83
1 ANALISIS YURIDIS PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG RERTIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DAN PERATURAN DAERAH NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA BEKASI DIKAITKAN DENGAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KAWASAN TEMPAT PEMBUANGAN SAMPAH TERPADU BANTAR GEBANG KOTA BEKASI Diajukan Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Hukum DISUSUN DAN DIAJUKANOLEH : BAGUS AKBAR FEBRIANTO 017201405019 FAKULTAS HUMANORIA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS PRESIDENT CIKARANG 2018

ANALISIS YURIDIS PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR …

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

ANALISIS YURIDIS PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 15

TAHUN 2012 TENTANG RERTIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN

DAN PERATURAN DAERAH NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA BEKASI DIKAITKAN

DENGAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KAWASAN TEMPAT

PEMBUANGAN SAMPAH TERPADU BANTAR GEBANG KOTA

BEKASI

Diajukan Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian

Studi Sarjana Hukum

DISUSUN DAN DIAJUKANOLEH :

BAGUS AKBAR FEBRIANTO

017201405019

FAKULTAS HUMANORIA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS PRESIDENT

CIKARANG

2018

2

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “ANALISIS YURIDIS PERATURAN DAERAH KOTA

BEKASI NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG RERTIBUSI IZIN

MENDIRIKAN BANGUNAN DAN PERATURAN DAERAH NOMOR 11

TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA

BEKASI DIKAITKAN DENGAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI

KAWASAN TEMPAT PEMBUANGAN SAMPAH TERPADU BANTAR

GEBANG KOTA BEKASI” disiapkan dan diajukan oleh Bagus Akbar

Febrianto dalam memenuhi persyaratan untuk gelar S1 program studi Ilmu

Hukum. Skripsi ini telah direview oleh dosen pembimbing sebagai persyaratan

untuk sidang skripsi.

Menyetujui,

Mahayoni, S.H., M.H

Pembimbing I

Dr. Maria Francisca Mulyadi, S.H., S.E., M.Kn

Pembimbing II

3

DEKLARASI SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “ANALISIS YURIDIS PERATURAN DAERAH KOTA

BEKASI NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG RERTIBUSI IZIN

MENDIRIKAN BANGUNAN DAN PERATURAN DAERAH NOMOR 11

TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA

BEKASI DIKAITKAN DENGAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI

KAWASAN TEMPAT PEMBUANGAN SAMPAH TERPADU BANTAR

GEBANG KOTA BEKASI” adalah judul dan isi terbaik dan kepercayaan saya

sendiri. Skripsi ini merupakan karya asli yang belum diajukan sebagian atau

seluruhnya ke Universitas lain untuk mendapat gelar S1 program Studi Ilmu

Hukum.

Cikarang, 24 Mei 2018

Bagus Akbar Febrianto

4

LEMBAR PERSETUJUAN DAN PEMBIMBING

Skripsi yang berjudul “ANALISIS YURIDIS PERATURAN DAERAH KOTA

BEKASI NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG RERTIBUSI IZIN

MENDIRIKAN BANGUNAN DAN PERATURAN DAERAH NOMOR 11

TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA

BEKASI DIKAITKAN DENGAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI

KAWASAN TEMPAT PEMBUANGAN SAMPAH TERPADU BANTAR

GEBANG KOTA BEKASI”telah selesai disusun dan diajukan oleh Bagus

Akbar Febrianto jurusan Hukum Fakultas Humaniora telah dinilai dan disetujui

untuk lulus ujian secara lisan pada tanggal 24 Mei 2018.

Gratianus Prikasetya Putra, S.H., M.H

Pembimbing II

Mahayoni, S.H., M.H

Pembimbing I

Dr. Maria Francisca Mulyadi, S.H., S.E., M.Kn

Pembimbing II

5

ABSTRAK

Pertambahan penduduk di kota terjadi karena pertumbuhan penduduk yang alami

dan penduduk yang ber migrasi. Tempat Pembuangan Terpadu Bantar Gebang

yang terletak di Kota Bekasi telah memberikan kesempatan kerja bagi pendatang.

Sehingga Meningkatnya kebutuhan ruang dalam pelaksanaan pembangunan

berimplikasi terhadap penggunaan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata

ruang.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu

mengkaji tentang kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan model

penataan ruang permukiman kumuh Bantar Gebang dan menyandarkan pada

penulusuran dokumen-dokumen hukum (doktrinal). Dokumen hukum tersebut

dapat berupa bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Selain itu

perhatian dalam penelitian ini lebih spesifik digunakan pendekatan kualitatif

dengan inventarisasi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

permukiman kumuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Implementasi Rencana Tata Ruang Kota Bekasi

dalam penegakan hukum belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini

disebabkan pemanfaatan tata ruang seperti kawasan-kawasan yang ada selama masih

tumpang tindih dengan arah kebijakan yang diambil Pemerintah Kota. Permasalahan

terkait penataan tata ruang Izin Mendirikan Bangunan yang di harapkan mampu

menjawab setiap permasalahan terkait Tata Ruang di Kota Bekasi serta

permasalahan serupa terkait IMB di daerah TPST Bantar Gebang harus

mendapatkan solusi yang tepat dan komprehensif.

Kata Kunci : Rencana Tata Ruang Wilayah, Implementasi, Penegakan Hukum

Izin Mendirikan Bangunan

6

ABSTRACT

The population growth in the city is due to the growth of the natural population

and the migration population. The Bantar Gebang Integrated Disposal Site located

in Kota Bekasi has provided employment opportunities for migrants. So that the

increasing of space requirement in the implementation of development has

implication to the use of space which is not in accordance with the spatial plan.

The research method used in this research is normative juridical that is to examine

the rules of law related to the model of settlement space settlement of Bantar

Gebang slum and relies on the sanction of legal documents (doctrinal). Such legal

documents may be primary legal materials as well as secondary legal materials. In

addition, the attention in this research is more specific to use qualitative approach

with inventory of legislation related to slum settlement.

The results show that Implementation of Bekasi City Spatial Planning in law

enforcement has not been implemented properly. This is due to the spatial use of

such areas as they overlap with the policy directions taken by the City

Government. Problems related to spatial arrangement of Building Permit which is

expected to be able to answer every problem related to Spatial Planning in Bekasi

City and similar problems related to IMB in TPST Bantar Gebang area must get

the right and comprehensive solution.

Keywords: Spatial Plan, Implementation, Law Enforcement Permit Building

7

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah

memberikan semangat, bimbingan, kemampuan, serta kekuatan bagi penulis

dalam menyelesaikan penulisan hukum yang berjudul “ANALISIS YURIDIS

PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 15 TAHUN 2012

TENTANG RERTIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DAN

PERATURAN DAERAH NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA

TATA RUANG WILAYAH KOTA BEKASI DIKAITKAN DENGAN IZIN

MENDIRIKAN BANGUNAN DI KAWASAN TEMPAT PEMBUANGAN

SAMPAH TERPADU BANTAR GEBANG KOTA BEKASI”. Penulis skripsi

ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas President. Suka duka telah menyertai Penulis

didalam menyelesaikan penulisan ini. Tidak terasa dengan berbagai upaya, cara,

dan usaha Penulis dapat menyelesaikannya. Tetapi karena Penulis hanya seorang

manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan dan dengan segala keterbatasan

kemampuasn, waktu, pengetahuan, serta pengalaman, maka dengan ini Penulis

mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan yang telah diberikan oleh berbagai

pihak. Oleh karena itu penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada :

1. Ibu Dra. Fennieka Kristianto, S.H., M.A., M.H., M.KN.selaku Kaprodi

Fakultas Hukum Universitas President yang banyak meluangkan waktu,

perhatian, serta memberikan banyak arahan dan sudah menyetujui proses

penyelesaian penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Gratianus Prikasetya Putra, S.H., M.H selaku dosen Penguji skripsi

yang membantu dan memberikan motivasi hingga selesai tugas akhir

skripsi ini.

3. Bapak Mahayoni, S.H., M.H. selaku pembimbing I yang telah meluangkan

waktu disela kesibukannya untuk memberikan dukungan moril, masukan

8

dan petunjuk, serta bantuan yang sangat besar baik secara teknis maupun

non teknis kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Maria Francisca Mulyadi, S.H., S.E., M.Kn selaku pembimbing II

yang telah memberikan dan menyempatkan waktu luang untuk membantu

dalam proses penyelesaian skripsi ini.

5. Seluruh Bapak dan Ibu dosen program S1 Reguler Malam Program Studi

Hukum President University yang telah mendidik serta membekali Ilmu

Pengetahuan.

6. Kedua orangtua Bapak Edy Subagyo dan Ibu Dwi Atnurwati yang sudah

memberikan dukungan dan nasehat serta mendoakan sehingga dapat

menyelesaikan studi S1 Fakultas Hukum.

7. Sahabat saya Arnold Arnando Sitompul yang telah memberikan akses

internet gratis di rumah tercinta di Bekasi Timur Regensi Blok O 7 No 26

dan selalu mensuport sertra membantu saya dalam menyelesaikan skripsi

ini.

8. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum University angkatan 2014

yang saling memberikan dukungan dan saling bertukar pikiran dalam hal

pembelajaran.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang tidak

dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu hingga penulisan skripsi ini

selesai, mudah mudahan Allah SWT sekiranya membalas kebaikan kalian semua.

Penulis juga menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi

penyempurnaan skripsi ini. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak

pihak. Aamiin.

Cikarang 24 Mei

Bagus Akbar Febrianto

9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Rencana Tata Ruang Wilayah dapat menjadi fungsi koordinasi dan

pengendalian dengan munculnya pemahaman bersama mengenai orientasi dan

paradigma pembangunan perkotaan masa depan.. Penataan Ruang ditujukan untuk

menyerasikan peraturan penataan ruang dengan peraturan lain yang terkait,

harmonisasi pembangunan antar wilayah, mengendalikan pemanfaatan ruang yang

efektif, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan

ruang dan mewujudkan sistem kelembagaan penataan ruang1. Lebih lanjut,

penataan ruang memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan pembangunan

demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan yaitu dalam bentuk memberikan

kontribusi yang nyata dalam pengembangan wilayah dan kota yang berkelanjutan,

sehingga keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia dapat tercapai.

Kebijakan pembangunan tersebut diantaranya adalah menerapkan konsep

pembangunan berkelanjutan, mempertahankan dan mendorong peningkatan

presentase Ruang Terbuka Hijau (RTH) terhadap kawasan budidaya lainnya,

mempertahankan kawasan konservasi terutama di kawasan perkotaan. Salah satu

pembangunan yang mempunyai kedudukan penting dalam pembangunan nasional

di Indonesia adalah pembangunan penataan ruang dan lingkungan hidup. Hal ini

disebabkan aspek penataan ruang serta lingkungan hidup terkait dengan hampir

semua kegiatan dalam kehidupan manusia. Untuk upaya dalam pelaksanaan

pembangunan selalu dikaitkan dengan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan

hidup dan pengembangan tata ruang.2

1Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

2 Uniarso Ridwan, Hukum Tata Ruang, Nuansa, Bandung 2008. Hlm 23

10

Pengembangan hukum tata ruang Indonesia secara konstitusional dapat

ditelusuri melalui pembukaan Undang-undang Dasar 19453, alinea IV yang

memuat tentang tujuan Negara . Prinsip dasar ini secara konkret dirumuskan

dalam Pasal 33 UUD 1945, yang menyebutkan “ bumi, air dan ruang angkasa

serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.4

Pembangunan pada hakikatnya adalah pemanfaatan sumber daya yang

dimiliki untuk maksud dan tujuan tertentu. Ketersediaan sumber daya sangat

terbatas sehingga diperlukan strategi pengelolaan yang tepat bagi pelestarian

lingkungan hidup agar kemampuan serasi dan seimbang untuk mendukung

keberlanjutan hidup manusia. Memajukan kesejahteraan generasi sekarang

melalui pembangunan berkelanjutan dilakukan berdasarkan kebijakan terpadu dan

menyeluruh tanpa mengabaikan kebutuhan generasi mendatang. Strategi

pengelolaan yang dimaksud yaitu upaya sadar, terencana, dan terpadu dalam

pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, dan pemulihan,

secara bijaksana untuk meningkatkan kualitas hidup. Kesadaran bahwa setiap

kegiatan selalu berdampak terhadap lingkungan hidup merupakan pemikiran awal

yang penting untuk membuat manusia untuk berfikir lebih lanjut mengenai apa

dan bagaimana wujud dampak tersebut, sehingga sedini mungkin dilakukan

langkah penanggulangan dampak negative dan mengembangkan dampak positif.5

Kebijakan pembangunan berkelanjutan tentu tidak bisa dilepaskan dari

instrument hukum tata ruang. Melalui instrument tata ruang berbagai kepentingan

pembangunan baik antara pusat dan daerah, antardaerah, antarsektor maupun

antarpemangku kepentingan dapat dilakukan dengan selaras, serasi, seimbang,

dan terpadu. Meningkatnya kebutuhan ruang dalam pelaksanaan pembangunan

berimplikasi terhadap penggunaan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata

ruang. Padahal baik pada tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota telah

3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, dalam

www.hukumonline.com/uupengelolaansampah, diakses 15 Maret 2016 pukul 21.55 WIB. 4 M.daud silalahi, Hukum lingkungan, dalam sistem penegakan hukum lingkungan Indonesia,

alumni bandung, 2001, hlm. 88 5 Muhammad Akib,Charles Jackson, agus triono, marlia eka P, Hukum penataan ruang, PKKPUU

FH UNILA Bandar Lampung, 2013, hlm. 2

11

disusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Melalui RTRW ini penggunaan

ruang telah dikelompokkan berdasarkan struktur dan fungsi ruang. Struktur dan

fungsi ruang inilah yang seharusnya menjadi dasar dalam penggunaan ruang.

Menurut Pasal 19 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang6 ditegaskan bahwa struktur ruang memuat susunan pusat-pusat

permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai

pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarki memiliki

hubungan fungsional. Sementara itu pola ruang memuat distribusi peruntukan

ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung

dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.

Kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan peruntukan ruang

sebagaimana ditetapkan dalam RTRW menimbulkan berbagai permasalahan lebih

lanjut, seperti tumpang tindih penggunaan ruang, alih fungsi lahan, konflik

kepentingan antar sektor (kehutanan, pertambangan, lingkungan, prasarana

wilayah, dan lainlain), dan konflik antara pusat dan daerah, konflik antardaerah,

serta kemerosotan dan kerusakan lingkungan hidup.Berbagai kenyataan dan isu-

isu tersebut di atas, menjadi permasalahan di berbagai daerah termasuk Kota

Bekasi.

Dalam pemanfaatan Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi, terkesan adanya

pola yang mengarah pada eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.Pada

taraf peruntukan dan pemakaian yang telah ada selama ini, pemanfaatan Tata

Ruang di Kota Bekasi telah keluar dari jalur sebagaimana yang telah ditetapkan

oleh undang-undang. Pada pemanfaatan Tata Ruang yang ada sekarang ini dapat

dilihat bagaimana areal peruntukan bagi kawasan resapan air yang idealnya harus

dipertahankan malah di eksploitasi secara berlebihan, Areal lahan hijau tersebut

telah di eksploitasi secara berlebihan, merupakan gambaran yang semakin parah

terhadap kondisi lingkungan dan pemanfaatan tata ruang yang tidak sesuai dengan

kebijakan tata ruang7.

6 Pasal 19 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang 7 NHT.siahaan, Hukum lingkungan, pancuran alam, Jakarta, 2009, hlm.102

12

Padahal sebagaimana diketahui Kota Bekasi memiliki lingkungan hidup

yakni berupa taman kota, bukit-bukit, yang dilindungi oleh pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah. Kelangsungan lingkungan hidup tersebut mempunyai

dampak yang sangat signifikan bagi masyarakat yang ada di Kota Bekasi.

Lingkungan hidup yang rusak dapat mengakibatkan banjir, tetapi berdampak juga

kepada daerah-daerah lain disekitarnya. Untuk itu pengelolaan lingkungan hidup

ini perlu memperhatikan fungsi tata ruang. Rencana tata ruang yang ada lebih

menitikberatkan pada kecenderungan untuk mengalokasikan kawasan kepada arah

eksploitasi secara berlebihan.

Keadaan yang demikian itu dengan sendirinya tidak dapat diharapkan

akan mencapai perkembangan kota yang efisien dan efektif. Tetapi sebaliknya,

jika suatu perkembangan yang direncanakan dan diprogram sesuai dengan

kebutuhan secara optimal akan dapat diharapkan memberikan keuntungan lebih

baik atau dapat mencapai sasaran dan tujuan yang diharapkan.

Ada beberapa kendala yang menyebabkan tidak dipatuhinya rencana tata

ruang dalam pelaksanaan pembangunan8.

1. Penyusunan RTRW seringkali hanya formalitas untuk memenuhi

kewajiban pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Selain itu, RTRW seringkali dianggap sebagai produk satu

instansi tertentu dan belum menjadi dokumen milik semua instansi karena

penyusunannya belum melibatkan berbagai pihak. Kebutuhan mendesak

akan ruang, baik yang disebabkan oleh pengguna ruang illegal maupun

pemerintah, telah menyebabkan alih fungsi lahan yang tidak terkendali.

2. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama yang disebabkan oleh

arus urbanisasi mengakibatkan pengelolaan ruang kota semakin berat.

Selain itu daya dukung lingkungan dan sosial yang ada juga menurun,

sehingga tidak dapat mengimbangi kebutuhan akibat tekanan penduduk.

