189
ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertutur

ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

ANALISIS WACANALogis Berwacana

dan Santun Bertutur

Page 2: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah
Page 3: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

ANALISIS WACANALogis Berwacana

dan Santun Bertutur

PENERBIT

NUSA INDAH

Antonius Nesi, OFM, S.Pd.Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M.

Kata Pengantar: Prof. Dr. Pranowo, M.Pd.

Page 4: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

ANALISIS WACANALogis Berwacana dan Santun BertuturOleh: Antonius Nesi, OFM, S.Pd. Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M.

Kata Pengantar: Prof. Dr. Pranowo, M.Pd.Editor: Hendrik L. KeransPenyunting naskah: M.M. Sinta WardaniLayout: Philipus LawetCover: Moya Zam Zam

NI:

@Penerbit NUSA INDAH (Anggota IKAPI)Jl. El Tari, Ende 86318Flores, NTT, IndonesiaTlp. (0318) 21502, Fax. (0381) 21502E-mail: [email protected]

Anggota IKAPI

Cetakan I, 2012

ISBN:

Dicetak oleh:Moya Zam-Zam Printika Yogyakarta

Sanksi PelanggaranPasal 72 UU Nomor 19 Tahun 2002

Tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sangaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Page 5: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 5

KATA PENGANTAR

APA YANG DIKATAKAN, BELUM TENTU APA YANG DIMAKSUDKAN

Prof. Dr. Pranowo, M.Pd.

Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini

menambah khazanah kajian bahasa dari sudut pandang pragmatik.

Kajian bahasa dari sudut pandang pragmatik selalu mengutamakan

konteks tuturan yang digunakan oleh penutur. Oleh karena itu, ketika

seseorang berkomunikasi, yang perlu diperhatikan oleh mitra tutur

untuk menangkap maksud penutur adalah memperhatikan “apa yang

dituturkan” dan “bagaimana cara menuturkannya”.

Ketika seorang penutur hanya memperhatikan apa yang dituturkan,

dia masih berada dalam lingkup kajian linguistik. Artinya, struktur

bahasa selalu mencerminkan makna yang dikandungnya. Hal ini

sesuai dengan logika linear yang selalu berhubungan dengan hukum

sebab akibat yang menata pikiran secara kohesif maupun koheren.

Demikianlah lazimnya sebuah wacana ditata. Sayangnya, penataan

seperti itu baru merupakan penataan yang bersifat linguistik tekstual.

Komunikasi tidak cukup hanya memperhatikan aspek bahasa secara

tekstual tetapi juga harus memperhatikan konteksnya. Tuturan seorang

ibu kepada anaknya “Ya sudah habiskan saja semuanya, biar kakakmu tidak

usah makan”. Tuturan seperti itu, jika ditangkap secara tekstual, anak

dapat bereaksi “Asyik, saya habiskan semua ya, Bu?”. Namun, reaksi mitra

tutur seperti itu bukan yang diharapkan oleh penutur. Mitra tutur harus

memahami bagaimana mengatakannya. Bagaimana mengatakannya adalah

konteks tuturannya. Ibu menyediakan makanan untuk kedua anaknya,

Page 6: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

6 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

tetapi dihabiskan oleh salah satu anaknya. Ibu merasa jengkel, tetapi

tidak mengatakan “Kok dimakan semua, kakakmu makan apa?”.

Secara tekstual, anak tidak salah karena ia menangkap makna yang

terdapat dalam kata-kata yang digunakan oleh ibunya. Anak mulai

belajar memahami maksud setelah ibunya memunculkan konteks

tuturan yang dapat dilihat dari “bagaimana cara mengatakannya”.

Padahal, untuk memahami maksud ibunya tidak cukup hanya

melalui kata-kata yang diucapkannya. Mitra tutur membutuhkan

piranti lain untuk menangkap maksud tuturan seperti contoh di atas.

Ungkapan Ibu kepada anaknya ternyata bukan perintah, tetapi justru

larangan. Hal ini hanya dapat dipahami dengan benar jika mitra tutur

mampu menangkap bagaimana cara menuturkannya. Dengan memahami

konteks tuturan—seperti lagu ucapan, raut muka, gesture—seorang

mitra tutur dapat menangkap maksud yang diinginkan oleh penutur.

Jadi, tuturan dapat dipahami secara benar jika konteks tuturan tidak

dipisahkan dengan kata-kata yang diucapkan sebagai wacana yang utuh.

Oleh karena itu, ketika anak sebagai mitra tutur memahami konteks

tuturannya, reaksi yang muncul seharusnya “Maaf bu, saya tidak tahu kalau

kakak belum makan.”

Pemahaman struktur seperti itu sangat sulit diselesaikan

melalui analisis linguistik yang masih berpegang pada logika linear.

Namun, pemahaman akan menjadi mudah jika analisisnya dilakukan

menggunakan piranti pragmatik.

Di sisi lain, ketika seseorang berkomunikasi seyogyanya ia mampu

bersikap dan berlaku santun pada orang lain. Sayangnya, para pakar

pragmatik masih terlalu sempit memberi batasan mengenai kesantunan.

Kesantunan selalu hanya diukur dari satu sudut, yaitu mitra tutur.

Tuturan dikatakan santun jika tuturan itu tidak menyinggung perasaan

mitra tutur. Batasan seperti itu terlalu sempit jika hanya diukur dari

sisi mitra tutur. Jika tolok ukurnya hanya dari segi mitra tutur, risiko

terburuknya adalah ada tuturan yang berpura-pura santun hanya untuk

menjaga perasaan mitra tutur. Berbahasa secara santun bukan sekadar

Page 7: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 7

penghias bibir. Tidak tersinggungnya perasaan mitra tutur bukan

tujuan komunikasi, tetapi sekadar sebagai akibat dipakainya bahasa

yang santun. Berbahasa secara santun adalah berbahasa yang sengaja

diungkapkan oleh penutur untuk menjaga harkat dan martabat diri

penutur sebagai manusia berbudaya sehingga mengakibatkan mitra

tutur tidak tersinggung perasaannya.

Ungkapan perintah seorang kepala sekolah kepada guru tidak harus

diungkapkan secara eksplisit dengan mengatakan “Kamu jangan duduk di

meja ketika mengajar!”, tetapi akan lebih santun jika dikatakan “Sekolah

sudah menyediakan kursi untuk tempat duduk guru, dan meja untuk menulis

para guru di setiap kelas.” (ucapan itu dikemukakan oleh kepala sekolah

ketika memberi pengarahan kepada guru dalam hal etika mengajar bagi

guru). Kemudian, kepala sekolah melanjutkan tuturannya jika ada yang

berdalih “Jika guru menerangkan sambil duduk di kursi, murid di bagian belakang

tidak memperhatikan guru.” Lantas kepala sekolah mengungkapkan secara

eksplisit “Kenapa Bapak-Ibu guru tidak berdiri di atas meja saja sekalian biar

seluruh murid melihat bahwa gurunya sedang kambuh penyakitnya?”. Kritik

kepala sekolah kepada para guru yang sering tidak sopan di depan

kelas tidak harus diungkapkan dengan marah, tetapi justru akan mudah

ditangkap maksudnya jika diungkapkan secara tidak langsung sambil

bercanda.

Tuturan yang santun dalam berkomunikasi dapat dilakukan dengan

memperhatikan kriteria tertentu, seperti (a) kriteria keuntungan

dan kerugian, (b) kriteria tuturan langsung dan tidak langsung, (c)

kriteria autoritas, dan (d) kriteria jarak sosial. Kriteria seperti itu sudah

menjadikan sebuah tuturan santun, tetapi baru santun dari aspek mitra

tutur. Padahal, bertutur santun bukan sekadar agar mitra tutur tidak

tersinggung.

Seorang penutur berucap “Terima kasih, Mas. Anda sudah bersusah-susah

antar jemput isteri saya setiap pagi dan sore. Isteri saya memang agak manja,

saya antar jemput dengan motor tidak mau. Katanya takut kulitnya hitam karena

tersengat matahari. Maunya dia diantar jemput dengan mobil.” Mendengar

Page 8: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

8 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

ujaran seperti itu pastilah kita semua memahami bahwa penutur

sedang marah karena ada lelaki lain yang menyelingkuhi isterinya.

Namun, kemarahannya tidak diungkapkan dengan cara memukul atau

mengumpat, tetapi dilakukan dengan cara bertutur halus. Meskipun

demikian, pastilah mitra tutur paham bahwa perilakunya tidak

disenangi oleh penutur.

Tuturan yang berusaha menjaga harkat dan martabat dirinya dan

dapat berdampak tidak melukai hati mitra tutur kadang-kadang masih

diinterpretasi lain dan menimbulkan pertanyaan. Apakah penutur

benar-benar ingin menjaga harkat dan martabat dirinya agar tidak

menyinggung perasaan mitra tutur, ataukah karena penutur seorang

penakut yang tidak berani bertindak tegas sehingga berpura-pura

santun?

Kajian kesantunan memang belum tuntas dan masih perlu dipikirkan

kembali tolok ukur yang digunakan untuk mengidentifikasi santun

tidaknya sebuah tuturan. Namun, setidaknya sudah ada kemajuan. Jika

dalam kajian pragmatik model lama kriteria kesantunan hanya dilihat

dari aspek “tidak tersinggungnya mitra tutur”, kajian pragmatik model

baru sudah maju selangkah bahwa kriteria kesantunan juga harus

melibatkan aspek penutur, bahwa berkomunikasi secara santun bukan

sekadar agar mitra tutur tidak tersinggung perasaannya, tetapi karena

penutur ingin menjaga harkat dan martabatnya. Sementara itu, tidak

tersinggungnya mitra tutur adalah efek dari penjagaan harkat dan

martabat seorang penutur.

Yogyakarta, 21 April 2011

Prof. Dr. Pranowo, M.Pd.

Guru Besar Pendidikan Bahasa dan

Sastra pada Prodi PBSID

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Page 9: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 9

PRAKATA PENULIS

Banyaknya buku analisis wacana yang terbit menunjukkan bahwa

wacana merupakan salah satu objek penelitian yang penting dalam

kajian bahasa (linguistik). Perhatian para analis terhadap aneka wacana

dengan hasil penelitian mereka yang maksimal tentu memberikan

sumbangan yang sangat berarti untuk perkembangan linguistik

Indonesia. Namun, sejauh ini suatu pembahasan yang secara khusus

membicarakan ihwal kelogisan dan kesantunan berbahasa di dalam

wacana surat kabar belum begitu banyak beredar.

Buku Analisis Wacana ini bertujuan memberikan informasi deskriptif

tentang tingkat kelogisan dan kesantunan tuturan dalam wacana surat

kabar. Empat jenis teori yang dianut penulis untuk membedah tingkat

kelogisan dan kesantunan wacana dalam surat kabar, yaitu teori tentang

kohesi, teori tentang koherensi, teori tentang tindak tutur ilokusi, dan teori

tentang kesantunan berbahasa.

Sebagian besar contoh-contoh dalam buku ini dikutip dari surat

kabar Kompas (edisi Maret s.d. Mei 2008; dan Agustus 2009), Republika

(edisi Maret s.d. Mei 2008; dan Agustus 2009), Kedaulatan Rakyat (edisi

Maret s.d. Mei 2008; dan Agustus 2009), Jawa Pos (edisi Maret s.d. Mei

2008), Suara Merdeka (edisi Maret s.d. Mei 2008), dan Bernas Jogja (edisi

Agustus 2009). Keenam surat kabar itu dipilih sebagai sumber data

karena dua di antaranya, Kompas dan Republika, mewakili surat kabar

nasional, dan empat surat kabar lainnya, yakni Jawa Pos, Suara Merdeka,

Kedaulatan Rakyat, dan Bernas Jogja mewakili surat kabar lokal.

Penulis mengakui bahwa buku ini awalnya merupakan hasil

penelitian (skripsi) di Prodi PBSID, FKIP, USD, Yogyakarta. Yang satu

berjudul Kohesi dan Koherensi Wacana Bahasa Indonesia dalam Surat Kabar:

Page 10: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

10 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Studi Kasus Wacana Berita Utama dan Surat Pembaca Kompas, Republika,

Kedaulatan Rakyat, dan Bernas Jogja Edisi Agustus 2009 (Nesi, USD: 2010)

dan yang lainnya adalah Tindak Ilokusi dan Penanda Tingkat Kesantunan

Tuturan di Dalam Surat Kabar: Suatu Tinjauan Sosiopragmatik (Sarwoyo,

USD: 2009). Atas dorongan berbagai pihak, kedua penelitian tersebut

kemudian disatukan—tanpa suatu perubahan dari sisi esensi kecuali

penyesuaian format—dan diterbitkan sehingga jadilah sebuah buku

seperti sekarang ini.

Atas semua itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada

Prof. Dr. Pranowo, M. Pd. dan Dr. Y. Karmin, M. Pd.; beliau berdua telah

menjadi pembimbing yang sabar, setia, dan kritis dalam membimbing

skripsi penulis; beliau berdua juga telah mendorong dan memotivasi

penulis untuk segera membukukan hasil penelitian ini. Prof. Dr.

Pranowo, M. Pd. juga telah bersedia memberikan catatan pengantar

untuk buku ini. Kepada beliau, sekali lagi, terima kasih. Adalah segenap

staf UPT Perpustakaan USD Yogyakarta yang selalu setia meminjamkan

buku-buku kepada penulis sehingga hal itu dapat memperlancar

aktivitas intelektual penulis. Kepada segenap staf UPT Perpustakaan

USD, penulis sampaikan terima kasih. Selain itu, komunitas OFM Santo

Bonaventura, Yogyakarta, telah banyak menyediakan fasilitas yang

nyaman bagi penulis untuk senantiasa bersoal-jawab ihwal kelogisan

dan kesantunan berbahasa. Untuk itu, ucapan terima kasih tak lupa

kami sampaikan kepada komunitas Santo Bonaventura.

Persaudaraan OFM Provinsi Santo Mikhael Malaikat Agung

Indonesia yang saat ini dilayani Pater Dr. Adrianus Sunarko, OFM telah

banyak memberikan sumbangan berharga bagi penulis. Persaudaraan

ini telah memberikan iklim yang kondusif bagi tiap saudara untuk

berkreasi. Dalam hal itu, program On Going Formation dipercayakan

sepenuhnya pada inisiatif dan kreativitas tiap saudara untuk membekali

dan membina diri terus-menerus dalam rangka menjawab tantangan

zaman. Untuk itu, ucapan terima kasih tak lupa kami haturkan kepada

Page 11: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 11

Persaudaraan OFM Indonesia. Kepada orang tua penulis yang semenjak

awal telah menanamkan “bahasa” di dalam diri ini, dari sanubari

terdalam juga kami sampaikan sembah dan limpah terima kasih. Buku

ini terbit juga karena keterlibatan banyak rekan, sahabat, kenalan, dan

pihak-pihak lainnya. Apa pun sumbangsih Anda, itu membuat kami

merasa berhutang budi. Oleh karena itu, kepada Anda semua, ucapan

terima kasih tak lupa pula kami haturkan.

Sebagai suatu karya, buku ini tentu belum mencapai sempurna.

Oleh karena itu, kami sangat terbuka untuk menerima kritik dan

saran yang membangun demi penyempurnaannya di masa mendatang.

Semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca.

Jakarta, Maret 2011

Antonius Nesi, OFM, S.Pd.

Ventianus Sarwoyo, S.Pd.,M.M.

Page 12: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

12 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

APA YANG DIKATAKAN, BELUM TENTU APA YANG

DIMAKSUDKAN oleh Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. ~ 5

PRAKATA PENULIS ~ 9

DAFTAR ISI ~ 12

BAB 1

LOGIKA DAN WACANA ~ 17

1.1 Hubungan Logika dengan Bahasa ~ 17

1.2 Konsep Wacana ~ 20

1.3 Wacana, Paragraf, dan Kalimat ~ 21

BAB 2

KELOGISAN DAN KESANTUNAN BERBAHASA ~ 25

2.1 Hubungan Bentuk dan Makna ~ 25

2.2.. Kesantunan Berbahasa ~ 28

BAB 3

KOHESI: PERANTI ANTARUNSUR YANG TEREKSPLISIT ~ 35

3.1 Dasar Teori ~ 35

3.1.1 Kohesi Gramatikal ~ 35

A. Referensi ~ 36

B. Substitusi ~ 36

C. Penghilangan 37

D. Konjungsi ~ 38

3.1.2 Kohesi Leksikal ~ 38

A. Pengulangan ~ 38

Page 13: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 13

B. Sinonimi ~ 40

C. Antonimi ~ 41

D. Hiponimi ~ 41

E. Ekuivalensi ~ 42

3.2 Pemakaian Kohesi dalam Surat Kabar ~ 43

3.2.1 Kohesi Gramatikal ~ 43

A. Kohesi Gramatikal Menggunakan Referensi ~ 43

a. Referensi Persona ~ 43

b. Referensi Demonstratif ~ 49

c. Referensi Komparatif ~ 54

B. Kohesi Gramatikal Menggunakan Subtitusi ~ 54

a. Subtitusi Nomina ~ 54

b. Subtitusi Verba ~ 56

c. Subtitusi Adjektiva ~ 57

C. Kohesi Gramatikal Menggunakan Penghilangan ~ 57

a. Penghilangan Kata ~ 57

b. Penghilangan Frasa ~ 59

c. Penghilangan Klausa ~ 60

D. Kohesi Gramatikal Menggunakan Konjungsi ~ 62

a. Konjungsi Koordinatif ~ 62

b. Konjungsi Subordinatif ~ 63

c. Konjungsi Korelatif ~ 70

d. Konjungsi Antarkalimat ~ 71

3.2.2 Kohesi Leksikal ~ 72

A. Kohesi Leksikal Menggunakan Pengulangan ~ 72

a. Pengulangan Sama Tepat ~ 73

b. Pengulangan dengan Perubahan Bentuk ~ 74

c. Pengulangan Sebagian ~ 75

d. Pengulangan Parafrasa ~ 75

B. Kohesi Leksikal Menggunakan Sinonimi ~ 76

C. Kohesi Leksikal Menggunakan Antonimi ~ 77

D. Kohesi Leksikal Menggunakan Hiponimi ~ 78

Page 14: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

14 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

E. Kohesi Leksikal Menggunakan Ekuivalensi ~ 79

F. Kohesi Leksikal Menggunakan Kolokasi ~ 80

3.3 Pembahasan Penggunaan Kohesi dalam Surat Kabar ~ 81

BAB 4

KOHERENSI: PERANTI ANTARUNSUR YANG TERIMPLISIT ~ 83

4.1 Dasar Teori ~ 83

4.1.1 Koherensi Berpenanda ~ 83

A. Koherensi Temporal ~ 83

B. Koherensi Intensitas ~ 84

C. Koherensi Kausalitas ~ 84

D. Koherensi Kontras ~ 85

E. Koherensi Aditif ~ 85

F. Koherensi Kronologis ~ 86

G. Koherensi Perurutan ~ 86

4.2.2 Koherensi Tidak Berpenanda ~ 87

A. Koherensi Perincian dan Koherensi Perian ~ 87

B. Koherensi Wacana Dialog ~ 87

4.2 Pemakaian Koherensi dalam Surat Kabar ~ 88

4.2.1 Koherensi Kontekstual ~ 89

A. Koherensi Wacana Promotif ~ 89

B. Koherensi Wacana Normatif ~ 90

a. Koherensi Wacana Klarifikatif ~ 90

b. Koherensi Wacana Deklaratif ~ 92

4.2.2 Koherensi Kotekstual ~ 93

A. Koherensi Kotekstual Endofora Anaforis ~ 93

B. Koherensi Kotekstual Endofora Kataforis ~ 95

4.2.3. Koherensi Logis ~ 97

A. Koherensi Definisi ~ 97

B. Koherensi Simpulan ~ 100

a. Koherensi Simpulan Deduktif ~ 101

b. Koherensi Simpulan Induktif ~ 104

4.3.Pembahasan Penggunaan Koherensi dalam Surat Kabar ~ 106

Page 15: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 15

BAB 5 TINDAK TUTUR ILOKUSI ~ 110

5.1 Dasar Teori ~ 110

5.1.1 Definisi Tindak Ilokusi ~ 112

5.1.2 Jenis-Jenis Tindak Ilokusi ~ 113

5.1.3 Alat Penunjuk Tekanan Ilokusi ~ 116

5.2. Pemakaian Tindak Ilokusi dalam Surat Kabar ~ 118

5.2.1 Tindak Ilokusi Direktif ~ 118

A. Tindak Ilokusi Direktif yang Berwujud

Tuturan Imperatif ~ 119

a. Tuturan Imperatif Langsung (Biasa) ~ 120

b. Tuturan Imperatif Larangan ~ 121

c. Tuturan Imperatif Permintaan ~ 123

d. Tuturan Imperatif Permohonan ~ 124

e. Tuturan Imperatif Harapan ~ 125

f. Tuturan Imperatif Anjuran ~ 126

g. Tuturan Imperatif Persilaan ~ 127

B. Tindak Ilokusi Direktif yang Berwujud

Tuturan Nonimperatif ~ 129

C. Tindak Ilokusi Representatif ~ 130

D. Tindak Ilokusi Komisif ~ 132

E. Tindak Ilokusi Ekspresif ~ 133

a. Tindak Ilokusi Ekspresif yang Berbentuk

Tuturan Deklaratif ~ 133

b. Tindak Ilokusi Ekspresif yang Berbentuk

Tuturan Interogatif ~ 135

c. Tindak Ilokusi Ekspresif Gabungan antara

Tuturan Deklaratif dan Interogatif ~ 136

5.3 . Pembahasan Penggunaan Tindak Ilokusi

dalam Surat Kabar ~ 137

BAB 6 KESANTUNAN BERBAHASA ~ 141

6.1 Dasar Teori ~ 141

6.1.1 Teori Sopan Santun Berbahasa Menurut Leech (1983) ~ 143

Page 16: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

16 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

A. Jenis Tindak Tutur yang Mengandung Sopan Santun ~ 143

B. Skala Kesopanan ~ 144

C. Prinsip Kesopanan ~ 145

6.1.2 Teori Sopan Santun menurut

Brown dan Levinson (1987) - 146

A. Konsep Sopan Santun ~ 146

B. Skala Kesopanan ~ 146

6.1.3 Teori Sopan Santun Berbahasa Menurut Lakoff (1973) ~ 147

6.1.4 Teori Sopan Santun Menurut Fraser (1978) ~ 148

6.1.5 Teori Sopan Santun Menurut Poedjosoedarmo (1978) ~ 149

6.2 Penanda Tingkat Kesantunan Tuturan dalam Surat Kabar ~ 151

6.2.1 Analogi ~ 152

6.2.2 Diksi atau Pilihan Kata ~ 153

6.2.3 Penggunaan Gaya Bahasa ~ 158

A. Perumpamaan ~ 159

B. Metafora ~ 160

C. Hiperbola ~ 162

D. Eufemisme ~ 162

6.2.4 Penggunaan Keterangan (Kata) Modalitas ~ 163

A. Keterangan Modalitas yang Menyatakan

Tingkat Kepastian ~ 164

B. Keterangan Modalitas yang Menyatakan

Tingkat Keharusan (Kewajiban) ~ 165

6.2.5 Menyebutkan Subjek yang Menjadi Tujuan Tuturan ~ 166

6.2.6 Bentuk Tuturan ~ 169

6.3 Pembahasan Kesantunan Berbahasa dalam Surat Kabar ~ 174

BAB 7

PENUTUP ~ 182

DAFTAR PUSTAKA ~ 184

Page 17: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 17

BAB 1 LOGIKA DAN WACANA

1.1 Hubungan Logika dengan Bahasa

Logika adalah ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berpikir

lurus. Dengan kata lain, logika adalah pengetahuan tentang kaidah

berpikir. Akan tetapi, karena ‘berpikir lurus’ itu masih merupakan suatu

aktivitas yang abstrak dan pengetahuan tentang ‘kaidah-kaidah berpikir’

itu masih mengandung pertanyaan—misalnya apa itu kaidah berpikir

dan apakah berpikir itu memang ada kaidahnya—pada gilirannya

pikiran lurus berdasarkan kaidah-kaidah tertentu harus dituangkan

dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tulis, sehingga hasil pikiran

itu akan konkret. Dengan demikian, di situ akan terlihat jelas (terbukti)

apakah suatu hasil pikiran itu lurus atau tidak (Lanur, 1983; Sumarsono,

2004).

Dalam kaitan dengan pengertiannya itu, logika senantiasa berurusan

dengan bahasa. Dan, bahasa tidaklah lain adalah sistem lambang bunyi

yang arbitrer, yang digunakan oleh suatu anggota masyarakat untuk

bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (KBBI, 2008).

Dengan kata lain, bahasa merupakan alat komunikasi antaranggota

masyarakat. Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan suatu konvensi

(kesepakatan). Dalam istilah formal, kesepakatan itu merupakan dalil-

dalil (hukum-hukum). Hukum-hukum bahasa diatur sedemikian rupa

sehingga dengan menepati hukum-hukum itu komunikasi antaranggota

masyarakat dapat berterima. Hukum-hukum itu, selain meliputi tata

ejaan dan tata bentuk istilah dan serapan sebagaimana telah diatur

Page 18: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

18 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan

Pedoman Umum Pembentukan Istilah yang dikaji secara internal oleh

mikrolinguistik, juga meliputi kesepakatan langsung ataupun tidak

langsung mengenai kesantunan berbahasa yang dikaji secara eksternal

oleh makrolinguistik. Demikianlah, kajian internal dan eksternal bahasa

merupakan alas-pijak bagi pengembangan studi logika.

Tidak terlepas dari hukum-hukum kebahasaan (tata bahasa) dan

hukum-hukum kesantunan berbahasa, hukum-hukum logika formal

menganut aturan-aturan berpikir lurus yang tersistem menurut

hukum-hukum kebahasaan. Menurut Lanur (1983), hukum-hukum

logika terbagi atas tiga, yaitu pengertian (kata), keputusan (kalimat), dan

penyimpulan (pembuktian). Pengertian didefinisikan sebagai ‘inti’ dari

sesuatu. Inti itu dapat dibentuk oleh akal budi. Hal yang dibentuk ialah

suatu gambaran yang ideal atau suatu konsep tentang sesuatu. Oleh

karena itu, pengertian masih merupakan suatu gambaran akal budi yang

abstrak tentang sesuatu.

Pengertian dapat diselidiki melalui dua hal, yaitu kata dan term.

Kata merupakan tanda lahiriah untuk menyatakan pengertian dengan

barangnya, misalnya ‘Marsel menendang bola’. Yang terungkap dalam

pernyataan itu ialah pengertian (konsep) dan barangnya yang konkret

(orang, benda). Term merupakan sudut pandang suatu pernyataan

(konsep) sesuai kedudukan atau fungsi masing-masing unsurnya.

Jika ada pernyataan ‘Marsel menendang bola’, dari sudut kedudukan

atau fungsi masing-masing unsurnya, Marsel menduduki fungsi subjek,

menendang sebagai pengisi fungsi predikat, dan bola merupakan pengisi

fungsi objek.

Keputusan adalah kegiatan manusia untuk mengakui atau

memungkiri kesatuan atau hubungan antara dua hal. Adanya dua hal

membuat manusia menerima yang satu atau menolak yang lain, atau

menerima kedua-duanya, atau menolak kedua-duanya. Kesatuan antara

dua hal yang dimaksud ialah subjek dan predikat. Dalam hal keputusan,

Page 19: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 19

keduanya dipersatukan, dihubungkan, atau dipisahkan. Bentuk lahiriah

keputusan dapat berupa kalimat dan kalimat senantiasa terdiri dari

unsur subjek dan predikat, yang di dalamnya terhimpun kumpulan kata

dan mengandung pikiran yang lengkap.

Penyimpulan merupakan kegiatan manusia untuk merumuskan

suatu prinsip yang dapat merangkum beberapa prinsip lainnya. Dalam

logika dikenal metode berpikir deduksi dan induksi. Jika kita berpikir

mulai dari fakta-fakta kemudian berdasarkan fakta-fakta itu kita dapat

merumuskan sebuah prinsip sebagai hasil rangkumannya, di situ kita

menggunakan metode berpikir induksi. Misalnya, kampus A memiliki

jadwal kuliah mahasiswa sebagai berikut: Senin, kuliah dimulai dari

pkl. 07.00 s/d 12. 00; Selasa, kuliah dimulai dari pkl. 07.00-11.00; Rabu, kuliah

dimulai pkl. 08.00 s/d 14.00; Kamis, kuliah dimulai pkl. 06.30-11.30; Jumat,

kuliah dimulai pkl. 08.00 s/d 11.00; Sabtu, kuliah dimulai pkl. 08.00 s/d 13.00.

Dari fakta-fakta (jadwal) itu dapatlah diambil sebuah kesimpulan, yaitu:

“jadwal kuliah mahasiswa kampus A berlangsung Senin sampai Sabtu antara pkl.

06.30 s/d 14.00”. Jika dicermati, keseluruhan fakta dalam kesimpulan itu

dapat terangkum, yaitu ada Senin sebagai acuan hari pertama dan Sabtu

sebagai acuan hari terakhir dalam konteks keseluruhan jadwal itu; dan

ada pkl. 06.30 sebagai acuan waktu paling awal dan pkl. 14.00 sebagai

acuan waktu paling akhir dari keseluruhan waktu yang ada dalam

jadwal itu.

Sebaliknya, jika kita mempunyai sebuah pernyataan, prinsip, rumus,

hukum, teori, kepercayaan dan keyakinan, kemudian dari pernyataan,

prinsip, rumus, hukum, dan teori-teori itu kita dapat mereduksi,

menggeneralisasi, menjelaskan, dan membuktikan kebenarannya,

di situ kita menggunakan metode penalaran deduksi. Misalnya, ada

pernyataan umum: Semua mantan presiden Indonesia pernah terlibat korupsi,

lalu pernyataan umum itu diikuti pernyataan khusus, Soeharto adalah

mantan presiden Indonesia, maka kesimpulannya, Soeharto pernah terlibat

korupsi.

Page 20: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

20 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Walaupun ada penyimpulan yang dikembangkan dari metode

berpikir deduksi dan induksi, dalam filsafat bahasa, khususnya dalam

kajian pragmatik, masih dikenal juga presupposition (praanggapan). Yang

dimaksudkan dengan praanggapan ialah penyimpulan yang didasarkan

bukan pada deretan fakta dan teori atau prinsip yang dikandung di

dalam satu atau beberapa kalimat, melainkan makna-makna lain di

luar satu atau beberapa kalimat. Misalnya ujaran “Kakaknya yang pertama

mengajar di Jakarta”. Dari ujaran itu, kita dapat menarik kesimpulan-

kesimpulan (praanggapan) berdasarkan penalaran kita, misalnya: (a)

dia mempunyai beberapa kakak, karena adanya unsur kakaknya yang pertama

dalam kalimat itu; (b) kakaknya yang pertama itu guru, karena adanya unsur

mengajar dalam kalimat itu; (c) kakaknya itu tidak ada di rumah orangtuanya,

karena adanya unsur di Jakarta dalam kalimat itu.

1.2 Konsep Wacana

Kata wacana berasal dari kosa kata Sansekerta vacana yang artinya

‘bacaan’. Kata vacana itu kemudian masuk ke dalam bahasa Jawa Kuna

dan bahasa Jawa Baru menjadi wacana yang berarti bicara, kata, atau

ucapan (Baryadi, 2002). Kata wacana dalam bahasa Jawa Baru itu diserap

ke dalam bahasa Indonesia wacana yang berarti ucapan, percakapan, kuliah

(Poerwadarminta, 2003). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Diknas,

2008) pengertian itu ditegaskan kembali, yakni bahwa wacana tidaklah

lain dari komunikasi verbal atau percakapan; atau pertukaran ide secara

verbal. Di situ juga dicatat bahwa wacana adalah keseluruhan tutur

yang merupakan satu kesatuan.

Lebih lanjut, kata wacana dalam bahasa Indonesia dipakai sebagai

padanan dari kata Inggris discourse. Secara etimologis discourse berasal

dari kosa kata Latin discursus yang artinya ‘lari kian kemari’. Discursus

merupakan turunan dari discurere yang merupakan gabungan dari dis

dan curere yang memiliki arti ‘lari, berjalan kencang’. Dalam linguistik,

wacana dimengerti sebagai satuan lingual yang berada di atas tataran

kalimat. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1552) masih mencatat

Page 21: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 21

rumusan yang lebih detail, yaitu bahwa dalam bidang linguistik, wacana

merupakan satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk

karangan atau laporan utuh seperti buku, artikel, pidato, dan khotbah.

Sejalan dengan itu, Kridalaksana (1993) mengatakan bahwa

wacana adalah satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, direalisasikan

dalam bentuk karangan utuh, paragraf, dan kalimat yang membawa

amanat lengkap. Hal itu berarti wacana mencakup kalimat, paragraf,

penggalan wacana (pasal, subbab, bab, atau episode), dan wacana utuh.

Jika demikian, kalimat merupakan satuan gramatikal terkecil dalam

wacana sehingga seiring dengan itu kalimat merupakan basis pokok

pembentukan wacana (Baryadi, 2002).

Banyak ahli telah membuat klasifikasi wacana sesuai dengan

sudut pandangnya, atau dari mana sebuah wacana dilihatnya. Namun

demikian, pada umumnya wacana dapat diklasifikasi menjadi dua, yaitu:

a. Berkenaan dengan sarananya, wacana dapat diklasifikasi menjadi

dua, yaitu (a) wacana lisan, dan (b) wacana tulis.

b. Dilihat dari penggunaan, pemaparan, dan tujuannya, wacana

dapat diklasifikasi menjadi dua, yaitu (a) wacana prosa, dan (b)

wacana puisi.

Wacana prosa selanjutnya diklasifikasi menjadi lima, yakni:

a. Wacana narasi, yaitu wacana yang menceritakan sesuatu hal.

b. Wacana deskripsi, yaitu wacana yang melukiskan atau

menggambarkan hal, orang, atau tempat tertentu.

c. Wacana eksposisi, yaitu wacana yang memaparkan sesuatu hal.

d. Wacana persuasi, yaitu wacana yang mengajak, menganjurkan,

atau malah melarang pembaca untuk melakukan sesuatu hal.

e. Wacana argumentasi, yaitu wacana yang memberikan argumen

atau alasan terhadap sesuatu hal.

1.3 Wacana, Paragraf, dan Kalimat

Dalam wacana tulis, gabungan beberapa kalimat yang

mengungkapkan satu pokok pembicaraan (satu topik) disebut paragraf.

Page 22: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

22 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Kata paragraf berasal dari kosa kata Prancis Kuna paragraphs atau

paragraphus dalam bahasa Latin. Paragraps atau paragraphus yang berasal

dari kata dasar para yang berarti tepi dan graphos yang berarti tanda,

sehingga paragraf memiliki arti harafiah ‘tanda di tepi’. Dalam hierarki

satuan, sebuah paragraf dapat disebut juga sebagai sebuah wacana

(Chaer, 2007; Baryadi, 2002). Perhatikan bagan berikut.

Bagan 1. Posisi satuan-satuan gramatikal

WACANA

KALIMAT

KLAUSA

FRASA

KATA

MORFEM

FONEM

FONA

Berdasarkan paparan di atas, maka wacana mencakup kalimat,

gugus kalimat, dan paragraf. Karena menempati posisi terbesar dalam

unsur linguistik, wacana dalam perkembangannya dikaji secara ilmiah.

Cabang linguistik yang secara khusus mengkaji wacana adalah Discourse

Analysis ‘Analisis Wacana’. Tugas Analisis Wacana adalah mengkaji segi

internal maupun eksternal wacana. Secara internal, wacana dikaji dari

segi jenis, struktur dan bagian-bagiannya. Secara eksternal, wacana

dikaji dari keterkaitannya dengan pembicara, hal yang dibicarakan,

penulis, hal yang ditulis, dan penulis dengan pembaca (Baryadi, 2002).

Dengan demikian, tujuan pengkajian wacana adalah untuk

mengungkapkan kaidah kebahasaan yang mengkonstruksi wacana,

pemroduksian wacana, pemahaman wacana, dan pelambangan suatu

hal dalam wacana, dengan memperhatikan segi internal dan eksternal

Page 23: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 23

wacana itu. Posisi Analisis Wacana dalam Linguistik dapat dilihat pada

bagan berikut.

Bagan 2. Posisi Analisis Wacana dalam kajian Linguistik

WACANA

KALIMAT

KLAUSA

FRASA

KATA

MORFEM

FONEM

FONA

(Baryadi, 2002: 3)

Sejalan dengan konsep dan klasifikasi wacana sebagaimana telah

dipaparkan di atas, wacana dalam surat kabar pada hakikatnya merupakan

hasil tulisan berupa pemerian suatu hal yang membawa amanat secara

lengkap. Rahardi (2006) mengatakan bahwa wacana dalam surat kabar

semula hanya berupa berita. Dalam perkembangannya, berita dikemas

dengan berbagai teknik sehingga menghasilkan feature, opini, dan lain-

lain. Jadi, wacana dalam surat kabar sesungguhnya merupakan bagian

dari karangan tulis pada umumnya. Dengan kata lain, wacana dalam

surat kabar merupakan konstruksi pikiran berupa penggambaran fakta

dan opini melalui bahasa yang bercirikan ragam bahasa jurnalistik.

Jika wacana dalam surat kabar merupakan suatu konstruksi pikiran

berupa penggambaran fakta dan opini, jelas kiranya bahwa berkenaan

Analisis Wacana

Fonemik

Fonetik

Morfologi

Sintaksis

Page 24: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

24 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

dengan bentuk dan pemaparannya, wacana dalam surat kabar berupa

wacana prosa yang diwujudkan dalam bentuk narasi, deskripsi,

persuasi, argumentasi, dan eksposisi. Dengan demikian, wacana dalam

surat kabar diwujudkan dalam bentuk unsur-unsur bahasa berupa

kalimat-kalimat dan paragraf-paragraf yang memiliki pertalian bentuk

dan makna (kohesi dan koherensi).

Page 25: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 25

BAB 2KELOGISAN DAN KESANTUNAN BERBAHASA

2.1 Hubungan Bentuk dan Makna

Bahasa memiliki bentuk dan makna. Dari segi bentuk (dalam konteks

tata bahasa), fona adalah ‘unsur bahasa yang paling kecil’, sedangkan

wacana adalah ‘unsur bahasa yang paling besar’. Fona sebagai unsur

terkecil bahasa membentuk fonem dan fonem membentuk morfem.

Rangkaian morfem membentuk kata dan rangkaian kata membentuk

frasa atau klausa. Rangkaian frasa dan/atau klausa membentuk kalimat

dan akhirnya beberapa kalimat membentuk wacana (Chaer, 2007; bdk.

Rani, dkk., 2006).

Dari segi makna, unsur terkecil bahasa—yakni fona—tidak

memiliki makna. Di atas fona—yaitu fonem—tidak memiliki makna,

tetapi dapat membedakan makna. Fonem /p/ pada pagi dan fonem /b/

pada bagi dapat membedakan makna kata pagi dan bagi (Moeliono, ed.

al., 1992:43). Setelah fonem, dari morfem sampai wacana adalah unsur-

unsur bahasa yang dikatakan telah memiliki makna. Lebih jauh dari itu,

konteks penggunaan bahasa pun berpengaruh terhadap makna.

Pranowo (1996:79) menyebut konteks penggunaan bahasa sebagai

konteks situasi, yakni segala situasi yang melingkupi penggunaan

bahasa. Menurut Parera (1990), segala situasi yang dimaksud adalah

setting, kegiatan, dan relasi. Setting meliputi waktu dan tempat. Kegiatan

meliputi segala tingkah laku yang terjadi ketika berinteraksi. Sementara

itu, relasi meliputi hubungan antara pembicara dengan pendengar

atau penulis dengan pembaca. Oleh karena itu, konteks situasi turut

memengaruhi makna.

Page 26: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

26 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Sejalan dengan bentuk dan makna bahasa, hubungan antarbagian

wacana dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni hubungan bentuk

yang disebut kohesi dan hubungan makna yang disebut koherensi

(Baryadi, 2002). Hal itu dilatari kenyataan bahwa pada umumnya sebuah

wacana terdiri dari sejumlah kalimat. Ramlan (1993) mengatakan

bahwa di bidang bentuk terdapat penanda-penanda hubungan antara

kalimat yang satu dengan kalimat yang lain dalam sebuah wacana

sehingga wacana itu merupakan satu-kesatuan yang apik (kohesif). Di

bidang makna, setiap kalimat mengatakan suatu informasi. Informasi

pada kalimat yang satu berhubungan dengan informasi pada kalimat

yang lain sehingga di dalam hubungan itu terjalin kepaduan makna

(koherensi). Oleh karena itu, kohesi dan koherensi tidak boleh

diabaikan dalam kajian bentuk dan makna bahasa.

Perbedaan antara wacana yang koheren dan kalimat yang tidak

saling terkait dapat ditemukan dalam unsur-unsur linguistik yang

bertugas untuk menghubungkan setiap proposisi dalam sebuah wacana

secara keseluruhan. Menurut Pranowo (1996:82), pertalian mata rantai

(proposisi) satu dengan yang lain dalam sebuah wacana ada beberapa

jenis, yaitu: a) dengan kata penghubung dan b) tanpa menggunakan kata

penghubung. Hasil pertaliannya juga terjadi dalam beberapa bentuk,

yaitu: a) kohesif sekaligus koheren, b) kohesif tidak koheren, dan c)

tidak kohesif tetapi koheren. Sebagai gambaran, berikut dipaparkan

contoh mengenai proposisi yang kohesif sekaligus koheren.

(1) a) Di atas ini adalah gambar papan catur yang istilah teknisnya disebut diagram. b) Untuk memudahkan penglihatan, diagram itu disajikan buah caturnya.

Contoh di atas terdiri dari dua kalimat, yaitu kalimat (a) dan (b).

Kata itu pada frasa ‘diagram itu’ dalam kalimat (b) menunjuk pada kata

diagram yang terdapat pada kalimat (a). Pertalian kedua kalimat itu

kohesif sekaligus koheren karena hubungan pertalian antara kalimat

Page 27: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 27

(a) dan (b) ditandai kohesi penunjuk anaforik sehingga maknanya pun

jelas (Ramlan, 1993).

Selain itu, sering juga ditemukan adanya wacana yang menggunakan

penanda kohesi, tetapi wacana itu tidak koheren bila dilihat dari segi

makna. Berikut adalah contoh pertalian proposisi yang kohesif, tetapi

tidak koheren.

(2) Kota Yogyakarta dikenal juga sebagai kota pelajar (a). Tanah di sekitarnya sangat subur (b). Banyak penduduk baru yang datang untuk mencari pekerjaan (c). Pada malam hari banyak orang berjalan-jalan di sepanjang jalan Malioboro untuk menghirup udara malam (d).

Contoh di atas terdiri dari empat kalimat. Kalimat (a), yang

merupakan kalimat pembuka, menyatakan bahwa kota Yogyakarta

dikenal juga sebagai kota pelajar merupakan ide pokoknya. Pada kalimat

(b) terdapat penanda kohesi -nya yang menggantikan kota Yogyakarta

pada kalimat (a). Akan tetapi, hubungan makna antara kalimat (a) dan

kalimat (b) tidak koheren, karena kalimat (a) berbicara tentang kota

pelajar, sedangkan kalimat (b) berbicara mengenai tanah yang subur.

Sementara itu, kalimat (c) dan (d) masing-masing membicarakan topik

yang berbeda, yang sama sekali tidak ada kaitanya dengan kalimat (a).

Dari contoh-contoh di atas dapatlah dikatakan bahwa ada

keterkaitan antara kohesi dan koherensi dalam wacana. Keterkaitan itu

terletak pada unsur-unsur pembangunnya serta pertalian semantik yang

membuat wacana itu bermakna (bdk. Rani, dkk., 2006:90). Dengan kata

lain, kohesi dan koherensi merupakan penghubung bentuk dan makna

bagian-bagian wacana sehingga wacana itu utuh (Baryadi, 2002:39).

Kendati demikian, menurut Moeliono (ed. al., 1992:35), meskipun

kohesi dan koherensi umumnya berpautan (berkaitan), tidaklah berarti

bahwa kohesi harus ada agar wacana menjadi koheren. Dengan kata

lain, sebuah wacana yang tidak mengandung unsur kohesi tidak berarti

bahwa wacana itu tidak memiliki makna atau tidak koheren. Hal ini

karena makna wacana dapat juga ditafsirkan dari latar konteks, yakni

Page 28: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

28 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

situasi di mana dan kapan sebuah wacana terjadi. Pertalian macam itu

disebut pertalian wacana yang tidak kohesif, tetapi koheren. Berikut

adalah contoh pertalian wacana yang tidak kohesif, tetapi koheren.

(3) Ada skenario hancurkan KPK! (a) Koruptor tepuk tangan! (b)

(Pojok Udin Bernas Jogja, 6/8/2009).

Wacana di atas terdiri dari dua bagian, yaitu (a) dan (b). Bagian

(a) merupakan pernyataan, dan bagian (b) merupakan tanggapan

atas pernyataan (a). Jika dicermati, hubungan antara (a) dan (b) tidak

ditandai unsur kohesi. Akan tetapi, pertalian wacana itu koheren

karena diliputi konteks situasi, yakni adanya kontroversi testimoni

Antasari Azhar sebagai skenario untuk menghancurkan KPK. Hal itu

tampak dalam berita utama harian tersebut. Dari esensi berita utama

harian itu terlihat bahwa kontroversi testimoni Antasari Azhar dapat

memberi peluang kepada para koruptor di negeri ini untuk bersorak-

riang karena mereka akan bebas dari jerat hukum. Dengan demikian,

meskipun wacana (3) di atas tidak memilik unsur kohesi, wacana itu

koheren karena adanya konteks berupa latar situasi sehingga maknanya

pun tidak diragukan sama sekali.

2.2.. Kesantunan Berbahasa

Manusia adalah homo socius (makhluk sosial). Sebagai makhluk sosial,

manusia tentunya senantiasa hidup dan ada bersama orang lain. Lebih

dari sekedar ada, manusia juga tentunya akan selalu berinteraksi dan

berkomunikasi dengan yang lain. Menurut Gunarwan (2005:4), fungsi

utama komunikasi adalah penyampaian informasi atau pesan (message).

Di dalam kepustakaan sosiolinguistik, fungsi ini disebut sebagai fungsi

referensial bahasa. Dalam berkomunikasi, sarana utama yang digunakan

adalah bahasa. Jadi, fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi;

sarana untuk menyampaikan pesan atau informasi.

