74
ANALISIS PENDAPATAN DAN FAKTOR PENENTU ADOPSI TEKNOLOGI PHSL (PEMUPUKAN HARA SPESIFIK LOKASI) UNTUK USAHATANI PADI (Studi Kasus di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah) SKRIPSI FAIZ RIDHAN FAROKA F14080074 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

ANALISIS PENDAPATAN DAN FAKTOR PENENTU ADOPSI · ANALISIS PENDAPATAN DAN FAKTOR PENENTU ADOPSI TEKNOLOGI PHSL (PEMUPUKAN HARA SPESIFIK LOKASI) ... (International Rice Research Institute)

Embed Size (px)

Citation preview

ANALISIS PENDAPATAN DAN FAKTOR PENENTU ADOPSI TEKNOLOGI PHSL (PEMUPUKAN HARA SPESIFIK LOKASI)

UNTUK USAHATANI PADI (Studi Kasus di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten

Boyolali, Jawa Tengah)

SKRIPSI

FAIZ RIDHAN FAROKA F14080074

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012

Yield Analysis and Determining Factor to Adoption SSNM (Site Specific Nutrient Management)

Technology for Farm Rice (Case Study in Jembungan Village, Sub-District of Banyudono,

Boyolali District, Cental Java)

Faiz Ridhan Faroka and Kudang Boro Seminar, Pudji Muljono Departement of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology,

Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.

Phone +62 852 8133 8593, e-mail : [email protected]

ABSTRACT The highly increase of crop production in the future will be a compulsion and utilization of field will be more intensive. Therefore, precise pescription of crop fertilization is required. Site Specific Nutrient Management (SSNM) application is an innovation of technology for rice farming through fertilization recommendation which accurate in type, dose and time of fertilization to increase rice production and farmer incomes. SSNM application was developed by IRRI (International Rice Research Institute) in Philippines.The aim of this research is to get illustration about analysis of farmers on new technologies SSNM application of web-based technology. Comparing farm income and productivity of rice farmers using the technology by not using technology SSNM. Identifying factors that influence farmers to adopt SSNM applications. There was a significant differences in fertilization cost between the usage of SSNM and manually applied fertilization. In manually applied fertilization costs Rp 320,065 or about 20.62 percent of total cost, while in SSNM fertilization costs only12.93 percent of total cost or Rp 23,078. The application of SSNM was able to increase average rice production about 314.38 kg / hectare and farmers income raised to Rp 1,100,328 / hectare. There is a driving factor for farmers to use the SSNM application including increased production, the facilities, the capital, the efficient use of fertilizer and maintain the field quality.Farm rice incomes and field ownership have positive relationship toward farmer to adoption SSNM application. Keyword : fertilization, rice, SSNM.

FAIZ RIDHAN FAROKA. F14080074. Analisis Pendapatan dan Faktor Penentu Adopsi Teknologi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) untuk Usahatani Padi (Studi Kasus di Desa Jembungan, Kecamatan Bayudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah). Di bawah bimbingan Kudang Boro Seminar dan Pudji Muljono. 2012

RINGKASAN

Peningkatan produksi tanam di masa mendatang akan menjadi suatu keharusan, sehingga penggunaan lahan akan semakin intensif. Seiring dengan intensifnya penggunaan lahan, maka diperlukan ketepatan rekomendasi pemupukan. Produktivitas lahan akan cepat menurun akibat pengurasan hara oleh tanaman, jika rekomendasi pemupukan sering tidak tepat. Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang merupakan salah satu faktor kunci untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas tanah sawah. Dalam hal ini perlu memperhatikan kadar unsur hara di tanah, jenis dan mutu pupuk, keadaan iklim, dan unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan dan produksi tanaman.

Aplikasi PHSL adalah inovasi teknologi baru usahatani padi sawah melalui rekomendasi pemupukan yang tepat jenis, dosis, dan waktu pemupukan dengan tujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Aplikasi ini dikembangkan oleh IRRI (International Rice Reserach Institute), Filipina bersama Puslitbang Tanaman Pangan, BB Padi, dan Badan Litbang Pertanian. Inovasi aplikasi PHSL ditujukan untuk PPL dan petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan petani terhadap teknologi baru untuk rekomendasi pemupukan berbasis TIK, membandingkan hasil usahataninya dan mengetahui faktor yang mempengaruhi petani untuk mengadopsi aplikasi PHSL. Desa Jembungan adalah desa pertama di Provinsi Jawa Tengah yang mendapat kesempatan untuk pengujian program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) dari BPTP Provinsi Jawa Tengah. Program dari BPTP ini bekerja sama dengan PPL setempat untuk membandingkan hasil panen antara pemupukan rekomendasi aplikasi PHSL dengan pemupukan yang sering dilakukan oleh petani untuk tanaman padi. Pengambilan data penelitian dilakukan dalam dua tahap pengumpulan data, tahap pertama diarahkan kepada aktivitas studi pustaka dan pencarian data sekunder. Pada tahap kedua memfokuskan kepada pencarian data primer melalui wawancara kepada beberapa responden. Responden pada penelitian ini adalah petani yang mengikuti program inovasi aplikasi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) di Desa Jembungan. Petani yang mengikuti program PHSL akan membagi lahannya menjadi dua bagian (tidak sama besar), pembagian lahan ini ditujukan untuk membedakan pemupukan berdasarkan rekomendasi aplikasi PHSL dan pemupukan yang biasa dilakukan oleh petani. Petani di Desa Jembungan yang mengikuti inovasi program PHSL berjumlah 20 petani dan semuanya menjadi responden untuk penelitian ini. Setelah data diperoleh, pengolahan data didasarkan kepada aspek – aspek untuk menganalisis pandangan petani terhadap penerapan teknologi PHSL untuk pemupukan padi mereka. Pengolahan data dilakukan dengan analisis deskriptif dan analisis teknis. Analisis deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran secara mendalam dan obyektif mengenai proses adopsi inovasi aplikasi PHSL, sehingga terlihat respon petani dengan adanya inovasi aplikasi PHSL. Analisis teknis berguna untuk menganalisis keadaaan lapangan yang dikaitkan dengan ilmu yang diperoleh dalam perkuliahan yang digunakan untuk menganalisis tingkat produksi padi, pendapatan usahatani, dan analisis B/C. Teknik regresi logistik untuk melihat hubungan antara karakteristik petani terhadap tingkat adopsi teknologi PHSL di lokasi penelitian.

Ditinjau dari usianya, lebih dari 50 % responden berusia lebih dari 40 tahun. Sebagian besar diantaranya (lebih dari 55%) tamat SLTA. Terdapat dua petani yang menyewa lahan untuk usahatani dan lainnya memiliki lahan sendiri. Luasan lahan yang dimiliki petani responden relatif kecil, 75 % petani memiliki luas lahan 0.2 – 0.3 hektar, 20 % memiliki lahan seluas 0.3 – 0.4 hektar dan seorang petani yang luas lahannya 0.4 – 0.5 hektar. Dari berbagai karakteristik petani tersebut, terdapat faktor pendorong dan faktor penghambat petani dalam mengikuti dan mengadopsi inovasi aplikasi PHSL. Faktor pendorongnya adalah (1) dapat meningkatkan produktivitas, (2) adanya sarana mengakses aplikasi, (3) adanya modal, (4) penggunaan pupuk yang efisien, (5) kualitas tanah terjaga. Sedangkan yang termasuk dalam faktor penghambat antara lain, (1) sarana kurang, (2) kekurangan modal, (3) keraguan pada rekomendasi pemupukan yang diberikan, (4) prosedur yang cukup rumit.

Struktur biaya produksi untuk usahatani padi pada lahan petani dan lahan PHSL umumnya relatif sama, komponen biaya terbesar adalah upah tenaga kerja yang meliputi pengolahan tanah, cabut tanam, penanaman, pengendalian OPT. Perbedaan yang cukup mencolok terlihat dalam komponen biaya pemupukan, pada lahan non PHSL biaya pemupukan mencapai Rp 320,065 atau sekitar 20.62 % dari total biaya tunai, sedangkan pada lahan PHSL biaya pemupukan hanya sekitar 12.93 % dari total biaya tunai atau sekitar Rp 23,078. Produksi rata – rata yang dihasilkan petani untuk budi daya padi di lahan non PHSL adalah 1,732.89 kg dengan pendapatan senilai Rp 6,065,122 dan di lahan PHSL mempunyai produksi rata – rata sekitar 246.87 kg dengan pendapatan senilai Rp 864,064. Produksi ini masih dihitung dengan luasan yang tidak sama. Apabila dihitung dalam satuan yang sama yaitu hektar, produksi rata – rata padi yang dihasilkan untuk budi daya padi di lahan petani adalah 6,464.74 kg dan 6,779.12 kg untuk budi daya di lahan PHSL. Pendapatan yang diterima petani adalah hasil rata – rata produksi padi dikalikan dengan harga gabah pada saat itu, yaitu berada pada nilai Rp 3,500. Pendapatan rata – rata petani perhektar di lahan non PHSL adalah sekitar Rp 22,626,590 dan Rp 23,726,918 untuk budi daya di lahan PHSL / musim tanam. Dengan adanya aplikasi PHSL dapat meningkatkan produksi padi rata – rata sekitar 314.38 kg / hektar dengan tambahan keuntungan senilai Rp 1,100,328 / hektar. Dari nilai B/C, usahatani dengan pemupukan rekomendasi aplikasi PHSL atau budi daya di lahan PHSL memiliki nilai B/C sebesar 1.91, artinya petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1.91 untuk setiap satu rupiah yang dikeluarkan. Usahatani di lahan non PHSL atau pemupukan rekomendasi petani yang biasa mereka lakukan memiliki nilai B/C sebesar 1.70 yang artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan untuk budidaya pertanian akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1.70. Hasil ini membuktikan budi daya dengan pemupukan rekomendasi aplikasi PHSL lebih menguntungkan, meskipun budi daya petani yang biasa dilakukan di Desa Jembungan sudah cukup menguntungkan. Petani di Desa Jembungan dapat mengadopsi ataupun tidak mengadopsi teknologi PHSL, karena usahatani padi yang mereka lakukan selama ini sudah cukup menguntungkan. Hasil analisis regresi logistik untuk menentukan faktor – faktor yang mempengaruhi petani untuk mengadopsi teknologi PHSL menghasilkan dua dari keenam faktor yang berpengaruh siknifikan terhadap penggunaan aplikasi PHSL di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali. Variabel yang berhubungan positif dan berpengaruh nyata adalah status kepemilikan lahan dan penerimaan usahatani.

ANALISIS PENDAPATAN DAN FAKTOR PENENTU ADOPSI TEKNOLOGI PHSL (PEMUPUKAN HARA SPESIFIK LOKASI )

UNTUK USAHATANI PADI (Studi Kasus di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten

Boyolali, Jawa Tengah)

SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh : FAIZ RIDHAN FAROKA

F14080074

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012

Judul Skripsi : Analisis Pendapatan dan Faktor Penentu Adopsi Teknologi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) untuk Usahatani Padi (Studi Kasus di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)

Nama : Faiz Ridhan Faroka NIM : F14080074

Menyetujui, Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr .Ir . Kudang Boro Seminar, M.Sc. Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si. NIP. 19591118 198503 1 004 NIP. 19621010 198903 1 005

Mengetahui :

Ketua Departemen,

Dr. Ir. Desrial. M.Eng NIP. 19661201 199103 004

Tanggal Lulus :

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar – benarnya bahwa skripsi dengan judul Analisis Pendapatan dan Faktor Penentu Adopsi Teknologi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) untuk Usahatani Padi (Studi Kasus di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah) adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Oktober 2012 Yang membuat pernyataan Faiz Ridhan Faroka F14080074

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi,

mikrofilm, dan sebagainya

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Grobogan pada tanggal 28 Maret 1990 anak kedua dari 4 bersaudara dari pasangan Bapak Akhmad Fadhloli Syo’im dan Ibu Sri Andayani. Penulis memiliki hobby berolahraga dan bermain musik. Pada tahun 1996 penulis memulai pendidikan dasar di SD N 1 Kuwu dan selesai pada tahun 2002 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2005 di SMP N 1 Kradenan, kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan atas di SMA N 1 Purwodadi dan menyelesaikannya pada tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis

diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Mayor Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti kuliah, penulis aktif mengikuti beberapa organisasi kampus seperti Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian, Institut Pertanain Bogor (Himateta IPB) pada Departemen Riset dan Teknologi serta Badan Eksekutif Mahasiswa Muda Fakultas Teknologi Pertanian (BEM Muda Fateta) pada Departemen Minat dan Bakat Mahasiswa. Penulis juga sempat menjadi ketua OMDA PERMADI (Organisasi Mahasiswa Daerah Perkumpulan Mahasiswa Purwodadi). Penulis melaksanakan praktik lapangan pada tahun 2011 di PT. Kusuma Agrowisata, Batu, Jawa Timur dengan judul Penerapan Sistem Hidroponik Substrat untuk Budi Daya Tomat dan Paprika dalam Greenhouse di PT. Kusuma Agrowisata, Batu – Jawa Timur.

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan nikmat, rahmat dan

hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Pendapatan dan Faktor Penentu Adopsi Teknologi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) untuk Usahatani Padi (Studi Kasus di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah). Skripsi merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Padi merupakan komoditas utama sebagian besar keluarga tani di Indonesia. Oleh sebab itu, secara langsung maupun tidak sebagian besar pendapatan masyarakat Indonesia bergantung oleh produksi padi. Sampai saat ini produksi padi di Indonesia belum mengalami peningkatan yang mencolok. Rekomendasi pemupukan yang tepat, efektif dan efisien merupakan solusi yang tepat untuk meningkatkan produksi dan pendapatan usaha tani yang berkelanjutan. Aplikasi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) merupakan salah satu metode untuk mendapatkan rekomendasi pemupukan yang rasional dan berimbang untuk tanaman padi sehingga dapat menurunkan risiko adanya penurunan kualitas tanah. Skripsi ini dapat diselesaikan atas arahan, bimbingan dan semangat dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc. sebagai dosen pembimbing pertama dan Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si. sebagai dosen pembimbing kedua yang telah memberi kritik, saran dan arahan selama pembuatan skripsi.

2. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng. sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan koreksi pada skripsi ini.

3. Bapak Akhmad Fadholi Syo’im dan Ibu Sri Andayani, S.Pd. tercinta yang tak pernah lelah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis dengan sabar dan ikhlas hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Segenap PPL di Kecamatan Banyudono yang telah memberikan izin dan memandu penulis untuk melakukan penelitian di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.

5. Bapak Sabar sebagai ketua kelompok tani yang telah banyak membantu dalam kegiatan penelitian dan kelompok tani Subur Basuki dan Subur Raharjo sebagai responden penelitian yang telah bersedia memberikan informasi kepada penulis selama penelitian.

6. Mas Rizal kakakku dan Alfian Harris yang telah menyediakan tempat tinggal selama penelitian serta banyak membantu penulis untuk mengambil data. Adik – adikku Ilham Yoga Rivaldi dan Nisa Alya Fadhila yang juga terus memberikan motivasi pada penulis.

7. Teman sekontrakan Angga, Fibu, Ichan dan Akay yang banyak menyemangati. 8. Teman – teman Magenta 45’ yang juga menginspirasi penulis untuk menyelesaikan skripsi

ini. Akhir kata penulis berharap tulisan ini dapat berguna bagi pihak – pihak terkait untuk

kemajuan untuk petani Indonesia khususnya dan pertanian Indonesia pada umumnya.

Bogor, Oktober 2012

Penulis

iv

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................................... iii DAFTAR ISI ................................................................................................................... iv DAFTAR TABEL .......................................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... vi DAFTAR PERSAMAAN ............................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................... viii

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ................................................................................................. 1 B. TUJUAN .................................................................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. BUDAYA PADI ......................................................................................................... 4 B. PEMUPUKAN PADI .................................................................................................. 5 C . KAJIAN BEBERAPA STUDI TERDAHULU ........................................................... 6 D. PERTANIAN PRESISI .............................................................................................. 7 E. APLIKASI PEMUPUKAN HARA SPESIFIK LOKASI .............................................. 8 F. ADOPSI TEKNOLOGI .............................................................................................. 12 G. PERAN PENYULUH PERTANIAN ........................................................................... 14

III. METODE PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ..................................................................... 16 B. JENIS DAN METODE PENGUMPULAN DATA ...................................................... 16 C. PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA .................................................................. 18

IV. HASIL DAN PEMBAHSAN A. PANDANGAN PETANI TERHADAP APLIKASI PHSL .......................................... 24 B. ANALISIS USAHATANI ........................................................................................... 34 C. ANALISIS FAKTOR PENENTU PETANI UNTUK MENGGUNAKAN

APLIKASI PHSL ........................................................................................................ 37 V. PENUTUP

A. KESIMPULAN .......................................................................................................... 40 B. SARAN ...................................................................................................................... 40 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 41 LAMPIRAN ................................................................................................................... 43

v

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Produksi, konsumsi, importir, luas areal dan hasil padi di beberapa negara pada tahun 2005 ................................................................................................ 1 Tabel 2. Karakteristik petani responden ............................................................................... 26 Tabel 3. Faktor keberhasilan penerapan inovasi PHSL dan indikatornya .............................. 29 Tabel 4. Faktor pendorong dan penghambat petani untuk mengikuti program PHSL ............ 30 Tabel 5. Faktor – faktor aspek operasional ........................................................................... 32 Tabel 6. Faktor – faktor aspek sosial budaya ........................................................................ 33 Tabel 7. Perbandingan penerimaan usahatani PHSL dan non PHSL ..................................... 34 Tabel 8. Struktur biaya usahatani padi di Desa Jembungan ................................................... 35 Tabel 9. Perbandingan Pendapatan Usahatani dan B/C rasio PHSL dan non PHSL ............... 36 Tabel 10. Hasil estimasi model regresi logistik terhadap faktor yang mempengaruhi

petani untuk menggunakan teknologi PHSL ........................................................... 37

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Diagram alir pelaksanaan program pelaksanaan pelayanan uji tanah .................. 5 Gambar 2. Tampilan aplikasi PHSL (NM RiceWeb) dan beberapa pertanyaannya ............... 9 Gambar 3. Hasil Rekomendasi pemupukan aplikasi PHSL melalui Web setelah menjawab semua pertanyaan ........................................................................................................ 10 Gambar 4. Pesan teks yang diterima setelah mengakses NMRiceWebMobile ....................... 11 Gambar 5. Skema langkah – langkah penelitian ................................................................. 17 Gambar 6. Kerangka Penelitian di Desa Jembungan ........................................................... 19 Gambar 7. Mekasnisme pengaksesan aplikasi PHSL .......................................................... 25

vii

DAFTAR PERSAMAAN

Halaman

Persamaan 1. Tingkat pendapatan tunai .................................................................................. 20 Persamaan 2. Tingkat pendapatan total ................................................................................... 20 Persamaan 3. Imbangan penerimaan atas biaya tunai .............................................................. 21 Persamaan 4. Imbangan penerimaan atas biaya total ............................................................... 21 Persamaan 5. Model umum regresi logistik ............................................................................ 22 Persamaan 6. Bentuk umum likelihood (L) ............................................................................. 23 Persamaan 7. Nilai statistik G ................................................................................................. 23

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kuesioner penelitian ...................................................................................... 44 Lampiran 2. Daftar pertanyaan yang diajukan pada aplikasi PHSL ..................................... 48 Lampiran 3. Hasil dan selisih produksi padi usahatani dengan PHSL dengan non

PHSL ............................................................................................................ 50 Lampiran 4. Perbandingan pendapatan usahatani PHSL dan non PHSL .............................. 51 Lampiran 5. Perbandingan rekomendasi pemupukan oleh PHSL dan petani ....................... 52 Lampiran 6. Data input regresi logistik .............................................................................. 54 Lampiran 7. Tabel output regresi logistik dengan software SPSS 16.0 for Windows ............ 55 Lampiran 8. Letak Geografis Lokasi Penelitian .................................................................. 56 Lampiran 9. Surat Pengantar Penelitian dari Dinas Pertanian Boyolali ............................... 57 Lampiran 10. Luas Panen Padi di Beberapa Negara dan Dunia, 1961 – 2006 ........................ 58 Lampiran 11. Luas Panen, Produksi, dan Hasil Padi di Beberapa Negara dan Dunia,

1986 – 2006 ................................................................................................... 59

1

BAB I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Selain berperan penting sebagai makanan pokok, padi merupakan sumber perekonomian sebagian besar masyarakat di pedesaan. Kekurangan produksi berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Upaya peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk tentu perlu mendapat perhatian utama dalam pembangunan pertanian. Di sisi lain masalah dan tantangan yang dihadapi Indonesia untuk mencapai status ketahanan pangan mantap cukup berat. Fakta empirik menunjukkan bahwa sejalan dengan transformasi ekonomi dari sektor pertanian ke non pertanian, tekanan terhadap pemanfaatan lahan pertanian semakin meningkat terutama karena semakin meningkatnya konversi lahan pertanian ke non pertanian (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2010). Perbandingan Produksi, konsumsi, jumlah impor, luas areal dan hasil padi di beberapa negara pada tahun 2005 terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Produksi, konsumsi, jumlah impor, luas areal dan hasil padi di beberapa negara pada tahun

2005

Negara

Produksi gabah Konsumsi Jumlah

impor

Luas areal

tanaman padi

Luas lahan yang dapat ditanami

% dari beras dunia Hasil

Luas areal

Produksi

(ton/ha GKG) ribu ton (kg/kapita

/tahun) (juta ton) ribu ha ribu ha

Cina 182,055 70 0.95 29,087 142,615 19.17 28.9 6.26 India 137,620 - - 41,907 160,519 27.62 21.85 3.28 Indonesia 53,985 128 1.29 11,801 21,000 7.78 8.57 4.57 Banglades 39,796 148 1.03 10,524 7,976 6.94 6.32 3.78 Vietnam 35,791 162 - 7,329 6,680 4.83 5.68 4.88 Thailand 29,428 79 - 10,042 14,133 6.62 4.67 2.93 Myanmar 25,364 194 - 7,008 10,093 4.62 4.03 3.62 Filipina 14,603 109 1.06 4,200 5,700 2.77 2.32 3.48 Brazil 13,193 - 0.79 3,916 59,000 2.58 2.09 3.37 Jepang 11,342 53 0.84 1,706 4,397 1.12 1.8 6.65 USA 10,125 7 0.66 1,361 173,450 0.9 1.61 7.44 Korea Selatan 6,435 - 0.22 980 1,646 0.65 1.02 6.57 Mesir 6,125 - - 613 2,922 0.4 0.97 9.99 Malaysia 2,240 63 0.51 676 1,800 0.45 0.36 3.31

Dunia 629,881 - - 151,723 1,402,317 100 100 4.15 (Sumber : Wurjandari dan Mahyuddin, 2007)

2

Sektor pertanian merupakan sektor terdepan untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia, yaitu untuk menyediakan berbagai makanan pokok. Dalam sejarah hidup manusia dari tahun ketahun mengalami perubahan yang diikuti pula oleh perubahan kebutuhan bahan makanan pokok. Hal ini dibuktikan dibeberapa daerah yang semula makanan pokoknya ketela, sagu, jagung akhirnya beralih makan nasi yang berasal dari beras. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan ini dikonsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia padi memiliki nilai tersendiri yang tidak mudah untuk digantikan oleh bahan makanan lain. Usaha dalam meningkatkan produksi padi guna mencukupi kebutuhan pangan nasional yang terus meningkat, kini juga memerlukan masukan (input) yang tepat, yaitu efisien, efektif, dan tidak mencemari lingkungan sehingga petani dapat menerima keuntungan yang layak dan lingkungan yang sehat.

