri dalam mengendarai
kuda dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Badiyah dan penduduk-
penduduk kota. 81
Imam al-Syafi'i belajar pada ulama-ulama Makah, baik pada
ulama-ulama fiqih, maupun ulama-ulama hadis, sehingga ia terkenal
79
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi'i, Jakarta:
Pustaka Tarbiyah, 2004, hlm. 28. 80
Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf,
Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, hlm. 17. 81
Syaikh Ahmad Farid, op.cit, hlm. 357 – 360.
45
dalam bidang fiqh dan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam bidang
itu. Gurunya Muslim Ibn Khalid Al-Zanji, menganjurkan supaya Imam al-
Syafi'i bertindak sebagai mufti. Sungguh pun ia telah memperoleh
kedudukan yang tinggi itu namun ia terus juga mencari ilmu.82
Sampai kabar kepadanya bahwa di Madinah ada seorang ulama
besar yaitu Malik, yang memang pada masa itu terkenal di mana-mana
dan mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang ilmu dan hadis. Imam al-
Syafi'i ingin pergi belajar kepadanya, akan tetapi sebelum pergi ke
Madinah ia lebih dahulu menghafal al-Muwatta', susunan Malik yang
telah berkembang pada masa itu. Ia berangkat ke Madinah untuk belajar
kepada Malik dengan membawa sebuah surat dari gubernur Makah. Mulai
ketika itu ia memusatkan perhatian mendalami fiqh di samping
mempelajari al-Muwatta’. Imam al-Syafi'i mengadakan mudarasah
dengan Malik dalam masalah-masalah yang difatwakan Malik. Di waktu
Malik meninggal tahun 179 H, Imam al-Syafi'i telah mencapai usia
dewasa dan matang.83
Di antara hal-hal yang secara serius mendapat perhatian Imam al-
Syafi'i adalah tentang metode pemahaman' Al-Qur'an dan sunnah atau
metode istinbat (usul fikih). Meskipun para imam mujtahid sebelumnya
dalam berijtihad terikat dengan kaidah-kaidahnya, namun belum ada
kaidah-kaidah yang tersusun dalam sebuah buku sebagai satu disiplin ilmu
82
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan
Qaul Jadid, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 28. 83
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab,
Semarang: PT Putaka Rizki Putra, 1997, hlm. 480 – 481.
46
yang dapat dipedomani oleh para peminat hukum Islam. Dalam kondisi
demikianlah Imam al-Syafi'i tampil berperan menyusun sebuah buku usul
fikih. Idenya ini didukung pula dengan adanya permintaan dari seorang
ahli hadis bernama Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 H) di Baghdad agar
Imam al-Syafi'i menyusun metodologi istinbat.84
Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M; ahli hukum
Islam berkebangsaan Mesir) menyatakan buku itu (al-Risalah) disusun
ketika Imam al-Syafi'i berada di Baghdad, sedangkan Abdurrahman bin
Mahdi ketika itu berada di Mekah. Imam al-Syafi'i memberi judul
bukunya dengan "al-Kitab" (Kitab, atau Buku) atau "Kitabi" (Kitabku),
kemudian lebih dikenal dengan "al-Risalah" yang berarti "sepucuk surat."
Dinamakan demikian, karena buku itu merupakan surat Imam 'asy-Syafi'i
kepada Abdurrahman bin Mahdi. Kitab al-Risalah yang pertama ia susun
dikenal dengan ar-Risalah al-Qadimah (Risalah Lama).85
Dinamakan demikian, karena di dalamnya termuat buah-buah
pikiran: Imam al-Syafi'i sebelum pindah ke Mesir. Setelah sampai di
Mesir, isinya disusun kembali dalam rangka penyempurnaan bahkan ada
yang diubahnya, sehingga kemudian dikenal dengan sebutan al-Risalah al-
Jadidah (Risalah Baru). Jumhur ulama usul-fikih sepakat menyatakan
bahwa kitab ar-Risalah karya Imam al-Syafi'i ini merupakan kitab pertama
yang memuat masalah-masalah usul fikih secara lebih sempurna dan
84
Jaih Mubarok, op.cit, hlm. 29. 85
Syaikh Ahmad Farid, op.cit, hlm. 361.
47
sistematis. Oleh sebab itu, ia dikenal sebagai penyusun pertama usul fikih
sebagai satu disiplin ilmu.86
2. Pendidikan dan Karya-Karyanya
Imam al-Syafi'i menerima fiqh dan hadis dari banyak guru yang
masing-masingnya mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-
tempat berjauhan bersama lainnya. Imam al-Syafi'i menerima ilmunya dari
ulama-ulama Makah, ulama-ulama Madinah, ulama-ulama Iraq dan ulama-
ulama Yaman.87
Imam al-Syafi'i berguru dari ulama-ulama Makkah, Madinah, Irak
danYaman. Ulama Makkah yang menjadi gurunya diantaranya adalah:
Sufyan bin 'Uyainah, Muslim bin Khalid al-Zanzi, Sa'id bin Salim al-
Kaddah, Daud bin 'Abdirahman al-Attars dan Abdul Hamid bin Abdul
Aziz Abi Zuwad. Ulama Madinah yang menjadi gurunya adalah: Malik
bin Anas, Ibrahim bin Sa'ad al-Ansari, Abd al-Aziz bin Muhammad
Addahrawardi, Ibrahim bin Abi Yahya al-Asami, Muhammad bin Abi
Sa'id bin Abi Fudaik, Abdullah bin Nafi' teman ibnu Abi Zuwaib. Ulama
Yaman yang menjadi gurunya adalah: Muttaraf bin Hazim, Hisyam bin
Yusuf, 'Umar bin Abi Salamah teman al-Auza'i dan Yahya bin Hasan
teman al-Lais.
Sedangkan ulama Irak yang menjadi gurunya adalah: Waki' bin
Jarrah, Abu Usamah, Hammad bin Usamah, dua ulama Kuffah, Isma'il bin
86
Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 30. 87
Mahmud Syalthut, op.cit., hlm. 18.
48
Ulaiyah dan Abdul Wahab bin Abdul Majid, dua ulama Bashrah, juga
menerima ilmu dari Muhammad bin al-Hasan yaitu dengan mempelajari
kitab-kitabnya yang didengar langsung dari padanya. Dari sinilah ia
memperoleh pengetahuan fiqh Irak.88
Setelah sekian lama mengembara menuntut ilmu, pada tahun 186 H
Imam al-Syafi'i kembali ke Makah. Di masjidil Haram ia mulai mengajar
dan mengembangkan ilmunya dan mulai berijtihad secara mandiri dalam
membentuk fatwa-fatwa fiqihnya. Tugas mengajar dalam rangka
menyampaikan hasil-hasil ijtihadnya ia tekuni dengan berpindah-pindah
tempat. Selain di Makah, ia juga pernah mengajar di Baghdad (195-197
H), dan akhirnya di Mesir 198-204 H). Dengan demikian ia sempat
membentuk kader-kader yang akan menyebarluaskan ide-idenya dan
bergerak dalam bidang hukum Islam. Di antara murid-muridnya yang
terkenal ialah Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri madzhab Hanbali), Yusuf
bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H), Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-
Muzani (w. 264 H), dan Imam Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (174-270
H). Tiga muridnya yang disebut terakhir ini, mempunyai peranan penting
dalam menghimpun dan menyebarluaskan faham fiqih Imam al-Syafi'i.89
Imam al-Syafi'i wafat di Mesir, tepatnya pada hari Jum’at tanggal
30 Rajab 204 H, setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak
88
Muhammad Abu Zahrah, Hayatuhu wa Asruhu wa Fikruhu ara-uhu wa
Fiqhuhu, Terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, “Imam al-Syafi'i
Biografi dan Pemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih”, Jakarta:
PT Lentera Basritama, 2005, hlm. 42-45 89
Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 1680.
49
orang. Kitab-kitabnya hingga saat ini masih banyak dibaca orang, dan
makamnya di Mesir sampai detik ini masih diziarahi orang.90
Karya-karya Imam Asy-Syâfi'i yang berhubungan di antaranya:
(1) Al-Umm. Kitab ini disusun langsung oleh Imam Asy-Syâfi'i
secara sistematis sesuai dengan bab-bab fikih dan menjadi rujukan utama
dalam Mazhab Syafi'i. Kitab ini memuat pendapat Imam Asy-Syâfi'i
dalam berbagai masalah fikih. Dalam kitab ini juga dimuat pendapat Imam
Asy-Syâfi'i yang dikenal dengan sebutan al-qaul al-qadim (pendapat lama)
dan al-qaul al-jadid (pendapat baru). Kitab ini dicetak berulang kali dalam
delapan jilid bersamaan dengan kitab usul fikih Imam Asy-Syâfi'i yang
berjudul Ar-Risalah. Pada tahun 1321 H kitab ini dicetak oleh Dar asy-
Sya'b Mesir, kemudian dicetak ulang pada tahun 1388H/1968M.91
(2) Kitab al-Risalah. Ini merupakan kitab ushul fiqh yang pertama
kali dikarang dan karenanya Imam Asy-Syâfi'i dikenal sebagai peletak
dasar ilmu ushul fiqh. Di dalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran
Syafi'i dalam menetapkan hukum.92
(3) Kitab Imla al-Shagir; Amali al-
Kubra; Mukhtasar al-Buwaithi;93
Mukhtasar al-Rabi; Mukhtasar al-
Muzani; kitab Jizyah dan lain-lain kitab tafsir dan sastera.94
Siradjuddin
Abbas (ulama yang lahir di Sumatera Barat, pengarang buku 40 Masalah
90
Ibid.,hlm. 18. 91
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit, hlm, 488. 92
Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 131-132. 93
Ahmad Asy Syurbasyi, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin,
"Biografi Empat Imam Mazhab", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 144. 94
Ali Fikri, Ahsan al-Qashash, Terj. Abd.Aziz MR: "Kisah-Kisah Para
Imam Madzhab", Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003, hlm. 109-110.
