Upload
letram
View
231
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS PERBANDINGAN PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN
SEBELUM DAN SESUDAH PENERAPAN TARIF TUNGGAL DAN
PENGARUHNYA TERHADAP PAJAK PENGHASILAN TERHUTANG
(Studi Kasus Wajib Pajak Badan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Kota Tasikmalaya)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Pada Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Siliwangi
Oleh:
IRMA NURMAYANTI
083403157
JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALAYA
2012
LEMBAR PENGESAHAN
SKRIPSI
NAMA : IRMA NURMAYANTI
NPM : 083403157
JUDUL :“ANALISIS PERBANDINGAN PENERIMAAN PAJAK
PENGHASILAN SEBELUM DAN SESUDAH PENERAPAN
TARIF TUNGGAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP
PAJAK PENGHASILAN TERHUTANG”.
(Studi Kasus Wajib Pajak Badan di Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Kota Tasikmalaya)
Telah di sidangkan pada 21 November 2012
NO NAMA DOSEN JABATAN TANDA
TANGAN
1 Dr. Jajang Badruzaman, SE., M.Si, Ak Pembimbing I
2 Rani Rahman, SE., M.AK Pembimbing II
3 R. Neneng Rina A, SE., M.M Penguji I
4 Iwan Hermansyah, SE., M.Si., Ak Penguji II
Tasikmalaya, November 2012
Mengetahui
Ketua Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Siliwangi
Dr. Jajang Badruzaman, SE., M.Si., Ak
COMPARATIVE ANALYSIS RECEIPT INCOME TAX BEFORE AND
AFTER FLAT RATE AND THE EFFECT OF OUTSTANDING INCOME
TAX
(Case Study Corporate Taxpayers at Tax Service Office of Tasikmalaya City)
ABSTRACT
Compiled By :
IRMA NURMAYANTI
083403157
Guided By :
Dr. Jajang Badruzaman, SE.,M.Si.,Ak
Rani Rahman, SE.,M.AK
The research objective to know (1) Receipt income tax before flat rate, (2)
Receipt income tax after flat rate, (3) Is there a difference of receipt of income tax
before and after flat rate, (4) The influence of receipt of income tax on
outstanding income tax. The method used in this research is descriptive analytical
and comparative with case study approach. Data collecting technique by throught
primary data that is data obtained directly from data source where is research
executed in KPP Pratama Kota Tasikmalaya and secondary data that is obtained
from literature and the bibliography are relationship with problem which will be
checked. Analyzer applied is t-test parametric statistical techniques and simple
regression test with measurement scale of ratio. Testing of hypotesis by using t-
test. Result of research indicates that (1) receipt income tax before flat rate have
increased, (2) receipt income tax after flat rate have increased, (3) Testing about
the differences of receipt before and after flat rate there is significant different
between receipt tax income before and after flat rate, (4) testing about receipt
income tax to outstanding income tax that is receipt income tax to outstanding
income tax had an effect on significant to outstanding income tax.
Keyword : Receipt income tax, flat rate, outstanding income tax
i
ANALISIS PERBANDINGAN PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN
SEBELUM DAN SESUDAH PENERAPAN TARIF TUNGGAL DAN
PENGARUHNYA TERHADAP PAJAK PENGHASILAN TERHUTANG
(Studi Kasus Wajib Pajak Badan Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota
Tasikmalaya)
ABSTRAK
Oleh :
IRMA NURMAYANTI
083403157
Dibawah bimbingan :
Dr. Jajang Badruzaman, SE.,M.Si.,Ak
Rani Rahman, SE.,M.AK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Penerimaan pajak penghasilan
sebelum tarif tunggal, (2) Penerimaan pajak penghasilan sesudah tarif tunggal, (3)
Apakah terdapat perbedaan penerimaan pajak penghasilan sebelum dan sesudah
penerapan tarif tunggal, (4) Pengaruh penerimaan pajak penghasilan terhadap
pajak penghasilan terutang. Metode yang digunakan adalah metode komparatif
dan deskriptif analitis dengan metode pendekatan studi kasus. Teknik
pengumpulan data dilakukan melalui data primer yaitu data yang diperoleh
langsung dari sumber data dimana penelitian ini dilaksanakan di KPP Pratama
Kota Tasikmalaya dan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari literatur dan
buku-buku yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Alat analisis
yang digunakan adalah t-test statistik parametris dan uji regresi sederhana
dengan skala pengukuran rasio. Pengujian hipotesis dengan menggunakan uji uji
beda rata-rata dan uji t. Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) Penerimaan pajak
penghasilan sebelum tarif tunggal mengalami peningkatan, (2) Penerimaan pajak
penghasilan sesudah tarif tunggal mengalami peningkatan, (3) Pengujian
mengenai analisis perbedaan penerimaan pajak penghasilan sebelum dan sesudah
tarif tunggal yaitu terdapat perbedaan yang signifikan antara penerimaan pajak
penghasilan sebelum dan sesudah penerapan tarif tunggal, (4) Pengujian mengenai
pengaruh penerimaan pajak penghasilan terhadap pajak penghasilan terutang yaitu
penerimaan pajak penghasilan berpengaruh signifikan terhadap pajak penghasilan
terutang.
Kata kunci : penerimaan pajak penghasilan, tarif tunggal, pajak penghasilan
terutang
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Allah S.W.T, berkat rahmat dan
hidayahNya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul
“Analisis Perbandingan Penerimaan Pajak Penghasilan Sebelum dan
Sesudah Penerapan Tarif Tunggal Dan Pengaruhnya Terhadap Pajak
Penghasilan Terhutang (Studi Kasus Wajib Pajak Badan Di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Kota Tasikmalaya). Skripsi ini Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, dorongan semangat, dan
sumbangan pikiran dari banyak pihak, skripsi ini tidak akan terlaksanakan
dengan baik. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang sebesarnya-besarnya kepada:
1. Orang tua dan mertua tercinta atas nasehat, dorongan, pengorbanan
dan doa yang selalu tercurah untuk penulis.
2. Suami, ayah dari anak lelakiku “Imat Rakhmatillah” yang telah banyak
membantu dengan sabar dan telaten dalam pembuatan skripsi ini serta
membiayai kuliah penulis.
3. Anakku tersayang “aldebaran alfathir rakhmatillah” yang senantiasa
setia mengikuti setiap langkah penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Mamah, a iman, a iki, teh eva, a gian, ica untuk bantuan, doa yang
selalu diberikan demi kelancaran penulis.
iii
5. Bapak Prof. Dr. H. Kartawan, S.E.,M.P., selaku Rektor Universitas
Siliwangi Tasikmalaya.
6. Bapak Dr. Asep Yusup Hanapia, SE.,M.P., selaku Dekan Fakultas
Ekonomi Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
7. Bapak Dr. Jajang Badruzaman, SE.,M.Si.,Ak., selaku Ketua Jurusan
Akuntansi. Sekaligus sebagai Pembimbing I yang telah banyak
membantu dan memberikan masukan kepada penulis.
8. Bapak Rani Rahman, SE.,M.AK., selaku Pembimbing II yang telah
memberikan banyak pengarahan dan kemudahan bagi penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
9. Ibu Rita Tri Yusnita, SE.,M.M., selaku Dosen Wali Akuntansi D 2008.
10. Seluruh dosen dan staf karyawan di Fakultas Ekonomi Universitas
Siliwangi Tasikmalaya yang telah memberikan ilmunya sejak awal
perkuliahan hingga selesainya penulisan skripsi ini.
11. Kepala KPP Pratama Kota Tasikmalaya beserta staf pegawai di bagian
umum dan data informasi yang telah memberikan izin penelitian,
kemudahan, dan membantu kepada penulis dalam penyusunan skripsi
ini.
12. Teman-teman seperjuangan akuntansi 2008, khususnya akuntansi D
2008.
13. Rekan-rekan senior dan adik junior di Jurusan Akuntansi yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
14. Rekan-rekan BE Himatansi khususnya periode 2009/2010, 2010/2011.
iv
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih
banyak kekurangan, bahkan kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan dan menerima dengan senang hati segala kritik dan saran
dari semuanya. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat dan
berguna bagi yang membacanya. Amin
Tasikmalaya, Juni 2012
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT.................................................................................................i
ABSTRAK..................................................................................................ii
KATA PENGANTAR..............................................................................iii
DAFTAR ISI.............................................................................................vi
DAFTAR TABEL.....................................................................................x
DAFTAR GAMBAR................................................................................xi
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian.............................................................1
1.2 Identifikasi Masalah......................................................................7
1.3 Tujuan Penelitian..........................................................................7
1.4 Kegunaan Hasil Penelitian............................................................8
1.5 Lokasi dan Jadwal Penelitian........................................................9
1.5.1 Lokasi Penelitian..................................................................9
1.5.2 Waktu Penelitian.................................................................9
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN
HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Pustaka...........................................................................10
2.1.1 Definisi Pajak.....................................................................10
2.1.2 Fungsi Pajak.......................................................................13
2.1.3 Asas-Asas Pajak.................................................................15
vi
2.1.4 Klasifikasi Pajak.................................................................17
2.1.5 Sistem Pemungutan Pajak...................................................19
2.1.6 Pajak Penghasilan................................................................21
2.1.6.1 Subjek Pajak Penghasilan.......................................22
2.1.6.2 Objek Pajak Penghasilan........................................25
2.1.7 Tarif Pajak...........................................................................28
2.1.7.1 Tarif Tunggal..........................................................31
2.2 Kerangka Pemikiran.....................................................................33
2.3 Hipotesis.......................................................................................38
BAB III : OBJEK DAN METODE PENELITIAN
3.1 Objek Penelitian..........................................................................39
3.1.1 Gambaran Umum Kantor Pelayanan Pajak......................39
3.1.2 Gambaran Umum Kantor Pelayanan Pajak Pratama.......42
3.1.2.1 Karakteristik KPP Pratama..................................43
3.1.2.2 Pola Pengelolaan KPP Pratama...........................47
3.2 Metode Penelitian......................................................................49
3.2.1 Metode Penelitian Yang Digunakan................................49
3.2.2 Jenis Dan Sumber Data...................................................49
3.2.3 Operasionalisasi Variabel...............................................50
3.2.4 Teknik Pengumpulan Data..............................................51
3.2.5 Paradigma Penelitian.....................................................52
3.2.6 Rancangan Analisis Data dan Pengujian Hipotesis.......53
vii
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian...........................................................................61
4.1.1 Penerimaan Pajak Penghasilan Sebelum Penerapan
Tarif Tunggal Di KPP Pratama Kota Tasikmalaya..........61
4.1.2 Penerimaan Pajak Penghasilan Sesudah Penerapan
Tarif Tunggal Di KPP Pratama Kota Tasikmalaya..........61
4.2 Pembahasan.................................................................................64
4.2.1 Penerimaan Pajak Penghasilan Sebelum Penerapan
Tarif Tunggal Di KPP Pratama Kota Tasikmalaya..........64
4.2.2 Penerimaan Pajak Penghasilan Sesudah Penerapan
Tarif Tunggal Di KPP Pratama Kota Tasikmalaya..........66
4.2.3 Analisis Penerimaan Pajak Penghasilan Sebelum
Tarif Tunggal....................................................................67
4.2.3 Analisis Penerimaan Pajak Penghasilan Sebelum
Tarif Tunggal....................................................................68
4.2.6 Pengaruh Penerimaan Pajak Penghasilan Terhadap
Pajak Penghasilan Terutang Di KPP Pratama
Kota Tasikmalaya.............................................................70
4.2.7 Uji Hipotesis.....................................................................73
4.2.7.1 Perbedaan Antara Besarnya Penerimaan
Pajak Penghasilan Sebelum Dan
Sesudah Penerapan Tarif Tunggal
Di KPP Pratama Kota Tasikmalaya......................73
4.2.7.2 Pengaruh Penerimaan Pajak Penghasilan
Terhadap Pajak Penghasilan Terutang
Di KPP Pratama Kota Tasikmalaya......................75
ix
BAB V : SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan.....................................................................................76
5.2 Saran...........................................................................................77
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................80
LAMPIRAN..............................................................................................82
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Perbandingan Penelitian...........................................................................6
Tabel 3.1 Operasionalisasi Variabel......................................................................51
Tabel 3.2 Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi..............................................58
Tabel 4.1 Penerimaan Pajak Penghasilan Sebelum Tarif Tunggal........................62
Tabel 4.2 Penerimaan Pajak Penghasilan Sesudah Tarif Tunggal.........................63
Tabel 4.3 Perubahan Pajak Penghasilan Sebelum Tarif Tunggal..........................65
Tabel 4.4 Perubahan Pajak Penghasilan Sesudah Tarif Tunggal...........................67
Tabel 4.5 Penerimaan Pajak Penghasilan dan Pajak Penghasilan
Terutang.................................................................................................71
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1 Paradigma Penelitian..........................................................................53
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Data Penerimaan Pajak Penghasilan Badan Sebelum
dan Sesudah Tarif Tunggal....................................................................................82
Data Pajak Penghasilan Terutang Badan...............................................................83
Perhitungan SPSS dan Perhitungan Manual..........................................................84
Tabel Distribusi t....................................................................................................91
Surat Keterangan Izin Penelitian KPP Pratama Kota Tasikmalaya.......................92
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Pendapatan negara merupakan pemasukan yang diperoleh negara
untuk membiayai dan menjalankan roda pemerintahan, dimana
penerimaan tersebut didapat dari berbagai sumber baik sektor migas
maupun non migas. Namun penerimaan dari sektor non migas lebih besar
dibandingkan sektor migas. Penerimaan dari sektor non migas yang utama
adalah penerimaan dari sektor pajak.
Peranan penerimaan pajak selalu diupayakan untuk ditingkatkan,
karena merupakan sumber pendapatan dalam negeri yang lebih stabil dan
dinamis. Walaupun disadari bersama dalam situasi krisis ekonomi yang
melanda Indonesia, harapan untuk peningkatan penerimaan pajak semakin
sulit untuk di capai. Peranan pajak untuk biaya pembangunan di Indonesia
sudah sangat dominan melebihi porsi penerimaan dari sektor migas.