Peningkatan produksi tanaman pangan di masa mendatang akan menjadi suatu keharusan untuk mengimbangi cepatnya laju kebutuhan pangan, sehingga penggunaan lahan akan semakin intensif, bahkan mungkin menjadi super intensif. Seiring dengan intensifnya penggunaan lahan, maka diperlukan ketepatan rekomendasi pemupukan. Produktivitas lahan akan cepat menurun akibat pengurasan hara oleh tanaman, jika rekomendasi pemupukan sering tidak tepat. Di samping itu terjadi pula penimbunan hara di tanah sehingga tidak ekonomis dan mencemari lingkungan. Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang merupakan salah satu faktor kunci untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas lahan sawah. Dalam hal ini perlu memperhatikan kadar unsur hara di tanah, jenis dan mutu pupuk, keadaan iklim, dan unsur hara yang diperlukan tanaman untuk pertumbuhan dan produksi optimum. Pendekatan ini dapat dilaksanakan dengan baik jika rekomendasi pemupukan disasarkan kepada hasil uji tanah dengan metodologi yang tepat dan teruji. Pendekataan uji tanah sebagai dasar perhitungan kebutuhan pupuk telah dilaksanakan dan berhasil dengan baik di beberapa negara karena didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi maju (Rochayati dan Adiningsih, 2002).

Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mempertimbangkan bahwa sistem produksi pertanian padi merupakan suatu sistem dinamik, dimana produk akhirnya (hasil padi) merupakan fungsi dari faktor iklim (radiasi surya, suhu), air, tanah (fisik dan kimia) serta tanaman dengan berbagai karakternya yang bersifat dinamik. Fluktuasi hasil dapat diterangkan sebagai akibat respon proses di dalam tanaman terhadap perubahan faktor diatas. Input (pupuk) yang diberikan merupakan pendukung terhadap kondisi tanah agar proses pertumbuhan tanaman berjalan optimal pada lingkungan tertentu. Konsep ini kemudian dikenal dengan istilah pemupukan berimbang.

Pengertian pemupukan berimbang bukan pemupukan lengkap. Selama ini di sebagian masyarakat telah berkembang pengertian bahwa pemupukan berimbang adalah pemupukan yang menggunakan (compound) NPK. Pemupukan berimbang sebenarnya adalah pemberian pupuk ke dalam tanah dengan jumlah dan jenis hara yang sesuai dengan kemampuan tanah menyediakan hara dan kebutuhan tanaman untuk mencapai target produksi tertentu. Jadi, apabila tanah di suatu lokasi mempunyai kadar P dan K tinggi, maka pupuk P dan K yang ditambahkan hanya untuk perawatan, dengan takaran setara dengan P dan K yang terangkut panen agar produktivitas tanah tetap terpelihara tanpa menurunkan produktivitas tanaman. Pupuk yang diberikan dapat berupa pupuk tunggal atau pupuk majemuk yang dikombinasikan dengan pupuk tunggal (Rochayati dan Adiningsih, 2002 ).

Pemupukan padi sawah mengenal beberapa istilah seperti pemupukan berimbang, pemupukan spesifik lokasi, dan pengelolaan hara spesifik lokasi yang pada dasarnya identik satu sama lain, tetapi pemupukan berimbang sering disalahartikan sebagai pemupukan lengkap (N, P, K, S) dan diidentikan dengan penggunaan pupuk majemuk. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pemupukan berimbang mengacu kepada keseimbangan antara unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman padi berdasarkan sasaran tingkat hasil yang ingin dicapai dengan ketersediaan hara dalam tanah. Mengingat

3

beragamnya kondisi kesuburan tanah antara lokasi satu dengan lainnya, maka takaran dan jenis pupuk yang diperlukan untuk lokasi – lokasi tersebut tentu akan berbeda pula. Oleh karena itu, pemupukan berimbang sering pula disebut pemupukan (atau pengelolaan hara) spesifik lokasi. Pemupukan berimbang menawarkan beberapa prinsip dan perangkat untuk mengoptimalkan penggunaan hara dari sumber – sumber alami atau lokal (indigenous) sesuai dengan kebutuhan tanaman padi. Sumber hara alami dapat berasal dari tanah, pupuk kandang, sisa tanaman, dan air irigasi (Buresh et al, 2006).

Kegunaan budi daya organik pada dasarnya ialah meniadakan atau membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budi daya kimiawi. Pupuk organik dan pupuk hayati mempunyai berbagai keunggulan nyata dibanding dengan pupuk kimia. Pupuk organik dengan sendirinya merupakan keluaran setiap budi daya pertanian, sehingga merupakan sumber unsur hara makro dan mikro yang dapat dikatakan cuma – cuma. Pupuk organik dan pupuk hayati berdaya ameliorasi ganda dengan bermacam – macam proses yang saling mendukung, bekerja menyuburkan tanah serta menghindarkan kemungkinan terjadinya perncemaran lingkungan (Sutanto, 2002).

B. TUJUAN

Tujuan penelitian yang dilakukan di Desa Jembungan Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah adalah :

1. Analisis pandangan petani terhadap teknologi baru untuk rekomendasi pemupukan berbasis TIK aplikasi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi).

2. Membandingkan pendapatan usahatani dan produktivitas padi petani yang menggunakan teknologi PHSL dengan tidak menggunakan teknologi PHSL.

3. Mengidentifikasi faktor – faktor yang mempengaruhi petani untuk mengadopsi aplikasi PHSL.

4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. BUDAYA PADI

Globlalisasi telah mengubah status padi dari sumber pangan menjadi komoditas dagang dan spekulasi. Bagi Indonesia, Vietnam, dan Thailand, kenaikan produktivitas memberi kontribusi 80% terhadap kenaikan produksi selama 40 tahun terakhir. Di Indonesia, kenaikan produksi mulai menanjak sejak tahun 1969 – 1984 dengan laju 5.3% per tahun. Setelah itu (1984 – 2000), laju kenaikan produksi hanya 1.9% per tahun, terutama karena kemarau panjang (El – Nino) pada tahun 1987, 1991, 1994, dan 1997 dan dampak sampingnya berupa serangan hama dan penyakit (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2002).

Inovasi teknologi yang diintroduksikan setelah terjadi pelandaian atau penurunan produksi memacu kembali kenaikan produksi. Sejak tahun 1998, diawali oleh kemarau panjang dan krisis moneter pada pertengahan 1997, subsidi saprodi dicabut dan kelembagaan sosial dan keuangan berubah – ubah. Produksi padi yang menurun drastis pada tahun 1998 terpacu kembali oleh iklim yang baik, walaupun kelembagaan sosial, keuangan, dan pemasaran belum berubah, bahkan semakin kurang kondusif. Pada tahun 2000, produksi padi mampu menembus angka 51 juta ton. Dalam dasawarsa terakhir, produksi padi Indonesia mengalami stagnasi, karena sebagian besar lahan produktif telah ditanami varietas unggul. IR64 merupakan varietas yang paling populer dengan areal tanam lebih dari 6 juta hektar. Namun Ciherang, Way Apo Buru, Sintanur, Memberamo, dan beberapa varietas lainnya mulai menggeser pertanaman IR64 di beberapa sentra produksi padi (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2002).

Di Indonesia pada mulanya hanya masyarakat Jawa dan Bali yang mengenal dominasi budidaya padi sawah, sehingga telah terjadi pemilahan bahwa padi sawah bergantung pada pengairan, dan padi tegalan bergantung pada hujan karena itu disebut juga padi tadah hujan. Hal ini mungkin karena tanah di Jawa dan Bali lebih subur dengan adanya gunung – gunung berapi di tengah kedua pulau. Dari waktu ke waktu gunung – gunung tersebut meletus dan mengeluarkan lahar yang menyuburkan tanah (Tjondronegoro, 2002).

Seperti disimpulkan oleh Geertz (1963) dalam Tjondronegoro (2002), kesuburan itu mengakibatkan bangsa – bangsa Timur semakin mundur pada umumnya. Sejarah mencatat bahwa setelah ekspansi plasma nutfah padi dari Timur ke Barat, panduduk di belahan Timur bumi seperti mandeg (stangnant) dan pertumbuhannya dibendung oleh penduduk di belahan Barat. Bila ditelusuri lebih lanjut, ternyata terjadi arus balik dan Barat berekspansi ke Timur dan Selatan.

Beras merupakan makanan pokok bagi separuh umat manusia. Penduduk Asia memproduksi dan mengkonsumsi 90% beras dari hasil padi yang ditanam. Di Asia Tenggara, beras menyediakan 70 – 80 % kalori dan 40 – 70 % protein bagi kebutuhan penduduknya. Bagi bangsa Asia, padi berarti kehidupan (Fagi et al, 2002).

5

B. PEMUPUKAN PADI

Degradasi lahan pertanian merupakan salah satu masalah dalam pembangunan pertanian. Degradasi sumberdaya lahan pertanian yang dihadapi terutama adalah kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah sebagai akibat dari penggunaan tanah yang over intensive, menurunnya penggunaan pupuk organik, serta kurangnya penerapan usaha tani konversi. Gejala terjadinya tanah “lapar pupuk” yang menuntut penggunaan dosis lebih tinggi untuk sekedar mempertahankan tingkat produktivitas yang dicapai. Hal ini berkaitan dengan terkurasnya unsur – unsur hara mikro dan menurunnya kesuburan tanah akibat semakin habisnya bahan – bahan organik.

Penambahan pupuk organik merupakan suatu tindakan perbaikan lingkungan tumbuh tanaman dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Penggunaan pupuk organik muncul terutama karena masalah pencemaran lingkungan yang berpengaruh buruk terhadap produk pertanian, dan aspek penting dari hal tersebut adalah penggunaan bahan organik sebagai pengganti sebagian atau seluruh pupuk kimia tanpa mengurangi tingkat produksi tanaman. Pupuk merupakan salah satu masukan yang mahal dalam sistem pertanian. Pemberian pupuk yang kurang dari mestinya menyebabkan produksi kurang optimal, sedangkan pemberian yang berlebihan akan mengakibatkan pemborosan dan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, pupuk harus diberikan secara rasional sesuai kebutuhan tanaman dan ketersediaan hara dalam tanah.

Pemupukan pada tanaman padi merupakan hal yang tidak mudah, karena dosis pemupukan tanaman padi sangat relatif. Hal ini dipengaruhi oleh cuaca atau iklim, jenis tanah, ketersediaan unsur hara dalam tanah, varietas tanaman padi, jenis pupuk yang diberikan dan cara pemberian pupuk. Oleh karena itu takaran pemberian pupuk dan waktu pemberian menjadi hal yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman padi.

Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang adalah salah satu kunci dalam memperbaiki dan meningktakan produktivitas lahan pertanian. Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang harus memperhatikan kadar unsur hara di tanah, jenis dan mutu pupuk, keadaan agroklimat, dan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk berproduksi optimal. Mengingat mahalnya harga pupuk, maka penggunaannya harus diefisienkan melalui pemupukan spesifik lokasi yang didasarkan pada data uji tanah. Untuk sementara ini takaran pupuk terutama P dan K dapat didasarkan pada peta P dan K yang telah disusun oleh Puslitbangtanak dan BPTP. Jumlah kebutuhan pupuk berdasarkan peta tersebut di sebagian besar provinsi jauh lebih rendah daripada rekomendasi saat ini. Namun diakui bahwa sebagian petani memupuk melampaui takaran anjuran. Oleh karena itu peran penyuluh lapangan harus ditingkatkan. (Rochayati dan Adiningsih, 2002). Pendekatan ini menguntungkan jika rekomendasi pemupukan dilandasi oleh uji tanah dan analisis tanaman bedasarkan metodologi yang tepat dan teruji.

Program pelayanan uji tanah disajikan pada Gambar 1.

Contoh tanah Uji tanah Pemodelan

Petani Analisis Peneliti REKOMENDASI = Hasil meningkat

Lapang Lab.UT Komputer

Gambar 1. Diagram alir pelaksanaan program pelayanan uji tanah. (Sumber : Badan Penelitian dan Pembangunan Pertanian, 2002)

6

Untuk menduga ketersediaan hara didalam tanah diperlukan uji tanah. Uji ini cukup sederhana, cepat, murah, tepat, dan dapat diulang. Tujuannya adalah memberikan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi yang rasional kepada petani. Untuk mendukung program tersebut laboratorium uji tanah telah dikembangkan dengan fasilitas yang memadai, antara lain di Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor; Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Yogyakarta; serta di beberapa perguruan tinggi (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2002).

Peluang peningkatan produktivitas lahan sawah di Indonesia masih terbuka melalui evaluasi insidensi dan penanganan hara selain N, P, dan K, yakni hara S dan Zn. Insidensi kekurangan S diduga cukup luas dan sudah diidentifikasi pada tanah Grumusol di Ngale (Jawa Timur) dan Sulawesi Selatan. Kecenderungan penggunan pupuk N dan P berkadar S rendah atau bebas S seperti urea dan TSP juga akan meningkatkan insidensi kekurangan S. Pada sebagian lahan sawah, kekurangan Zn merupakan faktor pembatas produksi setelah N dan P. Insidensi kekurangan Zn semakin meluas karena angkatan yang besar dan terus menerus dalam produk tanaman dan adanya fiksasi Zn oleh sulfida dalam tanah sawah (Radjagukguk, 2002).

C. KAJIAN BEBERAPA STUDI TERDAHULU

Penelitian yang berkaitan mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi produksi dan adopsi teknologi baru pertanian telah banyak dilakukan, antara lain Yuliarmi (2006), Yanuar (1999), Anggraeini (2005), Buana (1997), Nahraeni (2000), Santoso et al (2001) dan lain – lain. Namun untuk kasus program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) belum ada yang menganalisis.

Yanuar (1999) menganalisis pendapatan dan produksi usahatani padi di lahan gambut di Desa Blang Ramee, Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Barat, Propinsi Daerah Istemewa Aceh. Usahatani di Desa Blang Ramee merupakan usahatani yang dilakukan pada kondisi yang bergambut, dengan tingkat kematangan gambut hemic dan safrik yang kesuburannya rendah. Pengusahaan lahan masih rendah disebabkan ketersediaan modal, tenaga kerja dan kondisi lahan yang miskin unsur hara. Penggunaan faktor produksi juga masih sangat rendah dan belum sesuai anjuran PPL setempat. Teknologi budi daya yang diterapkan pada usahatani padi di Desa Blang Ramee ini masih sangat sederhana dan tanpa perlakuan khusus sesuai dengan kondisi lahan walaupun sebenarnya kondisi lahan di Desa Blang Ramee menuntut penggunaan yang lebih baik. Sehingga produktivitas lahan menjadi rendah.

Anggreini (2005) menganalisis usahatani padi pestisida dan non pestisida di Desa Purwasari, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa usahatani padi non pestisida lebih menguntungkan untuk dilakukan jika dibandingkan dengan usahatani padi pestisida di Desa Purwasari. Hal ini dapat dilihat dari nilai pendapatan usahatani padi non pestisida atas biaya tunai dan total yang lebih tinggi. Nilai R/C atas biaya tunai dan total yang lebih besar dari satu serta nilai imbangan penerimaan untuk tiap pekerja secara keseluruhan yang lebih besar daripada usahatani padi pestisida, baik pada saat musim kemarau maupun hujan. Faktor – faktor yang berpengaruh nyata terhadap produksi padi pestisida dan non pestisida adalah luas lahan, jumlah bibit dan pupuk KCl.

Buana (1997) menganalis tingkat adopsi teknologi budidaya padi sawah di Provinsi Sulawesi Tenggara melalui pendekatan Koefisien Kolerasi Peringkat Spearman. Hasil analisisnya memberikan gambaran bahwa tingkat adopsi petani terhadap teknologi budi daya padi sawah tergolong sedang, petani telah melaksanakan budi daya padi sawah tetapi belum sesuai dengan rekomendasi penyuluh pertanian setempat. Karateristik internal (pendidikan formal, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan

7

garapan, dan pendapatan) menunjukkan hubungan yang nyata dan bersifat positif, yang menjelaskan bahwa semakin tinggi pendidikan formal, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, dan pendapatan semakin tinggi tingkat adopsi teknologinya sedangkan umur dan pengalaman berusahatani menunjukkan hubungan yang nyata dan besifat negatif, yang menjelaskan bahwa semakin lama berusahatani semakin menurun tingkat adopsi teknologinya.

Nahraeni (2000) dengan analis keputusan menggunakan model logit diperoleh hasil bahwa keputusan petani untuk mengadopsi teknologi sangat terkait dengan faktor risiko, keyakinan dan pendapatan yang tinggi dari teknologi tersebut. Upaya – upaya pembinaan langsung lapang dan demonstrasi lapang lebih efektif dalam mendorong penerapan teknologi tabela di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Santoso, et al (2001) mengkaji mengenai tingkat penerapan teknologi Sitem Usaha Pertanian (SUP) padi di wilayah Kabupaten Bojonegoro, Sidoarjo dan Jember yang dilakukakan pada tahun 1998/1999 sampai dengan tahun 2000 dengan analisis deskriptif memakai sistem skor. Hasil kajian menunjukkan bahwa adopsi teknologi anjuran pada sistem usahatani padi di wilayah pengkajian, belum sepenuhnya diadopsi oleh petani. teknologi anjuran yang diadopsi oleh petani peserta di Kabupaten Bojonegoro, Sidoarjo dan Jember sekitar 53 %, sedangkan teknologi anjuran yang terdifusi oleh petani non peserta mencapai sekitar 47 %. Adopsi teknologi telah berdampak terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan usahatani padi, yaitu sekitar 9 % dan 26 %. Agar adopsi teknologi anjuran dapat berlanjut, disarankan agar dorongan pemerintah daerah, pembinaan dan bimbingan melalui kelompok tani ditingkatkan.

Yuliarmi (2006) menganalisis produksi dan faktor – faktor penentu adopsi teknologi pemupukan berimbang pada usahatani padi. Hasilnya tingkat penerapan teknologi usahatani padi sawah di Kecamatan Plered berada pada kategoti sedang (60 - 75 %). Kalau dilihat dari tingkat produksi dan pendapatan, perbedaan produksi sebasar 976 kg dan perbedaan pendapatan yang diperoleh petani sebesar Rp 830,959. Permasalahan yang dihadapi petani dalam penerapan teknologi pemupukan berimbang pada usahatani padi sawah di Kecamatan Plered adalah kurangnya modal petani untuk membeli sarana produksi dan membiayai upah tenaga kerja serta tidak adanya jaminan harga yang layak pada saat panen raya. Proses adopsi teknologi pemupukan berimbang di Kecamatan Plered dipengaruhi oleh faktor luas lahan, biaya pupuk, dan harga gabah, dimana semakin luas lahan petani, semakin kecil biaya pupuk, dan semakin tinggi harga gabah semakin besar peluang petani dalam mengadopsi teknologi pemupukan berimbang.

D. PERTANIAN PRESISI

Pertanian presisi adalah sebuah konsep manajemen yang relatif baru, diperkenalkan pada pertengahan tahun 1980-an dimana dimulai sebuah revolusi baru dalam manajemen sumber daya pertanian. Sejak diperkenalkan, pertanian presisi mendapatkan berbagai sebutan, yakni manajemen spesifik lokasi, pertanian spesifik lokasi, dan pertanian presisi, tetapi karakteristik umum yang mendasarinya adalah data yang diberikan dan penggunaan teknologinya. Meskipun penggunaan teknologi pertanian presisi dan peralatan meningkat, tingkat adopsi telah melambat dibanding dengan pertengahan dan akhir tahun 1990. Ada beberapa alasan perluasan penggunaan pertanian presisi tertunda (Murakami et al 2007). Alasan – alasan tersebut antara lain : (1) waktu untuk belajar peralatan dan perangkat lunak, (2) kurangnya ketrampilan elektronik, (3) kurangnya pelatihan bagi produsen dan industri, (4) menghubungkan pengumpulan data dan pengambilan keputusan, (5) kurangnya bantuan teknis, (6) kurangnya tenaga ahli lokal, (7) bekerja dengan data yang berbeda format, (8) hasil analisis data untuk membatasi faktor – faktor produksi, kesulitan dalam menjaga kualitas data, (9) penelitian dasar pada hasil dan hubungannya dengan tanah, dan (10) kebutuhan

8

peralatan pertanian presisi, teknik, perangkat lunak. Sebuah survey dari petani di Denmark menunjukkan bahwa meskipun mereka umumnya optimis tentang pertanian presisi, masalah utama telah menjadi kesulitan dalam membuktikan dalam hal keuntungan ekonomi dan lingkungan (Murakami et al, 2007). Seminar (2011) menyatakan bahwa ketepatan dan kecepatan waktu produksi produk pertanian menjadi tuntutan pasar pertanian global. Pertanian presisi adalah paradigma pertanian yang memberikan perlakuan presisi dalam semua simpul – simpul rantai agribisnis. Isgin et al, (2008) menyatakan pertanian presisi yang juga dikenal sebagai pengelolaan tanaman spesfiik lokasi adalah manajemen berbasis teknologi pertanian. Beberapa teknik pertanian presisi juga dirancang untuk menyediakan data berharga dan terperinci sebagai informasi tentang kandungan hara dan kualitas tanah di lapangan. Informasi yang dikumpulkan dengan cara ini sangat berguna dalam membantu petani ketika membuat alokasi masukan keputusan yang lebih baik daripada menggunakan praktik konvensional dalam manajemen aspek di segala bidang. Pertanian presisi membantu petani untuk menghindari masukan (input) pada tanaman seperti benih, pupuk, kapur, dan bahan kimia lain melebihi jumlah yang dibutuhkan tanaman yang akan mengakibatkan pencucian atau limpasan permukaan menjadi polutan potensial. Dengan demikian, penggunaan teknologi pertanian presisi memungkinkan petani untuk memantau seluruh aspek usahatani dengan menyesuaikan tingkat aplikasi masukan untuk memaksimalkan tujuan produksi dan meminimalkan jumlah bahan kimia yang diberikan. Pada akhir abad ke-20, pertanian presisi telah berkembang menjadi topik penelitian di dunia. Saat ini bidang yang paling berperan penting dalam kemajuan pertanian adalah melalui integrasi teknologi informasi ke dalam traktor, mesin dan alat pertanian lain. Namun yang cukup menarik adalah pertanian presisi selalu terkait dengan pemupukan spesifik lokasi. Petani mengharapkan penggunaan teknologi baru dapat menurunkan penggunaan pupuk sebesar dua kali lipat dengan hasil panen yang ralatif sama sengan hasil panen biasanya. (Auernhammer, 2001).