50
Agama) dalam bukunya telah mengumpulkan 97 (sembilan puluh tujuh)
buah kitab dalam fiqih Syafi’i. Namun dalam bukunya itu tidak diulas
masing-masing dari karya Syafi’i tersebut.95
Ahmad Nahrawi Abd al-
Salam menginformasikan bahwa kitab-kitab Imam Asy-Syâfi'i adalah
Musnad li al-Syafi'i; al-Hujjah; al-Mabsut, al-Risalah, dan al-Umm.96
3. Situasi Sosio-Politik yang Mengitarinya
Imam al-Syafi'i lahir di masa Dinasti Abbasiyah. Seluruh
kehidupannya berlangsung pada saat para penguasa Bani Abbas
memerintah wilayah-wilayah negeri Islam. Saat itu adalah saat di mana
masyarakat Islam sedang berada di puncak keemasannya. Kekuasaan Bani
Abbas semakin terbentang luas dan kehidupan umat Islam semakin maju
dan jaya. Masa itu memiliki berbagai macam keistimewaan yang memiliki
pengaruh besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kebangkitan
pemikiran Islam. Transformasi ilmu dari filsafat Yunani dan sastra Persia
serta ilmu bangsa India ke masyarakat Muslim juga sedang semarak.
Mengingat pentingnya pembahasan ini, maka kami akan memberikan
gambaran singkat tentang tentang kondisi pemikiran dan sosial
kemasyarakatan pada masa itu.97
Kota-kota di negeri Islam saat itu sedikit demi sedikit mulai
dimasuki unsur-unsur yang beraneka ragam, mulai dari Persia, Romawi,
India dan Nabath. Dahulu, kota Baghdad adalah pusat pemerintahan
95
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Jakarta:
Pustaka Tarbiyah, 2004, hlm. 182-186. 96
Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 28. 97
Muhammad Abu Zahrah, Hayatuhu…, op.cit, hlm. 84.
51
sekaligus pusat peradaban Islam. Kota tersebut dipenuhi oleh masyarakat
yang terdiri dari berbagai jenis bangsa. Kaum Muslim dari berbagai
penjuru dunia berduyun-duyun berdatangan ke Baghdad dari berbagai
pelosok negeri Islam. Tentunya, kedatangan mereka sekaligus membawa
kebudayaan bangsanya dalam jiwa dan perasaannya yang dalam.98
Dengan kondisi masyarakat yang beragam ini tentunya akan
banyak timbul aneka problema sosial. Oleh karena itu, di masyarakat
Baghdad banyak muncul fenomena-fenomena yang beraneka ragam yang
disebabkan oleh interaksi sosial antara sesama anggota masyarakatnya di
mana masing-masing ras mempunyai kekhususan ras-ras tersebut. Setiap
permasalahan yang timbul dari interaksi antar masyarakat tersebut
tentunya akan diambil ketentuan hukumnya dari syariat. Sebab, syariat
Islam adalah syariat yang bersifat umum.99
Syariat tersebut akan memberikan muatan hukum bagi setiap
permasalahan yang terjadi; baik permasalahan itu masuk dalam kategori
permasalahan ringan ataupun berat. Pengamatan terhadap permasalahan
yang terjadi akan memperluas cakrawala pemikiran seorang faqih
sehingga ia dapat menemukan penyelesaian (solusi hukum) bagi masalah-
masalah yang terjadi. Selain itu, sang faqih akan dapat memperluas medan
pembahasan dengan menghadirkan permasalahan yang mungkin terjadi,
98
Ibid., hlm. 84. 99
Ibid., hlm. 85.
52
kemudian memberikan kaidah-kaidah umum untuk masalah-masalah furu'
yang berbeda.100
B. Pendapat Imam Syafi'i tentang Hakam Tidak memiliki Kewenangan dalam
Menceraikan Suami Isteri yang Sedang Berselisih
Imam Syafi’i dalam Kitab Al-Umm, Juz. V menyatakan:
����� ����� �� ��� ���� ���� ��� ��� �� �� �� !��"#� �� $� � %&� '( ����� )%&* '( +�,* ��( -. �%�* ��� !��"#� �� /0
1���� �2 !�10 �* 3���#� 3� ���"#� 4�� �5� /0$� 6&�7 �(8� �( 9�:�5� );��<# �� �( 1��� =�:0 >� ?@� A�( );��B C%� �� �( ���"#�� D���#� E6F >� G%B >� / 6�� �� ��� �( A:��0 >� )� CH60
�"I J �K* ��� �� �� �* L#K� M6N�#�� O6PQ�� /R#�� O*6S� T U���� V�� �� +�1� ����0 > �* ���� �K5� G%<#�� ��6#� T�"�#� W�T ���( W�T ��1;�X� W��#� +�,* �K� CY� )� Z1��� ���� �� �%�
�[�� �&�F\ �] ^�80 �* 4��_S� ������#� A��F,� �K�� !��"#� �� ���� `;0 �* )�%� ?a� �2�@� b� �� ��� '�( ����� )%&* '(
�,1� �� �� ��� �a%<0� �c6(* ��"��# ��#�� /����#� �&* '( � %&*
100
Ibid, hlm., 86
53
, �� �� 6�0 �c6(80 �* )# d�#� �� * '�( ��:0 >� W��#� 6(8� >� �0 �YK5� >� O*6S� ��(101
Artinya: Imam al-Syafi'i berkata : Firman Allah Azza wajalla, yang artinya:
"Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan" (An Nisa : 35). Imam al-Syafi'i berkata :
"Dan Allah lebih mengetahui dengan makna apa yang ia ingini.
Adapun zhahir ayat maka kekhawatiran sengketa antara suami istri di
mana masing-masing dari keduanya mendakwa bahwa temannya itu
mencegah hak dan salah seorang dari keduanya tidak berbuat baik
terhadap kawannya dengan memberikan apa yang ia sukainya, dan
tidak terputus di antara keduanya dengan sebab perceraian, tidak pula
mendamaikan dan tidak pula meninggalkan kewajiban karena
persengketaan itu. Yang demikian itu bahwa Allah Azza wa jalla
mengizinkan dalam masalah nusyuz wanita untuk memberi nasihat,
meninggalkan tempat-tidur dan memukul. Dan Allah mengizinkan
karena nusyuz laki-laki untuk mengadakan perdamaian. Apabila
keduanya khawatir tidak dapat menegakkan ketentuan-ketentuan Allah
maka tidak berdosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh istri untuk menebus dirinya. Dan Allah melarang bila laki-laki
menginginkan menukar istri pada tempat istri untuk mengambil
sesuatu yang telah diberikan kepada istri. Imam al-Syafi'i berkata:
101
Imam al-Syafi’î, Al-Umm, Juz V, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth,
hlm. 208.
54
"Bila dua orang suami istri yang khawatir terjadi persengketaan di
antara keduanya mengadu kepada hakim, maka kewajiban hakim
mengutus seorang hakam dari keluarga si perempuan dan seorang
hakam dari keluarga laki-laki, yang termasuk orang yang saleh dan
berakal/berfikir supaya keduanya mengungkap urusan dua orang
suami istri itu, dan keduanya mendamaikan antara dua suami istri jika
keduanya mampu. Imam al-Syafi'i, berkata: "Hakim tidak berhak
memerintahkan dua orang hakam untuk menceraikan dua orang suami
istri meskipun keduanya berpendapat demikian kecuali dengan
perintah suami. Dan ke duanya tidak boleh memberikan harta wanita
kecuali dengan izinnya".
Pernyataan Imam al-Syafi'i tersebut menunjukkan bahwa apabila
suami istri bersengketa, sementara suami atau istri itu tidak ada yang mau
mengalah, sehingga jika situasi perselisihan dibiarkan berkepanjangan maka
tidak menutup kemungkinan terjadinya perceraian bahkan permusuhan yang
menimbulkan saling benci dan dendam, maka hendaknya ada seorang hakam
sebagai juru wasit yang mendamaikan kedua belah pihak.
Kedua hakam ini tentunya hakam dari keluarga suami dan hakam dari
keluarga istri. Hakam tersebut hanya boleh mendamaikan dan mencari solusi
yang dapat menghentikan perselisihan. Kedua hakam tidak boleh menyuruh
suami istri itu untuk bercerai. Dengan kata lain kedua hakam tidak mempunyai
55
kewenangan untuk memisahkan suami istri itu jika tidak diminta suami yang
berselisih itu.
C. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi'i tentang Hakam Tidak memiliki
Kewenangan dalam Menceraikan Suami Isteri yang Sedang Berselisih
Imam al-Syafi'i menyusun konsep pemikiran ushul fiqihnya dalam
karya monumentalnya yang berjudul al-Risalah. Di samping itu, dalam al-
Umm banyak pula ditemukan prinsip-prinsip ushul fiqh sebagai pedoman
dalam ber-istinbat. Di atas landasan ushul fiqh yang dirumuskannya sendiri
itulah ia membangun fatwa-fatwa fiqihnya yang kemudian dikenal dengan
mazhab Syafi’i. Menurut Imam al-Syafi'i “ilmu itu bertingkat-tingkat”,
sehingga dalam mendasarkan pemikirannya ia membagi tingkatan sumber-
sumber itu sebagai berikut:
1. Ilmu yang diambil dari kitab (al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah SAW
apabila telah tetap kesahihannya.
