89
i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI WASIATKEPADA AHLI WARIS SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S1) Dalam Ilmu Syari'ah Oleh : RIDA DIANA 2103076 JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2008

ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

  • Upload
    others

  • View
    20

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

i

ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK

TENTANG PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI

WASIATKEPADA AHLI WARIS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S1)

Dalam Ilmu Syari'ah

Oleh :

RIDA DIANA 2103076

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2008

Page 2: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

ii

NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eks. Hal : Naskah skripsi An. Sdri. Rida DIana

Assalamu'alaikum Wr. Wb

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini

saya kirim naskah skripsi saudari :

Nama : Rida Diana

NIM : 2103076

Judul : ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG

PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP

PEMBERI WASIAT KEPADA AHLI WARIS

Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera

dimunaqasyahkan.

Demikian harap menjadi maklum.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Semarang, 02 Januari 2008

Pembimbing I Pembimbing II

.

Dra. Hj. Siti Mujibatun, M. Ag Ali Imron, M.Ag NIP. 150 231 628 NIP. 150 327 107

Page 3: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

iii

DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG

Jl. Prof. DR. Hamka (Kampus III) Ngaliyan Telp/ Fax. (024) 601291

PENGESAHAN

Skripsi saudara : Rida Diana

NIM : 2103076

Fakultas : Syari’ah

Jurusan : Al Ahwal Al Syakhshiyah

Judul Skripsi : ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG

PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP

PEMBERI WASIAT KEPADA AHLI WARIS

Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama

Islam Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus, pada tanggal:

23 Januari 2008

Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata1

tahun akademik 2008/2009

Semarang, 23 Januari 2008

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Achmad Arief Budiman, M.Ag. Ali Imron, M.Ag. NIP. 150 274 615 NIP. 150 327 107 Penguji I Penguji II Drs. Taufik, MH. Drs. H. Ahmad Ghozali NIP. 150 263 036 NIP. 150 216 992 Pembimbing I Pembimbing II Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag. Ali Imron, M.Ag. NIP. 150 231 628 NIP. 150 327 107

Page 4: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

iv

ABSTRAK

Rida diana (NIM. 2103076). Analisis pendapat Imam Malik tentang pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris. Skripsi Semarang Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2008.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) pendapat Imam Malik tentang pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris, 2) metode istinbath hukum yang digunakan Imam Malik.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan ( library research). Analisis data yang digunakan adalah analisis non statistik, yaitu menggunakan analisis deskriptif, bukan dalam bentuk angka melainkan dalam bentuk laporan dan uraian deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: menurut pendapat Imam Malik pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris dibedakan menurut kondisi kesehatan pemberi wasiat ketika memberikan wasiat tersebut. Apabila pemberi wasiat ketika memberikan wasiat tersebut dalam keadaan sakit, maka ijin ahli waris tersebut tidak boleh dicabut. Karena dalam hal ini wasiat diberikan kepada ahli waris yang dalam keadaan miskin dan tidak melebihi harta yang menjadi haknya pemberi wasiat yaitu sepertiga(1/3) hartanya. Apabila pemberi wasiat ketika memberikan wasiat tersebut dalam keadaan sehat, maka ijin ahli waris tersebut boleh dicabut. Karena ijin ahli waris tidaklah mengikat. Orang yang sehat masih berhak atas semua hartanya. Dia dapat menyedekahkan, menggunakan dan memberikannya kepada siapapun termasuk kepada ahli warisnya. Namun harus sesuai dengan ketentuan syara’.

Adapun metode istinbath hukum yang digunakan oleh Imam Malik yaitu saddu al-dari’ah. Karena pemberi wasiat memberikan wasiat tersebut kepada ahli waris yang dalam keadaan miskin dengan tujuan kemaslahatan ahli waris yang miskin dan agar bisa sebanding dengan ahli waris lainnya. Maka tujuan yang baik tersebut harus dibukakan peluang. Dan ketidak bolehan dalam pencabutan ijin ini bertujuan agar dapat mencegah ahli waris (yang memberi ijin) memiliki semua harta peninggalan dan dapat terlaksananya hak wasiat sepertiga(1/3) harta yang menjadi haknya pemberi wasiat.

Page 5: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

v

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,

Penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi

materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain

atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak

berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali

informasi yang terdapat dalam referensi yang

dijadikan bahan rujukan.

Semarang, 02 Januari 2008

Deklarator,

Rida Diana

Page 6: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

vi

MOTTO

وليخش الذين لو ترآوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا : النساء (.ولوا قوال سديداعليهم فليتقوا اهللا وليق

9(

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak

yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)

mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah

dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.

(QS. An-Nisa’ : 9).

Page 7: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

vii

PERSEMBAHAN

Karya ilmiah yang sederhana ini penulis persembahkan:

~ Abah Abdul Wahib Maksum dan Umi Syarifah Zahra tercinta yang telah memberikan kasih

sayang yang tulus serta do’a-do’a yang selalu dipanjatkan untukku dengan tiada hentinya.

~ Kakakku Royan Habibi dan adikku M. Faisal Yahya tersayang yang selalu memberikan

motivasi.

~ Sahabat-sahabatku yang selalu mendampingi baik suka dan duka.

Harapan penyusun semoga buah karya yang sederhana ini mampu memberikan motivasi untuk

langkah-langkah berikutnya dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Page 8: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

viii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan

hidayah-Nya, sehingga tersusunlah skripsi ini meskipun dalam bentuk yang relatif

sederhana. Sholawat serta salam semoga tetap dilimpahkan kepada nabi Muhammad

SAW, para keluarga, dan pengikutnya. Skripsi ini diajukan guna memenuhi tugas dan

syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo

Semarang.

Ucapan terima kasih sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada semua pihak

yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dengan moral dan bantuan apapun

yang sangat besar artinya bagi penulis. Ucapan terima kasih terutama penulis

sampaikan kepada:

1. Drs. H. Muhyidin, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo

Semarang.

2. Ibu Dra. Hj. Siti Mujibatun, M. Ag., selaku dosen pembimbing I, serta Bapak Ali

Imron, M. Ag., selaku dosen pembimbing II, yang telah bersedia meluangkan

waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan pengarahan dan bimbingan

dalam menyusun skripsi ini.

3. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang

telah membekali berbagai pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan

penulisan skripsi ini.

4. Abah Abdul Wahib Maksum dan Umi Syarifah Zahra tercinta atas segala kasih

sayang, do’a, pengorbanan dan kesabarannya.

5. Kakak Royan Habibi dan Adik M. Faisal Yahya tersayang yang selalu

memberikan motivasi untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

6. Sahabat-sahabatku baik di kampus maupun di kost yang tidak bisa penulis

sebutkan satu persatu yang memberikan bantuan, semangat dan yang selalu

menemani disaat sedih dan senang.

7. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu selama

penulisan skripsi ini.

Page 9: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

ix

Kepada mereka semua penulis tidak dapat memberikan apa-apa hanya untaian

terima kasih dengan tulus dan iringan do’a, semoga Allah membalas semua amal

kebaikan mereka dan selalu melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah, dan ‘inayah-Nya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini banyak memiliki kekurangan, untuk itu

penulis memohon kepada para pembaca untuk menginsafi dan memberikan saran-

saran yang bersifat membangun agar menjadi pertimbangan-pertimbangan dalam

penulisan selanjutnya. Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan tulisan yang telah

tersusun dengan sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi

umat Islam pada umumnya. Kepada Allah SWT penulis memohon semoga apa yang

menjadi harapan penulis terkabulkan. Amien.

Semarang, 02 Januari 2008

Penulis

Rida Diana

Page 10: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

HALAMAN NOTA PEMBIMBING .............................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii

HALAMAN ABSTRAK ................................................................................. iv

HALAMAN DEKLARASI.............................................................................. v

HALAMAN MOTTO ...................................................................................... vi

HALAMAN PEMSEMBAHAN...................................................................... vii

HALAMAN KATA PENGANTAR................................................................ viii

HALAMAN DAFTAR ISI............................................................................... x

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Rumusan Masalah..................................................................... 8

C. Tujuan Penulisan ...................................................................... 9

D. Telaah Pustaka.......................................................................... 9

E. Metode Penulisan Skripsi ......................................................... 11

F. Sistematika Penulisan Skripsi................................................... 14

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG WASIAT

A. Pengertian Wasiat ..................................................................... 16

B. Dasar Hukum Wasiat................................................................ 21

C. Syarat dan Rukun Wasiat ......................................................... 25

D. Wasiat Kepada Ahli Waris ....................................................... 33

BAB III : PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN

AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI WASIAT KEPADA

AHLI WARIS

Page 11: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

xi

A. Biografi Imam Malik ................................................................ 37

B. Metode Istinbath Hukum Imam Malik ..................................... 43

C. Pendapat Imam Malik Tentang Pencabutan Ijin Ahli Waris

Terhadap Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris......................... 54

BAB IV : ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG

PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI

WASIAT KEPADA AHLI WARIS

A. Analisis Pendapat Imam Malik tentang Pencabutan Ijin Ahli

Waris terhadap Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris................ 57

B. Analisis Metode Istinbath Hukum Imam Malik tentang

Pencabutan Ijin Ahli Waris Terhadap Pemberi Wasiat Kepada

Ahli Waris................................................................................. 66

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................... 72

B. Saran-saran ............................................................................... 73

C. Penutup ..................................................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR LAMPIRAN

Page 12: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

1

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Harta merupakan salah satu karunia Allah SWT yang diberikan untuk

kesejahteraan manusia, keberadaan harta bagi manusia sangat penting sebagai

salah satu penopang kelangsungan hidup. Namun bukan berarti harta adalah

tujuan akhir dalam kehidupan manusia, karena ia hanya sebagai sarana untuk

mengantarkan kehidupan yang abadi yaitu di akhirat nanti. Maka Allah pun

memberikan peraturan-peraturan syar’i yang harus diikuti dan ditaati oleh

manusia dalam men-tasharaf-kan harta yang dimilikinya.1

Di antara sekian banyak cara men-tasharaf-kan harta adalah wasiat

yaitu pemberian seseorang kepada orang lain berupa barang, piutang, ataupun

manfaat untuk dimiliki oleh orang lain yang menerima wasiat (mushalahu)

dan dilaksanakan sesudah orang yang berwasiat (mushi) meninggal dunia.2

Manusia selalu berupaya berbuat amal kebajikan sewaktu ia masih

hidup. Salah satu amal kebajikan tersebut adalah membuat wasiat semasa

hidupnya agar sebagian harta yang dimilikinya digunakan untuk memenuhi

kebutuhan orang lain.

1 Yang dimaksud disini adalah mengelola, mengeluarkan, memindahkan harta kepunyaan

atau hak milik dari seseorang atau satu pihak kepada orang atau pihak lain, di antaranya shadaqah, zakat, nafkah, waris, wasiat, hibah, wakaf, dan sebagainya yang kesemuanya telah diatur ketentuannya secara syar’i baik dalam al-Qur'an maupun as-Sunnah

2 Sayyid Sabiq, Fiqhu Sunnah, terj, Mudzakir, “Fiqh Sunnah:, Bandung: al-Ma’arif, 1998, hlm. 215.

Page 13: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

2

Orang yang memiliki harta terkadang berkeinginan agar hartanya kelak

jika ia meninggal dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan. Di samping itu wasiat

juga sebagai sarana untuk mempererat silaturahmi kepada karib kerabat,

sehingga rasa persaudaraan dan solidaritas tidak akan renggang atau putus.

Di dalam al-Qur'an dan sunnah disebutkan bahwa wasiat merupakan

kewajiban seorang muslim yang harus dilaksanakan ketika muslim tersebut

meninggalkan harta yang cukup bagi ahli warisnya.

Firman Allah SWT:

آتب عليكم إذا حضر أحدآم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين )180: البقرة (واألقربين بالمعروف حقا على المتقين

Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara ma`ruf,3 (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 180).4

Sabda Rasulullah yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu

Umar ra. :

عبد اهللا بن يوسف اخبرنا مالك عن نافع عن عبد اهللا بن عمر رضي ما حق امرئ مسلم : اهللا عنهما ان رسول اهللا صلىاهللا عليه وسلم قل

رواه . (له شئ يوصىفيه يبيت ليلتين اال ووصيته مكتوبة عنده 5)البجارى و مسلم

Artinya : “Rasulullah SAW bersabda: “Bukanlah hak seorang musim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama dua malam, kecuali wasiatnya telah dicatat di sisi-Nya. (HR. Bukhari-Muslim)

3 Ma’ruf adalah adil dan baik, wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang

yang meninggal itu. 4 Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya: Semarang: PT. Toha Putra, 1995,

hlm. 44. 5 Imam Abi Abdullah, Shahih al-Buhkari, Juz 3, Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Ilmiyah, 1992,

hlm. 253.

Page 14: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

3

Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum wasiat,

mayoritas ulama berpendapat bahwa wasiat hukumnya tidak fardhu ‘ain,6 baik

kepada kedua orang tua atau kerabat yang sudah menerima warisan,7 termasuk

juga kepada mereka yang karena suatu hal tidak mendapatkan bagian

warisan.8 Akan tetapi apabila dikaitkan dengan sifat hukum maka hukum

wasiat bisa bermacam-macam adakalanya wasiat itu wajib apabila wasiat

bertujuan untuk membayar hutang atau mengembalikan barang titipan. Bisa

menjadi sunnah apabila wasiat untuk kerabat yang tidak menerima warisan

untuk berbuat kebaikan. Mubah jika wasiat untuk saudara atau kerabat yang

kaya. Bisa haram jika wasiat untuk kejelekan atau kemaksiatan.

Adanya perbedaan pendapat ini dikarenakan ada beberapa alasan;

Pertama, Nabi tidak menjelaskan masalah ini lagi secara terperinci sampai

beliau wafat. Kedua, para sahabat dalam prakteknya tidak melakukan wasiat

kecuali untuk tujuan taqarrub kepada Allah SWT, kebiasaan itu dinilai

sebagai ijma’ sukuti (kesepakatan tidak langsung) sebagai dasar bahwa wasiat

hukumnya bukan fardhu ‘ain. Ketiga, wasiat adalah pemberian hal yang tidak

wajib diserahkan pada saat orang yang berwasiat meninggal dunia, karena

pada dasarnya, tindakan wasiat akan sangat tergantung pada situasi dan

6 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 445 7 Kelompok ini dalam istilah ahli waris disebut dengan ash-habul furud, jamak dari al-Fard

yang menurut bahasa artinya ketetapan/ ketentuan, sedangkan menurut istilah adalah para ahli waris yang mendapatkan bagian warisan menurut kadar yang telah ditetapkan syara’. Lihat Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu waris, Semarang: Mujahidin, 1981, hlm. 29

8 Istilah ini disebut dengan Hijab yang artinya dinding atau penghalang bagi ahli waris semestinya mendapat bagian warisan menjadi tidak mendapat atau berkurang dari bagian yang semestinya, karena ahli wais yang lebih dekat pertaliannya dengan orang yang meninggal. Dan orang yang menjadi penghalang disebut hijab yang orang yang terhalang disebut mahjub. Ibid. hlm. 27

Page 15: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

4

kondisi sekarang. Apakah pada saat ia akan meninggal mempunyai cukup

harta atau tidak.9

Para ulama telah sepakat membatalkan wasiat yang mengandung unsur

yang membahayakan (madharat). Wasiat yang mengandung madharat secara

jelas dilarang oleh al-Qur'an, al-Hadits dan ijma’. Diantara madharat tersebut

adalah mengutamakan sebagian ahli waris atas sebagian lainnya, dimana Nabi

sendiri menyebut perbuatan tersebut sebagai perbuatan aniaya. Bentuk

madharat lainnya adalah jika dengan wasiat tersebut seseorang bermaksud

mengharamkan para ahli waris yang lain untuk mendapatkan sebagian atau

seluruh warisan mereka.10

Fuqaha telah sepakat bahwa wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli

waris. Akan tetapi mereka juga berpendapat tentang larangan itu. Apakah

karena ibadah atau karena ahli waris. Sebagian fuqaha mengatakan larangan

itu karena ibadah, maka mereka mengatakan tidak boleh meskipun diijinkan

oleh ahli waris. Adapun fuqaha lain mengatakan di larangannya karena ahli

waris, maka ia membolehkannya apabila diijinkan oleh ahli waris yang lain.