Kondisi ini mencerminkan harapan yang besar bahwa pembangunan di
masa yang akan datang ditentukan dari kesadaran wajib pajak dalam
membayar pajak dan keefektifan serta keefisienan pungutan pajak yang
dilakukan. Beban dan tanggung jawab untuk merealisasikan penerimaan
negara yang bersumber dari penerimaan pajak mengharuskan Direktorat
Jenderal Perpajakan melakukan reformasi aturan-aturan di bidang
perpajakan.
Awal reformasi besar perpajakan di Indonesia dimulai tahun 1984,
ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Undang-Undang ini menggantikan
peraturan perpajakan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda
(misalnya : ordonansi PPs 1925 dan ordonansi PPd 1944), dan sistem
pemungutan pajak Indonesia juga mengalami perubahan dari sistem
official-assessment menjadi sistem self-assessment yang masih diterapkan
sampai dengan sekarang.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perpajakan kembali disiapkan
oleh pemerintah untuk diajukan ke DPR guna keperluan amandemen.
RUU Perpajakan itu terdiri dari Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai
(PPN), dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PpnBM), Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB). Adapun arah dan tujuan penyempurnaan Undang-
Undang Perpajakan tersebut adalah untuk meningkatkan penerimaan pajak
melalui program intensifikasi dan ektensifikasi pajak, memberikan rasa
keadilan dan kemudahan dalam sistem administrasi perpajakan,
meningkatkan iklim investasi melalui penyederhanaan jenis pajak dan
struktur tarif dengan memperhatikan tarif yang berlaku di negara lain.
Semenjak reformasi perpajakan yang terjadi pada tahun 1983 dan
berlaku efektif pada tahun 1984, Indonesia menggunakan struktur tarif
progresif untuk menghitung pajak penghasilan terutang. Tarif progresif
tersebut berlaku sama, baik untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun
untuk Wajib Pajak Badan. Kecenderungan global yang terjadi adalah
diterapkannya flate rate menggantikan tarif progresif. Flate rate diyakini
dapat meningkatkan penerimaan pajak dan menarik investasi.
Rencana pemerintah memberlakukan tarif tunggal sebesar 28%
dalam perhitungan pajak penghasilan seperti tercantum dalam RUU
tentang Pajak Penghasilan dikhawatirkan akan mematikan sektor usaha
kecil menengah dan koperasi. Tarif tunggal tersebut akan membuat
nominal pajak penghasilan yang harus dibayarkan kalangan UKM dan
Koperasi menjadi lebih besar di bandingkan dengan sisem tarif berlapis
(progresif) yang berlaku. Pembengkakan biaya pajak penghasilan itu akan
semakin menyulitkan keuangan UKM maupun dalam mengembangkan
usaha.
Usulan penerapan tarif tunggal sebenarnya telah lama
dikemukakan. Dalam perundingan dengan IMF, pemerintah mengkaji
penurunan tarif PPh Badan, dan kemungkinan menerapkan tarif tunggal.
Penelitian yang dilakukan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) memberi
rekomendasi penggunaan tarif tunggal sebesar 27-28%, untuk PPh Badan
non usaha kecil dan menengah (non UKM) dan sementara untuk usaha
kecil dan menengah (UKM) yang di definisi berpenghasilan di bawah Rp.
100.000.000,00 per tahun diusulkan tarif final sebesar 19%. Tarif tunggal
ini dimasa depan bisa saja diturunkan menjadi 25%.
Berbeda dengan Negara lain yang telah terlebih dahulu
mengenakan tarif tunggal untuk seluruh pajak penghasilannya, Indonesia
justru berencana untuk mengenakan tarif tunggal hanya pada PPh Badan.
Padahal contoh sukses penerapan tarif tunggal di Negara Rusia adalah
pajak perseorangan. Selain itu pemerintah mematok besaran tarif pada
angka 28%, yang berarti pengusaha kecil yang sebelumnya dikenakan
pajak pada tarif terendah sebesar 10%, maka dengan ketentuan ini
pengusaha kecil akan membayar pajak lebih besar dari sebelumnya. Dari
satu sisi penerimaan pajak akan meningkat akan tetapi di mungkinkan pula
di sisi yang lain akan mengakibatkan masyarakat kategori pengusaha kecil
menjadi malas untuk bekerja karena akan dikenakan tarif yang lebih
tinggi.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perpajakan yang diajukan
pemerintah mulai tahun 2005, pemerintah berencana menerapkan tarif
tunggal untuk menggantikan tarif progresif Pasal 17 Pajak Penghasilan.
Dalam UU PPh No 36 tahun 2008 pemerintah berupaya memperbaiki
ketentuan-ketentuan pajak yang diharapkan akan bermanfaat bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara menuju kesejahteraan dan keadilan
bersama. Maka besaran tarif yang diusulkan adalah 28% berlaku pada
tahun 2009 dan pada tahun 2010 diturunkan menjadi 25%. Tarif tunggal
diterapkan untuk Wajib Pajak Badan dan berlaku sama untuk seluruh
Wajib Pajak Badan.
Dalam penelitian ini penulis merujuk pada penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya oleh :
1) Iwan Saktius Susilo (2007) dengan judul Pengaruh Tarif Tunggal Pasal
17 PPh Badan Terhadap Jumlah Pajak Penghasilan Terhutang.
Penelitian ini menggunakan 2 (dua) metode yaitu penelitian
assosiatif/hubungan dan metode komparatif. Dimana hasilnya adalah
tarif tunggal pasal 17 PPh Badan berpengaruh signifikan terhadap
jumlah pajak penghasilan terhutang.
2) Annisa Gama Widjaya (2011) dengan judul Studi Evaluasi Kepatuhan
Wajib Pajak Sebelum Dan Sesudah Reformasi Perpajakan 2008 Dan
Implikasinya Terhadap Penerimaan Pajak. Penelitian berupa data
sekunder yaitu data kuantitatif. Dimana hasilnya terdapat perbedaan
yang signifikan mengenai realisasi penerimaan pajak pada periode
sebelum dan sesudah reformasi 2008.
3) Venti Eka Satya, Galuh Prila Dewi (2010) mengenai Perubahan
Undang-Undang Pajak Penghasilan Dan Peranannya Dalam
Memperkuat Fungsi Budgetair Perpajakan. Penelitian ini menjelaskan
semakin besarnya porsi penerimaan pajak yang bersumber dari pajak
langsung terutama pajak penghasilan menunjukan adanya sisi positif
dari reformasi Undang-Undang Perpajakan terutama PPh.
Untuk melihat persamaan dan perbedaan penelitian terdahulu
dengan penelitian yang dilakukan penulis dapat dilihat dalam tabel 1.1
berikut ini :
Tabel 1.1
Perbandingan Penelitian Terdahulu Dengan Penelitian Penulis
No Peneliti, Tahun, Judul
dan Tempat
Persamaan Perbedaan Hasil Sumber
1 Iwan Saktius Susilo
(2007)
Judul : Pengaruh Tarif
Tunggal Pasal 17 PPh
Badan Terhadap Jumlah
Pajak Penghasilan
Terhutang pada KPP
Pangkal Pinang
Sama-sama
membahas
tarif pajak
dan pajak
penghasilan
terhutang
Variabel (𝑋1)
yaitu tarif
progresif (
penerimaan pajak
penghasilan
sebelum tarif
tunggal
Tarif tunggal pasal
17 PPh Badan
berpengaruh
terhadap jumlah
pajak penghasilan
terutang
Tesis Jurusan
Akuntansi
Fakultas
Ekonomi
Universitas
Indonesia
2 Annisa Gama Widjaya
(2011)
Judul : Studi Evaluasi
Kepatuhan Wajib Pajak
Sebelum Dan Sesudah
Reformasi Perpajakan
2008 Dan Implikasinya
Terhadap Penerimaan
Pajak Pada KPP Pratama
Kota Semarang
Sama-sama
membahas
perubahan
ketentuan
perpajakan
Variabel (𝑋1),
(𝑋2), dan Variabel
Y
Pemungutan pajak
penghasilan atas
penghasilan dari
usaha jasa kontruksi
mempengaruhi
penerimaan pajak di
KPP BUMN tahun
berjalan
Skripsi
Jurusan
Akuntansi
Fakultas
Ekonomi
Universitas
Diponegoro
3 Venty Eka Satya,
Galuh Prila Dewi
(2010)
Judul : Perubahan
Undang-Undang Pajak
Penghasilan dan
Peranannya Dalam
Memperkuat Fungsi
Budgetair Perpajakan
Sama-sama
membahas
Pajak
Penghasilan
Pajak yang
dibahas mengenai
pengaruhnya
terhadap fungsi
budgetair, sedang
rencana peneliti
akan membahas
pengaruh pajak
terhadap jumlah
pajak yang
teutang
Terdapat pengaruh
yang signifikan
dengan adanya
reformasi
perpajakan
sehingga
meningkatkan
penerimaan pajak
negara.
Jurnal
Ekonomi dan
Kebijakan
Publik
Irma Nurmayanti : Analisis Perbandingan Penerimaan Pajak Penghasilan Sebelum Dan Sesudah
Penerapan Tarif Tunggal Dan Pengaruhnya Terhadap Pajak Penghasilan Terhutang Di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Kota Tasikmalaya
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulisan skripsi ini disajikan
dengan judul “Analisis Perbandingan Penerimaan Pajak Penghasilan
Sebelum dan Sesudah Penerapan Tarif Tunggal dan Pengaruhnya
Terhadap Pajak Penghasilan Terutang”.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat
diidentifikasikan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana penerimaan pajak penghasilan sebelum tarif tunggal.
2. Bagaimana penerimaan pajak penghasilan sesudah tarif tunggal.
3. Apakah terdapat perbedaan penerimaan pajak penghasilan sebelum dan
sesudah tarif tunggal pada KPP Pratama Kota Tasikmalaya.
4. Bagaimana pengaruh penerimaan pajak penghasilan terhadap pajak
penghasilan terutang pada KPP Pratama Kota Tasikmalaya.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada identifikasi masalah di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui :
1. Penerimaan pajak penghasilan sebelum tarif tunggal.
2. Penerimaan pajak penghasilan sesudah tarif tunggal.
3. Perbedaan penerimaan pajak penghasilan sebelum dan sesudah tarif
tunggal pada KPP Pratama Kota Tasikmalaya.
4. Pengaruh penerimaan pajak penghasilan terhadap pajak penghasilan
terutang pada KPP Pratama Kota Tasikmalaya.
1.4 Kegunaan Hasil Penelitian
Penulis berharap agar hasil penelitian yang disajikan untuk
penyusunan karya tulis ini dapat memberi manfaat bagi :
1. Penulis
Dapat menambah pengetahuan, wawasan serta pengalaman yang
berharga dalam mempelajari, memahami dan mengimplementasikan ilmu
yang diperoleh khususnya ilmu yang berhubungan dengan judul di atas
baik teoritis maupun sosialisasinya secara riil dalam kehidupan penulis
khususnya pada dunia perpajakan.
2. Kantor Pelayanan Pajak
Penulis berharap dapat memberikan bahan masukan yang berguna
untuk pelaksanaan tarif tunggal guna meningkatkan penerimaan pajak
penghasilan.
3. Bagi pihak lain
Dapat menjadi masukan dan bahan referensi tambahan serta
menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca yang tertarik untuk
mendalami topik yang diangkat oleh penulis dalam penelitian ini.
1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian
1.5.1 Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data yang diperlukan, penulis melakukan
penelitian pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Kota Tasikmalaya.
1.5.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan dimulai dari bulan Mei
2012 sampai dengan Oktober 2012.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN,
DAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Definisi Pajak
Pajak adalah suatu jenis pungutan yang dilakukan oleh Negara atas
perintah Undang-Undang yang mutlak dilakukan untuk mempertahankan
eksistensi suatu Negara. Hal ini sangat bisa dipahami karena tanpa dana
yang memadai mustahil Negara akan dapat menjalankan roda
pemerintahan dan melaksanakan pembangunan di segala bidang bahkan
sangat mustahil suatu Negara dapat mempertahankan eksistensinya
sebagai suatu Negara. Oleh karena itu dalam perkembangan sejarah
bangsa Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka sudah dikenal suatu
pungutan yang disebut pajak dengan istilah yang bermacam-macam,
seperti pada zaman kerajaan-kerajaan yang pernah ada di bumi nusantara
dikenal suatu pungutan oleh raja-raja dengan istilah upeti. Dalam
perkembangannya setelah bangsa Indonesia dijajah oleh kolonial Belanda
mulai dikenal pungutan pajak dengan istilah seperti pajak tanah, pajak
hasil bumi, pajak perseroan, pajak pendapatan dan lain-lain.
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang
diberlakukan oleh seluruh hampir negara di dunia. Di setiap negara yang
memiliki pemerintahan dan rakyat, akan ada pajak di negara tersebut. Oleh
karena itu, dapat dikatakan hampir tidak ada negara di dunia yang tidak
memberlakukan pajak. Selain sebagai salah satu sumber penerimaan
negara, pajak juga bermanfaat sebagai alat pemerataan pendapatan dan
pendorong investasi.
Berbagai pendapat para ahli memberikan definisi tentang pajak,
Musgrave memberikan definisi tentang pengertian pajak dengan cara
memberikan perbedaan antara pajak dengan pinjaman sebagai berikut :
” Pajak ditarik dari sektor swasta tanpa mengakibatkan timbulnya
kewajiban bagi pemerintah terhadap pihak pembayar. Pinjaman
merupakan suatu penarikan yang dilakukan sebagai pengganti janji
pemerintah untuk membayar kembali dimasa mendatang serta
untuk membayar bunga selama periode pinjaman. Pajak merupakan
suatu kewajiban sementara pinjaman lebih bersifat sukarela”.
Andriani seorang mantan guru besar dalam hukum pajak di
Universitas Amsterdam (Belanda) memberikan pendapatnya bahwa :
“ Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan”.
