Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan, Volume 12, No. 1, Januari 2020
23
ANCAMAN TERORISME ISLAMIC STATE OF IRAQ AND SYRIA (ISIS)
PASCA FASE “KHILAFAH”
Prihandono Wibowo dan Renitha Dwi Hapsari
Program Studi Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UPN “Veteran” Jawa Timur
Email : [email protected] dan [email protected]
Abstrak
Tulisan ini bertujuan mengelaborasi eksistensi dan strategi terorisme ISIS pasca perang Baghouz. Sejak
Perang Baghouz pada Maret 2019, beberapa pemimpin negara mengumumkan kemenangan atas ISIS
sekaligus mengumumkan berakhirnya “khilafah” ISIS yang pernah dideklarasikan tahun 2014. Namun
pasca fase tersebut, ISIS mengklaim kelompoknya masih eksis dan mampu melakukan operasi serangan
lintas negara. ISIS justru menggencarkan operasi gerilya maupun terorisme di berbagai negara lintas
benua. Hal ini menggambarkan bahwa potensi ancaman terorisme kelompok tersebut masih menjadi per-
soalan serius bagi keamanan dunia internasional. Oleh karena itu, eksistensi ISIS pasca fase “khilafah” dan
trend potensi ancaman terorisme kelompok tersebut signifikan untuk dikaji, baik dalam dunia akademis
maupun bagi pengambil kebijakan dalam bidang keamanan. Terdapat temuan menarik dalam tulisan ini.
Pertama, ISIS masih eksis dan mendapat dukungan dari “mujahidin” lintas negara. ISIS bertransformasi
dari “quasi-state” menjadi kelompok “teroris.” Kedua, penggunaan strategi franchise dan lone wolf terror-
ism oleh ISIS menonjol pasca kelompok tersebut kehilangan penguasaan teritori. Ketiga, ISIS masih domi-
nan menggunakan media sosial dan internet untuk kepentingan konstruksi propaganda dan komunikasi.
Hasil tersebut didasarkan atas triangulasi data, yaitu data yang berasal dari dokumen yang disirkulasikan
oleh ISIS dan afiliasinya pasca Perang Baghouz, hasil wawancara, serta konfirmasi dengan data inde-
penden.
Kata-kata Kunci : “khilafah” ISIS, kombinasi strategi, ancaman terorisme
Abstract
This paper aims to elaborate the existence and strategy of ISIS terrorism after the Baghouz war. Since the
Baghouz War in March 2019, several state leaders have announced victory over ISIS and announced the
end of the "caliphate" of ISIS that was declared in 2014. However, after that phase, ISIS claimed that the
group still existed and was able to carry out cross-border operations. ISIS has intensified guerrilla opera-
tions and terrorism in various countries across continents. This illustrates that the potential threat of ter-
rorism of the group is still a serious problem for international security. Therefore, the existence of ISIS af-
ter the "khilafah" phase and the potential trend of the threat of terrorism of the group is significant to be
studied, both in the academic world and for policy makers in the security sector. There are interesting
findings in this paper. First, ISIS still exists and has the support of "mujahidin" across countries. ISIS has
transformed from a "quasi-state" into a "terrorist" group. Second, ISIS's use of the franchise and lone wolf
terrorism strategy stands out after the group has lost territorial control. Third, ISIS still dominantly uses
social media and the internet for the sake of propaganda and communication construction. These results
are based on triangulation of data, namely data derived from documents circulated by ISIS and its affili-
ates after the Baghouz War, interviews, and confirmation with independent data.
Key Words: ISIS’s "khilafah", combination of strategies, threats of terrorism
24
PENDAHULUAN
Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) memiliki perbedaan signifikan dengan kelompok teroris lain.
ISIS pernah menguasai wilayah luas di Syria dan Irak. Sebagian kota utama di Irak dan Syria pernah dalam
kontrol ISIS. Di Irak, ISIS menguasai Mosul, Tikrit, dan Falujah. Sedangkan di Syria, ISIS menguasai Raqqah
dan Palmyra. ISIS menjalankan fungsi selayaknya pemerintahan sebuah negara. ISIS memiliki institusi
pengadilan, perpajakan, kesehatan, keamanan, perawatan infrastruktur, lembaga pencatatan pernikahan.
ISIS juga mencetak uang sendiri, menerbitkan paspor, serta memiliki lambang bendera. Sejumlah estimasi
memperkirakan ISIS memiliki tantara sejumlah 20.000-200.000 orang (Wang & Fan, 2015). Suku-suku lo-
kal, kelompok dengan afiliasi keagamaan yang sama, desertir tentara, serta foreign fighters menjadi pen-
dukung utama ISIS di Irak dan Syria. ISIS mengklaim entitasnya sebagai “khilafah.” Bersamaan dengan
deklarasi sebagai “khilafah” pada 2014, ISIS mendeklarasikan berakhirnya era “Sykes-Picot” dengan mero-
bohkan pembatas negara Irak dan Syria.” Pada masa “kejayaannya” di tahun 2014-2016, ISIS menguasai
wilayah luas di Irak dan Syria. Pada periode Maret 2017, ISIS menguasai wilayah Syria hampir seluas
80.380 km per segi. Sedangkan pada fase yang sama, pasukan negara Syria hanya menguasai sekitar
40.340 km per segi (https://syriancivilwarmap.com, 2019). Di Irak, ISIS, pergerakan kelompok tersebut
hampir mengancam ibu kota Irak. Kekuasaan ISIS mencapai hanya berjarak 60 km dari wilayah ibukota
Baghdad. ISIS menguasai sumber-sumber ekonomi, seperti bank dan ladang minyak di Syria dan Irak.
Dengan kelengkapan infrastruktur sosial-politik tersebut, “khilafah” ISIS dapat dikategorikan sebagai qua-
si-state (Spencer, 2016).
Kemajuan pesat ISIS menimbulkan kekhawatiran bagi banyak negara. Sebagai reaksinya, ter-
bentuk koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat (AS) disokong negara Eropa serta negara-negara
Arab seperti Bahrain, Arab Saudi, Yordania, Qatar, dan Uni Emirat Arab untuk menyerang ISIS (Mills, 2015).
AS juga menyokong pasukan YPG Kurdi di Syria dan Pasmerga Kurdi di Irak melawan ISIS. Rezim
pemerintah Syria dibantu oleh Iran, Rusia dan kelompok Hizbullah dari Lebanon untuk menyerang basis
ISIS. Pemerintah Irak dibantu oleh kelompok-kelompok milisi Syiah dan Iran menyerang basis pertahanan
ISIS di Irak.
Serangan dari berbagai koalisi negara menyebabkan kekalahan ISIS di berbagai front. Pada
Desember 2017, Pemerintahan Irak, mendeklarasikan kemenangan Irak atas ISIS. Sebelumnya, pada No-
vember 2017, tentara Syria mendeklarasikan kemenangan atas ISIS pasca perang di kota Abu Kamal, mes-
ki pejabat tentara Syria mengakui terdapat sebagian kecil kelompok ISIS yang berhasil meloloskan diri
(Angus McDowall, 2019). Pada Maret 2019, Pemerintahan AS mendeklarasikan kemenangan total atas ISIS
di Syria dengan mengklaim ISIS sudah tidak menguasai teritori pasca Perang Baghouz. Pemerintah AS
juga mendeklarasikan berakhirnya era “khilafah” ISIS (Trump, 2019). Pada Mei 2017, wilayah ISIS di Syria
sekitar 60.670 km per segi. Di akhir 2017, wilayah ISIS menjadi sekitar 11.750 km per segi. Pada Agustus
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan, Volume 12, No. 1, Januari 2020
25
2018, wilayah ISIS tinggal sekitar 244 km per segi. Pada Januari 2019, wilayah ISIS seluas 109 km per segi.
Pada bulan Maret 2019, ISIS dilaporkan tidak menguasai wilayah sama sekali di Syria
(https://syriancivilwarmap.com, 2019). Dari data tersebut, ISIS tidak lagi menguasai teritori di Irak dan
Syria. Pada 26 Oktober 2019, “khalifah” Abu Bakar al Baghdadi tewas dalam sebuah misi operasi khusus
pasukan AS di Idlib.