Wasiat itu tidak diperbolehkan bagi ahli waris sesuai dengan hadits

yang diriwayatkan dari Abu Umamah al-Bahilli, dia pernah mendengar

Rasulullah SAW bersabda:

سمعت رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم : عن ابى امامة الباهلى قال رواه (إن اهللا قد اعطى آل ذى حق حقه فال وصية لوارث، : يقول

11 )احمد واالربعة اال النسائ، وحسنه احمد والترمذى

9 Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 445-446 10 Syaikh Kamil Muhammad, Uwaidah, al-Jami’ Fil Fiqhi an-Nisa’, Terj. M. Abdul

Ghoffar, E.M., Fiqih Wanita (Edisi Lengkap), Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001, hlm. 493. 11Hafidh bin Hajar al-‘Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Dar al-‘Ulum, t.th., hlm. 199

Page 16: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

5

Artinya: Dari Abu Umarah al-Bahilli ia berkata : Saya ,mendengar Rasulullah saw bersabda sesungguhnya Allah telah memberikan hak setiap orang yang memiliki hak. Oleh karena itu tidak ada wasiat bagi ahli waris” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudzi dan Ibnu Majah)

Menurut Imam Malik: “Yang disunatkan dan sudah tidak

diperdebatkan lagi adalah bahwasanya tidak ada wasiat bagi ahli waris,

kecuali jika para ahli waris membolehkannya.12

Wasiat mempunyai batasan-batasan yang harus diperhatikan oleh

pewasiat. Para ulama fiqh bersepakat bahwa wasiat yang dilaksanakan tidak

boleh melebihi dari sepertiga dari harta.13 Ketentuan ini berdasarkan pada

hadits Rasulullah SAW:

حدثنا أبد نعيم حدثنا سفيان عن سعد بن ابراهم عن عامربن سعدبن بمكة وانا نى النبى صلى اهللا عليه وسلم يعود جاء:ابى وقاص

يرحم اهللا ابن : وهويكره ان يموت باالرض التى هاجرمنها قالعفراء قلت يا رسول اهللا اوصى بمالى آله قال ال قلت فاالشطر قال ال قلت الثلث قال فالثلث والثلث آثيرانك ان تدع ورثتك اغنياء

14.خيرمن ان تدعهم عالة يتكففون الناسArtinya: “Nabi SAW datang menjengukku ketika di Mekah, beliau tampaknya

kurang senang meninggal di bumi yang ditinggalkan, dan beliau bersabda: “Semoga Allah mengasihimu Ibn Afra”. Aku bertanya: ”Wahai Rasulullah SAW, aku akan berwasiat dengan seluruh hartaku”. Beliau menjawab: “Jangan”. “Separuh”, tanyaku, “Jangan”, jawab beliau. Aku bertanya: “Sepertiga?” kata beliau: “Sepertiga, sepertiga adalah banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya (kecukupan) adalah lebih baik dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan kekurangan dan minta-minta kepada orang lain. ”

12 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Ibid. 13 Muhammad Jawad Mugniyah, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Khomsah, terj Maskur A.B.

at.al. “Fiqh Lima Madzhab, Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 513.

14 Imam Abi Abdullah, Ibid, hlm. 254

Page 17: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

6

Hadits di atas menjadi batasan dalam melaksanakan wasiat harta yang

dijadikan acuan oleh para ulama bahwa wasiat tidak boleh melebihi ketentuan

sepertiga dari harta kecuali ada ijin dari ahli waris. Bahkan yang lebih utama

adalah wasiat kurang dari sepertiga.15

Di samping adanya batasan dalam wasiat, wasiat juga harus memenuhi

beberapa rukun dan syarat yang telah ditentukan, agar wasiat yang dilakukan

sah secara syar’i tanpa ada pihak-pihak yang dirugikan karena wasiat

menyangkut hubungan hak milik antar manusia.

Ketentuan tentang batasan sepertiga dalam wasiat sebagaimana yang

dikemukakan di atas diikuti dan diyakini selama ini oleh mayoritas umat

Islam. Apabila lebih dari sepertiga maka harus mendapatkan ijin dari ahli

waris. Begitu juga kalau wasiat diberikan kepada ahli waris, harus mendapat

ijin ahli warisnya.

Yang menjadi permasalahan adalah apabila ahli waris telah

mengijinkan kepada pewasiat untuk memberikan wasiat kepada ahli waris

atau lebih dari sepertiga (1/3) harta, akan tetapi setelah pewasiat meninggal

dunia, ahli waris tersebut mencabut kembali ijin yang telah diberikannya.

Apakah ahli waris tersebut boleh mencabut ijin yang telah diberikannya? Dari

permasalahan di atas para imam madzhab berbeda pendapat.16

15 Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, cet I,

Semarang: Petraya Mitrajaya, 2001, hlm. 347 16 Yang dimaksud para Imam Madzhab disini adalah Imam Hanafi, Syafi'i dan Hambali,

mengatakan kebolehannya pencabutan ijin yang diberikan ahli waris, baik ijin itu diberikan ketika pewasiat berada dalam keadaan sehat maupun sakit. Sedangkan Imam Malik berbeda pendapat (lihat Muhammad Jawad Mugniyah, op. Cit., hlm. 513).

Page 18: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

7

Imam Malik berpendapat bahwa jika ahli waris memberikan ijin

kepada pemberi wasiat, ketika pemberi wasiat dalam keadaan sakit, maka ijin

tersebut tidak dapat dicabut. Namun jika pemberi wasiat dalam keadaan sehat

maka ijin tersebut boleh dicabut.

Dalam kitab al-Muwaththo’ diriwayatkan oleh Yahya dikemukakan

sebagai berikut:

أنه . السنة الثابتة عند نا التى الاحتالف فيها: وسمعت مالكا يقول: قالوأنه ان . اال أن يجيزله ذالك ورثة الميت. ال تجوزوصية لوارث

, ن أبىوم. جازله حق من أجازمنهم. وأبى بعض. أجازله بعضهم 17.أخذحقه من ذلك

Artinya: “Yahya berkata: Aku telah mendengar Malik berkata: hukum yang tetap menurutku yang tidak diperselisihkan, adalah tidak dibolehkan wasiat kepada ahli waris, kecuali jika ahli waris si mayit membolehkan (ijin). Apabila sebagian ahli waris memberi ijin dan sebagian tidak, maka wasiat boleh dilaksanakan dengan memperhatikan hak-hak mereka dan hak-hak orang yang tidak memperbolehkan, hak-haknya dipenuhi.”

فيستأذن ورثته , وسمعت مالكا يقول في المريض الذي يوصي: قال

فيأذنون له أن . ليس له من ماله اال ثلثه,في وصيته وهو مريضانه ليس لهم أن يرجعوا في : يوصي لبعض ورثته بأآثرمن ثلثه

18ذالكArtinya: “(Yahya) berkata: Aku mendengar Imam Malik berpendapat tentang

orang sakit yang wasiat, para ahli warisnya mengijinkan wasiatnya dalam keadaan sakit. Yang tidak punya hak atas hartanya ketika dia (pewasiat) sakit, padahal dia hanya mempunyai harta tinggal 1/3 para ahli waris mengijinkannya untuk berwasiat kepada sebagian ahli waris yang lain lebih dari 1/3 nya. (ia berpendapat para ahli waris tersebut tidak boleh menarik kembali ijinnya”

, فأما أن يستأذن ورثته في وصية يوصي بها لوارث في صحته: قال

19.ولورثته أن يردوا ذلك ان شاءوا. فان ذلك ال يلزمهم. فيأذنون له

17 Malik bin Anas Al-Muwatho, Beirut: Darul Ihya al-Ulum, tth., hlm. 582. 18 Ibid 19 Ibid.

Page 19: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

8

Artinya: “(Imam Malik) berkata: Apabila para ahli waris telah mengijinkan kepada yang memberi wasiat dalam keadaan sehat untuk berwasiat kepada ahli waris kemudian mereka mengijinkannya, sesungguhnya hal itu tidaklah mengikat mereka maka, para ahli waris dapat mencabut ijinnya sewaktu-waktu mereka menginginkannya.”

Pendapat Imam Malik ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. Ternyata

Imam Malik berpendapat bahwa boleh tidaknya pencabutan ijin ahli waris

dikaitkan dengan kondisi kesehatan pemberi wasiat. Padahal ketentuan di

Hadits Nabi secara normatif sudah jelas tidak boleh berwasiat kepada ahli

waris dan lebih dari batasan sepertiga (1/3), sementara pendapat imam

madzhab lain membolehkan pencabutan ijin ahli waris tersebut secara mutlak.

Dari uraian di atas penulis tertarik untuk mengkaji persoalan tersebut

dalam bentuk skripsi yang berjudul: “ANALISIS PENDAPAT IMAM

MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP

PEMBERI WASIAT KEPADA AHLI WARIS.”

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Pendapat Imam Malik Tentang Pencabutan Ijin Ahli Waris

Terhadap Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris?

2. Bagaimana Metode Istinbath Hukum Imam Malik Tentang Pencabutan

Ijin Ahli Waris Terhadap Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris?

Page 20: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

9

C. Tujuan Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai

penulis, antara lain:

a. Untuk mengetahui pendapat Imam Malik tentang pencabutan ijin ahli

waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris.

b. Untuk mengetahui metode istinbath hukum Imam Malik tentang

pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris.

D. Telaah Pustaka

Telaah atau kajian pustaka bertujuan untuk mendapatkan informasi

tentang penelitian-penelitian atau karya-karya ilmiah lain yang berhubungan

dengan penelitian yang akan diteliti agar penulis mendapatkan informasi yang

utuh dan komprehensif agar tidak terjadi pengulangan dengan penelitian yang

telah ada.

Berikut ini penulis mencoba menelaah kitab-kitab dan buku- buku

yang berkaitan dengan wasiat, antara lain:

Ibn Rusyd dalam kitab Bidayah Al mujtahid, mengatakan bahwa

menurut segolongan fuqoha kadar yang mustahab adalah kurang dari

sepertiga. Berdasarkan sabda Nabi dalam hadits: ”dan sepertiga itu banyak”.

Sayid Sabiq dalam Fiqh sunnah 14, menerangkan tentang pengertian

wasiat, hukum wasiat, syarat-syarat wasiat dan ketentuan kadar wasiat.

Abdul Rofiq (NIM: 2199136) dalam skripsinya yang berjudul “Studi

Analisis terhadap Konsep Madzhab Maliki tentang Keharusan Qabul dalam

Ikrar Wasiat”, membahas tiga persoalan: 1). Pendapat madzhab Maliki tentang

Page 21: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

10

keharusan qabul dalam ikrar wasiat, 2). Konsep istinbath hukum madzhab

Maliki tentang keharusan qabul dalam ikrar wasiat, apabila dinilai dari segi

kacamata pandang ushul fiqh, 3). Implementasi madzhab Maliki tentang

keharusan qabul dalam ikrar wasiat pada masa sekarang.

Dalam skripsi tersebut disimpulkan bahwa tentang keharusan qabul

dalam penerima wasiat. Belum disinggung tentang pencabutan ijin ahli waris.

Thowilan (NIM: 2199119) dalam skripsinya yang berjudul “Studi

Analisis Pendapat Madzhab Malik tentang Wasiat Kepada Pembunuh”

menyimpulkan bahwa berwasiat kepada seorang pembunuh adalah sah dan

tidak menyalahi konsep istinbath hukum dan juga kaidah ushul fiqh pada

umumnya; Imam Malik mengqiaskan wasiat dengan hibah bukan dengan

waris. Berwasiat kepada seorang pembunuh secara tidak sengaja baik wasiat

itu diberikan sebelum terjadi upaya pembunuhan atau sesudah upaya

pembunuhan, maka wasiat itu sah. Skripsi ini dalam kajiannya belum

menyinggung tentang pencabutan ijin ahli waris.

Asaroh (NIM: 2100261) dalam skripsinya yang berjudul “Studi

Analisis terhadap pendapat Imam Malik tentang kebolehan wasiat anak kecil

yang belum baligh”. Menyimpulkan bahwa pendapat Imam Malik yang

mengatakan tentang orang yang lemah akal, orang safih, orang gila yang

terkadang sadar dan anak kecil mereka boleh berwasiat dengan syarat tahu dan

mengerti tentang wasiat. Skripsi ini dalam kajiannya belum disinggung

tentang pencabutan ijin ahli waris.

Berdasarkan kajian terhadap buku-buku dan hasil penelitian tersebut

jelas bahwa permasalahan yang penulis kaji pada skripsi ini belum pernah

dibahas dalam karya tulis sebelumnya.

Page 22: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

11

Dalam skripsi ini penulis menekankan kajian tentang pencabutan ijin

ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris. Menurut Imam Malik

boleh tidaknya pencabutan ijin terkait dengan kondisi kesehatan pewasiat.

Kemudian penulis menganalisis tentang istinbath hukum yang digunakan

Imam Malik. Mengapa Imam Malik berpendapat demikian.

E. Metode Penulisan Skripsi

Ketepatan menggunakan metode dalam penelitian adalah syarat utama

dalam sebuah penelitian. Apabila seseorang mengadakan penelitian kurang

tepat dalam menggunakan metode penelitiannya, tentu akan mengalami

kesulitan bahkan tidak akan mendapatkan hasil yang baik sesuai dengan yang

diharapkan.

Berkaitan dengan persoalan di atas, Winarno Surahmah mengatakan

bahwa metode merupakan cara utama yang digunakan dalam mencapai

tujuan.20

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Studi ini merupakan penelitian pustaka (Library Research) yaitu

menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama yang dimaksud

untuk menggali teori-teori dan konsep-konsep yang telah ditentukan oleh

para ahli terdahulu, mengikuti perkembangan penelitian dalam bidang

20 Winarno Surahmat, Pengantar Penelitian Ilmiah: dasar, Metode dan Teknik, Bandung:

Tarsita Rimbun, 1995, hlm. 65.

Page 23: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

12

yang akan diteliti, memperoleh orientasi yang luas mengenai topik yang

dipilih, manfaat data sekunder serta menghindarkan duplikasi penelitian.21

2. Sumber data

a. Sumber Data Primer

Sumber Data Primer, merupakan data yang diperoleh dari

sumber asli yang memuat suatu informasi.22 Dalam hal ini penulis

menggunakan kitab Al-Muwaththo’ karya Imam Malik bin Anas

sebagai data primer.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder merupakan data yang diperoleh dari

sumber yang bukan asli atau bersifat komplemen, yaitu:

1. Bidayah Al-Mujtahid karya Ibn Rusyd

2. Fiqih Sunnah 14 karya Sayyid Sabiq

3. Al-Fiqh ‘ala al-Madzhabil al-Khomsah karya Muhammad Jawad

Mughniyah.

Metode ini penulis gunakan dalam membahas Bab II dan III

3. Metode Pengumpulan Data

Dari penelaahan literatur tersebut akan diperoleh data-data yang

melatarbelakangi tentang pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi

wasiat kepada ahli waris yang lain dengan masalah yang dibahas dan

tahap selanjutnya dianalisis secara kualitatif berupa penjelasan-penjelasan,

21 Masri Singarimbunan dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES,

1985, hlm. 45. 22 Tatang M. Amin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1995, hlm. 135.

Page 24: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

13

bukan berupa angka-angka statistik dan bukan angka yang lain.23 Dengan

menggunakan nalar pikir induktif serta ditulis dengan menggunakan

penulisan deskriptif analisis yaitu menuturkan, menggambarkan dan

mengklarifikasi secara obyektif dan menginterpretasikan serta

menganalisis data tersebut.24

Dalam rangka pengumpulan data ini penulis mengadakan riset

kepustakaan (library research), yakni penulis membaca buku-buku dan

menganalisisnya guna memperoleh data-data yang diperlukan yang

berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Setelah data-data terkumpul, kemudian penulis menggunakan

analisis deskriptif (Descriptive Analysis) untuk memudahkan dalam

menggambarkan fenomena yang muncul dalam situasi tertentu serta

mengetahui bagaimana mencapai tujuan yang diinginkan.25 Skripsi ini

merupakan bentuk penelitian kualitatif tentang kajian seorang tokoh, maka

dengan metode tersebut dapat digunakan untuk menguraikan secara

menyeluruh tentang sisi kehidupan, corak pemikiran, latar belakang dan

dasar pemikiran Imam Malik tentang pencabutan ijin ahli waris terhadap

pemberi wasiat kepada ahli waris.

Metode ini penulis pergunakan dalam membahas Bab IV.

23 Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta,

2004, hlm. 106 24 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2003, hlm. 37. 25 Consuelo G. Sevilla, dkk., Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: UI Press, 1993, hlm.

73.

Page 25: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

14

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Sistematika penulisan ini merupakan hal yang sangat penting karena

mempunyai fungsi untuk menyatakan garis-garis besar masing-masing bab.

Hal ini dimaksudkan agar penulis dapat memperoleh penelitian yang alamiah

dan sistematis. Dalam usulan penelitian ini penulis akan membagi dalam lima

bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini dikemukakan latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penulisan skripsi, telaah pustaka, metode penulisan skripsi

serta sistematika penulisan skripsi.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG WASIAT

Dalam bab ini dibahas tentang pengertian wasiat, dasar hukum

wasiat, rukun dan syarat wasiat, wasiat kepada ahli waris.

BAB III : PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN

AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI WASIAT KEPADA

AHLI WARIS

Dalam bab ini membahas tentang biografi Imam Malik yang terdiri

dari : riwayat hidup Imam Malik, pendidikan, guru dan murid

Imam Malik, karya-karya Imam Malik, metode istinbath hukum

Imam Malik serta pendapat Imam Malik tentang pencabutan ijin

ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris.

Page 26: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

15

BAB IV : ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG

PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI

WASIAT KEPADA AHLI WARIS

Dalam bab ini diuraikan tentang analisis pendapat Imam Malik

serta analisis metode istinbath hukum Imam Malik tentang

pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli

waris

BAB V : PENUTUP

Pada bab terakhir ini akan dikemukakan kesimpulan, saran-saran,

dan penutup.

