Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
iv
ANALISIS STRUKTUR MIKRO KRISTAL PADA SERBUK
DAN LAPISAN NiCrAl DENGAN ELEMEN REAKTIF
(Si DAN Y) MENGGUNAKAN METODE SCHERRER
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Oleh:
INDAH PERMATASARI ZUHDI
NIM: 11140970000023
Oleh:
INDAH PERMATASARI ZUHDI
NIM: 11140970000023
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M / 1440 H
v
ANALISIS STRUKTUR MIKRO KRISTAL PADA SERBUK
DAN LAPISAN NiCrAl DENGAN ELEMEN REAKTIF
(Si DAN Y) MENGGUNAKAN METODE SCHERRER
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Oleh:
INDAH PERMATASARI ZUHDI
NIM: 11140970000023
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M / 1440 H
vi
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang analisis struktur Kristal pada karakterisasi
material NiCrAl dengan elemen reaktif Silikon dan Yttrium dalam bentuk serbuk
dan lapisan. Analisis ini dilakukan berdasarkan hasil karakterisasi XRD yang telah
dilakukan proses mechanical alloying selama 36 jam pada sampel serbuk dan
perlakuan sebelum oksidasi pada temperatur 1100oc selama 4 jam dan setelah
oksidasi pada temperatur 1000oc selama 100 jam. Metode yang digunakan untuk
menghitung ukuran kristal yaitu dengan persamaan Scherrer, selanjutnya dihitung
nilai microstrain dan kerapatan dislokasinya. Agar diperoleh ukuran kristal yang
lebih akurat, digunakan metode Rietveld terlebih dahulu. Hasil pengukuran pada
sampel serbuk menunjukkan bahwa NiCrAl memiliki ukuran kristal yang lebih
kecil dan juga kerapatan dislokasi serta microstrain yang besar. Untuk pengukuran
sampel lapisan setelah oksidasi NiCrAl+Y memiliki nilai terkecil. Hal ini
dipengaruhi oleh kenaikan temperatur dan lamanya waktu pemanasan yang dialami
sampel, sehingga memiliki dampak terhadap ketahanan material, dalam hal ini
adalah nilai kekerasannya.
Kata kunci: rietveld, scherrer, ukuran kristal, microstrain, kerapatan dislokasi
vii
ABSTRACT
Research on the structure of the crystal structure has been carried out on the
characterization of NiCrAl material with reactive elements of Silicon and Yttrium
in powder and coating forms. In this research XRD was carried out which had done
mechanical alloying for 36 hours in powder samples and cleaned before oxidation
at 1100oc for 4 hours and until oxidation at 1000oc for 100 hours. The method used
to calculate the size of the crystal with the Scherrer equation, then the
microstructure value and density dislocation are calculated. In order to obtain a
more accurate crystal size, the Rietveld method is used first. The results of
measurements in powder samples showed that NiCrAl has a smaller crystal size and
also a large dislocation density and microstrain. For measurement of material
samples after oxidation NiCrAl + Y has a normal value. This is due to the increase
in temperature and the length of heating time experienced by the sample, so that it
has an impact on material resistance, in this case the value of its hardness.
Keyword: rietveld, scherrer, crystallite size, microstrain, dislocation density
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang menguasai seluruh alam. Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta‟ala, atas karunia dan rahmatNya
penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada teladan terbaik akhir zaman, Nabi Muhammad
shalallahu „alayhi wa sallam yang telah menunjukkan dari zaman jahiliyah menuju
terang benderang. Karya tulis ilmiah ini merupakan hasil penelitian tugas akhir
jenjang perkuliahan Strata 1, mahasiswa program studi Fisika UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penelitian dari karya tulis ilmiah dengan judul “Analisis Struktur Mikro
Kristal Pada Serbuk Dan Lapisan NiCrAl Dengan Elemen Reaktif (Si dan Y)
Menggunakan Metode Scherrer” dilakukan di Pusat Penelitian Fisika-Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2F-LIPI).
Penelitian ini dapat selesai dan berjalan dengan baik berkat bantuan,
bimbingan, dan fasilitas yang telah diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Allah SWT yang telah memudahkan proses penelitian ini hingga berakhir
dengan kelulusan. Tanpa petunjuk dan arahan-Nya penulis tidak akan sampai ke
titik ini.
2. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
ix
3. Dr. Rike Yudianti selaku Kepala Pusat Penelitian Fisika LIPI yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di P2F-
LIPI.
4. Arif Tjahjono, M.Si selaku Ketua Prodi Fisika Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen pembimbing yang telah membimbing,
mengarahkan, dan memberi masukan dalam proses penulisan karya ilmiah ini.
5. Dr. Eni Sugiarti, M.Eng selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan,
arahan, dan masukan kepada penulis ketika melakukan penelitian.
6. Resetiana Dwi Desiati, S.T, Astria Nurhermaya, dan teman-teman Laboratorium
High Ressistance Material (HRM), P2F-LIPI yang telah membantu dalam
analisis data, karakterisasi sampel, maupun proses penelitian di laboratorium.
7. Dr. Sitti Ahmiatri Saptari, M.Si dan Elvan Yuniarti, M.Si sebagai penguji I dan
II saya, yang tanpa bimbingan dan arahannya penulis tidak dapat menyelesaikan
sidang dan khususnya kelulusan ini dengan lancar.
8. Kedua orang tua, keluarga, dan kerabat yang senantiasa memberikan
dukungan serta memberikan do’a kepada penulis demi kelancaran dan
keberhasilan pelaksanaan penelitian ini.
9. Teman-teman Program Studi Fisika angkatan 2014 yang telah memotivasi dalam
penelitian tugas akhir ini. Ilma, Amel, Nadhia, Siva, Purnama, Bela, Milah,
Lusti, Qalisha, Suci.
10. Teman-teman organisasi di kampus maupun di luar kampus yang senantiasa
memberikan semangat dan do’a dalam penyelesaian tugas akhir ini. Terry, Nur
Azizah, Nur Ana, Liana, Ambar, dll.
x
Penulis menyadari dalam penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat
membangun sehingga penulis dapat belajar dan semoga menjadi lebih baik dalam
penulisan karya ilmiah selanjutnya. Kritik dan saran tersebut dapat disampaikan
melalui alamat email penulis: [email protected].
Semoga segala bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak dijadikan
sebagai amal sholeh. Penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan khususnya bagi penulis.
Jakarta,
Indah Permatasari Zuhdi
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ vi
PENGESAHAN UJIAN ....................................................................................... vii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................................. vi
ABSTRACT .......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 3
1.4 Batasan Masalah ....................................................................................... 3
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................... 4
1.6 Sistematika Penulisan ............................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 6
2.1 Hastelloy C-276 ........................................................................................ 6
2.2 Elemen Reaktif .............................................................................................. 7
2.3 Mechanical Alloying ..................................................................................... 9
2.4 Perlakuan panas (Heat Treatment) ................................................................ 9
2.5 Struktur Mikro ............................................................................................. 11
2.6 Kristalografi ................................................................................................ 12
2.7 Metode Penghalusan Rietveld .................................................................... 20
2.8 Persamaan Scherrer ..................................................................................... 23
2.9 Kekerasan .................................................................................................... 25
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 27
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................................... 27
3.2 Bahan dan Peralatan Penelitian ................................................................... 27
3.3 Diagram Alir Penelitian .............................................................................. 28
3.4 Prosedur Penelitian...................................................................................... 28
xii
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 32
4.1 Hasil Perhitungan Mikrostruktur Sampel Serbuk ....................................... 32
4.2 Hasil Perhitungan Mikrostruktur Sampel Lapisan NiCrAl, NiCrAl+Si dan
NiCrAl+Y .......................................................................................................... 37
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 47
5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 47
5.2 Saran ............................................................................................................ 47
DAFTAR REFERENSI ........................................................................................ 48
LAMPIRAN .......................................................................................................... 51
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Perhitungan Scherrer…………………………………………………..31
Tabel 4.1 Perubahan FWHM…………………………………………………….33
Tabel 4.2 Perubahan D NiCrAl+Si………………………………………………40
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Diagram Hipotektik .......................................................................... 13
Gambar 2. 2 Dislokasi Atom ................................................................................. 17
Gambar 2. 3 Lapisan Batas Atom ......................................................................... 17
Gambar 2. 4 Dislokasi tepi .................................................................................... 19
Gambar 2. 5 Dislokasi ulir .................................................................................... 19
Gambar 2. 6 Pola difraksi terhitung (merah) dicocokkan dengan pola difraksi
terukur (biru) ......................................................................................................... 21
Gambar 2. 7 Intensitas peak XRD......................................................................... 23
Gambar 3. 1 Diagram Alir Penelitian……………………………………… ……28
Gambar 3. 2 Langkah Pertama Proses Rietveld .................................................... 29
Gambar 3. 3 Langkah Kedua Proses Rietveld ...................................................... 30
Gambar 3. 4 Langkah Ketiga Proses Rietveld ...................................................... 30
Gambar 3. 5 Parameter Peak List .......................................................................... 31
Gambar 4. 1 Peak Serbuk NiCrAl+RE (Si dan Y) Sebelum Rietveld……... ……32
Gambar 4. 2 Peak Fasa Serbuk ............................................................................. 33
Gambar 4. 3 Grafik Ukuran kristal (D) serbuk ..................................................... 34
Gambar 4. 4 Grafik Ukuran Microstrain () dan kerapatan dislokasi () serbuk . 35
Gambar 4. 5 Peak Lapisan NiCrAl+RE (Si dan Y) .............................................. 37
Gambar 4. 6 Peak Fasa Lapisan ............................................................................ 38
Gambar 4. 7 Grafik Ukuran Kristal Sebelum dan Setelah Oksidasi ..................... 39
Gambar 4. 8 Fasa Ni-ɤ NiCrAl+Si ........................................................................ 40
xv
Gambar 4. 9 Grafik Microstrain dan Kerapatan Dislokasi Sampel Lapisan ......... 42
Gambar 4. 10 Gambar Uji Vicker Sebelum Oksidasi ........................................... 43
Gambar 4. 11 Uji Vicker Setelah Oksidasi ........................................................... 44
Gambar 4. 12 Hasil Uji SEM Sebelum dan Setelah Oksidasi .............................. 46
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berkembangnya teknologi rekayasa material memungkinkan terciptanya
material baru dengan spesifikasi yang sesuai dengan kebutuhan pada saat ini.
Rekayasa dapat dilakukan dengan penambahan komposisi, memodifikasi struktur
atau dengan membentuk fasa tertentu. Penelitian yang banyak dikembangkan saat
ini salah satunya mengenai bahan-bahan material yang memiliki strutur nanokristal.
Suatu material dapat dikatakan memiliki struktur nanokristal apabila ukuran
kristalnya antara 10 - 200 nm.
Ukuran dan bentuk struktur kristal akan sangat berpengaruh terhadap
karakteristik sifat suatu bahan, misalnya sifat kekerasan. Semakin kecil ukuran
kristal suatu material maka nilai kekerasan dan kuat tariknya akan meningkat.
Selain ukuran kristal, microstrain dan kerapatan dislokasi juga mempengaruhi
ketahanan suatu material. Ukuran kristal yang semakin besar, maka dislokasi akan
semakin mudah terjadi, hal ini akan menyebabkan nilai kekerasannya menurun dan
microstrain menjadi lebih besar.
Berkaitan dengan hal tersebut, akan diamati lebih lanjut tentang struktur dan
ukuran kristal pada sampel hastelloy C-276 yang telah dilakukan treatment
menggunakan metode Scherrer. Sampel hastelloy C-276 yang akan diuji telah
mengalami penambahan reaktif elemen Si dan Y. Penggunaan elemen reaktif dapat
memperhalus butiran partikel pada serbuk pelapis [11]. Si (Silikon) dijadikan
2
elemen reaktif karena penambahan Si dapat meningkatkan nilai kekerasan [17].
Sementara penambahan Y (Yttrium) dapat memperkecil terjadinya keretakan akibat
pertumbuhan oksida Yttrium [14].
Sebagaimana yang diketahui, salah satu yang dapat mempengaruhi ukuran
kristal suatu bahan adalah prosesnya. Perlakuan pertama pada penelitian ini adalah
mechanical alloying (milling) yang sebelumnya telah dilakukan dalam jangka
waktu 36 jam, berguna untuk memperkecil ukuran kristal yang digunakan sebagai
serbuk pelapis lapisan NiCrAl, NiCrAl+Si dan NiCrAl+Y. Setelah serbuk pelapis
dilakukan proses milling, selanjutnya dilakukan ketahanan oksidasi pada suhu
1000oC selama 100 jam. Dari hasil kedua proses tersebut, maka perlu dilakukan
penelitian lanjutan terhadap nilai struktur mikro. Untuk menganalisanya
menggunakan persamaan Scherrer yang diawali proses rietveld terlebih dahulu.
Dengan persamaan Scherrer dapat menghitung nilai ukuran kristal (D), microstrain
() dan kerapatan dislokasi () yang selanjutnya ukuran tersebut dihubungkan
dengan mechanical properties dari hasil perlakuan yang telah dilakukan pada
sampel tersebut. Perlakuan yang dilakukan saling memiliki hubungan satu dengan
yang lain. Dari bentuk terkecil, yakni ukuran kristal akan memiliki kekerasan yang
besar. Sebagaimana Allah SWT memberikan banyak perumpamaan melalui ilmu
yang ada. Perumpamaan tersebut setidaknya dapat membuat kita paham bahwa
ilmu Allah itu luas.
ا وم س نا ل ل ا ه رب ض ن ل ا ث لم ا ك ل ون وت م ل ا ع ل ا ل إ ا ه ل ق ع ي“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-Ankabut: 43)
3
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Berapakah ukuran kristal (D), microstrain () dan kerapatan dislokasi ()
pada sampel yang berupa serbuk dan lapisan NiCrAl, NiCrAl+Si dan
NiCrAl+Y dengan menggunakan metode Scherrer?
2. Bagaimanakah hubungan antara ukuran kristal, microstrain dan kerapatan
dislokasi terhadap mechanical properties dari sampel tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui ukuran kristal (D), microstrain () dan kerapatan dislokasi ()
pada sampel yang berupa serbuk dan lapisan NiCrAl, NiCrAl+Si dan
NiCrAl+Y dengan menggunakan metode Scherrer
2. Mengetahui hubungan antara karakteristik Kristal terhadap mechanical
properties pada sampel NiCrAl, NiCrAl+Si dan NiCrAl+Y
1.4 Batasan Masalah
Dalam penelitian ini terdapat beberapa batasan masalah, yaitu:
1. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan. Sampel yang digunakan pada
penelitian sebelumnya adalah Hastelloy C-276 berupa serbuk yang telah
melalui proses mechanical alloying yang dilakukan selama 36 jam, dan
lapisan yang telah dilakukan proses uji sebelum oksidasi pada suhu 1100oC
4
selama 4 jam, selanjutnya pengujian setelah oksidasi pada suhu 1000oC
selama 100 jam.
