Upload
wibowooktafian
View
243
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR
KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI
SKRIPSI
IRFAN PRADANA
0706287460
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM S1 REGULER ILMU ADMINISTRASI
DEPOK
JUNI 2011
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR
KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI
SKRIPSIDiajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu
Administrasi
IRFAN PRADANA
0706287460
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI FISKAL
DEPOK
JUNI 2011
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Irfan PradanaNPM : 0706287460Tanda Tangan :
Tanggal : 30 Juni 2011
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : Irfan PradanaNPM : 0706287460Program Studi : Ilmu Administrasi FiskalJudul Skripsi :Analisis Terhadap Perubahan Ketentuan Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai Terhadap Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Administrasi, pada Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang : Drs. Kusnar Budi., M.Buss (…………………..)
Sekretaris Sidang : Dra. Elsie Sylviana Kasim, M.Si (………….……….) Penguji Ahli : Prof. Dr. Safri Nurmantu., M.Si (………….……….)
Pembimbing : Dr. Haula Rosdiana, M.Si (………….……….)
Ditetapkan di : DepokTanggal : 30 Juni 2011
iii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME karena atas berkat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Perubahan
Ketentuan Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Terhadap Kontraktor Kontrak
Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi”. Doa serta pujian juga penulis
panjatkan kepada Bunda Maria yang selalu menyampaikan doa-doa umatnya kepada
Allah Bapa. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Ilmu
Administrasi pada program S1 Reguler Ilmu administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
Skripsi ini merupakan perjuangan penulis selama menempuh kuliah di Universitas
Indonesia. Banyak sekali hambatan yang membuat penulis jatuh bangun untuk tetap
bertahan dan berusaha. Seperti pepatah “tak ada gading yang tak retak” menunjukan
bahwa penulis tidaklah sempurna. Penulis memohon maaf atas segala kesalahan baik
yang ada di dalam karya penulis maupun di dalam diri penulis sendiri. Penulis sangat
berharap skripsi ini dapat berguna bagi berbagai pihak.
Dalam menyusun skripsi ini, tentu banyak sekali pihak yang memberikan bantuan
maupun dukungan. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, M.Sc., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
2. Prof. Dr. Irfan Ridwan M, M.Si., selaku Ketua Program Sarjana Reguler/Kelas
Paralel Departemen Ilmu Administrasi.
3. Dr. Haula Rosdiana, M.Si, selaku Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan
memberikan dukungan serta bimbingan dalam menyusun skripsi ini.
4. Umanto Eko P, S.Sos, M.Si. selaku Sekretaris Program Sarjana Reguler/Kelas
Paralel Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI.
5. Para dosen Ilmu Administrasi yang telah memberikan ilmu-ilmu yang berguna
dan bermanfaat selama penulis menjalankan masa kuliah di FISIP UI.
iv
6. Para narasumber yang telah memberikan informasi serta masukan dalam
penulisan skripsi ini.
7. Papa dan Mama, yang sudah memberikan seluruh keringat dan kerja kerasnya,
dukungan yang tiada henti-hentinya dalam segala hal untuk Irfan.
8. Adik-adik saya Ogi, Nia, Maria yang telah memberikan dukungan selama ini.
9. Indri Putri Victris Hutabarat, makasih ya let. Semua support dari kamu menjadi
semangat buat aku dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Mami Tri, Mba devi, Mba Meiske, dan Mas Read, yang sudah memberikan
dukungan dan masukan dalam penyusunan Skripsi ini.
11. Smita Adinda, teman seperjuangan yang telah memberikan bantuan teknis
maupun non-teknis dalam penyusunan skripsi ini.
12. Rekan-rekan kantor PB Taxand. Khususnya Heru Laksono, “partner in crime”
yang selalu menghibur dan mendukung.
13. Gegana group, Wisnu, Blek, Areng, Eli, Cenges, dan ubot yang sudah menjadi
teman satu nasib selama perkuliahan dan memberikan dukungan atas skripsi ini.
Sukses semua!
14. Keluarga besar Administrasi UI 2007 yang mendukung saya dalam penulisan
skripsi ini.
15. Untuk semua teman-teman saya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima
kasih untuk doa dan supportnya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari harapan dan
kesempurnaan karena masih terdapat banyak kekurangan, hal ini lebih disebabkan
karena keterbatasan waktu dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis akan
dengan senang hati mengharapkan bahkan menerima saran dan kritik dari pihak
manapun dengan diiringi doa dan ucapan terima kasih.
Depok, Juni 2011
Penulis
v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASITUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Irfan PradanaNPM : 0706287460Program Studi : Ilmu Administrasi FiskalDepartemen : Ilmu AdministrasiFakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikJenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-Exclusive Royalty-Free Fight) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Analisis Perubahan Ketentuan Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Terhadap Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan memublikasikan tugas karya akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : DepokPada Tanggal : 30 Juni 2011
Yang Menyatakan
(Irfan Pradana)
vi
ABSTRAK
Nama : Irfan Pradana Program Studi : Ilmu Administrasi FiskalTema : Analisis Perubahan Ketentuan Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai Terhadap Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi
Skripsi ini membahas mengenai implementasi dari adanya perubahan peraturan pelaksana Pemungut PPN (Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi). Perubahan peraturan pelaksana yang difokuskan untuk dianalisis adalah perubahan terakhir yaitu Peraturan Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005 yang diubah menjadi Peraturan Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010. Skripsi ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Teknik analisis yang digunakan adalah triangulasi.
Hasil analisis diperoleh bahwa perubahan peraturan pelaksanaan sistem pemungutan PPN melalui Pemungut ini menimbulkan beban administrasi yang lebih besar dalam hal implementasi dari beberapa pihak baik pihak KKKS maupun rekanan. Peraturan pelaksana terdahulu dan pencabutan kebijakan merupakan alternatif yang diharapkan oleh pihak KKKS sebagai aktor dalam implementasi kebijakan.
Kata kunci: Implementasi, Pemungut PPN, Kontraktor Bagi Hasil.
viiUniversitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Irfan Pradana Study Program : Fiscal AdministrationTitle : Analysis of Changes in Terms of Value Added Tax
Collector Contract Cooperation Against Exploitation of Oil and Gas
This thesis discuss about the implementation of implementing regulations of Tax Collector (Oil and Gas Company) changes. Implementing regulations changes focused to be analyzed is the last change of Financial Regulation Number 11/PMK.03/2005 which transformed into Financial Regulations No. 73/PMK.03/2010. This thesis used descriptive qualitative method. Analysis technique used was triangulation.
The results of the analysis found that changes in implementing regulations of Value Added Tax (VAT) collection system through the Collector pose a greater administrative burden in terms of implementation of several parties, both Oil and Gas Company and its partners. The previous implementing regulations and repeal policy is an alternative that is expected by Oil and Gas Company as an actor in policy implementation.
Keywords: Implementation, VAT Collector, Profit Sharing Contract.
viiiUniversitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.......................................................iiHALAMAN PENGESAHAN....................................................................................iiiKATA PENGANTAR................................................................................................ivHALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...............................viABSTRAK ................................................................................................................viiABSTRACT...................................................................................................................
...............................................................................................................viiiDAFTAR ISI...............................................................................................................ixDAFTAR TABEL......................................................................................................xiiDAFTAR GAMBAR................................................................................................xiiiDAFTAR LAMPIRAN............................................................................................xiv
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................11.1 Latar Belakang Permasalahan.............................................................................11.2 Pokok Permasalahan............................................................................................81.3 Tujuan Penelitian.................................................................................................81.4 Signifikansi Penelitian.........................................................................................91.5 Sistematika Penelitian.......................................................................................10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI...............................122.1 Tinjauan Pustaka...............................................................................................122.2 Kerangka Teori..................................................................................................17
2.2.1 Fungsi Pajak...............................................................................................172.2.2 Asas-asas Pemungutan Pajak.....................................................................182.2.3 Kebijakan Publik........................................................................................212.2.4 Implementasi Kebijakan.............................................................................242.2.5 Kebijakan Pajak..........................................................................................272.2.6 Undang-Undang Pajak (Tax Laws)............................................................292.2.7 Administrasi Pajak (Tax Administration)...................................................312.2.8 Kepatuhan Perpajakan (tax compliance)....................................................372.2.9 Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai......................................................382.2.10 Konsep Pajak Pertambahan Nilai.............................................................402.2.11 Kelebihan VAT........................................................................................422.2.12 Mekanisme Pemungutan PPN..................................................................432.2.13 Metode Penghitungan PPN.......................................................................442.2.14 Saat dan TempatTerutang Pajak Pertambahan Nilai................................45
2.3 Kerangka Pemikiran..........................................................................................46
BAB III METODE PENELITIAN...........................................................................493.1 Pendekatan Penelitian........................................................................................493.2 Jenis Penelitian..................................................................................................50
3.2.1 Berdasarkan Tujuan Penelitian...................................................................503.2.2 Berdasarkan Manfaat Penelitian.................................................................50
ixUniversitas Indonesia
3.2.3 Berdasarkan Dimensi Waktu......................................................................513. 3 Metode dan Strategi Penelitian.........................................................................51
3.3.1 Jenis penelitian berdasarkan teknik pengumpulan data..............................513.3.2 Teknik Analisis data...................................................................................52
3.4 Informan............................................................................................................533.5 Lokasi Penelitian...............................................................................................543.6 Batasan Penelitian.............................................................................................543.7 Keterbatasan Penelitian.....................................................................................55
BAB IV KETENTUAN PERPAJAKAN TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN.......................56
4.1 Objek Pajak Pertambahan Nilai.........................................................................564.2 Subyek Pajak Pertambahan Nilai......................................................................604.3 Saat Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai......................................................624.4 Sejarah Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai oleh Pemungut........................654.5Gambaran Umum Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan
Gas Bumi (KKKS)..........................................................................................704.5.1 Kegiatan Usaha Hulu Migas Dilakukan Melalui Kontrak Kerja Sama......704.5.2 Kewajiban DMO dalam Kontrak Kerja Sama............................................744.5.3 Kontraktor Kontrak Kerja Sama sebagai Wajib Pajak Badan....................764.5.4 Pengaruh Kebijakan Ring-fence.................................................................774.5.5 Bentuk Badan Usaha Kontraktor Kontrak Kerja Sama..............................774.5.6 Komponen Perhitungan Bagi Hasil Produksi Minyak dan Gas Bumi.......78
4.5.6.1Gross Revenue......................................................................................784.5.6.2 First Trance Petroleum.......................................................................784.5.6.3 Total Recoverable Cost.......................................................................794.5.6.4 Equity To Be Split................................................................................81
4.6 Penetapan Harga Minyak Mentah Indonesia.....................................................81
BAB V ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BAGI KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI......83
5.1 Latar Belakang Diubahnya Peraturan Menteri Keuangan Mengenai Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Terhadap Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi pada Tahun 2010........................83
5.2 Analisis terhadap Implementasi Sehubungan dengan Adanya Perubahan Ketentuan Peraturan Menteri Keuangan No.11/PMK.03/2005 menjadi Peraturan Menteri Keuangan No.73/PMK.03/2010 bagi KKKS....................97
5.2.1 Analisis atas Implementasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005.......................................................................................98
5.2.2 Analisis atas Implementasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010.....................................................................................105
5.3 Kebijakan yang Sebaiknya Diberlakukan Bagi KKKS Sebagai Pemungut PPN Dalam Melaksanakan Kewajiban Perpajakannya di Bidang PPN................114
xUniversitas Indonesia
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................1196.1 Kesimpulan......................................................................................................1196.2 Saran................................................................................................................121
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................123
DAFTAR RIWAYAT HIDUP................................................................................128
LAMPIRAN ............................................................................................................129
xiUniversitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Pendapatan Negara, 2005-2011.................................................................2
Tabel 1.2 Lembaga yang Ditunjuk Sebagai Pemungut PPN...................................5
Tabel 2.1 Perbandingan Penelitian Sebelumnya oleh Peneliti Lain.....................15
Tabel 5.1 Perbedaan Saat Pembuatan Faktur Pajak dalam Pasal 13 UU PPN. .95
Tabel 5.2 Perubahan Ketentuan PMK 11 dengan PMK 73................................109
Tabel 5.3 Keadaan Penyetoran PPN oleh KKKS.................................................112
xiiUniversitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Produksi dan Konsumsi Minyak di Indonesia....................................1
Gambar 2.1 Proses Kebijakan sebagai Hierarki....................................................33
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran............................................................................48
Gambar 4.1 Kewajiban DMO Dalam Setiap Generasi Kontrak Bagi Hasil........75
Gambar 4.2 Pola Bagi hasil PSC..............................................................................80
Gambar 5.1 Mekanisme Umum Pemungutan PPN................................................84
Gambar 5.2 Mekanisme Pemungutan PPN melalui Pemungut PPN...................85
Gambar 5.3 Mekanisme Pengumpulan SSP oleh KKKS Tanpa Status Pemungut PPN................................................................................................................89
Gambar 5.4 Mekanisme Pengumpulan SSP oleh KKKS melalui Status Pemungut PPN................................................................................................................90
Gambar 5.5 Mekanisme transaksi pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dan PPnBM oleh KKKS Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005.....................................................................101
Gambar5.6 Mekanisme KKKS dalam Proses Validasi Invoice Terkait dengan Peraturan Menteri keuangan Nomor 11/PMK.03/2005..................103
Gambar5.7 Mekanisme transaksi pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dan PPnBM oleh KKKS Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010.....................................................................107
Gambar5.8 Mekanisme KKKS dalam Proses Validasi Invoice Terkait dengan Peraturan Menteri keuangan Nomor 73/PMK.03/2010..................108
Gambar5.9 Perbandingan Prosedur saat Pemungutan dan Penyetoran PPN antara Peraturan yang Dahulu (PMK 11) dengan Peraturan Baru (PMK73)..............................................................................................110
xiiiUniversitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil wawancara dengan pihak DJP...............................................129
Lampiran 2 Hasil wawancara dengan pihak KKKS...........................................133
Lampiran 3 Hasil wawancara dengan pihak BP MIGAS..................................139
Lampiran 4 Hasil wawancara dengan pihak Rekanan.......................................143
xivUniversitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
Minyak dan gas bumi adalah salah satu kekayaan alam dari hasil
pertambangan yang mempunyai nilai sangat strategis bagi kepentingan hidup bangsa
Indonesia sebagai sumber energi dalam negeri, sumber penerimaan negara, maupun
sebagai bahan baku industri petrokimia dan lainnya (Nasution, 2010, h.,1). Peran
minyak dan gas bumi dalam pembangunan nasional tidak dapat dipungkiri menjadi
demikian penting sejalan dengan makin meningkatnya kebutuhan energi, peningkatan
ekonomi, dan pengembangan industri dalam negeri. Jika dilihat tingkat produksi
minyak di Indonesia, per tahun 2008 Indonesia menduduki peringkat 7 dalam hal
produksi minyak di dunia. Cadangan minyak Indonesia dapat memenuhi permintaan
minyak dalam negeri selama 50 tahun dengan tingkat produksi saat ini
(PricewaterhouseCoopers, 2010, h.7). Berikut adalah tabel produksi dan konsumsi
minyak di Indonesia.
Gambar 1.1Produksi dan Konsumsi Minyak di Indonesia
Sumber: BP Stastistical Review of World energy June 2009 for data 1998-2008
Dari tabel diatas dapat digambarkan bahwa sektor minyak dan gas bumi merupakan
sektor yang sangat penting. Hal tersebut juga diperkuat dari segi penerimaan negara.
Sektor minyak dan gas bumi tetap menjadi andalan dalam penyusunan Anggaran
Universitas Indonesia
1
Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia, termasuk dari sektor
perpajakannya. Berikut ini adalah data penerimaan negara Indonesia tahun 2005-2010
(Analisis, 2011, h.1).Tabel 1.1
Pendapatan Negara, 2005-2011(Dalam Miliar Rupiah)
Sumber: www.anggaran.depkeu.go.id
Universitas Indonesia
2
Dari tabel 1.1 terlihat bahwa migas memberikan sumbangan terbesar bagi penerimaan
negara bukan pajak. Migas menjadi salah satu sektor penting bagi pemerintah untuk
dapat memenuhi target penerimaan negara dari tahun ke tahun. Oleh karena itu,
pemerintah banyak sekali mengeluarkan kebijakan bagi sektor migas. Kebijakan ini
diharapkan mampu memberikan dampak yang positif bagi penerimaan negara baik
dari sumber saya alam yang dihasilkan maupun dari segi penerimaan pajak.
Industri minyak dan gas bumi memiliki sifat yang berbeda dengan industri
lainnya. Pencarian (exploration) minyak dan gas bumi merupakan kegiatan untung-
untungan, karena meskipun telah dipersiapkan secara cermat dengan biaya yang
besar, tidak ada jaminan bahwa kegiatan tersebut akan berakhir dengan penemuan
cadangan minyak. Industri minyak dan gas bumi merupakan usaha yang memerlukan
teknologi tinggi padat modal, dan sarat risiko, maka diperlukan pengelolaan yang
benar-benar profesional. Apabila dalam pekerjaannya Pemerintah belum
melaksanakan atau tidak dapat melaksanakannya sendiri, maka Menteri
Pertambangan dan Energi dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor. Terdapat
berbagai bentuk kerja sama antara pemerintah dengan kontraktor. Kerja sama tersebut
diantaranya (Aspek Perpajakan, 2010, h.1):
- Konsesi
- Kontrak Karya
- Kontrak Unitasi
- Kontrak Bantuan Teknis
- Perjanjian Operasi Bersama (Joint Operation Agreement)
- Kontrak Secondary
- Kontrak Pinjaman
- Kontrak Bagi Hasil
Sejak diterbitkannya undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas
bumi, kontrak kerja sama yang diberlakukan adalah kontrak bagi hasil.
Kontrak bagi hasil merupakan suatu penggabungan usaha antara pemerintah
yang diwakili oleh Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) sebagai
Badan Hukum Milik Negara dengan perusahaan lainnya untuk mengeksploitasi
Universitas Indonesia
3
minyak dan gas bumi. Ciri yang menonjol dari kontrak bagi hasil adalah manajemen
dan kepemilikan aset berada pada pemerintah yang diwakili oleh BP Migas, serta
yang dibagi adalah hasil produksi setelah dikurangi biaya operasi. Sistem kontrak
bagi hasil bertujuan menguntungkan bagi kedua belah pihak, sehingga tidak aneh jika
banyak negara penghasil minyak dan gas bumi seperti Indonesia menggunakan sistem
ini untuk mendapatkan hasil eksploitasi minyak dan gas bumi. Di Indonesia, badan
yang melakukan kontrak bagi hasil ini disebut sebagai Kontraktor Kontrak Kerjasama
Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi (KKKS). Dalam aspek perpajakannya, Kontrak
bagi hasil memiliki aturan dan pelaksanaan yang mebedakannya dengan wajib pajak
lainnya. Dalam Kontrak bagi hasil terdapat klausul pajak yang menyebutkan
pemerintah Indonesia menanggung dan membebaskan pajak lainnya selain pajak
penghasilan yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea masuk, Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), dan lain-lain.
Dalam bidang PPN, KKKS ditunjuk oleh pemerintah sebagai pemungut PPN.
Pemungut PPN adalah sebutan yang ditujukan untuk beberapa pihak yang ditunjuk
oleh pemerintah untuk melakukan pemungutan PPN (Indonesia Tax Review, 2009,
h.6). Dengan demikian, dalam hal PKP melakukan penyerahan penyerahan barang
atau jasa kepada pihak yang ditunjuk pemerintah, maka pihak tersebut akan bertindak
sebagai Pemungut PPN. Pemungut PPN merupakan modifikasi yang dilakukan oleh
pemerintah dalam melakukan administrasi pajak di bidang PPN. Tujuan utama
pemerintah memberlakukan mekanisme Pemungut PPN adalah untuk mengamankan
penerimaan negara. Selain itu, dulu banyak Wajib Pajak khususnya PKP Rekanan
pemerintah yang menerima pembayaran dari uang APBN/APBD, yang dipandang
belum dapat melakukan sendiri kewajiban PPN berdasarkan UU PPN 1984. Hal ini
disebabkan karena adanya reformasi perpajakan nasional (tax reform) pada tahun
1983, sehingga harus ada sosialisasi sampai masyarakat benar-benar siap dan
memahami praktiknya (Indonesia Tax Review, 2009, h.11). Mekanisme pemungutan
PPN melalui Pemungut ini awalnya tidak diatur dalam hukum dasar pemberlakuan
PPN di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 (UU PPN 1984).
Dulu pengaturannya hanya diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1986
Universitas Indonesia
4
yang menunjuk Kantor Perbendaharaan Negara (sekarang Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara) sebagai Pemungut PPN (Indonesia Tax Review, 2009, h.9).
Penyimpangan ini semakin meluas ketika pemerintah menerbitkan Keputusan
Presiden Nomor 56 Tahun 1988 tentang Penunjukan Badan-badan Tertentu dan
Bendaharawan untuk Memungut dan Menyetor PPN dan PPnBM. Mekanisme ini
akhirnya dilegalkan secara hukum saat UU PPN 1984 diubah untuk pertama kalinya,
yaitu melalui UU Nomor 11 Tahun 1994. Penunjukan Pemungut PPN mengalami
perubahan dalam beberapa waktu. Berikut adalah perubahan terhadap lembaga yang
ditunjuk sebagai pemungut PPN oleh pemerintah.Tabel 1.2
Lembaga yang Ditunjuk Sebagai Pemungut PPNSebelum 1 Januari 2004
Berdasarkan KMK Nomor : 547/KMK.04/2000
Setelah 1 Januari 2004Berdasarkan KMK Nomor :
563/KMK.03/2003 dan PMK Nomor : 11/PMK.03/2005
1. Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara;
2. Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah (Tingkat I maupun Tingkat II);
3. Pertamina;4. Kontaktor-Kontraktor Bagi Hasil dan
Kontrak Karya di bidang Minyak dan Gas Bumi dan Pertambangan Umum Lainnya;
5. Badan Usaha Milik Negara dan Daerah;
6. Bank Pemerintah;7. Bank Pembangunan Daerah.
1. Bendaharawan Pemerintah;2. Kantor Perbendaharaan dan Kas
Negara;3. Kontraktor Perjanjian Kerjasama
Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
Sumber : Indonesian Tax review/Volume II/Edisi12/2009
Jika dilihat dari sejarah peraturan pelaksana terhadap mekanisme pemungutan
PPN melalui PPN, maka sudah terjadi beberapa kali perubahan peraturan pelaksana
yang memuat mengenai tatacara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan oleh
Pemungut PPN. Sejak tahun 1986 hingga 2010. Berdasarkan beberapa penelitian
sebelumnya yang terkait dengan pemungut PPN, diperoleh gambaran kendala-
kendala yang terjadi dalam pelaksanaannya. Kendala inilah yang menarik peneliti
dalam melihat secara keseluruhan mengenai perubahan terkait dengan peraturan yang
mengatur meanisme pemungutan PPN melalui Pemungut.
Universitas Indonesia
5
Dimulai dengan diaturnya ketentuan mengenai Pemungut PPN pada tahun
1986 melalui Keputusan Presiden Nomor 9 (Keppres No.9) tentang Penunjukkan
Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) untuk Memungut dan Menyetorkan PPN yang
dibayarkan oleh Pemerintah atas Penyerahan BKP dan atau JKP dari PKP Rekanan
Pemerintah. Sebagai aturan pelaksana Keppres tersebut adalah Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 565/KMK/04/1986 tentang Penatausahaan dan
Pertanggungjawaban PPN dan PPnBM yang dibayar Bendaharawan.
Pada tahun 1988 diadakan perluasan penunjukkan pihak sebagai Pemungut
PPN dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988 tentang
Penunjukkan Badan-Badan Tertentu dan Bendaharawan Untuk Memungut dan
Menyetor Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dalam
pelaksanaannya, diterbitkan tiga Keputusan Menteri Keuangan sebagai peraturan
pelaksana Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988 tersebut.
Pada tahun 2000, terdapat perubahan Undang-Undang PPN yang kedua
melalui UU No.18 Tahun 2000. Dalam hal ini, Pemerintah juga mengeluarkan
peraturan pelaksana pengganti sebagai penyesuaian dari adanya pasal 16A UU No.11
Tahun 1994. Ada 3 perturan pelaksana yang menjadi dasar bagi pemungut PPN
dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Peraturan pelaksana tersebut antara
lain: Keputusan Menteri Keuangan Nomor 547/KMK.04/2000, Nomor
548/KMK.04/2000, KMK 549/KMK.04/2000.
Pada tanggal 1 Januari 2003, berlaku KMK Nomor 563/KMK.03/2003
tentang Penunjukan Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas
Negara untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan
Pelaporannya. Munculya Keputusan Menteri Keuangan ini sebagai suatu tanda bahwa
Pemerintah menentukan kembali pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPN dan
PPnBM. Dalam hal ini, yang ditunjuk sebagai pemungut PPN dan PPnBM hanyalah
Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
Pada tahun 2005, peraturan pelaksana tentang Pemungut PPN terhadap
Kontraktor Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Universitas Indonesia
6
(KPS) diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005 ( PMK
11) yang mengatur tentang penunjukan KPS untuk memungut, menyetor, dan
melaporkan PPN dan PPnBM beserta tata cara pemungutan, penyetoran, dan
pelaporannya. PMK 11 mulai berlaku pada tanggal 1 Pebruari 2005. Setelah berjalan
hingga 31 Maret 2010, pada akhirnya ketentuan tersebut digantikan dengan keluarnya
PMK Nomor 73/PMK.03/2010 (selanjutnya akan disebut dengan istilah PMK 73)
yang berlaku sejak 1 April 2010. Berlakunya PMK 73 bermula dari munculnya
Undang-Undang No.42 Tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 8
tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM pada tanggal 15 Oktober 2009. PMK 73
mengatur tentang Penunjukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak
Gas dan Bumi dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/ Pemegang Izin Pengusahaan
Sumber Daya Panas Bumi untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya.
Pada dasarnya, PMK 73 merupakan perubahan yang mengacu pada peraturan
sebelumnya yaitu PMK 11. Pada PMK 73 istilah KPS diubah menjadi Kontraktor
Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi (KKKS). Saat ini, pemungut
PPN terdiri dari Bendaharawan Pemerintah baik pusat maupun daerah, Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), dan KKKS. Hal penting yang
membedakan antara PMK 11 dan PMK 73 adalah perubahan terhadap pasal yang
mengatur saat pemungutan PPN dan PPnBM oleh KKKS. PMK 11 terdiri dari 10
pasal, sedangkan PMK 73 terdiri dari 11 pasal. Terdapat beberapa perubahan yang
membedakan antara PMK 11 dan PMK 73. Perubahan kebijakan melalui PMK 11
menjadi PMK 73 mengundang reaksi dari berbagai pihak khusunya KKKS. Hal ini
disebabkan karena PMK 11 telah berlaku cukup lama yaitu dari 1 Pebruari 2005
hingga 31 Maret 2010, sehingga pihak KKKS sebagai pemungut PPN dan PPnBM
harus mempelajari kembali isi dari PMK 73. Mengingat bahwa pihak KKKS sudah
terbiasa dengan PMK 11, maka PMK 73 menjadi hal yang baru (Wawancara dengan
Deviyana, 15 Januari 2011). Adanya perubahan PMK ini menjadi dasar pemikiran
peneliti untuk melihat kembali mengenai peraturan pelaksana yang terkait dengan
Universitas Indonesia
7
Pemungut PPN yang terdahulu. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan di
tingkat kebijakan mengenai mekanisme pemungutan PPN melalui Pemungut.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, maka pokok permasalahan yang akan dibahas oleh
penulis adalah :
1. Apa latar belakang munculnya kebijakan Pemungutan PPN melalui Pemungut
hingga diubahnya Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pemungutan,
penyetoran, dan pelaporan terhadap Kontraktor Kontrak Kerja Sama
Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi pada tahun 2010?
2. Bagaimana implementasi kebijakan oleh KKKS sehubungan dengan adanya
perubahan ketentuan dalam mekanisme pemungutan PPN melalui Pemungut?
(khususnya ketentuan Peraturan Menteri Keuangan No.11/PMK.03/2005 yang
diubah menjadi Peraturan Menteri Keuangan No.73/PMK.03/2010).
3. Alternatif kebijakan seperti apakah yang sebaiknya diberlakukan bagi KKKS
sebagai Pemungut PPN dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya di
bidang PPN?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara lebih khusus penelitian ini bertujuan:
1. Untuk menganalisis latar belakang diberlakukannya kebijakan Pemungutan
PPN melalui Pemungut hingga diubahnya Peraturan Menteri Keuangan
mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan terhadap Kontraktor
Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi pada tahun 2010.
2. Untuk memetakan dan menganalisis implementasi kebijakan oleh KKKS
sehubungan dengan adanya perubahan ketentuan dalam mekanisme
pemungutan PPN melalui Pemungut (khususnya ketentuan Peraturan Menteri
Keuangan No.11/PMK.03/2005 yang diubah menjadi Peraturan Menteri
Keuangan No.73/PMK.03/2010).
Universitas Indonesia
8
3. Untuk menganalisis kebijakan yang sebaiknya diberlakukan bagi KKKS
sebagai Pemungut PPN dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya di
bidang PPN.
1.4 Signifikansi Penelitian
Setelah tujuan penelitian selesai dilakukan maka hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat akademis maupun manfaat
praktis sebagai berikut:
a. Signifikansi Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman tentang
implementasi sehubungan dengan adanya perubahan ketentuan di bidang Pajak
Pertambahan Nilai. Implementasi ini dilaksanakan melalui Peraturan Menteri
Keuangan terhadap berbagai pihak khususnya Kontraktor Kontrak Kerjasama
Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi sebagai pemungut PPN. Selain itu, hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti lain yang
akan membahas masalah sejenis. Hal ini dilatarbelakangi dengan pelaksanaan
kebijakan dan berbagi ketentuan yang ada di lapangan yang tidak selalu berjalan
sesuai rencana pemerintah.
b. Signifikansi Praktis
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, yaitu:
- Menjadi bahan pertimbangan bagi para penyusun kebijakan dalam pemerintahan
untuk menyusun kebijakan PPN yang lebih baik, khususnya dalam bidang
ketentuan mengenai Pemungut PPN. Mengingat ketentuan Pemungut PPN
merupakan ketentuan yang berbeda dengan ketentuan PPN pada umumnya.
- Memberikan gambaran menyeluruh mengenai hak dan kewajiban perpajakan bagi
Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi dalam
menjamin penerimaan pajak negara sebagai pemungut PPN.
- Sebagai bahan pertimbangan bagi KKKS dan rekanan untuk menyusun rencana
dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakan dengan sebaik-baiknya tanpa
melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku.
Universitas Indonesia
9
1.5 Sistematika Penelitian
Penelitian ini disusun dengan sistematis yang terdiri dari enam bab yang dapat
dirinci sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang permasalahan yang menguraikan
hal atau peristiwa yang menjadi dasar lahirnya masalah pokok
penelitian. Selanjutnya perumusan pokok permasalahan dilakukan
setelah mencermati latar belakang masalah, tujuan penelitian dapat
ditentukan setelah masalah penelitian dirumuskan, signifikansi
penelitian merupakan harapan manfaat yang diperoleh dengan
dilakukannya penelitian ini, dan sistematika penulisan dijelaskan guna
memudahkan dalam memahami skripsi dengan mengetahui
sistematikanya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
Bab ini berisi tentang tinjauan pustaka dari penelitian lain yang sejenis
dan teori-teori yang dikemukakan oleh pakar yang relevan dengan
masalah penelitian. Landasan teori disusun sebagai dasar pembahasan
masalah penelitian. Teori yang digunakan adalah teori yang menjadi
landasan teoritis dari masalah yang diangkat oleh peneliti dalam
bidang perpajakan.
BAB III METODE PENELITIAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai metode penelitian yang digunakan,
meliputi pendekatan penelitian, jenis penelitian, tipe penelitian, teknik
pengumpulan data, teknik analisis data dan pembahasan penelitian.