E. APLIKASI PEMUPUKAN HARA SPESIFIK LOKASI

Pupuk merupakan input yang paling mahal dalam pertanian padi setelah tenaga kerja, namun pupuk yang diaplikasikan oleh petani sering kali tidak efisien. Inefisiensi penggunaan pupuk dapat disebabkan oleh penerapan nutrisi dalam jumlah dan waktu tidak serasi dengan kebutuhan tanaman. Hal ini dapat menurunkan keuntungan bagi para petani, dan aplikasi kelebihan pupuk dapat memiliki efek merugikan lingkungan. Sebagai prinsip umum, jumlah nutrisi diambil oleh tanaman secara langsung berkaitan dengan hasil panen. Petani harus menyesuaikan manajemen pupuk mereka agar sesuai dengan kebutuhan nutrisi tanaman untuk mencapai hasil yang tinggi dan menguntungkan. Hal ini memerlukan kombinasi yang tepat dari sumber pupuk, harga, dan waktu aplikasi untuk kondisi khusus mereka. Mengkombinasi dan memanajemen pupuk tertentu untuk diaplikasikan dalam lahan pertanian memerlukan pengambilan keputusan yang kompleks bagi petani. Pengembangan alat keputusan yang menyederhanakan kompleksitas dan intensitas pengetahuan pengelolaan hara di lapangan serta pedoman khusus untuk digunakan oleh penyuluh, penasihat tanaman, dan petani telah dirancang para ilmuwan IRRI.

Uji tanah talah lama digunakan untuk menilai status kesuburan tanah dan untuk mengestimasi kebutuhan pupuk dan perbaikan lahan. Selain dengan uji tanah, kebutuhan pupuk diestimasi dengan uji tanaman. Semua pengujian itu dikerjakan di laboratorium, sehingga diperlukan waktu dan biaya yang mahal. Ketelitian hasil uji tanah dan uji tanaman sangat bergantung kepada alat yang digunakan dan kepada pengalaman dan keterampilan petugas laboratorium. Seringkali anjuran pemupukan dengan menggunakan hasil interpretasi data uji tanah dan uji tanaman kurang memuaskan. Dengan

9

cara ini petani, sebagai pengguna, tidak terlibat langsung dalam evaluasi. SSNM (Site Spesifik Nutrient Management) dengan metode omission plot dapat digunakan dalam menentukan kebutuhan pupuk N,P,K tanaman padi tanpa laboratorium dan petani terlibat langsung dalam evaluasi (Fagi dan Kartaatmaja, 2004). Para ilmuwan dari International Rice Research Institute (IRRI) dan organisasi - organisasi nasional di seluruh Asia, melalui sekitar 15 tahun penelitian mengembangkan Site Specific Nutrient Management (SSNM) untuk tanaman padi. SSNM menyediakan pendekatan berbasis ilmu pengetahuan untuk secara efektif memasok nutrisi ke tanaman padi bila diperlukan. SSNM telah secara konsisten meningkatkan hasil padi dan keuntungan dalam evaluasi lapang di beberapa negara Asia. Prinsip-prinsip dan manfaat dari praktik perbaikan manajemen nutrisi yang baik telah didokumentasikan dalam publikasi ilmiah, buku panduan, dan situs web (IRRI, 2010). Manajemen pupuk optimal untuk sawah tergantung dari hasil panen, varietas, sisa panen (residu tanaman), jumlah dan kualitas tambahan bahan organik, masukan nutrisi dari sedimen dan banjir musiman, dan ketersediaan air setempat pada musim tanam tertentu. IRRI dan mitra nasional bekerja sama untuk menggunakan prinsip-prinsip SSNM dan pengetahuan yang ada pada pengelolaan hara untuk mengembangkan pedoman khusus pengelolaan hara. Pada tahun 2008, hal ini melahirkan versi pertama dari inovasi alat yang mudah digunakan, interaktif dan berbasis komputer yang bernama Nutrient Management for Rice. Nutrient Management dirancang untuk membantu penyuluh pertanian, penasihat tanaman, dan petani dengan merumuskan rekomendasi pemupukan yang disesuaikan dengan kondisi lahan tertentu berdasarkan pertanyaan-pertanyaan seputar kondisi di lapangan. Mulai tahun 2008, versi Nutrient Management for Rice khusus dirancang untuk budidaya padi di Filipina, dirilis dan didistribusikan melalui CD (Compact Disc) di seluruh Filipina. Versi lain dari Nutrient Management for Rice disesuaikan dengan penanaman padi di Indonesia dirilis dalam bahasa Indonesia dan didistribusikan pada CD di Indonesia dengan nama PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi). Difusi alat keputusan Nutrient Management for Rice melalui CD diperlambat oleh tingkat di mana CD bisa mencapai pengguna akhir di daerah pedesaan. Distribusi melalui CD juga membatasi memperbarui secara cepat inovasi PHSL jika terdapat temuan penelitian baru. Pada tahun 2009, Nutrient Management for Rice untuk Filipina dirilis berbentuk aplikasi Web untuk mempercepat difusi, dan kemudian pada tahun 2010 itu terus diperbarui (IRRI 2010a). Pada Gambar 2 akan dipaparkan tampilan muka saat mengakses aplikasi PHSL melalui www.webapps.irri.org/nm

Gambar 2. Tampilan aplikasi PHSL (NM RiceWeb) dan beberapa pertanyaannya. (www.webapps.irri.org/nm)

10

Aplikasi Web Nutrient Management for Rice di Filipina saat ini disebut dengan NMRiceWeb. Aplikasi ini memberikan rekomendasi pemupukan untuk sawah tadah hujan dan irigasi dengan kondisi lahan musim tanam tunggal, musim tanam ganda, atau tiga musim tanam. Biaya pemupukan dan waktu disesuaikan untuk mengakomodasi penggunaan sumber nutrisi organik dan masukan nutrisi dari sedimen yang dibawa oleh banjir. Alat ini memberikan rekomendasi pemupukan untuk tingkat hasil yang disesuaikan dengan kondisi setempat dan dapat menghitung analisis keuntungan sederhana untuk alternatif manajemen pupuk. Pada Gambar 3 dipaparkan keluaran dari aplikasi PHSL setelah menjawab semua pertanyaan yang diajukan meliputi rekomendasi pemupukan, perkiraan biaya dan keuntungan dari pemupukan, gambaran dengan penggunaan BWD. Gambar 3. Hasil rekomendasi pemupukan aplikasi PHSL melalui Web setelah menjawab semua

pertanyaan. (www.webapps.irri.org/nm) Pada tahun 2010, di Filipina telah dikembangkan aplikasi rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi yang dapat diakses melalui ponsel. Hal ini dilakukan agar dapat menjangkau lebih banyak petani untuk menggunakannya. Potensi ponsel sebagai sumber informasi bagi petani sangat besar di negara seperti Filipina. Para ilmuwan dan teknologi informasi (TI) ahli di IRRI, dengan dukungan dari organisasi nasional dan perusahaan telepon swasta, mengembangkan aplikasi ponsel atau NMRiceMobile, sebagai alternatif untuk aplikasi Web di daerah pedesaan tanpa akses internet. Perusahaan telepon swasta menyediakan nomor bebas pulsa untuk mengakses NMRiceMobile dengan menggunakan respon suara interaktif melalui ponsel.

11

Dengan adanya NMRiceMobile di Filipina, petani dapat memanggil nomor bebas pulsa. Setelah petani terhubung, suara prompt otomatis menginstruksikan pemanggil untuk menjawab pernyataan – pertanyaan (lampiran 2) tentang kondisi lahan secara spesifik dengan menekan nomor yang sesuai pada keypad ponsel. Setelah petani menjawab semua pernyataan, rekomendasi pupuk lapangan khusus dikirim ke telepon pemanggil sebagai pesan teks. Namun demikian, aplikasi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) di Indonesia masih berbayar (belum bebas pulsa). Gambar 4 akan menampilkan contoh pesan teks yang diterima nomor yang mengakses aplikasi PHSL melalui ponsel.

Gambar 4. Pesan teks yang diterima setelah mengakses NMRiceMobile. NMRiceWeb dan NMRiceMobile di Filipina adalah aplikasi sepenuhnya kompatibel yang membutuhkan informasi lahan petani, berbagi database umum dan perhitungan, dan menghasilkan rekomendasi pemupukan untuk petani dan penyuluh berdasarkan tanggapan atas pertanyaan. Rekomendasi pemupukan yang diberikan terdiri dari jumlah pupuk untuk diterapkan dengan tahap pertumbuhan tanaman padi. Aplikasi ini mengakomodasi benih padi, termasuk varietas inbrida dan hibrida dengan berbagai jangka waktu pertumbuhan. NMRiceWeb dan NMRiceMobile memberikan panduan yang konsisten dengan prinsip-prinsip ilmiah SSNM untuk padi. Kedua aplikasi tersedia dalam bahasa Inggris dan lokal dipahami dan digunakan oleh petani. Di Indonesia sendiri telah tersedia dalam 5 bahasa, yaitu bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Bugis dan Bali. Pengembangan aplikasi Nutrient Management for Rice dimungkinkan melalui kemitraan antar organisasi, termasuk pusat penelitian nasional pertanian, penyuluhan, dan sektor swasta. Aplikasi Nutrient Management for Rice bertujuan untuk memberikan praktik perbaikan manajemen nutrisi yang memungkinkan petani mendapatkan hasil panen yang lebih tinggi dan keuntungan finansial yang lebih tinggi. Aplikasi ini menyesuaikan waktu untuk memberikan pupuk Nitrogen untuk lebih cocok tahap pertumbuhan tanaman kritis, menyesuaikan tingkat pupuk untuk hasil yang diharapkan, dan menyesuaikan manajemen pupuk kalium berdasarkan Kalium yang dipasok dari penggunaan sisa tanaman dan penggunaan sumber nutrisi organik. Web aplikasi Nutrient Management for Rice sedang dikembangkan untuk padi, gandum, dan jagung di negara-negara di seluruh Asia. Pengembangan dan perilisan aplikasi Web memberikan kesempatan bagi perkembangan selanjutnya dari aplikasi ponsel. Web dan aplikasi ponsel di masa depan memiliki potensi untuk menghubungkan petani dengan pemasok pupuk di dekatnya. Nutrient Management akan diperluas untuk menyediakan petani dengan praktik terbaik manajemen tanaman seperti persiapan lahan, kualitas benih, irigasi, dan manajemen hama di samping pengelolaan hara. Web dan aplikasi ponsel Nutrient Management for Rice membantu mengkoordinasi keputusan yang kompleks dan membutuhkan pengetahuan untuk membuatnya menjadi mudah untuk mendapatkan rekomendasi pemupukan bagi para penyuluh, penasihat tanaman, dan petani.

12

F. ADOPSI TEKNOLOGI

Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi suatu organisasi dalam rangka menjalankan tugasnya serta mewujudkan visi dan misinya antara lain dilakukan dengan menerapkan teknologi komunikasi sebagai salah satu media dalam pengelolaan informasi. Penerapan teknologi suatu organisasi disebabkan oleh beberapa hal yang berbeda satu sama lain, antara lain : kebutuhan dan kepentingan organsasi itu sendiri, kebijakan pemerintah atau paksaan dari negara – negara maju. Dalam penerapan teknologi komunikasi perlu memeprhatikan struktur organisasi yang menampung hasil inovasi baru, kemamupuan teknis sumbeir daya manusia dan budaya yang yang ada dalam organisasi.

Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mengacu pada penggunaan peralatan elektronik (terutama komputer) untuk memproses suatu kegiatan tertentu. TIK mempunyai kontribusi yang potensial untuk berperan dalam mencapai manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan yang signifikan. Di Indonesia, bidang teknologi informasi dan komunikasi merupakan salah satu dari enam bidang fokus utama pengembangan iptek, yaitu : (1) Ketahanan pangan, (2) Sumber energi baru dan terbarukan, (3) Teknologi dan manajemen transportasi, (4) Teknologi informasi dan komunikasi, (5) Teknologi pertahanan, dan (6) Teknologi kesehatan dan obat – obatan. Dalam mendukung kegiatan pembangunan pertanian berkelanjutan, TIK memiliki peranan sangat penting untuk mendukung tersedianya informasi pertanian yang relevan dan tepat waktu.

Saat ini teknologi komunikasi telah berkembang pesat dengan khususnya internet, hal ini diasumsikan memberikan peluang besar oleh para pelaku bisnis dan organisasi tertentu. Internet telah dianggap memberikan peluang besar yang bisa dimanfaatkan untuk sektor pemberian informasi secara cepat, mudah, murah dan tanpa batasan waktu. Namun, dalam bidang pertanian teknologi ini belum banyak dimanfaatkan.

Dengan tidak adanya wadah yang menampung hasil inovasi berpengaruh pada proses difusi inovasi yang menimbulkan kecenderungan untuk menolak, karena individu merasa tidak jelas dalam melakukan aktivitas yang berkaitan dengan hasil inovasi yang telah diadopsi oleh organisasi. Selain penolakan ataupun keterlambatan penerimaan disebabkan adanya budaya dan kemampuan teknis. Budaya yang ada dan telah lama berkembang serta menjadi kepercayaan yang merupakan pegangan bagi setiap anggota organisasi. Dengan kondisi tersebut masuknya budaya yang dibawa oleh teknologi yang diadopsi menimbulkan pro dan kontra di tengah – tengah suatu masyarakat. Pro dan kontra tersebut tercermin dalam berbagai sikap dan tanggapan dari anggota masyarakat yang bersangkutan, ketika proses yang dimaksud berlangsung di tengah – tengah mereka. Sedangkan kemampuan teknis yang dimiliki oleh sumber daya manusia dalam kondisi tidak terlatih untuk menggunakannya. Menurut Rogers (1995) diacu dalam Soekartono (2008), organisasi dibuat untuk menangani tugas – tugas rutin dalam skala besar melalui suatu aturan tentang hubungan antar manusia. Struktur diperlukan untuk menampung hasil inovasi, selain itu dapat menjadi penghubung antara satu inovasi dan inovasi yang lain sehingga dapat saling terkait yang pada akhir akan terintegrasi secara sisteman. Program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) merupakan suatu inovasi teknologi yang dikembangkan oleh IRRI (International Rice Research Institute), Puslitbang Tanaman Pangan, BB Padi, dan Badan Litbang Pertanain. Aplikasi ini ditujukan pada PPL dan petani sebagai pedoman atau rekomendasi pemupukan yang tepat, efektif dan efisien. Aplikasi PHSL berpedoman kepada pemupukan berimbang dan pembangunan pertanian berkelanjutan. Aplikasi PHSL sebisa mungkin dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia yang dapat menurunkan kualitas lahan, serta memaksimalkan kandungan organik yang ada pada lahan sawah.

13

Konsep berkelanjutan merupakan konsep yang sederhana namun kompleks, sehingga pengertian berkelanjutan pun sangat multi-dimensi dan multi-interpretasi. Karena adanya multi-dimensi dan multi-interpretasi ini, para ahli sepakat untuk sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh Komisi Brundtland yang menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka” (Fauzi 2004 dalam Lubis 2010). Konsep keberlanjutan ini paling tidak mengandung dua dimensi, yaitu dimensi waktu karena keberlanjutan tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi di masa mendatang, dan dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan lingkungan. Soekartono (2008) menyatakan bahwa difusi (penyebar serapan) inovasi terdiri dari unsur – unsur : (1) inovasi (inovation), (2) saluran komunikasi (communication channels), (3) waktu (time), dan (4) sistem sosial (social system). Inovasi merupakan suatu ide, cara – cara ataupun objek yang dioperasikan seseorang sebagai sesuatu yang baru. Baru tidaklah semata – mata dalam ukuran waktu sejak ditemukan atau pertama kali digunakannya inovasi tersebut. Saluran komunikasi digunakan untuk menyebarluaskan inovasi yang telah diadopsi oleh organisasi kepada masyarakat ataupun kepada anggotanya. Saluran komunikasi yang digunakan untuk penyebarluasan inovasi kepada masyarakat luas dilakukan melalui media elektronik, media cetak maupun media baru. Waktu, selain itu dalam penyebarluasan inovasi kepada karyawan diperlukan adanya waktu dan adanya pemahaman terhadap sistem sosial yang ada dalam organisasi seperti budaya. Sistem sosial, setiap organisasi memiliki satu budaya atau lebih yang memuat perilaku – perilaku yang diharapkan tertulis atau tidak tertulis. Budaya suatu kelompok dapat digolongkan sebagai seperangkat pemahaman atau makna yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang. Dalam difusi inovasi terdapat faktor untuk pertimbangan bagi adopter (penerima inovasi) untuk menerima atau menolak. Terdapat lima karakteristik yang menandai setiap gagsan atau cara baru, diterima atau ditolak oleh masyarakat, yaitu :

1. Keuntungan – keuntungan relatif (relative advantages), yaitu sejauhmana inovasi, cara – cara atau gagasan baru ini memberikan suatu keuntungan bagi mereka yang menerimanya.

2. Keserasian (compatibility), yaitu apakah inovasi yang hendak di difusikan tersebut serasi dengan nilai – nilai, sistem kepercayaan, gagasan yang lebih dahulu diperkanalkan sebelumnya, kebutuhan, selera, adat – istiadat dan sebagainya dari masyarakat yang bersangkutan.

3. Kerumitan (complexity), yaitu apakah inovasi tersebut dirasakan rumit. Pada umumnya masyarakat tidak atau kurang berminat pada hal – hal yang rumit, sebab selain sukar untuk dipahami juga cenderung dirasakan merupakan tambahan beban yang baru.

4. Dapat dicobakan (trialability), yaitu bahwa suatu inovasi akan lebih cepat diterima bila dapat dicobakan dulu dalam ukuran kecil sebelum adopter terlanjur menerimanya secara menyeluruh. Hal ini adalah cerminan prinsip manusia yang selalu ingin menghindari risiko yang besar dari perbuatannya.

5. Dapat dilihat (observability), jika suatu inovasi dapat disaksikan dengan mata, dapat terlihat langsung hasilnya, maka adopter akan lebih mudah untuk mempertimbangkan menerimanya, daripada bila inovasi itu berupa sesuatu yang abstrak, yang hanya dapat diwujudkan dalam pikiran atau hanya dapat dibanyangkan.

Penerimaan inovasi seseorang atau organisasi dilakukan melaui sejumlah tahapan yang disebut tahap putusan inovasi : (1) Tahap pengetahuan (knowledge), tahap dimana seseorang sadar, tahu, bahwa ada sesuatu inovasi, (2) Tahap bujukan (persuation), tahap ketika seseorang sedang mempertimbangkan atau sedang membentuk sikap terhadap inovasi yang telah diketahui tadi, (3)

14

Tahap putusan (decision), tahap dimana adopter membuat keputusan meneriam atau menolak inovasi yang diperkenalkan, (4) Tahap implementasi (implementation), tahap dimana adopter melaksanakan keputusan yang telah dibuatnya mengenai suatu inovasi, dan (5) Tahap pemastian (confirmation), tahap dimana adopter memastikan putusan yang telah diambilnya tersebut. Dalam keputusan yang dilakukan individu atau adopter ada kemungkinan untuk melanjutkan mengadopsi (continued adoption) atau menghentikannya (discontinuance). Bisa saja individu atau adopter yang menolak inovasi terus mencari informasi lebih lanjut dan terlambat mengadopsinya (later adoption) atau tetap menolak (continued rejecttion) sesuai dengan informasi yang diterimanya. Demikian dengan kategorinya, individu yang mengadopsi suatu inovasi (adopter) atas lima kategori sebagai berikut :

1. Innovator, kelompok kosmopolit yang berani dan gemar dengan pembaharuan. 2. Early Adopter, kelompok yang terdiri dari pemimpin informal sebagai panutan bagi adopter

selanjutnya. 3. Early Majority, kelompok yang biasanya menjadi anggota tetapi lebih awal mengadopsi

inovasi daripada anggota lain. 4. Late Majority, kelompok yang bertindak menjauhi risiko. 5. Laggard, kelompok yang tradisonal.

Meskipun masih terdapat beberapa kendala sehingga pemanfaatan TIK menjadi sangat komplek dan sulit untuk diadopsi. TIK sebenarnya dapat menyediakan kesempatan yang lebih besar untuk mencapai suatu tingkatan tertentu yang lebih baik bagi petani. Hal ini ditunjukkan ketika beberapa lembaga penelitian dan pengembangan menyampaikan studi kasus yang mendeskripsikan bagaimana TIK telah dimanfaatkan oleh petani dan stakeholders usahawan pelaku bidang pertanian sehingga memperoleh peluang yang lebih besar untuk memajukan kegiatan usahataninya. Keberhasilan pemanfaatan TIK oleh petani di Indonesia dalam memajukan usahataninya ditunjukkan oleh beberapa kelompok tani yang telah memanfaatkan internet untuk akses informasi dan promosi hasil produksinya dengan menggunakan fasilitas yang disediakan Community Training and Learning Centre (CLTC) di Pancasari (Bali) dan Pabelan (Salatiga) yang dibentuk Microsoft bekerja sama dengan lembaga nonprofit di bawah Program Unlimited Potential. G. PERAN PENYULUH PERTANIAN

Pengembangan usahatani tidak terlepas dari peran kelembagaan yang terdiri dari beberapa instansi yang menyangkut penelitian maupun penyuluhan. Instansi baik pemerintah maupun swasta yang melakukan penelitian dan pengembangan pertanian merupakan tempat menghasilkan teknologi baru yang akan diadopsi oleh petani sebagai subjek pertanian. Penyuluh pertanian mempunyai peran dalam proses alih teknologi sehingga dapat diadopsi oleh petani. Cepat atau lambatnya proses adopsi teknologi oleh petani tergantung pada kinerja penyuluh pertanian di lapangan.

