Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS AKHIR – SS141501
ANALISIS REGRESI COX EXTENDED PADA PASIEN KUSTA DI KECAMATAN BRONDONG KABUPATEN LAMONGAN NURFAIN NRP 1312 100 042 Dosen Pembimbing Santi Wulan Purnami, M.Si., Ph.D. PROGRAM STUDI S1 JURUSAN STATISTIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA 2017
i
HALAMAN JUDUL
TUGAS AKHIR – SS141501
ANALISIS REGRESI COX EXTENDED PADA PASIEN KUSTA DI KECAMATAN BRONDONG KABUPATEN LAMONGAN NURFAIN NRP 1312 100 042 Dosen Pembimbing Santi Wulan Purnami, M.Si., Ph.D. PROGRAM STUDI S1 JURUSAN STATISTIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2017
iii
TITLE PAGE
FINAL PROJECT – SS141501
COX EXTENDED REGRESSION ANALYSIS OF LEPROSY
PATIENTS AT BRONDONG DISTRICT, LAMONGAN
NURFAIN NRP 1312 100 042 Supervisor Santi Wulan Purnami, M.Si., Ph.D. UNDERGRADUATE PROGRAMME DEPARTMENT OF STATISTICS FACULTY OF MATHEMATICS AND NATURAL SCIENCES INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA 2017
v
LEMBAR PENGESAHAN
vii
ANALISIS REGRESI COX EXTENDED PADA
PASIEN KUSTA DI KECAMATAN BRONDONG
KABUPATEN LAMONGAN
Nama Mahasiswa : Nurfain
NRP : 1312 100 042
Jurusan : Statistika FMIPA-ITS
Dosen pembimbing : Santi Wulan Purnami, M.Si., Ph.D.
ABSTRAK Kusta merupakan salah satu penyakit yang tergolong menular
dan masih belum sepenuhnya mampu dikendalikan pemerintah.
Penyakit kusta terbagi menjadi dua tipe kusta yaitu Pausi Bacillary
(PB) dan Multi Bacillary (MB). Penelitian mengenai kejadian
kusta dengan mengidentifikasi laju perbaikan klinisnya dapat
menggunakan analisis survival dengan memodelkan faktor-faktor
yang diduga berpengaruh terhadap probabilitas perbaikan klinis
pasien kusta. Metode yang dapat digunakan pada analisis survival
yaitu model Cox Proportional Hazard yang terbatas pada hazard
ratio yang konstan. Tetapi jika hazard ratio tidak konstan maka
perlu digunakan metode alternatif yaitu salah satunya dengan
regresi Cox Extended. Berdasarkan hasil analisis, setelah hari ke-
190 untuk tipe PB dan ke-370 untuk tipe MB ternyata didapatkan
probabilitas pasien kusta di kecamatan Brondong, lamongan yang
mengalami perbaikan klinis cukup besar. Dengan kata lain,
setelah hari tersebut sudah banyak pasien yang mengalami
perbaikan klinis dan dinyatakan Release From Treatment (RF).
Variabel yang tidak memenuhi asumsi proportional hazard adalah
status pasien. Kemudian variabel yang signifikan mempengaruhi
laju perbaikan klinis pasien kusta adalah tipe kusta dan
keteraturan berobat. Pasien kusta yang menderita tipe MB
cenderung mengalami perbaikan klinis 0,001 kali lebih kecil
dibandingkan tipe PB. Sementara itu, pasien kusta yang teratur
berobat cenderung mengalami perbaikan klinis 11,667 kali lebih
besar dibandingkan yang tidak teratur berobat.
Kata Kunci : Analisis Survival, Perbaikan Klinis, Pasien Kusta,
Regresi Cox Extended
viii
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
ix
COX EXTENDED REGRESSION ANALYSIS OF
LEPROSY PATIENTS AT BRONDONG DISTRICT,
LAMONGAN
Name : Nurfain
NRP : 1312 100 042
Department : Statistics FMIPA-ITS
Advisor : Santi Wulan Purnami, M.Si., Ph.D.
ABSTRACT Leprosy is one of contagious diseases that still could not be
controlled by government. This illness could be divided into two
types: Pausi Bacillary (PB) and Multi Bacillary (MB). There are
numerous researches about the improvement rate of leprocy
sufferer, it can be utilized survial analysis by modelling many
factors that is expected to influence the probability of clinical
repair of leprosy patients. The method which is used to that
analysis, is Cox Proportional Hazard, which is limited to the
constant hazard ratio. However, if it is inconstant, so it must come
up with Cox Extended regression as one of the alternative method.
Based on the analysis results, after 190 days for type-PB and 370
days for type MB, the probability of leprosy patients at district of
Brondong, Lamongan that usually do experience clinical repair is
big enough. On the other hand, after those days, many patients
experienced clinical improvement and it is avowed Release from
Treatment. In addition, the variable which not fulfilled the
assumption of hazard proportional is the status of the patients.
Then, the most significant variable that influence the clinical
improvement rate is the types of Leprosy and their regularity
treatment.The leprosy patients who suffer from MB type tend to
have clinical improvement 0,001 smaller tahn PB type. Meanwhile,
those who regularly take treatment tend to have clinical
improvement 11,677 larger than they who irregularly take
treatment.
Keywords: Survival Analysis, Clinical Improvement, Leprosy
Patients, Cox Extended Regression
x
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
xi
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah, Tuhan YME yang telah
melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Tugas Akhir yang
berjudul “Analisis Regresi Cox Extended Pada Pasien Kusta Di
Kecamatan Brondong Kabupaten Lamongan” ini tepat pada
waktunya. Penulisan laporan Tugas Akhir ini tidak akan berjalan
dengan lancar tanpa bantuan dan dukungan beberapa pihak, oleh
karena itu pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Suhartono selaku Ketua Jurusan Statistika
FMIPA ITS yang telah memberikan banyak fasilitas,
sarana dan prasarana sehingga membantu penyelesaian
Tugas Akhir ini.
2. Bapak Dr. Sutikno, S.Si., M.Si. selaku Ketua Program
Studi S1 Statistika ITS yang telah membantu dan
memfasilitasi hingga selesainya Tugas Akhir ini.
3. Ibu Santi Wulan Purnami, M.Si, Ph.D selaku dosen
pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk
membimbing dan mengarahkan penulis selama menyusun
Tugas Akhir.
4. Bapak Dr. Wahyu Wibowo, S.Si,.M.Si dan Ibu Ir. Sri
Pingit W, M.Si selaku dosen penguji yang telah banyak
memberikan banyak masukan kepada penulis.
5. Seluruh dosen dan karyawan di lingkungan Jurusan
Statistika ITS yang telah memberikan banyak ilmu,
pengalaman dan bantuan kepada penulis selama
menempuh proses perkuliahan.
6. Bapak, Ibu, Toha dan Mbak Um serta keluarga penulis
lainnya yang telah memberikan dukungan baik secara
moril dan materil kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tugas Akhir dengan baik.
xii
7. Teman-teman excellent sigma 23 khususnya teman-teman
pejuang PW 115 yang telah memberikan semangat kepada
penulis untuk dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.
8. PHK FORSIS-ITS 14/15, PHK JMMI-ITS 15/16, dan
Santri SDM IPTEK ANGKATAN 4, yang selalu
mendukung dan melengkapi cerita indah penulis selama
kuliah.
9. Teman-teman Statistika dan teman-teman lainnya yang
tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
melengkapi cerita indah penulis selama kuliah.
10. Semua teman, relasi, dan berbagai pihak yang tidak bisa
penulis sebutkan namanya satu per satu yang telah
membantu dalam penulisan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran diharapkan dari semua
pihak untuk tahap prngembangan selanjutnya. Besar harapan
penulis bahwa informasi sekecil apapun dalam Tugas Akhir ini
bermanfaat bagi semua pihak dan dapat menambah wawasan serta
pengetahuan.
Surabaya, Januari 2017
Penulis
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL..................................................................... i
TITLE PAGE ...............................................................................iii
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................... v
ABSTRAK .................................................................................. vii
ABSTRACT ................................................................................. ix
KATA PENGANTAR ................................................................ xi
DAFTAR ISI .............................................................................xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................... xvii
DAFTAR TABEL ..................................................................... xix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................ xxi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................ 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................. 5
1.3 Tujuan .................................................................................... 6
1.4 Manfaat .................................................................................. 6
1.5 Batasan Penelitian.................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................. 9
2.1 Analisis Survival .................................................................... 9
2.1.1 Waktu Survival ............................................................ 9
2.1.2 Data Tersensor ........................................................... 10
2.1.3 Dasar Teori Analisis Survival .................................... 11
2.1.3.1 Fungsi Kepadatan Peluang (PDF) ................ 11
2.1.3.2 Fungsi Survival ............................................. 12
2.1.3.3 Fungsi Hazard ............................................... 13
2.1.4 Kurva Survival Kaplan-Meier ................................... 15
2.1.5 Uji Log-Rank ............................................................. 16
2.2 Regresi Cox ......................................................................... 18
2.2.1 Asumsi Proportional Hazard .................................... 18
2.2.2 Model Cox Proportional Hazard .............................. 21
2.2.3 Model Cox Extended ................................................. 22
2.2.4 Estimasi Parameter Regresi Cox ............................... 23
2.2.5 Seleksi Model Terbaik............................................... 27
xiv
2.2.6 Pengujian Signifikasi ................................................. 29
2.3 Hazard Ratio ........................................................................ 30
2.4 Kurva Adjusted Survival ...................................................... 31
2.5 Penyakit Kusta ..................................................................... 32
2.5.1 Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Penyakit
Kusta .......................................................................... 32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................ 39
3.1 Sumber Data ........................................................................ 39
3.2 Variabel Penelitian ............................................................... 39
3.3 Tahapan Analisis Data ......................................................... 44
3.4 Diagram Tahapan Penelitian ................................................ 45
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ............................. 47
4.1 Karakteristik Umum Pasien Kusta ....................................... 47
4.2 Karakteristik Waktu Survival Pasien Kusta ......................... 56
4.2.1 Karakteristik Waktu Survival Pasien Kusta
Berdasarkan Usia ....................................................... 58
4.2.2 Karakteristik Waktu Survival Pasien Kusta
Berdasarkan Jenis Kelamin ....................................... 60
4.2.3 Karakteristik Waktu Survival Pasien Kusta
Berdasarkan Tipe Kusta ............................................ 61
4.2.4 Karakteristik Waktu Survival Pasien Kusta
Berdasarkan Tingkat Cacat ........................................ 62
4.2.5 Karakteristik Waktu Survival Pasien Kusta
Berdasarkan Keteraturan Berobat .............................. 63
4.2.6 Karakteristik Waktu Survival Pasien Kusta
Berdasarkan Status Pasien ......................................... 65
4.3 Memodelkan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju
Perbaikan Klinis Pasien Kusta Dengan Regresi Cox
Extended .............................................................................. 67
4.3.1 Uji Asumsi Proportional Hazard (PH) ..................... 67
4.3.2 Estimasi Parameter Model Cox Extended ................. 69
4.3.3 Seleksi dan Estimasi Model Cox Extended Terbaik .. 71
4.4 Kurva Adjusted Survival Pasien Kusta ................................ 73
4.4.1 Kurva Adjusted Survival Pasien Kusta Berdasarkan
Tipe Kusta ................................................................. 75
xv
4.4.2 Kurva Adjusted Survival Pasien Kusta Berdasarkan
Keteraturan Berobat .................................................. 77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................... 79
5.1 Kesimpulan .......................................................................... 79
5.2 Saran .................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 81
LAMPIRAN ............................................................................... 85
BIODATA PENULIS .............................................................. 103
xvi
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Ilustrasi Grafik Untuk Asumsi PH ....................... 19 Gambar 3.1 Tahapan Penelitian ............................................... 46
Gambar 4.1 Persebaran Pasien Kusta (2012-2015)
Berdasarkan Tipe Kusta ....................................... 50
Gambar 4.2 Karakteristik Pasien Kusta Berdasarkan
Jenis Kelamin ....................................................... 52
Gambar 4.3 Karakteristik Pasien Kusta Berdasarkan
Tipe Kusta ............................................................ 53
Gambar 4.4 Karakteristik Pasien Kusta Berdasarkan
Tingkat Cacat ....................................................... 54
Gambar 4.5 Karakteristik Pasien Kusta Berdasarkan
Keteraturan Berobat ............................................. 55
Gambar 4.6 Karakteristik Pasien Kusta Berdasarkan
Status Pasien ......................................................... 56
Gambar 4.7 Kurva Survival Kaplan-Meier Pasien Kusta ........ 57
Gambar 4.8 Kurva Survival Kaplan-Meier Berdasarkan
Usia ...................................................................... 59
Gambar 4.9 Kurva Survival Kaplan-Meier Berdasarkan
Jenis Kelamin ....................................................... 60
Gambar 4.10 Kurva Survival Kaplan-Meier Berdasarkan
Tipe Kusta ............................................................ 61
Gambar 4.11 Kurva Survival Kaplan-Meier Berdasarkan
Tingkat Cacat ....................................................... 63
Gambar 4.12 Kurva Survival Kaplan-Meier Berdasarkan
Keteraturan Berobat ............................................. 64
Gambar 4.13 Kurva Survival Kaplan-Meier Berdasarkan
Status Pasien ......................................................... 65
Gambar 4.14 Kurva Adjusted Survival Pasien Kusta ................ 74
Gambar 4.15 Kurva Adjusted Survival Pasien Kusta
Berdasarkan Tipe Kusta ....................................... 75
Gambar 4.16 Kurva Adjusted Survival Pasien Kusta
Berdasarkan Keteraturan Berobat ........................ 77
xviii
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
xix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Hazard Ratio Untuk Masing-Masing Fungsi 𝑔𝑗(𝑡) .. 23
Tabel 2.2 Tanda Utama Kusta pada Tipe PB dan MB .............. 33
Tabel 2.3 Tingkat Cacat Kusta Menurut WHO (1995) ............. 34
Tabel 3.1 Variabel Dependen Penelitian ................................... 40
Tabel 3.2 Variabel Independen Penelitian ................................. 40
Tabel 3.3 Struktur Data Utama Penelitian ................................. 43
Tabel 3.4 Variabel Pendukung Penelitian ................................. 43
Tabel 3.5 Struktur Data Pendukung Penelitian ......................... 44
Tabel 4.1 Karakteristik Pasien Kusta Pada Tahun 2012-2015 .. 48
Tabel 4.2 Karakteristik Waktu Survival (T) dan Usia Pasien
Kusta Berdasarkan Status Tersensor ......................... 51
Tabel 4.3 Pengujian Kurva Survival dengan Uji Log-Rank ...... 66
Tabel 4.4 Pengujian Asumsi Proportional Hazard Dengan
GOF ........................................................................... 68
Tabel 4.5 Estimasi Parameter Model Cox Extended Dengan
Fungsi Waktu ............................................................ 70
Tabel 4.6 Hasil Eliminasi Backward dan Nilai AIC ................. 71
Tabel 4.7 Estimasi Parameter Model Cox Extended Terbaik
Dengan Fungsi Waktu ............................................... 72
Tabel 4.8 Hazard Ratio Variabel Signifikan ............................. 73
xx
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data Pasien Kusta di Kecamatan Brondong
Kabupaten Lamongan .......................................... 85
Lampiran 2. Karakteristik Pasien Kusta di Kecamatan Brondong
Kabupaten Lamongan Berdasarkan Tempat
Tinggalnya Pada Tahun 2012-2015 ..................... 87
Lampiran 3. Output SAS Estimasi Fungsi Survival ................. 88
Lampiran 4. Output SAS Uji Log-Rank.................................... 91
Lampiran 5. Output SAS Uji Asumsi Proportional Hazard
dengan Plot Log-Log ............................................ 94
Lampiran 6. Output SAS Uji Asumsi Proportional Hazard
dengan Uji Goodness-of-fit .................................. 96
Lampiran 7. Output SAS Estimasi Parameter Regresi Cox
Extended Seluruh Variabel ................................... 96
Lampiran 8. Output SAS Seleksi Model Terbaik dengan
Eliminasi Backward ............................................. 97
Lampiran 9. Output SAS Estimasi Parameter Regresi Cox
Extended Terbaik ................................................ 98
Lampiran 10. Syntax SAS Membuat Kurva Survival Kaplan-
Meier .................................................................... 99
Lampiran 11. Syntax SAS Melakukan Uji Asumsi Proportional
Hazard dengan Plot Log-Log Berdasarkan Masing-
Masing Variabel ................................................... 99
Lampiran 12. Syntax SAS Melakukan Uji Asumsi Proportional
Hazard dengan Uji Goodness-of-fit ..................... 99
Lampiran 13. Syntax SAS Menghitung Estimasi Parameter
Regresi Cox Extended Seluruh Variabel ............ 100
Lampiran 14. Syntax SAS Seleksi Model Terbaik dengan
Eliminasi Backward ........................................... 100
Lampiran 15. Syntax SAS Menghitung Estimasi Parameter
Regresi Cox Extended Terbaik ........................... 100
Lampiran 16. Syntax SAS Membuat Kurva Adjusted
Survival .............................................................. 101
xxii
Lampiran 17. Surat Pernyataan Data Sekunder ........................ 102
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, masyarakat Indonesia masih menghadapi
beberapa permasalahan dibidang kesehatan terutama masalah yang
berkenaan dengan penyakit menular baru sementara penyakit
menular lain belum dapat dikendalikan. Salah satu penyakt
menular yang sampai saat ini belum sepenuhnya dapat
dikendalikan adalah penyakit kusta. Meskipun penyakit kusta saat
ini sudah dapat disembuhkan bukan berarti Indonesia sudah
terbebas dari masalah penyakit kusta. Hal ini terjadi karena dari
tahun ke tahun masih ditemukan sejumlah baru kusta (Departemen
Kesehatan RI, 2007).
Penyakit kusta disebut juga sebagai penyakit Lepra atau
penyakit Hansen disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Bakteri
ini mengalami proses pembelahan cukup lama antara 2-3 minggu.
Daya tahan hidup kuman kusta mencapai 9 hari di luar tubuh
manusia. Kuman kusta memiliki masa inkubasi 2-5 tahun bahkan
juga dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun. Penanganan kasus
yang buruk dapat menyebabkan kusta menjadi progresif,
menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, saraf, anggota
gerak, dan mata (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Kusta
memiliki dua tipe yaitu kusta tipe Pausi Bacillary (PB) atau disebut
juga dengan kusta kering yaitu tipe kusta yang tidak menular.
Sedangkan tipe kedua adalah kusta tipe Multi Bacillary (MB) atau
disebut juga dengan kusta basah yaitu tipe kusta yang sangat
mudah menular (Pusdatin RI, 2015).
Tanda-tanda seseorang menderita kusta tipe PB antara lain
ada bercak keputihan seperti panu dan mati rasa, permukaan bercak
kering dan kasar serta tidak berkeringat, tidak tumbuh rambut/bulu,
bercak pada kulit antara 1-5 tempat, ada kerusakan saraf pada satu
tempat, dan hasil pemeriksaan bakteriologis negatif. Sedangkan
tanda-tanda seseorang menderita kusta tipe MB antara lain ada
bercak putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau merata di
2
seluruh kulit badan, terjadi penebalan dan pembengkakan pada
bercak, bercak pada kulit lebih dari 5 tempat, kerusakan banyak
saraf tepi, dan hasil pemeriksaan bakteriologi positif (Pusdatin RI,
2015).
Word Health Organization (2013), melaporkan prevalensi
kusta di dunia pada bulan Agustus 2012 berjumlah 181.941 (0,34),
paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara mencapai
166.445, diikuti regional Amerika 36.178, regional Afrika 20.599
, dan sisanya berada di regional lain di dunia. Sedangkan pada akhir
Agustus tahun 2013 mengalami peningkatan sejumlah 189.018
(0,33). Sedangkan di Indonesia sendiri, Kementrian Kesehatan RI
(2014) menginformasikan bahwa Pada tahun 2014 dilaporkan
terdapat 17.025 kasus baru kusta dengan 83,5% kasus di antaranya
merupakan tipe Multi Basiler (MB). Sedangkan menurut jenis
kelamin, 62,6% baru kusta berjenis kelamin laki-laki dan sebesar
37,4% lainnya berjenis kelamin perempuan. Hal ini menjadikan
Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan jumlah kasus kusta
terbesar didunia setelah India dan Brazil.
Kusta dibagi menjadi 2 kelompok yaitu beban kusta tinggi
(high burden) dan beban kusta rendah (low burden). Provinsi
disebut high burden jika NCDR (new case detection rate: angka
penemuan kasus baru) > 10 per 100.000 penduduk dan atau jumlah
kasus baru lebih dari 1.000, sedangkan low burden jika NCDR <
10 per 100.000 penduduk dan atau jumlah kasus baru kurang dari
1.000 kasus. Pada tahun 2011-2013 terdapat 14 provinsi (42,4%)
termasuk dalam beban kusta tinggi. Sedangkan 19 provinsi lainnya
(57,6%) termasuk dalam beban kusta rendah. Hampir seluruh
provinsi di bagian timur Indonesia merupakan daerah dengan
beban kusta tinggi (Pusdatin RI, 2015). Jawa timur merupakan
Provinsi yang tergolong kedalam high burden . Pada tahun 2014,
jumlah kasus baru kusta di Jawa Timur sebesar 4.119 kasus (PB=
287, MB= 3.832), dibawahnya ada Jawa Barat sebesar 2.222 kasus,
Jawa Tengah sebesar 1.829 kasus , Papua sebesar 1.761 kasus, dan
Sulawesi Selatan sebesar 1.139 kasus. Penyebaran kusta di
3
Provinsi Jawa Timur meliputi pantai utara dan Madura
(Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang
tinggal di daerah endemis. Kabupaten Lamongan adalah salah satu
daerah endemis kusta di pantai utara Jawa Timur dengan prevalensi
sebesar 4,25 per 10.000 penduduk, merupakan peringkat kelima
setelah Sampang, Sumenep, Tuban dan Lumajang dengan jumlah
terdaftar sebanyak 537 orang (Dinkes Jatim, 2008). Prevalensi
Kabupaten Lamongan menunujukkan bahwa daerah tersebut telah
mewakili sebagai daerah endemis kusta di Jawa Timur, karena
syarat menjadi daerah endemis kusta adalah jika prevalensi > 1 per
10.000 penduduk. Prevalensi kusta di wilayah puskesmas
Brondong Lamongan, saat ini sebesar 10,41 per 10.000 yang
artinya dari 10.000 penduduk di kecamatan Brondong, Lamongan
yang menderita kusta sebanyak 10 orang. Prevalensi ini merupakan
peringkat pertama dari seluruh kabupaten Lamongan (Puskesmas
Brondong, 2010).
Penelitian mengenai kejadian kusta telah banyak dilakukan
di Indonesia akan tetapi tidak banyak yang mempertimbangkan
aspek perbaikan klinis. Padahal sangat penting pula untuk
mengetahui laju perbaikan klinis pasien yang telah mengidap
kusta. Jika laju perbaikan klinis pasien kusta dapat diestimasi,
maka para pelaku kesehatan dapat meningkatkan kinerja
pengobatan terhadap pasien tersebut sehingga kecacatan akibat
kusta dapat diminimalisir. Analisis statistika yang dapat digunakan
untuk mengestimasi laju perbaikan klinis pasien kusta adalah
analisis Survival.