2. Ilmu yang didapati dari ijma dalam hal-hal yang tidak ditegaskan dalam al-
Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
3. Fatwa sebagian sahabat yang tidak diketahui adanya sahabat yang
menyalahinya.
4. Pendapat yang diperselisihkan di kalangan sahabat.
5. Qiyas apabila tidak dijumpai hukumnya dalam keempat dalil di atas.102
Tidak boleh berpegang kepada selain al-Qur’an dan sunnah dari
beberapa tingkatan tadi selama hukumnya terdapat dalam dua sumber tersebut.
102
Imam al-Syafi'i, al-Umm. Juz 7, Beirut: Dar al-Kutub, Ijtimaiyyah, t.th,
hlm. 246.
56
Ilmu secara berurutan diambil dari tingkatan yang lebih atas dari tingkatan-
tingkatan tersebut.
Dalil atau dasar hukum Imam al-Syafi'i dapat ditelusuri dalam fatwa-
fatwanya baik yang bersifat qaul qadim (pendapat terdahulu) ketika di
Baghdad maupun qaul jadid (pendapat terbaru) ketika di Mesir. Tidak berbeda
dengan mazhab lainnya, bahwa Imam al-Syafi'i pun menggunakan Al-Qur’an
sebagai sumber pertama dan utama dalam membangun fiqih, kemudian
sunnah Rasulullah SAW bilamana teruji kesahihannya.103
Dalam hubungannya dengan metode istinbath hukum Imam al-Syafi'i
tentang hakam, maka sebagai istidlal yaitu al-Qur'an surat An-Nisa (4) ayat
35, juz 5. Imam al-Syafi'i meletakkan sunnah sahihah sejajar dengan al-Qur’an
pada urutan pertama, sebagai gambaran betapa penting sunnah dalam
pandangan Imam al-Syafi'i sebagai penjelasan langsung dari keterangan-
keterangan dalam al-Qur’an. Sumber-sumber istidlal104
walaupun banyak
namun kembali kepada dua dasar pokok yaitu: al-Kitab dan al-Sunnah. 105
Imam al-Syafi'i menjawab sendiri pertanyaan ini. Menurutnya, al-
Kitab dan al-Sunnah kedua-duanya dari Allah dan kedua-duanya merupakan
dua sumber yang membentuk syariat Islam. Mengingat hal ini tetaplah al-
103
Syaikh Ahmad Farid, op.cit, hlm. 362. 104
Istidlal artinya mengambil dalil, menjadikan dalil, berdalil. Lihat TM.
Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: PT
Putaka Rizki Putra, 1997, hlm. 588 dan 585. Menurut istilah menegakkan dalil
untuk sesuatu hukum, baik dalil tersebut berupa nash, ijma' ataupun lainnya atau
menyebutkan dalil yang tidak terdapat dalam nash, ijma ataupun qiyas. Lihat TM.
Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2001, hlm. 214. 105
Ibid., hlm. 239.
57
Sunnah semartabat dengan al-Qur’an. Al-Sunnah yang dimaksud yaitu al-
Sunnah yang memiliki derajat sahih. Pandangan Imam al-Syafi'i sebenarnya
adalah sama dengan pandangan kebanyakan sahabat.106
Imam al-Syafi'i
menetapkan bahwa al-Sunnah harus diikuti sebagaimana mengikuti al-Qur’an.
Namun demikian, tidak memberi pengertian bahwa hadis-hadis yang
diriwayatkan dari Nabi semuanya berfaedah yakin. Ia menempatkan al-Sunnah
semartabat dengan al-Kitab pada saat meng-istinbat-kan hukum, tidak
memberi pengertian bahwa al-Sunnah juga mempunyai kekuatan dalam
menetapkan aqidah. Orang yang mengingkari hadis dalam bidang aqidah,
tidaklah dikafirkan.107
Imam al-Syafi'i menyamakan al-Sunnah dengan al-Qur’an dalam
mengeluarkan hukum furu’, tidak berarti bahwa al-Sunnah bukan merupakan
cabang dari al-Qur’an. Oleh karenanya apabila hadis menyalahi al-Qur'an
hendaklah mengambil al-Qur'an.Adapun yang menjadi alasan ditetapkannya
kedua sumber hukum itu sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah
karena al-Qur'an memiliki kebenaran yang mutlak dan al-sunnah sebagai
penjelas atau ketentuan yang merinci Al-Qur'an.108
.
Ijma109
menurut Imam al-Syafi'iadalah kesepakatan para mujtahid di
suatu masa, yang bilamana benar-benar terjadi adalah mengikat seluruh kaum
106
Imam al-Syafi'i, al-Risalah, Mesir: al-Ilmiyyah, 1312 H, hlm. 32. 107
Jaih Mubarok, op.cit, hlm. 45. 108
Ibid 109
Menurut Abdul Wahab Khallaf, ijma’ menurut istilah para ahli ushul
fiqh adalah kesepakatan para mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu masa
setelah Rasulullah SAW wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Abd
al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978, hlm, hlm. 45.
58
muslimin.
Oleh karena ijma baru mengikat bilamana disepakati seluruh
mujtahid di suatu masa, maka dengan gigih Imam al-Syafi'i menolak ijma
penduduk Madinah (amal ahl al-Madinah), karena penduduk Madinah hanya
sebagian kecil dari ulama mujtahid yang ada pada saat itu.110
Imam al-Syafi'i berpegang kepada fatwa-fatwa sahabat Rasulullah
SAW dalam membentuk mazhabnya, baik yang diketahui ada perbedaan
pendapat, maupun yang tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di
kalangan mereka. Imam al-Syafi'i berkata:111
��e�I f ��0 *, '( g� ��# � 0 *,
Artinya: "Pendapat para sahabat lebih baik daripada pendapat kita
sendiri untuk kita amalkan"
Bilamana hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tersurat dalam
sumber-sumber hukum tersebut di atas, dalam membentuk mazhabnya, Imam
al-Syafi'i melakukan ijtihad. Ijtihad dari segi bahasa ialah mengerjakan
sesuatu dengan segala kesungguhan. Perkataan ijtihad tidak digunakan kecuali
untuk perbuatan yang harus dilakukan dengan susah payah. Menurut istilah,
ijtihad ialah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-
hukum syari’at. Dengan ijtihad, menurutnya seorang mujtahid akan mampu
mengangkat kandungan al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW secara lebih
maksimal ke dalam bentuk yang siap untuk diamalkan. Oleh karena demikian
penting fungsinya, maka melakukan ijtihad dalam pandangan Imam al-Syafi'i
adalah merupakan kewajiban bagi ahlinya. Dalam kitabnya al-Risalah, Imam
110
Imam al-Syafi'i, al-Risalah , op. cit, hm. 534. 111
Imam al-Syafi'i, al-Risalah, Mesir: al-Ilmiyyah, 1312 H, hlm. 562.
59
al-Syafi'i mengatakan, “Allah mewajibkan kepada hambanya untuk berijtihad
dalam upaya menemukan hukum yang terkandung dalam al-Qur'an dan as-
Sunnah”.112
Metode utama yang digunakannya dalam berijtihad adalah qiyas.
Imam al-Syafi'i membuat kaidah-kaidah yang harus dipegangi dalam
menentukan mana ar-rayu yang sahih dan mana yang tidak sahih. Ia membuat
kriteria bagi istinbat-istinbat yang salah. Ia menentukan batas-batas qiyas,
martabat-martabatnya, dan kekuatan hukum yang ditetapkan dengan qiyas.
Juga diterangkan syarat-syarat yang harus ada pada qiyas. Sesudah itu
diterangkan pula perbedaan antara qiyas dengan macam-macam istinbat yang
lain selain qiyas.113
Ulama usul menta'rifkan qiyas sebagai berikut:
)2�6��> )��� D�%( 6(8� )��� C%� h�<�(gi6(* ��@���@� /j%� k )(114
Artinya: "Menyamakan sesuatu urusan yang tidak ditetapkan
hukumnya dengan sesuatu urusan yang sudah diketahui
hukumnya karena ada persamaan dalam illat hukum."
Dengan demikian Imam al-Syafi'i merupakan orang pertama dalam
menerangkan hakikat qiyas. Sedangkan terhadap istihsan, Syafi'i menolaknya.
Khusus mengenai istihsan ia mengarang kitab yang berjudul Ibtalul Istihsan.
Dalil-dalil yang dikemukakannya untuk menolak istihsan, juga disebutkan
dalam kitab Jima’ul Ilmi, al-Risalah dan al-Umm. Kesimpulan yang dapat
112
Ibid, hm. 482. 113
Ibid, hlm. 482. 114
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 257.