Penyuluh pertanian menyangkut bidang tugas yang amat luas dan berhubungan dengan administrasi pemerintah untuk membantu petani melaksanakan manajemen usahatani sebaik – baiknya, menuju usahatani yang efisien dan produktif. Koordinasi dari semua tugas ini merupakan fungsi dari penyuluhan pertanian (agricultural extension). Penyuluhan pertanian dapat juga disebut bentuk pendidikan nonformal. Suatu bentuk pendidikan yang cara, bahan, dan sasarannya disesuaikan dengan kepentingan, keadaan, waktu, maupun tempat petani. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kemampuan serta menambah wawasan petani dalam melaksanakan usaha taninya. Melalui penyuluhan diharapkan akan terjadi perubahan perilaku petani, sehingga mereka dapat memperbaiki cara bercocok tanam agar lebih besar penghasilan dan lebih layak hidupnya (Daniel, 2002).

15

Kegiatan penyuluh pertanian meliputi : (1) memfasilitasi proses pembelajaran petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis, (2) memberikan rekomendasi dan mengusahakan akses petani dan keluarganya ke sumber – sumber informasi dan sumber daya yang akan membantu mereka dalam memecahkan masalah yang dihadapi, (3) membantu menciptakan iklim usaha yang menguntungkan, (4) mengembangkan organisasi petani menjadi organisasi sosial ekonomi yang tangguh dan (5) menjadikan kelembagaan penyuluh sebagai lembaga mediasi dan intermediasi, terutama yang menyangkut teknologi dan kepentingan petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis. Tugas penyuluhan pertanian terutama menyangkut usaha membantu petani agar senantiasa meningkatkan efisiensi usaha tani. Sedangkan bagi petani, penyuluhan itu adalah suatu kesempatan memperoleh pendidikan diluar sekolah, di mana mereka dapat belajar sambil berbuat (learning by doing). Para petani yang hidup dalam lingkungan pertanian yang sempit selalu disadarkan akan adanya berbagai praktik dan kesempatan baru yang dimanfaatkan. Praktik – praktik dan penemuan - penemuan baru dalam teknologi ini kadang – kadang terdapat tidak jauh dari tempat tinggal petani walaupun sering juga berasal dari daerah – daerah yang jauh atau bahkan dari luar negeri. Fungsi untuk memperkenalkan hal – hal baru ini pada para petani setempat inilah yang merupakan masalah pokok dari penyuluhan pertanian. Bila dilakukan percobaan atau demonstrasi di lingkungan petani, petani akan melihat sendiri sampai di mana hal – hal baru tersebut benar – benar cocok dengan keadaan setempat. Jika memang demikian, makan kemudian petani akan mempertimbangkan untung dan ruginya. Setelah secara teknis dan ekonomis dianggap menguntungkan barulah petani memutuskan untuk menerima dan mempraktikkan penemuan baru ini.

16

BAB III. METODE PENELITIAN

A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah pada bulan April sampai Juni 2012. Lokasi penelitian dipilih karena daerah tersebut merupakan salah satu daerah pelaksanaan program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi). Kegiatan PHSL ini dilaksanakan oleh BPTP provinsi Jawa Tengah, IRRI (International Rice Research Institute) dengan bantuan PPL kecamatan setempat. Program PHSL ini ditujukan untuk kelompok tani setempat yaitu “Subur Raharjo dan Subur Basuki”. B. JENIS DAN METODE PENGUMPULAN DATA

Studi ini dibagi ke dalam dua tahap pengumpulan data. Tahap pertama diarahkan kepada aktivitas studi pustaka dan pencarian data sekunder. Pada tahap kedua akan memfokuskan kepada pencarian data primer melalui metode wawancara mendalam (indepth interview) dengan nara sumber dari pihak petani yang telah menggunakan rekomendasi pemupukan dari aplikasi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali melalui pengisian kuesioner. Petani responden telah membandingkan budi daya yang rekomendasi pemupukannya menggunakan aplikasi PHSL dengan rekomendasi yang biasa mereka lakukan selama ini. Data primer yang dikumpulkan meliputi data identitas diri, data profil petani dan luas lahan usahatani, seluruh data aktivitas produksi, hasil penjualan, biaya produksi dan pendapatan usahatani. Termasuk di dalamnya data penggunaan bibit, pupuk, pestisida dan tenaga kerja sebagai variabel yang mempengaruhi produksi. Dengan demikian, diharapkan akan diperoleh data yang benar – benar menggambarkan kegiatan produksi. Disamping itu juga data harga input variabel data dan data biaya produksi di masing – masing wilayah penelitian yang akan digunakan untuk menghitung tingkat pendapatan usaha tani.

Kegiatan penelitian ini akan dilakukan dengan beberapa tahapan untuk menganalisis adopsi sistem konsultasi pemupukan hara untuk tanaman padi di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Kelayakan aplikasi ini akan dianalisis melalui manfaat yang diperoleh oleh petani dengan adanya aplikasi ini yang dilihat dari aspek kemudahan, teknologi informasi, ekonomi dan sosial budaya. Adapun diagram alir kegiatan penelitian ini akan disajikan dalam Gambar 5.

17

Gambar 5. Skema langkah – langkah penelitian.

1. Pengambilan Contoh Responden utama dari penelitian ini adalah petani yang tergabung dalam kelompok tani

Subur Basuki dan Subur Raharjo yang telah mengikuti program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi). Petani yang mengikuti program tersebut membagi lahan menjadi dua bagian untuk diberi perlakuan pemupukan yang berbeda, yaitu pemupukan rekomendasi petani dan rekomendasi aplikasi PHSL. Budi daya tanaman padi tidak dibedakan antara lahan pemupukan petani dan lahan pemupukan menggunakan aplikasi PHSL, sehingga dapat diketahui perbedaan hasil panen dengan perlakukan pemupukan yang berbeda. Responden berjumlah 20 petani di Desa Jembungan yang mengikuti program PHSL. Keputusan dalam pengambilan 20 responden memungkinkan bahwa petani yang mengikuti program PHSL lebih banyak tahu tentang aplikasi tersebut. Wawancara dan pengisian kuesioner dilakukan untuk mengetahui respon petani dengan adanya aplikasi PHSL dan keadaan usahatani selama menggunakan rekomendasi pemupukan dari aplikasi PHSL, perbedaan rekomendasi pemupukan, penerimaan dan nilai B/C serta faktor – faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi PHSL sesuai dengan karakteristik petani responden.

Pengumpulan dan Pengolahan Data

Mulai Penelitian

Survey Pendahuluan : -Observasi -Wawancara

Studi Literatur

Identifikasi Variabel Penelitian

Penentuan Sampel Penelitian Pembuatan Kuesioner

Kesimpulan

18

2. Kebutuhan Sumber Data Data yang dibutuhkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung melalui wawancara atau pengisian kuesioner dari nara sumber yang terdiri atas :

1). Petani responden di lokasi penelitian, untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi terhadap pemupukan hara untuk tanaman padi di sawah. Antara lain : lokasi sawah, luasan sawah, jenis padi, umur padi, rekomendasi pemupukan, dll. Hasil panen yang dapat dicapai petani responden setelah menggunakan aplikasi PHSL. Kegiatan budi daya padi sawah yang dilakukan di lokasi penelitian untuk memberi gambaran biaya produksi yang dikeluarkan pada satu musim tanam padi serta untuk menganalisis keuntungan dan nilai B/C pada satu musim tanam. Karakteristik petani responden untuk menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi PHSL.

2). PPL atau penyuluh pertanian lapangan untuk mengetahui peran PPL dalam proses adopsi aplikasi PHSL.

C. PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA 1. Pandangan Petani

Petani di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali yang mengikuti program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) yang dicanangkan oleh IRRI (International Rice Research Institute) bekerjasama dengan BPTP Jawa Tengah berjumlah 20 petani. Kegiatan ini dilaksanakan untuk melakukan evaluasi lapang terhadap aplikasi PHSL yang sekaligus sebagai ajang promosi aplikasi rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi. Hasil wawancara dengan petani responden ini dianalisis sehingga dapat menggambarkan beberapa faktor yang mendorong dan menghambat petani dalam menerapkan dan mengakses aplikasi PHSL untuk tanaman padi di daerah penelitian. Hasil wawancara juga akan menggambarkan tingkat produksi dan keuntungan petani setelah menggunakan aplikasi PHSL. Setelah mendapatkan semua data melalui wawancara dan kuesioner kemudian dilakukan pengolahan data dilakukan sebagai berikut :

a. Analisis Deskriptif Analisis ini digunakan dengan tujuan memperoleh gambaran secara mendalam dan obyektif

mengenai obyek penelitian. Tujuan penggunaan analisis ini adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab – sebab petani mengadopsi aplikasi serta respon petani terhadap aplikasi PHSL. Data primer dan sekunder yang diperoleh dianalisis secara deskriptif tabulasi dan statistik sederhana untuk menggambarkan keadaan petani pengguna rekomendasi aplikasi PHSL dan faktor – faktor yang mendorong dan menghambat adopsi teknologi tersebut.

b. Analisis Teknis Analisis teknis dalam hal ini adalah analisis dengan menggunakan pendakatan –

pendekatan ilmu yang diperoleh dalam perkuliahan. Analisis ini dilakukan berdasarkan data – data wawancara dan pengisian kuesioner dari rangkaian aktivitas budi daya tanaman padi yang dilakukan di Desa Jembungan. Analisis ini mencakup perhitungan keuntungan usaha tani dan perhitungan B/C. Tujuan analisis ini untuk menentukan penggunaan teknologi yang sesuai dengan tingkat keuntungan maksimal yang didapatkan petani setelah menggunakan rekomendasi aplikasi PHSL pada masing – masing petani serta pemupukan berdasarkan lahan yang mereka miliki.

19

Adapun respon petani terhadap teknologi PHSL didasarkan kepada aspek – aspek yang antara lain meliputi : 1). Analisis operasional, dengan teknik analisis trend dan teknis terhadap variabel terpilih, yaitu kemudahan petani untuk mengakses aplikasi PHSL, kemampuan petani responden untuk menjawab setiap pertanyaan, kemudahan bahasa yang digunakan, respon petani setelah menerima rekomendasi pemberian pupuk yang diterima dari aplikasi PHSL. Analisis ini memberikan arahan tentang tingkat kenyamanan pengguna (petani dan penyuluh pertanian lapangan) untuk mengakses aplikasi PHSL tersebut. 2). Analisis teknologi informasi, dengan teknik analisis dekriptif terhadap variabel – variabel yang telah ditentukan, yaitu kemudahan sambungan komunikasi sistem konsultasi, kemudahan petani dalam menjawab pertanyaan menggunakan handphone, smartphone maupun dengan internet. 3). Analisis sosial budaya, dengan teknik analisis diterapkan secara deskriptif untuk mengetahui dan mengukur kemanfaatan dan kerugian yang diprediksi akan muncul dengan adanya aplikasi PHSL di lokasi penelitian dan ada tidaknya budaya pemupukan yang sering dilakukan di lokasi penelitian. Pada Gambar 6 dijelaskan kerangka penelitian yang dilakukan di Desa Jembungan, mengenai pandangan petani terhadap aplikasi PHSL, perbandingan usahatani PHSL dan nonPHSL serta faktor penentu adopsi teknologi PHSL.

Gambar 6. Kerangka Penelitian di Desa Jembungan.

Keterkaitan variabel bebas petani terhadap proses adopsi inovasi

baru (PHSL)

1. Penerimaan 2. Biaya 3. Pendapatan 4. Nilai B/C

1. Karakteristik Petani 2. Faktor

pendorong/penghambat adopsi

3. Analisis Operasional 4. Analisis Teknologi

Informasi 5. Analisis Sosial Budaya

Pandangan Petani terhadap inovasi

baru (PHSL)

Perbandingan Usahatani PHSL dan

non PHSL

Faktor Penentu adopsi inovasi baru

(PHSL)

Teknologi baru : Pemupukan Aplikasi PHSL

Kebiasaan lama : Pemupukan petani (non PHSL)

Pemupukan padi

Petani padi responden

20

2. Pendapatan Usahatani Kegiatan usaha tani adalah salah satu kegiatan untuk memperoleh produksi di lahan

pertanian, pada akhirnya akan dinilai dari pendapatan yang dihasilkannya yang merupakan selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Pendapatan tersebut merupakan hasil dari rangkaian kegiatan budidaya dan kerjasama dari faktor – faktor produksi pertanian. Pendapatan usahatani yang diterima dari petani pemilik faktor – faktor produksi dihitung untuk jangka waktu tertentu, biasanya dihitung untuk satu kali musim tanam ataupun satu tahun. Analisis pendapatan mempunyai kegunaan bagi petani maupun bagi pemilik faktor produksi. Ada dua tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu : (1) menggambarkan keadaan suatu kegiatan usaha dan (2) menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan suatu usaha. Bagi seorang petani, analisis pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur apakah kegiatan usahatani pada saat ini berhasil atau tidak. Analsis pendapatan usahatani memerlukan dua keterangan pokok, yaitu : penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang telah ditetapkan.

Pendapatan usahatani dibedakan menjadi dua, yaitu pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Secara umum, pendapatan diperoleh dari penerimaan total dikurangi dengan biaya yang telah dikeluarkan. Penerimaan usahatani merupakan nilai dari total produksi padi yang dihasilkan. Pengeluran usahatani meliputi biaya tunai dan biaya diperhitungkan (Anggreini 2005). Pengeluaran tunai usatani (farm payment) adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Pengeluaran tunai usahatani tidak mencakup bunga pinjaman dan jumlah pinjaman pokok. Selisih antara penerimaan dan pengeluaran tunai usahatani disebut pendapatan tunai usahatani (farm net cashfow).

Tingkat pendapatan usahatani dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut : Itunai = NP – BT ............................................. (1) Itotal = NP – (BT + BD) ............................................. (2)

Dimana : Itunai = Tingkat pendapatan atas biaya tunai (Rp) Itotal = Tingkat pendapatan atas biaya total (Rp)

NP = Nilai produk, hasil perkalian jumlah output (kg) dengan harga (Rp) BT = Biaya tunai (Rp) BD = Biaya diperhitungkan (Rp)

21

3. Imbangan Penerimaan dan Biaya (B/C) Produksi padi atau pendapatan yang tinggi tidak selalu menunjukkan efisiensi yang tinggi,

karena ada kemungkinan pendapatan yang besar diperoleh dari biaya investasi yang berlebihan. Oleh karena itu, analsis pendapatan usahatani selalu diikuti dengan pengukuran efisiensi. Ukuran efisiensi pendapatan dapat dihitung melalui perbandingan penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan (B/C ) yang menunjukkan berapa besarnya penerimaan yang akan diterima untuk setiap biaya yang dikeluarkan petani dalam proses produksi.

Nilai B/C yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa penambahan biaya satu rupiah akan menghasilkan penambahan penerimaan yang lebih besar dari satu rupiah. Dengan demikian, usahatani dengan nilai B/C lebih besar daripada satu dapat dikatakan menguntungkan secara ekonomi. Sebaliknya jika B/C lebih kecil dari satu berarti penambahan biaya satu rupiah akan menghasilkan penerimaan kurang dari satu rupiah. Dengan demikian, jika nilai B/C kurang dari satu, maka usahatani tersebut dapat dikatakan belum menguntungkan.

B/C atas Biaya Tunai = ( ) ( )

.................................................. (3)

B/C atas Biaya Total = ( ) ( )

.................................................. (4)

4. Analisis Keputusan Adopsi dengan Regresi Logistik 4.1 Variabel dan Indokator Adopsi PHSL

Variabel dan indikator yang digunakan dalam studi ini dikelompokkan berdasarkan aspek yang mempengaruhi petani untuk mengadopsi teknologi PHSL, yaitu : 1). Pendidikan Petani yang berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam mengadopsi inovasi baru, begitu juga sebaliknya. Lama pendidikan mempunyai hubungan yang tidak langsung terhadap adopsi inovasi kecuali materi yang diajarkan berhubungan secara langsung dengan inovasi tersebut. Jika kondisinya tidak demikian maka lama pendidikan diduga hanya menciptakan suasana mental yang kondusif untuk menerima suatu praktik inovasi baru. Hubungan antara lama pendidikan dengan adopsi inovasi tidak selalu tinggi jika orientasi inovasi tersebut bisa diperoleh dari luar sekolah (Basuki 2008). 2). Umur

Semakin muda umur petani biasanya mempunyai semangat yang lebih terhadap hal atau inovasi baru yang belum mereka ketahui sebelumnya, sehingga peluang untuk mengadopsi inovasi baru itu akan semakin tinggi dari pada petani yang lebih tua. Akan tetapi, generasi muda pada umumnya juga cenderung kurang menyukai bekerja dibidang pertanian khususnya usahatani. Saat ini, pelaksana usahatani seperti padi didominasi oleh petani yang tidak berumur muda lagi. Perlu diadakan kajian untuk mengetahui apakah hal ini dapat menghambat penerapan suatu inovasi teknologi pertanian (Basuki, 2008). 3). Luas Lahan Usahatani

Beberapa kemajuan teknologi baru mensyaratkan operasi dalam skala usaha yang besar dan memerlukan sumberdaya ekonomi substansial untuk menerapkannya. Penggunaan praktik bertani yang modern akan menghasilkan manfaat ekonomi yang memungkinkan petani untuk memperluas operasi usahatani. Dengan demikian, petani akan lebih mampu secara ekonomi untuk menerapkan praktik usahatani yang lebih modern. Persaingan terus terjadi antara sektor

22

pertanian dengan sektor nonpertanian dalam penggunaan lahan terutama di Pulau Jawa. Alih fungsi lahan dari sektor pertanian ke sektor lain menyebabkan lahan pertanian semakin sempit. 4). Status Kepemilikan Lahan

Pada umunya, pemilik lahan mempunyai kontrol yang lebih lengkap daripada penyewa lahan. Pemilik lahan dapat langsung membuat suatu keputusan dalam mengadopsi praktik baru, tetapi penyewa lahan sering harus mendapat persetujuan dari pemilik lahan sebelum mencoba atau menerapkan suatu praktik baru tersebut. Secara khusus, hal ini benar apabila penyewa lahan masih membutuhkan beberapa dukungan finansial dari pemilik lahan. Tidak bisa dipungkiri bahwa selain ada petani penggarap pemilik lahan juga ada petani penggarap bukan pemilik lahan. Dengan kata lain tidak semua lahan yang digunakan untuk usahatani oleh petani milik petani itu sendiri. Perlu diadakan kajian untuk menilai apakah petani bukan pemilik lahan bisa memberikan respon positif atau mengadopsi terhadap inovasi baru dalam pertanian. 5). Pendapatan

Petani yang mempunyai pendapatan lebih tinggi mempunyai kemampuan lebih besar untuk menanggung biaya usahatani yang biasanya lebih tinggi karena menerapkan suatu inovasi teknologi. Pendapatan usahatani yang berbanding lurus dengan luas lahan usahatani mempunyai makna bahwa semakin luas lahan usahatani padi maka semakin tinggi pula pendapatan usahatani padi.

4.2 Model Regresi Logistik Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi peluang petani untuk melaksanakan usahatani dengan teknologi PHSL, maka dilakukan analisis dengan menggunakan pendekatan regresi logistik. Di dalam statistik, regresi logistik digunakan untuk memprediksi kemungkinan (probabilitas) dari suatu kejadian dengan data fungsi logit dari kurva logistik. Bentuk analisis regresi banyak menggunakan beberapa variabel yang berupa numerik atau kategoris. Regresi logistik adalah bagian dari analisis regresi yang digunakan ketika variabel dependen (respon) merupakan variabel dikotomi. Variabel dikotomi biasanya hanya terdiri dari atas dua nilai, yang mewakili kemunculan atau tidak adanya suatu kejadian yang biasanya diberi angka 0 atau 1 (Widiarta dan I Gusti, 2011). Regresi logistik bertujuan untuk menanggulangi kelemahan dari LPM (Linier Probability Model) yang dapat memberi hasil kurang memuaskan, karena menghasilkan probalitias taksiran yang kurang dari nol atau lebih dari satu (Widiarta dan I Gusti, 2011). Regreasi logistik dapat dimanfaatkan untuk memprediksi suatu variabel tidak bebas berdasarkan variabel bebas yang bersifat baik kontinu atau kategoris. Selain itu, seperti regresi yang lainnya, regresi logistik juga dapat digunakan untuk menentukan persentase varian di dalam variabel tidak bebas dijelaskan oleh variabel bebas yang dilibatkan dalam model (Basuki 2008). Model regresi logistik menggunakan tramsformasi logit. Model umum regresi logistik adalah :

푃(푌 = 1) = 휋 = ⋯

⋯ ................................ (5)

23

4.3 Metode Estimasi Regresi logistik menerapkan MLE (Maximum Likelihood Estimation) setelah mentransformasikan variabel tidak bebas ke dalam suatu variabel logit (logaritma natural atas odds dari variabel tidak bebas menyatakan kejadian atau ketidakjadian). Perlu dicatat bahwa regresi logistik menghitung perubahan di dalam log odds dari variabel tidak bebas, bukan perubahan dalam variabel tidak bebas itu sendiri sebagaimana di dalam regresi Ordinary Least Square (OLS). Karena regresi logistik diakomodasikan untuk variabel tidak bebas biner, maka didalam pemodelannya baik variabel bebas dan tidak bebas harus direprentasikan dalam bentuk kode. Variabel yang ditanyakan dalam bentuk kode tersebut didefinisikan sebagai variabel dummy. Reduksi variabel bebas dapat dilakukan dengan melakukan uji hipotesis, yaitu :

H0 : pi = 0 Ha : pi ≠ 0 ;

dimana pi adalah proporsi klasifikasi i di dalam variabel dummy (Widiarta dan I Gusti, 2008). Prinsip dari MLE (Maximum Likelihood Estimation) ini adalah parameter populasi

diestimasi dengan cara memakasimumksan kemungkinan (likelihood) dari data observasi. Likelihood merupakan suatu fungsi dari data dan parameter model. Jika terdapat data biner, bentuk dari likelihood adalah sebagai berikut :

Yi = 1 dengan probabilitas pi

Yi = 0 dengan probabilias 1 – pi Misal data observasi bersifat bebas maka likelihood dari data Y1, Y2, ..., Yn adalah p1

dan 1 - p1. Jika untuk setiap Y1 = 1, dengan probabilitas p1 dan untuk setiap Yi = 0 dengan probabilitas 1 - pi, bentuk umum dari likelihood (L)

L = ∏ 푃 (1- Pi)1 –Yi ...................................................................... (6) Sepintas model di atas menyatakan bahwa likelihood hanya berkaitan dengan

probabilitas dan belum menjelaskan mengenai probabilitas dari variabel bebas yang akan diperoleh (Widiarta dan I Gusti, 2008).

