Upload
others
View
18
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS POLISEMI VERBA “TORU” DALAM
KALIMAT BAHASA JEPANG
NIHONGO NO BUNSHOU NI OKERU “TORU”
NO TAGIGO NO BUNSEKI
SKRIPSI
Skripsi ini di ajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian skripsi
dalam bidang Ilmu Sastra Jepang
OLEH:
RANISSA DWI SUCI SITORUS
150722005
PROGRAM STUDI EKSTENSI SASTRA JEPANG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS POLISEMI VERBA “TORU” DALAM
KALIMAT BAHASA JEPANG
NIHONGO NO BUNSHOU NI OKERU “TORU”
NO TAGIGO NO BUNSEKI
SKRIPSI
Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian
Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang.
Disusun Oleh :
RANISSA DWI SUCI SITORUS
NIM : 150722005
Pembimbing I Pembimbing II
Drs, Yuddi Adrian Muliadi, M.A Drs. Eman Kusdiyana,
M.Hum
NIP: 19600827 1991 03 1 001 NIP: 19600919 1988 03 1 001
PROGRAM STUDI EKSTENSI SASTRA JEPANG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Disetujui Oleh:
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara
Medan
Program Studi Sastra Jepang
Ketua Program Studi,
Prof. Hamzon Situmorang,MS.,Ph.D
NIP: 19580704 198412 1 001
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tak terhingga penulis haturkan kepada Allah SWT,
atas segala rahmat, hidayah, dan ridho-Nya, sehingga penulisan skripsi ini dapat
selesai. Dan tak lupa pula shalawat beriring salam kepada Nabi Muhammad SAW,
yang telah memberikan syafa‟at kepada seluruh umat manusia.
Penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Polisemi Verba “Toru” Dalam
Kalimat Bahasa Jepang ” ini ditujukan untuk memenuhi persyaratan dalam
mencapai gelar sarjana di Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Ekstensi Sastra
Jepang Universitas Sumatera Utara
Dalam pelaksanaan penyelesaian studi dan skripsi ini, penulis banyak
menerima bantuan dan bimbingan moril maupun materil dari berbagai pihak.
Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, MS.,Ph.D, selaku Ketua Program Studi
Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Drs. H. Yuddi Adrian Muliadi. M.A, selaku Dosen Pembimbing I
yang telah demikian banyak meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk
membimbing penulis, memberikan pengarahan dengan baik dalam hal
penyusunan skripsi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ii
4. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang
telah demikian banyak meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk
membimbing penulis, memberikan pengarahan dengan baik dalam hal
penyusunan skripsi.
5. Seluruh Bapak / Ibu dosen Program Studi Sastra Jepang yang telah
memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis.
6. Orangtua tercinta, Rahmaini Nasution dan Hasan Basri Sitorus yang selalu
mendoakan penulis, memberikan nasehat, dukungan dan material yang tak
terhingga sampai saat ini, yang tidak akan mampu penulis untuk membalas
kasih sayangnya sampai kapan pun juga. Kepada satu-satunya saudara,
Atika Afriani Sitorus (kakak) , kepada Mama, Rahmawati Nasution dan
Fadli Rachman.
7. Kepada Rekan-Rekan Kerja penulis terutama di PT. Bank Mandiri Kcp
Medan Maimun dan Kcp Medan Gatot Subroto khusus nya di Teller. Yang
telah membantu penulis, memberikan semangat, doa dan waktunya kepada
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman-teman terdekat Ferdian Lim dan Puti Novianti Aristia yang sangat
banyak membantu dan menolong penulis dalam mengerjakan skripsi ini
sampai selesai. Terima kasih banyak atas dukungan, doa dan bantuannya.
9. Seluruh teman-teman Ekstensi Sastra Jepang Stambuk 2015.
10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iii
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak terdapat
kekurangan dan kesalahan, baik dalam susunan kalimatnya maupun proses
analisisnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
demi perbaikan skripsi ini agar dapat menjadi skripsi yang lebih bermanfaat dan
lebih sempurna.
Akhir kata, penulis berharap semoga kiranya skripsi ini dapat berguna dan
memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.
Medan, April 2018
Penulis
Ranissa Dwi Suci Sitorus
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………….....................i
DAFTAR ISI……………………………………………………………..............iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ………………………………......................1
1.2 Perumusan Masalah.............................................................................7
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ……………………………..................8
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………………………………..9
1.4.1 Tinjauan Pustaka……………………………………………...9
1.4.2 Kerangka Teori………………………………………….......11
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………...15
1.5.1 Tujuan Penelitian………………………………………........15
1.5.2 Manfaat Penelitian…………………………………………..16
1.6 Metode Penelitian…………………………………………...............16
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP MAKNA, POLISEMI DAN
TEORI TENTANG MAKNA VERBA “TORU”
2.1 Pengertian Semantik…………………………………………….......18
2.2 Tinjauan Terhadap Makna…………………………………………..20
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
v
2.2.1 Pengertian Makna……………………………………….......20
2.2.2 Jenis-Jenis Makna…………………………………………...22
2.2.3 Relasi Makna…………………………………………..……28
2.2.4 Perubahan Makna Dalam Bahasa Jepang…………………..28
2.3 Pengertian Polisemi…………………………………………………29
2.4 Pengertian Verba…………………………………………................31
2.5 Makna Verba Toru…………………………………………………..36
BAB III ANALISIS POLISEMI VERBA “TORU” DALAM KALIMAT
BAHASA JEPANG
3.1 Makna Konteks Kalimat Polisemi Verba “Toru” Dalam Kalimat
Bahasa Jepang……………………………………….………………38
3.2 Analisis Perubahan Nuansa Makna Verba “Toru”………………….45
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan………………………………………………………….48
4,2 Saran…………………………………………………………….......49
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia saat
berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, manusia menggunakan bahasa.
Menurut Sutedi (2003:2) bahasa adalah alat untuk menyampaikan sesuatu ide,
pikiran, hasrat, dan keinginan kepada orang lain. Hubungan interaksi antar
manusia dapat berjalan denga lancar karena adanya peranan bahasa sebagai alat
komunikasi. Bahasa mempunyai keterkaitan dan keterikatan dalam kehidupan
manusia, Ketika kita menyampaikan ide, pikiran, hasrat dan keinginan kepada
seseorang baik secara lisan maupun tertulis, orang tersebut dapat menangkap apa
yang kita maksud.
Fungsi bahasa merupakan media untuk menyampaikan suatu makna
kepada orang lain baik lisan maupun tulisan. Sedangkan menurut Alwasilah
(1993:89) fungsi bahasa sebagai lem perekat dalam menyatukan keluarga,
masyarakat dan bangsa dalam kegiatan bersosialisasi. Tanpa bahasa, suatu
masyarakat tak dapat terbayangkan. Mempelajari bahasa bukan hanya sekedar
untuk berbicara, tapi kita juga harus menggunakan aspek-aspek bahasa dalamnya.
Oleh karena itu, untuk dapat menggunakan bahasa dengan baik dan dapat
dimengerti maksud dan tujuan dari informasi yang disampaikan kepada orang lain
kita harus memperhatikan kaidah-kaidah dalam berbahasa dan karakteristik
masing- masing bahasa.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
Ilmu yang membahas tentang bahasa adalah linguistik. Linguistik berasal
dari bahasa latin, lingua yang berarti „bahasa‟. Secara umum linguistik adalah
bahasa dasar dalam mempelajarin keahlian berbahasa. Menurut Martinet
(1987:19) didalam buku Chaer (2012:1) linguistik adalah ilmu tentang bahasa,
atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Bahasa dapat dikaji
secara internal dan eksternal. Kajian internal adalah kajian yang hanya dilakukan
terhadap struktur intern bahasa tersebut, seperti struktur fonologisnya, struktur
morfologisnya, struktur sintaksis dan struktur semantiknya. Kajian internal ini
dilakukan dengan menggunakan teori-teori dan prosedur-prosedur yang ada dalam
disiplin linguistik. Sedangkan kajian eksternal adalah kajian yang dilakukan
terhadap hal-hal atau faktor-faktor yang berada diluar bahasa yang berkaitan
dengan pemakaian bahasa itu oleh penuturnya didalam kelompok-kelompok
masyarakat. Kajian eksternal ini menghasilkan rumusan-rumusan atau kaidah-
kaidah ya berkenaan dengan kegunaan bahsa tersebut dalam segala kegiatan
manusia, misalnya sosiolinguistik, psikolinguistik, antropolinguistik,
neurolinguistik.