ISIS telah melewati fase “Khilafah.” Namun diyakini bahwa pergerakan ISIS belum dikalahkan se-
penuhnya. Sebaliknya, ISIS dengan ideologinya dan serangan terorismenya dapat terus berkembang se-
hingga menimbulkan ancaman-ancaman baru dengan efek yang mematikan (Sengupta 2019). “Kekhilafa-
han” ISIS secara fisik telah dikalahkan, namun ISIS belum hilang (Garamone 2019). Tulisan ini bertujuan
mengelaborasi eksistensi, tren ancaman terorisme ISIS serta strategi yang digunakan kelompok tersebut
pada periode pasca “khilafah.” Riset ini memiliki signifikansi baik bagi dunia akademis maupun bagi
pengambil kebijakan di sektor keamanan. Bagi dunia akademis, tulisan ini dapat berkontribusi pada
pengembangan kajian tren terorisme generasi terbaru. Sedangkan bagi pengambil kebijakan di sektor
keamanan, tulisan ini dapat berkontribusi pada pemetaan awal potensi ancaman teroriisme ISIS dan afili-
asinya serta antisipasinya,
Metode yang digunakan dalam riset ini studi literatur dan wawancara. Studi literatur dilakukan
dengan menganalisis isi beragam dokumen yang dirilis dan disirkulasikan oleh ISIS dan afiliasinya. Bentuk
dokumen yang dimaksud berupa media An-Naba, poster infografik media terafiliasi ISIS, transkrip pidato
pimpinan ISIS, serta rekaman video arahan Abu Bakar al Baghdadi bagi pengikut ISIS pasca Perang
Baghouz. Selain itu, juga dianalisis isi dari akun media sosial yang identik mendukung perjuangan ISIS.
Selain studi literatur, riset ini juga didukung dengan hasil wawancara dari informan yang berpengalaman
di dunia “mujahidin.” Data-data tersebut kemudian dikonfirmasi dengan data dari sumber independen.
Dari triangulasi tersebut, didapatkan elaborasi tren ancaman terorisme ISIS pasca-“Khilafah”.
PEMBAHASAN Literatur Pendahulu
Kemunculan ISIS bermula dari Jamaah Tauhid wal Jihad di Irak pimpinan Abu Mus’ab Az Zarqawi.
Pada tahun 2003, Abu Mus’ab Zarqawi berbaiat kepada Al Qaeda serta mendirikan Al Qaeda Irak (AQI).
Abu Mus’ab Zarqawi tewas pada 2006. Sebagai kelanjutan gerakan perlawanan, didirikan Daulah Islam
Irak/ Islamic State of Iraq (ISI) berdasar hasil muyawarah kelompok-kelompok perlawanan di Irak. AQI
melebur di dalam ISI yang dipimpin oleh Abu Umar al Baghdadi. Pada 2010, Abu Umar al Baghdadi tewas
dalam serangan yang dilakukan AS. Pasca kepemimpinan Abu Umar al Baghdadi, ISI dipimpin oleh Abu
Bakar al Baghdadi. Abu Bakar al Baghdadi memperluas pengaruhnya ke Syria dengan melawan rezim Ba-
shar al Assad. Pada 2013, Abu Bakar al Baghdadi menyatakan penyatuan kekuasaannya di Irak dan Syria.
Pada tahun tersebut, diperkenalkan nama Islamic State in Iraq and Sham (ISIS). Pada 2014, Abu Bakar al
26
Baghdadi mendeklarasikan berdirinya khilafah Islam meskipun beragam komunitas “mujahidin” menolak
klaim tersebut (Khawarij, 2016). Sedangkan komunitas internasional tetap sering menyebut kelompok
pimpinan Al Baghdadi tersebut dengan istilah Islamic State of Iraq and Sham (ISIS) ataupun ISIL (Islamic
State of Iraq and Levant) (Hove, 2018). Sejak deklarasi “khilafah”, ISIS melakukan gerakan perlawanan
secara luas.
Terdapat beberapa penelitian pendahulu yang mengelaborasi eksistensi ISIS serta beragam
strategi kelompok tersebut. Berkembangnya kekuatan ISIS di Irak dan Syria, ditunjang beberapa strategi,
Pertama eksploitasi keadaan negara yang lemah di Syria dan Irak. Dalam hal ini, ISIS menggalang
dukungan dari kelompok masyarakat yang kecewa pada rezim pemerintahan Syria dan Irak. Kedua,
penggunaan isu sektarian Syiah-Sunni dalam melawan rezim pemerintah Syria dan Irak. Ketiga,
penggunaan klaim apocalypse akhir zaman dengan retorika “khilafah”. Keempat, mengandalkan serangan
fisik yang agresif (Fromson & Simon, 2015). ISIS melakukan framing Sunni melawan Syiah dalam upaya
menggalang dukungan (Westphal, 2018). Selain itu, pada masa awal perkembangannya, ISIS menyerang
dan menguasai ladang gas dan minyak di Syria dan Irak. Penguasaan ladang gas dan minyak oleh ISIS
bertujuan untuk menjadi sumber pendanaan bagi ISIS sekaligus melemahkan ekonomi nasional kedua
negara tujuan serangan tersebut (Tichý, 2019).
Strategi lainnya, ISIS mengembangkan “Virtual Caliphate.” Dalam strategi ini, ISIS menggunakan
media sosial seperti Facebook, Telegram, Twitter, Tumblr, Whatsapp, dan Youtube sebagai sarana propa-
ganda, komunikasi, dan perekretuan anggota baru (Bloom & Daymon, 2018). Dengan penggunaan media
sosial, ISIS memungkinkan untuk berkomunikasi langsung dengan masyarakat luas serta mendapat
dukungan dari kelompok muda (Awan, 2017). ISIS juga menerbitkan majalah elektronik bernama Dabiq
serta publikai media An-Naba yang tersebar di internet. ISIS dapat berkembang secara luas dan men-
gontrol wilayah luas di Irak dan Syria, serta memiliki afiliasi di Afghanistan, Mesir, Saudi, dan Afrika Barat
(Kis-benedek, 2017). Dari perspektif ini ISIS dapat dikatakan sebagai proto-state (Kadercan, 2016).
Tren Terorisme Kontemporer
Dalam studi terorisme, terdapat beberapa konsep untuk menggambarkan fenomena terorisme
kontemporer. Pertama, kombinasi strategi gerilya dan terorisme. Ariel Merrari (dalam Chaliand & Blin,
2007) membedakan antara perang konvensional, gerilya dan terorisme. Meskipun ketiganya memiliki
memiliki kesamaan yaitu mengandung unsur kekerasan bersenjata, namun memiliki karakteristik yang
berbeda. Perang konvensional dilakukan secara simetris antar tantara regular dari negara. Gelar kekuatan
dilakukan dengan mengerahkan unit dalam jumlah besar. Tentara regular ditandai dengan menggunakan
seragam militer resmi. Perang konvensioal dilakukan dengan menggunakan alat utama pertahanan. Tar-
getnya adalah kerusakan fisik (physical destruction) dari pihak musuh dengan sasaran serang tentara dan
infratrsuktur industri. Perang jenis ini juga seringkali bertujuan menguasai teritori pihak musuh. Perang
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan, Volume 12, No. 1, Januari 2020
27
konvensional juga diakui dalam hukum internasional dan dibatasi dengan hukum-hukum perang. Berbeda
dengan perang konvensional, perang gerilya dilakukan oleh aktor non-negara. Unit yang terlibat beruku-
ran sedang. Gerilya menggunakan senjata ringan khas infantri, meskipun terkadang juga menggunakan
senjata artileri. Target dari gerilya adalah physical attrition dari pihak musuh dengan sasaran serang mili-
ter, polisi, staf, dan musuh politis. Gerilya dilakukan dengan berbasis pada operasi serangan hit and run.
Gerilya terbatas pada negara yang sedang dalam kondisi konflik. Gerilya juga memiliki sasaran berupa
perebutan dan penguasaan wilayah musuh secara parsial. Penguasaan ini dapat bersifat penuh ataupun
temporer. Terkadang penguasaan wilayah bergantian dengan tantara negara sesuai dengan kondisi pepe-
rangan. Misal pada siang hari, sebuah wilayah dikuasai tantara negara. Sedangkan pada malam dikuasai
oleh tantara gerilya yang diakibatkan ketidakmampuan tantara negara menguasai wilayah tersebut secara
berkesinambungan.