3. Tidak sinkronnya kegiatan antar sektor dan antar daerah.9

8 H.Zainuddin Ali, Kendala Rencana Tata Ruang, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 21

9 Ibid, hlm. 2

13

Saat ini keadaan yang digambarkan sudah sangat berubah. Pembangunan

yang dilakukan secara tidak teratur terutama di daerah perkotaan telah merubah

cara pandang masyarakat mengenai lingkungan. Masyarakat menganggap

lingkungan sebagai sesuatu yang harus dikuasai dan dimanfaatkan. Hali ini

berakibat ketidak sesuaian pada fungsi lingkungan, yaitu fungsi daya dukung,

daya tamping dan daya leting. Mayoritas pengembang hanya menganggap

lingkungan sebagai benda bebas yang digunakan sepenuhnya untuk mendapatkan

laba yang sebesar-besarnya dalam waktu yang relatif singkat, yang berakibat

terganggunya fungsi lingkungan hidup.10

Untuk hal tersebut di atas, diperlukan

sebuah upaya dalam kerangka otonomi daerah yang mengedepankan aspek

transparansi kebijakan yang akan di susun dan direncanakan, tentang mekanisme

pengambilan kebijakan baik tentang tata ruang maupun dalam kebijakan,

peraturan dan perizinan lainnya yang ada ini tidak menjadi pengelolaan sumber

daya alam yang bermuara kepada konflik-konflik sosial.

Dengan demikian konsep penataan ruang yang berusaha menjamin adanya

kelangsungan pembangunan yang berkelanjutan harus menjadi dasar acuan bagi

upaya pengelolaan dan pemanfaatan serta pemeliharaan lingkungan hidup di Kota

Bekasi. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti tertarik

mengangkat topik tersebut menjadi sebuah penelitian yang berjudul

“Implementasi Kebijakan Tata Ruang Dan Izin Mendirikan Bangunan Di Tempat

Pembuangan Sampah Terpadu Bantar Gebang Kota Bekasi”. Pesatnya

pertumbuhan penduduk perkotaan disebabkan oleh pertambahan alami penduduk

perkotaan dan adanya migrasi dari satu daerah lainnya. Migrasi penduduk

merupakan suatu bentuk respon dari adanya perbedaan variasi keadaan

lingkungan dan kesempatan dengan keadaan dimana mereka tinggal. Dampak

negatif dari migrasi ini disebabkan oleh tidak seimbangnya peluang untuk mencari

nafkah di daerah asal dengan daerah tujuan11

.

Salah satu tujuan lokasi penduduk bermigrasi adalam tempat-tempat yang

dianggap memiliki daya tarik untuk peluang lapangan pekerjaan seperti TPST

10 NHT.siahaan, Hukum lingkungan, pancuran alam, Jakarta, 2009, hlm.89. 11

Siti Sundari Rangkuti, hukum lingkungan dan kebijaksanaan lingkungan nasional, universitas

airlangga press, 1996, hlm. 3

14

Bantar Gebang karena tingkat pendidikan yang minim serta pengalaman yang

kurang. TPST Bantar Gebang terletak di tiga Kelurahan yang ada di Kecamatan

Bantar Gebang yaitu Kelurahan Ciketing Udik, Kelurahan Sumur Batu, dan

Kelurahan Cikiwul. Sebelum melangkah pada ulasan yang lebih jauh mengenai

permasalahan ini, perlu kiranya diberikan pengantar mengenai Izin Mendirikan

Bangunan (IMB) dan Tata Ruang. Secara jelas diperlihatkan oleh Peraturan

Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 mengenai Izin Mendirikan Bangunan12

, dalam

peraturan tersebut disebutkan bahwa Izin Mendirikan Bangunan gedung adalah

perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemilik

bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi,

dan atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan

persyaratan teknis yang ada.

Izin Mendirikan Bangunan dan Tata Ruang merupakan dua variabel yang

memiliki korelasi yang sangat erat oleh karena itu salah satu dampak ketidak

sesuaian pelaksanaan IMB yaitu tidak terciptanya Tata Ruang yang bagus dan

teratur di suatu tempat. Mengingat adanya korelasi yang sangat erat ini kiranya

perlu dilakukan upaya serius untuk menjawab sejumlah permasalahan yang akan

dihadapi di kemudian hari. Masalah pelaksanaan pengaturan IMB dan

implikasinya terhadap tata ruang ini pun tidak di pungkiri sedang dihadapi oleh

Kota Bekasi yang terletak di TPST Bantar Gebang13

.

Secara Geografis Letak Kota Bekasi terbilang sangat strategis dan

komplek dari pusat industri, dan tinggkat penduduk yang banyak singgah dari

belahan Jakarta baupun dari Karawang yang membuat Kota Bekasi menjadi

tempat singgah untuk tempat tinggal, lain lagi dengan pemukiman kumuh yang

terjadi di kawasan TPST Bantar Gebang yang di lihat dari struktur tempat sangat

tidak layak untuk dihini, tapi tidak ada pilihan untuk memilihin tempat yang di

katakan tidak layak huni karena dari faktor pendidikan randah, dan ekonomi yang

sangat kecil.Namun demikian fokus penelitian ini bukan berada pada potensi

daerah Kota Bekasi tersebut, melainkan mengenai Izin Mendirikan Bangunan dan

12 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 mengenai Izin Mendirikan Bangunan Kota Bekasi 13

Koesnadi hardjasoemantri, Hukum tata lingkungan, gadjah mada university press, 2000, hlm.

103

15

Tata Ruang sebagai bagian yang tidak terlepas mengikuti tingkat perkembangan

pembangunan Kota Bekasi.

Pembangunan sarana dan prasarana maupun infrastruktur di Kota Bekasi

terasa kian komplek sehingga perlu melakukan kajian dan analisa terhadap

perizinan yang menjadi faktor tolak ukur prosedur mengenai pembangunan itu

sendiri. Prosedur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mengenai Implikasi

Pengaturan IMB Terhadap Tata Ruang di Kota Bekasi. Hal ini menjadi kajian

yang sangat penting, dengan mengingat bahwa Kota Bekasi merupakan daerah

yang sedang mengalami peningkatan dalam bidang pembangunan sarana dan

prasarana maupun infrastruktur.Instansi atau pejabat pelaksana penerbitan IMB

juga tidak luput menjadi sorotan karena instansi pemerintahan tersebutlah yang

berkaitan langsung dengan perizinan terhadap rumah kumuh di daerahTPST

Bantar Gebang. Dari sinilah permasalahan yang di hadapi yang muncul hingga

memerlukan kajian secara spesifik dan eksplisit untuk menjawab semua hal yang

terkait dengan masalah Pelaksanaan Penganturan IMB dan Implikasinya Terhadap

Tata Ruang.

Pemukiman atau lebih khususnya perumahan merupakan suatu kebutuhan

yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan penduduk (kebutuhan pokok), dimana

kebutuhan akan perumahan akan terus meningkat mengikuti pertumbuhan

penduduk, terutama di kota yang berkembang. Menurut Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman,

perumahan menjadi bagian dari pembangunan dari pembangunan nasional yang

harus ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu, terarah, terencana, dan

berkesinambungan.14

Permasalahan yang terjadi dalam pembangunan perumahan

di Indonesia sekarang ini adalah adanya permukiman ilegal, permukiman kumuh,

maupun pertumbuhan perumahan yang tidak sesuai dengan tata ruang yang

berlaku. Upaya pemerintah dalam menanggapi masalah permukiman yang terjadi

di Indonesia khususnya di wilayah TPST Bantar Gebang.

Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik

secara direncanakan maupun yang menunjukan adanya hirarki dan keterkaitan

14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman

16

pemanfaatan ruang. Secara sederhana dapat diartikan upaya penataan dan

pemanfaatan ruang.

1.2 Identifikasi Masalah

Masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah Implementasi Terkait Rencana Tata Ruang Kota Bekasi

dalam Penegakan Hukum di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu

Bantar Gebang ?

2. Bagaimana Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah dalam

pelaksanaan pemberian Izin Mendirikan Bangunan terhadap Tata

Ruang di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Bantar Gebang ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a) Untuk mengetahui Implementasi Pengaturan Penegakan Hukum Izin

Mendirikan Bangunan dan Implikasinya terhadap Tata Ruang di TPST

Bantar Gebang.

b) Mengetahui upaya apa saja yang telah di lakukan pemerintah mengenai

Peraturan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi

Dan kegunaan dari penelitian ini meliputi dua aspek yaitu :

1. Kegunaan Teoritis

a) Kegunaan Teorotis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan

bahan kepustakaan dan bahan referensi Hukum bagi mereka yang

berminat pada kajian-kajian Ilmu Hukum Peraturan Rencana Tata Ruang

Wilayah Kota Bekasi

b) Untuk mengetahui fungsi pelaksanaan aturan Izin Terhadap tata Ruang di

TPST Bantar Gebang.

17

c) Untuk mengetahui bagaimana upaya yang dilakukan untuk mengatasi

masalah dalam pelaksanaan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan

Implikasinya terhadap Tata Ruang TPST Bantar Gebang.

2. Kegunaan Praktis

Untuk mengumpulkan data sehingga hasil dari penelitian tersebut bisa bermanfaat

dan menambah khazanah keilmuan bagi dunia akademik yang sama pada waktu

yang mendatang.

1.4 Kegunaan penelitian

1. Bagi Penulis

a) Penelitian ini diharapkan dapat mengkaji lebih dalam mengenai Tata

Ruang dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Merencanakan alokasi

tempat yang lebih layak untuk masyarakat disekitar TPST Bantar

Gebang, serta Memberikan dampak positif pengertian bangunan yang

layak untuk Tata Ruang di Kota Bekasi khusus nya di TPST Bantar

Gebang.

b) Untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana dengan

menempuh ujian akhir program studi S1 Fakultas Hukum

President University.

2. Bagi Akademik

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, serta

dapat dijadikan referensi untuk penelitian dibidang Perizinan Perencanaan

Tata Ruang Wilayah Dan Izin Mendirikan Bangunan.

3. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan

untuk meningkatkan sosialisasi ataupun informasi tentang pengetahuan

Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Tempat bermukim yang layak bagi

masyarakat di pelataran TPST Bantar Gebang.

18

1.5 Kerangka Pemikiran

Selaras dengan lingkup penataan ruang sebagaimana diatur dalam UU No.

26 Tahun 2007, maka ruang lingkup hukum penataan ruang meliputi tiga elemen.

Pertama, hukum yang berhubungan dengan penyusunan rencana tata ruang.

Kedua, hukum yang berhubungan dengan pemanfaatan ruang. Ketiga, hukum

yang berhubungan dengan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Hukum yang berhubungan dengan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan

ruang. Hukum yang berhubungan dengan penyusunan rencana tata ruang

mengatur kewenangan dan prosedur tentang penentuan peruntukan ruang.

Rencana tata ruang wilayah adalah suatu tindakan dalam mengelola dan

menata suatu ruangan berdasarkan pemanfaatan pengelolaan sumber daya alam

yang beraneka ragam di dataran, di lautan dan di udara, yang perlu dilakukan

secara terkoordinasi dan terpadu dalam pola pembangunan berkelanjutan dengan

mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis

serta tetap terpeliharanya kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan

pembangunan berwawasan lingkungan, yang menjadikan rencana tata ruang

wilayah menjadi penting dan utama, sehingga diberikan adanya pengertian yang

dapat dibedakan menurut peraturan daerah pengertian ruang, tata ruang, rencana

tata ruang wilayah, rencana tata ruang dan wilayah. Penjelasan uraian tersebut di

atas maka dapat dibedakan pengertian yang memberikan keutuhan atas pengertian

rencana tata ruang wilayah yang sebagai berikut:

1) Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan

makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara

kelangsungan hidupnya

2) Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik

direncanakan maupun tidak

3) Rencana tata ruang wilayah adalah proses perencanaan tata ruang,

pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang,

4) Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

segenap unsur terkait padanya ruang batas dan sistem ditentukan

berdasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional .

19

RENCANA TATA RUANG WILAYAH

UU NO. 26 TAHUN 2007

Berdasarkan NILAI

STRATEGIS

KAWASAN :

Nasional

Provinsi

Kabupaten/Kota

Berdasarkan

KEGIATAN

KAWASAN :

Kawasan

Perkotaan

Kawasan

Pedesaan

Berdasarkan

WILAYAH

ADMINISTRASI :

Nasional

Provinsi

Kabupaten/Kota

Berdasarkan

FUNGSI :

Kawasan

Lindung

Kawasan

Budidaya

Berdasarkan

SISTEM:

Sistem Wilayah

Sistem Internal

Perkota

an

PENGENDALIAN

PEMANFAATAN RUANG

Intensif

dan

Disintetif

Sanksi

Perijinan

Sistem

Zonasi

Perangkat atau

upaya untuk

memberikan

imbalan

terhadap

pelaksanaan

kegiatan yang

sejalan dengan

rencana tata

ruang

Tindakan

penertiban yang

dilakukan

terhadap

pemanfaatan ruang

yang tidak sesuai

dengan rencana

tata ruang dan

peraturan zonasi

Ketentuan

perizinan diatur

oleh Pemerintah

dan pemerintah

daerah menurut

kewenangan

masing-masing

Sistem zonasi ini

rencana rinci

tataruang untuk

setiap zona

pemanfaatan

ruang

Rencana Tata Ruang

Wilayah Nasional

RENCANA UMUM TATA RUANG

(mencakup ruang darat, laut, udara dan di dalam bumi)

Rencana Tata Ruang

Wilayah Provinsi

Rencana Tata Ruang

Wilayah Kabupaten dan

Wilayah Kota

20

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Metode Pendekatan

Sebagai pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu

mengkaji tentang kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan model

penataan ruang permukiman kumuh Bantar Gebang dan menyandarkan pada

penulusuran dokumen-dokumen hukum (doktrinal). Dokumen hukum tersebut

dapat berupa bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Selain itu

perhatian dalam penelitian ini lebih spesifik digunakan pendekatan kualitatif

dengan inventarisasi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

permukiman kumuh. Untuk lebih memberikan ruang analisis yang lebih dalam

dan terpadu, digunakan pula pendekatan komparasi yaitu melihat model penataan

ruang wilayah di Indonesia masa lalu dan masa kini.

Pendekatan yuridis normatif ini obyek penelitiannya lebih menekankan

kepada filosofi hukum, asas atau prinsip hukum yang berhubungan dengan

penataan ruang pasar tradisional dan modern, kaidah hukum, doktrin hukum,

peraturan hukum mengenai penataan ruang wilayah, data yang digunakan lebih

kepada data sekunder.

Penelitian yuridis normatif ini mencakup pula penelitian terhadap asas-asas

hukum, inventarisasi hukum, menemukan hukum in concrrito, penelitian terhadap

sistematika hukum, penelitian sinkronisasi hukum, baik vertikal maupun

horisontal, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum.

1.6.2 Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini adalah deskrptif analitis dan eksploratif karena

penelitian ini mendeskriptifkan tentang model penataan ruang permukiman

kumuh di Kota Bekasi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai

wujud dari konsep negara hukum modern. Walaupun menggunakan metode

deskriptif, penelitian ini tidak semata-mata mengumpulkan, menyusun dan

memaparkan fakta dan data yang diperoleh selama penelitian, tetapi mencakup

analisis dan interpretasi dari fakta dan data yang diperoleh yang berhubungan erat

21

dengan masalah yang diteliti. Di samping itu, karena penelitian ini merupakan

masalah baru dan belum pernah dilakukan penelitian serta belum ada pengaturan

mengenai penataan ruang permukiman kumuh di Kota Bekasi maka penelitian ini

sekaligus bersifat eksploratif untuk menggali hal-hal yang baru terutama

menyangkut dan sifat dan tanggung jawab yang dapat diterapkan dalam hubungan

hukum penataan ruang.

1.6.3 Sumber dan Teknik Pengumpulan data

Sebagai penelitian normatif, data yang dipergunakan lebih mencakup

kepada data sekunder diperoleh dari kepustakaan melalui penelusuran dokumen-

dokumen hukum baik yang bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder

diantaranya berupa buku, makalah lepas, makalah jurnal, hasil penelitian,

peraturan perundang-undangan. Dokumen tersebut dapat berupa bahan hukum

primer, sekunder maupun tersier.

Dokumen hukum primer mencakup peraturan perundang-undangan baik

berupa undang-undang maupun peraturan di bawah undang-undang, hukum

kebiasaan, ataupun prinsip-prinsip hukum umum sebagai norma dasar, peraturan

tidak tertulis dan yurisprundensi yang ada di Indonesia.

Dokumen hukum sekunder mencakup rancangan (draft) undang-undang,

hasil penelitian, karya ilmiah para ahli, hasil seminar/ lokakarya, majalah, jurnal,

dan sebagainya, sedangkan dokumen hukum tersier didapat dari tulisan yang tidak

membahas langsung masalah yang menjadi fokus penelitian.

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelusuran kepustakaan

dengan inventarisasi data, memilah data yang relevan dengan penataan ruang

permukiman kumuh di Kota Bekasi. Untuk pelengkap, dilakukan penelitian

lapangan melalui wawancara dari sumber-sumber resmi dengan teknik sampel

secara purposif yaitu mengambil sampel berdasarkan tujuan tertentu karena sifat

keragaman, sumber antara lain permukiman kumuh serta rumah non permanen

pada 3 (tiga) Kelurahan yang ada di sekita tempat pembuangan sampah Bantar

Gebang di Kota Bekasi. Penentuan sampel ini didasarkan pada fakta bahwa

22

kelompok ini merupakan subjek yang paling erat hubungannya dengan masalah

yang diteliti.