Universitas Indonesia
10
BAB IV GAMBARAN UMUM
Dalam bab ini akan diinventarisir mengenai ketentuan perpajakan
yang berkaitan dengan masalah pokok dalam skripsi dan gambaran
umum mengenai Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak
dan Gas Bumi di Indonesia serta segala sesuatu informasi yang
relevan.
BAB V ANALISIS PERMASALAHAN
Merupakan fokus pembahasan masalah dalam penelitian sehingga
masalah penelitian dapat dijawab dengan jelas dan sistematis. Analisis
dilakukan terperinci berdasarkan masing-masing masalah pokok yang
telah dirumuskan.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Merupakan bab penutup yang menguraikan simpulan dan saran-saran
untuk mengevaluasi pelaksanaan ketentuan pajak.
Universitas Indonesia
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Dalam melakukan penelitian mengenai “Implikasi Perubahan Ketentuan
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai terhadap Kontraktor Kontrak Kerjasama
Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi”, penulis perlu melakukan peninjauan pustaka
dengan beberapa macam contoh penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya. Dalam tinjauan pustaka kali ini, peneliti mengambil tiga penelitian yang
berkaitan dengan penelitian kami untuk membantu jalannya penelitian.
Tinjauan kepustakaan yang pertama diambil dari tesis yang disusun oleh
Solahuddin, FISIP UI tahun 2008 dengan judul “Pelaksanaan kebijakan saat
pembuatan faktur pajak atas transaksi antara pengusaha kena pajak rekanan dan
bendaharawan pemerintah sebagai pemungut pajak pertambahan nilai”.
Masalah dalam penelitian ini yaitu apa latar belakang dikeluarkannya tata cara
pembuatan faktur pajak? Bagaimanakah Implikasi dikeluarkannya ketentuan
mengenai faktur pajak? Bagaimanakah cara mengantisipasi permasalahan
pelaksanaan kewajiban PPN berkaitan dengan transaksi yang melibatkan
bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN? Alternatif-alternatif kebijakan
yang bagaimanakah yang dapat menjadi solusi terbaik dari masalah saat pembuatan
faktur pajak bagi pengusaha kena pajak rekanan yang menyampaikan tagihan kepada
bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN? Metode penelitian yang
digunakan adalah metode diskriptif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan studi
kepustakaan. Hasil analisis menunjukkan bahwa latar belakang dikeluarkannya
ketentuan tersebut adalah sebagai peraturan pelaksana dari UU PPN, memberikan
kepastian hukum, mengoptimalkan sistem faktur pajak, dan menjadi sarana
pengawasan faktur pajak. Implikasi berlakunya ketentuan atas pembuatan faktur
pajak justru menyulitkan bagi PKP rekanan. Di lain pihak bagi DJP memerlukan
tambahan pengawasan dalam pelaksanaan kewajiban PKP. Saran yang diberikan
Universitas Indonesia
12
adalah penunjukkanbendaharawan dan KPPN sebagai pemungut PPN sebaiknya
dihilangkan saja karena tidak sesuai dengan konsep dan karakter PPN.
Tinjauan pustaka kedua diambil dari tesis yang disusun oleh Senny Tussytha,
FISIP UI, tahun 2006 dengan judul “Analisis penghapusan pemungutan pajak
pertambahan nilai oleh Badan Pemungut Kontraktor bagi hasil,terhadap penerimaan
pajak pertambahan nilai Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Dua”.
Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana mekanisme pemungutan PPN
oleh Badan Pemungut PPN? Apa dasar pemikiran diberlakukannya pemungutan PPN
oleh Pemungut serta latar belakang pencabutan status Badan Pemungut PPN?
Kendala-kendala apa yang dihadapi oleh Kantor Pelayanan Pajak dalam mengawasi
pelaporan dan penyetoran pajak yang dilakukan oleh Badan Pemungut PPN? Apakah
ada pengaruh antara pencabutan ketentuan Pemungutan PPN oleh Badan Pemungut
PPN terhadap penerimaan Kantor Pelayanan Pajak?
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis yang dilakukan
pada Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Dua sedangkan hasil
penelitian yang diperoleh adalah penetapan kewajiban pemungutan PPN oleh
Pemungut sebagaimana diatur dalam UU PPN 1984 pada dasarnya menyimpang dari
prinsip dasar PPN. Sesuai dengan sifat Tidak Langsung dan PPN maka yang berlaku
sebagai pemikul beban Pajak secara nyata adalah pembeli Barang Kena Pajak (BKP)
atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP). Sedangkan penanggung jawab atas
pembayaran Pajak ke Kas Negara adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang
bertindak selaku penjual BKP atau JKP. Atas kelebihan bayar, PKP dapat meminta
pengembalian atas kelebihan bayar tersebut. Sebagai akibat dari permintaan
pengembalian pajak lebih bayar tersebut tentunya berpengaruh terhadap kinerja DJP
yang harus meneliti kebenaran proses pemberian restitusi tersebut sehingga menyita
waktu dan tenaga pegawai pemerintah yang harus memberikan pelayanan dalam
proses pengembalian kelebihan Pajak, dan tentunya secara tidak langsung
berpengaruh terhadap penerimaan Negara. Penunjukkan Pemungut untuk melakukan
pemungutan PPN tersebut belum sepenuhnya benar-benar dapat membantu
terrealisasinya penerimaan negara.
Universitas Indonesia
13
Studi pustaka yang ketiga diambil dari tesis yang disusun oleh Rafael Alun
Trisambodo, FISIP UI tahun 2002 dengan judul “Evaluasi kebijakan pemungutan
pajak pertambahan nilai oleh pemungut Kontraktor kontrak bagi hasil dan kontrak
karya: studi kasus pada enam perusahaan supplier”.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme
pemungutan dan penyetoran serta pelaporan PPN oleh pemungut Pajak Kontraktor
Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya, serta menganalisis kerugian negara yang
timbul karena keterlambatan penyetoran oleh Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan
Kontrak Karya.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan
melakukan studi kasus pada tiga perusahaan yang menjadi supplier Kontraktor
Kontrak Bagi Hasil dan tiga perusahaan yang menjadi supplier Kontrak Karya.
Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara, observasi dan studi
kepustakaan. Data yang diolah berupa data bukti setoran pajak yang diterima
perusahaan untuk transaksi tahun 2001. data diambil sampai dengan September 2002
untuk melihat besarnya kerugian negara dari PPN yang belum disetor ditambah
dengan sanksi bunga karena keterlambatan penyetoran.
Dari hasil penelitian dapat diperoleh gambaran bahwa mekanisme
pemungutan dan penyetoran serta pelaporan PPN yang dipungut oleh Pemungut
Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya berbeda dari mekanisme PPN
umumnya, yaitu adanya hak untuk menyetorkan 15 hari bulan berikutnya dari
pelunasan transaksi. Hal itu menimbulkan kerugian karena adanya pelanggaran
Ketentuan Perpajakan dengan menunda penyetoran lebih lama dari waktu yang
ditentukan.
Berikut merupakan tabel perbandingan penelitian yang menjadi rujukan bagi
peneliti untuk menyusun penelitian ini.
Universitas Indonesia
14
Tabel 2.1 Perbandingan Penelitian Sebelumnya oleh Peneliti Lain
Keterangan Peneliti Pertama Peneliti Kedua
Peneliti Ketiga
Penelitian yang
akan
Dilakukan
Nama Peneliti Solahuddin Senny Tussytha Rafael Alun Trisambodo Irfan Pradana
Tahun Penelitian 2008 2006 2002 2011
Judul
Pelaksanaan kebijakan saat pembuatan faktur pajak atas transaksi antara pengusaha kena pajak rekanan dan bendaharawan pemerintah sebagai pemungut pajak pertambahan nilai
Analisis penghapusan pemungutan pajak pertambahan nilai oleh Badan Pemungut Kontraktor bagi hasil,terhadap penerimaan pajak pertambahan nilai Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Dua
Evaluasi kebijakan pemungutan pajak pertambahan nilai oleh pemungut Kontraktor kontrak bagi hasil dan kontrak karya: studi kasus pada enam perusahaan supplier
Implikasi Perubahan Ketentuan Pemungut Pajak Pertambahan Nilai terhadap Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi
Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis :-Latar belakang dikeluarkannya tata cara pembuatan faktur pajak, Implikasi dikeluarkannya ketentuan mengenai faktur pajak
-Cara mengantisipasi permasalahan pelaksanaan kewajiban PPN berkaitan dengan transaksi yang melibatkan bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN
-Alternatif-alternatif kebijakan yang dapat menjadi solusi terbaik dari masalah saat pembuatan faktur pajak bagi pengusaha kena
Untuk menganalisis :-Mekanisme pemungutan PPN oleh Badan Pemungut PPN
-Dasar pemikiran diberlakukannya pemungutan PPN oleh Pemungut serta latar belakang pencabutan status Badan Pemungut PPN
-Kendala-kendala yang
Untuk menganalisis mekanisme pemungutan dan penyetoran serta pelaporan PPN oleh pemungut Pajak Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya, serta menganalisis kerugian negara yang timbul karena keterlambatan penyetoran
Untuk menganalisis :-latar belakang diubahnya Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan terhadap Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi pada tahun 2010.
- implikasi yang ditimbulkan sehubungan dengan adanya perubahan ketentuan Peraturan Menteri
Universitas Indonesia
15
Keterangan Peneliti Pertama Peneliti Kedua
Peneliti Ketiga
Penelitian yang
akan
Dilakukanpajak rekanan yang menyampaikan tagihan kepada bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN.
dihadapi oleh Kantor Pelayanan Pajak dalam mengawasi pelaporan dan penyetoran pajak yang dilakukan oleh Badan Pemungut PPN
-Ada tidaknya pengaruh antara pencabutan ketentuan Pemungutan PPN oleh Badan Pemungut PPN terhadap penerimaan Kantor Pelayanan Pajak
oleh Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya.
Keuangan No.11/PMK.03/2005 menjadi Peraturan Menteri Keuangan No.73/PMK.03/2010 bagi KKKS, rekanan, maupun pemerintah.
-Alternatif kebijakan yang sebaiknya diberlakukan bagi KKKS sebagai Pemungut PPN dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya di bidang PPN.
Pendekatan Penelitian Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif
Jenis Penelitian Deskriptif Deskriptif Analitis Deskriptif Deskriptif
Teknik Pengumpulan
Data
wawancara dan studi kepustakaan
wawancara dan studi
kepustakaan
wawancara, observasi dan studi
kepustakaan
wawancara dan studi kepustakaan
Hasil yang Diperoleh
Hasil analisis menunjukkan bahwa latar belakang dikeluarkannya ketentuan tersebut adalah sebagai peraturan pelaksana dari UU PPN, memberikan kepastian hukum, mengoptimalkan sistem faktur pajak, dan menjadi sarana pengawasan faktur
Hasil penelitian yang diperoleh adalah penetapan kewajiban pemungutan PPN oleh Pemungut sebagaimana diatur dalam UU PPN 1984 pada dasarnya menyimpang
Hasil penelitian dapat diperoleh gambaran bahwa mekanisme pemungutan dan penyetoran serta pelaporan PPN yang
-
Universitas Indonesia
16
Keterangan Peneliti Pertama Peneliti Kedua
Peneliti Ketiga
Penelitian yang
akan
Dilakukanpajak. Implikasi berlakunya ketentuan atas pembuatan faktur pajak justru menyulitkan bagi PKP rekanan. Di lain pihak bagi DJP memerlukan tambahan pengawasan dalam pelaksanaan kewajiban PKP. Saran yang diberikan adalah penunjukkanbendaharawan dan KPPN sebagai pemungut PPN sebaiknya dihilangkan saja karena tidak sesuai dengan konsep dan karakter PPN.
dari prinsip dasar PPN.
dipungut oleh Pemungut Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya berbeda dari mekanisme PPN umumnya, yaitu adanya hak untuk menyetorkan 15 hari bulan berikutnya dari pelunasan transaksi. Hal itu menimbulkan kerugian karena adanya pelanggaran Ketentuan Perpajakan dengan menunda penyetoran lebih lama dari waktu yang ditentukan.
Sumber: olahan penulis
2.2 Kerangka Teori
2.2.1 Fungsi Pajak
Setiap negara yang memungut pajak kepada rakyatnya pasti mempunyai
tujuan, yaitu untuk membiayai pemerintahan yang dijalankan dalam rangka
memenuhi kebutuhan rakyat itu sendiri. Pelaksanaan pemungutan pajak diharapkan
Universitas Indonesia
17
dapat mencerminkan keadilan, dengan besarnya pajak yang dibebankan sesuai
dengan objek pajak yang dimiliki rakyat. Besarnya objek pajak dipengaruhi oleh
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, pelaksanaan pemungutan pajak
juga diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara, termasuk
didalamnya ekonomi rakyat secara individu.
Menurut Musgrave (1993, h. 6) terdapat tiga fungsi pajak, yaitu:
1. Penyediaan barang sosial, atau proses pembagian keseluruhan sumber daya
untuk digunakan sebagai barang pribadi dan barang sosial, dan bagaimana
bauran/komposisi barang sosial ditentukan. Penyediaan ini dapat disebut
sebagai fungsi alokasi dari kebijakan anggaran. Kebijakan pengaturan, yang
juga dipertimbangkan sebagai suatu bagian dari fungsi alokasi tidak
dimasukkan disini karena kebijakan itu tidak terlalu merupakan masalah
kebijakan anggaran.
2. Penyesuaian terhadap distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin
terpenuhinya apa yang dianggap oleh masyarakat sebagai suatu keadaan
distribusi yang merata dan adil yang disini disebut sebagai fungsi distribusi.
3. Penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk mempertahankan
tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas yang semestinya dan
laju pertumbuhan ekonomi yang tepat, dengan memperhitungkan segala
akibatnya terhadap perdagangan dan neraca pembayaran. Fungsi tersebut
dikenal sebagai fungsi distribusi.
2.2.2 Asas-asas Pemungutan Pajak
Banyak pendapat para ahli yang mengemukakan tentang asas-asas perpajakan
yang harus ditegakkan dalam membangun suatu sistem perpajakan. Diantara
pendapat para ahli tersebut, yang paling terkenal adalah four maxims dari Adam
Smith. Menurut Adam Smith sebagaimana dikutip oleh Rosdiana dan Tarigan,
pemungutan pajak hendaknya didasarkan atas empat asas, yaitu equiality, certainty,
convenience, dan economy. Keempat asas tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Asas Equality
Universitas Indonesia
18
Pembebanan pajak itu harus adil dan merata, yaitu hendaknya dikenakan
kepada para subjek pajak seimbang dengan kemampuannya untuk membayar
pajak tersebut dan juga sesuai dengan manfaat di bawah perlindungan
pemerintah. Pembebanan pajak itu adil apabila setiap wajib pajak
menyumbangkan suatu jumlah untuk dipakai guna pengeluaran pemerintah
sebanding dengan kepentingannya dan dengan manfaat yang diterima dari
pemerintah.
2. Asas Certainty
Yang dimaksud asas certainty adalah bahwa pajak yang dibayar oleh wajib
pajak harus jelas bagi semua wajib pajak dan seluruh masyarakat dan
mempunyai kepastian hukum. Kepastian hukum yang diutamakan adalah
mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, kapan harus dibayar, jumlah
yang harus dibayar, dan bagaimana cara membayarnya.
Menurut Mansury (1996, h.5), kepastian tersebut dihubungkan dengan empat
pertanyaan pokok:
1. Harus pasti, siapa-siapa yang harus dikenakan pajak.
2. Harus pasti, apa yang menjadi dasar untuk mengenakan pajak kepada
subjek pajak.
3. Harus pasti, berapa jumlah yang harus dibayar berdasarkan ketentuan
tentang tarif pajak.
4. Harus pasti, bagaimana jumlah pajak yang terutang tersebut harus dibayar.
Adam Smith berpendapat sebagaimana dikutip Mansury bahwa kepastian
itu lebih penting dari keadilan. Seharusnya kepastian itu menjamin
tercapainya keadilan dalam pemungutan pajak yang diinginkan. Sistem
pajak yang adil berarti penentuan subjek pajak, objek pajak, tarif pajak,
dan prosedur pajak yang disarankan atas kedilan itulah yang harus pasti
dari semula.
Universitas Indonesia
19
3. Asas Convenience
Saat wajib pajak harus membayar pajak hendaknya ditentukan pada saat yang
tidak meyulitkan bagi Wajib Pajak. Pajak hendaknya dipungut pada saat yang
paling baik bagi Wajib Pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat
diterimanya penghasilan/keuntungan yang dikenakan pajak (Early, 2000,
h.20). Berdasarkan asas ini timbul dukungan yang kuat untuk menerapkan
sistem pemungutan yang disebut pay as you earn (P.A.Y.E) (Mansury, 1996,
h.6).
4. Asas Economy
Biaya pemungutan pajak bagi kantor pajak dan biaya memenuhi kewajiban
pajak bagi wajib pajak hendaknya sekecil mungkin. Demikian pula halnya
dengan beban yang dipikul oleh wajib pajak hendaknya juga sekecil mungkin.
Sedangkan Dora Hancock dalam bukunya Taxation: Policy and Practise,
mengutip pendapat Stiglitz Pemenang Nobel Ekonomi, menyatakan bahwa lima
karakteristik yang diharapkan ada dalam suatu sistem perpajakan, yaitu sebagai.
1. Economically efficient: it should not have an impact on allocation of
resources;
2. Administratively simple: it should be easy and inexpensive to administer;
3. Flexible: it should be easy for a system to respon to changing economic
circumstances;
4. Politically accountable: taxpayer should be able to determine what they
are actually paying so that the political system can more accurately
reflect the preference of individuals;
5. Fair: it should be seen to be fair in its impact on all individuals.
(Rosdiana, Tarigan, 2005, h.34)
Dalam reformasi pepajakan yang dilakukan pemerintah Indonesia pada tahun
1984, ditetapkan enam sasaran utama, yaitu:
1. Penerimaan negara dari sektor perpajakan menjadi bagian dari penerimaan
negara yang mandiri dalam rangka pembiayaan pembangunan nasional;
Universitas Indonesia
20
2. Pemerataan dalam pengenaan pajak dan keadilan dalam pembebanan pajak;
3. Menjamin adanya kepastian;
4. Sederhana;
5. Menutup peluang penghindaran pajak dan/atau penyelundupan pajak oleh
weajib pajak dan penyalahgunaan wewenang oleh petugas pajak;
6. Memberikan dampak yang positif dalam bidang ekonomi.
2.2.3 Kebijakan Publik
Dalam menjalankan fungsinya, pemerintah membutuhkan instrumen untuk
dapat mengimplementasikan fungsinya tersebut. Instrumen yang dimaksud adalah
kebijakan. Helco memberi batasan dari suatu kebijakan, yaitu:
”To suggest in academic circle that there is a general agreement of anything
is to done a crimson in the bullpen, but policy is one term on which there
seems to be a certain amount of defitional agreement, as commonly used, the
terms policy is usually consider to apply to amethong bigger than particular
decisions, but smaller the general social movement.”(Parsons, 2005, h.15)
dijelaskan bahwa menurut Helco, kebijakan adalah suatu istilah yang disepakati
secara umum yang biasanya digunakan untuk mempertimbangkan keputusan tertentu
juga untuk perubahan sosial.
Selain itu, istilah kebijakan publik juga didefinisikan Dye dalam Thoha(1993,
h. 50) sebagai berikut.
”Whatever goverment choose to do or not to do (apapun yang dipilih oleh
pemerintah untuk dilakukan ataupun untuk tidak dilakukan).
Menurut Jones dalam Tangkilisan (2003, h.3)kebijakan terdiri dari komponen-
komponen sebagai berikut:
1. Goal atau tujuan yang diinginkan
2. Plans atau proposal yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan
3. Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan
4. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan,
membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program
Universitas Indonesia
21
5. Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer atau
sekunder)
Menurut Dunn dalam Dwidjowijoto (2006, h. 32) kebijakan publik adalah
suatu pedoman dalam melaksanakan berbagai macam tindakan pemerintah mulai dari
tingkat negara, provinsi, sampai dengan tingkat kabupaten kota. Definisi kebijakan
publik sangat banyak, namun secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu:
1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yaitu
peraturan-peraturan, seperti Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden.
2. Kebijakan publik yang bersifat meso atau menengah, atau penjelas
pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran
Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, dan Peraturan Walikota.
Kebijakannya dapat pula berbentuk Surat Keputusan Bersama atau SKB
antar-Menteri, Gubernur, dan Bupati atau Wali kota.
3. Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur
pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan di atasnya. Bentuk
kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah
Menteri, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Dunn (2003, h. 22) mengatakan proses pembuatan kebijakan sebagai
serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu yaitu:
1. Penyusunan agenda: para pejabat yang akan dipilih dan diangkat menempatkan
masalah pada agenda publik.
2. Formulasi kebijakan: para pejabat yang dipilih merumuskan alternatif kebijakan
untuk mengatasi masalah.
3. Adopsi kebijakan: merupakan alternatif yang diadopsi dengan dukungan dari
mayoritas legislatif, konsensus diantara pimpinan lembaga atau keputusan peradilan.
Universitas Indonesia
22
4. Implementasi kebijakan: kebijakan yang telah diambil untuk dilaksanakan oleh
unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.
5. Penilaian kebijakan: unit-unit pemeriksa dan akuntansi dalam pemerintahan
menentukan apakah badan-badan eksekutif, legislatif, dan peradilan memenuhi
persyaratan Undang-Undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.
Dunn (2003, h. 26) mengatakan analisis kebijakan dilakukan untuk
menghasilkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan, yaitu dilakukan dalam
tahap proses pembuatan kebijakan, yaitu:
1. Perumusan masalah
Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah dan
memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda. Perumusan
masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi tersembunyi, mendiagnosis
penyebabnya, memetakan tujuan yang memungkinkan, dan merancang peluang-
peluang kebijakan yang baru.
2. Peramalan
Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan
tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari diambilnya
alternatif kebijakan. Ini dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan. Peramalan dapat
menguji masa depan, mengestimasi akibat dari kebijakan yang diusulkan, dan
mengenali kendala-kendala yang mungkin terjadi.
3. Rekomendasi
Rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan
tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang
telah diestimasikan melalui peramalan. Ini membantu pengambil kebijakan pada
tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi mambantu mengestimasi tingkat risiko dan
ketidakpastian.
4. Pemantauan
Pemantauan menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan
tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini membantu pengambil
Universitas Indonesia
23
kebijakan pada tahap implementasi kebijakan. Pemantauan menemukan akibat-akibat
yang tidak diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan
rintangan implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggung jawab
pada setiap tahap kebijakan.
5. Evaluasi
Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang
ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang benar-benar
dihasilkan. Jadi ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan.
Evaluasi menghasilkan seberapa jauh masalah telah terselesaikan.
2.2.4 Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan
proses kebijakan pemerintah. Udoji dalam Wahab (1997, h. 59) dengan tegas
mengatakan bahwa :
” the execution of policies is as important if not more important than
policy making. Policy will remain dreams or blue prints file jackets
unless they are implemented “.
Menurut Udoji, pelaksanaan kebijakan adalah suatu hal yang penting, bahkan
mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan
akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip
kalau tidak diimplementasikan.
Sedangkan Lester (1996, h. 97) yang mengutip pendapat Anderson menyatakan
bahwa :
“ By implementation, we mean the stage of the policy process
immediately after the passage of a law. Implementation, viewed most
broadly, means administration of the law in which various actors,
organizations, procedures, and techniques work together to put
adopted policies into effect in an effort to attain policy or program
goals.”
Universitas Indonesia
24
Implementasi merupakan tahapan dalam proses kebijakan yang dilaksanakan setelah
berlakunya suatu hukum. Secara luas, implementasi berarti administrasi dari hukum
yang melibatkan berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik kerjasama untuk
menempatkan kebijakan dalam upaya untuk mencapai tujuan kebijakan itu sendiri.
Implementasi dapat dilihat sebagai proses, output, dan hasil.
Syukur dalam Sumaryadi (n.d, h. 85) mengemukakan adanya tiga unsur
penting dalam proses implementasi yaitu:
1. adanya program atau kebijaksanaan yang dilaksanakan
2. target group yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan
akan menerima manfaat dari program, perubahan atau peningkatan
3. unsur pelaksana (implementor) baik organisasi atau perorangan untuk bertanggung
jawab dalam memperoleh pelaksanaan dan pengawasan dari proses implementasi
tersebut.
Kendala- kendala dalam implementasi kebijakan dinamakan oleh Dunsire
sebagai implemetation gap yaitu suatu keadaan dalam proses kebijaksanaan selalu
terbuka untuk kemungkinan akan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan
(direncanakan) oleh pembuat kebijakan dengan apa yang senyatanya dicapai (sebagai
hasil atau prestasi dari pelaksanaan kebijaksanaan). Perbedaan tersebut bergantung
pada implementation capacity dari organisasi administrasi pemerintahan atau
kelompok organisasi/ aktor yang dipercaya mengemban tugas mengimplementasikan
kebijaksanaan tersebut. Implementation capacity adalah kemampuan aktor atau suatu
organisasi untuk melaksanakan keputusan kebijakan sedemikian rupa sehingga ada
jaminan bahwa tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen formal
kebijakan dapat tercapai.
Analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan
dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam menciptakan pengetahuan tentang proses
pembuatan kebijakan analisis kebijakan meneliti sebab, akibat dan kinerja kebijakan
dan proses publik. Pengetahuan tersebut betapa pun tetap tidak lengkap kecuali jika
hal tersebut disediakan kepada pengambil kebijakan dan publik terhadap siapa para
analis berkewajiban melayaninya. Hanya jika pengetahuan tentang kebijakan
Universitas Indonesia
25
dikaitkan dengan pengetahuan dalam proses kebijakan, anggota- anggota badan
eksekutif, legislatif dan yudikatif bersama dengan warga negara yang memiliki
peranan dalam keputusan- keputusan publik, dapat menggunakan hasil- hasil analisis
kebijakan untuk memperbaiki
proses pembuatan kebijakan dan kinerjanya. Karena efektifitas pembuatan kebijakan
tergantung pada akses terhadap stok pengetahuan yang tersedia, komunikasi dan
penggunaan analisis kebijakan menjadi penting sekali dalam praktik dan teori
pembuatan kebijakan publik.(Dunn, 2003, h.1)
Analisis terhadap proses implementasi kebijakan biasanya dilakukan melalui
pemantauan /monitoring. Pemantauan digunakan untuk memberikan informasi
tentang sebab dan akibat dari kebijakan publik. Karena memungkinkan analis
mendeskripsikan hubungan antara operasi program kebijakan dan hasilnya, maka
pemantauan merupakan sumber informasi utama tentang implementasi. Pemantauan
setidaknya memainkan empat fungsi dalam analisis kebijakan, masing- masing fungsi
akan diuraikan sebagai berikut:
1. Kepatuhan (compliance), pemantauan bermanfaat untuk menentukan apakah
tindakan dari para administrator program, staf dan pelaku lain sesuai dengan standar
dan prosesdur yang dibuat oleh para legislator, instansi pemerintah dan lembaga
profesional.
2. Pemeriksaan (auditing), pemantauan membantu menentukan apakah sumberdaya
dan pelayanan yang dimaksudkan untuk kelompok sasaran maupun konsumen
tertentu memang telah samapi kepada mereka.
3. Akuntansi, pemantauan menghasilkan informasi yang bermanfaat untuk melakukan
akuntansi atas perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi setelah dilaksanakannya
sejumlah kebijakan publik dari waktu ke waktu.
4. Eksplanasi, pemantauan juga menghimpun informasi yang dapat menjelaskan
mengapa hasil- hasil kebijakan publik dan program berbeda. (Dunn, 2003, h.509)
Setiap kebijakan pemerintah mengandung resiko kegagalan yang tinggi. Ada
dua kategori pengertian kegagalan kebijakan sebagaimana diungkap oleh Hogwood
dan Gunn (1986) yaitu non implementation atau tidak diimplementasikan dan
Universitas Indonesia
26
kategori unsuccessful implementation atau implentasi yang tidak berhasil. Non
Implementation berarti suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai rencana, mungkin
karena pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya tidak mau bekerja sama atau telah
bekerja sama tetapi tidak efisien, bekerja setengah hati atau tidak menguasai
permasalahan. Unsuccessful implementation atau implementasi yang tidak berhasil
biasanya terjadi manakala suatu kebijakan telah dilaksanakan sesuai rencana namun
mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan, kebijkan tersebut tidak
berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikenhendaki. Biasanya
kebijakan yang memiliki resiko gagal menurut Wahab disebabkan oleh faktor bad
execution atau pelaksanaannya yang jelek dan faktor bad policy atau kebijakannya
sendiri memang jelek atau bad luck, kebijakan tersebut memang bernasib jelek.
(Sumaryadi, n.d, h. 84).
2.2.5 Kebijakan Pajak
Kebijakan pajak adalah kebijakan fiskal dalam arti yang sempit. Kebijakan
fiskal dalam arti yang luas adalah kebijakan untuk mempengaruhi produksi
masyarakat, kesempatan kerja dan inflasi, dengan menggunakan instrumen
pemungutan pajak dan pengeluaran belanja negara (Mansury, 1999, h.1). Sementara
itu, pengertian kebijakan fiskal dalam arti sempit adalah kebijakan yang berhubungan
dengan penentuan apa yang akan dijadikan sebagai tax base, siapa-siapa yang
dikenakan pajak, siapa-siapa yang dikecualikan, bagaimana menentukan besarnya
pajak yang terutang dan bagaimana menentukan prosedur pelaksanaan kewajiban
pajak terutang.
Dengan demikian, berdasarkan definisi di atas, kebijakan penurunan tarif
maupun kebijakan pemerintah untuk menanggung Pajak Penghasilan (PPh) atas
penghasilan pekerja sampai dengan sebesar upah minimum regional (UMR) serat
kebijakan pemerintah untuk menanggung PPh atas penghasilan pekerja sampai
dengan sebesar satu juta rupiah merupakan contoh kebijakan fiskal dalam arti luas.
Sementara itu, contoh kebijakan fiskal dalam arti sempit, misalnya ketentuan
Universitas Indonesia
27
mengenai diperbolehkan penggunaan norma perhitungan penghasilan netto atau yang
dalam literatur disebut sebagai presumptive tax atau demmed profit.
Menurut Michael P. Devereux dalam Rosdiana dan Tarigan, isu-isu penting
dalam kebijakan pajak adalah sebagai berikut.
a. What should the tax base be : income, expenditure, or a hybrid?
b. What should the tax rate schedule be?
c. How should international income flows be taxed?
d. How should environmental taxes be designed?
Selain itu, kebijakan perpajakan dapat dirumuskan sebagai:
1. Suatu pilihan atau keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka
menunjang penerimaan negara, dan menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif.
2. Suatu tindakan pemerintah dalam rangka memungut pajak, guna memenuhi
kebutuhan dana untuk keperluan negara.
3. Suatu keputusan yang diambil pemerintah dalam rangka meningkatkan penerimaan
negara dari sektor pajak untuk digunakan menyelesaikan kebutuhan dana bagi negara.
(Marsuni, 2006, h.37)
Cobham menjelaskan bahwa ada empat tujuan yang harus dicapai dalam pembuatan
suatu kebijakan pajak, yaitu:
1. Revenue
Pendapatan merupakan tujuan yang paling jelasdan merupakan tujuan
langsung dari perpajakan, sehingga tujuan pembuatan suatu kebijakan pajak haruslah
dapat memberikan kontribusi pendapatan bagi negara.
2. Redistribution
Bertujuan agar memberikan suatu kalangan tertentu cara untuk mencapai
penghasilan sesuai yang dibutuhkan, dengan mengangkat masyarakatnya keluar dari
garis kemiskinan.
3. Representation
Merupakan keuntungan yang sangat potensial yang dipicu oleh sistem pajak
yang dapat berfungsi dengan baik.