60
ditarik dari uraian-uraian Imam al-Syafi'i ialah bahwa setiap ijtihad yang tidak
bersumber dari al-Kitab, al-Sunnah, asar, ijma’ atau qiyas dipandang istihsan,
dan ijtihad dengan jalan istihsan, adalah ijtihad yang batal.115
Jadi alasan
Imam al-Syafi'i menolak istihsan adalah karena kurang bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dalil hukum lainnya yang dipakai Imam al-Syafi'i adalah maslahah
mursalah. Menurut Imam al-Syafi’i, maslahah mursalah adalah cara
menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di
dalam Al-Qur’an maupun dalam kitab hadis, berdasarkan pertimbangan
kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum.116
Menurut istilah para ahli
ilmu ushul fiqh maslahah mursalah ialah suatu kemaslahatan di mana syari’
tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak
ada dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.117
Dalam menguraikan keterangan-keterangannya, Imam al-Syafi'i
terkadang memakai metode tanya jawab, dalam arti menguraikan pendapat
pihak lain yang diadukan sebagai sebuah pertanyaan, kemudian ditanggapinya
dengan bentuk jawaban. Hal itu tampak umpamanya ketika ia menolak
penggunaan istihsan.118
115
Ibid, hlm. 146. 116
Imam al-Syafi'i, al-Risalah, op.cit., hlm. 479. 117
Abdul Wahab Khallaf, op. cit., hlm. 84. Cf. Sobhi Mahmassani,
Falsafah al-Tasyri fi al-Islam, Terj. Ahmad Sudjono, “Filsafat Hukum dalam
Islam”, Bandung: PT al-Ma’arif, 1976, hlm.184. 118
Imam al-Syafi’î, Al-Umm, Juz. 7, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth,
hlm. 271-272.
61
Pada kesempatan yang lain ia menggunakan metode eksplanasi dalam
arti menguraikan secara panjang lebar suatu masalah dengan memberikan
penetapan hukumnya berdasarkan prinsip-prinsip yang dianutnya tanpa ada
sebuah pertanyaan, hal seperti ini tampak dalam penjelasannya mengenai
persoalan pernikahan.119
Dalam format kitab al-Umm yang dapat ditemui pada masa sekarang
terdapat kitab-kitab lain yang juga dibukukan dalam satu kitab al-Umm
diantaranya adalah :
1 Al-Musnad, berisi sanad Imam al-Syafi'i dalam meriwayatkan hadis-hadis
Nabi dan juga untuk mengetahui ulama-ulama yang menjadi guru Imam
al-Syafi'i.
2 Khilafu Malik, berisi bantahan-bantahannya terhadap Imam Malik
gurunya.
3 Al-Radd 'Ala Muhammad Ibn Hasan, berisi pembelaannya terhadap
mazhab ulama Madinah dari serangan Imam Muhammad Ibn Hasan,
murid Abu Hanifah.
4 Al-Khilafu Ali wa Ibn Mas'ud, yaitu kitab yang memuat pendapat yang
berbeda antara pendapat Abu Hanifah dan ulama Irak dengan AH Abi
Talib dan Abdullah bin Mas'ud.
5 Sair al-Auza'i, berisi pembelaannya atas imam al-Auza'i dari serangan
Imam Abu Yusuf.
119
Ibid., hlm. V.
62
6 Ikhtilaf al-Hadis, berisi keterangan dan penjelasan Imam al-Syafi'i atas
hadis-hadis yang tampak bertentangan, namun kitab ini juga ada yang
dicetak tersendiri.
7 Jima' al-'llmi, berisi pembelaan Imam al-Syafi'i terhadap Sunnah Nabi
Saw.
Dalam hubungannya dengan metode istinbat hukum Imam al-Syafi'i
tentang hakam tidak memiliki kewenangan dalam menceraikan suami istri
yang sedang berselisih, maka Imam al-Syafi'i menggunakan istinbat hukum
yaitu al-Qur'an surat An-Nisa (4) ayat 35, juz 5.
�l m%n&o* n'p( q��o�l�l� m)m%n&o* n'p( q��o�l� r��sln��o� �l�m m�n�l� l��o�m� n�t�r�m� r�m�l� l)j%#� u�m� �l�t l�n�l� t)j%#� m?v�l�t0 q��oVnBm� �l10m6t0 �m� q�gm;l� q���m%l� o��o2 }xy{
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-
laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua
orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. An-Nisa
ayat 35).120
Dalam penafsiran Imam al-Syafi'i bahwa ayat ini mengisyaratkan
dibolehkannya hakam mendamaikan kedua belah pihak, namun hakam tidak
memiliki kewenangan menyuruh mereka suami istri untuk bercerai.
120
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Surabaya:: DEPAG RI, 1978, hlm. 123.
63
Jadi apabila suami istri bersengketa, sementara suami atau istri itu
tidak ada yang mau mengalah, sehingga jika situasi perselisihan dibiarkan
berkepanjangan maka tidak menutup kemungkinan terjadinya perceraian
bahkan permusuhan yang menimbulkan saling benci dan dendam, maka
hendaknya ada seorang hakam sebagai juru wasit yang mendamaikan kedua
belah pihak.
Hakam ini adalah menyelidiki dan mencari hakikat permasalahan yang
menimbulkan krisis itu, mencari sebab musabab yang menimbulkan
persengketaan, kemudian berusaha sedapat mungkin mendamaikan kembali
kedua suami isteri itu. Apabila masalah ini tidak mungkin untuk didamaikan,
maka kedua hakam berhak mengambil inisiatif untuk menceraikannya. Atas
prakarsa kedua hakam ini mereka mengajukan permasalahannya kepada
hakim dan hakim memutuskan dan menetapkan perceraian tersebut.
Perceraian dengan kasus syiqaq ini bersifat ba'in, artinya suami istri tersebut
hanya dapat kembali melalui akad nikah yang baru.
Adanya hakam itu adalah karena perceraian secara langsung bisa
menimbulkan dampak. Dengan demikian, apabila antara suami istri terdapat
perbedaan watak yang amat sukar dipertemukan, masing-masing bertahan dan
tidak ada yang bersedia mengalah sama sekali. Hal ini berarti titik temu benar-
benar jarang diperoleh sehingga kehidupan dalam rumah tangga ada saja
gangguan ketenteramannya dan ketegangan tidak kunjung reda. Ada pula yang
disebabkan hanya satu pihak, pihak suami misalnya seorang pria tidak
64
bertanggung jawab sebagai pelindung, bertindak semena-mena hanya mau
menang sendiri, maka disini pentingnya ada seorang hakam.
63
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG HAKAM
TIDAK MEMILIKI WEWENANG DALAM MENCERAIKAN SUAMI
ISTRI YANG SEDANG BERSELISIH
A. Analisis Pendapat Imam al-Syafi'i tentang Hakam Tidak Memiliki
Wewenang dalam Menceraikan Suami Istri yang Sedang Berselisih
Sebelum menganalisis pendapat Imam al-Syafi'i, ada baiknya
dikemukakan sepintas pendapat para ulama lainnya tentang kewenangan
hakam. Berdasarkan hal itu maka dalam sub ini hendak diketengahkan tiga
hal: (1) pendapat para ulama tentang kewenangan hakam; (2) Pendapat Imam
al-Syafi'i tentang hakam tidak memiliki wewenang dalam menceraikan suami
istri yang sedang berselisih; (3) Analisis penulis.
1. Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam
Islam melarang perceraian yang bisa merobohkan sendi-sendi keluarga
dan menyebarkan aib-aibnya, melemahkan kesatuan umat dan membuat
perasaan mendendam serta mengkoyak-koyak tabir kehormatan.121
Itulah
sebabnya jika terjadi perpecahan antara suami-istri sehingga timbul
permusuhan yang dikhawatirkan mengakibatkan pisah dan hancurnya rumah
tangga, maka hendaknya diadakan hakam (wasit) untuk memeriksa
121Syekh Muhammad Alwi al-Maliki, Adab al-Islam fi Nidham al-Usrah, "Sendi-Sendi
Kehidupan Keluarga Bimbingan Bagi Calon Pengantin", Terj. Ms. Udin dan Izzah Sf, Yogyakarta:
Agung Lestari, 1993, hlm. 87.
64
perkaranya dan hendaklah hakam ini berusaha mengadakan perdamaian guna
kelanggengan kehidupan rumah tangga dan hilangnya perselisihan.122
Allah
berfirman:
������� ��� �������� ������ ��� ������ ����������� ����������� ����� �!"#�$�% �&�'��))�*�+� :-.(
Artinya: "Dan jika kamu mengkhawatirkan terjadinya persengketaan antara
keduanya (suami istri), maka kirimkanlah seorang juru damai dari
keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.
(QS. An-Nisa': 35)".123
Masalahnya, apakah hakam ini memiliki kewenangan atau dibolehkan
menceraikan suami istri yang sedang berselisih. Imam Malik dan para
pengikutnya berpendapat bahwa pendapat dua hakam itu untuk mengadakan
pemisahan atau pengumpulan dibolehkan tanpa memerlukan pemberian kuasa
ataupun persetujuan dari suami istri yang diwakili. Imam Malik beralasan
dengan atsar yang diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib r.a. bahwa ia
mengatakan tentang kedua juru damai itu:
�D�S G��tgV��"��<��� �ge s�+�� ���2 4�� ��������D�+� G�� 0�1 a��+�v G�� ���� gG���2 u& 4+����J "�u�+� 0�1 ���S�u�+� ) ������ ��� ������ ���������� ����������� ����� �!"#�$�% �&�'��
���� ��� �������� �������2 &�F ��u�+� u&�' ���"������� "�u�+� �M����"S ������:�' ��VS�7"S �&�' ��� ����R�% ( �� "��*�� �s�+K�� s�+�� 0�1 �i����#�A��+��� ���"������� U1�7�$�+� �������+�' u&�'
��1 "f�"��S ��������D�+� u& �!�����+� �T�� ��� "������9 G�� ���J�7� ��� �T"Ag7+� ������ ���"��+
122Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 329. 123Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Departemen Agama 1986, hlm. 123.