Analisis Survival merupakan prosedur statistika yang
digunakan untuk menganalisis data dengan variabel yang
diperhatikan adalah jangka waktu dari awal pengamatan sampai
suatu event terjadi dengan melihat variabel-variabel yang
mempengaruhi event tersebut. Jangka waktu dari awal pengamatan
sampai terjadinya suatu event disebut dengan waktu Survival yang
biasanya diukur dalam hari, minggu, bulan maupun tahun. Event
yang diperhatikan dalam analisis Survival dapat berupa kematian,
4
munculnya suatu penyakit, kambuhnya suatu penyakit, perceraian
atau kejadian-kejadian yang lain (Kleinbaum dan Klein, 2012).
Dalam bidang kesehatan, tujuan analisis Survival selain untuk
mengestimasi laju kesembuhan pasien terhadap suatu penyakit
tertentu, juga untuk menentukan faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap waktu Survival pasien tersebut. Salah satu metode yang
digunakan untuk mencari hubungan faktor-faktor terhadap waktu
Survival adalah metode regresi.
Ada tiga macam regresi dalam Analisis Survival yaitu
regresi parametrik, nonparametrik, dan semiparametrik. Regresi
semiparametrik adalah regresi yang paling populer diantara dua
metode regresi lainnya. Hal ini dikarenakan regresi semiparametrik
tidak memerlukan asumsi distribusi waktu Survival akan tetapi
hasil estimasi parameternya mendekati metode regresi parametrik.
Salah satu regresi semiparametrik yang sering digunakan dalam
analisis Survival adalah regresi Cox Proportional Hazard. Regresi
ini bertujuan untuk mengetahui efek dari beberapa variabel
terhadap data Survival secara bersama-sama (Cox, 1972).
Metode regresi Cox Proportional Hazard ini memang
umum digunakan karena model tidak harus didasari oleh suatu
distribusi tertentu, tanpa ditentukan baseline hazard model ini
dapat digunakan. Metode regresi ini mempunyai asumsi yang harus
dipenuhi yaitu rasio dari dua angka hazard harus konstan terhadap
waktu kegagalan atau dengan kata lain hazard rate untuk satu
individu sebanding dengan hazard rate individu lain. Namun
terkadang terdapat beberapa kasus yang tidak semua peubah bebas
memenuhi asumsi Proportional Hazard yang menyebabkan
peubah bebas tersebut tidak akan signifikan terhadap model regresi
Cox Proportional Hazard. Oleh karena itu diperlukan metode lain
untuk mendapatkan hasil yang lebih baik untuk menganalisis data
Survival tersebut. Terdapat alternatif cara ketika asumsi
Proportional Hazard tidak terpenuhi salah satunya dengan
perluasan model menggunakan metode regresi Cox Extended
(Kleinbaum dan Klein, 2012).
5
Penelitian yang berkenaan dengan kusta pernah dilakukan
oleh Taib (2014) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
tingkat kecacatan kusta di RSUD Toto Kabila yang menunjukkan
bahwa variabel pengetahuan, pengobatan, reaksi kusta, dan
variabel perawatan diri terdapat hubungan yang signifikan dengan
tingkat kecacatan kusta di RSUD Toto Kabila. Penelitian lain oleh
Susanto (2006), menemukan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara umur, pendidikan, tipe kusta, reaksi,
pengetahuan, ketaatan berobat, diagnosis, dan perawatan diri
dengan tingkat kecacatan kusta, sedangkan antara jenis kelamin,
lama sakit dan lama kerja tidak terdapat hubungan yang signifkan
dengan tingkat kecacatan kusta di kabupaten Sukoharjo.
Sedangkan penelitian yang berkenaan dengan analisis regresi Cox
Proportional Hazard sudah pernah dilakukan oleh Rahayu (2012)
untuk mengetahui ketahanan hidup pasien Diabetes Mellitus di
RSUD RAA Soewondo Pati. Sedangkan analisis yang berkenaan
dengan regresi Cox Extended pernah dilakukan oleh Aini (2011)
untuk memodelkan lama seseorang gagal ginjal hingga mengalami
infeksi. Kemudian Lasmini (2013) juga pernah membandingkan
metode regresi Cox Proportional Hazard dengan regresi Cox
Extended pada aplikasi waktu ketahanan pengguna narkoba. Dan
didapatkan hasil bahwa model Cox Extended lebih baik daripada
model Cox Proportional Hazard pada kasus nilai kovariatnya
bergantung terhadap waktu.
Penelitian ini akan difokuskan untuk menganalisis laju
perbaikan klinis pasien kusta di kecamatan Brondong kabupaten
Lamongan serta mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi-
nya dengan menggunakan metode analisis Survival regresi Cox
Extended untuk kasus asumsi Proportional Hazard yang tidak
terpenuhi.
1.2 Rumusan Masalah
Salah satu metode statistika yang dapat mengestimasi laju
perbaikan klinis pasien kusta dan menentukan faktor-faktor yang
mempengaruhinya adalah analisis Survival dengan model Regresi
Cox Extended untuk kasus asumsi Proportional Hazard yang tidak
6
terpenuhi. Dengan demikian, rumusan masalah yang ingin diteliti
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana kurva Survival pasien kusta berdasarkan variabel
yang diduga mempengaruhinya di kecamatan Brondong
kabupaten Lamongan?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi laju perbaikan
klinis pasien kusta di kecamatan Brondong kabupaten
Lamongan?
3. Bagaimana kurva Adjusted Survival berdasarkan variabel
yang signifikan mempengaruhi laju perbaikan klinis pasien
kusta di kecamatan Brondong kabupaten Lamongan?
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan kurva Survival pasien kusta berdasarkan
variabel yang diduga mempengaruhinya di kecamatan
Brondong kabupaten Lamongan.
2. Memodelkan faktor-faktor yang mempengaruhi laju
perbaikan klinis pasien kusta di kecamatan Brondong
kabupaten Lamongan.
3. Mengestimasi kurva Adjusted Survival berdasarkan variabel
yang signifikan mempengaruhi laju perbaikan klinis pasien
kusta di kecamatan Brondong kabupaten Lamongan.
1.4 Manfaat
Deskripsi data akan memberikan informasi penting kepada
pembaca dan tenaga medis yang ada di Puskesmas kecamatan
Brondong kabupaten Lamongan antara lain informasi tentang
kondisi daerah yang rawan kusta, pertumbuhan kusta ditiap
tahunnya, dan beberapa informasi lainnya. Kemudian deskripsi
waktu Survival pasien kusta akan memberikan gambaran tentang
karakteristik waktu Survival pasien kusta. Selanjutnya dengan
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi laju perbaikan klinis
pasien kusta, dapat memberikan rekomendasi kepada tenaga medis
7
yang ada di Puskesmas Brondong untuk mengevaluasi penanganan
pasien kusta.
1.5 Batasan Penelitian Pembahasan dalam penelitian ini agar sesuai dengan tujuan
yang diharapkan maka perlu dilakukan batasan penelitian sebagai
berikut.
1. Tipe data tersensor yang digunakan dalam analisis adalah
tipe data tersensor kanan
2. Pasien yang diteliti adalah pasien yang terdaftar di buku
rekap pasien kusta di Puskesmas kecamatan Brondong
kabupaten Lamongan
3. Multikolinieritas pada variabel kategorik dapat diabaikan
8
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Analisis Survival
Analisis Survival merupakan serangkaian proses statistika
untuk menganalisis data berupa respon yang diamati adalah waktu
sampai terjadinya suatu peristiwa atau durasi. Waktu bisa berarti
tahun, bulan, minggu, atau hari dimulainya pengamatan sampai
terjadinya suatu peristiwa atau usia individu ketika terjadinya
peristiwa. Peristiwa tersebut bisa merupakan berkembangnya suatu
penyakit, respons terhadap suatu pengobatan, kambuh/ keadaan
sakit kembali setelah sembuh, juga kematian atau sesuatu lain yang
menarik dari suatu individu (Kleinbaum dan Klein 2012).
Menurut Collet (2003), analisis Survival adalah suatu
metode yang berhubungan dengan waktu, mulai dari time origin
atau start point sampai dengan terjadinya suatu kejadian khusus
atau end point. Data yang diperoleh di bidang kesehatan
merupakan pengamatan terhadap pasien yang diamati dan dicatat
waktu terjadinya kegagalan dari setiap individu. Dalam analisis
Survival kesehatan, event dibagi menjadi dua yakni event positif
dan event negatif. Yang termasuk event positif antara lain objek
sembuh atau membaik dari suatu penyakit, sedangkan yang
termasuk event negatif antara lain objek meninggal atau penyakit
yang diderita objek kambuh.
2.1.1 Waktu Survival
Pada analisis Survival biasanya variabel waktu disebut juga
sebagai waktu Survival karena mengindikasikan bahwa seorang
individu telah bertahan (survived) selama periode pengamatan.
Waktu Survival adalah waktu yang diperoleh dari suatu
pengamatan terhadap objek yang dicatat dari awal sampai
terjadinya event (Collet, 2003).
Ada tiga faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan
waktu Survival menurut (Cox, 1972), yakni:
1. Waktu awal (time origin/starting point) suatu kejadian,
2. Event dari keseluruhan kejadian harus jelas, dan
10
3. Skala pengukuran sebagai bagian dari waktu harus jelas
2.1.2 Data Tersensor
Menurut Lee dan Wang (2003), data tersensor merupakan
data yang tidak dapat diamati secara utuh dikarenakan subyek
pengamatan hilang sehingga tidak dapat diambil datanya, atau
sampai akhir penelitian subyek tersebut belum mengalami suatu
event tertentu. Menurut Klein & Kleinbaum (2012) yang menjadi
faktor-faktor penyebab terjadinya data tersensor, antara lain.
1. Termination of the study, yakni masa penelitian berakhir
sementara objek yang diobservasi belum mencapai event.
2. Lost of follow up, yakni bila objek tidak mengikuti treatment
yang diberikan sampai masa penelitian berakhir, misalnya
pindah, atau menolak untuk berpartisipasi.
3. Withdraws from the study, yakni treatment dihentikan karena
alasan tertentu, misalnya pengobatan yang diberikan
memberikan efek yang buruk terhadap kesehatan pasien atau
meninggal bukan disebabkan karena penyakit yang diteliti.
Penyensoran merupakan suatu hal yang membedakan antara
analisis Survival dengan analisis statistika lainnya. Penyensoran
dilakukan untuk mengatasi beberapa permasalahan dalam suatu
analisis, misalnya peneliti membutuhkan waktu yang lama untuk
mendapatkan data yang lengkap sampai subyek pengamatan
mengalami suatu event yang diinginkan dan seringkali menelan
biaya yang banyak.
Menurut David Collett (2003), terdapat tiga macam
penyensoran di dalam analisis Survival, yaitu:
a. Sensor Kanan (Right Censoring)
Data Survival biasanya merupakan data yang tersensor kanan.
Sensor kanan dapat terjadi karena beberapa alasan, yaitu: (1)
subyek pengamatan belum mengalami suatu event sampai masa
penelitian berakhir, (2) subyek pengamatan keluar pada saat
masa penelitian berlangsung, (3) subyek pengamatan
meninggal pada saat penelitian, akan tetapi penyebab
meninggal tidak berhubungan dengan event yang diperhatikan.
11
b. Sensor Kiri (Left Censoring)
Data tersensor kiri terjadi ketika subyek pengamatan tidak
teramati pada awal waktu pengamatan, akan tetapi sebelum
penelitan berakhir semua event sudah dapat diamati secara
penuh. Atau dapat pula dikatakan bahwa event yang ingin
diperhatikan pada subyek pengamatan tersebut sudah terjadi
saat subyek pengamatan tersebut masuk ke dalam penelitian.
c. Sensor Interval (Interval Censoring)
Sensor interval terjadi ketika suatu event yang diamati pada
subyek pengamatan terjadi pada selang waktu tertentu.
2.1.3 Dasar Teori Analisis Survival
Menurut Lee dan Wang (2003) terdapat tiga cara untuk
menentukan distribusi dari Τ , yaitu fungsi kepadatan peluang
(pdf), fungsi Survival dan fungsi hazard. Untuk Τ merupakan
variabel random non negatif yang menunjukan waktu Survival dari
populasi yang homogen dan t merupakan beberapa nilai tertentu
yang diperhatikan untuk variabel Τ.
2.1.3.1 Fungsi Kepadatan Peluang (PDF)
Fungsi kepadatan peluang merupakan peluang suatu
individu mengalami event, gagal atau mati dalam interval waktu t
sampai ( 𝑡 + ∆𝑡) yang dinotasikan dengan f(t). Fungsi ini
dirumuskan sebagai berikut.
𝑓(𝑡) = lim∆𝑡→0
(𝑃(𝑡 ≤ 𝑇 < (𝑡 + ∆𝑡)
∆𝑡)
= lim∆𝑡→0
((𝑡 + ∆𝑡) − 𝐹(𝑡)
∆𝑡)
T merupakan variabel random non negatif dalam interval [0,∞), 𝐹(𝑡) merupakan fungsi distribusi kumulatif (cdf) dari T.
Fungsi ini didefinisikan sebagai peluang suatu individu mengalami
event sampai dengan waktu t yang dapat dituliskan sebagai berikut.
𝐹(𝑡) = 𝑃(𝑇 ≤ 𝑡)
= ∫ 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥𝑡
0
(2.1)
(2.2)
12
Dari persamaan (2.2) di atas, dengan melakukan penurunan
terhadap dt pada kedua sisi diperoleh
𝐹′(𝑡) = 𝐷𝑡 (∫ 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥𝑡
0
) = 𝑓(𝑡)
2.1.3.2 Fungsi Survival
Menurut Klein dan Moeschberger (2003) fungsi Survival
merupakan suatu kuantitas dasar yang digunakan untuk
menggambarkan fenomena waktu kejadian. Fungsi Survival dapat
dinotasikan dengan 𝑆(𝑡), yaitu peluang suatu individu bertahan
hidup lebih dari waktu t , yaitu sebagai berikut.
𝑆(𝑡) = 𝑃(𝑇 ≥ 𝑡)
= ∫ 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥∞
𝑡
Dengan menggunakan definisi fungsi distribusi kumulatif
𝐹(𝑡) = 𝑃(𝑇 ≤ 𝑡), fungsi Survival dapat dituliskan sebagai berikut.
𝑆(𝑡) = 𝑃(𝑇 ≥ 𝑡)
= 1 − 𝑃(𝑇 ≤ 𝑡)
= 1 − 𝐹(𝑡)
𝐹(𝑡) = 1 − 𝑆(𝑡)
𝑑(𝐹(𝑡))
𝑑𝑡=
𝑑(1 − 𝑆(𝑡))
𝑑𝑡
𝑓(𝑡) = −𝑑(𝑆(𝑡))
𝑑𝑡= −𝑆′(𝑡)
Menurut Klein dan Kleinbaum (2012), secara teori fungsi
Survival dapat diplot sebagai kurva Survival yang menggambarkan
peluang ketahanan suatu individu pada waktu t dalam interval 0
sampai ∞. Fungsi Survival mempunyai beberapa karakteristik,
yaitu sebagai berikut:
a. Fungsi Survival merupakan fungsi monoton tak naik.
b. Pada saat 𝑡 = 0, 𝑆(𝑡) = 𝑆(0) = 1
Pada awal dimulainya penelitian, karena belum ada individu
yang mengalami event maka probabilitas Survival pada saat 𝑡 =0 adalah 1.
(2.3)
(2.4)
(2.5)
13
c. Pada saat 𝑡 = ∞, 𝑆(𝑡) = 0
Secara teori, apabila periode penelitian meningkat tanpa batas,
maka diakhir waktu tidak ada seorang individu yang akan
bertahan hidup, sehingga kurva Survival akan bergerak menuju
nol.
2.1.3.3 Fungsi Hazard
Fungsi hazard dinotasikan dengan ℎ(𝑡). Fungsi ini
didefinisikan sebagai kelajuan suatu individu untuk mengalami
event pada interval waktu t sampai (𝑡 + ∆𝑡) apabila diketahui
individu tersebut belum mengalami event sampai dengan waktu t
(Kleinbaum & Klein, 2012). Secara matematis dapat dituliskan
sebagai berikut.
ℎ(𝑡) = lim∆𝑡→0
(𝑃(𝑡 ≤ 𝑇 < (𝑡 + ∆𝑡)(𝑇 ≥ 𝑡)
∆𝑡)
T merupakan suatu variabel acak dan (𝑡) merupakan fungsi
padat peluang dari T, dengan menggunakan teorema peluang
bersyarat maka diperoleh persamaan untuk ℎ(𝑡) sebagai berikut.
ℎ(𝑡) = lim∆𝑡→0
(𝑃(𝑡 ≤ 𝑇 < 𝑡 + ∆𝑡|𝑇 ≥ 𝑡
∆𝑡)
= lim∆𝑡→0
𝑃((𝑡 ≤ 𝑇 < (𝑡 + ∆𝑡)) ∩ (𝑇 ≥ 𝑡))
𝑃(𝑇 ≥ 𝑡). ∆𝑡
= lim∆𝑡→0
(𝑃(𝑡 ≤ 𝑇 < (𝑡 + ∆𝑡)
𝑆(𝑡). ∆𝑡)
=1
𝑆(𝑡)lim∆𝑡→0
(𝐹(𝑡 + ∆𝑡) − 𝐹(𝑡)
∆𝑡)
=𝐹′(𝑡)
𝑆(𝑡)
=𝑓(𝑡)
𝑆(𝑡)
Pada persamaan (2.5) di atas, telah diketahui bahwa 𝑓(𝑡) =
−𝑑(𝑠(𝑡))
𝑑(𝑡), sehingga ℎ(𝑡) dapat dinyatakan sebagai berikut.
ℎ(𝑡) =𝑓(𝑡)
𝑆(𝑡)
(2.6)
(2.7)
14
= −𝑑(𝑆(𝑡))
𝑑𝑡.
1
𝑆(𝑡)
= −𝑑𝑆(𝑡)
𝑑𝑡.𝑑𝑙𝑛𝑆(𝑡)
𝑑𝑆(𝑡)
= −𝑑𝑙𝑛𝑆(𝑡)
𝑑(𝑡)
Dari persamaan (2.8) di atas diperoleh
∫ ℎ(𝑥)𝑑𝑥 = −∫𝑑𝑙𝑛𝑆(𝑥)
𝑑(𝑥)𝑑𝑥
𝑡
0
𝑡
0
−∫ ℎ(𝑥)𝑑𝑥 = ∫𝑑
𝑑(𝑥)𝑙𝑛𝑆(𝑥)𝑑𝑥
𝑡
0
𝑡
0
= 𝑙𝑛𝑆(𝑥)|0𝑡
= 𝑙𝑛𝑆(𝑡) − 𝑙𝑛𝑆(0)
Karena 𝑆(0) = 1, maka 𝑙𝑛𝑆(0) = ln 1 = 0. Oleh karena itu
persamaan (2.9) di atas dapat ditulis
−∫ ℎ(𝑥)𝑑𝑥 = 𝑙𝑛𝑆(𝑡)𝑡
0
𝑒𝑥𝑝 ⌈−∫ ℎ(𝑥)𝑑𝑥𝑡
0
⌉ = exp ⌊𝑙𝑛𝑆(𝑡)⌋
𝑆(𝑡) = 𝑒𝑥𝑝 ⌈−∫ ℎ(𝑥)𝑑𝑥𝑡
0
⌉
Pada persamaan (2.10) di atas dapat digunakan untuk
mendefinisikan fungsi hazard kumulatif 𝐻(𝑡), yaitu sebagai
berikut.
𝐻(𝑡) = ∫ ℎ(𝑥)𝑑𝑥𝑡
0
Persamaan (2.10) di atas juga dapat ditulis juga sebagai
berikut: 𝑆(𝑡) = exp⌊−𝐻(𝑡)⌋
Menurut Klein dan Kleinbaum (2012) menuturkan bahwa
fungsi hazard juga dapat diplot sebagai kurva fungsi hazard
terhadap t seperti fungsi Survival. Akan tetapi, terdapat perbedaan
(2.8)
(2.10)
(2.11)
(2.12)
(2.9)
15
antara kedua fungsi tersebut. Pada fungsi hazard, kurva ℎ(𝑡) tidak
harus dimulai dari satu dan bergerak menuju nol, tetapi kurva ℎ(𝑡)
dapat dimulai dari nilai berapapun dengan syarat ℎ(𝑡) ≥ 0 dan
dapat bergerak ke atas maupun ke bawah terhadap waktu t . Fungsi
hazard juga mempunyai karakteristik, antara lain sebagai berikut
a. Fungsi hazard selalu bernilai positif, ℎ(𝑡) ≥ 0
b. Fungsi hazard tidak mempunyai batas atas.
2.1.4 Kurva Survival Kaplan-Meier
Kurva Survival Kaplan-Meier adalah suatu kurva yang
menggambarkan hubungan antara estimasi fungsi Survival pada
waktu t dengan waktu Survival-nya (Kleinbaum & Klein, 2012).
Kurva ini terdiri atas dua sumbu, yakni vertikal (menggambarkan
estimasi fungsi Survival) dan horizontal (menggambarkan waktu
Survival). Secara teoritis bentuk kurva Survival adalah smooth
curves, sedangkan secara praktis bentuk kurva Survival adalah step
function. Jika probabilitas dari Kaplan-Meier dinotasikan dengan
�̂�(𝑡(𝑖)) maka persamaan umum Kaplan-Meier adalah sebagai
berikut.
�̂�(𝑡𝑖) = �̂�(𝑡𝑖−1)×𝑃�̂�⌊𝑇 > 𝑡(𝑖)|𝑇 ≥ 𝑡(𝑖)⌋
�̂�(𝑡𝑖) = ∏ 𝑃�̂�
𝑗
𝑖=1
⌊𝑇 > 𝑡(𝑖)|𝑇 ≥ 𝑡(𝑖)⌋
Di dalam kurva Survival, dapat pula diketahui mean waktu
Survival objek menggunakan rumus (2.14).
�̅� =1
𝑛∑ 𝑡𝑖
𝑛
𝑖=1
dengan, 𝑡𝑖 adalah waktu Survival semua objek dan n adalah jumlah
objek yang diamati.
Selain mean, dapat pula diketahui median waktu Survival-
nya. Median digunakan untuk menyimpulkan lokasi dari distribusi
data. Median merupakan waktu pengamatan dari 50% individu di
dalam populasi diharapkan dapat bertahan, yaitu pada 𝑡(50) dan
𝑆{𝑡(50)} = 0,5.
(2.13)
(2.14)
16
Karena secara praktis fungsi Survival merupakan step
function, biasanya jarang diperoleh nilai Survival yang tepat 0,5,
sehingga nilai taksiran median waktu Survival adalah
𝑡(50) = 𝑚𝑖𝑛{𝑡𝑖|�̂�(𝑡𝑖 ≤ 0,5)}
2.1.5 Uji Log-Rank
Uji Log-Rank digunakan untuk membandingkan apakah ada
perbedaan antara kurva Survival Kaplan-Meier (Kleinbaum &
Klein, 2012). Berikut adalah hipotesis untuk uji Log-Rank dua
grup.