4. Re-pricing economic alternatives
Universitas Indonesia
28
Sektor pajak merupakan alat utama bagi pemerintah untuk mempengaruhi
perilaku dari WP di negaranya.(Cobham, 2005, h.4)
2.2.6 Undang-Undang Pajak (Tax Laws)
Hukum pajak merupakan keseluruhan peraturan yang meliputi kewenangan
pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali
kepada masyarakat melalui kas negara. Oleh karena itu, hukum pajak merupakan
bagian dari hukum public, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara
dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak
(Brotodihardjo, 1998, h. 1). Mansury (1996, h. 1) mendefinisikan hukum pajak
sebagai keseluruhan peraturan yang meliputi kewenangan pemerintah untuk
mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat
dengan melalui kas negara.
Menurut lingkungannya, hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik,
selain dari hukum tata negara, hukum administratif dan hukum publik, tetapi
memiliki hubungan paling erat dengan hukum perdata. Hal ini disebabkan alasan-
alasan berikut.
a. Hukum pajak banyak menggunakan istilah hukum perdata.
b. Peristiwa-peristiwa dalam hukum perdata sering merupakan sasaran
dan objek dari perpajakan.
c. Hukum perdata merupakan hukum umum yang berlaku pula pada
hukum pajak, kecuali hukum publik menentukan lain.
Namun, ada pula pihak yang berpendapat bahwa hukum pajak berdiri sendiri,
yaitu dengan alasan sebagai berikut ini.
1) Hukum pajak memiliki tugas yang bersifat lain dari hukum administratif
pada umumnya.
2) Hukum pajak dapat digunakan dan berfungsi sebagai sarana untuk
pengembangan perekonomian negara.
3) Hukum pajak memiliki karakteristik yang bersifat spesifik dalam
mekanisme kerja.
Universitas Indonesia
29
Hukum pajak dibedakan menjadi dua, yaitu Hukum pajak material dan
Hukum pajak formal. Hukum pajak material mengatur ketentuan-ketentuan mengenai
siapa-siapa saja yang dikenakan pajak, siapa-siapa yang dikecualikan, apa-apa saja
yang dikenakan pajak dan apa-apa saja yang dikecualikan serta berapa besarnya pajak
yang terutang. Dengan demikian, dalam hukum pajak material diatur mengenai:
1) objek pajak, keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan, dan peristiwa hukum
yang dapat dikenakan pajak (objek pajak).
2) subjek pajak yaitu siapa saja yang dapat dikenakan pajak atau diwajibkan
melaksanakan kewajiban perpajakan (subyek pajak).
3) Besarnya pajak yang terutang (dasar pengenaan pajak dan tarif pajak).
Hukum pajak formal mengatur bagaimana mengimplementasikan hukum
pajak material, oleh karena itu dalam hukum pajak formal diatur mengenai prosedur
(tata cara) pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan serta sanksi-sanksi bagi yang
melanggar kewajiban perpajakan. Hukum pajak formal memuat bentuk dan cara-cara
dalam melaksanakan hukum pajak material, antara lain berupa:
1) tata cara pendaftaran wajib pajak;
2) kewajiban pembukuan, tata cara penyetoran pajak, tata cara pelaporan dan
lain-lain;
3) tata cara penetapan utang pajak, hapusnya utang pajak, cara penagihan
utang pajak;
4) prosedur pengajuan keberatan pajak, dan lain-lain;
5) sanksi dan hak serta kewajiban wajib pajak maupun pihak fiskus.
Undang-Undang Perpajakan adalah seperangkat peraturan perpajakan yang
terdiri dari undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya. Konsistensi dan
kejelasan antara Undang-Undang Perpajakan dengan peraturan dibawahnya haruslah
dijaga dengan baik agar tidak menimbulkan ambigu yang pada akhirnya akan
membingungkan wajib pajak. Ketidakjelasan peraturan akan menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak.
Apabila terjadi dispute (perselisihan atau perbedaan pendapat) antara wajib
pajak dan fiskus dalam menafsirkan suatu undang-undang, pendapat Prof. Dr. J.H.A.
Universitas Indonesia
30
Logemann dapat dijadikan sebagai pedoman. Urutan tentang cara-cara penafsiran itu
adalah:
4) penafsiran menurut Ilmu Tata Bahasa;
5) penafsiran menurut sejarah terjadinya hukum;
6) penafsiran menurut sejarah terjadinya undang-undang;
7) penafsiran secara sistematis;
8) penafsiran secara sosiologis;
9) penafsiran menurut analogi.
2.2.7 Administrasi Pajak (Tax Administration)
Administrasi Pajak dalam arti luas meliputi fungsi, sistem dan
organisasi/kelembagaan. Sebagai suatu sistem, kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia juga merupakan salah satu tolak ukur kinerja administrasi pajak.
Administrasi perpajakan memegang peranan yang sangat penting karena seharusnya
bukan saja sebagai perangkat laws enforcement, tetapi lebih penting dari itu, sebagai
Sevice Point yang memberikan pelayanan prima kepada masyarakat sekaligus pusat
informasi perpajakan. (Rosdiana, Tarigan, 2005, h.98)
Menurut Mansury (1996, h. 23), administrasi pajak mempunyai tiga
pengertian, yaitu:
a. Suatu instansi atau badan yang mempunyai wewenang dan tanggung
jawab untuk menyelesaikan penyelenggaraan pungutan pajak. Di
Indonesia organisasi atau badan yang menyelenggarakan pemungutan
pajak negara berada di bawah Departemen Keuangan, yaitu DJP, dan
Direktorat Jendral Bea dan Cukai.
b. Orang-orang yang terdiri dari pejabat dan pegawai yang bekerja pada
instansi perpajakan yang secara nyata melaksanakan kegiatan pemungutan
pajak.
c. Kegiatan penyelenggaraan pemungutan pajak oleh suatu instansi atau
badan yang ditatalaksanakan sedemikian rupa sehingga dapat mencapai
sasaran yang telah digariskan dalam kebijakan perpajakan.
Universitas Indonesia
31
Administrasi pajak dalam pelaksanaanya masih menghadapi banyak kendala.
Slemford dan Bakija menyebutkan beberapa kendala yang dihadapi oleh fiskus
sebagai pelaksana administrasi pajak dalam melaksanakan fungsinya, yaitu:
1. The absence of withholding and information reporting
2. Taxing individuals instead of taxing at the business level
3. Lack of incentives to comply
4. High tax rates
5. Deduction, credits, and exemption.
6. Trying to tax things that are easy to hide
7. Public perceptions of complexity and unfairness
8. Lack of documentation and low audit coverage. (Slemford, Bakija, 1996, h. 156)
Konsep administrasi perpajakan merupakan unsur pokok ketiga dari sistem
perpajakan. Konsep ini sangat penting karena berkaitan dengan aparat pajak sebagai
pemungut pajak dan wajib pajak sebagai pihak yang melaksanakan kewajiban
perpajakan serta berkaitan dengan penerimaan pajak sebagai wujud dari pemungutan
suatu pajak.
Menurut pendapat Moh. Zain dan Kustadi Arinta (1989, h.113) bahwa
administrasi perpajakan adalah instrumen yang efektif untuk merealisasikan
kebijakan perpajakan dan instrumen yang bertanggung jawab untuk mengelola dan
melaksanakan undang-undang perpajakan. Oleh karena itu, masalah aparat dan
instansi pajak merupakan tulang punggung dan memegang peranan penting dalam
pelaksanaannya. Dengan kata lain, bahwa masalah organisasi dari pengelola undang-
undang perpajakan tersebut memegang peran utama dan merupakan prioritas pertama
yang dipermasalahkan dalam administrasi perpajakan.
Berkaitan dengan administrasi perpajakan ini, dapat dilihat pendapat Daniel
W. Bromley (1998, h. 33) mengenai the policy process as a hierarchy yang saling
berhubungan, yaitu a policy level (tingkat kebijakan), an organizational level (tingkat
organisasional), and an operational level (tingkat operasional). Hal tersebut dapat
digambarkan pada bagan berikut ini.
Universitas Indonesia
32
Gambar 2.1Proses Kebijakan sebagai Hierarki
Sumber: Daniel Bromley, Economics Interests and Institutions : The Conceptual Foundations of Public Policy
Administrasi perpajakan merupakan faktor penting dalam penerimaan pajak,
sesuai dengan pendapat Nowak (1970) yang dikutip oleh Mansury (1996, h.24)
mengatakan bahwa:
Administrasi perpajakan merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan
kebijaksanaan perpajakan. Tugas administrasi perpajakan tidak membuat
The Policy Process as a Hierarchy
Policy Level
Institutional Arrangements
Organizational Level
Institutional Arrangements
Operational Level
Patterns of interaction
Outcomes
Assesment
Universitas Indonesia
33
kebijaksanaan atau memutuskan siapa-siapa yang dikenakan dan dikecualikan dari
pemungutan pajak, juga tidak menentukan objek pajak baru. Sebagai sarana
pelaksanaan undang-undang perpajakan, administrasi perpajakan perku disusun
dengan sebaik-baiknya, sehingga mampu menjadi instrumen yang bekerja secara
efektif dan efisien, sebab jika tidak efektif dan efisien, maka sasaran sistem
perpajakan tidak dapat dicapai.
Terselenggaranya administrasi perpajakan yang baik, menurut Mansury
(1996:24) dikatakan atas dasar-dasar, antara lain :
1. Kejelasan dan kesederhanaan dari ketentuan undang-undang yang
memudahkan bagi administrasi dan memberi kejelasan bagi wajib pajak.
2. kesederhanaan akan mengurangi penyelundupan pajak. Kesederhanaan
dimaksud baik dalam perumusan yuridis, yang memberikan kemudahan untuk
dipahami maupun kesederhanaan untuk dilaksanakan oleh aparat dan untuk
dipatuhi dalam memenuhi kewajiban pajaknya oleh wajib pajak.
3. Reformasi dalam bidang perpajakan yang realistis harus mempertimbangkan
kemudahan tercapainya efisiensi dan efektifitas administrasi perpajakan,
semenjak dirumuskannya kebijakan perpajakan.
4. Administrasi perpajakan yang efisien dan efektif perlu disusun dengan
mempertimbangkan penataan, pengumpulan, pengolahan dan pemanfaatan
informasi tentang subjek pajak dan objek pajak.
Kegiatan administrasi perpajakan merupakan suatu proses yang mencakup
semua kegiatan untuk melaksanakan berbagai fungsi administrasi perpajakan, seperti
mendaftarkan wajib pajak, menyediakan surat pemberitahuan pajak, mengeluarkan
surat ketetapan pajak, menagih pajak yang terutang, menyelesaikan sengketa dengan
wajib pajak, serta menghapuskan utang pajak. Administrasi perpajakan wajib
mengacu kepada hukum pajak positif, yaitu hukum pajak yang sedang berlaku.
Menurut Numantu, administrasi pajak memiliki dua pengertian yaitu dalam arti luas
dan dalam arti sempit. Administrasi pajak dalam arti luas dapat dilihat sebagai:
1. Fungsi, yakni:
Universitas Indonesia
34
a. melakukan fungsi perencanaan, yaitu merencanakan apa yang akan
dicapai fiskus, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
b. Melakukan fungsi pengorganisasian, yaitu mengelompokkan tugas,
tanggung jawab, wewenang dari para petugas sedemikian rupa
sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai secara efisien.
c. Melakukan fungsi penggerakkan, yaitu melaksanakan kegiatan yang
mempengaruhi pegawai untuk menjalankan tugasnya sebaik-baiknya
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam perencanaan.
d. Melakukan fungsi pengawasan, yaitu mengamati dan mengupayakan
agar apa yang dilakukan sesuai dengan yang direncanakan
sebelumnya.
2. Sistem, yaitu seperangkat unsur yang saling berkaitan, yang berfungsi
bersama-sama untuk mencapai tujuan atau menyelesaikan suatu tugas
tertentu.
3. Lembaga, yaitu suatu instansi yang berwenang dan tempat fiskus
melaksanakan kegiatan.
administrasi pajak dalam arti sempit adalah penatausahaan, dan pelayanan terhadap
kewajiban-kewajiban dan hak-hak wajib pajak, baik penatausahaan dan pelayanan
tersebut dilakukan di kantor fiskus maupun di kantor wajib pajak.
Administrasi perpajakan berperan penting dalam sistem perpajakan di suatu negara.
Suatu negara dapat dengan sukses mencapai sasaran yang diharapkan dalam
menghasilkan penerimaan pajak yang optimal dikarenakan administrasi
perpajakannya mampu dengan efektif melaksanakan sistem perpajakan di suatu
negara. Silvani menyebutkan bahwa administrasi pajak dikatakan efektif bila mampu
mengatasi masalah-masalah:
1. Wajib Pajak yang tidak terdaftar (unregistered taxpayers).
Dengan administrasi pajak yang efektif akan mampu mendeteksi dan
menindak dengan menerapkan sanksi tegas bagi masyarakat yang telah
memenuhi ketentuan menjadi Wajib Pajak
Universitas Indonesia
35
2. Wajib pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
Administrasi perpajakan efektif dapat mengetahui penyebab Wajib Pajak
tidak menyampaikan SPT melalui pemeriksaan pajak.
3. Penyelundupan pajak (tax evaders).
Penyelundup pajak, yaitu Wajib Pajak yang melaporkan pajak lebih kecil dari
yang seharusnya menurut ketentuan perundang-undangan akan lebih
terdeteksi dengan dukungan adanya bank data tentang Wajib Pajak dan
seluruh aktivitas usahanya sangat diperlukan.
4. Penunggak pajak (deliquent tax payers).
Upaya pencairan tunggakan pajak dilakukan melalui pelaksanaan tindakan
penagihan secara intensif dalam set administrasi pajak yang baik akan lebih
efektif melaksanakan upaya tersebut.
Pada dasarnya sasaran administrasi perpajakan yang baik adalah
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan dan
pelaksanaan ketentuan perpajakan secara seragam satau persepsi antara Wajib Pajak
dan fiskus dalam menilai suatu ketentuan untuk mendapatkan tingkat efisiensi yang
baik yaitu tercapainya penerimaan maksimal dengan biaya minimal. Untuk mencapai
hal tersebut, diisyaratkan beberapa kondisi administrasi perpajakan dalam suatu
negara, antara lain:
1. Administrasi pajak harus dapat mengamankan penerimaan negara.
2. Harus berdasarkan peraturan perundang-undangan dan transparan.
3. Dapat merealisasikan perpajakan yang sah dan adil sesuai ketentuan dan
menghilangkan kesewenang-wenangan, arogansi, dan perilaku yang
dipengaruhi kepentingan pribadi.
4. Dapat mencegah dan memberikan sanksi serta hukuman yang adil atas
ketidakjujuran dan pelanggaran serta penyimpangan.
5. Mampu menyelenggarakan sistem perpajakan yang efisien dan efektif.
6. Meningkatkan kepatuhan pembayar pajak.
7. Memberikan dukungan terhadap pertumbuhan dan pembangunan usaha bagi
masyarakat pembayar pajak.
Universitas Indonesia
36
8. Dapat memberikan kontribusi atas pertumbuhan semokrasi masyarakat.
2.2.8 Kepatuhan Perpajakan (tax compliance)
Kepatuhan perpajakan merupakan suatu hal yang juga diperlukan dalam
menciptakan administrasi perpajakan yang efisien dan efektif. Kepatuhan perpajakan
Wajib Pajak yang dikemukakan oleh Nowak dalam bukunya yang berjudul Tax
Administration In Theory and Practise dikatakan bahwa kepatuhan Wajib Pajak
merupakan suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan
yang dapat tercermin dalam situasi dimana:
1. Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
2. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
3. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar.
4. Membayar pajak yang terutang tapat pada waktunya.
Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif Wajib Pajak dalam
menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan Wajib Pajak yang tinggi
dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan kebenarannya.
Nurmantu dalam bukunya yang berjudul Pengantar Perpajakan mengatakan bahwa
kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak
memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Dapat
dikatakan bahwa administrasi perpajakan merupakan kunci bagi berhasilnya
pelaksanaan kebijakan perpajakan. Sebagai penyelenggaraan pemungutan pajak
berdasarkan undang-undang, administrasi perpajakan perlu disusun dengan sebaik-
baiknya sehingga mampu menjadi instrumen yang bekerja secara efisien dan efektif.
Administrasi pajak yang baik dapat tercipta apabila ada suatu sistem pengawasan
yang baik.
Universitas Indonesia
37
2.2.9 Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai
Salah satu jenis indirect consumption-based taxation yang saat ini menjadi
salah satu sumber penerimaan pajak yang signifikan di Indonesia dan di negara-
negara lainnya, yaitu pajak penjualan dan Value Added Tax (Pajak Pertambahan
Nilai).
1. Legal Character
Legal character dapat didefinisikan sebagai ciri-ciri atau nature dari suatu jenis
pajak. Pemahaman tentang feature atau nature dari suatu jenis pajak akan
menentukan atau memberikan konsekuensi bagaimana seharusnya pajak tersebut
harus dipungut. Dengan demikian, legislative structure dan interpretasi dari suatu
terminologi seharusnya dipandu oleh legal character. Berkaitan mengenai hal ini,
Terra (1988, h. 7) mengatakan sebagai berikut.
”Basically it means that the intrinsic nature of a tax should be the
guiding principle in determining its consequences and not just the
label, or the name of tax”
Legal character dari pajak penjualan dapat dideskripsikan sebagai pajak tidak
langsung atas konsumsi yang bersifat umum (general indirect tax on consumption).
a. General
Pajak penjualan merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat umum. Kata
general (umum) inilah yang membedakan dengan jenis pajak yang lainnya, yaitu
excise (di Indonesia seringkali disebut cukai). Sales tax bersifat general, sedangkan
excise bersifat spesific. Artinya, Pajak Penjualan dikenakan terhadap semua barang,
sedangkan excise hanya dikenakan terhadap barang-barang tertentu saja.
Pajak Penjualan ditujukan kepada semua private expenditure. Sebagai
konsekuensinya, tidak boleh ada diskriminasi atau pembedaan antara barang dan jasa
karena keduanya merupakan pengeluaran. Dengan kata lain, yang harus menjadi
objek pajak penjualan adalah barang dan juga jasa dan bukan hanya barang saja atau
jasa saja karena pengeluaran itu bisa dalam bentuk barang maupun jasa.
Universitas Indonesia
38
b. Indirect
Pajak penjualan merupakan pajak tidak langsung, sehingga beban pajaknya
dapat dialihkan, baik dalam bentuk forward shifting maupun backward shifting.
Dengan kata lain, tidak selalu harus konsumen yang memikul beban pajak penjualan
sepenuhnya atau seutuhnya, tetapi beban pajak ini bisa saja dipikul sebagian oleh
penjual dengan cara mengurangi keuntungan dan atau melakukan efisiensi.
c. On Consumption
Pajak penjualan merupakan pajak atas konsumsi, tanpa membedakan apakah
konsumsi tersebut digunakan/habis sekaligus ataupun digunakan/habis secara
bertahap/berangsur-angsur. Oleh karena itu, semua barang seharusnya menjadi objek
pajak penjualan, tanpa membeda-bedakan apakah barang tersebut merupakan barang
yang bergerak maupun barang yang tidak bergerak. Selain itu, karena pajak penjualan
merupakan pajak atas konsumsi, pengertian konsumsi juga meliputi barang tidak
berwujud.
Legal character VAT diadopsi oleh Indonesia yang menerapkannya sebagai
pengganti pajak penjualan. Gunadi menyebutkan bahwa karakteristik Pajak
Pertambahan Nilai adalah ciri khusus yang melekat dalam sistem Pajak Pertambahan
Nilai yang tidak dimiliki oleh sistem pajak yang lain. Karakteristik tersebut yaitu:
1. Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak tidak langsung.
Karakteristik ini membawa konsekuensi yuridis antara pemikul beban
pajak (destinataris pajak) dengan penanggung pajak atas pembayaran
pajak ke kas negara yang berada pada pihak yang berbeda.
2. Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak obyektif.
Yang dimaksud dengan pajak obyektif adalah suatu jenis pajak yang
timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor obyektif yang
dinamakan tatbestand. Sedangkan yang dimaksud tatbestand adalah
keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak.
Universitas Indonesia
39
3. Pajak Pertambahan Nilai merupakan multistage tax.
Karakteristik ini berarti bahwa yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
ialah setiap mata rantai jalur produksi dan distribusi. Tiap penyerahan
barang yang menjadi obyek pajak dari tingkat pabrikan sampai
pedagang besar dan pedagang eceran dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai.
4. Pajak Pertambahan Nilai menggunakan faktur pajak.
Untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai terutang maka setiap
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak Pengusaha Kena
Pajak yang bersangkutan mempunyai kewajiban untuk membuat faktur
pajak sebagai bukti telah dilaksanakannya pemungutan pajak.
5. Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak atas konsumsi dalam negeri.
Pajak Pertambahan Nilai hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan dalam negeri. Apabila
barang/jasa dikonsumsi di luar negeri maka atas BKP/JKP tersebut tidak
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Namun, setiap orang yang akan
melakukan pengeluaran untuk konsumsi di dalam negeri akan dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai, karena tujuan akhir Pajak Pertambahan Nilai
adalah pengenaan pajak atas konsumsi di dalam negeri (tax on
consumption expenditure).
2.2.10 Konsep Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai pada dasarnya merupakan Pajak Penjualan yang
dipungut atas dasar nilai tambah yang timbul pada semua jalur produksi dan
distribusi. Nilai tambah adalah semua faktor produksi yang timbul di setiap jalur
peredaran suatu barang seperti bunga, sewa, upah kerja, termasuk semua biaya untuk
mendapatkan laba. Pada setiap tahap produksi nilai produk dan harga jual produk
selalu terdapat nilai antara lain, yang utama karena setiap penjual menginginkan
Universitas Indonesia
40
adanya keuntungan sehingga dalam menentukan harag jual, harga perolehan
ditambah dengan laba bruto (mark up).
Pengertian Value Added, menurut Alan Tait (1988, h. 4) adalah sebagai
berikut.
”Value Added is the value that a producer (whether a manufacturer,
distributor, advertising agent, hairdresser, farmer, race horse trainer or
circus owner) adds to his raw material or purchases (other tha labor) before
selling the new or improved product or service. That is, the inputs (the raw
materials, transport, rent advertising and so on) are bought, people are paid
wages to work on these inputs and, when the final good and service is sold,
some profit is left. So value added can be looked at from the additive side
(wages plus profit) or from the substactive side (output minus inputs).”
Dari pengertian tersebut terlihat bahwa nilai tambah bersumber dari adanya
kegiatan ekonomi seperti terjadinya transaksi jual-beli, sewa, dan lain sebagainya.
Secara kalkulatif, nilai tambah akan mempengaruhi hasil akhir (harga jual) transaksi
barang dan jasa, yaitu dengan ditambahkannya nilai tambah pada harga perolehan.
Secara umum, nilai tambah dapat dirumuskan dengan dua persamaan
sebagaimana disampaikan oleh Tait, yaitu:
Jadi value added (pertambahan nilai) dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi
pertambahan nilai (upah and keuntungan), serta dari sisi selisih output dikurangi
input.
Sedangkan Aaron (1982, h. 14) mendefinisikan Added Value sebagai berikut:
”....Added value is the difference between the value of firm’s sales and the
value of the purchased material inputs in uses in producing goods sold. Value added
Nilai Tambah = Upah + Keuntungan
Nilai Tambah = Nilai output- Biaya input
Value Added = Wages + profits = output - input
Universitas Indonesia
41
is also equal to the sum of wages and salaries, interest payment, and profit before tax
earned by a firm.”
Dalam hal ini yang dimaksudkan sebagai nilai tambah adalah perbedaan nilai
penjualan dengan pembelian bahan material dalam memproduksi barang. Karena
yang menjadi dasar pengenaan pajak ini adalah value added (pertambahan nilai atau
nilai tambah), istilah atau terminologi yang digunakan adalah Value Added Tax
(Pajak Pertambahan Nilai). Smith dkk sebagaimana dikutip oleh Rosdiana dan
Tarigan (2005, h. 175), mendefinisikan Value Added Tax sebagai berikut.
“The VAT is a tax on the value added by a firm to its products in the course of
its operation. Value added can be viewed either as the difference between a
firm’s, sales, and its purchase during an accounting period or as the sum of
its wages, profits, rent, interest and other payments not subject to the tax
during that period.”
Sedangkan Ebrill dan kawan-kawan (2001, h. 2) mendefinisikan VAT sebagai
berikut.
”A broad based Tax levied on commodity sales up and including, at least, the
manufacturing stage, with systematic offsetting of tax charged on commodities
purchased as inputs-except perhaps on capital goods-against that due on outputs”.
Walaupun bernama Value Adeed Tax, namun VAT secara umum tidak selalu
dimaksudkan sebagai pajak yang dikenakan atas value added, tetapi lebih
dimaksudkan sebagai pajak atas konsumsi. Intinya adalah mengenakan pada semua
tahap produksi, tetapi dengan mekanisme yang memperbolehkan perusahaan untuk
mengurangkan pajak yang telah mereka bayar dalam rangka memperoleh barang dan
jasa untuk diserahkan lagi kepada pihak lain.
2.2.11 Kelebihan VAT
Menurut Rosdiana dan Tarigan (2005, h. 217), VAT memiliki kelebihan
yaitu:
Universitas Indonesia
42
1. Fiscal Advantages
Bagi pemerintah, terdapat beberapa keuntungan jika menerapkan VAT, yaitu
pertama, karena cakupannya yang luas yang meliputi seluruh jalur produksi dan
distribusi sehingga potensi pemajakannya juga besar, kedua, kerana sangat mudah
untuk menimbulkan value added di setiap jalur produksi dan distribusi sehingga
potensi pemajakannya semakin besar, terakhir, dengan menggunakan sistem invoice
(faktur pajak), lebih mudah untuk mengawasi pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh
wajib pajak serta mendeteksi adanya penyalahgunaan hak pengkreditan pajak
masukan.
2. Psychological Advantages
Karena pajak pada umumnya sudah dimasukkan ke dalam harga jual/harga
yang dibayar oleh konsumen, seringkali konsumen tidak menyadari bahwa dia sudah
membayar pajak. Hal ini berbeda dengan Pajak Penghasilan dimana pegawai,
misalnya merasakan langsung beban pajak tersebut karena langsung mengurangi gaji
yang diterimanya, sementara bila dia belanja di supermarket, karena dalam harga
sudah termasuk PPN, dia tidak merasakan langsung bahwa dia sudah membayar
pajak.
3. Economic Advantages
Keunggulan consumption-based taxation adalah netral terhadap pilihan
seseorang apakah akan saving terlebih dahulu ataukah langsung mengkonsumsi
penghasilan yang didapatkannya.
2.2.12 Mekanisme Pemungutan PPN
Menurut Ebril dan kawan-kawan (2001, h. 20), mekanisme pemungutan PPN
dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu:
a. Addition Method
Berdasarkan metode ini, PPN yang terutang dihitung dari penjumlahan
seluruh unsur nilai tambah dikalikan tarif PPN yang berlaku
b. Substraction Method
Universitas Indonesia
43
Berdasarkan metode ini, PPN yang terutang dihitung dari selisih antara
penjualan dengan harga pembelian kemudian dikalikan dengan tarif pajak yang
berlaku.
c. Credit Method
Metode ini hampir sama dengan substraction method,hanya bedanya dalam
credit method yang dicari bukan sekedar selisih antara harga jual dengan harga beli
melainkan selisih antara pajak yang dibayar pada saat pembelian dengan pajak yang
dipungut pada saat penjualan. Dengan kata lain, PPN yang terutang merupakan hasil
pengurangan antaraPPN yang dipungut oleh pengusaha pada saat melakukan
penjualan (PPN Keluaran) dengan PPN yang dibayar pada saat melakukan pembelian
(PPN Masukan). Metode ini lebih akurat dibandingkan dengan metode substraction
method yaitu apabila dalam harga beli terdapat unsur yang tidak terutang PPN.
2.2.13 Metode Penghitungan PPN
a. The Substractive - Direct Method
Metode ini juga dikenal dengan nama account method atau business transfer
tax. Pajak dihitung dengan cara mengurangi harga penjualan dengan harga pembelian
dan langsung dikalikan dengan tarif.
b. The Substractive - Indirect Methods (The Invoice or Credit)
Dalam metode ini pajak dihitung dengan cara mengurangkan selisih pajak
yang dipungut pada waktu penjualan (output tax) dengan jumlah pajak yang telah
dibayar pada waktu pembelian (input tax). Sehingga dalam metode indirect
substraction ini, yang dikurangkan adalah pajaknya. Oleh karena itu, metode ini
dikenal juga dengan metode kredit (credit method). Untuk mengetahui berapa pajak
yang telah dibayar dan atau dipungut harus ada dokumen yang dapat
membuktikannya. Tait mengatakan sebagaimana dikutip Haula Rosidana dan Rasin
Sales = xDeductible Purchases= (xx) –Tax Bases = xxxVAT = 10% x Tax Bases
Universitas Indonesia
44
Tarigan dalam bukunya: the invoice methods creates a good audit trail. Oleh karena
itu, dalam mengawasi penerapan metode kredit pajak, invoice atau faktur pajak
mempunyai peranan yang sangat vital dan karena itu pula metode indirect ini,
seringkali disebut juga metode faktur pajak (Invoice Method).
2.2.14 Saat dan TempatTerutang Pajak Pertambahan Nilai
Menurut Tait (1988, h. 390) suatu barang atau jasa akan menjadi terutang
PPN jika barang atau jasa tersebut dikonsumsi. Suatu negara memiliki kewenangan
untuk mengenakan PPN jika atas barang dan jasa tersebut dikonsumsi di dalam
wilayahnya. Jika suatu barang dan jasa dikonsumsi di luar wilayah negara yang
memproduksi barang dan jasa tersebut, maka negara tempat barang atau jasa tersebut
memproduksi tidak berhak untuk mengenakan PPN dan berlaku sebaliknya
(destination principle).
Sales = aOutput tax = a x 10%Purchases = bInput Tax = b x 10%VAT Liabilities = VAT Output – VAT Input
Universitas Indonesia
45
2.3 Kerangka Pemikiran
Penulis berangkat dari pemikiran bahwa di Indonesia, minyak dan gas gas bu
mi merupakan sektor yang sangat vital bagi masyarakat. Hal tersebut diatur dalam
pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemerintah juga membuat Undang-Undang yang
melandasi kegiatan sektor munyak dan gas bumi di Indonesia. Dasar hukumnya
adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Jika
ditinjau dari segi pajak, kegiatan sektor minyak dan gas bumi ini memberikan
sumbangan yang sangat besar bagi penerimaan pajak. Hal tersebut terjadi karena
sektor minyak dan gas bumi memiliki nilai transaksi yang sangat besar setiap
tahunnya dan hasilnya pun memiliki nilai yang sangat tinggi.
Dengan latar belakang tersebut, berbagai cara dilakukan pemerintah untuk
mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor migas, salah satunya penerimaan
terhadap Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dalam
hal ini, pemerintah turut serta mengamankan penerimaan Negara dari wajib pajak
yang belum mengerti secara jelas pelaksanaan pemungutan PPN yang baru berjalan
pada saat tax reform tahun 1983. Cara yang digunakan oleh pemerintah adalah
dengan menunjuk beberapa badan untuk memungut PPN dan PPnBM dari Wajib
Pajak. Salah satu pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPN adalah Kontraktor
Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi. Syukur mengemukakan
adanya tiga unsur penting dalam proses implementasi yaitu:
1. adanya program atau kebijaksanaan yang dilaksanakan
2. target group yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan
diharapkan akan menerima manfaat dari program, perubahan atau
peningkatan
3. unsur pelaksana (implementor) baik organisasi atau perorangan untuk
bertanggung jawab dalam memperoleh pelaksanaan dan pengawasan dari
proses implementasi tersebut.