Sebagai sebuah alat komunikasi, yang merupakan fungsi utama

bahasa, sudah barang tentu yang menjadi perhatian pertama dan utama

Page 29: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 29

ketika orang berbahasa adalah tersampaikannya informasi (pesan) dari

pembicara kepada lawan bicara. Dalam menyampaikan pesan atau

informasi itu, setiap orang memiliki cara atau gayanya tersendiri. Hal

ini amat tergantung dari siapa lawan bicaranya (status sosial antara

pembicara dengan lawan bicara), dalam situasi seperti apa (resmi/

formal, tidak resmi/informal), di mana, dan aspek-aspek lain yang patut

dipertimbangkan saat berkomunikasi.

Salah satu aspek yang sangat penting untuk diperhatikan ketika

dua atau lebih orang melakukan kegiatan berkomunikasi (bertukar

pesan) adalah menjaga kesopansantunan atau keharmonisan antara

pembicara dan lawan bicara. Nasihat “berbicara jangan asal bicara”

kiranya perlu menjadi perhatian yang serius. Sikap ini harus dijaga agar

pembicara dan lawan bicara sama-sama merasa nyaman dan tidak ada

satu orang pun yang mengalami kerugian. Dalam bahasa Gunarwan,

tidak ada yang merasa kehilangan “muka”. Oleh Kushartanti (2005:105)

dikatakan bahwa sebuah interaksi sosial akan terjalin dengan baik jika

syarat-syarat tertentu terpenuhi. Salah satu syaratnya adalah kesadaran

akan bentuk sopan santun yang dapat ditunjukkan dengan berbagai

hal, seperti dengan penggunaan bentuk pronomina tertentu dalam

percakapan.

Menurut Baryadi (2005), sopan santun atau tata krama itu

adalah salah satu wujud penghormatan seseorang kepada orang

lain. Penghormatan atau penghargaan terhadap sesama itu bersifat

manusiawi. Saling menghargai merupakan salah satu kekhasan manusia

sebagai makhluk berakal budi, yaitu makhluk yang selalu mendasari

tindakannya berdasarkan pertimbangan akal budi, bukan berdasarkan

insting.

Lebih lanjut Baryadi menjelaskan bahwa menurut jenis perilakunya,

sopan santun dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni sopan santun

verbal dan sopan santun nonverbal. Sopan santun verbal adalah sopan

santun perilaku dengan menggunakan bahasa atau sopan santun

berbahasa, seperti sopan santun berbicara, menyapa, menyuruh,

Page 30: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

30 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

menelepon, berterima kasih, meminta maaf, mengkritik, dan lain-lain.

Sopan santun nonverbal adalah sopan santun perilaku biasa, seperti

makan, minum, bertamu, bergaul, berpakaian, dan berjalan. Jenis sopan

santun yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sopan santun verbal.

Sopan santun berbahasa biasa disebut pula etiket berbahasa.

Dasar terciptanya sopan santun berbahasa tersebut adalah sikap

hormat penutur kepada mitra tutur yang terwujud dalam penggunaan

bahasanya. Sopan santun berbahasa merupakan sikap hormat penutur

kepada mitra tutur yang diwujudkan dalam tuturan yang sopan.

Tuturan yang sopan dilahirkan dari sikap yang hormat pula. Oleh

Suwadji dikatakan bahwa sopan santun berbahasa adalah seperangkat

prinsip yang disepakati oleh masyarakat bahasa untuk menciptakan

hubungan yang saling menghargai antara anggota masyarakat pemakai

bahasa yang satu dengan anggota yang lain (Baryadi, 2005:71).

Dengan keinginan untuk menjaga kesopansantunan atau

menyelamatkan “muka” itulah maka orang kemudian memilih cara

dan gaya tersendiri ketika ingin menyampaikan suatu maksud (pesan)

kepada orang lain. Banyak cara atau gaya yang dipilih; salah satu di

antaranya adalah penggunaan bentuk tuturan tidak langsung. Menurut

Leech, motivasi penggunaan bentuk tindak tutur tidak langsung itu

adalah agar ujaran terdengar santun (Gunarwan, 2005:8).

Dalam menggunakan bentuk tuturan tidak langsung ini, seseorang

yang hendak menyampaikan suatu maksud akan menggunakan kata-

kata (bertutur) yang tidak persis sama (bahkan sungguh berbeda)

dengan apa yang ia maksudkan itu. Contohnya ungkapan “Pak, gulanya

habis!” yang disampaikan seorang istri kepada suaminya sesungguhnya

mengandung maksud (tindak ilokusi) bahwa si istri meminta si suami

untuk membeli gula atau memberikan sejumlah uang untuk membeli

gula. Bandingkan kalau si istri menggunakan ungkapan seperti ini

“Pak, belikan gula! Gulanya dah habis.” atau “Pak, minta uang mau beli gula!

Gulanya dah habis.”. Tampaknya ungkapan seperti itu kurang santun atau

dengan kata lain tidak dapat menyelamatkan ‘muka’ si suami, apalagi

Page 31: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 31

kalau ungkapan seperti itu diucapkan sang istri atau anak ketika masih

ada tamu di rumah. Ungkapan itu dipersepsikan tidak santun karena

apa yang dimaksudkan oleh penutur diungkapkan secara langsung

yang terwujud lewat tuturannya.

Melalui bentuk tuturan tidak langsung, sesungguhnya ada banyak

hal yang dimaksudkan oleh penutur kepada mitra tutur, misalnya

menyuruh, meminta, memohon maaf, dan lain-lain. Seperti yang sudah

diungkapkan di atas bahwa berbagai maksud itu kemudian “dikemas”

dalam bentuk tuturan tidak langsung agar tuturan itu terdengar santun

oleh mitra tutur. Namun, perlu dipahami bahwa tidak setiap tuturan

tidak langsung selalu santun. Dalam batas-batas tertentu tuturan tidak

langsung juga akan terdengar tidak santun oleh mitra tutur.

Dijaganya sikap sopan santun dalam berbahasa memang ada

kaitan yang erat dengan salah satu fungsi bahasa yakni sebagai alat

pemersatu. Artinya, dengan bahasa yang sama sekelompok orang bisa

dipersatukan. Contohnya masyarakat Indonesia (dari Sabang sampai

Merauke) bisa dipersatukan salah satunya berkat sebuah bahasa yang

diketahui dan dipakai bersama, yakni bahasa Indonesia. Karena bahasa

berfungsi sebagai sarana pemersatu, tentunya pemakaian bahasa yang

lebih mementingkan semakin eratnya persatuan menjadi hal yang

harus diperhatikan. Di sini alasan untuk hanya mementingkan unsur

penyampaian pesan semata menjadi kurang terlalu tepat. Masih ada

sisi lain dari pemakaian bahasa sehingga bahasa itu benar-benar akan

membuat pemakainya merasa bersatu. Sisi lain yang dimaksud adalah

pemakaian bahasa yang santun.

Dalam kenyataannya tidak jarang dalam sebuah masyarakat tutur,

penggunaan bentuk tidak langsung ketika ingin menyampaikan suatu

maksud kepada orang lain (mitra tutur) terabaikan. Dalam bahasa

yang lain, masyarakat kita tidak jarang menggunakan bentuk tuturan

langsung ketika akan menyampaikan maksudnya kepada orang lain. Hal

inilah yang menyebabkan komunikasi (proses penyampaian pesan) itu

menjadi terdengar tidak santun. Selain itu, masalah lain adalah bahwa

Page 32: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

32 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

pemahaman mitra tutur terhadap maksud yang ingin dikedepankan

penutur melalui tuturannya (tuturan tidak langsung) masih kurang

sehingga menyebabkan komunikasi itu menjadi tidak begitu lancar

(miskomunikasi). Apa yang dimaksudkan penutur menjadi tidak

terwujud. Hal ini salah satunya terwujud karena yang mendengarkan

tuturan (mitra tutur) tidak memahami dengan jelas konteks yang

melingkupi tuturan si penutur (kapan tuturan itu diucapkan, dalam

situasi atau keadaan seperti apa, dan lain-lain).

Tidak hanya itu, penggunaan bahasa Indonesia yang tergolong

tidak santun masih banyak ditemukan di dalam komunikasi sehari-

hari, di antaranya seperti yang tampak di dalam surat kabar. Tentunya

berbagai kenyataan ini menjadi sangat bertolak belakang dengan cita-

cita untuk mewujudkan sopan santun dalam berbahasa, yakni ingin

menyelamatkan muka lawan bicara. Agar lebih jelas perhatikan contoh-

contoh di bawah ini.

(4) Ini revolusi kami setelah tahun 1998. Asrun harus diturunkan. Dia telah membuat kota ini menjadi darah. Asrun membenturkan sesama masyarakat dan preman. Asrun harus turun. (Andi Safri, pengurus BEM Unhalu dalam Jawa Pos, 29/3/2008, hal. 1)

Pernyataan Andi Safri di atas diucapkan saat aksi penyerbuan

polisi ke kampus Haluolo (Unhalu) Kamis (27/3), Kota Kendari. Asrun,

Walikota Kendari dianggap biang kekisruhan karena menggusur PKL;

inilah konteksnya. Secara semantis, penggalan kalimat yang diucapkan

Safri di atas merupakan sebuah kalimat deklaratif (pernyataan).

Namun, pernyataan Safri tersebut bukanlah sekadar pernyataan belaka.

Sesungguhnya ada maksud di balik pernyataan itu, yakni meminta

Asrun, Walikota Kendari ‘turun’ dari jabatannya. Dalam menyampaikan

maksudnya itu, Safri memilih bentuk tuturan langsung, yang tampak

dalam tuturan Asrun harus diturunkan; Asrun harus turun. Tidak hanya

itu. Dalam hal ini penutur (Andi Safri) telah melanggar prinsip sopan

santun, yakni melanggar prinsip penggunaan tuturan tidak langsung

Page 33: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 33

untuk menjaga “muka” mitra tutur. Karena itu, tuturan ini dipersepsikan

tidak santun oleh pendengar/pembaca.

(5) “Ini adalah contoh betapa SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) sama sekali tidak sensitif terhadap ajaran Islam yang kaffah” (Mahendradatta, Ketua Tim Pengacara Muslim dalam Republika, 11 Mei 2008, hal. B2).

Konteks yang terjadi saat Mahendradatta mengucapkan pernyataan

di atas adalah ketika pemerintah belum mengeluarkan kebijakan

yang pasti berkaitan dengan Ahmadyah di Indonesia. Secara semantis,

penggalan kalimat yang diucapkan Mahendradatta di atas adalah kalimat

pernyataan (deklaratif). Namun, tidak hanya sekadar sebagai sebuah

pernyataan, tuturan itu sesungguhnya bermaksud (tindak ilokusinya)

meminta Presiden SBY untuk segera membubarkan Ahmadyah.

Dalam menyampaikan maksudnya itu, Mahendradatta

menggunakan bentuk tuturan tidak langsung. Namun, dalam persepsi

pendengar/pembaca, tuturan itu tergolong tidak santun karena

Mahendradatta langsung menyebutkan subjek yang dituju, yakni SBY.

Selain itu, ada sesuatu yang diungkapkan Mahendradatta dengan cara

yang hiperbol (melebih-lebihkan) yang ditandai dengan penggunaan

kata sama sekali tidak sensitif. Tuturan Mahendradatta ini jelas tidak

menyelamatkan “muka” SBY.

Bandingkan dengan contoh berikut:

(6) “Tak ada di negeri ini yang imun, termasuk lembaga-lembaga pemerintah, kantor menteri, juga DPR” (Jusuf Kalla, Wapres RI dalam Republika, 26/04/2008, hal. 1).

Pernyataan di atas diucapkan Jusuf Kalla (Wapres RI) ketika KPK

berencana menggeledah DPR. Penggalan kalimat yang diucapkan Jusuf

Kalla di atas merupakan kalimat deklaratif (pernyataan). Namun, jika

dianalisis lebih jauh sesungguhnya maksud yang ingin disampaikan Jusuf

Kalla adalah mendukung langkah KPK untuk menggeledah DPR. Dalam

menyampaikan maksudnya itu, strategi yang dipakai penutur adalah

Page 34: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

34 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

menggunakan tuturan tidak langsung (tidak langsung menyampaikan

maksud dan tidak langsung menyebutkan subjeknya). Karena faktor

itulah maka tuturan itu dipersepsikan santun oleh pendengar.

Dari ketiga contoh di atas, ada hal yang menarik yang perlu

digarisbawahi, yakni bahwa ketika akan menyampaikan suatu

maksud, ada beragam cara atau strategi yang dipakai orang dalam

mengungkapkannya. Ada yang menggunakan bentuk tuturan langsung

dan ada juga yang tidak. Pemilihan strategi atau cara bertutur itu

tentunya amat berpengaruh pada tingkat kesopansantunan tuturan itu.

Di dalam surat kabar, tuturan-tuturan seperti pada contoh di atas

sangat banyak kita temukan. Permasalahannya adalah tidak semua

orang mampu memahami maksud yang ingin disampaikan penutur

lewat tuturannya. Selain itu, kita juga menemukan kesulitan dalam

mengidentifikasi penanda-penanda yang menunjukkan sebuah tuturan

itu dipersepsikan santun atau tidak santun oleh pendengar (mitra

tutur).

Dengan alasan itulah, penyajian dalam bab-bab selanjutnya

bermaksud mengungkap berbagai jenis tindak ilokusi (maksud suatu

pernyataan yang diucapkan seseorang; bukan makna) dalam tuturan di

surat kabar dan penanda-penanda apa saja yang menandakan bahwa

ujaran itu santun atau tidak. Upaya mengungkap berbagai jenis tindak

ilokusi dan penanda-penanda kesantunan berbahasa itu beranjak dari

suatu keyakinan bahwa tuturan-tuturan yang ada di dalam surat-surat

kabar bukanlah tuturan tanpa maksud (yang bersumber dari diri si

penutur); dan mungkin terjadi maksud tuturan itu sesuai dengan

maknanya (secara semantis) dan mungkin juga tidak sesuai (berlainan).

Page 35: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 35

BAB 3KOHESI: PERANTI ANTARUNSUR

YANG TEREKSPLISIT

3.1 Dasar Teori

Kohesi merupakan pertalian antarunsur dalam struktur sintaksis

yang dinyatakan secara eksplisit berupa unsur lingual tertentu.

Halliday dan Hasan membagi kohesi menjadi lima, yaitu (1) referensi,

(2) substitusi, (3) penghilangan, (4) konjungsi, dan (5) kohesi leksikal

(Ramlan, 1993: 12). Referensi, substitusi, penghilangan, dan konjungsi

oleh para analis wacana bahasa Indonesia dimasukkan sebagai bagian

dari kohesi gramatikal. Dengan demikian, dalam analisis wacana bahasa

Indonesia, kohesi terdiri dari (1) kohesi gramatikal dan (2) kohesi

leksikal.

3.1.1 Kohesi Gramatikal

Kohesi gramatikal adalah kohesi yang disebabkan oleh adanya

unsur-unsur bahasa yang secara gramatikal memiliki pertalian makna.

Unsur ia dan unsur buku pada kalimat “Ia rajin membaca buku di

perpustakaan.” memiliki pertalian makna dengan unsur buku-buku dan

-nya pada kalimat “Buku-buku yang dibacanya itu memberikan sumbangan

yang signifikan untuk proses penggarapan skripsinya.” Unsur ia dan

buku pada kalimat pertama memiliki pertalian gramatikal dengan unsur

buku-buku dan -nya pada kalimat kedua. Halliday mengemukakan bahwa

alat-alat pembentuk jaringan teks yang membuat wacana menjadi padu

(kohesi gramatikal) meliputi: referensi, substitusi, penghilangan, dan

konjungsi (Prayitno, 2003: 216).

Page 36: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

36 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

A. Referensi

Referensi merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa

satuan lingual tertentu yang merefer (menunjuk) satuan lingual yang

lain, yang mendahului atau yang mengikutinya. Referensi dapat dibagi

menjadi dua, yakni eksofora (situasional) dan endofora (tekstual).

Menurut Suwandi (2008:148), acuan eksofora (situasional) ialah acuan

yang berada di luar teks, sedangkan acuan endofora (tekstual) ialah

acuan yang berada di dalam teks.

Kaswanti Purwo (1987:10) menjelaskan bahwa ditinjau dari arah

acuannya, referensi endoforis dapat dibagi menjadi dua, yaitu anaforis

dan kataforis. Referensi anaforis mengacu kepada suatu konstituen

sebelumnya, sedangkan referensi kataforis mengacu kepada konstituen

di belakangnya. Kohesi referensi dapat dilihat pada contoh berikut.

(1) Setiap akhir pekan, ratusan mobil bernomor polisi Jakarta menyeberangi Selat Sunda menuju Bandar Lampung (BL) (a). Kamar-kamar hotel di kota itu pun setiap Sabtu-Minggu tidak tersisa lagi, bahkan harus dipesan dua minggu sebelumnya (b). BL kotanya enak, di atas bukit dengan panorama laut (c). Kota ini pun tidak terlalu ramai (d). (Kompas dalam Darmini, 2003:235).

Wacana di atas terdiri atas empat kalimat, yaitu kalimat (a), (b), (c)

dan (d). Pada kalimat (b), itu menunjuk BL pada kalimat (a). BL pada

kalimat (c) menunjuk BL pada kalimat (a) atau itu pada kalimat (b).

Pada kalimat (d), ini menunjuk satuan lingual sebelumnya, yakni BL

pada kalimat (a) dan (c) atau itu pada kalimat (b). Referensi seperti itu

disebut referensi demonstratif tempat. BL, ini, dan itu merupakan satuan

endofora. Ini adalah referensi kataforis, yakni acuan untuk konstituen

sebelumnya, sedangkan itu adalah referensi anaforis, yakni acuan untuk

konstituen sesudahnya (bdk. Kaswanti Purwo, 1987:10).

B. Substitusi

Subtitusi merupakan salah satu peranti kohesi gramatikal yang

berupa penggantian satuan lingual tertentu (satuan lingual yang

Page 37: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 37

telah disebut) dengan satuan lingual yang lain. Subtitusi sebagai salah

satu peranti kohesi gramatikal dapat berfungsi untuk menghindari

kemonotonan sebuah wacana.

Ramlan (1993) menyebut substitusi dengan penggantian.

Kridalaksana (1978) menyebutnya dengan penyulihan. Lepas dari

pilihan istilah yang dipakai, para ahli sepakat bahwa substitusi adalah

kohesi gramatikal berupa penggantian konstituen tertentu dengan

konstituen yang lain. Oleh karena itu, dalam jenis kohesi ini terlihat dua

unsur, yaitu unsur terganti dan unsur pengganti. Substitusi dalam wacana

dapat dilihat pada contoh berikut.

(2) Setelah empat lima kali mendatangi suatu desa, barulah dr. Rien merasa diterima oleh rakyat setempat (a). Ia pun merasa berani sedikit-sedikit berbicara tentang kesehatan, kebersihan, dan keluarga berencana (b).

Pada contoh (2) terdapat dua kalimat, yaitu kalimat (a) dan (b).

Satuan dr. Rien pada kalimat (a) disubstitusi dengan satuan ia pada

kalimat (b).

C. Penghilangan

Penghilangan merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa

pelesapan unsur tertentu yang telah disebutkan (Prayitno, 2003:211).

Penghilangan secara gramatikal dekat dengan substitusi sebab

penghilangan dapat digambarkan sebagai subtitusi kosong (dalam

analisis wacana, unsur yang dihilangkan biasanya ditandai dengan ø

‘zero’). Berikut adalah contoh penghilangan.

(3) Berdasarkan peraturan, sekolah-sekolah swasta yang menumpang di sekolah negeri diberi batas waktu sampai dengan tahun 1990. Setelah itu, ø harus menempati gedung sendiri (Ramlan, 1993:24).

Pada contoh (3) di atas tampak bahwa unsur yang dihilangkan ialah

sekolah-sekolah swasta.

Page 38: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

38 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

D. Konjungsi

Yang dimaksud dengan konjungsi ialah kohesi gramatikal yang

dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur

yang lain. Konjungsi dapat bermacam-macam, tergantung hubungan

semantik yang ditimbulkan akibat pertemuan kalimat yang satu dengan

kalimat yang lain dalam wacana (Ramlan, 1984:22). Berikut adalah

contoh konjungsi.

(4) Membaiknya hubungan Timur-Barat disambut baik oleh dunia (a). Sebaliknya, perkembangan itu makin memperjelas ketimpangan hubungan Utara - Selatan, yang berdampak negatif terhadap pembangunan di negara-negara berkembang (b).

Contoh (4) di atas terdiri dari dua kalimat, yaitu kalimat (a) dan

(b). Pada kalimat (b) terdapat kata sebaliknya yang menandai hubungan

antara kedua kalimat itu. Penanda hubungan konjungsi ada yang berupa

kata, misalnya sebaliknya, namun, akhirnya, padahal, kemudian, tetapi dan

ada pula yang berupa kelompok kata yang diakhiri dengan kata itu,

begitu, atau demikian.

3.1.2 Kohesi Leksikal

Kohesi leksikal ialah hubungan yang disebabkan oleh adanya

kata-kata yang secara leksikal memiliki pertalian. Prayitno (2003:222)

mengatakan bahwa kohesi leksikal tidak berkaitan dengan hubungan

gramatikal, tetapi berkaitan dengan hubungan yang didasarkan pada

pemakaian kata. Ada lima jenis kohesi leksikal untuk mewujudkan

keutuhan suatu wacana, yaitu: (1) pengulangan, (2) sinonimi, (3)

antonimi, (4) hiponimi, dan (5) ekuivalensi (Ramlan, 1993:30).

A. Pengulangan

Halliday mengatakan bahwa pengulangan adalah penyebutan

kembali suatu unsur leksikal yang sama seperti yang telah disebut

sebelumnya (Badru, dkk., 2003: 44). Dalam konteks analisis wacana

bahasa Indonesia, pengulangan yang dimaksud bukanlah proses

Page 39: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 39

reduplikasi seperti kata rumah menjadi rumah-rumah, melainkan

pengulangan sebagai penanda hubungan, yaitu adanya unsur pengulang

yang mengulang unsur yang terdapat pada kalimat di depannya

(Ramlan, 1993: 30).

Ramlan (1993:31) membagi pengulangan menjadi empat, yaitu

pengulangan sama tepat (1), pengulangan dengan perubahan bentuk

(2), pengulangan sebagian (3), dan pengulangan parafrase (4).

1. Pengulangan sama tepat (pengulangan utuh), yaitu pengulangan

yang terjadi karena unsur pengulang sama dengan unsur yang

diulang. Pada umumnya, unsur pengulang diikuti unsur penunjuk

itu, ini, dan tersebut.

(5) Adalah suatu kejahatan menjual kepulauan ini kepada Jepang (a). Kepulauan ini bukan sesuatu yang tumbuh begitu saja dari karang yang tandus (b). Akan tetapi, bagi kami kepulauan ini merupakan zambrut di ujung timur Soviet (c).

Contoh di atas terdiri atas tiga kalimat. Pada kalimat (a) terdapat

frasa kepulauan ini. Frasa ini diulang pada kalimat (b), dan diulang

sekali lagi pada kalimat (c). Kata ini pada frasa-frasa itu merupakan

unsur penunjuk eksoforik (Ramlan, 1993:31).

2. Pengulangan dengan perubahan bentuk, yaitu pengulangan

yang disebabkan oleh keterikatan tata bahasa, misalnya unsur

diulang berupa kata kerja dan unsur pengulang berupa kata

kerja. Pengulangan dengan perubahan bentuk dapat dilihat pada

contoh berikut.

(6) Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan antara pemerintah daerah dengan sejumlah perusahaan di 13 provinsi, pada hari Selasa telah diserahkan 403 kasus pencemaran lingkungan hidup (a). Penyerahan dilakukan oleh Menteri KLH Prof. Dr. Emil Salim ketika memberikan sambutan pada penandatanganan piagam kerja sama tentang peningkatan kemampuan penegakan Hukum Lingkungan di Auditorium Depkeh, Jakarta (b).

Page 40: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

40 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Pada kalimat (a) terdapat kata diserahkan. Kata ini diulang

pada kalimat (b) tetapi karena keterikatan tata bahasa, yaitu

menduduki fungsi subjek kalimat yang cenderung diduduki oleh

kata benda, maka kata diserahkan yang termasuk golongan kata

kerja mengalami perubahan bentuk menjadi kata benda, yaitu

penyerahan pada kalimat (b) (Ramlan, 1993:32-33).

3. Pengulangan sebagian, yaitu pengulangan sebagian dari unsur

yang diulang. Pengulangan sebagian dapat dilihat pada contoh

berikut.

(7) Adakah pengaruh kekerasan film bagi Anda? (a) Kalau di TV, Sinchan paling keras! (b)

Contoh di atas terdiri atas dua kalimat. Kata kekerasan pada kalimat

(a) diulang secara parsial (sebagian) pada kalimat (b), yakni keras

(Prayitno, 2003:222).

4. Pengulangan parafrasa, yaitu pengulangan yang unsur

pengulangnya berparafrasa dengan unsur terulang. Misalnya:

(8) Kami mencintai mereka semua tanpa kecuali (a). Kami mencintai mereka semua dengan sepenuh hati dan bertekad membesarkan mereka (b). Jika Tuhan mengizinkan, kami ingin mengantar mereka kelak ke ambang dewasa (c). Melihat mereka menjadi orang (d). Melihat mereka berkeluarga dan menghadiahkan kakek dan nenek mereka cucu-cucu yang mungil (e).

Contoh di atas terdiri atas lima kalimat. Dapat dilihat jelas bahwa

sebagian dari kalimat (b) berparafrasa dengan kalimat (a), dan

sebagian dari kalimat (e) berparafrasa dengan kalimat (d)

(Ramlan, 1993:36).

B. Sinonimi

Yang dimaksud dengan sinonimi ialah penggunaan bentuk bahasa

yang maknanya sama atau mirip dengan bentuk lain. Hal ini sesuai

dengan pendapat Abdul Chaer yang mendefinisikan sinonimi sebagai

Page 41: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 41

ungkapan (bisa berupa kata, frasa, atau kalimat) yang maknanya kurang

lebih sama dengan makna ungkapan lain (Badru, 1994:6). Berikut ini

dikemukakan contohnya.

(9) Jumlah orang Jawa perantauan ini selalu cenderung naik (a). Sensus yang dilakukan Inggris di tahun-tahun mereka berkuasa menunjukkan peningkatan itu (b).

Pada contoh (9) terlihat bahwa kata naik pada kalimat (a) memiliki

makna yang sama dengan kata peningkatan pada kalimat (b) (Baryadi,

2002:28).

C. Antonimi

Antonimi merupakan kohesi leksikal yang terdapat pada dua unsur

lingual atau lebih yang memiliki makna oposisi. Kridalaksana (1993:15)

mengatakan bahwa antonimi ialah oposisi makna dalam pasangan

leksikal yang dijenjangkan. Dalam peranti kohesi leksikal, antonimi

merupakan hubungan antara suatu konstituen dengan konstituen lain

yang bersifat kontras. Keantoniman dalam sebuah wacana bisa berupa

kata di dalam kalimat, atau bisa juga berupa kalimat di dalam paragraf.

Kohesi antonimi dapat dilihat pada contoh berikut.

(10) Laki-laki lebih rasional, lebih aktif, lebih agresif. Wanita sebaliknya:

lebih emosional, lebih pasif, lebih submisif (Baryadi, 2002:28).

Pada contoh (10) terdapat tiga pasangan kata yang memiliki makna

yang saling bertentangan, yaitu rasional x emosional, aktif x pasif, dan

agresif x submisif (Baryadi, 2002:28).

D. Hiponimi

Hiponimi merupakan peranti kohesi leksikal yang makna kata-

katanya merupakan bagian dari makna kata lain. Kata yang mencakup

beberapa kata yang berhiponim disebut hipernim (subordinat).

Menurut Halliday dan Hasan, dalam relasi makna, kata umum mengacu

ke hipernim, sedangkan kata khusus mengacu ke hiponim (Badru,

dkk., 2003:48). Contoh kohesi hiponimi adalah sebagai berikut.

Page 42: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

42 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

(11) Dalam soal ini, Lampung menyediakan berbagai macam oleh-oleh yang bisa Anda bawa. Jika penggemar hiasan tradisional, karya-karya hiasan dinding dan kain tapis sangat patut dijadikan oleh-oleh. Jikalau dana Anda sedang pas-pasan, keripik pisang lampung atau kerupuk kemplang tentu pantas pula untuk Anda hadiahkan kepada rekan-rekan Anda (Kompas dalam Darmini, 2003:240).

Pada contoh (11) hubungan hiponimi terdapat pada macam oleh-

oleh sebagai hipernim, sedangkan hiasan dinding, kain tapis, keripik pisang

lampung, dan kerupuk kemplang sebagai hiponim (Darmini, 2003:240).

E. Ekuivalensi

Ekuivalensi ialah jenis kohesi leksikal yang berupa sejumlah kata

sebagai hasil proses afiksasi dengan morfem asal yang sama. Contoh

kohesi ekuivalensi adalah sebagai berikut.

(12) Salah satu daya tarik lain berwisata ke Lampung pastilah oleh-oleh yang bisa kita bawa dari Lampung. Berwisata ke suatu tempat, memang terasa kurang lengkap kalau tidak membawa oleh-oleh untuk dibawa pulang (Kompas dalam Darmini, 2003:240).

Pada contoh (12), ekuivalensi sebagai kohesi leksikal tampak pada

paradigma bawa, membawa, dibawa (Darmini, 2003:240).

Dari seluruh uraian di atas, dapatlah dibuat tabel jenis-jenis kohesi

sebagai berikut.

Tabel 1. Jenis-jenis kohesi

Jenis-Jenis Kohes

No Kohesi Gramatikal No Kohesi Leksikal

1 Referensia. Eksoforab. Endofora: anafora, kata-

fora

1 Pengulangana. Pengulangan utuhb. Pengulangan parsial

2 Penyulihan 2 Sinonimi

Page 43: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 43

3 Penghilangan 3 Antonimi

4 Konjungsi 4 Hiponimi

5 Ekuivalensi

3.2 Pemakaian Kohesi dalam Surat Kabar

Sejalan dengan dasar teori, kohesi wacana bahasa Indonesia dapat

diklasifikasi menjadi dua, yakni kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.

Jenis-jenis kohesi gramatikal dan kohesi leksikal yang dapat ditemukan

dalam wacana surat kabar dapat dirinci, dijelaskan, dan diinterpretasikan

maknanya sebagai berikut.

3.2.1 Kohesi Gramatikal

Kohesi gramatikal dirinci menjadi (1) kohesi gramatikal yang

menggunakan referensi, (2) kohesi gramatikal yang menggunakan

substitusi, (3) kohesi gramatikal yang menggunakan penghilangan atau

pelesapan, dan (4) kohesi gramatikal yang menggunakan konjungsi.

A. Kohesi Gramatikal Menggunakan Referensi

Referensi merupakan salah satu penanda kohesi gramatikal dalam

wujud satuan lingual tertentu yang merujuk pada satuan lingual lain,

yang mendahului atau mengikutinya. Referensi dapat dibagi menjadi

tiga, yaitu (a) referensi persona, (b) referensi demonstratif, dan (c)

referensi komparatif.

a. Referensi Persona

Referensi persona merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal

berupa kata ganti orang yang mengacu pada satuan lingual lain yang

mendahului atau mengikutinya. Referensi persona dapat dibedakan

menjadi (1) referensi persona I (tunggal dan jamak), (2) referensi

persona II (tunggal dan jamak), dan (3) referensi persona III (tunggal

dan jamak).

Page 44: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

44 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

•Referensi Persona I Tunggal

Dalam surat kabar, pemakaian referensi persona I tunggal berupa

unsur {saya} sebagaimana diperlihatkan pada data-data berikut.

(1) Secara terpisah mantan hakim agung Laica Marsuki dan aktivis Rumah Perubahan, Ardhi Massardi, di Jakarta, Kamis, sependapat, bangsa ini menghadapi dilema menyedihkan bagi tatanan sistem politik yang lebih baik dan penegakan hukum. Pasalnya, putusan MA yang menganulir keputusan KPU tentang penghitungan kursi di satu sisi harus dijalankan dan tidak bisa dianggap sepi, tetapi di sisi lain kredibilitas hakim agung dipertanyakan.

“Saya berharap, tidak ada tokoh reformasi dan pimpinan partai yang menyatakan putusan MA dikesampingkan begitu saja. Hal ini bisa menjadi malapetaka bagi penegakan hukum dan lembaga peradilan kita,” ujar Laica. (Berita Utama Kompas, 1/8/2009)

(2) Gembong teroris Noordin M Top ternyata pernah menitipkan surat wasiat yang belum diketahui isinya kepada mantan istrinya, Munfiatun. Munfiatun di Jepara mengaku, Noordin pernah menitipkan surat wasiat kepadanya. “Namun, surat tersebut sudah diambil oleh Mabes Polri saat saya ditahan 2004 lalu,” ujarnya kemarin. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 10/8/2009)

Pada tuturan (1), unsur saya mengacu pada Laica Marsuki yang telah

disebut sebelumnya. Oleh karena itu, saya dalam tuturan (1) termasuk

kohesi gramatikal referensi endofora anaforis yang dinyatakan dengan

pronomina persona I tunggal bentuk bebas kutipan langsung. Di

sana, penulis wacana memanfaatkan pernyataan Laica Marsuki untuk

membuktikan kalimat sebelumnya. Pernyataan Laica Marsuki dinyatakan

dalam bentuk kalimat langsung yang diawali dan diakhiri dengan tanda

petik dua atau tanda kutip (“...”) melalui kohesi gramatikal referensi

persona I tunggal bentuk bebas. Pada tuturan (2), unsur saya mengacu

pada Munfiatun yang telah disebutkan sebelumnya. Saya pada tuturan

(2) merupakan kohesi gramatikal referensi endofora anaforis yang

dinyatakan dengan pronomina persona I tunggal bentuk bebas kutipan

Page 45: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 45

langsung. Penulis wacana mengutip secara langsung pernyataan

Munfiatun untuk meyakinkan pembaca mengenai kalimat sebelumnya

melalui kohesi gramatikal referensi persona I tunggal bentuk bebas.

•Referensi Persona I Jamak

Referensi persona I jamak dapat berupa unsur {kami} atau {kita}.

Perhatikan data-data berikut.

(1) Terkait dengan surat di Kompas (21/7), “Warga Terisolasi di Kawasan Industri Kertas Raksana”, oleh Saudara Muhammad Chatid, dengan ini kami sampaikan bahwa apa yang disampaikan dalam surat itu tidak sesuai dengan fakta. (Surat Pembaca Kompas, 4/8/2009)

(2) Salah satu cara untuk belajar menulis dan nantinya menjadi penulis ya mulai menulis saja. Kalau kita sudah mulai menulis lalu menjadi kebiasaan, rasa-nya menulis itu jadi menyenangkan. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 25/8/2009).

Pada tuturan (1), unsur kami merupakan acuan eksofora kataforis.

Unsur kami di situ merujuk ke PT Indah Kiat Serang, sebuah pabrik kertas

di Serang, Banten. Hal itu dapat dirunut dari konteks wacana surat

pembaca tersebut yang ditulis oleh Andry Triawan, koordinator Bagian

Legal PT Indah Kiat Serang. Penulis wacana itu menggunakan kami

sebagai referensi persona I jamak bentuk bebas dan menulis atas nama

PT Indah Kiat Serang. Pada tuturan (2), unsur kita merupakan kohesi

gramatikal eksofora kataforis. Dalam wacana surat pembaca tersebut,

unsur kita merujuk pada persona lain di luar wacana (pembaca), selain

penulis sendiri ikut terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, unsur kita

dalam wacana itu merujuk pada penulis dan pembaca.

•Referensi Persona II Tunggal

Kohesi gramatikal referensi persona II tunggal dapat berupa

pronomina {kamu} atau {anda}. Penggunaan unsur kamu atau anda juga

ditemukan dalam wacana surat kabar sebagaimana tampak dalam data-

data berikut.

Page 46: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

46 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

(1) Saya lampirkan fotocopi KTP, SIM, dan rangkuman transaksi Power-Vantage. Namun, tanpa melihat berkas-berkas saya, wanita itu dengan kasar berkata, “Kamu harus lampirkan identitas.” (Surat Pembaca Kompas, 13/8/2009)

(2) Kalau Anda tertarik dalam merawat kesehatan dan mengatasi gangguan kesehatan secara alami yang aman dan menenteramkan hati, dan juga ingin memiliki kartu belanja jemaah ekonomi (KBJE) yang dikelola Wibar Jogja, silakan segera daftarkan diri Anda, teman Anda, dan keluarga Anda untuk bergabung dalam Komunitas Sehat Jogja dan jamaah ekonomi di kantor Baitul Maal MBT Sunan Kalijaga di Giwangan, Jalan Imogiri Timur Nomor 217. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 2/8/2009)

Unsur kamu pada tuturan (1) mengacu pada saya yang telah

disebutkan sebelumnya (kohesi gramatikal endofora anaforis melalui

pronomina persona II tunggal). Penggunaan kamu dalam tuturan itu

digunakan oleh wanita itu dan ditujukan kepada saya. Dalam konteks

wacana Surat Pembaca Kompas edisi 13/8/2009, kamu merujuk pada saya

yang tidak lain adalah penulis wacana itu sendiri. Penulis menggunakan

kamu, karena ia mengutip tuturan orang lain yang ditujukan kepada

dirinya. Pada tuturan (2), penggunaan unsur Anda merujuk pada persona

di luar teks. Oleh karena itu, Anda dalam tuturan (2) merupakan kohesi

gramatikal referensi persona II tunggal eksofora kataforis. Sebab, Anda

dalam tuturan itu ditujukan kepada pembaca (persona di luar teks).

•Referensi Persona II Jamak

Unsur Anda sekalian dan Anda semua merupakan pronomina persona

II jamak. Dalam wacana surat kabar, kohesi gramatikal referensi persona

II jamak juga ditemukan sebagaimana terlihat dalam data-data di bawah

ini.

(1) Apa Anda sekalian sedang membentuk generasi yang mendewakan daging sebagai makanan terbaik? (Surat Pembaca Kompas, 22/8/2009)

(2) Bagi para pembaca yang ingin memberikan bantuan uang, dapat menghubungi Prasetyo Wijanarko (085292500761). Dengan

Page 47: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 47

senang hati kami akan mengambil bantuan yang diberikan. Atas partisipasi dan bantuan Anda semua, kami ucapkan terima kasih. (Surat Pembaca Kedaulata Rakyat, 3/8/2009)

(3) Dalam pelaksanaan program ini, kami mohon bantuan Anda sekalian, pembaca Kedaulatan Rakyat, untuk mengeluarkan uang tunai atau buku-buku pelajaran agama, pengetahuan umum, baik baru maupun bekas. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 9/8/2009)

Baik Anda sekalian dalam tuturan (1) maupun Anda semua dalam tuturan

(2) merupakan pronomina persona II jamak karena ditujukan kepada

lebih dari satu orang. Anda sekalian dalam tuturan (1) merupakan kohesi

gramatikal referensi eksofora kataforis. Di situ, Anda sekalian mengacu

pada sejumlah orang, dalam hal ini para pembaca, dan para pembaca

yang dimaksud dituliskan secara eksplisit melalui penggunaan unsur

Anda sekalian sebagai pronomina persona II bentuk bebas.

Pada tuturan (2), Anda semua mengacu pada para pembaca yang

secara eksplisit telah disebutkan sebelumnya. Jadi, Anda semua dalam

tuturan (2) merupakan kohesi gramatikal referensi persona II jamak

endofora anaforis. Pada tuturan (3), Anda sekalian termasuk kohesi

gramatikal referensi endofora kataforis melalui pronomina persona II

jamak bentuk bebas karena unsur yang diacu adalah para pembaca. Para

pembaca dituliskan secara eksplisit dan berada di belakang unsur yang

mengacunya.

•Referensi Persona III Tunggal

Dalam wacana surat kabar dijumpai referensi persona III tunggal

yang dibuktikan dengan adanya penanda {ia}, {dia}, {beliau} dan {-nya}.

Berikut dipaparkan penanda-penanda tersebut.

(1) Sekjen PDI-P, Pramono Anung, ketika dihubungi semalam belum bisa memastikan hal itu. Ia mengaku belum mengetahui sikap apa yang akan diambil oleh ketua umumnya itu. (Berita Utama Kompas, 19/8/2009)

(2) Karena ingin mengorek cerita Tjitra, Sutarmanto mengundang Tjitra datang ke rumahnya dengan alasan untuk diurut. Seusai

Page 48: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

48 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

diurut, keduanya bercerita. Dari situlah keluar pengakuan Tjitra bahwa dia pernah bertemu dengan Syaifudin di Yogyakarta. (Berita Utama Bernas Jogja, 21/8/2009)

(3) Menanggapi surat di Kompas (27/5), “Turun Daya PLN Dua Tahun”, oleh Bapak Antonius Fefe, dengan ini kami terangkan bahwa kami telah mengadakan pertemuan dengan Bapak Antonius Fefe dan memberi penjelasan. Beliau menerima penjelasan kami, dan masalah telah diselesaikan. (Surat Pembaca Kompas, 5/8/2009)

(4) Pemerintah pusat sudah mengimbau pemerintah daerah agar menginventarisasi seni budaya lokal yang ada di daerahnya. (Berita Utama Kompas 31/8/2009)

Pada tuturan (1) unsur ia mengacu pada Pramono Anung. Di situ,

diperlihatkan bahwa unsur yang diacu telah disebutkan sebelumnya.

Oleh karena itu, tuturan (1) termasuk jenis kohesi gramatikal referensi

endofora anaforis melalui pronomina III tunggal bentuk bebas. Merujuk

pada wacana Berita Utama Kompas edisi 19/8/2009 secara keseluruhan,

Pramono Anung telah beberapa kali disebut. Dengan menggunakan ia

dalam wacana (1), penulis hendak memperlihatkan adanya variasi

gramatikal, yaitu dengan memanfaatkan referensi persona III tunggal.

Sebagaimana tuturan (1), dia pada tuturan (2) merupakan kohesi

gramatikal referensi endofora anaforis melalui referensi persona III

tunggal bentuk bebas. Sebab, dia pada tuturan (2) mengacu pada Tjitra

yang telah beberapa kali disebutkan sebelumnya. Penggunaan unsur

dia dalam tuturan (2) kiranya dimaksudkan penulis untuk menghindari

kemonotonan pemakaian unsur bahasa (bandingkan jika wacana itu

berbunyi “Dari situlah keluar pengakuan Tjitra bahwa Tjitra pernah....”

dengan “Dari situlah keluar pengakuan Tjitra bahwa dia pernah....”).

Pada tuturan (3) unsur beliau mengacu pada Bapak Antonius Fefe sebagai

kohesi referensi endofora anaforis melalui pronomina III tunggal

bentuk bebas. Lebih dari itu, penggunaan unsur beliau pada tuturan

itu memiliki nilai semantis yang tinggi. Penulis memposisikan Bapak

Antonius Fefe sebagai orang yang lebih dihormati. Pada tuturan (4),

unsur {-nya} mengacu pada pemerintah daerah yang telah disebutkan

Page 49: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 49

sebelumnya (kohesi gramatikal referensi endofora anaforis melalui

pronomina persona III tunggal bentuk terikat). Dengan peng-gunaan

unsur {-nya}, penulis ingin menghindari pengulangan frasa pemerintah

daerah dalam kalimat yang sama.

•Referensi Persona III Jamak

Pemakaian kohesi gramatikal referensi persona III jamak endofora

anaforis dan endofora kataforis diwujudkan dengan unsur mereka

(pronomina persona III jamak) sebagaimana data-data berikut.

(1) Aksi anti Malaysia juga berlangsung di Yogya, tepatnya di depan Gedung Agung. Aksi yang menampilkan Tari Pendet massal ini diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Hindu Universitas Gadjah Mada (PMHD-UGM) didukung Keluarga Putera Bali Purantara Yogyakarta. Mereka menampilkan 40 penari dan 15 penabuh gamelan. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 31/8/2009)

(2) Mereka adalah Hendra (23), Aris (33), dan Muhdaroni (26). (Berita Utama Bernas Jogja 8/8/2009)

Pada tuturan (1) unsur mereka mengacu pada Keluarga Mahasiswa

Hindu Universitas Gadjah Mada dan Keluarga Putera Bali Purantara Yogyakarta

yang telah disebut sebelumnya. Oleh karena itu, unsur mereka dalam

tuturan itu merupakan kohesi gramatikal referensi endofora anaforis

melalui pronomina III jamak bentuk bebas. Sementara itu, unsur

mereka pada tuturan (2) mengacu pada Hendra, Aris, dan Muhdaroni yang

disebutkan di belakangnya. Oleh karena itu, unsur mereka pada tuturan

(2) merupakan kohesi gramatikal referensi endofora kataforis melalui

pronomina III jamak bentuk bebas.

b. Referensi Demonstratif

Referensi demonstratif dirinci menjadi (1) referensi demonstratif

waktu, (2) referensi demonstratif tempat, (3) referensi demonstratif

ihwal, dan (4) referensi demonstratif umum.

•Referensi Demonstratif Waktu

Penanda referensi demonstratif waktu yang ditemukan dalam surat

Page 50: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

50 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

kabar dibuktikan dengan adanya penanda ketika itu, periode yang sama,

dan dewasa ini. Berikut adalah data-data referensi demonstratif waktu.

(1) Ansyaad mengingatkan, upaya pembunuhan terhadap Megawati Soekarnoputri saat menjabat presiden tahun 2001 juga pernah terjadi. Namun, bom tanpa sengaja meledak lebih dulu di Atrium, Senen, Jakarta Pusat, 1 Agustus 2001. Ketika itu, Megawati tengah memimpin rapat PDI-P di Pecenongan, Jakarta Pusat. (Berita Utama Kompas, 11/8/2009)

(2) Pada tahun 2002-2009 sudah 12 orang bersedia melakukan bom bunuh diri. Catatan Litbang Kompas, dalam periode yang sama, teror bom sudah memakan 262 korban jiwa dan 782 luka-luka. (Berita Utama Kompas, 12/8/2009)

(3) Dewasa ini musik sudah menjadi bagian dari kehidupan, atau justru sebaliknya kehidupan merupakan bagian dari musik. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 10/8/2009)

Pada tuturan (1), unsur ketika itu mengacu pada 1 Agustus 2001

sebagaimana disebutkan sebelumnya. Sebagai penanda yang mengacu

sebuah unsur yang telah disebutkan, unsur ketika itu termasuk kohesi

gramatikal referensi endofora anaforis melalui pronomina demonstratif

waktu lampau. Di situ hendak diperlihatkan bahwa unsur waktu (1

Agustus 2001) telah berlalu ketika wacana Berita Utama Kompas edisi

12/8/2009 ditulis. Pada tuturan (2), unsur periode yang sama mengacu

pada unsur tahun 2002-2009 yang telah disebutkan. Oleh karena itu,

unsur periode yang sama merupakan kohesi gramatikal referensi endofora

anaforis melalui pronomina demonstratif waktu netral. Sementara itu,

unsur dewasa ini dalam tuturan (3) merupakan asosiasi untuk mengacu

waktu kini (sekarang). Sebagai unsur yang mengacu waktu kini, unsur

dewasa ini termasuk kohesi gramatikal referensi eksofora anaforis

melalui pronomina demonstratif waktu kini (sekarang).