1.6.4 Metode Analisis Data

Metode yang digunakan dalam menganalisis hasil penelitian dilakukan

melalui cara kualitatif yuridis berupa uraian pernyataan baik dilihat dari isi/

substansi maupun formal. Sementara tekniknya menggunakan analisis yuridis

yaitu penganalisisan data yang diperoleh dalam penelitian dengan menggunakan

cara-cara yang lazim digunakan dalam ilmu hukum, berupa penafsiran, analogi,

Argumentum a contrario dan konstruksi hukum, serta selalu menghubungkannya

dengan norma, asas, kaedah atau lembaga hukum yang mengaturnya. Penafsiran

hukum baik secara gramatikal. Sistematika, sejarahnya, teleologis/sosoilogis,

ektentif / restriktif maupun komparatif.

1.7 Lokasi Penelitian

Untuk menjawab rumusan masalah yang diangkat oleh penulis pada

skripsi ini, penulis akan melakukan penelitian pada wilayah TPST Bantar Gebang

di Kota Bekasi dengan masalah yang penulis kaji dalam penelitian ini. Adapun

lokasi penelitian yang dipilih penulis guna menunjang data adalah Kantor

Kelurahan Sumur Batu dan Kawasan Permukiman TPST Bantar Gebang.

Alasan penulis memilih tempat tersebut dikarenakan banyaknya rumah

kumuh yang tidak mempunyai Izin Mendirikan Bangunan dan lemahnya

Pengawasan dalam pelaksanaan Izin Mendirikan Bangunan. Dan sudah

seharusnya, sebagai SKPD/unit kerja tersebut yang melakukan tugas untuk

melakukan pengawasan atas Izin Mendirikan Bangunan.

Penelitian ini berlokasi di kawasan permukiman kumuh TPST Bantar

Gebang diantaranya Kelurahan Sumur Batu, Kelurahan Cikiwul, dan Kelurahan

Ciketing Udik dengan pertimbangan bahwa lokasi penelitian merupakan

permukiman kumuh di Kota Bekasi sesuai zonasi RTRW Kota Bekasi.

23

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS & TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Wilayah Kota Bekasi

Kota Bekasi merupakan Provinsi Jawa Barat, terletak di Timur DKI

Jakarta, dengan luas keseluruhan Kota Bekasi 21.049 hektar, wilayah udara, dan

wilayah dalam bumi. Batas koordinat Kota Bekasi adalah 106˚48’28” -107˚27’29”

Bujur Timur dan 6˚10’6”-6˚30’6”

Lintang Selatan dan fungsional mencakup seluruh wilayah beserta ruang udara di

atasnya

dan ruang bawah tanah. 15

Secara administratif batas wilayah Kota Bekasi terbagi atas :

a) sebelah utara, berbatasan dengan Kabupaten Bekasi;

b) sebelah timur, berbatasan dengan Kabupaten Bekasi;

c) sebelah selatan, berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok;

d) sebelah barat, berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta.16

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2011 luas

wilayah Kota Bekasi secara administratif adalah 21.049 Km2. Di Bantar Gebang

sebelumnya terdiri dari 3 Kelurahan yaitu Kelurahan Sumur Batu, Kelurahan

Burangkeng, dan kelurahan Ciketing Udik.

Kota Bekasi sebagai salah satu identitas pemerintah daerah yang terdekat

dengan masyarakat memiliki peran strategis dalam penyelenggaraan pelayanan

publik. Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang ditandai dengan ditetapkanya

UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi

Tahun 2011-2031.

15 Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2011 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

Bekasi Pasal 3 Ayat 2 16

Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2011 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

Bekasi Pasal 3 Ayat 3

24

2.1.1 Visi dan Misi Kota Bekasi

a) Visi

Visi Kota Bekasi adalah:17

1. Menunjukan komunitas masyarakat modern Menunjukkan wilayah

administrasi pemerintahan yang membedakan dengan wilayah Kabupaten

Bekasi

2. Menunjukkan kawasan perkotaan

3. Menunjukkan kinerja lebih baik dari yang lain

4. Menunjukkan semangat untuk maju

5. Mempunyai produktivitas dan efisiensi yang tinggi

6. Menunjukkan kualitas yang tinggi

7. Mempunyai daya saing yang tangguh

8. Pelayanan jasa kegiatan ekonomi

9. Mata pencaharian masyarakat berorienasi pada kegiatan perdagangan

10. Mengunggulkan perdagangan dan siap menghadapi pasarbebas

11. IHSAN Cita-cita luhur masyarakat Kota Bekasi

12. Nilai-nilai yang dikembangkan masyarakat di Kota Bekasi

b) Misi

Misi Kota Bekasi adalah:18

1. Meningkatkan kualitas dan kerukunan beragama

2. Sumberdaya Manusia Memberdayakan Sumberdaya Manusia

3. Menciptakan iklim berusaha yang sehat dan adil untuk mengembangkan

jasa dan perdagangan yang didukung industri berwawasan lingkungan

guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang merata

4. Menegakkan supremasi hukum dan HAM

5. Mengoptimalkan dan melestarikan sumberdaya alam

6. Mengoptimalkan pengendalian dan pemanfaatan ruang

7. Menjamin keamanan dan ketertiban

17 Visi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Bekasi 18 Misi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Bekasi

25

2.2 Wilayah Bantar Gebang

2.2.1 Profil Kecamatan Bantar Gebang

Kecamatan Bantar Gebang merupakan bagian dari Kota Bekasi yang terletak di

wilayah barat Kota Bekasi yang berbatasan dengan Kabupaten Bekasi dan

Kabupaten Bogor yang dalam perkembangannya telah menunjukkan kemajuan di

berbagai bidang sesuai dengan peran dan fungsinya.

2.2.2 Luas dan Batas Wilayah

Luas wilayah Kecamatan BantarGebang adalah 1.843.890 Ha yang terdiri dari 4

(empat) kelurahan yaitu :

1. Kelurahan BantarGebang: luas 406,244 Ha

2. Kelurahan Cikiwul: luas 525,351 Ha

3. Kelurahan Ciketingudik: luas 568,955 Ha

4. Kelurahan Sumurbatu: luas 343,340 Ha

Berdasarkan pembentukannya batas Kecamatan Bantargebang adalah :

1. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor

2. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bogor

3. Sebelah Utara Berbatasan dengan Kecamatan Rawalumbu

4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Setu dan Kabupaten Bekasi

2.3 Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Bantar Gebang

Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang secara

administratif berada di Kota Bekasi. TPST Bantargebang secara fungsional

merupakan tempat pembuangan sampah yang berasal dari Provinsi DKI Jakarta

(lima zona pembuangan) dan Kota Bekasi (satu zona pembuangan). Pelaksana

(operator) pengelolaan sampah DKI Jakarta di kelola pihak ketiga yaitu PT.

Godang Tua Jaya. Sedangkan pengelolaan sampah dari Kota Bekasi dikelola oleh

Dinas kebersihan Kota Bekasi. Pengelolaan sampah di TPST Bantargebang secara

teknis menerapkan metode Sanitary Landfill. Sanitari Landfill merupakan metode

dalam mereduksi dan mengendalian dampak lingkungan dengan mempercepat

proses daur ulang alamiah sampah yang dibuang.

26

Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang menampung

sampah yang berasal dari DKI Jakarta (lima zona pembuangan) seluas 85 Ha, dan

sampah yang berasal dari Kota Bekasi (satu zona pembuangan) seluas 27 Ha.

Zona pembuangan DKI Jakarta setiap hari menampung kurang lebih 5.000 ton,

dan sampah dari kota Bekasi kurang lebih 1.000 ton perhari. Selain memiliki

potensi bencana, sampah juga memiliki potensi ekonomi yang besar. Potensi

ekonomi dari daur ulang sampah sebagai bahan baku industri. Keuntungan secara

ekonomi dapat dilihat dari banyaknya pemanfaat (user) di Tempat Pembuangan

Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. Pemanfaat diantaranya pemulung,

pengepul, dan penggiling yang bekerja secara informal mengambil potensi

ekonomi dari sampah yang dibuang.

Pesatnya pertumbuhan penduduk perkotaan disebabkan oleh pertambahan

alami penduduk perkotaan dan adanya migrasi dari satu daerah ke daerah

lainnya.Migrasi penduduk merupakan suatu bentuk respon dari adanya perbedaan

variasi keadaan lingkungan dan kesempatan dengan keadaan dimana mereka

tinggal. Dampak negatif dari migrasi ini disebabkan oleh tidak seimbangnya

peluang untuk mencari nafkah di daerah asal dengan daerah tujuan.

Salah satu tujuan lokasi penduduk bermigrasi adalah tempat–tempat yang

dianggap memiliki daya tarik untuk peluang lapangan pekerjaan seperti TPST

Bantar Gebang. TPST Bantar Gebang terletak di tiga Kelurahan yang ada di

Kecamatan Bantar Gebang yaitu Kelurahan Ciketing Udik, Kelurahan Sumur

Batu dan Kelurahan Cikiwul. Sejak didirikannya TPST Bantar Gebang tahun

1988, banyak penduduk dari berbagai daerah yang melakukan migrasi ke TPST

Bantar Gebang. Perubahan penggunaan lahan tidakhanya disebabkan oleh adanya

TPST, tetapi juga disebabkan oleh berkembangnya pusatpusat perdagangan,

pelayanan, dan jasa di luar TPST Bantar Gebang. Faktor aksesibilitas yang mudah

dan dekat ke pusat Kecamatan Bantar Gebang dan ke pusat Kota Bekasi juga

membuat banyak pendatang bermigrasi ke TPST Bantar Gebang.

27

2.4 Prosedur Pembuatan IMB di Kota Bekasi

IMB merupakan Izin Mendirikan Bangunan yang diberikan oleh

Pemerintah Kota Bekasi kepada orang atau badan untuk mendirikan suatu

bangunan agar desain, pelaksanaan pembangunan dan bangunan sesuai dengan

Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) yang telah ditetapkan dan sesuai dengan

syarat-syarat keselamatan bagi yang menempati bangunan tersebut. 19

Subjek yang berperan mengeluarkan dan berhak untuk memperoleh IMB adalah:

1. IMB diterbitkan oleh Pemeritnah Kota Bekasi

2. IMB berhak diperoleh setiap warga kota yang mendirikan bangunan

Tentang pemberian izin bangunan dapat dilihat pada peraturan Bangunan

Nasional 1968 yang menentukan:20

a. Pemberian izin bangunan

Izin bangunan pada umumnya diberikan Kepala Bagian Dinas Tata Kota

berdasarkan Keputusan Kepala Daerah.

Kepala Dinas Tata Kota dapat memberi izin untuk :

1. Mendirikan bangunan-bangunan yang sesuai dengan Undang-Undang,

Peraturan Peraturan Daerah Tingkat I tentang bangunan dan peraturan

pelaksanaannya

2. Mendirikan bangunan-bangunan tidak permanen/bangunan-bangunan

sementara

3. Mengadakan penyimpangan-penyimpangan yang tidak begitu penting

dalam suatu izin yang telah diberikan.

b. Tidak diperlukan izin bangunan dalam hal :

1. Membuat lubang-lubang ventilasi, penerangan dan lain sebagainya yang

luasnya tidak lebih dari 0,6m2 dengan sisi terpanjang mendatar lebih dari

2 m

2. Membongkar bagian-bagian yang menurut pertimbangan Kepala Bagian

Teknik tidak membahayakan

19

Erwan Agus Purwanto, Ph.D. dan Dyah Ratih Sulistyastuti, M.Si., Loc Cit. 20

Ibid, halaman 86.

28

3. Pemeliharaan bagian-bagian dengan tidak mengubah denah, konstruksi

maupun arsitektonis bagian-bagian semula yang telah mendapat izin

4. Membuat kolam, taman dan patung-patung, tiang bendera.

c. Larangan mendirikan/mengubah bangunan, dalam hal :

1. Tidak dipunyai izin tertulis dari Kepala Daerah/dari Kepala Bagian Dinas

Tata Kota

2. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang telah

ditetapkan dalam peraturan bangunan atau peraturan daerah lainnya

3. Dilarang mendirikan bangunan di atas tanah orang lain tanpa seizin

pemiliknya/kuasanya yang sah

d. Permohonan izin bangunan

1. Permohonan izin dapat diajukan oleh perorangan/badan hukum yang sah,

dengan cara mengisi formulir yang disediakan dibagian administrasi

Bagian Dinas Tata Kota.

2. Pemberitahuan yang seksama mengenai kegunaan, sifat bangunan dan

maksud permohonan izin itu, serta uraian mengenai konstruksi bangunan.

Pemberitahuan mengenai letak tanah/bangunan, nama jalan, nomor

verponding atau nomor registrasinya. Formulir permohonan harus

disahkan/diketahui oleh Kepala RT/RW dan Camat letak bangunan.

3. Pada penjelasan permohonan itu harus dilampirkan :

4. Salinan surat keterangan hak atas tanah yang sah dari Kantor Agraria,

Kadaster/Notaris, gambar situasi dengan skala 1:1000. Gambar denah

bangunan, denah pondasi, rencana atap dan gambar-gambar bangunan

lainnya dengan skala 1:200, 1:100, 1:50, 1:20, 1:10. Gambar-gambar

teknis yang baik harus diusahakan oleh pemohon izin bangunan sendiri

agar ada pertanggungjawaban dengan ahli perencana/biro perencana

bangunan yang bonafide.

e. Putusan suatu permasalahan

Kepala Bagian Teknik mengambil keputusan mengenai suatu permohonan izin

bangunan yang dalam wewenangnya dalam waktu 14 hari setelah tanggal

29

permintaan. Permohonan jangka waktu ini dapat diperpanjang selama 2x14

hari.

f. Penolakan suatu izin bangunan, jika :

1. Bertentangan dengan undang-undang, peraturan daerah atau peraturan

lainnya

2. Bertentangan dengan rencana perluasan kota

g. Pencabutan suatu izin bangunan dilakukan oleh Kepala Daerah jika :

1. Pemegang izin tidak menjadi yang berkepentingan lagi

2. Dalam waktu 6 bulan setelah tanggal izin itu diberikan, masih belum

dilakukan permulaan pekerjaan yang sungguh-sungguh

3. Pekerjaan-pekerjaan itu telah diberikan selama 3 bulan dan tidak

dilanjutkan

4. Izin yang telah diberikan itu ternyata kemudian didasarkan pada

keterangan-keterangan yang keliru

5. Pembangunan itu ternyata menyimpang dari rencana yang disahkan

h. Tersedianya surat izin

Pemegang izin bangunan diwajibkan supaya selama pelaksanaan pendirian

bangunan itu berlangsung, surat izin bangunan berada di tempat pekerjaan, dan

dapat ditunjukan setiap kali diminta oleh pengawas bangunan untuk

mengadakan pemeriksaan dan pembubuhan catatan cataan pada surat izin itu.

TINJAUAN UMUM TENTANG TATA RUANG

2.5 Tata Ruang

Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik

secara direncanakan maupun yang menunjukan adanya hirarki dan keterkaitan

pemanfaatan ruang. Secara sederhana dapat diartikan upaya penataan dan

pemanfaatan ruang.

Ruang dalam hal ini, dapat berbeda luas, status, dan karakteristiknya. Tata ruang

adalah wujud struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan

maupun tidak direncanakan.

30

a. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman system jaringan

prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial

ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional.

b. Pola pemanfaatan ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu

wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan

peruntukan untuk fungsi budi daya.

Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang,

dan pengendalian pemanfaatan ruang yang dilaksanakan secara sekuensial

(berkesinambungan dari masa ke masa). Penataan ruang dikelompokan

berdasarkan sistem, fungsi kawasan, administrasi, kegiatan kawasan, dan nilai

stategi kawasan.21

a. Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri dari atas sistem wilayah dan

sistem internal perkotaan.

b. Penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan meliputi kawasan lindung dan

kawasan budidaya.

c. Penataan ruang berdasarkan administrasi meliputi panataan ruang wilayah

nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah

kabupaten/kota.

d. Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas kawasan

perkotaan dan kawasan perdesaan.

e. Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas kawasan

strategis nasional, kawasan strategis provinsi, kawasan strategis kabupaten,

dan kawasan strategis kota.