𝐻0 : Tidak ada perbedaan antara dua kurva Survival Kaplan-
Meier
𝐻1 : Ada perbedaan antara dua kurva Survival Kaplan-Meier
dengan statistik uji ,
𝐿𝑜𝑔 − 𝑅𝑎𝑛𝑘 𝑆𝑡𝑎𝑡𝑖𝑠𝑡𝑖𝑐 =(𝑂𝑓 − 𝐸𝑓)
2
𝑣𝑎𝑟( 𝑂𝑓 − 𝐸𝑓) ; 𝑓 = 1,2
dengan,
𝑂𝑓 − 𝐸𝑓 = ∑(𝑚𝑓𝑖 − 𝑒𝑓𝑖) ; 𝑓 = 1,2
𝑎
𝑖=1
𝑣𝑎𝑟(𝑂𝑓 − 𝐸𝑓) = ∑(𝑥)
𝑖
dengan,
𝑥 =𝑛1𝑖×𝑛2𝑖(𝑚1𝑖 + 𝑚2𝑖)(𝑛1𝑖 + 𝑛2𝑖 − 𝑚1𝑖 − 𝑚2𝑖)
(𝑛1𝑖 + 𝑛2𝑖)2(𝑛1𝑖 + 𝑛2𝑖 − 1)
𝑒1 = (𝑛1𝑖
(𝑛1𝑖 − 𝑛2𝑖
) 𝑥(𝑚1𝑖 + 𝑚2𝑖)
𝑒2 = (𝑛1𝑖
(𝑛1𝑖 − 𝑛2𝑖
) 𝑥(𝑚1𝑖 + 𝑚2𝑖)
Keterangan :
a : jumlah objek yang mengalami event
𝑚1𝑖 : banyaknya objek yang mengalami event pada waktu ke-𝑡𝑖 di
grup 1
(2.15)
(2.16)
(2.17)
(2.19)
(2.20)
(2.21)
(2.18)
17
𝑚2𝑖 : banyaknya objek yang mengalami event pada waktu ke-𝑡𝑖 di
grup 2
𝑛1𝑖 : banyaknya objek yang masih bertahan pada 𝑡𝑖 di grup 1
𝑛1𝑖 : banyaknya objek yang masih bertahan pada 𝑡𝑖 di grup 2
Hipotesis 𝐻0 akan ditolak jika Log-Rank statistic lebih besar
dari χ2 (α,1).
Untuk Uji Log-Rank grup lebih dari dua, perhitungan
statistik uji Log-Rank statistic sangat rumit karena melibatkan
varians dan kovarians dari jumlah observasi dan ekspektasi. Oleh
karena itu, Uji Log-Rank grup lebih dari dua dapat dilakukan
pendekatan chi-square dengan hipotesis.
𝐻0 : Tidak ada perbedaan antara seluruh kurva Survival Kaplan-
Meier
𝐻1 : Minimal terdapat satu kurva Survival Kaplan-Meier yang
berbeda
Dengan statistik uji sebagai berikut.
𝜒2 = ∑(𝑂𝑓 − 𝐸𝑓)
2
𝐸𝑓
𝐺
𝑓=1
; 𝑓 = 1,2, … 𝐺
dengan,
𝑂𝑓 − 𝐸𝑓 = ∑(𝑚𝑓𝑖
𝑎
𝑖=1
− 𝑒𝑓𝑖) ; 𝑓 = 1,2, … 𝐺
𝑒𝑓 = (𝑛𝑓𝑖
∑ 𝑛𝑓𝑖𝐺𝑓=1
)×(∑ 𝑚𝑓𝑖
𝐺
𝑓=1
)
Keterangan :
G : banyaknya grup
𝑚𝑓𝑖 : banyaknya objek yang mengalami event pada waktu ke-𝑡𝑖
di grup 𝑓
𝑛𝑓𝑖 : banyaknya objek yang masih bertahan pada 𝑡𝑖 di grup 𝑓
Hipotesis 𝐻0 akan ditolak jika statistik uji χ2 > χ2(α,G−1).
(2.22)
(2.23)
(2.24)
18
2.2 Regresi Cox
Regresi Cox pertama kali dikenalkan oleh Cox, merupakan
salah satu analisis Survival yang paling sering digunakan. Seperti
metode regresi lainnya, regresi Cox digunakan untuk mengetahui
efek dari beberapa variabel prediktor terhadap variabel respon.
Variabel respon dalam regresi Cox adalah waktu Survival suatu
objek terhadap suatu peristiwa tertentu. (Cox, 1972). Regresi Cox
tergolong regresi semiparametrik dimana dalam pemodelannya
terdapat komponen parametrik dan non-parametrik. Regresi ini
tidak memiliki asumsi mengenai sifat dan bentuk sesuai dengan
distribusi seperti asumsi pada regresi yang lain. Hal tersebut
membuat regresi Cox baik digunakan bila distribusi dari waktu
Survival tidak diketahui secara pasti sehingga hasil estimasi
parameter regresi masih dapat dipercaya (Lee, 2003).
Metode Regresi Cox tanpa perlu diketahui ℎ0(𝑡) dapat
mengestimasi ℎ0(𝑡), ℎ0(𝑡, 𝑋), dan fungsi Survival meskipun ℎ0(𝑡)
tidak spesifik, serta hasil dari cox model hampir sama dengan hasil
model parametrik. Penaksiran fungsi hazard dapat dipakai untuk
menghitung risiko relatif terjadinya kejadian (Kleinbaum dan
Klein 2012).
2.2.1 Asumsi Proportional Hazard
Menurut Kleinbaum & Klein (2012), dalam pemodelan Cox
Proportional Hazard ada sebuah asumsi yang harus terpenuhi,
yakni asumsi Proportional Hazard (PH). Asumsi PH dapat
diartikan sebagai suatu keadaan HR bersifat konstan terhadap
waktu. Hal ini menyatakan bahwa resiko suatu individu
proporsional terhadap individu lainnya, dimana konstan secara
proporsional adalah independen terhadap waktu. Asumsi PH
tersebut dapat diuji dengan pendekatan sebagai berikut.
1. Grafik
Metode grafik yang paling populer digunakan untuk
menguji asumsi PH yaitu menggunakan plot “log-log” Survival
dan metode grafik kedua yang dapat digunakan ialah plot observed
versus expected. Plot log-log adalah grafik yang menggambarkan
hubungan antara nilai log-log estimasi fungsi Survival dan waktu
19
Survivalnya, sedangkan plot observed versus expected adalah
grafik yang menggambarkan hubungan antara estimasi fungsi
Survival dan waktu Survival-nya.
Gambar 2.1 Ilustrasi Grafik Untuk Asumsi PH
(Kleinbaum & Klein, 2012)
Suatu model Cox Proportional Hazard dikatakan memenuhi
asumsi PH jika plot log-log antara masing-masing kategori
variabel prediktor sejajar dan atau plot observed versus expected
antara masing-masing kategori variabel prediktor saling
berdekatan (Kleinbaum & Klein, 2012).
2. Goodness-of-fit
Metode penaksiran GOF menggunakan uji statistik dalam
memeriksa asumsi proporsional suatu peubah sehingga lebih
objektif dibandingkan dengan metode grafik. GOF memiliki
beberapa macam uji statistik, salah satunya Schoenfeld residuals.
Schoenfeld residuals merupakan sekumpulan nilai untuk masing-
masing individu pada setiap kovariat dalam model Cox
Proportional Hazard. Menurut Harrel dan Lee (1986), berikut
adalah langkah-langkah pengujian Goodness-of-fit dengan uji
statistik Schoenfeld residuals.
a) Menentukan Schoenfeld residuals dari kovariat ke-𝑗 untuk
individu ke-𝑖 dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
𝑃𝑅𝑗𝑖 = 𝛿𝑖 [𝑥𝑗𝑖 −∑ 𝑥𝑗𝑖exp(𝜷
′𝒙𝒍)𝑙€𝑅(𝑡𝑖)
∑ exp(𝜷′𝒙𝒍)𝑙€𝑅(𝑡𝑖)
] ; 𝑗 = 1,2, …𝑃
dengan,
𝑥𝑗𝑖 = nilai dari kovariat ke- 𝑗 untuk individu ke ke-𝑖
(2.25)
20
P = jumlah objek teramati
𝑅(𝑡𝑖)= himpunan individu yang berisiko mengalami peristiwa
pada saat 𝑡𝑖 𝛿𝑖 = menyatakan status individu yaitu bernilai 0 jika
tersensor, dan 1 jika terjadi event
b) Mengurutkan waktu Survival dari yang terkecil hingga terbesar.
c) Menghitung korelasi antara residual Schoenfeld dan waktu
Survival yang telah diurutkan dengan rumus.
𝑟 =∑ (𝑃𝑅𝑗𝑖 − 𝑃𝑅̅̅ ̅̅
𝑗𝑖)(𝑅𝑇𝑖 − 𝑅𝑇̅̅ ̅̅𝑖)
𝑛𝑖=1
√∑ (𝑃𝑅𝑗𝑖 − 𝑃𝑅̅̅ ̅̅𝑗𝑖)
𝑛𝑖=1
2√∑ (𝑅𝑇𝑖 − 𝑅𝑇̅̅ ̅̅
𝑖)𝑛𝑖=1
2
dengan,
𝑃𝑅𝑗𝑖 : residual Schoenfeld
𝑅𝑇𝑖 : waktu Survival terurut individu ke-𝑖 d) Menguji korelasi antara Schoenfeld residuals dan waktu
Survival yang telah diurutkan dengan hipotesis ,
H0 : 𝜌 = 0
H1 : 𝜌 ≠ 0
dengan statistik uji sebagai berikut.
𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 =𝑟√𝑛 − 2
√1 − 𝑟2
Tolak H0 jika nilai |𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔| > 𝑡∝2⁄ ,𝑛−2 atau 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < α
yang berarti terdapat korelasi antara schoenfeld residuals
dengan waktu Survival atau dengan kata lain asumsi PH tidak
terpenuhi.
Kleinbaum dan Klein (2012) menyatakan bahwa ukuran
yang digunakan untuk mengevaluasi asumsi proporsional adalah
nilai 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 . Nilai 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 tidak signifikan yaitu nilai 𝑝 −𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 > α yang menyatakan asumsi proporsional terpenuhi
sedangkan 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < α menyatakan bahwa kovariat yang diuji
tidak memenuhi asumsi proporsional.
(2.26)
(2.27)
21
2.2.2 Model Cox Proportional Hazard
Model Cox Proportional Hazard diperkenalkan oleh
seorang statistikawan Inggris, David Cox. Model tersebut
merupakan regresi semiparametrik dalam analisis ketahanan untuk
mengetahui peubah penjelas/ kovariat yang berpengaruh secara
signifikan terhadap waktu ketahanan, dengan asumsi bahwa hazard
individu terhadap individu lainnya bernilai konstan dari waktu ke
waktu. Untuk membangun model Cox Proportional Hazard, Jika
suatu kondisi dimana resiko kejadian khusus (failure) pada waktu
tertentu bergantung pada nilai 𝑥1, 𝑥2, . . . , 𝑥𝑝 dari p kovariat
𝑥1, 𝑥2, . . . , 𝑥𝑝. Maka nilai variabel tersebut diasumsikan sebagai
time origin. Kovariat itu sendiri terbagi ke dalam dua macam, yaitu
variat dan faktor. Variat merupakan peubah yang bernilai
numerik/kontinu seperti umur sedangkan faktor ialah peubah yang
mempunyai level/tipe seperti jenis kelamin (Collet 2003).
Himpunan nilai kovariat direpresentasikan dalam vektor 𝑥 dengan
𝑥 = (𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑝)′ dan ℎ0(𝑡) yang disebut fungsi baseline
hazard yaitu merupakan fungsi hazard untuk individu dengan nilai
kovariat 𝑥 adalah 0. Sehingga bentuk umum dari model Cox
Proportional Hazard adalah
ℎ(𝑡, 𝑥) = ℎ0(𝑡) exp(𝛽1𝑥1 + 𝛽2𝑥2 + ⋯+ 𝛽𝑝𝑥𝑝)
= ℎ0(𝑡)exp ∑𝛽𝑗𝑥𝑗
𝑝
𝑗=1
; 𝑗 = 1,2,3, . . 𝑝
Besaran exp(𝛽1𝑥1 + 𝛽2𝑥2 + ⋯+ 𝛽𝑝𝑥𝑝) mengandung kovariat
yang bebas terhadap waktu, artinya bahwa nilai peubah tersebut
tidak berubah dari waktu ke waktu (selama penelitian) serta 𝛽
adalah koefisien kovariat yang merepresentasikan pengaruh dari
masing-masing kovariat secara langsung terhadap log hazard.
Hazard yang lebih besar secara langsung berkaitan dengan waktu
ketahanan yang lebih singkat (khususnya jika kejadian berupa
kematian) (Collet 2003).
(2.28)
22
2.2.3 Model Cox Extended
Model Cox Extended merupakan perluasan dari model Cox
Proportional Hazard yaitu mengandung kovariat yang bergantung
terhadap waktu (time dependent) atau perkalian dari kovariat
tersebut dengan fungsi terhadap waktu. Peubah time-dependent
didefinisikan sebagai peubah yang nilainya berubah dari waktu ke
waktu. Model Cox Extended dapat memodelkan peubah time
dependent dan menduga seberapa besar pengaruhnya terhadap
waktu Survival (Kleinbaum & Klein, 2012). Variabel prediktor
yang bergantung terhadap waktu harus diinteraksikan dengan
fungsi waktu 𝑔(𝑡). Fungsi waktu yang digunakan bisa
menggunakan t, ln t dan fungsi lain yang mengandung t. Pemilihan
fungsi waktu yang digunakan dapat berdasarkan p-value terkecil
yang dihasilkan dari variabel yang tidak memenuhi asumsi
Proportional Hazard.
Asumsi dari model ini adalah pengaruh peubah time-
dependent 𝑥𝑗(𝑡) terhadap peluang bertahan pada saat 𝑡 hanya
bergantung dari nilai peubah tersebut pada waktu yang sama, tidak
pada sebelumnya atau sesudahnya. Meskipun nilai dari peubah
𝑥𝑗(𝑡) berubah dari waktu ke waktu, model Cox Extended hanya
menyediakan satu koefisien untuk setiap peubah time-dependent
pada model tersebut yang berarti koefisien berlaku untuk setiap 𝑡
dari 𝑥𝑗(𝑡) selama masa penelitian (Kleinbaum dan Klein 2012).
Bentuk umum model Cox Extended adalah sebagai berikut.
ℎ(𝑡, 𝑥(𝑡)) = ℎ0(𝑡) exp [∑𝛽𝑖𝑥𝑖
𝑝
𝑖=1
+ ∑𝛿𝑗𝑥𝑗𝑔𝑗(𝑡)
𝑞
𝑗=1
]
dengan,
𝛽 : vektor koefisien penduga pengaruh dari kovariat time-
independent
𝛿 : vektor koefisien penduga pengaruh dari kovariat time-
dependent yang berlaku untuk setiap 𝑡
𝑝 : banyaknya kovariat yang memenuhi asumsi proporsional
𝑞 : banyaknya kovariat yang tidak memenuhi asumsi
proporsional.
(2.29)
23
𝑔𝑗(𝑡) merupakan fungsi terhadap waktu dan penting sekali
untuk menentukan bentuk yang tepat dari 𝑔𝑗(𝑡). Berikut
kemungkinan fungsi 𝑔𝑗(𝑡) menurut Kleinbaum dan Klein (2012).
a. 𝑔𝑗(𝑡) = 0 merupakan bentuk yang paling sederhana sehingga
menghasilkan model Cox Proportinal Hazard
b. 𝑔𝑗(𝑡) = 𝑡 jika hasil pengujian 𝛿𝑗 signifikan maka model Cox
Extended lebih baik daripada Cox Proportional Hazard
sehingga Hazard Ratio merupakan fungsi terhadap waktu
c. 𝑔𝑗(𝑡) = log(𝑡)
d. 𝑔𝑗(𝑡) heavyside function. Ketika fungsi ini digunakan maka
diperoleh Hazard Ratio yang konstan untuk interval waktu yang
berbeda.
Misalkan C merupakan suatu faktor dengan nilai 1 dan 0,
maka Hazard Ratio untuk keempat persamaan 𝑔𝑗(𝑡) adalah seperti
yang tersaji pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Hazard Ratio Untuk Masing-Masing Fungsi 𝑔𝑗(𝑡)
Fungsi 𝒈𝒋(𝒕) Interval Waktu Hazard Ratio
𝑔𝑗(𝑡) = 0 ∀ 𝑡 𝐻�̂� = 𝑒𝑥𝑝[𝛽 ̂] 𝑔𝑗(𝑡) = 𝑡 ∀ 𝑡 𝐻�̂� = 𝑒𝑥𝑝[�̂� + 𝛿�̂�]
𝑔𝑗(𝑡) = log(𝑡) ∀ 𝑡 𝐻�̂� = 𝑒𝑥𝑝[𝛽 ̂ + �̂� log 𝑡]
𝑔𝑗(𝑡) = {1 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑡 ≥ 𝑡00 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑡 < 𝑡0
𝑡 ≥ 𝑡0
𝑡 < 𝑡0
𝐻�̂� = 𝑒𝑥𝑝[𝛽 ̂ + �̂�]
𝐻�̂� = 𝑒𝑥𝑝[�̂�]
2.2.4 Estimasi Parameter Regresi Cox
Dalam menduga parameter 𝛽1, 𝛽2, . . 𝛽𝑝 menggunakan
prosedur maximum likelihood estimation (penduga kemungkinan
maksimum) dengan hanya mempertimbangkan peluang individu
yang mengalami event saja yang kemudian disebut dengan partial
likelihood (Kleinbaum & Klein 2012). Fungsi partial likelihood
merupakan fungsi peluang bersama dari data Survival tidak
tersensor berupa fungsi dari parameter yang tidak diketahui
nilainya.
Pendugaan 𝛽𝑗 menggunakan partial likelihood yaitu
memaksimumkan fungsi partial likelihood atau biasa disebut
24
dengan Maximum Partial Likelihood Estimation (MPLE). Collet
(2003) menyatakan bahwa pendugaan parameter 𝜷 dapat
dibuktikan dengan mengambil kasus individu bertahan hidup
sehingga event berupa kematian. Misalkan terdapat n individu
dengan r individu mengalami event, sehingga n-r merupakan
jumlah individu yang tersensor. Diasumsikan bahwa hanya
terdapat satu individu yang mengalami event pada suatu waktu
tertentu. Waktu Survival terurut dari r individu yang mengalami
event dinotasikan 𝑡(1) < 𝑡(2) < ⋯ < 𝑡(𝑟). Peluang kematian
individu ke-𝑖 pada saat 𝑡(𝑗) dengan syarat 𝑡(𝑗) satu-satunya waktu
kematian dari 𝑡(1) < 𝑡(2) < ⋯ < 𝑡(𝑟) dan kovariat untuk individu
yang meninggal saat 𝑡(𝑗) adalah 𝑥(𝑗) dinotasikan :
P(individu dengan kovariat 𝑥(𝑗) meninggal saat 𝑡(𝑗)|kematian
tunggal saat 𝑡(𝑗))
=P(individu dengan kovariat 𝑥(𝑗) meninggal saat 𝑡(𝑗) )
P(kematian tunggal saat 𝑡(𝑗))
Pembilang merupakan risiko kematian individu ke-i pada
saat 𝑡(𝑗), dinotasikan ℎ(𝑖)(𝑡(𝑗)), sedangkan penyebut merupakan
jumlah risiko kematian saat 𝑡(𝑗) untuk semua individu yang
mempunyai risiko kematian saat 𝑡(𝑗) atau penjumlahan ℎ(𝑖)(𝑡(𝑗))
dalam 𝑅(𝑡(𝑗)), dengan 𝑅(𝑡(𝑗)) merupakan himpunan individu yang
berisiko mengalami kematian saat 𝑡(𝑗) yaitu individu-individu
yang hidup dan tidak tersensor sesaat sebelum 𝑡(𝑗) sehingga
𝑅(𝑡(𝑗)) disebut risk set. Misalkan A adalah kejadian individu ke-i
dengan kovariat 𝑥(𝑗) meninggal saat 𝑡(𝑗) dan B adalah kejadian
kematian tunggal saat 𝑡(𝑗). Persamaan (2.30) menjadi
𝑃(𝐴|𝐵) =ℎ(𝑖)(𝑡(𝑗))
∑ ℎ(𝑙)(𝑡(𝑗))𝑙∈𝑅(𝑡(𝑗))
Dengan mensubstitusikan persamaan (2.28) kedalam
persamaan (2.31) maka diperoleh
(2.30)
(2.31)
25
𝑃(𝐴|𝐵) =ℎ0(𝑡)exp(𝜷′𝒙(𝒋))
∑ ℎ(0)(𝑡)(𝑡(𝑙))𝑙∈𝑅(𝑡(𝑗))
=exp(𝜷′𝒙(𝒋))
∑ (𝑡(𝑙))𝑙∈𝑅(𝑡(𝑗))
Dengan demikian fungsi likelihood dari peluang bersyarat
(2.32) diatas adalah
𝐿(𝜷) = ∏exp(𝜷′𝒙(𝑗))
∑ exp (𝜷′𝒙𝑙)𝑙∈𝑅(𝑡(𝑗))
𝑟
𝑗=1
𝑥(𝑙) merupakan vektor kovariat untuk individu yang
gagal/meninggal pada saat 𝑡(𝑗). Besaran ∑ exp (𝜷′𝒙𝑙)𝑙∈𝑅(𝑡(𝑗))
merupakan penjumlahan nilai exp(𝜷′𝒙𝑙) untuk setiap individu
anggota 𝑅(𝑡(𝑗)). Individu yang tersensor tidak termasuk dalam
pembilang tetapi terdapat pada penyebut. Misalkan data terdiri dari
n pengamatan waktu Survival yaitu 𝑡1, 𝑡2, … , 𝑡𝑛 dan 𝑑𝑖 adalah status
event pada individu ke-i dengan nilai
𝑑𝑖 = {0 ; individu ke − 𝑖 tersensor1 ; lainnya
Maka Persamaan (2.33) dapat dinyatakan sebagai berikut.
𝐿(𝜷) = ∏ (exp(𝜷′𝒙(𝑖))
∑ exp (𝜷′𝒙𝑙)𝑙∈𝑅(𝑡(𝑖))
)
𝑑𝑖𝑛
𝑖=1
Selanjutnya agar fungsi (2.34) diatas berbentuk linier maka
perlu di ln-kan. Sehingga didapatkan persamaan yang baru sebagai
berikut ini.
ln(𝐿(𝜷)) = ln(∏ (exp(𝜷′𝒙(𝑖))
∑ exp(𝜷′𝒙𝑙)𝑙∈𝑅(𝑡(𝑖))
)
𝑑𝑖𝑛
𝑖=1
)
= ∑(ln {exp(𝜷′𝒙(𝑖))
∑ exp(𝜷′𝒙𝑙)𝑙∈𝑅(𝑡(𝑖))
}
𝑑𝑖
)
𝑛
𝑖=1
= ∑𝑑𝑖 (ln {exp(𝜷′𝒙(𝑖))
∑ exp(𝜷′𝒙𝑙)𝑙∈𝑅(𝑡(𝑖))
})
𝑛
𝑖=1
(2.34)
(2.32)
(2.33)
26
= ∑𝑑𝑖 {𝜷′𝒙(𝑖) − ln( ∑ exp(𝜷′𝒙𝑙)
𝑙∈𝑅(𝑡(𝑖))
)}
𝑛
𝑖=1
Penduga parameter 𝜷 dapat diperoleh dengan
memaksimumkan fungsi (2.35) ln(𝐿(𝜷)) dengan solusi sebagai
berikut.