4.4 Metode Pengujian Parameter Model

Pengujian parameter model dilakukan dengan menguji semua parameter secara keseluruhan dengan menguji masing – masing parameter secara terpisah. Uji rasio likelihood (likelihood ratio test) dapat digunakan untuk melihat pengaruh variabel – variabel penjelas yang dimasukkan dalam model. Untuk menguji apakah variabel penjelas memberikan pengaruh terhadap kebaikan dari model dengan uji rasio likelihood, mula – mula dicari nilai statistik G.

G = -2In[( )( )

] ............................ (7)

Hipotesisi yang dipakai adalah : H0: β1=β2=... = βn= 0 H1: Minimal ada satu β1≠0, dengan i=1,2,..., p.

Pada hipotesis nol bahwa semua koefisien bernilai nol, distribusi untuk statistik G adalah chi-square (ɣ2) dengan derajat bebas p. Adapun peraturan uji rasio likelihood adalah Ho diterima kerika P value > ɑ. Adapun P value adalah P (ɣ2(p atau derajat bebas) > G). Alfa (ɑ) adalah taraf signifikansi yang diinginkan.

24

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini disajikan hasil – hasil penelitian beserta pembahasan yang meliputi pandangan petani terhadap aplikasi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi), faktor – faktor yang mempengaruhi petani untuk mengadopsi inovasi aplikasi PHSL, perbandingan hasil panen dan keuntungan usahatani yang didapatkan petani yang menggunakan aplikasi PHSL dengan menggunakan pemupukan non PHSL (Lampiran 6) dan kecenderungan petani untuk mengadopsi teknologi PHSL di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali. Dalam pandangan petani terhadap inovasi aplikasi PHSL akan dideskripsikan respon petani terhadap adanya inovasi baru untuk rekomendasi pemupukan tanaman padi yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas padi. Untuk mengetahui respon petani dengan adanya inovasi aplikasi PHSL ini dilakukan wawancara (Lampiran 1) secara perseorangan kepada setiap petani yang mengikuti program PHSL ini meliputi keuntungan, kelebihan, kekurangan dan kendala yang dialami petani dalam mengadopsi inovasi aplikasi PHSL tersebut. Hal ini dapat dijadikan alasan petani untuk mengambil keputusan menerima ataupun menolak mengadopsi aplikasi rekomendasi pemupukan tersebut. Pendugaan keuntungan secara ekonomi dalam menggunakan aplikasi PHSL dengan cara langsung membandingkan hasil panen dan selisih keuntungan yang didapatkan dan faktor penentu adopsi teknologi PHSL didapatkan dengan model regresi logistik.

A. PANDANGAN PETANI TERHADAP APLIKASI PHSL Aplikasi PHSL merupakan inovasi teknologi baru usahatani padi sawah melalui rekomendasi pemupukan yang tepat jenis, dosis, dan waktu pemupukan dengan tujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Aplikasi ini dikembangkan oleh IRRI (International Rice Reserach Institute), Filipina bersama Puslitbang Tanaman Pangan, BB Padi, dan Badan Litbang Pertanian. Sejak pertama kali diperkenalkan aplikasi ini sudah 9 kali melakukan pengujian lapang yang tersebar di 9 provinsi di Indonesia. Provinsi Jawa Tengah aplikasi PHSL yang di prakarsai oleh IRRI dan BPTP Jawa Tengah dilakukan di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali. Oleh karena itu, analisis respon dan pandangan petani yang ditinjau dari beberapa aspek, yaitu aspek operasional, teknologi informasi, sosial budaya, dan faktor pendorong dan penghambat adopsi teknologi PHSL. Pengertian pandangan petani terhadap inovasi aplikasi PHSL dalam hal ini merupakan respon petani dilihat dari sebelum dan setelah mencoba menggunakan rekomendasi pemupukan dari aplikasi PHSL tersebut. Pada program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi), seorang petani membagi jumlah lahan yang dimiliki, yang pertama lahan yang pemupukannya berdasarkan rekomendasi aplikasi PHSL dan yang kedua lahan yang pemupukannya berdasarkan petani sendiri. Untuk budi daya pertanian diserahkan sepenuhnya kepada petani seperti yang biasa mereka lakukan baik pada lahan PHSL maupun lahan petani sendiri yang telah mereka bagi. Termasuk didalamnya ketersediaan benih, pengolahan lahan, pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). Dalam hal ini yang dibedakan hanya rekomendasi pemupukannya, yaitu berdasarkan aplikasi PHSL dan berdasarkan kebiasaan petani sendiri. Untuk menghindari risiko, yakni hasil panen padi pada lahan PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) tidak sesuai yang diharapkan pihak IRRI dan BPTP Jawa Tengah memberikan kompensasi untuk lahan PHSL yang hasil panennya lebih kecil daripada hasil panen pada lahan petani sendiri. Oleh sebab itu, pada lahan PHSL dibuat lebih kecil daripada lahan petani sendiri. Hal ini dilakukan untuk menghindari risiko pemberian kompensasi yang terlalu besar. Pemberian kompensasi (ganti rugi) ini disesuaikan selisih panen padi pada lahan PHSL yang dikonversi ke lahan

25

milik petani, jumlah uang yang diberikan sesuai dengan harga penjulan gabah pada saat itu. Hal ini dinilai petani membantu dan mengindari risiko terhadap hasil panen padi yang akan diperoleh. Pada program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) di Desa Jembungan varietas yang ditanam dibebaskan sesuai keinginan petani sehingga varietasnya bervariasi, antara lain Inpari 13, Mekongga, IR-64, Membramo, Lok Ulo, Inpari 1, Inpari 6. Kebutuhan benih padi juga bervariasi menurut luasan lahan yang dimiliki oleh petani. Benih padi merupakan input untuk menghitung biaya produksi padi sampai akhir panen. Dalam hal pemupukan petani peserta program PHSL melakukan 2 perlakuan terhadap lahan yang mereka miliki. Setelah lahan yang mereka miliki diukur dan dibagi menjadi dua (tidak sama besar), lahan pertama untuk aplikasi pemupukan rekomendasi PHSL dan lahan yang lain untuk aplikasi pemupukan rekomendasi petani. Pemupukan untuk lahan pertama didasarkan pada rekomendasi pemupukan aplikasi PHSL melalui pengisian kuesioner yang didampingi petugas dari BPTP Jawa Tengah dan PPL setempat, data dari kesioner di isikan dalam aplikasi PHSL, kemudian hasil rekomendasi pemupukan ditetapkan untuk diaplikasikan pada lahan tersebut. Untuk lahan kedua rekomendasi pemupukan sesuai kebiaan petani pada saat memberi pupuk. Mekanisme cara mengakses aplikasi PHSL di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali di gambarkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Mekanisme pengaksesan aplikasi PHSL

Pemberian kuesioner oleh BPTP kepada Petani

Pengisian kuesioner oleh Petani

Kuesioner di kembalikan pada BPTP

Data petani diolah BPTP dengan aplikasi PHSL

Rekomendasi pemupukan kepada Petani

26

1. Karakteristik Responden

Karakteristik petani responden di Desa Jembungan akan disajikan pada Tabel 2. Kuesioner yang diberikan kepada 20 petani responden, yaitu para petani yang telah menggunakan pemupukan rekomendasi aplikasi PHSL menjelaskan tentang berbagai karakteristik petani responden. Karakteristik yang dideskripsikan antara lain umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status lahan, luasan lahan.

Tabel 2. Karakteristik petani responden.

Sumber : Data diolah

Berdasarkan data yang didapat (Tabel 1) semua responden mempunyai umur >40 tahun dan lebih dari 50 % diantaranya berada pada selang 40 – 45 tahun. Dari umur petani responden terlihat bahwa petani di Desa Jembungan telah memasuki usia tua. Semakin tua umur maka semakin menurun kekuatan dan kemampuan fisik yang mengakibatkan produktivitas menurun. Hal ini menjadi suatu kendala dalam proses petani untuk mengadopsi aplikasi PHSL (Pemupukan Hara

Uraian Petani Responden

Jumlah (Orang)

Persentase (%)

1. Umur (tahun) a. 40 – 45 14 70

b. 46 – 50 5 25 c. > 50 1 5 2. Fasilitas akses

a. Handphone 20 100 b. Smartphone 0 0 c. Koneksi internet 1 5 3. Jenis Kelamin

a. Laki - laki 18 90 b. Perempuan 2 10 4. Pendidikan

a. SD 3 15 b. SLTP 4 20 c. SLTA 11 55 d. S1 2 10 5. Status Lahan

a. Milik Sendiri 18 90 b. Sakap 2 10 6. Luas Lahan

a. 0.2 - 0.3 15 75 b. 0.3 - 0.4 4 20 c. 0.4 - 0.5 1 5 7. Pengolahan Lahan

a. Sendiri 17 85 b. Buruh Tani 3 15

27

Spesifik Lokasi). Karena untuk mengakses aplikasi PHSL diperlukan kemampuan pengguna untuk dapat mengoperasikan sarana komunikasi (handphone, smartphone, dan internet). Oleh karena itu, banyak diantara petani responden mengeluhkan hal ini, walaupun 100 % dari petani responden memiliki handphone yang dapat digunakan untuk mengakses rekomendasi pemupukan dari aplikasi PHSL. Selain itu pada saat ini untuk mengakses aplikasi PHSL melalui handphone (NMRiceMobile) masih dikenakan tarif sesuai durasi selama mengakses aplikasi PHSL tersebut. Hal ini memberikan tanda harus adanya regenerasi agar keberlanjutan pertanian khusunya usahatani padi terus berjalan dan berkesinambungan. Umur petani akan mempengaruhi fisiknya untuk bekerja dan berfikir, umumnya petani muda mempunyai kemampuan fisik yang lebih kuat daripada petani berumur tua. Petani muda umumnya lebih cepat menerima inovasi baru (kosmopolit = terbuka) serta lebih berani mengambil risiko dibandingkan dengan petani yang berumur tua.

Dari 20 petani responden, semuanya dalam satu keluarga petani minimal memiliki satu handphone. Sedangkan, untuk smartphone belum ada petani responden yang memilikinya. Di lokasi penelitian ada salah satu kelurga petani responden yang memiliki koneksi internet. Hal ini menjadi salah satu faktor pendorong petani responden untuk mengadopsi inovasi baru aplikasi PHSL. Karena untuk mengakses aplikasi PHSL melalui internet dinilai lebih mudah, cepat dan menguntungkan.

Jenis kelamin dari petani responden 90 % adalah laki – laki, sedangkan petani perempuan hanya berjumlah 2 orang atau 10 % saja. Dari fakta ini petani berjenis kelamin perempuan semuanya menyewa orang lain (buruh tani) untuk mengolah lahan yang dimiliki. Sedangkan, untuk petani laki – laki hanya seorang petani yang menyewa orang lain untuk mengolahkan lahan yang dimiliki. Buruh tani akan dibayar menurut hari orang kerja (HOK) selama melakukan aktivitas budidaya sesuai dengan tarif setempat. Biaya ini akan mempengaruhi biaya produksi padi yang akan mempengaruhi langsung terhadap pendapatan usahatani.

Pendidikan pada umumnya akan mempengaruhi cara berpikir petani. Tingkat pendidikan petani responden tergolong sedang. Tingkat pendidikan terendah dari petani responden adalah SD (Sekolah Dasar) yaitu berjumlah 3 orang petani, sedangkan tingkat pendidikan tertinggi adalah perguruan tinggi (S1) yang berjumlah 2 orang petani. Tingkat pendidikan terbanyak dari petani responden adalah SLTA dan sisanya tingkat SLTP. Untuk pendidikan non-formal petani responden telah mengikuti kegiatan SLPTT (Sekolah Lapang Tanaman Terpadu) dan saat ini sedang mengikuti kegiatan SLPHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu).

Dari 20 petani responden sebagian besar yakni berjumlah 90 % petani memiliki lahan sendiri, sedangakan sisanya yang berjumlah 2 petani menyewa lahan untuk kegiatan usahataninya. Biaya sewa lahan di lokasi penelitian bervariasi tergantung luasan lahan dan lama penyewaan lahan. Masing – masing kedua petani itu menyewa lahan dengan luasan 3000 m2 dan biaya sewa Rp 7.000.000/2tahun, sedangkan yang lain menyewa dengan biaya sewa Rp 20.000.000/5tahun untuk luasan lahan sebesar 5000 m2.

Kepemilikan lahan petani responden relatif kecil 75 % diantaranya memiliki luasan lahan 0.2 – 0.3 ha. Luasan lahan antara 0.3 – 0.4 ha digarap oleh 4 orang petani atau sekitar 20 % petani. Sedangkan petani yang luasan lahannya 0.4 – 0.5 ha hanya ada seorang petani. Luasan lahan yang dimiliki oleh petani akan mempengaruhi produksi padi yang dihasilkan, secara umum luasan lahan yang semakin besar akan menghasilkan produksi padi yang besar pula. Akan tetapi, tidak selalu luasan lahan yang besar menghasilkan produksi yang tinggi, hal ini dipengaruhi dari hasil ubinan atau petakan lahan. Semakin besar hasil produksi ubinan, maka semakin besar hasil produksi padi bila dihitung pada luasan yang sama.

28

Di samping karakteristik petani responden di Desa Jembungan yang bervariasi, pada umumnya petani responden melakukan usahatani padi atas dasar turun temurun sesuai dengan kebiasaan yang telah diwariskan dari orang tua mereka. Jadi, petani responden telah mulai mengenal usahatani padi sejak kecil dan menekuninya setelah berumahtangga untuk mendapatkan keuntungan.

2. Faktor Pendorong dan Penghambat Adopsi

Penerapan teknologi merupakan suatu proses atau rangkaian kegiatan untuk mempercepat pemanfaatan teknologi dari pengembang atau pemilik kepada pengguna teknologi. Menerapkan teknologi berarti menjadikan teknologi tersebut sebagai bagian dari pengoperasian fungsi – fungsi pengguna teknologi, menjadikan teknologi itu diketahui, dapat di jangkau dan difungsikan di lingkungan yang membutuhkan. Dalam menerapkan, mengembangkan dan menyebarluaskan teknologi, sebelumnya perlu dilakukan studi kelayakan untuk menilai aspek kelayakan teknis, kelayakan ekonomis, kelayakan sosial budaya dan lingkungan serta standardisasi teknologinya (Mizar et al, 2008). Mizar et al (2008), merinci kinerja atau keberhasilan teknologi diukur dari empat faktor yang merupakan tolok ukur untuk mengevaluasi teknologi, faktor tersebut adalah : a. Faktor pertama, teknologi harus menghasilkan nilai tambah, mempunyai fitur atau

kemampuan beragam untuk keperluan yang makin beragam, hemat dalam menggunakan sumber daya termasuk energi, awet dan faktor teknis lainnya. Secara teknis aplikasi PHSL telah memberikan kemudahan bagi pengguna khususnya petani, karena sudah dapat diakses menggunakan handphone dimana sebagian besar petani telah memilikinya, sehingga manfaat dan tujuan dari inovasi aplikasi dapat tercapai. Namun pada kenyataannya, penggunaan aplikasi PHSL di lokasi penelitian sangat minim. Selain prosedur dan akses yang masih berbayar, pendampingan dari penyuluh pertanian setempat menjadi faktor penting bagi petani untuk memutuskan mengadopsi aplikasi PHSL.

b. Faktor kedua, teknologi harus menghasilkan produktivitas ekonomi atau keuntungan finansial. Inovasi aplikasi PHSL memberikan inovasi baru dalam pemupukan padi rekomendasi pemupukan yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan produktivitas padi, pendapatan petani dan mendukung sistem pertanian berkelanjutan. Petani di lokasi penelitian telah membuktikan dan membandingkan produksi padi melalui rekomendasi aplikasi PHSL dan rekomendasi pemupukan sendiri.

c. Faktor ketiga, teknologi harus dapat diterima masyarakat pengguna. Teknologi dapat diterima karena memang diperlukan dan bermanfaat bagi pengguna, disenangi, mudah dipakai serta tidak bertentangan dengan budaya dan kebiasaan masyarakat pengguna. Secara umum aplikasi PHSL memang menjadi solusi permasalahan peningkatan produksi padi saat ini, namun belum semua petani di lokasi penelitian dapat sepenuhnya mengadopsi inovasi aplikasi PHSL. Hal ini disebabkan dengan budaya penggunaan teknologi dalam bidang pertanian khususnya di Indonesia masih lemah.

d. Faktor keempat, teknologi harus serasi dengan lingkungan, faktor ini akan menentukan sustainability keberadaan teknologi ditengah masyarakat pengguna. Inovasi aplikasi PHSL adalah program jangka panjang seiring dengan berkembangnya teknologi informasi, maka penggunaanya juga akan semakin meningkat. Ketika teknologi informasi dan komunikasi telah menyentuh bidang pertanian, disaat itulah inovasi PHSL dan aplikasi sejenis akan dapat diadopsi secara penuh oleh pengguna.

29

Indikasi aplikasi teknologi dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu teknis, ekonomi dan sosial budaya. Pendekatan teknis ditekankan pada keberhasilan teknologi tersebut dalam meningkatkan produktivitas. Pendekatan ekonomi terkait dengan dukungan pasar, kemampuan permodalan dan adanya peningkatan pendapatan. Pendekatan sosial budaya ditekankan pada akseptabilitas dan tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku. Dengan demikian, keberhasilan aplikasi teknologi dalam mendukung pengembangan industri kecil akan tergantung pada kesesuaian teknologi tersebut dengan kondisi teknis, ekonomi dan sosial budaya. Adapun keberhasilan penerapan inovasi aplikasi PHSL di lokasi penelitian akan tergantung pada kriteria kesesuaian inovasi di Desa Jembungan. Indikator dari faktor keberhasilan penerapan teknologi yang mempengaruhi tingkat adopsi di jelaskan pada Tabel 3 sebagai berikut :

Tabel 3. Faktor keberhasilan penerapan inovasi PHSL dan indikatornya No. Variabel Indikator 1. Faktor teknis Dapat meningkatkan produksi padi

Aplikasi teknologi sederhana / mudah dilakukan oleh pengguna (petani) Peralatan dan sarana produksi mudah didapat

2. Faktor ekonomi Biaya operasional terjangkau Secara finansial menguntungkan Produknya mempunyai nilai tambah penjual

3. Faktor sosial Sesuai/tidak bertentangan dengan budaya masyarakat setempat 4. Faktor lingkungan Tidak menimbulkan dampak kerusakan terhadap lingkungan 5. Faktor kelembagaan Ada dukungan kebijakan/kelembagaan, UPTD kecamatan dan

PPL setempat

Dari hasil penelitian di Desa Jembungan, terdapat alasan yang dikelompokkan menjadi faktor – faktor yang bersifat mendorong (alasan petani yang mengakses atau berniat aplikasi PHSL) dan faktor penghambat (alasan petani tidak mengakses langsung apliaksi PHSL) dalam proses adopsi teknologi aplikasi PHSL. Faktor – faktor pendorong dan penghambat petani untuk mengikuti program PHSL dijelaskan pada Tabel 4. Faktor pendorong terbesar yang menyebabkan petani mengikuti program PHSL di Desa Jembungan adalah mengharapkan peningkatan produktivitas padi. Dari hasil perhitungan, rata – rata produksi padi per ha yang diperoleh petani dengan menggunakan aplikasi PHSL sebesar 6779.11 ton GKP, sedangkan rata – rata hasil panen padi petani tanpa menggunakan aplikasi PHSL sebesar 6464.74 ton GKP. Rata – rata produksi padi menggunakan inovasi aplikasi PHSL lebih tinggi 314.37 kg dibandingkan rekomendasi pemupukan yang biasa dilakukan oleh petani. Dari hasil tersebut, hasil panen padi mempunyai penyebaran yang bervariasi dan normal, dari sebanyak 20 petani yang mengikuti inovasi program PHSL, sebanyak 12 petani menyatakan hasil panen yang didapatkan lebih besar, 7 petani lebih kecil dan 1 petani tidak bisa dihitung hasil panen padinya dikarenakan padi sedah dipanen sebelum di ubin.

30

Tabel 4. Faktor pendorong dan penghambat petani untuk mengikuti program PHSL

No. Faktor Pendorong Faktor penghambat 1. Meningkatkan produktivitas Sarana kurang 2. Adanya sarana mengakses Kekurangan modal 3. Adanya modal Keraguan rekomendasi pemupukan 4. Penggunaan pupuk efisien Prosedur rumit 5. Kualitas tanah terjaga

Pada program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi), ketersediaan fasilitas untuk

mengakses yang dimiliki oleh petani responden merupakan faktor pendorong kedua yang menyebabkan petani mengikuti dan mengakses aplikasi PHSL. Fasilitas akses ini sangat penting, karena merupakan hal mutlak untuk mendapatkan rekomendasi pemupukan dari aplikasi PHSL. Namun selama mengikuti program PHSL dari IRRI dan BPTP Jawa Tengah petani di Desa Jembungan menggunakan kuesioner untuk mendapatkan rekomendasi pemupukan dari aplikasi PHSL.