Berbeda dari dua jenis kekerasan tersebut di atas, terorisme merupakan jenis kekerasan yang
dioperasikan oleh sekelompok kecil orang. Terorisme dilakukan oleh aktor non-negara secara mendadak
dan acak dengan motif politis. Dalam operasi serangannya, para personel teroris tidak menggunakan se-
ragam dan cenderung berbaur dengan masyarakat. Terorisme tidak dimaksudkan untuk menguasai teri-
tori, namun serangan terorisme lebih ditargetkan pada menggetarkan psikologi musuh. Sasaran sarangan
terorisme menyasar objek simbolik maupun vital, pimpinan musuh, dan masyarakat umum. Terorisme
tidak diakui legalitasnya dalam hukum internasional maupun domestik. Taktik terorisme juga mengandal-
kan serangan bom, penculikan, penyanderaan, dan pembunuhan acak.
Ariel Merrari menjelaskan bahwa meskipun terdapat pembagian klasifikasi kekerasan, namun da-
lam realita, klasifikasi ini tidak eksklusif. Gerilya dan terorisme dapat digunakan secara fleksibel sebagai
pilihan strategi di lapangan. Pemilihan strategi berupa gerilya ataupun terorisme, ataupun kombinasi di
antara keduanya, disesuaikan dengan konteks kondisi dan kekuatan yang dimiliki kelompok perlawanan
non-negara. Artinya, di satu sisi, kelompok-kelompok tersebut berusaha merebut teritori lawan secara hit
and run. Gerilya dilakukan untuk membuat wilayah safe heaven, tempat pelatihan, maupun basis perekru-
tan. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok tersebut melancarkan aksi teror mendadak dan acak ke pub-
lik maupun target politis. Serangan-serangan teror kemudian dilakukan untuk menciptakan ketakutan
psikologis publik dan ketidakpercayaan publik kepada pemerintah negara.
Teroris juga mengembangkan kombinasi strategi franchise terrorism dan lone wolf terrorism
(Webb, 2016). Persamaan kedua strategi ini adalah untuk melakukan aksi terorisme, para pelaku tidak per-
lu terhubung kepada kelompok teroris inti. Terorisme dapat dilakukan secara mandiri oleh kelompok sel-
sel teroris ataupun individu yang setuju dengan ideologi kelompok teroris inti. Dalam kajian sejarah
terorisme, franchise terrorism dilakukan secara berkelompok oleh sel-sel teroris di berbagai negara. Se-
dangkan lone wolf terrorism dilakukan secara perseorangan. Pengaruh kelompok teroris inti hanya se-
28
batas ideologi, motivasi, simbol, dan identitas. Sementara operasi lapangan diserahkan sepenuhnya kepa-
da sel kelompok atau individu yang bersepahaman dengan ideologi kelompok teroris inti.
Gus Martin (2013, 361-370) menyatakan bahwa kelompok teroris dan ekstrimis di era globalisasi,
informasi dapat digunakan sebagai senjata strategis. Mengontrol arus informasi adalah vital untuk
mengabarkan keberhasilan operasi, mempromosikan agenda politik, atau menanamkan ideologi politik.
Internet menjadi sarana alternatif bagi kelompok teroris dan ektrimis untuk mendistribusikan informasi.
Website digunakan karena user friendly, interaktif, dan dapat memuat banyak informasi berupa gambar,
ebook, dan video. Namun yang membedakan dengan fase perkembangan terorisme yang mengandalkan
website, pada perkembangan terbaru social media lebih dipilih kelompok teroris untuk beroperasi di
dunia maya. Komunikasi, sirkulasi media, perekerutan, training, dan pengumpulan dana menggunakan
sosial media. Penggunaan media sosial dianggap lebih mudah, lebih cepat, lebih murah, dan efektif bagi
kelompok teroris (Hossain, 2018).
Beberapa literatur pendahulu berhasil mengelaborasi eksistensi ISIS serta berbagai variasi strategi
yang digunakan ISIS. Literatur terdahulu menjelaskan eksistensi dan strategi kelompok tersebut untuk
berkembang dari kelompok teroris menjadi kelompok “quasi-state” dengan nama “khilafah.” Namun da-
lam berbagai literatur pendahulu, belum terdapat elaborasi aktual bagaimana bentuk eksistensi ISIS dan
ancaman terorisme dari kelompok tersebut pada fase pasca keruntuhan “khilafah” ISIS, khususnya sejak
perang Baghouz pada Maret 2019. Selain itu, literatur-literatur pendahulu tersebut mengandalkan refer-
ensi sekunder dan pemberitaan media untuk mengelaborasi eksistensi dan strategi ISIS di masa puncak
eksistensi kelompok tersebut.
Berbeda dengan literatur pendahulu, tulisan ini mengelaborasi eksistensi dan ancaman terorisme
ISIS pasca fase “khilafah.” Selain itu, tulisan ini menganalisis dokumen-dokumen yang dirilis oleh ISIS dan
afiliasinya, baik berasal dari versi Arab, Inggris, maupun yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia.
Selain itu, tulisan ini mencantuman hasil wawancara dengan informan yang berpengalaman dalam dunia
“mujahidin.” Data-data tersebut dikonfirmasi dengan data-data independen. Dalam menganalisis doku-
men-dokumen dan data tersebut, digunakan konsep gerilya, franchise terrorism, lone wolf terrorism, dan
social media as weapon. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini berusaha melengkapi literatur riset
mengenai tren ancaman terorisme oleh ISIS.
ISIS pasca Perang Baghouz
Perang di Baghouz, Syria timur, pada Maret 2019, menjadi momentum keruntuhan “kekhilafahan”
ISIS. Baghouz merupakan kantong pertahanan terakhir ISIS setelah terdesak pertempuran dari berbagai
koalisi. Diperkirakan ribuan orang kombatan ISIS menjadi menyerahkan diri ke pasukan Syrian Democratic
Forces (SDF). Sementara 72 ribu orang lainnya, yang kebanyakan keluarga dari kombatan ISIS, ditahan di
Syria utara (Rojava Information Center 2019). Mantan kombatan dan simpatisan ISIS menunggu bentuk
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan, Volume 12, No. 1, Januari 2020
29
hukuman dari komunitas internasional. Wacana pengembalian pejuang asing pendukung ISIS ke negara
asal menjadi polemik di masing-masing negara. Namun di luar komunitas mantan kombatan tersebut,
ISIS masih aktif melakukan pergerakan.
Dalam video berjudul “In the Hospitality of the Emir of the Believers” yang dirilis pada April 2019
oleh al Furqan Media, Abu Bakar al Baghdadi menjelaskan bahwa pasca perang Baghouz, ISIS berhasil
melancarkan 92 serangan di 8 negara berbeda. Termasuk diantaranya adalah operasi serangan hari
Paskah di Sri Lanka pada 2019 dan serangan di Libya. Abu Bakar al Baghdadi menjelaskan bahwa se-
rangan di Sri Lanka ditujukan untuk membalas musuh yang menyerang ISIS pada perang Baghouz. Selain
itu, Abu Bakar al Baghdadi mengharapkan diterapkannya amaliyah lanjutan di Jazirah Arab untuk
memerangi rezim Arab Saudi. Abu Bakar al Baghdadi menjelaskan beberapa kelompok di Afrika telah
menyatakan baiat kepada ISIS dan mengharapkan untuk terus menyerang Perancis. Al Baghdadi mene-
gaskan bahwa perang jihad melawan musuh “khilafah” adalah perang dalam jangka yang lama.
ISIS mengklaim bahwa pasca-Baghouz-“daulah khilafah” ISIS masih eksis, dan justru banyak dari
kelompok lain di berbagai negara yang menyatakan kesetiaan kepada “khilafah” ISIS. Pernyataan Abu Ba-
kar al-Baghdadi selaras dengan Syaikh Abu Hasan al Muhajir, juru bicara ISIS. Dalam pesan audio yang
dipublikasikan pada Maret 2019, juru bicara ISIS tersebut menyatakan bahwa “khilafah Islam” masih ber-
tahan dengan didukung ribuan “mujahidin” yang tersebar di berbagai negara. Abu Hasan al Muhajir
mengatakan bahwa “khilafah” ISIS justru mendapat dukungan. Juru bicara ISIS tersebut mengatakan
“…sebaliknya, Daulah Islam adalah harapan bagi Umat Islam, berkat karunia Allah Ta’ala
dan kekuatan dari-Nya. Menjulang naik dan semakin tinggi di dalam hati Umat Islam.