65
�i����#�A��+��� �U1�7�$�+� u& �!�����+� �T�� ��� "������9 �� "��*�� �s�+K�� s�+�� 0�1�i����#�A��+��� �U1�7�$�+� G�� ���J�7� ��� �T"Ag7+� ������ ���"��+��1 "f�"��S ��������D�+� ) C��6
s+� (124
Artinya: Yahya menyampaikan kepadaku [hadits] dari Malik bahwa ia
telah mendengar bahwa 'Ali ibn Abi Talib berkata tentang
dua orang penengah yang dikatakan Allah SWT.: Jika
engkau takut akan pemutusan hubungan di antara keduanya
(suami-istri), maka tunjuklah seorang penengah dari pihak
laki-laki kemudian tunjuklah seorang penengah dari pihak
perempuan. Jika mereka menginginkan perbaikan, maka
Allah akan mendamaikan mereka, sungguh Allah Maha
Mengetahui, dan Maha Pemberi Tahu (Surat 4 ayat 35).
Sesungguhnya perpisahan dan pertemuan terletak pada
mereka. Malik berkata: "Itu yang terbaik sejauh yang aku
dengar dari orang-orang berilmu. Apapun yang dikatakan
oleh dua orang penengah/pendamai dijadikan pertimbangan
(HR. Malik).
Para pengikut Imam Malik berselisih pendapat dalam hal apabila dua
juru damai itu menjatuhkan talak tiga kali. Ibnul Qasim berpendapat yang
terjadi satu talak. Sedang Asyhab dan Mughirah berpendapat terjadi tiga talak
juga, jika dua juru damai itu menjatuhkan talak tiga kali. Pada dasarnya, talak
itu berada di tangan suami, kecuali jika terdapat dalil yang menunjukkan
ketentuan lain. Dalam hal ini, Malik menyamakan dua juru damai dengan
penguasa. Baginya, penguasa dapat menjatuhkan talak, jika nyata-nyata telah
terjadi hal-hal yang merugikan.125
124Al-Imam Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir al-Asbahi, al-Muwatta'
Malik, Mesir: Tijariyah Kubra, Mesir tth, hlm. 357. 125Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dâr Al-Jiil,
1409 H/1989, hlm. 74.
66
2. Pendapat Imam al-Syafi'i tentang Hakam Tidak Memiliki Wewenang
dalam Menceraikan Suami Istri Yang Sedang Berselisih
Imam Syafi’i dalam Kitab Al-Umm, Juz. V menyatakan:
� ���� ������� ������ ��� !#$% &'� TA� L2 3� 0�1 G���H+� 0�1 �� Y� B�6 �� ��� !�2 3�� G���H+� 0�1 US�� ����� � ����� ��� ����� V��� TF G2VS & �A�L+� �� ���H+� N�% &\� US�� 7��~ 4�57S � )�?2\� �R��W+ ���� V��� ��?S ]� M>� I� �R��: 4�2 & s+K� ���H+�� ����+� z7J ]� y�: ]� U17$� ������ � I?��S ]� �� TA7+� f�H�+� p7�+�� ^7���� U��+�� ^7P� f�He � &K TA� L2 3� �� �V#�� ���� �����2 `��A =� 3� B�V� ����S ] & ���% �K\� y�W+��
��� ���J �¡ �%YS & _�f &�� _�f 0�VR#9� _�L+� B�6 �K' 4[� 0�1 !F�>� @' ���1�� N�OP� &�A�L+� I$J6� �K�� G���H+� & ����2 MD�
�$H���+ T��+�� U2���+� T� � ���� � ����� ��� � ���� Q�RS ]' �S�6 &' &�17$S �X7 YS & �+ Z�+� 0�1 �6V1 &' ������ �D�WS� �X7
�[K\� ]' ^7P� 0� � ��?�S ]� _�L+� 7 Y�126
Artinya: Imam al-Syafi'i berkata : Firman Allah Azza wajalla, yang artinya:
"Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan" (An Nisa : 35). Imam al-Syafi'i berkata :
126Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz V, Beirut: Dâr
al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 208
67
"Dan Allah lebih mengetahui dengan makna apa yang ia ingini.
Adapun zhahir ayat maka kekhawatiran sengketa antara suami istri di
mana masing-masing dari keduanya mendakwa bahwa temannya itu
mencegah hak dan salah seorang dari keduanya tidak berbuat baik
terhadap kawannya dengan memberikan apa yang ia sukainya, dan
tidak terputus di antara keduanya dengan sebab perceraian, tidak pula
mendamaikan dan tidak pula meninggalkan kewajiban karena
persengketaan itu. Yang demikian itu bahwa Allah Azza wa jalla
mengizinkan dalam masalah nusyuz wanita untuk memberi nasihat,
meninggalkan tempat-tidur dan memukul. Dan Allah mengizinkan
karena nusyuz laki-laki untuk mengadakan perdamaian. Apabila
keduanya khawatir tidak dapat menegakkan ketentuan-ketentuan Allah
maka tidak berdosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh istri untuk menebus dirinya. Dan Allah melarang bila laki-laki
menginginkan menukar istri pada tempat istri untuk mengambil
sesuatu yang telah diberikan kepada istri. Imam al-Syafi'i berkata :
"Bila dua orang suami istri yang khawatir terjadi persengketaan di
antara keduanya mengadu kepada hakim, maka kewajiban hakim
mengutus seorang hakam dari keluarga si perempuan dan seorang
hakam dari keluarga laki-laki, yang termasuk orang yang saleh dan
berakal/berfikir supaya keduanya mengungkap urusan dua orang
suami istri itu, dan keduanya mendamaikan antara dua suami istri jika
keduanya mampu. Imam al-Syafi'i, berkata: "Hakim tidak berhak
68
memerintahkan dua orang hakam untuk menceraikan dua orang suami
istri meskipun keduanya berpendapat demikian kecuali dengan
perintah suami. Dan ke duanya tidak boleh memberikan harta wanita
kecuali dengan izinnya".
Pernyataan Imam al-Syafi'i tersebut menunjukkan bahwa apabila
suami istri bersengketa, sementara suami atau istri itu tidak ada yang mau
mengalah, sehingga jika situasi perselisihan dibiarkan berkepanjangan maka
tidak menutup kemungkinan terjadinya perceraian bahkan permusuhan yang
menimbulkan saling benci dan dendam, maka hendaknya ada seorang hakam
sebagai juru wasit yang mendamaikan kedua belah pihak.
Kedua hakam ini tentunya hakam dari keluarga suami dan hakam dari
keluarga istri. Hakam tersebut hanya boleh mendamaikan dan mencari solusi
yang dapat menghentikan perselisihan. Kedua hakam tidak boleh menyuruh
suami istri itu untuk bercerai. Dengan kata lain kedua hakam tidak mempunyai
kewenangan untuk memisahkan suami istri itu jika tidak diminta suami yang
berselisih itu.
3. Analisis Penulis
Ditinjau secara historis, bahwa di kalangan ulama terdapat keraguan
dan perbedaan pendapat, apakah kitab al-Umm itu ditulis oleh Imam al-Syâfi'i
sendiri ataukah karya para murid-muridnya. Menurut Ahmad Amin, kitab al-
Umm bukanlah karya langsung dari Imam al-Syâfi'i, namun merupakan karya
muridnya yang menerima dari Imam al-Syâfi'i dengan jalan didiktekan.
69
Sedangkan menurut Abu Zahrah dalam al-Umm ada tulisan Imam al-Syâfi'i
langsung tetapi ada juga tulisan dari muridnya,127
bahkan ada yang
mendapatkan petunjuk bahwa dalam al-Umm terdapat juga tulisan orang
ketiga selain Imam al-Syâfi'i dan al-Rabi' muridnya. Namun menurut riwayat
yang masyhur diceritakan bahwa kitab al-Umm adalah catatan pribadi Imam
al-Syâfi'i, karena setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya ditulis, dijawab
dan didiktekan kepada murid-muridnya. Oleh karena itu, ada pula yang
mengatakan bahwa kitab itu adalah karya kedua muridnya Imam al-Buwaiti
dan Imam al-Rabi'. Ini dikemukakan oleh Abu Talib al-Makki.128
Pendapat ini
menyalahi ijma' ulama yang mengatakan, bahwa kitab ini adalah karya
orisinal Imam al-Syâfi'i yang memuat pemikiran-pemikirannya dalam bidang
hukum.
Imam al-Syâfi'i lahir di masa Dinasti Abbasiyah. Seluruh
kehidupannya berlangsung pada saat para penguasa Bani Abbas memerintah
wilayah-wilayah negeri Islam. Saat itu adalah saat di mana masyarakat Islam
sedang berada di puncak keemasannya. Kekuasaan Bani Abbas semakin
terbentang luas dan kehidupan umat Islam semakin maju dan jaya. Masa itu
memiliki berbagai macam keistimewaan yang memiliki pengaruh besar bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan kebangkitan pemikiran Islam.
Transformasi ilmu dari filsafat Yunani dan sastra Persia serta ilmu bangsa
127Muhammad Abu Zahrah, Hayatuhu wa Asruhu wa Fikruhu ara-uhu wa Fiqhuhu, Terj.
Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, “Imam Syafi'i Biografi dan Pemikirannya Dalam
Masalah Akidah, Politik dan Fiqih”, Jakarta: PT Lentera Basritama, 2005, hlm. 268. 128
Ibid., hlm. 178.