Seperti yang telah dijelaskan, dalam kajian internal di atas terdapat empat
bidang kajian atau cabang linguistik yaitu fonologi, morfologi, sintaksis dan
semantik. Fonologi (on-inron) adalah cabang linguistik yang mengkaji tentang
lambang bunyi berdasarkan fungsinya. Morfologi (keitaron) adalah cabang
linguistik yang mengkaji tentang kata dan proses pembentukannya. Sintaksis
(tougoron) adalah cabang linguistik yang mengkaji tentang struktur dan unsur-
unsur pembentukan kalimat. Dan yang terakhir adalah semantik (imiron).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
Dari keempat bidang kajian tersebut yang memiliki peranan yang penting
adalah Semantik (imiron). Menurut Chaer (1994:2) semantik adalah ilmu tentang
makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari 3 (tiga) tataran analisis bahasa
seperti fonologi, gramatikal, dan semantik. Fungsi dari analisis semantik adalah
untuk menentukan makna dari serangkaian instruksi yang terdapat dalam program
sumber. Karena, bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi tiada lain untuk
menyampaikan suatu makna. Didalam semantik terdapat ilmu yang membahas
tentang objek kajian bunyi (kata) yang memiliki makna lebih dari satu atau
Polisemi (tagigo).
Untuk dapat memahami bahasa Jepang, maka kita harus memahami
kosakata atau makna dari satu kata (Polisemi) tersebut. Menurut Yuriko didalam
buku Sudjianto (1981:3) menyebutkan bahwa tujuan akhir pengajaran bahasa
Jepang adalah agar para pembelajar dapat berkomunikasi dengan gagasan atau ide
dengan bahasa Jepang yang baik dengan secara lisan maupun tulisan salah satu
penunjangnya adalah penguasaan kosakata (goi). Sedangkan menurut, Sudjianto
(2007:97) kosakata (goi) merupakan aspek kebahasan yang harus diperhatikan
dan dikuasai guna menunjang kelancaran berkomunikasi dengan bahasa Jepang
baik dalam ragam lisan maupun tulisan.
Tidak hanya itu, kita juga harus memahami berbagai verba yang terdapat
dalam bahasa Jepang. Verba didalam bahasa Jepang sangatla beragam, ada verba
yang termasuk kedalam polisemi (tagigo), ada juga yang termasuk ke dalam
homonim (dou-on-igigo). Untuk dapat memahami keduanya maka perlu dibuat
batasan yang jelas. Menurut Kunihiro (1996:97) dalam buku Sutedi (2003:145),
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4
memberikan batasan tentang kedua istilah tersebut, yaitu polisemi (tagigo) adalah
kata yang memiliki makna lebih dari satu dan setia maknanya memiliki pertautan,
sedangkan yang dimaksud dengan homonim (dou-on-igigo) adalah kata yang
bunyinya sama, tetapi maknanya berbeda dan diantara makna tersebut sama sekali
tidak ada pertautannya.
Dalam penelitian ini topik masalah yang dikaji adalah mengenai kata
bahasa Jepang yang memiliki makna polisemi. Untuk mengetahui suatu kata
tersebut memiliki polisemi atau tidak, dengan tiga cara. Cara tersebut Menurut
Machida & Momiyama (1997:109) dalam buku Sutedi (2003:145) adalah dengan
pemilhan makna (imi-kubun), penentuan makna dasar (kihongi no nintei),
deskripsi hubungan antara makna dalam bentuk strukur polisemi (tagi-kouzou no
hyouji.) salah satukata kerja yang memiliki polisemi adalah kata kerja toru. Di
dalam kamus, kata toru memiliki arti mengambil. Contoh kalimat dari
penggunaan verba toru. :
私の趣味は写真を取ることです。
Watashi no shumi wa shashin wo toru koto desu.
hobi saya adalah mengambil foto.
Dari contoh di atas sangat mudah mengartikan verba toru. Namun,
pengertian verba toru akan berbeda jika digunakan ke dalam kalimat yang
memiliki situasi tertentu, seperti:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5
1) パワー電気では夏休みは何日ぐらい取れますか。
Pawaa denki de wa natsu yasumi wa nannichi gurai
toremasuka.
Di perusahaan listrik, kira-kira bisa memperoleh libur
musim panas berapa hari?
(Minna No Nihongo Shokyuu II, 2012:10)
2) 大きいな家具は場所を取る。
Ookiina kagu wa basho wo toru.
Perabot rumah tangga yang besar memakan tempat.
(Nihongo Kihon Doushi Youhou Jiten, 1989:364)
3) すぐ、取りに行きます。
Sugu tori ni ikimasu.
Segera pergi untuk mengambil (suatu benda).
(Minna No Nihongo Shokyuu II, 2012:27)
Kalimat (1) memiliki arti kalimat secara leksikal “bisa mengambil berapa
hari libur?.” di mana kata „mengambil‟ pada kalimat tersebut memiliki makna
yang sepadan dengan kata „memperoleh‟.
Kalimat (2) juga memiliki arti kalimat secara leksikal “perabot rumah
tangga yang besar mengambil tempat.” di mana makna kata „mengambil‟ pada
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
kalimat tersebut memiliki makna yang sepadan dengan kata
„memakan/membutuhkan tempat‟
Namun demikian, perbedaan terlihat pada kalimat (3) yang berbunyi
“segera, pergi untuk mengambil (suatu benda)”. Perbedaan tersebut dikarenakan
kalimat (3) menunjukkan penggunaan verba toru yang sesuai makna
sesungguhnya.
Dari ketiga contoh kalimat di atas terlihat adanya makna yang berbeda
pada kata „toru‟ jika digunakan pada kalimat yang memiliki situasi yang berbeda.
Maka dapat disimpulkan bahwa verba toru apabila diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia memiliki banyak makna dan apabila ditelaah, makna tersebut
memiliki sinonim yang dapat ditempatkan sebagai verba toru dalam kalimat
tersebut.
Berdasarkan dengan alasan yang telah penulis sebutkan, kata toru bisa
menimbulkan kebingungan terlebih pada pembelajar bahasa Jepang. Maka dari
itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “ Analisis
Polisemi Verba “Toru” Dalam Kalimat Bahasa Jepang .
1.2 Perumusan Masalah
Di dalam bahasa Jepang terdapat banyak verba yang memiliki makna
banyak atau lebih dari satu. Makna tersebut memiliki arti yang berbeda-beda
sesuai dengan konteksnya. Seorang pembelajar bahasa asing tidak akan kesulitan
ketika menemukan kalimat seperti berikut:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
私は鞄を取る。
„Watashi wa kaban wo toru‟.
„Saya mengambil tas‟
Namun pembelajar bahasa Jepang akan kesulitan ketika menemukan
kalimat seperti berikut:
父は写真を取る。
„Chici wa shashin wo toru‟.
„ Ayah memotret foto.‟
Kata tersebut memiliki arti lebih dari satu dan disebut dengan polisemi
(tagigo). Seseorang harus mengerti makna dari kosa kata yang digunakan. Karena
jika tidak, maka akan menimbulkan kesalah pahaman dalam berkomunikasi.
Verba toru memiliki banyak makna dalam bahasa Jepang. Selain
memiliki makna „mengambil‟, verba toru juga memiliki makna-makna lain yang
mungkin mirip dengan makna utama kata tersebut. Maka, berdasarkan
permasalahan yang ada, penulis merumuskan permasalahan yang muncul pada
verba toru dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Apa makna verba toru dalam kalimat bahasa Jepang ?
2. Bagaimana perubahan nuansa makna verba toru dalam kalimat bahasa
Jepang ?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Sesuai dengan permasalahan yang ada, maka penulis menganggap perlu
adanya ruang lingkup pembahasan agar masalah dalam penelitian ini tidak terlalu
luas dan berkembang jauh sehingga masalah yang ada akan dikemukakan lebih
terarah dan mendapatkan tujuan yang diinginkan dalam penulisan ini.
Dalam penelitian ini akan dipaparkan dengan jelas polisemi dari verba toru
dalam kalimat bahasa Jepang dengan teori dasar yang diambil dari Gakken
Kokugo Daijiten oleh Haruhiko, dkk tahun 1978. Penulis akan mencoba
menganalisis kalimat yang memiliki makna verba toru. Kalimat-kalimat tersebut
akan diambil 8 buah kalimat dari majalah Nipponika edisi No. 14 Tahun 2014,
Nipponika edisi No.16 Tahun 2015 , Nipponia edisi No. 43 Tahun 2007, Nipponia
edisi No. 8 Tahun 1999 dan Nipponia edisi No. 46 Tahun 2008 .Masing-masing
kalimat akan dibatasi maksimal 8 buah contoh kalimat. Peneliti mencoba
menganalisis contoh kalimat verba toru yang berbeda. Bekaitan dengan makna
verba toru, penulis akan menganalisis verba toru berdasarkan konteks
kalimatnya.
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
1.4.1 Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini penulis ingin menganalisis Polisemi Dalam Verba
Toru pada Kalimat Bahasa Jepang. Hal ini menyangkut bidang linguistik yaitu
semantik. Untuk menghindari kesalahan dalam menginterprestasikan makna dari
kata-kata atau istilah yang digunakan dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
mendefenisikan beberapa istilah dalam linguistik, khususnya yang mencangkup
tentang semantik.