Menempuh jalan dengan penuh pengorbanan dan tidak berpaling darinya. Selama ber-
jalan diatas jalan Allah Subhanahu wata’ala, mereka tidak perduli terhadap celaan dari
orang-orang yang suka mencela. Inilah tentara Daulah Islam yang berada di seantero
Suriah, menjadi batalion tempur di negeri dua sungai (Iraq) dan Syam, Khurasan, Afrika
Barat dan selainnya dari berbagai wilayah-wilayah. Mereka menyaksikan saat-saat yang
tegang dan tidak dapat dikalahkan dengan jumlah kurang dari 12.000 tentara, dengan
izin Allah Ta’ala. Matilah kalian dalam kemarahan kalian wahai kaum Salibis dan Murta-
din! Matilah kalian dalam kemarahan kalian! Dan kamu akan hancur wahai Amerika, ber-
sama koalisi setan yang menyertaimu dari para thagut Arab dan non-Arab” (Hanifiyah
Media 2019)
Dalam pesan audio tersebut, Abu Hasan al Muhajir menekankan bahwa serangan koalisi terhadap basis
ISIS tidak menghentikan eksistensi ISIS. Sebaliknya, Abu Hasan Muhajir “khilafah” tetap bertahan dan
mengklaim khilafah semakin terkemuka di kalangan umat Islam. Abu Hasan Muhajir mengecam musuh
serta menekankan ancaman serangan.
Pidato tersebut ditegaskan kembali pada pidato Abu Bakar al Baghdadi yang dipublikasikan
Hanifiyah Media pada September 2019. Dalam pidato tersebut, Abu Bakar al Baghdadi mengklaim bahwa
“khilafah Islam” tetap berjalan. Abu Bakar al Baghdadi menjelaskan bahwa “tentara khilafah” telah berhasil
melakukan banyak operasi serangan balasan di berbagai negara
30
“Adapun pada operasi “Pertempuran Pembalasan untuk penduduk Syam” yang terjadi di
8 negara dan yang terjadi di lebih dari 80 distrik diantaranya. Maka, seluruh pertempuran
itu terdiri dari berbagai operasi yang digelar dalam 4 hari saja, yaitu sebanyak 92 operasi
militer, walillahilhamdu. Hal itu merupakan (operasi) yang digelar untuk waktu yang spe-
sifik dan berdasarkan target yang dipilih, serta pertempuran ini tidak berjalan dalam wak-
tu yang lama. Hingga putra-putra Khilafah memulai kembali operasi “Pertempuran
Penumpasan” yang baru-baru ini terjadi di 11 negara dan telah mencapai sejumlah
operasi, yang terdiri dari 61 operasi militer dalam kurun waktu 3 hari saja. Kemudian
disusul kembali oleh para lelaki mulia yang pemberani dengan adanya “Pertempuran
Penumpasan II” yang terintegrasi dan diberkahi. Yaitu yang berlangsung pada 10 hari
pertama di bulan Dzul Hijjah, di akhir tahun yang lalu dan di bulan yang lalu, di tahun
1440 H. Telah terjadi—segala puji bagi Allah—di 10 wilayah, yang mana jumlah kese-
luruhannya adalah 152 operasi militer dalam waktu 10 hari saja” (Hanifiyah Media 2019).
Abu Bakar al Baghdadi mengklaim bahwa kehadiran “tentara khilafah” diantaranya tersebar di Syria,
Irak, Khurasan Yaman, Somalia, Tunisia, Libya, dan sebagian Afrika. Masih dalam pidato yang sama,
Abu Bakar al Baghdadi mendorong “mujahidin” ISIS di mana saja untuk “beramal”. Beramal dalam
definisi pidato Abu Bakar al Baghdadi tersebut adalah “melipatgandakan jihad” serta melakukan pem-
belaan dalam bentuk “media, militer, dan amniyah.” “Khalifah” ISIS mendorong pengikutnya untuk
membebaskan anggota dan simpatisan ISIS yang menjadi tawanan musuh ISIS. Dalam pidato tersebut,
Abu Bakar al Baghdadi juga mendorong pendukungnya untuk berdakwah kepada muslim yang awam
dari golongan Ahlussunnah. Menariknya, Abu Bakar al Baghdadi mendorong pendukungnya untuk
besikap ramah tamah terhadap muslim awam Ahlussunnah.
Pidato Abu Bakar Al Baghdadi dan Abu Hasan Al Muhajir diikuti dengan petunjuk yang lebih
teknis. Dalam publikasi oleh Hanifiyah Media (2019)-dengan mengutip media an-Naba edisi 179-182 ta-
hun 2019, dijelaskan bahwa pasukan ISIS eksis dengan mengandalkan strategi perang gerilya. Strategi ini
mengendalkan kemunculan pasukan secara tiba-tiba, kemudian menyerang mendadak, mengontrol teri-
tori dalam jangka waktu tertentu, menyusup, dan kemudian mundur tanpa meninggalkan jejak kepada
pihak musuh. Kegiatan yang dilakukan selama mengontrol sebuah wilayah, ISIS menangkap musuh,
merebut ghanimah, memasang jebakan, dan membebaskan tawanan. ISIS menegaskan metode ini harus
terus diulang sampai kelompok mereka kembali meraih kedaulatan teritori. Untuk menerapkan strategi
secara efektif, ISIS menjelaskan harus dilaksanakan operasi intelijen sebelumnya. Operasi intelijen dil-
akukan baik dengan pengintaian secara langsung maupun melalui pengamatan dari simpatisan ISIS di
sebuah daerah.
Selain menggunakan gerilya, ISIS menggunakan strategi terorisme. Terorisme pasca-khilafah dil-
akukan baik dengan strategi franchise terrorism maupun lone wolf terrorism. Adapun dengan
menggunakan lone wolf, strategi tersebut berintikan bahwa individu dapat melaksanakan aksi terror
secara independen. Individu yang telah mengadopsi ideologi dan memahami cara kerja operasi perang
yang disirkulasikan oleh ISIS, dapat melaksankan aksi terorismenya sendiri. Indikasi penggunaan strategi
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan, Volume 12, No. 1, Januari 2020
31
franchise terrorism dan lone wolf terrorism pasca-khilafah, dapat dilihat dari pidato yang disampaikan
Abu Hasan al Muhajir yang dipublikasikan pada Maret 2019
“Wahai bala tentara Khilafah di Iraq, Syam, Khurasan, Yaman, Asia Timur, Afrika Barat, Lib-
ya, Sinai, Somalia dan di semua tempat… Terjunlah dalam pertempuran, bergabunglah
dan jadilah penopangnya. Manfaatkanlah setiap kesempatan dan temukanlah sarana yang
tepat untuk menjebak musuh. Jadilah pelopor, batalion dan tebarkanlah mata-mata. Berja-
ga-jagalah kalian di waktu malam dan ulurlah peperangan menjadi semakin panjang, maka
musuh-musuh kalian tidak akan lagi memiliki daya dan kekuatan. Jangan sampai keributan
Koalisi Kafir, teriakan dan pengaruhnya yang lemah dalam melenyapkan Khilafah dapat
membuat kalian menjadi gentar. Sungguh Allah Subhanahu wata’ala telah membuatnya
tetap eksis dengan bersatu dan berpegangnya kalian kepada tali yang amat kokoh. Tid-
aklah keburukan dan gangguan yang mereka berikan kepada kalian, melainkan lebih dan
lebih lemah lagi daripada apa yang dilihat dan didengar. Semua kejadian ini adalah per-
mulaan dan tingkatan pertama..” (Hanifiyah Media 2019)
Indikasi lainnya juga dapat dilihat dari pidato Abu Hasan al Muhajir yang mendorong pendukung “khil-
afah” ISIS untuk melakukan operasi teror di berbagai wilayah. Juru bicara ISIS tersebut mengatakan bahwa
tentara “khilafah” yang tersebar tersebut untuk menjadi pelopor serangan, menggelar peperangan, dan
menyebarkan mata-mata di masing-masing wilayah. Target utama yang disebut menurut pidato tersebut
adalah rezim Irak, Iran, Syria, Arab Saudi, Kurdi, dan AS.