𝑑 ln(𝐿(𝜷))
𝑑𝛽= 0
⟺ ∑𝑑𝑖 {𝒙(𝑖) −∑ exp(𝜷′𝒙𝑙)𝒙𝑙𝑙∈𝑅(𝑡(𝑖))
∑ exp(𝜷′𝒙𝑙)𝑙∈𝑅(𝑡(𝑖))
}
𝑛
𝑖=1
= 0
Setelah mendapatkan fungsi partial likelihood, langkah
selanjutnya adalah memaksimumkan turunan pertama persamaan
(2.36) diatas dengan menggunakan metode Newton-Rhapson
(Collet, 2003). Langkah-langkah melakukan pemaksimuman
mengguna-kan metode Newton-Rhapson adalah sebagai berikut
1. Menentukan nilai estimasi awal parameter
�̂�0 = [𝛽00 𝛽10 … 𝛽𝑝0] ; iterasi pada 𝑠 = 0.
dengan p adalah banyaknya parameter yang diestimasi.
2. Membentuk vektor gradient
𝑔𝑇(�̂�(𝑠))𝑝= [
𝜕 ln 𝐿(. )
𝜕𝛽1
,𝜕 ln 𝐿(. )
𝜕𝛽2
,𝜕 ln 𝐿(. )
𝜕𝛽3
, … ,𝜕 ln 𝐿(. )
𝜕𝛽𝑝
]𝛽=�̂�(𝑠)
3. Membentuk vektor hessian yang elemennya adalah
𝑯(�̂�(𝑠))𝑝×𝑝=
[ 𝜕2 ln 𝐿(. )
𝜕𝛽12
𝜕2 ln 𝐿(. )
𝜕𝛽1𝜕𝛽2
⋯𝜕2 ln 𝐿(. )
𝜕𝛽1𝜕𝛽𝑝
𝜕2 ln 𝐿(. )
𝜕𝛽22 …
𝜕2 ln 𝐿(. )
𝜕𝛽2𝜕𝛽𝑝
⋱
⋮𝜕2 ln 𝐿(. )
𝜕𝛽𝑝2
]
𝛽=�̂�(𝑠)
4. Melakukan iterasi mulai dari 𝑠 = 0 pada persamaan
�̂�(𝑠+1) = �̂�(𝑠) − 𝑯𝑠−1(�̂�(𝑠))𝑔𝑠(�̂�(𝑠))
(2.36)
(2.35)
27
5. Iterasi akan berhenti jika ‖�̂�(𝑠+1) − �̂�(𝑠)‖ ≤ 휀, dengan
휀 merupakan bilangan yang sangat kecil.
Seperti halnya pendugaan parameter model Cox
Proportional Hazard, pendugaan parameter pada model Cox
Extended juga menggunakan Maximum Partial Likelihood
Estimation (MPLE) (Collet, 2003). Berikut persamaan partial
likelihood model Cox Extended yang diperluas dari persamaan
(2.35) diatas.
ln 𝐿(𝜷) = ∑ 𝑑𝑖 {𝜷′𝒙𝑖(𝑡𝑖) − ln ∑ exp(𝜷′𝒙𝑙(𝑡𝑖))
𝑙∈𝑅(𝑡(𝑖))
}
𝑛
𝑖=1
Selanjutnya sama hal pada model Cox Proportional Hazard,
persamaan di atas juga dimaksimumkan dengan menggunakan
metode Newton-Rhapson untuk mendapatkan pendugaan
parameter model Cox Extended.
2.2.5 Seleksi Model Terbaik
Untuk mendapatkan model Cox terbaik maka pertama-tama
dilakukan pemilihan variabel yang masuk atau keluar dari model.
Terdapat tiga metode untuk melakukan pemilihan variabel
tersebut. Ketiga metode tersebut adalah prosedur seleksi forward,
prosedur seleksi Backward dan prosedur seleksi stepwise (Collett,
2003). Prosedur seleksi forward atau disebut dengan seleksi maju
merupakan suatu proses penambahan satu variabel yang terpilih
dan ditambahkan ke dalam model pada setiap langkahnya.
Prosedur seleksi Backward atau disebut dengan seleksi mundur
adalah suatu proses eliminasi dimana pada awalnya semua variabel
dimasukan ke dalam model, kemudian melakukan eliminasi
terhadap variabel tersebut satu per satu berdasarkan kriteria
keputusannya. Sedangkan, prosedur seleksi stepwise merupakan
kombinasi dari prosedur seleksi forward dan prosedur seleksi
Backward.
Pada penelitian ini, pemilihan model Cox terbaik dilakukan
dengan menggunakan prosedur seleksi Backward. Langkah-
(2.37)
28
langkah eliminasi Backward menurut (Le, 1997) adalah sebagai
berikut.
1. Membuat model regresi yang berisi semua variabel independen
yang tersedia.
2. Memilih satu variabel independen yang berdasarkan kriteria
pemilihan merupakan variabel terakhir untuk dimasukkan
dalam model.
3. Melakukan pengujian pada variabel independen yang terpilih
pada langkah 2 dan memutuskan untuk menghilangkan atau
tidak variabel tersebut.
4. Mengulangi langkah 2 dan 3 untuk setiap variabel yang terdapat
pada model. Apabila tidak ada kriteria yang sesuai berdasarkan
langkah 3 maka proses telah selesai. Karena tidak ada lagi
variabel independen yang dihilang-kan dari model.
Langkah-langkah pengujiannya adalah sebagai berikut.
Hipotesis
𝐻0 ∶ 𝛽1 = 𝛽2 = ⋯ = 𝛽𝑗 = 0
𝐻1 : minimal ada satu 𝛽𝑗: ≠ 0 ; j=1,2,...,p (objek teramati)
dengan statistik uji,
𝜒2 = (�̂�
𝑖
𝑆𝐸(�̂�𝑖))
2
Keputusan : Tolak 𝐻0 jika 𝜒2 > 𝜒(𝛼,𝑝)2 atau 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 𝛼
yang berarti variabel tersebut berpengaruh terhadap model,
sehingga variabel tersebut tidak perlu dihapus dari model.
Dari eliminasi Backward diperoleh beberapa model dengan
mengeluarkan satu per satu variabel yang tidak signifikan. Cara
untuk membandingkan sejumlah kemungkinan model yang
diperoleh dengan menggunakan Akaike’s Information Criterion
(AIC) (Collet, 2003). Nilai AIC dapat diperoleh dari
𝐴𝐼𝐶 = −2𝑙𝑜𝑔�̂� + 𝛼𝑞
𝐿 adalah nilai likelihood dan q adalah jumlah parameter 𝛽
pada setiap model yang terbentuk. Sedangkan 𝛼 merupakan sebuah
nilai konstanta yang ditetapkan. Nilai 𝛼 yang pada umumnya
(2.38)
(2.39)
29
digunakan antara 2-6. Dan untuk model terbaik adalah model yang
memiliki nilai AIC paling rendah.
2.2.6 Pengujian Signifikasi
Setelah mendapatkan variabel prediktor yang termasuk ke
dalam model, maka langkah selanjutnya adalah uji signifikansi
parameter model. Pengujian signifikansi parameter digunakan
untuk mengetahui apakah variabel yang terdapat dalam model
signifikan membentuk model. Pengujian signifikansi parameter
terdiri atas uji serentak dan uji parsial (Lee, 2003).
1. Uji Serentak
Hipotesis :
𝐻0: 𝛽1 = 𝛽2 = ⋯ = 𝛽𝑗 = 0
𝐻1: minimal ada satu 𝛽𝑗: ≠ 0 ; j=1,2,...,p (objek teramati)
Statistik uji yang digunakan adalah uji likelihood ratio
𝐺2 = −2 lnΛ ~ 𝜒2𝛼,𝑝
dengan,
Λ =𝐿(�̂�)
𝐿(Ω̂)
dengan,
𝐿(Ω̂) = ∏ (exp(𝜷′𝒙(𝑖))
∑ exp (𝜷′𝒙𝑙)𝑙∈𝑅(𝑡(𝑖))
)
𝑑𝑖𝑛
𝑖=1
𝐿(�̂�) = ∏𝑛𝑖 − 𝑚𝑖
𝑛𝑖
𝑛
𝑖=1
Keterangan :
𝐿(�̂�) : nilai likelihood untuk model tanpa variabel prediktor
𝐿(Ω̂) : nilai likelihood untuk model dengan variabel
prediktor
𝑛𝑖 : jumlah individu yang beresiko gagal sebelum waktu
𝑡(𝑖)
𝑑𝑖 : status event pada individu ke-i
(2.40)
(2.41)
(2.43)
(2.42)
30
𝑚𝑖 : jumlah event pada waktu 𝑡(𝑖)
Keputusan : Tolak H0 bila 𝐺2ℎ𝑖𝑡 > 𝜒2
𝛼,𝑝 p-value < 𝛼
yang berarti minimal terdapat satu variabel yang
signifikan 2. Uji Parsial
Hipotesis :
𝐻0: 𝛽𝑗 = 0
𝐻1: 𝛽𝑗 ≠ 0 dengan j=1,2,...p (objek teramati)
Statistik uji
𝑊𝑎𝑙𝑑 =�̂�𝑗
2
(𝑆𝐸(�̂�𝑗))2 ~𝜒2
𝛼,1
dengan 𝑆𝐸(�̂�𝑗) didapatkan dari akar matriks informasi
Fisher’s yang dirumuskan sebagai berikut.
𝐼(�̂�𝑗) = 𝐻−1(�̂�𝑗)
𝑣𝑎�̂�(�̂�𝑗) = −𝐼(�̂�𝑗)
𝑆𝐸(�̂�𝑗) = √𝑣𝑎�̂�(�̂�𝑗)
Keputusan : Tolak 𝐻0 bila 𝑊𝑎𝑙𝑑 > 𝜒(1,𝛼)2 atau p-value < 𝛼
yang berarti variabel ke-j signifikan.
2.3 Hazard Ratio
Hazard Ratio (HR) adalah suatu ukuran yang digunakan
untuk mengetahui tingkat resiko (kecenderungan) yang dapat
dilihat dari perbandingan antara individu dengan kondisi variabel
prediktor 𝑋 pada kategori sukses dengan kategori gagal (Hosmer,
Lameshow, & May, 2008). Nilai estimasi dari HR diperoleh
dengan mengeksponenkan koefisien regresi Cox masing-masing
dari variabel prediktor yang signifikan dengan hazard ratenya.
Misal 𝑋 adalah sebuah variabel prediktor dengan dua
kategori, yaitu 0 dan 1. Hubungan antara variabel 𝑋 dengan hazard
rate atau h(t) dinyatakan dengan ℎ0(𝑡|𝑥) = ℎ0(𝑡)𝑒𝛽𝑥, maka
Individu dengan x=1, fungsi hazardnya:
(2.44)
(2.45)
31
ℎ0(𝑡|𝑥 = 1) = ℎ0(𝑡)𝑒𝛽.1 = ℎ0(𝑡)𝑒
𝛽
Individu dengan x=0, fungsi hazardnya:
ℎ0(𝑡|𝑥 = 0) = ℎ0(𝑡)𝑒𝛽.0 = ℎ0(𝑡)
Sehingga nilai HR dapat dihitung dengan rumus.
𝐻�̂� =ℎ0(𝑡|𝑥 = 0)
ℎ0(𝑡|𝑥 = 1)=
ℎ0(𝑡)𝑒𝛽
ℎ0(𝑡)= 𝑒𝛽
Nilai Hazard Ratio yang diperoleh tersebut memiliki arti
bahwa tingkat kecepatan terjadinya failure event (laju kegagalan)
pada individu dengan kategori x=0 adalah sebesar 𝒆𝜷 kali tingkat
kecepatan terjadinya resiko peristiwa failure event (laju kegagalan)
daripada individu dengan kategori x=1.
2.4 Kurva Adjusted Survival
Terdapat dua tujuan utama dalam melakukan analisis
Survival, yakni mengestimasi nilai HR dan mengestimasi kurva
Survival. Jika tidak dilakukan pemodelan data Survival, maka
kurva Survival dapat diestimasi menggunakan metode Kaplan-
Meier. Namun bila dilakukan pemodelan data Survival, kurva
Survival Kaplan-Meier tidak lagi dapat digunakan sebab hanya
menggambarkan data waktu Survival per satu prediktor tanpa
memperhatikan prediktor lainnya (kovariat). Oleh karena itu, kurva
Survival yang digunakan adalah Kurva Adjusted Survival. Kurva
Adjusted Survival merupakan kurva yang menggambarkan data
Survival per satu prediktor dengan memperhatikan seluruh kovariat
dalam model.
Sama halnya dengan kurva Survival Kaplan-Meier, kurva
Adjusted Survival juga berbentuk step function. Sumbu vertikal
kurva ini adalah nilai estimasi fungsi Survival dan sumbu
horizontalnya adalah waktu Survival. Yang membedakan antara
kurva Survival Kaplan-Meier dan kurva Adjusted Survival adalah
nilai estimasi fungsi Survivalnya. Berikut rumus mencari estimasi
fungsi Survival pada kurva Adjusted Survival.
�̂�(𝑡, 𝑋) = ⌈�̂�0(𝑡)⌉𝑒∑ �̂�𝑗
𝑝𝑗=1
𝑥𝑖
(2.46)
(2.47)
(2.48)
(2.49)
32
dengan �̂�0(𝑡) adalah fungsi baseline Survival. Di dalam
perhitungannya, nilai kovariat yang dimasukkan dalam rumus
adalah mean atau median dari nilai kovariat tersebut (Kleinbaum
& Klein, 2012).
2.5 Penyakit Kusta
Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis pada manusia,
yang menyerang syaraf dan kulit. Kusta dapat didiagnosis dan
diobati tanpa menimbulkan cacat kulit jika ditentukan sedini
mungkin serta diobati sedini dan secara tepat. Bila dibiarkan begitu
saja tanpa diobati, maka akan menyebabkan cacat-cacat jasmani
yang berat. Kusta sering menyebabkan tekanan batin dan
keluarganya, sampai-sampai menggangu kehidupan mereka secara
serius (Chin, 2000 dalam Susanto,2006). Penyakit kusta bersifat
menahun, hal ini dikarenakan bakteri kusta memerlukan waktu 12-
21 hari untuk membelah diri dan masa tunasnya memiliki rata-rata
2-5 tahun. Penyakit kusta dapat menimbulkan kecacatan permanen
akibat dari keterlambatan penanganan, dan keadaan ini menjadi
penghalang bagi dalam menjalani kehidupan bermasyarakat
(Widoyono, 2011).
2.5.1 Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Penyakit
Kusta
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, terdapat beberapa faktor yang saling berkaitan dengan
penyakit kusta. Faktor-faktor yang diduga berhubungan tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Usia
Bakker et al. (2005) dalam Susanto (2006), menyatakan
bahwa kejadian kecacatan pada pasien kusta sering terjadi pada
umur antara 15–34 tahun karena umur tersebut merupakan usia
produktif. Aktivitas fisik lebih meningkat pada usia 15– 34 tahun,
sehingga kejadian kecacatan pada pasien kusta lebih sering dialami
pada usia ini. Peningkatan tingkat kecacatan pada pasien kusta
dapat disebabkan oleh meningkatnya umur . Peningkatan umur
dapat menyebabkan kemampuan sistem saraf berkurang sehingga
33
pada syaraf motorik terjadi paralisis (Sow et al,1998 dalam
susanto, 2006)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Muhammed et
al. (2004) dalam Susanto (2006), didapatkan hasil bahwa dari 500
pasien kusta diperoleh hasil tingkat kecacatan paling tinggi terjadi
pada usia > 60 tahun (50%), kemudian umur 46-60 tahun (43,6%),
dan terrendah pada umur 0-15 tahun (8,3%).
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin berkaitan dengan peran kehidupan dan
perilaku yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat. Dalam menjaga kesehatan biasanya kaum perempuan
lebih menjaga kesehatannya dibanding laki-laki. Peter dan Eshiet
(2002) dalam Susanto (2006), menyatakan bahwa terdapat
perbedaan tingkat dan variasi kecacatan pada pasien kusta antara
pria dan wanita. Variasi kecacatan lebih sering terjadi pada pria
dibanding wanita.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahanani
(2013), didapatkan hasil penelitian bahwa faktor jenis kelamin
memiliki hubungan yang bermakna dengan perawatan diri pada
pasien kusta dengan nilai p- value sebesar 0,008.
3. Tipe Kusta
Kusta memiliki dua tipe yaitu kusta tipe Pausi Bacillary
(PB) atau disebut juga dengan kusta kering yaitu tipe kusta yang
tidak menular. Sedangkan tipe kedua adalah kusta tipe Multi
Bacillary (MB) atau disebut juga dengan kusta basah yaitu tipe
kusta yang sangat mudah menular (Pusdatin RI, 2015). Pedoman
utama untuk menentukan klasifikasi kusta menurut WHO adalah
ditunjukkan dalam Tabel 2.2 berikut ini
Tabel 2.2 Tanda Utama Kusta pada Tipe PB dan MB
Tanda Utama PB MB
Jumlah Bercak kusta 1-5 > 5
Penebalan saraf tepi disertai
gangguan fungsi
Hanya 1 saraf > 1 saraf
Kerokan jaringan kulit BTA negatif BTA positif Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2012
34
Ogbeiwi (2005) dalam Susanto (2006), mengatakan bahwa
terdapat hubungan antara tipe kusta dengan tingkat kecacatan.
Perbedaan tingkat kecacatan pada tipe kusta MB dan PB
disebabkan karena pengobatan pada tipe kusta MB lebih lama dari
pada tipe PB.
4. Tingkat Cacat
Kusta dapat mengakibatkan kerusakan syaraf sensori,
otonom, dan motorik. Pada syaraf sensori akan terjadi anastesi
sehingga terjadi luka tusuk, luka sayat, dan luka bakar. Pada saraf
otonom akan terjadi kekeringan kulit yang dapat mengakibatkan
kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi sekunder. Pada
syaraf motorik akan terjadi paralisis sehingga terjadi deformitas
sendi (Wisnu dan Hadilukito, 2003)
WHO (1995) membagi cacat kusta ke dalam tiga tingkatan
yang dapat dilihat seperti pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Tingkat Cacat Kusta Menurut WHO (1995)
Tingkat Mata Telapak
Tangan/Kaki
0 Tidak ada kelainan akibat kusta Tidak ada kelai-
nan akibat kusta
1 Ada keusakan karena kusta
(anestesi pada kornea, tetapi
gangguan visus tidak berat >
6/60 dan masih dapat
menghitung jari dari jarak 6
meter)
Anestesi, kelema-
han otot (tidak ada
cacat atau kerusa-
kan yang keliha-
tan akibat kusta)
2 Ada legophtalamos, iridosik-
litis, opasitas pada kornea serta
gangguan visus berat (visus
<6/60 dan tidak mampu meng-
hitung jari dari jarak 6 meter)
Ada cacat atau
kerusakan akibat
kusta seperti ulkus
, jari keriting, kaki
semper Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2012
Cacat tingkat 1 merupakan cacat yang disebabkan oleh
kerusakan saraf sensoris yang tidak terlihat, seperti hilangnya rasa
35
ketika diraba pada kornea mata, telapak tangan dan kaki. Cacat
tingkat 1 pada kaki beresiko terjadi ulkus plantaris. Mati rasa pada
bercak bukan merupakan cacat tingkat 1 karena bukan disebabkan
oleh kerusakan saraf perifer utama tetapi karena rusaknya saraf
lokal kecil pada kulit.
Sedangkan cacat tingkat 2 berarti cacat yang dapat dilihat.
Cacat tingkat 2 pada mata berupa tidak mampu menutup dengan
rapat (logophthalammos), kemerahan dan gangguan penglihatan
berat atau kebutaan. Cacat tingkat 2 pada tangan dan kaki ditandai
dengan luka dan ulkus di telapak dan deformitas yang disebabkan
oleh kelumpuhan otot dan atau hilangnya jaringan atau rearbsosi
parsial dari jari-jari (Departemen Kesehatan RI, 2007).
5. Keteraturan Berobat
Cacat banyak ditemukan pada yang tidak teratur minum
obat sedangkan yang tidak cacat banyak ditemukan pada yang
minum obat teratur. Hal ini disebabkan karena pengobatan
ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak berdaya
merusak jaringan tubuh, tanda-tanda penyakit menjadi kurang aktif
dan pada akhirnya hilang. Bila tidak minum obat secara teratur,
maka kuman kusta dalam tubuh akan tumbuh dan berkembang
lebih banyak sehingga merusak syaraf yang pada akhirnya dapat
menimbulkan kecacatan (Selum dan Chatarina, 2012).
Pada penelitian Mukminin (2006) menunjukkan bahwa
responden yang tidak berobat secara teratur memiliki risiko 9,1
kali lebih besar untuk menderita cacat dibandingkan responden
yang teratur berobat. Pengobatan kusta ditujukan untuk
mematikan kuman kusta. Pada PB yang berobat dini dan teratur
akan cepat sembuh tanpa menimbulkan cacat. Akan tetapi bagi
yang sudah dalam keadaan cacat permanen pengobatan hanya
dapat mencegah cacat lebih lanjut. Apabila tidak minum obat
secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali,
sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan syaraf yang
memperburuk keadaan. Disinilah pentingnya pengobatan secara
dini dan teratur (Ishii, 2005 dalam Susanto, 2006).
36
6. Status Pasien Kusta
Menurut Departemen Kesehatan RI (1998) dalam Nugraheni
(2005) penemuan kusta dapat dilakukan dua cara yaitu.
1. Penemuan secara pasif (Sukarela)
2. Penemuan secara aktif
a. Pemeriksaan kontak serumah (survei kontak)
Tujuan pemeriksaan kontak serumah adalah mencari baru
yang mungkin sudah lama ada dan belum berobat maupun
mencari baru yang mungkin ada
b. Pemeriksaan anak sekolah
Tujuan kegiatan ini adalah mendapatkan kasus baru secara
dini dan memberikan penyuluhan kepada murid dan guru
c. “Chase Survey”
Maksud dari survei ini adalah mencari baru dalam suatu
lingkup kecil misalnya desa atau kelurahan sambil membina
pastisipasi masyarakat.
d. Survei Khusus
Kegiatan survei khusus antara lain survei fokus (lingkup
sasaran lebih kecil) dan Random Sample Survey (Survei
Prevalansi)
Smith, 1982 dalam Bastaman, 2002 menerangkan bahwa
angka kecacatan pada kasus baru lebih banyak terdapat pada yang
ditemukan melalui pemeriksaan diri secara sukarela dibandingkan
dengan yang ditemukan melalui pemeriksaan oleh tenaga
kesehatan. Hal ini diduga karena yang datang sukarela
memeriksakan dirinya ke petugas kesehatan setelah lama
menderita sakit dan telah menemukan kelainan pada anggota
tubuhnya.