Ilmu linguistik adalah mengkaji tentang bahasa. Istilah linguistik dalam
bahasa Jepang disebut dengan gengogaku, sedangkan linguistik bahasa Jepang
disebut dengan nihongo-gaku. Jadi linguistik jika di artikan dengan ilmu bahasa
Jepang, tidak hanya membahas sebuah bahasa saja tetapi juga mengkaji tentang
seluk beluk bahasa pada umumnya. Salah satu bidang kajian linguistik adalah
semantik. Semantik adalah kajian makna. Kata semantik dalam bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Yunani yaitu “sema” (kata benda) yang berarti tanda dan
lambing. Kata kerjanya adalah “semaino” yang berarti menandakan atau
melambangkan (Sutedi, 2003:114). Objek kajian semantik antara lain makna kata,
relasi makna, makna frase, dan makna kalimat. Objek yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan dibahas adalah makna kata.
Makna setiap kata merupakan salah satu objek yang harus dikaji, karena
komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa yang sama seperti bahasa Jepang,
baru akan bejalan dengan lancar jika setiap kata yang digunakan pembicara dalam
komunikasi tersebut makna atau maksudnya sama dengan yang digunakan oleh
lawan bicaranya. Mempelajari makna pada hakikatnya berarti mempelajari
bagaimana setiap pemakaian bahasa dalam suatu masyarakat saling mengerti.
Untuk menyusun kalimat yang dapat dimengerti, sebagian pemakai bahasa
dituntut agar menaati kaidah gramatikal, sebagaian lagi tunduk pada kaidah
pilihan kata menurut sistem leksikal yang berlaku didalam suatu bahasa
(Djajasudarma, 1999:5.). Berdasarkan jenis makna tersebut, ada yang disebut
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
dengan makna leksikal dan makna gramatikal. Menurut Sutedi (2003:114) bahasa
Jepang memiliki dua istilah makna, yaitu kata imi dan igi.
Salah satu hal yang harus diperhatikan diteliti, yaitu tentang kata yang
memiliki makna lebih dari satu, yaitu Polisemi (tagigo). Polisemi adalah dalam
satu bunyi (kata) terdapat makna lebih dari satu. Tetapi batasan seperti ini masih
belum cukup, sebab dalam bahasa Jepang, kata yang merupakan satuan bunyi dan
memiliki makna lebih dari satu banyak sekali, serta didalamnya ada yang
termasuk polisemi (tagigo) dan ada juga yang termasuk homonim (dou-on-igigo).
Oleh karena itu, kedua hal tersebut perlu dibuat batasan yang jelas. Kunihiro
(1996:97) dalam buku Sutedi (2003:145), memberikan batasan tentang kedua
istilah tersebut, bahwa : Polisemi (tagigo) adalah kata yang memiliki makna lebih
dari satu, dan setiap makna tersebut ada pertautannya, sedangkan yang
dimaksudkan dengan homonim (dou-on-igigo), yaitu beberapa kata yang
bunyinya sama, tetapi maknanya berbeda dan diantara makna tersebut sama sekali
tidak ada pertautannya. (Dedi Sutedi 2003:135).
Pengertian polisemi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu kata
yang memiliki makna lebih dari satu (KBBI 1993:1200). Parera (2004:81)
mendefinisikan bahwa polisemi ialah suatu ujaran dalam bentuk kata yang
mempunyai makna berbeda-beda tetapi masih ada hubungan dan kaitan antar
makna yang berlainan tersebut. Misalnya kata „kepala‟ dapat bermakna „kepala
manusia, kepala jawatan, dan kepala sarung‟. Sedangakan, Alwasilah (1993:164)
mengatakan polisemi merupakan satu kata mempunyai lebih dari satu arti, atau
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
lebih tepat kita katakan, satu leksem (lexeme) mempunyai beberapa makna (arti).
Relasi ini disebut polisemi yang bermakna banyak.
1.4.2 Kerangka Teori
Kerangka teori berfungsi sebagai pendorong proses berpikir dekdutif yang
bergerak dari alam abstrak ke alam konkret. Suatu teori yang dipakai oleh peneliti
sebagai kerangka yang memberi pembatasan terhadap fakta-fakta konkret yang
terbilang banyaknya dalam kenyataan kehidupan masyarakat yang harus
diperhatikan.
Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan kerangka teori
berdasarkan pendapat dari pakar-pakar bahasa yang diperoleh dari sumber pustaka
sebagai berikut. Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu
sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian dan
pemahaman arti secara keseluruhan (KBBI, 1993:59).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan secara linguistik
dibidang semantik tentang makna. Dalam sebuah penelitian diperlukan landasan
atau acuan berpikir untuk menganalisis dan memecahkan sebuah masalah. Oleh
karenanya perlu disusun pokok-pokok pikiran yang dimuat oleh kerangka teori
yang mendeskripsikan titik tolak penelitian yang akan diamati. Kata semantik
berasal dari kata Yunani, senainein, yaitu bermakna. Oleh karena itu semantik
dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau ilmu tentang arti (Chaer, 2002:2).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
Semantik memiliki peranan yang penting, karena bahasa yang digunakan
dalam semantik berfungsi sebagai untuk menyampaikan makna kepada orang lain.
Dalam teori semantik digunakan jenis-jenis makna. Sebuah kata disebut
mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai nilai rasa, baik positif
maupun negativ (Chaer, 2002:65). Makna konotatif akan lebih berhubungan
dengan nilai rasa, misalnya rasa senang, rasa jengkel, dan sebagainya. Kata
semantik itu kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang
linguistik yang mempelajarin hubungan antar tanda-tanda linguistik dengan hal-
hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi linguistik yang
mempelajari makna atau arti bahasa.
Banyak pendapat yang dikembangkan orang-orang tentang teori. Seperti,
teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinan de Saussure dalam Chaer
(1994:287) bahwa makna adalah “pengertian” atau “konsep” yang dimiliki atau
terdapat pada sebuah tanda linguistik. Secara umum teori makna dibedakan
antara :
1. Teori Referensial atau Korespondesi
Hubungan antara refrence atau referent yang dinyatakan lewat
simbol bunyi bahasa baik berupa kata maupun frase atau kalimat.
2. Teori Konteksual.
Teori konteksual sejalan dengan teori relativisme dalam pendekatan
semantik bandingan antar bahasa. Makna sebuah kata terikat pada
lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
3. Teori Mentalisme
Teori mentalisme ini bertentangan dengan teori-teori referensi.
4. Teori Formalitas
Teori ini dikembangkan oleh filsuf Jerman Witgenstein (1830 dan
1858). Witgenstein (Parera: 2004:48) berpendapat bahwa kata tidak
mungkin dipakai dan bermakna untuk semua konteks karena konteks itu
selalu berubah dari waktu ke waktu.
Dalam beberapa makna yang termasuk dalam bidang semantik. Maka
penelitian ini, penulis menggunakan konsep semantik konteksual. Yaitu makna
sebuah leksem atau kata yang berada didalam suatu konteks. Menurut Parera
(2004:47), teori kontekstual sejalan dengan teori relativisme. Makna sebuah kata
terikat pada lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu itu. Makna
konteks juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan
penggunaan bahasa tersebut.
Selain Parera, Chaer (1994:290) juga menjelaskan bahwa teori makna
kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu
konteks dan makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yaitu waktu,
tempat, dan lingkungan penggunaan bahasa itu.
Berhubungan dengan makna kontekstual, kata yang memiliki makna
polisemi akan berubah maknanya jika berada pada konteks yang berbeda. Hal ini
sesuai dengan makna polisemi menurut Chaer (2007:301), yaitu polisemi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki
makna lebih dari satu.
Makna kata yang dibahas pada peneliti ini menguraikan suatu makna yang
terkandung dalam suatu verba. Verba adalah kata yag dipakai untuk menyatakan
sesuatu tentang seseorang atau sesuatu. Nesfield (Chaedar, 1993:48). Sedangkan
dalam bahasa Jepang verba adalah jenis kata yang termasuk dalam yougen dan
menyatakan kegiatan/aktivitas. Biasanya pada akhir kata selalu diakhiri dengan
vokal /u/. Dalam penelitian ini, verba yang dimaksud adalah verba toru.
Berdasarkan yang ditulis oleh Matsuura (1994), verba toru memiliki
beberapa makna, yaitu mengambil, mengangkat, memegang, memakan (tempat),
mendudukin, memperoleh, mencuri, dan menangkap. Makna tersebut akan
berubah sesuai dengan konteks kalimatnya, seperti contoh berikut :
1. 辞書を取る。
„jisho wo toru‟
„ mengambil kamus‟
2. 釜のふたを取る
„ kama no futa wo toru‟
„ mengangkat tutup periuk‟
3. 彼女の手を取る。
„ kanojo no te wo toru‟
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
15
„ memegang tangannya‟
Walaupun makna kata toru memiliki perbedaan makna yang cenderung
mirip, jika diterjemahkan dalam bahasa indonesia bisa menimbulkan banyak
pengertian yang berbeda sesuai dengan situasi kalimat tersebut diucapkan.
Berdasarkan dengan hal tersebut, penulis menginterpretasikan makna pada
penilitian ini dengan menggunakan teori makna kontekstual yang disesuaikan
dengan situasi kata tersebut.
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.5.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui makna verba toru dalam kalimat bahasa Jepang.
2. Untuk medeskripsikan perubahan nuansa makna verba toru dalam
kalimat bahasa Jepang.