Melihat dari sisi Undang-undang No.24 Tahun 1992 tentang Penataan

Ruang, untuk mengetahui lebih pasti definisi dari tata ruang seperti terjabarkan

uraian dibawah ini :

a. Ruang adalah wadah kehidupan yang meliputi ruang daratan, ruang lautan

dan ruang udara termasuk di dalamnya tanah, air, udara dan benda lainnya

serta daya dan keadaan sebagai suatu kesatuan wilayah tempat

21 Uniarso Ridwan, Hukum Tata Ruang, Nuansa, Bandung, 2008. Hlm. 23.

31

manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta

memelihara kelangsungan hidupnya.

b. Tata Ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik

yang direncanakan maupun yang menunjukan adanya hirarki dan

keterkaitan pemanfaatan ruang. Rencana Tata Ruang adalah hasil

perencanaan tata ruang berupa rencana-rencana kebijakan pemanfaatan

ruang secara terpadu untuk berbagai kegiatan.

c. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi

utamanya melindungi kelestarian hidup yang mencakup sumberdaya alam

dan sumberdaya buatan.

d. Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama

untuk dibudidayakan atas dasar kondisi potensi sumberdaya alam,

sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. Termasuk didalamnya

kawasan budidaya antara lain : kawasan permukiman perkotaan, kawasan

permukiman perdesaan, kawasan produksi, sistem prasarana wilayah

meliputi : prasarana transportasi, telekomunikasi dan pengairan dan

prasarana lainnya.

e. Kawasan Permukiman adalah bagian kawasan bubidaya baik perkotaan

maupun perdesaan dengan dominasi fungsinya kegiatan permukiman.

f. Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama

adalah pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan

fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa

pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

g. Kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama

bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat

permukiman perkotaan, permusatan dan distribusi pelayanan jasa

pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

h. Kawasan Tertentu adalah kawasan yang ditetapkan secara nasional

mempunyai nilai strategis yang penataan ruangannya diprioritaskan.

i. Kawasan Prioritas adalah yang mendapatkan prioritas paling utama di

dalam pengembangan dan penanganannya dengan memperhatikan

32

kawasan strategis dalam wikayah provinsi dan aspek lain yang bersifat

kabupaten untuk mewujudkan sasaran pembangunan sesuai dengan

potensi dan kondisi geografis.

j. Kawasan Strategis adalah kawasan yang mempunyai peranan penting

untuk pengembangan ekonomi, sosial budaya, lingkungan maupun

pertahanan keamanan dilihat secara nasional dan provinsi.

k. Penatagunaan Tanah adalah pengaturan penggunaan tanah mencakup

penguasaan, pemanfaatan, pengaturan hak-hak atas tanah untuk

meningkatkan pemanfaatan, produktivitas dan kelestarian tanah yang

meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian sebagai satu

kesatuan dengan penataan ruang.

l. Pengertian Penataan Ruang secara umum adalah merupakan proses yang

terpadu tercakup tiga kegiatan utama yaitu perencanaan, pelaksanaan

rencana dan pengendalian rencana tata ruang.

m. Perencanaan tata ruang adalah proses penyusunan rencan tata ruang untuk

meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan kualitas manusianya dengan

pemanfaatan ruang yang secara struktur menggambarkan ikatan fungsi

lokasi yang terpadu bagi berbagai kegiatan. Perencanaan tata ruang pada

dasarnya mencakup kegiatan penyusunan dan peninjauan kembali rencana

tata ruang.

n. Pelaksanaan atau pemanfaatan rencana tata ruang adalah suatu proses

usaha agar rencana tata ruang yang telah ditetapkan dapat terwujud sesuai

dengan rencana. Dalam hal ini pelaksanaan atau pemanfaatan rencana tata

ruang terutama dalam bentuk Penyusunan program pembangunan kota

dan Pemanfaatan ruang kota yang sesuai dengan rencana.

o. Pengendalian pelaksanaan/pemanfaatan rencana tata ruang yang harus

terkait satu sama lainnya. Pengendalian pelaksanaan adalah merupakan

suatu proses usaha agar pelaksanaan rencana pemanfaatan ruang oleh

33

instansi sektoral, pemerintah daerah, swasta ataupun masyarakat sesuai

dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.22

Secara umum upaya pengendalian pelaksanaa rencanaan tata ruang

dilakukan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban. Kegiatan pengawasan

dilakukan dalam bentuk :

a. Pelaporan pelaksanaan pemanfaatan rencana.

b. Pemanfaatan terhadap pelaksanaan rencana tersebut secara kontinyu.

c. Peninjauan kembali dan revisi untuk meninjau sejauh manakah

pelaksanaan rencana dan bagaimana penyesuaian jika terjadi

penyimpangan.

Dari pengertian tersebut diatas maka dapat ditarik kesimpulan tentang

mengapa diperlukan penyusunan rencana tata ruang, yaitu :

a. Untuk mencegah atau menghindari benturan-benturan kepentingan atau

konflik antar sektor dan antar kepentingan dalam pembangunan masa kini

dan masa yang akan datang.

b. Untuk menghindari terjadi diskriminasi dalam pengelolaan dan

pemanfaatan sunber daya alam. Untuk tercapainya optimalisasi

pemanfaatan sumber daya alam. Untuk tercapainya optimalisasi

pemanfaatan ruang yang memperlihatkan daya dukungdan kesesuaian

wilayah terhadap jenis pemanfaatannya,

c. Untuk terciptanya kemudahan pemanfaatan fasilitas dan pelayanan sosial

ekonomi bagi segenap masyarakat maupun sektor-sektor yang terkait.

d. Untuk terjadinya kesesuaian antara tuntutan kegiatan pembangunan di

satu pihak dengan kemampuan wilayah di pihak lain baik secara langsung

maupun tidak langsung.

e. Untuk dapat terciptanya interaksi fungsional yang optimal baik antara

unit-unit wilayah maupun wilayah lainya.

f. Menjaga kelestarian dan kemampuan ruang serta menjamin

kesinambungan pembangunan di berbagai sektor.

22 Undang-undang No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang

34

g. Untuk dapat memberikan arahan bagi pemyusunan program-program

tahunan agar dapat terjadi kesesuaian sosial ekonomi akibat pemanfaatan

ruang terhadap perkembangan ekonomi dan sosial yang sedang maupun

mendatang.

h. Untuk dapat mencinptakan kemudahan bagi masyarakat untuk beradaptasi

pada kegiatan-kegiatan produksi.

i. Terciptanya suatu pola pemanfaatan ruang yang mampu mengakomodir

segala bentuk kegiatan yang terjadi di dalam ruang tersebut.

j. 10 Pembangunan dapat terencana sesuai dengan fungsi yang di emban

oleh ruang.

Sebagai sumber daya alam, ruang adalah wujud fisik lingkungan disekitar

kita dalam dimensi geografis dan geometris baik horizontal maupun vertical yang

meliputi : daratan, lautan, dan udara beserta isinya yang secara planalogis

materilnya berarti tempat permukiman (habitat). Sampai disini diperoleh petunjuk

bahwa ruang itu dapat dilihat dari beberapa aspek, yakni wadah, sumber daya

alam, habibat, dan sebagai bentuk fisik lingkungan, yang selalu mencakup bumi,

air, dan udara sebagai kesatuan. 23

Dalam pasal 1 butir 1 Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang, ditegaskan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi : ruang

darat, laut, dan udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai kesatuan wilayah,

tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara

kelangsungan hidupnya. Pengertian dan rumusan ini menunjukkan bagwa “ruang”

itu sebagai wadah yang dimiliki arti luas, uang mencakup tiga dimensi yakni:

darat, laut, dan udara ayng disoroti baik secara horizontal maupun vertikal.

Dengan demikian penata ruang juga menjangkau ketiga dimensi itu secara vertikal

maupun horizontal dengan berbagai aspek yang terkait dengan seperti: ekonomi,

ekologi, sosial, dan budaya serta berbagai kepentingan didalamnya.24

Pengertian atau rumusan tersebut pada dasarnya mengadopsi rumusan

Undang-Undang sebelumnya dengan mutatis muntadis sebagai perbandingan,

23 Undang-undang No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang 24 Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

35

bahwa dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang

(UUPRL) Pasal 1 butir ditegaskan: Ruang adalah yang meliputi rung daratan,

lutan, dan udara sebagai kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya

hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

Penyesuaian pada rumusan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007

tersebut ialah cakupannya yang lebih luas, yang juga mencakup “ruang didalam

bumi” yang tidak terangkum dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992. Oleh

karena itu dengan pengertian pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007

tersebut maka ruang sebagai objek penata ruang benar benar memiliki tiga

dimensi luas yaitu: ketinggian dan kedalaman. Tata ruang dengan penekanan pada

“tata” adalah pengaturan susunan ruang satu wilayah/daerah (kawasan) sehingga

terciptanya persyaratan yang bermanfaat secara ekonomi, sosial, budaya, dan

politik serta menguntungkan bagi perkembangan masyarakat wilayah tersebut.

2.6 Rencana Tata Ruang Wilayah

Perencanaa tata ruang kota adalah proses penyusunan dan penetapan

rencana tata ruang kota. Rencana kota ini di artikan sebagai kebijaksanaan jangka

panjang (20-30 tahun) mengenai restribusi keuangan (spasial) obyek, fungsi dan

kegiatan dan tujuan. Rencana kota mengkoordinasikan kegiatan pemerintah dan

kegiatan swasta atau masyarakat dalam membangun fisik dan keruangan kotanya.

Dalam praktrk perencanaan kota di Indonesia saat ini, para perencana mengacu

pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987 (tentang Pendoman

Penyusunan Rencana Kota). Dalam peraturan tersebut, Pasal 1 (butir d)

disebutkan pengertian rencana kota, sebagai berikut25

:

“Rencana kota adalah rencana pengembangan kota yang disiapkan secara teknis

dan non-teknis, baik yang ditetapkan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah

daerah yang menggunakan rumusan kebijakan pemanfaatan muka bumi wilayah

kota termasuk ruang diatas dan dibawahnya, serta pendoman pengarahan dan

25

Faisal Akbar, Dimensi Hukum Dalam Pemerintahan Daerah, Cetakan pertama (Medan:

Pustaka Bangsa Press 2003). hlm. 43

36

pengendalian bagin pelaksanaan pembangunan kota”. Selain itu, peraturan diatas

juga menjelaskan bahwa suatu rencana kota bertujuan supaya kehidupan warga

kota menjadi aman, tertib dan lancar dan sehat melalui:

a. Perwujudan pemanfaatan ruang kota yang serasi dan seimbang sesuai

dengan kebutuhan dan kemampuan daya dukung pertmbuhan dan

perkembangan kota.

b. Perwujudan pemanfaatan ruang kota yang sejalan dengan tujuan serta

kebijaksanaan Pembangnan nasional dan Daerah. Sistem perencanaan

tersebut dikembangkan berdasarkan perencanaan komprehensif rasional.

2.7 Perumahan dan Kawasan Permukiman

2.7.1 Pengertian Perumahan dan Kawasan Permukiman

Pembangunan di bidang yang berhubungan dengan tempat tinggal beserta

sarana dan prasarananya memang perlu mendapatkan prioritas mengingat tempat

tinggal merupakan salah satu kebutuhan dasar (basic need) manusia. Sudah

selayaknya apabila untuk pembangunan perumahan dan permukiman itu

pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan tentang perumahan dan

permukiman yang dimaksudkan untuk memberikan arahan (guide line) bagi

pembangunan sektor perumahan dan permukiman26

.

Salah satu landasan yang digunakan oleh pemerintah yang digunakan oleh

pemerintah untuk meningkatkan peran kelembagaan dalam pembangunan

perumahan dan permukiman adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992

tentang Perumahan dan Permukiman. Undang-Undang ini menyebutkan bahwa

perumahan berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian

yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan, sedangkan pemukiman

adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan hutan lindung, baik yang

berupa kawasan perkotaan maupun kawasan pedesaan yang berfungsi sebagai

lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang

mendukung perikehidupan dan penghidupan.

26 Khomarudin. 1997. Menelusuri PembangunanPerumahan dan Permukiman. Jakarta:Yayasan

Realestat Indonesia.

37

Setelah Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan

Permukiman diubah menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang

Perumahan dan Kawasan Permukiman pada Pasal 1 ayat (1) menyatakan

pengertian dasar perumahan dan kawasan permukiman, yakni:

“Perumahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan sistem yang terdiri

atas pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan

permukiman, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas

terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah,

pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat.” 27

Pengertian dasar permukiman dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2011 adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan

perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai

penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.

Apabila dilihat dari perkembangannya, proses pembangunan memang sangat

dipengaruhi oleh adanya landasan pembangunan yang kuat, pelaku pembangunan,

serta modal dasar pembangunan yang kuat pula, yaitu agama. Dalam lingkup

pembangunan, masyarakat merupakan pelaku utama pembangunan tersebut.

Mengarahkan, membimbing, dan menciptakan suasana yang menunjang

pembangunan adalah kewajiban pemerintah.

2.7.2 Dasar Hukum Perumahan dan Kawasan Permukiman

Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan

kawasan permukiman skala besar yang terencana secara menyeluruh dan terpadu

dengan pelaksanaan yang bertahap (Bab IV Pasal 18). Pembangunan kawasan

permukiman tersebut ditujukan untuk menciptakan kawasan permukiman yang

tersusun atas satuan-satuan lingkungan permukiman dan mengintegrasikan secara

terpadu dan meningkatkan kualitas lingkungan perumahan yang telah ada di

dalam atau di sekitarnya, yang dihubungkan oleh jaringan transportasi sesuai

27

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman pada

Pasal 1 ayat (1)

38

dengan kebutuhan dengan kawasan lain yang memberikan berbagai pelayanan dan

kesempatan kerja. Dasar hukum dalam perencanaan penyelenggaraan perumahan

dan kawasan permukiman dalam hal ini permukiman kumuh kota meliputi:

1. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

2. Pasal 2, Pasal 14, dan Pasal 15 Undang-undang Pokok Agraria.

3. Undang-Undang nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan

Permukiman28

. Dalam peraturan ini bahwa salah satu upaya pemerintah

dalam menciptakan perumahan dan permukiman yang menjamin

terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang

sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan. Untuk

mewujudkan tujuan tersebut dapat dilakukan dengan memfasilitasi

peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh,

serta melalui kerja sama tingkat nasional dan internasional antara

Pemerintah dan badan hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan

kawasan permukiman.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan

Tanah29

. Dalam peraturan ini mengamanatkan penyelenggaraan tata guna

tanah yang perencanaannya didasarkan pada Rencana Tata Ruang wilayah

Kota.

2.7.3 Permukiman Kumuh

Sebelum mengarah kepada permukiman kumuh, perlu diketahui arti dasar

dari kumuh itu sendiri, Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang

sikap dan tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan

kelas menengah. Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap

yang diberikan golongan atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang

belum mapan.

28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman 29 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah

39

Kumuh dapat ditempatkan sebagai sebab dan dapat pula ditempatkan

sebagai akibat. Ditempatkan di mana pun juga, kata kumuh tetap menjurus pada

sesuatu hal yang bersifat negatif. Pemahaman kumuh dapat ditinjau dari :

1. Sebab Kumuh

Kumuh adalah kemunduran atau kerusakan lingkungan hidup dilihat dari;

a. segi fisik, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam

seperti air dan udara.

b. segi masyarakat/ sosial, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh

manusia sendiri seperti kepadatan lalu lintas, sampah.

2. Akibat Kumuh

Kumuh adalah akibat perkembangan dari gejala-gejala antara lain;

a. kondisi perumahan yang buruk.

b. penduduk yang terlalu padat

c. fasilitas lingkungan yang kurang memadai

d. tingkah laku menyimpang

e. budaya kumuh

f. apati dan isolasi

Kawasan kumuh adalah kawasan dimana rumah dan kondisi hunian

masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan

prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar

kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air

bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka,

serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya30

.

Permukiman kumuh berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Pasal 1

ayat (13)31

adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan

bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta

sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.

Ciri-ciri permukiman kumuh adalah:

30 Koesnadi hardjasoemantri, Hukum tata lingkungan, gadjah mada university press, 2000, hlm. 42 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Permukiman Kumuh, dalam

www.hukumonline.com, diakses 15 Maret 2016 pukul 21.55 WIB.

40

1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.

2. Kondisi hunian rumah dan permukiman serta penggunaan ruang-ruangnya

mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.

3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam

penggunaan ruang-ruang yang ada di permukiman kumuh sehingga

mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan

ekonomi penghuninya.

4. Permukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup

secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas,

yaitu terwujud sebagai:

5. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu

dapat digolongkan sebagai hunian liar.

6. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah.

7. RT atau sebuah RW.

8. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau

RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian

liar.

Penghuni permukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen,

warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang

beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat permukiman

kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan

ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut. Sebagian besar penghuni

permukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau

mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informil.

2.8 Perizinan

2.8.1 Arti Perizinan

Dalam menjalankan fungsinya, hukum memerlukan berbagai perangkat

dengan tujuan agar hukum memiliki kinerja yang baik. Salah satu kinerja yang

membedakan dengan yang lain adalah bahwa hukum memiliki kaidah yang

bersifat memaksa, artinya apabila kaidah hukum dituangkan ke dalam sebuah

41

perundang-undangan maka setiap orang harus melaksanakannya. Selain itu, untuk

mengendalikan setiap kegiatan atau perilaku individu atau kolektivitas yang

sifatnya preventif adalah melalui izin.32

Izin memiliki beberapa kesamaan seperti dispensasi, konsesi, dan lisensi.

Dispensasi merupakan keputusan administrasi negara yang membebaskan suatu

perbuatan dan kekuasaan suatu peraturan yang menolak perbuatan itu. Menurut

W.F Prins mengatakan bahwa dispensasi adalah tindakan pemerintahan yang

menyebabkan suatu peraturan perundang-undangan menjadi tidak berlaku lagi

bagi sesuatu hal yang istimewa (relaxio legis)33

.Konsesi merupakan suatu izin

yang berhubungan dengan pekerjaan yang besar dimana kepentingan umum

terlibat erat sekali sehingga sebenarnya pekerjaan itu menjadi tugas pemerintah,

tetapi oleh pemerintah diberikan hak penyelenggaraannya kepada pemegang izin

(konsesionaris). Menurut H. D. van Wijk, “de consessiefiguur wordt vooral

gebruikt voor activiteiten van openbaar belangdie de oveheid niet zelf verricht

maar overlaat aan particuliere ondernemingen” (bentuk konsesi terutama

digunakan untuk berbagai aktivitas yang menyangkut kepentingan umum, yang

tidak mampu dijalankan sendiri oleh pemerintah, lalu diserahkan kepada

perusahaan-perusahaan swasta)34

. Lisensi adalah suatu izin yang memberikan hak

untuk menyelenggarakan suatu perusahaan. Lisensi digunakan untuk menyatakan

suatu izin yang memperkenankan seseoranga untuk menjalankan suatu perusahaan

dengan izin khusus atau istimewa.