70
India ke masyarakat Muslim juga sedang semarak. Mengingat pentingnya
pembahasan ini.129
Kota-kota di negeri Islam saat itu sedikit demi sedikit mulai dimasuki
unsur-unsur yang beraneka ragam, mulai dari Persia, Romawi, India dan
Nabath. Dahulu, kota Baghdad adalah pusat pemerintahan sekaligus pusat
peradaban Islam. Kota tersebut dipenuhi oleh masyarakat yang terdiri dari
berbagai jenis bangsa. Kaum Muslim dari berbagai penjuru dunia berduyun-
duyun berdatangan ke Baghdad dari berbagai pelosok negeri Islam. Tentunya,
kedatangan mereka sekaligus membawa kebudayaan bangsanya dalam jiwa
dan perasaannya yang dalam.130
Dengan kondisi masyarakat yang beragam ini tentunya akan banyak
timbul aneka problema sosial. Oleh karena itu, di masyarakat Baghdad banyak
muncul fenomena-fenomena yang beraneka ragam yang disebabkan oleh
interaksi sosial antara sesama anggota masyarakatnya di mana masing-masing
ras mempunyai kekhususan ras-ras tersebut. Setiap permasalahan yang timbul
dari interaksi antar masyarakat tersebut tentunya akan diambil ketentuan
hukumnya dari syariat. Sebab, syariat Islam adalah syariat yang bersifat
umum.131
Syariat tersebut akan memberikan muatan hukum bagi setiap
permasalahan yang terjadi; baik permasalahan itu masuk dalam kategori
permasalahan ringan ataupun berat. Pengamatan terhadap permasalahan yang
129
Ibid., hlm. 84. 130
Ibid., hlm. 84. 131
Ibid., hlm. 85.
71
terjadi akan memperluas cakrawala pemikiran seorang faqih sehingga ia dapat
menemukan penyelesaian (solusi hukum) bagi masalah-masalah yang terjadi.
Selain itu, sang faqih akan dapat memperluas medan pembahasan dengan
menghadirkan permasalahan yang mungkin terjadi, kemudian memberikan
kaidah-kaidah umum untuk masalah-masalah furu' yang berbeda.132
Melihat problem-problem sosial di masa hidupnya, Imam al-Syafi'i
melihat kenyataan adanya pertengkaran suami istri, kemudian dua hakam
tidak berusaha mendamaikan melainkan ada kecenderungan secara tidak
langsung menggiring pertengkaran suami istri itu ke arah perceraian, padahal
suami yang bersangkutan tidak meminta dan mengizinkan tindakan hakam.
Perselisihan suami istri itu lebih disebabkan pernikahan yang tidak
direstui orang trua kedua belah pihak. Tindakan hakam pun lebih disebabkan
kepanjangan tangan dari misi orang tua suami istri tersebut. Hakam muncul
bukan sebagai juru penengah melainkan memiliki kepentingan sebagai
jembatan yang mewakili kebencian masing-masing orang tua.
Kenyataan ini telah membangun kesan bahwa hakam bukan
mendamaikan tapi justru meruntuhkan bangunan rumah tangga. Kondisi ini
dilihat oleh Imam alSyafi'i akan berdampak buruk pada arti sebuah
pernikahan. Dampak buruknya yaitu adanya hakam justru selalu diakhiri
dengan perceraian suami istri. Keadaan ini berlangsung lama dan Imam al-
Syafi'i menilai bahwa salah satu cara agar hakam tidak sewenang-wenang,
maka Imam al-Syafi'i memberi pendapat bahwa hakam tidak memiliki
132
Ibid, hlm., 86
72
wewenang untuk menceraikan suami istri yang sedang berselisih manakala
suami tidak mengijinkan dan tidak menghendaki perceraian.
Setelah mengungkapkan aspek sosio historis, maka menurut analisis
penulis bahwa pendapat Imam al Syafi'i yang menganggap hakam tidak
memiliki wewenang untuk menceraikan suami istri yang sedang berselisih
adalah sejalan syari'at Islam yang membenci perceraian meskipun sebagai
perbuatan yang halal. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadis dari Ibnu
Umar menurut riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan disahkan oleh Al-Hakim,
sabda Nabi:
0�1 ����2 3� 456 7�2 ��� �2 : !8��9� ���2 3� 4�: 3� 0�96 0�1���";< �0=>� "�=8?+� 3� @' ) ��A� ����� B��B ��� C��6 �DED�:�
!F�>�(133
Artinya: "Ibnu Umar ra., mengatakan: Rasulullah Saw., bersabda: perbuatan
halal yang sangat dibenci oleh Allah ialah talak (HR. Abu Daud dan
Ibnu Majah dan disahkan oleh al-Hakim)."
B. Analisis Metode Istinbath Hukum Imam Syafi'i tentang Hakam Tidak
Memiliki Kewenangan dalam Menceraikan Suami Isteri yang Sedang
Berselisih
133
Al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani, Bulug al-Marram, Terj. Salim
Bahreisy dan Abdullah Bahreisy, Surabaya: Balai Buku, hlm. 539.
73
Secara bahasa, kata "istinbat" berasal dari kata istanbatha-yastanbithu-
istinbathan yang berarti menciptakan, mengeluarkan, mengungkapkan atau
menarik kesimpulan. Istinbat hukum adalah suatu cara yang dilakukan atau
dikeluarkan oleh pakar hukum (faqih) untuk mengungkapkan suatu dalil
hukum yang dijadikan dasar dalam mengeluarkan sesuatu produk hukum guna
menjawab persoalan-persoalan yang terjadi.134
Sejalan dengan itu, kata
istinbat bila dihubungkan dengan hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad
bin Ali al-Fayyumi sebagaimana dikutip Satria Effendi, M. Zein berarti upaya
menarik hukum dari al-Qur'an dan Sunnah dengan jalan ijtihad.135
Dapat disimpulkan, istinbat adalah mengeluarkan makna-makna dari
nash-nash (yang terkandung) dengan menumpahkan pikiran dan kemampuan
(potensi) naluriah. Nash itu ada dua macam yaitu yang berbentuk bahasa
(lafadziyah) dan yang tidak berbentuk bahasa tetapi dapat dimaklumi
(maknawiyah). Yang berbentuk bahasa (lafadz) adalah al-Qur'an dan as-
Sunnah, dan yang bukan berbentuk bahasa seperti istihsan, maslahat,
sadduzdzariah dan sebagainya.136
Cara penggalian hukum (thuruq al-istinbat) dari nash ada dua macam
pendekatan, yaitu pendekatan makna (thuruq ma'nawiyyah) dan pendekatan
lafaz (thuruq lafziyyah). Pendekatan makna (thuruq ma'nawiyyah) adalah
134
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wal-A'lam, Beirut: Dâr al-
Masyriq, 1986, hlm. 73. Dapat dilihat juga dalam Abdul Fatah Idris, Istinbath
Hukum Ibnu Qayyim, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2007, hlm. 5. 135
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm.
177. 136
Kamal Muchtar, dkk, Ushul Fiqh, jilid 2, Yogyakarta: PT.Dana Bhakti
Wakaf, 1995, hlm. 2.
74
(istidlal) penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung seperti
menggunakan qiyas, istihsan, mashalih mursalah, zara'i dan lain sebagainya.
Sedangkan pendekatan lafaz (thuruq lafziyyah) penerapannya membutuhkan
beberapa faktor pendukung yang sangat dibutuhkan, yaitu penguasaan
terhadap ma'na (pengertian) dari lafaz-lafaz nash serta konotasinya dari segi
umum dan khusus, mengetahui dalalahnya apakah menggunakan manthuq
lafzy ataukah termasuk dalalah yang menggunakan pendekatan mafhum yang
diambil dari konteks kalimat; mengerti batasan-batasan (qayyid) yang
membatasi ibarat-ibarat nash; kemudian pengertian yang dapat dipahami dari
lafaz nash apakah berdasarkan ibarat nash ataukah isyarat nash. Sehubungan
dengan hal tersebut, para ulama ushul telah membuat metodologi khusus
dalam bab mabahits lafziyyah (pembahasan lafaz-lafaz nash).137
Sumber hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Dua
sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya
merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah. Ada juga dalil-dalil
lain selain al-Qur'an dan sunnah seperti qiyas, istihsan dan istishlah, tetapi
tiga dalil disebut terakhir ini hanya sebagai dalil pendukung yang hanya
merupakan alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung
oleh Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Karena hanya sebagai alat bantu untuk
memahami al-Qur'an dan sunnah, sebagian ulama menyebutnya sebagai
metode istinbat. Imam al-Ghazali misalnya menyebut qiyas sebagai metode
istinbat. Dalam tulisan ini, istilah sumber sekaligus dalil digunakan untuk Al-
137Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, 1971, hlm. 115-
116
75
Qur'an dan Sunnah, sedangkan untuk selain Al-Qur'an dan Sunnah seperti
ijma', qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istishab, 'urf dan sadd az-zari'ah
tidak digunakan istilah dalil. Dalam kajian Ushul Fiqh terdapat dalil-dalil
yang disepakati dan dalil-dalil yang tidak disepakati,138
yang disepakati yaitu
al-Qur'an, as-sunnah, ijma, qiyas. Sedangkan yang belum disepakati yaitu
istihsan, maslahah mursalah, istishhab, mazhab shahabi, syari'at kaum
sebelum kita.
Dalam hubungannya dengan metode istinbath hukum Imam al-Syafi'i
tentang hakam tidak memiliki kewenangan dalam menceraikan suami istri
yang sedang berselisih, maka Imam al-Syafi'i menggunakan istinbat hukum
yaitu al-Qur'an surat An-Nisa (4) ayat 35, juz 5.