Sementara Rochmat Soemitro memberikan pengertian pajak adalah
sebagai berikut :
“Pajak adalah iuran kepada Negara berdasarkan Undang-Undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Definisi pajak menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2007,
adalah sebagai berikut:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pajak
adalah iuran wajib dari rakyat kepada negara sebagai wujud peran serta
dalam pembangunan yang dalam pengenaannya berdasarkan Undang-
Undang dan tidak mendapat imbalan secara langsung serta dapat
dipaksakan bagi mereka yang melanggarnya.
Pajak tidak dapat dipisahkan dengan pemerintahan, karena pajak
merupakan salah satu unsur terselenggaranya fungsi pemerintahan. Pajak
merupakan salah satu cara pengalihan kekayaan dari sektor swasta ke
sektor publik yang diperlukan untuk menjalankan fungsi pemerintahan.
Ada 3 fungsi pemerintahan, yang berkaitan dengan pemungutan
pajak oleh suatu pemerintahan yaitu:
a. Mengatasi inefisiensi dalam suatu sistem pasar untuk mendistribusikan
alokasi sumber daya ekonomi, apabila terjadi kendala dalam
mekanisme pasar.
b. Distribusi penghasilan dan kekayaan dalam masyarakat sebagai
pelaksanaan dalam fungsi keadilan sosial.
c. Menciptakan suasana yang dapat mengatasi fluktuasi dalam ekonomi
untuk menjamin terselenggaranya daya serap tenaga kerja dalam
tingkat yang tinggi menjaga stabilitas keseimbangan harga.
Dalam memainkan fungi-fungsi tesebut pajak memainkan peranan
yang penting, karena pelaksanaan pajak berkaitan dengan wewenang yang
di miliki oleh suatu negara yang mempunyai kekuasaan dalam
menyelenggarakan pemerintahan atas suatu penduduk dalam negara
tersebut yang dibatasi dengan batas wilayah kekuasaan negara lainnya.
2.1.2 Fungsi Pajak
Pajak memiliki fungsi yang sangat strategis bagi berlangsungnya
pembangunan suatu Negara. Pajak antara lain mempunyai fungsi sebagai
berikut:
a. Fungsi Penerimaan (Budgetair )
Fungsi pajak yang paling utama adalah memasukan dana secara optimal
untuk mengisi kas negara dengan berdasarkan Undang-Undang Perpajakan
yang berlaku. Fungsi ini disebut dengan fungsi budgetair atau fungsi
penerimaan. Oleh karena itu suatu pemungutan pajak yang baik sudah
seharusnya memenuhi azas revenue productivity. Jika suatu pajak sangat
sulit untuk dipungut padahal memiliki potensial yang sangat signifikan
maka mungkin saja pemerintah lebih mengedepankan kemudahan
administrasi daripada asas keadilan.
Nurmantu menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan memasukan
dana secara optimal ke kas negara berdasarkan Undang-Undang
perpajakan yang berlaku adalah:
a) Jangan sampai ada wajib pajak atau subjek pajak yang tidak
memenuhi sepenuhnya kewajiban perpajakannya.
b) Jangan sampai ada objek pajak yang tidak dilaporkan oleh wajib
pajak kepada fiskus.
c) Jangan sampai ada objek pajak yang terlepas dari pengamatan
atau perhitungan fiskus.
b. Fungsi Mengatur (Regulator)
Fungsi mengatur (regulerend) disebut juga fungsi tambahan, yaitu
fungsi dalam mana pajak juga digunakan oleh pemerintah sebagai
instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan
oleh pemerintah. Pajak digunakan untuk memproteksi produksi dalam
negeri, mendorong impor, merangsang investasi, dan juga digunakan
untuk menghambat atau mendistorsi suatu kegiatan perdagangan. Oleh
karenanya pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur guna tercapainya
tujuan-tujuan tertentu yang ditetapkan pemerintah.
c. Fungsi Stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan
kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat
dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur
peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang
efektif dan efisien.
d. Fungsi Redistribusi Pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh Negara akan digunakan untuk
membiayai semua kepentingan umum termasuk juga untuk membiayai
pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja yang pada
akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan.
2.1.3 Asas-Asas Pajak
Rosdiana menjelaskan bahwa terdapat beberapa asas yang penting
untuk diperhatikan dalam mendesain sistem pemungutan pajak, yaitu:
a. Asas Equity/Equlity
Asas equity (keadilan) mengatakan bahwa pajak itu harus adil dan
merata, yaitu dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan
kemampuannya untuk membayar pajak tersebut, dan juga sesuai dengan
manfaat yang diterimanya dari negara. Salah satu alasan mengapa tingkat
kesadaran membayar pajak tinggi di negara-negara relatif maju adalah
karena mereka yakin bahwa pajak yang dipungut pemerintah sudah adil.
Pembebanan pajak adil, apabila wajib pajak menyumbangkan suatu jumlah
untuk dipakai guna pengeluaran pemerintah sebanding dengan
kepentingannya dan dengan manfaat yang diterimanya dari pemerintah.
Keadilan dalam pajak penghasilan terdiri dari keadilan horizontal dan
keadilan vertikal.
b. Asas Revenue Productifity
Prinsip ini menurut Frizt Neumark sebagaimana dikutip Nurmantu
menyangkut dua hal yaitu pertama principle of adequacy, bahwa sistem
perpajakan nasional seharusnya dapat menjamin penerimaan negara untuk
membiayai semua pengeluaran. Kedua the principle of adaptability, bahwa
sistem perpajakan bersifat cukup fleksibel untuk menghasilkan
penerimaaan tambahan bagi negara, apabila terjadi kebutuhan mendadak
negara seperti adanya bencana alam nasional tanpa menimbulkan
kegoncangan dalam bidang ekonomi rakyat.
c. Asas Ease of Administration
Suatu sistem perpajakan yang baik haruslah mudah dalam
administrasinya dan mudah pula untuk mematuhinya. Haula Rosdiana
mengatakan bahwa terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan
dalam mencapai kemudahan administrasi tersebut. Pertama adalah
certainty, yaitu menyatakan bahwa harus ada kepastian baik bagi petugas
pajak maupun bagi semua wajib pajak, selain itu mencakup pula kepastian
pihak-pihak yang dikenakan pajak, apa saja yang dikenakan pajak,
besarnya jumlah pajak yang harus dibayar dan bagaimana jumlah pajak
yang terhutang harus dibayar. Kedua adalah azas convenience yaitu
penentuan saat yang tepat bagi wajib pajak untuk membayar pajak
misalnya pada saat menerima penghasilan. Ketiga azas efficiency, yaitu
dari sisi fiskus pemungutan lebih kecil daripada jumlah pajak yang
dikumpulkan sedangkan dari sisi wajib pajak, dikatakan efisien apabila
biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak dalam pemenuhan kewajibannya
bisa seminimal mungkin. Dan yang keempat dan terakhir adalah azas
simplicity, yaitu kesederhanaan dalam peraturan perpajakan jelas dan
mudah dimengerti oleh wajib pajak.
2.1.4 Klasifikasi Pajak
Berbagai macam jenis pajak dapat diklasifikasikan berdasarkan
klasifikasinya.
1. Menurut Golongan
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contohnya
adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPN dan
PPnBM), dan Bea Materai.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contohnya
adalah Pajak Reklame, Pajak Hotel , Pajak Penerangan Jalan, Pajak
Restoran dan lain-lain.
Apabila dilihat dari segi administratif yuridis, maka pajak dapat
digolongkan menjadi 2 (dua) jenis yaitu:
a. Pajak Langsung, artinya bahwa dari segi yuridis pajak ini dipungut
secara periodik, yakni dipungut secara berulang-ulang, tidak hanya satu
kali pungut saja, dengan menggunakan penetapan sebagai dasarnya.
Dan jika dilihat dari segi ekonomis apabila beban pajak tidak dapat
dilimpahkan kepada pihak lain, jadi dalam hal ini antara pihak yang
dikenai kewajiban atau ditetapkan untuk membayar pajak dengan pihak
yang benar-benar memikul beban pajak, merupakan pihak yang sama.
Contohnya adalah Pajak Penghasilan (PPh).
b. Pajak Tidak Langsung, artinya bahwa dari segi yuridis pajak ini
dipungut secara insidental atau tidak berulang-ulang dan tidak
menggunakan kohir. Jadi pajak tidak langsung hanya dipungut sesekali
seperti yang dikehendaki oleh ketentuan Undang-Undang. Dari segi
ekonomis apabila wajib pajak dapat mengalihkan beban pajaknya
kepada pihak lain atau dengan kata lain antara mereka yang menjadi
wajib pajak dengan yang benar-benar memikul beban pajak itu
merupakan pihak yang berbeda. Contohnya adalah Pajak Pertambahan
Nilai (PPN).
2. Menurut Sifatnya
a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang pengenaannya berpangkal pada diri
orang atau badan yang dikenai pajak (wajib pajak). Pajak subjektif
dimulai dengan menetapkan orangnya baru kemudian dicari syarat
objektifnya. Contohnya adalah Pajak Penghasilan (PPh).
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang pengenaannya berpangkal pada
objek yang dikenai pajak, dan untuk mengenakan pajaknya harus
dicari subjeknya. Contohnya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
2.1.5 Sistem Pemungutan Pajak
a. Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang. Ciri-ciri official assessement system : wewenang untuk
menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus, wajib pajak
bersifat pasif, utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan
pajak oleh fiskus.
b. Self Assessment System
Dari asal katanya self assessment terdiri dari kata self yang artinya
sendiri dan to assess yang artinya menilai, menghitung, menaksir,
dengan demikian self assessment system adalah suatu sistem
pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung
jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan,
membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
c. Witholding Tax System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenag
dan kewajiban kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut
besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Sejak tax reform mulai tahun 1984 pemungutan pajak penghasilan
di Indonesia sistem pemungutan pajak yang diterapkan adalah
merupakan kombinasi antara self assessment system dan witholding
tax system. Self assessment system tersirat dalam bunyi pasal 12
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan yang berbunyi “Setiap wajib pajak wajib
membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada
adanya Surat Ketetapan Pajak”. Sedangkan penerapan witholding tax
system antara lain dapat dijumpai dalam pasal 4 ayat (2), pasal 21,
pasal 22, pasal 23, pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
2.1.6 Pajak Penghasilan
Sesuai dengan sebutannya pajak penghasilan itu dikenakan atas
penghasilan. Pajak penghasilan merupakan salah satu jenis pajak pusat
yang objeknya adalah penghasilan. Pajak penghasilan dikenakan terhadap
wajib pajak yaitu apabila telah terpenuhinya syarat subjektif dan syarat
objektif sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pajak penghasilan merupakan salah satu pajak langsung yang
dipungut pemerintah pusat atau merupakan pajak negara. Sebagai pajak
langsung maka beban pajak tersebut menjadi tanggungan wajib pajak yang
bersangkutan dalam arti bahwa beban pajak tersebut tidak boleh
dilimpahkan kepada pihak lain dengan cara memasukkan beban pajak ke
dalam kalkulasi harga jual. Sebagai pajak langsung pajak penghasilan
dipungut secara periodik terhadap kumpulan penghasilan yang diperoleh
atau yang diterima oleh wajib pajak selama satu tahun pajak.
Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang PPh tidak
memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada
adanya tambahan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh wajib pajak merupakan ukuran terbaik mengenai
kemampuan wajib pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya
yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin pemerintah.
2.1.6.1 Subjek Pajak Penghasilan
Dalam hukum Pajak Internasional, subjek pajak itu disebut sebagai
“person” atau orang, yang dapat berupa orang pribadi dan dapat pula
bukan orang pribadi. Subjek pajak adalah subjek hukum yang oleh
undang-undang pajak diberi kewajiban perpajakan. Subjek pajak menurut
Undang-undang No 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan adalah
sebagai berikut :
1) orang pribadi;
2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak;
3) badan;
4) bentuk usaha tetap.
Pengertian badan diberikan definisi tersendiri sesuai pasal 1 butir 3
UU KUP yaitu :
“Sekumpulan orang pribadi dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi politik, atau organisasi
lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap”.
Subjek pajak tersebut akan dikenakan pajak penghasilan bilamana
terpenuhi syarat objektif yaitu menerima atau memperoleh penghasilan
yang merupakan objek pajak penghasilan.
Menurut pasal 2 ayat (2) UU PPh subjek pajak dibedakan menjadi
subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Yang dimaksud
dengan subjek pajak dalam negeri adalah :
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi
yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang
dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia.
b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali
unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
3. Penerimaanya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah.
4. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.
Sedangkan yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri adalah:
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Sedangkan yang tidak termasuk subjek pajak adalah :
1. Kantor perwakilan negara asing
2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-
pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan
kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama
mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia
tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan
timbal balik.
3. Organisasi-organisasi Internasional dengan syarat :
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut dan
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi Internasional dengan syarat
bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha kegiatan,
atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2.1.6.2 Objek Pajak Penghasilan
Sedangkan pengertian penghasilan yang merupakan objek dari
pajak penghasilan, menurut pasal 4 UU PPh dirumuskan :
“Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun
luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama
dan dalam bentuk apapun”.
Termasuk :
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
c. Laba usaha.
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal.
Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu, atau angota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya.
Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi
dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau
seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan,
atau permodalan dalam usaha pertambangan.
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian uang.
g. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden
dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa
hasil usaha koperasi.
h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing.
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
n. Premi asuransi.
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak.
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
s. Surplus Bank Indonesia.
Termasuk Pendapat Schanz, Haig, dan Simon yang selanjutnya
dikenal dengan istilah SHS Concepts dikutip oleh Nurmantu menyatakan
bahwa pengertian penghasilan untuk kepentingan perpajakan seharusnya
tidak membedakan sumbernya dan tidak menghiraukan pemakaiannya,
melainkan lebih menekankan pada kemampuan ekonomis yang dapat
dipakai untuk menguasai barang dan jasa.
Bagi wajib pajak dalam negeri yang menjadi objek pajak adalah
penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.
Sedangkan bagi wajib pajak luar negeri yang menjadi objek pajak hanya
penghasilan yang berasal dari Indonesia saja.