Pidato pimpinan ISIS dikonfirmasi dengan serangan teror dan gerilya yang dilakukan ISIS di be-
berapa wilayah. Secara periodik, termasuk selama tahun setelah perang Baghouz 2019, media an-Naba,
yang terafiliasi dengan ISIS mempublikasikan laporan operasi terror dan gerilya ISIS di berbagai negara.
Dalam publikasi periodiknya, ISIS secara rutin menyebut data jumlah pasukan “musuh” ISIS yang tewas
maupun terluka. Kategori “musuh” “khilafah” menurut media an-Naba, adalah “Pasukan Salib”, Syiah Rafi-
dhah, “Murtadin”, dan “Aparat Negara”. Wilayah operasi serangan yang sering disebutkan ISIS terdiri dari
Irak, Sinai, Syam, Afrika Barat, Yaman, Somalia, dan Khurasan. Sedangkan bentuk operasi ISIS yang terse-
but dalam media An-Naba berupa, tembakan sniper, pembunuhan senyap, pengeboman, serangan skala
luas, operasi martir, penyergapan, dan bom mobil yang diparkir.
An-Naba juga melaporkan detail operasi serangan ISIS baik di Syria dan Irak, maupun di luar ka-
wasan Timur Tengah pasca perang Baghouz. Misal Dalam media An Naba edisi 183 dijelaskan operasi
teror dilakukan dengan cara membakar 170 hektar ladang pertanian milik komunitas Yazidi dan Syiah di
Iraq dan Syria. Selain itu, dalam berbagai edisi media An Naba, ISIS dilaporkan rutin menyerang komuni-
tas Syiah di Irak serta menyerang rezim Bashar al Assad di Syria. Operasi serangan ISIS di luar kawasan
Timur Tengah juga rutin diberitakan media An Naba. Misal pada edisi 175, ISIS mengklaim menyerang
tentara Nigeria dan melakukan pengeboman di Somalia. Pada edisi 177, ISIS mengklaim serangan ter-
hadap tentara Filipina. Sedangkan peristiwa pemboman gereja di Sri Lanka dijelaskan di An Naba edisi
179. Dalam An Naba edisi 181, ISIS mengklaim membunuh tentara di Kongo. Dalam An Naba edisi 182,
ISIS mengklaim telah membunuh tentara dan polisi di India dalam sebuah baku tembak. Pada 187, ISIS
32
memberitakan operasi serangan di Niger dan Libya. Dalam An Naba edisi 192, ISIS mengklaim menyerang
pasukan Taliban dan pasukan Pemerintah Afghanistan. Dalam laporan an-Naba lainnya, ISIS melaporkan
serangan target di Kamerun, Burkina Faso, Pakistan, Chechnya, Bangladesh, dan Tajikistan. Temuan
menarik, pada An Naba edisi 198, ISIS melaporkan pertempuran melawan Al Qaeda di Yaman. Pesan dan
arahan Abu Bakar al Baghdadi kepada “mujahidin” ISIS dimuat dalam An Naba edisi 200. Pesan-pesan
tersebut berisi motivasi Abu Bakar al Baghdadi kepada “tantara khilafah” untuk tidak bosan bertempur
melawan umat-umat “kekufuran.”
Konteks taktik serangan dapat juga ditemukan dalam sebuah poster infografik berjudul “Wasaail
Ightiyaal Qaaidah” yang dirilis Qurays Media-yang terindikasi terafiliasi dengan ISIS tertanda 1441 H-
menunjukkan taktik untuk menyerang pimpinan atau pejabat sebuah negara. Taktik tersebut diantaranya
adalah penggunaan sniper, penyerangan mendadak oleh “serigala”, dan penyamaran “mujahidin” sebagai
jurnalis. Terdapat beberapa hal menarik dalam infografik ini, Pertama, diksi penggunaan “serigala”, yang
mengacu pada pelaku operasi serangan “jihad” secara mandiri. Kedua, penyamaran “mujahid” sebagai
jurnalis dengan hadir di konferensi, pertemuan, ataupun seminar yang memungkinkan “mujahid” tersebut
dapat menyerang sasaran musuh. “Mujahid” juga dapat menggunakan alat kamera sebagai senjata atau-
pun tempat menyembunyikan senjata.
Kematian Abu Bakar al Baghdadi yang terjadi pada akhir Oktober 2019, dikonfirmasi dalam media
An Naba dalam edisi 206 yang diterbitkan pada 1 November 2019. Dalam edisi An Naba tersebut, juru
bicara baru ISIS, Abu Hamzah al Quraisyi, mengkonfirmasi kematian Abu Bakar al Baghdadi dan juru
bicara ISIS sebelumnya, Abu Hasan al Muhajir. Dalam edisi tersebut, ISIS juga mengumumkan penunjukan
Abu Ibrahim Al Hasyimi Al Quraisyi sebagai “khalifah” baru. Juru bicara ISIS terbaru tersebut mendorong
muslim untuk membaiat “khalifah” baru tersebut. Selain terdapat arahan dari juru bicara baru ISIS terse-
but bagi pengikut ISIS di seluruh dunia untuk bersabar, meneruskan perjuangan, serta membalas ke-
matian “khalifah” Baghdadi. Sebagaimana diterjemahkan di publikasi Hanifiyah Media pada November
2019, dalam pesan tersebut Abu Hamzah Al Quraisy menyatakan
Telah datang kepadamu sesuatu yang telah kau lupakan, yaitu berbagai keguncangan
yang pernah kau lihat. Dan cangkir-cangkir yang silih berganti akan kamu rasakan, dengan
idzin Allah Ta’ala. Sampai-sampai nanti kamu akan mengira, bahwasanya seenak-enak ada-
lah apa yang pernah ada di tangan Syaikh Al-Baghdady. Dan kami wasiatkan kepada
ikhwan-ikhwan kami di seluruh wilayah, agar mereka bersabar dan mengharapkan pahala.
Serta agar mereka tetap teguh atas agama dan jihadnya. Serta berpegang teguh kepada
Jama’atul Muslimin dan Imamnya. Serta bersemangat untuk mebalaskan kewafatan
Imamnya dan ikhwan-ikhwannya, yaitu kepada orang-orang kafir dan murtadin (Hanifiyah
Media 2019).
Pada media An Naba edisi 207 menegaskan bahwa “khilafah” masih tetap eksis serta akan
menempuh langkah-langkah baru dalam jihad. Edisi 207 juga menampilkan foto-foto pembaruan baiat
sejumlah pendukung ISIS terhadap “khalifah” baru ISIS, yaitu Abu Ibrahim Al Hasyimi. Foto-foto tersebut
diklaim berasal dari pendukung ISIS yang berada di Sinai, Afghanistan, Pakistan, Somalia, Tunisia, Yaman,
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan, Volume 12, No. 1, Januari 2020
33
Asia Timur, Afrika Tengah, Afrika Barat, dan Syria. Dalam media An Naba yang dipublikasikan pasca ter-
bunuhnya Al Baghdadi tersebut, ISIS juga melaporkan operasi serangannya di Afghanistan, Irak, Syria, Af-
rika Tengah, Afrika Barat, dan Asia Timur. Meskipun sejak 2017 ISIS telah mengalami penurunan, namun
afiliasi ISIS di luar Syria dan Irak tetap bertumbuh yang dibuktikan dengan baiat yang dilakukan ke-
lompok-kelompok non-afiliasi terhadap ISIS (Institute for Economics & Peace 2019).
Data sumber independen yang didasarkan atas pemberitaan media-media internasional, pada
periode 1 April 2019 hingga 30 Oktober 2019, ISIS tercatat melancarkan 17 serangan dengan korban
sebanyak 520 korban (storymaps.esri.com, 2019). Dalam data tersebut disebutkan operasi serangan ISIS
dan afiliasinya pasca Baghouz meliputi serangan di Perancis, Mesir, Lebanon, Syria, Iraq, Arab Saudi, Paki-
stan, Afghanistan, Tajikistan, Filipina, dan Indonesia. Bentuk serangan yang dilaporkan bervariasi mulai
dari pelemparan bahan peledak, bom bunuh diri, penembakan, sabotase, serta penikaman. Dalam data
yang dihimpun The Meir Amit Intelligence and Terrorism Information Center pada 2019 menunjukkan
bahwa operasi gerilya ISIS dipusatkan di wilayah Syria dan Irak, sedangkan di tempat lain seperti di
Mozambique, Nigeria, Bangladesh, Filipina dan Mesir dilakukan berbagai modus terorisme. Modus terse-
but diantaranya peledakan bom IED, penculikan, dan penembakan (The Meir Amit Intelligence and Terror-
ism Information Center 2019).