1.5.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah:
1. Dapat dijadikan referensi bagi pembelajar bahasa Jepang dalam
memahami makna verba toru.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16
2. Dapat dijadikan masukan bagi pengajar saat mengajarkan makna dan
penggunaan toru, terutama dalam mata kuliah sakubun (mengarang),
honyaku (terjemahan), dan imiron (semantik).
3. Dapat memperkaya wawasan dalam berkomunikasi, sehingga dapat
menimbulkan rasa percaya diri dalam berkomunikasi baik lisan
maupun tulisan.
4. Dapat dijadikan sebagai tambahan bagi penelitian yang berkaitan
dengan linguistik, terutama mengenai kata yang mempunyai makna
polisemi dalam bahasa Jepang.
1.6 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan
(libraryresearch). Metode kepustakaan adalah metode pengumpulan data yang
digunakan oleh penulis dengan menggunakan buku atau referensi yang berkaitan
dengan masalah apa yang sedang dibahas. Menurut Mahsun (2007:92) dalam
skripsi Novianti (2015:25) sedangkan untuk teknik penyajian data di dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik deskriptif yaitu dengan
memberikan penjabaran dan uraian yang menggunakan kata-kata.
Penulisan deskriptif mengumpulkan data-data yang diperoleh melalui
metode kepustakaan (library research). Dalam hal ini, penulis mengumpulkan dan
menganalisis buku-buku dan data-data yang berhubungan dengan masalah yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
diteliti. Jadi dengan metode kepustakaan dan metode penulisan deskriptif, penulis
mencoba menyelesaikan skripsi ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP MAKNA, POLISEMI, DAN
TEORI TENTANG MAKNA VERBA “TORU”
2.1 Pengertian Semantik
Dalam mempelajarin sebuah bahasa, kita mengetahui linguistik
sebagai bidang ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Sematik
merupakan salah satu kajian dalam bidang studi linguistik yang membahas
tentang makna.
Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris : Semantics)
berasal dari bahasa yunani sema (kata benda) yang berarti “tanda” atau “lambang”.
Kata kerjanya adalah semiano yang berarti “menandai” atau “melambangkan”.
Yang dimaksud dengan tanda atau melambangkan di sini sebagai padanan kata
sema itu adalah tanda linguistik (Perancis: Signe Linguistique). (Chaer, 2002:2)
Ferdinand de Saussure dalam Chaer (2002:2) mengatakan bahwa
tanda linguistik terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud
bentu-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari
komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini merupakan tanda atau
lambang; sedangkan yang ditandai atau lambangi adalah sesuatu yang berada
diluar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
Kata semantik ini yang kemudian disepakati sebagai istilah yang
digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda
linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi
dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu,
kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu
satu dari tiga tataran analisis bahasa : fonologi, gramatika, dan semantik (chaer,
2002:3).
Dalam bahasa Jepang, Semantik disebut dengan (Imiron). Ilmu
yang mengkaji tentang makna. Semantik memegang peranan penting, karena
bahasa yang digunakan dalam komunikasi tiada lain untuk menyampaikan makna.
Misalnya, ketika seseorang menyampaikan ide dan pikiran kepada lawan bicara,
lalu bicara bias memahami apa yang dimaksud, karena ia bias menyerap makna
yang dimaksud.
Sutedi (2003:103) menyebutkan bahwa objek kajian semantik
antara lain adalah makna kata satu per satu (go no imi), relaksi makna (go no imi
kankei) antara satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam satu idiom
(ku no imi) dan makna kalimat (bun ni imi).
Dari definisi yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwa semantik merupakan salah satu cabang linguistik
yang mengkaji tentang makna.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
2.2 Tinjauan Terhadap Makna
2.2.1 Pengertian Makna
Setiap penelitian yang berkaitan dengan kebahasaan atau linguistik
seperti struktur kalimat, kosakata, ataupun bunyi-bunyi bahasa, pada hakikatnya
tidak terlepas dari konsep tentang makna. Dalam komunikasi, kata yang
diucapkan harus mengandung makna agar maksud yang ingin disampaikan
tercapai.
Ulman (2007:65) mengatakan makna merupakan istilah yang
paling ambigu dan paling kontrovesial dalam teori tentang bahasa. Dalam buku
The Meaning Of Meaning, Odgen dan Richards mengumpulkan tidak kurang
dari 16 defenisi yang berbeda bahkan menjadi 23 batasan makna jika tiap
bagian dipisahkan.
Didalam kamus terdapat makna yang disebut dengan makna leksikal atau
makna sebenarnya. Namun, banyak orang yang sulit menerapkan makna yang
terdapat dalam kamus karena makna sebuah kata sering bergeser dari makna
aslinya jika berada dalam satuan kalimat. Dengan kata lain sebuah kata
terkadang memiliki makna yang luas atau lebih dari satu seperti ketika
berhadapan dengan idiom, gaya bahasa, ungkapan, peribahasa dan lainnya.
Kata makna di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Dedikbud,
1993:619), diartikan (1) ia memperhatikan makna setiap kata yang terdapat dalam
tulisan kuno itu, (2) maksud pembicara atau penulis, (3) pengertian yang
diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
Sutedi (2008:123) berpendapat dalam bahasa Jepang ada dua
istilah tentang makna, yaitu kata imi (意味) dan Igi (意義). Kata imi digunakan
untuk menyatakan makna hatsuwa (tuturan) yang merupakan wujud satuan dari
parole, sedangkan igi digunakan untuk menyatakan makna dari bun (kalimat)
sebagai wujud satuan dari langue. Dalam bahasa Jepang, makna sebagai objek
kajian semantik antara lain makna kata (go no imi), relasi makna (go no imi
kankei), makna frase (ku no imi), makna kalimat (bun no imi) .
2.2.2 Jenis-Jenis Makna
Menurut Chaer (2002:59), sesungguhnya jenis atau tipe makna itu
memang dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang.
Berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna
gramatikal, berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem dapat
dibedakan adanya makna referensi dan makna non referensi, berdasarkan ada
tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna
denotative dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal adanya
makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus. Berdasarkan
kriteria lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya makna-makna
asosiatif, kolokatif, reflektif, idiomatik dan sebagainya. Berikut akan dibahas
jenis-jenis makna tersebut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
22
1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Menurut Chaer (2002:60) makna leksikal adalah bentuk ajektiva yang
diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosakata, perbendaharaan
kata). Makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon,
leksem, atau bersifat kata. Karena itu, dapat dikatakan pula bahwa makna leksikal
adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil
observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan
kita.
Menurut Sutedi (2008:115), makna leksikal dalam bahasa Jepang dikenal
dengan istilah Jishoteki-imi (辞書的意味 ) atau Goiteki-imi (語彙的意味 ).
Makna leksikal adalah makna kata yang sesungguhnya sesuai dengan referensinya
sebagai hasil pengamatan indra dan terlepas dari unsur gramatikalnya, atau bisa
juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata. Misalnya, kata Neko (猫) dan kata
Gakkou (学校) memiliki makna leksikal : <kucing> dan <sekolah>.
Makna gramatikal, menurut Chaer (2002:63) adalah makna yang muncul
sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Sedangkan, menurut
Sutedi (2008:115) makna gramatikal dalam bahasa Jepang disebut Bunpouteki imi
(文法的意味) yaitu makna yang muncul akibat proses gramatikalnya. Makna
gramatikal muncul ketika terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi,
komposisi atau kalimatiasi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
23
2. Makna Referensial dan Nonreferensial
Menurut Chaer (2002:63), perbedaan makna referensial dan non
referensial berdasarkan ada tidak adanya refern dari kata-kata itu. Bila kata-kata
itu mempunyai referen, yaitu sesuatu diluar bahasa yang di acu oleh kata itu,maka
kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-kata tersebut tidak
mempunyai referen, makna kata-kata itu disebut kata bermakna nonreferensial.
Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial
karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang
disebut „meja‟ dan „kursi‟. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai
referen. Jadi, kata karena dan tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
3. Makna Denotatif dan Konotatif
Menurut Chaer (2002:65), makna denotatif (sering disebut juga
makna denotasional, makna konseptual atau makna kognitif karena dilihat dari
sudut yang lain) pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna
denotatif biasa diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil
observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau
pengamatan lainnya. Makna denotatif dapat diartikan dengan makna asli, makna
asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Makna denotatif
sama dengan makna leksikal.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
24
Sedangkan makna konotatif , menurut Sutedi (2008:115) yaitu
makna yang berkaitan dengan dunia luar bahasa, seperti suatu objek atau gagasan
dan bias dijelaskan dengan analisis komponen makna. Makna konotatif juga bias
diartikan dengan makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif yang
berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok yang menggunakan kata
tersebut. Misalnya, kata gerombolan bersinonim dengan kelompok. Tetapi, kata
gerombolan memiliki konotasi yang lebih negative atau rasa yang tidak
mengenakan.
4. Makna Konseptual Dan Makna Asosiatif
Menurut Leach (1976) didalam buku Chaer (2002:293) membagi
makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Yang dimaksud dengan
makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari
konteks atau asosiasi apa pun. Makna konseptual memiliki kesamaan dengan
makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.