Dalam proses adopsi inovasi aplikasi PHSL hanya satu petani yang melanjutkan menggunakan aplikasi PHSL dengan faktor pendorong bahwa petani tersebut memiliki sarana mengakses yang memadai. Walaupun terdapat 3 cara untuk mengakses aplikasi PHSL, namun media internet menjadi cara yang paling populer untuk mengaksesnya. Media internet adalah media awal aplikasi PHSL saat diluncurkan, sehingga cara mengakses aplikasi ini identik dengan internet khususnya dan teknologi informasi pada umumnya. Media kedua yang paling populer dan potensial adalah melalui ponsel (handphone), karena hampir semua masyarakat petani Indonesia sudah memilikinya. Namun untuk menjawab pertanyaan dari aplikasi PHSL dan biaya yang dihitung menurut lama menelepon menjadi salah satu kendalanya. Sedangkan pengaksesan melalui smartphone adalah cara yang kurang populer selain jumlah pemakainya sedikit di kalangan petani, aplikasi PHSL harus terpasang di smartphone tersebut akan menjadi kendalanya. Kekurangan sarana untuk mengakses menjadi faktor penghambat petani untuk mengadopsi inovasi aplikasi PHSL. Aplikasi PHSL diakses dengan menggunakan media yang bertujuan untuk mendapatkan rekomendasi pemupukan. Untuk mendapatkan informasi tersebut tentunya diperlukan modal dan biaya. Biaya yang dikeluarkan sebanding dengan intensitas dan lamanya waktu mengakses aplikasi PHSL sesuai dengan media yang digunakan. Adanya anggaran biaya yang dikeluarkan untuk mengakses aplikasi PHSL menjadi faktor pendorong untuk mengadopsi inovasi ini, sebaliknya tidak adanya anggaran petani untuk mengakses aplikasi ini membuat petani enggan untuk mengadopsi inovasi tersebut. Setelah mendapatkan rekomendasi pemupukan dari aplikasi PHSL umumnya petani akan ragu untuk mengaplikasikan pemupukan ke lahan karena rekomendasi pemupukan yang lebih sedikit. Hal ini menjadi faktor penghambat petani untuk mengadopsi aplikasi PHSL. Pemupukan rekomendasi dari aplikasi PHSL adalah pemupukan yang berimbang dan mengadospsi sistem pertanian berkelanjutan. Jumlah rekomendasi pemupukan yang diberikan akan sesuai dengan kebutuhan hara tanaman dan kemampuan tanah untuk menyerap hara. Pemberian pupuk juga didasarkan pada jumlah bahan organik yang terdapat di dalam tanah, sehingga penggunaan pupuk kimia dapat ditekan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari risiko yang disebabkan oleh pemberian pupuk kimia yang berlebihan. Pemberian pupuk yang efisien dan efektif secara langsung akan menekan biaya produksi pertanian, sehingga pendapatan lebih besar tanpa mengurangi hasil panen padi. Sebagian petani di daerah penelitian telah menyadari hal ini

31

setelah mengikuti program dari PHSL bahwa dengan pemupukan yang lebih efisien mampu menghasilkan produksi yang sama bahkan lebih dari hasil produksi padi biasanya. Hal ini menjadi faktor pendorong petani untuk mengadopsi inovasi aplikasi PHSL. Rekomendasi pemupukan dari aplikasi PHSL hanya berlaku untuk satu musim tanam kedepan, sehingga untuk musim tanam berikutnya rekomendasi pemupukan sudah tidak relevan. Kendala yang didapatkan di lokasi penelitian sehingga petani enggan mengadopsi inovasi aplikasi PHSL adalah prosedur yang rumit, harus menjawab pertanyaan dan jawaban dari pertanyaan harus relevan dengan keadaan nyata dilapangan sehingga hasil rekomendasi yang diberikan tepat. Umumnya petani di lokasi penelitian lebih nyaman menggunakan rekomendasi pemupukan menurut pengalaman mereka sendiri.

3. ANALISIS TEKNOLOGI INFORMASI

Adopsi teknologi baru di bidang pertanian masih rendah jika dibandingkan dengan bidang bisnis dan usaha lainnya. Bentuk nyata dari adopsi teknologi dapat diamati dalam bentuk tingkah laku, metode, peralatan atau fasilitas, maupun teknologi yang digunakan oleh adopter didalam kegiatannya. Adopsi merupakan proses mental dalam pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak ide baru dan menegaskan lebih lanjut tentang penerimaan atau penolakan ide tersebut (Mizar et al, 2008). Aspek ini merupakan aspek yang paling utama, karena basis dari aplikasi PHSL adalah teknologi informasi dan komunikasi. Kendala (1) keterbatasan kemampuan masyarakat petani dalam mengadopsi teknologi, (2) peranan pengembang dan penanggung jawab dalam kesuksesan adopsi teknologi masih lemah. Tingkat adopsi inovasi aplikasi PHSL diukur berdasarkan tingkatan penggunaan (level of use) terhadap tekonologi yang telah diadopsi di bidang pertanian yang bersangkutan dalam kurun waktu tertentu. Mizar et al (2008) menyebutkan tingkatan penggunaan inovasi ini dibagi menjadi 5 level, yaitu : (1) Discontinu, teknologi sudah tidak digunakan lagi untuk berproduksi / berhenti digunakan, (2) Mechanical Use, teknologi digunakan masih dalam tahap untuk berlatih mengoperasikan, mencoba untuk berproduksi dan masih jarang sekali digunakan untuk keperluan produksinya, (3) Routine, teknologi sudah digunakan secara rutin untuk keperluan produksinya tetapi belum ada pemikiran untuk memodifikasinya, (4) Refinement, teknologi sudah digunakan secara rutin untuk keperluan produksinya dan sudah ada pemikiran modifikasi / pernbaikan, (5) Integration, teknologi sudah digunakan secara rutin untuk keperluan produksinya dan sudah ada perlakuan memproduksi ulang teknologi tersebut untuk spesifikasi dan fungsi yang sama, bahkan teknologi yang telah digunakan diadaptasi sesuai dengan perkembangan kebutuhan untuk mencapai hasil yang lebih maksimal. Tingkatan adopsi inovasi aplikasi PHSL di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali masih sampai pada tahap “Mechanical Use”, pengunaan inovasi aplikasi PHSL masih sangat jarang.

32

4. ANALISIS OPERASIONAL

Aspek operasional merupakan faktor penting untuk petani mengakses inovasi aplikasi PHSL, sarana yang digunakan untuk mengakses aplikasi PHSL termasuk dalam aspek operasional. Dari 20 responden sudah memiliki fasilitas yang dapat digunakan untuk mengakses aplikasi PHSL, setiap kelurga tani di Desa Jembungan telah memiliki handphone. Namun untuk mengakses aplikasi PHSL melalui handphone dengan cara menelepon dikenakan biaya menurut durasi (waktu) telepon. Dalam aplikasi PHSL terdapat 10 pertanyaan untuk sekali mengakses aplikasi PHSL melalui handphone.

Dari 20 responden yang didapatkan semuanya dapat mengoperasikan handphone, namun kendala dalam aspek operasional terletak pada saat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh aplikasi PHSL. Dalam mengakses melalui handphone pertanyaan disajikan secara lisan sehingga membutuhkan waktu untuk memahami dan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan, hal ini akan berdampak pada mahalnya biaya operasional untuk rekomendasi pemupukan. Menurut petani jumlah pertanyaan dalam aplikasi PHSL tidak terlalu banyak. Bahasa dalam aplikasi PHSL dapat disesuaikan dengan keinginan pengakses aplikasi ini, sehingga lebih memudahkan petani daerah untuk menggunakannya. Hal ini terlihat dalam kuesioner yang disebarkan dimana semua petani tidak mengalami kesulitan dalam menjawab dan memahami pertanyaan yang diajukan. Sebagian besar petani juga telah mengerti tentang satuan lokal di lokasi penelitian. Dari semua responden, 90 % juga masih mengingat hasil panen musim lalu, hal ini digunakan sebagai acuan dalam memperkirakan seberapa besar kandungan organik yang tersisa di lahan. Pada Tabel 5 disajikan persentase faktor – faktor pendorong petani untuk mencoba mengakses aplikasi PHSL. Pada umumnya jawaban petani pada aspek operasional teknologi PHSL bersifat positif, tetapi penggunaan aplikasi PHSL di lokasi penelitian masih rendah. Hal ini disebabkan, menurut petani menjawab pertanyaan secara lisan dan melalui tombol (keypad) ponsel masih sulit dilakukan.

Tabel 5. Faktor – faktor aspek operasional

Uraian Pertanyaan Jumlah Sampel Jumlah Sampel Ya

(Orang) Persentase

(%) Tidak

(Orang) Persentase

(%) Mempunyai HP 20 100 0 0 Bisa Mengoperasikannya 20 100 0 0 Pertanyaan PHSL mudah dimengerti 18 90 2 10 Jumlah pertanyaan terlalu banyak 0 0 20 100 Bahasa mudah dipahami 20 100 0 0 Mengerti satuan lokal yang ada 18 90 2 10 Dapat mengingat hasil panen musim yang lalu 18 90 2 10

33

5. ANALISIS SOSIAL BUDAYA

Aspek ini merupakan faktor penentu petani untuk mengambil keputusan menerima atau menolak untuk mengadopsi inovasi baru yang diperkenalkan. Inovasi baru yang diperkenalkan akan mudah diadopsi oleh masyrakat jika tidak bertentangan dengan budaya atau kebiasaan masyarakat setempat dan tidak menimbulkan kesurakan lingkungan pada umumnya. Budidaya padi di lokasi penelitian berdasarkan pengalaman yang telah mereka dapatkan semenjak kecil ditambah dengan pengalaman selama mereka menjadi petani. Banyaknya pemupukan yang diaplikasikan ke lahan didasarkan pada musim pada saat tanam, melihat warna daun. Selama ini petani di lokasi penelitian biasanya berkonsultasi dengan penyuluh lapangan untuk mendapatkan informasi penting mengenai budidaya padi yang dilakukan tak terkecuali dalam hal pemupukan. Sebanyak 18 petani dari 20 petani telah aktif untuk berkonsultasi dengan PPL. Dari 20 petani, hanya ada 1 petani yang belum mengerti tentang aplikasi PHSL. Ada 16 petani yang berniat untuk mengakses aplikasi PHSL dan ada 18 petani yang bersedia untuk mengaplikasikan rekomendasi dari aplikasi PHSL. Pada Tabel 6 disajikan faktor – faktor petani untuk mengakses aplikasi PHSL dari aspek sosial budaya. Dari hasil ini, rekomendasi yang dapat diberikan adalah perlu adanya pendampingan dari penyuluh lapangan bagi petani yang ingin mengakses aplikasi PHSL untuk mendapatkan rekomendasi pemupukan yang tepat.

Tabel 6. Faktor – faktor aspek sosial budaya

Uraian Pertanyaan Jumlah Sampel Jumlah Sampel Ya

(Orang) Persentase

(%) Tidak

(Orang) Persentase

(%) Pernah konsultasi dengan PPL 17 85 3 15 Pernah mendengar tentang aplikasi PHSL sebelumnya 18 90 2 10

Apakah bersedia mengakses PHSL 16 80 4 20 Apakah bersedia mengaplikasikan rekomendasi pemupukan 17 85 3 14

34

B. ANALISIS USAHATANI

Sistem usahatani mengandung pengertian pola pelaksanaan usahatani masyarakat yang berkaitan dengan tujuannya. Secara umum, tujuan utama pertanian atau usahatani yang diterapkan sebagian besar petani kita adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga (pola subsistence). Hal ini berarti belum sepenuhnya bertujuan untuk dijual ke pasar (market oriented) seperti halnya usahatani di negara – negara yang telah maju (Daniel, 2002). Perhitungan pendapatan usahatani padi rekomendasi PHSL dilakukan dengan menghitung hasil panen padi dan menghitung biaya produksi serta pendapatan yang didapatkan (Lampiran 3,4,5). Komponen biaya produksi dihitung terpisah, hal ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan biaya yang dikeluarkan petani untuk pemupukan saja. Jika faktor – faktor produksi lain dianggap sama, maka dapat ditentukan biaya pemupukan masing – masing rekomendasi pemupukan serta hasil panen padi yang didapatkan.

1. Penerimaan Usahatani Tabel 7 menjelaskan tentang perbandingan usahatani padi dengan menggunakan aplikasi PHSL dan non PHSL. Usahatani dengan menggunakan rekomendasi aplikasi PHSL menunjukkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan usahatani dengan aplikasi pemupukan biasanya. Pada perhitungan hasil panen padi masing – masing rekomendasi pemupukan didapatkan rata – rata hasil panen padi rekomendasi PHSL lebih besar 314.38 kg jika dibandingkan dengan pemupukan rekomendasi petani.

Tabel 7. Perbandingan Penerimaan Usahatani PHSL dan non PHSL

Uraian Usahatani PHSL

Usahatani non PHSL Selisih

Luasan rata-rata lahan (m2) 368.95 2,650.26 2281.31 Luas rata - rata ubinan (m2) 6.54 6.54 0 Produksi rata - rata ubinan (kg/m2) 4.42 4.22 0.2 Produksi padi (kg) 246.87 1,732.89 1,486.02 Produksi padi rata – rata (kg/ha) 6,779.12 6,464.74 314.38 Harga gabah (Rp/kg) 3,500 3,500 0 Penerimaan (Rp) 864,064 6,065,122 5,201,058 Penerimaan rata – rata (Rp/ha) 23,726,918 22,626,590 1,100,328

Produktivitas padi dengan menggunakan aplikasi PHSL adalah 6,777.12 kg/ha sedangkan

produktivitas padi dengan pemupukan petani sendiri sebesar 6,464.74 kg/ha. Harga gabah yang berlaku pada saat penelitian adalah Rp 3,500. Penerimaan usahatani merupakan hasil kali antara jumlah produksi padi yang dihasilkan dengan harga gabah yang berlaku pada saat itu. Berdasarkan produktivitas dan harga gabah yang berlaku pada saat itu, rata – rata penerimaan petani dengan aplikasi PHSL lebih tinggi daripada penerimaan petani yang menggunakan rekomendasi pemupukan sendiri. Penerimaan yang diterima rata – rata petani perhektar di lahan non PHSL adalah sekitar Rp 22,626,590 dan Rp 23,726,918 untuk budi daya di lahan PHSL per musim tanam. Sehingga, dengan adanya aplikasi PHSL dapat meningkatkan produksi padi rata – rata sekitar 314.38 kg perhektar dengan tambahan keuntungan senilai Rp 1,100,328 / hektar / musim tanam.

35

2. Biaya Usahatani Biaya usahatani adalah nilai barang atau jasa yang digunakan dalam kegiatan usahatani

untuk menghasilkan produk pertanian. Biaya yang dikeluarkan untuk usahatani dibagi menjadi biaya yang dibayarkan dan biaya yang diperhitungkan. Biaya yang dibayarkan adalah biaya tunai dalam proses produsksi yang dikeluarkan petani untuk pembelian benih, pupuk, pestisida, dan upah tenaga kerja. Biaya yang diperhitungkan meliputi sewa lahan, jaminan pekerja dan bunga modal. Perbandingan struktur biaya usahatani padi dengan menggunakan aplikasi PHSL dan non PHSL dijelaskan pada Tabel 8. Perhitungan struktur biaya usahatani padi ini masih dihitung dalam luasan yang berbeda, untuk lahan non PHSL memiliki luas lahan sebesar 368.95 m2 dan lahan PHSL sendiri memiliki luasa lahan sebesar 2650.26 m2.

Dalam penelitian ini terdapat petani yang memiliki lahan sendiri dan petani yang tidak memiliki lahan sendiri. Petani yang memiliki lahan sendiri tidak perlu mengeluarkan pembayaran untuk sewa lahan, sedangkan petani penyewa lahan (tidak memiliki lahan sendiri) harus membayar uang sewa lahan yang merupakan biaya atas penggunaan lahan. Biaya sewa lahan merupakan salah satu komponen biaya yang penting dan mempunyai proporsi yang cukup besar atas biaya total. Oleh karena itu, penggunaan lahan oleh pemilik lahan dianggap sebagai biaya dan dikategorikan sebagai biaya diperhitungkan.

Tabel 8. Struktur biaya usahatani padi di Desa Jembungan

No. Uraian Non PHSL Program PHSL

Nilai (%) Nilai (%) 1 Benih (kg) 11.46 - 1.59 - 2 Pupuk (kg) 46.77 - 3.46 - 3 Traktor - - - - 4 Pestisida (liter) 0.26 - 0.04 - 5 Tenaga Kerja (hari) 22.6 - 22.6 -

6

Biaya Dibayarkan = B (Rp) 1,552,572 43.62 178,528 39.46 a. Benih 91,107 5.87 12,640 7.08 b. Pupuk 320,065 20.62 23,078 12.93 c. Traktor 175,000 11.27 24,203 13.56 d. Pestisida 62,400 4.02 8,772 4.91 d. Upah TK 904,000 58.22 109,835 61.52

7

Biaya Diperhitungkan = C (Rp) 2,006,923.5 56.38 273,943 60.54 a. Jaminan Pekerja 150,000 7.47 20,745 7.57 b. Sewa Lahan 1,533,333 76.40 212,064 77.41 c. Bunga Modal 323,590.5 16.13 41,134 15.02

8 Biaya Total = B + C (Rp) 3,559,495.5 100 452,472 100 Secara umum struktur biaya dan jumlah struktur biaya dalam usahatani padi di lokasi

penelitian relatif sama. Akan tetapi, perbedaan struktur biaya pemupukan menjadi perhatian khusus karena menjadi faktor pembanding utama dalam penelitian ini. Perbedaan jumlah struktur biaya pemupukan cukup terlihat nyata, yaitu sejumlah Rp 320,065 atau 20.62 % untuk lahan petani dan Rp 23,078 atau 12.93 % untuk budidaya petani di lahan PHSL.

Dari tabel tersebut terlihat bahwa komponen biaya terbesar pada usahatani padi adalah upah tenaga kerja. Biaya yang dikelurkan untuk tenaga kerja adalah untuk pekerjaan pengolahan tanah, cabut tanam, tanam, pemupukan, pengendalian OPT dan pemanenan mencapai Rp 904,000 atau 58.22 % dan Rp 109,835 atau 61.52 % untuk pertanian di lahan PHSL. Usahatani yang dilakukan di lahan budidaya petani memerlukan biaya tunai (biaya dibayarkan) yang lebih besar yaitu sekitar 43.62 % dari biaya total dibanding dengan usahatani di lahan PHSL yang hanya memerlukan biaya

36

tunai sekitar 39.46 %. Jumlah ini menggambarkan modal usahatani yang harus disediakan petani lebih besar dibanding jika petani menggunakan rekomendasi aplikasi PHSL untuk budi daya pertaniannya.

Dalam penggunaan tenaga kerja terdapat semacam spesialisasi dalam pekerjaannya. Untuk pengolahan tanah biasanya menggunakan traktor dan jenis yang berkembang adalah traktor roda dua (hand tractor) karena luasan lahan yang digarap relatif sempit. Tenaga kerja utama untuk tanam (umumnya sistem tabela), penyiangan, dan membersihkan hasil perontokan. Tenaga kerja manusia juga digunakan untuk kegiatan panen, pemotong padi dan angkut. Penggunaan tenaga kerja terbanyak adalah pengolahan tanah, tanam, penyiangan, dan panen. Untuk kegiatan tersebut, sebagian besar kebutuhan tenaga kerja dipenuhi dengan tenaga kerja upahan. Dari hal inilah tenaga kerja merupakan masukan yang paling mahal di bidang usahatani padi.

3. Pendapatan Usahatani

Tabel 9 menjelaskan perbandingan pendapatan usahatani padi dan nilai B/C petani yang menggunakan aplikasi PHSL dan non PHSL (dihitung dalam satu musim tanam). Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan usahatani dengan biaya usahatani. Dengan demikian, petani akan memperoleh pendapatan usahatani jika penerimaan lebih besar daripada biaya usahataninya. Dalam penelitian ini pendapatan dibagi menjadi dua macam yaitu pendapatan atas biaya dibayarkan dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya dibayarkan merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya dibayarkan, sedangkan pendapatan atas biaya total adalah selisih antara penerimaan dengan biaya total usahatani.

Tabel 9. Perbandingan Pendapatan Usahatani dan nilai B/C PHSL dan non PHSL

Uraian Nilai PHSL non PHSL

Penerimaan (Rp) 864,064 6,065,122 Biaya dibayarkan (Rp) 178,529 1,552,572 Biaya total (Rp) 452,472 3,559,495.5 Pendapatan atas biaya dibayarkan (Rp) 685,535 4,512,550 Pendapatan atas biaya total (Rp) 411,592 2,505,626.5 B/C atas biaya total (Rp) 1.91 1.70

Dari nilai B/C, usahatani dengan pemupukan rekomendasi aplikasi PHSL atau budi daya di lahan PHSL memiliki nilai B/C sebesar 1.91, artinya petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1.91 untuk setiap satu rupiah yang dikeluarkan untuk biaya produksi pertanian. Sedangkan usahatani di lahan petani sendiri atau pemupukan rekomendasi petani yang biasa mereka lakukan memiliki nilai B/C sebesar 1.70 yang artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan untuk budidaya pertanian akan mengahasilkan penerimaan sebesar Rp 1.70. Dari hasil ini, budi daya dengan pemupukan rekomendasi aplikasi PHSL lebih menguntungkan, meskipun budi daya petani yang biasa dilakukan di Desa Jembungan sudah cukup menguntungkan. Sehingga petani di Desa Jembungan dapat mengadopsi ataupun tidak mengadopsi inovasi aplikasi PHSL.

37

C. ANALISIS FAKTOR PENENTU PETANI UNTUK MENGGUNAKAN APLIKASI PHSL Dalam melakukan analisis faktor – faktor penentu adopsi teknologi PHSL di Desa Jembungan

digunakan model regresi logistik. Model ini selanjutnya digunakan untuk melakukan pendugaan terhadap masing – masing koefisien dalam model regresi logistik. Variabel penjelas akan diuji kelayakan melalui model regresi logistik, kemudian dilakukan pengujian signifikansi terhadap masing – masing variabel penjelas. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap faktor – faktor yang secara signifikan mempengaruhi penggunaan teknologi PHSL di Desa Jembungan berdasarkan hasil analisis sebelumnya. Model ini akan menghasilkan faktor penentu adopsi teknologi PHSL dan peluang petani untuk mengadopsi teknologi PHSL selanjutnya.

Dari konsep adopsi inovasi teknologi dan pertimbangan kenyataan pada lokasi penelitian di Desa Jembungan, ada enam variabel penjelas yang dapat mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi inovasi PHSL. Keenam variabel itu adalah pendidikan, pernah tidaknya konsultasi dengan PPL, umur, luasan lahan usahatani, status kepemilikan lahan, dan pendapatan usahatani. Variabel tersebut dipilih karena dapat mewakili karakteristik petani (umur dan pendidikan), faktor usahatani (luasan dan status lahan), faktor sosial dan budaya (pernah tidaknya konsultasi dengan PPL) dan pendapatan adalah gabungan dari faktor karakteristik petani dan karakteristik usahatani (lampiran 7).