Pasca Perang Baghouz, ISIS berusaha merestorasi kekuasaannya. Di Irak, ISIS berusaha menguasai
secara de facto daerah-daerah rural Sunni. Sedangkan di Syria, tetap berfokus melawan pemerintah Ba-
shar Assad dan pasukan Kurdi. ISIS berusaha merebut wilayah di Turki timur dengan menyerang daerah-
daerah yang dikuasai oleh pasukan pemerintah Syria dan pasukan Kurdi. Di sisi lain, ISIS mengklaim
melancarkan operasi global “Battle of Attrition” dengan mengklaim serangan di Afghanistan, Afrika Barat,
Libya, Somalia, Afrika Tengah, Pakistan, dan Sri Lanka (Cafarella et al 2019, 44-45). Tren ancaman serangan
ISIS tetap berlanjut pasca fase “khilafah.”
Sumber : Akun Telegram Abu Islami Al Iraqi Junud Khilafah
34
Sumber : Akun Telegram Junud Khilafah fii Ats Tsuguur
Pasca Perang Baghouz, pendukung ISIS juga masih rutin menggunakan media sosial. Media sosial
yang sering menjadi sarana penyebaran propaganda ISIS adalah Telegram. Beberapa akun maupun chan-
nel Telegram per November 2019 masih dapat diakses. Akun dan channel tersebut dapat diamati sebagai
wadah melakukan siruklasi bahan-bahan propaganda ISIS. Bentuk bahan-bahan ISIS yang tersebar di me-
dia sosial bervariasi, mulai dari teks, video, maupun audio. Isi dari bahan tersebut seputar, strategi dan
taktik perang, motivasi dan nasihat, laporan peperangan, serta dalil signifikansi eksistensi khilafah.
Rangkaian komunikasi yang tercatat di beberapa akun media sosial menunjukkan eksistensi dukungan
simpatisan ISIS. Dalam beberapa foto di beberapa akun media sosial, digambarkan ISIS sedang
melakukan operasi serangan kepada posisi tentara pemerintah. Dalam berbagai akun media sosial terse-
but, juga terdapat variasi isi seperti untaian doa dari simpatisan ISIS terhadap keselamatan “khalifah” Abu
Bakar al Baghdadi, poster dukungan pada eksistensi “daulah khilafah” dan operasi teror, serta berbagai
saling menasihati terkait perjuangan.
ISIS Pasca-Baghouz dalam Kajian Terorisme
Perkembangan ISIS dari kelompok teroris menjadi quasi state ditunjang oleh keadaan negara Syr-
ia dan Irak. Dalam kajian hubungan internasional, kondisi negara yang mengalami kondisi “negara gagal,”
mendukung berkembangnya eksistensi teroris. Kelompok teroris menggunakan negara gagal sebagai
markas dan pengembangan organisasi. Kelompok teroris dapat melancarkan serangan dari negara gagal.
Hal ini karena di negara gagal, terjadi kekosongan legitimasi pemerintah pusat di daerah. Sehingga tanpa
kontrol pemeritah pusat, kelompok-kelompok tersebut dapat mengkonsolidasikan kekuatannya. Dalam
konteks ini, teorisasi negara dalam keadaan kacau dapat mudah sebagai markas terorisme terkonfirmasi
dengan tulisan oleh kalangan jihadis bernama Abu Bakar an Naji dalam tulisannya “Ihdarut Tawahusy “
atau yang berarti “Manajemen Kekacauan.” Dalam tulisannya, Abu Bakar an-Naji menyatakan bahwa jika
kelompok jihadis dapat mengelola fase kekacauan yang terjadi, maka dapat menjadi “jembatan” bagi
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan, Volume 12, No. 1, Januari 2020
35
terbangunnya negara Islam, yang telah ditunggu pasca keruntuhan khilafah. Pada awal kemunculannya,
ISIS menjadi alternatif gerakan bagi masyarakat Irak dan Syria yang kecewa kepada kondisi negara Irak
dan Syria. Dalam kasus Irak misalnya, terdapat beberapa kelompok di masyarakat Sunni yang kecewa
kepada dominasi kelompok Syiah di pemerintahan Irak pasca Saddam. Begitu pula dalam konteks Syria
dimana terdapat perlawanan terhadap rezim Bashar al Assad. Berdasar hal tersebut, kemunculan ISIS
merupakan tanda simptom dari kegagalan politik di Timur Tengah (Hove, 2018).
Sebaliknya, pasca 2017, meninggalkan kategori sebagai negara gagal, Irak dan Syria dapat solid
melawan ISIS di berbagai front pertempuran. Pasca perang multi-front, termasuk perang Baghouz pada
Maret 2019, ISIS kehilangan infrastruktur, teritori, sumber daya, serta pendukungnya. Fase ini dikenal
dengan fase “pasca-khilafah.” Namun yang menarik, ISIS dapat mengembangkan kombinasi multi-strategi
dalam mempertahankan eksistensinya. Dalam hal ini, ISIS memiliki adaptasi untuk dapat berkembang
sesuai dengan kekuatan dan konteks lapangan. Di Syria dan Irak maupun di luar wilayah Timur Tengah,
ISIS dapat memilih, gerilya, terorisme, atau kombinasi keduanya. Kelompok tersebut bahkan mampu
mengembangkan strategi melawan strategi anti-gerilya yang diciptakan oleh negara (Abu Fida 2019).
Dalam diksi lain, ISIS menggunakan strategi sawlat (Hassan, 2018). Inti dari sawlat adalah gerilya
dengan melakukan serangan hit and run tanpa henti dari basis tersembunyi ISIS di gurun tidak ber-
penghuni ke daerah pedesaan ataupun pusat kota yang dikontrol oleh pemerintah. Area serangan adalah
sebelumnya pernah dikuasai ISIS. Strategi ini masih dilaksanakan ISIS di Syria dimana ISIS ditengarai
masih memiliki sisa personel yang berpusat di gurun tidak berpenghuni. Peristiwa penguasaan beberapa
titik di wilayah Sinai-Mesir, dan serta sebagian wilayah Afghanistan, menunjukkan bahwa ISIS
menggunakan opsi strategi gerilya. Di Sinai, ISIS menguasai wilayah tersebut. Sedangkan di Afghanistan,
ISIS memiliki basis di beberapa titik. Dalam kasus Sinai dan Afghanistan, ISIS dan afiliasinya berorientasi
pada penguasaan teritori. Strategi ini memungkinkan ISIS untuk menyerang mundur secara mendadak.
Strategi gerilya dilakukan dengan menyerang secara hit and run terhadap posisi pasukan pemerintah. Da-
lam konteks Syria, strategi ini merupakan repetisi dari strategi Islamic State of Iraq (ISI), yang merupakan
kelompok cikal bakal dari kelompok ISIS. ISI menggunakan cara yang sama untuk merebut wilayah di Irak
sampai kelompok ini merebut banyak wilayah dan mendirikan ISIS.
Kedua, selain strategi gerilya adalah melaksanakan strategi terrorisme. Konteks ini merupakan
opsi strategi berbeda jika dilihat dalam kasus ISIS dan afiliasinya di beberapa negara. Di Indonesia misal-
nya, afiliasi ISIS lebih menitikberatkan strategi terorisme. Strategi terorisme dilakukan ISIS di luar Irak dan
Syria dimana di ISIS tidak memiliki penguasaan teritori. Serangkaian serangan terorisme ISIS pada 2019 di
Indonesia, termasuk peristiwa serangan penyerangan ke polisi dan pejabat Indonesia, menitikberatkan
orientasi pada strategi terorisme. Hal ini menjadi contoh terorisme yang dilakukan kelompok dengan afil-
iasi ISIS di luar kawasan Timur Tengah. Sejak akhir 2017, secara umum, ISIS kembali lagi menjadi ke-
lompok teroris. Keunikan gerakan ISIS tidak terlepas dari kemampuan adaptasi tersebut sesuai dengan
36
kapabilitas internal dan kondisi eksternal. ISIS dapat mengadaptasikan dirinya ke dalam bentuk yang ber-
beda dengan pilihan strategi yang bervariasi.