Page 27: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

16

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG WASIAT

A. Pengertian Wasiat

Untuk mengetahui pengertian wasiat secara jelas, penulis akan

mengemukakan pengertian wasiat baik secara etimologis (لغه) maupun

terminologis (اصطالحا). 1. Pengertian wasiat secara etimologis (لغه )

Kata wasiat berasal dari bahasa Arab “wasiyyat” (وصية) yang

sejenis kata isim masdar dan bermakna tausiyyat (توصية) atau

isa’ (ايصاء) atau yusii (يوصى) tersusun dari tiga huruf asal yaitu و ,ى, ص yang berarti jatuh dari kedudukan yang tinggi ( وصى)

menyambung dan mempertemukan.1

Dalam kamus Al-Munjid keduanya berarti mengikat janji atas

sesuatu, memerintahkan, menjadikan hak milik setelah meninggal dunia,

seseorang dan menjadikan kepercayaan atas seseorang.

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam kata wasaa ( ىوص ) diartikan

sebagai pesan atau janji seseorang kepada orang lain untuk melakukan

suatu perbuatan baik ketika orang yang berwasiat masih hidup maupun

setelah meninggal.2

1Louis Makluff, al-Munjid, Mesir: Maktabah Qatfaliqiyah, 1964, hlm. 904 2Abdul Aziz Dahlan et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. I, Jakarta: Ikhtiar Baru Van

Houve, 1996, hlm. 1926

Page 28: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

17

Sementara dalam Syarh Fath al Mu’in dijelaskan bahwa kata

wasiat (وصية) menurut bahasa berarti menyampaikan, menyambung.

Istilah wasiat ini berasal dari kata silah bih (صله به) yang artinya

menyambung, karena pewasiat menyambungkan kebagusan dunianya

dengan akhiratnya.3

Kata wasiat dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 9 kali. Dalam

bentuk kata kerja, kata wasiat disebut sebanyak 14 kali dan dalam bentuk

kata benda jadian disebut 2 kali. Seluruhnya disebut dalam Al-Qur’an

sebanyak 25 kali.4

Dalam Al-Qur’an, kata wasiat banyak ditemukan dengan arti dan

makna yang berbeda-beda dalam konteks dan permasalahannya.

Diantaranya arti wasiat itu antara lain :

a. Menunjukkan makna syari’at, sebagaimana Firman Allah :

شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا والذي أوحينا إليك وما وصينا به إبراهيم وموسى وعيسى أن أقيموا الدين

)13: الشورى ....(Artinya : “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa

yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama...” (Q.S. Al-Syura : 13).5

Kata ma wasaa (ما وصى) disini mempunyai pengertian sesuatu

yang disyari’atkan kepada Nabi Nuh.

3Abdul Aziz Al-Malabari, Syarh Fathul Mu’in, Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah,

1990, hlm. 92 4Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. IV, 2000,

hlm. 438 5Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: PT Toha Putra, 1995, hlm.

785

Page 29: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

18

b. Menunjukkan makna pesan, sebagaimana Firman Allah :

: البقرة (الوصية للوالدين والأقربين بالمعروف حقا على المتقين ... 180(

Artinya : “… Berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”. (Q.S. Al-Baqarah : 180).6

Kata al wasiatu (الوصية) disini mempunyai pengertian pesan

kepada orang tua.

c. Menunjukkan makna nasehat, sebagaimana Firman Allah :

1)3: العصر (اصوا بالصبر وتواصوا بالحق وتو.... Artinya : “….Dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran

dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran”. (Q.S. Al-Ashr : 3)7

d. Menunjukkan makna perintah, sebagaimana Firman Allah :

ديه حملته أمه وهنا على وهن وفصاله ووصينا الإنسان بوال )14: القمان (في عامين أن اشكر لي ولوالديك إلي المصير

Artinya : “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)

kepada dua orang ibu bapaknya : ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun, Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKulah kembalimu”. (Q.S. Al-Luqman : 14)8

2. Pengertian wasiat secara terminologi (اصطالحا ) Ibnu Rusyd, dalam kitab Bidayah al-Mujtahid, mendefinisikan

wasiat sebagai penghibahan harta dari seseorang kepada orang lain atau

beberapa orang sesudah meninggalnya orang tersebut. Atau pembebasan

6Ibid., hlm. 44 7Ibid., hlm. 1099 8Ibid., hlm. 655

Page 30: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

19

hambanya baik dijelaskan dengan lafal wasiat atau tidak.9 Sedangkan

menurut para Fuqaha dalam mengartikan pendapat tersebut, wasiat dapat

dibatalkan sewaktu-waktu oleh salah satu pihak yaitu pihak si pemberi

wasiat.

Sayyid Sabiq mendefinisikan wasiat yaitu :

هبة االنسان غيره عينا اودينا اومنفعة على ان يملك الموصى له 10.الهبة بعد موت الموصي

Artinya : “Pemberian seseorang kepada orang lain berupa benda, utang atau manfaat, agar si penerima memiliki pemberian itu setelah si pewasiat meninggal”.

Pendapat lain mengatakan bahwa wasiat adalah pernyataan atau

perkataan seseorang kepada orang lain, bahwa ia memberikan kepada

orang lain itu hartanya tertentu atau membebaskan hutang orang itu atau

memberikan manfaat suatu barang kepunyaannya setelah ia meninggal

dunia.11

Sedangkan 4 Imam Madzhab mendefinisikan wasiat yaitu :

a. Definisi wasiat menurut Madzhab Syafi’iyah :

سواء أضافه , الوصية تبرع بحق مضاف الى ما بعد الموت 12 . لفظا أوال

Artinya : “Pemberian suatu hak atas dasar tabaru’ yang disandarkan kepada keadaan setelah meninggalnya si pemberi wasiat baik dilakukan dengan ucapan atau bukan”.

9Ibn Rusyd, Budayah al-Mujtahid, Abdurrahman, terj. Bidayah al-Mujtahid, Semarang:

Asy-Syiofa’, 1990, hlm. 455 10Sayyid Sabiq, fiqh Sunnah, juz 3, Beirut: Dar al-Fikr. 1977, hlm. 414 11Zakiah daradjat, Ilmu Fiqh, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995, hlm. 161 12Abdur Rahman Al-Jaziri, Kitab Fqih ala Madzhab Arba’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-

Ilmiah, 1410, hlm. 278

Page 31: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

20

b. Definisi wasiat menurut madzhab Hanabilah باالتصرف بعد الموت آأن يوصى شخصا الوصيه هي االمر

اويزوج بناته اوبفرق ثلث ماله بأن يقوم على اوالده الصغار 13 . ونحو ذلك

Artinya : “Wasiat adalah suatu perintah dengan mentasarufkan harta benda setelah meninggalnya orang yang berwasiat seperti berwasiat kepada seseorang untuk memelihara anak-anaknya yang measih kecil, menikahkan anak perempuan atau memisahkan 1/3 hartanya atau semisalnya”.

c. Definisi wasiat menurut Madzhab Hanafiyah

14 .الموت بطريق التبرع الوصيه تمليك مضاف الى ما بعدArtinya : “Wasiat adalah memindahkan hak milik kepada seseorang

yang disandarkan kepada keadaan setelah meninggalnya si pemberi wasiat dengan jalan tabarru ( sukarela )’”.

d. Definisi wasiat menurut Madzhab Malikiyah

فى ثلث مال عاقده الوصية في عرف الفقهاء عقد يوجب حقا 15. اويوجب نيابة عنه بعده, يلزم بموته

Artinya : “Wasiat menurut ahli fiqh adalah perjanjian yang menetapkan adanya suatu hak pada sepertiga harta orang yang melakukan perjanjian itu berlaku setelah meninggalnya si pemberi wasiat, atau menentukan penggantinya sesudah seseorang meninggal dunia”.

Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa wasiat

adalah pemberian seseorang kepada orang lain atau beberapa orang

(lembaga) baik berupa barang, pembebasan, atau pelunasan hutang atau

manfaat yang akan menjadi milik orang yang akan diberi wasiat tanpa

mengharapkan imbalan (tabarru’) yang pelaksanaannya berlaku setelah

orang yang berwasiat meninggal dunia.

13Ibid. 14Ibid., hlm. 277 15Ibid.

Page 32: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

21

Dalam hal ini tidak ada kontroversi, karena mereka memahami

wasiat melalui pandangan tekstual, dimana pandangan ini berpegang

pada suatu pendekatan induktif yang berpijak pada teori qiyas16. Yang

bersandar pada ‘illat jali (‘illat yang jelas).

B. Dasar Hukum Wasiat

Wasiat yang merupakan salah satu amalan ibadah yang disyari’atkan

dalam Islam memiliki sumber hukum yang berdasarkan pada :

1. Al-Qur’an, sebagaimana Firman Allah SWT. Q.S. Al-Baqarah : 180

آتب عليكم إذا حضر أحدآم الموت إن ترك خيرا الوصية )180: البقرة (للوالدين والأقربين بالمعروف حقا على المتقين

Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya dengan cara yang ma’ruf. Ini adalah kewajiban orang yang bertaqwa.”(Qs. Al-Baqarah : 180)17

Dalam surat Al-Baqarah ayat 181 :

معه فإنما إثمه على الذين يبدلونه إن الله سميع فمن بدله بعدما س 1)181: البقرة (عليم

Artinya : “Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(Qs. Al-Baqarah : 181).18

Dalam surat Al-Baqarah ayat 240 :

16Qiyas adalah mempersamakan hukum atau peristiwa yang tidak ada nashnya dengan

hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya karena adanya persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa itu. (lihat Muhtar Yahya, Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandaung: al-Ma’arif, 1986, hlm. 66).

17Departemen Agama RI., op. cit., hlm. 44 18Ibid,

Page 33: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

22

والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا وصية لأزواجهم متاعا إلى لا جناح عليكم في ما فعلن في الحول غير إخراج فإن خرجن ف

)240: البقرة (أنفسهن من معروف والله عزيز حكيم Artinya : Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu

dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma`ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah : 240).19

Dalam surat Al-Maidah ayat 106 :

ياأيها الذين أمنوا شهادة بينكم إذا حضر أحدآم الموت حين الوصية اثنان ذوا عدل منكم أو أخران من غيرآم إن أنتم ضربتم

ا من بعد الصلوة في الأرض فأصابتكم مصيبة الموت تحبسونهمفيقسمان بالله إن ارتبتم لا نشتري به ثمنا ولو آان ذا قربى ولا

نكتم شهادة الله إنا إذا لمن الآثمين )106: المائدة (

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa". (QS. Al-Maidah : 106).20

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menerangkan tentang wasiat,

penulis tidak mengungkapkan semuanya.

19Ibid, hlm. 59 20Ibid, hlm. 180

Page 34: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

23

Ayat-ayat diatas menunjukkan secara jelas mengenai hukum

wasiat serta teknis pelaksanaannya serta materi yang menjadi obyek

wasiat. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat dalam

memahami dan menafsirkan hukum wasiat.

2. As-Sunnah

Adapun hadits Rasulullah Saw. yang dapat dijadikan sebagai

dasar hukum wasiat diantaranya adalah :

Hadits yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Abi Waqqas ra. :

حدثنا أبد نعيم حدثنا سفيان عن سعد بن ابراهم عن عامربن سلم يعودنى وانا جاء النبى صلى اهللا عليه و:سعدبن ابى وقاص

بمكه وهو يكره ان يموت بااالرض التى هاجر منها قال يرحم اهللا ابن عفراء قلت يا رسول اهللا اوصى بمالى آله قال ال قلت، فاالشطر قال ال قلت الثلث والثلث آثير انك ان تدع ورثتك اغنياء خير من ان تدعهم عاله يتكففون الناس من ايد يهم وانك

ن نفقة فانها صدقة حتى اللقمة ترفعها الى فى مهما انفقت مامرأتك وعسى اهللا ان يرفعك فينتفع بك ناس ويضرك بك

21 )رواه البخارى.(اخرون ولم يكن له يومئذ اال ابنةArtinya : “Nabi Saw. Datang menjengukku ketika di Mekkah, beliau

tampaknya kurang senang meninggal di bumi yang ditinggalkan, dan beliau bersabda “semoga Allah mengasihimu Ibn Afra’”. Aku bertanya : “Wahai rasulullah Saw. Aku akan berwasiat dengan seluruh hartaku”. Beliau menjawab : “jangan”. “separuh”, tanyaku, “jangan” jawab beliau. Aku bertanya “sepertiga”? kata beliau : “sepertiga”, sepertiga adalah banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya (kecukupan) adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan kekurangan dan meminta-minta kepada orang lain. Sesungguhnya kamu ketika menginfakkan sesuatu adalah merupakan sadaqah hingga sesuap nasi yang engkau suapkan kepada mulut isterimu. Dan semoga Allah akan

21Imam Abi Abdullah, Shahih al-Bukhari, juz 3, Beirut: Dar al-Kitab Al-‘ilmiyah, 1992,

hlm. 253

Page 35: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

24

mengangkatmu, sehingga orang lain dapat memperoleh manfaat dari kamu, sementara sebagian lain menderita, dan hari itu tidak ada lain kecuali seorang anak perempuan”. (Riwayat al-Bukhari).

Hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra. :

عبد اهللا بن يوسف اخبرنا مالك عن نافع عن عبد اهللا بن عمر رضي اهللا عنهما ان رسول اهللا صلىاهللا عليه

ما حق امرئ مسلم له شئ يوصىفيه يبيت : وسلم قلرواه البجارى و . (ليلتين اال ووصيته مكتوبة عنده

22)مسلمArtinya : “Rasulullah bersabda : “Bukanlah hak seorang muslim yang

mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama dua malam, kecuali wasiat telah dicatat di sisi-Nya”. (Hadits Riwayat Bukhari-Muslim).

Hadits-hadits diatas dapat dipahami bahwa wasiat itu penting,

selain sebagai pelaksanaan ibadah untuk kehidupan akhirat, ia akan

memberi manfaat bagi kepentingan orang lain atau masyarakat pada

umumnya.

3. Ijma’

Ijma’ menurut istilah para Ushul Fiqh adalah kesepakatan seluruh

para mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah

Saw. wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.23

Praktek pelaksanaan wasiat telah dilakukan oleh umat Islam sejak

zaman Rasulullah sampai sekarang. Tindakan yang demikian tidak

pernah diingkari oleh siapapun. Dan ketiadaan ingkar seseorang itu

menunjukkan adanya ijma’ atau kesepakatan umat Islam bahwa wasiat

merupakan syari’at Allah dan Rasul-Nya yang didasarkan atas nash-nash

22 ibid. 23Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 56

Page 36: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

25

Al-Qur’an maupun hadits Nabi yang menerangkan tentang keberadaan

wasiat.

C. Rukun dan Syarat Wasiat

Wasiat merupakan satu amalan yang sangat dianjurkan karena dalam

wasiat mengandung nilai ibadah yang akan mendapat pahala dari Allah dan

juga mengandung nilai sosial yang akan menghasilkan kemaslahatan yang

banyak di dunia. Oleh karena itu hampir semua kitab fiqh terdapat

pembahasan tentang wasiat seiring dengan pembahasan masalah waris

karena keduanya terdapat korelasi antara satu dengan yang lainnya dan saling

berhubungan.

Agar wasiat dapat dilaksanakan sesuai dengan kehendak syari'at,

maka dibutuhkan sebuah aturan yang di dalamnya mencakup rukun dan

syarat wasiat. Rukun dan syarat itu merupakan komponen yang penting

sehingga turut menentukan sah dan tidaknya suatu wasiat. Adapun rukun

wasiat itu adalah sebagai berikut :

Abdurrahman al-Jaziri menyebutkan rukun wasiat yaitu :

24به و صيغة موصى و موصىله و موصىارآانها Artinya : Rukun wasiat yaitu orang yang berwasiat, orang yang menerima

wasiat, barang yang diwasiatkan dan sighat”.

Tetapi beda halnya dengan pendapat ulama Hanafiyah, rukun wasiat

itu hanya satu yaitu ijab dan qabul.25

Sebenarnya ulama Hanafiyah dalam memberikan ketentuan tentang rukun

wasiat adalah sama seperti yang dikemukakan oleh Jawad Mughniyah,

24Abdurrahman Al-Jaziri, op. cit., hlm. 316 25 ibid., hlm. 317

Page 37: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

26

karena ijab dan qabul itu membutuhkan subyek dan obyek, sehingga

walaupun rukun wasiat itu hanya disebutkan satu saja sebagaimana pendapat

ulama Hanafiyah, akan tetapi ijab dan qabul telah mencapai rukun-rukun

yang lain yaitu adanya orang berwasiat dan penerima wasiat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa rukun wasiat terdiri dari

empat hal,. Yaitu :

1. Mushi (orang yang berwasiat)

2. Musha lahu (orang yang menerima wasiat)

3. Musha bihi (orang yang diwasiatkan)

4. Sighat (ijab qabul/lafadz)

Dari keempat rukun di atas masing-masing memiliki syarat yang

harus dipenuhi agar wasiat menjadi sah. Adapun mengenai syarat masing-

masing rukun wasiat tersebut adalah :

1. Orang yang berwasiat (Mushi)

Bagi orang yang berwasiat disyaratkan orang yang memiliki

kesanggupan untuk melepaskan hak miliknya kepada orang lain (ahli

tabarru’). Oleh karena itu mushi haruslah orang yang telah baligh,

berakal, dan merdeka. Apabila pemberi wasiat itu masih anak-anak, gila,

hamba sahaya, dipaksa atau dibatasi, maka ulama Syafi'iyah

menghukumi tidak sah.