7. Lama Pengobatan
Pengobatan kusta tergantung dari tipe kusta PB atau MB.
dengan tipe PB obat yang diberikan adalah Rifampicin dan DDS
sebanyak 6 blister diminum selama 6–9 bulan, sedangkan untuk
tipe MB obat diberikan adalah Rifampicin, Lamprene dan DDS
sebanyak 12 blister diminum selama 12–18 bulan. Obat yang
diberikan kepada kusta sesuai dengan program Departemen
37
Kesehatan Republik Indonesia adalah Dapson (DDS= Diamino
diphenyl sulphone), Rifampicin, dan (Klofasimin) Lamprene
(Soebono dan Suhariyanto, 2003 dalam Susanto, 2006).
8. Pengobatan Kusta
Pengobatan kusta dimaksudkan untuk membunuh kuman
kusta dalam tubuh sehingga diharapkan dapat memutuskan mata
rantai penularan. Dengan hancurnya kuman maka sumber
penularan dari terutama tipe MB ke orang lain bisa terputus
(Departemen Kesehatan RI, 2007). Kuman kusta diluar tubuh
manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai
7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia
tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati.
Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam
rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab
(Zulkifli, 2003).
Prinsip utama dari pengendalian kusta adalah dengan deteksi
dini kasus baru dan pengobatan segera dengan MDT untuk
mencegah transmisi penyakit. Prinsip ini sangat penting untuk
diterapkan di negara-negara endemik kusta termasuk Indonesia
(Widodo dan Menaldi, 2012). harus mengerti bahwa pengobatan
MDT dapat membunuh kuman kusta, tetapi cacat mata, tangan
atau kaki yang terlanjur terjadi akan tetapi ada seumur hidup,
sehingga harus melakukan perawatan diri dengan rajin agar
cacatnya tidak bertambah berat (Departemen Kesehatan RI,
2007).
38
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
39
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder tentang Penyakit
Kusta di kecamatan Brondong kabupaten Lamongan beserta
faktor-faktor yang diduga mempengaruhinya. Data diperoleh dari
rekap medis pasien kusta di Puskesmas Brondong tempat kusta
berobat pada tahun 2012-2015 dengan jumlah data sebanyak 133
data.
3.2 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu
variabel utama dan variabel pendukung. Penjelasannya adalah
sebagai berikut.
1. Variabel Utama
Variabel utama merupakan variabel yang digunakan dalam
memodelkan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi laju
perbaikan klinis pasien kusta di kecamatan Brondong kabupaten
Lamongan. Variabel utama terdiri dari variabel dependen dan
independen.
Variabel dependen dalam penelitian ini merupakan data
waktu Survival pasien kusta, dengan ketentuan sebagai berikut.
a) Waktu awal (time origin) adalah waktu ketika pasien kusta
mulai berobat di Puskesmas Brondong.
b) Kegagalan (failure event) adalah kondisi saat pasien kusta
dinyatakan mengalami perbaikan kondisi klinis yaitu pada
saat pasien selesai menjalani pengobatan di Puskesmas
Brondong dengan tuntas.
c) Skala pengukuran dalam penelitian ini adalah dalam satuan
hari
Selanjutnya variabel dependen yang digunakan pada
penelitian ini dapat dilihat melalui Tabel 3.1.
40
Tabel 3.1 Variabel Dependen Penelitian
Sedangkan variabel independen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah enam faktor yang diduga mempengaruhi laju
perbaikan klinis pasien kusta yang tercatat di buku rekap medis
Puskesmas Brondong. Enam faktor tersebut dapat dilihat pada
Tabel 3.2 berikut ini.
Tabel 3.2 Variabel Independen Penelitian
Kemudian definisi operasional untuk menjelaskan setiap
variabel diatas adalah sebagai berikut.
a. Waktu Survival (T)
Variabel Keterangan Skala Kategori
T
Lama waktu pasien
kusta melakukan
pengobatan (hari)
Rasio -
d Status tersensor waktu
Survival Nominal
0 = Waktu Survival
Tersensor
1 = Waktu Survival
tidak tersensor
Variabel Keterangan Skala Kategori
X1 Usia (Tahun) Rasio -
X2 Jenis Kelamin Nominal 0 = Laki-laki
1 = Perempuan
X3 Tipe Kusta Nominal 0 = PB
1 = MB
X4 Tingkat Cacat Ordinal
0 = Cacat tingkat 0
1 = Cacat tingkat 1
2 = Cacat tingkat 2
X5 Keteraturan Berobat Nominal 0 = Tidak teratur
1 = Teratur
X6 Status Pasien Nominal
0 = Kontak
1 = Sukarela
2 = Anak Sekolah
41
Waktu Survival (T) yang berupa lama waktu pasien kusta
melakukan pengobatan merupakan lamanya pasien kusta
melakukan perawatan di Puskesmas Brondong (time origin) mulai
awal berobat hingga waktu akhir, yaitu ketika pasien selesai
melakukan pengobatan (failure event) dalam keadaan membaik
(tuntas berobat).
b. Status Tersensosr (d)
Status tersensor (d) ditunjukkan oleh dua keadaan yaitu
waktu Survival tersensor dan waktu Survival tidak tersensor atau
mengalami event. Waktu Survival tersensor merupakan keadaan
pasien kusta yang tidak tuntas berobat di puskesmas brondong baik
itu disebabkan meninggal dunia, pasien tidak kembali mengambil
obat, ataupun yang lainnya. Sedangkan waktu Survival tidak
tersensor merupakan keadaan pasien kusta yang telah tuntas
berobat. Ketuntasan berobat ditunjukan dari catatan medis berupa
keterangan Release From Treatment (RFT) yaitu menunjukkan
bahwa pasien telah tuntas berobat (failure event). Sedangkan
ketidaktuntasan berobat ditunjukan dari catatan medis berupa
keterangan Out Of Control (OOC) yaitu menunjukkan bahwa
pasien tidak tuntas berobat ketika melakukan perjalanan
pengobatan.
c. Usia (X1)
Usia yang dimaksud dalam penelitian ini ialah usia pada saat
kusta pertama kali melakukan pengobatan di Puskesmas
Brondong.
d. Jenis Kelamin (X2)
Jenis kelamin dibedakan menjadi dua yaitu laki-laki (L) dan
perempuan (P).
e. Tipe Kusta (X3)
Tipe kusta dibedakan menjadi dua yaitu tipe Paus Basiler
(PB) atau Multi Basiler (MB) yang secara lengkapnya terdapat
pada Tabel 2.2. Penentuan tipe kusta dilakukan pada awal-awal
pasien melakukan pengobatan yaitu melalui pemeriksaan oleh
petugas Puskesmas Brondong berupa tanda utama seperti bercak-
bercak, penebalan syaraf, atau dari hasil uji laboratorium.
42
f. Tingkat Cacat (X4)
Pasien dinyatakan mengalami tingkat cacat 0, 1, atau 2
berdasarkan pemeriksaan pada mata, tangan, dan kaki. Semakin
banyak kerusakan yang dialami oleh , maka semakin tinggi tingkat
cacatnya. Pengklasifikasian penggolongan tingkat cacat kusta
terdapat pada Tabel 2.3.
g. Keteraturan Berobat (X5)
Keteraturan berobat dilihat dari catatan pengambilan obat
yang dilakukan oleh pasien kusta. Pasien dinyatakan teratur
apabila selalu mengambil obat tiap bulan selama masa pengobatan
hingga selesai. Namun pasien dinyatakan tidak teratur apabila ada
riwayat sekali saja tidak mengambil obat pada jadwal yang telah
ditentukan.
h. Status Pasien (X6)
Status pasien didasarkan dari saat kusta ditemukan. Status
pasien Kontak (K) jika pasien kusta ditemukan melalui
pemeriksaan petugas kesehatan kerumah penduduk setelah
terdapat pasien baru ditemukan. Status pasien Sukarela (S) jika
pasien yang ditemukan karena pasien tersebut datang ke
Puskesmas Brondong baik itu atas kemauan sendiri ataupun saran
dari orang lain. Status pasien Anak Sekolah (AS) jika pemeriksaan
dilakukan kepada seluruh siswa oleh petugas kesehatan atau
melalui petugas UKS disekolah tersebut. Jika ada pasien yang
dicurigai terkena penyakit kusta maka perlu dirujuk ke Puskesmas
Brondong untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Kemudian
berkenaan dengan struktur data utama yang digunakan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.3.
2. Variabel Pendukung
Variabel pendukung merupakan variabel yang tidak
dimasukan dalam fokus utama penelitian ini namun ia hanya
digunakan untuk mendukung atau melengkapi analisis deskriptif
untuk mengetahui karakteristik umum pasien kusta. Terdapat dua
variabel pendukung dalam penelitian ini yaitu variabel tahun dan
variabel daerah. Variabel tahun merupakan tahun pada saat pasien
kusta mulai melakukan pengobatan di Puskesmas Brondong.
43
Sedangkan variabel daerah merupakan daerah tempat tinggal
pasien yang terdaftar dalam buku rekap medis pasien kusta yang
ada di Puskesmas Brondong. Kedua variabel tersebut dapat dilihat
pada Tabel 3.4.
Tabel 3.3 Struktur Data Utama Penelitian
ID 𝑻 𝒅 𝑿𝟏 𝑿𝟐 𝑿𝟑 𝑿𝟒 𝑿𝟓 𝑿𝟔
1 𝑇1 𝑑1 𝑋11 𝑋12 𝑋13 𝑋14 𝑋15 𝑋16 2 𝑇2 𝑑2 𝑋21 𝑋22 𝑋23 𝑋24 𝑋25 𝑋26 3 𝑇3 𝑑3 𝑋31 𝑋32 𝑋33 𝑋34 𝑋35 𝑋36
⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ J 𝑇𝑗 𝑑𝑗 𝑋𝑗1 𝑋𝑗2 𝑋𝑗3 𝑋𝑗4 𝑋𝑗5 𝑋𝑗6
⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ 133 𝑇133 𝑑133 𝑋133 𝑋133 𝑋133 𝑋133 𝑋133 𝑋133
Keterangan:
j = 1, 2, 3,...133
𝑇𝑗 = Waktu Survival untuk pasien ke-j
𝑑𝑗 = status pasien ke-j
𝑋𝑗1 = usia pasien ke-j
𝑋𝑗2 = jenis kelamin pasien ke-j
𝑋𝑗3 = tipe kusta pasien ke-j
𝑋𝑗4 = tingkat cacat pasien ke-j
𝑋𝑗5 = keteraturan berobat pasien ke-j
𝑋𝑗6 = status pasien ke-j
Tabel 3.4 Variabel Pendukung Penelitian
Variabel Nama Variabel Keterangan
X7 Tahun
Tahun pasien pertama kali
melakukan pengobatan yang
terdaftar di buku rekap medis
pasien kusta
X8 Daerah
Tempat tinggal pasien yang
terdaftar di buku rekap medis
pasien kusta
44
Kemudian berkenaan dengan struktur data pendukung yang
digunakan dalam penelitian ini ditunjukan pada Tabel 3.5 berikut
ini.
Tabel 3.5 Struktur Data Pendukung Penelitian
𝑰𝑫 𝑿𝟕 𝑿𝟖
1 𝑋17 𝑋18 2 𝑋27 𝑋28 3 𝑋37 𝑋38
⋮ ⋮ ⋮ J 𝑋𝑗7 𝑋𝑗8
⋮ ⋮ ⋮ 133 𝑋133 𝑋133
Keterangan :
j = 1, 2, 3,...133
𝑋𝑗7 = tahun terdaftar pada saat pasien ke-j berobat
𝑋𝑗8 = daerah terdaftar pada saat pasien ke-j berobat
3.3 Tahapan Analisis Data
Tahapan analisis data pada pada penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan karakteristik waktu Survival pasien kusta
dengan menyajikannya sebagai kurva Survival Kaplan-
Meier sebanyak variabel prediktor/independed. Serta
melakukan Uji Log-Rank dua grup pada kurva Survival
Kaplan-Meier untuk mengetahui apakah ada perbedaan
diantara kurva-kurva tersebut.
2. Melakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi laju
perbaikan klinis pasien kusta dengan langkah analisis
sebagai berikut.
a. Menguji asumsi Proportional Hazard (PH) pada semua
variabel prediktor.
b. Menghitung estimasi parameter model regresi Cox
Proportional Hazard apabila semua variabel prediktor
45
memenuhi asumsi PH. Apabila tidak memenuhi maka
digunakan model Cox Extended.
c. Melakukan seleksi model terbaik dengan eliminasi
Backward dan AIC.
d. Melakukan uji signifikasi parameter model.
e. Menghitung nilai Hazard Ratio dari variabel prediktor
yang signifikan terhadap model untuk mengetahui
perbandingan laju perbaikan klinis pasien kusta tiap
kategori dari variabel prediktor/independen.
3. Untuk mengetahui laju perbaikan klinis pasien kusta,
langkah analisis yang digunakan adalah membuat kurva
Adjusted Survival dari model yang telah terbentuk
3.4 Diagram Tahapan Penelitian
Diagram tahapan penelitian pada penelitian ini adalah
seperti pada Gambar 3.1 berikut.
Model Cox
Proportional
Hazard
Ya
Mengumpulkan Data
Membuat kurva survival Kaplan-Meler
Menguji perbedaan kurva survival Kaplan-
Meier menggunakan Uji Log-Rank
Mengestimasi parameter model
A
Menggunakan model Cox Extended
Tidak
Asumsi PH
terpenuhi?
46
A
Menghitung Hazard Ratio dan
menginterpretasikannya pada masing-
masing variabel prediktor
Menentukan laju perbaikan klinis melalui
kurva Adjusted Survival
Menarik kesimpulan dan saran
Seleksi model terbaik dengan metode
Eliminasi Backward dan AIC
Menguji signifikasi parameter dari
model terbaik
Gambar 3.1 Tahapan Penelitian
47
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan membahas tentang karakteristik dan faktor-
faktor yang diduga mempengaruhi laju perbaikan klinis pasien
kusta di kecamatan Brondong kabupaten Lamongan yang
melakukan pengobatan di puskesmas Brondong. Faktor utama
yang digunakan untuk analisis Survival adalah Usia, Jenis
Kelamin, Tipe Kusta, Tingkat Cacat, Keteraturan Berobat, dan
Status Pasien yang terlampir pada lampiran 1.a. Sedangkan untuk
mendukung analisis lebih mendalam tentang statistika deskriptif
pasien kusta disertakan faktor tahun dan daerah tempat tinggal
pasien kusta ketika mendaftar berobat pertama kali di Puskesmas
Brondong yang terlampir pada lampiran 1.b.
4.1 Karakteristik Umum Pasien Kusta
Pada bagian ini akan membahas tentang karakteristik umum
pasien kusta yang ada di kecamatan Brondong kabupaten
Lamongan pada tahun 2012-2015 dengan jumlah data sebanyak
133 data. Karakteristik pasien kusta berdasarkan tahun 2012-2015
di kecamatan Brondong kabupaten Lamongan dapat dilihat pada
Tabel 4.1.
Pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa selama periode 2012-
2015 jumlah pasien kusta di kecamatan Brondong kabupaten
Lamongan mengalami penurunan per tahunnya. Penurunan jumlah
pasien kusta terbesar terjadi pada masa periode 2014 ke 2015 yaitu
sebesar 15 orang. Penurunan tiap tahun ini menunjukkan bahwa
kasus pasien baru kusta di Kecamatan Brondong kabupaten
Lamongan pada tiap tahunnya semakin berkurang. Hal ini
disebabkan kemungkinan adanya perubahan perilaku masyarakat
di kecamatan Brondong kabupaten Lamongan tentang kesehatan
semakin membaik ditiap tahunnya atau mungkin juga disebabkan
adanya upaya intensif pemerintah dalam menangani kasus kusta di
kecamatan Brondong kabupaten Lamongan ini. Terutama upaya
dari pihak puskesmas Brondong sendiri dalam menangani kasus
kusta di kecamatan Brondong kabupaten Lamongan.
48
Tabel 4.1 Karakteristik Pasien Kusta Pada Tahun 2012-2015
Variabel Tahun (Orang) Total
(Orang) 2012 2013 2014 2015
Jenis Kelamin L 23 26 21 11 81
P 17 12 14 9 52
Tipe Kusta MB 20 22 17 8 67
PB 20 16 18 12 66
Status Pasien
AS 2 2 4 1 9
K 30 18 12 2 62
S 8 18 19 17 62
Tingkat Cacat
0 29 28 28 14 99
1 1 1 3 5
2 10 10 6 3 29
Keteraturan
Berobat
No 14 17 15 7 53
Yes 26 21 20 13 80
Jumlah Pasien/ tahun 40 38 35 20 133
Selanjutnya selama periode 2012-2015, jumlah pasien kusta
di kecamatan Brondong kabupaten Lamongan menurut faktor jenis
kelamin terdapat 81 orang pasien laki-laki dengan kasus paling
banyak terjadi pada tahun 2013 yaitu 26 orang dan terdapat 52
orang pasien perempuan dengan kasus paling banyak terjadi pada
tahun 2014 yaitu 14 orang. Ini menunjukkan bahwa selama periode
tersebut jumlah pasien kusta laki-laki lebih banyak dibandingkan
pasien kusta perempuan. Menurut tipe kusta terdapat 67 orang
pasien kusta tipe MB dengan jumlah kasus terbanyak pada tahun
2013 yaitu 22 orang dan terdapat 66 orang pasien kusta tipe PB
dengan kasus paling banyak terjadi pada tahun 2012 yaitu 20
orang. Hal ini menunjukkan persebaran yang merata antara kasus
kusta MB dan PB di kecamatan Brondong kabupaten Lamongan.
Menurut status pasien terdapat 9 orang pasien Anak
Sekolah, 62 orang pasien Kontak, dan 62 orang pasien Sukarela.
Pasien Anak Sekolah ini ditemukan ketika dilakukan penyuluhan
ke sekolah disetiap tahunnya pada siswa baru kelas 1 SD, 7 SMP,
dan 10 SMA atau sederajatnya. Ini menunjukkan bahwa selama
periode 2012-2015 pasien Anak Sekolah tidak banyak ditemukan.
Rata-rata 1-4 orang di tiap tahunnya. Meskipun demikian, tetap
49
perlu adanya perhatian kepada anak-anak sekolah agar kasus kusta
ini bisa dituntaskan. Jumlah pasien Kontak dan Sukarela pada
periode 2012-2015 sama. Ini menunjukkan bahwa pasien kusta
yang ditemukan melalui pemeriksaan petugas kesehatan kerumah
penduduk setelah terdapat pasien baru ditemukan dengan pasien
yang melakukan pemeriksaan ke puskesmas Brondong melalui
suka rela adalah sama. Namun mulai tahun 2014-2015, jumlah
pasien kusta yang datang melakukan pengobatan ke puskesmas
Brondong secara Sukarela lebih banyak dibandingkan dengan
pasien Kontak. Hal ini kemungkinan dikarenakan kesadaran dan
kemauan masyarakat di kecamatan Brondong ingin sembuh
semakin besar.
Menurut tingkat cacat terdapat 99 orang mengalami tingkat
cacat 0, 5 orang mengalami tingkat 1, dan 29 orang mengalami
tingkat cacat 2 selama periode 2012-2015. Ini menunjukkan bahwa
pasien yang mengalami tingkat cacat 1 sangat jarang ditemukan.
Bahkan pada tahun 2013 tidak ditemukan pasien tingkat cacat 1.
Persebaran kasus kusta paling banyak ditemukan dengan tingkat
cacat 0. Kemudian menurut keteraturan berobat terdapat 80 orang
pasien yang teratur berobat dan 53 orang pasien yang tidak teratur
berobat. Namun mulai tahun 2013-2015, pasien kusta yang tidak
teratur berobat sudah mengalami penurunan. Hal ini perlu menjadi
perhatian agar pasien yang tidak teratur berobat semakin
berkurang.
Selanjutnya disajikan grafik pada gambar 4.1 tentang
persebaran pasien kusta di kecamatan Brondong kabupaten
Lamongan pada tahun 2012-2015 berdasarkan tipe kusta dan
daerah tempat tinggal pasien kusta yang terdaftar di Puskesmas
Brondong.
Gambar 4.1 menujukkan bahwa secara umum penyumbang
terbesar kasus kusta di kecamatan Brondong kabupaten Lamongan
ialah Sedayu dengan jumlah sebanyak 20 orang pasien dengan tipe
PB=11 dan MB=9, dibawahnya ada daerah Cumpleng sebanyak 19
orang dengan tipe PB=8 dan MB=11, dan daerah Brengkok
sebanyak 19 orang pula dengan tipe PB=11, dan MB=8. Daerah-
50
daerah tersebut bisa dikategorikan dalam daerah yang rawan
terjadinya kusta. Sehingga perlu menjadi perhatian lebih.
Gambar 4.1 Persebaran Pasien Kusta (2012-2015) Berdasarkan
Tipe Kusta
Sedangkan Gambar 4.1 menujukkan bahwa pasien kusta
paling sedikit terdapat di daerah Lohgung, Kenthong, Wedung,
Punggur, dan Moyoruti dengan masing-masing pasien sebanyak 1
orang. Kemudian untuk daerah selain tersebut tadi, jumlah kasus
kusta cukup merata yaitu antara 2-9 orang.
Pada Lampiran 2 , selama periode 2012-2015 terlihat bahwa
9 pasien Anak Sekolah yang melakukan pengobatan di Puskesmas
Brondong terdapat di daerah Gembyang (1 orang), Sidomukti (1
orang), Lembor (1 orang), Wede (2 orang), Brengkok (3 orang),
dan Sedayu (1 orang). Kemudian daerah yang secara signifikan
mengalami penurunan kasus kusta hingga tidak terdapat kasus
kusta di daerah tersebut pada tahun 2015 adalah Brondong,
Mencorek, Lembor, dan Wede. Sedangkan daerah yang
sebelumnya ditahun 2012-2014 belum pernah ada pasien kusta di
Puskesmas Brondong namun di tahun 2015 terdapat pasien kusta
adalah Punggur. Daerah dengan pasien tingkat cacat 0 terbanyak
terdapat di daerah brengkok (17 orang), dibawahnya ada Sedayu
(16 orang), dan Cumpleng (13 Orang). Sedangkan pasien tingkat
cacat 2 terbanyak terdapat di daerah Cumpleng (6 orang),
dibawahnya ada sedayu (4 orang), dan Pambon (4 orang).
51
Selanjutnya akan dibahas tentang karakteristik pasien kusta
di kecamatan Brondong kabupaten Lamongan berdasarkan status
tersensor waktu Survival pada pasien yang melakukan pengobatan
di Puskesmas Brondong. Karakteristik waktu Survival dan Usia
pasien kusta berdasarkan status tersensor disajikan dalam Tabel 4.2
berikut ini.
