10
1 ANSIS JSI Vol. IV - Januari 2016 ANSIS JARINGAN SURVEI INISIATIF 4th Edition Januari 2016 PENDAHULUAN M asa pemerintahan Gubernur Aceh telah mema- suki tahun ketiga, tetapi dalam rentang waktu tersebut, isu tentang capaian kinerja pemerin- tahan masih menjadi permasalahan utama. Hal ini setidaknya tampak dari pemberitaan yang muncul di berbagai media massa dan penilaian kinerja yang dilaku- kan oleh Pemerintah Pusat. Hasil evaluasi kinerja pemer- intah provinsi se-Indonesia yang diselenggarakan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada tahun 2015 menempatkan Pemerintah Provinsi Aceh dalam kategori CC untuk capa- ian kinerja pemerintahan. Kendati berada pada kategori cukup, tapi capaian ini menyiratkan ma- sih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Pemerintah Provinsi Aceh. Kritik terhadap kinerja Pemerintah Provinsi Aceh ter- utama berkenaan dengan kemampuan penyerapan APBA yang selama ini masih belum optimal. Hingga bulan keempat tahun 2015, daya serap keuangan masih 4,3%, menurun dibanding periode yang sama pada ta- hun 2014 yang mencapai 8%. EDITOR IN CHIEF Aryos Nivada WRITERS Caroline Paskarina LAY OUT & Cover Teuku Harist Muzani SENIOR EXPERT ANDI AHMAD YANI, CAROLINE PASKARINA, ELLY SUFRIADI, CHAIRUL FAHMI, MONALISA, AFFAN RAMLI FAHRUL RIZA YUSUF HEAD OFFICE Jl. Syiah Kuala, Lr. Nyak Bintang, Gp. Lamdingin, Kec. Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh-23127 INDONESIA Telp. (0651) 6303 146 Web: www.jsithopi.org Email: [email protected] JARINGAN SURVEI INISIATIF EDITORIAL STAFF 1 PENDAHULUAN 3 UKURAN EFEKTIVITAS KINERJA 9 PEMBENAHAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN SEBAGAI SOLUSI 10 RUJUKAN DAFTAR ISI (analisis situasi ) ® PRODUK CAPAIAN KINERJA PEMBANGUNAN & GAMBARAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DI PROVINSI ACEH

ANALISIS SITUASI (ANSIS) JSI VOL . IV JANUARI 2016

Embed Size (px)

DESCRIPTION

CAPAIAN KINERJA PEMBANGUNAN & GAMBARAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DI PROVINSI ACEH Sudah berjalan empat tahun menjelang akhir duet kepemimpinan Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf dalam menjalankan roda pemerintahan di Provinsi Aceh. Bagaimana capaian kinerja dan gambaran tata kelola pemerintahan? Apa saja permasalahan yang menyebabkan lemahnya kinerja?. Semua akan terjawab di dalam produk terbaru volume 4 "ANSIS" (Analisis Situasi) yang dibuat Jaringan Survey Inisiatif Volume 4 Bulan Januari 2016. Baca dan dapatkan infonya.

Citation preview

Page 1: ANALISIS SITUASI (ANSIS) JSI VOL . IV JANUARI 2016

1ANSIS JSI Vol. IV - Januari 2016

ANSISJARINGAN SURVEI INISIATIF

4th EditionJanuari 2016

PENDAHULUAN

Masa pemerintahan Gubernur Aceh telah mema-suki tahun ketiga, tetapi dalam rentang waktu tersebut, isu tentang capaian kinerja pemerin-tahan masih menjadi permasalahan utama. Hal

ini setidaknya tampak dari pemberitaan yang muncul di berbagai media massa dan penilaian kinerja yang dilaku-kan oleh Pemerintah Pusat. Hasil evaluasi kinerja pemer-intah provinsi se-Indonesia yang diselenggarakan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada tahun 2015 menempatkan Pemerintah Provinsi Aceh dalam kategori CC untuk capa-ian kinerja pemerintahan.

Kendati berada pada kategori cukup, tapi capaian ini menyiratkan ma-sih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Pemerintah Provinsi Aceh. Kritik terhadap kinerja Pemerintah Provinsi Aceh ter-utama berkenaan dengan kemampuan penyerapan APBA yang selama ini masih belum optimal. Hingga bulan keempat tahun 2015, daya serap keuangan masih 4,3%, menurun dibanding periode yang sama pada ta-hun 2014 yang mencapai 8%.

EDITOR IN CHIEFAryos Nivada

WRITERS Caroline Paskarina

LAY OUT & CoverTeuku Harist Muzani

SENIOR EXPERTANDI AHMAD YANI, CAROLINE PASKARINA,

ELLY SUFRIADI, CHAIRUL FAHMI, MONALISA, AFFAN RAMLI

FAHRUL RIZA YUSUF

HEAD OFFICEJl. Syiah Kuala, Lr. Nyak Bintang, Gp. Lamdingin, Kec. Kuta Alam,

Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh-23127INDONESIA

Telp. (0651) 6303 146

Web: www.jsithopi.org

Email: [email protected]

JARINGAN SURVEI INISIATIF

EDITORIAL STAFF

1 PENDAHULUAN

3 UKURAN EFEKTIVITAS KINERJA

9 PEMBENAHAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN SEBAGAI SOLUSI

10 RUJUKAN

DAFTAR ISI

(analisis situasi)

®PRODUK

CAPAIAN KINERJA PEMBANGUNAN& GAMBARAN TATA KELOLA

PEMERINTAHAN DI PROVINSI ACEH

Page 2: ANALISIS SITUASI (ANSIS) JSI VOL . IV JANUARI 2016

ANSIS JSI Vol. IV - Januari 20162

Akibatnya, penyelenggaraan program-program pem-bangunan menjadi terhambat dan menganggu laju pertumbuhan ekonomi. Dampak berikutnya adalah menurunnya daya beli masyarakat dan meningkatn-ya pengangguran.