Tidaklah mudah memberikan definisi apa yang dimaksud dengan izin,

demikian menurut Sjachran Basah. Apa yang dikatakan Sjachran Basah agaknya

sama dengan yang berlaku di negeri Belanda seperti dikemukakan van der Pot

“Het is uiterst moelijk voor begrip vergunning een definitie te vindem”, (Sangat

sukar membuat definisi untuk menyatakan pengertian izin itu). Hal ini disebabkan

karena antara para pakar tidak terdapat persesuaian paham, masing-masing

melihat dari sisi yang berlainan terhadap objek yang didefinisikannya. Sukar

32 Nomensen Sinamo, 2010. Hukum Administrasi Negara. Jala Permata Aksara, Jakarta, hlm. 77 33

Ridwan H.R, 2011. Hukum Administrasi Negara. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 197 34

Ibid

42

memberikan definisi bukan berarti tidak terdapat definisi, bahkan ditemukan

sejumlah definisi yang beragam.

Di dalam Kamus Hukum, izin dijelaskan sebagai perkenan/izin dari

pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang

disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan

khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama

sekali tidak dikehendaki.35

Beberapa pengertian izin menurut pakar yaitu:36

a. Ateng Syafruddin

Izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal yang dilarang

menjadi boleh, atau sebagai peniadaan ketentuan larangan umum

dalam peristiwa konkret.

b. Sjachran Basah

Izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang

mengaplikasikan peraturan dalam hal konkreto berdasarkan

persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan

peraturan perundang-undangan.

c. E. Utrecht

Bilamana pembuat peraturan umumnya tidak melarang suatu

perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan

secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, maka

keputusan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan

tersebut bersifat suatu izin.

d. Bagir Manan

Izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa

berdasarkan peraturan perundang-undanganuntuk memperbolehkan

melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum

dilarang.

35

Ibid, hlm. 198 36

Ibid hlm. 200

43

e. N. M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge, membagi pengertian izin dalam

arti luas dan sempit.

Izin merupakan salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam

Hukum Administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk

mengemudikan tingkah laku para warga persetujuan dari penguasa berdasarkan

undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu

menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan.

Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya

untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini

menyangkut perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum

mengharuskan pengawasan khusus atasnya.

Izin dalam arti sempit yaitu pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan

izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk

mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang

buruk. Tujuannya ialah mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-

undang tidak seluruhnya dianggap tercela, namun di mana ia menginginkan dapat

melakukan pengawasan sekadarnya.

Yang pokok pada izin dalam arti sempit yaitu bahwa suatu tindakan dilarang

terkecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang

disangkutkan dengan perkenan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu

bagi tiap kasus. Jadi persoalannya bukanlah untuk hanya memberi perkenan

dalam keadaan-keadaan yang sangan khusus, tetapi agar tindakan-tindakan yang

diperkenankan dilakukan dengan cara tertentu (dicantumkan dalam ketentuan-

ketentuan).

2.8.2 Unsur-unsur Perizinan37

Berdasarkan pemaparan pendapat para pakar tersebut, dapat disebutkan

bahwa izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan

perundang-undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkret menurut prosedur

37 Ibid, hlm. 201

44

dan persyaratan tertentu. Dari pengertian ini ada beberapa unsur dalam

perizinan, yaitu:

a. Instrumen Yuridis

Izin merupakan instrumen yuridis dalam bentuk keputusan yang bersifat

konstitutif dan yang digunakan oleh pemerintah untuk menghadapi atau

menetapkan peristiwa konkret. Sebagai keputusan, izin itu dibuat dengan

ketentuan dan persyaratan yang berlaku bagi keputusan pada umumnya.

b. Peraturan Perundang-undangan

Setiap tindakan hukum pemerintah baik dalam menjalankan fungsi

pengaturan maupun fungsi pelayanan harus didasarkan pada wewenang yang

diberikan oleh peraturan perundang undangan yang berlaku

Pembuatan dan penerbitan keputusan izin merupakan tindakan hukum

pemerintahan. Sebagai tindakan hukum, harus ada wewenang yang diberikan oleh

peraturan perundang-undangan atau harus berdasarkan asas legalitas. Tanpa dasar

wewenang, tindakan hukum itu menjadi tidak sah. Oleh karena itu, dalam hal

membuat dan menerbitkan izin haruslah didasarkan pada wewenang yang diberikan

oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku karena tanpa adanya dasar

wewenang tersebut keputusan izin tersebut menjadi tidak sah.

c. Organ Pemerintah

Organ pemerintah merupakan organ yang menjalankan urusan

pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Mulai dari

administrasi negara tertinggi sampai administrasi negara terendah berwenang

memberikan izin. Terlepas dari beragamnya organisasi pemerintahan yang

mengeluarkan izin, yang pasti adalah bahwa izin hanya boleh dikeluarkan oleh

organ pemerintahan. Beragamnya organ pemerintahan yang berwenang

memberikan izin, dapat menyebabkan tujuan dari kegiatan yang membutuhkan

izin tertentu menjadi terhambat, bahkan tidak mencapai sasaran yang hendak

dicapai. Keputusan-keputusan pejabat sering membutuhkan waktu lama, misalnya

pengeluaran izin memakan waktu berbulan-bulan dan mata rantai dalam prosedur

perizinan banyak membuang waktu dan biaya. Oleh karena itu dalam perizinan

dilakukan deregulasi yang mengandung arti peniadaan berbagai peraturan

45

perundang-undangan yang dipandang berlebihan. Karena peraturan peraturan

perundang-undangan yang berlebihan itu pada umumnya berkenaan dengan

campur tangan pemerintah atau negara, maka deregulasi pada dasarnya bermakna

mengurangi campur tangan pemerintah dalam kegiatan kemasyarakatan tertentu di

bidang ekonomi sehingga deregulasi itu pada ujungnya bermakna debirokratisasi.

Meskipun deregulasi dan debirokratisasi ini dimungkinkan dalam bidang

perizinan dan hampir selalu dipraktikkan dalam kegiatan pemerintahan, namun

dalam suatu negara hukum tentu saja harus ada batas-batas atau rambu-rambu

yang ditentukan oleh hukum.

d. Peristiwa Konkret

Izin merupakan instrumen yuridis yang berbentuk keputusan yang

digunakan oleh pemerintah dalam menghadapi peristiwa konkret dan individual.

Peristiwa konkret artinya peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu, orang

tertentu, tempat tertentu, dan fakta hukum tertentu. Karena peristiwa konkret ini

beragam, sejalan dengan keragaman perkembangan masyarakat, maka izin pun

memiliki berbagai keberagaman. Izin yang jenisnya beragam itu dibuat dalam

proses yang cara prosedurnya tergantung dari kewenangan pemberi izin, macam

izin, dan struktur organisasi instansi yang menerbitkannya. Berbagai jenis izin dan

instansi pemberi izin dapat saja berubah seiring dengan perubahan kebijakan

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan izin tersebut.

e. Prosedur dan persyaratan

Pada umumnya permohonan izin harus menempuh prosedur tertentu yang

ditentukan oleh pemerintah, selaku pemberi izin. Di samping harus menempuh

prosedur tertentu, pemohon izin juga harus memenuhi persyaratan-persyaratan

tertentu yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah atau pemberi izin.

Prosedur dan persyaratan perizinan itu berbeda-beda tergantung jenis izin, tujuan

izin, dan instansi pemberi izin.

2.8.3 Izin sebagai Instrumen Pengawasan

Penggunaan izin sebagai instrumen pengawasan ditunjukkan dengan

pemberian izin-izin tertentu bagi aktifitas masyarakat. Berbagai persyaratan-

46

persyaratan dalam pengurusan izin merupakan pengendali dalam memfungsikan

izin itu sebagai alat untuk mengawasi aktifitas masyarakat, dan perbuatan yang

dimintakan izin adalah perbuatan yang memerlukan pengawasan khusus, dan

dalam memberikan izin mendirikan bangunan, ditetapkan sejumlah syarat-syarat

yang harus dipenuhi oleh pemohon izin.38

Pengawasan dibutuhkan sebagai perlindungan hukum bagi warga negara

terhadap dampak dari penerbitan keputusan tata usaha negara. Pemerintah

menjalankan pemerintahan melalui pengambilan keputusan pemerintahan yang

bersifat strategis, policy atau ketentuan-ketentauan umum melalui tindakan-

tindakan pemerintahan yang bersifat menegakkan ketertiban umum, hukum,

wibawa negara, dan kekuasaan negara.39

Fungsi pengawasan terhadap izin yang telah dikeluarkan mutlak diperlukan untuk

menghindari penyimpangan terhadap izin yang telah dikeluarkan agar tidak

disalahgunakan. Pengawasan terhadap izin adalah tanggungjawab lembaga yang

mengeluarkan izin tersebut.40

Berkaitan dengan perihal pengawasan dalam pelaksanaan kewenangan

pemerintah dalam pemberian izin, maka guna mewujudkan tata pemerintahan

yang baik maka aparatur pemerintah dalam melaksanakan fungsinya harus dapat

memenuhi seluruh ketentuan, utamanya dalam menentukan apakah sebuah izin

bisa diberikan atau tidak, dan selanjutnya tentu saja mengawasi pelaksanaan izin

tersebut apakah sesuai dengan peruntukannya atau tidak.

2.8.4 Izin Mendirikan Bangunan

Bangunan adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu

dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan atau di

dalam tanah dan atau air, dalam bentuk gedung yang berfungsi baik sebagai

tempat manusia melakukan kegiatan untuk harian atau tempat tinggal kegiatan

38 http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/4071, diakses pada 19 Mei 2017 pukul 23.30

WITA. Jurnal Oleh Muh. Zulfan Hakim berjudul “Izin Sebagai Instrumen Pengawasan dalam

Mewujudkan Pemerintahan yang Baik” hlm. 13 39

Ibid. 40

Ibid, hlm. 14

47

keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial budaya, dan kegiatan khusus. Secara

umum, bangunan adalah sesuatu yang memakan tempat.41

Bangunan gedung

adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat

kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah

dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik

untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan

sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.42

Adapun pengertian mendirikan

bangunan adalah pekerjaan mengadakan bangunan seluruhnya atau sebagian

termasuk pekerjaan menggali, menimbun atau meratakan tanah yang berhubungan

dengan pekerjaan mengadakan bangunan.43

Adapun pengertian mendirikan bangunan adalah pekerjaan mengadakan

bangunan seluruhnya atau sebagian termasuk pekerjaan menggali, menimbun atau

meratakan tanah yang berhubungan dengan pekerjaan mengadakan bangunan.44

Izin mendirikan bangunan adalah izin yang diberikan oleh pemerintah daerah

kepada orang pribadi atau badan hukum untuk mendirikan bangunan yang

dimaksudkan agar pembangunan yang dilaksanakan sesuai dengan tata ruang

yang berlaku dan sesuai dengan syarat-syarat keselamatan bagi yang menempati

bangunan tersebut. Izin mendirikan bangunan gedung adalah perizinan yang

diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemilik bangunan gedung

untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/ atau merawat

bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis

yang berlaku.

2.8.5 Dasar Hukum Izin Mendirikan Bangunan

UU No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung :

1) Pasal 7, ayat (1) menyebutkan bahwa : "Setiap bangunan gedung harus

memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan

fungsi bangunan gedung."

41

Ibid, hlm. 15 42

Adrian Sutedi, op.cit, hlm. 195 43

Lihat UU No. 28 tahun 2002 tentang bangunan gedung 44

Adrian Sutedi, op.cit, hlm. 195

48

2) Pasal 7, ayat (2) menyebutkan bahwa: "Persyaratan administratif bangunan

gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi persyaratan status

hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan

bangunan."

3) Pasal 8, ayat (1) menyebutkan bahwa: "Setiap bangunan gedung harus

memenuhi persyaratan administratif yang meliputi:

a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak

atas tanah;

b. status kepemilikan bangunan gedung; dan

c. izin mendirikan bangunan gedung; sesuai ketentuan peraturan

perundang- undangan yang berlaku."

4) Pasal 8 ayat (4) menyebutkan bahwa: "Ketentuan mengenai izin

mendirikan bangunan gedung, kepemilikan, dan pendataan bangunan

gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."

49

BAB III

BAGAIMANAKAH IMPLEMENTASI TERKAIT

RENCANA TATA RUANG KOTA BEKASI DALAM

PENEGAKAN HUKUM DI TEMPAT PEMBUANGAN

SAMPAH TERPADU BANTAR GEBANG

3.1 Aturan Yang Terkait Di Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

Bekasi

Negara Republik Indonesia berdasarkan amanah dari Pasal 33 ayat (3)

Undang-undang Dasar 1945 telah diberikan wewenang berupa hak menguasai

Negara atas bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung

didalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hak Menguasai Negara di

sini dijabarkan lebih lanjut dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria selanjutnya disebut Undang-Undang

Pokok Agraria (UUPA) pada Pasal 2 ayat (2), berupa wewenang untuk45

:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaaan,

persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya46

;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan

ruang angkasa dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besar

kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.

45 Juniarso Ridwan & Ahmad Sodik Sudrajat, Hukum Tata Ruang dalam konsep kebijakan otonomi daerah Cetakan I,

(Bandung: Pewnerbit NUANSA 2007) hlm. 24 46 M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia(Bandung: Penerbit PT.

Alumni, 2001), hlm.80.

50

Fungsi mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa mengandung arti bahwa

negara dalam hal ini pemerintah memiliki kewenangan membuat suatu rencana

umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah untuk berbagai

keperluan.

Pelaksanaan dan pelimpahan ini merupakan pelaksanaan hukum tanah nasional.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) bahwa Hak menguasai dari Negara

pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada masyarakat-masyarakat hukum. Dengan

adanya pelimpahan wewenang tersebut maka pemerintahan daerah harus

membuat rencana penggunaaan tanah yang terinci sesuai dengan kondisi daerah

sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 14 UUPA47

.

Rencana umum tersebut adalah mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan

bumi, air, ruang angkasa untuk berbagai kepentingan yaitu:

a. Kepentingan yang bersifat politis, misalnya kepentingan

pemerintah untuk lokasi penghijauan.

b. Kepentingan yang bersifat ekonomis, misalnya tanah untuk

kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, dan

industri.

c. Kepentingan sosial serta keagamaan, misalnya untuk keperluan

peribadatan, kesehatan, rekreasi perkuburan.

Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan dalam UUPA yang

merupakan permukaan bumi bukan dimaksudkan sebagai kepunyaan pemegang

hak atas tanah yang bersangkutan. Ia hanya diperbolehkan menggunakannya,

itupun ada batasnya seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA dengan

kata-kata “sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan

dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-

47 Ibid. hlm. 79

51

peraturan lain yang lebih tinggi. Istilah tata guna tanah, yaitu apabila istilah tata

guna dikaitkan dengan objek48

Menggunakan Istilah yang sama yaitu rencana tata guna tanah merupakan

bentuk nyata pelaksanaan Pasal 2, Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA yang juga dijiwai

oleh undang-undang lain yang mengurus penggunaan tanah. Pasal 33 Undang-

Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang tentang Penataan Ruang

yang selanjutnya di singkat UUPR menggunakan istilah penatagunaan tanah. Tata

guna tanah merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan penataan tanah secara

maksimal, oleh karena tata guna tanah selain mengatur mengenai persediaan,

penggunaan terhadap bumi, air dan ruang angkasa juga terhadap persediaan,

penggunaan terhadap bumi, air dan ruang angkasa juga terhadap tanggung jawab

pemeliharaan tanah, termasuk di dalamnya menjaga kesuburannya.

Penataagunaan tanah dalam pelaksanaan penataan ruang, diarahkan

kepada pemanfaatan ruang harus efektif dan efesien dan diselenggarakan secara

terpadu dan terkoordinasi, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat melalui perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang salah

satunya meliputi penatagunaan tanah. Kaitan antara penatagunaan dan

pemanfaatan ruang dijabarkan dalam Pasal 3 UUPR:

Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah

nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan

Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:

a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan

buatan;

b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan

sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia;

dan

c. terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak

negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

48 Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa dan Hukum Tata Ruang, (Bandung, Penerbit CV. Mandar Maju, 1994),

hlm.116

52

Mengenai persoalan perencanaan tata ruang yang mengacu pada tujuan

penataan ruang dalam UUPR tentunya tidak terlepas dari koordinasi antara

pemerintah, baik itu pemerintah pusat, daerah, provinsi, maupun pemerintah

kabupaten/kota, hal tersebut diperlukan oleh karena kondisi ruang antara satu

wilayah dengan wilayah yang lainnya mememiliki keterkaitan satu sama lain.

Dengan demikian, setiap pemerintahan dalam melakukan kegiatan pembangunan

hendaknya melakukan perencanaan tata ruang dengan melakukan koordinasi di

antara pemerintahan oleh karena masing-masing pemerintahan memiliki

hubungan satu sama lainnya, di mana hal tersebut dipertegas di dalam Pasal 2 ayat

(4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang menyatakan: “Pemerintah

daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan

pemerintah dan dengan pemerintah daerah lainnya”.

Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah tersebut, wewenang

penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan

pengawasan penataan ruang, yang didasarkan pada pendekatan wilayah dengan

batasan wilayah administratif . Dengan pendekatan wilayah administratif tersebut,

penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas

wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten dan wilayah kota, yang

setiap wilayah tersebut merupakan subsistem ruang menurut batasan

administratif49

.

Peraturan Daerah Kota Nomor 11 Tahun 2013 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Kota Bekasi Tahun 2011- 2031 selanjutnya disingkat RTRW

Kota Bekasi Pasal 9 mengatur bahwa pengembangan kawasan Terpadu Kota

Bekasi, tentang zonasi kawasan pengembangan terpadu Kota Bekasi yang terdiri

dari tiga belas kawasan termasuk didalamnya kawasan permukiman terpadu.

Pengaturan tentang pembagian kawasan atau zonasi tersebut di atas pada dasarnya

49

Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian

Administrative Law) (Yogyakarta, 1995 dicetak oleh : Gajah Mada University Press). Hlm. 156.

