3
Serapan APBD Rendah, Dana Desa Tak Terpakai Cetak | 7 Agustus 2015 764 dibaca 1 komentar SEMARANG, KOMPAS — Memasuki delapan bulan tahun 2015, serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di sejumlah wilayah masih rendah. Serapan APBD rata-rata masih di bawah 50 persen. Demikian juga beberapa aparat desa belum berani menggunakan dana desa yang ada di rekening desa karena ketakutan. Ketidakjelasan aturan penggunaan dan fungsinya dikhawatirkan bisa menyeret mereka ke ranah pidana. Penyerapan APBD Jawa Tengah hingga awal Agustus ini di bawah 40 persen dari total APBD Jateng 2015 sebesar Rp 17,019 triliun. Pemicunya banyak faktor, antara lain tidak matangnya perencanaan, terbatasnya sumber daya manusia, dan regulasi aturan soal dana hibah. Ketua DPRD Jawa Tengah Rukma Setyabudi, Kamis (6/8), mengatakan, dari laporan anggota yang melakukan pertemuan dengan sejumlah pimpinan instansi dan dinas di Pemerintah Provinsi Jateng, kelambatan penyerapan APBD tidak bisa dihindari. Ada juga yang berdalih kelambatan itu bagian dari efisiensi. ”Kalau bicara soal efisiensi, mestinya tidak demikian. Sebab, banyak anggaran dibutuhkan masyarakat, terutama dana hibah yang berdampak langsung terhadap kepentingan masyarakat,” tutur Rukma. Normalnya, memasuki bulan kedelapan, ujar anggota Fraksi Partai Demokrat di DPRD Jateng, Yoyok Sukawi, penyerapan anggaran untuk publik berkisar 60 persen-70 persen. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan, rendahnya penyerapan APBD bukan disebabkan rendahnya kinerja, melainkan merupakan capaian prestasi terkait dengan pekerjaan yang efisien.

Andrian-1.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Andrian-1.docx

Serapan APBD Rendah, Dana Desa Tak Terpakai

Cetak | 7 Agustus 2015 764 dibaca 1 komentar

SEMARANG, KOMPAS — Memasuki delapan bulan tahun 2015, serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di sejumlah wilayah masih rendah. Serapan APBD rata-rata masih di bawah 50 persen.

Demikian juga beberapa aparat desa belum berani menggunakan dana desa yang ada di rekening desa karena ketakutan. Ketidakjelasan aturan penggunaan dan fungsinya dikhawatirkan bisa menyeret mereka ke ranah pidana.

Penyerapan APBD Jawa Tengah hingga awal Agustus ini di bawah 40 persen dari total APBD Jateng 2015 sebesar Rp 17,019 triliun. Pemicunya banyak faktor, antara lain tidak matangnya perencanaan, terbatasnya sumber daya manusia, dan regulasi aturan soal dana hibah.

Ketua DPRD Jawa Tengah Rukma Setyabudi, Kamis (6/8), mengatakan, dari laporan anggota yang melakukan pertemuan dengan sejumlah pimpinan instansi dan dinas di Pemerintah Provinsi Jateng, kelambatan penyerapan APBD tidak bisa dihindari. Ada juga yang berdalih kelambatan itu bagian dari efisiensi. ”Kalau bicara soal efisiensi, mestinya tidak demikian. Sebab, banyak anggaran dibutuhkan masyarakat, terutama dana hibah yang berdampak langsung terhadap kepentingan masyarakat,” tutur Rukma.

Normalnya, memasuki bulan kedelapan, ujar anggota Fraksi Partai Demokrat di DPRD Jateng, Yoyok Sukawi, penyerapan anggaran untuk publik berkisar 60 persen-70 persen.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan, rendahnya penyerapan APBD bukan disebabkan rendahnya kinerja, melainkan merupakan capaian prestasi terkait dengan pekerjaan yang efisien. Termasuk adanya sisa lebih penggunaan anggaran tahun 2014 sebesar Rp 1,6 triliun.

Jumlah itu tampak besar karena ada tambahan peningkatan pendapatan asli daerah pada tahun yang sama sebesar Rp 700 miliar.

Nol persen

Dalam rapat pembahasan realisasi pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan APBD dan APBN triwulan II tahun anggaran 2015 di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis, juga terungkap bahwa penyerapan dana masih rendah.

Page 2: Andrian-1.docx

Dari 17 kabupaten dan kota di Sumatera Selatan, hingga Agustus ini, 10 daerah hanya menyerap dana di bawah 10 persen. Penyerapan anggaran di dua kabupaten baru, yaitu Musirawas Utara (Muratara) dan Penukal Abab Lematang Ilir (Pali), bahkan nol persen. Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur sebanyak 3 persen, Kabupaten Lubuk Linggau, Empat Lawang, dan Musirawas hanya 4 persen, serta Musi Banyuasin hanya 5 persen.

Provinsi Sumatera Selatan baru merealisasikan 33 persen. ”Ini masih lebih rendah dari target nasional sebanyak 40 persen,” kata Kepala Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran Kementerian Keuangan Kantor Wilayah Sumsel Sutyawan.

Lambatnya serapan belanja modal ini terutama di sektor infrastruktur. Sutyawan menyayangkan lambatnya penyerapan belanja modal daerah yang merupakan fenomena nasional.

Sementara itu, penyerapan APBD Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, sudah 45 persen. Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Banyuwangi Agus Siswanto, hingga awal Juli, penyerapan APBD di kabupaten tersebut telah mencapai 45 persen. Realisasi ini meningkat lebih dari 7,5 persen dibandingkan dengan penyerapan periode yang sama tahun sebelumnya.

”Kami berupaya agar realisasi bisa optimal karena belanja daerah menjadi salah satu tumpuan di tengah perlambatan ekonomi,” ujar Agus.

Tidak berani

Di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, sejumlah aparat desa hingga sekarang belum berani mengambil dan memanfaatkan dana desa yang telah ada di rekening desa masing-masing. Hal ini terjadi karena belum ada aturan yang jelas tentang mekanisme pengambilan dan pemakaian dana desa.

”Daripada nanti dituduh menyalahi aturan dan terseret kasus hukum, lebih baik kami menahan diri dan tidak mengutak-atik dana desa terlebih dahulu,” ujar Didik Agus Susilo, Kepala Desa Kalimanggis, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung.

Tahun ini, total Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang diterima Pemerintah Desa Kalimanggis Rp 780 juta, termasuk dana desa sebesar Rp 268 juta. Dari dana itu, pada Juli lalu baru diambil Rp 117 juta untuk membayar tunjangan perangkat desa selama enam bulan.

Hal senada diungkapkan Suyami, Kepala Desa Gilingsari, Kecamatan Temanggung. Saat ini, Pemerintah Desa Gilingsari mulai membentuk Tim Pengelola Kegiatan (TPK). Namun, karena belum jelas tentang tugas dan fungsinya, TPK juga belum melakukan pekerjaan.

Sama seperti Didik, di tengah ketidakjelasan menyangkut aturan ini, Suyami mengatakan, dirinya tidak berani melakukan apa pun, termasuk mengambil dan memanfaatkan dana desa.

”Dana desa ini dana besar bernilai ratusan juta. Jika salah bertindak, kami bisa dituduh korupsi,” ujarnya. (WHO/ETA/IRE/KOR/EGI)

Page 3: Andrian-1.docx