1. Pendugaan Intersep dan Koefisien Variabel Bebas

Setelah model regresi logistik penelitian ditentukan, maka langkah selanjutnya adalah melakukan estimasi terhadap masing – masing koefisien dari variabel penjelas model regresi logistik. Dalam regresi logistik teknik estimasi parameter yang dipakai adalah teknik Maximum Likelihood Estimate (MLE). Ringkasan hasil estimasi model regresi logistik terhadap faktor – faktor yang mempengaruhi petani di Desa Jembungan untuk menggunakan aplikasi PHSL dengan menggunakan teknik MLE dijelaskan pada Tabel 10 (selengkapnya Lampiran 8).

Tabel 10. Hasil Estimasi Model Regresi Logistik terhadap Faktor yang Mempengaruhi Petani untuk Menggunakan Teknologi PHSL

Nilai Chi-square atau Statistik Hosmer dan Lemeshow adalah 6.692 dengan Sig. 0.570 Koefisien berada pada nilai -2 Log likelihood 42.684 ; pada tingkat peluang 5%

Dari hasil regresi logistik terlihat bahwa semua variabel bernilai positif (Sig. , Exp (B), Sig. of the Change). Sedangkan koefisien (pendidikan, umur, status lahan, dan penyuluhan) bernilai negatif. Pada variabel umur nilai Exp (B) bernilai 0.909, hal ini menunjukkan bahwa setiap variabel pendidikan bertambah 1 poin maka tingkat adopsi teknologi PHSL akan bertambah 0.909 poin. Begitu juga pada variabel luasan lahan dan pendapatan usahatani yang memiliki nilai berturut – turut sebesar 1.000 dan 1.488, hal ini dapat diartikan setiap penambahan 1 poin pada

Variabel Sig. Exp (B) Sig.of the Change Koefisien

Pendidikan 0.517 0.909 0.147 - 0.070 Umur 0.765 0.958 0.142 - 0.021 Luas lahan 0.902 1.000 0.001 0.000 Status Lahan 0.030 0.031 1.608 - 2.568 Pendapatan 0.047 1.488 0.200 0.288 Penyuluhan 0.067 0.161 0.994 - 1.510 Konstanta 0.656 41.302 8.348 2.593

38

luasan lahan dan pendapatan, maka tingkat adopsi teknologi PHSL akan bertambah sebesar berturut – turut 1.000 dan 1.488 poin.

Istilah Sig. sebenarnya menyatakan P-value yang akan digunakan dalam Wald test dan istilah Sig. of the Change menunjukkan P-value yang akan digunakan dalam tes rasio likelihood (likelihood rasio test). Setelah koefisien masing – masing parameter diestimasi, perlu dilakukan pengujian apakah variabel penjelas yang diikutsertakan dalam model mempunyai pengaruh yang nyata terhadap variabel terikat (keputusan adopsi teknologi PHSL). Terdapat dua cara yang dapat digunakan dalam melakukan pengujian tersebut yaitu Wald test dan likelihood ratio test. Dengan uji Wald, variabel penjelas dikatakan mempunyai pengaruh nyata pada taraf ɑ jika P-value (Sig.) variabel tersebut lebih kecil atau sama dengan ɑ (tingkat peluang / signifikansi) yang dipakai. Sementara uji rasio likelihood, variabel penjelas dikatakan mempunyai pengaruh nyata pada ɑ jika P-value (Sig. of the Change) variabel tersebut lebih kecil atau sama dengan ɑ (tingkat peluang) yang dipakai. Pada tabel 9 menunjukkan bahwa konstanta mempunyai pengaruh yang siknifikan berdasarkan Uji Wald pada taraf 5 % karena P-value (sig.) pada konstanta mempunyai nilai yang lebih kecil dari 5 %. Hipotesis yang dibangun adalah sebagai berikut:

Ho = Koefisien Regresi Tidak Signifikan Hi = Koefisien Regresi Signifikan

Pengambilan keputusan (berdasarkan probabilitas, lihat kolom Sig.) adalah sebagai berikut: Jika Sig. > 0,05 maka Ho diterima Jika Sig. < 0,05 maka Ho ditolak , Hi diterima

Variabel status kepemilikan lahan dan pendapatan pada model regresi ini ditemukan berpengaruh nyata terhadap adopsi teknologi PHSL di Desa Jembungan. Nilai masing – msaing variabel penjelas tersebut berturut – turut adalah 0.030 dan 0.047 dimana semua nilai tersebut lebih kecil daripada tingkat peluang (ɑ) sebesar 5 % atau 0.050.

Nilai Chi-square atau Statistik Hosmer dan Lemeshow digunakan untuk menguji kelayakan dari model ini. Hal ini digunakan untuk melihat apakah data empiris cocok atau tidak dengan model atau dengan kata lain diharapkan tidak ada perbedaan antara data empiris dengan model. Pada model ini akan dinyatakan layak jika signifikansi diatas 0.05 atau -2 Log likelihood dibawah tabel Chi square. Nilai Hosmer and Lemeshow Test adalah 6.692 dengan signifikansi 0.570 > 0.05, sehingga model ini dinyatakan layak dan boleh diinterpretasikan. Nilai Nagelkerke R Square sebesar 0.350 yang berarti bahwa keenam variabel penjelas yang ada mampu menjelaskan varians petani untuk menggunakan aplikasi PHSL sebesar 35 % dan sisanya yaitu 65 % dapat dijelaskan untuk faktor lain.

2. Pembahasan Faktor Penentu Adopsi Teknologi PHSL

Berdasarkan model regresi logistik yang dihasilkan dua dari enam variabel mempunyai hubungan positif dan siknifikan terhadap penggunaan aplikasi PHSL. Kedua variabel tersebut adalah status kepemilikan lahan dan pendapatan usahatani. Status kepemilikan lahan mempengaruhi keputusan yang dapat diambil oleh petani, petani bukan pemilik lahan harus membayar uang sewa lahan atau dapat membayar dengan hasil padi yang dipanen. Sementara itu, petani yang memiliki lahan sendiri tidak perlu melakukan pembayaran terhadap biaya lahan yang digunakan untuk usahatani. Hal ini menyebabkan petani bukan pemilik lahan lebih terpacu untuk menggunakan suatu inovasi seperti aplikasi PHSL yang berpotensi meningkatkan produktivitas padi, sehingga mereka dapat membayar biaya sewa lahan dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

39

Sektor usahatani merupakan mata pencaharian utama bagi kebanyakan petani di lokasi penelitian mempunyai pengaruh terhadap adopsi inovasi aplikasi PHSL untuk tanaman padi. Petani yang tidak mempunyai penghasilan lain dari sektor usahatani mempunyai kemungkinan yang lebih kecil untuk menggunakan aplikasi PHSL dari pada petani yang mempunyai penghasilan selain dari sektor usahatani padi. Petani yang hanya memiliki penghasilan dari sektor pertanian memiliki risiko kerugian yang lebih besar untuk menggunakan aplikasi PHSL untuk pemupukan padi mereka, jika tanaman padi yang mereka tanam mengalami gagal panen. Jika hal tersebut terjadi maka otomatis petani tersebut tidak mendapatkan penghasilan atau penghasilan mereka berkurang dari biasanya. Sedangkan petani yang memiliki penghasilan lain dari sektor usahatani padi cenderung lebih aman untuk mengadopsi aplikasi PHSL, karena risiko gagal panen dapat ditutupi dengan penghasilan petani tersebut selain dari sektor usahatani padi.

Sementara itu variabel lain seperti umur, pendidikan, penyuluhan dan luasan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap adopsi aplikasi PHSL di Desa Jembungan. Variabel umur berhubungan negatif dan tidak siknifikan terhadap adopsi aplikasi PHSL di lokasi penelitian, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gultom (2008) tentang adopsi petani terhadap teknologi budidaya jagung di Kabupaten Langkat. Sebagian besar beranggapan bahwa umur dapat dijadikan tolok ukur produktivitas seseorang dalam melakukan pekerjaan. Seseorang yang berumur produktif (muda) dirasa akan bekerja lebih baik dan maksimal. Sehingga hipotesis yang dikembangkan adalah pengaruh umur mempunyai sebaran yang normal terhadap adopsi teknologi PHSL di lokasi penelitian. Hal ini disebabkan karena di Desa Jembungan petani muda maupun yang lebih tua tetap memiliki potensi untuk menggunakan aplikasi PHSL untuk usahatani padi. Nilai odd ratio -0.021 menunjukkan bahwa petani yang umurnya lebih tua 1 tahun potensi untuk menggunakan aplikasi PHSL akan berkurang sebesar 2.1 %.

Variabel pendidikan dan penyuluhan tidak mempengaruhi petani untuk mengadopsi teknologi PHSL. Hal ini disebabkan karena pendidikan formal (sekolah) bukan merupakan prasyarat dari diadopsinya suatu inovasi di bidang pertanian oleh petani. Hubungan antara lama pendidikan dengan adopsi inovasi tidak selalu erat jika orientasi tentang inovasi tersebut bisa diperoleh dari luar sekolah (Basuki 2008). Frekuensi penyuluhan yang diikuti petani tidak dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap penggunaan aplikasi PHSL, karena materi penyuluhan oleh petugas lebih ditekankan pada praktik-praktik usahatani yang baik serta ramah lingkungan dan jarang berkaitan dengan inovasi baru atau teknologi di bidang pertanian. Justru untuk meningkatkan kemungkinan adopsi teknologi baru dibidang pertanian maka penyuluh pertanian harus menyampaikan informasi – informasi yang berkaitan dengan inovasi teknologi pertanian kepada petani. Jika materi yang disampaikan oleh penyuluh pertanian jarang yang menyinggung tentang inovasi teknologi pertanian, maka kegiatan penyuluhan tersebut tidak akan berpengaruh terhadap adopsi petani terhadap inovasi teknologi dibidang pertanian.

40

BAB V. PENUTUP

A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Aplikasi PHSL terbukti dapat meningkatkan produksi padi dan pendapatan petani di Desa Jembungan. Namun petani belum sepenuhnya dapat mengadopsi inovasi aplikasi ini, karena dari aspek operasional, teknologi informasi, dan sosial budaya belum sesuai dengan kondisi petani.

2. Dari hasil perhitungan selisih hasil panen antara petani yang rekomendasi pemupukannya menggunakan aplikasi PHSL dengan pemupukan non PHSL adalah sebesar 314.38 kg dalam luasan ha. Sehingga dengan adanya aplikasi PHSL dapat meningkatkan produksi padi rata – rata sekitar 314.38 kg/hektar dengan tambahan keuntungan senilai Rp 1,100,327/hektar/musim tanam. B/C ratio usahatani dengan aplikasi PHSL adalah sebesar 1.91, artinya petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1.91 untuk setiap saotu rupiah yang dikeluarkan untuk biaya produksi pertanian. Sedangkan usahatani di lahan petani sendiri atau pemupukan rekomendasi petani yang biasa mereka lakukan memiliki nilai B/C ratio sebesar 1.70 yang artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan untuk budidaya pertanian akan mengahasilkan penerimaan sebesar Rp 1.70.

3. Hasil analisis regresi logistik untuk menentukan faktor – faktor yang mempengaruhi petani untuk mengadopsi teknologi PHSL menghasilkan dua dari keenam faktor yang berpengaruh siknifikan terhadap penggunaan aplikasi PHSL di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali. Variabel yang berhubungan positif dan berpengaruh nyata adalah status kepemilikan lahan dan pendapatan.

B. SARAN

1. Perlu adanya penyuluhan lebih lanjut tentang arti pentingnya meningkatkan produktivitas padi dan pembangunan pertanian berkelanjutan. Karena sebenarnya hal itulah yang menjadi tujuan utama diperkenalkannya aplikasi PHSL, sehingga petani lebih merespon dengan baik, apabila terdapat inovasi baru sejenis yang bertujuan sama.

2. Pemerintah sebaiknya ikut berperan dalam pengembangan aplikasi PHSL, sehingga setiap petani yang ingin mengakses aplikasi PHSL harus memiliki jaringan komunikasi yang memadai. Hal ini tidak terlepas dari peran aktif pemerintah yang sebaiknya menyediakan fasilitas komunikasi yang memadai untuk keperluan – keperluan serupa.

3. Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) lebih memantau sejauhmana inovasi aplikasi PHSL dapat diterima oleh petani. Karena tidak adanya pemantauan yang intensif, apalagi dengan sarana komunikasi yang kurang memadai menjadi faktor penghambat proses adopsi aplikasi PHSL.

41

DAFTAR PUSTAKA

Anggreini, Verra. 2005. Analisis Usahatani Padi Pestisida dan Non Pestisida di Desa Purwasari, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Skripsi Program Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Auernhammer, Hermann. 2001. Precision Farming-the environmental challenge. Institut fur Landtechnik, Germany.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2002. Membangun Agribisnis Melalui Inovasi Teknologi : Lima Tahun Penelitian dan Pengembangan Pertanian 1997-2001. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2010. [Proposal RPTP]. Indikator Pembangunan Pertanian dan Pedesaan : Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Padi. Deptan.

Basuki, Thohir. 2008. Analisis Pendapatan Usahatani Padi dan Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Petani untuk Menanam Padi Hibrida. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Buana, T. 1997. Adopsi Teknologi Budidaya Padi Sawah bagi Petani Penduduk Asli si Sekitar Satuan Pemukiman Transmigrasi di Kabupaten Kendari. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Buresh, Roland J., IRRI Filipina, Suyamto, dan Sarlan Abdurachman, Puslitbang Tanaman Pangan. 2006. Pemupukan Padi Sawah Berdasarkan Target Hasil Panen. [e-book] International Rice Research Insitute Filipina. http://www.knowledgebank.irri.org. [15 Februari 2012] .

Daniel, Moehar. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta : PT. Bumi Aksara. Fagi, Achmad M. , Buang Abdullah, dan Sunendar Kartaatmadja. 2002. Peran Padi Indonesia sebagi

Sumber Daya Genetik Padi Modern. Budaya Padi, Prosiding Diskusi Panel dan Pameran Budaya Padi. Surakarta 28 Agustus 2001 : 33-45. Yayasan Padi Indonesia Jakarta.

Fagi, Achmad M., dan S. Kartaatmaja. 2004. Teknologi Budi Daya Padi: Perkembangan dan Peluang. Dalam Ekonomi Padi dan Beras Indonesia (hal. 397 - 418). Badan Penelitian dan Pengembagan Pertanian. Departemen Pertanian.

Gultom, Lampos. 2008. Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Budidaya Jagung dan Faktor – Faktor yang Mempengaruhinya di Kabupaten Langkat (Studi Kasus : Desa Namu Ukur Utara Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat). Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Universitas Sumatera Utara.

IRRI (International Rice Research Institute). 2010a. Nutrient management decision tools. www.irri.org/nmrice. [16 Oktober 2012] 1.50 p.m.

IRRI (International Rice Research Institute). 2010b. Site-specific nutrient management. www.irri.org/ssnm. [16 Oktober 2012] 1.50 p.m.

Isgin, Tamer. Abdulbaki Bilgic. D. Lynn Forster dan Marvin T. Batte. 2008. Using count data models to determine the factors affecting farmer’s quantity decisions of precision farming technology adoption. Departemen of Agricultural Economics, the Harran University. Sanliurfa, Turkey.

Lubis, Djuara P. 2010. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Program Mayor Komunikasi Pembangunan. Insititut Pertanian Bogor, Bogor.

Mizar, M. Alfian, Muchijidin Mawardi, Mochamad Maksum dan Budi Rahardjo. 2008. Tipologi dan Karakteristik Adopsi Teknologi pada Industri Kecil Pengolahan Hasil Pertanian. Dalam Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian. 18 – 19 November 2008. Yogyakarta.

42

Mukarami, Edson, Antonio M. Saraiva, Luiz C.M. Ribeiro Junior, Carlos E. Cugnasca, Andre R.

Hirakawa dan Pedro L.P. Correa. 2007. An infrastucture for the development of distributed service-oriented information system for precision agriculture. Agriculture Automation Laboratory, Computer and Digital Systems Engineering Departement, Sao Paulo, Brazil

Nahraeni, W. 2000. Keputusan Petani dalam Penerapan Teknologi Tabela Program Pengkajian SUTPA di Jawa Barat. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Radjagukguk, Bostang. 2002. Prospek Penggunaan Pupuk Pupuk Tunggal dan Pupuk Majemuk pada Padi Sawah. 2002. Dalam Prosiding Lokakarya Pengelolaan Hara P dan K Padi Sawah. Solo 1-4 Oktober 2002 : 1-8. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor.

Rochayati, Sri dan Sri Adiningsih. 2002. Pembinaan dan Pengembangan Program Uji Tanah untuk Hara P dan K pada Lahan Sawah. Dalam Prosiding Lokakarya Pengelolaan Hara P dan K Padi Sawah. Solo 1-4 Oktober 2002 : 9-38. Badan Litbang Pertanian Bogor.

Soekartono. 2008. Perkembangan Teknologi Komunikasi. http://tonz94.wordpress.com/2008/12/22/difusi-inovasi/. [4 April 2012]

Santoso, P., N. Pangarsa, Yuniarti, A. Suryadi, K.B. Andri dan B. Nusantoro. 2001. Kajian Adopsi dan Dampak Teknologi Sistem Usaha Pertanian Padi di Jawa Timur. BPTP Jawa Timur, Surabaya.

Seminar, Kudang Boro. 2011. Paradigma Pendayagunaan Teknologi Informasi Untuk Pertanian. Akselerasi Pengembangan Informatika Pertanian untuk Pemberdayaan dan Perlindungan Petani, Prosiding Seminar Nasional Informatika Pertanian. Bandung 20-21 Oktober 2011 : 34 – 42.

Sutanto, Rachman. 2002. Penerapan Pertanian Organik Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Kanisius : Yogyakarta.

Tjondronegoro, Sediono M.P. 2002. Padi, Tanaman Ekspansif dari Timur ke Barat. Budaya Padi, Prosiding Diskusi Panel dan Pameran Budaya Padi. Surakarta 28 Agustus 2001 : 11-17. Yayasan Padi Indonesia Jakarta.

Widiarta, Ida Bagus Putu dkk. 2011. Analisis Pemilihan Moda dengan Regresi Logistik pada Rencana Koridor Trayek Trans Sarbagita. Jurnal Ilmiah Teknik Sipil. Fakultas Teknik, Universitas Udayana, Denpasar.

Wurjandi, Diah dan Mahyuddin Syam. 2007. Data Penting Padi Dunia dan Beberapa Negara Asia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Yanuar, Rahmat. 1999. Analisis Pendapatan dan Produksi Usahatani Padi di Lahan Gambut (Studi Kasus di Desa Blang Ramee, Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Barat, Propinsi Daerah Istimewa Aceh). Skripsi Program Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Yuliarmi. 2006. Analisis Produksi dan Faktor – Faktor Penentu Adopsi Teknologi Pemupukan Berimbang Pada Usahatani Padi. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Zaini, Zulkifli. 2011. Wireless Technology and Nutrient Manager. Akselerasi Pengembangan Informatika Pertanian untuk Pemberdayaan dan Perlindungan Petani, Prosiding Seminar Nasional Informatika Pertanian. Bandung 20-21 Oktober 2011 : 14-18.

43

LAMPIRAN

44

Lampiran 1. Kuesioner penelitian

KUESIONER KEGIATAN

PENELITIAN MAHASISWA

Analisis Pendapatan dan Faktor Penentu Adopsi Teknologi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi)

Untuk Usahatani Padi

Oleh : Faiz Ridhan Faroka

F14080074

Gambaran Umum : Survei ini dilakukan oleh Faiz Ridhan Faroka (F14080074). Mahasiswa Departemen Teknik Mesin

dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Survei ini bertujuan untuk

mendapatkan data primer sebagai acuan untuk menentukan kelayakan aplikasi PHSL (Pemupukan

Hara Spesifik Lokasi). Informasi yang didapatkan digunakan untuk keperluan analisis statistik dari

aspek yang telah ditentukan.

Atas kerjasamanya, saya ucapkan terimakasih.

45

Tanggal pencacahan :

Identitas Responden 1. Nama : 2. Jenis Kelamin : 3. Desa : 4. Kecamatan : 5. Usia : 6. Pendidikan :

a. Formal [ ] Tidak sekolah [ ] SMU/ Aliah [ ] Tidak tamat SD [ ] D-3 [ ] Tamat SD/Ibtidaiyah [ ] Universitas [ ] SLTP/ Tsanawiyah [ ] Lain-lain, sebutkan,…............... b. Non Formal : [ ] Pernah [ ] Tidak pernah Jika pernah, sebutkan…………………………………………………..

Aspek Operasional 1. Apakah anda atau keluarga anda memiliki hape (handphone) ?

a. Ya b. Tidak

2. Apakah anda atau keluarga anda bisa mengoperasikannya ?

a. Ya b. Tidak

3. Apakah pertanyaan dalam aplikasi PHSL mudah dimengerti ?

a. Ya b. Tidak

4. Apakah jumlah pertanyaannya terlalu banyak ?

a. Ya b. Tidak

5. Apakah bahasa dalam aplikasi PHSL mudah di pahami ?

a. Ya b. Tidak

Aspek Ekonomi 1. Luasan lahan yang di garap saat ini ......................( bata/tumbak/ru/are/hektar/rante/bahu)

2. Status kepemilikan lahan ? (milik sendiri / milik keluarga / sewa / lainnya..........................)

3. Untuk soal no.2 jika anda menyewa. Berapa biaya yang anda keluarkan untuk menyewa

lahan tersebut ........................................................................................................

4. Apakah anda mengolah lahan anda sendiri ? (Ya / Tidak)

*Jika tidak. Berapa biaya yang anda keluarkan untuk mengolah lahan......................................

5. Padi varietas apa yang anda tanam ...............................................................................

6. Darimana anda mendapatkan bibit padi ?........................................................................

7. Berapa kira – kira biaya yang anda keluarkan untuk mendapatkan bibit padi tersebut

.............................................................................................

8. Untuk sekali musim tanam berapa banyak bibit yang diperlukan

.............................................................................................

9. Berapa biaya yang anda keluarkan untuk pemupukan dalam sekali musim tanam

padi......................................................................................

46

10. Berapa hasil panen GKP (Gabah Kering Panen) untuk padi yang anda tanam pada musim

kemarin ..................................................................................................................................

11. Hasil panen padi yang anda tanam untuk keprluan apa ? (Keperluan sehari – hari / dijual )

Untuk soal no. 9 jika jawabannya dijual.

Kemana anda menjual gabah........................................................................................

Apabila dijual. Berapa harga 1 kg gabah ......................................................................

Berapa keuntungan yang anda terima untuk satu kali musim tanam padi...........................