Menurut Chaer (2002:293) makna asosiatif adalah makna yang
dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu
dengan sesuatu yang berada diluar bahasa. Misalnya, kata “merah” berasosiasi
dengan „berani‟ atau „paham komunis‟. Makna asosiatif dapat diartikan dengan
lambang atau pelambangan yang digunakan suatu masyarakat bahasa untuk
menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan, atau
ciri yang ada pada konsep asal kata atau leksem tersebut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
25
5. Makna Kata Dan Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memiliki makna. Menurut Chaer
(2002:294) makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna
denotatif, atau makna konseptual. Dalam penggunaannya makna kata akan
menjadi jelas jika kata itu sudah berada didalam konteks kalimatnya atau konteks
situasinya.
Berbeda dengan kata, yang disebut istilah mempunyai makna yang
pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh
karena itu, sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks, sedangkan kata tidak
bebas konteks. Istilah lebih sering digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan
tertentu.
6. Makna Idiom Dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan
dari makna unsur-unsurnya , baik secara leksikal maupun secara gramatikal,
(Chaer, 2002:296). Misalnya, secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna
„yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima uangnya‟. Tetapi
dalam bahasa Indonesia bentuk gigi tidaklah berarti seperti itu, melainkan
bermakna „tertawa keras-keras‟. Jadi makna seperti itulah yang disebut makna
idiomatical.
Idiom dibedakan menjadi dua, yaitu idiom penuh dan idiom
sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang semua unsurnya sudah melebur
menjadi satu kesatuan. Sehingga makna yang dimiliki berasal dari satu kesatuan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
26
tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan idiom sebagian adalah idiom yang
salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri.
Peribahasa memiliki makna yang masih bisa ditelusuri atau dilacak
dari makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan
maknanya sebagai peribahasa, (Chaer, 2002:297). Seperti, tong kosong nyaring
bunyinya yang bermakna „orang yang banyak bicara biasanya tidak berilmu‟.
Makna ini dapat ditarik dari asosiasi; tong yang berisi jika dipukul tidak
mengeluarkan bunyi, tetapi tong yang kosong akan mengeluarkan bunyi yang
keras dan nyaring.
Idiom dan peribahasa terdapat pada semua bahasa yang ada
didunia, terutama pada bahasa-bahasa yang penuturnya sudah memiliki
kebudayaan yang tinggi.
2.2.3 Relasi Makna
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara
satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya (Chaer, 2002:297). Satuan
bahasa yang dimaksud disini berupa kata, frase, maupun kalimat, relasi semantik.
Dalam setiap bahasa, seringkali ditemui adanya hubungan kemaknaan atau relasi
semantik. Hubungan tersebut menyangkut kesamaan makna (sinonim),
pertentangan makna (antonim), ketercakupan makna (hiponim), kegandaan makna
(Polisemi) atau juga kelebihan makna (redundasi).
2.2.4 Perubahan Makna Dalam Bahasa Jepang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
27
Perubahan makna suatu kata dapat terjadi karena berbagai faktor,
antara lain perkembangan peradaban manusia pemakai bahasa tersebut,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pengaruh bahasa asing.
Berikut merupakan jenis perubahan makna dalam bahasa Jepang menurut Sutedi
(2003:108) :
1. Dari yang konkrit ke abstrak
Kata atama (頭) <kepala>, ude (腕) <lengan>, michi (道) <jalan>
yang merupakan benda konkrit berubah menjadi abstrak ketika digunakan seperti
berikut :
頭がいい atama ga ii <kepandaian>
腕が上がる ude ga agaru <kemampuan>
日本語教師への道 nihongo kyoushi e no michi
<cara/petunjuk>
2. Dari ruang ke waktu
Seperti kata mae (前) <depan> dan nagai (長い) <panjang> yang
menyatakan arti <ruang>, berubah menjadi <waktu> seperti contoh berikut:
三年前 sannen mae <yang lalu>
長い時間 nagai jikan <lama>
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
28
3. Perubahan bentuk indera
Misalnya kata ookii (大きい ) <besar> semula diamati dengan
indera pendengaran „telinga‟, seperti pada ooki koe (大きい声) <suara keras>,
kata amai (甘い) <manis> dari indera perasa menjadi karakter seperti dalam amai
ko (甘い子) <anak manja>
4. Dari yang khusus ke umum/ generalisasi
Misalnya kata kimono ( 着物 ) yang semula berarti 'pakaian
tradisional Jepang' digunakan untuk menunjukkan pakaian secara umu fuku (服)
dan sebagainya.
5. Dari yang umum ke khusus
Misalnya hana (花) <bunga secara umum> dengan tamago (卵)
<telur secara umum> digunakan untuk menunjukkan hasil yang lebih khusus
seperti dalam penggunaan berikut:
花見 hana-mi <bunga
sakura>
卵を食べる tamago wo taberu <makan telur ayam>
6. Perubahan nilai negativ
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
29
Seperti kata kisama (貴様) <kamu> dulu sering digunakan untuk
menunjukkan kata anata (あなた ) <anda>, tetapi sekarang digunakan hanya
kepada orang yang dianggap rendah saja. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran
nilai dari yang baik menjadi kurang baik.
7. Perubahan nilai positif
Misalnya kata boku (僕 ) <saya> digunakan untuk budak atau
pelayan, tetapi sekarang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
menunjukkan adanya perubahan nilai yang dari kurang baik menjadi baik.
2.3 Pengertian Polisemi
Menurut Chaer (2002:301) polisemi adalah sebuah kata atau satuan
kata atau kata yang mempunyai makna yang lebih dari satu. Dalam polisemi ini,
biasa makna pertama adalah makna yang sebenarnya, makna leksikalnya, makna
denotatifnya, atau makna konseptualnya. Yang lain adalah makna-makna yang
dikembangkan berdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki kata atau
satuan ujaran itu. Oleh karena itu, makna-makna pada sebuah kata atau satuan
ujaran yang polisemi ini masih berkaitan satu dengan yang lain.
Misalnya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1)
bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan , (2)
bagian dari suatu yang terletak disebelah atas atau depan dan merupakan hal
penting seperti pada kepala meja dan kepala kereta api, (3) bagian dari sesuatu
yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala pakudan kepala jarum.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30
Misalnya makna leksikal kata kepala di atas adalah „bagian tubuh
manusia atau hewan dari leher keatas‟. Makna leksikal ini yang sesuai dengan
referen (lazim disebut orang makna asal, atau makna sebenarnya) mempunyai
banyak unsur atau komponen makna. kata kepala di atas, antara lain memiliki
komponen makna: (1) terletak di sebelah atas atau depan, (2) merupakan bagian
yang penting, (3) berbentuk bulat.
Menurut Sutedi (2003:145) polisemi adalah dalam satu bunyi
(kata) terdapat makna lebih dari satu. Dalam bahasa Jepang kata yang merupakan
satu bunyi dan memiliki makna lebih dari satu banyak sekali, serta didalamnya
ada yang termasuk kedalam polisemi (tagigo) ada juga yang termasuk kedalam
homonim (dou-on-igigo). Oleh karena itu, di buat batasan tentang kedua istilah
tersebut. Menurut Kunihiro (1996:97) dalam buku Sutedi (2003:145) polisemi
(tagigo) adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu dan setiap maknanya
memiliki pertautan, sedangkan yang dimaksud dengan homonim (dou-on-igigo)
adalah kata yang bunyinya sama, tetapi maknanya berbeda diantara makna
tersebut sama sekali tidak ada pertautannya. Perlu diperhatikan, huruf Kanji
yang digunakan dalam dou-on-igigo berfungsi sebagai pembeda arti. Tetapi,
dalam tagigo, penggunaan huruf Kanji yang berbeda tidak menjamin dapat
membedakan arti (Kunihiro, 1996:94) dalam buku Sutedi (2003:145).
Untuk menganalisis polisemi sebaiknya dilakukan secara diakronis,
karena akan menyangkut perkembangan pemakaian bahasa tersebut. Tetapi, ada
juga yang menggunakan secara sinkronis. Dikarenakan, perkembangan bahasa
tersebut sudah terlampau lama dan banyak sekali penggeserannya. Misalnya, kata
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
31
yomu (読む) yang berarti „membaca‟, sedangkan arti sebenarnya dulu adalah
„menghitung‟ dan makna tersebut sekarang sudah hilang. Oleh karena, tidak salah
jika penelitian tentang tagigo dapat dilakukan secara sinkronis.
Machida & Momiyama (1997:109) dalam buku Sutedi (2003:146)
langkah yang perlu dilakukan dalam menganalisis suatu polisemi, yaitu :
1. Pemilihan makna (imi-kubun)
2. Penentuan makna dasar (kihongi no nintei)
3. Deskripsi hubungan antar makna dalam bentuk struktur polisemi
(tagi-kouzou no hyouji ).
2.4 Pengertian Verba
Objek kajian pada penelitian ini termasuk ke dalam kelas kata
verba. Kelas kata verba memiliki beberapa pengertian. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1993:1260), disebutkan bahwa verba adalah kata yang
menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan yang disebut juga kata kerja.