Pajak Penghasilan Badan adalah salah satu bagian dari komponen
pajak penghasilan yaitu termasuk dalam golongan pajak langsung. Artinya
bahwa pemajakannya langsung ditujukan terhadap subjek yang akan
menanggung beban pajak tersebut.
2.1.7 Tarif Pajak
Rosdiana menjelaskan bahwa Tariff/Custom Duties adalah pajak
atas lalu lintas barang. Dalam International Tax Glossasry disebutkan
bahwa custom duties are levied on goods into a country. Dalam literatur
seringkali disebut juga dengan tarif. Tarif pajak didefinisikan sebagai tarif
yang digunakan untuk menghitung besarnya pajak yang harus dibayar dan
biasanya merupakan presentase untuk diterapkan atas penghasilan neto.
Nurmantu menjelaskan bahwa dalam beberapa literatur, dikenal
empat macam tarif pajak yakni tarif tetap, tarif proporsional, tarif
progresif, dan tarif regresif.
1. Tarif pajak tetap (fixed rate)
Yang dimaksud dengan tarif pajak tetap adalah tarif yang jumlah
pajaknya dalam rupiah (atau Dolar) bersifat tetap walaupun objek
pajak jumlahnya berbeda-beda. Nurmantu memberikan contoh
penerapan tarif pajak tetap adalah pada Bea Materai, di atur bahwa
jumlah Bea Materai terhutang atas kuitansi atau tanda terima uang
di atas Rp. 1.000.000,00 adalah sejumlah Rp. 6.000,00. Walaupun
uang yang diterima jumlahnya lebih dari Rp. 1.000.000,00 jumlah
Bea Materai yang terutang tetap Rp.6.000,00.
2. Tarif pajak proporsional (proporsional rate)
Yang dimaksud dengan tarif pajak proporsional adalah tarif
yang persentasenya tetap walaupun jumlah objek pajaknya
berubah-ubah. Nurmantu memberikan contoh pada penerapan tarif
pajak pertambahan nilai sebesar 10%. Walaupun objek pajaknya
naik ataupun turun, maka tarif yang dikenakan adalah tetap sebesar
10%.
3. Tarif pajak progresif
Yang dimaksud dengan tarif pajak progresif adalah tarif pajak
yang makin tinggi objek pajaknya, makin tinggi pula presentase
tarif pajaknya. Misalnya seseorang dengan penghasilan Rp.
1.000.000,00 akan dikenakan tarif sebesar 10%, penghasilan
sebesar Rp. 5.000.000,00 akan dikenakan tarif 15%, dan
penghasilan yang lebih besar lagi akan dikenakan tarif 30%.
4. Tarif pajak regresif (regressive rate)
Yang dimaksud dengan tarif pajak regresif adalah tarif pajak
yang apabila objek pajaknya makin tinggi, maka makin rendah pula
tarifnya. Tarif ini pernah berlaku untuk Bea Warisan. Makin tinggi
warisan yang akan diterima ahli waris, maka tarif pajak atas
warisan makin kecil. Tarif ini sudah tidak berlaku lagi di Indonesia.
Dalam hubungannya dengan Pajak Penghasilan sebagaimana diatur
dalam UU PPh maka tarif yang diterapkan adalah tarif progresif
sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (1) UU PPh. Tarif progresif yang
dimaksud adalah sebagai berikut :
Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah)
10% (sepuluh persen)
Di atas Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
s.d Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
15% (lima belas
persen)
Di atas Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) 30% (tiga puluh
persen)
2.1.7.1 Tarif Tunggal
Dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan tanggal 23 September 2008 yang mulai
berlaku efektif sejak 1 Januari 2009 maka telah terjadi perubahan tarif
pajak penghasilan. Dan tarif tersebut adalah sebagai berikut:
Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap tarif yang
berlaku adalah tarif tunggal yaitu sebesar 28% (dua puluh delapan persen).
Menurut pasal 17 ayat (2a) tarif PPh untuk wajib pajak badan dalam negeri
dan bentuk usaha tetap sejak tahun 2010 tarif tunggalnya berubah menjadi
25% (dua puluh lima persen).
Dilihat dari karakterisriknya, Flat rate (di Indonesia dipergunakan
istilah tarif tunggal) dapat digolongkan dalam jenis tarif proporsional. Flat
rate untuk selanjutnya disebut tarif tunggal, adalah bentuk tarif yang
presentase tarifnya tetap walaupun jumlah objek pajaknya berubah-ubah.
Tarif jenis ini memiliki keutamaan dalam hal kesederhanaan dan
mudah di aplikasikan. Banyak pendapat ahli yang berpendapat mengenai
kelebihan dan kekurangan tarif yang bersifat flat ini.
Kelebihan dari tarif proporsional ini yang menyebabkan menjadi
efisien untuk digunakan adalah:
a. Sederhana (simplicity) dan mudah diaplikasikan
b. Menghilangkan pengecualian kecuali pengecualian pribadi (personal
exemption) dan celah-celah yang dapat dipergunakan untuk
meminimalkan pajak.
c. Menghilangkan anti saving-bias
d. Pajak tunggal akan lebih adil, mempercepat pertumbuhan ekonomi,
global kompetitif, dapat meningkatkan efisiensi penagihan pajak,
memudahkan dan menghemat waktu atas keberadaan yang dilakukan
oleh Wajib Pajak, dan akan menghentikan korupsi oleh pihak-pihak
terkait.
Penerapan tarif tunggal dikenakan atas penghasilan neto, artinya
penghasilan yang diperoleh setelah dikurangkan dengan harga pokok,
biaya-biaya yang timbul dari kompensasi kerugian. Tarif tunggal tersebut
berlaku untuk seluruh wajib pajak, artinya tidak ada perbedaan antara
wajib pajak yang termasuk dalam kategori besar maupun wajib pajak skala
kecil atau Usaha Kecil Menengah (UKM).
2.2 Kerangka Pemikiran
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber
daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan
gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah.
Pertama berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber
daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua bertambahnya
kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik
yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Definisi Pajak menurut Soemitra berbunyi sebagai berikut :
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-
undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Sementara Adriani mengatakan :
“Pajak sebagai iuran kepada negara, yang dapat dipaksakan dan
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan dengan
tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan
dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.
Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak dapat ditarik
kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara
lain:
1. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang. Asas ini sesuai dengan
perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan “pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dalam undang-undang”.
2. Tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi perorangan) yang
dapat ditunjukan secara langsung.
3. Pemungutan pajak diperuntukan bagi keperluan pembiayaan umum
pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan baik rutin
maupun pembangunan.
4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila
wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan
sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pada tahun 2008 dengan mengeluarkan beberapa Undang-Undang
pajak baru yang berlaku mulai 1 Januari 2009, salah satunya UU No
36/2008 tentang pajak penghasilan. Perubahan reformasi pajak 2008 yaitu
terdapat konsep modernisasi administrasi perpajakan.
Salah satu bentuk perubahan yang dilakukan dalam setiap pasal-
pasalnya yaitu berupa perubahan tarif, baik itu perubahan lapisan tarif,
persentase tarif maupun jumlah penghasilan yang menjadi dasar penetapan
masing-masing tarif. Perubahan pentarifan pajak yang sering mengiringi
perubahan Undang-Undang ini juga diharapkan akan memberikan
perubahan yang signifikan terhadap penerimaan pajak negara. Tarif pajak
digunakan untuk menghitung besarnya pajak terhutang atau pajak yang
harus dibayar oleh wajib pajak.
Pengenaan tarif progresif telah diterapkan sejak tahun 1984 untuk
menghitung Pajak Penghasilan Badan seperti diatur dalam pasal 17
Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 17 Tahun 2000. Pengertian
pajak progresif adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang
naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar
pengenaan pajak, dan kenaikan persentase untuk setiap jumlah tertentu
setiap kali naik. Pengenaan pajak berdasarkan tarif progresif ini
diharapkan dapat mewujudkan keadilan vertikal. Asas keadilan vertikal
terpenuhi apabila wajib pajak yang mempunyai tambahan kemampuan
ekonomis yang berbeda diperlakukan tidak sama. Beban pajak besifat
progresif dimana semakin besar ability to pay semakin besar beban pajak
yang dipikul. Untuk mendapatkan besar pajak terutang, wajib pajak harus
melalui beberapa lapisan tarif yang disesuaikan dengan besarnya
penghasilan yang kena pajak. Hal ini cenderung berbelit-belit dan
mengurangi kepraktisan dalam perhitungan. Dengan demikian tidak dapat
memenuhi aspek keserhanaan dalam prinsipnya.
Sehingga pemerintah mengusulkan perubahan tarif. Semula tarif
yang diusulkan adalah sebesar 30%. Akan tetapi wacana tesebut mendapat
kritikan dari masyarakat. Setelah terjadi kesepakatan maka usulan tarif
yang diajukan ke DPR untuk mendapatkan pengesahan adalah sebesar
28%, dan pada tahun 2010 diturunkan menjadi 25%. Dengan berubahnya
tarif progresif ke tarif flat terdapat tujuan selain keadilan yang ingin
dicapai oleh pemerintah.
Tarif tunggal adalah bentuk tarif yang presentase tarifnya tetap
walaupun jumlah objek pajaknya berubah-ubah. Tarif tunggal tidak
mencerminkan keadilan vertikal karena wajib pajak yang berpenghasilan
tinggi dan wajib pajak yang berpenghasilan rendah dikenakan pajak
dengan tarif yang sama. Namun keadilan horizontal akan tetap terpenuhi,
dimana terlihat bahwa setiap wajib pajak badan akan membayar pajak atas
laba mereka dengan tarif yang sama. Keadilan dalam pembebanan pajak
akan tercapai karena dalam tarif tunggal, marginal rate tetap akan naik
seiring dengan besarnya penghasilan yang dimiliki seseorang. Secara
kuantitas, wajib pajak badan yang memperoleh laba yang lebih besar akan
membayar pajak lebih besar daripada yang mempunyai laba lebih kecil.
Akan tetapi tarif tunggal lebih sederhana dan mudah diaplikasikan.
Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa tarif pajak tunggal
memberikan dampak atau pengaruh terhadap jumlah pajak penghasilan
terhutang. Selain itu, terdapat perbedaan jumlah pajak penghasilan
terhutang sebelum dan sesudah diterapkannya tarif tunggal Pasal 17 PPh
Badan. Aspek keadilan dalam tarif tunggal tetap terpenuhi. Untuk
memperoleh besarnya pajak terutang wajib pajak hanya akan melalui satu
lapisan tarif, yaitu tarif 28% dan pada tahun 2010 diturunkan menjadi 25%
untuk berapapun penghasilan kena pajak. Hal ini menunjukan bahwa tarif
tungal praktis dan sederhana dalam perhitungan pajak yang terutang.
Kemudahan dalam perhitungan pajak, wajib pajak dapat secara tepat dan
cepat dalam memperhitungkan laba atas suatu proyek atau usaha yang
akan dikerjakan.
Berdasarkan uraian diatas, secara konsep dapat dipahami bahwa
jika dalam penerimaan pajak penghasilan dengan menggunakan metode
tarif progresif berbeda dalam cara perhitungannya dibandingkan dengan
menggunakan tarif tunggal, maka hal ini tentu akan berpengaruh pula
terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang pada wajib pajak badan.
2.3 Hipotesis
Menurut Sugiyono (2003: 39), menyatakan bahwa :
“Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap
rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah
penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat
pertanyaan. Hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai
jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian,
sebelum jawaban yang empirik”.
Berdasarkan pada kerangka diatas, maka penulis dapat mengajukan
hipotesis bahwa :
1. Terdapat perbedaan antara penerimaan pajak penghasilan sebelum dan
sesudah menggunakan tarif tunggal.
2. Terdapat pengaruh penerimaan pajak penghasilan terhadap pajak
penghasilan terutang.
BAB III
OBJEK DAN METODE PENELITIAN
3.1 Objek Penelitian
Objek penelitian atau sering disebut juga unit pengamatan adalah
sesuatu yang akan menghasilkan karakteristik-karakteristik atau sifat-sifat
yang akan menjadi perhatian peneliti. (Achmad Harapan : 2003)
Objek penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini berkenaan
dengan Analisis Perbandingan Penerimaan Pajak Penghasilan Sebelum
dan Sesudah Penerapan Tarif Tunggal dan Pengaruhnya Terhadap Pajak
Penghasilan Terutang. Adapun subjek penelitian yang akan diteliti atau
yang akan di analisis yaitu Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Kota
Tasikmalaya.
3.1.1 Gambaran Umum Kantor Pelayanan Pajak
Pada tanggal 15 Mei 1966 berdirilah Kantor Inspeksi Pajak
Tasikmalaya, karena wilayah Kantor Inspeksi Keuangan Bandung tidak
mungkin lagi dapat menjangkau wilayah luas dengan potensi fiskal yang
tinggi, maka Direktorat Jenderal Pajak menghimbau kebijaksanaan untuk
memisahkan Kantor Dinas Pajak Bandung menjadi Kantor Inspeksi Pajak
Tasikmalaya dan Kantor Inspeksi Pajak Karawang.
Sekitar tahun 1967 Kantor Inspeksi Pajak di Tasikmalaya
berkedudukan di jalan Manonjaya (sekarang Jalan Sutisna Senjaya) mulai
di bangun.
Pada tahun 1970 berdirilah sebuah gedung Kantor Inspeksi Pajak
Tasikmalaya berlantai dua yang cukup luas.
Kantor Inspeksi Pajak Tasikmalaya membawahi :
Kantor Dinas Luar Tingkat II Tasikmalaya di Tasikmalaya
Kantor Dinas Luar Tingkat II Garut di Garut
Kantor Dinas Luar Tingkat II Ciamis di Ciamis
Kantor Dinas Luar Tingkat II Banjar di Banjar
Tahun 1982, mulai dibangun Kantor Dinas Luar Tingkat II
Tasikmalaya yang berada di Jalan Pancasila No. 29 Tasikmalaya berikut
rumah Dinas yang diresmikan oleh Kepala Kantor Wilayah IV Direktorat
Jenderal Pajak Jawa Barat, Bapak Drs. Lichoen Tedjoswojo, rumah Dinas
yang di Jalan A.Yani Tasikmalaya dan Kantor Dinas Luar Tingkat II
Banjar berikut rumah Dinasnya, perluasan atau penambahan gedung
Kantor Inspeksi Pajak Tasikmalaya, saat itu masa kepemimpinan Bapak
Drs. Noer Basarota. SP sebagai Kepala Kantor dan Bapak Alwi Asti,SH
sebagai Kepala Seksi Umum.