Imam Malik berpendapat bahwa wasiatnya anak kecil yang

belum dewasa atau belum baligh tetapi berakal adalah sah. Lain halnya

Page 38: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

27

dengan Abu Hanifah beliau menghukumi tidak sah wasiat anak kecil

yang belum baligh.26

Ulama Hanabillah dan Malikiyah dalam menghukumi sah

tidaknya wasiat anak kecil yang belum mumayyiz yaitu anak yang telah

berusia 10 tahun, atau mendekatinya adalah sah karena dalam usia

tersebut mendekati berakal dan wasiat merupakan tasharuf yang hanya

mendatangkan manfaat dan tidak mendatangkan kemadharatan baginya.

Mengingat harta yang diwasiatkan masih menjadi hak miliknya selama ia

masih hidup dan dapat menarik kembali atau mencabut kembali wasiat

yang telah dibuat. Oleh karena itu wasiat anak mumayyiz

diperbolehkan.27

Di samping syarat-syarat di atas disyaratkan pula bagi mushi

harus ridha dan tidak dipaksa maupun terpaksa terhadap wasiat yang ia

buat, karena wasiat merupakan satu tindakan yang akan berakibat

beralihnya hak milik dari orang yang berwasiat terhadap orang yang

menerima wasiat, maka kerelaan terhadap wasiat yang ia buat tanpa

didasari atas paksaan, mutlak diperlukan yang selanjutnya menjadi syarat

bagi sahnya wasiat.

Dalam KHI, Pasal 194 ayat (1) menjelaskan bahwa orang

berwasiat adalah orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21

26 Ibnu Rusy, op.cit. hlm.449 27Wahbah Azzuhaily, Al-fiqh al-Islam Wa’aadiluhu, juz. IV, Beirut: Dar Al-fikr, t.th., hlm.

26

Page 39: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

28

tahun, berakal sehat, dan tanpa adanya paksaan, dapat mewasiatkan

sebagian harta bendanya kepada orang lain ataupun lembaga.28

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang berwasiat

disyaratkan atas hal-hal sebagai berikut :

a. Sudah baligh dan rasyid (cerdik)

b. Berakal sehat

c. Merdeka

d. Tidak dipaksa.

2. Orang yang menerima wasiat (musha lahu)

Bagi orang yang menerima wasiat disyaratkan atas hal-hal sebagai

berikut :

a. Penerima wasiat masih hidup ketika wasiat diucapkan, walaupun

keberadaannya hanya sebatas perkiraan saja. Keberadaan wasiat

memang harus jelas kepada siapa dan untuk siapa wasiat tersebut

ditujukan, akan tetapi jika mushi telah menunjukkan kepada siapa ia

berwasiat, kemudian musha lahu atau orang yang ditunjuk menerima

wasiat tadi meninggal terlebih dahulu dari pewasiatnya, maka dalam

hal ini para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama dalam masalah

ini berpendapat bahwa wasiat yang penerimanya meninggal lebih

dahulu adalah batal atau gugur, sedang sebagian ulama yang lain

berpendapat tidak gugur dan harta yang diwasiatkan menjadi hak ahli

waris penerima wasiat.

28Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,

Yogyakarta: UII Press, 1993, hlm.217

Page 40: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

29

b. Penerima wasiat bukan ahli waris dari mushi

Berdasarkan hadits Rasul saw :

سمعت رسول اهللا صلى اهللا عليه : عن ابى امامة الباهلى قال إن اهللا قد اعطى آل ذى حق حقه، فال وصية : وسلم يقولوحسنه احمد احمد واالربعة اال النسائ، رواه(لوارث،

29 )والترمذىArtinya : Dari Abu Umarah al-Bahilli ia berkata : Saya ,mendengar

Rasulullah saw bersabda sesungguhnya Allah telah memberikan hak setiap orang yang memiliki hak. Oleh karena itu tidak ada wasiat bagi ahli waris” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudy dan Ibnu Majah)

Dalam hal ini jumhur ulama berpendapat bahwa wasiat

kepada ahli waris adalah tidak sah bahkan Ibn Hasm dan fuqaha

Malikiyah yang masyhur mengharamkan wasiat bagi ahli waris

dengan alasan Allah menghapus ayat wasiat dengan ayat waris.

Sedangkan madzhab Syafi'iyah dan Hanafiyah membolehkan wasiat

terhadap ahli waris manakala mendapat ijin dari semua ahli waris.

Pendapat ini berdasarkan atas hadits Rasul saw :

عن عمرو بن شعيب عن ابيه عن جده ان النبى صلىاهللا رواه (الوصية لوارث اال ان يجيز الورثة : عليه وسلم قال

30) الدارقطنىArtinya : Tidak ada wasiat untuk ahli waris kecuali diperbolehkan

oleh ahli waris” (HR. Ad. Daru Quthny). Dalam KHI Pasal 195 ayat (3) menjelaskan bahwa wasiat

kepada ahli waris hanya berlaku apabila disetujui oleh semua ahli

waris.31

29Hafidh bin Hajar al-‘Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Dar al-‘Ulum, t.th., hlm. 199 30T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, cet. 1, Semarang: Petraya

Mitrajaya, 2001, hlm. 346

Page 41: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

30

c. Penerima Wasiat bukan pembunuh mushi

Abu Yusuf berpendapat bahwa berwasiat kepada orang yang

telah membunuh pewasiat baik wasiat itu diijinkan oleh ahli waris

atau tidak adalah tidak sah.32 Pendapat beliau ini berdasarkan qiyas

yang mempersamakan mawani (hal-hal yang dapat menghalangi)

seseorang untuk memperoleh pusaka dengan jalan wasiat.

Ulama Hanafiyah menghukumi tidak sah wasiat kepada

orang yang telah membunuh pewasiat, namun dalam pembunuhan

karena kelalaian (kesalahan) yang dilakukan oleh penerima wasiat

dan memperoleh ijin dari ahli waris maka wasiatnya sah.33

Ulama Malikiyah menetapkan 2 syarat untuk sahnya wasiat

ada orang yang telah membunuh pewasiat :

1.) Wasiat tersebut dibatalkan setelah adanya tindakan pendahuluan

untuk membunuh, misalnya memukul, menyiksa.

2.) Si korban mengenal kepada pembunuhnya bahwa dialah yang

sebenarnya telah menjalankan tindakan atas pembunuhan itu.

Dalam KHI Pasal 197 ayat (1) menjelaskan bahwa wasiat tidak sah

atau batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:

1.) Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau

menganiaya berat pada pewasiat.

31 Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, loc. Cit. 32Fatchurrahman, Ilmu waris, Bandaung: al-Ma’arif, 1981, hlm. 58 33Ibid,

Page 42: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

31

2.) Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan bahwa

pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan

hukuman lebih berat.

3.) Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah

pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat

untuk kepentingan calon penerima wasiat.

4.) Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau

memalsukan surat wasiat dari pewasiat.

d. Penerima wasiat adalah orang yang diketahui meskipun hanya

memberikan ciri-cirinya saja seperti berwasiat kepada fakir miskin

dan lembaga-lembaga sosial. Sedangkan dalam KHI Pasal 197 ayat

(2) menjelaskan bahwa penerima wasiat harus ia sebutkan dengan

tegas dan jelas siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima

harta benda yang diwasiatkan. Maka, wasiat menjadi batal apabila

orang yang ditunjuk menerima wasiat itu:

1.) Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal

dunia sebelum meninggalnya pewasiat.

2.) Mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk

menerimanya.

3.) Mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan

menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum

meninggalnya pewasiat.

Page 43: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

32

3. Benda/barang yang diwasiatkan (musha bihi)

Adapun syarat-syarat benda atau barang yang diwasiatkan

sebagai berikut :

a. Seseorang yang ingin mewasiatkan sesuatu barang hendaknya barang

tersebut adalah milik pribadi orang yang memberi wasiat, bukan

milik orang lain meskipun mendapat ijin dari pemilik barang

tersebut.

b. Barang yang diwasiatkan berwujud, maksudnya sesuatu yang

diwasiatkan itu telah ada pada waktu wasiat terjadi dan dapat

dialihmilikkan dari pewasiat kepada penerima wasiat. Maka, jika

barang yang diwasiatkan musnah batallah wasiat tersebut (KHI Pasal

197 ayat 3). Sedangkan yang berupa selain barang yang berwujud

seperti manfaat atau hak, para ulama berbeda pendapat. Jumhur

ulama memperbolehkan wasiat yang berupa manfaat alasan mereka

manfaat termasuk wasiat, sedang menurut Ibn Abi Laila, Abu

Sibramah, dan ahli Zahir menghukumi batal wasiat yang berupa

manfaat.34 Dalam KHI Pasal 198, wasiat yang berupa hasil atau

pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu.

c. Barang yang diwasiatkan bukan sesuatu yang dilarang oleh syar’i.

Ahmad Hasan al-Khatib menyatakan tidak sah wasiat berupa

minuman keras, sedangkan ulama Malikiyah berpendapat syarat

barang yang diwasiatkan tidak harus suci, tetapi harus bermanfaat.

d. Barang yang diwasiatkan tidak lebih dari 1/3 harta peninggalan.

34Ibn Rusyd, op. cit., hlm. 452

Page 44: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

33

4. Sighat Wasiat

Sighat adalah kata-kata yang diucapkan oleh pewasiat dan orang

yang menerima wasiat yang terdiri dari ijab dan qabul. Ijab merupakan

pernyataan yang diucapkan oleh pewasiat bahwa ia mewasiatkan sesuatu,

sedangkan qabul adalah pernyataan yang diucapkan oleh penerima

wasiat. Sebagai tanda terima atas ijab pewasiat, ijab dan qabul ini

didasarkan atas unsur kerelaan tanpa ada paksaan.

D. Wasiat Kepada Ahli Waris

1. Pengertian ahli waris

Kata ahli waris secara bahasa berarti keluarga. Tidak secara

otomatis ia dapat mewarisi harta peninggalan pewarisnya yang

meninggal dunia. Karena kedekatan hubungan kekeluargaan juga dapat

mempengaruhi kedudukan dan hak-haknya untuk mendapatkan warisan.

Terkadang yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada juga yang dekat

tetapi tidak dikategorikan sebagai ahli waris yang berhak menerima

warisan. Karena jalur yang dilaluinya perempuan.35

Ahli waris adalah seseorang yang pada saat seorang pewaris

meninggal dunia, mempunyai hubungan darah (ahli waris nasabiyah)36

atau hubungan perkawinan dengan pewaris (ahli waris sababiyah),

35 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, ed.Revisi, cet.4, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001,

hlm.59. 36Maksud hubungan darah : - Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki paman dan kakek. - Golongan perempuan terdiri dari : Ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. [lihat KHI. Bab II, Ahli Waris, Pasal 174 ayat 1(a)]

Page 45: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

34

beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli

waris.37

Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari

kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan

bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama

menurut ayahnya atau lingkungannya.

2. Hukum wasiat kepada ahli waris

Para ulama sepakat bahwa wasiat tidak boleh diberikan kepada

ahli waris, berdasarkan riwayat dari Abu Umamah.

سمعت رسول اهللا صلى اهللا عليه : عن ابى امامة الباهلى قال اهللا قد اعطى آل ذى حق حقه، فال وصية إن : وسلم يقولرواه احمد واالربعة اال النسائ، وحسنه احمد (لوارث، 38 )والترمذى

Artinya : “Dari Abu Umamah al-Bahilli ia berkata : Saya ,mendengar Rasulullah saw bersabda sesungguhnya Allah telah memberikan hak setiap orang yang memiliki hak. Oleh karena itu tidak ada wasiat bagi ahli waris” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudzi dan Ibnu Majah)

Namun ada pendapat yang membolehkan wasiat kepada ahli

waris dengan syarat apabila ahli waris lain menyetujuinya. Ini adalah

pendapat mazhab Syafi’iyah, Hanafiyah dan Malikiyah. Berdasarkan

hadits yang diriwayatkan oleh Amru bin syu’aib:

37Departemen Agama RI., Pedoman Penyuluhan Hukum: Dirjen Pembinaan Kelembagaan

Agama Islam, 1995, hlm. 104 38Hafidh bin Hajar al-‘Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Dar al-‘Ulum, t.th., hlm. 199

Page 46: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

35

عن عمرو بن شعيب عن ابيه عن جده ان النبى صلىاهللا عليه رواه (الوصية لوارث اال ان يجيز الورثة : وسلم قال 39)الدارقطنى

Artinya : “Tidak ada wasiat untuk ahli waris kecuali diperbolehkan oleh ahli waris”(HR. Ad. Daru Quthny)

Ibn Munzhir dan ibn Abdil Barr40 mengatakan bahwa pendapat

ini telah disepakati oleh seluruh fuqaha’. Karena Nabi Muhammad Saw.

telah melarang memberikan wasiat kepada ahli waris yang dapat

menerima warisan, sekiranya tidak mendapatkan ijin dari para ahli waris

yang lain. Beliau juga melarang kepada seseorang yang berada dalam

keadaan sehat dan kuat terhadap hak kepemilikan hartanya dan mampu

melaksanakan keadilan terhadap anak-anaknya, untuk memberikan

sesuatu kepada salah seorang anaknya lebih banyak dari pada anaknya

yang lain. Sebab tindakan yang demikian itu akan mudah menimbulkan

persengketaan dan iri hati satu sama lain. Apalagi pemberian itu

dilaksanakan disaat kematiannya atau dalam keadaan sakit dan lemah.

Pelanggaran hak dan rusaknya rasa keadilan diantara mereka akan lebih

besar lagi. Namun jika ahli waris yang lain menyetujuinya. Maka wasiat

itu diperbolehkan.

Ibn Qudamah dalam syarhnya, berkata apabila seseorang

memberikan wasiat kepada ahli warisnya, tetapi ahli waris yang lain

tidak menyetujuinya, maka wasiat itu tidak sah.

39 T.M Hasbi Ahs Siddieqy, loc. Cit. 40 Ja’far Subani, Yang Hangat Dan Kontroversial Dalam Fiqh, Jakarta: Lentera, 2002. hlm.

216

Page 47: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

36

Fuqaha Syi’ah Zaidiyah membolehkan memberi wasiat 1/3 harta

peninggalan atau kurang kepada ahli waris yang menerima warisan tanpa

tergantung perijinan dari ahli waris. Sebab yang dinasakh dalam surat al-

baqarah: 180 itu adalah kewajiban berwasiat kepada orang yang

menerima warisan. Menasakh kewajiban berwasiat tidak berarti

menasakh kebolehannya. Oleh karena itu berwasiat kepada ahli waris

adalah boleh dan sah tanpa tergantung ijin ahli waris.41

3. Ijin ahli waris

Perijinan ahli waris merupakan suatu kerelaan untuk

dikuranginya hak-hak mereka, karena harta yang telah diwariskan orang

yang wafat merupakan hak mereka bersama yang harus dibagi sesuai

dengan ketentuan syara’. Untuk itu ulama fiqh sepakat mensyaratkan :

1.) Ijin dari ahli waris itu harus bersumber dari ahli waris yang telah

cakap bertindak hukum, yaitu baligh dan berakal serta mengetahui

adanya wasiat tersebut. Oleh sebab itu ijin atau kebolehan wasiat

dari ahli waris yang belum atau tidak cukup bertindak hukum tidak

sah.

2.) Ijin atau kebolehan wasiat dari ahli waris itu diungkapkan setelah

orang yang berwasiat meninggal dunia. Oleh sebab itu ijin atau

kebolehan dari ahli waris semasa hidup al-mushi tidak sah, karena

ada kemungkinan bahwa ijin mereka itu hanya bersifat semu, demi

menjaga perasaan al-mushi. Karenanya apabila ijin terhadap wasiat

itu diungkapkan ahli waris lain semasa al-mushi hidup, kemudian

41 Fatchurrahman, op.cit, hlm 61

Page 48: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

37

setelah al-mushi wafat, mereka membatalkan ijin atau kebolehan

wasiat itu, maka wasiat itu batal.42

42Abdul Aziz Dahlan et.al, op. cit., hlm. 1929

Page 49: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

37

BAB III

PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN

AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI WASIAT

KEPADA AHLI WARIS

A. Biografi Imam Malik

1. Riwayat Hidup Imam Malik

Imam Malik hidup pada tahun 716-795 M. Ahli dalam ilmu hadits

dan fiqh. Beliau dipandang sebagai perawi hadits Madinah yang paling

terpercaya dan sanad (sumbernya) paling siqah (terpercaya). Beliau

menguasai fatwa-fatwa Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar bin

Khattab dan Aisyah binti Abu Bakar serta muridnya.1

Beliau dilahirkan di kota Madinah daerah negeri Hijaz, dari

sepasang suami istri Anas bin Maliki dan St. Al Aliyah binti Syuraik bin

Abdurrahman bin Syuraik Al Azadiyah, bangsa Arab Yaman. Ayah Imam

Malik bukan Anas bin Maliki sahabat Nabi, tetapi seorang tabi’in yang

sangat minim sekali informasinya. Dalam buku sejarah hanya mencatat,

bahwa ayah Imam Malik tinggal di suatu tempat bernama Zulmarwah,

nama suatu tempat di padang pasir sebelah utara Madinah dan bekerja

sebagai pembuat panah. Walaupun demikian, beliau pernah mempelajari

sedikit banyak hadits-hadits Rasulullah.2

1Hafid Al Ansori, et.al., Ensiklopedi Islam, Jilid III, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hove,

Cet. Ke-3, 1994, hlm.142. 2M. Alfatih Suryadilaga (editor), Studi Kitab Hadits, Yogyakarta: Teras, 2003,hlm.