Dalam bahasa Jepang, verba atau kata kerja disebut dengan doushi. Dahidi dan
Sudjianto (2004:149) menyatakan bahwa verba (doushi) adalah salah satu kelas
kata dalam bahasa Jepang. Kemudian lanjutnya, kelas kata ini dipakai untuk
menyatakan aktifitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
32
Menurut Situmorang (2010:9), makna doushi bila dilihat dari
kanjinya yaitu:
動 : ugoku, dou : bergerak
詞 : kotoba, shi : kata
動詞 : doushi : kata yang bermakna gerakan
Nomura dalam Dahidi dan Sudjianto (1992:149) menyataan bahwa
doushi dapat mengalami perubahan dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat.
Dahidi dan Sudjianto (1992:149) juga memberikan contoh sebagai
berikut:
1. Amiru san wa Nihon e iku. „Amir (akan) pergi ke Jepang‟
2. Tsukue no ue ni rajio ga aru.‟Di atas meja ada radio‟
3. Indoneshia wa shigen ni todeiru.„Indonesia kaya akan sumber
alam‟
Kata iku, aru, dan tomu pada kalimat-kalimat di atas termasuk
doushi. Kata iku pada kalimat a menyatakan aktivitas Amir yang akan pergi ke
Jepang, kata aru pada kalimat b menyatakan keberadaan (eksistensi) radio di atas
meja, sedangkan kata tomu pada kalimat c menyatakan keadaan negara Indonesia
yang akan sumber alam. Kata-kata seperti itu dapat mengalami perubahan
tergantung pada konteks kalimatnya. Dalam bentuk kamus, verba selalu diakhiri
dengan vocal /u/.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
Maka bisa ditarik kesimpulan dari beberapa penjelasan tersebut
bahwa definisi dari verba atau doushi adalah kelas kata yang menyatakan aktifitas,
keberadaan atau keadaan, kelas kata yang mengalami perubahan, dan dapat
menjadi predikat dalam sebuah kalimat.
Verba atau kata kerja dikelompokkan menjadi beberapa jenis
seperti yang diuraikan oleh Sudjianto (2003:48) yaitu berdasarkan perubahannya.
Jenis-jenis tersebut dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kelompok I
Kelompok ini disebut dengan godan-doushi (五段動詞 ), karena
mengalami perubahan dalam lima deretan bunyi bahasa Jepang, yaitu A-I-
U-E-O (あいうえお). Cirinya yaitu verba yang berakhiran (gobi) huruf U,
TSU, RU, KU, GU, MU, NU, BU, SU (う, つ, る, ぶ, ぬ, む, く, ぐ, す).
買う ka-u <membeli>
立つ tat-tsu <berdiri>
売る u-ru <menjual>
書く ka-ku <menulis>
泳ぐ oyo-gu <berenang>
読む yo-mu <membaca>
死ぬ shi-nu <mati>
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
遊ぶ aso-bu <bermain>
話す hana-su <berbicara>
2. Kelompok II
Kelompok ini disebut dengan ichidan-doushi ( 一 段 動 詞 ), karena
perubahannya terjadi pada satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba
ini, yaitu yang berakhiran suara 「e-る / e-ru」(disebut kami-ichidan-
doushi) atau berakhiran 「i-る / i-ru」(disebut shimo-ichidan-doushi),
seperti berikut,
見る mi-ru <melihat/menonton>
起きる oki-ru <bangun>
寝る ne-ru <tidur>
食べる tabe-ru <makan>
3. Kelompok III
Verba kelompok III merupakan verba yang perubahannya tidak beraturan,
sehingga disebut henkaku doushi (変格動詞) dan hanya terdiri dari dua
verba berikut.
する suru <melakukan>
来る kuru <datang>
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
Selain itu, banyak istilah yang menunjukkan jenis-jenis doushi
tergantung pada dasar pemikiran yang dipakainya. Di antaranya ada yang
menunjukkan jenis doushi seperti yang diterangkan oleh Shimizu dalam Sudjianto
(2007:150), yaitu :
1. Tadoushi
Tadoushi atau verba transitif adalah verba yang memerlukan objek dalam
kalimatnya. Dengan kata lain verba ini memerlukan partikel “o (を)”.
Contohnya:
太郎が窓を開けた。
Tarou ga mado o aketa
<Tarou membuka jende>
2. Jidoushi
Jidoushi adalah verba intransitif yang tidak memerlukan objek dalam
kalimatnya. Dengan kata lain verba ini memerluka partikel “wa”,”ga”,”ni”.
Contoh:
窓が開いた。
Mado ga aita
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
<Jendela terbuka>
3. Shodoushi
Shodoushi merupakan kelompok doushi yang memasukan pertimbangan
pembicara, dan tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif dan kausatif. Selain
itu, tidak memiliki bentuk perintah dan ungkapan kemauan (ishi hyogen).
Contoh:
見える mieru „terlihat‟
聞こえる kikoeru „terdengar‟‟
行ける ikeru „dapat pergi‟
似合う niau „sesuai‟
Dari pengertian yang telah dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa verba
toru termasuk ke dalam kelompok verba intransitif (jidoushi). Verba toru dapat
berdiri sendiri dan tidak memerlukan perlengkapan atau objek dalam kalimatnya.
Selain itu, toru juga dapat berfungsi sebagai fukugo doushi (kata kerja majemuk)
maupun hojo doushi (kata kerja perlengkapan).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
2.5 Makna Verba Toru
Verba toru dibagi menjadi delapan makna menurut kamus Gakken
Kokugo Daijiten tahun 1978 oleh Haruhiko, Kindaichi. Delapan makna tersebut
adalah sebagai berikut :
1. 手に持つ。
Te ni motsu
Menggenggam dengan tangan.
2. 手でつかんで移す。
Te de tsukande utsusu
Menggenggam dengan tangan kemudian memindahkan.
3. 身に負う。
Mi ni ou
Bertahan.
4. 選び出す。
Erabi dasu
Memilih.
5. 作り出す。
Tsukuri dasu
Membangun.
6. 様子をはかり知る。
Yousu wo hakari shiru
Mengetahui kondisi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
7. 場所や時間を占める
Basho ya jikan wo shimeru
Menggunakan tempat dan waktu.
8. (手で)行う。
(te de) okonau
Melaksanakan/ melakukan (dengan tangan).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
BAB III
ANALISIS POLISEMI VERBA “TORU” DALAM
KALIMAT BAHASA JEPANG
Pada bab sebelumnya telah dipaparkan mengenai polisemi dan verba toru .
Polisemi pada verba toru memiliki delapan makna yang berbeda-beda. Maka
pada bab ini analisis mengenai perbedaan dari seluruh makna verba toru akan
dipaparkan sesuai dengan konteks kalimatnya. Kutipan kalimat yang memiliki
kata toru diambil dari majalah Nipponia dan Nipponica.
3.1 Makna Konteks Kalimat Polisemi Verba “Toru” dalam Kalimat
Bahasa Jepang
Kutipan 1:
やがてラジオセンターの各店では、アマチュア無線の部品な
ども取り扱うようになっていきました。
(Nipponia No.46, 2008:4)
Yagate rajio sentaa no kakuten de wa, amachua musen no buhin
nado mo tori atsukau you ni natte ikimashita.
„Di setiap pusat radio yang ada, (mereka) semakin terbiasa
menangani bagian-bagian nirkabel dan (peralatan) lainnya.‟
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
40
Analisis Kutipan 1:
Kalimat tersebut memiliki situasi kalimat di mana mereka mengurus
bagian-bagian yang ada dalam pusat radio. Pada kalimat kutipan tersebut, kata
toru digabung dengan kata atsukau (扱う). Kata tori (取り) pada kalimat tersebut
berhubungan dengan adanya penggunaan peralatan-peralatan radio di pusat-pusat
radio. Maka makna kata toru pada kalimat kutipan tersebut dapat dipadankan
makna nya dengan makna toru yang bermakna melaksanakan dengan tangan.
Kutipan 2:
同じ家電でも、販売する際に専門知識を必要とするハイテク
家電を主に取り扱うようにしたり、外国人観光客向けの免税店を今
まで以上に充実させたりして、“元祖”電気街の地位を守るべく動
力している。
(Nipponia No.46, 2008:8)
Onaji kaden de mo, hanbai suru sai ni senmonchishiki wo hitsuyou
to suru haiteku kaden wo omo ni toriatsukau you ni shitari, gaikokujin
kankou kyaku muke no menzeiten wo ima de ijou ni juujitsu saretari shite,
“ganso” denkigai no chiiki wo mamorubeku doryoku shiteiru.