Universitas Indonesia
46
Dengan demikian, kerangka berpikir penulis sesuai dengan teori tersebut. Peraturan
pelaksana mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan sudah diatur
pertama kali pada tahun 1986 melalui Keputusan Presiden. Selanjutnya berkembang
hingga perubahan terakhir yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
No.11/PMK.03/2005 dan Peraturan Menteri Keuangan No.73/PMK.03/2010. Dengan
adanya PMK 11 ini maka KKKS sebagai pemungut PPN menjalankan ketentuan
tersebut sebagai pemenuhan kewajiban perpajakannya. Dalam hal ini, beberapa pihak
yang terlibat dalam implementasi ketentuan tersebut diantaranya adalah KKKS
sebagai pemungut PPN, Rekanan dari KKKS yang melakukan transaksi atas barang
atau jasa yang dipungut PPN-nya, dan Pemerintah yakni Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) sebagai pihak dilapangan yang memabantu KKKS dan rekanan dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya. Ketiga pihak ini terlibat secara langsung
dalam pengimplementasian Peraturan Menteri Keuangan No.11/PMK.03/2005. Pada
April 2010, PMK 11 diubah dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan
No.73/PMK.03/2010 yang mulai berlaku pada April 2010. Oleh karena itu, penelitian
ini ditujukan untuk menganalisis latar belakang dikeluarkannya kebijakan pajak
melalui Peraturan Menteri Keuangan No.73/PMK.03/2010, bagaimana
pengimplementasian kebijakan tersebut bagi KKKS, dan alternatif kebijakan terbaik
yang seharusnya diberlakukan pada KKKS sebagai Pemungut PPN.
Universitas Indonesia
47
Gambar 2.2Kerangka Pemikiran
Sumber: olahan peneliti
Pemungut PPN
sebagai Target Group dalam proses implementasi
Kontraktor Kontrak Kerjsama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi
Minyak dan Gas Bumi sebagai sektor penting di Indonesia
Peraturan Pelaksana
Implementasi
Universitas Indonesia
48
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan peneliti adalah pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif didefinisikan sebagai sebuah proses penyelidikan untuk
memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan pada penciptaan
gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan
informan yang terperinci, dan disusun dalam sebuah latar yang alamiah. Hal ini
senada dengan pengertian pendekatan kualitatif menurut Creswell (1994, h. 11), yaitu
:
”In qualitative methods (approaches) the human and social sciences offer
several traditions. These tradition may be method types of data collection,
analysis, and reporting writing, or overall designs that include all phases in
the research process”
Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendukung hakikat hubungan peneliti-
responden dalam penelitian kualitatif, yaitu peneliti tidak mengambil jarak dengan
responden. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang
lain merupakan alat pengumpul data utama. Artinya, peneliti sendiri secara langsung
mengumpulkan informasi yang didapat dari subjek penelitian.
Alasan peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan pertimbangan
bahwa dalam membahas pokok permasalahan dalam skripsi ini, dengan membuat
gambaran atau deskripsi tentang implikasi perubahan ketentuan pemungut pajak
pertambahan nilai terhadap Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan
Gas Bumi. Dalam penelitian kualitatif ini pengumpuan data tidak dipandu oleh teori,
tetapi dipandu oleh fakta-fakta yang ditemukan pada saat penelitian di lapangan. Oleh
karena itu analisis data yang dilakukan bersifat induktif berdasarkan fakta-fakta yang
ditemukan untuk kemudian dianalisis dan di dapat kesimpulannya.
Universitas Indonesia
49
3.2 Jenis Penelitian
3.2.1 Berdasarkan Tujuan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah jenis penelitian deskriptif. Metode
Deskriptif mempelajari norma-norma atau standar-standar, dan juga membuat
gambaran mengenai situasi atau kejadian serta menerangkan hubungan, membuat
prediksi serta mendapatkan makna dan implikasi dari suatu masalah yang ingin
dipecahkan. Selain itu, penelitian deskriptif tidak terbatas pada pengumpulan data dan
penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti dari data itu,
menjadi suatu wacana dan konklusi dalam berpikir logis, praktis dan teoritis
(Surakhmad, 1982, h. 139). Jadi tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.
Dalam skripsi ini, penulis menggambarkan analisis perubahan ketentuan
pemungut pajak pertambahan nilai terhadap Kontraktor Kontrak Kerjasama
Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi.
3.2.2 Berdasarkan Manfaat Penelitian
Berdasarkan manfaat penelitian, penelitian ini merupakan bentuk penelitian murni.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Creswell (1994, h. 21) mengenai karakteristik
penelitian murni, yaitu:
1. Research problems and subjects are selected with a great deal of freedom.
2. Research is judged by absolute norm of scientific rigor, and the highest standards
of scholarship are sought.
3. The driving goal is to contribute to basic, theoretical knowledge.
Penelitian ini dilakukan dalam kerangka akademis dan lebih ditujukan untuk
pemenuhan kebutuhan peneliti, oleh sebab itu penelitian ini digolongkan dalam
penelitian murni jika dilihat dari manfaat penelitian.
Universitas Indonesia
50
3.2.3 Berdasarkan Dimensi Waktu
Berdasarkan dimensi waktu, penelitian ini merupakan jenis penelitian cross
sectional. Penelitian cross-sectional menurut Neuman (2000, h. 31) adalah ”in cross-
sectional research, researcher observe at one time. Hal ini disebabkan karena
penelitian ini hanya dilakukan pada satu waktu tertentu saja yaitu pada tahun 2011.
3. 3 Metode dan Strategi Penelitian
3.3.1 Jenis penelitian berdasarkan teknik pengumpulan data
Menurut Lofland dan Lofland sebagaimana dikutip oleh Moleong (2000, h.
157) dalam bukunya, sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata
dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.
Sebagai upaya untuk mengumpulkan data primer, data sekunder, serta
landasan teori yang diperlukan dalam analisis dan pembahasan masalah, peneliti
menggunakan metode pengumpulan data kepustakaan (library research) dan
pengumpulan data lapangan (field research).
1) Studi Kepustakaan (library research)
Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mencari kerangka referensi
dan landasan teori baik dalam buku-buku, peraturan-peraturan, majalah,
maupun jurnal-jurnal ilmiah yang relevan dengan ide penelitian termasuk dari
media internet yang kemudian menjadi dasar kriteria dalam membahas
masalah yang ditemukan dalam penelitian lapangan. Data yang dikumpulkan
dalam penelitian ini terdiri dari data kualitatif dan kuantitatif. Hal ini sejalan
dengan yang dikemukakan Neuman (1997, h. 30):
”The tehniques may be grouped into two categories: quantitative,
collecting data in the form of numbers, and qualitative, collecting data
in the form of words or picture.”
2) Studi Lapangan (field research)
Pengumpulan data di lapangan atau field research dilakukan untuk
mendapatkan data utama mengenai implikasi perubahan dari ketentuan
Universitas Indonesia
51
pemungut PPN terhadap KKKS. Cara yang ditempuh adalah dengan
mengadakan wawancara mendalam. Wawancara adalah metode pengumpulan
data dengan cara bertanya langsung dengan responden sehingga terdapat
proses interaksi antara pewawancara dengan responden. Wawancara
mendalam menggunakan instrumen penelitian berupa pedoman wawancara
dengan bentuk pertanyaannya adalah pertanyaan terbuka. Pertanyaan ini
nantinya akan dapat dikembangkan pada saat wawancara berlangsung. Bentuk
pertanyaan terbuka dipilih sebagai instrumen terbaik agar penulis memperoleh
jawaban yang jelas dan menyeluruh, dengan demikian tidak ada batasan
jawaban. Hal ini membuat informasi yang di dapat oleh peneliti akan lengkap
dan dapat menganalisis dengan baik.
3.3.2 Teknik Analisis data
Teknik analisa data yang digunakan adlam penelitian ini adalah anilsa data
kualitatif. Menurut Bogdan dan Biklen, sebagaimana dikutip oleh Moeleong (2005,
h.157) menyatakan bahwa analisis data kualitatif adalah:
“Upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milah dalam satuan yang dapat
dikelola, mensistesiskannya, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain”
Tidak semua temuan data yang diperoleh di lapangan dan literatur secara makro
berhubungan dengan tema ini akan digunakan untuk analisis hasil penelitian ini.
Hanya data, gambaran, maupun analisis yang sesuai yang akan digunakan pada
penelitian ini.
Peneliti menggunakan triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan
data. Dimana dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan
data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara
terhadap objek penelitian. Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik
yang berbeda yaitu wawancara, observasi dan dokumen (Nasution, 2003, h. 115).
Triangulasi ini selain digunakan untuk mengecek kebenaran data juga dilakukan
Universitas Indonesia
52
untuk memperkaya data. Menurut Nasution, selain itu triangulasi juga dapat berguna
untuk menyelidiki validitas tafsiran peneliti terhadap data, karena itu triangulasi
bersifat reflektif.
Denzin (dalam Moloeng, 2004), membedakan empat macam triangulasi diantaranya
dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Pada
penelitian ini, dari keempat macam triangulasi tersebut, peneliti hanya menggunakan
teknik pemeriksaan dengan memanfaatkan sumber. Triangulasi dengan sumber
artinya membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi
yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif .
Adapun untuk mencapai kepercayaan itu, maka ditempuh langkah sebagai berikut :
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang
dikatakan secara pribadi.
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan
pandangan masyarakat dari berbagai kelas.
5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
Dilihat dari sumber datanya, penelitian meta analisis dikategorikan penelitian
kepustakaan karena menggunakan laporan-laporan yang telah ada. Dilihat dari teknik
pengumplan datanya, penelitian menggunakan analisis isi (content analysis). Salah
satu ciri khas penelitian ini ialah sumber datanya adalah laporan/hasil penelitian dan
keterandalannya diukur dari sintesis dan analisisnya terhadap laporan-laporan
penelitian terdahulu (Merryana, 2006, h. 104).
3.4 Informan
Menurut Neuman (1997, h. 374) informan yang baik adalah:
1. Informan sangat akrab atau familiar, dan menyaksikan peristiwa
penting yang terkait dengan isu yang diangkat.
Universitas Indonesia
53
2. Informan tersebut terlibat langsung di lapangan dalam masalah yang
diteliti.
3. Informan memiliki waktu yang cukup untuk melakukan wawancara
(interaksi) dengan peneliti.
4. Informan sebaiknya tidak bersikap analitis (non analytic).
Dalam penelitian ini, studi lapangan dilakukan dengan wawancara mendalam
kepada pihak-pihak yang berkompeten seperti :
1. Bapak Sumarno, staff Direktorat Peraturan Perpajakan I (bidang
PPN industri), Direktorat Jendral Pajak.
2. Ibu Deviyana Arifin, Bapak Read, dan Ibu Triwati Wong sebagai
staff pajak yang menangani perpajakan pada salah satu Kontraktor
Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi (KKKS).
3. Pihak rekanan dari KKKS yang merupakan pihak yang
berhubungan langsung dengan KKKS terkait dengan ketentuan
atas Pajak Pertambahan Nilai.
4. Bapak Herdjuno Poernomo, selaku Kepala Sub Dinas Evaluasi
Kebijakan Pajak BP MIGAS.
3.5 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di beberapa tempat, yaitu: kantor
KKKS yang berada di wilayah Jakarta, Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak sebagai
pembuat kebijakan, dan Kantor Pelayanan Pajak tempat KKKS terdaftar untuk
melaksanakan kewajiban perpajakannya.
3.6 Batasan Penelitian
Menurut Umar (2004, h. 166) pembatasan penelitian penting untuk dilakukan
agar penelitian lebih fokus dan jelas. Hal ini sejalan dengan pemikirannya:
”Pembatasan masalah adalah usaha untuk menetapkan batasan-
batasan dari masalah riset yang akan berguna untuk mengidentifikasi
Universitas Indonesia
54
faktor-faktor mana saja yang aka dimasukkan ke dalam lingkup
masalah riset dan mana yang tidak. Dengan demikian, pembatasan
masalah akan memuat masalah riset menjadi fokus dan jelas,
sehingga rumusan masalah dapat dibuat dengan jelas pula”
Penelitian ini terbatas pada Peraturan Menteri Keuangan No.11/PMK.03/2005
dan Peraturan Menteri Keuangan No.73/PMK.03/2010 di bawah Undang-Undang
nomor 42 Tahun 2009. Penelitian ini menganalisis mengenai latar belakang
diubahnya Peraturan Menteri Keuangan, menganalisis implementasi yang
ditimbulkan sehubungan dengan adanya perubahan ketentuan Peraturan Menteri
Keuangan No.11/PMK.03/2005 menjadi Peraturan Menteri Keuangan
No.73/PMK.03/2010 bagi KKKS serta menganalisis kebijakan yang sebaiknya
diberlakukan bagi KKKS sebagai Pemungut PPN dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya di bidang PPN.
3.7 Keterbatasan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memiliki beberapa keterbatasan.
Peneliti melakukan studi lapangan terhadap sedikit pihak KKKS, karena beberapa
KKKS tidak bersedia untuk memberikan data mengingat bahwa biasanya KKKS
memiliki kebijakan yang sangat ketat terhadap kerahasiaan datanya. Hal inilah yang
menjadi kendala peneliti untuk secara maksimal memperoleh data khususnya data
keuangan sehingga penelitian ini hanya difokuskan kepada implikasi perubahan
ketentuan atas Pemungut PPN, dalam hal ini adalah KKKS.
Universitas Indonesia
55
BAB IV
KETENTUAN PERPAJAKAN TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
4.1 Objek Pajak Pertambahan Nilai
Di dalam kerangka teori telah dijelaskan bahwa Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) merupakan pajak obyektif. Yang dimaksud dengan pajak obyektif adalah suatu
jenis pajak yang timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor obyektif yang
dinamakan tatbestand. Sedangkan yang dimaksud tatbestand adalah keadaan,
peristiwa, atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak. Selain itu, PPN juga
termasuk dalam pajak tidak langsung, sehingga beban pajak dapat dialihkan kepada
pihak lain yang dalam hal ini adalah konsumen. Dengan demikian yang menanggung
beban pajak adalah kkonsumen akhir dari barang atau jasa tanpa memandang
bagaimana kemampuan konsumen tersebut. Di dalam mekanisme PPN, yang
diperhatikan adalah Objek Pajak bukan Subjek Pajak. Oleh karena itu, Objek PPN
harus dipahami secara jelas dan menyeluruh.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Objek Pajak diatur
dalam pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut:
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
Universitas Indonesia
56
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Pasal 4 tersebut menyebutkan apa saja yang menjadi daftar objek pajak PPN,
sehingga diluar daftar tersebut bukan merupakan objek PPN. Terdapat berbagai
istilah yang terkandung dalam pasal 4 tersebut. Untuk dapat memahami maka dapat
dilihat dari pasal 1 tentang pengertian dasar kata-kata yang terdapat dalam UU PPN.
Istilah-istilah tersebut antara lain:
1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,
perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona
Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-
Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
2. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa
barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
3. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
Undang ini.
4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena
Pajak.
5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang
karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
6. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke
dalam Daerah Pabean.
Universitas Indonesia
57
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah
setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean.
11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan
Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
Kata penyerahan Barang Kena Pajak juga memiliki makna yang sangat luas.
Setiap terjadi transaksi pasti terjadi penyerahan barang, tetapi yang dimaksud dengan
penyerahan Barang Kena Pajak diatur dalam Pasal 1A ayat (1) sebagai berikut:
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
b. pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau
perjanjian sewa guna usaha (leasing);
c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru
lelang;
d. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cumacuma atas Barang Kena Pajak;
e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan;
f. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau
penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
g. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
h. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka
perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang
penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak
yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
Selain itu disampaikan juga daftar mengenai pengertian yang tidak termasuk dalam
penyerahan Barang Kena Pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 1A ayat (2), sebagai
berikut:
Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
Universitas Indonesia
58
a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
c. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat
pajak terutang;
d. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak
yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah
Pengusaha Kena Pajak; dan
e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan,
dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
Dengan melihat Pasal 1A ayat (1) dan (2) dan Pasal 4 terlihat jelas bahwa semua
penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang tidak ada di ayat (2) akan
dikenakan PPN. Tetapi dalam UU PPN juga dilakukan pengecualian dengan
Peraturan Pemerintah mungkin untuk tidak dipungut pajak terutang sebagaimana
diatur Pasal 16B sebagai berikut:
(1) Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari
pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah
Pabean;
b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena
Pajak tertentu;
c. impor Barang Kena Pajak tertentu;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Universitas Indonesia
59
(2) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau
perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak
Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.
(3) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau
perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.
4.2 Subyek Pajak Pertambahan Nilai
Subyek PPN menurut UU PPN dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Ketentuan UU PPN Pasal 1 angka 15 menyatakan bahwa:
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
PKP tidak termasuk Pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk
dikukuhkan sebagai PKP.
Ketentuan yang mengatur bahwa subyek PPN harus PKP terdapat dalam
pasal 4 huruf a, huruf c, dan huruf f, serta pasal 16D UU PPN, Pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000. dari pasal-pasal tersebut
dapat disimpulkan bahwa:
a. Melakukan penyerahan BKP atau JKP yang dapat dikenakan PPN
adalah PKP dan Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan
sebagai PKP.
b. Mengekspor BKP yang dapat dikenakan PPN adalah PKP.
c. Menyerahkan aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
adalah PKP.
d. Bentuk kerjasama operasi yang apabila menyerahkan BKP dan atau
JKP dapat dikenakan PPN adalah PKP.
Universitas Indonesia
60
2. Bukan Pengusaha Kena Pajak
Untuk lebih memahami mengenai subyek PPN maka kita harus melihat
pengertian dari pengusaha yang tercantum dalam pasal 1 angka 14 yang menyebutkan
bahwa pengusaha adalah:
Orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan
barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa
termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah
Pabean.
Subyek PPN tidak harus PKP, dalam hal ini pengusaha yang bukan
merupakan PKP pun dapat menjadi subyek PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 4
Huruf b dan huruf e serta pasal 16C UU PPN. Berdasarkan pasal tersebut, yang
dikenakan PPN adalah:
- Siapapun yang mengimpor BKP (Pasal 4 huruf b).
- Siapapun yang membangun sendiri tidak dalam kegiatan usaha
atau pekerjaan.
- Siapapun yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan atau
JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Dalam memahami subyek pajak maka harus dipahami mengenai definisi
pengusaha yang diatur dalam Pasal 1 angka 14 UU PPN. Pengusaha adalah
Orang pribadi atau Badan yang dalam kegiatan usahanya
menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud
dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, memanfaatkan jasa
dari luar Daerah Pabean.
Dalam Pasal 1 angka 13 UU PPN istilah ”badan” dirumuskan sebagai
sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah
Universitas Indonesia
61
dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
4.3 Saat Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai
Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU PPN, terutangnya pajak terjadi pada saat:
a. penyerahan Barang Kena Pajak;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
h. ekspor Jasa Kena Pajak.
Berdasarkan ketentuan Pasal 11 di atas, saat terutangnya pajak terjadi apabila
salah satu dari peristiwa seperti yang telah tertulis tersebut terpenuhi. Jika
pembayaran dilakukan sebelum penyerahan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak
atau Pemanfaatan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak maka ketentuannya
mengacu pada Pasal 11 ayat (2) yang berisi:
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau
sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan
sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada
saat pembayaran.
pasal 11 ayat (2) di atas dengan tegas menetapkan saat pembayaran merupakan saat
terutangnya PPN jika pembayaran terjadi sebelum peristiwa yang menyebabkan
terutangnya PPN itu terjadi yaitu penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan
Jasa Kena Pajak. Dalam Pasal 11 ayat (4) diatur mengenai saat terutangnya pajak
yang sukar ditentukan. Pasal 11 ayat (4) berisi sebagai berikut:
Universitas Indonesia
62
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat
terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan
atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan
ketidakadilan.
Dengan adanya pasal-pasal yang mengatur mengenai ketentuan saat
terutangnya Pajak Pertambahan Nilai, sudah jelas bahwa Undang-Undang PPN
berusaha memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak sehingga Wajib Pajak
tidak memiliki keraguan dan berusaha meminimalisasi asas uncertainty.
Selain bendaharawan pemerintah, badan atau instansi pemerintah yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan, UU PPN juga mengatur setidaknya ada tiga pihak
yang wajib memungut, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang, yaitu dalam
Pasal 3A, yang menyebutkan bahwa:
(1) Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan
huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib
memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
(1a) Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan/atau yang
memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib
Universitas Indonesia
63
memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai
yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
Selain itu, defnisi pemungut PPN terdapat dalam Pasal 1 angka 27 UU PPN.
Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa:
”Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara
pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan
melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak
atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi
pemerintah tersebut.”
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai melalui Pemungut PPN diatur dalam
Pasal 16 A Undang-Undang PPN yang berisi:
(1) Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau
penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai.
(2) Tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak oleh Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Dari pasal 16 A UU PPN tersebut, memiliki makna sebagai berikut:
1. Instansi Pemerintah dan Badan-Badan terentu ditunjuk sebagai Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai;
2. Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, wajib membuat
Faktur Pajak;
3. Pajak yang telah dipungut tersebut kemudian disetorkan ke Kas Negara
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama Pengusaha Kena Pajak
Universitas Indonesia
64
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, dan
kemudian melaporkan pemungutan dan penyetoran tersebut ke Direktorat
Jenderal Pajak dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak;
4. Surat Setoran Pajak tersebut diserahkan kepada Pengusaha Kena Pajak
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
sebagai bukti bahwa ia telah menyetorkan pajak yang terutang ke kas
negara.
4.4 Sejarah Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai oleh Pemungut
Keberadaan Pemungut Pajak Pertambahan Nilai pada awalnya hanya diatur
melalui Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1986 yang berlaku mulai 1 April 1986
tentang Penunjukkan Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) untuk Memungut dan
Menyetorkan PPN yang dibayarkan oleh Pemerintah atas Penyerahan BKP dan atau
JKP dari PKP Rekanan Pemerintah. Sebagai aturan pelaksana Keppres tersebut
adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 565/KMK/04/1986 tentang
Penatausahaan dan Pertanggungjawaban PPN dan PPnBM yang dibayar
Bendaharawan.
Pada tahun 1988 diadakan perluasan penunjukkan pihak sebagai Pemungut
PPN dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988 tentang
Penunjukkan Badan-Badan Tertentu dan Bendaharawan Untuk Memungut dan
Menyetor Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Keppres ini pada awalnya diberlakukan dengan pertimbangan untuk pengamanan
penerimaan negara, serta untuk memberikan pembinaan dalam rangka peningkatan
kepatuhan para Pengusaha Kena Pajak untuk memasukkan Surat Pemberitahuan
Masa PPN dengan tertib dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakannya. Oleh
karena itu, pemerintah memandang perlu adanya kebijakan yang menunjuk Badan-
Badan Tertentu dan Bendaharawan sebagai Pemungut dan Penyetor PPN dan PPnBM
yang terutang oleh PKP.
Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988 menetapkan Kantor
Perbendaharaan Negara, Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Tingkat I
Universitas Indonesia
65
maupun Tingkat II, Pertamina, Kontaktor-Kontraktor Bagi Hasil dan Kontrak Karya
di Bidang Minyak dan Gas Bumi dan Pertambangan Umum Lainnya, Badan Usaha
Milik Negara dan Daerah, Bank Pemerintah, dan Bank Pembangunan Daerah sebagai
Pemungut dan Penyetor PPN dan PPnBM yang terutang oleh PKP yang melakukan
penyerahan BKP dan atau JKP. Dalam Keppres tersebut dijelaskan lebih lanjut bahwa
pelaksanaannya diatur oleh Menteri Keuangan.
Dalam pelaksanaannya, diterbitkan tiga Keputusan Menteri Keuangan sebagai
peraturan pelaksana Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988 tersebut. Keputusan
Menteri Keuangan tersebut terdiri dari:
a. KMK 1287/KMK.04/1988 tanggal 23 Desember 1988 tentang Tata cara
Pemungutan dan Pelaporan PPN & PPnBM oleh Bendaharawan sebagai
Pemungut. Dalam KMK ini pasal yang berisi tentang saat pemungutan
PPN dijelaskan bahwa:
- Pemungutan pajak dilakukan pada saat pembayaran dengan cara
pemotongan langsung dari tagihan Pengusaha Kena Pajak Rekanan
Pemerintah.
- Penyetoran PPN & PPnBM yang terutang dilakukan selambat-
lambatnya 10 hari setelah bulan terjadinya pembayaran tagihan.
b. KMK 188/KMK.04/1988 tanggal 23 Desember 1988 tentang Tata Cara
Pemungutan dan Pelaporan PPN & PPnBM oleh KPN sebagai Pemungut.
Dalam KMK ini pasal yang berisi tentang saat pemungutan PPN
dijelaskan bahwa:
- PPN dan atau PPnBM atas penyerahan BKP dan JKP yang terutang
oleh PKP Rekanan Pemerintah dipungut oleh KPN yang melakukan
pembayaran kepada PKP Rekanan Pemerintah
- Pemungutan PPN dilakukan pada saat pembayaran, dengan cara
pemotongan langsung dari tagihan rekanan pada Surat Perintah
Membayar (SPM) yang terkait.
c. KMK 1289/KMK.04/1988 tanggal 23 Desember 1988 tentang Tata Cara
Pemungutan dan Pelaporan PPN & PPnBM oleh Badan-Badan Tertentu
Universitas Indonesia
66
sebagai Pemungut. Dalam KMK ini pasal yang berisi tentang saat
pemungutan PPN dijelaskan bahwa:
- Pemungutan pajak dilakukan pada saat pembayaran dengan cara
pemotongan langsung dari tagihan Pengusaha Kena Pajak Rekanan
Pemerintah.
- Penyetoran PPN & PPnBM yang terutang dilakukan selambat-
lambatnya pada hari ke-sepuluh setelah bulan terjadinya
pembayaran tagihan.
Pada tahun 1994 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai mengalami
perubahan yang pertama melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 yaitu
perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.di dalam perubahan
ini, ketentuan mengenai Pemungut PPN diatur dalam Pasal 16A.
Jika dilihat sebelumnya, ketentuan yang mengatur mengenai Pemungut PPN
ini hanya diatur melalui Keputusan Presiden No.56 tahun 1988 dan Keputusan
Presiden No.9 tahun 1986. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sumarno pihak
DJP tanggal 31 Mei 2001, Pemerintah merasa perlu memasukan aturan Pemungut
PPN ini di dalam Undang-Undang karena jika hanya melalui Keputusan Presiden
tidaklah terlalu kuat, jadi payung hukumnya ditambah melalui Undang-Undang PPN
yang memuat aturan mengenai Pemungut PPN.
Undang-Undang No.11 tahun 1994 ini mulai berlaku pada awal tahun 1995.
Selama masa berlakunya hingga tahun 2000 belum ada peraturan pelaksana yang
mengatur mengenai tatacara pelaksanaan Undang-Undang ini. Dengan demikian,
aturan pelaksananya masih mengikuti aturan sebelumnya yaitu KMK
1287/KMK.04/1988, KMK 1288/KMK.04/1988, KMK 1289/KMK.04/1988.
Pada tahun 2000, terdapat perubahan Undang-Undang PPN yang kedua
melalui UU No.18 Tahun 2000. Dalam hal ini, Pemerintah juga mengeluarkan
peraturan pelaksana pengganti sebagai penyesuaian dari adanya pasal 16A UU No.11
Tahun 1994. Ada 3 perturan pelaksana yang menjadi dasar bagi pemungut PPN
Universitas Indonesia
67
dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Peraturan pelaksana tersebut antara
lain:
1. KMK Nomor 547/KMK.04/2000 tentang Penunjukan Bendaharawan Pemerintah,
Badan-Badan Tertentu, dan Instansi Pemerintah Tertentu Untuk Menungut,
Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah. Dalam KMK ini, pasal 1 menyebutkan bahwa:
(a) Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara, Bendaharawan Pemerintah Pusat
dan Daerah baik Propinsi, Kabupaten atau Kota, Pertamina, Kontraktor
Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya di bidang Minyak, Gas Bumi, Panas
Bumi dan Pertambangan Umum lainnya, Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah, Bank Milik Negara, Bank Milik Daerah dan Bank
Indonesia, ditetapkan sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
(b) Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
yang melakukan pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau
Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak wajib memungut, menyetor, dan
melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak.
(c) Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Propinsi maupun
Kabupaten atau Kota yang melakukan pembayaran melalui Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara atau Bank Milik Daerah wajib melaporkan
Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang
terutang oleh Pengusaha Kena Pajak, yang telah dipungut oleh Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara atau Bank Milik Daerah dimaksud.
2. KMK Nomor 548/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan
Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh
Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut.
Dalam hal ini, diatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa
Universitas Indonesia
68
Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah yang pembayarannya
melalui Bendaharawan Pemerintah, dipungut, disetor dan dilaporkan oleh
Bendaharawan Pemerintah atas nama Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah.
Pemungutan PPN dan PPnBM dilakukan pada saat pembayaran dengan cara
pemotongan secara langsung dari tagihan Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah.
Sedangkan penyetorannya dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah bulan
terjadinya pembayaran tagihan. Untuk pelopran dilakukan paling lambat 14 (empat
belas) hari setelah bulan dilakukan pembayaran atas tagihan.
3. KMK Nomor 549/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan
Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh
Badan-Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam KMK ini yang dimaksud dengan Badan-Badan Tertentu yaitu
PERTAMINA, Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya di bidang minyak,
gas bumi, panas bumi, dan Pertambangan Umum lainnya, Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah termasuk Bank Pemerintah dan Bank Daerah,
dan Bank Indonesia. Pemungutan atas PPN dan PPnBM yang dilakukan oleh Badan-
Badan Tertentu dilakukan dengan cara pemotongan secara langsung dari pembayaran
atas tagihan rekanan. Sedangkan untuk penyetoran PPN dan PPnBM dilakukan paling
lambat 15 (lima belas) hari setelah bulan terjadinya pembayaran tagihan. Untuk
pelaporan dilakukan paling lambat pada hari ke 20 (dua puluh) setelah bulan
dilakukan pembayaran atas tagihan rekanan.
Pada intinya, ketiga Keputusan Menteri Keuangan tersebut sebagai peraturan
pelaksana yang memperbaharui dan mengakomodir peraturan pelaksana yang lama
karena peraturan pelaksana yang lama mengacu kepada Keputusan Presiden. Sesuai
dengan wawancara dengan Bapak Sumarno, Staff Direktorat Peraturan Perpajakan I
Direktorat Jenderal Pajak, beliau mengatakan
” Tahun 2000 itu keluar tiga KMK. Ada KMK No. 547,548, dan 549
tahun 2000. Intinya kalau KMK 547 itu yang pertama ya, itu intinya
yang ditunjuk dalam KMK 1289 yang sebelumnya tetap ditunjuk
sebagai pemungut PPN. KMK 547 ini cuma pernunjukannya saja,
Universitas Indonesia
69
kemudian tata caranya diatur di KMK 548 dan KMK 549, 548 untuk
Bendaharawan dan KPKN, utuk yang 549 itu untuk selain
Bendaharawan Pemerintah berarti kaya kontraktor-kontraktor bagi
hasil”
Peraturan pelaksana melalui KMK Nomor 547, 548, dan 549 berjalan hingga
tahun 2003. Pada tanggal 1 Januari 2003, berlaku KMK Nomor 563/KMK.03/2003
tentang Penunjukan Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas
Negara untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan
Pelaporannya. Munculya Keputusan Menteri Keuangan ini sebagai suatu tanda bahwa
Pemerintah menentukan kembali pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPN dan
PPnBM. Dalam hal ini, yang ditunjuk sebagai pemungut PPN dan PPnBM hanyalah
Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara. Selain itu,
bukan merupakan pihak yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN. Bapak Sumarno pun
dalam wawancara menegaskan :
“Tahun 20003 itu keluar KMK No. 563, di KMK 563 ini yang
ditunjuk sebagai pemungut PPN Cuma bendaharawan dan KPKN.
KMK 563 ini secara otomatis mencabut KMK 547,548 dan 549
sehingga semua kontraktor bagi hasil dan pertambangan tidak ada
yang ditunjuk sebagai pemungut PPN.”
4.5 Gambaran Umum Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi (KKKS)
4.5.1 Kegiatan Usaha Hulu Migas Dilakukan Melalui Kontrak Kerja Sama
Kegiatan hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia berlandaskan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 33 yang berarti negara
tetap memiliki kepemilikan (ownership) sumber daya migas. Atas dasar hal tersebut
maka disusunlah Undang-Undang sebagai dasar kegiatan di bidang minyak dan gas
bumi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 (UU Migas
22/2001).
