Upload
hoanghanh
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 3
ANALISIS STRUKTURAL CERPEN DAN PEMBACAAN
PSIKOANALISIS
3.1 Analisis Struktural Cerpen Ratapan Anak Tiri
Analisis struktural yang penulis lakukan dalam menganalisis cerpen
Ratapan Anak Tiri ini dibatasi hanya pada analisis alur, tokoh, dan latar. Ketiga
unsur tersebut merupakan fakta cerita yang dibutuhkan untuk kemudian
dilanjutkan dengan analisis menggunakan pendekatan psikoanalisis. Langkah
untuk menganalisis struktural adalah dengan cara analisis sintaksis, analisis
semantik, dan analisis verbal.
3.1.1 Analisis Sintaksis
Analisis sintaksis dilakukan untuk mengetahui alur dan pengaluran cerpen
Ratapan Anak Tiri . Pengaluran dapat diketahui dengan cara merumuskan sekuen,
setelah megetahui pengaluran maka dirumuskan alur dengan menggunakan fungsi
utama.
3.1.1.1 Pengaluran
Secara detail cerita ini dimulai dari tokoh sahabat yang bercerita tentang
seorang anak yang tak pernah dicium pipinya dan mencium pipi orang lain (S1).
Tokoh aku berpikir bahwa dia sayang pada temannya karena suka mendongeng
yang bukan-bukan (S2). Diam-diam tokoh Aku mendengarkan ceritanya sekarang
adalah agar dia mendapatkan bahan cerita untuk tugas dari penerbitan (S3). Hal
ini membuat tokoh Aku serius mendengarkan cerita sahabatnya (S4). Tokoh Aku
menanyakan tentang kebenaran cerita sahabatnya (S5). Tokoh Sahabat
meyakinkan bahwa ceritanya kali ini masuk akal (S6). Tokoh Aku memancing
sahabatnya untuk bercerita agar bersemangat (S7). Lalu sahabatnya meneruskan
cerita tentang anak itu yang diasuh oleh ibu tirinya karena ibu kandungnya
meninggal waktu anak itu masih bayi (S8). Tokoh Aku menanyakan, apakah anak
itu tidak pernah dicium ibu tirinya (S9). Belum selesai bercerita mereka didatangi
oleh seorang anak yang mengemis karena mereka duduk diperon stasiun kereta
api dekat kampusnya (S10). Tokoh Sahabat memberikan uang receh pada anak itu
dan berjanji akan memberikan tambahan besok kalau ke kampus lagi (S11).
Kemudian tokoh Sahabat meneruskan ceritanya bahwa ibu tiri itu sayang pada
anak itu tapi tak pernah mencium pipi anaknya, ibunya hanya mencium pipi
suaminya (S12). Tokoh Aku diam saja dan merasa mendapatkan bahan untuk
menulis (S13). Tokoh Sahabat meneruskan ceritanya bahwa anak itu
mendambakan ciuman di pipinya bahkan ayahnya sendiri tak pernah
memberikannya karena sibuk mencium pipi ibu tirinya (S14). Tokoh Aku berpikir
kalau ceritanya sudah tamat, tapi ternyata belum (S15). Tokoh Sahabat
meneruskan cerita tentang anak itu bahwa pada suatu hari pernah diberi tugas
mengarang dengan tema bebas dan anak itu kebingungan karena selama ini tidak
diberi kebebasan (S16). Tokoh Aku beringsut sedikit mendekati sahabatnya (S17).
Sahabatnya menanyakan permen karena mulutnya bau (S18). Tokoh Aku
merogoh saku dan mengulurkan sebiji permen kembalian dari kantin (S19).
Sahabatnya meneruskan cerita dengan permen dimulutnya, suaranya persis seperti
nenek tokoh aku ketika menceritakan dongeng kancil sebelum tidur (S20). Tokoh
Sahabat bertanya sudah sampai mana ceritanya dan dijawab oleh tokoh Aku
bahwa ceritnya belum sampai mana-mana (S21). Anak tiri itu ditugaskan
membuat karangan bertema bebas dan pada esok harinya, diperintahkan oleh guru
untuk membacakan karangannya keras-keras (S22). Belum selesai dibacakan bu
guru memberhentikannya karena katanya alur, tokoh dan perwatakannya tidak
jelas (S23). Tokoh Aku menahan diri agar tidak berbuat apapun dan sahatnya
mengerti tentang tindakan tokoh aku (S24). Lalu minggu berikutnya anak itu
disuruh membacakan karangan baru, lagi-lagi guru menyetopnya, dan menyuruh
anak itu membuat karangan baru (S25). Tiba-tiba mereka mendengar suara peluit
petugas peron dan mereka bangkit untuk melihat kereta (S26). Tokoh aku agak
kecewa karena ceritanya belum selesai (S27). Tokoh Aku lega karena ternyata
kereta yang datang bukan kereta yang mereka tunggu, jadi cerita bisa dilanjutkan
(S28). Tokoh Sahabat melanjutkan cerita si anak itu, bahwa sesampainya dirumah
anak itu melihat ayahnya mencium pipi ibu tirinya dan sebaliknya dengan ibu
tirinya dan anak itu tak pernah mendapatkan bagian (S29). Anak itu meratapi
nasibnya dan harus mengarang apa lagi buat di sekolah (S30). Bu Gurunya tidak
mau mengerti penderitaan si anak (S31). Si anak berpikir bahwa Bu Guru pasti
pernah mendapat ciuman di pipinya karena cantik (S32). Si anak berpikir untuk
mencium pipi Bu Guru (S33). Anak itu bingung tak tahu apa yang harus
dilakukan (S34). Tokoh Aku mendesak pada sahabatnya agar melanjutkan
ceritanya (S35). Si anak bingung, soalnya ia tahu benar betapa beratnya keinginan
untuk dicium pipi dan mencium pipi orang (S36). Anak itu berpikir jika ayah dan
ibu tirinya tidak bisa menciumnya, apa dia harus mencium pipinya sendiri (S37).
Tokoh Aku bertanya tentang nasib anak itu karena ceritanya beda (S38). Tokoh
Aku beranggapan bahwa kisah anak tiri selalu berakhir dengan kebahagian anak
itu dan pertobatan ibu tiri (S39). Si anak akhirnya memutuskan untuk menulis
karangan mengenai seorang anak yang ingin mencium pipinya sendiri tetapi tidak
bisa meskipun jarak pipi dan bibirnya berdekatan (S40). Si anak yakin bisa
menulis karangan seperti itu dan yakin kalau Bu Guru akan puas mendengarnya
(S41). Tokoh Aku berpikir bahwa anak itu telah membohongi dirinya sendiri dan
tokoh Aku sudah terbawa cerita hingga diam-diam beranggapan bahwa anak itu
benar-benar ada (S42). Bunyi lonceng dari lintasan terdengar yang menandakan
kereta sudah tiba dan kereta yang sekarang adalah kereta yang ditunggu oleh
tokoh Aku (S43). Tokoh Aku heran karena gerbong sepi tetapi akhirnya sadar
bahwa hari sudah lewat magrib (S44). Sesampainya di rumah, tokoh Aku
langsung ke kamara mandi karena kegerahan, telanjang bulat, dan menyaksikan
dirinya sendiri di cermin kamar mandi (S45). Tokoh Aku sadar bahwa memang
tidak mungkin mencium pipi sendiri, bahkan di dalam cermin, sebab yang kena
cium pasti bayangan bibir sendiri bukan pipi (S46). Dan akhirnya tokoh aku
bertanya untuk pertama kalinya, kenapa bayanganku di cermin itu terbalik, yang
kiri di kanan dan kanan di kiri (S47).
3.1.1.2 Alur
Untuk melihat alur cerpen ini, terlebih dahulu harus melihat fungsi-fungsi
utama cerpen ini. Adapun urutan fungsi utama itu sebagai berikut:
1) Penceritaan sahabat kepada tokoh aku mengenai anak yang merindukan
ciuman di pipinya.
2) Tokoh aku mendengarkan cerita sahabat karena kebetulan lagi ada tugas
menulis cerita dari penerbitan.
3) Si anak di ceritakan diasuh oleh ibu tirinya karena ibunya sendiri telah
meninggal dan ibu tirinya tak pernah mencium pipinya.
4) Mereka bercerita diperon stasiun kereta api dekat kampus sampai hampir
magrib dan sedang aysik bercerita mereka didatangi anak kecil mengemis
kemudian mereka memebri recehan.
5) Cerita berlanjut mengenai anak itu, Ibu tirinya sayang pada anak itu tapi
kerjanya menciumi pipi suaminya sehingga anak itu tidak pernah
mendapat bagian.
6) Dengan lanjutan cerita itu tokoh aku merasa punya bahan untuk penulisan
cerita.
7) Sebenarnya anak itu mendambakan ciuman di pipinya. Bahkan seorang
ayahnya sendiri pun tidak sempat mencium pipiny sebab setiap hari sibuk
mencium pipi bininya yang kedua itu.
8) Tokoh aku berpikir bahwa ceritanya berakhir sampai sini, padahal belum
berakhir.
9) Pada suatu hari anak itu mendapat tugas dari guru bahasa untuk
mengarang, temanya bebas. Anak itu bingung karena selama ini tidak
pernah di beri kebebasan, termasuk dalam menentukan tema karangan.
10) Tokoh aku beringsut mendekati sahabat dan memberi permen atas
permintaan sahabatnya karena mulutt sahabatnya bau.
11) Esok harinya anak itu membacakan karangannya keras-keras didepan
kelas, isinya tentang teman-temanya yang ingin saling mencium.
12) Guru menyetopnya karena guru beranggapan alurnya tidak jelas,
perwatakan lemah, terlalu banyak tokoh tanpa peristiwa. Dan guru itu
menyuruh untuk memperbaiki tulisan.
13) Sedang disisi lain tokoh aku tetap setia mendengarkan cerita sahabatnya
dengan menahan diri untuk tidak berbuat apa pun.
14) Minggu berikutnya anak itu pun kembali melisankan karangannya yang
isinya tidak terlalu jauh dengan sebelumnya yaitu mengenai teman-
temanya yang saling cium pipi.
15) Guru menyetop lagi dan berkata pada anak itu untuk memperbaiki
kembali karangannya.
16) Teman-teman sekelasnya diam saja, semua saling bertatapan karena yang
disebutkan dalam cerita adalah nama-nama mereka. Tapi mereka
membiarkan anak itu.
17) Ditempat bercerita tiba-tiba bunyi peluit petugas peron berbunyi yang
menandakan kereta sudah tiba, tokoh aku sedikit kecewa karena cerita
belum selesai tapi beruntung kereta yang tiba bukan yang mereka tunggu,
jadi cerita berlanjut.
18) Sesampainya dirumah anak itu menyaksikan lagi ayahnya sedang
mencium pipi ibu tirinya dan kemudain bergantian. Anak itu tak pernah
mendapatkan bagian.
19) Anak itu meratapi nasibnya, dia bingung harus mengarang apalagi buat di
bawa ke sekolah, yang dia bacakan sudah yang terbaik.
20) Anak itu berpikir untuk mencium pipinya sendiri karena ayah dan ibunya
tidak pernah mencium dan menyiadakan pipi untuknya.
21) Tokoh aku berpikir kalau kisah mengenai anak tiri selalu berakhir dengan
kebahagiaan dan pertobatan ibu tiri.
22) Anak itu memutuskan untuk menulis cerita tentang seorang anak yang
ingin mencium pipinya sendiri tetapi tidak bisa meskipun bibir dan pipinya
berdekatan bahkan tidak berjarak.
23) Tokoh aku rupanya sudah terbawa cerita sahabatnya dan berpikir bahwa
anak itu telah membohongi dirinya sendiri.
24) Sesampainya dirumah, tokoh aku langsung ke kamar mandi dan telanjang
bulat, menyaksikan dirinya sendiri di cermin kamar mandi dan sadar
bahwa tidak mungkin mencium pipi sendiri, bahkan dalan cermin, sebab
yang kena cium pasti bayangan bibir sendiri, bukan bayangan pipi.
25) Dan akhirnya tokoh aku bertanya, kenapa bayangannya dicermin itu
terbalik, yang kiri di kanan dan kanan di kiri.
Berikut alur yang terdapat dalam cerpen ini berdasarkan fungsi utama.
Penceritaan sahabat kepada tokoh aku mengenai anak yang merindukan ciuman
di pipinya. Tokoh aku mendengarkan cerita sahabat karena kebetulan lagi ada
tugas menulis cerita dari penerbitan. Si anak di ceritakan diasuh oleh ibu tirinya
karena ibunya sendiri telah meninggal dan ibu tirinya tak pernah mencium pipinya.
Mereka bercerita diperon stasiun kereta api dekat kampus sampai hampir magrib
dan sedang aysik bercerita mereka didatangi anak kecil mengemis kemudian
mereka memebri recehan. Cerita berlanjut mengenai anak itu, Ibu tirinya sayang
pada anak itu tapi kerjanya menciumi pipi suaminya sehingga anak itu tidak
pernah mendapat bagian. Dengan lanjutan cerita itu tokoh aku merasa punya
bahan untuk penulisan cerita. Sebenarnya anak itu mendambakan ciuman di
pipinya. Bahkan seorang ayahnya sendiri pun tidak sempat mencium pipiny sebab
setiap hari sibuk mencium pipi bininya yang kedua itu. Tokoh aku berpikir bahwa
ceritanya berakhir sampai sini, padahal belum berakhir. Pada suatu hari anak itu
mendapat tugas dari guru bahasa untuk mengarang, temanya bebas. Anak itu
bingung karena selama ini tidak pernah di beri kebebasan, termasuk dalam
menentukan tema karangan. Tokoh aku beringsut mendekati sahabat dan memberi
permen atas permintaan sahabatnya karena mulutt sahabatnya bau. Esok harinya
anak itu membacakan karangannya keras-keras didepan kelas, isinya tentang
teman-temanya yang ingin saling mencium. Guru menyetopnya karena guru
beranggapan alurnya tidak jelas, perwatakan lemah, terlalu banyak tokoh tanpa
peristiwa. Dan guru itu menyuruh untuk memperbaiki tulisan. Sedang disisi lain
tokoh aku tetap setia mendengarkan cerita sahabatnya dengan menahan diri untuk
tidak berbuat apa pun. Minggu berikutnya anak itu pun kembali melisankan
karangannya yang isinya tidak terlalu jauh dengan sebelumnya yaitu mengenai
teman-temanya yang saling cium pipi. Guru menyetop lagi dan berkata pada anak
itu untuk memperbaiki kembali karangannya. Teman-teman sekelasnya diam saja,
semua saling bertatapan karena yang disebutkan dalam cerita adalah nama-nama
mereka. Tapi mereka membiarkan anak itu. Ditempat bercerita tiba-tiba bunyi
peluit petugas peron berbunyi yang menandakan kereta sudah tiba, tokoh aku
sedikit kecewa karena cerita belum selesai tapi beruntung kereta yang tiba bukan
yang mereka tunggu, jadi cerita berlanjut. Sesampainya dirumah anak itu
menyaksikan lagi ayahnya sedang mencium pipi ibu tirinya dan kemudain
bergantian. Anak itu tak pernah mendapatkan bagian. Anak itu meratapi nasibnya,
dia bingung harus mengarang apalagi buat di bawa ke sekolah, yang dia bacakan
sudah yang terbaik. Anak itu berpikir untuk mencium pipinya sendiri karena ayah
dan ibunya tidak pernah mencium dan menyiadakan pipi untuknya. Tokoh aku
berpikir kalau kisah mengenai anak tiri selalu berakhir dengan kebahagiaan dan
pertobatan ibu tiri. Anak itu memutuskan untuk menulis cerita tentang seorang
anak yang ingin mencium pipinya sendiri tetapi tidak bisa meskipun bibir dan
pipinya berdekatan bahkan tidak berjarak. Tokoh aku rupanya sudah terbawa
cerita sahabatnya dan berpikir bahwa anak itu telah membohongi dirinya sendiri.
Sesampainya dirumah, tokoh aku langsung ke kamar mandi dan telanjang bulat,
menyaksikan dirinya sendiri di cermin kamar mandi dan sadar bahwa tidak
mungkin mencium pipi sendiri, bahkan dalan cermin, sebab yang kena cium
pasti bayangan bibir sendiri, bukan bayangan pipi.
Dan akhirnya tokoh aku bertanya, kenapa bayangannya dicermin itu terbalik,
yang kiri di kanan dan kanan di kiri.
3.1.2 Analisis Semantik
Aspek semantik dilakukan untuk mengetahui tokoh dan latar dalam cerpen
Ratapan Anak Tiri. Analisis tersebut merupakan penafsiran sebagian yang
biasanya memberi intensitas lebih pada analisis tokoh. Tokoh-tokoh yang
digambarkan seorang pengarang merupakan kondensi mimetik, karena
referensinya adalah manusia-manusia dengan sifat, sikap, karakter dan tingkah
laku tetentu.
3.1.2.1 Tokoh
Setiap cerpen pasti memiliki tokoh atau pelaku yang diciptakan oleh
pengarang untuk mengusung sebuah cerita. Penciptaan dengan segala perwatakan
dan berbagai jati dirinya disebut penokohan.