Page 50: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

38

Nama kecil Imam Malik adalah Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn

Malik ibn Abi Amir ibn Amr ibn al-Haris ibn Gaiman ibn Husail ibn Amr

ibn al-Haris al-Asbahi al-Madani. Dengan riwayat ini jelas bahwa beliau

adalah seorang keturunan dari bangsa Arab yang terhormat, berstatus

sosial tinggi, dari dusun Dzul Ashbah, sebuah dusun di kota Himayar dari

jajahan negeri Zaman.3

Imam Malik adalah salah seorang penulis ayat Al-Qur’an dan

Abdul Azis pernah meminta pendapatnya. Beliau bertempat tinggal di

Dzul Marwah, nama suatu tempat di padang pasir di sebelah utara

Madinah. Kemudian beliau tinggal di ‘Al-Akik buat sementara waktu

akhirnya beliau terus menetap di Madinah.4

Silsilah Imam Malik bin Anas adalah Imam Malik bin Anas bin

Malik bin Abi Amir bin Amru bin Ghaimah bin Huthail bin Amru bin Al

Haris dan beliau pendukung Bani Tamim ibn Murrah. Datuknya yang

kedua Abu Amir bin Amru salah satu sahabat Rasulullah SAW yang ikut

berperang bersama Rasulullah kecuali dengan perang Badar. Datuk Malik

yang pertama adalah Malik bin Amar dari golongan Taqrin, gelarnya

adalah Abu Anas.5

Imam Malik menikah dengan seorang hamba yang melahirkan

anak laki-laki (Muhammad, Hammad, Yahya) dan seorang anak

perempuan (Fatimah yang mendapat julukan Umm al-Mu’minin). Menurut

3Ibid. 4Dr. Ahmad Asy-Syurbasi, Al-Aimatul Arba’ah, terj. Drs. Sabil Huda, Drs. H.A. Ahmadi,

Sejarah Dan Biografi Empat Imam Mazhab, Jakarta: Bumi Aksara, 1993,hlm.72 5Hafid al Ansori, op .cit., hlm.139.

Page 51: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

39

Abu Umar, Fatimah termasuk di antara anak-anaknya yang dengan tekun

mempelajari dan hafal dengan baik kitab Al- muwaththa’.

Imam Malik menjadi seorang alim besar dan terkenal dimana-

mana setelah ijtihad atau buah penyelidikan beliau tentang hukum-hukum

keagamaan diakui dan diikuti oleh sebagian kaum muslimin, maka buah

ijtihad beliau itu dikenal oleh orang banyak dengan sebutan mazhab

Maliki.6

Imam Malik mengalami sakit selama dua puluh hari, pada malam

menghembuskan nafasnya yang terakhir, dengan secara kebetulan Bakar

Sulaiman Asy Syafwah bersama beliau. Imam Malik meninggal di

Madinah yaitu pada tanggal 14 bulan Robiul awal tahun 179 H. ada juga

yang berpendapat meninggal dunia pada tanggal 11;13;14 bulan Rajab.

Sementara An-Nawawi juga berpendapat beliau meninggal pada bulan

Safar, pendapat pertama adalah lebih termasyur, Malik di kebumikan di

Baqi kuburnya di pintu al Baqi.

2. Pendidikan Imam Malik

Beliau mempelajari ilmu pada ulama-ulama Madinah, di antara

para tabiin, para cerdik pandai dan para ahli hukum Islam. Beliau dididik

di tengah-tengah mereka itu sebagai seorang anak yang cerdas pikiran,

cepat menerima pelajaran, kuat ingatan dan teliti. Dari kecil beliau

membaca Al-Qur’an dengan lancar di luar kepala dan mempelajari pula

tentang sunah dan selanjutnya setelah dewasa beliau belajar kepada para

6Munawar Kholil, Biografi Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), Jakarta:

Bulan Bintang, 1977, hlm. 80.

Page 52: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

40

ulama dan fuqaha. Beliau menghimpun pengetahuan yang didengar dari

mereka, menghafalkan pendapat-pendapat mereka, menaqal atsar-atsar

mereka, mempelajari dengan seksama pendirian-pendirian atau aliran-

aliran mereka, dan mengambil kaidah-kaidah mereka sehingga beliau

pandai tentang semuanya itu.7

Imam Malik sering mengunjungi para syekh, sehingga Imam

Nawawi mencatat dalam kitabnya “Tahdzibul-Asma’ wal-Lughat” bahwa

ia berguru pada 900 syekh, 300 dari tabi’in dan 600 dari tabi’it tabi’in. Ia

juga berguru kepada syekh-syekh pilihan yang terjaga agamanya dan

memenuhi syarat-syarat untuk meriwayatkan hadist yang terpercaya.8

3. Guru-guru Imam Malik

Imam Malik dikarenakan putra seorang tabi’in yang terkenal dan

cucu seorang alim besar golongan tabi’in tertua. Maka sudah tentu beliau

terdidik suka kepada ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan ilmu

agama, lebih-lebih memang sejak menunjukkan bahwa beliau seorang

yang akan menjadi pemimpin besar lingkungan umat Islam.

Beliau menuntut ilmu pada ulama Madinah, orang pertama yang

menjadi tempat belajar adalah Abdurrahman bin Harmuz, Beliau tinggal

bersama Abdurrahman. Beliau juga belajar kepada Nafi’maula ibn Umar

dan Ibnu Syihab, Azzuhari. Adapun gurunya dalam fiqh adalah beliau

Robi’ah bin Abdurrahman yang terkenal dengan Rabi’ah Ar Ra’yu.9

7M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, cet ke-4, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002,

hlm. 195 8Dr. Ahmad Asy-Syurbasi, op. cit, hlm. 75. 9Ramli, Muqaranah Muzahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, hlm. 22-23.

Page 53: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

41

Para guru beliau selain dari pada empat yang tersebut itu, juga

masih banyak di antaranya adalah Imam Ibrahim bin Abi Hakim al

Madani, wafat pada tahun148 H, Imam Ismail bin Abi Hakim Al Madani,

wafat pada tahun 130 H, Imam Tsaur bin Zaid Ad Dalili, Wafat pada

tahun 135 H, Imam Humaidi bin Abu Humaid at Ta’wil, wafat pada tahun

143 H, Imam Daud bin Hasbin Al Amawy, wafat pada tahun139 H, Imam

Zaid bin Aslam Al Madany, wafat pada tahun 136 H, Imam Zaid bin Abi

Anisah, wafat pada tahun 135 H, Imam Salim bin Abi Umayah Al

Quraisyi, wafat pada tahun 129 H.10

4. Murid-Murid Imam Malik

Murid Imam Malik antara lain adalah Muhammad bin Hasan, Asy

Syaibani, As Syafi’i yang dikenal sebagai pendiri mazhab Syafi’i,

Abdullah bin Wahab (125-197 H) penulis Mudawanah al Kubra,

Abdullah Malik bin Habib as Sulami, Ismail bin Ishak, Asyhab bin Abdul

Aziz al Khaisy, Abdurrahman bin Kasim, Usman bin Hakam dan

Abdurrahim bin Khalid.

Selain di Mesir mazhab Maliki juga dianut umat Islam yang

berada di Maroko, Tunisia, Tripoli, Sudan, Bahrain, Kuwait, dan daerah

Islam lain di sebelah barat, termasuk Andalusia. Ibnu Rusyd yang di dunia

barat dikenal sebagai komentator dari Aristoteles termasuk pengikut Imam

10Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT

Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 89.

Page 54: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

42

Malik, sementara itu di dunia Islam sebelah timur mazhab Malik kurang

berkembang.11

5. Karya-karya Imam Malik

Imam Malik telah mengarang sebuah kitab yaitu Al Muwattha’.

Kitab tersebut berisikan kumpulan dari beberapa hadits yang dijadikan

bab-bab yang beliau anggap sebagai sandaran fiqih, dan sebagai landasan

ilmu bagi para pengikutnya. kitab Al Muwattha’ yang dikonfirmasikan

oleh As’ad bin Furot, kemudian beliau mengambilnya dari beberapa

bagian kitab tersebut dan beliau menertibkannya serta menyebarluaskan

dengan nama Al Mudawwanah al Kubro.12

Adapun isi yang terkandung didalam “al-Muwattha” yang

sekarang tersebar luas di seluruh dunia itu, menurut keterangan Imam Abu

Bakar Al Abhary adalah hadits-hadits dari Nabi SAW, dan atsar-atsar dari

pada sahabat serta para tabi’in sejumlah 1720 hadits. Hadits-hadits yang

sebanyak itu menurut penyelidikan para ulama ahli hadits adalah: 600

hadits yang musnad, 222 hadits yang mursal, 613 hadits yang mauquf dan

285 yang dari perkataan para tabi’in.13

Hadits-hadts yang sekian banyaknya itu, yang dari Imam Malik

sendiri ada sejumlah 1005 hadits, dan yang selain dari jalan beliau, ada

175 hadits dan di antaranya yang dari jalan Imam Hanafi ada 13 hadits,

yang selainnya lagi adalah: dari jalan yang selain dari kedua imam itu.

11Ibid, hlm. 90. 12Huston Smith, Ensiklopedi Islam Cyril Alasse, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-3,

2002, hlm. 250. 13 Munawar Kholil, op.cit, hlm 142.

Page 55: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

43

Imam Malik dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu khususnya ilmu

hadits dan fiqh tentang penguasaannya dalam hadits beliau sendiri pernah

mengatakan, aku telah menulis dengan tanganku sendiri 100.000 hadits.14

B. Metode Istinbath Hukum Imam Malik

Sebagaimana ditegaskan oleh Abū Sulaiman (ahli usul fiqih

berkebangsaan Arab Saudi), bahwa ushul fiqih sebagai metode instinbat

dalam pembentukan hukum fiqih. Baru dibukukan sebagai satu disiplin ilmu

pada periode Syafi’i menjadi Mujtahid, itu berarti pada periode Imam Malik

ibn Anas menjadi mujtahid uşul fiqih baru ada dalam praktek, belum tersusun

secara sistematis dalam sebuah buku. Meskipun demikian dari karya-karya

Imam Malik ibn Anas seperti Al-Muwaţţa’ (kitab hadit) dan Al Mudawwanah

Al-Kubra (kitab fiqih), oleh murid-murid dan pengikutnya disimpulkan

metode istinbatnya secara sistematis. Seperti halnya menurut para pendiri

madhab fiqih lainnya.

Mengenai metode istinbat hukum madhab Malik telah dijelaskan oleh

al-Qadi Iyad dalam kitabnya “Al Madaarik dar ar-Rasid, dan juga salah

seorang fuqaha Malikiyah dalam kitabnya al Bahjah yang disimpulkan oleh

pengarang kitab Tarih al-Madahibil Islamiyyah sebagai berikut :

وخالصة ماذآره هذان العالمان وغيرهما أن منهاج إمام دار الهجرة انه يأخذ بكتاب اهللا تعالى أوال، فإن لم يجد فى آتاب اهللا

عنده أحاديث رسول . تعالى نص اتجه إلى السنة ويدخل فى السنة

14Ramli, op cit, hlm. 24.

Page 56: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

44

اهللا صلم، وفتاوي الصحابه وأقصيتهم وعمل أهل المدينة، ومن .لقياسبعد السنة بشتى فروعها يجرا

Artinya : “Kesimpulan apa yang telah dikemukakan oleh kedua ‘ulama’ ini dan yang lainnya, bahwasannya metode ijtihad Imam Darul Hijriyah itu adalah : bahwa beliau tidak mendapatkan sesuatu naš di dalamnya maka beliau mencarinya di dalam sunnah, dan menurut beliau masih termasuk kepada kategori sunnah perkataan Rasulullah, fatwa-fatwa para sahabat, putusan hukum mereka dan perbuatan penduduk Madinah, dan setelah sunnah dengan berbagai cabangnya barulah datang (dipakai) qiyas.15

Walaupun para ‘ulama’ hadits yang ditemui oleh Malik ibn Anas

termasuk kelompok ‘ulama’ tradisional yang menolak pemakaian akal dalam

kajian hukum, namun pengaruh Rabi’ah dan Yahya bin Sa’id tetap kuat pada

corak kajian fiqihnya. Hal ini dapat dilihat pada metodologi kajian hukum

madzhab Malik yang bersumber pada : Al-Qur’an, As-Sunnah, Tradisi

Masyarakat Madinah, Fatwa Sahabat, Qiyas, Maslahah al Mursalah, Ihtisan,

Al Saddu al-Dara’i.

Sedangkan menurut Muhammad Hasbi ash-Shidieqy mengatakan bahwa

Malik ibn Anas mendasarkan fatwanya kepada : Kitabullah, Sunnah Rasul

yang beliau pandang sahih, ‘Amal ahl al-Madinah., Qiyas, Istihsan.16

Menurut As-Satibi dalam kitab al-Muwafaqat menyimpulkan dasar-

dasar Malik ibn Anas ada 4 yaitu ; al-Kitab, as-Sunnah, al-Ijma’, ar-Ra’yu.

Qaul sahabat dan ‘Amal ahl al-Madinah digolongkan dalam as-Sunnah,

sedangkan ar-Ra’yu meliputi, maslahat al-mursalah, saddu al-dara’i, adat

(urf), istihsan dan istishab.

15Imam Muhammad Abu Zahrah, Tārih al-Madāhibil Islāmiyyah, Juz II, Bairut: Darul

Fikri, 1986, hlm. 432 16Teungku Muhammad Hasbi Ash-Siddieqy, ibid, hlm. 88

Page 57: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

45

Secara garis besar dapat disimpulkan dasar-dasar Imam Malik yang

dijadikan pedoman dalam menetapkan suatu hukum terhadap suatu

permasalahan yang timbul dalam masyarakat adalah :

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kalam Allah semuanya. Semua ulama

menggunakan Al-Qur’an sebagai pegangan utama untuk mengambil suatu

hukum, dan di situ pula keutuhan Al-Qur’an dalam kebenaran benar-benar

terpelihara sebagaimana firman Allah Swt:

)9: الحجر ( إنا نحن نزلنا الذآر وإنا له لحافظونArtinya : “Sesungguhnya kami telah menurunkan Al-Qur’an dan

sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya” (Qs. Al Hijr : 9).17

2. As-Sunah

As-Sunah merupakan sumber hukum yang sederajat lebih rendah

dari pada Al-Qur’an. Artinya adalah bahwa seorang mujtahud dalam

menetapkan hukum sustu peristiwa tidak akan mencari dalam As-Sunah

lebih dahulu, kecuali bila ia tidak mendapatkan ketetntuan hukumnya di

dalam Al-Qur’an.18

As-Sunah yang merupakan dasar hukum Islam yang kedua. perlu

dipergunakan karena segala perbuatan Nabi sesuai dengan Al-Qur’an dan

jikalau tidak ada ayat Al-Qur’an maka sunahnya yang menjadi penjelas

17Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: PT Toha Putra, 1995,

hlm. 391. 18Mukhtar Yahya, Fatchurrohman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung,:

Al- Ma’arif, 1986, hlm. 44.

Page 58: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

46

Al-Qur’an, karena memang juga tidak di dapat dalam Al-Qur’an.19

Mengikuti sunah Rasul itu adalah wajib, sesuai dengan firman Allah:

ال (قل أطيعوا اهللا والرسول فإن تولوا فإن اهللا ال يحب الكافرين )32: عمران

Artinya: “Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya jika kamu

berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir"(Ali Imran ayat: 32).20

من يطع الرسول فقد أطاع اهللا ومن تولى فما أرسلناك عليهم

)80: النساء (حفيظا Artinya:“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah

menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”( An Nisa’ ayat: 80).21

Mengikuti sunah merupakan kewajiban bagi orang Islam, sebagai

sumber hukum Islam tidak hanya legislasi Al-Qur’an saja yang telah

memberi petunjuk tetapi juga sunah.22

Dalam pemakaian as-Sunnah ini, Imam Malik lebih

mengutamakan sunnah mutawawtir, kemudian yang mashur, sedang

hadist-hadist ahad akan ia tinggalkan seandainya bertentangan dengan

tradisi masyarakat Madinah. Tetapi seandainya tidak bertentangan dari

norma-norma adat masyarakat Madinah itu tidak memberikan jawaban

apa-apa terdapat persoalan-persoalan yang dihadapinya, maka akan

digunakan hadist ahad sejauh ma’mul bih.

19Ali Abdul Halim Mahmud, Fikih Risponsibilitas Tanggung Jawab Muslim dalam Islam,

Jakarta: Gema Insani, Cet. Ke-2, 2000, hlm. 52. 20Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 80 21Ibid, hlm. 132. 22Teungku Muhammad Hasby Asy Shiddiqi, Pengantar Ilmu Fiqih, Semarang: PT Pustaka

Rizqi Putra, 1999, Cet ke-2, hlm. 183.