Universitas Indonesia
70
Pertambangan migas di Indonesia dilakukan oleh para kontraktor bagi hasil
yang melakukan eksplorasi dan produksi minyak di wilayah hokum pertambangan
Republik Indonesia berdasarkan suatu Kontrak Bagi Hasil yang disebut Production
Sharing Contract (PSC). Banyak sekali definisi mengenai istilah-istilah dalam bidang
minyak dan gas bumi yang menurut peneliti perlu diketahui. Di dalam UU Migas
22/2001, definisi mengenai minyak bumi dan gas bumi diatur dalam pasal 1 ayat 1
dan 2.
1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi
tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin
mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi
tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang
diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas
Bumi.
2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi
tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses
penambangan Minyak dan Gas Bumi.
Terdapat 2 jenis kegiatan yang dilakukan di bidang minyak dan gas bumi.
Kegiatan tersebut diatur dalam pasal 5 yang menyebutkan bahwa:
1. Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup :
a. Eksplorasi;
b. Eksploitasi.
2. Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup :
a. Pengolahan;
b. Pengangkutan;
c. Penyimpanan;
d. Niaga.
KKKS yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN dalam hal ini melakukan
kegiatan usaha hulu. Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan
atau bertumpu pada kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi. Definisi mengenai
eksplorasi dan ekspolitasi diatur dalam pasal 1 ayat 8 dan 9.
Universitas Indonesia
71
1. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai
kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan
Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan.
2. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan
Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas
pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan,
penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan
Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.
Definisi mengenai Kontrak Kerjsama sendiri diatur dalam pasal 1 ayat 19.
Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja
sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih
menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Terkait dengan sistem Kontrak Bagi Hasil (Profit Sharing Contract), terdapat
Badan Pelaksana yang berfungsi sebagai badan yang mengendalikan kegiatan usaha
hulu. Definiai mengenai Badan Pelaksana diatur dalam ayat 23.
Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan
pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi.
KKKS melakukan kegiatan hulu dimana kegiatan tersebut dilaksanakan dan
dikendalikan melalui Kontrak Kerjasama. Terkait dengan syarat-syarat dalam
melakukan Kontrak Kerjasama, diatur dalam pasal 6 yang berisi:
(1) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1
dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 19.
(2) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit
memuat persyaratan :
a. kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik
penyerahan;
b. pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana;
Universitas Indonesia
72
c. modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha
Tetap.
Penentuan subyek yang dapat melaksanakan kegiatan usaha hulu dan hilir
disebutkan dalam pasal 9 ayat 1 dan 2:
(1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh :
a. badan usaha milik negara;
b. badan usaha milik daerah;
c. koperasi; usaha kecil;
d. badan usaha swasta.
(2) Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu.
KKKS menjalankan kegiatan di bidang kegiatan usaha hulu karena hanya
melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Dalam bab IV UU Migas 22/2001 diatur secara
jelas mengenai kegiatan usaha hulu. Dalam membuat Kontrak Kerjasama yang
diakukan oleh Pemerintah dan KKKS terdapat beberapa ketentuan yang wajib
dimuat. Hal in diatur dalam pasal 11 ayat 3 yang berisi sebagai berikut.
Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memuat paling
sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu :
a. penerimaan negara;
b. Wilayah Kerja dan pengembaliannya;
c. kewajiban pengeluaran dana;
d. perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi;
e. jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;
f. penyelesaian perselisihan;
g. kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan
dalam negeri;
h. berakhirnya kontrak;
i. kewajiban pascaoperasi pertambangan;
j. keselamatan dan kesehatan kerja;
k. pengelolaan lingkungan hidup;
Universitas Indonesia
73
l. pengalihan hak dan kewajiban;
m. pelaporan yang diperlukan;
n. rencana pengembangan lapangan;
o. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
p. pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat;
q. pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
4.5.2 Kewajiban DMO dalam Kontrak Kerja Sama
Dalam peraturan awal, beberapa kontrak yang ditandatangani sebelum tahun
1997 tidak mewajibkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama untuk menyerahkan sebagian
dari bagi hasil minyaknya untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Hal ini diubah
pada kontrak-kontrak setelah tahun 1977 dn sudah merupakan syarat untuk kontrak
yang mewajibkan sebagian produksi untuk pemenuhan kebutuhan domestik (domestic
market obligtion/DMO). Mikesell dalam Machmud (2000, h. 85) mengatakan
”kontraktor menyetujui untuk memberikan porsi dari bagian minyaknya untuk
diserahkan kepada pasar domestik berdasarkan rasio dari total produksi minyak
mentah di Indonesia dikalikan dengan jumlah minyak yang dikonsumsi di Indonesia,
dengan batas paling banyak 25% dari bagian minyak mentah milik kontraktor dari
wilayah kontrak. Harga dari minyak mentah yang dijual kepada pasar domestik harus
berada di bawah 20c perbarelnya.” Kewajiban DMO dalam setiap generasi PSC dapat
dilihat dalam bagan berikut:
Universitas Indonesia
74
Gambar 4.1Kewajiban DMO Dalam Setiap Generasi Kontrak Bagi Hasil
Sumber: PricewaterhouseCoopers, Oil and Gas in Indonesia: Investment and Taxation Guide (diolah peneliti)
Universitas Indonesia
Kontrak Bagi Hasil
Generasi I1965-1975
Generasi II1976-1988
Generasi III1988-
sekarang
Generasi IV 1995
(Indonesia \timur)
Generasi V Kontrak Baru
Pasca UU 22/2001
Kontrak Baru (2008-
sekarang
0.20 c/bbl 100% harga ICP untuk 1 tahun pertama
100% harga ICP untuk 60 bulan pertama
Selanjutnya 1,20 c/bbl
Sela njutnya 10% harga ICP
Selanjutnya 25% harga ICP
100% harga ICP untuk 60 bulan pertama
100% harga ICP untuk 60 bulan pertama
Selanjutnya 25% harga ICP
Selanjutnya 25% harga ICP
100% harga ICP untuk 60 bulan pertama
75
Dalam perhitungan bagi hasil dalam Kontrak Bagi Hasil, setelah blok berproduksi
selama 60 bulan diperhitungkan kewajiban DMO yang harus diserahkan oleh
Kontraktor Kontrak Kerja Sama kepada Pemerintah dan kewajiban Pemerintah untuk
membayar DMO fee yang harus dibayarkan kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama
terkait dengan penyerahan minyak mentah DMO tersebut. Termasuk perhitungan
pajak (government tax entitlement) terkait dengan pendapatan minyak dan gas bumi
yang merupakan bagian kontraktor kontrak kerja sama.
4.5.3 Kontraktor Kontrak Kerja Sama sebagai Wajib Pajak Badan
Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan 267/KMK.012/1978
tentang tata cara penghitungan dan pembayaran pajak perseroan dan pajak atas
bunga, dividen dan royalti yang terutang oleh kontraktor yang melakukan kontrak
kerja sama (kontrak bagi hasil) di bidang minyak dan gas bumi dengan perusahaan
pertambangan minyak dan gas bumi negara (pertamina) menjadikan kontraktor yang
melakukan kontrak kerja sama minyak dan gas bumi merupakan subjek pajak
perseroan dan pajak atas bunga, dividen, dan royalti.
Dalam kontrak kerja sama, klausul yang mengatur tentang kewajiban
perpajakan kontraktor terdapat dalam section V dengan rumusan sebagai berikut:
Contractor shall… severally be subject to and pay to the Government
ofthe Republic of Indonesia the income tax including the final tax of
profit after tax deduction if applicable, imposed on it pursuant to
applicable Income Tax Law comply with the requirements of the tax
law in particular with respects to filling of returns, assessment of tax,
and keeping and showing of books and records.(Draft Kontrak Bagi
Hasil BP Migas )
Undang-undang No.22 tahun 2001 tentang migas Pasal 31 menyebutkan
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu
wajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan penerimaan Negara
Bukan Pajak, yang terdiri atas pajak-pajak; bea masuk, dan pungutan lain atas impor
dan cukai; pajak daerah dan retribusi daerah.\
Universitas Indonesia
76
4.5.4 Pengaruh Kebijakan Ring-fence
Di semua negara yang industri perminyakannya maju, perlakuan pajaknya
selalu menganut kebijakan ring-fence (Surahmat, 2007, h. 117). Di Indonesia
kebijakan ring-fence ini tertuang dalam PP No. 35 tahun 1994 yang menyatakan
“kepada kontraktor diberikan satu wilayah kerja”. Kebijakan ring-fence mengatur
satu wilayah kerja untuk satu entitas, dan apabila suatu perusahaan minyak
mempunyai beberapa wilayah kerja maka harus dibentuk suatu badan hukum yang
berbeda untuk setiap wilayah kerja. Kebijakan ring-fence kembali diperjelas dalam
UU Migas 22/2001 pasal 13 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:
(1) Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu)
Wilayah Kerja.
(2) Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa
Wilayah Kerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap Wilayah
Kerja.
Tujuan dari kebijakan Ring-fence adalah untuk mencegah terjadinya
konsolidasi baik dalam hal biaya-biaya untuk tujuan recovery of operating cost
maupun untuk perhitungan Pajak Penghasilan Badan (tax consolidation) antar
wilayah kerja yang dioperasikan oleh satu perusahaan, yang apabila terjadi
konsolidasi diantara keduanya maka akan merugikan negara. Kebijakan Ringfence ini
penting untuk melindungi penerimaan negara terutama jika saat mulainya eksplorasi
dari keduanya tidak bersamaan. Perlakuan perpajakan dalam setiap wilayah kerja
dihitung secara terpisah baik yang menyangkut penghasilan maupun biayanya.
Dengan perlakuan demikian, maka masalah BUT yang timbul dari kegiatan
memberikan support pada kegiatan eksplorasi dapat dihindarkan.
4.5.5 Bentuk Badan Usaha Kontraktor Kontrak Kerja Sama
Dalam mengusahakan pertambangan minyak dan gas di Indonesia, khususnya
kegiatan usaha hulu yang mencakup eksploitasi dan eksplorasi, bentuk badan usaha
kontraktor kontrak kerja sama dapat berbentuk Perseroan Terbatas (PT) maupun
Bentuk Usaha Tetap (BUT). Kontraktor KKS dengan bentuk PT merupakan
Universitas Indonesia
77
kontraktor kontrak kerja sama yang badan hukumnya 100% dimiliki dan didirikan
oleh Perusahaan Nasional sebagai Perusahaan Induk; kontraktor kontrak kerja sama
yang merupakan suatu badan hukum yang dimiliki oleh Perusahaan Campuran antara
Perusahaan Asing dengan Perusahaan Nasional; atau kontraktor kontrak kerja sama
yang merupakan suatu badan hukum yang dimiliki oleh Perusahaan Asing.
Sedangkan kontraktor kontrak kerja sama yang berbentuk Bentuk Usaha
Tetap yang badan hukumnya 100% dimiliki dan didirikan oleh Perusahaan Asing
sebagai Perusahaan Induk; atau Kontraktor kontrak kerja sama yang merupakan suatu
badan hukum yang 100% dimiliki dan didirikan oleh Perusahaan Nasional yang
mempunyai badan hukum di luar negeri sebagai Perusahaan Induk. Undangundang
no. 22 tahun 2001 hanya memperbolehkan kontraktor kontrak kerja sama yang
berbentuk BUT untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu.
4.5.6 Komponen Perhitungan Bagi Hasil Produksi Minyak dan Gas Bumi
Perhitungan bagi hasil antara Pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama
(KKKS) berbeda-beda tergantung dari kontrak. Di Indonesia perhitungan bagi hasil
pemerintah/KKKS biasanya sebesar 85%/15% untuk minyak mentah. Gambaran pola
perhitungan bagi hasil sesuai dengan kontrak kerja sama (kontrak bagi hasil) dapat
dilihat pada gambar 4.2:
4.5.6.1 Gross Revenue
Setelah ditemukan cadangan minyak, maka kontraktor kontrak kerja sama
akan mulai berproduksi secara komersial. Pada masa ini KKKS mulai berproduksi
melakukan pengangkatan (lifting) minyak mentah. Gross Revenues dari kontraktor
didapat dari total lifting minyak mentah. Lifting dalam bentuk barel minyak mentah
akan dijual berdasarkan Indonesian Crude Price (ICP).
4.5.6.2 First Trance Petroleum
Gross revenue tersebut akan dikurangkan dengan First Tranch
Petroleum/FTP yang besarnya ditentukan dalam kontrak umumnya 20% atau
Universitas Indonesia
78
persentase tertentu dari gross revenues atau lain sesuai kontrak yang akan dibagi
antar pemerintah dan kontraktor, atau hanya merupakan bagian pemerintah saja.
4.5.6.3 Total Recoverable Cost
Total lifting minyak mentah (gross revenue) setelah FTP dari operasi kontrak
kerja sama yang telah berproduksi secara komersial tadi akan dikurangi dengan Total
Recoverable yang berupa:
a. Investment Credit
Adalah suatu insentif yang diberikan kepada KKKS pada saat akan mulai berproduksi
untuk membangun fasilitas produksi dalam bentuk investment credit yaitu suatu
persentase tertentu atas biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membangun fasilitas
produksi tersebut yang dapat diperhitungkan oleh kontraktor bagi hasil sebagai
bagian dari cost recoverable. Umumnya investment credit besarnya adalah 20% atau
17% dari capital investment untuk biaya pengembangan, transportasi, dan fasilitas
produksi. Pola bagi hasil PSC dapat dicontohkan dengan jumlah sebagai berikut.
Universitas Indonesia
79
Gambar 4.2Pola Bagi hasil PSC
Sumber: http://www.tax.gov.kh
b. Cost Recovery
Cost recovery pada dasarnya merupakan penggantian atas biaya yang
merupakan pengeluaran tahun yang bersangkutan (current year operating cost)
maupun penggantian atas biaya melalui mekanisme depresiasi yang merupakan
pengeluaran tahun sebelumnya yang dikapitalisasikan (depreciation-current and pior
year-asset).
Biaya yang dapat dipulihkan (di-recover) adalah biaya-biaya yang merupakan
operating cost. Sesuai dengan prinsip keberhasilan (successful effort), operating cost
baru dapat dipulihkan apabila KKKS yang bersangkutan telah berhasil menemukan
Universitas Indonesia
80
cadangan migas yang layak dieksploitasi secara komersial, dan seluruh biaya operasi
KKKS sebelum produksi dapat pula dipulihkan secara bertahap dari hasil
produksinya sampai dengan semua biaya tersebut habis dipulihkan dengan tidak
memperhatikan waktu carry forward loss (kompensasi rugi) sebagaimana dalam
ketentuan perpajakan.
4.5.6.4 Equity To Be Split
Jika dari perhitungan Gross Profit dikurangi dengan FTP dan total Cost
Recoverable (biaya-biaya telah terpulihkan seluruhnya/fully recovered) akan
didapatkan Equity to be split atau bagian lifting minyak yang siap dibagikan. Jumlah
minyak ini kemudian dibagikan kepada pemerintah dan KKKS sesuai dengan
komposisi persentase bagi hasil yang diatur dalam kontrak (grossed up split),
biasanya 73,2143% untuk pemerintah dan 26,7857% untuk KKKS.
Dalam perhitungan bagi hasil dalam kontrak kerja sama ini juga
diperhitungkan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) yang harus
diserahkan oleh KKKS kepada Pemerintah dan kewajiban Pemerintah untuk
membayar DMO fee yang harus dibayarkan Pemerintah kepada KKKS terkait dengan
penyerahan minyak mentah DMO tersebut. Termasuk perhitungan pajak terkait
dengan pendapatan minyak dan gas bumi yang merupakan bagian KKKS.
4.6 Penetapan Harga Minyak Mentah Indonesia
Dalam kontrak kerja sama, hasil produksi dibagi secara in kind yaitu dalam
bentuk barel minyak. Penetapan harga minyak merupakan hal yang sangat penting
mengingat berapa besar harga minyak berpengaruh untuk menghitung cost recovery,
penghasilan, dan pajak. Walaupun ketentuan dalam kontrak menyebutkan berbeda-
beda, tetapi Kontrak Kerja Sama secara umum menetapkan bahwa semua minyak
mentah untuk perhitungan cost recovery dan pajak adalah harga menurut Indonesian
Crude Price (ICP). (Madjedi , 2001)
ICP menjadi harga patokan minyak Indonesia yang ditetapkan oleh
Pemerintah setiap bulannya. Penetapan harga minyak mentah adalah suatu harga atas
Universitas Indonesia
81
penjualan minyak mentah yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan
harga minyak mentah jenis tertentu di pasar global. Dalam perhitungan bagi hasil,
ICP akan didasarkan atas harga rata-rata tertimbang (ICP Weighted Average Price).
Formula perhitungan harga rata-rata tertimbang, didapat dari sumber yang kompeten
dalam perdagangan minyak internasional, antara lain: Platts, RIM, dan APPI. Harga
ICP ditetapkan per bulan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia
Harga minyak mentah sebagaimana harga komoditi yang lainnya berfluktuasi
sesuai dengan situasi dan kondisi pasar minyak itu sendiri. Parameter yang
mempengaruhi harga minyak ada yang bersifat fundamental (dipengaruhi oleh hukum
permintaan dan penawaran artinya apabila penawaran meningkat tetapi permintaan
tetap maka harga cenderung menurun, dan sebaliknya) dan nonfundamental
(perubahan cuaca/musim, situasi geopolitik, kondisi stok/cadangan crude/produk dari
Negara-negara konsumen utama dunia/OECD, sentimen pasar yang biasanya
dipermainkan oleh para spekulan).
Universitas Indonesia
82
BAB V
ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BAGI KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA
PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI
5.1 Latar Belakang Diubahnya Peraturan Menteri Keuangan Mengenai Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Terhadap Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi pada Tahun 2010
Seperti yang telah dijelaskan dalam latar belakang masalah dan gambaran
mengenai ketentuan Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005
yang berlaku dari tahun 2005 hingga 2010 telah diubah dengan ketentuan baru
melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010. Perubahan ini
memberikan pengaruh yang baru terhadap kewajiban perpajakan bagi Pemungut PPN
khususnya Kontraktor Kontrak Bagi Hasil Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi.
Perubahan PMK ini pasti diawali dengan peraturan sebelumnya. Jadi perubahan
terhadap peraturan pelaksana ini sudah beberapa kali dalam hal status sebagai
Pemungut PPN maupun tata cara pelaksanaan.
Mengingat bahwa analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
teknik triangulasi, maka peneliti terlebih dahulu melihat dan membandingkan dengan
seluruh data relevan yang telah dikumpulkan selama proses turun lapangan dengan
penelitian yang memiliki topik sejenis. Beberapa tesis dan skripsi telah menjadi
bahan bagi peneliti untuk melakukan teknik triangulasi. Dalam hal ini skripsi dan
tesis yang digunakan sebagai dasar meta analisis adalah penelitian yang
menggunakan topik sejenis yaitu mengenaiPemungut PPN.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003 dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005, saat ini Pemungut PPN yang
ditunjuk oleh pemerintah adalah Bendaharawan Pemerintah, Kantor Perbendaharaan
dan Kas Negara, dan Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas
Bumi.
Universitas Indonesia
83
Sistem pemungutan PPN melalui Pemungut PPN merupakan sebuah sistem
modifikasi yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangka memungut PPN.
Sistem ini pada dasarmya berbeda dengan sistem pemungutan pada umumnya. Sistem
pemungutan PPN berdasarkan mekanisme umun yang berlaku memiliki mekanisme
sebagai berikut.
Gambar 5.1Mekanisme Umum Pemungutan PPN
Sumber: Olahan peneliti
Dalam mekanisme pemungutan PPN yang umum berlaku, terdapat dua pihak yang
terlibat. Pihak tersebut terdiri dari pemungut pajak dan pembayar pajak. Sebagai
penjual Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP), PKP melakukan
pemungutan PPN atas BKP atau JKP yang diserahkan kepada pembeli atau penerima
jasa. Dengan demikian, pembeli atau penerima BKP atau JKP merupakan pihak yang
memikul beban pajak yang dikenakan dalam transaksi tersebut. Sebagai pemungut
atas PPN yang dibayarkan oleh pembeli/penerima jasa, PKP melakukan penyetoran
dan pelaporan kepada negara. Dengan demikian, PKP memiliki tanggung jawab
untuk memungut, menyetor dan melaporkan PPN yang telah dibayarkan
pembeli/penerima jasa kepada negara.
Pengusaha Kena Pajak
Negara
Pembeli/ Penerima Jasa
BKP/JKP
PPN
Bertanggung Jawab atas PPN yang
Dipungut
Pemikul Beban Pajak
PPN
Universitas Indonesia
84
Di Indonesia, Pemerintah memodifikasi mekanisme tersebut dengan
ditunjuknya beberapa pihak sebagai Pemungut PPN meskipun statusnya adalah
pembeli atau penerima jasa. Mekanisme pemungutan PPN melalui Pemungut PPN
dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 5.2Mekanisme Pemungutan PPN melalui Pemungut PPN
Sumber: Olahan peneliti
Dalam mekanisme pemungutan PPN melalui Pemungut PPN, alur mekanisme
pemungutan PPN pada umumnya menjadi terbalik. Pembeli/penerima jasa dalam hal
ini yang ditunjuk sebagai pihak pemungut PPN oleh pemerintah memikul beban
pajak dan sekaligus bertanggung jawab atas pemungutan, penyetoran, dan pelaporan
kepada negara. Artinya, ketika pembeli/penerima jasa melakukan pembelian BKP
atau JKP kepada PKP, maka pembeli/penerima jasa tersebut tidak membayarkan PPN
yang terutang kepada PKP melainkan menyimpan PPN tersebut dan nantinya PPN
tersebut disetorkan kepada negara.
Dalam tesis yang ditulis oleh Senny Tussytha, FISIP UI tahun 2006, disebutkan
bahwa mekanisme pemungutan PPN oleh Pemungut PPN ini dikritisi banyak pihak
sebagai penyimpangan mekanisme PPN itu sendiri, dimana pihak yang menerima
Pengusaha Kena Pajak
Negara
Pembeli/ Penerima Jasa
BKP/JKP
Pemikul Beban Pajak dan Bertanggung Jawab atas PPN yang Dipungut
PPN
Universitas Indonesia
85
BKP atau JKP justru yang memungut PPN. Namun demi kepentingan pengamanan
penerimaan negara kebijakan tersebut perlu diambil. Selain itu alasan lain yang
menjadi dasar adalah penerapan PPN pada awalnya disadari memerlukan alat atau
mekanisme pengawasan yang baik agar dapat dicapai tujuannya, karena belum
adanya mekanisme pengawasan yang baik dan masih rendahnya kepatuhan PKP
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, maka pemerintah melalui instansinya
berfungsi sebagai pengawas dan juga pemungut.
Dalam perkembangan selanjutnya, menurut analisis Senny Tussytha, terjadi
banyak distorsi dan inefensiensi dalam mekanisme pemungutan PPN oleh Pemungut.
Salah satu yang paling menonjol adalah keterlambatan pemungut dalam melakukan
kewajibannya, misalnya untuk menyetor dan melaporkan pajak yang telah
dipungutnya. Hal ini selain berdampak pada terganggunya aliran penerimaan pajak ke
kas negara, tetapi juga berakibat berkurangnya penerimaan pajak karena PKP
Rekanan pemerintah melakukan restitusi karena lebih bayar. Jika melihat masalah
restitusi yang dilakukan oleh PKP Rekanan, maka perlu ditinjau sebab-sebab yang
mempengaruhi ada atau tidaknya restitusi. Ada tiga transaksi yang menyebabkan
adanya lebih bayar yang kemudian berimbas dengan adanya permohonan restitusi:
1. PKP melakukan penyerahan kepada Pemungut PPN. Dalam hal ini status PKP
adalah rekanan dari Pemungut
2. PKP melakukan penyerahan barang namun mendapatkan fasilitas PPN tidak
dipungut.
3. PKP melakukan ekspor. Dalam hal ekspor, tarif yang berlaku adalah 0%
sehingga PKP memiliki Pajak Masukan yang lebih besar dari Pajak Keluaran.
Hal tersebut yang menjadi penyebab adanya lebih bayar dari PKP.
Menurut penjelasan Bapak Sumarno, staff Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal
Pajak melalui wawancara mendalam pada tanggal 31 Mei 2011, restitusi timbul
ketika adanya 3 kejadian tersebut.
” Bagi vendor sebagai PKP dalam mekanisme umum ketika dia
melakukan penjualan dan pembelian otomatis Pajak Keluarannya akan
Universitas Indonesia
86
selalu lebih besar karena Pajak Keluarannya yang lebih besar
menunjukkan bahwa vendor ini memiliki margin keuntungan. Dalam
Pajak Keluaran tersebut terdapat unsur laba.”
Latar belakang penunjukkan Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan
Minyak dan Gas Bumi (KKKS) sebagai Pemungut PPN adalah karena adanya sistem
Kontrak Bagi Hasil yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka mengelola
sektor minyak dan gas bumi. Berikut adalah pernyataan dari Bapak Sumarno selaku
Staff Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak.
”Bisnis pengeboran minyak itu ciri-cirinya padat modal.
Reimbursement yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan dalam
rangka PSC atau kontrak bagi hasil. Syarat untuk memperoleh
reimbursment atau pengembalian (PMK Nomor 64/PMK.02/2005)
salah satu syaratnya yaitu diajukan ke BP Migas, setelah semua selesai
BP Migas mengajukan ke Dirjen Anggaran, setelah selesai baru
kemudian diajukan ke Dirjen Perbendaharaan yang nantinya akan
dicairkan. Syarat penting untuk mendapatkan reimbursment yaitu
harus ada SSP.”
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.02/2005 dijelaskan
mengenai definisi dari Kontrak Kerja Sama dalam pasal 1. PMK tersebut
menyebutkan bahwa:
“Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk Kontrak
Kerja Sama lain dalam kegiatan.eksplorasi dan ekploitasi yang lebih
menguntungkan Negara Republik Indonesia dan hasilnya
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Di dalam pasal 3 PMK No.64/PMK.02.2005 juga menjelaskan syarat-syarat
yang harus dipenuhi dalam memperoleh pembayaran kembali. Untuk memperoleh
pembayaran kembali PPN dan atau PPnBM, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap
dalam hal ini KKKS wajib menyampaikan permohonan kepada Badan Pelaksana.
Permohonan yang disampaikan oleh KKKS wajib dilengkapi dengan:
Universitas Indonesia
87
a. Surat permohonan pembayaran kembali PPN dan atau PPnBM dengan
mencantumkan:
1) Nomor dan tanggal Invoice;
2) Jumlah pembayaran kembali PPN dan atau PPn BM yang diajukan;
3) Nama bank, nama pemegang rekening dan nomor rekening Badan
Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan;
4) Daftar rekapitulasi Faktur Pajak atau dokumen lain yang diperlakukan
sebagai Faktur Pajak untuk masing-masing Kantor Pelyanan Pajak
dimana Rekanan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
b. Dokumen Perpajakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku, yaitu:
1) Untuk pengadaan Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP)
dimana jumlah pembayarannya lebih besar dari Rp10.000.000,- (sepuluh
juta rupiah) (termasuk PPN dan PPnBM) yaitu:
(i) Surat Setoran Pajak (SSP) Asli ( lembar ke-5) atau fotocopy
yang diberi cap dan tandatangan kantor penerima pembayaran untuk
SSP elektronik;
(ii) Faktur Pajak Asli atau dokumen lain yang diperlakukan sebagai
Faktur Pajak yang sudah dibubuhi cap.
Dengan adanya syarat mengenai keberadaan Surat Setoran Pajak (SSP)
tersebut, maka secara tidak langsung KKKS memerlukan SSP guna memperoleh
reimbursement dari Pemerintah. Jika menggunakan mekanisme umum pemungutan
PPN, maka SSP akan berada pada pihak PKP Rekanan. Dalam hal ini, KKKS pasti
mengajukan permintaan SSP tersebut kepada PKP Rekanan guna memenuhi syarat
dalam mengajukan reimbursement. Masih menurut Bapak Sumarno,
” Ketika terjadi mekanisme biasa (pemungut PPN pada umumnya) di
saat kontraktor membeli barang kepada vendor otomatis kontraktor
tidak memiliki SSP karena SSP dipegang oleh vendor. Padahal salah
Universitas Indonesia
88
satu syarat untuk reimbursement adalah harus ada SSP sehingga
kontraktor harus meminta SSP tersebut kepada vendor.”
Berikut adalah skema mekanisme KKKS dalam rangka mengajukan
reimbursement kepada Pemerintah apabila menggunakan mekanisme pemungutan
PPN pada umumnya.
Gambar 5.3Mekanisme Pengumpulan SSP oleh KKKS Tanpa Status Pemungut PPN
Sumber: Olahan peneliti
Apabila menggunakan mekanisme pemungutan PPN pada umumnya, alur yang
terjadi dapat di ilustrasikan sebagai berikut:
KKKS melakukan pembelian BKP atau JKP dari PKP. Dalam hal menerima
pembayaran harga perolehan, maka PKP bertindak sebagai pemungut PPN yang
dibayarkan oleh KKKS. Ketika KKKS membayar PPN kepada PKP, maka KKKS
akan mendapatkan bukti potong yang berasal dari PKP. Bukti potong ini nantinya
akan menjadi Pajak Masukan apabila dalam mekanisme pemungutan PPN secara
umum. Selanjutnya, PPN yang dipungut oleh PKP nantinya akan disetorkan ke kas
negara. Ketika menyetorkan kepada kas negara, maka PKP akan mendapatkan SSP
yang merupakan surat bukti bahwa PKP telah menyetorkan PPN yang dipungut dari
KKKS.
Jika dilihat dari sistem kontrak yang digunakan oleh pihak KKKS dengan
pemerintah, maka sistem yang digunakan adalah Kontrak Bagi Hasil. Dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.02/2005 menyebutkan bahwa semua
Penyerahan BKP dan atau JKP
Negara
PPN
PPNPKP KKKS
SSP
SSP
SSP sebagai syarat reimbursement
reimbursement
Universitas Indonesia
89
PPN yang dibayar oleh KKKS kepada PKP akan dikembalikan kepada KKKS atau
disebut reimburse. Sepertu yang disampaikan oleh Bapak Sumarno, bahwa yang
menjadi syarat untuk memperoleh reimbursement adalah dengan adanya SSP. Jika
menggunakan mekanisme pemungutan PPN pada umumnya, maka dipastikan pihak
KKKS harus meminta SSP kepada PKP yang melakukan penjualan BKP atau JKP.
Menurut Bapak Sumarno:
” Ya kalo bayarnya lancar. Bagaimana jika tidak dibayarkan oleh
vendor (PKP) kepada negara, kontraktor kan jadi repot untuk
mendapatkan reimburse.”
Berdasarkan pertimbangan tersebut, pemerintah memodifikasi mekanisme
pemungutan PPN dengan cara menunjuk KKKS sebagai pihak pemungut PPN.
Dalam mekanisme pemungutan PPN melalui pemungut, maka alur yang terjadi untuk
mendapatkan SSP bagi KKKS dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut.
Gambar 5.4Mekanisme Pengumpulan SSP oleh KKKS melalui Status Pemungut PPN
Sumber: Olahan peneliti
Dengan adanya mekanisme pemungutan PPN melalui Pemungut, pemerintah
berusaha memberikan kemudahan kepada KKKS dalam rangka mendapatkan SSP.
Dengan demikian, KKKS dapat dengan mudah memperoleh haknya dalam
mengajukan reimbursement kepada pemerintah. Dapat disimpulkan bahwa upaya
pemerintah tersebut menambah kewajiban KKKS dalam bidang perpajakan. Namun,
bertambahnya kewajiban tersebut diimbangi dengan kemudahan KKKS dalam
memperoleh haknya.