53

merupakan sebuah alat pengendalian bagi Pemerintah Kota Bekasi dalam

mengatur tata ruang Kota Bekaasi dengan sebaik-baiknya. Pengaturan zonasi

tersebut pada pelaksanaannya terkadang tidak sesuai dengan pelaksanaan

pembangunan yang dilaksanakan misalnya dalam penataan permukiman kumuh

kota. Oleh karena itu, pembagian kawasan terpadu atau zonasi yang ditetapkan

dalam RTRW Kota Bekasi pada tahap pelaksanaannya tidak dapat diwujudkan

sesuai dengan yang diharapkan.

Perumahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan sistem yang

terdiri atas pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan

permukiman, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas

terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah,

pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat, sesuai dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

Pasal 1 ayat (1). Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni

karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan

kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat

(tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan

Kawasan Permukiman)50

.

Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan

kebutuhan akan perumahan dan fasilitas-fasilitas lainnya yang terkait. Pemenuhan

kebutuhan perumahan dan fasilitas-fasilitas yang terkait tersebut tidak terlepas

dari peningkatan penggunaan lahan. Pengembangan kawasan permukiman akibat

tidak tertata dan semakin berkurangnya lahan permukiman mendorong

peningkatan permukiman kumuh di Kota Bekasi.

Permukiman kumuh adalah salah satu dari sekian banyak permasalahan

penataan ruang tidak terkecuali di Kota Bekasi. Pengelolaan perumahan

permukiman dalam rencana pengembangan kawasan permukiman Pasal 17 ayat

(6) butir 1 poin (a) dan (b) RTRW Kota Bekasi, menyatakan bahwa rencana

pengembangan pola perbaikan lingkungan pada kawasan permukiman kumuh

50

Sudharto P. Hadi, Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan ; (Diterbitkan dan Oleh Gajah Mada University Press, Juli 2005) h. 43-44.

54

berat dan sedang termasuk kawasan permukiman yang berada di sepanjang

bantaran kanal kota, dan pengembangan perbaikan lingkungan pada kawasan

permukiman kumuh sedang dan ringan secara terbatas melalui pengembangan

secara vertikal, yang dilengkapi sarana dan prasarana yang memadai (tercantum

dalam Perda Nomor 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang wilayah Kota

Tahun 2005-2015). Selain itu, dalam perencanaan pengembangannya permukiman

kumuh diharapkan dapat dilengkapi dengan fasilitas yang layak.

Kota Bekasi merupakan suatu kota yang mempunyai pertumbuhan dan

perkembangan pembangunan semakin maju. Dengan semakin majunya semua

aspek pembangunan juga ikut menimbulkan berbagai implikasi yang menyangkut

industrial, mobilitas manusia yang terus meningkat, diskonkurensi masalah

kependudukan terhadap daya dukung yang makin melebar, juga dengan adanya

peningkatan jumlah penduduk. Dengan implikasi ini, kebutuhan akan kawasan

perumahan permukiman yang semakin besar dengan lahan yang terbatas

menciptakan luasan kawasan permukiman kumuh yang besar di Kota Bekasi.

Besaran luasan kawasan permukiman kumuh di masing-masing kecamatan

berbeda-beda, tetapi kawasan kumuh yang terbesar tercatat berada di Kecamatan

Sumur Batu. Selain luasan kawasan permukiman kumuh yang besar, kawasan

permukiman kumuh ini pun rata-rata dihuni oleh warga miskin.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah, menjelaskan bahwa konsolidasi

tanah merupakan kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan

dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan

pembangunan, untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber

daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

Pelaksanaan konsolidasi tanah erat kaitannya dengan program NUSSP karena

pelaksanaannya revitalisasi permukiman kumuh sebagimana dijelaskan dalam

Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional. NUSSP

dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan dan sekaligus menyediakan tanah

untuk pembangunan prasarana dan fasilitas umum dilaksanakan pengaturan

penguasaan dan penatagunaan tanah dalam bentuk konsolidasi tanah di wilayah

55

perkotaan dan di pedesaan, kegiatan konsolidasi Tanah meliputi penataan kembali

bidang-bidang tanah termasuk hak atas tanah dan atau penggunaan tanahnya

dengan melibatkan partisipasi para pemilik tanah. Dengan kata lain, implikasi

yang akan dihadapi masyarakat kawasan permukiman kumuh adalah nantinya

akan mengalami perubahan kepemilikan akan hak atas tanahnya akibat

peruntukan pembangunan revitalisasi kawasan permukiman kumuh.

3.2 Zonasi Peraturan Rencana Tata Ruang Wilayah

Saat ini tanah merupakan posisi strategis dalam kontek pembangunan

nasional. Segala rencana dan bentuk pembangunan hampir seluruhnya

memerlukan tanah untuk aktifitasnya.

Seperti yang dimaklumatkan dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun

2004, yang dimaksudkan Penatagunaan Tanah (Tercantum dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah):

“Sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan,

penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfataan

tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah

sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.”

Penatagunaan tanah sebagaimana di maksud merujuk pada Rencana Tata Ruang

wilayah Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan seperti tercantum pada Pasal 3

mengenai tujuan dari penatagunaan tanah. Tujuan dari penatagunaan tanah adalah

sebagai berikut:

a. Mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi

berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan

Rencana Tata ruang wilayah.

b. Mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar

sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang

Wilayah.

56

c. Mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan,

penggunaan dan pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah

serta pengendalian pemanfaatan tanah.

d. Menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan dan

memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan

hukum dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah

yang telah diterapkan.

Dari sini dapat kita telaah bahwasanya, penatagunaan tanah merupakan

ujung tombak dalam mengimplementasikan Rencana Tata Ruang Wilayah seperti

halnya pengadaan revitalisasi permukiman kumuh kota di setiap wilayah.

Posisi penatagunaan tanah juga semakin jelas seperti yang dijabarkan dalam Pasal

33 UUPR, dimana penataan ruang mengacu pada rencana tata ruang yang

dilaksanakan dengan penatagunaan tanah, penatagunaan air, dan penatagunaan

udara. Pada hakekatnya, tanah sebagai unsur yang paling dominan dalam penataan

ruang, telah dilandasi dengan Peraturan Pemerintah, memiliki peran yang paling

strategis dalam mewujudkan pentaan ruang.

Istilah penentuan dan penyediaan tanah telah di atur dalam Peraturan Presiden

Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan

untuk Kepentingan Umum.

Kemudian dengan adanya revolusi industri akan menimbulkan revolusi

kota, yang berarti terjadi perubahan di daerah-daerah perkotaan dengan berbagai

perkembangan termasuk perkembangan perumahan dan permukiman kumuh.

Dalam proses perubahan ini sering terjadi penataan kota yang kurang serasi,

sering terjadi tumpang tindih atau tuna kendali dalam penggunaa tanah, melihat

kenyataan tersebut, sehingga perlu adanya suatu penataan untuk proyek-proyek

pembangunan perumahan dan permukiman kumuh.

Rencana tata ruang adalah usaha untuk menata letak proyek-proyek

pembangunan, baik pada proyek pemerintah maupun swasta, sesuai dengan daftar

prioritasnya. Dengan demikian dapat terjadi tertib penggunaan tanah dalam

57

menciptakan pembangunan nasional. Selanjutnya Sandy menjelaskan bahwa,

tujuan nya adalah:

1. Mencegah penggunaan tanah yang salah tempat, menuju

penggunaan tanah secara optimal;

2. Mencegah adanya salah urus, sehingga tanah akan menjadi rusak

dan menuju ke penggunaan tanah yang memperhatikan akan

kelestarian alam;

3. Mencegah adanya tuna kendali pada tanah, terutama pada wilayah

perkotaan.

Berdasarkan pada tujuan tersebut di atas, terlihat tidak hanya pada penggunaan

tanah secara terencana untuk permukiman atau kawasan industri saja, tetapi

mencakup semua kegiatan masyarakat dalam menunjang pembangunan nasional.

Dengan kata lain bahwa penentuan tanah dalam pembangunan secara berencana

itu sangat diperlukan, hal ini sejalan dengan Pasal 14 UUPA bahwa pemerintah

dalam rangka sosialisme membuat suatu rencana umum, mengenai persediaan,

peruntukkan, dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa untuk keperluan

Negara dan seluruh rakyat, karena yang tersangkut itu semua sektor kegiatan

pembangunan, sehingga keadaan tanah sangat menentukan bagi penggunaanya

pada masing-masing kegiatan, baik untuk permukiman penduduk, industri

maupun pada sektor-sektor lainnya51

.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional juga telah diatur bahwa, untuk memenuhi keperluan

pembangunan yang beraneka ragam, maka perlu dikembangkan pola tata ruang

dan sumber daya lainnya dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis.

Sejalan dengan hal tersebut, maka kebijaksanaan tata guna tanah perlu

disempurnakan dan ditunjukkan pada kelestarian alam dan mutu lingkungan.

Bahwa lahirnya Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ini

sebagai pengganti dari paradigma model GBHN (Garis-Garis Besar Haluan

Negara) yang ditetapkan oleh MPR dan Repelita (Rencana Pembangunan Lima

51 Alvi Syahri, Pengaturan Hukum Dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan ; ( Cetakan Pertama : Pustaka Bangsa Press, 2003.) h. 77.

58

Tahun) yang disusun oleh Presiden. Dalam Undang-Undang ini di atur pula

mengena Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota

yang mempunyai jangka waktu 20 tahun dan ditinjau kembali minimal satu kali

dalam lima tahun atau beberapa kali dalam lima tahun untuk keadaan khusus

seperti terjadinya bencana alam skala nasional yan berdampak besar terhadap

kawasan.

Selain itu, dalam setiap rencana tata ruang wilayah/kawasan, kawasan

strategis, kawasan pulau/kepulauan, wajib memuat indikasi program tahunan.

Dengan demikian, jelas bahwa terdapat pertalian yang erat dan strategis antara

sistem perencanaan tata ruang dengan sistem pemanfaatan ruang serta sistem

pengendalian pemanfaatan ruang.

Melihat kenyataan tersebut, jelas bahwa aspek fisik tanah sangat menentukan

pelaksanaan pembangunan yang biasa bermanfaat bagi semua kepentingan

masyarakat secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi dan

berkesinambungan.

Agar tanah dapat dipergunakan secara efesien untuk menyelenggarakan kegiatan

pembangunan yang beraneka ragam intensitasnya, terutama di daerah perkotaan,

maka penyediaan dan penggunaan tanah diatur di dalam suatu rencana induk yang

disebut Master Plan (rencana tata guna tanah). Dalam rencana tata guna tanah

inilah yang mengatur manfaat dan penggunaan tanah secara optimal, terinci

berdasarkan pada rencana induk kota.

Adapun RTRW Kota Bekasi 2011-2031 adalah sebagai berikut (Tercantum dalam

Perda No. 11 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Bekas):

Pasal 6

Tujuan Penataan Ruang adalah:

1. Terwujudnya kehidupan masyarakat yang sejahtera, berbudidaya,

dan berkeadilan;

2. Terselanggaranya pemanfaatan ruang wilayah yang berkelanjutan

dan berwawasan lingkungan hidup sesuai dengan kemampuan daya

dukung dan daya tamping lingkungan hidup, kemampuan

59

masyarakat dan pemerintah, serta kebijakan pembangunan nasional

dan daerah;

3. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam

dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sebsar-besarnya

sumber daya manusia;

4. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang pada kawasan

lindung dan kawasan budidaya.

Pasal 7

Kebijakan Pengembangan Penataan Ruang Kota adalah:

1. Memantapkan fungsi kota Makassar sebagai Kota Maritim, Niaga,

Pendidikan, Budaya, dan Jasa berskala Nasional dan Internasional;

2. Memperioritaskan arah pengembangan kota ke arah koridor Timur,

Selatan, Utara, dan membatasi Pengembangan ke arah Barat agar

tercapai keseimbangan ekosistem;

3. Melestarikan fungsi dan keserasian lingkungan hidup di dalam

penataan ruang dengan mengoptimalkan daya dukung dan daya

tamping lingkungan hidup;

4. Mengembangkan sistem prasarana dan sarana Kota yang berintegrasi

dengan sistem regional, nasional dan internasional.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa yang dimaksud dengan

rencana umum tata ruang kota adalah rencana peruntukan, penggunaan,

penyediaan dan pemeliharaan tanah agar dapat digunakan secara optimal dan

dapat dirasakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Dalam meningkatkan pembangunan, Pemerintah Kota Bekasi telah

menetapkan pola dasar pembangunan daerah untuk lebih meningkatkan atau

menciptakan iklim yang menunjang pertumbuhan perumahan, permukiman dan

industri. Oleh karena itu, semakin ditingkatkan usaha penataan dan pengaturan

wilayah pada kawasan perumahan dan permukiman kumuh yang tepat sesuai

dengan tata perencanaan kota.

60

Pemerintah Kota Bekasi dalam upaya pengembangan wilayah perkotaan, telah

membuat pokok-pokok kebijaksanaan dalam pembangunan perumahan dan

permukiman kumuh yaitu:

1. Pembangunan perumahan dan permukiman kumuh diarahkan untuk dapat

membuat struktur ekonomi melalui penyusunan

program terpadu yang saling menunjang antara berbagai sektor perumahan dan

sektor-sektor lainnya.

2. Struktur perumahan dan permukiman semakin diperkuat dan diperdalam

melalui usaha pengelolaan antara berbagai jenis perumahan.

3. Pembangunan perumahan sederhana dan sehat dengan sasaran menegah ke

bawah harus ditingkatkan, sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat yang

berpenghasilan menengah ke bawah.

4. Pembangunan perumahan dan permukiman secara keseluruhan ditujukan untuk

mengarah kepada pencapaian masyarakat Indonesia yang berkepribadian maju,

sejahtera berdasarkan pada Pancasila serta tetap mendorong partisipasi

masyarakat luas dalam pembangunan perumahan.

5. Keberadaan masyarakat Kota Bekasi sendiri di dalam usaha pembangunan

perumahan semakin diperbesar malalui peningkatan kemampuan dalam

melakukan rancang bangun dan perekayasaan, dalam mengelola usaha perumahan

dengan penguasaan berbagai teknologi dalam proses pembangunannya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Aparatur Pemerintahan dan Ketua Rt,

bahwa disebutkan regulasi upaya untuk menggusur atau membebaskan lahan

penghijauan menjadi tumpang tindih, karena dari salah satu pihak masyarakat

permukiman kumuh lebih merasa diuntungkan untuk mengurangi volume sampah

yang ada di Tempat Pembuangan Sampah. Dan yang menjadi permasalahannya

saat ini belum adanya kekuatan peraturan Hukum yang sudah ada.

3.3 Permasalahan Dalam Penataan Ruang Perkotaan

Perkotaan di Indonesia sedang mengalami percepatan pertumbuhan yang

tinggi, yang membawa dampak ada peningkatan kebutuhan ruang perkotaan dan

61

penyediaan prasarana dan saran dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi

kebutuhan di masa mendatang. Hal ini terutama dikaitkan dengan kemungkinan

peningkatan produktivitas (ekonomi) perkotaan.

Namun di balik perkembangan kota saat ini, ternyata mengakibatkan berbagai

macam permasalahan, terutama permasalahan lingkungan di perkotaan.

Menjamurnya permukiman kumuh, polusi udara, polusi air adalah beberapa

permasalahan lingkungan perkotaan yang muncul di wilayah perkotaan yang ada

di Indonesia.

Di tinjau dari segi fisik, permasalahan utama penataan ruang di perkotaan

disebabkan hal-hal sebagai berikut:

a. Semakin berkurangnya ruang terbuka yang disebabkan oleh

semakin banyaknya bangunan sehingga penggunaan tanah

a. pun tak terkendalikan sehingga tanah yang sebenarnya untuk ruang

terbuka atau taman-taman sebagai paru-paru kota banyak

disalahgunakan untuk bangunan gedung-gedung perkantoran,

perumahan, maupun pengembangunan infrastruktur daerah perkotaan

sendiri oleh pemerintah seperti pembangunan jalan raya.

b. Menjamurnya perumahan kumuh yang disebabkan oleh arus

urbanisasi, sebab orang-orang yang melakukan urbanisasi tersebut

tidak seharusnya mempunyai tanah atau rumah di perkotaan untuk

ditinggali karena berpaling lagi kepada permasalahan ekonomi,

dimana untuk membeli tanah dan rumah di perkotaan membutuhkan

biaya yang sangat besar sehingga mereka membangun rumah liar di

lokasi-lokasi pinggiran perkotaan. Dan hal ini mengakibatkan

timbulnya perkampungan kumuh di tengah-tengah wilayah

perkotaan.

c. Terjadinya penyerobotan tanah di pusat-pusat kota maupun di

pinggir-pinggir kota yang banyak mengakibatkan permasalahan di

kemudian hari.

d. Timbulnya kemacetan lalu lintas di tengah-tengah kota

memperlambat aktivitas .

62

Hal tersebut jelas mempengaruhi penataan ruang perkotaan dan akan

semakin lebih parah lagi apabila pembangunan lebih berorientasikan pada daeah

pusat perkotaan, sebab dengan pola pembangunan yang demikian menjadikan laju

urbanisasi kian berjalan dengan cepatnya.

Permasalahan minimnya ruang terbuka hijau yang menjadi salah satu

permasalahan yang timbul di kawasan perkotaan. Ruang terbuka hijau di kota-

kota besar kini keluasannya semakin susut, hal itu diakibatkan perkembangan

pembangunan di perkotaan yang pesat. Akibatnya ruang terbuka hijau saat ini

merupakan permasalahan yang pelik dan sulit diatasi.