„Bahkan dengan peralatan rumah tangga yang sama, kita terutama
menangani peralatan rumah tangga yang berteknologi tinggi yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
membutuhkan keahlian saat menjual, atau memperkaya toko bebas pajak
untuk turis asing lebih dari sebelumnya, dan berusaha untuk melindungi
status kota listrik "generasi asli".‟
Analisis Kutipan 2:
Kalimat kutipan tersebut memiliki situasi di mana ada nya penggunaan
alat-alat rumah tangga yang berteknologi tinggi. Diperlukan keahlian saat menjual
peralatan rumah tangga tersebut. Pada kalimat kutipan tersebut, keahlian yang
diperlukan tersebut adalah untuk mengurus peralatan elektronik tersebut. Maka
makna kata toru pada kalimat kutipan tersebut dapat dipadankan makna nya
dengan makna toru yang bermakna melaksanakan dengan tangan.
Kutipan 3:
鉄道会社と煎餅の取り合わせが面白いと話題になり、各地か
らぬれ煎餅の注文が殺到した。
(Nipponia No.43, 2007:9)
Tetsudou gaisha to senbei no tori awase ga omoshiroi to wadai ni
nari, kakuchi kara nuresenbei no chuumon ga sattoushita.
„(Ketika) penggabungan perusahaan rel kereta dan kue beras
menjadi topik dan menarik, pesanan kue beras basah dari berbagai tempat
meningkat.‟
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
42
Analisis Kutipan 3:
Pada kalimat kutipan tersebut ada topik mengenai penggabungan
perusahaan rel kereta dan kue beras adalah sebuah topik yang menarik. Makna
kata tori (取り ) pada kalimat tersebut berubah dari makna aslinya, yaitu
mengambil. Kata tori (取り) pada kalimat tersebut berhubungan dengan adanya
makna membentuk hal yang baru. Maka makna kata toru pada kalimat kutipan
tersebut dapat dipadankan makna nya dengan makna toru yang bermakna
membangun.
Kutipan 4:
貝から取り出せば、天然真珠と何ら変わらない「本物の真珠」
だ。
(Nipponika No.14, 2014:10)
Kai kara tori daseba, tennen shinju to nanra kawaranai “honmono
no shinju” da.
„Jika diambil dari kerang, mutiara alami dan jenis (mutiara) apa
pun adalah “mutiara yang asli”‟
Analisis Kutipan 4:
Kutipan kalimat tersebut memiliki situasi tentang penjelesan
mengenai bagaimana yang disebut dengan „mutiara asli‟. Kalimat tersebut
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
43
menjelaskan bahwa semua mutiara yang diambil dari kerang adalah „mutiara asli‟.
Kata tori (取り ) pada kalimat tersebut berhubungan dengan adanya makna
mengeluarkan sesuatu dari dalam, pada kalimat tersebut yang diambil adalah
mutiara. Maka makna kata toru pada kalimat kutipan tersebut dapat dipadankan
makna nya dengan makna toru yang bermakna menggenggam dengan tangan
kemudian memindahkan.
Kutipan 5:
「巻き」は核を取り巻く真珠層の厚さで、「照り」は真珠内
部から放たれる光沢のこと。
(Nipponika No.14, 2014:11)
„Maki wa kaku wo tori maku shinjusou no atsusa de, “teri” wa
shinju naibu kara hanatareru koutaku no koto.
„Maki merupakan ketebalan induk mutiara yang mengitari/melapisi
batu (permata) dan “teri” merupakan kilauan memancar dari bagian dalam
mutiara‟.
Analisis Kutipan 5:
Pada kalimat kutipan tersebut memiliki situasi tentang penjelasan
mengenai penjelasan definisi dari Maki dan Teri. Kata tori (取り) pada kalimat
tersebut digunakan untuk menjelaskan kata Maki dan kata tori (取り) tersebut
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
44
berhubungan dengan adanya makna penggunaan ruang. Maka makna kata toru
pada kalimat kutipan tersebut dapat dipadankan makna nya dengan makna toru
yang bermakna penggunaan ruang atau „mengelilingi/melapisi‟.
Kutipan 6:
その対極にあるサビを取る還元力のある温泉を浴びれば、そ
の優れ抗酸化作用によって科学的にも若返るのである。
(Nipponika No.16, 2015:15)
Sono taikyoku ni aru sabi wo toru kangenryoku no aruonsen wo
abireba, sono sugureta kousankasyou ni yotte kagakuteki ni wakagaeru no
de aru.
Jika anda mengambil air panas dengan karat yang dibawa pada sisi
berlawanan, maka revitalisasi ilmiah akan meremajakannya dikarenakan
efek antioksidannya yang sangat baik.
Analisis Kutipan 6:
Pada kalimat kutipan tersebut memiliki situasi mengambil air
dengan tangan. Makna kata toru pada kalimat tersebut bermakna „ambil‟. Kata
toru pada kalimat tersebut berhubungan dengan adanya makna melaksanankan
atau melakukan (suatu hal) dengan tangan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
45
Kutipan 7:
BOCCO にはセンサーが取りつけられており、ドアや窓の開
閉、照明のオンオフを感知。
(Nipponika No.16, 2015:20)
BOCCO ni wa sensaa ga toritsukerarete ori, doa ya mado no
kaihei, shoumei no onofu wo kanchi.
BOCCO dilengkapi dengan sensor, pintu pembuka dan penutup
jendela, serta pencahayaan on atau off.
Analisis Kutipan 7:
Pada kalimat kutipan tersebut memiliki situasi tentang
dijelaskannya BOCCO. BOCCO memiliki beberapa perlengkapan sehingga
makna kata tori (取り) pada kalimat tersebut berhubungan dengan adanya makna
„dibangun‟. Maka makna kata toru pada kalimat kutipan tersebut dapat
dipadankan makna nya dengan makna toru yang bermakna „dilengkapi‟.
Kutipan 8:
丸く焼けたところで取り出し、青海苔とかつおぶしをふり、
ソースをかけて出来上がり。
(Nipponika No.8, 1999:26)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46
Maruku yaketa tokorode toridashi, aonori toka tsuobushi wo furi,
soosu wo kakete dekiagari.
Saat dibakar sampai habis, diambil pada saat biru, seolah ditutupi
dengan daun hijau dan bonito, kemudian membuat saus dan selesai.
Analisis Kutipan 8:
Pada kalimat kutipan tersebut memiliki situasi dari kondisi
pengambilan yang tepat. Kata tori (取り) pada kalimat tersebut berhubungan
dengan adanya makna menggenggam dengan tangan, pada kalimat ini situasi
pengambilan yaitu sesudah dibakar sampai habis, kemudian memindahkan dengan
tangan. Maka makna kata toru pada kalimat kutipan tersebut dapat dipadankan
makna nya dengan makna toru yang bermakna „diambil‟.
.3.2 Analisis Perubahan Nuansa Makna Verba “Toru”
Perbedaan makna pada masing-masing kalimat kutipan
menunjukkan adanya お dengan konteks kalimat di mana verba toru digunakan.
Pada kalimat kutipan 1, penggunaan kata toru mendapatkan
perluasan arti kata karena digabung dengan kata atsukau (扱う). Makna kata toru
yang dipakai pada kalimat ini bermakna melaksanakan dengan tangan. Oleh
karena itu, makna kata toru setelah dikonjugasikan dengan kata atsukau (扱う)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
47
berubah makna dari makna aslinya, yaitu dari “mengambil”, menjadi
“menangani”.
Pada kalimat kutipan 2, Kata tori (取り) pada kalimat tersebut
berhubungan dengan adanya penggunaan peralatan-peralatan elektronik. Oleh
karena itu diperlukan kata Toru yang digabungkan dengan kata atsukau (扱う).
Makna dari kata tori atsukau (取り扱う) adalah „menangani‟. Maka makna kata
toru pada kalimat kutipan tersebut dapat dipadankan makna nya dengan makna
toru yang bermakna melaksanakan dengan tangan.
Pada kalimat kutipan 3, penggunaan kata toru mendapatkan
perluasan arti kata karena digabung dengan kata awase (合わせ). Makna kata toru
yang dipakai pada kalimat ini bermakna membentuk hal yang baru atau
menggabungkan. Oleh karena itu, makna kata toru berubah makna dari makna
aslinya, yaitu dari “mengambil”, menjadi “menggabungkan”.
Pada kalimat kutipan 4, penggunaan kata toru mendapatkan
perluasan arti kata karena digabung dengan kata daseba (出せば ). Makna kata
toru yang dipakai pada kalimat ini bermakna menggenggam dengan tangan
kemudian memindahkan atau mengambil. Oleh karena itu, makna kata toru tidak
begitu berubah makna dari makna aslinya, yaitu “mengambil”
Pada kalimat kutipan 5, penggunaan kata toru mendapatkan
perluasan arti kata karena digabung dengan kata maku (巻く). Makna kata toru
yang dipakai pada kalimat ini berhubungan dengan adanya makna penggunaan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
48
ruang. Oleh karena itu, makna kata toru berubah makna dari makna aslinya, yaitu
dari makna “mengambil”, menjadi “mengelilingi / melapisi”.
Pada kalimat kutipan 6, verba toru tidak memiliki perubahan
nuansa makna. Dikarenakan, kata tersebut merupakan kata tunggal sehingga
hanya memunculkan makna dasar dari kata toru , yaitu „ambil‟.