Nama Kantor Pelayanan Pajak Tasikmalaya tersebut, secara resmi
digunakan sejak tahun 1989 sebagai reorganisasi dari Kantor Inspeksi
Pajak Tasikmalaya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 276/KMK.01/1989 tanggal 25 Maret 1989
yang mulai berlaku sejak tanggal 1 September 1989. Kantor Inspeksi
Pajak Tasikmalaya ini telah berdiri sejak tahun 1966, diantaranya ditandai
dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak tanggal 26 Juli Nomor
Pgw. 7-8-50, dengan Kepala Kantor Inspeksi Pajak Tasikmalaya yang
pertama adalah Bapak Drs. M Kanani (almarhum).
Perubahan ini dilakukan dengan perubahan system pemungutan
pajak dari Official Assessment System menjadi Self Assessment System.
Perubahan ini adalah menginspeksi Wajib Pajak menjadi melayani Wajib
Pajak.
Kantor Pelayanan Pajak Tasikmalaya lengkapnya beralamat di
Jalan Sutisna Senjaya Nomor 154 Tasikmalaya dengan wilayah kerja
meliputi Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis,
yang selanjutnya Kantor Pelayanan Pajak Tasikmalaya adalah instansi
vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan
bertanggungjawab langsung kepada Kantor Wilayah IX Direktorat
Jenderal Pajak Jawa Bagian Barat II. Kantor Pelayanan Pajak Tasikmalaya
ini dipimpin oleh seorang Kepala Kantor.
3.1.2 Gambaran Umum Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
132/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal
Direktorat Jenderal Pajak, pada akhir tahun 2008 Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) di seluruh jajaran Direktorat Jenderal Pajak terdiri dari 3 (tiga)
jenis, yaitu:
1. KPP Wajib Pajak Besar;
2. KPP Madya;
3. KPP Pratama.
Beberapa karakteristik untuk setiap jenis KPP, diantaranya dapat
dijelaskan dalam tabel dibawah ini:
No URAIAN KPP WP
BESAR
KPP MADYA KPP
PRATAMA
1 Skala Wajib
Pajak
BUMN & WP
Besar Nasional
WP Besar
Kanwil
(Regional)
WP Menengah
Kecil (SME)
2 Jenis Wajib
Pajak
Badan
(Corporate)
Badan
(Corporate)
Badan dan OP
3 Jumlah
Wajib Pajak
300-400 200-500 Ribuan
4 Jenis Pajak PPh, PPN, &
PTLL
PPh, PPN &
PTLL
PPh, PPN, &
PTLL, PBB, &
BPHTB
5 PPN Sentralisasi Sentralisasi Desentralisasi
6 P2PPh Desentralisasi Desentralisasi Desentralisasi
7 Penugasan
AR
Sektor Industri Sektor Industri Wilayah
8 Fungsi
Ekstensifika
si
Tidak Ada Tidak Ada Ada
9 Jumlah
Eselon IV
9 (sembilan) 9 (sembilan) 10 (sepuluh
10 Wilayah
Kerja
Nasional Regional Lokal
3.1.2.1 Karakteristik KPP Pratama
Sebagaimana lazimnya KPP yang menerapkan sistem administrasi
perpajakan modern, KPP Pratama juga memiliki karakteristik-
karakteristik:
1. Organisasi Berdasarkan Fungsi :
a. Penggabungan KPP, KPPBB dan Karipka
b. Struktur Organisasi
Secara umum tugas kepala kantor dan masing-masing kepala seksi
adalah sebagai berikut :
1) Kepala Kantor
Mengingat KPP Pratama merupakan penggabungan dari KPP, KPPBB,
dan Karipka maka Kepala Kantor KPP Pratama mempunyai tugas
mengkoordinasikan pelaksanaan penyuluhan, pelayanan, dan pengawasan
Wajib Pajak di bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya, dan
Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan dalam wilayah wewenangnya berdasrkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
2) Kepala Sub Bagian Umum
Membantu dan menunjang kelancaran tugas Kepala Kantor dalam
mengkoordinasikan tugas dan fungsi pelayanan kesekretariatan terutama
dalam hal pengaturan kegiatan tata usaha dan kepegawaian, keuangan,
rumah tangga serta perlengkapan.
3) Kepala Seksi Pelayanan
Membantu tugas kepala kantor dalam mengkoordinasikan penetapan
dan penerbitan produk hukum perpajakan, penerimaan dan pengolahan
surat pemberitahuan dan surat lainnya, penyuluhan perpajakan,
pelaksanaan registrasi wajib pajak, serta kerjasama perpajakan sesuai
ketentuan yang berlaku.
4) Kepala seksi Pengolahan Data dan Informasi
Membantu tugas kepala Kantor dalam mengkoordinasikan
pengumpulan, pengolahan data, penyajian informasi perpajakan,
perekaman dokumen perpajakan, urusan tata usaha penerimaan
perpajakan, pengalokasian dan penatausahaan bagi hasil Pajak Bumi dan
Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, pelayanan
dukunagn teknis komputer, pemantauan aplikasi e-SPT dan e-Filling dan
penyiapan laporan kinerja.
5) Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi
Membantu tugas kepala kantor mengkoordinasikan pengawasan
kepatuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak (PPh, PPN, PBB, BPHTB,
dan Pajak Lainnya), bimbingan atau himbauan kepada wajib pajak dan
konsultasi teknis perpajakan, penyusunan profil wajib pajak, analisis
kinerja wajib pajak, rekonsiliasi data wajib pajak dalam rangka melakukan
ketentuan yang berlaku. Dalam satu KPP Pratama terdapat 4 (empat)
Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi yang pembagian tugasnya
didasarkan pada cakupan wilayah (teritorial) tertentu.
6) Kepala Seksi Ekstensifikasi
Membantu tugas Kepala kantor mengkoordinasikan pelaksanaan dan
penatausahaan pengamatan potensi perpajakan, pendataan objek dan
subjek pajak, penilaian objek pajak, dan kegiatan ekstensifikasi perpajakan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
7) Kepala Seksi Penerimaan
Membantu tugas kepala kantor mengkoordinasikan pelaksanaan
penyusunan rencana pemeriksaan, pengawasan pelaksanaan aturan
pemeriksaan, penerbitan dan penyaluran Surat Perintah Pemeriksaan Pajak
serta administrasi pemeriksaan perpajakan lainnya.
8) Kepala Seksi Penagihan
Membantu tugas Kepala Kantor mengkoordinasikan pelaksanaan dan
penatausahaan penagihan aktif, piutang pajak, penundaan dan angsuran
tunggakan pajak, dan usulan penghapusan piutang pajak sesuai ketentuan
yang berlaku.
9) Kelompok Jabatan Fungsional
Pejabat Fungsional terdiri atas Pejabat Fungsional Pemeriksa dan
Pejabat Fungsional Penilai yang bertanggungjawab secara langsung
kepada Kepala KPP Pratama. Dalam melaksanakan pekerjaannya, pejabat
Fungsional Pemeriksa berkoordinasi dengan Seksi Ekstensifikasi.
c. Account Representative
Dalam organisasi KPP Pratama terdapat jabatan Account
Representative (Staf Pendukung Pelayanan) yang berada di bawah
pengawasan dan bimbingan Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi.
Ikhtisar tugas account representative adalah sebagai berikut :
Pengawasan kepatuhan.
Bimbingan atau himbauan kepada wajib pajak dan konsultasi
teknis perpajakan.
Penyusunan profil wajib pajak.
Analisis kinerja wajib pajak.
Rekonsiliasi data wajib pajak dalam rangka intensifikasi.
2. Sistem Informasi yang Terintegrasi
a. Penggunaan workflow dan case management system.
b. Jaringan komputer yang terintgrasi.
c. Sistem informasi yang terintegrasi untuk seluruh jenis pajak.
3. Sumber Data Manusia Yang Kompeten
a. peningkatan kapasitas SDM yang berkelanjutan.
b. alokasi penyebaran pegawai.
c. penerapan kode etik pegawai.
d. pemberian tunjangan kegiatan tambahan.
4. Sarana Kantor Yang Memadai
a. Perbaikan sarana dan prasarana TPT.
b. Perubahan lay out (tata ruang kerja) yang terbuka dan sesuai
fungsi.
c. Kenyamanan ruang kerja pegawai.
5. Tata Kerja Yang Transparan
a. Pusat pelayanan (Call Center).
b. Pusat pengaduan (Complain Centre).
c. Website.
d. Survey Kepuasan Pelanggan (Customer Satisfaction).
3.1.2.2 Pola Pengelolaan KPP Pratama
Pengelolaan KPP Pratama yang selalu harus berorientasi pada
pelayanan prima merupakan ciri utama yang harus ditonjolkan demi
tercapainya kinerja yang terbaik. Sebagai konsekuensinya maka agar hal
tersebut bisa berjalan perlu didukung dengan perilaku yang profesional
dan akuntabel dari komponen-komponenya yaitu organisasi DJP dan
masyarakat (wajib pajak). Bagi KPP Pratama orientasi kepada effort jauh
lebih utama dibandingkan dengan result. Untuk itu perlu adanya
pendekatan-pendekatan sebagai guideline dalam menentukan dan
melaksanakan strategi organisasi. KPP Pratama dengan niat tulus harus
senantiasa berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi organisasi dari
wajib pajak yang dalam hal harus dipandang sebagai “mitra” yaitu :
1) Penguasaan Wilayah
2) Proactive Conselling
3) Ekstensifikasi
4) Pemanfaatan Data
5) Efek Gaung
6) Audit
7) Penagihan (Arrears Collection)
8) Sumber Daya Manusia dan Infrastruktur
9) Konsolidasi Internal
3.2 Metode Penelitian
3.2.1 Metode Penelitian Yang Digunakan
Metode penelitian yang digunakan untuk menguji analisis
perbandingan penerimaan pajak penghasilan sebelum dan sesudah
penerapan tarif tunggal dan pengaruhnya terhadap pajak penghasilan
terhutang adalah metode penelitian komparatif dan studi kasus dengan
mengambil kasus pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota
Tasikmalaya.
Pengertian metode komparatif menurut Sugiyono (2011:11)
sebagai berikut :
“Metode komparatif adalah suatu penelitian yang bersifat
membandingkan”.
Yang dimaksud dengan penelitian studi kasus menurut Nur
Indriantoro (2005: 26) adalah :
“Penelitian dengan karakteristik masalah yang berkaitan
dengan latar belakang dan kondisi saat ini dari subjek yang
diteliti. Subjek yang diteliti bisa berupa individu,
kelompok, lembaga atau komunitas tertentu”.
3.2.2 Jenis Dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian meliputi dua jenis data,
yaitu :
1. Data Primer
Adalah data yang diperoleh langsung secara langsung dari
perusahaan, yaitu dari hasil wawancara dengan pihak terkait. Juga
diperoleh hasil pengumpulan dokumen-dokumen yang berhubungan
dengan topik suatu penelitian.
2. Data Sekunder
Adalah data diperoleh dari pihak lain, antara lain buku-buku teks,
jurnal publikasi, dan lain-lain.
3.2.3 Operasionalisasi Variabel
Dalam penelitian yang dilakukan penulis mengungkapkan adanya
beberapa variabel sebagai objek penelitian, adapun variabel tersebut
terdiri dari :
1. Variabel bebas (independent variabel) berupa :
Variabel (𝑋1) : Penerimaan PPh sebelum tarif tunggal (tarif progresif)
Variabel (𝑋2) : Penerimaan PPh sesudah tarif tunggal (tarif tunggal)
2. Variabel terikat (dependent variabel) : Pajak penghasilan
terutang.
Tabel dibawah ini menjelaskan operasionalisasi variabel yang
dilakukan penulis, sebagai berikut :
Tabel 3.1
Operasionalisasi Variabel
3.2.4 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang lengkap dan konkrit dalam penelitian ini
penulis mengumpulkan data melalui cara pendekatan sebagai berikut :
1. Penelitian kepustakaan (library research)
Penelitian kepustakaan yaitu penelitian untuk memperoleh data sekunder
dengan cara mempelajari literatur-literatur atau sumber-sumber bacaan lainnya
yang mempunyai kaitan dengan objek yang diteliti.
2. Penelitian Lapangan (field research)
Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer dengan cara:
Variabel Indikator Ukuran Skala
Penerimaan PPh
sebelum tarif
tunggal (𝑋1)
Jumlah penerimaan
PPh dengan tarif
progresif
Rupiah Rasio
Penerimaan PPh
sesudah tarif
tunggal (𝑋2)
Jumlah penerimaan
PPh dengan tarif
tunggal
Rupiah Rasio
Pajak
Penghasilan
Terutang (Y)
Tarif Rupiah Rasio
a. Wawancara
Salah satu metode pengumpulan data adalah mewawancara responden untuk
memperoleh informasi mengenai isu yang diteliti. Wawancara bisa
terstruktur atau tidak terstruktur, dan dilakukan secara tatap muka, melalui
telepon atau online.
b. Observasi
Observasi adalah mungkin untuk memperoleh data tanpa mengajukan
pertanyaan kepada responden. Orang dapat diamati dalam lingkungan kerja
mereka sehari-hari dan aktivitas serta perilaku mereka atau item minat
lainnya bisa dicatat dan direkam.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu pengumpulan data dengan cara melihat catatan-catatan,
dokumen-dokumen, formulir-formulir yang terdapat di perusahaan yang ada
kaitannya dengan permasalahan yang sedang diteliti.
