Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS WACANALogis Berwacana
dan Santun Bertutur
ANALISIS WACANALogis Berwacana
dan Santun Bertutur
PENERBIT
NUSA INDAH
Antonius Nesi, OFM, S.Pd.Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M.
Kata Pengantar: Prof. Dr. Pranowo, M.Pd.
ANALISIS WACANALogis Berwacana dan Santun BertuturOleh: Antonius Nesi, OFM, S.Pd. Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M.
Kata Pengantar: Prof. Dr. Pranowo, M.Pd.Editor: Hendrik L. KeransPenyunting naskah: M.M. Sinta WardaniLayout: Philipus LawetCover: Moya Zam Zam
NI:
@Penerbit NUSA INDAH (Anggota IKAPI)Jl. El Tari, Ende 86318Flores, NTT, IndonesiaTlp. (0318) 21502, Fax. (0381) 21502E-mail: [email protected]
Anggota IKAPI
Cetakan I, 2012
ISBN:
Dicetak oleh:Moya Zam-Zam Printika Yogyakarta
Sanksi PelanggaranPasal 72 UU Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sangaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 5
KATA PENGANTAR
APA YANG DIKATAKAN, BELUM TENTU APA YANG DIMAKSUDKAN
Prof. Dr. Pranowo, M.Pd.
Baku Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur ini
menambah khazanah kajian bahasa dari sudut pandang pragmatik.
Kajian bahasa dari sudut pandang pragmatik selalu mengutamakan
konteks tuturan yang digunakan oleh penutur. Oleh karena itu, ketika
seseorang berkomunikasi, yang perlu diperhatikan oleh mitra tutur
untuk menangkap maksud penutur adalah memperhatikan “apa yang
dituturkan” dan “bagaimana cara menuturkannya”.
Ketika seorang penutur hanya memperhatikan apa yang dituturkan,
dia masih berada dalam lingkup kajian linguistik. Artinya, struktur
bahasa selalu mencerminkan makna yang dikandungnya. Hal ini
sesuai dengan logika linear yang selalu berhubungan dengan hukum
sebab akibat yang menata pikiran secara kohesif maupun koheren.
Demikianlah lazimnya sebuah wacana ditata. Sayangnya, penataan
seperti itu baru merupakan penataan yang bersifat linguistik tekstual.
Komunikasi tidak cukup hanya memperhatikan aspek bahasa secara
tekstual tetapi juga harus memperhatikan konteksnya. Tuturan seorang
ibu kepada anaknya “Ya sudah habiskan saja semuanya, biar kakakmu tidak
usah makan”. Tuturan seperti itu, jika ditangkap secara tekstual, anak
dapat bereaksi “Asyik, saya habiskan semua ya, Bu?”. Namun, reaksi mitra
tutur seperti itu bukan yang diharapkan oleh penutur. Mitra tutur harus
memahami bagaimana mengatakannya. Bagaimana mengatakannya adalah
konteks tuturannya. Ibu menyediakan makanan untuk kedua anaknya,
6 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
tetapi dihabiskan oleh salah satu anaknya. Ibu merasa jengkel, tetapi
tidak mengatakan “Kok dimakan semua, kakakmu makan apa?”.
Secara tekstual, anak tidak salah karena ia menangkap makna yang
terdapat dalam kata-kata yang digunakan oleh ibunya. Anak mulai
belajar memahami maksud setelah ibunya memunculkan konteks
tuturan yang dapat dilihat dari “bagaimana cara mengatakannya”.
Padahal, untuk memahami maksud ibunya tidak cukup hanya
melalui kata-kata yang diucapkannya. Mitra tutur membutuhkan
piranti lain untuk menangkap maksud tuturan seperti contoh di atas.
Ungkapan Ibu kepada anaknya ternyata bukan perintah, tetapi justru
larangan. Hal ini hanya dapat dipahami dengan benar jika mitra tutur
mampu menangkap bagaimana cara menuturkannya. Dengan memahami
konteks tuturan—seperti lagu ucapan, raut muka, gesture—seorang
mitra tutur dapat menangkap maksud yang diinginkan oleh penutur.
Jadi, tuturan dapat dipahami secara benar jika konteks tuturan tidak
dipisahkan dengan kata-kata yang diucapkan sebagai wacana yang utuh.
Oleh karena itu, ketika anak sebagai mitra tutur memahami konteks
tuturannya, reaksi yang muncul seharusnya “Maaf bu, saya tidak tahu kalau
kakak belum makan.”
Pemahaman struktur seperti itu sangat sulit diselesaikan
melalui analisis linguistik yang masih berpegang pada logika linear.
Namun, pemahaman akan menjadi mudah jika analisisnya dilakukan
menggunakan piranti pragmatik.
Di sisi lain, ketika seseorang berkomunikasi seyogyanya ia mampu
bersikap dan berlaku santun pada orang lain. Sayangnya, para pakar
pragmatik masih terlalu sempit memberi batasan mengenai kesantunan.
Kesantunan selalu hanya diukur dari satu sudut, yaitu mitra tutur.
Tuturan dikatakan santun jika tuturan itu tidak menyinggung perasaan
mitra tutur. Batasan seperti itu terlalu sempit jika hanya diukur dari
sisi mitra tutur. Jika tolok ukurnya hanya dari segi mitra tutur, risiko
terburuknya adalah ada tuturan yang berpura-pura santun hanya untuk
menjaga perasaan mitra tutur. Berbahasa secara santun bukan sekadar
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 7
penghias bibir. Tidak tersinggungnya perasaan mitra tutur bukan
tujuan komunikasi, tetapi sekadar sebagai akibat dipakainya bahasa
yang santun. Berbahasa secara santun adalah berbahasa yang sengaja
diungkapkan oleh penutur untuk menjaga harkat dan martabat diri
penutur sebagai manusia berbudaya sehingga mengakibatkan mitra
tutur tidak tersinggung perasaannya.
Ungkapan perintah seorang kepala sekolah kepada guru tidak harus
diungkapkan secara eksplisit dengan mengatakan “Kamu jangan duduk di
meja ketika mengajar!”, tetapi akan lebih santun jika dikatakan “Sekolah
sudah menyediakan kursi untuk tempat duduk guru, dan meja untuk menulis
para guru di setiap kelas.” (ucapan itu dikemukakan oleh kepala sekolah
ketika memberi pengarahan kepada guru dalam hal etika mengajar bagi
guru). Kemudian, kepala sekolah melanjutkan tuturannya jika ada yang
berdalih “Jika guru menerangkan sambil duduk di kursi, murid di bagian belakang
tidak memperhatikan guru.” Lantas kepala sekolah mengungkapkan secara
eksplisit “Kenapa Bapak-Ibu guru tidak berdiri di atas meja saja sekalian biar
seluruh murid melihat bahwa gurunya sedang kambuh penyakitnya?”. Kritik
kepala sekolah kepada para guru yang sering tidak sopan di depan
kelas tidak harus diungkapkan dengan marah, tetapi justru akan mudah
ditangkap maksudnya jika diungkapkan secara tidak langsung sambil
bercanda.
Tuturan yang santun dalam berkomunikasi dapat dilakukan dengan
memperhatikan kriteria tertentu, seperti (a) kriteria keuntungan
dan kerugian, (b) kriteria tuturan langsung dan tidak langsung, (c)
kriteria autoritas, dan (d) kriteria jarak sosial. Kriteria seperti itu sudah
menjadikan sebuah tuturan santun, tetapi baru santun dari aspek mitra
tutur. Padahal, bertutur santun bukan sekadar agar mitra tutur tidak
tersinggung.
Seorang penutur berucap “Terima kasih, Mas. Anda sudah bersusah-susah
antar jemput isteri saya setiap pagi dan sore. Isteri saya memang agak manja,
saya antar jemput dengan motor tidak mau. Katanya takut kulitnya hitam karena
tersengat matahari. Maunya dia diantar jemput dengan mobil.” Mendengar
8 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
ujaran seperti itu pastilah kita semua memahami bahwa penutur
sedang marah karena ada lelaki lain yang menyelingkuhi isterinya.
Namun, kemarahannya tidak diungkapkan dengan cara memukul atau
mengumpat, tetapi dilakukan dengan cara bertutur halus. Meskipun
demikian, pastilah mitra tutur paham bahwa perilakunya tidak
disenangi oleh penutur.
Tuturan yang berusaha menjaga harkat dan martabat dirinya dan
dapat berdampak tidak melukai hati mitra tutur kadang-kadang masih
diinterpretasi lain dan menimbulkan pertanyaan. Apakah penutur
benar-benar ingin menjaga harkat dan martabat dirinya agar tidak
menyinggung perasaan mitra tutur, ataukah karena penutur seorang
penakut yang tidak berani bertindak tegas sehingga berpura-pura
santun?
Kajian kesantunan memang belum tuntas dan masih perlu dipikirkan
kembali tolok ukur yang digunakan untuk mengidentifikasi santun
tidaknya sebuah tuturan. Namun, setidaknya sudah ada kemajuan. Jika
dalam kajian pragmatik model lama kriteria kesantunan hanya dilihat
dari aspek “tidak tersinggungnya mitra tutur”, kajian pragmatik model
baru sudah maju selangkah bahwa kriteria kesantunan juga harus
melibatkan aspek penutur, bahwa berkomunikasi secara santun bukan
sekadar agar mitra tutur tidak tersinggung perasaannya, tetapi karena
penutur ingin menjaga harkat dan martabatnya. Sementara itu, tidak
tersinggungnya mitra tutur adalah efek dari penjagaan harkat dan
martabat seorang penutur.
Yogyakarta, 21 April 2011
Prof. Dr. Pranowo, M.Pd.
Guru Besar Pendidikan Bahasa dan
Sastra pada Prodi PBSID
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 9
PRAKATA PENULIS
Banyaknya buku analisis wacana yang terbit menunjukkan bahwa
wacana merupakan salah satu objek penelitian yang penting dalam
kajian bahasa (linguistik). Perhatian para analis terhadap aneka wacana
dengan hasil penelitian mereka yang maksimal tentu memberikan
sumbangan yang sangat berarti untuk perkembangan linguistik
Indonesia. Namun, sejauh ini suatu pembahasan yang secara khusus
membicarakan ihwal kelogisan dan kesantunan berbahasa di dalam
wacana surat kabar belum begitu banyak beredar.
Buku Analisis Wacana ini bertujuan memberikan informasi deskriptif
tentang tingkat kelogisan dan kesantunan tuturan dalam wacana surat
kabar. Empat jenis teori yang dianut penulis untuk membedah tingkat
kelogisan dan kesantunan wacana dalam surat kabar, yaitu teori tentang
kohesi, teori tentang koherensi, teori tentang tindak tutur ilokusi, dan teori
tentang kesantunan berbahasa.
Sebagian besar contoh-contoh dalam buku ini dikutip dari surat
kabar Kompas (edisi Maret s.d. Mei 2008; dan Agustus 2009), Republika
(edisi Maret s.d. Mei 2008; dan Agustus 2009), Kedaulatan Rakyat (edisi
Maret s.d. Mei 2008; dan Agustus 2009), Jawa Pos (edisi Maret s.d. Mei
2008), Suara Merdeka (edisi Maret s.d. Mei 2008), dan Bernas Jogja (edisi
Agustus 2009). Keenam surat kabar itu dipilih sebagai sumber data
karena dua di antaranya, Kompas dan Republika, mewakili surat kabar
nasional, dan empat surat kabar lainnya, yakni Jawa Pos, Suara Merdeka,
Kedaulatan Rakyat, dan Bernas Jogja mewakili surat kabar lokal.
Penulis mengakui bahwa buku ini awalnya merupakan hasil
penelitian (skripsi) di Prodi PBSID, FKIP, USD, Yogyakarta. Yang satu
berjudul Kohesi dan Koherensi Wacana Bahasa Indonesia dalam Surat Kabar:
10 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Studi Kasus Wacana Berita Utama dan Surat Pembaca Kompas, Republika,
Kedaulatan Rakyat, dan Bernas Jogja Edisi Agustus 2009 (Nesi, USD: 2010)
dan yang lainnya adalah Tindak Ilokusi dan Penanda Tingkat Kesantunan
Tuturan di Dalam Surat Kabar: Suatu Tinjauan Sosiopragmatik (Sarwoyo,
USD: 2009). Atas dorongan berbagai pihak, kedua penelitian tersebut
kemudian disatukan—tanpa suatu perubahan dari sisi esensi kecuali
penyesuaian format—dan diterbitkan sehingga jadilah sebuah buku
seperti sekarang ini.
Atas semua itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
Prof. Dr. Pranowo, M. Pd. dan Dr. Y. Karmin, M. Pd.; beliau berdua telah
menjadi pembimbing yang sabar, setia, dan kritis dalam membimbing
skripsi penulis; beliau berdua juga telah mendorong dan memotivasi
penulis untuk segera membukukan hasil penelitian ini. Prof. Dr.
Pranowo, M. Pd. juga telah bersedia memberikan catatan pengantar
untuk buku ini. Kepada beliau, sekali lagi, terima kasih. Adalah segenap
staf UPT Perpustakaan USD Yogyakarta yang selalu setia meminjamkan
buku-buku kepada penulis sehingga hal itu dapat memperlancar
aktivitas intelektual penulis. Kepada segenap staf UPT Perpustakaan
USD, penulis sampaikan terima kasih. Selain itu, komunitas OFM Santo
Bonaventura, Yogyakarta, telah banyak menyediakan fasilitas yang
nyaman bagi penulis untuk senantiasa bersoal-jawab ihwal kelogisan
dan kesantunan berbahasa. Untuk itu, ucapan terima kasih tak lupa
kami sampaikan kepada komunitas Santo Bonaventura.
Persaudaraan OFM Provinsi Santo Mikhael Malaikat Agung
Indonesia yang saat ini dilayani Pater Dr. Adrianus Sunarko, OFM telah
banyak memberikan sumbangan berharga bagi penulis. Persaudaraan
ini telah memberikan iklim yang kondusif bagi tiap saudara untuk
berkreasi. Dalam hal itu, program On Going Formation dipercayakan
sepenuhnya pada inisiatif dan kreativitas tiap saudara untuk membekali
dan membina diri terus-menerus dalam rangka menjawab tantangan
zaman. Untuk itu, ucapan terima kasih tak lupa kami haturkan kepada
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 11
Persaudaraan OFM Indonesia. Kepada orang tua penulis yang semenjak
awal telah menanamkan “bahasa” di dalam diri ini, dari sanubari
terdalam juga kami sampaikan sembah dan limpah terima kasih. Buku
ini terbit juga karena keterlibatan banyak rekan, sahabat, kenalan, dan
pihak-pihak lainnya. Apa pun sumbangsih Anda, itu membuat kami
merasa berhutang budi. Oleh karena itu, kepada Anda semua, ucapan
terima kasih tak lupa pula kami haturkan.
Sebagai suatu karya, buku ini tentu belum mencapai sempurna.
Oleh karena itu, kami sangat terbuka untuk menerima kritik dan
saran yang membangun demi penyempurnaannya di masa mendatang.
Semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca.
Jakarta, Maret 2011
Antonius Nesi, OFM, S.Pd.
Ventianus Sarwoyo, S.Pd.,M.M.
12 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
APA YANG DIKATAKAN, BELUM TENTU APA YANG
DIMAKSUDKAN oleh Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. ~ 5
PRAKATA PENULIS ~ 9
DAFTAR ISI ~ 12
BAB 1
LOGIKA DAN WACANA ~ 17
1.1 Hubungan Logika dengan Bahasa ~ 17
1.2 Konsep Wacana ~ 20
1.3 Wacana, Paragraf, dan Kalimat ~ 21
BAB 2
KELOGISAN DAN KESANTUNAN BERBAHASA ~ 25
2.1 Hubungan Bentuk dan Makna ~ 25
2.2.. Kesantunan Berbahasa ~ 28
BAB 3
KOHESI: PERANTI ANTARUNSUR YANG TEREKSPLISIT ~ 35
3.1 Dasar Teori ~ 35
3.1.1 Kohesi Gramatikal ~ 35
A. Referensi ~ 36
B. Substitusi ~ 36
C. Penghilangan 37
D. Konjungsi ~ 38
3.1.2 Kohesi Leksikal ~ 38
A. Pengulangan ~ 38
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 13
B. Sinonimi ~ 40
C. Antonimi ~ 41
D. Hiponimi ~ 41
E. Ekuivalensi ~ 42
3.2 Pemakaian Kohesi dalam Surat Kabar ~ 43
3.2.1 Kohesi Gramatikal ~ 43
A. Kohesi Gramatikal Menggunakan Referensi ~ 43
a. Referensi Persona ~ 43
b. Referensi Demonstratif ~ 49
c. Referensi Komparatif ~ 54
B. Kohesi Gramatikal Menggunakan Subtitusi ~ 54
a. Subtitusi Nomina ~ 54
b. Subtitusi Verba ~ 56
c. Subtitusi Adjektiva ~ 57
C. Kohesi Gramatikal Menggunakan Penghilangan ~ 57
a. Penghilangan Kata ~ 57
b. Penghilangan Frasa ~ 59
c. Penghilangan Klausa ~ 60
D. Kohesi Gramatikal Menggunakan Konjungsi ~ 62
a. Konjungsi Koordinatif ~ 62
b. Konjungsi Subordinatif ~ 63
c. Konjungsi Korelatif ~ 70
d. Konjungsi Antarkalimat ~ 71
3.2.2 Kohesi Leksikal ~ 72
A. Kohesi Leksikal Menggunakan Pengulangan ~ 72
a. Pengulangan Sama Tepat ~ 73
b. Pengulangan dengan Perubahan Bentuk ~ 74
c. Pengulangan Sebagian ~ 75
d. Pengulangan Parafrasa ~ 75
B. Kohesi Leksikal Menggunakan Sinonimi ~ 76
C. Kohesi Leksikal Menggunakan Antonimi ~ 77
D. Kohesi Leksikal Menggunakan Hiponimi ~ 78
14 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
E. Kohesi Leksikal Menggunakan Ekuivalensi ~ 79
F. Kohesi Leksikal Menggunakan Kolokasi ~ 80
3.3 Pembahasan Penggunaan Kohesi dalam Surat Kabar ~ 81
BAB 4
KOHERENSI: PERANTI ANTARUNSUR YANG TERIMPLISIT ~ 83
4.1 Dasar Teori ~ 83
4.1.1 Koherensi Berpenanda ~ 83
A. Koherensi Temporal ~ 83
B. Koherensi Intensitas ~ 84
C. Koherensi Kausalitas ~ 84
D. Koherensi Kontras ~ 85
E. Koherensi Aditif ~ 85
F. Koherensi Kronologis ~ 86
G. Koherensi Perurutan ~ 86
4.2.2 Koherensi Tidak Berpenanda ~ 87
A. Koherensi Perincian dan Koherensi Perian ~ 87
B. Koherensi Wacana Dialog ~ 87
4.2 Pemakaian Koherensi dalam Surat Kabar ~ 88
4.2.1 Koherensi Kontekstual ~ 89
A. Koherensi Wacana Promotif ~ 89
B. Koherensi Wacana Normatif ~ 90
a. Koherensi Wacana Klarifikatif ~ 90
b. Koherensi Wacana Deklaratif ~ 92
4.2.2 Koherensi Kotekstual ~ 93
A. Koherensi Kotekstual Endofora Anaforis ~ 93
B. Koherensi Kotekstual Endofora Kataforis ~ 95
4.2.3. Koherensi Logis ~ 97
A. Koherensi Definisi ~ 97
B. Koherensi Simpulan ~ 100
a. Koherensi Simpulan Deduktif ~ 101
b. Koherensi Simpulan Induktif ~ 104
4.3.Pembahasan Penggunaan Koherensi dalam Surat Kabar ~ 106
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 15
BAB 5 TINDAK TUTUR ILOKUSI ~ 110
5.1 Dasar Teori ~ 110
5.1.1 Definisi Tindak Ilokusi ~ 112
5.1.2 Jenis-Jenis Tindak Ilokusi ~ 113
5.1.3 Alat Penunjuk Tekanan Ilokusi ~ 116
5.2. Pemakaian Tindak Ilokusi dalam Surat Kabar ~ 118
5.2.1 Tindak Ilokusi Direktif ~ 118
A. Tindak Ilokusi Direktif yang Berwujud
Tuturan Imperatif ~ 119
a. Tuturan Imperatif Langsung (Biasa) ~ 120
b. Tuturan Imperatif Larangan ~ 121
c. Tuturan Imperatif Permintaan ~ 123
d. Tuturan Imperatif Permohonan ~ 124
e. Tuturan Imperatif Harapan ~ 125
f. Tuturan Imperatif Anjuran ~ 126
g. Tuturan Imperatif Persilaan ~ 127
B. Tindak Ilokusi Direktif yang Berwujud
Tuturan Nonimperatif ~ 129
C. Tindak Ilokusi Representatif ~ 130
D. Tindak Ilokusi Komisif ~ 132
E. Tindak Ilokusi Ekspresif ~ 133
a. Tindak Ilokusi Ekspresif yang Berbentuk
Tuturan Deklaratif ~ 133
b. Tindak Ilokusi Ekspresif yang Berbentuk
Tuturan Interogatif ~ 135
c. Tindak Ilokusi Ekspresif Gabungan antara
Tuturan Deklaratif dan Interogatif ~ 136
5.3 . Pembahasan Penggunaan Tindak Ilokusi
dalam Surat Kabar ~ 137
BAB 6 KESANTUNAN BERBAHASA ~ 141
6.1 Dasar Teori ~ 141
6.1.1 Teori Sopan Santun Berbahasa Menurut Leech (1983) ~ 143
16 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
A. Jenis Tindak Tutur yang Mengandung Sopan Santun ~ 143
B. Skala Kesopanan ~ 144
C. Prinsip Kesopanan ~ 145
6.1.2 Teori Sopan Santun menurut
Brown dan Levinson (1987) - 146
A. Konsep Sopan Santun ~ 146
B. Skala Kesopanan ~ 146
6.1.3 Teori Sopan Santun Berbahasa Menurut Lakoff (1973) ~ 147
6.1.4 Teori Sopan Santun Menurut Fraser (1978) ~ 148
6.1.5 Teori Sopan Santun Menurut Poedjosoedarmo (1978) ~ 149
6.2 Penanda Tingkat Kesantunan Tuturan dalam Surat Kabar ~ 151
6.2.1 Analogi ~ 152
6.2.2 Diksi atau Pilihan Kata ~ 153
6.2.3 Penggunaan Gaya Bahasa ~ 158
A. Perumpamaan ~ 159
B. Metafora ~ 160
C. Hiperbola ~ 162
D. Eufemisme ~ 162
6.2.4 Penggunaan Keterangan (Kata) Modalitas ~ 163
A. Keterangan Modalitas yang Menyatakan
Tingkat Kepastian ~ 164
B. Keterangan Modalitas yang Menyatakan
Tingkat Keharusan (Kewajiban) ~ 165
6.2.5 Menyebutkan Subjek yang Menjadi Tujuan Tuturan ~ 166
6.2.6 Bentuk Tuturan ~ 169
6.3 Pembahasan Kesantunan Berbahasa dalam Surat Kabar ~ 174
BAB 7
PENUTUP ~ 182
DAFTAR PUSTAKA ~ 184
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 17
BAB 1 LOGIKA DAN WACANA
1.1 Hubungan Logika dengan Bahasa
Logika adalah ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berpikir
lurus. Dengan kata lain, logika adalah pengetahuan tentang kaidah
berpikir. Akan tetapi, karena ‘berpikir lurus’ itu masih merupakan suatu
aktivitas yang abstrak dan pengetahuan tentang ‘kaidah-kaidah berpikir’
itu masih mengandung pertanyaan—misalnya apa itu kaidah berpikir
dan apakah berpikir itu memang ada kaidahnya—pada gilirannya
pikiran lurus berdasarkan kaidah-kaidah tertentu harus dituangkan
dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tulis, sehingga hasil pikiran
itu akan konkret. Dengan demikian, di situ akan terlihat jelas (terbukti)
apakah suatu hasil pikiran itu lurus atau tidak (Lanur, 1983; Sumarsono,
2004).
Dalam kaitan dengan pengertiannya itu, logika senantiasa berurusan
dengan bahasa. Dan, bahasa tidaklah lain adalah sistem lambang bunyi
yang arbitrer, yang digunakan oleh suatu anggota masyarakat untuk
bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (KBBI, 2008).
Dengan kata lain, bahasa merupakan alat komunikasi antaranggota
masyarakat. Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan suatu konvensi
(kesepakatan). Dalam istilah formal, kesepakatan itu merupakan dalil-
dalil (hukum-hukum). Hukum-hukum bahasa diatur sedemikian rupa
sehingga dengan menepati hukum-hukum itu komunikasi antaranggota
masyarakat dapat berterima. Hukum-hukum itu, selain meliputi tata
ejaan dan tata bentuk istilah dan serapan sebagaimana telah diatur
18 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan
Pedoman Umum Pembentukan Istilah yang dikaji secara internal oleh
mikrolinguistik, juga meliputi kesepakatan langsung ataupun tidak
langsung mengenai kesantunan berbahasa yang dikaji secara eksternal
oleh makrolinguistik. Demikianlah, kajian internal dan eksternal bahasa
merupakan alas-pijak bagi pengembangan studi logika.
Tidak terlepas dari hukum-hukum kebahasaan (tata bahasa) dan
hukum-hukum kesantunan berbahasa, hukum-hukum logika formal
menganut aturan-aturan berpikir lurus yang tersistem menurut
hukum-hukum kebahasaan. Menurut Lanur (1983), hukum-hukum
logika terbagi atas tiga, yaitu pengertian (kata), keputusan (kalimat), dan
penyimpulan (pembuktian). Pengertian didefinisikan sebagai ‘inti’ dari
sesuatu. Inti itu dapat dibentuk oleh akal budi. Hal yang dibentuk ialah
suatu gambaran yang ideal atau suatu konsep tentang sesuatu. Oleh
karena itu, pengertian masih merupakan suatu gambaran akal budi yang
abstrak tentang sesuatu.
Pengertian dapat diselidiki melalui dua hal, yaitu kata dan term.
Kata merupakan tanda lahiriah untuk menyatakan pengertian dengan
barangnya, misalnya ‘Marsel menendang bola’. Yang terungkap dalam
pernyataan itu ialah pengertian (konsep) dan barangnya yang konkret
(orang, benda). Term merupakan sudut pandang suatu pernyataan
(konsep) sesuai kedudukan atau fungsi masing-masing unsurnya.
Jika ada pernyataan ‘Marsel menendang bola’, dari sudut kedudukan
atau fungsi masing-masing unsurnya, Marsel menduduki fungsi subjek,
menendang sebagai pengisi fungsi predikat, dan bola merupakan pengisi
fungsi objek.
Keputusan adalah kegiatan manusia untuk mengakui atau
memungkiri kesatuan atau hubungan antara dua hal. Adanya dua hal
membuat manusia menerima yang satu atau menolak yang lain, atau
menerima kedua-duanya, atau menolak kedua-duanya. Kesatuan antara
dua hal yang dimaksud ialah subjek dan predikat. Dalam hal keputusan,
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 19
keduanya dipersatukan, dihubungkan, atau dipisahkan. Bentuk lahiriah
keputusan dapat berupa kalimat dan kalimat senantiasa terdiri dari
unsur subjek dan predikat, yang di dalamnya terhimpun kumpulan kata
dan mengandung pikiran yang lengkap.
Penyimpulan merupakan kegiatan manusia untuk merumuskan
suatu prinsip yang dapat merangkum beberapa prinsip lainnya. Dalam
logika dikenal metode berpikir deduksi dan induksi. Jika kita berpikir
mulai dari fakta-fakta kemudian berdasarkan fakta-fakta itu kita dapat
merumuskan sebuah prinsip sebagai hasil rangkumannya, di situ kita
menggunakan metode berpikir induksi. Misalnya, kampus A memiliki
jadwal kuliah mahasiswa sebagai berikut: Senin, kuliah dimulai dari
pkl. 07.00 s/d 12. 00; Selasa, kuliah dimulai dari pkl. 07.00-11.00; Rabu, kuliah
dimulai pkl. 08.00 s/d 14.00; Kamis, kuliah dimulai pkl. 06.30-11.30; Jumat,
kuliah dimulai pkl. 08.00 s/d 11.00; Sabtu, kuliah dimulai pkl. 08.00 s/d 13.00.
Dari fakta-fakta (jadwal) itu dapatlah diambil sebuah kesimpulan, yaitu:
“jadwal kuliah mahasiswa kampus A berlangsung Senin sampai Sabtu antara pkl.
06.30 s/d 14.00”. Jika dicermati, keseluruhan fakta dalam kesimpulan itu
dapat terangkum, yaitu ada Senin sebagai acuan hari pertama dan Sabtu
sebagai acuan hari terakhir dalam konteks keseluruhan jadwal itu; dan
ada pkl. 06.30 sebagai acuan waktu paling awal dan pkl. 14.00 sebagai
acuan waktu paling akhir dari keseluruhan waktu yang ada dalam
jadwal itu.
Sebaliknya, jika kita mempunyai sebuah pernyataan, prinsip, rumus,
hukum, teori, kepercayaan dan keyakinan, kemudian dari pernyataan,
prinsip, rumus, hukum, dan teori-teori itu kita dapat mereduksi,
menggeneralisasi, menjelaskan, dan membuktikan kebenarannya,
di situ kita menggunakan metode penalaran deduksi. Misalnya, ada
pernyataan umum: Semua mantan presiden Indonesia pernah terlibat korupsi,
lalu pernyataan umum itu diikuti pernyataan khusus, Soeharto adalah
mantan presiden Indonesia, maka kesimpulannya, Soeharto pernah terlibat
korupsi.
20 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Walaupun ada penyimpulan yang dikembangkan dari metode
berpikir deduksi dan induksi, dalam filsafat bahasa, khususnya dalam
kajian pragmatik, masih dikenal juga presupposition (praanggapan). Yang
dimaksudkan dengan praanggapan ialah penyimpulan yang didasarkan
bukan pada deretan fakta dan teori atau prinsip yang dikandung di
dalam satu atau beberapa kalimat, melainkan makna-makna lain di
luar satu atau beberapa kalimat. Misalnya ujaran “Kakaknya yang pertama
mengajar di Jakarta”. Dari ujaran itu, kita dapat menarik kesimpulan-
kesimpulan (praanggapan) berdasarkan penalaran kita, misalnya: (a)
dia mempunyai beberapa kakak, karena adanya unsur kakaknya yang pertama
dalam kalimat itu; (b) kakaknya yang pertama itu guru, karena adanya unsur
mengajar dalam kalimat itu; (c) kakaknya itu tidak ada di rumah orangtuanya,
karena adanya unsur di Jakarta dalam kalimat itu.
1.2 Konsep Wacana
Kata wacana berasal dari kosa kata Sansekerta vacana yang artinya
‘bacaan’. Kata vacana itu kemudian masuk ke dalam bahasa Jawa Kuna
dan bahasa Jawa Baru menjadi wacana yang berarti bicara, kata, atau
ucapan (Baryadi, 2002). Kata wacana dalam bahasa Jawa Baru itu diserap
ke dalam bahasa Indonesia wacana yang berarti ucapan, percakapan, kuliah
(Poerwadarminta, 2003). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Diknas,
2008) pengertian itu ditegaskan kembali, yakni bahwa wacana tidaklah
lain dari komunikasi verbal atau percakapan; atau pertukaran ide secara
verbal. Di situ juga dicatat bahwa wacana adalah keseluruhan tutur
yang merupakan satu kesatuan.
Lebih lanjut, kata wacana dalam bahasa Indonesia dipakai sebagai
padanan dari kata Inggris discourse. Secara etimologis discourse berasal
dari kosa kata Latin discursus yang artinya ‘lari kian kemari’. Discursus
merupakan turunan dari discurere yang merupakan gabungan dari dis
dan curere yang memiliki arti ‘lari, berjalan kencang’. Dalam linguistik,
wacana dimengerti sebagai satuan lingual yang berada di atas tataran
kalimat. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1552) masih mencatat
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 21
rumusan yang lebih detail, yaitu bahwa dalam bidang linguistik, wacana
merupakan satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk
karangan atau laporan utuh seperti buku, artikel, pidato, dan khotbah.
Sejalan dengan itu, Kridalaksana (1993) mengatakan bahwa
wacana adalah satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, direalisasikan
dalam bentuk karangan utuh, paragraf, dan kalimat yang membawa
amanat lengkap. Hal itu berarti wacana mencakup kalimat, paragraf,
penggalan wacana (pasal, subbab, bab, atau episode), dan wacana utuh.
Jika demikian, kalimat merupakan satuan gramatikal terkecil dalam
wacana sehingga seiring dengan itu kalimat merupakan basis pokok
pembentukan wacana (Baryadi, 2002).
Banyak ahli telah membuat klasifikasi wacana sesuai dengan
sudut pandangnya, atau dari mana sebuah wacana dilihatnya. Namun
demikian, pada umumnya wacana dapat diklasifikasi menjadi dua, yaitu:
a. Berkenaan dengan sarananya, wacana dapat diklasifikasi menjadi
dua, yaitu (a) wacana lisan, dan (b) wacana tulis.
b. Dilihat dari penggunaan, pemaparan, dan tujuannya, wacana
dapat diklasifikasi menjadi dua, yaitu (a) wacana prosa, dan (b)
wacana puisi.
Wacana prosa selanjutnya diklasifikasi menjadi lima, yakni:
a. Wacana narasi, yaitu wacana yang menceritakan sesuatu hal.
b. Wacana deskripsi, yaitu wacana yang melukiskan atau
menggambarkan hal, orang, atau tempat tertentu.
c. Wacana eksposisi, yaitu wacana yang memaparkan sesuatu hal.
d. Wacana persuasi, yaitu wacana yang mengajak, menganjurkan,
atau malah melarang pembaca untuk melakukan sesuatu hal.
e. Wacana argumentasi, yaitu wacana yang memberikan argumen
atau alasan terhadap sesuatu hal.
1.3 Wacana, Paragraf, dan Kalimat
Dalam wacana tulis, gabungan beberapa kalimat yang
mengungkapkan satu pokok pembicaraan (satu topik) disebut paragraf.
22 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Kata paragraf berasal dari kosa kata Prancis Kuna paragraphs atau
paragraphus dalam bahasa Latin. Paragraps atau paragraphus yang berasal
dari kata dasar para yang berarti tepi dan graphos yang berarti tanda,
sehingga paragraf memiliki arti harafiah ‘tanda di tepi’. Dalam hierarki
satuan, sebuah paragraf dapat disebut juga sebagai sebuah wacana
(Chaer, 2007; Baryadi, 2002). Perhatikan bagan berikut.
Bagan 1. Posisi satuan-satuan gramatikal
WACANA
KALIMAT
KLAUSA
FRASA
KATA
MORFEM
FONEM
FONA
Berdasarkan paparan di atas, maka wacana mencakup kalimat,
gugus kalimat, dan paragraf. Karena menempati posisi terbesar dalam
unsur linguistik, wacana dalam perkembangannya dikaji secara ilmiah.
Cabang linguistik yang secara khusus mengkaji wacana adalah Discourse
Analysis ‘Analisis Wacana’. Tugas Analisis Wacana adalah mengkaji segi
internal maupun eksternal wacana. Secara internal, wacana dikaji dari
segi jenis, struktur dan bagian-bagiannya. Secara eksternal, wacana
dikaji dari keterkaitannya dengan pembicara, hal yang dibicarakan,
penulis, hal yang ditulis, dan penulis dengan pembaca (Baryadi, 2002).
Dengan demikian, tujuan pengkajian wacana adalah untuk
mengungkapkan kaidah kebahasaan yang mengkonstruksi wacana,
pemroduksian wacana, pemahaman wacana, dan pelambangan suatu
hal dalam wacana, dengan memperhatikan segi internal dan eksternal
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 23
wacana itu. Posisi Analisis Wacana dalam Linguistik dapat dilihat pada
bagan berikut.
Bagan 2. Posisi Analisis Wacana dalam kajian Linguistik
WACANA
KALIMAT
KLAUSA
FRASA
KATA
MORFEM
FONEM
FONA
(Baryadi, 2002: 3)
Sejalan dengan konsep dan klasifikasi wacana sebagaimana telah
dipaparkan di atas, wacana dalam surat kabar pada hakikatnya merupakan
hasil tulisan berupa pemerian suatu hal yang membawa amanat secara
lengkap. Rahardi (2006) mengatakan bahwa wacana dalam surat kabar
semula hanya berupa berita. Dalam perkembangannya, berita dikemas
dengan berbagai teknik sehingga menghasilkan feature, opini, dan lain-
lain. Jadi, wacana dalam surat kabar sesungguhnya merupakan bagian
dari karangan tulis pada umumnya. Dengan kata lain, wacana dalam
surat kabar merupakan konstruksi pikiran berupa penggambaran fakta
dan opini melalui bahasa yang bercirikan ragam bahasa jurnalistik.
Jika wacana dalam surat kabar merupakan suatu konstruksi pikiran
berupa penggambaran fakta dan opini, jelas kiranya bahwa berkenaan
Analisis Wacana
Fonemik
Fonetik
Morfologi
Sintaksis
24 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
dengan bentuk dan pemaparannya, wacana dalam surat kabar berupa
wacana prosa yang diwujudkan dalam bentuk narasi, deskripsi,
persuasi, argumentasi, dan eksposisi. Dengan demikian, wacana dalam
surat kabar diwujudkan dalam bentuk unsur-unsur bahasa berupa
kalimat-kalimat dan paragraf-paragraf yang memiliki pertalian bentuk
dan makna (kohesi dan koherensi).
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 25
BAB 2KELOGISAN DAN KESANTUNAN BERBAHASA
2.1 Hubungan Bentuk dan Makna
Bahasa memiliki bentuk dan makna. Dari segi bentuk (dalam konteks
tata bahasa), fona adalah ‘unsur bahasa yang paling kecil’, sedangkan
wacana adalah ‘unsur bahasa yang paling besar’. Fona sebagai unsur
terkecil bahasa membentuk fonem dan fonem membentuk morfem.
Rangkaian morfem membentuk kata dan rangkaian kata membentuk
frasa atau klausa. Rangkaian frasa dan/atau klausa membentuk kalimat
dan akhirnya beberapa kalimat membentuk wacana (Chaer, 2007; bdk.
Rani, dkk., 2006).
Dari segi makna, unsur terkecil bahasa—yakni fona—tidak
memiliki makna. Di atas fona—yaitu fonem—tidak memiliki makna,
tetapi dapat membedakan makna. Fonem /p/ pada pagi dan fonem /b/
pada bagi dapat membedakan makna kata pagi dan bagi (Moeliono, ed.
al., 1992:43). Setelah fonem, dari morfem sampai wacana adalah unsur-
unsur bahasa yang dikatakan telah memiliki makna. Lebih jauh dari itu,
konteks penggunaan bahasa pun berpengaruh terhadap makna.
Pranowo (1996:79) menyebut konteks penggunaan bahasa sebagai
konteks situasi, yakni segala situasi yang melingkupi penggunaan
bahasa. Menurut Parera (1990), segala situasi yang dimaksud adalah
setting, kegiatan, dan relasi. Setting meliputi waktu dan tempat. Kegiatan
meliputi segala tingkah laku yang terjadi ketika berinteraksi. Sementara
itu, relasi meliputi hubungan antara pembicara dengan pendengar
atau penulis dengan pembaca. Oleh karena itu, konteks situasi turut
memengaruhi makna.
26 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Sejalan dengan bentuk dan makna bahasa, hubungan antarbagian
wacana dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni hubungan bentuk
yang disebut kohesi dan hubungan makna yang disebut koherensi
(Baryadi, 2002). Hal itu dilatari kenyataan bahwa pada umumnya sebuah
wacana terdiri dari sejumlah kalimat. Ramlan (1993) mengatakan
bahwa di bidang bentuk terdapat penanda-penanda hubungan antara
kalimat yang satu dengan kalimat yang lain dalam sebuah wacana
sehingga wacana itu merupakan satu-kesatuan yang apik (kohesif). Di
bidang makna, setiap kalimat mengatakan suatu informasi. Informasi
pada kalimat yang satu berhubungan dengan informasi pada kalimat
yang lain sehingga di dalam hubungan itu terjalin kepaduan makna
(koherensi). Oleh karena itu, kohesi dan koherensi tidak boleh
diabaikan dalam kajian bentuk dan makna bahasa.
Perbedaan antara wacana yang koheren dan kalimat yang tidak
saling terkait dapat ditemukan dalam unsur-unsur linguistik yang
bertugas untuk menghubungkan setiap proposisi dalam sebuah wacana
secara keseluruhan. Menurut Pranowo (1996:82), pertalian mata rantai
(proposisi) satu dengan yang lain dalam sebuah wacana ada beberapa
jenis, yaitu: a) dengan kata penghubung dan b) tanpa menggunakan kata
penghubung. Hasil pertaliannya juga terjadi dalam beberapa bentuk,
yaitu: a) kohesif sekaligus koheren, b) kohesif tidak koheren, dan c)
tidak kohesif tetapi koheren. Sebagai gambaran, berikut dipaparkan
contoh mengenai proposisi yang kohesif sekaligus koheren.
(1) a) Di atas ini adalah gambar papan catur yang istilah teknisnya disebut diagram. b) Untuk memudahkan penglihatan, diagram itu disajikan buah caturnya.
Contoh di atas terdiri dari dua kalimat, yaitu kalimat (a) dan (b).
Kata itu pada frasa ‘diagram itu’ dalam kalimat (b) menunjuk pada kata
diagram yang terdapat pada kalimat (a). Pertalian kedua kalimat itu
kohesif sekaligus koheren karena hubungan pertalian antara kalimat
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 27
(a) dan (b) ditandai kohesi penunjuk anaforik sehingga maknanya pun
jelas (Ramlan, 1993).
Selain itu, sering juga ditemukan adanya wacana yang menggunakan
penanda kohesi, tetapi wacana itu tidak koheren bila dilihat dari segi
makna. Berikut adalah contoh pertalian proposisi yang kohesif, tetapi
tidak koheren.
(2) Kota Yogyakarta dikenal juga sebagai kota pelajar (a). Tanah di sekitarnya sangat subur (b). Banyak penduduk baru yang datang untuk mencari pekerjaan (c). Pada malam hari banyak orang berjalan-jalan di sepanjang jalan Malioboro untuk menghirup udara malam (d).
Contoh di atas terdiri dari empat kalimat. Kalimat (a), yang
merupakan kalimat pembuka, menyatakan bahwa kota Yogyakarta
dikenal juga sebagai kota pelajar merupakan ide pokoknya. Pada kalimat
(b) terdapat penanda kohesi -nya yang menggantikan kota Yogyakarta
pada kalimat (a). Akan tetapi, hubungan makna antara kalimat (a) dan
kalimat (b) tidak koheren, karena kalimat (a) berbicara tentang kota
pelajar, sedangkan kalimat (b) berbicara mengenai tanah yang subur.
Sementara itu, kalimat (c) dan (d) masing-masing membicarakan topik
yang berbeda, yang sama sekali tidak ada kaitanya dengan kalimat (a).
Dari contoh-contoh di atas dapatlah dikatakan bahwa ada
keterkaitan antara kohesi dan koherensi dalam wacana. Keterkaitan itu
terletak pada unsur-unsur pembangunnya serta pertalian semantik yang
membuat wacana itu bermakna (bdk. Rani, dkk., 2006:90). Dengan kata
lain, kohesi dan koherensi merupakan penghubung bentuk dan makna
bagian-bagian wacana sehingga wacana itu utuh (Baryadi, 2002:39).
Kendati demikian, menurut Moeliono (ed. al., 1992:35), meskipun
kohesi dan koherensi umumnya berpautan (berkaitan), tidaklah berarti
bahwa kohesi harus ada agar wacana menjadi koheren. Dengan kata
lain, sebuah wacana yang tidak mengandung unsur kohesi tidak berarti
bahwa wacana itu tidak memiliki makna atau tidak koheren. Hal ini
karena makna wacana dapat juga ditafsirkan dari latar konteks, yakni
28 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
situasi di mana dan kapan sebuah wacana terjadi. Pertalian macam itu
disebut pertalian wacana yang tidak kohesif, tetapi koheren. Berikut
adalah contoh pertalian wacana yang tidak kohesif, tetapi koheren.
(3) Ada skenario hancurkan KPK! (a) Koruptor tepuk tangan! (b)
(Pojok Udin Bernas Jogja, 6/8/2009).
Wacana di atas terdiri dari dua bagian, yaitu (a) dan (b). Bagian
(a) merupakan pernyataan, dan bagian (b) merupakan tanggapan
atas pernyataan (a). Jika dicermati, hubungan antara (a) dan (b) tidak
ditandai unsur kohesi. Akan tetapi, pertalian wacana itu koheren
karena diliputi konteks situasi, yakni adanya kontroversi testimoni
Antasari Azhar sebagai skenario untuk menghancurkan KPK. Hal itu
tampak dalam berita utama harian tersebut. Dari esensi berita utama
harian itu terlihat bahwa kontroversi testimoni Antasari Azhar dapat
memberi peluang kepada para koruptor di negeri ini untuk bersorak-
riang karena mereka akan bebas dari jerat hukum. Dengan demikian,
meskipun wacana (3) di atas tidak memilik unsur kohesi, wacana itu
koheren karena adanya konteks berupa latar situasi sehingga maknanya
pun tidak diragukan sama sekali.
2.2.. Kesantunan Berbahasa
Manusia adalah homo socius (makhluk sosial). Sebagai makhluk sosial,
manusia tentunya senantiasa hidup dan ada bersama orang lain. Lebih
dari sekedar ada, manusia juga tentunya akan selalu berinteraksi dan
berkomunikasi dengan yang lain. Menurut Gunarwan (2005:4), fungsi
utama komunikasi adalah penyampaian informasi atau pesan (message).
Di dalam kepustakaan sosiolinguistik, fungsi ini disebut sebagai fungsi
referensial bahasa. Dalam berkomunikasi, sarana utama yang digunakan
adalah bahasa. Jadi, fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi;
sarana untuk menyampaikan pesan atau informasi.