Penyerahan BKP dan atau JKP
Negara
PPN
PKP KKKS
SSP
SSP sebagai syarat reimbursement
reimbursement
Universitas Indonesia
90
Dalam sejarah penunjukkan pihak-pihak sebagai Pemungut PPN, dapat
diketahui bahwa KKKS pernah tidak ditunjuk sebagai Pemungut PPN pada tahun
2003-2005. Dalam hal ini, KKKS mengalami hambatan dalam mengajukan
permohonan restitusi kepada Badan Pelaksana yaitu Badan Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS). Hambatan tersebut terjadi karena
KKKS harus mengajukan permohonan permintaan SSP dari rekanan. Sebagai
dampaknya, KKKS juga mengalami hambatan dalam mengajukan permohonan
pembayaran kembali PPN kepada pemerintah. Oleh karena itu, DJP berpendapat
bahwa KKKS mgalami hambatan terkait dengan reimbursement yang diajukan
sehingga Pemerintah mempertimbangkan menunjuk kembali KKKS sebagai
Pemungut PPN dengan latar belakang masalah pengumpulan SSP tersebut. Berikut
adalah kutipan pihak DJP:
” Di tahun 2003 kan kontraktor sempat tidak ditunjuk sebagai
pemungut, oleh karena itu kontraktor merasa kerepotan dalam
mengumpulkan SSP dari vendor. Setelah itu atas pertimbangan
tersebut munculah PMK 11 tahun 2005.”
Masih menurut analisis Senny Tussytha, penghapusan pemungutan PPN dan
PPnBM melalui KKKS memberikan dampak bagi penerimaan di Kantor Pelayanan
Pajak. Dari hasil yang dihitung dengan membandingkan besarnya jumlah lebih bayar
dan restitusi pada tahun 2003 dan 2004 oleh PKP Rekanan, maka disimpulkan oleh
Senny Tussytha bahwa potensi penerimaan Negara dari sektor pajak berkurang pada
tahun 2003 akibat banyaknya restitusi yang diajukan oleh PKP Rekanan. Sedangkan
di tahun 2004 ketika status Pemungut PPN pada KKKS dicabut, jumlah Wajib Pajak
yang mengajukan restitusi lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2003 dimana
KKKS masih ditunjuk sebagai Pemungut PPN dan PPnBM.
Jadi dapat disimpulkan bahwa penunjukkan KKKS sebagai Pemungut PPN
dilatarbelakangi oleh:
1. Adanya sistem Kontrak Kerjasama (dalam hal ini yang digunakan adalah Kontrak
Bagi Hasil)
Universitas Indonesia
91
Pemerintah dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam
pengusahaan Minyak dan Gas Bumi telah membentuk Kontrak Kerjasama dalam hal
pengusahaan minyak dan gas bumi. Melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor
518/KMK.06/2003 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.02/2005,
disebutkan mengenai persyaratan yang wajib dipenuhi oleh KKKS dalam
mengajukan permohonan pembayaran kembali PPN dan atau PPnBM kepada Badan
Pelaksana. Dokumen perpajakan yang wajib disiapkan oleh KKKS adalah SSP, faktur
pajak asli, dan fotocopy tagihan rekanan.
Dengan adanya syarat tersebut, pemerintah merasa perlu menunjuk KKKS sebagai
Pemungut PPN dan PPnBM dengan tujuan memberikan kemudahan bagi KKKS
untuk mengajukan permohonan pembayaran kembali PPN dan PPnBM kepada BP
MIGAS. Dengan tidak ditunjuknya KKKS sebagai Pemungut PPN dan PPnBM pada
tahun 2003 hingga 2005 memberikan dampak bagi KKKS dimana pengumpulan SSP
harus melalui proses yang cukup sulit karena KKKS harus mengajukan permintaan
kepada PKP Rekanan. Di dalam pertimbangan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
11/PMK.03/2005 juga siebutkan bahwa:
a. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 27 dan Pasal 16A ayat (2) Undang –
undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang – undang Nomor 18 Tahun 2000, Menteri Keuangan berwenang
untuk menunjuk suatu badan sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan
mengatur tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporannya;
b. Bahwa dalam rangka memberikan kemudahan bagi Kontraktor Perjanjian
Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dalam melaksanakan
hak dan kewajiban perpajakannya, perlu menunjuk Kontraktor Perjanjian Kerjasama
Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi untuk Memungut, Menyetor, dan
Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a dan b, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penunjukan Kontraktor Perjanjian
Universitas Indonesia
92
Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi untuk Memungut,
Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah Beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya.
2. Dalam rangka pengamanan penerimaan Negara, serta untuk memberikan
pembinaan guna peningkatan kemampuan Pengusaha Kena Pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya. Hal ini merupakan bentuk usaha pemerintah dalam
melindungi penerimaan Negara dari sektor pajak.
Latar belakang pertama kali adanya sistem pemungutan PPN melalui
Pemungut dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1986. Dalam
Keputusan Presiden ini disebutkan bahwa:
a.untuk pengadaan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang dibeli atau diterima
dari Pengusaha Kena Pajak, Pemerintah harus melunasi Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terhutang, bersama-sama dengan
pelunasan jumlah uang yang ditagih oleh Pengusaha Kena Pajak yang menjadi
rekanan Pemerintah untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak
tersebut;
b. bahwa dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang terhutang, sebagian besar Pengusaha Kena Pajak
yang menjadi rekanan Pemerintah dipandang belum memungkinkan melakukan
sendiri penghitungan, pemungutan, dan penyetoran serta pelaporan Pajak
Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana
ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 beserta peraturan
pelaksanaannya;
c. bahwa sehubungan dengan hal itu, dalam rangka pengamanan penerimaan Negara,
serta untuk memberikan pembinaan guna peningkatan kemampuan Pengusaha Kena
Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, dipandang perlu untuk menunjuk
Kantor Perbendaharaan Negara Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan
untuk memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
Universitas Indonesia
93
Atas Barang Mewah yang terhutang oleh Pengusaha Kena Pajak yang menjadi
rekanan Pemerintah dengan Keputusan Presiden.
Di dalam huruf c disebutkan bahwa ditunjuknya pemungut PPN dalam rangka
pengamanan penerimaan Negara serta untuk memberikan pembinaan guna
peningkatan kemampuan PKP dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Hal ini
dilatarbelakangi oleh adanya tax reform di tahun 1983 sehingga Pemerintah
mengganggap banyak wajib Pajak yang belum mampu melaksanakan kewajiban
perpajakannya dengan baik. Negara khawatir nantinya penerimaan Negara akan
berkurang karena Wajib Pajak belum terlalu memahami mekanisme PPN yang ada.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005 berlaku dari tahun
2005 hingga tahun 2010. Di tahun 2010, PMK Nomor 11/PMK.03/2005 diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010 dan berlaku sejak 1
April 2010. Menurut Bapak Sumarno selaku Staff Peraturan Perpajakan I Direktorat
Jenderal Pajak, perubahan tersebut merupakan pelaksanaan dalam rangka
menjalankan pasal 16 UU PPN no.42 tahun 2009. Isi dari pasal 16 A UU PPN No.42
Tahun 2009 adalah
”Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau
penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai.”
Perubahan yang mendasar yaitu tentang saat pembuatan faktur pajak atas
pemungutan. Di dalam Undang-Undang PPN No.18 Tahun 2000 pasal 13 diatur
mengenai saat pemungutan dan pembuatan faktur pajak. Terdapat ketentuan yang
menyimpang dari ayat itu sendiri. Ketentuan ini yaitu Pengusaha Kena Pajak dapat
membuat satu Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada
pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama
sebulan takwim. Dalam UU PPN No.18 Tahun 2000 ini, pembuatan faktur pajak
dilakukan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah penyerahan dalam hal belum
terjadi pembayaran. Namun, menurut pasal 3 disebutkan bahwa apabila pembayaran
Universitas Indonesia
94
diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena
Pajak, faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran.
Di dalam perubahan ketiga UU PPN yaitu melalui Undang-Undang PPN Nomor 42
Tahun 2009, ditegaskan dalam pasal 13 bahwa terdapat 4 hal yang menjadi dasar
dalam pembuatan faktur pajak. Faktur pajak harus dibuat pada:
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi
sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap
pekerjaan; atau
d. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Satu hal yang berbeda dari Undang-Undang sebelumnya yaitu saat penyerahan. Di
dalam UU PPN No.42 Tahun 2009, ketika PKP melakukan penyerahan BKP dan atau
JKP maka pada saat penyerahan tersebut PKP wajib membuat faktur pajak. Berbeda
dengan UU PPN No.18 Tahun 2000 dimana pembuatan faktur pajak dilakukan paling
lambat pada akhir bulan berikutnya dalam hal belum terjadi pembayaran. Berikut ini
adalah table perbedaan mendasar dalam pasal 13 UU PPN Nomor 18 Tahun 2000
dengan UU PPN Nomor 42 Tahun 2009.Tabel 5.1
Perbedaan Saat Pembuatan Faktur Pajak dalam Pasal 13 UU PPNPasal 13
UU PPN Nomor 18 Tahun 2000 UU PPN Nomor 42 Tahun 2009
Saat pembuatan faktur pajak paling
lambat akhir bulan berikutnya setelah
penyerahan dalam hal belum terjadi
pembayaran
Saat pembuatan faktur pajak adalah pada
saat penyerahan Barang Kena Pajak dan
atau Jasa Kena Pajak
Sumber: Olahan peneliti
Jika dilihat, dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005 saat
pemungutan PPN dan PPnBM bagi KKKS adalah saat adanya pembayaran dari PKP
Rekanan. Dalam hal ini, PKP Rekanan paling lambat membuat faktur pajak pada
Universitas Indonesia
95
akhir bulan berikutnya setelah penyerahan. Dengan demikian, apabila belum ada
pembayaran, maka KKKS belum memungut PPN dan atau PPnBM yang timbul
akibat transaksi yang terjadi. Saat pemungutan ini diatur dalam pasal 6 dimana
disebutkan bahwa saat pemungutan PPN dan PPnBM dilakukan :
a. pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan
berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
atau
b.pada saat melakukan pembayaran dalam hal :
1) pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena pajak;
2) pembayaran dilakukan sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak; atau
3) pembayaran dilakukan pada saat yang sama dengan saat penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Keja Pajak.
Pasal ini memberikan kesesuaian dengan pasal 13 dalam Undang-Undang PPN no.18
Tahun 2000 dimana saat pembuatan faktur pajak dapat dilakukan paling lambat akhir
bulan berikutnya setelah penyerahan dalam hal belum terjadi pembayaran.
Di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010 saat
pemungutan PPN dan PPnBM bagi KKKS yang melakukan transaksi pembelian BKP
dan atau JKP dari PKP Rekanan dipungut pada saat penyerahan BKP dan atau JKP
diserahkan. Hal ini ditegaskan dalam pasal 7 yaitu Pemungutan Pajak Pertambahan
Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dilakukan paling lama pada saat:
a. penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b.penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak danl atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak; atau
c. penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.
Universitas Indonesia
96
Isi dalam pasal tersebut juga mencerminkan bahwa Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 73/PMK.03/2010 menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi dalam pasal
13 tentang saat pembuatan faktur pajak Undang-Undang PPN.
Jadi dapat disimpulkan bahwa latar belakang diubahnya Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005 menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor
73/PMK.03/2010 adalah dalam rangka menyesuaikan dengan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009 sebagai perubahan ketiga atas Undang-Undang PPN Nomor 8
tahun 1983.
5.2 Analisis terhadap Implementasi Sehubungan dengan Adanya Perubahan Ketentuan Peraturan Menteri Keuangan No.11/PMK.03/2005 menjadi Peraturan Menteri Keuangan No.73/PMK.03/2010 bagi KKKS.
Jika dilihat mengenai masalah yang ditimbulkan dari implementasi sistem
pemungutan PPN melalui Pemungut PPN ini, ada beberapa penelitian dalam bentuk
skripsi maupun tesis yang membahas dan menganalisis mengenai dampak yang
ditimbulkan dari adanya mekanisme tersebut baik dari pihak KKKS, PKP Rekanan,
dan Pemerintah.
Di dalam Tesis yang disusun oleh Rafael Alun Trisambod FISIP UI tahun
2002 dianalisis mengenai jumlah kerugian Negara yang timbul karena keterlambatan
penyetoran pajak ke kas Negara oleh Kontraktor Kontrak Bagi Hasil. Tesis tersebut
membahas mengenai ketentuan Pemungut PPN di tahun 2001 melalui Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 549/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemungutan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah oleh Badan-Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa sebelum berlakunya Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.02/2005, pihak KKKS tidak ditunjuk sebagai
Pemungut PPN selama tahun 2003 hingga 2005. Sebelum kebijakan tersebut, terdapat
Keputusan Menteri Keuangan No.549/KMK.04/2000 dimana mekanisme
pemungutan PPN melalui Pemungut adalah sebagai berikut.
a. Pada saat PKP rekanan mengajukan tagihan, wajib membuat Faktur Pajak dan SSP,
dengan ketentuan:
Universitas Indonesia
97
1. Faktur Pajak diisi dengan rangkap tiga;
2. SSP rangkap lima yang diisi adalah kolom identitas dan jumlah pajak terutang.
Sedangkan kolom lainnya tidak perlu diisi.
b. Pajak terutang pada saat pembayaran (bukan pada saat penyerehan)
c. Penyerahan kepada Pemungut PPN, atau pembayaran
d. Penyetoran wajib dilakukan oleh Badan tertentu paling lambat 15 hari setelah
bulan penyerahan tagihan (pelunasan hutang)
e. Badan tertentu wajib menyampaikan laporan menggunakan “Surat Pemberitahuan
Masa Bagi Pemungut PPN” yang dubuat dalam rangkap dua paling lambat pada hari
kedua puluh setelah bulan dilakukannya pembayaran.
Dari hasil penelitian dapat diperoleh gambaran bahwa mekanisme pemungutan dan
penyetoran serta pelaporan PPN yang dipungut oleh Pemungut Kontraktor Kontrak
Bagi Hasil dan Kontrak Karya berbeda dari mekanisme PPN umumnya, yaitu adanya
hak untuk menyetorkan 15 hari bulan berikutnya dari pelunasan transaksi. Hal itu
menimbulkan kerugian karena adanya pelanggaran Ketentuan Perpajakan dengan
menunda penyetoran lebih lama dari waktu yang ditentukan.
Dari penelitian ini di dapat salah satu contoh bahwa ketentuan yang terdahulu
mengenai Pemungut PPN hingga peraturan yang berlaku saat ini memiliki perbedaan
dalam isinya dan berbeda antara satu dengan yang lainnuya. Hingga saaat ini, sudah 5
kali perubahan ketentuan menganai Pemungut PPN dan PPnBM ini khususnya bagi
KKKS. Pada tahun 2003, KKKS tidak ditunjuk sebagai Pemungut dan di awal tahun
2005 KKKS ditunjuk kembai sebagai pemungut melalui Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 11/PMK.03/2005. Ketentuan ini berlaku hingga than 2010 dimana kemudian
diubah dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010.
5.2.1 Analisis atas Implementasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005
Sejarah penunjukkan Pemungut PPN mengalami perjalanan yang cukup
panjang dan terjadi beberapa kali perubahan, baik dari segi pihak yang ditunjuk
sebagai Pemungut PPN maupun dari segi aturan pelaksaannya melalui Keputusan
Menteri Keuangan (KMK) atau Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Peraturan
Universitas Indonesia
98
Menteri Keuangan No.11/PMK.03/2005 menyatakan bahwa Kontraktor Kontrak
Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi (KKKS) ditunjuk kembali sebagai
Pemungut PPN. Penunjukkan kembali ini merupakan perubahan yang terjadi setelah
KKKS tidak ditunjuk sebagai Pemungut PPN selama jangka waktu 1 tahun yaitu pada
tanggal 1 Januari 2003 hingga 31 Desember 2004.
Peraturan Menteri Keuangan No.11/ PMK.03/2005 tentang Penunjukan
Kontrkator Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah Beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan
Pelaporannya terdiri dari 10 pasal yang mengatur mengenai ketentuan dalam
implementasi oleh KKKS.
Saat pemungutan PPN dan PPnBM terdapat pada pasal 6 ayat 1 yang berisi:
Pemungutan PPN dan PPnBM dilakukan paling lambat :
a. Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan BKP
dan/atau JKP dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya
setelah bulan penyerahan BKP dan/atau JKP atau
b. Pada saat melakukan pembayaran dalam hal :
1) Pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan
BKP dan/atau JKP;
2) Pembayaran dilakukan sebelum penyerahan BKP dan/atau JKP; atau
Pembayaran dilakukan pada saat yang sama dengan saat penyerahan BKP
dan/atau JKP;
3) pembayaran dilakukan pada saat yang sama dengan saat penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Keja Pajak.
Saat penyetoran dan pelaporan PPN oleh KKKS juga diatur dalam pasal 6:
- Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dipungut dilakukan paling lambat pada hari ke -15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah bulan dilakukannya pemungutan.
- Kontraktor wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang dipungut dan disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
Universitas Indonesia
99
ayat (2) ke Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan melalui Surat Pemberitahuan
Masa PPN bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai pada masa pajak saat terjadinya
pemungutan, paling lambat pada hari ke 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah
bulan dilakukan pemungutan.
- Apabila hari ke-15 (lima belas) dan/atau hari ke-20 (dua puluh) bertepatan dengan
hari libur, maka saat penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau saat
pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan pada hari kerja berikutnya.
- Termasuk hari libur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah hari libur nasional
atau hari-hari cuti bersama yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Sebagai pihak rekanan dari KKKS, saat pembuatan faktur pajak bagi rekanan
juga diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005 pasal 5.
(1) Rekanan wajib membuat Faktur Pajak Standar untuk setiap penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Kontraktor.
(2) Faktor Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dibuat paling
lambat:
a. pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan
berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/ataau Jasa Kena Pajak;
atau
b. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal:
1) penerimaan pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
2) penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan atau
Jasa Kena Pajak atau
3) Penerimaan pembayaran terjadi pada saat yang sama dengan saat penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
Universitas Indonesia
100
Berikut ini adalah gambar saat pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN
oleh KKKS berdasarkan PMK No.11/PMK.03/2005
Gambar 5.5Mekanisme transaksi pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dan PPnBM oleh KKKS
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005Sumber: Olahan peneliti berdasarkan wawancara dengan pihak KKKS
Berdasarkan gambar diatas dapat diilustrasikan sebagai berikut:
PKP Rekanan dan KKKS saling menyepakati untuk menyerahkan barang yang dibeli
oleh pihak KKKS. Penyerahan barang dilakukan pada tanggal 31 Oktober 2010.
Faktur pajak diterbitkan pada tanggal 20 Nopember 2010 (jangka waktu penerbitan
faktur pajak adalah akhir bulan berikutnya setelah terjadinya penyerahan menurut
pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005). Ketika faktur pajak
diterbitkan pada bulan Februari, maka saat itulah pihak KKKS melakukan
pemungutan PPN. Atas pemungutan ini nantinya akan disetorkan kepada kas negara
pada tanggal 15 bulan berikutnya. Dalam ilustrasi ini adalah pada tanggal 15
Desember 2010. Pelaporan atas pemungutan PPN dan PPnBM dilakukan pada
tanggal 20 Desember 2010.
Jika dilihat dari ilustrasi di atas, KKKS berkewajiban memungut PPN dan
PPnBM pada saat terjadinya pembayaran oleh KKKS yaitu paling lambat saat faktur
pajak diterbitkan oleh pihak PKP Rekanan. Jika faktur pajak diterbitkan pada tanggal
20 Nopember 2010, maka KKKS harus menyetorkannya paling lambat tanggal 15
Desember 2010.
Universitas Indonesia
101
Menurut pihak KKKS, proses internal dalam melakukan verifikasi atas
dokumen-dokumen terkait dengan pembelian Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak adalah 30 hari.
” untuk proses internal dalam melakukan verifikasi sendiri, kita butuh
waktu rata-rata 30 hari karena butuh beberapa kali pengecekan ”
Hal yang sama juga disampaikan oleh pihak BP MIGAS. Kepala Sub Dinas Evaluasi
Kebijakan Pajak BP MIGAS mengatakan bahwa:
” dalam melakukan verifikasi tuh butuh waktu sekitar 10-30 hari. Tapi
kebanyakan 30 hari”
Melalui ilustrasi pada skema, terlihat bahwa waktu untuk verifikasi bagi
KKKS seharusnya adalah 30 hari. Namun sebelum 30 hari, tepatnya pada 25 hari
KKKS wajib menyetorkan PPN dan PPnBM kepada Pemerintah. Hal ini lah yang
patut dicermati. Masalah waktu verifikasi yang kurang menyebabkan pihak KKKS
menunda penyetoran yang berimplikasi pada sanksi administrasi sebesar 2 persen per
bulan dari PPN dan PPnBM yang terlambat disetor.
Di dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi, yang disebut sebagai Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk
melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi.
Dalam hal ini, BP MIGAS merupakan Badan yang dibentuk oleh Pemerintah yang
berstatus Badan Pelaksana. Tugas yang dimiliki oleh Badan Pelaksana terkait dengan
pengawasannya terhadap KKKS diatur dalam Bab IX Pasal 44, yaitu:
a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal
penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama;
b. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama;
c. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali
akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk
mendapatkan persetujuan;
d. memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana
dimaksud dalam huruf c;
Universitas Indonesia
102
e. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;
f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan
Kontrak Kerja Sama;
g. menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat
memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.
Berikut ini adalah alur KKKS dan Rekanan dalam melakukan penyerahan
hingga pelaporan PPN berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
11/PMK.03/2005.
Gambar 5.6Mekanisme KKKS dalam Proses Validasi Invoice Terkait dengan Peraturan Menteri keuangan
Nomor 11/PMK.03/2005Sumber: Olahan peneliti berdasarkan wawancara mendalam dengan pihak Rekanan
Dari skema diatas dapat dijelaskan contoh transaksi yang dilakukan salah satu pihak
KKKS. Suatu transaksi antara PKP Rekanan dan KKKS diawali dengan melakukan
serah terima barang atau jasa. Setelah terjadinya serah terima barang atau jasa, pihak
KKKS melakukan verifikasi nilai transaksi dan memproses Good Receipt/Service
Universitas Indonesia
103
acceptance. Setelah proses tersebut selesai, maka KKKS akan menerbitkan Good
Receipt/Service acceptance kepada PKP Rekanan. PKP Rekanan wajib menyerahkan
Invoice lengkap dengan Faktur Pajak dan Service Acceptance / Good Receipt .
Setelah itu Faktur Pajak diserahkan kepada bagian keuangan untuk dilakukan
verifikasi dan pembukuan. Setelah selesai proses tersebut dan memastikan bahwa
tidak ada Faktur Pajak yang cacat, maka pihak KKKS menyetorkan PPN dan PPnBM
kepada Negara atas nama PKP Rekanan. SSP yang di dapat oleh KKKS diberikan
kepada PKP Rekanan sebagai bukti bahwa pihak KKKS telah menyetorkan PPN dan
PPnBM yang dipungutnya.
Dalam melakukan transaksi diatas, pihak KKKS memerlukan waktu 10
hingga 30 hari. Namun karena banyaknya transaksi yang terjadi, maka pihak KKKS
butuh waktu hingga 30 hari karena melewati beberapa tahap pengecekan. Menurut
staff bagian compliance KKKS, disebutkan bahwa
“ transaksi dengan vendor kan banyak sekali, jadi tidak bisa cepat
dalam proses validasi. Belum lagi kalau barangnya tidak sesuai dengan
pesanan. Biasanya memerlukan waktu yang lebih lama lagi”
Lamanya proses verifikasi yang dilakukan oleh KKKS berakibat pada munculnya
potensi keterlambatan penyetoran PPN dan PPnBM oleh KKKS. Seperti pernyataan
dari KKKS sendiri bahwa di dalam pelaksanaannya, pihak KKKS merasakan
kesulitan dalam implementasinya. Kesulitan tersebut disebabkan oleh hal berikut:
• Pada umumnya, faktur pajak rekanan diserahkan kepada KKKS bersama-
sama dengan invoice.
Hal ini jelas meberikan waktu yang sempit bagi KKKS untuk melakukan
validasi terhadap Faktur Pajak yang ada. Sebagai ilustrasi, jika penyerahan
dilakukan pada akhir bulan Januari. Dengan demikian, faktur pajak dan
invoice dikirimkan oleh PKP Rekanan kepada KKKS akhir bulan Februari.
Pihak KKKS harus menyetorkan PPN yang dipungutnya pada tanggal 15
bulan Maret. Hal ini menunjukkan bahwa KKKS hanya memiliki waktu 15
hari dalam proses validasi. Padahal, jika melihat pendapat dari BP MIGAS
dan KKKS. Waktu itu sangatlah sempit untuk proses validasi karena
Universitas Indonesia
104
bessarnya jumlah transaksi yang terjadi dan besarnya jumlah PPN dan
PPnBM yang dipungut oleh pihak KKKS.
• Invoice dan Faktur Pajak yang diterima oleh KKKS dari rekanan sering kali
lebih dari sebulan dari tanggal penyerahan BKP/JKP, walaupun tanggal di
Faktur Pajak tidak melebihi batas waktu penerbitan Faktur Pajak.
• jangka waktu pembayaran invoice yang umumnya berlaku di semua industri
adalah 30 hari setelah menerima invoice dari rekanan. Hal ini dimaksud untuk
memvalidasi apakah invoice benar dan FP tersebut cacat atau tidak.
• Tanggal dalam faktur pajak tidak secara otomatis mencerminkan bahwa pada
tanggal itu juga KKKS menerima faktur pajak dari rekanan.
• KKKS tidak bisa mengatur rekanan kapan tagihan harus dikirim kepada
KKKS.
5.2.2 Analisis atas Implementasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005 diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 73/PMK.03/2010 tentang Penunjukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama
Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang
Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi untuk Memungut, Menyetor, dan
Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. PMK
ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010. Di dalam PMK ini memuat 11 Pasal
dimana yang akan menjadi focus analisis adalah saat pembuatan faktur pajak oleh
PKP Rekanan, saat pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dan PPnBM oleh
KKKS.
Saat pemungutan PPN dan PPnBM diatur dalam pasal 7 ayat 1 yang berisi:
“Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak”
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dilakukan paling lama pada saat:
Universitas Indonesia
105
a. penyerahan Barang Kena Pajak danl atau penyerahan Jasa Kena
Pajak;
b. penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi
sebelum penyerahan Barang Kena Pajak danl atau sebelum
penyerahan Jasa Kena Pajak; atau
c. penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian
tahap pekerjaan.
Saat penyetoran dan pelaporan PPN dan PPnBM juga diatur dalam pasal 7
ayat 2 sampai 4 yang berisi:
- Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin wajib menyetorkan Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang telah dipungut ke Kantor Pos/Bank Persepsi paling lama tanggal15
(lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
- Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin wajib melaporkan Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang telah dipungut ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Kontraktor atau
Pemegang Kuasa/Pemegang Izin terdaftar paling lama pada akhir bulan berikutnya
setelah berakhirnya Masa Pajak.
- Pelaporan atas pemungutan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai bagi pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Sebagai pihak rekanan dari KKKS, saat pembuatan faktur pajak bagi rekanan
juga diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010 pasal 6.
(1) Rekanan wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena
Pajak danl atau Jasa Kena Pajak kepada Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang
Izin.
(2) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada saat:
a. penyerahan Barang Kena Pajak danl atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
Universitas Indonesia
106
b. penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak danl atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak; atau
c. penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.
Berikut ini adalah gambar saat pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN
oleh KKKS berdasarkan PMK No.73/PMK.03/2010.
Gambar 5.7Mekanisme transaksi pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dan PPnBM oleh KKKS
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010Sumber: Olahan peneliti berdasarkan wawancara mendalam dengan pihak KKKS
Berdasarkan gambar diatas dapat diilustrasikan sebagai berikut:
PKP Rekanan dan KKKS saling menyepakati untuk menyerahkan barang yang dibeli
oleh pihak KKKS. Penyerahan barang dilakukan pada tanggal 30 April 2010. Faktur
pajak diterbitkan pada saat penyerahan sekaligus (jangka waktu penerbitan faktur
pajak adalah pada saat penyerahan menurut pasal 6 ayat 2 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010). Ketika faktur pajak diterbitkan pada saat
penyerahaan, maka saat itulah pihak KKKS melakukan pemungutan PPN. Atas
Universitas Indonesia
107
pemungutan ini nantinya akan disetorkan kepada kas negara pada tanggal 15 bulan
berikutnya. Dalam ilustrasi ini adalah pada tanggal 15 Mei 2010. Pelaporan atas
pemungutan PPN dan PPnBM dilakukan pada tanggal 31 Mei 2010.
Berikut ini adalah alur KKKS dan Rekanan dalam melakukan penyerahan
hingga pelaporan PPN berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
73/PMK.03/2010.
Gambar 5.8Mekanisme KKKS dalam Proses Validasi Invoice Terkait dengan Peraturan Menteri keuangan
Nomor 73/PMK.03/2010Sumber: Olahan peneliti berdasarkan wawancara mendalam dengan pihak Rekanan
Jika dilihat dari isinya mengeani saat pemungutan PPN, saat penyetoran PPN, saat
pelaporan PPN, saat penerbitan Faktur Pajak oleh PKP Rekanan, dan sanksi yang
diterima akibat keterlambatan penrbitan Faktur pajak, maka PMK 11/PMK.03/2005
mengalami banyak perubahan jika dibandingkan dengan PMK 73/PMK.03/2010.
Perubahan tersebut dapat dilihat dari tabel berikut.Tabel 5.2
Perubahan Ketentuan PMK 11 dengan PMK 73
Universitas Indonesia
108
PMK 11/2005 PMK 73/2010 Catatan
Saat penerbitan FPAkhir bulan
berikutnya setelah
penyerahan
Pada Saat
penyerahan
Saat pemungutan
PPNSaat penerbitan FP
Pada saat
penyerahan
BKP/JKP
Saat Penyetoran
PPN
Tgl 15 bulan
berikutnya setelah
tanggal faktur
Tanggal 15
berikutnya setelah
masa pajak berakhir
UU 42/2009 :
akhir bulan
berikutnya &
sebelum
penyampaian SPT
Saat Pelaporan
Akhir bulan
berikutnya setelah
penyerahan
Akhir bulan
berikutnya setelah
penyerahan
Terlambat
menerbitkan FP
Sanksi denda 2%
dari DPPSanksi 2% dari DPP
Terlambat
menerbitkan lbh
dari 3 bln
dianggap tdk
menerbitkan
Sumber: Olahan Peneliti
Jika digambarkan melalui skema, perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
11/PMK.03/2005 menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010
dapat dilihat dalam skema berikut
Universitas Indonesia
109
Gambar 5.9Perbandingan Prosedur saat Pemungutan dan Penyetoran PPN antara Peraturan yang Dahulu
(PMK 11) dengan Peraturan Baru (PMK73).Sumber: Olahan peneliti berdasarkan wawancara mendalam dengan pihak Rekanan
Berdasarkan skema diatas, konsekuensi yang timbul adalah waktu untuk
menyetorkan PPN menjadi lebih sempit dari saat pemungutan PPN. Hal tersebut
membuat pihak KKKS semakin kesulitan dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, peraturan pelaksana
melalui PMK 11/PMK.03/2005 telah memberikan kesulitan bagi KKKS dalam
pelaksanaannya. Dengan berlakunya peraturan baru melalui PMK 73/PMK.03/2010,
KKKS merasa semakin sulitnya melaksanakan kewajiban sebagai Pemungut PPN.
Seperti yang dikemukakan oleh salah satu pihak KKKS,
“kami tidak setuju dengan adanya PMK 73 ini. Yang benar saja, PMK 11 saja
kita sudah kerepotan. Ini muncul PMK baru yang jauh lebih menyulitkan
kami. Jika dilihat dari segi pelaksanaan, hal tersebut sangatlah mustahil untuk
dilakukan.”
Sama halnya dengan pendapat Kepala Sub Dinas Evaluasi Kebijakan BP MIGAS.