3.2.5 Paradigma Penelitian
Paradigma dalam penelitian dengan judul analisis perbandingan
penerimaan pajak penghasilan sebelum dan sesudah tarif tunggal dan
pengaruhnya terhadap pajak penghasilan terutang digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3.1
Paradigma Penelitian
3.2.6 Rancangan Analisis Data dan Pengujian Hipotesis
Untuk menganalisis data yang diperoleh dalam rangka pengujian hipotesis,
data tersebut diolah terlebih dahulu kemudian dianalisis dengan pendekatan
kuantitatif dengan menggunakan metode statistik parametrik yaitu dengan
menggunakan statistik t-test. Teknik statistik parametris yang digunakan untuk
menguji komparasi data rasio atau interval. (Sugiyono, 2003:134). Dalam
analisis data digunakan statistik dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Pajak penghasilan
terutang sebelum
tarif tunggal
Variabel (𝑌1)
Penerimaan pajak
penghasilan sebelum
tarif tunggal
Variabel ( 𝑋1)
Penerimaan pajak
penghasilan sesudah
tarif tunggal
Variabel ( 𝑋2)
Pajak penghasilan
terutang sesudah
tarif tunggal
Variabel (𝑌2)
1. Menghitung dan membandingkan dua mean
Pengujian hipotesis pertama dilakukan dengan menggunakan statistik uji t
untuk membedakan dua mean yaitu untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan Penerimaan pajak penghasilan sebelum dan sesudah penerapan
tarif tunggal. Adapun tahapannya sebagai berikut :
a. Hipotesis Operasional
Ho : Tidak terdapat perbedaan penerimaan pajak penghasilan sebelum
dan sesudah tarif tunggal.
Ha : Terdapat perbedaan penerimaan pajak penghasilan sebelum dan
sesudah tarif tunggal.
b. Rata-rata besarnya penerimaan pajak penghasilan dari masing-masing
sampel dengan menggunakan rumus, sebagai berikut :
𝑋1 = 𝑥𝑖
𝑛𝑖=1
𝑛
Keterangan:
𝑋1 = Rata-rata besarnya penerimaan pajak penghasilan sebelum tarif tunggal
𝑥1 = Besarnya penerimaan pajak penghasilan sebelum tarif tunggal
𝑛1 = Ukuran sampel 2 tahun
𝑋2 = 𝑥𝑖
𝑛𝑖=1
𝑛
(Moch. Nazir, 2005 : 337)
Keterangan :
𝑋2 = Rata-rata besarnya penerimaan pajak penghasilan sesudah tarif
tunggal
𝑥1 = Besarnya penerimaan pajak penghasilan sesudah tarif tunggal
𝑛2 = Ukuran sampel 2 tahun
Untuk menghitung nilai t yaitu untuk menguji signifikansi dalam mengambil
kesimpulan, digunakan rumus sebagai berikut :
𝑡 =𝑋1 −𝑋2
𝑆𝑔𝑎𝑏 1
𝑛1+
1
𝑛2
(Sugiyono, 2011:145)
Keterangan :
t = Rata-rata besarnya penerimaan pajak penghasilan sebelum dan sesudah
tarif tunggal
𝑋1 = Rata-rata besarnya penerimaan pajak penghasilan sebelum tarif tunggal
𝑋2 = Rata-rata besarnya penerimaan pajak penghasilan sesudah tarif tunggal
𝑛1 = Ukuran sampel 2 tahun
𝑛2 = Ukuran sampel 2 tahun
𝑆𝑔𝑎𝑏 = Simpangan baku
Menghitung simpangan baku gabungan antara sebelum dan sesudah
penerapan tarif tunggal, digunakan rumus sebagai berikut :
𝑆𝑔𝑎𝑏 = 𝑛1−1 𝑆12 + 𝑛2−1 𝑆22
(𝑛1+𝑛2)−2 (Sugiyono,2011:145)
Keterangan :
𝑋1 = Rata-rata besarnya penerimaan pajak penghasilan sebelum tarif tunggal
𝑋2 = Rata-rata besarnya penerimaan pajak penghasilan sesudah tarif tunggal
S1 = Simpangan baku berdasarkan hasil penerimaan pajak penghasilan
sebelum tarif tunggal
S2 = Simpangan baku berdasarkan hasil penerimaan pajak penghasilan
sesudah tarif tunggal
Sgab = Simpangan baku gabungan
n1 = ukuran sampel 2 tahun
n2 = ukuran sampel 2 tahun
c. Tingkat signifikan yang digunakan
Tingkat keyakinan dalam penelitian ini ditentukan sebesar 0,95 dengan
tingkat kesalahan yang ditolelir atau alpha sebesar 0,05. Penentuan alpha
sebesar 0,05 merujuk kepada kelaziman yang digunakan secara umum
dalam penelitian ilmu sosial, yang dapat digunakan sebagai kriteria
dalam pengujian signifikansi hipotesis penelitian.
d. Kaidah Keputusan
Penarikan kesimpulan dilakukan berdasarkan pengujian hipotesis.
Terima Ho jika -t ½ ≤ t ≤ t ½ ∝, df = n1 + n2 - 2
Tolak Ho jika t < -t ½ ∝ atau t > ½ ∝, df = n1 + n2 – 2
e. Penarikan Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pengujian hipotesis ditarik kesimpulan
apakah hipotesis yang telah ditetapkan itu diterima atau ditolak.
2. Analisis Korelasi Linier Sederhana
r = 𝑛 𝑋𝑖𝑌𝑖− 𝑋𝑖 ( 𝑌𝑖)
{𝑛 𝑋𝑖2− ( 𝑋𝑖)2} {𝑛 𝑌𝑖2−( 𝑌𝑖)
2}
(Sugiyono. 2003:216)
Keterangan :
n = ukuran sampel
r = koefisien korelasi antara variabel X dan Y
X = penerimaan pajak penghasilan
Y = pajak penghasilan terhutang
Alat analisis ini digunakan untuk mengetahui besarnya korelasi antara
penerimaan pajak penghasilan (X) dengan pajak penghasilan terutang (Y).
Untuk dapat memberikan penafsiran terhadap koefisien korelasi yang
diperoleh dari hasil perhitungan tersebut, maka dapat dilihat pada ketentuan
sebagai berikut :
Tabel 3.2
Pedoman interpretasi koefisien korelasi
Sumber: Sugiyono (2007 : 183)
3. Analisis Koefisien Determinasi
Analisis ini merupakan pengkuadratan dari nilai korelasi (𝑟2). Alat analisis
ini digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh penerimaan pajak penghasilan
terhadap pajak penghasilan terutang.
Rumus yang digunakan sebagai berikut :
Kd = 𝑟2 x 100% (Sugiyono, 2006:210)
Keterangan :
Kd = Koefisien Determinasi
𝑟2 = koefisien korelasi yang dikuadratkan.
Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara X dan Y, maka dilakukan
uji hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut :
a. Uji hipotesis
Ho : Tidak terdapat pengaruh penerimaan pajak penghasilan terhadap
pajak penghasilan terutang
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199 Sangat rendah
1,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,000 Sangat kuat
Ha : Terdapat pengaruh penerimaan pajak penghasilan terhadap pajak
penghasilan terutang.
b. Penetapan tingkat signifikansi
Tarif signifikansi (𝛼) yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar
5%, ini berarti kemungkinan kebenaran hasil penarikan kesimpulan
mempunyai probabilitas 95% atau toleransi kekeliruan adalah 5%. Taraf
signifikansi tersebut adalah tingkat yang umum digunakan dalam
penelitian sosial, karena dianggap cukup ketat untuk mewakili antar
variabel yang diteliti.
c. Uji signifikansi
Untuk mengetahui signifikan atau tidaknya pengaruh variabel X terhadap
Variabel Y digunakan uji t, dengan rumus sebagai berikut :
t = 𝑟 𝑛−2
1 − 𝑟2 (Sugiyono,2007 : 292)
Keterangan :
t = Statistik uji t
r = Nilai koefisien korelasi
n = Ukuran sampel
d. Kriteria Pengujian Hipotesis :
Terima Ho jika -t ½ ∝ ≤ thitung ≤ t ½ ∝
Tolak Ho jika -t ½ ∝ > thitung atau t ½ ∝ < thitung
e. Penarikan kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian seperti tahapan diatas maka
akan dilakukan analisis secara kuantitatif. Dari hasil analisis tersebut akan
ditarik kesimpulan apakah hipotesis yang ditetapkan dapat diterima atau
ditolak.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Penerimaan Pajak Penghasilan Sebelum Penerapan Tarif Tunggal di
KPP Pratama Kota Tasikmalaya
Pajak penghasilan merupakan satu pajak langsung yang dipungut
pemerintah pusat atau merupakan pajak negara. Sebagai pajak langsung maka
beban pajak tersebut menjadi tanggungan wajib pajak yang bersangkutan dalam
arti bahwa beban pajak tersebut tidak boleh dilimpahkan kepada pihak lain
dengan cara memasukkan beban pajak ke dalam kalkulasi harga jual.
Semenjak reformasi perpajakan yang terjadi pada tahun 1983 dan berlaku
efektif pada tahun 1984, Indonesia menggunakan struktur tarif progresif untuk
menghitung pajak penghasilan terutang. Yang dimaksud dengan tarif pajak
progresif adalah tarif pajak yang makin tinggi objek pajaknya, makin tinggi pula
presentase tarif pajaknya.
Adapun data mengenai Penerimaan Pajak Penghasilan yang diperoleh dari
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota Tasikmalaya selama 2 tahun sebelum
penerapan tarif tunggal yaitu tahun 2007 dan 2008 penulis sajikan dalam tabel
berikut ini :
Tabel 4.1
Penerimaan Pajak Penghasilan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota
Tasikmalaya selama 2 tahun sebelum Penerapan Tarif Tunggal
Tahun 2007 dan 2008
(dalam rupiah)
No Tahun Penerimaan Pajak Penghasilan
1 2007 4.328.058.614
2 2008 6.622.767.937
Sumber : Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota Tasikmalaya
Berdasarkan tabel di atas, terlihat adanya kenaikan Penerimaan Pajak
Penghasilan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota Tasikmalaya sebesar Rp.
2.294.709.323. Kenaikan penerimaan pajak penghasilan sebelum penerapan tarif
tunggal dapat terjadi karena wajib pajak badan yang berpenghasilan tinggi akan
dikenakan pajak yang lebih besar. Besaran tarif yang dikenakan akan semakin
tinggi apabila penghasilan wajib pajak semakin meningkat. Sehingga wajib pajak
membayar besaran pajak sesuai dengan kemampuan penghasilan yang
diterimanya.
4.1.2 Penerimaan Pajak Penghasilan Sesudah Penerapan Tarif Tunggal di
KPP Pratama Kota Tasikmalaya
Setelah perubahan perundang-undangan di bidang perpajakan pada tahun
2008 dengan mengeluarkan beberapa Undang-Undang pajak baru yaitu mulai 1
Januari 2009, yaitu UU No 36/2008 tentang pajak penghasilan dimana adanya
perubahan tarif dari tarif progresif menjadi tarif tunggal. Maka pada awal tahun
2009 wajib pajak dalam menghitung besaran pajak yang terutang menggunakan
tarif tunggal.
Tarif tunggal adalah bentuk tarif yang presentase tarifnya tetap walaupun
jumlah objek pajaknya berubah-ubah. Tarif tunggal diharapkan dapat memberikan
kemudahan dalam perhitungan pajak, sehingga wajib pajak dapat secara tepat dan
cepat dalam memperhitungkan laba atas suatu proyek atau usaha yang akan
dikerjakan. Adapun data mengenai penerimaan pajak penghasilan diperoleh dari
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota Tasikmalaya selama 2 tahun sesudah
penerapan tarif tunggal, yaitu pada tahun 2009 dan 2010 penulis sajikan dalam
tabel berikut ini :
Tabel 4.2
Penerimaan Pajak Penghasilan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota
Tasikmalaya selama 2 tahun sesudah Penerapan Tarif Tunggal
Tahun 2009 dan 2010
(dalam rupiah)
No Tahun Penerimaan Pajak Penghasilan
1 2009 7.233.691.515
2 2010 7.962.025.412
Sumber : Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota Tasikmalaya
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa penerimaan pajak penghasilan
sesudah penerapan tarif tunggal adanya kenaikan sebesar Rp. 728.333.897. Salah
satu faktor yang menyebabkan kenaikan penerimaan pajak penghasilan antara lain
dengan semakin bertambahnya wajib pajak terdaftar. Wajib pajak diberikan
kemudahan dalam memperhitungkan jumlah pajak yang terutang. Selain itu wajib
pajak mendapatkan penurunan tarif yang akan mempengaruhi terhadap besarnya
pajak yang terutang yang memungkinkan berkurangnya besaran pajak yang
menjadi terutang. Perubahan tarif ini mendapat respon yang positif dari para wajib
pajak, yang tentunya akan mempengaruhi terhadap besarnya penerimaan pajak
penghasilan.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Penerimaan Pajak Penghasilan Sebelum Penerapan Tarif Tunggal Di
KPP Pratama Kota Tasikmalaya
Berdasarkan hasil penelitian yang tersaji pada tabel 4.1, menunjukan adanya
kenaikan Penerimaan Pajak Penghasilan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Kota Tasikmalaya tahun 2007 dan 2008 yaitu sebesar Rp. 2.294.709.323.
Peningkatan dalam penggunaan tarif progresif sebagai alat untuk menghitung
pajak penghasilan terutang salah satunya dipengaruhi oleh faktor azas keadilan
vertikal. Dimana wajib pajak diberlakukan berbeda sesuai dengan penghasilan
yang diterima. Sehingga wajib pajak senantiasa membayar kewajiban
perpajakannya dengan membayar pajak sesuai kemampuan yang dimiliki. Para
pengusaha besar akan terkena pada lapisan tarif yang paling tinggi sesuai dengan
penghasilan yang didapat dan begitu pula dengan para pengusaha kecil atau UKM
yang berpenghasilan kecil akan dikenakan tarif terendah. Sehingga ada perbedaan
untuk para pengusaha besar dan kecil yang disesuaikan dengan penghasilan yang
diterima. Wajib pajak akan merasa pemerintah berlaku adil terhadap perhitungan
pajak yang terutang untuk menghitung besaran pajak yang harus dibayar oleh
wajub pajak. Hal ini memungkinkan untuk terjadinya peningkatan penerimaan
pajak penghasilan.