Sebagai sebuah alat komunikasi, yang merupakan fungsi utama
bahasa, sudah barang tentu yang menjadi perhatian pertama dan utama
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 29
ketika orang berbahasa adalah tersampaikannya informasi (pesan) dari
pembicara kepada lawan bicara. Dalam menyampaikan pesan atau
informasi itu, setiap orang memiliki cara atau gayanya tersendiri. Hal
ini amat tergantung dari siapa lawan bicaranya (status sosial antara
pembicara dengan lawan bicara), dalam situasi seperti apa (resmi/
formal, tidak resmi/informal), di mana, dan aspek-aspek lain yang patut
dipertimbangkan saat berkomunikasi.
Salah satu aspek yang sangat penting untuk diperhatikan ketika
dua atau lebih orang melakukan kegiatan berkomunikasi (bertukar
pesan) adalah menjaga kesopansantunan atau keharmonisan antara
pembicara dan lawan bicara. Nasihat “berbicara jangan asal bicara”
kiranya perlu menjadi perhatian yang serius. Sikap ini harus dijaga agar
pembicara dan lawan bicara sama-sama merasa nyaman dan tidak ada
satu orang pun yang mengalami kerugian. Dalam bahasa Gunarwan,
tidak ada yang merasa kehilangan “muka”. Oleh Kushartanti (2005:105)
dikatakan bahwa sebuah interaksi sosial akan terjalin dengan baik jika
syarat-syarat tertentu terpenuhi. Salah satu syaratnya adalah kesadaran
akan bentuk sopan santun yang dapat ditunjukkan dengan berbagai
hal, seperti dengan penggunaan bentuk pronomina tertentu dalam
percakapan.
Menurut Baryadi (2005), sopan santun atau tata krama itu
adalah salah satu wujud penghormatan seseorang kepada orang
lain. Penghormatan atau penghargaan terhadap sesama itu bersifat
manusiawi. Saling menghargai merupakan salah satu kekhasan manusia
sebagai makhluk berakal budi, yaitu makhluk yang selalu mendasari
tindakannya berdasarkan pertimbangan akal budi, bukan berdasarkan
insting.
Lebih lanjut Baryadi menjelaskan bahwa menurut jenis perilakunya,
sopan santun dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni sopan santun
verbal dan sopan santun nonverbal. Sopan santun verbal adalah sopan
santun perilaku dengan menggunakan bahasa atau sopan santun
berbahasa, seperti sopan santun berbicara, menyapa, menyuruh,
30 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
menelepon, berterima kasih, meminta maaf, mengkritik, dan lain-lain.
Sopan santun nonverbal adalah sopan santun perilaku biasa, seperti
makan, minum, bertamu, bergaul, berpakaian, dan berjalan. Jenis sopan
santun yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sopan santun verbal.
Sopan santun berbahasa biasa disebut pula etiket berbahasa.
Dasar terciptanya sopan santun berbahasa tersebut adalah sikap
hormat penutur kepada mitra tutur yang terwujud dalam penggunaan
bahasanya. Sopan santun berbahasa merupakan sikap hormat penutur
kepada mitra tutur yang diwujudkan dalam tuturan yang sopan.
Tuturan yang sopan dilahirkan dari sikap yang hormat pula. Oleh
Suwadji dikatakan bahwa sopan santun berbahasa adalah seperangkat
prinsip yang disepakati oleh masyarakat bahasa untuk menciptakan
hubungan yang saling menghargai antara anggota masyarakat pemakai
bahasa yang satu dengan anggota yang lain (Baryadi, 2005:71).
Dengan keinginan untuk menjaga kesopansantunan atau
menyelamatkan “muka” itulah maka orang kemudian memilih cara
dan gaya tersendiri ketika ingin menyampaikan suatu maksud (pesan)
kepada orang lain. Banyak cara atau gaya yang dipilih; salah satu di
antaranya adalah penggunaan bentuk tuturan tidak langsung. Menurut
Leech, motivasi penggunaan bentuk tindak tutur tidak langsung itu
adalah agar ujaran terdengar santun (Gunarwan, 2005:8).
Dalam menggunakan bentuk tuturan tidak langsung ini, seseorang
yang hendak menyampaikan suatu maksud akan menggunakan kata-
kata (bertutur) yang tidak persis sama (bahkan sungguh berbeda)
dengan apa yang ia maksudkan itu. Contohnya ungkapan “Pak, gulanya
habis!” yang disampaikan seorang istri kepada suaminya sesungguhnya
mengandung maksud (tindak ilokusi) bahwa si istri meminta si suami
untuk membeli gula atau memberikan sejumlah uang untuk membeli
gula. Bandingkan kalau si istri menggunakan ungkapan seperti ini
“Pak, belikan gula! Gulanya dah habis.” atau “Pak, minta uang mau beli gula!
Gulanya dah habis.”. Tampaknya ungkapan seperti itu kurang santun atau
dengan kata lain tidak dapat menyelamatkan ‘muka’ si suami, apalagi
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 31
kalau ungkapan seperti itu diucapkan sang istri atau anak ketika masih
ada tamu di rumah. Ungkapan itu dipersepsikan tidak santun karena
apa yang dimaksudkan oleh penutur diungkapkan secara langsung
yang terwujud lewat tuturannya.
Melalui bentuk tuturan tidak langsung, sesungguhnya ada banyak
hal yang dimaksudkan oleh penutur kepada mitra tutur, misalnya
menyuruh, meminta, memohon maaf, dan lain-lain. Seperti yang sudah
diungkapkan di atas bahwa berbagai maksud itu kemudian “dikemas”
dalam bentuk tuturan tidak langsung agar tuturan itu terdengar santun
oleh mitra tutur. Namun, perlu dipahami bahwa tidak setiap tuturan
tidak langsung selalu santun. Dalam batas-batas tertentu tuturan tidak
langsung juga akan terdengar tidak santun oleh mitra tutur.
Dijaganya sikap sopan santun dalam berbahasa memang ada
kaitan yang erat dengan salah satu fungsi bahasa yakni sebagai alat
pemersatu. Artinya, dengan bahasa yang sama sekelompok orang bisa
dipersatukan. Contohnya masyarakat Indonesia (dari Sabang sampai
Merauke) bisa dipersatukan salah satunya berkat sebuah bahasa yang
diketahui dan dipakai bersama, yakni bahasa Indonesia. Karena bahasa
berfungsi sebagai sarana pemersatu, tentunya pemakaian bahasa yang
lebih mementingkan semakin eratnya persatuan menjadi hal yang
harus diperhatikan. Di sini alasan untuk hanya mementingkan unsur
penyampaian pesan semata menjadi kurang terlalu tepat. Masih ada
sisi lain dari pemakaian bahasa sehingga bahasa itu benar-benar akan
membuat pemakainya merasa bersatu. Sisi lain yang dimaksud adalah
pemakaian bahasa yang santun.
Dalam kenyataannya tidak jarang dalam sebuah masyarakat tutur,
penggunaan bentuk tidak langsung ketika ingin menyampaikan suatu
maksud kepada orang lain (mitra tutur) terabaikan. Dalam bahasa
yang lain, masyarakat kita tidak jarang menggunakan bentuk tuturan
langsung ketika akan menyampaikan maksudnya kepada orang lain. Hal
inilah yang menyebabkan komunikasi (proses penyampaian pesan) itu
menjadi terdengar tidak santun. Selain itu, masalah lain adalah bahwa
32 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
pemahaman mitra tutur terhadap maksud yang ingin dikedepankan
penutur melalui tuturannya (tuturan tidak langsung) masih kurang
sehingga menyebabkan komunikasi itu menjadi tidak begitu lancar
(miskomunikasi). Apa yang dimaksudkan penutur menjadi tidak
terwujud. Hal ini salah satunya terwujud karena yang mendengarkan
tuturan (mitra tutur) tidak memahami dengan jelas konteks yang
melingkupi tuturan si penutur (kapan tuturan itu diucapkan, dalam
situasi atau keadaan seperti apa, dan lain-lain).
Tidak hanya itu, penggunaan bahasa Indonesia yang tergolong
tidak santun masih banyak ditemukan di dalam komunikasi sehari-
hari, di antaranya seperti yang tampak di dalam surat kabar. Tentunya
berbagai kenyataan ini menjadi sangat bertolak belakang dengan cita-
cita untuk mewujudkan sopan santun dalam berbahasa, yakni ingin
menyelamatkan muka lawan bicara. Agar lebih jelas perhatikan contoh-
contoh di bawah ini.
(4) Ini revolusi kami setelah tahun 1998. Asrun harus diturunkan. Dia telah membuat kota ini menjadi darah. Asrun membenturkan sesama masyarakat dan preman. Asrun harus turun. (Andi Safri, pengurus BEM Unhalu dalam Jawa Pos, 29/3/2008, hal. 1)
Pernyataan Andi Safri di atas diucapkan saat aksi penyerbuan
polisi ke kampus Haluolo (Unhalu) Kamis (27/3), Kota Kendari. Asrun,
Walikota Kendari dianggap biang kekisruhan karena menggusur PKL;
inilah konteksnya. Secara semantis, penggalan kalimat yang diucapkan
Safri di atas merupakan sebuah kalimat deklaratif (pernyataan).
Namun, pernyataan Safri tersebut bukanlah sekadar pernyataan belaka.
Sesungguhnya ada maksud di balik pernyataan itu, yakni meminta
Asrun, Walikota Kendari ‘turun’ dari jabatannya. Dalam menyampaikan
maksudnya itu, Safri memilih bentuk tuturan langsung, yang tampak
dalam tuturan Asrun harus diturunkan; Asrun harus turun. Tidak hanya
itu. Dalam hal ini penutur (Andi Safri) telah melanggar prinsip sopan
santun, yakni melanggar prinsip penggunaan tuturan tidak langsung
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 33
untuk menjaga “muka” mitra tutur. Karena itu, tuturan ini dipersepsikan
tidak santun oleh pendengar/pembaca.
(5) “Ini adalah contoh betapa SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) sama sekali tidak sensitif terhadap ajaran Islam yang kaffah” (Mahendradatta, Ketua Tim Pengacara Muslim dalam Republika, 11 Mei 2008, hal. B2).
Konteks yang terjadi saat Mahendradatta mengucapkan pernyataan
di atas adalah ketika pemerintah belum mengeluarkan kebijakan
yang pasti berkaitan dengan Ahmadyah di Indonesia. Secara semantis,
penggalan kalimat yang diucapkan Mahendradatta di atas adalah kalimat
pernyataan (deklaratif). Namun, tidak hanya sekadar sebagai sebuah
pernyataan, tuturan itu sesungguhnya bermaksud (tindak ilokusinya)
meminta Presiden SBY untuk segera membubarkan Ahmadyah.
Dalam menyampaikan maksudnya itu, Mahendradatta
menggunakan bentuk tuturan tidak langsung. Namun, dalam persepsi
pendengar/pembaca, tuturan itu tergolong tidak santun karena
Mahendradatta langsung menyebutkan subjek yang dituju, yakni SBY.
Selain itu, ada sesuatu yang diungkapkan Mahendradatta dengan cara
yang hiperbol (melebih-lebihkan) yang ditandai dengan penggunaan
kata sama sekali tidak sensitif. Tuturan Mahendradatta ini jelas tidak
menyelamatkan “muka” SBY.
Bandingkan dengan contoh berikut:
(6) “Tak ada di negeri ini yang imun, termasuk lembaga-lembaga pemerintah, kantor menteri, juga DPR” (Jusuf Kalla, Wapres RI dalam Republika, 26/04/2008, hal. 1).
Pernyataan di atas diucapkan Jusuf Kalla (Wapres RI) ketika KPK
berencana menggeledah DPR. Penggalan kalimat yang diucapkan Jusuf
Kalla di atas merupakan kalimat deklaratif (pernyataan). Namun, jika
dianalisis lebih jauh sesungguhnya maksud yang ingin disampaikan Jusuf
Kalla adalah mendukung langkah KPK untuk menggeledah DPR. Dalam
menyampaikan maksudnya itu, strategi yang dipakai penutur adalah
34 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
menggunakan tuturan tidak langsung (tidak langsung menyampaikan
maksud dan tidak langsung menyebutkan subjeknya). Karena faktor
itulah maka tuturan itu dipersepsikan santun oleh pendengar.
Dari ketiga contoh di atas, ada hal yang menarik yang perlu
digarisbawahi, yakni bahwa ketika akan menyampaikan suatu
maksud, ada beragam cara atau strategi yang dipakai orang dalam
mengungkapkannya. Ada yang menggunakan bentuk tuturan langsung
dan ada juga yang tidak. Pemilihan strategi atau cara bertutur itu
tentunya amat berpengaruh pada tingkat kesopansantunan tuturan itu.
Di dalam surat kabar, tuturan-tuturan seperti pada contoh di atas
sangat banyak kita temukan. Permasalahannya adalah tidak semua
orang mampu memahami maksud yang ingin disampaikan penutur
lewat tuturannya. Selain itu, kita juga menemukan kesulitan dalam
mengidentifikasi penanda-penanda yang menunjukkan sebuah tuturan
itu dipersepsikan santun atau tidak santun oleh pendengar (mitra
tutur).
Dengan alasan itulah, penyajian dalam bab-bab selanjutnya
bermaksud mengungkap berbagai jenis tindak ilokusi (maksud suatu
pernyataan yang diucapkan seseorang; bukan makna) dalam tuturan di
surat kabar dan penanda-penanda apa saja yang menandakan bahwa
ujaran itu santun atau tidak. Upaya mengungkap berbagai jenis tindak
ilokusi dan penanda-penanda kesantunan berbahasa itu beranjak dari
suatu keyakinan bahwa tuturan-tuturan yang ada di dalam surat-surat
kabar bukanlah tuturan tanpa maksud (yang bersumber dari diri si
penutur); dan mungkin terjadi maksud tuturan itu sesuai dengan
maknanya (secara semantis) dan mungkin juga tidak sesuai (berlainan).
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 35
BAB 3KOHESI: PERANTI ANTARUNSUR
YANG TEREKSPLISIT
3.1 Dasar Teori
Kohesi merupakan pertalian antarunsur dalam struktur sintaksis
yang dinyatakan secara eksplisit berupa unsur lingual tertentu.
Halliday dan Hasan membagi kohesi menjadi lima, yaitu (1) referensi,
(2) substitusi, (3) penghilangan, (4) konjungsi, dan (5) kohesi leksikal
(Ramlan, 1993: 12). Referensi, substitusi, penghilangan, dan konjungsi
oleh para analis wacana bahasa Indonesia dimasukkan sebagai bagian
dari kohesi gramatikal. Dengan demikian, dalam analisis wacana bahasa
Indonesia, kohesi terdiri dari (1) kohesi gramatikal dan (2) kohesi
leksikal.
3.1.1 Kohesi Gramatikal
Kohesi gramatikal adalah kohesi yang disebabkan oleh adanya
unsur-unsur bahasa yang secara gramatikal memiliki pertalian makna.
Unsur ia dan unsur buku pada kalimat “Ia rajin membaca buku di
perpustakaan.” memiliki pertalian makna dengan unsur buku-buku dan
-nya pada kalimat “Buku-buku yang dibacanya itu memberikan sumbangan
yang signifikan untuk proses penggarapan skripsinya.” Unsur ia dan
buku pada kalimat pertama memiliki pertalian gramatikal dengan unsur
buku-buku dan -nya pada kalimat kedua. Halliday mengemukakan bahwa
alat-alat pembentuk jaringan teks yang membuat wacana menjadi padu
(kohesi gramatikal) meliputi: referensi, substitusi, penghilangan, dan
konjungsi (Prayitno, 2003: 216).
36 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
A. Referensi
Referensi merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa
satuan lingual tertentu yang merefer (menunjuk) satuan lingual yang
lain, yang mendahului atau yang mengikutinya. Referensi dapat dibagi
menjadi dua, yakni eksofora (situasional) dan endofora (tekstual).
Menurut Suwandi (2008:148), acuan eksofora (situasional) ialah acuan
yang berada di luar teks, sedangkan acuan endofora (tekstual) ialah
acuan yang berada di dalam teks.
Kaswanti Purwo (1987:10) menjelaskan bahwa ditinjau dari arah
acuannya, referensi endoforis dapat dibagi menjadi dua, yaitu anaforis
dan kataforis. Referensi anaforis mengacu kepada suatu konstituen
sebelumnya, sedangkan referensi kataforis mengacu kepada konstituen
di belakangnya. Kohesi referensi dapat dilihat pada contoh berikut.
(1) Setiap akhir pekan, ratusan mobil bernomor polisi Jakarta menyeberangi Selat Sunda menuju Bandar Lampung (BL) (a). Kamar-kamar hotel di kota itu pun setiap Sabtu-Minggu tidak tersisa lagi, bahkan harus dipesan dua minggu sebelumnya (b). BL kotanya enak, di atas bukit dengan panorama laut (c). Kota ini pun tidak terlalu ramai (d). (Kompas dalam Darmini, 2003:235).
Wacana di atas terdiri atas empat kalimat, yaitu kalimat (a), (b), (c)
dan (d). Pada kalimat (b), itu menunjuk BL pada kalimat (a). BL pada
kalimat (c) menunjuk BL pada kalimat (a) atau itu pada kalimat (b).
Pada kalimat (d), ini menunjuk satuan lingual sebelumnya, yakni BL
pada kalimat (a) dan (c) atau itu pada kalimat (b). Referensi seperti itu
disebut referensi demonstratif tempat. BL, ini, dan itu merupakan satuan
endofora. Ini adalah referensi kataforis, yakni acuan untuk konstituen
sebelumnya, sedangkan itu adalah referensi anaforis, yakni acuan untuk
konstituen sesudahnya (bdk. Kaswanti Purwo, 1987:10).
B. Substitusi
Subtitusi merupakan salah satu peranti kohesi gramatikal yang
berupa penggantian satuan lingual tertentu (satuan lingual yang
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 37
telah disebut) dengan satuan lingual yang lain. Subtitusi sebagai salah
satu peranti kohesi gramatikal dapat berfungsi untuk menghindari
kemonotonan sebuah wacana.
Ramlan (1993) menyebut substitusi dengan penggantian.
Kridalaksana (1978) menyebutnya dengan penyulihan. Lepas dari
pilihan istilah yang dipakai, para ahli sepakat bahwa substitusi adalah
kohesi gramatikal berupa penggantian konstituen tertentu dengan
konstituen yang lain. Oleh karena itu, dalam jenis kohesi ini terlihat dua
unsur, yaitu unsur terganti dan unsur pengganti. Substitusi dalam wacana
dapat dilihat pada contoh berikut.
(2) Setelah empat lima kali mendatangi suatu desa, barulah dr. Rien merasa diterima oleh rakyat setempat (a). Ia pun merasa berani sedikit-sedikit berbicara tentang kesehatan, kebersihan, dan keluarga berencana (b).
Pada contoh (2) terdapat dua kalimat, yaitu kalimat (a) dan (b).
Satuan dr. Rien pada kalimat (a) disubstitusi dengan satuan ia pada
kalimat (b).
C. Penghilangan
Penghilangan merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa
pelesapan unsur tertentu yang telah disebutkan (Prayitno, 2003:211).
Penghilangan secara gramatikal dekat dengan substitusi sebab
penghilangan dapat digambarkan sebagai subtitusi kosong (dalam
analisis wacana, unsur yang dihilangkan biasanya ditandai dengan ø
‘zero’). Berikut adalah contoh penghilangan.
(3) Berdasarkan peraturan, sekolah-sekolah swasta yang menumpang di sekolah negeri diberi batas waktu sampai dengan tahun 1990. Setelah itu, ø harus menempati gedung sendiri (Ramlan, 1993:24).
Pada contoh (3) di atas tampak bahwa unsur yang dihilangkan ialah
sekolah-sekolah swasta.
38 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
D. Konjungsi
Yang dimaksud dengan konjungsi ialah kohesi gramatikal yang
dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur
yang lain. Konjungsi dapat bermacam-macam, tergantung hubungan
semantik yang ditimbulkan akibat pertemuan kalimat yang satu dengan
kalimat yang lain dalam wacana (Ramlan, 1984:22). Berikut adalah
contoh konjungsi.
(4) Membaiknya hubungan Timur-Barat disambut baik oleh dunia (a). Sebaliknya, perkembangan itu makin memperjelas ketimpangan hubungan Utara - Selatan, yang berdampak negatif terhadap pembangunan di negara-negara berkembang (b).
Contoh (4) di atas terdiri dari dua kalimat, yaitu kalimat (a) dan
(b). Pada kalimat (b) terdapat kata sebaliknya yang menandai hubungan
antara kedua kalimat itu. Penanda hubungan konjungsi ada yang berupa
kata, misalnya sebaliknya, namun, akhirnya, padahal, kemudian, tetapi dan
ada pula yang berupa kelompok kata yang diakhiri dengan kata itu,
begitu, atau demikian.
3.1.2 Kohesi Leksikal
Kohesi leksikal ialah hubungan yang disebabkan oleh adanya
kata-kata yang secara leksikal memiliki pertalian. Prayitno (2003:222)
mengatakan bahwa kohesi leksikal tidak berkaitan dengan hubungan
gramatikal, tetapi berkaitan dengan hubungan yang didasarkan pada
pemakaian kata. Ada lima jenis kohesi leksikal untuk mewujudkan
keutuhan suatu wacana, yaitu: (1) pengulangan, (2) sinonimi, (3)
antonimi, (4) hiponimi, dan (5) ekuivalensi (Ramlan, 1993:30).
A. Pengulangan
Halliday mengatakan bahwa pengulangan adalah penyebutan
kembali suatu unsur leksikal yang sama seperti yang telah disebut
sebelumnya (Badru, dkk., 2003: 44). Dalam konteks analisis wacana
bahasa Indonesia, pengulangan yang dimaksud bukanlah proses
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 39
reduplikasi seperti kata rumah menjadi rumah-rumah, melainkan
pengulangan sebagai penanda hubungan, yaitu adanya unsur pengulang
yang mengulang unsur yang terdapat pada kalimat di depannya
(Ramlan, 1993: 30).
Ramlan (1993:31) membagi pengulangan menjadi empat, yaitu
pengulangan sama tepat (1), pengulangan dengan perubahan bentuk
(2), pengulangan sebagian (3), dan pengulangan parafrase (4).
1. Pengulangan sama tepat (pengulangan utuh), yaitu pengulangan
yang terjadi karena unsur pengulang sama dengan unsur yang
diulang. Pada umumnya, unsur pengulang diikuti unsur penunjuk
itu, ini, dan tersebut.
(5) Adalah suatu kejahatan menjual kepulauan ini kepada Jepang (a). Kepulauan ini bukan sesuatu yang tumbuh begitu saja dari karang yang tandus (b). Akan tetapi, bagi kami kepulauan ini merupakan zambrut di ujung timur Soviet (c).
Contoh di atas terdiri atas tiga kalimat. Pada kalimat (a) terdapat
frasa kepulauan ini. Frasa ini diulang pada kalimat (b), dan diulang
sekali lagi pada kalimat (c). Kata ini pada frasa-frasa itu merupakan
unsur penunjuk eksoforik (Ramlan, 1993:31).
2. Pengulangan dengan perubahan bentuk, yaitu pengulangan
yang disebabkan oleh keterikatan tata bahasa, misalnya unsur
diulang berupa kata kerja dan unsur pengulang berupa kata
kerja. Pengulangan dengan perubahan bentuk dapat dilihat pada
contoh berikut.
(6) Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan antara pemerintah daerah dengan sejumlah perusahaan di 13 provinsi, pada hari Selasa telah diserahkan 403 kasus pencemaran lingkungan hidup (a). Penyerahan dilakukan oleh Menteri KLH Prof. Dr. Emil Salim ketika memberikan sambutan pada penandatanganan piagam kerja sama tentang peningkatan kemampuan penegakan Hukum Lingkungan di Auditorium Depkeh, Jakarta (b).
40 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Pada kalimat (a) terdapat kata diserahkan. Kata ini diulang
pada kalimat (b) tetapi karena keterikatan tata bahasa, yaitu
menduduki fungsi subjek kalimat yang cenderung diduduki oleh
kata benda, maka kata diserahkan yang termasuk golongan kata
kerja mengalami perubahan bentuk menjadi kata benda, yaitu
penyerahan pada kalimat (b) (Ramlan, 1993:32-33).
3. Pengulangan sebagian, yaitu pengulangan sebagian dari unsur
yang diulang. Pengulangan sebagian dapat dilihat pada contoh
berikut.
(7) Adakah pengaruh kekerasan film bagi Anda? (a) Kalau di TV, Sinchan paling keras! (b)
Contoh di atas terdiri atas dua kalimat. Kata kekerasan pada kalimat
(a) diulang secara parsial (sebagian) pada kalimat (b), yakni keras
(Prayitno, 2003:222).
4. Pengulangan parafrasa, yaitu pengulangan yang unsur
pengulangnya berparafrasa dengan unsur terulang. Misalnya:
(8) Kami mencintai mereka semua tanpa kecuali (a). Kami mencintai mereka semua dengan sepenuh hati dan bertekad membesarkan mereka (b). Jika Tuhan mengizinkan, kami ingin mengantar mereka kelak ke ambang dewasa (c). Melihat mereka menjadi orang (d). Melihat mereka berkeluarga dan menghadiahkan kakek dan nenek mereka cucu-cucu yang mungil (e).
Contoh di atas terdiri atas lima kalimat. Dapat dilihat jelas bahwa
sebagian dari kalimat (b) berparafrasa dengan kalimat (a), dan
sebagian dari kalimat (e) berparafrasa dengan kalimat (d)
(Ramlan, 1993:36).
B. Sinonimi
Yang dimaksud dengan sinonimi ialah penggunaan bentuk bahasa
yang maknanya sama atau mirip dengan bentuk lain. Hal ini sesuai
dengan pendapat Abdul Chaer yang mendefinisikan sinonimi sebagai
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 41
ungkapan (bisa berupa kata, frasa, atau kalimat) yang maknanya kurang
lebih sama dengan makna ungkapan lain (Badru, 1994:6). Berikut ini
dikemukakan contohnya.
(9) Jumlah orang Jawa perantauan ini selalu cenderung naik (a). Sensus yang dilakukan Inggris di tahun-tahun mereka berkuasa menunjukkan peningkatan itu (b).
Pada contoh (9) terlihat bahwa kata naik pada kalimat (a) memiliki
makna yang sama dengan kata peningkatan pada kalimat (b) (Baryadi,
2002:28).
C. Antonimi
Antonimi merupakan kohesi leksikal yang terdapat pada dua unsur
lingual atau lebih yang memiliki makna oposisi. Kridalaksana (1993:15)
mengatakan bahwa antonimi ialah oposisi makna dalam pasangan
leksikal yang dijenjangkan. Dalam peranti kohesi leksikal, antonimi
merupakan hubungan antara suatu konstituen dengan konstituen lain
yang bersifat kontras. Keantoniman dalam sebuah wacana bisa berupa
kata di dalam kalimat, atau bisa juga berupa kalimat di dalam paragraf.
Kohesi antonimi dapat dilihat pada contoh berikut.
(10) Laki-laki lebih rasional, lebih aktif, lebih agresif. Wanita sebaliknya:
lebih emosional, lebih pasif, lebih submisif (Baryadi, 2002:28).
Pada contoh (10) terdapat tiga pasangan kata yang memiliki makna
yang saling bertentangan, yaitu rasional x emosional, aktif x pasif, dan
agresif x submisif (Baryadi, 2002:28).
D. Hiponimi
Hiponimi merupakan peranti kohesi leksikal yang makna kata-
katanya merupakan bagian dari makna kata lain. Kata yang mencakup
beberapa kata yang berhiponim disebut hipernim (subordinat).
Menurut Halliday dan Hasan, dalam relasi makna, kata umum mengacu
ke hipernim, sedangkan kata khusus mengacu ke hiponim (Badru,
dkk., 2003:48). Contoh kohesi hiponimi adalah sebagai berikut.
42 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
(11) Dalam soal ini, Lampung menyediakan berbagai macam oleh-oleh yang bisa Anda bawa. Jika penggemar hiasan tradisional, karya-karya hiasan dinding dan kain tapis sangat patut dijadikan oleh-oleh. Jikalau dana Anda sedang pas-pasan, keripik pisang lampung atau kerupuk kemplang tentu pantas pula untuk Anda hadiahkan kepada rekan-rekan Anda (Kompas dalam Darmini, 2003:240).
Pada contoh (11) hubungan hiponimi terdapat pada macam oleh-
oleh sebagai hipernim, sedangkan hiasan dinding, kain tapis, keripik pisang
lampung, dan kerupuk kemplang sebagai hiponim (Darmini, 2003:240).
E. Ekuivalensi
Ekuivalensi ialah jenis kohesi leksikal yang berupa sejumlah kata
sebagai hasil proses afiksasi dengan morfem asal yang sama. Contoh
kohesi ekuivalensi adalah sebagai berikut.
(12) Salah satu daya tarik lain berwisata ke Lampung pastilah oleh-oleh yang bisa kita bawa dari Lampung. Berwisata ke suatu tempat, memang terasa kurang lengkap kalau tidak membawa oleh-oleh untuk dibawa pulang (Kompas dalam Darmini, 2003:240).
Pada contoh (12), ekuivalensi sebagai kohesi leksikal tampak pada
paradigma bawa, membawa, dibawa (Darmini, 2003:240).
Dari seluruh uraian di atas, dapatlah dibuat tabel jenis-jenis kohesi
sebagai berikut.
Tabel 1. Jenis-jenis kohesi
Jenis-Jenis Kohes
No Kohesi Gramatikal No Kohesi Leksikal
1 Referensia. Eksoforab. Endofora: anafora, kata-
fora
1 Pengulangana. Pengulangan utuhb. Pengulangan parsial
2 Penyulihan 2 Sinonimi
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 43
3 Penghilangan 3 Antonimi
4 Konjungsi 4 Hiponimi
5 Ekuivalensi
3.2 Pemakaian Kohesi dalam Surat Kabar
Sejalan dengan dasar teori, kohesi wacana bahasa Indonesia dapat
diklasifikasi menjadi dua, yakni kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.
Jenis-jenis kohesi gramatikal dan kohesi leksikal yang dapat ditemukan
dalam wacana surat kabar dapat dirinci, dijelaskan, dan diinterpretasikan
maknanya sebagai berikut.
3.2.1 Kohesi Gramatikal
Kohesi gramatikal dirinci menjadi (1) kohesi gramatikal yang
menggunakan referensi, (2) kohesi gramatikal yang menggunakan
substitusi, (3) kohesi gramatikal yang menggunakan penghilangan atau
pelesapan, dan (4) kohesi gramatikal yang menggunakan konjungsi.
A. Kohesi Gramatikal Menggunakan Referensi
Referensi merupakan salah satu penanda kohesi gramatikal dalam
wujud satuan lingual tertentu yang merujuk pada satuan lingual lain,
yang mendahului atau mengikutinya. Referensi dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu (a) referensi persona, (b) referensi demonstratif, dan (c)
referensi komparatif.
a. Referensi Persona
Referensi persona merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal
berupa kata ganti orang yang mengacu pada satuan lingual lain yang
mendahului atau mengikutinya. Referensi persona dapat dibedakan
menjadi (1) referensi persona I (tunggal dan jamak), (2) referensi
persona II (tunggal dan jamak), dan (3) referensi persona III (tunggal
dan jamak).
44 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
•Referensi Persona I Tunggal
Dalam surat kabar, pemakaian referensi persona I tunggal berupa
unsur {saya} sebagaimana diperlihatkan pada data-data berikut.
(1) Secara terpisah mantan hakim agung Laica Marsuki dan aktivis Rumah Perubahan, Ardhi Massardi, di Jakarta, Kamis, sependapat, bangsa ini menghadapi dilema menyedihkan bagi tatanan sistem politik yang lebih baik dan penegakan hukum. Pasalnya, putusan MA yang menganulir keputusan KPU tentang penghitungan kursi di satu sisi harus dijalankan dan tidak bisa dianggap sepi, tetapi di sisi lain kredibilitas hakim agung dipertanyakan.
“Saya berharap, tidak ada tokoh reformasi dan pimpinan partai yang menyatakan putusan MA dikesampingkan begitu saja. Hal ini bisa menjadi malapetaka bagi penegakan hukum dan lembaga peradilan kita,” ujar Laica. (Berita Utama Kompas, 1/8/2009)
(2) Gembong teroris Noordin M Top ternyata pernah menitipkan surat wasiat yang belum diketahui isinya kepada mantan istrinya, Munfiatun. Munfiatun di Jepara mengaku, Noordin pernah menitipkan surat wasiat kepadanya. “Namun, surat tersebut sudah diambil oleh Mabes Polri saat saya ditahan 2004 lalu,” ujarnya kemarin. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 10/8/2009)
Pada tuturan (1), unsur saya mengacu pada Laica Marsuki yang telah
disebut sebelumnya. Oleh karena itu, saya dalam tuturan (1) termasuk
kohesi gramatikal referensi endofora anaforis yang dinyatakan dengan
pronomina persona I tunggal bentuk bebas kutipan langsung. Di
sana, penulis wacana memanfaatkan pernyataan Laica Marsuki untuk
membuktikan kalimat sebelumnya. Pernyataan Laica Marsuki dinyatakan
dalam bentuk kalimat langsung yang diawali dan diakhiri dengan tanda
petik dua atau tanda kutip (“...”) melalui kohesi gramatikal referensi
persona I tunggal bentuk bebas. Pada tuturan (2), unsur saya mengacu
pada Munfiatun yang telah disebutkan sebelumnya. Saya pada tuturan
(2) merupakan kohesi gramatikal referensi endofora anaforis yang
dinyatakan dengan pronomina persona I tunggal bentuk bebas kutipan
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 45
langsung. Penulis wacana mengutip secara langsung pernyataan
Munfiatun untuk meyakinkan pembaca mengenai kalimat sebelumnya
melalui kohesi gramatikal referensi persona I tunggal bentuk bebas.
•Referensi Persona I Jamak
Referensi persona I jamak dapat berupa unsur {kami} atau {kita}.
Perhatikan data-data berikut.
(1) Terkait dengan surat di Kompas (21/7), “Warga Terisolasi di Kawasan Industri Kertas Raksana”, oleh Saudara Muhammad Chatid, dengan ini kami sampaikan bahwa apa yang disampaikan dalam surat itu tidak sesuai dengan fakta. (Surat Pembaca Kompas, 4/8/2009)
(2) Salah satu cara untuk belajar menulis dan nantinya menjadi penulis ya mulai menulis saja. Kalau kita sudah mulai menulis lalu menjadi kebiasaan, rasa-nya menulis itu jadi menyenangkan. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 25/8/2009).
Pada tuturan (1), unsur kami merupakan acuan eksofora kataforis.
Unsur kami di situ merujuk ke PT Indah Kiat Serang, sebuah pabrik kertas
di Serang, Banten. Hal itu dapat dirunut dari konteks wacana surat
pembaca tersebut yang ditulis oleh Andry Triawan, koordinator Bagian
Legal PT Indah Kiat Serang. Penulis wacana itu menggunakan kami
sebagai referensi persona I jamak bentuk bebas dan menulis atas nama
PT Indah Kiat Serang. Pada tuturan (2), unsur kita merupakan kohesi
gramatikal eksofora kataforis. Dalam wacana surat pembaca tersebut,
unsur kita merujuk pada persona lain di luar wacana (pembaca), selain
penulis sendiri ikut terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, unsur kita
dalam wacana itu merujuk pada penulis dan pembaca.
•Referensi Persona II Tunggal
Kohesi gramatikal referensi persona II tunggal dapat berupa
pronomina {kamu} atau {anda}. Penggunaan unsur kamu atau anda juga
ditemukan dalam wacana surat kabar sebagaimana tampak dalam data-
data berikut.
46 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
(1) Saya lampirkan fotocopi KTP, SIM, dan rangkuman transaksi Power-Vantage. Namun, tanpa melihat berkas-berkas saya, wanita itu dengan kasar berkata, “Kamu harus lampirkan identitas.” (Surat Pembaca Kompas, 13/8/2009)
(2) Kalau Anda tertarik dalam merawat kesehatan dan mengatasi gangguan kesehatan secara alami yang aman dan menenteramkan hati, dan juga ingin memiliki kartu belanja jemaah ekonomi (KBJE) yang dikelola Wibar Jogja, silakan segera daftarkan diri Anda, teman Anda, dan keluarga Anda untuk bergabung dalam Komunitas Sehat Jogja dan jamaah ekonomi di kantor Baitul Maal MBT Sunan Kalijaga di Giwangan, Jalan Imogiri Timur Nomor 217. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 2/8/2009)
Unsur kamu pada tuturan (1) mengacu pada saya yang telah
disebutkan sebelumnya (kohesi gramatikal endofora anaforis melalui
pronomina persona II tunggal). Penggunaan kamu dalam tuturan itu
digunakan oleh wanita itu dan ditujukan kepada saya. Dalam konteks
wacana Surat Pembaca Kompas edisi 13/8/2009, kamu merujuk pada saya
yang tidak lain adalah penulis wacana itu sendiri. Penulis menggunakan
kamu, karena ia mengutip tuturan orang lain yang ditujukan kepada
dirinya. Pada tuturan (2), penggunaan unsur Anda merujuk pada persona
di luar teks. Oleh karena itu, Anda dalam tuturan (2) merupakan kohesi
gramatikal referensi persona II tunggal eksofora kataforis. Sebab, Anda
dalam tuturan itu ditujukan kepada pembaca (persona di luar teks).
•Referensi Persona II Jamak
Unsur Anda sekalian dan Anda semua merupakan pronomina persona
II jamak. Dalam wacana surat kabar, kohesi gramatikal referensi persona
II jamak juga ditemukan sebagaimana terlihat dalam data-data di bawah
ini.
(1) Apa Anda sekalian sedang membentuk generasi yang mendewakan daging sebagai makanan terbaik? (Surat Pembaca Kompas, 22/8/2009)
(2) Bagi para pembaca yang ingin memberikan bantuan uang, dapat menghubungi Prasetyo Wijanarko (085292500761). Dengan
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 47
senang hati kami akan mengambil bantuan yang diberikan. Atas partisipasi dan bantuan Anda semua, kami ucapkan terima kasih. (Surat Pembaca Kedaulata Rakyat, 3/8/2009)
(3) Dalam pelaksanaan program ini, kami mohon bantuan Anda sekalian, pembaca Kedaulatan Rakyat, untuk mengeluarkan uang tunai atau buku-buku pelajaran agama, pengetahuan umum, baik baru maupun bekas. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 9/8/2009)
Baik Anda sekalian dalam tuturan (1) maupun Anda semua dalam tuturan
(2) merupakan pronomina persona II jamak karena ditujukan kepada
lebih dari satu orang. Anda sekalian dalam tuturan (1) merupakan kohesi
gramatikal referensi eksofora kataforis. Di situ, Anda sekalian mengacu
pada sejumlah orang, dalam hal ini para pembaca, dan para pembaca
yang dimaksud dituliskan secara eksplisit melalui penggunaan unsur
Anda sekalian sebagai pronomina persona II bentuk bebas.
Pada tuturan (2), Anda semua mengacu pada para pembaca yang
secara eksplisit telah disebutkan sebelumnya. Jadi, Anda semua dalam
tuturan (2) merupakan kohesi gramatikal referensi persona II jamak
endofora anaforis. Pada tuturan (3), Anda sekalian termasuk kohesi
gramatikal referensi endofora kataforis melalui pronomina persona II
jamak bentuk bebas karena unsur yang diacu adalah para pembaca. Para
pembaca dituliskan secara eksplisit dan berada di belakang unsur yang
mengacunya.
•Referensi Persona III Tunggal
Dalam wacana surat kabar dijumpai referensi persona III tunggal
yang dibuktikan dengan adanya penanda {ia}, {dia}, {beliau} dan {-nya}.
Berikut dipaparkan penanda-penanda tersebut.
(1) Sekjen PDI-P, Pramono Anung, ketika dihubungi semalam belum bisa memastikan hal itu. Ia mengaku belum mengetahui sikap apa yang akan diambil oleh ketua umumnya itu. (Berita Utama Kompas, 19/8/2009)
(2) Karena ingin mengorek cerita Tjitra, Sutarmanto mengundang Tjitra datang ke rumahnya dengan alasan untuk diurut. Seusai
48 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
diurut, keduanya bercerita. Dari situlah keluar pengakuan Tjitra bahwa dia pernah bertemu dengan Syaifudin di Yogyakarta. (Berita Utama Bernas Jogja, 21/8/2009)
(3) Menanggapi surat di Kompas (27/5), “Turun Daya PLN Dua Tahun”, oleh Bapak Antonius Fefe, dengan ini kami terangkan bahwa kami telah mengadakan pertemuan dengan Bapak Antonius Fefe dan memberi penjelasan. Beliau menerima penjelasan kami, dan masalah telah diselesaikan. (Surat Pembaca Kompas, 5/8/2009)
(4) Pemerintah pusat sudah mengimbau pemerintah daerah agar menginventarisasi seni budaya lokal yang ada di daerahnya. (Berita Utama Kompas 31/8/2009)
Pada tuturan (1) unsur ia mengacu pada Pramono Anung. Di situ,
diperlihatkan bahwa unsur yang diacu telah disebutkan sebelumnya.
Oleh karena itu, tuturan (1) termasuk jenis kohesi gramatikal referensi
endofora anaforis melalui pronomina III tunggal bentuk bebas. Merujuk
pada wacana Berita Utama Kompas edisi 19/8/2009 secara keseluruhan,
Pramono Anung telah beberapa kali disebut. Dengan menggunakan ia
dalam wacana (1), penulis hendak memperlihatkan adanya variasi
gramatikal, yaitu dengan memanfaatkan referensi persona III tunggal.
Sebagaimana tuturan (1), dia pada tuturan (2) merupakan kohesi
gramatikal referensi endofora anaforis melalui referensi persona III
tunggal bentuk bebas. Sebab, dia pada tuturan (2) mengacu pada Tjitra
yang telah beberapa kali disebutkan sebelumnya. Penggunaan unsur
dia dalam tuturan (2) kiranya dimaksudkan penulis untuk menghindari
kemonotonan pemakaian unsur bahasa (bandingkan jika wacana itu
berbunyi “Dari situlah keluar pengakuan Tjitra bahwa Tjitra pernah....”
dengan “Dari situlah keluar pengakuan Tjitra bahwa dia pernah....”).
Pada tuturan (3) unsur beliau mengacu pada Bapak Antonius Fefe sebagai
kohesi referensi endofora anaforis melalui pronomina III tunggal
bentuk bebas. Lebih dari itu, penggunaan unsur beliau pada tuturan
itu memiliki nilai semantis yang tinggi. Penulis memposisikan Bapak
Antonius Fefe sebagai orang yang lebih dihormati. Pada tuturan (4),
unsur {-nya} mengacu pada pemerintah daerah yang telah disebutkan
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 49
sebelumnya (kohesi gramatikal referensi endofora anaforis melalui
pronomina persona III tunggal bentuk terikat). Dengan peng-gunaan
unsur {-nya}, penulis ingin menghindari pengulangan frasa pemerintah
daerah dalam kalimat yang sama.
•Referensi Persona III Jamak
Pemakaian kohesi gramatikal referensi persona III jamak endofora
anaforis dan endofora kataforis diwujudkan dengan unsur mereka
(pronomina persona III jamak) sebagaimana data-data berikut.
(1) Aksi anti Malaysia juga berlangsung di Yogya, tepatnya di depan Gedung Agung. Aksi yang menampilkan Tari Pendet massal ini diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Hindu Universitas Gadjah Mada (PMHD-UGM) didukung Keluarga Putera Bali Purantara Yogyakarta. Mereka menampilkan 40 penari dan 15 penabuh gamelan. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 31/8/2009)
(2) Mereka adalah Hendra (23), Aris (33), dan Muhdaroni (26). (Berita Utama Bernas Jogja 8/8/2009)
Pada tuturan (1) unsur mereka mengacu pada Keluarga Mahasiswa
Hindu Universitas Gadjah Mada dan Keluarga Putera Bali Purantara Yogyakarta
yang telah disebut sebelumnya. Oleh karena itu, unsur mereka dalam
tuturan itu merupakan kohesi gramatikal referensi endofora anaforis
melalui pronomina III jamak bentuk bebas. Sementara itu, unsur
mereka pada tuturan (2) mengacu pada Hendra, Aris, dan Muhdaroni yang
disebutkan di belakangnya. Oleh karena itu, unsur mereka pada tuturan
(2) merupakan kohesi gramatikal referensi endofora kataforis melalui
pronomina III jamak bentuk bebas.
b. Referensi Demonstratif
Referensi demonstratif dirinci menjadi (1) referensi demonstratif
waktu, (2) referensi demonstratif tempat, (3) referensi demonstratif
ihwal, dan (4) referensi demonstratif umum.
•Referensi Demonstratif Waktu
Penanda referensi demonstratif waktu yang ditemukan dalam surat
50 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
kabar dibuktikan dengan adanya penanda ketika itu, periode yang sama,
dan dewasa ini. Berikut adalah data-data referensi demonstratif waktu.
(1) Ansyaad mengingatkan, upaya pembunuhan terhadap Megawati Soekarnoputri saat menjabat presiden tahun 2001 juga pernah terjadi. Namun, bom tanpa sengaja meledak lebih dulu di Atrium, Senen, Jakarta Pusat, 1 Agustus 2001. Ketika itu, Megawati tengah memimpin rapat PDI-P di Pecenongan, Jakarta Pusat. (Berita Utama Kompas, 11/8/2009)
(2) Pada tahun 2002-2009 sudah 12 orang bersedia melakukan bom bunuh diri. Catatan Litbang Kompas, dalam periode yang sama, teror bom sudah memakan 262 korban jiwa dan 782 luka-luka. (Berita Utama Kompas, 12/8/2009)
(3) Dewasa ini musik sudah menjadi bagian dari kehidupan, atau justru sebaliknya kehidupan merupakan bagian dari musik. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 10/8/2009)
Pada tuturan (1), unsur ketika itu mengacu pada 1 Agustus 2001
sebagaimana disebutkan sebelumnya. Sebagai penanda yang mengacu
sebuah unsur yang telah disebutkan, unsur ketika itu termasuk kohesi
gramatikal referensi endofora anaforis melalui pronomina demonstratif
waktu lampau. Di situ hendak diperlihatkan bahwa unsur waktu (1
Agustus 2001) telah berlalu ketika wacana Berita Utama Kompas edisi
12/8/2009 ditulis. Pada tuturan (2), unsur periode yang sama mengacu
pada unsur tahun 2002-2009 yang telah disebutkan. Oleh karena itu,
unsur periode yang sama merupakan kohesi gramatikal referensi endofora
anaforis melalui pronomina demonstratif waktu netral. Sementara itu,
unsur dewasa ini dalam tuturan (3) merupakan asosiasi untuk mengacu
waktu kini (sekarang). Sebagai unsur yang mengacu waktu kini, unsur
dewasa ini termasuk kohesi gramatikal referensi eksofora anaforis
melalui pronomina demonstratif waktu kini (sekarang).