2. Substrat yang digunakan adalah NiCrAl dengan elemen reaktif Si dan Y
3. Identifikasi fasa menggunakan X-Ray Diffractometer Rigaku tipe Smart Lab
dengan Cu Kα radiasi 40 kV dan 30 mA serta analisa menggunakan aplikasi
High Score Plus di Pusat Penelitian Fisika – Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (P2F – LIPI).
4. Metode yang digunakan dalam perhitungan mikrostruktur adalah metode
Scherrer. Persamaan Scherrer diawali dengan proses Rietveld untuk
mencocokkan masing-masing peak.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai ukuran
kristal (D), microstrain () dan kerapatan dislokasi () dari sampel akibat proses
milling dan uji oksidasi yang telah dilakukan serta mengetahui hubungan antara
mikrostruktur terhadap mechanical properties NiCrAl, NiCrAl+Si dan NiCrAl+Y
melalui metode Scherrer.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
5
Pada bab ini menjelaskan bagian pendahuluan yang berisi latar belakang,
perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat penelitian dan
sistematika penelitian.
BAB II DASAR TEORI
Bab ini menjelaskan mengenai pengertian, teori-teori dan hasil penelitian terdahulu
yang digunakan sebagai landasan atau dasar dari penelitian.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisi waktu dan tempat pelaksanaan, bahan dan peralatan penelitian,
diagram alir penelitian, dan prosedur penelitian.
BAB IV HASIL DAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan hasil karakterisasi sampel dan pembahasan analisis dari
karakterisasi yang telah dilakukan.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil pembahasan serta saran untuk penelitian
selanjutnya.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hastelloy C-276
Kelelahan pada siklus rendah suhu tinggi telah diakui sebagai faktor yang
mempengaruhi ketahanan hidup dalam berbagai komponen rekayasa, terutama
dalam mesin turbin. Kerusakan akibat kelelahan, creep dan interaksi akan terjadi
pada suhu tinggi. Ketahanan superalloy untuk kelelahan merupakan persyaratan
penting untuk merancang dengan aman komponen suhu tinggi dan menemukan
potensi penggunaan paduan. Hastelloy adalah superalloy yang berbasis nikel padat
yang menggabungkan kekerasan, ketahanan oksidasi dan juga kekuatan suhu tinggi
yang baik. Hastelloy banyak digunakan dalam mesin turbin gas, aplikasi tungku
industri dan industri proses kimia. [1]
Hastelloy C-276 tergolong tinggi kekuatannya dengan paduan Ni – Mo - Cr
yang tahan karat. Ia memiliki struktur face-centered-cubic dengan parameter kisi a
= 3,620 Å dan kerapatan 8,89 g / cm3 pada suhu kamar. Superalloy ini telah banyak
digunakan dalam nuklir, kimia, dan industri kedirgantaraan untuk aplikasi suhu
tinggi. [2]
Mikrostruktur superalloy berbasis nikel terdiri dari: γ solusi padat, γ ′
senyawa intermetalik, karbida dan fase TCP (tetragonal close-packed kisi kristal).
Sebagai akibat dari perlakuan panas, fasa tersebut memiliki ketahanan degradasi
permukaan yang baik bahkan pada suhu yang sangat tinggi dan untuk waktu
pencahayaan yang sangat lama.
7
Senyawa intermetalik γ ′ dibentuk dengan menambahkan unsur Al. Atom
Al didistribusikan pada sudut kubus. Susunan atom ini memiliki rumus kimia
Ni3Al. Fase γ′ mengambil volume yang tinggi dibandingkan dengan massanya dan
merupakan hasil dari ikatan kuat yang menarik antara berbagai atom dan karena itu
memiliki sifat mekanik dan fisik tertentu.
Senyawa intermetalik γ ′ memberikan kontribusi untuk memperkuat batas
butir anti-fase. Ini adalah fase utama yang diikuti dan sebagian besar bertanggung
jawab untuk kekuatan pada suhu tinggi. Superalloy berbasis nikel biasanya
merupakan 40–50% dari total berat mesin pesawat terbang dan paling banyak
digunakan di bagian-bagian mesin turbin di mana suhu yang tinggi dipertahankan
selama operasi.
2.2 Elemen Reaktif
Elemen Reaktif (Reacive Element, RE) pertama kali dipatenkan oleh Pfeil
tahun 1937. Elemen reaktif berperan sebagai penyestabil dan penambah daya lekat
dari lapisan oksida protektif yang telah terbentuk, sehingga material menjadi lebih
kuat walaupun terjadi thermal cycling. Dengan dilakukan penambahan elemen
reaktif akan lebih efektif bila jumlahnya berkisar antara 0,1% sampai0,2% berat
dan dapat terdistribusi secara merata pada ketebalan < 500 Å.
Apabila penambahan elemen reaktif lebih dari 1 % atau kurang dari 0,1%
dan ketebalannya >500 Å, maka lapisan proteksi yang terbentuk justru akan bersifat
sebaliknya yakni semakin mudah mengelupas. Berikut ini adalah karakteristik
Silikon dan Yttrium dimana merupakan contoh elemen reaktif:
8
2.2.1 Silikon
Silikon adalah suatu unsur kimia yang memiliki lambang Si dan nomor
atom 14. Senyawa yang dibentuk bersifat paramagnetik. Silikon berbentuk padat
pada suhu ruangan, dengan titik lebur dan titik didih masing-masing 1.400 dan
2.800 derajat Celsius.
Silikon memiliki konduktivitas thermal yang tinggi (149 W·m−1·K−1),
sehingga bersifat mengalirkan panas dan tidak pernah dipakai untuk menginsulasi
benda panas. Seperti germanium, silikon agak kuat tetapi sangat rapuh dan mudah
mengelupas. Silikon mengkristal dalam struktur kristal kubus berlian, dengan jarak
kisi 0,5430710 nm (5.430710 Å) dengan jari-jari atom sebesar 111 pm atau sekitar
0,11 nm.
2.2.2 Yttrium (Y)
Yttrium merupakan logam transisi, sering disebut juga logam tanah jarang.
Unsur dengan simbol Y ini memiliki nomor atom 39, berat atom 88.9, jari-jari
kovalen 1.62 (Ǻ) [12]. Yttrium memiliki titik leleh 1526 oC dan titik didih 2931 oC.
Struktur kristal dari unsur ini adalah hexagonal close-packed (HCP) dengan jari-
jari atom 180 pm. Unsur ini akan membentuk oksida berupa Y2O3 dengan titik leleh
2425 oC.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sudjatmoko dari BATAN
Yogyakarta, penambahan elemen reaktif yttrium akan memperkecil proses difusi
aluminium ke arah luar, sehingga terjadi peningkatan ketahanan oksidasi yang
cukup signifikan pada suhu tinggi dan terhadap proses siklus termal.
9
2.3 Mechanical Alloying
Mechanical alloying adalah salah satu teknik dari metode suatu pelapisan.
Para peneliti terdahulu melakukan mechanical alloying dengan tujuan mengetahui
pengaruh dari kompisisi pada serbuk pelapis dan heat treatment terhadap fasa-fasa
yang terbentuk, struktur mikro, kekerasan dan ketahanan oksidasi pada permukaan
lapisan. [3]
Mechanical alloying dapat juga digunakan untuk menghasilkan fasa
amorfus yang berbeda, senyawa intermetalik, solid solution, dan juga paduan pada
nanocrystaline [4]. Keuntungan dari mechanical alloying sendiri adalah lebih
efisien dalam produksi skala kecil dan juga hemat energi. Dalam beberapa
penelitian menunjukkan adanya permasalahan pada komposisi kimia, homogenity,
dan ukuran butir atom dikarenakan efek ball mill dapat menyebabkan deformasi
plastis dan efek welding yang berlebih pada serbuk [5]
2.4 Perlakuan panas (Heat Treatment)
Perlakuan panas (heat treatment) dapat menimbulkan perubahan ukuran dan
bentuk kristal. Perubahan ukuran dan bentuk Kristal ini disebabkan oleh
pertumbuhan dengan cara pengkristalan kembali. Pada saat terjadi proses
pendinginan, pembentukan kristal akan tetap terjadi. Oleh karena itu proses
perlakuan panas yang berlangsung lebih lama akan menyebabkan pertumbuhan
ukuran kristal menjadi lebih kecil dan lebih halus [6].
10
Sifat logam terutama sifat mekanik sangat dipengaruhi oleh struktur mikro.
Adanya pemanasan dan pendinginan dengan kecepatan tertentu maka struktur pada
logam akan berubah.
Perlakuan panas (Heat Treatment) adalah gabungan dari beberapa operasi
pemanasan dan pendinginan dengan kecepatan tertentu yang dilakukan terhadap
logam atau paduan dalam keadaan padat, sebagai upaya untuk memperoleh sifat-
sifat tertentu (meningkatkan sifat mekanik dan sifat fisik logam). Adapun tujuan
perlakuan panas antara lain: menghilangkan tegangan sisa, memperbesar atau
memperkecil ukuran butir, menghasilkan permukaan yang keras disekeliling inti
yang ulet.
Proses perlakuan panas (Heat Treatment) ini pada dasarnya terdiri dari
beberapa tahapan,yaitu :
- Memanaskan sampai temperatur tertentu.
- Diikuti dengan penahanan selama beberapa saat.
- Pendinginan dengan kecepatan tertentu.
Adapun proses perlakuan panas (heat treatment) adalah:
1. Heating (pemanasan)
Yaitu proses pemanasan logam sampai suhu (Temperatur) tertentu, bertujuan untuk
merubah susunan atom-atom logam yang mengalami perubahan bentuk.
2. Holding (penahanan)
Proses ini bertujuan untuk memeratakan panas dan memberikan kesepadanan pada
struktur logam.
3. Cooling (pendinginan)
11
Pada proses pendinginan digunakan beberapa media pendingin antara lain: air,
minyak pelumas, udara.
2.5 Struktur Mikro
Sifat – sifat logam, terutama sifat mekanik dan sifat teknologi sangat
dipengaruhi oleh struktur logam disamping komposisi kimianya. Misalnya suatu
logam atau paduan (dengan komposisi kimia tertentu) akan mempunyai sifat
mekanik yang berubah – ubah, bila struktur mikronya dirubah. Struktur mikro dapat
diubah dengan melakukan proses perlakuan panas atau Heat Treatment pada logam
atau paduan, selain proses perlakuan panas, proses deformasi juga dapat mengubah
struktur mikro dari logam atau paduan.
Untuk mengetahui sifat dari suatu logam, kita dapat melihat struktur
mikronya. Setiap logam dengan jenis berbeda memiliki struktur mikro yang
berbeda. Dengan melalui diagram fasa, kita dapat meramalkan struktur mikronya
dan dapat mengetahui fasa yang akan diperoleh pada komposisi dan temperatur
tertentu. Dan dari struktur mikro kita dapat melihat :
a. Ukuran dan bentuk butir
b. Distribusi fasa yang terdapat dalam material khususnya logam
c. Pengotor yang terdapat dalam material
Dari struktur mikro kita juga dapat memprediksi sifat mekanik dari suatu
material sesuai dengan yang kita inginkan.
12
2.6 Kristalografi
Kristalografi merupakan percobaan sains yang bertujuan untuk menentukan
susunan atom dalam zat padat. Kata "kristalografi" berasal dari bahasa
Yunani crystallon = tetesan dingin/beku dan graphein = menulis.
Kristalisasi adalah proses perubahan struktur material dari fasa amorf
menjadi kristal. Kristalisasi merupakan proses pembentukan kristal yang terjadi
pada saat pembekuan yaitu perubahan dari fasa cair ke fasa padat. Mekanisme
kristalisasi dapat terjadi melalui dua tahap, yaitu pengintian dan pertumbuhan
kristal. Kristalisasi dapat terjadi dengan pengerjaan dingin maupun pengerjaan
panas. Sebagai akibat dari pengerjaan dingin adalah sifat kekerasan, kekuatan tarik
dan tahanan listrik akan naik, sedangkan keuletan akan menurun.
Dalam keadaan cair, atom-atom tidak memiliki susunan yang teratur dan
mudah bergerak. Dengan berkurangnya suhu, maka energi atom semakin rendah,
sehingga atom sulit bergerak, selanjutnya atom mulai mengatur kedudukannya
yang relatif terhadap atom lain. Hal ini terjadi pada daerah relatif dingin yang
merupakan daerah awal terjadinya inti kristal. Proses pengintian selanjutnya adalah
terjadi pertumbuhan kristal yang berlangsung dari suhu rendah ke suhu yang lebih
tinggi. Energi termal yang terus meningkat dapat mengakibatkan pertumbuhan
kristal yang terus menerus hingga transformasi akhir, yaitu amorf menjadi Kristal.
13
Gambar 2.1 Diagram Hipotektik
Berdasarkan Gambar 2.1, ada beberapa kemungkinan kristalisasi dari fasa amorf ke
fasa kristal, yaitu:
1. Kristalisasi Polimorfi, yaitu pembentukan kristal dari fasa amorf dengan
komposisi kimia yang sama dan nilai energi bebas yang minimum. Sebagaimana
ditunjukkan garis nomor 1 pada Gambar 2.1
2. Kristalisasi Primer, yaitu pembentukan kristal dari fasa amorf menjadi kristal
dengan sisa fasa amorf., sebagaimana ditunjukkan garis nomor 2 pada Gambar 2.1
3. Kristalisasi Eutektik, yaitu pembentukan kristal dari fasa amorf menjadi kristal
dengan komposisi berbeda, sebagaimana ditunjukkan garis nomor 3 pada Gambar
2.1
Pada Gambar 2.1 juga berlaku kristalisasi dari fasa kristal 1 ke fasa kristal
2, yang disebut dengan rekristalisasi. Untuk material polimorf akan terjadi
transformasi fasa dari bentuk/struktur kristal ke kristal lainnya.
Selain itu, sifat mekanik dari suatu material dapat terlihat dari kondisi
mikrostruktur, perlakuan dan juga komposisi materialnya. Ukuran kristal (D),
Gambar 2. 1 Diagram Hipotektik
14
microstrain () dan kerapatan dislokasi () akan sangat berpengaruh terhadap
karakter sifat bahan terutama kekuatan, kekerasan dan ketangguhan.