Padahal, Dana alokasi umum (DAU) yang diterima Pemerintah Aceh untuk biaya operasi pemerintahan Rp 1,2 triliun, sementara pagu belanja pegawainya da-lam APBA 2015 sudah mencapai Rp 1,4 triliun lebih, yaitu pada pos belanja tidak langsung Rp 949,43 mil-iar dan pada pos belanja langsung Rp 484,43 miliar. Jumlah ini tidak dapat dikatakan kecil untuk mening-katkan kinerja pemerintahan, tetapi pada kenyataan-nya ternyata tidak berbanding lurus dengan harapan publik akan peningkatan kinerja pemerintahan.

Dalam konteks tata kelola pemerintahan yang baik, capaian kinerja menjadi salahsatu tolok ukur untuk menilai kemampuan pemerintah untuk menggu-nakan berbagai sumber daya secara efektif dan efisien dalam rangka mewujudkan kepentingan publik, yak-ni kesejahteraan.

Secara sederhana, kinerja merupakan ukuran yang dipakai untuk mengevaluasi seberapa baik seseorang atau suatu lembaga melaksanakan pekerjaannya jika dibandingkan dengan seperangkat standar. Dengan demikian, kinerja pemerintahan merupakan evaluasi tentang seberapa baik lembaga pemerintahan melak-sanakan pekerjaannya.

Ketika ada lembaga pemerintah yang dinilai belum menunjukkan kinerja yang baik, maka penanganan terhadap penyebabnya harus menjadi prioritas.

Tidak hanya menjadi alat ukur seberapa baik pemer-intah melaksanakan tugasnya, kinerja pemerintah-an juga menjadi modal politik untuk memulihkan kepercayaan publik dan meningkatkan legitimasi pemerintah di mata publik. Kegagalan untuk menga-tasi persoalan lemahnya kinerja pemerintahan dapat mengarah pada munculnya stigma pemerintahan yang inefektif, bahkan pemerintahan yang gagal .1

Stigma tersebut tentunya tidak diharapkan di tengah semangat otonomi yang mendasari pengelolaan pe-merintahan di Aceh. Karena itu, upaya-upaya strat-egis perlu segera dilakukan untuk memperbaiki ki-nerja Pemerintah Provinsi Aceh. Langkah awal yang dilakukan adalah memetakan simpul-simpul perso-alan yang menghambat optimalisasi kinerja pemer-intahan di Provinsi Aceh, kemudian merumuskan strategi untuk mengatasi persoalan-persoalan terse-but.

****

1 Istilah ini mengadopsi dari konsep negara gagal (failed state) yang dikemukakan Fukuyama (2005) untuk menunjuk pada institusi negara yang gagal menyediakan berbagai kebu-tuhan dasar bagi rakyatnya, tidak hanya kebutuhan yang bersi-fat ekonomi, tetapi juga mencakup kebutuhan-kebutuhan yang bersifat psikis, seperti rasa aman, keadilan, dan pengakuan akan keberagaman. Lihat juga Sacks dan Levi (2007) untuk konsep pemerintahan efektif, yang menekankan bahwa pemerintahan yang efektif lebih dari sekedar pemerintahan yang mampu me-nyediakan pelayanan publik, tetapi juga mencakup kapabilitas untuk melaksanakan fungsi-fungsi demi mengembangkan kes-ejahteraan sosial.

“.....capaian kinerja menjadi salah satu tolok ukur untuk menilai kemampuan pemerintah untuk

menggunakan berbagai sumber daya secara efektif dan efisien.....”

Page 3: ANALISIS SITUASI (ANSIS) JSI VOL . IV JANUARI 2016

3ANSIS JSI Vol. IV - Januari 2016

Pemerintahan yang efektif, sebagaima-na dikemukakan oleh Sacks dan Levi (2007), merupakan pemerintahan yang mampu melindungi seluruh rakyatnya

dari kekerasan, menjamin keamanan dalam hal kepemilikan sumber daya, serta menyediakan in-frastruktur yang diperlukan untuk menyediakan dan memperoleh barang dan jasa yang diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan hidup rakyat. Kon-sep tersebut menempatkan pengukuran efektivi-tas pemerintahan menjadi lebih luas dari sekedar penyediaan pelayanan publik, tetapi mencakup pula kapabilitas atau kemampuan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsinya secara sistematis demi mewujudkan keadilan sosial bagi rakyatnya.

Kapabilitas tersebut dapat dicapai jika pemerintah mampu memanfaatkan secara optimal berbagai in-strumen tata kelola yang tersedia. Hood dan Margetts (2007) menyebutkan 4 (empat) instrumen yang dapat digunakan pemerintah untuk bekerja dengan efektif, yakni nodality (informasi), authority (kewenangan), treasure (anggaran), dan organization (organisasi). Dari keempat instrumen tersebut, yang dianggap menjadi persoalan bagi Pemerintah Provinsi Aceh adalah instrumen anggaran (treasure), sehingga in-strumen ini menjadi simpul yang akan diuraikan ter-lebih dahulu. Meskipun demikian, instrumen angga-ran dengan ketiga instrumen lainnya tetap memiliki saling keterkaitan, sehingga di dalam analisis berikut ini keterkaitan tersebut akan diungkapkan dengan berfokus pada instrumen anggaran.