Beliau mengkritisi dalam hal saat pemungutan PPN dan mengatakan bahwa PMK 73
Serah Terima Barang/Jasa
Terbit Faktur Pajak dan InvoicePungut PPN
Setor PPN
Serah Terima Barang/Jasa
Terbit Faktur Pajak dan InvoicePungut PPN
PMK 11
PMK 73Setor PPN
JanuariFebruari Maret
Universitas Indonesia
110
menimbulkan beban adminstrasi dalam pengimplementasiannya. Berikut pendapat
yang diutarakan.
“Transaksi yang dilakukan oleh KKKS kan dapat dianalogikan seperti kita
beli barang, contohnya handphone. Ketika kita beli handphone, apakah anda
mau sebelum barangnya di cek kualitasnya dan isinya tapi anda sudah
diharuskan membayar? Sama halnya dengan transaksi yang dilakukan oleh
KKKS. Dalam hal ini KKKS kan belum sempat validasi atas barang atau jasa
yang dibeli dari rekanan. KKKS belum mengetahui barang sudah sesuai atau
belum, cacat atau tidak tetapi sudah disuruh bayar PPN nya duluan.
Bagaimana jika terjadi retur? PKP Rekanan harus menerbitkan Faktur Pajak
Pengganti kan? Jelas menambah cost yang seharusnya tidak terjadi.”
Pelaksanaan PMK 73 ini menimbulkan konsekuensi bagi KKKS. Konsekuensi
tersebut antara lain:
1. KKKS mendapatkan sanksi denda karena keterlambatan penyetoraan PPPN dan
PPnBM.
Dalam pelaksanaan PMK 73 telah dibahas bahwa KKKS hanya memiliki
waktu yang sangat sempit dalam melakukan proses verifikasi invoice dan Faktur
Pajak. Hal ini lah yang dapat menimbulkan potensi keterlambatan penyetoran PPN
bagi KKKS. Dengan adanya keterlambatan penyetoran PPN, otomatis KKKS akan
mendapatkan sanksi denda sebesar 2 % dari nilai PPN yang terutang (Pasal 9 ayat 21a
KUP). Jika dilihat dari analisis tesis tahun 2002 yang ditulis oleh Rafael Alun
Trisambodo FISIP UI, maka sanksi bunga yang didapatkan dari KKKS dari dulu
sudah cukup besar akibat adanya keterlambatan dalam menyetorkan PPN dan
PPnBM. Hasil analisis Rafael menyebutkan bahwa 60,32% dari 315 transaksi yang
terjadi oleh tiga PKP Rekanan, KKKS terlambat menyetorkan PPN dan PPnBM yang
telah dipungut dari rekanannya. Berikut digambarkan perbandingan dan penjumlahan
lamanya keterlambatan yang ada agar dapt diperoleh gambaran berapa lama rata-rata
keterlambatan penyetoran yang dilakukan oleh KKKS
Universitas Indonesia
111
Tabel 5.3Keadaan Penyetoran PPN oleh KKKS
Indikator PT”A” PT”B” PT”C” Total %
Tepat
Waktu
9 48 68 125 39,68
Terlambat 19 142 29 190 60,32
Transaksi 28 190 97 315 100
Sumber: tesis Rafael Alun Trisambodo FISIP UI,2002
Analisis besarnya kerugian dilakukan dengan cara penggabungan tiga perusahaan
dengan rincian transaksi dan sanksi bunga yang harus dibayar. Diperoleh kerugian
Negara dalam tahun 2001 dari tiga rekanan yang pemungutan PPN dan PPnBM nya
dilakukan oleh KKKS adalah Rp 2.650.691.315,63 diperoleh dari penjumlahan nilai
PPN dan PPnBM yang belum disetor sebesar Rp 1.938.799.210,25 dan nilai sanksi
bunga tersebut sebesar Rp 711.892.105,38. Nilai kerugian yang besar tersebut hanya
dari tiga perusahaan dalam satu tahun. Dapat diperkirakan berapa total kerugian
Negara dengan asumsi hal yang sama dilakukan oleh KKKS.
Melihat besarnya nilai kerugian yang diambil dari hanya tiga rekanan, maka dapat
diperkirakan besarnya kerugian Negara yang timbul dari pelaksanaan pemungutan
PPN dan PPnBM yang dilakukan oleh KKKS. Jumlah KKKS yang menjadi
pemungut ditambah dengan waktu penunjukan yang mulai dilakukan beberapa tahun
yang lalu sangat memungkinkan munculnya kerugian Negara.
Dari analisis tesis yang disusun dari Rafael tercermin bahwa sebelum adanya PMK
11 pun tingkat kepatuhan KKKS dalam hal penyetoran PPN sangatlah rendah.
2. Waktu Verifikasi
Waktu verifikasi atas invoice dan faktur pajak dari rekanan merupakan focus
masalah yang dihadapi oleh KKKS dalam pelaksanaan PMK 73 ini. Untuk
perbandingan, disaat berlakunya PMK 11, KKKS sudah merasa keberatan atau
kesulitan dalam pengimplementasiannya.. KKKS pernah memberikan masukan
melalui diskusi dengan pemerintah melalui IPA (Indonesia Petroleum Association).
Sesuai dengan pendapat saah satu staff di KKKS.
Universitas Indonesia
112
“Kita sih udah pernah ngomong masalah PMK 11 ini dengan DJP.
Namun hingga diterbitkannya PMK 73, tidakada tanggapan dari
pemerintah.”
Sama halnya dengan pendapat salah satau pengurus Indonesian Petroleum
Association, beliau menyatakan:
“Sebagai gabungan dari KKKS yang ada,kami pernah melakukan
dialog dengan pemerintah terkait dengan PMK 11. hanya saja
pemerintah tidak memperdulikan masukan dan rasa kesulitan KKKS”
BP MIGAS sebagai manjemen dari KKKS juga menyampaikan hal yang serupa.
“Diskusi dengan pemerintah sih kami sudah pernah.pemerintah sih
tidak ada respon apa-apa. Mereka hanya beralasan bahwa mereka
hanya menjalankan aturan sesuai dengan Undang-Undang.
Jika ditinjau lebih jauh mengenai peraturan diatas Peraturan Menteri Keuangan yang
mengatur masalah tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dan
PPnBM, maka dapat dilihat mengenai isi dari Peraturan Pemerintah Nomor 143/2000
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dalam
pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 143/2010 disebutkan bahwa pajak yang
terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut pada saat pembayaran oleh Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai. Peraturan Pemerintah dalam hal ini memiliki kekuatan
hukum yag lebih kuat jika dibandingkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Jelas
sangatlah berbeda antara ketentuan yang disebutkan oleh Peraturan Pemerintah
dengan Perturan Menteri Keuangan.
Ketika dilakukan konfirmasi mengenai hal ini kepada DJP. Pihak staff Peraturan
Perpajakan I. Beliau menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 143/2000
memang saat ini masih berlaku dan bertentangan dengan PMK 73 yang telah
Universitas Indonesia
113
diterapkan lebih dari setahun. Namun, pihak DJP hanya menjelaskan bahwa
Peraturan Pemerintah Nomor 143/2010 hanyalah berlaku bagi Bendaharawan dan
KPKN. Alasannya adalah pihak Bendaharawan dan KPKN belum mempunyai dana
pada saat melakukan pemesanan barang. Berbeda dengan KKS yang menurut pihak
DJP telah mempunyai anggaran yang cukup besar sehingga pemungutan PPN
dilakukan pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak.
Dapat diambil kesimpulan mengenai implementasi kebijakan terkait dengan
mekanisme pemungutan PPN melalui Pemungut PPN, bahwa dalam pelaksanaannya
dari awal berlakunya mekanisme tersebut pada tahun 1986 hingga saat ini mengalami
banyak kendala dan masalah yang sebelumnya telah diuraikan melalui analisis
beberapa penelitian dalam skripsi maupun tesis. Jika dilihat dari asas ease of
administration, maka pelaksanaan kebijakan ini menimbulkan beban tersendiri baik
bagi pihak KKKS maupun rekanan. Dampak yang cukup besar dirasakan oleh kedua
pihak yang merupakan actor dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Tambahan biaya
dalam pelaksanaan sampai dengan sanksi bunga akibat keterlambatan penyetoran
PPN maupun keterlambatan pembuatan Faktur Pajak merupakan salah satu bentuk
dampak yang dirasakan oleh kedua pihak.
5.3 Kebijakan yang Sebaiknya Diberlakukan Bagi KKKS Sebagai Pemungut PPN Dalam Melaksanakan Kewajiban Perpajakannya di Bidang PPN.
Di dalam pelaksaan mekanisme pemungutan PPN oleh Pemungut, KKKS
sebagai Pemungut PPN memiliki hubungan secara langsung terkait dengan transaksi
yang dilakukannya ketika melakukan pembelian barang atau jasa. Selain rekanan,
pihak pemerintah juga memiliki peran dalam membuat desain kebijakan dan Badan
Pelaksana dari KKKS yang memiliki wewenang penuh dalam hal manajemen.
Sebagai badan pembuat kebijakan, Direktorat Jenderal Pajak merupakan pihak yang
merancang kebijakan pajak bagi KKKS, sedangkan untuk badan pelaksana, BP
MIGAS mempunyai peran yang sangat sentral dalam memberikan persetujuan
seluruh kegiatan yang akan dilakukan oleh KKKS.
Desain kebijakan merupakan salah satu faktor penting yang harus
diperhatikan bagi Negara sebelum kebijakan tersebut benar-benar dilaksanakan.
Universitas Indonesia
114
Kebijakan yang kurang atau bahkan tidak tepat dapat mengakibatkan dampak yang
sangat buruk bagi Negara itu sendiri maupun rakyat sebagai subyek pelaksana
kebijakan. Kebijakan pajak dalam hal system pemungutan PPN melalui pemungut
telah diketahui merupakan kebijakan yang berbeda dari mekansime PPN pada
umumnya. Ketentuan mengenai peraturan pelaksananya maupun status sebagai
Pemungut sendiri telah mengundang banyak reaksi beberapa pihak yang terkait dalam
menjalankan kebijakan tersebut.
Telah dianalisis dalam bab sebelumnya bahwa banyak sekali kendala dan
masalah yang dihadapi oleh KKKS dalam menjalankan system pemungutan PPN
melalui Pemungut. Masalah ini terkait dengan aturan pelaksana yang dibuat oleh
peerintah dalam rangka menjalanankan system tersebut. Hingga saat ini telah
beberapa kali terjadi perubahan tentang tata cara pemungutan, penyetoran, dan
pelaporan PPN oleh KKKS sebagai Pemungut. Peraturan pelaksana yang berlaku saat
ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010.
Menurut pihak KKKS sebagai subyek utama dalam pengimplementasian,
kebijakan yang terbaik bagi KKKS adalah tetap berlakunya mekanisme pemungutan
PPN melaluyi Pemungut PPN. Namn pihak KKKS berpendapat bahwa peraturan
pelaksana yang berlaku saat ini menimbulkan beban adminsitrasi yang cukup besar
untuk dilaksanakan. Maka dari itu, KKKS berharap agar peraturan pelaksana
mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan yang dilakukan oleh
KKKS kembali kepada peraturan pelaksana yang terdahulu. Peraturan pelaksana yang
dimaksud adalah Keputusan Menteri Keuagan Nomor 549/KMK.04/2000 tentang
Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewaholeh Badan-Badan Tertentu Sebhagai Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai. Berikut adalah pendapat dari KKKS dalam menentukan
kebijakan yang terbaik bagi pihaknya sendiri sebagai Pemungut PPN.
“Kalau tentang kebijakan yang paling baik sih kami maunya kembali
ke peraturan pelaksana di tahun 2000 melalui KMK 549 dimana saat
pemungutan PPN terjadi pada saat KKKS melakukan pembayaran atas
tagihan dari vendor”
Universitas Indonesia
115
Di dalam peraturan pelaksana ini dijelaskan dalam pasal 5 bahwa:
- Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan dengan cara pemotongan
secara langsung dari pembayaran atas tagihan rekanan
- Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
yang terutang dilakukan paling lambat 15 (lima belas) hari setelah bulan
terjadinya pembayaran tagihan
- Dalam hal hari kelima belas jatuh pada hari libur maka saat penyetoran
dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Penerapan KMK No. 549/KMK.04 tahun 2000 memberikan keuntungan bagi KKKS
dalam beberapa hal antara lain:
1. KKKS tetap berstatus sebagai Pemungut PPN.
Hal ini memberikan keuntungan bagi KKKS dalam hal pengumpulan SSP dari
rekanan. Dengan adanya status pemungut PPN, SSP akan langsung didapatkan oleh
KKKS ketika menyetorkan PPN yang telah dipungut kepada Negara. Kemudahan
dalam memperoleh SSP inilah yang merupakan keuntungan bagi KKKS karena
sebagaimana yang telah dalam analisis bab sebelumnya, KKKS memerlukan SSP
sebagai suatu syarat dalam mengajukan reimbursement kepada Pemerintah.
2. KKKS mempunyai waktu yang cukup lama dalam melakukan verifikasi terhadap
invoice dan faktur pajak.
Hal ini terjadio karena dalam KMK Nomor 549/KMK.04/2000 saat pemungutan PPN
adalah pada saat pembayaran yang dilakukan oleh KKKS atas tagihan dari rekanan.
Dalam hal belum terjadi pembayaran, maka PPN belum dipungut oleh KKKS.
3. KKKS mempunyai waktu untuk menyetorkan PPN setelah terjadinya
pemungutan.
Dalam hal penyetoran PPN kepada Negara atas PPN yang dipungut dari rekanan,
KKKS memiliki waktu sesuai dengan pasal 5 KMK Nomor 549/KMK.04/2000 yaitu
paling lambat 15 (lima belas) hari setelah bulan terjadinya pembayaran tagihan.
Universitas Indonesia
116
jika dilihat dari sudut pandang BP MIGAS sebagai Badan Pelaksana kegiatan
hulu migas di Indonesia, kebijakan yang dapat meberikan solusi antara lain:
1. Kembali pada sistem “cash basis” dalam menentukan saat pemungutan PPNB
bagi KKKS
Dalam menentukan saat pemungutan PPN oleh KKKS, BP MIGAS menganggap
bahwa sistem cash basis merupakan yang terbaik karena hal tersebut sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 143/2000 dimana disebutkan dalam pasal 10 bahwa:
“Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau
Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut
pada saat pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.”
Menurut pihak BP MIGAS, seharusnya peraturan pelaksana terhadap KKKS
juga mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 143/2000 tersebut. Dengan
demikian tidak terjadi tumpang tindih karena di dalam PMK 73 yang sekarang
berbeda dengan Peraturan Pemerintah No 143.
2. Pemerintah menacbut mekanisme pemungutan PPN melalui Pemungut PPN
Dalam hal ini, status badan pemungut tidak lagi diberikan kepada KKKS.
Namun konsekuensi yang harus diperhatikan adalah mengenai SSP yang akan
diguinakan oleh KKKS dalam mengajukan reimbursement.
3. Peraturan pelaksana bagi KKKS dalam mekanisme pemungut PPN disamakan
dengan peraturan pelaksana badan Pemungut PPN lainnya seperti Bendaharawan
dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
Menurut pandangan dari pihak PKP Rekanan sendiri, PMK 11 dirasakan sudah
cukup baik dalam pelaksanaannya. Rekanan merasa masih mampu untuk
menjalankan peraturan pelaksana berdasarkan PMK 11 ini karena pihak rekanan
beralasan bahwa mereka masih meliliki waktu dalam menerbitkan faktur pajak.
Didalam implementasinya, seringkali pihak rekanan terlambat dalam menerbitkan
faktur pajak kepada KKKS. Hal ini disebabkan karena sulitnya mendapatkan Service
Acceptance atau Good Received dari KKKS atas barang atau jasa yang diberikan.
Universitas Indonesia
117
Berikut pernyataan dari rekanan KKKS dalam wwancara mendalam.
“untuk kebijakan yang terbaik sih balik ke PMK 11 ya, karena dalam
PMK 11 pelaksanaannya masih memungkinkan. Berbeda dengan
PMK 73 yang menimbulkan beban adminstrasi dalam
implementasinya. Rekanan kan jadi serba salah jika harus menerbitkan
Faktur Pajak sedangkan Service Acceptance atau Good Received
belum di terima dari KKKS.”
Dari beberapa pandangan dan pendapat dari 3 pihak yaitu KKKS, BP MIGAS,
dan Rekanan diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada yang memberikan pendapat
untuk tetap melaksanakan ketentuan PMK 73. Peraturan pelaksana yang dianggap
paling baik dan nyaman dalam pelaksanaannya adalah dengan kembali menerepkan
beberapa peraturan pelaksana terdahulu atau mencabut mekanisme pemungutan PPN
melalui Pemungut PPN itu sendiri. Dengan demikian, jika ditinjau dari legal
character PPN, maka hal tersebut tidak menyimpang dan akan berjalan sesuai dengan
teori PPN yang berlaku umum.
Universitas Indonesia
118
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Setelah melakukan analisis pada bab V, maka sampailah penulis pada
penarikan kesimpulan. Sebelum kesimpulan diperoleh penulis menjelaskan bahwa
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010 merupakan peraturan
pelaksana dari adanya mekanisme pemungutan PPN oleh Pemungut. Adanya
peraturan pelaksana tersebut merupakan perubahan dari Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 11/PMK.03/2005. Sebelumnya, terdapat peraturan pelaksana yang terlebih
dahulu mengatur tentang Pemungut PPN. Adapun kesimpulan dari hasil analisis
skripsi ini adalah:
1. Kebijakan pemungutan PPN melalui Pemungut dijalankan tidak selaras
dengan Legal Character PPN itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan
bertambahnya beban administrasi pajak bagi KKKS karena diperlukan
tenaga tambahan dalam rangka pengimplementasianya. Peraturan pelaksana
dalam mekanisme ini mempunyai perbedaaan dalam pelaksanaannya.
Namun yang patut dicermati adalah mengenai dasar hukum yang digunakan
oleh mekanisme ini disamakan dengan mekanisme pemungutan PPN pada
umumnya yang mengenal adanya Pajak Masukan dan Pajak Keluaran.
Dasar hukum tersebut adalah pasal 13 Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai yang mengatur tentang saat pembuatan faktur pajak. Penunjukkan
KKKS sebagai Pemungut PPN dilatarbelakangi oleh beberapa faktor
diantaranya adanya sistem Kontrak Kerjasama (dalam hal ini yang
digunakan adalah Kontrak Bagi Hasil), dalam rangka pengamanan
penerimaan Negara, serta untuk memberikan pembinaan guna peningkatan
kemampuan Pengusaha Kena Pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Sedangkan perubahan terakhir dimana PMK 11 diubah
menjadi PMK 73 pada tahun 2010 dilatarbelakangi oleh perubahan ketiga
Universitas Indonesia
119
pada Undang-Undang PPN pada tahun 2009. Dengan demikian, perubahan
ini bertujuan untuk menyesuaikan isi dari Undang-Undang PPN itu sendiri.
2. Seperti yang dikatakan oleh Udoji, implementasi kebijakan merupakan
aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan pemerintah. Dalam
hal ini yang sangat erat terkait dengan implementasi adalah administrasi
pajak. Kegiatan administrasi perpajakan merupakan suatu proses yang
mencakup semua kegiatan untuk melaksanakan berbagai fungsi administrasi
perpajakan, seperti mendaftarkan wajib pajak, menyediakan surat
pemberitahuan pajak, mengeluarkan surat ketetapan pajak, menagih pajak
yang terutang, menyelesaikan sengketa dengan wajib pajak, serta
menghapuskan utang pajak. Administrasi perpajakan wajib mengacu kepada
hukum pajak positif, yaitu hukum pajak yang sedang berlaku. Perubahan
mengenai peraturan pelaksana dalam mekanisme pemungutan PPN melalui
Pemungut PPN tercatat telah terjadi 5 kali. Menurut beberapa penelitian
yang dilakukan untuk menganalisis masalah yang ada dalam hal pemungut
PPN didapatkan bahwa mekanisme ini menimbulkan suatu masalah dari
beberapa aspek. Dalam pelaksanaannya dari awal berlakunya mekanisme
tersebut pada tahun 1986 hingga saat ini mengalami banyak kendala dan
masalah yang sebelumnya telah diuraikan melalui analisis beberapa
penelitian dalam skripsi maupun tesis. Jika dilihat dari asas ease of
administration, maka pelaksanaan kebijakan ini menimbulkan beban
tersendiri baik bagi pihak KKKS maupun rekanan. Dampak yang cukup
besar dirasakan oleh kedua pihak yang merupakan aktor dalam pelaksanaan
kebijakan tersebut. Tambahan biaya dalam pelaksanaan sampai dengan
sanksi bunga akibat keterlambatan penyetoran PPN maupun keterlambatan
pembuatan Faktur Pajak merupakan salah satu bentuk dampak yang
dirasakan oleh kedua pihak.
3. Dari beberapa pandangan dan pendapat dari 3 pihak yaitu KKKS, BP
MIGAS, dan Rekanan diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada yang
memberikan pendapat untuk tetap melaksanakan ketentuan PMK 73.
Universitas Indonesia
120
Peraturan pelaksana yang dianggap paling baik dan nyaman dalam
pelaksanaannya adalah dengan kembali menerepkan beberapa peraturan
pelaksana terdahulu atau mencabut mekanisme pemungutan PPN melalui
Pemungut PPN itu sendiri. Dengan demikian, jika ditinjau dari legal
character PPN, maka hal tersebut tidak menyimpang dan akan berjalan
sesuai dengan teori PPN yang berlaku umum.
6.2 Saran
Setelah mengambil kesimpulan atas analisis yang telah dilakukan, maka
terdapat beberapa saran yang ingin penulis sampaikan terkait dengan hasil penelitian
ini. Saran- saran tersebut adalah:
1. Kebijakan pemungutan PPN melalui Pemungut PPN merupakan
kebijakan yang mengesampingkan legal character dari PPN sendiri. Hal ini
lah yang membuat berbagai permasalahan timbul karena pemerintah masih
belum dapat menerpakan mekanisme tersebut secara optimal melalui
ketentuan-ketentuan khusus. Masih terdapat ketentuan yang mangacu pada
ketentuan PPN yang sesuai dengan legal character PPN. Hal ini lah yang
seharusnya diperhatikan pemerintah, jika ingin menerapkan mekanisme
khusus, maka ketentuan dan perlakuannya harus sekhusus mungkin dan tidak
adanya tumpang tindih antara dasar hukum yang mengatur.
2. Untuk implementasinya, seharusnya pemerintah memberikan beberapa
perubahan peraturan pelaksana yang dapat memberikan kenyamanan bagi
KKKS maupun pihak-pihak yang terkait. Dengan demikian, kepatuhan
perpajakan dapat meningkat dan pada akhirnya penerimaan Negara dari sektor
pajak akan menungkat pula.
3. Kebijakan yang terbaik tentunya harus di implementasikan melalui
peraturan pelaksana dibawahnya agar berjalan efisien dan mencapai tujuan
dari kebijakan itu sendiri. Sebaiknya pemerintah mengkaji lagi mengenai
peraturan pelaksana terkait Pemungut PPN khususnya KKKS. Mengingat
KKKS adalah pihak independen yang berjalan di bawah manajemen
Universitas Indonesia
121
Pemerintah. PMK 73 harus di analisis dan di lihat ulang agar dapat
memberikan solusi terbaik bagi semua pihak khususnya KKKS.
Universitas Indonesia
122
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Aaron, Henry, VAT: Experience of Some European Countries, Deventer: Kluwer Law and Taxation Publisher, 1982.
Brotodiharjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung :Refika Aditama, 1998.
Cobham, Alex, Taxation Policy and Development , England: The Oxford Council on Good Governance, 2005.
Creswell, John. W, Research Design: Qualitative and Quantitative Approach, SAGE Publications,1994.
Dunn, William, Public Policy Analysis: An Introduction Second Edition (Terjemahan), Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2003.
Dwidjowijoto, Riant Nugroho, Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang: Model-Model Perumusan, Implementasi, dan Evaluasi, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2006.
Euman, W. Lawrence, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, 3rd ed, Boston: Allyn and Bacon, 1997.
---------------------------------, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, 4th ed, USA: Allyn and Bacon, 2000.
Husein, Umar, Metode Riset Ilmu Administrasi, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2004.
Liam, Ebrill, dkk, The Modern VAT, Washington D.C : International Monetary Fund, 2001.
Machmud, Tengku Nathan, The Indonesian Production Sharing Contract: An Investor’s Perspective, Kluwer Law International, 2000.
Madjedi, Hasan. Indonesia’s Petroleum Contracts – Issues And Challenges, Presented at One Day PSC International Conference, Jakarta, 2001
Mansury R, Pajak Penghasilan Lanjutan, Jakarta,: Ind-Hill Co, 1996.
---------------, Kebijakan Fiskal, Jakarta: YP4, 1999.
Universitas Indonesia
123
Marsuni, Lauddin, Hukum dan Kebijakan Perpajakan di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2006.
Moloeng, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Rosdakarya, 2000.
Musgrave and Musgrave, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek, Edisi Kelima, Jakarta : alih bahasa Alfonsus Sirait, Penerbit Erlangga , 1993.
Nasution, Prof. Dr. S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung : Tarsito.
Parsons, Wayne, Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, Jakarta: Predana Media,2005.
Rosdiana dan Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Slemrod and Bakija, Taxing’s Ourselves: A Citizen’s Guide To The Great Debate Over Tax Reform, England: The Massachusetts Institute Of Technology, 1996.
Soemitro, Rochmat , Asas dan Dasar Perpajakan 1, Bandung: PT. Eresco, 1986.
Suandy,Early,Hukum Pajak, Penerbit Salemba Empat, 2000.
Surahmat, Rachmanto, Bunga Rampai Perpajakan, Jakarta: Salemba Empat, 2007
Sukardji, Untung, Pajak Pertambahan Nilai, edisi revisi, Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2003..
Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilniah Dasar, Metode dan Teknik, Bandung: Tarsico), 1982.
Tait, Alan, Value Added Tax: International Practice and Problems, Washington DC: International Monetary Fund, 1988.
Tangkilisan, Hessel, Kebijakan Publik yang Membumi, Yogyakarta: YPAPI, 2003.
Universitas Indonesia
124
Terra, Ben, Sales Taxation: The Case of Value Added Tax in The European Community, Deventer-Boston, Kluwer Law and Taxation Publishers, 1988.
Thoha, Miftah , Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 1993.
Wahab, Solichin Abdul. Analisis Kebijakan, Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Penebit Bumi Aksara, Jakarta, 1997.
Peraturan Perundang-Undangan :
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009
Tanggal 15 Oktober 2009 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
-----------------------, Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
Bab 1, Pasal 1.
-----------------------, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan
Gas Bumi.
-----------------------, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005 Tanggal
31 Januari 2005 tentang Penunjukan Kontraktor Perjanjian Kerjasama
Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Untuk Memungut,
Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah Beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan
Pelaporannya.
-----------------------, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73 /PMK.03/2010 Tentang
Penunjukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas
Bumi dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin Pengusahaan
Universitas Indonesia
125
Sumber Daya Panas Bumi untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah, Serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan
Pelaporannya.
Sumber Lainnya:
Merryana, Rosa A (2006). Meta Analisis Penelitian Alternatif bagi Guru. Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006, 104,106
www.fiskal.depkeu.co.id
Nasution, Sakti, Pajak dan Peningkatan Kemampuan Inovasi Badan Usaha, Gagasan Hukum, diakses dari http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/08/02/pajak-dan-peningkatan kemampuan-inovasi-badan-usaha/ ,
www.mediaindonesia.com
Pemungut PPN dan PPnBM, diakses dari
http://www.klinik-pajak.com/2010/pemungut-ppn-dan-ppnbm.html,
Indonesian Tax Review,volume II, edisi 22, tahun 2010
Indonesian Tax Review, Volume II, Edisi 12, 2009.
PricewaterhouseCoopers, Oil and Gas in Indonesia: Investment and Taxation Guide,
2010
Draft Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) BP Migas
http://jurnalskripsi.com/analisis-perhitungan-pajak-penghasilan-pada-perusahaan-
minyak-dan-gas-bumi-yang-melakukan-kontrak-production-sharing%E2%80%9D-
studi-kasus-pada-but-%E2%80%9Cx%E2%80%9D-2-pdf.htm
Universitas Indonesia
126
Nasution, Sakti, Pajak dan Peningkatan Kemampuan Inovasi Badan Usaha, Gagasan
Hukum, diakses dari http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/08/02/pajak-dan-
peningkatan kemampuan-inovasi-badan-usaha/,
http://rubahpertapa.wordpress.com/
Universitas Indonesia
127
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Irfan PradanaJenis Kelamin : Laki-lakiTempat Tanggal Lahir: Bogor, 21 Juni 1989Agama : KatolikAlamat : Kebon kelapa no. 4 BogorNomor Handphone : 085311506591
Pendidikan Formal
2004 – 2007 SMA Regina Pacis BogorJl. Ir. H. Juanda No.2, Bogor
2001 – 2004 SLTP Regina Pacis BogorJl. Ir. H. Juanda No.2, Bogor
1996 – 2001 SDK Santo Yusup SurabayaSD Mardi Yuana Bogor
Pengalaman Kerja
January 2011- present Junior Consultant (Transfer Pcring Division)PB TaxandMenara Imperium, 27th Fl.Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 1Jakarta 12980 Indonesia
June – September 2010 Internship – Tax DepartmentBritish Petroleum IndonesiaPerkantoran Hijau Arkadia, Tower EJl. TB. Simatupang, Kav.88Jakarta 12520
May – June 2010 Internship as Junior AuditorKantor Akuntan Publik Drs. IrwantoBbd Plaza 17th floorJalan Imam bonjol no.31Jakarta Pusat
July – September 2008 Bank Danamon, Tbk Marketing Division - Marketing staffMarketing FreelanceJl. Raya TajurBogor
128
LAMPIRAN 1
WAWANCARA DENGAN PIHAK DIREKTORAT JENDERAL PAJAKNarasumber : Bapak SumarnoJabatan : Staff Subdit Peraturan PPN Industri Direktorat Peraturan Perpajakan ITanggal : 31 Mei 2011, pukul 14.00 WIB
1. Bagaimana sejarah pemungutan PPN melalui Pemungut di Indonesia?
Di Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai yang pertama yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1983 belum ada aturan mengenai Pemungut PPN, tetapi waktu itu sudah ada mekanisme mengenai Pemungut PPN yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 59 tahun 1986 tentang Penunjukkan Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) untuk Memungut dan Menyetorkan PPN yang dibayarkan oleh Pemerintah atas Penyerahan BKP dan atau JKP dari PKP Rekanan Pemerintah.Setelah itu terdapat perluasan terhadap pihak yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN, di tahun 1988 diterbitkan Keppres Nomor 56 tahun 1988 sebagai pengganti Keputusan Presiden Nomor 59 tahun 1986, yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah Kantor Perbendaharaan Negara, Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Tingkat I maupun Tingkat II, Pertamina, Kontaktor-Kontraktor Bagi Hasil dan Kontrak Karya di Bidang Minyak dan Gas Bumi dan Pertambangan Umum Lainnya, Badan Usaha Milik Negara dan Daerah, Bank Pemerintah, dan Bank Pembangunan DaerahDengan diamandemennya Undang Undang PPN yang pertama tahun 1994 baru diatur masalah pemungut PPN dalam pasal 16A. Sekarang bunyinya tidak berubah sampai perubahan yang ke 2 tidak berubah.Undang Undang PPN tahun 1994 ini mulai berlaku tahun 1995. Hingga tahun 2000, belum ada peraturan pelaksana untuk pasal 16A itu. Jadi masih menggunakan KMK 1289. Artinya di atas KMK 1289 itu dibuatkan payung hukum agar relevan karena peraturan tertinggi adalah Undang-Undang. Jika peraturan pelaksanaannya melalui Keppres dianggap kurang kuat dasar hukumnya. Kemudian pasal 16A ini baru dibuatkan aturan pelaksaan di tahun 2000. Tahun 2000 itu keluar 3 (tiga) KMK yaitu KMK No. 547,548, dan 549 tahun 2000. KMK 547 itu yang pertama memuat badan-badan yang ditunjuk dalam KMK 1289 yang sebelumnya tetap ditunjuk sebagai pemungut PPN. KMK 547 ini hanya pernunjukannya saja, kemudian tata caranya diatur di KMK 548 dan KMK 549, 548 untuk Bendaharawan dan KPKN, utuk yang 549 itu untuk selain Bendaharawan Pemerintah berarti seperti kontraktor-kontraktor bagi hasil. Pada pasal 16A ini aturan pelaksanaannya baru keluar tahun 2000, sedangjkan di tahun 2000 kan muncul perubahan yang kedua Undang Undang PPN. Untuk Undang Undang PPN yang tahun 2000 itu aturan pelaksanaannya tetap menggunakan KMK yang dibuat tahun 2000.