���� ����������� ����� �!"#�$�% �&�'��������� ��� �������� ������ ��� ������ ������� ����R�% �������2 &�F ��8�+� u&�' ���"������� "�8�+� �M����"S ���=�:�' ��VS�7"S &�'}-.{
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-
laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua
orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. An-Nisa
ayat 35).139
Dalam penafsiran Imam al-Syafi'i bahwa ayat ini mengisyaratkan
dibolehkannya hakam mendamaikan kedua belah pihak, namun hakam tidak
memiliki kewenangan menyuruh mereka suami istri untuk bercerai. Jadi
138Satria Efendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2007, hlm. 77-78. 139
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Surabaya:: DEPAG RI, 1978, hlm. 123.
76
apabila suami istri bersengketa, sementara suami atau istri itu tidak ada yang
mau mengalah, sehingga jika situasi perselisihan dibiarkan berkepanjangan
maka tidak menutup kemungkinan terjadinya perceraian bahkan permusuhan
yang menimbulkan saling benci dan dendam, maka hendaknya ada seorang
hakam sebagai juru wasit yang mendamaikan kedua belah pihak.
Al-Qur'an surat An-Nisa (4) ayat 35, juz 5 yang dijadikan alasan Imam
al-Syafi'i di atas jika dihubungkan dengan penafsiran para ahli tafsir, di
antaranya Ismâ'îl ibn Kasîr al-Qurasyî al-Dimasyqî dalam Tafsîr al-Qur’an al-
Azîm, ada keterangan bahwa ulama fiqih mengatakan, apabila terjadi
persengketaan di antara sepasang suami istri, maka hakimlah yang melerai
keduanya sebagai pihak penengah yang mempertimbangkan perkara keduanya
dan mencegah orang yang artiaya dari keduanya melakukan perbuatan
aniayanya. Jika perkara keduanya bertentangan juga dan persengketaan
bertambah panjang, maka pihak hakim memanggil seorang yang dipercaya
dari keluarga si perempuan dan seorang yang dipercaya dari kaum laki-laki,
lalu keduanya berkumpul untuk mempertimbangkan perkara kedua pasangan
yang sedang bersengketa itu. Kemudian keduanya melakukan hal yang lebih
maslahat baginya menurut pandangan keduanya, antara berpisah atau tetap
bersatu sebagai suami istri. Akan tetapi, imbauan syariat menganjurkan untuk
tetap utuh sebagai suami istri.140
Karena itulah disebutkan di dalam firman-
Nya:
140Ismâ'îl ibn Kasîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, terj. Bahrun Abu
Bakar, Bandung: Sinar baru algensindo, 2003, hlm. 115
77
���"������� "�8�+� �M����"S ���=�:�' ��VS�7"S &�'))�*�+� :-.(
Artinya: Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri
itu. (QS. An-Nisa: 35).141
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah
memerintahkan agar mereka mengundang seorang lelaki yang saleh dari
kalangan keluarga laki-laki, dan seorang lelaki lain yang semisal dari kalangan
keluarga si perempuan. Lalu keduanya melakukan penyelidikan untuk mencari
fakta, siapa di antara keduanya yang berbuat buruk. Apabila ternyata pihak
yang berbuat buruk adalah pihak laki-laki, maka pihak suami mereka halang-
halangi dari istrinya, dan mereka mengenakan sanksi kepada pihak suami
untuk tetap memberi nafkah. Jika yang berbuat buruk adalah pihak
perempuan, maka mereka para hakam mengenakan sanksi terhadapnya untuk
tetap di bawah naungan suaminya, tetapi mereka mencegahnya untuk
mendapat nafkah. Jika kedua hakam sepakat memisahkan atau
mengumpulkannya kembali dalam naungan suatu rumah tangga sebagai suami
istri, hal tersebut boleh dilakukan keduanya.142
Tetapi jika kedua hakam berpendapat sebaiknya pasangan tersebut
dikumpulkan kembali, sedangkan salah seorang dari suami istri yang
bersangkutan rela dan yang lainnya tidak; kemudian salah seorangnya
meninggal dunia, maka pihak yang rela dapat mewarisi pihak yang tidak rela,
141Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Departemen Agama 1986, hlm. 123. 142Ismâ'îl ibn Kasîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, op.cit., hlm.116.
78
dan pihak yang tidak rela tidak dapat mewarisi pihak yang rela. Demikianlah
menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.143
Sejalan dengan tafsir Ibnu Katsir, maka Ahmad Mustafâ Al-Marâgî
dalam Tafsîr al-Marâgî menyatakan dengan ini dapat diketahui, betapa Allah
sangat memperhatikan hukum-hukum tatanan keluarga dan rumah tangga.
Mengapa Allah tidak menyebutkan perceraian? Itu karena Allah membencinya
dan karena Dia ingin menyadarkan kepada kaum Muslimin bahwa hal itu tidak
patut terjadi.144
Menurut riwayat Imam al-Syafi'i di dalam Al-Umm dan al-Baihaqi di
dalam As-Sunan, dan beberapa riwayat lain, riwayat itu daripada Ubaidah al-
Sulamani, bahwa pada suatu hari datanglah seorang laki-laki dan seorang
perempuan kepada Ali bin Abu Thalib, dan bersama dengan mereka turut pula
segolongan besar orang-orang. Rupanya mereka mengadukan perselisihan
atau syiqaq yang telah tumbuh di antara kedua orang suami-istri itu. Maka Ali
memerintahkan supaya diutus seorang hakam dari keluarga suami dan seorang
hakam dari keluarga istri, kemudian beliau (Ali) berkata kepada kedua hakam
itu: "Apakah kamu keduanya tahu apa kewajiban kamu? Kewajiban kamu
ialah menyelidiki, kalau menurut pandangan kamu berdua masih dapat suami
istri ini dikumpulkan kembali, hendaklah kamu kumpulkan, dan kalau kamu
berdua berpendapat lebih baik bercerai saja, maka perceraikan mereka".
Mendengar itu berkatalah si perempuan: "Hamba tunduk kepada Kitab
Allah dan apa yang tersebut di dalamnya." Tetapi si laki-laki menyanggah:
143
Ibid., hlm. 116. 144Ahmad Mustafâ Al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî, Jilid 5, Terj. Bahrun Abu Bakar, Hery
Noer Ally, Anshari Umar Sitanggal, Semarang: Toha Putra Semarang, 1993, hlm. 47.
79
"Kalau keputusan bercerai, aku tak mau!" Ali menjawab: "Kalau begitu
engkau adalah seorang yang mendustakan Allah. Kalau tidak engkau tunduk
kepada apa yang telah aku tetapkan itu, engkau tidak akan kubiarkan pulang."
Demikianlah penetapan dari Ali bin Abu Thalib tatkala beliau jadi Khalifah.145
sejalan dengan itu pula pendapat Ibnu Abbas, menurut riwayat yang
disampaikan oleh Ibnu Jarir. Kata Ibnu Abbas: "Ayat ini ialah mengenai laki-
laki dan perempuan yang telah rusak hubungan rumah tangga. "Allah
menyuruh supaya di utus seorang laki-laki yang shalih dari keluarga si laki-
laki dan seorang laki-laki yang shalih dari keluarga si perempuan. Keduanya
menyelidiki siapa yang bersalah. Kalau si laki-laki yang salah, maka istrinya
ditarik dari dia, dan nafkahnya wajib dibayarnya terus. Kalau perempuan yang
salah, dia dipaksa pulang ke rumah suaminya dan tidak wajib diberi nafkah.
Tetapi kalau kedua hakam berpendapat mereka diceraikan saja atau
diserumahkan kembali, sedang yang seorang suka dan yang seorang tidak
suka, kemudian mati salah seorang, maka yang suka berkembalian menerima
waris dari yang mati, dan yang tidak suka berkembalian tidaklah menerima
waris." Demikian Ibnu Abbas.
Dalam kedua pendapat dari dua orang Sahabat Rasulullah s.a.w. yang
besar ini, Ali dan Ibnu Abbas, nampak bahwa kedua hakam mempunyai hak
penuh, bukan saja untuk mempertemukan kembali, bahkan juga menceraikan,
kalau cerai itulah yang ishlah. Tetapi ulama-ulama Mazhab, banyak yang
145Hamka, Tafsir Al Azhar, Jilid 5, Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1999, hlm. 54
80
membatasi ishlah itu hanya pada mempertemukan kembali, tidak berhak
menceraikan.
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya: "Telah sependapat para
Ulama bahwa kedua Hakam itu berhak mempersatukan kembali di antara
suami-isteri yang berselisih itu dan berhak juga memisahkan." Ibrahim an-
Nakha'i berkata: "Jika kedua Hakam itu hendak memisahkan keduanya dengan
talak satu atau talak dua atau talak tiga, boleh saja."146
Begitu pula satu riwayat dari pendapat Imam Malik. Tetapi Hasan
Bishri berpendapat bahwa kedua hakam hanya berhak mengumpulkan
kembali, bukan memisahkan. Demikian juga paham Qatadah dan Zaid bin
Aslam dan itu juga perkataan Imam Ahmad dan Abu Tsaur dan Daud az-
Zuhri. Mereka berpendapat demikian karena dalam ayat tersebut bahwa jika
kedua hakam itu menginginkan ishlah, niscaya keduanya akan diberi taufik
oleh Tuhan. Ishlah, mereka pahamkan ialah perbaikan dengan arti berkumpul
kembali, bukan bercerai.147
Ayat di atas sudah cukup menjadi petunjuk tentang pentingnya hakam.