Page 59: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

47

3. Ijma’

Sedangkan mengenai Ijma’ Imam Malik adalah:

قول عليه مااجتمع فهو عليه المجتمع وما آان فيه االمر فيه يختلفوا لم والعلم اهل الفقه

Artinya :”Dan sesuatu urusan yang telah di ijmai, maka Beliau telah di ijma’i oleh ahli fikih dan para ahli ilmu, mereka tidak berselisih didalamnya”.23

Ijma’ adalah persetujuan pendapat ahlu halli wal aqli dari umat ini,

terhadap suatu urusan dari urusan itu.24 Kehujjahan ijma’ adalah:

a. Pertama adalah :

ياأيها الذين ءامنوا أطيعوا اهللا وأطيعوا الرسول وأولي األمر م في شيء فردوه إلى اهللا والرسول إن آنتم منكم فإن تنازعت

النساء ك (تؤمنون باهللا واليوم اآلخر ذلك خير وأحسن تأويال 59(

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. ( An Nisa’:59) .25

Sebagaimana dalam Al-Qur’an Allah telah memerintahkan

orang-orang yang beriman untuk mentaati Allah dan para Rasulnya

serta para Ulil Amri, lafal al amru berarti suatu urusan dan Beliau

adalah umum yang meliputi urusan Agama dan duniawi. Ulil amri

23Teungku Muhammad Hasby Asy shiddiqi, Pokok–Pokok pegangan Imam Antar

Madzhab, Semarang: PT Pustaka Rizqi Putra, 1997, cet ke-1, hlm. 209. 24Ibid. hlm. 209. 25Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 128.

Page 60: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

48

dunia adalah para Raja, para amir dan para penguasa. Sedangkan Ulil

amri agama adalah para Mujtahid dan para ahli fatwa.26

b. Sebagaimana sabda Nabi Saw :

ما راه المسلمون حسنا فهوعند اهللا حسنArtinya: “Apa yang dipandang Umatku sebagai kebaikan maka di sisi

Allah adalah baik”.27

Hukum yang disepakati oleh pendapat seluruh mujtahid umat

islam pada hakekatnya adalah hukum umat islam yang diwakili oleh

para mujtahid mereka. Perbedaan pendapat mereka merupakan dalil.

Bahwasanya kesatuan kebenaran itulah yang menghimpun kalimat

mereka dan mengalahkan hal-hal yang menyebabkan mereka berbeda

pendapat.28

4. Amal Ahlu Madinah

Imam Malik menggunakan amal ahli madinah sebagai hujjah yang

setara dengan As-Sunnah dan inilah yang dimaksudkan dengan “al-Amrul

mujtama indana” sebagaimana mengikuti gurunya Imam Malik.

Sebagaimana pendapat Beliau

29 الف عن الف خيرمن واحدعن واحدArtinya: “Seribu orang mengambil dari seribu orang lebih baik dari

seorang mengambil dari seorang”.

Menurut Imam Malik apa yang di ijma’ oleh ulama Madinah tidak

ditentang oleh para ulama, Amal ahlul Madinah yang dimaksud Imam

Malik didahulukan atas khabar (hadist) ahad.30

26Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semaraang: Dina Utama, 1994, hlm. 58-59. 27Teungku Muhammad Hasbi Ash Siddieqy, loc. cit 28Abdul Wahhab Khalaf, op.cit, hlm. 60 29Ibid

Page 61: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

49

Dengan ringkas, tidak dapatlah kita mengritik Malik yang

menghargai amal ahlu Madinah apabila yang di ijma’ itu berdasarkan atas

apa yang mereka nukilkan itu, Itulah yang diterima oleh semua ulama’

mengenai ijma’ ulama Madinah, Masalah yang di istinbathkan ada 3

riwayat:

a. Imam Malik tidak memandang sebagai hujjah

b. Imam Malik tidak memandangnya sebagai hujjah tetapi ijma’ amal

ahlul Madinah bisa dijadikan penguat

c. Imam Malik memandangnya hujjah, pendapat ini diambil sebagian

ulama makkiyyah, karena amal ahli Madinah yang bersandar naqal

didahulukan atas hadits ahad.31

5. Qaul/ Fatwa Sahabi

Para sahabat itu adalah termasuk orang yang membantu

menyampaikan risalah Allah, mareka tahu sebab-sebab turunnya ayat-ayat

Al-Qur’an (walaupun tidak semua sahabat mengetahuinya), mereka lama

bergaul dengan Rasulullah, sehingga mereka tahu bagaimana kaitan hadis

Nabi dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang di turunkan itu.

Imam Malik adalah seorang imam yang mempelajari fatwa-fatwa

sahabat dan mengumpulkannya dan menjadikan dasar mazhabnya.

Dengan tegas Imam Malik mengharuskan seorang mufti mengambil fatwa

sahabat. Beliau berpendapat bahwa yang dikatakan sunah adalah sesuatu

yang diamalkan oleh para sahabat. Ada dua Sahabat yang dipegang Imam

30Teungku Muhammad Hasbi Ash Siddieqy, op .cit., hlm. 212. 31Ibid, hlm. 104.

Page 62: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

50

Malik yaitu Abu Bakar as Siddiq dan pendapat Umar Bin Khattab saja.

Ringkasnya Imam Malik menghargai pendapat para sahabat.32

Imam Malik juga beranggapan bahwa qaul sahabat harus

didahulukan dari pada Qiyas.

6. Qiyas

Qiyas dalam fiqih adalah الحاق امرغير منصوص على حكمه بامراخرمنصوص على

بينهما مشترآت فهيما الحكمه لعله جامعت

Artinya: “Menghubungkan suatu urusan yang tidak dinasahkan hukumnya dengan suatu urusan yang lain dinasahkan hukumnya, karena ada illat yang mengumpulkan antara keduanya yang bersekutu padanya”.33

Al-Qur’an dan as sunah bahkan akal membenarkan prinsip-prinsi

qiyas ini. Para sahabat mempergunakan qiyas dalam mengeluarkan hukum

yang mereka tidak temukan zahir Al-Qur’an dan sunah. Lalu disamakan

hukumnya dengan hukum yang tidak dinashkan yang sama illatnya.34

Imam Malik sedikit menggunakan Qiyas, karena beliau lebih

mengutamakan penggunaan Amal Ahlu Madinah dan Qaul sahabat yang

di pandang sahih.

7. Maslahah mursalah

32Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit, hlm. 184. 33Ibid 34Teungku Muhammad Hasbi Ash Siddieqy, op. cit., hlm. 214-215.

Page 63: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

51

Adalah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’,

suatu hukum untuk mewujudkannya dan tidak pula terdapat suatu dalil

yang memerintahkan untuk mengantikannya atau mengabaikannya.35

Imam Malik menggunakan maslahatul mursalah apabila tidak ada

nash Qur’ani atau hadis an Nabawi, karena syara’ itu tidak datang kecuali

untuk kemaslahatan manusia, Setiap masalah syara’ mengandung

kemaslahatan, tanpa ada keraguan. Apabila tidak ada nash, maka masalah

yang hakiki itu memenuhi tahap tujuan (maqasid) syara’.36

8. Istihsan

Istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan Qiyas

yang Jalli (nyata) kepada tuntutan Qiyas yang khofi (samar) atau dari

hukum kulli (umum) kepada hukum yang istisna’ (pengecualian) ada yang

menyebabkan beliau mencela akalnya dan memenangkan perpalingan

ini.37 Imam Malik dalam berijtihad itu menggunakan istihsan. Imam Malik

tidak menjadikan istihsan sebagai kaidah, tetapi dijadikan sebagai dasar

pengecualian dalam kaidah

Ulama Malik menghindari pemakaian qiyas yang berlebihan

dengan jalan kembali kepada urf (adat kebiasan) dan kepada prinsip

menolak kepicikan dan menolak kesukaran. Dalam pendapat Imam Malik

kebanyakan itu adalah mengikuti sahabat Umar yaitu lebih

35Abdul Wahab Khallaf, op .cit., hlm. 116. 36Teungku Muhammad Habsi Asy-Syiddieqy, op. cit., hlm. 222. 37Abdul Wahab Khallaf, op.cit, hlm. 110.

Page 64: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

52

mengedepankan istihsan dari pada qiyas sedangkan qiyas itu adalah

pendapat sahabat Ali.38

Dalam pendapat Imam Malik, istihsan itu berarti melaksanakan

sesuatu berdasarkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil yang umum.

9. Istishab

Istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan

keadaan yang sebelumnya sehingga ada dalil yang menunjukkan atas

perubahan keadaan tersebut atau Beliau menetapkan hukum yang telah

tetap pada masa yang lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga

ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya.39 Istishab ini berdasarkan

kaedah :

ان اال صل في اال شياء اال باحهArtinya: “Sesungguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah

dibolehkan”.40

10. Syadud Dzara’i

Secara lughah adalah dzariah artinya wasilah (perantara) dan

syadudzara’i adalah menyumbat wasilah.41

Dasar istinbath ini banyak dipakai Imam Malik, banyak dijumpai

masalah furu’iyyah yang dinukil darinya yaitu sarana yang membawa

pada hal-hal yang diharamkan, maka akan menjadi haram pula, sarana

yang menyampaikan pada yang halal maka hukumnya adalah halal sesuai

38Yusuf al Qardhawi, Fiqh Praktis Bagi Kehidupan Modern, Jakarta: Gema Insani, Cet. I,

2002, hlm. 71-72. 39Abdul Wahhab Khalaf, Ibid, hlm. 127. 40Abdul Wahab Khallaf, loc, cit 41Teungku Muhammad Hasby Asy Shiddiqi, Loc. cit.

Page 65: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

53

dengan tuntutan kehalalannya, begitu pula yang membawa kemaslahatan

adalah haram. Beliau membagi kerusakan (mafsadat) menjadi empat:

1. Sarana yang secara pasti membawa kepada kerusakan

2. Sarana yang diduga kuat ajakan mengantarkan pada kerusakan

3. Sarana yang jarang sekali membawa kerusakan

4. Sarana yang banyak sekali mengantarkan kepada kerusakan tetapi

tidak dipandang umum.42

11. Urf (adat kebiasaan)

Adalah apa yang menjadi kebiasaan masyarakat dan dijadikan

jalannya terus menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan.43

Adat yang sah bagi mujtahid, wajib diperhatikan sebagai bahan

pertimbangan untuk penetapan hukumnya. Dalam kaidah fiqh dikatakan:

العادة شريعة محكمةArtinya: “Adat kebiasaan itu menjadi aturan hukum yang di kokohkan”.44

Dalam adat kebiasaan, Imam Malik lebih cenderung menggunakan

urf yang sholih yang di situ menjadi kebiasaan penduduk Madinah.

Namun metode istinbath yang sering di gunakan Imam Malik

yaitu: Al-Qur’an, As-Sunnah, Aml Ahli Madinah, Fatwa Sahabat, Qiyas,

Maslahah Mursalah, Istihsan, dan Saddu al-Dari’.

42Ibid, hlm. 229-230 43Abdul Wahab Khallaf, op .cit., hlm. 723. 44Masyfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syari’at, cet.1, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1987,

hlm. 87

Page 66: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

54

C. Pendapat Imam Malik Tentang Pencabutan Ijin Ahli Waris Terhadap

Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris

Dalam kitab Al-Muwaththa’ yang diriwayatkan oleh Yahya

dikemukakan sebagai berikut:

. السنة الثابة عندنا التى ال اختالف فيها: وسمعت مالكا يقول : قال وانه ان . اال ان يجيز له ذلك ورثة الميت. انه التجوز وصية لوارث

ومن أبى ، . جاز له حق من اجاز منهم. وأبى بعض. اجاز له بعضهم 45. اخذ حقه من ذلك

Artinya : Yahya berkata: aku telah mendengar Malik berkata: hukum yang tetap menurutku yang tidak diperselisihkan, adalah tidak dibolehkan wasiat kepada ahli waris, kecuali jika ahli waris si mayit membolehkan (ijin), apabila sebagian ahli waris memberi ijin dan sebagian tidak, maka wasiat boleh dilaksanakan dengan memperhatikan hak-hak mereka dan hak-hak orang yang tidak memperbolehkan, hak-haknya dipenuhi.

Seperti yang telah dibahas dalam bab sebelumnya mengenai hukum

wasiat kepada ahli waris. Imam Malik juga membolehkanya, berwasiat

kepada ahli waris, jika ahli waris yang lain memberikan ijin kepada pewasiat.

Dan persetujuan tersebut harus diperoleh ketika pemberi wasiat masih hidup.

Namun menurut Imam Hanafi persetujuan haruslah diperoleh setelah si

pemberi wasiat meninggal dunia, tapi ada juga yang berpendapat bahwa

persetujuan ahli waris tersebut tidaklah penting, persetujuan tersebut boleh

diperoleh ketika pemberi wasiat masih hidup atau setelah meninggal dunia.

Dalam penjelasan lebih lanjut Imam Malik membedakan pemberian

ijin yang diberikan ahli waris tersebut dalam dua keadaan atau situasi, yaitu

ketika pewasiat dalam keadaan sakit atau sehat. Seperti berikut:

45Imam Malik bin Anas, al-Muwatho’, Beirut: Darul Ihya’ al-‘Ulum, t.th., hlm. 582

Page 67: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

55

وسمعت مالكا يقول فى المريض الذى يوصي، فيستأذن ورثته : قال فيأذنون له ان . فى وصيته وهو مريض ، ليس له من ماله اال ثلثه

انه ليس لهم ان يرجعوا فى : بأآثر من ثلثه يوصي لبعض ورثته 46. ذلك

Artinya : (Yahya) berkata: aku mendengar Imam Malik berpendapat tentang orang sakit yang berwasiat para ahli warisnya mengijinkan wasiatnya dalam keadaan sakit, yang tidak punya hak atas hartanya ketika dia (pewasiat) sakit, padahal dia hanya mempunyai harta tinggal sepertiga, para ahli waris mengijinkannya untuk berwasiat kepada sebagian ahli waris yang lain lebih dari sepertiganya (ia berpendapat para ahli waris tersebut tidak boleh menarik kembali ijinnya).

Imam Malik berpendapat bahwa seseorang yang sakit (dalam hal ini

sakit yang mengakibatkan kematian) yang akan membuat wasiat dan ia hanya

mengatur sepertiga hartanya, bermaksud akan memberikan wasiat kepada ahli

warisnya, dan ahli waris yang lain telah memberikan ijin, maka ijin tersebut

tidak dapat dicabut kembali setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Dengan

alasan si pemberi wasiat tidak mengurangi bagian atau hak-hak ahli waris

terhadap harta peninggalan si pemberi wasiat, dia hanya memberikan

sepertiga (1/3) yang merupakan hak atas dirinya. Jika mereka (ahli waris)

dibolehkan mencabut ijin yang telah diberikan, setiap ahli waris akan

melakukan hal yang sama, dan ketika pemberi wasiat meninggal dunia,

mereka akan mengambil hak itu untuk diri mereka (ahli waris) sendiri. dan

dapat mencegah hak wasiat sepertiga (1/3) harta yang merupakan hak bagi

pewasiat tersebut.

فأما ان يستأذن ورثته فى وصية يوصى بها لوارث فى صحته، : قال 47. ولورثه ان يردوا ذلك ان شأوا. فيأذنون له فإن ذلك ال يلزمهم

46Ibid. 47Ibid

Page 68: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

56

Artinya : (Imam Malik) berkata: apabila para ahli waris telah mengijinkan kepada yang memberi wasiat dalam keadaan sehat untuk berwasiat kepada ahli waris kemudian mereka mengijinkannya, sesungguhnya hal itu tidaklah mengikat mereka , maka para ahli waris dapat mencabut ijinnya sewaktu-waktu mereka mengijinkannya.

Pendapat diatas menjelaskan bahwasanya ketika pemberi wasiat

berwasiat kepada ahli warisnya dalam keadaan ia sedang sehat, dan ahli waris

yang lain mengijinkan, maka perijinan tersebut tidaklah mengikat. Para ahli

waris dapat mencabut atau membatalkan jika mereka mau. Menurut Imam

Malik jika seseorang sedang sehat, ia lebih berhak atas hartanya. Ia dapat

menggunakan, menyedekahkan atau memberikannya kepada siapapun yang ia

mau. Permohonan ijin yang dilakukan pemberi wasiat bertujuan agar ahli

waris mengetahui adanya wasiat tersebut dan ketika mereka memberikan ijin,

kekuasaan atas seluruh harta pemberi wasiat tertutup baginya dan tidak

diperbolehkan berwasiat lebih dari sepertiga(1/3).

Page 69: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

57

BAB IV

ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG

PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI WASIAT

KEPADA AHLI WARIS

A. Analisis Pendapat Imam Malik tentang Pencabutan Ijin Ahli Waris

terhadap Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris

Seperti yang telah penulis bahas dalam Bab III, bahwa pendapat Imam

Malik tentang pencabutan ijin ahli waris dibedakan menjadi dua keadaan atau

situasi pemberi wasiat pada saat ijin tersebut diberikan. Namun sebelumnya

penulis akan menganalisis pendapat Imam Malik tentang wasiat kepada ahli

waris.