Setidaknya ada 3 (tiga) ukuran efektivitas kinerja pemerintahan yang berkaitan dengan kemampuan pemerintah mengelola instrumen anggaran, yakni kemampuan perencanaan dan penganggaran; ke-mampuan penyerapan anggaran; dan akuntabilitas pengelolaan anggaran.

Kemampuan perencanaan dan penganggaran

Persoalan yang dihadapi Pemerintah Provinsi Aceh dalam hal perencanaan dan penganggaran terletak pada keterlambatan dalam penetapan anggaran. Proses penetapan anggaran adalah bagian dari sistem perencanaan pembangunan yang mencakup pros-es teknokrasi, proses politik, proses top-down, dan proses bottom-up. Kelambanan dalam hal penyeleng-garaan proses ini dapat disebabkan oleh kemandegan pada salahsatu atau keseluruhan proses tersebut.

Proses teknokrasi, proses top-down, dan proses bot-tom-up merupakan ranah eksekutif di dalam peny-usunan rencana pembangunan dan pengalokasian anggaran. Hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri terhadap ajuan rencana pembangunan dan APBA menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa angga-ran yang harus direalokasikan dan beberapa alokasi bahkan diminta untuk dihapuskan. Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kemdagri merekomendasikan be-berapa perubahan, antara lain menambah anggaran pendidikan sehingga mendekati 20%; penghapusan dana Bantuan Sosial dan dana hibah; peningkatan anggaran infrastruktur yang semula 16,7%; menge-fisiensikan anggaran perjalanan dinas; serta alokasi anggaran untuk membayar hak-hak kabupaten/kota yang selama ini belum terpenuhi.2

Rekomendasi dari Kemdagri tersebut mengindi-kasikan masih terdapat kelemahan dari sisi kapa-sitas perencanaan, sehingga perlu ada upaya untuk menentukan kembali skala prioritas dalam perenca-naan dan alokasi anggaran. Alokasi dana bansos dan dana hibah yang sarat dengan nuansa politis dan sulit dipertanggungjawabkan perlu dialihkan pada pro-gram-program kesejahteraan yang dapat berdampak

2 http://infopublik.id/read/105135/kemdagri-apre-siasi-kinerja-pemprov-dan-dpr-aceh.html, diunduh tanggal 30 Desember 2015

Ukuran Efektivitas Kinerja

“....Kegagalan untuk mengatasi persoalan lemahnya kinerja pemerintahan dapat mengarah pada munculnya stigmapemerintahan yang inefektif, bahkan pemerintahan yang gagal....”

Page 4: ANALISIS SITUASI (ANSIS) JSI VOL . IV JANUARI 2016

ANSIS JSI Vol. IV - Januari 20164

lebih banyak kepada masyarakat Aceh. Sementara anggaran belanja pegawai, khususnya perjalanan di-nas, juga perlu dihitung dengan lebih proporsional.Kapasitas teknokratis dalam penyusunan rencana program dan anggaran juga ditentukan oleh kompe-tensi aparatur sipil negara yang berwenang dalam pe-rencanaan pembangunan.

Isu pergantian pejabat di lingkungan SKPA yang ser-ing terjadi diduga turut menyebabkan kelambanan dalam hal penyusunan rencana dan anggaran tahu-nan. Birokrasi merupakan organisasi yang dikelola dengan menggunakan standar kompetensi tertentu. Sebagai mesin pemerintahan, birokrasi dituntut un-tuk profesional dalam melaksanakan tugasnya, de-mikian pula rekrutmen dan penempatan sumber daya manusia pada posisi-posisi birokrasi mengacu pada standar kompetensi tersebut.

Ketika pengisian jabatan tersebut sarat dengan nuan-sa politik, maka nalar profesionalisme tersebut akan terganggu dan menyebabkan kinerja birokrasi men-jadi lamban. Karena itu, perlu ada upaya untuk mem-bentuk birokrasi profesional yang dapat mendukung kinerja pemerintahan.Selain proses teknokrasi, per-encanaan dan penganggaran juga merupakan proses politik yang melibatkan DPRA sebagai mitra kerja Pemerintah Provinsi Aceh. Kelambanan dalam pen-etapan anggaran tidak hanya menjadi kelemahan da-lam kinerja eksekutif, tetapi juga menjadi permasala-han dalam kinerja legislatif.

Tidak hanya dalam pengajuan APBA awal tahun an-ggaran, kelambanan dalam penetapan anggaran pe-rubahan juga terjadi pada pertengahan tahun 2015 lalu. Penyebabnya adalah keterlambatan pengajuan dari pihak eksekutif. Kendala ini sebenarnya dapat

dihindari dengan memperbaiki tata hubungan ker-ja antara eksekutif dan legislatif, antara lain melalui penetapan jadwal penyampaian rancangan APBA.

Keterlambatan pengajuan rancangan anggaran ber-dampak pada kontinuitas penyelenggaraan pemban-gunan, sehingga upaya menangani persoalan ini tidak cukup hanya dengan pembenahan di tim anggaran eksekutif, tapi juga perlu pembenahan dalam hubun-gan kerja dengan DPRA. Konsultasi dalam penyusu-nan anggaran menjadi alternatif untuk menjembatani berbagai kepentingan, sehingga proses penetapan an-ggaran tidak menjadi proses yang dipolitisasi.

Kemampuan penyerapan anggaran

Realisasi keuangan dan fisik bersumber dari APBA tahun 2015 hingga memasuki triwulan II masih sangat rendah. Berdasarkan monitoring Unit Ker-ja Percepatan dan Pengendalian Kegiatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (UKP2K APBA), dari pagu tahun 2015 senilai Rp 12,755 triliun, realisasi keuangan dan fisik masing-masing hanya 4,3% sam-pai bulan April 2015. 3 Pada pemantauan berikutnya di bulan Agustus 2015, penyerapan anggaran juga be-lum menunjukkan peningkatan yang signifikan (baru mencapai 32,5%), masih banyak program-program pembangunan yang belum terlaksana karena angga-ran belum tersedia atau karena proses lelang yang be-lum diselenggarakan. 4

3 http://archives.portalsatu.com/news/pemerintah-tak-tahu-ekonomi-aceh-tergantung-apba/, diunduh tanggal 30 Desember 2015.4 ht tp : / / w w w. m e d anbi s n i s d a i ly. c om / m / n e w s /read/2015/08/12/180195/pemerintah-dan-dpra-lalai-tender-proyek-terlambat/, diunduh tanggal 30 Desember 2015

“.....Ekonomi Aceh sangat tergantung dengan APBA, ini disebabkan relatif besarnya porsi APBA terhadap struktur

perekonomian Provinsi Aceh. ..”

Page 5: ANALISIS SITUASI (ANSIS) JSI VOL . IV JANUARI 2016

5ANSIS JSI Vol. IV - Januari 2016

Sejumlah SKPA yang menurut pantauan UKP2K APBA memiliki daya serap belum maksimal antara lain Dinas Cipta Karya Aceh, Dinas Pengairan, Di-nas Bina Marga, Dispora, Dinsos dan UKM. Data tersebut menunjukkan bahwa dinas-dinas yang ter-kendala dalam penyerapan anggaran umumnya adalah SKPA yang memiliki program infrastruktur, yang penggunaan anggarannya berkaitan dengan pi-hak lain melalui penyelenggaraan lelang. Karena itu, lemahnya daya serap anggaran untuk program-pro-gram infrastruktur juga berdampak pada keterlam-batan proses lelang, yang pada akhirnya berdampak pada akuntabilitas pengelolaan keuangan pada SKPA terkait.

Daya serap anggaran yang lambat sebagai akibat dari keterlambatan dalam proses penganggaran bu-kan pertama kali diala-mi Pemerintah Provinsi Aceh. Data yang ter-muat dalam Laporan Kajian Ekonomi Re-gional Provinsi Aceh Triwulan I 2013 yang dilakukan oleh Bank In-donesia menunjukkan bahwa permasalahan ini juga sudah pernah terja-di pada tahun 2013.

Dalam hasil kajian tersebut dilaporkan bahwa nilai APBA tahun 2013 adalah sebesar Rp 11,779 triliun (sebelum perubahan), atau meningkat hampir 24% dibanding pagu APBA 2012 yang sebe-sar Rp 9,511 triliun. Tetapi, hingga 1 April 2013, re-alisasi keuangan dan fisik APBA baru mencapai 4,5% atau Rp 530 miliar, meleset dari target awal yang se-besar 6%. Bila dibandingkan dengan APBA 2012 lalu yang juga disahkan terlambat yaitu pada tanggal 31 Januari 2012, pencapaian realisasi keuangan dan fisik APBA triwulan I tahun 2012 lebih tinggi yaitu men-capai 7,5% atau sebesar Rp713 miliar. Hasil kajian Bank Indonesia juga menemukan bahwa pada tahun 2013, hanya 29 dari 57 SKPA yang berkinerja di atas rata-rata realisasi, tepatnya mencapai realisasi di atas 6% .5

5 http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/aceh/Pages/Kajian-Ekonomi-Regional-Triwulan-I-2013-Provinsi-Aceh.aspx, diunduh tanggal 31 Desember 2015.

Kondisi di atas ternyata terulang lagi pada tahun 2014. Kajian Bank Indonesia menemukan bahwa re-alisasi APBA pada triwulan I 2014 lebih parah dari 2013. Realisasi keuangan dan fisik APBA pada triwu-lan I 2014 masih di bawah target. Realisasi keuangan dan fisik sama-sama baru mencapai 2% dari target yang seharusnya 6% . 6

Dalam hasil kajian itu disebutkan nilai APBA 2014 sebesar Rp 13,368 triliun, atau meningkat 7,9% dibanding pagu APBA 2013 yang sebesar Rp 12,39 triliun. Realisasi anggaran pada triwulan I tahun 2014 baru 2%, baik dari sisi keuangan maupun fisik. Bahkan, hingga 15 Mei 2014, realisasi keuangan dan fisik APBA masing-masing baru 12,4% dan 12,5%.

Kondisi ini masih jauh di bawah target yang seharusnya sebesar 17% keuangan dan

21% untuk fisik. Bank Indone-sia menyatakan penyera-

pan anggaran yang ku-rang maksimal pada awal tahun 2014 san-gat berdampak ter-hadap melambatnya ekonomi Aceh.

Ekonomi Aceh san-gat tergantung dengan APBA, ini disebab-kan relatif besarnya porsi APBA terhadap struktur perekonomian

Provinsi Aceh serta be-lum adanya sektor swasta

terutama sektor industri yang berkembang pesat sebagai penggerak roda perekono-mian, sehingga apabila penyerapan APBA kurang maksimal maka kinerja semua sektor ekonomi di Provinsi Aceh akan menurun.

Laporan Bank Indonesia tentang kinerja keuangan Pemerintah Provinsi Aceh pada akhir tahun 2014 masih menunjukkan kondisi perekonomian yang be-lum optimal. Pertumbuhan ekonomi Aceh (dengan migas) pada triwulan IV tahun 2014 sebesar 0,59%, mengalami perlambatan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.7

6 http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajian-ekonomi-re-gional/aceh/Pages/Kajian-Ekonomi-Regional--Provinsi-Aceh-Triwulan-I-2014.aspx, diunduh tanggal 31 Desember 2015.7 http://www.bi.go.id/publikasi/kajian-ekonomi-region-al/aceh/Documents/KEKR%20PROVINSI%20ACEH %20TRI-WULAN%20IV-2014.pdf, diunduh tanggal 31 Desember 2015.

Page 6: ANALISIS SITUASI (ANSIS) JSI VOL . IV JANUARI 2016

ANSIS JSI Vol. IV - Januari 20166

Tekanan inflasi Aceh pada triwulan IV-2014 men-galami peningkatan dibandingkan triwulan sebel-umnya. Laju inflasi tahunan pada triwulan laporan tercatat sebesar 8,09%. Kelompok transportasi dan bahan makanan merupakan kelompok yang paling dominan dalam mempengaruhi perkembangan in-flasi Aceh pada triwulan IV-2014.

Meskipun demikian, tercatat sejumlah pertumbuhan. Perkembangan perbankan di Triwulan IV-2014 ma-sih menunjukkan peningkatan. Total aset perbankan di Provinsi Aceh pada Triwulan IV-2014 mencapai Rp42,21 triliun. Secara tahunan meningkat sebesar 10,75% dibandingkan Triwulan III-2014 yang tum-buh sebesar 7,9% . Proporsi penyaluran kredit oleh perbankan konvensional pada triwulan laporan men-capai Rp 25,23 triliun atau tumbuh sebesar 12,26%, kondisi tersebut meningkat jika dibandingkan den-gan triwulan sebelumnya.

Pertumbuhan pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah cenderung sedikit melambat. Kondisi ketenagakerjaan di Provinsi Aceh mengala-mi penurunan. Tingkat partisipasi angkatan kerja provinsi Aceh menurun dari 65,32% per Februari 2014 menjadi 63,06% per Agustus 2014. Sementara itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Aceh mengalami peningkatan dari 6,75% menjadi 9,02%. Tingkat Kemiskinan di Provinsi Aceh pada Septem-ber 2014 tercatat sebesar 16,98%, turun dibanding-kan dengan kondisi kemiskinan pada bulan Maret 2014 yang sebesar 17,72%.Realisasi anggaran pada triwulan IV-2014 sudah memenuhi angka rencana awal baik dari sisi realisasi keuangan maupun realisa-si fisik. Rencana keuangan dan fisik APBA pada De-sember 2014 atau triwulan IV masing-masing adalah

sebesar 93% dan 100%. Kedua rencana tersebut tel-ah dapat dipenuhi hingga akhir Triwulan IV tahun 2014. Deviasi antara rencana dan realisasi baik dari sisi keuangan maupun fisik adalah 0% (nol persen). Kondisi tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang masih memiliki standard deviasi sebesar 13% (Untuk Realisasi Keuangan) dan 10% (Realisasi Fisik). Jika dibandingkan dengan re-alisasi pada tahun sebelumnya, angka serapan pada tahun ini menunjukkan adanya peningkatan di mana pada tahun sebelumnya angka penyerapan anggaran keuangan mencapai 92% sedangkan pada tahun ini sudah mencapai 93%.

Perbaikan kondisi ini juga tampak dari laporan Bank Indonesia pada triwulan III tahun 2015, di mana per-tumbuhan ekonomi Provinsi Aceh mengalami kon-traksi sebesar 0,38%, lebih baik dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang terkontraksi lebih dalam sebesar 2,21% (Angka ini merupakan koreksi data dari BPS yang sebelumnya sebesar -2,12%).8

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi tanpa migas Aceh mengalami pertumbuhan sebesar 4,09%(yoy), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 3,99% (Angka ini merupakan ko-reksi data dari BPS yang sebelumnya sebesar 4,34%). Tekanan inflasi Aceh pada triwulan-III 2015 men-galami penurunan dibandingkan triwulan sebel-umnya. Laju inflasi tahunan pada triwulan laporan tercatat menurun dari 6,83% pada triwulan-II 2015

8 http://www.bi.go.id/publikasi/kajian-ekonomi-re-gional/aceh/documents/kekr%20provinsi%20Aceh %20Triwu-lan%20III202015%20rev.pdf, diunduh tanggal 31 Desember 2015.

“.....Kritik terhadap kinerja Pemerintah Provinsi Aceh terutama berkenaan dengan kemampuan penyerapan

APBA yang selama ini masih belum optimal. Dampaknya menurunnya daya beli masyarakat Aceh dan

meningkatnya pengangguran.. .”

Page 7: ANALISIS SITUASI (ANSIS) JSI VOL . IV JANUARI 2016

7ANSIS JSI Vol. IV - Januari 2016

menjadi 4,19% pada triwulan laporan sehingga se-cara kumulatif, inflasi Aceh sampai dengan triwu-lan-III 2015 adalah sebesar 0,31%. Jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata inflasi triwulan III dalam tiga tahun terakhir sebesar 3,83%.

Sejalan dengan belum membaiknya perekonomian Aceh, tingkat partisipasi angkatan kerja di Provinsi Aceh hingga bulan Agustus 2015 mencapai 63,44%. Sementara itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Aceh berada pada level 9,93%, sedikit meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumn-ya. Tingkat Kemiskinan di Provinsi Aceh berdasar-kan data terakhir bulan Maret 2015 tercatat sebe-sar 17,08%. Angka tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan kondisi kemiskinan pada bulan Maret 2014 yang sebesar 18,05%. Penurunan tingkat kemiskinan di Aceh tersebut diakibatkan oleh adan-ya penurunan tingkat kemiskinan di daerah pedes-aan sebesar 3,51% dan di daerah perkotaan sebesar 2,69%.

Penurunan tersebut juga didukung dengan telah dire-alisasikannya anggaran pemerintah daerah Provinsi Aceh. Realisasi dari pendapatan dan belanja angga-ran tersebut merupakan bentuk kinerja dari keuan-gan daerah dan dapat menjadi faktor utama yang mendorong pertumbuhan ekonomi melalui transmi-si pengeluaran pemerintah dan investasi. Hingga tri-wulan III-2015 realisasi anggaran belanja pemerintah hanya tercatat 25,51% dari alokasi anggaran tahun 2015. Sementara realisasi pendapatan telah mencapai 43,48% dari target. Atas kondisi ini, konsumsi pemer-intah di triwulan ini hanya memberikan sumbangan pertumbuhan 1,35%.

Akuntabilitas pengelolaan anggaran

Ketiadaan perubahan yang signifikan dalam kin-erja anggaran menyebabkan akuntabilitas pengelo-laan anggaran Pemerintah Provinsi Aceh juga tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal ini dilihat dari penilaian pelaporan keuangan oleh BPK dan pelaporan akuntabilitas kinerja oleh Kemenpan RB. Pelaporan keuangan Pemerintah Provinsi Aceh masih mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecual-ian (WDP) dari BPK RI. Bahkan, dari laporan BPK perwakilan Aceh juga diketahui ada sejumlah tindak lanjut Pemerintah Aceh belum sepenuhnya efektif untuk menyelesaikan permasalahan yang ada terkait: Persediaan, Investasi, Aset Tetap, Dana Cadangan, Utang Jangka Pendek, dan Belanja Tak Terduga. 9 Ada enam permasalahan signifikan yang ditemukan BPK dalam pemeriksaan LKPA Tahun 2014 yang menjadi pengecualian BPK, yaitu : 10

1. Saldo Persediaan yang dilaporkan dalam Neraca berupa Barang Habis Pakai belum termasuk ke-seluruhan Barang Habis Pakai di seluruh SKPA dan Persediaan yang akan Diserahkan Kepemi-likannya kepada Masyarakat/Kabupaten/Kota ti-dak didukung dokumen serah terima persediaan

2. Saldo Investasi Non Permanen, berupa Dana PER sebesar Rp40,68 miliar belum didukung den-gan laporan berkala perkembangan realisasi dan pengembalian dana dari bank-bank pengelola dan Dana Bergulir sebesar Rp42,25 miliar tidak

9 http://bandaaceh.bpk.go.id/?p=6254, diunduh tanggal 31 Desember 201510 Ibid.

“.....Tingkat partisipasi angkatan kerja provinsi Aceh menurun dari 65,32% per Februari 2014 menjadi 63,06% per Agustus 2014. Sementara itu, Tingkat Pengangguran

Terbuka (TPT) di Aceh mengalami peningkatan dari 6,75% menjadi 9,02%. . .”

Page 8: ANALISIS SITUASI (ANSIS) JSI VOL . IV JANUARI 2016

ANSIS JSI Vol. IV - Januari 20168

didukung dengan data penerima dan laporan perkembangan dana. Kondisi tersebut mengaki-batkan nilai investasi non permanen tidak dapat disajikan sesuai metode Net Realizable Value;

3. Penempatan investasi pada PD Genap Mupakat dan PD Pembangunan Aceh senilai Rp8,96 mil-iar tidak disajikan dengan menggunakan metode ekuitas (equity methode), karena dua perusahaan daerah tersebut tidak menyampaikan laporan keuangan;

4. Saldo Aset Tetap yang disajikan tidak berdasar-kan data pendukung mutasi aset tetap. Dalam KIB masing-masing SKPA masih terdapat aset tetap yang bernilai Rp0,00 sebanyak 152 unit, aset tetap bernilai Rp1,00 sebanyak 22 unit, aset tetap yang nilainya tidak memenuhi kapitalisasi aset tetap dan aset tetap yang merupakan barang yang akan diserahkan kepemilikannya kepada pihak ketiga/masyarakat/kabupaten/kota;

5. Penyajian dana cadangan dalam laporan keuan-gan tidak memenuhi karakteristik sebagai akun dana cadangan sebagaimana diatur dalam SAP karena tidak diketahui tujuan pembentukan, jangka waktu dan belum ditetapkan dengan qa-nun;

6. Penyajian utang jangka pendek per 31 Desem-ber 2013 senilai Rp107,88 milyar tidak termasuk utang pajak tahun 2009 dan 2010 karena buk-ti setor tidak tersedia secara lengkap dan belum tuntas ditindaklanjuti.

Dalam rangka peningkatan kualitas penyusunan LKPA, Pemerintah Aceh telah berupaya menindak-lanjuti 865 rekomendasi dari 1.756 rekomendasi BPK atas hasil pemeriksaan Tahun 2005 s.d. 2013. Selain itu, sebagai implementasi PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, mulai TA 2015, kepada seluruh instansi pemerintah diharus-kan untuk menerapkan akuntansi berbasis akrual. BPK berharap dengan penerapan akuntansi berbasis akrual pada tahun 2015 dapat meningkatkan kean-dalan laporan keuangan pemerintah.Penilaian lapo-

ran keuangan tersebut tidak jauh berbeda dengan penilaian kinerja pemerintah daerah yang dilakukan oleh Kemenpan RB. Hasil evaluasi kinerja pada tahun 2015 masih menempatkan Pemerintah Provinsi Aceh dalam kategori CC atau Cukup Baik, yang artinya “akuntabilitas kinerjanya cukup baik, taat kebijakan, memiliki sistem yang dapat digunakan untuk mem-produksi informasi kinerja bagi pertanggungjawa-ban, tapi perlu banyak perbaikan, termasuk sedikit perbaikan yang mendasar. 11 Capaian ini menanda-kan dokumen LAKIP belum singkron dengan doku-men Perencanaan Tahunan (RKT/Renja) dan Doku-men Perencanaan Jangka Menengah (Renstra SKPD/RPJMD).

Karena itu, paling tidak ada 4 (empat) lembaga yang bertanggungjawab dalam mensinkronkan setiap do-kumen perencanaan mulai dari Renstra SKPD/RP-JMD, Penetapan Kinerja serta Dokumen Indikator Kinerja Utama (IKU), yakni Dinas Keuangan, Ins-pektorat, Sekretariat Daerah, serta Bappeda. Lem-baga ini harus bersinergi dalam mengintegrasikan setiap dokumen perencanaan.

11 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dann Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012 Tentang Pe-tunjuk Pelaksanaan Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah jo. Permenpan RB No. 20 Tahun 2013 tentang Pe-rubahan Lampiran Permenpan RB No. 25 Tahun 2012. Aspek-aspek pengukuran kinerja yang digunakan meliputi: a. Aspek perencanaan, komponen-komponen yang dievaluasi antara lain: (1) perencanaan strategis; (2) perencanaan kinerja; (3) pen-etapan kinerja; dan keterpaduan serta keselarasan diantara sub-komponen tersebut. b. Aspek pengukuran kinerja, komponen-komponen yang Idievaluasi adalah: (1) indikator kinerja secara umum dan indikator kinerja utama (IKU), (2) pengukuran, serta (3) I analisis hasil pengukuran kinerja. c. Aspek pelaporan kin-erja, yang dinilai adalah ketaatan pelaporan, pengungkapan dan penyajian, serta pemanfaatan informasi kinerja guna perbaikan kinerja. d. Aspek evaluasi kinerja, yang dinilai adalah pelaksan-aan evaluasi kinerja dan pemanfaatan hasil evaluasi. e. Capaian kinerja, dalam hal mana Menpan RB melakukan riviu atas pres-tasi kerja atau capaian kinerja yang dilaporkan dengan meneliti berbagai indikator pencapaian kinerja, ketetapannya, pencapa-ian targetnya, keandalan data, dan keselarasan dengan pencapa-ian sasaran pembangunan dalam dokumen perencanaan (RP-JMN, RENSTRA).

Page 9: ANALISIS SITUASI (ANSIS) JSI VOL . IV JANUARI 2016

9ANSIS JSI Vol. IV - Januari 2016

Pembenahan Tata Kelola Pemerintahan sebagai Solusi

Berdasarkan analisis terhadap 3 (tiga) aspek kinerja di atas, dapat dipahami bahwa simpul permasalahan yang menyebabkan lambannya

pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh adalah terbatasnya kapasitas Pemerintah Provinsi Aceh dalam mengelola anggaran, sehingga daya serapnya cenderung lambat. Padahal, pertumbuhan ekonomi Provinsi Aceh cenderung mengandalkan APBA, sehingga peran Pemerintah Provinsi sebagai institusi yang memiliki kewenangan dalam mengelola APBA menjadi sangat strategis dalam menentukan pertumbuhan ekonomi di Aceh.

Karena itu, langkah strategis yang harus menjadi prioritas dalam rangka mengatasi persoalan lemahnya kapasitas pengelolaan anggaran adalah dengan segera melakukan penataan organisasi perangkat daerah. Penataan yang dimaksud bukan dengan mengubah struktur organisasi dan tata kerjanya, tetapi dengan mulai memapankan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dari setiap SKPA, khususnya yang terkait langsung dengan pengelolaan pembangunan dan penganggaran.

Penjabaran dari langkah strategis tersebut mencakup 5 (lima) rekomendasi sebagai berikut:

Pertama, Sekretariat Daerah, Bappeda, Dinas Keuangan, dan Inspektorat menjadi leading sectors untuk mensinergikan perencanaan dan penganggaran. Sementara bagi SKPA-SKPA yang daya serap anggarannya kecil perlu segera didampingi dalam rangka peningkatan kapasitas. Untuk merealisasikan hal ini, seyogianya segera disusun dan dilaksanakan

standar operasional prosedur sebagai panduan kerja dalam rangka percepatan pengembangan kapasitas organisasi perangkat daerah dalam perencanaan dan pengelolaan anggaran.

Kedua, terkait dengan pengembangan kapasitas organisasi perangkat daerahnya, Pemerintah Provinsi Aceh dapat meminta fasilitasi dari Pemerintah Pusat untuk meningkatkan kapasitas SKPA-nya, termasuk juga untuk memperbaiki dan meningkatkan capaian evaluasi kinerjanya.

Ketiga, merumuskan dan melaksanakan kebijakan perekonomian yang berpihak pada pertumbuhan sektor ekonomi industri dan sektor ekonomi kerakyatan yang dapat menjadi penyangga bagi perekonomian daerah. Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, pengembangan kapasitas organisasi perangkat daerah diarahkan pada profesionalisme aparatur birokrasi. Penempatan para pimpinan SKPA didasarkan pada fit and proper test yang terbuka, sehingga objektif dan akuntabilitasnya teruji. Organisasi perangkat daerah yang memiliki kapasitas akan dapat mengelola anggaran dengan profesional dan menumbuhkan kepercayaan dari sektor swasta untuk menjalin kemitraan dengan pemerintah provinsi. Kemitraan ini sangat diperlukan untuk mengurangi ketergantungan ekonomi daerah pada APBA. Sektor swasta, terutama industri, perlu segera didorong untuk menjadi penggerak roda perekonomian, sehingga tidak tergantung pada porsi APBA. Hal ini mensyaratkan adanya

Page 10: ANALISIS SITUASI (ANSIS) JSI VOL . IV JANUARI 2016

ANSIS JSI Vol. IV - Januari 201610

rujukan

Keempat, kemitraan dengan DPRA juga perlu diperkuat agar pembahasan dan penetapan anggaran berlangsung dengan lancar. Pengaturan tentang tata hubungan kerja, termasuk yang menyangkut konsultasi untuk mensinergikan perencanaan dan penganggaran dengan kepentingan publik perlu diperkuat.

Kelima, mendorong pelibatan berbagai komponen masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan pembangunan untuk meningkatkan kinerja pemerintah. Hanya dengan mengembangkan jejaring kerjasama yang sinergis dengan legislatif, swasta, dan masyarakat maka pemerintah dapat mengoptimalkan instrumen-instrumen kewenangan dan keuangan yang dimilikinya untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.

Pembenahan kinerja pemerintahan juga dapat mendorong tumbuhnya minat investasi di Aceh. Peningkatan investasi dalam dan luar negeri akan menjadi alternatif untuk mengurangi ketergantungan perekonomian pada APBA. Tetapi, untuk menarik minat investasi, Pemerintah Provinsi Aceh harus menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahannya telah berlangsung dengan bersih, bebas korupsi, dan ada jaminan penegakan hukum. Inilah agenda strategis yang menjadi tujuan dari pembenahan tata kelola pemerintahan. []

****

• Fukuyama, Francis. 2005. Memperkuat Negara. Jakarta: Gramedia.• Hood, Christopher dan Helen Z. Margetts. 2007. The Tools of Government in the Digital Age.

New York: Palgrave MacMillan.• Sacks, Audrey dan Margaret Levi. 2007. “Measuring government effectiveness and its conse-

quences for social welfare”. Diunduh dari http://cega.berkeley.edu/assets/miscellaneous_ files/wgape/12_Sacks.doc

• Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dann Reformasi Birokrasi Nomor 25 Ta-hun 2012 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah jo. Permenpan RB No. 20 Tahun 2013 tentang Perubahan Lampiran Permenpan RB No. 25 Tahun 2012.

Sumber dari media online:

• http://infopublik.id/read/105135/kemdagri-apresiasi-kinerja-pemprov-dan-dpr-aceh.html, di-unduh tanggal 30 Desember 2015

• http://archives.portalsatu.com/news/pemerintah-tak-tahu-ekonomi-aceh-tergantung-apba/, diunduh tanggal 30 Desember 2015.

• http://www.medanbisnisdaily.com/m/news/read/2015/08/12/180195/pemerintah-dan-dpra-lalai-tender-proyek-terlambat/, diunduh tanggal 30 Desember 2015

• http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/aceh/Pages/Kajian-Ekonomi-Re-gional-Triwulan-I-2013-Provinsi-Aceh.aspx, diunduh tanggal 31 Desember 2015.

• http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/aceh/Pages/Kajian-Ekonomi-Re-gional--Provinsi-Aceh-Triwulan-I-2014.aspx, diunduh tanggal 31 Desember 2015.

• http://www.bi.go.id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/aceh/Documents/KEKR%20PROVIN-SI%20ACEH %20TRIWULAN%20IV-2014.pdf, diunduh tanggal 31 Desember 2015.

• http://www.bi.go.id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/aceh/documents/kekr%20provinsi%20Aceh %20Triwulan%20III202015%20rev.pdf, diunduh tanggal 31 Desember 2015.

• http://bandaaceh.bpk.go.id/?p=6254, diunduh tanggal 31 Desember 2015.