Adanya pembangunan yang tak terkontrol tersebut, menjadikan ruang terbuka

hijau di perkotaan habis dipergunakan dan digantikan oleh bangunan-bangunan

yang menjulang tinggi, dan sarana infrastruktur penunjang perkotaan. Dalam

tahap awal perkembangan kota, sebagian besar wilayah perkotaan merupakan

ruang terbuka hijau, namun adanya kebutuhan untuk menampung penduduk dan

aktivitasnya, ruang terbuka hijau cenderung mengalami konservasi lahan menjadi

kawasan terbangun. Alih fungsi lahan yang pesat telah menimbulkan kerusakan

lingkungan yang dapat menurunkan daya dukung lahan dalam menopang

kehidupan masyarakat perkotaan, sehingga perlu dilakukan upaya untuk menjaga

dan meningkatkan kualitas lingkungan melalui penyedian ruang terbuka hijau

yang memadai52

.

Selain permasalahan ruang terbuka hijau, terjadinya urbanisasi pun secara

perlahan-lahan mempengaruhi praksis penataan ruang di perkotaan, hal ini

berhubungan dengan adanya pertambahan populasi akibat urbanisasi tersebut

yang beriringan dengan kebutuhan akan tanah yang subur di daerah sekelilingnya,

termasuk diantaranya ruang-ruang terbuka di wilayah perkotaan yang berfungsi

untuk menjaga keseimbangan ekosistem setempat. Dengan kata lain, kota

berkembang tanpa rencana dan banyak membawa dampak yang negatif dalam

52

Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan kebijakan Pembangunan perumahan dan Permukiman Berkelanjutan

( Medan : Pustaka Bangsa Press 2003), hlm. 78.

63

penataan ruang perkotaan, namun kita juga tidak boleh mengesampingkan

dampak positif yang ditimbulkan dengan adanya urbanisasi tersebut, seperti

misalnya penambahan tenaga kerja yang potensial yang dapat dimanfaatkan untuk

kegiatan pembangunan.

Urbanisasi yang tidak dibarengi dengan perubahan pola pikir masyarakat

pedesaan, dalam hal ini pengetahuan kaum urban mengenai penataan ruang justru

merugikan para urbanisan sendiri, yang akibatnya menjadi beban masyarakat kita

pada umumnya, dan pengelola kota pada khususnya. Hal tersebut tercermin dari

merebaknya permukiman-permukiman kumuh di wilayah perkotaan sebagai

gambaran persentase kemiskinan yang lebih tinggi di perkotaan.

Dalam hal peremajaan permukiman kumuh nampaknya menjadi buah simalakama

bagi pemerintah, sebagaimana kita ketahui apabila wilayah kumuh tetap dibiarkan

berdiri maka yang terjadi adalah permukiman kumuh tersebut akan semakin

menjamur kemana-mana. Sementara jika dilakukan renovasi terhadap

permukiman kumuh dikhawatirkan akan semakin meningkatkan rangsangan

penduduk yang masih berada di pedesaan untuk berduyun-duyun menuju ke kota

dengan berasumsi bahwa walaupun mereka nantinya mendirikan permukiman liar

untuk ditinggali, namun pemerintah akan memperbaiki permukiman yang mereka

dirikan tersebut.

3.4 Penegakan Hukum Terhadap Penerbitan Izin Mendirikan

Bangunan (IMB) yang Melanggar Tata Ruang

Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai

yang terjabarkan di dalam kaidah kaidah nilai yang mantap dan mengejewantah

dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk

menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Sedangkan penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau

konsep-konsep tentang keadian, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya.

Jadi penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep

konsep tersebut menjadi kenyataan.

64

Seperti halnya penegakan hukum terhadap penerbitan izin mendirikan bangunan

yang melanggar tata ruang. Dengan tujuan supaya Kota Bekasi menjadi kota yang

sehat dan ramah lingkungan, maka perlu adanya penegakan hukum yang tegas

terkait pelanggaran tata ruang tersebut. Sedangkan di Kota Bekasi ada beberapa

bangunan yang melanggar tata ruang namun tidak adaupaya penegakan hukum

yang dikenakan terhadap bangunan-bangunan tersebut.

Pelanggaran-pelanggaran tata ruang di atas sebenarnya tidak perlu terjadi apabila

ada upaya penegakan hukum terhadap pihak-pihak terkait yang melanggar tata

ruang benar-benar diterapkan. Upaya penegakan hukum yang diterapkan

dibedakan menjadi 3, yaitu :

1. Sarana Hukum Administrasi

a. Pengawasan

Pengawasan bangunan dilakukan oleh dua instansi, yaitu :

- Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan Dan Pengawas Bangunan

- Satuan Polisi Pamong praja (Satpol PP)

Pengawasan bangunan di Kota Bekasi terjadi apabila ada pelapor yang

mengadukan adanya terjadi pelanggaran tata ruang.

Sedangkan menurut pasal 55 ayat (2) UU Nomor 26 Tahun 2007, pengawasan

tersebut terdiri atas tindakan pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Jadi tidak

hanya menunggu laporan dari masyarakat yang merasa dirugikan atas pelanggaran

tata ruang tersebut.

b. Sanksi Administrasi

Sanksi administrasi yang dikenai sesuai dengan pasal 63 Undang-Undang Nomor

26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah :

a. Peringatan tertulis

b. Penghentian sementara kegiatan

c. Penghentian sementara pelayanan umum

d. Penutupan lokasi

e. Pencabutan izin

f. Pembatalan izin

65

g. Pembongkaran bangunan;

h. Pemulihan fungsi ruang

i. Denda administratif.

Dari sekian banyak sanksi administrasi yang disebutkan di pasal 63 UU Nomor 26

Tahun 2007, di Kota Bekasi sendiri masih belum dilaksanakan dengan maksimal

atau mungkin belum menimbulkanefek jera bagi pemilik bangunan.

2. Sarana Hukum Perdata Penegakan hukum perdata diatur dalam pasal 66 dan 67

Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sarana Hukum Perdata diajukan

apabila terdapat masyarakat atau pihak yang merasa dirugikan terutama dari segi

materi akibat penyalahgunaan pemanfaatan ruang. Sarana Hukum Perdata yang

dimaksud adalah berupa gugatan perdata yang diajukan ke pengadilan. Namun

sebelum diajukan ke pengadilan, diupayakan musyawarah untuk mufakat terlebih

dulu.

3. Sarana Hukum Pidana

a. Penyidikan

Selain upaya pengawasan dan pengenaan sanksi administrasi, juga ada proses atau

upaya penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan mengumpulkan bukti

yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan

menemukan tersangkanya. Seperti pada umumnya, setiap terjadi suatu

pelanggaran maka pasti ada penyidikan sebelum terlaksananya ketentuan pidana.

Begitu juga dalam hal penerbitan IMB yang melanggar tata ruang, sebelum

mengetahui benar adanya terjadi pelanggaran tata ruang dan diterapkannya

ketentuan pidana, maka perlu diadakannya pemeriksaan kepada pihak-pihak yang

terkait dan pengumpulan barang bukti. Seperti yang tercantum di dalam pasal 68

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

b. Ketentuan Pidana

Bagi orang yang melanggar tata ruang atau RTRW yang telah ditetapkan, maka

sanksi di jelaskan menurut pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun

66

2007 tentang Penataan ruang. Sedangkan bagi pejabat yang berwenang, yang

terbukti menyalahgunakan wewenangnya dengan mengeluarkan IMB yang tidak

sesuai/melanggar tata ruang yang ada,maka menurut pasal 73.

Sarana Hukum Pidana ditujukan kepada dua pihak, yaitu :

- Orang yang mengajukan/pemohon (investor atau pengusaha)

- Pejabat yang berwenang

3.4 Regulasi Dasar Hukum Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

Bekasi53

a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan

Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor

7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188);

b) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang- undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5233);

c) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian

Urusan Pemerintah Di bidang Pekerjaan Umum Kepada Daerah

(Lembaran Negara Tahun 1 987 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3353);

d) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3445);

e) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan

Kewajiban serta Bentuk dan Tatacara Peranserta Masyarakat dalam

Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996

53

Mengingat Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Kota Bekasi

67

BAB IV

Bagaimana Upaya yang dilakukan untuk mengatasi

masalah dalam pelaksanaan pemberian Izin Mendirikan

Bangunan terhadap Tata Ruang di Tempat Pembuangan

Sampah Terpadu Bantar Gebang

4.1 Pengawasan Pelaksanaan Izin Mendirikan Bangunan di TPST

Bantar Gebang

Aktivitas pembangunan fisik di Kota Bekasi tepatnya di daerah kumuh

Bantar Gebang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang pesat. Salah satu

yang paling nampak adalah pembangunan rumah penduduk non permanen yang

setiap saat terus bertambah.

Pembangunan rumah non permanen merupakan salah satu bukti bahwa kurangnya

kesadaran masyarakat tentang pengetahuan perizinan. Namun demikian,

pembangunan rumah yang tidak terkendali dapat mempengaruhi rencana tata

ruang wilayah suatu daerah. Hal ini berdampak pada menurunnya kualitas visual

suatu daerah. Di samping itu, potensi kerusakan bangunan akibat bencana alam

semakin besar serta masalah-masalah lain yang mungkin akan timbul di masa

yang akan datang.

Pembangunan yang kian hari kian bertambah harus terus diawasi sehingga

keberadaan bangunan tersebut bisa sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Kota

Bekasi. Bangunan yang tertata rapi pun bisa menjadi salah satu daya tarik suatu

daerah.

Berbagai peraturan perundang-undangan dikeluarkan untuk mengatur bangunan

dan izin mendirikan banguan. Tujuan dasar pengurusan izin mendirikan bangunan

bagi pemerintah yaitu untuk melakukan pengawasan, pengendalian dan penertiban

bangunan serta untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan pendirian bangunan

sesuai dengan tata ruang serta menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah

68

(PAD). Pemberian IMB bukan hanya bermanfaat bagi pemerintah saja tetapi juga

bagi masyarakat itu sendiri. Manfaat yang diperoleh masyarakat yaitu untuk

pengajuan sertifikat laik jaminan fungsi bangunan, dan untuk memperoleh

pelayanan utilitas umum seperti pemasangan / penambahan jaringan listrik, air

minum, hydrant, telepon, dan gas.

Pengawasan terhadap Izin Mendirikan Bangunan di Kota Bekasi dilakukan oleh

Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman. Tugas pengawasan

bangunan merupakan salah satu tugas pokok dan melekat pada dinas tersebut.

Untuk mengoptimalkan tugas pengawasan tersebut, maka Dinas Perumahan

Rakyat dan Kawasan Permukiman membentuk tim yang dinamakan Polisi

Sempadan. Tugasnya ada dua (2) yaitu:

(1) Melaksanakan pengendalian dan pengawasan bangunan dalam

wilayah Kota Bekasi, dan;

(2) Menertibkan bangunan-bangunan yang menyimpang dan tidak

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pertumbuhan bangunan tanpa adanya kontrol dari pemerintah akan

merusak tata ruang wilayah yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Di Kota

Bekasi sendiri, rencana tata ruang wilayah telah disusun dan ditetapkan melalui

Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Kota Bekasi Tahun 2011-2031. Melalui Perda tersebut,

pemerintah menetapkan zonasi-zonasi untuk mengembangkan potensi daerah

sehingga pemerataan pembangunan bisa terwujud di Kota Bekasi.

Dalam pasal 7 Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 1 Tahun 2011 tentang

Pemberian Izin Mendirikan Bangunan dinyatakan bahwa “Bupati dalam

menyelenggarakan pemberian IMB berdasarkan pada RDTRK, RTBL, dan/atau

RTRK”. Namun berdasarkan wawancara dengan Kepala Bidang Pengawasan dan

Pengendalian Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman menyatakan

bahwa “belum ada realisasi terhadap pasal tersebut. Pemohon dapat mengajukan

permohonan IMB di semua wilayah di Kota Bekasi”. Pada saat mengurus surat

Izin mendirikan Bangunan, pemerintah tidak memberikan arahan mengenai

69

Rencana Tata Ruang Wilayah di Kota Bekasi. Sehingga pembangunan dilakukan

tanpa memperhatikan pemetaan-pemetaan yang telah ditentukan. Hal ini tentu

akan berdampak buruk bagi pembangunan dan kemajuan daerah di waktu yang

akan datang.

Selain mengawasi bangunan yang belum memiliki Izin Mendirikan

Bangunan, Polisi Sempadan juga mengawasi bangunan yang telah memiliki Izin

Mendirikan Bangunan. Setelah memiliki surat izin mendirikan bangunan, pemilik

bangunan tidak berarti lepas dari pengawasan. Pengawasan yang dilakukan

dimaksudkan untuk memantau atau meninjau kembali apakah pembangunan yang

dilakukan sesuai dengan izin yang dikeluarkan.

Dalam masa pengawasan, baik bangunan yang belum memiliki Izin

Mendirikan Bangunan maupun yang telah memiliki Izin Mendirikan Bangunan

tetapi memiliki pelanggaran maka tetap akan dikenai sanksi administrasi. Sanksi

yang diberikan yaitu berupa surat teguran (peringatan tertulis) yang juga

merupakan surat panggilan. Pemilik bangunan dipanggil untuk menghadap dan

menyelesaikan surat izin mendirikan bangunan yang dimaksud.

Apabila pemilik bangunan tidak menghadap pada hari yang telah

ditentukan, maka Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman akan

memberikan surat panggilan kedua.

Apabila belum juga menghadap, maka surat panggilan ketiga akan diberikan.

Dan apabila pemilik bangunan yang bersangkutan tidak mengindahkan maka

pihak Pemerintah Kota Bekasi menghentikan sementara proses pembangunan

sampai pemilik bangunan mengurus surat izin mendirikan bangunannya.

Berdasarkan hasil kajian dari detik.com tentang penggusuran rumah liar di Bantar

Gebang Pengendalian mengatakan bahwa:54

“Pada bangunan yang telah memiliki IMB, kami tetap melakukan pengawasan

atau pemantauan. Pemantauan kami lakukan dengan turun ke lapangan meninjau.

Kami juga meninjau bangunan yang dilaporkan oleh masyarakat untuk melihat

dan memastikan laporan tersebut. Apabila terdapat pelanggaran maka kami akan

54 54

Skripsi Zulhaidir 2017 Wawancara dengan Andarias Lebang pada tanggal 11 Juli 2017

70

memberikan surat teguran yang sekaligus surat panggilan. Apabila pemilik

bangunan tidak hadir pada hari yang ditentukan, maka kami akan memberikan

surat panggilan kedua. Jika hal tersebut belum juga diindahkan maka kami akan

memberikan surat panggilan ketiga. Apabila dalam panggilan ketiga, pemilik

bangunan tidak mengindahkannya lagi maka kami akan membentuk tim untuk

melakukan pembongkaran paksa. Pembongkaran merupakan upaya terakhir yang

dilakukan. Tim yang dibentuk merupakan gabungan beberapa instansi yang terkait

seperti Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman itu sendiri, Satpol PP,

Kepolisian, dan Kodim. Tim ini dibentuk oleh Bupati dengan mengeluarkan SK.

Kami tidak mengharapkan ada kejadian seperti itu yang terjadi. Selain

pembongkaran yang dilakukan oleh tim terpadu, ada pula pemilik bangunan yang

kemudian membongkar sendiri bangunannya yang melanggur aturan.”

Pengawasan yang dilakukan meliputi pemeriksaan bangunan, persyaratan

teknis bangunan dan keandalan bangunan55

. Persyaratan teknis yang dimaksud

yaitu: 56

a. Fungsi bangunan gedung yang dapat dibangun pada lokasi yang

bersangkutan

b. Ketinggian maksimum bangunan gedung yang diizinkan

c. Jumlah lantai/lapis bangunan gedung di bawah permukaan tanah

dan KTB yang diizinkan apabila membangun di bawah permukaan

tanah

d. Garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan gedung yang

diizinkan

e. KDB maksimum yang diizinkan

f. KLB maksimum yang diizinkan

g. KDH minimum yang diwajibkan

h. Jaringan utilitas kota

i. Keterangan lain yang terkait.

55 Lihat di Perda kota Bekasi Nomor 1 Tahun 2016 pada pasal 32 ayat (2) 56 Lihat di Perda kota Bekasi Nomor 1 Tahun 2016 pada pasal 32 ayat (3)

71

1.2.2 Faktor-Faktor Penghambat Dalam Mengawasi Izin Mendirikan

Bangunan di Kota Bekasi

Pengawasan terhadap Izin Mendirikan Bangunan merupakan tugas dari

Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman. Di dalam melakukan

tugasnya sebagai pengawas IMB, tidaklah berjalan dengan lancar. Terdapat

beberapa faktor yang menghambat pengawasan terhadap IMB. Menurut Pak

Andarias Lebang selaku kepala bidang pengendalian dan pengawasan bangunan

pada dinas perumahan rakyat dan kawasan permukiman, menyebutkan bahwa:57

“terdapat beberapa hambatan kami dalam melakukan pengawasan terhadap izin

mendirikan bangunan, yaitu:

a. Belum adanya peraturan Bupati yang mengatur mengenai teknis

pelaksanaan Perda Nomor 1 tahun 2016 tentang Pemberian Izin

Mendirikan Bangunan.

b. Jumlah pengawas yang sangat sedikit untuk mengawasi semua

bangunan di Kabupaten Tana Toraja.

c. Kurangnya kesadaran dari masyarakat.”

Faktor yang pertama yaitu faktor belum adanya peraturan Bupati yang

mengatur mengenai teknis pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 1

tahun 2016 tentang Pemberian Izin Mendirikan Bangunan. Hal ini tentu

menyulitkan pengawas untuk melakukan tugas mereka dengan baik. Perda yang

ada tidak mengatur secara rinci mengenai mekanisme pengawasan, instansi-

instansi yang berwenang turun melakukan pengawasan, dan hal-hal lain mengenai

penertiban Bangunan.