Tabel 4.2 Karakteristik Waktu Survival (T) dan Usia Pasien Kusta
Berdasarkan Status Tersensor
Variabel Tersensor
(OOC)
Tidak Tersensor
(RFT) Total
Waktu
Survival (hari)
N (Orang) 21 112 133
Mean MB 97,31 390,7 Mean PB 79,38 199,98
Usia Pasien
(tahun)
Mean 41,57 32,62 Minum 9 4 Maksimum 90 75
Karakteristik waktu Survival dan usia pasien kusta
berdasarkan status tersensor pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa
dalam jangka periode 2012-2015 terdapat 21 pasien kusta yang
dinyatakan tersensor atau bisa dikatakan tidak tuntas menjalani
pengobatan (OOC) yang disebabkan karena kemungkinan
meninggal dunia, berpindah pengobatan, atau tersebab lainnya.
Selanjutnya terdapat 112 pasien kusta yang dinyatakan tidak
tersensor/mengalami event atau bisa dikatakan tuntas menjalani
pengobatan (RFT) dari Puskesmas Brondong dengan keadaan
mengalami perbaikan klinis. Lama pengobatan bagi pasien kusta
tipe PB dan MB berbeda sehingga perlu dibedakan analisisnya.
Perbedaan lamanya pengobatan diantara kedua tipe tersebut sudah
dibahas pada tinjauan pustaka.
Kemudian dari 21 pasien kusta yang Out Of Control (OOC)
atau tidak tuntas berobat memiliki rata-rata waktu Survival untuk
tipe PB sebesar 79,38≈79 hari dan MB sebesar 97,31≈97 hari.
Sedangkan dari 112 pasien kusta yang Release From Treatment
(RFT) atau tuntas berobat memiliki rata-rata waktu Survival untuk
tipe PB sebesar 199,98≈200 hari dan MB sebesar 390,70≈391
52
hari. Menurut faktor usia, rata-rata usia pasien kusta yang
melakukan pengobatan di Puskesmas Brondong dan dinyatakan
tidak tuntas berobat sebesar 41,57≈42 tahun dengan usia paling
rendah 9 tahun dan usia paling tua 90 tahun. Sedangkan rata-rata
pasien kusta yang melakukan pengobatan di Puskesmas Brondong
dan dinyatakan tuntas berobat sebesar 32,62≈33 tahun dengan usia
paling rendah 4 tahun dan usia paling tua 75 tahun.
Bagian selanjutnya ialah mengetahui karakteristik faktor
jenis kelamin, tipe kusta, tingkat cacat, keteraturan berobat, dan
status pasien terhadap status tersensor waktu Survival. Out of
control (OOC) menunjukkan tersensor yaitu tidak tuntas berobat
dan Release from treatment (RFT) menunjukkan tidak tersensor/
mengalami event yaitu tuntas berobat.
Karakteristik pasien kusta berdasarkan jenis kelamin
ditunjukkan pada Gambar 4.2 berikut ini.
Gambar 4.2 Karakteristik Pasien Kusta Berdasarkan
Jenis Kelamin
Karakteristik pasien kusta berdasarkan jenis kelamin pada
Gambar 4.2 menunjukkan bahwa secara umum persentase jumlah
pasien kusta laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan.
Dimana ada sebanyak 11,3% pasien kusta laki-laki out of control
(OOC) atau tidak tuntas berobat sebelum masa pengobatan
53
berakhir. Persentase ini lebih besar dibandingkan perempuan yang
hanya sebesar 4,5%. Ini menunjukkan jumlah pasien laki-laki yang
tidak tuntas berobat lebih banyak dibandingkan perempuan.
Selanjutnya ada sebanyak 49,6% pasien kusta laki-laki yang selesai
menjalani masa pengotan dan dinyatakan release from treatment
(RFT). Persentase ini lebih besar pula dibandingkan perempuan
yang hanya sebesar 34,6%. Ini menunjukkan jumlah pasien laki-
laki yang tuntas berobat lebih banyak dibandingkan perempuan.
Kemudian karakteristik pasien kusta berdasarkan tipe kusta,
dapat dilihat pada Gambar 4.3 berikut ini.
Gambar 4.3 Karakteristik Pasien Kusta Berdasarkan
Tipe Kusta
Karakteristik pasien kusta berdasarkan tipe kusta pada
Gambar 4.3 menunjukkan bahwa persentase jumlah pasien kusta
tipe MB lebih banyak dibandingkan jumlah pasien kusta tipe PB.
Dimana ada sebanyak 9,8% pasien kusta tipe MB out of control
(OOC) atau tidak tuntas berobat sebelum masa pengobatan
berakhir. Persentase ini lebi besar dibandingkan tipe PB yang
hanya sebesar 6%. Ini menunjukkan jumlah pasien kusta tipe MB
yang tidak tuntas berobat lebih banyak dibandingkan tipe PB.
Sedangkan ada sebanyak 40,6% pasien kusta tipe MB yang selesai
menjalani masa pengobatan sehingga dinyatakan release from
54
treatment (RFT). Persentase ini lebih sedikit dibandingkan dengan
tipe PB yang sebesar 43,6%. Ini menunjukkan jumlah pasien kusta
tipe MB yang telah tuntas berobat lebih sedikit dibandingkan tipe
PB.
Selanjutnya karakteristik pasien kusta berdasarkan tingkat
cacatnya dapat dilihat pada Gambar 4.4 berikut ini.
Gambar 4.4 Karakteristik Pasien Kusta Berdasarkan
Tingkat Cacat
Pada Gambar 4.4 terlihat bahwa persentase jumlah pasien
kusta tingkat cacat 0 paling banyak sedangkan persentase jumlah
pasien kusta paling rendah terdapat pada pasien kusta dengan
tingkat cacat 1. Kemudian ada sebanyak 10,5% pasien kusta
dengan tingkat cacat 0 ; 0% pasien kusta dengan tingkat cacat 1 ;
dan 5,3% pasien kusta dengan tingkat cacat 2 yang tidak selesai
menjalani masa pengobatan di Puskesmas Brondong sehingga
dinyatakan out of control (OOC). Kemudian ada sebanyak 63,9%
pasien kusta dengan tingkat cacat 0; 3,8% pasien kusta dengan
tingkat cacat 1 ; dan 16,5% pasien kusta dengan tingkat cacat 2
yang selesai menjalani masa pengobatan di Puskesmas Brondong
sehingga dinyatakan release from treatment (RFT).
Selanjutnya karakteristik pasien kusta berdasarkan
keteraturan berobat disajikan pada Gambar 4.5 berikut ini.
55
Gambar 4.5 Karakteristik Pasien Kusta Berdasarkan
Keteraturan Berobat
Pada Gambar 4.5 yang menunjukkan bahwa persentase
jumlah pasien kusta yang teratur berobat lebih banyak daripada
pasien kusta yang tidak teratur berobat. Dimana ada sebanyak
15,8% pasien kusta tidak teratur berobat yang tidak selesai
menjalani masa pengobatan di Puskesmas Brondong sehingga
dinyatakan out of control (OOC). Dan ada sebanyak 24,1% pasien
kusta tidak teratur berobat yang selesai menjalani pengobatan di
Puskesmas Brondong sehingga dinyatakan release from treatment
(RFT).
Sedangkan pasien kusta yang teratur berobat terlihat pada
Gambar 4.5 ada sebanyak 60,2% yang selesai menjalani
pengobatan di Puskesmas Brondong sehingga dinyatakan release
from treatment (RFT) dan tidak ditemukan pasien yang tidak tuntas
berobat. Hal ini terjadi karena pasien yang teratur berobat
menjalani prosedur yang telah diterapkan oleh pihak pengelola
kusta yang ada di Puskesmas Brondong. Sehingga apabila pasien
teratur berobat bisa dipastikan bahwa pasien tersebut akan selesai
menjalani pengobatan dan akan dinyatakan release from treatment
(RFT).
Selanjutnya karakteristik pasien kusta berdasarkan status
pasien dapat dilihat pada Gambar 4.6 berikut ini.
56
Gambar 4.6 Karakteristik Pasien Kusta Berdasarkan
Status Pasien
Pada Gambar 4.6 menunjukkan bahwa persentase pasien
kusta Anak Sekolah paling sedikit dibandingkan Kontak dan
Sukarela. Dimana ada sebanyak 0,8% pasien kusta berstatus Anak
Sekolah (AS), 6,8% berstatus Kontak (K), dan 8,3% berstatus
Sukarela (S) yang tidak selesai menjalani pengobatan di
Puskesmas Brondong sehingga dinyatakan out of control (OOC).
Sedangkan ada sebanyak 6% pasien kusta berstatus Anak Sekolah
(AS), 39,8% berstatus Kontak (K), dan 38,3% berstatus Sukarela
(S) yang selesai menjalani pengobatan di Puskesmas Brondong
sehingga dinyatakan release from treatment (RFT).
Selanjutnya untuk melihat peluang laju perbaikan klinis
berdasarkan faktor yang diduga mempengaruhinya serta untuk
mengetahui karakteristik waktu Survival pasien kusta maka
digunakan kurva Survival Kaplan-Meier. Kemudian untuk
mengetahui ada tidaknya perbedaan antara kurva Survival dari
kelompok faktor yang berbeda digunakan uji Log-Rank.
4.2 Karakteristik Waktu Survival Pasien Kusta
Karakteristik waktu Survival pasien kusta dapat dideskripsi-
kan menggunakan kurva Survival Kaplan-Meier. Pada Gambar 4.7
ditampilkan kurva Survival Kaplan-Meier dari 133 pasien kusta di
57
kecamatan Brondong kabupaten Lamongan yang melakukan
pengobatan di Puskesmas Brondong. Lampiran 3 memberikan data
mengenai keadaan waktu Survival pasien kusta untuk mendukung
analisis berikut.
Gambar 4.7 Kurva Survival Kaplan-Meier Pasien Kusta
Berdasarkan dari Gambar 4.7, dapat dilihat bahwa pada hari
ke-0 hingga hari ke-152, kurva Survival dalam kondisi konstan.
Artinya bahwa selama rentang waktu tersebut peluang laju
perbaikan klinis pasien kusta masih sangat kecil. Sehingga bisa
dikatakan belum ada pasien yang tuntas berobat. Berbeda halnya
ketika hari ke-152 hingga hari ke-190, terlihat kurva Survival turun
cepat. Pada rentang waktu ini, peluang laju perbaikan klinis pasien
kusta yang menjalani pengobatan di Puskesmas Brondong cukup
besar. Dengan kata lain, cukup banyak pasien kusta yang
mengalami perbaikan klinis. Sehingga bagi pasien kusta tipe PB
yang telah tuntas berobat bisa dinyatakan release from treatment
(RFT) oleh pihak Puskesmas Brondong. Namun kondisi ini hanya
berlaku bagi pasien kusta tipe PB saja, sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa ada perbedaan masa pengobatan
pada kedua tipe kusta ini.
Selanjutnya pada hari ke-190 hingga hari ke-370 terlihat
pada Gambar 4.7 bahwa kurva Survival kembali turun cepat. Pada
0 . 0 0
0 . 2 5
0 . 5 0
0 . 7 5
1 . 0 0
T
0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0
L e g e n d : Pr o d u c t - L i mi t Es t i ma t e Cu r v e Ce n s o r e d Ob s e r v a t i o n s
58
rentang waktu ini peluang laju perbaikan klinis pasien kusta lebih
besar daripada rentang waktu sebelumnya. Hal ini mengartikan
bahwa telah banyak pasien kusta yang mengalami perbaikan klinis
daripada rentang waktu sebelumnya. Sehingga pasien kusta baik
tipe PB maupun MB yang tuntas berobat bisa dinyatakan release
from treatment (RFT). Selanjutnya setelah hari ke-370 terlihat
kurva Survival terus turun hingga melambat pada hari ke-500
dengan peluang dibawah 0,01. Pada rentang waktu tersebut
menunjukkan telah banyak pasien yang mengalami perbaikan
klinis dan bisa dinyatakan release from treatment (RFT). Namun
kondisi ini kebanyakan terjadi pada pasien yang tidak teratur
menjalani pengobatan sehingga perbaikan klinis tertunda.
Pada kurva Survival Kaplan-Meier juga dapat diketahui nilai
mean dan median dari waktu Survival 133 pasien kusta yang
melakukan pengobatan di Puskesmas Brondong. Meannya adalah
293, 454 hari dan mediannya adalah 259 hari. Hal ini menunjukkan
bahwa rata-rata lama 133 pasien kusta yang melakukan pengobatan
di Puskesmas Brondong adalah selama 293 hari, dimana sekitar
50% pasien kusta yang mengalami perbaikan klinis terjadi sebelum
hari ke-259 dan sisanya setelah hari ke-259.
Karakteristik waktu Survival yang disajikan oleh kurva
Kaplan-Meier pada Gambar 4.7 merupakan gambaran karakteristik
waktu Survival pasien kusta secara umum. Selanjutnya akan
dijelaskan karakteristik waktu Survival 133 pasien kusta
berdasarkan variabel-variabel yang diduga mempengaruhinya.
4.2.1 Karakteristik Waktu Survival Pasien Kusta
Berdasarkan Usia
Bakker et al. (2005) dalam Susanto (2006), menyatakan
bahwa kejadian kecacatan pada kusta sering terjadi pada umur
antara 15–34 tahun karena umur tersebut merupakan usia
produktif. Berlandasan akan hal tersebut maka usia akan
dikategorikan menjadi dua yaitu usia < 34 dan usia > 34 tahun.
Kurva Survival Kaplan-Meier pasien kusta berdasarkan usia
ditunjukkan pada Gambar 4.8 berikut ini.
59
Gambar 4.8 Kurva Survival Kaplan-Meier Berdasarkan Usia
Pada Gambar 4.8, garis hitam menunjukkan kurva Survival
pasien kusta berusia < 34 tahun sedangkan warna merah
menunjukkan kurva Survival pasien kusta berusia > 34 tahun. Dari
kurva Survival tersebut, terlihat bahwa kurva pasien kusta yang
berusia < 34 tahun setelah hari ke-152 selalu berada dibawah kurva
pasien kusta berusia > 34 tahun. Ini menunjukkan bahwa secara
deskriptif pasien kusta yang berusia < 34 tahun memiliki peluang
mengalami perbaikan klinis lebih besar dibandingkan pasien kusta
yang berusia > 34 tahun. Dengan kata lain, waktu Survival pasien
kusta yang berusia < 34 tahun lebih baik dibandingkan dengan
pasien kusta yang berusia > 34 tahun.
Dengan demikian, selama masa pengobatan di Puskesmas
Brondong ada perbedaan waktu Survival pasien kusta yang berusia
< 34 tahun dengan yang berusia > 34 tahun. Namun untuk
mengetahui benar ada tidaknya perbedaan kurva Survival pada usia
< 34 tahun dan > 34 tahun maka perlu dilakukan uji Log-Rank.
Berdasarkan hasil uji Log-Rank, diperoleh nilai statistik uji
sebesar 7,4099 dengan derajat bebas 1 dan P-value hasil uji Log-
Rank sebesar 0,0065. Nilai P-value ini akan dibandingkan dengan
nilai 𝛼 sebesar 5%. Selanjutnya didapatkan bahwa nilai P-value
lebih kecil daripada nilai 𝛼 (0,0065 < 0,05), maka diperoleh
60
kesimpulan tolah H0. Ini berarti bahwa ada perbedaan antara kurva
Survival pasien yang berusia < 34 tahun dengan yang berusia > 34
tahun. Dengan demikian, waktu Survival antara pasien yang
berusia < 34 tahun dengan pasien yang berusia > 34 tahun berbeda
secara signifikan.
4.2.2 Karakteristik Waktu Survival Pasien Kusta
Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu variabel yang diduga
mempengaruhi waktu Survival pasien kusta yang ada di kecamatan
Brondong kabupaten Lamongan. Jenis kelamin pasien kusta dibagi
menjadi dua yaitu laki-laki dan perempuan. Kurva Survival
Kaplan-Meier pasien kusta berdasarkan jenis kelamin ditunjukkan
pada Gambar 4.9 berikut ini..
Gambar 4.9 Kurva Survival Kaplan-Meier Berdasarkan
Jenis Kelamin
Garis hitam pada Gambar 4.9 menunjukkan kurva Survival
untuk pasien kusta laki-laki sedangkan warna merah menunjukkan
kurva Survival pasien kusta perempuan. Dari kurva Survival
tersebut, terlihat bahwa kurva pasien kusta perempuan dan laki-laki
saling berhimpitan mulai dari awal hingga akhur. Ini menunjukkan
tidak adanya perbedaan peluang mengalami perbaikan klinis
diantara pasien kusta laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain,
0 . 0 0
0 . 2 5
0 . 5 0
0 . 7 5
1 . 0 0
T
0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0
ST RAT A: Ge n d e r = 0 Ce n s o r e d Ge n d e r = 0
Ge n d e r = 1 Ce n s o r e d Ge n d e r = 1
61
selama masa pengobatan di Puskesmas Brondong, waktu Survival
pasien laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan yang
signifikan. Namun untuk mengetahui benar tidaknya analisis
deskriptif tersebut maka perlu dilakukan uji Log-Rank.
Berdasarkan hasil uji Log-Rank, diperoleh nilai statistik uji
sebesar 0,1044 dengan derajat bebas 1 dan P-value hasil uji Log-
Rank sebesar 0,7466. Nilai P-value ini akan dibandingkan dengan
nilai 𝛼 sebesar 5%. Selanjutnya didapatkan bahwa nilai P-value
lebih besar daripada nilai 𝛼 (0,7466 > 0,05), maka diperoleh
kesimpulan gagal tolah H0. Ini berarti bahwa tidak ada perbedaan
antara kurva Survival pasien laki-laki dengan perempuan. Dengan
demikian, waktu Survival antara pasien laki-laki dengan
perempuan tidak berbeda secara signifikan.
4.2.3 Karakteristik Waktu Survival Pasien Kusta
Berdasarkan Tipe Kusta
Tipe kusta merupakan salah satu variabel yang diduga
mempengaruhi waktu Survival pasien kusta. Tipe kusta dibagi
menjadi dua yaitu kusta tipe PB dan tipe MB. Berikut kurva
Survival Kaplan-Meier pasien kusta berdasarkan tipe kusta
ditunjukkan pada Gambar 4.10.
Gambar 4.10 Kurva Survival Kaplan-Meier Berdasarkan
Tipe Kusta
0 . 0 0
0 . 2 5
0 . 5 0
0 . 7 5
1 . 0 0
T
0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0
ST RAT A: T i p e = 0 Ce n s o r e d T i p e = 0
T i p e = 1 Ce n s o r e d T i p e = 1
62
Pada Gambar 4.10, garis hitam menunjukkan kurva Survival
pasien kusta tipe PB dan garis merah menunjukkan kurva Survival
pasien kusta tipe MB. Dari kurva Survival tersebut, terlihat bahwa
kedua grafik sejajar namun saling berjauhan setelah hari ke-152.
Ini menunjukkan bahwa memang antara pasien kusta tipe PB dan
MB mendapat masa pengobatan yang berbeda. Dengan kata lain,
selama masa pengobatan di Puskesmas Brondong, secara umum
ada perbedaan waktu Survival pasien kusta tipe PB dengan MB.
Namun untuk mengetahui benar tidaknya analisis deskriptif
tersebut maka perlu dilakukan uji Log-Rank.
Berdasarkan hasil uji Log-Rank, diperoleh nilai statistik uji
sebesar 126,076 dengan derajat bebas 1 dan P-value hasil uji Log-
Rank sebesar < 0,0001. Nilai P-value ini akan dibandingkan
dengan nilai 𝛼 sebesar 5%. Selanjutnya didapatkan bahwa nilai P-
value lebih kecil daripada nilai 𝛼 (0,0001 < 0,05), maka diperoleh
kesimpulan tolah H0. Ini berarti bahwa ada perbedaan antara kurva
Survival pasien tipe PB dengan MB. Dengan demikian, waktu
Survival antara pasien PB dengan MB berbeda secara signifikan.
4.2.4 Karakteristik Waktu Survival Pasien Kusta
Berdasarkan Tingkat Cacat
Tingkat cacat merupakan salah satu variabel yang diduga
mempengaruhi waktu Survival pasien kusta. Tingkat cacat dibagi
menjadi tiga yaitu tingkat cacat 0, tingkat cacat1, dan tingkat cacat
2. Kurva Survival Kaplan-Meier pasien kusta berdasarkan tingkat
cacatnya ditunjukkan pada Gambar 4.11.
Pada Gambar 4.11, garis hitam menunjukkan kurva Survival
pasien kusta tingkat cacat 0, garis merah kurva Survival pasien
kusta tingkat cacat 1, dan garis hijau kurva Survival pasien kusta
tingkat cacat 2. Dari kurva Survival tersebut, terlihat bahwa kurva
pasien kusta tingkat cacat 1 dan 2 saling berhimpit dan setelah hari
ke-152 kurva pasien kusta tingkat cacat 0 berada dibawah kurva
pasien kusta tingkat cacat 1 dan 2. Ini menunjukkan bahwa secara
deskriptif pasien kusta dengan tingkat cacat 0 memiliki peluang
mengalami perbaikan klinis lebih besar dibandingkan dengan
pasien kusta dengan tingkat cacat 1 dan 2. Dengan kata lain, waktu
63
Survival pasien kusta dengan tingkat cacat 0 lebih baik
dibandingkan pasien kusta dengan tingkat cacat 1 dan 2. Kemudian
untuk menunjukkan ada tidaknya perbedaan diantara ketiga kurva
Survival tersebut, maka perlu dilakukan uji Log-Rank.
Gambar 4.11 Kurva Survival Kaplan-Meier Berdasarkan
Tingkat Cacat.
Berdasarkan hasil uji Log-Rank, diperoleh nilai statistik uji
sebesar 6,9747 dengan derajat bebas 2 dan P-value hasil uji Log-
Rank sebesar 0,0306. Nilai P-value ini akan dibandingkan dengan
nilai 𝛼 sebesar 5%. Selanjutnya didapatkan bahwa nilai P-value
lebih kecil daripada nilai 𝛼 (0,0306 < 0,05), maka diperoleh
kesimpulan tolah H0. Ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara
kurva Survival pasien kusta. Perbedaan kurva Survival terlihat
antara pasien kusta tingkat cacat 0 dengan pasien kusta tingkat
cacat 1 dan 2. Dengan demikian, waktu Survival pasien kusta pada
faktor tingkat cacat berbeda secara signifikan.
4.2.5 Karakteristik Waktu Survival Pasien Kusta
Berdasarkan Keteraturan Berobat
Keteraturan berobat merupakan salah satu variabel yang
juga diduga mempengaruhi waktu sruvival pasien kusta di
kecamatan Brondong kabupaten Lamongan. Keteraturan berobat
0 . 0 0
0 . 2 5
0 . 5 0
0 . 7 5
1 . 0 0
T
0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0
ST RAT A: Ca c a t = 0 Ce n s o r e d Ca c a t = 0 Ca c a t = 1
Ca c a t = 2 Ce n s o r e d Ca c a t = 2
64
dibagi menjadi dua kategori yaitu teratur berobat dan tidak teratur
berobat. Kurva Survival Kaplan-Meier pasien kusta berdasarkan
keteraturan berobat ditunjukkan pada Gambar 4.12.