Islam melarang perceraian yang bisa menghancurkan masa depan anak dan
kedua belah pihak. Itulah sebabnya jika antara suami isteri terdapat
pertentangan pendapat dan pertengkaran yang memuncak sehingga kedua
belah pihak tidak mungkin dapat mengatasinya dan tidak mungkin pula
mendamaikannya sendiri, maka dapat diutus seorang hakam dari pihak suami
dan seorang hakam dari pihak isteri.
146Ibid., hlm. 55. 147
Ibid
81
Dalam kaitannya dengan pendapat Imam al-Syafi'i, bahwa
menurutnya, kedua hakam tidak boleh menyuruh suami istri itu untuk
bercerai. Dengan kata lain kedua hakam tidak mempunyai kewenangan untuk
memisahkan suami istri itu jika tidak diminta suami yang berselisih itu.
Adapun data atau keterangan yang mendukung pendapat Imam al-Syafi'i yaitu
pendapat Imam Abu Hanifah. Menurut Imam Abu Hanifah beserta para
pengikut berpendapat bahwa kedua juru damai itu tidak boleh mengadakan
pemisahan atau perceraian, kecuali jika suami menyerahkan pemisahan atau
perceraian tersebut kepada kedua juru damai.148
148Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dâr
Al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 74
81
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sesuai dengan perumusan masalah, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
a. Menurut Imam al-Syafi'i, apabila suami istri bersengketa, sementara suami
atau istri itu tidak ada yang mau mengalah, sehingga jika situasi
perselisihan dibiarkan berkepanjangan maka tidak menutup kemungkinan
terjadinya perceraian bahkan permusuhan yang menimbulkan saling benci
dan dendam, maka hendaknya ada seorang hakam sebagai juru wasit yang
mendamaikan kedua belah pihak. Kedua hakam ini tentunya hakam dari
keluarga suami dan hakam dari keluarga istri. Hakam tersebut hanya boleh
mendamaikan dan mencari solusi yang dapat menghentikan perselisihan.
Kedua hakam tidak boleh menyuruh suami istri itu untuk bercerai. Dengan
kata lain kedua hakam tidak mempunyai kewenangan untuk memisahkan
suami istri itu jika tidak diminta suami yang berselisih itu.
b. Dalam hubungannya dengan metode istinbath hukum Imam al-Syafi'i
tentang hakam tidak memiliki kewenangan dalam menceraikan suami istri
yang sedang berselisih, maka Imam al-Syafi'i menggunakan istinbat
hukum yaitu al-Qur'an surat An-Nisa (4) ayat 35, juz 5. Dalam penafsiran
Imam al-Syafi'i bahwa ayat ini mengisyaratkan dibolehkannya hakam
mendamaikan kedua belah pihak, namun hakam tidak memiliki
kewenangan menyuruh mereka suami istri untuk bercerai.
B. Saran-Saran
Meskipun pendapat Imam al-Syafi'i bersifat klasik, namun pemikiran
dan konsepnya dapat dijadikan masukan apabila kelak dikemudian hari ada
kebijakan atau keputusan untuk merevisi sejumlah peraturan perundangan
yang menyangkut masalah pernikahan dan perceraian. Khususnya mengenai
peran dan kedudukan serta kompetensi hakam sebagai wasit dalam
mendamaikan suami istri yang sedang berselisih.
C. Penutup
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat
dan ridhanya pula tulisan ini dapat diangkat dalam bentuk skripsi. Peneliti
menyadari bahwa di sana-sini terdapat kesalahan dan kekurangan baik dalam
paparan maupun metodologinya. Karenanya dengan sangat menyadari, tiada
gading yang tak retak, maka kritik dan saran membangun dari pembaca
menjadi harapan peneliti. Semoga Allah SWT meridhainya.
82
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjuddin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi'i, Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 2004.
Al'ati, Hammudah Abd., The Family Structure In Islam, Terj. Anshari Thayib, "
Keluarga Muslim", Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984.
Amini, Ibrahim, Principles of Marriage Family Ethics, Terj. Alwiyah
Abdurrahman, "Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Istri",
Bandung: al-Bayan, 1999.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2002.
Asbahi, Al-Imam Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir, al-Muwatta'
Malik, Mesir: Tijariyah Kubra, Mesir tth.
Asqalani, Al-Hafidz ibn Hajar, Bulug al-Marram, Bairut: Daar al-Kutub al-
Ijtimaiyah, tth.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004.
Bukhari, Imam, Sahih al-Bukhari, Juz. III, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M.
Dahlan, Abdul Aziz, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1997.
Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqih, jilid II, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Waqaf, 1995.
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Dimasyqî, Ismâ'îl ibn Kasîr al-Qurasyî, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, terj. Bahrun
Abu Bakar, Bandung: Sinar baru algensindo, 2003
Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Efendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2007.
Farid, Syaikh Ahmad, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i
Taman, "60 Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006.
Fikri, Ali, Ahsan al-Qashash, Terj. Abd.Aziz MR: "Kisah-Kisah Para Imam
Madzhab", Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003.
Furchan, Arief dan Agus Maimun, Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai
Tokoh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Hakim, Rahmat, Hukum Pernikahan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Hamid, Zahry, Pokok-Pokok Hukum Pernikahan Islam dan Undang-Undang
Pernikahan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978.
Hamka, Tafsir Al Azhar, Jilid 5, Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1999.
Hussaini, Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad, Kifayah Al Akhyar,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth.
Idris, Abdul Fatah, Istinbath Hukum Ibnu Qayyim, Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra, 2007.
Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. Anshori Umar
Sitanggal, “Fiqih Wanita”, Semarang: CV Asy-Syifa, 1986.
Jaziri, Abdurrrahman, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz. IV, Beirut:
Dar al-Fikr, 1972.
Karsayuda, Perkawinan Beda Agama: Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi
Hukum Islam, Total Media, Yogyakarta, 2007.
Khalaf, Abd al-Wahhab, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
Kuzari, Achmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
1995.
Ma’luf, Louis, al-Munjid fi al-Lughah wal-A'lam, Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986.
Mahmassani, Sobhi, Falsafah al-Tasyri fi al-Islam, Terj. Ahmad Sudjono,
“Filsafat Hukum dalam Islam”, Bandung: PT al-Ma’arif, 1976.
Maliki, Syekh Muhammad Alwi, Adab al-Islam fi Nidham al-Usrah, "Sendi-Sendi
Kehidupan Keluarga Bimbingan Bagi Calon Pengantin", Terj. Ms. Udin
dan Izzah Sf, Yogyakarta: Agung Lestari, 1993.
Marâgî, Ahmad Mustafâ, Tafsîr al-Marâgî, Jilid 5, Terj. Bahrun Abu Bakar, Hery
Noer Ally, Anshari Umar Sitanggal, Semarang: Toha Putra Semarang,
1993.
Maududi, Abul A'la, The Laws of Marriage and Divorce in Islam, Terj. Achmad
Rais, "Kawin dan Cerai Menurut Islam", Jakarta: anggota IKAPI, 1991.
Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, 2001.
Mubarok, Jaih, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul
Jadid, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002.
Muchtar, Kamal, dkk, Ushul Fiqh, jilid 2, Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf,
1995.
Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj.
Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta:
Lentera, 2001.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1991.
Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang: CV Toha Putra, 1993.
Nuruddin, Amiur, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Prenada Media, 2004.
Rusyd, Ibnu, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dâr
Al-Jiil, 1409 H/1989.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970.
Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994.
Saleh, K. Wancik, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1982.
Shiddieqy, TM. Hasbi Ash, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2001.
--------, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT Putaka Rizki
Putra, 1997.
Syafi’î, Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris, Al-Umm, Juz V dan VII,
Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth.
Syafi'i, Imam, al-Risalah, Mesir: al-Ilmiyyah, 1312 H.
Syalthut, Mahmud, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2000.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media,
2006.
Syurbasyi, Ahmad Asy, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi
Empat Imam Mazhab", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003.
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, 1986.
Uwaidah, Syekh Kamil Muhammad, al-Jami' fi Fiqh an-Nisa, Terj. M. Abdul
Ghofar, " Fiqih Wanita", Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998.
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Surabaya: DEPAG RI, 1978.
Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidayakarya
Agung, 1990.
---------, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1973.
Zahrah, Muhammad Abu, Hayatuhu wa Asruhu wa Fikruhu ara-uhu wa Fiqhuhu,
Terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, “Imam al-Syafi'i Biografi
dan Pemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih”, Jakarta: PT
Lentera Basritama, 2005.
Zahrah, Muhammad Abu, Usul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, 1971.
Zein, Satria Effendi M., Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
81
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Anik Mukhifah
Tempat/Tanggal Lahir : Jepara, 23 Mei 1985
Alamat Asal : Desa Sinanggul RT 06 RW 01 Kec. Mlonggo Jepara
Pendidikan : - SD N Sinanggul Jepara lulus th 1997
- MTs Hasyim As'yari Jepara lulus th 2000
- MA Mathalibul Huda Jepara lulus th 2003
- Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
Angkatan 2003
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk
dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Anik Mukhifah
BIODATA DIRI DAN ORANG TUA
Nama : Anik Mukhifah
NIM : 2103072
Alamat : Bukit Beringin Selatan 5/F.88 Semarang.
Nama orang tua : Bapak Sahroni dan Ibu Rif'atun
Alamat : Desa Sinanggul RT 06 RW 01 Kec. Mlonggo Jepara
Pekerjaan : Petani