Untuk lebih jelasnya kenaikan penerimaan pajak sebelum penerapan tarif
tunggal dapat dilihat dalam bentuk presentase yang dapat dilihat pada tabel 4.3
sebagai berikut :
Tabel 4.3
Perubahan Penerimaan Pajak Penghasilan sebelum Tarif Tunggal
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota Tasikmalaya
Tahun 2007 dan 2008
No Tahun Penerimaan PPh
(rupiah)
Peningkatan/penurunan
(rupiah)
Presentase
(%)
1 2007 4.328.058.614 - -
2 2008 6.622.767.937 2.294.709.323 53,01
Sumber : Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota Tasikmalaya
4.2.2 Penerimaan Pajak Penghasilan Sesudah Penerapan Tarif Tunggal Di
KPP Pratama Kota Tasikmalaya
Penerimaan Pajak Penghasilan sesudah Penerapan Tarif Tunggal tersaji pada
tabel 4.2 yaitu tahun 2009 dan tahun 2010. Penerimaan pajak penghasilan
meningkat menjadi Rp. 7.233.691.515 dari jumlah pendapatan yang sebelumnya
yaitu sebesar Rp. 6.622.767.937. Kemudian pada tahun 2010 mengalami
peningkatan kembali sebesar Rp. 728.333.897. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh
perubahan tarif yang digunakan. Dengan penggunaan tarif tunggal wajib pajak
tidak harus melalui beberapa lapisan tarif yang disesuaikan dengan besarnya
penghasilan kena pajak untuk menghitung pajak penghasilan terutang. Sehingga
wajib pajak mendapatkan kemudahan dan kepraktisan yang diharapkan dapat
meningkatkan penerimaan pajak penghasilan. Anggapan bahwa pemerintah
menghilangkan rasa keadilan untuk para wajib pajak sangatlah tidak benar, wajib
pajak tetap mendapatkan rasa keadilan terlihat bahwa semua wajib pajak badan
akan membayar pajak atas laba mereka dengan tarif yang sama. Ini akan
memberikan penyetaraan terhadap semua wajib pajak badan untuk mendapatkan
keadilan bahwa tarif yang berlaku sama tanpa membeda-bedakan lapisan wajib
pajak badan.
Untuk lebih jelasnya perubahan penerimaan pajak penghasilan sesudah
penerapan tarif tunggal baik peningkatan atau penurunan dapat dilihat juga dalam
bentuk persentase yang dapat dilihat pada table 4.4 sebagai berikut :
Tabel 4.4
Perubahan Penerimaan Pajak Penghasilan sesudah Tarif Tunggal
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota Tasikmalaya
Tahun 2009 dan 2010
No Tahun Penerimaan PPh
(rupiah)
Peningkatan/penurunan
(rupiah)
Persentase
(%)
1 2009 7.233.691.515 610.923.578 9,22
2 2010 7.962.025.412 728.333.897 10,06
Sumber : Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota Tasikmalaya
4.2.3 Analisis Penerimaan Pajak Penghasilan Sebelum Tarif Tunggal
Pengenaan tarif progresif telah diterapkan sejak tahun 1984 untuk
menghitung pajak penghasilan badan seperti diatur dalam pasal 17 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah
diubah dengan UU No 17 tahun 2007. Seperti pengertian dari progresif tersebut,
pengenaan pajak berdasarkan tarif progresif ini diharapkan dapat mewujudkan
keadilan vertikal. Asas keadilan vertikal terpenuhi apabila wajib pajak yang
mempunyai tambahan kemampuan ekonomis yang berbeda diperlakukan tidak
sama.
Dari data yang diperoleh penulis menganalisis bahwa penerimaan pajak
penghasilan sebelum penerapan tarif tunggal mengalami peningkatan sebesar
53,01%. Peningkatan tersebut berasal dari lapisan tarif yang digunakan. Wajib
pajak akan mengalami perubahan tarif apabila penghasilan yang diterima berubah.
Semakin tinggi penghasilan yang diterima maka tarif progresifnya pun bertambah
besar. Ada 3 lapisan tarif yang digunakan untuk memperoleh besarnya pajak
terutang, yaitu 10%, 15%, dan 30%. Masing-masing tarif berlaku untuk lapisan
wajib pajak yang memiliki penghasilan yang berbeda-beda. Sehingga
dimungkinkannya penerimaan pajak penghasilan meningkat karena struktur tarif
yang berbeda untuk wajib pajak sesuai dengan besaran penghasilan kena
pajaknya.
4.2.4 Analisis Penerimaan Pajak Penghasilan Sesudah Tarif Tunggal
Pencapaian penerimaan pajak penghasilan sesudah adanya penerapan tarif
tunggal membawa perubahan terhadap penerimaan pajak penghasilan. Dapat
dilihat pada Tabel 4.2 menunjukan peningkatan penerimaan pajak penghasilan.
Peningkatan 9,22% pada tahun 2009 dan 10,06% pada tahun 2010 merupakan
gambaran awal bahwa keberhasilan akan perubahan tarif yang diharapkan dapat
meningkatkan penerimaan pajak penghasilan akan tercapai. Wajib pajak tidak
perlu lagi menggunakan lapisan tarif dalam menghitung besaran pajak yang
terutang. Pemerintah memberikan kemudahan dalam menghitung pajak
penghasilan terutang sehingga wajib pajak dapat membayar pajak tepat waktu
sesuai dengan besaran pajak terutangnya. Kesalahan dalam memperhitungkan
besarnya pajak terutang semakin dapat diminimalisasi karena wajib pajak hanya
menggunakan satu lapisan tarif. Dengan penurunan tarif maka wajib pajak akan
mendapati tarif pajak yang tidak terlalu tinggi dimana tarif yang tinggi akan
mendistorsi seseorang untuk terus bekerja dan menyebabkan orang-orang lebih
memilih untuk tidak bekerja atau bersantai-santai dengan pemikiran bahawa hasil
kerja kerasnya untuk mendapatkan penghasilan sebagian besar bukan untuk
dinikmati sendiri tetapi untuk negara. Hal ini menunjukan bahwa tarif tunggal
praktis dan sederhana dalam perhitungan pajak yang terutang sehingga diharapkan
akan membawa peningkatan terhadap penerimaan pajak penghasilan.
4.2.5 Perbedaan Antara Besarnya Penerimaan Pajak Penghasilan Sebelum
Dan Sesudah Penerapan Tarif Tunggal Di KPP Pratama Kota
Tasikmalaya
Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat dikatakan bahwa jumlah
penerimaan pajak penghasilan sebelum dan sesudah penerapan tarif tunggal
terdapat perbedaan, meskipun terlihat adanya kenaikan penerimaan pajak sebelum
perubahan tarif lebih besar dibandingkan kenaikan penerimaan pajak sesudah
perubahan tarif. Tetapi hal ini tidak mempengaruhi akan bertambah besarnya
penerimaan pajak penghasilan sesudah perubahan tarif. Hal yang sangat wajar
dalam tahun pertama perubahan tarif, kenaikan penerimaan pajak penghasilan
belum sebesar kenaikan penerimaan pajak sebelum perubahan tarif. Tetapi angka
dalam penerimaan pajak sudah dapat membuktikan bahwa perubahan tarif
menunjukan adanya perubahan dalam penerimaan pajak penghasilan. Selain itu
cara memperhitungkan tarif progresif yang berbelit-belit di anggap tidak efisien
untuk memperhitungkan besarnya pajak yang terutang. Untuk para wajib pajak
yang dikenai pajak dengan tarif 30% setiap tahunnya, dengan adanya perubahan
tarif wajib pajak akan membayar pajak terutang lebih kecil atau menurun, sesuai
dengan penurunan tarif yang diprogramkan oleh pemerintah. Tetapi mungkin
untuk mematuhi aturan perpajakan yang berlaku belum sepenuhnya dilakukan
oleh para wajib pajak badan. Sehingga pencapaian penerimaan sesudah perubahan
tarif belum optimal.
4.2.6 Pengaruh Penerimaan Pajak Penghasilan terhadap Pajak Penghasilan
Terutang di KPP Pratama Kota Tasikmalaya
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penerimaan pajak penghasilan
terhadap pajak penghasilan terutang digunakan analisis korelasi linier sederhana
dengan rumus :
r = 𝑛 𝑋𝑖𝑌𝑖− 𝑋𝑖 ( 𝑌𝑖)
{𝑛 𝑋𝑖2− ( 𝑋𝑖)2} {𝑛 𝑌𝑖2−( 𝑌𝑖)
2}
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui besarnya korelasi antara Penerimaan
Pajak Penghasilan (X) dengan Pajak Penghasilan Terutang (Y). Untuk mengetahui
pengaruh Penerimaan Pajak Penghasilan terhadap Pajak Penghasilan Terutang,
penulis menganalisis data Penerimaan Pajak Penghasilan dan Pajak Penghasilan
Terutang yang dikeluarkan KPP Pratama Kota Tasikmalaya dari tahun anggaran
2007-2010.
Berikut ini penulis sajikan data Penerimaan Pajak Penghasilan dan Pajak
Penghasilan Terutang periode tahun anggaran 2007-2010 pada tabel 4.5 :
Tabel 4.5
Penerimaan pajak penghasilan dan pajak penghasilan terutang
Tahun 2007-2010
(dalam rupiah)
No Tahun Penerimaan Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan Terutang
1 2007 4.328.058.614 16. 331.646.981
2 2008 6.622.767.937 22.250.913.460
3 2009 7.233.691.515 22.434.765.968
4 2010 7.962.025.412 23.818.326.077
Sumber : Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota Tasikmalaya
Data yang terkumpul diolah dengan menggunakan bantuan program
komputer SPSS versi 16.0. setelah diolah hasilnya kemudian dianalisis untuk
mengukur tingkat pengaruhnya.
Hasil perhitungan variabel X dan Y digunakan analisis korelasi dengan
bantuan program SPSS versi 16.0, setelah diolah diperoleh koefisien korelasi
sebesar 0,984 yang menunjukkan adanya hubungan positif antara penerimaan
pajak penghasilan terhadap pajak penghasilan terutang, yakni apabila penerimaan
pajak penghasilan meningkat maka pajak penghasilan terutang pun akan ikut
meningkat dan sebaliknya apabila penerimaan pajak penghasilan turun maka
pajak penghasilan terutang juga turun. Maka koefisien korelasi sebesar 0,984
termasuk kategori sangat kuat.
Untuk mengetahui besarnya pengaruh penerimaan pajak penghasilan terhadap
pajak penghasilan terutang penulis menggunakan pengujian koefisien determinasi.
Setelah diolah dengan SPSS diperoleh nilai Rsquare adalah sebesar 0,968 atau
sebesar 96,8%. Dengan demikian besarnya pengaruh penerimaan pajak
penghasilan terhadap pajak penghasilan terutang di Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Kota Tasikmalaya sebesar 96,8%, yaitu apabila Penerimaan Pajak
Penghasilan besar maka akan berdampak pada besarnya pula pajak penghasilan
terutang. Hal ini sesuai dengan program perubahan tarif yang diharapkan akan
meningkatkan penerimaan pajak penghasilan. Untuk sementara ini perubahan tarif
yang dilaksanakan oleh pemerintah berjalan dengan baik dan memberikan hasil
positif untuk terus menggunakan tarif tunggal sebagai dasar perhitungan pajak
yang terutang.
4.2.7 Uji Hipotesis
4.2.7.1 Perbedaan Antara Besarnya Penerimaan Pajak Penghasilan Sebelum
Dan Sesudah Penerapan Tarif Tunggal Di KPP Pratama Kota
Tasikmalaya
Untuk mengetahui perbedaan yang nyata (signifikan) antara perhitungan
Penerimaan Pajak Penghasilan sebelum dan sesudah Penerapan Tarif tunggal
dilakukan pengujian hipotesis dua arah dengan menggunakan uji beda selisih rata-
rata yaitu dengan t-test.
Setelah diperoleh hasil yang disajikan pada lampiran, langkah selanjutnya
adalah menetukan hipotesis. Untuk lebih jelasnya hipotesis tersebut penulis
kemukakan sebagai berikut :
Ho : Tidak terdapat perbedaan penerimaan pajak penghasilan sebelum
dan sesudah penerapan tarif tunggal
Ha : Terdapat perbedaan penerimaan pajak penghasilan sebelum dan
sesudah penerapan tarif tunggal
Berdasarkan hasil pengujian dua arah terhadap hipotesis yang diajukan
dengan menggunakan uji beda selisish rata-rata, diperoleh harga thitung Penerimaan
pajak penghasilan sebesar -1,763. Harga thitung tersebut selanjutnya dibandingkan
dengan harga ttabel. Untuk tingkat signifikan 5%, uji dua fihak dengan df = (n1 + n2
- 2) = 2 + 2 - 2 = 2, maka seperti yang tercantum dalam lampiran, diperoleh harga
ttabel 4,303 . berdasarkan hasil pengujian = 5%, ternyata thitung lebih kecil
daripada ttabel. Hal ini berarti Ho ditolak dan Ha diterima. Dengan demikian
terdapat perbedaan yang signifikan antara perhitungan penerimaan pajak
penghasilan sebelum dan sesudah penerapan tarif tunggal. Hal ini disebabkan
karena perubahan tarif yang pada awalnya menggunakan tarif progresif berubah
menjadi tarif tunggal merupakan langkah pemerintah dalam upaya meningkatkan
penerimaan pajak penghasilan. Dimana pajak penghasilan merupakan komponen
pajak yang memiliki kontribusi besar terhadap pembangunan negara. Sehingga
pemerintah perlu mengoptimalkan penerimaan dari sektor pajak penghasilan.