2.6.1 Ukuran kristal (D)
Material dengan ukuran kristal yang halus atau kecil bersifat lebih keras dan
kuat dibandingkan material dengan ukuran kristal yang lebih kasar. Butir halus
memiliki area batas butir total yang lebih luas sehingga mampu menghalangi
pergerakan dislokasi. Nilai kekerasan dan kekuatan yang lebih tinggi tentunya akan
berpengaruh pada menurunnya keuletan dan ketangguhan material. [7]
Jika ukuran kristalit di dalam serbuk rata-rata nilainya kurang dari 2000 Å
maka akan terjadi penambahan pelebaran puncak difraksi sinar-X dan istilah
“ukuran partikel” dapat digunakan. Dari pengukuran pelebaran tersebut, rata-rata
nilai ukuran kristalit dapat diperoleh. Partikel yang memiliki ukuran lebih besar dari
2000 Å tidak ada penambahan pelebaran garis puncak difraksi. Hal itu disebabkan
oleh: - Radiasi yang tidak benar-benar absolut monokromatis
- Fokus geometri dari alat tidak tepat
Pada kasus sinar-X, terjadi difraksi diffuse jika ukuran kristalit hampir sama
dengan panjang gelombang sinar datang. Apabila ukuran kristalit semakin
berkurang, sinar akan terdifraksi menjadi lebih diffuse sampai akhirnya hilang.
Inilah yang merupakan peristiwa divergensi dari radiasi sinar-X yang merupakan
dasar pengukuran ukuran kristalit.
2.6.2 Difusi
Difusi merupakan peristiwa terjadinya tranfer materi melalui materi lain.
Transfer materi terjadi karena atom atau partikel selalu bergerak oleh agitasi
15
thermal. Sementara itu, cacat kristal yang berupa kekosongan posisi pada atom,
memberikan peluang untuk menyusupnya atom asing. Atom asing berpeluang
menempati posisi interstisial, terutama jika ukuran atom asing lebih kecil dari
ukuran atom material induk. Posisi interstisial ini lebih memberikan kemudahan
bergerak bagi atom sendiri maupun atom asing. Ada beberapa jenis difusi,
diantaranya:
a. Difusi Volume.
Difusi volume (volume diffusion) adalah transfer materi yang akan
menembus volume materi lain. Umumnya, yang bermigrasi dalam difusi
volume pada lapisan akan menghadapi halangan yang lebih besar
dibandingkan dengan halangan yang dihadapi pada difusi volume dalam
bentuk cairan atau gas. Hal ini dapat diamati dari enthalpi aktivasi atau
energi aktivasi yang diperlukan untuk terjadinya difusi menembus volume-
lapisan dibandingkan dengan enthalpi aktivasi yang diperlukan untuk
terjadinya difusi menembus volume-cairan atau volume-gas.
Dalam struktur kristal, adanya kekosongan posisi atom
memungkinkan atom di sebelahnya akan bergerak mengisi kekosongan
tersebut sementara ia sendiri meninggalkan tempat semula yang ia isi
sehingga tempat itu menjadi kosong. Posisi kosong yang baru terbentuk
akan memberikan kemungkinan untuk diisi oleh atom di sebelahnya dan
demikian seterusnya. Mekanisme ini merupakan mekanisme yang paling
mungkin terjadinya difusi internal. Kemungkinan lain adalah
16
adanya atom yang lepas dari kisi kristalnya dan menjadi atom
interstisial dan menjadi lebih mudah bergerak.
Jika ukuran atom yang berdifusi jauh lebih kecil dari ukuran atom
materi yang harus ditembus, difusi interstisial akan mudah berlangsung.
b. Difusi Bidang Batas.
Apabila di dalam lapisan hadir butiran-butiran yang berlainan fasa
dengan material induk, maka akan terbentuk bidang batas antara butiran
dengan material induk dan terjadilah gejala permukaan. Pada bidang batas
ini terdapat energi ekstra yang akan menyebabkan materi yang berdifusi
cenderung menyusur permukaan. Peristiwa ini dikenal dengan difusi bidang
batas (grain boundary diffusion).
c. Difusi Permukaan.
Difusi yang ke-tiga terjadi manakala ada retakan. Materi yang
berdifusi cenderung akan menyusur ke arah permukaan retakan.
Konsentrasi dipermukaan retakan lebih tinggi dari konsentrasi di volume.
Energi aktivasi yang diperlukan untuk terjadinya difusi permukaan lebih
rendah dibanding dengan energi aktivasi yang diperlukan untuk terjadinya
difusi bidang batas.
Suatu lapisan yang mengandung pengotor dapat melipatgandakan
jumlah kekosongan atom, hal ini yang akan mempermudah terjadinya
proses difusi. Selain migrasi kekosongan, migrasi interstisial dapat terjadi
apabila atom materi yang berdifusi berukuran cukup kecil dibandingkan
dengan ukuran atom material yang ditembusnya [29].
17
2.6.3 Microstrain () dan kerapatan dislokasi ()
Logam terdiri dari kristal yang merupakan susunan dari atom yang
beraturan. Dalam kristal terdapat cacat kisi yang disebut dislokasi. Suatu kristal
logam tanpa dislokasi akan berkekuatan 10.000 kali kekuatan sesungguhnya.
Bidang regangan dari suatu dislokasi dapat mempengaruhi dislokasi sekitarnya.
Mekanisme penguatan suatu material dilakukan dengan cara memasukkan atom
impuritas pada larutan padat. Selanjutnya atom impuritas akan menghasilkan
regangan kisi pada atom tuan rumah (host). Regangan ini yang akan mengakibatkan
interaksi antara dislokasi dan atom impuritas, sehingga pergerakan dislokasi akan
dibatasi [8].
Ukuran kristal akan berperngaruh pada sifat mekanis bahan. Pada
pergerakan dislokasi akan terjadi pada lapisan batas (grain boundary). Lapisan
batas ini berperan sebagai penghalang (barrier) terhadap pergerakan dislokasi.
Atom Substitusi Atom Intertisi
Gambar 2. 2 Dislokasi Atom
Batas butir
Bidang slip
Gambar 2. 3 Lapisan Batas Atom
18
Saat terjadi dislokasi, akan timbul peristiwa tabrakan pada lapisan batas.
Tabrakan ini akan menghasilkan konsentrasi tekanan pada bidang slip, sehingga
terjadi dislokasi baru pada butir sebelahnya. Bahan yang memiliki ukuran kristal
lebih kecil, akan membuat bahan menjadi lebih keras dan kuat dari kristal yang
kasar, karena memiliki luas lapisan batas total yang lebih besar untuk menghambat
pergerakan dislokasi [8].
Regangan yang semakin tinggi akan mempengaruhi jumlah inti atau
kecepatan pengintian. Dari regangan yang lebih tinggi tersebut akan didapatkan
lebih banyak inti per satuan volume untuk rekristalisasi sehingga ukuran butir akan
lebih kecil. Saat ukuran butir membesar maka jumlah batas butir akan menurun.
Batas butir merupakan tempat dimana dislokasi berhenti karena batas butir
memiliki energi yang tinggi untuk memindahkan dislokasi. Oleh karena itu, apabila
batas butir menurun, maka dislokasi akan semakin mudah bergerak. [10]
Regangan yang semakin sempit menyebabkan dislokasi semakin rapat.
Penguatan dengan cara penghalusan Kristal terjadi melalui struktur kristalnya.
Polikristal memiliki ukuran kristal yang orientasinya berbeda-beda satu dengan
yang lain. Pada saat deformasi terjadi, dislokasi akan bergerak pada bidang slip dan
berusaha mencapai permukaan luar. Dikarenakan orientasi ukuran setiap Kristal
berbeda, maka orientasi bidang slip juga akan berbeda. Maka akibatnya pergerakan
dislokasi akan semakin terhambat.
Gerakan dislokasi yang akan menyebrangi batas butir memerlukan tegangan
yang lebih besar sehingga batas butir akan menjadi penghalang gerakan dislokasi.
Kristal yang semakin halus cenderung semakin memperbanyak batas butir. Batas
19
butir yang banyak tersebut akan mengakibatkan gerakan dislokasi semakin sulit
karena banyak rintangan. [11]
Dislokasi memiliki beberapa tipe yang selanjutnya akan mempengaruhi
ketahanan material, diantaranya:
-Dislokasi tepi
Gambar 2.4 Dislokasi tepi
Terjadi penyimpangan kisi lokal yang berada di sekitar akhir extra half-
plane (setengah bidang tambahan) dari atom. Garis dislokasi (dislocation line)
tepi searah dengan bidang dan atom di atas garis dislokasi mengalami tekanan
(kompresi), sedangkan yang berada di bawah mengalami tegangan.
-Dislokasi ulir
Gambar 2.5 Dislokasi ulir
extra half-plane
Gambar 2. 4 Dislokasi tepi
Gambar 2. 5 Dislokasi ulir
20
Dislokasi ulir terbentuk dari adanya tegangan geser. Bagian atas dari kristal
bergeser satu atom ke kanan yang relatif terhadap bagian bawah [8].
2.7 Metode Penghalusan Rietveld
Analisis Rietveld adalah sebuah metode pencocokan tak-linier kurva pola
difraksi terhitung (model) dengan pola difraksi terukur yang didasarkan pada data
struktur kristal dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (least-squares).
Penamaannya bisa bermacam-macam, misalnya Metode Rietveld, Analisis
Rietveld atau Penghalusan Rietveld. Penamaan ‘Rietveld’ tidak lain dinisbatkan
pada pembuat metode ini, seorang berkebangsaan Belanda, yang bernama Hugo
Rietveld.
Pada mulanya, metode ini digunakan untuk memecahkan struktur kristal
dengan data difraksi serbuk netron (Neutron Powder Diffraction Data). Dalam
perkembangannya, metode Rietveld dapat diaplikasikan pada data difraksi sinar-x.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa metode ini dapat digunakan
sebagai alat bantu karakterisasi material kristalin guna mengekstraksi berbagai
informasi kimiawi maupun struktur-mikro.
Di dalam analisis Rietveld pola difraksi terhitung (model) dicocokkan
dengan pola difraksi terukur. Pencocokan dilakukan dengan mengubah parameter-
parameter dalam model pola difraksi terhitung yang dinyatakan dalam ekspresi
intensitas difraksi.
Dengan selesainya simulasi pola difraksi terhitung, penghalusan Rietveld
(atau pencocokan pola difraksi Rietveld) dapat dimulai. Namun, hal pertama yang
21
perlu dilakukan adalah pengecekan terhadap ‘kecocokan sepintas’ pola difraksi
terhitung dan pola difraksi terukur terutama posisi dan intensitas puncak. Bila
posisi-posisi puncak yang diamati bersesuaian posisinya pada jangkau kesalahan
yang tidak tajam (misalnya kurang dari 10%), maka hasil ini memberikan
keyakinan bahwa model yang disusun dapat digunakan untuk penghalusan
Rietveld. Jika pola intensitas sesuai, maka hal ini semakin memantapkan keyakinan
diatas.
Nilai-nilai parameter yang diumpankan pada model yang disusun dapat
dikelompokkan menjadi nilai yang tetap dan nilai yang dapat diubah (diperhalus,
refinable parameters) selama penghalusan. Jangkau sudut pengukuran dan selang
kenaikan sudut (pada histogram) termasuk nilai yang tetap (non-refinable
parameters).
Ada pula parameter-parameter yang tidak bisa diubah karena alasan-alasan
tertentu, misalnya zero (koreksi 2θ0) tidak bisa diubah karena koreksi ini
berhubungan dengan ketidaktepatan susunan optik yang tidak berubah selama
Peak
Terhitung Peak Terukur
Gambar 2. 6 Pola difraksi terhitung (merah) dicocokkan
dengan pola difraksi terukur (biru)
22
pengukuran. Contoh lain adalah parameter U dan W, karena kedua nilai ini
dipandang sebagai parameter yang hanya dipengaruhi oleh instrumen. Panjang
gelombang yang digunakan juga tidak berubah selama pengukuran, sehingga
mestinya nilai ini tetap. Parameter-parameter kecocokan (figures-of-merits) yang
digunakan dalam melihat perkembangan penghalusan Rietveld, yaitu:
Strategi’ urutan penghalusan Rietveld adalah:
a. Posisi puncak. Ketidakcocokan posisi puncak terutama disebabkan oleh
pergeseran sampel dan parameter kisi, namun bisa jadi juga dipengaruhi
oleh asimetri puncak.
b. Tinggi puncak. Parameter utama yang perlu diperhalus adalah faktor skala.
Parameter lain yang berpengaruh pada tinggi puncak namun belum
diperhalus hingga tahap ini adalah asimetri dan preferred orientation.
c. Bentuk dan lebar puncak. Karakter ini dipengaruhi oleh parameter-
parameter (1) U-Gaussian, (2) parameter Lorentzian (size) dan (3) asimetri.
Secara umum, pencocokan (fitting) dengan metode Rietveld bisa
dinyatakan selesai dengan mengikuti dua kriteria utama: Plot selisih antara pola
terhitung dan pola terukur memiliki fluktuasi yang relatif kecil yang hanya dapat
diamati secara visual, tidak dapat dikuantifikasi. Nilai GoF kurang dari 1,5%. Jika
kriteria di atas telah terpenuhi, maka dapat dilakukan analisis Rietveld.
Analisis Rietveld dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung dari
luaran itu. Beberapa hasil analisis yang dapat langsung dibaca adalah parameter kisi
dan sample displacement. Sedangkan luaran penghalusan yang dimanfaatkan
23
secara tidak langsung misalnya, faktor skala untuk perhitungan komposisi fasa dan
komponen pelebaran puncak untuk analisis mikrostruktur.
2.8 Persamaan Scherrer
Metode yang sering digunakan untuk menganalisa struktur kristal adalah
metode Scherrer. Ukuran kristal ditentukan berdasarkan pelebaran puncak difraksi
sinar X yang muncul. Metode ini sebenarnya memprediksi ukuran kristal dalam
material, bukan ukuran partikel. Jika satu partikel mengandung sejumlah kristallites
yang berukuran kecil maka informasi yang diberikan metode Schrerrer adalah
ukuran kristallin tersebut, bukan ukuran partikel.
Berdasarkan metode ini, makin kecil ukuran kristal maka makin lebar
puncak difraksi yang dihasilkan, seperti diilustrasikan pada gambar dibawah ini.
Ukuran kristal yang sangat kecil menghasilkan puncak difraksi yang sangat
lebar. Lebar puncak difraksi tersebut memberikan informasi tentang ukuran kristal.
Hubungan antara ukuran kristal dengan lebar puncak difraksi sinar X dapat
diproksimasi dengan persamaan Schrerrer [31]:
D = 0.9𝜆
𝐵 cos 𝜃 ……… (2.4)
Gambar 2. 7 Intensitas peak XRD
24
dimana, λ adalah panjang gelombang sinar-x (1,5405 Å), β adalah FWHM (full
width at half maximum) dari puncak (hkl) dan θ adalah sudut difraksi. Parameter
kristal lainnya seperti microstrain dan kerapatan dislokasi ditentukan dari hasil
analisis XRD.
Microstrain (ε) dihitung menggunakan persamaan berikut [33]:
= 𝐵
4𝑡𝑎𝑛𝜃 ………..(2.5)
Sementara untuk kerapatan dislokasi (ρ) dapat dinyatakan dengan hubungan
[34]:
= √12
𝐷𝑑 ……….(2.6)
dimana d adalah d-spacing dari bidang Kristal yang berbeda (hkl).
Selain perhitungan scherrer, ada satu metode perhitungan untuk meghitung
mikrostruktur kristal yakni Williamson-Hall. Williamson dan Hall (1953)
mengusulkan sebuah metode baru untuk menganalisis puncak dari hasil XRD
hingga diperoleh ukuran kristal dan juga microstrain. Adanya pelebaran peak
sebagai fungsi dari sudut Bragg memiliki pengaruh ketergantungan terhadap kedua
pengukuran tersebut dengan mengacu pada persamaan [32]:
{𝑜𝑏𝑠 − 𝑖𝑛𝑠𝑡} =𝜆
{𝐷𝑣 𝑐𝑜𝑠𝜃}+ 4𝑠𝑡𝑟 {𝑡𝑎𝑛𝜃} … … … . (2.1)
{𝑜𝑏𝑠 − 𝑖𝑛𝑠𝑡}𝑐𝑜𝑠𝜃 =𝜆
𝐷𝑣+ 4𝑠𝑡𝑟 {𝑠𝑖𝑛𝜃} … … … … (2.2)
𝑜𝑏𝑠 merupakan nilai FWHM (Fullwidth-at Half-Maximum Intensity) sampel
sementara 𝑖𝑛𝑠𝑡 nilai FWHM akibat pengaruh faktor instrument alat XRD yang
digunakan yakni 0,097. Untuk membuat plot Williamson-Hall harus didapatkan
25
kurva linearnya. {𝑜𝑏𝑠 − 𝑖𝑛𝑠𝑡}𝑐𝑜𝑠𝜃 pada sumbu y, kemudian 𝑠𝑖𝑛𝜃 sebagai
sumbu x.
Setelah didapatkan kurvanya, maka dapat dihitung ukuran kristal rata-rata
dari hasil perpotongan pada sumbu y, serta microstrain str dari gradient garisnya.
Stokes dan Williamson mendefinisikan rumus faktor microstrain sebagai berikut:
𝑠𝑡𝑟 =
4𝑡𝑎𝑛𝜃… … … . . (2.3)
Nilai ukuran kristal rata-rata yang didapat, belum sepenuhnya dapat
diterima karena adanya pengaruh pelebaran akibat 𝑖𝑛𝑠𝑡 dalam persentase kecil.
Namun dikarenakan perhitungan ukuran kristal dengan metode Williamson-Hall
sudah terpengaruh oleh adanya microstrain , maka hasil ukuran kristalnya tidak
murni. Sehingga digunakan perhitungan Scherrer yang ukuran kristalnya belum
terpengaruh oleh efek lainnya.
2.9 Kekerasan
Kekerasan adalah sifat fisik material yang merupakan ketahanan material
terhadap deformasi plastis, dalam hal ini pembebanan pada permukaan material,
pengujian kekerasan yang dilakukan dengan memberikan beban indentasi pada
permukaan material, dan jejak identasi yang ditinggalkan atau dihasilkan
menunjukkan tingkat atau nilai kekerasan material tersebut.
Makin dalam atau besar jejak tersebut berarti nilai kekerasan dari bahan
tersebut makin kecil dan sebaliknya makin kecil jejak yang dihasilkan atau
ditinggalkan oleh indentasi maka makin besar nilai kekerasan dari logam tersebut.
26
Hal ini berhubungan dengan kemampuan material untuk menahan deformasi atau
perubahan bentuk yang ditimbulkan oleh beban identasi tersebut. Untuk
mengetahui harga / nilai kekerasan dari baja, dipakai beberapa metode pengujian
kekerasan, seperti:
1.Pengujian kekerasan dengan metode Brinell.
2.Pengujian kekerasan dengan metode Vickers.
3.Pengujian kekerasan dengan metode Rockwell.
27
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian “Analisis Struktur Mikro Kristal pada Serbuk dan Lapisan
NiCrAl dengan Elemen Reaktif Si dan Y Menggunakan Metode Scherrer”
dilakukan pada bulan Januari 2018 sampai Agustus 2018 yang bertempat di:
a. Laboratorium High Ressistance Material (HRM) di Pusat Penelitian Fisika
(P2F), Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kawasan
Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan, Banten Indonesia 154314
b. Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.2 Bahan dan Peralatan Penelitian
Pada penelitian ini digunakan alat dan bahan yang diperlukan sebagai bahan
alat pendukung penelitian, diantaranya sebagai berikut:
a. Seperangkat computer dengan OS Windows 7
b. Perangkat lunak HighScore Plus
c. Data mentah XRD hasil sampel yang berupa serbuk NiCrAl dengan elemen
reaktif (Si dan Y), telah melalui proses mechanical alloying selama 36 jam,
serta perlakuan sebelum oksidasi pada suhu 1100oC selama 4 jam dan
setelah oksidasi pada suhu 1000oC selama 100 jam pada sampel lapisan
NiCrAl dengan elemen reaktif (Si dan Y)
28
3.3 Diagram Alir Penelitian
3.4 Prosedur Penelitian
Hasil XRD dari sampel yang berupa serbuk dan lapisan selanjutnya
dilakukan analisis pengolahan data XRD dengan metode perhitungan Scherrer yang
diolah menggunakan perangkat lunak HighScore Plus.
3.4.1 Metode Rietveld
Setelah sample ditembak dengan menggunakan XRD, di dapat fasa-fasa
yang dimiliki oleh masing-masing material yang telah diketahui oleh penelitian
Serbuk Komposisi (wt%):
Ni : Cr : Al : RE
Bal : 24 : 7 : 0.4
Lapisan NiCrAl,
NiCrAl+Si dan
NiCrAl+Y
Milling 36jam
Heat Treatment
1100oC 4 jam, Oksidasi
1000oC 100jam
Uji XRD
Perhitungan Scherrer Ukuran kristal (D),
microstrain () dan kerapatan dislokasi ()
Analisis
Kesimpulan
Gambar 3. 1 Diagram Alir Penelitian
29
sebelumnya. Selanjutnya dari masing-masing sample dilakukan perhitungan untuk
mencari Ukuran kristal (D), microstrain () dan kerapatan dislokasi (). Sebelum
menggunakan persamaan Scherrer, sampel dilakukan pengolahan Rietveld terlebih
dahulu untuk mencocokkan peak dari masing-masing fasa.
1. Analysis> Search and Match > Execute Search and Match> dibagian
parameter pilih single phase> restriction> edit restriction> masukkan
unsur yang akan dicari pada bagian at least one of> search> ok
Karena metode mechanical alloying akan menghasilkan fasa berupa
unsur, maka pada pilihan edit restriction hanya memilih unsur-unsur
yang paling banyak ditemukan pada peak sampel. Diantaranya adalah
Ni, Cr dan Al. Untuk elemen reaktif tidak terlalu berpengaruh karena
memiliki komposisi yang sedikit, sehingga peaknya tidak terdeteksi dan
hanya memiliki puncak yang kecil.
2. Mengubah pola refinement ke dalam bentuk Automotic mode
- Gunakan menu drop-down di toolbar Rietveld
Gambar 3.2 Langkah Pertama Proses Rietveld
1
Gambar 3. 2 Langkah Pertama Proses Rietveld
30
- Klik menu Analysis> Rietveld > Refinement Mode
Bentuk Automotic mode secara otomatis akan mengubah
parameter dengan menyesuaikan pada peak XRD sehingga tidak
perlu satu-satu untuk mengubah parameternya.
3. Selanjutnya hasil akhir refinement dapat dilihat di agreement indices.
Untuk memastikan kecocokan peaknya, bisa dilihat dari nilai GoF. Hasil
refinement yang baik apabila GoF bernilai kurang dari 1,5 dan juga nilai
wRp kurang dari 10.
3.4.2 Metode Scherrer
1. Hasil yang didapatkan dari proses rietveld, dihitung dengan
menggunakan rumus Scherrer
Gambar 3.3 Langkah Kedua Proses Rietveld
Gambar 3.4 Langkah Ketiga Proses Rietveld
2
Gambar 3. 3 Langkah Kedua Proses Rietveld
3
Gambar 3. 4 Langkah Ketiga Proses Rietveld
31
Parameter yang harus dicari untuk mendapatkan nilai D, dan adalah:
Tabel 3.1 Perhitungan Scherrer
Nilai B (FWHM) didapat dari akar pengurangan B2obs-B
2standar. B standar
adalah B (FWHM Left), sehingga untuk mendapatkan nilai B sampel harus
dikurangkan dengan B hasil rietveld.
Perhitungan Scherrer
teta cos
teta
tan
teta
Bobs B^2
obs
B
standar
B^2
standar
B Crystallite Micro
Strain
Density
Gambar 3.5 Parameter Peak List Gambar 3. 5 Parameter Peak List
32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Perhitungan Mikrostruktur Sampel Serbuk
Sampel serbuk yang telah dilakukan proses mechanical alloying selama 36
jam dan telah dikarakterisasi XRD, selanjutnya melakukan pencocokan peak
masing-masing fasa dengan metode Rietveld. Setelah didapatkan hasilnya,
dilakukan perhitungan ukuran kristal dengan persamaan Scherrer, menghitung
microstrain dan juga kerapatan dislokasinya.
4.1.1 Analisa Ukuran kristal
Sebelum melakukan perhitungan mikrostrukturnya, dilakukan proses
Rietveld. Pada gambar 4.1 menunjukkan hasil analisa XRD pada sampel serbuk
NiCrAl, NiCrAl+Si dan NiCrAl+Y dalam waktu milling 36 jam sebelum dilakukan
rietveld.
Gambar 4. 1 Peak Serbuk NiCrAl+RE (Si dan Y)
Sebelum Rietveld
33
Proses rietveld merupakan pencocokan peak XRD dengan peak observasi.
Dari hasil rietveld yang dilakukan, dapat dilihat perubahan peak seiring lamanya
waktu milling. Pada gambar 4.1 menunjukkan bahwa seiring lamanya waktu
milling, terjadi perbedaan peak pada masing-masing sampel.
Hasil rietveld juga memperlihatkan bagaimana perubahan FWHM, dimana
FWHM yang lebih besar menunjukkan ukuran kristal yang lebih kecil. Contohnya
seperti pada perubahan FWHM pada masing-masing sudut berdasarkan tabel
dibawah ini:
Perbedaan nilai FWHM tersebut menunjukkan adanya peak broadening atau
pelebaran kurva pada puncak difraksi. Perubahan FWHM yang semakin besar dan
Tabel 4.1 Perubahan FWHM
Pos. [°2Th.] FWHM Pos. [°2Th.] FWHM Pos. [°2Th.] FWHM
1 44.36 0.0063 44.40 0.0068 44.44 0.0064
2 44.47 0.0064 44.52 0.0068 44.55 0.0064
3 51.72 0.0061 51.76 0.0063 51.79 0.0059
4 51.86 0.0063 51.90 0.0063 51.93 0.0060
5 76.28 0.0122 76.33 0.0119 76.34 0.0121
6 76.51 0.0121 76.55 0.0119 76.56 0.0121
NiCrAl NiCrAl+Si NiCrAl+YNo.
Ni
Ni Ni Ni
Ni Ni
Ni
Ni Ni
Gambar 4. 2 Peak Fasa Serbuk
34
penurunan intensitas mengindikasikan semakin kecil ukuran kristal serbuk akibat
proses Mechanical Alloying. Efek ini menunjukkan bahwa penyebab bola milling
akan memberikan penurunan ukuran kristal pada fase yang diuji dan mengarah ke
menghomogenkan campuran yang digiling [24].
Selain itu, dari hasil refinement yang dilakukan, diperoleh data Goodness of
Fit (GoF) yang menandakan ketercapaian penghalusan pada masing-masing
sampel. Hasil refinement menandakan kecocokan apabila nilai GoF kurang dari 4%.
Adapun untuk keseluruhan sampel serbuk, nilai GoF nya tidak melebih 1,5% yang
menyatakan bahwa proses refinement menunjukkan kecocokan yang baik [18].
Setelah melakukan proses rietveld di dapatkan nilai Theta, d-spacing dan juga
FWHM nya. Selanjutnya dilakukan perhitungan ukuran kristal (D) menggunakan
persamaan Scherrer. Prinsip dasar untuk menentukan ukuran kristal dengan metode
difraksi sinar-x adalah adanya pelebaran peak. Menurut Scherrer, pelebaran peak
diakibatkan oleh ukuran kristal. Ukuran kristal yang berubah saat proses
mechanical alloying dapat diperkirakan akibat perubahan FWHM.
Dengan menggunakan rumus sesuai persamaan 2.4 FWHM (B) yang didapat
merupakan hasil dari proses rietveld sebelumnya. Maka hasil perhitungan ukuran
kristal seperti pada gambar 4.3 dibawah ini:
20.1620.46
21.24
19.5
20
20.5
21
21.5
NiCrAl NiCrAl+Si NiCrAl+Y
D (
nm
)
Ukuran Kristal (D) 36 jam
Gambar 4. 3 Grafik Ukuran kristal (D) serbuk
35
Berdasarkan perhitungan ukuran kristal (D), dapat diamati bahwa nilai
ukuran kristal terkecil adalah NiCrAl. Pengamatan perubahan ukuran kristal dapat
dilihat dari perubahan FWHM nya yang semakin melebar. Sudut yang memiliki
peak lebar mengindikasikan ukuran kristal yang kecil. Hal itu terjadi karena
penghalusan Kristal dan regangan tersimpan di dalam paduan partikel. Umumnya,
jumlah cacat yang lebih besar diperkenalkan ke sampel yang digiling ketika
dikenakan dampak energi yang tinggi, sehingga menyebabkan pelebaran puncak
dan pengurangan ukuran kristal seiring waktu penggilingan yang meningkat [29].
4.1.2 Analisa Ukuran Microstrain () dan Kerapatan Dislokasi ()
Pada perlakuan milling, regangan (microstrain) terjadi akibat adanya
deformasi mikroskopik pada bahan akibat tumbukan oleh bola-bola milling. Serbuk
kristalit akan terperangkap diantara bola-bola yang sedang bertumbukan.
Akibatnya, kristalit akan mengalami deformasi mikroskopik dan proses fracture
[17]. Adapun perubahan microstrain () dan Kerapatan Dislokasi () dapat diamati
sesuai grafik dibawah ini:
Gambar 4. 4 Grafik Ukuran Microstrain () dan kerapatan dislokasi () serbuk
36
Nilai microstrain dan kerapatan dislokasi terendah saat milling 36 jam
dimiliki oleh NiCrAl+Y. Hal itu bisa disebabkan oleh batas butir yang semakin
sedikit akibat ukuran kristal yang besar. Batas butir merupakan tempat dimana
dislokasi akan berhenti karena batas butir memiliki energi tertinggi untuk
memindahkan dislokasi [10]. NiCrAl memiliki nilai yang tertinggi karena semakin
halus ukuran kristal menyebabkan microstrain dan kerapatan dislokasinya semakin
rapat. Serbuk yang memiliki ukuran kristal lebih besar akibat dilakukan milling
maka jarak antar masing-masing kristalnya tidak rapat dan memungkinkan
timbulnya kekosongan atom. Regangan yang semakin tinggi dapat mempengaruhi
jumlah inti atau kecepatan pada proses pengintian. Dari regangan yang lebih tinggi
akan diperoleh lebih banyak inti per satuan volume untuk proses rekristalisasi
sehingga ukuran kristalnya lebih kecil [10].
Microstrain yang semakin tinggi dapat menyebabkan kerapatan dislokasi
yang semakin besar, karena dengan regangan yang semakin besar akan berpengaruh
terhadap batas butir yang lebih sedikit [10]. Deformasi plastik dari serbuk selama
proses penggilingan menyebabkan peningkatan cacat kristal seperti dislokasi titik.
Cacat mengarah untuk meningkatkan microstrain dan energi internal dalam
material sehingga serbuk menjadi tidak stabil [50]. Berdasarkan teori dislokasi,
microstrain berbanding lurus dengan kerapatan dislokasi. Oleh karena itu,
peningkatan microstrain dengan meningkatnya waktu penggilingan dapat dikaitkan
dengan suatu peningkatan kerapatan dislokasi [28].
37
4.2 Hasil Perhitungan Mikrostruktur Sampel Lapisan NiCrAl, NiCrAl+Si
dan NiCrAl+Y
Sebelum melakukan proses rietveld, pada gambar 4.5 menunjukkan hasil
peak pada sampel lapisan NiCrAl, NiCrAl+Si dan NiCrAl+Y sebelum dan setelah
oksidasi.
4.2.1 Analisa Ukuran kristal
Fasa yang dominan dihasilkan selama proses sebelum dan setelah oksidasi
adalah ɤ (Ni) dan ɤ’ (Ni3Al) sebagaimana yang telah diidentifikasi oleh penelitian
sebelumnya. Namun setelah oksidasi muncul NiCr2O4 yang terbentuk karena pada
awal proses oksidasi, oksigen cepat bereaksi dengan Al, Cr, dan Ni pada permukaan
pelapis untuk membentuk lapisan oksida eksternal yang terdiri dari campuran
alumina, kromia, dan NiO [20].
Sebelum
Setelah
NiC
rAl
NiC
rAl+
Si
NiC
rAl+
Y
Gambar 4. 5 Peak Lapisan NiCrAl+RE (Si dan Y)
38
Selain mengetahui struktur Kristal, dari hasil karakterisasi XRD juga
diketahui nilai FWHM nya. Setelah oksidasi, NiCrAl+Y yang memiliki FWHM
yang meningkat. Perluasan FWHM yang terjadi disebabkan oleh dislokasi yang
dianggap sebagai alasan utama yang menyebabkan perluasan puncak XRD.
Bahkan selain dislokasi, kemungkinan juga disebabkan oleh jenis cacat lainnya
seperti kesalahan deformasi [46] dan kesalahan susunan [47] mungkin juga
berkontribusi pada perluasan puncak XRD. Dari hasil rietveld, GoF yang
didapatkan juga tidak lebih dari 1,5 %, sehingga menandakan bahwa hasil
refinement memiliki tingkat akurasi yang tinggi.
Setelah melakukan pencocokan peak dengan proses rietveld refinement,
selanjutnya dilakukan perhitungan menggunakan rumus Scherrer untuk mengetahui
Gambar 4. 6 Peak Fasa Lapisan
39
ukuran kristalnya (D). Proses perlakuan panas menimbulkan perubahan pada
ukuran kristal. Proses uji sebelum oksidasi dilakukan pada suhu 1100oC selama 4
jam, sementara setelah oksidasi dilakukan pada suhu 1000oC selama 100 jam.
Perubahan ukuran kristal dapat diamati pada gambar 4.7 dibawah ini:
Nilai ukuran kristal terkecil setelah oksidasi memiliki urutan dari yang
terkecil NiCrAl+Y, NiCrAl dan NiCrAl+Si. Perbedaan ini bisa disebabkan dari
pengaruh lamanya waktu perlakuan panas. Penambahan elemen reaktif Yttrium
juga menyebabkan kristal mengecil, karena penambahan elemen reaktif Yttrium
akan memperkecil proses difusi aluminium ke arah luar, sehingga terjadi
pertumbuhan kerak alumina yang disebabkan oleh difusi oksigen ke dalam paduan
sepanjang batas butir. Pertumbuhan tersebut akan membuat daya lekat kerak
alumina menjadi lebih baik dan laju pertumbuhannya berkurang [14].
Seiring bertambahnya waktu oksidasi, lapisan oksida akan terus tumbuh dan
presipitat-presipitat pada matriks akan bergerak mendekati permukaan dan
26.4130.9
27.33
47.2742.3
24.95
0
10
20
30
40
50
Sebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah
NiCrAl NiCrAl+Si NiCrAl+Y
D (
nm
)
Ukuran kristal (D)
Gambar 4. 7 Grafik Ukuran Kristal Sebelum dan Setelah
Oksidasi
40
selanjutnya bergabung dengan lapisan oksida dimana tekanan parsial oksigennya
cukup tinggi. Hal itu yang menyebabkan unsur Y berdifusi lebih lanjut menuju
permukaan lapisan oksida menuju lapisan teratas oksida [30]. Selain itu, ukuran
kristal yang semakin kecil setelah oksidasi menunjukkan bahwa ada pemutusan
dalam ukuran kristal dan menyebabkannya menurun [26,27].
Dari hasil perhitungan dapat dilihat, bahwa ukuran kristal NiCrAl setelah
oksidasi tidak jauh berbeda dengan ukuran sebelum mendapat perlakuan panas. Hal
ini belum diketahui penyebabnya secara pasti, namun kemungkinan disebabkan
oleh suhu yang diterapkan lebih tinggi dari titik leleh aluminium [19]. NiCrAl+Si
memiliki ukuran kristal tertinggi, karena dari hasil perhitungan dengan rumus
Scherrer, D (ukuran kristal) sampel pada sudut sekitar 50o dan 74o mengalami
kenaikan ukuran kristal yang tinggi. Sebagaimana dilampirkan pada tabel 4.3
dibawah ini:
Kenaikan Kristal ini dipengaruhi oleh fasa yang terkandung dalam tiap
peaknya. Dari hasil analisis rietveld, sudut tersebut memiliki fasa Ni-ɤ yang
memiliki pelebaran peak yang rendah. Seperti ditunjukkan pada gambar 4.8
dibawah ini.
2 Theta FWHM (B) Ukuran kristal (D)
50.75o 0.0012 rad 118.76 nm 50.88 o 0.0013 rad 112.54 nm
74.49o 0.0015 rad 110.06 nm 74.71o 0.0013 rad 125.80 nm
Tabel 4.2 Perubahan D NiCrAl+Si
Tabel 4.2 Perubahan D NiCrAl+Si
Tabel 4.2 Perubahan D NiCrAl+Si
Tabel 4.2 Perubahan D NiCrAl+Si
Gambar 4. 8 Fasa Ni-ɤ NiCrAl+Si
41
Sebelum oksidasi, NiCrAl memiliki FWHM yang terbesar dibanding
sampel lainnya. Semakin besarnya FWHM menandakan bahwa ukuran kristalnya
kecil. Begitu pun dengan sampel yang memiliki FWHM kecil, hal ini
mengindikasikan adanya perbesaran ukuran kristal. Hubungan antara perubahan
FWHM dengan ukuran kristal berdasarkan perhitungan memiliki korelasi yang
sesuai.
Peningkatan suhu menyebabkan energi vibrasi termal menjadi lebih besar
yang kemudian akan mempercepat bergeraknya difusi atom untuk melintasi batas
butir dari butir yang kecil menuju butir yang lebih besar. Ukuran kristal yang kecil
akan menghilang dan selanjutnya menyatu dengan kristal yang lebih besar,
sehingga ukuran kristal yang terbentuk menjadi lebih besar [15]. Selain itu,
pemanasan suhu tinggi mengakibatkan pertumbuhan kristal. Hal tersebut
disebabkan karena kenaikan suhu akan mengakibatkan getaran termal yang
mempengaruhi kecepatan difusi atom untuk melintasi batas butir dan menempati
posisi yang lebih stabil [22]. Selain itu semakin lama waktu pemanasan maka atom-
atom akan memiliki kesempatan lebih lama untuk menata dirinya relatif terhadap
atom lain membentuk inti Kristal [31].
Pengaruh ukuran kristal yang bertambah disebabkan karena batas butir akan
memperlambat pergerakan dislokasi karena terjadinya perubahan orientasi. Apabila
terjadi pergeseran dislokasi maka akan terjadi peristiwa saling menolak. Semakin
jauh sumber dislokasi dari batas butir maka semakin banyak dislokasi yang akan
semakin bergeser. Dengan demikian besar Kristal yang semakin halus akan
meningkatkan kekerasan material.
42
4.3.2 Analisa Ukuran Microstrain () dan Kerapatan Dislokasi ()
Perlakuan sebelum dan setelah oksidasi membuat ukuran microstrain dan
kerapatan dislokasi mengalami perubahan. Berikut grafik perubahannya:
Ukuran microstrain cenderung semakin tinggi pada saat setelah oksidasi.
Regangan yang semakin tinggi akan berpengaruh pada kerapatan dislokasinya.
Kerapatan dislokasi yang semakin besar akan menyebabkan dislokasi itu sendiri
semakin sukar bergerak sehingga bahan menjadi semakin kuat atau keras [13].
Dalam paduan suhu tinggi tanpa penambahan elemen reaktif, lapisan Al2O3
akan tumbuh karena terjadinya difusi oksigen ke arah dalam dan difusi aluminium
ke arah luar paduan melewati batas-batas butir, sehingga memungkinkan terjadinya
kekosongan atom [27]. Kekosongan atom yang terjadi akan menyebabkan
kekerasannya menurun.
Pertumbuhan kristal terjadi melalui proses migrasi batas butir. Pada
kenyataannya, tidak semua kristal dapat tumbuh menjadi ukuran yang lebih besar.
Ada suatu mekanisme penggusuran kristal yang kecil oleh kristal yang lebih besar.
Sebelum
Setelah
Sebelum
Setelah
Gambar 4. 9 Grafik Microstrain dan Kerapatan Dislokasi
Sampel Lapisan
43
Pergeseran batas butir pada dasarnya merupakan difusi atom dari kristal yang satu
ke kristal yang lain. Atom-atom yang berada dekat dengan batas butir akan berdifusi
ke arah seberang batas butir dan mengikuti arah Kristal di sebelahnya, sehingga
kristal akan semakin membesar [16]. Pada sampel NiCrAl+Y, didapatkan hasil
bahwa ukuran microstrain menjadi semakin tinggi sesudah oksidasi, sementara
nilai ukuran kristalnya menjadi kecil. Hal ini dijelaskan karena sejumlah faktor
yang mungkin seperti efek relaksasi pada butiran permukaan atau pembentukan
cacat titik [23].
Setelah melakukan pengamatan pada ukuran mikrostrukturnya, tentu akan
berdampak pada mechanical properties. Maka dilakukan uji Vickers untuk
membuktikan pengaruh ukuran mikrostruktur yang telah dihitung terhadap nilai
kekerasannya. Berikut adalah gambar hasil uji vicker.
NiCrAl 346.1
HV
NiCrAl+Si 288.3 HV
NiCrAl+Y 233,8 HV
Gambar 4. 10 Gambar Uji Vicker Sebelum Oksidasi
44
Sebelum oksidasi, kekerasan terendah adalah NiCrAl+Y dan yang tertinggi
NiCrAl. Pada NiCrAl sebelum oksidasi nilai microstrain lebih besar dibanding
NiCrAl+Si dan NiCrAl+Y yang menyebabkan ketidakteraturan kisi sehingga
terjadi peningkatan sifat mekanik.
Nilai kekerasan yang didapat setelah oksidasi menunjukkan bahwa
NiCrAl+Y memiliki kekerasan tertinggi. Sementara NiCrAl+Si yang terendah.
Kekerasan tertinggi didapatkan dari nilai ukuran kristal terkecil, microstrain dan
kerapatan dislokasi yang tinggi setelah oksidasi. Selain itu, tidak ditemukannya fasa
alumina pada NiCrAl setelah oksidasi menyebabkan pengurangan nilai kekerasan
[21].
Adanya penurunan kekerasan mungkin disebabkan oleh pengaruh heat
treatment yang diberikan. Menurunnya kekerasan seiring lamanya waktu oksidasi
NiCrAl 275.4 HV
NiCrAl 275.4 HV
NiCrAl 275.4 HV
NiCrAl 275.4 HV
NiCrAl+Si 267.3 HV
NiCrAl+Si 267.3 HV
NiCrAl+Si 267.3 HV
NiCrAl+Si 267.3 HV
NiCrAl+Y 338.2 HV
NiCrAl+Y 338.2 HV
NiCrAl+Y 338.2 HV
NiCrAl+Y 338.2 HV
Gambar 4. 11 Uji Vicker Setelah Oksidasi
45
akan menyebabkan terjadinya penggabungan presipitat, sehingga ukuran presipitat
menjadi lebih besar dan mengakibatkan kekerasan menjadi menurun [25].
Disamping itu juga terlihat adanya perubahan besar Kristal antara sebelum dan
setelah perlakuan panas. Ukuran kristal setelah perlakuan panas terlihat lebih besar
dibanding sebelumnya sehingga dampaknya akan menurunkan kekerasan kecuali
pada NiCrAl+Y. Ukuran kristal yang semakin kecil menyebabkan batas butir
semakin meningkat sehingga pergerakan dislokasinya akan semakin sulit.
Dengan pertambahan waktu oksidasi, elemen reaktif Yttrium akan berdifusi
lebih lanjut menuju permukaan lapisan oksida melalui batas butir oksida [53, 54].
Dengan kata lain, endapan yang kaya dengan unsur yitrium (Y), cenderung
terbentuk pada permukaan lapisan oksida. Hal ini terjadi karena proses pemanasan
selama oksidasi berlangsung lama, sehingga unsur-unsur tersebut akan bergerak
terus melalui batas butir oksida dan menuju lapisan teratas oksida [53].
Selain itu untuk mengetahui mechanical properties dari suatu material tidak
hanya dilihat dari ukuran kristalnya. Sebagaimana yang diketahui, apabila
kerapatan dislokasinya besar kekuatan mekaniknya akan semakin baik, contohnya
pada nilai kekerasannya. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh temperatur dan juga
lamanya waktu oksidasi, yang menyebabkan munculnya fasa-fasa baru. Selain itu,
dengan terbentuknya oksida protektif dalam hal ini alumina, berfungsi untuk
menghambat difusi oksigen sehingga menyebabkan kekerasan semakin baik [21].
Pengamatan melalui SEM yang telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya
[35] dapat membuktikan ketebalan dari masing-masing sampel yang selanjutnya
46
akan berpengaruh pada nilai kekerasan yang dihasilkan. Gambar 4.10 merupakan
hasil karakterisasi SEM saat sebelum dan sesudah oksidasi.
Dari gambar 4.12 dapat diamati bahwa pada bagian substrat terlihat batas
butir masing-masing sampel. Sebelum oksidasi NiCrAl memiliki batas butir yang
lebih rapat karena memiliki ukuran Kristal yang lebih kecil dibanding kedua sampel
lainnya. Sementara setelah oksidasi, NiCrAl+Y butiran sudah menyatu karena
terjadi proses difusi antara butiran [8].
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Substrat
Sete
lah
Sete
lah
Sete
lah
Seb
elu
m
NiCrAl
NiCrAl+Si
NiCrAl+Y
Gambar 4. 12 Hasil Uji SEM Sebelum dan Setelah Oksidasi
47
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan tujuan yang telah dirumuskan dalam penelitian maka dapat
ditarik kesimpulan:
1. Dari hasil menggunakan metode Scherrer diperoleh pada sampel serbuk dan
lapisan sebelum oksidasi, urutan Kristal dari yang terkecil adalah NiCrAl,
NiCrAl+Si dan NiCrAl+Y. Nilai microstrain dan kerapatan dislokasinya
dari yang terkecil NiCrAl+Y, NiCrAl+Si dan NiCrAl+Al. Sementara
setelah oksidasi urutan Kristal dari yang terkecil adalah NiCrAl+Y, NiCrAl
dan NiCrAl+Si. Nilai microstrain dan kerapatan dislokasinya dari yang
terkecil NiCrAl+Si, NiCrAl+Al dan NiCrAl+Y
2. Dari hasil pengukuran mikrostruktur terhadap nilai kekerasan, ukuran
kristal yang semakin kecil serta microstrain dan kerapatan dislokasi yang
semakin besar menimbulkan kekerasan yang lebih besar. Sampel lapisan
sebelum oksidasi, kekerasan tertinggi adalah NiCrAl sementara sesudah
oksidasi dimiliki oleh NiCrAl+Y
5.2 Saran
Berdasarkan pengalaman penelitian yang dilakukan, maka ada beberapa
saran untuk penelitian selanjutnya, yaitu:
1. Dilakukan perhitungan dengan metode Williamson-Hall
2. Menghitung nilai difusivitas sampel selama proses perlakuan panas
48
DAFTAR REFERENSI
[1] Pratapa, S. O'Connor, B. and Hunter, B, “Comparative Studies of Single-line
and Rietveld Methods for Strain-size Evaluation Procedures using MgO
Ceramics”, Journal of Applied Crystallography, 35(2), 155-162, 2002.
[2] Y.L. Lu, P.K. Liaw, L.J. Chen, G.Y. Wang, M.L. Benson, S.A. Thompson, J.W.
Blust, P.F. Browning, A.K. Bhattacharya, J.M. Aurrecoechea and D.L.
Klarstrom, “Tensile-Hold Effects On High-Temperature Fatigue-Crack Growth
In Nickel-Based Hastelloy”, Materials Science and Engineering A 433 (2006)
114–120, 2006.
[3] C. Suryanarayana, “Mechanical alloying and milling”, Departement Of
Metallurgical And Materials Engineering, Colorado School Of Mines, Golden,
CO 80401-1887,USA Progress In Materials Science 46, 1-184, 2001.
[4] Mohammad Badrus Soleh dan Hariyati Purwaningsih, “Pengaruh Milling Time
Terhadap Pembentukan Intermetalik”, Jurnal Teknik Pomits Vol. 2, No. 1,
2013.
[5] A. Tjahjono, Fisika Logam dan Alloy. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2013.
[6] Eka Febriyantia,B, Dedi Priadi dan Rini Riastuti, “Pengaruh Thermomechanical
Controlled Processed (Tmcp) Terhadap Penghalusan Butir Dan Sifat Mekanik
Paduan Cu-Zn 70/30”, Majalah Metalurgi 3: 141-148, 2015.
[7] Ratih Langenati dan Futichah, “Regangan Mikro Dan Pengaruhnya Terhadap
Morfologi Mikrostruktur Hasil Oksidasi Gagalan Pelet Sinter Uo2”, Lipi, 2007.
[8] S. Hadiati, A.H. Ramelan, V.I Variani, M. Hikam, B. Soegijono, D.F. Saputri
dan Y. Iriani, “Kajian Variasi Temperatur Annealing dan holding time pada
Penumbuhan Lapisan Tipis BaZr0,15Ti0,85O3 dengan Metode Sol-Gel”, Jurnal
Fisika Dan Aplikasinya, Volume 10 (1), 2014.
[9]M.Husna Al Hasa, “Karakterisasi Sifat Mekanik Dan Mikrostruktur
Paduan Intermetalik AlFeNi Sebagai Bahan Kelongsong Bahan Bakar”, J. Tek.
Bhn.Nukl. Vol. 3, 2007.
[10] Wong Yick Jeng, Jumiah Hassan, Mansor Hashim, Wong Swee Yin and Leow
Chun Yan, ”Effect Of Milling Time On Microstructure, Crystallite Size And
Dielectric Properties Of Srtio3 Ceramic Synthesized Via Mechanical Alloying
Method” Advanced Materials Research, Vol 364, Pp 388-392, 2012.
49
[11] Resetiana Dwi Desiati, Eni Sugiarti dan Safitry Ramandhany, “Analisa
Ukuran Partikel Serbuk Komposit NiCrAl dengan Penambahan Reaktif
Elemen Untuk Aplikasi Lapisan Tahan Panas”, Jurnal Metalurgi, 2017.
[12] Wikipedia. (2018, Mei 25). Silikon. Retrieved September 22, 2016, from
https://id.wikipedia.org
[13] Etty Marti Wigayati dan Raden Ibrahim Purawiardi, “Analisis Pengaruh
Mechanical Milling Menggunakan Planetary Ball Milling Terhadap Struktur
Kristal Dan Struktur Mikro Senyawa Libob“, Jurnal Sains Materi Indonesia,
Vol. 16, No. 3, April 2015.
[14] Sudjatmoko, “Pengaruh Penambahan Suatu Elemen Reaktif Pada
Pertumbuhan Kerak Alumina Dalam Material Paduan Suhu Tinggi“, J. Iptek
Nuklir Ganendra, Vol. 12, 2009.
[15] L. H. V. Vlack, Elemen-elemen Ilmu dan Rekayasa Material. Jakarta:
Erlangga, 2004.
[16] Anis Yuniati , Kusminarto , Sudjatmoko, “Pengaruh Implantasi Ion Yttrium
(Y) Terhadap Sifat Ketahanan Oksidasi Suhu Tinggi Material FeAl Dan
Karakterisasinya”, Volume 10, Oktober 2008.
[17] Ajeng Fitria Satriani dan Athanasius Priharyoto Bayuseno, “Pengaruh
Penambahan Unsur Silikon (Si) Pada Shaft Propeller Berbahan Dasar Al-Mg-
Si” Jurnal Teknik Mesin S-1, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016.
[18] R. Rahmatun Nisa, “Pengaruh Penambahan Konsentrasi Y2O3 dan Ball To
Powder Ratio (BPR) terhadap Karakterisasi Parameter Kisi pada Baja ODS
tipe Fe20Cr5AlTiY”, Cilegon, 2016.
[19]Khoirun Nisa, Didik Aryanto, Toto Sudiro, Perdamean Sebayang dan
Mahardika P. Aji, “Karakterisasi Struktur Coating Fe-25al Yang Difabrikasi
Dengan Metode Paduan Mekanik” , Jurnal Metalurgi, 2016.
[20] F. Cao, B. Tryon, C. Torbet, and T. Pollock, “Microstructural evolition and
failure characteristics of a NiCoCrAlY bond coat in „hot spot‟ cyclic
oxidation,” Acta Mater., vol. 57, pp. 3885–3894, 2009.
[21] M. Rodriguez, F. Plazaola, J. S. Garitaonandia, J. A. Jimenez, and E.
Apiñaniz, “Influence of volume and Fe local environment on magnetic
properties on Fe rich FeAl alloys,” Intermetallics, vol. 24, pp. 38-49, May
2012.
[22] Widayanti Rahayu, “Analisis Ukuran Butir Kristal Pada Pembentukan dan
Karakterisasi Material Nanokristal Berbasis Zirkonium”, Surabaya: 2005.
50
[23] M. Krifa, M. Mhadhbi, L. Escoda, J. Saurina, J.J. Suñol, N. Llorca-Isern, C.
Artieda-Guzmán, and M. Khitouni, “Phase transformations during mechanical
alloying of Fe–30% Al–20% Cu,” Powder Technology, vol. 246, pp. 117-124,
Sept 2013.
[24] Yuni Zahara, Ratna Wulan, Ramli, Ahmad Fauzi, “Pengaruh Waktu Milling
Terhadap Ukuran Butir Quartz Dari Nagari Saruaso Kabupaten Tanah Datar”,
Pillar Of Physics, Vol. 8. Oktober, 113-120, 2016.
[25] R. Nowosielski, R. Babilas, G. Dercz, L. Paj¹k and J. Wrona, “Structure And
Properties Of Barium Ferrite Powders Prepared By Milling And Annealing”,
Archives of Materials Science and Engineering, Volume 28, 2007.
[26] W. Qin, J.A. Szpunar, Philos. Mag. Lett. 85, (649–654), 2005.
[27] M.A. Peck, M.A. Langell, Chem. Mater. 24, (4483–4490), (2012).
[28] Afandi NF, Manap A, Misran H, Othman SZ and Pauzi NIM 201,
“Characterizations Of Nialal2o3 Produced Using Gel Combustion Synthesis
Method” Advanced mechanics and materials 761 457-461, 2017.
[29] M. Suśniak, P. Pałka and J. Karwan-Baczewska, “Influence Of Milling Time
On The Crystallite Size Of Alsi5cu2/Sic Composite Powder”, Arch. Metall.
Mater., Vol. 61, 2016.
[30] Panjaitan Elman, “Identifikasi Unsur Reaktif Paduan Super Ma 6000 Akibat
Oksidasi Temperatur Tinggi”, J. Tek. Bhn. Nukl. Vol.4, 2008.
[31] J. I. Langford and A. J. C. Wilson, “Seherrer after Sixty Years: A Survey and
Some New Results Jin the Determination of Crystallite Size”, Appl. Cryst. 11,
(102-113), 1978.
[32] Arun Augustin, K. Rajendra Udupa and UdayaBhat K, “Crystallite Size
Measurement and Microstrain Analysis of Electrodeposited Copper Thin Film
using Williamson-Hall Method”, Published by the American Institute of
Physics, 1728 (020492), 2016.
[33] A. Eshaghi and M. Hajkarimi. “Optical And Electrical Properties Of
Aluminum Zinc Oxide (AZO) Nanostructured Thin Film Deposited On
Polycarbonate Substrate.” Optik, vol. 125, pp. 5746-5749, 2014.
[34] C. Liu, Z. Xu, Y. Zhang, J. Fu, S. Zang, and Y. Zuo. “Effect of annealing
temperature on properties of ZnO:Al thin films prepared by pulsed DC reactive
magnetron sputtering.” Materials Letters, vol. 139, pp. 279-283, 2015.
[35] Ramandhany Safitry, “Ketahanan Oksidasi Lapisan Nicral Dengan Penambahan
Elemen Reaktif Y Dan Ysi Pada Hastelloy C-276”, 2017.
LAMPIRAN
A. Database peak XRD
Serbuk
Name and formula
Reference code: 98-026-0169 Compound name: Nickel Common name: Nickel
Chemical formula: Ni1
Crystallographic parameters
Crystal system: Cubic
Space group: F m -3 m Space group number: 225
a (Å): 3.5280
b (Å): 3.5280
c (Å): 3.5280
Alpha (°): 90.0000
Beta (°): 90.0000
Gamma (°): 90.0000
Calculated density (g/cm^3): 8.88
Volume of cell (10^6 pm^3): 43.91
Z: 4.00
RIR: 8.12
Subfiles and quality
Subfiles: User Inorganic User Metallic
Quality: User From Structure (=)
Comments
Creation Date: 8/1/2009 Modification Date: 12/30/1899
Original ICSD space group: FM3-M. No R value given in the paper. Structure type: Cu. Temperature factors available. Rietveld profile
refinement applied Pressure in MPa: 4100. Neutron diffraction (powder)
Structure type: Cu
Recording date: 8/1/2009 ANX formula: N
Z: 4 Calculated density: 8.88
Pearson code: cF4
Wyckoff code: a Publication title: High-Pressure structural and vibrational study of Pb Zr0.40 Ti0.30 O3
ICSD collection code: 260169 Structure: Cu
Chemical Name: Nickel Second Chemical Formula: Ni
References
Structure: Gorelli, F.A.;Hull, S.;Papet, P.;Pintard, M.;Bornand, V.;Al Zein, A.;Fraysse, G.;Haines, J.;Rouquette, J.,
Inorganic Chemistry, 47, 9898 - 9904, (2008)
Peak list No. h k l d [A] 2Theta[deg] I [%]
1 1 1 1 2.03689 44.441 100.0
2 0 0 2 1.76400 51.784 44.7
3 0 2 2 1.24734 76.276 21.6
Structure
No. Name Elem. X Y Z Biso sof
Wyck.
1 NI1 Ni 0.00000 0.00000 0.00000 0.4579 1.0000
4a
Stick Pattern
Lapisan
a. ɤ-Ni
Name and formula
Reference code: 98-016-3354
Compound name: Nickel - Gamma Common name: Nickel - Gamma
Chemical formula: Ni1
Crystallographic parameters
Crystal system: Cubic
Space group: F m -3 m Space group number: 225
a (Å): 3.5810
b (Å): 3.5810
c (Å): 3.5810
Alpha (°): 90.0000
Beta (°): 90.0000
Gamma (°): 90.0000
Calculated density (g/cm^3): 8.50
Volume of cell (10^6 pm^3): 45.92
Z: 4.00
RIR: 8.13
Subfiles and quality
Subfiles: User Inorganic
User Metallic Quality: User From Structure (=)
Comments
Creation Date: 8/1/2009 Modification Date: 12/30/1899
Original ICSD space group: FM3-M In a 40/41/19 alloy: a= 3.578(1)
In a 25/60/15 alloy: a= 3.5664(5)
In a 70/20/10 alloy: a= 3.5784(3). Determination in a Fe/Ni/Si=30/50/20 alloy. At least one temperature factor missing in the
paper.. No R value given in the paper.. X-ray diffraction (powder)
Structure type: Cu. Rietveld profile refinement applied
Structure type: Cu
Recording date: 8/1/2009 ANX formula: N
Z: 4 Calculated density: 8.5
Pearson code: cF4
Wyckoff code: a Publication title: The constitution of the ternary system Fe - Ni - Si
ICSD collection code: 163354 Structure: Cu
Chemical Name: Nickel - Gamma Second Chemical Formula: Ni
References
Structure: Schuster, J.C.;Hiebl, K.;Weitzer, F.;Krendelsberger, N.;Ackerbauer, S., Intermetallics, 17, 414 - 420, (2009)
Peak list No. h k l d [A] 2Theta[deg] I [%]
1 1 1 1 2.06749 43.749 100.0
2 0 0 2 1.79050 50.962 44.8
3 0 2 2 1.26607 74.950 21.7
Structure
No. Name Elem. X Y Z Biso sof
Wyck.
1 NI1 Ni 0.00000 0.00000 0.00000 0.5000 1.0000
4a
Stick Pattern
b. ɤ’-Ni3Al
Name and formula
Reference code: 98-010-5529
Compound name: Aluminium Nickel (1/3) Common name: Aluminium Nickel (1/3)
Chemical formula: Al1Ni3
Crystallographic parameters
Crystal system: Cubic
Space group: P m -3 m Space group number: 221
a (Å): 3.5720
b (Å): 3.5720
c (Å): 3.5720
Alpha (°): 90.0000
Beta (°): 90.0000
Gamma (°): 90.0000
Calculated density (g/cm^3): 7.40
Volume of cell (10^6 pm^3): 45.58
Z: 1.00
RIR: 7.17
Subfiles and quality
Subfiles: User Inorganic
User Metallic Quality: User From Structure (=)
Comments
Creation Date: 10/1/2004 Modification Date: 8/1/2011
Original ICSD space group: PM3-M. At least one temperature factor missing in the paper.. No R value given in the paper.. X-ray diffraction
(powder)
Structure type: AuCu3. Standard deviation missing in cell constants The structure has been assigned a PDF number (experimental powder diffraction data):
9-97 The structure has been assigned a PDF number (calculated powder diffraction data):
01-072-2720 Structure type: AuCu3
Recording date: 10/1/2004
Modification date: 8/1/2011 ANX formula: NO3
Z: 1 Calculated density: 7.4
Pearson code: cP4
Wyckoff code: c a PDF code: 00-009-0097
Publication title: Effect of ternary additions on the room temperature lattice parameter of Ni3 Al
ICSD collection code: 105529 Structure: AuCu3
Chemical Name: Aluminium Nickel (1/3)
Second Chemical Formula: Al Ni3
References Structure: Blazina, Z., Physica Status Solidi, Sectio A: Applied
Research, 133, 231 - 235, (1992)
Peak list No. h k l d [A] 2Theta[deg] I [%]
1 0 0 1 3.57200 24.907 8.3
2 0 1 1 2.52579 35.513 6.2
3 1 1 1 2.06229 43.865 100.0
4 0 0 2 1.78600 51.100 45.1
5 0 1 2 1.59745 57.659 2.2
6 1 1 2 1.45826 63.772 1.5
7 0 2 2 1.26289 75.172 22.4
8 1 2 2 1.19067 80.624 0.5
9 0 1 3 1.12957 85.991 0.4
Structure
No. Name Elem. X Y Z Biso sof
Wyck.
1 NI1 Ni 0.00000 0.50000 0.50000 0.5000 1.0000
3c
2 AL1 Al 0.00000 0.00000 0.00000 0.5000 1.0000
1a
Stick Pattern
c. NiCr2O4
Name and formula Reference code: 98-008-4377
Compound name: Nickel Dichromate(III) Common name: Nickel Dichromate(III)
Chemical formula: Cr2Ni1O4
Crystallographic parameters Crystal system: Tetragonal
Space group: I 41/a m d
Space group number: 141
a (Å): 5.8370
b (Å): 5.8370
c (Å): 8.4300
Alpha (°): 90.0000
Beta (°): 90.0000
Gamma (°): 90.0000
Calculated density (g/cm^3): 5.24
Volume of cell (10^6 pm^3): 287.21
Z: 4.00
RIR: 2.90
Subfiles and quality
Subfiles: User Inorganic
Quality: User From Structure (=)
Comments
Creation Date: 1/19/1999
Modification Date: 12/30/1899 Original ICSD space group: I41/AMDZ. X-ray diffraction (powder)
Structure type: CdMn2O4. Temperature factors available Temperature in Kelvin: 298. Rietveld profile refinement applied
The structure has been assigned a PDF number (calculated powder diffraction data):
01-088-0109 Structure type: CdMn2O4
Recording date: 1/19/1999 ANX formula: AB2X4
Z: 4 Calculated density: 5.24
R value: 0.076
Pearson code: tI28 Wyckoff code: h c b
Publication title: Jumping crystals of the spinels Ni Cr2 O4 and Cu Cr2 O4 ICSD collection code: 84377
Structure: CdMn2O4
Chemical Name: Nickel Dichromate(III) Second Chemical Formula: Ni (Cr2 O4)
References
Structure: Schmid, H.;Kubel, F.;Crottaz, O., Journal of Materials Chemistry, 7, 143 - 146, (1997)
Peak list No. h k l d [A] 2Theta[deg] I [%]
1 0 1 1 4.79891 18.474 10.8
2 1 1 2 2.94899 30.284 33.8
3 0 2 0 2.91850 30.608 16.2
4 0 1 3 2.53188 35.425 45.2
5 1 2 1 2.49357 35.988 100.0
6 0 2 2 2.39946 37.451 7.0
7 0 0 4 2.10750 42.877 7.9
8 2 2 0 2.06369 43.834 15.0
9 1 2 3 1.91250 47.503 0.2
10 0 3 1 1.89583 47.947 0.1
11 0 2 4 1.70859 53.595 5.0
12 1 3 2 1.69080 54.205 9.4
13 0 1 5 1.61978 56.791 10.7
14 0 3 3 1.59964 57.573 6.4
15 2 3 1 1.58984 57.961 17.4
16 2 2 4 1.47449 62.989 28.4
17 0 4 0 1.45925 63.724 13.7
18 1 2 5 1.41628 65.898 0.1
19 2 3 3 1.40275 66.615 0.1
20 1 4 1 1.39613 66.973 0.0
21 1 3 4 1.38855 67.387 0.0
22 0 4 2 1.37895 67.920 0.0
23 1 1 6 1.33005 70.782 1.6
24 3 3 2 1.30789 72.167 1.4
25 2 4 0 1.30519 72.340 1.5
26 0 3 5 1.27417 74.393 2.8
27 0 2 6 1.26594 74.959 0.5
28 1 4 3 1.26430 75.074 4.3
29 2 4 2 1.24679 76.315 0.7
30 0 4 4 1.19973 79.892 1.1
31 0 1 7 1.17944 81.552 0.1
32 2 3 5 1.16773 82.547 0.0
33 3 4 1 1.15636 83.540 0.0
34 1 3 6 1.11797 87.104 1.4
35 2 4 4 1.10963 87.926 1.4
36 1 5 2 1.10471 88.419 1.4
37 1 2 7 1.09352 89.565 1.6
Structure
No. Name Elem. X Y Z Biso sof
Wyck.
1 O1 O 0.00000 0.50600 0.23870 2.4477 1.0000
16h
2 CR1 Cr 0.00000 0.00000 0.00000 3.7899 1.0000
8c
3 NI1 Ni 0.00000 0.25000 0.37500 1.4133 1.0000
4b
Stick Pattern
d. Cr2O3
Name and formula Reference code: 98-016-7286
Mineral name: Eskolaite, mesoporous Compound name: Eskolaite, mesoporous Common name: Eskolaite, mesoporous
Chemical formula: Cr2O3
Crystallographic parameters
Crystal system: Hexagonal Space group: R -3 c
Space group number: 167
a (Å): 4.9510
b (Å): 4.9510
c (Å): 13.5850
Alpha (°): 90.0000
Beta (°): 90.0000
Gamma (°): 120.0000
Calculated density (g/cm^3): 5.25
Volume of cell (10^6 pm^3): 288.39
Z: 6.00
RIR: 2.40
Subfiles and quality
Subfiles: User Inorganic User Mineral
Quality: User From Structure (=)
Comments Creation Date: 8/1/2010
Modification Date: 12/30/1899 Original ICSD space group: R3-CH
Structure type: Al2O3. Temperature factors available
Temperature in Kelvin: 255. Rietveld profile refinement applied. Neutron diffraction (powder)
Compound with mineral name: Eskolaite, mesoporous Structure type: Al2O3
Recording date: 8/1/2010 Mineral origin: synthetic
ANX formula: A2X3
Z: 6 Calculated density: 5.25
R value: 0.0323 Pearson code: hR10
Wyckoff code: e c
Publication title: Crystallographic and magnetic studies of mesoporous eskolaite, Cr2 O3 ICSD collection code: 167286
Structure: Al2O3 Chemical Name: Chromium Oxide - Mesoporous
Second Chemical Formula: Cr2 O3
References Structure: Kockelmann, W.;Zhou Wuzong;Dickinson, C.;Harrison,
A.;Hill, A.H., Microporous and Mesoporous Materials, 130, 280 - 286, (2010)
Peak list No. h k l d [A] 2Theta[deg] I [%]
1 0 1 2 3.62575 24.532 69.0
2 1 0 4 2.66226 33.637 100.0
3 1 1 0 2.47550 36.259 93.3
4 0 0 6 2.26417 39.780 7.1
5 1 1 3 2.17212 41.542 29.5
6 2 0 2 2.04443 44.269 6.4
7 0 2 4 1.81288 50.289 37.4
8 1 1 6 1.67073 54.910 92.5
9 2 1 1 1.60919 57.200 0.6
10 0 1 8 1.57881 58.405 1.3
11 1 2 2 1.57635 58.505 6.6
12 2 1 4 1.46261 63.560 30.0
13 0 3 0 1.42923 65.226 20.4
14 1 2 5 1.39181 67.208 0.3
15 2 0 8 1.33113 70.716 0.2
16 1 0 10 1.29505 72.997 15.5
17 1 1 9 1.28876 73.412 2.9
18 2 1 7 1.24392 76.523 0.2
19 2 2 0 1.23775 76.974 8.8
20 3 0 6 1.20858 79.190 3.4
21 2 2 3 1.19395 80.357 1.8
22 1 3 1 1.18466 81.118 0.1
23 1 2 8 1.17238 82.149 0.4
24 3 1 2 1.17138 82.235 3.6
25 0 2 10 1.14751 84.332 8.3
26 0 0 12 1.13208 85.754 2.3
27 1 3 4 1.12238 86.678 8.6
28 3 1 5 1.08941 89.995 0.1
Structure
No. Name Elem. X Y Z Biso sof
Wyck.
1 O1 O 0.30953 0.00000 0.25000 0.3395 1.0000
18e
2 CR1 Cr 0.00000 0.00000 0.15303 0.2606 1.0000
12c
Stick Pattern
B. Perhitungan Ukuran Kristal (D), Microstrain () dan Kerapatan Dislokasi
() Serbuk
B.1 NiCrAl
No
.
Pos.
[°2Th.]
d-
spacin
g [Å]
Theta
(rad)
Cos
theta
Tan
theta B D (nm) (%)
(line/nm2)
1 44.36 2.04 0.39 0.93 0.41 0.0063 23.51 0.0038 0.000028
2 44.47 2.04 0.39 0.93 0.41 0.0063 23.50 0.0039 0.000028
3 51.86 1.77 0.45 0.90 0.49 0.0061 24.63 0.0032 0.000026
4 76.28 1.25 0.67 0.79 0.79 0.0062 14.48 0.0038 0.000074
5 76.51 1.25 0.67 0.79 0.79 0.0121 14.63 0.0038 0.000073
avg 20.16 0.0037 0.000046
B.2 NiCrAl+Si
No. Pos.
[°2Th.]
d-
spacing
[Å]
Theta
(rad)
Cos
theta
Tan
theta B D (nm) (%) (line/nm2)
1 44.40 2.04 0.39 0.93 0.41 0.007 22.15 0.0041 3.18E-05
2 44.52 2.04 0.39 0.93 0.41 0.007 22.08 0.0041 3.19E-05
3 51.76 1.76 0.45 0.90 0.49 0.006 24.64 0.0032 2.57E-05
4 51.90 1.76 0.45 0.90 0.49 0.006 24.30 0.0032 2.63E-05
5 76.33 1.25 0.67 0.79 0.79 0.012 14.76 0.0038 7.15E-05
6 76.55 1.25 0.67 0.79 0.79 0.012 14.86 0.0037 7.04E-05
avg 20.47 0.0037 4.29E-05
B.3 NiCrAl+Y
No
.
Pos.
[°2Th.
]
d-
spacing
[Å]
Theta
(rad)
Cos
theta
Tan
theta B D (nm) (%)
(line/nm2)
1 44.44 2.04 0.39 0.93 0.41 0.006 23.41 0.0039 2.844E-05
2 44.55 2.04 0.39 0.93 0.41 0.006 23.31 0.0039 2.862E-05
3 51.79 1.76 0.45 0.90 0.49 0.006 25.96 0.0030 2.312E-05
4 51.93 1.76 0.45 0.90 0.49 0.006 25.72 0.0030 2.350E-05
5 76.34 1.25 0.67 0.79 0.79 0.012 14.55 0.0038 7.362E-05
6 76.56 1.25 0.67 0.79 0.79 0.012 14.51 0.0038 7.343E-05
avg 21.24 0.0036 4.18E-05
C. Perhitungan Ukuran Kristal (D), Microstrain () dan Kerapatan Dislokasi
() Lapisan
C.1 NiCrAl
Sebelum Oksidasi
No
.
Pos.
[°2Th.
]
d-
spacin
g [Å]
Theta
(rad)
cos
theta
tan
theta B
D (nm)
line/nm2
1 25.04 3.55 0.22 0.98 0.22 0.01 18.06 0.0089 0.000048
2 25.10 3.55 0.22 0.98 0.22 0.01 19.13 0.0083 0.000042
3 35.61 2.52 0.31 0.95 0.32 0.01 16.66 0.0068 0.000056
4 35.70 2.52 0.31 0.95 0.32 0.01 15.71 0.0072 0.000063
5 43.94 2.06 0.38 0.93 0.40 0.01 27.65 0.0034 0.000020
6 44.06 2.06 0.38 0.93 0.40 0.01 27.14 0.0034 0.000021
7 50.92 1.79 0.44 0.90 0.48 0.00 48.73 0.0017 0.000007
8 51.06 1.79 0.45 0.90 0.48 0.00 50.02 0.0016 0.000006
9 51.15 1.78 0.45 0.90 0.48 0.01 20.23 0.0040 0.000038
10 51.29 1.78 0.45 0.90 0.48 0.01 20.46 0.0039 0.000037
11 57.69 1.60 0.50 0.88 0.55 0.01 17.92 0.0040 0.000049
12 57.85 1.60 0.50 0.88 0.55 0.01 18.66 0.0038 0.000045
13 63.78 1.46 0.56 0.85 0.62 0.01 18.90 0.0035 0.000044
14 63.96 1.46 0.56 0.85 0.62 0.01 20.23 0.0032 0.000038
15 74.77 1.27 0.65 0.79 0.76 0.00 47.16 0.0012 0.000007
16 74.98 1.27 0.65 0.79 0.77 0.00 44.27 0.0013 0.000008
17 75.14 1.26 0.66 0.79 0.77 0.01 19.00 0.0030 0.000043
18 75.36 1.26 0.66 0.79 0.77 0.01 19.74 0.0029 0.000040
19 80.57 1.19 0.70 0.76 0.85 0.01 27.05 0.0020 0.000021
20 80.57 1.19 0.70 0.76 0.85 0.01 27.05 0.0020 0.000021
21 80.81 1.19 0.71 0.76 0.85 0.01 25.88 0.0021 0.000023
22 80.81 1.19 0.71 0.76 0.85 0.01 25.88 0.0021 0.000023
23 85.91 1.13 0.75 0.73 0.93 0.01 29.64 0.0017 0.000018
24 86.17 1.13 0.75 0.73 0.94 0.01 28.65 0.0018 0.000019
avg 26.41 0.0035 3.1E-05
Setelah Oksidasi
No.
Pos.
[°2Th.]
d-
spacing
[Å]
Theta
(rad)
cos
theta
tan
theta B
D (nm) line/nm2
1 25.16 3.54 0.22 0.98 0.22 0.01 23.65 0.0067 0.000027
2 25.22 3.54 0.22 0.98 0.22 0.01 23.93 0.0066 0.000027
3 35.79 2.51 0.31 0.95 0.32 0.01 16.66 0.0068 0.000056
4 35.88 2.51 0.31 0.95 0.32 0.01 14.79 0.0076 0.000071
5 44.12 2.05 0.39 0.93 0.41 0.00 63.78 0.0014 0.0000038
6 44.17 2.05 0.39 0.93 0.41 0.01 23.59 0.0039 0.000028
7 44.24 2.05 0.39 0.93 0.41 0.00 61.65 0.0015 0.0000041
8 44.28 2.05 0.39 0.93 0.41 0.01 23.94 0.0038 0.000027
9 51.37 1.78 0.45 0.90 0.48 0.00 69.27 0.0012 0.0000032
10 51.43 1.78 0.45 0.90 0.48 0.01 24.38 0.0033 0.000026
11 51.51 1.78 0.45 0.90 0.48 0.00 70.14 0.0011 0.0000032
12 51.56 1.78 0.45 0.90 0.48 0.01 24.48 0.0033 0.0000260
13 58.01 1.59 0.51 0.87 0.55 0.01 19.69 0.0036 0.0000402
14 58.16 1.59 0.51 0.87 0.56 0.01 20.41 0.0035 0.000037
15 64.14 1.45 0.56 0.85 0.63 0.01 19.82 0.0033 0.000039
16 64.32 1.45 0.56 0.85 0.63 0.01 20.15 0.0032 0.000038
17 75.50 1.26 0.66 0.79 0.77 0.00 53.51 0.0011 0.0000054
18 75.58 1.26 0.66 0.79 0.78 0.01 19.53 0.0029 0.000040
19 75.71 1.26 0.66 0.79 0.78 0.00 43.91 0.0013 0.0000081
20 75.80 1.26 0.66 0.79 0.78 0.01 18.85 0.0030 0.000043
21 81.06 1.19 0.71 0.76 0.85 0.01 24.37 0.0022 0.000026
22 81.06 1.19 0.71 0.76 0.85 0.01 24.37 0.0022 0.000026
23 81.30 1.19 0.71 0.76 0.86 0.01 25.82 0.0021 0.000023
24 81.30 1.19 0.71 0.76 0.86 0.01 25.82 0.0021 0.000023
25 86.45 1.12 0.75 0.73 0.94 0.01 23.32 0.0022 0.000028
26 86.72 1.12 0.76 0.73 0.94 0.01 23.55 0.0021 0.000028
avg 30.90 0.0032 0.000024
C.2 NiCrAl+Si
Sebelum Oksidasi
No
.
Pos.
[°2Th.
]
d-
spacing
[Å]
Theta
(rad)
cos
theta
tan
theta B
D (nm) (line/nm2)
1 25.02 3.56 0.22 0.98 0.22 0.004 32.52 0.0049 0.000014
2 25.08 3.56 0.22 0.98 0.22 0.005 30.63 0.0052 0.000016
3 35.64 2.52 0.31 0.95 0.32 0.009 15.65 0.0072 0.000063
4 35.73 2.52 0.31 0.95 0.32 0.010 15.28 0.0074 0.000066
5 43.74 2.07 0.38 0.93 0.40 0.005 30.43 0.0031 0.000016
6 43.86 2.07 0.38 0.93 0.40 0.005 31.07 0.0030 0.000016
7 44.01 2.06 0.38 0.93 0.40 0.005 28.99 0.0032 0.000018
8 44.13 2.06 0.39 0.93 0.41 0.005 29.13 0.0032 0.000018
9 50.94 1.79 0.44 0.90 0.48 0.005 30.00 0.0027 0.000017
10 51.08 1.79 0.45 0.90 0.48 0.005 31.15 0.0026 0.000016
11 51.26 1.78 0.45 0.90 0.48 0.005 30.00 0.0027 0.000017
12 51.40 1.78 0.45 0.90 0.48 0.005 30.18 0.0026 0.000017
13 57.83 1.59 0.50 0.88 0.55 0.007 24.02 0.0030 0.000027
14 57.99 1.59 0.51 0.87 0.55 0.006 26.18 0.0027 0.000022
15 63.96 1.45 0.56 0.85 0.62 0.007 24.83 0.0026 0.000025
16 64.14 1.45 0.56 0.85 0.63 0.006 25.64 0.0025 0.000023
17 74.87 1.27 0.65 0.79 0.77 0.006 27.83 0.0020 0.000020
18 75.09 1.27 0.66 0.79 0.77 0.007 25.39 0.0022 0.000024
19 75.39 1.26 0.66 0.79 0.77 0.007 23.99 0.0024 0.000027
20 75.61 1.26 0.66 0.79 0.78 0.007 24.85 0.0023 0.000025
21 80.86 1.19 0.71 0.76 0.85 0.006 29.35 0.0018 0.000018
22 80.86 1.19 0.71 0.76 0.85 0.006 29.35 0.0018 0.000018
23 81.10 1.19 0.71 0.76 0.86 0.006 29.34 0.0018 0.000018
24 81.10 1.19 0.71 0.76 0.86 0.006 29.34 0.0018 0.000018
25 86.24 1.13 0.75 0.73 0.94 0.007 27.39 0.0019 0.000020
26 86.51 1.13 0.75 0.73 0.94 0.007 28.11 0.0018 0.000019
avg 27.33 0.0031 0.00002
Setelah Oksidasi
No.
Pos.
[°2Th.]
d-
spacing
[Å]
Theta
(rad)
cos
theta
tan
theta B
D (nm) line/nm2
1 25.13 3.54 0.22 0.98 0.22 0.01 23.50 0.0068 0.000028
2 25.19 3.54 0.22 0.98 0.22 0.01 23.38 0.0068 0.000028
3 35.74 2.51 0.31 0.95 0.32 0.01 12.64 0.0089 0.000097
4 35.83 2.51 0.31 0.95 0. 32 0.01 10.06 0.0112 0.00015
5 43.61 2.07 0.38 0.93 0.40 0.00 83.52 0.0011 0.0000022
6 43.72 2.07 0.38 0.93 0.40 0.00 82.95 0.0011 0.0000023
7 44.10 2.05 0.38 0.93 0.41 0.01 29.29 0.0032 0.000018
8 44.22 2.05 0.39 0.93 0.41 0.00 31.52 0.0029 0.000015
9 50.76 1.80 0.44 0.90 0.47 0.00 118.76 0.0007 0.0000011
10 50.89 1.80 0.44 0.90 0.48 0.00 112.54 0.0007 0.0000012
11 51.34 1.78 0.45 0.90 0.48 0.00 70.11 0.0011 0.0000032
12 51.48 1.78 0.45 0.90 0.48 0.00 52.75 0.0015 0.0000056
13 57.91 1.59 0.51 0.88 0.55 0.01 16.10 0.0044 0.000060
14 58.06 1.59 0.51 0.87 0.56 0.01 15.66 0.0046 0.000063
15 64.03 1.45 0.56 0.85 0.63 0.01 15.69 0.0042 0.000063
16 64.20 1.45 0.56 0.85 0.63 0.01 19.44 0.0034 0.000041
17 74.49 1.27 0.65 0.80 0.76 0.00 110.06 0.0005 0.0000013
18 74.71 1.27 0.65 0.79 0.76 0.00 125.81 0.0005 0.0000010
19 75.44 1.26 0.66 0.79 0.77 0.01 30.13 0.0019 0.000017
20 75.66 1.26 0.66 0.79 0.78 0.01 27.77 0.0020 0.000020
21 80.90 1.19 0.71 0.76 0.85 0.00 37.28 0.0014 0.000011
22 80.90 1.19 0.71 0.76 0.85 0.00 37.28 0.0014 0.000011
23 81.14 1.19 0.71 0.76 0.86 0.01 35.99 0.0015 0.0000120
24 81.14 1.19 0.71 0.76 0.86 0.01 35.99 0.0015 0.0000120
25 86.27 1.13 0.75 0.73 0.94 0.01 35.72 0.0014 0.000012
26 86.54 1.13 0.76 0.73 0.94 0.01 35.26 0.0014 0.000012
avg 47.28 0.003 0.00002
C.3 NiCrAl+Y
Sebelum Oksidasi
No.
Pos.
[°2Th.]
d-
spacing
[Å]
Theta
(rad)
cos
theta
tan
theta B
D (nm) line/nm2
1 25.08 3.55 0.22 0.98 0.22 0.00 44.06 0.0036 0.0000080
2 25.15 3.55 0.22 0.98 0.22 0.00 45.27 0.0035 0.0000076
3 35.72 2.51 0.31 0.95 0.32 0.01 21.45 0.0053 0.000033
4 35.81 2.51 0.31 0.95 0.32 0.01 21.73 0.0052 0.000032
5 43.99 2.06 0.38 0.93 0.40 0.00 84.39 0.0011 0.0000022
6 44.09 2.05 0.38 0.93 0.40 0.00 30.98 0.0030 0.000016
7 44.11 2.06 0.38 0.93 0.41 0.00 77.09 0.0012 0.0000026
8 44.20 2.05 0.39 0.93 0.41 0.00 30.85 0.0030 0.000016
9 51.23 1.78 0.45 0.90 0.48 0.00 78.84 0.0010 0.0000025
10 51.34 1.78 0.45 0.90 0.48 0.00 31.48 0.0025 0.000015
11 51.36 1.78 0.45 0.90 0.48 0.00 92.52 0.0009 0.0000018
12 51.48 1.78 0.45 0.90 0.48 0.00 31.19 0.0026 0.0000160
13 57.92 1.59 0.51 0.87 0.55 0.01 25.94 0.0028 0.000023
14 58.08 1.59 0.51 0.87 0.56 0.01 25.88 0.0028 0.000023
15 64.05 1.45 0.56 0.85 0.63 0.01 28.24 0.0023 0.000019
16 64.23 1.45 0.56 0.85 0.63 0.01 30.29 0.0022 0.0000170
17 75.30 1.26 0.66 0.79 0.77 0.00 65.83 0.0009 0.0000036
18 75.49 1.26 0.66 0.79 0.77 0.01 28.09 0.0020 0.000019
19 75.52 1.26 0.66 0.79 0.77 0.00 66.95 0.0008 0.0000035
20 75.71 1.26 0.66 0.79 0.78 0.01 27.75 0.0020 0.000020
21 80.97 1.19 0.71 0.76 0.85 0.01 35.03 0.0015 0.000012
22 80.97 1.19 0.71 0.76 0.85 0.01 35.03 0.0015 0.000012
23 81.21 1.19 0.71 0.76 0.86 0.01 34.09 0.0016 0.000013
24 81.21 1.19 0.71 0.76 0.86 0.01 34.09 0.0016 0.000013
25 86.36 1.13 0.75 0.73 0.94 0.01 36.49 0.0014 0.000011
26 86.62 1.13 0.76 0.73 0.94 0.01 36.48 0.0014 0.000011
avg 42.31 0.0022 0.000013
Setelah Oksidasi
No.
Pos.
[°2Th.]
d-
spacing
[Å]
Theta
(rad)
cos
theta
tan
theta B
D (nm) line/nm2
1 24.96 3.56 0.22 0.98 0.22 0.01 17.95 0.0089 0.000048
2 25.03 3.56 0.22 0.98 0.22 0.01 18.36 0.0087 0.000046
3 35.53 2.52 0.31 0.95 0.32 0.01 9.98 0.0114 0.00015
4 35.62 2.52 0.31 0.95 0.32 0.02 8.90 0.0127 0.00019
5 43.69 2.07 0.38 0.93 0.40 0.00 37.72 0.0025 0.000011
6 43.80 2.07 0.38 0.93 0.40 0.00 37.41 0.0025 0.000011
7 43.85 2.06 0.38 0.93 0.40 0.01 23.37 0.0040 0.000028
8 43.97 2.06 0.38 0.93 0.40 0.01 23.19 0.0040 0.000028
9 50.87 1.79 0.44 0.90 0.48 0.00 45.07 0.0018 0.0000077
10 51.00 1.79 0.45 0.90 0.48 0.00 48.18 0.0017 0.0000067
11 51.06 1.79 0.45 0.90 0.48 0.00 35.55 0.0023 0.000012
12 51.19 1.79 0.45 0.90 0.48 0.00 39.68 0.0020 0.0000099
13 57.59 1.60 0.50 0.88 0.55 0.01 13.40 0.0054 0.000086
14 57.75 1.60 0.50 0.88 0.55 0.01 13.05 0.0055 0.000091
15 63.68 1.46 0.56 0.85 0.62 0.01 12.79 0.0051 0.000095
16 63.85 1.46 0.56 0.85 0.62 0.01 12.99 0.0050 0.000092
17 74.71 1.27 0.65 0.79 0.76 0.00 37.19 0.0015 0.000011
18 74.93 1.27 0.65 0.79 0.77 0.01 34.67 0.0016 0.000012
19 75.02 1.27 0.65 0.79 0.77 0.01 17.82 0.0032 0.000049
20 75.24 1.27 0.66 0.79 0.77 0.01 17.71 0.0032 0.000049
21 80.44 1.19 0.70 0.76 0.85 0.01 22.26 0.0024 0.000031
22 80.44 1.19 0.70 0.76 0.85 0.01 22.26 0.0024 0.000031
23 80.68 1.19 0.70 0.76 0.85 0.01 21.94 0.0024 0.000032
24 80.68 1.19 0.70 0.76 0.85 0.01 21.94 0.0024 0.000032
25 85.78 1.13 0.75 0.73 0.93 0.01 26.71 0.0019 0.000021
26 86.04 1.13 0.75 0.73 0.93 0.01 28.68 0.0018 0.000018
avg 24.95 0.0041 0.000047