Pada konteks terorisme, ISIS menggunakan strategi franchise dan lone wolf. Dengan franchise,
maka kelompok-kelompok jihadis di luar Syria dan Irak, dapat mengadopsi ideologi, nama, dan strategi
pergerakan ISIS, meski tidak memiliki hubungan organisasi langsung dengan ISIS di pusat. Strategi ini
pada dasaranya sama dengan pemikiran Abu Mushab as-Suri yang menyarankan Al Qaeda pasca Afghan-
istan dengan konsep muqawwamah global (Abu Fida 2019). Kesamaan strategi ini dapat dilihat dari
kesamaan pola antara ISIS pasca “khilafah” dengan Al Qaeda pasca Afghanistan. Dalam konteks Al Qaeda,
Dengan konsep Abu Mus’ab as-Suri, Al Qaeda mengembangkan franchise terrorism. Artinya, ketika Al
Qaeda pusat di Afghanistan dihancurkan invasi AS pada 2001, maka berkembang kelompok-kelompok di
berbagai negara yang menggunakan nama, lambang, dan ideologi Al Qaeda. Meski cabang-cabang Al
Qaeda tersebut beroperasi secara otonom dan tidak memiliki hubungan organisasional secara langsung
dengan Al Qaeda pusat. Yang terpenting adalah kesamaan visi untuk melawan Amerika Serikat. Hal ini
yang secara signifikan membedakan dengan tandzim jihad tradisional yang menekankan hierarki dan sis-
tem komando.
Pola yang sama diterapkan oleh ISIS. Ketika ISIS mulai mengalami kemunduran sejak tahun 2018,
serangan ISIS di luar Syria dan Irak justru gencar dilakukan. Dalam laporan-laporan media an-Naba sela-
ma tahun 2019, kelompok-kelompok di luar Irak dan Syria, yang mengatasnamakan “tentara khilafah”
melakukan serangan di berbagai negara. Kelompok-kelompok ini menggunakan nama, ideologi, dan
lambang yang sama dengan ISIS di Syria dan Irak. Meski menggunakan identitas ISIS dan membaiat Abu
Bakar al Baghdadi, namun kelompok-kelompok yang terinspirasi ideologi ISIS ini dapat beroperasi secara
independen tanpa ada komando terstruktur dari pusat ISIS (Abu Fida 2019). Pada kasus Asia Tenggara
misalnya, kelompok perlawanan di Filipina melakukan baiat kepada kelompok “khalifah” Abu Bakar al
Baghdadi, dan melakukan operasi teror lokal terhadap objek-objek di Filipina.
Serangkaian peristiwa penyerangan pos maupun kantor Polisi di Indonesia pada 2017, 2018 dan
2019, terindikasi sebagai bentuk serangan lone wolf simpatisan ISIS di Indonesia. Indikatornya, pelaku
teror tersebut tidak pernah diidentifikasi sebagai orang yang berafiliasi pada ISIS secara langsung. Namun
beberapa barang bukti yang ditemukan menunjukkan para pelaku bersimpati kepada ISIS. Investigasi
awal pada peristiwa ightiyalat berupa penusukan terhadap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum,
dan Keamanan di Indonesia pada Oktober 2019 juga menunjukkan bukti awal pada pola serangan lone
wolf terrorism. Bentuk lone-wolf terrorism menjadi tren terorisme ISIS. Hal identik yang dalam strategi
lone wolf dan franchise, adalah kesamaan visi dari orang-orang yang terlibat. Asalkan telah menyetujui
dan bersimpati dengan ideologi maupun simbol identitas ISIS, maka mereka dapat beroperasi secara in-
dependen. Rangkaian serangan tersebut dilaporkan secara detail dalam media An Naba. Media ini mem-
beritakan serangan-serangan yang mengatasnamakan ISIS. Media An Naba memberitakan detail se-
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan, Volume 12, No. 1, Januari 2020
37
rangan yang tidak diberitakan di media-media utama dunia. Seringkali laporan ISIS menjangkau serangan
yang dilakukan di wilayah-wilayah pelosok.
Strategi ketiga, adalah tetap menggunakan sarana internet untuk publikasi dan komunikasi.
Dengan internet, ISIS dan simpatisannya dapat menyebarkan publikasi. Publikasi yang ditemukan berupa
ebook, video, ataupun rekaman suara. Keberadaan media-media pro ISIS yang memberitakan keberhasi-
lan serangan ISIS di berbagai negara dan petunjuk strategi, dapat diunduh secara bebas di internet. Pub-
likasi media an-Naba yang pro-ISIS dan berbagai video propaganda ISIS dengan mudah diakses di inter-
net. Mayoritas publikasi berbahasa Arab dan sebagian berbahasa. Namun terdapat publikasi yang diter-
jemahkan ke Bahasa Indonesia. Isi media An-Naba dikumpulkan dari tulisan oleh personel-personel ISIS
yang tersebar di Timur Tengah. Tulisan-tulisan tersebut kemudian dikumpulkan dan disusun menjadi ben-
tuk media oleh simpatisan ISIS di Eropa (Abu Fida 2019).
KESIMPULAN
Terdapat beberapa temuan menarik dari fenomena ISIS pasca fase “khilafah”. Pertama, ISIS masih
eksis meskipun beberapa pemimpin negara telah mendeklarasikan kekalahan ISIS. ISIS masih mengklaim
kelompoknya sebagai entitas “khilafah” meskipun tidak lagi menguasai teritori. Kematian “khalifah” ISIS,
Abu Bakar al Baghdadi dan “juru bicara khilafah” Abu Hasan al Muhajir, dengan segera diikuti dengan
pembaiatan “khalifah” baru yaitu Abu Ibrahim Al Hasyimi Al Quraisyi dan penunjukan “juru bicara khil-
afah” yang baru, Abu Hamzah al Quraisyi. Motivasi-motivasi religius tetap digunakan untuk menghimpun
dukungan simpatisan dan pengikut ISIS.
Kedua, kehilangan teritori tidak menghentikan serangan ISIS pada target-target yang dianggap
musuh. Kategorisasi musuh tersebut adalah Pasukan Salib”, “Syiah Rafidhah,” “Murtadin”, dan “Aparat
Negara”. Data aktual menunjukkan bahwa pasca kehilangan teritori, ISIS masih rutin melakukan serangan
gerilya di bekas basis teritori pusat “khilafah” ISIS, yaitu Syria dan Irak. Sedangkan di beberapa tempat lain,
seperti kawasan Asia, Afrika dan Eropa, ISIS mengandalkan strategi terorisme. Secara umum, dari analisa
beragam dokumentasi yang disirkulasikan ISIS dan afiliasinya, dengan kehilangan teritori dan pusat ko-
mando secara fisik, pola terorisme ISIS terbaca semakin mengandalkan strategi franchise terrorism dan
lone wolf terrorism. Dengan mengintensifkan kedua strategi ini, afiliasi maupun simpatisan ISIS dapat
melakukan serangan terorisme secara mandiri tanpa perlu ada komando tegas dari kepemimpinan pusat.
Indikasi tren pemilihan kedua strategi ini dapat dilihat dari pidato-pidato Abu Bakar al Baghdadi dan Abu
Hasan al Muhajir pada masa pasca Perang Baghouz, yang mendorong afiliasi maupun simpatisan “khil-
afah” ISIS untuk beroperasi secara mandiri. Pimpinan ISIS mendorong pengikutnya di seluruh dunia untuk
“beramal” secara nyata dalam melakukan perjuangan. Selain itu, indikasi dorongan penggunaan franchise
dan lone wolf terrorism dapat dilihat dari publikasi petunjuk teknis taktik penyerangan yang menuntut
38
kemandirian “mujahid” dalam menjalankan aksinya. Penggunaan strategi franchise dan lone wolf terror-
ism oleh ISIS menonjol pada fase pasca “khilafah.”
Selain itu, eksistensi ISIS pasca “khilafah” masih ditopang dengan strategi “virtual caliphate.” Pub-
likasi ISIS masih rutin bersirkulasi di media sosial maupun internet. Pesan-pesan dari kepemimpinan
“pusat” ISIS dan laporan berbagai serangan kelompok tersebut disirkulasikan melalui media sosial mau-
pun layanan gratis penyimpanan file di internet. Komunikasi simpatisan ISIS juga ditemukan masih ber-
langsung di beberapa akun media sosial. Potensi ancama terorisme ISIS pasca-“khilafah” masih patut
menjadi perhatian serius dalam kajian keamanan internasional, baik untuk kepentingan akademis maupun
kepentingan keamanan internasional. Mengantisipasi potensi ancaman tersebut, dibutuhkan riset lanjutan
mengenai eksistensi dan strategi ISIS pasca fase “khilafah.”