Gambar 4.12 Kurva Survival Kaplan-Meier Berdasarkan
Keteraturan Berobat
Garis hitam pada Gambar 4.12 menunjukkan kurva Survival
pasien kusta yang tidak teratur berobat sedangkan garis merah
menunjukkan kurva Survival pasien kusta yang teratur berobat.
Berdasarkan kurva Survival tersebut, terlihat bahwa setelah hari
ke-152 kurva Survival pasien kusta yang teratur berobat berada
dibawah kurva Survival pasien kusta yang tidak teratur berobat. Ini
menunjukkan bahwa secara deskriptif pasien kusta yang teratur
berobat memiliki peluang mengalami perbaikan klinis lebih besar
dibandingkan pasien kusta yang tidak teratur berobat. Dengan kata
lain, waktu Survival pasien kusta yang teratur berobat lebih baik
dibandingkan dengan pasien kusta yang tidak teratur berobat.
Dengan demikian, selama masa pengobatan di Puskesmas
Brondong ada perbedaan waktu Survival pasien kusta yang teratur
berobat dengan yang tidak teratur berobat. Namun untuk
mengetahui benar tidaknya analisis deskriptif tersebut maka perlu
dilakukan uji Log-Rank.
65
Berdasarkan hasil uji Log-Rank, diperoleh nilai statistik uji
sebesar 27,561 dengan derajat bebas 1 dan P-value hasil uji Log-
Rank sebesar < 0,0001. Nilai P-value ini akan dibandingkan
dengan nilai 𝛼 sebesar 5%. Selanjutnya didapatkan bahwa nilai P-
value lebih kecil daripada nilai 𝛼 (0,0001 < 0,05), maka diperoleh
kesimpulan tolah H0. Ini berarti bahwa ada perbedaan antara kurva
Survival pasien yang teratur berobat dengan pasien yang tidak
teratur berobat. Dengan demikian, waktu Survival antara pasien
yang teratur berobat dengan pasien yang tidak teratur berobat
berbeda secara signifikan.
4.2.6 Karakteristik Waktu Survival Pasien Kusta
Berdasarkan Status Pasien
Status pasien merupakan salah satu variabel terakhir yang
diduga mempengaruhi waktu Survival pasien kusta. Status pasien
dibagi menjadi tiga yaitu Kontak, Sukarela, dan Anak Sekolah.
Berikut pada Gambar 4.13 ditampilkan kurva Survival Kaplan-
Meier pasien kusta berdasarkan status pasien.
Gambar 4.13 Kurva Survival Kaplan-Meier Berdasarkan
Status Pasien
Pada Gambar 4.13, garis hitam menunjukkan kurva Survival
pasien Kontak, garis merah menunjukkan kurva Survival pasien
66
Sukarela, dan garis hijau menunjukkan kurva Survival pasien Anak
Sekolah. Dari kurva Survival tersebut, terlihat bahwa kurva pasien
Kontak dan Sukarela saling berhimpit dan sekitar hari ke-180
kurva Survival pasien Anak Sekolah berada dibawah kurva
Survival pasien Kontak dan Sukarela. Ini menunjukkan bahwa
secara deskriptif pasien kusta Anak Sekolah memiliki peluang
mengalami perbaikan klinis lebih besar dibandingkan dengan
pasien kusta Kontak dan Sukarela. Dengan kata lain, waktu
Survival pasien kusta Anak Sekolah lebih baik dibandingkan
pasien kusta Kontak dan Sukarela. Kemudian untuk menunjukkan
ada tidaknya perbedaan diantara ketiga kurva Survival tersebut,
maka perlu dilakukan uji Log-Rank.
Berdasarkan hasil uji Log-Rank, diperoleh nilai statistik uji
sebesar 10,049 dengan derajat bebas 2 dan P-value hasil uji Log-
Rank sebesar 0,0066. Nilai P-value ini akan dibandingkan dengan
nilai 𝛼 sebesar 5%. Selanjutnya didapatkan bahwa nilai P-value
lebih kecil daripada nilai 𝛼 (0,0066 < 0,05), maka diperoleh
kesimpulan tolah H0. Ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara
kurva Survival pasien kusta. Perbedaan kurva Survival terlihat
antara pasien kusta Anak Sekolah dengan pasien kusta Kontak dan
Sukarela. Dengan demikian, waktu Survival pasien kusta pada
faktor status pasien berbeda secara signifikan.
Selanjutnya secara ringkas, hasil uji Log-Rank dari masing-
masing faktor yang diduga mempengaruhi laju perbaikan klinis
pasien kusta dapat dilihat dalam tabel 4.3 berikut ini.
Tabel 4.3 Pengujian Kurva Survival dengan Uji Log-Rank
Variabel Log-Rank df P-yalue
Usia 7,4099 1 0,0065
Jenis Kelamin 0,1044 1 0,7466
Tipe Kusta 126,076 1 < 0,0001
Tingkat Cacat 6,9747 2 0,0306
Keteraturan Berobat 27,561 1 < 0,0001
Status Pasien 10,049 2 0,0066 * Digunakan sebesar 0,05
67
Berdasarkan Tabel 4.3 dapat disimpulkan bahwa pada taraf
signifikasi 5%, variabel jenis kelamin memiliki nilai p-value > 0,05
yang berarti tidak memiliki perbedaan waktu Survival pada
kategoriknya sedangkan variabel usia, tipe kusta, tingkat cacat,
keteraturan berobat, dan status pasien memiliki nilai p-value < 0,05
yang berarti ada perbedaan waktu Survival pada setiap
kategoriknya untuk masing-masing variabel.
4.3 Memodelkan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju
Perbaikan Klinis Pasien Kusta Dengan Regresi Cox
Extended
Penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi laju perbaikan
klinis pasien kusta dapat juga dilakukan menggunakan pemodelan
regresi Cox Proportional Hazard. Namun sebelum melakukan
pemodelan, perlu dilakukan uji asumsi Proportional Hazard (PH)
dengan seluruh variabel prediktor yaitu usia, jenis kelamin, tipe
kusta, tingkat cacat, keteraturan berobat, dan status pasien. Jika
seluruh variabel prediktor tersebut memenuhi asumsi PH, maka
model Cox Proportional Hazard dapat digunakan, namun apabila
ada satu variabel saja yang tidak memenuhi asumsi PH, maka
model Cox Proportional Hazard tidak dapat digunakan. Sehingga
dengan demikian akan dilakukan pemodelan dengan menggunakan
regresi Cox Extended.
4.3.1 Uji Asumsi Proportional Hazard (PH)
Dalam pemodelan regresi Cox Proportional Hazard ada
satu asumsi yang harus terpenuhi yaitu asumsi Proportional
Hazard (PH). Dalam hal ini dilakukan dua langkah pengujian yaitu
secara visual dengan grafis dan secara statistik dengan uji
Goodness-of-fit.
1. Secara Grafis
Uji asumsi PH dapat dilakukan secara grafis, salah satunya
melalui plot log-log yaitu plot ln(− ln �̂�(𝑡)). Suatu variabel
dikatakan memenuhi asumsi PH jika plot log-log antar masing-
masing kategori dalam variabel tersebut sejajar. Pengujian asumsi
PH melalui plot log-log dapat dilihat pada Lampiran 5.
68
Berdasarkan plot log-log yang telah dibuat, untuk variabel
jenis kelamin, tipe kusta, dan keteraturan berobat menghasilkan
garis yang sejajar antar kategorinya. Ini berarti asumsi PH
terpenuhi pada kedua variabel tersebut. Sedangkan pada variabel
usia, tingkat cacat, dan status pasien menghasilkan garis yang tidak
sejajar antar kategorinya. Hal ini menunjukkan bahwa secara
grafis, variabel tersebut tidak memenuhi asumsi PH.
Pengujian berdasarkan plot log-log merupakan uji secara
visual dengan tingkat subjektifitas yang masih tinggi. Oleh karena
itu, diperlukan pengujian lain yang melibatkan uji secara statistik
untuk mendapatkan hasil yang lebih objektif yaitu melalui uji
Goodness-of-fit untuk mengetahui benar tidaknya asumsi PH
terpenuhi pada 6 variabel prediktor tersebut.
2. Uji Goodness-of-fit (GOF)
Uji Goodness-of-fit merupakan salah satu uji asumsi PH
yang lebih objektif dibandingkan dengan uji grafis. Metode ini
menguji korelasi antara waktu Survival terurut dan residual
Schoenfeld serta menghasilkan p-value untuk setiap faktor yang
diduga mempengaruhi laju perbaikan klinis pasien kusta, sehingga
dapat lebih meyakinkan jika dibandingkan metode grafis. Hasil uji
Goodness-of-fit untuk setiap faktor yang diduga mempengaruhi
perbaikan klinis pasien kusta ditunjukkan pada Tabel 4.4 berikut
ini.
Tabel 4.4 Pengujian Asumsi Proportional Hazard Dengan GOF
Variabel Korelasi
Residual P-value
Usia -0,07067 0,4590
Jenis Kelamin 0,15262 0,1082
Tipe Kusta -0,06522 0,4945
Tingkat Cacat -0,02507 0,7930
Keteraturan Berobat 0,01491 0,8760
Status Pasien -0,27664 0,0032 * Digunakan sebesar 0,05
69
Laju terjadinya perbaikan klinis pasien kusta dikatakan
konstan atau tidak bergantung kepada waktu, konstan bermakna
jika tidak ada korelasi yang besar antara waktu Survival terurut
dengan residual Schoenfeld untuk setiap faktor yang diduga
mempengaruhi laju perbaikan klinis pasien kusta. Berdasarkan
Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa variabel residual Schoenfeld
status pasien memiliki korelasi yang cukup tinggi dengan waktu
Survival. Jika dibandingkan nilai P-value variabel status pasien
yang sebesar 0,0032 dengan sebesar 0,05, maka keputusannya
adalah tolak H0 karena P-value < (0,0032<0,05) yang berarti
bahwa variabel status pasien tidak memenuhi uji asumsi PH.
Sedangkan untuk variabel usia, jenis kelamin, tipe kusta, tingkat
cacat, dan keteraturan berobat memiliki nilai P-value > (0,05).
Sehingga didapatkan keputusan gagal tolak H0 yang berarti bahwa
kelima variabel tersebut memenuhi uji asumsi PH. Namun
demikian, karena variabel status pasien tidak memenuhi uji asumsi
PH, maka model Cox Proportional Hazard tidak dapat digunakan
dalam penelitian ini. Dengan demikian, dibutuhkan metode lain
untuk memodelkan faktor-faktor yang mempengaruhi serta
mengestimasi laju perbaikan klinis pasien kusta di kecamatan
Brondong kabupaten Lamongan. Untuk itu digunakan metode
regresi Cox Extended sebagai alternatif metode untuk menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi laju perbaikan klinis pasien
kusta.
4.3.2 Estimasi Parameter Model Cox Extended
Metode regresi Cox Extended adalah salah satu metode
aternatif yang dapat digunakan jika asumsi Proportional Hazard
tidak terpenuhi. Interaksi waktu yang digunakan adalah fungsi
waktu yang berupa ln (𝑇). Variabel status pasien yang diduga
mempengaruhi laju perbaikan klinis pasien kusta ternyata tidak
memenuhi asumsi Proportional Hazard, sehingga variabel ini
yang akan diinteraksikan dengan fungsi waktu. Estimasi parameter
model Cox Extended dengan fungsi waktu pada data pasien kusta
ditunjukkan pada Tabel 4.5 berikut ini.
70
Tabel 4.5 Estimasi Parameter Model Cox Extended Dengan Fungsi Waktu
Variabel Estimasi
Parameter
Chi-
Square P-Value
Usia 0,0095 1,9995 0,1574
Jenis Kelamin (1) 0,0440 0,0421 0,8373
Tipe Kusta (1) -7,4369 45,5138 <,0001
Tingkat Cacat (1) 0,2824 0,2820 0,5954
Tingkat Cacat (2) -0,1158 0,1804 0,6711
Keteraturan Berobat (1) 2,5022 53,5887 <.0001
Status Pasien (1) -1,4503 0,1735 0,6770
Status Pasien (2) -3,4884 0,2757 0,5996
Status Pasien x log t 0,3203 0,2649 0,6067
Likelihood Ratio 220,6898 <,0001 * Digunakan sebesar 0,05
Berdasarkan hasil estimasi parameter pada Tabel 4.5
diperoleh model Cox Extended sebagai berikut.
ℎ̂(𝑡, 𝒙(𝑡)) = ℎ̂0(𝑡) exp(0,0095 usia + 0,044 jenis kelamin (1) -
7,4369 tipe kusta (1) + 0,2824 tingkat cacat (1) - 0,1158
tingkat cacat (2) + 2,5022 keteraturan berobat (1) -
1,4503 status pasien (1) - 3,4884 status pasien (2) +
0,3203 (status pasien x log (T)))
Setelah model terbentuk maka selanjutnya dilakukan
pengujian serentak untuk mengetahui signifikan atau tidak model
yang telah terbentuk tersebut. Pengujian serentak dilakukan
dengan membandingkan P-value likelihood ratio dengan sebesar
5%. Berdasarkan Tabel 4.5 didapatkan P-value likelihood ratio
kurang dari (0,0001 < 0,05). Sehingga didapatkan keputusan
tolak H0 yang berarti minimal terdapat satu variabel dalam model
yang signifikan mempengaruhi laju perbaikan klinis pasien kusta.
Selanjutnya dilakukan pengujian parsial untuk mengetahui
variabel yang signifikan mempengaruhi laju perbaikan klinis
pasien kusta.
Pada Tabel 4.5, dapat dilihat pula bahwa variabel usia, jenis
kelamin, tingkat cacat, dan status pasien memiliki nilai P-value >
71
(0,05). Sehingga didapatkan keputusan gagal tolak H0 yang
berarti keempat variabel tersebut tidak signifikan mempengaruhi
laju perbaikan kusta. Sedangkan variabel tipe kusta dan keteraturan
berobat memiliki nilai P-value < (0,05). Sehingga didapatkan
keputusan tolak H0 yang berarti kedua variabel tersebut signifikan
mempengaruhi laju perbaikan kusta.
Karena masih banyak variabel yang tidak signifikan, maka
perlu dilakukan eliminasi Backward untuk menentukan model Cox
Extended yang terbaik.
4.3.3 Seleksi dan Estimasi Model Cox Extended Terbaik
Salah satu cara menentukan model terbaik adalah dengan
eliminasi Backward. Eliminasi Backward dilakukan dengan
membuang satu per satu variabel yang paling tidak signifikan. Cara
untuk membandingkan sejumlah kemungkinan model yang
diperoleh dengan menggunakan Akaike’s Information Criterion
(AIC). Dan untuk model terbaik adalah model yang memiliki nilai
AIC paling rendah. Berikut pada Tabel 4.6 disajikan ringkasan
eliminasi Backward beserta nilai AIC-nya.
Tabel 4.6 Hasil Eliminasi Backward dan Nilai AIC
Step Model Yang Terbentuk AIC
0 Semua variabel 640,383
1 Tanpa Jenis Kelamin 638,451
2 Tanpa Jenis Kelamin, Tingkat Cacat 635,040
3 Tanpa Jenis Kelamin, Tingkat Cacat, Usia 634,548
4 Tanpa Jenis Kelamin, Tingkat Cacat, Usia,
Status Pasien 634,275
Tabel 4.6 menjelaskan bahwa prosedur eliminasi Backward
berlangsung dalam 4 step, dimasing-masing step menjelaskan
variabel yang tereliminasi. Sedangkan kebaikan model dijelaskan
melalui nilai AIC yang paling rendah. Dengan demikian terlihat
bahwa nilai AIC terendah terdapat pada step ke-4 dengan nilai AIC
sebesar 634,427. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model Cox
Extended terbaik untuk menggambarkan laju perbaikan klinis
pasien kusta adalah model tanpa jenis kelamin, tingkat cacat, usia,
72
dan status pasien. Ini berarti model Cox Extended terbaik yang
dihasilkan hanya mengandung variabel tipe kusta dan keteraturan
berobat. Prosedur eliminasi Backward dapat dilihat secara lengkap
pada Lampiran 8.
Selanjutnya setelah didapatkan model terbaik, maka
dilakukan estimasi parameter terhadap model terbaik. Dikarenakan
berdasarkan uji asumsi PH sebelumnya didapatkan bahwa variabel
status pasien tidak memenuhi asumsi PH, maka variabel ini yang
akan kembali diinteraksikan dengan fungsi waktu. Berikut pada
Tabel 4.7 adalah hasil estimasi parameter model Cox Extended
terbaik.
Tabel 4.7 Estimasi Parameter Model Cox Extended Terbaik
Dengan Fungsi Waktu
Variabel Estimasi
Parameter
Chi-
Square P-Value
Tipe Kusta (1) -7,1927 42,9058 <,0001
Keteraturan Berobat (1) 2,4565 54,8891 <,0001
Status Pasien x log t 0,0165 0,3615 0,5477
Likelihood Ratio 214.8934 <,0001 * Digunakan sebesar 0,05
Berdasarkan hasil estimasi parameter pada Tabel 4.7,
diperoleh model Cox Extended terbaik sebagai berikut.
ℎ̂(𝑡, 𝒙(𝑡)) = ℎ̂0(𝑡) exp(-7,1927 tipe kusta (1) + 2,4565 keteraturan
berobat (1) + 0,0165 ( status pasien x log (T)))
Berdasarkan pengujian serentak terhadap model Cox
Extended terbaik yang terbentuk didapatkan nilai P-value
likelihood ratio kurang dari (0,0001 < 0,05). Sehingga
didapatkan keputusan tolak H0 yang berarti minimal terdapat satu
variabel dalam model yang signifikan mempengaruhi laju
perbaikan klinis pasien kusta. Selanjutnya dilakukan pengujian
parsial untuk mengetahui variabel yang signifikan mempengaruhi
laju perbaikan klinis pasien kusta.
Pada Tabel 4.7, dapat dilihat bahwa ternyata variabel tipe
kusta dan keteraturan berobat memiliki nilai P-value < (0,05).
73
Sehingga didapatkan keputusan tolak H0 yang berarti variabel tipe
kusta dan keteraturan berobat signifikan terhadap model. Dengan
demikian kedua variabel tersebut merupakan variabel yang
signifikan mempengaruhi laju perbaikan klinis pasien kusta.
Besarnya variabel-variabel tersebut dapat mempengaruhi
laju perbaikan klinis pasien kusta dapat dilihat dari nilai Hazard
Ratio masing-masing variabel. Hazard Ratio untuk masing-masing
variabel yang signifikan dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Hazard Ratio Variabel Signifikan
Variabel Hazard Ratio (𝐇�̂�)
Tipe Kusta (1) 0,001
Keteraturan Berobat (1) 11,664
Berdasarkan Tabel 4.8 dapat diketahui bawah Hazard Ratio
kusta dengan tipe kusta MB sebesar 0,001 dan pasien kusta yang
teratur menjalani pengobatan sebesar 11,664. Nilai ini
menunjukkan bahwa pasien kusta yang menderita tipe MB
cenderung mengalami perbaikan klinis 0,001 kali lebih kecil
dibandingkan pasien kusta yang menderita tipe PB. Dengan kata
lain laju perbaikan klinis pasien kusta tipe PB lebih besar
dibandingkan tipe MB.
Sementara itu, pasien kusta yang teratur menjalani
pengobatan cenderung mengalami perbaikan klinis 11,664 kali
lebih besar dibandingkan dengan pasien kusta yang tidak teratur
berobat. Dengan kata lain, pasien kusta yang teratur berobat
memiliki laju perbaikan klinis yang lebih besar dibandingkan
pasien kusta yang tidak teratur berobat.
4.4 Kurva Adjusted Survival Pasien Kusta
Setelah dilakukan pemodelan dengan menggunakan regresi
Cox Extended, maka fungsi Survival pasien kusta berdasarkan
faktor yang signifikan mempengaruhi laju perbaikan klinis pasien
kusta dapat diestimasi menggunakan kurva Ajusted Survival.
Berikut ini adalah fungsi baseline Survival dari kedua faktor yang
signifikan mempengaruhi laju perbaikan klinis pasien kusta.
74
�̂�(𝑡) = �̂�0(𝑡)exp (−7,8144 tipe kusta+ 17,3085 keteraturan berobat)
Median variabel tipe kusta dan keteraturan berobat masing-
masing adalah 1 dan 1. Maka didapatkan fungsi kurva Ajusted
Survival sebagai berikut.
�̂�(𝑡) = �̂�0(𝑡)exp (−7,8144 (1) + 17,3085 (1))
Sehingga didapatkan kurva Adjusted Survival pasien kusta
seperti pada Gambar 4.14 berikut ini.
Gambar 4.14 Kurva Adjusted Survival Pasien Kusta
Kurva Adjusted Survival pada Gambar 4.14 menunjukkan
gambaran peluang pasien kusta dengan kriteria menderita tipe MB
dan pasien teratur menjalani pengobatan. Pada kurva tersebut
terlihat bahwa pada hari ke-152 hingga sekitar hari ke-340 kurva
Survival turun lambat. Pada rentang waktu ini peluang pasien kusta
yang mengalami perbaikan klinis dengan kriteria tersebut masih
sangat kecil. Berbeda halnya ketika sekitar rentang hari ke-340
hingga hari ke-380 kurva Survival turun cepat. Pada rentang waktu
ini peluang pasien kusta yang mengalami perbaikan klinis dengan
kriteria tersebut cukup besar. Dengan kata lain pada rentang waktu
tersebut, telah banyak pasien kusta dengan kriteria itu yang
mengalami perbaikan klinis atau tuntas berobat sehingga
75
dinyatakan RFT oleh Puskesmas Brondong. Begitupun juga pada
hari ke-400 dan seterusnya, terlihat kurva semakin mendekati
peluang 0. Ini menandakan bahwa pasien kusta dengan kriteria
menderita tipe MB dan teratur menjalani pengobatan sudah mulai
mengalami perbaikan klinis dan keluar semua dari treatment
disebabkan tuntas berobat.
Kemudian untuk menggambarkan laju perbaikan klinis
pasien kusta berdasarkan masing-masing faktor yang signifikan,
maka bisa dibuat sebuah kurva Adjusted Survival untuk masing-
maisng faktor tersebut.
4.4.1 Kurva Adjusted Survival Pasien Kusta Berdasarkan
Tipe Kusta
Tipe kusta merupakan salah satu variabel yang signifikan
dalam pemodelan regresi Cox Extended pada pasien kusta di
kecamatan Brondong kabupaten Lamongan yang menjalani
pengobatan di Puskesmas Brondong. Fungsi Survival pasien kusta
berdasarkan tipe kusta dapat diestimasi menggunakan kurva
Adjusted Survival seperti pada Gambar 4.15 berikut ini.