Pengambilan keputusan untuk mengubah tarif progresif menjadi tarif tunggal
merupakan salah satu langkah pemerintah untuk mengubah aturan-aturan di
bidang perpajakan setelah beberapa kali perubahan perundang-undangan. Upaya
demi upaya dilakukan oleh pemerintah untuk memudahkan wajib pajak dalam
melakukan pembayaran pajak sehingga wajib pajak tidak merasa kesulitan dalam
membayar pajak Hal ini tentunya pemerintah lakukan untuk memberikan apresiasi
timbal balik kepada wajib pajak yang telah mematuhi peraturan perpajakan
dengan membayar pajak.. Yang mana pajak merupakan pungutan pemerintah
yang tidak mendapat kontraprestasi secara langsung. Pemerintah tetap
memperhatikan rasa keadilan untuk para wajib pajak badan, tetapi bukan dengan
keadilan secara vertikal. Keadilan verikal tidak berlaku untuk tarif tunggal,
pemerintah menggantinya dengan keadilan secara horizontal. Dimana wajib pajak
badan akan dikenakan besaran tarif yang sama atas pajak yang terutang. Intinya
baik tarif progresif maupun tarif tunggal , wajib pajak badan tetap mendapati rasa
keadilan akan pungutan pajak yang dilakukan pemerintah. Rasa keadilan yang
diterima wajib pajak akan terpenuhi jika wajib pajak dalam menyumbangkan
suatu jumlah untuk dipakai guna pengeluaran pemerintah sebanding dengan
kepentingannya dan dengan manfaat yang diterima wajib pajak dari pemerintah
4.2.7.2 Pengaruh Penerimaan Pajak Penghasilan Terhadap Pajak
Penghasilan Terutang Di KPP Pratama Kota Tasikmalaya
Dalam pengujian hipotesis dilakukan langkah-langkah yang tersaji dalam
BAB III. Berdasarkan hasil analisis yang penulis lakukan thitung = 8,01 kemudian
thitung dibandingkan dengan ttabel (uji dua pihak), df = n – 2 atau 4 - 2 = 2 dan =
0,05 diperoleh bahwa ttabel ( uji dua pihak) 4,303. Ternyata hasilnya adalah thitung
lebih besar dari ttabel (8,01 > 4,303 ), maka hal ini menunjukan bahwa pada tingkat
keyakinan 95% Ho ditolak, yang berarti ada pengaruh yang signifikan Penerimaan
Pajak Penghasilan terhadap Pajak Penghasilan Terutang. Pajak yang sudah
dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum
termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga membuka kesempatan
kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan penghasilan. Dengan demikian
Direktorat Jenderal Pajak harus terus berupaya untuk memaksimalkan
peningkatan penerimaan pajak penghasilan dengan cara intensifikasi dan
ekstensifikasi pajak sehingga pajak akan senantiasa memberikan kontribusi yang
besar bagi pembangunan dan perekonomian negara.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, analisis, dan pembahasan yang telah dikemukakan,
maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :
1. Penerimaan pajak penghasilan sebelum dan sesudah penerapan tarif tunggal
terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Pencapaian peningkatan penerimaan
pajak penghasilan sesudah tarif tunggal meningkat walaupun belum mencapai
hasil yang optimal. Keseragaman dalam pengenaan tarif untuk seluruh lapisan
besaran penghasilan akan membuat para pengusaha kecil merasakan beban
berat karena pajak yang biasanya dibayar dengan tarif rendah sekarang menjadi
besar. Para pengusaha kecil menganggap adanya pemindahan beban pajak yang
seharusnya dipikul oleh pengusaha besar bergeser kepada para pengusaha
kecil. Dan para pengusaha besar akan mendapati beban pajak yang lebih kecil
dari beban pajak yang biasanya mereka bayar. Namun dalam hal kemudahan
administrasi pajak, tarif tunggal dapat dikatakan lebih efisien bila dibandingkan
dengan penggunaan tarif progresif. Wajib pajak akan lebih cepat dan tepat
dalam memperhitungkan besaran pajak yang terutang. Sehingga wajib pajak
akan terhindar dari kesalahan lebih bayar atau kurang bayar. Dan anggapan
bahwa dengan tarif tunggal wajib pajak tidak akan mendapati keadilan pajak
adalah anggapan yang keliru. Para wajib pajak akan tetap mendapati keadilan
secara horizontal dimana mereka akan membayar pajak atas laba dengan tarif
yang sama.
2. Berdasarkan hasil pengujian dua arah terhadap hipotesis yang diajukan dengan
menggunakan uji beda rata-rata dan tingkat signifikan 5%, maka dapat
diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara penerimaan pajak
penghasilan sebelum dan sesudah penerapan tarif tunggal. Program pemerintah
dengan mengubah tarif progresif menjadi tarif tunggal berdampak positif
terhadap penerimaan pajak penghasilan. Sehingga pajak yang sudah dipungut
oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum
termasuk juga untuk membiayai pembangunan untuk meningkatkan
perekonomian negara.
3. Pada tingkat keyakinan 95%, penerimaan pajak penghasilan berpengaruh
terhadap pajak penghasilan terutang, dimana apabila nilai penerimaan pajak
penghasilan meningkat maka akan diikuti dengan peningkatan pajak terutang,
begitu pula sebaliknya. Hal ini didukung oleh analisis regresi yang menyatakan
bahwa variabel independen yaitu penerimaan pajak penghasilan berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel dependen pajak penghasilan terutang.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil, pembahasan dan simpulan yang telah dikemukakan di atas,
penulis mencoba memberikan saran-saran yang diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi kemajuan Direktorat Jenderal Pajak maupun peneliti selanjutnya
untuk meningkatkan penerimaan Negara dari pajak, adapun saran tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Bagi Direktorat Jenderal Pajak
Pemerintah perlu mengkaji ulang besaran tarif tunggal khususnya untuk wajib
pajak badan usaha dengan skala kecil atau UKM. Karena akan mematikan
usaha mereka. Dimana beban pajak mereka akan bertambah cukup besar dan
hal tersebut dapat mempengaruhi proses produksi dan penetapan harga jual.
Hal ini sesuai dengan pernyataan kamar dagang dan industri (Kadin) yang
menyatakan bahwa penggunaan tarif tunggal dirasa tidak realistis jika
pengusaha kecil UKM dan pengusaha besar diberlakukan tarif yang sama
karena hanya akan menguntungkan pengusaha besar saja. Karena UKM
merupakan salah satu penopang perkonomian nasional yang keberadaanya
dibutuhkan oleh pemerintah dalam penerimaan pajak penghasilan. Maka dari
itu, sebaiknya pemerintah memberlakukan penerapan tarif khusus yang dapat
dituangkan dalam payung hukum Peraturan Pemerintah dan aturan pendukung
lainnya guna memberikan keringanan bagi para pengusaha kecil dalam
membayar pajak terhutang. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) untuk memberlakukan tarif khusus kepada
pengusaha kecil dan menengah (UKM) yang dimuat dalam Harian Bisnis
Indonesia, Senin 17 Oktober 2005.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi pihak lain yang akan melakukan penelitian yang sama, dalam melakukan
penelitian dibidang Perpajakan masih banyak ruang kosong. Disarankan untuk
menambah atau mengganti variabel yang tidak diteliti antara lain kepatuhan
wajib pajak sebelum dan sesudah reformasi, reformasi pajak orang pribadi, dan
masih banyak hal lainnya yang dapat dijadikan variabel dalam penelitian
selanjutnya yang kemudian dapat diperbandingkan dengan hasil penelitian
penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Casavera. 2009. Perpajakan. Yogyakarta : Graha ilmu
Diana, Anastasia & Lilis Setiawati. 2004. Perpajakan Indonesia
Yogyakarta : Andi Yogyakarta
Ikatan Akuntan Indonesia. 2011. Modul Pelatihan Pajak Terapan Brevet A
dan B Terpadu. Jakarta : IAI
Lilis Setiawati. 2001. Rekayasa Akrual Untuk Meminimalkan Pajak.
Simposium Nasional Akuntansi V. Semarang
Lumbantoruan, Sophar. 1996. Akuntansi Pajak. Jakarta : PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Musgrave, Richard A dan Peggy B Musgrave. 1993. Keuangan Negara
Dalam Teori dan Praktek. Jakarta : Erlangga
Mohammad, Nazir. 2005. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia
Nurmantu, Safri. 2003. Pengantar Perpajakan. Jakarta : Penerbit Granit
Pajak Penghasilan. http://id.wikipedia.org diakses 9 Juni 2012
Suandy, Erly. 2006. Perpajakan Edisi 2. Jakarta : Salemba Empat
Sugiama, A Gima. 2008. Metode Riset Bisnis Dan Manajemen. Bandung :
Guardaya Intimarta
Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Administrasi dilengkapi dengan
Metode R&D. Bandung : Alfabeta
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : Penerbit Alfabeta
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Penerbit
Alfabetha
Satya, Venti Eka & Galuh Prila Dewi. Perubahan Undang-Undang Pajak
Penghasilan Dan Perannya Dalam Memperkuat Fungsi Budgetair
Perpajakan. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik. Vol. 1, No.1.
downloading 3 Juni 2012
Tursilo, Budi. 2007. Analisis Pengaruh Perubahan Tarif Pajak
Penghasilan Terhadap Penerimaan Pajak Dalam Perspektif Kurva
Laffer. Tesis.
Jakarta: Universitas Indonesia. downloading 15 Juni 2012
www.digilib.ui.ac.id
Widjaya, Annisa Gama. 2011. Studi Evaluasi Kepatuhan Wajib Pajak
Sebelum Dan Sesudah Reformasi Perpajakan 2008 Dan
Implikasinya Terhadapa Penerimaan Pajak. Universitas
Diponegoro. downloading 2 Juni 2012
http://eprints.undip.ac.id
LAMPIRAN 1
DATA PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN BADAN
KPP PRATAMA KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2007-2008 (2 TAHUN)
TAHUN JUMLAH
2007 4.328.058.614
2008 6.622.767.937
DATA PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN BADAN
KPP PRATAMA KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2009-2010 (2 TAHUN)
TAHUN JUMLAH
2009 7.233.691.515
2010 7.962.025.412
LAMPIRAN 2
DATA PAJAK PENGHASILAN TERUTANG BADAN
KPP PRATAMA KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2007-2010 (4 TAHUN)
TAHUN PAJAK PENGHASILAN TERUTANG
2007 Rp. 16.331.646.981
2008 Rp. 22.250.913.460
2009 Rp. 22.434.765.968
2010 Rp. 23.818.326.077
LAMPIRAN 3
DESCRIPTIVES VARIABLES=X1 X2
/STATISTICS=MEAN STDDEV MIN MAX.
Descriptives
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Penerimaan Pajak
Penghasilan
sebelum tarif
tunggal
2 4328058614 6622767937 5.48E9 1.623E9
Penerimaan Pajak
Penghasilan
sesudah tarif
tunggal
2 7233691515 7962025412 7.60E9 5.150E8
Valid N (listwise) 2
Frequencies Statistics
Penerimaan Pajak
Penghasilan sebelum tarif tunggal
Penerimaan Pajak Penghasilan
sesudah tarif tunggal
N Valid 2 2
Missing 0 0
Frequency Table
Penerimaan Pajak Penghasilan sebelum tarif tunggal
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 4328058614 1 50.0 50.0 50.0
6622767937 1 50.0 50.0 100.0
Total 2 100.0 100.0
Penerimaan Pajak Penghasilan sesudah tarif tunggal
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 7233691515 1 50.0 50.0 50.0
7962025412 1 50.0 50.0 100.0
Total 2 100.0 100.0
Berikut ini perhitungan rata-rata dan standar devisiasi Penerimaan Pajak
Penghasilan Sebelum dan Sesudah Penerapan Tarif Tunggal
Data Penerimaan Pajak Penghasilan KPP Pratama Kota Tasikmalaya
Sebelum Penerapan Tarif Tunggal untuk Tahun 2007 dan 2008
(dalam satuan rupiah)
Periode - ( - )2
2007 4.328.058.614 5.475.413.276 (1.147.354.662) 1.316.422.719.265.780.000
2008 6.622.767.937 5.475.413.276 1.147.354.662 1.316.422.719.265.780.000
Jumlah 10.950.826.551 2.632.845.438.531.560.000
Data Penerimaan Pajak Penghasilan KPP Pratama Kota Tasikmalaya
Sebelum Penerapan Tarif Tunggal untuk Tahun 2007 dan 2008
(dalam satuan rupiah)
Periode - ( - )2
2009 7.233.691.515 7.597.858.464 (364.166.949) 132.617.566.379.802.000
2010 7.962.025.412 7.597.858.464 364.166.949 132.617.566.379.802.000
15.195.716.927 265.235.132.759.603.000
Variabel pertama yaitu penerimaan pajak penghasilan sebelum dan
sesudah penerapan tarif tunggal dan simpangan baku gabungan sebagai berikut:
s12
= 2.632.845.438.531.560.000 2-1
= 2.632.845.438.531.560.000
s1 = 1.622.604.523,145
s22
= 265.235.132.759.603.000
2-1
= 265.235.132.759.603.000 s2 = 515.009.837,537
Sgab =
=
= 1.203.760.892,223
dari perhitungan di atas diketahui :
besarnya t table
t ½ : df(n1 + n2 – 2) = t (0,05) : (2 + 2 – 2) = t (0,05) : 2 = 4,303
untuk mencari t hitung
t =
=
=
= - 1,763
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan langkah-langkah
seperti yang diuraikan pada bab III diperoleh hasil sebagai berikut :
n1 = 2
n2 =
s12 =
2.632.845.438.531.560.000
s22 =
265.235.132.759.603.000
s1 =
1.622.604.523,145
s2 = 515.009.837,537
= 5.475.413.276
=
thitung = - 1,763
Regression
Variables Entered/Removed
b
Model Variables Entered
Variables Removed Method
d
i
m
e
n
s
i
o
n
0
1 x2a . Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: y
Model Summary
Model
R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate d
i
m
e
n
s
i
o
n
0
1 .985a .970 .955 7.075E8
a. Predictors: (Constant), x2
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 3.218E19 1 3.218E19 64.295 .015a
Residual 1.001E18 2 5.006E17
Total 3.319E19 3
a. Predictors: (Constant), x2
b. Dependent Variable: y
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 7.580E9 1.736E9 4.366 .049
x2 2.085 .260 .985 8.018 .015
a. Dependent Variable: y