•Referensi Demonstratif Tempat
Pemakaian referensi demonstratif tempat berwujud di sana dan
daerah itu sebagaimana diperlihatkan dalam data-data berikut.
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 51
(1) Apartemen dari Group Mediterina yang berlokasi di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, cukup terkenal ramai dengan penghuni asal China, yang entah berdomisili resmi atau tidak. Meskipun bukan penghuni apartemen, saya menjadi anggota fasilitas Fit dan Gym di sana, yang saya pilih dengan pertimbangan dekat dengan tempat tinggal dan tempat kerja. (Surat Pembaca Kompas, 28/8/2009)
(2) Ya, Jalan Sosrowijayan terletak di sekitar kawasan Malioboro. Kawasan yang banyak dikunjungi wisatawan asing maupun lokal. Dua minggu belakangan daerah itu terlihat sangat sesak. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 7/8/2009)
Pada tuturan (1), unsur di sana mengacu pada Apartemen dari Group
Mediterina yang berlokasi di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat (kohesi gramatikal
referensi endofora anaforis melalui pronomina demonstratif tempat).
Unsur di sana menunjukkan bahwa penulis jauh dengan tempat yang
dimaksud. Pada tuturan (2), unsur daerah itu mengacu pada kawasan
Malioboro (kohesi gramatikal referensi endofora anaforis melalui
pronomina demonstratif tempat). Unsur tempat itu menunjukkan
bahwa penulis wacana jauh dari tempat tersebut.
•Referensi Demonstratif Ihwal
Referensi demonstratif ihwal dapat berupa penanda begini, begitu,
dan demikian. Perhatikan data-data berikut.
(1) Saat ini ruas Jalan Margonda Raya, Depok, sedang siap-siap dilebarkan. Beberapa batang pohon telah ditebang habis. Seperti yang sudah-sudah, beginilah cara mengatasi kemacetan lalu-lintas, yakni dengan memperlebar jalan untuk kenyamanan pengguna kendaraan bermotor. (Surat Pembaca Kompas, 16/8/2009)
(2) Kekecewaan bertambah karena iklan televisi tentang jam tayang dan jadwal acara televisi di Kompas berbeda. Begitu pula jam tayang film Coffe Prince yang berubah-ubah. (Surat Pembaca Kompas, 11/8/2009)
(3) Indonesia harus segera mengintrospeksi diri berkaitan dengan kegagalan ekonomi menyejahterakan rakyat secara komprehensif. Salah satu penyebabnya adalah masuknya
52 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
globalisasi yang tanpa mengintegrasikan pasar dalam negeri.
….
Demikian yang terungkap dalam diskusi publik bertajuk,
“Kedaulatan Ekonomi Nasional, Sudahkah Indonesia Merdeka?”
di Jakarta, Rabu (26/8). (Berita Utama Kompas, 27/8/2009)
Pada tuturan (1), unsur beginilah mengacu pada yakni dengan
memperlebar jalan untuk kenyamanan pengguna kendaraan bermotor. Karena
hal yang diacu secara eksplisit terungkap di belakang unsur yang
mengacunya maka beginilah merupakan kohesi gramatikal referensi
endofora kataforis melalui pronomina demonstratif ihwal dekat dengan
penutur. Penggunaan beginilah untuk mengacu yakni dengan memperlebar
jalan untuk kenyamanan pengguna kendaraan bermotor dipandang tepat
karena penulis wacana menempatkan unsur yang diacu berada di
belakangnya. Artinya, unsur yang mengacu dekat dengan unsur yang
diacu. Pada tuturan (2), unsur begitu mengacu pada kekecewaan bertambah
karena iklan televisi dengan jam tayang dan acara televisi di Kompas berbeda
yang telah disebut sebelumnya. Oleh karena itu, unsur begitu termasuk
kohesi gramatikal referensi endofora anaforis melalui pronomina
demonstratif ihwal jauh dengan penutur. Dengan menggunakan unsur
begitu, penulis wacana ingin memperlihatkan bahwa hal yang telah
disebutnya diacu untuk mengemukakan hal berikutnya.
Pada tuturan (3), unsur demikian mengacu pada Indonesia harus segera
mengintrospeksi diri berkaitan dengan kegagalan ekonomi menyejahterakan
rakyat secara komprehensif. Salah satu penyebabnya adalah masuknya globali-
sasi yang tanpa mengintegrasikan pasar dalam negeri yang telah disebutkan
sebelumnya. Dengan demikian, unsur demikian termasuk kohesi
gramatikal referensi endofora anaforis melalui pronomina demonstratif
ihwal dekat dengan penutur. Penggunaan unsur demikian dalam
tuturan (3) juga dimaksudkan penulis untuk merangkum hal (ihwal)
diskusi publik yang bertajuk “Kedaulatan Ekonomi Nasional, Sudahkah
Indonesia Merdeka?” di Jakarta, Rabu (26/8).
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 53
•Referensi Demonstratif Umum
Referensi demonstratif umum dibuktikan dalam wacana di surat
kabar dengan adanya penggunaan unsur ini dan itu. Berikut adalah data-
datanya.
(1) Kini ada 3.000 kilometer jalan nasional yang umur jalannya sudah habis. Semuanya perlu dibongkar ulang dengan kebutuhan anggaran 36 triliun. Anggaran itu dua kali lipat dari jumlah alokasi Dirjen Bina Marga Depkeu yang bertanggung jawab soal jalan. (Berita Utama Kompas, 3/8/2009)
(2) Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga Jumat (31/7) belum menentukan sikap terkait Putusan Mahkamah Agung (MA) soal pembatalan pembagian kursi tahap kedua pemilihan legislatif. KPU baru akan menyikapi soal ini Sabtu hari ini. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 1/8/2009)
(3) Sebuah rumah yang dicurigai sebagai tempat persembunyian teroris dikepung Densus 88 bersama polisi, Jumat (7/8) malam. Beredar informasi rumah milik Mohzari (70) di desa Beji RT 01/RW 07 Kelurahan Kedu Temanggung yang dikepung aparat keamanan itu dihuni Noordin M Top dan beberapa orang. Di rumah itu Mohzari tinggal bersama anaknya Tatag. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 8/8/2009)
Pada tuturan (1), unsur itu mengacu pada anggaran 36 triliun yang
disebutkan sebelumnya sehingga unsur itu termasuk kohesi gramatikal
referensi demonstratif umum yang jauh dengan penutur. Unsur itu
dalam tuturan (1) berfungsi untuk membentuk makna penegasan.
Pada tuturan (2), unsur ini mengacu pada soal pembatalan pembagian
kursi tahap kedua pemilihan legislatif sehingga unsur ini termasuk kohesi
gramatikal referensi demonstratif umum yang dekat dengan penutur.
Penggunaan unsur ini pada tuturan (2) berfungsi untuk membentuk
makna penegasan. Pada tuturan (3), unsur itu mengacu pada rumah
milik Mohzari sehingga unsur itu termasuk kohesi gramatikal referensi
demonstratif umum yang jauh dengan penutur. Penggunaan unsur ini
pada tuturan (3) berfungsi untuk membentuk makna penegasan.
54 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
c. Referensi Komparatif
Referensi komparatif (perbandingan) diwujudkan dengan
penggunaan unsur seperti. Berikut adalah data referensi komparatif.
(1) Seperti biasa, sebelum kereta berangkat, ada pengumuman bahwa KA Argo Sindoro hanya menurunkan penumpang di Stasiun Tegal, Pekalongan, dan Tawang. (Surat Pembaca Kompas, 22/8/2009)
(2) Sesampai di tempat fitness, saya berlatih dan selalu mencium bau busuk dari arah jendela. Ketika saya bertanya kepada instruktur, seperti ada bau bangkai tikus, dia menjelaskan bahwa di plafon dekat jendela ada instalasi ventilasi yang terdapat di setiap ruang. (Surat Pembaca Kompas, 28/8/2009)
Pada tuturan (1), unsur seperti berfungsi untuk membandingkan
suatu kebiasaan yang memiliki ciri atau sifat yang sama dengan unsur
sebelum berangkat, ada pengumuman bahwa KA Argo Sindoro hanya menurunkan
penumpang di Stasiun Tegal, Pekalongan, dan Tawang yang disebut di
depannya. Jadi, unsur seperti termasuk kohesi gramatikal eksofora
kataforis yang dinyatakan melalui pronomina komparatif. Pada tuturan
(2), unsur seperti berfungsi untuk membandingkan bau busuk dari arah
jendela dengan ciri atau sifat yang dimiliki oleh bau bangkai tikus yang
disebut di depannya. Jadi, unsur seperti termasuk kohesi gramatikal
referensi endofora anaforis melalui pronomina komparatif.
B. Kohesi Gramatikal Menggunakan Subtitusi
Substitusi merupakan salah satu jenis penanda kohesi gramatikal
yang berupa penggantian unsur lingual tertentu (unsur yang telah
disebut) dengan unsur lingual yang lain dalam sebuah wacana. Sebagai
unsur pengganti, substitusi berfungsi untuk memperoleh unsur
pembeda. Dilihat dari unsur lingualnya, substitusi dapat dibedakan
menjadi substitusi nomina, substitusi verba, dan substitusi adjektiva.
a. Subtitusi Nomina
Substitusi nomina adalah penggantian unsur lingual yang
berkategori nomina dengan unsur lingual lain yang juga berkategori
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 55
nomina. Substitusi nomina dapat ditemukan pada data-data berikut.
(1) “Reformasi gelombang kedua hakikatnya adalah untuk
membebaskan Indonesia dari dampak dan ekor krisis yang
terjadi 10 tahun lalu. Kemudian, pada tahun 2025 negara kita
berada dalam fase untuk benar-benar bergerak menuju negara
maju,” ujar Presiden. (Berita Utama Kompas, 15/8/2009)
(5) Munculnya ancaman kekeringan yang lebih lama akibat
fenomena iklim El Nino kian mengkhawatirkan. Fungsi negara
sebagai penyedia dan pengatur air pada saat kemarau harus
efektif. (Berita Utama Kompas, 24/8/2009)
(3) Kiranya perlu ada keharusan uji sampel kualitas udara
lingkungan, dan itu adalah kewajiban kita bersama. (Surat
Pembaca Kedaulatan Rakyat, 9/8/2009)
(4) Delegasi selain terdiri dari pimpinan DPRD juga utusan dari
fraksi-fraksi berupa perwakilan. (Berita Utama Kedaulatan
Rakyat, 20/8/2009)
Pada tuturan (1), unsur gelombang yang berkategori nomina
mengalami penggantian dengan unsur lingual lain yang juga berkategori
nomina, yaitu fase. Unsur gelombang pada tuturan itu merupakan
bentuk asosiasi yang memiliki makna kurun waktu atau era, tahapan
waktu dalam sejarah, atau rentetan waktu yang bertahap (Endarmoko,
2007:201). Untuk menghindari kemonotonan penggunaan unsur
bahasa, penutur menggantinya dengan unsur lain yang berkategori
sama, yaitu fase. Pada tuturan (2), unsur kekeringan yang berkategori
nomina mengalami penggantian dengan unsur lingual lain yang juga
berkategori nomina, yaitu kemarau. Unsur kekeringan dalam konteks
tuturan (1) memiliki arti keadaan cuaca yang bisa ditafsirkan dari klausa
di belakangnya, yaitu akibat fenomena iklim El Nino kian mengkhawatirkan.
Untuk menghindari kemonotonan penggunaan unsur bahasa, penutur
menggantinya dengan unsur lain yang berkategori sama, yaitu kemarau.
Pada tuturan (3), unsur keharusan yang berkategori nomina mengalami
56 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
penggantian dengan unsur lingual lain yang juga berkategori sama, yaitu
kewajiban. Dengan adanya penggantian unsur dari keharusan pada klausa
pertama menjadi kewajiban pada klausa kedua, tuturan itu terdengar
lebih variatif dari segi penggunaan kata. Pada tuturan (4), unsur delegasi
yang berkategori nomina mengalami penggantian dengan unsur lingual
lain yang berkategori nomina, yaitu utusan. Penggantian unsur lingual
dari delegasi menjadi utusan menjadikan tuturan itu tidak monoton.
b. Subtitusi Verba
Substitusi verba adalah penggantian unsur lingual yang berkategori
verba dengan unsur lingual lain yang juga berkategori verba. Substitusi
verba ditemukan pada data-data berikut.
(1) Rustiningrum (24), isteri Indra, mengatakan, dia sedang di bengkel tempat Aris dan Indra bekerja saat polisi menangkap suami dan kakak iparnya. Indaryati (22), isteri Aris, menyampaikan hal serupa. (Berita Utama Kompas, 10/8/2009)
(2) Penyelenggaraan seminar ini dimaksudkan untuk menyemarakkan peringatan setengah abad Kiprah Yayasan LIA di dunia pendidikan dan pengajaran bahasa, khususnya bahasa Inggris. Selain itu, seminar ini bertujuan untuk memperkenalkan berbagai penerapan pembelajaran kreatif dalam bidang yang relevan: sastra, linguistik, dan pendidikan. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 6/8/2009)
Pada tuturan (1), unsur mengatakan yang berkategori verba aktif
transitif mengalami penggantian dengan unsur lain yang juga berkategori
sama, yaitu menyampaikan. Penggantian unsur mengatakan menjadi unsur
menyampaikan hendak memperlihatkan variasi verba dalam dua kalimat
yang berurutan. Pada tuturan (2), unsur dimaksudkan yang berkategori
verba pasif transitif mengalami penggantian dengan unsur lingual lain
yang berkategori verba aktif intransitif, yakni bertujuan. Penggantian
unsur lingual dari unsur dimaksudkan yang berkategori verba pasif
transitif menjadi unsur bertujuan yang berkategori verba aktif intransitif
menjadikan tuturan itu variatif.
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 57
c. Subtitusi Adjektiva
Substitusi adjektiva adalah penggantian unsur lingual yang
berkategori adjektiva dengan unsur lingual lain yang juga berkategori
adjektiva. Substitusi adjektiva dipaparkan dalam data berikut.
Dokter juga manusia biasa, sama seperti warga masyarakat lainnya yang mempunyai jiwa dan fisik yang bisa lelah juga. Ketika kelelahan datang, fisik dan jiwa seorang dokter pun letih, sehingga terkadang ia tidak dapat memberikan pelayanan terbaik yang ia miliki kepada pasiennya. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 12/8/2009)
Pada tuturan di atas tampak bahwa unsur lelah yang berkategori
adjektiva mengalami penggantian dengan unsur letih yang berkategori
sama. Penggantian unsur lelah dengan letih memperlihatkan variasi
penggunaan adjektiva.
C. Kohesi Gramatikal Menggunakan Penghilangan
Penghilangan (pelesapan) adalah salah satu penanda kohesi
gramatikal yang berupa penghilangan unsur tertentu yang telah
disebutkan sebelumnya. Penghilangan atau pelesapan dapat dibedakan
menjadi penghilangan kata, penghilangan frasa, dan penghilangan
klausa.
a. Penghilangan Kata
Penghilangan kata adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang
berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual berupa kata yang
telah disebutkan sebelumnya. Penghilangan kata dapat dilihat pada
data-data berikut.
(1) Seluruh mantan presiden dan wapres RI selalu diundang untuk hadir dalam upacara puncak peringatan nasional HUT RI di Istana Merdeka. (Berita Utama Bernas Jogja, 16/8/2009)
(2) “Anda bisa membedakan tanda tangan ini,” kata Candra seraya menunjukkan dua tanda tangan kepada wartawan. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 7/8/2009)
(3) Dalam rangka memperingati HUT ke-5, Jogja Endang Club
58 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
mengadakan beberapa kegiatan, antara lain, seminar kesehatan, diklat, bakti sosial, menggelar bazar, dan lain sebagainya. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 7/8/2009)
Pada tuturan (1) terdapat penghilangan atau pelesapan unsur
lingual berupa kata, yaitu mantan. Kata tersebut dilesapkan satu
kali, yaitu sebelum kata wapres. Pelesapan pada tuturan itu disebut
pelesapan kataforis karena unsur mantan dilesapkan di belakang
unsur yang mengikutinya, yaitu wapres. Unsur yang dilesapkan dalam
kajian analisis wacana biasanya ditandai dengan konstituen nol atau
zero (dilambangkan dengan ø) pada tempat terjadinya pelesapan.
Jika tuturan (1) direpresentasikan dengan (a), dan apabila tuturan itu
dituliskan kembali akan menjadi seperti (b) sebagai berikut.
(a) Seluruh mantan presiden dan (ø) wapres RI selalu diundang untuk hadir dalam upacara puncak peringatan nasional HUT RI di Istana Merdeka.
(b) Seluruh mantan presiden dan mantan wapres RI selalu diundang untuk hadir dalam upacara puncak peringatan nasional HUT RI di Istana Merdeka.
Pada tuturan (2) terdapat penghilangan atau pelesapan unsur
lingual berupa kata, yaitu Candra. Unsur itu dilesapkan satu kali,
yaitu sebelum kata menunjukkan. Pelesapan pada tuturan (2) disebut
pelesapan kataforis karena unsur Candra dilesapkan di belakang unsur
yang mengikutinya, yaitu menunjukkan. Jika pelesapan pada tuturan (2)
direpresentasikan menjadi (a), dan apabila unsur pelesapannya tidak
dilesapkan akan menjadi (b) sebagai berikut.
(a) “Anda bisa membedakan tanda tangan ini,” kata Candra seraya (ø) menunjukkan dua tanda tangan kepada wartawan.
(b) “Anda bisa membedakan tanda tangan ini,” kata Candra seraya Candra menunjukkan dua tanda tangan kepada wartawan.
Pada tuturan (3) terdapat penghilangan atau pelesapan unsur
lingual berupa kata, yaitu kegiatan. Unsur itu dilesapkan empat kali
yaitu sebelum unsur seminar kesehatan, diklat, bakti sosial, dan menggelar
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 59
bazar. Pelesapan pada tuturan (3) disebut pelesapan kataforis. Dengan
demikian, jika pelesapan pada tuturan (3) direpresentasikan menjadi
(a), dan apabila unsur-unsurnya tidak dilesapkan, maka akan menjadi
(b) sebagaimana berikut.
(a) Dalam rangka memperingati HUT ke-5, Jogja Endang Club mengadakan beberapa kegiatan, antara lain, (ø) seminar kesehatan, (ø) diklat, (ø) bakti sosial, (ø) menggelar bazar, dan lain sebagainya.
(b) Dalam rangka memperingati HUT ke-5, Jogja Endang Club mengadakan beberapa kegiatan, antara lain, kegiatan seminar kesehatan, kegiatan diklat, kegiatan bakti sosial, kegiatan menggelar bazar, dan lain sebagainya.
b. Penghilangan Frasa
Penghilangan atau pelesapan frasa merupakan salah satu jenis
kohesi gramatikal yang berupa pelesapan unsur lingual berupa frasa
yang telah disebutkan sebelumnya. Penghilangan atau pelesapan frasa
dapat ditemukan pada data-data berikut.
(1) Kalau sewaktu kampanye yang lalu seluruh peserta pemilu dilarang memasang alat peraga di lokasi itu, maka mestinya hal itu juga berlaku bagi alat peraga yang lain, baik yang bersifat sosial maupun komersial. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 10/8/2009)
(2) “Saya tegaskan, keputusan MA berlaku sejak tanggal ditetapkan dan tidak berlaku surut ditambah sembilan puluh hari,” kata ketua KPU Abdul Hafitz. (Berita Utama Bernas Jogja, 2/8/2009)
(3) Kontingen Kulonprogo berjaya di cabang gulat dan senam. (Berita Utama Bernas Jogja, 3/8/2009)
Pada tuturan (1) terdapat penghilangan atau pelesapan unsur lingual
berupa frasa, yaitu yang bersifat. Unsur itu dilesapkan satu kali sebelum
unsur komersial. Pelesapan pada tuturan (1) disebut pelesapan kataforis.
Dengan demikian, jika pelesapan pada tuturan (1) direpresentasikan
menjadi (a), dan apabila unsur-unsurnya tidak dilesapkan akan menjadi
(b) seperti berikut.
60 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
(a) Kalau sewaktu kampanye yang lalu seluruh peserta pemilu dilarang memasang alat peraga di lokasi itu, maka mestinya hal itu juga berlaku bagi alat peraga yang lain, baik yang bersifat sosial maupun (ø) komersial.
(b) Kalau sewaktu kampanye yang lalu seluruh peserta pemilu dilarang memasang alat peraga di lokasi itu, maka mestinya hal itu juga berlaku bagi alat peraga yang lain, baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat komersial.
Pada tuturan (2) terdapat penghilangan atau pelesapan unsur
lingual berupa frasa, yaitu keputusan MA. Unsur itu dilesapkan satu kali
sebelum unsur tidak berlaku surut ditambah sembilan puluh hari. Pelesapan
pada tuturan (2) disebut pelesapan kataforis. Jika pelesapan pada
tuturan (2) direpresentasikan menjadi (a), dan apabila unsur-unsurnya
tidak dilesapkan akan menjadi (b) sebagai berikut.
(a) “Saya tegaskan, keputusan MA berlaku sejak tanggal ditetapkan dan (ø) tidak berlaku surut ditambah sembilan puluh hari,” kata ketua KPU Abdul Hafitz.
(b) “Saya tegaskan, keputusan MA berlaku sejak tanggal ditetapkan dan keputusan MA tidak berlaku surut ditambah sembilan puluh hari,” kata ketua KPU Abdul Hafitz.
Pada tuturan (3) terdapat penghilangan atau pelesapan unsur
lingual berupa frasa, yaitu di cabang. Unsur itu dilesapkan satu kali
sebelum unsur senam. Pelesapan pada tuturan (3) disebut pelesapan
kataforis. Jika pelesapan pada tuturan (3) direpresentasikan menjadi
(a), dan apabila unsur-unsurnya tidak dilesapkan akan menjadi (b)
seperti di bawah ini.
(a) Kontingen Kulonprogo berjaya di cabang gulat dan (ø) senam.(b) Kontingen Kulonprogo berjaya di cabang gulat dan di cabang
senam.
c. Penghilangan Klausa
Penghilangan atau pelesapan klausa merupakan salah satu jenis
kohesi gramatikal yang berupa pelesapan unsur lingual berupa klausa
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 61
yang telah disebutkan sebelumnya. Berikut adalah data-data dari surat
kabar yang berupa penghilangan klausa.
(1) Kami berharap putusan itu sudah pasti sehingga bisa menjadi rujukan bagi para penyelenggara pemilu dan pihak lain, sebab ada DPRD kabupaten/kota yang dilantik awal Agustus. (Berita Utama Kompas, 1/8/2009)
(2) Isu serupa pernah dimediasi pemerintah Kabupaten Serang, DPRD Serang, dan Komnas HAM. (Surat Pembaca Kompas, 4/8/2009)
(3) Setiap pagi dengan setia ia datang ke Pasar Seni Gabusan menjaga kiosnya dan menjajakkan barang-barang dagangannya. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 5/8/2009)
Pada tuturan (1) terdapat penghilangan atau pelesapan unsur
lingual berupa klausa, yaitu kami berharap putusan itu sudah pasti sehingga
bisa menjadi rujukan bagi para penyelenggara pemilu. Unsur itu dilesapkan
satu kali sebelum unsur pihak lain. Pelesapan pada tuturan (1) disebut
pelesapan kataforis. Jika pelesapan pada tuturan (1) direpresentasikan
menjadi (a), dan apabila unsurnya tidak dilesapkan akan menjadi (b)
seperti di bawah ini.
(a) Kami berharap putusan itu sudah pasti sehingga bisa menjadi rujukan bagi para penyelenggara pemilu dan (ø) pihak lain, sebab ada DPRD kabupaten/kota yang dilantik awal Agustus.
(b) Kami berharap putusan itu sudah pasti sehingga bisa menjadi rujukan bagi para penyelenggara pemilu dan kami berharap putusan itu sudah pasti sehingga bisa menjadi rujukan bagi para penyelenggara pemilu dan pihak lain, sebab ada DPRD kabupaten/kota yang dilantik awal Agustus.
Tampak pada tuturan (2) bahwa penghilangan atau pelesapan
unsur lingual berupa klausa, yaitu isu serupa pernah dimediasi. Unsur
itu dilesapkan dua kali sebelum unsur DPRD Serang dan Komnas HAM.
Pelesapan pada tuturan (2) disebut pelesapan kataforis. Jika pelesapan
pada tuturan (2) direpresentasikan menjadi (a), dan apabila unsurnya
tidak dilesapkan akan menjadi (b) seperti di bawah ini.
62 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
(a) Isu serupa pernah dimediasi pemerintah Kabupaten Serang, (ø) DPRD Serang, dan (ø) Komnas HAM.
(b) Isu serupa pernah dimediasi pemerintah Kabupaten Serang, isu serupa pernah dimediasi DPRD Serang, dan isu serupa pernah dimediasi Komnas HAM.
Tampak pada tuturan (3) penghilangan atau pelesapan unsur lingual
berupa klausa, yaitu setiap pagi ia dengan setia datang ke Pasar Seni Gabusan.
Unsur itu dilesapkan satu kali sebelum unsur menjajakan barang-barang
dagangannya. Pelesapan pada tuturan (3) disebut pelesapan kataforis.
Jika pelesapan pada tuturan (3) direpresentasikan menjadi (a) dan
apabila unsurnya tidak dilesapkan akan menjadi (b) seperti di bawah
ini.
(a) Setiap pagi dengan setia ia datang ke Pasar Seni Gabusan menjaga kiosnya dan (ø) menjajakan barang-barang dagangannya.
(b) Setiap pagi dengan setia ia datang ke Pasar Seni Gabusan menjaga kiosnya dan setiap pagi dengan setia ia datang ke Pasar Seni Gabusan menjajakan barang-barang dagangannya.
D. Kohesi Gramatikal Menggunakan Konjungsi
Konjungsi merupakan salah satu jenis penanda kohesi gramatikal
yang berfungsi untuk menghubungkan unsur yang satu dengan unsur
yang lain dalam wacana. Konjungsi dalam wacana terdiri dari konjungsi
koordinatif, konjungsi subordinatif, konjungsi korelatif, dan konjungsi
antarkalimat.
a. Konjungsi Koordinatif
Konjungsi koordinatif ialah konjungsi yang menghubungkan dua
unsur atau lebih dan kedua unsur itu memiliki status sintaksis yang
sama. Penggunaan konjungsi koordinatif dalam wacana dapat berupa
dan, tetapi, dan atau sebagaimana data-data berikut.
(1) “Setelah menjalani pemeriksaan awal dan uji coba lab, baru kita kirimkan ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut,” demikian kepala Lapas Cebongan, Muchtar Sarbini. (Berita Utama Bernas Jogja, 1/8/2009).
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 63
(2) Banyak seniman punya karya besar, tetapi tidak punya kepribadian besar. (Berita Utama Kompas, 8/8/2009)
(3) Contohnya trafic light, lampunya sering rusak, misalnya lampu hijau atau merah tidak nyala, sehingga orang yang tidak tahu akan bingung dan tentu saja membahayakan sekali. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 7/8/2009)
Konjungsi dan pada tuturan (1) berfungsi untuk menghubungkan
dua klausa, yaitu klausa setelah menjalani pemeriksaan awal dan klausa
setelah menjalani pemeriksaan uji coba lab (klausa ini mengalami pelesapan
anaforis). Konjungsi dan pada tuturan (1) menyatakan makna
penambahan atau aditif. Konjungsi tetapi pada tuturan (2) berfungsi
untuk menghubungkan dua klausa, yaitu klausa banyak seniman punya
karya besar dan klausa banyak seniman tidak punya kepribadian besar.
Frasa banyak seniman dalam klausa ini mengalami pelesapan anaforis.
Konjungsi tetapi pada tuturan (2) menyatakan makna perlawanan.
Konjungsi atau pada tuturan (3) berfungsi untuk menghubungkan kata
hijau dan merah. Konjungsi atau dalam tuturan tersebut menyatakan
makna pemilihan.
b. Konjungsi Subordinatif
Konjungsi subordinatif ialah konjungsi yang menghubungkan dua
unsur atau lebih dan unsur itu tidak memiliki status sintaksis yang
sama. Konjungsi subordinatif dalam wacana surat kabar terdiri dari: (1)
konjungsi subordinatif waktu, (2) subordinatif syarat, (3) subordinatif
penyebaban, (4) subordinatif pengakibatan, (5) subordinatif tujuan, (6)
subordinatif cara, (7) subordinatif konsensif, (8) subordinatif penjelasan,
dan (9) subordinatif pemiripan.
•Konjungsi Subordinatif Waktu
Konjungsi subordinatif waktu dalam wacana surat kabar
ditunjukkan oleh adanya data-data berikut.
(1) Mantan orang nomor satu di Sleman ini terpaksa dibawa ke RSUD sejak 27 Juli lalu mengeluh sakit nyeri di dada
64 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
yang disertai pusing dan lemas. (Berita Utama Bernas Jogja, 1/8/2009)
(2) Keberadaan gembong teroris Noordin M Top yang sempat disebut-sebut tewas dalam penyergapan di sebuah rumah di Dusun Beji, kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Sabtu (8/8), hingga kini masih misterius. (Berita Utama Bernas Jogja, 10/8/2009)
(3) Setelah dapat dihubungi lewat telepon, yang bersangkutan marah dan menantang saya melapor ke polisi. (Surat Pembaca Kompas, 13/8/2009)
(4) Sudah tujuh tahun saya tak mendapat kabar mengenai anak saya yang menjadi tenaga kerja di Kuwait. (Surat Pembaca Kompas, 13/8/2009)
Unsur sejak dalam tuturan (1) merupakan konjungsi subordinatif
waktu. Unsur sejak dalam tuturan itu menyatakan makna ‘waktu
permulaan’. Waktu permulaan yang dimaksud ialah 27 Juli 2009.
Unsur kini dalam tuturan (2) merupakan konjungsi subordinatif yang
menyatakan ‘waktu sekarang’. Waktu sekarang yang dimaksud ialah
10 Agustus 2009 (ketika wacana itu dimuat di surat kabar). Unsur setelah
pada tuturan (3) merupakan konjungsi subordinatif penanda kegiatan
yang telah berlangsung. Yang dimaksud dengan kegiatan yang telah
berlangsung itu ialah dapat dihubungi lewat telepon. Unsur sudah pada
tuturan (4) merupakan konjungsi subordinatif waktu yang menyatakan
peristiwa yang telah berlangsung. Yang dimaksud dengan peristiwa
yang telah berlangsung itu ialah saya tak mendapat kabar mengenai anak
saya yang menjadi tenaga kerja di Kuwait.
•Konjungsi Subordinatif Syarat
Konjungsi subordinatif syarat dalam surat kabar berwujud unsur
kalau, jika, apabila, dan bila sebagaimana ditunjukkan oleh adanya data-
data berikut.
(1) Meskipun melalui tes-tes resmi sebanyak dua kali, calon belum tentu diterima. Kalau diterima, masih akan diminta lagi satu setengah juta rupiah sebagai bonus bagi oknum tersebut. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 31/8/2009)
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 65
(2) Jika sudah terkena penyakit itu, pengeluaran untuk rumah sakit tidak sedikit. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 6/8/2009)
(3) Apabila tidak ada konfirmasi (pemberitahuan), maka armada kami akan berangkat tepat waktu. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 26/8/2009)
(4) “Saya akan meminta inspektur jenderal menyelidiki dan melakukan tindakan/hukuman maksimum sesuai aturan pegawai negeri sipil terhadap pejabat yang bersangkutan bila memang terbukti bersalah,” ujar Menkeu. (Berita Utama Kompas, 21/8/2009)
Pada tuturan (1), unsur kalau berfungsi untuk menyatakan
makna syarat (syarat anaforis). Unsur (calon) diterima, syarat yang
ditimbulkannya adalah masih akan diminta lagi satu setengah juta rupiah
sebagai bonus bagi oknum tersebut. Pada tuturan (2), unsur jika berfungsi
menyatakan makna syarat (syarat anaforis). Unsur sudah terkena penyakit
itu, syarat yang ditimbulkannya adalah pengeluaran untuk rumah sakit tidak
sedikit. Pada tuturan (3), unsur apabila berfungsi menyatakan makna
syarat (syarat anaforis). Unsur tidak ada konfirmasi (pemberitahuan),
syarat yang ditimbulkan adalah armada kami akan berangkat tepat waktu.
Pada tuturan (4), unsur bila berfungsi untuk menyatakan syarat (syarat
kataforis). Unsur memang terbukti bersalah, syarat yang ditimbulkannya
adalah saya akan meminta inspektur jenderal menyelidiki dan melakukan
tindakan/hukum maksimum sesuai aturan pegawai negeri sipil terhadap pejabat
bersangkutan.
•Konjungsi Subordinatif Penyebaban
Konjungsi subordinatif penyebaban berupa unsur oleh karena,
karena, dan sebab sebagaimana terlihat dalam data-data berikut.
(1) Oleh karena telah lewat setahun pembelian laptop itu, biaya perbaikan dikenakan kepada saya. (Surat Pembaca Kompas, 25/8/2009)
(2) Saat itu si empunya rekening tidak menaruh curiga karena sikap SJ memang luar biasa, bisa menyihir warga setempat. (Berita Utama Bernas Jogja, 12/8/2009)
66 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
(3) Sesuai peraturan yang berlaku, kami tidak melayani reservasi pada hari Jumat sampai Minggu dan pada hari besar atau libur nasional. Sebab, permintaan tiket pada hari-hari tersebut sangatlah tinggi sehingga kami lebih mengutamakan penumpang yang datang langsung ke Joglosemar. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 26/8/2009)
Unsur oleh karena pada tuturan (1) berfungsi untuk menyatakan
makna penyebaban. Unsur telah lewat setahun pembelian laptop itu memiliki
makna penyebaban yang ditimbulkan, yaitu biaya perbaikan dikenakan
kepada saya. Unsur karena pada tuturan (2) berfungsi untuk menyatakan
makna penyebaban. Unsur saat itu si empunya rekening tidak menaruh
curiga memiliki makna penyebaban yang ditimbulkan, yaitu sikap SJ
memang luar biasa, bisa menyihir warga setempat. Unsur sebab pada tuturan
(3) berfungsi untuk menyatakan makna penyebaban. Unsur sesuai
peraturan yang berlaku, kami tidak melayani reservasi pada hari Jumat sampai
Minggu dan pada hari besar atau libur nasional memiliki makna penyebaban
yang ditimbulkan, yaitu permintaan tiket pada hari-hari tersebut sangatlah
tinggi sehingga kami lebih mengutamakan penumpang yang datang langsung ke
Joglosemar.
•Konjungsi Subordinatif Pengakibatan
Konjungsi subordinatif pengakibatan dapat berupa unsur maka,
sehingga seperti terlihat pada data-data berikut.
(1) Namun karena saya tidak senang ribut di depan orang banyak, maka saya pergi dengan memendam kekecewaan saya. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 22/8/2009)
(2) Sejumlah warga yang ditemui mengaku begitu tertutupnya Ricki hingga sulit dikenal tabiatnya. (Berita Utama Bernas Jogja, 13/8/2009)
Pada tuturan (1), unsur maka berfungsi untuk menyatakan makna
pengakibatan. Unsur karena saya tidak senang ribut di depan orang banyak
memiliki makna pengakibatan yang ditimbulkan, yaitu saya pergi dengan
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 67
memendam kekecewaan saya. Pada tuturan (2), unsur hingga berfungsi
untuk menyatakan makna pengakibatan. Unsur sejumlah warga yang
ditemui mengaku begitu tertutupnya Ricki memiliki makna pengakibatan,
yaitu (Ricki) sulit dikenal tabiatnya.
•Konjungsi Subordinatif Tujuan
Konjungsi subordinatif tujuan dapat berupa unsur agar, untuk, dan
bagi sebagaimana tampak dalam data-data berikut.
(1) Namun, pertumbuhan itu harus diikuti implementasi kebijakan pemerintah yang tepat waktu dan penurunan suku bunga perbankan agar dunia usaha berkembang seiring kepastian hukum dan pembangunan proyek-proyek infrastruktur. (Berita Utama Kompas, 4/8/2009)
(2) Dengan ini lembaga Tiga Raksa Optima Perkasa mengajak para ayah dan ibu yang memiliki kepedulian untuk mengikuti seminar “Cara Mudah dan Cepat Mengajarkan Bayi/Balita Membaca Sambil Bermain dengan Metode Glenn Doman”. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 15/8/2009)
(3) Setetes darah Anda sangat diharapkan bagi saudara-saudara yang mem-butuhkan karena biasanya memasuki minggu kedua Bulan Suci stok darah sangat minim atau bahkan habis. (Berita Utama Bernas Jogja, 24/8/2009)
Unsur agar pada tuturan (1) berfungsi untuk menyatakan makna
tujuan. Unsur pertumbuhan itu harus diikuti implementasi kebijakan
pemerintah yang tepat waktu dan penurunan suku bunga perbankan memiliki
makna tujuan yang ditimbulkan, yaitu dunia usaha berkembang seiring
kepastian hukum dan pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Unsur untuk
pada tuturan (2) berfungsi untuk menyatakan makna tujuan. Unsur
dengan ini lembaga Tiga Raksa Optima Perkasa mengajak para ayah dan ibu
yang memiliki kepedulian memiliki makna tujuan yang ditimbulkan, yaitu
mengikuti seminar “Cara Mudah dan Cepat Mengajarkan Bayi/Balita Membaca
Sambil Bermain dengan Metode Glenn Doman”. Unsur bagi pada tuturan
(3) berfungsi untuk menyatakan makna tujuan. Unsur setetes darah
Anda sangat diharapkan memiliki makna tujuan yang ditimbulkan, yaitu
68 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
saudara-saudara yang membutuhkan karena biasanya memasuki minggu kedua
Bulan Suci stok darah sangat minim atau bahkan habis.
•Konjungsi Subordinatif Cara
Konjungsi subordinatif cara dapat berupa unsur dengan sebagaimana
terlihat dalam data-data berikut.
(1) Hadir pula calon wakil presiden terpilih, Boediono, yang datang dengan mobil Adphard dengan pengawalan ketat. (Berita Utama Kompas, 8/8/2009)
(2) Pengelolaan sampah dengan memilah jenis sampah organik dan nonorganik sudah sesuai dengan ketentuan UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. (Surat Pembaca Kompas, 9/82009)
(3) Jenazah teroris yang tewas tertembak di Temanggung dan diduga Noordin M Top, Sabtu (8/8) sore diberangkatkan menuju Jakarta dengan pengawalan ketat aparat kepolisian. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 9/8/2009)
(4) Warga dilokalisir menggunakan tameng hidup aparat kepolisian yang berdiri berjajar dengan sebagian memegang kayu satu sama lain. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 8/8/2009)
(5) “Mbak Endang sangat mengharapkan suaminya segera dipulangkan. Menurut dia, suaminya tidak tahu apa-apa soal orang yang bersembunyi di rumahnya,” kata Darsinah dengan mata berkaca-kaca. (Berita Utama Bernas Jogja, 11/8/2009)
Unsur dengan pada tuturan (1) berfungsi untuk menyatakan
makna cara. Unsur hadir pula calon wakil presiden terpilih, Boediono, yang
datang dengan mobil Adphard memiliki makna cara yang ditimbulkan,
yaitu pengawalan ketat. Unsur dengan pada tuturan (2) berfungsi untuk
menyatakan makna cara. Unsur pengelolaan sampah memiliki makna cara
yang ditimbulkan, yaitu memilah jenis sampah organik dan nonorganik sudah
sesuai dengan ketentuan UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Pada tuturan (3), unsur dengan berfungsi untuk menyatakan makna cara.
Unsur jenazah teroris yang tewas tertembak di Temanggung dan diduga Noordin
M Top, Sabtu (8/8) sore diberangkatkan menuju Jakarta memiliki makna cara
yang ditimbulkan, yaitu pengawalan ketat aparat kepolisian. Unsur dengan
pada tuturan (4) berfungsi untuk menyatakan makna cara. Unsur warga
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 69
dilokalisir menggunakan tameng hidup aparat kepolisian yang berdiri berjajar
memiliki makna cara yang ditimbulkan, yaitu sebagian memegang kayu
satu sama lain. Pada tuturan (5), unsur dengan menyatakan makna cara.
Unsur “menurut dia, suaminya tidak tahu apa-apa soal orang yang bersembunyi
di rumahnya,” kata Darsinah memiliki makna cara yang ditimbulkan, yaitu
mata berkaca-kaca.
•Konjungsi Subordinatif Konsesif
Konjungsi subordinatif konsesif dapat ditemukan pada data-data
berikut.
(1) Dengan demikian, sekalipun suatu saat warga negara Malaysia itu tertangkap, tak berarti ancaman teror di Indonesia tamat. (Berita Utama Kompas, 14/8/2009)
(2) Ia menyatakan, sebelumnya MUI sudah mengatakan bahwa aksi-aksi terorisme itu tidak ada dalam Islam dan sangat bertentangan dengan Islam meskipun pelaku dalam KTP-nya mengaku beragama Islam. (Berita Utama Bernas Jogja, 25/8/2009)
Pada tuturan (1), unsur sekalipun berfungsi menyatakan makna
konsesif. Unsur dengan demikian (sesuatu yang telah disebut sebelumnya)
memiliki makna konsesif yang ditimbulkan, yaitu suatu saat warga negara
Malaysia itu tertangkap, tak berarti ancaman teror di Indonesia tamat. Pada
tuturan (2), unsur meskipun berfungsi menyatakan makna konsesif.
Unsur ia menyatakan, sebelumnya MUI sudah mengatakan bahwa aksi-aksi
terorisme itu tidak ada dalam Islam dan sangat bertentangan dengan Islam
memiliki makna konsesif yang ditimbulkan, yaitu pelaku dalam KTP-nya
mengaku beragama Islam.
•Konjungsi Subordinatif Penjelasan
Konjungsi subordinatif penjelasan dapat ditemukan pada data-data
berikut.
(1) Harus diakui bahwa daging mengandung zat gizi penting seperti vitamin B12 dan mineral, tetapi ada hal lain di balik itu. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 22/8/2009)
70 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
(2) Sebelumnya ICW juga melaporkan kepada Komisi Kode Etik KPK bahwa Antasari Ashar telah melakukan 17 pelanggaran kode etik. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 22/8/2009)
(3) Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Nanan Soekarno mengakui bahwa Detasamen Khusus 88 Anti Teror Badan Reserse Kriminal Polri telah menangkap Mohammad Jibril, tersangka kasus terorisme. (Berita Utama Bernas Jogja, 26/8/2009)
Pada tuturan (1), unsur bahwa menyatakan makna penjelasan.
Unsur harus diakui memiliki makna penjelasan, yaitu daging mengandung
zat gizi penting seperti vitamin B12 dan mineral, tetapi ada hal lain di balik itu.
Demikian halnya pada tuturan (2), unsur bahwa menyatakan makna
penjelasan. Unsur sebelumnya ICW juga melaporkan kepada Komisi Kode Etik
KPK memiliki makna penjelasan, yaitu Antasari Ashar telah melakukan 17
pelanggaran kode etik. Unsur bahwa pada tuturan (3) pun menyatakan
makna penjelasan. Unsur Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Nanan Soekarno
mengakui memiliki makna penjelasan, yaitu Detasamen Khusus 88 Anti Teror
Badan Reserse Kriminal Polri telah menangkap Mohammad Jibril, tersangka kasus
terorisme.
c. Konjungsi Korelatif
Konjungsi korelatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua
unsur (kata, frasa, atau klausa), dan kedua unsur itu memiliki status
sintaksis yang sama. Konjungsi korelatif terdiri atas dua bagian yang
dipisahkan oleh salah satu unsur berupa kata, frasa, atau klausa yang
dihubungkan (Moeliono, ed. al., 1992:238). Konjungsi korelatif dapat
juga ditemukan dalam wacana bahasa Indonesia di surat kabar yang
dibuktikan dengan adanya data-data berikut.
(1) Siapapun masyarakat, baik Muslim maupun nonmuslim, menghendaki negara ini tetap aman dan tenteram, dan sama-sama menjaga stabilitas keamanan. (Berita Utama Bernas Jogja, 25/8/2009)
(2) “TNI senantiasa siap membantu melaksanakan langkah-langkah baik pendeteksian dan pencegahan, maupun penindakan. (Berita Utama Kompas, 10/8/2009).
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 71
(3) Jenis kendaraan yang diatur adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya, baik di darat maupun di air. (Surat Pembaca Kompas, 5/8/2009)
(4) Pimpinan KPK pun mulai mengkaji laporan pengawas internal itu dan diputuskan apakah komite etik perlu dibentuk atau tidak. (Berita Utama Kompas, 26/8/2009)
Pada tuturan (1) tampak bahwa unsur baik dan maupun berfungsi
untuk menyatakan makna korelatif antarkata, yaitu kata Muslim dengan
kata nonmuslim. Kedua kata tersebut memiliki status sintaksis yang
sama dalam tuturan itu. Pada tuturan (2) tampak bahwa unsur baik
dan maupun berfungsi untuk menyatakan makna korelatif antara
frasa dengan kata, yaitu frasa pendeteksian dan pencegahan dengan kata
penindakan. Frasa pendeteksian dan pencegahan dan kata penindakan
memiliki status sintaksis yang sama dalam tuturan itu. Pada tuturan (3)
tampak bahwa unsur baik dan maupun berfungsi untuk menyatakan
makna korelatif antarfrasa, yaitu frasa di darat dan frasa di air. Kedua frasa
itu memiliki status sintaksis yang sama dalam tuturan itu. Pada tuturan
(4) tampak bahwa unsur apakah dan atau berfungsi untuk menyatakan
makna korelatif antara klausa dengan kata, yaitu klausa komite etik perlu
dibentuk dengan kata tidak. Klausa komite etik perlu dibentuk dengan kata
tidak memiliki status sintaksis yang sama dalam tuturan itu.
d. Konjungsi Antarkalimat
Konjungsi antarkalimat ialah konjungsi yang menghubungkan satu
kalimat dengan kalimat yang lain. Konjungsi antarkalimat dalam surat
kabar tampak dalam data-data berikut.
(1) Jika dilihat dari usia kemerdekaan, bangsa Indonesia telah 64 tahun merdeka. Namun, apakah dengan usia kemerdekaan itu bangsa ini betul-betul dapat dikatakan merdeka? (Berita Utama Bernas Jogja, 19/8/2009)
(2) Pimpinan KPK membantah keras isu tersebut, dan dinilainya sebagai fitnah. Oleh karena itu, testimoni tersebut tidak bisa dipakai sebagai bukti hukum. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 7/8/2009)
72 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
(3) “Kami berharap, polisi segera dapat menangkap siapa yang membuat surat ini,” kata Candra. Selain itu, Candra juga membeberkan berbagai kejanggalan dalam surat tersebut. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 7/8/2009)
(4) Kondisi tersebut terus terjadi, dan uang itu pun berputar-putar di situ tanpa hasil banyak bagi rakyat. Padahal, kita cukup mengubah beberapa pasal dalam UU Migas agar tetap ada pasokan gas untuk kebutuhan domestik. (Berita Utama Kompas, 27/8/2009)
Pada tuturan (1), unsur namun berfungsi untuk menghubungkan
kalimat satu dengan kalimat yang lain (kalimat kedua). Unsur namun
dalam tuturan itu menyatakan makna pertentangan dari kalimat
sebelumnya. Pada tuturan (2), unsur oleh karena itu berfungsi untuk
menghubungkan kalimat satu dengan kalimat yang lain (kalimat
kedua). Unsur oleh karena itu dalam tuturan itu menyatakan makna
penyebaban dari kalimat sebelumnya. Pada tuturan (3), unsur selain itu
berfungsi untuk menghubungkan kalimat satu dengan kalimat yang lain
(kalimat kedua). Unsur selain itu dalam tuturan itu menyatakan makna
penambahan (aditif) dari kalimat sebelumnya. Pada tuturan (4), unsur
padahal berfungsi untuk menghubungkan kalimat satu dengan kalimat
yang lain (kalimat kedua). Unsur padahal dalam tuturan itu menyatakan
makna intensitas (kesungguhan) dari kalimat sebelumnya.
3.2.2 Kohesi Leksikal
Kohesi leksikal dirinci menjadi (1) kohesi leksikal menggunakan
pengulangan, (2) kohesi leksikal menggunakan sinonimi, (3) kohesi
leksikal menggunakan antonimi, (4) kohesi leksikal menggunakan
hiponimi, (5) kohesi leksikal menggunakan ekuivalensi, dan (6) kohesi
leksikal menggunakan kolokasi.
A. Kohesi Leksikal Menggunakan Pengulangan
Pengulangan adalah penyebutan kembali suatu unsur yang sama
seperti yang telah disebut sebelumnya (Halliday melalui Badru,
dkk., 2003: 44). Ramlan (1993: 30) mengatakan bahwa pengulangan
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 73
merupakan penanda berupa unsur yang mengulangi unsur di depannya.
Pengulangan dapat dirinci menjadi (1) pengulangan sama tepat, (2)
pengulangan dengan perubahan bentuk, (3) pengulangan sebagian,
dan (4) pengulangan parafrasa.
a. Pengulangan Sama Tepat
Pengulangan sama tepat ialah pengulangan unsur dalam wacana
yang unsur ulangannya sama tepat atau persis seperti unsur yang
telah disebut sebelumnya. Pengulangan sama tepat berfungsi untuk
menekankan pentingnya unsur itu dalam sebuah wacana. Pengulangan
sama tepat dapat berupa pengulangan kata atau frasa sebagaimana
data-data berikut.
(1) Situasi area tambang milik PT Freeport Indonesia di Papua kian memanas menjelang HUT kemerdekaan RI ke-64. Polisi daerah Papua menambah pasukan Brimob sebanyak 65 personil. Sumber VivaNews di Polda Papua mengatakan, mereka langsung berangkat dari markas Brimob Kotaraja, Jayapura, Papua, Sabtu (15/8). (Berita Utama Bernas Jogja, 16/8/2009)
(2) Saya tak habis pikir, mengapa harus lapor ulang. Makin tak habis pikir lagi ketika saya lihat hanya dua loket dibuka untuk menampung berjibun penumpang yang hendak lapor berangkat. (Surat Pembaca Kompas, 11/8/2009)
(3) Hingga detik ini Indonesia masih merupakan negara agraris dengan hasil bumi yang melimpah, salah satunya buah-buahan. Tidaklah sulit memperoleh buah-buahan, mulai dari pekarangan rumah kita sendiri, pasar tradisional sampai mall-mall megah. Dari segi harga pun, bukanlah sebuah problem karena vitamin tidak hanya tersedia pada buah-buahan kelas atas seperti anggur dan melon, tapi juga pada buah-buahan seperti pisang, jeruk, dan pepaya, yang notabene lebih mudah dijangkau. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 18/8/2009)
Pada tuturan (1) terjadi pengulangan sama tepat berupa kata, yaitu
Papua. Unsur Papua diulang sebanyak empat kali secara berturut-turut
untuk menekankan pentingnya unsur itu dalam konteks keseluruhan
tuturan itu. Pada tuturan (2) terjadi pengulangan sama tepat berupa
74 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
frasa, yaitu tak habis pikir. Unsur tak habis pikir diulang sebanyak dua kali
untuk menekankan pentingnya unsur itu dalam konteks keseluruhan
tuturan itu. Pada tuturan (3) terjadi pengulangan sama tepat berupa
kata ulang (reduplikasi), yaitu buah-buahan. Unsur buah-buahan diulang
sebanyak empat kali untuk menekankan pentingnya unsur itu dalam
konteks keseluruhan tuturan itu.
b. Pengulangan dengan Perubahan Bentuk
Pengulangan dengan perubahan bentuk ialah pengulangan unsur
dalam wacana yang unsur diulangnya mengalami perubahan bentuk
dari unsur yang telah disebut sebelumnya. Pengulangan unsur dengan
perubahan bentuk terjadi karena adanya keterikatan tata bahasa
(derivasi), berikut maknanya dalam sebuah wacana secara keseluruhan
(Ramlan, 1993:32). Pengulangan dengan perubahan bentuk dapat
berupa pengulangan kata sebagaimana data-data berikut.
(1) Masalah yang dihadapi pemerintah adalah masih menguatnya semangat sentralisasi. Walaupun demikian, saat ini sistem desentralisasi dan otonomi daerah juga mulai tumbuh. (Berita Utama Kompas, 20/8/2009)
(2) Bisa diambil kesimpulan, pohon di kawasan pantai masih ceroboh. Minimal, penduduk yang berhadapan dengan pohon-pohon yang ditanam, belum diberi kewajiban mengguyur air tiap hari. Apabila penduduk diwajibkan menyiram air tawar ke batang dan akar pepohonan, tidak akan nampak seperti sekarang: kurus kering, tak bisa hidup, dan terus-menerus diterpa angin laut yang sangat kencang. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 20/8/2009)
Pada tuturan (1) terjadi pengulangan dengan perubahan bentuk
berupa kata, yaitu dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Unsur sentralisasi
mengalami perubahan bentuk menjadi desentralisasi karena adanya
keterikatan tata bahasa pada unsur yang diulang dalam konteks
keseluruhan tuturan itu. Pada tuturan (2) terjadi pengulangan dengan
perubahan bentuk berupa kata, yakni pohon menjadi pohon-pohon dan
pepohonan. Perubahan yang terjadi adalah kata dasar pohon berubah
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 75
menjadi kata ulang dasar pohon-pohon, dan berubah lagi menjadi kata
ulang berubah bunyi pepohonan. Unsur pohon berubah menjadi pohon-
pohon dan pepohonan karena adanya keterikatan tata bahasa pada unsur
yang diulang dalam konteks keseluruhan tuturan itu.
c. Pengulangan Sebagian
Pengulangan sebagian merupakan pengulangan unsur dalam
wacana yang unsur diulangnya hanya sebagian dari unsur yang telah
disebut sebelumnya. Pengulangan sebagian unsur terjadi karena
perubahan kategori dan fungsi unsur itu di dalam sebuah wacana.
Perubahan sebagian dapat berupa kata sebagaimana data-data berikut.
(1) Teknologi pemupukan yang revolusioner tersebut perlu diapresiasi sebagai sarana untuk merevitalisasi sistem pemupukan yang konvensional. Petani dapat memperoleh jenis pupuk yang berkualitas, aplikasinya mudah, dan biaya yang lebih efisien sehingga hasil produksi lebih kompetitif. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 3/8/2009)
(2) Kesulitan tidak hanya berhenti di situ. Membasmi maraknya pembajakan dan pendistribusian kaset-kaset itulah yang sulit. (Berita Utama Bernas Jogja, 10/8/2009)
Pada tuturan (1) terjadi pengulangan sebagian unsur berupa kata,
yaitu dari pemupukan menjadi pupuk. Pemupukan masuk kategori nomina
abstrak dan menduduki fungsi subjek dalam tuturan itu. Unsur pupuk
yang diulang sebagian masuk kategori nomina konkret dan menduduki
fungsi objek dalam tuturan itu. Pada tuturan (2) terjadi pengulangan
sebagian unsur berupa kata, yaitu dari kesulitan menjadi sulit. Kesulitan
masuk kategori nomina abstrak dan menduduki subjek dalam tuturan
itu. Unsur sulit masuk kategori adjektiva dan menduduki fungsi subjek
dalam tuturan itu karena didahului unsur yang (yang sulit).
d. Pengulangan Parafrasa
Pengulangan parafrasa merupakan pengungkapan kembali suatu
konsepsi dengan bentuk bahasa yang berbeda (Ramlan, 1993:36).
Pengulangan parafrasa dapat dilihat pada data berikut.
76 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Di mata para sahabat, Rendra seolah tak pernah pergi. Sutardji yang bergelar “Presiden Penyair Indonesia” merasa kehilangan sosok orang yang tingkah polahnya bisa menjadi teladan. “Tetapi saya tidak bersedih atas meninggalnya Rendra karena ia sebenarnya tidak pernah pergi. Seniman besar tak pernah pergi. Karyanya selalu besar. Inilah orang besar di antara kita,” kata Sutardji. (Berita Utama Kompas, 8/8/2009)
Pada tuturan di atas tampak bahwa unsur tak pernah pergi diulang
dengan bentuk bahasa yang berbeda dan berparafrasa satu dengan
yang lain untuk mengungkapkan satu konsepsi yang sama, yaitu Rendra
seolah tak pernah pergi.
B. Kohesi Leksikal Menggunakan Sinonimi
Sinonimi ialah penanda kohesi leksikal berupa relasi makna leksikal
yang sama atau mirip antara unsur satu dengan unsur yang lain dalam
sebuah wacana. Sinonimi terjadi bukan karena fungsi, kategori, atau
peran, melainkan semata-mata karena adanya hubungan makna unsur
itu dalam sebuah wacana (Ramlan, 1993:36). Berikut adalah kohesi
sinonimi dalam wacana surat kabar.
(1) India berkeinginan kuat menjadi negara penguasa peranti lunak (software) dan China berminat menguasai perangkat keras (hardware). (Berita Utama Kompas, 16/8/2009)
(2) Polri menaruh perhatian serius terhadap munculnya informasi yang menyebutkan, Barak Obama menjadi target para teroris. Bahkan, kabar yang beredar, para teroris telah mempersiapkan dua penembak jitu atau sniper dengan sasaran utama presiden Amerika Serikat tersebut. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 22/8/2009)
(3) Guru besar kebijakan politik UGM, Prof Dr Sofian Affandi mengatakan, pembahasan RUUK masih berlangsung intensif mengingat mepetnya waktu penyelesaian sebelum masa bakti DPR RI periode 2004-2009 berakhir. Sofian juga menuturkan, masih terdapat perbedaan pendapat antara pihak yang mengusulkan penetapan dengan pemerintah yang cenderung menghendaki pemilihan. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 23/8/2009)
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 77
(4) Halaman berita Australia, Sidney Morning Herald, edisi 9 Agustus 2009 memuat pendapat pakar teroris, Sidney Johnes yang mengatakan, Noordin M Top belum tewas. “Sepertinya dia belum mati,” kata Johnes. (Berita Utama Bernas Jogja, 10/8/2009)
Pada tuturan (1) terdapat kohesi leksikal sinonimi antara unsur
peranti dengan perangkat. Hubungan makna kedua unsur itu sama, yaitu
alat (KBBI, 2008:1052). Pada tuturan (2) terdapat kohesi sinonimi antara
unsur informasi dan kabar. Hubungan makna kedua unsur itu sama, yaitu
berita (ibid.: 535;596). Pada tuturan (3) terdapat kohesi leksikal sinonimi
antara unsur mengatakan dan menuturkan. Hubungan makna kedua unsur
itu sama, yaitu menyampaikan, mengemukakan. Pada tuturan (4) terdapat
kohesi leksikal sinonimi antara unsur tewas dan mati. Hubungan makna
kedua unsur itu sama, yaitu meninggal (ibid.:1459).
C. Kohesi Leksikal Menggunakan Antonimi
Antonimi ialah penanda kohesi leksikal berupa hubungan makna
yang bersifat kontras (berlawanan) antara unsur yang satu dengan
unsur yang lain dalam sebuah wacana. Kohesi antonimi ditemukan
dalam data-data berikut.
(1) Di atas Merah-Putih terpampang Bhineka Tunggal Ika. Di bawah logo itu ada teks Komisi Pemberantasan Korupsi masih berlandaskan Merah-Putih. (Surat Pembaca Kompas, 29/8/2009)
(2) Berdasarkan pemantauan, di jalur pantai utara Jawa, kerusakan sekaligus perbaikan jalan terjadi di ruas Losari-Brebes-Tegal-Kaligawe-Demak (Jawa Tengah), dan Babat-Lamongan (Jawa Timur).
.... Untuk jalur selatan Jawa, jalan rusak menghambat di ruas
Majengan-Wangun-Buntu. (Berita Utama Kompas, 3/8/2009)(3) Keduanya dibawa sepekan sebelum peristiwa ledakan di hotel
JW Marriot dan Rits Carlton, Jakarta. Namun, beberapa hari sesudah terjadi ledakan, hanya Danni yang kembali lagi. (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 24/8/2009)
78 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Pada tuturan (1) terdapat kohesi antonimi antara unsur atas dan
bawah. Makna kedua unsur itu bersifat kontras, yaitu perlawanan mutlak
posisi. Pada tuturan (3) terdapat kohesi antonimi antara unsur utara dan
selatan. Makna kedua unsur itu bersifat kontras, yaitu perlawanan mutlak
posisi. Pada tuturan (3) terdapat kohesi antonimi antara unsur sebelum
dan sesudah. Makna kedua unsur itu bersifat kontras, yaitu perlawanan
hubungan (waktu).
D. Kohesi Leksikal Menggunakan Hiponimi
Hiponimi merupakan penanda kohesi leksikal yang makna kata-
katanya merupakan bagian dari makna kata lain. Unsur hiponim yang
maknanya mencakup makna unsur yang lain disebut superordinat,
sedangkan unsur yang maknanya tercakup oleh unsur yang lain disebut
subordinat. Kohesi leksikal hiponimi dapat berupa kata dan frasa
sebagaimana data-data berikut.
(1) Yang jelas, pepohonan yang ditanam di sana sekitar 90 persennya tidak hidup. Ada jenis cemara, mahoni, kersen (talok), dan lain-lain. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 20/8/2009)
(2) Sepuluh kota yang ditemukan transaksi mencurigakan itu, antara lain, Yogyakarta, Makasar, Bekasi, Solo, Poso, dan Jakarta. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 22/8/2009)
(3) Selama bulan Agustus, kita selalu mendengar lagu-lagu perjuangan dan kemerdekaan yang dikumandangkan sejumlah kalangan masyarakat Indonesia yang dengan gembira menyambut hari kemerdekaan, dari desa, kampung sampai kota, dari anak-anak sampai para ibu dan bapak, di radio dan televisi. (Surat Pembaca Kompas, 27/8/2009)
(4) Menyambut datangnya bulan penuh berkah dan ampunan tahun ini, RS Nur Hidayah bekerja sama dengan PPPA Darul Quran menyelenggarakan Riadloh Ramadhan, ditujukan kepada para penderita penyakit kronis seperti hipertensi, hiperkoresterol, asam urat, dan diabetes. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 16/8/2009)
Pada tuturan (1) terdapat kata pepohonan. Makna kata pepohonan
dalam tuturan itu mencakup makna kata cemara, mahoni, dan kersen.
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 79
Dengan demikian, kata pepohonan dalam tuturan itu merupakan
superordinat, sedangkan kata cemara, mahoni, dan kersen merupakan
subordinatnya. Pada tuturan (2) terdapat kata kota. Makna kata kota
dalam tuturan itu mencakup makna kata Yogyakarta, Makasar, Bekasi, Solo,
dan Jakarta. Dengan demikian, kata kota dalam tuturan itu merupakan
superordinat, sedangkan kata Yogyakarta, Makasar, Bekasi, Solo, dan Jakarta
merupakan subordinatnya.
Pada tuturan (3) terdapat frasa kalangan masyarakat. Makna frasa
kalangan masyarakat mencakup makna kata anak-anak dan para ibu dan
bapak. Dengan demikian, frasa kalangan masyarakat dalam tuturan itu
merupakan superordinat, sedangkan kata anak-anak dan para ibu dan
bapak merupakan subordinatnya. Pada tuturan (4) terdapat frasa penyakit
kronis. Makna frasa penyakit kronis mencakupi makna kata hipertensi,
hiperkoresterol, asam urat, dan diabetes. Dengan demikian, frasa penyakit
kronis dalam tuturan itu merupakan superordinat, sedangkan hipertensi,
hiperkoresterol, asam urat, dan diabetes merupakan subordinatnya.
E. Kohesi Leksikal Menggunakan Ekuivalensi
Kohesi ekuivalensi ialah jenis penanda kohesi leksikal yang berupa
sejumlah kata sebagai hasil proses afiksasi dengan morfem asal yang
sama. Kohesi ekuivalensi ditemukan pada data-data berikut.
(1) Akibat terlalu banyak polisi yang ikut menilang, tugas mulianya terabaikan. Di belakang mobil yang ditilang, ada bus transjakarta yang terhambat untuk melaju. Bayangkan, beberapa waktu yang terbuang untuk menunggu selesai proses penilangan itu. (Surat Pembaca Kompas, 21/8/2009)
(2) Pemerintah menetapkan, awal Ramadhan 1430 H jatuh pada Sabtu (22/8) besok. Dasar penetapan itu selain hisab (perhitungan astronomi), juga dengan rukyatul, yaitu pengamatan bulan sabit secara langsung. Awal Ramadhan ini ditetapkan dalam sidang itsbat yang dipimpin Menteri Agama, M Maftuh Basyuni di Kantor Depag, Jakarta, Kamis (20/8). (Berita Utama Kedaulatan Rakyat, 21/8/2009)
(3) Jibril ditangkap saat dalam perjalanan pulang dari tempat kerjanya di Bintaro ke rumah orang tuanya di Pamulang,
80 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Tangerang, Banten, Selasa sore sekitar pukul 15.30 WIB. Penangkapan itu hanya beberapa jam setelah polisi merilis bahwa Jibril menjaga buronan karena diduga menjadi perantara aliran dana dari luar negeri ke Indonesia untuk dipakai dalam aksi ledakan bom di Hotel JW Mariot dan Rtiz Carlton. (Berita Utama Bernas Jogja, 26/8/2009).
Pada tuturan (1) terdapat kesepadanan unsur menilang, ditilang, dan
penilangan. Ketiga unsur itu berasal dari satu morfem yang sama yaitu
tilang dan mengalami proses afiksasi karena kedudukan atau fungsinya
masing-masing dalam keseluruhan tuturan itu. Pada tuturan (2) terdapat
kesepadanan unsur menetapkan, penetapan, dan ditetapkan. Ketiga unsur
itu berasal dari satu morfem yang sama, yaitu tetap, dan mengalami
proses afiksasi karena kedudukan atau fungsinya masing-masing
dalam keseluruhan tuturan itu. Pada tuturan (3) terdapat kesepadanan
unsur ditangkap dan penangkapan. Kedua unsur itu berasal dari satu
morfem yang sama yaitu tangkap, dan mengalami proses afiksasi karena
kedudukan atau fungsinya dalam keseluruhan tuturan itu.
F. Kohesi Leksikal Menggunakan Kolokasi
Kolokasi ialah penanda kohesi leksikal berupa unsur yang
maknanya bersanding dengan unsur lain dalam sebuah wacana.
Kolokasi ditemukan pada data-data berikut.
(1) Dengan arogan, si pegawai mengeluarkan kata-kata yang melecehkan lembaga notaris, dan itu diamini bosnya. (Surat Pembaca Kompas, 7/8/2009)
(2) Manohara, penggemar Mbah Surip yang datang dengan blus coklat dan rok hijau mengatakan terkejut mendengar Mbah Surip meninggal dunia secara mendadak. “Setiap bertemu dengan para sahabat, almarhum selalu memulai pembicaraan dengan tawanya yang khas. (Berita Utama Bernas Jogja, 5/8/2009)
Pada tuturan (1) terdapat unsur si yang bersanding dengan unsur
pegawai karena kedua unsur itu memiliki makna yang saling berdekatan,
yaitu sama-sama dipakai untuk menyebut orang. Pada tuturan (2)
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 81
terdapat unsur meninggal yang bersanding dengan unsur almarhum
karena kedua unsur itu memiliki makna yang saling berdekatan, yaitu
sama-sama dipakai untuk menyebut orang yang telah tiada (meninggal,
wafat, mati).
3.3 Pembahasan Penggunaan Kohesi dalam Surat Kabar
Hasil analisis dan interpretasi data yang telah diuraikan di atas
memperlihatkan bahwa penanda-penanda kohesi wacana bahasa
Indonesia dalam surat kabar diekplisitkan melalui penggunaan unsur
bahasa berupa referensi, substitusi, penghilangan, konjungsi (kohesi
gramatikal); dan pengulangan, sinonimi, antonimi, hiponimi, ekuivalensi,
kolokasi (kohesi leksikal). Jika ditelaah, tereksplisitnya penanda dalam
wujud unsur-unsur bahasa menunjukkan adanya pertalian antarunsur
yang kohesif sekaligus koheren. Perhatikan data-data berikut.
(1) Jenis kendaraan yang diatur adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya, baik di darat maupun di air. (Berita Utama Kompas, 5/8/2009)
(2) Sesuai peraturan yang berlaku, kami tidak melayani reservasi pada hari Jumat sampai Minggu dan pada hari besar atau libur nasional. Sebab, permintaan tiket pada hari-hari tersebut sangatlah tinggi sehingga kami lebih mengutamakan penumpang yang datang langsung ke Joglosemar. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 26/8/2009)
(3) India berkeinginan kuat menjadi negara penguasa peranti lunak (software) dan China berminat menguasai perangkat keras (hardware). (Berita Utama Kompas, 16/8/2009)
(4) Manohora, penggemar Mbah Surip yang datang dengan blus coklat dan rok hijau mengatakan terkejut mendengar Mbah Surip meninggal dunia secara mendadak. “Setiap bertemu dengan para sahabat, almarhum selalu memulai pembicaraan dengan tawanya yang khas. (Berita Utama Bernas Jogja, 5/8/2009)
Jika dicermati, dalam tuturan (1), (2), (3), dan (4) secara eksplisit
penanda-penanda lingual menggunakan kohesi gramatikal dan kohesi
leksikal. Pada tuturan (1) dan (2) terdapat kohesi gramatikal berupa
82 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
konjungsi, sedangkan pada tuturan (3) dan (4) terdapat kohesi leksikal
berupa sinonimi dan kolokasi.
Penanda kohesi yang muncul secara eksplisit dalam tuturan (1)
adalah baik dan maupun. Kedua unsur itu disebut konjungsi korelatif
yang berfungsi menghubungkan frasa di darat dan di air dalam tuturan
itu. Penanda kohesi eksplisit dalam tuturan (2) adalah sebab. Unsur itu
disebut konjungsi penyebaban yang berfungsi untuk menghubungkan
unsur sesuai peraturan yang berlaku, kami tidak melayani reservasi pada hari
Jumat sampai Minggu dan pada hari besar atau libur nasional dan unsur
permintaan tiket pada hari-hari tersebut sangatlah tinggi sehingga kami lebih
mengutamakan penumpang yang datang langsung ke Joglosemar. Dengan
demikian, tuturan (1) dan (2) memiliki pertalian makna karena ditandai
adanya unsur penghubung yang eksplisit berupa konjungsi sehingga
tuturan-tuturan itu kohesif sekaligus koheren.
Penanda kohesi yang eksplisit dalam tuturan (3) adalah peranti
dan perangkat. Kedua unsur itu disebut sinonimi karena secara leksikal
makna kedua unsur itu sama, yaitu keduanya memiliki makna alat.
Penanda kohesi yang eksplisit dalam tuturan (4) adalah meninggal dan
almarhum. Kedua unsur itu disebut kolokasi karena keduanya memiliki
makna yang bersanding atau memiliki kelekatan makna. Dengan
demikian, tuturan (3) dan (4) memiliki pertalian makna karena ditandai
unsur-unsur berupa kohesi leksikal yang membuat tuturan-tuturan itu
kohesif sekaligus koheren.
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 83
BAB 4 KOHERENSI: PERANTI ANTARUNSUR
YANG TERIMPLISIT
4.1 Dasar Teori
Sebagai keterkaitan semantis antara bagian-bagian wacana,
koherensi terdiri atas dua, (1) yaitu koherensi berpenanda, dan (2)
koherensi tidak berpenanda. Koherensi berpenanda ialah keterkaitan
semantis antara bagian-bagian wacana yang pengungkapannya
ditandai dengan konjungsi. Menurut Sumadi (1998: 66-85), koherensi
berpenanda terdiri atas: (a) koherensi temporal, (b) koherensi intensitas,
(c) koherensi kausalitas, (d) koherensi kontras, (e) koherensi aditif, (f)
koherensi kronologis, dan (g) koherensi perurutan.
Koherensi tidak berpenanda ialah pertalian semantik antara bagian-
bagian wacana yang secara tekstual tidak ditandai konjungsi namun
dapat dipahami dari hubungan antarunsur-unsurnya (Baryadi, 2002:
34). Koherensi tidak berpenanda terdiri atas: (a) koherensi perincian
dan perian, dan (b) koherensi wacana dialog. Berikut ini akan diuraikan
kedua koherensi tersebut, koherensi berpenanda dan koherensi tidak
berpenanda.
4.1.1 Koherensi Berpenanda
A. Koherensi Temporal
Menurut Sumadi, koherensi temporal, yaitu koherensi yang
menyatakan hubungan makna waktu antara kalimat yang satu dengan
kalimat yang lain (Hartanti, 2007: 45). Contoh koherensi temporal
adalah sebagai berikut.
84 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Setahun lalu saya karyawati umur 45, pernah menjalani operasi kanker payudara. Tadinya seminggu sekali, lalu dua minggu, dan sekarang sebulan sekali. Selain mahal, juga melelahkan. Tetapi sampai sekarang, tidak ada kepastian apakah payudara saya sudah sehat atau ini akan berlangsung abadi (Minggu Pagi dalam Puspitasari).
Pada contoh di atas terlihat bahwa terdapat empat kalimat. Di
antara kalimat-kalima tersebut, terdapat hubungan makna waktu yang
dinyatakan dengan setahun lalu, seminggu sekali, dua minggu sekali, sebulan
sekali, dan sekarang (Hartanti, 2007: 45).
B. Koherensi Intensitas
Koherensi intensitas, yaitu koherensi yang menyatakan hubungan
kesungguhan atau penyangatan yang terdapat dalam sejumlah penanda
dalam fungsinya sebagai penghubung antara kalimat yang satu dengan
kalimat yang lain (Sumadi, 1998 melalui Hartanti, 2007: 46). Berikut
dikemukakan contoh koherensi intensitas antarkalimat.
Eksistensi pers berada di antara perangkat hukum yang melindungi kebebasan pers dan yang mengancamnya. Ironisnya, antara perangkat hukum yang melindungi dengan yang mengancamnya justeru lebih banyak yang mengancam kebebasan pers. Padahal, jika pemerintah berkomitmen menegakkan pemerintahan yang bersih, seyogyanya melindungi dan memfungsikan pers.
Contoh di atas terdiri dari tiga kalimat. Di antara kalimat-kalimatnya
terdapat penyangatan yang ditunjukkan dengan konjungsi padahal
(Hartanti, 2007: 47).
C. Koherensi Kausalitas
Koherensi kausalitas, yaitu koherensi yang menyatakan hubungan
sebab-akibat antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain (Sumadi,
1998 melalui Hartanti 2007: 44). Contoh berikut menunjukkan
koherensi kausalitas.
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 85
Kira-kira mulai tahun 1980-an perkembangan kajian bahasa Indonesia cenderung mengarah ke bidang analisis wacana. Namun, perkembangan tersebut menghadapi kendala, yaitu masih langkanya literatur berbahasa Indonesia mengenai wacana, baik mengenai teori maupun model analisisnya. Oleh sebab itu, penyusunan buku ini dimaksudkan untuk mengisi kerumpangan tersebut (Baryadi, 2002:29-30).
Pada contoh di atas, kalimat terakhir berkoherensi kausalitas dengan
kalimat sebelumnya, dan koherensinya ditandai dengan konjungsi oleh
sebab itu (Hartanti, 2007:44).
D. Koherensi Kontras
Koherensi kontras, yaitu koherensi yang menyatakan hubungan
pertentangan atau perlawanan antara kalimat yang satu dengan kalimat
yang lain (Sumadi, 1998, melalui Hartanti, 2007:44). Berikut ini contoh
koherensi kontras.
Sepintas tampaknya ini menguntungkan karena dapat mengimbangi terjadinya pemanasan global. Tetapi, juga menimbulkan kekuatiran baru, yaitu bahwa kita telah memperkirakan terlalu rendah (underestimate) efek GRK pada peningkatan suhu permukaan bumi (Kompas, melalui Ernawati, 2007:57)
Pada contoh (17) terdapat dua kalimat. Kalimat kedua berkoherensi
pertentangan dengan kalimat pertama yang ditandai konjungsi tetapi
(Ernawati, 2006:57).
E. Koherensi Aditif
Koherensi aditif, yaitu koherensi yang menyatakan makna
penambahan antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain,
yang ditandai konjungsi tertentu, misalnya di samping itu, lagi pula, dan
berikutnya. Koherensi aditif dapat dilihat pada contoh berikut.
Agar badan tetap sehat, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama-tama kita harus makan makanan bergizi. Berikutnya kita harus berolah raga secara teratur. Di samping itu, kita harus memiliki cukup waktu untuk beristirahat (Baryadi, 2002:30).
86 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Pada contoh di atas terlihat bahwa kalimat pertama berkoherensi
aditif dengan kalimat kedua dan kalimat ketiga yang ditandai dengan
konjungsi berikutnya dan di samping itu mengajak pembaca untuk
melakukan ketiga hal yang disampaikan (Baryadi, 2002 melalui Hartanti,
2007:46).
F. Koherensi Kronologis
Koherensi kronologis, yaitu koherensi yang menyatakan hubungan
rangkaian waktu. Koherensi ini sering ditunjukkan oleh konjungsi yang
menyatakan temporal (lalu, kemudian, setelah ini, sesudah itu), penanda
kala (dulu, sekarang), dan penanda aspek (akan, belum, sudah) (Baryadi,
2002:32). Contoh koherensi kronologis adalah sebagai berikut.
Setelah berlari, Busrodin masuk ke dalam lubang perlindungan. Terengah-engah lalu meletakkan tubuh sahabatnya di atas tanah. Sekarang mereka berlindung dari tembakan senapan musuh (Diponegoro, 1975 melalui Baryadi, 2002:33).
Kalimat-kalimat pada contoh (19) menyatakan berbagai peristiwa
yang terjadi secara kronologis yang ditunjukkan dengan unsur-unsur
setelah, lalu, dan sekarang (Baryadi, 2002:33).
G. Koherensi Perurutan
Koherensi perurutan, yaitu koherensi yang menyatakan hubungan
perbuatan yang harus dilakukan secara berurutan (Baryadi, 2002:46).
Berikut adalah contoh koherensi perurutan. Koherensi antarkalimat
dapat dilihat dalam contoh berikut ini.
Saat pertama kali diketahui, bunga yang mekar itu berwarna merah darah seperti pisang. Dua hari kemudian, mahkotanya membuka, sementara bau busuknya berangsur-angsur hilang (Wati, Eni, dkk., 2004 melalui Hartanti, 2007:46).
Pada contoh di atas terdiri dari dua kalimat. Antara kalimat pertama
dan kalimat kedua terdapat koherensi perurutan yang ditandai dengan
pertama kali, dan dua hari kemudian (Hartanti, 2007:46).
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 87
4.2.2 Koherensi Tidak Berpenanda
A. Koherensi Perincian dan Koherensi Perian
Baryadi (2002:32) mengatakan bahwa koherensi perincian adalah
koherensi yang mengatakan hubungan makna rincian penjelasan
sesuatu hal secara sistematis. Koherensi perian adalah koherensi yang
merupakan hubungan makna yang menyatakan pendeskripsian suatu
hal secara jelas. Contoh koherensi perincian dan perian adalah sebagai
berikut.
Burung walet hitam berukuran lebih besar (14cm) dengan sayap panjang dan ekor tercelah dalam (menggarpu). Warna tunggingnya bervariasi antara abu-abu sampai hitam gelap seperti punggungnya. Kakinya tidak berbulu atau hanya sedikit berbulu (Mackinnon, 1990 melalui Baryadi, 2002:32).
Bagian-bagian wacana pada contoh di atas memiliki koherensi
perian, perincian, atau posesif (Baryadi, 2002: 32).
B. Koherensi Wacana Dialog
Koherensi wacana dialog adalah koherensi yang didominasi oleh
adanya stimulus-respons. Koherensi wacana dialog tidak diwujudkan
dalam bentuk penanda sehingga harus dipahami dari hubungan
antarkalimatnya. Salah satu koherensi wacana dialog berupa negosiasi
dapat dilihat pada contoh berikut.
A: Berapa harga buah durian ini, Bu?
B: Cuma dua puluh lima ribu rupiah
A: Boleh kurang, Bu?
B: Kurang sedikit, lah!
A: Lima belas ribu, ya, Bu?
B: Belum bisa, naik sedikit, lah! (Baryadi, 2002:35)
Pada contoh di atas tampak adanya wacana yang kalimat-kalimatnya
berfungsi untuk menyampaikan negosiasi atau tawar-menawar.
Dari keseluruhan paparan di atas dapat dibuat tabel jenis-jenis
koherensi sebagai berikut.
88 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Tabel 2. Jenis-jenis koherensi
Jenis-Jenis Koherensi
Koherensi Berpenanda Koherensi Tidak Berpenanda
1. Koherensi temporal2. Koherensi intensitas3. Koherensi kausalitas4. Koherensi kontras5. Koherensi aditif6. Koherensi kronologis7. Koherensi perurutan
1. Koherensi perincian2. Koherensi perian3. Koherensi wacana dialog
4.2 Pemakaian Koherensi dalam Surat Kabar
Moeliono (ed. al., 1992:34) mengatakan bahwa kohesi merujuk ke
pertautan bentuk, sedangkan koherensi merujuk ke pertautan makna.
Selanjutnya dijelaskan bahwa kohesi sebagai bentuk lahir wacana tidak
hanya menyatakan kohesi belaka melainkan juga menyiratkan koherensi.
Artinya, meskipun di dalam sebuah wacana tidak terdapat unsur kohesi
namun di dalamnya terimplisit unsur semantik sehingga wacana itu
koheren. Pranowo (1996: 83) lebih lanjut menjelaskan bahwa pertalian
sebuah wacana tidak harus menggunakan kata sambung (unsur kohesi)
agar wacana itu koheren. Tanpa unsur kohesi pun, sebuah wacana bisa
koheren karena adanya konteks yang melatari terbentuknya wacana
itu. Dengan demikian, koherensi adalah hubungan logis antarunsur
dalam sebuah wacana atau proposisi (unsur) terselubung yang dapat
disimpulkan untuk menginterpretasikan makna wacana itu (Rani, dkk.,
2006: 123).
Koherensi sebagai hubungan logis antarunsur dalam wacana
mengacu pada sesuatu yang lain di luar wacana. Sesuatu yang lain di luar
wacana meliputi tiga hal, yaitu (1) konteks (context), (2) koteks (co-text)
dan (3) logika (logic). Konteks meliputi situasi, tempat, waktu, bentuk,
ciri atau karakteristik, dan norma (bdk. Moeliono, ed. al., 1993: 336).
Ko-teks berupa paparan lain sebelum atau sesudah sebuah wacana.
Proposisi terselubung yang menjadikan sebuah wacana koheren juga
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 89
dapat ditafsirkan dari perspektif ilmu nalar (logika). Dengan demikian,
koherensi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) koherensi kontekstual,
(2) koherensi kotekstual, dan (3) koherensi logis.
4.2.1 Koherensi Kontekstual
Koherensi kontekstual adalah pertalian antarunsur dalam
sebuah wacana yang dapat dipahami karena adanya konteks yang
melatarbelakangi wacana itu. Koherensi kontekstual dibedakan
menjadi dua, yaitu (1) koherensi wacana promotif dan (2) koherensi
wacana normatif.
A. Koherensi Wacana Promotif
Koherensi wacana promotif adalah pertalian makna dalam wacana
karena adanya konteks berupa ciri-ciri wacana persuasi yang di
dalamnya terpapar kalimat-kalimat yang bernada promotif. Koherensi
wacana promotif ditunjukkan oleh adanya data-data berikut.
(1) Senyum, senyum, senyum lagi...hmmm. Indahnya senyum membuat kami terus menyelami dan mendalami manfaatnya. Ternyata dengan senyium kita bisa awet muda, melancarkan aliran darah, melemaskan otot yang tegang, menstimulasi otak kanan dan kiri, meringkankan stres, meningkatkan kadar oksigen dalam darah, memijat paru-paru dan jantung, menghasilkan hormon endhorpin, mengurangi nyeri, serta masih banyak lagi. ....
Kami meluncurkan ide smart, energik, nyaman, yakin menyenangkan, unik dan memotivasi hidup lebih baik, yaitu dengan senam senyium. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 23/8/2009)
(2) Kalau Anda hobi main tenis, ayo, segera ambil raketmu. Mau ikutan main tenis nggak? Lah, kapan? Jangan tunggu lama. Hari Minggu 16 Agustus 2009 pukul 07.30 sampai selesai di lapangan tenis Anindya, Kaliurang, Yogyakarta. ....
Ojo lali yo? Nggak ada loe, nggak rame. Kapan lagi? Di mana lagi? Yo di Kaliurang tho. Saya tunggu.... (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 14/8/2009)
90 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Konteks tuturan (1) dan (2) di atas adalah sebagai berikut. Ciri-
ciri wacana persuasi adalah membujuk atau mengajak pambaca
dengan kalimat-kalimat yang bernada promotif agar pembaca tertarik
dan melakukan sesuatu seperti yang diinginkan penulisnya (KBBI,
2008:1062; bdk. Endarmoko, 2007:472).
Pada tuturan (1) tampak adanya wacana promotif, yaitu ajakan
untuk melakukan senam senyum. Bagian-bagian tuturan itu memiliki
pertalian makna karena adanya konteks berupa ciri-ciri wacana
persuasi. Dalam tuturan itu diperlihatkan adanya promosi kegiatan
senam senyum sebagaimana diinginkan penulisnya.
Pada tuturan (2) tampak adanya wacana promotif, yaitu ajakan
untuk bermain tenis. Bagian-bagian tuturan itu memiliki pertalian
makna karena adanya konteks berupa ciri-ciri wacana persuasi. Dalam
tuturan itu diperlihatkan adanya promosi kegiatan olahraga tenis
sebagaimana diinginkan penulisnya.
B. Koherensi Wacana Normatif
Koherensi wacana normatif adalah pertalian makna dalam sebuah
wacana karena adanya konteks berupa norma atau aturan, baik
eksplisit melalui undang-undang maupun implisit melalui kesepakatan
lisan dalam hidup bersama (norma sosial), yang melatarbelakangi
terbentuknya wacana itu. Koherensi wacana normatif dalam surat
kabar dapat dirinci menjadi dua, yaitu (1) koherensi wacana klarifikatif
dan (2) koherensi wacana deklaratif.
a. Koherensi Wacana Klarifikatif
Koherensi wacana klarifikatif adalah koherensi yang berisi
klarifikasi (pembenaran) atas suatu hal karena adanya norma yang
melatari pembenaran hal tersebut. Koherensi wacana klarifikatif dalam
surat kabar dapat ditemukan dalam data-data berikut.
(1) Surat di Kompas (27/8), “Melafalkan Kata Indonesia”, pada alinea keempat tertulis, “...kata-kata Indonesia yang seharusnya dilafalkan dengan in-do-ne-si-a, tetapi salah dilafalkan dengan
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 91
in-do-ne-sia.” Seharusnya, lafal in-do-ne-sia, bukan in-do-ne-si-a. (Surat Pembaca Kompas, 29/8/2009)
(2) Dalam Tajuk Rencana (Kamis Pon 13 Agustus 2009) terdapat salah tulis judul. Tertulis “Sukses di Tubuh Partai Golkar”. Yang benar adalah “Suksesi di Tubuh Partai Golkar”. Dengan demikian, pembetulan sudah dilakukan. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 14/8/2009)
Konteks tuturan (1) adalah sebagai berikut. Dalam Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan (Diknas, 2010) Pasal E (1e) diatur ihwal
pemenggalkan kata dasar. Dalam pasal E (1e) terdapat dua catatan,
yakni (1) aturan pemenggalan gabungan huruf konsonan dan (2) aturan
pemenggalan gabungan huruf vokal. Dalam kaitan dengan tuturan (1)
di atas, catatan kedua pada pasal E (1e) yang menjadi konteksnya, yaitu:
“pemenggalan kata tidak boleh menyebabkan munculnya satu huruf
vokal di awal atau akhir baris. Dengan demikian, lafal “indonesia” dapat
dipenggal menjadi in-do-ne-sia, bukan in-do-ne-si-a.
Pada tuturan (1) tampak adanya klarifikasi (pembenaran) suatu
hal, yaitu ihwal pelafalan kata “indonesia”. Bagian-bagian wacana itu
memiliki pertalian makna karena adanya konteks berupa norma, yaitu
aturan mengenai pemenggalan kata sebagaimana diatur dalam Ejaan
Bahasa Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Dalam klarifikasi itu tampak
bahwa hal yang dipersoalkan ialah pelafalan kata “indonesia” yang
dalam Kompas edisi 27 Agustus 2009 dipenggal dengan in-do-ne-si-a,
dibenarkan pada Kompas edisi 29 Agustus 2009 menjadi in-do-ne-sia.
Konteks tuturan (2) adalah sebagai berikut. Dalam kode etik
jurnalistik hasil kongres XXII di Nangroe Aceh Darusalam tanggal 28-
29 Juli 2008 pada bab 3 pasal 10 dikatakan bahwa “Wartawan Indonesia
dengan kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau meralat setiap
pemberitaan yang kemudian ternyata tidak akurat, dan memberi
kesempatan hak jawab secara proporsional kepada sumber atau objek
berita.”
Pada tuturan (2) tampak adanya klarifikasi (pembenaran) suatu
hal, yaitu judul tajuk rencana Kedaulatan Rakyat. Bagian-bagian wacana
92 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
itu memiliki pertalian makna karena adanya penanda berupa konteks,
yaitu aturan mengenai pembenaran dalam surat kabar sebagaimana
diatur dalam kode etik jurnalistik bab 3 pasal 10 mengenai pembenaran
atas kesalahan informasi.
b. Koherensi Wacana Deklaratif
Koherensi wacana deklaratif adalah koherensi yang berisi
pernyataan atau pengumuman suatu hal karena dilatari adanya konteks
berupa norma sosial yang melatari terbentuknya wacana itu. Perhatikan
data-data berikut.
(1) Dengan ini saya menyatakan bahwa saya mahasiswa UPN “Veteran” Yogyakarta, telah memalsukan tanda tangan dosen wali saya (Dra. Sriluna Murdianingrum) pada hari Senin, 3 Agustus 2009. Saya mengakui kesalahan saya, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Semoga kejadian ini tidak terulang atau terjadi pada pihak lain.
Heni Hapsari Mahasiswa UPN “Veteran” Yogyakarta (Surat Pembaca Kedaulatan
Rakyat, 15/8/2009)(2) Sehubungan dengan surat di Kompas (17/7), “Petugas Keamanan
Wisma Millenia”, oleh ibu Daysiwati Setiawan, dengan ini kami sampaikan bahwa kami telah melakukan pembinaan guna meningkatkan pelayanan yang lebih baik. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang telah dialami pihak Ibu.
Rudi S. Rahardjo Pengelola Wisma Millenia Jakarta (Surat Pembaca Kompas,
10/8/2009) (3) Terima Kasih Lion.... (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat,
19/8/2009)
Konteks tuturan (1), (2), dan (3) adalah sebagai berikut. Adanya
norma sosial mengenai pengakuan atas kesalahan atau kekeliruan
kepada publik dan perlunya ucapan terima kasih kepada orang lain.
Pada tuturan (1) tampak adanya pernyataan suatu hal, yaitu
pengakuan adanya pemalsuan tanda tangan. Pernyataan yang dimuat
di kolom pikiran pembaca (surat pembaca) harian Kedaulatan Rakyat
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 93
edisi 15 Agustus 2009 itu dilatari adanya norma sosial yang secara
tak langsung menyiratkan kejujuran dan tanggung jawab. Pada
tuturan (2) tampak adanya penyampaian suatu hal (dalam bentuk
pernyataan) dari pihak Pengelola Wisma Millenia Jakarta, yaitu telah
dilaksanakannya pembinaan terhadap karyawan Wisma Millenia Jakarta
guna meningkatkan pelayanan terhadap pengguna wisma tersebut.
Pernyataan yang dimuat di kolom surat pembaca harian Kompas edisi 10
Agustus 2009 itu dilatari adanya norma sosial yang secara tak langsung
menyiratkan tanggung jawab pengelola wisma tersebut.
Pada tuturan (3) tampak adanya penyampaian sesuatu hal berupa
ucapan terima kasih dari seseorang. Tuturan itu merupakan judul
sebuah wacana dalam kolom pikiran pembaca Kedaulatan Rakyat edisi 19
Agustus 2009. Walaupun hanya berupa judul, tuturan itu memiliki nilai
semantik yang tinggi karena adanya konteks yang melatarinya, yaitu
budaya mengucapkan terima kasih.
4.2.2 Koherensi Kotekstual
Koherensi kotekstual adalah pertalian antarunsur dalam sebuah
wacana yang dapat dipahami karena adanya koteks (paparan) yang
ada sebelum atau sesudah sebuah wacana. Koherensi kotekstual
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) koherensi kotekstual endofora
anaforis dan (b) koherensi kotekstual endofora kataforis.
A. Koherensi Kotekstual Endofora Anaforis
Koherensi kotekstual endofora anaforis adalah pertalian makna
dalam wacana yang dapat dimengerti karena adanya koteks (paparan)
sebelumnya. Koherensi kotekstual endofora anaforis dapat dilihat pada
data-data berikut.
(1) Caranya tidak sulit. Tak perlu banyak waktu. Tak perlu biaya besar. Tak bau. Tak menjijikkan. (Surat Pembaca Kompas, 9/8/2009)(2) Selamat jalan, Mas Willy. Selamat jalan penyair idola. Selamat jalan, selamat jalan.... (Berita Utama Kompas, 7/8/2009)
94 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
(3) Simposisum diselenggarakan 19 Agustus 2009 di Convention Hall Lt. 3 Asri Medical Centre UMY kampus Wirobrajan (barat SMAN 1 Yogyakarta). Peserta tidak dipungut biaya. Pemeriksaan kadar gula gratis. Hubungi call center AMC, telp. (0274) 618400. Peserta dibatasi 200 orang. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 14/8/2009)
Koteks tuturan (1) adalah sebagai berikut. “Pengelolaan sampah
dengan memilah sampah organik dan nonorganik adalah langkah awal
mengelola sampah. Pada langkah berikutnya, sampah organik didaur
ulang menjadi kompos. Ini bisa dilakukan di rumah masing-masing atau
secara komunal di setiap RT.”
Dengan adanya koteks endofora anaforis sebagaimana dikutip di
atas maka meskipun dalam tuturan (1) tidak terdapat unsur penanda
kohesi, tuturan itu amat koheren. Artinya, pertalian antarproposisi
dalam tuturan itu dapat dipahami pembaca, yakni cara pemilahan
sampah organik dan nonorganik.
Koteks tuturan (2) adalah sebagai berikut. “Entah secara kebetulan
atau apa, menurut pihak keluarga, Mas Willy (WS Rendra) sebenarnya
ingin kembali ke bengkelnya di Depok untuk merayakan tujuh hari
meninggalnya Mbah Surip, sahabatnya. Ternyata, ia malah menyusul
sang sahabat.”
Dengan adanya koteks endofora anaforis sebagaimana dikutip di
atas maka meskipun dalam tuturan (2) tidak terdapat unsur kohesi,
tuturan itu amat koheren. Artinya, pertalian antarproposisi dalam
tuturan itu dapat dipahami pembaca, yakni ucapan belasungkawa atas
meninggalnya Mas Willy (WS Rendra).
Koteks tuturan (3) adalah sebagai berikut.“Menyambut bulan suci
Ramadhan 1430 H, Asri Medical Centre bekerja sama dengan Fakultas
Kedokteran UMY akan menyelenggarakan kegiatan simposium untuk
Umum tentang Diabetes dan Puasa.”
Dengan adanya koteks endofora anaforis sebagaimana dikutip di
atas maka meskipun dalam tuturan (3) tidak terdapat penanda kohesi,
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 95
tuturan itu amat koheren. Artinya, pertalian antarproposisi dalam
tuturan itu dapat dipahami pembaca, yakni undangan bagi masyarakat
umum untuk mengikuti kegiatan simposium tentang diabetes dan
puasa menyambut bulan suci Ramadhan 1430 H.
B. Koherensi Kotekstual Endofora Kataforis
Koherensi kotekstual endofora kataforis adalah pertalian makna
sebuah wacana yang dapat dimengerti karena adanya koteks (paparan)
sesudahnya. Koherensi kotekstual endofora kataforis dapat dilihat pada
data-data berikut.
(1) Hanya mengharapkan polisi, mustahil terorisme dapat dibasmi. Harus seluruh bangsa Indonesia. Jangan memberi ruang gerak kepada orang Malaysia yang bernama Noordin M Top. (Surat Pembaca Kompas, 27/8/2009)
(2) Bagaimana dengan sistem pembuangan sampah? Di setiap sudut? Apakah pengelola gedung tidak memeriksa secara rutin kondisi apartemennya? (Surat Pembaca Kompas, 28/8/2009)
(3) “Tidak ada dakwah yang diawasi polisi. Semuanya bebas sesuai UUD 1945 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul,” kata Kapolri. (Berita Utama Bernas Jogja, 25/8/2009)
(4) “Tidak hanya masyarakat Jawa Tengah yang harus waspada, daerah lain di Indonesia juga harus meningkatkan kewaspadaan,” kata Kapolda. (Berita Utama Bernas Jogja, 4/8/2009)
Koteks tuturan (1) adalah sebagai berikut. “Dengan kerja sama
setiap anak bangsa, semua kegiatan teroris di bumi pertiwi dapat
dibasmi sampai ke akar-akarnya.”
Dengan adanya koteks endofora kataforis sebagaimana dikutip di
atas maka meskipun dalam tuturan (1) tidak terdapat unsur kohesi,
tuturan itu amat koheren. Artinya, pertalian antarproposisi dalam
tuturan itu dapat dipahami pembaca, yakni upaya melawan terorisme
bukan hanya tugas aparat keamanan (polisi) melainkan juga setiap anak
bangsa (seluruh masyarakat).
96 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Koteks tuturan (2) adalah sebagai berikut. “Pengelola Apartemen
dari Group Mediterina yang berlokasi di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat,
harus menjaga kebersihan apartemennya dan membiasakan hidup
sehat untuk kepentingan bersama.”
Dengan adanya koteks endofora kataforis sebagaimana dikutip di
atas maka meskipun dalam tuturan (2) tidak terdapat unsur kohesi,
tuturan itu amat koheren. Artinya, pertalian antarproposisi dalam
tuturan itu dapat dipahami pembaca, yakni pertanyaan yang ditujukan
kepada pengelola apartemen dari Group Mediterina untuk segera
menyikapi soal kebersihan di apartemen yang dikelolanya itu.
Koteks tuturan (3) adalah sebagai berikut. “Hal itu ditegaskan
Kapolri Jenderal Pol Bambang Danuri di Jakarta, Senin (24/8),
menanggapi pertanyaan pers terkait isu adanya perintah dari pihaknya
untuk mengawasi dakwah selama bulan Ramadhan.”
Dengan adanya koteks endofora kataforis sebagaimana dikutip di
atas maka meskipun dalam tuturan (3) tidak terdapat unsur kohesi,
tuturan itu amat koheren. Artinya, pertalian antarproposisi dalam
tuturan itu dapat dipahami pembaca, yakni adanya bantahan dari pihak
Kapolri tentang isu adanya perintah dari pihaknya untuk mengawasi
dakwah selama bulan suci Ramadhan.
Ko-teks tuturan (4) adalah sebagai berikut.“Salah satu upaya untuk
mencegah aksi terorisme, kata Kapolda, seluruh masyarakat Indonesia
diimbau untuk tidak mau dibina oleh kelompok-kelompok teroris.
Seluruh masyarakat Indonesia, minta Kapolda, agar ikut mewaspadai
dan mengawasi jika mengetahui adanya kegiatan mencurigakan, dan
segera melaporkan kepada polisi jika ada pendatang yang berperilaku
mencurigakan dan aneh.”
Dengan adanya koteks endofora kataforis sebagaimana dikutip di
atas maka meskipun dalam tuturan (4) tidak terdapat unsur kohesi,
tuturan itu amat koheren. Artinya, pertalian antarproposisi dalam
tuturan itu dapat dipahami pembaca, yakni adanya imbauan dari
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 97
Kapolda Jawa Tengah bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk ikut
mewaspadai dan mengawasi aksi terorisme.
4.2.3. Koherensi Logis
Koherensi logis adalah keberterimaan antarunsur dalam sebuah
wacana karena adanya unsur terselubung yang bisa ditafsirkan
berdasarkan ilmu nalar (logika) untuk menyimpulkan makna wacana
itu (bdk. Sumarsono, 2004: 9). Koherensi logis dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu koherensi definisi dan koherensi simpulan.
A. Koherensi Definisi
Definisi memiliki arti ‘batasan, pengertian, pertegasan, deskripsi,
interpretasi, makna’ (Endarmoko, 2007:149). Definisi senantiasa
mengandung suatu konsepsi yang sungguh-sungguh menyatakan
hakikat sesuatu. Artinya, di dalam sebuah definisi haruslah terkandung
unsur-unsur pokok untuk membedakan hakikat hal yang dideskripsikan
dengan hal yang lainnya (Lanur, 1983:23). Dari perspektif logika
bahasa, Sumarsono (2004:219) mengatakan bahwa definisi merupakan
pemerian (deskripsi), atau penjelasan yang membatasi makna sebuah
kata atau konsep. Sebuah definisi disebut logis apabila di dalam definisi
itu terdapat fitur-fitur semantik, baik fitur dasar (inti) maupun fitur
tambahan, yang dikandung oleh setiap kata atau konsep, dan itu dapat
diketahui melalui apa yang disebut analisis komponensial (bdk. Leech,
2003:125). Dalam analisis komponensial, fitur-fitur makna dasar biasa
ditulis dengan huruf kapital. Adanya fitur ditandai dengan tanda <+>
(plus) dan tidak adanya fitur ditandai dengan <–> (minus) (Sumarsono,
2004:221).
Adapun kriteria untuk menguji kelogisan sebuah definisi, yaitu
fitur-fitur dasar dapat dipadankan dengan kata atau konsep yang
didefinisikan berdasarkan perhitungan matematis. Sebuah definisi
senantiasa terdiri dari dua ruas, yaitu ruas sebelah kiri berupa kata
atau konsep yang didefinisikan (definiendum) dan ruas sebelah kanan
berupa fitur-fitur dasar dan tambahan, uraian yang membatasi kata atau
98 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
konsep itu (definiens). Menurut penalaran matematis, jika X=Y maka
Y=X (sebagai contoh, jika 2+3 =5, maka 5= 2+3). Demikianlah, di dalam
definisi, tempat definiendum dan definiens harus dapat dipertukarkan
tanpa mengubah makna (bdk. Sumarsono, 2004: 228).
Sejalan dengan konsep di atas, koherensi definisi adalah koherensi
yang membatasi makna sebuah kata atau konsep dengan memperhatikan
fitur-fitur dasar semantik yang terkandung di dalam kata atau konsep
itu. Koherensi definisi ditemukan pada data-data berikut.
(1) Bulan suci Ramadhan adalah bulan penuh rahmat, berkah,
pahala, dan ampunan, yang selalu ditunggu-tunggu. (Surat
Pembaca Kedaulatan Rakyat, 21/8/2009)
(2) Pemimpin yang transformatif adalah pribadi yang mampu
terus belajar, yakni mampu untuk mendengarkan, membaca,
menangkap, dan menganalisis masalah, berwawasan luas,
mampu berdialog dan peka pada tanda-tanda zaman, serta mau
mengubah diri pula. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 26/8/2009)
Pada tuturan (1) terdapat konsep yang didefinisikan, yaitu bulan suci
Ramadhan. Fitur-fitur dasar yang terkandung dalam konsep itu adalah
bulan, rahmat, berkah, pahala, dan ampunan. Fitur-fitur tambahannya
adalah dan, yang, selalu, ditunggu-tunggu. Definisi bulan suci Ramadhan dapat
diinterpretasi dan dianalisis berdasarkan fitur-fitur dasar semantik yang
terkandung di dalamnya, yaitu:
bulan suci Ramadhan
+bulan -hari, minggu, tahun
+rahmat
+berkah
+pahala
+ampunan
Dengan demikian, definisi bulan suci Ramadhan bukanlah:
- hari penuh rahmat, berkah, pahala, dan ampunan,
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 99
- minggu penuh rahmat, berkah, pahala, dan ampunan,
- tahun penuh rahmat, berkah, pahala, dan ampunan,
tetapi:
+ bulan penuh rahmat, berkah, pahala, dan ampunan
Definisi di atas dapat diuji kelayakannya sebagai berikut.
+Bulan suci Ramadhan = bulan penuh rahmat, berkah, pahala,
dan ampunan, yang selalu ditunggu-tunggu.
+Bulan penuh rahmat, berkah, pahala, dan ampunan yang selalu
ditunggu-tunggu = bulan suci Ramadhan.
Pada tuturan (2) terdapat definisi konsep, yaitu pemimpin yang
transformatif. Fitur-fitur dasar yang terkandung dalam konsep itu adalah
pribadi, mampu, terus belajar, dan mendengarkan, membaca, menangkap, dan
menganalisis masalah; berwawasan luas, berdialog, peka, tanda-tanda zaman
dan mengubah diri. Fitur-fitur tambahannya adalah yang, dan, pada, serta,
mau, pula. Definisi pribadi yang transformatif dapat diinterpretasi dan
dianalisis berdasarkan fitur-fitur dasar semantik yang terkandung di
dalamnya, yaitu:
pemimpin yang transformatif
+pribadi -binatang
+mampu terus belajar -mampu mengajar
+mendengarkan
+membaca
+menangkap
+menganalisis masalah
+berwawasan luas
+berdialog
+peka
+tanda-tanda zaman
+mengubah diri
Dengan demikian, definisi pemimpin yang transformatif bukanlah:
- binatang yang mampu terus mengajar, yakni mampu untuk
100 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
mendengarkan, membaca, menangkap, dan menganalisis
masalah, berwawasan luas, mampu berdialog dan peka pada
tanda-tanda zaman, serta mau mengubah diri pula
tetapi:
+ pribadi yang mampu terus belajar, yakni mampu untuk
mendengarkan, membaca, menangkap, dan menganalisis
masalah, berwawasan luas, mampu berdialog dan peka pada
tanda-tanda zaman, serta mau mengubah diri pula
Definisi di atas dapat diuji kelayakannya sebagai berikut.
+ Pemimpin yang transformatif = pribadi yang mampu terus belajar,
yakni mampu untuk mendengarkan, membaca, menangkap, dan
menganalisis masalah, berwawasan luas, mampu berdialog dan
peka pada tanda-tanda zaman, serta mau mengubah diri pula.
+ Pribadi yang mampu terus belajar, yakni mampu untuk
mendengarkan, membaca, menangkap, dan menganalisis
masalah, berwawasan luas, mampu berdialog dan peka pada
tanda-tanda zaman, serta mau mengubah diri pula = pribadi yang
transformatif.
B. Koherensi Simpulan
Lanur (1983:38) mengatakan bahwa sebuah simpulan bisa lurus,
bisa juga tidak lurus. Simpulan dapat lurus apabila simpulan itu dapat
ditarik dari adanya antecedens ‘hal yang telah ada’ atau premissae ‘premis,
titik pangkal’ yang benar berdasarkan hukum-hukum ilmu nalar.
Sebaliknya, simpulan tidak dapat lurus apabila simpulan itu dapat
ditarik dari adanya antecedens atau premissae yang salah berdasarkan
hukum-hukum ilmu nalar. Yang dimaksud dengan hukum-hukum ilmu
nalar itu ialah terkandungnya asas-asas kebenaran di dalam premis
mayor dan premis minor. Asas-asas itu ialah dasar, yakni sesuatu yang
menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat (bdk. KBBI, 2008:91).
Dasar tumpuan berpikir atau berpendapat lazimnya dapat dilihat dari
dua hal, yaitu deduksi (penjabaran dari hal yang umum ke hal yang
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 101
khusus) dan induksi (penjabaran dari hal yang khusus ke hal yang
umum).
Sejalan dengan konsep tersebut, Sumarsono (2004:9)
mengemukakan bahwa hubungan logis sebuah paparan dengan
simpulannya dapat diketahui dari jenis paparan sebuah wacana. Jika
sebuah paparan dimulai dengan suatu prinsip umum lalu diikuti
simpulan, paparan itu disebut paparan deduktif. Sebaliknya, jika sebuah
paparan dimulai dengan fakta-fakta lalu diikuti simpulan, paparan itu
disebut paparan induktif.
Setiap wacana dalam surat kabar mengandung argumen-argumen
dan fakta-fakta yang ada simpulannya. Oleh karena itu, koherensi
simpulan adalah pertalian logis antarunsur dalam wacana karena
adanya simpulan, baik simpulan yang didasari paparan berupa
argumen-argumen yang bersifat deduktif, maupun simpulan yang
didasari paparan berupa fakta-fakta yang bersifat induktif. Demikianlah,
koherensi simpulan dapat dirinci menjadi dua, yaitu (1) koherensi
simpulan deduktif dan (2) koherensi simpulan induktif.
a. Koherensi Simpulan Deduktif
Koherensi simpulan deduktif merupakan pertalian logis antarunsur
dalam sebuah wacana karena adanya simpulan yang lebih spesifik dari
hal umum yang telah dipaparkan sebelumnya. Supaya sahih (valid),
simpulan dari sebuah paparan deduktif mesti diuji dengan suatu peranti
yang disebut silogisme. Silogisme terdiri atas tiga bagian, yaitu premis
mayor, premis minor, dan simpulan (Sumarsono, 2004: 10). Koherensi
simpulan deduktif dapat ditemukan pada data berikut.
(1) Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8), tidak dihadiri para mantan presiden. Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk kelima kalinya tidak hadir memenuhi undangan. Menurut Guruh Soekarnoputra yang hadir dalam acara itu, Megawati menggelar dan memimpin sendiri upacara peringatan detik-detik proklamasi bersama Dewan Pimpinan
102 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Pusat Partai Indonesia Perjuangan di Kebagusan, Jakarta. Dua mantan presiden, yaitu BJ Habibie dan KH Abdurahman Wahid yang pernah beberapa kali hadir dalam upacara itu, kini berhalangan. Habibie tengah berada di Jerman, sedangkan Abdurahman masih terbaring sakit. (Berita Utama Kompas, 18/8/2009)
Tuturan di atas termasuk paparan deduktif karena di sana terdapat
satu prinsip (pernyataan) umum, yaitu peringatan Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8), tidak dihadiri para mantan presiden.
Pernyataan umum itu kemudian diikuti empat penjelasan yang lebih
detail, yaitu (a) mantan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk kelima kalinya
tidak hadir memenuhi undangan, (b) menurut Guruh Soekarnoputra yang hadir
dalam acara itu, Megawati menggelar dan memimpin sendiri upacara peringatan
detik-detik proklamasi bersama Dewan Pimpinan Pusat Partai Indonesia
Perjuangan di Kebagusan, Jakarta, (c) dua mantan presiden, yaitu BJ Habibie dan
KH Abdurahman Wahid yang pernah beberapa kali hadir dalam upacara itu, kini
berhalangan, dan (d) Habibie tengah berada di Jerman, sedangkan Abdurahman
masih terbaring sakit. Jika dicermati, keempat penjelasan itu hanya
menjelaskan satu hal, yaitu alasan ketidakhadiran mantan presiden
Megawati Soekarnoputri, B. J. Habibie, dan K. H Abdurahman Wahid
dalam upacara peringatan HUT ke-64 Indonesia di Jakarta.
Dengan demikian, keempat penjelasan itu dapat diparafrasekan
menjadi (a) mantan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk kelima kalinya
tidak hadir memenuhi undangan, (karena) menurut Guruh Soekarnoputra
yang hadir dalam acara itu, Megawati menggelar dan memimpin sendiri upacara
peringatan detik-detik proklamasi bersama Dewan Pimpinan Pusat Partai
Indonesia Perjuangan di Kebagusan, Jakarta, dan (b) dua mantan presiden,
yaitu BJ Habibie dan KH Abdurahman Wahid yang pernah beberapa kali hadir
dalam upacara itu, kini berhalangan, (karena) Habibie tengah berada di Jerman,
sedangkan Abdurahman masih terbaring sakit.
Berdasarkan ilmu nalar (logika), simpulan dari sebuah paparan
deduktif dapat ditarik dari adanya premis mayor dan premis minor. Pada
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 103
tuturan (1) tampak adanya premis mayor berupa sebuah pernyataan
umum, tetapi di sana belum tampak adanya premis minor untuk sampai
pada sebuah simpulan yang dapat diterima secara logika. Akan tetapi,
tuturan itu koheren karena adanya proposisi terselubung yang menjadi
premis minor dari setiap penjelasannya.
Jika premis mayornya adalah peringatan Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8), tidak dihadiri para mantan presiden
dan apabila penjelasannya adalah mantan Presiden Megawati Soekarnoputri
untuk kelima kalinya tidak hadir memenuhi undangan (karena) menurut
Guruh Soekarnoputra yang hadir dalam acara itu, Megawati menggelar dan
memimpin sendiri upacara peringatan detik-detik proklamasi bersama Dewan
Pimpinan Pusat Partai Indonesia Perjuangan di Kebagusan, Jakarta, proposisi
terselubungnya adalah Megawati Soekarnoputri adalah mantan presiden yang
menjadi premis minornya. Dengan demikian, simpulannya Megawati
Soekarnoputri tidak hadir dalam peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di
Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8), (karena) menurut Guruh Soekarnoputra
yang hadir dalam acara itu, Megawati menggelar dan memimpin sendiri upacara
peringatan detik-detik proklamasi bersama Dewan Pimpinan Pusat Partai
Indonesia Perjuangan di Kebagusan, Jakarta.
Hubungan itu kemudian direkonstruksi tanpa mengubah maknanya
sehingga hasil pertaliannya terbaca lebih efektif sebagai berikut.
Premis mayor:Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8), tidak dihadiri para mantan presiden.
Premis minor:
Megawati Soekarnoputri adalah mantan presiden.
Simpulan: Megawati Soekarnoputri tidak hadir dalam peringatan Proklamasi
104 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Kemerdekaan Republik Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8).
Jika premis mayornya adalah peringatan Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8), tidak dihadiri para mantan presiden,
dan apabila penjelasannya adalah dua mantan presiden, yaitu BJ Habibie dan
KH Abdurahman Wahid yang pernah beberapa kali hadir dalam upacara itu, kini
berhalangan, (karena) Habibie tengah berada di Jerman, sedangkan Abdurahman
masih terbaring sakit, proposisi terselubungnya adalah BJ Habibie dan KH
Abdurahman Wahid adalah mantan presiden yang menjadi premis minornya.
Dengan demikian, simpulannya BJ Habibie dan KH Abdurahman Wahid yang
pernah beberapa kali hadir dalam upacara itu, kini berhalangan, (karena)
Habibie tengah berada di Jerman, sedangkan Abdurahman masih terbaring sakit.
Hubungan itu kemudian direkonstruksi tanpa mengubah maknanya
sehingga hasil pertaliannya terbaca lebih efektif sebagai berikut.
Premis mayor:Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8), tidak dihadiri para mantan presiden.
Premis minor:B. J Habibie dan K. H Abdurahman Wahid adalah mantan presiden.
Simpulan: B. J Habibie dan K. H Abdurahman Wahid tidak hadir dalam peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8).
b. Koherensi Simpulan Induktif
Koherensi simpulan induktif merupakan pertalian logis antarunsur
dalam sebuah wacana karena adanya fakta-fakta yang telah dipaparkan
sebelumnya. Simpulan induktif tidak pernah akan final/selesai sebab
sebuah fakta yang telah diketahui suatu saat akan berubah sehingga
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 105
selalu memerlukan revisi jika ada fakta-fakta baru yang muncul
(Sumarsono, 2004:10). Simpulan induktif dalam surat kabar dapat
ditemukan pada data berikut.
Nilai impor kedelai rata-rata setiap tahun mencapai 595 juta dollar AS (setara dengan Rp 5,95 triliun), gandum 2,25 miliar dollar AS (Rp22,5 triliun), gula 859,5 juta dolla AS (Rp 8,59 triliun), daging sapi 480 juta dollar AS (Rp 4,8 triliun), susu 755 juta dollar AS (Rp 7,55 triliun), dan garam 900 juta dollar AS (Rp 9,0 triliun) (Berita Utama Kompas, 24/8/2009).
Pada tuturan (1) tampak adanya paparan sejumlah fakta mengenai
nilai impor kedelai, gandum, gula, daging sapi, susu, dan garam. Jika
paparan itu dirumuskan secara rinci, maka sebenarnya terdapat enam
fakta yang dikandung di dalamnya, yaitu:
1) nilai impor kedelai rata-rata setiap tahun mencapai 595 juta
dollar AS (setara dengan Rp 5,95 triliun),
2) nilai impor gandum rata-rata setiap tahun mencapai 2,25 miliar
dollar AS (setara dengan Rp 22,5 triliun),
3) nilai impor gula rata-rata setiap tahun mencapai 859,5 juta
dollar AS (setara dengan Rp 8, 59 triliun),
4) nilai impor daging sapi rata-rata setiap tahun mencapai 480
juta dollar AS (setara dengan Rp 4,8 triliun),
5) nilai impor susu rata-rata setiap tahun mencapai 755 juta dollar
AS (setara dengan Rp 7,55 triliun),
6) nilai impor garam rata-rata setiap tahun mencapai 900 juta
dollar AS (setara dengan Rp 9,0 triliun).
Proposisi terselubung yang bisa disimpulkan dari adanya kumpulan
fakta-fakta di atas adalah komoditas pangan yang diimpor setiap tahun
berkisar 4 juta dollar AS sampai 900 juta dollar AS (setara dengan Rp 4
triliun sampai Rp 9 triliun).
106 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
4.3.Pembahasan Penggunaan Koherensi dalam Surat Kabar
Penggunaan penanda-penanda koherensi wacana bahasa Indonesia
dalam surat kabar tidak dieksplisitkan melainkan diimplisitkan,
sehingga penanda-penanda itu dapat ditafsirkan berdasarkan konteks,
koteks, dan nalar (logika). Jika dicermati, penanda-penanda implisit
itu memperlihatkan adanya pertalian makna wacana yang tidak kohesif
tetapi koheren. Artinya, di dalam sebuah wacana, meskipun penanda-
penanda berupa unsur bahasa tidak dieksplisitkan, namun wacana itu
koheren karena ada unsur terselubung yang bisa disimpulkan untuk
menginterpretasi makna wacana itu.
Contoh: (1) Terima Kasih Lion.... (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat,
19/8/2009)
Konteks tuturan (1) di atas adalah norma berupa budaya (budaya
mengucapkan terima kasih). Memang, hingga saat ini belum ada suatu
aturan tertulis yang mewajibkan seseorang mendeklarasikan ucapan
terima kasih melalui surat kabar. Akan tetapi, dari segi makna, wacana
itu sangat koheren. Penulis wacana itu, yang rupanya pernah mengalami
suatu perlakukan baik dari awak pesawat Lion yang ditumpanginya,
merasa ingin mengucapkan perkataan itu kepada pihak maskapai
penerbangan Lion sebagai sebuah lembaga perusahaan transportasi
udara. Dari sisi budaya, makna wacana itu tidak diragukan sama sekali,
yakni bahwa mengucapkan terima kasih kepada orang lain tentu suatu
kebiasaan baik dalam hidup bersama. Dengan demikian, wacana itu
tidak saja memiliki nilai semantis, tetapi juga nilai sosial.
Adapun di sini dibedakan antara konteks dengan koteks. Jika
konteks merupakan sesuatu yang sama sekali berada di luar tetapi turut
membentuk makna suatu wacana, koteks merupakan paparan yang ada
sebelum atau sesudah sebuah wacana yang turut membentuk makna
wacana bersangkutan. Koteks diperlihatkan pada contoh (2) dan (3)
sebagai berikut.
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 107
(1) Simposium diselenggarakan 19 Agustus 2009 di Convention Hall Lt. 3 Asri Medical Centre UMY kampus Wirobrajan (barat SMAN 1 Yogyakarta). Peserta tidak dipungut biaya. Pemeriksaan kadar gula gratis. Hubungi call center AMC, telp. (0274) 618400. Peserta dibatasi 200 orang. (Surat Pembaca Bernas Jogja, 14/8/2009)
(2) Bagaimana dengan sistem pembuangan sampah? Di setiap sudut? Apakah pengelola gedung tidak memeriksa secara rutin kondisi apartemennya? (Surat Pembaca Kompas, 28/8/2009)
Pada tuturan (2) terpampang sebuah informasi, tetapi isi informasi
itu belum begitu jelas mengenai latar belakang simposium, siapa yang
menyelenggarakan simposium, dan apa yang akan dibahas dalam
simposium. Oleh karena itu, makna informasi itu baru utuh jika
dikaitkan dengan koteks, yaitu paparan sebelumnya (koteks endofora
anaforis) sebagai berikut.
“Menyambut bulan suci Ramadhan 1430 H, Asri Medical Centre bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran UMY akan menyelenggarakan kegiatan simposium untuk Umum tentang Diabetes dan Puasa.”
Pada tuturan (3) yang hanya terdiri dari sederetan pertanyaan
juga belum dapat dipahami mengapa ada pertanyaan-pertanyaan itu.
Pertanyaan-pertanyaan itu baru bisa dipahami secara utuh jika dikaitkan
dengan paparan sesudahnya (ko-teks endofora kataforis) sebagaimana
berikut.
“Pengelola Apartemen dari Group Mediterina yang berlokasi di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, harus menjaga kebersihan apartemennya dan membiasakan hidup sehat untuk kepentingan bersama.”
Hal lain yang juga menarik ialah adanya keberterimaan makna
antarunsur dalam sebuah wacana karena hadirnya fitur-fitur dasar
semantik yang dikaji berdasarkan teori analisis komponensial untuk
menyimpulkan kelogisan sebuah definisi (koherensi definisi).
108 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Pembahasan contoh (6) memperlihatkan koherensi definisi.
(1) Bulan suci Ramadhan adalah bulan penuh rahmat, berkah, pahala, dan ampunan, yang selalu ditunggu-tunggu. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 21/8/2009)
Contoh (6) merupakan sebuah definisi. Hal yang didefinisikan
ialah konsep bulan suci Ramadhan. Jika dicermati, hubungan antara
hal yang didefinisikan (definiendum) dengan uraian yang membatasi
konsep itu (definiens) diterima nalar karena hadirnya fitur-fitur dasar
yang membatasi konsep tersebut. Fitur-fitur dasar yang dimaksud ialah
bulan, penuh rahmat, berkah, pahala, dan ampunan.
Hal terakhir yang menjadi kekhasan penelitian ini ialah hadirnya
proposisi terselubung berupa premis minor (untuk simpulan deduktif)
dan premis mayor (untuk simpulan induktif) yang bisa ditafsirkan
untuk menyusun suatu simpulan yang logis dari keterkaitan antarposisi
(koherensi simpulan) dalam sebuah wacana. Contoh (6) dan (7) berikut
akan membahas koherensi simpulan.
(1) Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8), tidak dihadiri para mantan presiden. Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk kelima kalinya tidak hadir memenuhi undangan. (Berita Utama Kompas, 18/8/2009)
(2) Les diperuntukkan bagi anak-anak TK, SD, dan SMP, dengan memilih jadwal: Senin pkl 14.15-15.30; Selasa pkl 14.15-15.30 dan 15.45-17.00; Rabu pkl 14.15-15.30; Kamis pkl 14.15-15.30; Jumat pkl 14.15-15.30; dan Sabtu pkl 14.15-15.30 dan 15.45-17.00. (Surat Pembaca Kedaulatan Rakyat, 26/8/2009)
Tuturan (7) merupakan sebuah uraian deduktif yang terdiri dari
dua proposisi. Proposisi pertama merupakan suatu pernyataan umum,
dan proposisi kedua merupakan penjelasan yang lebih spesifik. Jika
dicermati, hubungan antara pernyataan umum dengan pernyataan
khusus terlihat logis. Namun, sebenarnya ada prosisi terselubung
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 109
berupa premis minor sebelum sampai pada simpulan. Oleh karena itu,
jika dikatakan bahwa peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka,
Jakarta, Senin (17/8), tidak dihadiri para mantan presiden adalah premis mayor,
dan penjelasannya adalah mantan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk
kelima kalinya tidak hadir memenuhi undangan, proposisi terselubung yang
bisa disimpulkan sebagai premis minor adalah Megawati Soekarnoputri
adalah mantan presiden. Tuturan (8) merupakan sebuah uraian induktif.
Uraian itu sebenarnya hanya membahas satu hal, yaitu jadwal les bagi
siswa TK, SD, dan SMP dalam seminggu. Oleh karena itu, proposisi
terselubung yang bisa disimpulkan untuk merangkum uraian itu ialah
jadwal les untuk siswa TK, SD, dan SMP berlangsung setiap hari, kecuali Minggu,
pada pkl. 14.15-17.00.
110 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
BAB 5 TINDAK TUTUR ILOKUSI
5.1. Dasar Teori
Salah satu bidang kajian di dalam ilmu linguistik adalah pragmatik.
Istilah pragmatik ini diberi batasan-batasan yang berbeda oleh beberapa
ahli (pakar linguistik). Namun, pada intinya para pakar linguistik itu
sepakat bahwa bidang kajian dalam pragmatik adalah maksud ujaran,
bukan makna kalimat yang diujarkan seseorang. Makna kalimat dikaji
dalam semantik, sedangkan maksud atau daya suatu ujaran dikaji di
dalam pragmatik.
Sebagai contoh, kalimat Hari ini panas ya! yang bermakna ‘penutur
ingin menyatakan atau memberi tahu kepada mitra tutur tentang
cuaca, suhu, atau kondisi udara pada saat itu’ merupakan bidang kajian
semantik. Akan tetapi, jika ujaran Hari ini panas ya! dimaksudkan oleh
si penutur sebagai permintaan kepada mitra tutur untuk membuka
jendela, pintu, atau menyalakan kipas angin, tuturan itu merupakan
bidang kajian pragmatik.
Oleh Gunarwan (2004:84) dikatakan bahwa pragmatik memang
mempelajari maksud ujaran atau daya (force) ujaran. Begitu pula
Kushartanti (2005:104) yang menyatakan bahwa “Apa yang dimaksud
oleh para pengguna bahasa ketika berinteraksi inilah yang dipelajari
dalam pragmatik. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pragmatik
mengkaji makna yang dipengaruhi oleh hal-hal di luar bahasa.” Kita juga
dapat mengatakan bahwa pragmatik juga mempelajari fungsi ujaran:
untuk apa suatu ujaran dibuat atau dilakukan. Atas dasar itu dapat
dikatakan bahwa pragmatik termasuk ke dalam aliran fungsionalisme
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 111
di dalam linguistik. Satuan analisisnya bukanlah kalimat (karena kalimat
adalah satuan tata bahasa), melainkan tindak ujaran atau tindak tutur
(speech act). Tindak tutur atau tindak ujaran itu sesungguhnya tidak persis
sama dengan ujaran. Dengan satu ujaran “Hari ini panas ya!” misalnya,
sebenarnya kita melakukan dua tindak ujaran, yaitu memberitahu dan
meminta/menyuruh.
Tidak berbeda dengan konsep yang dikemukakan Gunarwan di atas,
Yule (1996) dalam bukunya Pragmatics yang diterjemahkan oleh Wahyuni
(2006:3-4) dengan judul Pragmatik juga menjelaskan bahwa pragmatik
adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan
pemakai bentuk-bentuk itu. Secara lebih rinci, Yule menguraikan
empat ruang lingkup yang tercakup dalam pragmatik. Ruang lingkup itu
adalah: pertama, pragmatik adalah studi tentang maksud penutur; kedua,
pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual; ketiga, pragmatik
adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan
daripada yang dituturkan; dan keempat, pragmatik adalah studi tentang
ungkapan dari jarak hubungan.
Tidak jauh berbeda dengan beberapa konsep yang dikemukakan
beberapa ahli di atas, Tarigan (1986:73) juga mengartikan pragmatik
sebagai telaah makna dalam hubungannya dengan situasi ujaran.
Purwo (1990) juga menjelaskan bahwa pragmatik adalah telaah
mengenai segala aspek makna setelah dikurangi semantik (yang
menelaah kalimat); jadi pragmatik adalah telaah mengenai tuturan.
Pragmatik sesungguhnya menggumuli makna yang terikat konteks.
Menurut Purwo, pijakan utama di dalam analisis pragmatik adalah
konteks. Konteks yang dimaksud termasuk ihwal siapa mengatakan
kepada siapa, tempat dan waktu diujarkannya suatu kalimat, anggapan-
anggapan mengenai yang terlibat di dalam tindakan mengutarakan
kalimat itu. Lebih lanjut, Purwo menjelaskan bahwa kancah yang
dijelajahi pragmatik (yang telah disepakati hingga kini) ada empat,
yakni: (1) deiksis, (2) praanggapan, (3) tindak ujaran, dan (4) implikatur
percakapan.
112 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Penelitian ini hanya mengambil salah satu dari empat kancah di
dalam pragmatik seperti yang diungkapkan Purwo di atas, yakni kancah
tindak ujaran. Austin (dalam Gunarwan, 1994) membedakan tiga jenis
tindakan yang berkaitan dengan ujaran. Tiga jenis tindakan itu adalah
tindak lokusi(oner), tindak ilokusi(oner), dan tindak perlokusi(oner).
Tindak lokusi adalah tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan
sesuatu dengan makna kata dan makna kalimat sesuai dengan makna
kata itu (di dalam kamus) dan makna sintaksis kalimat itum enurut
kaidah sintaksisnya. Yang dipersoalkan di dalam tindak ujar ini adalah
makna ujaran, bukan pada maksud atau fungsi ujaran itu.
Tindak yang kedua yaitu tindak ilokusi adalah tindak melakukan
sesuatu. Yang dibicarakan di dalam tindak ujar ini adalah tentang
maksud, fungsi, atau daya ujaran. Yang ketiga adalah tindak perlokusi.
Tindak ujar perlokusi ini mengacu ke efek yang timbul setelah penutur
menuturkan sesuatu. Dari ketiga jenis tindak ujaran itu, tindak ujaran
ilokusilah yang akan dibahas secara mendalam di dalam buku ini.
5.1.1 Definisi Tindak Ilokusi
Seperti yang sudah diungkapkan Gunarwan di atas, tindak
ilokusioner atau ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Dalam hal
ini kita berbicara tentang maksud, fungsi atau daya suatu ujaran dan
bertanya “Untuk apa ujaran itu dilakukan?”. Jadi, ujaran “Saya haus!”
yang dimaksudkan untuk meminta minuman adalah sebuah tindak
ilokusi.
Menurut Kushartanti (2005:109), ‘pertuturan ilokusioner’ (istilah
tindak ilokusi) adalah tindakan atau maksud yang menyertai suatu
ujaran. Jadi, menurutnya pengungkapan bahasa tentunya mempunyai
suatu maksud tertentu.
Menurut Yule, banyak dari kita yang tidak hanya menghasilkan
tuturan-tuturan yang terbentuk dengan baik tanpa suatu tujuan,
fungsi, atau maksud. Kita membentuk tuturan tentu dengan beberapa
fungsi atau maksud dalam pikiran kita. Hal inilah yang dikaji di dalam
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 113
ilokusi. Yule menambahkan bahwa tindak ilokusi ditampilkan melalui
penekanan komunikatif suatu tuturan karena memang yang dikaji di
dalam ilokusi sekali lagi adalah fungsi atau maksud suatu tuturan atau
ujaran.
Demi memperjelas konsep ilokusi ini, Leech (dalam Oka, 1993:323)
memaparkan sejumlah kata kerja (verba) dan sejumlah ungkapan mirip
verba yang biasanya ada di dalam suatu tindak ilokusi. Verba-verba itu
adalah: melapor, mengumumkan, meramalkan, mengakui, berpendapat,
meminta, menegur, memohon, menganjurkan, menyuruh, mengusulkan,
mengungkapkan, mengucapkan selamat, berjanji, mengucapkan terima
kasih, dan mendesak.
5.1.2 Jenis-Jenis Tindak Ilokusi
Leech dalam bukunya The Principles of Pragmatics yang diterjemahkan
Oka (1993:162) mengungkapkan bahwa pada tingkatan yang paling
umum, fungsi-fungsi ilokusi dapat diklasifikasikan menjadi empat
jenis, sesuai dengan hubungan fungsi-fungsi tersebut dengan tujuan-
tujuan sosial berupa pemeliharaan perilaku yang sopan dan terhormat.
Keempat jenis tindak ilokusi tersebut adalah sebagai berikut.
a. Kompetitif (Competitive), yakni tindak ilokusi yang tujuan
ilokusinya bersaing dengan tujuan sosial, misalnya; memerintah,
meminta, menuntut, mengemis, dan lain-lain;
b. Menyenangkan (Convivial), yakni tindak ilokusi yang tujuan
ilokusinya sejalan dengan tujuan sosial, misalnya: menawarkan,
mangajak/mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih,
mengucapkan selamat;
c. Bekerja sama (Collaborative), yakni tindak ilokusi yang tujuan
ilokusinya tidak menghiraukan tujuan sosial, misalnya:
menyatakan, melapor, mengumumkan, mengajarkan;
d. Bertentangan (Conflictive), yakni tindak ilokusi yang tujuan
ilokusinya bertentangan dengan tujuan sosial, misalnya:
mengancam, menuduh, menyumpahi, memarahi.
114 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Lebih lanjut Leech menjelaskan bahwa dari keempat jenis tindak
ilokusi di atas, jenis ilokusi yang melibatkan sopan santun hanyalah jenis
pertama (kompetitif) dan jenis kedua (menyenangkan). Pada ilokusi
yang pertama (kompetitif), sopan santun mempunyai sifat negatif dan
tujuannya adalah mengurangi ketidakharmonisan yang tersirat dalam
kompetisi antara apa yang ingin dicapai oleh penutur dengan apa yang
dituntut oleh sopan santun. Sebaliknya, pada jenis fungsi ilokusi yang
kedua (menyenangkan), sopan santun memiliki bentuk yang positif dan
bertujuan untuk mencari kesempatan untuk beramah-tamah, misalnya
ketika ada teman kita yang berulang tahun, kita harus mengucapkan
selamat.
Fungsi ketiga, yakni fungsi ilokusi bekerja sama, menurut Leech
tidak melibatkan sopan santun karena pada situasi ini sopan santun
tidak relevan. Begitu pula dalam fungsi ilokusi yang keempat yakni
fungsi bertentangan. Dalam fungsi ini, unsur sopan santun tidak ada
sama sekali, karena fungsi ini pada dasarnya bertujuan menimbulkan
kemarahan. Mengancam atau menyumpahi orang, misalnya, kecuali bila
penutur menggunakan ironi.
Tidak jauh berbeda dengan kategori tindak tutur menurut Leech
di atas, Searle juga mengkategorikan tindak ujaran atau tindak tutur ke
dalam lima jenis. Bedanya, klasifikasi atau kategori yang dibuat Leech
itu didasarkan pada fungsi, sedangkan kategori yang dibuat Searle
didasarkan pada berbagai kriteria. Secara garis besar kategori Searle
(Gunarwan, 1994; Leech, 1983; Oka, 1993) adalah sebagai berikut.
a. Representatif (kadang-kadang disebut asertif), yaitu tindak
tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas
apa yang dikatakannya (misalnya: menyatakan, melaporkan,
menunjukkan, menyebutkan, mengusulkan, membual, mengeluh,
mengemukakan pendapat). Dari segi sopan santun ilokusi-ilokusi
ini cenderung netral, yakni, mereka termasuk kategori bekerja
sama seperti yang dimaksudkan Leech pada poin C di atas.
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 115
Namun, ada beberapa perkecualian, misalnya membual biasanya
dianggap tidak sopan.
b. Direktif, yakni tindak ujaran yang dilakukan penuturnya dengan
maksud agar si pendengar (petutur) melakukan tindakan yang
disebutkan di dalam ujaran itu (misalnya: menyuruh, memohon,
menuntut, menyarankan, menantang, memesan, memerintah,
memberi nasihat). Menurut Leech, jenis ilokusi ini sering dapat
dimasukkan ke dalam kategori kompetitif, karena itu mencakup
juga kategori-kategori ilokusi yang membutuhkan sopan santun
negatif. Namun, di pihak lain, terdapat juga beberapa ilokusi
direktif (seperti: mengundang) yang secara intrinsik memang
sopan.
c. Ekspresif, yakni tindak ujaran yang dilakukan dengan maksud agar
ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan
di dalam ujaran itu. Dalam bahasa Leech, fungsi ilokusi ini ialah
mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur
terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi (misalnya: memuji,
mengucapkan terima kasih, mengkritik, mengeluh, mengucapkan
selamat). Ilokusi ekspresif cenderung menyenangkan. Karena itu
secara intrinsik ilokusi ini sopan, kecuali tentunya ilokusi-ilokusi
ekspresif seperti ‘mengecam’ dan ‘menuduh’.
d. Komisif, yakni tindak ujaran yang mengikat penuturnya untuk
melaksanakan apa yang disebutkan di dalam ujarannya. Jadi,
erat kaitannya dengan suatu tindakan di masa depan (misalnya:
berjanji, bersumpah, mengancam, menawarkan). Jenis ilokusi
ini cenderung menyenangkan dan kurang bersifat kompetitif
karena tidak mengacu pada kepentingan penutur tetapi pada
kepentingan petutur.
e. Deklarasi (bukan deklaratif), yakni tindak ujaran yang dilakukan
si penutur dengan maksud menciptakan hal (status, keadaan, dan
sebagainya) yang baru. Menurut Leech, berhasilnya pelaksanaan
116 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
ilokusi ini akan mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi
proposisi dengan realitas, misalnya memutuskan, membatalkan,
melarang, mengizinkan, mengundurkan diri, membaptis,
memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan,
membuang, mengangkat (pagawai). Oleh Searle sendiri, tindakan-
tindakan ini merupakan kategori tindak ujar yang sangat
khusus, karena tindakan-tindakan ini biasanya dilakukan oleh
seseorang yang dalam sebuah kerangka acuan kelembagaan
diberi wewenang untuk melakukannya. Contoh hakim yang
menjatuhkan hukuman kepada pelanggar undang-undang
atau pendeta yang membaptis bayi. Sebagai suatu tindakan
kelembagaan dan bukan sebagai tindakan pribadi, tindakan-
tindakan tersebut hampir tidak melibatkan faktor sopan santun.
5.1.3 Alat Penunjuk Tekanan Ilokusi
Menurut Yule, alat yang paling jelas untuk menunjukkan tekanan
ilokusi (alat penunjuk tekanan ilokusi atau APTI) ialah jenis ungkapan
yang di dalamnya terdapat suatu celah untuk sebuah kata kerja
yang secara eksplisit menyebutkan tindakan ilokusi yang sedang
ditunjukkan. Kata kerja yang demikian ini dapat dikatakan sebagai kata
kerja performatif (Vp).
Yule memberi contoh ujaran yang mengandung kata kerja
performatif sebagai berikut.
(1) Saya berjanji kepada Anda bahwa…. (a)
Saya memperingatkan Anda bahwa.… (b)
Pola yang ditunjukkan di dalam contoh (a) dan (b) di atas adalah:
(Saya [kata kerja performatif] Anda bahwa…). Dengan pola seperti itu,
jelaslah bahwa kata berjanji dan memperingatkan merupakan kata kerja
performatif (Vp).
Akan tetapi, sangat banyak kita temukan tuturan yang diucapkan oleh
penutur tidak menunjukkan secara eksplisit kata kerja performatifnya.
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 117
Contoh tuturan Saya lapar! yang bermaksud untuk meminta makan,
tentunya tidak mengandung kata kerja performatif. Dalam bahasa lisan,
alat penunjuk tekanan ilokusi yang dapat digunakan jika kata kerja
performatifnya tidak ada adalah dengan mengidentifikasi urutan kata,
tekanan, dan intonasi. Atau alat lain misalnya kualitas suara yang rendah
untuk memperingatkan atau mengancam.
Berbeda dengan bahasa lisan, cara yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi penunjuk ilokusi di dalam bahasa tulis adalah dengan
menyertakan konteks ketika tuturan itu diucapkan. Konteks yang
dimaksud bisa berupa: kapan tuturan itu diucapkan, kepada siapa, di
mana, bagaimana status sosial penutur dan mitra tutur, dan bagaimana
situasi saat tuturan itu diucapkan (santai atau resmi/serius). Dengan
menyertakan atau mengikutsertakan konteks ini, kita dapat dengan
mudah mengidentifikasi tindak ilokusi apa yang dimaksud oleh penutur
melalui tuturannya.
Menurut Hymes (Suhardi dan Sembiring, 2005:51) ada beberapa
unsur yang terdapat dalam setiap komunikasi bahasa. Unsur-unsur itu
disajikan dalam bentuk singkatan SPEAKING yang secara sederhana
diuraikan sebagai berikut. Setting and Scene ‘latar’ yang merujuk pada
tempat dan waktu terjadinya percakapan, misalnya percakapan yang
terjadi di Gedung Pusat Administrasi Universitas Sanata Dharma pukul
14.00 WIB.
Participants ‘peserta’ yang merujuk pada peserta percakapan, yakni
penutur dan mitra tutur, misalnya, percakapan yang melibatkan Andi
dan Rendy, Rektor dan Wakil Rektor Bidang Akademik. Ends ‘akhir’
yang mengacu pada hasil percakapan (yang diperoleh secara sengaja
atau tidak) dan tujuan percakapan. Sebagai contoh seorang pengajar
bertujuan menerangkan kuliah penelitian pendidikan bahasa dan sastra
secara menarik, tetapi hasilnya dapat terjadi sebaliknya yakni mahasiswa
menjadi bosan karena mereka datang ke kelas hanya bertujuan untuk
bersantai-santai saja.
118 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Act Sequence ‘amanat’ merujuk pada bentuk dan isi amanat dalam
bentuk kata-kata dan pokok percakapan. Sebagai contoh:
(2) Alex berdoa, “Tuhan sembuhkanlah ibu dari penyakit yang dideritanya.”
(3) Alex memohon kepada Tuhan, semoga ibunya lekas sembuh dari penyakitnya.
Doa, seperti yang tertera pada contoh (2) di atas merupakan contoh
bentuk amanat, sedangkan contoh (3) merupakan contoh isi amanat.
Key ‘kunci’ merujuk pada pelaksanaan percakapan, misalnya kuliah
teori sastra yang dapat diberikan dengan cara yang santai atau dengan
semangat yang menyala-nyala. Instrumentalities ‘instrumen’ merujuk
pada bentuk penyampaian; apakah lisan atau tulisan. Misalnya kuliah
evaluasi pembelajaran bahasa dan sastra disajikan secara lisan dalam
bahasa Indonesia dengan beberapa keterangan tertulis di papan tulis.
Norms ‘norma’ merujuk pada aturan-aturan perilaku peserta
percakapan. Misalnya, kuliah yang cenderung bersifat satu arah dari
pengajar (dosen) kepada mahasiswa; mahasiswa baru bertanya sesudah
diberi kesempatan untuk bertanya. Genres ‘jenis’ merujuk pada kategori,
misalnya sajak, teka-teki, kuliah, dan doa.
5.2 Pemakaian Tindak Ilokusi dalam Surat Kabar
Berdasarkan hasil analisis terhadap data-data yang ada, ditemukan
bahwa ada empat jenis tindak ilokusi yang muncul di dalam surat kabar.
Keempat jenis tindak ilokusi itu adalah: direktif, representatif, komisif,
dan ekspresif. Di bawah ini akan diuraikan keempat jenis tindak ilokusi
tersebut.
5.2.1 Tindak Ilokusi Direktif
Pada bagian landasan teori sudah dijelaskan bahwa tindak
ilokusi direktif adalah tindak ujaran yang dilakukan penuturnya
dengan maksud agar si pendengar (petutur) melakukan tindakan
yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya menyuruh, memohon,
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 119
menuntut, menyarankan, menantang, memesan, memerintah, dan
memberi nasihat. Di dalam tindak ilokusi direktif ini, seorang penutur
yang mengeluarkan suatu tuturan sesungguhnya menghendaki orang
lain untuk melakukan sesuatu.
Oleh Pranowo (1996:92) dikatakan bahwa direktif itu mengacu pada
pemakaian bahasa dalam bentuk perintah halus. Leech memasukkan
jenis ilokusi ini ke dalam kategori kompetitif, karena itu mencakup juga
kategori-kategori ilokusi yang membutuhkan sopan santun negatif.
Namun, di pihak lain, terdapat juga beberapa ilokusi direktif—seperti
mengundang—yang secara intrinsik memang sopan.
Berdasarkan hasil analisis terhadap data yang ada, ditemukan
bahwa ada dua macam cara penutur ketika mengungkapkan tindak
ilokusi direktif, yakni, (a) melalui tuturan imperatif dan (b) tuturan
nonimperatif.
A. Tindak Ilokusi Direktif yang Berwujud Tuturan Imperatif
Dalam mengungkapkan maksud agar mitra tutur (lawan bicara)
melakukan sesuatu yang dikehendaki, penutur (pembicara) tidak
jarang mewujudkannya dalam bentuk tuturan imperatif. Secara
eksplisit, tuturan imperatif itu akan terwujud dalam kalimat perintah.
Dalam tindak ilokusi yang berbentuk tuturan imperatif ini, sebagian
besar makna tuturan (tindak lokusi) pembicara sama dengan apa yang
ia maksudkan (tindak ilokusi) melalui tuturannya itu.
Contoh:
(1) “Sudah saatnya Presiden SBY mengakhirinya dengan mengeluarkan keputusan. Jangan lagi ditunda-tunda!” (Republika, 24/4/2008, hal. 1)
Konteks tuturan:
Tuturan itu diucapkan Tifatul Sembiring, Presiden PKS, ketika
SK (surat keputusan) pemerintah mengenai Ahmadyah belum juga
dikeluarkan.
120 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Jika kita mengkaji tuturan di atas dari segi tindak ujarannya
(khususnya tindak lokusi dan ilokusi) akan tampak sebagai berikut:
a. makna (tindak lokusi) dari ucapan atau tuturan pembicara
(Tifatul Sembiring) adalah perintah atau imperatif (berupa
larangan) yang ditandai dengan kata jangan;
b. maksud (tindak ilokusinya) juga perintah; dalam hal ini
memerintah SBY untuk segera mengeluarkan SKB mengenai
Ahmadyah;
c. kesimpulannya: pada tuturan di atas tindak lokusi sama
dengan tindak ilokusi; makna tuturan atau ucapan penutur
sama dengan apa yang dimaksudkan oleh penutur tersebut
melalui tuturannya karena dari segi tindak ilokusi tuturan di
atas memiliki maksud memerintah lawan bicara (mitra tutur)
untuk melakukan sesuatu, maka tuturan tersebut termasuk
dalam tindak ilokusi direktif.
Dari data yang ada juga ditemukan bahwa tuturan imperatif yang
dipakai atau digunakan pembicara (penutur) ketika mengungkapkan
maksudnya ternyata tidak hanya satu jenis melainkan terdiri dari
beberapa jenis. Di bawah ini akan dibicarakan jenis-jenis atau macam-
macam tuturan imperatif yang dipakai penutur atau pembicara ketika
mengungkapkan maksudnya (mewujudkan tindak ilokusi direktif).
a. Tuturan Imperatif Langsung (Biasa)
Penanda (ciri) utama kalimat imperatif langsung atau biasa
adalah penggunaan atau pemakaian bentuk kata kerja dasar.
Kalimat imperatif jenis ini dapat berkisar antara imperatif yang
sangat halus sampai dengan imperatif yang sangat kasar.
Contoh:
(2) Siapa yang menutup jalan, tangkap! Karena demokrasi tidak
menutup jalan. (Kedaulatan Rakyat, 25/5/2008, hal. 1)
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 121
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Jusuf Kalla, Wapres RI saat
mahasiswa Unas menggelar unjuk rasa menolak kenaikan BBM
di depan kampus dengan menutup jalan-jalan.
Dari contoh di atas kita dapat melihat bahwa di dalam
mewujudkan tindak ilokusinya, penutur memakai bentuk
tuturan imperatif langsung, yang tampak dengan penggunaan
kata tangkap yang merupakan kata kerja dasar. Dengan hanya
menuturkan kata tangkap, penutur sesungguhnya bermaksud
memerintah aparat keamanan (polisi) untuk menangkap
(mengamankan) para mahasiswa yang berdemonstrasi dengan
menutup jalan-jalan. Karena bermaksud memerintah, tuturan ini
termasuk tuturan direktif yang berwujud imperatif langsung.
Di dalam tuturan (2) di atas penutur tidak secara langsung
menyebut subjek yang menjadi sasaran tuturan. Penutur hanya
mengatakan “Siapa yang menutup jalan” walaupun sesungguhnya
penutur mengetahui bahwa yang melakukan demonstrasi
dengan menutup jalan adalah mahasiswa Unas. Meskipun tidak
menyebutkan subjek tujuan tuturan secara langsung, tuturan di
atas oleh pendengar atau mitra tutur tetap dipersepsikan sebagai
tuturan yang kadar kesantunannya rendah (tidak santun). Hal
itu terutama disebabkan karena kata kerja dasar yang dipilih
penutur itu sangat kasar. Kata tangkap biasanya hanya ditujukan
kepada penjahat (misalnya perampok, pencuri, dan teroris)
dan binatang maka dengan menggunakan kata tangkap, penutur
seolah-olah menyamakan para demonstran dengan binatang
atau penjahat. Penggunaan kata kerja dasar pada tuturan (2) di
atas juga telah membuat tuturan itu nampak tegas dan kasar;
penutur tampak marah.
b. Tuturan Imperatif Larangan
Di dalam bahasa Indonesia, yang menjadi ciri khas (penanda
utama) tuturan imperatif larangan adalah pemakaian kata jangan.
122 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Contoh:
(3) Jika Ahmadiyah tidak ingin diprotes MUI dan umat Islam, sebaiknya bentuk saja agama baru dan jangan menggunakan nama Islam. (Kedaulatan Rakyat, 21/4/ 2008, hal. 24)
Konteks tuturan:
Tuturan (3) di atas diucapkan Ramli Abdul Wahid, Dekan
Fakultas Ushuliddin IAIN Sumatera Utara yang juga merupakan
Pengurus MUI Sumut, ketika ajaran Ahmadyah sudah berkembang
di Indonesia dan saat itu pula ajaran itu sudah menuai protes
dari berbagai kalangan Muslim.
(4) “Jangan sampai kepentingan umum dikorbankan hanya untuk mencapai ambisi pribadi,” (Suara Merdeka, 5/5/2008, hal. C)
Konteks tuturan:
Tuturan (4) di atas diucapkan Kapolres Temanggung, Opik
Taufik Nugraha saat mempersiapkan pengamanan kampanye
cagub dan cawagub Jawa Tengah di Temanggung.
(5) “Jangan lagi kita serahkan kekuasaan kepada pemimpin yang hanya suka nyanyi.” (Jawa Pos, 21/5/2008, hal. 2)
Konteks tuturan:
Tuturan (5) di atas diucapkan Rizal Ramli, Mantan Menkeu,
saat pidato Orientasi Kebangsaan Hari Kebangkitan Nasional.
Pada tuturan (3), (4), dan (5) di atas kita dapat melihat
penggunaan imperatif larangan yang secara eksplisit ditandai
dengan penggunaan kata jangan. Penggunaan kata jangan pada
dasarnya berarti melarang seseorang melakukan sesuatu atau
memerintah (meminta) seseorang untuk tidak melakukan
sesuatu. Dengan melarang atau memerintah untuk tidak
melakukan sesuatu, penutur sesungguhnya tidak memberikan
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 123
peluang atau kesempatan kepada mitra tutur untuk memilih
pilihan atau alternatif lain; dan karena tidak ada peluang untuk
memilih pilihan lain, tuturan seperti ini potensial mengakibatkan
penutur merasa kehilangan muka. Apabila suatu tuturan itu
potensial mengakibatkan mitra tutur atau pendengar merasa
kehilangan muka, tuturan itu akan dipersepsikan sebagai tuturan
yang kadar kesantunannya rendah (tidak santun) oleh mitra
tutur atau pendengar.
c. Tuturan Imperatif Permintaan
Ciri utama (penanda) tuturan imperatif yang mengandung
makna permintaan lazimnya adalah pemakaian kata tolong atau
frasa yang bermakna minta.
Contoh: (6) “Kami minta pemerintah menegakkan pemerintah bersih
KKN, termasuk melanjutkan pemberian sanksi kepada pejabat yang melakukan korupsi, baik saat menjabat maupun sesudahnya.” (Suara Merdeka, 12/5/2008, hal. 13)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan oleh Suryadharma Ali, Ketua
Umum DPP PPP saat rapat koordinasi nasional fraksi PPP di
Kemayoran.
(7) “Selaku ketua DPW PKB, saya minta Pak Achmady segera mundur dari jabatannya. Paling lambat, 30 Mei surat dari Mendagri harus selesai. Ini menjadi persyaratan mutlak.” (Jawa Pos, 24/5/2008, hal. 15)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan oleh Hasan Aminuddin, Ketua
DPW PKB Jatim kepada Achmady, Bupati Mojokerto yang ikut
mencalonkan diri dalam Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur
Jawa Timur.
124 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
(8) “Kami meminta kepada Bapak Presiden untuk segera mengeluarkan keputusan yang menyatakan Ahmadyah adalah organisasi terlarang dan harus dibubarkan.” (Republika, 25/4/2008, hal.1)
Konteks tuturan:
Tuturan itu diucapkan K.H. Hafidz Usman, Ketua MUI Jawa
Barat ketika ajaran Ahmadyah berkembang di Indonesia.
Dalam tuturan (6), (7), dan (8) di atas terlihat adanya
permintaan penutur kepada mitra tutur (pemerintah, Achmady,
dan presiden) untuk melakukan sesuatu. Tidak hanya sekadar
meminta untuk melakukan sesuatu, sesungguhnya melalui
tuturan itu pula penutur ingin menyuruh atau memerintah
kepada mitra tutur untuk melakukan sesuatu. Namun, suruhan
atau perintah itu kemudian dikemas dengan nada permintaan
oleh penutur agar tuturannya itu pada akhirnya tidak
menyinggung mitra tutur atau tidak terkesan meremehkan
(merendahkan) mitra tutur. Dengan demikian pada akhirnya
tuturan itu tetap dipersepsikan santun.
d. Tuturan Imperatif Permohonan
Tuturan imperatif permohonan ini lazim ditandai dengan
penggunaan kata mohon.
Contoh:
(9) “Namun, karena tempatnya terbatas kami mohon pengertian dari teman-teman wartawan yang ingin mengambil gambar.” (Suara Merdeka, 9/5/2008)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan oleh Permaisuri Sultan HB X, GKR
Hemas pascaupacara Sirapan Nyantri, Tantingan puteri ketiganya
GRAJ Nurkamnari Dewi.
(10) “Untuk itu kami mohon, personel kelurahan yang diterjunkan untuk pendistribusian ini benar-benar
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 125
baik, sehingga penyaluran lancar.” (Kedaulatan Rakyat, 26/3/2008)
Konteks tuturan:
Tuturan itu diucapkan Imam Nurwahid, Kepala Seksi
Pengawasan, saat penyaluran subsidi minyak goreng lewat RT/
RW.
Pada tuturan (9) dan (10) di atas, penutur bermaksud
supaya mitra tutur melakukan sesuatu. Namun, tuturan yang
diucapkannya itu dikemas dalam nada permohonan. Di
dalam kedua tuturan itu juga terlihat adanya suatu bentuk
ketidaklangsungan yang digunakan penutur. Ketidaklangsungan
itu terlihat dari tuturan kami mohon pengertian pada tuturan (9) yang
sesungguhnya bermaksud meminta (memerintah secara halus)
kepada para wartawan untuk tidak masuk ke tempat upacara
Sirapan Nyantri dan tuturan personel kelurahan yang diterjunkan
untuk pendistribusian ini benar-benar baik pada tuturan (10) yang
sesungguhnya bermaksud meminta kepada personel untuk
tidak melakukan kecurangan atau KKN. Ketidaklangsungan
serta penggunaan bentuk imperatif permohonan pada tuturan
(9) dan (10) di atas memungkinkan tuturan itu dipersepsikan
sebagai tuturan yang santun oleh pendengar atau mitra tutur.
e. Tuturan Imperatif Harapan
Penanda utama yang menunjukkan bahwa suatu tuturan
merupakan tuturan imperatif dengan makna harapan adalah
pamakaian kata harap dan semoga. Kedua kata itu sama-sama
bermakna harapan.
Contoh:
(11) Diharapkan pula para anggota DPR yang terlibat kasus yang kini ditangani KPK bisa melakukan pembelaan diri. (Kedaulatan Rakyat, 14/5/2008, hal. 24)
126 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Konteks tuturannya:
Tuturan di atas diucapkan oleh Gayus Lambuan, BK DPR
ketika ada anggota DPR yang ditahan KPK terkait kasus korupsi.
(12) “Kami harap pemerintah arif dan tidak cepat-cepat menaikkan harga BBM.” (Suara Merdeka, 5/5/2008, hal. 15)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Tifatul Sembiring, Presiden PKS
saat pidato peringatan Milad ke-10 PKS di GBK, Senayan, Jakarta.
Pada tuturan (11) dan (12) kita dapat melihat penggunaan
bentuk tuturan imperatif harapan untuk mewujudkan tindak
ilokusi direktif. Pada tuturan itu, penutur secara eksplisit
menggunakan kata diharapkan dan harap demi memperhalus
tuturan yang sesungguhnya bermaksud menyuruh (memerintah
secara halus) mitra tutur untuk melakukan sesuatu. Pada tuturan
(11) penutur sesungguhnya memiliki maksud menyuruh
anggota DPR untuk melakukan pembelaan diri, dan pada tuturan
(12) penutur sesungguhnya bermaksud menyuruh pemerintah
untuk tidak menaikkan harga BBM. Suruhan itu kemudian
dikemas oleh penutur dalam tuturan berbentuk harapan dengan
tujuan tuturannya itu seolah-olah tidak meremehkan mitra tutur.
Karena apabila tidak meremehkan mitra tutur, tuturan itu akan
dipersepsikan sebagai tuturan yang santun.
f. Tuturan Imperatif Anjuran
Imperatif yang mengandung makna anjuran ini lazim
ditandai dengan kata hendaknya, sebaiknya, dan alangkah lebih baik.
Contoh:
(13) Saya minta alangkah lebih baiknya kalau hadir semua. (Kedaulatan Rakyat, 7/5/2008, hal. 1)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan oleh Eddy Rusdiyanto, Kepala
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 127
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Jaksel) saat setelah
melalui MLB perseteruan dua kubu PKB akan diteruskan di
pengadilan.
(14) Melihat acara Deal or No Deal sungguh sangat menarik. Namun, saya punya saran dan masukan untuk RCTI, hendaknya jangan hanya menampilkan orang-orang kaya dan selebriti, yang dari segi finansial mereka sudah cukup kaya dan makmur (Kompas, 21/5/2008, hal. D).
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Sugeng yang merasa tertarik
dengan acara “Deal or No Deal” di RCTI.
Tuturan (13) dan (14) di atas merupakan contoh penggunaan
bentuk tuturan imperatif anjuran untuk menyatakan maksud
memerintah atau menyuruh (tindak ilokusi direktif). Pemakaian
bentuk tuturan imperatif anjuran ini dimaksudkan agar tuturan
yang akan disampaikan tidak terkesan terlalu kasar dan tetap
memiliki maksud utama, yakni agar mitra tutur melakukan apa
yang menjadi isi tuturan penutur. Dalam tuturan berbentuk
imperatif anjuran ini, mitra tutur sesungguhnya masih diberi
kesempatan untuk memilih alternatif lain; jadi sifatnya
tidak memaksa. Karena sifatnya yang tidak memaksa dan
memungkinkan mitra tutur untuk memilih alternatif lain, tuturan
berbentuk imperatif anjuran ini secara umum dipersepsikan
sebagai tuturan yang santun oleh pendengar atau mitra tutur.
g. Tuturan Imperatif Persilaan
Ciri khas tuturan imperatif dengan makna persilaan adalah
pemakaian kata silakan. Seringkali digunakan pula bentuk
pasif dipersilakan untuk menyatakan makna yang sama yakni
mempersilakan walaupun bentuk yang kedua ini lebih sering
digunakan pada acara-acara formal.
128 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Contoh:
(15) “Tapi, kalau semua mau disita, mulai bangku, kursi kerja
Pak Amin, ya silakan. Yang penting dibuatkan BAP-nya.”
(Republika, 28/4/2008, hal. 1)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Gayus, anggota Komisi III DPR
saat KPK akan menggeledah kantor Al Amin.
(16) “Karena itu, sebelum calon peserta Diklat melangkah
lebih jauh, sekiranya ada yang keberatan untuk bertindak
seperti tersebut, dengan tegas saya silakan untuk
mengundurkan diri dari CPNS sebelum nanti diangkat
menjadi PNS.” (Kedaulatan Rakyat, 26/3/2008)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Drs. H. Mulyono, Wakil Bupati
Kulon Progo saat acara diklat CPNS di kabupaten tersebut.
Pada contoh (15) dan (16), penutur mempersilakan mitra
tutur (yakni KPK dan peserta diklat CPNS Kulon Progo)
untuk melakukan sesuatu. Dalam kedua contoh di atas, makna
persilaan itu secara eksplisit dinyatakan oleh penutur dengan
penggunaan kata silakan. Di balik ungkapan persilaan itu, penutur
sesungguhnya bermaksud memerintah kepada petutur (mitra
tutur) untuk melakukan sesuatu. Namun, perintah tersebut
“dikemas” oleh penutur untuk disampaikan dengan model
persilaan. Hal ini bertujuan agar apa yang diungkapkan penutur
tersebut tidak tampak terlalu kasar dan mitra tutur tidak merasa
“kehilangan” muka. Di dalam tuturan persilaan ini, penutur
juga sesungguhnya tidak memberikan suatu bentuk paksaan
kepada mitra tutur; mitra tutur boleh melakukan (menuruti
apa yang diucapkan penutur) tetapi boleh juga tidak. Dengan
diberinya kesempatan untuk memilih (untuk melakukan atau
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 129
tidak), sesungguhnya mitra tutur telah diberi kebebasan untuk
memilih alternatif lain yang memungkinkan dirinya tidak merasa
dirugikan. Oleh karena itu, tuturan dengan model persilaan ini
akan terasa lebih santun di kalangan mitra tutur atau pendengar.
B. Tindak Ilokusi Direktif yang Berwujud Tuturan Nonimperatif
Dalam cara atau model ini, seorang penutur yang menginginkan
mitra tutur atau lawan bicaranya melakukan sesuatu tidak memilih
tuturan atau ujaran berbentuk perintah (bentuk imperatif), tetapi dia
(penutur) akan memilih bentuk ujaran yang lain, misalnya: ujaran yang
berbentuk deklaratif (pernyataan) atau ujaran yang berbentuk interogatif
(pertanyaan). Salah satu pertimbangan penutur menggunakan bentuk
tuturan seperti itu adalah agar mitra tutur atau lawan bicara tidak
kehilangan muka; atau dengan kata lain penutur menggunakan bentuk
tuturan seperti itu supaya terdengar santun.
Dalam tindak ilokusi direktif yang berwujud tuturan non-
imperatif ini makna (tindak lokusi) dari apa yang diujarkan penutur
atau pembicara akan berbeda dengan maksud (tindak ilokusi) yang
diinginkan pembicara atau penutur melalui tuturannya itu. Contohnya:
(17) “Tak ada di negeri ini yang imun, termasuk lembaga-lembaga
pemerintah, kantor menteri, juga DPR.” (Republika, 26/4/2008,
hal. 1)
Konteks tuturan:
Tuturan itu disampaikan oleh Jusuf Kalla, selaku Wapres, ketika
KPK berencana menggeledah DPR.
Jika kita mencermati contoh di atas, makna (tindak ilokusi) dari
tuturan tersebut bukanlah sebuah perintah (tuturan imperatif, yang
berwujud kalimat perintah). Tuturan di atas merupakan tuturan
deklaratif yang berwujud kalimat pernyataan. Namun, dengan
sebuah tuturan yang berwujud deklaratif itu, penutur sesungguhnya
mendukung (menyuruh secara halus) KPK untuk menggeledah DPR.
130 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Jadi, di sini makna (tindak lokusi) berbeda dengan maksud (tindak
ilokusi).
(18) Apakah pengelola bandara mengerti dengan apa yang saya rasakan? Tidakkah mereka mengerti bahwa beribadah merupakan hak asasi setiap manusia? (Republika, 21/5/2008, hal. 6)
Konteks tuturan:
Tuturan itu disampaikan Putri Nurhadiyanti, salah seorang
penumpang di Bandara Soekarno-Hatta yang merasa prihatin dengan
kondisi fisik musala di bandara tersebut yang menurutnya musala
tersebut dari luar tampak seperti sebuah toilet.
Tuturan yang diungkapkan Nurhadiyanti di atas merupakan
tuturan atau ujaran yang berwujud kalimat tanya (interogatif). Namun,
jika dikaji dari sudut tindak ilokusinya, tuturan tersebut mengandung
tindak ilokusi direktif. Lewat tuturannya tersebut sesungguhnya
penutur menghendaki atau menginginkan (memerintah secara halus)
para pengelola bandara untuk memperbaiki musala yang ada di bandara
tersebut.
C. Tindak Ilokusi Representatif
Tindak ilokusi representatif (kadang-kadang disebut asertif) adalah
tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa
yang dikatakannya, misalnya menyatakan, melaporkan, menunjukkan,
menyebutkan, mengusulkan, membual, mengeluh, dan mengemukakan
pendapat. Dari segi sopan santun ilokusi-ilokusi ini cenderung netral,
yakni mereka termasuk kategori bekerja sama seperti yang dimaksudkan
Leech. Namun, ada beberapa perkecualian, misalnya membual biasanya
dianggap tidak sopan. Menurut Pranowo (1996:92), fungsi representatif
bahasa mengacu pada pemakaian bahasa untuk menyatakan kebenaran.
Di bawah ini akan disajikan contoh-contoh tindak ilokusi representatif.
(19) Opsi penonaktifan Kemas dan Salim sudah dirapatkan dengan para jaksa agung muda. Hasilnya, kejakgung belum
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 131
akan mengambil keputusan sebelum Kemas dan Salim diperiksa tim jaksa pengawas. (Republika, 6/3/2008, hal. 1)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Hendarman Supandji ketika Kemas dan
Salim diduga terlibat dalam kasus suap 660 ribu dolar AS atau sekitar
Rp 6,1 Miliar.
Dalam contoh (19), Hendarman Supandji menyatakan atau
melaporkan sesuatu yang sudah dilakukan oleh para jaksa agung
muda berkaitan dengan kasus yang menimpa Kemas dan Salim.
Dalam tuturannya itu, Supandji juga melaporkan hasilnya. Melalui
pernyataannya itu, penutur (Hendarman Supandji) sesungguhnya telah
bermaksud menyatakan kebenaran karena ia melaporkan sesuatu yang
sudah dilakukan atau telah terjadi. Dalam tuturan seperti inilah tindak
ilokusi representatif terwujud. Setiap tuturan yang diucapkan penutur
terikat dengan kebenaran.
(20) Reformasi yang berjalan selama 10 tahun ini salah arah. Tidak hanya itu, figur kepemimpinan yang ada selama ini tidak menjadi figur pemimpin yang mampu menggerakkan dan menggalang potensi bangsa. (Kompas, 14/5/2008, hal. 2)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Din Syamsudin saat menilai segala
sesuatu yang terjadi di Indonesia ketika era reformasi telah berjalan 10
tahun.
Dalam tuturan (20) terlihat bagaimana penutur mengemukakan
pendapatnya berkaitan dengan pelaksanaan dan jalannya reformasi
selama 10 tahun. Selain mengemukakan pendapat, penutur juga
mengeluh dengan keadaan pemimpin negara. Mengemukakan pendapat
dan mengeluh merupakan bagian dari tuturan yang menyatakan
tindak ilokusi representatif. Dalam tuturan itu, penutur terikat dengan
kebenaran atas apa yang diungkapkannya.
132 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
D. Tindak Ilokusi Komisif
Di atas sudah dijelaskan bahwa tindak ilokusi komisif adalah
tindak ujaran yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa
yang disebutkan di dalam ujarannya. Jadi, erat kaitannya dengan suatu
tindakan di masa depan, misalnya berjanji, bersumpah, mengancam, dan
menawarkan. Jenis ilokusi ini cenderung menyenangkan dan kurang
bersifat kompetitif karena tidak mengacu pada kepentingan penutur
tetapi pada kepentingan petutur. Oleh Pranowo (1996), fungsi komisif
merujuk pada pemakaian bahasa sebagai janji atau penolakan untuk
berbuat sesuatu.
Contoh:
(21) “Bagi yang terlibat, saya tak akan beri ampun. Mau atasan, bawahan, ke samping, asal ada alat bukti.” (Republika, 4/3/2008, hal. 1)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Hendarman Supandji sehubungan
dengan kasus ditangkapnya Ketua Tim Jaksa BLBI II, Urip Tri Gunawan
oleh Penyidik KPK ketika menerima uang 660 ribu dolar AS atau sekitar
Rp 6,1 Miliar.
Dalam tuturan (21) terlihat suatu bentuk ancaman yang berasal
dari Hendarman Supandji kepada semua pihak yang ikut terlibat
dalam kasus yang menimpa Ketua Tim Jaksa BLBI II, Urip Tri Gunawan.
Di sana terlihat pula janji Hendarman Supandji untuk tidak akan
memberi ampun kepada siapa pun yang juga ikut terlibat dalam kasus
tersebut. Ancaman dan janji penutur itu secara eksplisit tampak dalam
penggunaan kata tak akan.
(22) Sebetulnya, menang di 2-3 propinsi tidak jaminan menang Pemilu. Gembira boleh, tapi Golkar akan merebut di legislatif
dan Presiden. (Kedaulatan Rakyat, 20/4/2008, hal. 24)
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan Priyo Budi Santoso, Ketua FPG DPR
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 133
ketika Golkar unggul dalam pemilihan kepala daerah di beberapa
propinsi.
Tuturan (22) juga merupakan contoh perwujudan tindak ilokusi
komisif. Dalam tuturan itu terlihat suatu bentuk janji dari penutur, yakni
Priyo Budi Santoso, yang mewakili Partai Golkar. Santoso yang mewakili
Golkar berjanji untuk meraih kemenangan dalam pemilu legislatif dan
presiden. Janji itu secara eksplisit dinyatakan dengan penggunaan kata
akan.
E. Tindak Ilokusi Ekspresif
Tindak ilokusi ekspresif merupakan tindak ujaran yang dilakukan
dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang
hal yang disebutkan di dalam ujaran itu. Dalam bahasa Leech, fungsi
ilokusi ini ialah mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis
penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya memuji,
mengucapkan terima kasih, mengkritik, mengeluh, dan mengucapkan
selamat. Ilokusi ekspresif cenderung menyenangkan. Karena itu secara
intrinsik ilokusi ini sopan, kecuali tentunya ilokusi-ilokusi ekspresif
seperti ‘mengecam’ dan ‘menuduh’.
Berdasarkan data yang dianalisis ada tiga cara penutur ketika ingin
mewujudkan tindak ilokusi ekspresif ini. Ketiga macam cara itu adalah
dengan (1) menggunakan bentuk tuturan deklaratif (pernyataan), (2)
menggunakan tuturan interogatif (pertanyaan), dan (3) menggunakan
bentuk tuturan deklaratif dan interogatif secara bersamaan.
a. Tindak Ilokusi Ekspresif yang Berbentuk Tuturan Deklaratif
Tuturan deklaratif secara eksplisit ditunjukkan dengan
pemakaian kalimat pernyataan. Kalimat pernyataan dalam
bahasa Indonesia mengandung maksud memberitakan sesuatu
kepada mitra tutur. Sesuatu yang diberitakan kepada mitra tutur
itu lazimnya merupakan pengungkapan suatu peristiwa atau
kejadian.
134 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Contoh:
(23) Belum lagi sikap tidak simpatik karyawan Mandiri yang tidak menghargai nasabah dengan mendiamkan masalah ini meskipun sudah menerima laporan. (Kompas, 12/5/2008, hal.7)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan oleh Moh. Budhi Wiyono, salah
seorang nasabah Bank Mandiri yang merasa dirugikan akibat
rusaknya mesin EDC Bank Mandiri.
Pada tuturan (23) penutur bermaksud memberitahu atau
menyatakan kepada mitra tutur mengenai perasaan yang
dialaminya ketika mendapat pelayanan tidak optimal dari Bank
Mandiri yakni ketika melaporkan masalah yang dihadapinya
sehubungan dengan rusaknya mesin EDC Bank Mandiri,
namun pihak Bank Mandiri tetap mendiamkan masalah itu.
Bentuk tuturan yang dipilih penutur dalam mengungkapkan
perasaannya itu adalah tuturan deklaratif. Ungkapan perasaan
penutur itu disampaikan secara langsung yang tampak dalam
penggunaan kata kecewa. Selain itu, dalam tuturan itu penutur
juga secara langsung menyebut subjek yang menjadi tujuan
tuturan yakni Bank Mandiri. Dengan maksud mengungkapkan
atau mengutarakan perasaan kecewa yang dialami penutur
tersebut, tuturan ini tergolong tuturan yang mengandung tindak
ilokusi ekspresif.
(24) Dikit-dikit Partai Golkar disalahin. Nanti kalau ada orang nyolong bebek, Golkar lagi disalahin. (Kedaulatan Rakyat, 1/4/2008, hal.1)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Agung Laksono ketika berkembang
isu tentang adanya keterlibatan Golkar dalam gonjang-ganjing
PKB.
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 135
Pada tuturan (24) di atas penutur sesungguhnya mau
mengungkapkan apa yang sebenarnya dirasakannya yakni tidak
senang atau marah ketika berkembang isu bahwa Golkar terlibat
dalam gonjang-ganjing PKB. Namun, apa yang dirasakan penutur
itu tidak secara langsung diungkapkan seperti pada tuturan (23)
di atas. Tuturan (23) dan (24) sama-sama menggunakan bentuk
tuturan deklaratif dalam mengungkapkan apa yang dirasakannya,
namun tuturan (23) sifatnya lebih langsung daripada tuturan (24)
dalam hal penyampaian perasaan (ekspresi). Pada tuturan (24)
penutur mengeskpresikan kemarahan atau rasa tidak senangnya
dengan mengungkapkan hal lain yang menyimpang dari apa
yang dibicarakan yang dirasa lebih kasar atau berlebihan yakni
tuturan: nanti kalau ada orang nyolong bebek, Golkar lagi disalahin.
b. Tindak Ilokusi Ekspresif yang Berbentuk Tuturan Interogatif
Secara eksplisit sebuah tuturan interogatif akan tercermin
lewat penggunaan kalimat tanya. Dengan menggunakan kalimat
tanya (tuturan interogatif) tersebut, penutur sesungguhnya
mengungkapkan ekspresinya tentang sesuatu, misalnya marah,
kecewa, dan senang.
Contoh:(25) Apakah segala sesuatu perlu syarat sarjana? Benar nih yakin
perlu syarat sarjana? (Kedaulatan Rakyat, 13/ 4/2008, hal. 24)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Megawati ketika berkembang
wacana persyaratan capres minimal sarjana.
(26) Bagaimana ini Telkomsel, mana yang benar? mengapa iklan Telkomsel Flash tidak lengkap bila tidak aktivasi hitungannya Rp 12 per kb? (Kompas, 24/5/2008, hal.7)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Leonard, salah satu pengguna
136 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
kartu Telkomsel yang merasa dirugikan dengan iklan Telkomsel
Flash yang tidak lengkap.
Pada tuturan (25) dan (26) tampak cara penutur
mengungkapkan apa yang dirasakannya. Ungkapan perasaan
penutur itu tertuang dalam tuturan yang berbentuk pertanyaan.
Pertanyaan yang dilontarkan penutur itu bukan semata-
mata tuturan yang harus dijawab, tetapi lebih dari itu melalui
tuturannya itu penutur sesungguhnya mau mengutarakan sikap
atau perasaannya seperti tidak senang atau kecewa. Dalam
kedua contoh di atas, makna (tindak lokusi) tuturan berbeda
dengan maksud (tindak ilokusinya). Makna dari tuturan (25)
dan (26) di atas adalah bertanya, sedangkan maksudnya adalah
memberitahu atau menyatakan kepada mitra tutur atau lawan
bicara mengenai perasaan yang dialami penutur.
c. Tindak Ilokusi Ekspresif Gabungan antara Tuturan Deklaratif dan
Interogatif
Dalam tuturan jenis ini, penutur menggunakan dua bentuk
tuturan sekaligus ketika hendak mewujudkan tindak ilokusi
ekspresif, yakni tuturan berbentuk pernyataan dan tuturan
berbentuk pertanyaan.
Contoh:
(27) Berapa lama lagi bisa menerima uang saya kembali? Sebulan,
setahun, atau tidak kembali? Apakah ini bukti pelayanan
Mandiri? Saya sangat kecewa. (Kompas, 23/5/2008, hal.7)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Arief Gunawan, seorang nasabah
Bank Mandiri yang merasa dirugikan dengan kerusakan kartu
debit Mandiri.
Pada tuturan (27) penutur sesungguhnya mengungkapkan
perasaan yang dialaminya akibat kerusakan kartu debit Mandiri.
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 137
Ungkapan perasaan penutur itu terwujud dalam dua bentuk
tuturan, yakni tuturan interogatif dan deklaratif. Pertanyaan-
pertanyaan yang dilontarkan penutur di dalam tuturannya
bukanlah pertanyaan yang harus dijawab tetapi melalui
pertanyaan itu penutur secara tidak langsung menyatakan atau
memberitahu kepada mitra tutur mengenai perasaannya. Merasa
tidak puas atau tidak cukup dengan apa yang dinyatakan melalui
pertanyaan-pertanyaan itu, penutur kemudian secara langsung
menyatakan perasaannya dengan tuturan deklaratif yang
tercermin dalam penggunaan kata kecewa.
C. Pembahasan Penggunaan Tindak Ilokusi dalam Surat Kabar
Munculnya disiplin kajian pragmatik dalam ilmu bahasa tentu tidak
dapat dipisahkan dari fungsi utama bahasa sebagai alat komunikasi.
Dalam suatu kegiatan komunikasilah sesungguhnya ilmu pragmatik
dapat diterapkan karena pragmatik adalah suatu ilmu yang mengkaji
pemakaian bahasa dengan mempertimbangkan konteks pemakaiannya.
Konteks dapat dengan mudah diketahui apabila bahasa memang
ditempatkan dalam situasinya yang natural (alami), yakni dalam
kegiatan berkomunikasi sehari-hari.
Ketika bahasa ditempatkan pada fungsinya yang utama sebagai
alat komunikasi, tidak dapat diingkari bahwa setiap tuturan atau
ucapan yang dikeluarkan manusia saat berkomunikasi mengandung
maksud tertentu. Hal itu pulalah yang menjadi salah satu pijakan utama
dilakukannya penelitian ini. Surat kabar dijadikan sebagai sumber data
utama karena surat kabar juga menjadikan bahasa sebagai alat utama
dalam menyebarluaskan informasi, dan di sini pun fungsi bahasa
sebagai alat komunikasi sungguh-sungguh terealisasi.
Hasil dari kajian yang dilakukan terhadap tuturan yang ada di dalam
surat kabar itu ditemukan ada empat golongan besar maksud yang ingin
diwujudkan penutur melalui tuturannya, yakni tuturan yang bermaksud
memerintah atau menyuruh orang lain melakukan sesuatu (disebut
138 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
dengan direktif), tuturan yang menyatakan kebenaran (representatif),
tuturan yang menyatakan janji (komisif), dan tuturan yang menyatakan
sikap atau ekspresi (ekspresif). Dalam mewujudkan suatu tindak tutur,
penutur terkadang menggunakan beragam bentuk tuturan. Sebaliknya,
suatu bentuk tuturan terkadang mengandung lebih dari satu maksud.
Kemunculan empat tindak tutur tersebut tentu memiliki alasan
atau latar belakangnya masing-masing. Alasan atau latar belakang yang
dimaksud bersumber dari penutur. Dalam hal ini yang ingin diketahui
adalah apa yang menjadi dasar atau alasan penutur menuturkan suatu
tuturan.
Tindak ilokusi direktif muncul dengan latar belakang atau
alasan bahwa penutur memiliki maksud agar mitra tutur melakukan
sesuatu sesuai dengan apa yang menjadi isi tuturannya. Dalam upaya
mewujudkan maksudnya itu, penutur menggunakan tiga bentuk
tuturan, yakni tuturan imperatif, tuturan deklaratif, dan tuturan
interogatif.
Contoh:
(28) Jika Ahmadiyah tidak ingin diprotes MUI dan umat Islam, sebaiknya bentuk saja agama baru dan jangan menggunakan nama Islam. (Kedaulatan Rakyat, 21/4/2008, hal. 24)
Konteks tuturan:
Tuturan (28) di atas diucapkan Ramli Abdul Wahid, Dekan Fakultas
Ushuliddin IAIN Sumatera Utara yang juga merupakan Pengurus MUI
Sumut, ketika ajaran Ahmadyah sudah berkembang di Indonesia dan
saat itu pula ajaran itu sudah menuai protes dari berbagai kalangan
muslim.
(29) “Jampidsus harus mengundurkan diri. Ini bentuk pertanggungjawaban karena tidak dapat melakukan tugasnya.” (Republika, 5/3/2008, hal. 2)
Konteks tuturan:
Tuturan (29) diucapkan Emerson Yuntho menanggapi berbagai
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 139
kejadian di Indonesia, yakni institusi kejaksaan banyak yang terlibat
dalam kasus suap.
(30) Apakah pengelola bandara mengerti dengan apa yang saya rasakan? Tidakkah mereka mengerti bahwa beribadah merupakan hak asasi setiap manusia? (Republika, 21/5/2008, hal. 6)
Konteks tuturan:
Tuturan (30) diucapkan Putri Nurhadiyanti (dalam rubrik “Surat
Pembaca”) ketika melihat kondisi musala di Bandara Soekarno-Hatta
yang sangat memprihatinkan; tampak dari luar seperti sebuah toilet.
Dalam contoh di atas kita dapat melihat tiga contoh bentuk
tuturan yang digunakan penutur dalam upaya mewujudkan tindak
ilokusi direktif. Tuturan (28) merupakan tuturan berbentuk imperatif
(larangan), tuturan (29) berbentuk deklaratif (pernyataan), dan
tuturan (30) berbentuk interogatif (pertanyaan). Apabila dikaji secara
mendalam ketiga bentuk tuturan itu sesungguhnya ingin mewujudkan
tindak ilokusi yang sama atau dengan kata lain memiliki maksud
yang sama. Dalam ketiga tuturan itu, penutur sesungguhnya memiliki
maksud agar mitra tuturnya melakukan sesuatu. Dalam tuturan (28)
penutur memiliki maksud agar mitra tuturnya (yakni Ahmadyah) tidak
menggunakan nama Islam dalam segala aktivitasnya; dan sifat tuturan
(28) ini adalah melarang. Dalam tuturan (29) penutur memiliki maksud
agar mitra tuturnya (yakni Jampidsus) mengundurkan diri dari tugas
karena dianggap gagal, dan dalam tuturan (30) penutur memiliki
maksud agar mitra tuturnya—yakni pihak pengelola bandara—
memperbaiki musala yang ada di bandara tersebut.
Hal yang menarik dari ketiga contoh di atas adalah bahwa
tiga tuturan yang berbeda itu dapat digunakan penutur untuk hanya
mewujudkan satu maksud (tindak ilokusi) yang dalam hal ini tindak
ilokusi direktif. Apabila dilihat dari segi derajat ”ketembuspandangan”
atau kelangsungan penyampaian maksud, ketiga bentuk tuturan di atas
140 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
tidak sama. Tuturan (28) memiliki derajat ”ketembuspandangan” atau
kelangsungan yang paling tinggi, kemudian disusul tuturan (29) dan
(30).
Derajat ”ketembuspandangan” atau kelangsungan suatu tuturan
erat kaitannya dengan tingkat kesantunan tuturan tersebut. Semakin
tinggi derajat ”ketembuspandangan” atau kelangsungan suatu tuturan
maka semakin tidak santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin rendah
derajat ”ketembuspandangan” atau kelangsungan suatu tuturan maka
semakin santunlah tuturan itu. Secara sederhana dapatlah dikatakan
bahwa derajat ketembuspandangan atau kelangsungan tuturan
berbanding terbalik dengan tingkat kesantunan tuturan itu.
Di atas sudah disinggung bahwa jika ketiga tuturan di atas diurutkan
dari yang memiliki tingkat ”ketembuspandangan” atau kelangsungan
paling tinggi ke yang paling rendah maka akan kita temukan urutan
sebagai berikut: tuturan (28), tuturan (29), dan tuturan (30). Tuturan (28)
dianggap sebagai tuturan yang memiliki derajat ”ketembuspandangan”
yang paling tinggi karena melalui tuturan itu penutur secara eksplisit
atau langsung mengutarakan apa yang menjadi maksudnya melalui
tuturan itu. Tuturan (29) hampir sama dengan tuturan (28). Pada
tuturan (29), penutur juga secara langsung menyampaikan maksudnya.
Perbedaannya adalah tuturan (28) menggunakan bentuk perintah
yang berwujud larangan, sedangkan tuturan (29) menggunakan
bentuk pernyataan. Berbeda dengan tuturan (28) dan (29), tuturan
(30) merupakan tuturan yang dari segi derajat ”ketembuspandangan”
tergolong sangat rendah. Digolongkan sangat rendah karena dalam
tuturannya itu penutur tidak secara langsung (implisit) menyampaikan
apa yang menjadi maksudnya. Dalam tuturan (30) ini penutur masih
menyembunyikan sesuatu; sesungguhnya dia (penutur) ingin agar
mitra tuturnya melakukan sesuatu, namun dalam tuturannya ia tidak
mengungkapkan hal itu.
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 141
BAB 6 KESANTUNAN BERBAHASA
6.1 Dasar Teori
Pada bagian awal sudah disinggung bahwa salah satu hal yang
penting untuk diperhatikan ketika berkomunikasi adalah menjaga
sopan santun, khususnya sopan santun berbahasa. Di dalam sopan
santun berbahasa itulah sesungguhnya sikap hormat penutur kepada
mitra tutur akan tercermin. Agar pemahaman kita semakin jelas tentang
wujud bahasa yang santun dan wujud bahasa yang tidak santun, berikut
akan disajikan berbagai teori atau pandangan dari beberapa ahli
mengenai kesantunan berbahasa.
Gunarwan (2005:8-9) mengutip pendapat beberapa ahli mengenai
kesantunan. Pertama, pendapat Leech. Menurutnya prinsip kesantunan
dapat tersirat dengan mematuhi nasihat minimkan pengungkapan pendapat
yang tidak santun. Kedua, menurut Cruse. Ia merumuskan kembali
anggapan Leech tersebut menjadi pilihlah ungkapan yang paling tidak
meremehkan status penutur. Artinya, demi kesantunan dalam bertutur
kita perlu memilih ungkapan yang paling kecil kemungkinannya
menyebabkan penutur kehilangan muka.
Cruse menambahkan uraiannya dengan merinci beberapa hal yang
harus dihindari demi kesantunan, yakni:
a. memperlakukan penutur sebagai orang yang tunduk kepada
penutur, yakni dengan menghendaki agar petutur melakukan
sesuatu yang menyebabkan ia mengeluarkan “biaya” (biaya sosial,
fisik, atau psikologis) atau menyebabkan kebebasannya menjadi
terbatas;
142 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
b. mengatakan hal-hal yang jelek mengenai diri petutur atau orang
atau barang yang ada kaitannya dengan petutur;
c. mengungkapkan rasa senang atas kemalangan petutur;
d. menyatakan ketidaksetujuan dengan petutur sehingga petutur
merasa namanya jatuh;
e. memuji diri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri
penutur.
Menurut Kushartanti, kesadaran akan bentuk sopan santun dalam
berbahasa akan ditunjukkan lewat beberapa hal, yakni:
(1) Penggunaan bentuk pronomina tertentu dalam percakapan.
Sebagai contoh di dalam bahasa Indonesia kita jumpai kata
anda dan beliau untuk menghormati orang yang diajak bicara.
(2) Pengungkapan sesuatu hal dengan cara yang tidak langsung.
Dalam hal ini memang dituntut adanya kemampuan seseorang
(dalam hal ini mitra tutur/lawan bicara) untuk menangkap
makna tersirat dari apa yang diucapkan pembicara.
Contoh:
A: Hari ini ada acara?
B: Kenapa?
A: Kita makan-makan, yuk!
B: Wah, terima kasih, deh.
Saya sedang banyak tugas!
Di dalam penggalan percakapan di atas, penutur B tidak
secara langsung menolak ajakan A untuk makan. Penutur B
sama sekali tidak mengatakan kata tidak. Akan tetapi, penutur
A akan mengerti bahwa apa yang diucapkan penutur B
adalah sebuah penolakan. Kata terima kasih yang diungkapkan
penutur B bukanlah suatu bentuk penghargaan terhadap suatu
pemberian, tetapi sebagai bentuk penolakan halus. Hal ini juga
diperkuat oleh kalimat yang diujarkan penutur B selanjutnya,
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 143
yakni Saya sedang banyak tugas!.
(3) Penggunaan bentuk praurutan (pre-sequence). Praurutan atau
pre-sequence ini juga dikenal dengan sebutan ‘pembuka’ dalam
suatu percakapan. Menurut Kushartanti, suatu percakapan
akan lebih berterima jika ada semacam pembuka di dalamnya.
Perhatikan contoh di bawah ini!
A: Sebelumnya, saya mohon maaf.
B: Ada apa, Pak?
C: Kali ini saya tidak dapat memberi apa-apa.
Permohonan maaf dari penutur A pada contoh di atas
merupakan contoh sebuah pengantar untuk dapat masuk pada
penyampaian maksud yang sebenarnya. Penggunaan bentuk
praurutan ini memang dapat digolongkan juga sebagai bagian
dari ketidaklangsungan, seperti pada poin (2) di atas.
Dalam tulisannya yang berjudul “Teori Sopan Santun
Berbahasa”, Baryadi (2005) mengutip pendapat lima ahli
mengenai kesantunan berbahasa. Kelima ahli tersebut adalah
Leech, Brown dan Levinson, Lakoff, Fraser, dan Poedjosoedarmo.
Berikut pandangan dari para ahli tersebut mengenai kesantunan
berbahasa.
6.1.1 Teori Sopan Santun Berbahasa Menurut Leech (1983)
Secara garis besar teori sopan santun berbahasa menurut Leech
mencakup tiga hal, yaitu mengenai jenis tindak tutur yang mengandung
sopan santun, skala kesopanan tuturan, dan prinsip kesopanan.
A. Jenis Tindak Tutur yang Mengandung Sopan Santun
Di atas sudah dikemukakan pembagian jenis tindak tutur
menurut Leech. Leech pada dasarnya membagi tindak tutur
menurut fungsinya. Maka muncullah tindak tutur kompetitif,
tindak tutur konvival, tindak tutur kolaboratif, dan tindak tutur
144 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
konfliktif. Dari keempat jenis tindak tutur tersebut, menurut
Leech, tindak tutur yang melibatkan sopan santun adalah tindak
tutur kompetitif dan tindak tutur konvival. Pada tindak tutur
kompetitif, sopan santun mempunyai sifat negatif dan tujuannya
adalah mengurangi ketidakharmonisan yang tersirat dalam
kompetisi antara apa yang dicapai oleh penutur dengan apa
yang dituntut oleh sopan santun. Pada tindak tutur yang konvival,
sopan santun lebih positif bentuknya dan bertujuan mencari
kesempatan untuk beramah tamah. Tindak tutur kolaboratif tidak
melibatkan sopan santun karena tindak tutur tersebut bertujuan
untuk menyampaikan sesuatu secara objektif. Tindak tutur
konfliktif sama sekali tidak melibatkan sopan santun.
B. Skala Kesopanan
Ada lima skala kesopanan tuturan menurut Leech. Pertama,
skala untung-rugi. Skala ini berkenaan dengan besar kecilnya
kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak
tutur pada penutur dan mitra tutur. Apabila sebuah tuturan
semakin merugikan penutur dan semakin menguntungkan mitra
tutur, tuturan tersebut semakin tinggi derajat kesopanannya.
Sebaliknya, apabila tuturan semakin menguntungkan penutur dan
semakin merugikan mitra tutur, tuturan tersebut semakin rendah
derajat kesopanannya. Kedua, skala pilihan. Apabila sebuah tuturan
semakin banyak memberikan pilihan kepada mitra tutur, tuturan
itu memiliki derajat kesopanan yang tinggi. Sebaliknya, apabila
sebuah tuturan semakin kecil memberikan pilihan kepada mitra
tutur, tuturan tersebut memiliki derajat kesopanan yang rendah.
Ketiga, skala ketaklangsungan. Apabila sebuah tuturan semakin tak
langsung mengungkapkan maksud penutur kepada mitra tutur,
semakin tinggilah derajat kesopanan tuturan itu. Apabila sebuah
tuturan semakin langsung mengungkapkan maksud penutur
kepada mitra tutur, semakin rendahlah derajat kesopanan tuturan
itu. Keempat, skala keotoritasan. Semakin rendah otoritas penutur
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 145
terhadap mitra tutur, semakin tinggilah derajat kesopanan
tuturan itu. Sebaliknya semakin tinggi otoritas penutur terhadap
mitra tutur, semakin rendahlah derajat kesopanan tuturannya.
Kelima, skala jarak sosial. Semakin jauh jarak sosial antara penutur
dengan mitra tutur, semakin tinggilah derajat kesopanan tuturan
itu. Sebaliknya, semakin dekat jarak sosial antara penutur dengan
mitra tutur, semakin rendahlah derajat kesopanan tuturan
tersebut.
C. Prinsip Kesopanan
Leech menjabarkan prinsip kesopanan tuturan ke dalam
enam maksim; setiap maksim mengandung dua kaidah
yang berpasangan. Pertama, maksim kearifan (disebut juga
sebagai maksim kebijaksanaan, maksim timbang rasa, maksim
kepedulian) yang menyatakan: (1) “Perkecil kerugian pada orang
lain” dan (2) “Tingkatkan keuntungan pada orang lain”. Kedua,
maksim kedermawanan (disebut juga maksim kemurahan hati,
maksim kebaikan hati, maksim penerimaan) yang menyatakan:
(1) “Perkecil keuntungan pada diri sendiri” dan (2) “Tingkatkan
keuntungan pada orang lain”. Ketiga, maksim pujian (disebut juga
maksim penghargaan, maksim kemurahan) yang mengungkapkan:
(1) “Perkecil kurangnya penghargaan pada orang lain” dan (2)
“Tingkatkan penghargaan pada orang lain”. Keempat, maksim
kerendahan hati (disebut juga maksim kesederhanaan, maksim
kesahajaan) yang menyatakan: (1) “Perkecil pujian pada diri
sendiri” dan (2) “Perbesar pujian pada orang lain”. Kelima,
maksim kesepakatan (disebut juga maksim pemufakatan,
maksim kesetujuan, maksim kecocokan) yang menyatakan: (1)
“Usahakan ketaksepakatan antara penutur dan mitra tutur terjadi
sekecil mungkin” dan (2) “Usahakan kesepakatan antara penutur
dan mitra tutur terjadi sebanyak mungkin”. Keenam, maksim
simpati (disebut juga maksim kesimpatisan) yang menyatakan:
(1) “Kurangilah rasa antipati antara penutur dengan mitra tutur
146 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
hingga sekecil mungkin” dan (2) “Tingkatkan rasa simpati
sebanyak-banyaknya antara penutur dengan mitra tutur”.
6.1.2 Teori Sopan Santun Menurut Brown dan Levinson (1987)
Teori sopan santun menurut Brown dan Levinson ini meliputi
konsep sopan santun dan skala kesopanan.
A. Konsep Sopan Santun
Menurut Brown dan Levinson, sopan santun berbahasa
berkaitan dengan apa yang disebut dengan “penyelamatan
muka” (face saving). Yang dimaksud dengan muka adalah citra diri
seseorang yang harus diperhatikan partisipan komunikasi dalam
berkomunikasi secara verbal. Tindak tutur merupakan tindak
ancaman muka atau face threatening act (FTA). Untuk mengurangi
kerasnya ancaman muka itu, diperlukanlah sopan santun dalam
berbahasa. Muka yang dimakdud ada dua macam, yaitu muka
positif dan muka negatif. Muka positif adalah keinginan seseorang
untuk menentukan sendiri (self determining). Muka negatif adalah
keinginan seseorang untuk disetujui (being approved). Karena ada
dua jenis muka, dalam berbahasa pun ada dua jenis muka yang
terancam, yakni muka positif dan muka negatif. Dengan demikian,
karena ada dua jenis muka yang terancam, sopan santun pun ada
dua jenis, yakni sopan santun positif yang dipergunakan untuk
menjaga muka positif dan sopan santun negatif yang diperlukan
untuk menjaga muka negatif.
B. Skala Kesopanan
Brown dan Levinson mengemukakan tiga skala kesopanan
yang digunakan untuk mengukur tinggi rendahnya tingkat
kesopanan tuturan. Tiga skala yang ditentukan secara kontekstual,
sosial, dan kultural tersebut adalah sebagai berikut. Pertama,
skala jarak sosial (sosial distance) di antara penutur dan mitra
tutur. Semakin jauh jarak sosial antara penutur dan mitra tutur,
semakin tinggi tingkat kesopanan tuturan yang digunakan dalam
berkomunikasi. Semakin dekat jarak sosial antara penutur dan
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 147
mitra tutur, semakin rendah tingkat kesopanan tuturan yang
digunakan dalam berkomunikasi. Skala jarak sosial antara penutur
dan mitra tutur antara lain ditentukan oleh perbedaan usia, jenis
kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Kedua, skala besar
kecilnya tingkat kekuasaan (power rating) di antara penutur dan
mitra tutur. Semakin tinggi kekuasaan yang dimiliki oleh penutur
terhadap mitra tutur, semakin rendahlah tingkat kesopanan
tuturan yang digunakan oleh penutur dalam berkomunikasi
dengan mitra tutur. Sebaliknya, semakin rendah kekuasaan
yang dimiliki penutur terhadap mitra tutur, semakin tinggilah
tingkat kesopanan tuturan yang digunakan oleh penutur dalam
berkomunikasi dengan mitra tutur. Ketiga, skala kedudukan
tuturan yang satu dengan tuturan yang lain menurut pandangan
dan kebudayaan masyarakat pemakainya. Di dalam masyarakat
terdapat tuturan yang dianggap memiliki tingkat kesopanan yang
lebih tinggi daripada tuturan yang lain. Ada tuturan yang tidak
mengancam muka. Sebaliknya, di dalam masyarakat juga terdapat
tuturan yang dianggap tingkat kesopanannya rendah, bahkan
kasar. Tuturan yang demikian jelas mengancam muka. Oleh sebab
itu, dalam berkomunikasi diperlukan strategi pemilihan tuturan
mana yang sopan dan tuturan mana yang kurang sopan, baik
kesopanan positif maupun kesopanan negatif.
6.1.3 Teori Sopan Santun Berbahasa Menurut Lakoff (1973)
Lakoff mengemukakan tiga kaidah kesopanan, yakni (a) formalitas
(formality), (b) ketidaktegasan (hesitancy), dan (c) kesamaan atau
kesekawanan (equality or camaraderie). Kaidah formalitas menggariskan
bahwa dalam melakukan tindak tutur janganlah memaksa dan jangan
bersikap angkuh. Untuk menciptakan kesopanan berbahasa, penutur
dan mitra tutur harus senantiasa menjaga keformalan berkomunikasi,
yaitu menjaga jarak secara wajar. Kaidah ketidaktegasan menganjurkan
agar dalam berkomunikasi penutur membuat mitra tutur dapat
menentukan pilihan dengan bebas. Kaidah kesamaan atau kesekawanan
148 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
menegaskan bahwa untuk menciptakan kesopanan berbahasa, penutur
harus menganggap mitra tutur sebagai sesama yang memiliki derajat
dan martabat yang sama. Penutur dan mitra tutur adalah sesama
sehingga mereka saling menghargai. Saling menghargai sebagai
sesama inilah yang menjadi syarat terciptanya kesopanan berbahasa.
Berdasarkan ketiga kaidah tersebut, dapat dikatakan bahwa tuturan
yang sopan adalah tuturan yang tidak menunjukkan keangkuhan,
tuturan yang memberikan pilihan kepada mitra tutur, dan tuturan yang
menunjukkan kesederajatan penutur dengan mitra tutur.
6.1.4 Teori Sopan Santun Menurut Fraser (1978)
Fraser mengemukakan batasan mengenai tuturan yang sopan secara
panjang lebar yang intinya sebagai berikut: pertama, kesantunan adalah
properti atau bagian dari ujaran dan bukan ujaran itu sendiri. Kedua,
pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada
pada suatu tuturan. Mungkin saja sebuah ujaran dimaksudkan sebagai
ujaran yang sopan oleh si penutur, tetapi di telinga si pendengar ujaran
itu ternyata tidak terdengar santun, dan demikian pula sebaliknya.
Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta
interaksi. Artinya, apakah sebuah ujaran terdengar santun atau tidak, hal
ini “diukur” berdasarkan (a) apakah si penutur tidak melampaui haknya
kepada mitra tutur dan (b) apakah si penutur memenuhi kewajibannya
kepada lawan bicaranya itu.
Dalam karyanya kemudian, Fraser mengklasifikasikan teori sopan
santun berbahasa menjadi empat kelompok menurut karakteristik sudut
pandangnya. Pertama, teori sopan santun berbahasa yang bertumpu
pada norma-norma sosial. Menurut teori tersebut, kesopanan tuturan
ditentukan menurut norma-norma sosial dan kultural yang berlaku
di masyarakat. Kedua, teori sopan santun berbahasa yang bertumpu
pada pandangan bahwa kesopanan merupakan maksim percakapan
dan sebagai usaha penyelamatan muka. Ketiga, teori sopan santun
berbahasa yang berpijak pada pandangan bahwa kesopanan merupakan
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 149
perwujudan pemenuhan kontrak sosial. Keempat, teori sopan santun
berbahasa yang bertolak dari pandangan bahwa kesopanan merupakan
sebuah indeks sosial dan dapat diidentifikasi dalam bentuk-bentuk
referensi-referensi sosial, honorifik, dan gaya bahasa.
6.1.5 Teori Sopan Santun Menurut Poedjosoedarmo (1978)
Poedjosoedarmo merupakan salah satu ahli yang secara khusus
membahas sopan santun berbahasa Indonesia. Kerangka berpikir
yang menjadi dasar pembahasannya tentang kesantunan dalam bahasa
Indonesia adalah tujuh komponen tutur yang dikemukakan Gumperz
dan Hymes. Ketujuh komponen tutur itu sudah dibahas pada bagian
awal tulisan ini. Berdasarkan tujuh komponen tersebut, disusunlah
tujuh prinsip sopan santun dalam berbahasa Indonesia. Ketujuh prinsip
itu adalah sebagai berikut.
a. Kendalikanlah emosi Anda dan jangan sampai mudah lepas kontrol
dalam berbicara. Penutur yang dapat mengendalikan emosinya
akan berbicara dengan tenang, penggunaan kata-katanya sangat
selektif, runtut, jelas, dan tuturannya enak diterima. Perilaku tutur
yang demikian menimbulkan citra positif pada penuturnya, yaitu
bahwa penuturnya adalah orang yang sopan dalam berbahasa
Indonesia. Sebaliknya, orang yang tidak bisa mengendalikan
emosinya akan berbicara meledak-ledak, pemakaian kata-katanya
tidak selektif, kasar, menyakitkan, cengeng, dan meremehkan.
Perilaku yang demikian akan menimbulkan citra negatif
penuturnya, yaitu bahwa penuturnya adalah orang yang tidak
sopan dalam berbahasa Indonesia. Dengan demikian, keadaan
emosi penutur sangat menentukan kesopanan dalam melakukan
tindak tutur, yaitu sangat menentukan gaya berbicara, tingkat
tutur, dan penggunaan kata-katanya.
b. Tunjukkan sikap bersahabat dengan menampakkan
kesiapsediaannya untuk berkomunikasi dengan mitra tutur.
Di Indonesia, seperti juga pada komunitas tutur yang lain,
persahabatan atau kekeluargaan adalah sesuatu yang bagus.
150 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Salah satunya adalah persahabatan dalam berkomunikasi. Dalam
situasi yang demikian, penutur bersedia mendengarkan dengan
sungguh-sungguh tentang apa yang disampaikan kepadanya
oleh orang lain dan siap menyampaikan apa yang memang perlu
disampaikan kepada orang lain. Setiap partisipan harus selalu
senang berinisiatif berkontak dan merespon tuturan.
c. Pilihlah kode bahasa yang dimengerti oleh mitra tutur, tepat
untuk hubungan antara penutur dan mitra tutur, dan cocok
dengan peristiwa dan situasi tindak tutur. Berbahasa dikatakan
sopan apabila kode bahasa yang digunakan oleh penutur
sungguh-sungguh bisa dipahami oleh mitra tutur. Selain itu,
kode bahasa yang dipilih harus disesuaikan dengan hubungan
antara penutur dengan mitra tutur, yaitu (a) tuturannya lengkap,
(b) tuturannya logis, (c) sungguh-sungguh verbal dengan
meminimalkan interjeksi, alih kode, pembalikan urutan kata, dan
sebagainya, (d) menggunakan ragam bahasa baku. Ditambah lagi,
kode bahasa yang digunakan hendaknya sesuai dengan situasi
tutur, yaitu situasi formal atau situasi informal.
d. Pilihlah topik yang disukai oleh mitra tutur dan cocok dengan
situasi. Kesopanan berbahasa juga ditentukan oleh topik tuturan.
Tuturan dengan topik yang menyenangkan mitra bicara adalah
tuturan yang sopan. Hindarilah topik yang tidak menjadi minat
mitra tutur. Selain itu, hindarilah pula hal-hal lain yang tidak
menyenangkan mitra tutur, seperti mengkritik mitra tutur.
Pada masyarakat Indonesia, kritik atau sejenis ketidaksetujuan
lainnya dapat mengakibatkan timbulnya rasa tidak senang pada
mitra tutur. Tuturan yang tidak menyenangkan mitra tutur ini
merupakan tuturan yang tidak sopan dari sudut pandang mitra
tutur.
e. Ungkaplah tujuan pembicaraan dengan jelas. Biasanya penutur
berkomunikasi dengan mitra tutur memiliki tujuan tertentu.
Untuk menjaga kesopanan, tujuan hendaknya diungkapkan
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 151
dengan jelas dan tidak berbelit-belit. Lebih-lebih bila tujuan
tuturan itu berkenaan dengan kebutuhan pribadi penutur.
f. Ucapkan kalimat-kalimatnya dengan enak. Penutur hendaknya
memilih bentuk kalimat yang baik dan ucapkanlah dengan enak
sehingga diterima oleh mitra tutur dengan enak pula. Hindarilah
gaya pengungkapan yang menggurui, lebih-lebih kepada orang
yang status sosialnya lebih tinggi. Usahakan berbicara jangan
terlalu keras, tetapi juga jangan terlalu lembut. Jangan berbicara
terlalu cepat, tetapi juga jangan terlalu lambat.
g. Perhatikanlah norma tindak tutur yang lain, seperti urutan tindak
tutur dan gerakan tubuh (gestur). Mengenai urutan tindak
tutur, lazimnya orang yang status sosialnya lebih rendah lebih
dulu mendengarkan tuturan orang yang status sosialnya lebih
tinggi dan untuk merespons tuturannya harus menanti hingga
tindak tutur penutur selesai. Menyela pembicaraan dianggap
tidak sopan. Jika ingin menyela, katakan maaf. Mengenai gerakan
tubuh (gestur), pada saat berbicara tunjukkan wajah berseri dan
penuh perhatian terhadap mitra bicara. Tunjukkan sikap badan
dan tangan yang sopan pada saat berbicara.
6.2 Penanda Tingkat Kesantunan Tuturan dalam Surat Kabar
Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan jenis-jenis tindak ilokusi
yang muncul di surat kabar. Di bawah ini akan dipaparkan pula hasil
temuan berupa penanda-penanda tingkat kesantunan tuturan di dalam
surat kabar. Dalam KBBI (2005: 1135), penanda diartikan sebagai
sesuatu yang digunakan untuk memberi tanda; sifat khusus satuan
kebahasaan yang menunjukkan kelas atau fungsinya. Dalam tulisan
ini, yang dimaksud dengan penanda tingkat kesantunan adalah satuan
kebahasaan (kata, frasa, klausa, atau pun kalimat) yang dituturkan
seorang pembicara (penutur) yang memungkinkan pendengar
berpersepsi (memberikan tanggapan atau penilaian) tentang tinggi
rendahnya (tingkat) kesantunan suatu atau seluruh tuturan yang
152 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
diungkapkan atau dituturkan pembicara. Penanda-penanda tingkat
kesantunan itu adalah sebagai berikut.
6.2.1 Analogi
Di dalam KBBI (2005: 44) analogi diartikan sebagai kesepadanan
antara bentuk bahasa yang menjadi dasar terjadinya bentuk lain.
Menganalogikan berarti menjelaskan atau menerangkan suatu konsep
tentang sesuatu yang baru berdasarkan konsep lain yang sudah
diketahui.
Contoh:
(1) “Kita kasih ‘ikan’ karena rakyat miskin lapar. Kalau dia dikasih
kail nanti malah dibuang karena dia lapar..” (Suara Merdeka,
13/5/2008, hal. 2)
Konteks tuturannya:
Tuturan di atas diucapkan Bayu Krisnamukti, Deputi Menko
Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan saat berkembang
wacana bahwa rencana pemberian BLT oleh pemerintah kepada
masyarakat dipastikan akan dikucurkan sebagai kompensasi
kenaikkan harga BBM dalam waktu dekat.
Di dalam tuturan yang diucapkan Bayu Krisnamukti di atas,
kita bisa melihat adanya analogi. Penutur ingin menerangkan
konsep tentang alasan pemberian BLT bagi masyarakat dengan
memakai analogi ikan dan kail. Dalam pikiran penutur, pendengar
atau mitra tutur tentunya sudah mengetahui keterkaitan antara
ikan dan kail. Kail biasanya digunakan untuk memancing/
menangkap ikan dan merupakan sebuah benda yang terbuat dari
kawat atau besi yang tidak mungkin bisa dimakan oleh manusia.
Berbeda dengan ikan yang merupakan seekor binatang yang
sering dimakan (dijadikan lauk) oleh manusia.
Menurut penutur, BLT seperti ikan yang diberikan kepada
orang yang sedang lapar (dalam hal ini warga masyarakat yang
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 153
sedang membutuhkan bantuan), sedangkan kail adalah hal atau
bantuan lain (seperti yang disarankan oleh sebagian masyarakat,
misalnya: politisi) selain BLT yang tidak secara langsung bisa
digunakan masyarakat. Bantuan tidak langsung itu mungkin
saja akan disalahgunakan atau bahkan tidak dimanfaatkan
oleh masyarakat walaupun sebenarnya bertujuan baik, yakni
untuk memandirikan masyarakat. Dalam contoh di atas, melalui
tuturannya yang menggunakan analogi, penutur sesungguhnya
telah membuat apa yang dimaksudnya (mewujudkan tindak
ilokusi) menjadi lebih halus; dan oleh pendengar tuturan itu pun
akan terdengar lebih santun karena lebih halus.
6.2.2 Diksi atau Pilihan Kata
Keraf (1984: 24) dalam bukunya Diksi dan Gaya Bahasa memberikan
dua definisi tentang pilihan kata (diksi). Pertama, pilihan kata (diksi)
mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan
suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang
tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya
mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan
kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-
nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan
untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai
rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.
Lebih lanjut Keraf menjelaskan bahwa persoalan pemilihan atau
pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok,
yakni pertama, ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan sebuah
gagasan, hal atau barang yang akan diamanatkan, dan kedua, kesesuaian
atau kecocokan dalam mempergunakan kata tersebut. Ketepatan pilihan
kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan
gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar,
seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara.
Persoalan ketepatan pemilihan kata akan menyangkut pula
masalah makna kata dan kosakata seseorang. Penguasaan yang banyak
154 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
terhadap kosakata akan memungkinkan penulis atau pembicara lebih
bebas memilih-milih kata yang dianggapnya paling tepat mewakili
pikirannya. Ketepatan makna kata menuntut pula kesadaran penulis
atau pembicara untuk mengetahui bagaimana hubungan antara bentuk
bahasa (kata) dengan referensinya.
Di atas sudah disinggung bahwa persoalan pemilihan kata (diksi)
jelas terkait dengan masalah makna yang timbul dari penggunaan
atau pemilihan kata tersebut. Ada empat kemungkinan yang muncul
ketika penutur memilih kata, yakni: penutur memilih kata-kata yang
bermakna denotasi dengan tujuan memperhalus tuturan (menjadikan
tuturannya itu lebih santun), penutur memilih kata-kata denotatif yang
memang maknanya kasar atau negatif (misalnya karena marah) yang
mengakibatkan tuturannya terdengar kurang santun, penutur memilih
kata-kata yang bermakna konotasi dengan tujuan memperhalus tuturan,
dan penutur memilih kata-kata konotatif yang memang maknanya kasar
atau negatif sehingga tuturannya terdengar kasar (kurang santun).
Keempat jenis atau gaya pemilihan kata tersebut akan dijelaskan satu
per satu di bawah ini.
1. Pemilihan kata-kata yang bermakna denotasi dengan tujuan
memperhalu tuturan (menjadikan tuturannya lebih santun
Contoh:
(2) “Untuk itu kami mohon, personel kelurahan yang diterjunkan
untuk pendistribusian ini benar-benar baik, sehingga
penyaluran lancar.” (Kedaulatan Rakyat, 26/3/08)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Imam Nurwahid, Kasi Pengawasan
saat menyalurkan subsidi minyak goreng kepada masyarakat
lewat RT/RW.
Dalam contoh di atas kita bisa melihat bagaimana penutur
memilih kata-kata denotatif dalam mengungkapkan maksudnya.
Tidak ada kata-kata yang maknanya samar-samar (tidak sesuai
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 155
dengan aslinya/leksikal) dalam contoh di atas. Tuturan di atas
dipersepsikan santun oleh pendengar karena kata-kata yang
dipilih merupakan kata-kata denotatif yang maknanya lebih halus
(santun)—seperti mohon, baik, dan lancar—meskipun maksud
(tindak ilokusi) yang diharapkan adalah tindak ilokusi direktif
yakni meminta (memerintah secara halus).
Contoh lain:
(3) Presiden menaikkan harga BBM merupakan resiko politik
yang harus diambil. Beliau lebih meresikokan karier dan
popularitas politiknya, yang lebih penting menyelamatkan
ekonomi negara. (Kedaulatan Rakyat, 24/5/2008, hal. 1)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Andi Malarangeng, Jubir Presiden
saat SBY (yang mewakili pemerintah) mengambil kebijakan
menaikkan harga BBM yang mengundang kontra dari masyarakat
dan menyatakan siap tidak populer karena ingin menjaga
perekonomian negara tetap mantap.
Kata beliau pada tuturan Andi Malarangeng di atas merupakan kata
ganti orang dan kata tersebut merupakan kata yang bermakna
denotatif. Kata tersebut dipilih penutur dengan pertimbangan
menghormati orang yang dibicarakan. Hal ini juga dipengaruhi
oleh status sosial orang yang dibicarakan lebih tinggi daripada
pembicara atau penutur.
2. Pemilihan kata-kata denotatif yang maknanya kasar atau negatif
sehingga tuturannya terdengar kurang santun
Contoh:
(4) “Tidak sedikit pejabat tinggi yang korup merugikan orang
lain, menyengsarakan rakyat. Moralnya rendah. Rupanya, untuk
menjadi pejabat tidak perlu punya moral yang tinggi.” (Jawa
Pos, 18/3/2008, hal.4)
156 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Djohansjah Marzoeki, Guru Besar
Fakultas Kedokteran Unair saat menanggapi munculnya berbagai
kasus KKN di kalangan pejabat.
Kata-kata yang digunakan penutur dalam tuturan di atas adalah
kata-kata yang denotatif tetapi maknanya sangat kasar karena
memojokkan pihak tertentu yakni para pejabat. Bisa jadi kata-
kata itu dipilih penutur karena penutur ingin mengungkapkan
kemarahan atau kekecewaannya. Karena makna yang terkandung
dalam kata-kata yang digunakan penutur itu kasar dan
memojokkan pihak tertentu, oleh mitra tutur atau pendengar
tuturan itu dipersepsikan sebagai tuturan yang memiliki kadar
kesantunan yang rendah (tidak santun).
3. Pemilihan kata-kata konotatif dengan tujuan memperhalus tuturan
Contoh:
(5) “Saya yakin pejabat di sana kotor semua, cuma kotornya
berbeda-beda.Tentu sih ada yang bersih atau kotornya sedikit
dan mudah mencucinya. Tapi jumlahnya ya berapalah gitu.”
(Republika,16/3/2008, hal. B2)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Slamet Untung saat mengetahui hasil
jajak pendapat melalui Republika On Line (ROL) untuk mengetahui
sejauh mana persepsi masyarakat terhadap para pejabat tinggi
kejaksaan agung.
Pada contoh di atas kita dapat melihat bagaimana penutur
(Slamet Untung) memilih kata yang bermakna konotatif dalam
menyatakan maksudnya. Kata kotor, bersih, dan mencuci yang dipakai
Slamat Untung bukanlah kata-kata dalam arti yang sebenarnya.
Kata-kata itu sesungguhnya mewakili maksud penutur untuk
mengatakan bahwa semua pejabat tinggi di kejaksaan agung
hampir pasti pernah melakukan KKN, hanya kadarnya berbeda-
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 157
beda; ada yang KKN-nya masih dalam skala kecil, tetapi ada juga
yang skalanya sangat besar.
Dari kata-kata yang dipilih Untung untuk menyatakan
maksudnya itu, ada sesuatu yang menarik yakni bahwa Untung
memilih kata-kata tersebut (yang bermakna konotasi) agar
tuturan yang dia ucapkan itu tidak terkesan sangat kasar atau
dengan kata lain agar tuturannya mengandung kadar kesantunan
yang tinggi. Tuturan yang diungkapkan Untung ini dipersepsikan
sebagai tuturan yang santun oleh pendengar atau mitra tutur.
Dalam contoh inilah pemilihan kata-kata konotatif yang bertujuan
memperhalus tuturan terwujud.
4. Pemilihan kata-kata konotatif yang maknanya kasar atau negatif
sehingga tuturannya terdengar kasar (kurang santun)
Contoh:
(6) Mereka telah buta mata hati nuraninya. Apa mereka tidak
sadar kalau BBM naik, harga barang-barang lainnya bakal
melambung. Akibatnya rakyat semakin tercekik. (Kedaulatan
Rakyat, 8/5/2008, hal. 1)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Dona Budi Kharisma, BEM UNS dan
KAMMI Solo ketika berunjuk rasa di Gladag Solo menentang
rencana pemerintah menaikkan BBM.
Kata-kata seperti buta mata hati nurani, melambung, dan tercekik
yang dituturkan Dona Budi Kharisma di atas bukanlah kata-
kata yang bermakna sesungguhnya (sesuai dengan aslinya
di dalam kamus), tetapi kata-kata itu adalah kata-kata kiasan
(konotasi). Kata-kata tersebut dipilih penutur tentunya dengan
pertimbangan bahwa kata-kata tersebut sungguh-sungguh
mewakili apa yang dirasakan oleh penutur sendiri, yakni marah
dan kecewa. Oleh pendengar atau mitra tutur, tuturan Kharisma
di atas dipersepsikan sebagai tuturan yang tidak santun karena
158 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
kata-kata yang dipilih itu sangat kasar dan melebih-lebihkan
keadaan yang sesungguhnya.
Dari uraian tentang keempat jenis atau tipe pemilihan kata dalam
bertutur seperti yang diuraikan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa
pemilihan kata-kata denotatif atau pun konotatif yang maknanya bercita
rasa positif atau memperhalus cenderung dipersepsikan sebagai tuturan
yang santun oleh pendengar atau mitra tutur. Sebaliknya, pemilihan
kata-kata denotatif atau pun konotatif yang maknanya bercita rasa
negatif atau kasar cenderung dipersepsikan sebagai tuturan yang tidak
santun oleh mitra tutur atau pendengar.
6.2.3 Penggunaan Gaya Bahasa
Dalam KBBI (2005:340) dijelaskan bahwa gaya bahasa merupakan
pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur
atau menulis; pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek
tertentu; cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam
bentuk tulis atau lisan.
Menurut Keraf (1984:113), gaya bahasa adalah cara mengungkapkan
pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan
kepribadian penulis (pemakai bahasa). Gaya bahasa adalah bahasa
indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan
memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal
tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Pendek kata
penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan
konotasi tertentu (Dale [et al] dalam Tarigan, 1985:5).
Beberapa jenis gaya bahasa dipergunakan penutur (pembicara)
ketika bertutur. Gaya-gaya bahasa itu digunakan oleh penutur
dengan maksud tertentu. Ada yang memang bertujuan agar apa yang
disampaikannya itu tidak membuat lawan bicaranya ’kehilangan
muka’ atau tersinggung dan malu, tetapi ada pula yang dengan
sengaja memakai gaya bahasa-gaya bahasa itu dengan tujuan agar apa
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 159
yang dituturkannya itu benar-benar membuat lawan bicaranya malu
(kehilangan muka) misalnya karena marah atau mengkritik. Berikut ini
jenis-jenis gaya bahasa tersebut.
A. Perumpamaan
Perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya
berlainan dan yang sengaja kita anggap sama. Perbandingan itu secara
eksplisit dijelaskan oleh pamakaian kata seperti, ibarat, bak, sebagai,
umpama, laksana, bagai, bagaikan, dan serupa.
Contoh:
(7) Kalau saya baca, delapan rekomendasi kadin itu bagus. Hanya, analisisnya kok seperti menyatakan bahwa apa yang dilakukan pemerintah salah semua. Seperti zaman kegelapan. (Jawa Pos, 1/4/2008, hal. 1)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Susilo Bambang Yudhoyono,
Presiden RI saat mendapat delapan rekomendasi perekonomian
dari pengusaha yang bergabung dalam Kadin.
(8) Kadang logika kementrian dalam negeri tidak make sense dengan aspirasi yang berkembang. Dari segi tata krama terhadap aspirasi masyarakat juga kurang pas. Pemerintah pusat seperti ’menggantang asap’ dan malah memanaskan suasana menjadi tidak kondusif. ... Mengingat, perkataan Sultan itu sabda panita ratu yang tidak boleh berubah-ubah.
(Kedaulatan Rakyat, 16/4/2008, hal. 1)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Priyo Budi Santoso; Ketua Fraksi
Partai Golkar ketika dimintai tanggapannya mengenai sikap
pemerintah terhadap RUUK DIY.
(9) “Tiap hari kita merasa seperti mau kiamat dengan kenaikan harga-harga,” ujar Jusuf Kalla.(Suara Merdeka, 24/4/08, hal.2)
160 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Jusuf Kalla ketika berbicara di kantor
BI, Bandung dan ketika itu pula banyak informasi tentang harga-
harga barang yang semakin naik.
Penggunaan majas perumpamaan dalam sebuah tuturan pada
dasarnya bertujuan manyamarkan maksud sesungguhnya. Upaya
menyamarkan maksud itu bisa terjadi atas dasar pertimbangan
penutur mengenai sopan santun. Dengan menyamarkan maksud
yang ingin disampaikan, sesungguhnya penutur telah menyelamatkan
muka mitra tutur atau lawan bicara apalagi kalau yang mau dikatakan
itu adalah sesuatu yang jelek, kasar, dan negatif mengenai mitra
tutur. Dengan alasan itu, sebagian besar tuturan yang menggunakan
perumpamaan dipersepsikan (lebih) santun oleh pendengar atau mitra
tutur dibandingkan dengan tuturan yang secara langsung (eksplisit)
menyatakan maksud penuturnya.
B. Metafora
Metafora merupakan salah satu bagian atau jenis dari gaya bahasa
perbandingan. Metafora merupakan suatu jenis gaya bahasa yang
kerapkali menambahkan kekuatan pada suatu kalimat. Melalui metafora,
seorang penulis atau pembicara bisa melukiskan suatu gambaran
yang jelas mengenai sesuatu melalui komparasi atau kontras. Metafora
adalah suatu jenis gaya bahasa yang membuat perbandingan antara
dua hal atau benda untuk menciptakan suatu kesan mental yang hidup
walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit dengan penggunaan kata-
kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, penaka, dan serupa seperti
pada perumpamaan (Dale [et al] dalam Tarigan (1985:15).
Dalam KBBI (2005:739) metafora diartikan sebagai pemakaian kata
atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan
sebagai lukisan yang berdasarkan persamaaan atau perbandingan.
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 161
Contoh:
(10) “Ansor harus cerdas cermat, karena pilgub adalah perjudian yang menyebabkan ahlussunah wal jamaah menjadi babak belur” (Republika, 10/3/2008, hal. 3)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan K.H. Miftachul Akhyar, Rois Syuriah
PWNU Jawa Timur ketika Syuriah NU Jawa Timur memperingatkan
kader-kader gerakan pemuda Ansor terkait dukungan simbol-
simbol organisasi sayap NU atas majunya Ketua Umum GP Ansor,
Saifullah Yusuf sebagai Cawagub Jatim.
Dalam contoh di atas kita melihat bahwa penutur (K.H.
Miftachul Akhyar) tidak secara eksplisit membandingkan pilgub
(pemilihan gubernur) dengan perjudian. Hal ini dapat kita lihat
dengan tidak digunakannya kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai,
umpama, laksana, penaka, atau serupa pada kalimat di atas.
(11) Politik Abdurrahman itu politik bos dan anak buah, patron-klien. Kalau ikut dia, ya harus tidak boleh lepas dan independen dari dia. Sedang Muhaimin melakukan perlawanan karena ingin menunjukkan keberanian dan kejantanannya sebagai seorang pemimpin yang kuat. (Kedaulatan Rakyat, 17/4/2008, hal. 28)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Fachry Ali; pengamat politik
menanggapi gonjang-ganjing PKB dan tuduhan adanya
keterlibatan presiden di dalamnya.
Metafora adalah suatu jenis perbandingan secara langsung. Jadi
tidak jauh berbeda dengan majas perbandingan, hanya saja dalam
metafora kata-kata seperti, bagaikan, dan lain-lain tidak digunakan. Oleh
karena tidak jauh berbeda dengan majas perbandingan, metafora juga
sesungguhnya bermaksud menyamarkan suatu maksud yang ingin
disampaikan penutur. Dengan adanya penyamaran maksud berarti
162 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
penutur sesungguhnya telah berusaha menjaga muka lawan bicara atau
mitra tutur.
C. Hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan
yang berlebihan, yakni dengan membesar-besarkan suatu hal.
Contoh:
(12) “Negara hanya menjadi ajang pesta poranya pejabat dan penjahat yang tidak bermoral yang pasti akan berdampak pada kemiskinan serta penderitaan rakyat. (Jawa Pos, 18/3/2008, hal. 4)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Djohansjah Marzoeki, Guru Besar
Fakultas Kedokteran Unair saat diwawancarai mengenai dampak
yang akan timbul jika kita tidak bisa memerangi korupsi.
Dalam tuturan di atas terlihat penggunaan gaya bahasa hiperbola
seperti yang tampak pada bagian yang dicetak tebal. Di situ kita melihat
ada hal yang dilebih-lebihkan oleh pembicara atau penutur yang tidak
sesuai dengan keadaan aslinya atau sesungguhnya. Dengan kenyataan
ini, yakni melebih-lebihkan sesuatu apalagi kalau sesuatu itu memiliki
sifat negatif, tuturan itu cenderung dipersepsikan sebagai tuturan yang
kadar kesantunannya rendah (tidak santun) oleh pendengar atau mitra
tutur.
D. Eufemisme
Eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan
yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan
yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan
menghina, menyinggung perasaan, atau mensugestikan sesuatu yang
tidak menyenangkan (Keraf, 1984:132).
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 163
Contoh:
(13) Ada sesuatu yang harus diklarifikasi. Hanya dengan itu air yang keruh bisa dijernihkan. (Suara Merdeka, 20/4/08, hal. 2)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Harryadi Wirawan menanggapi
pernyataan Presiden Timor Leste, Ramos Horta yang seakan
menuduh Indonesia terlibat dalam penembakan dirinya.
Dalam tuturan di atas kita bisa melihat penggunaan majas
eufemisme yang tujuannya memperhalus penyampaian maksud
yang sesungguhnya. Karena majas eufemisme ini digunakan
dengan tujuan menghaluskan tuturan, pemakaian majas ini jelas
membuat sebuah tuturan akan menjadi lebih atau makin santun.
6.2.4 Penggunaan Keterangan (Kata) Modalitas
Menurut Razak (1985:13) kata modalitas ini sering juga disebut
”kata warna”, yang berfungsi untuk mengubah keseluruhan arti sebuah
kalimat. Masuknya sebuah kata modalitas ke dalam sebuah kalimat akan
memungkinkan kalimat itu berubah menjadi sebuah pernyataan yang
tegas, yang ragu-ragu, yang lembut, yang pasti, dan sebagainya.
Oleh Alisyahbana (1962), keterangan modalitas ini diistilahkan
dengan keterangan kesungguhan. Menurutnya tiap-tiap kalimat
menyatakan suatu keadaan kesungguhan. Yang dimaksud dengan
keadaan kesungguhan di sini adalah bagaimana orang yang
mengucapkan kalimat itu menganggap peristiwa yang diucapkannya
itu, sebagai suatu yang pasti atau tak pasti, sebagai suatu yang mungkin,
sebagai suatu yang diharapkan atau disangsikan, atau pun sebagai
sesuatu yang disyaratkan. Karena sifatnya yang seperti itulah maka
keterangan kesungguhan sering diartikan sebagai keterangan yang
menyatakan hal bagi predikat.
Dalam KBBI (2005:751) modalitas diartikan sebagai klasifikasi
pernyataan menurut hal menyungguhkan atau mengingkari
164 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
kemungkinan atau keharusan; cara pembicara menyatakan sikap
terhadap suatu situasi dalam suatu komunikasi antarpribadi; makna
kemungkinan, keharusan, kenyataan, dan sebagainya yang dinyatakan
dalam kalimat (dalam bahasa Indonesia misalnya dinyatakan dengan
kata barangkali atau harus).
Hasil penelitian menunjukkan dua bentuk keterangan (kata)
modalitas yang digunakan penutur yang memungkinkan pendengar
berpersepsi (memberikan penilaian) mengenai sopan santun
tuturan tersebut. Kedua bentuk keterangan modalitas tersebut
adalah keterangan modalitas yang menyatakan tingkat kepastian dan
keharusan (kewajiban). Berikut akan dijelaskan masing-masing kedua
bentuk keterangan modalitas yang dimaksud.
A. Keterangan Modalitas yang Menyatakan Tingkat Kepastian
Kata atau keterangan modalitas yang menyatakan tingkat kepastian
biasanya ditandai dengan penggunaan kata pasti dan mungkin. Pasti
berarti ‘sesuatu yang dibicarakan itu sudah jelas terjadi dan tidak boleh
tidak’, sedangkan mungkin berarti ‘sesuatu yang dibicarakan itu belum
jelas’ (dapat terjadi tetapi dapat pula tidak).
Perhatikan contoh di bawah ini!
(14) Saya pikir saya datang akan lihat sepuluh tingkat. Ternyata masih begini. Sekiranya saya tidak datang, pasti tidak dibawa tiang- tiang pancang itu ke sini. Anda pasti akan melanjutkan tidur. (Jawa Pos, 6/3/2008, hal. 15)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia
ketika jengkel melihat rusun yang dibangun perum perumnas
baru pada tahap pemasangan tiang pancang.
(15) “Mungkin surat itu belum disampaikan karena kapasitas saya dalam hal ini sebagai kepala daerah, di mana pemanggilan untuk pemeriksaan harus seizin Presiden.” (Suara Merdeka, 6/5/08, hal. A)
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 165
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Kelik Sumrahardi ketika ada kabar
bahwa dirinya dilaporkan oleh Kejaksaan Agung karena diduga
terkait dengan kasus korupsi dana APBD 2006.
Dari kedua contoh di atas kita bisa melihat mana tuturan
yang tingkat kepastiannya tinggi dan mana yang rendah (kurang
pasti). Tuturan pertama adalah tuturan yang tingkat kepastiannya
tinggi, yang ditandai dengan penggunaan kata pasti, sedangkan
tuturan yang kedua adalah tuturan yang tingkat kepastiannya
lebih rendah (tidak pasti) yang ditandai dengan penggunaan
kata mungkin. Namun, ada sesuatu yang perlu dikaji secara
mendalam pada tuturan pertama, yakni bahwa dalam tuturan
itu penutur seolah-olah memastikan sesuatu yang sesungguhnya
belum pasti terjadi. Isi tuturan penutur itu hanyalah prasangka
atau dugaan yang kebenarannya masih dipertanyakan. Karena
itulah tuturan yang pertama cenderung dipersepsikan sebagai
tuturan yang kurang (tidak) santun oleh pendengar. Hal itu tentu
berbeda dengan tuturan kedua, yakni penutur menuturkan
suatu kemungkinan mengenai penyebab dia belum juga
dipanggil untuk diperiksa. Kemungkinan itu dituturkan oleh
penutur karena memang nyatanya penutur belum menerima
surat pemanggilan untuk pemeriksaan secara resmi. Dengan
kenyataan itu maka tuturan yang kedua itu dipersepsikan
sebagai tuturan yang santun.
B. Keterangan Modalitas yang Menyatakan Tingkat Keharusan
(Kewajiban)
Keterangan modalitas yang menyatakan tingkat keharusan atau
kewajiban lazim ditandai dengan penggunaan kata-kata seperti harus
dan wajib.
166 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Contoh:
(16) “Jampidsus harus mengundurkan diri. Ini bentuk pertanggungjawaban karena tidak dapat melakukan tugasnya.” (Republika, 5/3/2008, hal. 2)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Emerson Yuntho, Koordinator
Hukum dan Peradilan ICW yang menilai penegakan hukum di
Indonesia masih terganjal institusi kejaksaan karena institusi
kejaksaan banyak yang terlibat dalam kasus suap.
(17) “Pemkot harus tegas dalam melakukan perlindungan terhadap konsumen. Pemkot memang mempunyai kewajiban menghiduphidupi pengusaha ,tapi pemkot juga wajib melakukan perlindungan terhadap konsumen. Kalau Kantor Pertanwan tidak lakukan langkah konkret, lalu peran pemerintah di mana?” (Republika, 12/3/2008, hal.
17)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Arif Noor Hartanto, Ketua DPRD Kota
Yogyakarta ketika daging babi ilegal beredar di kota Yogyakarta.
Tuturan yang menyatakan tingkat keharusan atau kewajiban
sebagian besar dinilai kurang santun oleh pendengar atau mitra tutur
karena tuturan yang diucapkan penutur itu membuat mitra tutur
tidak memiliki peluang untuk memilih alternatif lain. Karena tidak
berpeluang untuk memilih alternatif lain, potensi untuk kehilangan
muka bagi mitra tutur atau pendengar menjadi cukup tinggi. Dengan
kata lain mitra tutur menjadi malu. Karena mitra tutur merasa malu
(kehilangan muka), jelas tuturan itu tidak santun.
6.2.5 Menyebutkan Subjek yang Menjadi Tujuan Tuturan
Salah satu strategi yang dapat digunakan dalam berkomunikasi
(bertutur) agar sopan santun tetap terjaga adalah dengan tidak
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 167
menyebutkan pendengar atau subjek yang menjadi tujuan tuturan itu.
Apalagi kalau yang menjadi isi tuturan tersebut adalah sesuatu yang
kurang baik (keburukan atau kejelekan) mitra tutur atau pendengar.
Perhatikanlah contoh-contoh di bawah ini!
(18) “Pak Susilo itu (SBY-Red) telah merintis jalan tol bagi ekonomi asing untuk menjajah bangsa ini sehingga bangsa kita tidak punya apa-apa lagi. Bahkan, tercerabut dari kedaulatan ekonominya sendiri,” (Republika, 17/5/2008, hal.12)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Amien Rais ketika menjadi
pembicara utama acara Peringatan 100 Tahun Kebangkitan
Nasional di Gedung Pascasarjana UGM.
(19) Tidak akan ada istilah (perdamaian) dengan kubu Muhaimin yang jelas-jelas pembohong. Islah tidak berlaku antara pembohong dan yang jujur. ... Ini jelas merusak tatanan di PKB dan harus dibersihkan. ... Muhaimin cuma ’alat’ dari luar. Alatnya SBY-JK. Mau apa coba? ... Ya KPU itu main curang. Dari dulu suka main curang. Berdasarkan aturan berlaku kita yang menang. ... Itu Andi Matalatta yang main. (Kedaulatan Rakyat, 16/04/2008, hal. 24)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Gus Dur menanggapi konflik
internal PKB antara kubu Muhaimin dan kubu Gus Dur sendiri.
(20) “Sebelumnya harga minyak tanah Rp. 1.200,- per liter katanya, turun. Kini malah naik lagi mencapai Rp. 2.000,- per liter. Ini Presiden SBY mau menaikkan harga BBM lagi. Sejak SBY jadi presiden hidup saya tidak pernah tenang karena harga-harga yang terus naik dan penghasilan pas-pasan.” (Suara Merdeka, 9/5/2008, hal. K)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Ny. Samsiah, ibu rumah tangga dari
Karangwelas, salah seorang demonstran saat melakukan aksi
168 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
tolak kenaikan harga BBM oleh Agra (Aliansi Gerakan Reforma
Agraris) Banyumas dan Paguyuban Petani Banyumas (PPB) di
depan gedung DPRD.
(21) “Jangan seperti Megawati yang diakhir masa jabatannya,
justru tak berkomunikasi dengan lembaga negara lain.” (Jawa
Pos, 14/3/2008, hal. 15).
Konteks tuturannya:
Tuturan di atas diucapkan Andy Rahmat, Anggota FPKS ketika
dalam pengambilan keputusan SBY terkadang tidak berkoordinasi
dengan lembaga lain, misalnya DPR.
Dalam contoh di atas kita bisa melihat bagaimana penutur di
dalam bertutur langsung menyebutkan subjek atau orang yang
menjadi tujuan tuturan itu dan hal ini terdapat di hampir semua
surat kabar yang dianalisis. Dalam contoh di atas jelas bahwa
pihak atau orang-orang yang disebutkan namanya oleh penutur
(yakni SBY, Jusuf Kalla, Muhaimin, KPU, dan Megawati) merasa
kehilangan muka karena apa yang disebutkan tentang mereka
adalah sesuatu yang negatif (kekurangan atau kelemahan).
Bandingkan dengan contoh di bawah ini!
(22) Saya minta sekali lagi, jangan ada dusta di antara kita. Pemerintah kurang bagus, saya akan bikin bagus. All-out, segala tenaga. Harapan saya, teman dunia usaha juga begitu, melakukan langkah yang sama. (Jawa Pos, 1/4/2008, hal. 1)
Konteks tuturannya:
Tuturan di atas diucapkan Susilo Bambang Yudhoyono,
Presiden RI menanggapi pernyataan atau tuduhan banyak pihak
yang menganggap bahwa pemerintahlah biang segala masalah
di negara ini. SBY juga meminta agar para pelaku usaha bersikap
fair.
Dalam tuturan itu terlihat penutur dengan netral
mengungkapkan maksudnya. Di dalam tuturan itu penutur sama
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 169
sekali tidak menyebutkan pihak-pihak tertentu yang menjadi
subjek atau pihak tertentu yang menjadi tujuan tuturan itu; dan
tuturan yang diungkapkan SBY di atas dipersepsikan sebagai
tuturan yang santun oleh pendengar.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa penyebutan subjek atau pihak
tertentu dalam sebuah tuturan, khususnya yang menyinggung
kekurangan, kelemahan, dan hal-hal negatif dari pihak-pihak itu sering
dipersepsikan kurang atau tidak santun oleh pendengar. Sebaliknya,
tuturan yang sama sekali tidak menyebutkan subjek atau mitra tutur
yang dituju apalagi yang tidak menyinggung kejelekan atau hal-
hal negatif dari diri penutur cenderung dipersepsikan santun oleh
pendengar atau mitra tutur.
6.2.6 Bentuk Tuturan
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan dua bentuk tuturan yang
digunakan penutur atau pembicara ketika menyampaikan maksudnya.
Dua bentuk tuturan yang ditemukan yakni tuturan langsung dan tuturan
tidak langsung. Tuturan langsung sering diwujudkan dengan kalimat
imperatif (perintah) dan kalimat deklaratif (pernyataan); sedangkan
tuturan tidak langsung biasanya diwujudkan dengan tuturan interogatif
(pertanyaan) dan juga tuturan deklaratif. Kedua jenis tuturan tersebut
digunakan penutur untuk mengungkapkan maksudnya masing-masing
(mewujudkan tindak ilokusi), misalnya memerintah, mengungkapkan
kekecewaan atau kemarahan (ekspresif), menyatakan kebenaran, atau
pun mengungkapkan janji. Sering terjadi beberapa bentuk atau jenis
tuturan (misalnya tuturan deklaratif dan interogatif) digunakan secara
bersamaan untuk menyampaikan suatu maksud yang sama. Begitu pula
sebaliknya, suatu bentuk atau jenis tuturan dituturkan oleh pembicara
atau penutur untuk menyampaikan beberapa maksud yang berbeda,
misalnya mengeskpresikan kekecewaan dan memerintah/menyuruh
secara halus.
170 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Contoh:
(23) “Untuk apa ancam-ancam, dia yang butuh kok. Kalau mereka acam-ancam, kita kembalikan. Bukan urusan kita, itu aja.” (Republika, 01/3/2008, hal. 3)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Bagir Manan ketika MA mendapat
ancaman terkait dengan upaya memutuskan perkara KPU
Sulawesi Selatan.
Dalam tuturan yang diucapkan Bagir Manan di atas, kita
bisa melihat adanya beberapa tindak ilokusi (maksud penutur)
walaupun dengan hanya menuturkan satu bentuk tuturan, yakni
tuturan deklaratif (pernyataan). Tindak ilokusi (maksud) yang
mungkin muncul dari satu bentuk tuturan di atas adalah tindak
ilokusi ekspresif, direktif, dan komisif. Tindak ilokusi ekspresif
terwujud karena dalam tuturannya itu, Bagir Manan tampak
marah ketika dalam usaha memutuskan perkara itu, ada pihak
yang mengancam mereka (MA). Tindak ilokusi direktif terwujud
jika melalui tuturannya itu, Bagir Manan bermaksud meminta
(memerintah secara halus) kepada pihak-pihak yang terkait
dengan perkara KPU Sulsel itu agar tidak memberikan ancaman
kepada MA karena kalau ada pihak yang mengancam, maka
MA tidak akan menyelesaikan perkara itu. Selanjutnya tindak
ilokusi komisif terwujud melalui tuturan itu karena di dalam
tuturan tersebut terlihat suatu bentuk janji penutur yakni akan
mengembalikan berkas perkara atau dengan kata lain tidak akan
menyelesaikan perkara tersebut jika ada pihak yang mengancam
MA. Dari contoh ini kiranya menjadi jelas bahwa satu bentuk
tuturan bisa jadi mengandung banyak maksud (tindak ilokusi).
Pemilihan suatu bentuk tuturan untuk menyampaikan lebih
dari satu maksud atau penggunaan beberapa bentuk tuturan untuk
mengungkapkan suatu maksud seperti yang sudah disinggung dan
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 171
dicontohkan di atas tentu dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan
penutur. Salah satu hal yang dipertimbangkan oleh penutur adalah
bentuk tuturan mana yang lebih santun dan yang membuat lawan
bicara tidak kehilangan muka, tetapi apa yang ia maksudkan tetap
tersampaikan atau dipahami oleh lawan bicara.
Contoh:
(24) Apakah pengelola bandara mengerti dengan apa yang saya rasakan? Tidakkah mereka mengerti bahwa beribadah merupakan hak asasi setiap manusia? (Republika, 21/5/2008, hal.6)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Putri Nurhadiyanti (dalam rubrik
“Surat Pembaca”) ketika melihat kondisi Mushala di Bandara
Soekarno-Hatta yang sangat memprihatinkan; tampak dari luar
seperti sebuah toilet.
Apabila dikaji secara mendalam, tuturan Nurhadiyanti yang
berwujud tuturan interogatif (pertanyaan) itu sesungguhnya
memiliki dua jenis tindak ilokusi, yakni tindak ilokusi ekspresif
dan tindak ilokusi direktif. Tindak ilokusi ekspresif terwujud
karena melalui tuturannya itu sesungguhnya Nurhadiyanti
merasa kecewa dengan keadaan musala yang ada di Bandara
Soekarno-Hatta. Selain itu, dalam tuturan itu juga terwujud
tindak ilokusi direktif, yang mana dengan tuturan interogatif ini,
penutur secara tidak langsung meminta atau menyuruh secara
halus kepada pihak pengelola bandara untuk memperbaiki atau
membersihkan musala yang ada di bandara tersebut.
Pemilihan bentuk tuturan interogatif untuk mewujudkan dua
tindak ilokusi sekaligus yakni ekspresif dan direktif seperti yang
dituturkan penutur yakni Nurhadiyanti di atas hampir pasti telah
melibatkan pertimbangan sopan santun. Oleh pendengar tuturan
172 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
di atas dipersepsikan sebagai tuturan yang santun karena melalui
tuturannya, penutur mewujudkan dua tindak ilokusi sekaligus dengan
cara yang tidak langsung. Dalam konteks ini berlakulah hipotesis
yang berbunyi “semakin tidak langsung suatu tuturan maka semakin
santunlah tuturan tersebut”.
Bandingkan dengan contoh berikut!
(25) Ini revolusi kami setelah tahun 1998. Asrun harus diturunkan. Dia telah membuat kota ini menjadi darah. Asrun membenturkan sesama masyarakat dan preman. Asrun harus turun. (Jawa Pos, 29/3/2008, hal. 1)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Andi Safri, pengurus BEM Unhalu
menanggapi aksi penyerbuan polisi ke kampus Haluolo (Unhalu)
yang disebabkan adanya mahasiswa Unhalu yang berdemonstrasi
menolak penggusuran PKL, Kamis (27/3). Oleh mahasiswa
Unhalu, Asrun, Walikota Kendari dianggap biang kekisruhan
karena menggusur PKL.
Tuturan yang diucapkan Andi Safri di atas merupakan sebuah
tuturan deklaratif. Melalui tuturannya itu, penutur sesungguhnya
mewujudkan dua tindak ilokusi secara bersamaan yakni tindak
ilokusi ekspresif dan direktif. Tindak ilokusi ekspresif terwujud
karena melalui tuturannya itu penutur sesungguhnya merasa
kecewa atau pun marah dengan kebijakan pemerintah (yang
diwakili Asrun sebagai walikota) dengan menggusur PKL. Tindak
ilokusi direktif juga terwujud melalui tuturan tersebut yang
ditandai dengan pernyataan Asrun harus diturunkan; Asrun harus
turun. Dengan dua pernyataan tersebut, jelaslah bahwa penutur
bermaksud menyuruh atau memerintah Asrun, Walikota Kendari,
agar mundur dari jabatannya.
Di atas sudah disinggung bahwa pemilihan berbagai bentuk
tuturan untuk mengungkapkan satu atau lebih maksud (tindak ilokusi)
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 173
lebih didasarkan pada berbagai pertimbangan penutur termasuk salah
satunya adalah pertimbangan sopan santun. Tuturan Andi Safri di atas
oleh pendengar dipersepsikan sebagai salah satu tuturan yang kurang
santun karena dalam tuturan tersebut penutur menyatakan secara
langsung apa yang menjadi maksudnya; dalam hal ini penutur meminta
(secara kasar), menyuruh, dan memerintah agar Asrun mundur dari
jabatannya. Selain itu ekspresi kemarahan atau kekecewaan penutur
pun menjadi sangat kelihatan dari berbagai kata yang menjadi bagian
dari tuturannya, misalnya: membenturkan, darah, dan preman.
Dua contoh di atas memiliki persamaan dan perbedaan.
Persamaannya adalah bahwa dalam mengungkapkan atau mewujudkan
dua atau lebih maksud (tindak ilokusi), penutur hanya memilih satu
bentuk tuturan. Perbedaannya adalah bahwa pada contoh pertama
bentuk tuturan yang dipilih penutur adalah tuturan tidak langsung
(yakni tuturan interogatif) untuk mewujudkan tindak ilokusi direktif,
ekspresif, dan komisif. Tidak langsung yang dimaksud di sini adalah
bahwa di dalam tuturannya penutur tidak secara eksplisit atau terang-
terangan menyampaikan apa yang dia maksudkan (contoh pertama
sudah membuktikan hal itu; hanya dengan sebuah tuturan interogatif,
penutur sesungguhnya bermaksud agar mitra tutur melakukan sesuatu).
Pada contoh kedua bentuk tuturan yang dipilih penutur adalah
tuturan langsung (yakni tuturan deklaratif) untuk mewujudkan tindak
ilokusi direktif dan ekspresif. Yang dimaksud dengan langsung dalam
konteks ini adalah bahwa di dalam tuturannya penutur secara eksplisit
menyampaikan apa yang dia maksudkan, contohnya Asrun harus
diturunkan; Asrun harus turun. Dari sini bisa disimpulkan bahwa tuturan
tidak langsung cenderung dipersepsikan lebih santun oleh mitra
tutur atau pendengar daripada tuturan langsung, tetapi dalam batas-
batas tertentu tuturan tidak langsung dapat pula dipersepsikan tidak
santun apabila lewat tuturan tidak langsung itu penutur sesungguhnya
menyindir pendengar atau mitra tutur.
174 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
6.3 Pembahasan Kesantunan Berbahasa dalam Surat Kabar
Perlu diingat bahwa derajat ”ketembuspandangan” berbanding
terbalik dengan tingkat kesantunan. Perhatikan kembali data tuturan
bernomor (28), (29), dan (30) pada bab sebelumnya (Bab V). Kalau
ketiga data tuturan tersebut diurutkan dari yang paling santun (tingkat
kesantunannya tinggi) ke yang paling rendah, kita akan menemukan
urutan sebagai berikut: tuturan (30), tuturan (29), kemudian tuturan
(28). Tuturan (29) dianggap lebih santun daripada tuturan (28) karena
pada tuturan (28) penutur secara langsung memerintah atau menyuruh
Ahmadyah untuk tidak menggunakan nama Islam, yang dapat kita lihat
dengan penggunaan kata jangan. Hal itu tentu berbeda dengan tuturan
(29) yang walaupun menyampaikan maksud secara langsung, namun
penutur tetaplah memilih bentuk tuturan yang sifatnya permintaan
meskipun permintaan penutur itu juga tergolong kasar yang ditandai
dengan penggunaan kata harus.
Munculnya bentuk tuturan yang kurang santun seperti pada
data tersebut tentu besar kemungkinan berakibat fatal pada tindak
komunikasi dan bukan tidak mungkin tuturan yang tidak santun ini dapat
mengganggu bahkan merusak hubungan antara pembicara dan lawan
bicara. Kemungkinan seperti ini tentunya sama sekali tidak diinginkan
oleh masyarakat pemakai bahasa. Pertanyaannya adalah, bagaimana
cara yang dapat dilakukan agar setiap tuturan yang diucapkan penutur
itu tidak mengakibatkan rusak atau terganggunya hubungan antara
pembicara dengan lawan bicara?
Terdapat beberapa hal yang menjadi penanda tingkat
kesantunan suatu tuturan. Pengetahuan tentang penanda-penanda itu
memungkinkan penutur dapat memilih bentuk atau macam tuturan
yang dapat meminimalisasi terjadinya keretakan atau kerusakan
hubungan antara pembicara dengan lawan bicara. Penanda-penanda
itu adalah: 1) analogi, 2) diksi atau pilihan kata, 3) gaya bahasa, 4)
penggunaan keterangan atau kata modalitas, 5) penyebutan subjek
yang menjadi tujuan tuturan, dan 6) bentuk tuturan.
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 175
Tuturan-tuturan yang dinilai tidak (kurang) santun pada contoh (28)
dan (29) di atas dapat diubah sehingga tuturan itu menjadi lebih santun,
tetapi maksudnya tetap tersampaikan kepada mitra tutur. Pengubahan
itu dapat kita lakukan dengan beberapa kemungkinan, misalnya kata-
katanya yang terasa kasar diganti dengan kata lain yang lebih halus
atau sopan (diksi). Subjek yang menjadi sasaran tuturan tidak perlu
disebutkan, khususnya jika isi tuturannya adalah hal yang negatif
tentang mitra tutur. Tuturan yang berbentuk perintah diubah menjadi
tuturan berbentuk pernyataan atau pun pertanyaan. Oleh karena itu,
tuturan (28) dan (29) dapat diubah dengan beberapa kemungkinan
tuturan yang lebih santun sebagai berikut:
Tuturan (28): (a) Kalau Ahmadyah ingin membentuk agama baru, pilihlah nama yang
baru. Nama Islam kan sudah ada.
(b) Bukankah nama Islam sudah menjadi nama sebuah agama? Mengapa aliran yang baru muncul juga memilih nama itu?
Tuturan (29):(a) Jampidsus sebaiknya perlu melakukan evaluasi terhadap kinerja yang
sudah dilakukan.
(b) Semua lembaga negara atau para pejabat yang merasa ikut terlibat dalam kasus suap sebaiknya dengan berani mengundurkan diri dari jabatan atau tugasnya.
Keempat contoh itu (28a, 28b, 29a, dan 29b) hanyalah beberapa
kemungkinan saja dari upaya memperhalus tuturan (28) dan (29) yang
ada di atas. Pada contoh (28 a) kita dapat melihat pengubahan bentuk
tuturan imperatif larangan menjadi tuturan deklaratif dengan adanya
penggantian kata-kata yang dianggap kasar dengan kata-kata yang
lebih netral dan halus. Pada contoh (28b) terlihat adanya pengubahan
bentuk tuturan imperatif menjadi tuturan interogatif sehingga maksud
yang ingin disampaikan penutur tidak secara langsung disampaikan
(disembunyikan). Tuturan (29a danb) tidak mengalami perubahan dari
176 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
segi bentuk tuturan. Namun, pada contoh ini ada upaya penghalusan
tuturan dengan menggantikan kata-kata yang terkesan kasar dengan
kata-kata yang lebih halus dan sopan (diksi). Pada tuturan (29b) juga
terlihat bahwa tuturan itu tidak secara khusus menyebutkan subjek yang
menjadi tujuan tuturan. Tujuan dari tuturan yang diungkapkan dalam
contoh (29b) sifatnya umum. Sesungguhnya masih banyak bentuk
tuturan lain yang mungkin lebih halus daripada yang ada pada contoh
di atas. Sekali lagi, upaya memperhalus tuturan ini lebih dimaksudkan
agar tindak komunikasi dapat berjalan lancar dan hubungan yang baik
dan harmonis tetap terjaga di antara penutur dan mitra tutur.
Jenis tindak ilokusi (maksud) kedua yang ditemukan dalam
penelitian ini adalah tindak ilokusi representatif. Tindak ilokusi ini
muncul dengan dilatarbelakangi oleh keinginan penutur untuk
menyatakan kebenaran. Hal ini akan sangat tampak dalam tuturan
yang sifatnya melaporkan, menunjukkan, menyatakan, menyebutkan,
mengemukakan pendapat, dan lain-lain. Dalam mewujudkan tindak
ilokusi ini, penutur sering menggunakan bentuk tuturan deklaratif.
Tuturan-tuturan yang diucapkan penutur ketika ingin
mewujudkan tindak ilokusi ini sifatnya cenderung netral jika dilihat dari
segi sopan santun. Dikatakan cenderung netral karena maksud tuturan
penutur itu hanya meyakinkan mitra tutur dengan mengungkapkan
suatu kebenaran. Tuturan yang diucapkan penutur itu mengikat
penutur sendiri akan kebenaran dari apa yang diucapkan; mitra tutur
bukanlah pihak yang menjadi pusat perhatian yang utama.
Perhatikan contoh di bawah ini!
(26) Opsi penonaktifan Kemas dan Salim sudah dirapatkan dengan para jaksa agung muda. Hasilnya, kejakgung belum akan mengambil keputusan sebelum Kemas dan Salim diperiksa Tim jaksa pengawas. (Republika, 06/3/2008, hal. 1)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Hendarman Supandji ketika Kemas
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 177
dan Salim diduga terlibat dalam kasus suap 660 ribu dolar AS atau
sekitar Rp 6,1 Miliar.
Jika kita mengkaji tuturan (26), tampak bahwa dengan tuturan itu,
penutur (Hendarman Supandji) sesungguhnya hanya ingin menyatakan,
melaporkan, atau pun menyebutkan apa yang sudah dilakukan para
jaksa agung muda terkait kasus Kemas dan Salim yang diduga terlibat
dalam kasus suap. Tuturan itu tidak ada keterkaitan langsung dengan
mitra tutur. Sekali lagi perlu diingat bahwa dalam tindak ilokusi
representatif ini penutur terikat dengan kebenaran akan apa yang
diungkapkannya. Apabila apa yang dituturkan Hendarman Supandji di
atas memang benar-benar terjadi, yakni para jaksa agung muda sudah
melakukan rapat mengenai kasus Kemas dan Salim, tuturan Supandji
tersebut tergolong tuturan yang santun. Akan tetapi, jika tuturan
Supandji itu tidak benar—dalam hal ini kenyataan yang terjadi adalah
para jaksa agung muda belum (tidak) melakukan rapat yang membahas
kasus Kemas dan Salim—tuturan Supandji itu tergolong tuturan yang
tidak santun.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penilaian sopan santun
terhadap suatu tuturan yang memiliki tindak ilokusi representatif
amat bergantung dari benar tidaknya isi tuturan itu dengan kenyataan
(realitas) yang terjadi. Oleh karenanya, semua tuturan yang sifatnya
membual dan bohong digolongkan sebagai tuturan yang tidak santun.
Salah satu ciri khas pemakaian bahasa yang digunakan dalam tuturan
dengan tindak ilokusi representatif adalah langsung dan menggunakan
kata-kata denotatif. Hal ini bertujuan agar mitra tutur menangkap isi
informasi atau kebenaran dari ujaran yang dituturkan itu dengan jelas.
Jenis tindak ilokusi (maksud) ketiga yang ditemukan dari
hasil analisis terhadap data yang ada adalah tindak ilokusi komisif.
Kemunculan tindak ilokusi komisif dilatarbelakangi oleh keinginan
penutur untuk melakukan sesuatu pada masa yang akan datang. Apa
yang dilakukan penutur itu erat kaitannya dengan suatu kejadian atau
178 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
peristiwa yang menimpa dirinya sebagai individu atau pun sebagai
bagian dari kelompok sosial atau lembaga. Lewat tuturan ini, penutur
terikat untuk melakukan apa yang disebutkan di dalam ujarannya.
Perhatikan contoh berikut!
(27) “Bagi yang terlibat, saya tak akan beri ampun. Mau atasan, bawahan, ke samping, asal ada alat bukti.” (Republika, 4/3/2008, hal. 1)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Hendarman Supandji sehubungan
dengan kasus ditangkapnya Ketua Tim Jaksa BLBI II, Urip Tri
Gunawan oleh Penyidik KPK ketika menerima uang 660 ribu dolar
AS atau sekitar Rp 6,1 Miliar.
Di dalam contoh di atas, kita dapat melihat bahwa yang
melatarbelakangi penutur untuk bertutur seperti itu adalah
adanya keinginan penutur melakukan suatu tindakan pada masa
yang akan datang, yaitu tidak akan memberi ampun kepada siapa
saja yang terlibat dalam kasus yang menimpa Ketua Tim Jaksa BLBI
II, Urip Tri Gunawan. Isi pernyataan di atas adalah sebuah janji dari
penutur. Janji itulah yang mengikat penutur untuk melakukan
sesuatu pada masa yang akan datang (masa setelah tuturan itu
diucapkan).
Dari segi sopan santun, jenis tuturan ini cenderung netral;
tidak jauh berbeda dengan tindak tutur representatif. Yang menjadi
pusat perhatian di dalam tuturan ini adalah penutur. Dalam hal
ini penutur merasa terikat untuk melakukan apa yang ia tuturkan
pada masa yang akan datang. Tuturan akan dianggap santun jika
penutur sungguh-sungguh melaksanakan apa yang menjadi isi
tuturannya. Sebaliknya, dianggap tidak santun apabila penutur
tidak melaksanakan apa yang menjadi isi tuturannya.
Jenis tindak ilokusi keempat adalah tindak ilokusi ekspresif. Latar
belakang kemunculan tindak ilokusi ekspresif ini adalah penutur
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 179
ingin mengungkapkan perasaannya (rasa senang, puas, kecewa, dan
lain-lain) secara spontan berkaitan dengan suatu situasi atau keadaan
yang memiliki kaitan atau pengaruh langsung atau pun tidak langsung
dengannya.
Cara yang biasa digunakan penutur dalam mewujudkan tindak
ilokusi ini adalah dengan menggunakan bentuk tuturan deklaratif
dan interogatif. Bentuk tuturan deklaratif relatif lebih langsung
dalam penyampaian ekspresi. Hal ini agak berbeda dengan tuturan
interogatif. Dalam tuturan interogatif, ada bagian ekspresi yang sengaja
”disembunyikan” atau disamarkan oleh penutur dengan tujuan utama
agar apa yang diekspresikannya melalui tuturan tersebut terdengar
lebih santun oleh mitra tutur atau lawan bicara. Dengan kenyataan itu,
kecenderungan yang terjadi adalah tuturan deklaratif dipersepsikan
sebagai tuturan yang kadar kesantunannya lebih rendah dibanding
tuturan interogatif dalam hal mewujudkan ekspresi.
Perhatikan tuturan (28) dan (29) di bawah ini!
(28) Saya sangat merasa kecewa dengan pelayanan buruk dan tidak
profesional dari Bank Mandiri .(Republika, 8/3/2008, hal. 4)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan oleh Dadang Supartman, salah
seorang nasabah Bank Mandiri yang merasa dipersulit ketika
mengurus take over KPR Bank Mandiri.
(29) Apakah segala sesuatu perlu syarat sarjana? Benar nih yakin perlu syarat sarjana? (Kedaulatan Rakyat, 13/4/2008, hal. 24)
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan Megawati ketika berkembang
wacana persyaratan capres minimal sarjana.
Dilihat dari segi bentuk atau wujud tuturan, kedua tuturan di atas
berbeda. Tuturan (28) berbentuk pernyataan sedangkan tuturan (29)
180 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
berbentuk pertanyaan. Walaupun menggunakan bentuk tuturan yang
berbeda, kedua tuturan di atas tetaplah memiliki maksud yang sama,
yakni bahwa penutur ingin mengungkapkan ekspresi atau perasaan yang
dialaminya. Pada tuturan (28) tampak ekspresi penutur yang merasa
kecewa dengan pelayanan Bank Mandiri karena pengurusan take over
KPR Bank Mandiri yang menurut penutur dipersulit oleh pihak bank.
Dalam tuturan itu kita dapat melihat secara eksplisit apa yang dirasakan
oleh penutur yang dibuktikan dengan penggunaan kata kecewa. Hal itu
tentu berbeda dengan yang terjadi pada tuturan (29). Pada tuturan
(29) penutur sama sekali tidak menampakkan ekspresinya secara
eksplisit. Dalam tuturannya yang berwujud pertanyaan itu, penutur
sesungguhnya mau mengungkapkan perasaannya yakni perasaan tidak
senang atau kecewa dengan berkembangnya wacana persyaratan untuk
menjadi calon presiden minimal sarjana. Perasaan tidak senang itu
muncul karena penutur tidak memiliki ijazah sarjana sementara ingin
menjadi calon presiden. Namun, apa yang dirasakannya itu kemudian
dikemas dengan bentuk lain yang sifatnya tidak langsung. Dengan
perkataan lain, dalam tuturannya itu ada sesuatu yang ”disembunyikan
atau disamarkan” oleh penutur. Sederetan pertanyaan seolah-olah perlu
dijawab, tetapi sesungguhnya tidak. Di balik pertanyaan itu, penutur
ingin agar mitra tutur mengetahui kalau penutur tidak setuju, tidak
senang, atau pun kecewa dengan apa yang menjadi inti wacana itu.
Tuturan (28) di atas yang tergolong tidak (kurang) santun dapat
dimodifikasi menjadi beberapa kemungkinan tuturan dan dalam
kemungkinan-kemungkinan itu terasa lebih santun. Kemungkinan-
kemungkinan itu misalnya:
(a) Pelayanan pengurusan take over KPR Bank Mandiri perlu dievaluasi agar nasabah senantiasa merasa puas.
(b) Bukankah yang menjadi prioritas pelayanan bank adalah kepuasan nasabah?
Dua contoh ini hanyalah sebagian kecil dari berbagai kemungkinan
yang dapat terjadi dalam upaya mewujudkan tuturan yang santun,
meskipun tetap ekspresif.
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 181
Dari berbagai uraian di atas, secara sederhana dapat dikatakan
bahwa setiap tindak komunikasi (yang terwujud dalam tuturan) yang
dilakukan manusia mengandung maksud tertentu. Pengungkapan
maksud itu secara umum terlihat dalam tiga bentuk, yakni bentuk
perintah, pernyataan, dan pertanyaan. Demi tujuan tetap terjaganya
hubungan yang harmonis antara pembicara dengan lawan bicara,
tuturan-tuturan yang muncul dalam tindak komunikasi itu kemudian
dikemas sedemikian rupa. Kemasan-kemasan itu di antaranya berwujud:
pemakaian atau pemilihan kata-kata yang maknanya lebih halus, sopan,
dan netral; pemakaian gaya bahasa tertentu yang mengakibatkan proses
penyampaian maksud itu terkesan tidak langsung; tidak disebutkannya
subjek yang menjadi tujuan tuturan apabila isi tuturannya adalah hal
yang negatif; dan lebih banyak menggunakan bentuk tuturan interogatif
(berbentuk pertanyaan) jika menginginkan lawan bicara melakukan
sesuatu atau penutur mau mengungkapkan ekspresinya karena tuturan
interogatif memiliki derajat ”ketembuspandangan” yang paling rendah.
182 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
BAB 7PENUTUP
Dalam bab III dan bab IV telah diuraikan penanda-penanda kohesi
dan koherensi wacana bahasa Indonesia dalam surat kabar. Berikut
akan dikemukakan sebuah simpulan.
a. Kohesi wacana bahasa Indonesia dalam surat kabar meliputi kohesi
gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal dirinci menjadi
empat, yaitu kohesi gramatikal menggunakan referensi, substitusi,
penghilangan, dan konjungsi. Kohesi leksikal dirinci menjadi
enam, yaitu kohesi leksikal menggunakan pengulangan, sinonimi,
antonimi, hiponimi, ekuivalensi, dan kolokasi. Penanda-penanda
kohesi wacana bahasa Indonesia dalam surat kabar dieksplisitkan
dalam wujud unsur-unsur bahasa, sehingga pertalian antarunsur
dalam wacana dapat disebut pertalian yang kohesif sekaligus koheren
(terdapat penanda kohesi yang membuat wacana itu bermakna
atau koheren).
b. Koherensi wacana bahasa Indonesia dalam surat kabar meliputi
koherensi kontekstual, koherensi kotekstual, dan koherensi
logis. Koherensi kontekstual dirinci menjadi dua, yaitu koherensi
wacana promotif dan koherensi wacana normatif. Selanjutnya,
koherensi kotekstual dirinci menjadi dua, yaitu koherensi
kotekstual endofora anaforis dan koherensi kotekstual endofora
kataforis. Adapun koherensi logis dibedakan menjadi empat, yaitu
koherensi kausalitas, koherensi pengontrasan, koherensi definisi,
dan koherensi simpulan. Penanda-penanda koherensi wacana
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 183
bahasa Indonesia dalam surat kabar diimplisitkan sehingga
makna sebuah wacana dapat ditafsirkan melalui konteks, koteks,
dan logika. Dengan demikian pertalian antarunsur dalam wacana
dapat disebut pertalian yang tidak kohesif tetapi koheren (tanpa
penanda kohesi tetapi wacana itu bermakna atau koheren).
Selain itu, dalam bab V dan bab VI telah dikemukakan bentuk-bentuk
tindak tutur ilokusi dan penanda-penanda kesantunan berbahasa dalam
wacana surat kabar. Tiga hal yang bisa disimpulkan adalah sebagai
berikut.
a. Ada empat jenis tindak ilokusi yang muncul di surat kabar.
Keempat jenis tindak ilokusi itu adalah tindak ilokusi direktif,
komisif, representatif, dan ekspresif;
b. Untuk menyampaikan suatu maksud atau mewujudkan suatu
tindak ilokusi, ada tiga bentuk tuturan yang diucapkan penutur
atau pembicara, yakni tuturan deklaratif, imperatif, dan interogatif;
sebaliknya suatu bentuk tuturan yang diucapkan penutur bisa jadi
akan mengandung lebih dari satu maksud (tindak ilokusi);
c. Dalam suatu tuturan yang diucapkan penutur ada bagian
tertentu dari tuturan itu baik yang berwujud kata, frasa, klausa,
atau pun kalimat yang memungkinkan pendengar atau mitra
tutur memberikan penilaiannya (berpersepsi) terhadap tuturan
tersebut dari sisi sopan santunnya. Inilah yang dalam tulisan ini
disebut sebagai penanda tingkat kesantunan. Ada enam jenis
penanda tingkat kesantunan tuturan yang ditemukan, yakni: 1)
analogi, 2) diksi atau pilihan kata, 3) gaya bahasa, 4) penggunaan
keterangan atau kata modalitas, 5) penyebutan subjek yang
menjadi tujuan tuturan, dan 6) bentuk tuturan.
184 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1962. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Djakarta:
Pustaka Rakjat.
Arikunto, Suharsimi. 1991. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
________, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi
VI. Jakarta: Rineka Cipta.
Baryadi, Pratomo I. 2002. Dasar-Dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa.
Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli.
________, 2005. ”Teori Sopan Santun Berbahasa” dalam Pranowo,
dkk. (Eds.). Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Yogyakarta: Sanata
Dharma University Press.
Badru, Syahidin, dkk. 2003. Pemahaman dan Penguasaan Siswa Kelas VI SD
DKI Jakarta Terhadap Wacana Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.
Bungin, Burhan, H. M. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Darmini, Wiwik. “Analisis Wacana: Yuk Mari Berwisata ke Lampung…”
dalam Kolom Wisata Surat Kabar Harian Kompas: Suatu Pendekatan
Mikro dan Makrostrukutural”. dalam Sumarlan (ed.). 2003. Teori dan
Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra.
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 185
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.
Endarmoko, Eko. 2007. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Gunarwan, Asim. 1992. “Persepsi Kesantunan Direktif di dalam Bahasa
Indonesia di antara Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta” dalam
Purwo, Bambang Kaswanti. PELLBA 5. Yogyakarta: Kanisius.
_______. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan
Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik” dalam Purwo,
Bambang Kaswanti. PELLBA 7. Yogyakarta: Kanisius.
_______. 2005. “Beberapa Prinsip dalam Komunikasi Verbal: Tinjauan
Sosiolinguistik dan Pragmatik” dalam Pranowo, dkk. (Eds.). Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya. Yogyakarta: Sanata Dharma University
Press.
Hartanti, Yuniati. 2007. Kohesi dan Koherensi dalam Wacana pada Buku Teks
Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA Kelas X Karangan Dawud, dkk.
Terbitan Erlangga Tahun 2004. Skripsi S1. Yogyakarta: PBSID, FKIP, USD.
Jati Kesuma, Tri Mastoyo. 2007. Pengantar Metode Penelitian Bahasa.
Yogyakarta: Carasvatibook.
Joko Prayitno, Harun. “Penulisan Judul ‘Kolom Deteksi’ Harian Jawa Pos:
Analisis Wacana dengan Pendekatan Makro dan Mikrostruktural.
Dalam Sumarlam (ed). 2003. Teori dan Praktik Analisis Wacana.
Surakarta: Pustaka Cakra.
Kaswanti Purwo, Bambang. 1987. “Pragmatik Wacana” dalam Widyaparwa.
Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.
________. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Kanisius.
Keraf, Gorys. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
186 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Kushartanti. 2005. “Pragmatik” dalam Kushartanti, dkk. (Penyunt.).
Pesona Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Leech, Geoffrey. 1993. Semantik (Paina Partana, pernerjemah).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Marganingrum, Dyah. 2006. Kohesi dan Koherensi Antarkalimat dalam Wacana
“Jati Diri” pada Surat Kabar Harian Jawa Pos Edisi Maret 2004. Skripsi S1.
Yogyakarta: Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, USD.
Margaretha Krismi Ernawati. 2006. Kohesi dan Koherensi Antarparagraf
dalam Wacana Opini Surat Kabar Kompas Edisi Nasional Bulan April 2005.
Skripsi. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, USD.
Mees, C. A. 1957. Tatabahasa Indonesia. Jakarta: Groningen.
Moeliono, Anton M. 1989. Kembara Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Moeliono, Anton M. (Penyunting). 1992. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja
Karya CV.
Muljani, Sutji. 2003. “Wacana Iklan Bank Muamalat pada Majalah Sabili:
Pendekatan Mikrostruktural dan Makrostruktural. Dalam Sumarlan.
2003. Teori dan Praktik Analisis Wacana. 2003. Surakarta: Pustaka Cakra.
Oka (Penerj.). 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
Parera, J. D. 1990. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.
Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 187
Pranowo. 1996. Analisis Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Ramlan, M. 1983. Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono.
________. 1993. Paragraf: Alur Pikiran dan Kepaduannya dalam Bahasa
Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset.
Rani, Abdul, dkk., 2006. Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa Dalam
Pemakaian. Malang: Bayumedia.
Razak, Abdul. 1985. Kalimat Efektif: Struktur, Gaya, dan Variasi. Jakarta:
Gramedia.
Rahardi, Kunjana. 2000. Imperatif dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Duta
Wacana Universtity Press.
_________. 2006. Paragraf Jurnalistik. Yogyakarta: Santusta.
Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sumarsono. 2004. Filsafat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Soewandi, A. M. Slamet. 1991. “Teknik Analisis Kualitatif” (Reader).
Yogyakarta.
_________. 2007. Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia. (Reader). Yogyakarta.
Sri Sudartanti, Purworini L. M. 1993. Kohesi dan Koherensi Kalimat Topik dan
Kalimat Pengembang dalam Paragraf Eksposisi serta Paragraf Argumentatif
dalam Majalah Trubus dan Tiara. Skripsi. Yogyakarta: PBSID, FKIP, USD.
Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik (Bagian Kedua): Metode dan Aneka Teknik
Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
_________. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar
188 / Kajian Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur
Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Suhardi, B. dan Cornelius Sembiring. 2005. “Aspek Sosial Bahasa” dalam
Kushartanti, dkk. (Penyunt.). Pesona Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Suladi, dkk. 2000. Kohesi dalam Media Massa Cetak Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Suwandi, Sarwiji. 2008. Serbalinguistik: Mengupas Pelbagai Praktik Berbahasa.
Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.
_______. 1985. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.
Wahyuni, Indah Fajar (Penerj.). 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Wijana, I Dewa Putu. 2001. “Implikatur dalam Wacana Pojok” dalam
Humaniora Volume XIII, No.3.
Antonius Nesi, OFM, S.Pd. & Ventianus Sarwoyo, S.Pd., M.M / 189