Faktor kedua yaitu keterbatasan jumlah pengawas menyulitkan

pengawasan. Hanya ada 10 pengawas yang mengawasi izin mendirikan bangunan

di Kota Bekasi. Jumlah tersebut sangat sedikit bila melihat luas dan banyaknya

kecamatan di Kota Bekasi. Terdapat 3 Kecamatan di Kota Bekasi dengan jarak

yang lumayan luas. Hal tersebut membuat beberapa daerah yang tidak terjangkau

57

Skripsi Zulhaidir 2017 Wawancara dengan Bapak Andrias Lebang selaku Kepala Bidang

Pengendalian dan Pengawasan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Kota Bekasi

pada tanggal 4 Juli 2017

72

untuk diawasi. Hal yang paling memprihatinkan yaitu semua anggota pengawas

bangunan dari Tim Polisi Sempadan tidak mempunyai kompetensi di bidang

arsitektur dan bangunan. Sehingga dalam melaksanakan tugas pengawasan

bangunan, tim Polisi Sempadan hanya memeriksa sebagian dari persyaratan

teknis.

Mengenai sarana dan prasarana pendukung, Polisi Sempadan telah

memiliki beberapa kendaraan dinas yang dapat digunakan namun ketika turun

lapangan, tim tidak menggunakan perlengkapan keamanan seperti helm, rompi,

dan sepatu khusus sehingga bisa menimbulkan resiko keselamatan kerja. Ketika

dalam pengawasan sampai pada tahap penertiban dan pembongkaran bangunan,

tim hanya berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum untuk penyewaan alat

berat.

Faktor ketiga yaitu kurangnya kesadaran masyarakat dalam usaha untuk

mengurus Izin Mendirikan Bangunan di Kota Bekasi. Masyarakat cenderung cuek

dan mengurus Izin mendirikan bangunan setelah adanya teguran dari pengawas

yang turun ke lokasi untuk meninjau bangunan. Bahkan adapula masyarakat yang

sama sekali tidak mengetahui mengenai aturan mengurus Izin Mendirikan

Bangunan sebelum mendirikan bangunan. Hal ini karena kurangnya sosialisasi

dari Dinas terkait mengenai kewajiban mengurus Izin Mendirikan Bangunan

sebelum mulai membangun. Juga masyarakat yang melanggar ketentuan

mengenai Izin Mendirikan Bangunan yang kemudian diberi surat

teguran/panggilan pertama, tidak langsung menghadap dan/ataupun menghadap

tetapi tidak mengindahkan arahan pengawas. Hal tersebut membuat pengawas

harus memberikan surat teguran sekaligus surat panggilan berikutnya. Juga

kurangnya kesadaran masyarakat dalam melaporkan kasus-kasus pelanggaran Izin

Mendirikan Bangunan di Kota Bekasi. Masyarakat banyak yang takut melaporkan

pelanggaran yang terjadi.

Pemilik bangunan merupakan salah satu faktor yang menentukan tegaknya hukum

dalam hal izin mendirikan bangunan. Apabila pemilik bangunan sadar akan

kewajiban dan aturan mengenai pendirian bangunan maka penegakan aturan dan

73

pengawasan akan berjalan dengan baik. Hal ini merupakan kondisi ideal yang

diharapkan oleh semua pihak. Tetapi pada kenyataannya hal tersebut memiliki

banyak tantangan untuk diwujudkan.

4.2.3 Potensi Permasalahan Izin Mendirikan Bangunan di Kawasan

Permukiman Kumuh Sebagai kelanjutan dari deskripsi yang sudah dilakukan, selanjutnya

adalah analisis tentang model penanganan kawasan kumuh dan relevansi

penerapan pada kasus permukiman kumuh kota Bekasi tepatnya pada Kelurahan

Sumur Batu. Kemudian model yang diterapkan pada kawasan permukiman kumuh

tersebut sesuai dengan analisis yang dilakukan. Model atau konsep yang akan

ditinjau relevansinya adalah konsep pengadaan rumah baru, konsep Peningkatan

Kualitas Lingkungan Permukiman, konsep peremajaan kota, dan konsep rumah

sewa.

Dalam menentukan penanganan kawasan kumuh terlebih dahulu

diidentifikasi faktor kemungkinan yang dilandaskan berdasarkan beberapa kriteria

yang terpilih diantaranya dari kepemilikan tanah, kepadatan bangunan, kepadatan

penduduk, kondisi sarana dan prasarana. Konsep penanganan konsep pengadaan

rumah baru, konsep Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman, konsep

peremajaan kota dan konsep rumah sewa, terhadap faktor kepentingan, sehingga

dapat menentukan konsep model penanganan yang sesuai diterapkan pada

kawasan studi. Untuk itu perlu faktor-faktor kemungkinan yang ada dari

kepadatan bangunan, status kepemilikan lahan, kepadatan penduduk.

Wilayah Kelurahan Sumur Batu di Kota Bekasi dengan kepadatan

penduduk dan bangunan yang cukup tinggi sehingga menimbulkan masalah dalam

pengaturan pola permukiman yaitu, cenderung menimbulkan wilayah kumuh dan

lingkungan yang tidak terpelihara. Keberadaan kawasan ini ditengah kota

karenanya sangat strategis untuk tempat tinggal bagi penduduk yang ingin

mendekati tempat kerja dan usaha mereka.

74

4.2.4 Konsep Penanganan dan Implementasi Tata Ruang Di

Kawasan Permukiman Kumuh

Strategi diharapkan dapat menjadi patokan oleh Pemerintah Kota Bekasi

dalam program penanganan permukiman kumuh di Kelurahan Sumur Batu

khususnya dan permukiman kumuh lainnya pada umumnya. Dalam menetapkan

langkah-langkah dari strategi yang akan digunakan matriks superimpose.

Model penanganan permukiman kumuh dapat dilakukan dengan

mempertimbangkan kondisi; status tanah, kepadatan bangunan, tingkat

kekumuhan , kesesuaian dengan RTRW, sehingga model penanganan yang ada

adalah sebagai berikut :

A. Peremajaan kota

Peremajaan itu sendiri diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas

melalui kegiatan perombakan dengan perubahan yang mendasar dan penataan

yang menyeluruh terhadap kawasan hunian yang tidak layak huni tersebut.

1. Upaya yang dilakukan dalam rangka peremajaan:

2. Secara bertahap dan sering kali mengakibatkan perubahan yang

mendasar,

3. Bersifat menyeluruh dalam suatu kawasan permukiman yang sangat

tidak layak huni, yang secara fisik sering tidak sesuai lagi dengan

fungsi kawasan semula.

4. Difokuskan pada upaya penataan menyeluruh terhadap seluruh

kawasan hunian kumuh, rehabilitasi dan atau penyediaan prasarana

dan sarana dasar, serta fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang

menunjang fungsi kawasan ini sebagai daerah hunian yang layak.

5. Sasaran lokasi adalah lingkungan permukiman kumuh di perkotaan

baik yang berlokasi pada peruntukan perumahan dalam RUTR pada

tanah/lahan ilegal atau pada daerah bantaran banjir.

75

B. Tingkatan Kekumuhan Kawasan Permukiman

Berikut dijelaskan kondisi kekumuhan pada kawasan perkotaan yang sulit

dipertahankan baik sebagai hunian maupun kawasan fungsional lain. Jenis

kekumuhan yang perlu dihapuskan atau dikurangi dengan prinsip

didayagunakan (direvitalisasi atau di-refungsionalkan) adalah sebagai berikut:

a. Kawasan Kumuh Di Atas Tanah Legal

Yang dimaksud dengan kawasan kumuh legal adalah permukiman kumuh

(dengan segala ciri sebagaimana disampaikan dalam kriteria) yang berlokasi di

atas lahan yang dalam RUTR diperuntukkan sebagai zona perumahan. Untuk

model penanganannya dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan,

yaitu:

Model Land Sharing

Yaitu penataan ulang di atas tanah/lahan dengan tingkat kepemilikan masyarakat

cukup tinggi. Dalam penataan kembali tersebut, masyarakat akan mendapatkan

kembali lahannya dengan luasan yang sama sebagaimana yang selama ini

dimiliki/dihuni secara sah, dengan

memperhitungkan kebutuhan untuk prasarana umum (jalan, saluran dll).

Beberapa prasyarat untuk penanganan ini antara lain:

1. Tingkat pemilikan/penghunian secara sah (mempunyai bukti

pemilikan/penguasaan atas lahan yang ditempatinya) cukup tinggi

dengan luasan yang terbatas. Tingkat kekumuhan tinggi dengan

kesediaan lahan yang memadai untuk menempatkan prasarana dan

sarana dasar.

2. Tata letak permukiman tidak terpola.

3. Model Land Consolidation

76

Model ini juga menerapkan penataan ulang di atas tanah yang selama

ini telah dihuni.

Beberapa prasyarat untuk penanganan dengan model ini

antara lain:

a. Tingkat penguasaan lahan secara tidak sah (tidak memiliki bukti

primer pemilikan/penghunian) oleh masyarakat cukup tinggi.

b. Tata letak permukiman tidak/kurang berpola, dengan pemanfaatan

yang beragam (tidak terbatas pada hunian).

c. Berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan fungsional yang

lebih strategis dari sekedar hunian.

b. Kawasan Kumuh Di Atas Tanah Tidak Legal

Yang dimaksudkan dengan tanah tidak legal ini adalah kawasan permukiman

kumuh yang dalam RUTR berada pada peruntukan yang bukan perumahan.

Disamping itu penghuniannya dilakukan secara tidak sah pada bidang tanah,

baik milik negara, milik perorangan atau Badan Hukum.

Penanganan kawasan permukiman kumuh ini antara lain melalui:

1. Resettlement/pemindahan penduduk pada suatu kawasan yang khusus

disediakan, yang biasanya memakan waktu dan biaya sosial yang cukup besar,

termasuk kemungkinan tumbuhnya kerusuhan atau keresahan masyarakat.

Pemindahan ini apabila permukiman berada pada kawasan sebagaimana yang

selama ini dimiliki/dihuni secara sah, dengan memperhitungkan kebutuhan

untuk prasarana umum (jalan, saluran dll).

Beberapa prasyarat untuk penanganan ini antara lain:

a. Tingkat pemilikan/penghunian secara sah (mempunyai bukti

pemilikan/penguasaan atas lahan yang ditempatinya) cukup tinggi dengan

luasan yang terbatas.

77

b. Tingkat kekumuhan tinggi dengan kesediaan lahan yang memadai untuk

menempatkan prasarana dan sarana dasar.

c. Tata letak permukiman tidak terpola.

d. Model Land Consolidation

Model ini juga menerapkan penataan ulang di atas tanah yang selama ini

telah dihuni.

Beberapa prasyarat untuk penanganan dengan model ini antara lain:

1. Tingkat penguasaan lahan secara tidak sah (tidak memiliki bukti primer

pemilikan/penghunian) oleh masyarakat cukup tinggi.

2. Tata letak permukiman tidak/kurang berpola, dengan pemanfaatan yang

beragam (tidak terbatas pada hunian).

3. Berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan fungsional yang lebih

strategis dari sekedar hunian. Melalui penataan ulang dimungkinkan

adanya penggunaan campuran (mix used) hunian dengan penggunaan

fungsional lain.

78

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

Berdasarkan pembahasan diatas maka yang dapat di simpulkan dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut :

1. Implementasi fungsi rencana tata ruang wilayah Kota Bekasi belum

dilaksanakan sebagaimana mestinya, seperti pembangunan

permukiman rumah kumuh non permanen yang seharusnya sebagai

daerah resapan air dan kawasan ruang terbuka hijau, alih fungsi

dari daerah resapan air menjadi pemukiman dan perumahan, serta

pemanfaatan ruang di Kota Bekasi belum memperhatikan

perencanaan tata ruang wilayah.

2. Faktor penghambat dalam merealisasikan RTRW dalam penegakan

hukum lingkungan yaitu : Sumberdaya Manusia, Lemah

Koordinasi, Lemahnya pengawasan, Rendahnya Partisipasi

Masyarakat. Cara mengatasi kendala tersebut adalah

mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor terkait

dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup,

adanya sanksi yang memadai (enforceability) bagi masyarakat

sesuai dengan dengan aturan yang berlaku, adanya partisipasi

publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber

daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan.

3. Data dan informasi yang digunakan dalam penyusunan RTRW

kurang akurat dan belum meliputi analisis pemanfaatan

sumberdaya secara komprehesif. Penyusunan RTRW seringkali

hanya formalitas untuk memenuhi kewajiban pemerintah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu,

79

RTRW seringkali dianggap sebagai produk satu instansi tertentu

dan belum menjadi dokumen milik semua instansi karena

penyusunannya belum melibatkan berbagai pihak.

5.2 . Saran

1. Untuk pemerintah kota Bekasi khususnya Dinas Tata Ruang Tata

Bangunan dan Perumahan dalam penerapan Peraturan Daerah

Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

Bekasi Tahun 2011-2031 agar lebih efektif, tegas dan bijak untuk

mewujudkan Kota Bekasi sebagai kota metropolitan berbasis

mitigasi bencana yang didukung oleh sektor perindustrian,

perdaganggan, jasa dan pariwisata.

2. Pemerintah kota Bekasi agar dapat kerjasama dalam perencanaan,

pengawasan dan pelaksanaan penataan ruang kota Bekasi antar

dinas-dinas yang terkait sehingga dapat mewujudkan pemerintahan

yang baik.

3. Untuk masyarakat agar dapat membantu dalam mewujudkan

pemerintahan yang baik dalam hal pembangunan khususnya

pembangunan industri yang ada di Kota Bekasi.

80

Daftar Pustaka

Buku

Adisasmita, R. (2010). Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang. Yogyakarta:

Graha Ilmu.

Alwi, H. (2001). Kamus besar Indonesia Cetakan Pertama Edisi III . Jakarta:

Balai Pustaka.

Alwi, H. (2010). Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah Dalam

Konteks UUPA, UUPR dan UUPLH . Jakarta: Rajawali Pers.

Anggraeni, Y. (2008). Penataan Perumahan dan Pemukiman Kumuh di

Kelurahan Lette Kecamatan Mariso Kota Makassar. Makassar: Unhas:

Fakultas Hukum.

E, S. (1986). Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: LP3ES.

Erwiningsih, W. (2011). Hak Pengelolaan Atas Tanah. Yogyakarta: Total Media.

H.M, H. (1992). Berbagai Aspek Hukum Analisis Mengenai Dampak LIngkungan.

Jakarta: BUmi Aksara.

Harsono, B. (2008). Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-

Undang Pokok Agraria. Jakarta: Djambatan.

Hermit, H. (2007). Pembahasan Undang-Undang Penataan Ruang (Undang-

Undang No. 26 Tahun 2007), Dilengkapi dengan Permasalahan Dalam

Perencanaan Tata Ruang di Beberapa Negara latin. Bandung: CV.

Mandar Maju.

I.M, S. (1984). land Use Planning. Jakarta: Departemen Luar Negeri.

M.A, F. (2008). Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Makassar. Makassar:

Universitas Hasanuddin.

M.A, F. (2008). Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Makassar. Makassar:

Univeristas Hasanuddin.

Nur, S. S. (2010). Bank Tanah "Alternatif Penyelesaian Masalah Penyediaan

Tanah Untuk Pembangunan Kota Berkelanjutan. Makassar: AS

PUBLISHING.

81

Pasurdi, S. (1997). Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan: Perspektif

Antropologi Perkotaan. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu

Kepolisian.

Patititingi, F. (2012). Dimensi Hukum Pulau-pulau Kecil di Indonesia.

Yogyakarta: Rangkang.

Putro, J. D. (2011). Penataan Kawasan Kumuh Pingggiran Sungai di Kecamatan

Sungai Raya (Vol. Volume 11 ). Jurnal Teknik Sipil UNTAN.

Ridwan, J. S. (2010). Hukum Tata Ruang dalam konsep kebijakan otonnomi

daerah . Bandung: Nuansa.

Santoso, U. (2005). Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana

Prenada Media Group.

Supriyadi. (2010). Aspek Hukum Tanah Aset Daerah. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Supriyadi. (2010). Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.

Supriyadi, D. (2009). Perencanaan dan Pembangunan Daerah. Jakarta: Pustaka

Raya.

Wirotomo, P. (1997). Analisis dan Evaluasi hukum Tertulis Tentang Tata Cara

Pemugaran Pemukiman Kumuh atau Perkotaan. Jakarta: Badan

Pembinaan Hukum Nasional.

INTERNET

Pemukiman dan izin mendirikan lingkungan. (2014). Koran Fajar, Hal 14.

Pemukiman Liar dalam lingkungan masyarakat. (2013). Media Online Tribun

Timur.

http://makassar.tribunnews.com/2013/07/17/ilham-ingin-tata-pemukiman-kumuh-

tallo-jadi-wisata-bersejarah, di akses tanggal 23 Desember 2013, Pukul 15:14

WITA.

82

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Perubahan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas tanah

dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Pembangunan Nasional.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Undang-Undng Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan

Permukiman.

Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun

(Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisba).

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor

15/Permen/M/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan

Pengembangan Kawasan Nelayan.

Peraturan Menteri Nomor 06 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata

Bangunan dan Lingkungan.

Peraturan Menteri Pekerjaan umum nomor 18/PRT/M/2011 tentang Pedoman

Revitalisasi Kawasan.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang

Konsolidasi Tanah

83

Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Kota Makassar 2005-2015.

Peraturan Deerah Kota Bekasi Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Retribusi Izin

Mendirikan Bangunan

Peraturan Deerah Kota Bekasi Nomor 04 Tahun 2017 Tentang Penyelengaraan

dan Retribusi Izin Mendirikan Bangunan.

Peraturan Deerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Kota Bekasi