Dalam kitab al-Muwaththa’ yang diriwayatkan oleh Yahya, Imam

Malik berpendapat:

. السنة الثابة عندنا التى ال اختالف فيها: وسمعت مالكا يقول : قال وانه ان . اال ان يجيز له ذلك ورثة الميت. انه التجوز وصية لوارث

ومن أبى ، . اجاز منهمجاز له حق من. وأبى بعض. اجاز له بعضهم 1.اخذ حقه من ذلك

Artinya : Yahya berkata: aku telah mendengar Malik berkata: hukum yang tetap menurutku yang tidak diperselisihkan, adalah tidak dibolehkan wasiat kepada ahli waris, kecuali jika ahli waris si mayit membolehkan (ijin), apabila sebagian ahli waris memberi ijin dan sebagian tidak, maka wasiat boleh dilaksanakan dengan memperhatikan hak-hak mereka dan hak-hak orang yang tidak memperbolehkan, hak-haknya dipenuhi.

1Imam Malik bin Anas, Al-Muwaththa’, Bairut: Darul Ihya’ Al-Ulum, tth, hlm. 582

Page 70: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

58

Berdasarkan pendapat diatas, jelas bahwa Imam Malik membolehkan

wasiat kepada ahli waris, jika mendapatkan ijin dari ahli waris yang lainnya.

Pendapat beliau berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Amru bin

Syu’aib sebagai berikut:

عن عمرو بن شعيب عن ابيه عن جده ان النبى صلىاهللا عليه وسلم 2) رواه الدارقطنى(الوصية لوارث اال ان يجيز الورثة : قال

Artinya : “Nabi Saw. bersabda: tidak ada wasiat untuk ahli waris kecuali diperbolehkan oleh ahli waris lainnya” (HR. Ad. Daru Quthny).

Apabila sebagian ahli waris memberikan ijin dan sebagian lainnya

tidak memberikan ijin, maka wasiat tersebut tetap harus dilaksanakan. Karena

wasiat merupakan keinginan terakhir pemberi wasiat sebelum meninggal dan

sebagai tujuan untuk menyempurnakan ibadahnya disaat dia hidup. Untuk ahli

waris yang tidak memberikan ijin, maka hak-haknya harus dipenuhi. Ijin

tersebut harus diperoleh ketika pemberi wasiat masih hidup.

Dalam wasiat kepada ahli waris ini para ulama berbeda pendapat, Ibn

Hazm dan sebagian ulama Makkiyah secara mutlak menolak wasiat kepada

ahli waris, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmizi dari Abu

Umamah, berkata: ia mendengar Rasulullah SAW berkutbah pada tahun haji

wada’:

لم سمعت رسول اهللا صلى اهللا عليه وس: عن ابى امامة الباهلى قال رواه (إن اهللا قد اعطى آل ذى حق حقه، فال وصية لوارث، : يقول

3 )احمد واالربعة اال النسائ، وحسنه احمد والترمذىArtinya : Dari Abu Umamah al-Bahilli ia berkata : Saya ,mendengar

Rasulullah saw bersabda sesungguhnya Allah telah memberikan hak setiap orang yang memiliki hak. Oleh karena itu tidak ada wasiat

2T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, cet I, Semarang: Petraya

Mitrajaya, 2001, hlm. 346 3Hafidh bin Hajar al-‘Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Dar al-‘Ulum, t.th., hlm. 199

Page 71: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

59

bagi ahli waris” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudzi dan Ibnu Majah)

Hadits di atas yang menjelaskan bahwa tidak adanya wasiat bagi ahli

waris (الوصية لوارث) dilihat dari sisi sanadnya, Hadits ini bermuara pada

beberapa sahabat, seperti Abi Hurairah melalui jalur Al-Baihāqi, Ibnu Majah

dan Al-Bazzār. Sedangkan dari matan Hadits menurut Al-Baihāqi, bahwa

matan Hadits ini adalah mutawatir, bahkan ulama Malikiyah mengatakan

bahwa Hadits ini menasakh ketentuan surat al-Baqarah ayat 180, tentang

wasiat yang diberikan kepada kedua orang tua dan kerabat.

Pendapat lain mengatakan bahwa ayat ini “dinaskh” bagi orang yang

menerima warisan.Ibnu Katsir mengungkapkan bahwa apa yang ditemukan

oleh mereka itu bukan naskh, karena itu ayat waris yang hanya

menghilangkan ketentuan bagi beberapa individu yang ditentukan oleh

keumuman ayat wasiat, sebab kata kerabat itu lebih universal dari pada kata

ahli waris. Dan menetapkan bukan ahli waris seperti ditunjukkan oleh ayat

pertama.4

Sebagian ulama menilai bahwa ayat yang menjelaskan tentang wasiat

adalah untuk kedua orang tua dan kerabat yang bukan ahli waris itu boleh

dilaksanakan tetapi makruh hukumnya. Sedangkan al-Hasan dan Tawus

berpendapat bahwa wasiat kepada selain keluarga ditolak. Ishaq juga

mengemukakan pendapatnya seperti di atas, Golongan ini berdasarkan firman

Allah SWT. :

4Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Tafsir Al-Aliyyah Qodir Li Ikhtisar Tafsir Ibnu Kasir, jilid I,

terj. Syihabudin, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Kasir, Jakarta: Gema Insani Pres, 1999, hlm.283.

Page 72: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

60

آتب عليكم إذا حضر أحدآم الموت إن ترك خيرا الوصية )180: البقرة (للوالدين واألقربين بالمعروف حقا على المتقين

Artinya :“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya dengan cara yang baik. Ini adalah kewajiban orang yang bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqarah : 180) 5

Huruf alif lam (al) pada kata-kata al-Walidain dan al-aqrabin berarti

pembatasan, yaitu pembatasan kepada kedua golongan yang tersebut dalam

ayat yaitu orang tua dan kerabat.6

Sebenarnya apabila kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa

pada permulaan Islam wasiat itu hukumnya sunnah sebelum dinaskh, maka

persoalan akan menjadi sederhana. Kewajiban wasiat kepada Ibu Bapak dan

kerabat yang merupakan ahli waris dinaskh oleh ijma’, bahkan hal itu dilarang

berdasarkan hadits yang dikemukakan diatas: “Sesungguhnya Allah telah

memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya, maka tidak

ada wasiat bagi ahli waris”.

Golongan lain yang membolehkan wasiat kepada ahli waris, jika

diperbolehkan ahli waris lain yaitu madzhab Syafi’iyah dan madzhab

Hanafiyah.7 Menurut madzhab Imamiyah bahwa wasiat boleh untuk ahli waris

maupun bukan ahli waris dan tidak tergantung pada persetujuan para ahli

waris lainnya, sepanjang tidak melebihi sepertiga harta warisan.

5 Departemen Agama RI, al-qur’an dan terjemahannya, Semarang: PT Toha Putra, 1995,

hlm. 44 6Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, loc. cit. 7Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet IV, 2000,

hlm 452-453

Page 73: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

61

Dalam KHI Pasal 195 ayat 3 menyatakan bahwa wasiat kepada ahli

waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. Jadi pada dasarnya

wasiat kepada ahli waris telah disepakati oleh para ulama. Namun semua itu

haruslah mendapat ijin dari ahli waris lainnya.

Mengenai pemberian ijin yang telah diberikan ahli waris tersebut,

ulama fiqh mensyaratkan sebagai berikut:

a. Ijin dari ahli waris itu harus bersumber dari ahli waris yang telah cakap

bertindak hukum, yaitu baligh dan berakal, serta mengetahui adanya

wasiat tersebut.

b. Ijin atau kebolehan wasiat dari ahli waris itu diungkapkan setelah orang

yang berwasiat meninggal dunia..8

Dalam penjelasan lebih lanjut bahwa Imam Malik membedakan

pemberian ijin ahli waris dalam dua keadaan atau situasi pemberi wasiat pada

saat ijin tersebut diberikan. Dalam kitab al-muwaththa’ dijelaskan sebagai

berikut:

وسمعت مالكا يقول فى المريض الذى يوصي، فيستأذن ورثته : قال فيأذنون له ان . فى وصيته وهو مريض ، ليس له من ماله اال ثلثه

انه ليس لهم ان يرجعوا فى : يوصي لبعض ورثته بأآثر من ثلثه 9. ذلك

Artinya : (Yahya) berkata: aku mendengar Imam Malik berpendapat tentang orang sakit yang berwasiat para ahli warisnya mengijinkan wasiatnya dalam keadaan sakit, yang tidak punya hak atas hartanya ketika dia (pewasiat) sakit, padahal dia hanya mempunyai harta tinggal sepertiga, para ahli waris mengijinkannya untuk berwasiat kepada sebagian ahli waris yang lain lebih dari sepertiganya (ia

8Abdul Aziz Dahlan et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, cet I, Jakarta: Ikhtiar Baru Van

Houven, 1996, hlm 192. 9Imam Malik bin Anas, loc. cit..

Page 74: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

62

berpendapat para ahli waris tersebut tidak boleh menarik kembali ijinnya)

فأما ان يستأذن ورثته فى وصية يوصى بها لوارث فى : قال

ولورثه ان يردوا ذلك ان . فإن ذلك ال يلزمهم. صحته، فيأذنون له 10. شأوا

Artinya : (Imam Malik) berkata: apabila para ahli waris telah mengijinkan kepada yang memberi wasiat dalam keadaan sehat untuk berwasiat kepada ahli waris kemudian mereka mengijinkannya, sesungguhnya hal itu tidaklah mengikat mereka , maka para ahli waris dapat mencabut ijinnya sewaktu-waktu mereka mengijinkannya.

Berdasarkan pendapat Imam Malik diatas, yang pertama bahwa ketika

orang sakit (yang mengakibatkan kematian) berwasiat kepada ahli warisnya

dengan sepertiga (1/3) hartanya ataupun lebih dan ahli waris lain telah

memberikan ijin atas hal tersebut, maka setelah pemberi wasiat meninggal

dunia ijin tersebut tidak boleh di cabut kembali.

Dalam suatu riwayat yang diriwayatkan oleh penganut madzhab

maliki bahwasanya Imam Malik berpendapat demikian dikarenakan ahli waris

yang diberi wasiat tersebut dalam keadaan miskin dibandingkan dengan ahli

waris yang lainnya. Permintaan ijin tersebut bertujuan agar ahli waris lain

mengatahui adanya wasiat tersebut. Wasiat kepada ahli waris yang dalam

kondisi kekurangan atau miskin dianjurkan karena meninggalkan ahli waris

dalam keadaan berkecukupan lebih baik dari pada dalam keadaan kekurangan.

Berdasarkan alqur’an Q.S.An-nisa’: 9, sebagai berikut:

وليخش الذين لو ترآوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا )9:النساء.(اهللا وليقولوا قوال سديدا

Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang

10Ibid.

Page 75: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

63

lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.(QS. An-Nisa’ : 9).11

Dan juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash

sebagai berikut:

ان تدر ورثتك اغنياء خير من ان تدعهم عالة يتكففون الناسArtinya: ”Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan

berkecukupan lebih baik dari pada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan sulit serta meminta-minta kepada arang lain”.

Disamping itu pemberi wasiat tidak mengurangi hak-hak ahli waris

terhadap harta peninggalan si pemberi wasiat. Dia hanya memberikan

sepertiga (1/3) hartanya yang merupakan hak atas dirinya. Jika ahli waris yang

memberikan ijin tersebut diperbolehkan mencabut ijinnya, setiap ahli waris

akan melakukan hal yang sama, dan ketika pemberi wasiat meninggal dunia,

mereka akan mengambil hak itu untuk mereka (ahli waris) sendiri. Dan dapat

mencegah hak wasiat sepertiga (1/3) harta yang merupakan hak bagi pemberi

wasiat.

Pendapat Imam Malik ini berbeda dari ulama lainnya.Ulama madzhab

Az-Zahiri dan Abi Ibrahim Ismail bin Yahya Al-Muzani berpendapat bahwa

berwasiat kepada salah seorang ahli waris, sekalipun diijinkan oleh ahli waris

lainnya, hukumnya tidak sah. Apabila setelah al-mushi meninggal kemudian

para ahli waris menyetujui wasiat al-mushi pada salah seorang diantara

mereka, maka hukum wasiat berubah menjadi hibah ahli waris kepada orang

yang diberi wasiat. Karena harta orang yang berwasiat telah berpindah milik

11Departemen Agama RI, Ibid, hlm. 116

Page 76: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

64

kepada ahli warisnya. Dengan demikian para ahli waris memberikan sejumlah

harta sesuai dengan wasiat al-mushi menurut mereka, statusnya adalah hibah,

bukan wasiat lagi.12

Menurut madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali, penolakan ataupun

ijin hanya berlaku sesudah meninggalnya al-mushi, maka jika mereka

memberi ijin ketika dia (al-mushi) masih hidup, kemudian berbalik pikiran

dan menolak melakukannya setelah pemberi wasiat meninggal, mereka berhak

melakukannya, baik ijin itu mereka berikan ketika al-mushi berada dalam

keadaan sakit ataupun sehat.

Madzhab imamiyah berpendapat: jika para ahli waris memberi ijin,

maka mereka tidak berhak menarik kembali ijin mereka, baik ijin itu diberikan

pada saat al-mushi masih hidup ataupun sudah meninggal.

Dari uraian diatas, penulis kurang setuju terhadap pendapat Imam

Malik tentang pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli

waris yang dibedakan antara boleh dan tidaknya dengan kondisi kesehatan

pemberi wasiat ketika wasiat tersebut diberikan yaitu dalam keadaan sakit

atau sehat. Pemberian yang diberikan disaat kematian atau dalam keadaan

sakit dan lemah, mengakibatkan pelanggaran terhadap hak dan rusaknya rasa

keadilan diantara para ahli waris akan lebih besar.

Dalam KHI Pasal 207 menjelaskan bahwa wasiat tidak diperbolehkan

kepada oarang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan

kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit

12Abdul Aziz Dahlan et.al, loc.cit.

Page 77: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

65

hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk

membalas jasa. Dari sini jelas bahwa wasiat orang sakit yang dikhawatirkan

kematiannya tidaklah sah. Maka ijin ahli waris tersebut boleh atau dapat

dicabut kembali. Karena setelah orang yang memberi wasiat meninggal harta

kekeyaannya secara otomatis pindah ke ahli waris. Dan merekalah yang

berhak sepenuhnya terhadap hartanya. Kalaupun ada wasiat yang hukumnya

wajib, maka mereka harus menjalankannya, misalnya membayar utang dan

sebagainya. Namun kalau wasiat tersebut hukumnya makruh, seperti halnya

wasiat kepada ahli waris, keputusan untuk menjalankan wasiat tersebut

dikembalikan kepada semua ahli warisnya.

Menurut penulis sebaiknya dikembalikan ke hukum asalnya. Wasiat

tidak boleh untuk ahli waris. Dan itu sesuai dengan hadits yang artinya :

sesungguhnya Allah telah memberikan hak-hak kepada tiap-tiap yang berhak,

oleh karena itu tidak ada wasiat bagi ahli waris. Ahli waris telah mendapatkan

bagian masing-masing dan apabila mendapat wasiat secara otomatis bagian

ahli waris yang diberi wasiat lebih banyak dari yang lainnya. Dan itu dapat

menimbulkan tumbuhnya sikap permusuhan dan iri hati diantara ahli waris.

Walaupun wasiat tersebut diberikan kepada ahli waris yang miskin yang

bertujuan untuk kemaslahatan ahli waris yang miskin tersebut. Namun wasiat

tersebut juga akan membawa banyak mafsadat bagi para ahli waris lainya.

Mencegah mafsadat secara umum lebih baik dari pada mendapatkan satu

kemaslahatan. Seperti dalam kaidah fiqh:

درء المفاسد مقدم على جلب المصالحArtinya: “Mencegah mafsadat didahulukan daripada mendapatkan maslahah”

Page 78: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

66

Maka dari itu dalam pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi

wasiat kepada ahli waris ketika pemberi wasiat dalam keadaan sakit ataupun

sehat, menurut penulis boleh dicabut kembali setelah pemberi wasiat

meninggal dunia. Dan juga dalam hal ini penulis mengacu kepada rukun dan

syarat wasiat yang menjelaskan bahwa dalam penerima wasiat disyaratkan

tidak boleh diberikan kepada ahli waris.