Pada kalimat kutipan 7, kata toru memperoleh nuansa makna
karena adanya tambahan kata tsukerarete (つけられて). Makna kata toru yang
dipakai pada kalimat ini berhubungan dengan adanya makna dibangun, pada
kalimat tersebut adanya perlengkapan pada BOCCO. Maka makna kata toru pada
kalimat kutipan tersebut dapat dipadankan maknanya dengan makna toru yang
bermakna „dilengkapi‟.
Pada kalimat kutipan 8, kata toru memperoleh nuansa makna
karena adanya tambahan kata dashi (出し). Makna kata toru yang dipakai pada
kalimat ini berhubungan dengan adanya makna „diambil‟. Maka makna kata toru
pada kalimat kutipan tersebut dapat dipadankan maknanya dengan makna toru
yang bermakna menggenggam dengan tangan kemudian memindahkannya atau
„diambil‟.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
49
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan pada bab-bab
sebelumnya, maka bisa ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Verba dalam bahasa Jepang adalah salah satu kelas kata yang menyatakan
aktivitas, keberadaan atau keadaan, mengalami perubahan, bisa berdiri
sendiri, dan menduduki jabatan predikat dalam suatu kalimat. Verba toru
merupakan salah satu kata dalam bahasa Jepang yang memiliki makna
polisemi. Makna polisemi verba toru diketahui memiliki delapan makna,
yaitu 手に持つ (te ni motsu) : menggenggam dengan tangan; 手でつかん
で移す (te de tsukande utsusu) : menggenggam dengan tangan kemudian
memindahkan; 身に負う (mi ni ou) : bertahan; 選び出す (erabi dasu) :
memilih; 作り出す (tsukuri dasu) : membangun; 様子をはかり知る
(yousu wo hakari shiru) : mengetahui kondisi; 場所や時間を占める
(basho ya jikan wo shimeru) : menggunakan tempat dan waktu; dan (手で)
行う (te de okonau) : melaksanakan / melakukan dengan tangan.
2. Perubahan nuansa makna dari makna polisemi verba toru berhubungan
erat dengan makna kata lain yang dipadankan dalam satu kalimat dengan
verba toru. Berdasarkan pada kalimat kutipan yang telah dianalisis,
makna verba toru memiliki banyak gabungan kata dan berubah makna
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
50
nya berdasarkan kata yang dilekatkan pada nya. Walaupun verba toru
digabungkan dengan verba lain atau disatukan dengan frase lain, makna
kata verba toru tidak berubah makna menjadi makna lain di luar dari
makna polisemi nya.
4.2 Saran
Bahasa bersifat dinamis dan mengalami perubahan, dalam hal ini
verba toru pun tidak tertutup kemungkinan mengalami pergeseran atau perubahan
makna dalam penggunaannya.
Peneliti beranggapan, bahwa penelitian ini masih harus ditindak lanjuti.
Oleh karena itu, peneliti menyarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai makna verba toru. Dengan penulisan skripsi ini, diharapkan para
pembelajar bahasa Jepang dapat lebih memahami mengenai makna verba toru .
Sehingga diperlukan perhatian khusus dari pembelajar bahasa Jepang agar tidak
terjadi kesalahan ketika menggunakan verba toru..
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, AChaedar. 1993. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum (Cetakan Pertama). Jakarta: RinekaCipta
___________.2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: RinekaCipta
___________. 2012. Linguistik Umum (Cetakan Keempat). Jakarta: RinekaCipta
Depdikbud.1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: BalaiPustaka
Djajasudarma, Fatimah. 1999. Semantik 2 (Pemahaman Ilmu Makna ). Bandung:
Refika
Koizumi, dkk. 1989. Nihongo Kihon Doushi Youhou Jiten. Tokyo: Daishuukan
Shoten.
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Aristia, Puti Novianti. 2015. Analisis Fungsi Dan Makna Nomina Shourai
Dan Mirai Dalam Kalimat Bahasa Jepang . Skripsi Sarjana Medan:
Departement Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.
Nipponika No.14 (Majalah). 2014. Tokyo: Nihon Hakken
Nipponika No. 16 (Majalah). 2015. Tokyo: Nihon Hakken
Nipponia No. 43 (Majalah). 2007. Tokyo: Nihon Hakken
Nipponia No. 46 (Majalah). 2008. Tokyo: Nihon Hakken
Nipponia No. 8 (Majalah). 1999. Tokyo: Nihon Hakken
Parera, J.D.2004. Teori Semantik (EdisiKedua). Jakarta: Erlangga
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sudjianto, Dahidi Ahmad. 1981. Gramatikal Bahasa Jepang. Jakarta: Kesaint
Blanc
____________________. 2004. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang. Jakarta:
Kesaint Blanc
____________________. 2007. Pengantar Linguistik BahasaJepang. Jakarta:
Kesaint Blanc
Situmorang, Hamzon. 2010. Pengantar Ilmu Linguistik (Edisi Revisi). Medan.
USU Press
Sutedi, Dedi. 2003. Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung :Humaniora
Utama Press
Sutedi, Dedi. 2008. Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang (EdisiKetiga).
Bandung: Humaniora Utama Press
Three A Network. 2012. Minna No Nihongo Shokyuu II (cetakan kedua).
Surabaya: I‟mc Center Press.
Ulman, Stephen. 2007. Pengantar Semantik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Bahasa tidak terlepas dari ucapan atau kalimat yang mengandung makna.
Tiap-tiap bahasa memiliki struktur kalimatnya masing-masing. Unsur kalimatnya
pun memiliki fungsi masing-masing. Semua unsur saling berhubungan sehingga
membentuk kalimat yang dapat dipahami oleh lawan bicara. Semantik adalah salah
satu cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang makna. Objek kajian semantik
antara lain makna kata, relasi makna, makna frase, dan makna kalimat. Salah satu
cakupan dalam semantik ialah polisemi.
Dalam setiap bahasa termasuk bahasa Jepang, sering kali ditemukan
relasi makna antara sebuah kata dengan kata lainnya. Salah satu hubungan
kemaknaan tersebut adalah polisemi (tagigo). Polisemi adalah kata yang memiliki
makna lebih dari satu, dan setiap makna tersebut ada hubungannya.
Skripsi yang berjudul “Analisis Polisemi Verba Toru dalam Kalimat
Bahasa Jepang” ini membahas mengenai kata yang mempunyai makna lebih dari
satu. Toru merupakan salah satu contoh kata yang berpolisemi dalam bahasa
Jepang. Verba toru memiliki arti yaitu „ambil‟. Kata toru dianalisis berdasarkan
pada makna kontekstual, yaitu makna yang muncul sebagai akibat hubungan
antara ujaran dengan konteks. Sehingga belum tentu arti kata toru pada suatu
wacana sama dengan wacana lainnya. Artinya hasil terjemahan kata toru dapat
berbeda.
Dalam penulisan skripsi ini membahas masing-masing 8 buah contoh
kalimat yang memakai kata Verba Toru. Seluruh kalimat untuk penelitian ini
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
diambil secara acak dari majalah Jepang seperti 3 buah kalimat dari Nipponika
No. 16 Tahun 2015, 2 buah kalimat dari Nipponika No. 14 Tahun 2014, 1 buah
kalimat dari Nipponia No.43 Tahun 2007, 2 buah kalimat dari Nipponia No.46
Tahun 2008.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui makna apa saja yang terdapat
dalam verba toru. Untuk itu perlu dilakukan analisis dari segi semantik dengan
menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan cara menguraikan pengertian toru,
kemudian dianalisis berdasarkan konteks kalimatnya. Maka hasil dari analisis
tersebut dapat diketahui verba toru memiliki makna yang berbeda.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa verba dalam bahasa Jepang
adalah salah satu kelas kata yang menyatakan aktivitas, keberadaan atau keadaan,
mengalami perubahan, bisa berdiri sendiri, dan menduduki jabatan predikat dalam
suatu kalimat. Verba toru merupakan salah satu kata dalam bahasa Jepang yang
memiliki makna polisemi. Makna polisemi verba toru diketahui memiliki delapan
makna, yaitu 手に持つ (te ni motsu) : menggenggam dengan tangan; 手でつかん
で移す (te de tsukande utsusu) : menggenggam dengan tangan kemudian
memindahkan; 身に負う (mi ni ou) : bertahan; 選び出す (erabi dasu) : memilih;
作り出す (tsukuri dasu) : membangun; 様子をはかり知る (yousu wo hakari
shiru) : mengetahui kondisi; 場所や時間を占める (basho ya jikan wo shimeru) :
menggunakan tempat dan waktu; dan (手で)行う (te de okonau) : melaksanakan /
melakukan dengan tangan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kesimpulan lainnya ialah perubahan nuansa makna dari makna polisemi
verba toru berhubungan erat dengan makna kata lain yang dipadankan dalam satu
kalimat dengan verba toru. Berdasarkan pada kalimat kutipan yang telah
dianalisis, makna verba toru memiliki banyak gabungan kata dan berubah makna
nya berdasarkan kata yang dilekatkan pada nya. Walaupun verba toru
digabungkan dengan verba lain atau disatukan dengan frase lain, makna kata
verba toru tidak berubah makna menjadi makna lain di luar dari makna polisemi
nya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA