Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA
DAN BERKEPERCAYAAN MASYARAKAT SUNDA WIWITAN
(MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HAL
PEMENUHAN HAK-HAK SIPIL)
Jojor Yuni Artha Siahaan, Lidwina Inge Nurtjahyo, dan Iva Kasuma
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Abstrak
Penelitian ini membahas mengenai hak kebebasan beragama dan berkepercayaan pada masyarakat penghayat
Kepercayaan Sunda Wiwitan. Melalui UU No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama negara telah melakukan diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan, karena hanya enam
agama saja yang diakui oleh negara. Pada saat melakukan observasi di Cigugur, Jawa Barat, ditemukan dampak
negatif atas pengaturan tersebut yang dialami oleh para penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan. Mereka
kesulitan mengakses hak-hak sipilnya, seperti hak untuk memeluk agama dan melaksanakannya, hak atas
pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas pelayanan publik (akta perkawinan, akta anak serta identitas hukum
berupa KTP), dan hak atas bantuan hukum. Akibatnya timbul konflik vertikal antara penghayat kepercayaan
dengan pemerintah serta konflik horizontal antara sesama masyarakat. Penelitian ini juga melihat langkah
penyelesaian sengketa yang dipilih oleh penghayat keperacayaan untuk menyelesaian konflik/sengketa yang
dialaminya. Maka saran dari penelitian ini adalah, negara tidak perlu membedakan antara pemeluk agama resmi
dan penghayat kepercayaan. Hal ini sebagai bentuk kewajiban negara untuk menghormati, memenuhi dan
melindungi hak warga negaranya. Tanpa pembedaan maka penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan dapat
mengakses hak-hak sipilnya.
Kata kunci: Hak Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan, Sunda Wiwitan, Akses Terhadap Keadilan, Konflik,
Penyelesaian Sengketa
THE ANALYSIS OF SOCIO-JURIDICAL OF THE RIGHT TO FREEDOM IN
RELIGION AND BELIEF OF SUNDA WIWITAN COMMUNITY (DISPUTE
RESOLUTION MECHANISM OF CIVIL RIGHTS COMPLIANCE)
Abstrack
Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017
This research aims to discuss the right to freedom in religion and belief in Sunda Wiwitan community. According
to UU No.1 of 1965 about Prevention of Misuse and/or Blasphemy, the country has undertaken a discrimination
towards the instiller of faith, due to the fact that only six religions are recognized by the country. In the process
of observing in Cigugur, West Java, it was founded several negative impacts toward that regulation which is
experienced by Sunda Wiwitan community. They face some difficulties in accessing their civil rights as the
freedom of religion, education, employment, public service (marriage certificate, birth certificate and legal
identity in the form of KTP), and the right to legal aids. As a result, several vertical conflicts between the
instiller of faith and government and horizontal conflicts between the instiller of faith and the other communities
arise. The study also observed the solutions taken by the instiller of faith to solve the conflicts/ dispute.
Accordingly, the suggestion of this study is the country should distinguish between the official religion and the
instiller of faith. It is a form of country’s obligation to respect, fulfill and protect the rights of its community.
Without any discrimination, the instiller of faith in Sunda Wiwitan will be able to access their civil rights.
Keywords : The rights to freedom of religion and belief, Sunda Wiwitan, Access to justice, Conflict, Dispute
Resolution
Pendahuluan
Sebelum agama Budha dan Hindu masuk ke Indonesia pada abad ke-4 serta Islam dan
Kristen pada abad ke-71 melalui sistem perdagangan dan mulai melakukan penyebaran
agama, Indonesia sudah mengenal dan memiliki agama lokal yang dipeluk dan dijalankan
oleh masyarakatnya dari satu generasi ke generasi lainnya. Agama lokal adalah agama yang
berkembang dan dianut oleh komunitas di daerah tertentu. Identitas agama lokal umumnya
dilekatkan pada sistem kepercayaan yang didasarkan pada tradisi leluhur, pandangan hidup
(worldview) dan praktik persembahan yang dikenal dan dilakukan oleh masyarakat tertentu.2
Pada umumnya, masyarakat mewarisi agama lokal melalui proses pengalaman
bersama dengan generasi sebelumnya, walaupun kemudian ada beberapa pengaruh dari agama
lain (agama yang telah terlembaga) yang masuk ke dalam sistem kepercayaannya.3 Sebutan
agama lokal atau kepercayaan menjadi identitas pembeda dengan agama non-lokal atau
1 Adolf Heuken, “Chapter One: Christianity in Pre-Colonial Indonesia”, dalam Jan Aritonang dan Karel
Steenbrink (ed), A History of Christianity in Indonesia, (Leiden: Brull, 2008), hlm. 3-7. 2Achmad Fadillah, “Mengenal Sunda Wiwitan dan Variannya di Tanah Pasundan”, (Jumat, 4 Desember
2015), diakses dari https://www.selasar.com/budaya/mengenal-sunda-wiwitan-dan-variannya-di-tanah-pasundan
pada tanggal 12 April 2016. 3 Ibid.
Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017
agama asing yang masuk ke Indonesia yang kemudian berkembang dan semkain banyak
pengikutnya.
Dalam realitas sosiologis, agama menurut Durkheim, seperti yang dikutip oleh
Musdah Mulia, didefinisikan sebagai sebuah sistem keyakinan dan ritual yang mengacu
kepada sesuatu yang dipercayai bersifat suci yang mengikat seseorang atau kelompok. Agama
juga didefinisikan sebagai rangkaian jawaban yang koheren pada dilema keberadaan manusia,
berupa kelahiran, kesakitan, dan kematian, yang membuat dunia bermakna, seperti
diterangkan oleh Marx Weber. Berbeda dengan pendekatan sosiologis, praktik empiris yang
terjadi di Indonesia adalah agama menurut pemerintah dan sebagian kelompok masyarakat
diperlakukan sebagai suatu sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci dan oleh
karena itu mengandung ajaran yang jelas.4 Definisi mengenai agama dan kepercayaan itu
sendiri tidak dimuat secara eksplisit dalam instrumen hukum internasional maupun instrumen
hukum nasional.
Ketiadaan definisi inilah yang menyebabkan seringkali terdengar pendapat yang salah
kaprah bahwa agama yang diakui pemerintah adalah agama-agama: Islam, Kristen, Katolik,
Hindu dan Budha.5 Lalu, sejak rezim order baru berakhir Indonesia dipimpin oleh K.H
Abdurrahman Wahid dan dimasa kepemimpinannya beliau menerbitkan Keputusan Presiden
No. 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 Tentang Agama,
Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina yang berdampak diakuinya agama Khong Hu Cu di
Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015 melakukan sensus agama terhadap
237.641.326 jiwa penduduk, sebagai berikut:6
Tabel 1. Jumlah Penduduk Indonesia Pada Tahun 2015 berdasarkan Agama
atau Kepercayaan.
Agama Jumlah Penganut Jumlah Dalam Persen (%)
Islam 207.176.162 87,1 %
4 Siti Musdah Mulia, “Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama” (makalah disampaikan pada acara
Konsultasi Publik untuk Advokasi terhadap RUU KUHP diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi
KUHP, 4 Juli 2007 di Jakarta), hlm. 4. 5 Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama. 6 Badan Pusat Statistik, Statistik Politik 2015, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), hlm. 167.
Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017
Kristen 16.528.513 6,9 %
Katolik 6.907.873 2,9 %
Hindu 4.012.116 1,6 %
Budha 1.703.254 0,7 %
Kong Hu Cu 117.091 0,04 %
Kepercayaan 299.617 0,12 %
(Sumber: BPS, Stastik Politik 2015)
Jumlah penganut agama atau kepercayaan lain ini menurut data Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata, kurang lebih sembilan juta jiwa.7 Data tersebut didapat melalui
catatan 248 organisasi berstatus pusat dan 980 organisasi berstatus cabang yang tersebar di 25
Propinsi di Indonesia.8 Adapun contoh kepercayaan lokal yang masih dipraktikkan sampai
saat ini adalah Parmalim pada suku Batak, Kaharingan pada suku Jawa dan Sunda Wiwitan
pada suku Sunda. Kepercayaan ini sudah terlebih dulu eksis dan memiliki pengikut jauh
sebelum agama-agama Samawi9 dari Timur Tengah dan Asia Selatan merambah Nusantara.
Negara Republik Indonesia merupakan negara yang menganut asas Ketuhanan Yang
Maha Esa, sebagaimana tercantum di dalam Pancasila, yakni pada sila pertamanya. Hal ini
mengimplikasikan bahwa semua warga negara secara tidak langsung diharuskan memiliki
agama atau kepercayaan tertentu.
Prinsip ketuhanan dan beragama ini diatur di dalam Pasal 28E dan Pasal 29 Undang-
Undang Dasar 1945 (untuk selanjutnya disebut dengan UUD 1945). Kebebasan untuk
memeluk suatu agama atau kepercayaan tertentu yang diyakininya adalah hak semua orang
sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945,
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
7 Direktorat Jendral Nilai Budaya, Seni dan Film, Kementerian Budaya dan Pariwisata Republik
Indonesia, Sarasehan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (Jakarta: Kementerian Budaya
dan Pariwisata, 2011), hlm. 2. 8 Ibid. 9 Agama Samawi (Teo) adalah agama yang bersumber dari wahyu Tuhan, seperti Kristen, Islam dan
Yahudi; berciri-ciri pokok antara lain bersifat monoteis, disampaikan oleh utusan Tuhan, mempunyai kitab suci
dan bersifat dogmatis. Lihat Ira Indrawardana, “Sunda Wiwitan dalam Dinamika Zaman”, (makalah disampaikan
pada Konferensi Internasional Budaya Sunda II, Revitalisasi Budaya Sunda: Peluang dan Tantangan dalam
Dunia Global, Gedung Merdeka, 19-22 Desember 2011), hlm. 2.
Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017
Hak yang sama juga dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa,
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam dua pasal tersebut dapat dimaknai bahwa setiap orang berhak atas agama dan
kepercayaannya serta negara memiliki kewajiban dalam memberikan jaminan untuk
penduduknya dapat beribadah atau melaksanakan acara-acara keagamannya. Kewajiban
negara ini diatur dalam Pasal 71 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang menyatakan bahwa pemerintah, sebagai pemegang mandat mewakili negara,
mempunyai kewajiban dan bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan
dan memajukan hak asasi manusia dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya
dan hak asasi lainnya yang diterima oleh negara Indonesia.
Akan tetapi, hal yang diamanatkan oleh UUD 1945 di atas tidak sejalan dengan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama (untuk selanjutnya disebut UU 1/1965 PNPS). Dalam penjelasan umum UU 1/1965
PNPS, negara secara eksplisit mengakui hanya ada enam agama yang boleh dianut oleh
masyarakat Indonesia, walaupun pada penjelasan selanjutnya tidak membatasi kepercayaan
lain asalkan tidak menyimpang dan tidak menodai ajaran agama-agama lainnya. Pengaturan
ini memiliki kecenderungan merugikan masyarakat penghayat kepercayaan atau agama-
agama lokal. Dengan diakuinya hanya enam agama oleh negara, secara tidak langsung
memberikan label kepada penghayat kepercayaan sebagai sebuah agama ilegal yang tidak
mendapatkan pengakuan dan jaminan dari negara. Hal ini berdampak terhadap pemenuhan
hak-hak sipil mereka, seperti hak untuk tidak didiskriminasi, hak untuk memeluk agama dan
beribadah sesuai keyakinannya, hak berkeluarga dan memiliki keturunan, hak atas pekerjaan
yang layak, dan hak atas pendidikan.
Pembatasan pengakuan agama bagi warga negara yang agama atau kepercayaannya tidak
diakomodir oleh negara, membawa dampak panjang bagi kehidupan masyarakat penghayat
kepercayaan. Dampaknya adalah tidak terpenuhinya hak-hak mereka terhadap pengakuan
pernikahan, status anak, pendidikan dan pekerjaan. Salah satu penghayat kepercayaan yang
masih eksis adalah Kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Sunda
Wiwitan adalah kepercayaan yang sudah lama hidup dalam kalangan masyarakat di Jawa
Barat, khususnya suku Sunda. Munculnya UU 1/1965 PNPS yang membatasi hanya enam
agama yang diakui di Indonesia dan tidak memberikan tempat bagi penghayat kepercayaan,
seperti Sunda Wiwitan. Salah satunya akibat pembatasan pengakuan agama adalah perlakuan
Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017
diskriminatif dari negara dalam hal pembuatan KTP dan pendidikan agama di sekolah. Oleh
karena itu penulis ingin melihat dan menganalisis pembatasan negara mengenai agama dan
kepercayaan dan kaitannya dengan masyarakat Sunda Wiwitan dalam mengakses hak-hak
sipilnya.
Tinjaun Teoritis
Dalam melakuan analisis, penulis menggunakan beberapa teori yang menjadi pisau analisis
dalam penulisan skripsi ini.
1. Agama dan Kepercayaan
Agama dan kepercayaan dapat dilihat secara filosofis, secara sosiologis-antropologis
serta berdasarkan pendapat ahli. Secara filosofis, agama merupakan “perasaan ketergantungan
absolut” (the feeling of absolute dependence) kepada Dzat yang Sakral. Unsur dasar suatu
agama adalah: 1) Adanya keyakinan terhadap Dzat yang Maha Sakral, Maha Suci, yang
ditakuti tapi juga menjadi tumpuan manusia. 2) Memiliki ajaran yang dijadikan pedoman
hidup bagi pemeluknya yang terkodifikasi dalam kitab suci. Isi ajaran tersebut berkaitan
dengan aspek keyakinan, aspek ritual, dan relasi sosial; dan 3) Memberikan pengalaman
beragama kepada pemeluknya.10
Secara sosiologis-antropologis, agama pada dasarnya merupakan sistem kepercayaan
yang hidup dan berlaku serta diterima oleh masyarakat. Berdasarkan definisi ini, maka agama
dapat dimaknai sebagai 1) Ajaran tentang sistem keyakinan kepada Dzat yang biasanya
dinamai Tuhan; 2) Memiliki praktik keagamaan, seperti ritus, upacara keagamaan dan
peribadahan yang diikuti pemeluknya; 3) Memiliki etika relijius yang memuat kaidah
keagamaan yang mengatur tata kehidupan pemeluknya seperti kaidah ikhwal kesucian,
kebaikan, kesalehan dsb; dan 4) Adanya komunitas pemeluk yang berfungsi memelihara dan
mengembangkan ajaran dan tradisi keagamaan yang diajarkannya.11
Hal di atas sejalan dengan pemikiran Koentjaraningrat, bahwa suatu sistem religi
memiliki unsur yaitu: emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem upacara keagamaan dan
suatu umat yang menganut religi itu. 12 Adapun sistem kepercayaan dan gagasan, pelajaran,
10 Ridwan Lubis, “Agama dan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa”, dalam Kepercayaan
Dalam Sebuah Realitas, (Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2005), hlm. 61-62. 11 Ibid., hlm 63-64. 12 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), hlm. 295.
Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017
aturan agama, biasanya tercantum dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga
dianggap sebagai kesusasteraan suci.13
Sedangkan pengertian kepercayaan (berasal dari kata Sanskrit: percaya mengakui
kebenaran) adalah pengakuan terhadap kebenaran apa yang diceritakan atau disampaikan oleh
orang mengenai suatu kejadian atau keadaan. Sebagai suatu proses, dengan demikian,
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat diartikan sebagai sebuah pengakuan
terhadap suatu kebenaran ajaran yang dibawa oleh seseorang “penerima wahyu” dari Tuhan
Yang Maha Esa.14
Menurut Mercia Eliade (1987: 250-254) sebagaimana dikutip oleh Ridawan Lubis,
pada dasarnya kepercayaan merupakan 1) faith as credo, sistem ajaran yang menyediakan
seperangkat ajaran tentang nilai dan norma kepada penghayatnya; 2) faith as faithfulness,
sistem yang menuntut kesetiaan penghayatnya untuk melestarikan dan memelihara ajarannya;
3) faith as obedience, memberikan basis praktik-praktik kedisiplinan moralitas dan
spiritualitas yang harus dipatuhi penghayatnya; 4) faith as dependence and as experience,
sistem yang mengajarkan pengalaman ketergantungan dan penyerahan diri kepada dzat yang
disakralkan; serta 5) as deposit of the faith, sistem yang membangun tradisi religius.15
Dari konsep dan ciri di atas jelas bahwa sangatlah tipis batas antara apa yang disebut
sebagai agama di satu sisi dan kepercayaan di sisi lain. Agama dan kepercayaan keduanya
merupakan sistem kepercayaan (belief system) yang menyediakan seperangkat ajaran serta
pengalaman dan pengetahuan keagamaan. Namun di Indonesia seringkali muncul pemikiran
bahwa orang yang menganut kepercayaan adalah orang yang menganut aliran sesat atau ilmu
gaib.
Ada suatu kerangka yang membedakan suatu agama atau kepercayaan dengan ilmu
gaib. Perbedaan dasarnya terletak dalam sikap manusia pada waktu ia sedang menjalankan
agama, manusia bersikap menyerahkan diri kepada Tuhan, kepada dewa-dewa, kepada roh
nenek moyang; pokoknya menyerahkan diri sama sekali kepada kekuatan tinggi yang
disembahnya itu. Dalam hal itu manusia biasanya terhinggap oleh suatu emosi keagamaan.
Sebaliknya, pada waktu menjalankan ilmu gaib manusia bersikap lain sama sekali. Ia
berusaha memperlakukan kekuatan-kekuatan tinggi dan gaib agar menjalankan kehendaknya
13 Ibid. 14 Ridwan Lubis, Agama dan Kepercayaan, hlm. 59. 15 Ibid.
Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017
dan berbuat apa yang ingin dicapainya.16 Bahwa perbedaan kepercayaan dengan ilmu gaib
adalah proses penyerahan diri dan kontrol atas kuasa yang berlaku pada dirinya.
Dapat dilihat, bahwa pengertian agama dan kepercayaan tidak memiliki perbedaan
yang signifikan. Dalam instrumen internasional juga instrumen nasional, khususnya UU
1/1965 PNPS tidak mendefinisikan apa itu agama dan kepercayaan secara eksplisit. Hal yang
menjadi pembedaan umum antara agama dan kepercayaan adalah Tuhan yang disembah.
Penulis rasa perlu untuk menyamakan persepsi mengenai apa itu agama, kepercayaan dan
ilmu gaib. Sebagai dasar mengapa kepercayaan tidak mendapatkan tempat yang sama dengan
agama, yang menyebabkan penghayat kepercayaan kesulitan mengakses hak-haknya. Perlu
dipahami bahwa penggunaan frasa kepercayaan sama dengan penggunaan frasa agama dalam
tulisan ini.
2. Akses Terhadap Keadilan
Agama awalnya sebagai identitas sosial kemudian berkembang menjadi identitas
hukum yang perlu dicantumkan dalam berbagai identitas maupun dokumen hukum. Ketika
negara tidak mengakui suatu agama atau kepercayaan maka identitas mereka menjadi tidak
lengkap. Hal ini berdampak pada terhalangnya akses mereka terhadap hak-hak sipilnya.
Sehingga akses mereka untuk memperoleh keadilan pun tidak sepenuhnya dapat dipenuhi.
Teori akses terhadap keadilan (access to justice) adalah bagaimana masyarakat dapat
mengakses keadilan atas hak-hak dasar yang melekat pada dirinya.17 Hak beragama adalah
salah satu hak dasar yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Namun pengaturan di
Indonesia memberikan pembatasan terhadap hak beragama. Negara melakukan diskriminasi
dalam bentuk favoritism dengan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap enam
agama. Agama dianggap sesuatu yang sakral dan perlu dicantumkan dalam Indentitas
Kependudukan, seperti akta lahir, akta perkawinan, kartu tanda penduduk, kartu pelajar, dan
beberapa identitas lainnya. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan (selanjutnya disebut dengan UU 23/2006 Adminduk) disebutkan bahwa
kepemilikan atas identitas hukum merupakan hak asasi bagi setiap orang yang berarti
kewajiban bagi negara untuk memenuhinya. Ketiadaan agama dalam suatu identitas hukum
akan memberikan dampak yang merugikan. Dalam pengaturannya, agama seharusnya
menjadi pilihan bebas tiap-tiap warga negara dan tidak menjadi rugi atas pilihannya tersebut.
16 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hlm. 297. 17 Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan,
(Jakarta: Bappenas, 2009), hlm. 6.
Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017
Pilihan agama atau kepercayaan ini tentu menjadi persoalan bagi penghayat
Kepercayaan Sunda Wiwitan, ketika kepercayaannya tidak diakui karena pembatasan oleh
negara, maka identitas hukum yang utamanya tercantum dalam akta lahir dan kartu tanda
penduduknya akan bermasalah. Apabila identitas hukum induknya bermasalah maka warga
negara tersebut akan sulit mendapat akses terhadap hak lainnya, yaitu pendidikan, pekerjaan,
kesehatan dll.
3. Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Metode penyelesaian konflik/sengketa bermula dari penelitian yang dilakukan oleh
Laura Nader yang dinamakannya “Berkeley Village Law Project” yaitu mengenai kajian
komparatif disuatu pedesaan. Dalam penelitian ini Nader dan Todd melihat ada beragam cara
yang berkembang dalam kebudayaan-kebudayaan manusia untuk menampung, mengatasi,
atau menyelesaikan keluhan-keluhan atau perasaan diperlakukan tidak adil, antara lain:18
1. Lumping it (membiarkan saja)
2. Avoidance (mengelak)
3. Coercion (paksaan)
4. Negotiation (perundingan
5. Arbitration (arbritasi)
6. Adjudication (Adjudikasi)
Konflik yang disebutkan di atas berkembang melalui beberapa tahapan. Pertama, Pada
tahap lumping it dan avoidance masih merupakan perseteruan monodic (sepihak), dimana
pihak yang merasa dirugikan belum mengungkapkan kepada pihak lawan, bahwa ada haknya
yang dirugikan. Pihak yang dirugikan memilih untuk mengabaikan masalah atau berusaha
menghindar. Tahap ini kemungkinan dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki askes
terhadap hukum baik karena faktor pengetahuan hukum, ekonomi, dan relasi. Golongan ini
disebut sebagai The Haves Not atau One Shooter oleh Marc Galanter.19
Kedua, berkembang ke tahap dyadic (dua pihak), dimana pihak yang merasa dirugikan
sudah mulai menyatakan bahwa ia merasa dirugikan oleh pihak kedua dan meminta
pertanggungjawaban pihak kedua, yang baik didiskusikan secara damai melalui proses
negotiation maupun dengan cara melakukan kekerasan (coersion).
18 T.O. Ihromi, “Beberapa Catatan Megenai Metode Kasus”, hlm 210-211. 19 Marc Galanter, “Why the “Haves” Come Out Ahead: Speculations on the Limits of Legal Change”,
Law and Society Review vol. 9, (Dartmouth: Altershot, 1974).
Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017
Ketiga, tahap triadic (melibatkan pihak ketiga), dalam tahap ini para pihak tidak dapat
menyelesaikan atau mencari jalan keluar bagi masalahnya, sehingga membutuhkan pihak
ketiga sebagai pengambil keputusan. Berbeda dengan monodic, para pihak yang melibatkan
pihak ketiga biasanya adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan hukum, mapan secara
ekonomi, dan memiliki koneksi atau biasa disebut sebagai golongan The Haves atau Repeat
Player.
Pembatasan agama melalui peraturan negara cenderung menimbulkan berbagai
macam konflik di kalangan penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan. Teori penyelesaian
sengketa digunakan untuk melihat apa saja dampak yang timbul akibat pengaturan kebebasan
agama dan kepercayaan serta strategi pemecahan masalah apa yang diambil oleh penghayat
Kepercayaan Sunda Wiwitan. Teori ini juga melihat langkah penyelesaian sengketa seperti
apa yang paling tepat untuk menjawab permasalahan mereka.
Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017
Gambar 1. Alur Berfikir
Penyelesaian Konflik
Hak atas Kebebasan Beragama dan
Berkepercayaan
Hukum Internasional
Konflik Sosial
Tidak Diakuinya Kepercayaan Sunda Wiwitan
Pembatasan Jenis Agama
Hukum Nasional
Tidak Dipenuhinya Hak-Hak Sipil
Penghayat Kepercayaan
Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosio legal20 yaitu pendekatan dengan
menggunakan ilmu perspektif hukum dengan meminjam metode dari ilmu sosial sebagai alat
bantu. Bentuk penelitian yang akan dipakai oleh penulis adalah bentuk penelitian yuridis-
empiris, yakni melakukan penelitian lapangan guna mendapat data primer dan studi pustaka
sebagai data sekunder. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yakni mendeskripsikan fakta-
fakta yang ada dilapangan atau menjelaskan suatu permasalahan yang ada secara rinci.
Metode yang dipakai adalah penelitian lapangan, yaitu berupa observasi dan wawancara juga
melalui studi pustaka. Metode yang dipakai adalah penelitian kualitatif, yaitu mengkaji secara
dalam suatu permasalahan (in-depth-analysis). Metode penelitian ini akan terdiri dari tiga
tahap, yaitu:21
Pertama, adalah studi dokumen. Penulis akan mengidentifikasi dan menganalisis
peraturan perundang-undangan mengenai kebebasan beragama dan berkepercayaan baik
peraturan internasional maupun peraturan nasional. Peraturannya antara lain adalah Deklarasi
Umum Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Right), Deklarasi Mengenai Penghapusan Semua Bentuk
Intoleransi Agama dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan, Undang-Undang
Dasar 1945, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-
Undang No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama,
serta peraturan terkait lainnya.
Kedua, studi lapangan untuk melakukan identifikasi dan analisis bagaimana hukum
bekerja dan berdampak pada penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan. Melalui pembatasan
agama yang ada saat ini, penulis ingin mencari tahu bagaimana mereka menyikapi persoalan
tersebut dan proses penyelesaian seperti apa yang mereka tempuh.
Ketiga, studi lapangan untuk mendapatkan data empirik mengenai pengalaman
penghayat Sunda Wiwitan mengenai bagaimana kehidupan sehari-hari mereka dengan adanya
pluralisme agama di sana, bagaimana mereka kemudian menyikapinya secara sosial.
Sebelumnya peneliti telah menelusuri beberapa laman mengenai apa itu Sunda Wiwitan,
20 Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan Kajian Sosio Legal dan Implikasi Metodologisnya, (Jakarta:
Pustaka Larasan, 2012), hlm.2. 21 Sulistyowati Irianto, Praktik Penelitian Hukum: Persepektif Sosiolegal, hlm.14-15, diunduh dari
http://www.bphn.go.id/data/documents/materi_cle_8_prof_dr_sulistyowati_irianto_ full.pdf pada tanggal 2
November 2016.
Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017
dimana wilayah pesebaran penghayat kepercayaannya, permasalahan apa yang sedang mereka
hadapi, dan beberapa hal terkait lainnya.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang penulis dapatkan adalah sebagai berikut:
1. Tinjauan Yuridis Mengenai Kebebasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia
Kebebasan beragama dan berkepercayaan adalah hak setiap orang tanpa pengecualian.
Dalam DUHAM, ICCPR dan Deklarasi 1981 disebutkan bahwa memiliki agama dan
kepercayaan adalah hak individu yang tidak dapat dipaksakan. Dijelaskan juga bahwa setiap
individu dapat berpindah agama sesuai dengan kehendaknya, menjalankan agama atau
kepercayaannya baik sendiri maupun bersama-sama, juga menjalankannya di tempat pribadi
dan di tempat umum.
Sementara dalam pengaturan hukum positif Indonesia, yaitu dalam UUD 1945 dan UU
39/1999 HAM tidak mengatur dengan rinci sebagaimana diatur dalam DUHAM, ICCPR dan
Deklarasi 1981. Dalam UUD 1945 hanya menyebutkan bahwa setiap orang bebas memeluk
agama atau kepercayaannya dan hal tersebut dijamin oleh negara. Isi pasal tersebut serupa
dengan yang tertulis dalam UUDS 1950 terdahulu. Kebebasan mengenai agama dan
kepercayaan ini justru diatur lebih rinci dalam konstitusi sebelumnya, yaitu Konstitusi RIS
yang hampir serupa dengan isi dalam ICCPR. Bahkan dalam Konstitusi RIS hak anak atas
agamanya juga disebutkan dengan rinci, bahwa anak seharusnya mendapat pendidikan agama
disekolah sesuai dengan yang dikehendaki orang tuanya. Dalam UU 39/1999 HAM
kebebasan memeluk agama atau kepercayaan sama dengan yang tertuang dalam UUD 1945.
Khususnya dalam UU 39/1999 HAM penulis menyayangkan bahwa UU ini tidak memuat
aturan lebih rinci mengenai kebebasan untuk dapat berpindah agama. Namun mengenai hak
anak UU 39/1999 HAM sudah lebih progresif, karena disebutkan bahwa anak dapat beribadah
sesuai dengan agamanya di bawah bimbingan orang tua atau wali, atau dapat dikatakan anak
dapat memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda dengan orangtuanya. Berbeda dengan
Konstitusi RIS yang mengatakan bahwa anak menjalankan ibadah dan mendapat pendidikan
agama sesuai dengan yang dianut orang tuanya.
Dapat disimpulkan bahwa, apapun agama atau kepercayaan yang ada di Indonesia
haruslah diakui, karena berdasarkan aturan hukum yang diuraikan di atas mengatakan bahwa
memiliki agama dan kepercayaan adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi.
Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017
2. Pemaknaan Masyarakat Sunda Wiwitan Terhadap Agama dan Kepercayaan
Secara antropologis dan filosofis agama memiliki ciri-ciri, Pertama, memiliki Tuhan
yang disembah. Sunda Wiwitan dalam hal ini memiliki Tuhan yang disebut sebagai Gusti
Sikang Sawji-wiji.
Kedua, memiliki ritual atau tata cara ibadah. Sunda Wiwitan memiliki ritual ibadah
yang disebut dengan Olah Rasa atau Samadi. Olah Rasa adalah bentuk penyerahan diri
kepada Tuhan. Hal ini juga memenuhi apa yang disebut sebagai agama dan kepercayaan oleh
Koentjaraningrat, yaitu menyerahkan diri dan merasa rendah di hadapan Tuhan, bukan merasa
dapat menempatkan kontrol dirinya lebih tinggi daripada Tuhan.
Ketiga, memiliki etika relijius atau ajaran yang dijadikan pedoman hidup. Etika relijus
Sunda Wiwitan adalah Pikukuh Tilu yang berisi mengenai Ngaji Badan, Tuhu/kukuh kana
tanah, dan Madep ka ratu raja 3-2-4-5 lilima 6. Apabila yang dimaksud dengan pedoman
hidup adalah pedoman yang tertulis dalam sebuah kitab suci, maka Sunda Wiwitan juga
memenuhi ciri agama. Mereka memiliki sebuah kitab suci –yang meskipun sampai saat ini
belum semua bagian kitab tersebut dapat dialih-bahasakan dari aksara Sunda Kuno menjadi
Bahasa Indonesia– yang mana pedoman hidup mereka tertulis di dalamnya.
Keempat, adanya pemeluk yang meneruskan. Sampai saat ini, masih ada penghayat
Kepercayaan Sunda Wiwitan yang mengamalkan dan mengimani ajaran Sunda Wiwitan
dalam kehidupan mereka.
Menurut Musdah Mulia22 dan Koentjraningrat,23 ciri agama yang keempat adalah
memiliki rumah ibadah. Paseban dapat dikatakan sebagai rumah ibadah, karena sebagai
tempat berkumpulnya penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan dan sebagai pusat perayaan
hari besar Kepercayaan Sunda Wiwitan.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa Sunda Wiwitan adalah agama
karena memenuhi ciri-ciri sebuah agama. Tidak diakuinya Sunda Wiwitan sebagai sebuah
agama resmi maka membawa dampak tidak dapat terpenuhinya akses penghayatnya terhadap
keadilan. Akses terhadap keadilan dimaksud adalah akses terhadap pendidikan, akses
terhadap pekerjaan, akses terhadap layanan publik dan akses terhadap bantuan hukum.
Pertama, Akses penghayat Sunda Wiwitan terhadap pendidikan tidaklah seutuhnya
dapat dipenuhi oleh negara. Hal ini terbukti dari tidak disediakannya guru agama sesuai
22 Siti Musdah Mulia, “Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama”, hlm. 4. 23 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hlm. 295.
Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017
dengan agama yang mereka yakini, atau setidaknya mereka dapat memenuhi nilai atas
kebutuhan spiritual dan pendidikan moralnnya dengan guru yang seharusnya menilai mereka.
Dengan tidak disediakannya atau bahkan terjadi pemaksaan untuk mengikuti pelajaran agama
tertentu, sudah tentu melanggar hak atas pendidikan anak tersebut. Negara sudah melanggar
ruang-ruang khusus untuk kebebasan beragama dan berkepercayaan, yaitu seharusnya tidak
ada paksaan, tidak diskriminatif dan hak dari orang tua wali untuk menjamin pendidikan
agama dan moral bagi anaknya.
Kedua, Akses terhadap pekerjaan bagi Sunda Wiwitan menurut penghayatnya, dalam
seleksi masuk tidaklah masalah. Namun yang menjadi masalah adalah ketika hendak kenaikan
jabatan atau muncul persoalan sosial lainnya di lingkungan kantor. Hal demikian ini hanyalah
terjadi bagi mereka yang bekerja sebagai PNS atau lembaga pemerintahan, apabila mereka
bekerja di sektor swasta hal ini bukanlah suatu masalah. Menurut mereka pihak swasta lebih
menghormati akan adanya perbedaan agama.
Ketiga, Akses terhadap layanan publik ini seringkali bermasalah, khususnya
pembuatan KTP. KTP penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan seringkali diisi tidak sesuai
dengan kepercayaan mereka. Entah alasan teknis atau apapun itu, menandakan ada yang salah
pada sistem yang dibangun oleh pemerintah kita saat ini. Terkait akta perkawinan juga
mereka masih memiliki kendala karena tanpa adanya organisasi mereka tidak dapat
melangsungkan perkawinan di bawah nama Sunda Wiwitan.
Keempat, Akses terhadap bantuan hukum. Terbatasnya ekonomi membuat penghayat
Kepercayaan Sunda Wiwitan sulit mendapatkan bantuan hukum. Sering pula LBH yang
awalnya berniat membantu tidak menjalankan tugasnya sampai dengan selesai. Sebagaimana
yang dialami oleh penghayat Sunda Wiwitan dalam kasus sengketa tanah yang dialami.
Dapat disimpulkan bahwa akses penghayat kepercayaan terhadap keadilan masih
belum dapat terpenuhi, karena produk hukum yang ada tidak menjawab kebutuhan atas
pemenuhan hak-hak sipil masyarakat penghayat.
3. Proses Penyelesaian Sengketa Masyarakat Sunda Wiwitan dalam Menghadapi
Permasalahan Hukum
Cara penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh penghayat Sunda Wiwitan adalah sebagai
berikut:
a. Berdasarkan mekanisme hukum litigasi dan non-litigasi, kebanyakan dari penghayat
Kepercayaan Sunda Wiwitan menyelesaikan masalahnya di luar pengadilan dan
Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017
seringnya tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai pengambil keputusan permasalahan
yang mereka hadapi.
b. Berdasarkan teori Nader dan Todd, penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan cenderung
membiarkan masalahnya (lumping it) dan menghindarinya. Sunda Wiwitan adalah
kelompok yang tidak mau mencari masalah dan memilih damai, sehingga
penyelesaian mereka untuk masalah yang sedikit lebih kompleks akan diselesaikan
dengan bernegosiasi dengan pihak lawan.
c. Dilihat dari tipologi pihak bersengketa yang dirumuskan oleh Marc Galanter, penulis
melihat Sunda Wiwitan awalnya adalah One Shooter, karena secara ekonomi mereka
kebanyakan bekerja di sektor non-formal (petani), dan pengetahuan serta akses mereka
terhadap hukum cukup minim. Sehingga apabila terlibat konflik/sengketa mereka
cenderung tidak menyelesaikannya. Namun saat ini Sunda Wiwitan sedang melakukan
pembangunan pengetahuan kepada generasi tua maupun generasi muda, melalui forum
mingguan. Khususnya bagi generasi muda, mereka diajari mengenai akar budaya
Sunda Wiwitan serta pengetahuan hukum tentang hak-hak mereka sejak dini.
Akhirnya karena pengalaman mereka berperkara di pengadilan saat ini Sunda Wiwitan
menjadi Repeat Player, meskipun mereka tidak sering menyelesaikan permasalahan
melalui pengadilan, namun akses mereka terhadap hukum sudah luas. Saat ini sudah
memiliki link dengan orang-orang yang berpengetahuan hukum, yaitu Lembaga
Bantuan Hukum, Komnas Perempuan, Dosen, serta Mahasiswa.
d. Peradilan adat Sunda Wiwitan masih ada sampai pada saat ini, namun terbatas pada
permasalahan perdata atau perorangan saja. Keputusan dari Ais Pangampih yang tidak
mengikat membuat penyelesaian konflik ini tergantung pada para pihak yang
bersengketa. Sanksi yang dikenakan apabila tidak menaati keputusan yang telah
disepakati adalah sanksi sosial, yaitu didiamkan/dijauhi oleh masyarakat lainnya.
Pembahasan
Negara mengatur mengenai kebebasan memiliki agama dan kepercayaan di dalam
UUD 1945 serta UU 39/1999 HAM. Namun peraturan lain di bawahnya kontradiktif dengan
peraturan di atasnya. Salah satunya adalah UU No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan dan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang membatasi jenis agama yang diakui di
Indonesia, sehingga agama atau kepercayaan lain yang tidak diakui oleh Negara tidak
memiliki kedudukan hukum yang sama dengan agama yang diakui Negara.
Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017
Akar permasalahan atas agama dan kepercayaan ini adalah yang dalam Penjelasan
Umumnya UU 1/1965 PNPS hanya mengakui adanya enam agama resmi di Indonesia.
Persoalannya adalah, tidak ada definisi mengenai apa itu agama dan kepercayaan, juga tidak
ada ciri-ciri khusus yang membedakan antara agama dan kepercayaan. Dalam penjelasan
umum UU 1/1965 PNPS hanya mengatakan bahwa enam agama tersebut memiliki bukti
sejarah masuknya ke Indonesia. Frasa “bukti sejarah” tersebut tidak dipaparkan lebih lanjut
dan pembuktian sejarah yang dimaksud juga tidak dibuktikan dengan referensi apapun.
Agama dianggap sesuatu yang sakral dan perlu dicantumkan dalam Indentitas
Kependudukan, seperti akta lahir, akta perkawinan, kartu tanda penduduk, kartu pelajar, dan
beberapa identitas lainnya. Pilihan agama atau kepercayaan ini tentu menjadi persoalan bagi
penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, ketika kepercayaannya tidak diakui karena
pembatasan oleh negara, maka identitas hukum yang utamanya tercantum dalam akta lahir
dan kartu tanda penduduknya akan bermasalah. Apabila identitas hukum induknya
bermasalah maka warga negara tersebut akan sulit mendapat akses terhadap hak lainnya, yaitu
pendidikan, pekerjaan, kesehatan dll.
Menurut penulis negara gagal memenuhi hak-hak paling mendasar warga negaranya,
yaitu memiliki agama dan kepercayaan serta menjalankannya. Negara seharusnya hadir dalam
memenuhi hak-hak warga negaranya dengan tidak melakukan diskriminasi, terlebih tanpa
dasar dan alasan apapun. Negara seharusnya sadar bahwa masyarakat Indonesia hidup dalam
keberagaman agama. Sehingga negara tidak boleh memberikan pengakuan hanya kepada
enam agama saja. Tidak hadirnya negara dalam hal pemenuhan hak atas kebebasan beragama,
penulis khawatirkan lambat laun akan menimbulkan permusuhan antar-kelompok berdasarkan
agama. Dalam pengaturannya, agama seharusnya menjadi pilihan bebas tiap-tiap warga
negara dan tidak menjadi rugi atas pilihannya tersebut.
Sengketa atau konflik yang muncul akibat pembatasan jenis agama yang diakui negara
ni, dihadapi secara permisif oleh penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan. Hal ini disebabkan
karena mereka terbiasa hidup dalam damai dan cenderung menyelesaikan masalah secara
kekeluargaan. Cara penyelesaian yang permisif, apalagi dikaitkan dengan pemenuhan hak-hak
sipil mereka, perlu dihentikan. Apabila mereka diam saja maka akan eksistensi mereka secara
lambat laun akan menghilang.
Namun langkah yang permisif ini sudah mengalami perubahan. Sunda Wiwitan saat
ini cukup agresif. Ratu Dewi, dikenal sebagai Ksatria Sunda Wiwitan, saat ini sangat aktif
menyuarakan hak-hak masyarakat Kepercayaan Sunda Wiwitan yang seharusnya dipenuhi
oleh Negara. Perjuangan Ratu Dewi ini seharusnya diikuti oleh masyarakat Sunda Wiwitan
Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017
lainnya. Keterbukaan masyarakat penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan terhadap orang
yang baru maupun pengetahuan yang baru adalah sebuah bentuk perlawanan yang positif.
Mereka sadar semakin banyak orang yang mengenal mereka, maka semakin banyak pula yang
mendengarkan suara perjuangan mereka. Sehingga eksistensi penghayat kepercayaan, baik
Sunda Wiwitan maupun kepercayaan lain akan semakin diketahui oleh masyarakat umum.
Simpulan
Berikut adalah kesimpulan yang dapat ditarik dari proses penelitian yang telah dilalui
oleh penulis sebagai jawaban atas rumusan masalah yang ada.
1. Bahwa peraturan perundang-undangan tingkat Internasional menjamin kebebasan hak
beragama dan berkepercayaan setiap individu. Permasalahannya adalah, adanya UU No.
1 Tahun 1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang
dalam Penjelasan Umumnya hanya mengakui adanya enam agama resmi di Indonesia.
Sehingga agama atau kepercayaan lain yang tidak diakui oleh Negara tidak memiliki
kedudukan hukum yang sama dengan agama yang diakui Negara. Hal ini berdampak
pada tidak dipenuhinya hak-hak warga negara yang agama atau kepercayaannya tidak
diakui.
2. Pembatasan yang dilakukan Negara terhadap eksistensi keberagaman agama membawa
dampak pada sulitnya penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan untuk mengakses haknya.
Hak tersebut antara lain hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas perkawinan,
hak atas identitas hukum, serta hak atas bantuan hukum.
3. Akibat tidak dipenuhinya hak-hak penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan menimbulkan
adanya konflik, yaitu konflik penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan melawan
pemerintah dan konflik antar-kelompok masyarakat. Dilatarbelakangi minimnya
pengetahuan dan adanya ajaran untuk saling pengertian, maka mayoritas langkah
penyelesaian sengketa yang dipilih oleh penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan adalah
membiarkan masalah atau setidaknya berusaha bernegosiasi tanpa melibatkan pihak
ketiga.
Saran
Dari simpulan yang ada terlihat bahwa terdapat masalah-masalah dalam
penyelenggaraan peraturan mengenai hak atas kebebasan beragama dan berkepercayaan. Oleh
karena itu terdapat beberapa saran yang hendak diberikan oleh penulis.
Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017
1. Negara mengakui Kepercayaan Sunda Wiwitan sebagai sebuah kepercayaan yang
dilindungi, karena pengakuan negara terhadap kepercayaan adalah salah satu bentuk
kewajiban negara. Sehingga Penghapusan kebijakan diskriminatif seperti UU No. 1
Tahun 1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama juga
adanya peninjauan ulang mengenai Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan perlu dilakukan.
2. Pengelolaan agama dan kepercayaan dalam satu kamar, yaitu melalui Kementerian
Agama. Sehingga pelayanan publik terhadap kepercayaan sama dengan agama lain yang
diakui Negara. Untuk mengatur hal tersebut maka perlu ada kebijakan yang lebih
menjamin hak-hak penganut kepercayaan.
3. Untuk memudahkan kepengurusan administratif terkait pencatatan perkawinan dan akta
lahir anak, maka Sunda Wiwitan sebaiknya membentuk organisasi sebagaimana
disyaratkan dalam Pasal 81 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007. Hal ini dilakukan
agar mereka dapat mencatatkan perkawinan di bawah organisasinya sendiri dan tidak
perlu lagi melakukan perkawinan di bawah organisasi Kepercayaan Aji Dipa.
Daftar Referensi
Irianto, Sulistyowati. Memperkenalkan Kajian Sosio Legal dan Implikasi Metodologisnya.
Jakarta: Pustaka Larasan, 2012.
Ihromi, Tapi Omas. “Beberapa Catatan Megenai Metode Kasus Sengketa Yang Digunakan
Dalam Antropologi Hukum”, dalam Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. 2003.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2009.
Lubis, Ridwan. Agama dan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam Kepercayaan
Dalam Sebuah Realitas. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2005.
Heuken, Adolf. “Chapter One: Christianity in Pre-Colonial Indonesia”, dalam Jan Aritonang
dan Karel Steenbrink (ed), A History of Christianity in Indonesia. Leiden: Brull. 2008.
Galanter, Marc. “Why the “Haves” Come Out Ahead: Speculations on the Limits of Legal
Change”, Law and Society Review vol. 9. (Dartmouth: Altershot, 1974).
Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017
Indrawardana, Ira. “Sunda Wiwitan dalam Dinamika Zaman.” Makalah disampaikan pada
Konferensi Internasional Budaya Sunda II, Revitalisasi Budaya Sunda: Peluang dan
Tantangan dalam Dunia Global, Gedung Merdeka, 19-22 Desember 2011.
Mulia, Siti Musdah. “Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama.” Makalah disampaikan
pada acara Konsultasi Publik untuk Advokasi terhadap RUU KUHP diselenggarakan oleh
Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Jakarta, 4 Juli 2007.
Fadillah, Achmad. “Mengenal Sunda Wiwitan dan Variannya di Tanah Pasundan”. (Jumat, 4
Desember 2015). Dalam https://www.selasar.com/budaya/mengenal-sunda-wiwitan-dan-
variannya-di-tanah-pasundan diakses pada tanggal 12 April 2016.
Irianto, Sulistyowati. Praktik Penelitian Hukum: Persepektif Sosiolegal. Dalam
http://www.bphn.go.id/data/documents/materi_cle_8_prof_dr_sulistyowati_irianto_full.pdf
diunduh pada tanggal 2 November 2016.
Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017