B. Analisis Metode Istinbath Hukum Imam Malik tentang Pencabutan Ijin

Ahli Waris Terhadap Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris

Dalam menentukan hukum Imam Malik pertama-tama mencarinya

dalam al-Qur’an. Karena al-Qur’an adalah pangkal hukum syari’at Islam dan

juga pegangan umat Islam yang pertama, dengan al-Qur’an pula kita akan

mengetahui hukum Allah SWT. Al-Qur’an di dalamnya juga menerangkan

syari’at secara kulli (keseluruhan), oleh karena itu Al-Qur’an mempunyai daya

tahan sepanjang zaman dan dapat sesuai dengan kondisi tiap-tiap masyarakat,

juga hukumnya bersifat mujmal yang perinciannya diserahkan kepada ahli

ijtihad.13

Di dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an kadang kita memerlukan

penjelasan (takwil) dengan cara mempelajari As-Sunnah. As-Sunnah sangat

diperlukan karena bukan saja dia sebagai sumber yang kedua bagi syar’i, akan

13Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Pegantar Ilmu Fiqih, Semarang : Pustaka

Rizki Putra, 1997, hlm 176

Page 79: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

67

tetapi juga karena dialah yang menafsirkan al-Qur’an, pensyarah al-Qur’an,

menafsirkan yang mujmal dan mentaqyidkan mutlaqnya.14

Ketika suatu hukum tersebut tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an dan

As-Sunnah, maka Imam Malik merujuk kepada praktek penduduk Madinah

(‘amal ahl al-Madinah), karena Madinah merupakan tempat Rasulullah SAW.

berhijrah dari Mekkah, dan di kota itulah beliau tinggal untuk menyampaikan

ajaran agama kepada para sahabat, kemudian para sahabat yang tinggal di

Madinah tersebut bergaul lama dengan Rasulullah SAW dan banyak

mengetahui latar belakang turunnya ayat.

Praktek-praktek keagamaan menurut para sahabat Imam Malik, tidak

lain adalah praktek yang diwarisi dari Rasulullah SAW, kemudian praktek

tersebut diwariskan kepada generasi berikutnya sampai kepada Imam Malik.

Dengan demikian praktek penduduk Madinah (‘amal ahl al-Madinah) yang

disepakati atau praktek mayoritas penduduk Madinah dianggap sebagai

kristalisasi dari ajaran Rasulullah SAW, sehingga harus dijadikan sumber

hukum dalam Islam, dan kedudukannya sebagai Hadits mutawatir.

Selanjutnya jika hukum tersebut tidak ditemukan dalam sumber-

sumber tersebut, Imam Malik merujuk kepada fatwa sahabat. Fatwa sahabat

adalah :

ربه صحابي من الصحابة الكبارما أفتArtinya : “Fatwa yang dikeluarkan oleh seseorang ‘ulama’ sahabi”

14Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab,

Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm 186

Page 80: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

68

Fatwa sahabat yang dimaksudkan adalah sahabat yang telah beriman

sebelum Hudaibiyah, dan juga turut berperang bersama Rasulullah SAW

serta mashur dalam bidang fatwa dan fiqih serta belajar lama dengan

Rasulullah SAW, demikian menurut pendapat ‘ulama’ usul.

Mengenai fatwa sahabat yang tidak mungkin dicapai dengan akal,

tentulah yang demikian itu dijadikan hujjah, mengingat bahwa sahabat itu

tentu mengatakan pendapatnya berdasar suatu keterangan yang diperoleh dari

Rasulullah SAW.

Imam Malik ibn Anas juga dengan tegas mengharuskan seorang mufti

mengambil fatwa sahabat, beliau berpendapat bahwa apa yang dikatakan As-

Sunnah adalah sesuatu yang diamalkan para sahabat. Sebagaimana ‘Umar ibn

‘Abdul ‘Aziz saat hendak mengembangkan putusan-putusan yang diambil

para sahabat. Di antara ‘ulama’ yang menolak fatwa sahabat adalah Al-Ġazali

dan As-Syaukani.

Setelah berbagai metode yang ditempuh di atas belum juga bisa

menemukan suatu ketetapan hukum, kemudian Imam Malik ibn Anas

menggunakan qiyas.

Yang dinamakan qiyas, menurut ahli usul fiqih, adalah menyamakan

hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa

yang sudah ada nashnya, lantaran adanya persamaan ‘illat hukumnya dari

kedua peristiwa itu.15 Namun Imam Malik jarang menggunakan Qiyas.

15Muhtar Yahya dan Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam,

Bandung : Al Ma’arif, 1986, hlm. 66

Page 81: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

69

Metodologi qiyas Imam Malik tidak berbeda dengan Abu Hanifah,

hanya saja konsep istihsannya berlainan. Kalau Abu Hanifah melakukan

istihsan dengan mengalihkan furu’ pada aşal yang lain ‘illatnya lemah, tetapi

hasil hukumnya lebih baik, maka konsep istihsan Imam Malik adalah beralih

dari hasil qiyas pada kajian maslahat.

Selanjutnya metode istinbath hukum yang digunakan Imam Malik

adalah maslahah al-mursalah, yaitu suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan

oleh syara’ yang memerintahkan untuk memperhatikannya atau

mengabaikannya16

Maksud syari’at Islam itu tidak lain untuk mewujudkan kemaslahatan

manusia, yakni manfaat, menolak kemudaratan dan menghilangkan

kesusahan, kemaslahatan manusia itu tidak terbatas macamnya dan tidak

terhingga jumlahnya, ia selalu bertambah dan berkembang mengikuti situasi

dan kondisi masyarakat.

Menurut asy-Satibi, salah satu tokoh madzhab Malik menyatakan

bahwa yang dimaksud maslahah al-mursalah yang digunakan Imam Malik

adalah apa yang dianggap maslahat oleh akal pikiran yang sehat, tetapi tidak

ada dalil secara khusus yang melarang dan tidak pula ada yang

membenarkannya, namun hal itu termasuk dalam tujuan syari’at secara

umum, karena mendukung tercapainya tujuan pokok syari’at yaitu

memelihara agama, nyawa, akal,. Keturunan dan harta.

Metode istinbath hukum yang terakhir yang digunakan Imam Malik

adalah saddu al-dara’i. Secara sematik kata al-dara’i berarti sarana, sedangkan

16Ibid., hlm. 105

Page 82: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

70

menurut ahli usul fiqih adalah sarana atau jalan untuk sampai pada suatu

tujuan, dan tujuan yang dimaksud adakalanya perbuatan-perbuatan taat dan

adakalanya perbuatan maksiat.17

Seandainya sarana itu membawa kepada perbuatan-perbuatan taat,

maka harus dibuka peluang untuk melakukannya, dan hal ini akan membawa

kepada maslahat. Sedangkan kalau sarana itu akan membawa kepada

perbuatan maksiat dan menimbulkan mafsadat, maka sarana itu harus ditutup,

yang dalam istilah usul fiqih disebut saddu al-dari’ah.

Menetapkan hukum dengan melihat kemungkinan-kemungkinan akibat

yang akan timbul dari sesuatu perbuatan, kalau perbuatan itu kendati hukum

asalnya boleh tetapi akan menimbulkan mafsadat atau maksiat, maka

perbuatan tersebut hukumnya menjadi haram. Begitu juga kalau perbuatan itu

akan menimbulkan maslahat, maka perbuatan itu tetap boleh, atau bahkan

mungkin meningkat menjadi wajib.

Imam Malik dalam hal pembahasan ini, lebih condong menggunakan

metode saddud al-dara’i. Seperti uraian diatas bahwa apabila suatu sarana atau

jalan membawa kepada perbuatan taat dan dapat menimbulkan kemaslahatan,

maka harus dibuka peluang itu. Dalam permasalahan ini, Imam Malik tidak

membolehkannya mencabut ijin yang diberikan ahli waris tersebut ketika

pemberi wasiat dalam keadaan sakit, karena orang yang berwasiat tersebut

mewasiatkannya kepada ahli waris yang miskin, dengan tujuan kemaslahatan

ahli waris yang miskin tersebut, yaitu agar bisa hidup berkecukupan sama

dengan ahli waris yang lainnya. Dan juga dalam wasiat ini pemberi wasiat

17Wahbah az-Zuhaily, al Ushul al-Fiqih al-Islami, Damaskus : Dar al-Kitab, 1978, hlm 423

Page 83: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

71

tidak memberikan lebih dari pada haknya yaitu sepertiga (1/3) hartanya. Jadi

pemberi wasiat tidak mengambil hak-hak ahli waris. Dan wasiat tersebut

merupakan pesan terakhir, dan pemberi wasiat berharap wasiat tersebut bisa

dilaksanakan, supaya pemberi wasiat bisa tenang meninggalkan ahli warisnya

dalam keadaan berkecukupan semua.

Imam Malik juga memberi alasan, apabila ijin yang telah diberikan

ahli waris tersebut boleh dicabut, maka para ahli waris akan melakukan hal itu

untuk diri mereka sendiri, dan mereka dapat mencegah hak wasiat

sepertiga(1/3), yang merupakan hak pewasiat.

Pemberian ijin ahli waris yang diberikan ketika pewasiat dalam

keadaan sehat, maka boleh dicabut. Dengan alasan orang yang sehat berhak

melakukan apa saja terhadap hartanya.

Page 84: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

72

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari beberapa bahasan mengenai pendapat Imam Malik, tentang

pencabutan izin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris lain

mulai dari bab I sampai Bab IV dengan mengkomparasikan pendapat ‘ulama’-

‘ulama’ lain, dapat penulis simpulkan sebagai berikut :

1. Menurut pendapat Imam Malik, bahwa berwasiat kepada ahli waris boleh

apabila mendapat izin dari ahli waris lainnya, berdasarkan hadist:

Tidak ada wasiat kepada ahli“ الوصية لوارث اال ان يجيز الورثة

waris kecuali izin dari ahli waris lain”. Ijin tersebut harus diperoleh ketika

pemberi wasiat masih hidup. Setelah pemberian izin itu diberikan, izin

tersebut menurut Imam Malik tidak dapat dicabut kembali. Karena ketika

ia ( ahli waris ) memberikan izin, maka ia sudah rela dikurangi haknya.

Dalam masalah pencabutan izin ini Imam Malik membaginya dalam dua

keadaan atau situasi yaitu: Pertama, izin itu diberikan ketika pewasiat

dalam keadaan sakit, maka izin tersebut tidak boleh di cabut. Karena

dalam hal ini wasiat yang diberikan kepada ahli waris, adalah ahli waris

yang dalam keadaan miskin. Yang mempunyai tujuan untuk kemaslahatan

ahli waris yang miskin tersebut. Dan itu merupakan keinginan terakhir

pemberi wasiat yang berharap bisa untuk dilaksanakan. Kedua, izin itu

diberikan ketika pewasiat dalam keadaan sehat, dalam hal ini izin yang

Page 85: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

73

telah diberikan tersebut boleh dicabut, Karena orang yang sehat

mempunyai hak atas hartanya. Dia dapat menggunakannya,

menyedekahkannya atau memberikannya kepada siapa pun yang ia mau.

Namun harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

2. Mengenai dasar hukum yang digunakan Imam Malik kaitannya dengan

pencabutan izin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris lain

adalah saddud al-dara’i yaitu sarana atau jalan untuk sampai pada suatu

tujuan, dan tujuan dimaksud adakalanya perbuatan-perbuatan taat dan

adakalanya perbuatan maksiat. Kalau perbuatan taat dan menimbulkan

maslahah, maka harus dibuka peluang untuk melakukannya. Seperti

ketidakbolehan pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada

ahli waris. Karena wasiat tersebut diberikan kepada ahli waris yang dalam

keadaan miskin, maka ijin tersebut tidak boleh dicabut demi kemaslahatan

ahli waris yang miskin tersebut.

B. Saran-saran

Apapun pendapat dari seorang ‘ulama’ fiqih atau seorang mujtahid,

layak menjadi pertimbangan dan perlu menjadi perbendaharaan dalam

hasanah hukum Islam, sehingga kita tidak terjebak pada sikap ta’asub

(fanatik) pada satu madzhab.

Oleh sebab itu rasionalitas hukum Islam sangat diperlukan sebagai

fiqih alternatif dari hasanah fiqih yang sudah ada, karena pada dasarnya fiqih

Page 86: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

74

bersifat relatif dan cenderung mengalami perubahan sesuai dengan keadaan

zaman dan budaya syara’ atau syari’at yang bersifat universal dan abadi.

Rasionalisasi hukum Islam berarti mempunyai makna ganda. Di satu

sisi menolak interpretasi Islam yang tidak relevan lagi dengan perkembangan

zaman, sedangkan di sisi lain harus pula dilakukan upaya penafsiran Islam

secara baru.

Adapun upaya rasionalisasi hukum Islam haruslah diikuti dengan

pengkajian kembali terhadap tradisi Islam, satu-satunya jalan yang mungkin

untuk melakukan kembali asal-usul dan pengembangan keseluruhan tradisi

Islam, dengan cara di mana al-Qur’an dan Sunnah Rasul dipelajari, ditangani

dan ditafsirkan.

C. Penutup

Dengan rahmat dan pertolongan Allah, penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini, penulis sadar bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak

kekurangan dan kesalahan. Untuk itulah penulis berharap saran, masukan

yang bersifat konstruktif demi sempurnanya penelitian ini.

Akhirnya penulis berharap, apapun bentuknya tulisan ini dapat

bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi saya sendiri. Amiin.

Page 87: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Imam Abi, Shahih al-Buhkari, Juz 3, Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Ilmiyah, 1992.

al-‘Asqalani, Hafidh bin Hajar, Bulughul Maram, Surabaya: Dar al-‘Ulum, t.th.

Al-Ansori, Hafid, et.al., Ensiklopedi Islam, Jilid III, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hove, Cet. Ke-3, 1994.

Al-Jaziri, Abdur Rahman, Kitab Fqih ala Madzhab Arba’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1410.

Al-Malabari, Abdul Aziz, Syarh Fathul Mu’in, Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, 1990.

al-Qardhawi, Yusuf, Fiqh Praktis Bagi Kehidupan Modern, Jakarta: Gema Insani, Cet. I, 2002.

Amin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Tafsir Al-Aliyyah Qodir Li Ikhtisar Tafsir Ibnu Kasir, jilid I, terj. Syihabudin, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Kasir, Jakarta: Gema Insani Pres, 1999.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasby, Koleksi Hadist-Hadist Hukum 7, cet I, Semarang: Petraya Mitrajaya, 2001.

_______, Pengantar Ilmu Fiqih, Semarang: PT Pustaka Rizqi Putra, 1999, Cet ke-2.

_______, Pokok–Pokok pegangan Imam Antar Madzhab, Semarang: PT Pustaka Rizqi Putra, 1997, Cet ke-1.

_______, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.

Asy-Syurbasi, Ahmad, Al-Aimatul Arba’ah, terj. Sabil Huda, A. Ahmadi, Sejarah Dan Biografi Empat Imam Mazhab, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.

Az-Zuhaily, Wahbah, Al-fiqh al-Islam Wa’aadiluhu, juz. IV, Beirut: Dar Al-fikr, t.th.

_______, Al-Wasit Fi Usul al-Fiqih al-Islami, Damaskus : Dar al-Kitab, 1978.

Dahlan, Abdul Aziz, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. I, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Houve, 1996.

Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqh, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995.

Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: PT Toha Putra, 1995.

Page 88: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

_______., Pedoman Penyuluhan Hukum: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1995.

Fatchurrahman, Ilmu Waris, Bandung: Al- Ma’arif, 1981.

Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, cet ke-4, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.

Kholil, Munawar, Biografi Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Mahmud, Ali Abdul Halim, Fikih Risponsibilitas Tanggung Jawab Muslim dalam Islam, Jakarta: Gema Insani, Cet. Ke-2, 2000.

Makluff, Louis, al-Munjid, Mesir: Maktabah Qatfaliqiyah, 1964.

Malik, Imam, bin Anas, Al-Muwaththa’, Bairut: Darul Ihya’ Al-Ulum, tth.

Maruzi, Muslich, Pokok-Pokok Ilmu waris, Semarang: Mujahidin, 1981.

Masri Singarimbunan dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, 1985.

Mugniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Khomsah, terj Maskur A.B. at.al. “Fiqh Lima Madzhab, Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, Jakarta: Lentera, 2001.

Muhammad, Syaikh Kamil, Uwaidah, al-Jami’ Fil Fiqhi an-Nisa’, Terj. M. Abdul Ghoffar, E.M., Fiqih Wanita (Edisi Lengkap), Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.

Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1993.

Ramli, Muqaranah Muzahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Rofiq, Ahmad Hukum Islam Di Indonesia Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. IV, 2000.

_______, Fiqh Mawaris, ed.Revisi, cet.4, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Rusyd, Ibn, Budayah al-Mujtahid, Abdurrahman, terj. Bidayah al-Mujtahid, Semarang: Asy-Syiofa’, 1990.

Sabiq, Sayyid , Fiqh Sunnah, juz 3, Beirut: Dar al-Fikr. 1977.

_______, Fiqhu Sunnah, terj, Mudzakir, “Fiqh Sunnah:, Bandung: al-Ma’arif, 1998

Sevilla, Consuelo G., dkk., Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: UI Press, 1993.

Smith, Huston, Ensiklopedi Islam Cyril Alasse, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-3, 2002.

Page 89: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/80/jtptiain-gdl-ridadiana2... · i ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN

Subagyo, Joko, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Subani, Ja’far, Yang Hangat Dan Kontroversial Dalam Fiqh, Jakarta: Lentera, 2002.

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Surahmat, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode dan Teknik, Bandung: Tarsita Rimbun, 1995.

Suryadilaga, M. Alfatih, (editor), Studi Kitab Hadits, Yogyakarta: Teras, 2003.

Yahya, Mukhtar, dan Fatchurrohman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, cet.1, Bandung: Al- Ma’arif, 1986.

Zahrah, Imam Muhammad Abu, Tārih al-Madahibil Islamiyyah, Juz II, Bairut: Darul Fikri, 1986.

Zuhdi, Masyfuk, Pengantar Hukum Syari’at, cet.1, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1987.