Gambar 4.15 Kurva Adjusted Survival Pasien Kusta
Berdasarkan Tipe Kusta
Kurva Adjusted Survival pada Gambar 4.15 menunjukkan
gambaran pasien kusta mengalami perbaikan klinis dengan tipe PB
76
dan MB dimana pasien tersebut teratur menjalani pengobatan di
Puskesmas Brondong. Noktah-noktah hitam pada kurva tersebut
menunjukkan pasien kusta dengan tipe PB sedangkan noktah-
noktah merah menunjukkan pasien kusta dengan tipe MB. Pada
tipe PB terlihat kurva pada sekitar hari ke-150 hingga hari ke-190
mengalami penurunan yang sangat cepat. Pada rentang waktu ini,
peluang pasien kusta tipe PB mengalami perbaikan klinis cukup
besar. Ini menandakan bahwa pasien kusta tipe PB yang teratur
menjalani pengobatan akan memiliki laju perbaikan klinis yang
cukup besar. Serta hal ini menunjukkan sudah banyak pasien kusta
yang tuntas berobat sehingga dinyatakan RFT dari Puskesmas
Brondong. Sedangkan pada rentang waktu sekitar hari ke-190 dan
seterusnya, kurva Survival pada tipe PB semakin mendekati
peluang 0. Ini menandakan bahwa pasien kusta yang menderita tipe
PB dan teratur menjalani pengobatan sudah mulai mengalami
perbaikan klinis dan keluar semua dari treatment disebabkan tuntas
berobat. Sedangkan untuk pasien kusta tipe MB, peluang perbaikan
klinis yang cukup besar baru terjadi pada pasien kusta yang teratur
berobat sekitar rentang hari ke-370 hingga ke-390. Kemudian
untuk rentang hari ke-400 hingga seterusnya, peluang pasien kusta
tipe MB semakin mendekati 0. Ini menunjukkan bahwa pada
rentang hari tersebut pasien kusta tipe MB yang teratur berobat
telah mengalami perbaikan klinis cukup besar. Sehingga semua
pasien sudah mulai keluar dari treatment yang dilakukan di
Puskesmas Brondong.
Dari kurva Adjusted Survival tersebut dapat dilihat, bahwa
kurva pasien tipe PB dan MB sejajar namun saling berjauhan. Ini
memang menunjukkan adanya perbedaan masa pengobatan
diantara kedua tipe tersebut. Perbedaan tersebut bisa dilihat pada
penjelasan-penjelasan sebelumnya. Hal ini juga menguatkan akan
adanya perbedaan peluang mengalami perbaikan klinis dikedua
tipe tersebut. Kurva Survival pasien kusta tipe PB berada disebelah
kiri kurva Survival pasien kusta tipe MB. Secara umum ini
menggambarkan bahwa peluang mengalami perbaikan klinis pada
pasien kusta tipe PB lebih besar dibandingkan pasien kusta tipe
77
MB. Dengan kata lain, pasien kusta tipe PB memiliki laju
perbaikan klinis lebih besar dibandingkan pasien kusta tipe MB
atau juga bisa ditarik kesimpulan bahwa waktu Survival pasien
kusta tipe PB lebih baik daripada tipe MB selama pasien tersebut
teratur berobat. Hal ini juga sesuai dengan teori yang ada bahwa
pengobatan pasien kusta tipe MB memang lebih lama
dibandingkan pasien kusta tipe PB disebabkan adanya perbedaan
tanda kecacatan pada kedua tipe tersebut. Serta juga pada PB yang
berobat dini dan teratur akan lebih cepat sembuh tanpa
menimbulkan cacat dibandingkan dengan MB.
4.4.2 Kurva Adjusted Survival Pasien Kusta Berdasarkan
Keteraturan Berobat
Keteraturan berobat merupakan variabel keuda yang
signifikan dalam pemodelan regresi Cox Extended pada pasien
kusta di kecamatan Brondong kabupaten Lamongan yang
menjalani pengobatan di Puskesmas Brondong. Fungsi Survival
pasien kusta berdasarkan keteraturan berobat dapat diestimasi
menggunakan kurva Adjusted Survival seperti pada Gambar 4.16
berikut ini.
Gambar 4.16 Kurva Adjusted Survival Pasien Kusta
Berdasarkan Keteraturan Berobat
Kurva Adjusted Survival pada Gambar 4.16 menunjukkan
gambaran pasien kusta mengalami perbaikan klinis apabila teratur
Be r o b a t 0 1
Su r v i v o r F u n c t i o n Es t i ma t e
0 . 0
0 . 1
0 . 2
0 . 3
0 . 4
0 . 5
0 . 6
0 . 7
0 . 8
0 . 9
1 . 0
T
0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0
78
dan tidak teratur berobat. Noktah-noktah hitam menunjukkan
pasien kusta yang tidak teratur menjalani pengobatan sedangkan
noktah-noktah merah menunjukkan pasien kusta yang teratur
menjalani pengobatan di Puskesmas Brondong. Dari kurva
Adjusted Survival tersebut dapat dilihat bahwa kurva Survival
pasien kusta yang teratur menjalani pengobatan selalu berada
dibawah kurva Survival pasien kusta yang tidak teratur menjalani
pengobatan. Ini menandakan bahwa peluang mengalami perbaikan
klinis pada pasien kusta yang teratur berobat lebih besar daripada
pasien kusta yang tidak teratur menjalani pengobatan. Dengan kata
lain waktu Survival atau laju perbaikan klinis pasien kusta yang
teratur menjalani pengobatan lebih besar daripada pasien kusta
yang tidak teratur menjalani pengobatan.
Kurva Adjusted Survival pasien yang teratur berobat pada
sekitar hari ke-340 hingga hari ke-380 memiliki peluang berkisar
antara 0,9 hingga 0,1 sedangkan pada pasien yang tidak teratur
berobat sekitar hari ke-340 hingga hari ke-450 saja masih memiliki
peluang berkisar antara 0,9 hingga 0,55. Ini menandakan bahwa
memang peluang mengalami perbaikan klinis pasien kusta yang
teratur berobat jauh lebih besar dibandingkan peluang pasien yang
tidak teratur berobat. Hal ini sesuai dengan teori yang ada bahwa
apabila kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta
dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru
pada kulit dan syaraf yang dapat memperburuk keadaan hingga
pada akhirnya dapat menimbulkan kecacatan. Untuk itu diisinilah
pentingnya pengobatan secara dini dan teratur. Karena tujuan
pengobatan kusta dimaksudkan untuk membunuh kuman kusta
dalam tubuh sehingga diharapkan dapat memutuskan mata rantai
penularan. Dengan hancurnya kuman maka sumber penularan dari
terutama tipe MB ke orang lain bisa terputus.
79
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis pada data kasus kusta di
kecamatan Brondong kabupaten Lamongan didapatkan beberapa
kesimpulan sebagai berikut
1. Karakteristik waktu Survival pasien kusta di kecamatan
Brondong kabupaten Lamongan yang melakukan
pengobatan di Puskesmas Brondong setelah hari ke-190
untuk pengobatan tipe PB dan setelah hari ke-370 untuk
pengobatan tipe MB memiliki laju perbaikan klinis yang
cukup besar. Dari hasil uji Log-Rank diketahui bahwa pada
taraf signifikasi 5%, variabel jenis kelamin tidak memiliki
perbedaan waktu Survival sedangkan variabel usia, tipe
kusta, tingkat cacat, keteraturan berobat, dan status pasien
memiliki perbedaan waktu Survival.
2. Asumsi Proportional Hazard tidak terpenuhi pada variabel
status pasien sehingga metode yang digunakan untuk
memodelkan laju perbaikan klinis pasien kusta yang ada di
kecamatan Brondong kabupaten Lamongan adalah metode
regresi Cox Extended. Faktor yang signifikan
mempengaruhi laju perbaikan klinis pasien kusta adalah tipe
kusta dan keteraturan berobat. Model Cox Extended yang
terbentuk dengan status pasien sebagai faktor interaksi
terhadap waktu adalah
ℎ̂(𝑡, 𝒙(𝑡)) = ℎ̂0(𝑡)exp(-7,1927 tipe kusta (1) + 2,4565
keteraturan berobat (1) + 0,0165 ( status pasien x log (T)))
3. Pasien kusta yang menderita tipe MB cenderung mengalami
perbaikan klinis 0,001 kali lebih kecil dibandingkan pasien
kusta yang menderita tipe PB. Sementara itu, pasien kusta
yang teratur menjalani pengobatan cenderung mengalami
perbaikan klinis 11,667 kali lebih besar dibandingkan
dengan pasien kusta yang tidak teratur berobat. Berdasarkan
faktor yang mempengaruhi laju perbaikan klinis pasien
80
kusta, pasien kusta yang menderita tipe PB apabila teratur
berobat memiliki peluang perbaikan klinis yang lebih besar
dibandingkan pasien kusta tipe MB. Sementara itu, pasien
kusta yang teratur menjalani pengobatan akan memiliki
peluang perbaikan klinis yang lebih besar dibandingkan
dengan pasien kusta yang tidak teratur berobat.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil analisis serta kesimpulan yang
didapatkan, saran yang dapat diberikan kepada pihak tenaga medis
yang ada di Puskesmas Brondong yaitu mempertahankan dan
meningkatkan kembali penanganan kepada kasus kusta serta
memperhatikan kembali faktor tipe kusta yang diderita dan
keteraturan berobat pasien kusta.
Sedangkan saran yang dapat diberikan kepada peneliti
selanjutnya adalah melakukan survey terhadap faktor-faktor yang
diduga mempengaruhi laju perbaikan klinis pasien kusta untuk
mendapatkan variabel penelitian yang lebih banyak dan lebih baik.
81
DAFTAR PUSTAKA
Aini, I. N. 2011. Extended Cox Model Untuk Time-Independent
Covariate yang Tidak Memenuhi Asumsi Proportional
Hazard Pada Model Cox Proportional Hazard. Skripsi,
Universitas Indonesia
Bastaman,S. 2001. Analisis Resiko Terjadinya Cacat Tingkat 1
pada Kusta Baru di Kabupaten Cirebon Tahun 2000-2001.
Tesis, Universitas Indonesia.
Collet, D. 2003. Modelling Survival Data in Medical Research. 2nd.
ed. Chapman & Hall/CRC
Cox, D. 1972. Regression Model and Life Table. J Roy Stat Soc B,
34 , 187-202..
DeLong, D. M., Guirguis, G. H., & So, Y. C. 1981. Efficient
Computation of Subset Selection Probabilities with
Application to Cox Regression. Biometrika , 607-611.
Departemen Kesehatan RI. 2007. Buku Pedoman Nasional
Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta, Tidak
Dipublikasikan.
Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Timur. 2008. Laporan kusta tahun
2008. Dinkes Jatim. Surabaya.
Harrell, F., & Lee, K. (1986). Procedings of the Eleventh Annual
SASW User's Group International. 823-828.
Hosmer, D., Lameshow, S., & May, S. 2008. Applied Survival
Analysis. Hokoben. New Jersey: Wiley & Sons, Inc.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Pedoman
Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta : Depkes RI
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Profil
Kesehatan Indonesia tahun 2013 Jakarta : Depkes RI
Klein, John P. & Moeschberger, Melvin L. 2003. Survival Analysis
Techniques for Censored and Truncated Data. 2nd. ed. New
York : Springer.
Kleinbaum, D. G., & Klein, M. 2012. Survival Analysis: A
SelfLearning Text. Ed ke-3. Gail M, Krickeberg K, Samet
JM, Tsiatis A, Wong W, editor. New York (US).Springer.
82
Lasmini, N. 2013. Model Regresi Cox dengan Hazard Tak
Proposional dan Aplikasinya pada Waktu Ketahanan
Pengguna Narkoba. Skripsi, Institut Pertanian Bogor
Le, C. T. (1997). Applied Survival Analysis. New York: John
Willey and Sons, Inc
Lee, E. T. 2003. Statistical Methods for Survival Data Analysis. 3rd.
ed. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc
Mahanani, N. 2013. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Perawatan Diri Kusta Pada Kusta di Puskesmas Kunduran
Kecamatan Kunduran Kaputen Blora Tahun 2011. Skripsi,
Universitas Negeri Semarang.
Mukminin, L. 2006. Analisis Faktor Resiko Kecacatan pada Kusta
di Provinsi Gorontalo
Nugraheni, D. 2005. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan
Praktik Kusta dalam Pencarian Pengobatan di Puskesmas
Kunduran Kabupaten Blora. Tesis, Semarang : Universitas
Diponogero
Pusat Data dan Informasi Kementerian RI (Pusdatin). 2015. Kusta.
Jakarta : Kementerian
Puskesmas Brondong. 2010. Laporan kusta tahun 2010. UPT
Puskesmas Brondong. Kecamatan Brondong kabupaten
Lamongan.
Rahayu, N. 2012. Analisis Regresi Cox Proportional Hazard Pada
Ketahanan Hidup Pasien Diabetes Mellitus. Salatiga.
Fakultas Sains dan Matematika: Universitas Kristen Satya
Wacana
Selum. Chatarina. dan U. Wahyuni. 2012. Risiko Kecacatan pada
Ketidakaturan Berobat Kusta di Kabupaten Pamekasan
Provinsi Jawa Timur. The Indonesian Journal of Public
Health, Vol. 8, No. 3 Maret 2012 : 117-121.
Susanto, N. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Tingkat Kecacatan Kusta (Kajian di Kabupaten Sukoharjo).
Tesis. Yogyakarta : Ilmu-ilmu Kesehatan, UGM.
83
Taib, S. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat
Kecacatan Kusta di RSUD Toto Kabila. Gorontalo:
Universitas Gorontalo.
Widodo, A. Astasari. dan S. L. Menaldi, 2012, Characteristics of
Leprocy Patients in Jakarta, Jurnal Indonesia Media
Association, Volume 62 Nomor: 11, November 2012.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan,
Pencegahan, dan Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.
Wisnu., Hadilukito, G. 2003. Kusta ; Pencegahan Cacat Kusta,
2ed., Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Pp. 83-93
World Health Organization (WHO). 2013. Weekly
Epidemiological Record. No.35. August 88 th 2013. 88rd:
365-380.
Zulkifli. 2003. Penyakit kusta dan masalah yang ditimbulkannya.
Dipublikasikan oleh USU Digital Library
84
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
85
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Pasien Kusta di Kecamatan Brondong
Kabupaten Lamongan
a. Data Survival Pasien Kusta di Kecamatan Brondong Kabupaten
Lamongan
ID T d X1 X2 X3 X4 X5 X6
1 226 1 65 1 0 0 0 0
2 181 1 53 1 0 0 1 0
3 201 1 13 1 0 0 1 0
4 195 1 7 0 0 0 1 2
5 208 1 18 0 0 0 1 0
6 188 1 22 0 0 0 1 0
- - - - - - - - -
- - - - - - - - -
- - - - - - - - -
133 348 0 28 1 1 0 0 1
Keterangan :
T : Waktu Survival
d : Status Tersensor Waktu Survival
0 = Tersensor
1 = Ketuntasan Berobat (RFT)
X1 : Usia
X2 : Jenis Kelamin
0= Laki-Laki
1= Perempuan
X3 : Tipe Kusta
0= PB
1= MB
X4 : Tingkat Cacat
0= Cacat tingkat 0
1= Cacat tingkat 1
2= Cacat tingkat 2
X5 : Keteraturan Berobat
86
0= Tidak teratur
1= Teratur
X6 : Status Pasien
0= Kontak
1= Sukarela
2= Anak Sekolah
b. Data Pendukung untuk menganalisis karakteristik Pasien Kusta
di Kecamatan Brondong Kabupaten Lamongan
ID X7 X8
1 2012 Wede
2 2012 Kenthong
3 2012 Sedayu
4 2012 Sidomukti
5 2012 Cumpleng
6 2012 Cumpleng
- - -
- - -
- - -
133 2015 Brengkok
Keterangan :
X7 : Tahun saat pertama kali pasien kusta datang berobat
X8 : Daerah tempat tinggal pasien kusta
87
Lampiran 2. Karakteristik Pasien Kusta di Kecamatan Brondong
Kabupaten Lamongan Berdasarkan Tempat Tinggalnya Pada
Tahun 2012-2015
88
Lampiran 3. Output SAS Estimasi Fungsi Survival
89
Lanjutan Lampiran 3.
90
Lanjutan Lampiran 3.
91
Lampiran 4. Output SAS Uji Log-Rank
1. Variabel Usia
2. Variabel Jenis Kelamin
92
3. Variabel Tipe Kusta
4. Variabel Tingkat Kecacatan
93
5. Variabel Keteraturan Berobat
6. Variabel Status Pasien
94
Lampiran 5. Output SAS Uji Asumsi Proportional Hazard
dengan Plot Log-Log
1. Variabel Usia
2. Variabel Jenis Kelamin
3. Variabel Tipe Kusta
Ko d i n g Us i a 0 1
l l s
- 5
- 4
- 3
- 2
- 1
0
1
2
T
0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0
Ge n d e r 0 1
l l s
- 4
- 3
- 2
- 1
0
1
2
T
0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0
T i p e 0 1
l l s
- 4
- 3
- 2
- 1
0
1
2
T
0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0
95
4. Variabel Tingkat Cacat
5. Variabel Keteraturan Berobat
6. Variabel Status Pasien
Ca c a t 0 1 2
l l s
- 4
- 3
- 2
- 1
0
1
2
T
0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0
Be r o b a t 0 1
l l s
- 4
- 3
- 2
- 1
0
1
2
T
0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0
St a t u s 0 1 2
l l s
- 4
- 3
- 2
- 1
0
1
2
T
0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0
96
Lampiran 6. Output SAS Uji Asumsi Proportional Hazard
dengan Uji Goodness-of-fit
Lampiran 7. Output SAS Estimasi Parameter Regresi Cox
Extended Seluruh Variabel
97
Lampiran 8. Output SAS Seleksi Model Terbaik dengan Eliminasi
Backward
98
Lampiran 9. Output SAS Estimasi Parameter Regresi Cox
Extended Terbaik
99
Lampiran 10. Syntax SAS Membuat Kurva Survival Kaplan-
Meier
1. Kurva Survival Kaplan-Maier seluruh variabel proc lifetest data=WORK.FAIN method=KM plots=(s); time T*Sensor(0); run;
2. Kurva Survival Kaplan-Maier dan Uji Log-Rank berdasarkan
masing-masing variabel proc lifetest data=WORK.FAIN method=KM plots=(s); time T*Sensor(0); strata Variabel; run;
Lampiran 11. Syntax SAS Melakukan Uji Asumsi Proportional
Hazard dengan Plot Log-Log Berdasarkan Masing-Masing
Variabel proc lifetest data=WORK.FAIN method=KM outsurv=dog; time T*Sensor(0); strata Variabel; run; data cat; set dog; lls=log(-log(Survival)); run; proc print data=cat; run; symbol color=blue; symbol2 color=red; proc gplot data=cat; plot lls*T=Variabel; run;
Lampiran 12. Syntax SAS Melakukan Uji Asumsi Proportional
Hazard dengan Uji Goodness-of-fit proc tphreg data=work.fain; class Gender Tipe Berobat Status/ref=first; model T*sensor(0)= Usia Gender Tipe Berobat Status; Output out= resid ressch= rUsia rGender rTipe rCacat rBerobat rStatus; run; proc print data=resid;run; data events; set resid;
100
if sensor=1; run; proc rank data=events out=ranked ties=mean; var t; ranks timerank; run; proc print data=ranked;run; proc corr data=ranked nosimple; var rUsia rGender rTipe rCacat rBerobat rStatus; with timerank; run;
Lampiran 13. Syntax SAS Menghitung Estimasi Parameter
Regresi Cox Extended Seluruh Variabel proc tphreg data=WORK.FAIN; class Gender Tipe Berobat Status/ref=first; model T*Sensor(0)=Usia Gender Tipe Berobat Status Statuslogt; Statuslogt=Status*log(T); run;
Lampiran 14. Syntax SAS Seleksi Model Terbaik dengan
Eliminasi Backward proc tphreg data=WORK.FAIN; class Cacat Status Gender Tipe Berobat/ref=first; model T*Sensor(0)=Usia Cacat Status Gender Tipe Berobat/ selection=Backward slentry=0.25 slstay=0.05 details; run;
Lampiran 15. Syntax SAS Menghitung Estimasi Parameter
Regresi Cox Extended Terbaik proc tphreg data=WORK.FAIN; class Tipe Berobat/ref=first; model T*Sensor(0)=Tipe Berobat Statuslogt; Statuslogt=Status*log(T); run;
101
Lampiran 16. Syntax SAS Membuat Kurva Adjusted Survival
1. Kurva Adjusted Survival Seluruh Variabel Signifikan data in1; input Tipe Berobat; cards; 1 1 ; proc tphreg data=WORK.FAIN; class Tipe Berobat/ref=first; model T*Sensor(0)=Tipe Berobat; baseline covariates=in1 out=out1 Survival=s1/nomean; run; proc gplot data=out1; plot s1*T; run;
2. Kurva Adjusted Survival Berdasarkan Variabel Tipe Kusta data in1; input Tipe Berobat; cards; 1 1 1 0 ; proc tphreg data=WORK.FAIN; class Tipe Berobat/ref=first; model T*Sensor(0)=Tipe Berobat; baseline covariates=in1 out=out1 Survival=s1/nomean; run; proc gplot data=out1; plot s1*T=Berobat; run;
3. Kurva Adjusted Survival Berdasarkan Variabel Keteraturan
Berobat data in1; input Tipe Berobat; cards; 1 1 0 1 ; proc tphreg data=WORK.FAIN; class Tipe Berobat/ref=first; model T*Sensor(0)=Tipe Berobat; baseline covariates=in1 out=out1 Survival=s1/nomean; run; proc gplot data=out1; plot s1*T=Tipe; run;
102
Lampiran 17. Surat Pernyataan Data Sekunder
102
103
BIODATA PENULIS
Penulis memiliki nama lengkap
Nurfain, lahir di Tuban, 18 Juni 1993.
Anak kedua dari Samiadi dan Nari
serta kakak dari Matoha dan adik dari
Umaroh. Penulis mulai menempuh
pendidikan di SDN Leran Kulon 1
tahun 2000-2006, SMPN 1 Palang
tahun 2006-2009, serta SMAN 1
Tuban tahun 2009-2012. Kemudian
setelah lulus SMA, melanjutkan
study di S1 jurusan Statistika ITS
pada tahun 2012.
Selama kuliah, penulis aktif di berbagai organisasi dan kepa-
nitiaan. Pada tahun pertama, penulis aktif sebagai Organizing
Commite (OC) RDK’34. Pada tahun kedua perkuliahannya, penulis
bergabung menjadi Staff Departemen Syiar di LDJ Forsis-ITS
13/14 serta Staff Departemen Kaderisasi di LDK JMMI-ITS. Di
tahun ketiganya, penulis diamanahi sebagai Ketua Departemen
PSDM di LDJ Forsis-ITS 14/15. Selain itu ditahun yang sama
penulis juga aktif di kepanitiaan menjadi Steering Commite (SC)
RDK’35. Ditahun keempat, penulis diamanahi sebagai Ketua
Departemen Kaderisasi di LDK JMMI-ITS 15/16. Penulis cukup
aktif menulis di dalam akun Fan Page-nya “Sobat Muda Penuh
Inspirasi”. Untuk informasi maupun saran dari Tugas Akhir ini,
pembaca dapat menghubungi penulis di akun facebook penulis
yaitu Nur Fain atau melalui email : [email protected]
atau bisa juga melalui 085706111577.
104
(Halaman ini sengaja dikosongkan)