DAFTAR PUSTAKA
Angus McDowall, S. D. 2019. Syria declares victory over Islamic State - Reuters.
https://www.reuters.com/article/us-mideast-crisis-islamic-state/syria-declares-victory-over-islamic-
state-idUSKBN1D91QJ diakses 2 Oktober 2019.
Awan, I. 2017. Cyber-Extremism: Isis and the Power of Social Media. Society, 54(2), 138–149.
https://doi.org/10.1007/s12115-017-0114-0 diakses 1 Oktober 2019.
Bloom, M., & Daymon, C. 2018. Assessing the Future Threat: ISIS’s Virtual Caliphate. Orbis, 62(3), 372–388.
https://doi.org/10.1016/j.orbis.2018.05.007 diakses 30 September 2019.
Carafella, Jenifer., Brandon Wallace, Jason Zhou. 2019. ISIS'S Second Comeback: Assesng the Next ISIS
Insurgency. Institute for the Study of War. http://www.understandingwar.org
/sites/default/files/ISW%20Report%20-%20ISIS%27s%20Second%20Comeback%20-
%20June%202019.pdf diakses 14 Desember 2019.
Chaliand, G., & Blin, A. 2007. The history of terrorism: From antiquity to ISIS. In The History of Terrorism:
From Antiquity to ISIS.
Fromson, J., & Simon, S. 2015. ISIS: The dubious paradise of apocalypse now. Survival, 57(3), 7–56.
https://doi.org/10.1080/00396338.2015.1046222 diakses 1 November 2019.
Garamone, Jim. 2019. ISIS Caliphate is Gone, but Threat Remains, Dunford Says. https://www.
defense.gov/explore/story/Article/1918561/isis-caliphate-is-gone-but-threat-remains-dunford-
says/ diakses 12 Desember 2019.
Hassan, H. 2018. Out Of The Desert Isis’ S Strategy For A Long War. https://www.mei.edu/sites
/default/files/2018-11/PP10_Hassan_ISISCT.pdf diakses tanggal 4 November 2019.
Hossain, M. S. 2018. Social Media and Terrorism : Threats and Challenges to the Modern Era. South Asian
Survey, 22(2), 136. https://doi.org/10.1177/0971523117753280 diakses 1 November 2019.
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan, Volume 12, No. 1, Januari 2020
39
Hove, M. 2018. Middle East: The Origins of the “Islamic State” (ISIS). Conflict Studies Quarterly, (23), 3–22.
https://doi.org/10.24193/csq.23.1 diakses 3 November 2019.
Institute for Economics & Peace 2019. Global Terrorism Index 2019: Measuring the Impact of Terrorism,
Sydney, November 2019. http://visionofhumanity.org/app/uploads/2019/11/GTI-2019web.pdf di-
akses 12 Desember 2019.
https://syriancivilwarmap.com. 2019. syriancivilwarmap.com/war-statistics/. dalam
https://syriancivilwarmap.com/war-statistics/ diakses 7 November 2019.
Kadercan, B. 2016. What the Financial Crisis Means for You. Insight Turkey, 18(2), 63–84. Retrieved from
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=bth&AN=34974 556&site=ehost-live
diakses 3 November 2019.
Khawarij, K. R. 2016. Pandangan 45 Ulama Jihad Internasional Tentang ISIS (Islamic State of Iraq and
Sham). Solo: Jazera.
Kis-Benedek, J. 2017. The Isis and the Global Terrorism. 5–11. http://sm.aos.sk/images/
dokumenty/archiv_cisel/2_2017/Article1.pdf diakses 7 November 2019.
Mills, L. B.-H. and C. 2015. ISIS: The Military Response in Iraq And Syria. International Journal of Terrorism
and Political Hot Spots, 10(3).
Rojava Information Center. 2019. Bringing ISIS to Justice Towards an International Tribunal in North East
Syria. North East Syria.
Sengupta, Kim. 2019. ISIS has not defeated and terrorism threat growing, warns head of UK Military.
https://www.independent.co.uk/news/uk/home-news/isis-defeated-uk-military-london-bridge-
attack-terrorism-usman-khan-a9234896.html diakses 12 Desember 2019.
Spencer, A. N. 2016. The hidden face of terrorism: An analysis of the women in Islamic State. Journal of
Strategic Security, 9(3), 74–98. https://doi.org/10.5038/1944-0472.9.3.1549 diakses 10 November
2019.
Storymaps.esri.com. 2019. Terrorist Attacks. https://storymaps.esri.com/stories/terrorist-attacks/ diakses
diakses 7 November 2019.
The Meir Amit Intelligence and Terrorism Information Center. 2019. Spotlight on Global Jihad, July 25-31
2019. https://www.terrorism-info.org.il/app/uploads/2019/08/E_177_19 .pdf diakses 12 Desember
2019.
Tichý, L. 2019. Energy Infrastructure as a Target of Terrorist Attacks from the Islamic State in Iraq and
Syria. International Journal of Critical Infrastructure Protection, 25, 1–13. https://doi.
org/10.1016/j.ijcip.2019.01.003 diakses 29 November 2019.
Trump, D. 2019. The United States and Our Global Partners Have Liberated All ISIS-Controlled Territory _
The White House. Retrieved October 10, 2019, from https://www.whitehouse. gov/briefings-
40
statements/united-states-global-partners-liberated-isis-controlled-territory/ diakses 2 November
2019.
Wang, B., & Fan, B. 2015. Reflections on the Issue of ISIS. Journal of Middle Eastern and Islamic Studies (in
Asia), 9(3), 49–68. https://doi.org/10.1080/19370679.2015.12023267 diakses 18 Oktober 2019.
Webb, S. 2016. Incendiary Marketing: Fanning the Flame of Branding and Brand Recognition for Terrorist
Groups. Journal of Defense Management, 06(03). https://doi.org/10.4172/ 2167-0374.1000153
diakses 14 Oktober 2019.
Westphal, J. 2018. Violence in the name of god? A framing processes approach to the Islamic State in Iraq
and Syria. Social Movement Studies, 17(1), 19–34. https://doi.org/10.1080/14 742837.2017.1381594
diakses 4 November 2019.
Media
Hanifiyah Media. 2019. Dia Membenarkan Allah dan Dia Membenarkannya. Maret 2019.
Hanifiyah Media. 2019. Strategi Perang Gerilya Daulah Islam Sebelum Meraih Tamkin. Juli 2019.
Hanifiyah Media. 2019. Dan Katakalanlah: Beramallah Kalian. Pidato Resmi Amirul Mukminin Syaikh Abu
Bakar al Husaini al Quraisyi al Baghdadi. September 2019.
Hanifiyah Media. 2019. Dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pa-
hala yang besar. Pidato Resmi Juru Bicara Daulah Islam Syaikh al Muhajir Abu Hamzah al Quraisy.
November 2019.
Media An Naba edisi 175 12 Rajab 1440 H
Media An Naba edisi 177 6 Sya’ban 1440 H
Media An Naba edisi 179 20 Sya’ban 1440 H
Media An Naba edisi 181 4 Ramadhan 1440 H
Media An Naba edisi 182 11 Ramadhan 1440 H
Media An Naba edisi 183 18 Ramadhan 1440 H
Media An Naba edisi 187 17 Syawal 1440 H
Media An Naba edisi 192 22 Dzulqodah 1440 H
Media An Naba edisi 198 2 Muharram 1441 H
Media An Naba edisi 206 3 Rabiul Ula 1441 H
Media An Naba edisi 207 10 Rabiul Ula 1441 H
Infografik
“Wasaail Ightiyaal Qaaidah”. Qurays Media. 1441 H
Media Sosial
Akun Telegram Abu Islami Al Iraqi Junud Khilafah. Diakses 15 September 2019
Akun Telegram Junud Khilafah fii Ats Tsuguur. Diakses 5 November 2019
Video
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan, Volume 12, No. 1, Januari 2020
41
Al Furqan Media. In the Hospitality of the Emir of the Believers. April 2019
Wawancara
Abu Fida. 2019. Dilaksanakan pada Agustus 2019.
42