Tokoh cerita menurut Abrams ( dalam Nurgiyantoro, 1995: 165) adalah
orang yang ditampilkan dalam suatu karya sastra yang oleh pembacanya
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Berikut ini adalah tokoh-tokoh dari cerpen Ratapan Anak Tiri :
1) Aku
Tokoh Aku tidak digambarkan secara fisik. Tokoh Aku bisa ditebak masih
muda penuh semangat karena merupakan seorang mahasiswa sekaligus penulis
disebuah penerbitan. Hal ini tergambar pada kutipan berikut:
Kami diam, mencari-cari koin go-cap tetapi ternyata tak punya. Jadi kami janji pada anak kecil itu untuk menambah kekurangannya besok kalau ke kampus lagi….( Damono, 2003: 69) …Aku diam saja, itu tandanya bahwa aku mendengarkannya—begitu mungkin pikirnya. Kebetulan aku memang sedang memerlukan cerita, dipesan agar menulis cerita untuk sebuah penerbitan. Siapa tahu dongeng sahabatku itu bisa kujadikan bahan cerita (Damono, 2003: 68)
Sebagai seorang penulis, tokoh Aku merupakan pendengar yang baik bagi
cerita sahabatnya, karena tokoh Aku beranggapan cerita-cerita itu bisa dijadikan
bahan cerita untuk tulisan-tulisannya. Selain itu, tokoh Aku digambarkan secara
tidak langsung sebagai orang yang baik hati, tersirat dalam peristiwa ketika
member uang pada pengemis.
Kami diam, mencari-cari koin go-cap tetapi ternyata tak punya. Jadi kami janji pada anak kecil itu untuk menambah kekurangannya besok kalau ke kampus lagi….( Damono, 2003: 69)
2) Sahabat
Tokoh sahabat diceritakan sebagai orang yang bercerita yang bukan-bukan
sekaligus sebagai pencerita tentang ratapan anak tiri kepada tokoh aku. Dapat
dilihat dari kutipan berikut.
“Hatta, maka pada zaman ini ada seorang anak yang merindukan ciuman di pipinya,” demikian sahabatku memulai dongengnya,…(Damono, 2003: 68)
Aku sayang pada sahabatku itu karena ia suka mendongeng yang bukan-bukan…( Damono, 2003: 68)
Sifatnya bisa ditafsirkan sebagai orang yang luwes dan suka mengarang
cerita. Penulis berpandapat bahwa ia bukan seorang pembohong tapi tokoh
sahabat ini sebagai penulis juga, diambil dari deskripsi bahwa dia suka bercerita
yang bukan-bukan, dapat diartikan sebagai penulis cerita fiksi.
3) Anak Tiri
Anak tiri dalam cerpen ini sebagai tokoh yang melakoni peran dalam cerita
sahabat kepada tokoh aku tentang ratapan anak tiri. Anak tiri ini digambarkan
sebagai anak tiri yang merindukan ciuman di pipinya, karena selama hidupnya tak
pernah merasakan pipinya dicium dan tak pernah mencium pipi orang. Bahkan
oleh ibu tiri dan ayahnya sendiri ia tak pernah dicium atau mencium pipi mereka.
“Jadi ia mendambakan ciuman di pipinya. Bahkan ayahnya sendiri pun tidak sempat mencium pipinya sebab setiap hari sibuk mencium pipi bininya yang kedua itu. ” ( Damono, 2003: 70)
4) Ibu Tiri
Gambaran ibu tiri dalam cerpen ini tidak kejam seperti ibu tiri dalam
dongeng-dongeng. Justru ibu tiri ini sayang pada anak tirinya tapi yang menjadi
konflik adalah anak itu tak pernah mendapat ciuman di pipinya. Hal ini mungkin
sepele tapi sangat menyiksa batin anak tirinya.
“begini, maksudku ibu tiri itu memang sayang padanya tetapi karena kerjanya tak lain mencium pipi suaminya, ya, anaknya tidak mendapat bagian.” ( Damono, 2003: 69)
5) Ayah
Tokoh ayah dalam cerpen ini tidak digambar secara terang. Ia adalah
seorang ayah yang menikah lagi ketika istrinya sudah meninggal, jadi
memberikan ibu tiri bagi anaknya. Ia sangat sayang pada istri keduanya hingga
lupa mencium pipi anak kandungnya sendiri. Dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Jadi ia mendambakan ciuman di pipinya. Bahkan ayahnya sendiri pun tidak sempat mencium pipinya sebab setiap hari sibuk mencium pipi bininya yang kedua itu. ” ( Damono, 2003: 70)
6) Bu Guru
Secara fisik Bu Guru digambarkan sebagai perempuan cantik. Ia pun
disebutkan sebagai guru bahasa. Hal ini bisa dilihat dalam kutipan berikut.
…pipi Bu Guru tentu pernah kena cium banyak orang karena cantik, tetapi kan tidak pantas jika kutulis bahwa aku juga ingin mencium pipi Bu Guru.’ …( Damono, 2003: 72)
7) Teman-teman Anak Tiri
Mereka hanya disebutkan sebagai teman-teman anak tiri di sekolah.
Mereka disebutkan satu per satu dalam karangan yang dibuat oleh anak tiri itu.
8) Pengemis
Pengemis dalam cerpen ini adalah seorang anak kecil yang mengamen
dengan tutup botol kecap yang ditancapkan pada sebilah kayu. Ia merupakan
sebuah gambaran kehidupan di stasiun kereta.
Kami duduk di peron sebuah stasiun kereta api yang jalurnya menerobos kampus. Hampir magrib, stasiun sudah agak sepi. Masih ada juga anak kecil yang mengemis dengan bekal beberapa tutup botol kecap yang dipaku di ujung sebilah
bamboo, yang dipukul-pukulkan ke telapak tanganny sendiri sehingga terdengar bunyi crek-crek…(Damono, 2003: 69)
3.1.2.2 Latar
Latar merupakan unsur yang harus ada dalam sebuah cerpen. Mengutip
pendapat Abrams, Nurgiyantoro ( 1995: 216) mendefinisikan latar sebagai
landasan tumpu, menyarankan pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadi peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Analisis latar meliputi tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial.
Latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan ( Abrams dalam Nurgiyantoro,1995: 216).
Adapun unsur latar dalam analisis pada penelitian ini adalah latar tempat,
latar waktu, dan latar sosial.
3.1.2.2.1 Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 1995: 227). Berikut merupakan latar
tempat yang terdapat dalam cerpen Ratapan Anak Tiri yang penulis temukan.
1. Peron Stasiun Keteta Api
Kami duduk di peron sebuah stasiun kereta api yang jalurnya menerobos kampus. Hampir magrib, stasiun sudah agak sepi. Masih ada juga anak kecil yang mengemis dengan bekal beberapa tutup botol kecap yang dipaku di ujung sebilah bambu, yang dipukul-pukulkan ke telapak tangannya sendiri sehingga terdengar bunyi crek-crek…(Damono, 2003: 69)
2. Ruang Kelas
“jadi esok harinya anak itu membacakan karangannya keras-keras di depan kelas,…”(Damono, 2003: 70)
3. Kamar Mandi
Sesampai di rumah aku langsung ke kamar mandi karena kegerahan. aku sadar bahwa memang tidak mungkin mencium pipi sendiri, bahkan di dalam cermin,…(Damono, 2003: 73)
4. Gerbong Kereta Api
…Aku heran kenapa gerbong sesepi itu, tidak seperti biasanya. Aku rupanya lupa bahwa hari sudah lewat magrib dan kereta dari Bogor memang cenderung sepi di sore hari. (Damono, 2003: 72)
5. Rumah Anak Tiri
…sesampai di rumah anak itu menyaksikan lagi ayahnya sedang mencium pipi ibu tirinya dan kemudian ganti pipi ayahnya dicium ibu tirinya. Ia tidak mendapat apa-apa… (Damono, 2003: 72)
3.1.2.2.2 Latar Sosial
Latar sosial menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Latar sosial menginformasikan mekanisme sosial yang mencakup berbagai
masalah dalam lingkup yang kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat
istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan
lainnya yng tergolong dalam latar spritual. Latar sosial merupakan bagian latar
secara keseluruhan sebab merupakan kepaduan dari kedua unsur latar yang
lainnya, yaitu latar tempat dan waktu (Nurgiyantoro, 1995: 235-236)
Latar sosial yang penulis temukan dalam cerpen ini adalah kehidupan
mahasiswa yang digambarkan seorang penulis dan setiap hari pulang pergi naik
kereta api. Kehidupan stasiun pun sedikit digambarkan dengan adanya suasana
pengemis dan suara-suara peluit petugas peron. Gambaran kehidupan seorang
anak tiri dalam keluarga menambah latar yang membuat cerita ini menjadi hidup.
3.1.3 Analisis Verbal
Aspek terakhir yang diperlukan dalam analisis adalah aspek verbal. Aspek
verbal merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui kehadiran pencerita.
Kehadiran pencerita dibagi ke dalam dua wilayah, yaitu pencerita ekstern dan
pencerita intern. Selain mengklarifikasi wilayah pencerita, aspek verbal juga
menganalisis bagaimana penceritaan itu digunakan. Peristiwa yang disampaikan
secara berurutan disebut pengujaran. Pengujaran ini terlaksana dalam rangkaian
komunikasi yang menuntut kehadiran seorang pengirim dan penerima.
Istilah penceritaan digunakan untuk menganalisis penuturan wacana cerita.
Penceritaan yang sesuai dengan visi dapat dibedakan menjadi tiga tipe penceritaan,
yaitu wicara yang dilaporkan, wicara yang dialihkan dan wicara yang dinarasikan.
3.1.3.1 Wicara yang Dilaporkan
Pengertian wicara yang dilaporkan adalah pencerita menggunakan cakapan
langsung. Dari jarak dekat, visi pemandang mencakupp seluruh objek. Dekatnya
jrak visi antara pemandang merasa bahwa segalanya benar-benar terjadi maka
dilakukan peniruan dan pencerita memberikn mandat untuk menyampaikan cerita
pada tokoh-tokohnya, akan berupa wicara langsung. Tugas pencerita hanyalah
melaporkan cakapan para tokoh sebagaimana adanya tanpa mengubahnya. Dalam
cerpen Ratapan Anak Tiri , bentuk wicara yang dilaporkan disampaikan oleh
pengarang dalam penuturan ceritanya, seperti pada penggalan berikut ini.
“Mana mungkin? ” tanyaku. “Aku tahu kau tak pernah mempercayai ceritaku, tetapi yang satu in pasti masuk di benakmu.”…(Damono, 2003: 68) “Kau punya permen?” “Memangnya kenapa?” Mulutku bau, malu, kau dekat-dekat,” katanya. ( Damono,2003: 70)
Dua kutipan percakapan tersebut merupakan percakapan tokoh Aku dan
sahabatnya. Kutipan pertama mengenai kebenenaran cerita tentang ratapan anak
tiri dan yang kedua merupakan percakapan tentang situasi selagi berjalannya
proses cerita ratapan anak tiri tersebut.
3.1.3.2 Wicara yang Dialihkan
Pengertian wicara yang dialihkan, yaitu pencerita tidak memberikan
mandatnya pada tokoh untuk mengemukakan cerita, melainkan dia sendiri yang
berperan. Pencerita berusaha agar dapat menyampaikan cerita dengan efektif
sehingga ia tidak menggunakan wicaranya sendiri seluruhnya, melainkan ia
menggunakan wicara tokoh yang dialihkan menjadi wicarnya sendiri. Pencerita
tidak hanya mengemukakan peristiwa, melainkan juga pandangan tokoh, pikiran
mereka dan sebagainya. Pencerita menggunakan wicara yang dialihkan dengan
kalimat tak langsung.
Pada cerpen Ratapan Anak Tiri dapat ditemukan bentuk penceritaan yang
menggunakan wicara yang dialihkan, seperti pada penggalan berikut ini.
Sesampai di rumah aku langsung ke kamar mandi karena kegerahan. aku sadar bahwa memang tidak mungkin mencium pipi sendiri, bahkan di dalam cermin,sebab yang kena cium pasti bayangan bibir sendiri, bukan bayangan pipi. (Damono, 2003: 73)
Penggalan diatas merupakan pelukisan pikiran Aku ketika merenungi
dirinya di depan cermin setelah selesai mendengarkan cerita anak tiri dari
sahabatnya.
3.1.3.3 Wicara yang Dinarasikan
Pengetian wicara yang dinarasikan, yaitu pemandang melihat segala yang
terjadi dari jarak jauh, ia melihat melihat berbagai hal yang didapatkan, sehingga
tidak lengkap. Maka pencerita luar cerita menyajikan sendiri jalan cerita dengan
menggunakan wicara yang dinarasikan. Bentuk wicara yang dinarasikan dapat
ditemukan dalam cerpen ini, seperti pada penggalan berikut.
Anak itu telah membohongi dirinya sendiri, kataku dalam hati. Rupanya aku sudah terbawa oleh cerita sahabatku itu sehingga diam-diam beranggapan bahwa anak itu benar-benar ada. Terdengar lagi suara neng-neng dari lintasan kereta api terdekat, kereta dari Bogor tiba. Aku heran kenapa gerbong sesepi itu, tidak seperti biasanya. Aku rupanya lupa bahwa hari sudah lewat magrib dan kereta dari Bogor memang cenderung sepi di sore hari. (Damono, 2003: 73)
Penggalan di atas merupakan narasi tokoh Aku tentang dirinya yang diam-
diam terbawa oleh cerita sahabatnya. Tokoh Aku merasa bahwa anak yang
diceritakan itu benar-benar ada.
3.2 Analisis Cerpen Ratapan Anak Tiri dengan Pembacaan Psikoanalisis
3.2.1 Pengantar
Pembacaan psikoanalisis yang dilakukan oleh penulis dalam cerpen ini,
memfokuskan pada tokoh yang melakoni dalam cerpen. Penulis membatasi
penelitian ini pada analisis struktural bukan analisis biografis atau kepengarangan.
Teknik penceritaan dalam teknik ber-aku tidak terlalu menonjol pada cerpen ini
tapi kemudian tokoh Aku banyak pengalami perubahan secara emosi, pemikiran,
psike menjadi tokoh lain yang ada dalam cerpen ini yaitu menjadi anak tiri.
Ketidaksadaran yang menguasi tokoh Aku menrealisasikan hasrat Aku ingin
menjadi tokoh lain dalam cerpen, tetapi tidak secara langsung berubah menjadi
tokoh lain namun melaporkannya lewat logika bahasa. Sesuai dengan anggapan
Lacan yang menyatakan bahwa hasrat tidak bisa menunggangi bahasa, dan
bahasalah yang memanipulasi hasrat. Ketika hasrat Aku sudah tercebur ke dalam
bahasa, secara tidak langsung ia harus mengikuti aturan bahasa, dan tidak bisa
memanipulasi bahasa. Dari dasar ini, penulis menemukan tafsir bahwa hasrat Aku
yang berubah menjadi identitas lain yang dimanipulasi bahasa.
3.2.2 Relasi Antartokoh
Aku sebagai sentral yang berarti pencipta tokoh dan yang melakukan
identifikasi yang menginginkan ego ideal. Ego ideal ini digambarkan sebagai
seorang penulis cerita yang ingin mencoba membuat cerita dari cerita sahabatnya.
Aku mencoba mengendurkan penekanan atas keinginannya tersebut dengan
menjadi tokoh Aku dalam cerpen. Aku memposisikan diri sebagai pengarang dan
pencipta tokoh dalam cerpen Ratapan Anak tiri.
Aku adalah sosok penulis yang beringinan membuat cerita, keinginan itu
seakan terwujud dengan adanya kehadiran seorang sahabat yang bercerita tentang
ratapan anak tiri. Hasrat tersebut merupakan hasrat mengenai sesuatu yang ideal
atas apa yang menjadi gagasan pemikirannya, yaitu konsepsi tentang kedidupan
anak tiri. Jika selama ini cerita anak tiri selalu diakhiri dengan kebahagian anka
tiri dan pertobatan ibu tirinya, dalam cerpen Ratapan Anak Tiri hal itu
dijungkirbalikan. Sejajar dengan pendapat Lacan bahwa apa yang berada diluar
kita akan tetap menjadi “liyan”. Ibu tiri akan tetap menjadi orang lain bagi
anaknya, hanya akan menjadi ibu di tahap simbolik.
Kontraposisi ini hanya terjadi dalam tahap Simbolik dan Imajiner.
Pengejawantahan hasrat yang dimanipulasi melalui penanda-penanda dalam
bentuk bahasa atau pencitraan. Aku dalam cerpen hidup dengan segala gagasan
ideanya terhadap kehidupan anak tiri dalam fakta cerita. Di akhir cerita, aku
pengarang memasukan diri sebagai identitas anak tiri. Anak tiri ini digambarkan
sebagai anak yang tak pernah mendapatkan ciuman di pipinya dan tak pernah
mencium pipi orang.
Berikut bagan relasi yang penulis rumuskan dari fakta cerita.