12. Berapa biaya produksi padi untuk satu kali musim tanam..................................................

Aspek Teknologi Informasi 1. Apakah anda pernah mendengar tentang aplikasi PHSL ?

a. Ya b. Tidak

2. Apakah anda pernah mengakses aplikasi PHSL ?

a. Ya b. Tidak

3. Jika pernah, menurut anda manakah akses yang paling mudah ?

a. Internet b. Smartphone android c. Handphone

A. Internet

1. Apakah pertanyaannya terlalu banyak ?

a. Ya b. Tidak

2. Apakah akses internet sulit didapatkan ?

a. Ya b. Tidak

3. Dimanakah anda biasa mengakses ?

a. Laptop / PC pribadi b. Warnet

4. Jika di warnet, berapakah biaya yang anda keluarkan untuk mengakses PHSL.....

5. Apakah anda menggunakan internet hanya untuk mengakses aplikasi PHSL ?

a. Ya b. Tidak

B. Smartphone Android

1. Apakah anda memiliki sendiri smartphone android ?

a. Ya b. Tidak

2. Dari manakah anda mendapatkan aplikasi PHSL untuk smartphone android.........

3. Apakah mudah mengakses aplikasi PHSL menggunakan smartphone android ?

a. Ya b. Tidak

4. Apakah anda biasa mengakses sendiri aplikasi PHSL melalui smartphone android ?

a. Ya b. Tidak

47

C. Handphone

1. Apakah anda memiliki handphone pribadi ?

a. Ya b. Tidak

2. Apakah signal yang diterima cukup jelas ?

a. Ya b. Tidak

3. Apakah menjawab pertanyaan dengan hape (handphone) cukup mudah ?

a. Ya b. Tidak

4. Apakah suara yang diterima cukup jernih ?

a. Ya b. Tidak

5. Berapakah biaya yang anda keluarkan untuk mengakses PHSL melalui

handphone........................

Aspek Sosial Budaya 1. Bagaimana cara anda untuk mendapatkan pupuk ?

[ ] Membeli sendiri [ ] Mengajukan bantuan [ ] Subsidi Pemerintah [ ] lainnya ............................................................................

2. Bagaimana cara anda untuk melakukan pemupukan pada padi ........................................... 3. Bagaimana cara anda menentukan dosis pemupukan untuk tanaman padi anda................... 4. Jenis pupuk apa yang anda gunakan untuk memupuk padi di lahan anda............................. 5. Bagaimana cara anda untuk menentukan takaran untuk pemupukan padi di lahan

anda........................................................................................................................................ 6. Apakah anda pernah berkonsultasi dengan PPL setempat terkait pemupukan padi di lahan

anda ? a. Ya b. Tidak

7. Apakah anda pernah mendengar tentang aplikasi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) untuk tanaman padi ? a. Ya b. Tidak

8. Jika pernah. Apakah anda berniat atau pernah menggunakannya ? a. Ya b. Tidak

9. Jika anda menggunakan aplikasi PHSL apakah anda bersedia untuk mencoba untuk mengaplikasikan rekomendasi pupuk yang diberikan ke lahan anda ?

a. Ya b. Tidak 10. Sejak kapan anda menggunakan aplikasi PHSL ................................................................

48

Lampiran 2. Daftar pertanyaan yang diajukan pada aplikasi PHSL Daftar pertanyaan Penjelasan terhadap pertanyaan yang diajukan 1) Tunjukkan ukuran / luas lahan sawah anda

Jumlah pupuk yang diperlukan didasarkan atass luas sawah yang ditunjukkan oleh pengguna/petani. petani diberi pilihan untuk untuk menyatakan luas sawahnya dalam bata, tumbak, ru, are, hektar, rante, atau bahu.

2) Pilih musim tanam yang akan memerlukan rekomendasi pupuk

Rekomendasi pupuk akan disesuaikan dengan musim yang dipilih oleh petani. Hasil padi yang dapat dicapai didasarkan atas musim tanam, umur varietas padi, dan ketersediaan air.

3) Apa cara tanam yang digunakan *Petani diminta menyebutkan cara tanam, apakah tanam pindah atau sebar lansung (tabela). *Umur tanaman (dari benih-ke-benih) dengan cara tabela sekiatar 10 hari lebih pendek daripada cara tanam pindah. *Umur tanaman dengan cara tanam pindah dipengaruhi oleh umur bibit yang ditanam.

4) Jika cara tanam pindah, berapa umur bibit yang ditanam ?

*Petani diminta menyebutkan umur bibit, apakah kurang dari 21 hari atau lebih dari 22 hari. *Jika umur bibit tua (lebih dari 22 hari), waktu anakan aktif dan primordia disesuaikan, berturut–turut diperkirakan 5 dan 10 hari lebih awal setelah tanam pindah.

5) Pilih umur padi varietas yang akan anda tanam.

*Informasi ini memungkinkan PHSL mengakses database umur tanaman (benih-ke-benih) untuk varietas yang dipilih. *Informasi ini disertai oleh cara tanam dan umur bibit, digunakan untuk menghitung umur tanaman saat anakan aktif dan primordia, yaitu fase pertumbuhan kritis untuk pemberian pupuk N. *Database dan PHSL perlu diupdate secara reguler bila ada varietas baru yang dilepas.

6) Untuk MH (atau MK), ketik berapa kg biasanya hasil GKP, sebelum dipotong bawon, kemudian tekan tanda (#)

*Jawaban dari pertanyaan ini digunakan untuk memperkirakan target hasil yang dapat dicapai, yang dipakai sebagai dasar penyusunan pedoman pemupukan. *PHSL memperkirakan target hasil yang dapat dicapai lebih tinggi daripada angka hasil yang diberikan oleh petani dengan mempertimbangkan musim, varietas, dan ketersediaan air. *Hasil yang diminta adalah dalam GKP (gabah kering panen), tapi semua perhitungan dosis pupuk dalam PHSL didasarkan atas dasar hasil GKG (gabah kering giling) setelah kadar air dikonversi menjadi 14%. *PHSL memperhitungkan rekomendasi pupuk

49

Daftar Pertanyaan Penjelasan terhadap pertanyaan yang diajukan berdasarkan angka hasil panen yang diberikan petani.

Kalau petani mengatakan hasil 5 t/ha, PHSL memperhitungkan rekomendasi pupuk yang kira-kira memberi has 5.5-6 t/ha.

7) Pada musim sebelumnya, ketik berapa kg biasanya hasil GKP, sebelum dipotong bawon, kemudian tekan tanda (#)

Informasi hasil gabah sebelumnya dan informasi cara perontokan (diperoleh dari jawaban pertanyaan berikutnya) digunakan untuk memperkirakan jumlah omas tanaman padi yang dikembalikan dari tanaman padi sebelumnya ke pertanaman padi berikutnya yang akan ditentukan kebutuhan pupuknya.

8) Bagaimana cara merontok padi pada musim tanam sebelumnya ?

Bagaimana gambaran ketersediaan air pada musim yang dipilih (MH/MK) di tahun-tahun sebelumnya ?

9) Bagaimana cara merontok padi pada musim tanam sebelumnya ?

*Informasi ini bersama informasi hasil padi sebelumnya digunakan untuk memperkirakan jumlah biomas dan jerami yang masih tertinggal di lahan. Hal ini menjadi pertimbangan dalam menghitung kebutuhan pupuk P dan K. *Jumlah pupuk P dan K yang diberikan akan lebih rendah bila padi dirontok dengan ditresher karena jumlah biomas yang tertinggal di lahan lebih banyak. Merontok digebit memerlukan batang padi yang lebih panjang sehingga dipanen rendah, menyisakan rumpun yang pendek sebagai biomas yang tertinggal di sawah

10) Pada musim yang dipilih, apakah anda akan memberikan pupuk kandang atau pupuk organik buatan sendiri kesawah anda ?

Jika petani akan memberikan pupuk kandang atau pupuk organik buatan sendiri pada musim yang dipilih, dia diminta untuk menyebutkan jumlahnya. PHSL akan mengurangi dosis pupuk NPK atas dasar jumlah NPK yang terkandung dalam pupuk organik yang ditambahkan.

Rekomendasi pemupukan padi akan segera anda terima dalam bentuk SMS

SMS tersebut menunjukkan jumlah dan waktu pemberian pupuk yang diperlukan untuk musim tanam yang akan datang.

Sumber : Zaini, 2011

50

Lampiran 3. Hasil dan Selisih Produksi Padi Usahatani dengan PHSL dengan non PHSL

No. Nama Luasan Lahan (m2) Luas Ubinan

(m2)

Hasil Ubinan (kg) Hasil Panen GKP (kg/ha) Pendapatan (Rp/ha) Selisih Panen (kg) Non

PHSL PHSL Non PHSL PHSL Non PHSL PHSL Non PHSL PHSL

1 Bapak Sabar 2,500 300 5.13 3.21 3.23 6,247.56 6,300.19 21,866,471.73 22,050,682.26 52.63 2 Bapak Sukarno 2,500 300 3 Bapak Mujio 2,500 563 8.64 4.13 4.23 4,780.09 4,895.83 16,730,324.07 17,135,416.67 115.74 4 Bapak Waluyo 3,000 300 6.25 3.04 3.95 4,864.00 6,320.00 17,024,000.00 22,120,000.00 1,456 5 Bapak Suhirlan 2,500 300 6.5 3.84 4.02 5,907.69 6,184.62 20,676,923.08 21,646,153.85 276.92

6 Bapak Sugeng Santoso 4,700 300 6.25 5.42 5.74 8,672.00 9,184.00 30,352,000.00 32,144,000.00 512

7 Bapak Mujiman 2,500 300 6.37 2.75 3.55 4,317.11 5,573.00 15,109,890.11 19,505,494.51 1,255.89 8 Bapak Tugiman 2,500 300 6.75 4.62 5.22 6,844.44 7,733.33 23,955,555.56 27,066,666.67 888.89 9 Ibu Sumiyatun 2,500 300 6.25 4.5 4.33 7,200.00 6,928.00 25,200,000.00 24,248,000.00 -272.00 10 Bapak Sardi 2,500 300 6.93 5.15 5.58 7,431.46 8,051.95 26,010,101.01 28,181,818.18 620.49 11 Bapak Parno 2,600 300 6.89 4.5 3.83 6,531.20 5,558.78 22,859,216.26 19,455,732.95 -972.42 12 Ibu Gunarti Hastuti 2,655 300 6.5 4.13 4.41 6,353.85 6,784.62 22,238,461.54 23,746,153.85 430.77 13 Bapak Dalmadi 2,500 443 6.76 4.59 4.43 6,789.94 6,553.25 23,764,792.90 22,936,390.53 -236.69 14 Bapak Tujiman 2,900 1,000 6.4 4.33 4.13 6,765.63 6,453.13 23,679,687.50 22,585,937.50 -312.50 15 Bapak Mulyono 2,000 300 6.63 4.88 5.58 7,360.48 8,416.29 25,761,689.29 29,457,013.57 1,055.81 16 Bapak Sudirman 2,500 300 6.25 3.67 4.06 5,872.00 6,496.00 20,552,000.00 22,736,000.00 624.00 17 Bapak Joko Saiman 2,500 300 6.5 4.05 4 6,230.77 6,153.85 21,807,692.31 21,538,461.54 -76.92 18 Bapak Juwadi 2,500 300 6.5 3.83 4.81 5,892.31 7,400.00 20,623,076.92 25,900,000.00 1,507.69 19 Bapak Sudjito Siswo 2,500 504 6.24 4.99 4.66 7,996.79 7,467.95 27,988,782.05 26,137,820.51 -528.85 20 Bapak Joko Waluyo 2,500 300 6.6 4.47 4.19 6,772.73 6,348.48 23,704,545.45 22,219,696.97 -424.24

Jumlah 52,855 7,310 124.34 80.10 83.95 122,830.06 128,803.27 429,905,209.78 450,811,439.55 5,973.21

Rata – Rata 2,642.75 365.50 6.54 4.22 4.42 6,464.74 6,779.12 21,495,260.49 22,540,571.98 314.38

*Produktivitas tidak sempat dihitung, karena sebelum dilakukan pengubinan sudah di panen.

51

Lampiran 4. Perbandingan Pendapatan Usahatani PHSL dan non PHSL

No. Nama Luasan Lahan Luas

Ubinan

Hasil Ubinan Hasil Panen Harga gabah

Pendapatan Non

PHSL PHSL Non PHSL PHSL Non

PHSL PHSL Non PHSL PHSL

1 Bapak Sabar 2,500 300 5.13 3.21 3.23 1,561.89 189.01 3,500 5,466,617.93 661,520.47 2 Bapak Sukarno * 2,500 300 0.00 0.00 0.00 3,500 3 Bapak Mujio 2,500 563 8.64 4.13 4.23 1,195.02 275.64 3,500 4,182,581.02 964,723.96 4 Bapak Waluyo 3,000 300 6.25 3.04 3.95 1,459.20 189.60 3,500 5,107,200.00 663,600.00 5 Bapak Suhirlan 2,500 300 6.50 3.84 4.02 1,476.92 185.54 3,500 5,169,230.77 649,384.62 6 Bapak Sugeng Santoso 4,700 300 6.25 5.42 5.74 4,075.84 275.52 3,500 14,265,440.00 964,320.00 7 Bapak Mujiman 2,500 300 6.37 2.75 3.55 1,079.28 167.19 3,500 3,777,472.53 585,164.84 8 Bapak Tugiman 2,500 300 6.75 4.62 5.22 1,711.11 232.00 3,500 5,988,888.89 812,000.00 9 Ibu Sumiyatun 2,500 300 6.25 4.50 4.33 1,800.00 207.84 3,500 6,300,000.00 727,440.00 10 Bapak Sardi 2,500 300 6.93 5.15 5.58 1,857.86 241.56 3,500 6,502,525.25 845,454.55 11 Bapak Parno 2,600 300 6.89 4.50 3.83 1,698.11 166.76 3,500 5,943,396.23 583,671.99 12 Ibu Gunarti Hastuti 2,655 300 6.50 4.13 4.41 1,686.95 203.54 3,500 5,904,311.54 712,384.62 13 Bapak Dalmadi 2,500 443 6.76 4.59 4.43 1,697.49 290.31 3,500 5,941,198.22 1,016,082.10 14 Bapak Tujiman 2,900 1,000 6.40 4.33 4.13 1,962.03 645.31 3,500 6,867,109.38 2,258,593.75 15 Bapak Mulyono 2,000 300 6.63 4.88 5.58 1,472.10 252.49 3,500 5,152,337.86 883,710.41 16 Bapak Sudirman 2,500 300 6.25 3.67 4.06 1,468.00 194.88 3,500 5,138,000.00 682,080.00 17 Bapak Joko Saiman 2,500 300 6.50 4.05 4.00 1,557.69 184.62 3,500 5,451,923.08 646,153.85 18 Bapak Juwadi 2,500 300 6.50 3.83 4.81 1,473.08 222.00 3,500 5,155,769.23 777,000.00 19 Bapak Sudjito Siswo 2,500 504 6.24 4.99 4.66 1,999.20 376.38 3,500 6,997,195.51 1,317,346.15 20 Bapak Joko Waluyo 2,500 300 6.60 4.47 4.19 1,693.18 190.45 3,500 5,926,136.36 666,590.91

*Produktivitas tidak sempat dihitung, karena sebelum dilakukan pengubinan sudah di panen.

52

Lampiran 5. Perbandingan Rekomendasi Pemupukan oleh PHSL dan non PHSL

No. Nama Pemupukan ke-1 Jenis Pupuk

Rekomendasi Pupuk (kg) Biaya Pemupukan

PHSL Non PHSL PHSL Non PHSL

1 Bapak Sabar I Pelangi 6 50

23,160 261,000 II Urea 2.5 40 III Urea 2.5 40

2 Bapak Sukarno

I Phonska 6 50 23,976 297,000 II Urea 2.64 50

III Urea 2.88 50

3 Bapak Mujio I Phonska 11 50

46,800 297,000 II Urea 5.85 50 III Urea 5.85 50

4 Bapak Waluyo

I Urea 1.2 12

31,860 318,600 Phonska 5 50 II Urea 5 50 III Urea 5 50

5 Bapak Suhirlan

I Kujang 3 50 19,376 332,000 II Kujang 3.4 50

III Urea 2.16 50

6 Bapak Sugeng Santoso

I SP-36 2 50

13,668 520,000

Urea II Urea 2.63 50 Phonska 50 III Urea 2.63 50 Pelangi 50

7 Bapak Mujiman

I Urea 1.6 50

14,980 298,000 SP-36 1.8 II Urea 2 50 III Pelangi 2 50 Urea

8 Bapak Tugiman

I Kujang 3 50 21,934 332,000 II Kujang 4.1 50

III Urea 2.64 50

9 Ibu Sumiyatun

I Urea 0.84 20

22,104 286,200 Phonska 4 30 II Urea 3.12 50 III Urea 3.12 50

10 Bapak Sardi I Kujang 3 50

19,376 332,000 II Kujang 3.4 50 III Urea 2.16 50

11 Bapak Parno I Pelangi 5.77 50

32,220.4 326,000 II Pelangi 5.77 50 III Urea 2.77 50

,

53

Lanjutan Lampiran 5 ...

12 Ibu Gunarti Hastuti

I

Kujang

50 10,080 329,000 Urea 1.6

II Urea 2 50 III Pelangi 50 Urea 2

13 Bapak Dalmadi

I ZA 25

13,392 345,500

Urea 2.48 II Phonska 50 Urea 2.48 III Phonska 50 Urea 2.48 IV Urea 30

14 Bapak Tujiman

I Pelangi 50

28,440 325,000

Urea 3 SP-36 2.4 II Urea 5 50 III Phonska 50 Urea 5

15 Bapak Mulyono

I Phonska 8 50 29,520 297,000 II Urea 3 50

III Urea 3 50

16 Bapak Sudirman

I Pelangi 4.2 50 24,792 326,000 II Pelangi 4.2 50

III Urea 2.76 50

17 Bapak Joko Saiman

I Urea 1.92 20

17,160 258,000 SP-36 2 20 II Urea 2.64 50 III Urea 2.64 50

18 Bapak Juwadi I Pelangi 4.08 50

23,577.6 326,000 II Pelangi 4.08 50 III Urea 2.4 50

19 Bapak Sudjito Siswo

I Urea 3.23 50 18,882 270,000 II Urea 3.63 50

III Urea 3.63 50

20 Bapak Joko Waluyo

I Phonska 6 50

26,280 325,000 II Urea 3.4 50 III Pelangi 50 Urea 3.4

54

Lampiran 6. Data Input Regresi Logistik

Adopsi (1=Ya ; 0=Tidak)

Lama Pendidikan

Umur petani

Luasan Lahan Pendapatan

Status lahan (1=sendiri ;

0=sewa)

Penyuluhan (1=pernah ;

0=tidak pernah)

1 9 45 2,800 21,866,471.73 1 1

0 12 44 2,800 16,730,324.07 1 1 0 12 45 2,800 17,024,000 1 1

0 12 40 3,500 20,676,923.08 1 0 1 12 40 3,300 30,352,000 0 1

0 9 47 3,300 15,109,890.11 1 1 1 12 45 2,800 23,955,555.56 1 0

1 12 44 3,900 25,200,000 1 1 0 12 44 2,300 26,010,101.01 1 1

0 12 49 2,800 22,859,216.26 0 1 1 12 45 2,800 22,238,461.54 1 1

1 9 47 3,000 23,764,792.9 1 1 0 6 43 2,800 23,679,687.5 1 1

0 16 48 2,800 25,761,689.29 1 1 0 12 49 2,900 20,552,000 1 1

1 12 41 2,800 21,807,692.31 1 1 0 9 42 2,800 20,623,076.92 1 1

0 9 43 2,800 27,988,782.05 1 0 1 12 42 2,300 23,704,545.45 0 1

1 9 43 2,800 22,050,682.26 1 1 1 12 47 2,800 17,135,416.67 1 0

1 16 45 2,900 22,120,000 0 1 0 12 45 2,955 21,646,153.85 1 1

1 12 44 2,800 32,144,000 1 0 1 12 45 3,000 19,505,494.51 1 1

0 12 45 2,800 27,066,666.67 1 1 1 5 51 2,800 24,248,000 1 1

1 12 43 2,955 28,181,818.18 1 0 0 12 42 2,943 19,455,732.95 1 1

0 9 43 3,900 23,746,153.85 1 1 0 12 47 2,943 22,936,390.53 1 1

1 12 49 2,800 22,585,937.5 1 0 0 5 51 2,800 29,457,013.57 1 1

0 12 43 3,900 22,736,000 1 1 0 12 41 2,943 21,538,461.54 1 1

1 12 49 2,800 25,900,000 0 1 1 6 43 3,900 26,137,820.51 1 1

1 16 48 2,943 22,219,696.97 1 0

55

Lampiran 7. Tabel Output Regresi Logistik dengan Software SPSS 16.0 for Windows

Classification Tablea

Observed

Predicted

keputusan adopsi Percentage

Correct 0 1

Step 1 keputusan adopsi 0 14 6 70.0

1 6 13 68.4

Overall Percentage 69.2

a. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1a Pendidikan -.095 .147 .421 1 .517 .909

Umur -.043 .142 .089 1 .765 .958

Luasan_lahan .000 .001 .015 1 .902 1.000

Pendapatan .397 .200 3.951 1 .047 1.488

Status_lahan -3.490 1.608 4.713 1 .030 .031

PPL -1.824 .994 3.367 1 .067 .161

Constant 3.721 8.348 .199 1 .656 41.302 a. Variable(s) entered on step 1: Pendidikan, Umur, Luasan_lahan, Rasio, Status_lahan, PPL.

Correlation Matrix

Constant Pendidikan Umur Luasan_lahan Rasio Status_lahan PPL

Step 1 Constant 1.000 -.413 -.880 -.562 .099 -.278 -.113

Pendidikan -.413 1.000 .159 .107 -.066 .283 .249

Umur -.880 .159 1.000 .269 -.258 .226 -.032

Luasan_lahan -.562 .107 .269 1.000 .002 -.112 -.088

Pendapatan .099 -.066 -.258 .002 1.000 -.509 -.071

Status_lahan -.278 .283 .226 -.112 -.509 1.000 .233

PPL -.113 .249 -.032 -.088 -.071 .233 1.000

56

Lampiran 8. Letak Geografis Lokasi Penelitian

57

Lampiran 9. Surat Pengantar Penelitian dari Dinas Pertanian Boyolali

58

Lampiran 10. Luas Panen Padi di Beberapa Negara dan Dunia, 1961 - 2006

59

Lampiran 11. Luas Panen, Produksi, dan Hasil Padi di Beberapa Negara dan Dunia, 1986 - 2006