129
(Lanjutan)
Di tahun 20003, diberlakukan KMK No. 563, di KMK 563 ini yang ditunjuk sebagai pemungut PPN Cuma bendaharawan dan KPKN. KMK 563 ini secara otomatis mencabut KMK 547,548 dan 549 sehingga semua kontraktor bagi hasil dan pertambangan tidak ada yang ditunjuk sebagai pemungut PPN. Kemudian sampai tahun 2005, diberlakukan PMK 11 yang kontraktor migas itu ditunjuk lagi tapi hanya untuk kontrak bagi hasil, yang kontrak karya itu tidak ditunjuk lagi. Hingga saat ini, peraturan pelaksana yang terakhir adalah PMK No.73 tahun 2010 yang berlaku sejak bulan april 2010 lalu.
2. Apakah latar belakang ditunjuknya KKKS sebagai Pemungut PPN?
Menurut saya, latar belakang yang paling penting yaitu di masalah SSP ini. Untuk bendaharawan termasuk dalam badan pemerintah sehingga memang latar belakang paling penting adalah untuk mengamankan pernerimaan Negara, sedangkan untuk kontraktor berbeda satu sama lain dan bukan merupakan badan Negara. Sebenarnya tidak masalah jika kontraktor tidak ingin ditunjuk sebagai pemungut PPN lagi, justru dengan adanya PMK ini DJP mempunyai tugas tambahan. Bagi vendor sebagai PKP dalam mekanisme umum ketika dia melakukan penjualan dan pembelian otomatis PK nya akan selalu lebih besar karena PK nya yang lebih besar menunjukkan bahwa vendor ini memiliki margin keuntungan. Dalam PK tersebut terdapat unsur laba.
3. Apakah yang membedakan KKKS dengan badan pemungut lainnya?
Sebenarnya sama saja. Pemerintah menunjuk bendaharawan, KPN, dan Badan-Badan tertentu sebagai pemungut PPN. Yang membedakan antara KKKS dengan badan pemungut lainnya hanyalah pada peraturan pelaksananya.
4. Bagaimana perlakuan masing-masing Pemungut PPN dalam menjalankan kewajiban perajakannya?
Dalam menjalankan kewajibannya, pastilah terdapat perbedaan antara KKKS dengan badan pemungut lainnya. Hal ini terjadi karena peraturan pelaksananya juga berbeda.
5. Masalah apa saja yang timbul terkait dengan implementasi PMK No.11 tahun 2005?
Mengenai PMK No.11, pihak KKKS pernah menyampaikan masukan dan keluhan yang dirasakan dalam pelaksanaanya. Menurut mereka, masalah utama yang dihadapi adalah waktu verifikasi. Pihak KKKS menganggap tidak
130
(Lanjutan)
memiliki cukup waktu yang banyak dalam melakukan verifikasi terhadap invoice dan faktur pajak.Namun sebenarnya hal tersbut dapat diatasi dengan melakukan proses verifikasi sejak barang di pesan. Jadi seharusnya KKKS mengecek dulu ke tempat penjual yang mau menjual barangnya. Dengan demikian, proses verifikasi dapat berjalan lebih cepat.
6. Apakah pemerintah pernah melakukan pertemuan dengan KKKS terkait dengan PMK 11?
Pihak KKKS melalui IPA (Indonesian Petroleum Association) pernah melakukan pertemuan untuk membahas masalah ini.
7. Apakah latar belakang diubahnya peraturan pelaksana melalui PMK 11 menjadi PMK 73 di tahun 2010?
Latar belakang diubahnya peraturan pelaksana dari PMK 11 menjadi PMK 73 adalah bersumber pada peubahan Undang-Undang PPN yang ketiga yaitu Undang-Undang No. 42 tahun 2009. hal mendaar yang diubah dalam Undang-Undang baru ini adalah saat pembuatan faktur pajak dalam pasal 13 yang menyebutkan bahwa saat pembuatan faktur pajak adalah pada saat penyerahan barang. Dengan demikian, PMK 11 diubah menjadi PMK 73 yang secara langsung menyesuaikan dengan Undang-Undang PPN tahun 2009.
8. Masalah apa saja yang timbul terkait dengan penerapan PMK 73 terhadap KKKS?
Dalam pelaksanaannya, memang KKKS juga pernah memprotes kebijakan ini. menurut mereka PMK 73 memberikan mekanisme yang lebih menyulitkan KKKS dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pemungut. Maalah yang masih dibawa yaitu tentang verifikasi terhadap faktur pajak dan invoice yang lebih sedikit.
9. Apakah pemerintah pernah melakukan pertemuan dengan KKKS terkait dengan PMK 73?
Untuk PMK 73 juga pernah dibahas dengan KKKS. Namun, hingga sekarang masih dalam proses kajian oleh DJP.
10. Mengapa ketentuan PMK 73 tidak dicabut?
Nanti kontraktor pada protes, ini kan sebenarnya dalam rangka keinginan kontraktor migas. Pmk 73 ini dilakukan dalam rangka melaksanakan
131
(Lanjutan)
perubahan Undang Undang PPPN yang kedua tahun 2000 kemudian tahun 2009 muncul perubahan Undang Undang PPN yang ketiga melalui Undang Undang No. 42 tahun 2009. Ada perubahan-perubahan salah satunya adalah mengenai saat pembuatan faktur pajak dalam pasal 13.Mengapa PMK 11 ini diganti menjadi PMK 73, sebeneranya keduanya sama-sama dalam rangka menjalankan pasal 16A. Mengapa diubah menjadi PMK 73 karena dalam rangka melaksanakan perubahan Undang Undang PPN yang ketiga, salah satu perubahan yang mendasar yaitu tentang saat pembuatan faktur pajak atas pemungutan. Ketika PKP melakukan penyerahan barang, dia melakkan pemugutan PPN dengan membuat faktur pajak
132
LAMPIRAN 2
WAWANCARA DENGAN PIHAK KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA
PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI
Narasumber : Deviyana Arifin
Jabatan : Tax Staff
Tanggal : 15 April 2011, pukul 14.00 WIB
Lokasi : Gedung Perkantoran Hijau Arkadia Jakarta Selatan
Status WAPU (Wajib Pungut)
1. Bagaimana pandangan KKKS terhadap status WAPU yang telah diberikan oleh pemerintah?
Menurut kami, status WAPU yang telah diberikan kepada kami memberikan tambahan beban administrasi dalam pelaksanaannya karena dengan adanya status WAPU ini KKKS merasa kesulitan dalam melaksanakan peraturan pelaksana terkait dengan pemungut PPN. Dengan status WAPU ini, maka KKKS memiliki tambahan tanggung jawab dalam hal pemungutan PPN.
2. Kewajiban perpajakan apa yang harus dipenuhi oleh KKKS sebagai pemungut PPN?
Dengan adanya status WAPU ini, KKKS berkewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang dipungut dari pihak rekanan. Berbeda dari system pemungutan PPN pada umumnya dimana tanggung jawab tersebut berada di pihak penjual. Sebagai pihak pemungut PPN, maka tanggung jawab itu beralih kepada KKKS yang merupakan pembeli dari barang dan jasa dari rekanan.
3. Dampak positif apakah yang diperoleh oleh KKKS sebagai WAPU jika ditinjau dari segi perpajakan?
Dampak positif menurut kami tidak ada. Karena dengan adanya status WAPU ini, KKKS merasa terbebani. Kewajiban perpajakan yang harus dilaksanakan oleh KKKS menjadi lebih besar.
133
(Lanjutan)
4. Dampak negatif apakah yang dirasakan oleh KKKS sebagai Pemungut KKKS?
Dampak negatif yang dirasakan oleh KKKS dengan adanya status WAPU atau Pemungut PPN ini diakibatkan oleh sulitnya dalam implementasi terhadap peraturan pelaksana terkait dengan pemungut PPN. Pada akhirnya dampak tersebut mengakibatkan KKKS mendapatkan sanksi adminitrasi dari DJP karena keterlambatan penyetoran PPN yang telah dipungut dari KKKS. Sanksinya ini sebesar 2 % dari nilai PPN yang terutang oleh KKKS. Keterlambatan ini disebabkan karena peraturan pelaksana yaitu PMK 11 dan PMK 73 yang memang sulit dalam pengimplementasiannya.
Implementasi Peraturan PMK No.11/PMK.03/2005
5. Bagaimana penerapan PMK No.11 sebagai peraturan pelaksana dari mekanisme Pemungut PPN?
Penerapan terhadap PMK 11 ini tidak berjalan dengan baik. Hal ini terjadi karena ada beberapa ketentuan yang menurut pihak KKKS merupakan hal yang sulit untuk dilaksanakan. Selain itu, peraturan pelaksana KKKS dengan badan pemungut lainnya juga berbeda. Perbedaan ini terkait dengan saat pemungutan PPN. KKKS merasa ada diskriminasi karena badan pemungut PPN yang lain memiliki tenggang waktu yang lebih memudahkan dalam pelaksanaan pemungutan PPN. Selain itu, dalam pelaksanaan PMK 11 maupun PMK 73 bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi kekuatan hukumnya jika dilihat dari Peraturan Pemerintah yang mengaturnya.Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 143 Pasal 10 disebutkan bahwa saat pemungutan pajak adalah saat dilakukannya pembayaran oleh KKKS. Sedangkan di dalam PMK 11 dan PMK 73 kan berbeda mengaturnya. Jadi sebenarnya kan kita bias mengikuti peraturan yang lebih tinggi kekuatan hukumnya.
6. Masalah apa saja yang timbul terkait dengan implementasi PMK 11?
PMK 11 ini pada awalnya berlaku sejak KKKS ditunjuk kembali sebagai pihak Pemungut di tahun 2005. Sebelumnya pihak KKKS selama 2 tahun tidak ditunjuk sebagai Pemungut PPN di tahun 2003. Untuk implmentasinya yang telah berlaku selama beberapa tahun, kami menganggap bahwa terdapat masalah dalam hal waktu verifikasi invoice dan faktur pajak.
Di PMK 11 kan disebutkan bahwa saat pembuatan faktur pajak paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah penyerahan barang atau jasa kena pajak. Namun dalam pelaksanaannya KKKS kadang menerima invoice dan faktur
134
(Lanjutan)
pajak lebih dari 1 bulan setelah terjadinya penyerahan barang. Jika melihat Peraturan Pemerintah No 143/2000 pasal 10, maka hal ini jelas bertentangan. Didalam PP 143 dijelaskan bahwa pemungutan PPN dilakukan oleh KKKS apabila KKKS telah mebayar tagihan dari rekanan. Dalam hal ini yang digunakan adalah cash basis. Sedangkan dalam PMK 11, saat pemungutan dilakukan paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah penyerahan BKP atau JKP. Yang menjadi masalah adalah ketika rekanan mengirimkan barang pada akhir bulan. Setelah itu invoice dan faktur pajak keluar pada akhir bulan berikutnya. Pada tanggal 15 setelah terbitnya faktur pajak, KKKS sudah harus menyetorkan PPN yang dipungut dari rekanan. Hal ini lah yang menjadi masalah dimana KKKS hanya memiliki waktu kurang lebih 15 hari. Sedangkan proses verifikasi dalam perusahaan kami biasanya memerlukan waktu sekitar 30 hari. Kan ga semudah yang dibayangkan, karena banyaknya transaksi yang dilakukan oleh KKKS dengan pihak rekanan. Dengan demikian dilakukan beberapa kali proses dalam verifikasi dan mevalidasi faktur pajak dan invoice dari rekanan. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah adanya faktur pajak yang cacat karena kalo sudah cacat nanti KKKS yang merasakan kerugiannya. Apabila faktur pajak cacat, maka KKKS tidak dapat mengajukan reimbursement kepada Pemerintah atas nilai yang terdapat pada faktur pajak yang cacat tersebut.
7. Dampak apakah yang timbul dari pelaksanaan PMK 11 ini?
Dampak terbesar yang ditimbulkan adalah munculnya STP dari DJP dan denda adminstrasi bagi KKKS akibat adanya keterlambatan dalam penyetoran PPN yang telah dipungut dari rekanan. Secara langsung KKKS juga tidak dapat 100% patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Hal itu disebabkan oleh peraturan pelaksanaannya sendiri yang sulit dalam implementasinya.
8. Apakah KKKS pernah melakukan forum diskusi mengenai PMK 11 ini dengan DJP?
Melalui IPA (Indonesian Petroleum Association), KKKS pernah mengajak DJP untuk membahas masalah dan kendala yang KKKS alami dalam rangka pelaksanaan PMK 11 ini. Kami mengungkapkan beberapa keluhan. Namun, DJP tidak berbuat apa-apa dan tidak ada solusi hingga munculnya PMK 73 sebagai pengganti PMK 11.
9. Bagaimana tindakan KKKS dalam menghadapi masalah dalam pelaksanaan PMK 11?
135
(Lanjutan)
Kami selalu memberikan masukan kepada pemerintah melalui DJP. Selain itu kami menyusun beberapa tax planning dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakan KKKS secara maksimal. Kami juga memberikan masukan kepada pihak BP MIGAS yang bertindak sebagai manajemen kami.
Implementasi Peraturan PMK No.73/PMK.03/2010
10. Bagaimana tanggapan pihak KKKS dengan diubahnya PMK 11 menjadi PMK 73 sbagai peraturan pelaksana dalam mekanisme pemungutan PPN melalui pemungut?
Diubahnya PMK 11 menajadi PMK 73 membuat kami terkejut, karena sudah cukup lama PMK 11 ini berlaku dan berjalan yaitu dari tahun 2005 hingga tahun 2010. Dengan diubahnya PMK 11 menjadi PMK 73, KKKS merasa masalah yang ada di PMK 11 terkait dengan implementasinya belum dapat diselesaikan, di PMK 73 ini. Malah masalah menjadi lebih parah karena KKKS semakin merasakan kesulitan dalam implementasinya. Selain itu berarti KKKS harus menyesuaikan dengan peraturan pelaksana yang baru. KKKS merasa pemerintah tidak mendengarkan masukan yang pernah kami berikan. Malah mengeluarkan peraturan baru yang lebih menyulitkan.
11. Apakah perbedaan yang dominan dari kedua PMK tersebut?
Perbedaan yang paling dominan dari diubahnya PMK 11 menjadi PMK 73 terletak pada saat pemungutan PPN. Pada PMK 11, saat pemungutan PPN dilakukan paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; atau pada saat melakukan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena pajak;pembayaran dilakukan sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; atau pembayaran dilakukan pada saat yang sama dengan saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Keja Pajak.
Sedangkan dalam PMK 73, saat pemungutan PPN dilakukan paling lama pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak; penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak; atau penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.
136
(Lanjutan)
12. Masalah apa saja yang timbul terkait dengan implementasi PMK 73?
Masalah yang timbul adalah masalah yang terkait dengan saat pemungutan PPN oleh KKKS. Di dalam implementasinya, rekanan wajib membuat faktur pajak pada saat melakukan penyerahan barang atau jasa. Dengan demikian, saat pemungutan PPN terjadi pada saat penyerahan baranng yang dilakukan oleh rekanan. Hal tersebut menandakan bahwa saat pemungutan PPN bersamaan dengan saat penyerahan dan saat pembuatan faktur pajak. Hal ini memberikan masalah bagi kami karena kami tidak memiliki waktu dalam melakukan verifikasi invoice dan faktur pajak. Misalkan saja barang dikirim pada akhir bulan januari, maka tanggal 15 Februari KKKS harus sudah menyetorkan PPN yang dipungutnya dari rekanan. Hal tersebut sesuai dengan pasal 7 ayat 2 dimana disebutkan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin wajib menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dipungut ke Kantor Pos/Bank Persepsi paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Dengan demikian yang menjadi masalah adalah KKKS ini tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengecek faktur. Yang harus dicek kan banyak. Barang nya sudah sesuai belum, rate yang dipakai sudah benar atau belum, atau nilai transaksi yang tertera dalam faktur pajak sudah sesuai dengan transaksi yang terjadi atau belum.
13. Dampak apakah yang timbul dari pelaksanaan PMK 73 ini?
Dampak bagi KKKS sendiri hampir sama dengan dampak yang ditimbulkan oleh PMK 11. Dampak yang paling besar adalah timbulnya beban administrasi yang lebih besar yang ditanggung oleh KKKS.
14. Bagaimana tindakan KKKS dalam menghadapi masalah dalam pelaksanaan PMK 73?
Untuk menghadapai kendala dan masalah dalam PMK 73, pihak kami sudah melakukan diskusi lagi melalui IPA dengan DJP. Namun, hingga saat ini belum ada proses lebih lanjut dari DJP sendiri.
15. Kebijakan seperti apakah yang ideal menurut KKKS sebagai pihak pemungut PPN?
Kalau tentang kebijakan yang paling baik sih kami maunya kembali ke peraturan pelaksana di tahun 2000 melalui KMK 549 dimana saat
137
(Lanjutan)
pemungutan PPN terjadi pada saat KKKS melakukan pembayaran atas tagihan dari vendor.
138
LAMPIRAN 3
WAWANCARA DENGAN PIHAK BP MIGAS
Narasumber : Herdjuno Poernomo
Jabatan : Kepala Sub Dinas Evaluasi Kebijakan Pajak
Tanggal : 24 Mei 2011, pukul 13.30 WIB
Lokasi : Wisma Mulia lantai 33, Jakarta
1. Bagaimana gambaran umum mengenai sistem bagi hasil yang dilakukan pemerintah dalam sektor minyak dan gas bumi?
Jika dilihat dari awal mengenai sistem Production Sharing Contract (PSC). Maka dapat dijelaskan bahwa sebenernya pemerintah Indonesia melakukan kerjasama dengan kontraktor dalam hal pengelolaan minyak dan gas bumi di Indonesia. System kerjasama yang dilakukan adalah Kontrak Bagi Hasil. Di dalam system ini dijelaskan secara jelas mengenai kesepakatan yang dilakukan oleh kontraktor dan pemerintah sebelum Kontraktor melakukan eksploitasi. Dalam pembagian hasil kotor (Gross), sebenarnya pemerintah memperoleh bagian sekitar 73% dan kontraktor mendapat bagian sekitar 27%. Namun, pajak-pajak yang ditanggung oleh kontraktor nantinya akan menambah bagian pemerintah. Jika secara bersih dihitung-hitung, pemerintah mendapatkan bagain sekitar 85% dan kontraktor sekitar 15%.
Jika berbicara mengenai pajak, maka PPN yang terdapat dalam kegiatan hulu migas adalah local VAT, self assessment VAT, dan import VAT. Dalam hal import VAT, dibagi menjadi 2 kegiatan yaitu eksplorasi dan eksploitasi/produksi. Untuk eksploitasi, ketentuannya diatur dalam peraturan Menteri Keuangan. Pajak dalam negeri terkait dengan kegiatan kontraktor melakukan eksploitasi dibebaskan. Jadi sesuai dengan UU No.22/2001.
Dalam Kontrak Bagi Hasil yang dilakukan oleh pemerintah, KKKS akhirnya kembali ditunjuk sebagai WAPU (Tax Collector). Peraturan yang mengatur di tahun 2005 yaitu PMK 11 dan tahun 2010 sampai sekarang menggunakan peraturan baru yaitu PMK 73.
2. Bagaimanakah peran BP MIGAS sebagai wakil pemerintah dalam hal pelaksanaan seluruh kegiatan hulu migas di Indonesia?
Sebagai Badan Pelaksana, BP MIGAS tuh bertindak sebagai manajemen KKKS. Dalam hal ini, KKKS memiliki peran full control atas semua kegiatan yang dilakukan oleh KKKS. Jika KKKS ingin melakukan eksplorasi, maka
139
(Lanjutan)
KKKS diminta untuk memberikan anggarannya dan nantinya kami melihat anggaran tersebut untuk dikoreksi dan disesuaikan apabila terdapat anggaran yang tidak perlu. Jadi kasarnya sih semua kegiatan KKKS harus lapor kepada BP MIGAS. Bahkan untuk memecat karyawan dari KKKS sendiri pun BP MIGAS memiliki otoritas. Namun, jika sseperti itu udah berbau politik. BP MIGAS tidak akan mencampuradukan urusan bisnis dengan politik.
3. Tugas apa saja yang harus dilakukan oleh BP MIGAS sebagai badan pelaksana?
Tugas Badan Pelaksana diatur dalam UU No.22 tahun 2001 yaitu :
a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama; b. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; c. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan; d. memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf c; e. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama; g. menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.
4. Apakah BP MIGAS mengetahui semua permasalahan pajak yang dihadapi oleh KKKS?
BP MIGAS mengetahui segala permasalahan khususnya perpajakan yang dihadapi oleh KKKS karena BP MIGAS kan sebagai manajemen dari KKKS.
5. Apakah BP MIGAS bertanggung jawab atas masalah pajak yang dihadapi oleh KKKS?
Untuk tanggung jawab, sebenernya KKKS sudah memberikan input kepada DJP terkait PMK 11 dan PMK 73. Namun DJP tidak pernah merespon sama sekali. Mereka hanya berargumen bahwa mereka hanya menjalankan peraturan perundang-undangan yang ada.
6. Bagaimana implementasi PMK 11 yang dilaksanakan oleh KKKS dalam memenuhi kewajiban perpajakannya?
140
(Lanjutan)
PMK 11 berlaku sejak tahun 2005 sejak KKKS sempat tidak ditunjuk sebagai Pemungut PPN. Menurut pendapat dari beberapa KKKS, implementasi PMK 11 ini dirasa sulit dalam hal saat pemungutan PPN dan waktu verifikasi barang dan dokumen yang dibeli dari pihak rekanan.
7. Apakah permasalahan yang timbul akibat diberlakukannya PMK 11 ini?
Dengan berlakunya PMK 11 ini, maka KKKS merasakan dampak yang cukup besar. Dampak yang paling dirasakan adalah mengenaoi beban administrasi yang bertambah karena implementasi dari PMK 11 tidak memberikan banyak waktu bagi KKKS untuk melakukan verifikasi terhadap invoice dan faktur pajak
8. Bagaimana tingklat kepatuhan dari KKKS ketika berlaku PMK 11?
Tingkat kepatuhan KKKS menurut saya berada di estimasi 50 % ketika melaksanakan ketentuan PMK 11 tersebut.
9. Bagaimana pandangan pihak BP MIGAS atas perubahan PMK 11 menjadi PMK 73 yang berlaku pada bulan april 2010?
Menurut BP MIGAS, perubahan tersebut sama sekali tidak memberikan solusi dari masalah yang ada pada PMK 11. Padahal di PMK 11 itu KKKS sudah protes kepada DJP. Tapi ini kok malah diubah menjadi peraturan yang lebih parah ya.
10. Masalah apa saja yang timbul dari berlakunya PMK 73 ini?
Masalah yang timbul jelas lebih rumit. Saat ini KKKS hanya memiliki waktu yang singkat dalam melakukan verifikasi invoice dan faktur pajak karena saat pemungutan PPN bersamaan dengan saat penyerahan barang dan saat pembuatan faktur pajak. Kapan KKKS bisa mengecek kalo barangnya itu sudah sesuai? Kalo salah kan otomatis akan membuat faktur pembetulan bagi rekanan. Hal itu kan menambah beban administrasi lagi bagi rekanannya juga. Bagi KKKS juga pasti dampaknya akan besar karena nantinya akan terjadi keterlambatan penyetoran PPN.
11. Bagaimana tingkat kepatuhan KKKS pada saat berlakunya PMK 73?
Tingkat kepatuhan KKKS hanya berkisar 30% karena mereka kesulitan atas waktu yang sangat singkat dalam verifikasi. Kan transaksi KKKS tuh ga kecil ya. Jadi ga bisa sembarangan verifikasi.
12. Kebijakan apakah yang terbaik bagi KKKS dalam hal Pemungut PPN?
141
(Lanjutan)
Ya menurut saya dih ada beberapa alternative ya. Yang pertama cabut ketentuan Pemungut PPN atas KKKS, yang kedua kembali ke cash basis dimana saat pemungutan PPN adalah saat pembayaran oleh KKKS, dan yang ketiga adalah Peraturan Pelaksana bagi KKKS disamakan dengan pemungut lainnya.
142
LAMPIRAN 4
WAWANCARA DENGAN PIHAK REKANAN
Narasumber : Bpk. Agung
Jabatan : Manager pajak salah satu perusahaan jasa di bidang minyak dan gas
bumi
Tanggal : 20 Maret 2011, pukul 13.30 WIB
Lokasi : Cibubur
1. Bagaimana mekanisme pemungutan PPN jika rekanan melakukan transaksi dengan KKKS?
Untuk transaksi dengan KKKS sistemnya berbeda dengan sitem pemungutan PPN biasanya. Jika mekanisme biasa kan kita sebagai penjual yang memungut PPN atas transaksi penjualan kepada pembeli, kalau kita berhadapan dengan KKKS sistemnya jadi terbalik. Yang memungut PPN itu KKKS. Padahal mereka bertindak sebagai pembeli barang atau jasa.
2. Bagaimana implementasi PMK 11 menurut pandangan Rekanan?
PMK 11 ini masih bisa dijalankan kalau menurut vendor sendiri ya. Di PMK 11 itu kan berlaku sampai tahun 2005 ya. Jadi begini ilustrasinya, vendor melakukan transaksi dengan KKKS, dalam hal ini vendor sebagai penjual barang atau jasa ya, sedangkan KKKS bertindak sebagai pembeli barang atau jasa. Ketika vendor melakukan penyerahan barang atau jasa, ambil saja contoh di tanggal 20 Januari. Maka vendor kan harus membuat faktur pajak paling lama pada akhir bulan berikutnya setelah penyerahan kan. Jadi masih cukup waktu lah untuk menunggu berita acara serah terima dari KKKS. Selain itu bagi KKKS juga masih punya waktu untuk ngecek barang dan invoice. Jadi PMK 11 ini masih bisa dijalankan kalau menurut vendor.
3. Bagaimana mekanisme verifikasi yang dilakukan rekanan dengan KKKS?
Untuk mekanismenya jadi begini, ketika vendor menyerahkan barang kepada customer (KKKS) maka customer akan mengeluarkan berita acara serah terima yang akan diberikan kepada vendor. Setelah berita acara ini diterima, maka langkah selanjutnya adalahg pembuatan invoice oleh vendor. Setelah invoice di verifikasi oleh KKKS, maka selanjutnya vendor akan menerbitkan faktur pajak sesuai dengan nilai invoice. Setelah semuanya lengkap, baru KKKS menyetorkan PPN kepada negara. Nah untuk proses verifikasi yang dilakukan oleh KKKS sih kebanyakan 10-15 hari ya setelah menerima barang.
143
(Lanjutan)
Hal itu dilakukan hanya untuk mengecek barang atau jasa saja loh. Baru setelah oke kita buatkan invoice dan faktur pajak. Kalo untuk verifikasi barang, invoice, dan faktur pajak sih bisa memakan waktu hingga 30 hari.
4. Apakah pihak rekanan selalu tepat waktu dalam menerbitkan faktur pajak?
Kalo dari sisi vendor sih ga ada masalah ya karena masalahnya tuh ada di sisi customernya. Mereka kan butuh waktu untuk verifikasi. Kalau di kita sih maunya cepet ya mengeluarkan faktur pajak. Kan semakin lama kita menerbitkan faktur pajak. Maka A/R kita diluar juga akan semakin lama tertahan ya. Namun, dalam lapangan sih terkadang ada yang lebih dari 1 bulan kita baru nerbitin faktur pajak. Hal itu juga disebabkan dari customernya sendiri yang lama melakukan proses verifikasi.
5. Apakah peraturan pelaksana mengenai tata cara pemungutan,penyetoran, dan pelaporan PPN oleh KKKS berpengaruh pada cashflow perusahaan?
Kalo dari segi cashflow sih ga ada masalah ya, karena yang bertanggung jawab untuk menyetorkan PPN kan ada di pihak KKKS. Vendor kan disini tugasnya hanya menerbitkan Faktur Pajak.
6. Perubahan apa yang terjadi ketika diberlakukan PMK 73?
Di PMK 73 itu kan vendor harus membuat Faktur Pajak pada saat penyerahan barang dan jasa. Nah yang menjadi permasalahan di lapangan itu contohnya ketika kita melakukan penyerahan barang di luar kota, misalnya pada akhir bulan. Kita kan harus menerbitkan faktur pajak saat penyerahan. Sedangkan invoice tidak bisa langsung kita terbitkan pada hari itu juga, karena ada beberapa dokumen yang harus dilengkapi oleh vendor. Selain itu, pihak customer juga melakukan pengecekan terhadap kualitas dan kuantitas barang yang diterimanya. Jika sudah sesuai baru mereka meminta kita mebuat invoice dan faktur pajak biasanya. Nah, di lapangan itu kan kadang medannya juga berat, ada yang di tengah hutan, ada yang di tengah laut. Kan beda2. Kalau KKKS baru bisa verifikasi 10-20 hari berarti itu kan sudah lewat tanggal jatuh tempo penyetoran PPN oleh KKKS. Kadang-kadang KKKS gamau tuh nerima faktur pajak setelah lewat dari tanggal jatuh tempo.Kalau dulu, PMK 11 itu KKKS masih ada waktu hampir 2 bulan setelah terima barang untuk setor PPN. Sekarang Cuma 15 hari semenjak berlakunya PMK 73.
7. Bagaimana jika ada faktur pajak yang cacat?
144
(Lanjutan)
Kalau ada faktur pajak yang cacat sih butuh membetulkan dokumen-dokumen dan harus minta accept lagi dari customer. Dan itu membutuhkan waktu yang lama sekitar 10 hari.
8. Apakah vendor pernah melakukan diskusi dengan DJP terkait dengan PMK 11 dan PMK 73?
Vendor sudah pernah bertemu dengan DJP untuk membahas masalah ini. Waktu itu kita ketemu AR kita. Mereka menganggapnya penyerahan barang/ jasa harus disamakan dengan tanggal diterimanya barang. Namun, untuk jasa, mereka masih toleransi, kita boleh ngikutin tanggal invoice. Nah, kalo untuk barang kan jelas tuh kapan saat diterimanya. Sedangkan kalo jasa kan sulit kadang-kadang ditentukan saat diterimanya. Sebenernya kalau kita tanya AR lain juga mereka berbeda penafsiran. Ada yang tetap berprinsip bahwa faktur pajak harus sama tanggalnya dengan saat diterimanya barang atau jasa. Bagian perundang-undangan DJP juga pernah ngomong sih. Mereka juga ga nyangka kalo kejadiannya bakal kaya gini di lapangan. Menurut mereka kalo untuk merubah peraturannya juga sudah susah karena ini kan sumbernya dari Undang-Undang. Sampai sekarang sih belum ada jalan keluar atau solusi dari DJP sendiri ya. Yang ada yaitu pihak KKKS yang selalu mengundang kita untuk meeting membicarakan solusi agar mereka tidak terkena penalty atas keterlambatan penyetoran PPN.
9. Bagaimana dengan permintaan bukti potong kepada KKKS?
Untuk penerimaan bukti potong sih ga ada masalah ya. Kita terima semua kok. Semua disetorkan oleh KKKS,
10. Bagaimana kebijakan yang sebaiknya diberlakukan?
Menurut vendor sih lebih baik kembali ke PMK 11 ya dimana pelaksanaannya masih masuk akal, dan dari KKKS sendiri juga masih bisa melaksanakannya.
145