•Referensi Demonstratif Tempat

Pemakaian referensi demonstratif tempat berwujud di sana dan

daerah itu sebagaimana diperlihatkan dalam data-data berikut.

Page 51: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 51

(1) Apartemen dari Group Mediterina yang berlokasi di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, cukup terkenal ramai dengan penghuni asal China, yang entah berdomisili resmi atau tidak. Meskipun bukan penghuni apartemen, saya menjadi anggota fasilitas Fit dan Gym di sana, yang saya pilih dengan pertimbangan dekat dengan tempat tinggal dan tempat kerja. (Surat Pembaca Kompas, 28/8/2009)

(2) Ya, Jalan Sosrowijayan terletak di sekitar kawasan Malioboro. Kawasan yang banyak dikunjungi wisatawan asing maupun lokal. Dua minggu belakangan daerah itu terlihat sangat sesak. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 7/8/2009)

Pada tuturan (1), unsur di sana mengacu pada Apartemen dari Group

Mediterina yang berlokasi di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat (kohesi gramatikal

referensi endofora anaforis melalui pronomina demonstratif tempat).

Unsur di sana menunjukkan bahwa penulis jauh dengan tempat yang

dimaksud. Pada tuturan (2), unsur daerah itu mengacu pada kawasan

Malioboro (kohesi gramatikal referensi endofora anaforis melalui

pronomina demonstratif tempat). Unsur tempat itu menunjukkan

bahwa penulis wacana jauh dari tempat tersebut.

•Referensi Demonstratif Ihwal

Referensi demonstratif ihwal dapat berupa penanda begini, begitu,

dan demikian. Perhatikan data-data berikut.

(1) Saat ini ruas Jalan Margonda Raya, Depok, sedang siap-siap dilebarkan. Beberapa batang pohon telah ditebang habis. Seperti yang sudah-sudah, beginilah cara mengatasi kemacetan lalu-lintas, yakni dengan memperlebar jalan untuk kenyamanan pengguna kendaraan bermotor. (Surat Pembaca Kompas, 16/8/2009)

(2) Kekecewaan bertambah karena iklan televisi tentang jam tayang dan jadwal acara televisi di Kompas berbeda. Begitu pula jam tayang film Coffe Prince yang berubah-ubah. (Surat Pembaca Kompas, 11/8/2009)

(3) Indonesia harus segera mengintrospeksi diri berkaitan dengan kegagalan ekonomi menyejahterakan rakyat secara komprehensif. Salah satu penyebabnya adalah masuknya

Page 52: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

52 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

globalisasi yang tanpa mengintegrasikan pasar dalam negeri.

….

Demikian yang terungkap dalam diskusi publik bertajuk,

“Kedaulatan Ekonomi Nasional, Sudahkah Indonesia Merdeka?”

di Jakarta, Rabu (26/8). (Berita Utama Kompas, 27/8/2009)

Pada tuturan (1), unsur beginilah mengacu pada yakni dengan

memperlebar jalan untuk kenyamanan pengguna kendaraan bermotor. Karena

hal yang diacu secara eksplisit terungkap di belakang unsur yang

mengacunya maka beginilah merupakan kohesi gramatikal referensi

endofora kataforis melalui pronomina demonstratif ihwal dekat dengan

penutur. Penggunaan beginilah untuk mengacu yakni dengan memperlebar

jalan untuk kenyamanan pengguna kendaraan bermotor dipandang tepat

karena penulis wacana menempatkan unsur yang diacu berada di

belakangnya. Artinya, unsur yang mengacu dekat dengan unsur yang

diacu. Pada tuturan (2), unsur begitu mengacu pada kekecewaan bertambah

karena iklan televisi dengan jam tayang dan acara televisi di Kompas berbeda

yang telah disebut sebelumnya. Oleh karena itu, unsur begitu termasuk

kohesi gramatikal referensi endofora anaforis melalui pronomina

demonstratif ihwal jauh dengan penutur. Dengan menggunakan unsur

begitu, penulis wacana ingin memperlihatkan bahwa hal yang telah

disebutnya diacu untuk mengemukakan hal berikutnya.

Pada tuturan (3), unsur demikian mengacu pada Indonesia harus segera

mengintrospeksi diri berkaitan dengan kegagalan ekonomi menyejahterakan

rakyat secara komprehensif. Salah satu penyebabnya adalah masuknya globali-

sasi yang tanpa mengintegrasikan pasar dalam negeri yang telah disebutkan

sebelumnya. Dengan demikian, unsur demikian termasuk kohesi

gramatikal referensi endofora anaforis melalui pronomina demonstratif

ihwal dekat dengan penutur. Penggunaan unsur demikian dalam

tuturan (3) juga dimaksudkan penulis untuk merangkum hal (ihwal)

diskusi publik yang bertajuk “Kedaulatan Ekonomi Nasional, Sudahkah

Indonesia Merdeka?” di Jakarta, Rabu (26/8).

Page 53: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 53

•Referensi Demonstratif Umum

Referensi demonstratif umum dibuktikan dalam wacana di surat

kabar dengan adanya penggunaan unsur ini dan itu. Berikut adalah data-

datanya.

(1) Kini ada 3.000 kilometer jalan nasional yang umur jalannya sudah habis. Semuanya perlu dibongkar ulang dengan kebutuhan anggaran 36 triliun. Anggaran itu dua kali lipat dari jumlah alokasi Dirjen Bina Marga Depkeu yang bertanggung jawab soal jalan. (Berita Utama Kompas, 3/8/2009)

(2) Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga Jumat (31/7) belum menentukan sikap terkait Putusan Mahkamah Agung (MA) soal pembatalan pembagian kursi tahap kedua pemilihan legislatif. KPU baru akan menyikapi soal ini Sabtu hari ini. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 1/8/2009)

(3) Sebuah rumah yang dicurigai sebagai tempat persembunyian teroris dikepung Densus 88 bersama polisi, Jumat (7/8) malam. Beredar informasi rumah milik Mohzari (70) di desa Beji RT 01/RW 07 Kelurahan Kedu Temanggung yang dikepung aparat keamanan itu dihuni Noordin M Top dan beberapa orang. Di rumah itu Mohzari tinggal bersama anaknya Tatag. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 8/8/2009)

Pada tuturan (1), unsur itu mengacu pada anggaran 36 triliun yang

disebutkan sebelumnya sehingga unsur itu termasuk kohesi gramatikal

referensi demonstratif umum yang jauh dengan penutur. Unsur itu

dalam tuturan (1) berfungsi untuk membentuk makna penegasan.

Pada tuturan (2), unsur ini mengacu pada soal pembatalan pembagian

kursi tahap kedua pemilihan legislatif sehingga unsur ini termasuk kohesi

gramatikal referensi demonstratif umum yang dekat dengan penutur.

Penggunaan unsur ini pada tuturan (2) berfungsi untuk membentuk

makna penegasan. Pada tuturan (3), unsur itu mengacu pada rumah

milik Mohzari sehingga unsur itu termasuk kohesi gramatikal referensi

demonstratif umum yang jauh dengan penutur. Penggunaan unsur ini

pada tuturan (3) berfungsi untuk membentuk makna penegasan.

Page 54: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

54 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

c. Referensi Komparatif

Referensi komparatif (perbandingan) diwujudkan dengan

penggunaan unsur seperti. Berikut adalah data referensi komparatif.

(1) Seperti biasa, sebelum kereta berangkat, ada pengumuman bahwa KA Argo Sindoro hanya menurunkan penumpang di Stasiun Tegal, Pekalongan, dan Tawang. (Surat Pembaca Kompas, 22/8/2009)

(2) Sesampai di tempat fitness, saya berlatih dan selalu mencium bau busuk dari arah jendela. Ketika saya bertanya kepada instruktur, seperti ada bau bangkai tikus, dia menjelaskan bahwa di plafon dekat jendela ada instalasi ventilasi yang terdapat di setiap ruang. (Surat Pembaca Kompas, 28/8/2009)

Pada tuturan (1), unsur seperti berfungsi untuk membandingkan

suatu kebiasaan yang memiliki ciri atau sifat yang sama dengan unsur

sebelum berangkat, ada pengumuman bahwa KA Argo Sindoro hanya menurunkan

penumpang di Stasiun Tegal, Pekalongan, dan Tawang yang disebut di

depannya. Jadi, unsur seperti termasuk kohesi gramatikal eksofora

kataforis yang dinyatakan melalui pronomina komparatif. Pada tuturan

(2), unsur seperti berfungsi untuk membandingkan bau busuk dari arah

jendela dengan ciri atau sifat yang dimiliki oleh bau bangkai tikus yang

disebut di depannya. Jadi, unsur seperti termasuk kohesi gramatikal

referensi endofora anaforis melalui pronomina komparatif.

B. Kohesi Gramatikal Menggunakan Subtitusi

Substitusi merupakan salah satu jenis penanda kohesi gramatikal

yang berupa penggantian unsur lingual tertentu (unsur yang telah

disebut) dengan unsur lingual yang lain dalam sebuah wacana. Sebagai

unsur pengganti, substitusi berfungsi untuk memperoleh unsur

pembeda. Dilihat dari unsur lingualnya, substitusi dapat dibedakan

menjadi substitusi nomina, substitusi verba, dan substitusi adjektiva.

a. Subtitusi Nomina

Substitusi nomina adalah penggantian unsur lingual yang

berkategori nomina dengan unsur lingual lain yang juga berkategori

Page 55: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 55

nomina. Substitusi nomina dapat ditemukan pada data-data berikut.

(1) “Reformasi gelombang kedua hakikatnya adalah untuk

membebaskan Indonesia dari dampak dan ekor krisis yang

terjadi 10 tahun lalu. Kemudian, pada tahun 2025 negara kita

berada dalam fase untuk benar-benar bergerak menuju negara

maju,” ujar Presiden. (Berita Utama Kompas, 15/8/2009)

(5) Munculnya ancaman kekeringan yang lebih lama akibat

fenomena iklim El Nino kian mengkhawatirkan. Fungsi negara

sebagai penyedia dan pengatur air pada saat kemarau harus

efektif. (Berita Utama Kompas, 24/8/2009)

(3) Kiranya perlu ada keharusan uji sampel kualitas udara

lingkungan, dan itu adalah kewajiban kita bersama. (Surat

Pembaca Kedaulatan Rakyat, 9/8/2009)

(4) Delegasi selain terdiri dari pimpinan DPRD juga utusan dari

fraksi-fraksi berupa perwakilan. (Berita Utama Kedaulatan

Rakyat, 20/8/2009)

Pada tuturan (1), unsur gelombang yang berkategori nomina

mengalami penggantian dengan unsur lingual lain yang juga berkategori

nomina, yaitu fase. Unsur gelombang pada tuturan itu merupakan

bentuk asosiasi yang memiliki makna kurun waktu atau era, tahapan

waktu dalam sejarah, atau rentetan waktu yang bertahap (Endarmoko,

2007:201). Untuk menghindari kemonotonan penggunaan unsur

bahasa, penutur menggantinya dengan unsur lain yang berkategori

sama, yaitu fase. Pada tuturan (2), unsur kekeringan yang berkategori

nomina mengalami penggantian dengan unsur lingual lain yang juga

berkategori nomina, yaitu kemarau. Unsur kekeringan dalam konteks

tuturan (1) memiliki arti keadaan cuaca yang bisa ditafsirkan dari klausa

di belakangnya, yaitu akibat fenomena iklim El Nino kian mengkhawatirkan.

Untuk menghindari kemonotonan penggunaan unsur bahasa, penutur

menggantinya dengan unsur lain yang berkategori sama, yaitu kemarau.

Pada tuturan (3), unsur keharusan yang berkategori nomina mengalami

Page 56: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

56 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

penggantian dengan unsur lingual lain yang juga berkategori sama, yaitu

kewajiban. Dengan adanya penggantian unsur dari keharusan pada klausa

pertama menjadi kewajiban pada klausa kedua, tuturan itu terdengar

lebih variatif dari segi penggunaan kata. Pada tuturan (4), unsur delegasi

yang berkategori nomina mengalami penggantian dengan unsur lingual

lain yang berkategori nomina, yaitu utusan. Penggantian unsur lingual

dari delegasi menjadi utusan menjadikan tuturan itu tidak monoton.

b. Subtitusi Verba

Substitusi verba adalah penggantian unsur lingual yang berkategori

verba dengan unsur lingual lain yang juga berkategori verba. Substitusi

verba ditemukan pada data-data berikut.

(1) Rustiningrum (24), isteri Indra, mengatakan, dia sedang di bengkel tempat Aris dan Indra bekerja saat polisi menangkap suami dan kakak iparnya. Indaryati (22), isteri Aris, menyampaikan hal serupa. (Berita Utama Kompas, 10/8/2009)

(2) Penyelenggaraan seminar ini dimaksudkan untuk menyemarakkan peringatan setengah abad Kiprah Yayasan LIA di dunia pendidikan dan pengajaran bahasa, khususnya bahasa Inggris. Selain itu, seminar ini bertujuan untuk memperkenalkan berbagai penerapan pembelajaran kreatif dalam bidang yang relevan: sastra, linguistik, dan pendidikan. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 6/8/2009)

Pada tuturan (1), unsur mengatakan yang berkategori verba aktif

transitif mengalami penggantian dengan unsur lain yang juga berkategori

sama, yaitu menyampaikan. Penggantian unsur mengatakan menjadi unsur

menyampaikan hendak memperlihatkan variasi verba dalam dua kalimat

yang berurutan. Pada tuturan (2), unsur dimaksudkan yang berkategori

verba pasif transitif mengalami penggantian dengan unsur lingual lain

yang berkategori verba aktif intransitif, yakni bertujuan. Penggantian

unsur lingual dari unsur dimaksudkan yang berkategori verba pasif

transitif menjadi unsur bertujuan yang berkategori verba aktif intransitif

menjadikan tuturan itu variatif.

Page 57: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 57

c. Subtitusi Adjektiva

Substitusi adjektiva adalah penggantian unsur lingual yang

berkategori adjektiva dengan unsur lingual lain yang juga berkategori

adjektiva. Substitusi adjektiva dipaparkan dalam data berikut.

Dokter juga manusia biasa, sama seperti warga masyarakat lainnya yang mempunyai jiwa dan fisik yang bisa lelah juga. Ketika kelelahan datang, fisik dan jiwa seorang dokter pun letih, sehingga terkadang ia tidak dapat memberikan pelayanan terbaik yang ia miliki kepada pasiennya. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 12/8/2009)

Pada tuturan di atas tampak bahwa unsur lelah yang berkategori

adjektiva mengalami penggantian dengan unsur letih yang berkategori

sama. Penggantian unsur lelah dengan letih memperlihatkan variasi

penggunaan adjektiva.

C. Kohesi Gramatikal Menggunakan Penghilangan

Penghilangan (pelesapan) adalah salah satu penanda kohesi

gramatikal yang berupa penghilangan unsur tertentu yang telah

disebutkan sebelumnya. Penghilangan atau pelesapan dapat dibedakan

menjadi penghilangan kata, penghilangan frasa, dan penghilangan

klausa.

a. Penghilangan Kata

Penghilangan kata adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang

berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual berupa kata yang

telah disebutkan sebelumnya. Penghilangan kata dapat dilihat pada

data-data berikut.

(1) Seluruh mantan presiden dan wapres RI selalu diundang untuk hadir dalam upacara puncak peringatan nasional HUT RI di Istana Merdeka. (Berita Utama Bernas Jogja, 16/8/2009)

(2) “Anda bisa membedakan tanda tangan ini,” kata Candra seraya menunjukkan dua tanda tangan kepada wartawan. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 7/8/2009)

(3) Dalam rangka memperingati HUT ke-5, Jogja Endang Club

Page 58: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

58 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

mengadakan beberapa kegiatan, antara lain, seminar kesehatan, diklat, bakti sosial, menggelar bazar, dan lain sebagainya. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 7/8/2009)

Pada tuturan (1) terdapat penghilangan atau pelesapan unsur

lingual berupa kata, yaitu mantan. Kata tersebut dilesapkan satu

kali, yaitu sebelum kata wapres. Pelesapan pada tuturan itu disebut

pelesapan kataforis karena unsur mantan dilesapkan di belakang

unsur yang mengikutinya, yaitu wapres. Unsur yang dilesapkan dalam

kajian analisis wacana biasanya ditandai dengan konstituen nol atau

zero (dilambangkan dengan ø) pada tempat terjadinya pelesapan.

Jika tuturan (1) direpresentasikan dengan (a), dan apabila tuturan itu

dituliskan kembali akan menjadi seperti (b) sebagai berikut.

(a) Seluruh mantan presiden dan (ø) wapres RI selalu diundang untuk hadir dalam upacara puncak peringatan nasional HUT RI di Istana Merdeka.

(b) Seluruh mantan presiden dan mantan wapres RI selalu diundang untuk hadir dalam upacara puncak peringatan nasional HUT RI di Istana Merdeka.

Pada tuturan (2) terdapat penghilangan atau pelesapan unsur

lingual berupa kata, yaitu Candra. Unsur itu dilesapkan satu kali,

yaitu sebelum kata menunjukkan. Pelesapan pada tuturan (2) disebut

pelesapan kataforis karena unsur Candra dilesapkan di belakang unsur

yang mengikutinya, yaitu menunjukkan. Jika pelesapan pada tuturan (2)

direpresentasikan menjadi (a), dan apabila unsur pelesapannya tidak

dilesapkan akan menjadi (b) sebagai berikut.

(a) “Anda bisa membedakan tanda tangan ini,” kata Candra seraya (ø) menunjukkan dua tanda tangan kepada wartawan.

(b) “Anda bisa membedakan tanda tangan ini,” kata Candra seraya Candra menunjukkan dua tanda tangan kepada wartawan.

Pada tuturan (3) terdapat penghilangan atau pelesapan unsur

lingual berupa kata, yaitu kegiatan. Unsur itu dilesapkan empat kali

yaitu sebelum unsur seminar kesehatan, diklat, bakti sosial, dan menggelar

Page 59: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 59

bazar. Pelesapan pada tuturan (3) disebut pelesapan kataforis. Dengan

demikian, jika pelesapan pada tuturan (3) direpresentasikan menjadi

(a), dan apabila unsur-unsurnya tidak dilesapkan, maka akan menjadi

(b) sebagaimana berikut.

(a) Dalam rangka memperingati HUT ke-5, Jogja Endang Club mengadakan beberapa kegiatan, antara lain, (ø) seminar kesehatan, (ø) diklat, (ø) bakti sosial, (ø) menggelar bazar, dan lain sebagainya.

(b) Dalam rangka memperingati HUT ke-5, Jogja Endang Club mengadakan beberapa kegiatan, antara lain, kegiatan seminar kesehatan, kegiatan diklat, kegiatan bakti sosial, kegiatan menggelar bazar, dan lain sebagainya.

b. Penghilangan Frasa

Penghilangan atau pelesapan frasa merupakan salah satu jenis

kohesi gramatikal yang berupa pelesapan unsur lingual berupa frasa

yang telah disebutkan sebelumnya. Penghilangan atau pelesapan frasa

dapat ditemukan pada data-data berikut.

(1) Kalau sewaktu kampanye yang lalu seluruh peserta pemilu dilarang memasang alat peraga di lokasi itu, maka mestinya hal itu juga berlaku bagi alat peraga yang lain, baik yang bersifat sosial maupun komersial. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 10/8/2009)

(2) “Saya tegaskan, keputusan MA berlaku sejak tanggal ditetapkan dan tidak berlaku surut ditambah sembilan puluh hari,” kata ketua KPU Abdul Hafitz. (Berita Utama Bernas Jogja, 2/8/2009)

(3) Kontingen Kulonprogo berjaya di cabang gulat dan senam. (Berita Utama Bernas Jogja, 3/8/2009)

Pada tuturan (1) terdapat penghilangan atau pelesapan unsur lingual

berupa frasa, yaitu yang bersifat. Unsur itu dilesapkan satu kali sebelum

unsur komersial. Pelesapan pada tuturan (1) disebut pelesapan kataforis.

Dengan demikian, jika pelesapan pada tuturan (1) direpresentasikan

menjadi (a), dan apabila unsur-unsurnya tidak dilesapkan akan menjadi

(b) seperti berikut.

Page 60: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

60 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

(a) Kalau sewaktu kampanye yang lalu seluruh peserta pemilu dilarang memasang alat peraga di lokasi itu, maka mestinya hal itu juga berlaku bagi alat peraga yang lain, baik yang bersifat sosial maupun (ø) komersial.

(b) Kalau sewaktu kampanye yang lalu seluruh peserta pemilu dilarang memasang alat peraga di lokasi itu, maka mestinya hal itu juga berlaku bagi alat peraga yang lain, baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat komersial.

Pada tuturan (2) terdapat penghilangan atau pelesapan unsur

lingual berupa frasa, yaitu keputusan MA. Unsur itu dilesapkan satu kali

sebelum unsur tidak berlaku surut ditambah sembilan puluh hari. Pelesapan

pada tuturan (2) disebut pelesapan kataforis. Jika pelesapan pada

tuturan (2) direpresentasikan menjadi (a), dan apabila unsur-unsurnya

tidak dilesapkan akan menjadi (b) sebagai berikut.

(a) “Saya tegaskan, keputusan MA berlaku sejak tanggal ditetapkan dan (ø) tidak berlaku surut ditambah sembilan puluh hari,” kata ketua KPU Abdul Hafitz.

(b) “Saya tegaskan, keputusan MA berlaku sejak tanggal ditetapkan dan keputusan MA tidak berlaku surut ditambah sembilan puluh hari,” kata ketua KPU Abdul Hafitz.

Pada tuturan (3) terdapat penghilangan atau pelesapan unsur

lingual berupa frasa, yaitu di cabang. Unsur itu dilesapkan satu kali

sebelum unsur senam. Pelesapan pada tuturan (3) disebut pelesapan

kataforis. Jika pelesapan pada tuturan (3) direpresentasikan menjadi

(a), dan apabila unsur-unsurnya tidak dilesapkan akan menjadi (b)

seperti di bawah ini.

(a) Kontingen Kulonprogo berjaya di cabang gulat dan (ø) senam.(b) Kontingen Kulonprogo berjaya di cabang gulat dan di cabang

senam.

c. Penghilangan Klausa

Penghilangan atau pelesapan klausa merupakan salah satu jenis

kohesi gramatikal yang berupa pelesapan unsur lingual berupa klausa

Page 61: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 61

yang telah disebutkan sebelumnya. Berikut adalah data-data dari surat

kabar yang berupa penghilangan klausa.

(1) Kami berharap putusan itu sudah pasti sehingga bisa menjadi rujukan bagi para penyelenggara pemilu dan pihak lain, sebab ada DPRD kabupaten/kota yang dilantik awal Agustus. (Berita Utama Kompas, 1/8/2009)

(2) Isu serupa pernah dimediasi pemerintah Kabupaten Serang, DPRD Serang, dan Komnas HAM. (Surat Pembaca Kompas, 4/8/2009)

(3) Setiap pagi dengan setia ia datang ke Pasar Seni Gabusan menjaga kiosnya dan menjajakkan barang-barang dagangannya. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 5/8/2009)

Pada tuturan (1) terdapat penghilangan atau pelesapan unsur

lingual berupa klausa, yaitu kami berharap putusan itu sudah pasti sehingga

bisa menjadi rujukan bagi para penyelenggara pemilu. Unsur itu dilesapkan

satu kali sebelum unsur pihak lain. Pelesapan pada tuturan (1) disebut

pelesapan kataforis. Jika pelesapan pada tuturan (1) direpresentasikan

menjadi (a), dan apabila unsurnya tidak dilesapkan akan menjadi (b)

seperti di bawah ini.

(a) Kami berharap putusan itu sudah pasti sehingga bisa menjadi rujukan bagi para penyelenggara pemilu dan (ø) pihak lain, sebab ada DPRD kabupaten/kota yang dilantik awal Agustus.

(b) Kami berharap putusan itu sudah pasti sehingga bisa menjadi rujukan bagi para penyelenggara pemilu dan kami berharap putusan itu sudah pasti sehingga bisa menjadi rujukan bagi para penyelenggara pemilu dan pihak lain, sebab ada DPRD kabupaten/kota yang dilantik awal Agustus.

Tampak pada tuturan (2) bahwa penghilangan atau pelesapan

unsur lingual berupa klausa, yaitu isu serupa pernah dimediasi. Unsur

itu dilesapkan dua kali sebelum unsur DPRD Serang dan Komnas HAM.

Pelesapan pada tuturan (2) disebut pelesapan kataforis. Jika pelesapan

pada tuturan (2) direpresentasikan menjadi (a), dan apabila unsurnya

tidak dilesapkan akan menjadi (b) seperti di bawah ini.

Page 62: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

62 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

(a) Isu serupa pernah dimediasi pemerintah Kabupaten Serang, (ø) DPRD Serang, dan (ø) Komnas HAM.

(b) Isu serupa pernah dimediasi pemerintah Kabupaten Serang, isu serupa pernah dimediasi DPRD Serang, dan isu serupa pernah dimediasi Komnas HAM.

Tampak pada tuturan (3) penghilangan atau pelesapan unsur lingual

berupa klausa, yaitu setiap pagi ia dengan setia datang ke Pasar Seni Gabusan.

Unsur itu dilesapkan satu kali sebelum unsur menjajakan barang-barang

dagangannya. Pelesapan pada tuturan (3) disebut pelesapan kataforis.

Jika pelesapan pada tuturan (3) direpresentasikan menjadi (a) dan

apabila unsurnya tidak dilesapkan akan menjadi (b) seperti di bawah

ini.

(a) Setiap pagi dengan setia ia datang ke Pasar Seni Gabusan menjaga kiosnya dan (ø) menjajakan barang-barang dagangannya.

(b) Setiap pagi dengan setia ia datang ke Pasar Seni Gabusan menjaga kiosnya dan setiap pagi dengan setia ia datang ke Pasar Seni Gabusan menjajakan barang-barang dagangannya.

D. Kohesi Gramatikal Menggunakan Konjungsi

Konjungsi merupakan salah satu jenis penanda kohesi gramatikal

yang berfungsi untuk menghubungkan unsur yang satu dengan unsur

yang lain dalam wacana. Konjungsi dalam wacana terdiri dari konjungsi

koordinatif, konjungsi subordinatif, konjungsi korelatif, dan konjungsi

antarkalimat.

a. Konjungsi Koordinatif

Konjungsi koordinatif ialah konjungsi yang menghubungkan dua

unsur atau lebih dan kedua unsur itu memiliki status sintaksis yang

sama. Penggunaan konjungsi koordinatif dalam wacana dapat berupa

dan, tetapi, dan atau sebagaimana data-data berikut.

(1) “Setelah menjalani pemeriksaan awal dan uji coba lab, baru kita kirimkan ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut,” demikian kepala Lapas Cebongan, Muchtar Sarbini. (Berita Utama Bernas Jogja, 1/8/2009).

Page 63: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 63

(2) Banyak seniman punya karya besar, tetapi tidak punya kepribadian besar. (Berita Utama Kompas, 8/8/2009)

(3) Contohnya trafic light, lampunya sering rusak, misalnya lampu hijau atau merah tidak nyala, sehingga orang yang tidak tahu akan bingung dan tentu saja membahayakan sekali. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 7/8/2009)

Konjungsi dan pada tuturan (1) berfungsi untuk menghubungkan

dua klausa, yaitu klausa setelah menjalani pemeriksaan awal dan klausa

setelah menjalani pemeriksaan uji coba lab (klausa ini mengalami pelesapan

anaforis). Konjungsi dan pada tuturan (1) menyatakan makna

penambahan atau aditif. Konjungsi tetapi pada tuturan (2) berfungsi

untuk menghubungkan dua klausa, yaitu klausa banyak seniman punya

karya besar dan klausa banyak seniman tidak punya kepribadian besar.

Frasa banyak seniman dalam klausa ini mengalami pelesapan anaforis.

Konjungsi tetapi pada tuturan (2) menyatakan makna perlawanan.

Konjungsi atau pada tuturan (3) berfungsi untuk menghubungkan kata

hijau dan merah. Konjungsi atau dalam tuturan tersebut menyatakan

makna pemilihan.

b. Konjungsi Subordinatif

Konjungsi subordinatif ialah konjungsi yang menghubungkan dua

unsur atau lebih dan unsur itu tidak memiliki status sintaksis yang

sama. Konjungsi subordinatif dalam wacana surat kabar terdiri dari: (1)

konjungsi subordinatif waktu, (2) subordinatif syarat, (3) subordinatif

penyebaban, (4) subordinatif pengakibatan, (5) subordinatif tujuan, (6)

subordinatif cara, (7) subordinatif konsensif, (8) subordinatif penjelasan,

dan (9) subordinatif pemiripan.

•Konjungsi Subordinatif Waktu

Konjungsi subordinatif waktu dalam wacana surat kabar

ditunjukkan oleh adanya data-data berikut.

(1) Mantan orang nomor satu di Sleman ini terpaksa dibawa ke RSUD sejak 27 Juli lalu mengeluh sakit nyeri di dada

Page 64: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

64 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

yang disertai pusing dan lemas. (Berita Utama Bernas Jogja, 1/8/2009)

(2) Keberadaan gembong teroris Noordin M Top yang sempat disebut-sebut tewas dalam penyergapan di sebuah rumah di Dusun Beji, kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Sabtu (8/8), hingga kini masih misterius. (Berita Utama Bernas Jogja, 10/8/2009)

(3) Setelah dapat dihubungi lewat telepon, yang bersangkutan marah dan menantang saya melapor ke polisi. (Surat Pembaca Kompas, 13/8/2009)

(4) Sudah tujuh tahun saya tak mendapat kabar mengenai anak saya yang menjadi tenaga kerja di Kuwait. (Surat Pembaca Kompas, 13/8/2009)

Unsur sejak dalam tuturan (1) merupakan konjungsi subordinatif

waktu. Unsur sejak dalam tuturan itu menyatakan makna ‘waktu

permulaan’. Waktu permulaan yang dimaksud ialah 27 Juli 2009.

Unsur kini dalam tuturan (2) merupakan konjungsi subordinatif yang

menyatakan ‘waktu sekarang’. Waktu sekarang yang dimaksud ialah

10 Agustus 2009 (ketika wacana itu dimuat di surat kabar). Unsur setelah

pada tuturan (3) merupakan konjungsi subordinatif penanda kegiatan

yang telah berlangsung. Yang dimaksud dengan kegiatan yang telah

berlangsung itu ialah dapat dihubungi lewat telepon. Unsur sudah pada

tuturan (4) merupakan konjungsi subordinatif waktu yang menyatakan

peristiwa yang telah berlangsung. Yang dimaksud dengan peristiwa

yang telah berlangsung itu ialah saya tak mendapat kabar mengenai anak

saya yang menjadi tenaga kerja di Kuwait.

•Konjungsi Subordinatif Syarat

Konjungsi subordinatif syarat dalam surat kabar berwujud unsur

kalau, jika, apabila, dan bila sebagaimana ditunjukkan oleh adanya data-

data berikut.

(1) Meskipun melalui tes-tes resmi sebanyak dua kali, calon belum tentu diterima. Kalau diterima, masih akan diminta lagi satu setengah juta rupiah sebagai bonus bagi oknum tersebut. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 31/8/2009)

Page 65: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 65

(2) Jika sudah terkena penyakit itu, pengeluaran untuk rumah sakit tidak sedikit. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 6/8/2009)

(3) Apabila tidak ada konfirmasi (pemberitahuan), maka armada kami akan berangkat tepat waktu. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 26/8/2009)

(4) “Saya akan meminta inspektur jenderal menyelidiki dan melakukan tindakan/hukuman maksimum sesuai aturan pegawai negeri sipil terhadap pejabat yang bersangkutan bila memang terbukti bersalah,” ujar Menkeu. (Berita Utama Kompas, 21/8/2009)

Pada tuturan (1), unsur kalau berfungsi untuk menyatakan

makna syarat (syarat anaforis). Unsur (calon) diterima, syarat yang

ditimbulkannya adalah masih akan diminta lagi satu setengah juta rupiah

sebagai bonus bagi oknum tersebut. Pada tuturan (2), unsur jika berfungsi

menyatakan makna syarat (syarat anaforis). Unsur sudah terkena penyakit

itu, syarat yang ditimbulkannya adalah pengeluaran untuk rumah sakit tidak

sedikit. Pada tuturan (3), unsur apabila berfungsi menyatakan makna

syarat (syarat anaforis). Unsur tidak ada konfirmasi (pemberitahuan),

syarat yang ditimbulkan adalah armada kami akan berangkat tepat waktu.

Pada tuturan (4), unsur bila berfungsi untuk menyatakan syarat (syarat

kataforis). Unsur memang terbukti bersalah, syarat yang ditimbulkannya

adalah saya akan meminta inspektur jenderal menyelidiki dan melakukan

tindakan/hukum maksimum sesuai aturan pegawai negeri sipil terhadap pejabat

bersangkutan.

•Konjungsi Subordinatif Penyebaban

Konjungsi subordinatif penyebaban berupa unsur oleh karena,

karena, dan sebab sebagaimana terlihat dalam data-data berikut.

(1) Oleh karena telah lewat setahun pembelian laptop itu, biaya perbaikan dikenakan kepada saya. (Surat Pembaca Kompas, 25/8/2009)

(2) Saat itu si empunya rekening tidak menaruh curiga karena sikap SJ memang luar biasa, bisa menyihir warga setempat. (Berita Utama Bernas Jogja, 12/8/2009)

Page 66: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

66 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

(3) Sesuai peraturan yang berlaku, kami tidak melayani reservasi pada hari Jumat sampai Minggu dan pada hari besar atau libur nasional. Sebab, permintaan tiket pada hari-hari tersebut sangatlah tinggi sehingga kami lebih mengutamakan penumpang yang datang langsung ke Joglosemar. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 26/8/2009)

Unsur oleh karena pada tuturan (1) berfungsi untuk menyatakan

makna penyebaban. Unsur telah lewat setahun pembelian laptop itu memiliki

makna penyebaban yang ditimbulkan, yaitu biaya perbaikan dikenakan

kepada saya. Unsur karena pada tuturan (2) berfungsi untuk menyatakan

makna penyebaban. Unsur saat itu si empunya rekening tidak menaruh

curiga memiliki makna penyebaban yang ditimbulkan, yaitu sikap SJ

memang luar biasa, bisa menyihir warga setempat. Unsur sebab pada tuturan

(3) berfungsi untuk menyatakan makna penyebaban. Unsur sesuai

peraturan yang berlaku, kami tidak melayani reservasi pada hari Jumat sampai

Minggu dan pada hari besar atau libur nasional memiliki makna penyebaban

yang ditimbulkan, yaitu permintaan tiket pada hari-hari tersebut sangatlah

tinggi sehingga kami lebih mengutamakan penumpang yang datang langsung ke

Joglosemar.

•Konjungsi Subordinatif Pengakibatan

Konjungsi subordinatif pengakibatan dapat berupa unsur maka,

sehingga seperti terlihat pada data-data berikut.

(1) Namun karena saya tidak senang ribut di depan orang banyak, maka saya pergi dengan memendam kekecewaan saya. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 22/8/2009)

(2) Sejumlah warga yang ditemui mengaku begitu tertutupnya Ricki hingga sulit dikenal tabiatnya. (Berita Utama Bernas Jogja, 13/8/2009)

Pada tuturan (1), unsur maka berfungsi untuk menyatakan makna

pengakibatan. Unsur karena saya tidak senang ribut di depan orang banyak

memiliki makna pengakibatan yang ditimbulkan, yaitu saya pergi dengan

Page 67: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 67

memendam kekecewaan saya. Pada tuturan (2), unsur hingga berfungsi

untuk menyatakan makna pengakibatan. Unsur sejumlah warga yang

ditemui mengaku begitu tertutupnya Ricki memiliki makna pengakibatan,

yaitu (Ricki) sulit dikenal tabiatnya.

•Konjungsi Subordinatif Tujuan

Konjungsi subordinatif tujuan dapat berupa unsur agar, untuk, dan

bagi sebagaimana tampak dalam data-data berikut.

(1) Namun, pertumbuhan itu harus diikuti implementasi kebijakan pemerintah yang tepat waktu dan penurunan suku bunga perbankan agar dunia usaha berkembang seiring kepastian hukum dan pembangunan proyek-proyek infrastruktur. (Berita Utama Kompas, 4/8/2009)

(2) Dengan ini lembaga Tiga Raksa Optima Perkasa mengajak para ayah dan ibu yang memiliki kepedulian untuk mengikuti seminar “Cara Mudah dan Cepat Mengajarkan Bayi/Balita Membaca Sambil Bermain dengan Metode Glenn Doman”. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 15/8/2009)

(3) Setetes darah Anda sangat diharapkan bagi saudara-saudara yang mem-butuhkan karena biasanya memasuki minggu kedua Bulan Suci stok darah sangat minim atau bahkan habis. (Berita Utama Bernas Jogja, 24/8/2009)

Unsur agar pada tuturan (1) berfungsi untuk menyatakan makna

tujuan. Unsur pertumbuhan itu harus diikuti implementasi kebijakan

pemerintah yang tepat waktu dan penurunan suku bunga perbankan memiliki

makna tujuan yang ditimbulkan, yaitu dunia usaha berkembang seiring

kepastian hukum dan pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Unsur untuk

pada tuturan (2) berfungsi untuk menyatakan makna tujuan. Unsur

dengan ini lembaga Tiga Raksa Optima Perkasa mengajak para ayah dan ibu

yang memiliki kepedulian memiliki makna tujuan yang ditimbulkan, yaitu

mengikuti seminar “Cara Mudah dan Cepat Mengajarkan Bayi/Balita Membaca

Sambil Bermain dengan Metode Glenn Doman”. Unsur bagi pada tuturan

(3) berfungsi untuk menyatakan makna tujuan. Unsur setetes darah

Anda sangat diharapkan memiliki makna tujuan yang ditimbulkan, yaitu

Page 68: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

68 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

saudara-saudara yang membutuhkan karena biasanya memasuki minggu kedua

Bulan Suci stok darah sangat minim atau bahkan habis.

•Konjungsi Subordinatif Cara

Konjungsi subordinatif cara dapat berupa unsur dengan sebagaimana

terlihat dalam data-data berikut.

(1) Hadir pula calon wakil presiden terpilih, Boediono, yang datang dengan mobil Adphard dengan pengawalan ketat. (Berita Utama Kompas, 8/8/2009)

(2) Pengelolaan sampah dengan memilah jenis sampah organik dan nonorganik sudah sesuai dengan ketentuan UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. (Surat Pembaca Kompas, 9/82009)

(3) Jenazah teroris yang tewas tertembak di Temanggung dan diduga Noordin M Top, Sabtu (8/8) sore diberangkatkan menuju Jakarta dengan pengawalan ketat aparat kepolisian. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 9/8/2009)

(4) Warga dilokalisir menggunakan tameng hidup aparat kepolisian yang berdiri berjajar dengan sebagian memegang kayu satu sama lain. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 8/8/2009)

(5) “Mbak Endang sangat mengharapkan suaminya segera dipulangkan. Menurut dia, suaminya tidak tahu apa-apa soal orang yang bersembunyi di rumahnya,” kata Darsinah dengan mata berkaca-kaca. (Berita Utama Bernas Jogja, 11/8/2009)

Unsur dengan pada tuturan (1) berfungsi untuk menyatakan

makna cara. Unsur hadir pula calon wakil presiden terpilih, Boediono, yang

datang dengan mobil Adphard memiliki makna cara yang ditimbulkan,

yaitu pengawalan ketat. Unsur dengan pada tuturan (2) berfungsi untuk

menyatakan makna cara. Unsur pengelolaan sampah memiliki makna cara

yang ditimbulkan, yaitu memilah jenis sampah organik dan nonorganik sudah

sesuai dengan ketentuan UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Pada tuturan (3), unsur dengan berfungsi untuk menyatakan makna cara.

Unsur jenazah teroris yang tewas tertembak di Temanggung dan diduga Noordin

M Top, Sabtu (8/8) sore diberangkatkan menuju Jakarta memiliki makna cara

yang ditimbulkan, yaitu pengawalan ketat aparat kepolisian. Unsur dengan

pada tuturan (4) berfungsi untuk menyatakan makna cara. Unsur warga

Page 69: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 69

dilokalisir menggunakan tameng hidup aparat kepolisian yang berdiri berjajar

memiliki makna cara yang ditimbulkan, yaitu sebagian memegang kayu

satu sama lain. Pada tuturan (5), unsur dengan menyatakan makna cara.

Unsur “menurut dia, suaminya tidak tahu apa-apa soal orang yang bersembunyi

di rumahnya,” kata Darsinah memiliki makna cara yang ditimbulkan, yaitu

mata berkaca-kaca.

•Konjungsi Subordinatif Konsesif

Konjungsi subordinatif konsesif dapat ditemukan pada data-data

berikut.

(1) Dengan demikian, sekalipun suatu saat warga negara Malaysia itu tertangkap, tak berarti ancaman teror di Indonesia tamat. (Berita Utama Kompas, 14/8/2009)

(2) Ia menyatakan, sebelumnya MUI sudah mengatakan bahwa aksi-aksi terorisme itu tidak ada dalam Islam dan sangat bertentangan dengan Islam meskipun pelaku dalam KTP-nya mengaku beragama Islam. (Berita Utama Bernas Jogja, 25/8/2009)

Pada tuturan (1), unsur sekalipun berfungsi menyatakan makna

konsesif. Unsur dengan demikian (sesuatu yang telah disebut sebelumnya)

memiliki makna konsesif yang ditimbulkan, yaitu suatu saat warga negara

Malaysia itu tertangkap, tak berarti ancaman teror di Indonesia tamat. Pada

tuturan (2), unsur meskipun berfungsi menyatakan makna konsesif.

Unsur ia menyatakan, sebelumnya MUI sudah mengatakan bahwa aksi-aksi

terorisme itu tidak ada dalam Islam dan sangat bertentangan dengan Islam

memiliki makna konsesif yang ditimbulkan, yaitu pelaku dalam KTP-nya

mengaku beragama Islam.

•Konjungsi Subordinatif Penjelasan

Konjungsi subordinatif penjelasan dapat ditemukan pada data-data

berikut.

(1) Harus diakui bahwa daging mengandung zat gizi penting seperti vitamin B12 dan mineral, tetapi ada hal lain di balik itu. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 22/8/2009)

Page 70: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

70 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

(2) Sebelumnya ICW juga melaporkan kepada Komisi Kode Etik KPK bahwa Antasari Ashar telah melakukan 17 pelanggaran kode etik. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 22/8/2009)

(3) Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Nanan Soekarno mengakui bahwa Detasamen Khusus 88 Anti Teror Badan Reserse Kriminal Polri telah menangkap Mohammad Jibril, tersangka kasus terorisme. (Berita Utama Bernas Jogja, 26/8/2009)

Pada tuturan (1), unsur bahwa menyatakan makna penjelasan.

Unsur harus diakui memiliki makna penjelasan, yaitu daging mengandung

zat gizi penting seperti vitamin B12 dan mineral, tetapi ada hal lain di balik itu.

Demikian halnya pada tuturan (2), unsur bahwa menyatakan makna

penjelasan. Unsur sebelumnya ICW juga melaporkan kepada Komisi Kode Etik

KPK memiliki makna penjelasan, yaitu Antasari Ashar telah melakukan 17

pelanggaran kode etik. Unsur bahwa pada tuturan (3) pun menyatakan

makna penjelasan. Unsur Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Nanan Soekarno

mengakui memiliki makna penjelasan, yaitu Detasamen Khusus 88 Anti Teror

Badan Reserse Kriminal Polri telah menangkap Mohammad Jibril, tersangka kasus

terorisme.

c. Konjungsi Korelatif

Konjungsi korelatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua

unsur (kata, frasa, atau klausa), dan kedua unsur itu memiliki status

sintaksis yang sama. Konjungsi korelatif terdiri atas dua bagian yang

dipisahkan oleh salah satu unsur berupa kata, frasa, atau klausa yang

dihubungkan (Moeliono, ed. al., 1992:238). Konjungsi korelatif dapat

juga ditemukan dalam wacana bahasa Indonesia di surat kabar yang

dibuktikan dengan adanya data-data berikut.

(1) Siapapun masyarakat, baik Muslim maupun nonmuslim, menghendaki negara ini tetap aman dan tenteram, dan sama-sama menjaga stabilitas keamanan. (Berita Utama Bernas Jogja, 25/8/2009)

(2) “TNI senantiasa siap membantu melaksanakan langkah-langkah baik pendeteksian dan pencegahan, maupun penindakan. (Berita Utama Kompas, 10/8/2009).

Page 71: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 71

(3) Jenis kendaraan yang diatur adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya, baik di darat maupun di air. (Surat Pembaca Kompas, 5/8/2009)

(4) Pimpinan KPK pun mulai mengkaji laporan pengawas internal itu dan diputuskan apakah komite etik perlu dibentuk atau tidak. (Berita Utama Kompas, 26/8/2009)

Pada tuturan (1) tampak bahwa unsur baik dan maupun berfungsi

untuk menyatakan makna korelatif antarkata, yaitu kata Muslim dengan

kata nonmuslim. Kedua kata tersebut memiliki status sintaksis yang

sama dalam tuturan itu. Pada tuturan (2) tampak bahwa unsur baik

dan maupun berfungsi untuk menyatakan makna korelatif antara

frasa dengan kata, yaitu frasa pendeteksian dan pencegahan dengan kata

penindakan. Frasa pendeteksian dan pencegahan dan kata penindakan

memiliki status sintaksis yang sama dalam tuturan itu. Pada tuturan (3)

tampak bahwa unsur baik dan maupun berfungsi untuk menyatakan

makna korelatif antarfrasa, yaitu frasa di darat dan frasa di air. Kedua frasa

itu memiliki status sintaksis yang sama dalam tuturan itu. Pada tuturan

(4) tampak bahwa unsur apakah dan atau berfungsi untuk menyatakan

makna korelatif antara klausa dengan kata, yaitu klausa komite etik perlu

dibentuk dengan kata tidak. Klausa komite etik perlu dibentuk dengan kata

tidak memiliki status sintaksis yang sama dalam tuturan itu.

d. Konjungsi Antarkalimat

Konjungsi antarkalimat ialah konjungsi yang menghubungkan satu

kalimat dengan kalimat yang lain. Konjungsi antarkalimat dalam surat

kabar tampak dalam data-data berikut.

(1) Jika dilihat dari usia kemerdekaan, bangsa Indonesia telah 64 tahun merdeka. Namun, apakah dengan usia kemerdekaan itu bangsa ini betul-betul dapat dikatakan merdeka? (Berita Utama Bernas Jogja, 19/8/2009)

(2) Pimpinan KPK membantah keras isu tersebut, dan dinilainya sebagai fitnah. Oleh karena itu, testimoni tersebut tidak bisa dipakai sebagai bukti hukum. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 7/8/2009)

Page 72: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

72 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

(3) “Kami berharap, polisi segera dapat menangkap siapa yang membuat surat ini,” kata Candra. Selain itu, Candra juga membeberkan berbagai kejanggalan dalam surat tersebut. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 7/8/2009)

(4) Kondisi tersebut terus terjadi, dan uang itu pun berputar-putar di situ tanpa hasil banyak bagi rakyat. Padahal, kita cukup mengubah beberapa pasal dalam UU Migas agar tetap ada pasokan gas untuk kebutuhan domestik. (Berita Utama Kompas, 27/8/2009)

Pada tuturan (1), unsur namun berfungsi untuk menghubungkan

kalimat satu dengan kalimat yang lain (kalimat kedua). Unsur namun

dalam tuturan itu menyatakan makna pertentangan dari kalimat

sebelumnya. Pada tuturan (2), unsur oleh karena itu berfungsi untuk

menghubungkan kalimat satu dengan kalimat yang lain (kalimat

kedua). Unsur oleh karena itu dalam tuturan itu menyatakan makna

penyebaban dari kalimat sebelumnya. Pada tuturan (3), unsur selain itu

berfungsi untuk menghubungkan kalimat satu dengan kalimat yang lain

(kalimat kedua). Unsur selain itu dalam tuturan itu menyatakan makna

penambahan (aditif) dari kalimat sebelumnya. Pada tuturan (4), unsur

padahal berfungsi untuk menghubungkan kalimat satu dengan kalimat

yang lain (kalimat kedua). Unsur padahal dalam tuturan itu menyatakan

makna intensitas (kesungguhan) dari kalimat sebelumnya.

3.2.2 Kohesi Leksikal

Kohesi leksikal dirinci menjadi (1) kohesi leksikal menggunakan

pengulangan, (2) kohesi leksikal menggunakan sinonimi, (3) kohesi

leksikal menggunakan antonimi, (4) kohesi leksikal menggunakan

hiponimi, (5) kohesi leksikal menggunakan ekuivalensi, dan (6) kohesi

leksikal menggunakan kolokasi.

A. Kohesi Leksikal Menggunakan Pengulangan

Pengulangan adalah penyebutan kembali suatu unsur yang sama

seperti yang telah disebut sebelumnya (Halliday melalui Badru,

dkk., 2003: 44). Ramlan (1993: 30) mengatakan bahwa pengulangan

Page 73: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 73

merupakan penanda berupa unsur yang mengulangi unsur di depannya.

Pengulangan dapat dirinci menjadi (1) pengulangan sama tepat, (2)

pengulangan dengan perubahan bentuk, (3) pengulangan sebagian,

dan (4) pengulangan parafrasa.

a. Pengulangan Sama Tepat

Pengulangan sama tepat ialah pengulangan unsur dalam wacana

yang unsur ulangannya sama tepat atau persis seperti unsur yang

telah disebut sebelumnya. Pengulangan sama tepat berfungsi untuk

menekankan pentingnya unsur itu dalam sebuah wacana. Pengulangan

sama tepat dapat berupa pengulangan kata atau frasa sebagaimana

data-data berikut.

(1) Situasi area tambang milik PT Freeport Indonesia di Papua kian memanas menjelang HUT kemerdekaan RI ke-64. Polisi daerah Papua menambah pasukan Brimob sebanyak 65 personil. Sumber VivaNews di Polda Papua mengatakan, mereka langsung berangkat dari markas Brimob Kotaraja, Jayapura, Papua, Sabtu (15/8). (Berita Utama Bernas Jogja, 16/8/2009)

(2) Saya tak habis pikir, mengapa harus lapor ulang. Makin tak habis pikir lagi ketika saya lihat hanya dua loket dibuka untuk menampung berjibun penumpang yang hendak lapor berangkat. (Surat Pembaca Kompas, 11/8/2009)

(3) Hingga detik ini Indonesia masih merupakan negara agraris dengan hasil bumi yang melimpah, salah satunya buah-buahan. Tidaklah sulit memperoleh buah-buahan, mulai dari pekarangan rumah kita sendiri, pasar tradisional sampai mall-mall megah. Dari segi harga pun, bukanlah sebuah problem karena vitamin tidak hanya tersedia pada buah-buahan kelas atas seperti anggur dan melon, tapi juga pada buah-buahan seperti pisang, jeruk, dan pepaya, yang notabene lebih mudah dijangkau. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 18/8/2009)

Pada tuturan (1) terjadi pengulangan sama tepat berupa kata, yaitu

Papua. Unsur Papua diulang sebanyak empat kali secara berturut-turut

untuk menekankan pentingnya unsur itu dalam konteks keseluruhan

tuturan itu. Pada tuturan (2) terjadi pengulangan sama tepat berupa

Page 74: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

74 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

frasa, yaitu tak habis pikir. Unsur tak habis pikir diulang sebanyak dua kali

untuk menekankan pentingnya unsur itu dalam konteks keseluruhan

tuturan itu. Pada tuturan (3) terjadi pengulangan sama tepat berupa

kata ulang (reduplikasi), yaitu buah-buahan. Unsur buah-buahan diulang

sebanyak empat kali untuk menekankan pentingnya unsur itu dalam

konteks keseluruhan tuturan itu.

b. Pengulangan dengan Perubahan Bentuk

Pengulangan dengan perubahan bentuk ialah pengulangan unsur

dalam wacana yang unsur diulangnya mengalami perubahan bentuk

dari unsur yang telah disebut sebelumnya. Pengulangan unsur dengan

perubahan bentuk terjadi karena adanya keterikatan tata bahasa

(derivasi), berikut maknanya dalam sebuah wacana secara keseluruhan

(Ramlan, 1993:32). Pengulangan dengan perubahan bentuk dapat

berupa pengulangan kata sebagaimana data-data berikut.

(1) Masalah yang dihadapi pemerintah adalah masih menguatnya semangat sentralisasi. Walaupun demikian, saat ini sistem desentralisasi dan otonomi daerah juga mulai tumbuh. (Berita Utama Kompas, 20/8/2009)

(2) Bisa diambil kesimpulan, pohon di kawasan pantai masih ceroboh. Minimal, penduduk yang berhadapan dengan pohon-pohon yang ditanam, belum diberi kewajiban mengguyur air tiap hari. Apabila penduduk diwajibkan menyiram air tawar ke batang dan akar pepohonan, tidak akan nampak seperti sekarang: kurus kering, tak bisa hidup, dan terus-menerus diterpa angin laut yang sangat kencang. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 20/8/2009)

Pada tuturan (1) terjadi pengulangan dengan perubahan bentuk

berupa kata, yaitu dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Unsur sentralisasi

mengalami perubahan bentuk menjadi desentralisasi karena adanya

keterikatan tata bahasa pada unsur yang diulang dalam konteks

keseluruhan tuturan itu. Pada tuturan (2) terjadi pengulangan dengan

perubahan bentuk berupa kata, yakni pohon menjadi pohon-pohon dan

pepohonan. Perubahan yang terjadi adalah kata dasar pohon berubah

Page 75: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 75

menjadi kata ulang dasar pohon-pohon, dan berubah lagi menjadi kata

ulang berubah bunyi pepohonan. Unsur pohon berubah menjadi pohon-

pohon dan pepohonan karena adanya keterikatan tata bahasa pada unsur

yang diulang dalam konteks keseluruhan tuturan itu.

c. Pengulangan Sebagian

Pengulangan sebagian merupakan pengulangan unsur dalam

wacana yang unsur diulangnya hanya sebagian dari unsur yang telah

disebut sebelumnya. Pengulangan sebagian unsur terjadi karena

perubahan kategori dan fungsi unsur itu di dalam sebuah wacana.

Perubahan sebagian dapat berupa kata sebagaimana data-data berikut.

(1) Teknologi pemupukan yang revolusioner tersebut perlu diapresiasi sebagai sarana untuk merevitalisasi sistem pemupukan yang konvensional. Petani dapat memperoleh jenis pupuk yang berkualitas, aplikasinya mudah, dan biaya yang lebih efisien sehingga hasil produksi lebih kompetitif. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 3/8/2009)

(2) Kesulitan tidak hanya berhenti di situ. Membasmi maraknya pembajakan dan pendistribusian kaset-kaset itulah yang sulit. (Berita Utama Bernas Jogja, 10/8/2009)

Pada tuturan (1) terjadi pengulangan sebagian unsur berupa kata,

yaitu dari pemupukan menjadi pupuk. Pemupukan masuk kategori nomina

abstrak dan menduduki fungsi subjek dalam tuturan itu. Unsur pupuk

yang diulang sebagian masuk kategori nomina konkret dan menduduki

fungsi objek dalam tuturan itu. Pada tuturan (2) terjadi pengulangan

sebagian unsur berupa kata, yaitu dari kesulitan menjadi sulit. Kesulitan

masuk kategori nomina abstrak dan menduduki subjek dalam tuturan

itu. Unsur sulit masuk kategori adjektiva dan menduduki fungsi subjek

dalam tuturan itu karena didahului unsur yang (yang sulit).

d. Pengulangan Parafrasa

Pengulangan parafrasa merupakan pengungkapan kembali suatu

konsepsi dengan bentuk bahasa yang berbeda (Ramlan, 1993:36).

Pengulangan parafrasa dapat dilihat pada data berikut.

Page 76: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

76 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Di mata para sahabat, Rendra seolah tak pernah pergi. Sutardji yang bergelar “Presiden Penyair Indonesia” merasa kehilangan sosok orang yang tingkah polahnya bisa menjadi teladan. “Tetapi saya tidak bersedih atas meninggalnya Rendra karena ia sebenarnya tidak pernah pergi. Seniman besar tak pernah pergi. Karyanya selalu besar. Inilah orang besar di antara kita,” kata Sutardji. (Berita Utama Kompas, 8/8/2009)

Pada tuturan di atas tampak bahwa unsur tak pernah pergi diulang

dengan bentuk bahasa yang berbeda dan berparafrasa satu dengan

yang lain untuk mengungkapkan satu konsepsi yang sama, yaitu Rendra

seolah tak pernah pergi.

B. Kohesi Leksikal Menggunakan Sinonimi

Sinonimi ialah penanda kohesi leksikal berupa relasi makna leksikal

yang sama atau mirip antara unsur satu dengan unsur yang lain dalam

sebuah wacana. Sinonimi terjadi bukan karena fungsi, kategori, atau

peran, melainkan semata-mata karena adanya hubungan makna unsur

itu dalam sebuah wacana (Ramlan, 1993:36). Berikut adalah kohesi

sinonimi dalam wacana surat kabar.

(1) India berkeinginan kuat menjadi negara penguasa peranti lunak (software) dan China berminat menguasai perangkat keras (hardware). (Berita Utama Kompas, 16/8/2009)

(2) Polri menaruh perhatian serius terhadap munculnya informasi yang menyebutkan, Barak Obama menjadi target para teroris. Bahkan, kabar yang beredar, para teroris telah mempersiapkan dua penembak jitu atau sniper dengan sasaran utama presiden Amerika Serikat tersebut. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 22/8/2009)

(3) Guru besar kebijakan politik UGM, Prof Dr Sofian Affandi mengatakan, pembahasan RUUK masih berlangsung intensif mengingat mepetnya waktu penyelesaian sebelum masa bakti DPR RI periode 2004-2009 berakhir. Sofian juga menuturkan, masih terdapat perbedaan pendapat antara pihak yang mengusulkan penetapan dengan pemerintah yang cenderung menghendaki pemilihan. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 23/8/2009)

Page 77: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 77

(4) Halaman berita Australia, Sidney Morning Herald, edisi 9 Agustus 2009 memuat pendapat pakar teroris, Sidney Johnes yang mengatakan, Noordin M Top belum tewas. “Sepertinya dia belum mati,” kata Johnes. (Berita Utama Bernas Jogja, 10/8/2009)

Pada tuturan (1) terdapat kohesi leksikal sinonimi antara unsur

peranti dengan perangkat. Hubungan makna kedua unsur itu sama, yaitu

alat (KBBI, 2008:1052). Pada tuturan (2) terdapat kohesi sinonimi antara

unsur informasi dan kabar. Hubungan makna kedua unsur itu sama, yaitu

berita (ibid.: 535;596). Pada tuturan (3) terdapat kohesi leksikal sinonimi

antara unsur mengatakan dan menuturkan. Hubungan makna kedua unsur

itu sama, yaitu menyampaikan, mengemukakan. Pada tuturan (4) terdapat

kohesi leksikal sinonimi antara unsur tewas dan mati. Hubungan makna

kedua unsur itu sama, yaitu meninggal (ibid.:1459).

C. Kohesi Leksikal Menggunakan Antonimi

Antonimi ialah penanda kohesi leksikal berupa hubungan makna

yang bersifat kontras (berlawanan) antara unsur yang satu dengan

unsur yang lain dalam sebuah wacana. Kohesi antonimi ditemukan

dalam data-data berikut.

(1) Di atas Merah-Putih terpampang Bhineka Tunggal Ika. Di bawah logo itu ada teks Komisi Pemberantasan Korupsi masih berlandaskan Merah-Putih. (Surat Pembaca Kompas, 29/8/2009)

(2) Berdasarkan pemantauan, di jalur pantai utara Jawa, kerusakan sekaligus perbaikan jalan terjadi di ruas Losari-Brebes-Tegal-Kaligawe-Demak (Jawa Tengah), dan Babat-Lamongan (Jawa Timur).

.... Untuk jalur selatan Jawa, jalan rusak menghambat di ruas

Majengan-Wangun-Buntu. (Berita Utama Kompas, 3/8/2009)(3) Keduanya dibawa sepekan sebelum peristiwa ledakan di hotel

JW Marriot dan Rits Carlton, Jakarta. Namun, beberapa hari sesudah terjadi ledakan, hanya Danni yang kembali lagi. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 24/8/2009)

Page 78: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

78 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Pada tuturan (1) terdapat kohesi antonimi antara unsur atas dan

bawah. Makna kedua unsur itu bersifat kontras, yaitu perlawanan mutlak

posisi. Pada tuturan (3) terdapat kohesi antonimi antara unsur utara dan

selatan. Makna kedua unsur itu bersifat kontras, yaitu perlawanan mutlak

posisi. Pada tuturan (3) terdapat kohesi antonimi antara unsur sebelum

dan sesudah. Makna kedua unsur itu bersifat kontras, yaitu perlawanan

hubungan (waktu).

D. Kohesi Leksikal Menggunakan Hiponimi

Hiponimi merupakan penanda kohesi leksikal yang makna kata-

katanya merupakan bagian dari makna kata lain. Unsur hiponim yang

maknanya mencakup makna unsur yang lain disebut superordinat,

sedangkan unsur yang maknanya tercakup oleh unsur yang lain disebut

subordinat. Kohesi leksikal hiponimi dapat berupa kata dan frasa

sebagaimana data-data berikut.

(1) Yang jelas, pepohonan yang ditanam di sana sekitar 90 persennya tidak hidup. Ada jenis cemara, mahoni, kersen (talok), dan lain-lain. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 20/8/2009)

(2) Sepuluh kota yang ditemukan transaksi mencurigakan itu, antara lain, Yogyakarta, Makasar, Bekasi, Solo, Poso, dan Jakarta. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 22/8/2009)

(3) Selama bulan Agustus, kita selalu mendengar lagu-lagu perjuangan dan kemerdekaan yang dikumandangkan sejumlah kalangan masyarakat Indonesia yang dengan gembira menyambut hari kemerdekaan, dari desa, kampung sampai kota, dari anak-anak sampai para ibu dan bapak, di radio dan televisi. (Surat Pembaca Kompas, 27/8/2009)

(4) Menyambut datangnya bulan penuh berkah dan ampunan tahun ini, RS Nur Hidayah bekerja sama dengan PPPA Darul Quran menyelenggarakan Riadloh Ramadhan, ditujukan kepada para penderita penyakit kronis seperti hipertensi, hiperkoresterol, asam urat, dan diabetes. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 16/8/2009)

Pada tuturan (1) terdapat kata pepohonan. Makna kata pepohonan

dalam tuturan itu mencakup makna kata cemara, mahoni, dan kersen.

Page 79: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 79

Dengan demikian, kata pepohonan dalam tuturan itu merupakan

superordinat, sedangkan kata cemara, mahoni, dan kersen merupakan

subordinatnya. Pada tuturan (2) terdapat kata kota. Makna kata kota

dalam tuturan itu mencakup makna kata Yogyakarta, Makasar, Bekasi, Solo,

dan Jakarta. Dengan demikian, kata kota dalam tuturan itu merupakan

superordinat, sedangkan kata Yogyakarta, Makasar, Bekasi, Solo, dan Jakarta

merupakan subordinatnya.

Pada tuturan (3) terdapat frasa kalangan masyarakat. Makna frasa

kalangan masyarakat mencakup makna kata anak-anak dan para ibu dan

bapak. Dengan demikian, frasa kalangan masyarakat dalam tuturan itu

merupakan superordinat, sedangkan kata anak-anak dan para ibu dan

bapak merupakan subordinatnya. Pada tuturan (4) terdapat frasa penyakit

kronis. Makna frasa penyakit kronis mencakupi makna kata hipertensi,

hiperkoresterol, asam urat, dan diabetes. Dengan demikian, frasa penyakit

kronis dalam tuturan itu merupakan superordinat, sedangkan hipertensi,

hiperkoresterol, asam urat, dan diabetes merupakan subordinatnya.

E. Kohesi Leksikal Menggunakan Ekuivalensi

Kohesi ekuivalensi ialah jenis penanda kohesi leksikal yang berupa

sejumlah kata sebagai hasil proses afiksasi dengan morfem asal yang

sama. Kohesi ekuivalensi ditemukan pada data-data berikut.

(1) Akibat terlalu banyak polisi yang ikut menilang, tugas mulianya terabaikan. Di belakang mobil yang ditilang, ada bus transjakarta yang terhambat untuk melaju. Bayangkan, beberapa waktu yang terbuang untuk menunggu selesai proses penilangan itu. (Surat Pembaca Kompas, 21/8/2009)

(2) Pemerintah menetapkan, awal Ramadhan 1430 H jatuh pada Sabtu (22/8) besok. Dasar penetapan itu selain hisab (perhitungan astronomi), juga dengan rukyatul, yaitu pengamatan bulan sabit secara langsung. Awal Ramadhan ini ditetapkan dalam sidang itsbat yang dipimpin Menteri Agama, M Maftuh Basyuni di Kantor Depag, Jakarta, Kamis (20/8). (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 21/8/2009)

(3) Jibril ditangkap saat dalam perjalanan pulang dari tempat kerjanya di Bintaro ke rumah orang tuanya di Pamulang,

Page 80: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

80 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Tangerang, Banten, Selasa sore sekitar pukul 15.30 WIB. Penangkapan itu hanya beberapa jam setelah polisi merilis bahwa Jibril menjaga buronan karena diduga menjadi perantara aliran dana dari luar negeri ke Indonesia untuk dipakai dalam aksi ledakan bom di Hotel JW Mariot dan Rtiz Carlton. (Berita Utama Bernas Jogja, 26/8/2009).

Pada tuturan (1) terdapat kesepadanan unsur menilang, ditilang, dan

penilangan. Ketiga unsur itu berasal dari satu morfem yang sama yaitu

tilang dan mengalami proses afiksasi karena kedudukan atau fungsinya

masing-masing dalam keseluruhan tuturan itu. Pada tuturan (2) terdapat

kesepadanan unsur menetapkan, penetapan, dan ditetapkan. Ketiga unsur

itu berasal dari satu morfem yang sama, yaitu tetap, dan mengalami

proses afiksasi karena kedudukan atau fungsinya masing-masing

dalam keseluruhan tuturan itu. Pada tuturan (3) terdapat kesepadanan

unsur ditangkap dan penangkapan. Kedua unsur itu berasal dari satu

morfem yang sama yaitu tangkap, dan mengalami proses afiksasi karena

kedudukan atau fungsinya dalam keseluruhan tuturan itu.

F. Kohesi Leksikal Menggunakan Kolokasi

Kolokasi ialah penanda kohesi leksikal berupa unsur yang

maknanya bersanding dengan unsur lain dalam sebuah wacana.

Kolokasi ditemukan pada data-data berikut.

(1) Dengan arogan, si pegawai mengeluarkan kata-kata yang melecehkan lembaga notaris, dan itu diamini bosnya. (Surat Pembaca Kompas, 7/8/2009)

(2) Manohara, penggemar Mbah Surip yang datang dengan blus coklat dan rok hijau mengatakan terkejut mendengar Mbah Surip meninggal dunia secara mendadak. “Setiap bertemu dengan para sahabat, almarhum selalu memulai pembicaraan dengan tawanya yang khas. (Berita Utama Bernas Jogja, 5/8/2009)

Pada tuturan (1) terdapat unsur si yang bersanding dengan unsur

pegawai karena kedua unsur itu memiliki makna yang saling berdekatan,

yaitu sama-sama dipakai untuk menyebut orang. Pada tuturan (2)

Page 81: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 81

terdapat unsur meninggal yang bersanding dengan unsur almarhum

karena kedua unsur itu memiliki makna yang saling berdekatan, yaitu

sama-sama dipakai untuk menyebut orang yang telah tiada (meninggal,

wafat, mati).

3.3 Pembahasan Penggunaan Kohesi dalam Surat Kabar

Hasil analisis dan interpretasi data yang telah diuraikan di atas

memperlihatkan bahwa penanda-penanda kohesi wacana bahasa

Indonesia dalam surat kabar diekplisitkan melalui penggunaan unsur

bahasa berupa referensi, substitusi, penghilangan, konjungsi (kohesi

gramatikal); dan pengulangan, sinonimi, antonimi, hiponimi, ekuivalensi,

kolokasi (kohesi leksikal). Jika ditelaah, tereksplisitnya penanda dalam

wujud unsur-unsur bahasa menunjukkan adanya pertalian antarunsur

yang kohesif sekaligus koheren. Perhatikan data-data berikut.

(1) Jenis kendaraan yang diatur adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya, baik di darat maupun di air. (Berita Utama Kompas, 5/8/2009)

(2) Sesuai peraturan yang berlaku, kami tidak melayani reservasi pada hari Jumat sampai Minggu dan pada hari besar atau libur nasional. Sebab, permintaan tiket pada hari-hari tersebut sangatlah tinggi sehingga kami lebih mengutamakan penumpang yang datang langsung ke Joglosemar. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 26/8/2009)

(3) India berkeinginan kuat menjadi negara penguasa peranti lunak (software) dan China berminat menguasai perangkat keras (hardware). (Berita Utama Kompas, 16/8/2009)

(4) Manohora, penggemar Mbah Surip yang datang dengan blus coklat dan rok hijau mengatakan terkejut mendengar Mbah Surip meninggal dunia secara mendadak. “Setiap bertemu dengan para sahabat, almarhum selalu memulai pembicaraan dengan tawanya yang khas. (Berita Utama Bernas Jogja, 5/8/2009)

Jika dicermati, dalam tuturan (1), (2), (3), dan (4) secara eksplisit

penanda-penanda lingual menggunakan kohesi gramatikal dan kohesi

leksikal. Pada tuturan (1) dan (2) terdapat kohesi gramatikal berupa

Page 82: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

82 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

konjungsi, sedangkan pada tuturan (3) dan (4) terdapat kohesi leksikal

berupa sinonimi dan kolokasi.

Penanda kohesi yang muncul secara eksplisit dalam tuturan (1)

adalah baik dan maupun. Kedua unsur itu disebut konjungsi korelatif

yang berfungsi menghubungkan frasa di darat dan di air dalam tuturan

itu. Penanda kohesi eksplisit dalam tuturan (2) adalah sebab. Unsur itu

disebut konjungsi penyebaban yang berfungsi untuk menghubungkan

unsur sesuai peraturan yang berlaku, kami tidak melayani reservasi pada hari

Jumat sampai Minggu dan pada hari besar atau libur nasional dan unsur

permintaan tiket pada hari-hari tersebut sangatlah tinggi sehingga kami lebih

mengutamakan penumpang yang datang langsung ke Joglosemar. Dengan

demikian, tuturan (1) dan (2) memiliki pertalian makna karena ditandai

adanya unsur penghubung yang eksplisit berupa konjungsi sehingga

tuturan-tuturan itu kohesif sekaligus koheren.

Penanda kohesi yang eksplisit dalam tuturan (3) adalah peranti

dan perangkat. Kedua unsur itu disebut sinonimi karena secara leksikal

makna kedua unsur itu sama, yaitu keduanya memiliki makna alat.

Penanda kohesi yang eksplisit dalam tuturan (4) adalah meninggal dan

almarhum. Kedua unsur itu disebut kolokasi karena keduanya memiliki

makna yang bersanding atau memiliki kelekatan makna. Dengan

demikian, tuturan (3) dan (4) memiliki pertalian makna karena ditandai

unsur-unsur berupa kohesi leksikal yang membuat tuturan-tuturan itu

kohesif sekaligus koheren.

Page 83: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 83

BAB 4 KOHERENSI: PERANTI ANTARUNSUR

YANG TERIMPLISIT

4.1 Dasar Teori

Sebagai keterkaitan semantis antara bagian-bagian wacana,

koherensi terdiri atas dua, (1) yaitu koherensi berpenanda, dan (2)

koherensi tidak berpenanda. Koherensi berpenanda ialah keterkaitan

semantis antara bagian-bagian wacana yang pengungkapannya

ditandai dengan konjungsi. Menurut Sumadi (1998: 66-85), koherensi

berpenanda terdiri atas: (a) koherensi temporal, (b) koherensi intensitas,

(c) koherensi kausalitas, (d) koherensi kontras, (e) koherensi aditif, (f)

koherensi kronologis, dan (g) koherensi perurutan.

Koherensi tidak berpenanda ialah pertalian semantik antara bagian-

bagian wacana yang secara tekstual tidak ditandai konjungsi namun

dapat dipahami dari hubungan antarunsur-unsurnya (Baryadi, 2002:

34). Koherensi tidak berpenanda terdiri atas: (a) koherensi perincian

dan perian, dan (b) koherensi wacana dialog. Berikut ini akan diuraikan

kedua koherensi tersebut, koherensi berpenanda dan koherensi tidak

berpenanda.

4.1.1 Koherensi Berpenanda

A. Koherensi Temporal

Menurut Sumadi, koherensi temporal, yaitu koherensi yang

menyatakan hubungan makna waktu antara kalimat yang satu dengan

kalimat yang lain (Hartanti, 2007: 45). Contoh koherensi temporal

adalah sebagai berikut.

Page 84: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

84 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Setahun lalu saya karyawati umur 45, pernah menjalani operasi kanker payudara. Tadinya seminggu sekali, lalu dua minggu, dan sekarang sebulan sekali. Selain mahal, juga melelahkan. Tetapi sampai sekarang, tidak ada kepastian apakah payudara saya sudah sehat atau ini akan berlangsung abadi (Minggu Pagi dalam Puspitasari).

Pada contoh di atas terlihat bahwa terdapat empat kalimat. Di

antara kalimat-kalima tersebut, terdapat hubungan makna waktu yang

dinyatakan dengan setahun lalu, seminggu sekali, dua minggu sekali, sebulan

sekali, dan sekarang (Hartanti, 2007: 45).

B. Koherensi Intensitas

Koherensi intensitas, yaitu koherensi yang menyatakan hubungan

kesungguhan atau penyangatan yang terdapat dalam sejumlah penanda

dalam fungsinya sebagai penghubung antara kalimat yang satu dengan

kalimat yang lain (Sumadi, 1998 melalui Hartanti, 2007: 46). Berikut

dikemukakan contoh koherensi intensitas antarkalimat.

Eksistensi pers berada di antara perangkat hukum yang melindungi kebebasan pers dan yang mengancamnya. Ironisnya, antara perangkat hukum yang melindungi dengan yang mengancamnya justeru lebih banyak yang mengancam kebebasan pers. Padahal, jika pemerintah berkomitmen menegakkan pemerintahan yang bersih, seyogyanya melindungi dan memfungsikan pers.

Contoh di atas terdiri dari tiga kalimat. Di antara kalimat-kalimatnya

terdapat penyangatan yang ditunjukkan dengan konjungsi padahal

(Hartanti, 2007: 47).

C. Koherensi Kausalitas

Koherensi kausalitas, yaitu koherensi yang menyatakan hubungan

sebab-akibat antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain (Sumadi,

1998 melalui Hartanti 2007: 44). Contoh berikut menunjukkan

koherensi kausalitas.

Page 85: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 85

Kira-kira mulai tahun 1980-an perkembangan kajian bahasa Indonesia cenderung mengarah ke bidang analisis wacana. Namun, perkembangan tersebut menghadapi kendala, yaitu masih langkanya literatur berbahasa Indonesia mengenai wacana, baik mengenai teori maupun model analisisnya. Oleh sebab itu, penyusunan buku ini dimaksudkan untuk mengisi kerumpangan tersebut (Baryadi, 2002:29-30).

Pada contoh di atas, kalimat terakhir berkoherensi kausalitas dengan

kalimat sebelumnya, dan koherensinya ditandai dengan konjungsi oleh

sebab itu (Hartanti, 2007:44).

D. Koherensi Kontras

Koherensi kontras, yaitu koherensi yang menyatakan hubungan

pertentangan atau perlawanan antara kalimat yang satu dengan kalimat

yang lain (Sumadi, 1998, melalui Hartanti, 2007:44). Berikut ini contoh

koherensi kontras.

Sepintas tampaknya ini menguntungkan karena dapat mengimbangi terjadinya pemanasan global. Tetapi, juga menimbulkan kekuatiran baru, yaitu bahwa kita telah memperkirakan terlalu rendah (underestimate) efek GRK pada peningkatan suhu permukaan bumi (Kompas, melalui Ernawati, 2007:57)

Pada contoh (17) terdapat dua kalimat. Kalimat kedua berkoherensi

pertentangan dengan kalimat pertama yang ditandai konjungsi tetapi

(Ernawati, 2006:57).

E. Koherensi Aditif

Koherensi aditif, yaitu koherensi yang menyatakan makna

penambahan antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain,

yang ditandai konjungsi tertentu, misalnya di samping itu, lagi pula, dan

berikutnya. Koherensi aditif dapat dilihat pada contoh berikut.

Agar badan tetap sehat, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama-tama kita harus makan makanan bergizi. Berikutnya kita harus berolah raga secara teratur. Di samping itu, kita harus memiliki cukup waktu untuk beristirahat (Baryadi, 2002:30).

Page 86: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

86 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Pada contoh di atas terlihat bahwa kalimat pertama berkoherensi

aditif dengan kalimat kedua dan kalimat ketiga yang ditandai dengan

konjungsi berikutnya dan di samping itu mengajak pembaca untuk

melakukan ketiga hal yang disampaikan (Baryadi, 2002 melalui Hartanti,

2007:46).

F. Koherensi Kronologis

Koherensi kronologis, yaitu koherensi yang menyatakan hubungan

rangkaian waktu. Koherensi ini sering ditunjukkan oleh konjungsi yang

menyatakan temporal (lalu, kemudian, setelah ini, sesudah itu), penanda

kala (dulu, sekarang), dan penanda aspek (akan, belum, sudah) (Baryadi,

2002:32). Contoh koherensi kronologis adalah sebagai berikut.

Setelah berlari, Busrodin masuk ke dalam lubang perlindungan. Terengah-engah lalu meletakkan tubuh sahabatnya di atas tanah. Sekarang mereka berlindung dari tembakan senapan musuh (Diponegoro, 1975 melalui Baryadi, 2002:33).

Kalimat-kalimat pada contoh (19) menyatakan berbagai peristiwa

yang terjadi secara kronologis yang ditunjukkan dengan unsur-unsur

setelah, lalu, dan sekarang (Baryadi, 2002:33).

G. Koherensi Perurutan

Koherensi perurutan, yaitu koherensi yang menyatakan hubungan

perbuatan yang harus dilakukan secara berurutan (Baryadi, 2002:46).

Berikut adalah contoh koherensi perurutan. Koherensi antarkalimat

dapat dilihat dalam contoh berikut ini.

Saat pertama kali diketahui, bunga yang mekar itu berwarna merah darah seperti pisang. Dua hari kemudian, mahkotanya membuka, sementara bau busuknya berangsur-angsur hilang (Wati, Eni, dkk., 2004 melalui Hartanti, 2007:46).

Pada contoh di atas terdiri dari dua kalimat. Antara kalimat pertama

dan kalimat kedua terdapat koherensi perurutan yang ditandai dengan

pertama kali, dan dua hari kemudian (Hartanti, 2007:46).

Page 87: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 87

4.2.2 Koherensi Tidak Berpenanda

A. Koherensi Perincian dan Koherensi Perian

Baryadi (2002:32) mengatakan bahwa koherensi perincian adalah

koherensi yang mengatakan hubungan makna rincian penjelasan

sesuatu hal secara sistematis. Koherensi perian adalah koherensi yang

merupakan hubungan makna yang menyatakan pendeskripsian suatu

hal secara jelas. Contoh koherensi perincian dan perian adalah sebagai

berikut.

Burung walet hitam berukuran lebih besar (14cm) dengan sayap panjang dan ekor tercelah dalam (menggarpu). Warna tunggingnya bervariasi antara abu-abu sampai hitam gelap seperti punggungnya. Kakinya tidak berbulu atau hanya sedikit berbulu (Mackinnon, 1990 melalui Baryadi, 2002:32).

Bagian-bagian wacana pada contoh di atas memiliki koherensi

perian, perincian, atau posesif (Baryadi, 2002: 32).

B. Koherensi Wacana Dialog

Koherensi wacana dialog adalah koherensi yang didominasi oleh

adanya stimulus-respons. Koherensi wacana dialog tidak diwujudkan

dalam bentuk penanda sehingga harus dipahami dari hubungan

antarkalimatnya. Salah satu koherensi wacana dialog berupa negosiasi

dapat dilihat pada contoh berikut.

A: Berapa harga buah durian ini, Bu?

B: Cuma dua puluh lima ribu rupiah

A: Boleh kurang, Bu?

B: Kurang sedikit, lah!

A: Lima belas ribu, ya, Bu?

B: Belum bisa, naik sedikit, lah! (Baryadi, 2002:35)

Pada contoh di atas tampak adanya wacana yang kalimat-kalimatnya

berfungsi untuk menyampaikan negosiasi atau tawar-menawar.

Dari keseluruhan paparan di atas dapat dibuat tabel jenis-jenis

koherensi sebagai berikut.

Page 88: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

88 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Tabel 2. Jenis-jenis koherensi

Jenis-Jenis Koherensi

Koherensi Berpenanda Koherensi Tidak Berpenanda

1. Koherensi temporal2. Koherensi intensitas3. Koherensi kausalitas4. Koherensi kontras5. Koherensi aditif6. Koherensi kronologis7. Koherensi perurutan

1. Koherensi perincian2. Koherensi perian3. Koherensi wacana dialog

4.2 Pemakaian Koherensi dalam Surat Kabar

Moeliono (ed. al., 1992:34) mengatakan bahwa kohesi merujuk ke

pertautan bentuk, sedangkan koherensi merujuk ke pertautan makna.

Selanjutnya dijelaskan bahwa kohesi sebagai bentuk lahir wacana tidak

hanya menyatakan kohesi belaka melainkan juga menyiratkan koherensi.

Artinya, meskipun di dalam sebuah wacana tidak terdapat unsur kohesi

namun di dalamnya terimplisit unsur semantik sehingga wacana itu

koheren. Pranowo (1996: 83) lebih lanjut menjelaskan bahwa pertalian

sebuah wacana tidak harus menggunakan kata sambung (unsur kohesi)

agar wacana itu koheren. Tanpa unsur kohesi pun, sebuah wacana bisa

koheren karena adanya konteks yang melatari terbentuknya wacana

itu. Dengan demikian, koherensi adalah hubungan logis antarunsur

dalam sebuah wacana atau proposisi (unsur) terselubung yang dapat

disimpulkan untuk menginterpretasikan makna wacana itu (Rani, dkk.,

2006: 123).

Koherensi sebagai hubungan logis antarunsur dalam wacana

mengacu pada sesuatu yang lain di luar wacana. Sesuatu yang lain di luar

wacana meliputi tiga hal, yaitu (1) konteks (context), (2) koteks (co-text)

dan (3) logika (logic). Konteks meliputi situasi, tempat, waktu, bentuk,

ciri atau karakteristik, dan norma (bdk. Moeliono, ed. al., 1993: 336).

Ko-teks berupa paparan lain sebelum atau sesudah sebuah wacana.

Proposisi terselubung yang menjadikan sebuah wacana koheren juga

Page 89: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 89

dapat ditafsirkan dari perspektif ilmu nalar (logika). Dengan demikian,

koherensi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) koherensi kontekstual,

(2) koherensi kotekstual, dan (3) koherensi logis.

4.2.1 Koherensi Kontekstual

Koherensi kontekstual adalah pertalian antarunsur dalam

sebuah wacana yang dapat dipahami karena adanya konteks yang

melatarbelakangi wacana itu. Koherensi kontekstual dibedakan

menjadi dua, yaitu (1) koherensi wacana promotif dan (2) koherensi

wacana normatif.

A. Koherensi Wacana Promotif

Koherensi wacana promotif adalah pertalian makna dalam wacana

karena adanya konteks berupa ciri-ciri wacana persuasi yang di

dalamnya terpapar kalimat-kalimat yang bernada promotif. Koherensi

wacana promotif ditunjukkan oleh adanya data-data berikut.

(1) Senyum, senyum, senyum lagi...hmmm. Indahnya senyum membuat kami terus menyelami dan mendalami manfaatnya. Ternyata dengan senyium kita bisa awet muda, melancarkan aliran darah, melemaskan otot yang tegang, menstimulasi otak kanan dan kiri, meringkankan stres, meningkatkan kadar oksigen dalam darah, memijat paru-paru dan jantung, menghasilkan hormon endhorpin, mengurangi nyeri, serta masih banyak lagi. ....

Kami meluncurkan ide smart, energik, nyaman, yakin menyenangkan, unik dan memotivasi hidup lebih baik, yaitu dengan senam senyium. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 23/8/2009)

(2) Kalau Anda hobi main tenis, ayo, segera ambil raketmu. Mau ikutan main tenis nggak? Lah, kapan? Jangan tunggu lama. Hari Minggu 16 Agustus 2009 pukul 07.30 sampai selesai di lapangan tenis Anindya, Kaliurang, Yogyakarta. ....

Ojo lali yo? Nggak ada loe, nggak rame. Kapan lagi? Di mana lagi? Yo di Kaliurang tho. Saya tunggu.... (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 14/8/2009)

Page 90: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

90 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Konteks tuturan (1) dan (2) di atas adalah sebagai berikut. Ciri-

ciri wacana persuasi adalah membujuk atau mengajak pambaca

dengan kalimat-kalimat yang bernada promotif agar pembaca tertarik

dan melakukan sesuatu seperti yang diinginkan penulisnya (KBBI,

2008:1062; bdk. Endarmoko, 2007:472).

Pada tuturan (1) tampak adanya wacana promotif, yaitu ajakan

untuk melakukan senam senyum. Bagian-bagian tuturan itu memiliki

pertalian makna karena adanya konteks berupa ciri-ciri wacana

persuasi. Dalam tuturan itu diperlihatkan adanya promosi kegiatan

senam senyum sebagaimana diinginkan penulisnya.

Pada tuturan (2) tampak adanya wacana promotif, yaitu ajakan

untuk bermain tenis. Bagian-bagian tuturan itu memiliki pertalian

makna karena adanya konteks berupa ciri-ciri wacana persuasi. Dalam

tuturan itu diperlihatkan adanya promosi kegiatan olahraga tenis

sebagaimana diinginkan penulisnya.

B. Koherensi Wacana Normatif

Koherensi wacana normatif adalah pertalian makna dalam sebuah

wacana karena adanya konteks berupa norma atau aturan, baik

eksplisit melalui undang-undang maupun implisit melalui kesepakatan

lisan dalam hidup bersama (norma sosial), yang melatarbelakangi

terbentuknya wacana itu. Koherensi wacana normatif dalam surat

kabar dapat dirinci menjadi dua, yaitu (1) koherensi wacana klarifikatif

dan (2) koherensi wacana deklaratif.

a. Koherensi Wacana Klarifikatif

Koherensi wacana klarifikatif adalah koherensi yang berisi

klarifikasi (pembenaran) atas suatu hal karena adanya norma yang

melatari pembenaran hal tersebut. Koherensi wacana klarifikatif dalam

surat kabar dapat ditemukan dalam data-data berikut.

(1) Surat di Kompas (27/8), “Melafalkan Kata Indonesia”, pada alinea keempat tertulis, “...kata-kata Indonesia yang seharusnya dilafalkan dengan in-do-ne-si-a, tetapi salah dilafalkan dengan

Page 91: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 91

in-do-ne-sia.” Seharusnya, lafal in-do-ne-sia, bukan in-do-ne-si-a. (Surat Pembaca Kompas, 29/8/2009)

(2) Dalam Tajuk Rencana (Kamis Pon 13 Agustus 2009) terdapat salah tulis judul. Tertulis “Sukses di Tubuh Partai Golkar”. Yang benar adalah “Suksesi di Tubuh Partai Golkar”. Dengan demikian, pembetulan sudah dilakukan. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 14/8/2009)

Konteks tuturan (1) adalah sebagai berikut. Dalam Ejaan Bahasa

Indonesia yang Disempurnakan (Diknas, 2010) Pasal E (1e) diatur ihwal

pemenggalkan kata dasar. Dalam pasal E (1e) terdapat dua catatan,

yakni (1) aturan pemenggalan gabungan huruf konsonan dan (2) aturan

pemenggalan gabungan huruf vokal. Dalam kaitan dengan tuturan (1)

di atas, catatan kedua pada pasal E (1e) yang menjadi konteksnya, yaitu:

“pemenggalan kata tidak boleh menyebabkan munculnya satu huruf

vokal di awal atau akhir baris. Dengan demikian, lafal “indonesia” dapat

dipenggal menjadi in-do-ne-sia, bukan in-do-ne-si-a.

Pada tuturan (1) tampak adanya klarifikasi (pembenaran) suatu

hal, yaitu ihwal pelafalan kata “indonesia”. Bagian-bagian wacana itu

memiliki pertalian makna karena adanya konteks berupa norma, yaitu

aturan mengenai pemenggalan kata sebagaimana diatur dalam Ejaan

Bahasa Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Dalam klarifikasi itu tampak

bahwa hal yang dipersoalkan ialah pelafalan kata “indonesia” yang

dalam Kompas edisi 27 Agustus 2009 dipenggal dengan in-do-ne-si-a,

dibenarkan pada Kompas edisi 29 Agustus 2009 menjadi in-do-ne-sia.

Konteks tuturan (2) adalah sebagai berikut. Dalam kode etik

jurnalistik hasil kongres XXII di Nangroe Aceh Darusalam tanggal 28-

29 Juli 2008 pada bab 3 pasal 10 dikatakan bahwa “Wartawan Indonesia

dengan kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau meralat setiap

pemberitaan yang kemudian ternyata tidak akurat, dan memberi

kesempatan hak jawab secara proporsional kepada sumber atau objek

berita.”

Pada tuturan (2) tampak adanya klarifikasi (pembenaran) suatu

hal, yaitu judul tajuk rencana Kedaulatan Rakyat. Bagian-bagian wacana

Page 92: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

92 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

itu memiliki pertalian makna karena adanya penanda berupa konteks,

yaitu aturan mengenai pembenaran dalam surat kabar sebagaimana

diatur dalam kode etik jurnalistik bab 3 pasal 10 mengenai pembenaran

atas kesalahan informasi.

b. Koherensi Wacana Deklaratif

Koherensi wacana deklaratif adalah koherensi yang berisi

pernyataan atau pengumuman suatu hal karena dilatari adanya konteks

berupa norma sosial yang melatari terbentuknya wacana itu. Perhatikan

data-data berikut.

(1) Dengan ini saya menyatakan bahwa saya mahasiswa UPN “Veteran” Yogyakarta, telah memalsukan tanda tangan dosen wali saya (Dra. Sriluna Murdianingrum) pada hari Senin, 3 Agustus 2009. Saya mengakui kesalahan saya, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Semoga kejadian ini tidak terulang atau terjadi pada pihak lain.

Heni Hapsari Mahasiswa UPN “Veteran” Yogyakarta (Surat Pembaca Kedaulatan

Rakyat, 15/8/2009)(2) Sehubungan dengan surat di Kompas (17/7), “Petugas Keamanan

Wisma Millenia”, oleh ibu Daysiwati Setiawan, dengan ini kami sampaikan bahwa kami telah melakukan pembinaan guna meningkatkan pelayanan yang lebih baik. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang telah dialami pihak Ibu.

Rudi S. Rahardjo Pengelola Wisma Millenia Jakarta (Surat Pembaca Kompas,

10/8/2009) (3) Terima Kasih Lion.... (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat,

19/8/2009)

Konteks tuturan (1), (2), dan (3) adalah sebagai berikut. Adanya

norma sosial mengenai pengakuan atas kesalahan atau kekeliruan

kepada publik dan perlunya ucapan terima kasih kepada orang lain.

Pada tuturan (1) tampak adanya pernyataan suatu hal, yaitu

pengakuan adanya pemalsuan tanda tangan. Pernyataan yang dimuat

di kolom pikiran pembaca (surat pembaca) harian Kedaulatan Rakyat

Page 93: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 93

edisi 15 Agustus 2009 itu dilatari adanya norma sosial yang secara

tak langsung menyiratkan kejujuran dan tanggung jawab. Pada

tuturan (2) tampak adanya penyampaian suatu hal (dalam bentuk

pernyataan) dari pihak Pengelola Wisma Millenia Jakarta, yaitu telah

dilaksanakannya pembinaan terhadap karyawan Wisma Millenia Jakarta

guna meningkatkan pelayanan terhadap pengguna wisma tersebut.

Pernyataan yang dimuat di kolom surat pembaca harian Kompas edisi 10

Agustus 2009 itu dilatari adanya norma sosial yang secara tak langsung

menyiratkan tanggung jawab pengelola wisma tersebut.

Pada tuturan (3) tampak adanya penyampaian sesuatu hal berupa

ucapan terima kasih dari seseorang. Tuturan itu merupakan judul

sebuah wacana dalam kolom pikiran pembaca Kedaulatan Rakyat edisi 19

Agustus 2009. Walaupun hanya berupa judul, tuturan itu memiliki nilai

semantik yang tinggi karena adanya konteks yang melatarinya, yaitu

budaya mengucapkan terima kasih.

4.2.2 Koherensi Kotekstual

Koherensi kotekstual adalah pertalian antarunsur dalam sebuah

wacana yang dapat dipahami karena adanya koteks (paparan) yang

ada sebelum atau sesudah sebuah wacana. Koherensi kotekstual

dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) koherensi kotekstual endofora

anaforis dan (b) koherensi kotekstual endofora kataforis.

A. Koherensi Kotekstual Endofora Anaforis

Koherensi kotekstual endofora anaforis adalah pertalian makna

dalam wacana yang dapat dimengerti karena adanya koteks (paparan)

sebelumnya. Koherensi kotekstual endofora anaforis dapat dilihat pada

data-data berikut.

(1) Caranya tidak sulit. Tak perlu banyak waktu. Tak perlu biaya besar. Tak bau. Tak menjijikkan. (Surat Pembaca Kompas, 9/8/2009)(2) Selamat jalan, Mas Willy. Selamat jalan penyair idola. Selamat jalan, selamat jalan.... (Berita Utama Kompas, 7/8/2009)

Page 94: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

94 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

(3) Simposisum diselenggarakan 19 Agustus 2009 di Convention Hall Lt. 3 Asri Medical Centre UMY kampus Wirobrajan (barat SMAN 1 Yogyakarta). Peserta tidak dipungut biaya. Pemeriksaan kadar gula gratis. Hubungi call center AMC, telp. (0274) 618400. Peserta dibatasi 200 orang. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 14/8/2009)

Koteks tuturan (1) adalah sebagai berikut. “Pengelolaan sampah

dengan memilah sampah organik dan nonorganik adalah langkah awal

mengelola sampah. Pada langkah berikutnya, sampah organik didaur

ulang menjadi kompos. Ini bisa dilakukan di rumah masing-masing atau

secara komunal di setiap RT.”

Dengan adanya koteks endofora anaforis sebagaimana dikutip di

atas maka meskipun dalam tuturan (1) tidak terdapat unsur penanda

kohesi, tuturan itu amat koheren. Artinya, pertalian antarproposisi

dalam tuturan itu dapat dipahami pembaca, yakni cara pemilahan

sampah organik dan nonorganik.

Koteks tuturan (2) adalah sebagai berikut. “Entah secara kebetulan

atau apa, menurut pihak keluarga, Mas Willy (WS Rendra) sebenarnya

ingin kembali ke bengkelnya di Depok untuk merayakan tujuh hari

meninggalnya Mbah Surip, sahabatnya. Ternyata, ia malah menyusul

sang sahabat.”

Dengan adanya koteks endofora anaforis sebagaimana dikutip di

atas maka meskipun dalam tuturan (2) tidak terdapat unsur kohesi,

tuturan itu amat koheren. Artinya, pertalian antarproposisi dalam

tuturan itu dapat dipahami pembaca, yakni ucapan belasungkawa atas

meninggalnya Mas Willy (WS Rendra).

Koteks tuturan (3) adalah sebagai berikut.“Menyambut bulan suci

Ramadhan 1430 H, Asri Medical Centre bekerja sama dengan Fakultas

Kedokteran UMY akan menyelenggarakan kegiatan simposium untuk

Umum tentang Diabetes dan Puasa.”

Dengan adanya koteks endofora anaforis sebagaimana dikutip di

atas maka meskipun dalam tuturan (3) tidak terdapat penanda kohesi,

Page 95: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 95

tuturan itu amat koheren. Artinya, pertalian antarproposisi dalam

tuturan itu dapat dipahami pembaca, yakni undangan bagi masyarakat

umum untuk mengikuti kegiatan simposium tentang diabetes dan

puasa menyambut bulan suci Ramadhan 1430 H.

B. Koherensi Kotekstual Endofora Kataforis

Koherensi kotekstual endofora kataforis adalah pertalian makna

sebuah wacana yang dapat dimengerti karena adanya koteks (paparan)

sesudahnya. Koherensi kotekstual endofora kataforis dapat dilihat pada

data-data berikut.

(1) Hanya mengharapkan polisi, mustahil terorisme dapat dibasmi. Harus seluruh bangsa Indonesia. Jangan memberi ruang gerak kepada orang Malaysia yang bernama Noordin M Top. (Surat Pembaca Kompas, 27/8/2009)

(2) Bagaimana dengan sistem pembuangan sampah? Di setiap sudut? Apakah pengelola gedung tidak memeriksa secara rutin kondisi apartemennya? (Surat Pembaca Kompas, 28/8/2009)

(3) “Tidak ada dakwah yang diawasi polisi. Semuanya bebas sesuai UUD 1945 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul,” kata Kapolri. (Berita Utama Bernas Jogja, 25/8/2009)

(4) “Tidak hanya masyarakat Jawa Tengah yang harus waspada, daerah lain di Indonesia juga harus meningkatkan kewaspadaan,” kata Kapolda. (Berita Utama Bernas Jogja, 4/8/2009)

Koteks tuturan (1) adalah sebagai berikut. “Dengan kerja sama

setiap anak bangsa, semua kegiatan teroris di bumi pertiwi dapat

dibasmi sampai ke akar-akarnya.”

Dengan adanya koteks endofora kataforis sebagaimana dikutip di

atas maka meskipun dalam tuturan (1) tidak terdapat unsur kohesi,

tuturan itu amat koheren. Artinya, pertalian antarproposisi dalam

tuturan itu dapat dipahami pembaca, yakni upaya melawan terorisme

bukan hanya tugas aparat keamanan (polisi) melainkan juga setiap anak

bangsa (seluruh masyarakat).

Page 96: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

96 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Koteks tuturan (2) adalah sebagai berikut. “Pengelola Apartemen

dari Group Mediterina yang berlokasi di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat,

harus menjaga kebersihan apartemennya dan membiasakan hidup

sehat untuk kepentingan bersama.”

Dengan adanya koteks endofora kataforis sebagaimana dikutip di

atas maka meskipun dalam tuturan (2) tidak terdapat unsur kohesi,

tuturan itu amat koheren. Artinya, pertalian antarproposisi dalam

tuturan itu dapat dipahami pembaca, yakni pertanyaan yang ditujukan

kepada pengelola apartemen dari Group Mediterina untuk segera

menyikapi soal kebersihan di apartemen yang dikelolanya itu.

Koteks tuturan (3) adalah sebagai berikut. “Hal itu ditegaskan

Kapolri Jenderal Pol Bambang Danuri di Jakarta, Senin (24/8),

menanggapi pertanyaan pers terkait isu adanya perintah dari pihaknya

untuk mengawasi dakwah selama bulan Ramadhan.”

Dengan adanya koteks endofora kataforis sebagaimana dikutip di

atas maka meskipun dalam tuturan (3) tidak terdapat unsur kohesi,

tuturan itu amat koheren. Artinya, pertalian antarproposisi dalam

tuturan itu dapat dipahami pembaca, yakni adanya bantahan dari pihak

Kapolri tentang isu adanya perintah dari pihaknya untuk mengawasi

dakwah selama bulan suci Ramadhan.

Ko-teks tuturan (4) adalah sebagai berikut.“Salah satu upaya untuk

mencegah aksi terorisme, kata Kapolda, seluruh masyarakat Indonesia

diimbau untuk tidak mau dibina oleh kelompok-kelompok teroris.

Seluruh masyarakat Indonesia, minta Kapolda, agar ikut mewaspadai

dan mengawasi jika mengetahui adanya kegiatan mencurigakan, dan

segera melaporkan kepada polisi jika ada pendatang yang berperilaku

mencurigakan dan aneh.”

Dengan adanya koteks endofora kataforis sebagaimana dikutip di

atas maka meskipun dalam tuturan (4) tidak terdapat unsur kohesi,

tuturan itu amat koheren. Artinya, pertalian antarproposisi dalam

tuturan itu dapat dipahami pembaca, yakni adanya imbauan dari

Page 97: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 97

Kapolda Jawa Tengah bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk ikut

mewaspadai dan mengawasi aksi terorisme.

4.2.3. Koherensi Logis

Koherensi logis adalah keberterimaan antarunsur dalam sebuah

wacana karena adanya unsur terselubung yang bisa ditafsirkan

berdasarkan ilmu nalar (logika) untuk menyimpulkan makna wacana

itu (bdk. Sumarsono, 2004: 9). Koherensi logis dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu koherensi definisi dan koherensi simpulan.

A. Koherensi Definisi

Definisi memiliki arti ‘batasan, pengertian, pertegasan, deskripsi,

interpretasi, makna’ (Endarmoko, 2007:149). Definisi senantiasa

mengandung suatu konsepsi yang sungguh-sungguh menyatakan

hakikat sesuatu. Artinya, di dalam sebuah definisi haruslah terkandung

unsur-unsur pokok untuk membedakan hakikat hal yang dideskripsikan

dengan hal yang lainnya (Lanur, 1983:23). Dari perspektif logika

bahasa, Sumarsono (2004:219) mengatakan bahwa definisi merupakan

pemerian (deskripsi), atau penjelasan yang membatasi makna sebuah

kata atau konsep. Sebuah definisi disebut logis apabila di dalam definisi

itu terdapat fitur-fitur semantik, baik fitur dasar (inti) maupun fitur

tambahan, yang dikandung oleh setiap kata atau konsep, dan itu dapat

diketahui melalui apa yang disebut analisis komponensial (bdk. Leech,

2003:125). Dalam analisis komponensial, fitur-fitur makna dasar biasa

ditulis dengan huruf kapital. Adanya fitur ditandai dengan tanda <+>

(plus) dan tidak adanya fitur ditandai dengan <–> (minus) (Sumarsono,

2004:221).

Adapun kriteria untuk menguji kelogisan sebuah definisi, yaitu

fitur-fitur dasar dapat dipadankan dengan kata atau konsep yang

didefinisikan berdasarkan perhitungan matematis. Sebuah definisi

senantiasa terdiri dari dua ruas, yaitu ruas sebelah kiri berupa kata

atau konsep yang didefinisikan (definiendum) dan ruas sebelah kanan

berupa fitur-fitur dasar dan tambahan, uraian yang membatasi kata atau

Page 98: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

98 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

konsep itu (definiens). Menurut penalaran matematis, jika X=Y maka

Y=X (sebagai contoh, jika 2+3 =5, maka 5= 2+3). Demikianlah, di dalam

definisi, tempat definiendum dan definiens harus dapat dipertukarkan

tanpa mengubah makna (bdk. Sumarsono, 2004: 228).

Sejalan dengan konsep di atas, koherensi definisi adalah koherensi

yang membatasi makna sebuah kata atau konsep dengan memperhatikan

fitur-fitur dasar semantik yang terkandung di dalam kata atau konsep

itu. Koherensi definisi ditemukan pada data-data berikut.

(1) Bulan suci Ramadhan adalah bulan penuh rahmat, berkah,

pahala, dan ampunan, yang selalu ditunggu-tunggu. (Surat

Pembaca Kedaulatan Rakyat, 21/8/2009)

(2) Pemimpin yang transformatif adalah pribadi yang mampu

terus belajar, yakni mampu untuk mendengarkan, membaca,

menangkap, dan menganalisis masalah, berwawasan luas,

mampu berdialog dan peka pada tanda-tanda zaman, serta mau

mengubah diri pula. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 26/8/2009)

Pada tuturan (1) terdapat konsep yang didefinisikan, yaitu bulan suci

Ramadhan. Fitur-fitur dasar yang terkandung dalam konsep itu adalah

bulan, rahmat, berkah, pahala, dan ampunan. Fitur-fitur tambahannya

adalah dan, yang, selalu, ditunggu-tunggu. Definisi bulan suci Ramadhan dapat

diinterpretasi dan dianalisis berdasarkan fitur-fitur dasar semantik yang

terkandung di dalamnya, yaitu:

bulan suci Ramadhan

+bulan -hari, minggu, tahun

+rahmat

+berkah

+pahala

+ampunan

Dengan demikian, definisi bulan suci Ramadhan bukanlah:

- hari penuh rahmat, berkah, pahala, dan ampunan,

Page 99: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 99

- minggu penuh rahmat, berkah, pahala, dan ampunan,

- tahun penuh rahmat, berkah, pahala, dan ampunan,

tetapi:

+ bulan penuh rahmat, berkah, pahala, dan ampunan

Definisi di atas dapat diuji kelayakannya sebagai berikut.

+Bulan suci Ramadhan = bulan penuh rahmat, berkah, pahala,

dan ampunan, yang selalu ditunggu-tunggu.

+Bulan penuh rahmat, berkah, pahala, dan ampunan yang selalu

ditunggu-tunggu = bulan suci Ramadhan.

Pada tuturan (2) terdapat definisi konsep, yaitu pemimpin yang

transformatif. Fitur-fitur dasar yang terkandung dalam konsep itu adalah

pribadi, mampu, terus belajar, dan mendengarkan, membaca, menangkap, dan

menganalisis masalah; berwawasan luas, berdialog, peka, tanda-tanda zaman

dan mengubah diri. Fitur-fitur tambahannya adalah yang, dan, pada, serta,

mau, pula. Definisi pribadi yang transformatif dapat diinterpretasi dan

dianalisis berdasarkan fitur-fitur dasar semantik yang terkandung di

dalamnya, yaitu:

pemimpin yang transformatif

+pribadi -binatang

+mampu terus belajar -mampu mengajar

+mendengarkan

+membaca

+menangkap

+menganalisis masalah

+berwawasan luas

+berdialog

+peka

+tanda-tanda zaman

+mengubah diri

Dengan demikian, definisi pemimpin yang transformatif bukanlah:

- binatang yang mampu terus mengajar, yakni mampu untuk

Page 100: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

100 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

mendengarkan, membaca, menangkap, dan menganalisis

masalah, berwawasan luas, mampu berdialog dan peka pada

tanda-tanda zaman, serta mau mengubah diri pula

tetapi:

+ pribadi yang mampu terus belajar, yakni mampu untuk

mendengarkan, membaca, menangkap, dan menganalisis

masalah, berwawasan luas, mampu berdialog dan peka pada

tanda-tanda zaman, serta mau mengubah diri pula

Definisi di atas dapat diuji kelayakannya sebagai berikut.

+ Pemimpin yang transformatif = pribadi yang mampu terus belajar,

yakni mampu untuk mendengarkan, membaca, menangkap, dan

menganalisis masalah, berwawasan luas, mampu berdialog dan

peka pada tanda-tanda zaman, serta mau mengubah diri pula.

+ Pribadi yang mampu terus belajar, yakni mampu untuk

mendengarkan, membaca, menangkap, dan menganalisis

masalah, berwawasan luas, mampu berdialog dan peka pada

tanda-tanda zaman, serta mau mengubah diri pula = pribadi yang

transformatif.

B. Koherensi Simpulan

Lanur (1983:38) mengatakan bahwa sebuah simpulan bisa lurus,

bisa juga tidak lurus. Simpulan dapat lurus apabila simpulan itu dapat

ditarik dari adanya antecedens ‘hal yang telah ada’ atau premissae ‘premis,

titik pangkal’ yang benar berdasarkan hukum-hukum ilmu nalar.

Sebaliknya, simpulan tidak dapat lurus apabila simpulan itu dapat

ditarik dari adanya antecedens atau premissae yang salah berdasarkan

hukum-hukum ilmu nalar. Yang dimaksud dengan hukum-hukum ilmu

nalar itu ialah terkandungnya asas-asas kebenaran di dalam premis

mayor dan premis minor. Asas-asas itu ialah dasar, yakni sesuatu yang

menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat (bdk. KBBI, 2008:91).

Dasar tumpuan berpikir atau berpendapat lazimnya dapat dilihat dari

dua hal, yaitu deduksi (penjabaran dari hal yang umum ke hal yang

Page 101: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 101

khusus) dan induksi (penjabaran dari hal yang khusus ke hal yang

umum).

Sejalan dengan konsep tersebut, Sumarsono (2004:9)

mengemukakan bahwa hubungan logis sebuah paparan dengan

simpulannya dapat diketahui dari jenis paparan sebuah wacana. Jika

sebuah paparan dimulai dengan suatu prinsip umum lalu diikuti

simpulan, paparan itu disebut paparan deduktif. Sebaliknya, jika sebuah

paparan dimulai dengan fakta-fakta lalu diikuti simpulan, paparan itu

disebut paparan induktif.

Setiap wacana dalam surat kabar mengandung argumen-argumen

dan fakta-fakta yang ada simpulannya. Oleh karena itu, koherensi

simpulan adalah pertalian logis antarunsur dalam wacana karena

adanya simpulan, baik simpulan yang didasari paparan berupa

argumen-argumen yang bersifat deduktif, maupun simpulan yang

didasari paparan berupa fakta-fakta yang bersifat induktif. Demikianlah,

koherensi simpulan dapat dirinci menjadi dua, yaitu (1) koherensi

simpulan deduktif dan (2) koherensi simpulan induktif.

a. Koherensi Simpulan Deduktif

Koherensi simpulan deduktif merupakan pertalian logis antarunsur

dalam sebuah wacana karena adanya simpulan yang lebih spesifik dari

hal umum yang telah dipaparkan sebelumnya. Supaya sahih (valid),

simpulan dari sebuah paparan deduktif mesti diuji dengan suatu peranti

yang disebut silogisme. Silogisme terdiri atas tiga bagian, yaitu premis

mayor, premis minor, dan simpulan (Sumarsono, 2004: 10). Koherensi

simpulan deduktif dapat ditemukan pada data berikut.

(1) Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8), tidak dihadiri para mantan presiden. Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk kelima kalinya tidak hadir memenuhi undangan. Menurut Guruh Soekarnoputra yang hadir dalam acara itu, Megawati menggelar dan memimpin sendiri upacara peringatan detik-detik proklamasi bersama Dewan Pimpinan

Page 102: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

102 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Pusat Partai Indonesia Perjuangan di Kebagusan, Jakarta. Dua mantan presiden, yaitu BJ Habibie dan KH Abdurahman Wahid yang pernah beberapa kali hadir dalam upacara itu, kini berhalangan. Habibie tengah berada di Jerman, sedangkan Abdurahman masih terbaring sakit. (Berita Utama Kompas, 18/8/2009)

Tuturan di atas termasuk paparan deduktif karena di sana terdapat

satu prinsip (pernyataan) umum, yaitu peringatan Proklamasi Kemerdekaan

Republik Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8), tidak dihadiri para mantan presiden.

Pernyataan umum itu kemudian diikuti empat penjelasan yang lebih

detail, yaitu (a) mantan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk kelima kalinya

tidak hadir memenuhi undangan, (b) menurut Guruh Soekarnoputra yang hadir

dalam acara itu, Megawati menggelar dan memimpin sendiri upacara peringatan

detik-detik proklamasi bersama Dewan Pimpinan Pusat Partai Indonesia

Perjuangan di Kebagusan, Jakarta, (c) dua mantan presiden, yaitu BJ Habibie dan

KH Abdurahman Wahid yang pernah beberapa kali hadir dalam upacara itu, kini

berhalangan, dan (d) Habibie tengah berada di Jerman, sedangkan Abdurahman

masih terbaring sakit. Jika dicermati, keempat penjelasan itu hanya

menjelaskan satu hal, yaitu alasan ketidakhadiran mantan presiden

Megawati Soekarnoputri, B. J. Habibie, dan K. H Abdurahman Wahid

dalam upacara peringatan HUT ke-64 Indonesia di Jakarta.

Dengan demikian, keempat penjelasan itu dapat diparafrasekan

menjadi (a) mantan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk kelima kalinya

tidak hadir memenuhi undangan, (karena) menurut Guruh Soekarnoputra

yang hadir dalam acara itu, Megawati menggelar dan memimpin sendiri upacara

peringatan detik-detik proklamasi bersama Dewan Pimpinan Pusat Partai

Indonesia Perjuangan di Kebagusan, Jakarta, dan (b) dua mantan presiden,

yaitu BJ Habibie dan KH Abdurahman Wahid yang pernah beberapa kali hadir

dalam upacara itu, kini berhalangan, (karena) Habibie tengah berada di Jerman,

sedangkan Abdurahman masih terbaring sakit.

Berdasarkan ilmu nalar (logika), simpulan dari sebuah paparan

deduktif dapat ditarik dari adanya premis mayor dan premis minor. Pada

Page 103: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 103

tuturan (1) tampak adanya premis mayor berupa sebuah pernyataan

umum, tetapi di sana belum tampak adanya premis minor untuk sampai

pada sebuah simpulan yang dapat diterima secara logika. Akan tetapi,

tuturan itu koheren karena adanya proposisi terselubung yang menjadi

premis minor dari setiap penjelasannya.

Jika premis mayornya adalah peringatan Proklamasi Kemerdekaan

Republik Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8), tidak dihadiri para mantan presiden

dan apabila penjelasannya adalah mantan Presiden Megawati Soekarnoputri

untuk kelima kalinya tidak hadir memenuhi undangan (karena) menurut

Guruh Soekarnoputra yang hadir dalam acara itu, Megawati menggelar dan

memimpin sendiri upacara peringatan detik-detik proklamasi bersama Dewan

Pimpinan Pusat Partai Indonesia Perjuangan di Kebagusan, Jakarta, proposisi

terselubungnya adalah Megawati Soekarnoputri adalah mantan presiden yang

menjadi premis minornya. Dengan demikian, simpulannya Megawati

Soekarnoputri tidak hadir dalam peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik

Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di

Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8), (karena) menurut Guruh Soekarnoputra

yang hadir dalam acara itu, Megawati menggelar dan memimpin sendiri upacara

peringatan detik-detik proklamasi bersama Dewan Pimpinan Pusat Partai

Indonesia Perjuangan di Kebagusan, Jakarta.

Hubungan itu kemudian direkonstruksi tanpa mengubah maknanya

sehingga hasil pertaliannya terbaca lebih efektif sebagai berikut.

Premis mayor:Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8), tidak dihadiri para mantan presiden.

Premis minor:

Megawati Soekarnoputri adalah mantan presiden.

Simpulan: Megawati Soekarnoputri tidak hadir dalam peringatan Proklamasi

Page 104: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

104 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Kemerdekaan Republik Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8).

Jika premis mayornya adalah peringatan Proklamasi Kemerdekaan

Republik Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8), tidak dihadiri para mantan presiden,

dan apabila penjelasannya adalah dua mantan presiden, yaitu BJ Habibie dan

KH Abdurahman Wahid yang pernah beberapa kali hadir dalam upacara itu, kini

berhalangan, (karena) Habibie tengah berada di Jerman, sedangkan Abdurahman

masih terbaring sakit, proposisi terselubungnya adalah BJ Habibie dan KH

Abdurahman Wahid adalah mantan presiden yang menjadi premis minornya.

Dengan demikian, simpulannya BJ Habibie dan KH Abdurahman Wahid yang

pernah beberapa kali hadir dalam upacara itu, kini berhalangan, (karena)

Habibie tengah berada di Jerman, sedangkan Abdurahman masih terbaring sakit.

Hubungan itu kemudian direkonstruksi tanpa mengubah maknanya

sehingga hasil pertaliannya terbaca lebih efektif sebagai berikut.

Premis mayor:Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8), tidak dihadiri para mantan presiden.

Premis minor:B. J Habibie dan K. H Abdurahman Wahid adalah mantan presiden.

Simpulan: B. J Habibie dan K. H Abdurahman Wahid tidak hadir dalam peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8).

b. Koherensi Simpulan Induktif

Koherensi simpulan induktif merupakan pertalian logis antarunsur

dalam sebuah wacana karena adanya fakta-fakta yang telah dipaparkan

sebelumnya. Simpulan induktif tidak pernah akan final/selesai sebab

sebuah fakta yang telah diketahui suatu saat akan berubah sehingga

Page 105: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 105

selalu memerlukan revisi jika ada fakta-fakta baru yang muncul

(Sumarsono, 2004:10). Simpulan induktif dalam surat kabar dapat

ditemukan pada data berikut.

Nilai impor kedelai rata-rata setiap tahun mencapai 595 juta dollar AS (setara dengan Rp 5,95 triliun), gandum 2,25 miliar dollar AS (Rp22,5 triliun), gula 859,5 juta dolla AS (Rp 8,59 triliun), daging sapi 480 juta dollar AS (Rp 4,8 triliun), susu 755 juta dollar AS (Rp 7,55 triliun), dan garam 900 juta dollar AS (Rp 9,0 triliun) (Berita Utama Kompas, 24/8/2009).

Pada tuturan (1) tampak adanya paparan sejumlah fakta mengenai

nilai impor kedelai, gandum, gula, daging sapi, susu, dan garam. Jika

paparan itu dirumuskan secara rinci, maka sebenarnya terdapat enam

fakta yang dikandung di dalamnya, yaitu:

1) nilai impor kedelai rata-rata setiap tahun mencapai 595 juta

dollar AS (setara dengan Rp 5,95 triliun),

2) nilai impor gandum rata-rata setiap tahun mencapai 2,25 miliar

dollar AS (setara dengan Rp 22,5 triliun),

3) nilai impor gula rata-rata setiap tahun mencapai 859,5 juta

dollar AS (setara dengan Rp 8, 59 triliun),

4) nilai impor daging sapi rata-rata setiap tahun mencapai 480

juta dollar AS (setara dengan Rp 4,8 triliun),

5) nilai impor susu rata-rata setiap tahun mencapai 755 juta dollar

AS (setara dengan Rp 7,55 triliun),

6) nilai impor garam rata-rata setiap tahun mencapai 900 juta

dollar AS (setara dengan Rp 9,0 triliun).

Proposisi terselubung yang bisa disimpulkan dari adanya kumpulan

fakta-fakta di atas adalah komoditas pangan yang diimpor setiap tahun

berkisar 4 juta dollar AS sampai 900 juta dollar AS (setara dengan Rp 4

triliun sampai Rp 9 triliun).

Page 106: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

106 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

4.3.Pembahasan Penggunaan Koherensi dalam Surat Kabar

Penggunaan penanda-penanda koherensi wacana bahasa Indonesia

dalam surat kabar tidak dieksplisitkan melainkan diimplisitkan,

sehingga penanda-penanda itu dapat ditafsirkan berdasarkan konteks,

koteks, dan nalar (logika). Jika dicermati, penanda-penanda implisit

itu memperlihatkan adanya pertalian makna wacana yang tidak kohesif

tetapi koheren. Artinya, di dalam sebuah wacana, meskipun penanda-

penanda berupa unsur bahasa tidak dieksplisitkan, namun wacana itu

koheren karena ada unsur terselubung yang bisa disimpulkan untuk

menginterpretasi makna wacana itu.

Contoh: (1) Terima Kasih Lion.... (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat,

19/8/2009)

Konteks tuturan (1) di atas adalah norma berupa budaya (budaya

mengucapkan terima kasih). Memang, hingga saat ini belum ada suatu

aturan tertulis yang mewajibkan seseorang mendeklarasikan ucapan

terima kasih melalui surat kabar. Akan tetapi, dari segi makna, wacana

itu sangat koheren. Penulis wacana itu, yang rupanya pernah mengalami

suatu perlakukan baik dari awak pesawat Lion yang ditumpanginya,

merasa ingin mengucapkan perkataan itu kepada pihak maskapai

penerbangan Lion sebagai sebuah lembaga perusahaan transportasi

udara. Dari sisi budaya, makna wacana itu tidak diragukan sama sekali,

yakni bahwa mengucapkan terima kasih kepada orang lain tentu suatu

kebiasaan baik dalam hidup bersama. Dengan demikian, wacana itu

tidak saja memiliki nilai semantis, tetapi juga nilai sosial.

Adapun di sini dibedakan antara konteks dengan koteks. Jika

konteks merupakan sesuatu yang sama sekali berada di luar tetapi turut

membentuk makna suatu wacana, koteks merupakan paparan yang ada

sebelum atau sesudah sebuah wacana yang turut membentuk makna

wacana bersangkutan. Koteks diperlihatkan pada contoh (2) dan (3)

sebagai berikut.

Page 107: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 107

(1) Simposium diselenggarakan 19 Agustus 2009 di Convention Hall Lt. 3 Asri Medical Centre UMY kampus Wirobrajan (barat SMAN 1 Yogyakarta). Peserta tidak dipungut biaya. Pemeriksaan kadar gula gratis. Hubungi call center AMC, telp. (0274) 618400. Peserta dibatasi 200 orang. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 14/8/2009)

(2) Bagaimana dengan sistem pembuangan sampah? Di setiap sudut? Apakah pengelola gedung tidak memeriksa secara rutin kondisi apartemennya? (Surat Pembaca Kompas, 28/8/2009)

Pada tuturan (2) terpampang sebuah informasi, tetapi isi informasi

itu belum begitu jelas mengenai latar belakang simposium, siapa yang

menyelenggarakan simposium, dan apa yang akan dibahas dalam

simposium. Oleh karena itu, makna informasi itu baru utuh jika

dikaitkan dengan koteks, yaitu paparan sebelumnya (koteks endofora

anaforis) sebagai berikut.

“Menyambut bulan suci Ramadhan 1430 H, Asri Medical Centre bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran UMY akan menyelenggarakan kegiatan simposium untuk Umum tentang Diabetes dan Puasa.”

Pada tuturan (3) yang hanya terdiri dari sederetan pertanyaan

juga belum dapat dipahami mengapa ada pertanyaan-pertanyaan itu.

Pertanyaan-pertanyaan itu baru bisa dipahami secara utuh jika dikaitkan

dengan paparan sesudahnya (ko-teks endofora kataforis) sebagaimana

berikut.

“Pengelola Apartemen dari Group Mediterina yang berlokasi di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, harus menjaga kebersihan apartemennya dan membiasakan hidup sehat untuk kepentingan bersama.”

Hal lain yang juga menarik ialah adanya keberterimaan makna

antarunsur dalam sebuah wacana karena hadirnya fitur-fitur dasar

semantik yang dikaji berdasarkan teori analisis komponensial untuk

menyimpulkan kelogisan sebuah definisi (koherensi definisi).

Page 108: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

108 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Pembahasan contoh (6) memperlihatkan koherensi definisi.

(1) Bulan suci Ramadhan adalah bulan penuh rahmat, berkah, pahala, dan ampunan, yang selalu ditunggu-tunggu. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 21/8/2009)

Contoh (6) merupakan sebuah definisi. Hal yang didefinisikan

ialah konsep bulan suci Ramadhan. Jika dicermati, hubungan antara

hal yang didefinisikan (definiendum) dengan uraian yang membatasi

konsep itu (definiens) diterima nalar karena hadirnya fitur-fitur dasar

yang membatasi konsep tersebut. Fitur-fitur dasar yang dimaksud ialah

bulan, penuh rahmat, berkah, pahala, dan ampunan.

Hal terakhir yang menjadi kekhasan penelitian ini ialah hadirnya

proposisi terselubung berupa premis minor (untuk simpulan deduktif)

dan premis mayor (untuk simpulan induktif) yang bisa ditafsirkan

untuk menyusun suatu simpulan yang logis dari keterkaitan antarposisi

(koherensi simpulan) dalam sebuah wacana. Contoh (6) dan (7) berikut

akan membahas koherensi simpulan.

(1) Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8), tidak dihadiri para mantan presiden. Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk kelima kalinya tidak hadir memenuhi undangan. (Berita Utama Kompas, 18/8/2009)

(2) Les diperuntukkan bagi anak-anak TK, SD, dan SMP, dengan memilih jadwal: Senin pkl 14.15-15.30; Selasa pkl 14.15-15.30 dan 15.45-17.00; Rabu pkl 14.15-15.30; Kamis pkl 14.15-15.30; Jumat pkl 14.15-15.30; dan Sabtu pkl 14.15-15.30 dan 15.45-17.00. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 26/8/2009)

Tuturan (7) merupakan sebuah uraian deduktif yang terdiri dari

dua proposisi. Proposisi pertama merupakan suatu pernyataan umum,

dan proposisi kedua merupakan penjelasan yang lebih spesifik. Jika

dicermati, hubungan antara pernyataan umum dengan pernyataan

khusus terlihat logis. Namun, sebenarnya ada prosisi terselubung

Page 109: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 109

berupa premis minor sebelum sampai pada simpulan. Oleh karena itu,

jika dikatakan bahwa peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka,

Jakarta, Senin (17/8), tidak dihadiri para mantan presiden adalah premis mayor,

dan penjelasannya adalah mantan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk

kelima kalinya tidak hadir memenuhi undangan, proposisi terselubung yang

bisa disimpulkan sebagai premis minor adalah Megawati Soekarnoputri

adalah mantan presiden. Tuturan (8) merupakan sebuah uraian induktif.

Uraian itu sebenarnya hanya membahas satu hal, yaitu jadwal les bagi

siswa TK, SD, dan SMP dalam seminggu. Oleh karena itu, proposisi

terselubung yang bisa disimpulkan untuk merangkum uraian itu ialah

jadwal les untuk siswa TK, SD, dan SMP berlangsung setiap hari, kecuali Minggu,

pada pkl. 14.15-17.00.

Page 110: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

110 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

BAB 5 TINDAK TUTUR ILOKUSI

5.1. Dasar Teori

Salah satu bidang kajian di dalam ilmu linguistik adalah pragmatik.

Istilah pragmatik ini diberi batasan-batasan yang berbeda oleh beberapa

ahli (pakar linguistik). Namun, pada intinya para pakar linguistik itu

sepakat bahwa bidang kajian dalam pragmatik adalah maksud ujaran,

bukan makna kalimat yang diujarkan seseorang. Makna kalimat dikaji

dalam semantik, sedangkan maksud atau daya suatu ujaran dikaji di

dalam pragmatik.

Sebagai contoh, kalimat Hari ini panas ya! yang bermakna ‘penutur

ingin menyatakan atau memberi tahu kepada mitra tutur tentang

cuaca, suhu, atau kondisi udara pada saat itu’ merupakan bidang kajian

semantik. Akan tetapi, jika ujaran Hari ini panas ya! dimaksudkan oleh

si penutur sebagai permintaan kepada mitra tutur untuk membuka

jendela, pintu, atau menyalakan kipas angin, tuturan itu merupakan

bidang kajian pragmatik.

Oleh Gunarwan (2004:84) dikatakan bahwa pragmatik memang

mempelajari maksud ujaran atau daya (force) ujaran. Begitu pula

Kushartanti (2005:104) yang menyatakan bahwa “Apa yang dimaksud

oleh para pengguna bahasa ketika berinteraksi inilah yang dipelajari

dalam pragmatik. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pragmatik

mengkaji makna yang dipengaruhi oleh hal-hal di luar bahasa.” Kita juga

dapat mengatakan bahwa pragmatik juga mempelajari fungsi ujaran:

untuk apa suatu ujaran dibuat atau dilakukan. Atas dasar itu dapat

dikatakan bahwa pragmatik termasuk ke dalam aliran fungsionalisme

Page 111: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 111

di dalam linguistik. Satuan analisisnya bukanlah kalimat (karena kalimat

adalah satuan tata bahasa), melainkan tindak ujaran atau tindak tutur

(speech act). Tindak tutur atau tindak ujaran itu sesungguhnya tidak persis

sama dengan ujaran. Dengan satu ujaran “Hari ini panas ya!” misalnya,

sebenarnya kita melakukan dua tindak ujaran, yaitu memberitahu dan

meminta/menyuruh.

Tidak berbeda dengan konsep yang dikemukakan Gunarwan di atas,

Yule (1996) dalam bukunya Pragmatics yang diterjemahkan oleh Wahyuni

(2006:3-4) dengan judul Pragmatik juga menjelaskan bahwa pragmatik

adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan

pemakai bentuk-bentuk itu. Secara lebih rinci, Yule menguraikan

empat ruang lingkup yang tercakup dalam pragmatik. Ruang lingkup itu

adalah: pertama, pragmatik adalah studi tentang maksud penutur; kedua,

pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual; ketiga, pragmatik

adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan

daripada yang dituturkan; dan keempat, pragmatik adalah studi tentang

ungkapan dari jarak hubungan.

Tidak jauh berbeda dengan beberapa konsep yang dikemukakan

beberapa ahli di atas, Tarigan (1986:73) juga mengartikan pragmatik

sebagai telaah makna dalam hubungannya dengan situasi ujaran.

Purwo (1990) juga menjelaskan bahwa pragmatik adalah telaah

mengenai segala aspek makna setelah dikurangi semantik (yang

menelaah kalimat); jadi pragmatik adalah telaah mengenai tuturan.

Pragmatik sesungguhnya menggumuli makna yang terikat konteks.

Menurut Purwo, pijakan utama di dalam analisis pragmatik adalah

konteks. Konteks yang dimaksud termasuk ihwal siapa mengatakan

kepada siapa, tempat dan waktu diujarkannya suatu kalimat, anggapan-

anggapan mengenai yang terlibat di dalam tindakan mengutarakan

kalimat itu. Lebih lanjut, Purwo menjelaskan bahwa kancah yang

dijelajahi pragmatik (yang telah disepakati hingga kini) ada empat,

yakni: (1) deiksis, (2) praanggapan, (3) tindak ujaran, dan (4) implikatur

percakapan.

Page 112: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

112 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Penelitian ini hanya mengambil salah satu dari empat kancah di

dalam pragmatik seperti yang diungkapkan Purwo di atas, yakni kancah

tindak ujaran. Austin (dalam Gunarwan, 1994) membedakan tiga jenis

tindakan yang berkaitan dengan ujaran. Tiga jenis tindakan itu adalah

tindak lokusi(oner), tindak ilokusi(oner), dan tindak perlokusi(oner).

Tindak lokusi adalah tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan

sesuatu dengan makna kata dan makna kalimat sesuai dengan makna

kata itu (di dalam kamus) dan makna sintaksis kalimat itum enurut

kaidah sintaksisnya. Yang dipersoalkan di dalam tindak ujar ini adalah

makna ujaran, bukan pada maksud atau fungsi ujaran itu.

Tindak yang kedua yaitu tindak ilokusi adalah tindak melakukan

sesuatu. Yang dibicarakan di dalam tindak ujar ini adalah tentang

maksud, fungsi, atau daya ujaran. Yang ketiga adalah tindak perlokusi.

Tindak ujar perlokusi ini mengacu ke efek yang timbul setelah penutur

menuturkan sesuatu. Dari ketiga jenis tindak ujaran itu, tindak ujaran

ilokusilah yang akan dibahas secara mendalam di dalam buku ini.

5.1.1 Definisi Tindak Ilokusi

Seperti yang sudah diungkapkan Gunarwan di atas, tindak

ilokusioner atau ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Dalam hal

ini kita berbicara tentang maksud, fungsi atau daya suatu ujaran dan

bertanya “Untuk apa ujaran itu dilakukan?”. Jadi, ujaran “Saya haus!”

yang dimaksudkan untuk meminta minuman adalah sebuah tindak

ilokusi.

Menurut Kushartanti (2005:109), ‘pertuturan ilokusioner’ (istilah

tindak ilokusi) adalah tindakan atau maksud yang menyertai suatu

ujaran. Jadi, menurutnya pengungkapan bahasa tentunya mempunyai

suatu maksud tertentu.

Menurut Yule, banyak dari kita yang tidak hanya menghasilkan

tuturan-tuturan yang terbentuk dengan baik tanpa suatu tujuan,

fungsi, atau maksud. Kita membentuk tuturan tentu dengan beberapa

fungsi atau maksud dalam pikiran kita. Hal inilah yang dikaji di dalam

Page 113: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 113

ilokusi. Yule menambahkan bahwa tindak ilokusi ditampilkan melalui

penekanan komunikatif suatu tuturan karena memang yang dikaji di

dalam ilokusi sekali lagi adalah fungsi atau maksud suatu tuturan atau

ujaran.

Demi memperjelas konsep ilokusi ini, Leech (dalam Oka, 1993:323)

memaparkan sejumlah kata kerja (verba) dan sejumlah ungkapan mirip

verba yang biasanya ada di dalam suatu tindak ilokusi. Verba-verba itu

adalah: melapor, mengumumkan, meramalkan, mengakui, berpendapat,

meminta, menegur, memohon, menganjurkan, menyuruh, mengusulkan,

mengungkapkan, mengucapkan selamat, berjanji, mengucapkan terima

kasih, dan mendesak.

5.1.2 Jenis-Jenis Tindak Ilokusi

Leech dalam bukunya The Principles of Pragmatics yang diterjemahkan

Oka (1993:162) mengungkapkan bahwa pada tingkatan yang paling

umum, fungsi-fungsi ilokusi dapat diklasifikasikan menjadi empat

jenis, sesuai dengan hubungan fungsi-fungsi tersebut dengan tujuan-

tujuan sosial berupa pemeliharaan perilaku yang sopan dan terhormat.

Keempat jenis tindak ilokusi tersebut adalah sebagai berikut.

a. Kompetitif (Competitive), yakni tindak ilokusi yang tujuan

ilokusinya bersaing dengan tujuan sosial, misalnya; memerintah,

meminta, menuntut, mengemis, dan lain-lain;

b. Menyenangkan (Convivial), yakni tindak ilokusi yang tujuan

ilokusinya sejalan dengan tujuan sosial, misalnya: menawarkan,

mangajak/mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih,

mengucapkan selamat;

c. Bekerja sama (Collaborative), yakni tindak ilokusi yang tujuan

ilokusinya tidak menghiraukan tujuan sosial, misalnya:

menyatakan, melapor, mengumumkan, mengajarkan;

d. Bertentangan (Conflictive), yakni tindak ilokusi yang tujuan

ilokusinya bertentangan dengan tujuan sosial, misalnya:

mengancam, menuduh, menyumpahi, memarahi.

Page 114: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

114 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Lebih lanjut Leech menjelaskan bahwa dari keempat jenis tindak

ilokusi di atas, jenis ilokusi yang melibatkan sopan santun hanyalah jenis

pertama (kompetitif) dan jenis kedua (menyenangkan). Pada ilokusi

yang pertama (kompetitif), sopan santun mempunyai sifat negatif dan

tujuannya adalah mengurangi ketidakharmonisan yang tersirat dalam

kompetisi antara apa yang ingin dicapai oleh penutur dengan apa yang

dituntut oleh sopan santun. Sebaliknya, pada jenis fungsi ilokusi yang

kedua (menyenangkan), sopan santun memiliki bentuk yang positif dan

bertujuan untuk mencari kesempatan untuk beramah-tamah, misalnya

ketika ada teman kita yang berulang tahun, kita harus mengucapkan

selamat.

Fungsi ketiga, yakni fungsi ilokusi bekerja sama, menurut Leech

tidak melibatkan sopan santun karena pada situasi ini sopan santun

tidak relevan. Begitu pula dalam fungsi ilokusi yang keempat yakni

fungsi bertentangan. Dalam fungsi ini, unsur sopan santun tidak ada

sama sekali, karena fungsi ini pada dasarnya bertujuan menimbulkan

kemarahan. Mengancam atau menyumpahi orang, misalnya, kecuali bila

penutur menggunakan ironi.

Tidak jauh berbeda dengan kategori tindak tutur menurut Leech

di atas, Searle juga mengkategorikan tindak ujaran atau tindak tutur ke

dalam lima jenis. Bedanya, klasifikasi atau kategori yang dibuat Leech

itu didasarkan pada fungsi, sedangkan kategori yang dibuat Searle

didasarkan pada berbagai kriteria. Secara garis besar kategori Searle

(Gunarwan, 1994; Leech, 1983; Oka, 1993) adalah sebagai berikut.

a. Representatif (kadang-kadang disebut asertif), yaitu tindak

tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas

apa yang dikatakannya (misalnya: menyatakan, melaporkan,

menunjukkan, menyebutkan, mengusulkan, membual, mengeluh,

mengemukakan pendapat). Dari segi sopan santun ilokusi-ilokusi

ini cenderung netral, yakni, mereka termasuk kategori bekerja

sama seperti yang dimaksudkan Leech pada poin C di atas.

Page 115: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 115

Namun, ada beberapa perkecualian, misalnya membual biasanya

dianggap tidak sopan.

b. Direktif, yakni tindak ujaran yang dilakukan penuturnya dengan

maksud agar si pendengar (petutur) melakukan tindakan yang

disebutkan di dalam ujaran itu (misalnya: menyuruh, memohon,

menuntut, menyarankan, menantang, memesan, memerintah,

memberi nasihat). Menurut Leech, jenis ilokusi ini sering dapat

dimasukkan ke dalam kategori kompetitif, karena itu mencakup

juga kategori-kategori ilokusi yang membutuhkan sopan santun

negatif. Namun, di pihak lain, terdapat juga beberapa ilokusi

direktif (seperti: mengundang) yang secara intrinsik memang

sopan.

c. Ekspresif, yakni tindak ujaran yang dilakukan dengan maksud agar

ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan

di dalam ujaran itu. Dalam bahasa Leech, fungsi ilokusi ini ialah

mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur

terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi (misalnya: memuji,

mengucapkan terima kasih, mengkritik, mengeluh, mengucapkan

selamat). Ilokusi ekspresif cenderung menyenangkan. Karena itu

secara intrinsik ilokusi ini sopan, kecuali tentunya ilokusi-ilokusi

ekspresif seperti ‘mengecam’ dan ‘menuduh’.

d. Komisif, yakni tindak ujaran yang mengikat penuturnya untuk

melaksanakan apa yang disebutkan di dalam ujarannya. Jadi,

erat kaitannya dengan suatu tindakan di masa depan (misalnya:

berjanji, bersumpah, mengancam, menawarkan). Jenis ilokusi

ini cenderung menyenangkan dan kurang bersifat kompetitif

karena tidak mengacu pada kepentingan penutur tetapi pada

kepentingan petutur.

e. Deklarasi (bukan deklaratif), yakni tindak ujaran yang dilakukan

si penutur dengan maksud menciptakan hal (status, keadaan, dan

sebagainya) yang baru. Menurut Leech, berhasilnya pelaksanaan

Page 116: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

116 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

ilokusi ini akan mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi

proposisi dengan realitas, misalnya memutuskan, membatalkan,

melarang, mengizinkan, mengundurkan diri, membaptis,

memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan,

membuang, mengangkat (pagawai). Oleh Searle sendiri, tindakan-

tindakan ini merupakan kategori tindak ujar yang sangat

khusus, karena tindakan-tindakan ini biasanya dilakukan oleh

seseorang yang dalam sebuah kerangka acuan kelembagaan

diberi wewenang untuk melakukannya. Contoh hakim yang

menjatuhkan hukuman kepada pelanggar undang-undang

atau pendeta yang membaptis bayi. Sebagai suatu tindakan

kelembagaan dan bukan sebagai tindakan pribadi, tindakan-

tindakan tersebut hampir tidak melibatkan faktor sopan santun.

5.1.3 Alat Penunjuk Tekanan Ilokusi

Menurut Yule, alat yang paling jelas untuk menunjukkan tekanan

ilokusi (alat penunjuk tekanan ilokusi atau APTI) ialah jenis ungkapan

yang di dalamnya terdapat suatu celah untuk sebuah kata kerja

yang secara eksplisit menyebutkan tindakan ilokusi yang sedang

ditunjukkan. Kata kerja yang demikian ini dapat dikatakan sebagai kata

kerja performatif (Vp).

Yule memberi contoh ujaran yang mengandung kata kerja

performatif sebagai berikut.

(1) Saya berjanji kepada Anda bahwa…. (a)

Saya memperingatkan Anda bahwa.… (b)

Pola yang ditunjukkan di dalam contoh (a) dan (b) di atas adalah:

(Saya [kata kerja performatif] Anda bahwa…). Dengan pola seperti itu,

jelaslah bahwa kata berjanji dan memperingatkan merupakan kata kerja

performatif (Vp).

Akan tetapi, sangat banyak kita temukan tuturan yang diucapkan oleh

penutur tidak menunjukkan secara eksplisit kata kerja performatifnya.

Page 117: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 117

Contoh tuturan Saya lapar! yang bermaksud untuk meminta makan,

tentunya tidak mengandung kata kerja performatif. Dalam bahasa lisan,

alat penunjuk tekanan ilokusi yang dapat digunakan jika kata kerja

performatifnya tidak ada adalah dengan mengidentifikasi urutan kata,

tekanan, dan intonasi. Atau alat lain misalnya kualitas suara yang rendah

untuk memperingatkan atau mengancam.

Berbeda dengan bahasa lisan, cara yang dapat digunakan untuk

mengidentifikasi penunjuk ilokusi di dalam bahasa tulis adalah dengan

menyertakan konteks ketika tuturan itu diucapkan. Konteks yang

dimaksud bisa berupa: kapan tuturan itu diucapkan, kepada siapa, di

mana, bagaimana status sosial penutur dan mitra tutur, dan bagaimana

situasi saat tuturan itu diucapkan (santai atau resmi/serius). Dengan

menyertakan atau mengikutsertakan konteks ini, kita dapat dengan

mudah mengidentifikasi tindak ilokusi apa yang dimaksud oleh penutur

melalui tuturannya.

Menurut Hymes (Suhardi dan Sembiring, 2005:51) ada beberapa

unsur yang terdapat dalam setiap komunikasi bahasa. Unsur-unsur itu

disajikan dalam bentuk singkatan SPEAKING yang secara sederhana

diuraikan sebagai berikut. Setting and Scene ‘latar’ yang merujuk pada

tempat dan waktu terjadinya percakapan, misalnya percakapan yang

terjadi di Gedung Pusat Administrasi Universitas Sanata Dharma pukul

14.00 WIB.

Participants ‘peserta’ yang merujuk pada peserta percakapan, yakni

penutur dan mitra tutur, misalnya, percakapan yang melibatkan Andi

dan Rendy, Rektor dan Wakil Rektor Bidang Akademik. Ends ‘akhir’

yang mengacu pada hasil percakapan (yang diperoleh secara sengaja

atau tidak) dan tujuan percakapan. Sebagai contoh seorang pengajar

bertujuan menerangkan kuliah penelitian pendidikan bahasa dan sastra

secara menarik, tetapi hasilnya dapat terjadi sebaliknya yakni mahasiswa

menjadi bosan karena mereka datang ke kelas hanya bertujuan untuk

bersantai-santai saja.

Page 118: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

118 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Act Sequence ‘amanat’ merujuk pada bentuk dan isi amanat dalam

bentuk kata-kata dan pokok percakapan. Sebagai contoh:

(2) Alex berdoa, “Tuhan sembuhkanlah ibu dari penyakit yang dideritanya.”

(3) Alex memohon kepada Tuhan, semoga ibunya lekas sembuh dari penyakitnya.

Doa, seperti yang tertera pada contoh (2) di atas merupakan contoh

bentuk amanat, sedangkan contoh (3) merupakan contoh isi amanat.

Key ‘kunci’ merujuk pada pelaksanaan percakapan, misalnya kuliah

teori sastra yang dapat diberikan dengan cara yang santai atau dengan

semangat yang menyala-nyala. Instrumentalities ‘instrumen’ merujuk

pada bentuk penyampaian; apakah lisan atau tulisan. Misalnya kuliah

evaluasi pembelajaran bahasa dan sastra disajikan secara lisan dalam

bahasa Indonesia dengan beberapa keterangan tertulis di papan tulis.

Norms ‘norma’ merujuk pada aturan-aturan perilaku peserta

percakapan. Misalnya, kuliah yang cenderung bersifat satu arah dari

pengajar (dosen) kepada mahasiswa; mahasiswa baru bertanya sesudah

diberi kesempatan untuk bertanya. Genres ‘jenis’ merujuk pada kategori,

misalnya sajak, teka-teki, kuliah, dan doa.

5.2 Pemakaian Tindak Ilokusi dalam Surat Kabar

Berdasarkan hasil analisis terhadap data-data yang ada, ditemukan

bahwa ada empat jenis tindak ilokusi yang muncul di dalam surat kabar.

Keempat jenis tindak ilokusi itu adalah: direktif, representatif, komisif,

dan ekspresif. Di bawah ini akan diuraikan keempat jenis tindak ilokusi

tersebut.

5.2.1 Tindak Ilokusi Direktif

Pada bagian landasan teori sudah dijelaskan bahwa tindak

ilokusi direktif adalah tindak ujaran yang dilakukan penuturnya

dengan maksud agar si pendengar (petutur) melakukan tindakan

yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya menyuruh, memohon,

Page 119: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 119

menuntut, menyarankan, menantang, memesan, memerintah, dan

memberi nasihat. Di dalam tindak ilokusi direktif ini, seorang penutur

yang mengeluarkan suatu tuturan sesungguhnya menghendaki orang

lain untuk melakukan sesuatu.

Oleh Pranowo (1996:92) dikatakan bahwa direktif itu mengacu pada

pemakaian bahasa dalam bentuk perintah halus. Leech memasukkan

jenis ilokusi ini ke dalam kategori kompetitif, karena itu mencakup juga

kategori-kategori ilokusi yang membutuhkan sopan santun negatif.

Namun, di pihak lain, terdapat juga beberapa ilokusi direktif—seperti

mengundang—yang secara intrinsik memang sopan.

Berdasarkan hasil analisis terhadap data yang ada, ditemukan

bahwa ada dua macam cara penutur ketika mengungkapkan tindak

ilokusi direktif, yakni, (a) melalui tuturan imperatif dan (b) tuturan

nonimperatif.

A. Tindak Ilokusi Direktif yang Berwujud Tuturan Imperatif

Dalam mengungkapkan maksud agar mitra tutur (lawan bicara)

melakukan sesuatu yang dikehendaki, penutur (pembicara) tidak

jarang mewujudkannya dalam bentuk tuturan imperatif. Secara

eksplisit, tuturan imperatif itu akan terwujud dalam kalimat perintah.

Dalam tindak ilokusi yang berbentuk tuturan imperatif ini, sebagian

besar makna tuturan (tindak lokusi) pembicara sama dengan apa yang

ia maksudkan (tindak ilokusi) melalui tuturannya itu.

Contoh:

(1) “Sudah saatnya Presiden SBY mengakhirinya dengan mengeluarkan keputusan. Jangan lagi ditunda-tunda!” (Republika, 24/4/2008, hal. 1)

Konteks tuturan:

Tuturan itu diucapkan Tifatul Sembiring, Presiden PKS, ketika

SK (surat keputusan) pemerintah mengenai Ahmadyah belum juga

dikeluarkan.

Page 120: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

120 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Jika kita mengkaji tuturan di atas dari segi tindak ujarannya

(khususnya tindak lokusi dan ilokusi) akan tampak sebagai berikut:

a. makna (tindak lokusi) dari ucapan atau tuturan pembicara

(Tifatul Sembiring) adalah perintah atau imperatif (berupa

larangan) yang ditandai dengan kata jangan;

b. maksud (tindak ilokusinya) juga perintah; dalam hal ini

memerintah SBY untuk segera mengeluarkan SKB mengenai

Ahmadyah;

c. kesimpulannya: pada tuturan di atas tindak lokusi sama

dengan tindak ilokusi; makna tuturan atau ucapan penutur

sama dengan apa yang dimaksudkan oleh penutur tersebut

melalui tuturannya karena dari segi tindak ilokusi tuturan di

atas memiliki maksud memerintah lawan bicara (mitra tutur)

untuk melakukan sesuatu, maka tuturan tersebut termasuk

dalam tindak ilokusi direktif.

Dari data yang ada juga ditemukan bahwa tuturan imperatif yang

dipakai atau digunakan pembicara (penutur) ketika mengungkapkan

maksudnya ternyata tidak hanya satu jenis melainkan terdiri dari

beberapa jenis. Di bawah ini akan dibicarakan jenis-jenis atau macam-

macam tuturan imperatif yang dipakai penutur atau pembicara ketika

mengungkapkan maksudnya (mewujudkan tindak ilokusi direktif).

a. Tuturan Imperatif Langsung (Biasa)

Penanda (ciri) utama kalimat imperatif langsung atau biasa

adalah penggunaan atau pemakaian bentuk kata kerja dasar.

Kalimat imperatif jenis ini dapat berkisar antara imperatif yang

sangat halus sampai dengan imperatif yang sangat kasar.

Contoh:

(2) Siapa yang menutup jalan, tangkap! Karena demokrasi tidak

menutup jalan. (Kedaulatan Rakyat, 25/5/2008, hal. 1)

Page 121: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 121

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Jusuf Kalla, Wapres RI saat

mahasiswa Unas menggelar unjuk rasa menolak kenaikan BBM

di depan kampus dengan menutup jalan-jalan.

Dari contoh di atas kita dapat melihat bahwa di dalam

mewujudkan tindak ilokusinya, penutur memakai bentuk

tuturan imperatif langsung, yang tampak dengan penggunaan

kata tangkap yang merupakan kata kerja dasar. Dengan hanya

menuturkan kata tangkap, penutur sesungguhnya bermaksud

memerintah aparat keamanan (polisi) untuk menangkap

(mengamankan) para mahasiswa yang berdemonstrasi dengan

menutup jalan-jalan. Karena bermaksud memerintah, tuturan ini

termasuk tuturan direktif yang berwujud imperatif langsung.

Di dalam tuturan (2) di atas penutur tidak secara langsung

menyebut subjek yang menjadi sasaran tuturan. Penutur hanya

mengatakan “Siapa yang menutup jalan” walaupun sesungguhnya

penutur mengetahui bahwa yang melakukan demonstrasi

dengan menutup jalan adalah mahasiswa Unas. Meskipun tidak

menyebutkan subjek tujuan tuturan secara langsung, tuturan di

atas oleh pendengar atau mitra tutur tetap dipersepsikan sebagai

tuturan yang kadar kesantunannya rendah (tidak santun). Hal

itu terutama disebabkan karena kata kerja dasar yang dipilih

penutur itu sangat kasar. Kata tangkap biasanya hanya ditujukan

kepada penjahat (misalnya perampok, pencuri, dan teroris)

dan binatang maka dengan menggunakan kata tangkap, penutur

seolah-olah menyamakan para demonstran dengan binatang

atau penjahat. Penggunaan kata kerja dasar pada tuturan (2) di

atas juga telah membuat tuturan itu nampak tegas dan kasar;

penutur tampak marah.

b. Tuturan Imperatif Larangan

Di dalam bahasa Indonesia, yang menjadi ciri khas (penanda

utama) tuturan imperatif larangan adalah pemakaian kata jangan.

Page 122: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

122 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Contoh:

(3) Jika Ahmadiyah tidak ingin diprotes MUI dan umat Islam, sebaiknya bentuk saja agama baru dan jangan menggunakan nama Islam. (Kedaulatan Rakyat, 21/4/ 2008, hal. 24)

Konteks tuturan:

Tuturan (3) di atas diucapkan Ramli Abdul Wahid, Dekan

Fakultas Ushuliddin IAIN Sumatera Utara yang juga merupakan

Pengurus MUI Sumut, ketika ajaran Ahmadyah sudah berkembang

di Indonesia dan saat itu pula ajaran itu sudah menuai protes

dari berbagai kalangan Muslim.

(4) “Jangan sampai kepentingan umum dikorbankan hanya untuk mencapai ambisi pribadi,” (Suara Merdeka, 5/5/2008, hal. C)

Konteks tuturan:

Tuturan (4) di atas diucapkan Kapolres Temanggung, Opik

Taufik Nugraha saat mempersiapkan pengamanan kampanye

cagub dan cawagub Jawa Tengah di Temanggung.

(5) “Jangan lagi kita serahkan kekuasaan kepada pemimpin yang hanya suka nyanyi.” (Jawa Pos, 21/5/2008, hal. 2)

Konteks tuturan:

Tuturan (5) di atas diucapkan Rizal Ramli, Mantan Menkeu,

saat pidato Orientasi Kebangsaan Hari Kebangkitan Nasional.

Pada tuturan (3), (4), dan (5) di atas kita dapat melihat

penggunaan imperatif larangan yang secara eksplisit ditandai

dengan penggunaan kata jangan. Penggunaan kata jangan pada

dasarnya berarti melarang seseorang melakukan sesuatu atau

memerintah (meminta) seseorang untuk tidak melakukan

sesuatu. Dengan melarang atau memerintah untuk tidak

melakukan sesuatu, penutur sesungguhnya tidak memberikan

Page 123: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 123

peluang atau kesempatan kepada mitra tutur untuk memilih

pilihan atau alternatif lain; dan karena tidak ada peluang untuk

memilih pilihan lain, tuturan seperti ini potensial mengakibatkan

penutur merasa kehilangan muka. Apabila suatu tuturan itu

potensial mengakibatkan mitra tutur atau pendengar merasa

kehilangan muka, tuturan itu akan dipersepsikan sebagai tuturan

yang kadar kesantunannya rendah (tidak santun) oleh mitra

tutur atau pendengar.

c. Tuturan Imperatif Permintaan

Ciri utama (penanda) tuturan imperatif yang mengandung

makna permintaan lazimnya adalah pemakaian kata tolong atau

frasa yang bermakna minta.

Contoh: (6) “Kami minta pemerintah menegakkan pemerintah bersih

KKN, termasuk melanjutkan pemberian sanksi kepada pejabat yang melakukan korupsi, baik saat menjabat maupun sesudahnya.” (Suara Merdeka, 12/5/2008, hal. 13)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan oleh Suryadharma Ali, Ketua

Umum DPP PPP saat rapat koordinasi nasional fraksi PPP di

Kemayoran.

(7) “Selaku ketua DPW PKB, saya minta Pak Achmady segera mundur dari jabatannya. Paling lambat, 30 Mei surat dari Mendagri harus selesai. Ini menjadi persyaratan mutlak.” (Jawa Pos, 24/5/2008, hal. 15)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan oleh Hasan Aminuddin, Ketua

DPW PKB Jatim kepada Achmady, Bupati Mojokerto yang ikut

mencalonkan diri dalam Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur

Jawa Timur.

Page 124: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

124 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

(8) “Kami meminta kepada Bapak Presiden untuk segera mengeluarkan keputusan yang menyatakan Ahmadyah adalah organisasi terlarang dan harus dibubarkan.” (Republika, 25/4/2008, hal.1)

Konteks tuturan:

Tuturan itu diucapkan K.H. Hafidz Usman, Ketua MUI Jawa

Barat ketika ajaran Ahmadyah berkembang di Indonesia.

Dalam tuturan (6), (7), dan (8) di atas terlihat adanya

permintaan penutur kepada mitra tutur (pemerintah, Achmady,

dan presiden) untuk melakukan sesuatu. Tidak hanya sekadar

meminta untuk melakukan sesuatu, sesungguhnya melalui

tuturan itu pula penutur ingin menyuruh atau memerintah

kepada mitra tutur untuk melakukan sesuatu. Namun, suruhan

atau perintah itu kemudian dikemas dengan nada permintaan

oleh penutur agar tuturannya itu pada akhirnya tidak

menyinggung mitra tutur atau tidak terkesan meremehkan

(merendahkan) mitra tutur. Dengan demikian pada akhirnya

tuturan itu tetap dipersepsikan santun.

d. Tuturan Imperatif Permohonan

Tuturan imperatif permohonan ini lazim ditandai dengan

penggunaan kata mohon.

Contoh:

(9) “Namun, karena tempatnya terbatas kami mohon pengertian dari teman-teman wartawan yang ingin mengambil gambar.” (Suara Merdeka, 9/5/2008)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan oleh Permaisuri Sultan HB X, GKR

Hemas pascaupacara Sirapan Nyantri, Tantingan puteri ketiganya

GRAJ Nurkamnari Dewi.

(10) “Untuk itu kami mohon, personel kelurahan yang diterjunkan untuk pendistribusian ini benar-benar

Page 125: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 125

baik, sehingga penyaluran lancar.” (Kedaulatan Rakyat, 26/3/2008)

Konteks tuturan:

Tuturan itu diucapkan Imam Nurwahid, Kepala Seksi

Pengawasan, saat penyaluran subsidi minyak goreng lewat RT/

RW.

Pada tuturan (9) dan (10) di atas, penutur bermaksud

supaya mitra tutur melakukan sesuatu. Namun, tuturan yang

diucapkannya itu dikemas dalam nada permohonan. Di

dalam kedua tuturan itu juga terlihat adanya suatu bentuk

ketidaklangsungan yang digunakan penutur. Ketidaklangsungan

itu terlihat dari tuturan kami mohon pengertian pada tuturan (9) yang

sesungguhnya bermaksud meminta (memerintah secara halus)

kepada para wartawan untuk tidak masuk ke tempat upacara

Sirapan Nyantri dan tuturan personel kelurahan yang diterjunkan

untuk pendistribusian ini benar-benar baik pada tuturan (10) yang

sesungguhnya bermaksud meminta kepada personel untuk

tidak melakukan kecurangan atau KKN. Ketidaklangsungan

serta penggunaan bentuk imperatif permohonan pada tuturan

(9) dan (10) di atas memungkinkan tuturan itu dipersepsikan

sebagai tuturan yang santun oleh pendengar atau mitra tutur.

e. Tuturan Imperatif Harapan

Penanda utama yang menunjukkan bahwa suatu tuturan

merupakan tuturan imperatif dengan makna harapan adalah

pamakaian kata harap dan semoga. Kedua kata itu sama-sama

bermakna harapan.

Contoh:

(11) Diharapkan pula para anggota DPR yang terlibat kasus yang kini ditangani KPK bisa melakukan pembelaan diri. (Kedaulatan Rakyat, 14/5/2008, hal. 24)

Page 126: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

126 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Konteks tuturannya:

Tuturan di atas diucapkan oleh Gayus Lambuan, BK DPR

ketika ada anggota DPR yang ditahan KPK terkait kasus korupsi.

(12) “Kami harap pemerintah arif dan tidak cepat-cepat menaikkan harga BBM.” (Suara Merdeka, 5/5/2008, hal. 15)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Tifatul Sembiring, Presiden PKS

saat pidato peringatan Milad ke-10 PKS di GBK, Senayan, Jakarta.

Pada tuturan (11) dan (12) kita dapat melihat penggunaan

bentuk tuturan imperatif harapan untuk mewujudkan tindak

ilokusi direktif. Pada tuturan itu, penutur secara eksplisit

menggunakan kata diharapkan dan harap demi memperhalus

tuturan yang sesungguhnya bermaksud menyuruh (memerintah

secara halus) mitra tutur untuk melakukan sesuatu. Pada tuturan

(11) penutur sesungguhnya memiliki maksud menyuruh

anggota DPR untuk melakukan pembelaan diri, dan pada tuturan

(12) penutur sesungguhnya bermaksud menyuruh pemerintah

untuk tidak menaikkan harga BBM. Suruhan itu kemudian

dikemas oleh penutur dalam tuturan berbentuk harapan dengan

tujuan tuturannya itu seolah-olah tidak meremehkan mitra tutur.

Karena apabila tidak meremehkan mitra tutur, tuturan itu akan

dipersepsikan sebagai tuturan yang santun.

f. Tuturan Imperatif Anjuran

Imperatif yang mengandung makna anjuran ini lazim

ditandai dengan kata hendaknya, sebaiknya, dan alangkah lebih baik.

Contoh:

(13) Saya minta alangkah lebih baiknya kalau hadir semua. (Kedaulatan Rakyat, 7/5/2008, hal. 1)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan oleh Eddy Rusdiyanto, Kepala

Page 127: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 127

Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Jaksel) saat setelah

melalui MLB perseteruan dua kubu PKB akan diteruskan di

pengadilan.

(14) Melihat acara Deal or No Deal sungguh sangat menarik. Namun, saya punya saran dan masukan untuk RCTI, hendaknya jangan hanya menampilkan orang-orang kaya dan selebriti, yang dari segi finansial mereka sudah cukup kaya dan makmur (Kompas, 21/5/2008, hal. D).

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Sugeng yang merasa tertarik

dengan acara “Deal or No Deal” di RCTI.

Tuturan (13) dan (14) di atas merupakan contoh penggunaan

bentuk tuturan imperatif anjuran untuk menyatakan maksud

memerintah atau menyuruh (tindak ilokusi direktif). Pemakaian

bentuk tuturan imperatif anjuran ini dimaksudkan agar tuturan

yang akan disampaikan tidak terkesan terlalu kasar dan tetap

memiliki maksud utama, yakni agar mitra tutur melakukan apa

yang menjadi isi tuturan penutur. Dalam tuturan berbentuk

imperatif anjuran ini, mitra tutur sesungguhnya masih diberi

kesempatan untuk memilih alternatif lain; jadi sifatnya

tidak memaksa. Karena sifatnya yang tidak memaksa dan

memungkinkan mitra tutur untuk memilih alternatif lain, tuturan

berbentuk imperatif anjuran ini secara umum dipersepsikan

sebagai tuturan yang santun oleh pendengar atau mitra tutur.

g. Tuturan Imperatif Persilaan

Ciri khas tuturan imperatif dengan makna persilaan adalah

pemakaian kata silakan. Seringkali digunakan pula bentuk

pasif dipersilakan untuk menyatakan makna yang sama yakni

mempersilakan walaupun bentuk yang kedua ini lebih sering

digunakan pada acara-acara formal.

Page 128: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

128 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Contoh:

(15) “Tapi, kalau semua mau disita, mulai bangku, kursi kerja

Pak Amin, ya silakan. Yang penting dibuatkan BAP-nya.”

(Republika, 28/4/2008, hal. 1)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Gayus, anggota Komisi III DPR

saat KPK akan menggeledah kantor Al Amin.

(16) “Karena itu, sebelum calon peserta Diklat melangkah

lebih jauh, sekiranya ada yang keberatan untuk bertindak

seperti tersebut, dengan tegas saya silakan untuk

mengundurkan diri dari CPNS sebelum nanti diangkat

menjadi PNS.” (Kedaulatan Rakyat, 26/3/2008)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Drs. H. Mulyono, Wakil Bupati

Kulon Progo saat acara diklat CPNS di kabupaten tersebut.

Pada contoh (15) dan (16), penutur mempersilakan mitra

tutur (yakni KPK dan peserta diklat CPNS Kulon Progo)

untuk melakukan sesuatu. Dalam kedua contoh di atas, makna

persilaan itu secara eksplisit dinyatakan oleh penutur dengan

penggunaan kata silakan. Di balik ungkapan persilaan itu, penutur

sesungguhnya bermaksud memerintah kepada petutur (mitra

tutur) untuk melakukan sesuatu. Namun, perintah tersebut

“dikemas” oleh penutur untuk disampaikan dengan model

persilaan. Hal ini bertujuan agar apa yang diungkapkan penutur

tersebut tidak tampak terlalu kasar dan mitra tutur tidak merasa

“kehilangan” muka. Di dalam tuturan persilaan ini, penutur

juga sesungguhnya tidak memberikan suatu bentuk paksaan

kepada mitra tutur; mitra tutur boleh melakukan (menuruti

apa yang diucapkan penutur) tetapi boleh juga tidak. Dengan

diberinya kesempatan untuk memilih (untuk melakukan atau

Page 129: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 129

tidak), sesungguhnya mitra tutur telah diberi kebebasan untuk

memilih alternatif lain yang memungkinkan dirinya tidak merasa

dirugikan. Oleh karena itu, tuturan dengan model persilaan ini

akan terasa lebih santun di kalangan mitra tutur atau pendengar.

B. Tindak Ilokusi Direktif yang Berwujud Tuturan Nonimperatif

Dalam cara atau model ini, seorang penutur yang menginginkan

mitra tutur atau lawan bicaranya melakukan sesuatu tidak memilih

tuturan atau ujaran berbentuk perintah (bentuk imperatif), tetapi dia

(penutur) akan memilih bentuk ujaran yang lain, misalnya: ujaran yang

berbentuk deklaratif (pernyataan) atau ujaran yang berbentuk interogatif

(pertanyaan). Salah satu pertimbangan penutur menggunakan bentuk

tuturan seperti itu adalah agar mitra tutur atau lawan bicara tidak

kehilangan muka; atau dengan kata lain penutur menggunakan bentuk

tuturan seperti itu supaya terdengar santun.

Dalam tindak ilokusi direktif yang berwujud tuturan non-

imperatif ini makna (tindak lokusi) dari apa yang diujarkan penutur

atau pembicara akan berbeda dengan maksud (tindak ilokusi) yang

diinginkan pembicara atau penutur melalui tuturannya itu. Contohnya:

(17) “Tak ada di negeri ini yang imun, termasuk lembaga-lembaga

pemerintah, kantor menteri, juga DPR.” (Republika, 26/4/2008,

hal. 1)

Konteks tuturan:

Tuturan itu disampaikan oleh Jusuf Kalla, selaku Wapres, ketika

KPK berencana menggeledah DPR.

Jika kita mencermati contoh di atas, makna (tindak ilokusi) dari

tuturan tersebut bukanlah sebuah perintah (tuturan imperatif, yang

berwujud kalimat perintah). Tuturan di atas merupakan tuturan

deklaratif yang berwujud kalimat pernyataan. Namun, dengan

sebuah tuturan yang berwujud deklaratif itu, penutur sesungguhnya

mendukung (menyuruh secara halus) KPK untuk menggeledah DPR.

Page 130: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

130 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Jadi, di sini makna (tindak lokusi) berbeda dengan maksud (tindak

ilokusi).

(18) Apakah pengelola bandara mengerti dengan apa yang saya rasakan? Tidakkah mereka mengerti bahwa beribadah merupakan hak asasi setiap manusia? (Republika, 21/5/2008, hal. 6)

Konteks tuturan:

Tuturan itu disampaikan Putri Nurhadiyanti, salah seorang

penumpang di Bandara Soekarno-Hatta yang merasa prihatin dengan

kondisi fisik musala di bandara tersebut yang menurutnya musala

tersebut dari luar tampak seperti sebuah toilet.

Tuturan yang diungkapkan Nurhadiyanti di atas merupakan

tuturan atau ujaran yang berwujud kalimat tanya (interogatif). Namun,

jika dikaji dari sudut tindak ilokusinya, tuturan tersebut mengandung

tindak ilokusi direktif. Lewat tuturannya tersebut sesungguhnya

penutur menghendaki atau menginginkan (memerintah secara halus)

para pengelola bandara untuk memperbaiki musala yang ada di bandara

tersebut.

C. Tindak Ilokusi Representatif

Tindak ilokusi representatif (kadang-kadang disebut asertif) adalah

tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa

yang dikatakannya, misalnya menyatakan, melaporkan, menunjukkan,

menyebutkan, mengusulkan, membual, mengeluh, dan mengemukakan

pendapat. Dari segi sopan santun ilokusi-ilokusi ini cenderung netral,

yakni mereka termasuk kategori bekerja sama seperti yang dimaksudkan

Leech. Namun, ada beberapa perkecualian, misalnya membual biasanya

dianggap tidak sopan. Menurut Pranowo (1996:92), fungsi representatif

bahasa mengacu pada pemakaian bahasa untuk menyatakan kebenaran.

Di bawah ini akan disajikan contoh-contoh tindak ilokusi representatif.

(19) Opsi penonaktifan Kemas dan Salim sudah dirapatkan dengan para jaksa agung muda. Hasilnya, kejakgung belum

Page 131: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 131

akan mengambil keputusan sebelum Kemas dan Salim diperiksa tim jaksa pengawas. (Republika, 6/3/2008, hal. 1)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Hendarman Supandji ketika Kemas dan

Salim diduga terlibat dalam kasus suap 660 ribu dolar AS atau sekitar

Rp 6,1 Miliar.

Dalam contoh (19), Hendarman Supandji menyatakan atau

melaporkan sesuatu yang sudah dilakukan oleh para jaksa agung

muda berkaitan dengan kasus yang menimpa Kemas dan Salim.

Dalam tuturannya itu, Supandji juga melaporkan hasilnya. Melalui

pernyataannya itu, penutur (Hendarman Supandji) sesungguhnya telah

bermaksud menyatakan kebenaran karena ia melaporkan sesuatu yang

sudah dilakukan atau telah terjadi. Dalam tuturan seperti inilah tindak

ilokusi representatif terwujud. Setiap tuturan yang diucapkan penutur

terikat dengan kebenaran.

(20) Reformasi yang berjalan selama 10 tahun ini salah arah. Tidak hanya itu, figur kepemimpinan yang ada selama ini tidak menjadi figur pemimpin yang mampu menggerakkan dan menggalang potensi bangsa. (Kompas, 14/5/2008, hal. 2)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Din Syamsudin saat menilai segala

sesuatu yang terjadi di Indonesia ketika era reformasi telah berjalan 10

tahun.

Dalam tuturan (20) terlihat bagaimana penutur mengemukakan

pendapatnya berkaitan dengan pelaksanaan dan jalannya reformasi

selama 10 tahun. Selain mengemukakan pendapat, penutur juga

mengeluh dengan keadaan pemimpin negara. Mengemukakan pendapat

dan mengeluh merupakan bagian dari tuturan yang menyatakan

tindak ilokusi representatif. Dalam tuturan itu, penutur terikat dengan

kebenaran atas apa yang diungkapkannya.

Page 132: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

132 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

D. Tindak Ilokusi Komisif

Di atas sudah dijelaskan bahwa tindak ilokusi komisif adalah

tindak ujaran yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa

yang disebutkan di dalam ujarannya. Jadi, erat kaitannya dengan suatu

tindakan di masa depan, misalnya berjanji, bersumpah, mengancam, dan

menawarkan. Jenis ilokusi ini cenderung menyenangkan dan kurang

bersifat kompetitif karena tidak mengacu pada kepentingan penutur

tetapi pada kepentingan petutur. Oleh Pranowo (1996), fungsi komisif

merujuk pada pemakaian bahasa sebagai janji atau penolakan untuk

berbuat sesuatu.

Contoh:

(21) “Bagi yang terlibat, saya tak akan beri ampun. Mau atasan, bawahan, ke samping, asal ada alat bukti.” (Republika, 4/3/2008, hal. 1)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Hendarman Supandji sehubungan

dengan kasus ditangkapnya Ketua Tim Jaksa BLBI II, Urip Tri Gunawan

oleh Penyidik KPK ketika menerima uang 660 ribu dolar AS atau sekitar

Rp 6,1 Miliar.

Dalam tuturan (21) terlihat suatu bentuk ancaman yang berasal

dari Hendarman Supandji kepada semua pihak yang ikut terlibat

dalam kasus yang menimpa Ketua Tim Jaksa BLBI II, Urip Tri Gunawan.

Di sana terlihat pula janji Hendarman Supandji untuk tidak akan

memberi ampun kepada siapa pun yang juga ikut terlibat dalam kasus

tersebut. Ancaman dan janji penutur itu secara eksplisit tampak dalam

penggunaan kata tak akan.

(22) Sebetulnya, menang di 2-3 propinsi tidak jaminan menang Pemilu. Gembira boleh, tapi Golkar akan merebut di legislatif

dan Presiden. (Kedaulatan Rakyat, 20/4/2008, hal. 24)

Konteks tuturan:

Tuturan tersebut diucapkan Priyo Budi Santoso, Ketua FPG DPR

Page 133: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 133

ketika Golkar unggul dalam pemilihan kepala daerah di beberapa

propinsi.

Tuturan (22) juga merupakan contoh perwujudan tindak ilokusi

komisif. Dalam tuturan itu terlihat suatu bentuk janji dari penutur, yakni

Priyo Budi Santoso, yang mewakili Partai Golkar. Santoso yang mewakili

Golkar berjanji untuk meraih kemenangan dalam pemilu legislatif dan

presiden. Janji itu secara eksplisit dinyatakan dengan penggunaan kata

akan.

E. Tindak Ilokusi Ekspresif

Tindak ilokusi ekspresif merupakan tindak ujaran yang dilakukan

dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang

hal yang disebutkan di dalam ujaran itu. Dalam bahasa Leech, fungsi

ilokusi ini ialah mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis

penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya memuji,

mengucapkan terima kasih, mengkritik, mengeluh, dan mengucapkan

selamat. Ilokusi ekspresif cenderung menyenangkan. Karena itu secara

intrinsik ilokusi ini sopan, kecuali tentunya ilokusi-ilokusi ekspresif

seperti ‘mengecam’ dan ‘menuduh’.

Berdasarkan data yang dianalisis ada tiga cara penutur ketika ingin

mewujudkan tindak ilokusi ekspresif ini. Ketiga macam cara itu adalah

dengan (1) menggunakan bentuk tuturan deklaratif (pernyataan), (2)

menggunakan tuturan interogatif (pertanyaan), dan (3) menggunakan

bentuk tuturan deklaratif dan interogatif secara bersamaan.

a. Tindak Ilokusi Ekspresif yang Berbentuk Tuturan Deklaratif

Tuturan deklaratif secara eksplisit ditunjukkan dengan

pemakaian kalimat pernyataan. Kalimat pernyataan dalam

bahasa Indonesia mengandung maksud memberitakan sesuatu

kepada mitra tutur. Sesuatu yang diberitakan kepada mitra tutur

itu lazimnya merupakan pengungkapan suatu peristiwa atau

kejadian.

Page 134: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

134 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Contoh:

(23) Belum lagi sikap tidak simpatik karyawan Mandiri yang tidak menghargai nasabah dengan mendiamkan masalah ini meskipun sudah menerima laporan. (Kompas, 12/5/2008, hal.7)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan oleh Moh. Budhi Wiyono, salah

seorang nasabah Bank Mandiri yang merasa dirugikan akibat

rusaknya mesin EDC Bank Mandiri.

Pada tuturan (23) penutur bermaksud memberitahu atau

menyatakan kepada mitra tutur mengenai perasaan yang

dialaminya ketika mendapat pelayanan tidak optimal dari Bank

Mandiri yakni ketika melaporkan masalah yang dihadapinya

sehubungan dengan rusaknya mesin EDC Bank Mandiri,

namun pihak Bank Mandiri tetap mendiamkan masalah itu.

Bentuk tuturan yang dipilih penutur dalam mengungkapkan

perasaannya itu adalah tuturan deklaratif. Ungkapan perasaan

penutur itu disampaikan secara langsung yang tampak dalam

penggunaan kata kecewa. Selain itu, dalam tuturan itu penutur

juga secara langsung menyebut subjek yang menjadi tujuan

tuturan yakni Bank Mandiri. Dengan maksud mengungkapkan

atau mengutarakan perasaan kecewa yang dialami penutur

tersebut, tuturan ini tergolong tuturan yang mengandung tindak

ilokusi ekspresif.

(24) Dikit-dikit Partai Golkar disalahin. Nanti kalau ada orang nyolong bebek, Golkar lagi disalahin. (Kedaulatan Rakyat, 1/4/2008, hal.1)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Agung Laksono ketika berkembang

isu tentang adanya keterlibatan Golkar dalam gonjang-ganjing

PKB.

Page 135: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 135

Pada tuturan (24) di atas penutur sesungguhnya mau

mengungkapkan apa yang sebenarnya dirasakannya yakni tidak

senang atau marah ketika berkembang isu bahwa Golkar terlibat

dalam gonjang-ganjing PKB. Namun, apa yang dirasakan penutur

itu tidak secara langsung diungkapkan seperti pada tuturan (23)

di atas. Tuturan (23) dan (24) sama-sama menggunakan bentuk

tuturan deklaratif dalam mengungkapkan apa yang dirasakannya,

namun tuturan (23) sifatnya lebih langsung daripada tuturan (24)

dalam hal penyampaian perasaan (ekspresi). Pada tuturan (24)

penutur mengeskpresikan kemarahan atau rasa tidak senangnya

dengan mengungkapkan hal lain yang menyimpang dari apa

yang dibicarakan yang dirasa lebih kasar atau berlebihan yakni

tuturan: nanti kalau ada orang nyolong bebek, Golkar lagi disalahin.

b. Tindak Ilokusi Ekspresif yang Berbentuk Tuturan Interogatif

Secara eksplisit sebuah tuturan interogatif akan tercermin

lewat penggunaan kalimat tanya. Dengan menggunakan kalimat

tanya (tuturan interogatif) tersebut, penutur sesungguhnya

mengungkapkan ekspresinya tentang sesuatu, misalnya marah,

kecewa, dan senang.

Contoh:(25) Apakah segala sesuatu perlu syarat sarjana? Benar nih yakin

perlu syarat sarjana? (Kedaulatan Rakyat, 13/ 4/2008, hal. 24)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Megawati ketika berkembang

wacana persyaratan capres minimal sarjana.

(26) Bagaimana ini Telkomsel, mana yang benar? mengapa iklan Telkomsel Flash tidak lengkap bila tidak aktivasi hitungannya Rp 12 per kb? (Kompas, 24/5/2008, hal.7)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Leonard, salah satu pengguna

Page 136: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

136 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

kartu Telkomsel yang merasa dirugikan dengan iklan Telkomsel

Flash yang tidak lengkap.

Pada tuturan (25) dan (26) tampak cara penutur

mengungkapkan apa yang dirasakannya. Ungkapan perasaan

penutur itu tertuang dalam tuturan yang berbentuk pertanyaan.

Pertanyaan yang dilontarkan penutur itu bukan semata-

mata tuturan yang harus dijawab, tetapi lebih dari itu melalui

tuturannya itu penutur sesungguhnya mau mengutarakan sikap

atau perasaannya seperti tidak senang atau kecewa. Dalam

kedua contoh di atas, makna (tindak lokusi) tuturan berbeda

dengan maksud (tindak ilokusinya). Makna dari tuturan (25)

dan (26) di atas adalah bertanya, sedangkan maksudnya adalah

memberitahu atau menyatakan kepada mitra tutur atau lawan

bicara mengenai perasaan yang dialami penutur.

c. Tindak Ilokusi Ekspresif Gabungan antara Tuturan Deklaratif dan

Interogatif

Dalam tuturan jenis ini, penutur menggunakan dua bentuk

tuturan sekaligus ketika hendak mewujudkan tindak ilokusi

ekspresif, yakni tuturan berbentuk pernyataan dan tuturan

berbentuk pertanyaan.

Contoh:

(27) Berapa lama lagi bisa menerima uang saya kembali? Sebulan,

setahun, atau tidak kembali? Apakah ini bukti pelayanan

Mandiri? Saya sangat kecewa. (Kompas, 23/5/2008, hal.7)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Arief Gunawan, seorang nasabah

Bank Mandiri yang merasa dirugikan dengan kerusakan kartu

debit Mandiri.

Pada tuturan (27) penutur sesungguhnya mengungkapkan

perasaan yang dialaminya akibat kerusakan kartu debit Mandiri.

Page 137: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 137

Ungkapan perasaan penutur itu terwujud dalam dua bentuk

tuturan, yakni tuturan interogatif dan deklaratif. Pertanyaan-

pertanyaan yang dilontarkan penutur di dalam tuturannya

bukanlah pertanyaan yang harus dijawab tetapi melalui

pertanyaan itu penutur secara tidak langsung menyatakan atau

memberitahu kepada mitra tutur mengenai perasaannya. Merasa

tidak puas atau tidak cukup dengan apa yang dinyatakan melalui

pertanyaan-pertanyaan itu, penutur kemudian secara langsung

menyatakan perasaannya dengan tuturan deklaratif yang

tercermin dalam penggunaan kata kecewa.

C. Pembahasan Penggunaan Tindak Ilokusi dalam Surat Kabar

Munculnya disiplin kajian pragmatik dalam ilmu bahasa tentu tidak

dapat dipisahkan dari fungsi utama bahasa sebagai alat komunikasi.

Dalam suatu kegiatan komunikasilah sesungguhnya ilmu pragmatik

dapat diterapkan karena pragmatik adalah suatu ilmu yang mengkaji

pemakaian bahasa dengan mempertimbangkan konteks pemakaiannya.

Konteks dapat dengan mudah diketahui apabila bahasa memang

ditempatkan dalam situasinya yang natural (alami), yakni dalam

kegiatan berkomunikasi sehari-hari.

Ketika bahasa ditempatkan pada fungsinya yang utama sebagai

alat komunikasi, tidak dapat diingkari bahwa setiap tuturan atau

ucapan yang dikeluarkan manusia saat berkomunikasi mengandung

maksud tertentu. Hal itu pulalah yang menjadi salah satu pijakan utama

dilakukannya penelitian ini. Surat kabar dijadikan sebagai sumber data

utama karena surat kabar juga menjadikan bahasa sebagai alat utama

dalam menyebarluaskan informasi, dan di sini pun fungsi bahasa

sebagai alat komunikasi sungguh-sungguh terealisasi.

Hasil dari kajian yang dilakukan terhadap tuturan yang ada di dalam

surat kabar itu ditemukan ada empat golongan besar maksud yang ingin

diwujudkan penutur melalui tuturannya, yakni tuturan yang bermaksud

memerintah atau menyuruh orang lain melakukan sesuatu (disebut

Page 138: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

138 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

dengan direktif), tuturan yang menyatakan kebenaran (representatif),

tuturan yang menyatakan janji (komisif), dan tuturan yang menyatakan

sikap atau ekspresi (ekspresif). Dalam mewujudkan suatu tindak tutur,

penutur terkadang menggunakan beragam bentuk tuturan. Sebaliknya,

suatu bentuk tuturan terkadang mengandung lebih dari satu maksud.

Kemunculan empat tindak tutur tersebut tentu memiliki alasan

atau latar belakangnya masing-masing. Alasan atau latar belakang yang

dimaksud bersumber dari penutur. Dalam hal ini yang ingin diketahui

adalah apa yang menjadi dasar atau alasan penutur menuturkan suatu

tuturan.

Tindak ilokusi direktif muncul dengan latar belakang atau

alasan bahwa penutur memiliki maksud agar mitra tutur melakukan

sesuatu sesuai dengan apa yang menjadi isi tuturannya. Dalam upaya

mewujudkan maksudnya itu, penutur menggunakan tiga bentuk

tuturan, yakni tuturan imperatif, tuturan deklaratif, dan tuturan

interogatif.

Contoh:

(28) Jika Ahmadiyah tidak ingin diprotes MUI dan umat Islam, sebaiknya bentuk saja agama baru dan jangan menggunakan nama Islam. (Kedaulatan Rakyat, 21/4/2008, hal. 24)

Konteks tuturan:

Tuturan (28) di atas diucapkan Ramli Abdul Wahid, Dekan Fakultas

Ushuliddin IAIN Sumatera Utara yang juga merupakan Pengurus MUI

Sumut, ketika ajaran Ahmadyah sudah berkembang di Indonesia dan

saat itu pula ajaran itu sudah menuai protes dari berbagai kalangan

muslim.

(29) “Jampidsus harus mengundurkan diri. Ini bentuk pertanggungjawaban karena tidak dapat melakukan tugasnya.” (Republika, 5/3/2008, hal. 2)

Konteks tuturan:

Tuturan (29) diucapkan Emerson Yuntho menanggapi berbagai

Page 139: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 139

kejadian di Indonesia, yakni institusi kejaksaan banyak yang terlibat

dalam kasus suap.

(30) Apakah pengelola bandara mengerti dengan apa yang saya rasakan? Tidakkah mereka mengerti bahwa beribadah merupakan hak asasi setiap manusia? (Republika, 21/5/2008, hal. 6)

Konteks tuturan:

Tuturan (30) diucapkan Putri Nurhadiyanti (dalam rubrik “Surat

Pembaca”) ketika melihat kondisi musala di Bandara Soekarno-Hatta

yang sangat memprihatinkan; tampak dari luar seperti sebuah toilet.

Dalam contoh di atas kita dapat melihat tiga contoh bentuk

tuturan yang digunakan penutur dalam upaya mewujudkan tindak

ilokusi direktif. Tuturan (28) merupakan tuturan berbentuk imperatif

(larangan), tuturan (29) berbentuk deklaratif (pernyataan), dan

tuturan (30) berbentuk interogatif (pertanyaan). Apabila dikaji secara

mendalam ketiga bentuk tuturan itu sesungguhnya ingin mewujudkan

tindak ilokusi yang sama atau dengan kata lain memiliki maksud

yang sama. Dalam ketiga tuturan itu, penutur sesungguhnya memiliki

maksud agar mitra tuturnya melakukan sesuatu. Dalam tuturan (28)

penutur memiliki maksud agar mitra tuturnya (yakni Ahmadyah) tidak

menggunakan nama Islam dalam segala aktivitasnya; dan sifat tuturan

(28) ini adalah melarang. Dalam tuturan (29) penutur memiliki maksud

agar mitra tuturnya (yakni Jampidsus) mengundurkan diri dari tugas

karena dianggap gagal, dan dalam tuturan (30) penutur memiliki

maksud agar mitra tuturnya—yakni pihak pengelola bandara—

memperbaiki musala yang ada di bandara tersebut.

Hal yang menarik dari ketiga contoh di atas adalah bahwa

tiga tuturan yang berbeda itu dapat digunakan penutur untuk hanya

mewujudkan satu maksud (tindak ilokusi) yang dalam hal ini tindak

ilokusi direktif. Apabila dilihat dari segi derajat ”ketembuspandangan”

atau kelangsungan penyampaian maksud, ketiga bentuk tuturan di atas

Page 140: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

140 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

tidak sama. Tuturan (28) memiliki derajat ”ketembuspandangan” atau

kelangsungan yang paling tinggi, kemudian disusul tuturan (29) dan

(30).

Derajat ”ketembuspandangan” atau kelangsungan suatu tuturan

erat kaitannya dengan tingkat kesantunan tuturan tersebut. Semakin

tinggi derajat ”ketembuspandangan” atau kelangsungan suatu tuturan

maka semakin tidak santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin rendah

derajat ”ketembuspandangan” atau kelangsungan suatu tuturan maka

semakin santunlah tuturan itu. Secara sederhana dapatlah dikatakan

bahwa derajat ketembuspandangan atau kelangsungan tuturan

berbanding terbalik dengan tingkat kesantunan tuturan itu.

Di atas sudah disinggung bahwa jika ketiga tuturan di atas diurutkan

dari yang memiliki tingkat ”ketembuspandangan” atau kelangsungan

paling tinggi ke yang paling rendah maka akan kita temukan urutan

sebagai berikut: tuturan (28), tuturan (29), dan tuturan (30). Tuturan (28)

dianggap sebagai tuturan yang memiliki derajat ”ketembuspandangan”

yang paling tinggi karena melalui tuturan itu penutur secara eksplisit

atau langsung mengutarakan apa yang menjadi maksudnya melalui

tuturan itu. Tuturan (29) hampir sama dengan tuturan (28). Pada

tuturan (29), penutur juga secara langsung menyampaikan maksudnya.

Perbedaannya adalah tuturan (28) menggunakan bentuk perintah

yang berwujud larangan, sedangkan tuturan (29) menggunakan

bentuk pernyataan. Berbeda dengan tuturan (28) dan (29), tuturan

(30) merupakan tuturan yang dari segi derajat ”ketembuspandangan”

tergolong sangat rendah. Digolongkan sangat rendah karena dalam

tuturannya itu penutur tidak secara langsung (implisit) menyampaikan

apa yang menjadi maksudnya. Dalam tuturan (30) ini penutur masih

menyembunyikan sesuatu; sesungguhnya dia (penutur) ingin agar

mitra tuturnya melakukan sesuatu, namun dalam tuturannya ia tidak

mengungkapkan hal itu.

Page 141: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 141

BAB 6 KESANTUNAN BERBAHASA

6.1 Dasar Teori

Pada bagian awal sudah disinggung bahwa salah satu hal yang

penting untuk diperhatikan ketika berkomunikasi adalah menjaga

sopan santun, khususnya sopan santun berbahasa. Di dalam sopan

santun berbahasa itulah sesungguhnya sikap hormat penutur kepada

mitra tutur akan tercermin. Agar pemahaman kita semakin jelas tentang

wujud bahasa yang santun dan wujud bahasa yang tidak santun, berikut

akan disajikan berbagai teori atau pandangan dari beberapa ahli

mengenai kesantunan berbahasa.

Gunarwan (2005:8-9) mengutip pendapat beberapa ahli mengenai

kesantunan. Pertama, pendapat Leech. Menurutnya prinsip kesantunan

dapat tersirat dengan mematuhi nasihat minimkan pengungkapan pendapat

yang tidak santun. Kedua, menurut Cruse. Ia merumuskan kembali

anggapan Leech tersebut menjadi pilihlah ungkapan yang paling tidak

meremehkan status penutur. Artinya, demi kesantunan dalam bertutur

kita perlu memilih ungkapan yang paling kecil kemungkinannya

menyebabkan penutur kehilangan muka.

Cruse menambahkan uraiannya dengan merinci beberapa hal yang

harus dihindari demi kesantunan, yakni:

a. memperlakukan penutur sebagai orang yang tunduk kepada

penutur, yakni dengan menghendaki agar petutur melakukan

sesuatu yang menyebabkan ia mengeluarkan “biaya” (biaya sosial,

fisik, atau psikologis) atau menyebabkan kebebasannya menjadi

terbatas;

Page 142: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

142 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

b. mengatakan hal-hal yang jelek mengenai diri petutur atau orang

atau barang yang ada kaitannya dengan petutur;

c. mengungkapkan rasa senang atas kemalangan petutur;

d. menyatakan ketidaksetujuan dengan petutur sehingga petutur

merasa namanya jatuh;

e. memuji diri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri

penutur.

Menurut Kushartanti, kesadaran akan bentuk sopan santun dalam

berbahasa akan ditunjukkan lewat beberapa hal, yakni:

(1) Penggunaan bentuk pronomina tertentu dalam percakapan.

Sebagai contoh di dalam bahasa Indonesia kita jumpai kata

anda dan beliau untuk menghormati orang yang diajak bicara.

(2) Pengungkapan sesuatu hal dengan cara yang tidak langsung.

Dalam hal ini memang dituntut adanya kemampuan seseorang

(dalam hal ini mitra tutur/lawan bicara) untuk menangkap

makna tersirat dari apa yang diucapkan pembicara.

Contoh:

A: Hari ini ada acara?

B: Kenapa?

A: Kita makan-makan, yuk!

B: Wah, terima kasih, deh.

Saya sedang banyak tugas!

Di dalam penggalan percakapan di atas, penutur B tidak

secara langsung menolak ajakan A untuk makan. Penutur B

sama sekali tidak mengatakan kata tidak. Akan tetapi, penutur

A akan mengerti bahwa apa yang diucapkan penutur B

adalah sebuah penolakan. Kata terima kasih yang diungkapkan

penutur B bukanlah suatu bentuk penghargaan terhadap suatu

pemberian, tetapi sebagai bentuk penolakan halus. Hal ini juga

diperkuat oleh kalimat yang diujarkan penutur B selanjutnya,

Page 143: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 143

yakni Saya sedang banyak tugas!.

(3) Penggunaan bentuk praurutan (pre-sequence). Praurutan atau

pre-sequence ini juga dikenal dengan sebutan ‘pembuka’ dalam

suatu percakapan. Menurut Kushartanti, suatu percakapan

akan lebih berterima jika ada semacam pembuka di dalamnya.

Perhatikan contoh di bawah ini!

A: Sebelumnya, saya mohon maaf.

B: Ada apa, Pak?

C: Kali ini saya tidak dapat memberi apa-apa.

Permohonan maaf dari penutur A pada contoh di atas

merupakan contoh sebuah pengantar untuk dapat masuk pada

penyampaian maksud yang sebenarnya. Penggunaan bentuk

praurutan ini memang dapat digolongkan juga sebagai bagian

dari ketidaklangsungan, seperti pada poin (2) di atas.

Dalam tulisannya yang berjudul “Teori Sopan Santun

Berbahasa”, Baryadi (2005) mengutip pendapat lima ahli

mengenai kesantunan berbahasa. Kelima ahli tersebut adalah

Leech, Brown dan Levinson, Lakoff, Fraser, dan Poedjosoedarmo.

Berikut pandangan dari para ahli tersebut mengenai kesantunan

berbahasa.

6.1.1 Teori Sopan Santun Berbahasa Menurut Leech (1983)

Secara garis besar teori sopan santun berbahasa menurut Leech

mencakup tiga hal, yaitu mengenai jenis tindak tutur yang mengandung

sopan santun, skala kesopanan tuturan, dan prinsip kesopanan.

A. Jenis Tindak Tutur yang Mengandung Sopan Santun

Di atas sudah dikemukakan pembagian jenis tindak tutur

menurut Leech. Leech pada dasarnya membagi tindak tutur

menurut fungsinya. Maka muncullah tindak tutur kompetitif,

tindak tutur konvival, tindak tutur kolaboratif, dan tindak tutur

Page 144: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

144 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

konfliktif. Dari keempat jenis tindak tutur tersebut, menurut

Leech, tindak tutur yang melibatkan sopan santun adalah tindak

tutur kompetitif dan tindak tutur konvival. Pada tindak tutur

kompetitif, sopan santun mempunyai sifat negatif dan tujuannya

adalah mengurangi ketidakharmonisan yang tersirat dalam

kompetisi antara apa yang dicapai oleh penutur dengan apa

yang dituntut oleh sopan santun. Pada tindak tutur yang konvival,

sopan santun lebih positif bentuknya dan bertujuan mencari

kesempatan untuk beramah tamah. Tindak tutur kolaboratif tidak

melibatkan sopan santun karena tindak tutur tersebut bertujuan

untuk menyampaikan sesuatu secara objektif. Tindak tutur

konfliktif sama sekali tidak melibatkan sopan santun.

B. Skala Kesopanan

Ada lima skala kesopanan tuturan menurut Leech. Pertama,

skala untung-rugi. Skala ini berkenaan dengan besar kecilnya

kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak

tutur pada penutur dan mitra tutur. Apabila sebuah tuturan

semakin merugikan penutur dan semakin menguntungkan mitra

tutur, tuturan tersebut semakin tinggi derajat kesopanannya.

Sebaliknya, apabila tuturan semakin menguntungkan penutur dan

semakin merugikan mitra tutur, tuturan tersebut semakin rendah

derajat kesopanannya. Kedua, skala pilihan. Apabila sebuah tuturan

semakin banyak memberikan pilihan kepada mitra tutur, tuturan

itu memiliki derajat kesopanan yang tinggi. Sebaliknya, apabila

sebuah tuturan semakin kecil memberikan pilihan kepada mitra

tutur, tuturan tersebut memiliki derajat kesopanan yang rendah.

Ketiga, skala ketaklangsungan. Apabila sebuah tuturan semakin tak

langsung mengungkapkan maksud penutur kepada mitra tutur,

semakin tinggilah derajat kesopanan tuturan itu. Apabila sebuah

tuturan semakin langsung mengungkapkan maksud penutur

kepada mitra tutur, semakin rendahlah derajat kesopanan tuturan

itu. Keempat, skala keotoritasan. Semakin rendah otoritas penutur

Page 145: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 145

terhadap mitra tutur, semakin tinggilah derajat kesopanan

tuturan itu. Sebaliknya semakin tinggi otoritas penutur terhadap

mitra tutur, semakin rendahlah derajat kesopanan tuturannya.

Kelima, skala jarak sosial. Semakin jauh jarak sosial antara penutur

dengan mitra tutur, semakin tinggilah derajat kesopanan tuturan

itu. Sebaliknya, semakin dekat jarak sosial antara penutur dengan

mitra tutur, semakin rendahlah derajat kesopanan tuturan

tersebut.

C. Prinsip Kesopanan

Leech menjabarkan prinsip kesopanan tuturan ke dalam

enam maksim; setiap maksim mengandung dua kaidah

yang berpasangan. Pertama, maksim kearifan (disebut juga

sebagai maksim kebijaksanaan, maksim timbang rasa, maksim

kepedulian) yang menyatakan: (1) “Perkecil kerugian pada orang

lain” dan (2) “Tingkatkan keuntungan pada orang lain”. Kedua,

maksim kedermawanan (disebut juga maksim kemurahan hati,

maksim kebaikan hati, maksim penerimaan) yang menyatakan:

(1) “Perkecil keuntungan pada diri sendiri” dan (2) “Tingkatkan

keuntungan pada orang lain”. Ketiga, maksim pujian (disebut juga

maksim penghargaan, maksim kemurahan) yang mengungkapkan:

(1) “Perkecil kurangnya penghargaan pada orang lain” dan (2)

“Tingkatkan penghargaan pada orang lain”. Keempat, maksim

kerendahan hati (disebut juga maksim kesederhanaan, maksim

kesahajaan) yang menyatakan: (1) “Perkecil pujian pada diri

sendiri” dan (2) “Perbesar pujian pada orang lain”. Kelima,

maksim kesepakatan (disebut juga maksim pemufakatan,

maksim kesetujuan, maksim kecocokan) yang menyatakan: (1)

“Usahakan ketaksepakatan antara penutur dan mitra tutur terjadi

sekecil mungkin” dan (2) “Usahakan kesepakatan antara penutur

dan mitra tutur terjadi sebanyak mungkin”. Keenam, maksim

simpati (disebut juga maksim kesimpatisan) yang menyatakan:

(1) “Kurangilah rasa antipati antara penutur dengan mitra tutur

Page 146: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

146 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

hingga sekecil mungkin” dan (2) “Tingkatkan rasa simpati

sebanyak-banyaknya antara penutur dengan mitra tutur”.

6.1.2 Teori Sopan Santun Menurut Brown dan Levinson (1987)

Teori sopan santun menurut Brown dan Levinson ini meliputi

konsep sopan santun dan skala kesopanan.

A. Konsep Sopan Santun

Menurut Brown dan Levinson, sopan santun berbahasa

berkaitan dengan apa yang disebut dengan “penyelamatan

muka” (face saving). Yang dimaksud dengan muka adalah citra diri

seseorang yang harus diperhatikan partisipan komunikasi dalam

berkomunikasi secara verbal. Tindak tutur merupakan tindak

ancaman muka atau face threatening act (FTA). Untuk mengurangi

kerasnya ancaman muka itu, diperlukanlah sopan santun dalam

berbahasa. Muka yang dimakdud ada dua macam, yaitu muka

positif dan muka negatif. Muka positif adalah keinginan seseorang

untuk menentukan sendiri (self determining). Muka negatif adalah

keinginan seseorang untuk disetujui (being approved). Karena ada

dua jenis muka, dalam berbahasa pun ada dua jenis muka yang

terancam, yakni muka positif dan muka negatif. Dengan demikian,

karena ada dua jenis muka yang terancam, sopan santun pun ada

dua jenis, yakni sopan santun positif yang dipergunakan untuk

menjaga muka positif dan sopan santun negatif yang diperlukan

untuk menjaga muka negatif.

B. Skala Kesopanan

Brown dan Levinson mengemukakan tiga skala kesopanan

yang digunakan untuk mengukur tinggi rendahnya tingkat

kesopanan tuturan. Tiga skala yang ditentukan secara kontekstual,

sosial, dan kultural tersebut adalah sebagai berikut. Pertama,

skala jarak sosial (sosial distance) di antara penutur dan mitra

tutur. Semakin jauh jarak sosial antara penutur dan mitra tutur,

semakin tinggi tingkat kesopanan tuturan yang digunakan dalam

berkomunikasi. Semakin dekat jarak sosial antara penutur dan

Page 147: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 147

mitra tutur, semakin rendah tingkat kesopanan tuturan yang

digunakan dalam berkomunikasi. Skala jarak sosial antara penutur

dan mitra tutur antara lain ditentukan oleh perbedaan usia, jenis

kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Kedua, skala besar

kecilnya tingkat kekuasaan (power rating) di antara penutur dan

mitra tutur. Semakin tinggi kekuasaan yang dimiliki oleh penutur

terhadap mitra tutur, semakin rendahlah tingkat kesopanan

tuturan yang digunakan oleh penutur dalam berkomunikasi

dengan mitra tutur. Sebaliknya, semakin rendah kekuasaan

yang dimiliki penutur terhadap mitra tutur, semakin tinggilah

tingkat kesopanan tuturan yang digunakan oleh penutur dalam

berkomunikasi dengan mitra tutur. Ketiga, skala kedudukan

tuturan yang satu dengan tuturan yang lain menurut pandangan

dan kebudayaan masyarakat pemakainya. Di dalam masyarakat

terdapat tuturan yang dianggap memiliki tingkat kesopanan yang

lebih tinggi daripada tuturan yang lain. Ada tuturan yang tidak

mengancam muka. Sebaliknya, di dalam masyarakat juga terdapat

tuturan yang dianggap tingkat kesopanannya rendah, bahkan

kasar. Tuturan yang demikian jelas mengancam muka. Oleh sebab

itu, dalam berkomunikasi diperlukan strategi pemilihan tuturan

mana yang sopan dan tuturan mana yang kurang sopan, baik

kesopanan positif maupun kesopanan negatif.

6.1.3 Teori Sopan Santun Berbahasa Menurut Lakoff (1973)

Lakoff mengemukakan tiga kaidah kesopanan, yakni (a) formalitas

(formality), (b) ketidaktegasan (hesitancy), dan (c) kesamaan atau

kesekawanan (equality or camaraderie). Kaidah formalitas menggariskan

bahwa dalam melakukan tindak tutur janganlah memaksa dan jangan

bersikap angkuh. Untuk menciptakan kesopanan berbahasa, penutur

dan mitra tutur harus senantiasa menjaga keformalan berkomunikasi,

yaitu menjaga jarak secara wajar. Kaidah ketidaktegasan menganjurkan

agar dalam berkomunikasi penutur membuat mitra tutur dapat

menentukan pilihan dengan bebas. Kaidah kesamaan atau kesekawanan

Page 148: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

148 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

menegaskan bahwa untuk menciptakan kesopanan berbahasa, penutur

harus menganggap mitra tutur sebagai sesama yang memiliki derajat

dan martabat yang sama. Penutur dan mitra tutur adalah sesama

sehingga mereka saling menghargai. Saling menghargai sebagai

sesama inilah yang menjadi syarat terciptanya kesopanan berbahasa.

Berdasarkan ketiga kaidah tersebut, dapat dikatakan bahwa tuturan

yang sopan adalah tuturan yang tidak menunjukkan keangkuhan,

tuturan yang memberikan pilihan kepada mitra tutur, dan tuturan yang

menunjukkan kesederajatan penutur dengan mitra tutur.

6.1.4 Teori Sopan Santun Menurut Fraser (1978)

Fraser mengemukakan batasan mengenai tuturan yang sopan secara

panjang lebar yang intinya sebagai berikut: pertama, kesantunan adalah

properti atau bagian dari ujaran dan bukan ujaran itu sendiri. Kedua,

pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada

pada suatu tuturan. Mungkin saja sebuah ujaran dimaksudkan sebagai

ujaran yang sopan oleh si penutur, tetapi di telinga si pendengar ujaran

itu ternyata tidak terdengar santun, dan demikian pula sebaliknya.

Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta

interaksi. Artinya, apakah sebuah ujaran terdengar santun atau tidak, hal

ini “diukur” berdasarkan (a) apakah si penutur tidak melampaui haknya

kepada mitra tutur dan (b) apakah si penutur memenuhi kewajibannya

kepada lawan bicaranya itu.

Dalam karyanya kemudian, Fraser mengklasifikasikan teori sopan

santun berbahasa menjadi empat kelompok menurut karakteristik sudut

pandangnya. Pertama, teori sopan santun berbahasa yang bertumpu

pada norma-norma sosial. Menurut teori tersebut, kesopanan tuturan

ditentukan menurut norma-norma sosial dan kultural yang berlaku

di masyarakat. Kedua, teori sopan santun berbahasa yang bertumpu

pada pandangan bahwa kesopanan merupakan maksim percakapan

dan sebagai usaha penyelamatan muka. Ketiga, teori sopan santun

berbahasa yang berpijak pada pandangan bahwa kesopanan merupakan

Page 149: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 149

perwujudan pemenuhan kontrak sosial. Keempat, teori sopan santun

berbahasa yang bertolak dari pandangan bahwa kesopanan merupakan

sebuah indeks sosial dan dapat diidentifikasi dalam bentuk-bentuk

referensi-referensi sosial, honorifik, dan gaya bahasa.

6.1.5 Teori Sopan Santun Menurut Poedjosoedarmo (1978)

Poedjosoedarmo merupakan salah satu ahli yang secara khusus

membahas sopan santun berbahasa Indonesia. Kerangka berpikir

yang menjadi dasar pembahasannya tentang kesantunan dalam bahasa

Indonesia adalah tujuh komponen tutur yang dikemukakan Gumperz

dan Hymes. Ketujuh komponen tutur itu sudah dibahas pada bagian

awal tulisan ini. Berdasarkan tujuh komponen tersebut, disusunlah

tujuh prinsip sopan santun dalam berbahasa Indonesia. Ketujuh prinsip

itu adalah sebagai berikut.

a. Kendalikanlah emosi Anda dan jangan sampai mudah lepas kontrol

dalam berbicara. Penutur yang dapat mengendalikan emosinya

akan berbicara dengan tenang, penggunaan kata-katanya sangat

selektif, runtut, jelas, dan tuturannya enak diterima. Perilaku tutur

yang demikian menimbulkan citra positif pada penuturnya, yaitu

bahwa penuturnya adalah orang yang sopan dalam berbahasa

Indonesia. Sebaliknya, orang yang tidak bisa mengendalikan

emosinya akan berbicara meledak-ledak, pemakaian kata-katanya

tidak selektif, kasar, menyakitkan, cengeng, dan meremehkan.

Perilaku yang demikian akan menimbulkan citra negatif

penuturnya, yaitu bahwa penuturnya adalah orang yang tidak

sopan dalam berbahasa Indonesia. Dengan demikian, keadaan

emosi penutur sangat menentukan kesopanan dalam melakukan

tindak tutur, yaitu sangat menentukan gaya berbicara, tingkat

tutur, dan penggunaan kata-katanya.

b. Tunjukkan sikap bersahabat dengan menampakkan

kesiapsediaannya untuk berkomunikasi dengan mitra tutur.

Di Indonesia, seperti juga pada komunitas tutur yang lain,

persahabatan atau kekeluargaan adalah sesuatu yang bagus.

Page 150: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

150 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Salah satunya adalah persahabatan dalam berkomunikasi. Dalam

situasi yang demikian, penutur bersedia mendengarkan dengan

sungguh-sungguh tentang apa yang disampaikan kepadanya

oleh orang lain dan siap menyampaikan apa yang memang perlu

disampaikan kepada orang lain. Setiap partisipan harus selalu

senang berinisiatif berkontak dan merespon tuturan.

c. Pilihlah kode bahasa yang dimengerti oleh mitra tutur, tepat

untuk hubungan antara penutur dan mitra tutur, dan cocok

dengan peristiwa dan situasi tindak tutur. Berbahasa dikatakan

sopan apabila kode bahasa yang digunakan oleh penutur

sungguh-sungguh bisa dipahami oleh mitra tutur. Selain itu,

kode bahasa yang dipilih harus disesuaikan dengan hubungan

antara penutur dengan mitra tutur, yaitu (a) tuturannya lengkap,

(b) tuturannya logis, (c) sungguh-sungguh verbal dengan

meminimalkan interjeksi, alih kode, pembalikan urutan kata, dan

sebagainya, (d) menggunakan ragam bahasa baku. Ditambah lagi,

kode bahasa yang digunakan hendaknya sesuai dengan situasi

tutur, yaitu situasi formal atau situasi informal.

d. Pilihlah topik yang disukai oleh mitra tutur dan cocok dengan

situasi. Kesopanan berbahasa juga ditentukan oleh topik tuturan.

Tuturan dengan topik yang menyenangkan mitra bicara adalah

tuturan yang sopan. Hindarilah topik yang tidak menjadi minat

mitra tutur. Selain itu, hindarilah pula hal-hal lain yang tidak

menyenangkan mitra tutur, seperti mengkritik mitra tutur.

Pada masyarakat Indonesia, kritik atau sejenis ketidaksetujuan

lainnya dapat mengakibatkan timbulnya rasa tidak senang pada

mitra tutur. Tuturan yang tidak menyenangkan mitra tutur ini

merupakan tuturan yang tidak sopan dari sudut pandang mitra

tutur.

e. Ungkaplah tujuan pembicaraan dengan jelas. Biasanya penutur

berkomunikasi dengan mitra tutur memiliki tujuan tertentu.

Untuk menjaga kesopanan, tujuan hendaknya diungkapkan

Page 151: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 151

dengan jelas dan tidak berbelit-belit. Lebih-lebih bila tujuan

tuturan itu berkenaan dengan kebutuhan pribadi penutur.

f. Ucapkan kalimat-kalimatnya dengan enak. Penutur hendaknya

memilih bentuk kalimat yang baik dan ucapkanlah dengan enak

sehingga diterima oleh mitra tutur dengan enak pula. Hindarilah

gaya pengungkapan yang menggurui, lebih-lebih kepada orang

yang status sosialnya lebih tinggi. Usahakan berbicara jangan

terlalu keras, tetapi juga jangan terlalu lembut. Jangan berbicara

terlalu cepat, tetapi juga jangan terlalu lambat.

g. Perhatikanlah norma tindak tutur yang lain, seperti urutan tindak

tutur dan gerakan tubuh (gestur). Mengenai urutan tindak

tutur, lazimnya orang yang status sosialnya lebih rendah lebih

dulu mendengarkan tuturan orang yang status sosialnya lebih

tinggi dan untuk merespons tuturannya harus menanti hingga

tindak tutur penutur selesai. Menyela pembicaraan dianggap

tidak sopan. Jika ingin menyela, katakan maaf. Mengenai gerakan

tubuh (gestur), pada saat berbicara tunjukkan wajah berseri dan

penuh perhatian terhadap mitra bicara. Tunjukkan sikap badan

dan tangan yang sopan pada saat berbicara.

6.2 Penanda Tingkat Kesantunan Tuturan dalam Surat Kabar

Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan jenis-jenis tindak ilokusi

yang muncul di surat kabar. Di bawah ini akan dipaparkan pula hasil

temuan berupa penanda-penanda tingkat kesantunan tuturan di dalam

surat kabar. Dalam KBBI (2005: 1135), penanda diartikan sebagai

sesuatu yang digunakan untuk memberi tanda; sifat khusus satuan

kebahasaan yang menunjukkan kelas atau fungsinya. Dalam tulisan

ini, yang dimaksud dengan penanda tingkat kesantunan adalah satuan

kebahasaan (kata, frasa, klausa, atau pun kalimat) yang dituturkan

seorang pembicara (penutur) yang memungkinkan pendengar

berpersepsi (memberikan tanggapan atau penilaian) tentang tinggi

rendahnya (tingkat) kesantunan suatu atau seluruh tuturan yang

Page 152: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

152 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

diungkapkan atau dituturkan pembicara. Penanda-penanda tingkat

kesantunan itu adalah sebagai berikut.

6.2.1 Analogi

Di dalam KBBI (2005: 44) analogi diartikan sebagai kesepadanan

antara bentuk bahasa yang menjadi dasar terjadinya bentuk lain.

Menganalogikan berarti menjelaskan atau menerangkan suatu konsep

tentang sesuatu yang baru berdasarkan konsep lain yang sudah

diketahui.

Contoh:

(1) “Kita kasih ‘ikan’ karena rakyat miskin lapar. Kalau dia dikasih

kail nanti malah dibuang karena dia lapar..” (Suara Merdeka,

13/5/2008, hal. 2)

Konteks tuturannya:

Tuturan di atas diucapkan Bayu Krisnamukti, Deputi Menko

Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan saat berkembang

wacana bahwa rencana pemberian BLT oleh pemerintah kepada

masyarakat dipastikan akan dikucurkan sebagai kompensasi

kenaikkan harga BBM dalam waktu dekat.

Di dalam tuturan yang diucapkan Bayu Krisnamukti di atas,

kita bisa melihat adanya analogi. Penutur ingin menerangkan

konsep tentang alasan pemberian BLT bagi masyarakat dengan

memakai analogi ikan dan kail. Dalam pikiran penutur, pendengar

atau mitra tutur tentunya sudah mengetahui keterkaitan antara

ikan dan kail. Kail biasanya digunakan untuk memancing/

menangkap ikan dan merupakan sebuah benda yang terbuat dari

kawat atau besi yang tidak mungkin bisa dimakan oleh manusia.

Berbeda dengan ikan yang merupakan seekor binatang yang

sering dimakan (dijadikan lauk) oleh manusia.

Menurut penutur, BLT seperti ikan yang diberikan kepada

orang yang sedang lapar (dalam hal ini warga masyarakat yang

Page 153: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 153

sedang membutuhkan bantuan), sedangkan kail adalah hal atau

bantuan lain (seperti yang disarankan oleh sebagian masyarakat,

misalnya: politisi) selain BLT yang tidak secara langsung bisa

digunakan masyarakat. Bantuan tidak langsung itu mungkin

saja akan disalahgunakan atau bahkan tidak dimanfaatkan

oleh masyarakat walaupun sebenarnya bertujuan baik, yakni

untuk memandirikan masyarakat. Dalam contoh di atas, melalui

tuturannya yang menggunakan analogi, penutur sesungguhnya

telah membuat apa yang dimaksudnya (mewujudkan tindak

ilokusi) menjadi lebih halus; dan oleh pendengar tuturan itu pun

akan terdengar lebih santun karena lebih halus.

6.2.2 Diksi atau Pilihan Kata

Keraf (1984: 24) dalam bukunya Diksi dan Gaya Bahasa memberikan

dua definisi tentang pilihan kata (diksi). Pertama, pilihan kata (diksi)

mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan

suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang

tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya

mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan

kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-

nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan

untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai

rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

Lebih lanjut Keraf menjelaskan bahwa persoalan pemilihan atau

pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok,

yakni pertama, ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan sebuah

gagasan, hal atau barang yang akan diamanatkan, dan kedua, kesesuaian

atau kecocokan dalam mempergunakan kata tersebut. Ketepatan pilihan

kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan

gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar,

seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara.

Persoalan ketepatan pemilihan kata akan menyangkut pula

masalah makna kata dan kosakata seseorang. Penguasaan yang banyak

Page 154: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

154 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

terhadap kosakata akan memungkinkan penulis atau pembicara lebih

bebas memilih-milih kata yang dianggapnya paling tepat mewakili

pikirannya. Ketepatan makna kata menuntut pula kesadaran penulis

atau pembicara untuk mengetahui bagaimana hubungan antara bentuk

bahasa (kata) dengan referensinya.

Di atas sudah disinggung bahwa persoalan pemilihan kata (diksi)

jelas terkait dengan masalah makna yang timbul dari penggunaan

atau pemilihan kata tersebut. Ada empat kemungkinan yang muncul

ketika penutur memilih kata, yakni: penutur memilih kata-kata yang

bermakna denotasi dengan tujuan memperhalus tuturan (menjadikan

tuturannya itu lebih santun), penutur memilih kata-kata denotatif yang

memang maknanya kasar atau negatif (misalnya karena marah) yang

mengakibatkan tuturannya terdengar kurang santun, penutur memilih

kata-kata yang bermakna konotasi dengan tujuan memperhalus tuturan,

dan penutur memilih kata-kata konotatif yang memang maknanya kasar

atau negatif sehingga tuturannya terdengar kasar (kurang santun).

Keempat jenis atau gaya pemilihan kata tersebut akan dijelaskan satu

per satu di bawah ini.

1. Pemilihan kata-kata yang bermakna denotasi dengan tujuan

memperhalu tuturan (menjadikan tuturannya lebih santun

Contoh:

(2) “Untuk itu kami mohon, personel kelurahan yang diterjunkan

untuk pendistribusian ini benar-benar baik, sehingga

penyaluran lancar.” (Kedaulatan Rakyat, 26/3/08)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Imam Nurwahid, Kasi Pengawasan

saat menyalurkan subsidi minyak goreng kepada masyarakat

lewat RT/RW.

Dalam contoh di atas kita bisa melihat bagaimana penutur

memilih kata-kata denotatif dalam mengungkapkan maksudnya.

Tidak ada kata-kata yang maknanya samar-samar (tidak sesuai

Page 155: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 155

dengan aslinya/leksikal) dalam contoh di atas. Tuturan di atas

dipersepsikan santun oleh pendengar karena kata-kata yang

dipilih merupakan kata-kata denotatif yang maknanya lebih halus

(santun)—seperti mohon, baik, dan lancar—meskipun maksud

(tindak ilokusi) yang diharapkan adalah tindak ilokusi direktif

yakni meminta (memerintah secara halus).

Contoh lain:

(3) Presiden menaikkan harga BBM merupakan resiko politik

yang harus diambil. Beliau lebih meresikokan karier dan

popularitas politiknya, yang lebih penting menyelamatkan

ekonomi negara. (Kedaulatan Rakyat, 24/5/2008, hal. 1)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Andi Malarangeng, Jubir Presiden

saat SBY (yang mewakili pemerintah) mengambil kebijakan

menaikkan harga BBM yang mengundang kontra dari masyarakat

dan menyatakan siap tidak populer karena ingin menjaga

perekonomian negara tetap mantap.

Kata beliau pada tuturan Andi Malarangeng di atas merupakan kata

ganti orang dan kata tersebut merupakan kata yang bermakna

denotatif. Kata tersebut dipilih penutur dengan pertimbangan

menghormati orang yang dibicarakan. Hal ini juga dipengaruhi

oleh status sosial orang yang dibicarakan lebih tinggi daripada

pembicara atau penutur.

2. Pemilihan kata-kata denotatif yang maknanya kasar atau negatif

sehingga tuturannya terdengar kurang santun

Contoh:

(4) “Tidak sedikit pejabat tinggi yang korup merugikan orang

lain, menyengsarakan rakyat. Moralnya rendah. Rupanya, untuk

menjadi pejabat tidak perlu punya moral yang tinggi.” (Jawa

Pos, 18/3/2008, hal.4)

Page 156: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

156 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Djohansjah Marzoeki, Guru Besar

Fakultas Kedokteran Unair saat menanggapi munculnya berbagai

kasus KKN di kalangan pejabat.

Kata-kata yang digunakan penutur dalam tuturan di atas adalah

kata-kata yang denotatif tetapi maknanya sangat kasar karena

memojokkan pihak tertentu yakni para pejabat. Bisa jadi kata-

kata itu dipilih penutur karena penutur ingin mengungkapkan

kemarahan atau kekecewaannya. Karena makna yang terkandung

dalam kata-kata yang digunakan penutur itu kasar dan

memojokkan pihak tertentu, oleh mitra tutur atau pendengar

tuturan itu dipersepsikan sebagai tuturan yang memiliki kadar

kesantunan yang rendah (tidak santun).

3. Pemilihan kata-kata konotatif dengan tujuan memperhalus tuturan

Contoh:

(5) “Saya yakin pejabat di sana kotor semua, cuma kotornya

berbeda-beda.Tentu sih ada yang bersih atau kotornya sedikit

dan mudah mencucinya. Tapi jumlahnya ya berapalah gitu.”

(Republika,16/3/2008, hal. B2)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Slamet Untung saat mengetahui hasil

jajak pendapat melalui Republika On Line (ROL) untuk mengetahui

sejauh mana persepsi masyarakat terhadap para pejabat tinggi

kejaksaan agung.

Pada contoh di atas kita dapat melihat bagaimana penutur

(Slamet Untung) memilih kata yang bermakna konotatif dalam

menyatakan maksudnya. Kata kotor, bersih, dan mencuci yang dipakai

Slamat Untung bukanlah kata-kata dalam arti yang sebenarnya.

Kata-kata itu sesungguhnya mewakili maksud penutur untuk

mengatakan bahwa semua pejabat tinggi di kejaksaan agung

hampir pasti pernah melakukan KKN, hanya kadarnya berbeda-

Page 157: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 157

beda; ada yang KKN-nya masih dalam skala kecil, tetapi ada juga

yang skalanya sangat besar.

Dari kata-kata yang dipilih Untung untuk menyatakan

maksudnya itu, ada sesuatu yang menarik yakni bahwa Untung

memilih kata-kata tersebut (yang bermakna konotasi) agar

tuturan yang dia ucapkan itu tidak terkesan sangat kasar atau

dengan kata lain agar tuturannya mengandung kadar kesantunan

yang tinggi. Tuturan yang diungkapkan Untung ini dipersepsikan

sebagai tuturan yang santun oleh pendengar atau mitra tutur.

Dalam contoh inilah pemilihan kata-kata konotatif yang bertujuan

memperhalus tuturan terwujud.

4. Pemilihan kata-kata konotatif yang maknanya kasar atau negatif

sehingga tuturannya terdengar kasar (kurang santun)

Contoh:

(6) Mereka telah buta mata hati nuraninya. Apa mereka tidak

sadar kalau BBM naik, harga barang-barang lainnya bakal

melambung. Akibatnya rakyat semakin tercekik. (Kedaulatan

Rakyat, 8/5/2008, hal. 1)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Dona Budi Kharisma, BEM UNS dan

KAMMI Solo ketika berunjuk rasa di Gladag Solo menentang

rencana pemerintah menaikkan BBM.

Kata-kata seperti buta mata hati nurani, melambung, dan tercekik

yang dituturkan Dona Budi Kharisma di atas bukanlah kata-

kata yang bermakna sesungguhnya (sesuai dengan aslinya

di dalam kamus), tetapi kata-kata itu adalah kata-kata kiasan

(konotasi). Kata-kata tersebut dipilih penutur tentunya dengan

pertimbangan bahwa kata-kata tersebut sungguh-sungguh

mewakili apa yang dirasakan oleh penutur sendiri, yakni marah

dan kecewa. Oleh pendengar atau mitra tutur, tuturan Kharisma

di atas dipersepsikan sebagai tuturan yang tidak santun karena

Page 158: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

158 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

kata-kata yang dipilih itu sangat kasar dan melebih-lebihkan

keadaan yang sesungguhnya.

Dari uraian tentang keempat jenis atau tipe pemilihan kata dalam

bertutur seperti yang diuraikan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa

pemilihan kata-kata denotatif atau pun konotatif yang maknanya bercita

rasa positif atau memperhalus cenderung dipersepsikan sebagai tuturan

yang santun oleh pendengar atau mitra tutur. Sebaliknya, pemilihan

kata-kata denotatif atau pun konotatif yang maknanya bercita rasa

negatif atau kasar cenderung dipersepsikan sebagai tuturan yang tidak

santun oleh mitra tutur atau pendengar.

6.2.3 Penggunaan Gaya Bahasa

Dalam KBBI (2005:340) dijelaskan bahwa gaya bahasa merupakan

pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur

atau menulis; pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek

tertentu; cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam

bentuk tulis atau lisan.

Menurut Keraf (1984:113), gaya bahasa adalah cara mengungkapkan

pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan

kepribadian penulis (pemakai bahasa). Gaya bahasa adalah bahasa

indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan

memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal

tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Pendek kata

penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan

konotasi tertentu (Dale [et al] dalam Tarigan, 1985:5).

Beberapa jenis gaya bahasa dipergunakan penutur (pembicara)

ketika bertutur. Gaya-gaya bahasa itu digunakan oleh penutur

dengan maksud tertentu. Ada yang memang bertujuan agar apa yang

disampaikannya itu tidak membuat lawan bicaranya ’kehilangan

muka’ atau tersinggung dan malu, tetapi ada pula yang dengan

sengaja memakai gaya bahasa-gaya bahasa itu dengan tujuan agar apa

Page 159: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 159

yang dituturkannya itu benar-benar membuat lawan bicaranya malu

(kehilangan muka) misalnya karena marah atau mengkritik. Berikut ini

jenis-jenis gaya bahasa tersebut.

A. Perumpamaan

Perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya

berlainan dan yang sengaja kita anggap sama. Perbandingan itu secara

eksplisit dijelaskan oleh pamakaian kata seperti, ibarat, bak, sebagai,

umpama, laksana, bagai, bagaikan, dan serupa.

Contoh:

(7) Kalau saya baca, delapan rekomendasi kadin itu bagus. Hanya, analisisnya kok seperti menyatakan bahwa apa yang dilakukan pemerintah salah semua. Seperti zaman kegelapan. (Jawa Pos, 1/4/2008, hal. 1)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Susilo Bambang Yudhoyono,

Presiden RI saat mendapat delapan rekomendasi perekonomian

dari pengusaha yang bergabung dalam Kadin.

(8) Kadang logika kementrian dalam negeri tidak make sense dengan aspirasi yang berkembang. Dari segi tata krama terhadap aspirasi masyarakat juga kurang pas. Pemerintah pusat seperti ’menggantang asap’ dan malah memanaskan suasana menjadi tidak kondusif. ... Mengingat, perkataan Sultan itu sabda panita ratu yang tidak boleh berubah-ubah.

(Kedaulatan Rakyat, 16/4/2008, hal. 1)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Priyo Budi Santoso; Ketua Fraksi

Partai Golkar ketika dimintai tanggapannya mengenai sikap

pemerintah terhadap RUUK DIY.

(9) “Tiap hari kita merasa seperti mau kiamat dengan kenaikan harga-harga,” ujar Jusuf Kalla.(Suara Merdeka, 24/4/08, hal.2)

Page 160: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

160 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Jusuf Kalla ketika berbicara di kantor

BI, Bandung dan ketika itu pula banyak informasi tentang harga-

harga barang yang semakin naik.

Penggunaan majas perumpamaan dalam sebuah tuturan pada

dasarnya bertujuan manyamarkan maksud sesungguhnya. Upaya

menyamarkan maksud itu bisa terjadi atas dasar pertimbangan

penutur mengenai sopan santun. Dengan menyamarkan maksud

yang ingin disampaikan, sesungguhnya penutur telah menyelamatkan

muka mitra tutur atau lawan bicara apalagi kalau yang mau dikatakan

itu adalah sesuatu yang jelek, kasar, dan negatif mengenai mitra

tutur. Dengan alasan itu, sebagian besar tuturan yang menggunakan

perumpamaan dipersepsikan (lebih) santun oleh pendengar atau mitra

tutur dibandingkan dengan tuturan yang secara langsung (eksplisit)

menyatakan maksud penuturnya.

B. Metafora

Metafora merupakan salah satu bagian atau jenis dari gaya bahasa

perbandingan. Metafora merupakan suatu jenis gaya bahasa yang

kerapkali menambahkan kekuatan pada suatu kalimat. Melalui metafora,

seorang penulis atau pembicara bisa melukiskan suatu gambaran

yang jelas mengenai sesuatu melalui komparasi atau kontras. Metafora

adalah suatu jenis gaya bahasa yang membuat perbandingan antara

dua hal atau benda untuk menciptakan suatu kesan mental yang hidup

walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit dengan penggunaan kata-

kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, penaka, dan serupa seperti

pada perumpamaan (Dale [et al] dalam Tarigan (1985:15).

Dalam KBBI (2005:739) metafora diartikan sebagai pemakaian kata

atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan

sebagai lukisan yang berdasarkan persamaaan atau perbandingan.

Page 161: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 161

Contoh:

(10) “Ansor harus cerdas cermat, karena pilgub adalah perjudian yang menyebabkan ahlussunah wal jamaah menjadi babak belur” (Republika, 10/3/2008, hal. 3)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan K.H. Miftachul Akhyar, Rois Syuriah

PWNU Jawa Timur ketika Syuriah NU Jawa Timur memperingatkan

kader-kader gerakan pemuda Ansor terkait dukungan simbol-

simbol organisasi sayap NU atas majunya Ketua Umum GP Ansor,

Saifullah Yusuf sebagai Cawagub Jatim.

Dalam contoh di atas kita melihat bahwa penutur (K.H.

Miftachul Akhyar) tidak secara eksplisit membandingkan pilgub

(pemilihan gubernur) dengan perjudian. Hal ini dapat kita lihat

dengan tidak digunakannya kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai,

umpama, laksana, penaka, atau serupa pada kalimat di atas.

(11) Politik Abdurrahman itu politik bos dan anak buah, patron-klien. Kalau ikut dia, ya harus tidak boleh lepas dan independen dari dia. Sedang Muhaimin melakukan perlawanan karena ingin menunjukkan keberanian dan kejantanannya sebagai seorang pemimpin yang kuat. (Kedaulatan Rakyat, 17/4/2008, hal. 28)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Fachry Ali; pengamat politik

menanggapi gonjang-ganjing PKB dan tuduhan adanya

keterlibatan presiden di dalamnya.

Metafora adalah suatu jenis perbandingan secara langsung. Jadi

tidak jauh berbeda dengan majas perbandingan, hanya saja dalam

metafora kata-kata seperti, bagaikan, dan lain-lain tidak digunakan. Oleh

karena tidak jauh berbeda dengan majas perbandingan, metafora juga

sesungguhnya bermaksud menyamarkan suatu maksud yang ingin

disampaikan penutur. Dengan adanya penyamaran maksud berarti

Page 162: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

162 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

penutur sesungguhnya telah berusaha menjaga muka lawan bicara atau

mitra tutur.

C. Hiperbola

Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan

yang berlebihan, yakni dengan membesar-besarkan suatu hal.

Contoh:

(12) “Negara hanya menjadi ajang pesta poranya pejabat dan penjahat yang tidak bermoral yang pasti akan berdampak pada kemiskinan serta penderitaan rakyat. (Jawa Pos, 18/3/2008, hal. 4)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Djohansjah Marzoeki, Guru Besar

Fakultas Kedokteran Unair saat diwawancarai mengenai dampak

yang akan timbul jika kita tidak bisa memerangi korupsi.

Dalam tuturan di atas terlihat penggunaan gaya bahasa hiperbola

seperti yang tampak pada bagian yang dicetak tebal. Di situ kita melihat

ada hal yang dilebih-lebihkan oleh pembicara atau penutur yang tidak

sesuai dengan keadaan aslinya atau sesungguhnya. Dengan kenyataan

ini, yakni melebih-lebihkan sesuatu apalagi kalau sesuatu itu memiliki

sifat negatif, tuturan itu cenderung dipersepsikan sebagai tuturan yang

kadar kesantunannya rendah (tidak santun) oleh pendengar atau mitra

tutur.

D. Eufemisme

Eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan

yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan

yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan

menghina, menyinggung perasaan, atau mensugestikan sesuatu yang

tidak menyenangkan (Keraf, 1984:132).

Page 163: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 163

Contoh:

(13) Ada sesuatu yang harus diklarifikasi. Hanya dengan itu air yang keruh bisa dijernihkan. (Suara Merdeka, 20/4/08, hal. 2)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Harryadi Wirawan menanggapi

pernyataan Presiden Timor Leste, Ramos Horta yang seakan

menuduh Indonesia terlibat dalam penembakan dirinya.

Dalam tuturan di atas kita bisa melihat penggunaan majas

eufemisme yang tujuannya memperhalus penyampaian maksud

yang sesungguhnya. Karena majas eufemisme ini digunakan

dengan tujuan menghaluskan tuturan, pemakaian majas ini jelas

membuat sebuah tuturan akan menjadi lebih atau makin santun.

6.2.4 Penggunaan Keterangan (Kata) Modalitas

Menurut Razak (1985:13) kata modalitas ini sering juga disebut

”kata warna”, yang berfungsi untuk mengubah keseluruhan arti sebuah

kalimat. Masuknya sebuah kata modalitas ke dalam sebuah kalimat akan

memungkinkan kalimat itu berubah menjadi sebuah pernyataan yang

tegas, yang ragu-ragu, yang lembut, yang pasti, dan sebagainya.

Oleh Alisyahbana (1962), keterangan modalitas ini diistilahkan

dengan keterangan kesungguhan. Menurutnya tiap-tiap kalimat

menyatakan suatu keadaan kesungguhan. Yang dimaksud dengan

keadaan kesungguhan di sini adalah bagaimana orang yang

mengucapkan kalimat itu menganggap peristiwa yang diucapkannya

itu, sebagai suatu yang pasti atau tak pasti, sebagai suatu yang mungkin,

sebagai suatu yang diharapkan atau disangsikan, atau pun sebagai

sesuatu yang disyaratkan. Karena sifatnya yang seperti itulah maka

keterangan kesungguhan sering diartikan sebagai keterangan yang

menyatakan hal bagi predikat.

Dalam KBBI (2005:751) modalitas diartikan sebagai klasifikasi

pernyataan menurut hal menyungguhkan atau mengingkari

Page 164: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

164 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

kemungkinan atau keharusan; cara pembicara menyatakan sikap

terhadap suatu situasi dalam suatu komunikasi antarpribadi; makna

kemungkinan, keharusan, kenyataan, dan sebagainya yang dinyatakan

dalam kalimat (dalam bahasa Indonesia misalnya dinyatakan dengan

kata barangkali atau harus).

Hasil penelitian menunjukkan dua bentuk keterangan (kata)

modalitas yang digunakan penutur yang memungkinkan pendengar

berpersepsi (memberikan penilaian) mengenai sopan santun

tuturan tersebut. Kedua bentuk keterangan modalitas tersebut

adalah keterangan modalitas yang menyatakan tingkat kepastian dan

keharusan (kewajiban). Berikut akan dijelaskan masing-masing kedua

bentuk keterangan modalitas yang dimaksud.

A. Keterangan Modalitas yang Menyatakan Tingkat Kepastian

Kata atau keterangan modalitas yang menyatakan tingkat kepastian

biasanya ditandai dengan penggunaan kata pasti dan mungkin. Pasti

berarti ‘sesuatu yang dibicarakan itu sudah jelas terjadi dan tidak boleh

tidak’, sedangkan mungkin berarti ‘sesuatu yang dibicarakan itu belum

jelas’ (dapat terjadi tetapi dapat pula tidak).

Perhatikan contoh di bawah ini!

(14) Saya pikir saya datang akan lihat sepuluh tingkat. Ternyata masih begini. Sekiranya saya tidak datang, pasti tidak dibawa tiang- tiang pancang itu ke sini. Anda pasti akan melanjutkan tidur. (Jawa Pos, 6/3/2008, hal. 15)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia

ketika jengkel melihat rusun yang dibangun perum perumnas

baru pada tahap pemasangan tiang pancang.

(15) “Mungkin surat itu belum disampaikan karena kapasitas saya dalam hal ini sebagai kepala daerah, di mana pemanggilan untuk pemeriksaan harus seizin Presiden.” (Suara Merdeka, 6/5/08, hal. A)

Page 165: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 165

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Kelik Sumrahardi ketika ada kabar

bahwa dirinya dilaporkan oleh Kejaksaan Agung karena diduga

terkait dengan kasus korupsi dana APBD 2006.

Dari kedua contoh di atas kita bisa melihat mana tuturan

yang tingkat kepastiannya tinggi dan mana yang rendah (kurang

pasti). Tuturan pertama adalah tuturan yang tingkat kepastiannya

tinggi, yang ditandai dengan penggunaan kata pasti, sedangkan

tuturan yang kedua adalah tuturan yang tingkat kepastiannya

lebih rendah (tidak pasti) yang ditandai dengan penggunaan

kata mungkin. Namun, ada sesuatu yang perlu dikaji secara

mendalam pada tuturan pertama, yakni bahwa dalam tuturan

itu penutur seolah-olah memastikan sesuatu yang sesungguhnya

belum pasti terjadi. Isi tuturan penutur itu hanyalah prasangka

atau dugaan yang kebenarannya masih dipertanyakan. Karena

itulah tuturan yang pertama cenderung dipersepsikan sebagai

tuturan yang kurang (tidak) santun oleh pendengar. Hal itu tentu

berbeda dengan tuturan kedua, yakni penutur menuturkan

suatu kemungkinan mengenai penyebab dia belum juga

dipanggil untuk diperiksa. Kemungkinan itu dituturkan oleh

penutur karena memang nyatanya penutur belum menerima

surat pemanggilan untuk pemeriksaan secara resmi. Dengan

kenyataan itu maka tuturan yang kedua itu dipersepsikan

sebagai tuturan yang santun.

B. Keterangan Modalitas yang Menyatakan Tingkat Keharusan

(Kewajiban)

Keterangan modalitas yang menyatakan tingkat keharusan atau

kewajiban lazim ditandai dengan penggunaan kata-kata seperti harus

dan wajib.

Page 166: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

166 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Contoh:

(16) “Jampidsus harus mengundurkan diri. Ini bentuk pertanggungjawaban karena tidak dapat melakukan tugasnya.” (Republika, 5/3/2008, hal. 2)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Emerson Yuntho, Koordinator

Hukum dan Peradilan ICW yang menilai penegakan hukum di

Indonesia masih terganjal institusi kejaksaan karena institusi

kejaksaan banyak yang terlibat dalam kasus suap.

(17) “Pemkot harus tegas dalam melakukan perlindungan terhadap konsumen. Pemkot memang mempunyai kewajiban menghiduphidupi pengusaha ,tapi pemkot juga wajib melakukan perlindungan terhadap konsumen. Kalau Kantor Pertanwan tidak lakukan langkah konkret, lalu peran pemerintah di mana?” (Republika, 12/3/2008, hal.

17)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Arif Noor Hartanto, Ketua DPRD Kota

Yogyakarta ketika daging babi ilegal beredar di kota Yogyakarta.

Tuturan yang menyatakan tingkat keharusan atau kewajiban

sebagian besar dinilai kurang santun oleh pendengar atau mitra tutur

karena tuturan yang diucapkan penutur itu membuat mitra tutur

tidak memiliki peluang untuk memilih alternatif lain. Karena tidak

berpeluang untuk memilih alternatif lain, potensi untuk kehilangan

muka bagi mitra tutur atau pendengar menjadi cukup tinggi. Dengan

kata lain mitra tutur menjadi malu. Karena mitra tutur merasa malu

(kehilangan muka), jelas tuturan itu tidak santun.

6.2.5 Menyebutkan Subjek yang Menjadi Tujuan Tuturan

Salah satu strategi yang dapat digunakan dalam berkomunikasi

(bertutur) agar sopan santun tetap terjaga adalah dengan tidak

Page 167: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 167

menyebutkan pendengar atau subjek yang menjadi tujuan tuturan itu.

Apalagi kalau yang menjadi isi tuturan tersebut adalah sesuatu yang

kurang baik (keburukan atau kejelekan) mitra tutur atau pendengar.

Perhatikanlah contoh-contoh di bawah ini!

(18) “Pak Susilo itu (SBY-Red) telah merintis jalan tol bagi ekonomi asing untuk menjajah bangsa ini sehingga bangsa kita tidak punya apa-apa lagi. Bahkan, tercerabut dari kedaulatan ekonominya sendiri,” (Republika, 17/5/2008, hal.12)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Amien Rais ketika menjadi

pembicara utama acara Peringatan 100 Tahun Kebangkitan

Nasional di Gedung Pascasarjana UGM.

(19) Tidak akan ada istilah (perdamaian) dengan kubu Muhaimin yang jelas-jelas pembohong. Islah tidak berlaku antara pembohong dan yang jujur. ... Ini jelas merusak tatanan di PKB dan harus dibersihkan. ... Muhaimin cuma ’alat’ dari luar. Alatnya SBY-JK. Mau apa coba? ... Ya KPU itu main curang. Dari dulu suka main curang. Berdasarkan aturan berlaku kita yang menang. ... Itu Andi Matalatta yang main. (Kedaulatan Rakyat, 16/04/2008, hal. 24)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Gus Dur menanggapi konflik

internal PKB antara kubu Muhaimin dan kubu Gus Dur sendiri.

(20) “Sebelumnya harga minyak tanah Rp. 1.200,- per liter katanya, turun. Kini malah naik lagi mencapai Rp. 2.000,- per liter. Ini Presiden SBY mau menaikkan harga BBM lagi. Sejak SBY jadi presiden hidup saya tidak pernah tenang karena harga-harga yang terus naik dan penghasilan pas-pasan.” (Suara Merdeka, 9/5/2008, hal. K)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Ny. Samsiah, ibu rumah tangga dari

Karangwelas, salah seorang demonstran saat melakukan aksi

Page 168: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

168 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

tolak kenaikan harga BBM oleh Agra (Aliansi Gerakan Reforma

Agraris) Banyumas dan Paguyuban Petani Banyumas (PPB) di

depan gedung DPRD.

(21) “Jangan seperti Megawati yang diakhir masa jabatannya,

justru tak berkomunikasi dengan lembaga negara lain.” (Jawa

Pos, 14/3/2008, hal. 15).

Konteks tuturannya:

Tuturan di atas diucapkan Andy Rahmat, Anggota FPKS ketika

dalam pengambilan keputusan SBY terkadang tidak berkoordinasi

dengan lembaga lain, misalnya DPR.

Dalam contoh di atas kita bisa melihat bagaimana penutur di

dalam bertutur langsung menyebutkan subjek atau orang yang

menjadi tujuan tuturan itu dan hal ini terdapat di hampir semua

surat kabar yang dianalisis. Dalam contoh di atas jelas bahwa

pihak atau orang-orang yang disebutkan namanya oleh penutur

(yakni SBY, Jusuf Kalla, Muhaimin, KPU, dan Megawati) merasa

kehilangan muka karena apa yang disebutkan tentang mereka

adalah sesuatu yang negatif (kekurangan atau kelemahan).

Bandingkan dengan contoh di bawah ini!

(22) Saya minta sekali lagi, jangan ada dusta di antara kita. Pemerintah kurang bagus, saya akan bikin bagus. All-out, segala tenaga. Harapan saya, teman dunia usaha juga begitu, melakukan langkah yang sama. (Jawa Pos, 1/4/2008, hal. 1)

Konteks tuturannya:

Tuturan di atas diucapkan Susilo Bambang Yudhoyono,

Presiden RI menanggapi pernyataan atau tuduhan banyak pihak

yang menganggap bahwa pemerintahlah biang segala masalah

di negara ini. SBY juga meminta agar para pelaku usaha bersikap

fair.

Dalam tuturan itu terlihat penutur dengan netral

mengungkapkan maksudnya. Di dalam tuturan itu penutur sama

Page 169: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 169

sekali tidak menyebutkan pihak-pihak tertentu yang menjadi

subjek atau pihak tertentu yang menjadi tujuan tuturan itu; dan

tuturan yang diungkapkan SBY di atas dipersepsikan sebagai

tuturan yang santun oleh pendengar.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa penyebutan subjek atau pihak

tertentu dalam sebuah tuturan, khususnya yang menyinggung

kekurangan, kelemahan, dan hal-hal negatif dari pihak-pihak itu sering

dipersepsikan kurang atau tidak santun oleh pendengar. Sebaliknya,

tuturan yang sama sekali tidak menyebutkan subjek atau mitra tutur

yang dituju apalagi yang tidak menyinggung kejelekan atau hal-

hal negatif dari diri penutur cenderung dipersepsikan santun oleh

pendengar atau mitra tutur.

6.2.6 Bentuk Tuturan

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan dua bentuk tuturan yang

digunakan penutur atau pembicara ketika menyampaikan maksudnya.

Dua bentuk tuturan yang ditemukan yakni tuturan langsung dan tuturan

tidak langsung. Tuturan langsung sering diwujudkan dengan kalimat

imperatif (perintah) dan kalimat deklaratif (pernyataan); sedangkan

tuturan tidak langsung biasanya diwujudkan dengan tuturan interogatif

(pertanyaan) dan juga tuturan deklaratif. Kedua jenis tuturan tersebut

digunakan penutur untuk mengungkapkan maksudnya masing-masing

(mewujudkan tindak ilokusi), misalnya memerintah, mengungkapkan

kekecewaan atau kemarahan (ekspresif), menyatakan kebenaran, atau

pun mengungkapkan janji. Sering terjadi beberapa bentuk atau jenis

tuturan (misalnya tuturan deklaratif dan interogatif) digunakan secara

bersamaan untuk menyampaikan suatu maksud yang sama. Begitu pula

sebaliknya, suatu bentuk atau jenis tuturan dituturkan oleh pembicara

atau penutur untuk menyampaikan beberapa maksud yang berbeda,

misalnya mengeskpresikan kekecewaan dan memerintah/menyuruh

secara halus.

Page 170: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

170 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Contoh:

(23) “Untuk apa ancam-ancam, dia yang butuh kok. Kalau mereka acam-ancam, kita kembalikan. Bukan urusan kita, itu aja.” (Republika, 01/3/2008, hal. 3)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Bagir Manan ketika MA mendapat

ancaman terkait dengan upaya memutuskan perkara KPU

Sulawesi Selatan.

Dalam tuturan yang diucapkan Bagir Manan di atas, kita

bisa melihat adanya beberapa tindak ilokusi (maksud penutur)

walaupun dengan hanya menuturkan satu bentuk tuturan, yakni

tuturan deklaratif (pernyataan). Tindak ilokusi (maksud) yang

mungkin muncul dari satu bentuk tuturan di atas adalah tindak

ilokusi ekspresif, direktif, dan komisif. Tindak ilokusi ekspresif

terwujud karena dalam tuturannya itu, Bagir Manan tampak

marah ketika dalam usaha memutuskan perkara itu, ada pihak

yang mengancam mereka (MA). Tindak ilokusi direktif terwujud

jika melalui tuturannya itu, Bagir Manan bermaksud meminta

(memerintah secara halus) kepada pihak-pihak yang terkait

dengan perkara KPU Sulsel itu agar tidak memberikan ancaman

kepada MA karena kalau ada pihak yang mengancam, maka

MA tidak akan menyelesaikan perkara itu. Selanjutnya tindak

ilokusi komisif terwujud melalui tuturan itu karena di dalam

tuturan tersebut terlihat suatu bentuk janji penutur yakni akan

mengembalikan berkas perkara atau dengan kata lain tidak akan

menyelesaikan perkara tersebut jika ada pihak yang mengancam

MA. Dari contoh ini kiranya menjadi jelas bahwa satu bentuk

tuturan bisa jadi mengandung banyak maksud (tindak ilokusi).

Pemilihan suatu bentuk tuturan untuk menyampaikan lebih

dari satu maksud atau penggunaan beberapa bentuk tuturan untuk

mengungkapkan suatu maksud seperti yang sudah disinggung dan

Page 171: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 171

dicontohkan di atas tentu dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan

penutur. Salah satu hal yang dipertimbangkan oleh penutur adalah

bentuk tuturan mana yang lebih santun dan yang membuat lawan

bicara tidak kehilangan muka, tetapi apa yang ia maksudkan tetap

tersampaikan atau dipahami oleh lawan bicara.

Contoh:

(24) Apakah pengelola bandara mengerti dengan apa yang saya rasakan? Tidakkah mereka mengerti bahwa beribadah merupakan hak asasi setiap manusia? (Republika, 21/5/2008, hal.6)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Putri Nurhadiyanti (dalam rubrik

“Surat Pembaca”) ketika melihat kondisi Mushala di Bandara

Soekarno-Hatta yang sangat memprihatinkan; tampak dari luar

seperti sebuah toilet.

Apabila dikaji secara mendalam, tuturan Nurhadiyanti yang

berwujud tuturan interogatif (pertanyaan) itu sesungguhnya

memiliki dua jenis tindak ilokusi, yakni tindak ilokusi ekspresif

dan tindak ilokusi direktif. Tindak ilokusi ekspresif terwujud

karena melalui tuturannya itu sesungguhnya Nurhadiyanti

merasa kecewa dengan keadaan musala yang ada di Bandara

Soekarno-Hatta. Selain itu, dalam tuturan itu juga terwujud

tindak ilokusi direktif, yang mana dengan tuturan interogatif ini,

penutur secara tidak langsung meminta atau menyuruh secara

halus kepada pihak pengelola bandara untuk memperbaiki atau

membersihkan musala yang ada di bandara tersebut.

Pemilihan bentuk tuturan interogatif untuk mewujudkan dua

tindak ilokusi sekaligus yakni ekspresif dan direktif seperti yang

dituturkan penutur yakni Nurhadiyanti di atas hampir pasti telah

melibatkan pertimbangan sopan santun. Oleh pendengar tuturan

Page 172: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

172 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

di atas dipersepsikan sebagai tuturan yang santun karena melalui

tuturannya, penutur mewujudkan dua tindak ilokusi sekaligus dengan

cara yang tidak langsung. Dalam konteks ini berlakulah hipotesis

yang berbunyi “semakin tidak langsung suatu tuturan maka semakin

santunlah tuturan tersebut”.

Bandingkan dengan contoh berikut!

(25) Ini revolusi kami setelah tahun 1998. Asrun harus diturunkan. Dia telah membuat kota ini menjadi darah. Asrun membenturkan sesama masyarakat dan preman. Asrun harus turun. (Jawa Pos, 29/3/2008, hal. 1)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Andi Safri, pengurus BEM Unhalu

menanggapi aksi penyerbuan polisi ke kampus Haluolo (Unhalu)

yang disebabkan adanya mahasiswa Unhalu yang berdemonstrasi

menolak penggusuran PKL, Kamis (27/3). Oleh mahasiswa

Unhalu, Asrun, Walikota Kendari dianggap biang kekisruhan

karena menggusur PKL.

Tuturan yang diucapkan Andi Safri di atas merupakan sebuah

tuturan deklaratif. Melalui tuturannya itu, penutur sesungguhnya

mewujudkan dua tindak ilokusi secara bersamaan yakni tindak

ilokusi ekspresif dan direktif. Tindak ilokusi ekspresif terwujud

karena melalui tuturannya itu penutur sesungguhnya merasa

kecewa atau pun marah dengan kebijakan pemerintah (yang

diwakili Asrun sebagai walikota) dengan menggusur PKL. Tindak

ilokusi direktif juga terwujud melalui tuturan tersebut yang

ditandai dengan pernyataan Asrun harus diturunkan; Asrun harus

turun. Dengan dua pernyataan tersebut, jelaslah bahwa penutur

bermaksud menyuruh atau memerintah Asrun, Walikota Kendari,

agar mundur dari jabatannya.

Di atas sudah disinggung bahwa pemilihan berbagai bentuk

tuturan untuk mengungkapkan satu atau lebih maksud (tindak ilokusi)

Page 173: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 173

lebih didasarkan pada berbagai pertimbangan penutur termasuk salah

satunya adalah pertimbangan sopan santun. Tuturan Andi Safri di atas

oleh pendengar dipersepsikan sebagai salah satu tuturan yang kurang

santun karena dalam tuturan tersebut penutur menyatakan secara

langsung apa yang menjadi maksudnya; dalam hal ini penutur meminta

(secara kasar), menyuruh, dan memerintah agar Asrun mundur dari

jabatannya. Selain itu ekspresi kemarahan atau kekecewaan penutur

pun menjadi sangat kelihatan dari berbagai kata yang menjadi bagian

dari tuturannya, misalnya: membenturkan, darah, dan preman.

Dua contoh di atas memiliki persamaan dan perbedaan.

Persamaannya adalah bahwa dalam mengungkapkan atau mewujudkan

dua atau lebih maksud (tindak ilokusi), penutur hanya memilih satu

bentuk tuturan. Perbedaannya adalah bahwa pada contoh pertama

bentuk tuturan yang dipilih penutur adalah tuturan tidak langsung

(yakni tuturan interogatif) untuk mewujudkan tindak ilokusi direktif,

ekspresif, dan komisif. Tidak langsung yang dimaksud di sini adalah

bahwa di dalam tuturannya penutur tidak secara eksplisit atau terang-

terangan menyampaikan apa yang dia maksudkan (contoh pertama

sudah membuktikan hal itu; hanya dengan sebuah tuturan interogatif,

penutur sesungguhnya bermaksud agar mitra tutur melakukan sesuatu).

Pada contoh kedua bentuk tuturan yang dipilih penutur adalah

tuturan langsung (yakni tuturan deklaratif) untuk mewujudkan tindak

ilokusi direktif dan ekspresif. Yang dimaksud dengan langsung dalam

konteks ini adalah bahwa di dalam tuturannya penutur secara eksplisit

menyampaikan apa yang dia maksudkan, contohnya Asrun harus

diturunkan; Asrun harus turun. Dari sini bisa disimpulkan bahwa tuturan

tidak langsung cenderung dipersepsikan lebih santun oleh mitra

tutur atau pendengar daripada tuturan langsung, tetapi dalam batas-

batas tertentu tuturan tidak langsung dapat pula dipersepsikan tidak

santun apabila lewat tuturan tidak langsung itu penutur sesungguhnya

menyindir pendengar atau mitra tutur.

Page 174: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

174 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

6.3 Pembahasan Kesantunan Berbahasa dalam Surat Kabar

Perlu diingat bahwa derajat ”ketembuspandangan” berbanding

terbalik dengan tingkat kesantunan. Perhatikan kembali data tuturan

bernomor (28), (29), dan (30) pada bab sebelumnya (Bab V). Kalau

ketiga data tuturan tersebut diurutkan dari yang paling santun (tingkat

kesantunannya tinggi) ke yang paling rendah, kita akan menemukan

urutan sebagai berikut: tuturan (30), tuturan (29), kemudian tuturan

(28). Tuturan (29) dianggap lebih santun daripada tuturan (28) karena

pada tuturan (28) penutur secara langsung memerintah atau menyuruh

Ahmadyah untuk tidak menggunakan nama Islam, yang dapat kita lihat

dengan penggunaan kata jangan. Hal itu tentu berbeda dengan tuturan

(29) yang walaupun menyampaikan maksud secara langsung, namun

penutur tetaplah memilih bentuk tuturan yang sifatnya permintaan

meskipun permintaan penutur itu juga tergolong kasar yang ditandai

dengan penggunaan kata harus.

Munculnya bentuk tuturan yang kurang santun seperti pada

data tersebut tentu besar kemungkinan berakibat fatal pada tindak

komunikasi dan bukan tidak mungkin tuturan yang tidak santun ini dapat

mengganggu bahkan merusak hubungan antara pembicara dan lawan

bicara. Kemungkinan seperti ini tentunya sama sekali tidak diinginkan

oleh masyarakat pemakai bahasa. Pertanyaannya adalah, bagaimana

cara yang dapat dilakukan agar setiap tuturan yang diucapkan penutur

itu tidak mengakibatkan rusak atau terganggunya hubungan antara

pembicara dengan lawan bicara?

Terdapat beberapa hal yang menjadi penanda tingkat

kesantunan suatu tuturan. Pengetahuan tentang penanda-penanda itu

memungkinkan penutur dapat memilih bentuk atau macam tuturan

yang dapat meminimalisasi terjadinya keretakan atau kerusakan

hubungan antara pembicara dengan lawan bicara. Penanda-penanda

itu adalah: 1) analogi, 2) diksi atau pilihan kata, 3) gaya bahasa, 4)

penggunaan keterangan atau kata modalitas, 5) penyebutan subjek

yang menjadi tujuan tuturan, dan 6) bentuk tuturan.

Page 175: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 175

Tuturan-tuturan yang dinilai tidak (kurang) santun pada contoh (28)

dan (29) di atas dapat diubah sehingga tuturan itu menjadi lebih santun,

tetapi maksudnya tetap tersampaikan kepada mitra tutur. Pengubahan

itu dapat kita lakukan dengan beberapa kemungkinan, misalnya kata-

katanya yang terasa kasar diganti dengan kata lain yang lebih halus

atau sopan (diksi). Subjek yang menjadi sasaran tuturan tidak perlu

disebutkan, khususnya jika isi tuturannya adalah hal yang negatif

tentang mitra tutur. Tuturan yang berbentuk perintah diubah menjadi

tuturan berbentuk pernyataan atau pun pertanyaan. Oleh karena itu,

tuturan (28) dan (29) dapat diubah dengan beberapa kemungkinan

tuturan yang lebih santun sebagai berikut:

Tuturan (28): (a) Kalau Ahmadyah ingin membentuk agama baru, pilihlah nama yang

baru. Nama Islam kan sudah ada.

(b) Bukankah nama Islam sudah menjadi nama sebuah agama? Mengapa aliran yang baru muncul juga memilih nama itu?

Tuturan (29):(a) Jampidsus sebaiknya perlu melakukan evaluasi terhadap kinerja yang

sudah dilakukan.

(b) Semua lembaga negara atau para pejabat yang merasa ikut terlibat dalam kasus suap sebaiknya dengan berani mengundurkan diri dari jabatan atau tugasnya.

Keempat contoh itu (28a, 28b, 29a, dan 29b) hanyalah beberapa

kemungkinan saja dari upaya memperhalus tuturan (28) dan (29) yang

ada di atas. Pada contoh (28 a) kita dapat melihat pengubahan bentuk

tuturan imperatif larangan menjadi tuturan deklaratif dengan adanya

penggantian kata-kata yang dianggap kasar dengan kata-kata yang

lebih netral dan halus. Pada contoh (28b) terlihat adanya pengubahan

bentuk tuturan imperatif menjadi tuturan interogatif sehingga maksud

yang ingin disampaikan penutur tidak secara langsung disampaikan

(disembunyikan). Tuturan (29a danb) tidak mengalami perubahan dari

Page 176: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

176 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

segi bentuk tuturan. Namun, pada contoh ini ada upaya penghalusan

tuturan dengan menggantikan kata-kata yang terkesan kasar dengan

kata-kata yang lebih halus dan sopan (diksi). Pada tuturan (29b) juga

terlihat bahwa tuturan itu tidak secara khusus menyebutkan subjek yang

menjadi tujuan tuturan. Tujuan dari tuturan yang diungkapkan dalam

contoh (29b) sifatnya umum. Sesungguhnya masih banyak bentuk

tuturan lain yang mungkin lebih halus daripada yang ada pada contoh

di atas. Sekali lagi, upaya memperhalus tuturan ini lebih dimaksudkan

agar tindak komunikasi dapat berjalan lancar dan hubungan yang baik

dan harmonis tetap terjaga di antara penutur dan mitra tutur.

Jenis tindak ilokusi (maksud) kedua yang ditemukan dalam

penelitian ini adalah tindak ilokusi representatif. Tindak ilokusi ini

muncul dengan dilatarbelakangi oleh keinginan penutur untuk

menyatakan kebenaran. Hal ini akan sangat tampak dalam tuturan

yang sifatnya melaporkan, menunjukkan, menyatakan, menyebutkan,

mengemukakan pendapat, dan lain-lain. Dalam mewujudkan tindak

ilokusi ini, penutur sering menggunakan bentuk tuturan deklaratif.

Tuturan-tuturan yang diucapkan penutur ketika ingin

mewujudkan tindak ilokusi ini sifatnya cenderung netral jika dilihat dari

segi sopan santun. Dikatakan cenderung netral karena maksud tuturan

penutur itu hanya meyakinkan mitra tutur dengan mengungkapkan

suatu kebenaran. Tuturan yang diucapkan penutur itu mengikat

penutur sendiri akan kebenaran dari apa yang diucapkan; mitra tutur

bukanlah pihak yang menjadi pusat perhatian yang utama.

Perhatikan contoh di bawah ini!

(26) Opsi penonaktifan Kemas dan Salim sudah dirapatkan dengan para jaksa agung muda. Hasilnya, kejakgung belum akan mengambil keputusan sebelum Kemas dan Salim diperiksa Tim jaksa pengawas. (Republika, 06/3/2008, hal. 1)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Hendarman Supandji ketika Kemas

Page 177: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 177

dan Salim diduga terlibat dalam kasus suap 660 ribu dolar AS atau

sekitar Rp 6,1 Miliar.

Jika kita mengkaji tuturan (26), tampak bahwa dengan tuturan itu,

penutur (Hendarman Supandji) sesungguhnya hanya ingin menyatakan,

melaporkan, atau pun menyebutkan apa yang sudah dilakukan para

jaksa agung muda terkait kasus Kemas dan Salim yang diduga terlibat

dalam kasus suap. Tuturan itu tidak ada keterkaitan langsung dengan

mitra tutur. Sekali lagi perlu diingat bahwa dalam tindak ilokusi

representatif ini penutur terikat dengan kebenaran akan apa yang

diungkapkannya. Apabila apa yang dituturkan Hendarman Supandji di

atas memang benar-benar terjadi, yakni para jaksa agung muda sudah

melakukan rapat mengenai kasus Kemas dan Salim, tuturan Supandji

tersebut tergolong tuturan yang santun. Akan tetapi, jika tuturan

Supandji itu tidak benar—dalam hal ini kenyataan yang terjadi adalah

para jaksa agung muda belum (tidak) melakukan rapat yang membahas

kasus Kemas dan Salim—tuturan Supandji itu tergolong tuturan yang

tidak santun.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penilaian sopan santun

terhadap suatu tuturan yang memiliki tindak ilokusi representatif

amat bergantung dari benar tidaknya isi tuturan itu dengan kenyataan

(realitas) yang terjadi. Oleh karenanya, semua tuturan yang sifatnya

membual dan bohong digolongkan sebagai tuturan yang tidak santun.

Salah satu ciri khas pemakaian bahasa yang digunakan dalam tuturan

dengan tindak ilokusi representatif adalah langsung dan menggunakan

kata-kata denotatif. Hal ini bertujuan agar mitra tutur menangkap isi

informasi atau kebenaran dari ujaran yang dituturkan itu dengan jelas.

Jenis tindak ilokusi (maksud) ketiga yang ditemukan dari

hasil analisis terhadap data yang ada adalah tindak ilokusi komisif.

Kemunculan tindak ilokusi komisif dilatarbelakangi oleh keinginan

penutur untuk melakukan sesuatu pada masa yang akan datang. Apa

yang dilakukan penutur itu erat kaitannya dengan suatu kejadian atau

Page 178: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

178 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

peristiwa yang menimpa dirinya sebagai individu atau pun sebagai

bagian dari kelompok sosial atau lembaga. Lewat tuturan ini, penutur

terikat untuk melakukan apa yang disebutkan di dalam ujarannya.

Perhatikan contoh berikut!

(27) “Bagi yang terlibat, saya tak akan beri ampun. Mau atasan, bawahan, ke samping, asal ada alat bukti.” (Republika, 4/3/2008, hal. 1)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Hendarman Supandji sehubungan

dengan kasus ditangkapnya Ketua Tim Jaksa BLBI II, Urip Tri

Gunawan oleh Penyidik KPK ketika menerima uang 660 ribu dolar

AS atau sekitar Rp 6,1 Miliar.

Di dalam contoh di atas, kita dapat melihat bahwa yang

melatarbelakangi penutur untuk bertutur seperti itu adalah

adanya keinginan penutur melakukan suatu tindakan pada masa

yang akan datang, yaitu tidak akan memberi ampun kepada siapa

saja yang terlibat dalam kasus yang menimpa Ketua Tim Jaksa BLBI

II, Urip Tri Gunawan. Isi pernyataan di atas adalah sebuah janji dari

penutur. Janji itulah yang mengikat penutur untuk melakukan

sesuatu pada masa yang akan datang (masa setelah tuturan itu

diucapkan).

Dari segi sopan santun, jenis tuturan ini cenderung netral;

tidak jauh berbeda dengan tindak tutur representatif. Yang menjadi

pusat perhatian di dalam tuturan ini adalah penutur. Dalam hal

ini penutur merasa terikat untuk melakukan apa yang ia tuturkan

pada masa yang akan datang. Tuturan akan dianggap santun jika

penutur sungguh-sungguh melaksanakan apa yang menjadi isi

tuturannya. Sebaliknya, dianggap tidak santun apabila penutur

tidak melaksanakan apa yang menjadi isi tuturannya.

Jenis tindak ilokusi keempat adalah tindak ilokusi ekspresif. Latar

belakang kemunculan tindak ilokusi ekspresif ini adalah penutur

Page 179: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 179

ingin mengungkapkan perasaannya (rasa senang, puas, kecewa, dan

lain-lain) secara spontan berkaitan dengan suatu situasi atau keadaan

yang memiliki kaitan atau pengaruh langsung atau pun tidak langsung

dengannya.

Cara yang biasa digunakan penutur dalam mewujudkan tindak

ilokusi ini adalah dengan menggunakan bentuk tuturan deklaratif

dan interogatif. Bentuk tuturan deklaratif relatif lebih langsung

dalam penyampaian ekspresi. Hal ini agak berbeda dengan tuturan

interogatif. Dalam tuturan interogatif, ada bagian ekspresi yang sengaja

”disembunyikan” atau disamarkan oleh penutur dengan tujuan utama

agar apa yang diekspresikannya melalui tuturan tersebut terdengar

lebih santun oleh mitra tutur atau lawan bicara. Dengan kenyataan itu,

kecenderungan yang terjadi adalah tuturan deklaratif dipersepsikan

sebagai tuturan yang kadar kesantunannya lebih rendah dibanding

tuturan interogatif dalam hal mewujudkan ekspresi.

Perhatikan tuturan (28) dan (29) di bawah ini!

(28) Saya sangat merasa kecewa dengan pelayanan buruk dan tidak

profesional dari Bank Mandiri .(Republika, 8/3/2008, hal. 4)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan oleh Dadang Supartman, salah

seorang nasabah Bank Mandiri yang merasa dipersulit ketika

mengurus take over KPR Bank Mandiri.

(29) Apakah segala sesuatu perlu syarat sarjana? Benar nih yakin perlu syarat sarjana? (Kedaulatan Rakyat, 13/4/2008, hal. 24)

Konteks tuturan:

Tuturan di atas diucapkan Megawati ketika berkembang

wacana persyaratan capres minimal sarjana.

Dilihat dari segi bentuk atau wujud tuturan, kedua tuturan di atas

berbeda. Tuturan (28) berbentuk pernyataan sedangkan tuturan (29)

Page 180: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

180 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

berbentuk pertanyaan. Walaupun menggunakan bentuk tuturan yang

berbeda, kedua tuturan di atas tetaplah memiliki maksud yang sama,

yakni bahwa penutur ingin mengungkapkan ekspresi atau perasaan yang

dialaminya. Pada tuturan (28) tampak ekspresi penutur yang merasa

kecewa dengan pelayanan Bank Mandiri karena pengurusan take over

KPR Bank Mandiri yang menurut penutur dipersulit oleh pihak bank.

Dalam tuturan itu kita dapat melihat secara eksplisit apa yang dirasakan

oleh penutur yang dibuktikan dengan penggunaan kata kecewa. Hal itu

tentu berbeda dengan yang terjadi pada tuturan (29). Pada tuturan

(29) penutur sama sekali tidak menampakkan ekspresinya secara

eksplisit. Dalam tuturannya yang berwujud pertanyaan itu, penutur

sesungguhnya mau mengungkapkan perasaannya yakni perasaan tidak

senang atau kecewa dengan berkembangnya wacana persyaratan untuk

menjadi calon presiden minimal sarjana. Perasaan tidak senang itu

muncul karena penutur tidak memiliki ijazah sarjana sementara ingin

menjadi calon presiden. Namun, apa yang dirasakannya itu kemudian

dikemas dengan bentuk lain yang sifatnya tidak langsung. Dengan

perkataan lain, dalam tuturannya itu ada sesuatu yang ”disembunyikan

atau disamarkan” oleh penutur. Sederetan pertanyaan seolah-olah perlu

dijawab, tetapi sesungguhnya tidak. Di balik pertanyaan itu, penutur

ingin agar mitra tutur mengetahui kalau penutur tidak setuju, tidak

senang, atau pun kecewa dengan apa yang menjadi inti wacana itu.

Tuturan (28) di atas yang tergolong tidak (kurang) santun dapat

dimodifikasi menjadi beberapa kemungkinan tuturan dan dalam

kemungkinan-kemungkinan itu terasa lebih santun. Kemungkinan-

kemungkinan itu misalnya:

(a) Pelayanan pengurusan take over KPR Bank Mandiri perlu dievaluasi agar nasabah senantiasa merasa puas.

(b) Bukankah yang menjadi prioritas pelayanan bank adalah kepuasan nasabah?

Dua contoh ini hanyalah sebagian kecil dari berbagai kemungkinan

yang dapat terjadi dalam upaya mewujudkan tuturan yang santun,

meskipun tetap ekspresif.

Page 181: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 181

Dari berbagai uraian di atas, secara sederhana dapat dikatakan

bahwa setiap tindak komunikasi (yang terwujud dalam tuturan) yang

dilakukan manusia mengandung maksud tertentu. Pengungkapan

maksud itu secara umum terlihat dalam tiga bentuk, yakni bentuk

perintah, pernyataan, dan pertanyaan. Demi tujuan tetap terjaganya

hubungan yang harmonis antara pembicara dengan lawan bicara,

tuturan-tuturan yang muncul dalam tindak komunikasi itu kemudian

dikemas sedemikian rupa. Kemasan-kemasan itu di antaranya berwujud:

pemakaian atau pemilihan kata-kata yang maknanya lebih halus, sopan,

dan netral; pemakaian gaya bahasa tertentu yang mengakibatkan proses

penyampaian maksud itu terkesan tidak langsung; tidak disebutkannya

subjek yang menjadi tujuan tuturan apabila isi tuturannya adalah hal

yang negatif; dan lebih banyak menggunakan bentuk tuturan interogatif

(berbentuk pertanyaan) jika menginginkan lawan bicara melakukan

sesuatu atau penutur mau mengungkapkan ekspresinya karena tuturan

interogatif memiliki derajat ”ketembuspandangan” yang paling rendah.

Page 182: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

182 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

BAB 7PENUTUP

Dalam bab III dan bab IV telah diuraikan penanda-penanda kohesi

dan koherensi wacana bahasa Indonesia dalam surat kabar. Berikut

akan dikemukakan sebuah simpulan.

a. Kohesi wacana bahasa Indonesia dalam surat kabar meliputi kohesi

gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal dirinci menjadi

empat, yaitu kohesi gramatikal menggunakan referensi, substitusi,

penghilangan, dan konjungsi. Kohesi leksikal dirinci menjadi

enam, yaitu kohesi leksikal menggunakan pengulangan, sinonimi,

antonimi, hiponimi, ekuivalensi, dan kolokasi. Penanda-penanda

kohesi wacana bahasa Indonesia dalam surat kabar dieksplisitkan

dalam wujud unsur-unsur bahasa, sehingga pertalian antarunsur

dalam wacana dapat disebut pertalian yang kohesif sekaligus koheren

(terdapat penanda kohesi yang membuat wacana itu bermakna

atau koheren).

b. Koherensi wacana bahasa Indonesia dalam surat kabar meliputi

koherensi kontekstual, koherensi kotekstual, dan koherensi

logis. Koherensi kontekstual dirinci menjadi dua, yaitu koherensi

wacana promotif dan koherensi wacana normatif. Selanjutnya,

koherensi kotekstual dirinci menjadi dua, yaitu koherensi

kotekstual endofora anaforis dan koherensi kotekstual endofora

kataforis. Adapun koherensi logis dibedakan menjadi empat, yaitu

koherensi kausalitas, koherensi pengontrasan, koherensi definisi,

dan koherensi simpulan. Penanda-penanda koherensi wacana

Page 183: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 183

bahasa Indonesia dalam surat kabar diimplisitkan sehingga

makna sebuah wacana dapat ditafsirkan melalui konteks, koteks,

dan logika. Dengan demikian pertalian antarunsur dalam wacana

dapat disebut pertalian yang tidak kohesif tetapi koheren (tanpa

penanda kohesi tetapi wacana itu bermakna atau koheren).

Selain itu, dalam bab V dan bab VI telah dikemukakan bentuk-bentuk

tindak tutur ilokusi dan penanda-penanda kesantunan berbahasa dalam

wacana surat kabar. Tiga hal yang bisa disimpulkan adalah sebagai

berikut.

a. Ada empat jenis tindak ilokusi yang muncul di surat kabar.

Keempat jenis tindak ilokusi itu adalah tindak ilokusi direktif,

komisif, representatif, dan ekspresif;

b. Untuk menyampaikan suatu maksud atau mewujudkan suatu

tindak ilokusi, ada tiga bentuk tuturan yang diucapkan penutur

atau pembicara, yakni tuturan deklaratif, imperatif, dan interogatif;

sebaliknya suatu bentuk tuturan yang diucapkan penutur bisa jadi

akan mengandung lebih dari satu maksud (tindak ilokusi);

c. Dalam suatu tuturan yang diucapkan penutur ada bagian

tertentu dari tuturan itu baik yang berwujud kata, frasa, klausa,

atau pun kalimat yang memungkinkan pendengar atau mitra

tutur memberikan penilaiannya (berpersepsi) terhadap tuturan

tersebut dari sisi sopan santunnya. Inilah yang dalam tulisan ini

disebut sebagai penanda tingkat kesantunan. Ada enam jenis

penanda tingkat kesantunan tuturan yang ditemukan, yakni: 1)

analogi, 2) diksi atau pilihan kata, 3) gaya bahasa, 4) penggunaan

keterangan atau kata modalitas, 5) penyebutan subjek yang

menjadi tujuan tuturan, dan 6) bentuk tuturan.

Page 184: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

184 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, Sutan Takdir. 1962. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Djakarta:

Pustaka Rakjat.

Arikunto, Suharsimi. 1991. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: Rineka Cipta.

________, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi

VI. Jakarta: Rineka Cipta.

Baryadi, Pratomo I. 2002. Dasar-Dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa.

Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli.

________, 2005. ”Teori Sopan Santun Berbahasa” dalam Pranowo,

dkk. (Eds.). Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Yogyakarta: Sanata

Dharma University Press.

Badru, Syahidin, dkk. 2003. Pemahaman dan Penguasaan Siswa Kelas VI SD

DKI Jakarta Terhadap Wacana Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa

Departemen Pendidikan Nasional.

Bungin, Burhan, H. M. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Darmini, Wiwik. “Analisis Wacana: Yuk Mari Berwisata ke Lampung…”

dalam Kolom Wisata Surat Kabar Harian Kompas: Suatu Pendekatan

Mikro dan Makrostrukutural”. dalam Sumarlan (ed.). 2003. Teori dan

Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra.

Page 185: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 185

Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Pusat Bahasa

Departemen Pendidikan Nasional.

Endarmoko, Eko. 2007. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Gunarwan, Asim. 1992. “Persepsi Kesantunan Direktif di dalam Bahasa

Indonesia di antara Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta” dalam

Purwo, Bambang Kaswanti. PELLBA 5. Yogyakarta: Kanisius.

_______. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan

Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik” dalam Purwo,

Bambang Kaswanti. PELLBA 7. Yogyakarta: Kanisius.

_______. 2005. “Beberapa Prinsip dalam Komunikasi Verbal: Tinjauan

Sosiolinguistik dan Pragmatik” dalam Pranowo, dkk. (Eds.). Bahasa,

Sastra, dan Pengajarannya. Yogyakarta: Sanata Dharma University

Press.

Hartanti, Yuniati. 2007. Kohesi dan Koherensi dalam Wacana pada Buku Teks

Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA Kelas X Karangan Dawud, dkk.

Terbitan Erlangga Tahun 2004. Skripsi S1. Yogyakarta: PBSID, FKIP, USD.

Jati Kesuma, Tri Mastoyo. 2007. Pengantar Metode Penelitian Bahasa.

Yogyakarta: Carasvatibook.

Joko Prayitno, Harun. “Penulisan Judul ‘Kolom Deteksi’ Harian Jawa Pos:

Analisis Wacana dengan Pendekatan Makro dan Mikrostruktural.

Dalam Sumarlam (ed). 2003. Teori dan Praktik Analisis Wacana.

Surakarta: Pustaka Cakra.

Kaswanti Purwo, Bambang. 1987. “Pragmatik Wacana” dalam Widyaparwa.

Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.

________. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Kanisius.

Keraf, Gorys. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

Page 186: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

186 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Kushartanti. 2005. “Pragmatik” dalam Kushartanti, dkk. (Penyunt.).

Pesona Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Leech, Geoffrey. 1993. Semantik (Paina Partana, pernerjemah).

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Marganingrum, Dyah. 2006. Kohesi dan Koherensi Antarkalimat dalam Wacana

“Jati Diri” pada Surat Kabar Harian Jawa Pos Edisi Maret 2004. Skripsi S1.

Yogyakarta: Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, USD.

Margaretha Krismi Ernawati. 2006. Kohesi dan Koherensi Antarparagraf

dalam Wacana Opini Surat Kabar Kompas Edisi Nasional Bulan April 2005.

Skripsi. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, USD.

Mees, C. A. 1957. Tatabahasa Indonesia. Jakarta: Groningen.

Moeliono, Anton M. 1989. Kembara Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Moeliono, Anton M. (Penyunting). 1992. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka.

Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja

Karya CV.

Muljani, Sutji. 2003. “Wacana Iklan Bank Muamalat pada Majalah Sabili:

Pendekatan Mikrostruktural dan Makrostruktural. Dalam Sumarlan.

2003. Teori dan Praktik Analisis Wacana. 2003. Surakarta: Pustaka Cakra.

Oka (Penerj.). 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia.

Parera, J. D. 1990. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.

Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka.

Page 187: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 187

Pranowo. 1996. Analisis Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Ramlan, M. 1983. Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono.

________. 1993. Paragraf: Alur Pikiran dan Kepaduannya dalam Bahasa

Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset.

Rani, Abdul, dkk., 2006. Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa Dalam

Pemakaian. Malang: Bayumedia.

Razak, Abdul. 1985. Kalimat Efektif: Struktur, Gaya, dan Variasi. Jakarta:

Gramedia.

Rahardi, Kunjana. 2000. Imperatif dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Duta

Wacana Universtity Press.

_________. 2006. Paragraf Jurnalistik. Yogyakarta: Santusta.

Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sumarsono. 2004. Filsafat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana

Indonesia.

Soewandi, A. M. Slamet. 1991. “Teknik Analisis Kualitatif” (Reader).

Yogyakarta.

_________. 2007. Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia. (Reader). Yogyakarta.

Sri Sudartanti, Purworini L. M. 1993. Kohesi dan Koherensi Kalimat Topik dan

Kalimat Pengembang dalam Paragraf Eksposisi serta Paragraf Argumentatif

dalam Majalah Trubus dan Tiara. Skripsi. Yogyakarta: PBSID, FKIP, USD.

Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik (Bagian Kedua): Metode dan Aneka Teknik

Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

_________. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar

Page 188: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

188 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur

Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta

Wacana University Press.

Suhardi, B. dan Cornelius Sembiring. 2005. “Aspek Sosial Bahasa” dalam

Kushartanti, dkk. (Penyunt.). Pesona Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Suladi, dkk. 2000. Kohesi dalam Media Massa Cetak Bahasa Indonesia. Jakarta:

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Suwandi, Sarwiji. 2008. Serbalinguistik: Mengupas Pelbagai Praktik Berbahasa.

Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.

_______. 1985. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.

Wahyuni, Indah Fajar (Penerj.). 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Wijana, I Dewa Putu. 2001. “Implikatur dalam Wacana Pojok” dalam

Humaniora Volume XIII, No.3.

Page 189: ANALISIS WACANA Logis Berwacana dan Santun Bertuturichwan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/71573/... · Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini menambah

Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 189