Keterangan Bagan:
Relasi identitas
Relasi antartokoh berdasarkan fakta cerita
Deskripsi bagan:
Aku sedang mencari bahan cerita untuk penulisan. Sahabat aku
menceritakan kisah seorang anak tiri. Pengemis berlaku hanya sebagai tokoh yang
muncul ketika cerita sedang berlangsung di stasiun kereta. Anak tiri sebagai relasi
identitas tokoh aku melalui pengaruh cerita dari sahabatnya. Anak tiri adalah anak
yang menambakna ciuman di pipinya, karena selama hidupnya belum pernah di
cium pipi dan tak pernah mencium pipi orang, pada akhirnya anak itu berpikir
untuk mencium pipinya sendiri. hal ini di akui oleh tokoh aku menjadi sebuah
yang tidak mungkin ia lakukan walau dalam cermin. Ayah selaku ayah bilogis
Aku
Sahabat
Teman anak tiri
Pengemis
Bu Guru Ibu Tiri Ayah
Anak Tiri
dari anak tidak pernah member ciuman atau bahkan menyediakan pipi untuk
dicium anaknya. Begitu pun dengan ibu tirinya yang lupa untuk mencium anak
tirinya karena sibuk mencium ayak dari anak itu. Bu Guru adalah tokoh yang
menyuruh anak membuat karangan bebas sehingga memicu si anak untuk
membuat cerita tentang ciuman dikalangan teman-temannya di sebabkan oleh
hasrat si anak yang tak pernah terwujud. Teman-temannya berperan sebagai tokoh
yang di tulis oleh si anak tiri dalam karangannya dan sebagai teman sekelas si
anak tiri.
3.2.2.1 Relasi Aku sebagai Anak Tiri
Aku tidak secara langsung merefresentasikan dirinya sebagai anak tiri.
Aku melalui proses yang sangat panjang beralienasi menjadi anak tiri. Pada awal
cerita tokoh aku hanya berperan sebagai pendengar cerita dari sahabatnya. Melalui
cerita itu tokoh aku menyadari bahwa apa yang dialami oleh anak tiri sebagai
peristiwa yang dialami oleh si Aku. Si Aku berubah menjadi anak tiri setelah
mengalami proses yang panjang. Menjadi anak tiri merupakan hasrat tokoh aku
yang sebelumnya tidak disadari oleh tokoh Aku. Hasrat tokoh aku pada cerpennya
ini hanya ingin mendengarkan cerita untuk bahan menulis yang dipesan oleh
sebuah penerbitan. Hasrat aku terpenuhi di ruang simbolik yaitu ketika aku sudah
masuk dalam bahasa.
3.2.3 Alienasi Aku
Ego atau diri atau ‘i’dentity (aku dan identitas), pada beberapa tingkatan
selalu berupa fantasi berupa hasil dari suatu identifikasi dengan citra ekternal. Ide
tentang diri tersebut diciptakan melalui suatu identifasi imajiner dengan citra di
cermin. Dalam konsepsi Lacan, wilayah imajiner merupakan tempat relasi
teralienasi dari diri ke citraannya sendiri.
Tokoh aku dalam cerpen Ratapan Anak Tiri tidak terlalu dominan
menguasi cerita. Tokoh aku hanya sebagai pendengar dalam cerita mengenai
ratapan anak tiri. Anak tiri yang diceritakan justru seolah-olah menjadi tokoh
utama. Gaya pengarang dalam bercerita membuat cerpen ini sangat unik.
Pengarang memposisikan sebagai aku tapi tidak mendominasi alur cerita, hanya
sebagai pendengar. Tapi pada akhir cerita tokoh aku seakan terbius oleh cerita
sahabatnya, sehingga menjadikan tokoh aku mempercayai bahwa anak tiri itu
benar-benar ada. Tokoh aku menyadari cerita anak tiri seakan dia alami sendiri.
Cerita sahabat sebagai cermin bagi tokoh Aku. Membuat tokoh Aku
berada dalam tahap imajiner. Menurut lacan tahap dalam yang imajiner terjadi
fase cermin (stadu de miroir). Tokoh Aku suatu ketika menyaksikan bayangan
dirinya dalam cermin. Bayangan tersebut, oleh tokoh Aku, dikonfrontir dengan
keberadaan yang lain seperti anak tiri yang diceritakan sahabatnya. Tokoh Aku
akan melihat citra dalam cermin kemudian melihat ke arah yang lain. Saat itulah
tokoh Aku mulai menyadari bahwa dirinya adalah eksis dan terpisah dari yang
lain. Itulah Individuasi. Tapi tokoh Aku mengira dirinya yang berada dalam
cermin adalah benar-benar dirinya. Citra tersebutlah yang akhirnya diakui sebagai
“aku” atau ego. Jadi, ego terbentuk dari kesalahan mempersepsi citra cerminal
sebagai aku. Citra tersebut dalam bahasa psikoanalisa disebut sebagai ego ideal.
Sebagai citra cerminal, ego ideal tidak akan pernah cocok dengan keadaan
individu yang sebenarnya. Ego tidak lain adalah konsep imajiner tentang diri yang
utuh, sempurna, nir-kekurangan dan tanpa keyakinan adanya kekurangan di
dalamnya. Ego atau aku tersebut akan menjadi selalu “liyan”, tidak setara dengan
bahkan bukan aku yang sebenarnya.
Anak tiri ini adalah anak yang merindukan ciuman di pipinya, karena
selama hidupnya tidak pernah mendapatkan ciuman di pipi dan tidak pernah
mencium pipi orang. Hal ini yang membuat tokoh Aku meng’iya’kan bahwa dia
pun tidak pernah dicium pipi dan mencium pipi orang. Konflik anak tiri yang
sangat mendalam ketika anak tiri disuruh oleh guru bahasa mengarang bebas, hal
ini yang menyebabkan anak tiri tertekan karena selama ini tidak pernah di beri
kebebasan, termasuk dalam menetukan tema mengarang. Anak tiri ini membuat
cerita tentang cium-mencium teman-temanya, hal ini disebabkan karena si anak
tiri sangat mendambakan ciuman di pipi. Hasrat anak tiri untuk di cium tidak
pernah terlaksana, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Aku mengganti objek (konsepsi mengenai kekurangan atas citra diri) yang
hilang itu dengan pengalihan ego, memispresepsi citraan sebagai dirinya,
mencampuradukan yang ideal dan faktual. Aku merasa menjadi subjuk baru,
memanipulasi dirinya dengan menyebutkan bahwa dia mengakui bahwa peristiwa
yang dialami anak tirinya juga terjadi dalam dirinya.
Seorang anak yang merindukan ciuman dari ayah dan ibu tirinya
menadakan sebuah hasrat fisiologis yang tidak terpenuhi. Kebutuhan (need)
secara sederhana dapat diartikan sebagai kebutuhan secara fisiologis atau dalam
makna lain sebagai kebutuhan fisiologis yang dapat tercukupi. Pada anak manusia,
kebutuhan-kebutuhan fisiologis, melalui peran orang-orang terdekat terutama ibu
akan senantiasa dapat tercukupi dengan mudah: saat lapar bayi memperoleh ASI,
ketika membutuhkan kehangatan anak mendapat pelukan, dll. Artinya anak selalu
merasakan sesuatu yang penuh, utuh atau tanpa kekurangan, kehilangan dan
kekosongan. Pada fase ini anak tiri itu belum mengenal bahasa dan belum dapat
membedakan antara diri dengan yang liyan (yang lain): anak tiri itu masih
merasakan bahwa dirinya dan seluruh yang liyan merupakan satu kesatuan. Anak
ini bagi Freud dan Lacan adalah manusia yang belum terbentuk menjadi individu
atau tanpa pemahaman akan dirinya sebagai manusia yang utuh dan terlepas dari
yang lain. Yang berdiam dalam anak tiri itu hanyalah kebutuhan dan segala
pemenuhannya. Fase kebutuhan (need) ini berdiam dalam yang real yang
merupakan “fase sebelum pikiran”. Bahasa tidak pernah ada di ruang ini karena
tidak ada kehilangan, kekurangan dan ketidaan. Yang ada hanya kepenuhan.
Masuknya bahasa adalah keterpecahan anak ini. Anak yang awalnya tidak
mengerti apa-apa mendapat pemahaman dari tahap cermin dengan mengerti
bahwa ibu tiri dan ayaknya tidak bisa memberikan ciuman karena itu dia berpikir
untuk mencium dirinya sendiri.
Ketika anak itu mulai dapat membedakan dirinya dengan yang selain
dirinya meskipun pada fase awal ini anak ini tetaplah belum memiliki konsep
tentang yang liyan secara utuh; artinya dia masih membutuhkan ayak dan ibu
tirinya. Istilah permintaan dalam kosa kata Lacanian memang cukup rumit untuk
dipahami dan dijelaskan. Permintaan adalah adalah sesuatu yang tidak dapat atau
tidak mungkin terpenuhi. Saat mulai menyadari akan adanya liyan yang terpisah
dari dirinya, anak itu seperti ingin kembali kepada keutuhan sebelumnya. Anak itu
ingin segala tentang yang liyan menghilang. Itulah esensi utama dari permintaan;
kembali pada keutuhan. Hal tersebut tentulah mustahil, apalagi berpikir untuk
mencium pipinya sendiri, karena perlahan keliyanan semakin menunjukkan diri
dihadapan si anak.
Inilah awal dari ego/diri Aku yang ingin menjadi ego ideal dan
dimanifestasikan sebagai tokoh yang hidup bersama dalam fakta cerita cerpen.
Anak tiri merupakan sosok bagi Aku untuk merepresentasikan gagasan-
gagasannya.
3.2.4 Hasrat Aku
Identifikasi adalah proses dimana individu menginternalisasi atribut orang
lain dan mentransformasinya lewat imajinasi tak sadar. Identifikasi ini kemudian
menjadi bagian dari individu melalui pengambilalihan objek (sebagian atau
seluruhnya) untuk menyusun basis ego. Identifikasi berakar dari hasrat untuk
memiliki identititas. Menurut Lacan ego tidak dapat membedakan hasratnya dan
hasrat orang lain serta cenderung kehilangan dirinya dalam wilayah objek-objek
(manusia dan citraan).
Aku memakai sebagian atribut anak tiri sebagai bagaian dalam dirinya,
yaitu tentang kesadaran tidak bisa mencium pipinya sendiri. Pipi merupakan
metonimia dari seluruh keberadaan tubuh. Tidak pernah dicium pipi dapat
diartikan ia tak pernah diakui keberadaanya sehingga kesepian. Aku merasa
kesepian karena tidak adanya pengakukan dari orang-orang terdekatnya, yaitu ibu
tiri dan ayahnya sendiri. Aku mengejewantahkan keadaan dirinya lewat atribut
anak tiri untuk menggambarkan gagasan dan suasana yang dialaminya.
Pertanyaan Aku tentang bayangnya dicermin terbalik, yang kiri di kanan
dan kanan di kiri merupakan bentuk kekurangan awal dari hasratnya. Dalam tahap
Imajiner terjadi fase cermin (stadu de miroir). Aku menyaksikan bayangan dirinya
dalam cermin. Bayangan tersebut, oleh Aku, dikonfrontir dengan keberadaan yang
lain yaitu ank tiri itu. Aku akan melihat citra dalam cermin kemudian melihat ke
arah yang lain. Saat itulah Aku mulai menyadari bahwa dirinya adalah eksis dan
terpisah dari yang lain. Itulah Individuasi. Tapi Aku mengira dirinya yang berada
dalam cermin adalah benar-benar dirinya. Citra tersebutlah yang akhirnya diakui
sebagai “aku” atau ego. Jadi, ego terbentuk dari kesalahan mempersepsi citra
cerminal sebagai aku. Citra tersebut dalam bahasa psikoanalisa disebut sebagai
ego ideal. Sebagai citra cerminal, ego ideal tidak akan pernah cocok dengan
keadaan individu yang sebenarnya. Ego tidak lain adalah konsep imajiner tentang
diri yang utuh, sempurna, nir-kekurangan dan tanpa keyakinan adanya kekurangan
di dalamnya. Ego atau aku tersebut akan menjadi selalu “liyan”, tidak setara
dengan bahkan bukan aku yang sebenarnya.
Pembentukan citra yang salah pada fase cermin merupakan aleniasi.
Aleniasi dalam konsep Lacan selalu melibatkan dua arus berbeda, Aku dan liyan.
Aku adalah yang selalu kalah. Alienasi pertama Aku adalah ketika terjadi
kesalahan mempersepsi diri yang menempatkannya sebagai yang liyan bagi
dirinya sendiri atau terceburnya Aku ke dalam citra yang salah atau ego ideal.
Dalam yang imajiner Aku terus akan melakukan identifikasi pelbagai Liyan
menggunakan citra yang diperoleh dari cermin. Pengenalan Keliyanan (otherness)
semakin meneguhkan pangakuan bahwa citra cerminal adalah “aku”. Di sinilah,
bagi Lacan diri selalu dilihat dari yang liyan. Hal ini mengukuhkan bahwa aku
mengingkan ego ideal tapi tak bisa mewujudkanya karena Aku berada pada tahap
imajiner yaitu ketika semuanya terjadi keterpecahan. Aku tidak bisa mencium
pipinya sendiri dan yang terlihat di cermin merupakan citraan diluar dirinya,
semuanya akan terbalik.
3.3 Analisis Struktural Cerpen Dongeng Kancil
Analisis struktural yang penulis lakukan dalam menganalisis cerpen
Dongeng Kancil ini dibatasi hanya pada analisis alur, tokoh, dan latar. Ketiga
unsur tersebut merupakan fakta cerita yang dibutuhkan untuk kemudian
dilanjutkan dengan analisis menggunakan pendekatan psikoanalisis. Langkah
untuk menganalisis struktural adalah dengan cara analisis sintaksis, analisis
semantik, dan analisis verbal.
3.3.1 Analisis Sintaksis
Analisis sintaksis dilakukan untuk mengetahui alur dan pengaluran cerpen
Dongeng Kancil . Pengaluran dapat diketahui dengan cara merumuskan sekuen,
setelah megetahui pengaluran maka dirumuskan alur dengan menggunakan fungsi
utama.
3.3.1.1 Pengaluran
Cerpen Dongeng Kancil terdiri dari 37 sekuen. Secara detail cerita
dongeng kancil ini di mulai tokoh Aku yang suka menyaru (menyamar), masuk
keluar kampung, menyusuri jalan raya, ikut duduk-duduk di taman kota bersama
pensiunan, menikmati pemandangan sekitar desa terpencil, menyebrangi sungai,
dan masuk hutan (S1). Tokoh Aku bertemu kancil dan mendekati tokoh Aku (S2).
tokoh Aku selalu dianggap sebagai yang menyapanya, kalau bertemu gajah, ia
akan melihat tokoh Aku sebagai seekor gajah, kalau ada manusia tokoh Aku akan
diperlakukan seperti manusia (S3). Kancil nampak kelelahan setelah berjalan
masuk keluar hutan seharian, lidahnya terjulur dan terluka dan mengeluarkan
darah serta bicaranya tidak lancar (S4). Kancil mengumpat macan karena lidahnya
hancur (S5). Kancil duduk dan menatap tokoh Aku tajam-tajam, suara kancil
tertahan-tahan (S6). Kancil bercerita pada tokoh Aku mengenai macan yang
lewat ketika sedang istirahat di bawah rumpun bambu (S7). Macan itu ingin
menerkam kancil karena sakit hati pernah tertipu kancil (S8). Kancil menipu lagi
seekor macan dengan mengatakan bahwa dia sedang menjaga Seruling Agung
Nabi Sulaeman (S9). Macan sudah tahu kalau kancil mau menipunya lagi dan
sudah tahu kalau ini adalah rancangan si Juru Dongeng (S10). Tokoh Aku berpikir
untuk menyelamatkan kancil agar rancangan Juru Dongeng terlaksana (S11).
Tokoh Aku melihat kancil mulai kusut pikirannya dan mulai mengutarakan hal
yang tak bisa dipahaminya (S12). Kancil mengeluh pada tokoh Aku tentang
macan yang mau menerkamnya sadang dia terpojok dan tidak mungkin
melepaskan diri (S13). Kancil berpikir bahwa semua ini adalah akhir dari dongeng
tentang kancil yang masyhur itu (S14). Macan tidak jadi memakannya dengan
mengajukan satu permintaan yaitu kancil harus menjepit lidah di sela-sela bambu
seperti Juru Dongeng menetapkan hal itu untuk macan (S15). Kancil kaget dan
menyetujuinya yang penting selamat dari macan (S16). Kancil menyepitkan
lidahnya pada sela-sela bambu dan macam pun melenggang pergi dengan tenang
(S17). Pikiran kancil yang menanyakan tentang Juru Dongeng yang mengubah
rancangannya dan membocorkannya (S18). Pikiran kancil mengenai
Pengalamannya dengan macan tidak ada bedanya dengan peristiwa dengan
sekawanan buaya yang ia tipu di bengawan (S19). Buaya-buaya itu sudah tahu
mengenai rancangan Juru Dongeng dan tidak bisa ditipu oleh kancil, mereka
malah menyarankan kancil untuk mencari Juru Dongeng (S 20). Kancil pergi
karena sudah adzan magrib (S21). Aku (Kancil) pergi melanjutkan perjalanan
mencari Juru Dongeng yang disebut-sebut macan dan buaya (S22). Setelah sekian
lama akhirnya tokoh aku sampai di sebuah kebun mentimun milik seorang petani
(S23). Aku selalu lapar jika melihat mentimun, tapi takut kalau harus mencuri
karena nampaknya ada orang yang menunggu walau hari sudah malam (S24). Aku
mendekati orang itu dan ternyata hanya orang-orangan yang biasa dipasang di
kebun (S25). Tokoh aku merasa tertipu, jengkel dan menumpahkan kekesalannya
pada orang-orangan itu dengan menyepaknya (S26). Tokoh aku lengket dan
menempel pada orang-orangan itu karena orang-orangan itu sudah dilumuri getah
(S27). Tokoh aku berusaha melepaskan diri tapi malah seluruh tubuhnya
menempel, akhirnya merasa cape, merasa bodoh, putus asa dan menggantung di
orang-orangan itu (S28). Paginya tokoh aku dibawa petani ke rumahnya yang
sedang siap-siap menyelenggarakan perkawinan anak gadisnya besok pagi (S29).
Pak tani memamerkan tokoh aku kepada keluarganya dan besok akan dikuliti dan
dijadikan sate (S30). Tokoh aku dimasukkan ke dalam kurungan bambu dan
ditunggui anjing (S31). Ingatan tokoh aku akan sebuah rancangan untuk menipu
anjing itu dengan mengatakan besok Pak Tani akan menjadikannya menantu. Dan
akan menggantikan posisinya kalau mau menggantikannya menunggu dalam
kurungan (S32). Ternyata anjing itu sudah tahu rancangan Juru Dongeng
mengenai hal ini, jadi si anjing tidak mau menggantikan dalam kurungan (S33).
Tokoh aku mendapat firasat bahwa ia tak mungkin lepas kali ini sebab anjing itu
tampaknya tidak peduli pada nyawa binatang lain (S34). Tokoh aku tinggal dalam
kurungan dan memikirkan nasibnya, membayangkan macan, buaya, ular yang
ternyata sudak tahu taktik tipuannya (S35). Dan tokoh aku belum berhasil
menemui Juru Dongeng sehingga tidak tahu kelanjutan nasibnya, dia pun tertidur,
letih. (S36). Tokoh Aku suka menyaru (menyamar), dalam penyaruan itu selalu
diperlakukan sebagai apa pun yang kebetulan bertemu denganNya, mengeluh
tentang Juru Dongeng (S 37).
3.3.1.2 Alur
Untuk melihat alur cerpen ini, terlebih dahulu harus melihat fungsi-fungsi
utama cerpen ini. Adapun urutan fungsi utama itu sebagai berikut:
1) Penyaruan yang dilakukan tokoh Aku sehingga siapa pun yang
menemuinya akan mengaggap sebagai yang menyapanya.
2) Pertemuan tokoh Aku dan kancil yang mengeluh tentang lidahnya yang
hancur akibat ulah macan.
3) Macan tahu akan siasat Juru Dongeng.
4) Ingatan kancil akan kejadian yang sama dengan peristiwa sekawan buaya
yang memain-mainkannya saat mau di tipu, sekawanan buaya pun tahu
tentang siasat Juru Dongeng.
5) Perjalanan Kancil mencari Juru Dongeng
6) Peristiwa di kebun mentimun saat perjalanan mencari Juru Dongeng.
7) Kancil di bawa petani ke rumahnya
8) Kancil mau menipu anjing saat di kurung dalam kurungan bambu.
9) Anjing sudah tahu siasat Juru Dongeng sehingga tidak bisa tertipu oleh
kancil
10) Kancil belum menemukan Juru Dongeng dan tak tahu kelanjutan nasibnya.
Cerita ini di mulai dari penyaruan (penyamaran) yang dilakukan tokoh
Aku sehingga siapa pun yang menemuinya akan mengaggap sebagai yang
menyapanya. Pada suatu sore tokoh Aku bertemu kancil yang mengeluh tentang
lidahnya yang hancur akibat ulah macan. Akibat dari macan itu tahu akan siasat
Juru Dongeng yang meugikan macan. Kejadian ini mengingatkan kancil akan
kejadian yang sama dengan peristiwa sekawanan buaya yang memain-
mainkannya saat mau di tipu, sekawanan buaya pun tahu tentang siasat Juru
Dongeng. Lalu kancil melakukan perjalanan untuk mencari Juru Dongeng. Cerita
berlanjut pada peristiwa di kebun mentimun saat perjalanan mencari Juru
Dongeng. Kancil tertipu dan tertangkap lalu di bawa petani ke rumahnya. Kancil
mau menipu anjing saat di kurung dalam kurungan bambu. Namun, Anjing sudah
tahu siasat Juru Dongeng sehingga tidak bisa tertipu oleh kancil. Akhirnya kancil
belum menemukan Juru Dongeng dan tak tahu kelanjutan nasibnya.
3.3.2 Analisis Semantik
Aspek semantik dilakukan untuk mengetahui tokoh dan latar dalam cerpen
Dongeng Kancil. Analisis tersebut merupakan penafsiran sebagian yang biasanya
memberi intensitas lebih pada analisis tokoh. Tokoh-tokoh yang digambarkan
seorang pengarang merupakan kondensi mimetik, karena referensinya adalah
manusia-manusia dengan sifat, sikap, karakter dan tingkah laku tetentu.
3.3.2.1 Tokoh
Setiap cerpen pasti memiliki tokoh atau pelaku yang diciptakan oleh
pengarang untuk mengusung sebuah cerita. Penciptaan dengan segala perwatakan
dan berbagai jati dirinya disebut penokohan.
Tokoh cerita menurut Abrams ( dalam Nurgiyantoro, 1995: 165) adalah
orang yang ditampilkan dalam suatu karya sastra yang oleh pembacanya
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Berikut ini adalah tokoh-tokoh dari cerpen Dongeng Kancil :
1) Tokoh Aku
Tokoh Aku adalah seorang yang suka menyaru (menyamar) sehingga siapa
pun yang menemuinya akan melihat seperti yang menyapanya. Hal ini tergambar
pada kutipan berikut:
Aku suka menyaru. Masuk keluar kampung, menyusuri jalan raya, ikut duduk-duduk di taman kota bersama para pensiunan, menikmati pemandangan sekitar desa yang terpencil, menyeberang sungai,dan masuk hutan. Pada suatu sore yang sangat cerah ada seekor kancil mendekati-Ku dan berkata, "Bung, dari mana saja kau?" Aku selalu dianggap sebagai yang menyapa-Ku. Maksud-Ku, kalau ada gajah bertemu dengan-Ku, ia akan melihat-Ku sebagai seekor gajah, kalau ada manusia melihat-Ku, ia akan memperlakukan-Ku sebagai manusia, dirinya sendiri…(Damono, 2003: 1) Tokoh Aku tidak digambarkan secara fisik, hanya ada beberapa indikasi
yang menyaran pada sebuah sikap orang bijak yang selalu menjadi tempat
berkeluh. Hal ini bisa dilihat dalam kutipan berikut:
Aku menyaksikan seekor kancil yang mulai kusut pikirannya, Ia mengutarakan hal yang sama sekali tidak dipaharninya, apalagi dihayatinya.Suara kereat-kereot rumpun bambu itu adalah seruling yang menjadi latar adegan ini. Tanpa menatap-Ku ia melanjutkan keluhannya. (Damono, 2003: 3)
2) Kancil
Kancil yang selama ini kita kenal sebagai hewan yang cerdik dalam
mengelabui musus-musuhnya, tapi dalam cerpen ini pengarang menjungkirbalikan
anggapan tersebut. Dalam cerpen ini kancil banyak dipermainkan oleh musuh-
musuhnya. Kancil digambarkan sebagai hewan yang gampang jengkel dan putus
asa dalam menghadapi masalah-masalah hidupnya. Hal ini tergambar dalam
kutipan berikut:
Harus kutumpahkan dulu segala kejengkelanku terhadap orang-orangan tolol yang ditanam di kebun itu. Maka kusepaklah ia dengan kaki kiriku. Eh, lengket. Kaki kananku, lengket pula. Aku berusaha melepaskan diri dari orang-orangan itu tapi semua kaki dan seluruh tubuhku malah lengket ke tubuhnya yang dilumuri getah. Aku capek dan rnerasa bodoh dan putus asa dan rnenggantung di orang-orangan itu. (Damono, 2003: 5)
Kecerdikan kancil sebenarnya masih digambarkan dalam cerpen ini
walaupun pada akhirnya tipuan-tipuan yang dia lancarkan tak pernah berhasil
mengelabui musuh-musuhnya karena musuhnya sudah mengetahui rancangan
Juru Dongeng. Gambaran tentang hal ini bisa dilihat dalam kuitpan berikut:
Maka aku pun dimasukan ke sebuah kurungan. Ada seekor anjing karnpung yang besar rneski korepan menjulur-julurkan lidahnya duduk dekat kurungan, menungguiku. Byar! Aku ingat sebuah rancangan untuk menipu anjing itu dengan mengatakan bahwa besok Pak Tani akan menjadikanku menantu. Kukatakan kepada si Korep itu bahwa ia akan mendapatkan kedudukanku sebagai menantu Pak Tani kalau mau menggantikanku menunggu dalam kurungan bamboo sepanjang malam itu. Tapi apa katanya? Sudahlah, Cil, tak usah cerita macam-macam, aku sudah tahu rancangan Juru Dongeng itu. Kau mau dijadikan sate dan bukan menantu. Iya, kan? Dan karenanya tentu saja aku tidak mau mengantikanmu. Anjing itu sudah juga mengetahui rancangan Juru Dongeng!...(Damono, 2003: 6)
3) Macan
Macan dalam cerpen Dongeng Kancil berperan sebagai hewan yang cerdik
dan penuh dengan ambisi untuk balas dendam pada kancil. Macan sudah pernah
ditipu oleh kancil dan untuk kali ini macan tidak bisa tertipu lagi karena sudah
belajar dari pengalaman dan sudah tahu tentang rencana Juru Dongeng. Penulis
menemukan indikasi ini dalam kutipan berikut:
"Coba pikir. Aku sedang melepaskan lelah di bawah rumpun bambu ini, mendadak lewat macan yang tentunya sakit hati karena dulu pernah kutipu.
Segera saja ia tersirap melihatku terkantuk-kantuk, dan seperti siap menerkam dan menyantapku. Nah, akhirnya kau kutemukan juga, Cil. Ke mana saja selama ini kau? Suara macan itu terasa seperti pisau yang sedang meny'embelih karnbing. Sedang apa kau di situ? tanyanya gemeletuk. Kukatakan aku sedang diberi tugas Kanjeng Nabi Sulaiman menjaga Seruling Agung yang di rumpun bambu itu."
…"'Tapi apa jawab macan itu? Cil, aku sudah tahu semua itu bohong. Kau akan menipuku lagi agar lidahku kujepitkan di sela-sela batang bambu itu. Katamu aku akan mendapat hadiah dari Kanjeng Nabi kalau meniup bambu itu. Begitu, kan? Lha itu kan siasat si Juru Dongeng agar anak-anak suka mendengar dongeng kancil. Coba, bayangkan, macan itu bicara mengenai Juru Dongeng yang telah merancang semua apa yang mesti kulakukan, dan ternyata dia sudah tahu terlebih dahulu…(Damono, 2003: 2-3)
4) Sekawanan Buaya
Sekawanan buaya tidak diceritakn dengan jelas dalam cerpen ini.
Sekawanan buaya adalah tokoh yang hampir sama dengan macan yang pernah
menjadi korban tipu kancil. Sekawanan buaya yang menyuruh kancil untuk
mencari Juru Dongeng supaya menanyakan perihal rancangannya. Semua yang
dirancang Juru Dongeng sudah diketahui oleh hewan-hewan dalam cerita
termasuk sekawanan buaya. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut:
"Apa yang kualami dengan macan itu tak jauh bedanya dengan peristiwa di bengawan ketika aku mencoba menipu sekawanan buaya agar mereka berjajar di sungai supaya bisa kujadikan jembatan untuk pergi ke seberang. Mereka tertawa ngakak ketika kusampaikan akal-akalanku itu. Kau percaya rancangan Juru Dongeng itu musti terlaksana, ya? Kau keliru, Cil. Siapa pun sudah lama tahu mengenai dongeng itu. Kami tidak lagi mau dijadikan korban demi kemasyhuranmu. Maka aku pun mereka main-mainkan di bengawan sampai gelagapan, meskipun akhirnya rnereka lepaskan setelah aku setengah mati. Mereka malah menyarankan aku agar rnencari Juru Dongeng, menanyakan perihal itu." (Damono, 2003: 4)
5) Pak Tani
Pak Tani adalah orang yang membawa kancil ke rumahnya setelah kancil
terperangkap di kebun mentimun. Pak Tani bisa dikatakan orang yang cerdik
sehingga bisa menipu kancil dengan melumuri orang-orangan dengan getah.
Gambaran tentang kancil yang terperangkap bisa dilihat dalam kutipan berikut:
…Seperti biasa, setiap kali melihat rnentimun aku jadi lapar sekali, tapi mau mencuri takut karena tampaknya ada orang yang menunggu meskipun hari sudah malam. Orang itu diam saja di tengah kebun seperti patung, bahkan ketika kudekati. Ternyata hanya orang-orangan yeng biasa dipasang di kebun untuk menakut-nakuti binatang. Tapi aku kancil, tidak bisa kena tipu malah biasa menipu. Timbul keberanianku. Harus kutumpahkan dulu segala kejengkelanku terhadap orang-orangan tolol yang ditanam di kebun itu. Maka kusepaklah ia dengan kaki kiriku. Eh, lengket. Kaki kananku, lengket pula. Aku berusaha melepaskan diri dari orang-orangan itu tapi semua kaki dan seluruh tubuhku malah lengket ke tubuhnya yang dilumuri getah…(Damono, 2003: 5)
6) Anjing
Sosok anjing secara fisik digambarkan dalam cerpen ini sebagai anjing
yang besar dan korepan. Anjing adalah peliharaan Pak Tani yang ditugasi
menjaga kurungan bambu yang berisi kancil. Gambaran fisik anjing ini bisa
dilihat dalam kutipan berikut:
…"Masukkan dulu ke kurungan bambu itu, Pak. Biar ditunggui si Anjing. Nanti lepas kalau dibiarkan sendiri," begitu kata istrinya. Mernang itulah garis kisah yang harus kujalani. Maka aku pun dimasukkan ke sebuah kurungan. Ada seekor anjing karnpung yang besar rneski korepan menjulur-julurkan lidahnya duduk dekat kurungan, menungguiku…(Damono, 2003: 5-6)
7) Juru Dongeng
Juru Dongeng tidak digambarkan secara jelas tapi Juru Dongeng banyak
disebut-sebut sebagai pembuat renacana bagi kehidupan kancil. Segala peristiwa
yang dialami oleh kancil adalah hasil rencana Juru Dongeng termasuk dalam
menipu musuh-musuhnya. Pada akhirnya kancil sendiri berusaha mencari Juru
Dongeng untuk menanyakan kelanjutam hidupnya, namun tak pernah ia temukan.
Kancil sangat tersiksa karena apa pun yang sudah direncanakan Juru Dongeng
sudah diketahui oleh musuh-musuhnya. Kutipan berikut bisa menggambarkan
pencarian kancil terhadap Juru Dongeng.
…Aku harus tinggal di dalam kurungan itu semalaman, membayangkan macan, buaya, ular yang ternyata juga sudah tahu taktik tipuanku. Aku juga harus membayangkan diriku dijadikan sate besok pagi sebagai santapan para tamu. Dan aku belum juga berhasil menemui Juru Dongeng itu sehingga tidak tahu kelanjutan nasibku. Aku pun tertidur, letih setelah terus-menerus diajak oleh Sang Malam membicarakan kekhusukan subuh dan keindahan fajar yang tak ada taranya: rnatahari akan muncul dari sela-sela perbukitan sana dan cahayanya bersijingkat mendekati desa itu. (Damono, 2003: 6)
3.3.2.2 Latar
Latar merupakan unsur yang harus ada dalam sebuah cerpen. Mengutip
pendapat Abrams, Nurgiyantoro ( 1995: 216) mendefinisikan latar sebagai
landasan tumpu, menyarankan pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadi peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Analisis latar meliputi tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial.
Latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan ( Abrams dalam Nurgiyantoro,1995: 216).
Adapun unsur latar dalam analisis pada penelitian ini adalah latar tempat,
latar waktu, dan latar sosial.
3.3.2.2.1 Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 1995: 227). Berikut merupakan latar
tempat yang terdapat dalam cerpen Dongeng Kancil yang penulis temukan.
1) Rumpun Bambu
Rumpun bambu adalah tempat berlangsung peristiwa antara kancil dan
macan. Kancil yag sedang istirahat, tiba-tiba ada macam lewat dendam pada
kancil yang pernah menipunya. Gambaran latar tempat ini bisa dilihat dalam
kutipan berikut:
"Coba pikir. Aku sedang melepaskan lelah di bawah rumpun bambu ini, mendadak lewat macan yang tentunya sakit hati karena dulu pernah kutipu. Segera saja ia tersirap melihatku terkantuk-kantuk, dan seperti siap menerkam dan menyantapku. Nah, akhirnya kau kutemukan juga, Cil. Ke mana saja selama ini kau? Suara macan itu terasa seperti pisau yang sedang meny'embelih karnbing. Sedang apa kau di situ? tanyanya gemeletuk. Kukatakan aku sedang diberi tugas Kanjeng Nabi Sulaiman menjaga Seruling Agung yang di rumpun bambu itu." (Damono, 2003: 2)
2) Bengawan
Bengawan adalah tempat terjadinya peristiwa kancil dan sekawanan buaya.
Kancil hendak menipu sekawanan buaya agar berjajar untuk dijadikan jembatan
agar bisa pergi ke sebrang.
"Apa yang kualami dengan macan itu tak jauh bedanya dengan peristiwa di bengawan ketika aku mencoba menipu sekawanan buaya agar mereka berjajar di sungai supaya bisa kujadikan jembatan untuk pergi ke seberang. Mereka tertawa ngakak ketika kusampaikan akal-akalanku itu…(Damono, 2003: 4)
3) Kebun Mentimun
Dalam pencarian yang panjang mencari Juru Dongeng, akhirnya kancil
sampai disebuah kebun mentimun milik petani. Mentimun adalah buah yang
sangat disukai kancil sehingga saat melihat mentimun, kancil tak kuasa menahan
lapar. Di kebun mentimun ini lah kancil terperangkap oleh petani. Gambaran
tersebut dapat di lihat dalam kutipan berikut:
Dan aku pun pergi. Melanjutkan perjalanan rnencari Juru Dongeng yang disebut-sebut macan dan buaya itu. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun keluar masuk hutan, menyusuri bengawan, melintasi padang, dan akhirnya sampai di sebuah kebun rnentimun milik seorang petani. Seperti biasa, setiap kali melihat rnentimun aku jadi lapar sekali, tapi mau mencuri takut karena tampaknya ada orang yang menunggu meskipun hari sudah malam. Orang itu diam saja di tengah kebun seperti patung, bahkan ketika kudekati. Ternyata hanya orang-orangan yang biasa dipasang di kebun untuk menakut-nakuti binatang.Tapi aku kancil, tidak bisa kena tipu malah biasa menipu. Timbul keberanianku. Harus kutumpahkan dulu segala kejengkelanku terhadap orang-orangan tolol yang ditanam di kebun itu. Maka kusepaklah ia dengan kaki kiriku. Eh, lengket. Kaki kananku, lengket pula. Aku berusaha melepaskan diri dari orang-orangan itu tapi semua kaki dan seluruh tubuhku malah lengket ke tubuhnya yang dilumuri getah. Aku capek dan rnerasa bodoh dan putus asa dan rnenggantung di orang-orangan itu. (Damono, 2003: 4-5)
4) Rumah Pak Tani
Rumah Pak Tani dalan cerpen ini adalah latar saat kancil dikurung dan
konflik batin kancil saat hendak disembelih esok harinya. Usaha untuk
mengelabui si anjing tidak berhasil karena si anjing sudah tahu bahwa itu tipuan
dan rencana Juru Dongeng. Hal ini tergambar dalam kutipaan berikut:
Paginya kulihat Pak Tani datang, "lni dia, ada kancil kena tangkap!" Kemudian kusadari bahwa aku benar-benar berada dalarn bahaya. Tidak ditangkap macan atau buaya atau manusia, terapi oleh benda tak bernyawa yang dipasang dikebun. Aku pun dibawa Pak Tani ke rumahnya, yang ternyara sedang siap-siap menyelenggarakan perhelatan besar. Anak gadis Pak Tani mau dikawinkan besok pagi.
Pak Tani dengan bangga memamerkanku kepada keluarganya dan bilang bahwa besok aku akan dikuliti, dipotong-potong dijadikan sate sebagai santapan para
ramu. "Masukkan dulu ke kurungan bambu itu, Pak. Biar ditunggui si Anjing. Nanti lepas kalau dibiarkan sendiri," begitu kata istrinya. Mernang itulah garis kisah yang harus kujalani.(Damono, 2003: 5)
3.3.2.2.2 Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu memiliki
pengaruh pada perkembangan plot dan cerita secara keseluruhan. Menurut
Genette ( dalam Nurgiyantoro, 1995: 231), masalah waktu dalam karya naratif
dapat bermakna ganda, yaitu di satu pihak menyaran pada waktu penceritaan,
waktu penulisan cerita, dan di pihak lain merujuk pada waktu dan urutan waktu
yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita.
Dalam cerpen Dongeng Kancil ini, penulis menemukan beberapa latar
waktu saat terjadinya peristiwa. Pada beberapa bagaian ada yang menggambarkan
terjadinya peristiwa itu sore hari, seperti pertemuan tokoh Aku dan kancil.
Pada suatu sore yang sangat cerah ada seekor kancil mendekati-Ku dan berkata, "Bung, dari mana saja kau?" Aku selalu dianggap sebagai yang menyapa-Ku. Maksud-Ku, kalau ada gajah bertemu dengan-Ku, ia akan melihat-Ku sebagai seekor gajah, kalau ada manusia melihat-Ku, ia akan memperlakukan-Ku sebagai manusia, dirinya sendiri.
Kancil itu tampak kelelahan, mungkin sesudah berjalan jauh masuk keluar hutan seharian. Ia berada di dekat sebuah rumpun bambu yang lebat, yang kereat-kereotnya terdengar agak keras lantaran angin sore yang berembus dari selatan. Lidahnya terjulur, ujungnya tampak terluka dan mengeluarkan sedikit darah.(Damono, 2003: 1)
Penulis juga menemukan latar waktu yang menyaran pada waktu pagi,
yaitu ketika Pak Tani menemukan kancil terperangkap. Hal ini tergambar seperti
pada kutipan berikut:
Paginya kulihat Pak Tani datang, "lni dia, ada kancil kena tangkap!" Kemudian kusadari bahwa aku benar-benar berada dalarn bahaya. Tidak ditangkap macan atau buaya atau manusia, terapi oleh benda tak bernyawa yang dipasang dikebun. Aku pun dibawa Pak Tani ke rumahnya, yang ternyara sedang siap-siap menyelenggarakan perhelatan besar. Anak gadis Pak Tani mau dikawinkan besok pagi.(Damono, 2003: 5)
Latar yang menyaran pada waktu malam pun ditemukan dalam cerpen ini,
ketika kancil tertidur dikurungan Pak Tani.
…Aku pun tertidur, letih setelah terus-menerus diajak oleh Sang Malam membicarakan kekhusukan subuh dan keindahan fajar yang tak ada taranya: matahari akan muncul dari sela-sela perbukitan sana dan cahayanya bersijingkat mendekati desa itu.(Damono, 2003: 6)
3.3.2.2.3 Latar Sosial
Latar sosial menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Latar sosial menginformasikan mekanisme sosial yang mencakup berbagai
masalah dalam lingkup yang kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat
istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan
lainnya yng tergolong dalam latar spritual. Latar sosial merupakan bagian latar
secara keseluruhan sebab merupakan kepaduan dari kedua unsur latar yang
lainnya, yaitu latar tempat dan waktu (Nurgiyantoro, 1995: 235-236)
Latar sosial yang tergambar pada cerpen Dongeng Kancil tidak terlalu
jelas. Penulis hanya menemukan latar sosial tentang kehidupan petani di desa.
Kehidupannya pun tidak secara detail digambarkan, hanya diceritakan seorang
petani yang akan mengadakan perkawinan putrinya. Kisah yang terjadi pada
dongeng kancil terjadi di kebun petani desa dan hutan-hutan sekitarnya.
3.3.3 Analisis Verbal
Aspek terakhir yang diperlukan dalam analisis adalah aspek verbal. Aspek
verbal merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui kehadiran pencerita.
Kehadiran pencerita dibagi ke dalam dua wilayah, yaitu pencerita ekstern dan
pencerita intern. Selain mengklarifikasi wilayah pencerita, aspek verbal juga
menganalisis bagaimana penceritaan itu digunakan. Peristiwa yang disampaikan
secara berurutan disebut pengujaran. Pengujaran ini terlaksana dalam rangkaian
komunikasi yang menuntut kehadiran seorang pengirim dan penerima.
Istilah penceritaan digunakan untuk menganalisis penuturan wacana cerita.
Penceritaan yang sesuai dengan visi dapat dibedakan menjadi tiga tipe penceritaan,
yaitu wicara yang dilaporkan, wicara yang dialihkan dan wicara yang dinarasikan.
3.3.3.1 Wicara yang Dilaporkan
Pengertian wicara yang dilaporkan adalah pencerita menggunakan cakapan
langsung. Dari jarak dekat, visi pemandang mencakupp seluruh objek. Dekatnya
jrak visi antara pemandang merasa bahwa segalanya benar-benar terjadi maka
dilakukan peniruan dan pencerita memberikan mandat untuk menyampaikan
cerita pada tokoh-tokohnya, akan berupa wicara langsung. Tugas pencerita
hanyalah melaporkan cakapan para tokoh sebagaimana adanya tanpa
mengubahnya. Dalam cerpen Dongeng Kancil , bentuk wicara yang dilaporkan
tidak ditemukan. Semua percakapan tidak ada yang menggunakan percakapan
langsung.
3.3.3.2 Wicara yang Dialihkan
Pengertian wicara yang dialihkan, yaitu pencerita tidak memberikan
mandatnya pada tokoh untuk mengemukakan cerita, melainkan dia sendiri yang
berperan. Pencerita berusaha agar dapat menyampaikan cerita dengan efektif
sehingga ia tidak menggunakan wicaranya sendiri seluruhnya, melainkan ia
menggunakan wicara tokoh yang dialihkan menjadi wicarnya sendiri. Pencerita
tidak hanya mengemukakan peristiwa, melainkan juga pandangan tokoh, pikiran
mereka dan sebagainya. Pencerita menggunakan wicara yang dialihkan dengan
kalimat tak langsung.
Pada cerpen Dongeng Kancil dapat ditemukan bentuk penceritaan yang
menggunakan wicara yang dialihkan, seperti pada penggalan berikut ini.
Aku suka menyaru. Masuk keluar kampung, menyusuri jalan raya, ikut duduk-duduk di tamari kota bersama para pensiunan, menikmati pemandangan sekitar desa yang terpencil,
Menyeberang sungai, dan masuk hutan. Dalam penyaruan itu. Aku akan selalu diperlakukan sebagai apa pun yang kebetulan bertemu dengan-Ku, mengeluh tentang Juru Dongeng itu.**(Damono, 2003: 7)
Penggalan diatas merupakan pelukisan kisah Aku tentang penyaruan dan
bagaimana perlakuan apa pun yang menemuinya.
3.3.3.3 Wicara yang Dinarasikan
Pengetian wicara yang dinarasikan, yaitu pemandang melihat segala yang
terjadi dari jarak jauh, ia melihat melihat berbagai hal yang didapatkan, sehingga
tidak lengkap. Maka pencerita luar cerita menyajikan sendiri jalan cerita dengan
menggunakan wicara yang dinarasikan. Bentuk wicara yang dinarasikan dapat
ditemukan dalam cerpen ini, seperti pada penggalan berikut.
Aku menyaksikan seekor kancil yang mulai kusut pikirannya, Ia mengutarakan hal yang sama sekali tidak dipaharninya,Apalagi dihayatinya. Suara kereat-kereot rumpun bambu itu adalah seruling yang menjadi latar adegan ini. Tanpa menatap-Ku ia melanjutkan keluhannya.(Damono, 2003: 3)
Penggalan di atas merupakan narasi tokoh Aku ketika mendengar keluhan
kancil tentang macan yang mendatanginya.
3.4 Analisis Cerpen Dongeng Kancil dengan Pembacaan Psikoanalisis
3.4.1 Pengantar
Pembacaan psikoanalisis yang dilakukan oleh penulis dalam cerpen ini,
memfokuskan pada tokoh yang melakoni dalam cerpen. Penulis membatasi
penelitian ini pada analisis struktural bukan analisis biografis atau kepengarangan.
Teknik penceritaan dalam teknik ber-aku tidak terlalu menonjol pada cerpen ini
tapi kemudian tokoh Aku banyak pengalami perubahan secara emosi, pemikiran,
psike menjadi tokoh lain yang ada dalam cerpen ini yaitu menjadi anak tiri.
Ketidaksadaran yang menguasi tokoh Aku merealisasikan hasrat Aku ingin
menjadi tokoh lain dalam cerpen, tetapi tidak secara langsung berubah menjadi
tokoh lain namun melaporkannya lewat logika bahasa. Sesuai dengan anggapan
Lacan yang menyatakan bahwa hasrat tidak bisa menunggangi bahasa, dan
bahasalah yang memanipulasi hasrat. Ketika hasrat Aku sudah tercebur ke dalam
bahasa, secara tidak langsung ia harus mengikuti aturan bahasa, dan tidak bisa
memanipulasi bahasa. Dari dasar ini, penulis menemukan tafsir bahwa hasrat Aku
yang berubah menjadi identitas lain yang dimanipulasi bahasa.
3.4.2 Relasi Antartokoh
Aku sebagai sentral yang berarti pencipta tokoh dan yang melakukan
identifikasi yang menginginkan ego ideal. Ego ideal ini digambarkan sebagai
Tuhan. Aku mencoba menggunakan penekanan atas keinginannya tersebut dengan
menjadi tokoh Aku dalam cerpen. Aku memposisikan diri sebagai pengarang dan
pencipta tokoh dalam cerpen Dongeng Kancil.
Aku adalah ideal yang merasa , kehilangan itu merupakan ciri dari tahap
simbolik yang dicanangkan Lacan. Dalam tahap simbolik permintaan kita adalah
apa yang tidak akan terwujud. Ketika aku merasa kehilangan itu berarti
kekosongan telah dialami oleh Aku. Hasrat Aku ingin menjadi apa yang
melihatnya. Hasrat tersebut merupakan hasrat mengenai sesuatu yang ideal atas
apa yang menjadi gagasan pemikirannya, yaitu konsepsi tentang penyaruan
(Penyamaran). Jika selama ini orang selalu dipandang sebagai makhluk biasa saja,
dalam cerpen Dongeng Kancil hal itu dijungkirbalikan. Aku menjadikan seorang
yang ideal yaitu bisa menyaru. Bisa menyaru merupakan hasrat Aku.
Kontraposisi ini hanya terjadi dalam tahap Simbolik dan Imajiner.
Pengejawantahan hasrat yang dimanipulasi melalui penanda-penanda dalam
bentuk bahasa atau pencitraan. Aku dalam cerpen hidup dengan segala gagasan
ideanya terhadap kehidupan dalam fakta cerita. Di akhir cerita, aku pengarang
memasukan diri sebagai identitas orang yang bisa menyaru. Orang ini
digambarkan sebagai orang yang selalu terlihat sebagai apa yang menyapaNya.
Misalnya, kalau ada gajah yang bertemu, ia akan melihat Aku sebagai gajah.
Berikut bagan relasi yang penulis rumuskan dari fakta cerita.
Keterangan Bagan:
Relasi identitas
Relasi antartokoh berdasarkan fakta cerita
Deskripsi bagan:
Aku suka menyaru. Aku selalu dianggap sebagai yang menyapanya. Ketika kancil
melihat Aku, Aku akan terlihat seperti kancil. Kancil adalah tokoh yang menjadi
korban rencana Juru Dongeng akan semua alur kehidupannya. Macan berlakon
sebagai tokoh yang mengelabui kancil di rimbun bambu. Macan mengalihkan
cerita yang sudah dirancang oleh Juru Dongeng. Macan harusnya menjadi korban
tipu daya kancil tetapi dalam cerpen ini, justru kancil yang dianiaya macan karena
Aku
Anjing
Pak Tani
Kawanan Buaya
Macan
Kancil
Juru Dongeng
macan sudah tahu siasat Juru Dongeng untuk mencelakainya. Akhirnya kancil
harus menahan sakit karena lidahnya harus dijepitkan di batang bambu. Kejadian
ini mengingatkan kancil pada kejadian yang sama, yaitu ketika bertemu dengan
sekawanan buaya di Bengawan. Kancil tak dapat menipu buaya-buaya itu dengan
kecerdikan akalnya. Kawanan buaya sudah tahu apa yang dilakukan adalah
rencana Juru Dongeng yang merugikan buaya. Akhirnya kancil menjadi
pelampiasan dendam para buaya walau tidak sampai dimakannya. Buaya-buaya
tersebut malah meminta kancil untuk mencari Juru Dongeng yang selama ini
mentaur rencana. Kancil pun berangkat mencari Juru Dongeng hingga bertahun-
tahun lamanya keluar masuk hutan. Belum sampai pada tujuan yaitu menemui
Juru Dongeng, kancil tiba di sebuah kebun mentimun milik seorang petani. Di
kebun mentimun ini lah, kancil akhirnya terperangkap dan dibawa Pak Tani ke
rumahnya untuk dijadikan hidangan para tamu esok harinya. Sebelum disembelih
kancil dikurung dalam kurungan bambu yang ditunggui seekor anjing kampung
yang korepan. Anjing sempat dikelabui oleh kancil tapi lagi-lagi anjing itu tahu
bahwa apa yang direncanakan kancil adalah rencana Juru Dongeng. Akhirnya
kancil putus asa, semua hewan sudah mengetahui rencana Juru Dongeng
sedangkan Juru Dongeng itu tak jua ia temui. Kancil tidak tahu nasib selanjutnya,
ia pasrah dan tertidur dalam kurungan menunggu untuk dijadikan hidangan esok
harinya.
3.4.3 Alienasi Aku
Aku tidak secara langsung merefresentasikan dirinya kancil. Aku melalui
proses yang sangat panjang beralienasi menjadi kancil. Pada awal cerita aku
hanya berperan sebagai orang yang suka menyaru dan tempat tokoh-tokoh lain
mengadu. Melalui peran ini Aku terus memperhatikan dan mendengarkan segala
keluhan kancil. Aku berubah menjadi identitas kancil setelah mengalami proses
yang panjang. Menjadi seperti kancil merupakan hasrat tokoh aku yang
sebelumnya tidak disadari oleh Aku. Hasrat Aku pada cerpennya ingin menjadi
ego ideal yaitu menjadi sesuatu yang bisa berubah jadi apa saja sesuai dengan
siapa yang menyapanya. Hasrat aku terpenuhi di ruang simbolik yaitu ketika aku
sudah masuk dalam bahasa.
Ego atau diri atau ‘i’dentity (aku dan identitas), pada beberapa tingkatan
selalu berupa fantasi berupa hasil dari suatu identifikasi dengan citra ekternal. Ide
tentang diri tersebut diciptakan melalui suatu identifikasi imajiner dengan citra di
cermin. Dalam konsepsi Lacan, wilayah imajiner merupakan tempat relasi
teralienasi dari diri ke citraannya sendiri.
Aku dalam cerpen Dongeng Kancil dominan menguasi cerita. Aku sebagai
tokoh yang menghidupkan tokoh-tokoh lain dalam cerpen. Kancil adalah hewan
yang mengeluh tentang dirinya yang dicelakai hewan-hewan lain karena mereka
sudah tahu rencana Juru Dongeng. Hal ini yang membuat Aku beralienasi menjadi
kancil untuk membantu mencari Juru Dongeng. Rasa iba Aku terhadap kancil
yang kusut pikirannya karena rencana Juru Dongeng sudah diketahui oleh musuh-
musuhnya. Kancil ingin mencari Juru Dongeng untuk menanyakan perihal ini.
Pengarang memposisikan sebagai aku yang menguasi alur cerita. Tapi pada akhir
pikiran Aku seakan terbius oleh cerita keluhan-keluhan kancil tentang Juru
Dongeng sehingga Aku menjadi kancil yang mencari Juru Dongeng.
Keluhan kancil tentang Juru Dongeng sebagai cermin bagi Aku. Membuat
Aku berada dalam tahap imajiner. Menurut lacan tahap dalam yang imajiner
terjadi fase cermin (stadu de miroir). Tokoh Aku suatu ketika menyaksikan
bayangan dirinya dalam cermin. Bayangan tersebut, oleh tokoh Aku, dikonfrontir
dengan keberadaan yang lain seperti Kancil yang mencari Juru Dongeng. Tokoh
Aku akan melihat citra dalam cermin kemudian melihat ke arah yang lain. Saat
itulah tokoh Aku mulai menyadari bahwa dirinya adalah eksis dan terpisah dari
yang lain. Itulah Individuasi. Tapi tokoh Aku mengira dirinya yang berada dalam
cermin adalah benar-benar dirinya. Citra tersebutlah yang akhirnya diakui sebagai
“aku” atau ego. Jadi, ego terbentuk dari kesalahan mempersepsi citra cerminal
sebagai aku. Citra tersebut dalam bahasa psikoanalisa disebut sebagai ego ideal.
Sebagai citra cerminal, ego ideal tidak akan pernah cocok dengan keadaan
individu yang sebenarnya. Ego tidak lain adalah konsep imajiner tentang diri yang
utuh, sempurna, nir-kekurangan dan tanpa keyakinan adanya kekurangan di
dalamnya. Ego atau aku tersebut akan menjadi selalu “liyan”, tidak setara dengan
bahkan bukan aku yang sebenarnya. Kancil yang selalu mengeluh tentang Juru
Dongeng yang membuat tokoh Aku mengambil alih peran tokoh kancil. Konflik
yang diderita kancil benar-benar membuat Aku menjadi aliensi kancil.
Aku mengganti objek (konsepsi mengenai kekurangan atas citra diri) yang
hilang itu dengan pengalihan ego, memispresepsi citraan sebagai dirinya,
mencampuradukan yang ideal dan faktual. Aku merasa menjadi subjek baru,
memanipulasi dirinya dengan menyebutkan bahwa Aku adalah kancil yang
mencari Juru Dongeng.
Inilah awal dari ego/diri Aku yang ingin menjadi ego ideal dan
dimanifestasikan sebagai tokoh yang hidup bersama dalam fakta cerita cerpen.
Kancil merupakan sosok bagi Aku untuk merepresentasikan gagasan-gagasannya.
3.4.4 Hasrat Aku
Identifikasi adalah proses dimana individu menginternalisasi atribut orang
lain dan mentransformasinya lewat imajinasi tak sadar. Identifikasi ini kemudian
menjadi bagian dari individu melalui pengambilalihan objek (sebagian atau
seluruhnya) untuk menyusun basis ego. Identifikasi berakar dari hasrat untuk
memiliki identititas. Menurut Lacan ego tidak dapat membedakan hasratnya dan
hasrat orang lain serta cenderung kehilangan dirinya dalam wilayah objek-objek
(manusia dan citraan).
Aku memakai sebagian atribut kancil sebagai bagaian dalam dirinya, yaitu
tentang kancil yang mencari Juru Dongeng. Aku adalah seorang penyaru sehingga
dapat menjadi apapun yang ia kehendaki dalam cerita hal ini. Manjadi kancil yang
mencari Juru Dongeng merupakan metonimia dari penyaruannya. Aku merasa apa
yang dialami kancil tersebut juga dialami oleh dirinya. Aku merasa apapun yang
telah direncanakan Juru Dongeng tidak pernah terlaksana. Aku
mengejewantahkan keadaan dirinya lewat atribut kancil untuk menggambarkan
gagasan dan suasana yang dialaminya.
Pernyataan Aku “Aku suka menyaru. Masuk keluar kampung, menyusuru
jalan raya, ikut duduk-duduk di taman kota bersama pensiunan menikmati
pemandangan sekitar desa terpencil, menyebrang sungai, dan masuk hutan. Dalam
penyaruan itu Aku akan selalu diperlakukan sebagai apa pun yang kebetulan
bertemu dengan-Ku, mengeluh tentang Juru Dongeng.” merupakan awal dari
hasratnya. Aku mengira dirinya bisa menyaru. Citra tersebutlah yang akhirnya
diakui sebagai “aku” atau ego. Jadi, ego terbentuk dari kesalahan mempersepsi
citra cerminal sebagai aku. Citra tersebut dalam bahasa psikoanalisa disebut
sebagai ego ideal. Sebagai citra cerminal, ego ideal tidak akan pernah cocok
dengan keadaan individu yang sebenarnya. Ego tidak lain adalah konsep imajiner
tentang diri yang utuh, sempurna, nir-kekurangan dan tanpa keyakinan adanya
kekurangan di dalamnya. Ego atau aku tersebut akan menjadi selalu “liyan”, tidak
setara dengan bahkan bukan aku yang sebenarnya.
Pembentukan citra yang salah pada fase cermin merupakan aleniasi.
Aleniasi dalam konsep Lacan selalu melibatkan dua arus berbeda, Aku dan liyan.
Aku adalah yang selalu kalah. Alienasi pertama Aku adalah ketika terjadi
kesalahan mempersepsi diri yang menempatkannya sebagai yang liyan bagi
dirinya sendiri atau terceburnya Aku ke dalam citra yang salah atau ego ideal.
Dalam yang imajiner Aku terus akan melakukan identifikasi pelbagai Liyan
menggunakan citra yang diperoleh dari cermin. Pengenalan Keliyanan (otherness)
semakin meneguhkan pangakuan bahwa citra cerminal adalah “aku”. Di sinilah,
bagi Lacan diri selalu dilihat dari yang liyan. Hal ini mengukuhkan bahwa aku
mengingkan ego ideal tapi tak bisa mewujudkanya karena Aku berada pada tahap
imajiner yaitu ketika semuanya terjadi keterpecahan. Aku tidak bisa menjadi
tokoh yang suka menyaru selamanya secara langsung tapi membuat semacam
cermin yaitu keluhan-keluhan kancil yang mengindikasikan bahwa itu pun Aku
alami.
Sarup ( 2008: 8) mengatakan bahwa Lacan berupaya meyerang ilusi-ilusi
umum yang menyamakan ego dengan diri. Berbeda dengan mereka yang
mengatakan “Saya berpikir, maka saya ada”, Lacan mengatakan: “Saya berpikir,
maka saya tidak ada. Oleh karena itu saya ada ketika saya tidak berpikir”. Atau,
“ Saya berpikir maka saya tidak dapat mengatakan saya ada”. Hal ini menunjukan
bahwa seorang Aku pengarang ketika berada dalam tulisan ia hadir disitu. Dirinya
lebur bersama bahasa dan menjadi subjek yang menggerakan cerita tersebut
dengan benar-benar menjadi Aku. Cerita kancil yang mencari Juru Dongeng untuk
menanyakan kepastian hidupnya diakui oleh Aku menjadi sebuah pengalaman
hidupnya selam ini. Aku merasa belum bisa menemukan Juru Dongeng yang
selama ini mengatur hidupnya. Aku tidak secara langsung merefresentasikan diri
sebagai kancil yang mencari Juru Dongeng tetapi menjadi penghidup cerita
dongeng kancil tersebut, kemudian mengambil sebagian identitas kancil itu
menjadi Aku yang sebenarnya yaitu mencari sang pengatur hidup.
3.5 Analisis Struktural Cerpen Membunuh Orang Gila
Analisis struktural yang penulis lakukan dalam menganalisis cerpen
Membunuh Orang Gila ini dibatasi hanya pada analisis alur, tokoh, dan latar.
Ketiga unsur tersebut merupakan fakta cerita yang dibutuhkan untuk kemudian
dilanjutkan dengan analisis menggunakan pendekatan psikoanalisis. Langkah
untuk menganalisis struktural adalah dengan cara analisis sintaksis, analisis
semantik, dan analisis verbal.
3.5.1 Analisis Sintaksis
Analisis sintaksis dilakukan untuk mengetahui alur dan pengaluran cerpen
Membunuh Orang Gila . Pengaluran dapat diketahui dengan cara merumuskan
sekuen, setelah megetahui pengaluran maka dirumuskan alur dengan
menggunakan fungsi utama.
3.5.1.1 Pengaluran
Secara detail cerita ini dimulai dari mobil tokoh Aku ditabrak orang gila
dan orang gila itu mati (S1). Orang-orang ribut dan mengerubung tokoh Aku dan
orang gila itu (S2). Tokoh Aku dibawa ke kantor polisi dan orang gila hilang
entah dibawa kemana (S3). Tokoh Aku berurusan dengan polisi tidak dengan
orang gila itu (S4). Penceritaan tentang polisi yang ramah karena polisi tersebut
pernah nyambi kuliah di sekolah tokoh Aku dan membujuj tokoh Aku agar tidak
bingung (S5). Tokoh Aku merasa agak sedih karena tidak bisa melihat orang gila
itu lagi di sepanjang antara Parung dan Bogor (S6). Penggambaran tokoh Aku
mengenai keseharian orang gila (S7). Tokoh Aku beranggapan bahwa orang gila
itu sudah menjadi sahabatnya meskipun orang gila itu tidak beranggapan begitu
(S8). Tokoh Aku merasa sedih karena upacara lempar-melempar senyum tidak
akan terjadi lagi setelah orang gila itu mati (S9). Ingatan tokoh Aku terhadap
orang-orang gila di masa kanak-kanaknya (S10). Penggambaran lima orang gila di
kampung tokoh Aku (S11). Tokoh Aku dikantor polisi harus
mempertanggungjawabkan yang tidak dilakukannya yakni membunuh orang gila
(S12). Penceritaan kronologis orang gila yang menabrak mobil tokoh Aku (S13).
Pertanyaan tokoh Aku mengenai alasan kegilaan orang gila itu (S14). Cerita anak
tokoh Aku mengenai keadaan sebelum reformasi bahwa waktu itu jarang sekali
melihat orang gila berkeliaran (S15). Kisah berlanjut pada penceritaan Ayah tokoh
Aku tentang keadaan sebelum reformasi semua harus nasakom, harus seragam
kalau lain akan dianggap gila dan diamankan (S16). Pikiran tokoh Aku
membenarkan cerita-cerita anak dan ayahnya (S17). Cerita ibunya menambah
gambaran bahwa pada zaman Belanda dan jepang tidak ada orang gila
gentayangan (S18). Pikiran tokoh Aku mengenai orang gila yang tertabrak adan
bertanya apakah orang itu korban perubahan dan bukan orang gila (S19).
Ketakutan tokoh Aku menumpuk mengenai orang gila itu (S20). Tokoh Aku
masih di kantor polisidan di bujuk untuk tidak bingung agar tidak sedih (S21).
Tokoh Aku merasa sedih karena merasa kehilangan sahabat dan kehilangan
harapan karena tidak akan bertemu orang gila itu (S22). Tokoh Aku sudah merasa
kehilangan segalanya hanya lantaran telah menabrak orang gila itu (S23).
Pertanyaan tokoh Aku mengenai orang gila itu, apakah ia aulia yang sudah
mencapai derajat tertentu adalam perjalanan hidupnya sehingga apa yang
dikerjakannya dianggap ngaco (S24). Kedaan dikantor polisi yang satu demi satu
polisi itu membujuk tokoh Aku untuk tidak bingung (S25). Ingatan tokoh Aku
terhadap kejadian dijalanan ketika ditilang oleh salahsatu polisi yang
membujuknya sekarang (S26). Tokoh Aku tiba-tiba merasa tersenyum dan semua
orang mengkhawatirkannya karena tersenyum tanpa sebab biasanya dianggap
gejala kegilaan (S27). Pikiran tokoh Aku bahwa ia sekarang gilirannya
menggantikan orang gila itu sebagai korban perubahan keadaan (S28).
3.5.1.2 Alur
Untuk melihat alur cerpen ini, terlebih dahulu harus melihat fungsi-fungsi
utama cerpen ini. Adapun urutan fungsi utama itu sebagai berikut:
1) Kejadian orang gila menabrak mobil tokoh Aku dan orang gila itu mati.
2) Tokoh Aku dibawa ke kantor polisi sedangkan orang gila itu entak kemana.
3) Tokoh Aku dikantor polisi dengan penuh kebingungan dan dibujuk oleh polisi
agar tidak bingung.
4) Kesedihan tokoh aku merasa kehilangan orang gila itu.
5) Orang gila itu mengingatkan tokoh Aku pada lima orang gila waktu ia kanak-
kanak.
6) Tokoh Aku dikantor polisi harus mempertanggungjawabkan apa yang tidak
dilakukannya yaitu membunuh orang gila.
7) Pertanyaan tokoh Aku mengenai orang gila itu, apakah ia benar-benar gila atau
hanya sebagai korban perubahan sesuai cerita-cerita anak, ayah dan ibunya.
8) Pikiran tokoh Aku tentang kebenaran cerita-cerita keluarganya mengenai
penyebab kegilaan orang-orang.
9) Kesedihan tokoh Aku karena telah kehilangan yang dianggapnya telah menjadi
sahabat.
10) Pikiran tokoh Aku mengenai penyebab kegilaan orang itu, apakah ia aulia
yang telah mencapai tingkat tertentu dan segala yang dia lakukan dianggap
ngaco oleh orang-orang.
11) Keadaan tokoh Aku yang tersenyum sendiri dan dikhawatirkan oleh semua
orang serta berpikir bahwa ia sekarang yang menjadi giliran menggantikan
sebagai korban perubahan.
Berikut alur yang terdapat dalam cerpen ini berdasarkan fungsi utama.
Cerita berawal dari kejadian orang gila menabrak mobil tokoh Aku dan orang gila
itu mati. Kemudian tokoh Aku dibawa ke kantor polisi sedangkan orang gila itu
entak kemana. Tokoh Aku dikantor polisi dengan penuh kebingungan dan dibujuk
oleh polisi agar tidak bingung. Tokoh Aku merasa sedih dan kehilangan orang
gila itu. Orang gila itu mengingatkan tokoh Aku pada lima orang gila waktu ia
kanak-kanak. Tokoh Aku dikantor polisi harus mempertanggungjawabkan apa
yang tidak dilakukannya yaitu membunuh orang gila. Kemudian tokoh Aku
bertanya mengenai orang gila itu, apakah ia benar-benar gila atau hanya sebagai
korban perubahan sesuai cerita-cerita anak, ayah dan ibunya. Pikiran tokoh Aku
tentang kebenaran cerita-cerita keluarganya mengenai penyebab kegilaan orang-
orang. Kesedihan tokoh Aku disebabkan karena telah kehilangan yang
dianggapnya telah menjadi sahabat. Pikiran tokoh Aku mengenai penyebab
kegilaan orang itu, apakah ia aulia yang telah mencapai tingkat tertentu dan segala
yang dia lakukan dianggap ngaco oleh orang-orang. Pada akhir cerita tokoh Aku
tersenyum sendiri dan dikhawatirkan oleh semua orang serta berpikir bahwa ia
sekarang yang menjadi giliran menggantikan sebagai korban perubahan.
3.5.2 Analisis Semantik
Aspek semantik dilakukan untuk mengetahui tokoh dan latar dalam cerpen
Membunuh Orang Gila. Analisis tersebut merupakan penafsiran sebagian yang
biasanya memberi intensitas lebih pada analisis tokoh. Tokoh-tokoh yang
digambarkan seorang pengarang merupakan kondensi mimetik, karena
referensinya adalah manusia-manusia dengan sifat, sikap, karakter dan tingkah
laku tetentu.
3.5.2.1 Tokoh
Setiap cerpen pasti memiliki tokoh atau pelaku yang diciptakan oleh
pengarang untuk mengusung sebuah cerita. Penciptaan dengan segala perwatakan
dan berbagai jati dirinya disebut penokohan.
Tokoh cerita menurut Abrams ( dalam Nurgiyantoro, 1995: 165) adalah
orang yang ditampilkan dalam suatu karya sastra yang oleh pembacanya
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Berikut ini adalah tokoh-tokoh dari cerpen Membunuh Orang Gila :
1) Tokoh Aku
Tokoh Aku tidak digambarkan secara fisik maupun watak yang jelas
dalam cerpen ini. Tokoh Aku adalah seorang dosen disebuah unversitas. Hal ini
tergambar seperti dalam kutipan berikut:
…Urusanku sekarang dengan polisi, tidak dengan si gila itu lagi. Polisi ramah, mungkin karena kepala tata usaha kantor itu pernah nyambi kuliah sore di sekolahku. Dibujuk-bujuknya aku agar tidak sedih, agar tidak bingung. Aku merasa tenang-tenang saja sehingga jadi agak bingung juga ketika dibujuk agar tidak bingung. (Damono, 2003: 62)
Tokoh Aku digambarkan sebagai orang yang penuh pemikiran dalam
hidupnya. Hal ini terbukti dengan pikiran-pikirannya mengenai orang gila. Orang
gila yang menabrak mobilnya menjadi beban pikiran bagi tokoh aku, dan merasa
kehilangan sahabat. Mungkin terdengar aneh rasanya, ketika orang menganggap
orang gila sebagai sahabat. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut:
Aku di kantor polisi. Dibujuk-bujuk oleh polisi agar tidak bingung, agar tidak sedih. Siapa pula yang tidak sedih kalau kehilangan sahabat ? Sekarang ini aku tak memiliki harapan lagi untuk ketemu si gila itu kalau berkerdara mobil ke Bogor. Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada tak punya harapan. Meluncur lurus saja di jalan aspal tanpa ada perasaan apa pun, tanpa ada orang gila--apa bahagianya! Aku mulai mencurigai diriku sendiri jangan-jangan sudah merasa kehilangan segala-galanya hanya lantaran telah melindas orang gila itu. (Damono, 2003: 66)
2) Si Gila
Si gila adalah tokoh yang menabrak mobil tokoh Aku. Orang gila ini
digambarkan sebagaimana orang gila pada umumnya, yaitu celana pendek
bolong-bolong yang tidak pernah dicuci, warna kulitnya cokelat yang tak pernah
terkena air juga rambutnya yang gimbal karena tak pernah kena air pula kecuali
kalau ia kehujanan. Tubuh orang gila ini ramping, jalannya tidak sempoyongan
dan selalu bahagia. Hal tersebut tergambar pada kutipan berikut:
Benar bahwa aku agak sedih. Si gila itu sekarang tidak akan pernah kulihat lagi di sepanjang jalan antara Parung dan Bogor. Hampir setiap kali rnelewati jalan itu aku melihatnya berjalan mengenakan celana pendek bolong-bolong yang tentunya tidak pernah dicuci sejak ia jatuh gila. Warnanya kecokelatan, persis warna kulit dan rambutnya yang kuterka tidak pernah kena air juga kecuali kalau ia kehujanan. Ia selalu tampak bahagia, jalannya tidak sempoyongan, tubuhnya ramping; ideal bagi pelari jarak jauh. Atau mungkin juga bagi peragawan. "Tiap hari itu saja yang dilakukannya, Pak. Jalan rnondar-rnandir Bogor-Ciputat," begitu kata tukang tambal ban pada suatu hari ketika ban mobilku gernbos.(Damono, 2003: 62-63)
3) Polisi
Polisi berperan sebagai penegak hukun yang membawa tokoh Aku ke
kantornya untuk mempertanggungjawabkan kecelakaan yang terjadi. Secara
watak polisi ini digambarkan sebagai polisi yang ramah. Hal ini tergambar pada
kutipan berikut:
…Urusanku sekarang dengan polisi, tidak dengan si gila itu lagi. Polisi ramah, mungkin karena kepala tata usaha kantor itu pernah nyambi kuliah sore di sekolahku. Dibujuk-bujuknya aku agar tidak sedih, agar tidak bingung. Aku merasa tenang-tenang saja sehingga jadi agak bingung juga ketika dibujuk agar tidak bingung. (Damono, 2003: 62)
4) Lima Orang Gila
Lima orang gila ini muncul ketika tokoh Aku mengingat masa kanak-
kanaknya. Diceritakan bahwa ada lima orang gila dikampungnya pada tahun
1950-an. Gambaran lima orang gila ini bisa dilihat pada kuitpan berikut:
Sejak melihat beberapa orang gila di Jabotabek akhir-akhir ini, aku suka ingat masa kanakku di tahun 1950-an. Setidaknya ada lima orang gila di kampungku ketika itu. Ada Pak Gajah, yang memakai segala macam gombal sehingga tubuhnya seperti onggokan kain perca. Ia tak berbahaya dan karenanya anak-anak suka menggodanya. Ada Mbok Kluwer, perempuan yang suka mengganggu ibu-
ibu yang pulang dari pasar dengan berputar-putar mengelilingi korbannya yang ketakutan meskipun si gila itu sebenarnya tak pernah menyakiti orang. Ada pula Sentlup, remaja gendut yang ingusnya Selalu keluar-masuk hidung ketika ia berada di selokan depan rumah kami. Kalau ditanya sedang cari apa, ia menatap heran kenapa karni menanyakan itu.
Dua gila yang lain aku lupa narnanya.Yang seorang suka ngamuk di rumahnya mengobrak-abrik sernua benda dan kemudian dibawa ia ke Mangunjayan, sebuah rumah sakit jiwa di kotaku. Yang seorang lagi seorang priayi yang tidak pernah keluar dari rumahnya dan dianggap oleh orang kampung sebagai aulia yang mampu meramal nomor lotere. Ketika kawin, aulia itu keliling kampung naik mesin giling aspal dan bukan kereta kuda. Kata ibuku rnereka sernua itu korban revolusi, hanya saja tidak dianggap sebagai pahlawan karena yang mati dalam revolusi sajalah yang dianggap pahlawan. Yang hidup tidak: ada yang mendirikan partai, ada yang gila, dan sangat banyak yang bernasib baik menjadi penonton saja. (Damono, 2003: 64)
5) Ibu
Tokoh ibu muncul sebagai pencerita dalam inggatan tokoh Aku mengenai
keadaa waktu zaman Belanda dan Jepang. Tokoh ibu merupakan ibu bilologis dari
tokoh Aku yang menceritakankan bahwa pada waktu Belanda masih ada, tidak
ada orang gila gentayangan di jalan. Kalau pada zaman jepang banyak orang
kelaparan dan pengemis, tetapi setelah revolusi, tak terhitung jumlah orang gila itu.
Hal ini tergambar pada kutipan berikut:
Aku memilih diam, memikirkan jangan-jangan benar demikian. Dulu, di zaman normal, waktu Belanda masih ada tidak ada orang gila gentayangan di jalan. Begitu kata ibuku waktu aku masih kecil. Zaman Jepang banyak orang kelaparan dan pengemis, tetapi setelah revolusi yang waktu itu katanya belum selesai-selesai juga, tak terhitung jumlah orang gila di kotaku.(Damono, 2003: 65)
6) Anak Perempuan
Anak perempuan ini hampir sama kedudukannya seperti tokoh ibu yaitu
sebagai pencerita mengenai keadaan zaman sebelum reformasi. Anak perempuan
dari tokoh Aku ini merupakan mantan mahasiswa yang juga merupakan aktifis
kampus yang sibuk membuat poster-poster reformasi. Gamaran hal tersebut dapat
terlihat dari kutipan berikut:
Tapi apa ia memang gila? Yang jelas ia adalah korban reformasi. Itu kata anakku perempuan yang waktu mahasiswa empat tahun silam suka sibuk bikin poster reformasi meskipun omongnya suka ngaco. Sebelum zaman geger-geger ini, kata anakku itu, jarang sekali terlihat orang gila di jalanan. “Dulu kita kan tidak boleh begini-begitu, Yah," kata anakku yang belajar ilrnu sejarah itu. "Semuanya harus selaras dan searus. Mulai dari pakaian sampai pikiran. Mulai dari seragam korpri sampai pe-empat…(Damono, 2003: 65)
3.5.2.2 Latar
Latar merupakan unsur yang harus ada dalam sebuah cerpen. Mengutip
pendapat Abrams, Nurgiyantoro ( 1995: 216) mendefinisikan latar sebagai
landasan tumpu, menyarankan pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadi peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Analisis latar meliputi tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial.
Latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan ( Abrams dalam Nurgiyantoro,1995: 216).
Adapun unsur latar dalam analisis pada penelitian ini adalah latar tempat,
latar waktu, dan latar sosial.
3.5.2.2.1 Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 1995: 227). Berikut merupakan latar
tempat yang terdapat dalam cerpen Membunuh Orang Gila yang penulis temukan.
1) Jalan
Jalan merupakan tempat kejadian mobil tokoh Aku ditabrak orang gila.
Jalan menjadi tempat orang gila tinggal, setiap hari mondar-mandir menyusuri
jalan tanpa tujuan yang jelas. Dalam cerpen ini tidak secara langsung disebutkan
bahwa terjadinya tabrakan itu di jalan tapi ini merupakan tafsiran penulis. Sudah
menjadi pengetahuan umum bahwa terjadinya kecelakaan pasti terjadi di jalan.
Berikut kutipan terjadinya tabrakan.
Mobilku baru saja ditabrak seorang gila. Ia mati. Segala yang berasal dari-Nya akan kembali juga kepada-Nya. Orang-orang rebut, merubung kami persis lalat…(Damono, 2003: 62)
2) Kantor Polisi
Kantor polisi merupakan tempat tokoh Aku harus
mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak dilakukannya yaitu membunuh
orang gila. Dikantor polisi ini pula tokoh Aku banyak berpikir tentang orang gila
itu. Ingatan-ingatan mengenai orang-orang gila bermunculan di kantor polisi
karena tokoh Aku merasa kehilangan orang gila tersebut. Hal tersebut tergambar
pada kutipan berikut:
Dan kiri aku di kantor polisi, harus mempertanggungjawabkan apa yang telah tidak kukerjakan, yakni membunuh orang gila. Aku mengendarai mobil 50 km per jam, melihatnya berjalan dan, seperti biasanya, aku melempar senyum padanya. Mungkin gara-gara lemparan senyumku itu ia jadi panik, lari menyerang jalan dan malah rnenabrak mobilku. Begitu. Aku telah melakukan sesuatu yang tidak kulakukan: membunuh orang gila. (Damono, 2003: 64-65)
3.5.2.2.2 Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu memiliki
pengaruh pada perkembangan plot dan cerita secara keseluruhan. Menurut
Genette ( dalam Nurgiyantoro, 1995: 231), masalah waktu dalam karya naratif
dapat bermakna ganda, yaitu di satu pihak menyaran pada waktu penceritaan,
waktu penulisan cerita, dan di pihak lain merujuk pada waktu dan urutan waktu
yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita.
Dalam cerpen Membunuh Orang Gila ini, penulis menemukan beberapa
latar waktu seperti waktu yang menunjukan tahun, yaitu tahun 1950-an. Pada
tahun ini merupakan masa kanak-kanak tokoh Aku yang bercerita tentang lima
orang gila. Seperti tampak pada kutipan berikut:
Sejak melihat beberapa orang gila di Jabotabek akhir-akhir ini, aku suka teringat masa kanakku di tahun 1950-an. Setidaknya ada lima orang gila di kampungku ketika itu….(Damono, 2003: 64)
Penulis juga menemukan waktu yang menyaran pada zaman Belanda dan
zaman Jepang ketika tokoh Aku ingat cerita ibunya. Hal tersebut tergambar dalam
kutipan berikut:
Aku memilih diam, memikirkan jangan-jangan benar demikian. Dulu, di zaman normal, waktu Belanda masih ada tidak ada orang gila gentayangan di jalan. Begitu kata ibuku waktu aku masih kecil. Zaman Jepang banyak orang kelaparan dan pengemis, tetapi setelah revolusi yang waktu itu katanya belum selesai-selesai juga, tak terhitung jumlah orang gila di kotaku.(Damono, 2003: 65)
3.5.2.2.3 Latar Sosial
Latar sosial menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Latar sosial menginformasikan mekanisme sosial yang mencakup berbagai
masalah dalam lingkup yang kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat
istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan
lainnya yng tergolong dalam latar spritual. Latar sosial merupakan bagian latar
secara keseluruhan sebab merupakan kepaduan dari kedua unsur latar yang
lainnya, yaitu latar tempat dan waktu (Nurgiyantoro, 1995: 235-236)
Latar sosial yang tampak pada cerpen Membunuh Orang Gila ini adalah
lingkungan jalanan ibu kota yang selalu dipenuhi orang gila berkeliaran. Kejadian
yang membuat mobil tokoh Aku ditabrak oleh orang gila adalah menggambarkan
jalanan tempat orang gila bermain. Hal ini tergambar pada kutipan berikut:
Benar bahwa aku agak sedih. Si gila itu sekarang tidak akan pernah kulihat lagi di sepanjang jalan antara Parung dan Bogor. Hampir setiap kali rnelewati jalan itu aku melihatnya berjalan mengenakan celana pendek bolong-bolong yang tentunya tidak pernah dicuci sejak ia jatuh gila. Warnanya kecokelatan, persis warna kulit dan rambutnya yang kuterka tidak pernah kena air juga kecuali kalau ia kehujanan. Ia selalu tampak bahagia, jalannya tidak sempoyongan, tubuhnya ramping; ideal bagi pelari jarak jauh. Atau mungkin juga bagi peragawan. "Tiap hari itu saja yang dilakukannya, Pak. Jalan rnondar-rnandir Bogor-Ciputat," begitu kata tukang tambal ban pada suatu hari ketika ban mobilku gernbos.(Damono, 2003: 62-63)
Terdapat pula latar saat zaman Jepang yaitu banyaknya orang kelaparan
dan pengemis. Zaman Belanda tidak ada orang gila gentayangan di jalan. Kutipan
dibawah ini dapat memberikan gambaran hal tersebut.
Aku memilih diam, memikirkan jangan-jangan benar demikian. Dulu, di zaman normal, waktu Belanda masih ada tidak ada orang gila gentayangan di jalan.
Begitu kata ibuku waktu aku masih kecil. Zaman Jepang banyak orang kelaparan dan pengemis, tetapi setelah revolusi yang waktu itu katanya belum selesai-selesai juga, tak terhitung jumlah orang gila di kotaku.(Damono, 2003: 65)
3.5.3 Analisis verbal
Aspek terakhir yang diperlukan dalam analisis adalah aspek verbal. Aspek
verbal merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui kehadiran pencerita.
Kehadiran pencerita dibagi ke dalam dua wilayah, yaitu pencerita ekstern dan
pencerita intern. Selain mengklarifikasi wilayah pencerita, aspek verbal juga
menganalisis bagaimana penceritaan itu digunakan. Peristiwa yang disampaikan
secara berurutan disebut pengujaran. Pengujaran ini terlaksana dalam rangkaian
komunikasi yang menuntut kehadiran seorang pengirim dan penerima.
Istilah penceritaan digunakan untuk menganalisis penuturan wacana cerita.
Penceritaan yang sesuai dengan visi dapat dibedakan menjadi tiga tipe penceritaan,
yaitu wicara yang dilaporkan, wicara yang dialihkan dan wicara yang dinarasikan
3.5.3.1 Wicara yang Dilaporkan
Pengertian wicara yang dilaporkan adalah pencerita menggunakan cakapan
langsung. Dari jarak dekat, visi pemandang mencakup seluruh objek. Dekatnya
jarak visi antara pemandang merasa bahwa segalanya benar-benar terjadi maka
dilakukan peniruan dan pencerita memberikan mandat untuk menyampaikan
cerita pada tokoh-tokohnya, akan berupa wicara langsung. Tugas pencerita
hanyalah melaporkan cakapan para tokoh sebagaimana adanya tanpa
mengubahnya. Dalam cerpen Membunuh Orang Gila , bentuk wicara yang
dilaporkan tidak ditemukan. Pengarang tidak ada yang menggunakan cakapan
langsung, hampir seluruh cerita didominasi oleh cerita narasi.
3.5.3.2 Wicara yang Dialihkan
Pengertian wicara yang dialihkan, yaitu pencerita tidak memberikan
mandatnya pada tokoh untuk mengemukakan cerita, melainkan dia sendiri yang
berperan. Pencerita berusaha agar dapat menyampaikan cerita dengan efektif
sehingga ia tidak menggunakan wicaranya sendiri seluruhnya, melainkan ia
menggunakan wicara tokoh yang dialihkan menjadi wicarnya sendiri. Pencerita
tidak hanya mengemukakan peristiwa, melainkan juga pandangan tokoh, pikiran
mereka dan sebagainya. Pencerita menggunakan wicara yang dialihkan dengan
kalimat tak langsung.
Pada cerpen Membunuh Orang Gila dapat ditemukan bentuk penceritaan
yang menggunakan wicara yang dialihkan, seperti pada penggalan berikut ini.
Tapi apa ia memang gila? Yang jelas ia adalah korban reformasi. Itu kata anakku perempuan yang waktu mahasiswa empat tahun silam suka sibuk bikin poster reformasi meskipun omongnya suka ngaco. Sebelum zaman geger-geger ini, kata anakku itu, jarang sekali terlihat orang gila di jalanan. “Dulu kita kan tidak boleh begini-begitu, Yah," kata anakku yang belajar ilrnu sejarah itu. "Semuanya harus selaras dan searus. Mulai dari pakaian sampai pikiran. Mulai dari seragam korpri sampai pe-empat…(Damono, 2003: 65)
Penggalan diatas merupakan pelukisan pikiran pengarang yang didapat
dari anak perempuannya mengenai keadaan zaman reformasi.
3.5.3.3 Wicara yang Dinarasikan
Pengetian wicara yang dinarasikan, yaitu pemandang melihat segala yang
terjadi dari jarak jauh, ia melihat melihat berbagai hal yang didapatkan, sehingga
tidak lengkap. Maka pencerita luar cerita menyajikan sendiri jalan cerita dengan
menggunakan wicara yang dinarasikan. Bentuk wicara yang dinarasikan dapat
ditemukan dalam cerpen ini, seperti pada penggalan berikut.
Meskipun hanya berkelebat, aku pernah beberapa kali melihat burungnya nongol dari celana bolongnya. Tetapi tentu saja aku merasa sedih bukan karena tidak akan menyaksikan itu lagi aku lelaki normal yang tidak tertarik kepada burung tetapi kepada yang lain, begitu. Selama ini ia diam-diam sudah menjadi sahabatku meskipun tentunya ia tidak beranggapan begitu. Tetapi siapa tahu? Aku selalu melernpar senyum setiap kali ketemu, meskipun mungkin lernparanku itu tak disambutnya. Apa peduliku? Tetapi siapa tahu ia juga membalas lemparan senyumku, yang tidak sempat kulihat karena mobilku terus melaju? Aku sedih karena upacara lempar-melempar senyum itu tidak akan terjadi lagi setelah ia mati. (Damono, 2003: 63)
Penggalan diatas merupakan narasi tokoh Aku mengenai kiashnya dengan
orang gila yang selalu dilihatnya setiap melewati jalan itu. Tokoh Aku merasa
kehilangan dengan matinya orang gila tersebut.
3.6 Analisis Cerpen Membunuh Orang Gila dengan Pembacaan Psikoanalisis
3.6.1 Pengantar
Pembacaan psikoanalisis yang dilakukan oleh penulis dalam cerpen ini,
memfokuskan pada tokoh yang melakoni dalam cerpen. Penulis membatasi
penelitian ini pada analisis struktural bukan analisis biografis atau kepengarangan.
Teknik penceritaan dalam teknik ber-aku tidak terlalu menonjol pada cerpen ini
tapi kemudian tokoh Aku banyak pengalami perubahan secara emosi, pemikiran,
psike menjadi tokoh lain yang ada dalam cerpen ini yaitu menjadi anak tiri.
Ketidaksadaran yang menguasi tokoh Aku merealisasikan hasrat Aku ingin
menjadi tokoh lain dalam cerpen, tetapi tidak secara langsung berubah menjadi
tokoh lain namun melaporkannya lewat logika bahasa. Sesuai dengan anggapan
Lacan yang menyatakan bahwa hasrat tidak bisa menunggangi bahasa, dan
bahasalah yang memanipulasi hasrat. Ketika hasrat Aku sudah tercebur ke dalam
bahasa, secara tidak langsung ia harus mengikuti aturan bahasa, dan tidak bisa
memanipulasi bahasa. Dari dasar ini, penulis menemukan tafsir bahwa hasrat Aku
yang berubah menjadi identitas lain yang dimanipulasi bahasa.
3.6.2 Relasi Antartokoh
Aku sebagai sentral yang berarti pencipta tokoh dan yang melakukan
identifikasi yang menginginkan ego ideal. Ego ideal ini digambarkan sebagai
seorang pengendara mobil yang ditabrak seorang gila. Aku mencoba
mengendurkan penekanan atas keinginannya tersebut dengan menjadi tokoh Aku
dalam cerpen. Aku memposisikan diri sebagai pengarang dan pencipta tokoh
dalam cerpen Membunuh Orang Gila.
Aku adalah sosok pemikir yang merasa kehilangan dengan seorang gila
yang meninggal, kehilangan itu merupakan ciri dari tahap simbolik yang
dicanangkan Lacan. Dalam tahap simbolik permintaan kita adalah apa yang tidak
akan terwujud. Ketika aku merasa kehilangan itu berarti kekosongan telah dialami
oleh Aku. Hasrat Aku untuk selalu melihat orang gila di jalan seakan sirna dengan
kejadian tabrakan itu. Hasrat tersebut merupakan hasrat mengenai sesuatu yang
ideal atas apa yang menjadi gagasan pemikirannya, yaitu konsepsi tentang orang
gila. Jika selama ini orang gila selalu dipandang sebagai makhluk yang
mengerikan dan menjijikan bagi sekalangan orang, dalam cerpen Membunuh
Orang Gila hal itu dijungkirbalikan. Aku menjadikan seorang gila itu menjadi
sahabat diperjalanan.
Kontraposisi ini hanya terjadi dalam tahap Simbolik dan Imajiner.
Pengejawantahan hasrat yang dimanipulasi melalui penanda-penanda dalam
bentuk bahasa atau pencitraan. Aku dalam cerpen hidup dengan segala gagasan
ideanya terhadap kehidupan orang gila dalam fakta cerita. Di akhir cerita, aku
pengarang memasukan diri sebagai identitas orang gila. Orang gila ini
digambarkan sebagai orang yang selalu dilihat Aku ketika perjalanan Parung-
Bogor. Orang gila dalam cerpen ini tak ubahnya seperti orang gila pada umumnya,
mengenakan celana bolong yang tentunya tak pernah dicuci. Berikut bagan relasi
yang penulis rumuskan dari fakta cerita.
Aku
Polisi
Anak Perempuan
Ibu
Lima Orang Gila
Orang Gila
Keterangan Bagan:
Relasi identitas
Relasi antartokoh berdasarkan fakta cerita
Deskripsi bagan:
Aku sedang melaju mengendarai mobil tiba-tiba ada orang gila yang
menabrak mobilnya. Orang gila itu langsung mati. Hal ini yang menyebabkan
Aku berurusan dengan polisi. Polisi yang membawanya ke kantor tergambar
sebagai seorang yang ramah, karena kepala tata usahanya pernah nyambi kuliah di
sekolah Aku. Tokoh Aku agak bingung dengan kejadian tabrakan ini, ia merasa
kehilangan sahabat yang selalu ditemuinya setiap perjalanan Parung-Bogor. Ada
hal yang membuat Aku sangat kehilangan orang gila itu, yakni upacara melempar
senyum yang selalu dilakukannya setiap bertemu dijalan. Upacara itu tidak akan
terjadi lagi karena orang gila itu sudah mati menabrak mobilnya. Orang gila ini
yang menyebabkan Aku teringat pada masa kanaknya menegenai lima orang gila
di kampungnya pada sekitar tahun 1950-an. Sifat dan kelakuan orang-orang gila
itu sangat berbeda-beda. Salah satu contoh Pak Gajah yang selalu memakai segala
macam gombal sehingga tubuhnya seperti onggokan kain perca. Ada Mbok
Kluwer, perempuan yang suka mengganggu ibu-ibu yang pulang dari pasar
dengan mengelilingi korbannya dan tiga orang lainnya dengan sifat dan kebiasaan
yang berbeda sesuai dengan penyebab kegilaannya. Aku masih di kantor polisi
harus mempertanggungjawabkan hal yang tak pernah dilakukannya yaitu
membunuh orang gila. Kronologis kejadian tabrakan itu menunjukan bahwa Aku
tidak bersalah. Aku sedang menjalankan mobil 50 km per jam, seperti biasa Aku
selalu melempar senyum setiap melihat orang gila itu. Mungkin gara-gara
lemparan senyum itu orang gila panik dan lari menyebrang jalan hingga menabrak
mobil Aku. Di kantor polisi, Aku masih memikirkan orang gila itu. Timbul
pertanyaan Aku tentang apakah sebenarnya orang itu gila. Pertanyaan ini
mengantar Aku pada cerita anak perempuannya yang menyebutkan bahwa ia
korban reformasi. Anak perempuan itu menambahkan bahwa sebelum reformasi
tidak ada orang gila gentayangan di jalan. Zaman itu semua harus seragam, mulai
dari pakaian sampai pikiran. Aku terbawa wacana anaknya dan memilih diam
untuk memikirkannya. Aku membenarkan pernyataan anaknya dan di tambah
dengan ingatan Aku mengenai cerita ibunya pada saat ia kecil. Ibunya bercerita
tentang keadaan zaman Belanda pada saat menjajah, tidak ada orang gila
gentayangan di jalan. Begitu pula ketika zaman Jepang, hanya pada zaman ini
banyak orang-orang kelaparan dan pengemis. Dengan ingatan-ingatan tersebut
membuat Aku tersenyum sendiri dan semua orang mengkhawatirkannya. Aku
meyikini bahwa orang gila itu adalah korban perubahan. Pada akhirnya Aku
meyakini bahwa ia korban perubahan seperti orang gila itu.
3.6.2.1 Relasi Aku sebagai Orang Gila
Aku tidak secara langsung merefresentasikan dirinya sebagai orang gila.
Aku melalui proses yang sangat panjang beralienasi menjadi orang gila. Pada
awal cerita aku hanya berperan sebagai orang yang menabrak orang gila. Melalui
kejadian itu Aku terus memikirkan orang gila tersebut. Aku berubah menjadi
identitas orang gila setelah mengalami proses yang panjang. Menjadi orang gila
merupakan hasrat tokoh aku yang sebelumnya tidak disadari oleh Aku. Hasrat
Aku pada cerpennya ini hanya ingin memikirkan orang gila karena merasa
kehilangan sahabat. Hasrat aku terpenuhi di ruang simbolik yaitu ketika aku sudah
masuk dalam bahasa.
3.6.3 Alienasi Aku
Ego atau diri atau ‘i’dentity (aku dan identitas), pada beberapa tingkatan
selalu berupa fantasi berupa hasil dari suatu identifikasi dengan citra ekternal. Ide
tentang diri tersebut diciptakan melalui suatu identifikasi imajiner dengan citra di
cermin. Dalam konsepsi Lacan, wilayah imajiner merupakan tempat relasi
teralienasi dari diri ke citraannya sendiri.
Aku dalam cerpen Membunuh Orang Gila dominan menguasi cerita. Aku
sebagai tokoh yang menghidupkan tokoh-tokoh lain dalam cerpen. Orang gila
yang ditabrak dan terpikirkan itu justru seolah-olah menjadi dirinya sendiri.
Pengarang memposisikan sebagai aku yang menguasi alur cerita. Tapi pada akhir
cerita Aku seakan terbius oleh cerita anak perempuan dan ibunya mengenai orang
gila, sehingga menjadikan tokoh aku mempercayai bahwa orang gila itu adalah
korban perubahan. Tokoh aku menyadari bahwa ia adalah korban perubahan saat
ini.
Cerita anak perempuan dan ibunya serta pikiran-pikirannya tentang orang
gila sebagai cermin bagi Aku. Membuat Aku berada dalam tahap imajiner.
Menurut lacan tahap dalam yang imajiner terjadi fase cermin (stadu de miroir).
Tokoh Aku suatu ketika menyaksikan bayangan dirinya dalam cermin. Bayangan
tersebut, oleh tokoh Aku, dikonfrontir dengan keberadaan yang lain seperti orang
gila yang diceritakan anak perempuan dan ibunya. Tokoh Aku akan melihat citra
dalam cermin kemudian melihat ke arah yang lain. Saat itulah tokoh Aku mulai
menyadari bahwa dirinya adalah eksis dan terpisah dari yang lain. Itulah
Individuasi. Tapi tokoh Aku mengira dirinya yang berada dalam cermin adalah
benar-benar dirinya. Citra tersebutlah yang akhirnya diakui sebagai “aku” atau
ego. Jadi, ego terbentuk dari kesalahan mempersepsi citra cerminal sebagai aku.
Citra tersebut dalam bahasa psikoanalisa disebut sebagai ego ideal. Sebagai citra
cerminal, ego ideal tidak akan pernah cocok dengan keadaan individu yang
sebenarnya. Ego tidak lain adalah konsep imajiner tentang diri yang utuh,
sempurna, nir-kekurangan dan tanpa keyakinan adanya kekurangan di dalamnya.
Ego atau aku tersebut akan menjadi selalu “liyan”, tidak setara dengan bahkan
bukan aku yang sebenarnya.
Orang gila adalah korban dari perubahan keadaan. Hal ini yang membuat
tokoh Aku meng’iya’kan bahwa dia pun adalah korban perubahan. Konflik
tertabraknya orang gila membuat Aku tersiksa yang mendalam, hal ini yang
menyebabkan tokoh Aku tertekan karena merasa kehilangan seorang sahabat.
Aku mengganti objek (konsepsi mengenai kekurangan atas citra diri) yang
hilang itu dengan pengalihan ego, memispresepsi citraan sebagai dirinya,
mencampuradukan yang ideal dan faktual. Aku merasa menjadi subjek baru,
memanipulasi dirinya dengan menyebutkan bahwa dia adalah korban perubahan
seperti penyebab kegilaan orang gila yang mati itu.
Inilah awal dari ego/diri Aku yang ingin menjadi ego ideal dan
dimanifestasikan sebagai tokoh yang hidup bersama dalam fakta cerita cerpen.
Orang gila merupakan sosok bagi Aku untuk merepresentasikan gagasan-
gagasannya.
3.6.4 Hasrat Aku
Identifikasi adalah proses dimana individu menginternalisasi atribut orang
lain dan mentransformasinya lewat imajinasi tak sadar. Identifikasi ini kemudian
menjadi bagian dari individu melalui pengambilalihan objek (sebagian atau
seluruhnya) untuk menyusun basis ego. Identifikasi berakar dari hasrat untuk
memiliki identititas. Menurut Lacan ego tidak dapat membedakan hasratnya dan
hasrat orang lain serta cenderung kehilangan dirinya dalam wilayah objek-objek
(manusia dan citraan).
Aku memakai sebagian atribut orang gila sebagai bagaian dalam dirinya,
yaitu tentang kesadaran bahwa dirinya sebagai korban perubahan. Korban
perubahan merupakan metonimia dari seluruh keberadaan penyebab kegilaan.
Aku merasa apa yang dialami orang gila tersebut juga dialami oleh dirinya.
Penyebab kegilaan orang gila yang tertabrak merupakan hasil dari cerita-cerita
anak perempuan dan ibunya di masa lalu serta pikiran-pikiran Aku mengenai
kegilaan. Aku mengejewantahkan keadaan dirinya lewat atribut orang gila untuk
menggambarkan gagasan dan suasana yang dialaminya.
Pernyataan Aku “ Dan kini tiba giliranku, menggantikannya sebagai
korban perubahan keadaan.” merupakan kekurangan awal dari hasratnya. Aku
mengira orang gila itu sama dengan dirinya. Citra tersebutlah yang akhirnya
diakui sebagai “aku” atau ego. Jadi, ego terbentuk dari kesalahan mempersepsi
citra cerminal sebagai aku. Citra tersebut dalam bahasa psikoanalisa disebut
sebagai ego ideal. Sebagai citra cerminal, ego ideal tidak akan pernah cocok
dengan keadaan individu yang sebenarnya. Ego tidak lain adalah konsep imajiner
tentang diri yang utuh, sempurna, nir-kekurangan dan tanpa keyakinan adanya
kekurangan di dalamnya. Ego atau aku tersebut akan menjadi selalu “liyan”, tidak
setara dengan bahkan bukan aku yang sebenarnya.
Pembentukan citra yang salah pada fase cermin merupakan aleniasi.
Aleniasi dalam konsep Lacan selalu melibatkan dua arus berbeda, Aku dan liyan.
Aku adalah yang selalu kalah. Alienasi pertama Aku adalah ketika terjadi
kesalahan mempersepsi diri yang menempatkannya sebagai yang liyan bagi
dirinya sendiri atau terceburnya Aku ke dalam citra yang salah atau ego ideal.
Dalam yang imajiner Aku terus akan melakukan identifikasi pelbagai Liyan
menggunakan citra yang diperoleh dari cermin. Pengenalan Keliyanan (otherness)
semakin meneguhkan pangakuan bahwa citra cerminal adalah “aku”. Di sinilah,
bagi Lacan diri selalu dilihat dari yang liyan. Hal ini mengukuhkan bahwa aku
mengingkan ego ideal tapi tak bisa mewujudkanya karena Aku berada pada tahap
imajiner yaitu ketika semuanya terjadi keterpecahan. Aku tidak bisa menjadi
tokoh orang gila secara langsung tapi membuat semacam cermin yaitu
pernyataan-pernyataan yang mengindikasikan bahwa ia senasib dengan orang gila
tersebut yaitu sebagai korban perubahan.
Sarup ( 2008: 8) mengatakan bahwa Lacan berupaya meyerang ilusi-ilusi
umum yang menyamakan ego dengan diri. Berbeda dengan mereka yang
mengatakan “Saya berpikir, maka saya ada”, Lacan mengatakan: “Saya berpikir,
maka saya tidak ada. Oleh karena itu saya ada ketika saya tidak berpikir”. Atau,
“ Saya berpikir maka saya tidak dapat mengatakan saya ada”. Hal ini menunjukan
bahwa seorang Aku pengarang ketika berada dalam tulisan ia hadir disitu. Dirinya
lebur bersama bahasa dan menjadi subjek yang menggerakan cerita tersebut
dengan benar-benar menjadi Aku. Cerita kegilaan yang diakibatkan oleh
perubahan keadaan diakui oleh Aku menjadi sebuah pengalaman. Aku merasa
menjadi korban perubahan keadaan sehingga dianggap gila bila tidak mengikuti
arus. Aku tidak secara langsung merefresentasikan diri sebagai seorang gila tetapi
menjadi penghidup cerita orang gila tersebut, kemudian mengambil sebagian
identitas orang gila itu menjadi Aku yang sebenarnya.